BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN. V.1. Kesimpulan. 6. Terdapat polimorfisme rs gen TCF7L2 pada individu yang
|
|
- Bambang Kusnadi
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN V.1. Kesimpulan 6. Terdapat polimorfisme rs gen TCF7L2 pada individu yang mempunyai riwayat keluarga DM tipe Frekuensi genotip CT dan TT tidak berbeda bermakna antara individu yang mempunyai riwayat dan tanpa riwayat keluarga DM. 8. Frekuensi alel T tidak berbeda bermakna antara individu yang mempunyai riwayat dan tanpa riwayat keluarga DM. 9. Nilai HOMA-β dan HOMA-IR pada individu dengan riwayat keluarga DM tipe 2 lebih rendah dari pada individu tanpa riwayat keluarga DM. 10. Pada individu yang mempunyai riwayat keluarga DM tipe 2, nilai HOMAβ dan HOMA-IR tidak berbeda bermakna antara genotip CC dan genotip CT. V.2. Saran 1. Penelitian lanjutan polimorfisme gen TCF7L2 pada SNP yang lain pada subyek dengan RK DM tipe Sebaiknya memeriksa kadar insulin dan nilai HOMA-β yang dapat menjadi skrining awal untuk mengetahui risiko DM tipe 2 bagi individu dengan kadar glukosa darha puasa (GDP) normal pada individu dengan riwayat keluarga DM tipe 2.
2 3. Sebaiknya faktor lingkungan seperti asupan, aktivitas fisik perlu diteliti dan diperhatikan baik individu dengan dan tanpa riwayat keluarga DM tipe 2.
3 V.3. Ringkasan 1. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) tipe 2 merupakan penyakit multifaktorial dengan komponen genetik dan non-genetik yang akan mempercepat fenotip diabetes (Singh, 2011). Riwayat alamiah untuk timbulnya DM tipe 2 yaitu terjadi interaksi antara predisposisi faktor genetik dan faktor lingkungan. Interaksi antara faktor genetik dan lingkungan dapat mempengaruhi biosintesa insulin, sekresi insulin dan kerja insulin (International Diabetes Federation/IDF, 2000). Riwayat keluarga diketahui sebagai faktor risiko terjadinya perkembangan DM tipe 2. Berdasarkan penelitian Benner et al. (2013) risiko penderita DM paling tinggi terjadi bila salah satu atau kedua orang tuanya penderita DM dibandingkan dengan orang tua yang bukan penderita DM. Berdasarkan penelitian Harrison et al. (2003) bahwa risiko DM akan meningkat 2 sampai 4 kali lipat jika salah satu atau kedua orang tua penderita DM tipe 2. Menurut Radha dan Mohan (2007) bahwa pada keluarga dengan salah satu orang tua penderita DM tipe 2 memiliki risiko menderita DM tipe 2 dengan odds ratio (OR) 3,5 dibandingkan dengan keluarga yang orang tuanya normal. Angka ini akan meningkat dengan OR sebesar 6,1 jika kedua orang tuanya menderita DM tipe 2. Prevalensi DM selalu meningkat tiap tahunnya, menurut data World Health Organization (WHO) pada tahun 2011 sekitar 346 juta penderita diabetes diseluruh dunia dan meningkat menjadi 438 juta pada tahun Di Indonesia, penderita diabetes pada tahun 2000 mencapai 8,4 juta orang dan menduduki
4 peringkat ke-4 setelah India, Cina, dan Amerika Serikat. World Health Organization (WHO) juga memperkirakan di Indonesia DM akan meningkat pada tahun 2030 nanti sekitar 21,3 juta (Wild et al., 2004). Di Yogyakarta merupakan peringkat pertama terbanyak penderita DM di Indonesia yaitu sebesar 2,6% pada tahun 2012 (Depkes, 2013). Pada DM tipe 2, gangguan metabolisme glukosa disebabkan oleh dua faktor utama yakni tidak adekuatnya sekresi insulin (defisiensi insulin) dan kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin (resistensi insulin) (Merentek, 2006). Abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein pada penderita DM adalah akibat defisiensi kerja insulin pada jaringan target. Defisiensi kerja insulin merupakan akibat dari sekresi insulin yang tidak adekuat atau respon jaringan terhadap insulin menurun pada satu titik atau lebih pada jalur kerja hormon (ADA, 2013). Sekresi insulin terdiri dari dua fase. Pada fase 1, pemberian glukosa akan menginduksi sekresi insulin untuk mencegah kenaikan kadar glukosa darah dan kenaikan glukosa darah selanjutnya akan merangsang fase 2 untuk meningkatkan sekresi insulin (Merentek, 2006). Terjadinya gangguan sekresi insulin sel β pankreas menyebabkan sekresi insulin pada fase 1 tertekan, kadar insulin dalam darah turun menyebabkan produksi glukosa oleh hepar meningkat sehingga kadar glukosa darah puasa meningkat dan kemampuan fase 2 juga pun menurun secara bertahap untuk menghasilkan insulin sehingga terjadi hiperglikemia (Merentek, 2006). Dikatakan resisten insulin bila dibutuhkan kadar insulin yang lebih banyak untuk mencapai kadar glukosa darah yang normal (Merentek, 2006). Resistensi insulin terjadi akibat gangguan respon metabolik terhadap kerja insulin, akibatnya
5 untuk kadar glukosa plasma tertentu dibutuhkan kadar insulin yang lebih banyak daripada normal untuk mempertahankan keadaan normoglikemi (euglikemi). Resistensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan pre reseptor, reseptor dan post reseptor (Defronzo, 1997; Groop, 1999). Adanya riwayat keluarga DM tipe 2 memanifestasi terjadinya resistensi insulin dan disfungsi sel β pankreas (Arslanian et al., 2005). Danadian et al. (1999) bahwa adanya riwayat keluarga DM tipe 2 menyebabkan terjadinya penurunan sensitivitas insulin sebesar 25%. Salah satu gen yang berperan pada DM tipe 2 adalah transcription factor 7-like 2 (TCF7L2). Gen TCF7L2 mengkode faktor transkripsi yang berperan pada jalur sinyal Wingless-type mouse mammary tumor virus (MMTV) integration site family member (Wnt). Sinyal Wnt berperan penting dalam meregulasi ekspresi gen progulakagon yang mengkode hormon insulinotropik glucagon like peptide- 1 (GLP-1) melalui aktivasi dari TCF7L2 yang mengaktivasi ekspresi gen proglukagon didalam sel L intestinal sehingga mampu mensekresikan GLP-1. GLP-1 berperan penting dalam homeostasis glukosa darah dan meningkatkan sekresi insulin sehingga TCF7L2 secara tidak langsung berperan sebagai faktor regulasi sekresi insulin dan homeostasis glukosa darah (Tong et al., 2009 dan Yu et al., 2009). Single nucleotide polymorphism (SNP) rs pada intron 3 kromosom 10 merupakan perubahan alel C menjadi alel T (IVS3C>T). Polimorfisme rs (IVS3C/T) gen TCF7L2 berperan dalam patogenesis DM tipe 2 yaitu mempengaruhi regulasi transkripsi pada hormon insulinotropik GLP-1 sehingga menurunkan sekresi insulin dan meningkatkan produksi glukosa dihepatik. Alel T pada rs gentcf7l2 dihubungkan dengan gangguan
