BAB I PENGANTAR. Kerajaan Mataram Islam didirikan pada 1578 setelah terjadi. fragmentasi politis di Kerajaan Demak dan Kerajaan Pajang.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENGANTAR. Kerajaan Mataram Islam didirikan pada 1578 setelah terjadi. fragmentasi politis di Kerajaan Demak dan Kerajaan Pajang."

Transkripsi

1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Kerajaan Mataram Islam didirikan pada 1578 setelah terjadi fragmentasi politis di Kerajaan Demak dan Kerajaan Pajang. Kerajaan yang didirikan oleh Panembahan Senapati Ingalaga (memerintah ) itu berhasil mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Agung (lahir 1593, memerintah ). Ekspansi-ekspansi militer yang dilakukannya berhasil menegakkan kekuasaan Kerajaan Mataram yang memiliki wilayah meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat. 1 Namun, pada masa pemerintahan raja-raja yang menggantikannya Kerajaan Mataram tampak mengalami kemunduran. Ketidakmampuan untuk membayar ongkos-ongkos peperangan yang melibatkan Belanda untuk menumpas pemberontakan dan perang perebutan tahta mengakibatkan rajaraja penggantinya harus menyerahkan sebagian wilayah kerajaan 1 M.C. Ricklefs, Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi : Sejarah Pembagian Jawa, terjemahan Hartono Hadikusumo dan E. Setiawati Alkhatab (Yogyakarta: MataBangsa, 2002), hlm

2 2 melalui serangkaian kontrak dan konsesi ekonomi. 2 Aneksasianeksasi yang dilakukan oleh Belanda itu secara berangsurangsur menyempitkan wilayah kekuasaan kerajaan. Sejak penandatanganan Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram terfragmentasi menjadi dua bagian dengan kemunculan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta yang masing-masing di bawah kekuasaan Sunan Paku Buwana III (memerintah ) dan Sultan Hamengku Buwana I (memerintah ). 3 Selanjutnya pada 1757 wilayah kekuasaan Kasunanan Surakarta juga terfragmentasi menjadi dua dengan kemunculan Mangkunagaran di bawah kekuasaan Mangkunagara I (lahir 1723, memerintah ), dan pada 1812 hal serupa terjadi pula di Kasultanan Yogyakarta karena adanya Pakualaman di bawah kekuasaan Paku Alam I (memerintah ). 4 Dengan demikian, sejak Perjanjian Giyanti 1755 sampai dengan 1812 Kerajaan Mataram telah sempurna terbagi menjadi empat kekuasaan politik. 2 Ibid., hlm M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, terjemahan Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), hlm Ibid., hlm. 175.

3 3 Pembagian kerajaan yang mengakibatkan fragmentasi wilayah kekuasaan kerajaan, secara politis dan ekonomis dapat dipandang sebagai penyusutan kekuasaan raja. Akan tetapi, secara kultural kekuasaan raja sebagai pengayom kebudayaan Jawa tidak mengalami penyusutan. Oleh karena itu, setelah terjadinya penetrasi kolonial Belanda dalam bidang politik dan ekonomi perhatian raja lebih diarahkan pada pengembangan bidang kebudayaan. 5 Akibatnya, apabila sebelum Perjanjian Giyanti 1755 hanya terdapat satu pusat kebudayaan Jawa, maka setelah Perjanjian Giyanti 1755 secara kultural terdapat dua pusat kebudayaan Jawa yang kemudian diikuti dengan kemunculan subpusat-subpusat kebudayaan Jawa di Surakarta dan Yogyakarta. Subpusat-subpusat kebudayaan itu kemudian berkembang menjadi pusat-pusat kebudayaan Jawa yang menjadikan kebudayaan Jawa semakin berkembang dan kaya. Raja-raja Kasunanan Surakarta menjadi patron dalam pengembangan kebudayaan Jawa. Sunan Paku Buwana IV (lahir 1768, memerintah ), Sunan Paku Buwana V (memerintah ), dan Sunan Paku Buwana IX (lahir 1830, memerintah ) merupakan patron-patron yang memiliki perhatian besar dalam pengembangan kebudayaan Jawa 5 Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta (Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000).

4 4 Surakarta. Puncak perkembangan kebudayaan Keraton Surakarta terjadi pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana X (lahir 1866, memerintah ). Pada akhir abad XIX sampai dengan akhir dasawarsa keempat abad XX Sunan Paku Buwana X membangun kebudayaan Keraton Surakarta sehingga mencapai perkembangan yang sangat halus, rumit, dan terinci, yang dengan meminjam istilah gaya seni di Eropa disebut barokisasi. 6 Walaupun kekuasaan raja dalam konsep politik telah mengalami penyusutan dan kekuasaan ekonominya mengalami kemunduran, namun tidak berarti Sunan Paku Buwana X telah kehilangan segalanya. Ia masih menguasai simbol-simbol budaya yang dapat memperkuat kedudukannya sebagai penguasa. 7 Di mata rakyatnya Sunan Paku Buwana X adalah raja yang memiliki kekuasaaan yang besar, sakral magis, dan memperoleh banyak wahyu. Dengan kata lain, sebenarnya kekuasaan raja dalam konsep kultural tidak memudar, yang ditunjukkan dengan 6 Ibid., hlm Istilah barokisasi berasal dari istilah gaya Barok (Baroque) di Eropa, yaitu untuk memberikan nama gaya yang sangat megah, mewah, dan banyak ornamentasi. Gaya ini berkembang di Eropa pada abad XVII setelah Zaman Renaissance berakhir. Lihat R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan Dari Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003), hlm. 93 catatan nomor Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta, (Yogyakarta: Ombak, 2004), hlm. 3.

5 5 penyelenggaraan upacara dan pesta yang semakin hebat, 8 serta pembakuan seni pertunjukan yang mencakup seni pedhalangan (pakem), karawitan (waton), dan tari (waton) sebagai simbol kebesaran raja. 9 Dalam folklore Jawa yang hidup di kalangan masyarakat Jawa dewasa ini, dikatakan bahwa Sunan Paku Buwana X adalah raja Jawa terbesar yang telah menghabiskan kemuliaan, kamukten, dan kewibawaan untuk dirinya sendiri, sehingga tidak tersisa sedikit pun untuk raja-raja sesudahnya. Ia adalah seorang raja Jawa sejati yang terakhir. 10 Sehubungan dengan itu, ketika Sunan Paku Buwana X mangkat pada 1939, hal ini dianggap sebagai tanda berakhirnya kekuasaan Kasunanan Surakarta (keraton wis koncatan wahyu). 11 Sementara itu, di Mangkunagaran, Mangkunagara I melakukan restrukturisasi budaya. Ia meletakkan fondasi 8 Darsiti Soeratman, passim. 9 Waridi, Karawitan Jawa Masa Pemerintahan Paku Buwana X: Perspektif Historis dan Teoretis (Surakarta: ISI Press, 2006); Soetarno, Sarwanto, dan Sudarko, Sejarah Pedalangan (Surakarta: Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta dan CV Cendrawasih, 2007), hlm Kuntowijoyo, op. cit., hlm Cantrik Mataram, Peranan Ramalan Djojoboyo dalam Revolusi Kita (Bandung: Masa Baru, 1954, Cetakan III), hlm

6 6 pembangunan kebudayaan Jawa melalui aktivitas-aktivitas seni. 12 Puncak perkembangan kebudayaan Jawa di Mangkunagaran terjadi pada masa pemerintahan Mangkunagara IV (lahir 1811, memerintah ). Ia adalah seorang yang berhasil mengantarkan Mangkunagaran mencapai puncak kejayaan dan sekaligus menjadikannya sebagai pusat kebudayaan Jawa yang lain di Surakarta pada pertengahan hingga akhir abad XIX. Ia memiliki perhatian yang besar dalam pengembangan kesusastraan dan seni pertunjukan Jawa di Mangkunagaran. Pendek kata, ia telah membawa perubahan dan perkembangan baru dalam kehidupan kebudayaan Jawa di Mangkunagaran. 13 Pengembangan kebudayaan Jawa di Mangkunagaran yang fondasinya telah diletakkan oleh Mangkunagara I dan mengalami perkembangan yang pesat di tangan Mangkunagara IV diteruskan oleh Mangkunagara VII (lahir 1885, memerintah ). Ia banyak memberikan perhatian terhadap pengembangan kebudayaan Jawa dengan penerbitan karya-karya Mangkunagara 12 Zainuddin Fananie, Pandangan Dunia KGPAA Hamengkoenagoro I dalam Babad Tutur: Sebuah Restrukturisasi Budaya (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1994). 13 Dhanang Respati Puguh, Pemikiran K.G.P.A.A. Mangkunagara IV tentang Ketataprajaan ( ) (Tesis Sarjana S-2 Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2000), hlm. 5-6.

7 7 IV, pendirian kelompok studi filsafat dan kebudayaan, serta pendirian Java Instituut. 14 Sejak masa kekuasaan Jepang ( ) keadaan Mangkunagaran semakin menurun menyusul situasi sama yang telah terjadi sebelumnya di Kasunanan. Sunan Paku Buwana XI (memerintah ) segera menyerah kepada pembesarpembesar Tentara Jepang. Keluarga raja-raja di Surakarta tidak berusaha untuk menjauhkan diri mereka dari pemerintah balatentara Jepang. Keruntuhan ekonomi perkebunan mengakhiri sumber penting bagi pendapatan kerajaan. Inflasi pun dengan serius mengurangi daya beli para pegawai kerajaan. Keadaan itu diperparah dengan kemangkatan Sunan Paku Buwana XI dan Mangkunagara VII pada Kemangkatan kedua penguasa itu menimbulkan perasaan disintegrasi yang semakin memuncak karena krisis pergantian tahta di dua istana. Selanjutnya, Sunan Paku Buwana XI digantikan oleh putranya yang berusia belasan tahun, tidak berpengalaman, tanpa perhatian pada kegiatan politik dan bahkan pada kegiatan apa pun kecuali kesenangankesenangan pribadinya. Sunan Paku Buwana XII (lahir 1925, 14 Wasino, Kebijaksanaan Pembaharuan Pemerintahan Praja Mangkunagaran: Studi tentang Strategi Pemerintahan Tradisional dalam Menanggapi Perubahan Sosial (Akhir Abad XIX-Pertengahan Abad XX) (Tesis Sarjana S-2 Sejarah Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1994), hlm

8 8 memerintah ) yang masih muda itu dengan mudah dikuasai oleh Ibu Suri dan sekutu-sekutunya. Demikian pula di Mangkunagaran, Mangkunagara VII juga meninggalkan pengganti yang masih muda dan tanpa pengalaman, Mangkunagara VIII (lahir 1920, memerintah ), serta didominasi oleh pegawai-pegawai istana yang lebih tua dan konservatif. 15 Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia 1945, keberadaan Kasunanan dan Mangkunagaran Surakarta masih mendapatkan pengakuan dari Pemerintah Republik Indonesia dengan pemberian status Surakarta sebagai daerah swapraja; suatu kekuasaan istimewa seperti yang juga diberikan kepada Kasultanan dan Pakualaman di Yogyakarta. Namun demikian, dalam perkembangan, kedua penguasa di daerah swapraja itu (Sunan Paku Buwana XII dan Mangkunagara VIII) tidak bersimpati pada Revolusi. Mereka tidak mengambil tindakan yang progresif, yang mengakibatkan dua-duanya kehilangan kesetiaan dari rakyatnya. Berbeda dari rencana semula pemerintah pusat yang akan membentuk sebuah Daerah Istimewa di Surakarta, pada 1946 baik Kasunanan maupun Mangkunagaran dilucuti dari otonomi 15 Ben Anderson, Revoloesi Pemuda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa, terjemahan Pustaka Sinar Harapan (Jakarta: Sinar Harapan, 1988), hlm. 385.

