BAGIAN I KAWASAN METROPOLITAN: KONSEP DAN DEFINISI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAGIAN I KAWASAN METROPOLITAN: KONSEP DAN DEFINISI"

Transkripsi

1 BAGIAN I KAWASAN METROPOLITAN: KONSEP DAN DEFINISI

2 2 Metropolitan di Indonesia

3 1 Pendahuluan PERTUMBUHAN PENDUDUK Suatu laporan dari The Comparative Urban Studies Project di Woldrow Wilson pada tahun 2006 menuliskan bahwa telah terjadi pertambahan penduduk perkotaan di dunia dengan sangat berarti, pada tahun 2000, 41 persen dari penduduk dunia tinggal di perkotaan, pada tahun 2005, 50 persen penduduk dunia tinggal di perkotaan. Sementara itu laporan dari United Nations dan World Bank juga menunjukkan perkembangan yang relatif tinggi untuk penduduk di negara berkembang, dikatakan dalam laporan tersebut bahwa pada tahun 2050, lebih dari 85 persen penduduk di dunia akan hidup di negara berkembang dan 80 persen dari penduduk di negara berkembang tersebut akan hidup di perkotaan. United Nations memperkirakan bahwa jumlah penduduk perkotaan di Afrika, Asia dan Amerika Latin akan naik dua kali lipat dalam 30 tahun mendatang (sejak tahun 2003), naik dari 1,9 miliar di tahun 2000 menjadi 3,9 miliar di tahun Hampir semua negara di dunia mengalami proses urbanisasi yang sangat cepat seperti terlihat pada GAMBAR 1-1. Meskipun demikian, statistik yang berhasil dikumpulkan menunjukkan bahwa negara-negara di Asia mempunyai angka kenaikan absolut yang paling tinggi dalam beberapa tahun ke depan. Proses urbanisasi di dunia tersebut akan terus berlanjut dan di beberapa kota urbanisasi ini juga tercermin pada perubahan luas kawasan perkotaannya. Keadaan tersebut menyebabkan ukuran kota menjadi hal yang perlu mendapat perhatian. Berapa besar ukuran geografis suatu kota? Ukuran besar kota ini menjadi perhatian karena pada daerah-daerah administratif yang bersebelahan dan telah berciri kota akan membentuk konurbasi 1 dan menjadi suatu kota yang sangat besar. Fenomena ini di beberapa literatur sering disebut sebagai Metropolitan, Extended Metropolitan ataupun Megalopolis (Mc Gee, dan Robison 1995, Jones, 2002; Montgomery, dkk, 2003, 1 Konurbasi (conurbation) adalah suatu kawasan tempat bergabungnya beberapa kota

4 4 Metropolitan di Indonesia Doxiadis, 1969). Adanya istilah-istilah ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan karakter di antara kota-kota di dunia jika dilihat dari ukurannya 2. 5,000,000 4,500,000 Total Jumlah Population Penduduk (thousands) (ribuan) 4,000,000 3,500,000 3,000,000 2,500,000 2,000,000 1,500,000 1,000,000 Kota urban Desa rural 500, Tahun Year Source: World Urbanization Prospects 2001 GAMBAR 1-1 Perkiraan dan Proyeksi Penduduk di Perkotaan dan Perdesaan di Dunia Tahun Sumber: United Nations 2002 Penduduk kota (x 000) na 0 World Africa GAMBAR 1-2 Perkiraan dan Proyeksi Persentasi Penduduk Perkotaan per Kawasan Tahun Sumber: UNCHS 2001 Asia Europe Kawasan Latin America Northern America Oceania 2 Secara lebih mendalam definisi metropolitan ini akan dibahas di Bab 2. Dalam buku ini, kecuali jika dijelaskan lain, istilah kota besar dan metropolitan akan digunakan bersama-sama.

5 Pendahuluan 5 Salah satu contoh dari penggabungan kawasan kota-kota menjadi suatu kawasan perkotaan yang besar adalah Kota Meksiko. Meksiko mendefinisikan Kota Meksiko dalam Distrik Federal dengan mengikutsertakan daerah adminsitratif di sebelah kota intinya hingga penduduk perkotaannya yang dihitung dalam Larger Meksiko City Metropolitan Area mencapai 17,9 juta jiwa (Montgomery dkk, 2003). Beberapa kota lain di dunia juga menunjukkan fenomena yang sama, yaitu kota besar biasanya terjadi karena bersatunya beberapa daerah administratif yang telah menjadi kota karena pertambahan penduduk dan pertambahan fasilitas perkotaannya. Sebagai gambaran bahwa kota bisa menjadi sangat besar karena bersatunya beberapa daerah adminsitratif yang berdekatan menjadi kawasan perkotaan yang besar, dapat ditunjukkan melalui perbandingan beberapa kota di Asia (lihat TABEL 1-1). TABEL 1-1 Perbandingan dari Dua Perkiraan Jumlah Penduduk dan Pertumbuhannya di Empat Extended Metropolitan Regions (EMRs) di Asia Bangkok Jakarta Manila Taipei Jumlah Penduduk Aglomerasi perkotaan Kota inti Kawasan dalam Kawasan luar t.d t.d Seluruh kawasan EMR Rata-rata pertumbuhan Aglomerasi 2,22 2,45 2,91 2,01 perkotaan Kota inti 2,33 2,38 2,93 1,96 Kawasan 3,29 3,49 3.,75 2,73 dalam Kawasan luar 2,40 t.d 2,87 0,65 Seluruh EMR 2,40 2,90 3,12 2,22 Sumber: Montgomery, dkk. (2003) Catatan: Data untuk aglomerasi dari UN 2001; data lain dari Jones TABEL 1-1 menunjukkan bahwa kota-kota menjadi semakin besar dengan mengikutsertakan kawasan di sekelilingnya. Secara geografis ukuran kota-kota ini sangat beragam, yang jika dilihat dari jumlah penduduk saja tidak bisa segera diketahui besaran kota secara geografis. Mega urban dapat saja membentang dari 100 km persegi hingga 200 km persegi hingga km persegi atau lebih (Hamer 1994, seperti ditulis dalam Rosan dkk., 2005). Untuk Jakarta Extended Metropolitan Region, pada tahun

6 6 Metropolitan di Indonesia 2000 jumlah penduduknya telah mencapai 21,95 juta jiwa dengan kepadatan jiwa per km persegi 3, yang berarti luas kawasan kotanya mencapai sekitar km persegi. TABEL 1-2 Jumlah dan rata-rata pertumbuhan penduduk di beberapa kota di dunia Jumlah Penduduk (ribuan) Tingkat Pertumbuhan Pengelompokan Kota dan Desa Negara Berkembang Beijing, Cina ,4 1,6 Bombay, India ,0 2,8 Buenos Aires, Argentina ,3 0,8 Kairo, Mesir ,4 2,0 Kalkuta, India ,1 1,9 Delhi, India ,1 2,7 Daka, Bangladesh ,7 4,2 Hangzhou, Cina ,0 5,1 Hyderabad, India ,9 3,3 Istambul, Turki ,0 2,2 Jakarta, Indonesia ,0 2,4 Karaci, Pakistan ,6 3,5 Lagos, Nigeria ,8 4,5 Lahore, Pakistan ,8 3,5 Metro Manila, Filipina ,1 2,3 Meksiko, Meksiko ,0 0,7 Rio de Janeiro, Brazil ,3 0,8 Sao Paulo, Brazil ,5 1,0 Seoul, Republik Korea ,7 0,6 Shanghai, Cina ,9 1,4 Teheran, Iran ,4 2,1 Tianjin, Cina ,1 1,8 Negara Maju Los Angeles, Amerika ,7 0,7 New York, Amerika ,1 0,4 Osaka, Jepang ,4 0,0 Tokyo, Jepang ,6 0,3 Sumber: United Nation 1998 dalam Rosan dkk., 2005 Kawasan perkotaan yang melewati batas administratif menunjukkan bahwa dalam pengelolaan kawasan tersebut diperlukan kerjasama yang baik antara daerah-daerah administratif pembentuk kawasan perkotaan. Beberapa kota besar di dunia mempunyai 3 Lihat pembahasan mengenai kependudukan di Bab 5

7 Pendahuluan 7 kerjasama antar daerah yang diwujudkan dalam kelembagaan formal yang mempunyai wewenang tertentu di dalam pengelolaan dan perencanaan fasilitas pelayanan perkotaan. Dalam laporan yang sama (Rosan dkk., 2005) disebutkan bahwa United Nations pada tahun 1998 memperkirakan pertumbuhan kota-kota di Asia dan Afrika akan mengalami pertumbuhan yang hampir sama. India menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat demikian juga Pakistan dan Bangladesh. Hangzhou di Cina mengalami ratarata pertumbuhan penduduk yang sangat pesat, disusul oleh Daka di Bangladesh. Menarik untuk dicermati bahwa kota di atas 10 juta jiwa terus berkembang dan sebagian berada di Asia dan Afrika yang termasuk dalam negara-negara sedang berkembang dan masih mengalami kesulitan di dalam melakukan pelayanan perkotaan (lihat TABEL 1-2). PERSOALAN-PERSOALAN YANG DIHADAPI KOTA-KOTA BESAR (METROPOLITAN) Perkembangan jumlah penduduk yang besar tentu harus menjadi perhatian, karena tidak semua kota mampu memberikan pelayanan yang mencukupi, apalagi jika pertambahan penduduk yang besar tersebut juga disertai dengan pertambahan luas kota yang harus dilayani. Pelayanan yang rendah ini terutama dialami oleh kota-kota di negara berkembang. Dalam suatu laporan (Rosan dkk., 2005) dikatakan bahwa sekitar 30 persen penduduk perkotaan di negara berkembang tidak mempunyai akses pada air bersih, dan 50 persen tidak mempunyai sistem sanitasi yang baik, yang terlihat pada permukiman dalam bentuk slum dan squatter 4. Banyaknya slum dan squatter juga menjadi persoalan yang harus dihadapi oleh kotakota besar tersebut. Laporan dari UN Habitat (2003) menunjukkan bahwa 64 persen lingkungan slum akan berada di negara-negara Asia, dengan keadaan yang sangat buruk. Di Indonesia, kawasan kumuh ini juga menunjukkan perubahan dari waktu ke waktu, yang paling mencolok adalah perubahan kawasan kumuh ini jika dilihat dari kepemilikan tanahnya yang tidak jelas 5. Sementara itu di kota-kota besar tersebut juga terjadi kesenjangan yang besar antara yang kaya dan miskin yang juga tergambarkan dalam segregasi ruang perumahannya. Terdapat pengelompokan dalam enclave-enclave perumahan bagi masyarakat kaya di samping slum yang dihuni oleh kaum miskin perkotaan. Keadaan tersebut menurut beberapa pendapat menjadi salah satu penyebab konflik di perkotaan (Winarso, 2005). Kota-kota besar tersebut menghadapi pula persoalan ekonomi, terutama dalam menyediakan lapangan pekerjaan formal bagi masyarakatnya. Walaupun demikian penelitian di beberapa kota di dunia menunjukkan bahwa ekonomi perkotaan memiliki kontribusi yang sangat besar terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Di Meksiko misalnya, lima kota besarnya menyumbang 53 persen dari pertambahan nilai (value added) pada aktivitas industri, komersial dan jasa-jasa; kelima kota tersebut sebenarnya 4 Slum diartikan sebagai permukiman yang kumuh; tidak mempunyai akses yang baik pada air bersih dan sanitasi, padat dan tidak teratur, walaupun sebagian besar penduduknya mampu menunjukkan legalitas kepemilikan lahan dan rumahnya. Squatter mengacu pada ilegalitas kepemilikan lahannya, di negara berkembang, squatter identik dengan slum dalam arti kekumuhannya, sementara di negara maju squatter tidak mesti merupakan pemukiman kumuh. 5 Lihat pembahasan perumahan di Bab 6

8 8 Metropolitan di Indonesia hanya ditempati oleh 28 persen penduduk Meksiko (Montgomery et all, 2003). Di Indonesia sumbangan ekonomi perkotaan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional juga cukup besar; 30 persen Produk Domestik Bruto (PDB) nasional disumbang oleh hanya 14 kota besar 6. Sementara itu sektor informalnya 7 sulit untuk diketahui, walaupun dipercaya sangat besar dan seperti di beberapa negara berkembang, merupakan katup penyelamat bagi ekonomi nasionalnya, perannya terhadap ekonomi nasional sering tidak terbaca dengan baik. Montgomery, dkk. (2003) mengutip Arnaud (1998) misalnya, menunjukkan bahwa 70 persen dari pekerjaan yang ada pada kota-kota di Afrika Barat adalah pekerjaan di sektor informal. Selain itu, metropolitan juga menghadapi masalah lingkungan hidup. Kualitas lingkungan menurun tajam dapat terlihat dari besarnya tingkat polusi di kota-kota tersebut akibat kemacetan lalu lintas dan sistem transportasi umum yang tidak baik. Penurunan kualitas lingkungan juga terlihat dari penyediaan infrastruktur dasar seperti air bersih dan sanitasi (lihat TABEL 1-3). Sementara itu ketersediaan ruang terbuka untuk ruang terbuka hijau maupun ruang untuk aktivitas sosial juga menurun tajam. Di beberapa kota bahkan sudah mencapai kurang dari sepuluh persen luas kotanya. Ruang hijau yang diperlukan untuk membersihkan udara sangat terbatas menyebabkan polusi udara tidak dapat cepat dibersihkan kembali. TABEL 1-3 Proporsi penduduk perkotaan yang mempunyai akses ke air bersih dan sanitasi Data statistik dari UNDP Human Development Report 1996 Data statistik dari World Bank World Development Indicators 2000 Negara persen penduduk kota yang mempunyai akses ke air bersih persen penduduk kota yang mempuyai sanitasi persen penduduk kota yang mempunyai akses ke air bersih persen penduduk kota yang mempuyai sanitasi Bangladesh Burkina Faso Td 42 Td 8 Ethiopia Td Gana India Indonesia Jamaika Td Nigeria Pakistan Filipina Sudan Tanzania Uganda Zimbabwe Td = tidak ada data Sumber:UNCHS, Lihat pembahasan ekonomi perkotaan di Bab 5 7 Definisi mengenai sektor informal ini masih selalu menjadi perdebatan, apalagi saat ini sektor informal di negara berkembang sebenarnya mampu memberikan pendapatan yang sangat tinggi bagi pelakunya.

9 Pendahuluan 9 Persoalan lingkungan juga terjadi pada kota-kota besar yang terus membangun jalan dan bangunan beton sehingga resapan air menjadi sangat berkurang. Ditambah dengan kedekatan terhadap kawasan penyangga lingkungan di sekitar kota inti yang juga tidak terawat, menyebabkan air hujan yang turun tidak bisa terserap dengan cepat dan dapat mengakibatkan terjadinya banjir tahunan yang menyengsarakan masyarakat. PERSOALAN DI INDONESIA Persoalan sektoral Persoalan-persoalan metropolitan sebagaimana tersebut di atas juga terjadi di beberapa kota metropolitan di Indonesia. Terdapat pertambahan penduduk yang cepat, bahkan pada tahun 2025 diperkirakan bahwa 80 persen dari total penduduk di Pulau Jawa akan tinggal pada kawasan perkotaan 8. Pertanyaannya adalah apakah kota-kota akan mampu memberikan pelayanan yang layak bagi penduduknya? Urbanisasi tidak selalu berarti negatif (Talen 2005) 9 karena jika dilihat dari sisi ekonomi, kota-kota selalu memberikan kontribusi yang besar pada pertumbuhan ekonomi negara. Akan tetapi, kenyataan dalam penyediaan pelayanan yang memadai bagi penduduk perkotaan yang besar adalah persoalan yang berat, walaupun secara statistik tetap terlihat bahwa proporsi penduduk kota mendapatkan pelayanan lebih besar daripada penduduk perdesaan. Persoalanpersoalan sektoral lain seperti kemacetan lalu lintas dan kurangnya fasilitas angkutan publik merupakan keadaan yang sering dihadapi oleh kota-kota besar. Infrastruktur dasar seperti air bersih, sistem sanitasi dan telekomunikasi menjadi persoalan sektoral lain yang dihadapi oleh kota-kota di Indonesia. Pertambahan penduduk yang besar tanpa pertambahan dana investasi pada infrastruktur bagaikan pasak lebih besar dari tiang yang berarti dalam beberapa tahun ke depan, jika tidak ada perbaikan investasi, yang terjadi adalah kekacauan. Dalam hal investasi ini, Indonesia termasuk negara yang tertinggal. Indonesia hanya memberikan investasi sebesar 4 persen dari PDB untuk infrastruktur yang sangat tertinggal jika dibandingkan dengan negara lain. 10 Persoalan yang sama dihadapi perkotaan di Indonesia dalam sektor perumahan, transportasi, penyediaan ruang terbuka hijau (RTH), dan persampahan. RTH di sebagian besar kota-kota di Indonesia, sangat tidak memadai baik kuantitas (besarannya) maupun kualitas, dalam arti fungsi RTH sebagai pembentuk iklim mikro perkotaan tidak dapat tercapai 11. Persampahan dalam beberapa tahun terakhir ini telah menjadi permasalahan besar bagi beberapa kota di Indonesia. Jakarta mengalami masalah dengan pembuangan akhir di Bantar Gebang; Bandung mengalami persoalan pembuangan sampah yang sangat rumit pada tahun 2006, sehingga mengubah julukan Bandung menjadi Bandung kota sampah. 8 Lihat pembahasan mengenai kependudukan di Bab 5 9 Lihat juga pembahasan di Bab 5 10 Lihat pembahasan mengenai infrastruktur dasar di Bab 6 11 Lihat pembahasan mengenai RTH dan Lingkungan di Bab 6

10 10 Metropolitan di Indonesia Persoalan Tata Ruang Persoalan sektoral di atas, juga tercermin pada tata ruang kawasan perkotaannya karena tata ruang adalah wujud struktural dari aktivitas yang terjadi. Walaupun terlihat ada pusat-pusat dan sub pusat-sub pusat aktivitas dalam tata ruang kawasan perkotaan, tetapi struktur yang terjadi tidak tertata dengan baik yang mencerminkan terjadinya ketidakseimbangan pelayanan fasilitas perkotaan. Dengan kata lain, terjadi kerancuan di dalam sistem pelayanannya. RTH tidak mampu membentuk iklim mikro yang baik karena luasan dan lokasinya yang tidak tertata dan tidak tepat. Kemacetan lalu lintas menunjukkan bahwa terjadi ketidakcocokan antara lokasi tempat tinggal dengan tempat kerja atau tempat fasilitas lain. Penataan ruang yang baik diperlukan untuk dapat menjadikan pelayanan perkotaan yang dapat dinikmati oleh warga kota sehingga ketidakcocokan antara tempat tinggal dan fasilitas pelayanan perkotaan dapat dikurangi hingga sekecil mungkin. Jika fasilitas pelayanan perkotaan ada dalam jangkauan yang baik, masyarakat tidak harus mencarinya di tempat lain. MAKSUD PENULISAN BUKU Uraian di atas menunjukkan bahwa metropolitan di dunia, terutama di negara berkembang, tidak hanya menghadapi persoalan-persoalan, tetapi juga mempunyai potensi. Pemahaman mengenai persoalan-persoalan yang dihadapi dan potensi yang dipunyai kawasan metropolitan sebagai suatu sistem kota besar di Indonesia masih dirasakan kurang memadai, terutama bagi penyelenggara pemerintahan. Padahal kawasan metropolitan dapat mempunyai arti yang sangat penting dalam pengembangan wilayah dan perekonomian nasional karena sumbangan pada pertumbuhan ekonomi yang besar. Persoalan-persoalan metropolitan tercermin dalam struktur dan pola keruangannya. Jika ditata dan dikelola dengan baik, kawasan metropolitan dapat berfungsi lebih baik lagi sebagai pusat pertumbuhan wilayah yang luas karena skala kegiatan ekonomi yang berkembang di dalamnya. Sebaliknya, pengelolaan kawasan metropolitan secara tidak tepat malahan dapat menyebabkan ketidakefisienan dan menimbulkan berbagai persoalan, baik persoalan teknis maupun persoalan sosial ekonomi. Kawasan perkotaan metropolitan dituntut untuk mampu berfungsi secara efektif sebagai pusat pertumbuhan wilayah yang efisien sehingga dapat menunjang upaya percepatan pembangunan nasional. Ketidakefisienan dalam pengelolaan kawasan perkotaan dikhawatirkan dapat berdampak pada penurunan kinerja pembangunan dalam skala yang lebih luas, bahkan nasional. Agar pengelola kawasan perkotaan metropolitan dapat lebih memahami persoalan kawasan metropolitan secara lebih mendalam, diperlukan suatu bacaan yang dapat dijadikan acuan bagi para pemangku kepentingan dalam menyelenggarakan kegiatan pembangunan dan pengelolaan kawasan perkotaan metropolitan. Terkait dengan hal tersebut, pada Tahun Anggaran 2006 Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum, membentuk tim untuk menyiapkan buku yang dapat digunakan sebagai source book oleh para pemangku kepentingan dalam meningkatkan pemahaman mengenai persoalan metropolitan.

11 Pendahuluan 11 METODA DAN PENDEKATAN Yang menjadi perhatian utama dalam buku ini adalah peningkatan pemahaman mengenai persoalan metropolitan terutama dalam hal: Definisi dan pengertian metropolitan Dinamika pertumbuhan penduduk dan perkembangan sosial ekonomi perkotaan Penyediaan infrastruktur dasar dan lingkungan hidup metropolitan Hukum dan kelembagaan metropolitan Penataan ruang kawasan metropolitan Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, dibentuk tim yang mempelajari literatur mengenai metropolitan di dunia dan di Indonesia yang didapatkan dari penelitian melalui internet maupun pada data-data sekunder hasil studi dari berbagai institusi. Meminta beberapa pakar, pemerhati metropolitan dari kalangan akademisi maupun praktisi untuk mendiskusikan dan menuliskan hasil pengamatan mereka pada sektor tertentu di dalam penataan ruang kawasan metropolitan. Hasil dari studi dan pengamatan pakar didiskusikan dalam seminar dan kemudian ditulis ulang dan disusun sesuai dengan tujuan penulisan buku ini. SISTEMATIKA BUKU Buku ini terdiri dari tiga bagian besar: bagian pertama bertajuk Kawasan Metropolitan: Konsep dan Pengertian; bagian kedua bertajuk Metropolitan di Indonesia, dan bagian ketiga bertajuk Penataan Ruang Kawasan Metropolitan. Bagian pertama dimaksudkan sebagai penyatu pandangan mengenai definisi metropolitan, yang dipakai dalam diskusi dan analisis dalam bagian pertama dan kedua buku. Pada bagian tiga, definisi baru mengenai kawasan metropolitan untuk Indonesia dirumuskan berdasarkan diskusi-diskusi pada bagian sebelumnya. Bagian pertama ini terdiri dari dua bab; Bab 1 menguraikan isi buku secara keseluruhan serta memberikan konteks analisis metropolitan; Bab 2 menguraikan konsep dan definisi metropolitan serta memberikan gambaran mengenai metropolitan di dunia, struktur tata ruang dan persoalan yang dihadapi metropolitan di dunia tersebut. Bagian kedua, dengan mengacu pada pengertian metropolitan yang telah dijelaskan di bagian pertama, menguraikan persoalan dan tantangan serta kemungkinan kebijakan sektoral untuk menjawab persoalan-persoalan tertentu pada metropolitan di Indonesia. Bagian kedua ini terdiri dari empat bab. Dimulai dengan Bab 3 yang menggambarkan, berdasarkan data-data sekunder, mengenai sejarah pembentukan, perkembangan, dan persoalan yang dihadapi metropolitan di Indonesia. Selanjutnya pada Bab 4, secara umum membahas mengenai persoalan kependudukan, sosial ekonomi, infrastruktur dan hukum serta kelembagaan yang dihadapi oleh metropolitan di Indonesia. Tiga bab berikutnya; Bab 5, 6 dan 7, membahas secara lebih mendalam persoalan kependudukan dan sosial ekonomi, infrastruktur, dan lingkungan serta hukum dan kelembagaan.

12 12 Metropolitan di Indonesia Bagian ketiga dimaksudkan sebagai penutup yang menunjukkan usulan dan pandangan mengenai bagaimana sebaiknya penataan kawasan metropolitan dilaksanakan. Bagian ini terdiri dari 2 bab, yaitu Bab 8 menguraikan arahan kebijakan penataan ruang metropolitan dan Bab 9 yang berisi catatan penutup.

13

14 2 Konsep dan Struktur Metropolitan DEFINISI DAN STRUKTUR METROPOLITAN Kota atau kawasan metropolitan merupakan perwujudan perkembangan yang alamiah dari suatu permukiman perkotaan yang berkembang sangat pesat. Perkembangan tersebut menyebabkan jumlah penduduk dan luas wilayah yang sangat besar, dengan karakteristik dan persoalan yang spesifik. Oleh karenanya, suatu kota atau kawasan metropolitan memerlukan pengelolaan tersendiri dalam hal pemecahan persoalan yang dihadapi, penyediaan prasarana dan layanan perkotaan, serta pengelolaan pembangunannya. Istilah metropolitan pertama kali digunakan secara resmi berkenaan dengan skala dan pola pertumbuhan kota yang sangat cepat di Amerika. Perubahan fundamental dalam cara hidup Amerika ini dikenali pada awal abad ke-20 ketika Biro Sensus [Amerika] pada tahun 1910 secara resmi memperkenalkan istilah Metropolitan Districts ke dalam sistem klasifikasi wilayahnya (Goheen, dalam Bourne, ed. 1971). Metropolitan selalu menghadapi persoalan-persoalan bukan saja karena besarnya jumlah penduduk, tetapi juga karena karakternya yang berbeda dengan kota bukan metropolitan. Persoalan-persoalan yang dihadapi dalam pengelolaan dan pembangunan kota atau kawasan metropolitan di negara maju pun sudah cukup kompleks, apalagi di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia. Secara umum orang mengartikan metropolitan sebagai suatu kota besar yang berhubungan dengan kehidupan modern, kehidupan kota -bukan pertanian- yang kompleks. Pengertian seperti ini memang tidak salah namun agak sulit dipakai jika suatu kebijakan teknis akan diimplementasikan pada kota metropolitan. Pertanyaaan yang muncul biasanya adalah apa ketentuan pembentukan kota atau kawasan metropolitan? Berapa besar penduduknya? Bagaimana karakternya? Bagaimana pengukurannya? Bagaimana kelembagaan pengelolaannya? Mendefinisikan kawasan metropolitan bukan merupakan tugas yang mudah. Metropolitan tidak bisa dengan mudah didefinisikan hanya berdasarkan jumlah penduduk saja, karena ada kota yang mempunyai penduduk lebih kecil tetapi mempunyai luas wilayah yang besar; ada kota dengan penduduk lebih besar mempunyai

15 14 Metropolitan di Indonesia luas kota yang lebih kecil, dan ada pula kota-kota dengan penduduk lebih kecil tetapi mempunyai sifat kekotaan yang mencolok. Dalam kerangka seperti itu, bagian ini akan membahas definisi metropolitan yaitu dengan: pertama, membahas sejarah penggunaan kata dan terbentuknya metropolitan; kedua, membahas ciri-ciri metropolitan; ketiga, menjelaskan struktur metropolitan; dan di akhir merumuskan definisi metropolitan. Sejarah Penggunaan Istilah dan Terbentuknya Metropolis Kata metropolitan atau metropolis (metropolitan sebagai kata sifat, metropolis sebagai kata benda) telah banyak digunakan untuk menunjukkan berbagai realita perkotaan yang berbeda-beda. Apakah sebetulnya yang dimaksud dengan metropolitan atau metropolis ini? Apabila dikaji dari sudut pandang historis dan leksikal (etimology), istilah metropolis berasal dari bahasa Yunani Kuno, yakni berasal dari kata meter yang berarti ibu dan kata polis yang berarti kota (Wackermann, 2000). Pada masa itu, secara harafiah, metropolis dapat diartikan sebagai kota ibu yang memiliki kota-kota satelit sebagai anak, namun dapat juga berarti pusat dari sebuah kota, sebuah kota-negara (city-state), atau sebuah propinsi di kawasan Mediterania, sehingga dapat dikatakan juga bahwa pada masa itu istilah metropolis memiliki konotasi yang berkaitan dengan fatherland. Hingga saat ini konotasi tersebut masih digunakan, istilah Metropolitan France misalnya mengacu pada bagian dari Republik Perancis yang berada di Eropa, yakni daratan Perancis dan Korsika sebagai mother country, di samping wilayah-wilayah di luar itu sebagai bekas koloni yang bergabung dalam Republik Perancis. Istilah metropolitan juga dikatakan sebagai berasal dari kata metro yang mengambil kata dari sistem perkereta-apian ringan (light train system) di wilayah perkotaan. Kebutuhan sistem transportasi perkotaan tersebut adalah akibat dari pertumbuhan kota yang sudah mempunyai sistem commuter penduduk perkotaan, misal dari kota-kota dormitory ke kota induknya. The metropolitan area is created by combining those counties which are integrated in terms of commuting with the central city and the county in which it lies. (Bourne, 1971, hal. 15) Istilah metropolis juga digunakan untuk: to denote the central city in a metropolitan area (Bergel, 1955, hal ). Secara statistik, Bourne (1971, Internal Structure of The City, hal. 50) mengindikasikan dalam suatu definisi bagi istilah metropolitan yang dikategorikan dalam dua pertimbangan utama: First, a city or cities of specified population to constitute the central city and to define the county in which it is located as the central county; and second, economic and social relationships with contiguous counties which are metropolitan in character, so that the periphery of the specific metropolitan area may be determined Setelah Perang Dunia Kedua, istilah metropolis seringkali digunakan sebagai kata yang sinonim dengan istilah ibu kota. Baru pada akhir tahun 1970 an istilah ini menjadi objek pendekatan keilmuan untuk mengkaji ledakan pertumbuhan perkotaan, perluasan kawasan perkotaan, dan migrasi perkotaan. Secara cepat istilah ini kemudian berkembang menjadi istilah yang berkaitan dengan kajian penemuan kembali dan rehabilitasi dari pusat kota dan aglomerasi perkotaan modern (Wackermann, 2000).

16 Konsep dan Struktur Metropolitan 15 Sejak awal 1980 an penggunaan pendekatan keilmuan dalam mempelajari fenomena metropolitan menjadi semakin berkembang. Tetapi para ilmuwan dan organisasi-organisasi perencanaan lebih banyak memperhatikan perkembangan kawasankawasan metropolitan daripada menyusun definisi yang tepat bagi fenomena ini. Wackermann (2000) mengutip Michela Paal menyebutkan bahwa kurangnya bahan akan definisi metropolitan ini nampak dari penjelasan akan arti kata tersebut di Kamus dan Ensiklopedia Webster, yang hingga tahun 2003 tidak membahas arti dari kata metropolis di luar konteks sebagai ibu kota sebuah negara atau pusat utama dari aktivitas penting di suatu wilayah. Di tahun 1989, Gottmann mendefinisikan modern metropolis sebagai the largest and most complex artifact that humankind has ever produced. Beberapa tahun setelah itu, di tahun 1991, Jean Bastie dan Bernard Dezert menyusun definisi dari metropolis modern yang didasarkan dari fungsi sebuah kota, yakni bahwa definisi sebuah metropolis: - Tidak selalu ditentukan oleh ukuran demografik, dapat saja ukurannya ditentukan oleh faktor yang lebih penting dari ukuran kuantitatif populasinya - Dicirikan oleh sistem infrastruktur komunikasi dan transportasi yang melayani pergerakan commuting, aliran informasi, dan pengambilan keputusan. - Sebagai pusat aktivitas keuangan di tingkat atas. - Sebagai pusat berkumpulnya perusahaan-perusahaan internasional. - Sebagai pusat kekuatan politik dan administrasi dari sebuah negara. - Sebagai tempat pengembangan atau penggunaan teknologi tinggi dan telekomunikasi canggih. - Sebagai tempat penting aktivitas-aktivitas budaya dan ilmiah. - Sebagai tempat tujuan wisata internasional. - Sebagai pusat fungsional tenaga kerja dan perumahan. Seorang pakar perkotaan, Angotti (1993) berpendapat bahwa sebuah metropolis bukan saja sebuah kota yang sangat besar, tetapi juga sebuah bentuk baru dari masyarakat, lebih besar, lebih kompleks dan memiliki peran kekuasaan yang lebih sentral, baik dari sisi ekonomi, politik, maupun budaya. Kota-kota industri abad 19 lebih tepat disebut sebagai pendahulu dari kota-kota metropolis yang menjadi karakteristik dari kota-kota abad 20. Sebuah metropolis adalah ekspresi urban di dunia yang saling terkait pada banyak fungsi sosial budaya dan ekonomi transnasional dan internasional. Menurut Angotti metropolis menawarkan pertumbuhan dan akumulasi dari potensipotensi yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah. Namun Angotti juga berpendapat bahwa sebuah kota yang berpenduduk lebih dari satu juta dapat dikategorikan sebagai kota metropolitan. Ukuran demografik ini didukung oleh Meijer (1993) yang berpendapat bahwa sebuah metropolis dicirikan oleh besaran penduduknya, yang juga mencirikan pusat-pusat di Eropa. Blumenfeld (1971) menjelaskan metropolis sebagai sebuah pusat permukiman dengan penduduk paling sedikit jiwa, namun dia menganjurkan ukuran minimum satu juta jiwa bagi kota-kota di Amerika Utara. Ekistic (Doxiadis 1968) mengartikan metropolis sebagai

17 16 Metropolitan di Indonesia suatu permukiman besar yang terdiri dari satu atau lebih pusat yang berpenduduk atau lebih dan mempunyai karakter kota yang lebih besar daripada karakter perdesaan, dengan kepadatan secara bruto sebesar 66 jiwa per ha. Sementara itu Blumenfeld (1971) juga mendeskripsikan metropolis sebagai permukiman dengan penduduk paling tidak jiwa, namun menurutnya, satu juta adalah kriteria yang cocok untuk ukuran metropolis di Amerika Utara 1. Angotti (1993) mengikuti Goodman (1960) yang mengatakan bahwa kota metropolis itu berpenduduk satu juta atau lebih. Selain menggambarkan kondisi banyak fungsi sosial ekonomi dan ukuran penduduk dari sebuah kota, istilah metropolis menurut Kamus Geografi dari Baud (1995) dapat ditinjau dari ukuran hirarki, yang mempertimbangkan sebuah metropolis sebagai pusat fungsional. Fungsi-fungsi dari kekuatan yang inheren dalam metropolislah yang kemudian menjadi dasar dari perilaku pertumbuhan kota. Di sini kekuatan finansial dan pertimbangan geopolitiklah yang memainkan peran utama dari sebuah kawasan metropolitan. Dengan demikian, istilah metropolis tidak lagi hanya dipertimbangkan sebagai sebuah ibu kota. Sebuah kota besar atau yang sangat besar pun harus dipertimbangkan sebagai sebuah kota metropolitan. Luasan kota metropolitan pun bervariasi, bergantung pada wilayah (Wackermann, 2000). Di Eropa, misalnya, luasan sebuah metropolis adalah antara hingga km persegi, sementara di Amerika Serikat hingga km persegi. Antara kota-kota metropolitan tersebut juga dapat dibedakan antara kota metropolitan internasional, nasional, serta regional. Menurut Wackermann (2000), kota metropolitan internasional adalah kota yang memenuhi kriteria sebagai berikut: - Memiliki populasi yang secara kualitatif aktivitasnya berada di tingkat internasional dan berada di jaringan perdagangan raksasa. - Memiliki pelayanan tingkat internasional di bidang teknologi, konsultansi dan riset. - Memiliki infrastruktur untuk penyelenggaraan aktivitas internasional seperti: kongres, festival, dll. - Memiliki komunitas tenaga kerja asing yang merepresentasikan perusahaan dan institusi multinasional yang jumlahnya cukup untuk mempengaruhi kehidupan lokal. - Memiliki citra internasional terutama dalam bidang pariwisata dan budaya. Dalam hal ini, hampir seluruh kota metropolitan nasional juga memiliki kriteria seperti di atas. Di negara-negara berkembang, kota-kota metropolitan secara umum adalah kota-kota yang sangat besar dari segi demografik hingga mencapai jutaan jiwa. Kota-kota tersebut tidak selalu memiliki profil sebagai kota-kota yang benar-benar metropolitan, namun sebagian besar dari kota-kota tersebut telah mulai masuk dalam proses internasionalisasi dan globalisasi. Di Amerika Serikat, yang termasuk dalam kota metropolitan internasional dan nasional ini adalah New York, Chicago, San Francisco, dan Los Angeles. 1 Penduduk kota-kota di Eropa biasanya sangat rendah jika dibanding dengan kota-kota di Asia, terutama India dan Indonesia. Penduduk sebesar jiwa sudah dianggap besar di Eropa, termasuk kecil di Indonesia.

18 Konsep dan Struktur Metropolitan 17 Adapun yang disebut sebagai kota metropolitan regional adalah kota-kota yang memenuhi kriteria sebagai berikut: - kota yang mempunyai peran besar dalam perekonomian negara. - ibu kota regional. - pusat pertumbuhan wilayah dan tempat berpusatnya sebagian besar pelayanan perkotaan. - menjadi gerbang wilayah untuk berhubungan dengan wilayah lain di tingkat nasional dan internasional Di Amerika Serikat, kota-kota metropolitan yang berfungsi sebagai kota metropolitan regional antara lain adalah Boston, Philadelphia, Atlanta, Houston, Dallas, Minneapolis dan Phoenix. Definisi Umum Metropolitan Berdasarkan uraian di atas dan praktek dalam pengelolaan perkotaan, metropolitan didefinisikan sebagai suatu pusat permukiman yang besar yang terdiri dari satu kota besar dan beberapa kawasan yang berada di sekitarnya dengan satu atau lebih kota besar melayani sebagai titik hubung (hub) dengan kota-kota sekitarnya tersebut. Suatu kawasan metropolitan merupakan aglomerasi dari beberapa kawasan permukiman, tidak harus kawasan permukiman yang bersifat kota, namun secara keseluruhan membentuk suatu satu kesatuan dalam aktivitas bersifat kota dan bermuara pada pusat (kota besar yang merupakan inti) yang dapat dilihat dari aliran tenaga kerja dan aktivitas komersial. Menurut Goheen (dalam Bourne, ed. 1971), Kota/Distrik Metropolitan adalah kawasan perkotaan dengan karakteristik penduduk yang menonjol dibandingkan dengan penduduk perdesaan di sekitarnya. Istilah ini digunakan untuk memberikan gambaran yang lebih tepat mengenai besaran dan konsentrasi penduduk dalam wilayah yang luas, yang selanjutnya dapat menunjukkan besaran pusat-pusat permukiman yang utama di satu negara. Secara umum, kawasan metropolitan dapat didefinisikan sebagai satu kawasan dengan konsentrasi penduduk yang besar, dengan kesatuan ekonomi dan sosial yang terpadu dan mencirikan aktivitas kota Struktur metropolitan Suatu metropolitan bisa saja mempunyai satu pusat (monocentric), atau lebih dari satu pusat (polycentric). Pada suatu metropolitan yang polycentric, pusat metropolitan tidak harus secara fisik tersambung dalam bentuk kawasan terbangun (built-up area),- berbeda dengan pengertian conurbation,- kota-kota yang menjadi pusat metropolitan polycentric terhubung secara ekonomi dan fisik, dan secara keseluruhan menjadi kawasan perkotaan yang besar. Contoh dari bentuk polycentric ini misalnya adalah Tokyo-Kawasaki- Yokohama (the Keihin area), atau Osaka-Kobe dan Kyoto sebagai Kehanshin Zone. Jika metropolitan-metropolitan sangat berdekatan, mereka bisa membentuk suatu Megalopolis. Untuk operasionalisasi kebijakan, definisi umum seperti di atas memang sulit untuk dijadikan pegangan. Dapat juga metropolitan dikenali dari berbagai ciri-ciri yang kemudian dapat digunakan untuk menentukan suatu kawasan disebut sebagai

19 18 Metropolitan di Indonesia metropolitan atau bukan. Pertanyaan ini muncul karena di Indonesia saat ini Departemen Pekerjaan Umum mendefinisikan metropolitan lebih pada jumlah penduduknya saja. Sehingga ada beberapa kota yang sudah memiliki ciri metropolitan belum dikatakan sebagai metropolitan. Ciri Metropolitan Beberapa ciri metropolitan dapat dilihat dari kependudukan dan aspek lain sebagaimana dijelaskan di bawah ini. Kependudukan Jumlah penduduk merupakan salah satu karaktersistik suatu metropolis yang ditentukan untuk kepentingan penghitungan statistik, mengumpulkan, mentabulasikan dan mempublikasikan data-data statistik. Untuk kepentingan ini misalnya SMSA (Standard Metropolitan Statistical Areas) di Amerika mendefiniskan Metropolitan sebagai: a large population nucleus, together with adjacent communities having a high degree of social and economic integration with that core. Metropolitan areas comprise one or more entire counties (U.S. Census Bureau 2006). MSA (Metropolitan Statistical Areas) mempunyai paling tidak satu kawasan kota (urbanised) dengan penduduk jiwa atau lebih ditambah kawasan di sekitarnya yang mempunyai keterkaitan besar secara sosial dan ekonomi yang diukur dari banyaknya penglaju. Definisi Metropolitan District berdasarkan jumlah penduduk yang diperkenalkan Biro Sensus Amerika sejak tahun 1910 ini, mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Pada tahun 1920 definisi metropolitan didasarkan pada jumlah penduduk perkotaan di atas penduduk. Ketentuan jumlah ini mengalami perubahan dalam penerapannya pada tahun 1920, 1930, dan Pada tahun 1940, ketentuan Metropolitan Distrik tersebut dapat diterapkan pada semua kota dengan jumlah penduduk kota di atas , ditambah wilayah di sekitarnya yang mempunyai kepadatan penduduk di atas 150 jiwa/mil persegi. Pada tahun 1950, Standard Metropolitan Area (SMA) dirumuskan agar berbagai variasi data statistik dapat disajikan dalam basis yang seragam. Kota-kota di sekitarnya yang dimasukkan dalam wilayah metropolitan harus mempunyai integrasi sosial dan ekonomi dengan kota utama. Pada tahun 1990 dan 2000 SMA (1950) dan SMSA (1970 dan 1980) berubah lagi menjadi MA (Metropolitan Areas), dengan konsep yang tetap sama. Metropolitan Area dibagi menjadi: a. Free-standing Metropolitan Statistical Areas (MSAs), adalah Metropolitan Area yang berdiri sendiri dikelilingi oleh permukiman yang bukan metropolitan b. Primary Metropolitan Statistical Areas (PMSAs), seperti MSAs tetapi dekat dan secara ekonomi/sosial berkaitan dengan PMSA yang lain dan membentuk "CMSAs" - Consolidated Metropolitan Statistical Areas. c. Jika beberapa permukiman menjadi satu dan besar diidentifikasikan sebagai Consolidated Metropolitan Statistical Area (CMSA), jumlah penduduknya adalah satu juta jiwa atau lebih.

20 Konsep dan Struktur Metropolitan 19 Ciri lain Jumlah penduduk memang bukan satu-satunya karakteristik yang signifikan dari metropolitan yang membedakan permukiman lain dengan metropolitan. Kriteria lain yang penting adalah aktivitas sosial ekonomi yang menunjukkan adanya spesialisasi fungsi. Biasanya merupakan industri-industri dan jasa. Metropolitan merupakan pusat aktivitas jasa yang kemudian tercermin dalam pembagian fungsi keruangannya secara nyata. Integrasi antar kawasan permukiman dan tempat kerja adalah persoalan nyata di metropolitan saat ini dan merupakan karakter khas metropolitan. Angotti (1993) menyatakan bahwa proses spesialisasi di metropolitan terjadi karena selalu berkembangnya teknologi produksi dan distribusi dan komunikasi. Karakter lain dari suatu metropolitan adalah kemudahan mobilitas yang menurut Angotti (1993) terlihat dalam 3 bentuk mobilitas: 1. Mobilitas Pekerjaan (Employment Mobility) 2. Mobilitas Perumahan (Residential Mobility) 3. Mobilitas Perjalanan (Trip Mobility) Mobilitas pekerjaan dicirikan dari mudahnya orang berpindah tempat kerja tanpa harus berpindah tempat tinggal karena lebih banyak jenis dan variasi pekerjaan tersedia di kota metropolitan. Mobilitas pekerjaan ini berkaitan dengan tersedianya modal dan mobilitas modal yang besar. Mobilitas tempat tinggal biasanya mengikuti perubahan tempat kerja. Perpindahan tempat tinggal ini tidak selalu karena keinginan sendiri, berhubungan dengan pindahnya tempat kerja, tetapi sering kali juga terjadi karena dipindahkan (digusur) secara paksa maupun tidak. Tidak dipaksa terjadi karena perubahan harga lahan yang disebabkan oleh dinamika pembangunan real estate. Mobilitas perjalanan lebih mudah dilakukan di metropolitan daripada di permukiman lain karena ketersediaan sarana transportasi yang lebih baik (Penglaju Jakarta-Tangerang misalnya). Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa metropolitan dicirikan dengan adanya mobilitas dari modal dan tenaga kerja yang sangat tinggi. Guna lahan tidak menjadi definisi metropolitan, sehingga guna lahan di kawasan metropolitan tidak harus semuanya non-pertanian, walaupun demikian, tentu kawasan pertanian di metropolitan, kalau ada dengan luas yang tidak besar, sesuai dengan definisi tenaga kerja seperti di atas. Meskipun demikian ada beberapa kota metropolitan besar di dunia yang memasukkan hutan kota sebagai bagian dari metropolitan, misalnya London dengan Hamstead Heath, Tokyo, New York dengan Central park dsb. Lingkungan metropolitan berbeda dengan bukan metropolitan karena aktivitas bersifat kota lebih besar dan lebih banyak man made structure daripada natural structure. Lingkungan lebih menjadi persoalan di kota besar, seperti ketersediaan air bersih, polusi udara, pengelolaan sampah dan sebagainya. Uraian di atas menunjukkan bahwa pendefinisan metropolitan akan sangat tergantung dari untuk apa pendefinisan itu dibuat: a. Alternatif jumlah penduduk: - Satu kota dengan jumlah penduduk di atas jiwa, atau

21 20 Metropolitan di Indonesia - Dua kota atau lebih yang menerus dan terintegrasi secara sosial dan ekonomi, dengan jumlah penduduk kota induk di atas jiwa, dan kota terkecil di atas jiwa - Satu kota dengan jumlah penduduk jiwa (Yeates and Garner 1980) - Satu kota dengan jumlah penduduk di atas jiwa (NUDS 1985) Untuk kondisi di Indonesia, mungkin ketentuan jumlah penduduk yang dikemukakan dalam NUDS ditambah permukiman di sekitarnya yang terkait secara fisik, sosial dan ekonomi layak dipertimbangkan. b. Minimum 75 persen dari tenaga di kawasan bekerja dalam bidang non-pertanian c. 50 persen atau lebih dari penduduknya berada dalam satu kesatuan wilayah yang menerus dengan kepadatan di atas 150 jiwa/mil persegi. d. Minimum 15 persen tenaga kerja dalam wilayah metropolitan bekerja di kota induk METROPOLITAN DI DUNIA Sejarah Metropolitan di Negara Maju Metropolitan di dunia terbentuk karena adanya aglomerasi ekonomi yang menyebabkan dominasi ekonomi kota terhadap daerah pinggirannya. Ditemukannya mesin uap yang memicu revolusi industri menyebabkan kota seperti London menjadi tempat berkembangnya industri dan urbanisasi dari desa ke kota meningkat sangat tajam, antara tahun 1821 sampai 1851 atau hanya dalam 30 tahun penduduk London meningkat 4 juta jiwa (Rydin 1993). Angka tersebut sangat tinggi dalam konteks Eropa pada saat itu. Pertumbuhan tersebut sering juga dilihat sebagai penjajahan kota terhadap daerah pinggirannya atau bahkan terhadap kawasan perdesaan. Kota menyerap semuanya dan sering juga dilihat sebagai pusat berkembangnya penyakit dan perbuatan-perbuatan asusila (Angotti 1993). Keadaan itu memicu timbulnya aliran anti-urban. London, Machester, New York, Chicago dianggap sebagai tempat yang menyebabkan kemaksiatan yang dipicu oleh perkembangan industri dan modal. Kota besar adalah sumber dari polusi udara karena kendaraan bermotor dan industri, sumber dari segala penyakit karena keadaan perumahan yang kumuh dan berdesakdesakan terutama perumahan bagi masyarakat pekerja yang miskin. Sumber dari penyakit sosial karena adanya kemiskinan dan perbedaan kaya dan miskin yang sangat terlihat. Keadaan ini memicu pemikiran mengenai Doomsday theory of metropolis yang pada dasarnya beragumen bahwa jika tidak dibatasi perkembangannya, kota metropolitan ini akan menghancurkan umat manusia. Metropolitan bisa menjadi black hole yang menyerap semua energi disekelilingnya masuk ke dalam kota. Namun demikian pengalaman di dunia menunjukkan bahwa negara-negara maju yang mampu mengatur dan mengelola metropolitannya mendapat manfaat dari keberadaan kota-kota besar. Kata kuncinya adalah pada kemampuan pengelolaan kota metropolitan tersebut. Karakter metropolitan tidak sama di dunia, ini terutama terjadi karena sejarah yang berbeda serta perkembangan ekonomi yang berbeda juga. Angotti (1993) membedakan metropolis di dunia menjadi tiga jenis, yaitu Metropolitan di Amerika (US Metropolis);

22 Konsep dan Struktur Metropolitan 21 Metropolitan yang tidak mandiri (Dependent Metropolis); dan Metropolitan di Uni Soviet (Soviet Metropolis) Pembagian ini lebih dipengaruhi oleh pendekatan ekonomi politik. Metropolitan di Amerika (dan juga Eropa) adalah cerminan dari ekonomi kapitalis, sedang Metropolitan di bekas Uni Soviet adalah gambaran dari ekonomi sosialis, sementara itu Dependent Metropolis adalah gambaran dari ekonomi campuran (mixed economy). Angotti membagi metropolitan ini di tahun 1993 sebelum perubahan mendasar yang terjadi di Uni Soviet, namun demikian secara umum ciri-ciri ini masih bisa terlihat sampai saat ini, walaupun ada transformasi di beberapa metropolitan pada jenis-jenis yang disebutkan. Metropolitan di Amerika mencerminkan inequality dan mobility; Dependent Metropolis menunjukkan adanya development dan inequality, sementara itu metropolitan di Uni Soviet menunjukkan integrasi sosial dan struktur politik yang lebih terbatas dan mobilitas sosial rendah. Metropolitan di Amerika menunjukkan segregasi sosial dan keruangan yang tinggi, terlihat fragmentasi dalam kelompok etnis dan kelompok politik. Dicirikan oleh adanya Central Business District (CBD) yang sangat kuat menarik tenaga kerja. Sementara itu, walaupun di Eropa dan Jepang juga kapitalis, dominasi CBD-nya berbeda dengan di Amerika. Metropolis di Eropa dan Jepang lebih terintegrasi, lebih kompak, dan tidak menunjukkan terjadinya sprawl seperti di Amerika. Metropolitan di Eropa mempunyai pusat-pusat yang telah tumbuh lama dan telah mempunyai sejarah yang panjang. Sementara Dependent Metropolis merupakan perkembangan terakhir yang lebih disebabkan karena pertumbuhan penduduk dan urbanisasi yang besar akibat dari push factor. Metropolitan seperti ini terdapat di negara-negara Afrika, Amerika Latin dan Asia, yang bergantung pada sistem kapitalis. Metropolitan di negara-negara maju merupakan akibat dari revolusi industri di abad 19. Walau demikian, beberapa di antara kota-kota tersebut seperti London dan Paris telah tumbuh jauh sebelum masa revolusi industri. Di akhir abad 17, London telah memiliki penduduk dan Paris memiliki penduduk. London di masa itu telah berfungsi sebagai pusat politik atau kekuasaan dari kerajaan Inggris, dan sekaligus sebagai pusat perdagangan internasional. Sebelum tumbuhnya industri-industri besar, London bahkan telah memiliki penduduk dengan jumlah lebih dari satu juta jiwa dan telah berfungsi sebagai pusat keuangan penting di dunia yang dimulai dengan didirikannya Bursa London di tahun 1773 (George 1952). Sementara itu, pertumbuhan Paris lebih disebabkan oleh fungsinya sebagai ibu kota Perancis. Peran Paris sebagai pusat politik Perancis telah dimulai sejak abad 10, bahkan pemindahan Ibu kota Perancis ke Versailles di tahun 1681 hingga 1789, dan 1871 hingga 1879, tidak melemahkan daya tarik Paris sebagai pusat kekuasaan. Paris menjadi tempat berkumpulnya para bangsawan, pedagang, dan artis akibat sentralisasi monarki yang kemudian setelah masa revolusi dilanjutkan oleh sentralisasi kaum republikan (Guglielmo 1996). Akan tetapi, Paris bukanlah sebuah kota pelabuhan laut. Kekuatan perusahaan-perusahaan kolonial Perancis pun tingkatnya masih berada dibawah kekuatan perusahaan-perusahaan kolonial Inggris pada masa itu. Selain itu, Perancis terimbas revolusi industri setengah abad lebih lambat daripada Inggris. Oleh karena itu, penduduk Paris hingga awal abad 19 hanyalah sedikit lebih besar dari separuh penduduk London. Penduduk Paris baru mencapai satu juta jiwa pada tahun Adapun di Amerika Serikat, New York hanyalah sebuah tempat berpenduduk sekitar jiwa di awal abad 19 (Guglielmo 1996). Tahap pertumbuhan yang pesat dari New

23 22 Metropolitan di Indonesia York pertama dimulai terkait erat dengan pembukaan Kanal Erie. Namun penduduknya belumlah mencapai satu juta jiwa sampai dengan tahun 1860, ketika pembangunan industri mulai pesat. Hal yang sama juga terjadi dengan Chicago, yang pada tahun 1875 telah menjadi pusat penjualan produk-produk pertanian namun hingga tahun tersebut jumlah penduduknya belum mencapai setengah juta jiwa. Pola pertumbuhan yang sama, namun lebih lambat, juga terjadi pada kasus Moskow dan St. Petersburg di Rusia. Ketika St. Petersburg menjadi ibu kota Rusia selama abad 18 dan 19, Moskow tetaplah memiliki fungsi sebagai pusat perekonomian nasional. Namun jika jumlah penduduk St. Petersburg telah mencapai jiwa di tahun 1860, Moskow belum mencapai sejumlah itu di tahun yang sama. Pertumbuhan Moskow baru meningkat sejak ditetapkannya sebagai ibu kota Uni Soviet di tahun Selain itu, pertumbuhan industri di Soviet tidaklah pesat hingga tahun Baru di awal abad 20 lah jumlah penduduk Moskow dan St. Petersburg mencapai lebih dari 1 juta jiwa. Dari berbagai kota metropolitan di negara-negara maju, kasus yang agak berbeda adalah Tokyo. Sebagai ibu kota dari ke-shogunan Tokugawa sejak abad 16 hingga abad 18, Tokyo yang pada masa itu bernama Edo, tumbuh melampaui Kyoto, ibu kota resmi kekaisaran. Jumlah penduduk Tokyo telah melampaui satu juta jiwa di akhir abad 18. Namun seiring dengan berkurangnya pengaruh kekuasaan ke-shogunan Tokugawa, terjadi penurunan jumlah penduduk Tokyo di awal paruh abad 19 menjadi sekitar jiwa (Pons 1988). Sejak restorasi Meiji, ketika Jepang membuka diri terhadap negara-negara barat, dan Tokyo secara resmi menjadi ibu kota negara, pertumbuhan penduduk Tokyo kembali meningkat sehingga di tahun 1900 penduduknya telah mencapai 1,4 juta jiwa. Di Amerika Latin, kota-kota metropolitan modern umumnya tumbuh sebagai akibat kolonisasi Spanyol maupun Portugis, yakni akibat perdagangan kolonial, terutama pada bagian yang menghadap Samudera Atlantik tempat pendatang-pendatang awal dari Eropa, dan juga tanah yang subur bagi pertanian yang pada masa itu menarik para pendatang tersebut. Sebaliknya di bagian pegunungan serta bagian yang menghadap Pasifik, pertumbuhan kota-kotanya lebih lambat. Kasus yang agak berbeda dalam hal ini adalah Kota Meksiko, yang sejak 1325 telah menjadi ibu kota Kerajaan Aztek Meksiko- Tenochtitlan. Dalam perkembangannya sebagai ibu kota Meksiko, kekuatan politiklah yang menyebabkan kota tersebut tumbuh dengan pesat. Sementara itu, Sao Paulo di Brazil memiliki sejarah pertumbuhan yang berbeda dari Meksiko. Berawal dari lokasi sekolah sekte Jesuit yang berada di persimpangan jalur menuju kawasan pedalaman, Sao Paulo kemudian berkembang pesat akibat perdagangan kopi. Di Asia sendiri perkembangan kota-kota metropolitan awalnya tak lepas dari pengaruh perdagangan kolonial. Manila, misalnya, baru mulai berkembang sejak kolonisasi Spanyol tahun Demikian pula dengan Jakarta yang dahulu bernama Batavia, juga Mumbai dan Kalkuta. Aktivitas perdagangan di Mumbai berkembang pesat sehingga penduduk kota tersebut yang di tahun 1814 berjumlah jiwa menjadi di tahun 1845, dan jiwa di tahun Sejarah yang agak berbeda mungkin ditemukan di Bangkok, yang telah merupakan ibu kota kerajaan sebelum orang-orang Eropa datang. Demikian juga Seoul yang telah menjadi ibu kota kekaisaran Dinasti Li sejak abad 14, jauh sebelum pendudukan Jepang di tahun Salah satu fenomena pertumbuhan metropolitan yang menarik adalah pertumbuhan Shenzhen di Cina. Shenzen di awal tahun 1980 an hanyalah sebuah kota kecil nelayan

24 Konsep dan Struktur Metropolitan 23 dengan penduduk jiwa. Semuanya berubah ketika Shenzhen terpilih sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (Special Economic Zone) yang pertama di China. Lokasinya yang strategis, yakni berseberangan dengan Hongkong membuat kawasan tersebut banyak menarik investasi dari Hongkong. Hanya dalam kurun waktu seperempat abad, Shenzhen berubah menjadi metropolitan berpenduduk 7 juta jiwa dengan kekuatan ekonomi nomor empat di Cina. Fenomena unik ini mungkin hanya dapat didekati oleh Chicago yang membutuhkan waktu 50 tahun untuk menjadi kota berpenduduk jutaan. Kawasan metropolitan terdapat di hampir semua negara di dunia, khususnya pada kota yang terus tumbuh dan berkembang. Sebagai perbandingan di bawah ini dijelaskan beberapa karakter metropolitan di dunia dilihat dari struktur, jumlah penduduk, kelembagaan dan persoalan-persoalan yang dihadapi. Metropolitan yang dibahas adalah Greater Tokyo Area, New York Metropolitan Area, dan Metropolitan London untuk metropolitan di negara maju; Mumbai, Kairo, dan Bangkok untuk metropolitan di negara berkembang; serta Moskow dan Shanghai untuk metropolitan di bekas negara sosialis. Greater Tokyo Area 2 Metropolitan di Negara Maju GAMBAR 2-1 Foto Udara The Greater Tokyo Sumber: diambil dari 2 Tulisan ini mengambil dari banyak sumber di internet, antara lain dari:

25 24 Metropolitan di Indonesia Penduduk Kawasan metropolitan Tokyo merupakan kawasan metropolitan terbesar di dunia, dengan jumlah populasi sebesar jiwa pada tahun 2005 (hasil estimasi) dengan luas wilayah km persegi (lihat GAMBAR 2-1). Akan tetapi merupakan wilayah terbesar kedua dalam hal jumlah kawasan terbangun atau kawasan perkotaan yaitu seluas 7000 km persegi. Pada tahun 2000, populasi tertinggi terdapat di Tokyo, yaitu 12,06 juta penduduk (lihat GAMBAR 2-2). Per km persegi Kurang dari orang atau lebih GAMBAR 2-2 Kepadatan Penduduk Menurut Prefektur (2000) Sumber:

26 Konsep dan Struktur Metropolitan 25 TABEL 2-1 Jumlah Penduduk Prefektur Tahun 2000 Perfektur Jumlah Kepadatan Populasi (per km 2 ) (1000) Jepang Tokyo-to Osaka-fu Kanagawa-ken Aichi-ken Saitama-ken Chiba-ken Hokkaido Hyogo-ken Fukuoka-ken Shizuoka-ken Sumber: diambil dari TABEL 2-2 Jumlah Penduduk Kota Besar Tahun 1995 dan 2000 Kota Jumlah Populasi (1000) Tokyo Yokohama-shi Osaka-shi Nagoya-shi Sapporo-shi Kobe-shi Kyoto-shi Fukuoka-shi Kawasaki-shi Hiroshima-shi Kitakyushu-shi Sendai-shi Chiba-shi Sumber: diambil dari TABEL 2-3 Jumlah Penduduk Tiga Metropolitan Utama Tahun 1980, 1990, 1995, dan 2000 (Ribu Jiwa) Wilayah Jepang Kawasan Metropolitan Tokyo Kawasan Metropolitan Osaka Kawasan Metropolitan Nagoya Jumlah persen terhadap Total jumlah penduduk Sumber: diambil dari

27 26 Metropolitan di Indonesia Sejak tahun 1980, 42,4 persen penduduk Tokyo telah terkonsentrasi pada tiga kawasan metropolitan dengan radius 50 km. Pada tahun 2000 meningkat menjadi 44,2 persen dari seluruh populasi terkonsentrasi pada ketiga wilayah metropolitan ini, dan konsentrasi terbesar berada di Kawasan Metropolitan Tokyo (lihat TABEL 2-3). Struktur ruang Kawasan Metropolitan Tokyo terletak di barat daya Teluk Tokyo, mempunyai struktur yang terdiri dari pusat dan sub pusat yang mencakup Kota Metropolitan Tokyo, wilayah Chiba, Kanagawa, Ibaraki, dan Saitama. Kota Tokyo, yang merupakan gabungan dari The Eastern Portion, terdiri dari 23 distrik khusus dengan pemerintahan sendiri dan beberapa kota sub-urban (The Western Portion) yang berada di dalam wilayah metropolitan. Struktur dari Kawasan Metropolitan Tokyo sering digambarkan sebagai gambar berikut (lihat GAMBAR 2-3) yang menunjukkan adanya pusat dan sub-pusat. Kawasan Metropolitan Tokyo ini terdiri dari beberapa daerah administratif yang berdiri sendiri. Pusat Pusat Bisnis Sub Pusat GAMBAR 2-3 Kawasan Metropolitan Tokyo Sumber:

28 Konsep dan Struktur Metropolitan 27 GAMBAR 2-4 Foto Udara Kawasan Metropolitan Tokyo Sumber: Google Earth 2006 Struktur ruang Metropolitan Tokyo dibentuk oleh sistem jaringan transportasi yang mencakup jalan raya dan rel kereta; pelabuhan udara internasional, domestik, dan tujuan umum; bis; dan kapal komersial. Transportasi umum di Tokyo mencakup jaringan kereta yang bersih dan efisien, serta fasilitas bawah tanah berupa monorail, bis, taksi (seperti pada GAMBAR 2-5) GAMBAR 2-5 Rencana Jaringan Jalan di Kawasan Metropolitan Tokyo Sumber:

29 28 Metropolitan di Indonesia Pemerintahan Kawasan metropolitan Tokyo dikelola oleh The Tokyo Metropolitan Government (TMG) dengan kewajibannya tidak hanya melaksanakan pelayanan publik pada skala regional (prefektur), tetapi juga mengambil alih sebagian kewenangan yang pada daerah lain di Jepang dilaksanakan oleh pemerintah kota. Diantaranya pengelolaan sumber daya air dan pengelolaan pajak. Pengambilalihan kewenangan ini dilakukan untuk menjaga kohesivitas Tokyo sebagai sebuah kota metropolitan. TMG dipimpin oleh gubernur dan terdapat beberapa departemen dan biro. Persoalan Permasalahan yang dihadapi oleh Metropolitan Tokyo antara lain adalah polusi udara, seperti photochemical smog pada tahun 1960 an dan 1970 an. Walaupun persoalan tersebut telah dicoba diatasi dengan peraturan yang ketat dan proses desulfurasi di setiap pabrik, polusi udara masih ditimbulkan dari kendaraan bermotor. Sampah juga merupakan persoalan yang dihadapi oleh Metropolitan Tokyo, bukan karena teknologinya, tetapi lebih pada proses di setiap lokasi geografis. Produksi sampah dilaporkan mencapai 1,1-1,3 kg sampah per hari. Sampah yang dihasilkan oleh Kota Tokyo, dua pertiganya mengalami proses pembakaran, dan satu pertiganya di buang ke landfill pada teluk. Transportasi, terutama adalah kepadatan lalu lintas yang sangat tinggi disebabkan karena jumlah penglaju yang tinggi dan sempitnya jaringan jalan. Penglaju melakukan perjalanan setiap hari ke konsentrasi pusat aktivitas kerja yang lebih banyak berada di pusat-pusat kota, sedangkan permukimannya tersebar ke banyak wilayah. Persoalan lain yang cukup besar adalah perumahan, terutama karena mahalnya lahan di kota perumahan dengan rancangan yang sangat kecil dan mahal, serta lokasi yang terlalu jauh ( Tabel di bawah ini memberikan gambaran mengenai kepemilikan perumahan di Tokyo: TABEL 2-4 Rumah Milik dan Rumah Sewa di Tokyo 1990 Tokyo No. ('000) Persen Hak milik 1, Sewa 2, Perumahan oleh pemerintah (Publik) Perumahan oleh swasta 1, Perumahan perusahaan (Company housing) Total 4, Sumber: National Land Agency Jepang (persen)

30 Konsep dan Struktur Metropolitan 29 Greater London 3 Penduduk London mempunyai penduduk juta di area seluas 1580 km persegi dengan kepadatan jiwa/km persegi di tahun 2006 (lihat GAMBAR 2-6). Jumlah penduduk dari Greater London terus meningkat dari tahun 1801 sebesar 1,1 juta menjadi 8,6 juta pada tahun 1939, tetapi mengalami penurunan pada tahun 1980 menjadi 6,8 juta. GAMBAR 2-6 Peta Satelit Greater London Sumber: Google Earth 2006 Struktur Ruang Greater London dibagi menjadi dua wilayah yaitu Inner London dan Outer London. Akan tetapi untuk perencanaan strategis, London dibagi menjadi 5 sub-wilayah. Greater London dibagi menjadi 32 distrik yang dipimpin oleh pemerintah lokalnya masingmasing, seperti yang ada pada GAMBAR Tulisan ini mengambil dari banyak sumber di internet, antara lain dari: Wendell Cox Consultancy; ;

31 30 Metropolitan di Indonesia 1. City of London 2. City of Westminster 3. Kensington and Chelsea 4. Hammersmith and Fulham 5. Wandsworth 6. Lambeth 7. Southwark 8. Tower Hamlets 9. Hackney 10. Islington 11. Camden 12. Brent 13. Ealing 14. Hounslow 15. Richmond 16. Kingston 17. Merton 18. Sutton 19. Croydon 20. Bromley 21. Lewisham 22. Greenwich GAMBAR 2-7 Pembagian Distrik dalam Greater London Sumber: Bexley 24. Havering 25. Barking and Dagenham 26. Redbridge 27. Newham 28. Waltham Forest 29. Haringey 30. Enfield 31. Barnet 32. Harrow 33. Hillingdon Pemerintahan Greater London bukanlah suatu kota yang memiliki status administratif tersendiri. Greater London secara formal dibentuk melalui London Government Act pada tahun Pada dasarnya Greater London memiliki dua pemerintah lokal, yaitu Greater London Council yang bekerja sama dengan London City Council, serta 32 pemerintah di setiap distrik yang ada di dalamnya. Selain itu juga terdapat Greater London Authority yang mengkoordinasikan kota-kota di London dan memperhatikan pergerakan bisnis di dalam kota (lihat GAMBAR 2-8).

32 Konsep dan Struktur Metropolitan 31 GAMBAR 2-8 Gedung Kantor The Greater London Authority Persoalan Greater London menghadapi beberapa masalah yang besar dalam hal polusi udara dan persampahan. Tingkat polusi di London dapat tergambarkan pada tabel berikut: TABEL 2-5 Tingkat Polusi di Greater London Tahun Urban (jumlah hari) Rural (jumlah hari) Sumber: Defra News Release 14 Jan 2004 Kualitas udara yang paling buruk di Eropa adalah London, dan telah menyebabkan kematian bayi secara dini serta gangguan pernapasan. Untuk mengatasi persoalan polusi ini, pemerintah London menerapkan peraturan untuk zona rendah emisi, yang mencakup seluruh wilayah Greater London, untuk mengurangi emisi yang dihasilkan di wilayah tersebut (Edie News Summaries, 2004). Permasalahan lainnya adalah sampah; sampah rumah tangga yang dihasilkan di Metropolitan London dapat mencapai ton per tahunnya, sebagian sampah dibuang dengan sistem landfill yang saat ini dilaksanakan di Rainham. Pemerintah memperkirakan kapasitas pembuangan sampah untuk Greater

33 32 Metropolitan di Indonesia London saat ini (2006) hanya akan mencukupi untuk lima tahun kedepan. Oleh karena itu dilakukan kebijakan untuk mengurangi sampah pada tempat penghasil, dan saat ini pemerintah juga sedang mengadakan proyek dalam hal pengurangan sampah New York Metropolitan Area GAMBAR 2-9 Foto Udara New York Metropolitan Area Sumber: diambil dari Google Earth Penduduk Metropolitan New York terdiri dari New York, Newark Jersey City, Yonkers, Paterson dan Bridgeport berpenduduk 21,858,830 jiwa (2004) di atas kawasan seluas Km persegi, dan mempunyai kepadatan penduduk 715/km persegi. Dengan demikian, New York merupakan kota yang terpadat penduduknya di Amerika Serikat (lihat GAMBAR 2-10). Struktur Ruang Struktur kawasan metropolitan di Metropolitan New York tidak beraturan (sprawl). Kawasan ini terdiri dari tujuh counties di New York City and Long Island, tiga belas counties di utara New Jersey, enam counties sebelah utara dari Kota New York di New York State, tiga counties di sebelah barat daya Connecticut, dan satu county di sebelah timur laut Pennsylvania. Metropolitan New York mencakup kota terbesar di Amerika Serikat (New York), lima kota terbesar di New Jersey (Newark, Jersey City, Paterson, Elizabeth and Trenton) dan kota terbesar di Connecticut (Bridgeport). Luas keseluruhan dari kawasan metropolitan ini adalah 30,671 km persegi.

34 Konsep dan Struktur Metropolitan 33 Kota-kota utama. Lebih biru berarti lebih padat. Jumlah Penduduk (Juta) Daerah lainnya dalam Kawasan Metropolitan GAMBAR 2-10 Jumlah Penduduk Metropolitan di Amerika Serikat Sumber: diambil dari: New_York_metropolitan_area GAMBAR 2-11 Pembagian Wilayah New York Metropolitan Area

35 34 Metropolitan di Indonesia Persoalan Persoalan yang terjadi di kawasan Metropolitan New York adalah tingkat pemakaian energi yang sangat tinggi yang ditimbulkan oleh tingginya jumlah penglaju setiap hari. Penglaju yang besar tersebut selain menimbulkan polusi, juga menimbulkan kemacetan lalu lintas yang berat dan menyebabkan frustasi atau stress karena harus menempuh jarak yang cukup jauh. Besarnya penglaju ini adalah akibat tersebarnya daerah suburban yang merupakan kawasan perumahan, sementara tempat kerja berada di pusatpusat kota. Sebagai gambaran beratnya persoalan tersebut dapat dilihat dari besarnya biaya eksternalitas yang dihasilkan dalam satuan jutaan dollar di Kota New York berikut ini: TABEL 2-6 Biaya Eksternalitas Transportasi di Kota New York Tahun 2000 (Juta Dollar) Total Kota Biaya Eksternalitas Manhattan Brooklyn Queens The Bronx Richmond New York Pemakaian dan ,337 Kerusakan Jalan Biaya Pemakaian Kerusakan akibat Getaran Biaya Kecelakaan 1,506 2,578 3,843 1,342 1,040 10,309 Lalu Lintas Biaya Kemacetan 1,991 1,897 2, ,289 Biaya Polusi Udara 1,742 1,627 2, ,279 Biaya Polusi Suara ,939 Total Biaya Eksternalitas 6,118 6,986 10,701 3,766 2,331 29,901 Sumber: Community Consulting Services, Inc Metropolitan di Negara Berkembang Greater Mumbai 4 Mumbai di India termasuk salah satu kawasan metropolitan yang sangat besar, kawasan metropolitannya terdiri dari Greater Mumbai ditambah beberapa kawasan perkotaan di sekelilingnya hingga membentuk kawasan metropolitan yang sangat besar yang disebut sebagai Mumbai Metropolitan Region (MMR) (lihat GAMBAR 2-12). Penduduk MMR diperkirakan akan mencapai 22,4 juta pada tahun 2011, dengan hanya 12,9 juta yang diharapkan akan tinggal di Greater Mumbai. Tingkat pertumbuhan di MMR adalah 4,2 persen per tahun, sedangkan kepadatan penduduknya adalah jiwa per km persegi. Pekerjaan penduduknya tercatat beralih dari manufaktur ke sektor jasa dan keuangan, yang bekerja di bidang manufaktur berkurang jumlahnya dari 36 persen pada tahun 1980 menjadi 28,5 persen pada tahun Pada tahun yang sama, sektor perdagangan, keuangan, dan jasa telah meningkat dari 52,1 persen menjadi 64,3 persen (lihat GAMBAR 2-13). 4 Tulisan ini diambil dari banyak sumber di Internet, antara lain: index.htm.

36 Konsep dan Struktur Metropolitan 35 GAMBAR 2-12 Foto Udara Greater Mumbai Sumber : Google Earth 2006 Jasa Jasa Industri Manufaktur Lain Manufa ktur Lain GAMBAR 2-13 Struktur Ekonomi Greater Mumbai Struktur Ruang MMR atau yang juga dikenal dengan Greater Mumbai Urban Agglomeration terdiri dari Kota Metropolitan Mumbai dan beberapa kota satelit. Wilayah metropolitan ini terdiri dari 5 municipal corporations dan 15 municipal councils yang lebih kecil. Municipal Corporations yang terdapat di Mumbai adalah: 1. Brihan Mumbai (Mumbai), 2. Thane sebelah barat daya Mumbai

37 36 Metropolitan di Indonesia 3. Kalyan-Dombivali 4. Navi Mumbai sebelah timur Mumbai 5. Ulhasnagar Sementara itu, Municipal Council yang ada adalah sebagai berikut: - Alibag - Nala Sopara - Ambernath - Bhiwandi - Karjat - Khopoli - Kulgaon - Badlapur - Matheran - Mira - Bhayandar - Navghar-Manikpur - Panvel - Pen - Uran - Vasai - Virar Kawasan metropolitan ini ini juga mencakup empat distrik dari Maharashtra State: 1. Kota Mumbai (seluruhnya) 2. Mumbai sub-urban district (seluruhnya) 3. Thane district (sebagian) 4. Raigad (sebagian) GAMBAR 2-14 Peta Mumbai Metropolitan Region Sumber: index.htm

38 Konsep dan Struktur Metropolitan 37 Pemerintahan Keseluruhan wilayah MMR dikelola oleh Mumbai Metropolitan Development Authority (MMRDA), suatu organisasi pemerintahan Negara Bagian Maharashtra, yang tugasnya mencakup perencanaan kota, pembangunan, transportasi, dan perumahan. MMRDA juga bertanggungjawab dalam perencanaan dan pembangunan infrastruktur di MMR yang mempunyai total luas kawasan sebesar km persegi, 468 km persegi diantaranya merupakan bagian dari Greater Mumbai, dan sisanya merupakan 5 municipal corporations, 15 municipal council, dan beberapa desa. Sumber dana MMRDA berasal dari pemerintah pusat, melalui penjualan lahan dan pajak. Proyek utama yang dikerjakan oleh MMRDA adalah Mumbai Urban Transport Project (MUTP), The Mumbai Urban Development Project, pembangunan di Bandra-Kurla Complex, Wadala Truck Terminal, dan Mahim Nature Park. Persoalan Pada studi yang dilakukan pada tahun 1990, ditemukan bahwa terdapat tingkat polusi yang tinggi di India. Polusi ini juga memiliki korelasi pada penyakit flu dan sesak nafas. Studi yang dilakukan oleh World Bank menunjukkan bahwa kematian yang terjadi di Mumbai pada tahun disebabkan oleh gangguan pernapasan dan komplikasi pada dada yang disebabkan oleh polutan. Hal ini tentu saja akan berpengaruh untuk menyebabkan rendahnya produktivitas penduduk, kawasan yang kotor, dan lingkungan yang tidak sehat. Setiap harinya terdapat lebih dari sepuluh juta penumpang yang menggunakan sub-urban railway dan public transport, yaitu bis. Selain itu kelima jalur utama yang menghubungkan bagian utara dengan selatan tidak direncanakan dengan baik, karena memiliki banyak titik-titik bottleneck dan hambatan-hambatan pada persimpangan jalan utama dengan jalan lokal. Kemacetan dan besarnya penggunaan kendaraan bermotor ini adalah penyebab utama polusi. MMRDA merencanakan beberapa proyek untuk mengatasi masalah transportasi ini antara lain adalah Mumbai Urban Infrastructure Project yang tujuan utamanya adalah perbaikan jaringan jalan dan menciptakan sistem lalu lintas yang efisien. Master plan dari proyek ini adalah perbaikan DP Roads, Elevated Roads, Flyovers, ROBs, Vehicular Subways, Pedestrian Subways, Station Area Improvement Schemes (SATIS), High Capacity Bus Corridors, dan lainnya ( Cairo Metropolitan Area Kairo merupakan kota terpadat di benua Afrika dan di peringkat dunia merupakan kota terpadat ke-17 (ke-10 berdasarkan data statistik tahun 2004). Jumlah penduduk di wilayah metropolitan Kairo (seperti tertampil pada GAMBAR 2-15) berkisar 15,2 juta jiwa ( Jumlah penduduk Kota Kairo pada tahun 1965 sebesar 6 juta jiwa bertambah menjadi 10 juta jiwa pada tahun 1998 (United Nations Population Division, World Urbanization Prospects, the 1999 revision). Luas area metropolitan tumbuh menjadi dua kali lipat, sekitar 400 km persegi ( ) dan telah mencapai 1,492 km persegi di tahun GAMBAR 2-16 menunjukkan proporsi penduduk di tiga kawsan Greater Cairo Region (GCR): Kairo, Giza, dan Qalyubia. Jumlah penduduk Kairo dan daerah

39 38 Metropolitan di Indonesia sekitarnya mencapai 70 persen lebih dari total penduduk GCR hingga tahun Pada saat itu daerah terbangun memadai dengan tingkat kepadatan yang tinggi. Sejak tahun 1990 pertumbuhan kota diarahkan ke dua bagian kota lainnya yaitu Giza dan Qalyubia, sehingga proporsi penduduk yang tinggal di Kairo berkurang sedikit demi sedikit hingga diestimasikan mencapai 55 persen pada tahun GAMBAR 2-15 Foto Udara Kairo dsk Sumber: Google Earth 2006 Jumlah Penduduk (juta) Tahun GAMBAR 2-16 Jumlah Penduduk Greater Cairo Sumber: unupress/unupbooks/ uu26ue/uu26ue0d.htm

40 Konsep dan Struktur Metropolitan 39 Struktur Ruang Kairo terletak di tepi Sungai Nil, bagian utara Mesir. Bagian tertua Kota Kairo berada di bagian timur Sungai Nil. Bagian barat dibangun menyerupai model Paris pada pertengahan abad 19 yang ditandai dengan adanya boulevard, taman dan ruang terbuka yang luas. Bagian timur kota yang tertua sangat berbeda dengan bagian barat kota, bagian ini tumbuh dalam kondisi yang tidak pasti selama berabad-abad sehingga dapat dijumpai adanya jalan sempit dan permukiman yang padat. Bagian barat didominasi oleh bangunan pemerintahan dan arsitektur modern sedangkan di bagian timur terdapat ratusan masjid-masjid kuno sebagai landmark. Pertumbuhan kota Kairo dapat dilihat pada GAMBAR GAMBAR 2-17 Kepadatan penduduk di Greater Cairo Region 1986 dan 1994 Sumber: /unupress/unupbooks/ uu26ue/uu26ue0e.htm

41 40 Metropolitan di Indonesia GAMBAR 2-18 Pertumbuhan Kota Kairo dan Cairo Metropolitan Area ( ) Sumber: Persoalan Masalah yang dihadapi Kota Metropolitan Kairo adalah pencemaran udara, tanah dan air. Lebih dari dua juta kendaraan yang ada di Kairo, 60 persennya sudah berumur lebih dari 10 tahun yang tidak dilengkapi dengan sistem pengurangan emisi (catalytic converters). Polusi udara ini menjadi semakin buruk dengan tambahan polusi dari peleburan timah dan tembaga ilegal. Polusi udara di Kota Kairo mejadi permasalahan

42 Konsep dan Struktur Metropolitan 41 besar, konsentrasi particulate matter (PM) pencemar udara telah mencapai tiga kali lipat dari batas normal. Undang-undang lingkungan telah diterapkan pada tahun 1995 untuk mengatasi permasalahan ini. Persoalan lain adalah pencemaran tanah yang terjadi karena adanya produksi sampah yang mencapai ton sampah per hari, ton tidak dapat dikelola, sedangkan pencemaran air yang terjadi diakibatkan oleh kegagalan sistem saluran air kotor. Persoalan transportasi telah dicoba diatasi dengan sistem transportasi umum yang meliputi kereta api, kereta bawah tanah, jalan raya dan bis. Kairo mengalami pertumbuhan kendaraan pribadi yang cukup drastis. Kepemilikan kendaraan pribadi di Kairo diperkirakan sebesar 114 per penduduk. Pada tahun 1993, 73 jiwa per 1000 penduduk memiliki kendaraan pribadi. Pelayanan bus, tram, dan jaringan jalan sekunder sangat kurang. Kereta bawah tanah Kairo sepanjang 42,5 kilometer mengangkut penumpang per jam per arah. GAMBAR 2-19 Sistem Transportasi Kairo dsk Sumber: Bangkok Struktur Ruang Wilayah Metropolitan Bangkok telah berkembang secara menyebar (sprawl) hingga melebihi batas Propinsi Bangkok dan meluas ke propinsi sekitar (lihat GAMBAR 2-20). Berdasarkan sensus tahun 2000, penduduk Kota Bangkok tercatat jiwa. Jumlah ini belum termasuk penduduk yang tidak terdaftar dan penduduk siang hari yang melakukan aktivitas di Kota Bangkok dari wilayah sekitar. Metropolitan Bangkok dapat dibedakan menjadi Bangkok Metropolitan Administration (BMA) dengan penduduk 8 juta jiwa dan Bangkok Metropolitan Region (BMR) yang terdiri dari BMA dan 5 propinsi yang berbatasan dengan penduduk pada tahun 2000 sekitar 11,5 juta jiwa.

43 42 Metropolitan di Indonesia Selain itu dengan memasukkan kawasan industri di jantung wilayah Thailand, terbentuklah apa yang disebut sebagai Extended Metropolitan Region (EMR) dengan penduduk pada tahun 2000 sejumlah 17,5 juta jiwa atau 28 persen dari penduduk Thailand (Webster 2000). GAMBAR 2-20 Foto Udara Kota Bangkok dsk. Sumber: Google Earth 2006 Kawasan tersebut menjadi andalan bagi pembangunan ekonomi Thailand, terutama sejak perubahan arah orientasi kebijakan pembangunan di tahun 1980 an, dari ekonomi berbasis ekspor pertanian beras menjadi ekonomi berbasis manufaktur, terutama penanaman modal asing (PMA) dengan porsi terbesar investasi dari Jepang. Akibatnya terjadi pertumbuhan yang sangat pesat yang membuat Bangkok menjadi salah satu kawasan dengan pertumbuhan ekonomi yang tercepat di dunia, yakni sekitar 17,5 persen per tahun antara tahun 1990 hingga 1996, sebelum krisis ekonomi melanda. Pertumbuhan yang sangat cepat ini meningkatkan migrasi masuk ke kawasan tersebut yang membuat meledaknya pertumbuhan penduduk diikuti dengan urban sprawl. Hal ini menyebabkan Bangkok memiliki berbagai permasalahan yang umum terjadi di kota-kota besar dunia, yakni kemacetan lalu-lintas, polusi lingkungan, dan permasalahanpermasalahan penyediaan infrastruktur seperti kurangnya air bersih serta permasalahan perumahan yang tidak layak. Dengan munculnya permasalahan-permasalahan tersebut dibutuhkan sebuah sistem pemerintahan yang mampu mengelola kawasan metropolitan secara terpadu. Bangkok Metropolitan Area sendiri dipimpin oleh seorang gubernur dengan 60 wakil rakyat (councilors). Namun demikian tidak ada satu otorita tunggal yang memimpin Bangkok Metropolitan Region (BMR). Wewenang perencanaan umumnya berada di tangan propinsi-propinsi. Bahkan untuk EMR tidak ada satu rencana wilayah yang terpadu. Permasalahan lainnya adalah bahwa BMA tidak memiliki wewenang terhadap penyediaan beberapa jenis pelayanan perkotaan seperti listrik dan air yang menjadi tanggungjawab institusi nasional.

44 Konsep dan Struktur Metropolitan 43 Persoalan Bangkok menghadapi persoalan kemacetan lalu lintas yang sangat berat. Meskipun saat ini telah dibangun jalan tol dan Bangkok Mass Transit System (Sky Trains), namun hanya mampu mengurangi sedikit masalah kemacetan dan masih diperlukan infrastruktur transportasi yang lebih baik untuk mengatasinya. Permasalahan lingkungan yang dihadapi berupa pencemaran udara yang sebagian besar disebabkan oleh kendaraan bermotor dan debu-debu yang bersumber dari proyek konstruksi. Pembuangan limbah industri juga mencemari udara dan mengurangi kualitas air. Pencemaran di sungaisungai ditangani secara biologis (water hyacinths) untuk mengurangi pencemaran air tetapi jumlah sampah yang begitu banyak harus diselesaikan dengan cara lain. Meskipun pembangunan jalan tol, perbaikan persimpangan dan pembangunan jalan dan kereta api telah dilakukan di Kota Bangkok, permasalahan kemacetan belum teratasi dengan baik karena tingkat penggunaan kendaraan pribadi yang terus meningkat melebihi tingkat pembangunan jalan. Moscow Metropolitan Area Metropolitan di Negara Sosialis 5 Struktur Ruang Struktur Moskow secara makro adalah radial konsentrik seperti yang terlihat pada foto di atas. Struktur ini telah lama terbentuk sesuai dengan pertumbuhan kota di Moskow. Perluasan daerah permukiman secara sentrifugal telah terlihat sejak tahun 1930 an, mencirikan pola radial konsentrik. Populasi penduduk Moskow sampai sekarang terus meningkat. Hal ini disebabkan adanya migran baik yang legal maupun yang ilegal, yang permanen dan tidak permanen, serta gabungan dari penduduk sub-urban. Bila digabung jumlahnya penduduk moskow kini mencapai 13,5 juta jiwa. Berdasarkan GAMBAR 2-23, struktur Metropolitan Moskow antara lain: 1. Pusat Kota: merupakan elemen struktural yang paling penting dari Kota Moskow yang adalah inner ring road, dan dikenal dengan sebutan garden ring. 2. The compact city: merupakan daerah yang dibatasi oleh suatu orbit atau lingkaran berupa jalur transportasi atau yang dikenal dengan the 3rd ring. 3. The inner periphery: merupakan daerah dengan fungsi-fungsi antara lain: untuk kegiatan industri, infrastruktur transportasi, mixed use, ruang terbuka hijau yang luas, dan bangunan-bangunan tinggi sebagai tempat tinggal penduduk Moskow. Daerah ini terbentang dari luar compact city sampai dengan Moscow Motorway Orbital. 5 Metropolitan Moskow dan Shanghai berkembang ketika Rusia (waktu itu Uni Soviet) dan RRC menganut paham sosialis. Walaupun sistem negara saat ini sudah berubah, tetapi di beberapa bagian kota peninggalan sistem tersebut masih terlihat.

45 44 Metropolitan di Indonesia GAMBAR 2-21 Foto Udara Kota Moskow Sumber: Google Earth 2006 Jumlah Penduduk Tahun GAMBAR 2-22 Grafik Pertumbuhan Penduduk Kota Moskow Tahun Sumber:

46 Konsep dan Struktur Metropolitan 45 GAMBAR 2-23 Moskow dan Daerah Urbannya Sumber: Rudolf The outer periphery: batas administrasi antara Moskow dengan Moscow oblast adalah Moscow Orbital. The outer periphery merupakan komposisi dari kota-kota dan distrik di Moscow oblast, yang berada di luar Moscow Motorway orbital. Zona ini merupakan kawasan penyangga atau forest protection zone. 5. The Moscow urban region: adalah Kota Moskow ditambah dengan zona yang dekat daerah pinggirannya (the outer periphery). Jumlah penduduk dari kawasan perkotaan ini kurang lebih mencapai 11,9 juta jiwa. Perluasan daerah teritorial dan urbanisasi yang terjadi selama periode Soviet, menambah jumlah permukiman dan meningkatkan aglomerasi industri di luar compact city. Pembangunan scientific towns setelah perang dunia kedua, di sekitar Moskow, berupa industri manufaktur, penelitian, dan lainnya, menunjukkan suatu fungsi khusus dari daerah tersebut. Akan tetapi, pada kota lain terdapat suatu daerah yang hanya memiliki fungsi sebagai permukiman, yang penduduknya memiliki pekerjaan di Moskow. Para pekerja di Moskow yang tidak memiliki hak untuk tinggal di sana, bermukim di pinggiran Kota Moskow. Secara makro dapat dilihat bahwa zona kota merupakan kombinasi dari adanya fungsi permukiman dan akses transportasi, serta adanya fungsi rekreasi, perumahan musim panas, zona militer, dan daerah hijau serta permukiman tradisional (lihat GAMBAR 2-24, GAMBAR 2-25, dan GAMBAR 2-26).

47 46 Metropolitan di Indonesia GAMBAR 2-24 Rencana Restrukturisasi Lokasi Industri di Moskow menurut Rencana Umum Sumber: Rudolf 2005 GAMBAR 2-25 Konsentrasi Perdagangan disekitar Moscow Motorway Orbital Tahun 2000 Sumber: Rudolf 2005

48 Konsep dan Struktur Metropolitan 47 GAMBAR 2-26 Pusat Baru dan Zona Pertumbuhan di Daerah Pinggiran Moskow Sumber: Rudolf 2005 Pemerintahan Pemerintahan dari kawasan metropolitan di Moskow dipegang oleh pemerintah lokal. Akan tetapi, walaupun pemerintah distrik masing-masing memiliki peranan dalam mengatur kota/distriknya masing-masing, atau memiliki town council (gorsovet), mereka tidak memiliki anggaran sendiri dan tidak memiliki hak untuk memiliki aset mereka. Hal ini dikarenakan pemegang dan pengoperasian ekonomi utama berada pada tingkat gubernur. Persoalan Persoalan yang terjadi pada kota ini tidak jauh berbeda dengan kota lainnya, yaitu polusi air dan udara. Pemilik kendaraan bermotor di Moskow hanya sedikit, akan tetapi tetap berhubungan kuat dengan metropolitan subway, bus, streetcar, dan trolleybus. Hal ini menyebabkan adanya lalu lintas yang padat dan ditambah dengan tidak adanya kontrol uji emisi kendaraan. Polusi terjadi pada bagian selatan, tenggara, timur, dan pusat kota. Hal ini sesuai dengan pola dari lokasi perusahaan dan arah angin. Saat ini juga terdapat informasi mengenai polusi dari bahan radioaktif beserta lokasi secara spesifik. Permasalahan lain adalah kriminalitas atau aksi teroris.

49 48 Metropolitan di Indonesia TABEL 2-7 Tingkat kriminalitas di Kota Moskow Tahun 2005 (per penduduk termasuk di dalamnya 3 juta jiwa penduduk illegal) Jenis Kriminalitas Tingkat Pembunuhan dan Usaha Pembunuhan 9.8 Kriminalitas Kuburan Perampokan Perampokan Bersenjata 42.3 Pencurian Perncurian Kendaraan Bermotor Sumber: Kota Moskow juga mengalami permasalahan parkir karena terdapat 2,5 juta mobil yang setiap hari beroperasi serta meningkatnya jumlah pemilik kendaraan pada beberapa tahun belakangan. Transportasi lokal di kota ini mencakup Moscow Metro yaitu merupakan jalur subway (metro) yang terkenal dengan seninya, grafiti, mosaik, dan reliefnya. Oleh karena stasiunnya terletak jauh dari luar pusat kota, kurang lebih sejauh 4 km, maka terdapat jaringan bus yang menghubungkan setiap stasiun. Selain itu untuk menghubungkan daerah pinggiran dan beberapa kota lain, juga terdapat jaringan kereta listrik. Setiap jalan besar pasti dilayani paling tidak dengan bus. Selain itu juga terdapat tram dan trolleybus. Sistem jaringan jalan di Moskow memiliki pola radial dan berbentuk cincin/ring. Yang pertama dikenal dengan Boulevard Ring yang dibangun pada abad ke-16 tetapi ring yang pertama ini tidak sepenuhnya bulat, tetapi memiliki bentuk tapal kuda. Yang kedua adalah Garden Ring, setelah perang tahun 1812 dinding Earth yang membatasi Kota Earth dirubuhkan dan diganti dengan jalan dan taman, akan tetapi pada tahun 1930 taman menjadi hilang karena terdapat pelebaran jalan. Ring yang ketiga selesai dibangun pada tahun 2003, dan ring yang keempat, yang dibangun untuk mengurangi kemacetan, masih dalam tahap konstruksi. Ring yang paling luar dikenal dengan MKAD yang berada di pinggiran dan membentuk Kota Moskow. Shanghai 6 Struktur Ruang dan Kependudukan Kota Shanghai terletak di delta Sungai Yangtze di bagian timur Cina yang merupakan kota terbesar di Republik Rakyat Cina. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, jumlah penduduk Kota Shanghai mencapai juta jiwa termasuk jumlah penduduk tidak tetap yang mencapai juta jiwa. Peningkatan penduduk terjadi sekitar juta jiwa (25,5 persen) dari tahun Penduduk pria sebesar 51,4 persen dan wanita sekitar 48,6 persen dari total jumlah penduduk. Penduduk usia 0-14 tahun 12,2 persen, usia tahun 11,5 persen dan usia lebih dari 65 tahun sekitar 5,4 persen. Pada tahun 2003 tercatat jumlah penduduk Kota Shanghai 13,42 juta jiwa. Terdapat lebih dari 5 juta 6 Tulisan ini diambil dari banyak sumber di internet, antara lain adalah:

50 Konsep dan Struktur Metropolitan 49 jiwa penduduk yang bekerja dan tinggal di Kota Shanghai tidak terdaftar yang 4 juta jiwanya merupakan penduduk musiman yang merupakan pekerja migran yang tidak tetap. GAMBAR 2-27 Struktur Kota Shanghai Sumber: GAMBAR 2-28 Foto Udara Kota Shanghai Sumber: Google Earth 2006

51 50 Metropolitan di Indonesia Kepadatan penduduk di pusat kota sangat tinggi mencapai jiwa per km persegi. Penyebab utama tingginya tingkat pertumbuhan penduduk pada tahun 1950 an adalah karena pertumbuhan alami dan tidak adanya aturan in-migrasi dari wilayah sekitar. Faktor penyebab stabilnya jumlah penduduk setelah periode tersebut (tahun 1950 an) adalah karena suksesnya program keluarga berencana dan suksesnya program desentralisasi dengan mengembangkan kota-kota satelit sehingga mampu menyerap pertumbuhan jumlah penduduk yang terjadi. Pemerintahan Secara administratif, Kota Shanghai merupakan kota yang memiliki status setingkat propinsi yang langsung berada dibawah pemerintah pusat Republik Rakyat Cina. Shanghai terdiri dari 19 county-level division, 18 district dan 1 county. Tidak terdapat satu pun distrik yang membawahi pusat kota, dan pusat kota terbagi ke dalam beberapa distrik secara administratif. GAMBAR 2-29 Shanghai District dan County Persoalan Permasalahan infrastruktur dan lingkungan yang dihadapi Kota Shanghai adalah kurangnya penyediaan rumah dan air bersih serta terjadinya pencemaran air. Ketergantungan yang besar pada batubara sebagai sumber bahan bakar bagi industri dan permukiman di Shanghai mengakibatkan pencemaran udara yang cukup tinggi. Shanghai memiliki tingkat kematian tertinggi akibat kanker di Cina. Masalah lain yang dihadapi adalah pencemaran air yang disebabkan oleh untreated human waste yang mengalir ke Sungai Huangpu sebesar 4 juta m kubik per hari. Shanghai memiliki sistem transportasi publik yang terdiri dari moda bus dan kereta bawah tanah yang berkembang pesat. Kondisi jalan di Kota Shanghai cukup baik dan memiliki sistem jaringan bis yang terbesar di dunia hingga mencapai hampir satu juta jurusan. Shanghai Metro (kereta bawah tanah dan lightrail) memiliki 5 jalur saat ini.

52 Konsep dan Struktur Metropolitan 51 Berdasarkan rencana pengembangan pemerintah kota, akan dibangun 8 jalur baru hingga akhir tahun Jumlah taksi yang sangat banyak di Kota Shanghai membuat harga taksi sangat kompetitif hingga cukup terjangkau bagi konsumen. Sebelum tahun 1990, sepeda merupakan moda transportasi yang banyak digunakan tetapi kemudian pemerintah melarang penggunaan sepeda untuk mengurangi kemacetan di ruas-ruas utama jalan kota dan dengan meningkatnya pendapatan, kepemilikan kendaraan pribadi meningkat secara tajam. Shanghai memiliki 2 bandar udara: Hongjao dan Pudong International. Kota Shanghai membangun kereta magnet levitation untuk kepentingan komersial pada tahun 2002 yang menghubungkan stasiun Shanghai`s Longyang Road dengan Bandara Pudong International. Kereta ini beroperasi sejak 2003 dengan kecepatan maksimum 431 km/jam (267,8 mil per jam) menempuh 30 km dalam waktu 7 menit 21 detik. Shanghai memiliki pelabuhan terbesar di dunia, Pelabuhan Shanghai termasuk Pelabuhan Yangshan yang baru beroperasi.

53 52 Metropolitan di Indonesia

54 Konsep dan Struktur Metropolitan 53 Catatan Editor Bagian pertama ini (Bab 1 dan Bab 2) mengulas konsep dan definisi metropolitan dengan pertama-tama menjelaskan persoalan kota-kota besar termasuk metropolitan secara umum. Dijelaskan perkembangan penduduk yang besar menyebabkan perubahan keadaan, baik fisik maupun sosial ekonomi kawasan perkotaan yang kemudian membentuk kawasan metropolitan; Dijelaskan, secara garis besar, persoalan kawasan metropolitan di Indonesia; kemudian disampaikan definisi metropolitan, struktur ruang yang terbentuk dan ciri-ciri suatu kawasan metropolitan. Penjelasan mengenai definisi ini dimaksudkan agar pembaca mempunyai gambaran yang sama mengenai kawasan metropolitan yang akan dibicarakan pada bagian selanjutnya. Di bagian akhir Bab 2 digambarkan kawasankawasan metropolitan di negara maju, negara berkembang, dan di bekas negara-negara sosialis. Bagian pertama ini dimaksudkan untuk memberikan pengertian yang sama dan sebagai pembanding bagi pembaca yang ingin melihat lebih jauh pembahasan mengenai metropolitan di Indonesia yang disampaikan di bagian kedua dan bagian ketiga buku ini. Di Bagian kedua akan dibahas kawasan metropolitan di Indonesia; dimulai dengan memberikan gambaran keadaan beberapa kawasan metropolitan di Indonesia, dilanjutkan dengan uraian mengenai persoalan dan tantangan yang dihadapi metropolitan di Indonesia. Pada Bab 5, 6 dan 7 akan diulas secara lebih mendalam persoalan-persoalan kependudukan, ekonomi dan sosial, serta persoalan infrastruktur, perumahan dan lingkungan.

55

56 Konsep dan Struktur Metropolitan 1

57 BAGIAN II KAWASAN METROPOLITAN DI INDONESIA

58 56 Metropolitan di Indonesia

59 3 Perkembangan Kawasan Metropolitan MEDAN Sejarah Kota Medan berkembang seiring dengan pesatnya pertumbuhan aktivitas perkotaan yang menjalar ke wilayah sekitarnya. Perkembangan aktivitas ini telah membentuk suatu kawasan metropolitan yang dikenal dengan Mebidang (Kota Medan, Kota Binjai, dan Kabupaten Deli Serdang). Istilah Mebidang lahir sejak tahun 1980-an. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa studi perkotaan Kota Medan yang telah melibatkan wilayah sekitarnya dalam studi tersebut. Beberapa studi yang memperkenalkan konsep Mebidang adalah MUDS (Medan Urban Development Study 1980), MULMS (Medan Urban Land Management Study 1986) dan penilaian ADB (Asian Development Bank) atas proyek MUDP II tahun Secara resmi kawasan Mebidang telah ditetapkan oleh Gubernur Propinsi Sumatera Utara sebagai Mebidang Metropolitan Area (MMA) pada tahun Pada tahun yang sama, Ditjen Cipta Karya Departemen PU mempersiapkan Rencana Umum Kota Kawasan Medan Raya yang merupakan rencana pengembangan kawasan yang meliputi beberapa daerah regional. Pada saat itu pengembangan kawasan metropolitan Mebidang diarahkan untuk menjadi salah satu titik pertumbuhan segitiga pertumbuhan utara IMT-GT (Indonesia Malaysia Thailand Growth Triangle) dalam rangka menyongsong AFTA Kawasan Mebidang saat ini menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di wilayah Propinsi Sumatera Utara dan juga sebagai pintu gerbang keluar masuknya barang. Metropolitan Mebidang merupakan salah satu dari 6 kawasan tertentu di Indonesia sebagai Pusat Kegiatan Nasional dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Perkembangan yang terus terjadi di Kawasan Metropolitan Mebidang dirasakan perlu adanya suatu perencanaan yang mencakup seluruh wilayah Mebidang, sehingga lahirlah Rencana Umum Tata Ruang Perkotaan (RUTRP) Kawasan Mebidang Metropolitan tahun 1996 yang dikeluarkan oleh Pemerintah Propinsi Sumatera Utara. Penyusunan RUTRP Mebidang merupakan pemaduan dan tindak lanjut dari studi-studi yang telah dilakukan di wilayah Mebidang dan juga memadukan ketiga RTRW DT II

60 58 Metropolitan di Indonesia yang termasuk di Kawasan Perkotaan Mebidang. Dokumen ini menjadi acuan dalam penyusunan program pembangunan di Kawasan Metropolitan Mebidang (RUTRK Kawasan Metropolitan Mebidang, 1996). Wilayah Mebidang itu sendiri terdiri dari 40 kecamatan yang meliputi 21 kecamatan di Kota Medan, 5 kecamatan di Kota Binjai dan 14 kecamatan (dari 33 kecamatan) di Kabupaten Deli Serdang. Kecamatan-kecamatan yang membentuk wilayah Mebidang adalah sebagai berikut: TABEL 3-1 Wilayah Administrasi Mebidang Kabupaten/Kota Kecamatan Medan Medan Tuntungan, Medan Selayang, Medan Johor, Medan Amplas, Medan Denai, Medan Tembung, Medan Kota, Medan Area, Medan Baru, Medan Polonia, Medan Maimun, Medan Sunggal, Medan Helvetia, Medan Petisah, Medan Barat, Medan Timur, Medan Perjuangan, Medan Deli, Medan Labuhan, Medan Marelan, dan Medan Belawan Binjai Binjai Selatan, Binjai Kota, Binjai Timur, Binjai Utara, dan Binjai Barat Deli Serdang Hamparan Perak, Labuhan Deli, Sunggal, Percut Sei Tuan, Batang Kuis, Tanjung Morawa, Lubuk Pakam, Pagar Merbau, Beringin, Pantai Labu, Patumbak, Deli Tua, Namo Rambe, dan Pancur Batu Batas wilayah Kawasan Metropolitan Mebidang ini diperkirakan akan terus berubah seiring dengan perkembangan aktivitas perkotaan yang sangat dinamis. Perkembangan ini dapat terus meluas ke luar wilayah yang telah ada saat ini. Kemungkinan ini dapat dipertegas dengan adanya proses perancangan pengembangan kawasan perkotaan metropolitan Medan Binjai Deli Serdang dan Kabupaten Karo (Mebidangro) yang saat ini tengah dilakukan Pemerintah Pusat bersama Pemerintah Propinsi Sumatera Utara. Struktur Ruang Kawasan Mebidang ditetapkan sebagai pusat pelayanan primer A di wilayah Propinsi Sumatera Utara (Perda No. 7 Tahun 2003) dengan Kota Medan menjadi kota inti kawasan Mebidang dan didukung oleh kabupaten/kota di sekitarnya. Perkembangan aktivitas perkotaan di wilayah Mebidang Metropolitan Area mengarah ke bagian barat secara dominan dan kearah timur serta utara. Perkembangan aktivitas perkotaan kawasan Mebidang tidak terlepas dari perkembangan fisik berupa jaringan tranportasi yang ada. Struktur jaringan jalan dan kereta api yang berpola menjari menghubungkan wilayah inti dengan pusat-pusat kegiatan perkotaan di wilayah tepi. Hal ini membentuk struktur perkotaan di kawasan Mebidang seperti terlihat pada gambar berikut:

61 Perkembangan Kawasan Metropolitan 59 GAMBAR 3-1 Struktur Mebidang Metropolitan Sumber: Google Earth 2006 Pada GAMBAR 3-1 terlihat bahwa kawasan terbangun dan aktivitas perkotaan terpusat di Kota Medan sebagai wilayah inti dan juga tersebar sepanjang jaringan jalan yang menghubungkan wilayah inti dengan sub pusat di wilayah tepi. Hal ini menunjukkan adanya pola linear yang menjari dari wilayah inti ke wilayah tepi. Dalam RUTRP Kawasan Mebidang Metropolitan, pusat-pusat kegiatan di kawasan Mebidang yang diarahkan adalah Medan, Binjai, Lubuk Pakam, Belawan dan Kuala Namu. Arahan tersebut mengikuti kecenderungan yang ada serta asumsi akan terealisasinya pemindahan bandara dari lokasi lama di Polonia ke lokasi baru di Kuala Namu. Dua skenario yang ditetapkan dalam RUTRP Kawasan Mebidang Metropolitan adalah: Perkembangan Ekstensif Pada tahap awal, kegiatan perkotaan dipusatkan di bekas lokasi bandara lama Polonia, maka Kota Medan dan sekitarnya akan membentuk suatu pusat pertumbuhan dengan fungsi sebagai Financial and Business Center sekaligus sebagai pusat pengembangan kawasan perkotaan Mebidang. Sedangkan di sebelah barat, Kota Binjai dengan daya tariknya akan menarik kota satelit di Sunggal Barat hingga akhirnya akan membentuk suatu lingkup kota baru dengan Kota Binjai yang berpusat di Binjai Kota. Di sebelah utara diharapkan Belawan dan kota-kota kecil di sekitarnya akan membentuk kota tersendiri dan akan terdapat juga kota-kota di sebelah timur yang relatif berjauhan (Lubuk Pakam, Tanjung Morawa, Serdang). Lalu sedikit demi sedikit akan berkembang koridor yang menghubungkan kota-kota tersebut yang pada tahap selanjutnya ekstensifikasi kota akan terus meluas sejalan dengan meningkatnya intensitas kegiatan perkotaan (lihat GAMBAR 3-2).

62 60 Metropolitan di Indonesia Perkembangan Terbatas Skenario ini dibentuk dengan pendekatan pemanfaatan ruang yang lebih bijaksana serta memperhatikan kaidah-kaidah lingkungan kawasan perkotaan yang dianggap ideal. Perkembangan yang terjadi pada tahap awal skenario ini tidak jauh berbeda dengan skenario perkembangan ekstensif. Struktur ruang terbentuk oleh adanya fungsi pusat-pusat pelayanan dan area prospektif dengan pusat perkembangan di Medan Kota Inti. Untuk menghindari perkembangan perkotaan yang terus meluas, maka perkembangan kawasan perkotaan Mebidang diarahkan membentuk pola ribbon (pita) seperti terlihat pada GAMBAR 3-3. Dari kedua skenario rencana pengembangan kawasan Mebidang di atas, terlihat memang pada dasarnya Kota Medan diarahkan sebagai kota inti kawasan Mebidang dan didukung dengan sub pusat-sub pusatnya yaitu Kota Binjai, Belawan, dan Lubuk Pakam. Penduduk Pertumbuhan penduduk di kawasan metropolitan Mebidang terus mengalami peningkatan. Jumlah dan distribusi penduduk di wilayah Mebidang dapat dilihat pada tabel berikut: TABEL 3-2 Jumlah dan Distribusi Penduduk Mebidang Tahun 1988, 1998 dan 2003 Jumlah (Jiwa) Distribusi (%) Kabupaten/Kota Medan Binjai Deli Serdang* *) Data hanya mencakup sebagian daerah yang termasuk ke dalam kawasan Mebidang (14 kecamatan) Sumber: Kotamadya Medan Dalam Angka, Tahun 1988 dan 1998 (dalam Tobing, 2001), Kotamadya Binjai Dalam Angka, Tahun 1988 dan 1998 (dalam Tobing, 2001), Kabupaten Deli Serdang Dalam Angka, Tahun 1988 dan 1998 (dalam Tobing, 2001), Data Potensi Desa Tahun Penduduk Kota Medan yang begitu besar sehingga menjadikan Kota Medan sebagai kota yang memiliki distribusi penduduk terbesar di wilayah Mebidang (±60 persen), kemudian diikuti oleh Kabupaten Deli Serdang (±30 persen) dan Kota Binjai (±6 persen). Dilihat dari kecenderungan distribusi penduduk dari tahun ke tahun, proporsi penduduk di Kota Medan terus berkurang dibandingkan dengan Kota Binjai dan Kabupaten Deli Serdang. Sedangkan Kabupaten Deli Serdang dan Kota Binjai terus mengalami peningkatan proporsi distribusi penduduk jika dilihat dalam konteks kawasan Mebidang.

63 Perkembangan Kawasan Metropolitan 61 GAMBAR 3-2 Rencana Struktur Skenario Perkembangan Ekstensif Sumber: RUTRP Kawasan Mebidang Metropolitan, 1996 GAMBAR 3-3 Rencana Struktur Skenario Perkembangan Terbatas Sumber: RUTRP Kawasan Mebidang Metropolitan, 1996

64 62 Metropolitan di Indonesia Hal tersebut menunjukkan bahwa perkembangan di wilayah tepi kawasan Mebidang cukup pesat. Laju pertumbuhan Kota Medan yang hanya sebesar 0,92 persen jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan wilayah tepinya yang berkisar 3,08 persen. Beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan hal di atas adalah bahwa wilayah tepi dicirikan oleh perkembangan industri yang pesat sehingga pertumbuhan penduduk diduga berkaitan erat dengan pertumbuhan tenaga kerja sektor industri dan dapat diduga perkembangan ini terjadi bukan hanya karena migrasi desa-kota tetapi juga karena mobilitas tempat tinggal dari kota inti (Tobing 2001). Hal ini dapat juga menunjukkan adanya gejala dekonsentrasi penduduk dari kota inti ke wilayah tepi di kawasan Mebidang. Jika dilihat arah perkembangan jumlah penduduk di kawasan Mebidang, penduduk di kawasan ini berkembang ke arah utara, timur dan barat dari wilayah inti Mebidang yaitu Kota Medan (GAMBAR 3-1). Sebelah timur Kota Medan adalah Kota Binjai, sebelah utara adalah Belawan dan Timur adalah Lubuk Pakam (Kabupaten Deli Serdang). Perkembangan ini dapat terlihat jelas dari tahun ke tahun seperti ditunjukkan pada GAMBAR 3-4. GAMBAR 3-4 Jumlah Penduduk Mebidang Tahun 1998, 1998 dan 2003

65 Perkembangan Kawasan Metropolitan 63 Pada Tahun 1988, jumlah penduduk mulai menyebar ke utara, kemudian menjalar ke arah timur dan barat. Data tahun 2003 menunjukkan bahwa penduduk mulai berkembang ke wilayah selatan. Sebelah selatan Kota Medan adalah Pancur Batu (Kabupaten Deli Serdang). Kepadatan penduduk kawasan Mebidang menunjukkan masih terpusatnya penduduk di Kota Medan. Kota Binjai juga telah menunjukkan adanya pemusatan penduduk di wilayahnya. Jika dilihat dari tahun ke tahun, kepadatan penduduk di wilayah inti memiliki kecenderungan penurunan meskipun hanya sedikit. Distribusi kepadatan penduduk kawasan Mebidang dapat dilihat pada GAMBAR 3-5. GAMBAR 3-5 Kepadatan Penduduk Mebidang Tahun 1998, 1998 dan 2003 Kelembagaan Secara administratif kawasan Mebidang terdiri dari tiga daerah administrasi yang memiliki pemerintahan sendiri, yaitu Pemerintah Kota Medan, Pemerintah Kota Binjai dan Pemerintah Kabupaten Deli Serdang. Pelaksanaan penataan ruang kawasan Mebidang tentunya harus dilakukan melalui koordinasi antara tiga pemerintahan kabupaten/ kota tersebut dan di bawah koordinasi Pemerintah Propinsi Sumatera Utara.

