DAN. Oleh H DEPARTEMEN MEN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAN. Oleh H DEPARTEMEN MEN"

Transkripsi

1 DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN PENGEMBANGAN KAPASITAS PRODUKSI LISTRIK DI KAWASAN TIMUR INDONESIA Oleh SIGIT YUSDIYANTO H DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEM MEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

2 RINGKASAN SIGIT YUSDIYANTO. Dampak Otonomi Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Pengembangan Kapasitas Produksi Listrik di Kawasan Timur Indonesia. (Dibimbing oleh Fifi Diana Thamrin). Pembangunan di bidang ekonomi maupun sosial, yang dilaksanakan di Indonesia merupakan upaya untuk mewujudkan tujuan masyarakat adil dan makmur. Indonesia mengalami pergolakan yang luar biasa beberapa tahun terakhir ini diikuti perubahan transformasi politik dan ekonominya. Sumber daya alam, iklim, dan kebudayaan di negara ini sangat berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya, demikian pula halnya dengan potensi untuk pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Sejak akhir dasawarsa delapan puluhan perhatian berbagai pihak terhadap persoalan di Kawasan Timur Indonesia mulai mendapat perhatian yang lebih besar dalam upaya pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup perubahan struktur, sikap hidup dan kelembagaan, selain mencakup peningkatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketidakmerataan distribusi pendapatan dan pemberantasan kemiskinan. Dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) Nasional Tahun (Perpres Nomor 7 Tahun 2005) mengidentifikasi terdapat 199 (43 persen) kabupaten tertinggal, dengan komposisi (KTI 62 persen, dan KBI 38 persen). Salah satu permasalahan yang dihadapi adalah dalam aspek infrastruktur (sarana dan prasarana) terutama transportasi darat, laut dan udara; telekomunikasi, dan energi, serta keterisolasian daerah. Percepatan Pembangunan Infrastruktur terkonsentrasi di 148 kabupaten. Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Telekomunikasi, listrik dan air merupakan elemen sangat penting dalam proses produksi dari sektor-sektor ekonomi seperti perdagangan, industri dan pertanian. Keberadaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas bagi faktor-faktor produksi, dan sebaliknya apabila mengabaikannya akan menurunkan produktivitasnya (Bappenas, 2003). Semangat persatuan dan kesatuan pula yang melandasi pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi, berdasarkan Undang-undang nomor 32 dan nomor 33 tahun 2004, memberikan wewenang yang lebih luas kepada pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya daerah baik yang menyangkut aspek administrasi, institusi maupun keuangan. Otonomi daerah adalah suatu keadaan yang memungkinkan daerah dapat mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal. Hal ini dimaksudkan agar kebijakan otonomi daerah memberikan dampak positif terhadap pembangunan di daerah. Terdapatnya permasalahan dalam kaitan dengan pembangunan dan pengelolaan infrastruktur adalah perubahan sistem politik ke arah otonomi daerah. Otonomi daerah telah mengubah pola pemerintahan Indonesia, dimana wewenang pemerintahan daerah menjadi lebih besar dalam mengelola infrastruktur. Namun tingginya ketergantungan fiskal daerah terhadap pusat terutama dari dana perimbangan memberikan konsekuensi pendanaan infrastruktur kepada

3 pemerintah pusat. Dalam hal ini dibutuhkan untuk mendefinisikan secara lebih baik tanggung jawab dari berbagai level pemerintahan, untuk mengembangkan penerapan transfer finansial dari pusat, untuk meningkatkan kerjasama yang efektif antar daerah, dan untuk membangun kapasitas badan-badan regional (Yanuar, 2006). Tujuan penelitian ini adalah menganalisis dampak otonomi daerah terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyediaan infrastruktur khususnya kapasitas produksi listrik di KTI. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan perekonomian dan pengembangan kapasitas produksi listrik di KTI. Data yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh dari BPS. Data sekunder yang berupa data tahunan mulai dari tahun 1996 sampai Metode analisis yang digunakan dalam penelitian adalah regresi panel data. Pemilihan model ini karena panel data dapat menyediakan informasi yang cukup kaya untuk perkembangan teknik estimasi dan hasil teoritikal. Dalam bentuk praktis, peneliti dapat menggunakan data runut waktu dan kerat lintang untuk menganalisis masalah yang tidak dapat diatasi jika hanya menggunakan salah satunya saja. Penggunaan panel data juga dimaksudkan untuk mengatasi keterbatasan jumlah data, agar dapat diperoleh hasil estimasi yang lebih baik dengan terjadinya peningkatan jumlah observasi yang berimplikasi terhadap peningkatan derajat kebebasan. Perhitungannya menggunakan komputer dengan bantuan software E- views 5.1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh otonomi daerah untuk pertumbuhan ekonomi di daerah adalah negatif sedangkan pengaruh otonomi daerah terhadap pengembangan kapasitas produksi listrik adalah positif. Faktor yang paling signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di KTI adalah kapasitas produksi listrik. Sesuai dengan tujuan dan manfaat dari penelitian ini, maka pemerintah daerah diharapkan dapat menjalankan roda pemerintahannya melalui prinsipprinsip good governance. Pemerintah Provinsi masing-masing daerah diharapkan memperhatikan pengembangan kapasitas produksi listrik, mengingat pengaruh kontribusi yang ditimbulkan oleh variabel ini terhadap pertumbuhan perekonomian di masing-masing daerah.

4 DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN PENGEMBANGAN KAPASITAS PRODUKSI LISTRIK DI KAWASAN TIMUR INDONESIA Oleh SIGIT YUSDIYANTO H Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

5 INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Sigit Yusdiyanto Nomor Registrasi Pokok : H Program Studi : Ilmu Ekonomi Judul Skripsi : Dampak Otonomi Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Pengembangan Kapasitas Produksi Listrik di Kawasan Timur Indonesia. dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing Fifi Diana Thamrin, S.P.,M.Si NIP Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S. NIP Tanggal Kelulusan:

6 PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. Bogor, September 2008 Sigit Yusdiyanto H

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 13 April Penulis anak dari pasangan Yusup Dasim dan Sriyatun. Penulis memulai pendidikan formal di TK Achmad Yani pada tahun 1991 selama satu tahun. Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN Sukamaju Baru II Depok dari tahun 1992 sampai dengan tahun Pada tahun 1998 sampai tahun 2001 penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Taruna Bhakti Depok. Pada tahun 2001 penulis melanjutkan pendidikan di SMU YAPEMRI Depok sampai tahun 2002 lalu pindah ke SMU Negeri 106 Jakarta dan berhasil menyelesaikan pendidikan menengah atas pada tahun Pada tahun 2004, penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama jadi mahasiswa, penulis aktif dalam Organisasi kemahasiswaan, yaitu sebagai anggota HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) komisariat Fakultas Ekonomi dan Manajemen.

8 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, hidayah dan karunia- Nya kepada kita semua. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW. Skripsi yang berjudul Dampak Otonomi Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Pengembangan Kapasitas Produksi Listrik di Kawasan Timur Indonesia. Skripsi ini disusun sebagai syarat dalam meraih gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan sehingga diperlukan kritik dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing atas saran dan masukannya serta pihak-pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya skripsi ini. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak Bogor, September 2008 Penulis

9 UCAPAN TERIMAKASIH Penulis menyadari sepenuh hati bahwa skripsi ini tidak akan tersusun dan selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberi bantuan selama penelitian dan penyelesaian skripsi ini, antara lain: 1. Keluarga: Yusup Dasim (Ayah), Sriyatun (Ibu) tercinta dan Saudarasaudaraku. Terima kasih atas segala dukungan baik moril dan materil, serta do a yang tak henti-hentinya diberikan kepada penulis. 2. Fifi Diana Thamrin, S.P.,M.Si. Sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan saran, nasehat serta bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini. 3. Muhammad Firdaus, Ph.D sebagai penguji utama atas saran dan kritiknya yang sangat bermanfaat dalam penyempurnaan skripsi ini. 4. Dr. Muhammad Findi A sebagai penguji dan komisi pendidikan atas saran dan masukan untuk perbaikan skripsi ini. 5. Widyastutik, M.Si sebagai dosen pembimbing akademik yang telah membimbing, semangat dan dorongan kepada penulis. 6. Temen-temen seperjuangan: Akbar, Islam, Dwi, Adit, kiki, Arif, Tyo n Novi, Iyo, Anggit, Epul, Azis, Dani, Jawa, Irvan, Rima, Novi, Annisa (chabe), Yuliana, Puspa, Lia, Annisa, Fanya, Ima Lesmana, dan lain-lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu. 7. Siera Aninditha Casandri Putri atas segala dukungan serta pengertiannya. 8. Semua pihak yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini.