9 9 pemerintahannya, daerah swapraja dibekukan dan pada 1950 akhirnya keduanya menjadi bagian dari Provinsi Jawa Tengah. 16 Ketika Kasunanan sudah kehilangan pamor-nya setelah kemangkatan Sunan Paku Buwana X (1939) dan Mangkunagaran kehilangan seorang patron budaya yang giat dan kreatif setelah kemangkatan Mangkunagara VII (1944), serta para penggantinya tidak lagi memiliki kekuasaan politik sejak kehilangan status daerah istimewa, bagaimana perkembangan kebudayaan Jawa Surakarta pada periode selanjutnya? Di tengah-tengah kondisi itu dalam kenyataannya di dunia kebudayaan Jawa, gaya Surakarta tampil lebih dominan dalam konteks makro keindonesiaan dibandingkan dengan Yogyakarta. Sebagai contoh adalah seni pertunjukan tradisi Jawa Surakarta yang mencakup karawitan, tari, dan pedhalangan tampak berkembang lebih dinamis dan mewarnai kehidupan kebudayaan Jawa dalam panggung Indonesia pada masa kemerdekaan. Sehubungan dengan itu, studi ini dilakukan untuk mencari penjelasan tentang tampilnya kebudayaan Jawa Surakarta pascakeruntuhan kekuasaan politik Kasunanan dan Mangkunagaran. 16 Kenang-kenangan Kota Besar Surakarta (Surakarta: Djawatan Penerangan Kota Besar Surakarta, 1953), hlm

10 10 Studi ini menarik untuk dilakukan karena sepanjang pengetahuan penulis belum ada kajian sejarah yang memfokuskan pada topik tersebut. Studi-studi yang telah dilakukan oleh para sarjana seni pertunjukan yaitu Kriswanto 17 dan Soemaryatmi 18 lebih memberikan penjelasan estetis terhadap fenomena tampilnya seni pertunjukan (karawitan dan tari) gaya Surakarta sehingga lebih diminati oleh masyarakat luas, dan dapat mendominasi kehidupan seni karawitan dan tari di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam konteks yang lebih luas studi ini penting untuk dilakukan karena dapat digunakan untuk memahami persoalanpersoalan pengelolaan warisan budaya bangsa Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan kedudukan kebudayaan daerah dalam pembangunan kebudayaan Indonesia moderen. Dalam konteks kekinian studi ini juga akan menemukan relevansinya ketika eksistensi kebudayaan daerah di Indonesia semakin termajinalisasi seiring dengan perubahan sosial yang cepat sebagai akibat dari adanya proses globalisasi. Eksistensi kebudayaan daerah di Indonesia perlu mendapatkan perhatian. Melalui studi 17 Kriswanto, Dominasi Karawitan Gaya Surakarta di Daerah Istimewa Yogyakarta (Surakarta: ISI Press, 2008). 18 Soemaryatmi, Kehadiran Tari Gaya Surakarta di Daerah Istimewa Yogyakarta (Tesis Sarjana Strata 2 pada Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1998).

11 11 ini akan dapat diketahui kebijakan kebudayaan yang harus dilakukan untuk menyelamatkan eksistensi kebudayaan daerah di Indonesia saat ini. B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ini membahas tentang langkah-langkah strategis yang dilakukan oleh negara dan masyarakat untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Jawa Surakarta. Negara dalam hal ini direpresentasikan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah Surakarta, dan masyarakat direpresentasikan oleh para tokoh dan anggota masyarakat yang terhimpun dalam perkumpulan, serta masyarakat keraton (Kasunanan dan Mangkunagaran). Langkah-langkah strategis itu perlu dilakukan karena adanya kebutuhan untuk mengembangkan kebudayaan Jawa Surakarta yang merupakan kebudayaan daerah dalam rangka pembangunan kebudayaan Indonesia seiring dengan terbentuknya negara bangsa Indonesia. Dengan demikian, penelitian ini akan memfokuskan pada kebijakan-kebijakan dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Jawa Surakarta. Namun demikian, tidak semua unsur kebudayaan akan dibahas dalam disertasi ini. Perhatian akan diberikan pada unsur kebudayaan Jawa Surakarta yang paling menonjol dan

12 12 banyak mendapatkan perhatian dalam rangka pelestarian dan pengembangannya, yaitu seni pertunjukan tradisi keraton. Sehubungan dengan hal itu, penelitian ini akan dipandu dengan lima pertanyaan utama, yaitu: 1. Mengapa perlu upaya pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta? 2. Siapa yang berperan dalam upaya-upaya pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta? 3. Bagaimana upaya-upaya pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta dilakukan? 4. Apa hasil yang diperoleh dari upaya-upaya dalam pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta? 5. Bagaimana periodisasi upaya-upaya pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta? Secara spasial, Surakarta dijadikan sebagai lokus dari studi ini. Hal ini tidak lain karena Surakarta merupakan tempat keberadaan Kasunanan dan Mangkunagaran yang pada masa sebelum kemerdekaan menjadi pusat kekuasaan politik, ekonomi, dan budaya, serta ajang pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan Jawa Surakarta pada masa Indonesia merdeka. Di kota ini juga berdiri lembaga-lembaga kebudayaan yang dibentuk oleh negara seperti Radio Republik Indonesia (RRI) Surakarta (1945), Konservatori Karawitan Indonesia (Kokar) Surakarta

13 13 (1950), perusahaan rekaman Lokananta (1956), Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta (1964), dan Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT, 1970) yang berperan dalam pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta. Oleh karena studi ini juga membahas tentang wacana dan kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia dalam pembangunan kebudayaan Indonesia, maka pembahasannya akan melampaui ruang lingkup spasial yang telah ditetapkan. Maka dari itu, Indonesia juga menjadi ruang lingkup spasial kedua dalam studi ini. Penetapan ruang lingkup spasial ini juga dilandasi oleh pemikiran bahwa kiprah dari lembaga-lembaga kebudayaan di Surakarta melampaui batas administratif kota Surakarta. Secara temporal, penelitian ini mengambil periode 1950an sampai dengan 1990-an. Pemilihan dasawarsa 1950an sebagai titik awal studi ini didasarkan atas pertimbangan bahwa pada 1950 Kasunanan dan Mangkunagaran telah benar-benar kehilangan kekuasaan politik, karena penghapusan swapraja dan menjadikan Surakarta sebagai bagian dari Provinsi Jawa Tengah. Seiring dengan kemerosotan posisi politis dua pusat kebudayaan Jawa Surakarta itu, dilakukan upaya-upaya untuk menyelamatkan eksistensi kebudayaan Jawa Surakarta yang secara kelembagaan ditandai oleh pendirian Kokar di Surakarta (1950), pemanfaatan RRI Surakarta untuk mengembangkan

14 14 kebudayaan daerah [Jawa] (1950), dan pendirian perusahaan rekaman Lokananta (1956) yang juga berperan dalam pengembangan kebudayaan daerah dalam rangka pembangunan kebudayaan nasional. Sementara itu, dasawarsa 1990-an dijadikan sebagai titik akhir studi dengan pertimbangan bahwa pada periode itu upayaupaya untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Jawa Surakarta mencapai perkembangan yang signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan beberapa bukti sebagai berikut. Pertama, Kokar, ASKI, dan PKJT di Surakarta telah berhasil mencetak seniman-seniman yang andal, menyebar ke berbagai daerah, dan berkiprah bersama masyarakat dalam pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta. Selain itu, konsepkonsep pembaharuan kehidupan seni pertunjukan tradisi keraton yang diletakkan oleh Humardani selaku pimpinan ASKI dan PKJT telah menuai hasilnya pada dasawarsa 1990an melalui karyakarya civitas akademik ASKI dan seniman-seniman yang pernah terlibat dalam kegiatan-kegiatan PKJT. Kedua, pada dasawarsa 1990an mata acara siaran kesenian Jawa RRI Surakarta masih mendapatkan tempat di kalangan masyarakat Surakarta, walaupun terdapat gejala penurunan. Setelah itu, dari tahun ke tahun mata acara siaran kesenian Jawa mengalami penurunan minat pendengar. Selain itu, pada 1990

15 15 Lokananta masih menghasilkan kaset rekaman kesenian Jawa, walaupun merupakan reproduksi dan alih media dari rekamanrekaman kesenian Jawa yang pernah dihasilkan. Ketiga, pada awal dasawarsa 1990-an Kasunanan dan Mangkunagaran menunjukkan gejala yang semakin nyata memanfaatkan warisan budaya Jawa Surakarta miliknya untuk kepentingan pariwisata yang ditandai dengan kemunculan seni kemasan wisata di kedua istana tersebut. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Ada tiga tujuan utama yang ingin dicapai dalam studi ini, yaitu: pertama, menjelaskan peranan negara dan masyarakat dalam pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta; kedua, mendeskripsikan kiprah lembaga-lembaga kebudayaan di Surakarta dalam upaya-upaya pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta; ketiga, mendeskripsikan pencapaian lembaga-lembaga kebudayaan di Surakarta dalam melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Jawa Surakarta. Sementara itu, ada dua manfaat yang diperoleh dari studi ini. Pertama, secara historiografis studi ini dapat menambah khasanah historiografi Surakarta, khususnya dalam tema sejarah kebudayaan. Kedua, hasil studi ini dapat memberikan inspirasi

16 16 dan dapat dijadikan sebagai landasan dalam menyusun kebijakan budaya Jawa di masa kini dan akan datang. D. Tinjauan Pustaka Kajian tentang sejarah Surakarta telah banyak dilakukan oleh sejarawan. Secara tematik kajian itu dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kategori, yaitu sejarah sosial dan ekonomi, sejarah sosial dan politik, dan sejarah kebudayaan. Tidak semua studi itu akan dibahas dalam bagian ini, tetapi hanya beberapa karya penting saja untuk mengetahui perkembangan historiografi Surakarta. Sejarah sosial ekonomi Surakarta telah menjadi subjek pembahasan Vincent J. Houben dan Suhartono. Dalam disertasi yang kemudian diterbitkan menjadi buku dengan judul Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta, , 19 Houben membahas tentang reorganisasi pemerintahan Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta serta daerah mancanagara setelah Perang Jawa berakhir. Reorganisasi terjadi karena Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta dianggap sebagai pihak yang dinyatakan kalah dalam Perang Jawa, sehingga pihak tersebut harus 19 Vincent J.H. Houben, Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta, , terjemahan E. Setiyawati Alkhatab (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002).

