MEMBANGUN LEADING DAN COINCIDENT INDICATORS UNTUK INFLASI DI INDONESIA OLEH ERY PERMATASARI H

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MEMBANGUN LEADING DAN COINCIDENT INDICATORS UNTUK INFLASI DI INDONESIA OLEH ERY PERMATASARI H"

Transkripsi

1 MEMBANGUN LEADING DAN COINCIDENT INDICATORS UNTUK INFLASI DI INDONESIA OLEH ERY PERMATASARI H DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

2 RINGKASAN ERY PERMATASARI. Membangun Leading dan Coincident Indicators untuk inflasi di Indonesia (dibimbing oleh NOER AZAM ACHSANI). Infasi selalu dan di mana pun merupakan fenomena moneter. Begitulah yang ditulis Milton Friedman. Dampak sosial yang ditimbulkan cukup banyak mengganggu stabilitas perekonomian Indonesia, diantaranya memperburuk tingkat kesejahteraan masyarakat akibat menurunnya daya beli masyarakat secara umum. Untuk mengatasi permasalahan inflasi ini, maka diperkenalkanlah suatu sistem yang dapat mengantisipasi tekanan inflasi dengan menggunakan metode business cycle analysis. Berdasarkan indikator-indikator yang dikumpulkan maka didapatkan tiga kategori dari indikator ekonomi, yaitu: leading, lagging, coincident indicators. Leading indicators berperan penting dalam membangun sistem peringatan dini terhadap inflasi, karena indikator tersebut memberikan sinyal dini tentang arah pergerakan inflasi kedepannya. Sementara coincident index berperan dalam memberikan gambaran tentang kondisi perekonomian yang sedang berlangsung sedangkan lagging index untuk mengkonfirmasikan kedua indeks tersebut. Tujuan dari penelitian ini yaitu membangun leading index dan coincident index untuk melihat pergerakan inflasi kedepannya. Untuk menjawab tujuan penelitian ini maka digunakan analisis business cycle dan pengembangannya, yaitu growth cycle analysis. Data yang digunakan adalah data time series bulanan dengan sample waktu dari 1993 : 01 sampai 2007 : 09. Secara keseluruhan diperoleh 150 data yang digunakan sebagai indikator-indikator potensial. Dari 150 data variabel atau indikator potensial terhadap inflasi akan diambil beberapa kandidat yang potensial menjadi leading indicators dan coincident indicators. Hasil penelitian menunjukkan bahwa leading dan coincident index (LI dan CI) yang didapat dari Bussiness Cycle Analysis (BCA) ini masih belum memperlihatkan kemampuan memprediksi inflasi dengan sempurna. Hal ini disebabkan karena pergerakan siklus LI dan CI terhadap inflasi masih belum terlihat jelas siklusnya dan trendnya masih kuat. Hal inilah yang masih menjadi kendala utama bagi perkembangan analisis siklus bisnis di Indonesia. Oleh karena itu, analisis dilanjutkan dengan pengembangan growth cycle analysis dengan menghilangkan faktor trend dari business cycle index. Penghilangan faktor trend dilakukan dengan menggunakan metode Hodrick-Prescott Filter (HPF). Pada growth cycle analysis pergerakan siklus LI dan CI lebih terlihat dibanding business cycle analysis. Berdasarkan ukuran kebaikan, LI Growth mampu memprediksi pergerakan inflasi dengan baik sedangkan CI Growth hampir bergerak seiring dengan inflasi. Hasil proyeksi peramalan inflasi didapatkan sampai akhir tahun 2008, inflasi akan cenderung untuk terus naik. Mengingat bahwa kebijakan Inflation Targeting ini sudah diterapkan maka diharapkan pemerintah dan otoritas moneter (BI) di masa yang akan datang dapat

3 mempertimbangkan leading index dan coincident index dari leading indicators dan coincident indicator untuk inflasi. Hal ini bertujuan agar pencapaian target inflasi dapat sesuai dengan sasarannya serta dapat mengantisipasi lonjakan inflasi yang tak terkendali pada masa yang akan datang serta lebih mengetahui pengaruh inflasi yang sedang berlangsung. Apabila dari leading index ini dapat meramalkan prilaku inflasi dengan tepat, maka para pembuat kebijakan ekonomi serta para otoritas moneter telah siap untuk menahan atau paling tidak mengurangi dampak buruk dari inflasi yang tak terkendali. Di samping itu untuk coincident index lebih berperan untuk mengetahui kondisi inflasi yang sedang berlangsung.

4 MEMBANGUN LEADING DAN COINCIDENT INDICATORS UNTUK INFLASI DI INDONESIA Oleh ERY PERMATASARI H Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS ILMU EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

5 INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS ILMU EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh : Nama Mahasiswa : Ery Permatasari Nomor Registrasi Pokok : H Program Studi : Ilmu Ekonomi Judul : Membangun Leading dan Coincident Indicators untuk Inflasi di Indonesia dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakulatas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor Menyetujui, Dosen Pembimbing, Noer Azam Achsani, Ph.D NIP Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi, Rina Oktaviani, Ph.D NIP Tanggal Kelulusan:

6 PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. Bogor, September 2008 Ery Permatasari H

7 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Ery Permatasari lahir pada tanggal 4 Juni 1986 di Jakarta. Penulis anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Yoyok Pandiyo dan Endang Purwaningsih. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar di SD Negeri 05 Pagi Grogol Selatan pada tahun 1998, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 66 Kebayoran Lama, Jakarta Selatan dan lulus pada tahun Pada tahun yang sama penulis diterima di SMU Negeri 29 Jakarta Selatan dan lulus pada tahun Pada tahun 2004 penulis meninggalkan kota tercinta yang telah melahirkan dan membesarkan penulis untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis menggantungkan harapan besar untuk memperoleh ilmu dan mengembangkan kemampuan pola pikir, sehingga menjadi sumber daya manusia yang berkualitas dan berguna bagi nusa dan bangsa. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dibeberapa organisasi kemahasiswaan yaitu sebagai Bendahara Biro Keskretariatan Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan (HIPOTESA) periode 2006/2007, teater Ladang Seni (LS) Faperta IPB, Kopersi Mahasiswa (KOPMA) IPB, serta mengikuti berbagai kepanitiaan baik di lingkungan kampus maupun di luar kampus.

8 KATA PENGANTAR Assalamu alaikum Wr. Wb. Syukur Alhamdulillah, penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah Membangun Leading dan Coincident Indicators untuk Inflasi di Indonesia. Topik ini sangat menarik karena Business Cycle Analysis masih jarang diterapkan untuk negara-negara berkembang khususnya di Indonesia serta kemampuan analisisnya dapat membangun leading indicators yang tepat untuk melakukan peramalan ekonomi di masa mendatang dalam rangka mengantisipasi dampak buruk dari guncangan perekonomian yang salah satunya disebabkan oleh inflasi yang tak terkendali. Penulisan skripsi ini sebagai tugas akhir perkuliahan untuk dapat memperoleh gelar sarjana ekonomi (SE) dari Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis sangat menyadari bahwa tulisan ini pada dasarnya merupakan hasil belajar dari berbagai sumber sehingga penulis dapat menuangkannya dalam bentuk skripsi ini. Penulis mengucapkan banyak berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini dengan baik, diantanya : 1. Bapak Azam, yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis, teoritis maupun moril dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. 2. Orang tua penulis karena telah memberikan yang terbaik serta kasih sayangnya yang tiada henti bagi penulis serta tidak lupa kepada mas Angga dan adikku Eca yang selalu memberikan warna kecerian di rumah sehingga penulis dapat mengerjakan skripsi ini dengan tenang. 3. Seluruh dosen Ilmu Ekonomi, karena kesabaran dan keikhlasan mereka memberikan ilmu dan bimbingan moril kepada penulis selama menimba ilmu di Departemen Ilmu Ekonomi ini.

9 4. Kak Ade dan Kak Fikri yang telah menyempatkan waktunya dalam mengajarkan tahapan pengolahan data skripsi ini serta memberikan saran dan kritik yang berguna dalam penyusunan skripsi ini. 5. Arief Wibowo, yang telah memberikan perhatian dan semangat dalam kehidupan penulis serta tidak bosan mendengarkan keluh kesah penulis dalam penyusunan skripsi ini. 6. Teman-teman akrab penulis selama menempuh pendidikan di IPB, Ebi, Fitri, Ida, Akbar, Mbay dan Upah. Mudah-mudahan akan terus bersama, walaupun kita sudah lulus. 7. Teman-teman sebimbingan skripsi yaitu Andra, Titis dan Duvi berkat mereka penyusunan skripsi ini menjadi mudah dan menyenangkan karena dapat saling membantu satu sama lainnya. 8. Seluruh teman-teman Ilmu Ekonomi angkatan 41, karena selama kurang lebih empat tahun penulis dapat merasakan telah menemukan keluarga baru di kehidupan penulis. 9. Seluruh alumni SMA 29 Jakarta yang ada di IPB, karena berkat mereka penulis pertama kali lebih mengenal IPB. 10. Anak-anak Teater Ladang Seni Faperta IPB Riri, Devi, Irub, Yogi, dan Wahyu. Mudah-mudahan kita bisa berteater ria seperti dulu. 11. Departemen Ilmu Ekonomi yang telah memberikan tempatnya kepada penulis dalam menimba ilmu di IPB ini. Bogor, September 2008 Ery Permatasari H

10 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vi DAFTAR LAMPIRAN... vii DAFTAR ISTILAH... viii BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Manfaat Ruang Lingkup Penelitian... 7 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Inflasi Konsep Dasar Inflasi Jenis-Jenis Inflasi Business Cycles Analysis Definisi Business Cycles Analysis Tahapan Business Cycle Analysis Kelebihan dan Kelemahan Business Cycles Analysis Pemilihan Pokok Cyclical Indicator Business Cycle Indicators Composite Index Coincident Indicators... 16

11 2.4.3 Leading Indicators Laging Indicators Early Warning System (EWS) Model Early Warning System (EWS) Perkembangan Early Warning System (EWS) Growth Cycle Analysis Hodrick-Prescott Filter Proyeksi Peramalan Inflasi Penelitian terdahulu terkait Analisis SiklusBisnis Kerangka Pemikiran BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Data Metode Penyusunan Early Warning System (EWS) Metode Disagregasi Data X-12 ARIMA Cross Corelation Granger Causality Test Grafis Prosedur Penyusunan Coincident dan Leading Economic Indicators Prosedur Penyusunan Composite Coincident dan Leading Index Growth Cycle Analysis Hodrick-Prescott Filter Proyeksi Peramalan Inflasi Sampai Akhir Tahun Model Umum AR Model Umum VAR... 40