66 64 Metropolitan di Indonesia Bentuk struktur pemerintahan yang yang diarahkan dalam RUTRP Kawasan Mebidang Metropolitan ditunjukkan oleh GAMBAR 3-6. Pemerintah DT I Prop. Sumatera Utara Badan Koordinasi Pemerintah DT II Kotamadya Binjai Pemerintah DT II Kotamadya Medan Pemerintah DT I Kab. Deli Serdang Garis Komando Garis Koordinasi GAMBAR 3-6 Struktur Pemerintahan di Kawasan Perkotaan Mebidang Sumber: RUTRP Kawasan Mebidang Metropolitan, 1996 Perkembangan sistem kelembagaan dalam melakukan pembangunan kawasan Mebidang terus berlanjut. Pada tahun 2001 telah dilakukan upaya inisiasi pembentukan forum pembangunan Mebidang. Saat ini Badan Kerjasama Pembangunan telah dibentuk oleh Pemerintah Propinsi Sumatera Utara melalui Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 050/699 tanggal 31 Mei 2006 tentang Pembentukan Badan Kerjasama Pembangunan (BKSP) Metropolitan Mebidang. Lembaga ini memiliki peran utama untuk melakukan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi pembangunan lintas daerah serta pengendalian dan pengawasan pemanfaatan ruang di Kawasan Metropolitan Mebidang dan Kabupaten Karo. Isu-isu Dalam perkembangannya, kawasan metropolitan menghadapi banyak permasalahan mulai dari permasalahan fisik, kelembagaan, pendanaan hingga sosial. Perkembangan metropolitan Mebidang juga tentu tidak terlepas dari isu-isu dan permasalahanpermasalahan yang menjadi perhatian pemerintah maupun masyarakat. Isu utama yang dihadapi Kawasan Metropolitan Mebidang adalah masalah transportasi. Permasalahannya terletak pada penyediaan prasarana transportasi seperti jaringan jalan. Tingkat aksesibilitas antar pusat pertumbuhan di Mebidang belum terintegrasi dengan baik. Pembangunan jalan tol terus dilakukan untuk menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan di Kawasan Mebidang, antara lain pengembangan jalan tol Medan Binjai dan pengembangan jalan tol Medan Tebing Tinggi sebagai terusan jalan tol Belmera. Kemacetan juga menjadi permasalahan serius terutama di Kota Medan. Pada jam-jam sibuk kemacetan seringkali terjadi. Angkutan kota yang sering

67 Perkembangan Kawasan Metropolitan 65 menaikkan dan menurunkan penumpang dimana saja semakin memperparah kemacetan yang terjadi. Saat ini pusat perbelanjaan di Kota Medan kian menjamur dan kemacetan biasanya juga terjadi di daerah dimana terdapat pusat perbelanjaan. Isu transportasi lain yang saat ini menjadi fokus utama di Kawasan Mebidang adalah adanya rencana pembangunan Bandara Kuala Namu untuk menggantikan Bandara Polonia yang dianggap sudah tidak mampu lagi menampung arus penumpang serta menghambat pembangunan Kota Medan. Bandara Kuala Namu diharapkan akan mampu melayani arus penumpang dan akan mampu menunjang perkembangan Kawasan Mebidang. Menurut rencana, lahan bekas Bandara Polonia nantinya akan dijadikan pusat bisnis Kota Medan. Terlepas dari permasalahan transportasi, ada isu lingkungan yang terus menjadi perhatian utama yaitu masalah banjir yang selalu melanda Kota Medan setiap musim hujan tiba. Masalah banjir ini tidak terlepas dari kondisi geografis Kota Medan yang dilalui beberapa sungai besar (Sungai Belawan, Sungai Deli, Sungai Percut dan Sungai Serdang), sungai kecil (Sungai Batuan, Sungai Badera dan Sungai Kera) dan beberapa anak sungai lainnya. Masalah banjir ini juga disebabkan karena terjadinya sedimentasi (pelumpuran) saluran drainase dan kecenderungan masyarakat yang terbiasa membuang sampah ke sungai. Alih fungsi daerah resapan menjadi permukiman dan pertumbuhan penduduk di sepanjang bantaran sungai juga berkontribusi terhadap terjadinya banjir. Permasalahan banjir di Kota Medan tidak bisa dilepaskan dari wilayah-wilayah sekitarnya (Kota Binjai, Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Karo) yang merupakan kawasan tangkapan hujan dan air yang sangat strategis untuk pembangunan wilayah Propinsi Sumatera Utara secara keseluruhan. Masalah penyediaan energi listrik merupakan masalah tersendiri yang juga terjadi di Kawasan Perkotaan Mebidang. Penyediaan energi listrik mengalami kekurangan untuk memfasilitasi aktivitas perkotaan skala metropolitan sehingga seringkali terjadi pemadaman. Secara garis besar banyak sekali permasalahan perkotaan yang dihadapi, misalnya perumahan dan pemukiman, tata guna lahan ruang terbuka hijau, pelestarian lingkungan hidup serta bangunan bersejarah, pengangguran dan kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan, kriminalitas, kenakalan remaja, anak jalanan, kawasan kumuh dan kurangnya pembinaan kekayaan seni budaya lokal. Semua permasalahan yang dihadapi kawasan Mebidang merupakan suatu kenyataan yang dihadapi oleh wilayah metropolitan. Dalam hal prasarana transportasi, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi Sumatera Utara saat ini sedang berusaha merealisasikan rencana pembangunan jalan tol Medan - Binjai dan Tanjung Morawa - Kuala Namu - Tebing Tinggi. Pembangunan bandara baru di Kuala Namu sebagai pengganti Bandara Polonia juga merupakan prioritas pemerintah dalam melakukan pembangunan di kawasan Mebidang. Selain itu pengembangan pelabuhan Belawan, pembangunan dan pemanfaatan jaringan rel kereta api sebagai sarana angkutan barang dan angkutan penumpang, pembangunan sarana transportasi angkutan umum massal menjadi perhatian pemerintah. Dalam hal penanganan banjir dilakukan dengan pengelolaan kawasan sekitar daerah aliran sungai (DAS) dari hulu di kabupaten Karo hingga ke hilir. Pembangunan di sektor lain dilakukan dengan menyusun rencana pengembangan kawasan Central Business District (CDB) di Kota Medan, pembangunan infrastruktur

68 66 Metropolitan di Indonesia energi dan kelistrikan, dan pengembangan kawasan industri di Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang. METROPOLITAN JABODETABEKJUR Sejarah Pembentukan Kawasan Metropolitan Jakarta atau yang dikenal dengan Jabodetabek (sekarang Jabodetabekjur), disebabkan oleh adanya keterkaitan antar wilayah yang membuat adanya suatu hubungan sehingga setiap kabupaten/kota yang terkait terus berkembang, belum lagi adanya aliran investasi asing dan dalam negeri serta kebijakankebijakan pemerintah yang mendukung pembentukan wilayah metropolitan. Pada tahun 1970-an, wilayah ini dikenal dengan sebutan Jabotabek, yaitu singkatan dari Jakarta- Bogor-Tangerang-Bekasi. Akan tetapi seiring dengan bertumbuhnya jumlah penduduk dan meluasnya kegiatan perekonomian perkotaan, pada tahun 1990-an, kawasan ini dikenal dengan Jabodetabek (ditambah dengan Kota Depok) dan kini Jabodetabekjur (ditambah dengan beberapa kecamatan di Kabupaten Cianjur). Melihat perkembangan yang terus berlangsung maka tidak menutup kemungkinan bertambahnya kawasan metropolitan baru di dalam Kawasan Metropolitan Jakarta ini. Sebelum terbentuknya wilayah metropolitan ini, Jakarta yang dulu dikenal dengan Sunda Kelapa, merupakan pelabuhan perdagangan kecil di hilir Sungai Ciliwung. Setelah kemenangan Portugis tahun 1527, berdasarkan ketentuan adat Sunda, Sunda Kelapa beralih nama menjadi Jayakarta yang mengandung arti Kemenangan (The Victory). Pada tahun 1618 Jayakarta beralih nama kembali menjadi Batavia pada masa penjajahan Belanda yang melakukan perluasan kota demi keperluan VOC sebagai pelabuhan utama di Indonesia. Hingga abad berikutnya, Batavia terus tumbuh menjadi kota yang berpenduduk jiwa. Jalur kereta api dalam kota menghubungkan Batavia dengan Tangerang (bagian barat Batavia), Serpong, dan Selat Sunda di barat daya, Bogor dan Bandung di bagian selatan, Bekasi dan Cirebon di bagian Timur. Sejak saat itu, perluasan Kota Batavia telah dimulai seiring dengan permintaan akan lahan perumahan. Setelah pengakuan dunia internasional terhadap kemerdekaan Indonesia, nama Batavia kembali menjadi Jakarta yang berfungsi sebagai ibukota negara. Akan tetapi, pada tahun 1960-an terjadi kesulitan oleh karena adanya transformasi sosial dari negara jajahan ke negara merdeka, dan adanya kebijakan anti-kapitalis yang mempersulit pertumbuhan ekonomi akibat menurunnya investasi asing dan domestik. Apabila dilihat dari perkembangan jumlah penduduknya, pada tahun 1950-an jumlah penduduk Jakarta telah mencapai 1,5 juta jiwa, lebih dari dua kali lipat dari tahun Lalu, pada tahun 1961, jumlah penduduk Jakarta mencapai 2,9 juta yang menjadikan Jakarta sebagai kota terbesar di dunia. Sebagian penduduk Jakarta tinggal di kampungkampung padat penduduk dengan infrastruktur yang buruk, selain itu transportasi publik juga sangat tidak diperhatikan. Master Plan pertama untuk Kota Jakarta disiapkan pada tahun 1952 yang merencanakan jalan lingkar (ring road) sebagai batas pertumbuhan kota yang dikelilingi oleh green belt mengikuti prinsip-prinsip Garden City Ebenezer Howard. Rencana ini tidak pernah terealisasi, sampai 35 tahun berikutnya terjadi pertumbuhan pesat dan perubahan struktur kota. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi, Jakarta menjadi pusat pertumbuhan nasional. Sejak tahun 1961 sampai 1971, jumlah

69 Perkembangan Kawasan Metropolitan 67 penduduk Jakarta hampir mencapai dua kali lipat dari 2,9 juta jiwa menjadi 4,6 juta jiwa dengan laju pertumbuhan 5,8 persen per tahun. Dengan adanya industrialisasi di wilayah Jakarta, tingkat urbanisasi meningkat melebihi batas-batas adminitratif hingga ke kabupaten-kabupaten di sekitarnya. Oleh karena itu, Master Plan kedua tahun 1967, untuk periode , berusaha untuk mengatasi pertumbuhan besar baru. Perkembangan Kota Jakarta yang tadinya merupakan kota kecil mengalami perkembangan yang sangat pesat dan seiring dengan adanya peningkatan perekonomian dan pembangunan infrastruktur telah mendorong pertumbuhan wilayah di sekitarnya sampai terbentuk suatu kawasan metropolitan seperti sekarang. Saat ini kawasan metropolitan Jabodetabekjur tidak dapat dipandang sebagai suatu unit yang berdiri sendiri, akan tetapi terus memberikan pengaruhnya terhadap perkembangan wilayah yang terintegrasi. Struktur Ruang Adapun struktur Kawasan Metropolitan Jabodetabekjur, menunjukkan suatu pola struktur yang polisentrik (banyak pusat), yaitu DKI Jakarta sebagai pusat utamanya, dan memiliki Bogor (kabupaten dan kota), Kota Depok, Tangerang (kabupaten dan kota), Bekasi (kabupaten dan kota) sebagai sub pusat yang melayani kota dan daerah otonomnya, serta ditambah dengan kawasan Puncak-Cianjur yang juga diperhatikan pengaruhnya terhadap wilayah metropolitan. Selain itu dapat dengan jelas kita lihat bagaimana pengaruh DKI Jakarta sebagai pusat terhadap wilayah sekitarnya yang menghasilkan suatu daerah perkotaan yang meluas, seperti ditunjukkan pada GAMBAR 3-7. KABUPATEN TANGERANG KOTA TANGERANG DKI JAKARTA KABUPATEN BEKASI KOTA BEKASI KOTA DEPOK KABUPATEN BOGOR KOTA BOGOR Pusat Sub-Pusat (Kota) GAMBAR 3-7 Struktur Wilayah Metropolitan Jabodetabekjur Sumber: Google Earth 2006 Sub-Pusat (Kabupaten)

70 68 Metropolitan di Indonesia Berdasarkan Raperpres Penataan Ruang Kawasan Jabodetabek-Punjur, metropolitan Jabodetabek-Punjur merupakan Pusat Kegiatan Nasional (PKN). Wilayah ini meliputi: Seluruh wilayah DKI Jakarta; Sebagian wilayah Propinsi Jawa Barat, mencakup seluruh wilayah Kabupaten Bekasi, seluruh wilayah Kota Bekasi, seluruh wilayah Kota Depok, seluruh wilayah Kabupaten Bogor, seluruh wilayah Kota bogor, dan sebagian wilayah Kabupaten Cianjur, yang meliputi Kecamatan Cugenang, Kecamatan Pacet, dan Kecamatan Sukaresmi. Sebagian wilayah Propinsi Banten, yang mencakup seluruh wilayah Kabupaten Tangerang dan seluruh wilayah Kota Tangerang. PKN PKN AP AP AP PKW KP PKW LP PKL KP LP LP KP PKL PKN : Pusat Kegiatan Nasional PKW: Pusat Kegiatan Wilayah PKW: Pusat Kegiatan Lokal Perdesaan Perdesaan AP KP LP : Arteri Primer : Kolektor Primer : Lokal Primer GAMBAR 3-8 Keterkaitan Fungsi Jalan dengan Fungsi Kota yang Dihubungkan Berdasarkan Fungsi Sumber: Kebijakan Penataan Ruang kawasan Jabodetabekpunjur Struktur dari wilayah metropolitan Jabodetabekjur, dapat dilihat dengan adanya jumlah migrasi yang keluar dan masuk DKI Jakarta dan Kota Sekitarnya. Jumlah ini menunjukkan suatu keterkaitan karena adanya pergerakan yang dapat disebabkan oleh kegiatan ekonomi (tempat bekerja), perumahan (tempat tinggal), dan lainnya. Keterkaitan ini juga didukung oleh adanya infrastruktur terutama transportasi dan komunikasi yang mendorong aliran informasi antar daerah.

71 Perkembangan Kawasan Metropolitan 69 Keluar antar Propinsi Serang 1 106,4 Jt. 0,6 Jt. 0,6 Jt. Subang JAKARTA 6,6 Jt. 0,3 Tangerang 14,1 Jt. 0,1 1.5 Jt. 0,12 Jt. 22,9 Jt. Bekasi n. 0,15 Jt. 1,2 Jt. 5,1 Jt. Depo 1.6 Jt. Leba 0,9 Jt. 9,1 Jt. 1.9 Jt. 0,1 Jt. 25 1,1 Jt. Purwakarta Tasikmalaya 0,8 Jt. Karawang Kuningan Bogor 0,5 2,3 Sukabumi 0,7 2,5 0,1 0,9 Cianju Bandung Indramayu GAMBAR 3-9 Keterkaitan Antar Kota PKN Metropolitan Jabodetabek-Punjur (Eksisting) Sumber: Kebijakan Penataan Ruang kawasan Jabodetabekpunjur. Penduduk Perkembangan jumlah penduduk juga dapat memberikan suatu gambaran bagaimana perkembangan suatu kawasan metropolitan terjadi. Pada TABEL 3-3 dapat kita lihat bahwa jumlah penduduk Jabodetabekjur, dengan memasukkan seluruh unit kecamatan, sebagian besar tinggal di wilayah kota. Akan tetapi jumlah ini sedikit menurun dari tahun 2000 ke tahun 2003, sedangkan keadaan yang sebaliknya terjadi pada wilayah kabupaten, dimana jumlah penduduk pada tahun 2003 meningkat dari 7,58 juta jiwa menjadi 8,90 juta jiwa. Pertumbuhan ini dapat disebabkan oleh adanya pertumbuhan alamiah atau pun adanya migrasi. Adapun DKI Jakarta memiliki jumlah penduduk dan kepadatan terbesar pada wilayah metropolitan, akan tetapi angka tersebut terus menurun dari tahun 1997 sampai dengan tahun Penurunan yang cukup mencolok terjadi dari tahun 1997 ke tahun 2000, yaitu dari 9,37 juta jiwa menjadi 7,79 juta jiwa. Hal ini diantaranya disebabkan oleh adanya krisis moneter yang membuat banyak penduduk pendatang kembali ke daerah asalnya masing-masing. Penurunan ini juga terjadi pada tahun 2003, bersamaan dengan itu terjadi pertambahan jumlah penduduk pada Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Bogor, serta Kota Depok. Pertambahan tersebut mengindikasikan adanya gejala sub urbanisasi dengan didukung oleh peningkatan pembangunan infrastruktur seperti jalan, transportasi umum, bahkan perumahan yang mendorong pergerakan keluar dari pusat atau inti.

72 70 Metropolitan di Indonesia Pada GAMBAR 3-10 dan GAMBAR 3-11 dapat dilihat perkembangan jumlah penduduk dan perubahan kepadatan penduduk pada tahun 1997, 2000, dan peta tersebut menunjukkan suatu perkembangan yang meluas, tidak hanya di pusat kota (DKI Jakarta) tetapi terus bergerak ke luar, bahkan dapat sampai kepada wilayah metropolitan Bandung. Adapun daerah yang jelas terlihat perubahannya adalah daerah yang berada di sepanjang koridor Utara, yaitu Tangerang-Jakarta-Bekasi, dan koridor Selatan, yaitu Jakarta-Depok-Bogor-Cianjur. TABEL 3-3 Pertumbuhan Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Kawasan Jabodetabekjur Tahun 1997, 2000, dan 2003 Wilayah Kabupaten Kota Luas Populasi (jiwa) Kepadatan (pddk/km 2 ) Wilayah Bogor 2,237 2,862,292 3,060,618 3,097, Bekasi 1,065 1,544,900 1,330,389 1,556, Cianjur 2,639 1,812, ,409 2,066, Tangerang 1,098 2,594,084 2,258,244 2,187, Jumlah 7,040 8,814,212 7,583,660 8,907, DKI 660 9,373,900 7,798,679 7,356, Bogor , , , Bekasi 210 1,471,477 1,294,258 1,170, Tangerang 305 1,765,819 1,506, , Depok , , , Jumlah 1,496 14,119,634 12,240,322 11,065, Jabodetabekjur 8,536 22,933,846 19,823,982 19,973, Sumber: Jawa Barat Dalam Angka 1997, Podes 2000 dan 2003, Hasil Analisis Kelembagaan Lembaga tingkat metropolitan yang ada di Jabodetabek adalah Badan Kerjasama yang mengalami perkembangan sejak tahun 1975 dengan penjelasan sebagai berikut: Inpres 13 Tahun 1976, tentang Pengembangan Wilayah Jakarta-Bogor-Tangerang- Bekasi yang disingkat Jabotabek, ditujukan kepada Menteri Negara Ekonomi, Keuangan, dan Industri/ Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum dan Listrik.

73 Perkembangan Kawasan Metropolitan 71 Tahun 1997 Tahun Tahun 2003 GAMBAR 3-10 Jumlah Penduduk di Jabodetabekjur Tahun 1997, 2000, dan 2003

74 72 Metropolitan di Indonesia Tahun 1997 Tahun Tahun 2003 GAMBAR 3-11 Kepadatan Penduduk di Jabodetabekjur Tahun 1997, 2000, dan 2003

75 73 Keputusan bersama Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor 6375/A-1/ / A / K/BKD/ 75 Tentang Pembentukan Badan Persiapan Daerah untuk Pengembangan Metropolitan. Nomor 1/DP 1040/PD/76 3 Tahun 1976 Tentang kerjasama Dalam Rangka Pembangunan Jakarta-Bogor-Tangerang- Bekasi Nomor D. IV-320Id/11/ Pem. 121isk11976 Tentang Pembentukan Badan Kerjasama Pembangunan Jabotabek BKSP diketuai oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat dan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Peraturan Bersama Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat dan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 5 tahun tahun 1990 Tentang Perubahan Pertama Peraturan Bersama Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 8 Tahun Tahun 1994 Tentang penetapan Organisasi dan Tata Kerja Badan Kerjasama Pembangunan Jabotabek Akan tetapi BKSP kemudian mengalami kegagalan akibat adanya kendala struktural, yaitu Kepala BKSP (Badan Kerjasama Pembangunan) tidak bisa secara efektif mengkoordinasikan berbagai instansi terkait di wilayah Jabodetabekjur. Permasalahan lain yang dihadapi adalah ketiadaan dana khusus bagi kegiatan BKSP, tumpang tindihnya kegiatan dengan beberapa lembaga pemerintahan lainnya, terutama Bappeda, ketidakjelasan peran, dan tidak adanya petunjuk anggaran pembangunan Jabodetabekjur (RUU pengganti UU No. 34 tahun 1999). Isu-Isu Adapun isu-isu yang terdapat di kawasan Jabodetabekjur terbagi dalam beberapa bagian, antara lain: Adanya Penyalahgunaan Peruntukan Lahan Adanya penyalahgunaan peruntukan lahan seringkali menjadi penyebab munculnya permasalahan lain pada kawasan Jabodetabekjur, terutama permasalahan lingkungan. Hal ini adalah bentuk dari pelanggaran terhadap rencana tata ruang yang telah dibuat. Misalnya saja banjir pun menjadi bencana yang rutin terjadi setiap tahun, kerusakan lingkungan di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabek-Punjur) kini semakin berkembang. Bukti dari pelanggaran ini adalah

76 74 terdapatnya penyimpangan sebesar 20 persen terhadap arahan guna lahan Rencana Tata Ruang Kawasan Jabodetabek dari tahun 1992 sampai dengan Penyimpangan ini ditunjukkan dengan pengurangan kawasan lindung hingga 16 persen dan peningkatan guna lahan permukiman sebesar 10 persen di Jabodetabek pada tahun 1992 hingga Sementara itu, berdasarkan informasi citra landsat tahun 2001, di Kawasan Bopunjur yang merupakan hulu dari Kawasan Jabodetabek, telah terjadi penyimpangan pemanfaatan lahan sebesar 79,5 persen dari arahan yang ditetapkan dalam Keppres No.114/1999. Penyebab penyimpangan ini adalah adanya pertumbuhan kawasan permukiman/perkotaan yang cukup pesat dengan luas mencapai ha atau 29 persen dari total luasan Kawasan Bopunjur. Bentuk-bentuk penyimpangan lainnya diantaranya adalah pemanfaatan ruang yang tidak sesuai untuk permukiman pada sepanjang bantaran sungai-sungai dan pemanfaatan ruang untuk permukiman pada wilayah tangkapan air, seperti rawa-rawa dan lahan basah. TABEL 3-4 Perubahan Penggunaan Lahan di Kawasan Jabodetabek Tahun 1992 Tahun 2001 No. Jenis Lahan (Ha) (%) (Ha) (%) 1 Lahan Terbuka ,9 19, ,8 23,65 2 Lahan Pertanian ,4 14, ,9 14,54 3 Vegetasi Campuran ,7 24, ,8 25,64 4 Hutan/ perkebunan dan , ,14 8,95 tanaman tahunan 5 Permukiman ,24 9, ,1 19,51 6 Lahan Lainnya ,64 3, ,35 7,70 Total , ,9 100 Sumber : Hasil Pengolahan Satelit LAPAN (Direktorat Jenderal Penataan Ruang Dep. PU 2004) TABEL 3-5 Perubahan Penggunaan Lahan di Kawasan Bopunjur dibandingkan dengan Keppres No.114/1999 Keppres/ Tahun 1993 Tahun No.114 No Jenis Penggunaan (Ha) % (Ha) % (Ha) % 1 Kawasan , , ,12 Perkotaan 2 Kawasan Lindung , , ,37 Basah/sawah 3 Kawasan Hutan , , ,10 Lindung 4 Cagar Alam 550 0, , ,45 5 Taman Nasional , , ,89 6 Taman Wisata 450 0, , ,37 Alam 7 Kawasan Lainnya , , ,70 Total Penggunaan Lahan , , ,0 0 Sumber: Lampiran Keppres No.114/1999; Strategi Pengembangan Kawasan Bopunjur dan sekitarnya, 1996/1997; Peta Penggunaan Tanah, 1997, dalam kebijakan penataan ruang Kawasan jabodetabek punjur (Dirjen Penataan Ruang)

77 75 Isu Lingkungan Hidup Permasalahan yang terkait dengan lingkungan hidup di kawasan Jabodetabekjur antara lain terdiri dari empat masalah penting, yaitu pencemaran udara, krisis air, masalah banjir dan masalah pengolahan sampah. a. Pencemaran Udara Pencemaran udara akan menimbulkan kerugian kurang lebih senilai Rp 4,3 triliun pada tahun 2015 apabila masalah tersebut tidak segera ditangani. Berdasarkan data Dinas Kesehatan DKI Jakarta, cukup banyak warga Jakarta yang menderita infeksi saluran pernapasan jika dibandingkan dengan daerah lain. Penyebab utama dari polusi udara sekitar 70 persen dihasilkan oleh asap kendaraan bermotor. Pada tahun 1998, kerugian akibat pencemaran udara sudah mencapai Rp1,8 triliun. b. Pengelolaan Sampah Jumlah sampah setiap harinya yang dihasilkan oleh DKI Jakarta adalah meter kubik atau setara dengan ton. Padahal, sampah yang dapat diolah di TPA yang dimiliki oleh Pemda Jakarta baru 88 persennya atau setara dengan meter kubik. Permasalahan ini kemudian terus meningkat dan diantaranya ditunjukkan oleh longsornya TPA Bantar Gebang akibat volume sampah yang terlalu besar. c. Permasalahan Banjir Permasalahan banjir terkait dengan aktivitas dan jumlah penduduk yang terus meningkat di wilayah metropolitan ini. Setidaknya ada 78 titik rawan genangan di DKI Jakarta yang menyebabkan pada tahun 1996 dan 2002 terjadi banjir cukup besar. Selain itu, permasalahan banjir juga disebabkan oleh beberapa hal, yaitu terdapatnya penyempitan sungai akibat sedimentasi partikel-partikel yang terbawa, yang berdampak pada meningkatnya aliran air permukaan (run-off), perubahan lahan alami menjadi lahan terbangun yang menimbulkan bahaya erosi dan menurunkan infiltrasi air tanah, terjadinya genangan di kawasan pantai lama yang mengalami amblesan (land subsidance), dan hingga tahun 2002, situ-situ mengalami penyusutan yang cukup signifikan (sebesar 65,8 persen) seperti yang ditunjukkan oleh TABEL 3-6. Tambahan pula apabila land subsidance mencapai 2 m, sementara kenaikan muka air laut mencapai 60 cm, diperlukan upaya untuk memompa air di daerah genangan yang kedalamannya mencapai 2,6 m di bawah permukaan laut. TABEL 3-6 Kondisi Situ-situ di Kawasan Jabodetabek Wilayah Jumlah Luas (Ha) Kapasitas (m3) No Administrasi Situ Semula Sekarang (%) Asal Sekarang 1 DKI Jakarta ,9 n.a n.a Kab. Bogor ,1 47,9 5, Kota Bogor 6 15,4 12,5 13, Kota Depok , , Kab. Tangerang ,1 686,7 35, Kota Tangerang 8 195,8 136,4 30, Kab. Bekasi , , Jumlah , ,5 65, , Sumber: Ditjen Penataan Ruang 2002.

78 76 GAMBAR 3-12 Banjir di Kota Jakarta yang Menghambat Aktivitas Penduduk d. Terjadinya Krisis Air Isu lainnya yang terdapat dalam kawasan Jabodetabekjur adalah adanya krisis air. Hal ini terlihat dari fakta bahwa warga ibukota mengkonsumsi air tanah yang tidak sehat karena sudah tercemar oleh berbagai bahan polutan padahal sekitar 55 persen warga Jakarta menggunakan air tanah dan hanya 45 persen saja yang menggunakan air dari PDAM. Studi yang dilakukan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) pada tahun 2004 menyebutkan bahwa hampir sebagian besar sumur dari 48 sumur yang dipantau di Jakarta telah mengandung bakteri coliform dan fecal coli. Persentase sumur yang telah melebihi baku mutu untuk parameter coliform di seluruh Jakarta cukup tinggi, yaitu mencapai 63 persen pada bulan Juni dan 67 persen pada bulan Oktober Kualitas besi (Fe) dari air tanah di wilayah Jakarta juga semakin meningkat. Bahkan, beberapa sumur terindikasi memiliki konsentrasi Fe melebihi baku mutu. Persentase jumlah sumur yang melebihi baku mutu mangan (Mn) di seluruh DKI Jakarta secara umum sebesar 27 persen pada bulan Juni 2004 dan meningkat pada bulan Oktober sebesar 33 persen. Untuk parameter deterjen, persentase jumlah sumur yang melebihi baku mutu di DKI Jakarta sebesar 29 persen pada bulan Juni dan meningkat menjadi 46 persen pada bulan Oktober. Diduga peningkatan ini terjadi karena memasuki musim hujan. Permasalahan lain yang terkait adalah tidak memadainya fasilitas MCK (mandi, cuci, kakus), truk tinja, saluran air limbah (sewerage system), dan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) yang sudah banyak yang tidak memadai. Kasus ini juga terdapat di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), baru sekitar 55 persen penduduk Indonesia yang mempunyai akses sanitasi. Kondisi ini diperparah dengan kondisi sejumlah septic tank rumah tangga yang tidak dibangun dengan benar, sehingga sebagian tinja meresap ke dalam tanah dan tercampur dengan air tanah. Sementara, jarak septic tank dengan air tanah yang disedot untuk kebutuhan harian sangat dekat. Kurangnya fasilitas sanitasi tersebut menimbulkan berbagai penyakit mulai dari diare, demam berdarah hingga polio.

79 77 Lebih jauh lagi, persoalan ini mengurangi minat investor berinvestasi ke Indonesia. Hasil penelitian juga menemukan bahwa sekitar 70 persen air tanah di daerah perkotaan tercemar bakteri tinja. Ironisnya, sebagian penduduk perkotaan masih menggunakan air tanah untuk memenuhi kebutuhan harian. Isu Infrastruktur a. Kemacetan Berdasarkan data di Ditlantas Polda Metro Jaya (Oktober 2003), jumlah kendaraan di DKI Jakarta tercatat buah, yang terdiri dari truk pengangkut barang, buah bus, buah sepeda motor, dan sisanya mobil penumpang. Dinas Perhubungan DKI Jakarta mencatat bahwa pertambahan jumlah kendaraan bermotor rata-rata 11 persen per tahun, sedangkan pertambahan jalan tidak sampai satu persen per tahun. Hal ini menyebabkan ketimpangan prasarana jalan dengan kendaraan. Jika kendaraan roda empat saja panjangnya rata-rata empat meter dan dibariskan secara berurutan, maka lahan yang dibutuhkan sepanjang kilometer. Jumlah ini tidak akan bisa tertampung pada ruas jalan yang tersedia. Selain itu, setiap hari terdapat kendaraan yang masuk dari daerah-daerah sekitar Jakarta yang berjumlah lebih dari 1,2 juta. Dari sisi kelembagaan, permasalahan kemacetan disebabkan oleh tidak adanya sistem pengelolaan transportasi yang utuh dan terpadu untuk wilayah Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi), baik dalam pengelolaan lalu lintas, termasuk program pembangunan infrastrukturnya. Akibatnya, tidak ada integrasi dalam pembiayaan sehingga masing-masing instansi memiliki program dan kegiatan yang tidak terpadu. TABEL 3-7 Perbandingan Perkembangan Jumlah Kendaraan dan Penyediaan Fasilitas Jalan di Jakarta Tahun Perkembangan Jumlah Kendaraan Perkembangan Penyediaan Fasilitas Jalan ,0 km ,5 km ,0 km ,0 km Sumber: Ruchyat b. Rendahnya Pelayanan Transportasi Umum Selain jumlah kendaraan yang tidak sebanding dengan panjang jalan yang ada, komposisi kendaraan yang lalu lalang di Jakarta juga tidak seimbang. Dari jumlah itu, kendaraan pribadi mencapai lebih dari 90 persen, mulai dari sepeda motor, mobil berumur tua, hingga mobil-mobil mewah. Pada tahun 2002, kendaraan angkutan penumpang umum hanya sekitar buah atau 2,5 persen, dan kendaraan pengangkut barang sekitar buah atau sekitar 6,2 persen. Hal ini diperburuk dengan kondisi bahwa dari buah kendaraan angkutan penumpang umum tersebut, buah di antaranya merupakan bus umum yang kondisinya rusak dan sebenarnya tak laik jalan.

80 78 Bahkan, 839 buah di antaranya rusak berat karena kelangkaan suku cadang. Kondisi ini memprihatinkan karena dari sekitar buah bus kota, buah rusak, yang berarti hanya sekitar 50 persen yang laik jalan. Hingga akhir tahun 2003, kondisi ini belum berubah. Selain itu, fasilitas kereta api juga belum dapat menampung 25 juta pergerakan yang ada di Jabodetabek, karena yang dapat ditampung oleh KA hanya 2,5 persen saja. Jika masalah-masalah kereta api tidak bisa dicarikan solusinya maka pada tahun 2014, masyarakat akan menderita karena luas jalan dibanding dengan luas kendaraan yang ada tidak sebanding lagi. Ini berarti akan terjadi kemacetan total di seluruh jalan di Jakarta. BANDUNG Sejarah Perkembangan Kota Bandung yang dari tahun ke tahun semakin pesat baik dalam hal penduduk, sosial ekonomi, ketersediaan sarana dan prasarana maupun perluasan fisik perkotaan menyebabkan perkembangan tersebut melintasi batas-batas administrasinya. Hal ini dapat dilihat di daerah perbatasan yang sudah membaur menjadi perkotaan. Daya tarik Kota Bandung yang kuat dari sisi ekonomi dan ketersediaan fasilitas menyebabkan kota-kota lain di sekitarnya beraglomerasi dengan Kota Bandung. Kecepatan perkembangan tersebut menjadi tidak terkendali sehingga diperlukan suatu perencanaan Kota Bandung dengan wilayah sekitarnya secara terpadu dalam konteks wilayah Metropolitan Bandung. Kawasan Metropolitan Bandung ini terdiri dari daerah-daerah yang memiliki keterkaitan antar satu dengan yang lainnya dan memiliki kemiripan karakteristik fisik dan non fisik. Berdasarkan RTRW Propinsi Jawa Barat Tahun 2010, wilayah yang termasuk dalam Metropolitan Bandung memiliki luas sebesar hektar yang terdiri dari Kota Bandung, Kabupaten Bandung dan sebagian wilayah Kabupaten Sumedang (Kecamatan Cimanggung, Tanjung Sari, Sukasari, Jatinangor, dan Rancakalong). Kemudian wilayah tersebut bertambah seiring dengan perubahan status Kota Cimahi yang tadinya masuk dalam wilayah Kota Bandung sekarang menjadi kota yang berdiri sendiri di dalam Propinsi Jawa Barat pada tahun Berdasarkan PP No. 47 Tahun 1997 tentang RTRWN, Kawasan Metropolitan Bandung memiliki kedudukan sebagai salah satu Pusat Kegiatan Nasional (PKN) sehingga fungsi kawasan ini sangat penting sebagai pintu gerbang ke kawasan-kawasan internasional dan sebagai pusat jasa, pusat pengolahan, simpul transportasi dengan skala pelayanan Propinsi dan nasional. Di samping itu, berdasarkan PP No. 47 Tahun 1997 tentang RTRWN dan RTRWP Jawa Barat, Kawasan Metropolitan Bandung merupakan salah satu kawasan andalan yang memiliki fungsi sebagai pusat pengembangan industri, pemerintahan, perguruan tinggi, teknologi, pertanian, pariwisata serta pertahanan dan keamanan. Berdasarkan pendapat McGee (1998) mengenai Extended Metropolitan Region (EMR), Kota Metropolitan memiliki salah satuciri berupa adanya transformasi kegiatan dari pertanian ke berbagai kegiatan non pertanian termasuk perdagangan, transportasi dan industri. Transformasi tersebut dapat dilihat dari sisi perekonomian Metropolitan Bandung yang mulai tumbuh kembali sejak tahun 2001 pasca krisis ekonomi di tahun Gejala ini terlihat dari besarnya angka pertumbuhan ekonomi wilayah

81 79 tersebut yang relatif mendekati kembali angka pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut sebelum krisis ekonomi. Laju Pertumbuhan Ekonomi dari tahun 1995 sebesar 5 persen lalu ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1997 menurun drastis menjadi -0,2 persen dan tahun 2002 mulai kembali seperti semula menjadi 5 persen. Kontribusi PDRB Metropolitan Bandung terhadap PDRB Jawa Barat berdasarkan harga konstan pada tahun 2001 sebesar 25,03 persen dan pada tahun 2003 menjadi 25,78 persen. Kontribusi terbesar pada tahun 2003 berada pada sektor tersier yaitu Perdagangan, Hotel dan Restoran sebesar 34,37 persen dari total kontribusi PDRB di Metropolitan Bandung. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum peran Metropolitan Bandung semakin penting dalam mendukung perekonomian di Jawa Barat. Struktur Ruang Di dalam RTRWP Jawa Barat Tahun 2010, kebijakan pengembangan struktur tata ruang Propinsi Jawa Barat mengikuti model pengembangan wilayah fungsional terintegrasi (functional integration) yang sesuai dengan Perda No.3 Tahun Model ini bertujuan untuk meningkatkan keterkaitan internal antara pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah belakangnya, dan agar pusat-pusat pertumbuhan mampu melayani arus pergerakan orang, barang, dan modal dari wilayah di bawahnya menuju wilayah-wilayah lainnya sehingga terwujud pemerataan pembangunan baik melalui penyebaran kegiatan sosial ekonomi maupun infrastruktur pendukungnya. Pengembangan struktur ini terbagi menjadi tiga wilayah pengembangan, yaitu Wilayah Pengembangan Barat, Tengah dan Timur. Masing-masing wilayah pengembangan ini memiliki sistem kota-kota dengan hirarki kota I sampai dengan IV. Kota hirarki I berfungsi sebagai pusat pertumbuhan utama dengan skala pelayanan nasional dan internasional. Kota hirarki II berfungsi sebagai pusat pertumbuhan perdagangan, jasa, permukiman, dan industri, yang skala pelayanannya antar wilayah. Kota hirarki III berfungsi sebagai pusat produksi, pengumpulan, dan distribusi dengan skala pelayanan wilayah dan lokal. Kota hirarki IV berfungsi sebagai pusat produksi pertanian dengan skala pelayanan lokal. Berdasarkan RTRWP Jawa Barat tersebut, diketahui bahwa wilayah metropolitan Bandung yang terdiri dari 4 wilayah administratif ini berada di Wilayah Pengembangan Tengah dengan Hirarki Kota I. Kemudian berdasarkan PP no 47 Tahun 1997 mengenai RTRWN, Wilayah Metropolitan Bandung ditetapkan sebagai kawasan andalan yang mencakup beberapa kota dengan masing-masing fungsinya yaitu: 1. Kota Bandung ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional Wilayah Metropolitan Bandung 2. Kota Cimahi, Padalarang, Lembang, Majalaya, Cileunyi, Banjaran, Soreang, Pangalengan, Ciwidey, Ciparay, Sumedang dan Subang ditetapkan sebagai sebagai Pusat Kegiatan Lokal (PKL) Wilayah Metropolitan Bandung Adapun struktur wilayah di Kawasan Metropolitan Bandung dapat dilihat pada GAMBAR 3-13, dengan Bandung sebagai pusatnya kemudian terdapat beberapa sub pusatnya.

82 80 GAMBAR 3-13 Struktur Kawasan Bandung Metropolitan Sumber: Dinas Tata Ruang dan Permukiman Propinsi Jawa Barat, 2001 Kota Bandung yang ditetapkan sebagai PKN ini didasarkan pada kecenderungan perkembangan perkotaannya yang intensif. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan berbagai sektor pembangunan yang cukup tinggi di Kota Bandung. Dari sisi ekonomi, data PDRB tahun menunjukkan bahwa sektor sekunder dan sektor tersier selalu berperan cukup signifikan dalam PDRB Kota Bandung dengan pertumbuhan di atas laju pertumbuhan PDRB yaitu 7,39 persen dan 7,07 persen (ADH Konstan tahun 2002). Dominasi lapangan usaha industri pengolahan di beberapa wilayah lain dalam Metropolitan Bandung digantikan dengan sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 30,97 persen pada tahun Dilihat dari tingkat aksesibilitas dari dan ke wilayah Metropolitan Bandung, Kota Bandung memiliki aksesibilitas paling tinggi dibandingkan dengan wilayah-wilayah di sekitarnya. Hal ini disebabkan adanya jaringan jalan arteri yang menghubungkan Kota Bandung dengan wilayah-wilayah lain sehingga mempengaruhi juga tingkat mobilitas penduduk dari dan ke Kota Bandung. Selain itu, pengembangan Kota Bandung sebagai PKN ini akan sangat sejalan dengan beberapa rencana lainnya yang terkait dengan sistem transportasi jalan tol yang menghubungkan Bandung dengan PKN Metropolitan Cirebon dan PKN Metropolitan Bandung dengan PKW Tasikmalaya. Tingkat aksesibilitas ini pun dapat dilihat dari keberadaan Bandara Hussein Sastranegara yang merupakan salah satu pintu masuk dan keluar PKN Metropolitan Bandung. Khusus untuk Kota Bandung, tingginya intensitas kegiatan perkotaan juga dipacu oleh fungsi Kota Bandung sebagai pusat kegiatan pemerintahan Propinsi Jawa Barat.

83 Penduduk Jumlah penduduk Wilayah Metropolitan Bandung pada tahun 2003 sebesar jiwa. Lebih dari 50 persen dari total jumlah penduduk wilayah Metropolitan Bandung tersebar di wilayah Kabupaten Bandung ( jiwa). Sementara itu, sejumlah besar lainnya terkonsentrasi di Kota Bandung ( jiwa). Selama tahun terjadi peningkatan jumlah penduduk yang berdampak pula pada peningkatan kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk di Metropolitan Bandung dari tahun 1997 ke tahun 2003 mengalami peningkatan, yaitu dari 16 jiwa per hektar menjadi 20 jiwa per hektar. Dari angka tersebut, terlihat bahwa penyebaran penduduk tidak merata dalam wilayah Metropolitan Bandung. Penduduk kebanyakan terkonsentrasi di dua kota inti dalam wilayah Metropolitan Bandung yaitu Kota Bandung sebesar 132 jiwa per hektar dan Kota Cimahi sebesar 120 jiwa per hektar. Kabupaten Bandung yang dari segi jumlah menampung sebagian besar penduduk wilayah Metropolitan Bandung hanya memiliki tingkat kepadatan 13 jiwa per hektar. Lebih jauh lagi, jumlah dan kepadatan penduduk di Metropolitan Bandung dijelaskan menurut kecamatan dalam kabupaten/ kota (TABEL 3-8) serta persebaran jumlah dan kepadatan penduduk dalam rentang waktu dari tahun dapat dilihat pada GAMBAR 3-14 dan GAMBAR Kota Bandung memiliki luas sebesar ,10 hektar dan jumlah penduduk sebesar jiwa. Dengan demikian, kepadatan penduduk Kota Bandung telah mencapai 132 jiwa per hektar pada tahun Kepadatan penduduk tiap kecamatan umumnya telah melebihi 125 jiwa per hektar. Kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Bojongloa Kaler (336 jiwa per hektar). Sementara itu, kepadatan terendah terdapat di Kecamatan Rancasari (41 jiwa per hektar). Kota Cimahi memiliki luas wilayah sebesar hektar dan jumlah penduduknya sebesar jiwa, dengan kepadatan penduduk yang cukup tinggi, yaitu 119 jiwa per hektar. Kecamatan Cimahi Tengah merupakan kecamatan dengan angka kepadatan tertinggi (140 jiwa per hektar). Kecamatan Cimahi Tengah merupakan pusat dari berbagai kegiatan seperti pemerintahan dan perdagangan dan dilalui oleh jalur jalan regional yang menghubungkan Kota Bandung dengan Kecamatan Padalarang (Kabupaten Bandung). Jika dibandingkan dengan kawasan-kawasan lainnya di Metropolitan Bandung, laju pertumbuhan penduduk (LPP) Kota Cimahi merupakan yang paling cepat, yaitu sebesar 4,54 persen tiap tahunnya. Sementara itu, LPP wilayah Metropolitan Bandung pada umumnya adalah 3.05 tiap tahunnya. Kabupaten Bandung memiliki luas sebesar ,13 hektar sehingga mendominasi luas keseluruhan Metropolitan Bandung. Namun, kepadatan penduduk Kabupaten Bandung pada tahun 2003 hanya 13 jiwa per hektar. Kepadatan penduduk di tiap kecamatan bervariasi dengan rata-rata kepadatan di bawah 30 jiwa per hektar. Bahkan, terdapat beberapa kecamatan yang kepadatan penduduknya di bawah 10 jiwa per hektar yang umumnya adalah kecamatan-kecamatan yang terletak di daerah pinggiran luar Wilayah Metropolitan Bandung. Kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Margahayu (97 jiwa per hektar) diikuti oleh Kecamatan Dayeuhkolot (92 jiwa per hektar). Kedua kecamatan ini berbatasan langsung dengan batas selatan Kota Bandung. Kabupaten Sumedang yang termasuk Wilayah Metropolitan Bandung hanya mencakup lima kecamatan. Kelima kecamatan di Kabupaten Sumedang ini berbatasan langsung dengan Kota Bandung dan Kabupaten Bandung. Kecamatan Jatinangor 81

84 82 merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak dan kepadatan penduduk tertinggi dibandingkan empat kecamatan lainnya (33 jiwa per hektar). Di kecamatan ini terdapat beberapa perguruan tinggi yang merupakan salah satu faktor penarik penduduk. TABEL 3-8 Jumlah Penduduk di Metropolitan Bandung Tahun 1991, 1997, 2000, dan 2003 Kecamatan/ Luas Jumlah Penduduk (jiwa) Kawasan (Ha) Metropolitan Bandung Kota Bandung Kota Cimahi Kab. Bandung Kabupaten Sumedang* Kec. Cimanggung Kec. Tanjung Sari Kec. Sukasari** Kec. Jatinangor Kec. Rancakalong Sumber : BPS, Kotamadya Bandung dalam Angka; Kota Cimahi dalam Angka; Kabupaten Bandung dalam Angka; Kabupaten Sumedang dalam Angka Tahun1991, 1997 dan 2003; BPS, Sensus Penduduk 2000; BPS Kabupaten Sumedang, Registrasi Penduduk Akhir Tahun 1997 Keterangan : * Pada tahun 2002 Kecamatan Tanjungsari terpecah menjadi Kecamatan Tanjungsari dan Sukasari (R4D Kabupaten Sumedang). Berdasarkan data luas wilayah kecamatan dalam Sumedang dalam Angka 2003, Kecamatan Tanjungsari dan Sukasari masing-masing mempunyai luas Ha dan Ha. Oleh sebab itu, dalam penghitungan kepadatan penduduk Kecamatan Tanjungsari sebelum tahun 2003 luas wilayah Kecamatan Tanjungsari yang dipergunakan adalah gabungan dari luas Kecamatan Tanjungsari dan Sukasari setelah tahun Dalam Studi ini, Kecamatan Pamulihan yang merupakan Kecamatan yang terbentuk dari gabungan beberapa desa di Tanjungsari dan Rancakalong tidak diikutsertakan dalam analisis karena keterbatasan data-data pendukung. ** Merupakan pecahan dari Kecamatan Tanjungsari Adapun peta jumlah dan kepadatan penduduk dalam rentang waktu dari tahun dapat dilihat pada GAMBAR 3-14 sampai GAMBAR Kelembagaan Secara administratif, Kawasan Metropolitan Bandung meliputi empat wilayah Kabupaten dan Kota di Propinsi Jawa Barat, yaitu Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung dan sebagian wilayah Kabupaten Sumedang. Dengan demikian, termasuk Pemerintahan Propinsi Jawa Barat, pada Metropolitan Bandung terdapat lima kewenangan administratif daerah. Kelembagaan metropolitan Bandung mengacu pada Pasal 65 UU No. 5/1974 tentang Pemerintah Daerah; Pasal 87, 88, dan 91 UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah serta Pasal 195 dan 196 UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.

85 83 GAMBAR 3-14 Jumlah Penduduk Tahun 1997, 2000, dan 2003 Setiap Daerah Kabupaten/Kota di Wilayah Metropolitan Bandung telah memiliki sistem kelembagaan tersendiri yang terkait dengan berbagai aspek pembangunan. Namun, terdapat beberapa lembaga yang tujuan pembentukannya berkaitan langsung dengan penataan ruang antara lain (Buku Laporan Penunjang Metropolitan Bandung, Dinas Tata Ruang dan Permukiman Propinsi Jawa Barat, 2005): 1. Tim Pengarah (Steering Committee) Pembangunan Kota di Jawa Barat (Kep.Gub Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 650/Kep.1579-Pemb/87). 2. Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Tingkat Propinsi (SK. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 050/SK-602-Bapp/1990) 3. Tim Koordinasi Penataan Ruang Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat (SK. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat No /SK.1409-Huk/97) 4. Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah Propinsi Jawa Barat (Keputusan Gubernur Jawa Barat No /Kep.691-ORG/2004)

86 84 GAMBAR 3-15 Kepadatan Penduduk Tahun 1997, 2000, dan 2003 Dalam rangka menjawab berbagai tantangan dalam pengelolaan pembangunan, telah dijajaki suatu kerjasama antar tingkat pemerintahan yang antara lain: 1. Kerjasama Sinergitas Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan di Jawa Barat Tujuan kerjasama ini adalah untuk memperkuat pelaksanaan otonomi daerah dan meningkatkan koordinasi serta sinergitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan antara Pemerintah Propinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota 2. Kerjasama Pembangunan dan Pengembangan Infrastruktur Wilayah Metropolitan Bandung. Tujuan kerjasama ini adalah untuk mengoptimalkan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta mensinergikan pengelolaan infrastruktur di wilayah Metropolitan Bandung.

87 85 Isu-isu Beberapa permasalahan dalam pengembangan Metropolitan Bandung sebagaimana disebutkan dalam Buku Laporan Penunjang Metropolitan Bandung (2005) antara lain: 1. Pertumbuhan Penduduk Perkotaan dan Dampaknya terhadap Kebutuhan Pengembangan Kawasan Terbangun Angka jumlah penduduk di Kawasan Metropolitan Bandung yang meningkat dari tahun 1991 sebesar + 5 juta jiwa dengan kepadatan penduduk 15 jiwa per hektar menjadi + 7 juta jiwa pada tahun 2003 dengan kepadatan penduduk 20 jiwa per hektar. Kemudian diperkirakan jumlah penduduk pada tahun 2025 sebesar + 15 juta jiwa. Lebih dari 50 persen dari total jumlah penduduk wilayah Metropolitan Bandung tersebar di wilayah Kabupaten Bandung ( jiwa) sementara sejumlah besar lainnya terkonsentrasi di Kota Bandung ( jiwa). Perkembangan penduduk tersebut berimplikasi terhadap perkembangan lahan terbangun di wilayah tersebut, yaitu penyediaan lahan tambahan untuk penyediaan perumahan serta sarana pendukung perumahan tersebut. Pada tahun 2003, kepadatan penduduk permukiman di Metropolitan Bandung sebesar 190 jiwa per hektar. Diprediksikan bahwa pada tahun 2025 kepadatan penduduk permukiman di Metropolitan Bandung sebesar 264 jiwa per hektar. TABEL 3-9 Kepadatan Penduduk Permukiman di Metropolitan Bandung Tahun 2003 Luas Kawasan Permukiman (Ha) Jumlah Penduduk (jiwa) Kepadatan netto (jiwa/ha) Kecamatan/ Kawasan METROPOLITAN BANDUNG Kota Bandung 8.922, Kota Cimahi 1.860, Kabupaten Bandung , Kec. Cimanggung 423, Kec. Tanjung Sari 878, Kec. Sukasari 243, Kec. Jatinangor 491, Kec. Rancakalong 304, Sumber: Hasil Analisis di dalam Buku Laporan Penunjang Metropolitan Bandung, Dinas Tata Ruang dan Permukiman Propinsi Jawa Barat, 2005

88 86 2. Sistem transportasi Menurut Dinas Tata Ruang dan Permukiman Propinsi Jawa Barat (2005), terdapat beberapa permasalahan dalam sistem transportasi Kawasan Metropolitan Bandung antara lain: a. Keterbatasan tingkat pelayanan jalan meliputi : Kemacetan pada beberapa ruas utama di kota inti dan beberapa kota satelit (Kopo, Soreang, Moh. Toha, Dayeuhkolot), antar kota inti kota satelit (Bandung-Lembang, Cimahi-Padalarang) dan antar kota satelit (Rancaekek- Jatinangor). Tingkat pergerakan internal kota inti (Bandung) yang tinggi tidak didukung dengan kualitas pelayanan jalan internal kota inti. b. Keterbatasan prasarana pendukung pergerakan berupa terminal utama meliputi: Ketersediaan prasarana transportasi (berupa terminal) yang kurang memadai Tingkat pergerakan angkutan umum yang tinggi dan ketidakteraturan rute angkutan umum Keberadaan terminal bayangan c. Keterbatasan pelayanan transportasi udara meliputi: Keterbatasan panjang landas pacu bandara Husein Sastranegara Keterbatasan pelayanan bandara Luas dan fasilitas terminal penumpang dan barang yang tidak mendukung 3. Kebutuhan Pengembangan Prasarana Perkotaan a. Air Bersih meliputi: Keterbatasan sumber daya air pada beberapa kawasan: Bandung-Cimahi, Padalarang-Ngamprah, Rancaekek-Cicalengka, Majalaya-Ciparay serta Jatinangor-Tanjungsari dan juga pada beberapa wilayah perdesaan yang belum tersentuh pembangunan sarana infrastruktur air bersih dan mendapat tekanan yang berat dari wilayah industri (Rancaekek, Cicalengka, Ibun, dsb). Berdasarkan laporan Rencana Struktur Tata Ruang Metropolitan Bandung 2025, pada tahun 2010, diperkirakan tingkat kebutuhan air telah melampaui potensi yang dapat dimanfaatkan. Kenaikan terutama untuk rumah tangga dan kegiatan perkotaan.

89 87 TABEL 3-10 Perbandingan Potensi dan Kebutuhan Air di Metropolitan Bandung Tahun Potensi (Juta m3/tahun) Kebutuhan (Juta m3/tahun) Perbandingan Kebutuhan dan Potensi (%) , , ,3 Sumber : Rencana Struktur Tata Ruang Metropolitan Bandung 2025 (Bappeda Jawa Barat, 2005) b. Air Limbah meliputi: saluran drainase tidak optimal karena belum terbangun (terutama di Kabupaten Bandung dan wilayah Kabupaten Sumedang) atau kurang terawat. Tingginya beban pencemaran industri dan domestik terhadap air permukaan, serta keterbatasan wilayah pelayanan air limbah off-site PDAM. Di samping itu, wilayah dengan tingkat ekonomi rendah, seperti di perdesaan, masih belum memiliki sarana sanitasi yang layak. Operasi pemeliharaan yang kurang memadai karena kurangnya tenaga operasional dalam melakukan pemeliharan rutin dan berkala serta kurangnya peralatan yang memadai. TABEL 3-11 Proyeksi Produksi Air Limbah di Metropolitan Bandung Kecamatan/ Jumlah Penduduk Produksi Air Limbah (m3/hari) Kawasan Kota Bandung Kota Cimahi Kabupaten Bandung Sumber: Hasil Analisis di dalam Buku Laporan Penunjang Metropolitan Bandung, Dinas Tata Ruang dan Permukiman Propinsi Jawa Barat, 2005 c. Drainase meliputi: Saluran drainase tidak optimal karena belum terbangun (terutama di Kab. Bandung dan wilayah Kab. Sumedang) atau kurang terawat sehingga sering terjadi banjir. Pada saat musim hujan tiba, di Kota Bandung hampir tiap hari dilanda banjir, yang biasanya merupakan banjir bandang yang menyebabkan banyak ruas jalan terendam air, antara lain pada ruas Jalan K.H. Wahid Hasyid, Moh. Toha, Buah Batu, Gedebage, Terusan Pasteur, Pasirkoja, Soekarno Hatta, Kopo Cirangrang, Lengkong Kecil, Gatot Subroto, Turangga, Laswi, Pelajar Pejuang, dan Katamso. Banjir ini selain

90 88 diakibatkan oleh keterbatasan kondisi lahan juga disebabkan kebiasaan penduduk yang membuang sampah ke selokan atau sungai sehingga saluran-saluran air di jalan tidak berfungsi. d. Persampahan meliputi (Harian Pikiran Rakyat, 6 Mei 2006): Ketersediaan Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS) yang tidak memadai Sistem pengolahan sampah yang belum terpadu karena membutuhkan kerjasama lintas kota/kabupaten Timbulan sampah di Metropolitan Bandung akan meningkat hingga dua kali lipat dari tahun 2003, yakni mencapai meter kubik per hari atau setara dengan ton per hari pada tahun Diperkirakan akan terjadi penumpukan sampah di TPA meter kubik pada akhir tahun 2015 dan meter kubik pada akhir tahun TABEL 3-12 Proyeksi Timbulan Sampah Metropolitan Bandung Timbulan Sampah m 3 /hari Wilayah Kota Bandung Kota Cimahi Kab. Bandung Kab. Sumedang Total Sumber: Buku Laporan Penunjang Metropolitan Bandung Keterbatasan Daya Dukung Alam meliputi: a. Keterbatasan Daya Dukung Lahan yaitu Perkembangan penduduk yang terus meningkat diperkirakan pada tahun 2015 akan melebihi daya dukung dan daya tampung ruang di Metropolitan Bandung (lihat TABEL 3-16). b. Keterbatasan Daya Dukung Sumber Daya Air meliputi: Perkembangan penduduk yang terus meningkat menyebabkan pada masa yang akan datang akan melebihi ketersediaan air bersih Wilayah pelayanan PDAM Kota Bandung relatif masih rendah c. Keterbatasan Daya Dukung Lahan Pertanian Alih fungsi lahan pertanian menjadi non-pertanian akan menurunkan produksi pertanian Konversi hutan akan menyebabkan permasalahan lingkungan meningkat

91 89 Jumlah Penduduk (Ribu Orang) 18,000 16,000 proyeksi pertumbuhan penduduk 14,000 12,000 10,000 daya tampung optimal 8,000 daya tampung minimal 6,000 ` 4,000 2, Tahun GAMBAR 3-16 Daya Tampung vs. Kecenderungan Perkembangan Penduduk Metropolitan Bandung Sumber: Buku Laporan Penunjang Metropolitan Bandung Struktur dan Pola Pemanfaatan Ruang Meluasnya kegiatan perkotaan di kawasan penyangga Perkembangan kawasan terbangun yang sangat tinggi ditandai dengan adanya penambahan kawasan terbangun seluas hektar dalam kurun waktu dari tahun atau rata-rata 2266 hektar per tahun Meluasnya kegiatan perkotaan secara tidak terstruktur, terutama di titik-titik pertumbuhan perkotaan (di bagian selatan Jalan Tol Padalarang Cileunyi dan Kawasan Bandung Timur) sehingga sulit dilayani dan tidak efisien. Perkembangan kawasan terjadi secara sporadis dan tidak mempunyai pola tertentu yang dapat dilihat dari pusat kegiatan dan jasa yang tidak sesuai dengan hirarki pusat maupun sub pusat Pemusatan kegiatan di Kota Bandung yang menampung 70 sampai 95 persen penduduk kawasan pinggiran. Kota Bandung dan kota-kota kecil di sekitar Bandung mengkonsumsi fasilitas perbelanjaan, pendidikan menengah ke atas, dan rekreasi yang ada di pusat Kota Bandung Kota-kota kecil di sekitar Bandung yang diharapkan berfungsi sebagai counter magnet secara fungsional belum terbentuk. 6. Kelembagaan meliputi: Belum adanya keterpaduan dan koordinasi lintas sektor serta antara lintas wilayah dan sektor Lemahnya sistem dan mekanisme perijinan sehingga banyak terjadi penyimpangan pemanfaatan ruang

92 90 Rentang kendali kelembagaan tidak bisa mengakomodasi permasalahan yang terus berkembang Terbatasnya sosialisasi peraturan perundangan yang ada Potensi konflik kewenangan antar sektor dan antar tingkat pemerintahan Ketidakjelasan dari peran yang digariskan dalam kerjasama yang tercermin dari rancunya pengaturan mengenai siapa berbuat apa, kapan, dimana dan seberapa jauh melakukan peran tersebut. Terbatasnya anggaran yang tersedia di masing-masing daerah. SEMARANG Sejarah Dalam kurun waktu tahun 1975 sampai dengan tahun 2000, penduduk kota-kota di Pulau Jawa bertambah lebih dari 20 juta jiwa. Hal ini disebabkan terbatasnya daya dukung tanah pertanian di pulau Jawa sehingga kota-kota di pulau Jawa harus menampung lebih dari 50 persen dari jumlah penduduknya. (RUTRK metropolitan Semarang 1988). Semarang merupakan salah satu pelabuhan terbesar di Jawa. Sebagai pusat perdagangan, khususnya beras, Semarang berkembang menjadi kota yang padat penduduknya (Valentijn 1724 dalam Stevens 1986). Perpindahan administratif yang pernah terjadi di Semarang seperti diungkapkan oleh Roorda, 1850 (dalam Stevens 1986): The old Kasteel had been demolished in 1824 and replaced by a modest fort-like buiding Paris van Oranje or Poncol. In the time, the city had become an important trade-centre for java`s interior. It was not longer situated near the coast but farther inland, where new buildings were constructed in the surroundings of Bojong. The removal of colonial administration to the more healthy Bojong wa the beginning of the transfer of residential quarters fro the old urban nucleus. Pada akhir abad ke 18 sampai permulaan abad ke 19, Semarang menjadi semakin berkembang dengan pembukaan jalur kereta api kearah timur menghubungkan Semarang-Joana dan kearah barat menghubungkan Semarang Cirebon, serta perdagangan internasional yang perannya semakin penting. Kedudukan Metropolitan Semarang dalam konstelasi regional sangat strategis karena adanya keuntungan lokasi, yaitu sebagai simpul atau transit point wilayah. Hal itu menjadikan Semarang berkembang sebagai simpul jasa dan distribusi serta gerbang menuju wilayah lain. Fungsi itu didukung oleh keberadaan Pelabuhan Samudera Tanjung Emas dan Bandara A Yani. Pada tahun 1984 disusun RTRW Metropolitan Semarang yang merupakan tindak lanjut dari hasil diskusi pengembangan Wilayah Semarang, Demak, Kendal, dan Ungaran. Diskusi tersebut merupakan hasil kerjasama antara Bappeda Dati I Jawa Tengah dengan Pusat Riset dan Pengembangan Universitas Diponegoro. Diskusi tersebut menghasilkan rumusan sebagai berikut: Semarang, Kendal, dan Ungaran dipandang sebagai satu kesatuan wilayah

93 91 Tindak lanjut penanganan satuan pengembangan wilayah tersebut dibawah koordinasi Bappeda Dati I dan Dati II Untuk menunjang program pengembangan wilayah Semarang dan sekelilingnya diperlukan penelitian dan studi operasional lebih lanjut. Kota Semarang dalam perkembangnya telah melampaui batas wilayah adminstrasinya. Kondisi ini memerlukan penanganan yang koordinatif di masingmasing wilayah sekitarnya. Luas Metropolitan Semarang secara tentatif diperkirakan seluas ,83 hektar, yang antara lain mencakup seluruh wilayah administrasi Kota Semarang, sebagian wilayah Kendal (Kecamatan Kaliwungu dan Boja), sebagian wilayah Kabupaten Semarang (Kecamatan Ungaran, Pringapus, Bergas), dan sebagian wilayah Demak (Mranggen, Sayung dan Karangawen). TABEL 3-13 Pembagian Wilayah Administratif Metropolitan Semarang Kabupaten/ kota Kecamatan Luas (Ha) Kabupaten/ kota Kecamatan Kota Semarang Luas (Ha) Mijen 6.215,25 Kab. Boja Gunungpati 5.399,08 Kendal Kaliwungu Semarang Selatan 848,05 Luas Banyumanik 2.513,06 Gajah Mungkur 764,98 Ungaran 6.228,64 Kab. Genuk 2.738,44 Semarang Pringapus 6.302,09 Pedurungan 2.072,00 Bergas 4.758,21 Gayamsari 549,47 Luas Semarang Timur 770,25 Candisari 555,51 Kab. Demak Mranggen 7.221,7 Tembalang 4.420,00 Sayung 7.869,2 Semarang Utara 1.133,28 Karangawen 6.695,6 Semarang Tengah 604,99 Luas ,5 Semarang Barat 2.386,7 Ngaliyan 3.269,98 Tugu 3.129,35 Luas ,39 Sumber: Luas Metropolitan Semarang ,83

94 92 Struktur Ruang Metropolitan Semarang merupakan wilayah metropolitan yang terletak di Jawa Tengah dengan batas administrasi serta deliniasi wilayah sebagai berikut: Sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa Sebelah selatan dengan Kecamatan Bawen (Kabupaten Semarang) Sebelah barat dengan Kecamatan Brangsong Singorojo (Kab. Kendal) Sebelah timur dengan Kecamatan Karang Tengah dan Tegowanu (Kab. Demak) Dalam perwujudan fisiknya struktur kota dapat dirumuskan sebagai satu kota atau dapat berupa satu kota inti dengan satelit-satelitnya. Pada umumnya, kota ini berkembang karena adanya hubungan antara dua atau lebih kota inti oleh jaringan transportasi. Wilayah ini meliputi kota-kota utama, kawasan peri-urban dan kawasan campuran kegiatan rural-urban. Hal ini juga berlaku pada wilayah Metropolitan Semarang dengan Kota Semarang merupakan kota inti, dengan kota-kota satelitnya yaitu Ungaran, Demak, dan Kendal. GAMBAR 3-17 Kawasan Metropolitan Semarang Terbentuknya Metropolitan Semarang merupakan akibat dari pesatnya perkembangan yang terjadi di Kota Semarang dan menyebar ke wilayah pinggirannya, yaitu Kab. Semarang, Kab. Kendal, dan Kab. Demak. Letak Kawasan Metropolitan Semarang ini sangat strategis, baik dalam skala intra dan antar wilayah maupun dalam skala nasional. Secara intra wilayah, kawasan ini jelas akan sangat besar peranannya sebagai pusat distribusi produk-produk yang berasal dari daerah perdesaan karena berada pada persimpangan jalur pantura. Adapun dalam skala antar wilayah dan nasional kawasan ini lebih banyak berperan sebagai tempat transit perdagangan dan

95 93 jasa dari wilayah Barat dan Timur Jawa serta pulau-pulau lainnya terutama Kalimantan. Struktur Metropolitan Semarang dapat dilihat pada gambar berikut. GAMBAR 3-18 Struktur Metropolitan Semarang Cat. : peta dasar diambil dari Google Earth 2006 Pada gambar di atas terlihat bahwa kawasan terbangun dan aktivitas perkotaan terpusat di Kota Semarang sebagai wilayah inti dan juga tersebar sepanjang jaringan jalan yang menghubungkan wilayah inti dengan sub pusat di wilayah tepi. Hal ini menunjukkan adanya pola linear yang menjari dari wilayah inti ke wilayah tepi. Berdasarkan Undang-Undang No 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, wilayah Kedungsepur ditetapkan sebagai kawasan tertentu. Tata ruang yang saling bersinergi itu diharapkan dapat mendukung perkembangan Semarang sebagai pusat pertumbuhan Propinsi Jawa Tengah dan daerah-daerah pinggirannya sebagai wilayah pendukung. Dalam konstelasi regional maupun sub-regional, Kawasan Metropolitan Semarang menurut RTRWN maupun RTRWP Jateng, ditetapkan sebagai pusat kawasan andalan

96 94 Kedungsepur (Kendal, Demak, Kabupaten Semarang, Grobogan, Kota Semarang dan Salatiga). Yang perlu diwaspadai adalah, begitu proses aglomerasi industri di Metropolitan Semarang mencapai skala ekonomi maksimum, maka perluasan setelah titik tersebut hanya akan menimbulkan dampak negatif bagi kota maupun daerah sekitarnya. Penduduk Pertumbuhan penduduk di semarang terus mengalami peningkatan. Khusus untuk kota inti Semarang pertumbuhannya adalah sekitar 2,01 persen per tahun pada sekitar tahun dan menurun menjadi sekitar 1,82 persen per tahun pada tahun Pada periode ini, pemerintah daerah terlihat sukses mengendalikan pertumbuhan penduduk, sekalipun Semarang telah berkembang menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi di Indonesia. TABEL 3-14 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Metropolitan Semarang Jumlah Penduduk Kepadatan penduduk Kabupaten Kecamatan Mranggen Karangawen Demak Sayung Kab Pringapus-Bergas Semarang Ungaran Mijen Gunung Pati Banyumanik Tembalang Genuk Semarang Utara Semarang Tengah Semarang Timur Gayamsari Padurungan Semarang Selatan Candisari Gajahmungkur Semarang Barat Kota Ngaliyan Semarang Tugu Boja Kendal Kaliwungu

97 95 Dalam jangka waktu 20 tahun, penduduk kawasan metropolitan Semarang mengalami peningkatan sebesar 50 persen, belum ditambah dengan wilayah lain di sekitarnya. Hal ini menggambarkan kawasan Metropolitan Semarang ini diperkirakan akan terus berkembang seiring dengan perkembangan kota yang dinamis. Jika dilihat arah perkembangan jumlah penduduk di kawasan Metropolitan Semarang, penduduk dikawasan ini berkembang ke arah Selatan dan Timur dari wilayah inti yaitu Kota Semarang. Sebelah timur Kota Semarang adalah Kabupaten Demak, sebelah Barat adalah Kabupaten Kendal, dan selatan adalah Kabupaten Semarang. Perkembangan ini dapat terlihat jelas dari tahun ke tahun seperti ditunjukkan pada GAMBAR Sementara itu, kepadatan penduduk kawasan Metropolitan Semarang menunjukkan masih terpusatnya penduduk di Kota Semarang. Kepadatan penduduk kawasan Metropolitan Semarang dapat dilihat pada GAMBAR GAMBAR 3-19 Perkembangan Jumlah Penduduk Metropolitan Semarang tahun 1983 dan 2002

98 96 GAMBAR 3-20 Perkembangan Kepadatan Penduduk Metropolitan Semarang tahun 1983 dan 2002 Kelembagaan Badan kerjasama dalam pengelolaan dan pengembangan infrastruktur di wilayah metropolitan Semarang belum terbentuk, tetapi langkah-langkah ke arah pembentukan badan kerjasama tersebut telah dilakukan. Salah satunya adalah telah dilakukan studi tentang Fasilitasi Kerjasama antara Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kabupaten Kendal, dan Kabupaten Demak oleh Dinas Permukiman dan Tata Ruang propinsi Jawa Tengah tahun Dalam studi tersebut telah dibuat konsep Kesepakatan Bersama antara Pemerintah Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kabupaten Kendal, dan Kabupaten Demak tentang Kerjasama di bidang Pembangunan Perkotaan antara Pemerintah Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kabupaten Kendal, dan Kabupaten Demak. Contoh lainnya adalah dengan terbentuknya suatu kerjasama di Metropolitan Semarang, yaitu antara Pemerintah Kota Semarang dan Kabupaten Kendal tentang Pemanfaatan air bersih di Kecamatan Boja Kabupaten Kendal Kesepakatan tersebut tertuang di dalam surat perjanjian No. 690/5 dan No. 690/1795A tentang Perpanjangan Kerjasama Pemanfaatan Air Bersih di Kecamatan Boja Kabupaten Kendal antara Pemerintah Kabupaten Kendal dan Pemerintah Kota Semarang yang ditetapkan tanggal 23 Mei Selain itu, terdapat pula penandatanganan nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) oleh enam kepala daerah dari Kabupaten Kendal, Kabupaten Demak, Kabupaten Semarang, Kabupaten Grobogan, Kota Semarang, dan Kota Salatiga. Hal ini dilakukan untuk memperbarui perjanjian kerjasama antar daerah di wilayah

99 97 Kedungsepur (Kendal, Demak, Ungaran, Semarang, Salatiga, dan Purwodadi) yang berarti memulai babak baru yang periodenya telah habis beberapa tahun sebelumnya. Naskah perjanjian kerja sama tersebut berisi kesepakatan menjalin kemitraan di bidang tata ruang, pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya alam serta lingkungan hidup, industri dan perdagangan, pembangunan sarana dan prasarana, perhubungan dan pariwisata, kebersihan dan kesehatan, pertanian dan pengairan, pendidikan dan kebudayaan, kependudukan, ketenagakerjaan, masalah sosial, serta keamanan dan ketertiban. Kerja sama wilayah Kedungsepur yang dirintis sejak tahun 1998 itu merupakan upaya untuk menciptakan keterpaduan dan sinergi antardaerah. Hal itu dilakukan agar pembangunan daerah dapat berjalan secara terintegrasi dan seimbang, sehingga kesenjangan antara daerah satu dengan yang lain akan semakin berkurang. Isu-Isu Pesatnya perkembangan yang terjadi tersebut bukannya tidak menimbulkan masalah. Secara garis besar, permasalahan yang dihadapi oleh Metropolitan Semarang dapat ditinjau dari dua pendekatan, yaitu struktur ruang dan sistem prasarananya. Secara keruangan, struktur metropolitan yang terbentuk belum dapat mencerminkan sebuah struktur ruang yang ideal karena masih terlihat penumpukan kegiatan di kota utama dan belum terlihat adanya hubungan hierarkis antar pusat-pusat pelayanan. Apabila diperhatikan, konsentrasi perkembangan masih berada di Kota Semarang sedangkan kota-kota di sekitarnya belum berkembang dan mengimbangi Kota Semarang. Bahkan yang terjadi adalah proses pembangunan memita (ribbon development) di sepanjang jalur pantura (lintas barat timur). Hal ini apabila tidak diperhatikan akan menimbulkan beban berat bagi jaringan jalan wilayah yang pada akhirnya kemacetan yang terjadi akan lebih parah. Keberadaan ruang terbuka sebagai pembatas perkembangan antara kota satu dengan lainnya layak untuk dipertahankan untuk menghindari perkembangan yang tidak terkendali. Selain itu, RTH ini juga akan dapat berfungsi sebagai wilayah lindung sehingga perkembangan yang terjadi dapat berkelanjutan. Permasalahan yang dihadapi masing-masing sistem prasarana antara lain drainase berupa menurunnya permukaan tanah yang mengakibatkan rob serta kurangnya perawatan. Persampahan berupa rendahnya cakupan pelayanan dan kurangnya armada pengangkut sampah. Air limbah terkait dengan rendahnya cakupan sistem pelayanan dan terjadinya pencemaran air tanah serta sungai. Sementara itu, permasalahan transportasi yang terjadi berupa rendahnya aksesibilitas sebagai akibat dari tingginya volume kendaraan dan rendahnya kualitas jaringan jalan wilayah. Jika ditinjau secara internal dan eksternal, Kawasan Metropolitan Semarang secara umum juga akan menghadapi berbagai permasalahan akibat perkembangan kawasan sekitarnya. Masalah internal meliputi tata guna lahan dan limitasi kondisi alam. Permasalahan tata guna lahan meliputi: 1. Kecenderungan perkembangan kawasan permukiman Pertumbuhan kawasan ini cenderung menuju ke arah luar kota. Padahal, lahan di luar kota semula merupakan lahan pertanian dan hutan lindung/resapan air. Sementara itu, arah perkembangan permukiman di dalam kota mengindikasikan

100 98 adanya pertambahan jumlah kawasan permukiman kumuh, terutama di sekitar pusat kota, pusat perdagangan dan bantaran sungai 2. Kecenderungan perkembangan kawasan industri Kawasan ini cenderung berkembang menuju arah luar kota di perbatasan dengan Kabupaten Semarang, Kendal dan Demak. 3. Keberadaan Kawasan Lindung Permasalahan ini terutama menyangkut pengelolaan kawasan lindung sekitar Gunung Ungaran yang semakin memprihatinkan, mengingat fungsi kawasan tersebut sangat penting sebagai kawasan penyangga untuk Kota Semarang bawah. Sementara itu, permasalahan keterbatasan kondisi alam meliputi: 1. Daerah rawan rob berada di pesisir 2. Daerah rawan banjir, terutama kawasan kota Semarang bagian bawah 3. Daerah rawan gerakan tanah. Beberapa daerah patahan terdapat di wilayah Ngaliyan, Gunungpati, Gombel, dan Tembalang 4. Daerah ambles (land subsidence), umumnya berada di sepanjang kawasan pesisir 5. Daerah lereng dengan kemiringan di atas 40 persen. Kawasan ini sebagian besar berada di wilayah kota bagian selatan Adapun masalah eksternal, yang umumnya terjadi di wilayah perbatasan adalah sebagai berikut: 1. Kawasan Perbatasaan Kota Semarang-Sayung-Mranggen Adanya pertumbuhan industri dan pemukiman baru yang pesat di kawasan perbatasan menuju wilayah Demak. Di wilayah perbatasan Demak ini sebagian besar masih berupa lahan pertanian 2. Kawasan perbatasan Kota Semarang-Kaliwungu Pertumbuhan kawasan industri dan permukiman baru di kawasan ini belum terarah, sehingga dikhawatirkan akan merubah pola hutan lindung dan pertanian yang ada 3. Kawasan perbatasan Kota Semarang-Ungaran Pertumbuhan kawasan permukiman baru yang mengarah ke perbatasan dengan Kabupaten Semarang yang sebelumnya merupakan daerah hutan dan pertanian penyangga kawasan kota bawah.

101 99 MAMMINASATA Sejarah Wilayah Metropolitan Mamminasata, atau juga disebut Metropolitan Mamminasata, adalah akronim dari Sungguminasa, Maros, Makassar dan Takalar yang merupakan kawasan pengembangan yang terbentuk akibat pengembangan kota Makassar yang demikian pesatnya sehingga terjadi aglomerasi antara tiga kota utama lainnya. Wilayahnya meliputi Kota Makassar, Kabupaten Maros, Gowa dan Takalar yang dibentuk berdasarkan SK Gubernur Propinsi Sulawesi Selatan Tahun Wilayah Mamminasata mencakup seluruh kecamatan di Kota Makassar dan Kabupaten Takalar, kecuali 2 dari 14 kecamatan di Maros dan 6 dari 16 kecamatan di Gowa. Pengecualian tersebut dilakukan mengingat jarak lokasi kecamatan yang jauh dari wilayah metropolitan. Luas wilayah Mamminasata adalah 2.462,3 kilometer persegi ( hektar) dengan total jumlah penduduk sekitar 2,06 juta jiwa (2003). Kota Makassar mendominasi semua kegiatan perkotaan di Kawasan Metropolitan Mamminasata. Jadi, Kota Makassar, yang saat ini juga berkembang sebagai pintu gerbang bagi pembangunan Indonesia di Kawasan Timur, adalah cerminan dari Kawasan Metropolitan Mamminasata. Di dalam sistem perkotaan nasional, Kota Makassar sebagai kota utama dalam lingkup Metropolitan Mamminasata berperan sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN). Hal ini berarti cakupan pelayanan Kota Makassar menjangkau wilayah nasional dan berfungsi sebagai pusat pelayanan produksi, distribusi dan jasa serta berfungsi sebagai simpul transportasi untuk melayani wilayah nasional atau beberapa propinsi. Secara administratif kawasan ini mempunyai batas-batas sebagai berikut: - Sebelah utara: : Kabupaten Pangkep - Sebelah timur: : Kecamatan Persiapan Cendrana (Kabupaten Maros) - Sebelah selatan : Kecamatan Bungaya (Kabupaten Gowa) dan Kecamatan Magerabombang (Kabupaten Takalar) - Sebelah barat : Selat Makassar Struktur Ruang Berdasarkan kondisi perkembangan perkotaan yang saat ini terbentuk sebagaimana ditunjukkan oleh peta satelit pada GAMBAR 3-21, konsep struktur kawasan Metropolitan Mamminasata dapat digambarkan sebagai berikut : Poros Utara, menghubungkan kota utama (Makasar) dengan Kota Maros. Poros Timur, menghubungkan kota utama (Makasar) dengan Kota Sungguminasa. Poros Selatan, menghubungkan kota utama (Makasar) dengan Kota Takalar. Konsep struktur tersebut menjelaskan bahwa seluruh orientasi kegiatan di kawasan Metropolitan Mamminasata ini masih terpusat di Kota Makasar. Hal ini dapat dimaklumi mengingat tidak atau belum adanya kegiatan yang dapat menarik pergerakan secara besar ke kota-kota satelit tersebut. Sketsa kondisi struktur ruang perkotaan sekarang di Kawasan Metropolitan Mamminasata dapat dilihat pada GAMBAR 3-22.

102 100 GAMBAR 3-21 Peta Satelit Metropolitan Mamminasata Sumber: Google Earth 2006 GAMBAR 3-22 Sketsa Struktur Metropolitan Mamminasata Sumber: Dinas Pekerjaan Umum 2006

103 101 Penduduk Jumlah penduduk Indonesia adalah 215,28 juta jiwa (2003). Sebanyak 7,1 persen di antaranya berada di wilayah Sulawesi. Lebih dari setengah jumlah penduduk Sulawesi berada di Propinsi Sulawesi Selatan (Lihat TABEL 3-1). TABEL 3-15 Perbandingan Jumlah Penduduk (2003) Sulawesi Wilayah Selatan Sulawesi Indonesia Jumlah Penduduk (2003) ( 000) Bagian Penduduk (Sulawesi) 53,7% - - Bagian Penduduk (Indonesia) 3,8% 7,1% - Sumber: BPS, 2004 Kawasan Metropolitan Mamminasata secara keseluruhan berpenduduk 2,06 juta jiwa (2003) dengan luas wilayah hektar, yang mencakup kota Makassar, dua belas kecamatan di Kabupaten Maros, sepuluh kecamatan di Kabupaten Gowa, dan Kabupaten Takalar. Lebih dari setengah jumlah penduduk Mamminasata tinggal di Makassar sedangkan di Gowa 19,4 persen, di Maros 12,7 persen, dan di Takalar 11,6 persen (lihat TABEL 3-16). TABEL 3-16 Luas dan Jumlah Penduduk Wilayah Metropolitan Mamminasata (2003) Luas (ha)* (%) Penduduk** (%) Kabupaten/Kota Makassar (Seluruh 14 Kecamatan) , ,3 Maros (12 dari 14 Kecamatan) , ,7 Gowa (10 dari 16 Kecamatan) , ,4 Takalar (Seluruh 7 Kecamatan) , ,6 Total , ,0 Sumber: Tim Studi JICA *; BPS** Penduduk Mamminasata meningkat tajam dengan angka pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 1,9 persen antara tahun 2000 dan Dari empat kabupaten/ kota, Gowa memiliki tingkat pertumbuhan tertinggi, yakni sebesar 2,5 persen, sedangkan yang lainnya masih di bawah 2 persen (yakni, Makassar 1,8 persen; Maros 1,8 persen; Takalar 1,4 persen). Kelembagaan Di samping organisasi-organisasi pemerintahan konvensional yang telah ada di tiap kabupaten/kota, khususnya berupa Bappeda dan Dinas Tata Ruang, terdapat pula beberapa badan yang sifatnya lintas kabupaten/ kota. Pertama adalah Badan Kerja Sama Pembangunan Metropolitan Mamminasata (BKSPMM) yang dibentuk sesuai dengan SK Gubernur No. 860-XII-2003 yang diterbitkan dalam rangka untuk memenuhi Peraturan Daerah No. 10/2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Metropolitan Mamminasata. Badan ini bertugas melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap pemanfaatan ruang

104 102 dalam kawasan metropolitan Mamminasata. Di samping diketuai oleh wakil gubernur Sulawesi Selatan, sejumlah pejabat di lingkungan Dinas Tata Ruang Propinsi Sulawesi Selatan pun menduduki kesekretariatan badan ini. Kedua, Departemen Dalam Negeri juga mencoba untuk membentuk Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD). Badan yang dibentuk berdasarkan Kepmen No. 147/2004 ini bertugas mengkoordinasikan, memadukan dan mensinergikan penataan ruang daerah-daerah di Kawasan Metropolitan Mamminasata. Hal ini dilakukan dengan cara mengendalikan proses perencanaan dan penerapan dokumendokumen perencanaan. Namun, SK tersebut tidak menyebutkan kewenangan BKPRD dalam mengendalikan Bappeda atau dinas-dinas terkait. Dengan kata lain, penjelasan fungsi-fungsi BKPRD tidak memperlihatkan kekuatan peran koordinasi BKPRD atas Bappeda dan Dinas. Namun, hal lain yang perlu dicatat adalah BKPRD berupaya memadukan partisipasi publik dalam pelaksanaan tugasnya. Isu-isu Sejalan dengan pesatnya perkembangan Kota Makassar, perkembangan Kawasan Metropolitan Mamminasata juga diikuti dengan berbagai persoalan di bidang lingkungan, transportasi, kelangkaan sarana dan prasarana permukiman, sosial dan ekonomi. Persoalan tersebut saling berkaitan erat dan tidak dapat dibatasi oleh batas administrasi sehingga tidak dapat lagi dilihat sebagai persoalan masing-masing kota melainkan dalam sistem metropolitan yang terpadu. Isu yang paling penting di wilayah Metropolitan Mamminasata adalah perlindungan ekosistem dan lingkungan. Semakin tinggi tingkat kerusakan, maka semakin besar biaya yang dibutuhkan untuk pemulihannya. Sejumlah ekosistem bahkan tidak bisa dipulihkan. Selain itu, aspek kenyamanan perkotaan juga harus dipertimbangkan, karena masyarakat mengharapkan kondisi lingkungan perkotaaan dan pedesaan yang lebih nyaman dan lebih menyenangkan. Limbah hasil kegiatan sosial ekonomi harus dikelola dengan baik. Oleh sebab itu, RTRW Mamminasata seharusnya mencurahkan lebih banyak perhatian pada aspek ekosistem, kenyamanan, dan lingkungan di daerah. Isu wilayah lain di Mamminasata adalah produktivitas yang relatif rendah dalam berbagai kegiatan ekonomi. Sumber daya lokal relatif terbatas, utamanya di daerah pertanian. Sebagian besar produk pertanian dipasarkan dengan tingkat pengolahan yang terbatas. Misalnya, sebagian besar kakao diekspor ke Surabaya dan ke pasar luar negeri masih dalam bentuk biji mentah. Meskipun sejumlah gudang berlokasi dekat pelabuhan Makassar, namun nilai tambah pergudangan masih relatif rendah. Pelabuhan Makassar dianggap sebagai pelabuhan pusat untuk kawasan Timur Indonesia. Namun, pelabuhan ini tidak berfungsi sebagai pusat logistik yang memiliki kontribusi dalam perbaikan ekonomi kawasan Makassar. Oleh karena itu, rencana tata ruang Mamminasata sebaiknya dilaksanakan dengan lebih memperhatikan peningkatan nilai tambah ekonomis di daerah ini. Isu-isu lain yang terkait prasarana antara lain dijelaskan sebagai berikut: Air Bersih Pelayanan PDAM saat ini baik dari segi kualitas maupun kuantitas masih sangat terbatas. Secara kuantitas baru melayani hanya rata-rata 23 persen dari total potensi

105 103 sambungan rumah tangga. Secara kualitas, pelayanan air bersih yang diberikan kepada pelanggan masih jauh dari harapan konsumen baik dari segi jumlah maupun kualitas air yang diperoleh. Demikian juga tingkat kebocoran yang masih tinggi yaitu di atas 50 persen sebagai akibat dari kelemahan pengelolaan. Transportasi Darat Perkembangan kegiatan perkotaan di kawasan Mamminasata yang sangat cepat dalam 5 tahun terakhir ini mengakibatkan volume lalu lintas yang semakin tinggi. Terdapat beberapa lokasi seperti Makassar Maros (Jalan Urip Sumaharjo), Koridor Makassar Sungguminasa (Jalan Sultan Alaudin) dan Koridor Urip Sumaharjo ke arah pusat kota menjadi lokasi kemacetan yang cukup berarti. Perumahan Perkembangan daerah permukiman yang tidak terencana dengan baik mengakibatkan banyak daerah perumahan untuk tingkat menengah rendah menjadi kawasan kumuh. Hal ini diakibatkan prasarana dan fasilitas yang tidak memadai, yaitu antara lain jalan, lingkungan, air bersih dan saluran drainase. Banjir Pengelolaan sistem saluran drainase mengakibatkan sering banjir pada daerah tertentu. Hal ini diakibatkan antara lain semua saluran drainase bermuara ke Sungai Tallo. Banjir ini juga diakibatkan oleh pembangunan perumahan skala besar di kawasan segitiga antara sungai Tallo, Jalan Perintis Kemerdekaan dan Jalan Ir. Sutami. Persampahan Masalah sampah menjadi salah satu perhatian utama dalam pengelolaan perkotaan di Makassar dan Mamminasata. Pengelolaan sampah yang kurang memadai mengakibatkan masih banyak sampah di daerah permukiman yang tidak dapat diangkut. Hal ini diakibatkan angkutan armada sampah yang masih kurang. Demikian juga kapasitas dan lokasi TPA yang sudah tidak memadai lagi memerlukan pengelolaan yang serius.

106 104

107 4 Persoalan dan Tantangan Metropolitan di Indonesia PERSOALAN DAN TANTANGAN UMUM Seperti halnya negara maju dan negara-negara yang kemudian berkembang, gejala penumpukan modal, penduduk, fungsi, pelayanan, kemudahan, dan lainnya, demikian pula persoalan dan tantangan di kota-kota metropolitan terjadi juga di Indonesia (Djamal 1993). Kota-kota metropolitan tumbuh dengan pesatnya melebihi antisipasi para perencana, pengambil keputusan kebijakan, manajer, politisi, dan ahli-ahli perkotaan. Seakan-akan tidak ada kekuatan dan kemampuan yang dapat menghentikan tumbuh dan berkembangnya kota-kota metropolitan sampai suatu saat membangkitkan tuntutan kebutuhan (Lo dan Yueng 1998) untuk membahas persoalan dan tantangan metropolitan di Indonesia seperti dikupas secara panjang lebar dan mendalam dalam buku ini. Yang jelas, hadirnya persoalan dan tantangan metropolitan di Indonesia adalah suatu fakta yang harus diterima. Tidak banyak manfaatnya untuk mempersoalkan lagi apakah misalnya terdapat kelalaian atau kecerobohan dalam kebijakan publik sehingga terjadi kota-kota metropolitan dengan persoalan dan tantangan yang dihadapi sekarang dan yang masih harus dihadapi terus untuk jangka waktu yang cukup panjang. Ciri dan Sikap Ciri persoalan dan tantangan metropolitan adalah: skalanya yang besar, keterkaitannya yang kompleks, tingkat kesulitan dan kecanggihannya yang tinggi. Timbullah keraguan apakah suatu saat tumbuh dan berkembangnya wilayah metropolitan dapat dibatasi dan apakah dapat tumbuh dan lahir keterampilan dan kemampuan untuk mengatasi dan mengelolanya? Keraguan menumbuhkan sikap pesimisme dan fatalisme menghadapi; pada sisi lain, keyakinan dan kepercayaan bahwa suatu saat bangsa kita akan dapat memanfaatkan energi dan inersia dari pertumbuhan dan perkembangan wilayah metropolitan untuk kebaikan, kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat kita akan menumbuhkan optimisme. Namun, optimisme yang tidak berlandaskan pada realitas serta prospek gambaran yang jelas akan masa depan yang cerah akan kehidupan wilayah

108 106 Metropolitan di Indonesia metropolitan adalah suatu fatamorgana yang tidak banyak manfaatnya. Semua pemangku kepentingan masa depan bangsa dan nasib wilayah perkotaan kita mau tidak mau harus mencurahkan segenap pemikiran dan akal untuk mencari jejak jalan yang paling mampu dilakoni dan harus menjadi panduan kemana semua wilayah kota metropolitan akan menuju dan dapat dilabuhkan. Skala Persoalan dan Jakarta Skala persoalan dan tantangan pengelolaan metropolitan merupakan hal yang selalu menjadi pertanyaan tetapi, sampai sekarang belum ditemukan jawaban yang pasti. Para pengamat percaya bahwa kawasan metropolitan menampung lebih dari 60 persen penduduk perkotaan dari seluruh negara dan menyumbangkan persentase besarannya yang sama dalam produk domestik bruto perekonomian seluruh negara 1. Apakah karena faktor ini maka kawasan metropolitan layak menyedot perhatian yang lebih besar dalam kebijakan dan alokasi sumber daya publik dibandingkan dengan wilayah perkotaan lainnya secara agregat? Sementara itu apakah semua wilayah kota metropolitan memang sama dalam sumbangan dan perannya dalam pembangunan nasional? Banyak pengamat umumnya terpaku dan terkecoh oleh persoalan dan tantangan wilayah kota metropolitan Jakarta yang skalanya memang melebihi semua metropolitan lainnya di Indonesia. Selain itu karena Jakarta memegang peran dan fungsi khusus sebagai Ibukota Negara, apa pun yang terjadi di Kota Jakarta akan menarik perhatian nasional dan dunia internasional. Jakarta juga memiliki persoalan dan tantangan yang khusus karena statusnya yang menjangkau lebih luas dari wilayah administrasi DKI Jakarta, sehingga meliputi sebagian wilayah Propinsi Jawa Barat dan Banten serta enam atau lebih daerah berstatus kota dan kabupaten di sekitarnya. Selain itu bukankah DKI Jakarta sendiri sudah berstatus sebagai Propinsi. Persoalan dan tantangan metropolitan Jakarta, apapun wilayah yang dicakupinya, memerlukan perhatian yang sangat khusus dan sulit untuk menyamakan tindak dan sikap serta kebijakan yang sama dengan metropolitan lainnya. Cakupan Wilayah (Ilustrasi Kasus Metropolitan Jakarta) 2 Masih dalam skalanya yang besar, menjadi pertanyaan apa wilayah yang dapat mencakupi semua persoalan dan tantangan metropolitan Jakarta? Semula pengamat percaya, perlu dikenali dan disepakati suatu wilayah yang merupakan wilayah urban luapan perkembangan kota Jakarta atau wilayah terbangun Jakarta raya yang meluber ke daerah sekitarnya yaitu Kabupaten Bogor, Bekasi, dan Tangerang namun tidak mencakupi keseluruhan batasan administrasi ketiga kabupaten yang dimaksud. Pada awalnya wilayah yang seluas itu pun ada yang menganggap dan bahkan mengkhawatirkan terlalu luas sebagai wilayah cakupan metropolitan Jakarta raya. Namun waktu bergulir dan otoritas pengambil kebijakan sudah mempersoalkan dan melihat tantangan perkembangan Jakarta raya meliputi keseluruhan daerah administrasi Kota dan Kabupaten Bogor, Tangerang, dan Bekasi yaitu dalam wilayah yang dikenal sebagai Jabotabek. Bukan sekedar untuk melihat persoalan dan tantangan perkembangan 1 Lihat pembahasan di Bab 5 mengenai kependudukan dan ekonomi perkotaan. 2 Lihat juga misalnya Suselo 2002

109 Persoalan dan Tantangan 107 metropolitan Jakarta raya tetapi juga dari segi kepraktisan legal dan pengambilan keputusan sangat masuk akal untuk membatasinya dengan batasan daerah administrasi yang sudah ditentukan. Berkejaran dengan waktu dan dengan kenyataan pembangunan yang kemudian terjadi, para pemangku kepentingan sudah beranggapan bahwa wilayah Jabotabek sudah terlalu sempit dan menjadi kadaluwarsa untuk menjadi pijakan dalam mengamati persoalan dan tantangan metropolitan Jakarta Raya. Pembangunan jalan tol Jakarta- Cikampek (yang kemudian diteruskan ke Bandung) dan juga Jakarta-Merak mengarahkan kita untuk berpikir metropolitan Jakarta, dalam konteks wilayah yang lebih luas, yang meliputi wilayah perkotaan Pantai Utara Jawa Barat (dan Banten) (Suselo 1994). Maka diperkenalkan konsep wilayah metropolitan Pantura (Pantai Utara) Jawa Barat/Banten. Pada perkembangan terakhir garis batas metropolitan Jakarta, telah berkembang dan kini dikenali sebagai Jabodetabekjur, meliputi kawasan perkotaan dalam daerah DKI Jakarta, Kota dan Kabupaten Bogor, Kota dan Kabupaten Bekasi, Kota dan Kabupaten Tangerang, Kota Depok, dan Kota dan Kabupaten Cianjur (Reksomartono 2006). Mungkin para pengamat akan sependapat sampai sekarang belum diyakini mana batasan wilayah metropolitan Jakarta yang paling layak untuk menjadi pijakan bagi pemecahan persoalan dan dalam menghadapi tantangan metropolitan Jakarta. Dalam skala yang berbeda pasti persoalan dan tantangan untuk menentukan batasan wilayah metropolitan merupakan suatu hal yang pelik dan memerlukan pertimbangan yang cermat. KEPENDUDUKAN, EKONOMI, DAN SOSIAL Kependudukan Seringkali persoalan kependudukan metropolitan menyangkut pertimbangan, perlukah dan dapatkah pertambahan penduduk kota metropolitan dikurangi, dikurangi kecepatannya dan bahkan kalau mungkin dihentikan sama sekali. Kebijaksanaan tertentu pemerintah seringkali dimaksudkan untuk secara sadar membatasi dan melawan kecenderungan penduduk yang berbondong-bondong memasuki metropolitan, seperti kebijakan mempersulit pemberian kartu penduduk bagi mereka yang tidak mempunyai pekerjaan tetap dan jelas, upaya menyadarkan penduduk betapa beratnya kehidupan di metropolitan yang tidak ramah bagi pendatang (menakut-nakuti), dan menutup metropolitan bagi pendatang baru. Seringkali manajer metropolitan mengeluh diluar kemampuannya untuk mengurangi besarnya arus penduduk yang masuk ke kawasan metropolitan dan mengandalkan kebijaksanaan nasional untuk mengendalikan migrasi penduduk dari perdesaan ke kota-kota termasuk kota metropolitan. Sejauh ini belum jelas kebijakan nasional untuk mengendalikan dan mengarahkan arus migrasi penduduk ke wilayah perkotaan. Ada keyakinan lain yang menyarankan bahwa hak untuk bertempat tinggal, mencari kehidupan dan pekerjaan merupakan salah satu hak asasi manusia yang tidak selayaknya dihalang-halangi oleh kebijakan pemerintah. Ada sudut pandang yang melihat aglomerasi penduduk merupakan suatu kekuatan yang menumbuhkan skala ekonomi usaha yang tidak seharusnya dihambat 3, dan upaya 3 Lihat misalnya analisis kependudukan dan ekonomi perkotaan di Bab 5.

110 108 Metropolitan di Indonesia menghambatnya dianggap suatu tindakan menciptakan disekonomi terhadap proses pembangunan nasional dan wilayah perkotaan pada khususnya. Kesulitan yang umum dihadapi dalam membandingkan pertumbuhan penduduk metropolitan di Indonesia adalah seringnya terjadi kerancuan antara penduduk metropolitan yang wilayahnya dibatasi secara fungsional perkotaan dengan wilayah yang dibatasi dalam batas administrasi. Wilayah administratif perkotaan biasanya sudah jenuh dan tidak memiliki lahan dan sumber daya lagi untuk mendukung pertambahan penduduk, karenanya cenderung pertambahan penduduknya nol bahkan berkurang. Pertambahan penduduk secara cepat terjadi di daerah sekitar metropolitan sehingga pertumbuhan penduduk yang terjadi adalah dalam metropolitan yang mencakup daerah administratif di sekitarnya. Dalam kasus metropolitan di Indonesia, khususnya terdapat kebiasaan di masa lalu, terutama untuk maksud perencanaan program untuk membatasi wilayah metropolitan dari segi jumlah penduduk perkotaan, yaitu yang melebihi satu juta penduduk. Padahal, metropolitan memiliki ciri-ciri struktur perkotaan yang lebih dari sekedar jumlah penduduknya, termasuk adanya interaksi dan interdependensi antara kota inti dengan kota satelit di sekelilingnya serta kawasan pertanian dengan sistem perkotaan dan jaringan prasarana dan sarana perkotaan yang lebih luas. Kenyataan diatas menuntut sikap kehati-hatian dalam membandingkan persoalan dan tantangan yang dihadapi berbagai metropolitan di Indonesia. Struktur dan pola perkembangan kependudukan metropolitan amat penting sebagai landasan berbagai macam kebijakan pembangunan metropolitan. Struktur dan pola tersebut, selain kecepatan pertumbuhannya, memerlukan pendalaman dalam aspek lapangan kerja, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, tingkat kesehatan, tingkat pengeluaran/ konsumsi, tingkat pemanfaatan pelayanan umum, dan segi-segi kehidupan lainnya. Selain itu, diperlukan informasi dan kajian yang mendalam pula tentang struktur dan pola pergerakan penduduk secara nasional, antar daerah, antar perkotaan perdesaan, antar kota menengah dan kecil dengan metropolitan, dan di dalam metropolitan itu sendiri. Secara nasional diperlukan kebijakan urbanisasi yang menjelaskan kecenderungan dan keinginan untuk mempengaruhi pergerakan dan pengumpulan penduduk di dalam ruang nasional, propinsi, kota, dan kabupaten, dengan menyoroti pula harapan yang ditumpahkan pada peran metropolitan. Kebijakan urbanisasi nasional tersebut perlu melihat pula kecenderungan primacy rate yang umum terjadi di banyak negara mengenai perkembangan metropolitan terhadap pusat-pusat permukiman lainnya. Kecenderungan primacy tersebut tidaklah demografis semata tetapi meliputi suatu sistem dominasi metropolitan dalam segi perdagangan, produk industri, keterampilan dan penguasaan teknologi, peran politik, dan berbagai kecenderungan dominasi lainnya yang perlu dipermasalahkan. Ekonomi Perkotaan Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi perkotaan merupakan faktor pendorong terjadinya metropolitan dan akan terus berpengaruh terhadap prospek metropolitan di masa depan. Kenyataannya, metropolitan di mana saja mengemban fungsi ekonomi nasional yang amat berarti sumbangannya bagi seluruh negara 4. Metropolitan dituntut mampu berperan dan berfungsi sesuai dengan bagiannya dalam pembangunan ekonomi 4 Lihat analisis Ekonomi perkotaan di Bab 5

111 Persoalan dan Tantangan 109 nasional. Di sisi lain, peran ekonomi nasional metropolitan harus diimbangi dengan tingkat ekonomi yang sebanding dan mampu memberikan kehidupan yang layak bagi warga masyarakat metropolitan itu sendiri. Metropolitan harus mampu menciptakan kesempatan kerja dan tingkat pendapatan yang memadai bagi masyarakatnya untuk dapat bertahan dan bahkan menikmati kehidupan di dalam lingkungan metropolitan. Tingkat pendapatan di metropolitan pada umumnya jauh melebihi kota dan daerah lain serta perdesaan, dan menjadi daya tarik metropolitan bagi arus penduduk yang mencari kerja dan kehidupan yang layak. Tentunya harus diperhitungkan bahwa tingkat pengeluaran masyarakat metropolitan pada umumnya juga jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kota dan daerah lainnya. Adalah kenyataan yang sulit dicegah bahwa dalam suatu metropolitan lebih mudah terjadi perbedaan besar dan yang semakin besar antara kelompok yang tingkat pendapatan dan konsumsinya tinggi dengan yang paling rendah. Meskipun dengan kenyataan ini seringkali tingkat pendapatan dan konsumsi yang paling rendah di metropolitan masih lebih tinggi dan lebih menarik dibandingkan dengan kota dan daerah lain yang lebih kecil atau perdesaan yang merupakan daya penarik arus pergerakan penduduk ke metropolitan. Cukup diketahui bahwa metropolitan merupakan pusat mencari nafkah bagi masyarakat beserta keluarganya yang bermukim di perkotaan dan perdesaan di luar metropolitan itu sehingga terjadi arus sumber dana yang cukup besar dari metropolitan ke perkotaan dan perdesaan dalam jangkauan yang cukup luas. Pada sisi ini, dampak yang ditimbulkan oleh metropolitan adalah positif dalam membangun ekonomi rumah tangga dan juga investasi di perkotaan dan perdesaan. Apabila arus dana yang mengalir dapat ditingkatkan dengan produktivitas yang lebih tinggi dan upah yang lebih tinggi maka dampak positif metropolitan akan menjadi semakin besar dan berarti. Metropolitan merupakan pusat aglomerasi ekonomi yang memberikan lapangan pekerjaan bagi semua golongan pendapatan yang terdiri atas spektrum luas keahlian dan keterampilan. Selain lembaga ekonomi formal, metropolitan dapat bertahan karena kemampuan untuk memberikan ruang gerak yang cukup leluasa bagi sektor ekonomi informal. Kesenjangan antara kelompok berdasarkan tingkatan ekonomi dan pendapatan merupakan persoalan tetapi sistem dualisme ekonomi yang terjadi juga memungkinkan kehidupan metropolitan terus berjalan dalam suasana saling menguntungkan antara berbagai lapisan masyarakat. Meskipun pada dasarnya saling menguntungkan, dalam kenyataannya dualisme ekonomi yang ada dalam metropolitan tidak selalu berjalan mulus, dan tidak jarang terjadi konflik dan tindakan yang tidak selalu adil bagi yang tergolong lemah. Golongan yang lebih kuat ekonominya memiliki ruang gerak yang lebih leluasa dan dalam suatu tatanan ekonomi pasar yang memungkinkan terjadinya akumulasi sumber daya yang luar biasa besarnya tanpa tersentuh kebijakan yang dapat mendistribusikannya secara lebih adil dan merata di antara semua lapisan masyarakat (Cahyono tt, Dahuri tt, Wibowo tt). Golongan ekonomi yang lemah lebih sering menjadi korban penggusuran secara paksa atas nama ketertiban dan disiplin dalam perkotaan tanpa adanya kebijakan yang efektif untuk memberikan ruang usaha yang lebih memadai bagi mereka. Kekuatan ekonomi pasar menempatkan kelompok ekonomi kuat dan teristimewa sebagai pemodal besar yang seringkali berasosiasi dengan pemilik kekuasaan, berperan menentukan dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan publik yang memihak pada kepentingan mereka. Jelas bahwa potensi dunia usaha dan sektor swasta hadir secara meyakinkan

112 110 Metropolitan di Indonesia dalam suatu metropolitan. Sayangnya tidak selalu diimbangi dengan otoritas publik dengan keterampilan, kebijakan, dan kemampuan efektif untuk mengerahkan potensinya secara menguntungkan bagi masyarakat banyak. Ekonomi metropolitan seperti layaknya wilayah perkotaan bertumpu pada sektor industri manufaktur yang dalam kurun waktu belakangan ini cenderung menyusut. Kehidupan ekonomi perkotaan diwarnai oleh berkembang dan tumbuhnya sektor jasa yang spektrumnya luas dan semakin canggih dari jasa angkutan, perdagangan grosir dan eceran, keuangan dan perbankan, pendidikan, kesehatan, pengetahuan dan pengembangan teknologi, sampai pada pelayanan teknologi informasi yang paling mutakhir. Semua sektor kegiatan ekonomi tampil dalam berbagai bentuk yang formal, semi formal, dan informal yang dapat saling bersaing, saling mendukung, dan kadangkadang saling mematikan. Semua bentuk kegiatan ekonomi metropolitan memberikan kesempatan kerja dan pendapatan bagi masyarakatnya dari kegiatan yang sifatnya padat karya sampai padat modal, dari upah yang bersifat balas jasa terhadap modal sampai pada upah tenaga kerja dari yang profesional sampai yang kasar, dari tenaga kerja lepas sampai pada yang sifatnya kontrak dan pekerja tetap. Berdasarkan statistik struktur dan pola kegiatan ekonomi dan tenaga kerja dapat dibaca bagian ekonomi metropolitan yang menyumbang penciptaan lapangan pekerjaan dan besaran pendapatan paling besar dan bagian ekonomi metropolitan yang masih memberikan sumbangan terlalu rendah. Terhadap bagian yang terakhir diperlukan kebijakan dan intervensi publik untuk meningkatkan peran dan kontribusinya. Di samping itu, diperlukan juga upaya dan peran publik untuk terus meningkatkan besaran kegiatan ekonomi yang lebih produktif dari sisi pemberdayaan masyarakat. Peran publik dalam hal ini amat strategis karena akan mempengaruhi tingkatan mutu kehidupan perkotaan yang dapat dinikmati oleh masyarakat metropolitan itu sendiri dan yang dapat menciptakan citra peran metropolitan negara kita dalam skala nasional dan internasional. Tantangan inilah yang perlu mendapatkan perhatian dalam kebijakan publik dalam pembangunan ekonomi perkotaan metropolitan. Pembangunan ekonomi metropolitan memiliki dua dimensi, yaitu nasional dan lokal. Dalam dimensi nasionalnya, sumbangan dan peran ekonomi metropolitan harus diperhitungkan dalam pembangunan ekonomi perkotaan secara keseluruhan dan pembangunan ekonomi nasional. Para pemegang otoritas ekonomi dan keuangan seringkali terpaku pada indikator-indikator makro ekonomi, seperti pendapatan domestik bruto, laju inflasi, tingkat investasi, cadangan devisa dan nilai tukar rupiah, dan ukuranukuran makro lainnya, dan masih kurang memperhitungkan peran ekonomi lokal seperti pembangunan perkotaan dan metropolitan. Dimensi spasial dan lokal dari pembangunan ekonomi akan lebih mendekatkan lagi makna dari kemajuan pertumbuhan ekonomi dari segi wujudnya dalam menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan keluarga, meningkatkan kemampuan konsumsi, meningkatkan daya beli terhadap pelayanan umum, dan pada akhirnya menciptakan mutu kehidupan perkotaan dan metropolitan yang ingin dicapai. Dalam era desentralisasi, pembangunan ekonomi lokal di perkotaan dan metropolitan akan memberikan arti pula dalam wujud peran pemerintah daerah yang melampaui dari sekedar membelanjakan anggaran publik untuk membangun berbagai prasarana dan sarana pelayanan umum. Dalam konteks pembangunan ekonomi perkotaan, pemerintah daerah akan berperan sebagai manajer yang harus mampu mengelola dan memberdayakan semua sumber daya yang dimiliki suatu daerah untuk

113 Persoalan dan Tantangan 111 mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara adil melalui pemberdayaan ekonomi dan keuangannya. Diperlukan suatu visi pemimpin daerah yang berwawasan terpadu dalam menggerakan kemampuan sumber daya (alam, tenaga manusia, dan modal), sektor kegiatan ekonomi (pertanian, industri, jasa, dan ekonomi tersier), di semua aspek kegiatan ekonomi (produksi, distribusi, dan konsumsi), dan dalam semua kebutuhan hidup masyarakat (lapangan kerja, pendapatan, konsumsi rumah tangga, dan mutu kehidupan). Cermin dari struktur ekonomi nasional yang masih ditandai oleh tingkat kemiskinan dan pengangguran yang tinggi sangat jelas kehadirannya di metropolitan kita. Persoalan dan tantangan untuk menanggulangi kemiskinan tampil dalam bentuk kawasan permukiman kumuh dan kegiatan sektor ekonomi informal, yang selain menimbulkan persoalan juga menumbuhkan kekuatan ekonomi dan sosial dalam wilayah metropolitan. Upaya penanggulangan kemiskinan di metropolitan harus dilihat sebagai usaha untuk mengatasi persoalan dan tantangan ekonomi perkotaan daripada sosial budaya. Menurut keyakinan seorang pengamat ahli, persoalan dan tantangan kemiskinan bukanlah terletak pada kemiskinannya tetapi pada masalah penggangguran yaitu tidak tersedianya kesempatan kerja yang layak sesuai dengan struktur penduduk yang mampu memberikan struktur upah yang memadai. Penanggulangan kemiskinan perkotaan haruslah melampaui tindakan yang hanya bersifat memenuhi kebutuhan untuk dapat bertahan hidup, menjadi dapat mengatasi persoalan dan tantangan kemiskinan struktural yang berdimensi pembangunan manusia yang utuh dan berjangka panjang (Kartono tt). Sosial Budaya Seperti halnya dengan ekonomi, keadaan sosial budaya metropolitan adalah serba kompleks dan sangat berwarna-warni. Metropolitan sering diberi julukan sebagai tempat berkumpulnya (melting pot) dari semua macam dan asal kebudayaan, dari yang bercirikan lokal, kedaerahan, nasional sampai internasional, dari yang bercirikan etnis tertentu sampai agama dan budaya tertentu, dari yang klasik sampai kontemporer, dari berbagai macam seni (musik, tari, lukis, pahat, dan lainnya) sampai pada yang tertuang dalam wujud arsitektur bangunan tertentu (yang bersejarah, bernilai sebagai daya tarik wisata, karya unik yang masuk dalam rekor, dan lainnya), dari yang bersifat olahraga sampai pada olah pikir (produk dan kemampuan sains dan teknologi), dari yang bersifat semua umur, hanya untuk dewasa sampai pada yang khusus untuk wanita atau pria. Kesemuanya hadir dan perlu mendapatkan penampungan dan penyaluran diberikan ruang gerak dan insentif untuk menumbuhkembangkannya, prasarana dan sarana yang memadai, dan visi kepemimpinan sosial budaya yang berjangkauan luas dan multi dimensi. Persoalan dan tantangan sosial budaya dalam konteks metropolitan menyangkut dimensi manusia, baik yang bersifat individu dalam berbagai bentuk kelompok (etnis, agama, ras, keluarga, dan lainnya) sampai pada masyarakat secara keseluruhan. Persoalan yang sering dihadapi adalah terjadinya konflik, kesenjangan, dan ketimpangan sosial yang bersifat antar kelompok antar kawasan dan antar lapisan dalam masyarakat. yang jika tidak dikelola secara hati-hati dan baik dapat menjurus ke arah degradasi sosial, yang pada akhirnya dapat berakhir pada disintegrasi sosial. Setiap pembangunan metropolitan bertujuan untuk menciptakan suatu kehidupan masyarakat yang harmonis. Dan untuk mewujudkannya diperlukan pembangunan yang berlandaskan tata nilai

114 112 Metropolitan di Indonesia tertentu (pembangunan berbasis nilai atau value-based development ) (Wirutomo 2003). Dari sudut pandangan ini pembangunan sosial budaya seringkali disebut sebagai pembangunan yang berbasis nilai yang selayaknya mendapatkan tempat dan perhatian yang seimbang dengan pembangunan ekonomi dan pembangunan fisik dalam pembangunan nasional, dan khususnya juga di metropolitan. Apa yang berkembang di metropolitan mudah sekali ditiru dan menular ke kota-kota dan daerah lainnya karena sifat demonstrasi (demonstration effect) yang merupakan salah satu ciri pengaruh metropolitan. Metropolitan merupakan wadah terbentuknya nilai sosial budaya yang agung dan indah. Seperti dari metropolitan dapat diharapkan sumber kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta hasil penelitian dan inovasi, nilai seni yang bermutu tinggi baik yang bersifat domestik maupun manca negara, bangunan berarsitektur dan memiliki nilai sejarah dan seni yang tinggi, kehidupan spiritual yang mengikuti perkembangan zaman, contoh toleransi dalam menyikapi masyarakat yang sifatnya beragam dan aneka ragam. pameran produksi barang mutakhir, sistem pelayanan dan jasa modern dan lebih canggih di bidang ekonomi dan sosial, data dan informasi, serta berbagai keunggulan lainnya. Masyarakat metropolitan juga memiliki ciri produktivitas tinggi karena efisiensi dalam proses produksi dan pelayanan, etos kerja keras, komunikasi antar manusia yang lancar dan bersifat lugas, dan masih sederetan tata nilai lagi yang sangat diperlukan untuk membangun manusia dan bangsa yang berbudaya dan memiliki peradaban yang unggul. Sayang bahwa di akhir-akhir ini metropolitan lebih menonjol karena tata nilainya yang mengagungkan hedonisme, konsumerisme, liberalisme, materialisme, (Kompas 2006) dan cara hidup yang tidak mengindahkan aturan disiplin, hak asasi manusia, pluralisme, spiritualisme, dan etika muncul dalam berbagai bentuknya dalam wajah kehidupan maupun kebijakan publik di wilayah metropolitan. Demikian pula berbagai bentuk keserakahan dan sikap kurang bertanggung jawab dari dunia usaha, serta arogansi dan sikap yang hanya mengunggulkan kekuasaan dan membela kepentingan kelompok yang ditunjukan oleh elit politik dan birokrasi dan terjalinnya persekongkolan antara penguasa dan pengusaha, pasti terpancar dari kehidupan metropolitan. Tata nilai kehidupan masyarakat metropolitan yang demikian mudah merasuki dan dicontoh oleh anak-anak dan generasi muda. yang secara berangsur tapi pasti akan merusak tatanan kehidupan masyarakat yang bermula pada tingkat lokal metropolitan tetapi dengan mudah melalui jaringan media massa akan menyebar ke seluruh negara. Produk interaksi dan berdampingan antara tata nilai yang unggul dan yang mampu merusak serta menghancurkan peradaban menghasilkan wajah fisik dan tata ruang metropolitan yang megah, mewah, unik, bersinar-sinar, dan gemerlapan bercampuran dengan bentuk wajah kota dan kehidupan sosialnya yang. tidak terpelihara. Setiap saat terancam bahaya, tidak nyaman, saling sikut, dan sikap menang sendiri, mengunggulkan kebenaran sendiri, marjinalisasi. Kekumuhan, survival of the fittest, tawuran, narkoba, sikap ekstrimisme, tidak adanya kepastian hukum, rendahnya mutu pelayanan, tumbuhnya kecemburuan sosial, hadirnya enclave-enclave dan ekslusivisme, memudar dan hilangnya struktur sosial di semua tingkatan skala keruangan dari lingkungan perumahan sampai pada tingkatan kota, dan pemerasan dan bunuh diri di kalangan anakanak dan remaja.

