BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit Paru Obstruktif Kronis Defenisi, Etiologi, dan Faktor Risiko Penyakit pada paru secara garis besar dibagi dalam 2 kelompok, yaitu penyakit paru restriksi dan obstruksi. Restriksi adalah keterbatasan kemampuan paru untuk mengembang dan mengempis sesuai aliran udara yang masuk dan keluar. Restriksi paru dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti adanya fibrosis, debris atau sisa infeksi (pneumonitis) maupun gangguan pada neuromuskular (Caronia, 2014). Sementara, obstruksi adalah sumbatan saluran napas (dalam hal ini ialah paru). Sumbatan ini dapat disebabkan oleh fibrosis, cairan, partikel solid ataupun benda lain yang bisa berada di dalam paru. PPOK termasuk ke dalam kelompok penyakit paru obstruksi. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit inflamasi kronis yang bersifat sistemik dan dapat memengaruhi fungsi pasien, kualitas hidup, penurunan tingkat fungsi paru-paru, dan meningkatkan komorbiditas penyakit lain. Penyakit ini menunjukkan adanya keterbatasan aliran udara yang bersifat kronis dan rekuren. Obstruksi ini biasanya bersifat progresif, dapat disertai dengan adanya hiperaktivitas mukosa saluran napas, dan sebagian dapat kembali ke keadaan semula (Porth, 2007). Penyebab terbanyak munculnya penyakit ini adalah merokok. Oleh karena itu, PPOK merupakan penyakit yang dapat dicegah. Namun kenyataannya, stadium awal dari penyakit ini jarang menimbulkan gejala sehingga seringkali pasien terdiagnosis pada stadium yang sudah lanjut. Akan tetapi pada pasien yang sudah memiliki gejala obstruksi jalan napas pada masa dini, penanganan dapat dilakukan dengan lebih cepat serta memberikan hasil yang lebih baik (Porth, 2007).

2 6 Selain merokok, faktor paparan lain yang dapat menyebabkan PPOK adalah polusi udara dari hasil rumah tangga seperti asap dapur, terutama pada dapur dengan ventilasi buruk dan yang terkena terutama ialah wanita. Debu dan iritan lain seperti asap juga dapat menyebabkan timbulnya penyakit ini dengan paparan yang lama dan sering. Asap kendaraan bermotor juga diduga dapat menjadi penyebab karena partikel-partikelnya dapat mengganggu dan meningkatkan beban kerja paru, meskipun dalam jumlah yang relatif kecil (GOLD, 2014). Prevalensi kejadian PPOK lebih banyak pada laki-laki karena pada umumnya perokok lebih banyak ialah laki-laki serta lebih sering terpapar pada polutan udara lainnya dibanding perempuan, meskipun tingkat perokok perempuan juga meningkat dan kerentanan paru perempuan juga lebih tinggi (Chapman, et al., 2014). Faktor penjamu (host) lain meliputi usia, gen (defisiensi α 1 -antitripsin/att), hiperaktivitas bronkus, dan gangguan tumbuh kembang paru seperti riwayat infeksi dan sosial ekonomi (Reilly, et al., 2012) Patogenesis Patogenesis atau mekanisme terjadinya PPOK melibatkan banyak faktor. Meski selama ini ditetapkan merokok merupakan faktor penyebab utama terjadinya penyakit ini, namun hasil studi epidemiologi telah menunjukkan bukti yang konsisten bahwa pada pasien yang bukan perokok dapat terjadi keterbatasan aliran udara seperti halnya yang terjadi pada PPOK (Behrendt, et al., 2005, dalam GOLD 2014). Istilah Penyakit Paru Obstruktif Kronis mencakup emfisema dan bronkhitis kronis. Emfisema ditandai dengan hilangnya elastisitas paru dan destruksi dinding alveolus dan kapiler. Destruksi ini menyebabkan alveolus tidak dapat bergerak elastis saat inspirasi dan ekspirasi. Alveolus akan cenderung mengembang sehingga meningkatkan kapasitas total paru. Ada 2 hal yang dapat menyebabkan emfisema yaitu merokok (utama) dan defisiensi α 1 -antitripsin, yaitu enzim antiprotease yang berfungsi sebagai pelindung paru (Porth, 2007). Reilly, et al., dalam Harrison s Principles of Internal Medicine (2011) menyebutkan bahwa