17 17 merelakan sebagian wilayahnya untuk diserahkan kepada pemerintah Hindia-Belanda sebagai ganti rugi. Perubahanperubahan di kedua kerajaan itu sebagai akibat dari reorganisasi pemerintahan dan agraria menimbulkan reaksi-reaksi terhadap pemerintah kolonial Belanda. Suhartono melalui disertasi yang telah dibukukan berjudul Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta, membahas tentang perubahan penguasaan tanah apanage dan peranan bekel. Oleh karena sistem apanage dianggap menghambat modernisasi kolonial, maka sistem ini diubah oleh pemerintah kolonial menjadi sistem pemilikan tanah individual, sehingga perusahaan perkebunan mendapatkan ekstraksi maksimal dari petani. Sistem apanage menciptakan peranan bekel sebagai penebas pajak. Untuk meningkatkan efisiensi penarikan pajak dari petani, maka pemerintah kolonial mengalihkan fungsinya sebagai penjaga keamanan desa. Sejak saat itu, bekel yang semula sebagai penebas dan pengumpul pajak menjadi pemegang kekuasaan desa. George Donald Larson, Supariadi, dan Kris Hapsari adalah para sejarawan yang memberikan perhatian pada studi sejarah politik Surakarta. Larson dalam disertasi yang juga telah 20 Suhartono, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991).

18 18 diterbitkan dalam buku berjudul Masa Menjelang Revolusi: Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta, membahas tentang keraton dan kehidupan politik di Surakarta. Dalam studi itu dijelaskan bahwa selama beberapa dasawarsa terakhir dari masa pemerintahan kolonial, Belanda berusaha untuk mengadakan perubahan dan mengekang respon politik terhadap perubahan itu. Belanda bermaksud memperbaiki mutu kehidupan baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan administratif. Elite Jawa di Mangkunagaran pada dasarnya menyetujui upaya-upaya perbaikan itu, walaupun tidak senang terhadap kecenderungan paternalistis sebagian pegawai Jawa. Sebaliknya, elite Jawa di Kasunanan Surakarta pada hakikatnya melawan perbaikan yang dipaksakan oleh Belanda, karena menurut mereka usaha perbaikan dan modernisasi harus berarti otonomi politik. Pada tataran rakyat di kedua kerajaan itu ada pula kekesalan yang meluas terhadap beberapa perubahan yang dipaksakan oleh Belanda. Supariadi dalam buku berjudul Kyai dan Priyayi di Masa Transisi 22 yang merupakan penyempurnaan dari tesisnya 21 George Donald Larson, Masa Menjelang Revolusi: Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta, , terjemahan A.B. Lapian (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990). 22 Supariadi, Kyai dan Priyayi di Masa Transisi (Surakarta: Pustaka Cakra, 2001).

19 19 membahas tentang politik Sunan Paku Buwana IV yang selalu diarahkan untuk menjatuhkan Kasultanan Yogyakarta dan melepaskan diri dari pengaruh Kumpeni. Oleh karena kebijakankebijakan Sunan Paku Buwana IV tidak mendapatkan dukungan dari para bangsawan dan priyayi kerajaan, maka ia mengalihkan perhatiannya pada kyai yang sebagian menjadi penasihat dan mewarnai kebijakan-kebijakan politiknya. Kris Hapsari melalui tesis berjudul Kasunanan dan Mangkunegaran di Tengah Kekuatan Radikal Surakarta Tahun membahas tentang upaya-upaya Kasunanan dan Mangkunagaran untuk mendapatkan status sebagai Daerah Istimewa Surakarta pada periode Revolusi Indonesia dari sudut pandang Kasunanan dan Mangkunagaran. Keterlibatan dan sumbangan Kasunanan dan Mangkunagaran dalam pergerakan nasional Indonesia selama tiga dasawarsa akhir pemerintahan kolonial Belanda di Surakarta, telah terhapus oleh kedekatan kedua institusi itu dengan Pemerintah Militer Jepang. Hal ini menimbulkan kesan yang mendalam bagi rakyat Surakarta terhadap Kasunanan dan Mangkunagaran sebagai monarkhi yang fasis, karena mendukung program-program Pemerintah Militer 23 Kris Hapsari, Kasunanan dan Mangkunegaran di Tengah Kekuatan Radikal Surakarta Tahun (Tesis Program Magister Ilmu Sejarah Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2011).

20 20 Jepang yang menindas rakyat. Sikap Sunan Paku Buwana XII dan Mangkunagara VIII yang pasif ketika penyerahan kekuasaan Jepang kepada KNID Surakarta semakin memperkuat kesan bahwa Kasunanan dan Mangkunagaran tidak berpihak kepada Republik Indonesia. Keyakinan itu mendorong kemunculan kelompok anti-kasunanan dan anti-mangkunagaran yang dalam perkembangan tumbuh sebagai kelompok antiswapraja dan bergabung dengan kelompok radikal Surakarta untuk menghapus Kasunanan dan Mangkunagaran. Perjuangan Kasunanan dan Mangkunagaran untuk mendapatkan status sebagai Daerah Istimewa Surakarta selalu mendapatkan penolakan dari kelompok radikal di Surakarta. Oleh karena tampak tidak mendapatkan dukungan dari rakyatnya akhirnya pemerintah pusat mencabut dukungan untuk Kasunanan dan Mangkunagaran dan menjadikan Surakarta sebagai bagian dari Provinsi Jawa Tengah. Dalam kategori sejarah kebudayaan, Darsiti Soeratman, Kuntowijoyo, dan Rustopo adalah nama-nama yang tidak boleh diabaikan dalam studi sejarah Surakarta. Darsiti Soeratman dalam disertasi yang telah diterbitkan menjadi buku berjudul Kehidupan Dunia Keraton Surakarta membahas keraton sebagai entitas sosial. Sebagai sebuah entitas sosial, 24 Darsiti Soeratman, passim.

21 21 komunitas keraton melakukan interaksi sosial baik secara individual maupun secara kolektif. Mereka juga melakukan interaksi sosial dengan komunitas di luar keraton, yang semakin banyak dilakukan sesudah raja yang berkuasa bersikap menerima pendidikan Barat. Setelah Perang Jawa, selama lebih dari seratus tahun ( ), Kasunanan Surakarta yang diperintah oleh empat orang raja, yaitu: Sunan Paku Buwana VII (memerintah ) sampai Sunan Paku Buwana X (memerintah ), mengalami penetrasi kolonial semakin mendalam dan secara terus-menerus terpaksa harus menyerahkan sebagian wilayah kerajaan kepada pemerintah Hindia Belanda. Hal itu kemudian diikuti dengan penyerahan pengadilan dan kepolisian, serta pelepasan hak atas tanah sehubungan dengan adanya reorganisasi agraria. Walaupun Kasunanan Surakarta mengalami penetrasi politik, pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana X peradaban keraton Surakarta mengalami perkembangan yang sangat halus, rumit, dan terinci, yang oleh Darsiti Soeratman dengan meminjam istilah gaya seni di Eropa disebut dengan barokisasi. Dalam buku berjudul Raja, Priyayi, dan Kawula 25 Kuntowijoyo membahas sejarah sensibilitas masyarakat Surakarta 25 Kuntowijoyo, passim.

22 22 periode yang memfokuskan pada raja (Paku Buwana X), priyayi, dan kawula. Dengan menggunakan pendekatan psichohistory, ia mampu melihat kepribadian Sunan Paku Buwana X yang dengan simbol-simbol pribadi dan publiknya telah berhasil menjadi raja besar. Sementara itu, priyayi dan kawula dikaji dengan menggunakan pendekatan sejarah mentalitas. Kesetiaan priyayi pada raja adalah karena perkenalan mereka sejak dini dengan kekuasaan melalui simbol-simbol bersamaan dengan sosialisasi. Oleh karena itu, para priyayi mengembangkan budaya afirmatif. Cara kawula memahami simbol berbeda dari priyayi. Kekuasaan raja dengan simbol-simbolnya yang telah meluntur di hadapan kawula dan perilaku priyayi menimbulkan hasrat untuk melawan secara diam-diam, yang kemudian terbentuklah impian untuk melawan dalam wujud budaya tandingan. Sementara itu, dalam buku yang berasal dari disertasinya dengan judul Menjadi Jawa: Orang-orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa di Surakarta, , 26 Rustopo membahas tentang interaksi sosial dan kultural antara orang-orang Tionghoa dan Jawa di Surakarta sejak akhir abad XIX sampai sepanjang abad XX. Dalam interaksi sosial mereka sering kali terjadi 26 Rustopo, Menjadi Jawa: Orang-orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa di Surakarta, (Yogyakarta: Ombak- Yayasan Nabil, 2007).

23 23 kesenjangan yang bersifat laten dan kadang-kadang menjadi penyulut timbulnya kerusuhan; sedangkan dalam interaksi kultural, orang-orang Tionghoa tertentu melebur ke dalam nilainilai dan unsur-unsur kebudayaan Jawa. Tanpa mengabaikan realitas sosial tersebut, buku itu memfokuskan pada proses interaksi kultural antara orang-orang Tionghoa dengan kebudayaan Jawa, yang pada akhirnya menjadikan mereka sebagai orang-orang Tionghoa yang menjadi Jawa. Tema tentang politik kebudayaan telah menjadi perhatian dari para antropolog dan ahli seni pertunjukan. James T. Siegel dan John Pemberton merupakan dua antropolog yang telah melakukan studi tentang politik kebudayaan dengan mengambil ruang lingkup spasial Surakarta. Dalam Solo in the New Order: Language and Hierarchy in Indonesian City 27 Siegel membahas tentang pengorganisasian dan penataan masyarakat Jawa dengan mengikuti hirarki bahasa Jawa Krama dan Jawa Ngoko. Dalam pandangan Siegel, bahasa Jawa memperlihatkan karakteristik sebagai dua bahasa, ialah bahasa Jawa Ngoko dan bahasa Jawa Krama. Sesuai dengan karakteristik itu, ada dua proses yang berlangsung dalam kerja bahasa, yaitu penerusan dan 27James T. Siegel, Solo in the New Order: Language and Hierarchy in an Indonesian City (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1986).

24 24 penerjemahan. Penerjemahan dalam hal ini merupakan persoalan sentral bagi orang Jawa karena berkait dengan usaha menetapkan tempat orang lain (the others) dalam diskursus kejawaan dan dalam memantapkan hirarki sosial dan politik seseorang atau sekelompok orang dalam struktur masyarakat Jawa. Orang Jawa selalu merasa perlu untuk menerjemahkan bahasa Jawa Ngoko ke dalam bahasa Jawa Krama, tetapi tidak sebaliknya. Hal itu dilakukan dalam rangka menjadi Jawa menurut kriteria dalam masyarakat atau kebudayaan Jawa. Seseorang oleh karenanya tidak dapat membicarakan orang Jawa tanpa menetapkan posisi hirarkis dirinya terhadap lawan bicara. Sementara itu, John Pemberton dalam karyanya Jawa : On The Subject of Java 28 membahas tentang kondisi-kondisi kesejarahan yang menjadi wahana bagi kemunculan wacana kebudayaan pada masa kolonial dan pascakolonial. Dengan menelaah manuskrip-manuskrip Jawa masa akhir abad XIX, Pemberton membahas kondisi-kondisi pembentukan pengetahuan di Jawa sejak awal kekuasaan kolonial Belanda. Ia menyatakan bahwa 1830 merupakan suatu tonggak yang disebut sebagai kesadaran kultural Jawa yang ditandai dengan tumbuhnya religiusitas, pemikiran, sejarah sastra dan seni. Sementara itu, 28 John Pemberton, Jawa ; On The Subject of Java, terjemahan Hartono Hadikusumo (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003).