6 sekresi insulin dan peningkatan sensitivitas insulin (Alibegovic et al., 2010). Dalam semua populasi, TCF7L2 menunjukkan hubungan yang kuat terhadap terjadinya DM tipe 2 dengan frekuensi 30% - 50% untuk setiap alel (Hattersley, 2007). Wegner et al. (2008) menunjukkan pada individu dengan alel T pada polimorfisme rs gen TCF7L2 mengalami penurunan sekresi insulin dan peningkatan produksi glukosa. Mengingat tingginya prevalensi kejadian DM dan terus meningkat tiap tahunnya maka perlu dilakukan pencegahan sedini mungkin. Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan bahwa individu yang memiliki riwayat keluarga penderita DM tipe 2 lebih berisiko akan menderita DM tipe 2 dibanding individu yang tidak memiliki riwayat keluarga penderita DM (Wicaksono, 2011). Sehingga perlu diteliti polimorfisme genetika pada individu yang mempunyai riwayat keluarga DM tipe 2 sebagai pencegahan dan pengendalian individu terhadap terjadi DM tipe Tinjauan Pusataka Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang kompleks dan dipengaruhi oleh interaksi genetika dan lingkungan yang disebabkan oleh gangguan sekresi insulin dan/atau resistensi insulin sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah (hiperglikemia) kronik (ADA, 2013; Smushkin et al., 2010 dan Singh, 2011). Diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan terjadinya berbagai gangguan homeostasis glukosa yaitu terjadinya gangguan sekresi insulin, resistensi insulin
7 dan gangguan ambilan glukosa pada pankreas (defronzo, 2004). Defisiensi kerja insulin merupakan akibat dari sekresi insulin yang tidak adekuat atau respon jaringan terhadap insulin menurun pada satu titik atau lebih pada jalur kerja hormon (ADA, 2013). Berdasarkan World Health Organization (WHO) pada tahun 2011 sekitar 346 juta penderita diabetes diseluruh dunia dan diperkirakan meningkat menjadi 438 juta pada tahun Di Indonesia, penderita diabetes pada tahun 2008 mencapai 5,4% atau 8,4 juta orang (Susanto et al., 2011). Diperkirakan tahun 2030 meningkat 10% atau 21,3 juta orang (WHO, 2011). Di Yogyakarta angka penderita DM tahun 2012 sebesar 2,6% dan merupakan peringkat pertama terbanyak di Indonesia (Riskesdas, 2013). Di Indonesia juga menduduki peringkat ke-4 jumlah penderita DM setelah India, Cina, dan Amerika Serikat (Wild et al., 2004). Selain itu, jumlah kasus DM terbanyak diderita yaitu DM tipe 2, sekitar 90 95% dari seluruh jumlah kasus DM (ADA, 2013). Diabetes melitus tipe 2 menjadi masalah kesehatan yang serius, baik dinegara-negara maju maupun dinegara berkembang, termasuk Indonesia. Diabetes melitus tipe 2 biasanya terjadi pada usia diatas 50 tahun, tetapi pada tahun-tahun terakhir dijumpai adanya kasus DM tipe 2 pada remaja dan anak-anak (Thevenod, 2008). Diabetes melitus merupakan penyakit multifaktorial yaitu terjadinya interaksi kompleks antara faktor genetik dan faktor lingkungan (Benner et al., 2013). Faktor risiko DM tipe 2 antara lain riwayat keluarga penderita diabetes (orangtua atau saudara menderita DM tipe 2), obesitas (Body mass index (BMI) 25 kg/m 2 ), kurangnya aktivitas fisik, ras/etnik, sebelumnya diidentifikasi kadar
8 glukosa darah puasa terganggu (GDPT) atau toleransi glukosa terggangu (TGT), riwayat diabetes melitus gestasional (DMG) atau bayi lahir > 4 kg, hipertensi (tekanan darah 140/90 mmhg), HDL 35 mg/dl dan trigliserida 250 mg/dl (ADA, 2013 dan Singh, 2011). Diabetes melitus tipe 2 dapat timbul sebagai akibat adanya polimorfisme pada gen yang mengkode ion kanal, mengatur fungsi ion kanal atau gen pada target insulin dan diperparah dengan adanya faktor lingkungan seperti obesitas, perubahan gaya hidup, kurangnya aktifitas fisik, dan merokok (Ashcroft and Rorsman, 2004). Faktor genetik berperan penting dalam penentuan penyakit DM dalam suatu keluarga (Benner et al., 2013). Dilaporkan oleh Erasmus et al. (2001) bahwa terjadinya DM tipe 2 dipicu oleh adanya peran genetik dan agregasi keluarga dalam beberapa populasi. Berdasarkan penelitian Harrison et al. (2003) bahwa diagnosa DM akan meningkat dua sampai empat kali lipat jika salah satu atau kedua orang tua menderita DM dan sekitar 25% - 30% pasien DM tipe 2 mempunyai riwayat keluarga DM. Faktor riwayat keluarga biasanya digunakan dalam pengobatan klinik untuk menilai risiko terjadinya penyakit, untuk mendeteksi dini terjadinya penyakit dan untuk pencegahan terjadinya penyakit. (Das et al., 2012). Mengetahui besarnya risiko terjadinya DM bagi individu yang mempunyai riwayat keluarga DM sehingga menimbulkan kesadaran akan risiko terjadinya penyakit dan perilaku mengurangi risiko terjadinya penyakit (Scheuner et al., 1997). Insulin merupakan hormon peptida yang disekresikan oleh sel β dari Langerhans pankreas (Seino et al., 2011). Fungsi insulin adalah untuk mengatur kadar normal glukosa darah. Insulin bekerja memperantarai masuknya glukosa
9 seluler, regulasi metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, serta mendorong diferensiasi dan pertumbuhan sel melalui efek mitogenik pada insulin (Wilcox, 2005 dan Merentek., 2006). Mekanisme sekresi insulin yaitu insulin disekresikan dari sel β pankreas sebagai respon adanya nutrien seperti glukosa, asam lemak dan asam amino tertentu (Wilcox, 2005). Glukosa plasma yang tinggi setelah makan akan ditransport ke dalam sel β pankreas melalui transporter glukosa tipe 2 (GLUT 2). Glukosa mengalami fosforilasi membentuk glukosa-6-fosfat oleh enzim glukokinase dan selanjutnya mengalami glikolisis menghasilkan piruvat dan ATP (Merentek, 2006). Piruvat kemudian ditranspor ke dalam mitokondria, masuk kedalam siklus krebs, fosforilasi oksidatif dan rantai transpor elektron sehingga menghasilkan ATP. Kenaikan rasio ATP/ADP akan merangsang kanal K ATP untuk menutup sehingga K + tertumpuk disitosol. Penumpukan muatan positif dari ion kalium dalam sitosol menyebabkan depolarisasi membran sel dari -70 mv (pada kondisi resting state) menjadi -30 mv (depolarisasi) menginduki pembukaan voltage dependent kanal Ca 2+ sehingga terjadi influsi ion Ca 2+. Peningkatan kadar kalsium intrasel menyebabkan eksositosis vesikel yang mengandung insulin sehingga disekresikan dari sel β pankreas (Riedel et al., 2003, Merentek, 2006 dan Wilcox, 2005). Sekresi insulin oleh sel β pankreas setelah distimulasi oleh glukosa bersifat bifasik. Fase dini (fase 1) terjadi 3-10 menit pertama setelah makan. Insulin yang disekresikan pada fase ini adalah insulin yang disimpan dalam sel β (siap dipakai). Fase selanjutnya atau fase 2 yaitu sekresi insulin yang dimulai 20 menit setelah adanya stimulasi glukosa. Insulin yang disekresikan pada fase ini adalah insulin
10 yang baru disintesis. Pada DM tipe 2, sekresi insulin pada fase 1 tidak dapat menurunkan glukosa darah sehingga merangsang fase 2 untuk menghasilkan insulin yang lebih banyak, tetapi sudah tidak mampu meningkatkan sekresi insulin sebagaimana pada orang normal. Perjalanan DM tipe 2 dimulai dengan gangguan fase 1 yang menyebabkan hiperglikemia dan selanjutnya gangguan fase 2 yang menyebabkan gangguan sel β pankreas tetapi tidak terjadi hiperinsulinemia (Merentek, 2006). Resistensi insulin adalah suatu keadaan terjadinya gangguan respons metabolik terhadap kerja insulin, akibatnya untuk kadar glukosa plasma tertentu dibutuhkan kadar insulin yang lebih banyak daripada normal untuk mempertahankan keadaan normoglikemi (euglikemi). Resistensi insulin dapat disebabkan oleh gangguan pre reseptor, reseptor dan post reseptor. Gangguan prereseptor dapat disebabkan oleh antibodi insulin dan gangguan pada insulin. Gangguan reseptor dapat disebabkan oleh jumlah reseptor yang kurang atau kepekaan reseptor yang menurun. Sedangkan gangguan post reseptor disebabkan oleh gangguan pada proses fosforilasi dan pada signal transduksi di dalam sel otot. Daerah utama terjadinya resistensi insulin adalah pada postreseptor sel target di jaringan otot rangka dan sel hati. Kerusakan postreseptor ini menyebabkan kompensasi peningkatan sekresi insulin oleh sel beta, sehingga terjadi hiperinsulinemi pada keadaan puasa maupun postprandial (Groop, 1999; Defronzo, 1997). Gen transcription factor 7 - like 2 (TCF7L2) disebut juga transcription factor 4 (TCF4). TCF7L2 merupakan faktor transkripsi dari famili box high-