115 Persoalan dan Tantangan 113 Hubungan Kota-Desa Persoalan dan tantangan yang dihadapi metropolitan adalah membangun interaksi antara kehidupan perkotaan dan perdesaan yang saling menguntungkan dalam berbagai dimensinya. Interaksi ekonomi terwujud dalam hubungan perdagangan barang dan jasa antara kota dan desa, dimana kota merupakan konsumen produk dan jasa yang berasal dari desa seperti bahan pangan dan bahan baku untuk industri serta keindahan dan keunikan lingkungan alam di desa yang merupakan daya tarik untuk kegiatan olah raga dan pariwisata. Sebaliknya desa merupakan konsumen bagi produk industri bahan pokok seperti pakaian dan bahan bangunan untuk rumah serta berbagai jasa seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, hasil riset dan ilmu pengetahuan, seni dan budaya yang pada umumnya merupakan produk yang dihasilkan oleh kota. Selain barang dan jasa, desa merupakan pemasok tenaga kerja terlatih dan kasar untuk industri konstruksi, serta pelayanan yang tidak memerlukan ketrampilan terlalu tinggi dan dapat mudah diperoleh dan interaksi dalam bentuk aliran tenaga kerja telah menciptakan arus uang yang nilainya berarti dalam meningkatkan taraf kehidupan masyarakat di desa. Interaksi antara kota dan desa dalam konteks metropolitan pasti terjadi pula, meskipun tidak selalu jelas pola dan strukturnya dalam bidang sosial budaya. Banyak anak-anak generasi muda dan kaum perempuan desa yang mudah meniru mode dan cara berpakaian dan bersolek orang kota. Salon-salon yang sebelumnya hanya terdapat di kota sekarang banyak bertebaran di perdesaan. Peran media massa yang membawakan tata nilai dan mempertunjukan cara kehidupan perkotaan mudah diakses oleh masyarakat perdesaan. Usaha untuk menciptakan hubungan ketergantungan dan saling memerlukan yang menguntungkan secara adil antara kota dan desa memang tidak mudah. Salah satu sebabnya karena kota merupakan pusat kekuasaan dan modal serta kekayaan intelektual sehingga selalu lebih kuat, lebih pintar, lebih cerdas, lebih mampu, dan pasti memiliki daya mengalahkan perdesaan. Adalah suatu kebenaran betapa interaksi antara kota dan desa, apalagi antara metropolitan dengan desa, pasti akan di menang kan oleh kota, dan desa selalu di pihak yang akan kalah. Diperlukan suatu nurani yang mulia untuk dapat memutuskan rantai ketidakadilan antara kota dan desa, dari pihak yang paling besar memiliki kekuasaan dan sumber daya modal dan kecerdasan, yang semuanya berkumpul di kota, yang sementara ini sulit untuk diharapkan. Ada kecenderungan belakangan ini untuk menemukan jawaban dalam menghadapi persoalan dan tantangan hubungan kota dan desa dengan memberikan arti baru ( reinvent ) konsep agropolitan yaitu mengembangkan wadah permukiman yang memiliki ciri khusus mengkombinasikan fungsi kota dan desa. Konsep agropolitan adalah suatu konsep lama perencanaan pengembangan wilayah yang sudah diperkenalkan beberapa dasawarsa yang lalu dan sudah tidak terlalu populer lagi. Memudarnya konsep agropolitan karena dengan kemajuan ekonomi dan tingkat urbanisasi yang semakin tinggi di banyak negara berkembang, kota semakin lebih mengandalkan produk dan peluang bagi tenaga kerjanya pada sektor industri manufaktur dan tersier daripada sektor pertanian. Konsep agropolitan pada awalnya lebih diterapkan terhadap kota-kota kecil daripada yang berskala metropolitan. Salah satu hal yang perlu diwaspadai apabila pengertian agropolitan lebih dikaitkan dengan bisnis pertanian (agrobusiness) yang cenderung pada bisnis orang-orang kota di sektor pertanian yang bersifat eksploitatif.

116 114 Metropolitan di Indonesia Globalisasi dan Metropolitan Berbeda dengan konsep agropolitan yang lebih dekat dengan kota kecil sampai menengah, maka persoalan dan tantangan globalisasi lebih terkait dengan kota dan wilayah berskala metropolitan. Jelas dan pasti semua negara akan semakin dipengaruhi dan berada dalam tatanan interkoneksi sistem global dalam bidang ekonomi maupun sosial budayanya. Globalisasi yang bersifat sosial budaya perlu ditekankan di sini karena seringkali globalisasi diinterpretasikan hanya dalam konteks ekonomi, jarang dalam aspek sosial budaya 5. Globalisasi menyangkut kerjasama tapi juga persaingan. ketergantungan dan juga kebebasan bergerak (seperti perdagangan bebas) antar negara. Meskipun interkoneksi global dapat terjadi dari tempat mana pun, namun pasti interkoneksi yang paling utama akan melewati semua metropolitan di negara kita. Semua pusat metropolitan menduduki peran kunci dan menjadi pemimpin yang akan menghubungkan negara kita dengan dunia luar, yang akan me wakili dalam persaingan dengan kota dan metropolitan lainnya dalam tataran global dan yang berfungsi sebagai simpul yang memberikan cerminan citra kekuatan ekonomi dan sosial budaya bangsa kita. Jaringan global metropolitan harus dikenali dalam semua bidang kehidupan, seperti dalam bidang ekonomi (pergerakan keluar masuk barang dan jasa, termasuk tenaga kerja dan tenaga ahli, migrasi penduduk secara global, arus penerbangan, arus pelayaran, arus telekomunikasi, pariwisata atau keluar masuknya wisatawan, arus keluar masuknya uang dan hubungan perbankan, dan lain sebagainya), bidang sosial budaya (perdagangan anak-anak dan perempuan, arus keluar masuknya produk film termasuk CD/VCD/DVD, gerakan tukar-menukar misi kebudayaan termasuk festival film dan kerjasama seni budaya antar negara, olahraga, dan lainnya), bidang politik, hukum dan keamanan (hubungan diplomatik bilateral dan multilateral, jaringan memerangi terorisme, perjanjian ekstradiksi, kerjasama global dalam menangani masalah lingkungan hidup dan permukiman, hubungan kerjasama regional dan dalam kelompok politik tertentu, dan lainnya). Interkoneksi global yang dimaksud akan menentukan berbagai jenis prasarana, sarana dan pelayanan yang akan berpengaruh pada pengalokasian dan penataan ruang metropolitan. INFRASTRUKTUR Transportasi Transportasi memegang peran strategis untuk berfungsinya suatu metropolitan terutama karena metropolitan memiliki kota induk dan kota di sekitarnya yang bersifat satelit, yang mandiri atau masih erat terkait dengan kota induknya; besarnya jumlah penduduk serta mobilitasnya yang tinggi internal dan eksternal, serta fungsi metropolitan yang bersifat nasional, regional, dan global. Jaringan transportasi penumpang untuk menghubungkan perumahan dengan tempat kerja merupakan fungsi yang amat menentukan struktur transportasi metropolitan. Pergerakan barang harus diatur sedemikian sehingga tidak menggangu kelancaran transportasi penumpang namun memberikan pelayanan angkutan barang yang bersifat distributif atau kolektif, dan menghubungkan pusat-pusat produksi ke pintu-pintu gerbang utama secara efisien dan 5 Lihat uraian mengenai globalisasi di Bab 5.

117 Persoalan dan Tantangan 115 dengan hambatan minimal. Untuk mengangkut penumpang yang jumlahnya banyak dan mobilitasnya tinggi diperlukan jaringan transportasi massal (mass transit) yang perlu ditetapkan jenis dan kombinasinya yang mampu dibayar oleh masyarakatnya dan tidak terlalu membebani anggaran daerah. Idealnya metropolitan memiliki transportasi massal berupa kereta listrik di bawah tanah yang disadari investasinya besar dan umumnya diluar jangkauan kemampuan metropolitan negara berkembang. Menghadapi kesulitan pendanaan banyak metropolitan memilih jenis transportasi yang relatif lebih terjangkau investasi dan pembayaran kembalinya seperti yang dilakukan metropolitan Jakarta sekarang yaitu dengan jenis monorail dan busway, dan tetap memfungsikan dengan meningkatkan mutu pelayanan sistem transportasi massal yang tradisional seperti busbus dan kereta api listrik yang beroperasi dipermukaan berdasarkan skema transportasi lama. Sementara itu metropolitan secara tradisi dilayani oleh sistem angkutan bus atau minibus untuk jarak jauh yang suatu saat harus menyerahkan jalur pelayanannya pada sistem transportasi massal yang lebih mutakhir seperti busway dan monorail 6. Pengalaman di metropolitan negara berkembang, khususnya di Asia Tenggara mengajarkan bahwa diperlukan waktu cukup lama untuk membangun sistem transportasi massal yang lebih memenuhi tuntutan kebutuhan. Metropolitan di wilayah Asia Tenggara (Kuala Lumpur, Bangkok, Jakarta, Manila) seakan berlomba untuk membangun sistem transportasi massalnya, yang satu lebih cepat dari yang lain dan semuanya mempunyai cita-cita suatu saat dapat membangun sistem transportasi kereta di bawah tanah seperti halnya dengan negara-negara Asia yang lebih maju seperti Singapura, Hongkong, Korea, dan Jepang. Persoalan dan tantangan transportasi untuk metropolitan pada dasarnya hampir sejalan antara satu metropolitan dengan lainnya yaitu mencari solusi interim sebelum secara finansial mampu membangun sistem yang lebih memuaskan kebutuhan yaitu dengan kereta di bawah tanah. Membangun keseluruhan sistem transportasi yang merupakan solusi interim juga memerlukan waktu, dan dalam masa tenggang harus dihadapi permasalahan kemacetan lalu lintas di jalur transportasi yang ada. Sudah harus direncanakan peralihan peran dari sistem transportasi tradisional yang nanti akan digantikannya. Pemikiran yang terpadu antara sistem yang interim dan yang dicita-citakan, antara kebutuhan kota induk dengan kota-kota lain dan perdesaan disekitarnya, antara yang harus menjadi tugas pemerintah dan yang diharapkan dari sektor swasta, antara kebutuhan seluruh wilayah dengan tiap-tiap lingkungan; antara jaringan prasarana dengan alat angkutan dan terminalnya, dan berbagai aspek lain memerlukan kecermatan dalam perencanaan ruang metropolitan. Ketepatan waktu kapan harus dimulainya membangun dan kapan jadwal penyelesaiannya yang sangat mempengaruhi faktor pembiayaannya juga menjadi pertimbangan pokok dalam perencanaan transportasi metropolitan. Pengalaman di Negara Asia yang lebih maju memberi petunjuk bahwa betapa pun kemampuan bayar masyarakatnya, pengembalian investasi untuk transportasi massal tidak dapat diharapkan tanpa bantuan subsidi pemerintah. Ini disebabkan karena pembangunan jaringan transportasi massal tidak dapat sekaligus beroperasi seluruhnya tetapi harus dibangun secara bertahap. Kemampuan pemerintah untuk memikul beban sebagian biaya pembangunan transportasi massal perlu diperhitungkan dalam menetapkan rencana dan program penyediaan sistem transportasi massal metropolitan. 6 Lihat pembahasan mengenai transportasi di Bab 6.

118 116 Metropolitan di Indonesia Selain transportasi massal yang menjadi tugas pemerintah, transportasi umum metropolitan melibatkan pengusaha swasta yang mengusahakan berbagai macam angkutan umum, diantaranya sistem pertaksian dan minibus untuk jarak sedang dan jauh. Berbeda dengan taksi yang beroperasi di seluruh metropolitan atau bagian dari wilayahnya, maka angkutan minibus beroperasi melayani jaringan tertentu yang umumnya bersifat pengumpan atau feeder terhadap jaringan transportasi jarak jauh yang seharusnya dilayani oleh transportasi massal. Pada dasarnya operasi transportasi yang diusahakan sektor swasta berjalan dengan prinsip persaingan bebas, dan tugas pemerintah adalah menciptakan kebijakan publik yang sebaik-baiknya guna mendorong operasi transportasi jenis ini dapat terselenggara secara optimal sesuai dengan kebutuhan masyarakat metropolitan dan dengan transportasi yang disediakan oleh pemerintah. Kebijakan ini meliputi penetapan tarif dan rute pelayanan yang memberikan peluang yang adil di antara pengusaha angkutan, dan menyerasikan dengan angkutan publik lainnya terutama yang diselenggarakan oleh pemerintah. Pada tingkatan di bawah pelayanan seluruh wilayah dan bagian wilayah yang berjarak jauh dan sedang, persoalan dan tantangan metropolitan adalah menetapkan pilihan untuk angkutan umum jarak dekat pada skala terbatas lingkungan atau kawasan permukiman. Metropolitan di mana-mana sudah mengikuti kecenderungan sama untuk menghapuskan per becak an yang dianggap terlalu mengganggu kelancaran lalu lintas selain kurang manusiawi. Meskipun kecenderungannya demikian, apabila terjadi krisis ekonomi dan keuangan dalam masyarakat, akan tumbuh lagi pelayanan angkutan becak yang merupakan kesempatan termudah dan termurah untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Selain angkutan yang bersifat door to door yang dapat melayani jalan-jalan yang sempit, dan dapat mengangkut serba aneka barang, becak dianggap sebagai alat angkutan yang tidak menimbulkan polusi udara dibandingkan dengan kendaraan bermotor. Dengan berbagai pertimbangan yang dianggap masuk akal, pemerintahan metropolitan mempunyai keinginan kuat untuk menggantikan semua becak dengan kendaraan beroda tiga yang memakai motor (bemo, bajaj, dan kancil). Langkah penggantian jenis angkutan seringkali menimbulkan resistensi karena bernuansa kolusi publik dengan pengusaha, dan karenanya memerlukan banyak waktu untuk melakukan pendekatan sosial yang paling tepat, serta memikirkan nasib pengusaha dan pengemudi dari angkutan yang akan digantikan oleh jenis yang baru. Angkutan yang cocok untuk melayani lingkungan permukiman kemudian berkembang dengan beroperasinya angkutan ojek yang sudah membudaya di mana-mana. Persoalan pangkalan untuk terminal angkutan ini agar tidak menciptakan gangguan terhadap kegiatan ekonomi pada tingkatan lingkungan permukiman lainnya (seperti pasar, dan warung kaki lima) merupakan persoalan transportasi lokal yang memerlukan pemecahan yang cermat. Transportasi metropolitan juga menuntut pemikiran mengenai perletakan terminal angkutan laut, udara dan kereta api yang berdampak terhadap efisiensi dan kelancaran fungsi perhubungan internal dan eksternal dalam suatu metropolitan. Pelabuhan laut dan udara serta stasiun kereta api selalu memerlukan ruang yang cukup luas, dan seringkali diserahkan pengelolaannya secara otonom pada pihak pengelola terminal yang bersangkutan. Perletakan fasilitas terminal jenis ini perlu memperhatikan dampak serta pengaruhnya terhadap kawasan permukiman, karena gangguan dan kecelakaan yang dapat ditimbulkannya, dan kaitannya dengan pelayanan transportasi umum lainnya serta kondisi jaringan jalan yang melayaninya. Persoalan dan tantangan untuk menjamin

119 Persoalan dan Tantangan 117 kelancaran dan efisiensi pelayanan terminal angkutan laut, udara dan kereta api meliputi aspek pola dan struktur permukiman, penataan ruang, manajemen lalu lintas, dan manajemen perkotaan lainnya hanya melampaui sektor transportasi. Selain arus penumpang transportasi yang menggunakan terminal angkutan laut, udara, dan kereta api juga menyangkut arus pergerakan barang yang memerlukan fasilitas yang khusus seperti angkutan kontainer, dan peralatan bongkar muat khusus untuk jenis-jenis produk industri tertentu seperti semen, tepung terigu, minyak, dan lainnya. Secara khusus lagi persoalan dan tantangan jaringan transportasi metropolitan meliputi juga pergerakan dan arus distribusi bahan bakar, dan energi yang diperlukan dalam wilayah metropolitan. Perletakan terminal laut, udara dan kereta api harus memperhatikan kebutuhan jangka panjang, termasuk rencana pemakaian lahan yang ditinggalkan dalam kasus pemindahan lokasi terminal yang sering terjadi di dalam wilayah metropolitan. Perumahan dan Prasarana Dasar Persoalan dan tantangan penyediaan perumahan bagi penduduk metropolitan terkait dengan penyediaan prasarana dasarnya seperti penyediaan air minum, prasarana penyehatan lingkungan (pembuangan air limbah, persampahan dan pengaliran air hujan). Tuntutan kebutuhan akan perumahan dan prasarana dasar besar sekali dan tumbuh dengan cepat, dan khususnya menjadi persoalan dan tantangan karena masih banyaknya golongan penduduk miskin yang tidak mampu menyediakan prasarana dan sarana permukiman bagi mereka sendiri. Kebijakan nasional pembangunan perumahan dan permukiman berprinsip bahwa penyediaan perumahan merupakan tugas dan tanggung jawab masyarakat sendiri dengan difasilitasi oleh pemerintah 7. Persoalan utama yang dihadapi dalam pembangunan perumahan adalah penyediaan lahan yang cukup dan terjangkau bagi masyarakat metropolitan. Dalam kerangka kebijakan nasional dikehendaki adanya intervensi publik untuk mengatur penyediaan lahan permukiman melalui mekanisme kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun (Kasiba dan Lisiba) dengan insentif penyediaan prasarana dan sarana utama yang dibangun pemerintah. Meskipun kebijakan ini telah mendapatkan dukungan legal dalam bentuk Undang-undang dan Peraturan Pemerintah-nya, tetapi mekanisme yang dimaksud belum berjalan seperti diharapkan. Demikian pula meskipun sudah ada persiapan untuk memprakarsai program nasional untuk mengembangkan Kasiba dan Lisiba di beberapa kota dengan kerjasama Asian Development Bank, implementasinya masih terbentur pada persoalan kelembagaan siapa instansi pusat yang bertanggung jawab menanganinya. Persoalan pengembangan Kasiba dan Lisiba meskipun pengaturannya terkait dengan masalah perumahan dan permukiman, tujuannya tidak harus terbatas pada masalah pengembangan lahan untuk perumahan saja tetapi pengembangan kota. Program pengembangan Kasiba dan Lisiba masih memerlukan sosialisasi untuk dapat diterima sebagai bagian dari program metropolitan, selain itu persoalan badan pelaksana pengembangan nya masih perlu dipersiapkan secara cermat. Menurut aturannya badan pelaksana yang dimaksud adalah suatu BUMN atau BUMD dan suatu saat ada keinginan untuk menugaskan Perum Perumnas sebagai badan pelaksananya. Di pihak lain ada keinginan sektor swasta untuk ikut berperan secara aktif, sebagai sumber pembiayaan dan juga dalam badan pelaksana. Persoalan dan tantangan perumahan 7 Lihat uraian perumahan di Bab 6.

120 118 Metropolitan di Indonesia metropolitan masih banyak tergantung pada kebijakan nasional dalam pengembangan perumahan dan permukiman, serta bagaimana program Kasiba dan Lisiba nantinya dapat melembaga sebagai bagian dari program daerah, khususnya di metropolitan. Sejauh ini peran pemerintah dalam penyediaan perumahan di metropolitan dan di perkotaan pada umumnya tidaklah lagi dalam pembangunannya tetapi lebih dalam bentuk fasilitas pembiayaan dengan sasaran masyarakat calon pemilik melalui kredit KPR BTN dan perbankan lainnya. Dengan potensi ekonomi dan dana publik yang dikuasai pemerintah daerah dapat diperkirakan besar kemungkinan bagi metropolitan untuk proaktif dalam menangani penyediaan perumahan rakyat, bagi golongan penghasilan rendah. Selama ini intervensi daerah sudah banyak dilakukan dalam kasus-kasus tertentu seperti dalam hal menanggulangi paska kebakaran, atau dalam hal tindak relokasi penduduk misalnya dari bantaran sungai dan lahan publik dalam rangka penertiban dan peningkatan kualitas lingkungan. Peran pemerintah daerah akan terus meningkat di masa depan untuk menangani persoalan dan tantangan kebutuhan perumahan rakyat dengan melaksanakan program daerah dalam bidang perumahan dan permukiman. Pembangunan perumahan di metropolitan juga menyangkut penentuan pilihan antara pembangunan rumah tunggal dan semi tunggal, atau rumah tidak bertingkat yang memerlukan lahan luas dan rumah susun tinggi yang hemat lahan dan memberi peluang penyediaan ruang terbuka yang lebih luas. Peran pengusaha swasta besar perannya sebagai pelaku dan pengembang perumahan dalam segala skala dan sasaran konsumen. termasuk minatnya dalam membangun perumahan susun. Perlu kiranya diwaspadai kenyataan bahwa investasi dalam perumahan merupakan salah satu bentuk investasi yang dianggap menjanjikan dalam situasi lemahnya daya tarik investasi di bidang lainnya. Persoalan yang dapat dilihat di metropolitan adalah banyaknya kompleks perumahan yang sudah terjual habis namun kosong penghuninya karena sebagian besar pembeli rumah hanyalah untuk maksud investasi. Terjadinya lingkungan perumahan yang berbentuk enclave yang dijaga ketat dan dibatasi dengan pagar yang membuatnya ekslusif perlu dipertanyakan apakah pola lingkungan yang demikian adalah yang kita kehendaki di metropolitan di Indonesia. Perkampungan baru seperti banyak terbentuk sekarang pantas kita bandingkan dengan perkampungan tradisional perkotaan pada masa sebelumnya, yang ditandai oleh akrabnya hubungan antar manusia dan keamanan lingkungannya digantungkan pada penduduknya yang saling menjaga dan mengawasi dan tidak dengan batasan fisik seperti pagar tinggi dan satpam yang berjaga 24 jam. Pemasaran rumah susun yang tinggi-tinggi perlu dipertanyakan apakah dilengkapi dengan jaminan keamanan bangunan, kelancaran dan keandalan aliran air dan buangan limbah, serta didukung oleh manajemen pemeliharaan purna jual yang berkesinambungan. Selain itu, perlu dipersoalkan sejauh mana pengembangan perumahan yang terjadi di metropolitan disertai dengan perhatian yang seimbang untuk membangun komunitas sosial budaya dan ekonomi perkotaan yang memadai (community development) (Lo dan yeung 1998). Pola pertumbuhan perumahan dan permukiman berubah dari waktu ke waktu. Pada awalnya permukiman yang tumbuh mengisi lahan di pinggiran metropolitan yang tidak teratur dan membentuk permukiman acak (urban sprawl). Pengembangan permukiman di pinggiran metropolitan mendapatkan dorongan dari pemerintah dengan dibangunnya Kota Baru Depok pada awal pembentukan Perum Perumnas. Secara sistematis kebijakan pembangunan perumahan juga diarahkan ke pembangunan permukiman skala besar yang

121 Persoalan dan Tantangan 119 menumbuhkan kota-kota baru di pinggiran metropolitan yang dipacu lebih cepat dengan kebijakan pemerintah untuk membangun kawasan industri. Menyadari akan dampak pembangunan kawasan permukiman eksklusif bagi golongan penduduk yang penghasilannya menengah dan tinggi yang berpotensi menciptakan kerawanan sosial, pemerintah memberlakukan formula yang dimaksudkan untuk menciptakan keseimbangan sosial dalam pembangunan permukiman. Ketentuan ini juga dimaksudkan untuk menarik sumbangan investasi para pengembang besar untuk membangun perumahan bagi golongan penghasilan yang lebih rendah. Pembangunan permukiman skala besar dan kota-kota baru meskipun terjadi, menghadapi kendala tersedianya lahan sesuai dengan luasan yang dibutuhkan, sehingga pada akhirnya pola permukiman yang tumbuh bersifat permukiman sisipan dimana-mana dengan skala yang lebih terbatas. Kecenderungan berikutnya, pengusaha pengembang menyadari bahwa penghuni kawasan perumahan dan permukiman di pinggiran kota harus setiap hari memikul derita karena lamanya perjalanan dari rumah ke tempat pekerjaannya pulang pergi. Kenyataan ini kebetulan bertemu dengan kondisi masih banyaknya lahan di tengah kota yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai perumahan apartemen bangunan bertingkat tinggi yang kemudian merupakan pola pemadatan permukiman di tengah kota. Kawasan hunian bertingkat tinggi berdampingan dengan menjamurnya pembangunan pusat perbelanjaan, perkantoran, dan perhotelan yang secara bersama meningkatkan kepadatan di dalam metropolitan. Meskipun meningkatnya kepadatan di tengah kota merupakan kecenderungan yang menguntungkan dari segi optimasi pemanfaatan lahan yang bernilai ekonomi tinggi, pola permukiman yang demikian menyedot energi yang luar biasa, memerlukan dukungan prasarana dan sarana dasar yang berkehandalan tinggi, serta pasti memadatkan lalu lintas yang sudah semerawut dan harus menghadapi persoalan kemacetan akibat konstruksi prasarana dan sarana di tengah kota. Pembangunan perumahan dan permukiman memerlukan jaminan pelayanan prasarana dan sarana dasar perkotaan seperti air minum, pembuangan air limbah, pengaliran air hujan, pembuangan sampah, jalan kota dan jalan lingkungan serta sarana sosial seperti pendidikan dan kesehatan. Menurut kebiasaan yang berlaku, dalam hal pengembangan perumahan dan permukiman dilaksanakan oleh pengusaha pengembang maka para pengusaha diikat oleh peraturan untuk menyediakan dan kemudian menyerahkan semua fasilitas sosial dan fasilitas umum (fasos dan fasum) kepada pemerintah daerah. Namun tidak semua perumahan dan permukiman terbangun sebagai hasil kegiatan para pengusaha pengembang sehingga pemerintah daerah harus memiliki program terpadu dalam penyediaan prasarana dan sarana dasar perumahan dan permukiman. Prasarana dan sarana dasar tersebut melayani pada tingkatan lingkungan perumahan. dan untuk perkotaan secara keseluruhan. Selama ini sudah dikenal program nasional yang menggunakan pendekatan program pembangunan prasarana kota terpadu atau P3KT (Suselo 2005, 1995) yang dilaksanakan melalui berbagai proyek-proyek pengembangan perkotaan (urban development projects) di semua daerah perkotaan di Indonesia, tidak terkecuali di metropolitan seperti Jakarta, Medan, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surakarta, Surabaya, dan kota metropolitan lainnya. Penyediaan prasarana dan sarana dasar perkotaan menurut pendekatan tersebut disediakan dengan mementingkan penyediaan kebutuhan dasar, yang mendapatkan fasilitas pembiayaan

122 120 Metropolitan di Indonesia dari pemerintah pusat 8,serta pembiayaan dari pinjaman luar negeri yang diteruskan pinjamannya kepada daerah. Kekuatan dari pendekatan tersebut terletak pada jaminan tersedianya pembiayaan untuk jangka panjang, atau sedikitnya menengah (lima tahun) dan dapat dicapainya kesepakatan skema patungan atau gotong royong pembiayaan (baik dalam menanggung beban pinjaman maupun dana lokal pendamping). Skema keterpaduan pada tingkat lingkungan dilaksanakan dengan program perbaikan kampung dan perbaikan lingkungan pasar, dan untuk seluruh perkotaan dengan program sektoral yang sudah dipaketkan dalam suatu program terpadu. Persoalan dan tantangan berikut yang perlu dijawab adalah kesinambungan program pembangunan prasarana kota terpadu yang selama ini sudah dilaksanakan, khususnya dalam keadaan kebijakan nasional untuk mengurangi ketergantungan pada pinjaman luar negeri, dorongan untuk memperluas lingkup keterpaduan meliputi spektrum yang lebih luas dari sekedar prasarana dan sarana dasar dan semakin kurang tegasnya bentuk kerjasama antar instansi di pusat dan antara pusat dan daerah dalam menangani pembangunan perkotaan. Bentuk pendekatan keterpaduan yang akan diterapkan di kemudian hari belum mengemukakan dengan jelas, malahan ada kecenderungan untuk mengembalikan cara pembangunan prasarana dan sarana dasar kembali melalui sistem dan pendekatan sektoral. Masih ada keengganan dan ketakutan di kalangan instansi pusat untuk menegaskan tanggung jawab atas pengembangan wilayah seperti perkotaan dan metropolitan kepada daerah, walaupun pada sistem desentralisasi pemerintahan saat ini, urusan pengembangan perkotaan sudah diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Mobilisasi sumber pendanaan untuk membiayai investasi pembangunan prasarana dan sarana dasar adalah persoalan dan tantangan bagi metropolitan dan pembangunan perkotaan pada umumnya. Di lain pihak dalam kenyataannya masih belum dapat dijamin beroperasinya sistem manajemen yang handal, efisien dan mampu menghimpun pendapatan yang cukup (dapat mengombinasikan kemampuan pengumpulan pendapatan serta sistem tarif yang memadai) untuk dapat mengembalikan investasi dan menjaga keberlanjutan pembangunannya. Dalam kenyataannya lebih dari separuh perusahaan daerah yang mengelola air minum kota mengalami kerugian dan tidak mampu mengembalikan hutang-hutangnya. Pengelolaan persampahan dan sistem pembuangan air limbah masih lebih terbelakang lagi, karena selain banyak yang belum berbentuk badan usaha, masih belum dapat diciptakan pelayanan yang terpadu dalam suatu wilayah metropolitan. Sistem pengelolaan prasarana dan sarana dasar yang menekankan otonomi perusahaan dan mengabaikan peran dan tanggung jawab pemerintah daerah seperti di ajar kan oleh lembaga internasional, ternyata tidak memberikan jaminan dapat beroperasinya pengelolaan prasarana dan sarana dasar secara efisien dan handal. Pembagian tanggung jawab antara pemerintah daerah dengan perusahaan yang ditugasi mengelola prasarana dan sarana dasar perlu mendapatkan penegasan, yang memberikan peran dan tanggung jawab yang lebih besar kepada pemerintah daerah. Bentuk-bentuk badan regulator yang dipisahkan dari aparat pemerintah seperti juga dipromosikan oleh lembaga pinjaman luar negeri belum memberikan harapan akan meningkatnya mutu pelayanan prasarana dan sarana dasar, malahan dalam beberapa situasi dikhawatirkan dapat menciptakan kerancuan dengan tugas pemerintahan. 8 Lihat pembahasan mengenai infrasruktur di Bab 6.

123 Persoalan dan Tantangan 121 Lingkungan Hidup dan Ruang Terbuka Semua metropolitan menghadapi persoalan ancaman terhadap mutu lingkungan hidupnya yang sudah dapat diantisipasi karena besarnya sumber daya yang dipakai untuk menghidupi jumlah penduduk yang besar, besarnya bahan buangan yang dihasilkan dalam proses produksi dan konsumsi, besarnya energi yang perlu disediakan dan kepadatan yang tinggi dari penduduk dan bangunannya. Sumber yang menjadi persoalan terbesar dalam kehidupan metropolitan adalah sumber daya lahan dan ruang, termasuk sumber daya air, udara dan kandungan mineral yang berada di dalamnya. Persediaannya sangat terbatas untuk dapat memenuhi tuntutan kebutuhan yang besar di metropolitan, sehingga terjadi persaingan penggunaan yang memerlukan pengaturan yang seksama agar pemanfaatannya adil, memperhatikan kebutuhan jangka panjang terjaga mutunya sehingga berkelanjutan. Metropolitan kita dikhawatirkan akan semakin sulit untuk mendapatkan air baku untuk air minum karena umumnya semua sumber air yang paling ekonomis sudah semuanya dimanfaatkan. Sumber ini pada musim kemarau seringkali mengalami kekeringan, dan pilihan sumber air lainnya sudah sangat terbatas. Penggunaan tanah yang berlebihan telah mengurangi penyerapan air tanah yang menjadi sebab semakin parahnya ancaman banjir di wilayah metropolitan. Sudah diyakini bahwa salah satu sebab utama terjadinya banjir di metropolitan adalah lemahnya ketaatan masyarakat dan kurang efektifnya kinerja aparat dalam pemanfaatan ruang dan lahan untuk kepentingan permukiman. Meskipun terus dicari, namun belum dapat ditemukan cara pengelolaan yang terpadu antara sumber daya alam, seperti misalnya sungai, dengan pembangunan permukiman. Koordinasi antara pengelolaan sektor oleh Instansi Teknis Pusat dengan Otoritas Wilayah dan Daerah yang mengelola pembangunan permukiman masih terus menjadi bahan kajian, sehingga baru pada tingkatan wacana. Persoalan pembuangan sampah memerlukan tindak koordinasi dan rekayasa teknis dan sosial yang cermat karena kecenderungan masyarakat untuk menolak tempat pembuangan sampah serta lemahnya pengawasan terhadap pelaksanaan pembuangan sampah yang secara teknis benar dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Akhir-akhir ini timbul persoalan baru yang ditimbulkan karena eksplorasi pertambangan minyak dan gas yang dilakukan di kawasan permukiman. yang berawal dengan penipuan pada pemilik tanah dan berakhir dengan derita dan sengsaranya ribuan warga metropolitan yang tidak berdaya. Persoalan lingkungan hidup yang sangat menurunkan mutu kehidupan di metropolitan adalah kemacetan lalu lintas yang sulit diatasi, semakin hari semakin parah. meskipun ada prospek perbaikan tapi masih menunggu waktu dapat diselesaikannya seluruh jaringan transportasi metropolitan. Kemacetan terjadi tidak saja pada tingkatan kota tetapi juga umum terjadi di bagian bagian kawasan perkotaan dan juga di lingkungan permukiman. Selain disefisiensi, semakin merosotnya mutu kehidupan, kemacetan lalu lintas dan tumbuhnya jumlah kendaraan motor secara tak terkendali mengancam kesehatan masyarakat kota karena tingkat polusi udara yang semakin melampaui baku mutunya. Pertumbuhan kendaraan bermotor roda dua, dan alat angkutan umum bermotor jarak pendek seperti bemo, bajaj, dan lainnya berpotensi menyebabkan polusi udara dengan intensitas tinggi. Beberapa metropolitan terutama yang berada di luar Jawa belakangan ini juga terancam terkena gangguan asap yang

124 122 Metropolitan di Indonesia ditimbulkan karena kebakaran hutan disekitarnya yang sudah mencapai tingkatan yang mengkhawatirkan bagi kesehatan penduduk. Perkembangan dan pertumbuhan pesat metropolitan umumnya diikuti dengan makin menyusutnya persediaan lahan perkotaan yang cenderung habis dipakai untuk permukiman dan sangat kurang menyisakan lahan untuk ruang terbuka, serta ruang terbuka hijau. Yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah ancaman terhadap ruang terbuka yang masih ada, yang semuanya menjadi bahan incaran para pemilik modal besar. Kekuatan ekonomi besar yang berkolusi dengan penguasa, di tingkat daerah dan pusat, telah menyebabkan penyerahan dalam skala besar ruang terbuka hijau untuk kepentingan pembangunan pusat-pusat pertokoan dan perbelanjaan, perdagangan, perhotelan, dan perkantoran. Lahan yang paling potensial menjadi korban adalah tanah-tanah milik pemerintah seperti lapangan olahraga, bekas fasilitas umum yang direlokasi dan tanah negara yang sementara ini tidak terpakai atau direbut oleh pemukim ilegal. Lemahnya pengelolaan dan pengawasan serta ketiadaan dokumen administrasi pertanahan dari tanah-tanah negara merupakan sebab mudahnya tanah-tanah tersebut berpindah tangan dan digunakan untuk pembangunan oleh pemodal besar yang menguasai metropolitan. Seringkali terjadi pula aparat birokrasi sendiri memberikan teladan dengan mulai merubah penggunaan ruang terbuka hijau untuk keperluan kantor pemerintah, dan menghilangkan ruang terbuka hijau yang semula tersedia cukup di lingkungan permukiman. Perlu disadari bahwa persoalan dan tantangan metropolitan tidak semata bersifat lokal namun sangat terkait dengan wilayah yang menjadi latar belakang tempat metropolitan itu berada. Kepadatan penduduk, aksi perusakan lingkungan, dan keterbatasan alam sendiri menunjukkan sudah terlampauinya daya dukung lingkungan dari keseluruhan ekosistem dan sistem sosial budaya (Suselo 1991). Sudah diingatkan betapa pulau ini sudah seperti kapal yang mendekati karam, dan kita berada di dalamnya. Untuk menyelamatkan kapal itu maka bebannya harus dikurangi dan langkah penyelamatan yang bersifat menyelesaikan persoalannya secara mendasar perlu dilakukan (Sutami 1980). Upaya pemerintah seperti program transmigrasi merupakan salah satu langkah penyelamatan yang demikian, tetapi sayangnya tidak banyak yang tersisa lagi dari program kependudukan yang semula memberikan harapan itu. Banyak sekali persoalan yang dapat dikemukakan untuk menjelaskan sebab kegagalan dan sulitnya pencapaian sasaran program itu, namun sementara ini belum ada pemikiran dan hasilnya yang dapat memberikan harapan dapat diatasinya persoalan dan tantangan lingkungan hidup yang pasti berpengaruh terhadap perkembangan dan masa depan metropolitan. Apakah program revitalisasi pertanian, kehutanan, dan pembangunan perdesaan merupakan strategi besar yang mampu ikut menyelesaikan persoalan dan tantangan kependudukan di negara kita masih perlu dilihat langkahnya dan hasilnya yang nyata untuk menjadi harapan di masa depan. HUKUM DAN KELEMBAGAAN Selama ini sudah ada peraturan perundangan tentang ibukota negara yang mencoba mengatur mengenai metropolitan Jakarta secara khususnya. Belum ada gagasan dan niat untuk menyiapkan peraturan perundangan yang khusus ditujukan pada masalah pengembangan perkotaan dan metropolitan. Meski sudah ada Peraturan Menteri

125 Persoalan dan Tantangan 123 Pekerjaan Umum yang menetapkan Kebijakan Nasional dan Strategi Pembangunan Perkotaan atau KNSP, belum banyak yang dibicarakan dan acuan yang diberikan dalam Peraturan Menteri tersebut mengenai arah perkembangan dan sasaran yang dikehendaki untuk metropolitan di negara kita. Pada awal konsep Jabotabek diluncurkan di pertengahan tahun 1970an oleh suatu kelompok studi tenaga ahli Belanda dari Departemen Pekerjaan Umum, secara proaktif Departemen Dalam Negeri segera mengeluarkan pedoman mengenai perencanaan pembangunan wilayah Jabotabek yang mengandung gagasan perlunya dibentuk suatu badan otoritas pembangunan Jabotabek. Mungkin karena implikasi politik dari pembentukan badan semacam itu dalam perkembangannya tidak tumbuh wacana lebih lanjut mengenai perlunya pembentukan badan semacam itu. Yang kemudian berkembang adalah pembentukan otoritas yang terbatas menangani masalah perencanaan pembangunan wilayah Jabotabek dan kerjasama antar daerah yang berkepentingan pada tingkat propinsi mengenai pengembangan Jabotabek. Sejak awalnya peran pemerintah Pusat besar dalam pengaturan perencanaan pembangunan wilayah Jabotabek, dan berdasarkan suatu Inpres telah dibentuk suatu otoritas perencanaan pembangunan wilayah Jabotabek yang dipimpin oleh Bappenas, beranggotakan instansi Departemen Dalam Negeri, Departemen Pekerjaan Umum, dan Ketua Bappeda dari kedua propinsi yang berkepentingan. Permasalahan perencanaan pembangunan wilayah Jabotabek kemudian menjadi salah satu kelompok kerja dalam Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN). Meskipun konsep penataan ruang wilayah Jabotabek sudah tersusun dan didiskusikan dalam berbagai forum, namun sampai sekarang belum dapat ditetapkan dalam suatu produk hukum. Ada gagasan semula untuk menuangkannya dalam bentuk Keputusan Presiden (Keppres) seperti halnya dengan Rencana Tata Ruang Kawasan Puncak, Bogor, dan Cianjur (Bopunjur), tetapi masih ada keraguan mengenai layak dan tepatnya pengaturan penataan ruang wilayah dalam bentuk Keppres-Keppres. Dengan berkembangnya waktu timbul gagasan baru mengenai perlunya suatu perencanaan yang mempunyai jangkauan megalopolitan yang diusulkan oleh Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso. Gagasan perencanaan megapolitan ini merupakan pengecilan dari konsep otoritas megalopolitan yang pernah diusulkan oleh Gubernur DJI Jakarta Ali Sadikin yang mengamati perlunya pengelolaan wilayah Jabotabek dibawah koordinasi seorang Menteri Koordinasi di tingkat pusat (Sadikin 2003). Belajar dari pengalaman pengelolaan penataan ruang wilayah Bopunjur sangatlah sulit melakukan supervisi dan pengendalian terhadap pemanfaatan ruang wilayah metropolitan yang kewenangan perencanaan detail dan perizinan penggunaan tanahnya berada dan tersebar di banyak sekali pemerintah daerah kota dan kabupaten. Kembali perlu dipertanyakan seberapa luasnya ruang lingkup wilayah yang layak dan tepat bagi pengelolaan wilayah metropolitan seperti Jakarta. Apakah misalnya harus meliputi seluruh wilayah konurbasi Pantai Utara Jawa Barat?

126 124 Metropolitan di Indonesia PENUTUP Demikian beberapa indikasi persoalan dan tantangan pengembangan metropolitan di Indonesia, yang seperti diakui, pada permulaannya sangat dipengaruhi oleh situasi yang dihadapi oleh wilayah metropolitan ibukota yaitu Jakarta dan wilayah pengembangannya. Dalam bab-bab berikut akan dibahas persoalan dan tantangan pengembangan metropolitan secara lebih detail, tidak selalu bertolak dari apa yang dikemukakan dalam bab ini, dan pasti ada jangkauan pengamatan yang lebih luas dari yang sekedar dituangkan dalam bab ini.

127

128 5 Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan KEPENDUDUKAN Pendahuluan Urbanisasi dan pertumbuhan penduduk kota telah menjadi bagian yang penting dalam pembangunan di Indonesia pada beberapa dekade terakhir. Berdasarkan definisi dari Badan Pusat Statistik Indonesia, jumlah penduduk kota meningkat dari 32,8 juta jiwa pada tahun 1980 menjadi 55,4 juta jiwa pada tahun 1990 dan meningkat kembali menjadi 86,4 juta jiwa pada tahun Pada saat yang sama, jumlah penduduk desa meningkat dari 114,5 juta jiwa pada tahun 1980 menjadi 122,8 juta jiwa pada tahun Namun, jumlah tersebut kemudian menurun menjadi 119,4 juta jiwa pada tahun Pada akhirnya, proporsi penduduk kota meningkat tajam dari 22 persen pada tahun 1980 menjadi 42 persen pada tahun 2000 (TABEL 5-1). 1 Jumlah tersebut menunjukkan terjadinya transformasi yang besar dalam masyarakat Indonesia dalam beberapa dekade terakhir, dari yang masyarakat berciri desa, yang terlihat dari sistem pemerintahan dan perdagangannya (terutama adalah komoditas pertanian) yang mendukung pengembangan kota secara terbatas, menjadi masyarakat kota, gaya hidup kota dan yang paling penting adalah keterkaitan penduduk dengan ekonomi kota yang akan membentuk pola pembangunan dan pertumbuhan kota. Dalam hal ini, tingkat pertumbuhan penduduk desa yang rendah (berangka negatif pada tahun 1990-an) pada TABEL 5-1 tidak menunjukkan penurunan angka pada pertumbuhan penduduk desa yang sebenarnya, akan tetapi karena terjadinya perubahan dari tempat dengan karekateristik desa menjadi tempat dengan karakteristik kota walaupun jumlah penduduknya tetap statis. 1 Karena beberapa masalah pada sensus tahun 2000, jumlah penduduk yang diperkirakan sebesar jiwa (kota) dan jiwa (desa). Tambahan sebesar jiwa penduduk kota dan jiwa penduduk desa dihitung secara formal tetapi tidak menjawab karakteristik individual.

129 126 Metropolitan di Indonesia TABEL 5-1 Jumlah dan Tingkat Pertumbuhan Penduduk Berdasarkan Kota/Desa di Indonesia Tahun 1980, 1990 dan 2000 Tahun Kota Desa Jumlah % Kota Jumlah Penduduk , , ,0 Tingkat Pertumbuhan Penduduk (%) ,23 0,78 1, ,58-0,37 1,43 Catatan: (1) Jumlah penduduk kota tidak memasukkan penduduk yang tidak memiliki tempat tinggal yang tetap (tuna wisma, penduduk yang tinggal di atas perahu, dll.) yang memiliki jumlah sekitar 158 ribu pada tahun 1980 dan 127 ribu pada tahun Jumlah penduduk tersebut pada tahun 2000 tidak diketahui. (2) Tingkat pertumbuhan dihitung berdasarkan rumus P(t)=P(0)e rt Sumber: Biro Pusat Statistik (1991), Badan Pusat Statistik (2001) Bagian ini akan menjelaskan secara singkat karakteristik urbanisasi di Indonesia berdasarkan kependudukannya yang dipusatkan pada lima kota besar yang secara umum didefinisikan sebagai kawasan metropolitan antara lain: (1) Mebidang yaitu Kawasan Metropolitan Medan yang meliputi Kota Medan dan sekitar Kota Binjai dan Kabupaten Deli Serdang; (2) Kawasan Metropolitan Jabodetabekjur, meliputi Ibukota Jakarta dan kawasan sekitar Kota dan Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota dan Kabupaten Tangerang, dan Kota dan Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Cianjur; (3) Kawasan Bandung Metropolitan meliputi Kota dan Kabupaten Bandung dan sebagian dari Kabupaten Sumedang; (4) Kawasan Metropolitan Gerbangkertosusila yang terdiri dari Kota Surabaya sebagai pusat, kawasan sekitar meliputi Kabupaten Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Sidoarjo, Lamongan, dan juga Kota Mojokerto; (5) Kawasan Metropolitan Mamminasata meliputi Kota Makassar dengan Kabupaten di sekitarnya, yaitu Maros, Takalar dan Gowa (dulunya bernama Sungguminasa). Tulisan ini akan melihat pola urbanisasi, yang menekankan pada pengelompokan kembali 2 beberapa karakteristik sosial ekonomi penduduk dalam ruang lingkup metropolitan dan beberapa diskusi mengenai bagaimana terjadinya perubahan pola tersebut. Definisi Kota Bagaimanapun juga perlu kehati-hatian dalam menganalisis pola pertumbuhan penduduk kota. Ada dua alternatif definisi kota di Indonesia. Pertama adalah definisi secara administratif, yaitu berdasarkan unit pemerintah lokal yang otonomi yang disebut Kotamadya yang setara dengan status hukum pemerintahan kota. Kedua adalah secara 2 Pendekatan ini digunakan karena kurangnya data rinci mengenai penduduk untuk menghitung perubahan penduduk berdasarkan demografi-pertumbuhan alami (perbedaan antara kelahiran dan kematian) dan net-migrasi (perbedaan antara migrasi masuk dan keluar).

130 Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 127 fungsional, yaitu setiap unit pemerintahan terkecil yang memiliki kesetaraan dengan status desa atau kota yang fungsional berdasarkan karakteristiknya. Ciri utama dalam definisi fungsional yang digunakan oleh BPS yaitu status desa/kelurahan dapat berubah sewaktu-waktu seiring dengan bertambah padatnya penduduk, berkurangnya kegiatan pertanian atau meningkatnya fasilitas dan pelayanan kota. Pengelompokan kembali (secara jelas antara desa dan kota) menjadi faktor utama dalam menjelaskan pertumbuhan jumlah penduduk perkotaan yang cepat, yaitu membandingkan persen dari pertumbuhan kota pada tahun 1990an dengan jumlah migrasi desa-kota sebesar persen (World Bank 2003). TABEL 5-2 Perubahan Definisi Kota Sebelum dan Sesudah Podes 2000 Kepadatan Penduduk (per Km2) Persentase Rumah Tangga Pertanian Nilai terhadap Jumlah Fasilitas Umum Nilai 1990 Sekarang 1990 sekarang Nilai Keter- Keter- Nilai sediaan jangkauan <500 <500 1 >95 70, Catatan: Definisi Kota tahun 2000 berdasarkan data PODES 2000 (a) dapat digunakan dari tahun 1980 sampai 1990-an; (b) dapat digunakan sejak tahun 2000 Tipe-tipe fasilitas publik: (a) Skor hanya untuk ketersediaan: SD, SMP, SMA, rumah sakit, klinik ibu dan anak, pusat kesehatan, jalan yang dapat digunakan kendaraan roda 3 atau 4, kantor pos, pasar permanen, pusat perbelanjaan, bank, pabrik, restoran, pelayanan umum listrik dan jasa penyewaan. (b) Skor untuk keterjangkauan (1 atau 0): TK (1 jika 2,5 Km), SMP dan SMA ((1 tiap 2,5 Km), pasar (1 jika 2Km), bioskop (1 jika 5 Km), pertokoan (1 jika 2 Km), rumah sakit (1 jika 5 Km), hotel/bilyard/diskotek/salon (1 jika tersedia), % rumah tangga yang memiliki telepon (1 jika 8%), dan % rumah tangga yang menggunakan listrik (1 jika 90%) Sumber: Definisi awal berasal dari Sigit dan Sutanti 1983 dalam Peter Gardiner 1993 dan juga pada BPS Statistik Kesejahteraan Rakyat tahun 1990an. Definisi berdasarkan PODES 2000 didapatkan dari BPS Statistik Kesejahteraan Rakyat tahun 2000an. Perubahan definisi fungsional BPS menganggap status kota berdasarkan sistem penilaian yang melibatkan kriteria kepadatan penduduk, proporsi rumah tangga pertanian dan jumlah fasilitas kota dapat dilihat pada TABEL 5-2. Definisi kota fungsional yang dikembangkan pada dekade 1970-an diterapkan pertama kali secara nasional pada Sensus Penduduk tahun 1980 dan dipertahankan sampai tahun 1990an. Perubahan yang

131 128 Metropolitan di Indonesia signifikan diperkenalkan berdasarkan PODES (Potensi Desa) Definisi terkini sangat berbeda dengan definisi sebelumnya dalam hal isi (walaupun metodologi yang digunakan, indeks komposit dan skor masih tetap sama). Berdasarkan definisi baru tersebut terlihat bahwa jumlah penduduk desa meningkat secara signifikan dan proporsi rumah tangga pertanian menurun. Definisi baru juga memperkenalkan perubahan pada jenis fasilitas publik dan pada apa yang diukur. Definisi awal hanya mempertimbangkan ketersediaan sebagai ukuran, sementara definisi terkini mempertimbangkan akses yang kebanyakan diukur berdasarkan jarak capai. Sebagai contoh, perhitungan berdasarkan data pada tingkat desa/ kelurahan menunjukkan bahwa perubahan pada Jabotabek dan Metropolitan Bandung selama tahun 1980-an telah berkontribusi secara signifikan pada pertumbuhan jumlah penduduk di kawasan metropolitan. Setiap tahun penduduk kota di Jabotabek dan Metro Bandung masing-masing tumbuh sebesar 5,8 persen dan 4,8 persen dan jumlah penduduk desa menurun dengan rata-rata per tahun sebesar 1,4 persen dan 0,4 persen. Di dalam kawasan kota inti, pertumbuhan penduduk per tahun pada dua kawasan metropolitan tersebut masing-masing adalah sebesar 2,3 persen dan 1,6 persen, sementara pertumbuhan penduduk pada wilayah yang lebih luas meningkat lebih tinggi yaitu sebesar 7,9 persen di Jabotabek dan 5,2 persen di Metro Bandung sehingga masingmasing berkontribusi sebesar 41 persen dan 31 persen dari seluruh pertumbuhan penduduk di kawasan metropolitan tersebut (Gardiner 1993). TABEL 5-3 Dekomposisi Pertumbuhan Penduduk di Jabotabek dan Metropolitan Bandung tahun Jabotabek Metro Bandung Jumlah Penduduk Tingkat Jumlah Penduduk Tingkat Kawasan (ribu jiwa) Pertumbuhan (ribu jiwa) Pertumbuhan (%/th) (%/th) Yang terdata Kota , ,8 desa (1,4) (0,4) Total , ,5 Kawasan stabil 1980 Kota , ,6 Perluasan , , Kota , ,4 Desa , ,7 Sumber: Peter Gardiner (1993), berdasarkan analisis dari data-data tahun 1980 dan 1990 pada tingkat desa yang menjelaskan perubahan-perubahan nama, kode dan batas wilayah. Pentingnya pengelompokan dalam menghitung pertumbuhan penduduk kota tidak dapat diabaikan, khususnya di Pulau Jawa yang pemerintah dan kegiatan ekonominya sangat berperan dalam konversi guna lahan dan untuk kepentingan pengelompokan yang 3 PODES (Potensi Desa) dilakukan untuk mempersiapkan tiga sensus utama yaitu. Sensus Penduduk pada tahun yang berakhiran 0. Sensus rumah tangga pertanian pada tahun yang berakhiran 3. dan Sensus rumah tangga pertanian pada tahun yang berakhiran 6.

132 Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 129 lain. Pengelompokan tersebut memberi kesan bahwa urbanisasi mempercepat peran parameter demografi, pertumbuhan alami dan migrasi dalam pertumbuhan penduduk metropolitan yang akan dikelompokkan dan dikembangkan kembali. Pola Permukiman Penduduk dan Pertumbuhan Kota Pola ekologi urbanisasi di Indonesia ditunjukkan oleh perkembangan Kawasan Metropolitan Jabodetabek yang semakin besar. Walaupun pada awalnya terlihat seperti pola konsentrik 4, tetapi belakangan ini perkembangan pergerakan penduduk menunjukkan fenomena seperti pada teori kombinasi antar sektor 5 dan pola konsentrik 6, sebagai akibat pertumbuhan penduduk dan kegiatan ekonomi yang sesuai dengan pengembangan wilayah dan jalur transportasi. Secara demografis, ciri utama kota-kota besar di Indonesia adalah tingkat pertumbuhan penduduk yang didefinisikan untuk kawasan inti kota yang sebagian besar proporsi guna lahan pada kawasan tersebut dimanfaatkan terutama untuk, atau mengalami perubahan, dari permukiman menjadi non-permukiman khususnya untuk kegiatan komersial; dan kawasan pinggiran kota digunakan sebagai perluasan permukiman penduduk. Kawasan inti dicirikan dengan berbagai faktor antara lain penurunan penduduk absolut, tingkat migrasi keluar yang tinggi, sedangkan kawasan pinggiran kota dicirikan dengan tingkat migrasi ke dalam yang tinggi dan sebagai akibatnya adalah meningkatnya jumlah penduduk absolut. Walaupun akhir-akhir ini (khususnya setelah krisis moneter) muncul perubahan ke arah jentrifikasi 7 pada kawasan inti di beberapa kawasan metropolitan melalui peningkatan pembangunan apartemen dan town house yang sering kali dengan standar kenyamanan internasional, tetapi hal tersebut tidak akan menyebabkan perubahan besar pada pertumbuhan penduduk di pusat kota karena pembangunan di pusat kota tersebut seringkali tidak menggantikan permukiman kumuh (untuk masyarakat miskin) sebelumnya yang lebih padat; dan karena pembangunan di kawasan pusat kota tersebut juga memerlukan fasilitas, bukan permukiman yang cukup luas, seperti pusat perbelanjaan dan supermarket mewah. 4 Berdasarkan Ernest Burgess tahun 1925 dengan judul the pattern of growth of American cities (Chinoy 1967, hal. 279). 5 Dikemukakan oleh Homer Hoyt tahun 1939 yang memodifikasi rencana Burgess dengan memfokuskan pada pergerakan-pergerakan antar sektor yang didesak dari arah luar dengan mengikuti jaringan jalan utama (Chinoy 1967: 279) 6 Dikembangkan oleh Edward Ullman dan Chauncey Harris yang mengidentifikasi pertumbuhan khusus di daerah inti yang mengalami perubahan karena fungsinya seperti komersial, industri ringan, industri berat, dan perluasan kawasan permukiman. 7 jentrifikasi (gentrification) adalah perubahan sosial ekonomi kawasan pusat kota karena berpindahnya penduduk miskin digantikan oleh penduduk dengan tingkat sosial ekonomi yang lebih tinggi.

133 130 Metropolitan di Indonesia TABEL 5-4 Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Kawasan Metropolitan Jabotabek Tahun Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk Luas Kawasan (Juta jiwa) (Jiwa/Km 2 ) (Km 2 ) JABOTABEK 6.174,7 17,10 20,16 21,19 2,769 3,265 3,432 Core 662,0 8,22 9,11 8,35 12,421 13,765 12,609 Jakarta Selatan 145,7 2,03 2,04 1,78 13,922 14,008 12,245 Jakarta Timur 187,7 2,01 2,38 2,35 10,701 12,698 12,509 Jakarta Pusat 48,3 1,16 0,98 0,87 24,021 20,267 18,108 Jakarta Barat 126,2 1,67 2,15 1,90 13,246 17,011 15,089 Jakarta Utara 154,1 1,35 1,56 1,44 8,785 10,140 9,321 Inner Zone 2.373,8 5,43 7,28 9,44 2,289 3,065 3,975 Bogor 1.020,3 2,28 2,48 3,58 2,235 2,435 3,507 Bekasi 606,1 1,42 2,14 2,71 2,345 3,526 4,471 Tangerang 747,4 1,73 2,65 3,15 2,317 3,551 4,212 Outer Zone 3.138,9 3,44 3,77 3,41 1,097 1,201 1,085 Bogor 2.164,2 1,73 2,22 1, , Bekasi 437,9 0,68 0,62 0,62 1,560 1,416 1,422 Tangerang 536,8 1,03 0,93 0,96 1,925 1,742 1,787 Catatan: Berdasarkan data Sensus Penduduk tahun 1990 dan 2000 dan data survey penduduk desa tahun 1995 Sumber: Mamas dan Komalasari (akan datang) Mamas dan Komalasari (akan datang) 8 membagi Kawasan Metropolitan Jabodetabek menjadi core, inner dan outer fringe, serta menunjukkan bahwa kawasan fringe yang sebagian besar masih merupakan kawasan perdesaan masih berada di dalam kawasan metropolitan yang besar dan menunjukkan bahwa perubahan ke arah kota sedang berjalan atau baru akan dimulai 9. Dinamika perubahan kawasan di core Jabotabek yang akan datang dapat menjadi indikasi pola pertumbuhan dan penurunan jumlah penduduk di kawasan metropolitan di Indonesia. Pertumbuhan dan penurunan penduduk di kawasan core Jakarta menunjukkan pola konsentrik/memusat dengan Jakarta Pusat sebagai the inner core dan kawasan lain di dalam Jakarta sebagai lapisan 8 Sangat disayangkan pekerjaan Mamas dan Komalasari ini tidak dapat diulangi untuk tulisan ini karena memerlukan pemakaian data pada tingkat desa yang tidak bisa didapatkan. 9 Sebagai ibukota negara. yang memiliki keistimewaan dibandingkan kota-kota lain. peran Jakarta di dalam negara maupun di dunia internasional menjadi menarik untuk diteliti seperti yang telah dilakukan oleh T. Firman ( dan 2004).

134 Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 131 pertama yaitu outer zone, bergerak ke luar dari Jakarta Pusat sebagai inner core ke daerah sekitarnya yang disebut outer zone disebabkan kepadatan permukiman yang rendah. Di Jakarta Pusat, kepadatan penduduk mencapai 18 ribu jiwa/km 2 sedangkan di kawasan outer fringes, khususnya daerah Bogor, kepadatan penduduknya masih kurang dari 1000 jiwa/km persegi (TABEL 5-4). TABEL 5-5 Rata-rata dari Pertumbuhan Penduduk, Pertumbuhan Alami dan Migrasi di Jabotabek Tahun dan Rata-Rata Rata-rata Rata-rata Pertumbuhan Penduduk Pertumbuhan Alami Net-migrasi Kawasan (%) (per 000) (per 000) JABOTABEK 3,35 1,00 1,82 16,9 6,1-7,4 Core 2,08-1,74 16,1 16,0 3,5-34,1 Jakarta Selatan 0,12-0,30 15,5 15,6-14,3-44,4 Jakarta Timur 3,48-2,23 17,0 16,9 14,4-19,9 Jakarta Pusat -3,34-2,37 13,7 14,0-50,7-37,8 Jakarta Barat 5,13-1,67 15,6 15,8 28,6-41,2 Jakarta Utara 2,91-1,74 17,3 15,5 9,4-33,0 Inner Zone 6,01 5,33 19,7 17,6 30,8 28,2 Bogor 1,73 7,56 15,9 17,1 0,5 44,0 Bekasi 8,50 4,86 24,9 17,8 42,0 24,4 Tangerang 8,91 3,47 19,5 17,8 50,0 13,5 Outer Zone 1,84-2,01 22,8 18,8-5,4-40,2 Bogor 5,12-3,80 23,9 19,2 20,3-62,0 Bekasi -1,91 0,07 18,8 16,9-39,0-16,1 Tangerang -1,98 0,52 23,3 19,6-44,3-14,5 Catatan : Berdasarkan data Sensus Penduduk tahun 1990 dan 2000 dan data Survey Penduduk Tahun Tanda positif menyatakan migrasi masuk dan tanda negatif menyatakan migrasi keluar. Sumber: Mamas dan Komalasari (akan datang) Untuk mengetahui penyebab pertumbuhan penduduk, tulisan ini melihat komponenkomponen pertumbuhan penduduk tersebut dari pertumbuhan alami dan net-migrasi (TABEL 5-5). Perubahan pola pertumbuhan penduduk penting untuk dicatat. Secara umum, tingkat pertumbuhan penduduk di Jabodetabek pelahan-lahan menurun secara signifikan sepanjang dekade 1990-an dari 3,35 persen per tahun selama paruh pertama menjadi hanya 1 persen selama paruh kedua sampai akhir abad ini. Penurunan tingkat pertumbuhan penduduk terjadi meskipun pertumbuhan alami meningkat secara positif (selisih antara kelahiran dan kematian) ketika tingkat migrasi masuk menurun secara signifikan dari 6,1persen (positif) selama paruh pertama menjadi -7,4 persen (negatif) selama paruh kedua dekade 1990-an. Dengan kata lain, secara umum Jabotabek ditandai

135 132 Metropolitan di Indonesia dengan jumlah migrasi masuk selama paruh pertama dari dekade terakhir yang kemudian ditandai dengan migrasi keluar pada paruh akhir dekade tersebut. Pada tingkat lokal, perubahan pertumbuhan penduduk terjadi karena beberapa alasan. Pada kawasan core Jakarta, peningkatan harga lahan untuk kegiatan komersial dan permukiman mewah seperti mall, bangunan-bangunan perkantoran bertingkat, dan apartemen, menggantikan villa dan rumah tinggal yang hanya satu lantai, yang menyebabkan pertumbuhan negatif yang ditunjukkan dengan tingginya angka migrasi keluar. Dengan kata lain, pada kawasan luar kota (outer fringe) Jabotabek, khususnya Bekasi dan Tangerang, orang-orang membangun kawasan industri pada pertengahan pertama 1990-an yang menyebabkan angka migrasi keluar tinggi. Di antara dua kawasan ekstrim Jabotabek yaitu kawasan core dan outer, penduduk di inner zone akan meningkat karena banyaknya migrasi yang masuk ke kawasan tersebut. Walaupun demikian, tingkat pertumbuhan penduduk di inner zone perlahanlahan menurun, dari 6,01 persen menjadi 5,33 persen per tahun selama pertengahan awal dan akhir tahun 1990-an. Penurunan ini diakibatkan oleh seluruh penurunan pada pertumbuhan alami dan net-migrasi. Gambaran pertumbuhan penduduk di Jabotabek tersebut menunjukkan bahwa sebagai sebuah kawasan metropolitan, pertumbuhan penduduk di Jabodetabek cenderung didorong oleh kekuatan pasar dan pemanfaatan lahan. Harga dan guna lahan mempengaruhi tingkat migrasi yang masuk dan keluar. Metropolitanisasi Lima Kawasan Metropolitan Tahun 1980-an dan paruh pertama dekade 1990-an (sampai krisis ekonomi) merupakan periode pengembangan metropolitan secara besar-besaran, khususnya di Pulau Jawa. Secara demografis, hal ini dapat dilihat dari laju pertumbuhan penduduk yang relatif cepat di beberapa kota utama, lebih cepat lagi di kota-kota besar Jabotabek (sekarang Jabodetabekjur), Surabaya dan Bandung jika dibandingkan dengan daerah lain (baik desa maupun kota) yang berada di dalam kawasan tersebut. Cepatnya perluasan kawasan perkotaan (urbanized area) ke kawasan-kawasan yang berdekatan merupakan salah satu ciri proses tersebut, yang berarti bahwa reklasifikasi merupakan faktor yang signifikan dalam menentukan pertumbuhan kota secara keseluruhan. Net-migrasi juga merupakan penyebab meluasnya kawasan metropolitan ini. Bagaimanapun juga, sebagian besar migrasi sebenarnya terjadi di dalam metropolitan itu sendiri yaitu penduduk yang bergerak keluar dari kota induk (core) sekarang ke daerah-daerah lain di pinggiran atau perbatasan kota. Hal tersebut menunjukkan bahwa aspek-aspek penting yang terjadi di Kawasan Metropolitan Jabotabek menjadi ciri perubahan yang juga terjadi pada kawasan-kawasan metropolitan lain. Perubahan Jabotabek menunjukkan sebuah kombinasi tiga pola pertumbuhan kota konsentrik, sektoral dan banyak pusat dimulai dengan sebuah pusat atau core yang terdiri dari kota utama dan dikelilingi daerah-daerah yang sedang mengalami proses urbanisasi. Lima Kawasan Metropolitan yang menarik untuk diteliti antara lain: (1) Mebidang. yang terdiri dari Kota Medan dan Binjai serta Kabupaten Deli Serdang; (2) Jabodetabekjur terdiri dari DKI Jakarta dan Kota Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, serta Kabupaten Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur; (3) Bandung Raya terdiri dari Kota Bandung dan Cimahi, serta Kabupaten Bandung dan Sumedang; (4)

136 Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 133 Gerbangkertosusila terdiri dari Kota Surabaya dan Mojokerto serta Kabupaten Sidoarjo, Mojokerto, Lamongan, Gresik, dan Bangkalan; (5) Mamminasata terdiri dari Kota Makassar dan Kabupaten Takalar, Goa dan Maros. TABEL 5-6 Pertumbuhan Penduduk Desa di beberapa Kawasan Metropolitan Kawasan Jumlah Jumlah Penduduk Kota (%) Metropolitan Jumlah Penduduk Desa (ribu) Mebidang ,4 32,5 41,8 Jabodetabekjur 1,762 1,829 1,847 39,9 39,9 56,0 Bandung Raya ,6 31,0 47,7 Gerbangkertosusila 1,951 1,949 1,949 22,7 22,5 40,0 Mamminasata ,9 35,0 37,6 Total Penduduk (juta) Mebidang 3,3 3,6 4,2 65,2 66,5 76,3 Jabodetabekjur 18,8 20,6 23,9 69,8 67,4 79,0 Bandung Raya 5,9 6,4 7,3 53,6 52,0 67,7 Gerbangkertosusila 7,2 7,5 8,1 48,5 48,3 63,3 Mamminasata 2,1 2,1 2,2 60,8 57,7 61,5 Catatan: Mebidang terdiri dari: Kota Medan dan Binjai; Kabupaten: Deli Serdang Jabodetabekjur terdiri dari: Semua Kota di wilayah DKI Jakarta, Bogor, Depok Tangerang, dan Bekasi; Kabupaten: Bogor, Tangerang, Bekasi dan Cianjur. Bandung Raya terdiri dari: Kota Bandung dan Cimahi; Kabupaten: Bandung dan Sumedang Gerbangkertosusila terdiri dari: Kota Surabaya dan Mojokerto; Kabupaten: Sidoarjo, Mojokerto, Lamongan, Gresik, dan Bangkalan Mamminasata terdiri dari: Kota Makassar; dan Kabupaten: Takalar, Goa dan Maros. Jumlah Penduduk dari data Podes yang didapat dari kepala desa, unit data lebih kecil dari penelahan khusus oleh IHS berdasarkan data dari BPS Podes (Potensi Desa) dalam beberapa tahun. Data Podes (Potensi desa) BPS saat ini memungkinkan untuk dianalisis dengan memperhatikan sejarah perkembangan secara terbatas dalam memahami proses urbanisasi dengan memfokuskan pada tiga periode terakhir, yaitu tahun 1995, 1999 dan Dengan menggunakan delineasi desa, desa-desa yang dapat dikelompokkan sebagai kota dan penduduk yang bertempat tinggal di desa tersebut diidentifikasi sebagai dasar untuk menghitung persentase desa-desa yang menjadi kota dan persentase jumlah penduduk kota yang tinggal di desa tersebut (TABEL 5-6). 10 Seperti penjelasan sebelumnya. Podes dilibatkan dalam persiapan sensus utama: Podes tahun 1995 sebagai persiapan Sensus Pertanian tahun Podes tahun 1999 sebagai persiapan Sensus Penduduk tahun 2000 dan Podes tahun 2005 untuk Sensus Ekonomi tahun Pemakaian tahun dalam Podes oleh BPS berdasarkan tujuan tertentu. Tahun yang menjadi referensi disini menggambarkan tahun pengumpulan data

137 134 Metropolitan di Indonesia Pembahasan selanjutnya perlu diperhatikan dengan seksama. Pertama, tanpa kecuali, proses urbanisasi secara ekologis di lima kawasan metropolitan jauh lebih lambat dibandingkan dengan perkembangan demografisnya. Perluasan kawasan metropolitan menunjukkan bahwa kecuali Jabodetabekjur, kawasan metropolitan lainnya secara ekologis masih lebih berciri desa daripada kota. Contohnya, hanya kurang dari setengah desa-desa tersebut sudah dikelompokkan menjadi kota. Dengan kata lain, dari perspektif kependudukan, kecenderungan untuk mengkategorikan penduduk desa-desa tersebut menjadi penduduk kota secara umum meningkatkan tingkat urbanisasi secara tajam. Dari lima kawasan metropolitan tersebut, Mebidang dan Jabodetabekjur memiliki lebih dari 3 dari 4 rumah tangga penduduk di desa yang berciri kota (urban village), sedangkan tiga kawasan metropolitan lainnya antara 6 dan 7 dari 10 penduduk yang tinggal di desa berciri kota. Kedua, proses urbanisasi menjadi semakin cepat dan terlihat jelas bahkan dalam periode pendek selama sepuluh tahun, yaitu dari tahun 1995 sampai tahun Kecenderungan ini terjadi meskipun definisi desa yang menjadi kota tersebut lebih ketat (lihat TABEL 5-2). Kecenderungan ini tidak hanya dapat dilihat dari sisi ekologi tetapi juga dari sisi demografi. Pada lima kawasan metropolitan tersebut, wilayah desa berciri kota serta jumlah penduduknya meningkat secara signifikan selama lima tahun terakhir dalam abad ini dibandingkan abad sebelumnya sedangkan secara anekdot dirasakan bahwa ketika bergerak keluar dari pusat kota dan melihat iklan-iklan untuk komplek perumahan, dimana proses urbanisasi terjadi. Lebih lanjut, perlu diingat bahwa kecenderungan percepatan urbanisasi pada saat terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997 terus berlangsung dan tetap bertahan. Pada saat itu, krisis pertama kali mempengaruhi dinamika sektor konstruksi yang menyebabkan pembuat kebijakan menjadi khawatir akan dampak sosialnya berupa demonstrasi para pekerja yang di-phk di jalan-jalan Jakarta. Data ini menunjukkan adanya kemungkinan sektor konstruksi kembali menjadi penggerak urbanisasi yang terjadi di semua kota-kota besar di negeri ini. Kondisi pada tahun 2005 digambarkan oleh peta pada gambar-gambar di bawah. Peta tersebut menunjukkan penyebaran desa berciri kota (urban village) dan desa berpenduduk paling sedikit 2000 jiwa atau lebih di lima kawasan metropolitan. Berdasarkan data kepadatan penduduk di Pulau Jawa dan pulau lainnya. Kawasan metropolitan terbesar berada di Pulau Jawa. Dari lima kawasan metropolitan yang diteliti, terdapat tiga kawasan metropolitan besar yang terletak di Pulau Jawa Jabodetabekjur yang memiliki keistimewaan dibandingkan kawasan metropolitan lain, diikuti oleh Gerbangkertosusilo, dan Metropolitan Bandung yang keempat adalah Mebidang di Sumatera Utara, dan yang kelima adalah Mamminasata, dengan Kota Makassar sebagai core-nya. Kawasan Metropolitan di Pulau Jawa lebih besar secara ekologis (jumlah desa) dan secara demografis (jumlah penduduk). Jabodetabekjur memiliki keistimewaan tidak hanya dalam cakupan wilayahnya tetapi juga dalam hal jumlah penduduknya. Berdasarkan data Podes tahun 2005, Jabodetabekjur memiliki jumlah penduduk sebanyak 23,9 juta jiwa 11 sedangkan kawasan metropolitan terbesar 11 Angka penduduk dalam Podes didapatkan dari wawancara kepada kepala desa. Walaupun ada kecenderungan dalam pengambilan data podes kurang sistematis. Namun hasilnya masuk akal untuk membandingkan dengan proyeksi penduduk yang digunakan untuk SUSENAS (Survei Sosial-Ekonomi Nasional).

138 Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 135 kedua, Gerbangkertosusila hanya memiliki 8,1 juta jiwa, yaitu kurang dari sepertiga jumlah penduduk di Jabodetabekjur, dan Metropolitan Bandung dengan 7,3 juta jiwa. Kawasan metropolitan di luar Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang lebih sedikit, dengan Penduduk Mebidang hanya sebesar 4,2 juta jiwa dan Mamminasata hanya sebesar 2,2 juta jiwa (TABEL 5-6). 12 Disamping itu, peta-peta tersebut juga menunjukkan koridor perkotaan, bermula pada daerah inti yang berkembang menjadi lebih terbangun dan proses urbanisasi terus meluas, biasanya perluasan itu mengikuti jaringan transportasi utama khususnya pada jalan utama. Urbanisasi merupakan suatu bentuk pencarian atas pelayanan sosial dan ekonomi serta penghidupan yang lebih baik, yang selanjutnya ditunjang dengan pembangunan jalan-jalan arteri utama. Hal ini dapat dilihat dalam kasus Jabotabek yang perkembangan kotanya terjadi di sepanjang koridor arteri timur barat. Oleh karena itu, jika pembangunan jalan arteri utama dibangun berdasarkan keputusan pemerintah maka perkembangan perkotaan juga ditentukan secara langsung oleh pemerintah. Pihak swasta dan pengembang merespon terhadap inisiatif-inisiatif tersebut dengan membangun lingkungan perkotaan dan kawasan tertutup (enclave) berupa real estate baik yang berskala besar maupun kecil. Pihak swasta membangun perumahan untuk golongan ekonomi menengah ke atas dengan mengesampingkan masyarakat miskin. Masyarakat miskin dengan sendirinya mengisi ruang-ruang antara yang tersisa baik yang legal maupun ilegal. GAMBAR 5-1 Peta Urbanisasi dan Kependudukan Kawasan Metropolitan Mebidang 12 Data SUSENAS 2004, proyeksi penduduk di lima wilayah metropolitan sebagai berikut: Mebidang 4.3 juta jiwa. Jabodetabekjur 25,3 juta jiwa. Metropolitan Bandung 7,8 juta jiwa.

139 136 Metropolitan di Indonesia GAMBAR 5-2 Peta Urbanisasi dan Kependudukan Kawasan Metropolitan Jabodetabekjur GAMBAR 5-3 Peta Urbanisasi dan Kependudukan Kawasan Metropolitan Bandung Raya

140 Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 137 GAMBAR 5-4 Peta Urbanisasi dan Kependudukan Kawasan Metropolitan Gerbangkertosusila GAMBAR 5-5 Peta Urbanisasi dan Kependudukan Kawasan Metropolitan Mamminasata

141 138 Metropolitan di Indonesia Perbandingan pola kepadatan dan penyebaran desa-kota dan kota pada lima kotakota metropolitan ditunjukkan oleh TABEL 5-7 yang mengkombinasikan perbedaan mencolok antara Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Kota-kota metropolitan di Pulau Jawa biasanya lebih besar, seperti Jabodetabekjur, yang memiliki primacy rate 13 yang besar mengungguli kota-kota metropolitan lainnya. Hal ini merupakan kenyataan yang tidak hanya dalam arti wilayah ataupun karakteristik desa-kotanya, tetapi terutama dalam hal penduduk. Kenyataan ini dapat dimaklumi karena Pulau Jawa sejak dahulu memiliki penduduk yang lebih besar jika dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya, sehingga kota-kota metropolitan di Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang lebih besar. Pembangunan di masa lalu pun cenderung terpusatkan pada wilayah barat Indonesia, sehingga tidak mengherankan jika kota metropolitan pertama di luar Pulau Jawa adalah Kota Medan, Pulau Sumatera. Kota metropolitan terkecil yang dibahas dalam bab ini adalah Mamminasata yang relatif kurang terbangun. Mengapa Tinggal di Kota-Kota Metropolitan? Pembahasan mengenai proses urbanisasi dan metropolitanisasi serta pertumbuhan dan penurunan penduduk di atas terlepas dari penilaian baik atau buruk. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa penilaian dapat dilakukan berdasarkan sudut pandang tertentu. Jika dilihat dari sudut pandang perencana atau pengelola kota, kedatangan penduduk, terutama mereka yang miskin, merupakan suatu masalah. Para pendatang dituding sebagai penyebab meningkatnya kemacetan dan mereka menggunakan fasilitas dan pelayanan kota yang tidak direncanakan untuk mereka. Bagaimanapun mereka terlalu menggantungkan pada kondisi fisik dan sosial infrastruktur kota yang juga menyebabkan keterpurukan mereka. Namun, pendatang juga membayar pajak yang dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki infrastruktur fisik dan sosial perkotaan. 13 Angka yang menunjukkan daya tarik kota besar yang didapatkan dari perbandingan jumlah penduduk kota besar tersebut dengan jumlah penduduk di dua kota berikutnya

142 Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 139 TABEL 5-7 Sudut Pandang Ekologi dan Kependudukan Metropolitanisasi Mebidang Jabodetabekjur Bandung Gerbangkertosusila Mamminasata Penyebaran Kawasan Perkotaan Tingkat Ekologi Perkotaan Tingkat Urbanisasi Penduduk Berawal dari Kota Medan sebagai kota inti, secara dominan berkembang sepanjang koridor barat timur. Perkembangan ke arah barat menghubungkan Kota Medan dengan Kota Binjai. Ke arah timur Kabupaten Deli Serdang yang merupakan daerah pantai. Mebidang bukan merupakan kawasan terbangun yang padat melainkan bentuk penyebaran desa-kota hingga ke wilayah kabupaten Deli Serdang Kepadatan desa-kota dengan populasi lebih dari 2000 jiwa tidak terlalu banyak dan di wilayah luar Kota Medan desa-desa ini lebih tersebar. Lima wilayah kota di DKI Jakarta merupakan kawasan inti perkotaan dengan kepadatan tinggi yang terus berkembang ke arah utara selatan dan timur barat hingga ke wilayah Tangerang di bagian barat. Bekasi di bagian timur dan Bogor di bagian selatan. Seluruh wilayah Jakarta merupakan kawasan terbangun. Tangerang dan Bekasi pada proses terbangun dengan tingkat yang tinggi sedangkan Bogor masih memiliki wilayah pedesaan yang lebih luas. Pola urbanisasi ditunjukkan sebagai desa-kota dan desa dengan populasi 2000 jiwa atau lebih merupakan patokan yang dapat Perkembangan kawasan perkotaan di Metropolitan Bandung berawal dari pusat Kota Bandung ke wilayah sekitarnya hingga ke wilayah Kabupaten Bandung. Diluar Kota Bandung, daerah sekitar Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang memiliki kawasan terbangun yang terbatas. Desa dengan jumlah penduduk 2000 jiwa atau lebih tersebar hampir diseluruh kawasan metropolitan Bandung, tetapi lebih terpusat di sekitar Kota Perkembangan kawasan perkotaan di Gerbangkertosusila berawal dari pusat Kota Surabaya, meliputi sebagian besar wilayah Sidoarjo dan desa-desa sekitarnya hingga terhubung dengan Kota Mojokerto. Tingkat desa-kota yang tinggi tentu saja ditemukan di Kota Surabaya dan Kota Mojokerto bahkan juga di Kabupaten Sidoarjo. Di Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Lamongan desa-kota nya lebih tersebar. Gerbangkertosusila memiliki karakteristik tingkat urbanisasi penduduk yang tinggi yang dapat dilihat dari persebaran desa-desa dengan jumlah penduduk Mamminasata merupakan kawasan metropolitan yang kurang terbangun dibandingkan dengan lima kota metropolitan yang dibahas disini, kawasan terbangun masih terpusat pada daerah inti dengan beberapa kantungkantung pertumbuhan disekitarnya. Dibandingkan dengan lima kota metropolitan lain yang dibahas di sini. Mamminasata merupakan kawasan metropolitan yang kurang terbangun. Hal yang sama, angkaangka menunjukkan tingkat urbanisasi penduduk di kawasan metropolitan ini masih rendah.

143 140 Metropolitan di Indonesia Perluasan Ekologi Perkotaan Penyebaran Urbanisasi Penduduk Mebidang Jabodetabekjur Bandung Gerbangkertosusila Mamminasata dibandingkan. Bandung jiwa atau lebih Perluasan kawasan Penambahan wilayah Kawasan terbangun Desa-kota di kawasan Masih serupa dengan metropolitan ke wilayah Cianjur yang memiliki masih terjadi di sekitar metropolitan ini Makassar dan Kabupaten Deli kawasan terbangun Kota Bandung, cenderung untuk menyebar secara Serdang menunjukkan rendah ke dalam sedangkan Kabupaten mengelompok keluar lambat ke desa-desa tingkat kawasan kawasan metropolitan Bandung dan dari wilayah inti Kota sekitarnya. terbangun yang relatif mempengaruhi tingkat Kabupaten Sumedang Surabaya menuju rendah. kawasan terbangun masih terdapat banyak kabupaten-kabupaten Penyebaran desa-desa dengan jumlah penduduk 2000 jiwa atau lebih menyerupai perluasan desa-kota, melalui Kota Medan menuju Kota Binjai dan ke arah selatan sepanjang pantai. secara keseluruhan. Desa-desa di Pulau Jawa, termasuk Bogor dan Cianjur, memiliki jumlah penduduk yang lebih banyak, sebagian besar memiliki penduduk lebih dari 2000 jiwa. kawasan pedesaan. Desa-desa dengan jumlah penduduk 2000 jiwa atau lebih, terpusat di sekitar Kota Bandung, dapat juga ditemukan pada sebagian besar wilayah metropolitan. sekitarnya. Seperti kawasan metropolitan lainnya di Pulau Jawa yang penduduknya sangat besar, dalam hal kependudukan wilayah ini sangat terbangun karena desa-desa dengan jumlah penduduk 2000 jiwa atau lebih secara luas tersebar di seluruh wilayah ini. Dalam hal urbanisasi penduduk, desa-desa dengan jumlah penduduk 2000 jiwa atau lebih tidak tersebar secara luas di wilayah metropolitan ini.

144 Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 141 Seringkali orang ditanya mengapa ingin tinggal di Jakarta, atau di kota-kota metropolitan lainnya di Indonesia, padahal kota-kota metropolitan itu identik dengan masalah kemacetan, polusi dan banyak terdapat penyakit-penyakit perkotaan lainnya. Jawabannya sangatlah sederhana. Di kota-kota itulah terdapat banyak aktivitas, meskipun orang tahu bahwa jalan-jalan tidak berlapis emas, tetapi disitulah tempat orang dapat menemukan susu dan madu walaupun tidak berlimpah. Hal yang sama juga dilihat oleh golongan kaya dan miskin, golongan kuat dan lemah, pria dan wanita, muda dan tua. Para politisi akan berada di ibu kota yang merupakan pusat kekuasaan dan keuangan. Bisnis, terutama bisnis skala besar, akan tinggal di metropolitan yang merupakan pusat bisnis yang merupakan tempat kehidupan bagi mereka. Bahkan, pemulung yang sangat miskin pun masih menganggap kehidupan di kota besar lebih baik daripada di tempat asal mereka yang memiliki peluang ekonomi terbatas atau bahkan sama sekali tidak ada karena mereka tidak memiliki lahan. Keberuntungan masih dapat ditemukan di kota-kota besar di kawasan metropolitan. Generasi muda dapat memasuki lembaga-lembaga pendidikan yang lebih baik dan memperoleh kebebasan berekspresi termasuk dalam hal berbusana, jauh dari pengawasan sosial keluarga serta fasilitas-fasilitas hiburan yang banyak dan beragam. Kemacetan, polusi, kriminalitas dan hal-hal negatif lainnya menjadi konsekuensi yang dapat diterima untuk mendapatkan semua keuntungan tersebut. TABEL 5-8 Daya Tarik Permukiman di Kawasan Metropolitan Mebidang Jabodeta- Bandung Gerbang- Mammina- Indikator bekjur Raya kertosusila sata Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Rasio Ketergantungan Rasio Registrasi Sekolah usia tahun % populasi penduduk usia di atas 15 tahun lulusan SMA % Tenaga Kerja di Bidang Pertanian % Tenaga Kerja di Bidang Industri % Tenaga Kerja di Bidang Jasa Tingkat Pengangguran Catatan: Rasio Ketergantungan merupakan pembagian antara jumlah penduduk usia 0-14 tahun ditambah dengan usia diatas 65 tahun dengan jumlah penduduk usia tahun (usia produktif). Rasio Registrasi Sekolah adalah perbandingan antara penduduk yang bersekolah dengan jumlah penduduk pada rentang umur tertentu. Bidang Pertanian mencakup pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan. Bidang Industri meliputi industri manufaktur, pertambangan dan penggalian, dan konstruksi. Bidang Jasa mencakup perdagangan, transportasi, keuangan, pelayanan sosial dan lain-lain. Sumber : Tabulasi khusus oleh IHS berdasarkan data Susenas BPS 2004

145 142 Metropolitan di Indonesia Kenyataan di atas didukung oleh beberapa fakta dalam hal pendidikan dan pekerjaan, sebagaimana ditunjukkan dengan perbandingan indikator kependudukan antara kota dan desa di beberapa metropolitan yang dibahas (TABEL 5-8). Secara khusus, wilayah terbangun metropolitan dihuni oleh penduduk usia produktif yang dapat menikmati pendidikan yang lebih baik dan menemukan pilihan pekerjaan yang beragam meskipun di tengah-tengah ancaman pengangguran. Rasio ketergantungan (perbandingan antara jumlah penduduk berumur 0-14 dan >65 tahun dengan jumlah penduduk berumur tahun) lebih rendah di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah perdesaan di wilayah metropolitan yang menggambarkan dinamika pola ruang. Ini menunjukkan bahwa penduduk kota memiliki beban tanggungan lebih ringan yang biasanya memiliki jumlah anak yang membutuhkan investasi sosial berupa kesehatan dan pendidikan yang lebih sedikit. Sebagaimana kita ketahui, fasilitas dan pelayanan pendidikan, dan terutama dari segi jumlahnya, lebih banyak tersedia di daerah perkotaan daripada daerah perdesaan. Kami telah memilih dua indikator pendidikan, yaitu tingkat registrasi penduduk usia sekolah menengah atas dan persentase penduduk dewasa (di atas 15 tahun) yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan menengah atas. Hasilnya di beberapa metropolitan terpilih menunjukkan bahwa kedua indikator tersebut lebih tinggi di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan. Dengan kata lain, penduduk kota jauh lebih terdidik daripada penduduk desa. Lebih beragamnya jenis pekerjaan dan peluang penghidupan di kota dibandingkan di desa adalah penyebab dan akibat dari kesemerawutan kota. Sebaliknya, hanya sebagian kecil penduduk perkotaan yang bekerja atau terpaksa bekerja di sektor pertanian mengingat mereka memiliki pilihan kerja yang lebih luas. Penyerapan tenaga kerja di bidang industri, termasuk industri skala kecil dan menengah, masih merupakan fenomena perkotaan daripada perdesaan. Ketimpangan yang lebih signifikan terjadi pada sektor jasa, meskipun termasuk perdagangan skala kecil yang dikenal sebagai sektor informal. Namun, mall hanya dibangun di daerah padat dimana penjual dapat menemukan sumber penghidupannya. Sektor transportasi, termasuk angkutan kendaraan bermotor roda dua yang dikenal dengan nama ojek masih lebih banyak tersedia di daerah permukiman padat. Inovasi terbaru tentu saja berupa bus way Jakarta, yang merupakan satu-satunya sistem transportasi yang diterapkan di negara yang membayar sopir dengan gaji tetap dan terbuka baik bagi pria maupun wanita. Sektor keuangan atau perbankan biasanya ditemukan di perkotaan yang memiliki peluang bisnis. Hal yang sama juga terjadi pada sektor pemerintahan yang terletak di kota pusat pemerintahan. Terdapat beberapa peluang penghidupan di perkotaan, namun, tidak semuanya membawa sukses. Dengan harapan dapat memenuhi keinginan, menjadi pengangguran pun tidak masalah sekalipun kemungkinannya tinggi, karena ini hanyalah sementara. Di samping itu, seiring dengan semakin orang miskin lebih memilih tinggal di perdesaan dan status pengangguran seringkali menjadi sesuatu yang sulit diterima, satu-satunya perbedaan tipis antara tingkat pengangguran yang tinggi di kota dan di desa menjadi tanda perlunya perhatian, yang biasanya menyulut gejolak sosial.

146 Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 143 TABEL 5-9 Ketersediaan Fasilitas dan Pelayanan Mebidang Jabodeta bekjur Bandung Raya Gerbangkertosusila Mamminasata Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa % Rumah Tangga dengan Listrik Fasiltas/1000 penduduk Rumah Sakit Puskesmas Praktek Dokter Sumber air minum/masak dari PAM. pompa atau sumur % Desa-desa dengan fasilitas Jalan beraspal Kantor Pos Telepon Umum/Wartel Pusat Perbelan jaan Pasar Permanen/ Semi-permanen Hotel/guest house Bank Supermarket Sumber : Tabulasi Khusus oleh IHS berdasarkan data PODES 2005 BPS Penegasan mengenai keberutungan di kota secara jelas ditunjukkan pada TABEL 5-9. Tabel itu memperlihatkan bahwa secara umum proporsi rumah tangga yang memiliki akses listrik di perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan di pedesaan di beberapa kawasan metropolitan yang dibahas. Hal yang sama juga terjadi dalam hal ketersediaan fasilitas dan pelayanan kesehatan serta fasilitas dan infrastruktur yang mempengaruhi kualitas kehidupan. Akses terhadap air bersih, jalan dan infrastruktur ekonomi (kantor pos, wartel, pusat perbelanjaan, pasar, hotel, bank dan supermarket) lebih besar di perkotaan dibanding di pedesaaan. Tantangan Urbanisasi bukan hanya fakta kehidupan tetapi juga terus meningkat. Proyeksi BPS menunjukkan bahwa jumlah total penduduk Indonesia terus bertambah dari 206 juta pada tahun 2000 menjadi 275 juta pada tahun 2025 (TABEL 5-10). Sementara 4 dari 10 orang tinggal di kota pada tahun 2000, dalam dua dekade ke depan diperkirakan bahwa hampir 7 dari 10 orang akan tinggal di kota. Yang terpenting untuk dicatat adalah, walau bagaimanapun, tingkat urbanisasi nasional terutama dipengaruhi oleh kondisi Pulau Jawa. Menurut sensus penduduk tahun 2000, hampir separuh (49 persen) jumlah penduduk Pulau Jawa tinggal di perkotaan dan diperkirakan pada tahun 2025 hampir 8 dari 10 penduduk Pulau Jawa akan tinggal di perkotaan. Dengan perkiraan jumlah penduduk Jawa akan mencapai 151 juta pada tahun 2025, berarti 120 juta akan tinggal di aglomerasi perkotaan. Hal ini mengingatkan pengelola kota dan perencana tata ruang

147 144 Metropolitan di Indonesia akan tantangan yang akan mereka hadapi. Peran apa yang ingin mereka mainkan? Apakah mereka akan berperan sebagai fasilitator atau justru berupaya menghalau kecenderungan ini? TABEL 5-10 Proyeksi Jumlah Penduduk dan Proporsi Penduduk Perkotaan Indonesia Menurut Pulau-pulau Utama Tahun Jumlah Penduduk (juta) Sumatra Jawa Bali & Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku & Papua INDONESIA Penduduk Perkotaan (juta) Sumatra 33,7 38,8 44,1 49,3 54,4 59,3 Jawa 48,8 56,5 63,6 69,7 74,8 79,0 Bali & Nusa Tenggara 32,3 38,1 43,5 48,6 53,1 57,0 Kalimantan 35,4 40,0 44,8 49,4 54,0 58,5 Sulawesi 27,6 30,8 34,1 37,5 41,1 44,8 Maluku & Papua 24,3 24,9 25,6 26,3 27,1 28,0 INDONESIA 42,0 48,3 54,2 59,5 64,2 68,3 Sumber: BPS, BAPPENAS, UNFPA, Proyeksi Penduduk Indonesia Penutup Secara jelas telah dinyatakan bahwa metropolitanisasi menguntungkan, atau bukan suatu masalah, paling tidak bagi mereka yang gaya hidupnya terpenuhi oleh fasilitas-fasilitas dan pelayanan yang tersedia. Dengan kata lain, jika ada permasalahan yang diidentifikasi oleh perencana dan pengelola kota, solusinya harus ditujukan untuk mereka yang menikmati berbagai macam aktivitas kehidupan metropolitan karena mereka tidak meninggalkan metropolitan tetapi justru terus mengajak orang lain untuk tinggal di kota. Atau mungkin sudut pandang lain harus juga diperhatikan, perencana kota harus merencanakan masa depan dan masa depan berarti meningkatnya kawasan terbangun dan meluasnya kawasan metropolitan yang ada saat ini. Pembangunan infrastruktur fisik perkotaan harus direncanakan sesuai dengan peningkatan jumlah penduduk yang akan berlangsung terus menerus dalam rangka mencari kehidupan yang lebih baik di kawasan metropolitan. Indikator-indikator yang ditunjukkan TABEL 5-8 dan TABEL 5-9 memunculkan lebih banyak pertanyaan daripada menyediakan jawaban. Seseorang bisa hanya mengasumsikan mengapa desa tumbuh menjadi kota yang terus meluas kemudian

148 Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 145 bersama-sama dengan desa disekitarnya berubah menjadi permukiman perkotaan. Pertanyaan-pertanyaan berikut juga mengandung rekomendasi untuk diteliti lebih lanjut. Mengapa pola pertumbuhan kota metropolitan menjadi seperti yang selama ini terjadi, apakah ada invisible hand yang mengarahkan proses itu? Apa peran dan tanggung jawab pemerintah? Pemerintah pada tingkat mana? Bagaimana dengan peraturan zoning? Apakah ada dan dijalankan? Apakah pemerintah mengarahkan di mana seharusnya pihak swasta harus membangun atau sebaliknya? Apakah proses urbanisasi dan metropolitanisasi merupakan proses alami dengan pasar merupakan kekuatan satu-satunya? EKONOMI PERKOTAAN 14 Pendahuluan Pertumbuhan kota-kota selalu berbasis pada faktor ekonomi. Titik tolaknya selalu terkait dengan keuntungan lokasi kota bersangkutan. Kota-kota yang cepat berkembang pada dua dekade terakhir ini dapat ditengarai adanya potensi lokasi yang sangat menonjol. Semua ini berwujud kegiatan ekonomi riil baik ekonomi formal maupun informal. Kota-kota besar yang ada sekarang ini, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Makassar yang sering disebut dengan metropolitan menunjukkan kekuatan lokasi yang strategis sehingga terus tumbuh dan berkembang. Pertumbuhan ini dapat diwakili oleh pertumbuhan penduduk yang pesat dan sekaligus pertumbuhan ekonominya. Dibandingkan dengan kota-kota atau daerah-daerah lain, ada beberapa kota di Indonesia mempunyai ukuran besar dengan penduduk lebih dari 700 ribu jiwa 15. Jumlah kota-kota besar ini ada sekitar 14 kota, yang paling kecil adalah Kota Padang dengan penduduk 702 ribu jiwa (tahun 2000). Sebagai kota besar dengan jumlah penduduk yang besar, kota-kota tersebut mengalami berbagai persoalan, utamanya dalam pelayanan. Persoalan ini semakin kronis ketika jumlah penduduk terus meningkat yang umumnya berasal dari migrasi masuk ke kota yang disebut dengan urbanisasi. 14 Catatan editor: Analisis ekonomi di bab ini menggunakan batasan jumlah penduduk perkotaan yang berbeda dengan analisis kependudukan di bab sebelumnya. Namun demikian, perbedaan tersebut tidak mempengaruhi pesan yang disampaikan oleh buku ini. 15 Hasil penelitian empiris oleh Bambang dan Ringgi (2003) dalam pengelompokan besaran kota-kota di Indonesia ditemukan 3 kelompok, yaitu: kota besar/metropolitan mempunyai penduduk lebih dari 700 ribu jiwa. Kota sedang berpenduduk antara 200 ribu jiwa dan 700 ribu jiwa, sedangkan kota kecil berpenduduk kurang dari 200 ribu jiwa.

149 146 Metropolitan di Indonesia TABEL 5-11 Laju Pertumbuhan Penduduk Kota-kota dan (%) (%) Kota Besar (>700 ribu) 2,7 1,1* Kota Sedang (>200 ribu; <700 ribu) 2,2 1,5 Kota Kecil (<200 ribu) 2,4 0,07 Rata-rata Kota 2,4 1,3 Sumber: Hasil Analisis *) Secara fungsional, pertumbuhan kota besar jauh lebih besar dari angka 1,1persen. Baca penjelasan TABEL Pertumbuhan penduduk kota yang paling dramatis terjadi pada periode dengan laju pertumbuhan 2,4 persen 16, sedangkan kota-kota besar sekitar 2,7 persen, Lihat TABEL Namun kemudian pada periode berikutnya, yaitu , terjadi penurunan drastis dari 2,4 persen menjadi 1,3 persen (hampir sama dengan laju pertumbuhan penduduk nasional). Dengan demikian, pada periode terjadi penurunan urbanisasi. Diduga, menurunnya tingkat urbanisasi ini selain dampak menurunnya tingkat ekonomi kota akibat krisis ekonomi 1998 yang lalu, juga karena adanya alternatif bagi migran untuk menjadi TKI di luar negeri (menurut informasi dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, jumlah TKI di Luar Negeri sekitar 5 juta jiwa). TABEL 5-12 di bawah ini menunjukkan kemungkinan tersebut. TABEL 5-12 Perbandingan Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota-kota dan Nasional Sebelum dan Pasca Krisis Laju Pertumbuhan Ekonomi (%) Skala Wilayah Kota Kecil (<200 ribu) 7,4-5,1-0,2 1,8 Kota Sedang (>200 ribu; <700 ribu) 9,3-6,9-0,0 6,4 Kota Besar + Metropolitan(>700 ribu) 11,0-13,9-1,5 3,1 Rata-rata Kota 8,9-6,0-0,4 5,1 Nasional 5,6-13,0 3,5 4,0 Sumber: Hasil analisis. Data PDRB Kabupaten/Kota. BPS Pada TABEL 5-12 di atas juga dapat dikenali karakteristik kota-kota besar yang berbeda dengan kota-kota ukuran lebih rendah yaitu : 1. Kota-kota besar/metropolitan mempunyai tingkat pertumbuhan yang sangat tinggi, tetapi bila terjadi krisis ekonomi, maka kota-kota besar/metropolitan mengalami kontraksi pertumbuhan ekonomi yang sangat tajam. Seperti yang bisa disimak pada 16 Perhitungan laju pertumbuhan pada periode sebesar 2,4 persen adalah hasil penelitian oleh penulis. Selama ini laju pertumbuhan yang diakui pada periode tersebut sebesar 3,4 persen. Menurut penulis angka pertumbuhan 3,4 persen tersebut terdapat kesalahan yaitu memasukkan desa-desa yang menjadi kota dan memasukkan daerah-daerah perluasan kota dalam perhitungan pertumbuhan.

150 Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 147 TABEL 5-12, pada periode 1996 pertumbuhan ekonomi sebesar 11 persen, tetapi pasca krisis tahun 1997 yang lalu, laju pertumbuhan ekonomi mendadak kontraksi (minus) 13 persen. Namun demikian, ketika kondisi normal, maka laju pertumbuhan ekonomi kota-kota besar/metropolitan kembali leading. Ini menunjukkan bahwa ekonomi kota-kota besar/metropolitan cukup vulnerable. 2. Bandingkan dengan kota-kota kecil yaitu ketika situasi normal mempunyai laju pertumbuhan moderat sebesar 7,4 persen dan ketika terjadi krisis hanya mengalami kontraksi sebesar 5,1 persen. Kemudian ketika situasi normal hanya terangkat menjadi 1,8 persen. Perbandingan ini menunjukkan bahwa kota-kota kecil kelihatannya sudah steady atau mungkin terhambat. TABEL 5-13 Laju Pertumbuhan Penduduk Kota-kota Metropolitan No. Nama Kota Laju Pert. Penddk (%) Laju Pert. Penddk (%) Keterangan 1. Jakarta 2,41 0,16 Terjadi penurunan laju pertumbuhan karena kejenuhan Kab. Bogor 4,13 2,25 Terjadi pengurangan wilayah akibat pemekaran kota Bogor dan kota Depok. Kota Bogor 0,94 10,97 Terjadi pemekaran wilayah kota Kota Depok - - Belum terbentuk. Kab. Tangerang 6,10 4,12 Laju pertumbuhan tetap tinggi Kota Tangerang - - Belum terbentuk kota, belum ada data Kab. Bekasi 6,29 4,70 Laju pertumbuhan tetap tinggi Kota Bekasi - - Belum terbentuk kota, belum ada data 2. Surabaya 2,05 0,43 Terjadi penurunan laju pertumbuhan karena kejenuhan. Kab. Sidoarjo 3,17 2,97 Laju pertumbuhan tetap tinggi 3. Medan 2,30 0,97 Terjadi penurunan laju Pertumbuhan karena kejenuhan Kab. 2,59 2,09 Laju pertumbuhan tetap tinggi Deliserdang 4. Bandung 3,47 0,41 Terjadi penurunan laju Pertumbuhan karena kejenuhan. Kab. Bandung 1,83 2,71 Kenaikan laju pertumbuhan Sumber: Penduduk Indonesia, Hasil Sensus Penduduk 2000, BPS Berdasarkan kajian di atas memperteguh kesimpulan bahwa : 1. Kota-kota besar/metropolitan sangatlah lentur dalam menanggapi pertumbuhan, sementara kota-kota kecil terlalu kenyal. Dengan sifat yang lentur, maka kota-kota besar/metropolitan akan selalu menghadapi dinamika pertumbuhan dan sekaligus menghadapi dampak pertumbuhan itu sendiri.

151 148 Metropolitan di Indonesia 2. Dampak dari pertumbuhan yang mulai meningkat lagi pada pasca krisis adalah meningkatnya lagi urbanisasi pada pasca tahun 2000 walaupun tidak sedramatis tahun sebelum 1990 yang lalu. Angka-angka urbanisasi memang sulit diidentifikasi, tetapi bisa ditandai dari laju pertumbuhan penduduk yang tinggi pada kota bersangkutan. Namun demikian, perkembangan kota-kota besar/metropolitan umumnya sudah melampaui batas administrasinya atau mengalami kejenuhan sehingga laju pertumbuhan penduduk (dengan data penduduk sesuai dengan batas administrasi) akan terdata rendah (karena sedikitnya pemukiman baru). Dengan demikian, pertumbuhan penduduk di kota-kota besar/metropolitan akan terdata rendah dan kecenderungan urbanisasi itu akan terdata pada daerah-daerah/kota-kota yang berada di sekitar kota metropolitan bersangkutan dengan laju pertumbuhan yang tinggi. Hal ini dapat dikaji pada beberapa kota besar/ metropolitan seperti Jakarta dengan Bodetabek, Surabaya dengan Kabupaten Sidoarjo, Medan dengan Deli Serdang dan Binjai, atau Bandung dengan Kabupaten Bandung sebagaimana yang bisa diteliti pada TABEL Pertumbuhan penduduk kota-kota metropolitan tersebut akan berimplikasi pada corak ekonomi kota-kota bersangkutan. Secara agregat, pertumbuhan ekonomi daerah diukur dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah bersangkutan. Seberapa jauh pertumbuhan penduduk kota-kota besar dibarengi oleh pertumbuhan ekonominya. maka bisa dikaji bagaimana corak PDRB perkapita dengan data-data PDRB tahun 1998 dan 2002 atas dasar harga tetap (1993) dan estimasi data penduduk tahun 1998 dan sehingga dapat dihitung PDRB per kapita dan laju pertumbuhan PDRB per kapita sebagaimana yang dapat disimak pada TABEL 5-14 di atas. Dengan demikian, ada empat kategori pertumbuhan ekonomi yang dapat diberikan sebutan sebagai berikut: a. Kota besar dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan PDRB per kapita juga lebih tinggi dari rata-rata. Kota seperti ini disebut sebagai kota star. Hanya Jakarta Pusat dan Jakarta Utara yang pertumbuhan leading dan termasuk kota star ; b. Kota besar dengan PDRB per kapita lebih rendah dari rata-rata tetapi pertumbuhan PDRB perkapitanya lebih tinggi dari rata-rata, disebut sebagai kota growing. Kota Bandung, Padang, dan Palembang termasuk kota yang sedang tumbuh atau growing. c. Kota Besar dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan PDRB perkapitanya juga lebih rendah dari rata-rata, disebut Kota steady. Ada sembilan kota dari 19 kotakota besar/metropolitan yang termasuk dalam kota teady atau kota yang pertumbuhan ekonominya terhambat. d. Kota Besar dengan PDRB per kapita lebih tinggi dari rata-rata, tetapi pertumbuhan PDRB per kapitanya lebih rendah dari rata-rata disebut sebagai Kota mature. Yang termasuk dalam kategori ini adalah Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Barat, dan Surabaya. 17 Data PDRB tahun 1998 digunakan atas pertimbangan linearitas. Seperti diketahui bahwa pada tahun 1997 terjadi krisis dan terjadi penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi yang drastis sehingga data-data tahun 1997 dan sebelumnya tidak bisa dibandingkan atau tidak linear. Data PDRB tahun 2002 digunakan karena data ini sudah merupakan data final.

152 Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 149 TABEL 5-14 PDRB Per kapita dan Laju Pertumbuhannya PDRB/ NAMA KOTA (0) PDRB 1998 (juta) (1) JML PDDK 1998 (2) KAPITA 1998 Po (3) = (1)/(2) PDRB 2002 (juta) (4) JML PDDK 2002 / 2003 (5) PDRB/ KAPITA Pt (6) = (4)/(5) LAJU PERTBH PDRB / KAPITA α=(pt/po)¼ -1 (7) Medan , , , Padang , , , Palembang , , , Bandar Lampung , , Jakarta Selatan , , , Jakarta Timur , , , Jakarta Pusat , , , Jakarta Barat , , , Jakarta Utara , , , Tangerang , , , Bandung , , , Bekasi , , , Depok , , , Bogor , , , Semarang , , , Malang , , , Surabaya , , , Makassar , , , Rata-rata

153 150 Metropolitan di Indonesia Berdasarkan kategori di atas maka implikasi pertumbuhan ekonomi dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Kota-kota star seperti Jakarta Pusat dan Jakarta Utara merupakan kota yang ekonominya terus berkembang dan sangat dinamis. Karena terjadi pertumbuhan ekonomi yang tinggi maka terjadi desakan-desakan pemanfaatan ruang ke arah penggunaan yang lebih komersial. Dalam banyak kasus yang mengalami tekanan seperti ini adalah peruntukan perumahan. Dengan demikian secara berangsur dan cepat, Jakarta Pusat dan Jakarta Utara akan menjadi kawasan komersial. 2. Kota-kota rowing seperti Bandung, Padang, dan Palembang sedang mengalami perkembangan yang sangat cepat, termasuk implikasinya terhadap pergeseran tata ruang (perumahan menjadi komersial), hanya saja modal ekonominya masih rapuh. 3. Kota-kota steady yang merupakan sebagian besar kota-kota besar/metropolitan ini walaupun sedang tumbuh, tetapi masih banyak hal yang menghambat, sehingga pertumbuhannya relatif melambat. Diperkirakan masih banyak faktor-faktor percepatan ekonomi yang belum kondusif. 4. Kota-kota mature seperti Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Barat, dan Surabaya mempunyai fenomena yang sama dengan star di atas, tetapi masih mengalami hambatan karena layanan prasarana dan fungsi perumahan yang masih kuat. Akibat dari hambatan ini, pertumbuhannya tersendat dan berjalan tidak secepat kota-kota star. Posisi pertumbuhan ekonomi kota-kota besar/metropolitan tersebut ditunjukan dalam GAMBAR 5-6. Dari kategorisasi kota-kota besar/metropolitan tersebut di atas, walaupun sebagian besar dikategorikan sebagai steady, tetapi tetap kota-kota besar/metropolitan mempunyai posisi pertumbuhan PDRB per kapita yang rata-ratanya 4,16 persen (lihat TABEL 5-14) adalah jauh lebih kuat jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan PDRB per kapita total kota-kota yang sebesar 2,3 persen 18. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi kota-kota besar/metropolitan di Indonesia mempunyai implikasi sosial dan fisik sebagai berikut: 1. Tetap mempunyai daya tarik ekonomi dan akan menarik kembali tingkat urbanisasi. 2. Terjadinya pergeseran peruntukan lahan kota dari perumahan menjadi kawasan komersial dengan tingkat perubahan yang berbeda-beda. 3. Kembalinya urbanisasi yang meningkat (butir 1). Karena tidak didukung oleh ketersediaan lahan yang mencukupi maka perkembangan kota akibat tekanan pertumbuhan ekonomi ini akan berimbas pada kawasan sekitar kota besar/ metropolitan yang bersangkutan (spread development). 4. Pertumbuhan spread adalah pertumbuhan kota yang tidak efisien dan menimbulkan banyak dampak antara lain: kemacetan lalu lintas, berkurangnya 18 PDRB Per Kapita dan pertumbuhannya secara nasional dari sumber: Kajian Pertumbuhan Kota-kota Dalam Rangka Pembangunan Prasarana Ke-PU-an. PUSTRA. Kegiatan TA 2005.

154 Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 151 fungsi kawasan lindung akibat dimanfaatkan untuk perumahan, dan sulitnya mengembangkan jaringan prasarana secara terpadu. growing Lj. Pert. PDRB/Kap. star Palembang, Bandung, Bogor, dan Makassar Jakarta Pusat dan Jakarta Utara PDRB/Kap. Medan, Padang, Bd.Lampung,Tangerang, Bekasi, Depok, Semarang. Malang, dan Makassar Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Jakarta Timur, dan Surabaya steady mature GAMBAR 5-6 Kategorisasi Kota-kota Besar/Metropolitan Cat: Analisis berdasarkan TABEL 5-14 Bagaimanapun juga kota-kota besar/metropolitan tetap tumbuh leading dibandingkan kota-kota lain yang kesemuanya didorong oleh fungsi ekonomi dan peranan ini tentunya juga leading bagi perekonomian nasional. Tantangan Kota sebagai pusat aglomerasi ekonomi dengan pola pertumbuhan sebagaimana diuraikan sebelumnya diakui mempunyai peranan yang sangat penting bagi ekonomi kota masing-masing dan ekonomi secara nasional karena: 1. Sekitar persen Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional disumbang oleh 90 kota 19 atau sekitar 20 persen dari sekitar 430 kabupaten/ kota di Indonesia; 19 Yang dimaksud kota adalah kota otonom, tidak termasuk kota-kota kabupaten yang tidak otonom.

155 152 Metropolitan di Indonesia 2. Peranan ekonomi kota ini semakin menonjol pada kota-kota besar/metropolitan. Sekitar 14 kota-kota metropolitan atau 3 persen dari total daerah menyumbang 30 persen PDB Nasional 20 ; 3. Selain penting dalam perekonomian nasional, kota-kota metropolitan juga mempunyai peranan bagi sumber fiskal nasional. Seperti diketahui 80 persen APBN berasal dari pajak dan dari 80 persen pajak ini, sekitar 70 persen berasal dari pajak badan, pajak pribadi, PPN, pajak final yang kesemuanya bersumber dari perkotaan; dan 4. Diperkirakan 50 persen dari APBN berasal dari pajak kota-kota besar/ metropolitan 21. Walaupun kota-kota metropolitan secara agregat merupakan sumber ekonomi dan keuangan nasional, tetapi secara kapita kinerjanya lebih rendah dibandingkan kapita nasional yang dapat ditunjukkan bahwa : 1. PDRB per kapita kota-kota besar/metropolitan rata-rata Rp 4,5 juta. 2. Sedangkan PDRB Nasional per kapita sebesar Rp 6,7 juta. 3. Angka-angka per kapita kota-kota besar/metropolitan ini (yaitu Rp 4,5 juta) yang rendah ini dibandingkan dengan nasional (Rp 6,7 juta) menunjukkan 3 kemungkinan 22, yaitu: a. Kemungkinan pertama: sangat banyak masyarakat kota-kota besar/metropolitan yang masih miskin dan tinggal di kawasan-kawasan kumuh dan juga berarti terdapat kesenjangan kesejahteraan yang besar di kota-kota metropolitan. b. Kemungkinan kedua: sangat banyak masyarakat kota-kota besar/metropolitan bekerja di ekonomi informal sementara angka PDRB tidak memasukkan kegiatan ekonomi informal. c. Kemungkinan ketiga: kemungkinan butir 1 dan 2 ada semua. Ini berarti tumbuhnya kota-kota besar/metropolitan selalu diikuti dengan jumlah kemiskinan yang besar dan berkembangnya ekonomi informal seiring dengan besaran PDRB itu sendiri. Semakin besar PDRB sebagai indikator ekonomi formal, semakin berkembang pula kegiatan ekonomi informalnya. Kota-kota besar/metropolitan dengan kompleksitas dan intensitas yang demikian tinggi serta merupakan focal point ekonomi yang potensial itu, selain menjadi pusat pertumbuhan utama, juga membawa resiko beban-beban berat yang selalu mengiringi potensi-potensi pertumbuhannya. Potensi pertumbuhan yang sedang berlangsung itu tampaknya sulit dihentikan dan serta-merta beban-beban yang mengiringi juga terus menggelanjut. 20 Berdasarkan data-data PDRB Berdasarkan perkiraan perhitungan APBN Data-data APBD dan PDB dari BPS.