25 25 dengan menggunakan catatan etnografis tentang pemilu, pembangunan Taman Mini Indonesia Indah, dan upacara perkawinan ia menjelaskan tentang adanya pencitraan kultural Orde Baru untuk menutupi kekerasan yang dilakukan oleh militer pada Joergen Hellman dalam disertasinya yang berjudul Longser Antar Pulau: Indonesian Cultural Politics and the Revitalisation of Traditional Theatre 29 membahas tentang penggunaan seni dan penghidupan kembali teater tradisional pada masa pemerintahan Orde Baru. Longser Antar Pulau merupakan kelompok mahasiswa Jurusan Teater Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung yang anggotanya terdiri atas berbagai etnis. Mereka menggelar pertunjukan longser tradisional (tanpa naskah) dengan menggunakan bahasa Indonesia. Lakon-lakon yang mereka tampilkan selalu mengandung muatan kritik kepada pemerintah yang dilontarkan secara terselubung. Julianti Parani dalam bukunya Seni Pertunjukan Indonesia: Suatu Politik Budaya 30 membahas tentang seni pertunjukan 29 Joergen Hellman, Longser Antar Pulau: Indonesian Cultural Politics and the Revitalisation of Traditional Theatre (Department of Social Anthropology, University of Goteborg, Sweden, 1999). 30 Julianti Parani, Seni Pertunjukan Indonesia: Suatu Politik Budaya (Jakarta: Penerbit Nalar-Kajian Seni Pertunjukan Institut Kesenian-Kelola, 2011).

26 26 sebagai politik kebudayaan. Melalui studi untuk mendapatkan gelar doktor dalam bidang antropologi, ia menganalisis perkembangan seni pertunjukan dalam lingkup budaya politik yang berkembang pada zamannya. Salah satu bentuk seni pertunjukan sebagai politik kebudayaan adalah penetapan Serampang Duabelas sebagai Tari Nasional. Kebijakan budaya Indonesia telah menjadi perhatian dari Tod Jones dalam disertasi berjudul Indonesian Cultural Policy, : Culture, Institution, Government. 31 Ia mengkaji kebijakan budaya di Indonesia dengan fokus pada kebijakan budaya Pemerintah Republik Indonesia dari 1950 hingga Pembahasan difokuskan pada perubahan-perubahan kebijakan Pemerintah Republik Indonesia dari era Soekarno sampai dengan era Reformasi. Kebijakan budaya pada era Soekarno antara lain diarahkan untuk membentuk sintesis baru dari budaya nasional Indonesia. Kebijakan budaya selama era Orde Baru menolak 'politisasi' budaya sebagaimana dilakukan oleh Soekarno. Kebijakan budaya pada era Orde Baru diarahkan untuk mendukung pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, Orde Baru memperkuat peran negara dalam memberikan bimbingan budaya. 31 Tod Jones, Indonesian Cultural Policy, : Culture, Institution, Government 31 (Thesis is presented for Degree of Doctorate of Philosophy of Curtin University of Technology Perth, 2005).

27 27 Kebudayaan Indonesia dikembangkan untuk melindungi nilai-nilai budaya Indonesia. Pada era Reformasi terjadi perubahan kebijakan budaya yang ditandai oleh adanya pemisahan bidang kebudayaan dari bidang pendidikan. Meskipun terjadi perubahan organisasi, namun wacana budaya era Orde Baru pada umumnya masih terus mendominasi kebijakan budaya di Indonesia pada era desentralisasi. Desentralisasi menciptakan kemungkinan pluralitas kebijakan budaya di seluruh Indonesia, karena pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengelola kebijakan budaya. Tokoh-tokoh seniman dari dalam dan luar kota Surakarta yang telah berkiprah dalam pelestarian dan pengembangan kesenian gaya Surakarta telah mendapatkan perhatian dari para ahli seni pertunjukan dalam bentuk penulisan biografi dan pengkajian seni pertunjukan. Dua studi yang perlu disebut di sini adalah yang dilakukan oleh Rustopo dan Waridi karena secara tematik memiliki kedekatan dan relevansi dengan studi yang dilakukan oleh penulis. Rustopo dalam buku yang berasal dari tesisnya untuk mendapatkan kesarjanaan strata 2 berjudul Gendhon Humardani Sang Gladiator: Arsitek Kehidupan Seni

28 28 Tradisi Modern 32 membahas tentang biografi Gendhon Humardani. Pembahasannya difokuskan pada pandangan, gagasan, dan kiprah Gendhon dalam mewujudkan kehidupan seni tradisi Jawa yang moderen mengindonesia. Oleh karena ketokohannya dalam pengembangan seni tradisi Jawa, maka Rustopo menyebutnya sebagai sang gladiator. Sementara itu, Waridi dalam buku yang merupakan bagian dari disertasinya dengan judul Gagasan & Kekaryaan Tiga Empu Karawitan: Pilar Kehidupan Karawitan Jawa Gaya Surakarta an (Ki Martapengrawit, Ki Tjakrawasita, Ki Nartasabda) 33 membahas tentang gagasan dan kekaryaan tiga empu karawitan yang menjadi pilar-pilar penyangga kehidupan karawitan Jawa Surakarta periode an, yaitu Martopangrawit, Tjokrowasito, dan Nartosabdho. Selain menghasilkan karya-karya berupa gendhing, Martopangrawit memiliki sumbangan yang besar dalam membangun konsep dan teori karawitan. Tjokrowasito menjadi pelopor dalam pembaruan karawitan Jawa melalui karya- 32 Rustopo, Gendhon Humardani Sang Gladiator: Arsitek Kehidupan Seni Tradisi Modern (Yogyakarta: Yayasan Mahavhira, 2001). 33 Waridi, Gagasan & Kekaryaan Tiga Empu Karawitan: Pilar Kehidupan Karawitan Jawa Gaya Surakarta an (Ki Martapengrawit, Ki Tjakrawasita, Ki Nartasabda) (Bandung- Surakarta: Etnoteater Publisher, BACC Kota Bandung, Pascasarjana ISI Surakarta, 2008).

29 29 karya gendhing-gendhing. Sementara itu, Nartosabdho merupakan komponis yang kreatif dan produktif dalam menghasilkan dan menggubah gendhing-gendhing Jawa. Mereka dengan caranya masing-masing telah terbukti menjadi pilar-pilar penyangga kehidupan karawitan Jawa gaya Surakarta dalam periode an. Dari tinjauan pustaka di atas tersirat beberapa hal yang penting untuk disampaikan. Pertama, walaupun kajian sejarah Surakarta telah banyak dilakukan oleh para sejarawan, namun tidak satu pun telah memberikan perhatian pada tema tentang politik kebudayaan Jawa. Kedua, tema politik kebudayaan telah dijadikan fokus kajian oleh para antropolog dan ahli seni pertunjukan. Ketiga, biografi tokoh-tokoh seniman telah dijadikan sebagai subjek kajian oleh para ahli seni pertunjukan. Namun demikian, menurut penulis, studi yang secara khusus memfokuskan pada politik kebudayaan Jawa Surakarta dalam periode 1950an-1990an sebagai sebuah studi sejarah belum dilakukan. Oleh karena itu, topik disertasi ini dapat dikatakan memiliki orisinalitas. E. Kerangka Konseptual Menurut Ignas Kleden, pembicaraan tentang politik kebudayaan, maka yang dimaksud pertama-tama bukanlah sesuatu yang

30 30 langsung berhubungan dengan perimbangan atau perebutan kekuasaan, tetapi lebih berhubungan dengan kebijakan-kebijakan yang diambil dalam hubungan dengan arah perkembangan budaya dan syarat-syarat yang harus diadakan untuk mencapai tujuan tersebut. 34 Sejalan dengan pandangan itu, menurut van Peursen, kebijakan-kebijakan untuk mengembangkan kebudayaan itu dapat dipahami sebagai strategi kebudayaan; suatu rencana yang mampu membimbing dan mengarahkan perkembangan kebudayaan untuk mencapai suatu kondisi di masa depan yang lebih baik. Oleh karena kebudayaan merupakan suatu proses belajar, maka kreativitas dan penemuan merupakan dua faktor penting yang saling berkaitan dalam perkembangan kebudayaan. 35 Sehubungan dengan hal itu, Ignas Kleden mengatakan bahwa pendidikan merupakan sektor yang amat menentukan bagi perkembangan kebudayaan. Setiap usaha pendidikan sekurangkurangnya mempunyai dua jenis kaitan dengan kebudayaan. Pertama, melalui pendidikan -- nilai-nilai dan kepandaiankepandaian yang telah dikembangkan dalam suatu kebudayaan 34 Ignas Kleden, Ontologi Kebudayaan atau Politik Kebudayaan? (diunduh pada 22 Juli 2010) 35 C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, terjemahan Dick Hartoko (Yogyakarta: Kanisius, 1988, edisi kedua cetakan ke-21).

31 31 dapat dipertahankan dan dilanjutkan dari generasi ke generasi. Kedua, pendidikan diharapkan dapat mendorong perkembangan daya cipta setiap peserta didik untuk memajukan perkembangan budaya melalui apresiasi budaya yang baik, maupun melalui kesanggupan menciptakan inovasi-inovasi dalam kebudayaan yang dapat memberi watak baru kepada suatu kebudayaan. 36 Pembentukan lembaga-lembaga kebudayaan yang dapat melestarikan dan mengembangkan kebudayaan merupakan langkah penting untuk sebuah perkembangan kebudayaan. 37 Roy Wagner dalam bukunya yang berjudul The Invention of Culture, menjelaskan bahwa inovasi memegang peranan penting dalam perkembangan kebudayaan. Tradisi dan inovasi memiliki hubungan dialektik, karena tanpa inovasi tradisi tidak dapat diteruskan. Sehubungan dengan hal itu, inovasi dapat dilakukan dengan dua orientasi. Pertama, inovasi dapat dilakukan dengan mengacu pada aturan atau konvensi yang berlaku pada tradisi. Kedua, inovasi dapat dilakukan tanpa berpijak pada tradisi atau 36 Ignas Kleden, Ontologi Kebudayaan atau Politik Kebudayaan? (diunduh pada 22 Juli 2010). 37 Antonio Gramsci, Sejarah dan Budaya, terjemahan Ira Puspitorini dkk. (Surabaya: Pustaka Promethea, 2000), hlm

32 32 mengacu pada hal-hal baru yang tidak konvensional. Kedua bentuk inovasi itu membawa implikasi perubahan kebudayaan. 38 Nunggak semi merupakan salah satu konsep pengembangan kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat Jawa. Secara harfiah tunggak semi berarti tonggak yang bersemi. Dalam konteks pengembangan kebudayaan, tunggak melambangkan kebudayaan tradisional; dan semi melambangkan pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan tradisional. Dengan demikian, nunggak semi adalah suatu konsep pengembangan kebudayaan yang masih berpijak pada kebudayaan yang lama. 39 Dengan mengikuti pandangan Wagner, nunggak semi merupakan inovasi yang mengacu pada tradisi, sehingga menghasilkan perubahan yang dianggap sebagai perbaikan oleh para pendukung tradisi. Sementara itu, menurut Sal Murgiyanto, inovasi yang mengacu pada hal-hal di luar tradisi, hasilnya sering tidak senada dengan konvensi yang berlaku. Inovasi dengan orientasi ini akan menghasilkan perubahan yang sering kali dianggap menyimpang 38 Roy Wagner, The Invention of Culture (Chiccago: University of Chicago Press, 1981), hlm melalui Sal Murgiyanto, Tradisi dan Inovasi: Beberapa Masalah Tari di Indonesia (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2004), hlm Rustopo, Jawa Sejati: Otobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro (Yogyakarta: Ombak-Yayasan Nabil, 2008), hlm