11 mobility group (HMG) yang spesifik terhadap sel T yang berikatan dengan β- catenin, sinyal transduksi yang dihasilkan oleh reseptor Wingless-type mouse mammary tumor virus (MMTV) integration site family member (Wnt) pada permukaan sel untuk memodifikasi ekspresi berbagai gen yang berhubungan dengan siklus sel (Xavier et al., 2009). Gen ini mempunyai 215,863 basa terletak pada lengan panjang kromosom 10 (10q25.3) (Helgason et al., 2007). Gen TCF7L2 terdiri dari 14 exon dan 13 intron, namun penelitian sebelumnya menyatakan bahwa gen TCF7L2 terdiri dari 17 exon (Tong et al., 2009). Heterodimerisasi TCF7L2 dengan β-catenin meregulasi transkripsi sejumlah gen termasuk gen proglukagon intestinal (Lyssenko et al., 2007). Mekanisme patogenik TCF7L2 menyebabkan intoleransi glukosa atau DM tipe 2 yaitu berkurangnya sekresi insulin, efek resistensi insulin atau penurunan proses sel proinsulin (Yu et al., 2009). Jalur Wnt berperan penting dalam regulasi ekspresi gen proglukagon dan sekresi produk GLP-1 pada sel L intestinal melalui aktivasi dari TCF7L2. Transcription factor-7 like-2 yang mengaktivasi ekspresi gen proglukagon didalam sel intestinal sehingga mampu mensekresikan GLP-1 dan GLP-1 berperan menginduksi sekresi insulin (Yu et al., 2009). Aktivasi sinyal Wnt menyebabkan akumulasi β-catenin didalam nukleus yang akan berikatan dengan T-cell factor (TCF)/limfoid pada faktor transkripsi sehingga meregulasi transkripsi gen target sinyal Wnt (Yang et al., 2012). Grant et al. (2006) melaporkan adanya hubungan kuat terjadinya DM tipe 2 dalam marker mikrosatelit tetranukleotida yaitu DG10S478 yang berlokasi dalam intron 3 pada gen TCF7L2. Didapatkan lagi lima SNP yang berhubungan
12 dengan DG10S478 dalam linkage disequilibrium (LD) dari intron 3 sampai intron 4 yang menunjukkan hubungan dengan terjadinya DM tipe 2. Ada dua SNP yang berperan kuat terhadap terjadinya DM tipe 2 yaitu rs dan rs (Kunika et al., 2008). Single nucleotide polymorphism rs pada intron 3 merupakan perubahan alel C menjadi alel T (IVS3C>T). Polimorfisme rs (IVS3C/T) gen TCF7L2 berperan dalam patogenesis DM tipe 2 yaitu mempengaruhi regulasi transkripsi pada hormon insulinotropik GLP-1 sehingga menurunkan sekresi insulin dan meningkatkan produksi glukosa dihepatik. Alel T pada rs gen TCF7L2 dihubungkan dengan gangguan sekresi insulin dan peningkatan sensitivitas insulin (Alibegovic et al., 2010). Glucagon like-peptide-1 disekresi oleh sel L intestinal dalam merespon glukosa, dan nutrisi lainnya. Ketika GLP-1R berikatan dengan GLP-1 akan teraktivasi membentuk kompleks G-protein dan memfasilitasi subunit Gα s. Ikatan ini akan mengaktivasi adenylate cyclase (AC) yang akan memproduksi cyclic adenosine 3,5 -monophosphate (camp) dan konsentrasi camp meningkat didalam intraseluler dan juga mengaktivasi protein kinase A (PKA) dan (the camp-regulated guanine nucleotide exchange factor (camp-gef) (Epac) (Meloni et al., 2012). Glucagon like-peptide-1 memediasi aktifitas PKA dalam fosforilasi subunit kanal K + ATP melalui mekanisme ADP-dependen. Diikuti oleh depolarisasi membran dan memicu jalur sekresi insulin. Epac2 juga mengahambat fungsi kanal K + ATP pada sel beta pankreas melalui interaksi dengan SUR1. Terjadinya metabolisme glukosa juga menyebabkan peningkatan ATP yang menyebabkan penutupan kanal K + ATP (Meloni et al., 2012). Penutupan ini,
13 memfasilitasi terbukanya voltage-dependent Ca 2+ channel (VDCC) dan menghambat repolarisasi membran melalui terbukanya voltage-dependent K + channel (K v ). Terjadinya depolarisasi membran, K v terbuka untuk kembali keluar kemembran potensial sehingga terjadi peningkatan ion K + diekstraseluler (Meloni et al., 2012). Glucagon like-peptide-1 receptor agonis (GLP-1 dan exendin-4) melawan aliran K + yaitu exendin-4 menghambat K + keluar sehingga terjadinya kelambatan repolarisasi membran dan Ca 2+ mempunyai waktu yang panjang untuk masuk kedalam intraseluler melalui VDCC sehingga terjadinya sekresi insulin. Sekresi insulin ini merupakan fase pertama terjadinya sekresi insulin (Meloni et al., 2012). Peningkatan Ca 2+ bebas diintraseluler memicu peningkatan exositosis insulin, GLP-1R menstimulasi CICR untuk memfasilitasi produksi ATP. GLP-1 meningkatkan konsentrasi Ca 2+ dan konsentrasi ATP. Peningkatan Ca 2+ mengaktivasi dehidrogenase mitokondria (piruvat, isositrat, dan 2-oxoglutarat dehidrogenase) untuk meningkatkan produksi ATP karena adanya glukosa. Produksi ATP dan modulasi ATP/ADP seluler menyebabkan berkelanjutan penutupan kanal K + ATP dan depolarisasi sehingga terjadi peningkatan sekresi insuin. Stimulasi GLP-1 menyebabkan berkelanjutnya terus menerus sekresi insulin sampai konsentrasi glukosa turun dalam respon insulin (Meloni et al., 2012). Transcription factor 7-like 2/β-catenin juga meregulasi ekspresi gen IRS- 1 sebagai sinyal dalam perkembangan sel kanker (Bomer et al., 2009). Insulin receptor substrate-1 juga berperan penting pada proses sekresi insulin sebagai
14 reseptor dalam sekresi insulin yang memediasi aksi seluler insulin (Wilcox, 2005). β catenin berikatan dengan TCF pada elemen intron pertama dan pada daerah downstream star-transcription IRS-1 (Bomer et al., 2009). 3.Landasan Teori Diabetes melitus tipe 2 adalah penyakit metabolik kompleks yang dipengaruhi oleh interaksi genetik dan lingkungan yang ditandai oleh peningkatan kadar glukosa dalam plasma yang disebabkan oleh gangguan sekresi insulin dan/atau resistensi insulin. Transcription factor-7 like-2 merupakan gen yang mengkode faktor transkripsi yang berperan dalam jalur sinyal Wnt yang berfungsi untuk meregulasi ekspresi gen proglukagon, ekspresi gen IRS-1 dan sekresi GLP-1. Transcription factor-7 like-2 dan β-catenin berikatan dengan promotor gen proglukagon didalam sel intestinal sehingga mengahasilkan GLP-1. Transcription factor-7 like-2 dan β- catenin juga berikatan dengan promoter gen IRS-1 pada daerah intron sehingga dapat berperan sebagai reseptor dalam sekresi insulin. Glucagon like-peptide-1 berperan meningkatkan sekresi insulin. Glucagon like-peptide-1 mensekresikan insulin melalui ikatan dengan GLP-1R pada sel β pankreas sehingga mengaktivasi adenylate cyclase (AC) yang akan memproduksi camp dan juga mengaktivasi protein kinase A (PKA) dan (the camp-regulated guanine nucleotide exchange factor (camp-gef) (Epac) yang memfasilitasi terjadinya penutupan kanal K + dan depolarisasi dan memfasilitasi terbukanya voltage-dependent Ca 2+ channel (VDCC) sehingga terjadi sekresi insulin.