3 7 emfisema dapat disebabkan 4 proses yang saling berkaitan: (1)paparan kronis asap rokok menyebabkan akumulasi mediator inflamasi di paru; (2)mediator ini akan mensekresi elastolytic proitenases yang dapat merusak matriks ekstrasel; (3)hilangnya matriks ekstrasel memicu kematian sel (apoptosis); (4)terjadi perbaikan yang tidak efektif oleh elastin dan komponen matriks ekstrasel lainnya sehingga menyebabkan pelebaran alveolus. Terdapat 3 jenis emfisema menurut morfologinya: 1. Centriacinar Emphysema dimulai dengan destruksi pada bronkiolus dan meluas ke perifer, mengenai terutamanya bagian atas paru. Tipe ini sering terjadi akibat kebiasaan merokok yang telah lama. 2. Panacinar Emphysema (panlobuler) yang melibatkan seluruh alveolus distal dan bronkiolus terminal serta paling banyak pada bagian paru bawah. Emfisema tipe ini adalah tipe yang berbahaya dan sering terjadi pada pasien dengan defisiensi α 1 -antitripsin. 3. Paraseptal Emphysema yaitu tipe yang mengenai saluran napas distal, duktus dan sakus. Proses ini terlokalisir di septa fibrosa atau berhampiran pleura (PDPI, 2003). Sementara itu, dalam bronkitis kronis, hambatan saluran napas disebabkan oleh reaksi inflamasi. Terdapat edema dan hiperplasia kelenjar submukosa sehingga terjadi sekresi mukus yang berlebihan (Porth, 2007). Iritan yang terhirup akan menyebabkan akumulasi mediator-mediator inflamasi seperti netrofil, CD8+, limfosit T, sel B, dan makrofag. Ketika diaktifkan, mediator ini akan memulai kaskade yang akan memicu pengeluaran Tumour Necrosis Factor alpha (TNF-α), Interferon gamma (IFN-γ), matrixmetalloproteinases (MMP-6, MMP-9), C-Reactive Protein (CRP), Interleukins (IL-1, IL-6, IL-8) dan fibrinogen. Proses respon inflamasi ini akan menetap sehingga menyebabkan kerusakan jaringan yang menimbulkan keterbatasan aliran udara permanen (Tuder dan Petrache, 2012). Struktur yang paling besar menimbulkan hambatan adalah saluran kecil (diameter 2mm) karena sekresi

4 8 mukus yang berlebihan dapat menimbulkan obstruksi total. Fibrosis juga dapat ditemukan pada mukosa yang nantinya juga memicu sekresi mukus yang berlebih pula sehingga akan memperparah kondisi hambatan (Reilly, et al., 2012). Gambar 2.1. Patogenesis PPOK (Sumber: Barnes, P.J., Immunol 2008; 8:183-92) Nat Rev Patofisiologi Manifestasi Klinis Pada tahap awal perjalanan PPOK, pemeriksaan fisik kemungkinan besar akan memberi hasil dalam batas normal (Reilly, et al., 2012). Batuk kronis. Batuk adalah mekanisme pertahanan tubuh untuk membuang atau membersihkan saluran napas dari benda asing seperti dahak yang disekresi secara berlebih oleh kelenjar mukus. Biasanya gejala yang pertama kali muncul adalah batuk yang seringkali diabaikan karena pada umumnya bagi perokok, batuk merupakan hal biasa dan belum mengganggu aktivitas. Namun seiring berjalannya

5 9 waktu, gejala ini akan secara progresif berkembang sampai dapat menyebabkan kesulitan bernapas yang kemudian akan meresahkan penderitanya (Kenny, 2014). Produksi Sputum. Menurut GOLD (2014), sebagai gejala dari bronkitis kronis, produksi sputum teratur dan menetap selama 3 bulan dalam 2 tahun berturutturut. Namun, hal ini dapat berubah-ubah sehingga tidak ada kisaran volume sputum yang pasti untuk diagnosis PPOK. Dyspnea. Dyspnea diartikan sebagai kesulitan bernapas, dapat disertai suara mengi (wheezing) saat ekspirasi. Dyspnea muncul akibat produksi lendir/mukus pada saluran pernapasan dalam jumlah besar sehingga menyebabkan hambatan jalan napas. Pasien akan tampak memiliki frekuensi pernapasan diatas normal (hiperventilasi) sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan oksigen jaringan. Pada PPOK berat, dapat dijumpai gejala sianosis pada pasien (Kenny, 2014) Diagnosis Anamnesis Cara mendiagnosis pasien PPOK dapat dimulai dengan anamnesis, yaitu dengan menanyakan hal-hal berikut ini (PDPI, 2003): Adanya riwayat merokok (aktif); atau tidak merokok namun terbiasa menghirup asap rokok (pasif); atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan Nilai derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun (Brinkman dan Coates, 1963 dalam Watanabe, et al, 2011): - Ringan : Sedang : Berat : >600 Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja Riwayat penyakit emfisema pada keluarga

6 10 Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misal berat bayi lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan berasap rokok dan polusi udara Batuk berulang dengan atau tanpa dahak Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi Penting diingat bahwa PPOK merupakan penyakit yang memiliki gejala cukup beragam dan dapat berbeda-beda pada setiap pasien. Oleh karena itu, pasien PPOK dapat saja tidak memiliki manifestasi klinis klasik seperti yang telah diuraikan. Untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan lainnya untuk menegakkan diagnosis (Zieliñski et al., 2001, dalam Lynes, 2010) Menilai Gejala Menilai gejala dapat dilakukan memakai COPD Assessment Test (CAT), atau skala sesak napas Medical Research Council (MRC). Berdasarkan GOLD, skor CAT lebih dipilih karena CAT merupakan satu-satunya kuesioner yang tervalidasi, singkat dan sederhana untuk menganalisa seberapa besar dampak PPOK yang dirasakan pasien; dapat membantu dan meyakinkan pasien dan dokter dalam melakukan penanganan yang optimal; dan membantu mengetahui progresivitas penyakit dan terapi.