156 Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 153 Dengan kemungkinan masalah perekonomian seperti kemiskinan dan kesenjangan kesejahteraan serta corak ekonomi informal yang mewarnai kehidupan kota-kota besar/ metropolitan sebagaimana yang diperkirakan di atas, maka keluaran persoalan yang muncul utamanya pada persoalan fisik klasik menyangkut soal kemacetan lalu lintas, kawasan kumuh, persampahan, kekurangan prasarana pada umumnya, dan menurunnya tingkat kualitas lingkungan. Semua ini menengarai bahwa perekonomian kota yang tumbuh selama ini ditopang oleh tulang-tulang penyangga yang rapuh. Dalam situasi ini kota-kota besar/metropolitan seolah mengalami obesitas yang beresiko tinggi, atau sensitif terhadap persoalan-persoalan yang mengiringi pertumbuhannya. Sebagaimana telah diungkap di atas tentang adanya kemungkinan konsentrasi kemiskinan yang tinggi dengan corak praktik ekonomi informal yang berserak maka ada kesulitan bagi pemerintah kota-kota metropolitan untuk menanganinya. Namun demikian, adanya kemiskinan adalah kenyataan dan menjadi tugas pemerintah daerah bersama masyarakat untuk mengentaskannya; dan adanya ekonomi informal adalah kenyataan lain yang harus diatur agar menjadi kekuatan ekonomi alternatif. Cara pengentasan kemiskinan dan pengaturan ekonomi informal oleh pemerintah daerah dapat dilakukan melalui kebijakan fiskal daerah dengan kapasitas yang dimilikinya. Pada umumnya kapasitas fiskal kota-kota besar/metropolitan cukup potensial yang diperoleh melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak-pajak (BHP) yang ada (yang dikelola oleh Pemerintah), Bagi Hasil Bukan Pajak (BHBP), dan bantuan Pemerintah melalui Dana Alokasi Umum (DAU). Penjumlahan penerimaan tersebut terangkum dalam APBD. Adapun belanja APBD yang dikeluarkan setiap tahun akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi kota. Namun bagi kota-kota besar/ metropolitan, jumlah kapasitas fiskal berupa APBD ini dibandingkan dengan kapasitas ekonomi daerah ternyata tidaklah seberapa. Rasio APBD terhadap PDRB bagi kota-kota besar/metropolitan rata-rata hanya 4 persen. Artinya bahwa peranan fiskal daerah terhadap pertumbuhan ekonomi daerah hanya 4 persen dan 96 persen berasal dari sektor riil atau ekonomi masyarakat (Lihat TABEL 5-15). Porsi APBD terhadap PDRB sebesar 4 persen ini sangat kecil dibandingkan dengan rata-rata nasional sebesar 23 persen 23. Mengingat bahwa porsi fiskal terhadap ekonomi kota ternyata sangat tidak signifikan dengan rasio yang hanya 4 persen, maka sebenarnya upaya fiskal melalui belanja langsung APBD berupa belanja barang, kenaikan gaji, bantuan tunai, dan semacam itu kemungkinan besar tidak memberikan tambahan nilai yang berarti; yang mungkin bermanfaat adalah belanja modal berupa prasarana yang bisa lebih memacu ekonomi riil masyarakat serta memicu investasi langsung. Dengan demikian, tantangan utama dalam pengelolaan kota-kota besar/metropolitan adalah strategi pembangunan prasarana yang memberi kemungkinan tumbuhnya investasi langsung baik dalam negeri maupun luar negeri (Foreign Direct Investment). Dalam rangka menyongsong investasi itu, masing-masing kota haruslah meningkatkan daya saing. Laporan penelitian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), menyatakan bahwa daya saing kota-kota besar/metropolitan secara 23 Rasio APBD/ PDRB secara nasional 23 persen, kota-kota ukuran sedang 9,8 persen, dan kota-kota kecil sebesar 20 persen (Samiaji 2003).

157 154 Metropolitan di Indonesia umum semakin meningkat. Daya saing kota-kota besar/metropolitan berdasarkan penelitian KPPOD secara berurutan adalah disajikan pada TABEL TABEL 5-15 Rasio APBD terhadap PDRB (Harga Berlaku) No. Nama Kota APBD (2003) Dlm. Milyar (1) (2) PDRB (2004) Dlm. Milyar Rasio (1)/(2) 1. Medan ,04 2. Palembang ,04 3. Padang ,03 4. Bd. Lampung ,06 5. DKI Jakarta ,03 6. Bandung ,03 7. Bogor ,08 8. Depok ,06 9. Tangerang , Bekasi , Semarang , Surabaya , Malang , Makassar ,04 Rata-rata 0,04 Sumber : Hasil Analisis dari Data Keuangan SIKD Dep. Keuangan dan Data PDRB (atas Harga Berlaku) - BPS TABEL 5-16 Peringkat Daya Tarik Investasi Kota-kota Besar/Metropolitan Tahun 2004 No. Nama Kota Peringkat 2003 Peringkat 2004 Keterangan 1. Malang C AAA Kenaikan 2. Jakarta C AA Kenaikan 3. Palembang C AA Kenaikan 4. Makassar - AA 2003 belum diteliti 5. Surabaya B BBB Kenaikan 6. Semarang BB BB Tetap 7. Padang B BB Kenaikan 8. Bandar Lampung C BB Kenaikan 9. Medan C BB Kenaikan 10. Tangerang C BB Kenaikan 11. Bandung BB C Penurunan 12. Bogor C C tetap 13. Bekasi D C Kenaikan 14. Depok - - Belum diteliti. Sumber: KPPOD

158 Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 155 Peringkat di atas berbeda dengan TABEL 5-15 yang mengkategorikan Kota Malang sebagai kota steady. Pada tabel di atas, Kota Malang malahan mempunyai daya saing yang paling tinggi di antara kota-kota besar/metropolitan lainnya. Perbedaan ini terjadi karena pemantauan dan penilaian daya saing yang dilakukan oleh KPPOD adalah potret sesaat dengan kemungkinan setiap tahun peringkatannya bisa berbeda, sementara hasil analisis di TABEL 5-16 menunjukkan kualitas yang konstan. Sebagai contoh: Semarang, di peringkat KPPOD, pada dua tahun lalu ada di peringkat pertama, namun belum sempat menikmati datangnya investasi, pada tahun 2003 peringkatnya turun menjadi peringkat sepuluh dan pada tahun 2006 terperosok ke peringkat sembilan belas. Bagaimanapun juga, daya tarik investasi akan lebih banyak dipengaruhi oleh faktor prasarana dan faktor kelembagaan. Hubungan antara prasarana dan kelembagaan adalah: 1. Walaupun unsur kelembagaan juga menentukan, tanpa kelengkapan prasarana tetap saja tidak akan mengundang investasi. 2. Walaupun prasarana suatu kota telah lengkap, tanpa pengembangan kelembagaan, maka pemanfaatan prasarana tidaklah optimal. 3. Oleh karena itu bagi kota-kota besar/metropolitan yang memiliki prasarana yang lebih lengkap dan kinerja ekonomi yang dinamis, apabila ada upaya peningkatan kualitas kelembagaan, maka daya tarik terhadap investasi akan lebih nyata. Dengan demikian, untuk meningkatkan daya tarik investasi kota-kota besar/ metropolitan diperlukan pengembangan kelembagaan yang lebih dinamis. Sebagai kota besar/metropolitan dengan karakteristik perkembangan spread dan bergabung dengan daerah-daerah di sekitarnya maka daya saing akan lebih mantap apabila ada sinerji antara kota besar/metropolitan dengan daerah-daerah di sekitarnya. Untuk itu, pengembangan kelembagaan melalui kerja sama antar daerah khususnya dalam bidang pembangunan prasarana akan meningkatkan daya saing dan mampu mengundang investor untuk menanamkan modalnya di kota-kota metropolitan dan daerah-daerah yang berbatasan dengannya. Implikasi Tata Ruang Sebagian besar pertumbuhan dan perkembangan kota-kota besar secara fisik telah melampaui batas administrasi sehingga ada tanda bahwa telah terjadi dua pola pertumbuhan fisik kota-kota besar sebagai berikut: 1. Perkembangan ke luar yang terus melebar sehingga mulai menyatu secara fisik dengan daerah yang berbatasan. 2. Perkembangan ke dalam, yaitu pergeseran di dalam kawasan terbangun kota. Umumnya yang terjadi adalah pergeseran atau transformasi dari kegiatan perumahan menjadi kegiatan komersial. Perkembangan kota yang bersifat ke luar dan ke dalam di kota-kota besar/ metropolitan ini sampai sekarang belum bisa dikendalikan baik melalui instrumen rencana tata ruang maupun melalui pengendalian tata ruang, termasuk zoning regulation. Kegagalan pengendalian tersebut diduga terjadi karena:

159 156 Metropolitan di Indonesia 1. Property Right pemilik lahan lebih kuat daripada Development Right pemerintah daerah. 2. Kurangnya kapasitas pengawasan terhadap perubahan guna lahan dan kurangnya sistem data dan informasi geografi kota yang terbaharui untuk mendukung pengawasan. 3. Tidak adanya kerja sama antar daerah yang solid di antara kota besar/metropolitan dan daerah yang berbatasan. 4. Persepsi terhadap nilai-nilai ekonomi jangka pendek lebih kuat daripada nilai-nilai kelestarian yang efisien. Sebagai akibat dari pola perubahan tata ruang dari dua sumber, yaitu ke dalam dan ke luar tersebut, maka kota menjadi terus meluas. Berbagai kebijakan pengembangan tata ruang malahan semakin memicu dan memacu perkembangan kota yang meluas, seperti: 1. Pengembangan struktur kota seperti: a. Pembentukan sub-pusat sub-pusat kota mendorong munculnya permukimanpermukiman baru; b. Zonasi-zonasi guna lahan, terutama pemisahan zona bisnis dan zona industri dengan permukiman semakin memperbesar jarak antara kedua fungsi sehingga tidak efisien baik dalam pelayanan maupun pembangunan prasarana. 2. Pembangunan perumahan murah, yang harga jualnya ditentukan oleh pemerintah, menyebabkan pengembang mencari lokasi yang harga tanahnya murah dan tentunya lokasinya jauh dari tempat kerja; 3. Penyebaran fasilitas-fasilitas sosial-ekonomi seperti rumah sakit, sekolah, dan pasar semakin memberi kemudahan bagi lokasi perumahan yang berada di luar lota; 4. Pembangunan outer ring road akan merangsang tumbuhnya permukimanpermukiman baru. Penutup Kebijakan tata ruang menyebabkan kota besar semakin membesar dan meluas semacam Kota Obesitas. Kota yang mengalami obesitas ini merupakan akibat langsung dari perkembangan ekonomi kota yang maju, tetapi tergambarkan dalam perkembangan tata ruang yang justru tidak efisien. Dengan demikian, nilai-nilai tambah ekonomi yang diciptakan oleh kota besar itu dikurangi sendiri oleh kebijakan tata ruang yang tidak efisien itu. Jika kebijakan pengembangan tata ruang masih berkutat pada pola pikir yang lama, tanpa berupaya reorientasi terhadap masalah melalui terobosan-terobosan baru dan jitu, maka pada masa datang kota besar/metropolitan yang mengalami obesitas akan selalu beresiko (seperti manusia kegemukan yang beresiko tinggi terhadap penyakit degeneratif).

160 Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 157 GLOBALISASI DAN METROPOLITAN DI INDONESIA Pendahuluan Walau sudah sering menjadi topik pembicaraan dalam, kurang lebih, seperempat abad terakhir ini bahkan cenderung menjadi jargon yang klise istilah globalisasi yang mulai dikenal pada awal 1980-an masih belum memiliki definisi yang disepakati bersama (Centre for Developing Cities 2006). Padahal, pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan globalisasi akan mempengaruhi sikap terhadap globalisasi tersebut. Lebih-lebih, globalisasi dalam pengertian yang luas sebagai suatu fenomena interaksi dan proses pengaruh-mempengaruhi secara sosial-ekonomi-budaya-demografi dari bagian bumi yang satu ke bagian yang lain pun dapat dikatakan telah berlangsung selama berabad-abad sebagaimana yang tergambarkan dalam kisah Marco Polo atau Admiral Cheng Ho. Hanya saja, kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi yang pesat dalam dua puluh lima tahun terakhir telah membuat fenomena tersebut saat ini berlangsung jauh lebih cepat dan dalam skala yang jauh lebih besar, dengan lingkup yang lebih luas menjangkau berbagai bidang, serta memiliki tingkat kerumitan yang lebih tinggi (UN-Habitat 2004). Terlepas dari perdebatan akademik tentang arti globalisasi, fenomena intensifikasi keterkaitan yang semakin mendunia sebenarnya dapat dirasakan oleh sebagian besar orang, khususnya mereka yang tinggal atau bekerja di kota-kota besar atau metropolitan. Sungguh, globalisasi dan kota adalah dua konsep yang tak terpisahkan. Di satu sisi kota hampir selalu menjadi sumber, simpul dan penggerak dari berbagai perubahan, di sisi lain kota pun merupakan bagian bumi yang paling cepat dipengaruhi oleh berbagai perubahan global. Proses urbanisasi (baik karena migrasi desa-kota ataupun akibat pengalihan fungsi lahan) pun menjadi atribut yang tidak terpisahkan dari globalisasi. Implikasinya, kemampuan suatu bangsa dalam mengelola kota-kotanya sesuai dengan tuntutan global (yang bisa bersifat eksternal maupun internal) akan mempengaruhi kemajuan relatif bangsa tersebut di tengah-tengah masyarakat global yang semakin kompetitif. Demikian pula, kemampuan pengelola kota dalam memahami berbagai perubahan global yang bersifat terus menerus serta pengaruhnya terhadap kehidupan kota yang dikelolanya akan sangat mempengaruhi kemampuan kota tersebut untuk berkembang dan bersaing dengan kota-kota lain di dunia yang semakin saling tergantung satu sama lain. Dalam konteks inilah pembahasan globalisasi dan kota-kota metropolitan di Indonesia masih (dan selalu akan) dianggap perlu. Mengunjungi Kembali Globalisasi Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita kunjungi kembali globalisasi sebagai suatu fenomena sosial-ekonomi-budaya dan demografi, yang menyebabkan semakin hari semakin banyak bagian dari bumi yang semakin terkait dan saling mempengaruhi. Jan Art Scholte (2000, sebagaimana disarikan oleh Smith 2002) melihat setidaknya ada lima jenis pemahaman tentang globalisasi: 1. Globalisasi dilihat sebagai internasionalisasi: yaitu proses meningkatnya hubungan antar-negara, pertukaran antar-negara (international exchange) serta kesalingtergantungan. Dalam konteks inilah globalisasi dianggap telah terjadi selama berabad-abad walaupun kecepatan, besaran, lingkup dan kompleksitas

161 158 Metropolitan di Indonesia perubahannya berbeda. Namun pada kurun waktu setengah abad terakhir ini terjadi pula proses multilateralisasi yang lebih mendasar, akibat peran penting lembagalembaga seperti PBB, Bank Dunia, IMF, Mahkamah Internasional dan belakangan WTO dan terkadang bahkan dapat mendikte kebijakan suatu negara 24, khususnya yang berkaitan dengan penyesuaian struktural (structural adjustment) negara-negara berkembang terhadap sistem ekonomi neo-klasik yang dipercaya oleh lembagalembaga multilateral tersebut sebagai pilihan terbaik dalam menghadapi globalisasi. Termasuk dalam kategori pemahaman ini adalah konsep kesaling-tergantungan (inter-dependency) yang juga merupakan ciri globalisasi. 2. Globalisasi dilihat sebagai liberalisasi; yaitu sebagai proses terhapusnya secara gradual hambatan-hambatan yang ditetapkan oleh masing-masing negara bagi pergerakan barang, jasa, informasi dan manusia sehingga akan terbentuk suatu ekonomi dunia yang tanpa batas. Termasuk dalam hal ini adalah penerimaan atau imposisi model ekonomi neo-klasik sebagai paradigma dominan (kalau tidak mau mengatakannya sebagai paradigma tunggal) untuk pembangunan ekonomi, dan oleh karenanya sistem ekonomi nasional pun harus menyesuaikan dengan prinsip-prinsip ekonomi neo-klasik. 3. Globalisasi dilihat sebagai universalisasi; yaitu sebagai proses terbentuknya kesamaan nilai-nilai, norma-norma, cara-pandang serta perilaku ke segala penjuru dunia akibat persebaran informasi, pengalaman, barang, orang dan lain-lain. Peran globalisasi pendidikan semakin banyaknya orang yang bersekolah di negaranegara lain, khususnya di negara-negara Barat yang dianggap maju serta perkembangan teknologi komputer dan internet, serta televisi dan film dilihat sebagai sangat kuat mempengaruhi universalisasi tata-nilai ini. 4. Globalisasi dilihat sebagai modernisasi dan, secara lebih sempit, pembaratan (westernization): yaitu sebagai dinamika, ditunjukkan oleh struktur dan atribut sosial modern (kapitalisme, rasionalisme, industrialisme dan lain-lain) yang tersebar ke berbagai penjuru dunia. Seringkali dalam proses memoderenisasi ini menghancurkan budaya serta atribut dan bahkan keswadayaan lokal yang ada. Karena Amerika Serikat beserta budaya kontemporernya sering dilihat sangat mendominasi proses-proses yang ada, salah satu pandangan yang masuk dalam kategori ini melihat globalisasi secara lebih sempit lagi sebagai Amerikanisasi (sebagaimana merebaknya model celana jeans, gerai makan cepat saji ala McDonald atau KFC, minuman ala Coca Cola, media berita ala CNN, bisnis multi-level marketing ala Amway dan lain-lain). 5. Globalisasi dilihat sebagai de-teritorialisasi (atau malah terbentuknya suatu suprateritorial); yaitu proses rekonfigurasi geografis yang menyebabkan ruang-ruang sosial tidak lagi selalu diartikan secara fisik-teritorial. Pernyataan-pernyataan yang agak berlebih seperti terjadinya death of distance atau bahkan death of geography 25 pun muncul sebagai salah satu penekanan cerminan sudut pandang ini. 24 Sebagai salah satu contoh baca Kwik Pernyataan death of geography sebagaimana dikutip dalam Smith 2000 tentunya terlalu berlebihan,apalagi mengingat bahwa justru banyak ahli geografi yang menekuni persoalan globalisasi.

162 Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 159 Dengan pemahaman semacam ini, Anthony Giddens (1990, sebagaimana dikutip oleh Smith 2002) mendefinisikan globalisasi sebagai intensifikasi hubunganhubungan sosial yang menyeluruh dunia dan menghubungkan tempat-tempat yang berjauhan sedemikian sehingga apa yang terjadi di suatu tempat dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kejadian di tempat lain yang berjauhan. Lebih lanjut lagi, perusahaan-perusahaan atau produk-produk tertentu tidak lagi dapat diasosiasikan dengan suatu negara karena baik kepemilikan atau proses pembuatannya tidak lagi terbatas pada pihak-pihak dari satu negara. Demikian pula dengan timbulnya komunitas-komunitas maya (virtual) yang terbentuk melalui media internet dan tidak mengenal batas-batas geografis. Salah satu fenomena menarik yang terjadi akhir-akhir ini adalah apa yang disebut e-tutoring; banyak murid-murid di Amerika Serikat mengambil semacam les dari guru-guru sekolah di India yang bisa menawarkan jasanya jauh lebih murah daripada guru-guru di Amerika Serikat (Hal ini bisa dianggap sebagai bentuk lain dari fenomena e-subcontracting; perusahaan-perusahaan software di negara maju mensubkontrakkan sebagian pekerjaannya kepada perusahaan atau individu di negara berkembang mungkin tanpa harus bertemu muka demi menghemat biaya, atau bisa juga merupakan bentuk lain dari kursus-kursus melalui internet yang ditawarkan sekolahsekolah di negara-negara maju kepada murid-murid di negara berkembang). Berbagai ilustrasi di atas menggambarkan karakteristik kesaling-terkaitan (interconnectedness) dari globalisasi. Walaupun Scholte lebih cenderung menggunakan pemahaman yang terakhir (deteritorialisasi) sebagai penjelasan globalisasi, namun sebenarnya masing-masing pemahaman di atas memiliki kandungan kebenaran jika dikaitkan dengan apa yang sesungguhnya terjadi, hanya berbeda aspek atau sudut pandang. Oleh karenanya tulisan ini dalam melihat pengaruh globalisasi kepada kota-kota justru akan menggunakan secara komprehensif kelima pemahaman di atas secara lebih bebas sebagai atribut dari globalisasi, yaitu: (i) meningkatnya interaksi global. (ii) berkurangnya batas-batas bagi mobilitas barang, jasa, informasi dan manusia. (iii) merebaknya tata-nilai universal. (iv) industrialisasi barang dan jasa, dan (v) de-teritorialisasi. Apapun definisinya, globalisasi sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi yang telah mempermudah dan mempercepat arus informasi, barang, jasa dan manusia dari satu tempat ke tempat lain. Akses ke informasi pun semakin terbuka bagi semakin banyak orang. Orang-orang di desa, misalnya, mungkin saja memperoleh informasi tentang pasar global komoditasnya bahkan secara real-time melalui internet, telepon genggam atau media lainnya. Suatu unit usaha di suatu negara bisa saja melakukan suatu sub-kontrak dengan suatu pihak dari belahan bumi yang lain tanpa harus bertemu muka. Dan hal-hal seperti ini mempengaruhi hampir semua aspek kehidupan manusia, baik dalam bekerja, belajar, bertinggal, berbelanja, berlibur, bersosialisasi dan bahkan dalam berpikir. Sebaliknya, perluasan pasar yang semakin mengglobal mengakibatkan timbulnya perusahaan-perusahaan berskala besar yang mampu mengalokasikan anggaran yang sangat besar untuk penelitian dan pengembangan produknya. Hal ini, dikombinasikan dengan perkembangan pasar yang juga semakin kompetitif menyebabkan percepatan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (misalnya pada perangkat lunak

163 160 Metropolitan di Indonesia maupun keras bagi komputer, telepon genggam, televisi dan lain-lain). Jadi keterkaitan antara globalisasi dan perkembangan teknologi adalah hubungan yang bersifat timbal balik dan saling mendorong. Globalisasi juga dipahami tidak hanya terbatas pada aspek ekonomi saja; proses yang sangat kompleks ini juga menyangkut dimensi sosial (misalnya dengan berubahnya struktur dan tingkat kerekatan komunitas di dalam masyarakat); budaya (misalnya dengan kemunculan generasi MTV di kalangan generasi muda di belahan bumi mana pun dan merasa lebih memiliki kesamaan di antara mereka dibanding dengan generasi orang tua di negara yang sama); politik-kelembagaan (misalnya dengan semakin diadopsinya sistem demokrasi ala Barat, yang seringkali diterapkan hanya secara prosedural, jauh dari kultur setempat, di berbagai belahan dunia); lingkungan hidup (misalnya polusi antar-bangsa dalam bentuk asap dari kebakaran hutan di Indonesia yang diderita warga di Singapura, Malaysia dan lainnya); dan juga spatial atau tata-ruang (termasuk di dalamnya proses migrasi yang semakin meningkat sehingga menyebabkan tumbuh dan semakin beragamnya urban ethnic space atau bagian-bagian kota yang dihuni oleh berbagai suku-bangsa secara mengelompok 26 ) (Habitat, 2004; Soegijoko, 2005). Di sini aspek multi-kulturalisme menjadi atribut yang sangat kental bahkan menjadi ciri dari kota-kota global yang kosmopolitan. Globalisasi pun dipengaruhi oleh perubahan atau pergeseran cara pandang atau cara berpikir, yang kemudian mempengaruhi perilaku di berbagai bidang. Richard Norgaard (1994) melihat, di dunia ini, setidaknya terjadi lima pergeseran cara pandang. Pertama adalah pergeseran dari cara pandang yang bersifat atomistic (dengan mana keseluruhan sistem dianggap sama dengan jumlah total dari bagian-bagiannya) ke cara pandang holistic (dengan mana keseluruhan sistem tidak selalu dianggap sama dengan jumlah total dari bagian-bagiannya, bisa lebih besar/kuat atau lebih kecil/lemah tergantung bagaimana berhubungan antar-bagian yang ada). Dengan pengertian ini, konsep modal sosial menjadi lebih mudah dipahami. Masyarakat yang memiliki modal sosial besar walau secara individu mungkin memiliki kapasitas terbatas bisa saja lebih maju dan berkembang daripada masyarakat yang secara individu memiliki kapasitas tinggi tetapi secara kesuluruhan memiliki modal sosial yang lemah. Kedua adalah pergeseran dari cara pandang yang mekanistik (Newtownian) yang menganggap suatu sistem selalu mempunyai ekuilibrium, ke cara pandang yang lebih mengakui kemungkinan terjadinya ketidakpastian, diskontinuitas dan bahkan chaos yang tak terjelaskan. Termasuk dalam hal ini adalah pengakuan terhadap eksistensi ekonomi informal perkotaan yang seringkali sulit dijelaskan dan didekati secara formal. Ketiga adalah dari cara pandang universal, yang melihat prinsip-prinsip universal sebagai sesuatu yang tak terbantahkan, ke cara pandang kontekstualistik yang mengakui konteks lokal, waktu dan budaya sebagai faktor yang tidak hanya harus dipertimbangkan tetapi justru harus dominan. Pergeseran dalam hal ini tidak bisa 26 Urban ethnic space sebagaimana yang dikemukakan dalam Habitat 2004 sebenarnya juga sudah terjadi sejak adanya proses migrasi besar-besaran selama berabad-abad. Kota-kota besar di Nusantara seperti Jakarta misalnya,pernah memiliki sudut-sudut kota yang dihuni oleh migran dari berbagai tempat di Nuantara secara berkelompok-kelompok (Kampung Ambon,Kampung Bali,Kampung Jawa,Kampung Bugis,dan lain-lain). Demikian halnya dengan kota-kota dunia (global cities) seperti London. New York atau Paris.

164 Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 161 dikatakan tuntas karena masih banyak pelaku pembangunan dunia yang sangat percaya dengan nilai-nilai yang sifatnya universal dan berusaha mempromosikan hal tersebut namun di sisi lain juga cukup banyak pelaku pembangunan yang selalu menekankan pentingnya konteks lokal. Keempat adalah pergeseran dari cara pandang (umumnya di dunia penelitian atau keilmuan) yang mengagung-agungkan objektivitas positivisme ke cara pandang yang mengakui kemungkinan adanya subyektivitas atau keberpihakan di dalam ilmu (yang bisa dianggap sebagai konstruksi sosial). Oleh karenanya, tuntutan akan partisipasi masyarakat menjadi lebih tinggi, terutama untuk mengurangi bias dari si pengambil keputusan. Pendekatan dalam penelitian maupun perencanaan yang diakui pun tidak lagi harus yang bersifat positivistik dan bebas-nilai tetapi mencakup pendekatan penelitian participant-observation dan pendekatan perencanaan melalui proses-proses komunikasi ( planning through communication ). Kelima, Norgaard melihat adanya pergeseran dari cara pandang yang monistik yang hanya mengakui satu kebenaran atau penjelasan akan suatu fenomena ke cara pandang yang pluralistik yang mengakui kemungkinan adanya beberapa kebenaran atau penjelasan. Kini lebih banyak orang yang bisa (atau terpaksa) menerima perbedaan pendapat dibanding di masa lalu. Terkandung di dalam pergeseran paradigma yang kelima ini adalah multi-kulturalisme sebagai pengakuan bahwa dunia khususnya kotakota besar tidak hanya dihuni oleh manusia-manusia yang berbudaya sama. Namun pada saat yang hampir bersamaan bisa saja terjadi pula penguasaan cara pandang (misalnya pandangan neo-klasik sebagai paradigma dominan ekonomi dunia) atau pemaksaan cara pandang tertentu oleh kekuasaan adidaya (misalnya dalam hal terorisme global). Pada tataran yang lebih praktis, di dalam pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan publik sehari-hari pun telah terjadi pula pergeseran yang cukup berarti. Di masa lalu, pada umumnya pembangunan maupun pengelolaan publik sangat didominasi oleh pemerintah (dan seringkali pemerintah pusat). Kemudian disadari bahwa pemerintah tidak akan mampu mengerjakan semua hal. Ada hal-hal yang dikenal sebagai government failures seperti ketidakefisienan, kekakuan birokrasi, kelembaman untuk berubah dan lain-lain. Memang ada hal-hal yang lebih baik diserahkan kepada pihakpihak yang dapat bekerja lebih efisien, cepat dan sangat berorientasi pada hasil. Maka timbul era yang menganggap sektor swasta lebih mampu menyediakan berbagai pelayanan maupun melaksanakan pembangunan, sehingga tidak hanya penyediaan air minum yang diswastakan tetapi bahkan terdapat kota-kota yang hampir sepenuhnya dibangun oleh swasta. Terjadilah gelombang privatisasi di berbagai sektor sebagai bagian dari perubahan pola berpikir global. Di era ini pemerintah diharapkan untuk berperan sebagai regulator saja. Namum pendekatan yang berorientasi swasta seperti ini pun tidak lepas dari berbagai persoalan, khususnya yang berkaitan dengan kegagalan pasar, swasta tidak akan pernah mampu menyediakan barang atau pelayanan yang sepenuhnya bersifat publik (public goods) yang bisa dinikmati oleh semua orang tanpa harus membayar. Swasta pun cenderung tidak mau menyediakan barang atau pelayanan bagi kaum yang

165 162 Metropolitan di Indonesia sangat miskin di mana marjin keuntungan dianggap sangat tipis atau bahkan tidak ada 27. Swasta juga cenderung tidak mau melakukan investasi dengan modal yang sangat besar dengan pengembalian modal yang berjangka sangat panjang serta beresiko tinggi. Maka pada tahap berikutnya, pergeseran peran-peran dalam pembangunan ini,peran (atau tuntutan akan peran) masyarakat madani semakin meningkat untuk mengimbangi baik kegagalan pemerintah (government failures) maupun kegagalan pasar GAMBAR 5-7. tahap 1 tahap2 tahap 3 Pemerintah dianggap paling mengetahui apa yang dikehendaki rakyat Sistem pasar dianggap paling efisien dalam memenuhi kebutuhan masyarakat Kemitraan yang setara dianggap sebagai cara terbaik swasta swasta swasta pemerintah Masyarakat Masyarakat pemerintah pemerintah Masyarakat Terjadi kegagalan pemerintah ; masyarakat kehilangan kepercayaan Terjadi kegagalan pasar ; penurunan kualitas ruang publik? GAMBAR 5-7 Diagram Pergeseran Peran Pelaku dalam Pembangunan/ Pengelolaan Publik Perubahan-perubahan semacam di atas terjadi di mana-mana, baik di negara maju maupun di negara berkembang termasuk Indonesia baik pada tingkatan negara, regional, lokal, komunitas maupun individu tentunya dengan tahap dan skala maupun intensitas yang berbeda-beda. Salah satu implikasi dari situasi seperti ini adalah timbulnya berbagai ketegangan (tensions), baik yang bersifat global, regional maupun lokal dan bahkan pada tataran komunitas dan keluarga. Ketegangan sendiri sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan (embedded) dalam globalisasi. Di satu sisi globalisasi membuat batas-batas negara semakin menipis, namun di sisi lain juga terjadi pula gelombang desentralisasi atau lokalisasi di mana timbul tuntutan agar sebanyak mungkin keputusan publik dan pelaksanaannya di lakukan ditingkat lokal/komunitas 27 Padahal Prahalad (2004) justru melihat potensi investasi di tengah-tengah masyarakat yang paling miskin sekalipun.

166 Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 163 (atau bahkan primordialisme; putra daerah dianggap punya hak lebih dalam banyak hal daripada pendatang ). Timbul fenomena globalization yang penuh ketegangan atau tarik ulur antara kekuatan-kekuatan global dan kekuatan-kekuatan lokal. Ketegangan (tension) juga timbul manakala produk-produk import yang bisa masuk secara lebih mudah ternyata mematikan atau melemahkan usaha lokal/domestik yang menghasilkan produk-produk sejenis. Simbol-simbol globalisasi seperti McDonald, Kentucky Fried Chicken, Walmart atau Carrefour sering mendapat tentangan dari komunitas lokal yang tidak menghendaki bisnis-bisnis kecil dan khas tergusur oleh perusahaan global tersebut. Bahkan tentangan terhadap lembaga multilateral seperti Bank Dunia dan IMF sudah merupakan berita sehari-hari. Lembaga-lembaga global ini sering dilihat sebagai simbol neo-kolonialisme, baik melalui pemaksaan perubahan cara berpikir, kebijakan sosial-ekonomi dan lain-lain melalui persyaratan-persyaratan hutang yang seringkali dibutuhkan oleh negara yang sedang berkembang. Ketegangan juga timbul akibat dari semakin menguatnya proses privatisasi yang bahkan masuk ke ruang-ruang yang selama ini merupakan domain publik: taman-taman, ruang kota untuk bersosialisasi, penyediaan rumah-rumah, prasarana air minum, jalan utama bahkan pembangunan seluruh kota. Salah satu implikasi dari privatisasi adalah sulitnya dipenuhi kebutuhan kaum miskin karena pihak swasta tentunya lebih memberi perhatian kepada mereka yang mampu membeli layanan atau barang komoditasnya. Selanjutnya, banyak pengusaha-pengusaha kecil yang tidak terlindungi oleh pemerintah lokal terpaksa tergusur oleh toko-toko wholesale global seperti Walmart atau Carrefour. Demikian pula dengan bertumbangannya tingkat keswadayaan lokal dan meningkatnya ketergantungan pada faktor-faktor eksternal yang lebih jauh dapat dianggap mengancam keberlanjutan pembangunan di tingkat lokal. Pada intinya, selama akses kepada sumberdaya (termasuk teknologi dan informasi) masih belum merata dan prospek untuk terjadi pemerataan belum terlihat jelas maka distribusi manfaat dan biaya dari globalisasi masih akan selalu timpang 28. Terdapat pihak-pihak yang harus turut menanggung biaya tetapi tidak menikmati manfaat dari proses yang sedang berlangsung. Atas dasar pertimbangan inilah kemudian timbul gerakan anti-globalisasi yang kemudian berubah menjadi globalisasi dari bawah dan menuntut adanya keadilan global. Karena hal tersebut di ataslah globalisasi tidak selalu dianggap sebagai suatu yang positif. Bagi mereka yang memiliki akses kepada teknologi dan informasi serta sumberdaya finansial atau lainnya untuk berkompetisi maka globalisasi dapat dianggap sebagai menguntungkan (beneficial) secara ekonomi. Demikian pula bagi mereka yang ingin memajukan nilai-nilai seperti demokratisasi, maka proses globalisasi dianggap dapat menyebarkan tata-nilai yang dianggap baik tersebut. Namun proses-proses ini terjadi tidak tanpa ongkos, yang seringkali harus dipikul oleh pihak-pihak yang tidak menikmati, sehingga timbul penentangan-penentangan sebagaimana diilustrasikan di atas. Memang, ketegangan atau bahkan konflik sudah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari globalisasi dengan skala, intensitas dan kompleksitas konflik yang 28 Kenyataan ironis di era yang sangat berorientasi kepada teknologi informasi adalah angka yang menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen penduduk dunia belum pernah menggunakan sarana telepon (lihat misalnya Jakarta Post. September hal. 17).

167 164 Metropolitan di Indonesia lebih tinggi dibanding dengan apa yang terjadi di era pra-kontemporer. Upaya mengantisipasi dan merespon pun perlu memasukkan pertimbangan adanya keteganganketegangan atau konflik ini. Implikasi bagi Kota-kota Metropolitan Sebagaimana yang sudah disebutkan di atas, globalisasi dan urbanisasi merupakan dua konsep yang tidak terpisahkan. Kota-kota, khususnya kawasan metropolitan, merupakan sumber, simpul dan penggerak berbagai perubahan yang kemudian menggelinding menjadi apa yang disebut globalisasi. Sebaliknya pengaruh globalisasi paling cepat dan paling besar dirasakan di kota-kota (oleh masyarakat kota). Dan karena seringkali kotakota besar atau metropolitan memiliki keunggulan infrastruktur dibanding kota-kota yang lebih kecil, maka terjadi proses pelebaran kesenjangan penerimaan manfaat globalisasi antara kota-kota besar dan kota-kota yang lebih kecil atau kawasan perdesaan. Pengusaha-pengusaha global cenderung memilih kota-kota besar sebagai pusat dan simpul operasinya, terutama karena keunggulan dalam ketersediaan sarana dan prasarana yang bersifat global (misalnya jaringan telekomunikasi global), tempat berkumpulnya berbagai bisnis sejenis atau terkait yang dapat menciptakan apa yang agglomeration of economies (pengumpulan berbagai ekonomi terkait). Kota-kota besar umumnya juga menawarkan pasar atau akses ke pasar yang relatif lebih besar daripada yang ada pada kota-kota yang lebih kecil. Demikian pula, kota-kota besar juga cenderung memiliki pool yang lebih besar akan tenaga ahli dengan pendidikan atau keterampilan yang sesuai dengan kebutuhannya. Lebih jauh lagi, Manuel Castells menekankan pentingnya suatu milleu of innovation atau suatu kumpulan komunitas manusia yang berorientasi ke inovasi bagi perusahaanperusahaan yang berorientasi teknologi informasi untuk dapat selalu memiliki keunggulan komparatif di era globalisasi ini (Castells 1986). Milleu of innovation semacam ini cenderung terbentuk di sekitar perguruan tinggi dengan lembaga-lembaga risetnya; dan umumnya perguruan tinggi tersebut berada di dekat kota besar. Contoh yang sering dirujuk adalah kota San Francisco dengan Bay Area-nya (tempat Silicon Valley berada) yang merupakan tempat bagi Stanford University, University of California at Berkeley dan berbagai universitas lain, atau Boston Metropolitan Area (tempat Route 128 berada) dengan Harvard University dan Massachussett Institute of Technology dan berbagai universitas terpandang lainnya. Berbagai inovasi yang kemudian mendunia sering muncul dari kedua kawasan perkotaan tersebut maupun dari tempat-tempat lain yang sejenis. Namun dalam perkembangan paling akhir, sebagaimana dilaporkan dalam Newsweek July 3-10, 2006, telah terjadi pergeseran pilihan lokasi investasi (khususnya di sektor jasa dan industri informasi-telekomunikasi) dengan adanya kecenderungan untuk memilih kota-kota kedua (secondary cities) yang dianggap lebih nyaman ditinggali daripada kota-kota metropolitan yang ditandai dengan harga properti yang semakin mahal, kemacetan lalu-lintas yang semakin parah, polusi yang semakin menyesakkan serta kriminalitas yang semakin mengkhawatirkan. Namun pergeseran seperti ini hanya terjadi pada secondary cities yang memiliki akses teknologi komunikasi informasi serta amenities (atribut untuk kenyamanan, baik secara fisik maupun sosiokultural) yang baik dan tidak kalah dengan kota-kota besar. Dengan perkembangan

168 Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 165 terakhir seperti ini, kota-kota metropolitan pun bersaing dengan kota-kota yang lebih kecil dalam upaya mendatangkan investasi yang lebih memiliki nilai tambah relatif lebih besar yang ada pada sektor-sektor yang terkait dengan teknologi-telekomunikasiinformasi (dibanding pada sektor-sektor manufaktur konvesional yang sering lebih mengandalkan tenaga buruh murah sebagai basis pilihan lokasi). Globalisasi pun dapat mempengaruhi struktur tata ruang internal kawasan metropolitan. Walaupun pola aktifitas ekonomi yang berpusat pada kawasan pusat kota masih tetap mendominasi kegiatan sehari-hari di berbagai kota metropolitan di dunia (sehingga menimbulkan arus penglaju yang sangat besar dari pinggiran kota ke pusat kota di pagi hari dan sebaliknya di sore hari), namun perkembangan teknologi-informasi telah sedikit-banyak mengurangi ketergantungan untuk aktifitas tatap-muka sehingga timbul pusat-pusat baru di pinggiran kota, baik yang berskala kota-baru atau kota satelit maupun yang hanya berupa warung-warung telekomunikasi di kawasan-kawasan permukiman pinggiran. Di banyak kota-kota besar dunia, misalnya, perusahaan-perusahaan tertentu membolehkan karyawannya untuk datang ke kantor pusat hanya dua atau tiga hari seminggu, sisanya mereka dapat berkantor di kantor-kantor cabang di pinggiran kota atau di fasilitas semacam warung telekomunikasi di dekat mereka tinggal, atau bahkan dari rumah mereka masing-masing. Toh mereka tetap bisa mengerjakan banyak hal, termasuk berkomunikasi dengan mitra usaha di mancanegara dari rumah atau kantor di pinggiran atau warung telekomunikasi terdekat. Hal seperti ini tentunya dapat mengurangi biaya transportasi dan jumlah penglaju harian di kawasan kota metropolitan sekaligus mempengaruhi tata-ruang yang ada. Kecenderungan yang terjadi di banyak kawasan metropolitan di dunia khususnya di negara-negara maju adalah terbentuknya apa yang sering disebut sebagai decentralized concentration atau konsentrasi yang terdesentralisasi. Sementara di kota-kota besar di negara berkembang yang berpenduduk besar tetapi memiliki keterbatasan infrastruktur seperti Indonesia yang umumnya terjadi justru suatu mega urban sprawl; kawasan perkotaan menyambung menjadi satu (walaupun mungkin saja masih terdapat kawasan berkarakter perdesaan di dalamnya), yang seringkali tumbuh tidak teratur. Secara terstruktur, pengaruh globalisasi terhadap kota-kota, khususnya kota metropolitan dapat dilihat sebagai memiliki tiga tataran atau aras: [1] Pengaruh globalisasi pada sistem perkotaan global; menurut Sassen (1994), terdapat kota-kota global tingkatan pertama seperti New York, London dan Tokyo, serta tingkatan-tingkatan di bawahnya yang menunjukkan besarnya/luasnya cakupan pengaruh kota-kota tersebut khususnya di bidang ekonomi-finansial baik di tingkat global maupun regional. Walau di tingkat teratas sistem perkotaan global mungkin tidak banyak terjadi perubahan (ketiga kota yang disebut di atas masih belum tergoyahkan oleh kotakota lainnya), namun pada tingkatan-tingkatan di bawahnya susunan kota-kota lebih mudah berubah. Tersirat di sini adalah adanya kompetisi antar-kota untuk menjadi semacam pusat atau hub (simpul) kegiatan ekonomi dari suatu region kalau bukan dunia sebagaimana yang terlihat pada persaingan yang cukup ketat antara Singapura dan Bangkok dalam upaya mereka menjadi hub bagi lalu-lintas udara di Asia Tenggara. [2] Pengaruh globalisasi pada hubungan yang juga dinamis (selalu berubah) antara kota-kota utama atau metropolitan dan kota-kota sekunder di sekitarnya. Kalau di masa lalu kota-kota sekunder sering dilihat hanya sebagai pendukung bagi kota-kota

169 166 Metropolitan di Indonesia metropolitan, khususnya dalam penyediaan hunian yang murah dan nyaman, atau setidaknya sebagai kota-kota pinggiran (edge cities), maka dengan kemajuan teknologi telekomunikasi dan informasi banyak kota-kota sekunder yang kemudian berkembang menjadi kota-kota yang lebih mandiri (self-sustained) dan mempunyai aktifitas-aktifitas yang berhubungan langsung ke bagian dunia yang lain tanpa harus tergantung pada atau melalui kota metropolitan terdekat. Sebagaimana yang diuraikan di atas, terdapat pula kecenderungan pelaku dunia usaha global justru untuk memilih kota-kota sekunder yang memiliki amenities yang baik namun terbebas dari kemacetan dan polusi kota-kota metropolitan. Namun pergeseran semacam ini tidak bisa dibilang permanen. Perkembangan ke depan akan sangat tergantung pada perkembangan teknologi telekomunikasi-informasi dan pola aktifitas sosial-ekonomi. [3] Pengaruh globalisasi pada tata-ruang internal suatu kawasan metropolitan. Dalam hal ini, yang terjadi di suatu kota metropolitan tidak sama dengan yang terjadi di kawasan metroplitan lain, sangat tergantung kepada seberapa jauh kota metropolitan tersebut terbuka (exposed) terhadap globalisasi serta faktor-faktor sosial, ekonomi, politik, budaya dan geografis yang ada serta seberapa jauh pemerintah dan warga kota metropolitan tersebut mampu mempertahankan ciri-ciri khasnya. Namun secara umum terdapat pola perubahan tata-ruang yang sangat dipengaruhi oleh berubahnya sistem ekonomi-bisnis dunia. Sebagai contoh, dengan banyaknya industri manufaktur yang pindah dari negara-negara dengan biaya buruh tinggi (umumnya di negara maju) ke negara-negara dengan biaya buruh rendah (umumnya di negara berkembang) seringkali masih menyisakan kantor pusatnya di kota asal, tetapi banyak pula yang memindahkan kantor pusatnya ke kota lain yang lebih strategis. Akibatnya, banyak kotakota di negara maju yang harus berjuang untuk mengisi kekosongan sosial-ekonomi yang diakibatkan oleh perginya tempat-tempat usaha (dan sumber-sumber pekerjaan) tersebut; ada yang berhasil mendapatkan basis ekonomi baru namun banyak juga yang masih struggling hingga kini. Sementara kota-kota di negara berkembang pun tidak luput dari ancaman yang sama dari apa yang disebut footloose industries tersebut, karena seiring dengan kemajuan ekonomi negara berkembang tersebut, maka ongkos buruh akan semakin meningkat dan selalu ada saja negara atau kota lain yang dapat menawarkan lingkungan usaha dengan ongkos yang lebih murah. Dari sudut berbagai dimensi yang ada, pengaruh globalisasi pada kota-kota metropolitan dapat disusun ke dalam suatu matriks atau kerangka analisis sebagai ditunjukan dalam tabel TABEL 5-17 berikut: TABEL 5-17 Pengaruh Globalisasi Pada Umumnya dan Terhadap Tata Ruang Kota Dimensi Dimensi Ekonomi- Finansial Pengaruh Umum Paradigma neo-klasik sebagai paradigma tunggal/dominan. Pasar bebas diagung-agungkan, hambatan dan tarif perdagangan dikurangi. Tumbuh dan tersebarnya perusahaan global seperti McDonald, Walmart, Carrefour, dll. yang mendesak atau mematikan usaha-usaha lokal yang Pengaruh pada Tata Ruang Kota (Dimensi Spasial) Privatisasi ruang-ruang publik serta berbagai pelayanan umum seperti penyediaan air, pengelolaan sampah, pendidikan dan kesehatan yang di masa lalu lebih banyak diasosiasikan sebagai pelayanan publik. Konflik keruangan antara tekanan

170 Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 167 Dimensi Dimensi Sosial- Budaya Demografis Dimensi Politik- Kelembagaan Pengaruh Umum kecil. Pembagian kerja yang bersifat global (komponen-komponen bisa dibuat terpisah, tergantung pengaturan mana yang paling menguntungkan). Banyak pula perusahaan-perusahaan global yang bersifat footloose atau mudah berpindah tempat usaha (biasanya meninggalkan mitra lokal begitu saja). Arus aliran modal, barang dan jasa (serta manusia) yang semakin deras meningkat Kesenjangan ekonomi cenderung melebar (lebih terasa di kota-kota negara berkembang, tetapi juga terjadi di kota-kota negara maju). Tumbuhnya budaya-budaya dan nilai-nilai sosial yang bersifat mendunia (diakui dan diadopsi di berbagai tempat di dunia),baik yang bersifat positif (saling memahami perbedaan, demokratis, dll.) maupun yang bersifat negatif (hilangnya atau berkurangnya ke-khasan lokal) Arus migrasi yang semakin pesat dan semakin menglobal (semakin banyak orang yang tidak hanya berpindah dari desa ke kota tapi juga dari suatu negara ke negara lain). Tumbuhnya multikulturalisme, tapi juga disertai dengan konflik antar budaya. Peran atau pengaruh negara semakin berkurang seiring dengan menguatnya peran dan pengaruh lembaga-lembaga multi-lateral dan MNCs. Pengaruh pada Tata Ruang Kota (Dimensi Spasial) ekonomi global dan keinginan untuk mempertahankan usahausaha yang bersifat lokal. Berkembangnya kegiatankegiatan usaha di tempat-tempat tinggal (banyak yang bekerja dari rumah) atau di warung telekomunikasi terdekat. Salah satu akibatnya adalah pola commuting menjadi tidak sejelas pada tatanan yang konvensional (pagi berangkat sore pulang, sama setiap hari kerja). Kontras yang semakin lebar antara kawasan bagi orang-orang yang berpenghasilan menengah/tinggi (punya akses ke jaringan global) dan kawasan bagi mereka yang tidak punya akses ke jaringan global atau yang terdesak oleh globalisasi ekonomi. Di sisi lain terdapat pula pengakuan (secara parsial) terhadap aktifitas ekonomi perkotaan informal, termasuk akomodasi spasialnya. Wajah kota moderen yang hampir sama di mana-mana (termasuk dalam wujud shopping mall atau pusat belanja yang tidak berbeda secara signifikan antara mall di Jakarta atau mal di Bangkok atau di Buenos Aires). Tumbuhnya ruang-ruang kota yang terkait dengan etnik atau bangsa-bangsa tertentu dalam satu kota metropolitan (sesuai dengan negara atau tempat asal-usul dari para migran kota tersebut). Peran negara dalam pengelolaan kota semakin berkurang, diambil alih oleh peran pemerintah kota, masyarakat kota dan swasta (termasuk swasta yang bersifat

171 168 Metropolitan di Indonesia Dimensi Pengaruh Umum Namun pada saat yang sama juga terjadi desentralisasi; peran pemerintah dan masyarakat daerah/kota semakin besar. Peran partisipasi masyarakat yang semakin penting (atau tuntutan akan partisipasi yang semakin besar), namun pada saat yang bersamaan, pendidikan yang umumnya belum merata di masyarakat juga menyebabkan proses demokratisasi yang lebih prosedural daripada substantif. Pengaruh pada Tata Ruang Kota (Dimensi Spasial) global). Tumbuhnya kerekatan komunitas yang tidak sepenuhnya berdasarkan kesamaan tempat, tetapi lebih berdasarkan kesamaan profesi, hobby atau lainnya. Tuntutan akan pengelolaan kota yang demokratik dan terbentuknya wujud kota yang berkeadilan (pada saat yang bersamaan dengan semakin melebarnya kesenjangan sosialekonomi). Dimensi Lingkungan (Ekologis) Dampak lingkungan suatu kegiatan yang bisa bersifat antar-negara seperti dalam pembuangan sampah baik yang bersifat berbahaya maupun yang tidak (umumnya dari negara lebih maju ke negara berkembang seringkali tidak terbatas pada yang bertetangga). Secara umum ecological footprints (tapak ekologis) yang semakin meluas dan bahkan mengglobal. Berkembangnya kesadaran akan pentingnya lingkungan alam (termasuk taman-taman dan kehijauan) dalam mendukung keberlanjutan lingkungan binaan. Tuntutan akan kerjasama antarkota (tidak terbatas pada kotakota yang berada dalam suatu region) semakin meningkat. Tuntutan akan perhatian pemerintah kota kepada aspekaspek lingkungan dalam tata ruang kota seperti jumlah ruang hijau, kebun kota dan lain-lain. Pemerintah kota tidak lagi dapat dengan mudah mengurangi ruang hijau tanpa mendapat resistensi dari masyarakat. Investor global pun turut memperhatikan kualitas lingkungan kota yang ada (terutama dalam kaitannya dengan kompetisi antar-kota yang sejenis). Implikasi dan Tantangan bagi Kota-kota Metropolitan di Indonesia Di Indonesia, karena tingkat ketersediaan infrastruktur yang terkait dengan berbagai aspek globalisasi di atas sangat timpang antara kawasan metropolitan Jabodetabek dengan kawasan-kawasan metropolitan lainnya (Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, masing-masing dengan kota dan kabupaten di sekitarnya) dan apalagi dengan sekian banyak kota-kota kecil yang ada, maka tingkat keterbukaan (exposure) dan saling pengaruh-mempengaruhi antara kota dan globalisasi pun sangat berbeda. Bahkan di dalam kawasan Jabodetabek pun, tingkat keterbukaan terhadap globalisasi tidak merata ada bagian-bagian kawasan yang sangat mencerminkan kota global (misalnya di Jakarta; kawasan Kemang, Thamrin-Sudirman-Kuningan, atau bahkan Jalan Jaksa),

172 Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 169 namun masih banyak pula bagian-bagian kawasan yang seolah-olah tidak atau sangat sedikit tersentuh oleh globalisasi (misalnya di beberapa perkampungan-perkampungan kumuh) 29. Ketimpangan tersebut membuat generalisasi menjadi sesuatu hal yang sulit. Ketika membicarakan pengaruh globalisasi pada kota-kota metropolitan di Indonesia, apa yang dialami oleh Jakarta dan sekitarnya tidak sama dengan apa yang dialami oleh kota-kota metropolitan lainnya. Jakarta beserta wilayah di sekitarnya dapat dikatakan merupakan kawasan metropolitan yang paling mendalam dan langsung bersinggungan (exposed) oleh globalisasi 30. Hampir seluruh pusat perwakilan badan usaha internasional (perusahaan multinasional, bank internasional, perwakilan kamar dagang asing dll.) di Indonesia berlokasi di Jakarta; demikian pula untuk aspek-aspek non-ekonomi seperti pusat kebudayaan asing, perpustakaan asing dan lain-lain. Kawasan industri yang menampung berbagai industri yang bersifat internasional kalau belum bisa dikatakan global pun lebih banyak berada di sekitar Jakarta daripada di sekitar kota-kota metropolitan lain di Indonesia. Bagi Indonesia, bandar udara Soekarno-Hatta pun merupakan bandara yang paling banyak melayani penerbangan internasional. Namun demikian, di tingkat global atau bahkan regional peran Jakarta masih sangat terbatas. Di Asia Tenggara saja, Jakarta bisa dikatakan masih kalah dari Singapura dan Bangkok sebagai pusat aktifitas internasional baik yang bersifat ekonomi-finansial, politik-kelembagaan (tempat lembaga-lembaga internasional dengan salah satu perkecualian Sekretariat ASEAN yang berada di Jakarta), budaya, pendidikan maupun sebagai hub lalu-lintas udara dan laut. Apalagi kalau diangkat ke tingkat Asia di mana terdapat Tokyo, Hong Kong dan Shanghai maupun Mumbai (khususnya untuk Asia Selatan). Kota-kota metropolitan Indonesia lain tentunya punya peran dan ketersinggungan dengan globalisasi yang jauh lebih kecil daripada Jakarta. Sementara itu, sebagaimana yang sudah ditulis di atas, pada tataran nasional Jakarta masih merupakan kawasan perkotaan yang paling berpengaruh, jauh melampaui kotakota dengan pengaruh besar berikutnya, yaitu Surabaya, Bandung dan Medan. Fenomena global di mana kota-kota sekunder (bukan metropolitan) mulai bersinggungan dengan globalisasi belum cukup terasa di Indonesia, terutama karena ketersediaan infrastruktur yang masih sangat terbatas. Kawasan perkotaan Denpasar-Kuta-Nusa Dua di Bali dan kota Yogyakarta mungkin secara nyata juga memiliki exposure internasional yang sangat besar, namun terkonsentrasi pada satu sektor utama yaitu pariwisata, dan dalam taraf tertentu pendidikan (khusus untuk Yogyakarta). Sehingga boleh dikatakan bahwa globalisasi belum mempengaruhi, apalagi mengubah, sistem kota-kota yang ada di Indonesia. Dengan tingkat exposure yang masih sangat terbatas tersebut, dapat dikatakan bahwa globalisasi juga belum secara signifikan mempengaruhi tata ruang perkotaan metropolitan di Indonesia, masih terbatas pada tumbuhnya secara sporadis kawasan- 29 Dapat pula kita cermati bahwa di beberapa perkampungan kumuh pun terdapat berbagai aktivitas yang memiliki nuansa globalisasi seperti produksi kerajinan dari fiberglass di kawasan Prumpung yang sudah menjual produksi hingga ke Malaysia dan Timur Tengah. 30 Sebenarnya Balipun merupakan bagian Indonesia yang sangat terimbas dan bersinggungan langsung dengan globalisasi (dalam arti internasionalisasi maupun lainnya), namun sangat spesifik berkaitan dengan satu sektor ekonomi-budaya yaitu pariwisata.

173 170 Metropolitan di Indonesia kawasan industri yang melayani unit-unit usaha internasional atau melakukan subkontrak dari jaringan usaha internasional. Seringkali jenis usaha dan sistem kerjasamanya memudahkan pemilik jaringan usaha internasional untuk memindahkan usahanya kemanapun mereka ingin lakukan (umumnya bargaining position pihak Indonesia atau tuan rumah di mana pun di negara berkembang lainnya dalam hal ini relatif rendah). Hal di atas dapat disimpulkan kalau kita hanya melihat globalisasi dari sudut pandang internasionalisasi saja. Dari sudut pandang lain, mungkin kita bisa mendapatkan gambaran yang agak berbeda. Dalam konteks liberalisasi misalnya, secara keseluruhan Indonesia sebenarnya sudah sangat terbuka. Kita dapat menemui gerai-gerai internasional seperti McDonalds atau KFC tidak hanya di Jakarta tetapi bahkan hingga di kota-kota sekunder (sebagai perbandingan, Hanoi hingga tulisan ini dibuat masih belum mengijinkan adanya gerai-gerai internasional semacam itu). Wholesale retailers seperti Carrefour pun memiliki cukup banyak outlets di Jakarta. Berbagai merek internasional mewarnai pusat-pusat perdagangan baik di Jakarta maupun di kota-kota besar lain. Privatisasi pun telah berjalan cukup lama. Bahkan sejumlah kota baru seperti Bumi Serpong Damai, Lippo Karawaci, Bintaro Jaya, Bukit Sentul, Kota Wisata dan lain-lain hampir sepenuhnya dibangun oleh pihak swasta. Di kota-kota metropolitan lain pun terdapat kawasan hunian cukup luas kalau belum bisa disebut kota yang hampir sepenuhnya dibangun oleh pihak swasta. Sudut pandang bernuansa universalisasi dan modernisasi pun sudah banyak merasuk ke dalam pola berpikir masyarakat kota, baik di pejabat pemerintah maupun pelaku swasta. Proses pergeseran peran dari situasi pemerintah mendominasi ke situasi swasta mengambil peran cukup signifikan dalam pembangunan hingga situasi di mana tuntutan akan peran masyarakat yang semakin besar pun terjadi di kota-kota di Indonesia. Implikasi peran besar swasta dalam tata ruang kota dapat dilihat dari banyaknya bagian-bagian kota yang mengalami proses urban renewal seperti misalnya kawasan Segitiga Emas (Sudirman-Kuningan-Gatot Subroto) yang kemudian diikuti oleh proses jentrifikasi masyarakat berpenghasilan rendah ke daerah-daerah pinggiran (GAMBAR 5-8). GAMBAR 5-8 Kawasan Segitiga Emas di Jakarta

174 Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 171 Atribut de-teritorialisasi dari globalisasi pun dalam skala yang relatif kecil dan terpisah-pisah telah terjadi di kota-kota besar Indonesia, khususnya di Jakarta, lebih khusus lagi pada segmen-segmen masyarakat yang memiliki akses ke jaringan global secara mudah. Ada saja walaupun mungkin belum tersebar luas kegiatan-kegiatan yang mencerminkan ketiadaan batas-batas negara atau kota seperti terlihat pada kegiatan-kegiatan sub-kontrak pembuatan software, animasi, gambar rancang-bangun dan lain-lain yang didapat dari perusahaan-perusahaan besar di negara maju untuk proyek-proyek yang mungkin di negara lainnya. Sebagaimana yang terjadi di banyak negara berkembang lain, kota-kota besar di Indonesia juga mencerminkan kontras yang sangat tajam. Ada bagian-bagian kota atau anggota masyarakat kota yang sudah sangat ter-exposed oleh globalisasi, dan sebagian dari kelompok ini mampu memanfaatkan exposure ini secara baik, namun ada pula bagian-bagian kota atau anggota masyarakat kota yang sama sekali belum tersentuh oleh globalisasi. Demikian pula dengan cara berfikir, cara pandang, terhadap berbagai persoalan. Ada yang sudah membuka wawasannya dengan cara-pandang yang baru seperti yang bersifat holistik, kontekstual dan pluralistik, sementara tidak sedikit yang masih berfikir dengan cara-pandang yang atomistik, Newtonian, positivistik dan monistik. Hal ini tentunya mengakibatkan berbagai ketegangan yang semakin terasa dengan semakin besar dan terbukanya suatu kota. Penutup Secara umum dapat disimpulkan bahwa kota-kota metropolitan di Indonesia sebenarnya sudah mulai bersinggungan dengan globalisasi dengan derajat yang berbeda-beda. Namun kecuali kawasan metropolitan Jakarta, persinggungan dengan globalisasi masih sangat terbatas. Di dalam suatu kawasan metropolitanpun termasuk Jakarta ketimpangan globalisasi sangat besar. Seringkali, mereka yang tidak turut mendapat manfaat dari globalisasi harus turut menanggung biaya atau beban yang ditimbulkan oleh globalisasi. Oleh karena itu yang harus dilakukan adalah bagaimana mengambil manfaat sebesar mungkin dan secara merata dari proses-proses globalisasi dan mengurangi sejauh mungkin dampak negatifnya, termasuk implikasinya dalam tata-ruang. Jika Indonesia tidak mau ketinggalan di era globalisasi yang semakin kompetitif, konsentrasi pembangunan yang terlalu terpusat di Jakarta harus dikurangi. Kawasan-kawasan metropolitan lainnya harus mendapat dukungan infrastruktur secara lebih memadai sehingga tidak terlalu ketinggalan dan dapat turut berkompetisi di tingkat internasional. Peran kota-kota sekunder pun tidak dapat diabaikan, apalagi jika dikaitkan dengan keinginan untuk memajukan sektor pertanian kota-kota sekunder tersebut dapat menjadi pusat koleksi dan distribusi komoditas pertanian (konsep agropolitan) namun tidak harus terbatas pada konsep itu. Persebaran pusat-pusat kegiatan pun menjadi sangat penting, tanpa mengurangi kecenderungan pasar untuk membentuk apa yang disebut agglomeration of economies. Secara internal, tata ruang kawasan metropolitan pun harus mampu mengikuti dinamika globalisasi tanpa harus mengabaikan kepentingan konteks dan kekhasan lokal.

175 172 Metropolitan di Indonesia SOSIO-KULTURAL Sudah semenjak beberapa abad yang silam sastrawan Inggris Shakespeare menyatakan What is a city but its people, apalah artinya kota tanpa penduduknya? Kota dan warga dapat diibaratkan seperti cangkang dengan kerangnya yang tumbuh kembang bersamasama. Ditilik dari segi etimologi pun, city dekat sekali kaitannya dengan citizen. Dalam buku terbarunya berjudul Recombinant Urbanism (2005 : 19). David Graham Shane mengutip pendapat Louis Wirth bahwa A city is a relatively large. dense. and permanent settlement of socially heterogenous individuals. Kota merupakan produk sosio-kultural, perilaku dan gaya hidup manusia yang selalu berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi dan kondisi penduduknya, Meminjam kata kata Malcolm Miles et al dalam bukunya The City Cultures Reader (2000 : 2): Cities are sites of constant flux. their built form mediated by successive acts of destruction and creation affected by social factors such as gender, class and ethnicity. Semakin besar kotanya semakin kompleks penduduknya semakin rumit masalahnya dan semakin banyak konflik yang dihadapinya. Saat ini kita sudah memasuki era perkotaan abad ke-21 atau milenium ketiga. Ditilik dari sisi positifnya, kota metropolitan merupakan mesin pertumbuhan dan inkubator peradaban, sebagai pusat persilangan ide dan wadah inovasi. Namun, seperti pernyataan Kofi Annan selaku Sekjen PBB yang dikutip oleh Girarde (2004: 86) Cities can also be places of exploitation. disease violent crime, unemployment, and extreme poverty. Hampir seluruh metropolis atau mega-cities di dunia menghadapi masalah infrastruktur, kemiskinan, disilusi politik, ketidakadilan dan keterasingan sosio-budaya atau socio-cultural alienation (baca tulisan Badshah & Parlman berjudul Mega-cities and The Urban Future dalam buku suntingan Bridge & Watson The Blackwell City Reader 2004: 549). Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa kota kota yang sudah termasuk kategori metropolitan di tanah air kita (Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan, Makassar) cenderung semakin tidak manusiawi, tidak nyaman, tidak menyenangkan untuk kehidupan manusia yang berbudaya. Fenomena dehumanisasi metropolitan di Indonesia merebak antara lain karena perhatian para pengelola dan aktor aktor pembangunannya terlalu tercurah pada aspek fisik, tata ruang, dan pergulatan kepentingan ekonomi. Dimensi sosio-kultural di hampir seluruh kota metropolitan di segenap pelosok tanah air nyaris terabaikan. Banyak yang tidak memahami betul bahwa berbeda dengan metropolitan di negara maju yang sudah affluent, kota kota metropolitan di tanah air kita yang sedang berkembang ini merupakan kota kota yang bersifat dualistik. Di satu sisi, sebagian warganya sudah mulai berubah menjadi modern, di sisi lain sebagian besar warganya masih berperilaku tradisional. Pembangunan shopping centres, department stores, malls, super-malls marak di segenap penjuru kota, namun pasar tradisional, toko toko kecil, warung, pedagang kaki lima juga tidak berkurang. Apartemen, flats atau rumah susun sudah mulai digalakkan pembangunannya, namun perumahan kampung juga masih terus bertahan. Sektor formal dan sektor informal berkembang terus, kendati tokoh tokoh di puncak kekuasaan cenderung lebih mengakomodasi kepentingan sektor formal yang modern. Tidak heran bila sampai saat ini selalu saja terjadi kisah-kisah penggusuran atau pembongkaran permukiman kumuh dan kios-kios pedagang kaki lima.

176 Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 173 Sebagai kota yang dualistik, mestinya sikap yang diambil oleh penentu kebijakan pembangunan kota metropolitan adalah sikap Yin-Yang atau Both-And. Keduanya mesti dirangkul dan dikembangkan bersama sama, jadi tidak Either-Or atau mementingkan salah satu pihak saja. Dari sebutannya, sektor informal mengandung konotasi tidak sah, tidak layak berada di kota metropolitan yang serba formal. Selain itu, gagasan, ide, dan upaya-upaya untuk memadukan kota-kota metropolitan dengan daerah di sekitarnya dalam wujud conurbation (lihat pembahasan mengenai kependudukan dan bagian 1 buku ini), seperti Jabodetabek, Gerbang Kertasusilo, Kedungsepur, dan lain-lain masih sulit diimplementasikan karena masih kentalnya sikap primordial dan sektoral dari para pimpinan daerah atau penentu kebijakan. Itu pula sebabnya metropolis di Indonesia lantas diledek dan dipelesetkan menjadi metropolost alias kota ibu yang hilang. Kebijakan pembangunan kota metropolitan yang keliru, elitis, dan tidak pro-poor itu akan menjadikan metropolitan kita menjadi kota yang menyengsarakan warga kotanya. Itu pula sebabnya muncul tudingan bahwa kota metropolitan negara berkembang, seperti Indonesia, di masa depan akan menjadi miseropolitan atau kota yang menyengsarakan. City of tomorrow pun jangan jangan akan menjadi City of sorrow alias kota yang sarat dengan kesedihan. Kota kota metropolitan di era globalisasi yang tidak memperhatikan dimensi sosio-kultural dari warganya, diduga akan terlanda arus McWorld, McDonaldization, atau Manhattanization. Memang, aneka pengaruh globalisasi akan sulit ditangkal sehingga seperti dikatakan Manuel Castells: Globalization must be understood in relation to an historical, processual analysis of labour in relation to the state and the regulation of the variable incursions, inclusions, or exclusions of the global networks. (Susser 2002: 11). Pernik-pernik tata nilai, norma, perilaku, dan artefak bersejarah yang amat kaya dan beragam di kota kota metropolitan di tanah air kita bila tidak dijaga akan tergerus, luntur, dan hilang. Padahal bila diingat kembali bahwa kota merupakan karya seni sosial (a social work of art), model model penyeragaman, apalagi yang bercitra Barat, pasti akan meluluhlantakkan identitas, jati diri, kekhasan, atau karakter dari kota kota metropolitan. Memang perkembangan teknologi abad 20 dan 21 seperti yang terwujud dalam bentuk mobil, pendingin ruangan, televisi, komputer, dan lain lain tak akan bisa dihambat. Pasti akan besar pengaruhnya terhadap pola habitat manusia, tak terkecuali di kota metropolitan. Namun, jangan sampai kekhawatiran Daniel Solomon (Global City Blues. 2003: xi) mengejawantah menjadi kenyataan: We obliterate the distinctiveness of places and create new forms of metropolitan confusion. Jangan sampai obsesi terhadap modernitas dan teknologi lantas melunturkan atau bahkan menghancurkan kearifan tradisional dan budaya lokal yang ikut mewarnai wajah metropolitan kita. Martin Heidegger sebagai seorang filsuf kelas dunia menyebutnya dengan istilah cultural malaise dan loss of nearness, yang mengakibatkan xenophobia, psikosis, kebencian, panik, dan bahkan teror. Sedangkan Rem Koolhas sebagai arsitek dan perencana kota mengungkapkannya dengan frasa globalizing modernism dan cultural homogenization yang secara sistematik menghancurkan pusaka budaya atau warisan budaya yang unik. Rasa tempat atau sense of place yang tercipta dari keunikan budaya setempat mesti dipertahankan, jangan sampai punah atau lenyap.

177 174 Metropolitan di Indonesia Kota kota metropolitan yang berkembang tak terkendali, memarjinalkan manusia dengan mengabaikan dimensi sosial-budayanya, akan menjadikannya sebagai monster yang mengerikan. Dalam kiprah pembangunan kota kota metropolitan di Indonesia seyogianya segenap pihak mengambil pelajaran dari kisah-sukses maupun kegagalan dari pembangunan kota kota di negara maju. Jangan sampai kita mengulangi kesalahan yang sama, yang telah disesali di negara maju. Misalnya di kota Houston yang angka kriminalitasnya meningkat sehingga orang orang kaya di Houston sampai ketakutan dan membuat jalur khusus di bawah tanah yang diberi nama Connexion yang menghubungkan kawasan pemukiman mewah dengan down-town. Houston pun lantas memperoleh nick name Ghost-town. Kita juga jangan mengulangi kesalahan serupa seperti yang terjadi di kota Chicago ketika bangunan kuno bersejarah dihancurkan untuk memberi tempat pada bangunan pencakar langit yang modern, sampai muncul ledekan dengan nama paraban Sickago alias kota yang sakit. Dalam buku terbarunya berjudul Sociopolis: Project for a City for the Future (2004:9), Vicente Guallart dkk mengungkapkan tentang kota metropolitan masa depan di Eropa dan Amerika yang selalu saja menghadapi persaingan antara The Old dengan The New, pertempuran kepentingan antara The Rich melawan The Poor, tarik-menarik antara city centre dengan urban agglomerations. Muncullah gagasan tentang Sociopolis yang disebutkannya sebagai A truly integrative and hybrid version of the metropolis for the future setting new standards by realizing a dream of social balance. where all citizens potentially have the same opportunities. Aneka bencana perkotaan yang telah terjadi di masa silam akibat kurangnya perhatian terhadap isu-isu sosio-kultural, keadilan, demokratisasi, keberlanjutan, dan lain-lain tak seyogianya terulang di masa depan sebagaimana disebutkan oleh Raffacle Poloscia dalam bukunya The Contested Metropolis (2004: 14), bahwa bagaimana pun juga Metropolises are containers of dreams, desires, and hopes. Ke depan, ada baiknya kita merenungkan kaidah kaidah pembangunan kota termasuk kota metropolitan yang antara lain dikemukakan oleh tokoh tokoh garda depan gerakan New Urbanism yang berupaya menangkal kecenderungan social-cultural disintegration, urban sprawl, dan placelessness. Sebetulnya keseluruhannya ada 27 butir, tapi saya peras menjadi 10 saja sehingga bisa disebut sebagai The Ten Commandments atau Sepuluh Perintah Tuhan dalam pembangunan kota metropolitan abad ke-21 atau di era milenium ketiga yang berwajah manusia dan berkelanjutan. Pertama, dengan prinsip change without loss mengakomodasi evolusi dan kesinambungan kehidupan warga metropolitan yang multikultur. Konservasi dan pembangunan, struktur dan kultur, pusat dan periferi merupakan dua muka dari keping uang yang sama. Kedua, tanpa henti mencoba menciptakan progressive identity dari kota metropolitan, melepaskan diri dari telikungan regressive identity melalui pengembangan budaya demokrasi, transportasi, akuntabilitas, dan partisipasi segenap pemangku kepentingan sesuai tuntutan zaman. Ketiga, mengupayakan pusat pusat pertumbuhan jamak (multiple centres atau polynuclei) untuk mencegah kecenderungan centremania agar terjadi penyebaran aktivitas pada berbagai pelosok kota metropolitan secara lebih merata dengan keunikan sendiri-sendiri sehingga tercipta mosaik perkotaan yang indah. Keempat, menjaga eksistensi pusaka budaya sebagai historical precedents, dilandasi prinsip kota sebagai panggung kenangan. Mesti selalu ditanamkan di benak kepala bahwa kota tanpa bangunan kuno bersejarah serupa saja dengan manusia tanpa

178 Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 175 ingatan alias gila. Membongkar warisan budaya bukanlah dosa kecil. Kelima, memelihara taman dan ruang terbuka dalam berbagai level sebagai shared public spaces yang menumbuhkan rasa kebersamaan dan rasa aman. Perlu dicamkan bahwa taman adalah sorganya perkotaan. Keenam, penyediaan affordable housing pada lokasi yang tepat untuk mencegah konsentrasi kemiskinan. Perumahan jangan sekadar dilihat sebagai komoditas ekonomi, melainkan lebih merupakan fenomena sosio-kultural sebagai instrumen pembangunan manusia. Ketujuh, mengupayakan interconnected networks of streets yang menghargai pedestrian dan memberikan rasa nyaman serta arah yang jelas. Perhatian pada public transport, terutama mass rapid transit, mesti lebih ditingkatkan. Kedelapan, menyediakan fasilitas sosial dan infrastruktur atau prasarana umum yang memadai untuk segenap lapisan warga metropolitan tanpa terkecuali. Segenap agen pembangunan kota metropolitan dituntut untuk menyediakan fasilitas dan prasarana umum sesuai standar pelayanan minimum. Kesembilan, menata kawasan pinggiran secara dini untuk mencegah urban sprawl yang tidak terkendali. Kawasan pinggiran mesti disiapkan dengan prinsip kemandirian agar bisa self sufficient, tidak tergantung pada pusat kota dan tidak sekadar sebagai bedroom community. Kesepuluh, pelibatan masyarakat dan segenap pemangku kepentingan dalam pembangunan untuk menciptakan kota metropolitan yang otentik dan rasa paguyuban (sense of community) yang kental. Tanpa rasa memiliki kota metropolitan, tidak dapat diharapkan tumbuh kembangnya secara berkelanjutan. Melalui penerapan dan pengejawantahan sepuluh butir panduan pembangunan seperti tersebut di atas, diharapkan bahwa penduduk atau warga kota metropolitan di masa depan akan termotivasi untuk ikut aktif berkiprah secara kreatif, inovatif, dan bertanggung jawab atas keberlanjutan pembangunan kota metropolitan tempat mereka tinggal, bekerja, belanja, bersantai, dan beraktivitas budaya sebagai cerminan masyarakat yang beradab. KETERKAITAN DESA KOTA Pendahuluan Kinerja kota-kota di abad 21 akan menjadi perhatian global karena pesatnya peningkatan penduduk perkotaan. Pada tahun 2030, minimal 61persen penduduk dunia akan tinggal di kota-kota. Pada tahun 2060, lebih dari 80 persen penduduk dunia akan tinggal di kotakota (Cities Alliance 2006). Kawasan perkotaan akan menjadi lebih penting karena lebih dari 80 persen pertumbuhan ekonomi global terjadi di kota-kota. Selain itu, kota-kota mempunyai produktivitas yang tinggi karena kepadatan penduduknya menciptakan lingkungan transaksi yang tinggi. Hal ini meningkatkan pendapatan rumah tangga, lebih dari di kawasan-kawasan non-urban. Kota-kota juga menggunakan energi lebih rendah per unit output ekonomi, dan biaya per kapita pembangunan infrastruktur lingkungan juga lebih rendah. Kawasan perkotaan merupakan tempat berkembangnya kegiatan industri manufaktur dan jasa, yang akan meningkatkan nilai tambah perekonomian secara keseluruhan. Perkembangan kawasan perkotaan selalu diiringi arus transformasi, yaitu meningkatnya jumlah penduduk perkotaan dan meningkatnya kontribusi sektor-sektor industri manufaktur dan jasa. Perkembangan kawasan perkotaan terutama akan terjadi di kotakota besar dan metropolitan, yang selanjutnya akan memicu pemanfaatan kawasan-

179 176 Metropolitan di Indonesia kawasan di sekitarnya. Meluasnya pemanfaatan ruang di sekitar kota-kota besar dan metropolitan akan mewujudkan keterhubungan dari kota inti dengan kawasan-kawasan baru dan kota-kota satelit di sekitarnya. Terjadilah penyatuan kawasan-kawasan terbangun tersebut. Perkembangan kawasan perkotaan juga terjadi di Indonesia. Dalam beberapa dekade terakhir, jumlah penduduk perkotaan mengalami pertumbuhan yang sangat pesat 31. Sebagaimana halnya di dunia, di Indonesia, pertambahan penduduk perkotaan yang terjadi tidak tersebar secara merata, terjadi pemusatan di beberapa lokasi, cenderung di kota-kota besar dan metropolitan, mengakibatkan meningkatnya perkembangan kotakota ini, meluap ke kawasan pinggirannya. Secara lebih khusus di Indonesia akan berkonsentrasi di Jawa, terutama di Jabodetabek. Kawasan pinggiran ini perlu mendapat perhatian karena di sana telah terjadi perkembangan yang campur aduk dan tidak terkendali. Guna lahan juga berubah dari yang tadinya bersifat desa menjadi bersifat kota. Hilanglah lahan-lahan pertanian, perkebunan, empang-empang, permukiman berkepadatan rendah menjadi perumahan berkepadatan tinggi memenuhi kebutuhan kota inti dan untuk pembangunanpembangunan industri yang membutuhkan lokasi mendekati kota inti. Ini semua terjadi secara acak, sendiri, dan terpisah-pisah. Tidak mengacu pada suatu rencana tata ruang yang disepakati. Akibatnya, kawasan-kawasan perdesaan mengalami transformasi yang tidak terarah dan terkendali. Tata guna lahan, pola hidup penduduknya, perekonomian, dan lapangan kerja dapat memicu pengangguran yang pada gilirannya memicu penduduk masuk ke kota inti. Kawasan yang baru terbentuk, yaitu dari yang bersifat desa menjadi bersifat kota, juga akan mengalami kondisi yang jauh dari ideal. Antara lain karena tak tersedianya perumahan dan infrastruktur yang memadai. Kepadatan tinggi, keterbatasan infrastruktur lingkungan dasar, keterbatasan akses ke kota inti membebani jaringan transportasi yang telah ada serta membebani fasilitasfasilitas, seperti pendidikan dan kesehatan. Pada gilirannya hal ini akan menambah beban kota inti, membebani jaringan transportasi dan membebani biaya hidup penghuni kawasan pinggiran. Belum lagi dampak pada lingkungan alamnya polusi udara (karena transportasi), polusi sungai (karena pembuangan limbah dan sampah), polusi air tercemarnya air bersih oleh limbah cair permukiman, perusakan ruang-ruang terbuka hijau, dan sebagainya. Diperlukan program dan intervensi untuk menangani kawasan pinggiran kota, baik yang berkarakteristik desa maupun kota. Kawasan pinggiran dikelompokkan dalam tiga tipologi untuk dapat mengembangkan program intervensi penanganan kawasan pinggiran. Tipologi ini dirumuskan berdasarkan karakteristik ke kota annya karena akan dapat menggambarkan isu atau masalah yang dihadapi. Berdasarkan itu dapat diperkirakan program dan intervensi yang sesuai. Ketiga tipologi tersebut adalah: (a) kawasan pre dominantly urban; (b) kawasan semi urban; (c) kawasan potential urban. Program intervensi dan keterkaitan dengan kota inti dapat diturunkan berdasarkan ketiga tipologi tersebut. Di kawasan pinggiran ini dapat diobservasi desa dan kota serta peranannya di kawasan metropolitan. 31 Lihat uraian di Bab 5

180 Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 177 Kawasan Metropolitan Kawasan metropolitan adalah kawasan yang terdiri dari kota inti dengan kawasan di sekitarnya yang mempunyai keterkaitan erat dengan kota inti dan berfungsi menerima luapan kegiatan atau kebutuhan permukiman dan kegiatan dari kota inti. Kawasan sekitarnya ini dapat meliputi kawasan permukiman skala besar atau skala menengah, permukiman baru yang tersebar, kota-kota baru, atau kota-kota kecil lainnya. Kawasan ini sering disebut sebagai urban fringe. Untuk menggambarkan karakteristik kawasan metropolitan ini akan digunakan kawasan metropolitan Jabodetabek sebagai contoh. Sebagai tambahan dari analisis kependudukan yang telah dijelaskan di bagian depan bab ini, akan dibahas di sini mengenai guna lahan: dominasi, persebaran, serta pola perubahannya. Selanjutnya, dibahas pola pengembangan kawasan-kawasan permukiman: pembangunan baru berskala besar, kota-kota baru, dan kota-kota kecil sekitarnya yang tumbuh dengan pesat. Ini semua akan membangkitkan pola pergerakan ulang alik ke kota inti (dalam hal ini DKI Jakarta) dan menggunakan jaringan transportasi yang ada. Kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan infrastruktur biasanya merupakan permasalahan utama kawasan pinggiran. Struktur Ruang dan Pergerakan Penduduk Struktur ruang kawasan Jabodetabek dibentuk oleh jaringan jalan dan kereta api serta pusat-pusat permukiman, seperti kota baru atau permukiman skala besar. a. Sampai paruh kedua dekade 1990-an (+ 1996) ratusan kawasan permukiman baru dibangun di wilayah Jabodetabek, yaitu 103 kawasan di DKI Jakarta, 130 di Kabupaten dan Kodya Bogor, 107 di Kabupaten dan Kodya Bekasi, dan 152 di Kabupaten dan Kodya Tangerang (Uguy 2006). Kawasan permukiman baru ini kebanyakan bukan merupakan kawasan permukiman skala besar. Baru mulai akhir tahun 1900-an mulai dibangun permukiman skala besar (> 500 ha) dan kota-kota baru oleh pengembang swasta. Pembangunan kota baru dimulai sekitar tahun 1989 dengan Kota Baru Mandiri BSD (Bumi Serpong Damai), diikuti dengan Bintaro Jaya, Lippo Cikarang, Lippo Karawaci, Tiga Raksa, Kota Legenda (Bekasi 2000), dan sebagainya. Selanjutnya, di Kabupaten Bogor ada lima wilayah baru, yaitu Rancamaya (550 ha). Royal Sentul (2000 ha), Kota Cileungsi (2000 ha). ditambah dengan Lido Lake Resort dan Jonggol. Di Tangerang, selain Bumi Serpong Damai (6000 ha) dan Tiga Raksa (3000 ha), banyak perumahan lain, seperti Citra Karya, Bintaro Jaya, Gading Serpong, Pantai Indah Kapuk, Lippo Karawaci, Alam Sutra, dan Perumahan Modern. Di Bekasi ada Lippo Cikarang (5000 ha), Kota Legenda, Cikarang Baru, dan lain-lain. Tabel 4 memberikan luas kawasan-kawasan permukiman skala besar ini (> 500 ha). b. Kawasan Jabodetabek dilayani jaringan jalan dan jaringan kereta api. Panjang jaringan jalan yang ada di wilayah Jabodetabek adalah km, lebih dari 50 persen jaringan jalan berada di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Sisanya tersebar merata di seluruh kota/kabupaten di sekitarnya (1.450 km di Kabupaten/Kota Bekasi, km di Kota/Kabupaten Tangerang, km di Kota/Kabupaten

181 178 Metropolitan di Indonesia Bogor, dan 245 km di Depok). Panjang jalan tol di DKI Jakarta juga mencapai lebih dari 50 km dari total panjang jalan tol (lihat TABEL 5-19). TABEL 5-18 Kawasan Permukiman Skala Besar (>500 ha) di Jabotabek No. Nama Luas (ha) Lokasi 1 Milik PT Pembangunan Delta Bekasi Kab. Bekasi 2 Milik PT Lippo City Development 780 Kab. Bekasi 3 Milik PT Pura Delta Bekasi Kab. Bekasi 4 Cikarang Baru Kab. Bekasi 5 Bekasi Matra Real Estate 500 Kab. Bekasi 6 Milik PT Dwigunatama Rintisprima 850 Kab. Bekasi 7 Kota Legenda (Bekasi 2000) Kab & Kot. Bekasi 8 Milik PT Sinar Bahana Mulia 800 Kab. Bekasi 9 Pantai Modern 500 Kab. Bekasi 10 Lippo Cikarang Kab. Bekasi 11 Harapan Indah 800 Kab. Bekasi 12 Bukit Jonggol Asri Kab. Bogor 13 Citra Indah Kab. Bogor 14 Kota Taman Metropolitan 600 Kab. Bogor 15 Kota Wisata Kab. Bogor 16 Bukit Sentul Kab. Bogor 17 Rancamaya 500 Kab. Bogor 18 Resort Danau Lido Kab. Bogor 19 Taruma Resort Kab. Bogor 20 Talaga Kahuripan 750 Kab. Bogor 21 Kota Tenjo Kab. Bogor 22 Milik PT Bangun Jaya Triperkasa 500 Kab. Bogor 23 Maharani Citra Pertiwi Kab. Bogor 24 Milik PT Banyu Buana Adhi Lestari 500 Kab. Bogor 25 Kotabaru Tigaraksa Kab. Tangerang 26 Puri Jaya Kab. Tangerang 27 Citra Raya Kab. Tangerang 28 Lippo Karawaci Kab. Tangerang 29 Gading Serpong Kab. Tangerang 30 Alam Sutera 700 Kab. Tangerang 31 Bumi Serpong Damai Kab. Tangerang 32 Bintaro Jaya Kab. Tangerang 33 Kota Modern 770 Kab. Tangerang 34 Kota Wisata Teluk Naga Kab. Tangerang 35 Kota Jaya Kab. Tangerang 36 Pantai Indah Kapuk 800 DKI Jakarta Sumber : Bappeda DKI Jakarta, 1997

182 Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 179 TABEL 5-19 Panjang Jalan di Kawasan Jabodetabek Panjang Jalan Jalan Tol No. Kota/Kabupaten Km % Km % 1 DKI Jakarta % % 2 Kota/Kabupaten Bogor % % 3 Kota/Kabupaten Bekasi % % 4 Kota/Kabupaten Tangerang % % 5 Kota Depok % 7.8 4% 6 TOTAL % % Sumber : SITRAMP II TABEL 5-20 Perkapita Jalan dan Jalan Tol Panjang Jalan Jalan Tol Kota/Kabupaten Jumlah Penduduk Km % Perkapita (km/1000 penduduk) Km % Perkapita (km/1000 penduduk) DKI Jakarta % % 0.02 Kota/Kab. Bogor % % 0.01 Kota/Kab. Bekasi % % 0.01 Kota/Kab. Tangerang % % 0.01 Kota Depok n.a % n.a 7.8 4% n.a TOTAL % % 0.05 GAMBAR 5-9 memberikan gambaran persebaran jaringan jalan dan jalan tol. Panjang jalan tol di DKI juga mencapai hampir 50 persen dari total panjang jalan tol di Jabodetabek. Dari panjang jalan dan jalan tol, DKI Jakarta paling terlayani dengan baik dibandingkan kota/kabupaten lainnya. Perkapita (panjang jalan per jumlah penduduk) jalan dan jalan tol DKI Jakarta masih mendominasi (Lihat TABEL 5-20). Jaringan jalan kereta api dapat dilihat pada GAMBAR Dari DKI Jakarta ada 3 jalur utama yaitu menghubungkan dengan Kabupaten/Kota Tangerang dengan Kabupaten/Kota Bogor dan Kabupaten/Kota Bekasi, menggunakan KRL atau KRD. GAMBAR 5-11 menunjukkan stasiun yang dilalui kereta api dengan jumlah penumpangnya per hari. Terpadat adalah jalur dari Jakarta Kota (di Utara) ke Bogor (Selatan) terutama jalur tengah. Jaringan jalan dan jaringan kereta api saling melengkapi menghubungkan DKI Jakarta dengan pusat-pusat permukiman di sekitarnya.

183 180 Metropolitan di Indonesia GAMBAR 5-9 Jaringan Jalan Jabodetabek Sumber : SITRAMP (Study on Integrated Transportation Master Plan for Jabodetabek II) Railway Passenger Survey 2000 Legenda : - jaringan jalan jaringan jalan tol GAMBAR 5-10 Jaringan Jalan Kereta Api Jabodetabek Sumber : SITRAMP Railway Passenger Survey 2000

184 Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 181 GAMBAR 5-11 Peta Volume Penumpang Jalur Kereta Api Sumber : SITRAMP Railway Passenger Survey c. Jaringan jalan dan jalan kereta api tersebut di atas melayani pergerakan ulang alik dari kawasan Botabek ke DKI Jakarta (URDI 2006). Meskipun jumlah penduduk DKI Jakarta sebagai kota inti mengalami penurunan, namun daya tariknya masih kuat sebagai penyedia lapangan kerja serta pelayanan sosial-ekonomi-budaya. Fasilitas-fasilitas dan peluang kerja yang ditawarkan masih besar sehingga menarik pendatang-pendatang baru ataupun pekerja/karyawan yang tinggal di kawasan pinggirannya, di Bodetabek. Ini mengakibatkan meningkatnya jumlah penglaju baik dengan angkutan umum, angkutan dari kantor, maupun kendaraan pribadi (Lihat TABEL 5-21). Pejalan ulang alik terbanyak adalah dari Kabupaten Tangerang ( ) diikuti Kota Bekasi ( ) dan Kota Depok (99.413). Ini terutama dari kawasankawasan permukiman yang langsung berbatasan atau dekat dengan DKI Jakarta. Data tersebut juga menunjukkan bahwa sebagian besar komuter ke Jakarta adalah dari golongan pendapatan Rp 1,2 juta Rp 2 juta (+ 45 persen) dan dari golongan pendapatan Rp 2,0 juta Rp 3,8 juta (+ 30 persen). Golongan pendapatan > Rp 3,8

185 182 Metropolitan di Indonesia paling sedikit (+ 4 persen). Ini dapat disebabkan mereka bertempat tinggal di DKI Jakarta. TABEL 5-21 Pekerja Komuter Usia 15 Tahun Ke Atas Golongan Pendapatan (Rp 000) Kab/Kot > Kab Bogor (38.56%) (37.51%) (21.56%) (2.38%) Kab Bekasi (22.48%) (36.07%) (37.81%) (3.63%) Kota Bogor (17.68%) (41.98%) (34.52%) (5.83%) Kota Bekasi (14.36%) (52.35%) (29.29%) (4.00%) Kota Depok (19.81%) (43.19%) (32.70%) (4.31%) Kab Tangerang (21.53%) 44.25%) Kota Tangerang (16.04%) (49.31%) Jumlah (21.07%) (44.94%) Sumber: diolah dari LP3E Unpad (29.84%) (31.35%) (30.05%) (4.38%) (3.30%) (3.94%) Jumlah (100%) Guna Lahan Dari studi SITRAMP II sebagaimana disebutkan dalam URDI (2006) pada tahun 2000, klasifikasi penggunaan lahan di Kabupaten dan Kota meliputi 14 penggunaan. Untuk menyederhanakan, maka penggunaan lahan tersebut dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok yaitu permukiman, kegiatan ekonomi, fasilitas publik, dan ruang terbuka (Lihat TABEL 5-22). GAMBAR 5-12 menunjukkan bahwa proporsi penggunaan lahan tahun 2000, yang terbesar adalah untuk pertanian dan ruang terbuka (51 persen) diikuti dengan kampung berkepadatan rendah (20 persen) serta semak dan hutan (10 persen). Luas penggunaan lahan lain (perumahan terencana, kampung kepadatan tinggi, industri dan gudang, komersial dan bisnis) relatif rendah, kurang dari 10 persen. Penggunaan terbesar di Jabodetabek adalah untuk pertanian dan ruang terbuka di Kabupaten Bogor ( ha), di Kabupaten Bekasi ( ha), dan di Kabupaten Tangerang ( ha). Sedangkan semak dan hutan banyak terdapat di Kabupaten Bogor ( ha) dan Kota Depok (+ 304 ha). Hal tersebut berarti bahwa masih cukup banyak kawasan/kampung yang bersifat perdesaan. Namun, dengan berjalannya waktu, telah terjadi perubahan guna lahan yang sangat pesat dalam kurun waktu + 1,5 tahun ( ) (Lihat TABEL 5-23).

186 Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 183 TABEL 5-22 Penggunaan Lahan per Kab/Kota Jabodetabek. tahun 2000 Sumber : Survey Penggunaan Lahan SITRAMP Tahun 2002 Penggunaan Lahan No Kab/Kota Luas (ha) Perumahan Terencana Kampung Kep.Tinggi Kampung Kep.Rendah Industri & Gudang Komersial & Bisnis Pendidikan & Fas.Publik Pemerintahan 1 Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara Kota Tangerang Kab. Tangerang Kota Depok Kota Bogor Kab. Bogor Kota Bekasi Kab. Bekasi Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara Kota Tangerang Kab. Tangerang Kota Depok Kota Bogor Kab. Bogor Kota Bekasi Kab. Bekasi

187 184 Metropolitan di Indonesia GAMBAR 5-12 Rasio Penggunaan Lahan Jabodetabek tahun 2000 Sumber : Survey Penggunaan Lahan SITRAMP Tahun 2002 TABEL 5-23 Konversi Lahan Pertanian Luas Total Total Luas Prosentase Hasil Konversi (%) Wilayah Wilayah (ribu ha) Konversi (ribu ha) Perumahan Industri Perkantoran Lain- Lain Kota Bekasi Kab. Tangerang Kota Tangerang Total Sumber: BPS Jawa Barat dalam Yulinawati 2005 TABEL 5-24 Perubahan Guna Lahan Guna Lahan Tahun 1985 (ha) Tahun 2002 (ha) Perumahan Formal % % Perumahan Informal % % Industri % % Pertanian % % Sumber : SITRAMP Perumahan, baik formal maupun informal, menunjukkan perubahan yang besar, hampir ha. Industri mengalami peningkatan hampir ha. Pertanian mengalami pengurangan yang cukup besar yakni sekitar ha. Konversi lahan pertanian dalam kurun waktu tersebut dapat dilihat pada TABEL Dari Kabupaten/Kota Bekasi dan Tangerang, dari total wilayah ribu ha, 40,6 persen terkonversi menjadi perumahan, 49,8 persen menjadi industri, dan 9,6 persen menjadi perkantoran dan lain-lain. Dapat disimpulkan bahwa banyak lahan dan kegiatan yang mencirikan perdesaan terkonversikan menjadi kegiatan yang berciri urban perumahan dan industri. Dari kelompok perumahan, paling tinggi menjadi kampung berkepadatan rendah (20 persen), sedangkan penggunaan untuk perumahan terencana

188 Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 185 dan kampung berkepadatan tinggi mencapai 10 persen. Jelas ini sudah merupakan kawasan berkarakteristik perkotaan. Dinamika Kawasan Pinggiran Metropolitan Kawasan Pinggiran di sini diartikan urban fringe, yaitu kawasan yang terdapat di sekitar kota besar atau metropolitan. Bersama sebuah atau lebih kota inti membentuk kawasan metropolitan. Pada umumnya kawasan pinggiran ini terdiri dari penggunaan lahan yang campur aduk: permukiman, industri, pertanian, lahan terbuka, dan sebagainya. Secara teoritis, urban fringe merupakan titik perpotongan antara kurva permintaan lahan perkotaan dengan kurva permintaan lahan perdesaan (Lihat GAMBAR 5-13). Sumber mendatar merupakan jarak dari pusat kota, sedangkan sumbu vertikal menyatakan nilai lahan. Titik (0.0) adalah suatu titik yang ditetapkan sebagai pusat kota. Dengan perkembangan kota, titik yang menyatakan batas antara wilayah desa dan kota akan bergeser menjauhi pusat kota (Lihat GAMBAR 5-14). Titik perpotongan kedua kurva permintaan tersebut secara teoritis berupa suatu garis mengelilingi pusat kota. Namun, pada kenyataannya merupakan suatu kawasan dengan lebar yang bervariasi. Ini yang diartikan sebagai kawasan pinggiran metropolitan. GAMBAR 5-13 Lokasi Urban Fringe Secara Teoretis

189 186 Metropolitan di Indonesia GAMBAR 5-14 Pergeseran Urban Fringe Tipologi Kawasan Pinggiran Pada kenyataannya kawasan pinggiran tidak homogen. Berdasarkan penggunaan lahan serta fungsi kegiatan ekonominya, kawasan pinggiran ini dapat dikelompokkan dalam tiga kategori atau tipologi: a. Predominantly Urban = kawasan yang didominasi kondisi dan kegiatan berciri perkotaan. Karakteristik kota ini antara lain adalah perumahan berkepadatan tinggi, penggunaan lahan untuk kegiatan perdagangan dan jasa, serta industri ringan/manufaktur. Kegiatan-kegiatannya lebih berciri urban, biasanya akses ke kota inti relatif baik. Kawasan predominantly urban ini kemungkinan besar tercipta karena telah ada kota-kota atau permukiman sebelumnya di kawasan ini, seperti kota Tangerang, Bogor, Bekasi, Depok. Kemudian ditambah adanya pengembangan permukiman skala besar yang baru seperti kota-kota baru BSD, Deltamas, dan sebagainya. Kawasan ini juga meningkat perkembangannya karena sudah ada atau sedang direncanakan pengembangan infrastruktur regional seperti jaringan jalan arteri, jalan tol, dan sebagainya. Proses ini adalah yang kita kenal sebagai suburbanisasi dan biasanya berbatasan langsung dengan kota inti. b. Semi Urban = kawasan ini adalah wilayah transisi dari perdesaan ke perkotaan. Ciri utamanya adalah keberadaan perumahan hunian yang masih berkepadatan rendah, baik terencana (kawasan permukiman berskala kecil) maupun tidak terencana, kepadatannya campuran antara kepadatan tinggi dan kepadatan rendah. Kegiatannya juga sebagian masih rural (pertanian, perkebunan, empang-empang dan ruang terbuka atau belum terbangun). Penggunaan lahan sebagian besar masih berupa pertanian dan ladang, serta industri yang berorientasi tenaga kerja (labor oriented industries). Guna lahannya campur aduk, antara untuk kegiatan rural dan kegiatan perkotaan (perumahan berkepadatan tinggi, industri, perdagangan, jasa pelayanan,

190 Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 187 dan sebagainya). Akses ke kota inti terbatas; ini merupakan kawasan periurbanisasi atau awal proses suburbanisasi. c. Potential Urban = adalah kawasan yang pada saat ini ciri utamanya masih rural berkarakteristik desa tapi mempunyai peluang besar untuk lambat laun menjadi urban. Kawasan ini tidak berbatasan langsung ke kota inti, namun dekat dengan kawasan semi urban. Salah satu faktor yang mendorong pengembangan kegiatan perkotaan ke kawasan ini adalah tersedianya aksesibilitas berupa jaringan jalan atau kereta api yang melalui kawasan ini serta harga lahan yang relatif masih murah. Juga adanya imbas dari daerah sekitarnya yang sudah atau menuju perkembangan perkotaan (URDI. 2006). Kepadatan relatif rendah, kegiatan masih cenderung ke pertanian dan perkebunan serta masih banyak lahan-lahan yang belum terbangun. Akses ke kota inti sangat terbatas. hampir tidak ada. Untuk kawasan metropolitan Jabodetabek ketiganya dapat dilihat dari GAMBAR Terkait dengan kepadatan penduduk dan guna lahan serta aktivitas penduduknya, maka desa-desa di kawasan pinggiran ini ada yang masih bersifat rural, ada yang sudah menunjukkan gejala-gejala menuju urban, dan ada yang sudah bersifat urban. Dari GAMBAR 5-15 maka terlihat bahwa kebanyakan kecamatan-kecamatan yang langsung berbatasan dengan DKI Jakarta berkarakteristik predominantly urban atau semi urban. Dikaitkan dengan jaringan transportasi, kedua tipe kawasan ini dilalui jaringan jalan atau jalan kereta api. Lihat juga pada peta 1 dan peta 2 (jaringan jalan dan kereta api); peta 4 (penggunaan lahan 2000) serta peta 5 dan peta 6 (jumlah penduduk Jabodetabek 2000 dan 2004 per kecamatan). Pola Perubahan Ketiga tipologi kawasan pinggiran akan turut mengalami perubahan dengan adanya perkembangan di kawasan metropolitan Jabodetabek dan di kota inti DKI Jakarta. Perkembangan global akan mempengaruhi kawasan metropolitan Jabodetabek terutama dalam bidang perekonomian, yang pada gilirannya akan mempengaruhi kependudukan (jumlah dan struktur) dan perubahan tata guna lahan. a. Ekonomi dan konversi lahan Sebagaimana telah disampaikan di muka, peranan kawasan metropolitan Jabodetabek dalam perekonomian nasional untuk beberapa tahun ke depan masih akan tetap tinggi. Sektor industri pengolahan/manufaktur dan sektor jasa, yang secara nasional meningkat pangsanya dari 23.8 persen menjadi 26.8 persen - akan meningkatkan pula pertumbuhan sektor-sektor tersebut di Jabodetabek. Lokasi peningkatan kegiatan ekonomi tersebut akan menyebar sebagai berikut: - industri jasa dan perdagangan akan tetap berkembang di pusat kawasan metropolitan yakni di kota inti DKI Jakarta (GAMBAR 5-19), tetapi mulai menyebar mengikuti jaringan transport dan konsentrasi permukiman terutama ke arah Selatan. Kegiatan ini terjadi di tipe kawasan predominantly urban.

191 188 Metropolitan di Indonesia GAMBAR 5-15 Peta Urban Fringe Jabodetabek Berdasarkan Tipologinya GAMBAR 5-16 Pengunaan Lahan Jabodetabek 2000

192 Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 189 GAMBAR 5-17 Jumlah Penduduk Jabodetabek 2000 per Kecamatan GAMBAR 5-18 Jumlah Penduduk Jabodetabek 2004 per Kecamatan

193 190 Metropolitan di Indonesia GAMBAR 5-19 Sebaran Lokasi Fasilitas Komersial dan Bisnis di Jabodetabek Sumber: SITRAMP GAMBAR 5-20 Sebaran Kawasan Industri dan Pergudangan Jabodetabek

194 Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan industri manufaktur dan pergudangan (GAMBAR 5-20) terkonsentrasi di kawasan pelabuhan kota inti DKI Jakarta, mengikuti jaringan transport ke Barat ke arah Tangerang; Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Bekasi di tipe kawasan semi urban dan potential urban. Persebaran ini terjadi di kawasan predominantly urban dekat Kota Depok. - pertanian (lihat TABEL 5-23) mengalami penyusutan luas dari sekitar 44 ha di tahun 1985 menjadi sekitar 23,5 H di tahun Konversi ini (lihattabel 5-22) terjadi di Kabupaten/Kota Tangerang dan Bekasi terutama untuk penggunaan perumahan dan industri (sekitar 13 ribu ha dari total 290,4 ha lahan pertanian). Konversi lahan pertanian ini paling agresif terjadi di Kabupaten Bekasi terutama untuk mewadahi kegiatan industri yang merupakan sektor utama di daerah tersebut. Perubahan tersebut terjadi di kawasan-kawasan sebagai berikut: TABEL 5-25 Perubahan Kegiatan - peningkatan industri jasa dan perdagangan Predominantly Urban - peningkatan industri manufaktur - peningkatan industri manufaktur Semi Urban - peningkatan permukiman - peningkatan industri manufaktur Potential Urban - konversi lahan pertanian ke perumahan dan industri b. Kependudukan Sebagaimana dibahas di bab sebelumnya, jumlah penduduk selama 5 tahun terakhir meningkat di Jabodetabek, kecuali di DKI Jakarta yang relatif stabil bahkan di Jakarta Pusat yang mengalami penyusutan. Secara spasial peningkatan jumlah penduduk terdapat di kecamatan-kecamatan yang berdekatan atau berbatasan dengan DKI terutama di Kota Tangerang dan Kota Depok (kawasan predominantly urban). Walaupun ada juga di beberapa kecamatan di pinggiran Kabupaten-kabupaten Bekasi, Tangerang, dan Bogor yang relatif jauh dari DKI Jakarta. Kecamatankecamatan di atas berdasarkan jumlah penduduknya berubah dari tipologi semi urban dan potential urban menjadi predominantly urban dan semi urban. Terkait dengan kepadatan penduduk dalam kurun waktu 5 tahun ( ) telah terjadi juga kenaikan kepadatan penduduk. Paling tinggi kepadatan masih tetap di DKI Jakarta sebagai pusat kegiatan Jabodetabek. Di luar DKI Jakarta peningkatan kepadatan tinggi terjadi di kota-kota sekitar, seperti Kota Bekasi, Kota Tangerang, Kota Bogor, dan Kota Depok. Kota-kota ini meningkat perannya sebagai sub pusat kegiatan dengan fungsi permukiman atau pendidikan. Kota-kota ini termasuk tipe kawasan predominantly urban dan di sekelilingnya adalah kebanyakan tipe kawasan semi urban. Kemungkinan besar kawasan-kawasan ini akan menjadi predominantly urban dan kawasan yang potential urban akan menjadi semi urban.

195 192 Metropolitan di Indonesia Strategi dan Kebijakan Perubahan atau perkembangan tipologi kawasan dari predominantly urban menjadi fully urban dalam arti kecamatan-kecamatannya mengalami transformasi menyatu dengan kota inti; dari semi urban menjadi predominantly urban dan dari potential urban menjadi semi urban atau bahkan predominantly urban akan dipengaruhi oleh beberapa kebijakan atau intervensi dari pemerintah maupun dari masyarakat/dunia usaha. Pada saat ini strategi yang ingin digunakan di Kawasan Metropolitan Jabodetabek adalah mendorong pengembangan poros Timur Barat dan membatasi pengembangan ke arah Selatan yang merupakan resapan air. Bila dilihat GAMBAR 5-15 (tipologi urban fringe) maka poros Timur Barat masih memungkinkan untuk dikembangkan terutama di kawasan-kawasan semi urban, potential urban, dan predominantly rural. Hal ini terkait pada kebijakan makro untuk Kawasan Metropolitan Jabodetabek seberapa luas lahan yang akan dipertahankan dan di mana lokasinya untuk tetap menjadi kawasan perdesaan/pertanian (predominantly rural) yang saat ini masih cukup banyak yakni 51 persen. Pembatasan ke arah selatan memerlukan regulasi yang cukup ketat dan diawasi pelaksanaannya secara konsisten. Pengembangan saat ini banyak yang mengarah ke selatan. Masyarakat perlu dilibatkan dalam pengawasan ini. Kebijakan umum dan khusus berupa program dan instrumen bagi ketiga tipologi dapat dilihat dari TABEL 5-26 dan TABEL Kebijakan-kebijakan ini pada ujungnya akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan makro nasional dan sektoral seperti antara lain: - Keputusan pembangunan jaringan transportasi baru jalan tol, jalan kereta api, dan jalan raya (arteri nasional). - Keputusan pengembangan permukiman baru antara lain dengan meningkatkan kepadatan (KLB tinggi, KLB rendah). Keputusan-keputusan ini penting untuk menetapkan di mana akan dilaksanakan. Kedua kegiatan tersebut akan menarik kegiatan-kegiatan terkait seperti pusat-pusat kegiatan dan pelayanan serta membutuhkan penyediaan sarana dan prasarana pendukung. Seyogianya itu semua mengacu pada satu tata ruang Kawasan Metropolitan yang disepakati semua pihak Pemerintah Pusat, Pemerintah-pemerintah Daerah, serta masyarakat dan dunia usaha terkait di sektor-sektor terkait (seperti jaringan jalan raya, jalan kereta api, jaringan air bersih dan pembuangan, industri dan perdagangan, dan sebagainya). Penutup Bagaimana implikasi perkembangan metropolitan pada desa dan kota yang berada dalam Kawasan Metropolitan serta kebijakan dan kelembagaan seperti apa yang dapat mengelola/menanganinya merupakan isu yang akan dibahas dalam bagian ini.

196 Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan 193 TABEL 5-26 Kebijakan Umum dan Usulan Program per Tipologi Urban Fringe Predominantly No Jenis Kebijakan Urban Semi Urban Potential Urban 1 Pemanfaatan lahan untuk kegiatan budi daya Pengembangan mixed use; Pembangunan secara vertikal (KLB tinggi. KDB rendah) Pengembangan lahan terbangun yang menunjang kegiatan perkotaan Dipertahankan sebagai lahan tidak terbangun; Mempertahankan fungsi ekologis / 2 Pengembangan pusat-pusat kegiatan baru 3 Mengefisienkan dan mengefektifkan lokasi pusat-pusat kegiatan ekonomi 4 Peningkatan penyediaan prasarana Sumber : URDI 2006 Pengembangan pusatpusat kegiatan regional Pengembangan kegiatan perkotaan Penyediaan prasarana yang mendukung kegiatan perkotaan untuk skala regional Pengembangan urban agriculture dan industri padat karya Pengembangan urban agriculture dan industri yang berorientasi tenaga kerja Penyediaan prasarana yang mendukung urban agriculture dan industri TABEL 5-27 Contoh Instrumen untuk Kebijakan-kebijakan Khusus Predominantly No Jenis Kebijakan Semi Urban Urban Kebijakan Khusus 1 Pengembangan Yang Ada Dibatasi 2 Pengembangan Yang Ada Didorong Sumber : URDI 2006 Menaikkan Beban Pajak Untuk Kegiatan Perkotaan: Bisnis Dan Komersial; Mengurangi Ijin-Ijin Pembangunan; Mengembalikan Fungsi Ruang Terbuka Hijau Meningkatkan Pelayanan Sarana Dan Prasarana Perkotaan Membatasi Akses Jalan Tol Dan Non Tol; Membatasi Ijin-Ijin Untuk Kegiatan Yang Menyebabkan Degradasi Lingkungan Meningkatkan Pelayanan Sarana Dan Prasarana Perkotaan; Meningkatkan Pemanfaatan Lahan Terbangun lindung kawasan. Pengembangan urban agriculture Kegiatan eknomi yang tidak merugikan fungsi ekologis (ecotourism. dll) Pengembangan urban agriculture Penyediaan prasarana yang mendukung urban agriculture Potential Urban Membatasi Akses Jalan Tol Dan Non Tol; Meningkatkan Fungsi Lindung Kawasan Untuk Bagian Selatan Jabodetabek Meningkatkan Penyediaan Sarana Dan Prasarana Kota; Meningkatkan Pembangunan Jalan Baru Untuk Pergerakan Internal Dan Eksternal Jabodetabek

197 194 Metropolitan di Indonesia Hubungan Desa dan Kota Dari gambaran di atas terlihat bahwa desa dan kota sangat erat kaitannya dan dengan mudah terjadi perubahan dari desa menjadi kota. Dari yang predominantly rural atau potential urban dapat menjadi semi urban dan predominantly urban. Suatu studi kasus (Uguy 2006) di suatu kecamatan (Cimanggis) memberikan hasil sebagai berikut: Kecamatan Cimanggis merupakan kawasan peri urban yaitu mempunyai tata guna lahan campuran rural dan urban yang tak tertata. Perubahan peruntukan lahan yang sangat cepat untuk pembangunan permukiman. Kecamatan ini juga membangkitkan lalu lintas yang menyebabkan kemacetan di jalan lingkungan, jalan arteri, dan jalan tol. Kepadatan penduduknya 75 jiwa/ha lebih tinggi dari kepadatan kabupaten tapi belum setinggi kepadatan kota. Tetapi peningkatan kepadatan ini sangat tinggi (6,3 persen per tahun). Kompleks perumahan bertambah dari 32 kompleks (1992) menjadi 57 kompleks (2002) hampir dua kalinya (Uguy 2006: hal. 127). Pertambahan penduduk terjadi terutama karena perpindahan dari DKI Jakarta. Sebanyak 84 persen dari penghuni di kompleks perumahan dan 54 persen dari penghuni non perumahan (kampung) sebelumnya tinggal di DKI Jakarta. Kegiatan utama Cimanggis sebagian masih berupa pertanian (sawah, ladang, kebun campuran dengan rumah) sebesar 73 persen. Namun, sekitar 27 persen telah berubah menjadi perumahan, industri, jalan, dan lain-lain. Hal ini semua menunjukkan bahwa kecamatan Cimanggis yang sekitar 5 tahun yang lalu masih berciri desa, kini telah mengalami transformasi dalam transisi menjadi kecamatan berciri kota. Ini merupakan fenomena yang umum terjadi di kecamatan-kecamatan sekitar DKI Jakarta,. yaitu di kawasan pinggiran yang semula hanya tipe potential urban menjadi predominantly urban. Desa-desa yang dilalui atau dekat dengan jaringan transportasi ke Jakarta akan mengalami transformasi menjadi kota yang lebih cepat. Jika tidak ada intervensi dari pemerintah, hal ini akan menerus terjadi dan akan menimbulkan urban sprawl. Intervensi Strategi dan Kebijakan Intervensi yang dapat dilakukan perlu secara menyeluruh dari tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, meliputi intervensi dalam aspek kelembagaan dan keuangan, aspek pembangunan fisik dan lingkungan, serta dalam aspek pelayanan publik. (URDI. 2006). Dalam hal ini intervensi kelembagaan dan keuangan antara lain dapat dilakukan melalui: - membentuk wadah kerja sama (baru atau revitalisasi/perluasan wadah yang sudah ada); - merumuskan mekanisme kerja sama dan pembuatan keputusan; - koordinasi perencanaan dan pendanaan pembangunan secara terpadu (lintas sektor dan lintas wilayah). Dalam hal intervensi aspek pembangunan fisik dan lingkungan dapat dilakukan antara lain : - penyusunan rencana tata ruang wilayah yang terintegrasi dan terpadu secara bersama-sama;

198 Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan perencanaan pengembangan jaringan transportasi dan pusat-pusat kegiatan secara bersama (spasial maupun temporal); - perencanaan pemanfaatan sumber daya alam, seperti sumber air baku, sungai dan danau, dan sebagainya. Dalam hal intervensi aspek pelayanan publik antara lain dapat dilakukan melalui pengembangan program-program : - pelayanan transportasi terpadu multimoda. - pelayanan penyediaan air bersih, pembuangan, dan persampahan (disarikan dari URDI 2006). Beberapa intervensi itu harus dilakukan dari tingkat pusat, seperti mekanisme perencanaan yang melibatkan propinsi-propinsi (DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten), pembangunan skala besar dan banyak daerah seperti jaringan transportasi multimoda yang melayani ketiga propinsi, dan sebagainya.