10 i DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... iv DAFTAR LAMPIRAN... v I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian Ruang Lingkup Penelitian II. TINJAUAN PUSTAKA Konsep Otonomi Daerah Konsep Pertumbuhan Ekonomi Infrastruktur Kebutuhan Infrastruktur dalam Pengembangan Wilayah Konsep Pembangunan Ekonomi Hambatan dan Strategi Pembangunan Ekonomi Otonomi Daerah, Implikasi terhadap Infrastruktur dan Pembangunan Daerah Inflasi Tinjauan Penelitian Terdahulu Kerangka Pemikiran Konseptual Hipotesis Penelitian III. METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Data Pendekatan dalam Metode Panel Data Pendekatan Pooled Least Square Pendekatan Fixed Effect Pendekatan Random Effect... 43

11 ii Pemilihan Model dalam Pengolahan Data Panel Chow Test Hausman Test LM Test Evaluasi Model Multikolinieritas Autokorelasi Heteroskedastisitas Model Operasional Penelitian IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Pertumbuhan Ekonomi Pengembangan Infrastruktur Listrik Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Empat Propinsi di KTI Interpretasi Model dengan Dependent Variabel PDRB Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Infrastruktur Listrik Empat Propinsi di KTI Intepretasi Model dengan Dependent Variabel LS V. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 72

12 iii DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Panjang Jalan dan Kondisi Kerusakan Jaringan Jalan Nasional Tahun 2003 dan Tahun PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Propinsi Tahun (Juta Rupiah) Rincian Lokasi P2DTK Tahun Rincian Operasional Ringkasan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Propinsi Terkait Pengelolaan Infrastruktur Menurut PP No. 25/ Data, Satuan, Simbol dan Sumber Data Penelitian Menentukan Autokorelasi Hasil Estimasi Output dengan Dependent Variable (PDRB) dengan menggunakan model efek tetap dengan pembobotan (Cross Section Weights) dan White Cross Section Covariance Hasil Estimasi Fungsi dengan Dependent Variable Listrik (LS) dengan menggunakan Model Efek Tetap dengan Pembobotan (Cross Section Weights) dan White Cross Section Covariance 62

13 iv DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Tujuan P2DTK GDP sebagai penyebab inflasi Kerangka Pemikiran Koseptual Pengujian Pemilihan Model dalam Pengolahan Data Panel PDRB Riil Empat Propinsi di KTI Kondisi Infrastruktur Listrik Empat Propinsi di KTI... 53

14 v LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Data Hasil Estimasi Output dengan Dependent Variable (PDRB) dengan menggunakan model efek tetap dengan pembobotan Cross Section Weights dan White Cross Section Covariance Hasil Estimasi Fungsi dengan Dependent Variable Listrik (LS) dengan menggunakan Model Efek Tetap dengan Pembobotan Cross Section Weights dan White Cross Section Covariance... 75

15 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan di bidang ekonomi maupun sosial, yang dilaksanakan di Indonesia merupakan upaya untuk mewujudkan tujuan masyarakat adil dan makmur. Indonesia mengalami pergolakan yang luar biasa beberapa tahun terakhir ini diikuti perubahan transformasi politik dan ekonominya. Sumber daya alam, iklim, dan kebudayaan di negara ini sangat berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya, demikian pula halnya dengan potensi untuk pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Pembangunan ekonomi masyarakat merupakan berbagai upaya untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup masyarakat di wilayahnya, memperkecil kesenjangan pertumbuhan, dan ketimpangan kesejahteraan antar wilayah. Pembangunan ekonomi tidak dapat secara sederhana diartikan dengan pertumbuhan ataupun industrialisasi, karena pembangunan ekonomi berarti pertumbuhan ditambah dengan terjadinya perubahan-perubahan (growth plus change), karena adanya dimensi-dimensi kualitatif yang cukup penting dalam proses pembangunan tersebut. Disadari bahwa dalam proses pembangunan seringkali terjadi dampak yang tidak diinginkan oleh masyarakat seperti ketimpangan dalam distribusi pendapatan, ketidakadilan dan kemiskinan (Jusmaliani, 2001). Selain itu pula, dalam mengkaji pembangunan ekonomi harus berdasarkan pengamatan terhadap kondisi internal, sekaligus mengantisipasi perkembangan eksternal. Faktor-faktor internal meliputi pola-pola pengembangan SDM,

16 2 informasi pasar, sumber daya modal dan investasi, kebijakan dalam investasi, pengembangan infrastruktur, pengembangan kemampuan kelembagaan lokal dan kepemerintahan, serta berbagai kerjasarna dan kemitraan. Sedangkan faktor eksternal meliputi masalah kesenjangan wilayah dan pengembangan kapasitas otonomi daerah, perdagangan bebas, serta otonomi daerah. Sejak akhir dasawarsa delapan puluhan perhatian berbagai pihak terhadap persoalan di Kawasan Timur Indonesia mulai mendapat perhatian yang lebih besar dalam upaya pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup perubahan struktur, sikap hidup dan kelembagaan, selain mencakup peningkatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketidakmerataan distribusi pendapatan dan pemberantasan kemiskinan. Secara administratif, Kawasan Timur Indonesia (KTI) meliputi 16 wilayah Propinsi yang membentang dari Kalimantan hingga Irian, kecuali Bali. Dilihat dari aspek geografis luas wilayah KTI mencakup hampir 68,75 persen wilayah Nusantara, dan hanya didiami oleh kurang lebih 20 persen total penduduk Indonesia. Sementara, Jawa, Bali dan Sumatera dengan luas wilayah kurang lebih 31,25 persen dari wilayah Nusantara dihuni oleh kurang lebih 80 persen total penduduk Indonesia. Wilayah yang luas dan ditambah dengan melimpahnya kekayaan sumberdaya alam. Sangat ironis sekali jika pembangunan KTI lambat. Lambatnya arus investasi di KTI sehingga menyebabkan pembangunan KTI sangat tertinggal dibanding KBI dapat diindentifikasi beberapa faktor utama penyebabnya, antara lain yaitu: (1) terbatasnya sarana dan prasarana (infrastruktur) seperti transportasi

17 3 darat, laut dan udara dan telekomunikasi, serta tersedianya tenaga listrik yang sangat berpengaruh terhadap berbagai aspek yang dapat mendorong pertumbuhan misalnya, mengurangi minat investor untuk menginvestasikan modalnya di KTI, meningkatnya biaya produksi, dan menurunkan daya saing produk yang dihasilkan oleh KTI; (2) terbatasnya sarana pendidikan dan tenaga pendidik yang berkualitas, yang berakibat terhadap rendahnya kualitas SDM yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan KTI; (3) terbatasnya kewenangan pengambilan keputusan seperti di bidang perbankan, berbagai perijinan dan lain-lain di KTI, sehingga proses pengambilan keputusan memakan waktu lama karena harus diputuskan oleh Pusat. Di samping itu, hal ini menyebabkan tingginya biaya operasional dari para pengguna jasa tersebut; dan (4) kondisi sosial dan keamanan di beberapa daerah yang belum kondusif, telah menyebabkan keengganan investor untuk menanamkan modalnya di KTI (Setiono, 2001). Lebih lanjut, Krisis ekonomi tahun yang menyebabkan triple deficit, yakni kesenjangan antara investasi dengan tabungan, defisit anggaran negara (APBN), dan defisit transaksi berjalan current account secara simultan atau pada waktu yang bersamaan, merupakan faktor utama terhentinya infrastruktur fisik di Indonesia. Menurut Bappenas (2003), krisis juga telah melonjakkan ongkos sosial politik dan biaya ekonomi yang sangat mahal. Dari sisi hutang akibat depresiasi rupiah terlihat kenaikan sebesar Rp triliun (Rp triliun hutang domestik dan US$ 63.9 miliar hutang luar negeri keduanya pada posisi Maret 2003), atau mencapai 76 persen dari PDRB (2002). Beban hutang ini membahayakan kesinambungan fiskal, serta mengurangi kemampuan