12 BAB IV. PENYUSUNAN LEADING INDICATORS 4.1 Tahapan Penyusunan Leading Economic Indicator (LEI) Tahapan Pemilihan Kandidat Leading Hasil Disagregasi Data Hasil dari Mengisolir Pengaruh Musiman Kandidat Leading Indicators Hasil Penyusunan Composit Leading Index ( LI ) Hasil Growth Cycle Analysis untuk Leading Index Hasil Proyeksi Peramalan pada Leading Index(LI) Dekomposisi Leading Index Hubungan Leading Index dengan Kandidat- Kandidatnya Hubungan Kandidat-Kandidat Leading Index dengan Inflasi Dilihat dari Matiks Korelasi Hubungan Kandidat-Kandidat Leading Index dengan Leading Index Implikasi Kebijakan BAB V. PENYUSUNAN COINCIDENT INDICATORS 5.1 Tahapan Penyusunan Coincident Economic Indicator (CEI) Tahapan Pemilihan Kandidat Coincident Hasil dari Mengisolir Pengaruh Musiman Kandidat Coincident Indicators Hasil Penyusunan Composit Coincident Index (CI) Hasil Growth Cycle Analysis untuk Coincident Indicators Hasil Proyeksi Peramalan pada Coincident Index Dekomposisi Coincident Index... 68

13 5.7 Hubungan Coincident Index Terhadap Kandidat- Kandidatnya Hubungan Kandidat-Kandidat Coincident Index dengan Inflasi Dilihat dari Matriks Korelasi Hubungan Kandidat-Kandidat Coincident Index dengan Coincident Index Implikasi Kebijakan BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 80

14 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 2.1 Kelebihan Masing-Masing Metode Kekurangan Masing-Masing Metode Sepuluh Kandidat Leading Indicators Hasil Pengujian Stasioneritas Leading Index (LI) pada Tingkat Level Hasil Penetapan Lag Optimal Kombinasi Terbaik Penyusun Leading Index Beserta Bobotnya Hasil Matriks Korelasi Kandidat Penyusun Leading Index dengan Inflasi Hasil Matriks Korelasi Kandidat Penyusun Leading Index dengan Leading Index Tujuh Belas Kandidat Coincident Indicators Kombinasi Terbaik Penyusun Coincident Index Beserta Bobotnya Hasil Matriks Korelasi Kandidat Penyusun Coincident Index dengan Inflasi Hasil Matriks Korelasi Kandidat Penyusun Coincident Index dengan Coincident Index... 71

15 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1.1 Tingkat Inflasi yang Dilihat dari CPI Pergerakan Reference Series dengan Ketiga Indeks Pergerakan Grafik setelah di HP Filter Kerangka Pemikiran Alur Kerangka Pemikiran Hasil Pemilihan Kandidat Leading dengan Grafis Hasil Disageregasi Data dengan Cubic Spline Hasil Seasonal Adjusted (SA) dengan X-12 ARIMA Grafik Leading Index dan Inflasi pada BCA Grafik LI Growth dan CPI pada GCA Grafik Peramalan Leading Index Grafik Peramalan LI dan CPI pada Business Cycle Analyis Grafik Peramalan Growth LI dan Growth CPI pada Growth Cycle Analysis Hubungan Kandidat LI dan LI Dilihat dari Grafik Garis Hasil Pemilihan Kandidat Coincident dengan Grafis Hasil Seasonal Adjusted (SA) dengan X-12 ARIMA Grafik Coincident Index dan CPI pada BCA Grafik CI Growth dan CPI pada GCA Grafik Peramalan Coincident Index Grafik Peramalan LI dan CPI pada Business Cycle Analysis Grafik Peramalan Growth CI dan Growth CPI pada Growth Cycle Analysis Hubungan Kandidat CI dan CI Dilihat dari Grafik Garis... 72

16 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1.1 Nama, Simbol dan Sumber Data Perhitungan X-12 ARIMA Prosedur Penyusunan Composit Coincident Index dan Leading Index Growth Cycle Analysis Proyeksi Peramalan Inflasi... 91

17 DAFTAR ISTILAH AIC : Akaike Information Criterion AR : Auto Regressive ARIMA : Auto Regressive Integrated Moving Average BCA : Business Cycle Analysis BCI : Business Cycle Indicators BI : Bank Indonesia BI : Bonds Issuance BPS : Badan Pusat Statistika CI : Coincident Iindicator / Index CEI : Coincident Economic Indicators CEIC : Commitee on Electronic Information Communication CPI : Indeks Harga Konsumen atau Consumer Price Index DD : Permintaan Deposito Uang pada Survey Moneter DDBK : Permintaan Deposito Bank Komersial ELFX : Ekses Likuiditas Luar Negeri EWS : Early Warning System ExpChn Riil : Ekspor Indonesia ke China ExpGerm Riil : Ekspor Indonesia ke Jerman ExpSgp Riil : Ekspor Indonesia ke Singapura ExpUSA Riil : Ekspor Indonesia ke USA ExpUK Riil : Ekspor Indonesia ke UK FABK : Aset Luar Negeri Bank Komersial FBD Riil : Forex Banks Demand Deposits in Foreign Currency GDP : Gross Domestic Product GDP SGP : Produk Domestik Bruto Singapura GDP GRM : Produk Domestik Bruto Jerman GDP UK : Produk Domestik Bruto Inggris HP-Filter : Hodrick Prescott- Filter IPI : Industrial Production Index

18 IT LEI LI M M1 MA MoM M OD6 Riil NBER NDA Riil NFA Riil RFX SA SIC TALBK TDBK TOT RPC TOT RPF TOT RPSL TOT RPT VAR WPI : Inflation Targeting : Leading Economic Indicators : Leading Indicators/ Leading Index : Imports : Money suppply : Moving Average : Month-of-Month : Imports: Open Date: Thailand : National Bureau of Economic Research : Net Domestic Assets : Net Foreign Assets : Reserve Likuiditas Luar Negeri : Seasonal Adjusted : Schwarz Criterion : Total Aset atau Kewajiban Bank Komersial : Deposito Berjangka : Total Harga Eceran Semen : Total Harga Eceran Tepung : Total Harga Eceran Garam : Total Harga Eceran Tekstil : Vector Auto Regressive : Indeks Harga Perdagangan Besar atau Wholesale Price Index

19 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondisi keberaturan yang ada di alam semesta ini mudah untuk dipelajari dan dianalisis seperti planet-planet yang mengelilingi bumi. Begitu pula dengan perekonomian, apabila kondisi keberaturan dapat dicapai maka akan mudah dipelajari dan dianalisis. Namun, seringkali pada kenyataaannya keberaturan tersebut sulit dicapai sehingga menjadi sebuah tantangan untuk menelitinya. Dalam konteks perekonomian di Indonesia, kondisi ketidakberaturan atau ketidakstabilan dapat disebabkan oleh sangat pekanya perekonomian Indonesia terhadap berbagai perubahan ekonomi. Keterkaitan variabel ekonomi akan membawa pengaruh terhadap variabel ekonomi lainnya. Oleh karena itu, apabila terjadi guncangan (shock) pada satu variabel ekonomi akan berpengaruh pada variabel lainnya, misalnya pada saat Fed menaikkan suku bunga, suku bunga di Indonesia pun ikut naik serta pada saat terjadinya kenaikan harga bahan bakar minyak, tingkat inflasi di Indonesia menjadi terus-menerus naik. Shock yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan kondisi di luar biasanya yang dibagi menjadi shock internal (berasal dari dalam negeri) dan shock eksternal (berasal dari luar negeri) yang menyebabkan fluktuasi atau volatilitas dalam perekonomian. Fluktuasi dalam jangka panjang akan membentuk suatu siklus (business cycle) yang ditandai dengan fase ekspansi dan kontraksi pada perekonomian.

20 Studi literatur juga menunjukkan bahwa banyaknya permasalahan mengenai krisis mata uang, menuntut banyak pihak untuk bersikap hati-hati dalam penyesuaian kondisi perekonomian. Pada saat itu mulailah dikenal bussines cycle indicator, kemudian muncul sebuah sistem peringatan dini atau istilah asingnya dikenal dengan early warning system (EWS) yang berguna dalam mendeteksi sejak dini gejala-gejala kerentanan atau kerapuhan dalam perekonomian. Pengembangan early warning system ini sangat krusial bagi setiap negara dan tidak mudah untuk membangun early warning system yang bisa diterapkan di setiap negara karena memilki karakteristik yang unik di masing-masing negara (Adiningsih, Setiawati, dan Solihah, 2002). Dalam menganalisis siklus bisnis dikenal tiga (3) macam indeks gabungan yang masing-masing merupakan kombinasi dari beberapa variabel. Ketiga indeks tersebut adalah leading, coincident dan lagging. Leading index bergerak mendahului coincident maupun reference series. Coincident index bergerak seiring dengan reference series. Lagging index bergerak mengikuti (lag) coincident maupun reference series. Sementara itu reference series adalah variabel yang dapat menggambarkan kondisi perekonomian secara agregat seperti inflasi, kurs, PDB, indeks produksi industri, real money supply, dan lain-lain. Pada leading indicators atau leading index lebih berperan dalam membangun sistem peringatan dini terhadap inflasi karena menyediakan sinyal dini pada arah ekonomi yang sedang berjalan. Sinyal-sinyal yang lebih awal memperlihatkan apabila terjadi ekspansi terus menerus dapat segera mengurangi kecepatannya sehingga dapat menahan penurunan tingkat pertumbuhan indeks

21 leading. Indeks leading juga menyediakan peringatan sebelum terjadinya kemungkinan perubahan kegiatan ekonomi. CPI CPI Jan-93 Jan-94 Jan-95 Jan-96 Jan-97 Jan-98 Jan-99 Jan-00 Jan-01 Jan-02 Jan-03 Jan-04 Jan-05 Jan-06 Jan-07 Sumber : CEIC (2008) Gambar 1.1 Tingkat Inflasi yang Dilihat dari CPI Berdasarkan perekonomian suatu negara, fenomena naik-turunnya siklus bisnis, kemungkinan besar akan terulang di masa yang akan datang, sehingga dapat memberikan inspirasi untuk mendeteksi dini atau meramalkan pergerakan secara agregat perekonomian suatu negara. Apabila terjadi guncangan atau ketidakstabilan perekonomian di suatu negara, maka dapat diantisipasi seoptimal mungkin. Pendeteksian ini sangatlah penting bagi pemerintah, praktisi ekonomi dan moneter maupun dunia usaha dalam rangka perencanaan dan perumusan kebijakan di bidang ekonomi dan moneter serta pengambilan keputusan bisnis. Bank Indonesia (BI) terus berusaha untuk mengendalikan inflasi melalui kebijakannya yang dikenal dengan inflation targeting di Indonesia. Kebijakan inflation targeting ini telah diterapkan sejak bulan Juli 2005 yang merupakan sebuah kerangka kebijakan moneter yang ditandai dengan pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode

22 mendatang. Penetapan inflation targeting ini berdasarkan pada perhitungan model ekonometrika yang digunakan BI (modbi). Sumber inflasi yang terjadi di Indonesia, bukan hanya di bawah kendali kebijakan Bank Indonesia, namun diperlukan pula keterlibatan Pemerintah Indonesia dalam mengendalikan inflasi karena dari kebijakan pemerintah ini pula turut serta menyumbangkan inflasi, diantaranya adalah penetapan administered price, upah minimum regional (UMR), gaji pegawai negeri, kebijakan di bidang produksi sektoral, perdagangan domestik dan tata niaga impor. Kebijakan pemerintah lainnya (misalnya di bidang politik, keamanan, dan penegakan hukum) juga secara tidak langsung turut mempengaruhi inflasi. Oleh karena itu, dibutuhkan keterlibatan pemerintah dalam menetapkan sasaran inflasi. Kebijakan yang telah diputuskan dan ditetapkan oleh otoritas moneter dan pemerintah telah menunjukkan usahanya dalam mengendalikan inflasi. Mereka berkoordinasi dan saling berkomitmen untuk bersama-sama mengendalikan inflasi agar sasaran inflasi lebih kredibel, karena telah menjadi milik bersama dalam arti bahwa para pelaku ekonomi akan menyamakan perkiraan inflasi mereka dengan sasaran inflasi tersebut sehingga dapat dicapai kestabilan inflasi yang dapat pula mencerminkan kestabilan perekonomian di Indonesia. Oleh karena itu, sesuai dengan tema yang diangkat pada penelitian ini maka inflasi menjadi acuan yang dapat menggambarkan perekonomian secara agregat

23 1.2 Perumusan Masalah Lonjakan inflasi yang tak terkendali membawa perekonomian Indonesia ke dalam berbagai permasalahan. Sejak awal pemerintahan, Indonesia pernah mengalami hyperinflasi yang hebat. Pada tahun 1997/1998, masa-masa krisis ekonomi dan moneter kembali menambah daftar meroketnya angka lonjakan inflasi di Indonesia. Oleh karena itu, pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif pada kondisi sosial ekonomi masyarakat, diantaranya yaitu : Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat pun ikut turun dan akhirnya menjadikan semua orang terutama yang miskin, bertambah miskin. Kedua, inflasi yang tidak stabil menyebabkan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di negara tetangga memjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah. Dengan demikian pembentukan sistem peringatan dini (leading indicator) pada pergerakan inflasi ini merupakan langkah yang beralasan dan harus segera diterapkan karena dapat mengantisipasi adanya guncangan inflasi akibat tingginya

24 fluktuasi inflasi di Indonesia yang mungkin berulang di masa mendatang. Secara ringkas, penulis dapat menuliskan rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut : a) Apakah leading dan coincident indicators untuk inflasi mampu membangun leading index (LI) dan coincident index (CI) inflasi di Indonesia dengan tepat sehingga mendapatkan gambaran proyeksi peramalan terhadap inflasi di akhir tahun 2008 mendatang? b) Bagaimana implikasi kebijakan perekonomian di Indonesia setelah adanya leading index dan coincident index untuk inflasi? 1.3 Tujuan Untuk menjawab permasalahan diatas, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini sebagai berikut: a) Membangun leading dan coincident indicators menjadi leading index dan coincident index untuk inflasi di Indonesia sehingga mendapatkan gambaran proyeksi peramalan terhadap inflasi di akhir tahun 2008 mendatang. b) Menganalisis implikasi kebijakan perekonomian di Indonesia setelah adanya leading index dan coincident index untuk inflasi. 1.4 Manfaat Adapun manfaat yang diberikan dari tujuan penelitian ini, adalah sebagai berikut: a) Mengidentifikasikan leading dan coincident indicators yang telah dijadikan leading dan coincident index untuk inflasi di Indonesia sehingga mengetahui

25 gambaran proyeksi peramalan inflasi di akhir tahun 2008 mendatang agar bisa lebih berhati-hati terhadap guncangan inflasi yang tak terkendali. b) Mengidentifikasikan implikasi kebijakan perekonomian di Indonesia setelah adanya leading index dan coincident index untuk inflasi. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Dari tiga kategori indikator ekonomi analisis siklus bisnis yang lebih ditekankan adalah pada leading indicator karena melihat relevansi dan dominansinya dalam penelitian ini.

26 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Keanekaragaman definisi inflasi melahirkan banyak pengertian dan persepsi tentang inflasi. Hal ini karena luas dan eratnya hubungan pengaruh inflasi terhadap berbagai sektor perekonomian. Namun, pada prinsipnya masih terdapat beberapa kesatuan pandangan bahwa inflasi merupakan suatu keadaan yang mengindikasikan semakin melemahnya daya beli yang diikuti dengan semakin merosotnya nilai riil mata uang suatu negara. 2.1 Inflasi Konsep Dasar Inflasi Salah satu peristiwa yang sangat penting dan hampir dijumpai di seluruh negara di dunia adalah inflasi. Pengertian inflasi dibagi dalam dua bagian, yaitu : 1) Pengertian inflasi dalam arti sempit atau relatif didefinisikan sebagai suatu periode dimana kekuatan membeli dalam kesatuan moneter menurun atau terjadi kenaikan harga dari sebagian besar barang dan jasa (secara umum) secara terus menerus. Jika kenaikan barang dan jasa hanya satu atau beberapa macam tidak dapat dikatakan telah terjadi inflasi, begitu juga kenaikan barang dan jasa yang bersifat kejutan (sekali waktu musiman) seperti pada hari raya Islam dan Natal, juga tidak dapat dinamakan dengan inflasi (Kusnadi, 1996:276).

27 2) Pengertian inflasi dalam arti luas didefinisikan sebagai suatu kenaikan relatif dan tiba-tiba memilki disproporsional besar dalam tingkat harga umum. Inflasi dapat timbul bila jumlah uang atau uang deposito (deposit currency) dalam pereedaran banyak, dibandingkan dengan jumlah barang-barang serta jasa-jasa yang ditawarkan atau bila karena hilangnya kepercayaan terhadap mata uang nasional, terdapat adanya gejala yang meluas untuk menukar dengan barang-barang. Suatu kenaikan normal dalam tingkat harga setelah sesuatu periode depresi, umumnya tidak dianggap sebagai keadaan inflasi. (Winardi, 1995:235). Milton Friedman berpendapat bahwa Infasi selalu dan di mana pun merupakan fenomena moneter (Mankiw, 1997). Hal ini dikarenakan bahwa setiap negara pernah mengalami terjadinya inflasi baik negara maju maupun negara berkembang. Venieris dan Sebold (1977) dalam mendefinisikan inflasi sebagai : a sustained tendency for the general level of prices to rise over time. Kenaikan harga secara umum yang terjadi sekali waktu saja, tidak dapat dikatakan sebagai inflasi. Oleh karena itu, definisi ini mencakup tiga aspek penting, yaitu : 1. adanya kecendrungan (tendency) harga-harga untuk meningkat, yang berarti mungkin saja tingkat harga aktual pada waktu tertentu turun (naik) dibandingkan periode sebelumnya, tetapi belum menunjukkan kecendrungan meningkat. 2. peningkatan harga tersebut berlangsung terus menerus (sustained), yang berarti bukan terjadi pada satu waktu saja melainkan terus berkelanjutan.

28 3. pengertian tingkat harga umum (general level of prices), yang berarti tingkat harga meningkat bukan hanya pada satu atau beberapa komoditi saja Jenis-Jenis Inflasi Dalam teori ekonomi, inflasi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis dalam pengelompokkan tertentu : 1. Penggolongan inflasi didasarkan atas derajat parah tidaknya inflasi tersebut (Kusnadi, 1996:227). Ada empat macam yaitu : a) Inflasi ringan dibawah 10% (single digit). b) Inflasi sedang antara 10%-30% c) Inflasi tinggi antara 30%-100% d) Hyperinflation diatas100% 2. Penggolongan inflasi berdasarkan penyebabnya (Boediono, 1996:162), dibedakan menjadi dua, yaitu : a) Demand Pull Inflation, yaitu inflasi yang disebabkan oleh terlalu kuatnya peningkatan agregat demand masyarakat terhadap komoditi-komoditi hasil produksi di pasar barang. b) Cost Pull Inflation, yaitu inflasi yang dikarenakan bergesernya kurva agregat penawaran kearah kiri atas. Faktor-faktor yang menyebabkan kurva agregat penawaran bergeser adalah meningkatnya harga-harga faktor produki (baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri) di pasar faktor produksi, sehingga menaikkan harga komoditi di pasar komoditi.

29 3. Penggolongan inflasi menurut asalnya (Boediono, 1996:162), dibedakan menjadi dua, yaitu : a) Domestic inflation, yaitu inflasi yang sepenuhnya disebabkan oleh kesalahan pengelolaan perekonomian baik di sektor riil ataupun di sektor moneter dalam negeri oleh para pelaku ekonomi dan masyarakat. b) Imported inflation, yaitu inflasi yang disebabkan oleh karena adanya kenaikan harga-harga komoditi dari luar negeri (di negara asing yang memiliki hubungan perdagangan dengan negara yang bersangkutan). 2.2 Busineess Cycle Analysis Definisi Business Cycle Analysis Menurut Burns dan W. Mitchel (1946) terjadinya business cycle pada orientasi pasar ekonomi dan terlibat sepanjang waktu, tapi tidak berakibat secara berkala dari ekspansi dan kontraksi dalam sebagian besar kegiatan ekonomi. Durasinya bisa berlangsung lebih dari sepuluh sampai dua belas tahun. Burns and Mitchell (1946 p. 3) mendefinisikan business cycles, yaitu : Business cycles are types of fluctuations found in the aggregate economic activity of nations that organize their work mainly in business enterprises: a cycle consists of expansion occurring at about the same time in many economic activities, followed by similarly general recessions, contractions, and revivals which merge into the expansion phase of the next cycle; this sequence of changes is recurrent but not periodic; in duration business cycle vary from more than one year to ten or twelve years; they are not divisible into shorter cycles of similar character with aplitudes approximating their own (Mongardini dan Saaadi-Sedik, 2003) Menurut National Bureau of Economic Research (NBER), mendefinisikan business cycle yang mengacu terhadap kegiatan ekonomi sacara agregat yang

30 poin utamanya yaitu menyatukan pergerakan dari banyak variabel ekonomi atau proses pada banyak siklusnya tersebut. Beberapa ada yang menjadi lead, dan yang lainnya menjadi lag. Mereka cenderung untuk selalu bergerak bersama tidak bisa dihilangkan menjadi single agregat Tahapan Business Cycle Analysis Definisi klasik business cycle oleh NBER memiliki dua fase : ekspansi dan kontraksi. Berakhirnya ekspansi dan dimulainya kontraksi dalam peak sebagai mana waktu yang menandai tingkat yang tertinggi (kulminasi) dari penurunan secara umum kegiatan perekonomian. Berakhirnya kontraksi dan dimulainya ekspansi dalam trough sebagai mana waktu yang menandai tingkat tertinggi dari peningkatannya. Dalam siklus perekonomian terdapat empat (4) tahapan business cycle, yaitu : Tahap Pertama, masa depresi (depression) yaitu suatu periode penurunan permintaan agregat yang cepat dan dibarengi dengan rendahnya tingkat output dan pengangguran yang tinggi secara bertahap mencapai dasar yang paling rendah ; Tahap Kedua, masa pemulihan (recovery) yaitu peningkatan permintaan agregat yang dibarengi dengan peningkatan output dan penurunan tingkat pengangguran ; Tahap ketiga, masa kemakmuran (prosperity) yaitu permintaan agregat yang mencapai dan kemudian melewati taraf output yang terus menerus (PDB potensial) pada saat puncak siklus telah dicapai, dimana tingkat pengangguran tenaga kerja penuh dicapai dan adanya kelebihan permintaan mengakibatkan naiknya tingat harga-harga umum (inflasi) ;