199 196 Metropolitan di Indonesia

200 6 Infrastruktur TRANSPORTASI Pendahuluan Transportasi adalah pergerakan orang dan/atau barang dari satu lokasi ke lokasi lain dari satu pusat kegiatan ke pusat kegiatan lain. Transportasi bukan merupakan suatu tujuan akhir, melainkan turunan dari permintaan, misalnya pergerakan untuk tujuan kerja, rekreasi, pengumpulan bahan baku, distribusi barang produk, dan lain-lain. Pergerakan orang/barang antar lokasi tersebut dalam skala lokal sampai global, misalnya pergerakan antar pusat kegiatan dalam suatu kota sampai pergerakan antarnegara. Untuk skala metropolitan, tujuan akhir dari transportasi adalah terpenuhinya permintaan pergerakan orang/barang dalam rangka menunjang kesejahteraan masyarakat metropolitan terkait, yakni untuk menuju terwujudnya metropolitan yang nyaman sebagai tempat tinggal, tempat kerja, dan tempat rekreasi. Selanjutnya, bagaimana transportasi dapat menunjang terwujudnya suatu wilayah metropolitan yang sejahtera tergantung dari karakteristik wilayah terkait. Misalnya, kebutuhan fasilitas dan layanan transportasi untuk wilayah kota industri berbeda dengan untuk kota pendidikan. Hubungan antara fasilitas dan layanan transportasi dengan wilayah terkait merupakan suatu sistem yang terdiri atas beberapa sistem/subsistem sebagai berikut: a) Sistem Kegiatan, yakni pusat-pusat penduduk dengan kegiatannya, misalnya wilayah metropolitan, kawasan perumahan, kawasan perdagangan, dan sebagainya; Sistem / Sub-sistem Kegiatan ini membangkitkan (produksi dan tarikan) pergerakan yang membutuhkan fasilitas dan layanan transportasi b) Sistem Jaringan, yakni jaringan dan simpul-simpul fasilitas & layanan transportasi, misalnya jaringan jalan raya (arteri, kolektor, lokal), jaringan rel kereta-api, jaringan layanan transportasi umum, bandara udara, pelabuhan laut, dan lain-lain; Sistem/Sub-Sistem Jaringan melayani pergerakan Sistem Kegiatan sebagai suatu sistem, misalnya longsornya sebagian kecil jalan tol Cipularang praktis melumpuhkan fungsi utama jalan tol tersebut, yakni jalan tol Jakarta-Bandung;

201 198 Metropolitan di Indonesia dengan tidak terpenuhinya tujuan akhir transportasi Jakarta-Bandung tersebut, maka hal ini selanjutnya juga berdampak terhadap peran sistem/subsistem jaringan lainnya, misalnya peningkatan peran jaringan layanan kereta api dan jaringan jalan alternatif lainnya. c) Sistem Pergerakan, yakni pergerakan orang dan/atau barang berdasar jumlah, tujuan, lokasi asal-tujuan, waktu perjalanan, jarak atau lama perjalanan, kecepatan, frekuensi, moda yang digunakan, dan sebagainya; Sistem Pergerakan adalah bangkitan pergerakan yang dihasilkan Sistem Kegiatan d) Ketiga sistem/sub-sistem di atas saling terkait, makin tinggi kuantitas dan kualitas Sistem Kegiatan dan/atau Sistem Jaringan, makin tinggi pula pergerakan yang dihasilkan; sebaliknya makin tinggi kuantitas dan kualitas Sistem Pergerakan, makin tinggi pula dampak yang ditimbulkan terhadap Sistem Kegiatan dan Sistem Jaringan. Sebagaimana disinggung di atas, transportasi bukan tujuan akhir tetapi timbul akibat adanya permintaan Sistem Kegiatan. Peran transportasi terhadap perkembangan dan pertumbuhan wilayah metropolitan tercermin dari interaksi antara Sistem Jaringan dan Sistem Pergerakan dengan Sistem kegiatan wilayah perkotaan. Setiap perubahan atau perkembangan Sistem Kegiatan akan menimbulkan perubahan atau kenaikan pergerakan (volume, jarak, dsb.); perubahan dan perkembangan ini dilayani melalui pengelolaan dan pengembangan Sistem Pergerakan (misalnya lalu-lintas dua arah menjadi lalu-lintas satu arah) dan/atau Sistem Jaringan (misalnya pelebaran jalan); pada gilirannya, peningkatan fasilitas dan layanan transportasi akan meningkatkan perkembangan Sistem Kegiatan, meningkatkan bangkitan pergerakan, dan menimbulkan kemacetan baru, dst.; siklus ini adalah peran pasif dari Sistem Pergerakan dan/atau Sistem Jaringan dalam melayani perubahan dan perkembangan Sistem Kegiatan. Sebaliknya, Sistem Pergerakan dan/atau Sistem Jaringan juga dapat berperan aktif terhadap perkembangan Sistem Kegiatan; pengelolaan serta pengembangan Sistem Pergerakan dan/atau Sistem Jaringan dapat memberikan dampak positif maupun negatif terhadap perkembangan Sistem Kegiatan; misalnya penerapan lalu-lintas satu arah serta pelarangan parkir tepi jalan (on-street parking) pada suatu koridor jalan dapat mengakibatkan dampak negatif berupa matinya kegiatan ekonomi sepanjang koridor tersebut khususnya pada lokasi-lokasi yang tidak memiliki lahan parkir khusus (off-street parking). Sebaliknya, pengalihan rute angkutan umum pada satu koridor dapat memberikan dampak positif dengan meningkatkan perkembangan Sistem Kegiatan sepanjang koridor tersebut (misalnya meningkatnya kegiatan transaksi kawasan perbelanjaan); demikian pula pembangunan serta peningkatan kualitas jaringan jalan ke arah timur-barat dibarengi dengan penurunan kualitas jaringan jalan ke arah selatan akan memberikan dampak positif mendorong perkembangan Sistem Kegiatan ke arah timur-barat sekaligus dampak negatif terhadap perkembangan ke arah selatan; pembangunan Sistem Jaringan juga dapat membelah kehidupan sosial suatu Sistem Kegiatan. Peran pasif dan aktif Sistem Jaringan tersebut pada gilirannya juga mengarahkan perencanaan dan pembangunan sistem infrastruktur lainnya (jaringan listrik, telepon, air bersih, limbah, dsb.); perencanaan dan pembangunan Sistem Jaringan juga merupakan perencanaan dan pembangunan struktur Sistem Kegiatan; Peran strategis Sistem

202 Infrastruktur 199 Jaringan tersebut menyebabkan pembangunan Sistem Jaringan tidak saja kompleks tetapi juga menyangkut dana besar serta sekali dibangun tidak mudah untuk di ubahubah. Ketiga sistem di atas dengan karakteristik serta keterkaitannya juga dipengaruhi oleh keberadaan serta kesiapan Sistem Kelembagaan yang terdiri atas: a) aspek legal, yakni kesiapan serta kesesuaian UU, PP, kebijakan, RTRW, dsb; misal kebijakan walikota untuk lebih mementingkan makan ketimbang macet mengakibatkan perubahan guna lahan perumahan menjadi pusat perbelanjaan; penerapan sistem setoran dibandingkan dengan sistem gaji bulanan mengakibatkan kemacetan akibat sopir angkutan umum mengejar setoran tanpa menghiraukan ketertiban serta rambu-rambu lalu-lintas. b) aspek organisasi, yakni kesiapan serta kejelasan pembagian tugas, tanggung jawab, serta koordinasi intra dan antar unit-unit organisasi pemerintah, dunia usaha, serta masyarakat; misal kemacetan yang ditimbulkan akibat buruknya organisasi antar sektor dalam masalah klasik gali-tutup lubang jalan untuk listrik, air minum, telepon. c) aspek sumber daya insani, yakni kesiapan sumber daya insani (operator, user, non-user, regulator, dsb.) misalnya pelanggaran RTRW karena ketidaksiapan sumber daya insani pengawasan / pengendalian. d) aspek keuangan, yakni kesiapan serta kesesuaian pendanaan, misal terlambatnya pembangunan jalan layang karena adanya masalah pencairan dana pinjaman luar negeri. Selanjutnya sistem-sistem di atas juga dipengaruhi oleh Sistem Lingkungan Internal dan Eksternal dengan dinamika perubahannya: a) internal aspek ekonomi, sosial-budaya-politik, fisik, teknologi; misalnya tidak ada becak di Padang karena aspek budaya setempat; sebaliknya tidak ada becak di Lembang karena kondisi fisik geografisnya b) eksternal aspek ekonomi, sosial-budaya-politik, fisik, teknologi; misalnya dampak bom Bali terhadap transportasi wisata asing ke Indonesia. Akhirnya semua sistem di atas saling terkait dalam suatu Sistem Spatial mulai dari skala lokal, regional, nasional, sampai global; misalnya adanya pertemuan APEC di Bogor (kegiatan ekonomi tingkat internasional dengan lokasi di luar Bandung) serta adanya keputusan Gubernur DKI Jakarta untuk meliburkan Jakarta (aspek legal juga dari luar Bandung); hal ini mengakibatkan penduduk Jakarta mengalir ke Bandung untuk liburan panjang, pada gilirannya berbagai faktor eksternal tersebut mengakibatkan transportasi Bandung macet total sepanjang hari. Secara singkat transportasi merupakan suatu sistem/subsistem yang kompleks; Sistem Kegiatan, Sistem Jaringan, dan Sistem Pergerakan merupakan sistem yang saling berhubungan. Ketiga sistem ini dipengaruhi oleh Sistem Kelembagaan, yang kesemuanya juga dipengaruhi oleh Sistem Internal dan Eksternal serta Sistem Spatial (lihat GAMBAR 6-1).

203 200 Metropolitan di Indonesia Nas / Int Regional Sistem Eksternal: Ekonomi-Sosial-Politik-Budaya-Fisik- Lokal Sistem Kelembagaan - legal - organisasi - SDM - Sistem Kegiata n Sistem Pergera kan Sistem Jaringan Sistem Internal: Ekonomi-Sosial-Politik-Budaya-Fisik-Teknologi GAMBAR 6-1 Sistem Transportasi Tantangan Transportasi Perkotaan Sebagaimana disampaikan di atas, transportasi bukan tujuan akhir tetapi adalah untuk pemenuhan permintaan pergerakan penduduk dengan kegiatannya; fasilitas dan layanan transportasi metropolitan ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat metropolitan, dalam arti: a) seluruh masyarakat, artinya kinerja fasilitas dan layanan transportasi makin baik bila dapat menjangkau lebih banyak masyarakat secara keseluruhan; sebaliknya terus memburuknya fasilitas dan pelayanan akan menyebabkan kerugian ekonomi seluruh masyarakat menuju matinya metropolitan; merupakan tantangan bagaimana fasilitas dan layanan transportasi dapat menunjang keberlanjutan ekonomi dari metropolitan terkait (economically sustainable); b) semua masyarakat, artinya kinerja fasilitas dan layanan transportasi makin baik bila tidak hanya menjangkau lebih banyak masyarakat, tetapi terutama menjangkau juga semua masyarakat; artinya menjangkau secara merata berbagai kelompok masyarakat berdasar penghasilan, gender, usia, lokasi tempat tinggal; merupakan tantangan bagaimana mewujudkan keadilan sosial berupa pemerataan fasilitas dan layanan transportasi untuk semua masyarakat metropolitan (socially sustainable);

204 Infrastruktur 201 c) masyarakat generasi nenek-moyang, merupakan tantangan bagaimana pembangunan dan pengelolaan fasilitas dan layanan transportasi tidak merusak lingkungan binaan peninggalan nenek-moyang kita yang bernilai sejarah (culturally sustainable); d) masyarakat generasi anak-cucu, artinya bagaimana fasilitas dan layanan transportasi tidak memboroskan sumber daya tidak terbarukan serta tidak merusak lingkungan alam yang merupakan titipan untuk anak-cucu kita (environmentally sustainable); e) masyarakat sebagai pelaku aktif untuk-dari-oleh, bagaimana proses perencanaan, pembangunan, dan pengelolaan fasilitas dapat melibatkan semua masyarakat hingga semua dapat menggunakan haknya yang bertanggung jawab untuk mencapai kesepakatan, dan pada gilirannya tidak menimbulkan gejolak politik (politically sustainable). Secara singkat tantangan peningkatan kinerja fasilitas dan layanan transportasi adalah bagaimana meningkatkan pemenuhan kebutuhan pergerakan untuk seluruh masyarakat, untuk semua masyarakat, tanpa merusak lingkungan binaan peninggalan masyarakat masa lalu yang bernilai sejarah tanpa merusak lingkungan alam yang merupakan titipan masyarakat generasi mendatang, dan untuk menjawab tantangan ini bagaimana semua masyarakat dapat berperan serta sebagai pelaku aktif. Merupakan tantangan bagaimana mewujudkan fasilitas dan layanan transportasi yang berkelanjutan secara ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, dan politik. Sebelum menjawab semua tantangan di atas, bagian berikut akan membahas lebih rinci permasalahan transportasi, yakni permasalahan tiap sistem/sub-sistem dan antar sistem/sub-sistem (Sistem Kegiatan, Sistem Jaringan, dan Sistem Pergerakan) serta permasalahan ketiga sistem ini terkait dengan permasalahan Sistem Kelembagaan, Sistem Lingkungan Internal dan Eksternal, serta Sistem Spatial. Demikian juga akan dibahas permasalahan kinerja Sistem Jaringan dalam memenuhi kebutuhan pergerakan Sistem Kegiatan. Permasalahan Transportasi Perkotaan Permasalahan Sistem Kegiatan diwarnai oleh makin memusatnya penduduk dengan kegiatannya secara spatial maupun temporal, yakni dengan tingginya urbanisasi terutama pada wilayah metropolitan, besar serta cepatnya perubahan guna lahan terutama sepanjang jaringan jalan utama. Sebaliknya terjadi pula ekspansi spatial, yakni suburbanisasi dengan tumbuhnya pemusatan kegiatan sepanjang koridor sekitar kota utama. Semua kecenderungan di atas pada gilirannya meningkatkan kemacetan serta memperbesar jarak dan waktu pergerakan dari rumah ke tempat kerja dan ke tempat lain. Pembangunan Sistem Kegiatan juga diwarnai oleh makin terpinggirnya penduduk lemah ekonomi ke lokasi-lokasi dengan akses buruk ke fasilitas dan layanan transportasi. Pada sisi lain, permasalahan Sistem Jaringan diwarnai oleh terbatas serta buruknya kualitas fasilitas dan pelayanan transportasi. Sistem Jaringan juga diperburuk dengan rusaknya hierarki jaringan, misalnya percampuran berbagai moda besar-kecil, kendaraan cepat-lambat pada jaringan jalan arteri. Sistem jaringan yang terbatas tersebut juga tidak digunakan secara efisien untuk mengangkut orang/barang, mayoritas penggunanya adalah kendaraan pribadi (mobil dan sepeda motor) yang kapasitas penumpangnya lebih

205 202 Metropolitan di Indonesia rendah. Demikian pula jaringan yang ada dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan lain, misal untuk PKL, parkir, dsb. Permasalahan Sistem Jaringan juga diperparah dengan makin tidak berimbangnya perkembangan Sistem Jaringan yang merambat dibandingkan dengan Sistem Kegiatan yang melaju. Permasalahan kedua sistem di atas pada gilirannya berdampak pada permasalahan Sistem Pergerakan, yakni semuanya menyebabkan meningkatnya kemacetan, perjalanan ulang-alik, polusi, pemborosan energi, kecelakaan, keamanan, dsb. Beberapa permasalahan kurang terpadunya ketiga sistem di atas, antara lain adalah: a) pesatnya perubahan Sistem Kegiatan seperti pembangunan gedung-gedung bertingkat tanpa diimbangi dengan penyediaan Sistem Jaringan penunjangnya, dalam arti eksternalitas yang ditimbulkan dari perubahan Sistem Kegiatan berskala makro/regional, tetapi Sistem Jaringan yang disediakan hanya berskala mikro/lokal. Misalnya perubahan guna lahan dari rumah menjadi mall hanya diwajibkan untuk menyediakan lahan parkir, padahal mall tersebut juga masih menimbulkan berbagai eksternalitas skala mikro lain, misalnya terjadinya antrian kendaraan yang menggunakan jalan umum, mangkalnya angkutan umum sekitar mall, menjamurnya kegiatan PKL, dsb. Artinya, ekseternalitas skala mikro tersebut harus dihilangkan, misalnya dengan penyediaan lahan di dalam kawasan mal untuk antrian kendaraan, lahan untuk tempat mangkal angkutan umum, lahan untuk PKL. Selanjutnya, kegiatan mal tersebut mungkin menimbulkan juga eksternalitas skala makro, misalnya menyebabkan rusaknya sistem hierarki jaringan jalan sekitar mal tersebut. Untuk ini, pembangunan mal tersebut juga diharuskan untuk memperbaiki sistem hierarki jaringan jalan terkait, misalnya dengan menyediakan jaringan jalan lokal. Secara singkat, untuk tiap perubahan guna lahan skala kecil/besar, seyogianya tidak saja diwajibkan untuk melakukan Amdal/Amdal Regional, tetapi juga diterapkan development impact fee hingga eksternalitas mikro/makro yang ditimbulkan harus dihilangkan dengan upaya mikro/makro juga. b) pembangunan Sistem Jaringan jalan yang tidak seimbang, misalnya pesatnya pembangunan jalan tol serta jalan arteri lainnya tanpa diimbangi dengan pembangunan jaringan jalan kolektor pendukungnya, dengan akibat terjadi kemacetan serta antrian yang panjang menjelang pintu-pintu keluar-masuk tol karena terbatasnya jaringan kolektor. c) penerapan secara partial transportation demand system ; misalnya pemberlakuan 3 in 1 tanpa diimbangi dengan penyediaan transportasi publik yang memadai (misalnya tingkat pelayanan door-to-door sangat rendah) dengan akibat menurunnya fungsi Sistem Kegiatan sepanjang koridor 3 in 1 tersebut (padahal salah satu peran Sistem Jaringan adalah untuk melayani Sistem Kegiatan). Pada gilirannya berbagai permasalahan transportasi terkait dengan ketiga sistem di atas berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat; misalnya kerugian ekonomi seluruh masyarakat akibat makin meningkatnya kemacetan, akses masyarakat miskin makin buruk, ketidakadilan pemanfaatan fasilitas transportasi terutama oleh sebagian kecil masyarakat pemilik kendaraan pribadi, makin meningkatnya penggunaan kendaraan

206 Infrastruktur 203 pribadi yang mengakibatkan pemborosan energi tidak terbarukan serta peningkatan kerusakan lingkungan, dll. Permasalahan di atas juga menjadi semakin berat dengan Sistem Kelembagaan yang tidak baik: a) dalam aspek legal; misalnya belum siapnya ketentuan hukum yang memungkinkan dana yang diperoleh dari sektor transportasi untuk pembangunan fasilitas dan layanan transportasi, belum siapnya ketentuan hukum untuk mencegah joki 3 in 1, penegakan hukum yang lemah hingga fasilitas jalan digunakan oleh PKL; ketidakpastian hukum dan ketidakberlanjutan arah kebijakan seperti tidak konsistennya pelaksanaan program BBG (Bahan Bakar Gas) yang sebenarnya telah dirintis di Jakarta awal/mid 1990-an b) dalam aspek organisasi; misalnya masalah klasik gali lubang tutup lubang pembangunan jaringan infrastruktur (listrik, telepon, air bersih) yang mengakibatkan kemacetan, benturan kepentingan antar sektor dan antar daerah dalam pengoperasian rute layanan transpotasi kota, lemahnya koordinasi intra/antar lembaga-lembaga pemerintah (pusat-daerah, antar sektor, antar daerah), dunia usaha, dan masyarakat. c) dalam aspek sumber daya insani, misalnya seperti disampaikan di atas, yakni perubahan guna lahan yang menimbulkan dampak kemacetan skala makro tetapi oleh pemberi ijin hanya dipersyaratkan membangun parkir yang merupakan pemecahan skala mikro; demikian pula sektor swasta yang cenderung memperoleh keuntungan dalam waktu singkat serta pejabat dengan masa jabatan terbatas 5-10 tahun cenderung ingin menghasilkan sesuatu dalam masa jabatannya, pada sisi lain pembangunan jaringan transportasi merupakan hal yang kompleks dan berjangka panjang serta membutuhkan dana besar. d) dalam aspek pendanaan, misalnya terlalu berorientasi pada pinjaman luar negeri dengan berbagai ikatan yang memberatkan, belum termanfaatkannya sumber daya dunia usaha, konsep pendanaan pembangunan SAUM (Sistem Angkutan Umum Masal) yang cenderung bersifat sektoral-partial serta bertentangan dengan prinsipprinsip transportasi sebagai sistem/subsistem yang kompleks serta saling berkaitan. Pemecahan permasalahan transportasi juga umumnya kurang memperhatikan Sistem Lingkungan Internal dan Eksternal serta Sistem Spatial: a) Sistem Lingkungan Internal; misalnya macetnya pembangunan jalan tol karena masalah komunikasi dengan masyarakat lokal b) Sistem Lingkungan Eksternal; misalnya menghadapi krisis ekonomi regional 1998 pemerintah menghentikan semua pembangunan infrastruktur hingga Indonesia makin tidak kompetitif (tidak belajar dari Amerika serta negara lain yang justru membangun infrastruktur besar-besaran untuk menciptakan lapangan kerja pada masa resesi dunia 1930-an) c) Sistem Spatial; era otonomi daerah cenderung meningkatkan permasalahan perencanaan, pembangunan, dan pengelolaan fasilitas dan layanan transportasi antardaerah otonom yang saling bertetangga.

207 204 Metropolitan di Indonesia Akhirnya permasalahan dikaitkan dengan tantangan Transportasi Metropolitan di atas, yakni penyediaan fasilitas dan layanan transportasi untuk pemenuhan kebutuhan pergerakan adalah sbb: a) transportasi untuk seluruh masyarakat, kinerja fasilitas dan layanan transportasi masih jauh dari yang diharapkan, ratio luas jalan berbanding luas kota untuk kotakota di Indonesia jauh di bawah ratio yang sama untuk kota-kota di luar negeri, investasi infrastruktur termasuk untuk transportasi menurun sangat tajam sejak krisis ekonomi tahun b) transportasi untuk semua masyarakat, serupa dengan kondisi di atas. Ketimpangan fasilitas dan layanan transportasi makin tidak merata, misalnya ratio jumlah kendaraan bermotor pribadi terhadap kendaraan umum makin membesar. c) transportasi yang melestarikan peninggalan masyarakat masa lampau yang bernilai sejarah, perubahan guna lahan serta pembangunan fasilitas transportasi cenderung menghilangkan beberapa bangunan bernilai sejarah. d) transportasi yang tidak merusak titipan masyarakat generasi mendatang, membengkaknya kenaikan kendaraan bermotor pribadi merupakan salah satu penyebab utama makin meningkatnya polusi, memburuknya iklim mikro, serta pemborosan energi tidak terbarukan. e) transportasi yang melibatkan peran serta aktif semua masyarakat, misalnya perusakan taksi tertentu oleh pengemudi taksi lain, protes pengemudi transportasi kota merupakan belum dilaksanakannya prinsip untuk-oleh-dari semua masyarakat Secara singkat, permasalahan transportasi metropolitan diwarnai oleh permasalahan terkait dengan Sistem-Sistem Kegiatan, Jaringan, dan Pergerakan serta dipengaruhi pula oleh permasalahan Sistem Kelembagaan. yang selanjutnya juga terkait dengan permasalahan sistem lingkungan internal dan eksternal serta sistem spatial. Selanjutnya, transportasi metropolitan juga diwarnai oleh masih rendahnya kinerja dalam melayani kebutuhan pergerakan untuk seluruh dan semua masyarakat serta masih besarnya dampak negatif yang ditimbulkan terhadap lingkungan binaan bernilai sejarah dan lingkungan alam. serta masih rendahnya peran serta semua masyarakat sebagai pelaku aktif dalam perencanaan dan pembangunan serta pengelolaan fasilitas dan layanan transportasi. Arah Kebijakan Transportasi Perkotaan Kebijakan pengembangan Sistem Kegiatan seyogianya diarahkan untuk menyebar pemusatan spatial dan temporal yang terjadi, yakni dengan membangun multi-centers masing-masing dengan keunikan/kekhasannya, misalnya adanya berbagai jenis pusat perbelanjaan elektronik, pakaian, alat perkantoran, dsb. Selanjutnya, penyebaran pemusatan temporal dapat dilakukan dengan pembedaan jam-jam kantor, sekolah, dsb. pembedaan ini dapat dilakukan intra unit (misal direktur dengan tukang sapu dalam suatu industri besar tidak harus masuk jam kantor pada waktu yang bersamaan), antar unit (misalnya antara satu sekolah favorit dengan sekolah favorit lainnya), antarwilayah (misalnya industri di lokasi A dengan industri di lokasi B), serta kombinasi penyebaran butir-butir tersebut.

208 Infrastruktur 205 Arah kebijakan lain untuk Sistem Kegiatan adalah dengan memperkecil kebutuhan akan adanya pergerakan, misalnya dengan mewujudkan terciptanya toward zero transportation city, yakni melalui pembangunan yang compact/high-rise building serta mixed land-use dan mixed-groups. Demikian pula dapat diterapkan zero externalities, misalnya tiap perubahan guna lahan dipersyaratkan untuk menyediakan prasarana-sarana yang dibutuhkan guna mencegah timbulnya eksternalitas (kemacetan, polusi, banjir, dsb), termasuk penerapan development impact fee, dsb. Misalnya untuk kawasan perumahan yang diubah menjadi pusat perbelanjaan, maka pengembang diwajibkan untuk menyediakan berbagai prasarana-sarana untuk mencegah timbulnya eksternalitas makro dan mikro; untuk mencegah eksternalitas mikro mulai dari penyediaan lahan parkir, lahan untuk antrian parkir, lahan untuk antrian kendaraan angkutan umum ( bus stop ), lahan untuk PKL, sampai jembatan penyeberang, dsb. Selanjutnya, perlu dilakukan penataan kembali hierarki Sistem Jaringan, baik yang terkait dengan arteri-kolektor-lokal maupun primer-sekunder. Demikian juga pembenahan persimpangan kereta api dengan jalan raya; penataan fasilitas untuk kendaraan lambat atau kendaraan rawan kecelakaan; pejalan kaki, dsb. Peningkatan efisiensi pemanfaatan Sistem Jaringan, yakni dengan memberikan prioritas pada angkutan umum serta pembatasan penggunaan kendaraan pribadi (mobil, sepeda motor); termasuk penyediaan layanan angkutan umum yang layak serta terjangkau untuk semua, misalnya adanya angkutan umum kelas argo, eksekutif, bisnis, ekonomi, dsb. Untuk moda, dapat pula diterapkan kebijakan yang bertujuan mengurangi gangguan kemacetan akibat mogoknya kendaraan (tua), misalnya melalui penerapan pajak progresif untuk mobil tua sekaligus dalam kaitan dengan masalah energi dan polusi. Arah kebijakan untuk Sistem Pergerakan diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan eksternalitas terkait dengan kemacetan, kecelakaan, polusi, energi, dsb; serta dampaknya terhadap Sistem Kegiatan dan Sistem Jaringan; misalnya melalui penerapan one way traffic, lampu serta rambu-rambu lalu lintas, jalur-jalur khusus untuk angkutan umum, untuk kendaraan rawan kecelakaan, untuk pejalan kaki, dsb. Berbagai upaya pembenahan Sistem Pergerakan tersebut harus dilakukan secara menyeluruh dengan memperhatikan keterkaitannya dengan Sistem Kegiatan dan Sistem Jaringan, misalnya penerapan one way traffic harus dilengkapi dengan penyediaan jembatan penyeberang, dsb. Realisasi berbagai arah kebijakan di atas membutuhkan dukungan pembenahan Sistem Kelembagaan, misalnya ketentuan hukum tentang insentif/disinsentif dari pemerintah sebagai lembaga regulator / fasilitator, pembenahan organisasi menuju tata kelola yang baik, peningkatan kompetensi sumber daya insani, dan aspek dana. Untuk ini, uraian berikut secara khusus akan memfokuskan pada pembangunan SAUM yang membutuhkan dana besar. Pendanaan Pembangunan SAUM Sebagai analogi, gedung empat lantai hanya membutuhkan fasilitas tangga, tetapi untuk gedung 100 lantai jelas tangga saja tidak cukup, dibutuhkan elevator yang dapat mengangkut orang secara cepat. Alternatif lain adalah gedung tersebut dilayani oleh berbagai escalator, misalnya escalator dari lantai-1 ke lantai-2; lantai-2 ke lantai-5. dst. Demikian pula wilayah metropolitan tidak cukup hanya dilayani oleh angkutan umum,

209 206 Metropolitan di Indonesia dibutuhkan SAUM, bentuknya dapat berupa kereta api ( elevator ) atau rangkaian bus yang beroperasi seperti kereta api ( escalator ). Pada sisi lain, pembangunan SAUM membutuhkan biaya yang sangat besar. Untuk ini, secara khusus akan difokuskan pada permasalahan terkait dengan pendanaan SAUM untuk Jakarta dan sekitarnya. a) pembangunan dan pengelolaan SAUM tidak ada yang menguntungkan; di beberapa negara maju, pembangunan dan operasi SAUM disubsidi oleh pemerintah, di beberapa negara lain pembangunan SAUM dilaksanakan oleh pemerintah dan operasinya diserahkan pada sektor swasta. Terdapat pula yang menggabungkan pendanaan pembangunan dan pengelolaan SAUM dengan guna lahan sekitar. b) pemerintah kita jelas tidak memiliki kemampuan untuk menyediakan subsidi untuk pembangunan dan operasi SAUM, dan dalam era desentralisasi, subsidi pemerintah pusat terhadap wilayah metropolitan dengan kegiatan ekonomi tinggi akan menimbulkan ketidak-adilan untuk daerah-daerah lain. c) menggunakan pinjaman luar negeri untuk pembiayaan akan makin membebani anak cucu kita yang sudah menanggung beban hutang yang sangat besar. d) pembangunan dan operasi SAUM secara terbatas, seperti di Kuala Lumpur dan Bangkok, memperlihatkan bahwa jumlah penumpang sangat jauh dari proyeksi yang diperkirakan, dengan akibat pemerintah akhirnya terpaksa mengambil alih pengelolaan dari sektor swasta yang semula membangun dan mengelolanya, e) berbagai perencanaan pendanaan SAUM yang diajukan berbagai pihak sejak 1980-an sampai yang terakhir untuk Jakarta dan sekitarnya serupa dengan model Kuala Lumpur dan Bangkok atau menggantungkan pada pinjaman luar negeri, pendekatan ini bila dilaksanakan kemungkinan besar akan mengalami nasib yang sama. Permasalahan beberapa rintisan upaya pembangunan SAUM untuk Jakarta dan sekitarnya adalah penggunaan konsep pendanaan yang menyalahi prinsip serta karakteristik transportasi metropolitan. Suatu wilayah metropolitan membutuhkan puluhan/ratusan km jaringan SAUM serta dilengkapi dengan jaringan layanan penunjang (bus besar, bus kecil, dst) hingga tercipta jaringan fasilitas dan layanan yang memungkinkan tercapainya tujuan pergerakan door-to-door. Dengan membangun hanya belasan km jaringan SAUM, jaringan ini tidak mungkin berfungsi sebagaimana yang diharapkan, jelas penumpang yang dilayani akan jauh di bawah proyeksi berdasar asumsi sudah terbangunnya semua jaringan SAUM dengan jaringan pendukungnya; kesalahan model pendanaan ini dilakukan di Kuala Lumpur dan Bangkok serta akan dilakukan di Jakarta. Salah satu kemungkinan model pendanaan adalah dengan menggabungkan pendanaan dan pembangunan SAUM dengan lahan sekitarnya. Kasus-kasus di berbagai negara menunjukkan meningkatnya nilai lahan sekitar jaringan SAUM, artinya pemerintah dapat menawarkan pada pihak swasta untuk membangun SAUM dengan koridor lahan sepanjang jaringan SAUM tersebut; pendapatan dari penjualan atau penyewaan kawasan perkantoran dan permukiman sepanjang koridor untuk mensubsidi pembangunan dan pengelolaan SAUM. Pemerintah dapat menetapkan pembangunan

210 Infrastruktur 207 tersebut sesuai dengan ketentuan RTRW koridor tersebut disertai dengan berbagai insentif, misalnya konsesi selama 100 tahun pada pihak swasta. Pemerintah dapat menyusun rencana jaringan SAUM beserta jaringan penunjangnya secara menyeluruh serta RTRW untuk koridor-koridor terkait (lihat model toward zero city di atas). Selanjutnya, pemerintah dapat menawarkan pada pihak swasta untuk melakukan peremajaan kota pada koridor-koridor tsb; dengan demikian dalam waktu singkat akan terbangun jaringan SAUM beserta jaringan penunjangnya. Penutup Transportasi adalah pergerakan orang/barang dari satu lokasi ke lokasi lain, artinya peningkatan layanan transportasi adalah peningkatan kelancaran (cepat, aman, nyaman) pergerakan orang/barang dibandingkan dengan kelancaran arus lalu lintas kendaraan (kosong). Transportasi bukan tujuan akhir, artinya fasilitas dan layanan transportasi adalah untuk memenuhi permintaan pergerakan orang/barang untuk tujuan tertentu (bekerja, sekolah, distribusi barang). Selama fasilitas/layanan door-to-door dari lokasi asal ke lokasi tujuan belum terwujud sebagai satu sistem yang lengkap, maka fasilitas dan layanan transportasi belum berfungsi secara baik (misalnya adanya jalan longsor 100 m dari keseluruhan 100 km jalan tol; bus way tanpa ditunjang feeder). Sebaliknya, fasilitas dan layanan transportasi mengecil perannya bila berbagai tujuan pergerakan orang/barang (untuk belanja, bekerja) telah terpenuhi dalam satu lokasi. Sistem Kegiatan, Sistem Jaringan, dan Sistem Pergerakan merupakan sistem yang saling terkait, artinya sistem Jaringan dan/atau Sistem Pergerakan dapat berperan secara pasif melayani permintaan Sistem Kegiatan (misal jalan diperlebar dan/atau diberlakukan jalan searah karena peningkatan intensitas guna lahan). Sistem Jaringan dan/atau Sistem Pergerakan juga dapat berperan secara aktif mengarahkan (positif/negatif) perkembangan Sistem Kegiatan (misal fasilitas dan layanan transportasi ditingkatkan ke wilayah barat-timur dan sebaliknya ditekan untuk wilayah utara-selatan. yakni agar kota berkembang ke arah barat-timur, ketimbang ke arah utara-selatan). Ketiga sistem di atas (Sistem Kegiatan, Sistem Jaringan, dan Sistem Pergerakan) juga dipengaruhi oleh sistem non-transportasi, yakni Sistem Kelembagaan, yang pada gilirannya kesemuanya juga dipengaruhi oleh Sistem Lingkungan Internal dan Eksternal (ekonomi, sosial, budaya, politik, geografi/fisik) dan Sistem Spatial (lokal, regional, nasional, internasional); artinya kemacetan adalah gejala (symptom) yang akar permasalahan dapat disebabkan oleh: Sistem Pergerakan (misal lampu lalu lintas mati, percampuran kendaraan cepat dengan lambat). Sistem Jaringan (misal jalan yang tiba-tiba mengecil bottle neck, jalan rusak). Sistem Kegiatan (misal kawasan permukiman berubah menjadi kawasan komersial). Sistem Kelembagaan (misal tidak adanya koordinasi perijinan/pembangunan antar sektor dan tidak adanya law enforcement ). Sistem Lingkungan Internal (misalnya longsor, Lumpur Sidoarjo ). Sistem Lingkungan Eksternal (misalnya adanya embargo ekonomi).

211 208 Metropolitan di Indonesia Sistem Spatial (misalnya tidak sinkronnya sistem-sistem di atas antardaerah otonom). Kombinasi dari berbagai sistem-sistem di atas. Peningkatan fasilitas dan layanan transportasi perkotaan (cepat, aman, nyaman, ekonomis, dsb) ditujukan untuk melayani kebutuhan masyarakat perkotaan, artinya untuk seluruh masyarakat, semua masyarakat (tua-muda, pria-perempuan, kaya-miskin, dsb) masyarakat generasi yang lalu (tanpa merusak lingkungan binaan bernilai sejarah), masyarakat generasi mendatang (tanpa merusak lingkungan alam titipan generasi mendatang), dan melibatkan partisipasi semua masyarakat (dari-oleh-untuk). Secara singkat, transportasi dan penataan ruang merupakan dua hal yang tidak terpisah, dalam arti peran pasif dan aktif. Sistem Jaringan dan/atau Sistem Pergerakan terkait dengan penataan ruang Sistem Kegiatan. Untuk keberhasilan penerapan beberapa prinsip dasar di atas serta keterpaduan transportasi dengan penataan ruang, dibutuhkan kemauan politik dan komitmen dari berbagai pemangku kepentingan untuk-dari-oleh). Demikian pula hal ini juga harus ditunjang dengan kesiapan Sistem Kelembagaannya (legal, organisasi, SDM, dana), dan akhirnya dibutuhkan kepemimpinan (leadership) yang memiliki visi serta keberanian untuk melakukan berbagai terobosan yang bersifat menyeluruh dan berjangka panjang untuk mewujudkan penataan ruang dan transportasi perkotaan yang berkelanjutan. INFRASTRUKTUR DASAR Pendahuluan Pesatnya urbanisasi kota-kota besar di kawasan Asia memberikan tekanan berarti bagi perkembangan di kota-kota di kawasan tersebut. Sebagaimana dicatat dari pantauan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2004, diperlukan waktu hanya kurang dari 50 tahun untuk kota-kota tersebut untuk menambah populasinya hingga 50 persen dibandingkan dengan kota-kota besar di Eropa yang memerlukan waktu hingga 80 tahun. Kota-kota megapolitan di Indonesia tercatat memiliki tingkat urbanisasi yang terpesat jika dibandingkan dengan kota-kota besar Asia lainnya, seperti Malaysia, Jepang, dan Thailand. Diperlukan waktu hanya 30 tahun bagi kota besar di Indonesia untuk menambah populasinya hingga 50 persen (GAMBAR 6-2). Peningkatan jumlah populasi ini memberikan tantangan bagi pemerintah dan perencana perkotaan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat perkotaan tersebut. Upaya merespons kebutuhan ini semakin hari semakin kompleks dan biaya untuk membangunnya juga semakin mahal. Pola dan strategi pembangunan perlu terus disempurnakan guna menopang tatanan hidup masyarakat perkotaan yang cepat berubah. Berbagai prasarana dan sarana baru harus dibangun agar kualitas hidup tidak semakin menurun, sementara sisi persediaan malah semakin terbatas. Jika hal ini diabaikan, maka akan timbul masalah besar di masa datang bagi kota itu sendiri, menyangkut kualitas lingkungan hidup, kehidupan ekonomi, aktivitas sosial, dan lebih jauh lagi terhadap nilai maupun norma norma kemanusiaan.

212 Infrastruktur 209 urban population (% of total) Indonesia Korea Malaysia Japan Philippines US Thailand Europe Time (year) GAMBAR 6-2 Pertumbuhan Populasi Megapolitan di Kawasan Asia Tenggara Sumber: United Nations (2004) Kesenjangan pemenuhan kebutuhan infrastruktur hampir terjadi di seluruh sektor. Di seluruh kawasan tidak hanya di Indonesia namun juga di berbagai negara di Asia Timur. Dampak kesenjangan ini cenderung memberikan pengaruh paling besar terhadap kalangan miskin perkotaan yang tinggal di wilayah pinggiran (Foster, Vivian, and araujo Caridad. 2004). Tentunya kenyataan ini menjadi hal yang miris ketika kota diharapkan menjadi penarik pedati kemajuan ekonomi, namun di sisi lain malah tumbuh sebagai kawasan yang semakin kumuh. Dalam kaitan dengan upaya pencapaian Millenium Development Goals (MDG), infrastruktur perkotaan berperan, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kehidupan masyarakat perkotaan tersebut. Secara langsung, penyediaan jasa pelayanan infrastruktur akan dapat memastikan kelestarian lingkungan hidup tetap terjaga melalui peningkatan layanan air minum dan sanitasi kepada masyarakat kota serta memberikan penghematan energi sekaligus mendorong pemanfaatan energi alternatif (Yepes 2003). Secara tidak langsung, infrastruktur melalui rangkaian aktivitas ekonomi dan sosial yang dibangkitkannya seperti prasarana transportasi akan medorong perluasan akses bagi setiap masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan peningkatan produktivitasnya. Memahami lebih jauh mengenai dampak penyediaan infrastruktur terhadap pencapaian target MDG diuraikan dalam tabel 1. Bagi Indonesia, MDG telah menjadi satu acuan penting dalam RPJM Nasional dan sekaligus juga menjadi dasar bagi perumusan Strategi Penanggulangan Kemiskinan di tingkat nasional dan daerah (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2005).

213 210 Metropolitan di Indonesia TABEL 6-1 Potensi dampak positif dari infrastruktur perkotaan terhadap masyarakat miskin Sektor Dampak langsung bagi masyarakat miskin Dampak tidak langsung bagi masyarakat miskin Listrik Utamanya untuk penerangan. TV atau radio Jalan Sarana Angkutan Umum Masal Teknologi Informasi (ICT) Penghangat, memasak, dan perangkat rumah tangga lainnya. Akses untuk ke tempat kerja dan pasar Akses ke pusat pelayanan kesehatan dan pendidikan Akses menuju tempat kerja Akses komunikasi menjadi lebih baik. Better communication access. memudahkan proses pertukaran informasi. membuka akses terhadap sumber pengetahuan dan meningkatkan ikatan antar komunitas secara lebih luas Meningkatkan kesehatan. Menguruangi biaya energi untuk Perusahaan; Mendorong penciptaan lapangan kerja untuk berbagai aktivitas Meningkatkan kesehatan dan jasa layanan Meningkatkan akses teknologi informasi (ICT) Mengurangi biaya transportasi dan meningkatkan akses kepada perusahaan atau penyedia jasa dan menurunkan biaya pelaynan bagi masyarakat terpencil Penciptaan lapangan kerja dari pasar tenaga kerja yang efisien Penciptaan lapangan kerja melalui peningkatan pengetahuan tentang pasar, mengurangi biaya Pengawasan, akses lebih luas terhadap sumber pengetahuan Air Minum Terbatas Perpipaan menghemat waktu dan biaya Sanitasi Meningkatkan kesehatan Meningkatkan kesehatan (contoh: mengurangi polusi dari rumah tangga sejahtera dan lainnya) Sumber: Jones (2004a). diolah Kondisi Infrastruktur Perkotaan di Indonesia Jika dibandingkan dengan negeri-negeri di kawasan Asia Timur, ketersediaan infrastruktur fisik di wilayah perkotaan di Indonesia masih berada di bawah kualitas ratarata ketersediaan infrastruktur bagi kawasan tersebut. Hal ini akan jauh lebih mencolok jika dibandingkan dengan negara-negara jiran, seperti Malaysia maupun Singapura, maka kualitas infrastruktur Indonesia jauh tertinggal (GAMBAR 6-3 dan TABEL 6-1). Menurut survei bisnis terhadap kalangan investor internasional, Indonesia hanya menduduki peringkat ke-69 dari 104 negara dalam hal kualitas infrastrukturnya. Lebih jauh lagi jika diukur dari berbagai indikator infrastruktur, Indonesia menjadi semakin kurang kompetitif relatif terhadap 11 negara tetangga di Asia dan Australia (Bank Dunia 2004). Hal ini semakin rumit ketika pada pertengahan tahun 2006 ini, peringkat Indonesia dalam melakukan usaha juga semakin terpuruk dan hanya menempati urutan ke-135 dari 175 negara yang disurvei (IFC. 2006).

214 Infrastruktur 211 M alaysia Thailand China Indo nesia Vietnam Ove r all infr as tr u ctur e qu ality M alaysia Thailand China Indo nesia Vietnam T e le p h on e s Ele ctricity s upply M alaysia Thailand China Indo nesia Vietnam P hilippines P hilippines P hilippines Singapo re Singapo re Singapo re Ho ng Ko ng Ho ng Ko ng Hong Kong Ko rea Ko rea Ko rea Taiwan Taiwan Taiwan Japan Japan Japan Railr o ad s Por ts Air Transport M alaysia M alaysia M alaysia Thailand Thailand Thailand China China China Indo nesia Indo nesia Indo nesia Vietnam Vietnam Vietnam P hilippines P hilippines P hilippines Singapo re Singapo re Singapo re Ho ng Ko ng Ho ng Ko ng Hong Kong Ko rea Ko rea Ko rea Taiwan Taiwan Taiwan Japan Japan Japan Catatan: o Ketersediaan infrastruktur untuk negara berkembang di Asia Timur ditunjukkan pada grafik biru. o Ketersediaan infrastruktur pada negara maju di Asia Timur ditunjukkan pada grafik abu-abu. o Garis merah adalah nilai rata-rata ketersediaan infrastruktur negara yang disurvei. GAMBAR 6-3 Peringkat Ketersediaan Infrastruktur dan Tingkat Daya Saing di Asia Timur Sumber: World Economic Forum 2003 Temuan lain dari catatan asosiasi pengusaha nasional KADIN mengungkapkan bahwa infrastruktur merupakan salah satu permasalahan utama yang saat ini dihadapi oleh dunia bisnis dalam melakukan usahanya (KADIN 2004). Selain itu, sejumlah perusahaan di Indonesia yang disurvei oleh Bank Dunia menyatakan bahwa biaya biaya yang terkait dengan suap atau korupsi, ketidakpastian hukum dan ketidakhandalan infrastruktur telah menambah biaya jual (cost of sales) hingga 20 persen dari biaya produksi (Bank Dunia. 2004) (GAMBAR 6-4).

215 212 Metropolitan di Indonesia TABEL 6-2 Akses Terhadap Air Minum, Listrik, dan Telekomunikasi di Beberapa Negara Asia Akses Air Minum Akses Sanitasi Akses Listrik Akses Telepon * Akses Internet ** Malaysia Thailand Filipina China Indonesia Vietnam Kamboja Lao PDR Mongolia Samoa Tonga Timor Leste Myanmar Negara berpenghasilan rendah dan menengah Catatan : o Warna abu menunjukkan nilai berada di atas nilai rata-rata negara berpenghasilan rendah dan menengah o * jumlah pelanggan telepon per 100 penduduk. o **jumlah pengguna per 100 penduduk Sumber: IEA (2003). Bank Dunia - World Development Indicators. ITU Telecommunications Indicators Database % Ekonomi Biaya Tinggi Tambahan Nilai Jual Sebagai Persentasi Dari Biaya Produksi Kesulitan Menerapkan kontrak Peraturan Suap Kriminalitas Infrastruktur Yang Tidak Mendukung 0 GAMBAR 6-4 Tambahan biaya jual Sebagai persentase dari biaya produksi Sumber : PICS. Bank Dunia 2004

216 Infrastruktur 213 Air Bersih dan Sanitasi Cakupan pelayanan air minum perpipaan di perkotaan hanya mencapai 39 persen, sedangkan cakupan pelayanan sanitasi di perkotaan baru mencapai 3 persen. Secara umum penyelenggaraan air bersih di Indonesia oleh PDAM dirasakan masih kurang optimal. baik ditinjau dari aspek manajemen, teknis, maupun institutional dan legal. Penyelenggaraan pelayanan pada sektor ini masih membutuhkan dana subsidi yang besar dilihat dari selisih biaya operasi rata-rata dan harga jual air rata-rata. Buruknya aksesibilitas untuk mendapatkan air bersih dan sanitasi merupakan salah satu hal yang mempengaruhi kemiskinan. Oleh karena itu, dibutuhkan pembangunan infrastruktur di bidang air bersih dan sanitasi. Adanya pembangunan infrastruktur tersebut dapat memberikan dampak, baik langsung maupun tidak langsung, bagi penanggulangan kemiskinan. Secara langsung pembangunan infrastruktur air bersih dan sanitasi dapat meningkatkan kualitas kesehatan. Sebuah riset dari Bank Dunia menyatakan bahwa masyarakat dengan akses air minum akan mendapatkan harga pelayanan yang jauh lebih murah dibandingkan dengan masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap jaringan tersebut. Di Indonesia, masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap jaringan pipa distribusi PDAM harus membayar 33 hingga 122 kali dari biaya per m3 air minum yang dikenakan kepada pelanggan PDAM (World Bank 2004a). Kondisi infrastruktur air minum di Indonesia berdasarkan hasil survei JBIC (Tabel 3) digambarkan masih dalam kondisi yang buruk, yakni sekitar 51 persen. Bahkan pada beberapa kota, seperti Makasar dan Pontianak, kondisi penyediaan air minum terhitung sangat buruk karena ketiadaan jaringan serta kondisi infrastruktur yang tidak terawat baik. TABEL 6-3 Kondisi Infrastruktur Air Minum di Indonesia Sangat Buruk Sangat Baik Tidak Ada Palembang 0.0% 20.0% 20.0% 26.7% 13.3% 20.0% 0.0% Bandung 0.0% 3.0% 18.0% 33.0% 24.0% 13.0% 9.0% Semarang 0.0% 6.7% 23.3% 26.7% 20.0% 15.0% 8.3% Malang 0.0% 0.0% 0.0% 28.6% 14.3% 42.9% 14.3% Pontianak 0.0% 7.7% 61.5% 7.7% 23.1% 0.0% 0.0% Makasar 2.5% 0.0% 5.0% 17.5% 45.0% 25.0% 5.0% Total 0.4% 4.7% 19.1% 26.8% 25.5% 16.2% 7.2% Sumber: Survei JBIC 2002 Persampahan Semenjak krisis ekonomi pada tahun 1997 dan juga dengan dihapuskannya program Adipura, maka banyak kota yang tidak menaruh perhatian yang cukup pada pengelolaan sampah secara proporsional. Anggaran yang dialokasikan oleh Pemerintah Daerah untuk pengelolaan sampah rata-rata kurang dari 3 persen APBD-nya. Sementara itu, masyarakat baru mengalokasikan sekitar 0,6 persen dari penghasilannya untuk membayar retribusi persampahan.

217 214 Metropolitan di Indonesia TABEL 6-4 Kinerja Pelayanan Persampahan di Indonesia 2002 Item Kinerja Tingkat Pelayanan 41% Jangka waktu pengambilan 2 4 hari Pengomposan 5% Rasio jumlah petugas dengan penduduk yang dilayani : 1000 Rasio retribusi dengan biaya pengeluaran 23% Kerja sama dengan swasta 15% Sumber : Bappenas Berdasarkan data-data BPS tahun 2000, dari 384 kota yang menimbulkan sampah sebesar ton setiap hari, penanganan sampah yang diangkut ke dan dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) adalah sebesar 4,2 persen. yang dibakar sebesar 37,6 persen. yang dibuang ke sungai 4,9 persen, dan tidak tertangani sebesar 53,3 persen (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2002). Permasalahan Pembangunan Infrastruktur Perkotaan Rendahnya kualitas pelayanan infrstruktur tersebut secara umum sangat terkait erat oleh karena tidak adanya unsur memperbaiki diri dan unsur perlindungan kepada pengguna, penyedia jasa, pemerintah, maupun kepada publik atas ketersediaan jasa infrastruktur tersebut. Upaya memperbaiki diri akan timbul bilamana terjadi unsur kompetisi yang sehat di antara penyedia jasa. Sementara unsur perlindungan akan terjadi bila terdapat fasilitas bagi suatu badan pengatur sebagai penjaga pelaksanaan pelayanan oleh penyedia jasa pemegang monopoli alamiah. Juga harus diakui bahwa saat ini pemerintah ataupun penyedia jasa cenderung kurang mampu melakukan pemeliharaan terhadap infrastruktur yang telah dibangun. Akibatnya, tingkat pelayanan infrastruktur cenderung semakin menurun dari waktu ke waktu. Dan apabila ditelaah, hal ini disebabkan antara lain oleh faktor perencanaan yang kurang akurat dan lebih berorientasi pada pembangunan proyek baru ketimbang melakukan pemeliharaan. Sementara itu, pada saat pelaksanaan proyek infrastruktur seringkali diwarnai dengan faktor-faktor KKN. Permasalahan tarif dapat dianggap layaknya dua sisi mata uang. Dari sisi penyedia jasa, besaran tarif awal dan setiap penyesuaiannya dianggap tidak sesuai dengan pengeluaran (Capital Expenditures atau CAPEX), pemeliharaan dan operasi (Operational Expenditures atau OPEX), serta pengembalian (Internal Rate of Return atau IRR) yang diharapkan. Penyedia jasa menganggap bahwa cakupan pelayanan sangat erat kaitannya dengan besar tarif yang ditetapkan. Minimnya penerimaan dari tarif berdampak kepada penyedia jasa tidak dapat memperluas cakupan pelayanan, dan bahkan menjaga tingkat kualitas dan kuantitas pelayanannya. Permasalahan tarif dapat diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain: a. Ketiadaan perhitungan yang akurat mengenai CAPEX, OPEX, dan IRR; b. Kebijakan pemerintah yang belum jelas dalam menetapkan dukungan atau subsidi terhadap pengeluaran penyedia jasa terhadap suatu pelayanan infrastruktur;

218 Infrastruktur 215 c. Terdapat kesenjangan informasi antara konsumen dan penyedia jasa mengenai tingkat pelayanan yang diharapkan disandingkan dengan seluruh pengeluaran penyedia jasa untuk pelayanan dan subsidi yang diberikan pemerintah; d. Penyedia jasa belum melaksanakan manajemen secara efisien, sehingga masyarakat harus menanggungnya melalui besaran tarif. Mekanisme penetapan tarif awal dan penyesuaiannya yang ditetapkan pemerintah belum memberikan insentif penyesuaian tarif sesuai kebutuhan penyedia jasa. Keputusan mengenai penyesuaian tarif yang ditetapkan oleh pemerintah/pemerintah daerah dan/atau DPR/DPRD sering dipengaruhi oleh faktor politis. Dalam sektor air minum, permasalahan juga timbul akibat kebocoran pipa air terjadi cukup tingi dan mencapai 39,85 persen dari jumlah air bersih yang diproduksi. Sumber kebocoran disebabkan oleh adanya kebocoran teknis dan administrasi. Berdasarkan temuan di lapangan didapatkan bahwa tingkat kebocoran administrasi lebih tinggi dari kebocoran teknis. Di sisi lain, fasilitas instalasi pengolahan dan jaringan distribusi dan tata cara pengolahan yang belum memenuhi standar kesehatan dan standar teknis ( safe drinking water ) juga telah berkontribusi terhadap buruknya pelayanan air minum di Indonesia. Inefektivitas pelayanan air minum terjadi karena cakupan pelayanan belum mempertimbangkan skala ekonomis dan jumlah penduduk. Dalam beberapa hal, PDAM- PDAM baru terbentuk hanya sebagai akibat dari euphoria otonomi daerah untuk melakukan pengelolaannya secara tersendiri. Akibatnya, jumlah sambungan menjadi semakin rendah (85 persen PDAM memiliki jumlah sambungan < unit) dan ketersediaan air baku dalam wilayah administrasinya menjadi terbatas dalam memenuhi. Hal ini semakin rumit jika keterlibatan pemerintah daerah terlalu tinggi dalam pengelolaan PDAM yang menyebabkan timbulnya agency problem (KKPPI. 2003) Menurunnya kualitas lingkungan juga turut menyumbang akan turunnya kuantitas dan kualitas air baku sehingga mengakibatkan semakin sulit dan mahalnya dalam melakukan pengolahan air baku. Hal ini berdampak akan jumlah pasokan serta kualitas dari penyediaan minum yang semakin terbatas dan sangat fluktuatif dari waktu ke waktu. Kemampuan PDAM baik secara finansial, teknis, dan operasional semakin anjlok sebagai akibat terjadinya krisis ekonomi pada tahun Hanya 9 persen dari PDAM- PDAM di seluruh Indonesia dinyatakan sehat. Sementara 31 persen lainnya tidak dapat memperoleh keuntungan dengan keterbatasan kemampuan berkembang, dan 28 persen lainnya dalam kondisi kritis dengan pendapatan yang tidak mampu menutup semua biaya. Tingginya hutang PDAM yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri sebagai konsekuensi dari rendahnya kemampuan finansial PDAM dalam meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat, menyebabkan kesulitan yang cukup berarti bagi PDAM untuk berkembang lebih lanjut (KKPPI. 2003) Pertambahan jumlah sampah di perkotaan di Indonesia selain diakibatkan oleh pertambahan penduduk dan arus urbanisasi yang pesat, juga diakibatkan oleh karena kapasitas pelayanan yang ada sama sekali tidak memadai. Kendaraan pengangkut yang jumlah maupun kondisinya kurang memadai. Sistem pengelolaan TPA yang kurang tepat dan tidak ramah lingkungan, dan belum diterapkannya pendekatan reduce, reuse, dan recycle (3R) semakin memperumit masalah dalam pengelolaan persampahan ini. Secara

219 216 Metropolitan di Indonesia jumlah cakupan, pelayanan persampahan di kota-kota besar di Indonesia masih dalam ambang batas yang sangat rendah, yaitu hanya baru mencapai 32,1 persen dari penduduk kota (Ditjen TPTP. Dep. Kimpraswil. 2001) Minimnya upaya untuk melakukan restrukturisasi dalam proses pengelolaan ditambah rendahnya kompetisi serta adanya tekanan politik membuat proses pelayanan infrastruktur hanya mampu memberikan dampak singkat yang tidak terjamin keberlanjutannya. Pembiayaan Infrastruktur Kemampuan fiskal yang semakin terbatas dalam beberapa tahun ini telah menciptakan backlog terhadap ketersediaan infrastruktur perkotaan. Akibatnya, upaya mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengentaskan kemiskinan menjadi semakin terkendala. Secara bertahap, selama 10 hingga 15 tahun penyediaan infrastruktur perkotaan diserahkan pengelolaannya kepada BUMN ataupun BUMD dan kepada perusahan swasta dengan tingkat efisiensi yang masih rendah. Sejak krisis moneter, investasi sektor publik untuk infrastruktur di Indonesia mengalami penurunan sangat dramatis yang dalam ukuran persentase terhadap PDB berada hingga kurang dari 2 persen (di bawah angka investasi selama periode sekitar 5 persen) (GAMBAR 6-5). Kondisi ini menempatkan persentase investasi infrastruktur Indonesia berada setaraf dengan Kamboja dan Filipina, serta masih jauh di bawah Thailand dan Vietnam dengan rasio investasi bagi infrastruktur per GDP adalah di atas 7 persen per tahun (TABEL 6-5). Diperlukan lebih dari Rp 202 triliun per tahun bagi Indonesia untuk dapat membangun dan memelihara infrastruktur agar dapat mencapai tingkat pertumbuhan 6-7 persen setiap tahun selama 5 tahun ke depan. Dari total kebutuhan tersebut, rata-rata alokasi anggaran negara hanya mampu meliputi sekitar Rp 39 Triliun. Hal ini berarti menyisakan lebih dari Rp 163 triliun kebutuhan investasi yang masih perlu dicarikan sumber pendanaannya, baik yang diharapkan berasal dari keikutsertaan pihak swasta maupun dukungan kredit dari kreditur multilateral/bilateral serta sumber pembiayaan lainnya (GAMBAR 6-6). Pembiayaan Infrastruktur Indonesia (% dari PDB) / / / / / / GAMBAR 6-5 Pembiayaan Infrastruktur di Indonesia (sebagai % dari PDB) Sumber : Bank Dunia. 2004

220 Infrastruktur 217 TABEL 6-5 Investasi Infrastruktur sebagai persentase dari GDP 0-4% 4-7% Lebih dari 7% Kamboja Lao PDR China Indonesia Mongolia Thailand Filipina Vietnam Sumber: Triple Joint Study WB. ADB and JBIC Rata-Rata Kebutuhan Pembiayaan Tahunan ( ) Rp.202,5 Triliun (US$ 22 Billion) Rata-Rata Kebutuhan Pembiayaan Tahunan ( ) : Rp.202,5 Triliun (US$ 22 Billion) Funding Gap: Rata-rata kebutuhan dana bagi pembiayaan infrastruktur pertahun yang mungkin didapat dari keikutsertaan swasta dan dukungan lembaga pembiayaan multilateral / bilateral senilai : Rp. 163,5 Triliun (US$ Billion) Rata-rata Alokasi Anggaran Negara bagi pembiayaan Infrastruktur setiap tahun ( ) berkisar : Rp. 39 Triliun (US$ 4.2 Billion) Kebutuhan Ungkitan Kebutuhan Ungkitan (Leveraging Needs) (Leveraging Needs) 163,5 / 39 = 163,5 / 39 = setiap Rp.1 dari Alokasi Anggaran Negara Bagi Infrastruktur setiap Rp.1 dari Alokasi Anggaran Negara Bagi Infrastruktur diupayakan dapat mengungkit dana hingga diupayakan dapat mengungkit dana hingga Rp. 4,2 dari swasta maupun lembaga multilateral/bilateral Rp. 4,2 dari swasta maupun lembaga multilateral/bilateral GAMBAR 6-6 Kebutuhan Pembiayaan Infrastruktur Per Tahun ( ) Sumber : Data Bank Dunia diolah oleh Kantor Menko Perekonomian Jika melihat kebutuhan pembiayaan di atas, bila direnungkan maka siapa sebenarnya yang akan membiayai pembangunan infrastruktur ini? Pada dasarnya hanya terdapat dua sumber yang akan membiayai pembangunan infrastruktur ini. Pertama, pengguna jasa layanan infrastruktur melalui pembayaran tarif (user charges) dan juga pembayar pajak. Para pemodal (financiers) dalam pembiayaan infrastruktur pada dasarnya hanya memerankan peran antara dalam pembiayaan ini karena kontribusi yang diberikannya akan dibayar kembali oleh para pengguna jasa maupun oleh para pembayar pajak (GAMBAR 6-7).

221 218 Metropolitan di Indonesia FINANCIERS STATE BUDGET PROVIDERS INFRASTRUCTURE TAX PAYERS growth USERS GAMBAR 6-7 Pembiayaan Infrastruktur Sumber : Triple Joint Study WB. ADB and JBIC Ketika pengguna membayar jasa layanan infrastruktur maka yang menjadi isu adalah tentang imbal jasa yang diberikan apakah dapat menutupi besarnya biaya atas jasa pelayanan. Biasanya masyarakat merasa telah mengeluarkan uang terlalu banyak untuk membayar suatu pelayanan. Masyarakat berkeberatan akan kenyataan kenaikan tarif secara terus-menerus. Sementara pelayanan yang diterima belum juga mencapai tingkat yang diharapkan. Di sisi lain, kemampuan penyedia jasa dalam menutupi biaya sangat beragam pada setiap sektor. Pada sektor air minum di Indonesia, hampir seluruh PDAM beroperasi dengan tingkat tarif yang tidak mampu menutupi biaya operasional maupun pengembalian modalnya. Hal ini merupakan cerminan atas berbagai permasalahan sebagaimana diuraikan sebelumnya. Walaupun ada konsensus bahwa dalam penggunaan layanan air minum harus dilakukan dengan mekanisme subsidi, namum dalam kenyataannya amatlah sulit dilaksanakan mengingat diperlukan keseimbangan antara besaran tarif yang harus dikenakan dengan besaran subsidi yang harus ditanggung pembayar pajak. Hal ini berarti bahwa tantangan nyata yang juga dihadapi dalam membuat pembiayaan infrastruktur perkotaan ini dapat berkesinambungan adalah adanya kepastian bahwa subsidi diberikan mengena kepada masyarakat yang memang membutuhkan. Sementara tingkat tarif itu sendiri masih harus terjangkau dan juga memberikan pengembalian atas biaya dan modal (cost recovery). Dari pengamatan Bank Dunia, baru sedikit kota di Asia yang mampu mencapai tingkat tarif yang dapat mencerminkan tingkat pemulihan biaya tersebut (GAMBAR 6-8).

222 Infrastruktur England and Wales Phnom Penh Chengdu Jakarta Ulaanbaatar Shanghai Vientiane Ho Chi Minh Manila Kuala Lumpur Hong Kong GAMBAR 6-8 Rasio Kerja Perusahaan Air Minum Perpipaan di Perkotaan Tertentu (biaya O&P per m 3 / tarif per m 3 ) Sumber: ADB.2004 Bagi para pembayar pajak, subsidi yang diberikan bagi pembangunan / pelayanan infrastruktur menjadi perhatian, khususnya mengenai akan ketepatan sasaran. Di samping itu, pajak yang mereka berikan perlu dipertanggungjawabkan oleh Pemerintah khususnya terhadap besaran imbal balik investasi publik. Imbal balik investasi tertentu untuk optimum dengan diselenggarakan secara transparan dengan tentunya mempertimbangkan keseimbangan antara investasi maupun pemeliharaan lanjutnya. Peran lembaga-lembaga pembiayaan multilateral/bilateral dalam pembiayaan infrastruktur cukup berpengaruh dalam menentukan pola dan strategi penyediaan infrastruktur di kawasan-kawasan megapolitan di Indonesia pada saat-saat lalu. Pinjaman maupun hibah yang diberikan pada masa lalu lebih mendorong investasi sektor publik dalam berbagai aspek pelayanan infrastruktur perkotaan. Namun saat ini, peranan pembiayaan lembaga-lembaga tersebut tersebut lebih difokuskan kepada pembiayaanpembiayaan sektor infrastruktur yang lebih ditujukan untuk pengentasan kemiskinan yang pada umumnya merupakan proyek-proyek yang kurang diminati oleh sektor swasta. Tantangan dalam mengoptimalkan peranan lembaga lembaga ini terletak pada fokus penciptaan inovasi agar terjadi efisiensi serta perlindungan kepentingan lingkungan dan sosial. Lebih jauh lagi upaya menempatkan peran lembaga-lembaga pembiayaan ini juga harus diletakkan dalam kaitan upaya pemerintah menarik peran sektor swasta termasuk upaya melakukan pengelolaan risiko, pengembangan kapasitas kelembagaan, dan dalam upaya mensinergikan pembangunan infrastruktur. Sektor swasta dapat berperan penting dalam meningkatkan dan mengefektifkan investasi di bidang infra`struktur. Di Asia timur sendiri sektor swasta diperkirakan telah menginvestasikan kurang lebih $190 billion untuk penyediaan infrastruktur di kawasan tersebut semenjak 1990 (gambar 8). Porsi ini masih merupakan minoritas jika dibandingkan dengan total kebutuhan akan investasi di infrastruktur saat itu. Semenjak terjadinya krisis ekonomi di Asia, keterlibatan sektor swasta ini cenderung semakin menurun secara signifikan (walaupun sinyalemen untuk kebangkitan keikutsertaan tersebut saat ini sudah nampak). Sebuah survei yang dilakukan dalam studi bersama

223 220 Metropolitan di Indonesia antara 3 lembaga pembiayaan multilateral/bilateral memperlihatkan sentimen positif pelaku-pelaku sektor swasta terhadap keikutsertaan mereka kembali kedalam penyediaan infrastruktur. Walaupun hal ini beragam tergantung dari kondisi negara yang bersangkutan menyangkut kerangka kebijakan serta persepsi mereka atas risiko (gambar 9). Bagi mereka, kunci utama dalam hal ini adalah adanya proses alokasi risiko dan penghargaan (risk & reward) yang wajar bagi kedua belah pihak (pemerintah maupun swasta). Sementara itu, masalah kepemilikan (ownership) dan pembiayaan (financing) menjadi masalah yang bersifat sekunder bagi mereka (Joint Study WB.ADB.JBIC. 2005) $ billion $11.5 billion private sector investment in EAP infrastructure EAP Total GAMBAR 6-9 Investasi Sektor Swasta Dalam Infrastruktur di Kawasan Asia Timur (US$ billion) Sumber : World Bank PPI database. Akan tetapi, perlu juga dipahami bahwa pada kenyataannya, kemampuan kapasitas dari sektor swasta pun terbatas dalam memenuhi kebutuhan atas penyediaan infrastruktur. Dari sebuah konferensi yang diselenggarakan Bank Dunia pada bulan Mei 2006, telah ditekankan pentingnya upaya menyelaraskan upaya pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh sektor swasta dengan sektor publik. Berdasarkan pengamatan Bank Dunia 2006, sektor swasta hanya mampu membiayai pembangunan infrastruktur tidak lebih dari persen dari total investasi yang dibutuhkan saat ini dan cenderung menurun setiap waktunya (Estache. 2006). Sementara itu, dari pengalaman berbagai negara dalam melibatkan sektor swasta, perlu juga adanya keterlibatan yang optimal dari sektor publik sehingga sektor swasta dapat menyediakan infrastruktur secara efektif (Wolfowitz, 2006). Upaya-upaya menyusun strategi penyediaan infrastruktur melalui peranan dominan pihak swasta perlu juga dialokasikan untuk mendorong pengelola infrastruktur baik sektor publik maupun swasta dalam mengelola perusahaan infrastruktur menjadi lebih baik (Wolfowitz, 2006).

224 Infrastruktur % 67% firm expectations on future investment in the region is strongly positive 24% 8% 10% 4% increase sustain decrease Global firms East Asian firms Attitudes towards infrastructure investment levels GAMBAR 6-10 Persepsi Investor Terhadap Investasi Infrastruktur di Asia Timur Sumber : East Asia and Pacific PrivateInvestors in Infrastructure Perception Survey (2004) Keikutsertaan Swasta dalam Penyediaan Infrastruktur Perkotaan di Indonesia Berbagai inisiatif pembaharuan atau reformasi telah diagendakan dalam RPJM, termasuk memberikan peluang keikutsertaan swasta dalam penyediaan infrastruktur. Beragam kepentingan dimungkinkan dalam melibatkan sektor swasta kedalam penyediaan infrastruktur antara lain (Susantono.2006): a. Memenuhi kebutuhan dan harapan konsumen yang terus meningkat; b. Meningkatkan kualitas pelayanan; c. Menarik investasi untuk mengisi/menutup funding gaps; d. Meningkatkan efisiensi dalam penyediaan pelayanan, antara lain mengurangi kebocoran, penghematan konsumsi energi, dan sebagainya; e. Memperkenalkan inovasi teknologi; f. Memperbesar jangkauan sepanjang waktu; g. Melaksanakan proyek secara tepat-waktu; dan memperkuat citra otoritas publik dan menjadikan negara menjadi lebih kompetitif dalam pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, sejauh ini efektivitas keikutsertaan swasta di Indonesia masih terkendala oleh berbagai faktor, antara lain kerangka hukum dan pengaturan yang tidak

225 222 Metropolitan di Indonesia memadai, hambatan kelembagaan, penyiapan konsesi dan kontrak kerja sama yang tidak terstruktur dengan baik (tidak memenuhi standar internasional), biaya transaksi yang tinggi dan tidak memiliki rekam jejak (track records) yang memuaskan dalam kerja sama pemerintah dan swasta dalam pembangunan infrastruktur (khususnya dalam hal penyelesaian sengketa/ dispute resolution). Akibatnya, peran serta swasta dalam pembiayaan infrastruktur di Indonesia menjadi semakin menurun (gambar 10). Meskipun demikian, alternatif sumber-sumber pendanaan dengan melibatkan peran aktif swasta baik di dalam negeri maupun luar negeri harus terus didorong di masa mendatang yang dibarengi dengan perlindungan konsumen dan kepentingan publik. Untuk itu maka sangat diperlukan suatu kerangka pengaturan yang dapat menimbulkan situasi yang kondusif bagi penanaman modal di bidang penyelenggaraan infrastruktur. 6% Private and Public Contribution to Infrastructure as a % of GDP (Current 1993) 5% 4% 3% Central National PPI 2% 1% 0% GAMBAR 6-11 Kontribusi Swasta dalam Pembiayaan Infrastruktur di Indonesia Sumber : World Bank 2003 Tanpa mengesampingkan pengalaman-pengalaman internasional dalam melibatkan sektor swasta ini bagi Indonesia maka beberapa langkah strategis perlu ditempuh sehingga pelaksanaan KPS ini dapat terlaksana dengan baik. Dari international best practice, keberhasilan KPS dalam penyediaan infrastruktur akan tergantung kepada ketersediaan kerangka kerja keikutsertaan swasta (PSP framework) yang kredibel (termasuk kerangka kebijakan, kerangka pengaturan/regulasi, dan kerangka kelembagaan). Di sisi lain, komitmen politik yang kuat atas proyek infrastruktur yang akan di-kps-kan akan mendorong pelaksanaan KPS ke arah yang lebih kuat. Dukungan kerangka administratif serta kesiapan pemenuhan syarat bagi KPS perlu dipenuhi agar pelaksanaan KPS tersebut dapat berjalan dengan norma-norma yang wajar dan dapat dipertanggungjawabkan. Pengembangan proyek (project development) yang dipersiapkan secara matang dan seksama adalah kunci dari keberhasilan suatu pelaksanaan proyek KPS. Ketiadaan pengembangan proyek yang dipersiapkan secara cermat (rigorous) merupakan missing

226 Infrastruktur 223 link terselenggaranya proyek KPS secara berkelanjutan. Untuk itu, perlu bagi setiap pelaksana untuk dapat menyediakan informasi yang dibutuhkan untuk pengambilan keputusan yang tepat serta mengurangi resiko dan ketidakpastian. Dari sisi pengembangan proyek, maka derajat/tingkat pengembangan proyek akan tergantung pada kekuatan hakiki (intrinsic) dan kelangsungan hidup (viability) proyek itu sendiri. Dalam pengembangan proyek ini, sejumlah kajian harus dipenuhi ditahap awal yang meliputi aspek teknis, lingkungan, sosial, finansial, dan legal termasuk didalamnya adalah identifikasi dan mitigasi risiko. Mengingat proyek ini merupakan proyek yang akan dikerjasamakan, maka proyek tersebut perlu memenuhi kriteria dan kaidah-kaidah kelayakan komersial baik bagi sponsor proyek maupun bagi para calon pembiaya. Bagi calon pembiaya, kelayakan proyek itu untuk memberikan tingkat pengembalian modal dan hutang menjadi hal yang paling penting untuk dinilai. Oleh karenanya, selain kelayakan komersial, maka kelayakan pembiayaan (project bankability) perlu menjadi acuan dalam pengembangan proyek ini. Menimbang pengalaman-pengalaman sebelumnya serta melihat international best practises dalam melibatkan sektor swasta maka bagi Indonesia upaya untuk mengembangkan usaha di bidang penyediaan infrastruktur sebagai usaha komersial perlu dilakukan melalui format kemitraan pemerintah dan swasta (KPS) atau public-private partnership (PPP) yang bercirikan hal-hal sebagai berikut: a. Dukungan finansial dari Pemerintah seminimal mungkin; b. Proyek dipimpin oleh mitra swasta. Pemerintah menjalankan peran pendukung dan enabling; c. Kepemilikan dan penguasaan sarana dan prasarana dikembalikan kepada Pemerintah setelah jangka waktu konsesi; d. Jasa layanan diperkenankan untuk dikenakan tarif; namun tarif ditetapkan secara kompetitif dan berdasarkan peraturan pemerintah; e. Pembiayaan proyek disusun dan direncanakan dari sumber-sumber komersial; dan f. Komitmen pemerintah dibatasi pada kewajibannya terhadap dukungan kontraktual, dukungan/keikutsertaan ekuitas (Penyertaan Modal Pemerintah) bilamana diperlukan. Selanjutnya, prinsip-prinsip yang dianut oleh Indonesia dalam menyusun suatu kerangka kerja KPS adalah dengan menyertakan hal-hal pokok sebagai berikut: (Bappenas. 2006) a. Kerja sama dalam bentuk kemitraan (partnership) dengan prinsip saling memerlukan, saling mendukung, dan saling menguntungkan; b. Uji kelayakan proyek kerja sama oleh pemerintah (due dilligence) sebelum proyek ditenderkan; c. Penetapan dan penyesuaian tarif, pengelolaan risiko, dan dukungan pemerintah (government support);

227 224 Metropolitan di Indonesia d. Tatacara pengadaan berdasarkan penawaran secara kompetitif yang adil, terbuka, transparan dan bertanggung-gugat (procurement), serta menyediakan mekanisme pengaduan dan penyelesaian pertikaian; e. Penyediaan tanah sebelum pemilihan badan usaha (land availability); dan f. Pembentukan badan pengatur di tiap sektor (regulatory body). Perkembangan Kebijakan KPS di Indonesia Hingga saat ini upaya menyempurnakan kebijakan atas KPS di Indonesia telah menunjukkan kemajuan yang cukup berarti dan telah menimbulkan sentimen positif dari para pelaku investasi. Akan tetapi, masih diperlukan cukup banyak hal yang harus dilakukan agar terjadi efektivitas penyelenggaraan KPS di berbagai sektor dan di berbagai level pemerintahan. Paket Kebijakan Infrastruktur yang diumumkan Pemerintah pada tanggal 16 Februari 2006 telah cukup menegaskan agenda kebijakan tahun 2006 bagi percepatan penyediaan infrastruktur baik melalui kewajiban pelayanan publik (public service obligation/ PSO) maupun KPS (PPP). Dalam paket tersebut, Pemerintah mengagendakan empat pokok kebijakan, yaitu: pertama, mengembangkan kerangka kebijakan, pengaturan dan kelembagaan secara lintas-sektor yang efektif; kedua, menyelaraskan pelaksanaan reformasi sektor dengan kerangka lintas-sektor; ketiga, meningkatkan partisipasi pemerintah daerah dalam penyediaan infrastruktur; dan keempat, mendorong percepatan proses transaksi proyek infrastruktur (Ktr Menko Perekonomian, 2006). Paket kebijakan juga mengidentifikasikan sejumlah kemajuan kebijakan yang dicapai dalam tahun 2005, terutama dengan diterbitkannya pada awal November 2005 Perpres 67/2005 tentang Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Bagi Indonesia, Perpres ini meletakkan kerangka dasar aturan main lintas-sektor tentang KPS mengikuti international best practice yang dimaksud. Selain itu, Pemerintah telah menerbitkan Perpres 42/2005 tentang Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur dan Perpres 36/2005 (yang kemudian diperbaharui dengan Perpres 65/2006) tentang Pengadaan Tanah bagi Proyek-proyek Kepentingan Umum. Menteri Keuangan kemudian menindaklanjuti ketentuan tentang dukungan fiskal Pemerintah yang diamanatkan dalam Perpres 67/2005 menerbitkan Kepmen 518/KMK.01/2005 tentang Komite Pengelolaan Resiko atas Penyediaan Infrastruktur. Perkembangan terkini menunjukkan bahwa pemerintah semakin mencoba memantapkan penyediaan kerangka pengaturan dan kerangka kelembagaan KPS melalui penyiapan Manual Pedoman Pelaksanaan (operational guidelines manual/ogm) Perpres 67/2005 yang menjelaskan secara terinci mengenai proses KPS. Sementara itu, Menteri Keuangan telah menetapkan kerangka pengelolaan risiko melalui Permenkeu 38/PM.01/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengendalian dan Pengelolaan Resiko atas Penyediaan Infrastruktur. Melalui peraturan ini maka telah didudukan kejelasan atas risiko-risiko yang perlu ditanggung sehingga memberikan kepastian investasi khususnya bagi investor dalam menghitung arus kas dari suatu proyek infrastruktur. Lebih jauh lagi dalam pelaksanaan alokasi risiko ini. Pemerintah juga perlu turut serta mengelola risiko yang timbul dari proyek kerja sama tersebut, khususnya pada risiko-riesiko yang

228 Infrastruktur 225 nonkomersial sehingga proyek tersebut menjadi layak secara finansial dan memiliki bankability. Dari aspek kelembagaan. Menko Perekonomian selaku Ketua KKPPI, pada tanggal 5 Mei 2006 telah menerbitkan Permenko 01/M.EKON/05/06 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja KKPPI yang merinci mekanisme kerja Sekretariat KKPPI. Menurut rencana dalam waktu dekat ini akan ditetapkan beberapa Permenko yang berkenaan dengan (i) pembentukan Pusat Pengembangan KPS (PPP Center) dan jejaring Simpul Pengembangan KPS (PPP Nodes), (ii) tata cara dan kriteria penyusunan daftar prioritas proyek infrastruktur KPS, dan (iii) tata cara evaluasi proyek KPS yang membutuhkan dukungan pemerintah. Adapun proses kemajuan dalam pengembangan kerangka KPS sektoral cukup bervariasi di antara sektor-sektor infrastruktur. Bagi infrastruktur perkotaan, seperti air bersih, sanitasi, dan telekomunikasi telah memiliki landasan hukum (peraturan perundang-undangan) yang telah mengakomodasi kerangka KPS secara eksplisit. Sementara sektor lainnya, seperti persampahan, masih terkendala oleh belum tuntasnya kerangka regulasi yang mendukung. Menciptakan Iklim yang Kondusif bagi Investasi Sebagai upaya lanjut mendorong perbaikan iklim investasi di Indonesia, maka pada tanggal 27 Februari 2006, Pemerintah telah menetapkan Inpres 3/2006 tentang Paket Kebijakan bagi Perbaikan Iklim Investasi di Indonesia. Indikator kinerjanya diukur dengan tercapainya upaya untuk (i) mempersingkat waktu pengurusan berbagai perizinan menjadi tidak lebih dari 30 hari; (ii) melakukan revisi peraturan perundangundangan tentang investasi dan penyediaan infrastruktur; dan (iii) pemberian insentif perpajakan untuk mendorong kegiatan investasi langsung di bidang usaha dan atau di daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional dan dalam rangka pemerataan pembangunan. Paket kebijakan ini meliputi lima bidang kebijakan untuk dilaksanakan pada tahun Kebijakan pertama menekankan pada berbagai permasalahan umum, termasuk penguatan kelembagaan bagi layanan investasi (terutama menyelesaikan naskah RUU Penanaman Modal yang baru). Kebijakan kedua berkenaan dengan reformasi bea dan cukai. Ketiga mengenai reformasi perpajakan. Keempat tentang masalah ketenagakerjaan. Dan kelima memfokuskan pada kebijakan pemberdayaan usaha kecil dan menengah serta koperasi. Pada waktunya, paket ini melengkapi Paket Kebijakan Infrastruktur untuk menciptakan iklim yang lebih kondusif untuk menjadikan bisnis infrastruktur lebih menarik bagi swasta. Meskipun kedua paket kebijakan ini menunjukkan dukungan dan komitmen pemerintah untuk meningkatkan keterlibatan swasta dalam penyediaan infrastruktur, namun masih ada beberapa outstanding issues yang perlu diperhatikan agar proses reformasi yang menyeluruh di bidang KPS khususnya. Beberapa Langkah Lanjut Upaya-upaya percepatan penyediaan infrastruktur dengan melakukan serangkaian reformasi kebijakan dan pengaturan serta pengaturan kelembagaan masih harus dilengkapi dengan upaya kongkrit di tingkat pelaksanaan. Penyediaan paket kebijakan

229 226 Metropolitan di Indonesia tidak serta merta membuat proses menjadi lebih cepat, masih ada sejumlah PR yang harus digarap dalam mempercepat penyediaan infrastruktur, khususnya bagi wilayah perkotaan. Langkah-langkah lanjut tersebut meliputi empat kerangka kerja, yaitu kebijakan, pengaturan (regulatory, kelembagaan, dan peran pemerintah daerah. Dalam konteks kerangka kebijakan, permasalahan atas ketersediaan dan pengadaan lahan merupakan hal yang harus segera dituntaskan. Lahan bagi proyek infrastruktur perlu segera tersedia sebelum proyek tersebut akan dibangun. Bila tidak, maka pembangunan akan tehambat dan semakin menciptakan kesenjangan ketersediaan infrastruktur di wilayah tersebut. Untuk proyek yang dilakukan melalui KPS, maka risiko pengadaan lahan akan menjadi beban investor yang tidak lazim menurut international best practice. Bagaimana pun jarang sekali lenders menyetujui pembiayaan proyek (financial close) bilamana tanah masih harus dibebaskan. Perpres 65/2006 yang menggantikan Perpres 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Proyek-proyek Kepentingan Umum yang baru saja diumumkan diharapkan dapat lebih efektif dan operasional dalam pelaksanaannya. Walaupun Pemerintah telah menyatakan bahwa proses pengadaan tanah merupakan tanggung jawabnya sebagaimana tercermin dalam Permenkeu 38/2006 yang menyangkut risiko lokasi, yang penting dalam hal ini adalah bagaimana pemerintah dapat memastikan bahwa tanah tersebut dapat tersedia pada waktunya. Hal ini dapat dilakukan melalui perbaikan administrasi pertanahan, penyempurnaan prosedur, penetapan unsur kepanitiaan, dan lainnya. Dalam jangka panjang, untuk mengatasi masalah pengadaan tanah ini perlu dikembangkan ketentuan tentang land banking melalui penggunaan konsep eminent domain yang sudah ada peraturan perundang-undangannya, tapi pelaksanaannya memerlukan pendekatan yang arif namun tegas. Karena merupakan isu yang cukup sensitif, perlu dilakukan proses sosialisasi tentang makna kepentingan umum dan implikasinya kepada proses pengadaan tanah. Untuk jangka pendek bisa dijajaki pembentukan land revolving fund, hanya saja agar mekanisme ini berjalan efektif diperlukan perguliran dana yang cukup cepat. Sisi lain dari konteks kerangka kebijakan yang juga perlu dilakukan adalah dengan mendorong sumber-sumber pembiayaan dari dalam negeri. Mengingat besarnya financing gap bagi pembiayaan infrastruktur di Indonesia, maka upaya memperoleh akses kepada pinjaman dalam negeri merupakan pendekatan kebijakan yang paling sensible. Berbagai lembaga keuangan dalam negeri, khususnya sektor non-bank menyatakan kesediaannya untuk memberikan pinjaman kepada proyek infrastruktur yang bankable. Selain itu, upaya mendorong pembiayaan dalam negeri ini dapat dilakukan melalui mekanisme pemberian jaminan bagi tujuan-tujuan credit enhancement. Penerbitan berbagai mekanisme pembiayaan melalui penerbitan sovereign bond terkait pembiayaan proyek infrastruktur publik perlu juga dieksplorasi dan dikembangkan, sehingga arus kapital yang tersedia di pasar domestik saat ini dapat dimanfaatkan bagi pembiayaan infrastruktur mendatang. Dari sisi kerangka Pengaturan, guna melengkapi berbagai peraturan pelaksanaan dari Perpres 67/2005 maka perlu disusun suatu aturan menyangkut prosedur uji tuntas terhadap pengembangan proyek yang akan dikerjasamakan dengan pihak swasta. Karena seperti disampaikan terdahulu, pengembangan proyek (project development) yang disiapkan secara seksama (rigorous) merupakan missing link untuk menciptakan proyek infrastruktur yang bankable. Lihat saja buktinya bahwa dari 91 proyek yang ditawarkan pada Infrastructure Summit 2005, belum ada satu pun yang mencapai financial close.

230 Infrastruktur 227 Sebagian besar instansi pembuat kontrak (contracting agencies) yang mengusulkan berbagai proyek KPS belum memiliki kapasitas yang memadai untuk melakukan uji tuntas kelayakan yang benar, serta tidak memiliki sumber pendanaan yang cukup untuk melakukan uji tuntas tersebut. Oleh karena itu, sudah saatnya dibentuk project development facility (PDF) untuk membiayai pengembangan proyek KPS. PDF ini harus dikelola secara profesional dan pada saatnya nanti perlu didorong terbentuknya PDF yang disponsori oleh swasta. Dari sisi kelembagaan, beberapa upaya perlu dilakukan dalam hal mengembangkan lembaga-lembaga KPS di berbagai instansi/departemen terkait. Pusat pengembangan KPS secara lintas sektor perlu dibentuk agar terjadi koordinasi dan sinkronisasi infromasi dalam hal penyelengaraan KPS di setiap sektor infrastruktur. Pada pihak lain, Unit Pengelolaan Risiko di Kementerian Keuangan telah dibentuk untuk mendukung pengkajian risiko atas proyek-proyek yang perlu diberikan dukungan oleh pemerintah. Simpul Pengembangan KPS di berbagai sektor juga perlu dibentuk untuk menangani semua aspek penyelenggaraan KPS pada sektor yang bersangkutan. Tiap-tiap lembaga KPS ini mempunyai peran, tugas, dan fungsi masing-masing sesuai dengan mandatnya yang ditetapkan dalam tiap-tiap peraturan menteri. Berfungsinya lembaga KPS ini akan membantu meningkatkan efektivitas persiapan dan pelaksanaan proyek KPS, dan sekaligus memberikan kepastian bagi swasta untuk melakukan bisnis di bidang infrastruktur. Dalam agenda kebijakan jelas telah dinyatakan perlunya memisahkan fungsi operator dengan fungsi regulator. Namun, memisahkan fungsi pembuat kontrak (contracting role) dari fungsi regulator belum tercantum secara eksplisit dalam agenda kebijakan. Sampai saat ini masih ada BUMN yang mempunyai fungsi ganda sebagai regulator dan sebagai contracting agency yang berpotensi untuk terjadinya benturan kepentingan. Sebaiknya fungsi pembuat kebijakan juga dipisahkan dari fungsi regulator dengan argumentasi bahwa badan pengatur sektor tidak hanya mengatur operator dan contracting agency, tapi juga pemerintah terutama dalam hal bilamana kementerian yang bersangkutan bertindak melampaui kewenangannya. Suatu badan pengatur yang secara fungsional independen atau otonom merupakan persyaratan pokok yang diharapkan oleh swasta untuk meyakinkan mereka bahwa ada level playing field dan transparansi, khususnya dalam hal proses pengadaan mitra KPS, penyelesaian sengketa, maupun dalam penetapan tarif. Penyelenggaraan KPS oleh Pemerintah Daerah dihadapkan pada dua kendala utama. Pertama, pemerintah daerah harus mengembangkan kemampuan finansial untuk melakukan kontrak dengan swasta (baik langsung maupun tidak langsung melalui BUMD). Masih belum jelasnya peran pemerintah daerah dalam menyediakan dukungan fiskal dari APBD-nya kepada proyek infrastruktur yang dilakukan dengan KPS menyebabkan sejumlah upaya penyediaan infrastruktur masih terkendala. Klarifikasi lebih lanjut atas reformasi di bidang keuangan daerah adalah hal yang sangat diperlukan. Kedua, pemerintah daerah menghadapi kendala institusional dalam arti belum/tidak memiliki kemampuan untuk memilih, melakukan pemrioritasan, dan mentransaksikan proyek KPS. Pengembangan kelembagaan KPS di tingkat daerah perlu dilakukan untuk meningkatkan kemampuan daerah dalam menyiapkan pengembangan proyek KPS. Proses ini kemungkinan besar membutuhkan waktu yang cukup lama, namun ada beberapa pemerintah daerah yang sudah lebih siap dalam menyelenggarakan proyek

231 228 Metropolitan di Indonesia KPS, seperti DKI. Untuk menegakkan prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance), pemerintah daerahnya hendaknya mengikuti aturan main KPS lintassektor yang berlaku demi kepentingan terwujudnya transparansi dan kepastian dalam upaya untuk menarik keikutsertaan swasta dalam pembangunan infrastruktur di daerah. Kebutuhan untuk meningkatkan kemampuan kelembagaan yang terlibat dalam penyelenggaraan proyek KPS sangatlah nyata dan diperlukan. Seluruh lembaga KPS hendaknya memiliki staf dan pendanaan yang memadai apabila kita menginginkan lembaga tersebut berfungsi secara efektif dan efisien. Dalam periode interim, ketrampilan teknis yang dibutuhkan untuk memberikan petunjuk dalam melakukan review dan monitoring transaksi proyek KPS yang diselenggarakan oleh berbagai contracting agencies perlu diperoleh melalui outsourcing atau buy in dengan melibatkan jasa konsultan dengan pendampingan oleh staf yang nantinya menjadi staf inti dari lembaga KPS tersebut. Penutup Upaya menyediakan infrastruktur perkotaan tidak terlepas dari peran serta semua pihak, termasuk pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, pengguna, swasta, dan lain sebagainya. Setiap pihak turut andil memberikan peran dengan berbagai cara. Dinamika kehidupan perkotaan cenderung menyebabkan pembaharuan pola pembangunan infrastruktur perkotaan perlu terus dilakukan dengan menimbang aspek-aspek regulasi, kebijakan, kelembagaan, pembiayaan, peran serta masyarakat/pengguna dan kemitraan dengan swasta. PERUMAHAN Pendahuluan Ketika di pertengahan dasawarsa sembilan puluhan terjadi gempa paling dahsyat dalam ingatan generasi Jepang saat ini di wilayah Hanshin dengan kota Kobe yang menderita korban manusia dan bangunan yang paling parah, diniatkan agar hal ini tidak terulang dan menempatkan Kobe sebagai kota abad XXI. Dengan dukungan dana rekonstruksi sebesar 85 persen ditanggung pemerintah pusat, idaman meraih kota yang berdaya saing tinggi tidak sulit diraih Kobe. Gagasan baik ini bukan tanpa konsekuensi, yaitu hilangnya kekhasan kota serta ada jumlah ribuan warga Kobe lapis bawah termasuk para burakumin yang tidak mungkin dan tidak mampu membayar standar perumahan dan sarana usaha kota yang terlanjur tinggi, mutakhir, dan mahal. Mereka juga keberatan harus mengubah pola hidup agar dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan kota abad XXI yang asing bagi mereka. Akhirnya warga lapisan bawah ini termarjinalkan dan hanya mampu tinggal di pinggiran kota. Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan pula dalam melakukan rekonstruksi dan rehabilitasi akibat bencana gempa dan tsunami di Aceh. Bencana ini tidak saja merusakan barang dan jiwa, tetapi banyak dokumentasi, arsip, sampai tanah dan bangunan leyap tak berbekas. Ini berbeda dengan gempa yang menyisakan data dan informasi walaupun kadang dalam bentuk rusak. Menjelang penghujung abad XX lalu, dunia menutup abad dan millennium dengan mengadakan KTT Habitat II yang oleh Sekjen PBB waktu itu, Boutros Boutros Ghali,

232 Infrastruktur 229 setahun sebelum mengakhiri masa jabatannya, disebut sebagai KTT Kota. Ini disebabkan di akhir abad XX ini separo penduduk dunia menghuni daerah perkotaan dan perubahan ini tidak akan berbalik kembali. Bersama dengan gejala perubahan keberadaan penduduk ini, perkembangan kota juga mengalami perubahan, yaitu pertumbuhan kota besar melambat sebaliknya kota sedang dan kota kecil tumbuh lebih pesat. Bahkan banyak kota besar baru tumbuh kurang dari satu generasi warganya, seperti yang nampak di sekitar Jakarta. Fenomena lain yang ikut menandai keberadaan abad XXI adalah perubahan paradigma manusia dari paradigma biologis atau human (pangan-sandang-papankesehatan-pendidikan) pasca perang dunia I ke paradigma hak asasi atau humane yang mucul setelah perang dunia II melengkapi paradigma terdahulu. Di abad XXI, paradigma manusia menjadi kemanusiaan atau humanity. Paradigma yang hendak melihat manusia punya kelebihan seperti berpikir, beremosi, berkehendak, berkreasi, dan mempunyai prioritasnya sendiri ini belum banyak dibahas. Perubahan terakhir ini masih didukung oleh berkembangnya teknologi begitu pesat, terutama teknologi informasi yang mampu menghapus batas politik baik itu kota/kabupaten, propinsi sampai batas negara (seperti di Uni Eropa) bahkan juga batas wawasan dan pikiran manusia. Catatan terakhir tentang abad XXI adalah dikeluarkannya The Millenium Development Goals (MDGs) yang menyatakan bahwa masyarakat dunia masih dihantui oleh kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan; termasuk keadaan di kota. Ini semua merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh kota-kota di Indonesia yang berambisi hadir layak di abad ini berdampingan dengan kota-kota negara lain di sekitarnya. Latar Belakang Membahas keberadaan perumahan dan pemukiman di kota, perlu dimulai dengan melihat beberapa ciri perubahan kependudukan yang menjadi penyebab dan tujuan adanya perumahan dan pemukiman yang membentuk kota. Karena paradigma manusia itu sendiri terus berubah, terutama setelah masuk ke abad XXI, dengan sendirinya bentuk dan keberadaan perumahan dan pemukiman serta kota juga mengalami perubahan luar biasa. Perubahan yang mencemaskan adalah bahwa perubahan secara kualitas dan kuantitas tersebut tidak mungkin dinikmati secara merata. Keadaan tersebut sudah sejak dasawarsa tujuhpuluhan menjadi sorotan dan kritik keras kaum sosialis dan marxis, seperti tergambar dalam tulisan Manual Castells dalam bukunya yang terkenal The Urban Question (1977): it suggest the hypothesis of a production of social content (the urban) by a trans-historical form (the city)...(but) the city creates nothing....the link between space, the urban and a certain system of behaviour regarded as typical of 'urban culture' has no other foundation than an ideological one.... Kependudukan perlu lebih dahulu dipahami dengan baik karena merupakan unsur penting dan selalu dikaitkan dengan masalah perumahan dan dianggap sebagai penyebab utama masalah di perkotaan. Pendapat ini walau belum sepenuhnya disepakati umum, namun dianut banyak pihak mulai dari pengambil keputusan, awam, hingga para cendekiawan. Bahkan sempat berkembang masalah housing backlog tanpa data, konsep, atau nalar yang jelas. Bagi Indonesia, penduduk adalah unsur dominan karena sampai dengan sensus penduduk 2000, Indonesia menduduki negara berpenduduk terbesar

233 230 Metropolitan di Indonesia keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Menurut sensus 2000, penduduk kota telah mencapai 86,4 juta jiwa atau 42 persen 1. Menjelang tahun 2010, separuh penduduk Indonesia akan berdiam di kota, beberapa propinsi dan kabupaten telah urbanised kota sejak sensus penduduk 1990 lalu. Sejak dulu Jawa punya catatan kependudukan terlengkap dibandingkan daerah lain. Cacahan pemerintahan interim T.S Raffles (1815) menemukan penduduk Jawa dan Madura mencapai jiwa. Lalu selama Cultuur stelsel,crawfurd menduga penduduk Jawa menjadi 6-7 juta jiwa. Pergantian abad lalu, penduduk Jawa dan Madura diperkirakan mencapai jiwa. Berarti dalam kurun waktu 85 tahun penduduk Jawa dan Madura meningkat lebih dari enam kali lipat. Hasil sensus penduduk formal yang lengkap adalah sebagai berikut: 1930 : jiwa 1961 : jiwa; kenaikan tahunan : 1,5 persen : jiwa; kenaikan tahunan : 2,10 persen : jiwa; kenaikan tahunan : 2,32 persen : jiwa; kenaikan tahunan : 1,96 persen : jiwa; kenaikan tahunan : 1,43 persen Angka-angka di atas menunjukkan bahwa kecepatan perkembangan penduduk relatif awalnya meningkat, kini sudah reda. Dalam waktu antar dua sensus terakhir penduduk Indonesia bertambah 24,8 juta jiwa atau lebih lambat dari selisih dua sensus sebelumnya. Di samping itu ada masalah distribusi penduduk tidak merata, tingkat perkembangan penduduk kota cepat dan ada masalah nonkualitatif, seperti penghasilan, tenaga kerja, dan pendidikan atau ketrampilan. Bila perkembangan penduduk per pulau diamati. Jawa merupakan pulau berpenduduk terbesar. Meskipun persentase penduduk Jawa turun terhadap penduduk Indonesia, namun keadaannya tidak menggembirakan. Sensus 1961 mencatat jumlah penduduk Pulau Jawa 63,1 juta jiwa atau 64,95 persen dari penduduk Indonesia. Sensus tahun 2000 angka ini menjadi 93,1 juta atau turun menjadi 46,28 persen. Padahal luas Pulau Jawa hanya 6,89 persen dari luas total pulau yang ada di Indonesia. Dari sudut kepadatan penduduk, Pulau Jawa menghadapi masalah lebih berat dibanding pulau-pulau lain. Nusa Tenggara, pulau terpadat kedua setelah Jawa, penduduknya lebih kecil dibandingkan dengan Pulau Jawa. Tentang jumlah penduduk Indonesia ada, beberapa pendapat saat pergantian abad, Biro Pusat Statistik (BPS) membuat ramalan optimistis, sebab pada waktu itu penduduk Indonesia diperkirakan hanya akan mencapai jiwa. Prediksi ini dilakukan berdasarkan pada tiga asumsi; pertama, tingkat kelahiran turun sekitar 2 persen per tahun sesuai kecenderungan tahun ; kedua, tingkat kematian juga menurun, ketiga migrasi internasional diabaikan. Ramalan pesimistis berasal dari kelompok Prof. Sumitro Djojohadikusumo (Djojohadikusumo 1977), menyatakan bahwa pada tahun 2001 penduduk Indonesia mencapai 250 juta jiwa atau 12,23 persen di atas ramalan BPS. Pada waktu itu penduduk Jawa akan mencapai 146 juta jiwa atau 58,4 persen dari seluruh 1 Lihat juga analisis kependudukan di bab ini.

234 Infrastruktur 231 penduduk Indonesia. Dari segi kepadatan, Prof. Sumitro mengibaratkan Jawa sebagai Pulau Kota. Peter Gardiner dan Mayling Oey-Gardiner yang menulis analisis kependudukan di Bab 5 ini memperkirakan pada tahun 2025, 8 dari 10 orang di Jawa tinggal di kota. Dalam kenyataan sampai tahun 2006 ini, perkembangan penduduk Indonesia cenderung lebih lambat, namun tidak membuat masalah perumahan lebih ringan. Perkembangan penduduk kota di Indonesia tampak lebih cepat setelah awal abad XX dilaksanakan kebijaksanaan PAX NEERLANDICA guna menciptakan suasana damai dalam negeri, baik karena perang maupun gangguan keamanan. Perkembangan makin mantap setelah ditetapkan undang-undang desentralisasi (stbl.1903/329) yang diawali di Batavia dan kemudian diikuti kota-kota lain. Pada sensus penduduk pertama (1920), rumusan kota adalah (130) daerah yang berpenduduk orang ke atas. Waktu itu di Jawa ada penduduk kota atau 4,7 persen penduduk Indonesia. Pada sensus 1930, definisi kota adalah wilayah yang menunjukkan ciri konsentrasi bangunan permanen, jalan beraspal, berpenduduk orang ke atas. Jumlah kota meningkat jadi 172 dan persentase penduduk kota naik menjadi 7,4 persen. Sensus tahun 1961 kembali memperbaiki definisi kota dengan menambah syarat berpemerintahan sendiri, persentase tertentu bagi penduduk yang tak bekerja pada sektor nonagraris (80 persen ke atas), berpenduduk di atas orang dan sebagainya. Ini mempertegas adanya masalah kependudukan kota yang sebagian besar ada di Jawa; sekalipun beberapa kota di luar Jawa menunjukkan perkembangan cepat. Kajian Strategi Nasional Pengembangan Perkotaan (National Urban Development Strategies-NUDS) memperkirakan pada tahun 1980 dari 384 kota yang ada, 239 kota atau 62 persen terletak di Jawa. Jumlah kota terus bertambah dan diperkiraan di seluruh Indonesia akan ada lebih dari 400 kota sebagai konsekuensi dari lajunya pembangunan. Harus dicatat bahwa dari lima kota berpenduduk satu juta orang ke atas pada tahun 1980, menurut sensus penduduk 2000 jumlah kota berpenduduk satu juta ke atas mencapai 13 termasuk lima di Jakarta, sehingga pada pergantian abad kepadatan penduduk di Jakarta maupun Surabaya belum sepadat Bandung tahun 1980 sebagai kota terpadat waktu itu. Keadaan itu menunjukkan adanya mobilitas penduduk keluar dan masuk kota, seperti Jakarta dan Surabaya. Untuk menentukan jumlah penduduk efektif di kota, harus ditambah penduduk musiman maupun migran tidak tetap yang jumlahnya sekitar persen di atas jumlah penduduk terdaftar. Dua hal tesebut menunjukkan bahwa kota besar mulai tergantung pada kota-kota kecil di sekitarnya dan membentuk mega-urbanisasi. Dari uraian di atas jelas bahwa perkembangan jumlah penduduk di Indonesia menggembirakan. Pertumbuhan kota akibat pembangunan perumahan dan pemukiman juga membaik, apalagi nampak pertumbuhan kota besar mereda karena beban diambil alih kota sedang dan kecil, yang merisaukan dan masih kurang diperhatikan karena belum dapat dimengerti dengan baik adalah gelaja mega-urbanisasi 2 yang antara lain 2 Kata urbanisasi diartikan sebagai proses mengkotanya suatu wilayah (pemanfaatan beragam fasilitas kehidupan yang bermutu dan ada pilihan) baik baru maupun lama yang menuntut penghuninya mampu berkegiatan di keadaan dan memenuhi tuntutan kawasan urban. Mega urbanisasi adalah perkembangan yang membentuk jejaring kawasan urban dengan hubungan resiprokal bagi penghuninya, melintasi batas politik kota, kabupaten, propinsi bahkan nasional. (Catatan editor: lihat juga analisis

235 232 Metropolitan di Indonesia menghasilkan kota sejuta penduduk dalam kurun waktu dua sensus penduduk, seperti Bekasi, Tangerang dan Depok. Pertumbuhan kota tidak lagi dibatasi oleh batas administratif kota atau kabupaten, dilengkapi dengan proses in-urbanisasi dan exurbanisasi serta banyak masalah pertumbuhan perumahan dan pemukiman lainnya. Rumah tidak hanya sebagai tempat hunian atau berteduh saja, tetapi diperhatikan nilai dan fungsi produktifnya. Bahkan perkembangan ekonomi liberal yang diobral di Indonesia, lebih lanjut memasukkan rumah kedalam jajaran komoditi ekonomi yang dipakai dalam banyak bentuk, termasuk berspekulasi dalam sekala besar dan kecil. Konteks Sejarah Saat awal Belanda berkuasa (abad XIX), pemukiman baru dibangun bagi penduduk Eropa dan mereka yang dianggap setingkat sesuai dengan pola di Eropa hampir tanpa penyesuaian apa pun. Rumah-rumah tersebut berbeda dengan pola rumah penduduk yang sesuai dengan gaya hidup dan tuntutan iklim tropis basah. Pemukiman baru zaman kolonial dibangun membatasi dan mengelilingi kampung yang ada; dilengkapi pelayanan kota yang baru dan baik. Akibatnya, terjadi polarisasi pola perumahan. Dibandingkan dengan yang baru maka yang lama lebih kecil, semi-permanen, rapat dan sesak serta dengan fasilitas sederhana dan terbatas dan dihuni oleh penduduk pribumi. Perumahan baru lebih besar, permanen berkepadatan rendah, dan bergaya Barat; dilengkapi dengan fasilitas yang baik bagi penduduk lebih mampu dan mempunyai kedudukan sosial, terutama adalah warga Belanda dan Eropa lainnya. Untuk perkembangan perumahan kota, menurut Dr. F de Haan dikeluarkan statuta VOC (1642) yang menetapkan Dewan Kota Batavia bertanggung jawab atas prasarana umum, jalan, dan saluran, sedangkan pembangunan rumah diserahkan pada swasta; terutama bagi kelompok masyarakat mampu. Akibat perkembangan ini, ada polarisasi dualistik yang kontras antara perumahan formal dengan perumahan yang dibuat rakyat sendiri. Kelanjutan pola dualistis ini dikuatkan Regeringsreglement 1845 yang menetapkan bahwa kampung kota boleh bertahan namun berada di luar wewenang pemerintah kota; kampung selanjutnya diatur oleh pemerintah pusat dengan perantara Bupati. Walaupun kelak pemerintah kota mengatur secara utuh, namun pola perumahan dualistis ini bertahan sampai sekarang. Dalam melaksanakan pembangunan saat ini kecenderungan dan perhatian pemerintah kota umumnya memihak pada perumahan formal daripada yang diusahakan oleh masyarakat sendiri. Sistem pengadaan perumahan kota sampai perang dunia II dapat dibagi dalam tiga pola. Pertama, perumahan dibangun swasta, bermutu baik, mahal dan diperuntukkan bagi penduduk berpenghasilan menengah ke atas terutama bagi orang Eropa dan Timurasing. Sebagian dijual untuk dimiliki sedang sisanya disewakan; besar sewa diatur pemerintah. Karena bentuk dasarnya sama dan mencolok, rumah-rumah ini mudah dikenal. Pola kedua adalah yang untuk dipakai sendiri, baik pribadi maupun oleh badan usaha; termasuk di dalam pola ini adalah perumahan dinas untuk pegawai negeri maupun swasta. Pola ini dianjurkan pemerintah untuk meringankan kekurangan rumah yang ada tiap tahun. Bentuk perumahan pada pola ini lebih bervariasi. Ketiga adalah pola perumahan di kampung yang jumlahnya mencapai dua pertiga rumah yang ada ditinjau kependudukan yang ditulis oleh Peter Gardiner dan Mayling Oey Gardiner pada bab ini). Ini bukan merupakan aglomerasi kawasan urban seperti yang dipakai pada istilah mega-urban.

236 Infrastruktur 233 dari jumlah penghuni. Umumnya perumahan ini dibangun oleh penghuni sendiri menurut pola dan bentuk yang berkembang secara inkrimental. Oleh karenanya, rumah selalu berubah sebagai proses dinamis. Di samping membangun perumahan untuk rakyat banyak, di pusat pemerintah (Batavia) mulai memikirkan keadaan kampung kota yang dinilai amat menyedihkan (allertreurigst), seperti tercatat dalam Gedenkboek van Nederlandsch Indie Sasaran yang dituju adalah kampung yang dibangun penghuninya sendiri. Sejak pembentukan pemerintahan kota (1904), pemerintahan di pusat mengingatkan dewan kota perlu memperhatikan kesehatan masyarakat kampung dan mengusahakan perbaikannya di kota masing-masing sejalan dengan politik etis dan humanisme yang berkembang usai perang dunia pertama. Surat pertama (tanggal 30/5/1917) tentang hal ini ditujukan ke Dewan Kota Semarang dan Surabaya yang mengusulkan agar dilakukan perbaikan keadaan perkampungannya. Surat ini menanggapi pula keberatan Walikota Surabaya dan Semarang atas pemisahan atas pengaturan penduduk kampung tersebut. Namun, ternyata baru Surabaya bersama Semarang yang pertama kali melaksanakan Kampoeng Verbetering (1924) 3. Pada tanggal 20 Maret 1934, ditetapkan Burgelijke Woningreglement guna mengatur pembangunan perumahan bagi pegawai pemerintah serta menentukan besar sewa dan kelengkapan pemukiman. Penetapan ini merupakan babak baru dalam pembangunan rumah oleh pemerintah sebagai pelayanan kepada karyawan sendiri. Hingga kini peraturan ini belum secara resmi dicabut dan berlanjut dengan pembentukan Yayasan Kas Pembangunan (YKP) yang meneruskan pembangunan perumahan bagi pegawai negeri setelah kemerdekaan. Tujuan dari yayasan tersebut secara tak langsung dan tak sengaja dilanjutkan dalam bentuk PERUM PERUMNAS; yang mulanya mendahulukan perumahan bagi pegawai negeri. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, masalah perumahan mendapat perhatian cukup dini. Menjelang penyerahan kedaulatan, ditetapkan Stadsvormings Ordonantie (SVO) 1948 dan Stadsvorming Verordening (SVV) Kedua peraturan ini hendak menanggapi perkembangan kota yang mendesak yaitu mengatasi kerusakan akibat perang; termasuk pembangunan perumahan yang terus diperhatikan pemerintah. Namun, SVO dan SVV hanya berlaku bagi limabelas dari limapuluh kotapraja yang ada. Dan pelaksanaannya juga sebatas pemeliharaan kota bukan pembangunan. Diselenggarakan pula Kongres Perumahan Rakyat Sehat (25-30 Agustus 1950) yang pembukaannya dilakukan oleh Wakil Presiden R.I, Drs. Moh. Hatta, dan menghasilkan tiga keputusan penting berikut (Sardjono 1977) 1. Menganjurkan kepada pemerintah agar diusahakan pendirian perusahaan pembangunan perumahan yang dibantu pemerintah di tiap propinsi. 3 Agaknya sejak dulu Surabaya tanggap dengan masalah yang dihadapi penduduk. Ketika oleh pemerintah Batavia diminta membuktikan kemampuan menangani penduduk pribumi yang ada di kota, maka kampong Verbetering dilaksanakan sebagai jawab jauh sebelum kota-kota lain berminat melakukannya. Ini antara lain ditulis dalam disertasi James L. Cobban The City on Java : an Essay in Historical Geography

237 234 Metropolitan di Indonesia 2. Pembangunan perumahan rakyat memakai syarat/norma minimum. yaitu rumah induk dua kamar tidur dan luas 36m persegi; ditambah rumah-sisir 17,5m persegi. Syarat minimum ini hendaknya menjadi undang-undang. 3. Agar dibentuk Badan/Lembaga Perumahan yang pembiayaannya dimasukkan dalam anggaran pemerintah. Sebagai tindak lanjut, pada tanggal 1 Januari 1951 di Kementerian Pekerjaan Umum dan Tenaga dibentuk Jawatan Perumahan Rakyat yang dikukuhkan dengan Surat Keputusan Presidaen R.I. No.65/1952, sedangkan Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga membentuk Badan Pembantu Perumahan Rakyat (20 Maret 1951), disusul dengan pembentukan Yayasan Kas Pembangunan Perumahan Rakyat (YKP) di daerah otonom tingkat II serta Bank Pembangunan Perumahan. Pada tahun 1952, Pemerintah Pusat menganjurkan pemerintah daerah membentuk YKP; dalam periode sekitar dua tahun terbentuk lebih kurang 200 YKP. Modal dasar YKP yang berbentuk koperasi diperoleh dari anggaran Jawatan Perumahan Rakyat karena belum ada Bank Pembangunan Perumahan. Pada awalnya YKP hanya melayani pegawai negeri yang tidak mendapat rumah dinas; melalui keanggotaan dan menabung hingga separo dari harga rumah, sisanya diangsur sampai sekitar 100 bulan. Berangsur-angsur masyarakat umum dapat pula menjadi anggota YKP. Sepuluh tahun kemudian proyek YKP terpaksa dibubarkan sebab modal dan simpanan anggota habis dimakan inflasi sekitar 800 persen setahun. Jumlah rumah yang dibangun pun tidak seberapa yaitu dalam kurun waktu satu dasawarsa hanya terbangun sedikit lebih dari unit. Hanya YKP Surabaya tak dilikuidasi sebab mampu terus membangun dan mengembalikan pinjaman dalam rupiah baru atau seribu kali nilai semula. Di beberapa kota didirikan perusahaan pembangunan perumahan swasta. Namun, perusahaan perusahan tersebut menghentikan usaha sebab ada ketidakjelasan wewenang pengatur penghunian rumah yang selesai dibangun terutama terjadi setelah perang kemerdekaan usai. Saat itu ada penyerobotan rumah-rumah kosong terutama milik asing yang ditinggal mengungsi atau pulang ke negerinya. Untuk mengatasinya, penguasa perang mengatur dan mengawasi penempatan atau penghunian rumah. Baru setelah ditetapkan Undang-undang darurat No. 3/1958 pengaturan penghunian rumah memakai Surat Ijin Perumahan (SIP) yang dikeluarkan Kantor Urusan Perumahan (KUP). Wewenang beralih dari penguasa militer ke sipil. Namun, kekaburan belum hilang seluruhnya. Di satu pihak pemerintah dan penguasa masih memerlukan gedung dan rumah. jadi ikut dalam alokasi pemanfaatannya. Di pihak lain, KUP merasa tugas mengatur penghunian rumah mencakup rumah baru yang dibangun setelah UUD No.3/1958 berlaku. Hambatan ini baru disadari beberapa tahun kemudian. Untuk mengatasinya ditetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (perpu) No.6/1962 yang isinya antara lain menetapkan setiap warga negara dan badan-badan swasta bebas membangun perumahan dan menetapkan penggunaannya, baik untuk sendiri maupun disewakan (pasal 1). Dua tahun kemudian perpu No.6/1962 menjadi Undang-undang No.1/1964. Perbaikan sarana hukum belum efektif mendorong pembangunan perumahan antara lain karena situasi ekonomi yang lemah dan kebijakan perumahan yang belum jelas, ditambah tak ada Peraturan Pemerintah untuk pelaksanannya. Pembangunan rumah oleh masyarakat sendiri berlangsung bersama perumahan YKP.