33 33 dari konvensi atau merusak tradisi, 40 yang dalam lingkungan masyarakat Jawa pendukung tradisi dimanifestasikan dalam ungkapan nyebal saka pakem/ waton atau nerak paugeran. Sehubungan dengan hal itu, Edi Sedyawati berpendapat, bahwa di dalam kebudayaan-kebudayaan timur pada umumnya, yang dianggap lebih mulia adalah bukan kemampuan untuk selalu berubah, melainkan tetap melestarikan nilai-nilai luhur warisan bangsa meskipun terdapat perubahan. Dengan demikian, pengembangan bukan terlihat sebagai perubahan-perubahan yang silih berganti, melainkan sebagai pendalaman, perluasan, dan pencanggihan dari suatu yang telah ada. 41 Dengan kata lain, dalam konteks ini pengembangan kebudayaan dilakukan dengan konstruksi dan reproduksi kebudayaan. 42 Seperti telah disebutkan pada bagian permasalahan dan ruang lingkup, studi ini hanya memfokuskan pada bidang seni pertunjukan tradisi keraton. Pemilihan fokus pembahasan ini juga didasari oleh pertimbangan bahwa seni merupakan unsur yang 40 Murgiyanto, loc. cit.. 41 Edi Sedyawati, Keindonesiaan dalam Budaya: Buku 1 Kebutuhan Membangun Bangsa yang Kuat (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2007), hlm Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).

34 34 dapat menampilkan sifat khas kebudayaan suatu masyarakat. 43 Dengan demikian, unsur kebudayaan Jawa itu dipilih karena dianggap dapat merepresentasikan kebudayaan Jawa Surakarta. Jawa Surakarta merupakan suatu konsep yang digunakan untuk memberi nama salah satu dari dua varian utama dalam kebudayaan Jawa setelah Perjanjian Giyanti 1755, selain Jawa Yogyakarta. Istilah itu digunakan untuk merujuk kepada kebudayaan Jawa yang berkembang di Surakarta, khususnya yang berkembang di Kasunanan dan Mangkunagaran. Dalam bidang seni pertunjukan tradisi Jawa istilah itu juga dapat dipertukarkan penggunaannya dengan gaya Surakarta. F. Sumber Penulisan Disertasi ini disusun dengan menggunakan metode sejarah dan memanfaatkan berbagai macam sumber yang mencakup sumber tertulis sezaman, sumber lisan, sumber visual, audio visual, historiografi, dan kajian seni pertunjukan. 44 Penggunaan berbagai macam sumber itu didasari oleh dua pertimbangan. Pertama, 43 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: PT Gramedia, 1984), hlm Tentang metode dan jenis-jenis sumber sejarah lihat Gilbert J. Garraghan, A Guide to Historical Method (New York: Fordham University Press, 1957), hlm

35 35 tidak semua realitas masa lampau terekam dalam sumber tertulis; dan kedua, sifat topik yang dipilih tampaknya mengharuskan untuk menggunakan berbagai macam sumber, sehingga faktafakta yang diperoleh akan menjadi lebih lengkap. Arsip-arsip yang digunakan dalam studi ini merupakan khazanah-khazanah sumber yang tersimpan di Reksa Pustaka dan Reksa Wilapa Istana Mangkunagaran, Kokar, PKJT/TBS, dan Lokananta di Surakarta, serta Arsip Nasional Republik Indonesia di Jakarta. Sumber-sumber itu digunakan untuk merekonstruksi aspek-aspek formal dari lembaga-lembaga kebudayaan yang berperan dalam pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta. Sumber tertulis sezaman lain yang penting adalah koran, majalah, dan penerbitan resmi sebuah lembaga. Di dalam ketiga jenis sumber itu dapat diperoleh rekaman peristiwa (reportase), pandangan, pendapat, dan opini penulisnya, serta programa tentang hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan Jawa Surakarta. Penelusuran sumber koran, majalah, dan penerbitan resmi terutama dilakukan di Perpustakaan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Perpustakaan KITLV Leiden ketika penulis mendapatkan kesempatan untuk mengikuti Sandwich-like Program 2012 yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Sumber-sumber koran itu adalah Dharma Kanda,

36 36 Kedaulatan Rakyat, Parikesit, Solo Pos, dan Suara Merdeka. Sumber majalah mencakup Budaja, Djaka Lodhang, Jaya Baya, Mahabharata Kawedar, Mekar Sari, Mimbar Indonesia, Mutiara, Pandjangmas, Parikesit, Pedalangan, Pengemban Amanat Allah dan Umat, dan Zenith. Sementara itu, penerbitan resmi meliputi Berita Radio, Mingguan Radio, dan Mekas (Media Karaton Surakarta). Sumber lisan diperoleh dengan metode sejarah lisan melalui kegiatan wawancara dengan pelaku-pelaku dan saksi-saksi sejarah. Sejarah lisan mempunyai sumbangan yang besar dalam mengembangkan substansi penulisan sejarah. 45 Dalam konteks sumber, sejarah lisan mampu memiliki keunggulan komparatif baik secara kuantitatif maupun kualitatif tentang hal yang telah tercakup dalam sumber tertulis sekalipun. 46 Beberapa informan yang diwawancarai merupakan pelaku dan saksi sejarah dari lembaga-lembaga kebudayaan seperti Kokar, ASKI, Lokananta, dan RRI Surakarta. Sumber visual yang digunakan berupa foto dan sampul piringan hitam/ kaset. Penggunaan foto dan sampul piringan hitam/kaset didasari oleh pertimbangan bahwa keduanya dapat 45 Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hlm Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?! (Yogyakarta, Ombak, 2006), hlm. 72.

37 37 membantu sejarawan dalam memahami masa lampau dan merupakan sumber-sumber tambahan untuk menyusun sejarah. 47 Sementara itu, satu jenis sumber yang tidak boleh diabaikan dalam penulisan sejarah yang mencakup periode akhir abad XX adalah sumber audiovisual. Walaupun menurut Nordholt dan Steijlen sumber audiovisual sangat penting untuk penulisan sejarah kehidupan sehari-hari di Indonesia pada abad XXI, 48 namun menurut penulis, sumber audiovisual juga penting untuk penulisan tema-tema atau topik-topik tertentu sejarah Indonesia pada akhir abad XX, seperti sejarah seni pertunjukan dan politik kebudayaan Jawa Surakarta yang sedang menjadi perhatian penulis. Ada dua film dokumenter yang digunakan dalam studi ini, yaitu Paku Buwana XII: Berjuang untuk Sebuah Eksistensi karya I.G.P. Wiranegara 49 dan Paku Buwana XII dan 47 Jean Gelman Taylor, Aceh: Narasi Foto, , dalam Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari, ed., Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, KITLV Jakarta, Pustaka Larasan, 2008), hlm. 314 dan Henk Schulte Nordholt dan Fridus Steijlen, Don t Forget to Remember Me: Arsip Audiovisual Kehidupan Sehari-hari di Indonesia pada Abad XXI, dalam Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari, ed., Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, KITLV Jakarta, Pustaka Larasan, 2008). 49 I.G.P. Wiranegara, Paku Buwana XII: Berjuang untuk Sebuah Eksistensi (Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta, 2004).

38 38 Hardjonagoro karya Rustopo. 50 Kedua sumber itu sangat bermanfaat untuk memahami kondisi dan perjuangan Keraton Surakarta dalam menegakkan eksistensinya sebagai pusat kebudayaan Jawa. Historiografi tentang Surakarta dan studi-studi yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya dari berbagai bidang yang relevan, terutama pengkajian seni pertunjukan merupakan sumber-sumber yang melengkapi studi ini. Kajian-kajian seni pertunjukan yang dilakukan oleh para dosen STSI/ISI Surakarta dan ISI Yogyakarta tentang kebudayaan Jawa yang sebagian menggunakan perspektif atau pendekatan historis sangat membantu dalam rekonstruksi sejarah. G. Sistematika Disertasi ini terdiri atas enam bab yang diawali dengan BAB I Pengantar yang berisi uraian tentang latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup kajian yang merupakan dasar untuk pembahasan dalam bab-bab selanjutnya. Selain itu, dalam bab ini disajikan kerangka pemikiran dan sumber-sumber yang digunakan untuk pembahasan permasalahan. 50 Rustopo, Paku Buwana XII dan Hardjonagoro (Studio 19 Surakarta, 2005).

39 39 Dalam BAB II dengan judul Warisan Sosiokultural dan Perubahan di Surakarta Pasca-Proklamasi Kemerdekaan dibahas tentang masyarakat Surakarta dan kebudayaannya baik yang berkembang di dalam maupun di luar keraton. Pembahasan dalam bab ini diakhiri dengan pembahasan tentang keruntuhan kekuasaan tradisional yaitu Kasunanan dan Mangkunagaran yang menjadikan dua-duanya kehilangan kekuasaan politik dan ekonomi, sehingga hanya menjadi pusat kebudayaan Jawa saja. Keterbatasan-keterbatasan Kasunanan dan Mangkunagaran dalam kedudukannya sebagai pusat kebudayaan Jawa pada awal kemerdekaan mendorong pemerintah untuk mengambil kebijakan untuk menyelamatkan warisan budaya kedua keraton tersebut. Kebijakan dan upaya-upaya untuk melestarikan kebudayaan Jawa itu dimanifestasikan dengan pembentukan pusat-pusat kebudayaan di Surakarta yang meliputi Kokar, ASKI, dan PKJT di Surakarta. Uraian pembahasan tentang latar belakang dan proses pembentukan lembaga-lembaga kebudayaan itu, serta kebijakankebijakan dan kiprahnya dalam pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta disajikan dalam BAB III dengan judul Pembentukan Pusat-Pusat Kebudayaan Jawa di Surakarta. Upaya-upaya pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa Surakarta tidak hanya dilakukan dengan pembentukan pusat-pusat kebudayaan Jawa di Surakarta saja. Lembaga-

40 40 lembaga kebudayaan yang telah ada pada awal kemerdekaan seperti RRI Surakarta dan pada periode berikutnya Lokananta juga dimanfaatkan untuk mendukung hal itu. Selain untuk kepentingan pelestarian dan pengembangan, kedua lembaga kebudayaan ini juga memiliki peran penting dalam penyebarluasan kebudayaan Jawa Surakarta, khususnya dalam bidang seni pertunjukan. Penyebarluasan kebudayaan Jawa Surakarta juga ditopang oleh adanya penerbitan berbahasa Jawa dan panggung pertunjukan wayang wong Sriwedari yang mampu memikat dan menarik perhatian masyarakat Jawa. Uraian pembahasan tentang hal tersebut disajikan dalam BAB IV dengan judul Penyebarluasan Kebudayaan Jawa Surakarta. Kasunanan dan Mangkunagaran tentunya tidak tinggal diam ketika keduanya kehilangan kekuasaan politik dan ekonomi. Dalam kedudukannya sebagai pusat kebudayaan Jawa sejak awal kemerdekaan dua lembaga itu terus berjuang untuk menegakkan eksistensinya sebagai pusat kebudayaan. Dengan caranya masingmasing keduanya telah melakukan upaya-upaya untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Jawa yang tumbuh dan berkembang di kedua istana tersebut. Kiprah Kasunanan dan Mangkunagaran dalam pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa berkontribusi dalam penegakan eksistensi Surakarta sebagai pusat kebudayaan. Uraian tentang