31 Tahap Keempat, masa resesi (recession) dimana permintaan agregat menurun yang mengakibatkan penurunan yang kecil dari output dan tenaga kerja, seperti yang terjadi pada tahap awal, seiring dengan hal ini maka akan muncul masa depresi Kelebihan dan Kelemahan Business Cycle Analysis Menurut Nasution (2007), ada beberapa kelebihan dan kekurangan metode business cycle alysis dengan metode lainnya seperti makroekonometrika dan model time series. Tabel 2.1 Kelebihan Masing-Masing Metode Macroeconometric & Time Series Model Pembentukan model didasarkan pada teori ekonomi dan diestimasi berdasarkan prinsipprinsip ekonometrika Berdasarkan model dapat dilakukan simulasi dengan berbagai skenario Model dapat menjelaskan hubungan antar variabel secara kuantitatif Business Cycle Analysis Data tersedia lebih cepat (timeliness) dan high frequency (monthly basis). Tidak ada hubungan fungsional antara leading dengan coincident index maupun reference series, sehingga di sini tidak diperlukan proyeksi atau peng-asumsian nilai variabel bebas. Leading index dapat memberikan deteksi dini (early warning system) tentang arah pergerakan perekonomian secara agregat baik level maupun laju pertumbuhannya. Dengan kata lain metode ini dapat memberikan signal tentang kemungkinan terjadinya turning-point dalam beberapa periode mendatang.

32 Tabel 2.2 Kekurangan Masing Masing Metode Macroeconometric & Time Series Model Pembentukan model yang high frequency seringkali sulit karena keterbatasan data. Untuk membuat proyeksi nilai-nilai variabel eksogen harus terlebih dahulu diprediksi/diasumsikan. Kesalahan dalam prediksi ini akan terbawa secara kumulatif dalam proyeksi nilai variabel endogen Business Cycle Analysis Komponen pembentuk indeks dipilih berdasarkan judgement, studi literatur serta statistical test. Sehingga beberapa ahli mengatakan metode ini atheoritical. Tidak dapat digunakan untuk membuat simulasi dengan berbagai skenario serta tidak dapat menunjukkan hubungan antar variabel ekonomi dalam bentuk persamaan matematika. 2.3 Pemilihan Pokok Cyclical Indikator Melalui pendekatan Cyclical Indikator dengan melihat sangat besarnya data time series ekonomi dan keuangan maka dapat dinilai melalui enam criteria : 1 signifikansinya terhadap perekonomian (aturan dari business cycle) 2 memadainya statistika (kualitas dalam pengukurannya) 3 ketepatan waktu (kekonsistensian dalam leading, coinciding, dan lagging pada saat businesss cycle mengalami puncak dan lembahnya) 4 pengaturan diri (keteraturan dari tingkah laku cyclenya) 5 memeratakan (kebalikan dari statistika) 6 mata uang (kecepatan penggunaannya atau selama-lamanya) Penilaian terbaik series di masing-masing kategori dipilih untuk menjadi komponen leading index, serta secara kasar dapat ditentukan pula indikator dari coincident dan lagging.

33 2.4 Business Cycle Indicators Business Cycle Indicators (BCI) merupakan salah satu bentuk indikator yang biasa digunakan untuk meramalkan keadaan ekonomi di masa depan atau trend ekonomi. Indikator ekonomi mempunyai dampak yang besar terhadap pasar, bagaimana mengetahui, menginterpretasikan dan menganalisis indikator tersebut merupakan hal yang sangat penting bagi para pelaku ekonomi. Setiap indikator harus memenuhi beberapa aturan kriteria, dimana ada tiga kategori timing indicator yang diklasifikasikan menurut tipe peramalan yang dihasilkannya, yaitu leading, lagging dan coincident. Variabel-variabel ekonomi yang termasuk dalam setiap jenis indikator bisa berbeda-beda untuk tiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Hal ini dikarenakan perbedaan sistem dan kondisi ekonomi yang dianut suatu negara, respon dari setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah di masing-masing negara, dan lain sebagainya Composite Index Composite index lebih baik daripada individual index, karena dalam business cycle tidak ada pembuktian dari rantai tunggal (individual index) dalam menjawab permasalahan yang terjadi yaitu gejala-gejala pada saat resesi atau ekspansi. Sedangkan composite index banyak diperlukan untuk mendapatkan kemungkinan sinyal-sinyal yang benar dalam mengurangi kesalahan sehingga dapat menunjukkan prediksi potensial dalam indicator leadingnya.

34 2.4.2 Coincident Indicators Indikator ini memilki ketepatan waktu dengan business cycle-nya. Bila dilihat dari pergerakan siklus coincident indicators akan bergerak menyerupai pergerakan inflasi. Mereka bergerak bersamaan, bila siklus inflasi berada di puncak maka siklus dari coincident berada di puncak pula, begitu pula sebaliknya Leading Indicators Time series yang dipilih cendrung bergerak lebih dulu dari reference series yaitu inflasi dan coincident indicatornya juga mencapai perputaran pergantian poin lebih dahulu terhadap posisi business cycle (puncak dan lembah). Oleh karena itu leading indicator ini cikal bakal dari early warning indicator. Series-nya lebih sensitif dan volatile daripada coincident indicator, serta banyak dari mereka yang memilki trends yang sangat lemah. Leading indicator jarang kehilangan banyak resesi tapi mereka memilki lebih banyak fluktuasi daripada coincident indicator Lagging Indicator Indikator ini menguatkan pergerakan dari indicator leading dan coincident. Ketika laging indicators ini muncul dengan cepat maka tidak konduktif bagi pertumbuhan. Indikator ini dapat memeratakan dari ketiga indeks tersebut. Bila dilihat dari siklus pergerakan lagging maka terlihat pergerakan yang bergerak mengikuti (lag) inflasi. Oleh karena itu, lagging indicator kurang berpengaruh dalam membangun early warning system (EWS).

35 130 Leading Index Coincident Index 120 Index Lagging Index t t + 12 t + 24 t + 36 t + 48 t + 60 t + 72 Sumber : Damhuri, 2007 Gambar 2.1 Pergerakan Reference Series dengan Ketiga Indeks 2.5 Early Warning System (EWS) Model Early Warning System Sistem peringatan dini atau istilah asingnya dikenal dengan early warning system (EWS) merupakan suatu model yang dikembangkan untuk menganalisa kerentanan makroekonomi dan meramalkan kondisi perekonomian ke depannya. Terdapat pro-kontra dalam meneliti early warning system (EWS) ini seperti efektif atau tidaknya EWS digunakan didalam pemodelan. Pengukuran EWS sendiri pun tidak ada sebab-akibat yang pasti. Berbeda pengguna atau peneliti dapat menghendaki ciri informasi yang berbeda sehingga hasil metode peramalan pun berbeda. Hal ini dikarenakan mereka memiliki cara yang berbeda dalam pendekatan setiap permasalahannya Perkembangan Early Warning System (EWS) Berdasarkan perkembangan Early Warning System yang ditulis oleh Nasution (2007) dalam Penyusunan Coincident dan Leading Economic Indicators, sebagai berikut :

36 1. Penyusunan Leading Economic Indicators (LEI) pertama kali dirintis oleh National Bureau of Economic Research (NBER) pada tahun 1920-an yaitu ilmu ekonometrika belum berkembang, metode penyusunannya lebih bersifat analisis deskriptif, LEI hanya disajikan dalam bentuk tabel angka-angka statistik, serta belum memiliki composite index. 2. Pada tahun 1930-an, NBER mengembangkan LEI-nya dengan menyusun composite index untuk USA. Composite index ini merupakan kombinasi sederhana (equal weight) dari variabel-variabel LEI telah mengalami beberapa kali revisi. 3. Metode penyusunan LEI banyak mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan ilmu ekonometrika dan statistika. Hal ini antara lain terlihat dari makin bervariasinya metode yang digunakan oleh para ahli dalam penyusunan LEI di berbagai negara. Beberapa variasi penyusunan LEI di berbagai negara : a) Penggunaan principal component atau factor analysis dan analisis regresi Di Prancis variabel-variabel yang menjadi LEI dipilih berdasarkan signifikansi koefisien regresi tiap-tiap variabel terhadap reference series (biasanya GDP atau IPI). Composite index diperoleh dengan rata-rata tertimbang dari beberapa variabel. Dalam hal ini factor loading (characteristic vector pertama) digunakan sebagai penimbang. b) Pendekatan ekonometrika Di Inggris, langkah pertama dalam pemilihan komponen LEI adalah uji kointegrasi setiap calon komponen LEI dengan reference series untuk melihat ada

37 tidaknya hubungan jangka panjang. Kemudian dilakukan pengujian Granger Causality Test antara calon komponen LEI (dengan berbagai spesifikasi lag) dengan reference serie sehingga dapat diperoleh variabel-variabel yang tergolong sebagai leading indicators. Penyusunan composite index dilakukan dengan meregresikan variabel-variabel leading indicators terhadap reference series dan yang menjadi composite index adalah fitted value dari regresi tersebut. c) Perkembangan terakhir yang patut dicatat Berdasarkan pengalaman dari berbagai negara dirasakan perlunya menambahkan variabel hasil survei sebagai salah satu komponen LEI untuk meningkatkan kualitas hasil prediksi. Survei tersebut dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang ekspektasi pelaku ekonomi terhadap arah pergerakan perekonomian, inflasi, nilai tukar, tingkat suku bunga dan lain-lain. Survei ini dilakukan terhadap top executive beberapa perusahaan besar (Business Sentiment Survey) dan terhadap masyarakat (Consumer Confidence Survey). Survei seperti ini di banyak negara maju telah berlangsung sejak lama seperti yang dilakukan di Jepang dengan nama Tankan Survey. Di USA survey sejenis dikoordinasikan oleh the Conference Board. Sejak awal perkembangannya, analisis business cycles ini terutama penyusunan leading indicators menjadi sangat populer dalam mendeteksi siklus perekonomian. Kepopuleran dari metode ini antara lain karena beberapa kelebihan yang melekat padanya, sebagaimana diringkaskan oleh Zhang dan Zhuang, (2002) sebagai berikut:

38 Pertama, deteksi secara dini dan diketahuinya periode titik balik suatu siklus bisnis merupakan hal yang penting bagi: a) pemerintah sebagai pembuat kebijakan sehingga mampu membuat kebijakan yang bersifat antisipatif, b) bagi sektor riil untuk dapat menyesuaikan penjualan ataupun strategi investasi, dan c) bagi investor untuk dapat memutuskan realokasi aset diantara investasi alternatif untuk mengoptimalkan return-nya. Kedua, peramalan yang hanya didasarkan pada model makroekonomi standar seringkali gagal mendeteksi terjadinya titik balik dalam perekonomian. Ketiga, sejak kelahirannya, pendekatan leading indicators dikenal sebagai teknik peramalan yang reliable, murah dan memberikan hasil yang dapat diandalkan. Dalam perkembangannya, pemanfaatan penyusunan leading indicators terhadap business cycles lebih banyak diterapkan oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat, namun di Indonesia penerapan metode ini masih tergolong langka. Penyusunan ini memerlukan data dengan frekuensi tinggi, umumnya berupa data bulanan dengan time series yang panjang. Bagi negara-negara berkembang, penggunaan leading indicators masih sangat terbatas karena ketersediaan data yang terbatas dan belum terdokumentasi dengan baik. Sejak krisis keuangan menimpa kawasan Asia pada tahun 1997, negaranegara di kawasan ini mulai menyadari pentingnya sistem statistik yang lebih baik untuk tujuan monitoring dan sebagai alat untuk pencegahan terulangnya kembali krisis. Berbagai indikator keuangan dan makroekonomi yang awalnya tidak tersedia sekarang mulai tersedia. Namun demikian, berbagai indikator yang terbukti mampu menjadi leading indicators yang baik di negara-negara maju

39 belum tersedia di negara-negara Asia termasuk Indonesia. Dengan demikian, penyusunan leading indicators dalam penelitian ini hanya menggunakan indikator-indikator yang telah dipublikasi. 2.6 Growth Cycle Analysis Pada umumnya suatu negara lebih banyak menggunakan pendekatan growth cycle daripada business cycles. Kebanyakan di negara yang tidak pernah mengalami resesi ekonomi dimana leading indexes dan coincident indexes (biasa disebut business cycle index) didominasi oleh faktor trend dan cenderung bergerak naik. Selanjutnya faktor trend dihilangkan dari business cycle, maka diperoleh growth cycle index (Nasution, 2007). Growth cycle index dapat menjadi early warning system karena indeks ini akan mencapai peak lebih awal dibandingkan dengan business cycle index, dan cenderung bersifat coincident pada saat trough (Nasution, 2007 ). Estimasi faktor trend salah satunya dapat dilakukan dengan Hodrick-Prescott Filter ( HP Filter ) Hodrick-Prescott Filter Salah satu metode paling popular dari mengestimasi trend dan komponen siklus dari time series dengan menggunakan statistical filters yang dalam bentuk univariat dan multivariat. Salah satu statistical filter yang paling umum digunakan telah diusulkan oleh Hodrick dan Prescot (1997) yaitu Hodrick-Prescott Filter (HP Filter) yang ekuivalen terhadap trend yang smooth.

40 Menurut Iannaccone dan Otranto dalam jurnal Signal Extraction in Continuous Time and The Generalized Hodrick-Prescott Filter menyebutkan secara luas penggunaan HP Filter untuk mengekstrak sinyal yang bisa diterapkan di dalam time series, khususnya di business cycle analysis. Baxter dan King mendefinisikan siklus bisnis dalam mengukur komponen periodik. Mereka membedakan kedalam tiga bagian : trend, siklus dan irregular fluctuations. Kronologi siklus bisnis di inspirasikan oleh National Bureau of Economic Research (NBER). Mereka mengatakan siklus bisnis terdiri dari komponen periodik yang memilki frekuensi antara 1.5 dan 8 tahun per siklusnya, dan selebihnya mengarah terhadap komponen irregular (Cogley,2006). Hodrick-Prescott Filter (lambda=14400) Sumber : CEIC (2008) LI Trend Cycle Gambar 2.2 Grafik setelah di HP Filter 2.7 Proyeksi Peramalan Inflasi Pada penelitian ini mencoba untuk meramalkan kondisi inflasi pada akhir tahun 2008 mendatang. Mengutip dari Nasution (2007) bahwa yang dimaksud dengan peramalan di sini adalah proyeksi nilai CI dan LI untuk periode 12 bulan mendatang. Proyeksi dilakukan dengan menggunakan model AR(p) dan VAR(p).

41 Model analisis Autoregression AR(p) memiliki asumsi bahwa data pada periode sekarang dipengaruhi oleh data pada periode sebelumnya. Selanjutnya model AR(p) diaplikasikan terhadap faktor trend dan model yang diperoleh digunakan untuk meramalkan faktor trend CI dan LI ( Nasution, 2007 ). Model analisis Vector Autoregression VAR(p), yang dikemukan oleh Christopher A. Sims pada tahun 1980, menyebutkan spesifikasi model VAR meliputi pemilihan variabel dan banyaknya selang yang digunakan di dalam model ekonomi yang relevan. Pemilihan selang optimal memanfaatkan kriteria informasi seperti Akaike Information Criteria (AIC) dan Schwarz Criteria (SC) yang paling minimum nilainya. 2.8 Penelitian Terdahulu Terkait Analisis Siklus Bisnis Sebagian besar literatur yang dikaji memfokuskan pada penyusunan leading economic indicators yang menilai siklus kegiatan perekonomian secara umum. Namun demikian, metode yang digunakan dalam proses penyusunan leading economic indicators tersebut dapat diadopsi untuk menyusun leading indicators bagi kegiatan industri tertentu. Altissimo, Marchetti dan Oneto (2000) menyusun coincident dan leading index untuk memodelkan business cycles di Italia. Hasil kajiannya menunjukkan bahwa : a) variabel-variabel keuangan dan perbankan merupakan leading indicators dengan rata-rata lead 6 12 bulan; b) adanya sinkronisasi antara business cycles di Italia dan di negara-negara maju lainnya, dengan siklus di US

42 dan Inggris mendahului siklus di Italia dengan rentang 2 3 kuartal, dengan link utama melalui jalur perdagangan. Selanjutnya Everhart (2001) menyusun composite leading indicators untuk meramalkan aktivitas ekonomi/bisnis di Mexico. Hasil kajian tersebut menunjukkan adanya sejumlah variabel yang berpotensi sebagai kandidat leading indicators untuk memprediksi pergerakan industrial production index. Variabel tersebut adalah : pertumbuhan pekerja sektor manufaktur, indeks tendensi bisnis, stok barang jadi, banyaknya orang yang bekerja, nilai tukar riil efektif, suku bunga jangka panjang di USA, biaya pengelolaan simpanan di perbankan. Untuk kasus negara ASEAN, Zhang dan Zhuang (2002) menganalisis leading indicators untuk business cycles di Malaysia dan Filipina. Studi tersebut menemukan bahwa metode leading indicators dapat diaplikasikan di kedua negara tersebut. Hasil penelitian menunjukkan dari data Januari 1981 Maret 2002, yaitu a) adanya 9 titik balik di Malaysia, yang terdiri dari 5 puncak dan 4 lembah; b) Filipina memiliki 8 titik balik, masing-masing 4 puncak dan 4 lembah; dan c) terdapat sinkronisasi business cycles di antara kedua negara tersebut. Adiningsih, Setiawati, and Sholihah, 2002 menganalisis kerentanan makroekononomi di Indonesia yang menunjukkan bahwa kerapuhan perekonomian merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi dan mengantisipasi krisis dimasa depan dengan menggunakan empat indikator leading serta menunjukkan pula efek tukar krisis ekonomi di Indonesia. 2.9 Kerangka Pemikiran

43 Early warning system (EWS) bukan saja dikenal di bidang ekonomi saja, melainkan di bidang lain pun cukup dikenal, misal di bidang geografi. Pada dasarnya EWS merupakan suatu sistem atau model untuk mengantisipasi gejala kerentanan atau ketidakwajaran sebuah sistem. Uraian Kerangka Pemikiran Dari sekian banyak kerentanan makroekonomi yang terjadi di Indonesia maka dalam penelitian ini akan diangkat topik permasalahan mengenai salah satu dari kerentanan makroekonomi yaitu tekanan inflasi. Inflasi yang tak terkendali menyebabkan ketidakstabilan makroekonomi. Penggambaran umum terhadap penggunaan berbagai metode pengolahan data untuk mendapatkan leading dan coincident index. Penjelasan lebih khusus mengenai metode pengolahan data dapat dilihat pada tahapan kerangka pemikiran di Gambar 3.1. Berdasarkan hasil-hasil yang didapatkan dari pengolahan data maka diharapkan dapat membangun sistem peringatan dini terhadap inflasi yang dapat memprediksi dan mengantisipasi kedatangan inflasi sehingga dapat mengurangi dampak buruk dari inflasi.

MEMBANGUN LEADING DAN COINCIDENT INDICATORS UNTUK INFLASI DI INDONESIA OLEH ERY PERMATASARI H

MEMBANGUN LEADING DAN COINCIDENT INDICATORS UNTUK INFLASI DI INDONESIA OLEH ERY PERMATASARI H MEMBANGUN LEADING DAN COINCIDENT INDICATORS UNTUK INFLASI DI INDONESIA OLEH ERY PERMATASARI H14104048 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN ERY

Lebih terperinci

ANALISIS LEADING DAN COINCIDENT INDICATORS PERGERAKAN KURS DI INDONESIA: PENDEKATAN BUSINESS CYCLE ANALYSIS OLEH ANDRA DEVI BENAZIR H

ANALISIS LEADING DAN COINCIDENT INDICATORS PERGERAKAN KURS DI INDONESIA: PENDEKATAN BUSINESS CYCLE ANALYSIS OLEH ANDRA DEVI BENAZIR H ANALISIS LEADING DAN COINCIDENT INDICATORS PERGERAKAN KURS DI INDONESIA: PENDEKATAN BUSINESS CYCLE ANALYSIS OLEH ANDRA DEVI BENAZIR H14104073 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengambilan keputusan bisnis. Pertumbuhan ekonomi menjadi indikator kondisi

BAB I PENDAHULUAN. pengambilan keputusan bisnis. Pertumbuhan ekonomi menjadi indikator kondisi BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi suatu negara masih menjadi acuan dalam pengambilan keputusan bisnis. Pertumbuhan ekonomi menjadi indikator kondisi perekonomian negara dimana pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya,

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara umum angka inflasi yang menggambarkan kecenderungan umum tentang perkembangan harga dan perubahan nilai dapat dipakai sebagai informasi dasar dalam pengambilan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH UANG TERHADAP BUSINESS CYCLE INDONESIA OLEH SITI MASYITHO H

ANALISIS PENGARUH UANG TERHADAP BUSINESS CYCLE INDONESIA OLEH SITI MASYITHO H ANALISIS PENGARUH UANG TERHADAP BUSINESS CYCLE INDONESIA OLEH SITI MASYITHO H14102062 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN SITI MASYITHO. H14102062.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh orang orang saat ini adalah melakukan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh orang orang saat ini adalah melakukan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh orang orang saat ini adalah melakukan peralaman (forecasting) akan apa yang terjadi dimasa akan datang dan membuat rencana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perlunya inflasi dikendalikan rasanya tidak perlu dipertanyakan lagi.