238 Infrastruktur 235 Upaya mengembangkan rumah dilengkapi pembentukan Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan (LPMB-1953) yang dibentuk bersama oleh tokoh pemerintah dan masyarakat. Dua tahun kemudian (1955) badan ini diakui pemerintah dan ditetapkan menjadi U.N. Regional Housing Centre (RHC). Ir. Pangeran Mohamad Noor, Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga mengatakan : tujuan LPMB adalah untuk menurunkan biaya pembangunan dan memudahkan rakyat memakai konstruksi-konstruksi yang lekas dapat dipelajarkan Cita-cita ini tidak pernah terwujud walaupun hingga kini turunan dari lembaga ini masih ada dalam bentuk PUSLITBANGKIM. Berdasarkan keputusan Menteri P.U.T.L. tahun 1975, lembaga ini menjadi Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan (DPMB) di bawah Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik. Berdasarkan Keputusan Presiden RI No.15/1984 DPMB diubah menjadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemukiman dengan tugas: membina, mengkoordinasikan penelitian dan pengembangan pemukiman sesuai kebijaksanaan Badan LITBANG Departemen Pekerjaan Umum. Lembaga ini mencetak banyak ahli di bidang perumahan dan mendapat bantuan dari lembaga yang sama di negara maju termasuk International Housing Study (IHS-BIE) Rotterdam. Di era Orde Baru, DPMB mempunyai pengaruh dalam perumusan program perumahan Pelita I ( ); terutama meletakkan konsep dasar program perumahan yang dilaksanakan, termasuk mengembangkan beragam model rumah. Di Pelita II dibuat tiga keputusan yang ditetapkan pada tahun 1974 yaitu : 1. Keputusan Presiden RI No.29/1974 tentang pembentukan Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas) dengan tugas melaksanakan pembangunan perumahan dan pembangunan kota terutama untuk melayani penduduk berpenghasilan rendah di seluruh Indonesia. 2. Keputusan Presiden No.34/1974 Tentang Pembentukan Badan Kebijaksanaan Perumahan Nasional (BKPN) yang diperbaharui dengan keputusan No.8/1985. Keputusan ini memperluas keanggotaan BKPN menjadi 10 Menteri dan Gubernur Bank Sentral. Badan ini bertugas merumuskan kebijaksanaan perumahan nasional pada umumnya. Walaupun terus berganti nama dan susunan, namun badan ini tidak pernah efektif. 3. Keputusan Menteri Keuangan No. B 49/MK/N/1/1974 yang menugaskan Bank Tabungan Negara (BTN) menyelenggarakan pemberian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bagi perumahan masyarakat berpenghasilan rendah, baik yang dibangun pemerintah maupun swasta, namun masih terbatas pelayanannya. Swasta terlibat membangun rumah sejak di tetapkannya undang-undang penanaman modal asing (1967) dan modal dalam negeri (1968). Untuk pelaksanaannya, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengeluarkan surat keputusan no. 28/1974 tentang tata-cara penanaman modal di bidang perumahan. Sementara untuk menangani pengadaan lahan dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5/1974 tentang penyediaan dan pembelian tanah. Sejak itu di beberapa kota nampak kegiatan pihak swasta untuk membangun perumahan terutama perumahan bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke atas. Saat ekonomi tumbuh pesat pembangunan perumahan memainkan peran penting; namun perumahan juga termasuk salah satu penyebab krisis keuangan 1998.

239 236 Metropolitan di Indonesia Peningkatan pembangunan rumah formal dikuatkan oleh penghasilan negara yang berlimpah saat harga minyak bumi naik pesat. Kemudian keluar surat keputusan BKPM yang mengharuskan swasta membangun perumahan dengan perbandingan 1 mewah : 3 sedang : 6 murah. Pembangunan perumahan swasta diharapkan ikut melayani masyarakat secara lebih merata; termasuk bagi yang penghasilannya terbatas. Untuk enam bagian perumahan murah tersebut didukung Kredit Pemilikan rumah dari Bank Tabungan Negara (KPR-BTN). Pada tahun 1987 dicoba perbandingan diubah menjadi 1 : 4 : 15. Dalam kenyataannya, pelaksanaan ketentuan ini sulit diawasi sebab saat pembangunan tiap tipe rumah beda waktu dan lokasi sehingga pengusaha selalu dapat mengadakan penyesuaian demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Menjelang pergantian abad keluar keputusan bersama Menteri PU dan Meneg Perumahan- Permukiman yang menentukan bahwa pembangunan perumahan harus kembali pada rumus 1:3:6. Dalam pada itu, Pemerintah Daerah di Jakarta dan Surabaya pada tahun anggaran 1968/1969 mulai memperhatikan perumahan bagi penduduk berpenghasilan rendah yang diwujudkan dengan melaksanakan program perbaikan kampung atau KIP. Perbaikan lingkungan kampung yang dilaksanakan meliputi pembangunan prasarana dasar, seperti jalan, saluran pematusan, air minum, dan sebagainya. Upaya ini diperhatikan pemerintah pusat dan Bank Dunia (IBRD). Pada tahun 1974, Jakarta mendapat pinjaman IBRD untuk mempercepat pelaksanaan KIP-nya. Pada tahun 1976, Surabaya ikut dalam bantuan ini. Sejak itu, KIP menjadi program nasional. Sejak tahun 1979, KIP telah dilaksanakan di 200 kota berbagai ukuran dan di seluruh Indonesia; dalam Repelita IV jumlah tersebut meningkat menjadi 400 kota ditambah dengan 100 kota untuk perbaikan prasarana pemukiman dekat pasar. Sementara itu, dana KIP di samping berasal dari APBN dan Pinjaman IBRD, juga berasal dari pinjaman Pemerintah Kerajaan Belanda dan Bank Pembangunan Asia (ADB). Pada Pelita berikutnya jumlah kota yang ikut bertambah, namun karena dilaksanakan sebagai proyek maka manfaatnya terbatas. Saat ini (2006) Surabaya masih terus melaksakan KIP dalam tiga bentuk: KIP partisipatoris (KIP WR Supratman-PLP) untuk kampung berpendapatan sedang, KIP komprehensif terutama berpenghasilan rendah, dan Rehabilitasi Sosial Daerah Kumuh (RSDK) untuk kampung yang sangat miskin dan kumuh. Pemerintah tidak hanya memperhatikan perumahan kota; sejak tahun 1973 dirintis perbaikan perumahan di desa. Perintisan dilakukan di daerah Yogyakarta diteruskan ke Jawa Tengah dan Timur. Dalam Pelita III, program ini dilaksanakan di seluruh propinsi, dan dalam Pelita IV diperbaiki lebih dari desa. Di samping itu, dilaksanakan pula program pengadaan air bersih dan peningkatan kesehatan lingkungan. Beragam program ini diupayakan pelaksanaan terpadu dengan program lain. Konsep juga terus berkembang; Penyelenggaraan Konferensi Habitat I (31/5-11/6 1976) di Vancouver menghasilkan keputusan yang berpengaruh di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Salah satu keputusan adalah pengakuan usaha masyarakat membuat rumahnya sendiri (Rekomendasi Country report yang disusun untuk konferensi ini merupakan laporan resmi pertama tentang masalah pemukiman yang ada dan menyadarkan para pengambil keputusan). Bagi Indonesia, dokumen ini merupakan ungkapan resmi tentang konsep perumahan yang dianut (1975). Pada KTT Habitat II (Istanbul 6/1996) Indonesia aktif ikut merumuskan keputusannya the Habitat Agenda dan buku An Urbanizing World.

240 Infrastruktur 237 Keputusan yang cukup berarti adalah Pengangkatan Menteri untuk urusan perumahan sejak Kabinet Pembangunan III dan Keputusan Presiden No.1/1984 tentang pembentukan Dewan Riset Nasional (DRN) yang di dalamnya terdapat sub-kelompok Perumahan dan Permukiman untuk mengelola kegiatan penelitian di bidang perumahan dan pemukiman. Berbagai perguruan tinggi ikut mengembangkan pengetahuan tentang perumahan dan permukiman; BPPT juga memperhatikan masalah perumahan. Setelah masa reformasi, perumahan digabung dengan Pekerjaan Umum menjadi Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (KIMPRASWIL), namun dari segi pelaksanaan berbagai program perumahan dan permukiman tidak mengalami perkembangan yang berarti, bahkan terkesan masih mencari di dalam kandang sendiri. Kini Kementerian Perumahan Rakyat dihidupkan kembali dengan mandat sedikit berubah tetapi masih dengan pola berpikir yang tidak beda jauh seperti di tahun tujuhpuluhan. Keadaan Pemukiman dan Masalah Sekalipun pembanguan perumahan telah resmi dilaksanakan dalam program pembangunan nasional sejak Pelita I, cara-cara menilai keadaan perumahan belum dirumuskan secara jelas. Pada sensus penduduk, perumahan dimasukkan di bagian kependudukan dan klasifikasinya berubah-ubah. Perumahan kadang diproses sebagai bagian dari lingkungan hidup atau dilihat hanya sebagai hasil program formal yang diselenggarakan pemerintah dan swasta. Pendekatan itu menganggap perumahan sebagai produk/hasil kuantitatif. Dalam sensus penduduk 2000, perumahan mendapat perhatian yang lebih luas dan hasilnya diterbitkan terpisah namun tidak mudah diakses masyarakat luas. Perumahan yang dibangun oleh penduduk sendiri dalam jumlah yang (amat) besar belum disajikan secara utuh; ada kesulitan pada BPS untuk menentukan bentuk klasifikasi dan analisis yang dipakai. Di sini masalah ini hendak ditinjau secara khusus dalam keseluruhan keadaan perumahan dan melihat pula kaitannya dengan pendekatan kebutuhan (need) dan hasil usaha berdasarkan proses perumahan yang selama ini dilakukan masyarakat sendiri. Data yang dipakai untuk analisis berasal dari BPS yang diolah dan dirangkum kembali. Angka tentang jumlah rumah yang ada terdapat pada pendaftaran rumah tangga 1970 yang mencatat jumlah buah; terdiri dari 98,08 persen rumah tinggal murni dan sisanya rumah campuran. Ditinjau dari letak, hanya atau 13,05 persen rumah tinggal murni ada di kota; jauh lebih kecil dari jumlah penduduk kawasan kota hasil sensus 1971 yaitu 17,09 persen. Angka ini selanjutnya disajikan dalam bentuk hasil sampling yang tidak diakui secara terbuka. Ini menunjukkan keadaan satu rumah kota dihuni oleh lebih dari satu rumah tangga. Kenyataan ini adalah masalah awal dari perumahan di Indonesia. Pada tahun 2000, di kota ada bukan rumah atau 7.01 persen dari seluruh bangunan yang didata. Pembahasan keadaan perumahan harus dilihat dari segi jumlah dan mutunya, baik dalam kaitan dengan keadaan lingkungan maupun penghuniannya. Jadi, rumah tidak hanya dilihat sebagai unsur fisik yang berdiri sendiri, hendak diketahui pula potensi dan usaha yang dilakukan penghuni sendiri. Seperti telah diuraikan, format penyusunan data perumahan hasil sensus penduduk tidak selalu sesuai untuk kebutuhan analisis atau merumuskan tindakan. Agar perkembangannya dapat digambarkan dengan baik, dipakai data lainnya terutama Survei Sosial Ekonomi Nasional. Ternyata ada perkembangan

241 238 Metropolitan di Indonesia besarnya rumah tangga di antara data tersebut. Jelas bahwa norma yang dipakai menentukan kebutuhan perumahan sebesar 5 orang per rumah ternyata awalnya dianggap terlalu kecil, namun kini berlebihan. Secara menyeluruh gambaran besar rumah tangga adalah: TABEL 6-6 Perbandingan Besar Rumah Tangga SATUAN RUMAH TANGGA Besar Rumah Tangga Kota 5,258 5,326 4, Besar Rumah Tangga Desa 4,750 4,728 4, Besar Rumah Tangga Indonesia 4,830 4,850 4,571 4,500 3,900 Sumber : Sensus penduduk. SUPAS. BPS. Jadi dalam kurun waktu lima sensus, secara menyeluruh terjadi penurunan yang berarti pada rata-rata besar rumah tangga di Indonesia. Masalah perumahan kuantitatif tak berhenti sampai besar rumah tangga saja, tetapi terkait perkembangan kondisi perumahan yang berpengaruh terhadap kebutuhan maupun permintaan. Apalagi bila konsep ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa sebagian besar masyarakat membuat dan mencukupi perumahannya sendiri. Data perumahan juga menunjukkan arah yang cenderung membaik. Rumah yang luasnya lebih besar proporsinya makin banyak, sementara yang luasnya <19 m persegi hanya 5,86 persen (BPS 2001), dan yang belum mampu mencapai 10 m persegi per orang, seperti standar WHO, terus berkurang. Rumah yang dihuni satu rumah tangga sudah 91,31 persen; bila karena hanya mempunyai satu anak, maka saat berkeluarga diminta tetap serumah dengan orang tuanya sehingga rumah yang dihuni dua rumah tangga mencapai sekitar 97,98 persen (BPS 2000) yang artinya sudah sangat baik. Harus dicatat bahwa intensitas penghunian rumah mengalami pergeseran positif; yaitu luas yang lebih besar jumlahnya meningkat terutama pada keluarga kecil, sedangkan rumah yang luasnya kecil atau terbatas semakin berkurang. Setelah mengetahui dengan baik perkembangan keadaan fisik rumah, perlu diperhatikan keadaan pemilikannya. Hal ini penting dalam rangka mengisi persepsi rumah yang dianut masyarakat, baik tentang penghunian yang berlanjut maupun menjamin proses berkeluarga. Data yang ada ternyata menunjukkan bahwa angka kepemilikan rumah kecenderungannya terus meningkat. Dilihat dari status lahan angka yang ada juga menunjukkan peningkatan bersamaan dengan turunnya jumlah rumah sewa, kontrak, dan lain- lain yang kini mencapai 83,5 persen. Untuk melengkapi telaah mengenai keadaan perumahan, perlu dikaji kualitas rumah yang terdiri dari fasilitas jamban, bahan bangunan, dan air bersih yang tersedia di rumah/pekarangan. Data sensus penduduk dan SUPAS menyajikan keadaan fasilitas jamban dan air bersih yang juga berkembang baik. Sementara itu, data bahan rumah pada sensus terakhir disajikan dalam klasifikasi berbeda; pada sensus penduduk 1971 kualitas rumah digolongkan dalam empat kelas mutu bahan yang dipakai; sedangkan pada sensus penduduk 1980 sistem kelas bahan tak dilanjuntkan dan diganti dengan rincian menurut jenis bahan-bahan sendiri seperti yang dipakai pada Survei Keadaan Rumah Tangga Pada sensus 2000 klasifikasi keadaan rumah berubah lagi dengan melihat bukan hanya fisik bahan bangunan, tetapi juga kelengkapan ruang, seperti kamar tidur, ruang keluarga, dapur, kamar mandi dan jamban, dan sebagainya. Angka-angka yang dihasilkan juga menunjukkan bahwa kualitas rumah membaik.

242 Infrastruktur 239 Dari tiga unsur kualitas rumah yang disajikan, hanya air bersih yang pengadaannya masih kurang karena tergantung pada program pemerintah yang dananya tidak pernah cukup. Sedangkan pengadaan jamban maupun perbaikan bahan bangunan rumah semua berjalan baik dan atas upaya penghuni/pemilik sendiri. Dapat disimpulkan dari perkembangan tingkat hunian, pemilikan rumah, fasilitas jamban, kualitas bahan bangunan, dan penyediaan air bersih sendiri bahwa ternyata keadaan perumahan pada umumnya menunjukkan perbaikan menyeluruh. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tiap tahun sektor formal rata-rata hanya mampu membangun sekitar rumah, sedangkan tiap tahun diperlukan sekitar rumah baru untuk menyongsong pertambahan penduduk. Lalu siapa yang bertanggung jawab terhadap kekurangannya? Kalau misalnya warga tidak menyelesaikan sendiri maka keadaan perumahan di Indonesia makin tahun akan makin buruk. Hal ini sebenarnya tidak pernah terjadi seperti nampak pada data di TABEL 6-7 di bawah. Sekali lagi terbukti bahwa masyarakat berpotensi besar membuat perumahan yang membaik dengan mengandalkan sumber daya sendiri dan tidak tergantung pihak luar. Dengan sendirinya pendapat bahwa perkembangan penduduk kota yang tinggi menyebabkan keadaan perumahan memburuk, sama sekali tidak terbukti, tidak berdasar, dan juga tidak perlu diindahkan. TABEL 6-7 Kondisi Perumahan Indonesia (%) Kota Desa Desa dan Kota Komponen Lantai <10m2 29,5 26,7 21,5 27,7 24,7 19,0 28,3 25,5 20,0 Tanah 6,2 5,2 6,7 27,6 23,0 21,3 19,6 15,5 15,1 Atap yang cukup 98,0 98,5 98,8 89,6 91,9 92,9 92,7 94,7 95,4 berkualitas Diding permanen 91,7 92,3 93,9 74,8 78,0 82,1 81,1 84,0 87,2 Listrik 96,4 97,9 98,4 65,9 77,8 82,1 77,2 86,3 89,0 Air ledeng 39,9 36,2 37,8 7,0 6,9 7,6 19,2 18,6 20,4 Air bersih 57,5 48,3 60,3 45,3 34,9 39,9 49,7 40,6 48,6 Toilet+septic tank 48,3 46,3 55,7 13,8 15,5 22,1 26,1 28,5 36,4 Sumber: Indikator Kesejahteraan Rakyat (BPS) 1999; 2000; 2003 Walaupun angka di atas menunjukkan kecenderungan yang membaik, masalah perumahan kumuh masih menjadi ganjalan bagi perumahan kota. Pengertian kumuh seharusnya dilihat dari kelayakan huninya (adequacy), selanjutnya kekumuhan dapat mulai dicari dari cara mendapatkan lahannya seperti menyerobot. Dengan sendirinya tidak punya bukti atas tanah juga dapat dipakai sebagai kriteria kumuh. Luas kavling sulit dipakai sebagai kriteria sebab rumah susun pasti memiliki luas kavling yang sangat terbatas. Tetapi luas bangunan harus dipakai sebagai kriteria yaitu yang luas rumahnya kurang dari 20 m persegi dan antara m persegi yang berarti mereka mendiami rumah yang berada jauh di bawah standar Depkes, yaitu 8 m persegi per orang. Kondisi fisik bangunan yang rusak dan rusak berat harus digolongkan sebagai kumuh. Lokasi rumah di tepian sungai-danau-waduk-laut serta di tempat rawan bencana pasti perlu perhatian. TABEL 6-8 di bawah ini memberi gambaran yang juga tidak mustahil untuk diselesaikan dengan cara menggusur, tetapi lebih beradab.

243 240 Metropolitan di Indonesia TABEL 6-8 Keadaan Kawasan Pemukiman Kumuh (%) Kriteria KUMUH desa kota desa kota Asal bangunan dari menyerobot Tidak jelas hak atas tanah Luas bangunan < 20 m antara m 2 5 n.a. n.a Kondisi Fisik Bangunan rusak berat rusak Di tepian sungai-danau-waduk-laut Daerah rawan bencana Sumber: Statistik Tistik Perumahan 2001; 2004; BPS 2201 Dari dua tabel data sederhana yang disajikan di atas ternyata keadaan perumahan dan pemukiman di Indonesia beragam keadaannya. Memang masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan, namun sama sekali tidak mustahil dan juga tidak menunjang konsep housing backlog yaitu seakan rumah yang tidak layak bersifat utuh dan berada di tempat tertentu. Upaya memperbaiki keadaan perumahan dan pemukiman dapat dilakukan lebih terarah, tepat sasaran, dan dengan biaya lebih ringan serta tidak perlu dilakukan tersentral, baik di pusat maupun propinsi. Dasar Dan Arah Menuju Perumahan dan Pemukiman Abad XXI Dari berbagai uraian di atas, ada beberapa prinsip dasar bagi pengembangan perumahan dan pemukiman abad XXI yang perlu diperhatikan yaitu: Perkembangan penduduk telah menunjukkan kecenderungan yang positif, namun peningkatan kualitas sebagian besar warga belum mampu menghadapi tantangan dan peluang yang ada di abad XXI. Mobilitas dan inisiatif warga lapis bawah masih harus menghadapi banyak halangan dan hampir tidak ada dukungan dari institusi publik. Pengembangan perumahan dan pemukiman tidak boleh dijadikan sebagai tujuan, melainkan hanya sebagai sarana untuk membangun manusia dan masyarakat yang tangguh dan handal. Harus diperhatikan pula bahwa membangun perumahan dan pemukiman bermutu dan canggih dapat lebih banyak menyisihkan warga untuk dapat meraihnya. Harus dipertimbangkan dan dimanfaatkan kaitan erat perkembangan perumahan dan pemukiman dengan perkembangan kota pada umumnya. Kota secara signifikan 4 Pada data tahun batas yang dipakai BPS adalah < 19 m 2 5 Pada data tahun batas yang dipakai BPS adalah m 2

244 Infrastruktur 241 menjadi baik, produktif, dan kompetitif bila perkembangan yang sama terjadi lebih dahulu pada pengembangan perumahan dan pemukimannya. Dinamika perkembangan perumahan dan pemukiman tidak mungkin dibatasi oleh batas administratif kota atau kabupaten. Kota, baik besar atau kecil, akan ikut terpengaruh oleh kegiatan pembangunan perumahan dan pemukiman yang mengikuti peluang yang ada maupun yang diciptakannya sendiri. Makin maju serta berperannya globalisasi dan kemajuan teknologi harus disikapi positif dan dipakai menjadi dasar penting dalam memajukan kota abad XXI melalui pembangunan dan pengembangan perumahan dan pemukiman yang memenuhi syarat dan tuntutan serta peluang yang diberikan abad XXI, tanpa terjebak kehebatannya yang berdampak negatif terhadap eksistensi warga lapis bawah. Dengan demikian, pembangunan kota harus terintegrasi dengan pembangunan perumahan dan pemukiman yang saling terkait dan mempengaruhi. Oleh karena itu, kota harus ditata sedemikian rupa agar sekitar separo dari kota merupakan kawasan permukiman bagi semua lapisan masyarakat yang menjalankan dan menghidupkan kota; sepertiga bagi aspek lingkungan baik hijau maupun air dan udara segar dan sisanya merupakan kawasan niaga yang intensif dan bermutu tinggi. Sarana kota harus menjamin manusia yang bermutu sesuai dengan paradigma manusia ketiga yaitu kemanusiaan. Bagian lama kota yang sebagian besar berupa kawasan perumahan dan pemukiman tetap harus dijaga, dirawat, dan ditingkatkan kemanfaatan sosial dan ekonominya. Implikasi Keruangan Sistem perumahan dan bangunan umum tetap harus mematuhi pola low-rise high density, artinya bangunan paling tinggi seperti diterapkan di Surabaya adalah 30 lantai dengan kendali kerapatan melalui KDB dan KLB. Biasanya kawasan dibagi dalam beberapa blok dan tiap blok hanya ada satu bangunan tinggi. Hal ini beda dengan yang dilakukan di kawasan Sudirman Jakarta, tetapi umum di kota-kota Eropa baik Inggris, Perancis, Belanda dan Jerman. Banyak kota di Jepang juga memakai pola ini, kecuali Osaka dan Tokyo. Penataan seperti itu akan berdampak positif terhadap sistem lalu lintas dan angkutan umum. Biasanya makin ke pinggiran kota ketinggian bangunan juga makin berkurang jadi kota mengikuti pola pyramidal. Dengan demikian, skala manusia (human scale) kota tetap terjaga dan manusia merasa punya tempat di ruang kotanya yang keruangannya terbagi lebih merata dan terkendali dengan baik. Juga ruang terbuka dapat lebih mudah diadakan. Di kota perumahan berlantai banyak merupakan keniscayaan. Kawasan perumahan berada di tengah blok, sehingga bagian yang ada di tepi jalan dengan nilai ekonomi tinggi diperuntukkan bagi bangunan komersial. Di belakangnya ada perumahan bagi berbagai lapisan masyarakat. Ada blok bagi perumahan kelas atas, kelas menengah, dan lapisan bawah. Jadi blokblok ini harus ditata dengan memperhatikan nilai ekonominya. Ada blok dengan fasilitas komersial tinggi, di dalamnya ada perumahan tingkat atas dan seterusnya. Sebaiknya kota memakai pola grid yang luwes, bukan berdasarkan koridor. Pola grid dapat diterapkan pula pada kota lama seperti dilakukan di Surabaya. Pola ini lebih

245 242 Metropolitan di Indonesia baik dalam membagi kepadatan dan distribusi ruang kota serta kepadatan lalu lintas. Tiap blok dengan sendirinya dapat dicapai dari berbagai arah sehingga menghindari konsentrasi lalu lintas seperti yang terjadi pada pola koridor. Sebaiknya kota, terutama di pusatnya, juga bersifat high-tech, artinya berbagai perlengkapan kota dilakukan memakai sistem ICT dan low energy seperti penerangan umum yang memakai enerji dari solar cell dan dikendalikan oleh solar switching. Demikian pula di bagian kota tersedia hot-spot agar warga mudah melek ICT. Semua bangunan adalah bangunan cerdas dengan arsitektur yang memakai prinsip passive low energy. Hal ini bukan lagi merupakan barang mewah dan mahal tetapi sudah merupakan keniscayaan. Rumah dapat dikendalikan dan diawasi memakai mobile phone dan sebagainya. Taman harus banyak dan tersebar, namun tidak harus besar sebagai konsekuensi dari ICT yang membuat manusia makin perlu melakukan sosialisasi dengan sesamanya. Pelaksanaan tidak harus sekaligus di seluruh kota, tetapi memasuki dasawarsa kedua abad ini tiap kota punya kawasan model yang sudah memakai prinsip di atas. Kecepatan penyebaran dari model ini diserahkan pada kemajuan sosial-ekonominya. Penutup Masih ada beberapa catatan penutup yang perlu dikemukakan. Pertama adalah bahwa tidak mungkin dikemukakan atau ditemukan satu resep atau konsep umum yang dapat dipakai untuk menyelesaikan masalah perumahan dan pemukiman yang dapat diberlakukan bagi dan pada semua kota di Indonesia. Kota di Indonesia dapat dan harus dikonsepsikan sebagai kawasan bermukim yang handal, berkepribadian, dan mampu memajukan kemanusiaan warganya. Pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilakukan sebagai pilihan yang bijak serta terpadu dengan kepribadian dan kekhasan lokal dari tiap-tiap kota. Pengembangan perumahan dan pemukiman di kota-kota Jepang dan Perancis dapat menjadi acuan yang menarik. Banyak ahli perumahan, pemukiman, dan perencanaan kota yang dilatih di dua negara ini pasti dapat memberikan pemikirannya dalam mengembangkan perumahan dan pemukiman Indonesia siap berada di abad XXI bersama kota-kota lain di dunia dalam jejaring yang terbentuk makin erat. RUANG TERBUKA HIJAU Pendahuluan Pembangunan ruang terbuka kota harus merupakan pertimbangan dan perhatian pengelola kota, terutama para arsitek lansekap, para pemakai, serta publik umumnya. Beberapa studi menemukan bahwa persyaratan untuk dapat menyediakan ruang-ruang terbuka yang baik, tak hanya hijau/ taman, tetapi juga plasa dan bentuk-bentuk ruang terbuka kota lain, adalah dengan mengikuti apa yang merupakan kebutuhan publik kota tersebut. Kebutuhan dalam ruang terbuka termasuk berbagai pertimbangan yang mungkin persyaratannya berbeda-beda, seperti perlunya kenyamanan dan relaksasi, privatisasi ruang publik, dan pengurangan kemungkinan konflik antar pengguna pada masing-masing tipe ruang terbuka kota tersebut. Kota memerlukan pengelolaan sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan penduduknya untuk kualitas hidup yang baik. Karena karakteristiknya yang

246 Infrastruktur 243 khas, maka kota memerlukan kebijakan kepemerintahan pengelolaan lingkungan hidup (PLH) yang baik (good environmental governance) guna mempertahankan kualitas fungsi lingkungan hidup secara optimal yang salah satu cirinya adalah tersedianya ruang terbuka hijau (RTH) yang mencukupi. Akibatnya terjadi perubahan bentuk kota-kota yang beranekaragam baik karena pengaruh tata nilai kemanusiaan lokal, regional, maupun internasional, pertimbangan akan eksistensi ruang-ruang terbuka termasuk di dalamnya RTH menjadi semakin mendesak, walaupun diakui bahwa kriteria penentuan bentuk, lokasi, dan mutu RTH masih terus-menerus memerlukan pengkajian (Haeruman 1996). Penataan RTH kota yang menyebar rata di seluruh kota merupakan upaya meningkatkan kualitas lingkungan pada semua sudut kota. Penataan kembali struktur kota yang menyeimbangkan antara kawasan terbangun dan tidak memerlukan gerakan penghijauan kota. Di Eropa, gerakan ini diilhami konsep Kota Taman yang dikembangkan Ebenezer Howard di Inggris (1989) dalam bukunya The Garden Cities of Tomorrow yang muncul akibat kondisi lingkungan Kota London yang memburuk. Konsep ini segera diikuti oleh kota-kota besar lain di Eropa yang kualitas lingkungannya pun terus menurun akibat digalakkannya industri pada akhir abad XIX tersebut yang ternyata menimbulkan polusi. Upaya utama untuk memerangi polusi ini adalah melalui penataan kota terutama di kawasan permukiman dengan menyediakan ruang-ruang terbuka yang hijau sebagai ventilasi kota sekaligus untuk rekreasi dan sosialisasi warga kotanya. Diyakini bahwa RTH sebagai bagian dari sistem tata ruang kota mampu meredam berbagai dampak negatif akibat kegiatan manusia yang melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan sekitarnya. Dalam rangka memperbaiki kualitas lingkungan hidup kota, Francis (2003) seorang arsitek dan kawan-kawan nya (Steve Carr, arsitek; Leanne Rivlin, ahli kejiwaan lingkungan; Andrew Stone, planolog) mengusulkan tiga dimensi perencanaan ruang publik yang baik, yaitu: (1) responsif terhadap kebutuhan pemakai; (2) persamaan hak (akses untuk semua, demokratis), dan (3) mampu menjadi berarti bagi komunitas lain atau sosial masyarakat lain yang lebih luas. Permasalahan Sebagaimana diuraikan sebelumnya, timbulnya permasalahan lingkungan di wilayah perkotaan diakibatkan oleh tidak tersedianya ruang karena penduduk terus bertambah, sedang ruang relatif tetap. Demikian pula yang terjadi di wilayah perdesaan, apalagi yang berbatasan dengan kota-kota besar. Perdesaan menjadi sasaran penguasaan lahan sebagai limpahan pemenuhan kebutuhan akan ruang berakibat pada semakin menurunnya fungsi lingkungan secara umum. Dapat dilihat pada GAMBAR 6-12 di bawah ini suasana perdesaan di Bali dan biasa ditemukan juga di Jawa Barat, tempat kehidupan tradisional biasa berlangsung yang menunjukkan adanya sistem pekarangan yang dikelola sedemikian rupa sehingga buangan (di sini kulit beras atau dedak dan menir hasil tampian ) sengaja dimasukkan ke dalam proses kehidupan yang memerlukan masukan energi dari daurulang buangan yang dibantu pula oleh adanya mikroba.

247 244 Metropolitan di Indonesia GAMBAR 6-12 Upaya daur-ulang dalam sistem taman pekarangan yang memanfaatkan limbah untuk budi daya ikan di perdesaan Bali Sumber: Hill Penduduk kota sebenarnya masih mungkin menerapkan sistem kehidupan semacam itu, tentu dalam skala yang lebih kecil sehubungan dengan kavling kota yang juga terbatas. Bahkan penduduk kota di Eropa, misalnya, yang biasa tinggal di rumah susun sangat merindukan untuk bisa menyentuh alam secara langsung. Oleh karena itu, pemerintah kota khusus menyediakan suatu ruang khusus untuk bertani, yang disebut allotments disewa dengan kontrak sekian tahun hingga tiap musim panas mereka masih berkesempatan untuk bertani. Sketsa sustainable (eco) house semacam yang disajikan di GAMBAR ditinjau dari sistem daur ulang dan efektivitas pemanfaatan sumber daya alam (SDA) adalah merupakan rumah tinggal ideal. Sangat mungkin diterapkan secara penuh di wilayah pinggiran kota (suburb) atau di perdesaan. Dapat dikatakan bahwa kebutuhan hidup sehari-hari penghuninya terutama persediaan makanan sehat dalam lingkungan (udara, tanah, dan air) dari sistem pertanian yang bersih, segar, bebas pengawet kimiawi akan selalu tersedia. Kecenderungan back to nature semacam ini sudah benar-benar dipraktekkan di negara-negara yang sudah mapan, khususnya di Jerman. Mereka pun bekerja dengan teknologi dan komunikasi elektronik (website) tanpa harus berdesakan dalam lalu lintas macet. Kecenderungan hidup dalam sistem eco-house semacam ini sudah menjadi bagian kehidupan orang-orang Barat, seperti orang-orang kota yang sekitar dua dekade ini justru pindah ke kawasan perdesaan menghindari polutan, kebisingan, dan hiruk pikuk perkotaan menuju kawasan perdesaan, kemudian membangun sistem kehidupan secara subsisten.

248 Infrastruktur 245 GAMBAR 6-13 Sustainable Eco-House Sumber: Cutler 1983 Kota metropolitan adalah mutlak harus ada pengelolaan terpadu air limbah (sewerage system) dan sampah padat sehingga kalau mungkin menjadi zero-waste dari sumbernya sehingga volume sampah padat tidak menumpuk di TPAS atau TPS. yang menjadi pemborosan ruang dan ongkos. Masalah Khusus di Lingkungan Perkotaan Kemacetan lalu lintas adalah akibat jumlah kendaraan bermotor berbahan bakar fosil/ BBF, terutama kendaraan bermotor milik pribadi yang melebihi kapasitas jalan, menyebabkan polusi udara; kondisi udara yang mengandung satu atau lebih zat kimia dalam konsentrasi yang cukup tinggi sehingga menyebabkan gangguan pada makhluk hidup (manusia, hewan, dan tumbuhan) maupun benda mati (karat, kotor, rusak). Akibat langsung dari polusi adalah menurunnya kesehatan dan secara tidak langsung akan menurunkan produktivitas serta potensi ekonomi masyarakat pada umumnya. Banyak pula bagian tanaman di Jakarta yang sudah mengandung zat timbal (Pb) akibat penjerapan maupun penyerapan. Kontribusi pencemar udara yang berasal dari gas buang kendaraan bermotor (khususnya timbal) mencapai persen, sedangkan industri hanya sekitar persen; sisanya berasal dari kegiatan lain, seperti dari rumah tangga, pembakaran sampah, dll. (Purnomohadi. 1994). Zat pencemar karbon monoksida (CO) bersumber dari kendaraan bermotor adalah yang terbanyak. Namun, hendaknya tak dipertimbangkan hanya dari jenis dan total emisi serta sumber per tahun semata-mata, yang penting bagi dasar penanggulangan dan pengendalian pencemaran udara adalah harus dipertimbangkan pula dampak negatif (bahaya) tiap jenis zat pencemar khususnya terhadap kesehatan manusia. Misalnya, Sulfur dioksida (SO2) dan partikulat (SPM) ternyata memiliki jumlah yang tinggi (sangat nyata), sedangkan karbon dioksida (CO2) justru paling rendah dari lima zat pencemar tersebut (Anies 2002).

249 246 Metropolitan di Indonesia Kewenangan pemantauan kualitas bahan bakar diberikan kepada kantor Kementerian Negara Lingkungan Hidup (selain kepada Dirjen Minyak dan Gas Bumi) melalui Permen KLH No. 1/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerjanya. Bekerja sama dengan Komite Penghapusan Bensin Bertimbal, KLH telah melakukan kegiatan pemantauan kualitas bahan bakar di Indonesia dengan objek pemantauan bensin premium dan minyak solar di 20 kota (Indonesian Fuel Quality Report, 6 Sep 2006). Upaya ini dilakukan untuk mengendalikan kualitas udara kota sehingga emisi hidrokarbon (HC) maupun sulfur (SOx) akan menurun serta mendorong industri otomotif untuk memproduksi kendaraan yang lebih ramah lingkungan. Dilaporkan bahwa dibandingkan tahun 2005 lalu maka tahun ini (2006) terdapat penurunan tajam kandungan zat pencemar timbal di udara, dari 0,133 gram/liter menjadi 0,038 gram/liter, berarti ada penurunan sebesar 0,095 gram/liter atau setara 71,43 persen. Apabila bahan bakar sudah bebas timbal, maka untuk mengurangi emisi gas buang kendaraan sampai 90 persen perlu dengan dilengkapi catalytic converter. Untuk bahan bakar solar terdapat penurunan kandungan belerang dari 2950 ppm di tahun 2005 menjadi hanya 700 ppm di tahun 2006 yang berarti turun 76,3 persen. Terdapat hubungan erat antara belerang ini dengan partikulat (PM); kandungan belerang dari 500 menjadi 30 ppm akan menurunkan emisi partikulat menjadi 7 persen. Terdapat pula pengaruh negatif akibat emisi nitrogen oksida (NOx) maupun karbon monoksida (CO) yang bila terhirup, sangat cepat mengikat oksigen dalam cairan darah sehingga bisa menyebabkan orang mati lemas; kedua bahan tersebut tidak berbau dan tidak berwarna. Dampak negatif berupa bahaya terhadap kesehatan ini penting untuk diinformasikan kepada masyarakat. Pencemar udara menimbulkan gangguan kesehatan, menyebabkan rangsangan atau pencetus timbulnya sejumlah penyakit terutama terhadap kelompok yang rentan, seperti bayi dan balita, manula, dan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang biasanya termarjinalkan ke dalam lingkungan perumahan yang buruk. Penyakit pernapasan menahun (bronkhitis, asma, dan emfisema paru), selain disebabkan oleh asap rokok juga karena adanya partikulat asam sulfur, nitrogen oksida, dan seterusnya. Di Amerika (penelitian tahun 70-an), bronkhitis kronik menyerang satu di antara lima orang laki-laki berumur tahun sehubungan dengan asap rokok dan udara tercemar kota. Banyak penemuan berupa kelainan fisiologis kehidupan manusia dapat dilihat lebih dini sebelum tanda-tanda penyakitnya benar-benar muncul atau dapat dirasakan. Hal ini penting untuk mengambil segera langkah-langkah penanggulangannya (Anies 2002). Tindakan sedini mungkin, sangat perlu diupayakan sebelum satu atau lebih jenis penyakit menjadi wabah bagi masyarakat umum (menjadi endemic dan atau pandemic). World Health Organization (WHO) dalam Inter-regional Symposium on Criteria for Air Quality dan Method of Measurement telah sepakat menetapkan tingkat konsentrasi polusi udara dalam hubungan dengan kesehatan manusia dan lingkungan sebagai berikut (Anies 2002, dimodifikasi): Tingkat I Tingkat II : Konsentrasi rendah dan tidak (belum) ditemuinya akibat langsung maupun tidak; : Konsentrasi yang mungkin sudah ditemui iritasi pada alat pancaindera; batasan penglihatan atau akibat lain yang berbahaya bagi lingkungan (misal sudah membahayakan tumbuh-tumbuhan) disebut adverse level;

250 Infrastruktur 247 Tingkat III : Konsentrasi yang mungkin sudah menimbulkan hambatan pada fungsifungsi fatal dan vital serta mungkin dapat menimbulkan penyakit menahun atau umur pendek (serious level); Tingkat IV : Konsentrasi yang mungkin sudah menimbulkan penyakit akut atau kematian pada golongan populasi yang peka (emergency level). Bahaya pencemaran udara tersebut di atas terutama yang berkaitan dengan kesehatan manusia juga akan berpengaruh langsung terhadap media lain, yaitu air dan tanah. Sebagaimana diketahui bahwa di bumi ini terdapat siklus alam yang terus berlangsung dalam proses alami maupun buata,n kualitas udara yang buruk atau semakin menurun akibat pencemaran udara secara langsung maupun tidak, akan menyapu barang atau tumbuhan di atas permukaan tanah melalui aliran atau curahan air hujan masuk ke dalam sistem hidrologi maupun struktur tanah di bawah permukaan. Apabila pencemaran udara dapat dikendalikan atau konsentrasinya dapat semakin diturunkan maka pencemaran terhadap media lingkungan yang lain juga akan berkurang. Sudah dibuktikan oleh banyak peneliti bahwa unsur hijau tanaman, apalagi bila peletakannya dapat dirancang dengan baik (pengisi taman, taman hutan kota, ataupun sekadar padang rumput) akan mampu mereduksi zat pencemar udara tersebut. RTH sebagai suatu sistem Keberadaan RTH dalam kota sangat penting ditinjau dari segi ekologis, ekonomis, edukatif, dan estetika (TABEL 6-9). RTH dapat berfungsi sebagai: Fisik/bio-ekologis: pembentuk iklim mikro (udara kota biasanya lebih hangat 2-3 derajat celsius dibanding wilayah perdesaan pinggirannya) dan keseimbangan lingkungan hidup Sosial-ekonomi-budaya: Produktivitas (sumber makanan, bahan baku industri), pendidikan, terpeliharanya tata-nilai (etika) kemanusiaan, dan sebagainya. Estetika: Asri, konservasi pengkayaan plasma nutfah, pendidikan lingkungan, sumber inspirasi (rekreasi), dan untuk bersosialisasi antaranggota masyarakat. Secara umum tanaman dalam berbagai jenis RTH akan: Menjamin ketersediaan oksigen dalam proses asimilasi alami (photosintesis dan respirasi). Menciptakan iklim yang sehat dan bebas polusi karena keseimbangan lingkungan terpelihara. Menciptakan suasana teduh, nyaman, bersih, dan indah. Mengendalikan tata air secara optimal. Menyediakan sarana rekreasi dan wisata kota yang terjangkau. Lokasi cadangan untuk sistem sanitasi kota. Sebagai sarana penunjang pendidikan dan penelitian.

251 248 Metropolitan di Indonesia TABEL 6-9 Tipologi Ruang Terbuka Kota Tipe/sub Tipe Ruang Terbuka Keterangan 1 TAMAN UMUM (Public Parks) Taman Umum (Central) Taman Kota Tua (Perdagangan Down Town) Umum (common area) Ruang terbuka yang dibangun dan dikelola umum sebagai bagian dari sistem zona ruang terbuka kota; ruang terbuka yang penting bagi kota dan sekitarnya seringkali lebih luas dari taman lingkungan Taman hijau dengan rerumputan dan pepohonan yang terletak di kawasan Kota Tua (downtown); bisa tradisional, taman bersejarah, maupun ruang terbuka yang baru dibangun Sebuah area hijau yang luas dibangun di kota-kota tua dimanfaatkan untuk bersantai. Taman Lingkungan (neighborhood) Taman Mini (Vest pocket) 2 SQUARES dan PLAZAS Central Square Ruang terbuka di lingkungan permukiman yang dibangun dan dikelola publik sebagai bagian dari zonasi ruang terbuka kota-kota atau sebagai permukiman yang dibangun oleh privat (swasta); bisa termasuk taman bermain atau olahraga. Taman kota yang relatif kecil dibatasi oleh dinding-dinding gedung; bisa termasuk air mancur atau perlengkapan dekorasi air mancur. Square dan Plaza seringkali sebagai bagian dari pembangunan taman sejarah di pusat kota; bisa ditanami secara formal atau sebagai tempat bertemu atau jalan secara teratur dibangun dan dikelola oleh pemerintah. 3 MEMORIALS Tempat umum untuk mengenang orang atau kejadian, baik skala lokal maupun nasional 4 MARKETS 5 JALUR-JALUR JALAN (Streets) Ruang terbuka atau jalan yang digunakan oleh petani untuk berjualan atau pasar lokal, seringkali hanya sementara, hanya ada pada waktu-waktu tertentu pada ruang yang ada, seperti taman, jalan-jalan di kota tua, atau di lokasi parkir. Jalur Jalan pedestrian Pedestrian Mall Transit Mall Jalur lalu-lintas Jalan Terbatas Tapak Jalur Jalan-Jalan Kota (Town trails) Bagian kota tempat orang bergerak dengan berjalan kaki; biasanya jalur samping jalan dan jalur jalan yang direncanakan atau ditemukan Jalan ditutup dari lalu lintas kendaraan, disediakan kenyamanan bagi pejalan kaki seperti bangku-bangku, jalur-jalur tanaman; seringkali terletak di jalan utama di kawasan kota tua Pembangunan transit untuk umum menuju kota tua sebagai pengganti tradisional pedestrian mall. Jalur jalan dipergunakan sebagai ruang terbuka; kendaraan dilarang masuk. Termasuk peningkatan pedestrian, peningkatan dan pelebaran jalur jalan, tanaman tepi jalan Menghubungkan bagian-bagian kota melalui tapak-tapak (trails) pedestrian yang terintegrasi. Pemanfaatan jalan dan ruang terbuka yang direncanakan untuk pelajaran atau pelatihan lingkungan hidup, beberapa sengaja dirancang untuk petualangan (marked trails)

252 Infrastruktur 249 Tipe/sub Tipe Ruang Terbuka Keterangan 6 TAMAN BERMAIN (Play ground) Taman Bermain Halaman sekolah 7 RUANG TERBUKA KOMUNITAS Taman Warga 8 Jalur hijau &Taman Jalur Hijau Linier 9 Daerah Kota Alami (liar/wilderness) 10 ATRIUM / PLASA DALAM BANGUNAN Atrium Pasar/pertokoan Kota Tua 11 RUANG-RUANG LINGKUNGAN PERMUKIMAN Ruang Aktivitas Harian Ruang Permukiman 12 TEPI AIR (Waterfront) Tepi air, pelabuhan, pesisir, tepi sungai, darmaga, tepian danau Taman bermain yang terletak di lingkungan perumahan; seringkali termasuk sarana (perlengkapan) permainan tradisional seperti papan luncur dan ayunan, kadang termasuk perlengkapan taman seperti bangku-bangku untuk orangtua. Dapat juga termasuk perancangan inovatif seperti taman bermain petualangan Halaman sekolah sebagai area bermain; beberapa dimanfaatkan sebagai lokasi untuk pengenalan dan pembelajaran tentang lingkungan atau dapat digunakan pula untuk ruang pertemuan warga. Dirancang untuk ruang lingkungan permukiman; dibangun dan dikelola oleh penduduk lokal pada lahan tidur (kosong). Termasuk taman pasif yang untuk dilihat saja, area bermain, dan kebun bersama. Sering dibangun di atas lahan pribadi. Secara formal tidak dilihat sebagai bagian dari sistem ruang terbuka kota sebab sangat mudah dimanfaatkan untuk kegiatan lain seperti dibangun untuk perumahan atau sebagai areal komersial Jalur rekreasi dan area alami yang saling berhubungan melalui jalur jalan kaki atau jalur sepeda. Daerah tidak dibangun (alami, liar) di dalam atau dekat kota untuk pendakian dan rekreasi. Sering menyebabkan konflik antar rekreasi dan konservasi ekologi Ruang interior pribadi yang dibangun sebagai ruang atrium dalam; plaza yang tertutup (dapat dikunci) atau jalur pedestrian sebagai bagian dari sistem ruang terbuka. Di beberapa kota atrium dibangun dan dikelola secara pribadi sebagai bagian perkantoran baru atau bangunan komersial Interior area perbelanjaan pribadi biasanya berdiri atau rehabilitasi gedung lama. bisa terdiri dari ruang dalam atau luar; kadang dinamakan pasar festival. Dibangun dan dikelola sebagai bagian perkantoran baru/bangunan komersial Ruang terbuka yang bisa diakses publik seperti sudut jalan dan tangga menuju bangunan yang dapat diakui dan dimanfaatkan oleh semua penghuni Ruang terbuka yang bisa diakses publik seperti sudut jalan atau lahan terbuka, dekat permukiman bisa juga kosong atau tidak dibangun di lingkungan permukiman atau di lapangan kosong, sering dipakai oleh anak-anak, remaja, dan penduduk lokal Ruang terbuka sepanjang jalur air di dalam kota Sumber: Francis Catatan: Istilah Park diterjemahkan sebagai Taman.

253 250 Metropolitan di Indonesia (1) Pentingnya Penataan Taman Lingkungan Mulai dari Unit Terkecil Tingkat Kelurahan sampai ke Lingkungan Kota Berbagai program pemerintah maupun masyarakat, seperti gerakan penghijauan dan rehabilitasi lahan, termasuk penghargaan Adipura dalam Program Bangun Praja, dimaksudkan untuk membentuk kondisi lingkungan yang baik untuk kehidupan, khususnya bagi manusia penghuninya. Pada hakikatnya perbaikan kualitas lingkungan harus dimulai dari diri sendiri, anggota keluarga dalam zona lingkungan permukiman. Perlu dicermati pemilihan jenis-jenis tanaman yang sesuai dengan habitus, fungsi, dan skala ruang yang ada. Sebagai negara kepulauan beriklim tropis lembab maka faktor pohon lindung untuk melindungi dari sinar matahari, angin dan polutan yang berupa pohon dengan tajuk (kanopi) lebar dan berdaun relatif kecil (transparan) merupakan unsur RTH yang mutlak harus ada. Oleh karena lahan untuk ditanami pohon ini sangat terbatas (terutama di permukiman padat dan kumuh ), sangat diperlukan inovasi dan kreasi khusus agar tujuan perencanaan taman maupun penanaman tanaman individual tercapai. Penentuan perletakannya pun harus ditentukan dan mengacu pada perencanaan RTH Kota dan bisa dilaksanakan masing-masing oleh masyarakat; merupakan kegiatan masyarakat lokal sendiri. Dengan demikian, masyarakat akan merasa ikut memiliki dan dengan sendirinya akan bertanggung jawab untuk memelihara keberlanjutan hidup berbagai tanaman peneduh yang biasanya ditanam di lahan umum untuk kepentingan bersama. Pimpinan masyarakat dapat langsung memantau di lapangan pada daerahnya masing-masing dan cukup sebagai fasilitator saja. Terdapat beberapa teknik penanaman yang sedikit berbeda bagi pohon pelindung dan bentuk-bentuk tanaman lain (yang pertumbuhannya relatif lebih rendah dari pepohonan). Degradasi ketinggian dapat diatur sedemikian rupa; dari rumput, penutup tanah, semak, perdu sampai pohon, sehingga menghasilkan suatu karya seni yang indah dan fungsional tentu akan menyenangkan dan yang penting menyehatkan penghuni yang hidup di lingkungan tersebut. Seringkali ditemui dan nampaknya akan lebih sulit bila mengelola taman pekarangan di atas ruang yang relatif sempit. Namun, apabila direnungkan dan diamati lebih dalam maka menata ruang sempit di kota justru relatif mudah dalam arti energi yang dibutuhkan lebih sedikit, hanya diperlukan sedikit kreativitas, ide, dan inovasi teknis, misalnya dalam perancangan serta kejelian pemakaian jenis tanaman yang tahan terhadap ruang yang sempit dan kondisi kurang cahaya matahari langsung. Jenis penutup tanah, apalagi rumput, umumnya sangat memerlukan sinar matahari langsung, namun tetap ada jenis yang kuat di keteduhan, misalnya jenis rumput paitan (carpet grass), sebagai lawan : rumput embun, rumput manila (Zoysea matrella) yang sangat perlu sinar matahari penuh. (2) Fungsi Tanaman Metode pengendalian polusi di kawasan perkotaan khususnya terhadap media lingkungan yang penting agar tidak menimbulkan masalah kesehatan secara langsung dan tepat, seharusnya ditargetkan pada sumbernya. Misalnya: Penerbitan Peraturan Perundang-undangan dan pelaksanaannya (dan penegakkan hukum yang konsisten), antara lain terkait dengan penataan ruang, rasionalisasi antara jumlah kendaraan

254 Infrastruktur 251 bermotor, industri dan pembangunan sarana berbentuk struktur fisik (seperti bangunan, pabrik, jalur lalu lintas, dan lain-lain) seharusnya berbanding rasional dengan daya dukung dan daya tampung ruang kota yang ada, atau diperlukan inovasi teknologi yang dapat diterapkan. Namun, yang tak kalah penting, adalah upaya tidak langsung melalui pembangunan berbagai macam (tipologi) RTH dengan elemen pokok tanaman, yang menyebar merata ke seluruh pelosok kota sebagai penyeimbang ruang terbangun tersebut. Taman rumah (pekarangan, halaman, kalau ada) sampai taman lingkungan, adalah aspek penting bagian RTH yang kegunaannya bagi pemenuhan kebutuhan dasar penduduknya khususnya bagi kesehatan fisik dan mental serta kesejahteraan sangat nyata. Diskusi tentang eksistensi RTH ini amat penting dan harus terus-menerus dilakukan dan kualitasnya pun agar selalu ditingkatkan terutama pada skala rumah tangga. Pembahasan tentang multifungsi tanaman sebagai produsen primer sudah diajarkan sejak tingkat SD bahkan TK. Namun demikian, disayangkan bahwa untuk proses pemahaman selanjutnya, terutama praktek lapangan, pengetahuan dasar tentang eksistensi kehidupan primer yang amat penting bagi kehidupan ini justru semakin jarang diingat apalagi diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan dasar tentang habitus jenis tanaman tertentu perlu diperhatikan agar dapat tercapai hasil perancangan sesuai yang diimajinasikan, antara lain: Kebutuhan RTH di Masa Depan Pada waktu jumlah manusia di kawasan perkotaan tidak sebanyak sekarang, Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota belum banyak didiskusikan karena lingkungan hijau alami secara nyata ada di sekeliling kehidupan manusia di mana pun ia berada. Kemudian peradaban termasuk kebudayaan dan ilmu pengetahuan serta teknologi terus berkembang, demikian pula jumlah manusia di dunia sehingga manusia hidup bersosialisasi membentuk berbagai jenis permukiman dalam ukuran relatif kecil, seperti lingkungan perdesaan yang paling hanya terdiri dari sekelompok orang dari sekitar 10 keluarga ke ukuran menengah yang disebut lingkungan kota (kecil, sedang, besar) sampai ke metropolitan, megalopolitan yang jumlah penduduknya sampai berjuta-juta seperti New York, Beijing. Taman, apa pun nama, ukuran maupun bentuknya, sesuai fungsinya mulai dari pekarangan sampai taman umum adalah bagian lingkungan alami di perkotaan yang dikenal sebagai RTH di perkotaan. RTH menjadi suatu unsur penting untuk keberlangsungan kehidupan manusia khususnya sebagai penyeimbang unsur bangunan (struktur) di lingkungan perkotaan. Dalam kehidupan yang penuh tekanan di lingkungan perkotaan, tamanlah yang mampu memenuhi kebutuhan naluri kemanusiaan agar tetap dapat meneruskan kehidupannya secara berkualitas lahir dan batin. Dengan semakin terbatas serta mahalnya nilai lahan perkotaan, satu-satunya hak milik yang masih bisa dinikmati sebagai ruang perlindungan kehidupan ini adalah taman rumah atau garden yang mungkin hanya berupa pot-pot berisi tanaman yang sengaja disusun di sekitar tempat tinggal kita, termasuk di teras-teras (terrace/roof garden) di antara ruang-ruang sisa di rumah susun yang mulai banyak dibangun di lingkungan kota (khususnya Jakarta). Untuk memenuhi kerinduan akan dunia alami yang sangat penting guna menunjang semangat (spirit) hidup manusia kota, sangatlah penting bila tiap orang mampu bersikap

255 252 Metropolitan di Indonesia efektif dan seoptimal mungkin memanfaatkan ruang yang masih tersisa seberapa pun sempitnya, baik di sekitar tempat tinggal maupun (mungkin) di dalam rumah. Kalau ternyata memang ruang sisa ini terlalu sempit sehingga tidak mungkin menciptakan ruang hijau, maka pasti dengan tetangga terdekat bisa disatukan sisa-sisa ruang itu untuk kepentingan bersama. Kebutuhan akan RTH pada berbagai tipe ekologi (kawasan perdesaan, perkotaan, dan daerah alami) akan berbeda-beda. Bagi kota Jakarta misalnya, berdasar RTRW tahun 2010 target luas Hijau Binaan adalah 9.204,01 hektar. Setelah dikurangi taman permakaman, penghijauan pulau, dan budi daya ttanaman (urban agriculture), RTH yang berada di bawah wewenang Dinas Perrtamanan hanya seluas 4.611,91 hektar. RTH kota ini seharusnya dipelihara dan dipertahankan keberadaannya, mengingat fungsi pokoknya dalam meningkatkan kualitas lingkungan hidup. RTH kota juga merupakan aset, potensi, dan sekaligus investasi jangka panjang. Pada dasarnya manusia sebagaimana makhluk hidup lain sangat membutuhkan air sebab jumlah air dalam sel akan menentukan keadaan sel dan jaringan. Apabila tubuh kekurangan air atau cairan (dehidrasi), orang bisa meninggal sebab protoplasma dalam sel akan kekurangan cairan sehingga bisa hancur. Melalui berbagai jenis tanaman yang menyebar dalam berbagai RTH kota sesuai fungsinya, air mampu ditahan baik secara fisiologis (dalam tanaman itu sendiri, melalui proses fisiologis mikro, yaitu respirasi, transpirasi, dan fotisintesis) maupun secara ekologis. Penyebaran vegetasi secara biogeography juga ditentukan oleh kandungan air yang ada dalam media lingkungan (tanah, udara, dan badan air) serta menentukan pula jenis dan penyebaran vegetasinya. Tantangan Lahan permukiman di kawasan perkotaan semakin lama menjadi semakin sempit akibat selalu bertambahnya penduduk. Harga lahan menjadi relatif makin tinggi sehingga semua ruang yang ada dimanfaatkan seoptimal mungkin bahkan pembangunan ke arah vertikal sudah menjadi keharusan. Disayangkan bahwa mereka yang sebenarnya masih mampu dan berpeluang menata ruang permukimannya lebih seimbang, artinya unsur terbangun seimbang dengan unsur alami pendukung kehidupan, tidak mau menyisakan ruang yang memadai untuk kesehatan manusia di lingkungan permukiman secara menyeluruh (kompleks perumahan), bahkan kavling mereka diberi pagar tinggi-tinggi dengan alasan privacy dan keamanan. Taman yang ditata menurut kaidah pokok yang disesuaikan dengan maksud dan tujuan pembangunannya pasti akan membentuk suasana yang asri, nyaman, dan sehat. Jumlah penduduk kota di Indonesia yang selalu bertambah juga menyebabkan sumber kekotoran dan kegersangan semakin bertambah, maka mutlak diperlukan adanya kawasan tidak terbangun di kota. Perancangan lansekap di kawasan permukiman di bagian kota yang amat padat akan sangat berbeda dengan bagian kota yang relatif luas. Bila diperlukan penataan RTH dapat dilakukan di sepanjang tepian badan air, seperti sungai, waduk maupun sepanjang pesisir pantai. Pertimbangan itu hanya dilihat dari tersedianya ruang saja, belum dilihat dari faktor pertimbangan lain yang amat penting, yaitu biogeography-nya atau letak geografis yang secara alami sudah mempunyai karakteristik fisik dan biota tertentu. Demikian pula bentuk materi pelengkap taman seharusnya disesuaikan dengan kondisi

256 Infrastruktur 253 lingkungan tertentu misalnya di sepanjang jalur jalan; pot dan tanaman tidak boleh mengganggu para pengguna fasilitas jalan, khususnya pejalan kaki. Dari skala terbatas dimulai dari rumah pribadi, ke kompleks perumahan beserta segala sarana-prasarana kegiatan perkotaan, semuanya mutlak ada ruang terbuka (hijau) yang satu sama lain saling berhubungan dalam istilah perkotaan disebut: Integrated Metropolitan Park System GAMBAR 6-14 Nampak penempatan pot tanaman yang tak pada tempatnya (1) Program Penghargaan Adipura dan Bangun Praja Kantor Menteri Negara lingkungan hidup sejak tahun 1988 telah berusaha untuk menjadikan lingkungan kota menjadi sehat, aman dan nyaman serta asri untuk tempat tinggal dan usaha. Penghargaan Adipura kepada kota-kota yang bersih, teduh, dan nyaman hanyalah merupakan salah satu program menuju lingkungan perkotaan yang layak huni dan manusiawi. Upaya meningkatkan kualitas hidup dengan program ini menunjukkan mulai ada perubahan pandangan manusia terhadap lingkungan hidupnya, apalagi setelah orang merasakan betapa tingginya biaya yang harus dibayarkan untuk menanggulangi krisis lingkungan hidup terutama terhadap kesehatan. Artinya, bila kita tidak mau mengelola lingkungan hidup kita dengan baik maka kita sendirilah yang akan tertimpa risiko negatifnya, seperti timbulnya wabah penyakit demam dengue, flu burung, polio, dan lumpuh laya, di samping penyakit-penyakit yang sudah lama melanda kita akibat sanitasi lingkungan buruk, seperti penyakit kulit (eksim), lepra, malaria, Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), penyakit pencernaan (TCD), dan lain-lain. (2) Pengelolaan RTH Kota dan Aplikasinya dalam Program Bangun Praja. Kegiatan penilaian yang dimulai sejak tahun 2002 semakin meningkat kualitas dan kuantitasnya. Kriteria penilaiannya pun, karena sifat perkembangan kota yang dinamis, selalu ditingkatkan. Berdasar pada evaluasi setelah akhir penilaian, khusus sejak tahun ini (menjelang peringatan Hari Lingkungan Hidup/HLH Sedunia yang biasanya diselengggarakan di pertengahan tahun tepatnya setiap 5 Juni), diumumkan pula kotakota yang dinilai masih belum memperlihatkan kinerjanya atau masih di bawah angka

257 254 Metropolitan di Indonesia rata-rata. Dengan demikian, diharapkan agar kota-kota tersebut dapat meningkatkan kinerjanya. Lingkungan kota yang berkepadatan tinggi tetap bisa diusahakan agar selalu bersih, hijau, dan produktif; semua tergantung kepada niat dan partisipasi seluruh anggota masyarakat untuk mengejawantahkan tuntunan agama bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman dan seterusnya, menjadi perilaku terpuji dalam hidup keseharian. Kebersihan media tanah, air, dan udara yang menggambarkan kualitas lingkungan hidup yang sejati merupakan kebutuhan hidup hakiki manusia. Kemampuan untuk mau dan mampu bekerja sama antar satu anggota masyarakat sedikit demi sedikit agar peduli lingkungan ini perlu terus dikembangkan. Program-program pemerintah (KLH dan sektor lain) apa pun namanya, termasuk BP ini hanya lah suatu sarana agar situasi dan kondisi lingkungan hidup (perkotaan, khususnya) bisa memenuhi kebutuhan manusia agar bisa hidup sesuai hak asasinya, yaitu lingkungan hidup yang baik dan sehat. Program-program yang ada hanya dimaksudkan untuk memicu para pengelola kota (bersama masyarakatnya) untuk terus-menerus meningkatkan upayanya agar kualitas lingkungan hidup dapat terus ditingkatkan, diperbaiki, dan bermanfaat bagi kemaslahatan hidup orang banyak. Kebijakan yang seharusnya dilakukan Mengingat kondisi bio-geografi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang beranekaragam dan merupakan Negara Kepulauan yang terluas di dunia, maka paradigma penyelesaian permasalahan lingkungan khususnya RTH kota semakin tidak bisa diseragamkan seperti kebijakan pembangunan pada masa lalu. Pertimbangan pada kenyataan akan keanekaragaman fisik, sosial, ekonomi, dan budaya kota-kota di Indonesia perlu didekati secara spesifik dari lokasi ke lokasi. Apalagi dengan iklim desentralisasi hendaknya kepemerintahan di daerah dapat lebih mandiri dalam menerapkan good environmental governance (GEG)-nya. Meskipun demikian kapabilitas dan kredibilitas sumber daya manusia pada tiap-tiap daerah sangat perlu mendapat dorongan terus-menerus baik dalam pengelolaan sumber daya alam maupun hubungan antarmanusianya yang mampu untuk saling bekerja sama terutama dalam mengembangkan kota-kota secara modern sesuai dengan kebutuhan lokal yang sebelumnya sudah diidentifikasi terlebih dulu. Pengaruh global termasuk pentingnya komoditi ekosistem dan hak azasi manusia tidak bisa dihindari. Penampilan kepemerintahan di mana pun di dunia seringkali menyoroti perlakuan kita terhadap ekosistem, khususnya upaya perlindungan terhadap keanekaragaman hayati flora dan faunanya. Untuk itulah tiap-tiap negara berusaha pula memperhatikan agar jangan sampai kerusakan lapisan ozon akibat kegiatan negatif di lapisan atmosfer bumi ini terkait pula dengan kecenderungan pemanasan bumi. Belum lagi masalah HAM, pengentasan kemiskinan, dan seterusnya. Ini berarti pembangunan RTH secara optimal dan meluas harus dijalankan, terkait dengan penyediaan sumber air dan udara bersih serta tanah yang subur, juga menjadi kebutuhan penduduk kota metropolitan. Peran masyarakat dalam pembangunan RTH kota, hendaknya menjadi prioritas utama dengan memperhatikan keanekaragaman kebutuhan pokok maupun kebutuhan rekreatif dalam berbagai lapisan masyarakat. RTH yang sudah ada harus dipertahankan secara konsisten dan konsekuen melalui upaya pemeliharaan yang tepat, sambil meningkatkan kualitas dan kuantitasnya.

258 Infrastruktur 255 Permasalahan kebijakan, strategi, dan prospek pembangunan serta pengelolaan RTH merupakan hal-hal yang harus selalu menjadi bahan pertimbangan pokok agar tujuan pembangunan RTH dapat dicapai. Berbagai kendala yang perlu diperhatikan adalah beberapa kondisi dan situasi yang sampai sekarang masih belum dapat diatasi secara tuntas sebagai berikut: 1 Degradasi lingkungan di sebagian wilayah perkotaan Indonesia (Purnomohadi 1995), sebagai berikut: (1) meningkatnya suhu media udara di atas kawasan perkotaan, (2) penurunan muka (aras) air tanah, (3) pencemaran air tanah, (4) amblesan permukaan tanah, (5) intrusi air laut, (6) abrasi pantai, (7) suasana gersang (apalagi di musim kemarau, namun sebaliknya banjir di musim hujan), (8) suasana monoton, membosankan, (9) bising, bau, serta kotor. 2 Kurangnya apresiasi akan pentingnya eksistensi RTH sehingga kualitas dan kuantitas RTH semakin berkurang. 3 Inkonsistensi kebijakan dan strategi penataan dalam Tata Ruang Kota disebabkan karena lemahnya fungsi pengawasan (kontrol) dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. 4 Belum adanya pedoman baku manajemen (perencanaan, pengelolaan, pelaksanaan serta pengawasan) RTH di kawasan perkotaan yang sesuai dengan paradigma tata pemerintahan yang baik (good governance). 5 Pemeliharaan RTH juga tidak konsisten dan tidak rutin, termasuk pemeliharaan jenis tanaman yang sudah tidak sesuai dengan persyaratan ekologis (tua, keropos, penyakitan atau membahayakan, dan seterusnya) pada tiap-tiap lokasi. 6 Dana yang biasanya terbatas (berhubungan dengan kurangnya apresiasi pada pentingnya eksistensi RTH) menyebabkan pengelolaan pun tidak tuntas atau tidak bisa berkesinambungan. 7 Hambatan teknis lain, seperti perluasan lahan akibat benturan kepentingan dalam fenomena pembangunan perkotaan yang lebih ditekankan pada kepentingan ekonomi jangka pendek termasuk langkanya ruang untuk pembibitan tanaman penghijauan. 8 Etika dan estetika khususnya dalam penempatan iklan (papan reklame) yang belum ditata menurut kaidah penataan ruang luar yang lebih sesuai dan serasi.

259 256 Metropolitan di Indonesia 9 Penyediaan ruang khusus untuk sarana dan prasarana khusus perkotaan seperti adanya taman pemakaman umum (TPU) tempat pengelolaan sampah. Demikian pula sistem pengelolaan limbah cair (sewerage system) yang belum terpadu. 10 RTH seringkali masih dianggap sebagai lahan tidak berguna dijadikan tempat buangan (sampah) akhirnya menjadi sarang berbagai vektor penyakit (lalat, nyamuk, dan lain-lain). 11 Pemahaman serta kesadaran masyarakat akan arti dan fungsi hakiki RTH umumnya masih sangat kurang. 12 Minimnya fasilitas RTH, khusus bagi kelompok usia tertentu atau bagi para penyandang berbagai macam kekurangan fisik (dan mental), seperti taman bermain anak, taman lansia (lanjut usia atau warga usia lanjut/wulan), serta taman-taman rekreasi aktif maupun pasif, seperti taman olahraga. 13 SDM yang bertanggung jawab dalam pengelolaan RTH juga sangat terbatas, baik kualitas maupun kuantitasnya. 14 Bentuk kelembagaan untuk pengelolaan dan penyelenggaraan serta pengembangan dari tahap perencanaan, pelaksanaan, sampai ke pengawasan dan pengendalian RTH dapat dikatakan masih terpilah-pilah ke dalam beberapa sektor yang seyogianya bekerja secara terkoordinasi, karena tugas pokok dan fungsinya yang hampir bersamaan bahkan terkait erat seperti Dinas Pertamanan dan Keindahan Kota, Dinas Kehutanan dan Pertanian, Dinas Kebersihan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Permakaman, Dinas Pasar & Perdagangan, dan instansi lain yang terkait erat, seperti Pengelolaan Dampak Lingkungan dan lain-lain. Kelembagaan yang diharapkan Fungsi dan peran kota sebagai pusat pelayanan bagi penduduk dan daerah sekitarnya penting diidentifikasi dan kebutuhannya dikenali secara baik. Lingkungan kota harus aman, produktif, dan sehat sambil melayani berbagai lapisan masyarakat dengan keinginan berbeda sampai seoptimal mungkin. Pola pembangunan perkotaan baik ditinjau dari segi sosial-ekonomi dan budayanya yang sesuai adalah yang mengikuti siklus ekologi alami setempat. Perlu diingat bahwa pembangunan apa pun harus selalu mempertimbangkan tetap berlangsungnya siklus-siklus alami yang meskipun terganggu perlu diberi peluang untuk mengasimilasi kondisinya kembali sehingga fungsi pemanfaatannya pun lestari. Dalam sistem penataan ruang nasional maka berdasarkan fungsinya kota-kota di Indonesia dikelompokkan dalam tiga bentuk: (1) Pusat Kegiatan Nasional (umumnya kota metropolitan); (2) Pusat Kegiatan Wilayah (PKW), dan (3) Pusat Kegiatan Lokal (PKL, umumnya kota kecil) (Haeruman. 1996). Namun demikian, ketiga bentuk tersebut berkaitan erat dengan sistem kota dalam kawasan andalan yang didasarkan pada perkembangan ekonomi, sosial dan budaya, serta lingkungan hidupnya. Dengan demikian, maka bentuk kota dan RTH kotanya tidak lagi hanya dikaitkan dengan jumlah penduduk kotanya tetapi dengan kegiatan-kegiatan antarkota yang terkait tersebut yang tentu jumlah penduduk yang harus dilayani melebihi jumlah kota tertentu yang soliter saja.

260 Infrastruktur 257 Standar koefisien lantai bangunan yang ditetapkan di kota-kota Jepang adalah persen sekitar 5 persen dicadangkan untuk kepentingan umum dan 15 persen untuk jalan permukiman atau untuk fasilitas jalan masuk atau trotoar sebesar persen. Dengan demikian, ruang untuk RTH menjadi nampak lebih luas dan efektif penggunaannya (Haeruman 1996). Sedangkan di kota-kota besar telah ditetapkan luas RTH seharusnya diproyeksi sebesar 30 persen dari total luas kotanya. Idealnya pun telah ditetapkan bahwa seorang warga kota membutuhkan RTH seluas meter persegi. Tentu dalam penetapan luas tapak masih diperlukan studi lebih mendalam antara lain tentang kebutuhan oksigen serta kebutuhan dasar penduduk umumnya akan sumber daya air, kebutuhan akan rekreasi, dan lain lain. Berbagai lembaga (kedinasan) terkait atau pemerintahan daerah hendaknya lebih banyak berfungsi sebagai penyedia layanan serta berfungsi koordinatif, sedangkan pengelolaan di lapangan dapat dilaksanakan melalui beberapa skema pengelolaan maupun kerja sama sistem public private partnership dalam suatu kontrak kerja sama pelayanan kepemerintahan seperti: (1) RTH berfungsi sosial pelayanan sebagai bagian dari kawasan penghijauan kota (fungsi ekologis) mungkin dikelola penuh oleh badan/instansi pemerintah. (2) RTH yang memerlukan kerja sama dengan mitra swasta, misalnya pengelolaan RTH (taman) pada kawasan usaha mitra swasta masing-masing. (3) RTH yang bersifat menjual jasa (komersial) dapat dikelola swasta sesuai dengan peraturan perpajakan (pendapatan) yang berlaku. (4) RTH dalam skala permukiman dan perumahan individu tentu menjadi tanggung jawab masing-masing penduduk; hanya bagi anggota masyarakat yang tidak mampu dapat disubsidi silang atau memperoleh subsidi langsung dengan memberi tanggung jawab pemeliharaan kepada masyarakat pengguna lokal. (5) Kemungkinan kerja sama ini masih luas dan dapat dibangun secara khusus terutama bila menyangkut lahan-lahan produktif untuk taman-taman di kawasan perhutanan dan pertanian. Akhirnya kebijakan pengelolaan RTH-kota, khususnya kota metropolitan yang pasti akan menjadi masalah kompleks, tentu sebaiknya dikelola secara berjenjang sesuai dengan jenis dan fungsi RTH pada zona tipe-tipe RTH sebagaimana diuraikan pada TABEL 6-9 di atas. Para pengelola kepemerintahan tidak hanya terbatas pada pemerintah saja tetapi terbuka transparan bagi seluruh penduduk kota tersebut. Oleh karena itu, perlu penyesuaian sejak awal, yaitu sejak tahap rencana, apa saja kebutuhan penduduk kota (metropolitan) pada tiap-tiap lokasi perlu dipertimbangkan secara sungguh-sungguh agar tepat sasaran sebab masyarakat akan merasa ikut memiliki dan dengan sendirinya karena merupakan suatu kebutuhan, mereka akan ikut memeliharanya. Penutup Dari diskusi dan pengamatan contoh melalui sketsa maupun foto dan gambar yang ada, secara umum dapat diambil intisarinya bahwa: 1 Semua RTH pada prinsipnya berfungsi ekologis: penyeimbang antara lingkungan alam dengan lingkungan buatan, yaitu akan berfungsi sebagai penjaga fungsi

261 258 Metropolitan di Indonesia kelestarian pada media air, tanah, dan udara, serta konservasi sumber daya alam (keanekaragaman hayati flora dan fauna) dan lingkungan. Di samping bermanfaat untuk peningkatan kualitas fungsi lingkungan, tanaman bisa dimanfaatkan sekaligus bagi penambahan (nilai tambah) pendapatan masyarakat. 2 RTH merupakan bagian Sistem Tata Ruang Kota yaitu sebagai ruang terbuka (open space) tempat berbagai fungsi dapat berlangsung sesuai dengan tujuan perencanaan maupun perancangannya. 3 Dari batasan ukuran luas, ruang terbuka ini dapat dikategorikan secara sederhana ke dalam dua kelompok besar yaitu: (1) Skala mikro: Taman-taman lingkungan permukiman, taman kota antarstruktur bangunan (luasan terbatas), bisa juga berupa public plazza, dan sebagainya. (2) Skala makro: Hutan kota, daerah penyangga (koridor atau green belt), sungai serta SARPRAS wilayah lain (SUTET, rel KA, dan penyangga Jalur Jalan Bebas Hambatan, Rel KA, dll), kawasan pertanian (termasuk perikanan, peternakan, dll). 4 Kawasan RTH merupakan keterkaitan hubungan antara bentang alam (landscape) termasuk pesisir pantai (seascape), atau peruntukan yang sesuai fungsi dengan jenis vegetasinya. 5 Letak RTH sesuai dengan kawasan peruntukan ruang kota, yaitu: - Kawasan permukiman berkepadatan tinggi, sedang, dan rendah. - Kawasan industri. - Kawasan perkantoran. - Kawasan sekolah/kampus perguruan tinggi. - Kawasan perdagangan. - Kawasan jalur hijau: sungai waduk/dam-danau, pesisir pantai, pengaman utilitas. 6 Jenis tumbuhan adalah penutup tanah, semak/perdu, dan pohon (tegakan), sedangkan kriteria pemilihannya: bentuk morfologi yang bervariasi, bernilai keindahan, penghasil oksigen tinggi, tahan cuaca dan hama penyakit, peredam intensif, daya resapan air tinggi, pemeliharaan relatif mudah. LINGKUNGAN Pendahuluan Komitmen untuk meningkatkan pelestarian lingkungan hidup di perkotaan telah dicanangkan beberapa kali, baik yang berskala dunia seperti Urban Environment pada Habitat II: Urban Environment di Istanbul, Turki, ataupun Millenium 6 Untuk pertama kalinya, secara formal, perlunya pertimbangan pelestarian lingkungan hidup di perkotaan dipromosikan, mengingat hampir setengah penduduk dunia akan menghuni perkotaan.

262 Infrastruktur 259 Development Goals (MDG) yang dicanangkan tahun 2000, maupun yang berskala lokal, yang dibuat sebagai Local Agenda 21, State of the Environment (SER) program, ataupun dalam bentuk partisipasi publik di berbagai sektor kebutuhan dasar. Komitmen ini pun dilaksanakan oleh berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat, LSM, dan bisnis. Di Indonesia, selama hampir satu dekade ini, komitmen terhadap pelestarian lingkungan hidup di kota metropolitan menghadapi tantangan yang semakin beragam dan berantai. Dimulai dari tantangan yang selama ini klasik menghantui kota kota besar di Indonesia, seperti besarnya jumlah penduduk, tingginya migrasi ke perkotaan, tekanan akibat pembangunan fisik yang intensif, maupun munculnya kelompok miskin perkotaan. Tantangan tersebut diperberat dengan adanya penyebab yang bersifat suprastruktural, seperti krisis keuangan 1997, demokrasi, pergantian kepemimpinan, bencana alam seperti kebakaran hutan, llegal logging, terorisme ataupun kebijakan kenaikan BBM 2005, yang menuntut fleksibilitas dan perubahan sistem dalam meresponsnya. Hal ini berakibat semakin beratnya tekanan pada kondisi lingkungan hidup di kota-kota besar Indonesia. Lingkungan hidup perkotaan di negara berkembang semula diartikan sebagai unsur dan sistem fisik seperti keberadaan air, udara, tanah, biomassa, dan ruang terbuka. Dan konsumsi dari unsur fisik tersebut, misalnya digunakannya sungai untuk sumber air, mandi, tempat sampah, memelihara ikan, seringkali disebut brown environment. Unsur dan sistem fisik tidak dapat dihindari mengalami degradasi kualitas dan kuantitas, maka unsur fisik tersebut semakin kehilangan makna dan arti sebagai lingkungan hidup jika tidak dikaitkan dengan lokasi permukiman kumuh, rusaknya infrastruktur, penggunaan kendaraan bermotor, kepadatan bangunan, tingkat kriminalitas, bahkan epidemi penyakit. Tantangan lingkungan hidup pada metropolitan mencapai hal yang bersifat multiperspektif dan tidak dapat diselesaikan jika hanya mendorong dilindunginya unsur dan sistem fisik tersebut, tanpa menyelesaikan persoalan yang terdapat di masyarakat. Bab ini akan mengkaitkan antara pendekatan arena ruang di kawasan perkotaan yang semakin lama tentu tidak akan mampu mendukung kehidupan dan kebutuhan penduduknya yang terus bertambah dan terus berkembang variasinya, tentu tidak akan pernah bisa memenuhi sebesar apa yang dikehendaki terutama oleh tiap individu. Di negara-negara tetangga telah dilaksanakan upaya penambahan ruang, seperti Negara Pulau Singapura, sedikit demi sedikit dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan terpenting didasari oleh kemauan dan komitmen seluruh unsur kepemerintahan, terus menambah daratannya terutama ke arah timur dan selatan, dengan mengimpor media pasir dari Kepulauan Riau. Demikian pula suatu konstruksi bangunan raksasa (Seven Island project) untuk membendung laut dengan struktur pulau-pulau kecil di bawah permukaan yang dangkal, telah disatukan dengan pengurugan sampah padat maupun media tanah dan pasir di bagian selatan pulau tersebut yang berbatasan dengan Kepulauan Riau, dalam waktu beberapa tahun lagi akan menjadi daratan sehingga menjadi suatu pulau milik Negara Singapura. Sebelumnya, lembaga setinggi UN Habitat belum menyatakan bahwa perlindungan lingkungan hidup di perkotaan dapat dimungkinkan. 7 MDG merupakan salah satu program yang merealisasikan konsep Pembangunan Berkelanjutan yang diprakarsai oleh Komisi Brundtland (1986) bahwa pembangunan dapat dijalankan selaras dengan pelestarian lingkungan hidup.

263 260 Metropolitan di Indonesia Persoalan lingkungan hidup di kota-kota besar saat ini dengan peran penataan ruang sebagai alat untuk dapat memperbaiki kegiatan pelestarian lingkungan hidup, diharapkan memiliki keterkaitan. Perspektif dalam penataan ruang di metropolitan akan didasarkan pada integrasi antara keperluan untuk mengakomodasi pembangunan fisik yang mendukung pelestarian lingkungan hidup. Integrasi ini diharapkan pula tidak lagi menciptakan ketergantungan pada pemerintah sebagai pengatur pembangunan dan pelestarian lingkungan hidup, namun juga pihak nonpemerintah terlibat di dalamnya. Kondisi Lingkungan Hidup di Wilayah Metropolitan Wilayah yang disebut sebagai metropolitan di Indonesia, belum memiliki definisi yang tegas. Seringkali ditunjukkan dengan kepadatan penduduk, gaya hidup, keragaman sosial budaya, serta semakin terintegrasinya dengan kegiatan di kota sekitarnya membentuk suatu luasan metropolitan. Kota seperti Jakarta dengan wilayah pengaruhnya Bodetabek, Semarang, Yogyakarta (Kertamantul), Surabaya (Gerbangkertosusila), Solo di Jawa atau Makassar (Mamminasata), Medan (Mebidang), Palembang, dianggap memiliki karakteristik Metropolitan. Kota ini umumnya memiliki kepadatan penduduk yang lebih tinggi, dengan tingkat pendapatan yang lebih baik, namun dengan laju pertumbuhan penduduk yang merendah. Sebaliknya, laju pertumbuhan penduduk umumnya memacu percepatan pembangunan di kota-kota sekitarnya sebagai akibat dari terlemparnya aktivitas ekonomi dan permukiman ke kota-kota sekitarnya ini. Kota-kota sekitarnya meskipun lebih kecil, baik dari luasan maupun penduduknya, memiliki persoalan lingkungan hidup perkotaan yang semakin seragam dengan kota utamanya. Kondisi lingkungan hidup (state of the environment) pada kota-kota di Indonesia telah diukur selama beberapa tahun belakangan ini. Buku seperti Neraca Lingkungan Hidup rutin diterbitkan oleh instansi (dinas atau badan atau kantor) Lingkungan hidup menunjukkan kondisi yang ada. Dari tahun ke tahun, kondisi lingkungan hidup tidak mengalami perbaikan yang berarti. Dari buku State of the Environment Indonesia 2002,yang dibiayai oleh UNEP, akibat dari krisis finansial, kondisi lingkungan hidup Indonesia mengalami degradasi hampir di semua lini (Meneg LH 2003), dengan illegal logging menempati urutan teratas. Meskipun terjadi di luar perkotaan, implikasi dari illegal logging mengubah kondisi lingkungan hidup di perkotaan. Bencana banjir rutin di Jakarta, terbesar terjadi tahun 2002, salah satunya merupakan akibat dari penggundulan hutan di hulu sungai. Di beberapa kota di luar Jawa, illegal logging, mengakibatkan polusi udara. Di antara berbagai unsur dan sistem fisik, kondisi udara mengalami penurunan yang paling berarti di perkotaan. Dengan kenaikan jumlah kendaraan bermotor di Jakarta sekitar 5 juta (10 persennya kendaraan umum), mengakibatkan Jakarta merupakan salah satu kota terkotor di dunia. Polusi udara juga mengakibatkan munculnya ongkos sekitar USD 400 juta pada perekonomian Indonesia setiap tahunnya (EIA 2004). Polusi air tetap menjadi sorotan, terutama karena tidak tertanganinya limbah industri maupun limbah rumah tangga. Di kota Bandung, Sungai Cikapundung secara rutin menerima sampah rumah tangga. Tidak adanya pelayanan air kotor juga mengakibatkan sumber air tanah dangkal terkontaminasi. Di Jakarta, kontaminasi air tanah dangkal yang masih digunakan sebagai sumber air mencapai 70 persen (Muhammad 2006).

264 Infrastruktur 261 GAMBAR 6-15 Sungai di kota Jakarta Terjadi perbaikan pelayanan akan kebutuhan dasar seperti air bersih dan sampah, jika diamati dengan semakin banyaknya penduduk yang terlayani oleh pelayanan tersebut. Perbaikan pelayanan akan air bersih dan sanitasi, misalnya, dipicu oleh banyaknya program kegiatan yang mendorong perluasan pemenuhan kebutuhan tersebut. Misalnya Program yang dibangun untuk mencapai MDG disektor air bersih memungkinkan keterlibatan pihak swasta maupun masyarakat. Pelayanan publik, seperti air bersih, sampah, dan air kotor secara tradisional dilakukan oleh pemerintah secara terpusat dengan mengasumsikan tingkat kebutuhan rumah tangga. Hal ini menganggap bahwa pelayanan terpusat merupakan yang paling efisien dan dapat menciptakan standar pelayanan yang berlaku di mana-mana. Semakin tidak seragamnya kebutuhan warga, dan semakin tidak seragamnya kondisi dasar masyarakat mengakibatkan model pelayanan umum yang bersifat terpusat tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan masyarakat (Spiegelman 2006:11). Ketidakmampuan memberikan pelayanan terpusat inilah telah bergeser menjadi pelayanan yang mementingkan pemenuhan kebutuhan konsumen. Akibatnya, pemberi pelayanan umum harus fleksibel terhadap kebutuhan konsumennya. Tidak dapat disangkal pula bahwa berubahnya pelaku pemberi pelayanan umum ini memberi dampak terhadap ongkos pelayanan. Pelaku pemberi pelayanan umum memiliki skema rencana anggaran yang meminta ongkos lebih tinggi dari konsumen dengan subsidi minimal dari pemerintah. Meskipun semakin banyak penduduk yang mendapatkan pelayanan umum yang memadai, misalnya untuk Jakarta, diklaim sekitar 45 persen penduduk telah terlayani air bersih (Muhammad 2006). Upaya untuk memperluas pelayanan air bersih memungkinkan munculnya operator nonpemerintah dengan skema tertentu. Misalnya di Kota Bandung, terdapat operator yang merupakan koperasi air maupun paguyuban air

265 262 Metropolitan di Indonesia bersih. Persoalan berikutnya berkenaan dengan kesinambungan pelayanan. Di wilayah Jakarta Utara, di mana tingkat pelayanan air oleh PAM Jaya tertinggi, namun fluktuasi pelayanan yang dirasakan, terutama pada musim kemarau pada saat sumber air mengering, atau jika terjadi bencana alam, juga mengakibatkan kekeringan. Kondisi sumber air yang semakin tidak terprediksi ini memperburuk tingkat pelayanan air bersih. Di pinggiran kota Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Yogyakarta, danau dan situ yang merupakan sumber air dan reservoir air alamiah semakin terdesak keberadaannya. Areal ini terkonversi menjadi lahan permukiman. Bandung, misalnya, akan membuka lahan di selatan kota untuk dijadikan reservoir setelah kehilangan seluruh situ di dalam kota Bandung. Konversi lahan tidak saja yang berskala besar, pada area kecil semakin banyak pula tanah yang diperkeras atau dibangun. Hal ini berakibat tingkat penyerapan air bersih menurun dan turut menimbulkan banjir. Di Bodetabek, Situ Babakan dan Situ Cilangkap sedang dinormalisasi untuk meningkatkan pasokan air bersih. Perbaikan lingkungan perkotaan terutama wilayah metropolitan, cenderung ternegasi dengan tingginya jumlah penduduk yang berakibat pada peningkatan kebutuhan perumahan dan transportasi umum yang memadai dan nyaman. Kota metropolitan di Indonesia tidak terencana dengan baik berkenaan dengan penyediaan transportasi umum ini. Selain daripada itu, kondisi urban sprawl menuju kota-kota disekitar kota utama memperburuk kondisi lingkungan hidup, baik dari udara, ruang dan penggunaan sumber daya alam (BBM). Akibatnya, pergerakan penduduk mengalami kemacetan yang berakibat pada biaya ekonomi tinggi dan juga berpengaruh pada produktivitas tenaga kerja. Berbagai upaya perbaikan lingkungan hidup, baik untuk tujuan perbaikan pelayanan umum atau pengurangan eksploitasi lingkungan hidup maupun untuk tujuan tersedianya kualitas hidup yang layak telah dilakukan, namun upaya ini belum membalikkan realita akan memburuknya lingkungan hidup. Bahkan dapat diramalkan akan mengakibatkan penurunan kualitas hidup anggota masyarakat di kota-kota di Indonesia. Penurunan ini akan terasakan dari mulai tingkat kecerdasan sampai pada tingkat harapan hidup yang menurun (Bappenas 2005). Dalam dimensi ruang fisik, penurunan kualitas lingkungan hidup ditandai dengan adanya penggunaan ruang yang sarat sebagai lokasi kemiskinan, epidemi penyakit yang menerus, kawasan yang tidak dihuni, meluasnya kawasan bencana dan adanya ongkos yang dibayar masyarakat untuk dapat hidup normal dan beradab. Lingkungan Hidup dan Penataan Ruang: Antara Alternatif Solusi dan Kebijakan Penyelesaian berbagai persoalan lingkungan hidup di wilayah metropolitan memiliki paling tidak dua pendekatan. Pendekatan pertama, merupakan pembuatan kesepakatan di antara pemangku kepentingan yang terlibat. Kesepakatan ini kadang disertai pula dengan target capaian. Pada skala dunia, MDG misalnya menyatakan bahwa separuh dari penduduk yang berpenghasilan USD 1 per hari akan berkurang. Kesepakatan pada skala dunia ini kemudian diadopsi untuk diterapkan pada skala nasional dan lokal. Pendekatan ini bersifat top-down dan komprehensif. Kesepakatan mengenai pelestarian lingkungan hidup juga muncul pada tingkat nasional yang dinyatakan sebagai kebijakan baik skala nasional maupun lokal. Umumnya kebijakan lingkungan hidup ini merupakan bagian dari kebijakan pembangunan nasional atau daerah. Dalam konteks ini, pelestarian

266 Infrastruktur 263 lingkungan hidup merupakan bagian integral dan selaras dengan kebijakan pembangunan (fisik dan non fisik). Pada kota metropolitan, umumnya kebijakan ini terdapat pada dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) maupun pada rencana tahunan. Komitmen yang dinyatakan dalam kebijakan seperti ini meskipun dalam semangatnya merupakan upaya menyelaraskan antara pelestarian lingkungan hidup dan pembangunan, namun tidak terlampau mudah untuk dijalankan. Kebijakan ini umumnya merupakan kebijakan yang bersifat preventif, direktif, dan membentuk kondisi yang ideal. Kebijakan ini tertuang dengan memiliki nilai, seperti keberlanjutan (sustainable), keadilan (justice), dan kesetaraan (equality). Untuk konteks perkotaan metropolitan, sifat dari kebijakan seperti ini berorientasi pada antroposentrik daripada biosentrik. Dalam kebijakan ini terkandung pula nilai kuratif, terutama dalam upaya memperbaiki kondisi polusi. Meskipun seharusnya muncul dengan target yang ingin dicapai, namun pada skala metropolitan, kebijakan di Indonesia belum mencapai skala ini. Isi dari kebijakan seperti ini dapat meliputi unsur yang mengandung pendekatan sistem, seperti kepastian penyediaan air bersih dari hulu ke hilir, pembuangan sampah yang sampai ke sistemnya, demikian pula dengan pembuangan air kotor, maupun perlunya ruang terbuka hijau (RTH). Kebijakan yang muncul umumnya berasal dari kesadaran akan perlunya eksistensi lingkungan hidup untuk di konsumsi. Munculnya kebutuhan dan keinginan untuk menikmati menjadi dasar bagi eksistensi lingkungan hidup di metropolitan. Misalnya kesadaran akan perlunya RTH muncul setelah mengamati tingginya intensitas pembangunan fisik yang tidak lagi mengindahkan keberadaan non built up areas. Selain dari kesepakatan muncul pula kebijakan yang berorientasi standard setting. Penetapan standar ini digunakan untuk menentukan kondisi yang dapat diterima atau risiko yang akan ditanggung, dengan yang tidak dapat diterima. Sejauh mana risiko yang akan ditanggung ketika pembangunan fisik diperbolehkan. Penetapan standar di Indonesia dikenali melalui penetapan standar yang didasari oleh cara kerja command and control. Cara kerja ini mengandalkan pada kemampuan birokrasi untuk melaksanakan peraturan, sedangkan cara kerja seperti emission trading atau tax belum diberlakukan di Indonesia 8. Pendekatan penyelesaian persoalan lingkungan hidup di kota metropolitan yang kedua adalah participatory action activities atau kegiatan tindak partisipatif. Dengan kata lain, penyelesaian ini merupakan yang bersifat partisipatif, mengajak masyarakat, dilaksanakan pada konsep tertentu yang dapat dilaksanakan, dilaksanakan pada areal tertentu. Contohnya pengelolaan sampah terpadu di wilayah Banjarsari, Jakarta, atau di Cibangkong, Bandung. Pendekatan kedua ini memang bersifat terpencar, tidak diarahkan pada suatu pendekatan sistem, namun bisa menyelesaikan persoalan lingkungan hidup pada skala lokal. Pendekatan ini mengubah cara penyelesaian persoalan lingkungan hidup dari yang tadinya terpusat dan komprehensif menjadi tersebar dan partisipatif. Pemangku kepentingan yang terlibat aktif dapat menjadi lebih banyak dan beragam serta sumber daya untuk berkontribusi dalam penyelesaian persoalan juga dapat berasal dari berbagai pihak. Penyelesaian persoalan lingkungan hidup dengan pendekatan ini 8 Meskipun saat ini. Indonesia sudah meratifikasi Kyoto Protocol yang memungkinkan Indonesia terlibat dalam Clean Development Mechanism (CDM) berprinsip pada emission trading.

267 264 Metropolitan di Indonesia umumnya belum dapat terkumpul dan menciptakan suatu standardisasi penyelesaian persoalan yang merata. Di satu sisi, penyelesaian persoalan seperti ini membela nilainilai kesetaraan dan keadilan terutama bagi persoalan yang belum sempat tersentuh penyelesaiannya. Di sisi lain, nilai kesinambungan dari pendekatan ini masih memerlukan curahan perhatian, kesempatan yang intensif. Pendekatan ini dipercaya memberikan hasil yang nyata dan langsung kepada masyarakat. Keterlibatan masyarakat menjadi faktor penentu dalam menciptakan keberhasilannya. Dengan kedua pendekatan tersebut, penyelesaian persoalan lingkungan hidup di perkotaan Indonesia menghadapi wajah yang beragam. Dengan keseluruhannya masih belum menunjukkan perubahan yang signifikan dalam meningkatnya pelestarian lingkungan hidup perkotaan. Kebijakan dalam penataan ruang didasarkan pada pemikiran bahwa pembangunan fisik akan terus berlangsung. Adalah tugas dari penataan ruang untuk mengakomodasikan pembangunan fisik ini sehingga meminimalkan dampak negatif yang muncul, dengan tetap memberi kesempatan dan mengakomodasi bagi terus berlangsungnya pembangunan fisik yang menjadi bahan pertimbangan dalam penataan ruang, tidak semata-mata dari sisi pelestarian lingkungan hidup. Hal yang lebih utama dari penataan ruang adalah munculnya kesempatan yang lebih baik sehingga tercipta profit, lapangan kerja, dan kualitas kehidupan yang layak. Prinsip ini didukung oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat yang ingin dituju. Selain itu pula didukung oleh prinsip efisien dan efektif dari pembangunan fisik tersebut dan aktor yang terlibat mendapat manfaat optimal. Penyediaan pelayanan umum pada penataan ruang memang masih terbatas pada lokasi penyediaan dan pelayanan dengan mengasumsikan sistem penyediaan terpusat. Sistem penyediaan yang tersebar dan dikelola oleh operator nonpemerintah tidak ternyatakan dalam penataan ruang. Asumsi dalam penataan ruang penyediaan pelayanan umum dilakukan secara terpusat dan memiliki jalur penyediaan yang resmi dan permanen. Oleh karena itu, penataan ruang tidak mudah mengakomodasi pelayanan umum dengan operator nonpemerintah. Dalam mengurangi ongkos biaya tinggi, misalnya akibat kemacetan lalu lintas atau polusi udara, penataan ruang menawarkan solusi dari titik pandang: supply oriented, atau akomodatif bahwa kebutuhan masyarakat itu perlu dipenuhi. Sedangkan pendekatan demand management memang masih memerlukan penjabaran berbeda dari supply management. Dalam kondisi pembangunan yang mengupayakan peningkatan penggunaan sumber daya, prinsip seperti pemanfaatan ruang yang optimal, misalnya untuk sampah, memang masih berdasarkan pada prinsip non zero waste. Pada penyediaan RTH misalnya, prinsip penyediaannya didasarkan pada satuan ruang per penduduk. Sedangkan dari sisi penyebarannya, kepadatan penduduk dan struktur penduduk, ataupun hubungan antara satu RTH dengan RTH lainnya belum diamati secara intensif. Tantangan eksistensi RTH masih terbatas pada ruang-ruang yang mungkin dimunculkan dalam penataan ruang. Dengan adanya penataan ruang yang belum secara intensif menerima perubahan perspektif dalam penyediaan pelayanan umum, terutama untuk mengurangi tekanan pada lingkungan hidup, maka cara kerja penataan ruang di wilayah metropolitan masih bersandar pada pemikiran pemusatan kegiatan. Lebih lanjut lagi, persoalan dan tantangan lingkungan hidup memerlukan pendekatan sistemik secara fungsional.

268 Infrastruktur 265 Contohnya penyelesaian persoalan penyediaan air bersih yang tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan air bersih pada wilayah administrasi tertentu melainkan pada wilayah fungsional, seperti DAS atau aliran air tanah dalam, atau persoalan lokasi pembuangan sampah akhir juga memerlukan pendekatan yang integratif. Pada wilayah metropolitan, pendekatan fungsional ini semakin penting terutama penyelesaiannya yang tergantung pada interaksi antar kota utama dan kota sekitarnya. Penutup Upaya pelestarian lingkungan hidup perkotaan, terutama metropolitan, masih terbatas pada mengurangi degradasi lingkungan hidup secara lebih lanjut daripada menciptakan pelestarian lingkungan hidup yang lebih baik. Agenda mengenai peningkatan pelayanan umum (brown environment) memiliki skala prioritas yang tinggi dibandingkan dengan agenda mengenai green environment atau penciptaan kualitas hidup yang layak dan memadai. Akan tetapi, perubahan perspektif dalam penyediaan pelayanan umum itu sendiri belum dapat terakomodasi baik dalam penataan ruang. Perubahan perspektif menyangkut operator nonpemerintah, demand management, ataupun sistem pelayanan tidak terpusat. Perubahan cara kerja dan pelayanan ini mengindikasikan kebutuhan ruang yang berbeda dan permintaan akan sumber daya yang berbeda. Bahkan prinsip akomodatif dalam penataan ruang dapat menjadi prinsip yang mengindahkan adanya penggunaan sumber daya baik ruang maupun alam yang bersifat conservationist, daripada productionist. Sebaliknya, penataan ruang dalam era pembangunan fisik yang intensif, dalam suasana mengejar pertumbuhan ekonomi, mengindikasikan pemberian peluang yang setinggi-tingginya pada upaya pembangunan fisik tersebut. Hal ini mengasumsikan bahwa kebutuhan masyarakat belum mencapai standar kebutuhan minimal. Dengan demikian, kebutuhan ini dipenuhi dengan mengorbankan ukuran ketersediaannya. Sebenarnya tekanan lingkungan hidup telah mengakibatkan kebutuhan ini akan terus sukar dipenuhi. Kesukaran ini, selain disebabkan oleh persoalan yang berkaitan dengan pengelolaan pelayanan umum itu sendiri, juga berkenaan dengan kurang diindahkannya eksistensi green environment atau eksistensi kawasan lindung atau kawasan ruang terbuka dengan pepohonan dan tanaman yang indah dan menyenangkan, untuk memberi kesempatan masuknya air tanah dangkal, memelihara suhu udara mikro, memproduksi lebih banyak oksigen, dan menciptakan suasana tenang dan nyaman. Implikasi dari terpeliharanya green environment adalah tekanan untuk menjadi brown environment berkurang. Pada saat sekarang, ketika hutan-hutan telah digunduli, pepohonan telah ditebangi, ruang terbuka telah banyak berkurang dan udara telah tercemari, upaya memulihkannya akan membutuhkan waktu. Untuk sementara ini, kebutuhan pelayanan umum akan tidak mudah terpenuhi dengan baik. Munculnya kepedulian pada green environment atau lingkungan hidup yang berfungsi sebagai modal (capital) bukan sumber daya yang akan dieksploitasi, pada kasus metropolitan Indonesia lebih karena terdesaknya ruang terbuka oleh pembangunan fisik, rasa tidak nyaman akibat meningginya suhu, terpolusinya udara, dan berkurangnya resapan air. Pembangunan fisik cenderung mengindikasikan munculnya polusi baik udara, air, maupun tanah. Implikasi dari kecenderungan manusia untuk mengotori sarangnya sendiri (man s tendency to foul his own nest) yang seringkali merupakan efek samping dari pembangunan itu sendiri (de Roo 2003: 19). Efek dari pembangunan

269 266 Metropolitan di Indonesia fisik ini dalam konteks Indonesia menjadi tanggung jawab dari pihak lingkungan hidup. Adanya studi AMDAL sebagai persyaratan berlangsungnya kegiatan, misalnya, memberi kesempatan bagi kerja sama antara kebijakan penataan ruang dan lingkungan hidup. Kebijakan mengenai pemenuhan pelayanan umum atau munculnya RTH dengan berprinsip pada productivist umumnya dilaksanakan dengan pihak yang terlibat dalam pembangunan fisik. Tidak memerlukan keterlibatan pihak LH yang secara khusus didatangkan dari luar. GAMBAR 6-16 menunjukkan tahapan penataan ruang yang mendapat masukan secara khusus dari kebijakan lingkungan hidup. Penataan ruang sebagai suatu proses prosedural, sedangkan lingkungan hidup sebagai suatu substansi yang dipertimbangkan. Bahkan pelestarian lingkungan hidup menjadi suatu substansi yang bersifat antarsektor dan antarwilayah yang menjadi perhatian utama dalam penataan ruang. Meskipun pada semua lini prosedur penataan ruang, kebijakan lingkungan hidup mempengaruhi keputusan dalam penataan ruang, secara eksplisit pelestarian lingkungan hidup menemukan tempat yang penting pada lini perencanaan dan pengawasan. Dalam pelaksanaannya, pelestarian lingkungan hidup merupakan salah satu dari beberapa perspektif lainnya yang menjadi bahan pertimbangan dalam pembangunan fisik. Pembangunan fisik yang berorientasi pada perspektif pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial, tidak menempatkan prioritas yang setara dengan perspektif pelestarian lingkungan hidup. Dengan prinsip yang belum sejalan antara perspektif tersebut mengakibatkan keduanya menjadi dikotomi. Penataan Ruang Perencanaan Pemanfaatan Pengendalian AMDAL Standar & Target; Komitmen bersama Tercapainya standar & Target; (Evaluasi Diri, Pengawasan Birokrasi) GAMBAR 6-16 Hubungan antara Penataan Ruang (versi UU 24/1992) dengan Kebijakan pada Lingkungan Hidup Wilayah metropolitan ini memerlukan adanya konsep kepedulian publik yang ditengarai dengan pelaksanaan kebijakan perlindungan lingkungan hidup. Hal ini bisa meliputi kebijakan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan hidup perkotaan minimal, dan kebijakan mengenai penggunaan ruang publik terbuka. Lebih penting dari ini adalah apakah tantangan yang akan menghambat terlaksananya upaya menciptakan ruang publik yang layak huni melalui penanganan lingkungan hidup. Tantangan dan hambatan ini akan meliputi kondisi yang kurang kondusif untuk melakukan pelestarian lingkungan hidup sehingga menjadi bagian dari struktur. Misalnya penggunaan air bersih

270 Infrastruktur 267 perpipaan hanya akan menyentuh kawasan perumahan menengah dan mewah, atau kelompok masyarakat yang tinggal di kawasan kumuh tidak mendapat pelayanan yang layak, atau kelompok masyarakat ilegal dan informal adalah mereka yang akan mengeksploitasi secara langsung. Lingkungan hidup semakin lama semakin menjadi korban dari pemenuhan kebutuhan hidup jangka pendek, dengan tidak mempedulikan kepentingan jangka panjang. Kepedulian publik sebaliknya tidak hanya bagi kehidupan saat ini. Kehidupan yang akan datang merupakan bagian tidak terpisahkan. Dengan adanya penataan ruang yang memiliki dimensi waktu yang panjang, kepedulian publik yang berperspektif pelestarian lingkungan hidup menjadi bagian penting. Masyarakat melalui investasi pribadi dapat terlibat dalam peningkatan kualitas lingkungan hidup. Ini ditunjukkan dengan kemauan masyarakat untuk terlibat dalam upaya memelihara lingkungan hidup di sekitarnya. Misalnya termasuk membuat sumur resapan, membuat gorong-gorong di depan rumah, menanam tanaman tinggi, memiliki ruang terbuka pribadi, perilaku individu untuk bertransportasi umum, ataupun untuk menjadi pejalan kaki akan memperbaiki kondisi ini. Selain itu, perlunya suatu komitmen untuk mengubah struktur ruang sehingga penikmat lingkungan hidup tidak lagi dari kalangan terbatas saja. Udara yang bersih, jalan yang indah, atau taman taman yang bersih tidak lagi berlokasi di permukiman tertentu saja melainkan dapat dinikmati di lingkungan padat penduduk sekalipun. Dengan demikian, apa kemungkinan yang dapat mengarahkan perspektif pelestarian lingkungan hidup dapat sejalan dengan penataan ruang? Prinsip integrasi atau pendekatan holisme, seperti yang disampaikan pada GAMBAR 6-16 merupakan salah satu cara untuk mengaitkan antara pelestarian lingkungan hidup dengan penataan ruang. Model integrasi ini, menurut Partidaro dan Voogd (2004, hal. 288) termasuk model deliberasi. Model ini ditujukan untuk menciptakan suatu rencana komprehensif untuk masyarakat dan lingkungan hidup sekaligus di berbagai arena kebijakan yang memerlukan pendekatan holistik. Keuntungan model ini adalah memudahkan untuk memelihara dan memperbaiki aset positif yang diperlukan, tidak saja jangka pendek tetapi juga jangka panjang dalam penataan ruang. Kerugiannya, model seperti ini menghabiskan waktu terutama karena negosiasi antarsektor harus diselesaikan terlebih dahulu. Pada konteks metropolitan Indonesia, model ini justru dibutuhkan, terutama untuk brown environment atau pemenuhan pelayanan umum. Akan tetapi, terbatasnya penataan ruang di Indonesia pada wilayah administratif serta kelemahan Pemda dalam bekerja sama dengan pihak lainnya mengakibatkan penataan ruang antarwilayah atau metropolitan tidak menjadi prioritas. Kebijakan Mamminasata, misalnya, mendorong terjadinya Rencana Penataan Ruang yang merujuk pada pemenuhan pelayanan umum. Namun, pada posisi konsumsi, banyak dilakukan pada kota inti dan pembuangan dilakukan di kota sekitarnya untuk kasus air bersih, sampah, dan air kotor. Padahal terdapat pula produksi yang harus dilakukan di kota sekitar dan wilayah sekitarnya untuk dapat menyediakan kebutuhan kota inti, seperti adanya perumahan, transportasi yang terintegrasi, serta ketersediaan pangan (food supply). Secara teoritis, dimungkinkan pula kebijakan sektoral yang dituangkan dalam penataan ruang memiliki perspektif pelestarian lingkungan hidup. Model seperti ini disebut model otonomi, yang meletakkan kekuatan tertinggi pada pada sektor-sektor (Partidaro dan Voogd (2004, hal. 288). Misalnya sektor pertanian di kota metropolitan dipertahankan demi terdapatnya lahan produktif sebagai sumber pangan atau sumber

271 268 Metropolitan di Indonesia produksi ekonomi, seperti perikanan atau kehutanan. Sektor industri juga memiliki perspektif lingkungan hidup sehingga menjadi industri yang dapat bertahan di dalam kota. Selain model integrasi yaitu lingkungan hidup menjadi substansi dalam penataan ruang, tidak saja dari brown environment melainkan dari green environment, model integrasi juga dapat dilakukan dari sisi organisasi. Contohnya adalah berbagai kota metropolitan membentuk Badan Kerja sama (BKS) yang merupakan organisasi supra struktur, yang dapat diberi otonomi untuk mengambil keputusan. Sampai saat ini yang berlaku pada metropolitan di Indonesia adalah BKS yang diberi mandat sebagai penasihat bagi kota-kotanya. Kota-kota dalam metropolitan tersebut masih bertanggung jawab penuh pada keputusan akhirnya. Agar perspektif pelestarian lingkungan hidup dapat diterapkan, penataan ruang menjadi salah satu wahana utama terutama karena sifat penataan ruang yang menetapkan kondisi yang ingin dicapai dalam kerangka waktu yang panjang. Penataan ruang juga merupakan wahana di mana konsekuensi dari pilihan pembangunan fisik dipertimbangkan. Jika penataan ruang akan semakin memiliki kepedulian lingkungan hidup, maka dapat mengikuti prinsip dalam hukum ekologi: everything is connected to everything else. Pada dasarnya prinsip pelestarian lingkungan hidup dapat mendukung upaya penataan ruang untuk menciptakan kualitas ruang yang menciptakan kelayakan, kenyamanan, dan kesinambungan.

272 Infrastruktur 269

273 7 Hukum dan Kelembagaan HUKUM Pendahuluan Aspek hukum penataan ruang metropolitan adalah keseluruhan asas-asas dan kaidahkaidah yang mengatur bagaimana suatu metropolitan ditata (mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan pengelolaannya) dan juga meliputi lembaga-lembaga dan proses-proses yang mewujudkan berlakunya kaidah itu dalam masyarakat metropolitan (Kusumaatmadja 1986; Jacqueline 1992). Dengan demikian, aspek hukum penataan ruang metropolitan bukan hanya merupakan kumpulan aturanaturan yang mungkin dalam kenyataan kehidupan sehari-hari tidak dilaksanakan. Akan tetapi, juga meliputi institusi (pranata) yang membuat aturan tersebut dilaksanakan serta proses-proses yang menjadikan aturan tersebut berlaku dan dilaksanakan dalam masyarakat metropolitan. Oleh karena itu, dalam bagian aspek hukum penataan metropolitan ini akan dibahas hal-hal yang berkaitan langsung dengan peraturan penataan ruang metropolitan dan masalah penegakkan peraturan tersebut. Secara garis besar akan dibahas dasar-dasar hukum metropolitan, permasalahan pengaturan penataan ruang metropolitan, dan perspektif aspek hukum penataan ruang metropolitan ke depan. Dasar Hukum Penataan Ruang Metropolitan Pada hakikatnya, pada hampir seluruh kawasan metropolitan di dunia, baik di negaranegara maju maupun di negara-negara berkembang, dijumpai permasalahan yang hampir sama (Derycke, 1999), yaitu menurunnya tingkat pelayanan umum yang dibutuhkan oleh masyarakat metropolitan. Untuk konteks Indonesia, pembangunan kawasan perkotaan selain menunjukkan hasil berupa terbangunnya prasarana dan sarana fisik yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, menyimpan pula berbagai permasalahan yang makin lama makin kompleks dan multidimensional. Permasalahan pokok yang mengiringi pembangunan perkotaan tersebut di antaranya: terjadinya degradasi kondisi sosial masyarakat yang semakin tajam, bertambahnya angka kemiskinan dan pengangguran,

274 270 Metropolitan di Indonesia tidak terkendalinya pertumbuhan sektor informal, terjadinya penurunan daya dukung lingkungan, makin terbatasnya prasarana dan sarana pendukung, makin menurunnya kualitas pelayanan umum, lemahnya sumber daya manusia, serta pemahaman yang masih kurang terhadap prinsip-prinsip manajemen pengelolaan perkotaan yang baik (good urban governance). Berbagai permasalahan tersebut terutama disebabkan oleh beberapa faktor, seperti (1) keterbatasan sumber daya pembangunan metropolitan; (2) ketidakjelasan manajemen pembangunan metropolitan; (3) belum optimal dan tidak jelasnya pembagian peran antara masyarakat, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat dalam pembangunan metropolitan; serta (4) belum adanya peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum dalam penyelenggaraan pembangunan metropolitan yang mampu memberikan jaminan kepastian dan keberlanjutan pembangunan metropolitan sesuai dengan prinsipprinsip pengelolaan yang berdaya guna dan berhasil guna. Permasalahan belum adanya peraturan perundang-undangan yang menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan pembangunan metropolitan dapat dilihat dari adanya fakta hukum sebagaimana akan dibahas di bawah. Sumber Hukum Penataan Ruang Metropolitan Sumber hukum adalah sebuah istilah yang digunakan untuk membahas atau menjawab pertanyaan-pertanyaan: mengapa hukum itu mengikat? Dimanakah hukum itu sendiri dapat ditemukan? Persoalan pertama dijelaskan oleh beberapa teori mengapa orang taat kepada hukum. Pada tulisan ini kita hanya akan membahas secara singkat persoalan kedua, yaitu persoalan mengenai keseluruhan sumber aturan sebagai alasan hak untuk melakukan suatu tindakan. Secara teoritis, sumber hukum dapat dibedakan kedalam sumber hukum formal dan sumber hukum material. Sumber hukum formal adalah dokumen atau tempat di mana saja kita dapat menemukan ketentuan-ketentuan hukum/ kaidah-kaidah hukum. Untuk itu harus diketahui hukum positif (hukum yang saat ini berlaku di suatu tempat) yang meliputi: (1) Sumber hukum langsung, yang meliputi: undang-undang hingga peraturan daerah, kebiasaan dan adat, serta traktat/ perjanjian antar negara; dan (2) Sumber hukum tak langsung, yang meliputi yurisprudensi/ keputusan hakim yang diikuti oleh hakim lainnya untuk kasus yang sama dan doktrin/ ilmu pengetahuan. Sedangkan sumber hukum material merupakan suatu usaha pendalaman teoritis tentang hukum yang dapat menggunakan banyak pendekatan, baik itu pendekatan sejarah, falsafah, sosiologi, ekonomi, agama, hukum itu sendiri, atau kombinasi dari pendekatan-pendekatan tersebut. Untuk konteks penataan ruang metropolitan, sumber hukum formal yang dikenal dapat dikategorikan kedalam dua fase, yaitu fase sebelum dan sesudah ditetapkannya Undang-Undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang (UUPR 1992). Fase sebelum UUPR 92 Meskipun kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tahun 1945, tetapi Pemerintah Belanda baru mengakui kemerdekaan Indonesia secara resmi pada tahun 1959 dengan dilakukannya penyerahan kedaulatan pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Oleh karena itu, selama kurun waktu 1945 sampai dengan 1959, pemerintah kolonial masih tetap mengeluarkan berbagai peraturan termasuk undang-undang tentang Pembentukan

275 Hukum dan Kelembagaan 271 Kota (Stadsvormings Ordonantie [SVO]) pada tahun 1948 dan Peraturan Pemerintah tentang Pembentukan Kota (Stadsvormings Verordening [SVV]) pada tahun Semula, peraturan-peraturan tersebut berlaku hanya untuk 14 kota yang hancur akibat perang, kemudian dijadikan rujukan dalam pembangunan kota secara umum di Indonesia. Semangat pembaharuan hukum pada tahun 1970-an untuk mengganti peraturan peninggalan pemerintah kolonial menyentuh pula bidang pembangunan perkotaan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya prakarsa Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik untuk menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pokok- Pokok Bina Kota pada tahun 1972 yang mengalami perubahan baik substansi maupun judulnya menjadi RUU tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pembinaan Kota pada tahun 1975, kemudiaan menjadi RUU tentang Tata Ruang Kota pada tahun Perubahan tersebut terutama untuk menyesuaikan dengan RUU tentang Pemerintah di daerah, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, dan RUU tentang Tata Guna Tanah yang diajukan oleh Departemen Dalam Negeri 1. Dengan demikian, hingga saat itu tidak ada peraturan khusus tentang pembangunan kota setingkat undang-undang yang dilahirkan. Seiring dengan pelaksanaan pembangunan nasional yang diusung Pemerintah Orde Baru, mulai dirasakan perlunya peraturan tentang pembangunan kota yang lebih cepat dapat dioperasionalkan sambil menunggu terbitnya peraturan tingkat Undang-Undang yang penyusunan dan prosesnya memakan waktu lama. Untuk itu pada dekade 1980-an terbit berbagai peraturan tentang pembangunan kota, khususnya tentang perencanaan kota. Pada masa ini terdapat dualisme pengaturan yang ditandai dengan konflik kewenangan antara Departemen Pekerjaan Umum dengan Departemen Dalam Negeri dalam pembinaan pembangunan kota kepada pemerintah daerah. Masing-masing pihak menganggap bahwa dirinya berwenang dalam bidang pembangunan kota. Pada Depertemen Pekerjaan Umum terdapat Direktorat Jenderal Cipta Karya yang memiliki Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah, sedangkan pada Departemen Dalam Negeri terdapat Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah yang memiliki Direktorat Bina Pembangunan Kota yang mempunyai tugas pokok dan fungsi yang mirip. Konflik ini sangat tampak dari berbagai peraturan terkait pembangunan kota yang dikeluarkan oleh masing-masing instansi, antara lain: Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Permendagri No. 4 tahun 1980 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota yang direvisi dengan Permendagri No. 2 tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota, Kepmendagri No tahun 1986 tentang Keterbukaan Rencana Kota untuk Umum, dan Permendagri No. 7 tahun 1986 tentang Penetapan Batas Wilayah Kota; sedangkan Menteri Pekerjaan Umum mengeluarkan Kepmen PU No. 640/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota dan pada tahun 1987 mempelopori penyerahan sebagian urusan pemerintahanan kepada daerah termasuk urusan pembangunan kota melalui terbitnya PP No. 14 tahun 1987 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di 1 Perubahan-perubahan tersebut juga didasari oleh pemikiran bahwa berbagai RUU berkaitan erat satu sama lain sehingga perlu dirangkum dalam satu RUU tentang Pokok-pokok Tata Ruang yang selanjutnya melalui berbagai pembahasan dan perubahan menjadi Undang-Undang Penataan Ruang yang ditetapkan pada tahun Lihat Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Ditjen Penataan Ruang Beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang Indonesia Jakarta : Ditjen Penataan Ruang.