15 Kelebihan Ca 2+ dalam intraseluler menyebabkan peningkatan exositosis granula yang menyebabkan peningkatan sekresi insulin. Polimorfisme rs gen TCF7L2 menyebabkan penurunan aktivitas GLP-1 untuk meregulasi sekresi insulin. Penurunan sekresi insulin menyebabkan peningkatan produksi glukosa hepatik dan penurunan penggunaan glukosa oleh jaringan sehingga mengakibatkan hiperglikemia kronis. Hiperglikemia kronis yang berkepanjangan menyebabkan kelelahan sel β pankreas sehingga terjadi DM tipe 2. 4.Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian desain case-control. Subyek dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok kasus adalah subyek dengan riwayat keluarga DM tipe 2 yang didapat di RSUP. Sardjito-Yogyakarta. Kelompok kontrol adalah subyek tanpa riwayat keluarga DM diambil dari masyarakat umum Kota Yogyakarta. Adapun kriteria inklusi yang digunakan adalah individu yang sehat, lakilaki atau perempuan dengan usia tahun, mempunyai riwayat keluarga DM tipe 2, IMT 24 kg/m 2 dan bersedia menjadi subyek penelitian. Penelitian ini meliputi pengambilan sampel darah sebanyak 5 ml, pemeriksaan glukosa darah puasa (GDP), pemeriksaan kadar insulin menggunakan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dari kit DRG insulin, dihitung nilai HOMA-β dan HOMA-IR, dan pemeriksaan polimorfisme rs gen TCF7L2 dengan metode Restriction Fragment length Polymorphism (RFLP).
16 1. Pemeriksaan glukosa darah menggunakan metode glucose oxydase-pamino phenazone (GOD-PAP) Pemeriksaan ini dilakukan dengan pencampuran sampel sebanyak 2 µl dan reagen masing-masing sebanyak 1000 µl. Setelah dicampur, diinkubasi pada suhu 25 o C selama 10 menit. Kadar diukur menggunakan alat microlab 300 dengan panjang gelombang 450 nm. Intensitas warna yang terbentuk sebanding dengan konsentrasi glukosa pada sampel. 2. Pemeriksaan kadar insulin plasma menggunakan metode enzyme immunoassay (EIA) dari kit ELISA insulin DRG Pemeriksaan ini menggunakan plat microtiter well yang sudah berisi antiinsulin monoclonal. Sumuran pada lajur 1 berisi 25 µl larutan standar 0-5, lajur 2-6 berisi 25 µl sampel kelompok kasus dan lajur 7-11 berisi 25 µl sampel kelompok kontrol. Setiap sumuran masing-masing diisi 25 µl enzim konjugat dan dicampur dengan cara well digoyang cepat selama 10 detik dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu ruang. Setelah inkubasi, well dicuci sebanyak 3 kali menggunakan 400 µl wash solution dan well dihentakkan pada tisu untuk membersihkan sisa reagen. Pada setiap well ditambahkan lagi 50 µl enzim kompleks dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu ruang. Setelah inkubasi, well dicuci lagi sebanyak 3 kali menggunakan 400 µl wash solution dan well dihentakkan pada tisu untuk membersihkan sisa reagen. Pada setiap well ditambahkan lagi 50 µl substrate solution dan diinkubasi selama 15 menit pada suhu ruang. Setelah inkubasi, setiap well ditambahkan lagi 50 µl stop solution dan dibaca nilai absorban pada setiap well dengan menggunakan microtiter plate reader dengan panjang gelombang 450±10 nm.
17 Setelah didapatkan kadar insulin, dihitunglah nilai HOMA-β dan HOMA- IR untuk mengetahui fungsi sel beta dan nilai resistensi insulin dengan rumus: HOMA β = 360 x insulin puasa (µu/ml) % glukosa puasa (mg/dl) 63 HOMA-IR = glukosa puasa (mg/dl) x insulin puasa (µu/ml) Pemeriksaan polimorfisme rs (IVS3C/T) gen TCF7L2 a. Isolasi DNA (menggunakan kit Wizard Genomic DNA Purification Promega) Pada isolasi DNA dibutuhkan 400 µl sampel leukosit menggunakan tube 1,5 ml. Sampel ditambahkan 900 µl erythrocyte lysis buffer, dibolak-balik agar tercampur rata dan diinkubasi selama 10 menit pada suhu 2-8 o C. Setelah inkubasi, sampel disentrifus selama 10 menit dengan kecepatan rpm pada suhu 10 o C. Setelah sentrifus, supernatan dibuang dan tube dibersihkan dengan cara membalikkan tube pada kertas tisu. Diperhatikan kejernihan supernatan, jika belum jernih lakukan langkah awal sampai langkah pembersihkan tube sebanyak 7 kali. Setelah didapatkan supernatan jernih, ditambahkan 300 µl nucleid lysis solution dan 100 µl protein precipitation solution dan divortex selama 20 detik. Setelah divortex, disentrifus selama 5 menit dengan kecepatan rpm. Setelah disentrifus, dituang supernatan ada tube baru yang telah berisi isopropanol, dibolak balik hingga merata dan disentrifus selama 5 menit dengan kecepatan rpm. Setelah itu, dibuang supernatan dan ditambahkan 300 µl etanol 70% dan disentrifus selama 5 menit dengan kecepatan rpm. Setelah disentrifus,
18 etanol 70% dibuang dari dalam tube dan tube dikeringkan dalam oven 37 o C selama 30 menit. Setelah dikeringkan, ditambahkan 100 µl DNA rehydration solution dan diinkubasi selama 12 jam pada suhu 4 o C. Disimpan pada suhu -20 o C jika belum di PCR. b. Amplifikasi DNA untuk gen TCF7L2 Pemeriksaan ini dilakukan dengan pencampuran 15 µl PCR mix, 11 µl H 2 O, 2 µl primer, 2 µl DNA kedalam satu tube dan disentrifus selama 1 menit dengan kecepatan 3500 rpm. Susunan primer yang digunakan yaitu forward primers 5' - GAG AGC TAAGCA CTT TTT AGGTA - 3', reverse primers 5' - CTG ACA TTG ACT AAG TTA CTT GC - 3'. Kondisi temperatur siklus PCR: Denaturasi awal pada suhu 95 o C selama 15 menit. Dilanjutkan 35 siklus PCR: denaturasi pada suhu 95 o C selama 30 detik, annealing pada 54 o C 30 detik, extension pada 72 o C 30 detik, final extension pada suhu 72 o C selama 5 menit, dan Cooling pada suhu 4 o C. PCR running selama 1 jam 36 menit. c. Pemotongan produk PCR dengan metode Restriction Fragment length Polymorphism (RFLP) Pemeriksaan ini dilakukan dengan mencampur 0,5 µl enzim restriksi Rsa1, 4,5 µl H 2 O, 1 µl buffer tango, 4 µl DNA kedalam satu tube dan disentrifus selama 1 menit dengan kecepatan 3500 rpm. Diinkubasi pada suhu 37 o C selama 16 jam. Alel C terpotong menjadi 2 fragmen (91 dan 22 bp) dan alel T tidak terpotong (113 bp). d. Elektroforesis
19 Pemeriksaan ini dimulai dengan pembuatan gel agarosa 3% dengan cara menimbang 3 g agarosa untuk dilarutkan ke dalam buffer TBE 0,5x hingga volumenya 100 ml dan dididihkan hingga larut. Setelah didih, ditambahkan 4 µl ethidium bromide (EtBr) dan dituang kedalam baki gel agarosa hingga padat. Baki yang berisi gel agarosa dimasukkan kedalam tangki eletroforesis yang telah berisi larutan buffer TBE 0,5x. Setelah itu, dipipet produk PCR sebanyak 10 µl, marker 1,7 µl dan kontrol 10 µl ke dalam sumuran gel agarosa. Kabel dari sumber arus listrik dihubungkan ke tangki elektroforesis dan sumber arus dinyalakan dengan diatur voltase sebesar 100 V dan waktu running selama 35 menit. Setelah running selesai, gel dikeluarkan dan pita-pita DNA dibaca menggunakan UV transilluminator. 5.Hasil dan Pembahasan 1. Karakteritik subyek penelitian Subyek penelitian ini adalah individu sehat yang mempunyai riwayat keluarga DM tipe 2 (orang tua DM tipe 2) sebagai subyek kasus dan individu
20 yang tidak mempunyai riwayat keluarga DM sebagai subyek kontrol. Semua subyek dalam penelitian ini memliki karakteristik kondisi tubuh yang normal (Tabel 1). Nilai kadar glukosa puasa pada semua subyek 126 mg/dl. Hal ini sesuai dengan karakteristik subyek yaitu individu sehat (tidak menderita DM). Menurut PERKENI (2011) bahwa diagnosis DM ditegakkan apabila kadar gula darah puasa (GDP) 126 mg/dl (7,0 mmol/l), tidak obesitas ( 25 kg/m 2 ) dengan nilai rerata IMT kedua kelompok 20 kg/m 2 dan memiliki nilai tekanan darah yang normal ( 140/90 mmhg) (WHO, 2011). Tabel 1. Karakteristik subyek dengan dan tanpa RK DM Data dilaporkan dalam bentuk mean±sd. Sebaran data diuji dengan Shapiro-Wilk : p 0,05. Uji Independent sampel T-test: p 0,05:berbeda bermakna. *Uji Mann-Whitney U: p < 0,05:berbeda bermakna. Variabel Jenis Kelamin (L/P) Usia (tahun) Dengan RK DM n = 36 9/27 23,64±3,66 Tanpa RK DM n = 36 9/27 24,19±3,50 p (CI 95%) 1,00 (0,34-2,90) 0,37* IMT (kg/m 2 ) Tekanan Darah (mmhg) Sistole Diastole GDP (mg/dl) 20,45±2,15 109,50±9,44 72,08±7,18 90,64±12,55 20,51±1,87 109,33±8,24 73,17±7,93 89,61±9,87 2. Hasil pemeriksaan polimorfisme rs gen TCF7L2 0,90 (-1,01-0,89) 0,93 (-4,00-4,33) 0,54 (-4,64-2,47) 0,70 (-4,28-6,33) Hasil pemeriksaan genotip polimorfisme rs gen TCF7L2 pada penelitian ini hanya ditemukan 2 genotip pada setiap kelompok. Genotip yang ditemukan yaitu genotip homozigot wild type (CC) yang terdiri dari 2 band DNA