18 4 APBN dalam membiayai pembangunan, memutar roda perekonomian, menyediakan lapangan kerja dan memelihara infrastruktur. Dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) Nasional Tahun (Perpres Nomor 7 Tahun 2005) mengidentifikasi terdapat 199 (43 persen) kabupaten tertinggal, dengan komposisi (KTI 62 persen, dan KBI 38 persen). Salah satu permasalahan yang dihadapi adalah dalam aspek infrastruktur (sarana dan prasarana) terutama transportasi darat, laut dan udara; telekomunikasi, dan energi, serta keterisolasian daerah. Percepatan Pembangunan Infrastruktur terkonsentrasi di 148 kabupaten. Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Telekomunikasi, listrik dan air merupakan elemen sangat penting dalam proses produksi dari sektor-sektor ekonomi seperti perdagangan, industri dan pertanian. Keberadaan infrastruktur akan mendorong terjadinya peningkatan produktivitas bagi faktor-faktor produksi, dan sebaliknya apabila mengabaikannya akan menurunkan produktivitasnya (Bappenas, 2003). Sebelum krisis di Asia tahun 1997, Indonesia mengalami pertumbuhan tahunan untuk konsumsi listrik lebih dari 13 persen, pencapaian puncaknya adalah pada tahun di atas 15 persen. Sebagai jawaban atas pertumbuhan ini, PLN mengarah ke Independent Power Producers (IPPs) untuk meningkatkan persediaan daya listrik. Pada saat krisis, pertumbuhan terhadap permintaan listrik menurun drastis untuk disebabkan kelebihan kapasitas, terutama sekali pada sistem JAMALI (Jawa, Madura, dan Bali). Sebagai tambahan, rata-rata tarif yang dikeluarkan PLN sendiri menjadi terlalu fluktuatif, karena nilai tukas dollar AS terhadap rupiah menguat tajam (Sector Review, 2006). Hal ini terkesan bahwa

19 5 Kawasan Barat Indonesia (khususnya JAMALI) mendapat perhatian lebih dari pemerintah pusat dibandingkan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Fakta ini menyebabkan pemerataan pembangunan tidak terealisasi. Di bidang infrastruktur jalan, kondisi penurunan kualitas dan kuantitas layanan jalan semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan data BPS tahun 2003 dan data KMPU tahun 2006 memperlihatkan infrastruktur jalan berada dalam keadaan kritis akibat kurangnya perhatian pemerintah terhadap rehabilitasi, penyimpangan administrasi operasional angkutan muatan-muatan berat (DLLAJ) dan tidak dipungkiri bahwa buruknya kualitas konstruksi. Tabel 1. Panjang Jalan dan Kondisi Kerusakan Jaringan Jalan Nasional Tahun 2003 dan Tahun 2006 Tahun Jenis Jalan Panjang (km) Baik (%) Sedang (%) Rusak (%) Rusak Berat (%) 2003 Jalan Nasional Jalan Propinsi Jalan Kab/Kota TOTAL Jalan Nasional Jalan Propinsi Jalan Kab Kota Tol TOTAL Sumber: BPS (2003) dan KMPU (2006) Tabel 1 memperlihatkan pada tahun 2003 sekitar 59,9 persen jaringan jalan rusak ringan dan rusak berat, dan yang paling parah terjadi pada tahun 2006 dimana kondisi jalan rusak mencapai 80 persen. Seharusnya hal ini dapat menjadi perhatian pemerintah terhadap pengembangan infrastruktur kedepannya. Pembangunan sarana dan prasarana sangat penting untuk dilakukan lebih efektif dan komprehensif. Oleh sebab itu, percepatan pembangunan nasional, khususnya KTI merupakan agenda penting dalam proses pembangunan bangsa

20 6 Indonesia. Selain untuk mengatasi persoalan ketimpangan pembangunan yang begitu lebar, upaya tersebut merupakan langkah strategis untuk membangun fondasi yang kokoh bagi pembangunan bangsa Indonesia di masa depan. Semangat persatuan dan kesatuan pula yang melandasi pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi, berdasarkan Undang-undang nomor 32 dan nomor 33 tahun 2004, memberikan wewenang yang lebih luas kepada pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya daerah baik yang menyangkut aspek administrasi, institusi maupun keuangan. Otonomi daerah adalah suatu keadaan yang memungkinkan daerah dapat mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal. Hal ini dimaksudkan agar kebijakan otonomi daerah memberikan dampak positif terhadap pembangunan di daerah. Pentingnya misi pembangunan tersebut, didasarkan pada kenyataan bahwa beratnya permasalahan pembangunan yang dihadapi KTI, di satu pihak, dan besarnya potensi pembangunan yang ada di kawasan tersebut, di lain pihak. Sehingga diperlukan upaya untuk meningkatkan investasi di KTI dan apabila diperlukan proses pengolahan lebih lanjut, maka hal itu harus dilakukan di daerah atau lokasi yang bersangkutan. Upaya meningkatkan investasi untuk menjadi stimulus pertumbuhan perekonomian, khususnya di KTI tampaknya tidak mudah, dan untuk itu, harus memenuhi beberapa kondisi; pertama, perlu penyiapan kondisi daerah sasaran untuk dapat menghasilkan produktivitas modal yang optimal, dalam arti efisien secara teknis maupun secara ekonomis. Kedua, peningkatan produktivitas modal tersebut dapat dicapai apabila mampu menstimulasi terjadinya aliran investasi

21 7 yang berkelanjutan. Di samping itu, beberapa faktor seperti yang telah disebutkan di atas patut pula dipertimbangkan. Hampir di semua daerah di KTI dapat dikatakan tidak memiliki infrastruktur yang memadai seperti KBI. Padahal, untuk dapat menghasilkan produktivitas modal yang optimal dalam arti efisien secara teknis dan ekonomis, kebutuhan akan infrastruktur, seperti jalan raya, pelabuhan laut dan udara, sarana telekomunikasi dan lain-lain, merupakan kebutuhan yang mutlak. Kondisi di atas masih ditambah lagi dengan masalah sosial dan keamanan yang selalu dipertanyakan oleh setiap investor yang akan menanamkan modalnya ke KTI. Berdasarkan penjelasan diatas terkait antara otonomi daerah terhadap pengembangan infrastruktur (kapasitas produksi listrik) dan pertumbuhan perekonomian di Kawasan Indonesia Timur, menarik untuk dikaji seberapa jauh pengaruh otonomi daerah terhadap pengembangan infrastruktur dan perekonomian di KTI (Kawasan Timur Indonesia), sebagai salah satu instrumen kebijakan pembangunan di Indonesia. Sehingga adanya kajian dampak otonomi daerah terhadap pengembangan infrastruktur dan perekonomian Kawasan Timur Indonesia menjadi penting untuk dipahami sehingga diharapkan ada solusi yang tepat pada perumusan kebijakan dan implementasinya terhadap pembangunan di KTI secara khusus. Dengan demikian, pada gilirannya selain diharapkan dapat meningkatkan pembangunan ekonomi daerah yang bersangkutan, sekaligus dapat mendukung peningkatan ekonomi nasional, yang hingga saat ini dirasakan sangat lambat pertumbuhannya

22 Perumusan Masalah Pemerintah merevisi UU No. 22/1999 dan UU No. 23/1999 menjadi UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004 adalah sebagai bentuk kesungguhan pemerintah untuk melaksanakan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih merata di semua daerah di Indonesia. Pertumbuhan dan pengembangan ekonomi, investasi asing, pengentasan kemiskinan dan mutu lingkungan hidup tidak lepas dari pengaruh oleh ketersediaan infrastruktur di suatu daerah atau negara. Menurunnya kemampuan keuangan pemerintah saat ini menyebabkan memburuknya kualitas pelayanan infrastruktur dan tertundanya pembangunan infrastruktur baru. Akibatnya, kondisi infrastruktur Indonesia terpuruk dimanamana dan mutu infrastruktur Indonesia menduduki peringkat terendah dikawasan Asia. Tabel 2. PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Propinsi Tahun (juta rupiah) Wilayah Sumatera Jawa&Bali Kalimantan Sulawesi Lainnya KBI KTI Total Sumber : BPS (data diolah). Permasalahan aspek sarana dan prasarana (infrastruktur) merupakan hal yang sangat dilematis, karena dapat menghambat pertumbuhan perekonomian didaerah maupun nasional. Ketersediaan akses terhadap fasilitas serta jasa pelayanan infrastruktur merupakan salah satu faktor utama menciptakan pertumbuhan dan kesejahteraan suatu wilayah/daerah. Di era otonomi daerah ini,