7 11 Gambar 2.2. Penilaian gejala PPOK dengan CAT dan mmrc Dyspnoe scale (Sumber: GOLD, 2013).

8 12 Menilai Gejala Eksaserbasi Eksaserbasi diartikan sebagai fase akut yang ditandai perburukan gejala saluran pernafasan pasien, di luar dari batas normal variasi harian dan membutuhkan perubahan tatalaksana. Kerentanan eksaserbasi sangat bervariasi antarindividu. Eksaserbasi akut dapat dipicu oleh hal-hal seperti keadaan peningkatan simpatis misalnya kecemasan, flu (common cold), kelelahan, bernapas berlebihan, maupun infeksi saluran napas, dan merupakan suatu kondisi gawat darurat yang membutuhkan penanganan segera (SKDI, 2012). Kriteria eksaserbasi adalah: Tiga gejala utama eksaserbasi : 1. Sesak napas bertambah 2. Dahak berubah warna 3. Volume dahak bertambah Gejala tambahan: 1. Demam 2. Batuk bertambah 3. Mengi bertambah 4. Infeksi Saluran Napas atas 5 hari terakhir 5. Denyut jantung meningkat 20% dari biasanya Tipe eksaserbasi dinilai dari gejalanya: tipe I (Berat) Tiga gejala utama tipe II (Sedang) Dua gejala utama tipe III (Ringan) Satu gejala utama ditambah satu gejala tambahan Pemeriksaan Fisik PPOK dini umumnya tidak memiliki kelainan Inspeksi

9 13 Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu) Barrel chest (diameter antero - posterior sama dengan diameter transversal) Penggunaan otot bantu napas Hipertropi otot bantu napas Pelebaran sela iga Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema pada tungkai Penampilan pink puffer atau blue bloater Palpasi Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar Perkusi Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah Auskultasi Suara napas vesikuler normal, atau melemah Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa Ekspirasi memanjang Bunyi jantung terdengar jauh Pink Puffer Pink Puffer adalah istilah untuk pasien dengan emfisema sebagai penyebab utama muncul PPOK-nya. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, emfisema merupakan keadaan yang dapat menyebabkan kemampuan alveolus untuk mengembang saat inspirasi menurun akibat destruksi permukaan alveolus. Dan secara bertahap juga dapat merusak kapiler pembuluh darah sehingga terjadi penurunan aktivitas difusi. Oleh karena itu, pasien harus berkompensasi dengan cara hiperventilasi (puff berarti terengah-engah atau mengepul). Jika

10 14 dibandingkan dengan Blue Bloater maka pasien ini akan memiliki corak warna kulit lebih kemerahan (pink) dikarenakan mekanisme kompensasi yang dilakukan untuk memenuhi oksigen jaringan (tidak terjadi hipoksemia) (Allen, 2009). Blue Bloater Sementara itu, Blue Bloater adalah istilah untuk pasien dengan bronkitis kronis sebagai penyebab utama PPOK-nya. Bronkitis kronis ialah kondisi yang disebabkan produksi mukus berlebihan serta penyempitan bronkus akibat metaplasia kelenjar goblet dan proses inflamasi kronis pada dinding bronkus. Berbeda dengan emfisema, tidak terjadi destruksi kapiler, maka respon tubuh terhadap obstruksi ini adalah dengan mengurangi ventilasi dan meningkatkan cardiac output. Hipoksemia akan terjadi lebih berat dibandingkan pada kondisi Pink puffer sebagai akibat ventilation-perfusion mismatch. Keadaan hipoksemia ini semakin lama akan menyebabkan sianosis yang tampak pada warna kulit kebiruan (Allen, 2009). Pink Puffer Normal atau kurus Barrel Chest Mulut mencucu (pursed lip breathing) Penggunaan otot-otot bantu pernapasan Perkusi: hipersonor Auskultasi : suara pernapasan melemah, ekspirasi memanjang Blue Bloater Overweight Batuk Sputum Sianosis Edema perifer Perkusi : normal Auskultasi : mengi, ronki basah Tabel 2.1. Perbedaan antara pink puffer dan blue bloater Pemeriksaan Penunjang Spirometri