21 dengan panjang 91 bp dan 22 bp, dan genotip mutasi heterozigot (CT) yang terdiri dari 2 band dengan panjang 113 bp dan 91 bp. Genotip mutan homozigot (TT) tidak ditemukan (113 bp). 100 bp M CC CC CT CC CT CC CC CC 113 bp 91 bp Gambar 12.Hasil pemeriksaan genotip polimorfisme rs gen TCF7L2. M = Marker. Genotip CC = wild-type (91 bp dan 22 bp (tidak terlihat)), CT = mutan heterozigot (113 bp dan 91 bp). Hasil ini berbeda dengan dengan penelitian-penelitian lain yang menemukan adanya genotip TT dalam populasi Jepang dan India (Miyake et al., 2007; Jyothi et al., 2008). Penelitian Wang et al. (2013) juga menemukan genotip TT pada populasi Cina dan penelitian Marquizine et al. (2008) juga menemukan genotip TT pada populasi Brazil. Kemungkinan tidak ditemukannya genotip TT pada penelitian ini karena (1) penelitian ini memeriksa subyek yang sehat (bukan penderita DM), (2) jumlah sampel yang lebih kecil dibanding penelitian lain. 3. Distribusi Frekuensi Genotip dan Alel Polimorfisme rs Gen TCF7L2 Pada Subyek dengan dan tanpa RK DM
22 Pada penelitian ini didapatkan frekuensi genotip homozigot wild type CC lebih tinggi dibandingkan genotip mutan heterozigot CT. Subyek dengan RK DM ditemukan adanya genotip CC sebanyak 33 orang (91,7%) dan genotip CT sebanyak 3 orang (8,3%) dan pada subyek tanpa RK DM ditemukan genotip CC sebanyak 34 orang (94,4%) dan genotip CT sebanyak 2 orang (5,6%). Didapatkan frekuensi alel wild type C juga lebih tinggi dibanding alel mutan T. Subyek dengan RK DM ditemukan alel C sebanyak 69 orang (95,8%) dan alel T sebanyak 3 orang (4,2%) dan pada subyek tanpa RK DM ditemukan alel C sebanyak 70 orang (97,2%) dan alel T sebanyak 2 orang (2,8%) (Tabel 2). Tabel 2. Distribusi genotip (TT, CT, dan CC) dan alel (T dan C) polimorfisme rs gen TCF7L2 pada subyek dengan dan tanpa RK DM Variabel Genotip CC CT TT Dengan RK DM n = (91,7%) 3 (8,3%) 0 (0%) Tanpa RK DM n = 36 34(94,4%) 2(5,6%) 0(0%) OR p H-W 0,647 0,500 Alel C 69(95,8%) 70(97,2%) 0,657 0,500 T 3(4,2%) 2(2,8%) Uji Pearson Chi-square-Fishers Exact Test: p < 0,05: berbeda bermakna. H-W= Keseimbangan Hardy-Weinberg. 1,000 Hasil ini sejalan dengan beberapa penelitian lain yang mendapatkan frekuensi genotip wild type CC lebih tinggi dibanding genotip mutan CT pada populasi Jepang, India Hyderabad, India Pima (Miyake et al., 2008; Jyothi et al., 2013; Guo et al., 2007) Berbeda dengan penelitian pada populasi Brazil, Italia, dan Belanda mendapatkan frekuensi genotip wild type CC lebih rendah dibanding genotip mutan CT (Marquizine et al., 2008; Gambino et al., 2010; Vliet et al., 2006).
23 Distribusi genotip rs gen TCF7L2 pada penelitian ini tidak menyimpang dari keseimbangan Hardy-Weinberg. Dihitung dengan rumus keseimbangan Hardy-Weinberg didapatkan nilai p = 1,000. Artinya bahwa frekuensi genotip dan alel tersebut merata dalam populasi. Pengaruh genotip CT kurang berisiko terhadap subyek dengan RK DM tipe 2 pada populasi Jawa dengan nilai OR sebesar 0,647. Hasil OR < 1 menunjukkan arti kurang berisiko, sehingga genotip CT kurang berisiko terhadap terjadinya DM tipe 2 pada subyek dengan RK DM tipe 2 pada populasi Jawa. Alel T juga menunjukkan kurang berisiko terhadap subyek dengan RK DM tipe 2 pada populasi Jawa dengan nilai OR sebesar 0,657. Hasil ini sama dengan penelitian pada populasi Arab dan India Pima bahwa rs kurang berisiko terhadap terjadinya DM tipe 2 (OR=1,04; OR=1,04) (Alsmadi et al., 2008 ; Guo et al., 2007). Berbeda dengan hasil penelitian pada populasi Perancis dan Italia bahwa rs merupakan faktor risiko terjadinya DM tipe 2 (OR=2,64; OR=3,56) (Moczulski et al., 2007; Gambino et al., 2010). 4. Perbedaan Rerata Kadar Insulin, Nilai HOMA-β dan Nilai HOMA-IR Pada Subyek Dengan dan Tanpa RK DM Berdasarkan hasil analisis statistik didapatkan perbedaan yang bermakna rerata kadar insulin, nilai HOMA-β dan nilai HOMA-IR antara subyek dengan RK DM tipe 2 dengan subyek tanpa RK DM (p = 0,00) (Tabel 3). Hal ini menunjukkan subyek dengan RK DM mengalami penurunan sekresi insulin. Tabel 3. Perbedaan rerata kadar insulin, HOMA-β dan HOMA-IR antara subyek dengan dan tanpa RK DM
24 Variabel Dengan RK DM Tanpa RK DM p n = 36 n = 36 Kadar Insulin (µiu/ml) 9,77±6,35 16,18±3,76 0,00 HOMA-β (%) 132,56±62,48 266,09±1,68 0,00 HOMA-IR 2,28±1,66 3,64±0,95 0,00* Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Chen et al. (2012) dan Arslanian et al. (2005) yang mendapatkan kadar insulin yang lebih rendah pada subyek dengan RK DM dibanding subyek tanpa RK DM. Kadar insulin yang rendah mengindikasikan terjadinya penurunan sekresi insulin akibat abnormalitas fungsi sel beta pankreas. Metode yang digunakan pada penelitian ini untuk menilai fungsi sel beta pankreas dalam mensekresikan insulin yaitu HOMA-β. Hal ini sejalan dengan penelitian Chen et al. (2012) yang menyatakan individu yang mempunyai riwayat keluarga DM mengalami penurunan fungsi sel β yang ditandai dengan rendahnya nilai HOMA-β dibandingkan dengan nilai HOMA-β pada individu tanpa riwayat keluarga DM. Nilai HOMA-IR pada penelitian ini lebih tinggi pada subyek tanpa RK DM dibanding subyek dengan RK DM tetapi berdasarkan statistik menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Chen et al. (2012) yang secara signifikan nilai HOMA-IR lebih tinggi pada individu dengan riwayat keluarga DM dibanding individu tanpa riwayat keluarga DM atau lebih besar risiko terjadinya resistensi insulin pada individu dengan riwayat keluarga DM. Penelitian Arslanian et al. (2005) juga mendapatkan nilai sensitivitas insulin yang rendah pada subyek dengn RK DM dibanding subyek
25 tanpa RK DM sehingga mengindikasikan nilai resistensi insulin yang tinggi pada subyek dengan RK DM tipe Pengaruh Genotip CC dan CT Polimorfisme rs Gen TCF7L2 Terhadap Kadar Insulin, Nilai HOMA-β dan HOMA-IR Pada Subyek Dengan dan Tanpa RK DM Berdasarkan analisis statistik didapatkan kadar insulin pada genotip CC dan CT pada masing-masing subyek dengan dan tanpa RK DM tidak berbeda bermakna (p = 0,40 dan p = 0,54). Nilai HOMA-β pada genotip CC dan CT pada subyek dengan dan tanpa RK DM juga masing-masing tidak berbeda bermakna (p = 0,53 dan p = 0,30) dan nilai HOMA-IR pada genotip CC dan CT pada subyek dengan RK DM tipe 2 juga tidak berbeda bermakna (p = 0,34) dan juga subyek tanpa RK DM (p = 0,75). Hal ini bisa terjadi, kemungkinan karena (1) pada populasi Jawa kurang berisiko polimorfisme rs gen TCF7L2 sehingga penurunan sekresi insulin berdasarkan polimorfisme genotip kurang signifikan menurun, (2) pada penelitian ini menggunakan subyek sehat (subyek dengan riwayat keluarga DM tipe 2) dan penelitian lain menggunakan subyek penderita DM tipe 2 sehingga penurunan sekresi insulinnya akan signifikan menurun. 6. Kesimpulan Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa terdapat polimorfisme rs gen TCF7L2 pada individu yang mempunyai riwayat keluarga DM
26 tipe 2. Frekuensi genotip CT dan TT tidak berbeda bermakna antara individu yang mempunyai riwayat dan tanpa riwayat keluarga DM. Nilai HOMA-β dan HOMA- IR pada individu dengan riwayat keluarga DM tipe 2 lebih rendah dari pada individu tanpa riwayat keluarga DM dan nilai HOMA-β dan HOMA-IR tidak berbeda bermakna antara genotip CC dan genotip CT.
BAB I. PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. sekresi atau kerja insulin atau keduanya sehingga menyebabkan peningkatan
BAB I. PENDAHULUAN I.1.Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik akibat gangguan sekresi atau kerja insulin atau keduanya sehingga menyebabkan peningkatan kadar gula darah (hiperglikemia)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dasar terjadinya diabetes melitus tipe 2 (DMT2) adalah resistensi insulin dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dasar terjadinya diabetes melitus tipe 2 (DMT2) adalah resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin, keduanya saling berkaitan. Pada fase awal dari DMT2, sekresi
Lebih terperinciBAB V. KESIMPULAN, SARAN, DAN RINGKASAN. V. I. Kesimpulan. 1. Frekuensi genotip AC dan CC lebih tinggi pada kelompok obesitas