276 272 Metropolitan di Indonesia Bidang Pekerjaan Umum kepada Daerah, yang ditindaklanjuti dengan Permen PU No. 57/PRT/1991 dan No. 58/PRT/1991 tentang Pengawasan Teknis Bidang PU kepada Dinas PU. Dualisme tersebut tentunya mengakibatkan kebingungan bagi pemerintah daerah, khususnya pemerintah kabupaten/ kotamadya, dalam pelaksanaan pembangunan kota, khususnya perencanaan kota. Masing-masing pihak, baik Departemen Dalam Negeri maupun Departemen Pekerjaan Umum, memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Sebenarnya pada tahun 1985 diupayakan penyelesaiaan untuk mengakhiri konflik kewenangan tersebut dengan terbitnya Surat Keputusan Bersama Mendagri dan MenPU No dan No. 503/KPTS/1985 tentang Tugas-Tugas dan Tanggung Jawab Perencanaan Kota di mana Departemen Dalam Negeri bertanggung jawab dalam pembinaan administrasi perencanaan kota dan Departemen Pekerjaan Umum bertanggung jawab dalam teknis perencanaan kota. Namun, dalam praktek perencanaan kota, konflik ini tetap berlangsung. Fase sesudah penetapan UUPR Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 24 tahun 1992 (UUPR 1992) tentang Penataan Ruang dapat dikatakan bahwa secara nasional Indonesia memiliki peraturan tentang penataan ruang metropolitan pada tingkat undang-undang meskipun undangundang tersebut tidak secara eksplisit mengatur tentang penataan ruang metropolitan. Kawasan metropolitan merupakan objek pengaturan dari kawasan perkotaan maupun kawasan tertentu yang diatur dalam undang-undang ini. Saat ini, pengaturan perkotaan, terutama sepanjang mengenai pembangunan kota atau perkotaan termasuk metropolitan, tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Terdapat beberapa undangundang yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan pembangunan perkotaan yang berarti juga sebagai landasan hukum dalam penataan ruang metropolitan, yaitu: 1. Undang-undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang; UUPR memuat kaidah-kaidah administrasi berupa kewenangan, proses dan prosedur, serta kelembagaan sebagai pedoman bagi administrasi dalam kegiatan penataan ruang yang meliputi: penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penataan ruang di sini meliputi penataan ruang pada wilayah administrasi maupun pada kawasan fungsional termasuk metropolitan. 2. Undang-undang No. 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman; Undangundang ini mengatur mengenai penataan dan pengelolaan perumahan dan permukiman. Khusus yang berkaitan dengan penataan metropolitan adalah sepanjang mengenai penataan permukiman yang mencakup kegiatan pembangunan baru, perbaikan, peremajaan, perluasan, pemeliharaan, dan pemanfaatannya. 3. Undang-Undang No. 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung; Undang-undang ini mengatur penyelenggaraan bangunan gedung sebagai kegiatan pembangunan yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran. Bangunan gedung dimaksud adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/ atau di dalam tanah dan/ atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau

277 Hukum dan Kelembagaan 273 tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus. 4. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah; Undangundang ini mengatur pembagian kewenangan atau urusan pemerintahan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. 5. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA); Undang-undang ini mengatur peruntukan tanah kedalam berbagai kategori seperti untuk kepentingan pertanian, perkantoran, tempat ibadah, fasilitas umum, dan sebagainya. Peruntukan tersebut dikenal dengan istilah tata guna tanah atau tata guna lahan (land use) yang merupakan bagian penting dalam perencanaan kota. 6. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; Undang-undang ini mengatur pengelolaan lingkungan hidup termasuk persyaratan penataan lingkungan hidup yang antara lain meliputi perizinan, khususnya penerbitan izin melakukan usaha dan/ atau kegiatan pada metropolitan. 7. Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air; Undang-undang ini antara lain juga mengatur peningkatan kemanfaatan fungsi sumber daya air guna memenuhi kebutuhan air baku untuk rumah tangga, pertanian, industri, pariwisata, pertahanan, pertambangan, energi, perhubungan, dan untuk berbagai keperluan lainnya termasuk untuk mendukung kebutuhan metropolitan yang harus dilaksanakan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. 8. Undang-Undang No. 38 Tahun 2004 Tentang Jalan; Undang-undang ini mengatur tentang penyelenggaraan jalan sebagai infrastruktur penting guna menjamin terselenggaranya kegiatan sosial ekonomi masyarakat secara optimal termasuk di dalamnya adalah penyelenggaraan jalan untuk perkotaan. 9. Undang-Undang No. 25 Tahun 2005 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; Undang-Undang ini mengatur tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan di tingkat pusat dan daerah. Dari berbagai undang-undang yang diulas di atas, hanya empat undang-undang yang berkaitan erat dengan penataan metropolitan, yaitu: undang-undang tentang penataan ruang, undang-undang tentang perumahan dan permukiman, undang-undang tentang bangunan gedung, dan undang-undang tentang pemerintahan daerah. Undang-undang tentang Penataan Ruang (UUPR 1992) serta peraturan pelaksanaannya pada dasarnya hanya mengatur tentang bagaimana tata ruang kawasan perkotaan direncanakan, sedangkan bagaimana tata ruang perkotaan tersebut diwujudkan dalam suatu upaya pembangunan tidak diatur. Undang-undang tentang perumahan dan permukiman berikut peraturan pelaksanaannya sebenarnya sudah mengatur bagaimana suatu kota diwujudkan, baik mulai dari metode penyiapan lahannya maupun pembangunan prasarana dan sarananya. Namun, undang-undang ini hanya terbatas mengatur perumahan dan permukiman, sedangkan sektor-sektor kegiatan perkotaan yang lain masih belum lengkap diatur, seperti pusat-pusat bisnis, industri, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Undang-undang tentang bangunan gedung beserta peraturan pelaksanaannya hanya mengatur perwujudan

278 274 Metropolitan di Indonesia fisik bangunan gedung yang pada dasarnya mendominasi penggunaan ruang pada kawasan metropolitan. Sementar itu, undang-undang tentang pemerintahan daerah berikut peraturan pelaksanaannya hanya mengatur tentang arah administratif atau aspek pemerintahan dari satu daerah (termasuk daerah kota). Selain itu, perangkat undang-undang ini hanya mengatur kewenangan yang dimiliki oleh tiap-tiap pemerintah (kabupaten/ kota), tetapi tidak mengatur bagaimana pembangunan dan pengelolaan kota dan perkotaan dilakukan. Dengan kata lain, tidak ada suatu peraturan yang khusus mengatur pembangunan perkotaan termasuk metropolitan pada tingkat undang-undang. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum karena ketidakadaan peraturan khusus dan komprehensif yang langsung dapat dijadikan sebagai landasan dan rujukan dalam pembangunan perkotaan. Sementara itu, dalam rangka pelaksanaan tugasnya selaku Ketua Tim Teknis Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional 2 (terakhir ditetapkan dengan Keppres No. 62 tahun 2000 tentang Koordinasi Penataan Ruang Nasional), Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah yang membidangi urusan Pekerjaan Umum menetapkan Kepmen Kimpraswil No. 327/KPTS/M/2002 tentang Penetapan Enam Pedoman Bidang Penataan Ruang. Termasuk di antaranya adalah Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan dan Pedoman Peninjauan Kembali Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan. Dalam Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan yang termuat dalam Lampiran V Keputusan Menteri tersebut diatur mengenai Rencana Struktur Tata Ruang Kawasan Perkotaan Metropolitan yang terutama memuat ketentuan-ketentuan tentang: Fungsi Rencana, Manfaat Rencana, Muatan Rencana, Proses Rencana, Produk Rencana dan Legalisasi Rencana Struktur Tata Ruang Kawasan Perkotaan Metropolitan. Sedangkan pada Lampiran VI diatur Pedoman Peninjauan Kembali Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan (termasuk kawasan perkotaan metropolitan) yang berisi antara lain: Dasar Peninjauan Kembali, Kriteria Peninjauan Kembali, dan Tata Cara Peninjauan Kembali Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan. Dengan kata lain, sudah ada peraturan tentang perencanaan tata ruang metropolitan, tetapi belum ada peraturan tentang pelaksanaan dan pengawasan pembangunan perkotaan (metropolitan). Dengan demikian, untuk level peraturan di bawah undang-undang pun, belum ada peraturan penataan metropolitan yang menyeluruh dari mulai perencanaan hingga pelaksanaan pembangunannya. Permasalahan Pengaturan Penataan Metropolitan Belum Lengkapnya Peraturan dalam Penataan Ruang Metropolitan Dari sedikit uraian di atas, dapat dipahami bahwa sejauh ini peraturan yang ada baru menyentuh perencanaan kawasan metropolitan dan komponen fisik pembentuk metropolitan, belum ada peraturan yang secara menyeluruh mengatur kawasan metropolitan dari mulai perencanaan hingga pelaksanaan pembangunan/pengelolaannya. Di lain pihak, SVO sebagai landasan pembangunan kota yang sebenarnya juga dapat dijadikan acuan dalam perencanaan dan pembangunan fisik metropolitan telah dicabut 2 Badan ini merupakan Badan Koordinasi sebagai pelaksanaan amanat Undang-Undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang.

279 Hukum dan Kelembagaan 275 oleh UUPR Dengan demikian, terdapat kekosongan hukum/ recht vacuum (khususnya peraturan setingkat undang-undang) dalam penataan metropolitan, dalam arti pembangunan dan pengelolaannya. Catatan di bawah ini menunjukkan adanya kekosongan tersebut : a. SVO/ SVV sebagai landasan pembangunan kota setingkat undang-undang dan peraturan pemerintah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Secara substansial, SVO/SVV memuat ketentuan yang mengatur mengenai pembangunan perkotaan walaupun dalam skala kota pada lokasi tertentu. b. Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang lebih bersifat umum mengatur perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Amanat Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang untuk menyusun dan menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penataan Ruang Kawasan Perkotaan sebagai tindak lanjut dan peraturan pelaksanaan dari undang-undang sampai saat ini belum juga ditetapkan. c. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hanya memberikan pengaturan yang terbatas terhadap kawasan perkotaan dan lebih dititikberatkan pada pengaturan yang lebih bersifat administratif. Undang-undang ini secara implisit memperlihatkan bahwa untuk pengaturan kawasan perkotaan lebih lanjut, lebih detail, dan lebih mendalam akan diatur oleh peraturan perundangundangan. d. Peraturan operasional lainnya ditemukan tersebar dan partial yang menunjukkan pengaturan dalam ruang lingkup terbatas terhadap kawasan perkotaan dan/ atau kota dalam pengertian administratif, sehingga cukup menyulitkan dalam pengimplementasiannya secara terpadu, serta belum mampu memberikan jaminan kepastian dan ketertiban hukum dalam penyelenggaraan pengelolaan/ pembangunan perkotaan. Dengan ditemuinya fakta-fakta hukum tersebut, maka pengaturan terhadap penyelenggaraan pengelolaan/ pembangunan perkotaan termasuk kawasan metropolitan belum dilakukan secara lengkap sehingga landasan hukum yang kuat dan memiliki kepastian hukum guna menjamin kepentingan-kepentingan masyarakat pada kawasan metropolitan masih belum memadai. Masalah Penegakan Peraturan Penataan Ruang Metropolitan Berkembangnya berbagai permasalahan pada kawasan metropolitan, seperti semakin meningkatnya permasalahan bencana banjir; semakin meningkatnya kemacetan lalu lintas dan perumahan kumuh, semakin berkurangnya ruang publik dan ruang terbuka hijau; kurang memadainya kapasitas kawasan metropolitan terhadap tekanan jumlah penduduk; dan maraknya premanisme sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh lemahnya penegakkan hukum daripada masih kurangnya peraturan dalam penataan metropolitan. Penegakan hukum merupakan aspek penting dalam keseluruhan sistem hukum, tetapi seringkali aspek ini dirasakan sebagai aspek yang paling lemah. Dalam penataan metropolitan, penegakan hukum juga merupakan aspek yang paling sering

280 276 Metropolitan di Indonesia diucapkan dan dipersalahkan dalam menjelaskan kegagalan menata metropolitan secara tertib. Hal ini dapat diterima karena memang aspek inilah yang paling sulit dilaksanakan dari semua aspek yang berkaitan dengan penataan metropolitan. Ada empat faktor yang berkaitan langsung dengan penegakan hukum, yaitu: substansi peraturannya sendiri, aparat penegak hukum, sarana dan prasarana hukum, dan kesadaran hukum masyarakat. Lemahnya aspek pengendalian pemanfaatan ruang sebagai perangkat penegakan hukum, dari sisi substansi peraturannya sendiri antara lain karena UUPR sebagai landasan dasar penataan metropolitan yang ada lebih banyak mengatur keterpaduan proses, sedangkan kaidah-kaidah hukum yang dimuat lebih bersifat adminitratif, khususnya kaidah-kadaih penuntun bagi administrasi negara dalam perencanaan tata ruang. Kaidah-kaidah perilaku masyarakat yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang tidak banyak diatur dalam UUPR, didasarkan pada pertimbangan bahwa kaidah-kaidah perilaku tersebut telah diatur dalam undang-undang sektoral. Dengan semikian, jika seseorang melanggar rencana tata ruang maka penerapan sanksi tergantung pada peruntukan yang dilanggar. Sanksi tersebut dapat dikenakan mungkin dari Undang- Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Kehutanan, Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam, atau undang-undang lainnya. Pendekatan ini ternyata dalam praktek tidak berjalan efektif, antara lain disebabkan undang-undang sektoral belum spesifik mengadopsi pendekatan penataan ruang. Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, misalnya, yang terkait langsung dengan penataan ruang hanya dapat diterapkan sanksinya, sepanjang pada perubahan fungsi ruang (peruntukan) itu terdapat unsur pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan. Dengan demikian, dalam praktek, kaidah perilaku luput dari pengaturan UUPR. Oleh karena UUPR lebih banyak mengatur kaidah-kaidah perencanaan tata ruang, dimana subyek utamanya adalah administrasi negara, maka terhadap administrasi negara tersebut tidak dapat digunakan instrumen hukum pidana, melainkan hukum administrasi. Selain itu, kesadaran masyarakat untuk secara sukarela tunduk pada peraturanperaturan yang ada masih dirasa belum memadai. Banyak ketentuan hukum termasuk di bidang penataan ruang dan lingkungan hidup dengan sengaja dilanggar. Persepsi yang telah berkembang di masyarakat telah menjadi pembenaran bahwa pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan penataan ruang pun bukan merupakan sesuatu yang harus dihindari, apalagi ditakuti. Pemanfaatan lahan-lahan di sepanjang sempadan sungai, trotoar jalan, taman, dan lahan-lahan yang seharusnya bebas dari kegiatan untuk perumahan, perdagangan, dan sebagainya merupakan pemandangan yang biasa di kawasan-kawasan perkotaan. Semua itu terjadi tanpa adanya upaya penegakan hukum yang tegas dari aparat pemerintah. Pemerintah daerah tidak mampu berbuat banyak untuk menegakkan hukum, hal ini disebabkan tidak mempunyai wibawa hukum yang memadai karena prinsipprinsip good urban governance yang intinya terdiri dari accountability, transparancy, dan rule of law tidak dilaksanakan secara konsisten. Sebagai ilustrasi, izin sebagai instrumen penegakan hukum belum diikuti dengan pengawasan yang cukup. Pengawasan yang dimaksud merupakan tindakan yang dilakukan pemerintah pusat atau daerah untuk mengetahui ada atau tidaknya pelanggaran terhadap izin atau ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengawasan ini seyogianya ditujukan untuk memantau kepatuhan masyarakat dan juga kedisiplinan aparat. Untuk itu, kewenangan membatalkan izin seperti yang diatur dalam UUPR, termasuk terhadap

281 Hukum dan Kelembagaan 277 izin-izin yang diterbitkan oleh bupati/ walikota atau perangkat administrasi negara lainnya harus disertai dengan prosedur penegakannya. Sementara itu, instrumen perizinan yang semestinya berperan sebagai perangkat penegakkan hukum seringkali bergeser peran secara paradoksal menjadi alat penyimpangan terhadap aturan hukum. Misalnya izin mendirikan bangunan (IMB) yang seharusnya berperan sebagai alat kontrol untuk menjamin kesesuaian pembangunan fisik dengan rencana tata ruang, setelah era otonomi dijadikan sebagai alat untuk menambah Pendapatan Asli Daerah dengan dibebani target pemasukan tertentu setiap tahunnya. Dengan demikian, pada hakikatnya IMB tidak lagi berfungsi sebagai instrumen pengendalian, melainkan lebih berperan sebagai mesin penghasil PAD. Seringkali izin yang dikeluarkan tidak lagi sesuai dengan rencana tata ruang, demi untuk mengejar target pemasukan. Selain itu, seringkali izin yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan lolos karena berbagai hal. UUPR mengenal konsep insentif dan disinsentif untuk melapisi pengendalian izin yang seringkali lolos tersebut, tetapi konsep itu sejauh ini tidak pernah dilaksanakan dalam penataan metropolitan bahkan dalam penataan ruang secara keseluruhan. Perspektif Aspek Hukum Penataan Metropolitan Wacana Pengaturan Kawasan Metropolitan dalam Rancangan Peraturan Penataan ruang metropolitan hendaknya mampu mengantisipasi berbagai permasalahan akibat terjadinya perubahan fungsi ruang atau pengalihan fungsi lahan kawasan perkotaan sebagai akibat dinamika kegiatan pembangunan kawasan perkotaan yang di dalamnya termasuk peremajaan fisik perkotaan dan pembangunan permukiman perkotaan dalam skala besar maupun kecil. Pertumbuhan kawasan perkotaan yang pesat dan dinamis perlu diarahkan secara terencana dan terpadu baik dalam penataan perkotaan sebagai suatu sistem perkotaan maupun secara individu perkotaan. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi pertumbuhan dan perkembangan kawasan perkotaan yang semakin pesat serta untuk meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat di kawasan perkotaan, diperlukan adanya perangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan kawasan perkotaan termasuk metropolitan. Sebagaimana telah dikupas di atas bahwa peraturan perundang-undangan yang ada dipandang belum cukup mengatur secara menyeluruh dan memberikan kepastian hukum yang memadai dalam pembangunan kawasan perkotaan secara efisien dan efektif. Oleh karenanya, berkembang pemikiran untuk menyusun suatu peraturan tentang pengelolaan kawasan perkotaan yang bertujuan 3 mewujudkan kondisi kawasan perkotaan yang optimal, baik secara sistem maupun individu; mengatur pemanfaatan ruang kawasan perkotaan guna meningkatkan kemakmuran rakyat dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan alam, lingkungan buatan, dan lingkungan sosial; meningkatkan fungsi kawasan perkotaan secara serasi, selaras, dan seimbang antara perkembangan lingkungan dengan tata kehidupan masyarakat; mencapai kualitas tata 3 Pemikiran ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Penataan Ruang untuk menyusun dan menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penataan Ruang Kawasan Perkotaan dan Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah yang mengamanatkan disusunnya Peraturan Pemerintah tentang Pemerintahan Kota.

282 278 Metropolitan di Indonesia ruang kawasan perkotaan yang optimal, serasi, selaras, dan seimbang dalam pengembangan kualitas hidup manusia; mendorong dinamika kegiatan pembangunan perkotaan sehingga dicapai kehidupan perkotaan yang layak, dinamis, optimal, berwawasan lingkungan, berkeadilan, serta menunjang pelestarian nilai-nilai budaya; menyelenggarakan pemerintahan di kawasan perkotaan yang mampu memberikan pelayanan perkotaan secara efektif dan efisien kepada masyarakat kawasan perkotaan; meningkatkan peran pemerintah dan masyarakat termasuk dunia usaha dalam pembangunan kawasan perkotaan sebagai usaha bersama sesuai dengan tatanan yang efisien, efektif, demokratis, dan bertanggung jawab; dan mendayagunakan seluruh potensi yang dimiliki oleh pemerintah dan masyarakat termasuk dunia usaha dalam upaya menciptakan kawasan perkotaan sebagai ruang kehidupan yang serasi, selaras, seimbang, layak, berkeadilan, berkelanjutan, dan menunjang pelestarian nilai-nilai sosial budaya; menumbuh-kembangkan inovasi dalam penyelenggaraan pelayanan dan peningkatan lingkungan fisik, sosial, budaya, politik dan ekonomi, serta menciptakan kohesi sosial. Selanjutnya, pemikiran ini dituangkan dalam suatu naskah Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pedoman Pengelolaan Kawasaan Perkotaan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-undang tentang Penataan Ruang dan undang-undang tentang pemerintahan daerah. Dalam RPP tersebut, yang saat ini statusnya masih dalam pembahasan intern departemen, dikembangkan landasan pengaturan yang kuat yang ditunjukkan dengan dimuatnya beberapa peristilahan kunci yang antara lain meliputi kawasan perkotaan, kawasan perkotaan baru, metropolitan, pengelolaan kawasan perkotaan, rencana tata ruang kawasan perkotaan, forum pengelola kawasan perkotaan, forum perkotaan, peran masyarakat dalam pembangunan perkotaan, dan warga perkotaan. Secara garis besar muatan pokok dalam RPP tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut: 1) Kriteria dan klasifikasi kawasan perkotaan Kawasan perkotaan adalah kawasan yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a) memiliki fungsi kegiatan utama budi daya bukan pertanian atau lebih dari 75 persen mata pencaharian penduduknya di bidang industri, perdagangan, dan jasa; b) memiliki jumlah penduduk sekurang-kurangnya jiwa; c) memiliki kepadatan penduduk sekurang-kurangnya 50 jiwa per hektar; dan d) memiliki fungsi sebagai pemusatan dan distribusi pelayanan barang dan jasa yang didukung dengan prasarana dan sarana termasuk pergantian moda transportasi. Secara umum, suatu kawasan perkotaan dapat merupakan daerah kota, atau bagian dari daerah kabupaten, atau bagian dari dua atau lebih daerah kabupaten dan atau kota. Sedangkan secara kategoris, terutama untuk pengembangan sistem pelayanannya, kawasan-kawasan perkotaan dapat diklasifikasikan berdasarkan jumlah penduduk sebagai berikut: a) Kawasan perkotaan kecil dengan jumlah penduduk yang dilayani sebesar hingga jiwa; b) Kawasan perkotaan sedang dengan jumlah penduduk yang dilayani sebesar hingga jiwa; c) Kawasan perkotaan besar dengan jumlah penduduk yang dilayani lebih besar dari jiwa. Selain itu, terdapat metropolitan yang harus memenuhi kriteria sebagai berikut: memiliki sistem pusat permukiman perkotaan yang terdiri

283 Hukum dan Kelembagaan 279 dari suatu kota inti dan kawasan pusat permukiman di wilayah sekitarnya yang berfungsi sebagai satelit sebagai satu kesatuan fungsional secara fisik, ekonomi, dan sosial; dan jumlah penduduknya secara keseluruhan lebih dari (satu juta) jiwa. 2) Kelembagaan dan pembiayaan kawasan perkotaan Untuk kawasan perkotaan selain metropolitan (kawasan perkotaan kecil, sedang, dan besar), kelembagaannya diatur oleh kepala daerah dan dimungkinkan serta didorong dengan adanya kerja sama antara daerah dalam rangka pembangunan perkotaan. Dalam hal kawasan perkotaan merupakan kawasan perkotaan baru (yang biasanya berada pada suatu kabupaten) maka dapat dibentuk badan atau unit pengelola pembangunan yang ditetapkan dengan keputusan bupati. Sedangkan dari segi pembiayaan pada dasarnya berasal dari anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten bersangkutan atau sumber pendanaan lain yang sah. Pembiayaan di sini terdiri atas penetapan komponen-komponen dan besaran pembiayaan yang disesuaikan dengan prioritas program. Khusus untuk pembangunan kawasan perkotaan baru, maka pembiayaannya dapat bersumber dari: a) dana masyarakat; b) dana publik yang berasal dari pemerintah pusat, daerah, dan atau desa; c) pendapatan yang diperoleh dari bagi hasil pengelolaan aset pemerintah pusat, pemerintah daerah, pemerintah desa, swasta dan aset badan atau lembaga masyarakat di kawasan yang direncanakan sebagai kawasan perkotaan baru; dan d) dana yang berasal dari pinjaman sesuai ketentuan perundang-undangan. Untuk pengelolaan dan pemeliharaan prasarana dan sarana lingkungan pasca pembangunan, selain sebagaimana dimaksud di atas, sumber dana dapat juga berasal dari pendapatan yang dipungut dari konsumen. Untuk kawasan perkotaan metropolitan yang mencakup dua atau lebih daerah kabupaten dan atau kota yang berbatasan langsung dilakukan atas dasar kerja sama antardaerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam rangka kerja sama antardaerah tersebut dapat dibentuk badan metropolitan. Badan ini dapat memperoleh pelimpahan kewenangan dari kepala daerah yang ditetapkan dengan keputusan bersama kepala daerah setelah mendapat persetujuan dewan perwakilan rakyat daerah masing-masing. Adapun kewenangan dimaksud dapat meliputi: a) penyusunan program dan pemberian izin bagi kegiatan dan pelayanan lintas daerah dalam kawasan metropolitan; b) pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pembangunan di kawasan metropolitan. Dalam hal pembiayaannya, badan metropolitan ditetapkan dalam anggaran penerimaan dan pengeluaran badan metropolitan, yang bersumber dari: a) anggaran pendapatan dan belanja daerah dari tiap-tiap pemerintah daerah yang disepakati bersama; b) sumber pendapatan lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3) Peran Masyarakat Dalam penyelenggaraan pengelolaan kawasan perkotaan, pengelola kawasan perkotaan mengikutsertakan masyarakat perkotaan. Pengikutsertaan masyarakat perkotaan dapat diselenggarakan melalui suatu forum perkotaan atau bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik masyarakat perkotaan setempat. Masyarakat dapat

284 280 Metropolitan di Indonesia secara aktif ikut serta dalam perumusan kebijakan dan strategi pengembangan kawasan perkotaan, penyusunan rencana tata ruang, penyusunan program pembangunan, dan pengendaliannya. 4) Perencanaan tata ruang kawasan perkotaan Dalam rangka pengelolaan kawasan perkotaan disusun rencana tata ruang kawasan perkotaan. Rencana tata ruang kawasan perkotaan yang berada di dalam wilayah daerah kabupaten adalah bagian dari rencana tata ruang wilayah daerah kabupaten yang bersangkutan. Dalam hal kawasan perkotaan merupakan daerah kota, rencana tata ruang kawasan perkotaan adalah rencana tata ruang wilayah kota. Rencana tata ruang kawasan perkotaan berisi rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang. Rencana struktur ruang mencakup rencana pusat-pusat pelayanan perkotaan, pusatpusat lingkungan permukiman, dan rencana infrastruktur. Sementara itu, rencana pola pemanfaatan ruang kawasan perkotaan merupakan bentuk pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang menggambarkan ukuran, fungsi, serta karakter kegiatan manusia dan atau kegiatan alam. Rencana tata ruang kawasan perkotaan berdasarkan kedalaman rencananya dibedakan atas: a) rencana struktur tata ruang metropolitan; b) rencana umum tata ruang kawasan perkotaan; c) rencana detail tata ruang kawasan perkotaan; d) rencana teknik ruang kawasan perkotaan atau rencana tata bangunan dan lingkungan. Rencana tata ruang kawasan perkotaan dapat ditinjau kembali dan atau disempurnakan sesuai dengan tuntutan pembangunan dan perkembangan kawasan perkotaan. Peninjauan kembali rencana tata ruang kawasan perkotaan merupakan bagian dari peninjauan kembali rencana tata ruang wilayah kabupaten/ kota dan dilakukan sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun, sedangkan penyempurnaan rencana tata ruang kawasan perkotaan dilakukan dalam hal peninjauan kembali rencana tata ruang kawasan perkotaan yang menunjukkan perubahan dan atau penyimpangan yang mendasar. 5) Pembangunan kawasan perkotaan Pembangunan kawasan perkotaan dilaksanakan melalui program dan pelaksanaan pembangunan kawasan sebagai berikut: (1) Program Pembangunan Pembangunan kawasan perkotaan diselenggarakan dalam rangka pemanfaatan ruang berdasarkan rencana tata ruang. Untuk itu dapat disusun suatu rencana program pembangunan kawasan perkotaan. Program pembangunan beserta pembiayaannya diselenggarakan secara bertahap sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam rencana tata ruang. Program pembangunan kawasan perkotaan terdiri dari program jangka pendek (tahunan) dan program jangka menengah (lima tahunan). Penyusunan program pembangunan kawasan perkotaan didasarkan pada kemampuan nyata pengelola kawasan perkotaan termasuk kemampuan untuk pengoperasian dan pemeliharaannya;

285 Hukum dan Kelembagaan 281 (2) Pelaksanaan Pembangunan Pelaksanaan pembangunan kawasan perkotaan, baik fisik maupun nonfisik, mengacu pada program pembangunan kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud di atas yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat, baik secara sendirisendiri maupun melalui pola kemitraan. 6) Pengendalian pembangunan kawasan perkotaan Pengendalian pembangunan kawasan perkotaan dilakukan melalui mekanisme perizinan, pengawasan, penertiban, dan pemberian informasi. Dalam hal ini, pemerintah perlu menetapkan pedoman penyusunan ketentuan perizinan di kawasan perkotaan. Pengawasan terhadap pengelolaan kawasan perkotaan dilaksanakan oleh pemerintah pusat, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/ kota dan masyarakat sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku; sedangkan penertiban atas pelanggaran ketentuan perencanaan, pelaksanaan, dan pemanfaatan pembangunan kawasan perkotaan dilakukan oleh pemerintah kabupaten/ kota. 7) Pembinaan dan pengawasan Pembinaan dan pengawasan pengelolaan kawasan perkotaan dilakukan oleh pemerintah pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Apabila terjadi perselisihan antardaerah dalam pengelolaan kawasan perkotaan diselesaikan oleh pemerintah pusat secara musyawarah. Pada tingkat nasional dan atau propinsi dapat dibentuk forum pengembangan perkotaan yang berfungsi memberikan masukan kebijakan pembangunan kawasan perkotaan. Keanggotaan forum pengembangan perkotaan terdiri atas: instansi pemerintah terkait, Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia, perguruan tinggi, dan organisasi nonpemerintah. Sementara itu, dalam RUU Penataan Ruang yang merupakan rancangan pengganti UUPR diatur juga penataan metropolitan sebagai bagian dari kawasan perkotaan. Dalam hal ini, penataan ruang kawasan perkotaan diselenggarakan pada kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari wilayah kabupaten atau kawasan yang secara fungsional berciri perkotaan yang mencakup dua atau lebih wilayah kabupaten/ kota pada satu atau lebih wilayah propinsi. Kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud di atas dapat berbentuk kawasan metropolitan atau megapolitan. Secara garis besar RUU memuat hal-hal pokok mengenai kawasan perkotaan sebagai berikut: 1) Perencanaan Tata Ruang Kawasan Perkotaan Rencana tata ruang kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari wilayah kabupaten adalah rencana detail dari rencana tata ruang wilayah kabupaten. Untuk kawasan perkotaan yang mencakup dua atau lebih wilayah kabupaten/ kota, maka rencana tata ruang kawasan perkotaan merupakan alat koordinasi dalam pelaksanaan pembangunan yang bersifat lintas wilayah. Rencana tata ruang ini berisi arahan

286 282 Metropolitan di Indonesia struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang yang bersifat lintas wilayah administratif. Sementara itu, rencana tata ruang kawasan metropolitan merupakan alat koordinasi pelaksanaan pembangunan lintas wilayah yang tidak berbentuk sebagai rencana seperti halnya rencana tata ruang wilayah tetapi merupakan pedoman untuk sinkronisasi perencanaan wilayah administrasi di dalam kawasan. Rencana ini berisi rencana struktur ruang dan rencana pola pemanfaatan ruang yang merupakan sinkronisasi dari struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang wilayah administratif di dalam kawasan; arahan pengelolaan kawasan metropolitan; dan indikasi program pemanfaatan ruang kawasan metropolitan. 2) Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan Pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari wilayah kabupaten merupakan bagian dari pemanfaatan ruang wilayah kabupaten, sedangkan pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari dua atau lebih wilayah kabupaten/ kota dilaksanakan melalui penyusunan program pembangunan beserta pembiayaannya secara terkoordinasi antarwilayah kabupaten/ kota terkait. 3) Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Perkotaan Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang merupakan bagian dari wilayah kabupaten merupakan bagian dari pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten. Sementara itu, pengendalian pemanfaatan ruang kawasan perkotaan yang mencakup dua atau lebih wilayah kabupaten/ kota dilaksanakan oleh tiap-tiap kabupaten/ kota. Untuk kawasan perkotaan yang mencakup dua atau lebih wilayah kabupaten/ kota yang mempunyai lembaga pengelolaan tersendiri, pengendaliannya dapat dilaksanakan oleh lembaga yang dimaksud. 4) Kerja sama Pengelolaan Kawasan Perkotaan Pengelolaan kawasan perkotaan yang mencakup dua atau lebih wilayah kabupaten/ kota dilaksanakan melalui kerja sama antardaerah. Kebutuhan peraturan metropolitan Peraturan metropolitan seyogianya merupakan suatu keseluruhan kaidah-kaidah tertulis yang mengatur penataan metropolitan dari mulai perencanaan, pembangunan hingga operasionalisasi kegiatan-kegiatan perkotaan yang menjadi domain publik dalam pengaturannya. Dari uraian tentang rancangan peraturan yang ada dapat disimpulkan bahwa penataan kawasan perkotaan termasuk penataan metropolitan ke depan akan diatur secara lebih menyeluruh, tetapi aspek-aspek penegakan hukumnya masih belum diatur secara lebih rinci. Pengaturan aspek penegakan hukum secara rinci sangat diperlukan untuk memudahkan implementasi materi peraturan yang akan ditetapkan. Sebagus apapun materi suatu aturan, kalau penegakannya lemah maka peraturan tersebut sebenarnya sudah kedaluwarsa atau dengan kata lain hanyalah merupakan macan kertas.

287 Hukum dan Kelembagaan 283 Secara umum kaidah-kaidah yang perlu ada dan disusun dalam suatu sistem pengaturan penataan metropolitan adalah pertama, pengaturan yang berkaitan dengan perencanaan penataan metropolitan. Sesuai dengan pengalaman dalam pengembangan metropolitan selama ini serta Best Practice yang dijalankan di negara-negara lain, khususnya negara-negara maju, maka pengaturan perencanaan metropolitan meliputi perencanaan tata ruang yang bersifat makro yang produknya biasa dikenal sebagai master plan atau schéma directeur dan perencanaan tata ruang yang bersifat mikro yang produknya dalam bentuk rencana rinci atau rencana detail tata ruang yang memuat atau dilengkapi dengan peraturan zoning Rencana tata ruang yang bersifat makro menurut UU No. 24 tahun 1992 dikenal sebagai rencana tata ruang wilayah kabupaten/ kota merupakan dokumen rencana yang harus menjadi acuan pertama dalam pengembangan perkotaan. Rencana ini mestinya memuat ketentuan-ketentuan yang bersifat kaku sehingga tidak dimungkinkan adanya perubahan peruntukan pemanfaatan ruang, juga memuat ketentuan-ketentuan yang dapat bersifat fleksibel sehingga dapat menampung dinamika yang terjadi pada masyarakat. Rencana yang bersifat makro ini haruslah merupakan dasar perizinan lokasi kegiatan. Pada tataran rencana mikro atau rencana rinci, rencana ini harus menjadi arahan bagi perizinan mendirikan bangunan. Dalam hal ini tidak perlu ada dualisme pengaturan tata ruang dan tata guna tanah. Rencana rinci tersebut merupakan satu-satunya dokumen legal yang mengatur peruntukan penggunaan ruang termasuk tanah. Kedua, perlunya pengaturan tentang operasionalisasi pembangunan perkotaan/ metropolitan. Dalam hal ini diperlukan pengaturan tentang bagaimana rencana tata ruang metropolitan diimplementasikan menjadi suatu kegiatan penataan metropolitan untuk mewujudkan rencana yang dimaksud. Untuk itu diperlukan ketentuan yang memuat tentang program penataan ruang metropolitan dan ketentuan-ketentuan tentang penyiapan kawasan maupun lingkungan siap bangun, yang semestinya menjadi bagian sentral dari pengaturan pada tahap ini. Selama ini, UU No. 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman baru mengatur kawasan dan lingkungan siap bangun untuk perumahan dan permukiman. Dalam pengaturan tentang operasionalisasi pembangunan perkotaan di sini harus memuat seluruh pengaturan tentang penyediaan kawasan maupun lingkungan siap bangun untuk seluruh sektor kegiatan pembangunan perkotaan. Selain diperlukan kaidah-kaidah tentang penyiapan tanah matang, juga sangat diperlukan pengaturan atau rujukan pengaturan tentang perolehan tanah (land acquisition), seperti pembebasan tanah, konsolidasi tanah, bank tanah, dan lain-lain untuk keperluan pembangunan perkotaan. Ketiga, perlunya pengaturan tentang pengelolaan pelayanan umum. Maksudnya, perlu pengaturan tentang jenis metode pengelolaan dan penanggung jawab atau pelaku pengelolanya sendiri. Secara umum, jenis metode pengelolaan pelayanan umum dapat dikelompokkan kedalam dua bagian, yaitu : 1) Pengelolaan langsung yang dilakukan sendiri secara swakelola oleh dinas-dinas terkait maupun melalui kerja sama antardinas di bawah sistem kerja sama antara daerah; 2) Pengelolaan yang didelegasikan baik kepada organisasi semi publik seperti Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau organisasi sejenis lainnya, maupun kepada perusahaan swasta dengan jenis-jenis kerja sama yang terukur dan diatur secara rinci

288 284 Metropolitan di Indonesia dalam peraturan perundang-undangan. Jenis-jenis pengelolaan pelayanan umum yang dapat disediakan oleh swasta dapat dilakukan antara lain melalui skema BOO, BOT, Ruilslag, Turn Key, dan konsesi. Keempat, perlunya pengaturan tentang aspek-aspek penegakan hukum yang dititikberatkan pada mekanisme perizinan berikut pengawasannya, ketentuan sanksi serta prosedur penerapannya, pengembangan kemampuan dan integritas aparatur, pengembangan prasarana dan sarana penegakan hukum, dan pengembangan kesadaran masyarakat untuk patuh pada peraturan penataan metropolitan. Penutup Kawasan metropolitan yang semula hanya merupakan fenomena dari kawasan perkotaan dengan ciri-ciri tertentu, dengan adanya penetapan suatu kawasan perkotaan sebagai kawasan metropolitan yang perlu dikelola secara khusus dalam berbagai rancangan peraturan, menjadi sebuah status yaitu suatu entitas objek pengaturan yang jelas batas dan lingkup pengelolaannya. Keberhasilan dalam mengelola suatu kawasan metropolitan akan tergantung kepada: Pertama, kebijakan yang ditetapkan ke arah mana metropolitan akan dibawa. Hal ini mestinya merupakan konvergensi dari berbagai kepentingan dalam masyarakat yang diperoleh melalui mekanisme konsensus yang berlaku. Konsensus ini mesti didukung oleh kemauan politik yang kuat dari pemerintah yang diberi kepercayaan oleh masyarakat untuk mengelola metropolitan; Kedua, aturan hukum yang lengkap dengan penegakan hukum sebagai pelaksanaan aturan yang disusun dan disepakati bersama. Kelengkapan aturan beserta penegakannya dimaksudkan agar kebijakan yang telah ditentukan dapat dilaksanakan dengan rambu-rambu peraturan yang jelas dan applicable. Penegakan hukum mesti dilakukan secara konsisten dengan prinsip zero tolerance, yaitu penerapan hukum tanpa pandang bulu dengan semua orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama di depan hukum; Ketiga, sistem administrasi yang solid sebagai instrumen pelaksanaan kebijakan dan penerapan hukum. Ini berarti diperlukan aparat dan aparatur atau birokrasi yang bermartabat yang mampu menjalankan kewenangan dan tugasnya secara jujur dan bersih. KELEMBAGAAN Pendahuluan Kawasan metropolitan atau metropolis sebagai kawasan fungsional yang bersifat metropolitan memerlukan perhatian khusus dari sisi pengelolaannya. Oleh karena sifat fungsional perkotaannya yang lintas batas wewenang administratif, maka pengelolaan tidak dapat dilakukan secara legal formal oleh tiap-tiap daerah otonom pemegang kekuasaan otoritas administratif, khususnya dalam penataan ruang, tanpa menimbulkan eksternalitas ke daerah lainnya. Jika yang terdorong adalah eksternalitas positif, tentunya tidak akan banyak timbul persoalan di antara tiap-tiap daerah, dan juga di antara masyarakat dalam lingkup kawasan metropolitan tersebut. Sayangnya, justru berbagai eksternalitas yang negatif yang seringkali muncul ke permukaan, sebagai implikasi dari tuntutan layanan fasilitas, utilitas, serta infrastruktur yang bersifat makro lintas daerah, lintas fungsi, dan lintas dampak. Oleh karena itulah muncul usaha untuk

289 Hukum dan Kelembagaan 285 menginternalisasi berbagai eksternalitas penataan ruang yang timbul dari kebutuhan penyediaan pelayanan jasa dan produk yang bersifat inter-local public goods/ services kedalam pembentukan suatu institusi kawasan secara lebih luas. Tingkat kebutuhan akan institusi ini akan hampir sama besarnya dengan tingkat kebutuhan kita atas ada/ tersedia dan berfungsinya infrastuktur, fasilitas, dan utilitas dasar makro untuk mempertahankan kehidupan dan penghidupan penduduk kawasan metropolitan itu sendiri. Meskipun masyarakat yang tinggal di berbagai kawasan metropolitan di seluruh dunia sepakat membutuhkan suatu bentuk kelembagaan dan lembaga formal untuk menjamin terselenggaranya dan/ atau terpenuhinya standar tingkat layanan makro yang dibutuhkannya, tetapi dapat dipastikan tidak ada bentuk kelembagaan dan/ atau lembaga metropolitan yang persis sama di dunia ini. Hal yang paling dekat diketemukan adalah kemiripan saja antara satu dengan lainnya dalam beberapa aspek sehingga kemudian dijadikan alat pengklasifikasian untuk mengelompokkan bentuk atau format lembagalembaga metropolitan tersebut. Oleh karena itu, berbagai pengklasifikasian bentuk lembaga metropolitan seperti interkomunalitas 4, suprakomunalitas 5, atau wadah koordinasi adalah lebih kepada kemiripan proses dan prosedur pengaturan ketatalaksanaan kerja yang digunakan oleh daerah-daerah di metropolitan tersebut untuk menyelesaikan persoalan bersama mereka. Kelembagaan Untuk menjelaskan mengapa tidak ada kelembagaan yang sama antara satu daerah dengan daerah lainnya, atau dalam kasus ini antara satu kawasan metropolitan dengan kawasan metropolitan lainnya, berikut ini akan dikemukakan hal-hal yang konsepsional tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan kelembagaan, termasuk nantinya adalah apa bedanya dengan lembaga/organisasi. Berikut ini adalah beberapa pendapat ahli kelembagaan yang mengemukakan bahwa kelembagaan adalah: The humanly devised constraints that shape human interaction... They stucture incentives in human exchange, whether political, social or economic... Institutions reduce uncertainty by providing a structure to everyday life... Institutions include any form of constraint that human beings devise to shape interaction (Bainbridge, et.al, 2000:6) Institutions are the constraints that human beings impose on human interaction. They consist of formal rules (constitutions, statute law, common law, and regulations) and informal constraints (conventions, norms, and self-enforced codes of conduct) and their enforcement characteristic (North, 1998:11) 4 Interkomunalitas adalah bentuk kerja sama yang diwujudkan melalui pembentukan suatu lembaga yang bertugas mengelola kepentingan bersama daerah-daerah yang bekerja sama, dibentuk dan diserahi tugas oleh daerah-daerah yang bekerja sama untuk mengurus beberapa kegiatan yang menjadi kepentingan bersama. 5 Suprakomunalitas adalah bentuk kerja sama antardaerah yang diwujudkan melalui pembentukan suatu wilayah administrasi baru dengan menggabungkan daerah lama kedalam sebuah struktur yang besar atau daerah lama menjadi subordinasi lembaga yang baru.

290 286 Metropolitan di Indonesia Wherever we encounter substantial, continued, organized activity with means structures to pursue shared goals, we deal with behavior that at some stage of consequence can be called institutional. (Hurst, 1977:48) Sementara itu, menurut Israel (1990:11) kelembagaan mempunyai konsep yang luas yaitu: encompasses entities at the local or community level, project management units, parastatals, line agencies in the central government, and so on. An institution can belong to the public or the private sector and may also refer to governmentwide administrative functions. Memperhatikan berbagai kutipan tersebut, pada prinsipnya dapat disimpulkan bahwa pengertian kelembagaan adalah lebih luas dari sekadar lembaga. Kelembagaan/ kepranataan/ institusi adalah suatu bentuk kesatuan unsur formal (kesepakatan) beserta jaringan dukungan yang dikembangkan di dalamnya secara terorganisasi, yang secara berkesinambungan mempengaruhi sistem pengelolaan sumber daya suatu entitas tertentu, untuk menghasilkan dan/ atau melindungi perubahan ke arah pencapaian tujuan pembangunan tertentu. Konsepsi mengenai kelembagaan tersebut beserta faktor-faktor penentunya dapat dilihat dalam GAMBAR 7-1. Gambar tersebut secara tidak langsung menjelaskan bahwa kelembagaan adalah bersifat dinamis, bergantung pada berbagai aspek di lingkungannya yang spesifik, yang juga ternyata bersifat dinamis. Kompleksitas dan kerumitan sistem kelembagaan yang dibentuk (misalnya untuk metropolitan tertentu) akan ditentukan oleh kondisi dan situasi lingkungan manusianya (sosial-budaya, sosialekonomi, sosial-politik, ketatanegaraan, dan lain-lainnya), situasi lingkungan alam dan kondisi ketersediaan sumber daya (alam, teknologi, energi, dan sumber daya lainnya), di samping dari tujuan khusus pengembangan dan/ atau pembangunan yang ditetapkan. Jadi, meskipun dengan satu tujuan yang sama pun, misalnya penataan ruang untuk pembangunan berkelanjutan, di setiap metropolitan kelihatannya akan memerlukan bentuk kelembagaan yang berbeda-beda. Unsur pertimbangan lingkungan pembentuknya berbeda. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa sistem kelembagaan metropolitan dari satu tempat ke tempat lain akan mempunyai perbedaan. Lembaga Kawasan Metropolitan dan Permasalahannya Kawasan Metropolitan di Indonesia terus berkembang sesuai dengan percepatan jumlah penduduk dan kegiatan perekonomian seiring dengan proses aglomerasi dalam segala aspek di kota-kota besar yang sudah ada, seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Makassar, dan lain-lain yang segera menyusul. Sayangnya, kecenderungan berkembangnya wilayah fungsional perkotaan yang membentuk kawasan metropolitan ini tidak diantisipasi dan dipersiapkan sedini mungkin dengan pembentukan lembaga metropolitan yang jelas sehingga dapat secara efektif mengawal pertumbuhan perkembangan tiap-tiap wilayah metropolitan tersebut secara optimal di berbagai belahan wilayah Indonesia.

291 Hukum dan Kelembagaan 287 TUJUAN PEMBANGUNAN LINGKUNGAN PERAN & PARTISIPASI STAKEHOLDERS KELEMBAGAAN Mekanisme, Proses, PROSEDUR LINGKUNGAN KONDISI SOS-BUD BUD- EKONOMI- POLITIK BENTUK, STRUKTUR LINGKUNGAN SUMBERDAYA, TEKNOLOGI, ENERGI, DLL GAMBAR 7-1 Lingkup Kelembagaan Persoalan dan konflik antardaerah kota/ kabupaten yang secara administratif otoritasnya terpisah, tetapi secara fungsional kawasan perkotaannya menyatu menjadi hal yang biasa dan malah cenderung melebar ke berbagai aspek pembangunan kota, tidak hanya sekadar masalah fisik ruang dan lingkungan saja. Berbagai persoalan dan konflik pelayanan publik, seperti kependudukan, kesehatan, pendidikan, industri dan perdagangan, dan lain-lainnya menunjukkan eskalasi yang meningkat tajam, karena memang sangat bervariasinya standar pelayanan yang diberikan tiap-tiap unit daerah otonom di kawasan metropolitan tersebut. Contoh saja adalah standar pelayanan publik yang diberikan DKI Jakarta sangat berbeda dengan daerah tetangganya, seperti Kota Bogor, Kota Depok, Kota Bekasi, Kota Tangerang, dan beberapa kabupaten seperti Bogor, Tangerang, Bekasi yang kesemuanya membentuk satu kawasan Metropolitan Jakarta. Hal yang sama dialami pula dengan Kota Surabaya dengan kota dan kabupaten di sekitarnya di Jawa Timur seperti Gresik, Bangkalan, Sidoarjo, dan Lamongan; serta Kota Bandung dengan daerah di sekitarnya seperti Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Sumedang; dan juga berbagai daerah di sekitar Kota Medan, Kota Makassar, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, dan segera menyusul kota-kota besar lainnya. Kawasan-kawasan metropolitan di Indonesia, dan juga di berbagai negara sedang berkembang lainnya, memiliki persoalan-persoalan yang hampir sama, yaitu: Mundurnya aspek kehidupan perkotaan, seperti: segregasi sosial dan spasial; peningkatan kemiskinan kota; peningkatan kriminalitas, kekerasan; kekurangan

292 288 Metropolitan di Indonesia perumahan layak; kemacetan lalu lintas; kerusakan lingkungan hidup, dan lain sebagainya. Kekacauan pengelolaan kawasan perkotaan, seperti: tidak adanya kewenangan yang memadai dalam mengelola kawasan perkotaan secara keseluruhan, rencana tata ruang yang susah dilaksanakan bahkan saling berbenturan, kelangkaan dana publik, lemahnya pengelolaan lahan (pertanahan), dan lain-lainnya. Untuk itu, suatu bentuk lembaga yang khusus diperlukan untuk mengelola kawasan metropolitan. Meskipun tetap terjadi perdebatan panjang secara teoritis antara penganut pilihan publik/ public choice seperti Ostrom, Tiebout, dan Warren dengan penganut reformator seperti Wood, lembaga di tingkat ini sudah menjadi kebijakan nasional di berbagai belahan dunia, terutama di negara-negara yang maju baik di Amerika, Eropa, Australia, maupun Asia, dengan memberikan suatu bentuk khusus pola lembaga pengelola metropolitan yang tidak mengikuti pola-pola umum lembaga pengelolaan publik seperti yang diberlakukan di negara masing-masing. Beberapa tipologi lembaga kawasan metropolitan yang ada pada saat ini di antaranya: 1. Adanya otoritas khusus pada skala metropolitan, misalnya Greater Vancouver Regional District (GVRD), Greater London Authority (GLA), Bangkok Metropolitan Authority (BMA), Kolkata (Calcutta) Metropolitan Development Authority (KMDA), Metro Naga Development Council (MNDC), dan lain-lain. 2. Adanya administrasi lokal setingkat propinsi, misalnya Metropolitan Paris, Prefektur Metropolitan Tokyo, dan Metropolitan Manila. 3. Tidak ada otoritas lembaga khusus maupun administrasi lokal pada skala metropolitan, misalnya Bandar Raya Kuala Lumpur, dan yang ada di Indonesia (Jabodetabekjur di sekitar Jakarta, Cekungan Bandung, Gerbangkertosusila di sekitar Surabaya, dll). Tipologi ke 3 di atas, seperti yang dipraktekkan Indonesia, berimplikasi pada diterapkannya keharusan untuk kerja sama antardaerah otonom di kawasan metropolitan. Khusus di Indonesia, kerja sama antardaerah ternyata masih belum efektif dengan adanya berbagai kendala seperti (Oetomo, 2004): ketidakjelasan otoritas/ kewenangan, rendahnya komitmen, rendahnya kapasitas lembaga pembangunan khususnya penataan ruang, dan kurang tersedianya pendukung kelembagaan yang memadai. Kendala-kendala tersebut telah memunculkan berbagai persoalan serius dalam beberapa hal, yaitu: pengelolaan pertumbuhan (growth management) kawasan metropolitan; pengelolaan partisipatif (participatory management) sebagai pengejawantahan penatakelolaan yang baik (good governance);

293 Hukum dan Kelembagaan 289 pembangunan berkelanjutan (sustainable development) baik secara ekonomi, sosial, maupun ekologi; serta pembentukan dan pengefektifan kelembagaan formal antardaerah. Bentuk dan Struktur Lembaga Metropolitan di Berbagai Negara Sebagai contoh dari lembaga metropolitan tersebut di atas, di sini akan diberikan contoh Greater Vancouver Regional District (GVRD) yang menggunakan adanya otoritas khusus pada skala metropolitan, dan Metropolitan Tokyo yang menggunakan administrasi lokal setingkat propinsi, serta Metropolitan Manila Development Authority (MMDA) yang berada di antara dua jenis kelembagaan metropolitan tersebut di atas, yaitu membentuk lembaga dengan otoritas khusus pada skala metropolitan tetapi kemudian dilegalkan oleh Presiden dengan menunjuk Gubernur Metropolitan untuk memimpin lembaga ini. Selain itu, juga ditambahkan dengan Kolkata Metropolitan Development Authority (KMDA) yang menggabungkan peran Pemerintah Negara Bagian dengan Pemerintah Daerah secara bersamaan dalam satu bentuk lembaga metropolitan. Greater Vancouver Regional District (GVRD) Greater Vancouver Regional District atau disingkat GVRD adalah entitas pemerintahan (partnership) yang berkedudukan di bawah propinsi tapi di atas kabupaten/ kota di Kawasan Metropolitan Vancouver, British Columbia Kanada. GVRD telah berdiri sejak tahun Berikut ini adalah selintas hal-hal yang berkaitan dengan GVRD tersebut. GVRD beranggotakan 21 kabupaten/ kota ditambah satu wilayah elektoral yang tidak tergabung di sekitar kota Vancouver. Fungsi utama GVRD adalah mengadministrasikan sumber daya dan pelayanan yang bersifat lintas kawasan metropolitan termasuk perencanaan komunitas (community planning), sumber daya air, buangan (sewage), drainase, perumahan, transportasi, kualitas udara (air quality), dan pertamanan (parks). Tiap-tiap pemerintah kabupaten/ kota mengirim wakilnya (walikota/ anggota dewan yang dipilih) untuk menjadi Board of Directors di GVRD, dengan jumlah total 35 orang. Jumlah wakil proporsional dengan jumlah penduduk (tahun 2004: sampai dengan penduduk satu wakil). Satu Director mempunyai hak suara 1 untuk setiap penduduk di kabupaten/ kota yang diwakilinya, sampai maksimum 5 suara (vote). Board of Directors dipimpin oleh 1 ketua dan 1 wakil ketua yang dipilih. Board of Directors mempunyai 8 komisi dan 1 biro, yang masing-masing dipimpin oleh 1 ketua komisi & 1 wakil ketua komisi. Komisi & Biro dari GVRD terdiri dari Communities Committee, Corporate and Intergovernmental Committee, Finance Committee, Housing Committee, Planning and Environment Committee, Parks Committee, Waste Management Committee, Water Committee, dan Labour Relations Bureau. Board of Directors didukung oleh eksekutif administrasi yang merupakan pegawai pemerintah metropolitan yang terbagi kedalam departemen-departemen/ dinas sebagai berikut:

294 290 Metropolitan di Indonesia Chief Administrator's Office; Corporate Secretary's Department; Engineering and Construction Department; Finance and Administration Department; Housing Department; Human Resources; Information Technology Department; Labour Relations Department; Operations and Maintenance Department; Policy and Planning Department; Regional Parks Department. Tiap-tiap departemen dipimpin oleh seorang manager. Secara keseluruhan, eksekutif administrasi ini dipimpin oleh seorang Chief Administrative Officer dan seorang Deputy Chief Administrative Officer. Rencana skala wilayah (Regional Plan) yang ditetapkan oleh GVRD adalah: Air Quality Management Plan; Liquid Waste Management Plan; Livable Region Strategic Plan - Growth Management Strategy; Solid Waste Management Plan; Watershed Management Plan; LSCR Management Plan (Lower Seymour Conservation Reserve). Beberapa proyek pembangunan wilayah (Regional Development Projects) yang dilakukan antara lain: Economic Strategy for Agriculture in the Lower Mainland Livable Centres Sustainable Region Initiative Regional Plan on Homelessness GVRD Involvement in Treaty Negotiations Howe Sound Community Forum Rencana pada skala metropolitan yang dihasilkan oleh GVRD di antaranya adalah Livable Region Strategic Plan GVRD. Sasaran-sasaran utama dari Rencana ini antara lain: 1. Melindungi zona hijau; Zona hijau melindungi sumber daya alam Greater Vancouver, termasuk taman-taman/ hutan kota utama, daerah aliran sungai, kawasan-kawasan yang secara ekologis penting, dan lahan-lahan sumber daya seperti lahan pertanian. Dalam hal ini, rencana ini juga menetapkan batas pertumbuhan wilayah jangka panjang. 2. Membangunan komunitas yang lengkap; Rencana tersebut mendukung keinginan publik atas komunitas yang diharapkan dengan rentang kesempatan yang lebih luas bagi kehidupan sehari-hari. Pembangunan difokuskan pada pusat-pusat wilayah dan kota. Komunitas yang lengkap diharapkan akan menghasilkan lebih banyak pekerjaan yang lebih dekat dengan tempat di mana penduduk tinggal dan aksesibel

295 Hukum dan Kelembagaan 291 terhadap transit, pertokoan dan pelayanan dekat rumah, serta pilihan yang luas atas tipe-tipe rumah. 3. Menuju wilayah metropolitan yang kompak; Rencana tersebut menghindari penyebaran pembangunan yang meluas dan mengakomodasi proporsi pertumbuhan penduduk yang signifikan di dalam kawasan konsentrasi pertumbuhan di bagian pusat wilayah. 4. Meningkatkan pilihan transportasi; Rencana tersebut mendukung peningkatan penggunaan transit, jalan kaki, dan bersepeda dengan meminimasi keinginan dan kebutuhan untuk perjalanan (melalui pengaturan penggunaan lahan yang nyaman) dan dengan melakukan manajemen penyediaan dan kebutuhan transportasi. McGee (1998, hal. 125) mengatakan bahwa model pembentukan sistem pemerintahan di Kawasan Metropolitan Vancouver yang berbasis pada pemerintah lokal tersebut mencirikan proses good governance. Hal ini terutama jika dikaitkan dengan tujuan dan fungsi pembentukan GVRD yang lebih diarahkan untuk manajemen pertumbuhan, penciptaan suatu livable region, dan peningkatan pilihan untuk penduduk wilayah dalam hal transportasi, pekerjaan, dan rekreasi di dalam kerangka yang bekerja dengan tekanan pasar, bukan berlawanan dengan pasar. Disimpulkannya pula bahwa bagaimanapun baiknya model seperti ini, tidak selalu dapat dicontoh dan dipindahkan ke negara-negara Asia yang mempunyai karakteristik yang berbeda. Metropolitan Tokyo Kawasan Metropolitan Tokyo berbentuk Prefektur (setingkat propinsi di Indonesia) di antara 47 Prefektur di seluruh Jepang. Dalam bahasa Jepang, Kawasan Metropolitan Tokyo disebut Tokyo-to, berbeda dengan prefekture lain di Jepang yang biasanya disebut ken seperti Akita-ken atau Aomori-ken. Dalam Kawasan Metropolitan Tokyo terdapat 26 shi (kota besar), 5 cho (kota kecil) and 8 son (desa). Selain itu, dalam Kawasan Metropolitan Tokyo juga terdapat daerah khusus (special ward) yang hanya terdapat di Tokyo, dan dalam bahasa Jepang disebut ku, yang berjumlah 23 special ward. Ke-23 special-ward area di Tokyo ini membentuk suatu kawasan administratif untuk the center of the capital. Special ward ini wewenangnya sama dengan shi tetapi disesuaikan dengan kebutuhan suatu metropolitan besar. Tokyo Metropolitan Government (TMG) melaksanakan beberapa pekerjaan administratif yang juga biasanya dilakukan oleh Shi, misalnya menarik dan mengumpulkan sejumlah jenis pajak kota. Suatu sistem adminitrasi yang khusus kemudian dibentuk antara TMG dengan ke-23 special ward, yang tidak dijumpai di tempat lain. TMG mengelola pelayanan publik seperti waterworks, sewerage dan pemadam kebakaran untuk keseluruhan 23 specialward area sebagai suatu lembaga tunggal, demikian juga untuk keseluruhan shi. Hal ini dilakukan untuk menjaga keseragaman pelayanan, dan efisiensi pelayanan untuk keseluruhan daerah metropolitan. TMG juga melakukan penarikan pajak seperti yang dilakukan oleh Shi di tempat lain. Pajak-pajak ini di antaranya adalah the corporate portion of residents' taxes, dan the fixed assets tax. TMG dan 23 special ward bertanggung jawab untuk urusan administratif yang biasanya dilakukan oleh Shi, dan mereka membagi hasil sumber-sumber pendapatan

296 292 Metropolitan di Indonesia pajak untuk membiayai hal tersebut. Sistem penyesuaian keuangan ini dirancang untuk menjamin keseimbangan distribusi sumber-sumber keuangan. Saat ini, proporsi tertentu dari tiga jenis pajak metropolitan (corporate portion of the residents' tax, fixed assets tax dan special land ownership tax) dialokasikan kepada pemerintahan Special Ward dengan sistem semacam Dana Alokasi Umum (mengisi fiscal gap) di Indonesia. Sejak 1974, ke 23 special ward dipersilakan untuk memilih walikota mereka dengan pemilu (popular vote) dan melaksanakan urusan yang sama dengan kota-kota lain. Kemudian persoalan muncul terkait dengan kejelasan peran dan kewajiban administratif antara special ward dengan TMG tersebut. Untuk itu, TMG dan special ward melakukan studi dan meminta kepada pemerintah pusat untuk mengubah peraturan perundangundangan terkait. Sebagai hasilnya pada tahun 2000 sistem ward yang baru muncul sebagai suatu basic local public entities, yang berwenang mengurusi pelayanan umum yang memang harus dekat kepada kehidupan masyarakat, sehingga seperti pengelolaan buangan harus diserahkan kepada wards. Dalam hal kewenangan, TMG melaksanakan kewenangan yang lebih makro, sedangkan shi/ cho/ son untuk urusan-urusan yang langsung berhubungan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Akan tetapi, meskipun berdasarkan peraturan perundang-undangan otonomi daerah di Jepang kewenangan untuk pemadaman kebakaran seharusnya menjadi kewenangan kota, tetapi untuk kepentingan efisiensi dan keefektivan bagi metropolitan seperti Tokyo, hal tersebut kemudian ditetapkan menjadi urusan TMG. Secara umum, TMG terbagi ke dalam organisasi legislatif (Tokyo Metropolitan Assembly, disingkat TMA) dan eksekutif (Gubernur dan Sub-Agencies yang membantunya). Struktur organisasinya dapat dilihat pada GAMBAR 7-2. Tokyo Metropolitan Assembly (TMA) terdiri atas 127 anggota yang secara langsung dipilih rakyat Tokyo untuk bekerja selama empat tahun. Ketuanya (the President of the Assembly) dipilih di antara anggota dan dibantu oleh suatu sekretariat yang pekerjanya ditentukan oleh Ketua ini. TMA mempunyai komisi-komisi, baik yang tetap maupun yang ad hoc, sesuai dengan persoalan yang dibahas. Pada prinsipnya, TMA inilah yang mempunyai kewenangan dalam memutuskan semua kebijakan TMG mulai dari membuat, mengubah, atau mencabut peraturan metropolitan, mengesahkan anggaran, di samping fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan administrasi publik oleh eksekutif. Gubernur dipilih langsung oleh rakyat dan mewakili Kawasan Metropolitan Tokyo selama empat tahun. Gubernur mempunyai kewenangan penuh dalam mengendalikan urusan metropolitan dan bertanggung jawab menjaga integritas kolektif administrasi metropolitan. Gubernur dibantu oleh wakil gubernur, seorang comptroller general dan staf lain. Pada tahun 2003, total sejumlah 174,950 orang dipekerjakan sebagai staf dari berbagai sub-agencies/ biro/dinas yang membantu gubernur, yaitu terdiri dari governor's bureaus, ; executive commissions and the Assembly, 1.159; public enterprises, ; police/fire fighting, ; dan school staff, ).

297 Hukum dan Kelembagaan 293 GAMBAR 7-2 Organisasi Metropolitan Tokyo Metropolitan di Indonesia, khususnya Daerah Khusus Ibukota Jakarta, lebih dekat dengan model yang dikembangkan oleh Tokyo Metropolitan Government ini, tetapi dalam beberapa prinsip dasarnya berbeda. Di DKI Jakarta, hanya di tingkat propinsi terdapat otonomi, sedangkan 5 kotamadya, dan 1 kabupaten yang merupakan subordinasinya berstatus administratif. Sementara itu, dengan kabupaten/ kota lain di sekitarnya yang mempunyai fungsi perkotaan yang terkait, DKI Jakarta tidak mempunyai hubungan formal kelembagaan dalam kaitannya dengan sistem otonomi daerah yang berlaku di Indonesia. Metropolitan Manila Development Authority (MMDA) MMDA didirikan sebagai propinsi khusus untuk mengelola pembangunan Metro Manila yang pada tahun 2006 berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa. Pada saat ini, Metro Manila dibentuk oleh 14 city (Manila, Quezon City, Caloocan, Pasay, Mandaluyong, Makati,

298 294 Metropolitan di Indonesia Pasig, Muntinlupa, Las Pinas, Marikina, Paranaque, Valenzuela, Malabon, dan Taguig) dan 3 municipality (Navotas, Pateros, dan San Juan). Metropolitan Manila adalah ibukota negara yang mempunyai kekhususan sebagai daerah administrasi dan pembangunan khusus, dan untuk itu langsung dalam pengawasan Presiden Filipina. Pada awal pembentukannya di tahun 1975 oleh Presiden Marcos, lembaganya diberi nama Metropolitan Manila Commission (MMC), kemudian oleh Presiden Aquino pada tahun 1990 diubah menjadi Metro Manila Authority (MMA), dan akhirnya sejak 1995 ditetapkan oleh Kongres Filipina menjadi Metropolitan Manila Development Authority (MMDA). MMDA melakukan fungsi-fungsi perencanaan, pemantauan, dan koordinasi dalam rangka melaksanakan kewenangan pengaturan perundangan dan pengawasan terhadap penyediaan pelayanan skala metropolitan di Metro Manila, tanpa mengurangi otonomi pemerintah daerah terkait dengan urusan-urusan yang sepenuhnya menjadi kewenangan lokal. MMDA dikepalai seorang pimpinan yang ditunjuk oleh presiden, dan selanjutnya bekerja berdasarkan kewenangan yang diberikan. Pimpinan (chairman) ini dibantu oleh seorang general manager, seorang assistant general manager for finance and administration, seorang assistant general manager for planning dan assistant general manager for operation, yang kesemuanya ditunjuk oleh presiden dengan persetujuan dari mayoritas anggora Dewan (the Council), dan tunduk pada hukum, aturan, dan perundang-undangan pelayanan publik. Assistant general manager for planning harus mempunyai pengalaman lebih dari 5 tahun dalam pembangunan dan perencanaan, atau harus mempunyai gelar master (S2) dalam perencanaan kota atau disiplin yang sejenis. Pelayanan skala metro di bawah kewenangan MMDA adalah pelayanan yang mempunyai dampak skala metropolitan dan lintas batas politik lokal atau memerlukan biaya yang sangat besar sedemikian sehingga pelayanan tersebut tidak dapat ditanggung oleh salah satu pemerintah kota di Metropolitan Manila. Pelayanan skala makro tersebut adalah: a) Perencanaan pembangunan, termasuk penyiapan rencana pembangunan jangka menengah dan jangka panjang; pembangunan; evaluasi dan pengemasan proyek; pemrograman investasi dan koordinasi serta pemantauan rencana, implementasi program, dan proyek; b) Transportasi dan manajemen lalu lintas, termasuk formulasi, koordinasi, dan pemantauan kebijakan, standar, program dan proyek untuk merasionalisasi operasi transportasi yang ada, kebutuhan infrastruktur, promosi pergerakan orang dan barang yang aman dan nyaman; penyediaan sistem transportasi masal dan pelembagaan sistem untuk pengaturan pengguna jalan; administrasi dan pelaksanaan operasi lalu lintas, pelayanan rekayasa lalu lintas dan program pendidikan lalu lintas, termasuk pelembagaan sistem tiket tunggal di Metropolitan Manila; c) Pembuangan dan pengelolaan buangan padat yang termasuk formulasi dan pelaksanaan kebijakan, standar, program dan proyek bagi pembuangan sampah yang tepat dan sehat; d) Pengendalian banjir dan pengelolaan limbah cair yang termasuk formulasi dan pelaksanaan kebijakan, standar, program dan proyek untuk pengendalian banjir terpadu, drainase, dan sistem pembuangan limbah cair;

299 Hukum dan Kelembagaan 295 e) Peremajaan kota, zoning/ peruntukan, dan perencanaan tata guna lahan, dan pelayanan perumahan termasuk formulasi, pengambilan dan pelaksanaan kebijakan, standar, aturan dan regulasi, program dan proyek untuk rasionalisasi dan mengoptimalkan penggunaan lahan kota dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan kota, rehabilitasi dan pembangunan kawasan-kawasan kumuh, dan pembangunan fasilitas perumahan dan pelayanan sosial yang diperlukan; f) Kesehatan dan sanitasi, perlindungan perkotaan dan pengendalian polusi yang termasuk formulasi kebijakan, aturan dan regulasi, standar, program dan proyek bagi promosi dan penjagaan kesehatan dan sanitasi wilayah serta untuk memantapkan keseimbangan ekologis, serta pencegahan dan pengendalian polusi lingkungan; dan g) Keselamatan publik yang termasuk formulasi dan pelaksanaan program dan kebijakan serta prosedur untuk mencapai keselamatan masyarakat, terutama kesiapsiagaan bagi pencegahan bencana atau operasi pertolongan pada saat terjadi bencana, koordinasi serta mobilisasi sumber daya dan pelaksanaan rencana darurat untuk rehabilitasi dan rekonstruksi dengan berkoordinasi dengan instansi nasional untuk itu. Berikut ini dijelaskan struktur lembaga dan fungsi-fungsi khusus dari posisi struktural tersebut di MMDA. MMDA terdiri dari perangkat eksekutif dan perangkat dewan. Perangkat eksekutif strukturnya telah disinggung di atas, yaitu pimpinan (chairman) yang dibantu oleh seorang general manager, seorang assistant general manager for finance and administration, seorang assistant general manager for planning dan assistant general manager for operation. Perangkat dewan/ legislatif adalah the Metro Manila Council, yang terdiri dari walikota-walikota dari seluruh city dan municipality yang ada di Metro Manila. Badan ini adalah pembuat kebijakan di MMDA. Dalam Metro Manila Council ini ada beberapa anggota tambahan yang hadir dalam rapat sesuai dengan tugasnya tetapi tidak memiliki hak suara, yaitu pimpinan dari the Department of Transportation and Communications (DOTC), Department of Public Works and Highways (DPWH), Department of Tourism (DOT), Department of Budget and Management (DBM), Housing and Urban Development Coordinating Committee (HUDCC), dan Philippine National Police (PNP). Fungsi dari Chairman MMDA adalah mengangkat pegawai berdasarkan ketentuan yang berlaku termasuk menunjuk konsultan dan ahli yang dibutuhkan untuk membantunya; melaksanakan kebijakan-kebijakan yang ditetapkan Metro Manila Council dan bertanggung jawab untuk pengelolaan pelaksanaan sehari-hari yang efektif dan efisien di MMDA; menyiapkan anggaran tahunan untuk operasi MMDA untuk diserahkan kepada Metro Manila Council; mengirimkan berbagai kebutuhan kebijakan yang diperlukan untuk pelaksanaan pelayanan MMDA untuk menjadi pertimbangan Metro Manila Council; menyiapkan laporan tahunan pencapaian MMDA di akhir tahun kalender untuk diserahkan kepada Metro Manila Council dan ke presiden; dan melaksanakan berbagai kewajiban dan tugas yang mungkin diberikan oleh Metro Manila Council atau oleh Presiden Filipina. MMDA berkonsultasi, berkoordinasi, dan bekerja secara erat dengan pemerintah kota, the National Economic and Development Authority (NEDA) dan instansi pemerintah nasional lainnya, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan

300 296 Metropolitan di Indonesia sektor swasta yang beroperasi di Metro Manila. Anggaran MMDA diperoleh dari Anggaran Nasional (berdasarkan the General Appropriations Act). Selain itu, juga menerima Internal Revenue Allotment (IRA) dari presiden. Secara ringkas, dalam kaitannya dengan penataan ruang, MMDA sangat berperan, terutama dalam tataran makro. Hal ini juga terkait dengan diharuskannya Assistant general manager for planning mempunyai pengalaman lebih dari 5 tahun dalam pembangunan dan perencanaan, atau harus mempunyai gelar master (S2) dalam perencanaan kota (urban planning) atau disiplin yang sejenis. Kolkata Metropolitan Development Authority (KMDA) KMDA adalah otoritas pembangunan dan perencanaan untuk Kolkata Metropolitan Area (KMA) yang dibentuk berdasarkan the West Bengal Town and Country (Planning & Development) Act tahun Saat ini lembaga ini bertugas dan berfungsi sebagai institusi untuk perencanaan, promosi, dan pembangunan KMA. KMA terdiri dari 3 municipal corporations, 38 municipalities, 72 cities, 527 towns dan villages. Kolkata (Calcutta) adalah metropolitan tertua di India dan kawasan metropolitan terbesar kedua di India yang berpenduduk lebih dari 15 juta jiwa. Peran KMDA sangat beragam dan multidisiplin, yaitu sebagai institusi perencanaan kota, institusi pembentuk kota-kota baru, pengembang infrastruktur fisik, serta penyedia pelayanan kebutuhan dasar seperti air bersih, drainase, dan pengelolaan buangan. Selain itu, KMDA juga merupakan sekretariat teknis untuk Kolkata Metropolitan Planning Committee (KMPC), yang juga merupakan institusi pertama untuk hal ini di India, yang dibentuk berdasarkan the West Bengal Metropolitan Planning Committee Act tahun KMDA mempunyai tim multidisiplin yang kompeten dengan pengalaman dan keahlian yang luas. Tim ini terdiri dari para ahli kerekayasaan, perencana, ilmuwan sosial, dan lain-lain yang menjadi kelompok inti untuk memikirkan pengembangan kota, regenerasi perkotaan, dan menyediakan suatu pengkayaan kualitas lingkungan kehidupan. Saat ini, KMDA sedang melaksanakan suatu rencana pertumbuhan yang ambisus untuk Kolkata. Sudah lebih dari tiga dekade KMDA telah melakukan penyiapan masterplan atau rencana tata ruang, formulasi dan pelaksanaan proposal-proposal proyek, di samping melaksanakan fungsi pengendalian penggunaan lahan dan pembangunan. Intervensi KMDA tidak hanya terbatas untuk infrastruktur fisik seperti penyediaan air bersih, sanitasi dan jalan raya, tapi juga termasuk layanan kesehatan dan penciptaan lapangan pekerjaan di antara masyarakat miskin perkotaan. KMDA memiliki dewan/ board yang terdiri dari gabungan antara wakil (walikota dan/ atau anggota dewan/ councillor) dari municipal corporation dan municipality di KMA, serta pejabat dari beberapa departemen terkait di tingkat Negara Bagian West Bengal (dalam hal ini misalnya adalah: Urban Development. & Municipal Affairs Department, Government of West Bengal; UD Department, Govt. of WB; Finance Department, Govt. of WB; Municipal Affairs Department, Govt. of WB), serta satu orang CEO (Chief Executive Officer) yang kedudukannya dalam board bersifat ex-officio yang tidak mempunyai hak suara. Chairman dari Board ini adalah pejabat dari Urban Development and Municipal Affairs Department, Pemerintah West Bengal. CEO menjalankan semua kebijakan yang diambil oleh Board KMDA dibantu oleh satu

301 Hukum dan Kelembagaan 297 struktur lembaga eksekutif KMDA yang terdiri dari sekretariat dan beberapa divisi teknis, yang salah satu di antaranya adalah Directorate of Planning yang mempunyai tiga unit, yaitu Statutory Planning Unit, Advance Planning Unit, dan Project Planning Unit. Jadi, keunikan dari KMDA adalah adanya campuran antara perangkat pemerintah pusat (negara bagian) dan wakil-wakil dari pemerintah daerah setempat yang tergabung dalam kawasan metropolitan Kolkata. Selain itu, untuk penataan ruang juga dikenal suatu komite tersendiri yang juga bersekretariat di KMDA, yaitu Kolkata Metropolitan Planning Committee (KMPC) yang bersama-sama KMDA melaksanakan fungsi-fungsi penataan ruang, khususnya dalam pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perbandingan antar Beberapa Lembaga Metropolitan di Dunia Terkait Penataan Ruang Dari pembahasan berbagai bentuk lembaga metropolitan di bagian sebelumnya, khususnya yang terkait dengan tugas dan fungsinya dalam penataan ruang di skala makro, maka antara lembaga satu dengan yang lainnya dapat diperbandingkan secara langsung berdasarkan aspek tertentu. Perbandingan langsung antara berbagai bentuk lembaga metropolitan tersebut di atas dapat dilihat pada TABEL 7-1. Dari berbagai bentuk lembaga metropolitan tersebut di atas, tidak satu pun mirip dengan kelembagaan metropolitan yang diterapkan di Indonesia. Hal ini terutama karena di Indonesia lebih menekankan pada bentuk-bentuk koordinasi saja, seperti yang akan dibahas lebih rinci di bagian selanjutnya. Kelembagaan Metropolitan yang ada di Indonesia Pengembangan fungsi kelembagaan kawasan metropolitan yang telah dicoba dilakukan di Indonesia lebih didasari pada kerja sama antardaerah secara horizontal dengan melandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu sejak UU No. 5 tahun 1974, UU No. 22 tahun 1999, dan terakhir adalah UU No. 32 tahun 2004 dengan berbagai aturan pelaksanaan dan aturan pelengkapnya. Hanya saja perlu pula diingat bahwa contoh-contoh yang akan dibahas tidak/ belum semuanya dapat diklasifikasikan sebagai kawasan metropolitan seperti apa yang telah didefinisikan di Indonesia, yang pada prinsipnya mengindikasikan kawasan fungsional perkotaan yang masif. Meskipun demikian, praktik-praktik yang dijalankan dapat dipelajari polanya untuk kemungkinan diterapkan pula di kawasan metropolitan seperti yang telah didefinisikan. Dengan menggunakan dasar hukum UU Pemerintahan Daerah tersebut di atas, muncul berbagai pola kerja sama antardaerah yang tipikal Indonesia, misalnya: Kartamantul (Yogyakarta, Sleman, Bantul), yang membentuk Sekretariat Bersama pada tahun 2001 untuk memfasilitasi koordinasi antara Kota Yogyakarta dengan Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul. Fokus utama kerja sama antarkota adalah efisiensi dalam mengelola secara bersama pelayanan bagi masyarakat perkotaan untuk kepentingan bersama. Saat ini, Sekretariat Bersama secara kolaborasi mengelola tempat pembuangan sampah, pengelolaan air limbah, drainase, transportasi dan jalan, mengkoordinasikan persiapan anggaran tahunan bagi pelaksanaan dan perawatan fasilitas bersama untuk pembuangan sampah dan pengolahan air dan mengevaluasi kinerja fasilitas dalam rapat bulanan. Untuk mensinkronkan pelayanan, dibentuk kebijakan dan peraturan bersama berkaitan

302 298 Metropolitan di Indonesia dengan pelayanan umum, sebagai contoh: struktur tarif air dan organisasi transportasi umum yang efektif. Selain itu, Sekretariat Bersama memfasilitasi koordinasi proyek infrastruktur yang dilakukan di wilayah perbatasan pemerintahpemerintah daerah tersebut. Konsultasi dengan pemangku kepentingan setempat dilakukan untuk menentukan skala prioritas. Standar pelayanan disusun secara bersama untuk menjamin kelancaran hubungan fungsi infrastruktur di wilayah tersebut. TABEL 7-1 Perbandingan Beberapa Lembaga Metropolitan di Dunia (Kondisi tahun 2006) Aspek Tokyo Calcutta Manila Vancouver Nama Tokyo Metropolitan Government (TMG) Metropolitan Manila Development Authority (MMDA) Kolkata Metropolitan Development Authority (KMDA) Greater Vancouver Regional District (GVRD) Kedudukan Prefektur/ Propinsi khusus Interkomunalitas/qu asi administratif Propinsi khusus Suprakomunalitas kab./ kota Pembentukan Pusat, dipimpin gubernur yang dipilih langsung rakyat Gabungan daerah dan pusat, dipimpin Board Members, dan salah satu anggotanya sebagai CEO Gabungan Daerah, dipimpin gubernur yang ditunjuk presiden Gabungan daerah, dipimpin salah satu anggota Board of Directors Cakupan administratif 26 shi (city), 5 cho (town) and 8 son (village) dan 23 ku/ special ward 3 municipal corporation, 38 municipality, 72 city, 527 town dan village 14 city dan 3 municipality 11 city, 6 district municipality, 1 island municipality, 3 village, 1 unincorporated electoral area Otoritas dalam penataan ruang TMG (Bureau of City Planning) KMDA (Planning MMDA (Office of Directorate) the Assistant bersama dengan General Manager Kolkata for Planning) Metropolitan Planning Committee (KMPC) GVRD (Policy and Planning Department) Fungsi lain terkait pelayanan publik Infrastruktur, transportasi, keamanan umum, lingkungan, kesehatan, pendidikan, perumahan Infrastruktur, perumahan, kesehatan, lingkungan, penciptaan lapangan kerja Infrastruktur, transportasi dan lalu lintas, perumahan, kesehatan dan lingkungan, keamanan umum Infrastruktur, perumahan, transportasi, kualitas udara, dan pertamanan/hutan kota Subosukawonosraten (Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, Klaten) membentuk Badan Kerja sama Antardaerah pada tahun 2001, yang sekretariatnya ada di Kota Surakarta yang bertujuan untuk memelihara persatuan dan kesatuan serta mengembangkan berbagai potensi daerah dalam rangka

303 Hukum dan Kelembagaan 299 meningkatkan pelayanan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat. Fokus dan lingkup kerja sama yang dilakukan oleh tujuh daerah ini adalah: a) Ketenagakerjaan dan kepegawaian. b) Tata ruang, sumber daya alam dan lingkungan hidup. c) Pembangunan sarana dan prasarana. d) Perhubungan dan pariwisata. e) Kependudukan, pemukiman, dan masalah sosial. f) Air bersih. g) Perindustrian dan perdagangan. h) Penelitian dan pengembangan iptek. i) Sumber daya manusia. j) Kesehatan. k) Pertanian dan pengairan. l) Lain-lain yang dianggap perlu. Hanya saja pembiayaan yang timbul akibat adanya kerja sama ini dibebankan pada APBD masing-masing. Barlingmascakeb (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen) yang merupakan Lembaga Kerja sama Regional Management yang diorientasikan pada regional marketing di wilayah barat daya Jawa Tengah, dibentuk pada tahun Regional Marketing dalam hal ini merupakan konsep kerja sama antardaerah dalam memasarkan potensi-potensi yang dimiliki tiap-tiap daerah guna meningkatkan kapasitas dan daya saing daerah untuk dapat mengakses pasar regional, nasional, dan internasional. Operasionalisasinya dilakukan oleh Regional Manager yang direkrut melalui proses yang panjang dan berdasarkan hasil seleksi secara terbuka (umum). Khusus untuk kawasan metropolitan seperti yang didefinisikan di Indonesia, di Jakarta misalnya, sejak tahun 1973 telah dibentuk Badan Kerja Sama Pembangunan (BKSP) Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (Jabotabek), yang kemudian berkembang menjadi Jabodetabek setelah Kota Depok terbentuk, meskipun kiprahnya jauh dari apa yang diharapkan karena adanya persoalan otoritas/ kewenangan kelembagaan BKSP tersebut. Ketiadaan kewenangan super-ordinasi tersebut telah memunculkan berbagai persoalan ego daerah dan ego sektoral yang parah sehingga BKSP Jabodetabek tidak dapat berfungsi untuk melaksanakan growth management kawasan metropolitan Jakarta. Demikian pula hal ini menjadi kelemahan utama dalam menginstitusionalkan penataan ruang makro yang harus dilakukan untuk digunakan sebagai panduan memadukan penataan ruang di tiap-tiap daerah. Dari berbagai pengalaman pengembangan kelembagaan metropolitan di Indonesia, pada prinsipnya akan terfokus pada bagaimana menginternalisasi berbagai isu strategis yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan kelembagaan metropolitan yang efektif dan efisien. Isu-isu strategis tersebut adalah sebagai berikut: a. Usaha pengelolaan pertumbuhan (growth management) b. Usaha pengelolaan partisipatif (participatory management) sebagai pengejawantahan tata kelola yang baik (good governance)

304 300 Metropolitan di Indonesia c. Usaha pembangunan berkelanjutan (sustainable development) secara ekonomi, sosial, maupun ekologi, dan d. Formalisasi berbagi/ sharing kewenangan antardaerah otonom. Membangun Kelembagaan Pembangunan Metropolitan di Indonesia ke Depan Otonomi Daerah (UU No. 32/ 2004 dan UU No. 33/ 2004) pada prinsipnya telah memberi kesempatan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahannya secara penuh, termasuk penataan ruang. Keotonomian ini berimplikasi menjadikan daerah-daerah saling independen. Demikian juga halnya terjadi pada daerah-daerah yang secara geografis berdekatan dan secara fungsional membentuk kawasan metropolitan. Padahal, pada dasarnya daerah-daerah tersebut secara fungsional dan geografis terkait (dependensi) dan saling bergantung (interdependensi). Pembiaran independensi daerah akan berimplikasi lanjut pada pemanfaatan sumber daya secara tidak optimal, pelayanan kepada masyarakat yang tidak efisien, dan timbul perselisihan antar daerah. Implikasi ini pada masa datang akan semakin kompleks dan terus mencuat seiring dengan berkembangnya daerah masing-masing. Mengantisipasi situasi yang tidak diinginkan tersebut diperlukan kerja sama antardaerah yang dilembagakan sehingga mempunyai posisi dan status legal formal yang jelas. Kedudukan, peran, kewajiban, dan hak satu daerah dengan daerah lainnya dapat ditentukan bersama-sama dilengkapi dengan dukungan organisasi yang efektif dan efisien untuk mencapai tujuan bersama pembangunan metropolitan. UU No. 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah sendiri telah mengatur kerja sama antardaerah itu pada BAB IX Pasal 195 sampai dengan 198 mencakup sasaran, perlunya Badan Kerja Sama, legalisasi berupa Keputusan Bersama, dan perlunya diatur lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP). Hanya memang PP yang dimaksud belum pernah ditetapkan hingga tahun 2006 ini, meskipun penyusunan dan/ atau perancangannya telah dimulai sejak UU No. 22 tahun 1999 ditetapkan. Dalam pengkajian yang telah dilakukan selama ini, beberapa persoalan penting dalam penyelenggaraan kerja sama antar daerah selama ini utamanya adalah menyangkut soal kelembagaan yang mencakup pemantapan sasaran, organisasi, pendanaan, dan legalisasi. Berkenaan dengan hal ini, maka seringkali harus ada usaha untuk menyamakan pemahaman dan sumbang pikir terlebih dahulu di antara daerah-daerah yang secara fungsional telah, sedang, dan akan membentuk kawasan metropolitan tersebut, khususnya tentang bagaimana mewujudkan dan melembagakan kerja sama secara utuh, khususnya untuk urusan-urusan pelayanan publik makro lintas daerah di kawasan metropolitan untuk masa mendatang. Kerja sama antardaerah dalam kerangka pembangunan metropolitan pada masa mendatang memerlukan pemantapan kelembagaan sesuai dengan peraturan perundangan yang ada. Oleh karena itu, dalam pengembangan kelembagaan metropolitan di Indonesia hal yang penting adalah mewujudkan kerja sama antardaerah dengan fokus pada aspek perencanaan dan layanan publik berskala makro atau lintas daerah otonom. Pembatasan fokus ini lebih disebabkan kedua aspek merupakan pokok tugas pemerintahan yang utama dan berkait. Dengan melihat berbagai konsepsi dasar pola kerja sama serta berbagai dimensi kunci dalam kerja sama antardaerah dalam subbab sebelumnya, maka pola kelembagaan

305 Hukum dan Kelembagaan 301 metropolitan di Indonesia sudah selayaknya diarahkan kedalam bentuk suprakomunalitas atau setidaknya interkomunalitas (semi-administratif). Sebaiknya dihindari yang hanya bersifat koordinatif, karena dari pengalaman selama ini misalnya seperti BKSP Jabodetabek dapat dikatakan tidak efektif. Wacana untuk ini juga sebenarnya telah beberapa kali dikemukakan, baik yang berskala nasional dengan kelembagaan setingkat menteri/ departemen atau menggabungkannya dalam suatu daerah metropolitan di bawah satu gubernur. Hanya saja penyusunan rencana pelaksanaan (action plan)-nya memang harus sangat hati-hati terkait dengan proses otonomi daerah yang sangat kuat dewasa ini di Indonesia. Dalam gambaran singkatnya, dengan: 1. memperhatikan isu-isu strategis metropolitan di Indonesia; 2. memperhatikan keberhasilan dan kegagalan pembentukan kelembagaan antardaerah di Indonesia, khususnya menyangkut kawasan metropolitannya; 3. memperhatikan berbagai pengalaman negara lain dalam pengembangan kelembagaan metropolitannya; serta 4. memperhatikan UU No. 32 tahun 2004 dan UU No. 33 tahun 2004 serta berbagai aturan pelaksanaannya; maka pengusulan bentuk Badan Metropolitan yang Otonom (meskipun hanya diawali dalam beberapa aspek infrastruktur makro/ lintas-daerah saja fungsinya) menjadi pilihan yang akan lebih tepat. Pembentukan Badan Metropolitan yang Otonom ini tidak harus dibentuk secara top-down dari pemerintah pusat, meskipun dengan proses top-down relatif akan lebih cepat, mengingat hal ini terkait dengan perlunya amandemen terhadap UU Pemerintahan Daerah. Sementara hal itu mungkin pula menimbulkan kontroversi lanjutan antardaerah yang terkait, suatu proses bottom-up untuk pembentukan Badan Metropolitan yang Otonom ini dapat pula dijalankan sebagai alternatif. Dalam proses bottom-up ini, terdapat beberapa rencana tindak untuk kelembagaan metropolitan yang dapat dilaksanakan sebagai berikut: Kerja sama antardaerah kota/ kabupaten di sekitar Kota Inti Perkotaan yang membentuk entitas Badan Metropolitan, dapat dibentuk dengan Peraturan Daerah (Perda) Bersama, sehingga dapat mempunyai kewenangan yang mengikat (Memorandum of Understanding/ MOU saja antar kepala daerah tidak akan efektif); Tiap-tiap kota/ kabupaten mengirimkan wakilnya (bisa bupati, walikota, dan/ atau anggota DPRD-nya sebagai anggota Dewan Direksi Metropolitan melalui pemilihan di daerah masing-masing); Jumlah wakil daerah kota/ kabupaten di Badan Metropolitan proporsional dengan jumlah penduduk yang diwakili dan masuk dalam wilayah metropolitan; Badan Metropolitan memiliki struktur organisasi pelaksana sendiri untuk fungsifungsi antarwilayah yang menjadi tugas pokok dan fungsinya. Divisi-divisi ini dikoordinasikan oleh Kepala Pelaksana Eksekutif Badan, dan bertugas melaksanakan seluruh ketetapan dan/ atau keputusan Dewan Direksi Metropolitan.

306 302 Metropolitan di Indonesia Bidang kewenangan yang diserahkan kepada Badan Metropolitan Otonom adalah bidang lintas daerah kota/ kabupaten, seperti perencanaan pembangunan metropolitan, prasarana transportasi, drainase/ pengendalian banjir, air bersih, pembuangan limbah dan persampahan, kualitas udara, perumahan, dan rute angkutan umum atau angkutan umum masal; Kawasan lindung yang diperlukan untuk menjamin kualitas pelayanan kota metropolitan (misalnya up-stream untuk pengelolaan air dan banjir) dibentuk sebagai regional park, yang dikelola oleh Badan Metropolitan dengan membentuk Sub-Badan khusus. Penyerahan wewenang kepada Badan Metropolitan dapat dilakukan bertahap sesuai dengan tingkat kompleksitas dan/ atau kekritisan persoalan serta kesiapan support system seperti sumber pendanaan. Pemerintah daerah propinsi/ kabupaten/ kota terkait membantu secara teknis dan administratif tugas dan fungsi Badan Metropolitan yang dibentuk.

307 Hukum dan Kelembagaan 303 Catatan Editor Bagian kedua telah membahas secara mendalam perkembangan kawasan metropolitan di Indonesia dan mendiskusikan persoalan-persolan yang dihadapi. Bab 4 pada bagian dua ini menguraikan bagaimana faktor kependudukan sangat berpengaruh pada terbentuknya kawasan metropolitan dan bahwa sebenarnya penduduk di kawasan metropolitan secara proposional mendapatkan pelayanan lebih baik daripada penduduk perdesaan. Pada bab berikutnya dibahas potensi ekonomi yang disumbangkan oleh kawasan metropolitan bagi negara, dan bagaimana kawasan metropolitan mempengaruhi kota-kecil/desa di sekelilingnya. Dibahas pula pengaruh global terhadap kawasan metropolitan yang kemudian juga mempengaruhi budaya kota menjadi budaya yang kosmopolitan. Kesemuanya bermuara pada implikasi keruangan kawasan metropolitan. Bab 6 pada bagian dua ini menjelaskan mengenai kesiapan infrastruktur bagi pelayanan penduduk kawasan perkotaan yang terus bertambah, terutama di bahas mengenai kesiapan trasportasi, infrastruktur dasar, dan perumahan. Di bab ini dibahas pula ketersediaan ruang terbuka, khususnya ruang terbuka hijau yang akan sangat berpengaruh pada kualitas lingkungan kawasan metropolitan. Di bagian akhir bab ini dibahas keadaan lingkungan hidup dan bagaimana sebaiknya persoalan lingkungan hidup kawasan perkotaan di selesaikan. Sebagaiman pada bab sebelumnya, implikasi keruangan dari keadaan infrastruktur, transportasi, perumahan, dan lingkungan menjadi perhatian yang utama. Di akhir bagian dua, pada Bab 7 dan 8 dibahas secara mendalam persoalan hukum dan kelembagaan untuk kawasan metropolitan. Hukum dan kelembagaan adalah faktor penentu dalam pengelolaan kawasan metropolitan; termasuk di dalamnya adalah hukum dan kelembagaan untuk penataan ruang kawasan metropolitan di Indonesia. Pembahasan pada bagian 1 dan bagian 2 buku ini menjadi dasar bagi pembahasan di bagian tiga (Bab 8 dan 9) mengenai pengelolaan kawasan metropolitan, terutama upaya-upaya yang harus dilakukan untuk penataan ruang.

308

309

310 BAGIAN III PENATAAN RUANG KAWASAN METROPOLITAN

311 306 Metropolitan di Indonesia

312 Arahan Kebijakan Penataan Ruang Arahan Kebijakan Penataan Ruang PENDAHULUAN Perancanaan tata ruang di Indonesia sudah menjadi perhatian pemerintah sejak tahun 1980-an. Pada waktu itu perhatian terutama diberikan pada usaha untuk mengganti praktek perencanaan kota yang masih berlandaskan pada undang-undang yang dibuat pada masa pendudukan Belanda, yaitu SVO dan SVV 1, sebagai suatu konsep perencanaan tata ruang (Spatial Planning). Diskusi mengenai tata ruang di Indonesia ini sudah termasuk sangat maju. Di Eropa, konsep tata ruang baru secara umum dipakai pada tahun 1990-an.: "Spatial planning refers to the methods used largely by the public sector to influence the future distribution of activities in space. It is undertaken with the aims of creating a more rational territorial organisation of land uses and the linkages between them, to balance demands for development with the need to protect the environment, and to achieve social and economic objectives. Spatial planning embraces measures to co-ordinate the spatial impacts of other sector policies, to achieve a more even distribution of economic development between regions than would otherwise be created by market forces, and to regulate the conversion of land and property uses." (European Commission 1997, Compendium of European Spatial Planning Systems, p.24) Perencanaan tata ruang dibedakan dari perencanaan tata guna lahan yang biasa dipakai di Eropa (selain di Belanda dan Jerman yang sudah menggunakan istilah Ruijmtelijke planning atau Raumordnung). Dikatakan bahwa: 'Spatial planning goes beyond traditional land use planning to bring together and integrate policies for the development and use of land with other policies and programmes which influence the nature of places and how they function. This will include policies which can impact on land use, for example, by influencing the demands 1 Penjelasan yang lebih lengkap bisa dibaca di buku Beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang di Indonesia Ditjen Penataan Ruang, Dep. Kimpraswil (2001)

313 308 Metropolitan di Indonesia on or needs for development, but which are not capable of being delivered solely or mainly through the granting of planning permission and may be delivered through other means,' (ODPM, 2004, pp3). Pengertian seperti di atas pun sudah digunakan di Indonesia; secara legal formal penataan ruang di Indonesia didefinisikan sebagai proses perencanaan tata ruang, pemanfatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang (pasal 1: UU ). Jelas dalam proses ini termasuk kebijakan yang terintegrasi dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian tata ruang. Namun demikian, pengertian yang tertulis dalam UU 24 tahun 1992 tersebut adalah berlaku umum untuk seluruh kawasan; tidak disebutkan secara khusus mengenai kawasan metropolitan. Bagaimana penataan ruang untuk kawasan metropolitan di Indonesia harus dilakukan? Dalam bagian ini akan dibahas terlebih dahulu, berdasarkan uraian dari babbab sebelumnya; definisi metropolitan di Indonesia; mengapa metropolitan perlu mendapat perhatian khusus; dan arah kebijakan dan strategi penataan ruang seperti apa yang harus dilakukan untuk kawasan metropolitan. DEFINISI METROPOLITAN DI INDONESIA Di bagian pertama buku ini dijelaskan bahwa kawasan metropolitan secara umum didefinisikan sebagai satu kawasan yang mempunyai konsentrasi penduduk yang besar, kesatuan ekonomi dan sosial yang terpadu dan mencirikan ativitas kota, dan jumlah penduduk kawasan tersebut melebihi 1 juta jiwa. Definisi umum tersebut digunakan dalam bagian pertama dan kedua buku ini semata-mata untuk mendapatkan gambaran bahwa di beberapa kawasan perkotaan di Indonesia telah terjadi fenomena kawasan metropolitan. Beberapa kawasan tersebut antara lain adalah Jabodetabekjur, Bandung dan sekitarnya, Mebidang, Kedungsepur, Mamminasata. Pembahasan mengenai kependudukan di Bab 5 dengan jelas menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk di beberapa kawasan perkotaan di Indonesia mengalami lonjakan yang besar, terutama di beberapa kawasan di Jawa dengan Jabodetabekjur sebagai kawasan yang mengalami pertumbuhan paling cepat. Namun, apakah semua kawasan dengan ciri umum seperti itu adalah metropolitan? Bagaimana dengan Barlingmascakeb (Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen)? Apakah kawasan ini bisa dikatakan sebagai kawasan metropolitan? Kawasan tersebut berpenduduk lebih dari 1 juta jiwa dan telah mengarah pada kesatuan ekonomi dan sosial yang terpadu, walaupun belum semuanya bercirikan aktivitas kota. Sebaliknya, bagaimana dengan Yogyakarta dan Denpasar yang penduduknya kurang dari 1 juta jiwa? Fenomena tersebut menunjukkan bahwa diperlukan definisi yang lebih tegas mengenai kawasan metropolitan untuk Indonesia. Dengan memperhatikan hal di atas dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, kawasan metropolitan di Indonesia dapat didefinisikan sebagai: suatu kawasan dengan konsentrasi penduduk lebih besar dari 1 juta jiwa dan sebagian besar penduduknya bekerja di sektor non pertanian. Secara struktur, kawasan itu dapat terbentuk oleh satu atau beberapa pusat dengan konfigurasi menyebar atau berbentuk pita; Aktivitas ekonomi yang terjadi ditunjang oleh jaringan distribusi yang berada dalam satu kesatuan orientasi menuju pada kota inti yang menjadi pusat utama.

314 Arahan Kebijakan Penataan Ruang 309 Memang tidak ada alasan yang kuat untuk menyatakan batasan jumlah penduduk, apakah 1 juta jiwa, jiwa, jiwa atau jumlah yang lain. Batasan penduduk 1 juta jiwa diambil lebih untuk kepraktisan untuk menyatakan bahwa kawasan tersebut adalah kota besar. Demikian juga mengenai sebagian besar penduduk bekerja disektor non pertanian sesuai dengan definisi kota yang ditentukan oleh BPS. Ciri utama metropolitan, selain dari jumlah penduduk dan jenis pekerjaan, adalah ciri mobilitas penduduk dan budaya kota budaya cosmopolis yang sulit diukur tetapi dapat dirasakan. Untuk kasus Denpasar misalnya, yang sudah merasakan budaya kota dan pengaruh budaya global, maka yang disebut kawasan metropolitan adalah Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan) dengan jumlah penduduk jiwa (BPS Propinsi Bali, 2004) dan secara kultural telah menunjukkan aktivitas sebagai suatu kawasan metropolitan. Diskusi di bagian dua buku ini menggambarkan bahwa struktur tata ruang yang terbentuk karena berbagai aktivitas merupakan hal yang penting. Pertambahan penduduk yang signifikan seperti diuraikan di Bab 5 menunjukkan bahwa pola-pola konsentris telah lama ditinggalkan, pola yang terjadi adalah mengikuti jalan atau mengikuti tumbuhnya pusat-pusat baru. Gambaran pola ruang yang mengikuti sektor dan multi pusatlah yang terbentuk. Dari sisi ekonomi pembahasan pada Bab 5 menunjukkan bahwa dominasi ekonomi kota besar akan meluas dan akan terjadi pusat dan sub-pusat kegiatan ekonomi, dengan implikasi keruangan yang mengarah ke banyak pusat. Sementara itu, pembahasan di Bab 5 juga menunjukkan bahwa pengaruh budaya global cepat berkembang di kawasan metropolitan. Budaya ini mempunyai implikasi pada berkembangnya aktivitas-aktivitas yang mempunyai nilai global (mall, kafe-kafe) yang terkelompok pada beberapa pusat di kawasan metropolitan. Implikasi keruangan dari perumahan sebagaimana dibahas di Bab 6 juga menunjukkan bahwa dalam metropolitan akan terjadi segregasi keruangan yang jelas, ada perumahan untuk golongan menengah yang harus berbentuk rumah susun. Demikian juga pusat metropolitan karena harga lahan yang semakin mahal maka kecenderungan akan semakin mengefisienkan penggunaan lahannya dengan membangun perumahan yang vertikal. Bagian kedua buku ini juga telah membicarakan persoalan yang dihadapi oleh metropolitan di Indonesia. Ada metropolitan yang sudah jadi seperti Jabodetabek, Membidang, ada yang masih dalam proses menjadi metropolitan seperti Metropolitan Bandung, Kedungsepur, Mamminasata, dan Yogyakarta. Di kedua tipe metropolitan tersebut persoalan latent yang sama harus dihadapi: kemacetan lalu-lintas, pengelolaan sampah, perumahan, dan menurunnya kualitas lingkungan alam walaupun dalam tingkat yang berbeda. Persoalan-persoalan tersebut jika tidak diantisipasi secara dini akan menjadi persolan yang nyata dan akan memerlukan biaya besar untuk menanggulanginya. Uraian-uraian di bagian dua buku ini juga menunjukkan implikasi keruangan yang terjadi dari persoalan-persoalan sektoral tersebut. Bagian pertama dan kedua buku ini juga menunjukkan adanya beberapa fenomena yang dihadapi kawasan metropolitan yang mesti mendapat perhatian khusus dalam penataan ruangnya. Fenomena tersebut antara lain adalah: 1. Penduduk metropolitan akan terus bertambah besar dan di beberapa kawasan metropolitan yang besar pertambahan penduduknya lebih cepat dari perkembangan

315 310 Metropolitan di Indonesia kawasannya sehingga akan menjurus pada kepadatan yang lebih tinggi. Sementara pengabungan secara fungsional beberapa kawasan di dekatnya mengarah pada pada terbentuknya megalopolitan (misalnya Jabodetabekjur); 2. Kawasan metropolitan yang masih kecil mengalami perkembangan wilayah yang pesat dengan penggabungan beberapa kawasan di sekeliling kota inti menjadi satu kawasan metropolitan yang besar. 3. Luas kawasan metropolitan yang semakin bertambah besar memerlukan sistem infrastruktur yang terpadu, jaringan sarana dan prasarana transportasi yang lebih baik dan jangkauan pelayanan yang semakin luas dan besar. 4. Struktur metropolitan menunjukkan perubahan ke arah banyak pusat dengan perkembangan penduduk terutama di sepanjang jalan penghubung pusat-pusat aktivitas dalam metropolitan. 5. Terjadi segregasi perumahan yang mengarah pada pengelompokan sosial walaupun ditengarai terjadi perbaikan dalam luasan rumah; rumah dengan ukuran yang lebih besar meningkat, sementara rumah dengan ukuran kecil menurun. 6. Pengelolaan lingkungan menjadi semakin rumit karena luasan yang bertambah besar dan keterkaitan ekologis pada kawasan yang lebih luas. Persoalan ini terkait dengan pengendalian banjir, penyediaan air minum, dan pengelolaan sampah yang produksinya terus bertambah dan dalan kawasan yang semakin luas. 7. Penyediaan fasilitas umum, seperti sekolah, rumah sakit, dan ruang terbuka hijau dan fasilitas perkotaan lain, memerlukan perhatian yang besar seiring dengan pertambahan penduduk kawasan metropolitan. 8. Kawasan metropolitan mempunyai peran ekonomi yang signifikan dan terus meningkat baik di tingkat regional, propinsi, maupun nasional. 9. Kawasan metropolitan umumnya menyediakan peluang investasi dan lapangan pekerjaan yang lebih banyak daripada umumnya kawasan perkotaan atau perdesaan. 10. Kawasan metropolitan memberikan fasilitas pelayanan dan jasa yang lebih efisien, seperti sistem informasi, perbankan, jaringan pemasaran dan prasarana ekonomi lainnya yang lebih baik dibandingkan kawasan perkotaan atau perdesaan pada umumnya. ARAH KEBIJAKAN PENATAAN RUANG KAWASAN METROPOLITAN Dengan memperhatikan fenomena-fenomena dan peran kawasan metropolitan seperti disebutkan di atas, pertanyaan yang muncul adalah kebijakan penataan ruang seperti apa yang seharusnya dilakukan? Karena secara alamiah pembentukan kawasan metropolitan tersebut terus terjadi. Apakah harus dibatasi? Atau diarahkan? Sebelum menjelaskan kebijakan penataan ruang, ada baiknya dilihat perkembangan pendekatan dalam menangani masalah metropolitan di dunia. Perkembangan kota yang terus membesar di berbagai belahan dunia ini menumbuhkan suatu aliran yang disebut urbanisme. Aliran ini percaya bahwa kota

316 Arahan Kebijakan Penataan Ruang 311 memberikan berbagai keuntungan, dan merupakan proses alami bahwa kota akan terus berkembang. Kota-kota besar akan memberikan kesempatan kerja yang lebih banyak, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan berperan sebagai engine of growth suatu negara. Untuk menciptakan keadaan tersebut maka yang diperlukan adalah suatu penataan yang memungkinkan orang makin cepat bekerja; transportasi yang harus mampu menghubungkan berbagai aktivitas dengan baik sehingga memungkinkan kecepatan pencapaiannya (Talen 2005, Moule 2002). Namun, pengalaman juga menunjukkan bahwa kota yang semakin besar dan semakin cepat ini menimbulkan persoalan-persoalan lain. Secara sosial, penduduk kota menjadi semakin individualis, tergesa-gesa. Sementara itu, pertumbuhan kendaraan yang digunakan untuk menjamin kecepatan bahkan menyebabkan polusi udara dan suara sehingga udara kota menjadi semakin panas. Beberapa ahli yang berkumpul untuk menjawab persoalan ini pada akhir tahun 1990-an memperkenalkan aliran pemikiran baru yang dikenal sebagai new urbanism. Pemikiran baru ini melihat bahwa pertumbuhan kota sebaiknya tidak dibiarkan semakin meluas. Kredo-kredo yang diyakini oleh new urbanism adalah slowness, inclusiveness dan legibility (Moule 2002). Slowness; tidak lagi cepat, tetapi perlahan. Manusia yang tinggal di kota sebaiknya bekerja di dekat tempat tinggalnya dalam sebuah compact city. Pada kota metropolitan harus didesain pusat-pusat yang mewadahi aktivitas bekerja dan perumahan dalam kawasan guna campuran kredonya adalah inclusiveness semua orang harus mempunyai kesempatan yang sama. Orang bisa berjalan dengan tenang tanpa terganggu oleh polusi dan kendaraan bermotor yang lalu lalang. Kota harus terdiri dari beberapa pusat yang di antara pusat tersebut dihubungkan dengan sistem transportasi yang baik. Sementara legibility menuntut bahwa kota harus dapat memberikan kejelasan bagi masyarakat. Struktur yang jelas, struktur yang mampu membedakan pusat dan subpusat. Fungsi yang jelas tidak saling tumpang tindih sangat diperlukan sehingga masyarakat tidak bingung dalam menggunakan dan membaca tata ruang perkotaan tempat mereka tinggal dan bekerja. Konsep new urbanism memang keluar dari pengalaman kota-kota di Amerika yang telah lebih matang dan berkembang lebih dulu dan dalam luasan yang sangat besar jika dibandingkan dengan metropolitan di Indonesia. Sebagai suatu konsep penataan ruang, pendekatan slowness, inclusiveness, dan legibility itu patut dipertimbangkan untuk dapat digunakan pada kawasan metropolitan di Indonesia. Sebagaimana telah diindikasikan di pengantar buku ini, penataan ruang untuk kawasan metropolitan adalah mengaturnya dalam beberapa pusat dan sub-pusat yang memungkinkan adanya pembagian hierarkial aktivitas-aktivitas sosial ekonomi metropolitan. Hal ini penting untuk menjaga supaya tidak terjadi penumpukan aktivitas di satu kawasan saja. Penataan ruang harus diarahkan sedemikian sehingga suatu pusat dapat mempunyai fasilitas yang memadai untuk aktivitas sosial ekonominya dan yang proporsional terhadap kebutuhan pusat. Demikian juga di dalam sub-pusat terdapat fasilitas-fasilitas yang menunjukkan kejelasan fungsi pelayanannya. Untuk mencapai apa yang diiginkan tersebut maka kebijakan diarahkan pada perencanaan tata ruang dan pengendalian pemanfaatan ruangnya.