11 15 Merokok, sebagai faktor risiko utamanya juga tidak mutlak menyebabkan PPOK pada semua orang. Hal ini juga dipengaruhi oleh intensitas pajanan asap rokok, usia penjamu serta fungsi paru si penjamu sendiri. Secara alami, semakin bertambahnya usia maka fungsi paru juga akan menurun. Hal ini dapat ditunjukkan oleh Forced Expiratory Volume in one second (FEV 1 )=Volume Ekspirasi Pertama (VEP 1 ) dibanding dengan FVC (Forced Vital Capacity) =Kapasitas Vital Paksa (KVP) yang dihitung melalui spirometri. VEP 1 adalah jumlah udara yang dapat dihembuskan secara paksa dalam 1 detik setelah 1 inspirasi dalam. Spirometri adalah pemeriksaan fundamental dalam diagnosis PPOK. Spirometri digunakan untuk menilai VEP 1, VEP 1 prediksi, KVP, VEP 1 /KVP. Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP 1 prediksi ( % ) dan atau VEP 1 /KVP ( % ). Obstruksi : % VEP 1 (VEP 1 /VEP 1 pred) < 80% VEP 1 % (VEP 1 /KVP) < 75 % VEP 1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit (PDPI, 2003) Tingkat Keparahan Gejala Spirometri 0 Berisiko Batuk kronis berdahak I Ringan Dengan/tanpa batuk kronis atau produksi sputum II A Sedang Dengan/tanpa batuk kronis atau produksi sputum III Berat Dengan/tanpa batuk kronis atau Normal VEP 1 /KVP <0.7 dan VEP 1 80% prediksi VEP 1 /KVP <0.7 dan 50% VEP 1 >80% prediksi VEP 1 /KVP <0.7 dan 30% VEP 1 >

12 16 produksi sputum IV Sangat Berat Dengan/tanpa batuk kronis atau produksi sputum 50% prediksi VEP 1 /KVP <0.7 dan VEP 1 <30% prediksi atau VEP 1 <50% prediksi dengan gagal napas atau adanya tanda gagal jantung kanan Tabel 2.2. Klasifikasi tingkat keparahan PPOK (Sumber: Harrison s Principles of Internal Medicine 18 th ed., 2012: ) Dari nilai gejala dan spirometri dapat digolongkan pasien dalam 4 kelompok: Pasien Karakteristik Spirometri Eksaserbasi/ tahun CAT mmrc A Low risk, less symptoms B Low risk, more symptoms C High risk, less symptoms D High risk, more symptoms I <10 II III >2 0-1 <10 IV >

13 17 Tabel 2.3. Tipe pasien PPOK dari penilaian kombinasi (Sumber: GOLD Revised 2011, tersedia dari goldcopd.org diakses: 20 Mei 2014) Uji Bronkodilator Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE (Arus Puncak Ekspirasi) meter. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP 1 atau APE, perubahan VEP 1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil Pemeriksaan Radiologi Radiologi Bronkitis Kronis Umumnya normal Corakan bronkoalveolar bertambah Gambar 2.3. Foto toraks bronkitis kronis (Sumber: radiopaedia.org/articles/chronic-bronchitis; diakses: 30 Mei 2014) Radiologi Emfisema Stadium awal normal. Stadium lanjut:

14 18 Tanda-tanda hiperinflasi (radiolusen) Diafragma mendatar Sela iga lebar Ruang retrosternal melebar Jantung pendulum Bullae multipel Gambar 2.4. Foto toraks emfisema menunjukkan peningkatan lusensi, diafragma mendatar dan ruang retrosternal melebar (Sumber: Harrison s Principles of Internal Medicine 18 th ed., 2012: 2106) Pemeriksaan Lain (Tidak Rutin) Faal Paru Volume Residu (VR), Kapasitas Residu Fungsional (KRF), Kapasitas Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat DLCO menurun pada emfisema RAW (Airway Resistance) meningkat pada bronkitis kronis sgaw (Specific Airway Conductance) meningkat Uji Latih Kardiopulmoner

15 19 Sepeda statis (ergocycle) Jentera (treadmill) Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal Analisa Gas Darah (AGD) Terutama untuk menilai : Gagal napas kronis stabil Gagal napas akut pada gagal napas kronis Elektrokardiografi (EKG) Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan Ekokardiografi Untuk menilai fungsi jantung kanan Pemeriksaan Bakteriologi Untuk mengetahui infeksi bakteri dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia (PDPI, 2003) Pemeriksaan Kadar α 1 -Antitripsin Defisiensi α 1 -antitripsin dijumpai pada pasien PPOK emfisema dengan usia muda (herediter). Jarang ditemukan di Indonesia (PDPI,2003) Diagnosis Banding Berdasarkan GOLD (2014), yang menjadi diagnosis banding dari PPOK adalah asma, gagal jantung kongestif, bronkiektasis, tuberkulosis, bronkiolitis, dan panbronkiolitis difusa. Tabel Perbedaan PPOK dan Diagnosis Bandingnya PPOK Onset usia dewasa (biasanya >35 tahun)

16 20 Perkembangan gejala lambat namun progresif Adanya riwayat merokok Asthma Onset usia muda (biasanya anak-anak) Gejala bervariasi Muncul pada waktu-waktu tertentu (malam/pagi hari) Alergi, rhinitis, dan/atau ekzema Adanya riwayat keluarga yang asthma Gagal jantung kongestif Foto toraks menunjukkan dilatasi jantung, edema paru Pemeriksaan fungsi paru menunjukkan keterbatasan volume, bukan hambatan jalan napas Bronkiektasis Volume sputum besar Umumnya berhubungan dengan infeksi Foto toraks menunjukkan dilatasi, dan penebalan dinding bronkus Tuberculosis (TB) Onset: semua usia Foto toraks menunjukkan adanya infiltrasi pada lapangan paru Diagnosis pasti: pemeriksaan mikrobiologi Muncul di daerah dengan prevalensi tinggi Bronkiolitis obliteratif Onset pada usia muda, tidak merokok Dapat memiliki riwayat rheumatoid arthritis, atau paparan gas kronis Hasil CT saat ekspirasi menunjukkan daerah hipodens