BAB V. KESIMPULAN, SARAN, DAN RINGKASAN V. I. Kesimpulan 1. Frekuensi genotip AC dan CC lebih tinggi pada kelompok obesitas dibandingkan dengan kelompok normal namun secara statistik tidak berbeda signifikan
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. I.1.Latar Belakang. sering ditemukan di seluruh dunia dengan jumlah kasus yang terus meningkat.
BAB I. PENDAHULUAN I.1.Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu penyakit kronik yang paling sering ditemukan di seluruh dunia dengan jumlah kasus yang terus meningkat. Menurut data World
Lebih terperinciBAB V. KESIMPULAN, SARAN DAN RINGKASAN. V.1. Kesimpulan. 1. Frekuensi genotip AA pada individu dengan riwayat keluarga DMT2 lebih
BAB V. KESIMPULAN, SARAN DAN RINGKASAN V.1. Kesimpulan 1. Frekuensi genotip AA pada individu dengan riwayat keluarga DMT2 lebih tinggi daripada individu tanpa riwayat keluarga DMT2. 2. Frekuensi alel A
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laporan World Health Organization (WHO) tahun 1995 menyatakan bahwa batasan Berat Badan (BB) normal orang dewasa ditentukan berdasarkan nilai Body Mass Index (BMI).
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. prevalensinya yang signifikan dalam 30 tahun terakhir. Prevalensi overweight dan
BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Obesitas telah menarik perhatian masyarakat dunia karena peningkatan prevalensinya yang signifikan dalam 30 tahun terakhir. Prevalensi overweight dan obesitas meningkat
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. lebih atau sama dengan 90 mmhg (Chobanian et al., 2003). Hipertensi merupakan
BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hipertensi merupakan penyakit yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah sistolik lebih atau sama dengan 140 mmhg atau tekanan darah diastolik lebih atau sama
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terbesar di dunia. Menurut data dari International Diabetes Federation (IDF)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu masalah kesehatan yang terbesar di dunia. Menurut data dari International Diabetes Federation (IDF) tahun 2013, didapatkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obesitas adalah suatu keadaan dimana terdapat akumulasi lemak secara berlebihan. Obesitas merupakan faktor risiko dislipidemia, diabetes melitus, hipertensi, sindrom
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American. Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes melitus merupakan suatu
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit kronis yang masih menjadi masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pada anak dan remaja serta dampaknya bagi kesehatan tengah dilakukan di
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam beberapa tahun belakangan ini, penelitian mengenai obesitas pada anak dan remaja serta dampaknya bagi kesehatan tengah dilakukan di Fakultas Kedokteran UGM. Prevalensi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi akibat sekresi insulin yang tidak adekuat, kerja
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Overweight dan obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak abnormal atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan kemakmuran, akan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. World Health Organization (WHO) mendefinisikan. obesitas sebagai suatu keadaan akumulasi lemak yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang World Health Organization (WHO) mendefinisikan obesitas sebagai suatu keadaan akumulasi lemak yang abnormal atau berlebihan yang menimbulkan risiko gangguan terhadap
Lebih terperinciSel melakukan kontak dengan lingkungannya menggunakan permukaan sel, meliputi: 1. Membran plasma, yakni protein dan lipid 2. Molekul-molekul membran
Sel melakukan kontak dengan lingkungannya menggunakan permukaan sel, meliputi: 1. Membran plasma, yakni protein dan lipid 2. Molekul-molekul membran yang menonjol ke luar sel Melalui permukaan sel ini,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Obesitas merupakan kelainan metabolisme yang paling sering diderita manusia. Saat ini penderita obesitas di dunia terus meningkat. Penelitian sejak tahun 1990-an menunjukkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan survei yang dilakukan World Health Organization (WHO)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan survei yang dilakukan World Health Organization (WHO) tahun 2011 jumlah penyandang diabetes melitus di dunia 200 juta jiwa, Indonesia menempati urutan keempat
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Obesitas telah menjadi masalah kesehatan yang serius di seluruh dunia,
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obesitas telah menjadi masalah kesehatan yang serius di seluruh dunia, setelah menjadi masalah pada negara berpenghasilan tinggi, obesitas mulai meningkat di negara-negara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM), atau lebih dikenal dengan istilah kencing manis,
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penelitian Diabetes Mellitus (DM), atau lebih dikenal dengan istilah kencing manis, merupakan penyakit yang ditandai dengan peningkatan kadar gula darah yang
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. meningkat, serta menjadi salah satu faktor risiko terjadinya penyakit seperti
BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hipertensi merupakan salah satu masalah kesehatan yang sangat penting di dunia karena dari tahun ke tahun prevalensi kejadian hipertensi semakin meningkat, serta
Lebih terperinciDIAGNOSIS DM DAN KLASIFIKASI DM
DIAGNOSIS DM DAN KLASIFIKASI DM DIAGNOSIS DM DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan satu dari sekian banyak negara berkembang yang memiliki berbagai variasi penyakit menular dan tidak menular. Penyakit jantung merupakan salah satu
Lebih terperinciBAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
20 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif cross sectional molekuler. Data yang diperoleh berasal dari pemeriksaan langsung yang dilakukan peneliti sebanyak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) atau kencing manis, disebut juga penyakit gula merupakan salah satu dari beberapa penyakit kronis yang ada di dunia (Soegondo, 2008). DM ditandai
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Obesitas telah menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia. Prevalensi
BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Obesitas telah menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia. Prevalensi obesitas mengalami peningkatan di seluruh dunia menjadi dua kali lipat berdasarkan data dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme dengan. yang disebabkan oleh berbagai sebab dengan karakteristik adanya
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme dengan karakteristik adanya tanda-tanda hiperglikemia akibat ketidakadekuatan fungsi dan sekresi insulin (James,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1,5 juta kasus kematian disebabkan langsung oleh diabetes pada tahun 2012.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, banyak penyakit yang diakibatkan oleh gaya hidup yang buruk dan tidak teratur. Salah satunya adalah diabetes melitus. Menurut data WHO tahun 2014, 347 juta
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tidak adanya insulin menjadikan glukosa tertahan di dalam darah dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolisme kronis yang ditandai dengan peningkatan glukosa darah (hiperglikemia), disebabkan karena ketidakseimbangan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI... iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS SKRIPSI.... iv ABSTRAK v ABSTRACT. vi RINGKASAN.. vii SUMMARY. ix
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
digilib.uns.ac.id BAB III METODE PENELITIAN A. RANCANGAN PENELITIAN Penelitian ini adalah studi Cross Sectional. B. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di rumah sakit Dr. Moewardi Surakarta,
Lebih terperinciDIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen
DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menjadi tantangan dalam bidang kesehatan di beberapa negara (Chen et al., 2011).