BAB VI SIMPULAN. Politik kebudayaan Jawa Surakarta pascaproklamasi. kemerdekaan Indonesia dapat dipahami dalam dua hal, yaitu

BAB VI SIMPULAN. Politik kebudayaan Jawa Surakarta pascaproklamasi. kemerdekaan Indonesia dapat dipahami dalam dua hal, yaitu 495 BAB VI SIMPULAN Politik kebudayaan Jawa Surakarta pascaproklamasi kemerdekaan Indonesia dapat dipahami dalam dua hal, yaitu revivalisme kebudayaan Jawa Surakarta dan upaya untuk menjadikan Surakarta

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. Historiografi komunitas seniman-priyayi Kemlayan adalah. kekuasaan Jawa, baik Keraton Kasunanan maupun pemerintah Republik

BAB VI KESIMPULAN. Historiografi komunitas seniman-priyayi Kemlayan adalah. kekuasaan Jawa, baik Keraton Kasunanan maupun pemerintah Republik BAB VI KESIMPULAN Historiografi komunitas seniman-priyayi Kemlayan adalah historiografi komunitas yang terhempas dalam panggung sejarah kekuasaan Jawa, baik Keraton Kasunanan maupun pemerintah Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian tradisional pada Masyarakat Banten memiliki berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian tradisional pada Masyarakat Banten memiliki berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Kesenian tradisional pada Masyarakat Banten memiliki berbagai keanekaragaman seperti yang terdapat di daerah lain di Indonesia. Kesenian tersebut di antaranya

Lebih terperinci

Pendekatan Historiografi Dalam Memahami Buku Teks Pelajaran Sejarah *) Oleh : Agus Mulyana

Pendekatan Historiografi Dalam Memahami Buku Teks Pelajaran Sejarah *) Oleh : Agus Mulyana Pendekatan Historiografi Dalam Memahami Buku Teks Pelajaran Sejarah *) Oleh : Agus Mulyana Buku teks pelajaran merupakan salah satu sumber dan media pembelajaran yang digunakan oleh guru dalam melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sehingga kita dapat memberikan arti atau makna terhadap tindakan-tindakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sehingga kita dapat memberikan arti atau makna terhadap tindakan-tindakan digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah adalah peristiwa yang terjadi di masa lampau. Untuk mengetahui kejadian di masa lampau itu kita dapat dipelajari dari buktibukti yang

Lebih terperinci

66. Mata Pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA)

66. Mata Pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) 66. Mata Pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) A. Latar Belakang Sejarah merupakan cabang ilmu pengetahuan yang menelaah tentang asal-usul dan perkembangan serta peranan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959)

BAB I PENDAHULUAN. The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959) BAB I PENDAHULUAN The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya

Lebih terperinci

Menguak Nilai Seni Tradisi Sebagai Inspirasi Penciptaan Seni Pertunjukan Pada Era Global

Menguak Nilai Seni Tradisi Sebagai Inspirasi Penciptaan Seni Pertunjukan Pada Era Global Menguak Nilai Seni Tradisi Sebagai Inspirasi Penciptaan Seni Pertunjukan Pada Era Global Oleh: Dyah Kustiyanti Tradisi biasanya didefinisikan sebagai cara mewariskan pemikiran, pandangan hidup, kebiasaan,

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR Latar Belakang Masalah. kekayaan budaya yang amat sangat melimpah. Budaya warisan leluhur merupakan

BAB I PENGANTAR Latar Belakang Masalah. kekayaan budaya yang amat sangat melimpah. Budaya warisan leluhur merupakan BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia pada hakikatnya merupakan bangsa dengan warisan kekayaan budaya yang amat sangat melimpah. Budaya warisan leluhur merupakan aset tidak ternilai

Lebih terperinci

PENGANTAR ILMU SEJARAH

PENGANTAR ILMU SEJARAH Resume Buku PENGANTAR ILMU SEJARAH Karya: Prof. Dr. Kuntowijoyo Oleh: Tedi Permadi Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Pendidikan Bahasa dan

Lebih terperinci

2015 PERKEMBANGAN SENI PERTUNJUKAN LONGSER DI KABUPATEN BANDUNG TAHUN

2015 PERKEMBANGAN SENI PERTUNJUKAN LONGSER DI KABUPATEN BANDUNG TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan budaya dan juga memiliki berbagai macam kesenian. Keberagaman budaya yang dimiliki oleh Indonesia terlahir

Lebih terperinci

66. Mata Pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA)

66. Mata Pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) 66. Mata Pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) A. Latar Belakang Sejarah merupakan cabang ilmu pengetahuan yang menelaah tentang asal-usul dan perkembangan serta peranan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya BAB I PENDAHULUAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disingkat UUD 1945 1 telah mengalami perubahan sebanyak empat kali, yakni Perubahan Pertama pada tahun 1999, Perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Modernisasi yang dipelopori oleh negara-negara Barat tak bisa dipungkiri

BAB I PENDAHULUAN. Modernisasi yang dipelopori oleh negara-negara Barat tak bisa dipungkiri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Modernisasi yang dipelopori oleh negara-negara Barat tak bisa dipungkiri berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan negara-negara lain di dunia, tak terkecuali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan. hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat dan

BAB I PENDAHULUAN. Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan. hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat dan dijadikan milik diri manusia dengan belajar. 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki keanekaragaman seni, budaya dan suku bangsa. Keberagaman ini menjadi aset yang sangat penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut tersebar di daerah-daerah sehingga setiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda-beda.

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra berfungsi sebagai penuangan ide penulis berdasarkan realita kehidupan atau imajinasi. Selain itu, karya sastra juga dapat diposisikan sebagai dokumentasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang.

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra merupakan wujud dari proses imajinatif dan kreatif pengarang. Adapun proses kreatif itu berasal dari pengalaman pengarang sebagai manusia yang hidup di

Lebih terperinci

PEDOMAN PRAKTIKUM.

PEDOMAN PRAKTIKUM. PEDOMAN PRAKTIKUM 1 PENGEMBANGAN SILABUS DAN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MATA PELAJARAN SEJARAH Oleh : SUPARDI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN

Lebih terperinci

5. Materi sejarah berguna untuk menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung jawab dalam memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup.

5. Materi sejarah berguna untuk menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung jawab dalam memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup. 13. Mata Pelajaran Sejarah Untuk Paket C Program IPS A. Latar Belakang Sejarah merupakan cabang ilmu pengetahuan yang menelaah tentang asal-usul dan perkembangan serta peranan masyarakat di masa lampau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beraneka ragam. Begitupun negara Indonesia. Dengan banyak pulau dan suku

BAB I PENDAHULUAN. beraneka ragam. Begitupun negara Indonesia. Dengan banyak pulau dan suku 1 BAB I PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian Setiap negara memiliki ciri khas yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Mulai dari bahasa, makanan, pakaian sampai kebudayaan yang beraneka ragam. Begitupun

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI 318 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI A. Simpulan Berdasarkan capaian hasil penelitian dan pembahasan seperti yang tertuang pada bab IV, bahwa penelitian ini telah menghasilkan dua analisis, pertama

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN digilib.uns.ac.id BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN Hasil dari penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dokumentasi dan studi pustaka ini, menghasilkan kesimpulan

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN. Bentuk dan gagasan pada tari kontemporer telah jauh. berkembang dibandingkan dengan pada awal terbentuknya.

BAB VII KESIMPULAN. Bentuk dan gagasan pada tari kontemporer telah jauh. berkembang dibandingkan dengan pada awal terbentuknya. BAB VII KESIMPULAN Bentuk dan gagasan pada tari kontemporer telah jauh berkembang dibandingkan dengan pada awal terbentuknya. Tari kontemporer kini memperlihatkan proses kreatif dan inovasi yang semakin

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. telah dikaji oleh banyak sejarawan. Hubungan historis ini dilatarbelakangi dengan

BAB V PENUTUP. telah dikaji oleh banyak sejarawan. Hubungan historis ini dilatarbelakangi dengan 201 BAB V PENUTUP A. Simpulan Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa hubungan historis antara Turki Utsmani dan Hindia Belanda sejatinya telah terjalin lama sebagaimana yang telah dikaji oleh banyak

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. A. Arsip, Laporan dan Terbitan Resmi Pemerintah Kotamadya Yogyakarta Dalam Angka Kantor Statistik Kotamadya Yogyakarta, 1981.

DAFTAR PUSTAKA. A. Arsip, Laporan dan Terbitan Resmi Pemerintah Kotamadya Yogyakarta Dalam Angka Kantor Statistik Kotamadya Yogyakarta, 1981. 117 DAFTAR PUSTAKA A. Arsip, Laporan dan Terbitan Resmi Pemerintah Kotamadya Yogyakarta Dalam Angka 1980. Kantor Statistik Kotamadya Yogyakarta, 1981. Kotamadya Yogyakarta Dalam Angka 1981. Kantor Statistik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat kental kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat kental kehidupannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat kental kehidupannya dengan seni. Salah satu seni yang cukup berkembang saat ini adalah seni teater. Perkembangan ini terlihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. 1 Drs. Atar Semi. Kritik Sastra, 1984: Ibid. Hal. 52.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. 1 Drs. Atar Semi. Kritik Sastra, 1984: Ibid. Hal. 52. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesusastraan merupakan sebuah bentuk ekspresi atau pernyataan kebudayaan dalam suatu masyarakat. Sebagai ekspresi kebudayaan, kesusastraan mencerminkan sistem sosial,

Lebih terperinci

Schedule Pertemuan 2 X teori tentang apresiasi seni 4 X pemahaman materi seni 6X apresesiasi 2 X tugas 1 X ujian sisipan 1 x ujian semester

Schedule Pertemuan 2 X teori tentang apresiasi seni 4 X pemahaman materi seni 6X apresesiasi 2 X tugas 1 X ujian sisipan 1 x ujian semester Pengantar Apresiasi Seni Oleh : Kuswarsantyo, M.Hum. Schedule Pertemuan 2 X teori tentang apresiasi seni 4 X pemahaman materi seni 6X apresesiasi 2 X tugas 1 X ujian sisipan 1 x ujian semester Buku referensi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat yang mendiami daerah tertentu mempunyai suku dan adat istiadat

I. PENDAHULUAN. masyarakat yang mendiami daerah tertentu mempunyai suku dan adat istiadat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki keanekaragaman suku bangsa dan keanekaragaman kebudayaan yang akan menjadi modal dasar sebagai landasan pengembangan

Lebih terperinci

RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS)

RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS) RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS) IDENTITAS MATA KULIAH 1. Nama Mata Kuliah : Sejarah Sosial Ekonomi Politik 2. Kode/SKS : 3 SKS 3. Semester : Ganjil 4. Status : Wajib 5. M.Kul