17 21 Panbronkiolitis difusa Umumnya ditemukan pada orang Asia Sebagian besar pasiennya adalah pria dan tidak merokok Hampir semua pasien memiliki sinusitis kronis Foto toraks menunjukkan hiperinflasi dan sentrilobular nodular opak yang kecil Tabel 2.4. Diagnosis banding PPOK (Sumber: GOLD 2010 updated dalam Harrison s Principles of Internal Medicine 18 th ed., 2012: ) Penatalaksanaan PPOK merupakan penyakit progresif yang akan memburuk seiring dengan waktu, sehingga prinsip penanganannya ialah bukan untuk mengembalikan keadaan paru ke keadaan normal namun untuk meningkatkan kualitas hidup dengan meminimalkan frekuensi serangan dan keluhan yang dirasakan (NHLBI, 2014) Penghentian Merokok Langkah intervensi awal yang harus diterapkan pada pasien PPOK ialah berhenti merokok (Reilly, et al., 2012). Sebagai faktor risiko utama yang melatarbelakangi munculnya penyakit ini, merokok harus dihentikan karena terapi lain tidak akan berhasil apabila hal ini tidak dilakukan Bronkodilator Bronkodilator inhalasi adalah obat pilihan pertama untuk menangani gejala PPOK, dan bertujuan sebagai pencegahan/mengurangi gejala yang akan timbul. Bronkodilator inhalasi kerja lama (long-acting) lebih efektif dalam menangani gejala daripada bronkodilator kerja cepat (Buist, et al., 2014). Bermacam-macam bronkodilator yang dapat digunakan yaitu: - Golongan agonis beta-2 Digunakan untuk mengatasi sesak. Beta-2 agonis bekerja dengan cara merelaksasi otot polos dengan cara meningkatkan cyclic adenosine monophosphate (camp) intraseluler. Pada penggunaan yang lebih banyak dapat mengindikasikan serangan

18 22 eksaserbasi akut. Untuk pemeliharaan, dapat dipergunakan bentuk tablet yang berefek lebih panjang (PDPI,2003). Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat. Saat ini sediaan yang tersedia adalah salbutamol yang bekerja cepat, formoterol (Foradil) dan salmeterol (Serevent) yang bekerja lama. - Antikolinergik Antikolinergik bekerja pada postganglionik reseptor kolinergik dan dapat mengurangi sesak dengan menimbulkan efek bronkodilatasi. Obat ini ada yang bersifat kerja cepat, contohnya ipratropium bromida (Atrovent) dan kerja lambat contonya tiotropium bromida (Spiriva) - Kombinasi antikolinergik dan agonis beta-2 Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita (PDPI, 2003) - Golongan xantin Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Contoh golongan xantin adalah teofilin. Teofilin merupakan phosphodiesterase inhibitor (PDEi) yang saat ini penggunaannya sebagai terapi adjuvant dibatasi karna memiliki efek samping signifikan seperti kecemasan, tremor, gangguan tidur, mual, gangguan irama jantung (aritmia) dan kejang (Mosenifar, 2014). Maka pada penggunaan panjang perlu dimonitor kadar aminofilin darah. - Selektif Phosphodiesterase-4 (PDE4) Dapat mengurangi sesak, dan pada pasien PPOK berat dapat meningkatkan fungsi paru (Mosenifar, 2014). Contoh obatnya adalah Roflumilast (Daliresp). - Kortikostreoid inhalasi Kortikosteroid berfungsi mengurangi proses inflamasi yang terjadi pada saluran napas. Contohnya budesonide, fluticasone, beclomethasone.

19 PPOK Eksaserbasi Untuk PPOK eksaserbasi akut, manajemen di rumah sakit dapat diberikan bronkodilator kerja cepat: beta-2 agonis dan antikolinergik dosis tinggi; steroid oral atau intravena; antibiotik, dan dapat dipertimbangkan pemberian ventilator mekanik invasif (IPD, 2009). Eksaserbasi PPOK diakibatkan oleh (Sethi, et al., 2002, dalam Miravitlles et al., 2004). 80% dari eksaserbasi disebabkan infeksi o 40-50% oleh Haemophilus influenzae Moraxella catarrhalis Streptococcus pneumoniae o 5 10% oleh bakteri atipikal Chlamydia pneumoniae Mycoplasma pneumonia o Terkadang dapat juga disebabkan oleh Haemophilus parainfluenzae Pseudomonas aeruginosa Staphylococcus aureus Enterobacteriaceae o 30% oleh virus 20% dari eksaserbasi bukan infeksi o Faktor lingkungan o Ketidakpatuhan minum obat Antibiotik yang dapat digunakan adalah: a. Lini I : - Amoksisilin - Makrolid - Ko-trimoksasole b. Lini II : - Amoksisilin klavulanat - Sefalosporin