23 9 pelaksana utama pembangunan daerah adalah kabupaten, karena dalam pengambilan keputusan bottom up, aspirasi masyarakat dapat tersinergiskan dengan baik. Pemerataan pembangunan di Indonesia memang belum secara menyeluruh dapat diimplementasikan secara cepat oleh pemerintah, sehingga masih saja ada kesenjangan antar wilayah di Indonesia. Pada Tabel 2. terlihat bahwa dari tahun masih terjadi ketimpangan pertumbuhan ekonomi antara KTI dan KBI, di KBI terjadi kenaikan rata-rata PDRB tiap tahun sekitar Rp ,25 (Juta) sedangkan KTI kenaikan rata PDRB tiap tahun hanya Rp ,5 (Juta). Tabel 3. Rincian Lokasi P2DTK Tahun 2008 Program Provinsi Pemulihan dan Pertumbuhan Sosial Ekonomi Daerah-Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK) Jumlah Kab Jumlah Kec Jumlah Desa Bengkulu Lampung NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Sulawesi Tengah Maluku Maluku Utara KBI KTI Sub Total 8 Provinsi Sumber: Kementrian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Sampai dengan tahun 2008 (Tabel 3), identifikasi yang dilakukan pemerintah menghasilkan klasifikasi daerah-daerah tertinggal. Program pemerintah dalam mengatasi hal ini yaitu dengan Pemulihan dan Pertumbuhan Sosial Ekonomi Daerah-Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK), dalam program P2DTK merinci lokasi/ daerah tertinggal. Identifikasi hasil, ternyata daerahdaerah tertinggal di KTI (NTT, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi

24 10 Tengah, Maluku, dan Maluku Utara) lebih banyak daripada KBI (Bengkulu dan Lampung). KTI mendominasi 6 provinsi (26 kabupaten, terdiri dari 151 kecamatan yang mewakili desa) dan 2 provinsi (6 kabupaten, terdiri dari 35 kecamatan yang mewakili 483 desa) di KBI. Gambar 1. Menggambarkan tujuan P2DTK yang pada intinya ingin mendorong perbaikan kualitas proses musyawarah perencanaan pembangunan dari tingkat desa hingga kabupaten dan provinsi. Dimana salah satu kegiatan utama/instrumennya adalah percepatan pembangunan infrastruktur (penyediaan sarana dan prasarana sosial dasar). Lebih lanjut, otonomi daerah di satu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, dan dilain pihak terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Dalam konteks ini, otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perijinan usaha, dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerahnya. Dengan demikian otonomi daerah akan membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu ke waktu. Namun terdapat permasalahan dalam kaitan dengan pembangunan dan pengelolaan infrastruktur adalah perubahan sistem politik ke arah otonomi daerah. Otonomi daerah telah mengubah pola pemerintahan Indonesia, dimana wewenang pemerintahan daerah menjadi lebih besar dalam mengelola infrastruktur. Namun tingginya ketergantungan fiskal daerah terhadap pusat terutama dari dana perimbangan (Bappenas, 2003) memberikan konsekuensi pendanaan infrastruktur kepada pemerintah pusat. Dalam hal ini dibutuhkan untuk mendefinisikan secara

25 11 lebih baik tanggung jawab dari berbagai level pemerintahan, untuk mengembangkan penerapan transfer financial dari pusat, untuk meningkatkan kerjasama yang efektif antar daerah, dan untuk membangun kapasitas badanbadan regional (Yanuar, 2006). TUJUAN P2DTK Mempercepat Pemuliahan dan Pertumbuhan Sosial Ekonomi Daerah-Daerah Tertinggal dan Meningkatkan Memberdaya Melembagakan Memperbesar Meningkatkan Kapasitas kan masyarakat pelaksanaan akses kemudahan Pemerintah dan lembaga pembangunan masyarakat hidup daerah dalam masyarakat partisipatif terhadap masyarakat memfasilitasi dalam untuk menjalin keadilan. miskin dengan Gambar 1. Tujuan P2DTK Sumber: Kementrian Negara Pembangunan Desa Tertinggal Demikian pada gilirannya permasalahan yang cukup serius untuk dapat dikaji adalah penyediaan kapasitas produksi listrik dalam meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi infrastruktur di daerah-daerah di KTI dengan implikasi otonomi daerah. Berdasarkan uraian permasalahan diatas, maka permasalahan pokok yang ada dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah otonomi daerah berpengaruh terhadap pertumbuhan perekonomian dan pengembangan kapasitas produksi listrik di KTI?

26 12 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pertumbuhan perekonomian dan pengembangan kapasitas produksi listrik di KTI? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penulisan ini adalah : 1. Menganalisis dampak otonomi daerah terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyediaan kapasitas produksi listrik di KTI. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan perekonomian dan pengembangan kapasitas produksi listrik di KTI Kegunaan Penelitian Secara umum hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan bagi kebijakan pembangunan pemerintah terutama terkait pembangunan infrastruktur (kapasitas produksi listrik) di KTI yang kurang memadai. Sasaran yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah ingin menunjukkan bahwa pembangunan di KTI tidak akan berhasil jika tidak dibangun secara bersamaan dan berkelanjutan. Dan secara khusus manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Dalam era otonomi daerah ini peran wilayah semakin besar sehingga hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan bagi penentuan prioritas pembangunan kapasitas produksi listrik di daerah yang dijadikan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. 2. Diharapkan penelitian ini menjadi sumber referensi dan informasi tambahan bagi penelitian lanjutan khususnya terkait masalah pertumbuhan

27 13 ekonomi dan pengembangan infrastruktur khususnya kapasitas produksi listrik Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menggunakan data sekunder dari berbagai sumber yang tersedia, dan akan mengkaji dampak otonomi daerah terhadap pengembangan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi wilayah. Penelitian ini membatasi wilayah KTI yang seharusnya 16 provinsi namun yang dibahas dalam penelitian ini hanya 4 provinsi dari 6 provinsi yang ditetapkan Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal dalam rapat koordinasi nasional. Pemilihan ini didasarkan atas ketersediaan data. Penelitian ini membatasi definisi infrastruktur kepada infrastruktur fisik (panjang jalan, listrik, air bersih) ditambah dengan infrastruktur yang bersifat sosial (pendidikan dan kesehatan). Selain itu, model estimasi tentang pengembangan infrastruktur, hanya mengestimasi pengembangan infrastruktur kapasitas produksi listrik. Model ekonomi yang coba dikembangkan akan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan data, hasil estimasi model dan dasar teori yang berkembang.