Lebih terperinci

SEJARAH SEHARUSNYA MENJADI INSPIRASI MEMANFAATKAN PELUANG

SEJARAH SEHARUSNYA MENJADI INSPIRASI MEMANFAATKAN PELUANG Jurnal Sejarah. Vol. 1(1), 2017: 151 156 Pengurus Pusat Masyarakat Sejarawan Indonesia DOI: 10.17510/js.v1i1. 59 SEJARAH SEHARUSNYA MENJADI INSPIRASI MEMANFAATKAN PELUANG Sumber Gambar: Tempo.co Professor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Surakarta selain dikenal sebagai kota batik, juga populer dengan keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki kekhasan

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1. PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Yogyakarta merupakan kota dengan lintasan sejarah yang cukup panjang, dimulai pada tanggal 13 Februari 1755 dengan dilatari oleh Perjanjian Giyanti yang membagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wayang merupakan representasi kehidupan manusia yang memuat nilai, norma, etika, estetika, serta aturan-aturan dalam berbuat dan bertingkah laku yang baik. Wayang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesenian produk asli bangsa Indonesia. Kesenian wayang, merupakan

BAB I PENDAHULUAN. kesenian produk asli bangsa Indonesia. Kesenian wayang, merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang sangat kaya dengan aneka ragam kebudayaan dan tradisi. Potensi merupakan model sebagai sebuah bangsa yang besar. Kesenian wayang

Lebih terperinci

modernisasai kebudayaan Barat di Magelang awal abad XX, kemudian

modernisasai kebudayaan Barat di Magelang awal abad XX, kemudian BAB V KESIMPULAN Pada bagian kesimpulan ini ada beberapa catatan penting yang harus dipertegas kembali, yakni kehidupan sosial, ekonomi, dan kebudayaan yaitu modernisasai kebudayaan Barat di Magelang awal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. bermakna kultural bagi masyarakatnya. Sayang sekali sebagian sudah hilang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. bermakna kultural bagi masyarakatnya. Sayang sekali sebagian sudah hilang BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia sangat kaya dengan seni pertunjukan tradisional, setiap daerah memiliki beragam seni pertunjukan tradisi, dan ini merupakan ritual yang bermakna kultural

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Pada bab ini penulis akan memberikan kesimpulan dan saran dari. Pelaksanaan Surat Edaran Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta

BAB V PENUTUP. Pada bab ini penulis akan memberikan kesimpulan dan saran dari. Pelaksanaan Surat Edaran Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta 184 BAB V PENUTUP Pada bab ini penulis akan memberikan kesimpulan dan saran dari Pelaksanaan Surat Edaran Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta PA.VIII/No.K.898/I/A 1975 tentang larangan kepemilikan tanah

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan 45 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yaitu penelitian untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Sunda memiliki identitas khas yang ditunjukkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Sunda memiliki identitas khas yang ditunjukkan dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Sunda memiliki identitas khas yang ditunjukkan dengan kesenian. Kesenian merupakan pencitraan salah satu sisi realitas dalam lingkungan rohani jasmani

Lebih terperinci

GEDUNG SENI PERTUNJUKAN DI SURAKARTA PENEKANAN DESAIN ARSITEKTUR POST-MODERN

GEDUNG SENI PERTUNJUKAN DI SURAKARTA PENEKANAN DESAIN ARSITEKTUR POST-MODERN LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR GEDUNG SENI PERTUNJUKAN DI SURAKARTA PENEKANAN DESAIN ARSITEKTUR POST-MODERN Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan dokumen sejarah yang sangat penting, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan dokumen sejarah yang sangat penting, sehingga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan dokumen sejarah yang sangat penting, sehingga perlu dilestarikan dalam upaya mempertahankan eksistensi karya sastra. Dalam hal ini, karya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Kraton Surakarta merupakan bekas istana kerajaan Kasunanan Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Kraton Surakarta merupakan bekas istana kerajaan Kasunanan Surakarta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kraton Surakarta merupakan bekas istana kerajaan Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Kraton ini didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono II pada tahun 1744 sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. tanah juga memiliki fungsi dalam aspek politik, ekonomi, dan kebudayaan yang

BAB I PENGANTAR. tanah juga memiliki fungsi dalam aspek politik, ekonomi, dan kebudayaan yang BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Tanah merupakan faktor yang berkaitan dengan banyak aspek dalam pola kepemilikan dan penguasaannya. Tidak hanya dalam aspek sosial saja, tetapi tanah juga memiliki fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sekelompok orang yang akan turut serta secara aktif baik dalam kehidupan politik dengan

BAB I PENDAHULUAN. sekelompok orang yang akan turut serta secara aktif baik dalam kehidupan politik dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Permasalahan Partisipasi merupakan aspek yang penting dari demokrasi, partisipasi politik yang meluas merupakan ciri khas dari modernisasi politik. Partisipasi politik

Lebih terperinci

Di samping itu, Sultan HB VII juga menggunakan taktik dengan mengulur waktu dan mencegah penyerahan secara total semua yang diminta oleh pemerintah

Di samping itu, Sultan HB VII juga menggunakan taktik dengan mengulur waktu dan mencegah penyerahan secara total semua yang diminta oleh pemerintah BAB VI KESIMPULAN Dari pengungkapan sejumlah fakta dan rekonstruksi yang dilakukan, penelitian ini menarik sejumlah kesimpulan sebagai berikut ini : Sultan Hamengku Buwono VII adalah seorang raja yang

Lebih terperinci

Manfaat Mempelajari Sejarah

Manfaat Mempelajari Sejarah Manfaat Mempelajari Sejarah MODUL 2 MATA PELAJARAN SEJARAH KELAS X SEMESTER 1 Penyusun : Yayan Syalviana, S.Pd. Wiwi Wiarsih, SS. SMA Negeri 26 Bandung Jalan Sukaluyu No. 26 Cibiru Bandung 40614 SMAN 26

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. oleh penulis dari hasil riset, wawancara, dan mengumpulkan data-data, pada

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. oleh penulis dari hasil riset, wawancara, dan mengumpulkan data-data, pada BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berbagai macam versi tentang folklore Putri Dara Hitam yang di dapatkan oleh penulis dari hasil riset, wawancara, dan mengumpulkan data-data, pada akhirnya berhasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesan secara massal, dengan menggunakan alat media massa. Media. massa, menurut De Vito (Nurudin, 2006) merupakan komunikasi yang

BAB I PENDAHULUAN. pesan secara massal, dengan menggunakan alat media massa. Media. massa, menurut De Vito (Nurudin, 2006) merupakan komunikasi yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Komunikasi massa menjadi sebuah kekuatan sosial yang mampu membentuk opini publik dan mendorong gerakan sosial. Secara sederhana, komunikasi diartikan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Periode perjuangan tahun sering disebut dengan masa

BAB I PENDAHULUAN. Periode perjuangan tahun sering disebut dengan masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Periode perjuangan tahun 1945-1949 sering disebut dengan masa perjuangan revolusi fisik atau periode perang mempertahankan kemerdekaan. Periode tersebut merupakan

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA SALINAN - 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA DAN SASTRA, SERTA PENINGKATAN FUNGSI BAHASA INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Penulis: Suryo Sakti Hadiwijoyo Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2013 Hak Cipta 2013 pada penulis, Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA DAN SASTRA, SERTA PENINGKATAN FUNGSI BAHASA INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang LAPORAN TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang LAPORAN TUGAS AKHIR BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beragam budaya dan tradisi Indonesia membuat banyaknya kerajinan tradisional di Indonesia. Contohnya yang saat ini lagi disukai masyarakat Indonesia yaitu kerajinan

Lebih terperinci

menyatakan bertugas melucuti tentara Jepang yang telah kalah pada perang Asia

menyatakan bertugas melucuti tentara Jepang yang telah kalah pada perang Asia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehadiran uang 1 di suatu daerah merupakan hal yang menarik untuk dikaji, terutama di suatu negara yang baru memerdekakan diri dari belenggu penjajahan. Uang

Lebih terperinci

negeri namun tetap menuntut kinerja politisi yang bersih.

negeri namun tetap menuntut kinerja politisi yang bersih. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Persoalan politik di Indonesia saat ini adalah kurangnya kesadaran politik dalam masyarakat khususnya generasi pemuda untuk terlibat dalam partisipasi politik. Tuntutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi pada masa kesultanan Asahan agar dapat didokumentasikan. peristiwa-peristiwa yang terjadi untuk jadi pembelajaran.

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi pada masa kesultanan Asahan agar dapat didokumentasikan. peristiwa-peristiwa yang terjadi untuk jadi pembelajaran. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah adalah kejadian yang terjadi pada masa lampau, disusun berdasarkan peninggalan-peninggalan yang terdapat dimasa kini. Perspektif sejarah selalu menjelaskan ruang,

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA - 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA DAN SASTRA, SERTA PENINGKATAN FUNGSI BAHASA INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Wayang wong gaya Yogyakarta adalah segala bentuk drama tari tanpa

BAB V KESIMPULAN. Wayang wong gaya Yogyakarta adalah segala bentuk drama tari tanpa BAB V KESIMPULAN Wayang wong gaya Yogyakarta adalah segala bentuk drama tari tanpa topeng (meski sebagian tokoh mengenakan topeng, terminologi ini digunakan untuk membedakannya dengan wayang topeng) yang

Lebih terperinci

GEDUNG WAYANG ORANG DI SOLO

GEDUNG WAYANG ORANG DI SOLO LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR GEDUNG WAYANG ORANG DI SOLO Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Teknik diajukan oleh : ANANG MARWANTO NIM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peneliti mengenal penari-penari wayang topeng di Malang, Jawa Timur sejak

BAB I PENDAHULUAN. Peneliti mengenal penari-penari wayang topeng di Malang, Jawa Timur sejak A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Peneliti mengenal penari-penari wayang topeng di Malang, Jawa Timur sejak tahun 1980. Perkenalan itu terjadi ketika peneliti belajar menari di Sanggar Tari Laras Budi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ulama di Indonesia dan negara-negara muslim lainnya telah memainkan

BAB I PENDAHULUAN. Ulama di Indonesia dan negara-negara muslim lainnya telah memainkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulama di Indonesia dan negara-negara muslim lainnya telah memainkan peranan penting dan strategis. Bukan hanya dalam peningkatan spiritual umat, melainkan juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wayang kulit adalah salah satu bentuk seni pertunjukan yang sangat popular dan disenangi oleh berbagai lapisan masyarakat di Jawa khususnya di wilayah Jawa Tengah dan

Lebih terperinci

PEMBELAJARAN SASTRA YANG KONTEKSTUAL DENGAN MENGADOPSI CERITA RAKYAT AIR TERJUN SEDUDO DI KABUPATEN NGANJUK

PEMBELAJARAN SASTRA YANG KONTEKSTUAL DENGAN MENGADOPSI CERITA RAKYAT AIR TERJUN SEDUDO DI KABUPATEN NGANJUK PEMBELAJARAN SASTRA YANG KONTEKSTUAL DENGAN MENGADOPSI CERITA RAKYAT AIR TERJUN SEDUDO DI KABUPATEN NGANJUK Ermi Adriani Meikayanti 1) 1) Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP PGRI Madiun Email: 1)