20 24 - Kuinolon - Makrolid baru - Oksigen (di rumah sakit) Jika saat eksaserbasi pasien berada di rumah sakit, maka dapat diberikan penanganan oksigen pada keadaan hipoksia. Terapi oksigen dengan cara yang tepat adekuat. -Ventilasi mekanik Indikasi penggunaan ventilasi mekanik: ventilasi alveolar tidak adekuat, paru kurang mengembang, hipoksemia,kelelahan otot pernapasan, kerja napas yang berlebihan. Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara: - ventilasi mekanik dengan intubasi - ventilasi mekanik tanpa intubasi (PDPI, 2003) Tambahan: Antioksidan Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N - asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin Mukolitik Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronis dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronis, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin. Antitusif Diberikan dengan hati-hati (PDPI, 2003) Follow-up, Komplikasi, dan Indikasi Merujuk Follow-up Follow-up dapat dilakukan dalam 4-6 minggu pasca keluar dari rumah sakit. Berdasarkan GOLD (2014), kriteria pasien dipulangkan dari rumah sakit:

21 25 1. Menggunakan bronkodilator tidak lebih tiap 4 jam 2. Mampu berjalan keluar kamar 3. Bisa makan minum sendiri tanpa gangguan sesak 4. Stabil jam pasca terapi parenteral 5. AGDA stabil dalam 24 jam 6. Pasien dapat menggunakan obat obat sendiri 7. Follow-up dan observasi saat di RS sudah lengkap (contoh: perawatan oleh perawatan, oksigen yang diberi, makanan) 8. Pasien, keluarga, dan relative sudah yakin dapat menangani saat berada di rumah. Yang dinilai selama proses follow-up adalah: 1. Mampu beraktivitas seperti orang lain 2. Menilai nilai VEP 1 3. Menilai cara memakai inhaler 4. Mengerti regimen pengobatan 5. Menilai kembali kebutuhan oksigen atau nebulizer di rumah 6. Menilai gejala dengan CAT atau mmrc 7. Status komorbiditas Komplikasi dan Indikasi Merujuk Komplikasi yang dapat ditimbulkan PPOK adalah: 1. Gagal Napas 2. Infeksi Berulang 3. Kor Pulmonale 4. Pneumotoraks 5. Bronkiektasis 6. osteoporosis 7. Depresi, gangguan tidur, dan gangguan kecemasan Rujukan ke spesialis paru dilakukan apabila:

22 26 1. Timbul pada usia muda 2. Sering mengalami eksaserbasi 3. Memerlukan terapi oksigen 4. Memerlukan terapi bedah paru 5. Sebagai persiapan terapi pembedahan 6. PPOK dengan komplikasi 7. PPOK tipe C atau D Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa PPOK merupakan penyakit yang dapat dicegah, maka penting untuk diketahui bagaimana pencegahan dan edukasi perburukan gejalanya. Pencegahan dapat dilakukan dengan mencegah merokok, atau bagi perokok dengan usia yang masih relative muda (<30 tahun) frekuensi dan intensitas merokok dapat dikurangi. Hal ini dapat secara signifikan menurunkan angka kejadian terjadinya penyakit ini. Sementara edukasi dapat diberikan pada masa rehabilitasi pasien. Hal yang dapat dilakukan adalah: Exercise training seperti berjalan, menggunakan treadmill ataupun bersepeda, dapat dilakukan selama menit setiap sesi yang bertujuan untuk meningkatan konsumsi oksigen, meningkatkan denyut jantung, dan kemampuan paru menggunakan oksigen. Menurut GOLD 2010, keefektifan training ini tergantung pada kemampuan pasien dan tingkat keparahan penyakitnya, dengan lama training sekitar 6-10 minggu. Nutrition counseling perlu diperhatikan dalam manajemen PPOK. Berat badan berlebih ataupun kurang dapat menjadi permasalahan dalam mendapatkan perbaikan. Kelebihan berat badan lebih menyulitkan untuk mendapat perbaikan dibanding yang kurang, untuk itu penurunan indeks massa tubuh pada pasien overweight dan obese dapat menurunkan angka mortalitas.