317 312 Metropolitan di Indonesia Perencanaan Tata Ruang Secara garis besar dapat dikatakan bahwa perencanaan ruang kawasan metropolitan, di samping mengikuti asas yang telah digariskan dalam UU no 24 pasal 2, harus pula memperhatikan 4 hal berikut: 1. Kejelasan struktur; 2. Kejelasan fungsi; 3. Efisiensi pemanfaatan ruang; 4. Kemudahan transportasi; dan 5. Penyediaan fasilitas perkotaan yang memadai. Kejelasan Struktur Penataan ruang kawasan metropolitan harus mampu menunjukkan struktur tata ruang yang jelas yang terbentuk karena adanya pusat dan sub-pusat kegiatan yang saling terkait dan dihubungkan oleh sistem tranportasi yang terpadu. Pusat dan sub-pusat mempunyai skala layanan yang harus dapat didefinisikan dengan baik. Pusat kawasan metropolitan, selain harus dapat melayani seluruh kawasan metropolitan tersebut, juga harus dapat melayani kebutuhan regional di luar kawasan metropolitan, bahkan nasional, karena tidak dapat disangkal bahwa kawasan metropolitan mempunyai peran yang sangat strategis di tingkat nasional. Sub pusat di kawasan metropolitan sebaiknya berupa kota satelit yang berfungsi untuk mendukung Pusat dalam pengembangan kawasan metropolitan sebagai satu kesatuan sosial, ekonomi, dan tentunya lingkungan. Secara lebih jelas, struktur kawasan metropolitan tersebut diilustrasikan pada Error! Reference source not found. (hal. ix) dan GAMBAR 8-1. GAMBAR 8-1 Ilustrasi Sub Kawasan Metropolitan yang Memiliki Kejelasan Struktur

318 Arahan Kebijakan Penataan Ruang 313 Kejelasan Fungsi Struktur perkotaan dalam kawasan metropolitan harus mempunyai kejelasan fungsi masing-masing, walaupun beberapa perkotaan dapat mempunyai fungsi yang sama. Fungsi tersebut antara lain dapat berupa pusat bisnis, pusat pemerintahan, pusat pendidikan, pusat industri, pusat tempat tinggal (dormitory town), dan sebagainya. Kota pusat kawasan metropolitan biasanya menyandang fungsi sebagai pusat bisnis dan pemerintahan, sedangkan kota-kota lainnya dapat berfungsi sebagai dormitory town, pusat pendidkan, dan sebagainya. Dengan adanya kejelasan fungsi tersebut maka diharapkan akan terbentuk sinergi antar kota-kota tersebut, dan terdapat kejelasan arah pengembangan masing-masing kota tersebut. Secara internal, di masing-masing kota tersebut juga perlu membentuk struktur tertentu berupa pusat kota yang berfungsi untuk melayani kota secara keseluruhan, dan sub pusat yang berfungsi untuk melayani bagian wilayah kota. GAMBAR 8-2 Ilustrasi Sub Kawasan Metropolitan yang Memiliki Kejelasan Fungsi Efisiensi Pemanfaatan Ruang Keterbatasan ruang di kawasan metropolitan mengharuskan perencanaan penataan ruang harus memperhatikan keadilan. Ruang kota digunakan sesuai dengan nilai ruang yang terbentuk. Kawasan pusat kota misalnya, harus mempunyai kepadatan tinggi dan oleh karenanya jika untuk perumahan harus perumahan vertikal yang mampu mengakomodasi penduduk yang lebih banyak dan memungkinkan terjangkau dari berbagai tingkat ekonomi, tetapi pada saat yang sama mampu memberikan ruang terbuka hijau yang cukup. Dengan demikian, termasuk dalam efisiensi pemanfaatan ruang ini adalah penyediaan ruang terbuka hijau yang memadai untuk menjaga keberlanjutan pembangunan.

319 314 Metropolitan di Indonesia GAMBAR 8-3 Ilustrasi Kawasan yang Mencerminkan Efisiensi dalam Pemanfaatan Ruang Kemudahan Transportasi Kejelasan struktur menuntut adanya kejelasan sistem jaringan trasportasi (sebagai ilustrasi, lihat GAMBAR 8-4 dan GAMBAR 8-5). Sistem jaringan transportasi yang jelas akan memudahkan mobilitas penduduk. Kemudahan transportasi juga terjadi jika ada pembagian fungsi ruang yang baik termasuk adanya fungsi campuran di pusat atau sub-pusat kegiatan kawasan metropolitan. Perencanaan dan pemaanfaatan ruang kawasan metropolitan tersebut harus lintas daerah dan menjadi acuan bagi daerah-daerah administratif yang menjadi bagian kawasan metropolitan tersebut. Kawasan metropolitan, walaupun terus bertambah besar, namun ruang yang tersedia hampir selalu kurang. Sementara itu, kawasan metropolitan yang besar juga peka terhadap perubahan lingkungan alamnya. Oleh sebab itu, pemanfaatan ruang kawasan metropolitan harus secara sadar dilakukan untuk mendapatkan keseimbangan lingkungan hidup sehingga pembangunan yang berkelanjutan dapat diciptakan.

320 Arahan Kebijakan Penataan Ruang 315 Arteri Primer Kolektor primer Arteri Primer Kolektor primer Kolektor Primer Lokal primer GAMBAR 8-4 Ilustrasi Sistem Jaringan Jalan Kawasan Metropolitan Arteri Primer Arteri Sekunder Kolektor Primer GAMBAR 8-5 Ilustrasi Sistem Jaringan Jalan di Sub Kawasan Metropolitan (Kota Satelit)

321 316 Metropolitan di Indonesia Penyediaan Fasilitas Perkotaan yang Memadai Sesuai Hirarkinya Fasilitas perkotaan, baik berupa fasilitas pendidikan, maupun antara lain fasilitas kesehatan, fasilitas RTH, dan fasilitas perdagangan, perlu disediakan secara cukup di semua kota sesuai dengan hierarkinya. Secara diagramatis, struktur penyediaan fasilitas perkotaan tersebut dapat digambarkan seperti pada Error! Reference source not found. (hal. xii). Dukungan fasilitas yang memadai tersebut akan dapat menunjang setiap kotakota tersebut agar dapat berkembang sesuai dengan fungsinya masing-masing, dan dengan demikian diharapkan akan mendorong berkembangnya saling sinergi antar kotakota tersebut. Pengendalian Pemanfaatan Ruang Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam pengendalian pembangunan, pendekatan negatif dan pendekatan positif. Pendekatan negatif dilakukan dengan cara membatasi pembangunan dengan arahan, baik yang bersifat discretionary ataupun yang bersifat regulatory. Sementara pendekatan positif dilakukan dengan cara pemerintah memulai pembangunan di kawasan yang sudah direncanakan kemudian baru diteruskan oleh swasta atau masyarakat. (Leung 1989; Pickvance dalam Paris 1982). Bentuk pendekatan negatif antara lain adalah dengan development control seperti yang dilakukan di Inggris, atau dengan zoning regulation seperti dilakukan di Amerika dan Kanada. Pendekatan development control di Inggris memberikan banyak keleluasaan (discretionary) pada pemerintah lokal untuk menentukan apakah suatu usulan pembangunan boleh dilaksanakan atau tidak. Sementara untuk zoning regulation di Amerika dan Kanada, pemerintah lokal harus mengacu pada aturan yang sudah dibuat sebelumnya. Bentuk pendekatan positif lebih disukai pada kawasan atau kota-kota yang mengalami perkembangan sangat pesat. Pendekatan positif misalnya dilakukan dengan melakukan investasi pada infrastruktur utama seperti jalan raya, infrastruktur dasar, dan sebagainya yang diharapkan akan mengarahkan pengembangan. Pendekatan ini biasa disebut sebagai priming decision (Chapin dan Kaiser 1979). Sementara secondary decision dibuat untuk pembangunan skala kecil di antara infrastruktur utama yang sudah dibuat tersebut, misalnya pembanguan perumahan, perkantoran, dan pertokoan. Banyak cara dilakukan untuk mengarahkan pembangunan ini misalnya dengan land assembly, capital work programming, development corporation, atau community improvement. Kedua konsep tersebut mempunyai keuntungan dan kelemahan. Konsep pengendalian positif dapat dilakukan jika pemerintah mempunyai dana yang cukup untuk memulai pembangunan apalagi kalau akan masuk pada secondary decision ; pendekatan ini lebih bisa mengadopsi dan mengarahkan keinginan pasar (Pickvane di Paris 1982). Sementara itu, pendekatan negatif, baik dengan discretionary maupun dengan regulatory, sering kali dinilai kalah cepat oleh keinginan pasar dan mengakibatkan seringnya terjadi perubahan peraturan karena desakan pasar. Pengendalian seperti apa yang sebaiknya dilakukan untuk kawasan metropolitan? Secara konsepsual, pengendalian yang dilakukan harus dapat menjaga perencanaan dan pemanfaatan ruang yang telah dibuat terutama untuk menjaga kejelasan struktur ruang, kejelasan fungsi ruang, keadilan penggunaan ruang, dan kemudahan tranportasi. Dengan memperhatikan keadaan sosial budaya masyarakat Indonesia, pendekatan pengendalian

322 Arahan Kebijakan Penataan Ruang 317 yang utama haruslah pendekatan negatif, walaupun di beberapa kasus dapat juga dilakukan dengan pendekatan positif. Pengendalian yang dilakukan juga harus dapat menjangkau persoalan lintas daerah administratif. STRATEGI Kawasan metropolitan selalu akan terdiri dari beberapa daerah administratif dan biasanya, satu daerah administratif yang secara luasan barangkali tidak terbesar, tetapi menjadi pusat orientasi aktivitas sosial dan ekonomi kawasan. Bersatunya beberapa daerah administratif ini seringkali menjadi masalah dalam pengelolaan, bukan saja karena ada perbedaan peraturan, tetapi sering kali karena kemampuan pendanaan dan kapasitas pemerintahannya berbeda. Jabodetabek misalnya, menunjukkan perbedaan yang mencolok dalam kapasitas pendanaan. Pada anggaran daerah tahun 2006, misalnya, DKI Jakarta mempunyai APBD sekitar 17,9 triliun rupiah (Bappeda DKI 2006) untuk memberikan pelayanan pada 8,5 juta jiwa penduduknya (BPS DKI 2006); sementara Jawa Barat yang langsung bersebelahan dengan DKI Jakarta mempunyai APBD sebesar 4,1 triliun rupiah (Bappeda Jabar 2006) untuk penduduk sebanyak 35 juta jiwa (BPS Jabar 2006). Keadaan tersebut menggambarkan ketidakseimbangan anggaran pembangunan antar daerah administratif dalam suatu kawasan metropolitan, yang pada akhirnya menunjukkan ketidakseimbangan dalam kemampuan untuk menyediakan fasilitas pelayan publik, seperti air bersih, jalan, transportasi, dan fasiltas pelayanan lain. Sementara itu, keadaan lingkungan alam sebagian Propinsi Jawa Barat akan mempunyai pengaruh besar terhadap keadaan lingkungan alam DKI. Kerusakan lingkungan di Kabupaten Cianjur dan Bogor misalnya akan dapat menyebabkan banjir besar di DKI Jakarta. Keadaan yang sama juga terjadi di kawasan metropolitan lain. Tabanan di kawasan metropolitan Sarbagita di Bali misalnya harus tetap dijaga kelestarian lingkungannya karena daerah ini menyediakan air dan beras untuk Denpasar yang menjadi kota induk. Ketidakseimbangan kapasitas, termasuk didalamnya kapasitas manusia dan kapasitas keuangan antar daerah dalam kawasan metropolitan, adalah karakter yang terlihat pada metropolitan di Indonesia sampai saat ini. Karakter lain yang juga penting adalah keberagaman antar daerah, terutama dalam tingkat pendidikan dan pekerjaan. Dengan melihat keadaan seperti di atas maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa potensi dan persoalan di kawasan metropolitan dapat dilihat sebagai cerminan dari potensi dan persoalan negara. Jika dianalogkan dengan ungkapan Jane Jacobs (Jacobs 1965). If city s streets look interseting, the city looks intersting. Jika ingin melihat pengelolaan kota yang baik maka lihatlah jalan-jalan di kota tersebut; jika jalan tertata rapi dan orang dapat berjalan dengan aman, berarti kota dikelola dengan baik. Untuk kawasan metropolitan dapat diungkapkan sebagai berikut: Jika ingin melihat keberhasilan pengelolaan suatu negara, lihatlah keadaan kawasan metropolitannya; jika kawasan metropolitan tertata dengan baik, berarti negaranya pun dikelola dengan baik. Keberhasilan dalam mengelola kawasan metropolitan dengan baik akan menunjukkan keberhasilan dalam mengelola negara. Sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan di bagian satu dan bagian dua, kawasan metropolitan akan terus berkembang. Tanpa pengelolaan yang baik maka

323 318 Metropolitan di Indonesia perkembangan kawasan akan menjadi tidak terarah dan akan berakibat pada menurunnya kualitas hidup di perkotaan; kota tidak lagi menjadi liveable, tidak lagi competitive. Ada dua strategi yang dapat dilakukan dalam jangka menengah yang bertujuan untuk mengarahkan perkembangan kawasan metropolitan ke arah pengembangan yang berkelanjutan dan dapat memberikan nilai positif yang lebih besar, baik secara ekonomi maupun secara sosial. Kedua strategi tersebut adalah: Mengarahkan perkembangan dengan penataan ruang terpadu Mengelola pertumbuhan dengan kelembagaan dan peraturan yang efektif Mengarahkan Perkembangan dengan Penataan Ruang yang Terpadu Penataan ruang mempunyai arti yang luas, tidak hanya berarti penataan fisik saja. Akan tetapi, juga berarti integrasi kebijakan, pemanfaatan lahan, dan program pembangunannya. Dengan kata lain, Jones (di Albrecht dkk. 2001) misalnya mengatakan: Spatial planning aims to provide coherence and coordination of policy making for the variety of authorities and agencies that may need to take spatial decisions and provide guidance and greater certainty for private sector development. Penataan ruang kawasan metropolitan akan dapat mengarahkan perkembangan dalam bentuk banyak pusat dan memastikan bahwa di tiap pusat ataupun subpusat mempunyai fasilitas pelayanan yang mencukupi sesuai dengan skala layanannya. Penataan ruang juga bertujuan mengintegrasikan perencanaan pembangunan antar daerah dalam kawasan metropolitan sehingga terjadi kesinambungan didalam penyediaan infrastruktur dasar. Penyediaan sarana dan prasarana transportasi dapat menerus dan terintegrasi di antara beberapa daerah dalam kawasan metropolitan. Dengan demikian, penataan ruang ini akan mencakup aktivitas-aktivitas: Mengelompokan atau memisahkan aktivitas dalam kawasan metropolitan Mengatur dan menetapkan kepentingan suatu pusat atau sub-pusat Mengembangkan visi pengembangan banyak pusat di kawasan metropolitan Mengelola Pertumbuhan dengan Kelembagaan dan Peraturan yang Efektif Ada dua hal yang penting dalam pengelolaan kawasan metropolitan untuk dapat meyakinkan bahwa penataan ruangnya dapat berjalan dengan baik. Kedua hal tersebut adalah kelembagaan dan peraturan. Kelembagaan terutama bertujuan mendapatkan kesepakatan secara terorganisasi untuk mencapai tujuan pembangunan yang mengakomodasikan kepentingan bersama. Pembahasan di Bab 6 dan Bab 7 buku ini mengindikasikan perlunya kelembagaan yang memungkinkan pengelolaan kawasan metropolitan dapat berjalan baik, terutama dalam pelaksanaan penataan tata ruangnya. Kelembagaan yang disiapkan sebaiknya adalah lembaga yang berbentuk badan yang otonom dan dalam bentuk suprakomunalitas. Lembaga tersebut sebaiknya tidak hanya berbentuk badan koordinatif, tetapi bisa mempunyai kewenangan mengambil keputusan perencanaan tata ruang kawasan metropolitan yang akan menjadi payung bagi perencanaan tata ruang di daerah yang berada dalam kawasan metropolitan.

324 Arahan Kebijakan Penataan Ruang 319 Lembaga tersebut harus pula didukung dengan peraturan-peraturan pembangunan dan pengendalian pemanfaatan tata ruang dengan pendekatan yang bersifat negatif dalam bentuk peraturan perizinan. Zoning regulation merupakan pilihan yang baik untuk pembangunan pada skala-skala yang lebih kecil sesuai dengan rencana tata ruang yang ditetapkan. Pada skala kawasan metropolitan, rencana tata ruang yang dibuat harus dapat mengikat, baik bagi aparat pemerintah maupun masyarakat. Dengan demikian, rencana tata ruang kawasan metropolitan yang meliputi beberapa daerah administratif dapat disahkan menjadi rencana yang berkekuatan hukum yang mengikat (statutory plan).

325 320 Metropolitan di Indonesia

326 9 Penutup Buku ini telah secara mendalam mendiskusikan kawasan metropolitan di Indonesia, persoalan dan tantangan yang harus dihadapi dalam penataan ruang; dimulai dari diskusi mengenai sejarah kawasan metropolitan, definisi yang umum dipakai untuk menjelaskan kawasan metropolitan di dunia hingga pengalaman beberapa kawasan metropolitan, baik dari negara maju maupun negara berkembang. Telah diuraikan pula pengalaman beberapa kawasan di Indonesia yang terus berkembang sehingga mempunyai keadaan yang mendekati ciri-ciri kawasan metropolitan. Diuraikan juga tantangan dalam mewujudkan penataan ruang yang optimal untuk suatu kawasan metropolitan. Diskusi dan penjelasan yang disampaikan di dalam buku ini memberikan beberapa hal penting yang dapat dicatat: BUKAN SUMBER PENYAKIT Kawasan metropolitan terbentuk karena urbanisasi yang tidak hanya berarti migrasi dari desa ke kota, tetapi lebih berarti pada perubahan atau transformasi dari keadaan desa ke keadaan kota di beberapa desa/ kota kecil yang letaknya berdekatan dengan suatu kota yang mempunyai aktivitas sosial ekonomi dominan. Walaupun sering dikatakan bahwa di kawasan metropolitan sering terjadi kemacetan, polusi, banjir, penyakit sosial, dsb., namun jelas bahwa kawasan metropolitan di Indonesia, sampai saat ini, masih memberikan pelayanan yang lebih baik kepada penduduknya dibandingkan dengan pelayanan di kawasan perdesaan. Kawasan metropolitan menyumbang pada perkembangan ekonomi negara, memberikan pelayanan pendidikan yang lebih baik kepada penduduk, memberikan lapangan pekerjaan yang juga lebih baik. Dari sisi perumahan pun, walaupun masih terdapat slum dan squatter, namun secara keseluruhan menunjukkan perbaikan yang berarti dan meyediakan perumahan yang lebih berkualitas daripada perumahan di perdesaan. Dengan demikian, jelas bahwa kawasan metropolitan bukan sumber penyakit seperti yang sering dikhawatirkan oleh banyak pihak, kawasan metropolitan masih merupakan engine of growth. Hanya saja tentu masih ada hal-hal yang perlu

327 322 Metropolitan di Indonesia diperbaiki, terutama secara sektoral, jika kawasan metropolitan yang sudah ada di Indonesia hendak dibuat lebih baik lagi. Perbaikan yang paling penting adalah pada penataan ruangnya. CERMINAN DARI PENGELOLAAN NEGARA Di samping potensi yang besar seperti disebutkan di atas, kawasan metropolitan juga menyimpan persoalan-persoalan laten yang juga besar. Hal ini terjadi karena di kawasan metropolitan terdapat banyak kesenjangan dan keberagaman akibat dari jumlah penduduknya yang besar. Ada kesenjangan pendapatan; metropolitan tidak hanya menjadi tempat tinggal bagi orang-orang yang sangat kaya, tetapi juga tempat tinggal bagi orang-orang yang sangat miskin. Ada kesenjangan etnik; metropolitan menjadi tempat tinggal berbagai macam etnik yang ada di Indonesia. Ada kesenjangan pendidikan; metropolitan menjadi tempat tinggal bagi orang-orang yang sangat terdidik, tetapi juga tempat tinggal orang-orang yang tidak terdidik. Metropolitan memerlukan fasilitas bagi kendaraan pribadi yang mewah, tetapi juga harus mampu menyediakan angkutan bagi semua lapisan masyarakat. Metropolitan juga harus mampu menyediakan infrastruktur dasar, seperti air minum, listrik, gas, transportasi, dan ruang terbuka hijau (RTH) bagi semua lapisan masyarakat. Ada kesenjangan pendapatan antardaerah; kawasan metropolitan terdiri dari beberapa daerah administratif yang pendapatan daerahnya tidak sama besar, sehingga diperlukan koordinasi yang baik jika ingin berkembang secara terpadu. Di atas semua itu, kawasan metropolitan juga harus tetap mampu menjaga pertumbuhan ekonominya suapaya dapat memberikan pekerjaan yang layak bagi penduduk dan pada gilirannya metropolitan bisa menjadi kawasan yang liveable dan competitive. Persoalan tersebut di atas adalah persoalan yang juga dihadapi oleh negara, sehingga tidak berlebihanlah jika dikatakan bahwa kawasan metropolitan adalah cerminan dari negara tempat kawasan metropolitan itu berada, yang dapat diartikan pengelolaan kawasan metropolitan yang baik akan dapat menyelesaikan sebagian dari persoalan bangsa. Penataan ruang yang terpadu yang akan dapat menjadi payung bagi semua aktivitas pembangunan merupakan salah satu cara untuk dapat mengelola kawasan metropolitan dengan baik. PENATAAN RUANG YANG TERPADU DAN KOMPAK Kawasan metropolitan terdiri dari beberapa daerah administratif yang bergabung karena adanya aktivitas perkotaan yang bermuara di kota yang menjadi pusat kawasan. Keadaan ini mengharuskan kawasan metropolitan mempunyai tata ruang terpadu, yang menjadi payung dari penataan ruang di setiap daerah pembentuk kawasan metropolitan tersebut. Walaupun kawasan metropolitan bisa berukuran besar, namun penataan ruangnya harus menunjukkan kekompakan, artinya penataan ruang harus menunjukkan kejelasan fungsi dan pelayanan yang tercermin dari adanya pusat dan sub-pusat. Ada lima hal yang harus menjadi dasar penataan ruang kawasan metropolitan: 1) adanya kejelasan struktur; 2) adanya kejelasan fungsi; 3) adanya efisiensi dalam pemanfaatan ruang; 4) adanya kemudahan transportasi; dan 5) perencanaan fasilitas yang memadai.

328 Penutup 323 Penataan yang memperhatikan kelima hal tersebut tentu berkaitan dengan adanya kelembagaan suprakomunalitas yang bisa mewadahi aktivitas penataan ruang antardaerah administratif dengan baik. Diperlukan juga kepastian hukum, baik untuk kelembagaan maupun untuk implementasi hingga pada tingkat zoning regulation. Jika kelima hal tersebut di atas dapat diciptakan dalam suatu kawasan metropolitan, maka sebagian persoalan kawasan metropolitan, dan sebagian persoalan negara, akan terselesaikan.

329 324 Metropolitan di Indonesia

330 Penutup 325

331 Daftar Pustaka (1988) Rencana Umum Tata Ruang Kota Metropolitan Semarang. (1993) Mebidang Metropolitan Area, Revised Strategic Plan and Review Process Volume 2 Background, Review Urban Development Strategy For Mebidang Metropolitan Area (RUDS-MMA), Final Interim Report (Indonesia), Juni (1995) Metropolitan Mebidang Urban Development Programme, Review Dokumen Rencana Tata Ruang, April (1996) Rencana Umum Tata Ruang Perkotaan Kawasan Mebidang Metropolitan, Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara Bappeda Tingkat I Sumatera Utara. (1999) Naskah akademik RUU pengganti UU no 34 tahun 1999 (2001) World Urbanisation Prospect, the 2001 revision. Special Tabulations. United Nations Department of Economic and Social affairs. New York, Populations Division World Bank. (2001) World Urbanisation prospect: the 2001 revision. Special Tabulations. United Nations (2002) Jabotabek, the Jakarta metropolitan area. unupress/unupbooks/uu11ee/uu11ee16.htm [ ]. (2004) Reforming Infrastructure Privatization, Regulation, and Competition. Washington DC, World Bank. (2005) Buku Laporan Penunjang Metropolitan Bandung, Dinas Tata Ruang dan Permukiman Provinsi Jawa Barat, 2005 (2005) Laporan Penunjang Metropolitan Bandung. Bandung, Dinas Tata Ruang dan Permukiman Propinsi Jawa Barat. (2005) Pengembangan Infrastruktur Perdesaan, Peran Dalam Pencapaian Millenium Development Goals, Penanggulangan Kemiskinan dan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, Briefing Notes, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, (2006) Bandung Dinyatakan Darurat Sampah, dalam Harian Pikiran Rakyat, 6 Mei (2006) Indonesia Averting an Infrastructure Crisis: A Framework for Policy and Action. World Bank, Jakarta.

332 326 Metropolitan di Indonesia (2006) Indonesian Fuel Quality Report. Clean Fuel: A Requirement for Air Quality Improvement. Jakarta, Kementerian Lingkungan Hidup bekerja sama dengan Joint Committee for leaded Gasoline Phase-Out. (2006) Infrastructure Indonesia Outlook. Jakarta, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. (2006) It s All in the Percentages, The Jakarta Post, September 21, 2006, hal. 17. (2006) The Draft Operational Guidelines Manual Volume 2, Jakarta, Kantor Menko Perekonomian Albrechts, Louis., Jeremy Alden, dan Artur Da Rosa Pires (ed) (2001) The Changing Institutional Landscape of Planning. England, Ashgate Publishing Ltd. Angotti, Thomas.1993.Metropolis 2000, Planning, Poverty and Politics.New York, Routledge. Anies, H. (2002) Dampak Polusi Asap Kendaraan bagi Kesehatan, dalam Harian Suara Merdeka, Sabtu 11 Mei Asian Development Bank (2005) The International Bank for Reconstruction and Development/ The World Bank, and Japan Bank for International Cooperation, March 2005, Connecting East Asia: A New Framework for Infrastructure. Washington. DC, The World Bank. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2002) Infrastruktur Indonesia Sebelum, Selama dan Pasca Krisis. Jakarta, Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Bappenas. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Pusat Statistik, United Nations Population Fund (2005) Projeksi Penduduk Jakarta. Badan Pusat Statistik (2001) Penduduk Indonesia: Hasil Sensus Penduduk Tahun 2000, Seri L-2.2, Jakarta, Indonesia Badan Pusat Statistik (2004) Statistik Kesejahteraan Rakyat 2004, Survei Sosial Ekonomi Nasional. Jakarta, Indonesia. Katalog BPS: Bainbride, Vanessa, et.al. (2000) Transforming Bureaucracies. London, International Institute for Environment and Development. Bambang T. S. (2003) Perkembangan Ekonomi Kota-kota Sebelum dan Pasca Krisis ( ) dan Implikasi Pengembangannya, Working Paper III Jakarta, URDI. Bappenas, National Urban Environmental Strategy. Jakarta: Bappenas Biro Pusat Statisitk (1991). Penduduk Indonesia: Hasil Sensus Penduduk 1990, Seri L-1, Jakarta, Indonesia. Biro Pusat Statistik (1995) Statistik Kesejahteraan Rakyat 1994, Survei Sosial Ekonomi Nasional. Jakarta, Indonesia. ISBN Biro Pusat Statistik, Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung dan Sumedang dalam Angka 1997, 2000, Bridge, G. & W. Sophie (2004) The Blackwell City Reader. Oxford, Blacwell. Budihardjo, E. & D. Sujarto (2006) Kota Berkelanjutan. Bandung, penerbit Alumni. Burgess, E. W. (1925) The growth of a city: an introduction to a research project, in Robert E. Park, Ernest W. burgess, and Rodrick D. McKenzie, The City. Chicago: University of Chicago press. Pp Cahyono, Imam (2005) Dalam Cengkeraman Pasar. Kompas, Sabtu, 29 Oktober. Castells, Manuel (1986) The Informational City: Information Technology, Economic Restructuring and the Urban-Regional Process. London, Blackwell.

333 327 Centre for Developing Cities (2006) Course Manual for District and Provincial Planning in Australia in Indonesia-Australia Specialized Training Project Phase III, Hal. 11. Canberra, University of Canberra. Cheema, S. et al. (1995) Towards HABITAT-II: The Role of South-South Cooperation through the United Nations Development Programme. < coopsouth/1995_oct/habitat2.asp> [ ]. Cities Alliance (2006) Improving Urban Performance. Cutler, Laurence S. & Sherrie S. Cutler (1983) Recycling Cities for People. The Urban Design Process (second edition). Van Nostrand Reinhold Company. ISBN Dahury, Rokhmin (2005) Positioning Indonesia dalam Peta Ekonomi Global. Kompas,. Kamis, 11 Agustus. De Roo, G. D. (2003) Environmental Planning in the Netherlands: Too Good to be True, From Command and Control Planning to Shared Governance. London, Ashgate. Deni, Ruchyat (2003) Kebijakan Penataan Ruang Kawasan Jabodetabek Punjur. Jakarta, Dirjen Penataan Ruang. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Ditjen Penataan Ruang Beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang Indonesia Jakarta : Ditjen Penataan Ruang. Derycke, Pierre-Henri (1999) Comprendre les dynamiques métropolitaines. Paris, Anthropos. Dharmapatni, IAI & T. Firman (2005) Problems and Challenges of Mega-Urban Regions in Indonesia: The Case of Jabodetabek and the Bandung Metropolitan Area in T.G. Mc Gee & Ira M. Robinson eds. (2005) The Mega-Urban regions of South East Asia, UBC Press. Dikun, S. (2003) Rebuilding The Indonesia Infrastructure - A Road Map from Economic Recovery to Investment The , Agenda Paper Presented at The Special Session of CGI Meeting Jakarta, Jakarta, Bappenas Dirjen Cipta Karya Departemen PU (1999) Pengembangan Kawasan Perkotaan, Kawasan Perdesaan dan Kawasan Tertentu Menuju Indonesia Baru. Jakarta, Dirjen Cipta Karya Departemen PU. Dirjen Penataan Ruang (2006) kebijakan penataan ruang Kawasan jabodetabek punjur. Jakarta, Departemen Pekerjaan Umum. Dirjen Penataan Ruang Departemen PU (2004) Lokakarya Nasional Pengelolaan Kawasan Jabopunjur untuk Pemberdayaan Sumber Daya Air. Jakarta, LIPI. Dirjen Penataan Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah.(2003). Beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang Indonesia Jakarta: Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Djamal, Irzal (1996) City Study of Jakarta, in Jeffrey Stubbs & Giles Clarke (1996) Megacity Management in the Asian and Pacific Region, Volume Two. Manila, ADB. Djojohadikusumo. S. Science. Resources and Development. LP3ES Doxiadis, C. (1974) Ekistics an Introduction to the Science of Human Settlements. London, Hutchinson. Energy Institute (EIA) (2004) Indonesia: Environmental Issues. [31 Agustus 2006]

334 328 Metropolitan di Indonesia Europe Aid Cooperation Office (2005) Investing in Indonesian Infrastructure, Asia Invest Jakarta May Firman, T. (1998). The restructuring of Jakarta Metropolitan Area: A global city in Asia, in Cities, 15(4): Firman, T. (1999). From Global City to City of Crisis : Jakarta metropolitan region under economic turmoil. Habitat International, 25(4): Firman, T. (2004). New town development in Jakarta Metropolitan Region: a perspective of spatial segregation. Habitat International, 28: Foster, Vivian & Araujo Caridad (2004) Does infrastructure reform work for the poor? A case study from Guatemala. Washington DC, World Bank Francis, Mark (2003) Urban Open Space, designing for user needs. Land and Community Design Case Study Series. Washington, Covelo & London, Landscape Architecture Foundation. Island Press. Freire, Mila & Richard Stren (ed) (2001) The Challenge of Urban Government. World Bank Institute Development Studies. Gardiner, Peter (1993) Urbanization, urban growth and poverty reduction in Indonesia. Background (unpublished) paper prepared for World Bank 1993 Indonesia Country Report. Gie, Kwik Kian (2006) Pengemis Tak Punya Pilihan, Kompas, 26 September 2006, hal. 6. Girardet, Herbert (2004) Cities People Planet..Chichester, Willey-Academy. Guallart, Vicente (2004) Sociopolis: Project for a City of the Future. Wien, Actar and Architektur-Zentrum. Haeruman, Herman (1996) Profil RTH Kota di Indonesia pada masa mendatang. Makalah Kunci disampaikan pada: Lokakarya Nasional RTH Kota. Jakarta, 3 Agustus 1996 (Tidak dipublikasikan). Harris, Chauncey D. & Edward L. Ullman (1945) The nature of cities, in The Annals of the American Academy of Political and Social Science. CCXLII, November: 13. Heynen, N. et. Al. (2006) The Political Ecology of Uneven Green Space. Urban Affairs Review 42(1): Hill, William F. (1995) Landscape Handbook for The Tropics. London, Garden Art Press. Hoyt, Homer (1939) The Structure and Growth of Residential Neighborhoods in American Cities. Washington, DC., U.S. Federal Housing Administration. Ikhsan, Mohamad (2003) Infrastructure Gap in Indonesia: Constraints and Possible Solutions - Paper Presented at the Infrastructure Seminar. Jakarta, KKPPI. International Finance Cooperation (2006) Doing Bussiness in 2007 How To Reform. Washington, DC.,The International Bank for Reconstruction and Development / The World Bank. Israel, Arturo (1990) Institutional Development. Washington D.C., The World Bank. Jacobs, Jane. (1961) The Death and Life of Great American Cities, The Failure of Town Planning. England, Penguin Books Ltd. Jawa Barat Dalam Angka JICA (2004) SITRAMP II Study on Integrated Transportation Master Plan for Jabodetabek II.

335 329 Jones, G. W. (1998) Southeast Asian Urbanisation and the Growth of Mega-urban Regions. Journal of Population Research, 19 ( 2) hal Jones, Gavin W. (2001) Studying Extended Metropolitan Regions in South-East Asia Kanonier, A. (2004) Strategies for Protecting Environmental Quality in the Spatial Planning Law of Austria. In: Miller D. & G. De Roo eds. (2004) Integrating City Planning and Environmental Improvement: Practicable Strategies for Sustainable Urban Development, hal London, Ashgate. Kelompok Kerja Penyehatan PDAM (2003) Laporan Akhir Penyehatan PDAM. Jakarta, Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur. Kusbiantoro (1996a) Transportation Problems in New Rapidly Developing Town Areas, paper presented at the 4th PRSCO Summer Institute of RSAI, Tsukuba, 7-8 May. Kusbiantoro (1996b) Urban Mass Transit Planning and Management: some basic concepts, paper presented as expert from the 3rd world country at Seminar on Urban Mass Transit, JICA / NCTS University of the Philippines, Manila, March Kusbiantoro (1998) Transportation Problems in Jabotabek. in R. Cervero and J. Mason eds. (1998) Transportation in Developing Countries Conference Proceedings. IURD University of California at Berkeley, Working Paper 98-07, September. Kusbiantoro (1999a) Sustainability of Jabotabek-Indonesia: lessons learned from the Asian crisis, paper presented at the Pacific E-conomy in the 21st Century, Pacific Economic Cooperation Council (PECC), Manila, October. Kusbiantoro (1999b) The Need for Efficient, Reliable, and Modern Public Transport System in Jakarta, keynote paper presented at the Discussion on Public Transport System in Jakarta, MTI, Jakarta 7 April. Kusbiantoro (1999c) Dampak Krisis Ekonomi dan Angkutan Umum Perkotaan, Jurnal Perencanaan Wiayah dan Kota, Vol. 10, No. 1, Maret. Kusbiantoro (2001a) Some Notes on Urban Management, in G. Dubois-Taine and C. Henriot eds., Cities of the Pacific Rim: Diversity and Sustainability, PUCA. Kusbiantoro (2001b) Urban Management to reach Sustainability, paper presented at the 14th General Meeting of Pacific Economic Cooperation Council (PECC), Hong Kong, November. Kusbiantoro (2001c) Sinkronisasi Struktur Tata Ruang Nasional dengan Sistem Transportasi Nasional, makalah disampaikan pada Seminar Undang- Undang dan Konsepsi Sistim Transportasi Nasional, Dephub, Jakarta, 15 Nopember. Kusbiantoro (2001d) Visi dan Strategi Pembangunan Era Indonesia Baru, Menyongsong Indonesia Baru Menuju Globalisasi, dalam Bunga Rampai Sumbangan Pikiran Alumni SMU St. Yosef Surakarta. Kusbiantoro (2001e) Review on Land Use and Integrated Transportation System: some principles, makalah disampaikan dalam Seminar on Integrated Transportation System for Jabotabek, Bappenas-JICA, Jakarta, 3 April. Kusbiantoro (2002a) Pengelolaan dan Pengembangan Infrastruktur Wilayah di Era Otonomi Daerah: suatu gagasan awal, makalah disampaikan pada

336 330 Metropolitan di Indonesia Lokakarya Strategi Pengelolaan dan Pengembangan Infrastruktur Wilayah di Jawa Barat, Bapeda Jabar, Bandung, 21 Oktober. Kusbiantoro (2002b) MRT Development without Government Subsidy: an alternative financing scheme, makalah disampaikan dalam The International Symposium on Regional, City, and Building Planning in Globalization and Autonomy Era, Universitas Kristen Indonesia Universitat Karlshure, Jakarta 19 October. Kusbiantoro (2002c) Globalization and the Sustainability of Jabotabek, Indonesia, dalam F. Lo and P.J. Marcotullio, eds., Globalization and the Sustainability of Cities in the Asia Pacific Region, UNU (co-author). Kusbiantoro (2004a) Peran Transportasi terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Wilayah Perkotaan, dalam Seminar Nasional Transportasi, UNDIP, Semarang, 14 Desember. Kusbiantoro (2004b) Interaksi Tata Guna Lahan dengan Sistim Transportasi pada Kawasan Cekungan Bandung, makalah disampaikan pada Diskusi Teknik 1 Penyusunan Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kawasan Cekungan Bandung, Departemen Pekerjaan Umum, Lembang, 8 Nopember Kusbiantoro (2004c) Sistem Transportasi Publik yang Ramah Lingkungan dan Terintegrasi dengan Rencana Tata Ruang Kota, makalah disampaikan pada Diskusi Panel Menuju Pembangunan Kota Berkelanjutan, Bappenas, Jakarta, 9 September Kusbiantoro (2004d) Potensi Pengembangan Transportasi Multimoda, makalah disampaikan pada Ceramah Ilmiah Potensi Pengembangan Transportasi Multimoda dalam Rangka Perwujudan Sistranas, Balitbang-Dephub, Jakarta, 1 April. Kusbiantoro (2004e) Re-organizing Urban Form through Re-structuring Transportation Infrastructure: a conceptual approach, paper presented at Seminar on Trend of Spatial Infrastructure Development System for 21st Century, Faculty of Engineering and Planning, Institute of Technology Bandung & Graduate School of Engineering, Hokaido University, Bandung, 18 March. Kusbiantoro (2005) Potensi dan Tata Ruang Daerah dan Konsistensinya dengan Tata Ruang Nasional, Dialog Keterpaduan Pengembangan Kawasan Indistri dalam Pembangunan Infrastruktur Wilayah, HKI Indonesia, Jakarta, 27 Januari. Kusbiantoro (2006) Megalopolitan. Dengar Pendapat DPRD Jabar, Bandung, 23 Februari. Kusbiantoro (2006b) Perencanaan Transportasi Umum, Seminar Upaya Peningkatan Kinerja Pelayanan Transportasi Umum, Universitas Bung Hatta, Padang, 14 Juni Kusbiantoro (2006c) Konsep Perencanaan Transportasi Jabodetabekjur, dalam Lokakarya Sinergi Penataan Ruang dan Revitalisasi Kerja sama antar Daerah di Wilayah Jabodetabekjur, Bappenas, Jakarta, 27 Maret Kusbiantoro (2006d) Pembangunan Infrastruktur: Suatu pemikiran, Lokakarya dan Seminar Pengembangan Manajemen Infrastruktur Indonesia yang Berkelanjutan, UGM, Yogyakarta, Februari

337 331 Kusumaatmadja, Mochtar (1986) Pembinaan Hukum dalam rangka Pembangunan Nasional. Bandung, Binacipta. Kuswartojo, Tjuk (2004) Mengembangkan Kualitas Hidup dengan Program Bangun Praja. Dalam Bangun Praja Program, 2rd edition. hal vii-xi. Leipziger, Danny et. Al. (2003) Achieving the Millennium Development Goals The Role of Infrastructure - World Bank Policy Research Working Paper Washington, World Bank. Leung, Hok Lin (1989) Land Use Planning Made Plain. Canada, Ronald P.Frye & Company. Lo, Fu-chen & Yue-Man Yeung (1998) Globalization and the World of Large Cities, UNU Press. Lo, Fu-Chen & Yue-Man Yeung (eds) (1996) Emerging World Cities in Pacific Asia, UNU. Mamas, Si Gde Made, & Rizky Komalasari. (akan datang). Dynamics of change and livability. Jakarta. McGee, T.G & I.M. Robinson, (eds) (1995) The Megaurban Regions of South East Asia. Vancouver, University of British Columbia Press. McGee, Terry (1998) Governing Mega-Urban Regions: The Case of Vancouver, dalam John Friedman, ed. (1998) Urban and Regional Governance in the Asia Pacific. Vancouver, Institute for Asian Research. Meneg Lingkungan Hidup Indonesia (2003) State of the Environment Indonesia Jakarta, Meneg LH. Meneg Lingkungan Hidup Indonesia (2004) State of the Environment Indonesia Jakarta, Meneg LH. Miles, Malcolm, et.al. (2000) The city cultures reader. Routledge, London. Mohamad, Kartono (2006) Rakyat Kecil, Kompas, Rabu, 26 April. Montgomery, M.R., R. Stren, B. Cohen,. H.E. Reed (eds.) (2003) Cities Transformed. Washington, National Academies Press. Morand-Deviller, Jacqueline (1992) Droit de l urbanisme. Paris, Mementos Dalloz Moule, Elizabeth (2002) The Charter of The New Urbanism dalam The Seaside Institute (2002) The Seaside Debates: A Critique of The New Urbanism. New York, Rizolli International Publications, Inc. Muhammad, H Bencana Ekologis dan Keberlanjutan Indonesia. kampanye/bencana/060728_benceko_li/>. [1 Agustus 2006] Naskah akademik RUU pengganti UU no 34 tahun 1999 National Research Council (2003) Cities Transformed. Washington D.C, The National Academic Press. Nazaruddin (1996) Penghijauan Kota. Jakarta, Swadaya. North, Douglass C (1998) Five Propositions about Institutional Change, dalam Knight, Jack & Itai Sened, eds. (1998) Explaining Social Institutions. The University of Michigan Press. ODPM (2004) Planning Policy Statement 12: Local Development Frameworks, HMSO, London. Diambil dari Oetomo, Andi. (2004) Pengembangan Fungsi Kelembagaan Metropolitan Bandung dalam Penyusunan Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kawasan Cekungan

338 332 Metropolitan di Indonesia Bandung. Departemen Pekerjaan Umum. Diskusi Teknis, Bandung 8 November Planning Officers' Society (2004) Polices for Spatial Plans: Consultation Draft, POS. Diambil dari Poloscia, Raffaele (ed.) (2004) The Contested metropolis. Berlin, Birkhauser. Potensi Desa 2000 Potensi Desa 2003 Price, Catherine W. (2000) Subsidies And The Reform Of Infrastructure Services - Infrastructure for Development: Private Solutions and the Poor. London, University of Warwick. Purnomohadi, Ning (1994) Pengelolaan RTH untuk Mengurangi Kualitas dan Kuantitas Pencemaran Udara, kasus studi Kota Jakarta. Konsep disertasi (tidak dipublikasi), FPS-IPB, Bogor Raffles. T.S. The History of Java. Vol. I & II. Oxford University Press Reksomarnoto, H.Moerdiman (2006) Megapolitan Jabodetabekjur, Gagasan Sutiyoso Menjawab Tantangan dan Perkembangan Ibukota Negara Jakarta, Pustaka Cerdasindo. Rimmer, P.J. (1996) Transport and Communications Interactions in Lo and Yeung. Robinson, I. M. (1995) Emerging Spatial Patterns in ASEAN Mega Urban Regions: Alternative Startegies in T.G. Mc Gee & Ira M. Robinson eds, The Mega-Urban regions of South East Asia, UBC Press. Rosan, C., B.R. Ruble., & J.S. Tulchin (2005) Urbanization, Population, Environment, and Security, A report of the Comparative Urban Studies Project. Washington, Wodrow Wilson International Centre for Scholar. Rukmana, Dadang (2001) Réforme Institutionnelle de la Métropole de Jabotabek (d une nécessaire mise en œuvre à une méthode d application). Thése pour obtenir le grade de Docteur en urbanisme et aménagement. Paris, Université Paris XII Val de Marne. Rukmana, Dadang (2004) Kajian Materi Muatan Rancangan Undang-Undang Perkotaan. Bahan Diskusi Awal disampaikan pada Diskusi di Bagian Hukum Setditjen Perkotaan dan Perdesaan, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Jakarta 16 Juli Rydin, Y. (1993) The British Planning System an Introduction. London, Macmillan. Sadikin, Ali (2003) Memimpin Pembangunan Kota dengan Konsep Community Development dan Perusahaan Besar, dalam Pembudayaan Tugas Pembangunan Perkotaan dalam Era Desentralisasi, Proceeding Diskusi Staf, Direktorat Jenderal tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Departemen Kimpraswil. Shane, David Grahame (2005) Recombinant Urbanism: Conceptual Modeling in Architecture, Urban Design, and City Theory, John Wiley, Chichester, 2005 Sieverts, Thomas (2003) Cities without Cities. New York, Spon press. Sigit, Hananto & Agus Sutanto (1983) Desa dan penduduk perkotaan menurut definisi perkotaan sensus penduduk 1971 dan 1980, in P.F. McDonald (ed.), Pedoman Analisa Data Sensus Australian Vice-Chancellor s Comitee, Canberra. Solomon, Daniel (2003) Global City Blues. Washington, Island Press. Spiegelman, H. (2006) Hope in Wasteland. Alternatives, 32(1): 8-12.

339 333 Staalduine, J.A. & M.T.T. Simons (2004) Environment and Space: Towards More Cohesion in Environmental and Spatial Policy. In Miller D. and De Roo, G. eds Integrating City Planning and Environmental Improvement: Practicable Strategies for Sustainable Urban Development, hal London, Ashgate. Stehr, S.D. (2006) The Political Economy of Urban Disaster Assistance. Urban Affairs Review, 41(4): Stevens, Theo (1986) The Indonesian City: Semarang, Central Java and the Wold Market. USA, Foris Publication. Suryadi, Charles (2004) Program Kota Sehat di Indonesia sebagai Bagian dari Pembangunan Kota yang Berkelanjutan. Pusat Penelitian Kesehatan UNIKA ATMAJAYA, Staf Bagian Kesehatan Masyarakat, FK Unika Atma Jaya. Susantono, Bambang (2006) Pembangunan Infrastruktur Indonesia, Paparan Dalam Seminar Manajemen Bisnis - Managing Infrastructure Business, Jakarta, Prasetya Mulya Business School Suselo, Hendropranoto (1991) Sutami Sosok Manusia Pembangunan. PRISMA, Edisi Khusus 20 Tahun Suselo, Hendropranoto (1994) Jabotabek or Pantura, A Case of an Expanded City, World Bank s Second Annual Conference on Environmentally Sustainable Development, Washington D.C.. Suselo, Hendropranoto (2003) Jabotabek dan Turunannya Sepanjang Sejarah, dalam Beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang di Indonesia Jakarta, Direktorat Jenderal Penataan Ruang. Suselo, Hendropranoto (2005) Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT), Awal Mula dan Perkembangannya, dalam Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21 Buku 1, Konsep, dan Pendekatan Pembangunan Perkotaan di Indonesia. Jakarta, URDI, YSS dan Lembaga Penerbit FE UI. Suselo, Hendropranoto, John L. Taylor & Emiel A Wegelin (1995) Indonesia s Urban Infrastructure Development Experience: Critical Lessons of Good Practice, UNCHS Habitat. Susser, Ida (2002) The Castells Reader on Cities and Social Theory. Oxford, Blackwell. Sutami (1980) Ilmu Wilayah. Dalam Beberapa Pemikiran untuk Pembangunan Nasional. Badan Penerbit PU. Talen, E. (2005) New Urbanism and American Planning, The Conflict of Cultures. New York, Routledge. The Seaside Institute (2002) The Seaside Debates: A Critique of The New Urbanism. New York, Rizolli International Publications, Inc. The World Bank & Oxford University (2005) World Development Report A Better Investment Climate for Everyone. New York, Oxford University Press. Tobing, Jonathan (2001) Kajian Pengaruh KIM dalam Redistribusi Penduduk Metropolitan Mebidang, Bandung, Tesis Magister PWK ITB U.S. Census Bureau (2006) Metropolitan Statistical Area. Diambil dari pada tanggal 18 Desember Uguy, M.H. (2006) Pengembangan Lingkungan Peri-Urban yang Menuju Keberlanjutan, Suatu Analisis tentang Urban Sprawl sebagai Akibat Suburbanisasi. Disertation PSIL UI.

340 334 Metropolitan di Indonesia UN-Habitat (2004) The State of the World s Cities 2004/2005. London and Sterling, VA: Earthscan dan UN-Habitat. UNHCS (2001) Cities in Globalising World, Global report on Human Settlements London, Earthscan. United nation (2002) World Urbanisation Prospect: 2001 Revision. Data tables and Highlights, United nations, Department of Economic and Social Affairs, Population Division, New York. URDI (2006) Strategi Penanganan Pembangunan Kawasan di Sekitar Kota Besar dan Metropolitan. Report to the PW-CK. Walhi (2004) The Jakarta Court is Misleading, Reclamation Continues. kampanye/pela/reklamasi/jakcourt_mislead/ [1 September 2006]. Wibowo, I. (2005) Akhir Neoliberalisme Sachs? Kompas, Senin, 24 Oktober. Winarso, Haryo (2005) City for the Rich. Makalah disampaikan dalam The 8 th APSA International Congress, Penang, Malaysia : September. Winarso, Haryo (1999) Private Residential Developers and the Spatial Structure of Jabodetabek, dalam Urban Growth and Development in Asia vol.i: Making the Cities, p Wirutomo, Paulus (2003) Rencana Umum Pembangunan Sosial Budaya, dalam Pemberdayaan Tugas Pembangunan Perkotaan dalam Era Desentralisasi, Proceeding Diskusi Staf, Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Departemen Kimpraswil. World Bank (1999) Entering the 21 st Century World Development Report 1999/2000. New York, Oxford University Press. World Bank (2003) Cities in Transition: Urban Sector Review in an Era of Decentralization in Indonesia, East Asia Working Paper Series, Dissemination Paper No. 7, Urban Sector Development Unit, Infrastructure Department, East Asia and Pacific Region. Yoshiteru, Nishikawa (2004) Parks and Green Space Administration in Japan. Director, Green Space Environment Enhancement Office, Parks and Green Space Division. City and Regional Development Bureau, Ministry of Land, Infrastructure and Transport, JAPAN.

341 Daftar Penulis 1. A. Hermanto Dardak: Bab 8, Arah Kebijakan Penataan Ruang 2. Andi Oetomo: Bab 7, Kelembagaan 3. Bambang Susantono dan Wahyu Utomo: Bab 6, Infrastruktur Dasar 4. Bambang Tata Samiadji: Bab 5, Ekonomi Perkotaan 5. B.S. Kusbiatoro: Bab 6, Transportasi 6. Budhy Tjahjati S. Soegijoko: Bab 6, Keterkaitan Desa-Kota 7. Dadang Rukmana: Bab 7, Hukum 8. Eko Budihardjo: Bab 5, Sosio Kultural 9. Haryo Winarso: Bab 1 Pendahuluan; Bab 2: Konsep dan Struktur Metropolitan; Bab 3, Perkembangan Kawasan Metropolitan; Bab 9, Penutup 10. Hendropranoto Suselo: Bab 4, Persoalan dan Tantangan Metropolitan di Indonesia 11. Johan Silas: Bab 6, Perumahan 12. Peter Gardiner dan Mayling Oey-Gardiner: Bab 5. Kependudukan 13. Srihartiningsih Purnomohadi: Bab 6, Ruang Terbuka Hijau 14. Teti Armiati Argo, Bab 6, Lingkungan 15. Wicaksono Sarosa: Bab 5, Globalisasi dan Metropolitan di Indonesia.

342 336 Metropolitan di Indonesia Biografi Penulis Biografi Tim Pengarah Nama : A. Hermanto Dardak Jabatan : Direktur Jenderal Penataan Ruang, Departemen PU Nama : Setia Budhy Algamar Jabatan : Sekretaris Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen PU Nama : I.F. Poernomosidhi Poerwohadikoesoemo Jabatan : Direktur Penataan Ruang Wilayah II, Ditjen Penataan Ruang, Departemen PU.

343 337 Nama : Iman Soedradjat Jabatan : Plt. Direktur Penataan Ruang Nasional, Ditjen Penataan Ruang, Departemen PU Biografi Tim Teknis Nama : Doni J. Widiantono Jabatan : Kasie Pedoman Penataan Ruang Provinsi, Subdit Pedoman Penataan Ruang, Direktorat Penataan Ruang Nasional, Ditjen Penataan Ruang, Departemen PU Nama : Firman Mulia Hutapea Jabatan : Kasubdit Pembinaan Perencanaan Tata Ruang Perkotaan dan Metropolitan, Direktorat Penataan Ruang Wilayah II, Ditjen Penataan Ruang, Departemen PU Nama : Lina Marlia Jabatan : Kasubdit Pedoman Penataan Ruang, Direktorat Penataan Ruang Nasional, Ditjen Penataan Ruang, Departemen PU Nama : Maman Djumantri Jabatan : Kasubdit Pedoman Pengembangan Kawasan, Direktorat Penataan Ruang Nasional, Ditjen Penataan Ruang, Departemen PU

344 338 Metropolitan di Indonesia Biografi Tim Penulis A. Hermanto Dardak lahir di Trenggalek pada tanggal 9 Januari Ia menyelesaikan pendidikan S-1 Teknik Sipil, ITB tahun Pendidikan S-2 Teknik Sipil dan S-3 bidang Transportasi Ekonomi diselesaikan di Universitas of NSW, Sydney, Australia tahun Perjalanan karirnya diawali di Departemen Pekerjaan Umum pada tahun Penulis sempat menjabat sebagai Kepala Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri, Sekditjen Bina Marga, Kakanwil PU di Kalsel, dan Kepala Pusat Kajian Kebijakan tahun , serta Staf Ahli Menteri Bidang Otonomi & Keterpaduan Pembangunan Daerah tahun di Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Kemudian mulai tahun 2005 hingga sekarang, penulis menjabat sebagai Direktur Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum. Dalam bidang organisasi, saat ini penulis sebagai Ketua Umum Ikatan Alumni Australia (IKAMA) dan Ketua Badan Kejuruan Sipil Persatuan Insinyur Indonesia (PII) serta anggota Dewan Riset Nasional. Penulis sempat mendapat berbagai penugasan antara lain sebagai delegasi RI pada Forum Infrastruktur Asia Pasifik (ASPAC) di India tahun 1995 dan ketua delegasi RI dalam Expert Meeting Infrastructure ASPAC di Malaysia tahun A. Hermanto Dardak ikut menyumbangkan tulisannya mengenai Arah Kebijakan Penataan Ruang di Bab 8. Andi Oetomo lahir di Yogyakarta pada tanggal 9 Oktober Ia menyelesaikan pendidikan S-1 pada tahun 1986 di Institut Teknologi Bandung (ITB) Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota dan pendidikan S-2 di Universitas Adelaide, Australia Selatan. Karier perjalanan penulis dimulai dari lembaga penelitian Planologi ITB pada tahun 1984 sebagai staf peneliti. Pada tahun 1986 bergabung menjadi staf peneliti di Lembaga Afiliasi Penelitian & Industri (LAPI)-ITB. Kemudian beliau berprofesi sebagai staf pengajar program studi (tahun 1988-sekarang) dan pascasarjana (1995-sekarang) perencanaan wilayah dan kota di Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, ITB. Keterlibatan penulis di dalam beberapa lembaga penelitian di ITB seperti Peneliti, Pusat Penelitian Pengembangan Wilayah dan Kota/P3WK ( ); Peneliti, Pusat Penelitian Kepariwisataan/P2PAR (1995-sekarang); Peneliti, Pusat Penelitian Kelautan/PPK ( ); Pusat Mitigasi Bencana (2003-sekarang), Pusat Pengembangan Pesisir Laut (2004-sekarang); Pusat Penelitian Pengembangan Wilayah dan Infrastruktur (2004-sekarang) serta Pusat Kebijakan Publik dan Kepemerintahan ITB (2005-sekarang). Andi Oetomo menyumbangkan tulisan mengenai Kelembagaan di Bab 7.

345 339 Bambang Susantono menyelesaikan pendidikan S-1 di Jurusan Teknik Sipil-Manajemen Konstruksi, ITB, pada tahun 1987, pendidikan S-2 di University of California Berkeley Jurusan City and Regional Planning tahun 1996 dan Jurusan Teknik Sipil-Transportasi tahun 1998, serta pendidikan S-3 di universitas yang sama dengan Jurusan Perencanaan Infrastruktur tahun Karier perjalanan penulis bermula dari tahun sebagai sekretaris umum the Sustainable Transportation action Network (SUSTRAN) Asia and the Pacific. Pada tahun 2000 sampai sekarang penulis juga merupakan dosen program S-2 fakultas teknik di Universitas Indonesia. Sejak tahun 2004 sampai sekarang, penulis berprofesi sebagai The President of Indonesian Transportation Society dan Senior Advisor to Minister of Coordinating Ministry for Economic Affairs (tahun 2005-sekarang). Selain itu, penulis juga ikut serta dalam beberapa organisasi yaitu American Society of Civil Engineers (ASCE), American Planning Association (APA), Institute of Transportation Engineers (ITE), Urban Land Institute (ULI), Urban Ecology, World Affairs Council. Sejak tahun 2000, penulis juga aktif sebagai pembicara dalam beberapa kegiatan forum seperti International Conference on Sustainable Transport and Clean Air, World Bank/ADB/USAID/USAEP, Jakarta, May 2000; Expert Panel Roundtable Discussion on Public Transportation. Institute for Energy Agency OECD. Paris, France, 6-8 June 2001; Clean City Vehicle, Institute for Energy Agency OECD, September 2002, PARIS; OECD Global Forum on International Investment, International Investor Participation in Infrastructure, OECD, Istanbul, Turkey, 6-7 November Beberapa tulisan yang pernah diterbitkan, antara lain, Landasan dan Strategi Kebijakan Pengembangan Infrastruktur Pedesaan (ISBN O-X), International Labor Organization (ILO) Coordinating Ministry for Economic Affairs; Pengembangan Infrastruktur Pedesaan; Problem dan Perspektif (ISBN ) International Labor Organization (ILO) Coordinating Ministry for Economic Affairs;1-2-3 Steps : Toward Sustainable Transportation. Indonesia Transportation Society.2004; serta Transportation and Development in Indonesia : Role, Challenge and Perspective Multi Aspects (forthcoming Fall 2005). Bambang Susantono bersama Wahyu Utomo menyumbangkan tulisan mengenai Infrastruktur Dasar di Bab 6 dalam buku ini. Bambang Tata Samiadji lahir di Madiun 3 Maret 1956, menyelesaikan pendidikan S-1 dari Jurusan Teknik Pembangunan Daerah dan Kota, ITB, tahun dan S-2 dari Sekolah Bisnis Prasetiya Mulya-Jakarta tahun Ia mempunyai pengalaman penelitian dan konsultansi selama 25 tahun di bidang pengembangan dan manajemen kota. Beberapa penelitian yang dilakukan penulis antara lain: Pola Keuangan Daerah Satu Tahun Otonomi Daerah (2002) dan Perkembangan Ekonomi Kota-kota Sebelum dan Pasca Krisis serta

346 340 Metropolitan di Indonesia Implikasi Pengembangannya (diterbitkan URDI, 2004); sedangkan beberapa tulisan yang dipublikasikan antara lain: Kota dan Bisnis Properti: Tinjauan Teoritis (Forum Manajemen Prasetiya Mulya, 1992), Pembangunan Perumahan dengan Sistem Sewa Lahan (PROPERTI INODONESIA, 1998); Teori Pengembangan Ekonomi Regional dan Implementasinya (URDI, 2003); Pendanaan Pembangunan Perkotaan (Bunga Rampai: Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21, Yayasan Sugijanto Soegijoko-URDI, 2005); dan banyak tulisan di media masa daerah seperti Serambi Indonesia (NAD) dan WASPADA (Medan) serta berbagai makalah sebagai pembicara dalam seminar. Saat ini, penulis bekerja sebagai konsultan free lancer untuk bidang manajemen kota, ekonomi regional, dan keuangan daerah. Bambang Tata Samiadji menyumbangkan tulisan mengenai Ekonomi Perkotaan di Bab 5. BS. Kusbiantoro lahir 3 Februari 1942 serta menyelesaikan pendidikan SD, SMP, dan SMA di Solo. Penulis memiliki hobi dalam bidang transportasi yang telah dirintis sejak menjalani pendidikan di perguruan tinggi. Semua tesis/research paper/disertasi S1/S2/S3 dalam bidang transportasi: Sistem Transportasi Darat di Djawa (Ir, ITB, 1970); Bandung: Travel Demand Analysis and Its Policy Implications (MA, UCLA, 1979); A Study of Urban Travel Analysis in LDCs (MSc, MIT, 1982); A Study on Measurement and Role of Quality Performance of Bus Companies (MA, U-Penn, 1985); A Study of Urban Mass Transit Performance: concept, measurement, and explanation (PhD, U- Penn, 1985). Demikian juga penulis telah mengikuti berbagai pelatihan transportasi, misalnya Urban Transportation Programs and Projects, EDI-World Bank, Washington, D.C., 1976; Urban Transportation, MIT, Cambridge-MA, 1978; Urban Transportation Planning System, UMTA-FHA, Chicago, Sebagai staf pengajar di ITB sejak 1970, penulis memberikan beberapa mata kuliah transportasi. Demikian pula penulis telah menjadi pembimbing utama tugas akhir/tesis/disertasi lebih dari 135 mahasiswa dan umumnya dengan topik penelitian transportasi. Jabatan terakhir penulis sebagai guru besar di ITB adalah Ketua KK Sistem Infrastruktur Wilayah dan Kota. Menjelang pensiun awal tahun 2007, penulis sedang menyelesaikan buku Memanusiakan Perencanaan Sistem Transportasi. Buku ini ditujukan terutama untuk masyarakat awam. BS. Kusbiantoro menyumbangkan tulisan mengenai Transportasi di Bab 5. Budhy Tjahjati S. Soegijoko lahir di Purwokerto pada tanggal 18 Mei Penulis menyelesaikan pendidikan S-1 di Institut Teknologi Bandung (ITB) Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota pada tahun Pendidikan S-2 diselesaikan pada tahun 1973 di School of Design, Harvard University, Cambridge, Massachusetts. Kemudian pada tahun 1977 meneruskan pendidikan S-3 di Massachusetts Institute of Technology, Cambridge,

347 341 Massachusetts khususnya di bidang urban studies and planning dan diselesaikan pada tahun Perjalanan karier penulis pertama kali sebagai Kepala Biro Sosial Ekonomi dan Tata Ruang di Bappenas pada tahun 1988 sampai Penulis juga pernah menjabat sebagai Asisten Menteri Negara PPN Bidang Peningkatan Peran serta Masyarakat dan Keterpaduan dalam Pembangunan pada tahun Pada tahun 1997 sampai 2001, penulis juga menjabat sebagai anggota MPR-RI. Sejak tahun 2002 sampai sekarang, beliau menjabat sebagai Direktur Eksekutif Senior Lembaga Komunikasi Pengembangan Perkotaan dan Daerah (Urban and Regional Development Institute/URDI). Di samping itu juga, beliau merupakan Guru Besar di ITB (sejak tahun 1996) dan anggota Dewan Riset Nasional (sejak tahun 1999). Budhy Tjahjati S. Soegijoko menyumbangkan tulisan mengenai Hubungan Desa-Kota di Bab 5. Dadang Rukmana lahir di Bandung pada tanggal 1 Juli 1965 menyelesaikan pendidikan S-1 di Universitas Padjajaran di bidang hukum dan melanjutkan pascasarjana (SP-1) di bidang New Town Development di Ecole Nationale des Travaux Publics de l'etat, Lyon, France Pendidikan S-2 penulis diselesaikan pada tahun 1998 di bidang Urban Management, Institut d'urbanisme de Paris, France dan pendidikan S-3 di bidang Urban Management, Universite de Paris XII, France, Penulis sempat menjabat sebagai Kepala Sub Bagian Kajian Kebijakan, Pusat Kajian Kebijakan, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah pada tahun Kemudian pada tahun 2003 sampai sekarang, beliau menjabat sebagai Kepala Bagian Hukum dan Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum. Penulis aktif dalam kegiatan mengajar di beberapa tempat antara lain pada Program Pasca Sarjana Pengembangan Wilayah dan Kota, Universitas Krisnadwipayana, Jakarta (2004 sekarang) dan pada Program Pascasarjana Pengembangan Wilayah dan Kota (kerja sama dengan institusi pendidikan pengembangan wilayah dan kota di Perancis), Universitas Diponegoro, Semarang (2006-sekarang). Dadang Rukmana menyumbangkan tulisan mengenai persoalan Hukum di Bab 7. Eko Budihardjo lahir di Purbalingga pada tanggal 9 Juni 1944 menempuh pendidikan S-1 di Universitas Gadjah Mada di bidang arsitektur tahun Pendidikan S-2 penulis ditempuh pada tahun di Departement of Town Planning, University of Wales Institute of Science and Technology, Cardiff, Inggris.

348 342 Metropolitan di Indonesia Karier perjalanan penulis pertama kali sebagai Sekretaris Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro (FT-UNDIP) pada tahun Kemudian penulis sempat menjabat sebagai Kepala Biro Bangunan UNDIP ( ) sebelum tugas belajar ke Inggris. Sepulang tugas tersebut, langsung menduduki jabatan sebagai Kepala Biro Penelitian FT UNDIP ( ) di samping juga sebagai Ketua Jurusan Arsitektur ( ). Pada tahun menjadi Pembantu Dekan I Bidang Akademis dan tahun 1993 dipromosikan sebagai Dekan Fakultas Teknik UNDIP yang dijabatnya dua kali masa jabatan. Tahun 1998 diangkat sebagai Rektor Universitas Diponegoro. Dalam bidang organisasi, penulis pernah menjabat sebagai Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) dan Ketua Ahli Ikatan Perencanaan (IAP) Cabang Jawa Tengah, dan Presiden Rotary Club Semarang. Jabatannya yang lain adalah sebagai Ketua Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Ketua Dewan Penasehat Arsitektur dan Pembangunan Kota serta sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Riset, Konsultasi, dan Pengembangan. Penulis juga telah memperoleh berbagai penghargaan antara lain sebagai Dosen Teladan UNDIP pada tahun 1981, Man of The year 1993 dari Suara Merdeka, Seroja Wibawa Nugraha dari Lemhannas tahun 1994, Bintang Emas Budaya dari Pusat Lembaga Kebudayaan Jawa tahun Ia memperoleh gelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) dari Mangkunegara IX, tahun 1995 karena kiprahnya dalam kegiatan budaya dan konservasi warisan bersejarah, Lentera Award dari Forum Wartawan Peduli Pendidikan Semarang (FORWARDS) tahun Semenjak tahun 1994, penulis terpilih sebagai anggota Dewan Riset Nasional (DRN) dan telah menerbitkan 22 buku dalam bidang arsitektur, perumahan, dan perkotaan, antara lain pada tahun 1997 Preservation and Conservation of Cultural Heritage in Indonesia (Gadjah Mada University Press, Yogyakarta); Lingkungan Binaan dan Tata Ruang Kota, (Penerbit Andi, Yogyakarta) dan Arsitektur sebagai Warisan Budaya, (Penerbit Djambatan, Jakarta) serta yang terakhir Kota yang Berkelanjutan, (Penerbit Alumni, Bandung 1999) dan Gayeng Semarang, (Penerbit Suara Merdeka, Semarang, 2000). Eko Budihardjo menyumbangkan tulisan mengenai Sosial-Kultural di Bab 5. ; Haryo Winarso lahir di Yogyakarta 14 April 1959, menyelesaikan pendidikan SD, SMP, SMA di Yogyakarta, pendidikan arsitektur di UGM dan menyelesaikan M.Eng. di AIT Bangkok. PhD dari Development Planning Unit, The Bartlett, University College London. Ia mempunyai pengalaman penelitian di beberapa negara Asia: Thailand, Malaysia, Singapura, dan Nepal. Saat ini menjabat sebagai Ketua Kelompok Keahlian Perencanaan dan Perancangan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung. Beberapa penelitian yang dilakukan antara lain: Pengembangan lahan informal di Cirebon, 2005, 2001, Energy Poverty and Sustainable Urban Livelihood bersama the DPU UCL dibiayai oleh DFID.; 2000 Rapid Spatial Planning for

349 343 Investment in Urban Services bersama, DPU, University College London; 2000, Good Practice in Core Area Development, bersama Westminster University, London; Keaktifan beliau dalam menulis buku dapat dilihat dari tulisan yang dipublikasikan antara lain: 2004, With B. Kombaitan, Public Intervention in the Formal Housing Market in Indonesia: Who gets the benefit? Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol 15, No 2, April;, 2003 Access to main roads or low cost land? Residential land developers' behaviour in Indonesia in Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde; Journal of the humanities and social sciences of Southeast Asia and Oceania. ; 2002, bersama Pradono, Denny Z. and Miming, M.,: Pemikiran dan Praktek Perencanaan dalam era Transformasi di Indonesia (Planning thought and practice in the transformation era in Indonesia). Department of Regional and City Planning-ITB; 2002, bersama Tommy Firman: 'Residential Land Development in Jabotabek : Triggering economic crisis?', Habitat International., Vol. 26 No 4; 2002, bersama Michael Mattingly: Spatial Planning in The Programming of Urban Investment: The Experience of Indonesia s Integrated Urban Infrastructure Investment Programme, International Development Planning Review. Vol. 24., No. 2; Innercity Redevelopment Strategy: The Role of Agents in The Development Process, A lesson from two cases in Indonesia in Third World Planning Review, V0l.21, No 4 Sebagai editor buku ini, Haryo Winarso dibantu oleh Delik Hudalah, ST., MT., MSc., Mahasiswa program Doktor Rijksuniversiteit Groningen dan Research Asscociate di Kelompok Keahlian Perencanaan dan Perancangan Kota, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, ITB. Selain sebagai editor, Haryo Winarso juga menulis dan mengkoordinasikan tulisan-tulisan di Bagian I yang disiapkan oleh Ivan Kurniadi, Novrida, Juweti Kharisma dan Astri Aulia, (kesemuanya adalah sarjana teknik dari Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota ITB dan asisten di Kelompok Keahlian Perencanaan dan Perancangan Kota-SAPPK ITB) serta Eko Budikurniawan ST., DEA. (Mahasiswa Doktoral, dari Paris VII). Selain menyumbangkan tulisan tulisan di Bagian I Kawasan Metropolitan: Konsep dan Definisi, Haryo Winarso juga menulis Bab 9 Penutup. Hendropanoto Suselo lahir pada tahun Ia adalah Penasihat Ahli Senior Perkotaan Direktorat Jenderal Cipta Karya sejak tahun 2003 sampai sekarang. Sebelumnya bergabung dengan Institute for Housing and Urban Studies, Rotterdam sejak Agustus 2000, dan sejak itu bertugas sebagai Senior Urban Policy Advisor pada Direktorat Jenderal Pengembangan Kota, Departemen Permukiman dan Pembangunan Wilayah atau Kimbangwil (sejak Agustus 2002 menjadi Direktorat Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah atau Kimpraswil ). Penulis bergabung dengan lembaga United Nations Center for Regional Development (UNCRD) di Nagoya, Jepang dari Juni 1995 sampai dengan Agustus Beliau lulus sebagai Sarjana Teknik Planologi, Institut Teknologi Bandung pada tahun 1965 dan memperoleh gelar Master of Public Works dari University

350 344 Metropolitan di Indonesia of Pittsburgh, Amerika Serikat pada tahun Sebelum bertugas di UNCRD, penulis adalah Staf Ahli Menteri Pekerjaan Umum Bidang Keterpaduan Pembangunan dan Planologi Kota. Ia bertugas sebagai Kepala Bagian Perancang (kemudian Perencanaan) Direktorat Jenderal Cipta Karya dari tahun 1974 sampai dengan 1984, dan kemudian bertugas sebagai Direktur Bina Program Cipta Karya dari tahun 1984 sampai dengan 1988, Direktur Tata Kota dan Tata Daerah dari tahun 1988 sampai dengan tahun Dalam kariernya sebagai pegawai negeri, penulis beberapa kali ikut serta dalam anggota delegasi Pemerintah R.I. untuk menegosiasikan proyek-proyek pengembangan perkotaan dengan Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, dan sering menjadi pembicara di dalam dan luar negeri tentang konsep P3KT (Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu), serta aktif dalam pelbagai kegiatan profesional di bidang perumahan dan perencanaan di Asia. Beliau adalah dosen dari pelbagai perguruan tinggi dan sering menjadi pembicara dalam pelbagai pertemuan nasional tentang perkotaan dan prasarana. Ia memperoleh tanda penghargaan dari Pemerintah R.I. berupa Lencana Satya Karya, Lencana Wira Karya dan Satya Lencana Pembangunan Hendropranoto Suselo menyumbangkan tulisan mengenai Persoalan dan Tantangan Metropolitan di Indonesia di Bab 4. Johan Silas lahir pada tanggal 24 Mei 1936 di Samarinda, menyelesaikan pendidikan S-1 pada tahun 1963 di Institut Teknologi Bandung di Jurusan Arsitektur. Pendidikan lain/ khusus yang diikuti meliputi Housing in Urban Development DPU/ UCL 1979; Housing, Building and Planning, IHS Rotterdam 1980; Research Methods, Vrije Universiteit Amsterdam 1980; Lain-lain tentang koperasi perumahan (Jepang), konservasi kota lama (Berlin/Aga Khan Award for Architecture), dan urban anthropology (Perancis). Beberapa penelitian yang dilakukan penulis umumnya tentang perumahan dan pemukiman warga kota berpenghasilan rendah, mulai tentang perbaikan kampung (komprehensif), rumah susun (sewa) sampai rekonstruksi kerusakan di Aceh/Nias. Selain itu, juga tentang penataan kota (Kuala Kencana) dan lingkungan hidup kota (staf khusus MenLH (Nabiel M). Perjalanan karier penulis bermula dari menjadi staf pengajar di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) pada tahun yang kemudian pada tahun dipercaya sebagai Ketua Laboratorium Perumahan dan Pemukiman ITS. Selain itu, beliau juga aktif menjadi delegasi RI ke berbagai pertemuan serta mendampingi Walikota Surabaya dalam berbagai pertemuan dan menjadi konsultan di PBB (Habitat), Bank Dunia (EDI), ADB, dan sebagainya. Sekarang beliau sudah pensiun sejak tanggal 1 Juni 2006 menjadi guru besar ITS. Pada tahun 2005, beliau mendapat penghargaan dari UNHABITAT atas riset dan pekerjaannya yang didedikasikan untuk penyediaan tempat tinggal bagi masyarakat miskin. Johan Silas menyumbangkan tulisan mengenai Perumahan di Bab 6.

351 345 Mayling Oey-Gardiner mendapatkan gelar master dari College of William and Mary dan Harvard University serta gelar Ph.D. dalam Demografi dari Australian National University. Penulis mendapatkan gelar profesor dari FE UI pada tahun Sejak tahun 1991 sampai sekarang, penulis bergabung dengan Insan Hitawasana Sejahtera (IHS) sebagai Direktur Eksekutif. IHS adalah perusahaan domestik yang khusus bergerak di bidang penelitian dan pelayanan konsultasi. Sebagai tambahan dalam menjalankan tanggung jawabnya, penulis juga merupakan peneliti senior yang turut ambil bagian dalam kapasitas substantif sebagai pimpinan tim dari proyek penelitian yang diadakan perusahaan. Lebih dari 20 tahun silam, penulis berprofesi sebagai peneliti senior dalam proyek penelitian di berbagai bidang mencakup isu-isu sosial, ekonomi dan demografi. Sejak 30 tahun terakhir, penulis juga menjadi staf pengajar bagi sarjana dan pascasarjana di bidang sosiologi, metode penelitian dan studi kependudukan di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE-UI). Beliau cukup sering memberikan kuliah khusus dengan topik sosial dan demografi baik untuk program sarjana dan pascasarjana di UI maupun universitas lainnya. Akhir-akhir ini, sebagai masyarakat yang menginginkan peran yang lebih besar dalam pemerintahan, beliau aktif terlibat dalam berbagai lembaga nonprofit dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang isu-isu gender (GPSP) dan antikorupsi (TI-I, Transparency International Indonesia). Mayling Oey menyumbangkan tulisan mengenai Kependudukan di Bab 5 sebagai penulis kedua. Peter Gardiner seorang Doctor yang telah berpengalaman lebih dari 35 tahun dalam analisis demografi dan sosial-ekonomi dengan lebih dari 30 tahun pengalaman di Indonesia. Sejak tahun 1991 sampai sekarang, Gardiner berprofesi sebagai Senior Technical Advisor di Insan Hitawasana Sejahtera (IHS), yaitu sebuah perusahaan konsultan dan penelitian di bidang sosial yang bertanggung jawab terhadap manajemen teknis dalam kegiatankegiatan penelitian yang diselenggaraan oleh perusahaan. Penulis memiliki pengalaman langsung dengan susunan data-data nasional dalam skala besartermasuk semua sensus-sensus utama dan survei-survei sosial-ekonomi yang diadakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia. Selain itu, penulis juga bekerja dengan data lokal, khususnya dalam pekerjaan perencanaan infrastruktur kota. Data-data tersebut digunakan sebagai basis perencanaan dan target pelayanan bagi penduduk kota yang miskin. Selanjutnya, penulis juga dilibatkan oleh BPS dalam merencanakan dan melaksanakan usaha pengumpulan data utama pada tahun 1970-an dan baru-baru ini dengan IHS, penulis dilibatkan dalam merencanakan dan melaksanakan pekerjaan survei yang diadakan oleh perusahaan tersebut. Penulis memiliki banyak pengalaman dalam perencanaan dan pembangunan sistem analisis indikator dan aplikasinya untuk mendukung perencanaan dan evaluasi pengembangan kota, baik untuk proyek National

352 346 Metropolitan di Indonesia Urban Development Strategy (NUDS) maupun pekerjaan lanjutan dalam perencanaan infrastruktur kota pada beberapa pusat-pusat kota utama di Indonesia. Peter Gardiner bersama Mayling Oey menyumbangkan tulisan mengenai Kependudukan di Bab 5. Srihartiningsih (Ning) Purnomohadi lahir di Banyuwangi 10 Januari Ia menyelesaikan pendidikan Sarjana Muda Arsitektur Pertamanan (BAP) dari Akademi Arsitektur Pertamanan Pemda DKI Jakarta Raya (AKAP Jaya) tahun 1968, S-1 (1978) Arsitektur Lansekap dan Teknologi Lingkungan-Universitas Trisakti Jakarta, S-2 (1985) dan S-3 (1995) Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Fakultas Pascasarjana, Jurusan PSL, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun , penulis menjadi asisten dosen mata kuliah tata hijau, merancang dan merencana arsitektur pertamanan dan dosen tetap di Sekolah Tinggi Arsitektur Pertamanan Indonesia (STAPI) yang diubah menjadi Fakultas Arsitektur Lansekap dan Teknologi Lingkungan, Universitas Trisakti ( ), dosen luar biasa ( ). Pada tahun 1978 menjadi pegawai negeri sipil pada Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (LH) yang sekarang menjadi Kementrian Negara Lingkungan Hidup (KLH). Pada tahun 2005, penulis pensiun dan sampai sekarang menjadi widyaiswara (nara sumber) pada Diklat peningkatan SDM- KLH Serpong-Tangerang, PTT di FPS-FMIPA-UI, Jurusan Ilmu Kelautan, Pengelolaan SD-Pesisir dan Laut. Sejak tahun 1979, penulis juga mengikuti berbagai diskusi mengenai arsitektur lansekap, lingkungan pesisir dan laut serta pengelolaan RTH di dalam dan luar negeri sebagai anggota Ikatan Profesi Arsitek Lansekap Indonesia (IALI) dan Majelis IALI (MALI). Beberapa tulisan, baik yang sudah maupun akan dipublikasikan, sebagian menyangkut Pengelolaan dan Pedoman RTH Kota yang diterbitkan oleh KLH, dan sekarang sedang mempersiapkan buku yang bekerja sama dengan Departemen PU berjudul RTH sebagai Unsur Utama Perencanaan Tata Ruang Kota Taman. Artikel hasil karya penulis yang pernah dimuat dalam surat kabar antara lain majalah lingkungan, EKISTIC, vol 61 (double issue) Nov 364/365, Jan/Feb 1994 berjudul The Landscape Design and Planning. Srihartiningsih (Ning) Purnomohadi menyumbangkan tulisan mengenai Ruang Terbuka Hijau di Bab 6. Teti Armiati Argo menyelesiakan pendidikan Ph.D di bidang Community and Regional Planning pada University of British Columbia-Kanada pada tahun Sementara itu, gelar MES (Environmental Studies) diperolehnya dari York University, di negara yang sama pada tahun Selain itu, gelar Sarjana Teknik diperolehnya dari Teknik Planologi ITB pada tahun Penulus memiliki minat dalam bidang Lingkungan Hidup dan Pengaruhnya dalam Pengembangan Masyarakat; Perencanaan Tata

353 347 Ruang berorientasi Lingkungan (Ecological Base for Spatial Planning); Ekologi Politik dan Konstruksi Sosial Alam (Social Construction of Nature); dan Karakter Pembangunan di Asia Timur. Teti Armiati Argo menyumbangkan tulisan mengenai Lingkungan di Bab 6. Wahyu Utomo lahir di Jakarta pada tanggal 11 Februari 1964, menyelesaikan pendidikan S-1 jurusan Teknik Sipil pada tahun 1987, pendidikan S-2 dan S-3 di bidang Regional Science tahun 1999 dan 2000 yaitu, Urban Planning di Sheffield University dan Private Sector Participation di University of Washington. Selain itu juga, penulis aktif mengikuti pelatihan maupun seminar baik di dalam maupun luar negeri antara lain Manajemen Proyek di Universitas Indonesia pada tahun Pada bulan Oktober tahun 1987, penulis memulai karirnya sebagai Staf Direktorat Bina Program di Departemen Pekerjaan Umum. Kemudian pada tanggal 12 Oktober 1991, penulis menjabat sebagai Kepala Staf Unit Proyek Pusat Pembina PMU P3KT. Pada bulan Agustus 1992 penulis menjabat sebagai Pimbagro Program PLP dan pada tahun 1993 menjabat sebagai Pimpro Program AB, PLP, Perumahan dan Permukiman. Sejak tanggal 10 Maret 2005, penulis menjabat sebagai Plt. Asisten Deputi Urusan IPW Kalimantan Sulawesi di Menko Bidang Perekonomian Pada Deputi V Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah. Pada tahun 2001, penulis mendapat penghargaan berupa Satya Lencana Karya Satya X. Wahyu Utomo menyumbangkan tulisan mengenai Infrastruktur Dasar di Bab 6 sebagai penulis kedua. Wicaksono Sarosa lahir pada tanggal 11 Oktober 1959, menyelesaikan pendidikan S-1 di Jurusan Arsitektur ITB pada tahun Kemudian dari tahun , penulis mendapatkan beasiswa dari Fullbright sehingga dapat melanjutkan sekolahnya di Amerika Serikat. Pada tahun 1993, penulis menyelesaikan pendidikan S-2 di University of California, USA dengan judul tesis The Dual Formal-Informal Growth of Jakarta: A Study of the Morphological Impacts of Economic Growth in Metropolis of the Developing World. Kemudian pada tahun 2001, ia menyelesaikan pendidikan S-3 di universitas yang sama dengan judul disertasi Infrastructure-based Community Development: Theories and Practices of Sustainable Development at the Lokal Level with a Participant-Observation of Three Pilot-Projects in Rural Villages of Java, Indonesia. Salah satu working paper yang ditulis dan telah dipublikasikan berjudul A Framework for the Analysis of Urban Sustainability: Linking Theory and Practice (Urban and Regional Development Paper Series 2002/2).

BAGIAN I KAWASAN METROPOLITAN: KONSEP DAN DEFINISI

BAGIAN I KAWASAN METROPOLITAN: KONSEP DAN DEFINISI BAGIAN I KAWASAN METROPOLITAN: KONSEP DAN DEFINISI 2 Metropolitan di Indonesia 1 Pendahuluan PERTUMBUHAN PENDUDUK Suatu laporan dari The Comparative Urban Studies Project di Woldrow Wilson pada tahun 2006

Lebih terperinci

Banyak Kota di Dunia Tidak Dapat Menyediakan Akses yang Layak ke Angkutan Massal Bagi Setengah Penduduknya

Banyak Kota di Dunia Tidak Dapat Menyediakan Akses yang Layak ke Angkutan Massal Bagi Setengah Penduduknya Press Release 18 Oktober 2016 Banyak Kota di Dunia Tidak Dapat Menyediakan Akses yang Layak ke Angkutan Massal Bagi Setengah Penduduknya Hanya 16% Penduduk Jabodetabek yang Mempunyai Akses Layak ke Angkutan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada tahun 1996, United Nations Centre for Human Programme (UNCHS/UN-HABITAT) untuk pertama kalinya mengembangkan Global Urban Indicator Program (GUIP). GUIP merupakan

Lebih terperinci

VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK

VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK Ketidakmerataan pembangunan yang ada di Indonesia merupakan masalah pembangunan regional dan perlu mendapat perhatian lebih. Dalam

Lebih terperinci

Perencanaan Pengembangan Wilayah - 4. Ruang, urbanisasi dan urbanisme

Perencanaan Pengembangan Wilayah - 4. Ruang, urbanisasi dan urbanisme Perencanaan Pengembangan Wilayah - 4 Ruang, urbanisasi dan urbanisme Sumber: Hermanislamet, Bondan, Teori Keruangan dan Pemanfaatan Ruang, TKP 615 MPKD 2003 Awal kota dan perkotaan (tradisi urban dan urban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki abad ke-21, bahan bakar fosil 1 masih menjadi sumber. energi yang dominan dalam permintaan energi dunia.

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki abad ke-21, bahan bakar fosil 1 masih menjadi sumber. energi yang dominan dalam permintaan energi dunia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Memasuki abad ke-21, bahan bakar fosil 1 masih menjadi sumber energi yang dominan dalam permintaan energi dunia. Dibandingkan dengan kondisi permintaan energi beberapa

Lebih terperinci

persoalan lingkungan kota.

persoalan lingkungan kota. MINGGU 6 Pokok Bahasan : Persoalan lingkungan perkotaan Sub Pokok Bahasan : a. Urbanisasi dan perkembangan kota b. Implikasi urbanisasi dan perkembangan kota terhadap persoalan lingkungan kota. c. Tantangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Proses pembangunan di Indonesia terus bergulir dan ekspansi pemanfaatan ruang terus berlanjut. Sejalan dengan ini maka pengembangan lahan terus terjadi dan akan berhadapan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1. Posisi Makro terhadap DKI Jakarta. Jakarta, Ibukota Indonesia, berada di daerah dataran rendah, bahkan di bawah permukaan laut yang terletak antara 6 12 LS and 106 48 BT.

Lebih terperinci

KETERKAITAN ANTARA KEMISKINAN PERKOTAAN DENGAN KESEHATAN LINGKUNGAN DI WILAYAH KABUPATEN TEGAL TUGAS AKHIR

KETERKAITAN ANTARA KEMISKINAN PERKOTAAN DENGAN KESEHATAN LINGKUNGAN DI WILAYAH KABUPATEN TEGAL TUGAS AKHIR KETERKAITAN ANTARA KEMISKINAN PERKOTAAN DENGAN KESEHATAN LINGKUNGAN DI WILAYAH KABUPATEN TEGAL TUGAS AKHIR Oleh: LUTFI FADLI L2D 004 332 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bandung merupakan Ibukota Provinsi Jawa Barat dengan jumlah penduduk berdasarkan proyeksi sensus penduduk tahun 2012 yaitu 2,455,517 juta jiwa, dengan kepadatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya merupakan modal dasar pembangunan yang perlu digali dan dimanfaatkan dengan memperhatikan karakteristiknya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Sujarto (dalam Erick Sulestianson, 2014) peningkatan jumlah penduduk yang tinggi dan perpindahan penduduk ke daerah perkotaan, merupakan penyebab utama pesatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk yang hidup dan tinggal di daerah kota tersebut. Penduduk yang

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk yang hidup dan tinggal di daerah kota tersebut. Penduduk yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan sebuah kota sangat erat kaitannya dengan jumlah penduduk yang hidup dan tinggal di daerah kota tersebut. Penduduk yang banyak dan berkualitas

Lebih terperinci

Menakar Kinerja Kota Kota DiIndonesia

Menakar Kinerja Kota Kota DiIndonesia Menakar Kinerja Kota Kota DiIndonesia Oleh Doni J Widiantono dan Ishma Soepriadi Kota-kota kita di Indonesia saat ini berkembang cukup pesat, selama kurun waktu 10 tahun terakhir muncul kurang lebih 31

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM KOTA TANGERANG SELATAN

GAMBARAN UMUM KOTA TANGERANG SELATAN GAMBARAN UMUM KOTA TANGERANG SELATAN Letak Geografis dan Luas Wilayah Kota Tangerang Selatan terletak di timur propinsi Banten dengan titik kordinat 106 38-106 47 Bujur Timur dan 06 13 30 06 22 30 Lintang

Lebih terperinci

STUDI MANAJEMEN ESTAT PADA KAWASAN SUPERBLOK MEGA KUNINGAN, JAKARTA (Studi Kasus: Menara Anugrah dan Bellagio Residences) TUGAS AKHIR

STUDI MANAJEMEN ESTAT PADA KAWASAN SUPERBLOK MEGA KUNINGAN, JAKARTA (Studi Kasus: Menara Anugrah dan Bellagio Residences) TUGAS AKHIR STUDI MANAJEMEN ESTAT PADA KAWASAN SUPERBLOK MEGA KUNINGAN, JAKARTA (Studi Kasus: Menara Anugrah dan Bellagio Residences) TUGAS AKHIR Oleh: DIAN RETNO ASTUTI L2D 004 306 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA Keadaan Geografis dan Kependudukan

GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA Keadaan Geografis dan Kependudukan 41 IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA 4.1. Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Jakarta adalah ibu kota Negara Indonesia dan merupakan salah satu Provinsi di Pulau Jawa. Secara geografis, Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. besar, dimana kondisi pusat kota yang demikian padat menyebabkan terjadinya

BAB I PENDAHULUAN. besar, dimana kondisi pusat kota yang demikian padat menyebabkan terjadinya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan perkotaan sekarang ini terasa begitu cepat yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang semakin tinggi. Hal ini terutama terjadi di kotakota besar, dimana

Lebih terperinci

BAB III RENCANA STRUKTUR TATA RUANG KAWASAN PERKOTAAN METROPOLITAN

BAB III RENCANA STRUKTUR TATA RUANG KAWASAN PERKOTAAN METROPOLITAN BAB III RENCANA STRUKTUR TATA RUANG KAWASAN PERKOTAAN METROPOLITAN 3.1. Umum Besaran muatan Kawasan Perkotaan berbeda atas dasar tuntutan fungsi dan peran kawasan perkotaan tersebut sebagai Pusat Kegiatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan transportasi sangat diperlukan dalam pembangunan suatu negara ataupun daerah. Dikatakan bahwa transportasi sebagai urat nadi pembangunan kehidupan politik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah 17.506 pulau besar dan kecil, dengan total garis pantai yang diperkirakan mencapai 81.000 Km, Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung dalam beberapa tahun terakhir ini telah mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung dalam beberapa tahun terakhir ini telah mengalami 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota Bandung dalam beberapa tahun terakhir ini telah mengalami perkembangan yang luar biasa. Perkembangan yang dimaksud terlihat pada aspek ekonomi dan sosial

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Seiring dengan perkembangan waktu selalu disertai dengan peningkatan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Seiring dengan perkembangan waktu selalu disertai dengan peningkatan 102 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Seiring dengan perkembangan waktu selalu disertai dengan peningkatan jumlah penduduk perkotaan serta meningkatnya tuntutan kebutuhan hidup dalam aspek-aspek

Lebih terperinci

BAB 2 LATAR BELAKANG dan PERUMUSAN PERMASALAHAN

BAB 2 LATAR BELAKANG dan PERUMUSAN PERMASALAHAN 6 BAB 2 LATAR BELAKANG dan PERUMUSAN PERMASALAHAN 2.1. Latar Belakang Kemacetan lalu lintas adalah salah satu gambaran kondisi transportasi Jakarta yang hingga kini masih belum bisa dipecahkan secara tuntas.

Lebih terperinci

MENGENCANGKAN SABUK HIJAU JAKARTA: BELAJAR DARI SEOUL

MENGENCANGKAN SABUK HIJAU JAKARTA: BELAJAR DARI SEOUL Qodarian Pramukanto's Blog MENGENCANGKAN SABUK HIJAU JAKARTA: BE http://qpramukanto.staff.ipb.ac.id/essay/%e2%80%9cmengencangkan%e2%80%9d-sabuk-hijau-jak a MENGENCANGKAN SABUK HIJAU JAKARTA: BELAJAR

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP VI.1. Temuan Studi

BAB VI PENUTUP VI.1. Temuan Studi BAB VI PENUTUP Pada bab terakhir ini dipaparkan beberapa hal sebagai bagian penutup, yakni mengenai temuan studi, kesimpulan, rekomendasi, kelemahan studi serta saran studi lanjutan. VI.1. Temuan Studi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang

PENDAHULUAN. banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan dunia era sekarang ini begitu cepat, ditandai dengan banyaknya daerah yang dulunya desa telah menjadi kota dan daerah yang sebelumnya kota telah berkembang menjadi

Lebih terperinci

Perubahan Regional (Urbanisasi dalam Perencanaan Wilayah)

Perubahan Regional (Urbanisasi dalam Perencanaan Wilayah) Perubahan Regional (Urbanisasi dalam Perencanaan Wilayah) Permalahan : Persebaran (distribusi) dan kesenjangan (disparitas) penduduk yang terlalu besar antara desa dengan kota dapat menimbulkan berbagai

Lebih terperinci

V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5. 1. Letak Geografis Kota Depok Kota Depok secara geografis terletak diantara 106 0 43 00 BT - 106 0 55 30 BT dan 6 0 19 00-6 0 28 00. Kota Depok berbatasan langsung dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Perkembangan Kota Branch (1996), mengatakan bahwa perkembangan suatu kota dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pada kota-kota metropolitan, perkembangan sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk yang diikuti dengan meluasnya kegiatan ekonomi perkotaan. Tingginya pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan

PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan sumberdaya yang ada dalam rangka memberikan kontribusi untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Perubahan iklim akibat pemanasan global saat ini menjadi sorotan utama berbagai masyarakat dunia. Perubahan iklim dipengaruhi oleh kegiatan manusia berupa pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap pembangunan menimbulkan suatu dampak baik itu dampak terhadap ekonomi, kehidupan sosial, maupun lingkungan sekitar. DKI Jakarta sebagai kota dengan letak yang

Lebih terperinci

EVALUASI KESESUAIAN FAKTOR FAKTOR PENDUKUNG LOKASI DAN FUNGSI PUSAT KOTA PADA KOTA PINGGIRAN METROPOLITAN ( STUDI KASUS : KOTA MRANGGEN) TUGAS AKHIR

EVALUASI KESESUAIAN FAKTOR FAKTOR PENDUKUNG LOKASI DAN FUNGSI PUSAT KOTA PADA KOTA PINGGIRAN METROPOLITAN ( STUDI KASUS : KOTA MRANGGEN) TUGAS AKHIR EVALUASI KESESUAIAN FAKTOR FAKTOR PENDUKUNG LOKASI DAN FUNGSI PUSAT KOTA PADA KOTA PINGGIRAN METROPOLITAN ( STUDI KASUS : KOTA MRANGGEN) TUGAS AKHIR Oleh: SENO HARYO WIBOWO L2D 098 464 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perencanaan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perencanaan 1.1 Latar Belakang Perencanaan BAB I PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, hal ini dilihat dari banyaknya pulau yang tersebar di seluruh wilayahnya yaitu 17.504

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan dinamika daerah menuju kemajuan yang diinginkan masyarakat. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dalam memajukan kondisi sosial,

Lebih terperinci

Urbanisasi dalam Perencanaan Wilayah

Urbanisasi dalam Perencanaan Wilayah Urbanisasi dalam Perencanaan Wilayah Permalahan : Persebaran (distribusi) dan kesenjangan (disparitas) penduduk yang terlalu besar antara desa dengan kota dapat menimbulkan berbagai permasalahan kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan pendapatan perkapita sebuah

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi DESA - KOTA : 2. A. PENGERTIAN KOTA a. Peraturan Menteri Dalam Negeri RI No. 4 Tahun b. R. Bintarto B.

GEOGRAFI. Sesi DESA - KOTA : 2. A. PENGERTIAN KOTA a. Peraturan Menteri Dalam Negeri RI No. 4 Tahun b. R. Bintarto B. GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 17 Sesi NGAN DESA - KOTA : 2 A. PENGERTIAN KOTA a. Peraturan Menteri Dalam Negeri RI No. 4 Tahun 1980 Kota terdiri atas dua bagian. Pertama, kota sebagai suatu

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN WILAYAH YANG TIDAK SEIMBANG (UNEQUAL DEVELOPMENT OF REGIONS)

PEMBANGUNAN WILAYAH YANG TIDAK SEIMBANG (UNEQUAL DEVELOPMENT OF REGIONS) 9 BAB 2 PEMBANGUNAN WILAYAH YANG TIDAK SEIMBANG (UNEQUAL DEVELOPMENT OF REGIONS) SEBAGAI SALAH SATU DAMPAK DARI PROSES MAKRO GLOBALISASI (MACROPROCESS OF GLOBALIZATION) 2.1 Globalisasi Munculnya arus migrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi dapat menjadi masalah yang cukup serius bagi kita apabila pemerintah tidak dapat mengatur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (UN, 2001). Pertumbuhan populasi dunia yang hampir menyentuh empat kali lipat

BAB I PENDAHULUAN. (UN, 2001). Pertumbuhan populasi dunia yang hampir menyentuh empat kali lipat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang UNDP (2014) dalam laporan tahunannya Human Development Reports menyebutkan bahwa populasi penduduk dunia saat ini sebesar 7,612 milyar penduduk sedangkan pada tahun

Lebih terperinci

+ KOTA-KOTA YANG STAGNAN DAN TUMBUH CEPAT

+ KOTA-KOTA YANG STAGNAN DAN TUMBUH CEPAT + KOTA-KOTA YANG STAGNAN DAN TUMBUH CEPAT 1 n Kota-kota besar dunia mengalami stagnasi ekonomi (Forbes, 2010) n New York, London, Paris, Hong Kong dan Tokyo n Seoul, Shanghai, Singapore, Beijing, Delhi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 2000 persentase penduduk kota di Negara Dunia Ketiga telah

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun 2000 persentase penduduk kota di Negara Dunia Ketiga telah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak tahun 2000 persentase penduduk kota di Negara Dunia Ketiga telah mencapai 40,7% (Maran, 2003). Di Indonesia, persentase penduduk kota mencapai 42,4% pada tahun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang pendahuluan yang merupakan bagian

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang pendahuluan yang merupakan bagian 1 BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas tentang pendahuluan yang merupakan bagian awal dari penelitian. Pendahuluan adalah awal suatu cara untuk mengetahui suatu masalah dengan cara mengumpulkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adanya ketimpangan dan ketidakmerataan. Salah satu penyebabnya adalah

I. PENDAHULUAN. adanya ketimpangan dan ketidakmerataan. Salah satu penyebabnya adalah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan yang sering dihadapi dalam perencanaan pembangunan adalah adanya ketimpangan dan ketidakmerataan. Salah satu penyebabnya adalah penyebaran investasi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang menimbulkan ketimpangan dalam pembangunan (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya makin kaya sedangkan

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI JENIS PENGGUNAAN LAHAN PESISIR SEMARANG TUGAS AKHIR. Oleh: ARI KRISTIANTI L2D

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI JENIS PENGGUNAAN LAHAN PESISIR SEMARANG TUGAS AKHIR. Oleh: ARI KRISTIANTI L2D FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI JENIS PENGGUNAAN LAHAN PESISIR SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: ARI KRISTIANTI L2D 098 410 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pentingnya peran energi dalam kebutuhan sehari-hari mulai dari zaman dahulu

BAB I PENDAHULUAN. Pentingnya peran energi dalam kebutuhan sehari-hari mulai dari zaman dahulu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Topik tentang energi saat ini menjadi perhatian besar bagi seluruh dunia. Pentingnya peran energi dalam kebutuhan sehari-hari mulai dari zaman dahulu hingga sekarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan penduduk kota kota di Indonesia baik sebagai akibat pertumbuhan penduduk maupun akibat urbanisasi telah memberikan indikasi adanya masalah perkotaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kota menawarkan berbagai ragam potensi untuk mengakumulasi aset

BAB I PENDAHULUAN. Kota menawarkan berbagai ragam potensi untuk mengakumulasi aset BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota menawarkan berbagai ragam potensi untuk mengakumulasi aset sosial, ekonomi, dan fisik. Kota berpotensi memberikan kondisi kehidupan yang sehat dan aman, gaya hidup

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN PERKOTAAN BERKELANJUTAN

PEMBANGUNAN PERKOTAAN BERKELANJUTAN STRATEGI PEMBANGUNAN PERKOTAAN BERKELANJUTAN UNDP INDONESIA STRATEGI PEMBANGUNAN PERKOTAAN BERKELANJUTAN UNDP INDONESIA Agenda Perserikatan Bangsa-Bangsa 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan Indikator

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM NEGARA JEPANG. Kepulauan Jepang yang terletak lepas pantai timur benua Asia,

BAB II GAMBARAN UMUM NEGARA JEPANG. Kepulauan Jepang yang terletak lepas pantai timur benua Asia, BAB II GAMBARAN UMUM NEGARA JEPANG 2.1. Letak Geografis Kepulauan Jepang yang terletak lepas pantai timur benua Asia, membentang seperti busur yang ramping sepanjang 3.800 KM. Luas totalnya adalah 377.815

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. kembali adalah upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan cara

BAB 2 LANDASAN TEORI. kembali adalah upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan cara BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Redevelopment Redevelopment atau yang biasa kita kenal dengan pembangunan kembali adalah upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan cara mengganti sebagian dari,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pada era modern seperti sekarang ini, alat transportasi merupakan suatu kebutuhan bagi setiap individu. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendukung perkembangan

Lebih terperinci

2.4. Permasalahan Pembangunan Daerah

2.4. Permasalahan Pembangunan Daerah 2.4. Permasalahan Pembangunan Daerah Permasalahan pembangunan daerah merupakan gap expectation antara kinerja pembangunan yang dicapai saat inidengan yang direncanakan serta antara apa yang ingin dicapai

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

IV. KONDISI UMUM WILAYAH 29 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 LS dan 104 48-104 48 BT dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai faktor-faktor yang tidak hanya berasal dari faktor demografi saja

BAB I PENDAHULUAN. mengenai faktor-faktor yang tidak hanya berasal dari faktor demografi saja BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kependudukan adalah studi yang membahas struktur dan proses kependudukan yang terjadi di suatu wilayah yang kemudian dikaitkan dengan aspek-aspek non demografi. Struktur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kota Bandung, merupakan sebuah kota metropolitan dimana didalamnya terdapat beragam aktivitas kehidupan masyarakat. Perkembangan kota Bandung sebagai kota metropolitan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Perkembangan fisik yang paling kelihatan adalah perubahan penggunaan

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Perkembangan fisik yang paling kelihatan adalah perubahan penggunaan BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1. Kesimpulan 1. Perkembangan fisik Kota Taliwang tahun 2003-2010 Perkembangan fisik yang paling kelihatan adalah perubahan penggunaan lahan dari rawa, rumput/tanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan dengan pertambahan aktivitas yang ada di kota, yaitu khususnya dalam kegiatan sosial-ekonomi. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PERDAGANGAN INDONESIA KE ASEAN PLUS THREE

BAB IV GAMBARAN UMUM PERDAGANGAN INDONESIA KE ASEAN PLUS THREE BAB IV GAMBARAN UMUM PERDAGANGAN INDONESIA KE ASEAN PLUS THREE 4.1. Kerjasama Ekonomi ASEAN Plus Three Kerjasama ASEAN dengan negara-negara besar di Asia Timur atau lebih dikenal dengan istilah Plus Three

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan energi dunia akan semakin besar seiring dengan pesatnya perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap terpenuhi agar roda

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengurangan tingkat..., Arini Yunita, FE UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengurangan tingkat..., Arini Yunita, FE UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN Salah satu permasalahan kota Jakarta yang hingga kini masih belum terpecahkan adalah kemacetan lalu lintas yang belakangan makin parah kondisinya. Ini terlihat dari sebaran lokasi kemacetan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP LAMPIRAN II PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN PROVINSI

Lebih terperinci

Gambar 5.30 Peta Jalur Transportasi Publik Kawasan Manggarai Gambar 5.31 Peta rencana Jalur Transportasi Publik Kawasan Manggarai...

Gambar 5.30 Peta Jalur Transportasi Publik Kawasan Manggarai Gambar 5.31 Peta rencana Jalur Transportasi Publik Kawasan Manggarai... Gambar 5.30 Peta Jalur Transportasi Publik Kawasan Manggarai... 114 Gambar 5.31 Peta rencana Jalur Transportasi Publik Kawasan Manggarai... 115 Gambar 5.32 Kondisi Jalur Pedestrian Penghubung Stasiun dan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak Geografis dan Batas Administrasi Kabupaten di Wilayah BARLINGMASCAKEB Wilayah BARLINGMASCAKEB terdiri atas Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Purbalingga,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Negara di Dunia Periode (%)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Negara di Dunia Periode (%) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia pada periode 24 28 mulai menunjukkan perkembangan yang pesat. Kondisi ini sangat memengaruhi perekonomian dunia. Tabel 1 menunjukkan

Lebih terperinci

Perilaku Pergerakan Masyarakat Perkotaan Dalam Proses Urbanisasi Wilayah di Kabupaten Tegal TUGAS AKHIR. Oleh: TITI RATA L2D

Perilaku Pergerakan Masyarakat Perkotaan Dalam Proses Urbanisasi Wilayah di Kabupaten Tegal TUGAS AKHIR. Oleh: TITI RATA L2D Perilaku Pergerakan Masyarakat Perkotaan Dalam Proses Urbanisasi Wilayah di Kabupaten Tegal TUGAS AKHIR Oleh: TITI RATA L2D 004 357 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penduduk dapat ditampung dalam ruang-ruang sarana sosial dan ekonomi, tetapi tidak akan berjalan dengan baik tanpa didukung oleh pelayanan infrastruktur yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemajuan yang diperoleh Bangsa Indonesia selama tiga dasawarsa pembangunan ternyata masih menyisakan berbagai ketimpangan, antara lain berupa kesenjangan pendapatan dan

Lebih terperinci

POLA PERGERAKAN KOMUTER BERDASARKAN PELAYANAN SARANA ANGKUTAN UMUM DI KOTA BARU BUMI SERPONG DAMAI TUGAS AKHIR

POLA PERGERAKAN KOMUTER BERDASARKAN PELAYANAN SARANA ANGKUTAN UMUM DI KOTA BARU BUMI SERPONG DAMAI TUGAS AKHIR POLA PERGERAKAN KOMUTER BERDASARKAN PELAYANAN SARANA ANGKUTAN UMUM DI KOTA BARU BUMI SERPONG DAMAI TUGAS AKHIR Oleh: NOVI SATRIADI L2D 098 454 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA 4.1. Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua Provinsi Papua terletak antara 2 25-9 Lintang Selatan dan 130-141 Bujur Timur. Provinsi Papua yang memiliki luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5% per tahun. Namun

BAB I PENDAHULUAN. berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5% per tahun. Namun 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebijakan pembangunan ekonomi yang ditempuh pada masa lalu ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam arti yang seluasluasnya. Kemajuan dalam kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan pelayanan mendasar bagi masyarakat kota. Sejalan dengan fungsi ini,

BAB I PENDAHULUAN. merupakan pelayanan mendasar bagi masyarakat kota. Sejalan dengan fungsi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prasarana kota berfungsi untuk mendistribusikan sumber daya perkotaan dan merupakan pelayanan mendasar bagi masyarakat kota. Sejalan dengan fungsi ini, kualitas dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Oleh karena itu,bukan suatu pandangan yang aneh bila kota kota besar di

BAB I PENDAHULUAN. lainnya. Oleh karena itu,bukan suatu pandangan yang aneh bila kota kota besar di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota di Indonesia merupakan sumber pengembangan manusia atau merupakan sumber konflik sosial yang mampu mengubah kehidupan dalam pola hubungan antara lapisan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara. Jumlah

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara. Jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Atika Permatasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Atika Permatasari, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu masalah kependudukan yang saat ini banyak dihadapi oleh banyak negara berkembang termasuk Indonesia adalah pertambahan penduduk yang relatif cepat.

Lebih terperinci

Menuju Pembangunan Permukiman yang Berkelanjutan

Menuju Pembangunan Permukiman yang Berkelanjutan Menuju Pembangunan Permukiman yang Berkelanjutan Urbanisasi dan Pentingnya Kota Tingginya laju urbanisasi menyebabkan semakin padatnya perkotaan di Indonesia dan dunia. 2010 2050 >50% penduduk dunia tinggal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1 Dalam rangka mengatasi masalah tersebut, Pemerintah melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.

I. PENDAHULUAN. 1 Dalam rangka mengatasi masalah tersebut, Pemerintah melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan penduduk merupakan fenomena yang menjadi potensi sekaligus permasalahan dalam pembangunan berkelanjutan. Hal tersebut terkait dengan kebutuhan ruang untuk

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1 TINJAUAN UMUM

Bab I Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1 TINJAUAN UMUM Bab I Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1 TINJAUAN UMUM Jaringan jalan merupakan salah satu prasarana untuk meningkatkan laju pertumbuhan perekonomian suatu daerah. Berlangsungnya kegiatan perekonomian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30). Dikemukakan juga oleh Sumadi (2003:1) dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30). Dikemukakan juga oleh Sumadi (2003:1) dalam II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Geografi Dari asal katanya, geografi berasal dari kata geo yang berarti bumi, dan graphein yang berarti lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30).

Lebih terperinci

menjadi katalisator berbagai agenda ekonomi Cina dengan negara kawasan Indocina yang semuanya masuk dalam agenda kerja sama Cina-ASEAN.

menjadi katalisator berbagai agenda ekonomi Cina dengan negara kawasan Indocina yang semuanya masuk dalam agenda kerja sama Cina-ASEAN. BAB V KESIMPULAN Kebangkitan ekonomi Cina secara signifikan menguatkan kemampuan domestik yang mendorong kepercayaan diri Cina dalam kerangka kerja sama internasional. Manuver Cina dalam politik global

Lebih terperinci

Kriteria angka kelahian adalah sebagai berikut.

Kriteria angka kelahian adalah sebagai berikut. PERKEMBANGAN PENDUDUK DAN DAMPAKNYA BAGI LINGKUNGAN A. PENYEBAB PERKEMBANGAN PENDUDUK Pernahkah kamu menghitung jumlah orang-orang yang ada di lingkunganmu? Populasi manusia yang menempati areal atau wilayah

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Indonesia adalah negara agraris dimana mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Berbagai hasil pertanian diunggulkan sebagai penguat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. transportasi dan komunikasi yang sangat diandalkan dalam mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. transportasi dan komunikasi yang sangat diandalkan dalam mewujudkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelayaran antar pulau di Indonesia merupakan salah satu sarana transportasi dan komunikasi yang sangat diandalkan dalam mewujudkan pembangunan nasional yang berwawasan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Kondisi Geografis dan Kondisi Alam 1. Letak dan Batas Wilayah Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi yang ada di pulau Jawa, letaknya diapit oleh dua provinsi besar

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1

BAB I PENDAHULUAN. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Judul dan Pengertian Judul 1. Judul Jakarta Integrated Urban Farm 2. Pengertian Judul Jakarta merupakan ibu kota Indonesia, daerah ini dinamakan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mengalami proses pembangunan perkotaan yang pesat antara tahun 1990 dan 1999, dengan pertumbuhan wilayah perkotaan mencapai 4,4 persen per tahun. Pulau Jawa

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS ISU STRATEGIS

BAB III ANALISIS ISU STRATEGIS BAB III ANALISIS ISU STRATEGIS 3.1 Identifikasi Faktor Lingkungan Berdasarkan Kondisi Saat Ini sebagaimana tercantum dalam BAB II maka dapat diidentifikasi faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota-kota besar di negara-negara berkembang umumnya mengalami laju

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota-kota besar di negara-negara berkembang umumnya mengalami laju BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota-kota besar di negara-negara berkembang umumnya mengalami laju pertumbuhan penduduk yang pesat sebagai akibat dari faktor-faktor alami yaitu kelahiran dan terutama

Lebih terperinci

18 Desember STRATEGI PEMBANGUNAN METROPOLITAN Sebagai Pusat Kegiatan Global yang Berkelanjutan

18 Desember STRATEGI PEMBANGUNAN METROPOLITAN Sebagai Pusat Kegiatan Global yang Berkelanjutan 18 Desember 2013 STRATEGI PEMBANGUNAN METROPOLITAN Sebagai Pusat Kegiatan Global yang Berkelanjutan Deputi Gubernur Provinsi DKI Jakarta Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup 18 Desember 2013 Peran Jakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan pembangunan nasional suatu negara yakni melalui jumlah dan

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan pembangunan nasional suatu negara yakni melalui jumlah dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian suatu negara dapat tercermin melalui jumlah penduduk dan pendapatan perkapita di suatu negara. Penduduk merupakan salah satu faktor keberhasilan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perumahan dan pemukiman merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peranan strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina dan dikembangkan

Lebih terperinci

EVALUASI STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN PERUMAHAN MELALUI PENDEKATAN URBAN REDEVELOPMENT DI KAWASAN KEMAYORAN DKI JAKARTA TUGAS AKHIR

EVALUASI STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN PERUMAHAN MELALUI PENDEKATAN URBAN REDEVELOPMENT DI KAWASAN KEMAYORAN DKI JAKARTA TUGAS AKHIR EVALUASI STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN PERUMAHAN MELALUI PENDEKATAN URBAN REDEVELOPMENT DI KAWASAN KEMAYORAN DKI JAKARTA TUGAS AKHIR Oleh : MANDA MACHYUS L2D 002 419 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Lebih terperinci

: Pendekatan ekologi terhadap tata guna lahan. b. Pemakaian Lahan Kota Secara Intensif

: Pendekatan ekologi terhadap tata guna lahan. b. Pemakaian Lahan Kota Secara Intensif MINGGU 7 Pokok Bahasan Sub Pokok Bahasan : Pendekatan ekologi terhadap tata guna lahan : a. Permasalahan tata guna lahan b. Pemakaian Lahan Kota Secara Intensif Permasalahan Tata Guna Lahan Tingkat urbanisasi

Lebih terperinci