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes tipe 2 merupakan kelainan heterogen yang ditandai dengan menurunnya kerja insulin secara progresif (resistensi insulin), yang diikuti dengan ketidakmampuan
Lebih terperinci(G Protein-coupled receptor) sebagai target aksi obat
Reseptor terhubung protein G (G Protein-coupled receptor) sebagai target aksi obat merupakan keluarga terbesar reseptor permukaan sel menjadi mediator dari respon seluler berbagai molekul, seperti: hormon,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
Lebih terperinciBAB I. Pendahuluan. diamputasi, penyakit jantung dan stroke (Kemenkes, 2013). sampai 21,3 juta orang di tahun 2030 (Diabetes Care, 2004).
BAB I Pendahuluan 1. Latar Belakang Penyakit Tidak Menular (PTM) sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik secara global, regional, nasional dan lokal. Salah satu PTM yang menyita banyak perhatian
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. sebanyak 17 orang dari 25 orang populasi penderita Diabetes Melitus. darah pada penderita DM tipe 2.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Deskripsi Penderita Diabetes Melitus tipe 2 Berdasarkan Jenis Kelamin Berdasarkan dari kriteria inklusi dan eksklusi didapatkan
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pada tahun 2002 dan peringkat ke 5 di seluruh dunia (Fauci et al., 2008).
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Diabetes merupakan penyebab kematian nomor 6 di Amerika Serikat (AS) pada tahun 2002 dan peringkat ke 5 di seluruh dunia (Fauci et al., 2008). Sekitar 30%
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. dengan pengetahuan keluarga yang baik dapat menurunkan angka prevalensi
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keluarga sebagai unit terkecil masyarakat diharapkan mengetahui risiko dan pencegahan dari penyakit DM, pengetahuan keluarga tentang risiko DM yang baik contohnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Menurut kamus kedokteran tahun 2000, diabetes melitus (DM) adalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut kamus kedokteran tahun 2000, diabetes melitus (DM) adalah penyakit metabolik yang disebabkan ketidakmampuan pankreas mengeluarkan insulin. American Diabetes
Lebih terperinciPatogenesis Diabetes Melitus Tipe 2
Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2 Dr. Syazili Mustofa, M. Biomed Lektor Mata Kuliah Ilmu Biomedik Departemen Biokimia, Biologi Molekuler dan Fisiologi Fakultas Kedokteran Unila Kerja insulin terhadap
Lebih terperinciPengertian Mitokondria
Home» Pelajaran» Pengertian Mitokondria, Struktur, dan Fungsi Mitokondria Pengertian Mitokondria, Struktur, dan Fungsi Mitokondria Pengertian Mitokondria Mitokondria adalah salah satu organel sel dan berfungsi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM) yang umum dikenal sebagai kencing manis adalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) yang umum dikenal sebagai kencing manis adalah penyakit yang ditandai dengan hiperglikemia (peningkatan kadar gula darah) yang terus-menerus
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes melitus merupakan penyakit menahun yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Diabetes melitus ditandai oleh adanya hiperglikemia kronik
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. relatif sensitivitas sel terhadap insulin, akan memicu munculnya penyakit tidak
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit kronis yang dapat meningkatkan dengan cepat prevalensi komplikasi kronis pada lansia. Hal ini disebabkan kondisi hiperglikemia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Prevalensi overweight dan obesitas meningkat baik pada dewasa dan anakanak
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Prevalensi overweight dan obesitas meningkat baik pada dewasa dan anakanak di negara maju maupun negara berkembang selama periode tahun 1980-2013. Indonesia termasuk
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7 individu udang Jari yang diambil dari Segara Anakan Kabupaten Cilacap Jawa Tengah.
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kerangka Teori 2.1.1. Definisi Diabetes Melitus DM merupakan penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia (kadar glukosa yang berlebih dalam darah) seperti pada yang
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. penduduk dunia meninggal akibat diabetes mellitus. Selanjutnya pada tahun 2003
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada tahun 2000, World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa dari statistik kematian didunia, 57 juta kematian terjadi setiap tahunnya disebabkan oleh penyakit
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yang
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui variasi genetik (polimorfisme) gen Apo E pada pasien IMA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Makanan adalah sumber kehidupan. Di era modern ini, sangat banyak berkembang berbagai macam bentuk makanan untuk menunjang kelangsungan hidup setiap individu. Kebanyakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pola penyakit yang diderita masyarakat telah bergeser ke arah. penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pola penyakit yang diderita masyarakat telah bergeser ke arah penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, serta kanker dan Diabetes Melitus
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Diabetes melitus (DM) atau yang dikenal masyarakat sebagai penyakit kencing manis merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan kadar glukosa darah (gula darah) melebihi
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolik yang prevalensinya sangat tinggi di dunia selama lebih dari dua dekade (Singh, et al., 2012). Angka kejadian
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian deskriptif. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode B. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah sampel DNA koleksi hasil
Lebih terperinci4. PEMBAHASAN 4.1. Isolasi Protein Spirulina platensis
4. PEMBAHASAN Pengujian in vivo untuk mengetahui kemampuan sorbet pisang (Musa paradisiaca) yang ditambah dengan isolat protein Spirulina platensis dibagi dalam 4 tahap. Tahap pertama adalah proses isolasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (American Diabetes
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Diabetes Melitus (DM) adalah merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. II di berbagai penjuru dunia dan menurut WHO (World Health atau sekitar 2,38%. Menurut data Non-Communicable pada MDGs
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetik dan klinik termasuk heterogen diakibatkan karena hilangnya toleransi karbohidrat (Price, 2006). Menurut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terutama di masyarakat kota-kota besar di Indonesia menjadi penyebab
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan gaya hidup dan sosial ekonomi akibat urbanisasi dan modernisasi terutama di masyarakat kota-kota besar di Indonesia menjadi penyebab meningkatnya prevalensi
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. bertujuan untuk menidentifikasi gen angiotensin converting enzyme (ACE)
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif yang bertujuan untuk menidentifikasi gen angiotensin converting enzyme (ACE) insersi/ delesi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah. Diabetes melitus tipe 2 adalah sindrom metabolik. yang memiliki ciri hiperglikemia, ditambah dengan 3
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Diabetes melitus tipe 2 adalah sindrom metabolik yang memiliki ciri hiperglikemia, ditambah dengan 3 patofisiologi dasar : sekresi insulin yang terganggu, resistensi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit kronis. yang telah menjadi masalah global dengan jumlah
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit kronis yang telah menjadi masalah global dengan jumlah penderita lebih dari 240 juta jiwa di dunia. Indonesia merupakan negara
Lebih terperinciIII. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental yang bertujuan untuk
56 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode eksperimental yang bertujuan untuk mengamplifikasi Gen FNBP1L. B. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. 2004). Penyakit ini timbul perlahan-lahan dan biasanya tidak disadari oleh
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan kadar glukosa darah melebihi normal akibat tubuh kekurangan insulin (Sidartawan, 2004). Penyakit ini
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN UKDW. pada sel beta mengalami gangguan dan jaringan perifer tidak mampu
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Diabetes melitus merupakan gangguan metabolisme yang ditandai dengan munculnya hiperglikemia karena sekresi insulin yang rusak, kerja insulin yang rusak
Lebih terperinciVitamin D and diabetes
Vitamin D and diabetes a b s t r a t c Atas dasar bukti dari studi hewan dan manusia, vitamin D telah muncul sebagai risiko potensial pengubah untuk tipe 1 dan tipe 2 diabetes (diabetes tipe 1 dan tipe
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Gaya hidup modern dengan kesibukan tinggi dan serba otomatisasi menyebabkan masyarakat cenderung lebih suka mengonsumsi makanan cepat saji dan kurang aktivitas fisik
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM).