28 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Otonomi Daerah Orde Baru akhirnya jatuh berkat tekanan dari masyarakat. Setelah Orde Baru berakhir, demokratisasi dan desentralisasi mengalami kebangkitan. Di tingkat pusat, setelah melewati transisi, sudah terbentuk rezim yang demokratis, meskipun masih terbatas. Otonomi daerah juga memperoleh ruang yang lebih lebar dibandingkan masa sebelumnya. Hubungan pusat-daerah yang hirarkis-sentralistis selama Orde Baru kini digerogoti oleh kekuatan pendukung otonomi daerah, yang memaksa pemerintah pusat melakukan transfer kekuasaan yang lebih besar pada daerah. Keluarnya dua undang-undang, UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, dan pada tahun 2004 dikeluarkan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara pusat dan daerah sebagai penyempurnaannya, setidaknya merupakan garansi formal pemotong mata rantai hirarkhi dan sentralisasi yang memungkinkan perluasan otonomi daerah. Dengan otonomi yang semakin luas, sebagaimana dikemas secara formal dalam UU baru, daerah bisa membentuk pemerintahan sendiri, legislatif yang semakin kuat, daerah bisa mengelola keuangan sendiri, dan semakin mendekatkan pelayanan pada masyarakat. Dijelaskan pada UU No. 22/1999, pengertian otonomi daerah adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan

29 15 Republik Indonesia. Menurut Sembiring (2006), penyelenggaraan pemerintah di daerah ditopang oleh Pemerintah Daerah. Menurut UU No. 25/1999 (juga terdapat dalam UU No. 22/1999) penerimaan daerah: 1. Pendapatan Asli Daerah; 2. Dana Perimbangan; 3. Pinjaman daerah; dan 4. Lain-lain penerimaan yang sah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) semestinya merupakan pendapatan utama daerah. Dalam era yang disebut era otonomi daerah besar kecilnya PAD dapat dijadikan sebagai tolok ukur kadar keotonomian suatu daerah. Namun kenyataan yang ada di Indonesia selama ini, menunjukkan bahwa justru PAD ini merupakan bagian kecil (sekitar 30 persen) dari penerimaan daerah, sisanya adalah dana perimbangan. Dana perimbangan berasal dari alokasi APBN baik yang berasal dari pengelolaan sumberdaya daerah maupun bukan. Secara garis besar, komponen dana perimbangan dapat dirinci menjadi: 1. Bagi hasil pajak dan bukan pajak; 2. Dana Alokasi Umum; dan 3. Dana Alokasi Khusus. Komponen bagi hasil pajak dan bukan pajak terdiri dari bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), bea perolehan atas hak tanah dan bangunan dan penerimaan dari sumber daya alam.

30 16 Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Melalui DAU ini diharapkan kesenjangan pendapatan antara pemerintah daerah dapat dikurangi, sehingga ketimpangan ekonomi antar daerah dapat dikurangi pula. Dana Alokasi Khusus (DAK) dialokasikan dari APBN kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu. Disebut khusus karena kebutuhan yang dibiayai bersifat khusus, berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Oleh karena itu pembiayaan DAK biasanya mendahulukan kebutuhan yang sudah menjadi komitmen dan prioritas nasional. Termasuk dalam DAK adalah dana reboisasi. Pembagian dana reboisasi ini mengikuti ketentuan imbangan 40 persen untuk daerah penghasil DAK dan 60 persen untuk Pemerintah Pusat. Sedangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang seharusnya menjadi sumber utama pendapatan daerah, terdiri dari komponen-komponen: 1. Pajak daerah; 2. Retribusi daerah; 3. Perusahaan milik daerah; 4. Kekayaan daerah; 5. Lain-lain PAD. Dalam operasionalnya dijelaskan pada UU No.32/2004, dimana dijelaskan pada tabel 4. Sebagai berikut:

31 17 Tabel 4. Rincian Operasional BAB II (Pasal 5 ayat 2, 4 dan 5) (Tentang Pembentukan Daerah dan Kawasan Khusus) Syarat administratif untuk provinsi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi, persetujuan DPRD propinsi induk dan Gubernur, serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Syarat teknisnya meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Syarat fisiknya meliputi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan propinsi dan paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintah. Sumber: Sembiring, BAB III (Pasal 13 ayat 1(a,b,d,f, dan n)) (Tentang Pembagian Urusan Pemerintah) Perencanaan dan pengendalian pembangunan. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang. Penyediaan sarana dan prasarana umum. Penanganan bidang kesehatan. Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial. Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota. Studi yang dilakukan oleh Eko (2005), mengungkapkan otonomi daerah dan demokrasi adalah satu tarikan nafas, yang ditentukan oleh rakyat, berasal dari rakyat dan akhirnya dikembalikan untuk rakyat. Tetapi ada sebagian orang bilang bahwa desentralisasi itu hanya urusan elite-elite daerah dan pada akademisi di perguruan tinggi. Orang-orang di luar itu kelihatan tidak terlalu butuh. Rakyat kelihatannya tidak butuh desentralisasi dan demokrasi. Yang dibutuhkan rakyat adalah kemakmuran dan kesejahteraan. Keraguan orang akan desentralisasi dan keyakinan pada sentralisasi itu adalah mitos, yaitu mitos tentang demokrasi di banyak negara tebelakang termasuk di kawasan Afrika. Orang Afrika, seperti di Indonesia, tidak butuh demokrasi atau desentralisasi, tetapi hanya butuh makan.

32 18 Tetapi seperti dituturkan seorang filsof terkenal, Hook dalam Eko (2005), banyak orang mengklaim bahwa makan lebih penting ketimbang kebebasan, tapi barang siapa yang menyerahkan kebebasannya hanya untuk makan, maka akhirnya mereka tak akan memperoleh makan dan kebebasan. Fatwa ini sudah terbukti dengan baik di zaman Orde Baru. Pembangunan memang tidak membawa hasil yang besar. Tetapi itu hanya sebuah balon yang gampang pecah. Setelah terjadi krisis besar, kita baru sadar bahwa kita ternyata tidak memperoleh kebebasan dan makan. Banyak orang jatuh miskin baik secara ekonomi maupun politik. Dengan demikian, demokrasi dan desentralisasi jauh lebih penting ketimbang sekadar makan atau kemakmuran sekalipun. Sejarah telah mencatat bahwa negerinegeri yang makmur di belahan dunia ini sebagian besar adalah yang menganut demokrasi dan desentralisasi. Sebaliknya negeri-negeri yang miskin di belahan dunia ini sebagian besar adalah yang non demokratis. Oleh karena itu, demokrasi akan mampu meningkatkan kemakmuran. Demikian juga dengan desentralisasi, yang akan meningkatkan kemakmuran bagi masyarakat lokal, ketimbang mereka hidup dalam formasi negara yang sentralistik (Eko, 2005) Konsep Pertumbuhan Ekonomi S. Kuznets dalam M.L Jhingan mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi dan penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang diperlukannya. Dalam penjelasan sebelumnya ia mendefinisikan

33 19 pertumbuhan ekonomi sebagai suatu kenaikan terus-menerus dalam produk per kapita atau per pekerja, seringkali dibarengi kenaikan jumlah penduduk dan biasanya dengan perubahan struktural. Definisi ini memiliki 3 (tiga) komponen: pertama, pertumbuhan ekonomi suatu bangsa terlihat dari meningkatnya secara terus-mnenerus persediaan barang; kedua, teknologi maju merupakan faktor dalam pertumbuhan ekonomi yang menentukan derajat pertumbuhan kemampuan dalam penyediaan aneka macam barang kepada penduduk; ketiga, penggunaan teknologi secara luas dan efisien memerlukan adanya penyesuaian di bidang kelembagaan dan ideologi sehingga inovasi yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan ummat manusia dapat dimanfaatkan secara tepat. Pertumbuhan ekonomi modern merupakan pertanda penting di dalam kehidupan perekonomian. Terdapat enam ciri untuk menunjukkan pertumbuhan ekonomi modern yang muncul dalam analisa yang didasarkan pada produk nasional dan komponennya, penduduk, tenaga kerja, dan sebangsanya. Yaitu: 1. Laju Pertumbuhan Penduduk dan Produk Per Kapita 2. Peningkatan Produktivitas 3. Laju Perubahan Struktural yang Tinggi 4. Urbanisasi 5. Ekspansi Negara Maju 6. Arus barang, Modal, dan Orang Antarbangsa Dari keenam ciri tersebut, dua diantaranya adalah kuantitatif yang berhubungan dengan pertumbuhan produk nasional dan pertumbuhan penduduk, yang dua berhubungan dengan peralihan struktural dan dua lagi dengan penyebaran