23 ELEKTROKARDIOGRAFI Pada setiap detakan, jantung berdepolarisasi untuk membangkitkan kontraksi. Aktivitas ini merupakan aktivitas listrik yang ditransmisikan ke seluruh tubuh dan dapat dideteksi di permukaan kulit (Ashley dan Niebauer, 2006). Elektrokardiograf adalah alat yang merekan aktivitas listrik jantung, sedangkan elektrogradiogram adalah hasil perekaman tersebut. EKG dapat digunakan sebagai alat diagnosis adanya kelainan ritme jantung, perubahan konduksi listrik, dan adanya iskemi atau infark jaringan otot jantung. Aktivitas listrik yang terjadi di jantung terekam dalam bentuk gelombang, dan terbentuk mengikuti fisiologi jantung, terdiri dari gelombang depolarisasi dan repolarisasi (Thaler, 2009) Fisiologi Konduksi Jantung sel: Secara anatomi menurut sudut pangang EKG, jantung terdiri dari 3 tipe 1. Sel pacu jantung sumber tenaga listrik pada jantung 2. Sel penghantar listrik 3. Sel kontraktil Sel-sel tersebut bekerjasama membentuk sistem konduksi jantung. Sistem tersebut bergerak melalui: a. Sel pacu jantung (pacemaker) yaitu nodus sinoatrial (SA Node) merupakan sel-sel yang berada pada posterior dinding atrium kanan. Selsel ini biasanya mencetuskan impuls listrik pada frekuensi kali per menit, namun frekuensi tidak mutlak teratur karena dipengaruhi oleh aktivasi sistem saraf otonom (simpatis dan parasimpatis), kadar elektrolit, serta keadaan tubuh akan peningkatan/penurunan curah jantung (aktivitas atau pekerjaan). b. Internodal pathway yaitu jalur yang menghubungkan antara nodus sinoatrial dan nodus atrioventrikular (AV node). Terletak di atrium kanan. c. Nodus atrioventrikular (AV node) merupakan jaringan yang bekerja sebagai penghantar impuls listrik (konduksi) yang terletak di inferior-

24 28 posterior septum interartrial. Berbeda dengan nodus SA yang berasal dari sel saraf, sel-sel penyusun nodus AV merupakan sel konduksi khusus yang berasal dari sel jantung yang memperlambat impuls menjadi 0.05 m/det impuls listrik di nodus AV. d. Berkas His terdiri dari kanan (right bundle of His) dan kiri (left bundle of His). Berkas His kanan keluar dari nodus AV menuju ke ventrikel kanan. Berkas His kiri memiliki tiga jalur atau disebut fasikula (Thaler, 2009): Fasikula septum yang mendepolarisasi septum antarventrikel (kanan dan kiri) Fasikula anterior yang mendepolarisasi bagian anterior ventrikel kiri Fasikula posterior yang mendepolarisasi bagian posterior ventrikel kiri e. Serabut purkinje yaitu penghantar listrik ke sel kontraktil atau disebut miokardium (otot jantung) sehingga akhirnya jantung dapat berkontraksi. Gambar 2.5. Sistem konduksi jantung (Sumber: Niebauer, 2006: 15-34)

25 Sistem Kerja Elektrokardiograf EKG bekerja berdasarkan sistem konduksi jantung, yaitu proses depolarisasi-repolarisasi. Terdapat beberapa komponen yang digambarkan di EKG aeperti gelombang P, kompleks QRS, gelombang T, dan garis lurus mendatar. ) Gambar 2.6. Konfigurasi EKG (Sumber: Nibauer, 2006: Gelombang P : gelombang kecil yang pertama muncul dan menggambarkan depolarisasi atrium (p: ± 0.06 det; t: 0.2 mv) 2. Interval P-R : adalah waktu antara depolarisasi atrium dan ventrikel 3. Kompleks QRS: depolarisasi seluruh ventrikel (N: 0,06-0,1 det). Terdiri dari tiga gelombang: Gelombang Q kecil menunjukkan depolarisasi septum interventrikel; gelombang Q juga berhubungan dengan bernapas (gelombang kecil dan tipis) Gelombang R menunjukkan depolarisasi sebagian besar massa ventrikel (oleh karena itu merupakan gelombang terbesar)

26 30 Gelombang S menunjukkan depolarisasi terakhir di bagian dasar ventrikel 4. Segmen S-T : merupakan jarak antara akhir gelombang kompleks QRS dan awal gelombang T yang menunjukkan fase nol (tidak ada potensial aksi) sebelum terjadi repolarisasi 5. Gelombang T : repolarisasi ventrikel (repolarisasi atrium terjadi pada kompleks QRS) 6. Gelombang U : gelombang ini tidak begitu jelas, namun kemungkinan menunjukkan keadaan setelah repolarisasi ventrikel 7. Interval P-R : waktu mulai atrium depolarisasi sampai onset depolarisasi ventrikel (N: 0,12-0,2 det) 8. Durasi QRS : durasi ventrikel depolarisasi 9. Interval Q-T : durasi depolarisasi dan repolarisasi ventrikel (N: 0,32-0,4 det) 10. Interval R-R : durasi siklus kontraksi jantung berdasarkan kontraksi ventrikel 11. Interval P-P : siklus kontraksi atrium EKG Normal Menurut Ashley dan Niebauer (2006), EKG normal dapat dinilai dari beberapa hal berikut ini: a. Sinus rhythm (ritme sinus) apabila laju denyut jantung atau heart rate dinilai dari banyaknya gelombang R dalam 1 menit pada orang dewasa terbentuk sebanyak ; interval R-R dan P-P teratur; Denyut jantung dapat dihitung dengan cara: / jumlah kotak kecil antara R-R / jumlah kotak besar antara R-R 3. Hitung jumlah gelombang QRS dalam 6 detik, kemudian dikalikan 10 atau dalam 12 detik dikalikan dengan 5 b. Interval setiap gelombang normal seperti yang telah dijelaskan di atas. c. Morfologi gelombang normal (gambar 2.6.)