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM). Diabetic foot adalah infeksi, ulserasi, dan atau destruksi jaringan ikat dalam yang berhubungan
Lebih terperinciMETODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian
14 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu, Bagian Mikrobiologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. tipe 2 pada dekade-dekade terakhir ini (Abdullah et al., 2010). Indonesia sebagai
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Obesitas merupakan faktor risiko utama diabetes tipe 2. Peningkatan jumlah penduduk dengan obesitas berkontribusi terhadap meningkatnya prevalensi diabetes tipe 2 pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus adalah penyakit metabolik yang ditandai dengan keadaan hiperglikemia yang disebabkan oleh kurangnya produksi insulin atau tidak dapat menggunakan insulin
Lebih terperinciBAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Bentuk desain penelitian yang akan digunakan adalah bentuk deskriptif molekuler potong lintang untuk mengetahui dan membandingkan kekerapan mikrodelesi
Lebih terperinciMETODE. Materi. Tabel 1. Jumlah Sampel DNA yang Digunakan dan Asal Pengambilan Sampel Darah.
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pemuliaan dan Genetika Molekuler, Bagian Pemuliaan dan Genetik Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah salah satu penyakit. degenerative, akibat fungsi dan struktur jaringan ataupun organ
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) adalah salah satu penyakit degenerative, akibat fungsi dan struktur jaringan ataupun organ tubuh secara bertahap menurun dari waktu ke waktu karena
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pembuluh darah (Ruan, et al., 2013). Hiperglikemia tidak hanya meningkatkan resiko
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik kronik yang dikarakteristikan dengan hiperglikemia akibat gangguan pada sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Prevalensi Sindrom Metabolik yang Semakin Meningkat. mengidentifikasi sekumpulan kelainan metabolik.
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prevalensi Sindrom Metabolik yang Semakin Meningkat Sindrom metabolik, juga dikenal sebagai sindrom resistensi insulin atau sindrom X, merupakan istilah yang biasa digunakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pada tahun 2007 menjadi 2,1 pada tahun 2013 (Riskesdas, 2013). Hasil riset tersebut
BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 yang diselenggarakan oleh Departemen Kesehatan RI, rerata prevalensi diabetes di Indonesia meningkat dari 1,1 pada tahun
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Minuman berkarbonasi (Coca-cola dan coca-cola zero)
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minuman berkarbonasi (Coca-cola dan coca-cola zero) Minuman berkarbonasi (Coca-cola) merupakan minuman non alkohol yang mengalami proses karbonasi. Jenis minuman ini sangat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. insulin yang tidak efektif. Hal ini ditandai dengan tingginya kadar gula dalam
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus merupakan penyakit kronis yang disebabkan oleh ketidak mampuan tubuh untuk memproduksi hormon insulin atau karena penggunaan insulin yang tidak efektif.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penyakit gula. DM memang tidak dapat didefinisikan secara tepat, DM lebih
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) sering juga dikenal dengan nama kencing manis atau penyakit gula. DM memang tidak dapat didefinisikan secara tepat, DM lebih merupakan kumpulan
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN
19 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan uji potong lintang yang mendeskripsikan secara analitik profile lipid dengan rasio proinsulin-insulin. 3.2. Waktu dan Tempat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Association, 2013; Black & Hawks, 2009). dari 1,1% di tahun 2007 menjadi 2,1% di tahun Data dari profil
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok penyakit metabolisme yang ditandai oleh glukosa darah melebihi normal yang diakibatkan karena kelainan kerja insulin maupun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit degeneratif kronis yang semakin meningkat prevalensinya (Setiawati, 2004). DM mempunyai karakteristik seperti
Lebih terperinciFREDYANA SETYA ATMAJA J.
HUBUNGAN ANTARA RIWAYAT TINGKAT KECUKUPAN KARBOHIDRAT DAN LEMAK TOTAL DENGAN KADAR TRIGLISERIDA PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RUANG MELATI I RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI Skripsi Ini Disusun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) adalah sekelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia akibat gannguan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya (ADA,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit metabolik yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit metabolik yang prevalensinya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Diabetes melitus didefinisikan sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Proses penuaan merupakan rangkaian proses yang terjadi secara alami
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses penuaan merupakan rangkaian proses yang terjadi secara alami setelah manusia mencapai usia dewasa di mana seluruh komponen tubuh berhenti berkembang dan mulai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hiperglikemi yang berkaitan dengan ketidakseimbangan metabolisme
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes mellitus merupakan kerusakan metabolisme dengan ciri hiperglikemi yang berkaitan dengan ketidakseimbangan metabolisme karbohidrat, lemak serta protein yang
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu gangguan kronik pada metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak yang terjadi karena sekresi insulin berkurang dengan disertai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM) tipe 2 merupakan salah satu. penyakit tidak menular yang semakin meningkat di Indonesia.
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) tipe 2 merupakan salah satu penyakit tidak menular yang semakin meningkat di Indonesia. Perubahan gaya hidup dan urbanisasi merupakan penyebab
Lebih terperinciBAB V PEMBAHASAN. Kadar glukosa darah pada penelitian ini, terjadi peningkatan pada masingmasing
BAB V PEMBAHASAN Kadar glukosa darah pada penelitian ini, terjadi peningkatan pada masingmasing kelompok dapat dilihat pada tabel 11. Peningkatan kadar glukosa darah ini dikarenakan pemberian STZ yang
Lebih terperinciBab IV Hasil dan Pembahasan
16 Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1. Kadar Glukosa Darah Berdasarkan hasil pengukuran kadar glukosa darah mencit sebelum dan setelah pemberian alloxan, rata-rata kadar glukosa darah mencit sebelum pemberian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. di dunia, dengan prevalensi yang cenderung meningkat setiap tahun dan dapat
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Obesitas merupakan suatu masalah kesehatan bagi sebagian besar negara di dunia, dengan prevalensi yang cenderung meningkat setiap tahun dan dapat memicu timbulnya
Lebih terperinciSignal Transduction. Dr. Sri Mulyaningsih, Apt
Signal Transduction Dr. Sri Mulyaningsih, Apt Konsep umum signal transduction Komunikasi sel Tipe-tipe reseptor Molecular signaling Komunikasi antar sel Umumnya diperantarai oleh molekul sinyal ekstraseluler
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA) 2005 adalah
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA) 2005 adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes diturunkan dari bahasa Yunani yaitu diabetes yang berarti pipa air melengkung (syphon). Diabetes dinyatakan sebagai keadaan di mana terjadi produksi urin
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kemajuan, termasuk di bidang kedokteran, salah satunya adalah ilmu Anti Aging
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini perkembangan ilmu pengetahuan semakin mengalami kemajuan, termasuk di bidang kedokteran, salah satunya adalah ilmu Anti Aging Medicine (AAM) atau disebut
Lebih terperinciMATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Analisis Polymerase Chain Reaction (PCR) serta analisis penciri Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP) dilaksanakan di Laboratorium
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sebanyak 90% penderita diabetes di seluruh dunia merupakan penderita
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prevalensi penyakit diabetes secara global diderita oleh sekitar 9% orang dewasa berusia 18 tahun ke atas pada tahun 2014. Diabetes menjadi penyebab besarnya jumlah
Lebih terperinciBAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang American Diabetes Association (ADA) menyatakan bahwa Diabetes melitus
BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang American Diabetes Association (ADA) menyatakan bahwa Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
Lebih terperinci