BAB I PENDAHULUAN. Perlunya inflasi dikendalikan rasanya tidak perlu dipertanyakan lagi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perlunya inflasi dikendalikan rasanya tidak perlu dipertanyakan lagi. Fenomena inflasi terbukti telah menggerogoti nilai riil pendapatan, menjadikan semua orang

Lebih terperinci

1. Tinjauan Umum

1. Tinjauan Umum 1. Tinjauan Umum Perekonomian Indonesia dalam triwulan III-2005 menunjukkan kinerja yang tidak sebaik perkiraan semula, dengan pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan lebih rendah sementara tekanan terhadap

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Grafik 1.1 Perkembangan NFA periode 1997 s.d 2009 (sumber : International Financial Statistics, IMF, diolah)

BAB 1 PENDAHULUAN. Grafik 1.1 Perkembangan NFA periode 1997 s.d 2009 (sumber : International Financial Statistics, IMF, diolah) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam beberapa dekade terakhir, perekonomian Indonesia telah menunjukkan integrasi yang semakin kuat dengan perekonomian global. Keterkaitan integrasi ekonomi

Lebih terperinci

ANALISIS LEADING INDICATOR UNTUK PAJAK DI INDONESIA OLEH SINTA AGUSTINA H

ANALISIS LEADING INDICATOR UNTUK PAJAK DI INDONESIA OLEH SINTA AGUSTINA H ANALISIS LEADING INDICATOR UNTUK PAJAK DI INDONESIA OLEH SINTA AGUSTINA H14104030 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN SINTA AGUSTINA. H14104030.

Lebih terperinci

ANALISIS LEADING INDICATOR PERTUMBUHAN UNTUK SEKTOR PERTANIAN INDONESIA OLEH NOVI SULISTIYANI PRATIWI H

ANALISIS LEADING INDICATOR PERTUMBUHAN UNTUK SEKTOR PERTANIAN INDONESIA OLEH NOVI SULISTIYANI PRATIWI H ANALISIS LEADING INDICATOR PERTUMBUHAN UNTUK SEKTOR PERTANIAN INDONESIA OLEH NOVI SULISTIYANI PRATIWI H14104130 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis dampak..., Wawan Setiawan..., FE UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis dampak..., Wawan Setiawan..., FE UI, 2010. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pesatnya perkembangan ekonomi dunia dewasa ini berimplikasi pada eratnya hubungan satu negara dengan negara yang lain. Arus globalisasi ekonomi ditandai dengan

Lebih terperinci

STABILITAS MONETER PADA SISTEM PERBANKAN GANDA DI INDONESIA OLEH HENI HASANAH H

STABILITAS MONETER PADA SISTEM PERBANKAN GANDA DI INDONESIA OLEH HENI HASANAH H STABILITAS MONETER PADA SISTEM PERBANKAN GANDA DI INDONESIA OLEH HENI HASANAH H14103001 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 STABILITAS MONETER PADA SISTEM

Lebih terperinci

EVALUASI PENERAPAN INFLATION TARGETING DI INDONESIA OLEH YOGI H

EVALUASI PENERAPAN INFLATION TARGETING DI INDONESIA OLEH YOGI H EVALUASI PENERAPAN INFLATION TARGETING DI INDONESIA OLEH YOGI H14103055 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN YOGI. Evaluasi Penerapan Inflation

Lebih terperinci

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran,Triwulan III - 2005 135 ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III - 2005 Tim Penulis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi aktivitas perekonomian ditransmisikan melalui pasar keuangan.

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi aktivitas perekonomian ditransmisikan melalui pasar keuangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan moneter dan pasar keuangan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan mengingat setiap perubahan kebijakan moneter untuk mempengaruhi aktivitas perekonomian

Lebih terperinci

ANALISIS BANK LENDING CHANNEL DALAM TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA OLEH DESY ANDRIYANI H

ANALISIS BANK LENDING CHANNEL DALAM TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA OLEH DESY ANDRIYANI H ANALISIS BANK LENDING CHANNEL DALAM TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA OLEH DESY ANDRIYANI H14103010 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada dasarnya untuk memenuhi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat (social welfare) tidak bisa sepenuhnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap mata uang dollar Amerika setelah

I. PENDAHULUAN. Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap mata uang dollar Amerika setelah 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap mata uang dollar Amerika setelah diterapkannya kebijakan sistem nilai tukar mengambang bebas di Indonesia pada tanggal 14 Agustus

Lebih terperinci

ANALISIS LEADING INDICATOR UNTUK BUSINESS CYCLE INDONESIA OLEH MELA SETIANA H

ANALISIS LEADING INDICATOR UNTUK BUSINESS CYCLE INDONESIA OLEH MELA SETIANA H ANALISIS LEADING INDICATOR UNTUK BUSINESS CYCLE INDONESIA OLEH MELA SETIANA H14102115 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN MELA SETIANA. H14102115.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Permintaan energi di Asia Tenggara terus meningkat dan laju

BAB I PENDAHULUAN. Permintaan energi di Asia Tenggara terus meningkat dan laju BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permintaan energi di Asia Tenggara terus meningkat dan laju pertumbuhannya merupakan yang tercepat di dunia sejak tahun 1990. Energy Information Administration (EIA)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kalangan ekonom dan pengambil kebijakan. Pada satu sisi, kebijakan fiskal

BAB I PENDAHULUAN. kalangan ekonom dan pengambil kebijakan. Pada satu sisi, kebijakan fiskal BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Interaksi kebijakan fiskal dan moneter telah lama menjadi perdebatan di kalangan ekonom dan pengambil kebijakan. Pada satu sisi, kebijakan fiskal ditetapkan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sehubungan dengan fenomena shock ini adalah sangat menarik berbicara tentang

BAB I PENDAHULUAN. Sehubungan dengan fenomena shock ini adalah sangat menarik berbicara tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Guncangan (shock) dalam suatu perekonomian adalah suatu keniscayaan. Terminologi ini merujuk pada apa-apa yang menjadi penyebab ekspansi dan kontraksi atau sering juga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. Pada satu sisi Indonesia terlalu cepat melakukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. negeri, seperti tercermin dari terdapatnya kegiatan ekspor dan impor (Simorangkir dan Suseno, 2004, p.1)

BAB 1 PENDAHULUAN. negeri, seperti tercermin dari terdapatnya kegiatan ekspor dan impor (Simorangkir dan Suseno, 2004, p.1) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan ekonomi internasional semakin pesat sehingga hubungan ekonomi antar negara menjadi saling terkait dan mengakibatkan peningkatan arus perdagangan barang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan ekonomi dalam suatu negara tidak terlepas dengan peran perbankan yang mempengaruhi perekonomian negara. Segala aktivitas perbankan yang ada di suatu negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jasa. Oleh karena itu, sektor riil ini disebut juga dengan istilah pasar barang. Sisi

I. PENDAHULUAN. jasa. Oleh karena itu, sektor riil ini disebut juga dengan istilah pasar barang. Sisi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Istilah sektor riil dalam pembahasan mengenai ekonomi makro menggambarkan kondisi perekonomian dipandang dari sisi permintaan dan penawaran barang dan jasa. Oleh karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah-masalah ekonomi seperti rendahnya pertumbuhan ekonomi, tingginya tingkat

BAB I PENDAHULUAN. masalah-masalah ekonomi seperti rendahnya pertumbuhan ekonomi, tingginya tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Stabilitas perekonomian suatu negara menjadi fokus bagi setiap negara. Hal ini dikarenakan apabila perekonomian suatu negara tidak stabil maka akan menimbulkan masalah-masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. inflasi yang rendah dan stabil. Sesuai dengan UU No. 3 Tahun 2004 Pasal 7,

BAB I PENDAHULUAN. inflasi yang rendah dan stabil. Sesuai dengan UU No. 3 Tahun 2004 Pasal 7, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fokus utama dari kebijakan moneter adalah mencapai dan memelihara laju inflasi yang rendah dan stabil. Sesuai dengan UU No. 3 Tahun 2004 Pasal 7, tujuan Bank Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDUHULUAN. Index PDB Bulan

I. PENDUHULUAN. Index PDB Bulan I. PENDUHULUAN I.1. Latar Belakang Penerimaan pajak merupakan dampak akumulasi agregat ekonomi yang tercermin dari aktifitas bisnis, meskipun fluktuasinya tidak tergambar secara jelas, dengan demikian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. didunia, termasuk Indonesia. Apabila inflasi ditekan dapat mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. didunia, termasuk Indonesia. Apabila inflasi ditekan dapat mengakibatkan BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Masalah Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang sangat ditakuti oleh semua negara didunia, termasuk Indonesia. Apabila inflasi ditekan dapat mengakibatkan meningkatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diartikan sebagai nilai tambah total yang dihasilkan oleh seluruh kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. diartikan sebagai nilai tambah total yang dihasilkan oleh seluruh kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Produk domestik bruto (PDB) merupakan salah satu di antara beberapa variabel ekonomi makro yang paling diperhatikan oleh para ekonom. Alasannya, karena PDB merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan barang dan jasa, investasi yang dapat meningkatkan barang modal,

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan barang dan jasa, investasi yang dapat meningkatkan barang modal, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan perekonomian negara dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam perekonomian

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH PERKEMBANGAN PASAR MODAL TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH EDI SUMANTO H

ANALISIS PENGARUH PERKEMBANGAN PASAR MODAL TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH EDI SUMANTO H ANALISIS PENGARUH PERKEMBANGAN PASAR MODAL TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH EDI SUMANTO H14102021 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN EDI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Inflasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses kenaikan harga-harga yang berlaku dalam

I. PENDAHULUAN. Inflasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses kenaikan harga-harga yang berlaku dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Inflasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses kenaikan harga-harga yang berlaku dalam suatu perekonomian. Tingkat inflasi berbeda dari satu periode ke periode lainnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. moneter akan memberi pengaruh kepada suatu tujuan dalam perekonomian.