34 20 internasional. Keenam ciri pertumbuhan ekonomi modern tersebut diatas saling terkait, keenamnya terjalin dalam urutan sebab-akibat. Dengan rasio yang stabil antara tenaga kerja terhadap penduduk total, laju kenaikan produk per kapita menjadi tinggi. Sedangkan, Pertumbuhan Ekonomi menurut (Todaro, 2003) menyatakan bahwa, faktor utama atau komponen pertumbuhan ekonomi setiap negara: 1. Akumulasi modal yang meliputi semua investasi baru berupa tanah dan sumberdaya manusia. 2. Pertumbuhan penduduk. Faktor ini juga akan mengakibatkan pertumbuhan angkatan kerja meskipun dengan tenggang waktu, secara tradisional dianggap merupakan faktor positif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. 3. Kemajuan di bidang teknologi, dapat disebut sebagai cara baru dan cara yang lebih baik untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan berproduksi, atau untuk menghasilkan suatu barang. Dalam studi lain, para ahli ekonomi menganggap faktor produksi sebagai kekuatan utama yang mempengaruhi pertumbuhan. Laju pertumbuhan ekonomi jatuh atau bangunnya merupakan konsekuensi dari perubahan yang terjadi di dalam faktor produksi tersebut. Beberapa faktor produksi tersebut dibagi menjadi faktor ekonomi (sumber alam, akumulasi modal, organisasi, kemajuan teknologi, pembagian kerja dan skala produksi) sedangkan faktor non ekonomi (faktor sosial, faktor manusia, faktor politik dan administratif). Pertumbuhan ekonomi yang cepat merupakan dasar terselenggaranya penelitian ilmiah yang pada gilirannya akan mendorong inovasi teknologi yang nantinya akan memutar baling-baling pertumbuhan ekonomi secara

35 21 berkelanjutan, agar tercapai efisiensi dalam membangun ekonomi nasional sehingga terjadi peningkatan daya saing Infrastruktur Infrastruktur adalah suatu rangkaian yang terdiri atas beberapa bangunan fisik yang masing-masing saling mengkait dan saling ketergantungan satu sama lainnya. Pembangunan infrastruktur tentu didasarkan atas gagasan, maksud dan tujuan tidak saja bermanfat untuk suatu golongan saja namun harus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas. Tolok ukur keberhasilan pembangunan infrastruktur adalah sejauh mana pemanfaatan dan dampaknya terhadap dinamika pembangunan ekonomi masyarakat meningkat. Keterkaitan fungsi diantara infrastruktur yang ada sangat menentukan tingkat kemanfaatannya (Sibarani, 2002). Investasi pemerintah pada umumnya berbentuk infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, dan listrik yang dibutuhkan oleh masyarakat dan dunia usaha untuk melakukan kegiatan produksi dan investasi. Secara umum infrastruktur dapat didefinisikan sebagai fasilitas fisik dalam mengembangkan atau membangun pelayanan publik melalui penyediaan barang dan jasa untuk umum. Menurut Jan Jacobs et. al dalam Sibarani (2002) infrastruktur dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu: 1. Infrastruktur dasar (basic infrastructure) mencakup sektor-sektor publik dan keperluan mendasar untuk sektor perekonomian, yang tidak dapat diperjualbelikan (non tradable) dan tidak dapat dipisah-pisahkan secara teknis

36 22 maupun spasial, contoh: jalan raya, kereta api, kanal, pelabuhan laut, drainase, bendungan, dan sebagainya. 2. Infrastruktur pelengkap (complementary infrastructure) seperti gas, listrik, telepon dan pengadaan air minum. Menurut Basri (2002), kategori infrastruktur adalah jalan raya, rel kereta api, pelabuhan laut, bandar udara, alat pengangkutan dan telekomunikasi. Selain itu, ada infrastruktur lain yaitu listrik, instalasi pipa air dan pipa gas. Infrastruktur merupakan instrumen untuk memperlancar roda perekonomian sehingga bisa mempercepat akselerasi pembangunan. Tersedianya infrastruktur yang memadai akan menstimulasi pembangunan daerah. Sebaliknya, pembangunan daerah yang berjalan cepat mengindikasikan perlunya perbaikan dan pembangunan infrastruktur agar proses pembangunan tidak tersendat. Bappenas (2003), menyatakan bahwa secara umum paling tidak terdapat tiga dimensi relasi antara ekonomi dan infrastruktur, yaitu: (a) kegiatan ekonomi, seperti halnya keberadaan jalan, jembatan, listrik dan telepon yang mendasari terciptanya transaksi dalam perekonomian; (b) infrastruktur juga merupakan input produksi, seperti halnya penggunaan listrik untuk proses produksi di semua industri; (c) akses terhadap infrastruktur menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat, dalam hal ini misalnya; peran air minum dan sanitasi yang baik, layanan transportasi dan listrik yang merupakan kebutuhan dasar masyarakat modern. The World Bank dalam Bappenas membagi infrastruktur menjadi (The World Bank, 1994):

37 23 1. Infrastruktur ekonomi, merupakan infrastruktur fisik yang diperlukan untuk menunjang aktivitas ekonomi, meliputi public utilities (listrik, telekomunikasi, air, sanitasi, gas), public work (jalan, bendungan, kanal, irigasi dan drainase) dan sektor transportasi (jalan rel, pelabuhan, lapangan terbang dan sebagainya). 2. Infrastruktur sosial, meliputi pendidikan, kesehatan, perumahan dan rekreasi. 3. Infrastruktur administrasi, meliputi penegakan hukum, kontrol administrasi dan koordinasi. Dalam setiap pembangunan jenis infrastruktur tidak dapat terlepas begitu saja terhadap infrastruktur yang sudah ada maupun kemungkinannya untuk rencana pengembangan kedepan, sehingga perlunya dibuat Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), RUTR adalah acuan yang perlu dipahami dan secara konsisten harus dapat dilaksanakan sesuai yang ditetapkan. Peta asta gatra (geografi, demografi dan kondisi sosial) suatu wilayah baik yang berupa informasi tektual maupun peta rupa bumi adalah merupakan sumber informasi yang perlu diketahui dan diantisipasi dalam saat pembuatan RUTR maupun Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTW) karena dari data tersebut dapat diantisipasi tingkat kebutuhan saat sekarang dan yang akan datang, dengan demikian khususnya bagi pengembangan wilayah (RUTRW) sangat dimungkinkan untuk dilaksanakan mulai dari awal secara terprogram dan antisipatif Kebutuhan Infrastruktur dalam Pengembangan Wilayah Menurut Mukti, dkk (2001), tanggung jawab pengelolaan Prasarana wilayah yang sebagian besar dialihkan ke daerah, akan dapat mendatangkan keuntungan bagi daerah, sekaligus beban anggaran. Sebab prasarana wilayah dengan biaya

38 24 pemeliharaan rutin yang cukup besar akan dialihkan ke daerah. Secara umum, peran dan fungsi prasarana wilayah di daerah adalah: a. Fungsi Sosial, yaitu: menyediakan pelayanan jasa kepada masyarakat. b. Fungsi Ekonomi (internal), dimana peranannya adalah: - Mendukung roda perekonomian wilayah; - Mempromosikan pertumbuhan ekonomi wilayah; - Menjaga kontinuitas produksi suatu wilayah; dan - Memperlancar koleksi dan distribusi barang dan jasa. c. Fungsi Ekonomi (eksternal), dimana peranannya adalah: - Meningkatkan aksesibilitas wilayah dengan wilayah sebelah luar; - Mempromosikan perdagangan antar wilayah dan internasional; - Mempromosikan wilayah sebagai daerah tujuan investasi, wisata; dan - Meningkatkan komunikasi dan informasi antar wilayah. Daya saing suatu wilayah dapat diukur melalui beberapa indikator. Salah satu indikator yang cukup penting dan sangat berpengaruh adalah prasarana wilayah. Prasarana wilayah yang akan menciptakan iklim serta mendukung proses produksi unggulan suatu wilayah. Jenis prasarana wilayah yang umumunya dipertimbagkan dalam analisis pengembangan wilayah: 1. Transportasi: darat (jalan raya), laut (pelabuhan) dan udara (bandara); 2. Listrik; 3. Telekomunikasi; 4. Air Bersih/irigasi.