Lebih terperinci

PROBLEMATIKA PENGEMBANGAN BAHASA UNTUK MASYARAKAT DAERAH

PROBLEMATIKA PENGEMBANGAN BAHASA UNTUK MASYARAKAT DAERAH PROBLEMATIKA PENGEMBANGAN BAHASA UNTUK MASYARAKAT DAERAH Hetty Purnamasari FKIP Universitas Dr. Soetomo Surabaya hettypurnamasari@unitomo.ac.id Abstrak: Pendidikan di Indonesia saat ini menghadapi masalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, Indonesia berhak menentukan nasib bangsanya sendiri, hal ini diwujudkan dalam bentuk pembangunan. Pembangunan merupakan

Lebih terperinci

V. PENUTUP SIMPULAN, FORMULASI, DAN REKOMENDASI

V. PENUTUP SIMPULAN, FORMULASI, DAN REKOMENDASI 79 V. PENUTUP SIMPULAN, FORMULASI, DAN REKOMENDASI A. Simpulan 1. Etika kepemimpinan Jawa, merupakan ajaran-ajaran yang berupa nilainilai dan norma-norma yang bersumber dari kebudayaan Jawa tentang kepemimpinan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti

BAB I PENDAHULUAN. Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara etimologis kata kesusastraan berasal dari kata su dan sastra. Su berarti baik dan sastra (dari bahasa Sansekerta) berarti tulisan atau karangan. Dari pengertian

Lebih terperinci

EKSISTENSI SANGGAR TARI KEMBANG SORE PUSAT - YOGYAKARTA Theresiana Ani Larasati

EKSISTENSI SANGGAR TARI KEMBANG SORE PUSAT - YOGYAKARTA Theresiana Ani Larasati EKSISTENSI SANGGAR TARI KEMBANG SORE PUSAT - YOGYAKARTA Theresiana Ani Larasati Pengaruh era globalisasi sangat terasa di berbagai sendi kehidupan bangsa Indonesia, tidak terkecuali di Daerah Istimewa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bukti bahwa sejarah itu perlu. Sejarah merupakan hasil peradaban manusia. Karena

BAB I PENDAHULUAN. bukti bahwa sejarah itu perlu. Sejarah merupakan hasil peradaban manusia. Karena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah adalah rekonstruksi masa lalu. 1 Yang direkonstruksi ialah apa saja yang sudah dipikirkan, dikatakan, dikerjakan, dirasakan, dan dialami oleh manusia. Kenyataan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Bentuk dan Strategi Penelitian Mengacu pada permasalahan yang dirumuskan, maka skripsi yang berjudul Revitalisasi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara Untuk Pendidikan Karakter

Lebih terperinci

PUSAT KESENIAN JAWA TENGAH DI SEMARANG

PUSAT KESENIAN JAWA TENGAH DI SEMARANG LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR PUSAT KESENIAN JAWA TENGAH DI SEMARANG Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Teknik diajukan oleh : AFIF WIDODOAJI

Lebih terperinci

MUATAN LOKAL DAN SEJARAH GARUT: PERSPEKTIF PAEDAGOGIS *)

MUATAN LOKAL DAN SEJARAH GARUT: PERSPEKTIF PAEDAGOGIS *) MUATAN LOKAL DAN SEJARAH GARUT: PERSPEKTIF PAEDAGOGIS *) Oleh: Andi Suwirta **) Pada tahun 1990-an, materi dalam Kurikulum Sejarah mulai diperkenalkan apa yang disebut dengan muatan lokal (mulok). Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara eropa yang paling lama menjajah Indonesia adalah Negara Belanda

BAB I PENDAHULUAN. Negara eropa yang paling lama menjajah Indonesia adalah Negara Belanda BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia di jajah oleh bangsa Eropa kurang lebih 350 tahun atau 3.5 abad, hal ini di hitung dari awal masuk sampai berakhir kekuasaannya pada tahun 1942. Negara eropa

Lebih terperinci

PUSAT KEBUDAYAAN SUNDA DI BANDUNG PENEKANAN DESAIN TRANSFORMASI ARSITEKTUR TRADISIONAL SUNDA

PUSAT KEBUDAYAAN SUNDA DI BANDUNG PENEKANAN DESAIN TRANSFORMASI ARSITEKTUR TRADISIONAL SUNDA LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR PUSAT KEBUDAYAAN SUNDA DI BANDUNG PENEKANAN DESAIN TRANSFORMASI ARSITEKTUR TRADISIONAL SUNDA Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN BAB V SIMPULAN DAN SARAN Pada bab terakhir dalam penulisan skripsi yang berjudul Peristiwa Mangkok Merah (Konflik Dayak Dengan Etnis Tionghoa Di Kalimantan Barat Pada Tahun 1967), berisi mengenai simpulan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENULISAN PERISTIWA SEJARAH

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENULISAN PERISTIWA SEJARAH SALINAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENULISAN PERISTIWA SEJARAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra sebagai ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman,

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra sebagai ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra sebagai ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kehidupan, yang dapat membangkitkan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA

BAB V PENUTUP UPT PERPUSTAKAAN ISI YOGYAKARTA BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Mempelajari sejarah bukan hanya bertujuan untuk mengetahui kejadian atau peristiwa penting di masa lalu namun juga mengajarkan berbagai bentuk pengalaman yang terjadi sepanjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan seni di sekolah diarahkan untuk menumbuhkan rasa estetik sehingga tumbuh sikap apresiatif dalam jiwa siswa. Hal ini sesuai dengan aturan pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenalnya, walaupun dengan kadar pemahaman yang berbeda-beda. Secara

BAB I PENDAHULUAN. mengenalnya, walaupun dengan kadar pemahaman yang berbeda-beda. Secara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kata seni adalah sebuah kata yang semua orang dipastikan mengenalnya, walaupun dengan kadar pemahaman yang berbeda-beda. Secara Etimologi istilah seni berasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lebih baik di masa yang akan datang. Pendidikan juga dipandang sebagai

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lebih baik di masa yang akan datang. Pendidikan juga dipandang sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang Pendidikan sangat penting peranannya dalam kehidupan manusia, karena pendidikan merupakan sarana ataupun alat untuk mengubah kehidupan seseorang menjadi lebih baik di

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 233 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Setelah peneliti melakukan analisis mulai dari level teks, level konteks, hingga menemukan frame besar Kompas, peneliti menarik beberapa kesimpulan untuk menjawab

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembicaraan karya sastra tidak lepas dari penilaian-penilaian. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu seni adalah yang imajinatif,

Lebih terperinci

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta BAB IV KESIMPULAN. Di era yang kini semakin banyak seniman-seniman tari yang semakin kreatif

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta BAB IV KESIMPULAN. Di era yang kini semakin banyak seniman-seniman tari yang semakin kreatif BAB IV KESIMPULAN Di era yang kini semakin banyak seniman-seniman tari yang semakin kreatif menciptakan suatu produk seni, Wiwiek Widyastuti seorang seniman yang berasal dari Yogyakarta dengan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota

BAB I PENDAHULUAN. Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kota Kisaran adalah Ibu Kota dari Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara yang berjarak ± 160 Km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota Kisaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kebudayaan dan gaya hidup Indis. Pada awal abad XX dalam kehidupan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kebudayaan dan gaya hidup Indis. Pada awal abad XX dalam kehidupan masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penjajahan Belanda pada kurun abad XVIII hingga abad XX tak hanya melahirkan kekerasan, tapi juga memicu proses pembentukan kebudayaan khas, yakni kebudayaan dan gaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah mengharuskan untuk diterapkannya kebijakan otonomi daerah. Meskipun dalam UUD 1945 disebutkan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Dari pembahasan mengenai Peran Sultan Iskandar Muda Dalam. Mengembangkan Kerajaan Aceh Pada Tahun , maka dapat diambil

BAB V KESIMPULAN. Dari pembahasan mengenai Peran Sultan Iskandar Muda Dalam. Mengembangkan Kerajaan Aceh Pada Tahun , maka dapat diambil BAB V KESIMPULAN Dari pembahasan mengenai Peran Sultan Iskandar Muda Dalam Mengembangkan Kerajaan Aceh Pada Tahun 1607-1636, maka dapat diambil kesimpulan baik dari segi historis maupun dari segi paedagogis

Lebih terperinci

KISI-KISI MATERI PLPG MATA PELAJARAN SEJARAH INDONESIA. Standar Kompetensi Guru (SKG) Kompetensi Guru Mata Pelajaran (KD)

KISI-KISI MATERI PLPG MATA PELAJARAN SEJARAH INDONESIA. Standar Kompetensi Guru (SKG) Kompetensi Guru Mata Pelajaran (KD) KISI-KISI MATERI PLPG MATA PELAJARAN SEJARAH INDONESIA No (IPK) 1 Pedagogik Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, sosial, kultural, emosional, dan intelektual Memahami karakteristik peserta

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Dari uraian hasil penelitian mengenai aspek pewarisan Tari. Klasik Gaya Yogyakarta (TKGY) yang dilakukan oleh Kraton

BAB V KESIMPULAN. Dari uraian hasil penelitian mengenai aspek pewarisan Tari. Klasik Gaya Yogyakarta (TKGY) yang dilakukan oleh Kraton 387 BAB V KESIMPULAN 1. Kesimpulan Dari uraian hasil penelitian mengenai aspek pewarisan Tari Klasik Gaya Yogyakarta (TKGY) yang dilakukan oleh Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, lembaga formal, dan lembaga

Lebih terperinci

Sumardjo & Saini (1994: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi

Sumardjo & Saini (1994: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Relasi antara Sastra, Kebudayaan, dan Peradaban Sumardjo & Saini (1994: 3) mengungkapkan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan kemerdekaan sampai hingga era pengisian kemerdekaan

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan kemerdekaan sampai hingga era pengisian kemerdekaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia yang dimulai sejak era sebelum dan selama penjajahan, kemudian dilanjutkan dengan era perebutan dan mempertahankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia semenjak ribuan tahun lalu. Penelitian terhadap karya sastra penting

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. kemandirian dan kreatifitas penata tari dalam berkarya. Proses penciptaan yang

BAB V PENUTUP. kemandirian dan kreatifitas penata tari dalam berkarya. Proses penciptaan yang BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Pementasan Karya tari Klantangmimis ini merupakan wujud dari buah kemandirian dan kreatifitas penata tari dalam berkarya. Proses penciptaan yang dilakukan diharapkan dapat memperluas

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Musik dangdut merupakan sebuah genre musik yang mengalami dinamika di setiap jamannya. Genre musik ini digemari oleh berbagai kalangan masyarakat Indonesia. Berkembangnya dangdut

Lebih terperinci

BADAN PERPUSTAKAAN DAN ARSIP DAERAH PROVINSI DIY Peran dan Fungsinya di Era Informasi 1 Burhanudin

BADAN PERPUSTAKAAN DAN ARSIP DAERAH PROVINSI DIY Peran dan Fungsinya di Era Informasi 1 Burhanudin BADAN PERPUSTAKAAN DAN ARSIP DAERAH PROVINSI DIY Peran dan Fungsinya di Era Informasi 1 Burhanudin Kebutuhan Informasi Globalisasi menuntut setiap orang yang memiliki samangat kompetitif untuk berpikir

Lebih terperinci