BAB I PENDAHULUAN. moneter akan memberi pengaruh kepada suatu tujuan dalam perekonomian. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Transmisi kebijakan moneter merupakan proses, dimana suatu keputusan moneter akan memberi pengaruh kepada suatu tujuan dalam perekonomian. Perencanaan dalam sebuah

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN MONETER TERHADAP VOLATILITAS RETURN DI PASAR SAHAM BURSA EFEK INDONESIA OLEH : MARIO DWI PUTRA H

ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN MONETER TERHADAP VOLATILITAS RETURN DI PASAR SAHAM BURSA EFEK INDONESIA OLEH : MARIO DWI PUTRA H ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN MONETER TERHADAP VOLATILITAS RETURN DI PASAR SAHAM BURSA EFEK INDONESIA OLEH : MARIO DWI PUTRA H14050206 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN BESARAN MONETER BEBAS BUNGA DAN MENGANDUNG BUNGA DENGAN BUSINESS CYCLE DAN INFLASI INDONESIA OLEH RICO RICARDO H

ANALISIS KETERKAITAN BESARAN MONETER BEBAS BUNGA DAN MENGANDUNG BUNGA DENGAN BUSINESS CYCLE DAN INFLASI INDONESIA OLEH RICO RICARDO H ANALISIS KETERKAITAN BESARAN MONETER BEBAS BUNGA DAN MENGANDUNG BUNGA DENGAN BUSINESS CYCLE DAN INFLASI INDONESIA OLEH RICO RICARDO H14103048 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. BI Rate yang diumumkan kepada publik mencerminkan stance kebijakan moneter

BAB I PENDAHULUAN. BI Rate yang diumumkan kepada publik mencerminkan stance kebijakan moneter BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BI Rate yang diumumkan kepada publik mencerminkan stance kebijakan moneter Bank Indonesia selaku otoritas moneter. BI Rate merupakan instrumen kebijakan utama untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengendalian besaran moneter untuk mencapai perkembangan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. pengendalian besaran moneter untuk mencapai perkembangan kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Kebijakan moneter merupakan kebijakan bank sentral dalam bentuk pengendalian besaran moneter untuk mencapai perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan yaitu

Lebih terperinci

ANALISIS INFLASI DI INDONESIA DARI SISI PERMINTAAN UANG OLEH NOVA MARDIANTI H

ANALISIS INFLASI DI INDONESIA DARI SISI PERMINTAAN UANG OLEH NOVA MARDIANTI H ANALISIS INFLASI DI INDONESIA DARI SISI PERMINTAAN UANG OLEH NOVA MARDIANTI H14102107 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN NOVA MARDIANTI. Analisis

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3 IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3 4.1 Perkembangan Harga Minyak Dunia Pada awal tahun 1998 dan pertengahan tahun 1999 produksi OPEC turun sekitar tiga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi. Dimana pertumbuhan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi. Dimana pertumbuhan ekonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu tolak ukur penting dalam menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi. Dimana pertumbuhan ekonomi menggambarkan suatu dampak

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH NERACA PERDAGANGAN DAN CAPITAL INFLOW TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA OLEH PRIMA ANDRIANI H

ANALISIS PENGARUH NERACA PERDAGANGAN DAN CAPITAL INFLOW TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA OLEH PRIMA ANDRIANI H ANALISIS PENGARUH NERACA PERDAGANGAN DAN CAPITAL INFLOW TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA OLEH PRIMA ANDRIANI H14104090 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Bentuk data berupa data time series dengan frekuensi bulanan dari Januari 2000

III. METODE PENELITIAN. Bentuk data berupa data time series dengan frekuensi bulanan dari Januari 2000 28 III. METODE PENELITIAN 3.1. Data 3.1.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Bentuk data berupa data time series dengan frekuensi bulanan dari Januari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan perkembangan ekonomi, baik perkembangan ekonomi domestik

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan perkembangan ekonomi, baik perkembangan ekonomi domestik BAB I PENDAHULUAN 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan moneter di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan seiring dengan perkembangan ekonomi, baik perkembangan ekonomi domestik maupun global.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 40 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, dengan deret waktu bulanan. Data tersebut akan dikumpulkan

Lebih terperinci

SKRIPSI. Kausalitas Jumlah Uang Beredar Terhadap Inflasi. di Indonesia Tahun

SKRIPSI. Kausalitas Jumlah Uang Beredar Terhadap Inflasi. di Indonesia Tahun Kausalitas Jumlah Uang Beredar Terhadap Inflasi di Indonesia Tahun 1977-2007 SKRIPSI Diajukan Guna Melengkapi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Kesarjanaan Jenjang Strata I Jurusan Ilmu Ekonomi

Lebih terperinci

IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia

IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA 4.1. Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia 4.1.1. Uang Primer dan Jumlah Uang Beredar Uang primer atau disebut juga high powered money menjadi sasaran

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SUKU BUNGA DEPOSITO PADA BANK-BANK UMUM PEMERINTAH DI INDONESIA OLEH FEBRI DWIASTUTI H

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SUKU BUNGA DEPOSITO PADA BANK-BANK UMUM PEMERINTAH DI INDONESIA OLEH FEBRI DWIASTUTI H ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SUKU BUNGA DEPOSITO PADA BANK-BANK UMUM PEMERINTAH DI INDONESIA OLEH FEBRI DWIASTUTI H14102081 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN ANTARA INDEKS SAHAM SYARIAH DI BEBERAPA NEGARA DAN INDEKS SAHAM JAKARTA ISLAMIC INDEX (JII) DI INDONESIA

ANALISIS KETERKAITAN ANTARA INDEKS SAHAM SYARIAH DI BEBERAPA NEGARA DAN INDEKS SAHAM JAKARTA ISLAMIC INDEX (JII) DI INDONESIA ANALISIS KETERKAITAN ANTARA INDEKS SAHAM SYARIAH DI BEBERAPA NEGARA DAN INDEKS SAHAM JAKARTA ISLAMIC INDEX (JII) DI INDONESIA OLEH Zainul Abidin H14103065 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terhadap kestabilan kegiatan perekonomian. Di negara seperti indonesia sering

BAB 1 PENDAHULUAN. terhadap kestabilan kegiatan perekonomian. Di negara seperti indonesia sering BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara berkembang umumnya memiliki struktur perekonomian yang masih bercorak agraris yang masih sangat rentan dengan adanya goncangan terhadap kestabilan kegiatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini, banyak bank sentral di berbagai negara telah

I. PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini, banyak bank sentral di berbagai negara telah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam beberapa tahun terakhir ini, banyak bank sentral di berbagai negara telah mengadopsi Inflation Targeting Framework (ITF) sebagai kerangka kerja kebijakan moneter.

Lebih terperinci

DAN JANGKA PENDEK H DEPARTEMEN MEN. Oleh :

DAN JANGKA PENDEK H DEPARTEMEN MEN. Oleh : ANALISIS KAUSALIT TAS ANTARA INVESTASI PORTOFOLIO DAN PERKEMBANGAN INDEKS HARGAA SAHAM GABUNGAN (IHSG) DALAM JANGKA PENDEK DAN JANGKA PANJANG DI INDONESIA Oleh : MOCHAMMAD AKBAR H14104054 DEPARTEMEN ILMU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengertian uang merupakan bagian yang integral dari kehidupan kita. sehari-hari. Ada yang berpendapat bahwa uang merupakan darahnya

BAB I PENDAHULUAN. Pengertian uang merupakan bagian yang integral dari kehidupan kita. sehari-hari. Ada yang berpendapat bahwa uang merupakan darahnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengertian uang merupakan bagian yang integral dari kehidupan kita sehari-hari. Ada yang berpendapat bahwa uang merupakan darahnya perekonomian, karena dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Inflasi adalah fenomena yang selalu ada di setiap negara dan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Inflasi adalah fenomena yang selalu ada di setiap negara dan merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflasi adalah fenomena yang selalu ada di setiap negara dan merupakan salah satu indikator penting dalam perekonomian suatu negara. Kestabilan inflasi merupakan prasyarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nilai tukar sering digunakan untuk mengukur tingkat perekonomian suatu

BAB I PENDAHULUAN. Nilai tukar sering digunakan untuk mengukur tingkat perekonomian suatu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nilai tukar sering digunakan untuk mengukur tingkat perekonomian suatu negara. Nilai tukar mata uang memegang peranan penting dalam perdagangan antar negara, dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cenderung mengakibatkan gejolak ekonomi moneter karena inflasi akan

BAB I PENDAHULUAN. cenderung mengakibatkan gejolak ekonomi moneter karena inflasi akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu indikator ekonomi makro guna melihat stabilitas perekonomian adalah inflasi. Inflasi merupakan fenomena moneter dimana naik turunnya inflasi cenderung mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. BI Rate yang diumumkan kepada publik mencerminkan stance kebijakan moneter

BAB I PENDAHULUAN. BI Rate yang diumumkan kepada publik mencerminkan stance kebijakan moneter BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BI Rate yang diumumkan kepada publik mencerminkan stance kebijakan moneter Bank Indonesia selaku otoritas moneter. BI Rate merupakan instrumen kebijakan utama untuk

Lebih terperinci

BAB VI INFLATION, MONEY GROWTH & BUDGET DEFICIT

BAB VI INFLATION, MONEY GROWTH & BUDGET DEFICIT BAB VI INFLATION, MONEY GROWTH & BUDGET DEFICIT A. INFLASI Adalah kecederungan tingkat perubahan harga secara terus menerus, sementara tingkat harga adalah akumulasi dari inflasi inflasi terdahulu. π =

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang telah berlangsung cukup lama di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang telah berlangsung cukup lama di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi yang telah berlangsung cukup lama di Indonesia menuntut berbagai prasyarat untuk mencapai keberhasilannya. Salah satunya adalah keterlibatan sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perdagangan internasional merupakan salah satu aspek penting dalam

I. PENDAHULUAN. Perdagangan internasional merupakan salah satu aspek penting dalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan internasional merupakan salah satu aspek penting dalam perekonomian setiap negara di dunia. Dengan perdagangan internasional, perekonomian akan saling terjalin

Lebih terperinci

ANALISIS PERGERAKAN NILAI TUKAR RUPIAH DAN EMPAT MATA UANG NEGARA ASEAN OLEH RUSNIAR H14102056

ANALISIS PERGERAKAN NILAI TUKAR RUPIAH DAN EMPAT MATA UANG NEGARA ASEAN OLEH RUSNIAR H14102056 i ANALISIS PERGERAKAN NILAI TUKAR RUPIAH DAN EMPAT MATA UANG NEGARA ASEAN OLEH RUSNIAR H14102056 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 ii RINGKASAN RUSNIAR.