39 Konsep Pembangunan Ekonomi Pembangunan adalah upaya multidimensional yang meliputi perubahan pada berbagai aspek termasuk di dalamnya struktur sosial, sikap masyarakat, serta institusi nasional tanpa mengesampingkan tujuan awal yaitu pertumbuhan ekonomi penanganan ketimpangan pendapatan serta perluasan kesempatan kerja (Todaro, 2003). Pembangunan ekonomi menunjukkan perubahan-perubahan dalam struktur output dan alokasi input pada berbagai sektor perekonomian di samping kenaikan. Jadi pada umumnya pembangunan selalu disertai dengan pertumbuhan, tetapi pertumbuhan belum tentu disertai dengan pembangunan. Dalam kebijakan pembangunan ekonomi wilayah diarahkan untuk mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif dan kuat dengan memberdayakan pelaku dan potensi daerah, serta memperhatikan penataan ruang, baik fisik maupun sosial sehingga terjadi pemerataan pertumbuhan ekonomi sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah; meningkatkan pemanfaatan dan penggunaan tanah secara adil, transparan dan produktif dengan mengutamakan hak-hak rakyat setempat, termasuk hak ulayat dan masyarakat adat, serta berdasarkan tata ruang wilayah yang serasi dan seimbang. Syarat yang diperlukan agar perkembangan dapat berjalan sesuai dengan harapan menurut (Balwin & Meier, 1957) dalam Irawan dan Suparmoko ada 6, yaitu: 1. Endogenous forces (kekuatan dari dalam) untuk berkembang. 2. Mobilitas faktor-faktor pribadi. 3. Akumulasi Kapital. 4. Kriteria atau arah investasi yang sesuai dengan kebutuhan.

DAN. Oleh H DEPARTEMEN MEN

DAN. Oleh H DEPARTEMEN MEN DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN PENGEMBANGAN KAPASITAS PRODUKSI LISTRIK DI KAWASAN TIMUR INDONESIA Oleh SIGIT YUSDIYANTO H14104079 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEM

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Krisis ekonomi global lebih dari 12 tahun yang lalu telah mengakibatkan lumpuhnya sektor-sektor perekonomian dunia, sehingga dunia dihadapkan bukan hanya dengan upaya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi merupakan perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah sehingga akan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsi-provinsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Pembangunan di bidang ekonomi ini sangat penting karena dengan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Pembangunan di bidang ekonomi ini sangat penting karena dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap Negara mempunyai tujuan dalam pembangunan ekonomi termasuk Indonesia. Pembangunan di bidang ekonomi ini sangat penting karena dengan meningkatnya pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan pendapatan perkapita sebuah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan di Indonesia saat ini semakin pesat seiring dengan adanya era reformasi. Negara Indonesia yang awalnya menggunakan sistem sentralisasi dalam pemerintahannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan

I. PENDAHULUAN. menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP (Gross National Product) per kapita atau pendapatan masyarakat meningkat dalam periode

Lebih terperinci

PENGARUH KETERKAITAN ANTAR SEKTOR TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH OLEH DYAH HAPSARI AMALINA S. H

PENGARUH KETERKAITAN ANTAR SEKTOR TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH OLEH DYAH HAPSARI AMALINA S. H PENGARUH KETERKAITAN ANTAR SEKTOR TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH OLEH DYAH HAPSARI AMALINA S. H 14104053 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN

Lebih terperinci

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA KEUANGAN DAERAH DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN DAN KOTA PROVINSI JAWA BARAT

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA KEUANGAN DAERAH DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN DAN KOTA PROVINSI JAWA BARAT DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA KEUANGAN DAERAH DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN DAN KOTA PROVINSI JAWA BARAT OLEH ANDROS M P HASUGIAN H14101079 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemajuan yang diperoleh Bangsa Indonesia selama tiga dasawarsa pembangunan ternyata masih menyisakan berbagai ketimpangan, antara lain berupa kesenjangan pendapatan dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas,

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan utama kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal adalah percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas, 2007). Untuk mewujudkan

Lebih terperinci

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR 4.1. Dinamika Disparitas Wilayah Pembangunan wilayah merupakan sub sistem dari pembangunan koridor ekonomi dan provinsi dan merupakan bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pemerintah pusat sehingga dengan demikian pembangunan daerah diupayakan sejalan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam mengelola potensi sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola

I. PENDAHULUAN. dalam mengelola potensi sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah dalam mengelola potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang BAB I PENDAHULIAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi daerah semakin meningkat. Ini dapat dibuktikan dengan jelas dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada masa Orde Baru dilakukan secara sentralistik, dari tahap perencanaan sampai dengan tahap implementasi ditentukan oleh pemerintah pusat dan dilaksanakan

Lebih terperinci

ANALISIS PEMETAAN KINERJA FISKAL DAN PENGARUH TRANSFER TERHADAP KINERJA KEUANGAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH OLEH KHURUM MAQSUROH H

ANALISIS PEMETAAN KINERJA FISKAL DAN PENGARUH TRANSFER TERHADAP KINERJA KEUANGAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH OLEH KHURUM MAQSUROH H ANALISIS PEMETAAN KINERJA FISKAL DAN PENGARUH TRANSFER TERHADAP KINERJA KEUANGAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH OLEH KHURUM MAQSUROH H14104008 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Infrastruktur memegang peranan penting sebagai salah satu roda

BAB I PENDAHULUAN. Infrastruktur memegang peranan penting sebagai salah satu roda BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infrastruktur memegang peranan penting sebagai salah satu roda penggerak pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Keberadaan infrastruktur yang memadai sangat diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah dinyatakan secara tegas bahwa pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting daripada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Tonggak perubahan yang bergerak sejak tahun 1998 dengan pergantian pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan dalam aspek

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 telah menggariskan bahwa Visi Pembangunan 2010-2014 adalah Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis,

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN PENDAPATAN NASIONAL INDONESIA Oleh : Amalia Dwi Syahputri Lubis H

PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN PENDAPATAN NASIONAL INDONESIA Oleh : Amalia Dwi Syahputri Lubis H PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN PENDAPATAN NASIONAL INDONESIA 1976-2006 Oleh : Amalia Dwi Syahputri Lubis H14104101 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI dan MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Otonomi selalu dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian kebebasan dan kemandirian. Sesuatu akan dianggap otonomi jika ia menentukan diri sendiri, membuat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP PERTUMBUHAN SEKTOR PEREKONOMIAN DI KABUPATEN TAPANULI UTARA OLEH RUTH ELISABETH SIHOMBING H

DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP PERTUMBUHAN SEKTOR PEREKONOMIAN DI KABUPATEN TAPANULI UTARA OLEH RUTH ELISABETH SIHOMBING H DAMPAK OTONOMI DAERAH TERHADAP PERTUMBUHAN SEKTOR PEREKONOMIAN DI KABUPATEN TAPANULI UTARA OLEH RUTH ELISABETH SIHOMBING H 14102037 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PASCA KEBIJAKAN UPAH MINIMUM DI KABUPATEN BOGOR OLEH ERNI YULIARTI H

ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PASCA KEBIJAKAN UPAH MINIMUM DI KABUPATEN BOGOR OLEH ERNI YULIARTI H ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PASCA KEBIJAKAN UPAH MINIMUM DI KABUPATEN BOGOR OLEH ERNI YULIARTI H14102092 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. prioritas nasional dalam proses pencapain pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

I. PENDAHULUAN. prioritas nasional dalam proses pencapain pertumbuhan ekonomi yang tinggi. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sejarah pembangunan ekonomi Indonesia, infrastruktur ditempatkan pada prioritas nasional dalam proses pencapain pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Untuk mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang 17 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang dilakukan secara berkelanjutan, berdasarkan kemampuan dengan pemanfaatan kemajuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator yang umumnya digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di dalam suatu daerah dengan ditunjukkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara besar dengan pemilikan sumber daya alam yang melimpah, dalam pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari pembangunan nasional

Lebih terperinci

3. KERANGKA PEMIKIRAN

3. KERANGKA PEMIKIRAN 3. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka pemikiran Penelitian Pemerintah pusat memberikan wewenang yang besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola pemerintahannya sendiri dalam wadah negara kesatuan Republik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah Sjafrizal (2008) menyatakan kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Apabila kita membicarakan tentang pembangunan daerah maka akan erat

I. PENDAHULUAN. Apabila kita membicarakan tentang pembangunan daerah maka akan erat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Apabila kita membicarakan tentang pembangunan daerah maka akan erat kaitannya dengan apa yang disebut pendapatan daerah. Pendapatan daerah dalam struktur APBD masih merupakan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kondisi perekonomian Kabupaten Lamandau Tahun 2012 berikut karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun 2013-2014 dapat digambarkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, memperluas lapangan pekerjaan, meratakan pembagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang berlaku walaupun terjadi secara berlanjut dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi yang berlaku walaupun terjadi secara berlanjut dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi menggambarkan tentang kenaikan rill dari produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara dalam suatu tahun tertentu. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota,

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak pulau dan banyak provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota, kecamatan, kelurahan dan dibagi

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyatnya untuk menikmati umur

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Keputusan dikeluarkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, daerah diberi kewenangan yang luas untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten

I. PENDAHULUAN. pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistim pemerintahan daerah hampir di seluruh wilayah Republik Indonesia di dalam pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR EKONOMI KOTA TANGERANG PADA MASA OTONOMI DAERAH ( ) OLEH NITTA WAHYUNI H

ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR EKONOMI KOTA TANGERANG PADA MASA OTONOMI DAERAH ( ) OLEH NITTA WAHYUNI H ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR EKONOMI KOTA TANGERANG PADA MASA OTONOMI DAERAH (2001-2005) OLEH NITTA WAHYUNI H14102083 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

TIPOLOGI DAN PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KAWASAN TIMUR INDONESIA OLEH : CORNELES BULOHLABNA H

TIPOLOGI DAN PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KAWASAN TIMUR INDONESIA OLEH : CORNELES BULOHLABNA H TIPOLOGI DAN PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KAWASAN TIMUR INDONESIA OLEH : CORNELES BULOHLABNA H14084023 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini menguraikan gambaran dan analisis terkait dengan implementasi kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Sulawesi Barat. Bab ini juga menjelaskan pengaruh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada, dengan menjalin pola-pola kemitraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desentralisasi fiskal sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2001. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 yang sekaligus menandai perubahan paradigma pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sebagaimana cita-cita kita bangsa Indonesia dalam bernegara yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan adalah kemajuan yang diharapkan oleh setiap negara. Pembangunan adalah perubahan yang terjadi pada semua struktur ekonomi dan sosial. Selain itu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan nasional bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat ke arah yang lebih baik sesuai dalam UUD 1945 (Ramelan, 1997). Peran pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan sumberdaya ekonomi melimpah. Kekayaan sumberdaya ekonomi ini telah dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN A. PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Berkaitan dengan manajemen keuangan pemerintah daerah, sesuai dengan amanat UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 4.1. Pendapatan Daerah 4.1.1. Pendapatan Asli Daerah Sejak tahun 2011 terdapat beberapa anggaran yang masuk dalam komponen Pendapatan Asli Daerah yaitu Dana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang Pemerintahan yakni perubahan struktur pemerintahan, dari sentralisasi menuju desentralisasi.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang,

I. PENDAHULUAN. dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya bersumber dari prinsip dasar yang terkandung dalam UUD 1945 Pasal 18 yang berbunyi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Ketimpangan Ekonomi Antar Wilayah Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupaka ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang. difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang. difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi berkaitan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh karena itu perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan serangkaian usaha dalam suatu perekonomian untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak tersedia, perusahaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dunia menghadapi fenomena sebaran penduduk yang tidak merata. Hal ini

I. PENDAHULUAN. dunia menghadapi fenomena sebaran penduduk yang tidak merata. Hal ini 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Fenomena Kesenjangan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia menghadapi fenomena sebaran penduduk yang tidak merata. Hal

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi Daerah sebagai wujud dari sistem demokrasi dan desentralisasi merupakan landasan dalam pelaksanaan strategi pembangunan yang berkeadilan, merata, dan inklusif. Kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan. swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan. swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang Analisis struktur perekonomian kota Depok sebelum dan sesudah otonomi daerah UNIVERSITAS SEBELAS MARET Oleh: HARRY KISWANTO NIM F0104064 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan daerah merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan ekonomi. Permasalahan kemiskinan dialami oleh setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang.

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH TINGKAT KEMANDIRIAN FISKAL TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN/KOTA DI PROPINSI JAWA BARAT

ANALISIS PENGARUH TINGKAT KEMANDIRIAN FISKAL TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN/KOTA DI PROPINSI JAWA BARAT ANALISIS PENGARUH TINGKAT KEMANDIRIAN FISKAL TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA KABUPATEN/KOTA DI PROPINSI JAWA BARAT OLEH SEPTIAN BAGUS PAMBUDI H 14104070 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari definisi ini bahwa pembangunan ekonomi mempunyai tiga sifat penting

BAB I PENDAHULUAN. dari definisi ini bahwa pembangunan ekonomi mempunyai tiga sifat penting 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pengertian pembangunan ekonomi secara essensial dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk suatu masyarakat meningkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang saat ini dalam masa pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi dalam perkembangannya senantiasa memberikan dampak baik positif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam proses pembangunan ekonomi, industrialisasi merupakan salah satu tahap perkembangan yang dianggap penting untuk dapat mempercepat kemajuan ekonomi suatu bangsa.

Lebih terperinci

KETIMPANGAN DAN PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI KAWASAN BARAT INDONESIA (KBI) OLEH RINDANG BANGUN PRASETYO H

KETIMPANGAN DAN PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI KAWASAN BARAT INDONESIA (KBI) OLEH RINDANG BANGUN PRASETYO H KETIMPANGAN DAN PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI KAWASAN BARAT INDONESIA (KBI) OLEH RINDANG BANGUN PRASETYO H14084020 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan mendasar paradigma pengelolaan keuangan daerah terjadi sejak diterapkan otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan manusia merupakan salah satu syarat mutlak bagi kelangsungan hidup bangsa dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menciptakan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi daerah adalah salah satu indikator untuk mengevaluasi perkembangan/kemajuan pembangunan ekonomi di suatu daerah pada periode tertentu (Nuni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan adalah usaha menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan adalah usaha menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan adalah usaha menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu hasil-hasil pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh rakyat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam lingkup negara secara spasial tidak selalu

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam lingkup negara secara spasial tidak selalu BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kerangka ekonomi makro daerah akan memberikan gambaran mengenai kemajuan ekonomi yang telah dicapai pada tahun 2010 dan perkiraan tahun

Lebih terperinci

PERAN SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI BANGKA BELITUNG (ANALISIS INPUT OUTPUT) Oleh: SIERA ANINDITHA CASANDRI PUTRI H

PERAN SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI BANGKA BELITUNG (ANALISIS INPUT OUTPUT) Oleh: SIERA ANINDITHA CASANDRI PUTRI H PERAN SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI BANGKA BELITUNG (ANALISIS INPUT OUTPUT) Oleh: SIERA ANINDITHA CASANDRI PUTRI H14104109 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi perekonomian Kota Ambon sepanjang Tahun 2012, turut dipengaruhi oleh kondisi perekenomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem pemerintahan Indonesia menerapkan sistem pemerintahan desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya kepada pemerintah daerah,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Otonomi daerah yang disahkan melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah 3.1.1 Kondisi Ekonomi Daerah Tahun 2011 dan Perkiraan Tahun 2012 Kerangka Ekonomi Daerah dan Pembiayaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan 16 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Urusan rumah tangga sendiri ialah urusan yang lahir atas dasar prakarsa

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat:

Lebih terperinci

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS

III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS III. KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Pemikiran Pada dasarnya negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan dan kesehatan. Dari sudut pandang politik, ini terlihat bagaimana. kesehatan yang memadai untuk seluruh masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan dan kesehatan. Dari sudut pandang politik, ini terlihat bagaimana. kesehatan yang memadai untuk seluruh masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan salah satu masalah utama yang dialami oleh hampir atau keseluruhan negara di dunia. Indonesia, salah satu dari sekian negara di dunia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan, selain menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan, selain menciptakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan, selain menciptakan pertumbuhan GNP yang setinggi-tingginya dan penyediaan lapangan pekerjaan, juga menginginkan adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh keterbatasan dari daya saing produksi (supply side), serta

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh keterbatasan dari daya saing produksi (supply side), serta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hasil survei Bank Dunia pada tahun 2012 menunjukkan, masalah terbesar kedua di Indonesia yang menghambat kegiatan bisnis dan investasi adalah infrastruktur yang tidak

Lebih terperinci