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPARATIF KETERKAITAN INFLASI DENGAN NILAI TUKAR RIIL DI KAWASAN ASIA (ASEAN+3) DAN NON ASIA (UNI EROPA, AMERIKA UTARA)

ANALISIS KOMPARATIF KETERKAITAN INFLASI DENGAN NILAI TUKAR RIIL DI KAWASAN ASIA (ASEAN+3) DAN NON ASIA (UNI EROPA, AMERIKA UTARA) ANALISIS KOMPARATIF KETERKAITAN INFLASI DENGAN NILAI TUKAR RIIL DI KAWASAN ASIA (ASEAN+3) DAN NON ASIA (UNI EROPA, AMERIKA UTARA) OLEH ARIE JAYANTHY FITRIA ANDI FAUZI H14103085 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan ekonomi secara makro, di samping kebijakan fiskal juga terdapat kebijakan moneter yang merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN LITERATUR

BAB II TINJAUAN LITERATUR BAB II TINJAUAN LITERATUR Pada Bab II akan dibahas mengenai teori leading indicator, teori penggunaan indeks harga saham gabungan dan indeks industri sebagai proxy untuk memprediksikan pertumbuhan GDP

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang tidak sedikit jumlahnya di dalam pembangunan nasional. Dalam konteks pembangunan nasional maupun

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. sekunder yang akan digunakan ialah data deret waktu bulanan (time series) dari bulan

BAB III METODE PENELITIAN. sekunder yang akan digunakan ialah data deret waktu bulanan (time series) dari bulan 40 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Data yang akan dipakai dalam penelitian ini berupa data sekunder. Data sekunder yang akan digunakan ialah data deret waktu bulanan (time series)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perekonomian Indonesia di tengah perekonomian global semakin

BAB I PENDAHULUAN. Perekonomian Indonesia di tengah perekonomian global semakin A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Perekonomian Indonesia di tengah perekonomian global semakin lama semakin tak terkendali. Setelah krisis moneter 1998, perekonomian Indonesia mengalami peningkatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. makro, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan

I. PENDAHULUAN. makro, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebijakan moneter merupakan salah satu bagian integral dari kebijakan ekonomi makro. Kebijakan moneter ditujukan untuk mendukung tercapainya sasaran ekonomi makro, yaitu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia adalah salah satu Negara berkembang di kawasan Asia. Salah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia adalah salah satu Negara berkembang di kawasan Asia. Salah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah salah satu Negara berkembang di kawasan Asia. Salah satu indikator kemajuan suatu Negara adalah perekonomian. Perekonomian menjadi salah satu pondasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Mekanisme transmisi kebijakan moneter didefenisikan sebagai jalur yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Mekanisme transmisi kebijakan moneter didefenisikan sebagai jalur yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mekanisme transmisi kebijakan moneter didefenisikan sebagai jalur yang dilalui oleh sebuah kebijakan moneter untuk mempengaruhi kondisi perekonomian, terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di Amerika Serikat merupakan topik pembicaraan yang menarik hampir di

BAB I PENDAHULUAN. di Amerika Serikat merupakan topik pembicaraan yang menarik hampir di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurunnya nilai indeks bursa saham global dan krisis finansial di Amerika Serikat merupakan topik pembicaraan yang menarik hampir di seluruh media massa dan dibahas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bagi sebuah negara, keberhasilan pembangunan ekonominya dapat diukur dan digambarkan secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2007) menyatakan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Untuk memenuhi salah satu asumsi dalam uji data time series dan uji

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Untuk memenuhi salah satu asumsi dalam uji data time series dan uji BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Uji Stasioneritas Untuk memenuhi salah satu asumsi dalam uji data time series dan uji VECM, maka perlu terlebih dahulu dilakukan uji stasioneritas. Uji stationaritas yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Terhadap Pasar Modal Indonesia. Pada zaman penjajahan Belanda telah ada badan yang bernama Vereneging

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Terhadap Pasar Modal Indonesia. Pada zaman penjajahan Belanda telah ada badan yang bernama Vereneging BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1. Tinjauan Terhadap Pasar Modal Indonesia Pada zaman penjajahan Belanda telah ada badan yang bernama Vereneging Voor de Effecten Handel yang didirikan

Lebih terperinci

Fundamental forex adalah metode analisa yang menitik beratkan pada rasio finansial dan kejadian -

Fundamental forex adalah metode analisa yang menitik beratkan pada rasio finansial dan kejadian - Analisa Fundamental I. Fundamental Forex I.1 Faktor penggerak pasar Fundamental forex adalah metode analisa yang menitik beratkan pada rasio finansial dan kejadian - kejadian yang secara langsung maupun

Lebih terperinci

PENGANTAR EKONOMI MAKRO. Masalah Utama dalam perekonomian, Alat Pengamat Kegiatan Ekonomi dan Kebijakan Ekonomi Makro

PENGANTAR EKONOMI MAKRO. Masalah Utama dalam perekonomian, Alat Pengamat Kegiatan Ekonomi dan Kebijakan Ekonomi Makro PENGANTAR EKONOMI MAKRO Masalah Utama dalam perekonomian, Alat Pengamat Kegiatan Ekonomi dan Kebijakan Ekonomi Makro EKONOMI MAKRO DAN MIKRO Pengertian Ekonomi Makro ilmu yang mempelajari fenomena ekonomi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. riil, dan meningkatnya lapangan kerja sehingga mengurangi pengangguran.

BAB 1 PENDAHULUAN. riil, dan meningkatnya lapangan kerja sehingga mengurangi pengangguran. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan ekonomi merupakan bagian penting dalam mencapai pertumbuhan dan kestabilan ekonomi, tanpa adanya kebijakan ekonomi maka segala tujuan kegiatan perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Small open economic, merupakan gambaran bagi perekonomian Indonesia saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap perekonomian dunia,

Lebih terperinci

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 85 BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi serta menelaah perbedaan pengaruh faktor-faktor tersebut pada masa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Konsep 1. Pengertian Siklus Bisnis Siklus bisnis (business cycle) merupakan keadaan yang menunjukkan fluktuasi ekonomi suatu negara yang tercermin pada tingkat PDB

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) untuk mencapai tujuannya yaitu

I. PENDAHULUAN. kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) untuk mencapai tujuannya yaitu 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ini dipersiapkan dan dilaksanakan untuk menganalisis penerapan kebijakan moneter berdasarkan dua kerangka perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter Bank

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kondisi anggaran pendapatan belanja negara (APBN) selalu mengalami budget

BAB I PENDAHULUAN. kondisi anggaran pendapatan belanja negara (APBN) selalu mengalami budget 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara sedang berkembang yang tengah menuju tahap kemapanan ekonomi, Indonesia membutuhkan anggaran belanja dalam jumlah besar untuk membiayai berbagai program

Lebih terperinci

BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI LAJU INFLASI DI INDONESIA

BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI LAJU INFLASI DI INDONESIA BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI LAJU INFLASI DI INDONESIA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ilmu Ekonomi Oleh : MAMIK WAHJUANTO 0611010011

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tantangan yang cukup berat. Kondisi perekonomian global yang kurang

BAB I PENDAHULUAN. tantangan yang cukup berat. Kondisi perekonomian global yang kurang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Secara umum perekonomian Indonesia 2005 menghadapi tantangan yang cukup berat. Kondisi perekonomian global yang kurang menguntungkan, terutama meningkatnya

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN EKSPOR BATUBARA INDONESIA DI PASAR JEPANG OLEH ROCHMA SUCIATI H

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN EKSPOR BATUBARA INDONESIA DI PASAR JEPANG OLEH ROCHMA SUCIATI H i ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN EKSPOR BATUBARA INDONESIA DI PASAR JEPANG OLEH ROCHMA SUCIATI H14053157 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS LEADING DAN COINCIDENT INDICATORS PERGERAKAN KURS DI INDONESIA: PENDEKATAN BUSINESS CYCLE ANALYSIS OLEH ANDRA DEVI BENAZIR H

ANALISIS LEADING DAN COINCIDENT INDICATORS PERGERAKAN KURS DI INDONESIA: PENDEKATAN BUSINESS CYCLE ANALYSIS OLEH ANDRA DEVI BENAZIR H ANALISIS LEADING DAN COINCIDENT INDICATORS PERGERAKAN KURS DI INDONESIA: PENDEKATAN BUSINESS CYCLE ANALYSIS OLEH ANDRA DEVI BENAZIR H14104073 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2003)

I. PENDAHULUAN. secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2003) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara dapat diukur dan digambarkan secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2003) menyatakan bahwa pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Hasil Penelitian Terdahulu Penelitian pertama yang dilakukan oleh Purwanti (2005) dengan obyek penelitian Indeks LQ45. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam jangka

Lebih terperinci

Mekanisme transmisi. Angelina Ika Rahutami 2011

Mekanisme transmisi. Angelina Ika Rahutami 2011 Mekanisme transmisi Angelina Ika Rahutami 2011 the transmission mechanism Seluruh model makroekonometrik mengandung penjelasan kuantitatif yang menunjukkan bagaimana perubahan variabel nominal membawa

Lebih terperinci

SINKRONISASI SIKLUS BISNIS DIANTARA NEGARA-NEGARA ASEAN+3 OLEH TIA RAHMINA H

SINKRONISASI SIKLUS BISNIS DIANTARA NEGARA-NEGARA ASEAN+3 OLEH TIA RAHMINA H SINKRONISASI SIKLUS BISNIS DIANTARA NEGARA-NEGARA ASEAN+3 OLEH TIA RAHMINA H14052380 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 RINGKASAN TIA RAHMINA. Sinkronisasi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan Pengaruh Tingkat Suku Bunga Deposito, Gross Domestic Product (GDP), Nilai Kurs, Tingkat Inflasi, dan Jumlah Uang Beredar

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF VENNY SYAHMER,

RINGKASAN EKSEKUTIF VENNY SYAHMER, RINGKASAN EKSEKUTIF VENNY SYAHMER, 2010. Keterkaitan Nilai Tukar Rupiah Dengan Indeks Saham di Bursa Efek Indonesia. Di bawah bimbingan NOER AZAM ACHSANI dan TRIAS ANDATI. Stabilitas terhadap nilai tukar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang membangun, membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan. Penanaman modal dapat dijadikan sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian Indonesia dewasa ini makin berkembang. Peran Indonesia dalam perekonomian global makin besar dimana Indonesia mampu mencapai 17 besar perekonomian dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap agregat makro ekonomi. Pertama, inflasi domestik yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN. terhadap agregat makro ekonomi. Pertama, inflasi domestik yang tinggi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Inflasi merupakan suatu fenomena ekonomi yang sangat menarik untuk dibahas terutama yang berkaitan dengan dampaknya yang luas terhadap agregat makro ekonomi.

Lebih terperinci

VII. DAMPAK GUNCANGAN DOMESTIK TERHADAP MAKROEKONOMI INDONESIA

VII. DAMPAK GUNCANGAN DOMESTIK TERHADAP MAKROEKONOMI INDONESIA 87 VII. DAMPAK GUNCANGAN DOMESTIK TERHADAP MAKROEKONOMI INDONESIA 7.1 Dinamika Respon Business Cycle Indonesia terhadap Guncangan Domestik 7.1.1 Guncangan Penawaran (Output) Guncangan penawaran dalam penelitian

Lebih terperinci

DAMPAK PENGELUARAN PEMERINTAH TERHADAP PEREKONOMIAN DI NEGARA-NEGARA ASEAN+3 EVI JUNAIDI

DAMPAK PENGELUARAN PEMERINTAH TERHADAP PEREKONOMIAN DI NEGARA-NEGARA ASEAN+3 EVI JUNAIDI DAMPAK PENGELUARAN PEMERINTAH TERHADAP PEREKONOMIAN DI NEGARA-NEGARA ASEAN+3 EVI JUNAIDI PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nilai tukar tidak diragukan lagi adalah merupakan salah satu variabel ekonomi yang memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian suatu negara. Perbedaan nilai

Lebih terperinci