27 31 Gambar 2.7. Gelombang normal di 12 sadapan (Sumber: diakses: 10 Mei 2014 ) Setiap sadapan memiliki sudut orientasi yakni sudut pandangnya sendiri terhadap jantung. Keduabelas sadapan diperoleh melalui (Thaler, 2009): 1. Sadapan I dihasilkan dengan menjadikan lengan kiri sebagai kutub positif dan lengan kanan sebagai kutub negatif. Sudut orientasinya adalah 0 2. Sadapan II dihasilkan dengan cara menjadikan tungkai sebagai kutub positif dan lengan kanan sebagai kutub negatif. Sudut orientasinya adalah Sadapan III dihasilkan dengan cara menjadikan tungkai sebagai kutub positif dan lengan kiri sebagai kutub negatif. Sudut orientasinya Sadapan avl dihasilkan dengan cara menjadikan lengan kiri sebagai kutub positif dan ekstremitas yang lain sebagai kutub negatif. Sudut orientasinya adalah Sadapan avr dihasilkan dengan cara menjadikan lengan kanan sebagai kutub positif dan ekstremitas yang lain sebagai kutub negatif. Sudut orientasinya -150

28 32 6. Sadapan avf dihasilkan dengan cara menjadikan tungkai kutub positif dan ekstremitas yang lain sebagai kutub negatif. Sudut orientasinya V 1 ditempatkan di sela iga ke-empat kanan 8. V 2 ditempatkan di sela iga ke-empat kiri 9. V 3 di antara V 1 dan V V 4 ditempatkan di sela ke-lima pada linea mid klavikularis kiri 11. V 5 ditempatkan antara V 4 dan V V 6 ditempatkan di sela ke-lima pada linea mid aksilaris kiri Morfologi normal gelombang pada EKG (Thaler, 2009): 1. Gelombang P berukuran kecil dan biasanya positif pada lateral kiri (I, avl, V 5, V 6 ) dan inferior (II, III, avf); bifasik di sadapan III dan V 1; paling positif pada sadapan II; paling negatif pada sadapan avr. 2. Kompleks QRS berukuran besar, gelombang R tinggi biasanya terlihat di sadapan lateral kiri dan inferior. Gelombang R semakin meningkat berurutan saat melintasi sadapan V 1 -V 5. Gelombang Q yaitu depolarisasi septum dapat dijumpai pada satu atau beberapa sadapan lateral kiri, dan kadang pada inferior. 3. Gelombang T bervariasi, tetapi biasanya positif pada sadapan dengan gelombang R yang tinggi. d. Aksis normal Sumbu jantung (aksis) ditentukan dengan menghitung jumlah resultan defleksi positif dan negatif kompleks QRS rata-rata di sadapan I sebagai sumbu X dan sadapan avf sebagai sumbu Y. Aksis normal berkisar antara -30 sampai Beberapa pedoman yang dapat digunakan untuk menentukan aksis jantung adalah (Ashley dan Niebauer, 2006): a. Bila hasil resultan sadapan I positif dan avf positif, maka sumbu jantung (aksis) berada pada posisi normal.

29 33 b. Bila hasil resultan sadapan I positif dan avf negatif, jika resultan sadapan II positif: aksis normal. Tetapi jika sadapan II negatif maka deviasi aksis ke kiri (LAD= left axis deviation), berada pada sudut -30 sampai -90. c. Bila hasil resultan sadapan I negatif dan avf positif, maka deviasi aksis ke kanan (RAD= right axis deviation) berada pada sudut +110 sampai d. Bila hasil resultan sadapan I negatif dan avf negatif, maka deviasi aksis kanan atas, berada pada sudut -90 sampai EKG Abnormal EKG dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya gangguan-gangguan pada jantung. Gangguan tersebut dapat berupa gangguan fungsi, irama, maupun struktur (Thaler, 2009). Penyakit yang dapat menunjukkan kelainan pada EKGnya adalah: 1. Aritmia (gangguan irama) 2. Penyakit pada jantung seperti iskemik miokardial akut, gagal jantung, perikarditis, kardiomiopati obstruktif hipertrofi, miokarditis, 3. Penyakit paru seperti PPOK, emboli paru akut. 4. Penyakit sistem saraf pusat seperti perdarahan subarakhnoid, infark serebral. 5. Kondisi lain seperti jantung atlet, gangguan elektrolit, hipotermia, ataupun akibat penggunaan obat-obatan EKG PADA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS Menurut Mosenifar, et al., (2014), manifestasi PPOK ke sistem kardiovaskular dapat timbul akibat penurunan kemampuan rekoil alveoli (emfisema) sehingga tekanan dalam paru akan menjadi lebih tinggi. Tekanan yang tinggi ini mengakibatkan aliran darah jantung kanan terganggu. Jantung kanan akan bermanifestasi untuk meningkatkan kontraksinya agar darah terpompakan ke paru-paru. Kontraksi yang semakin kuat ini akan menyebabkan pembesaran atrium dan ventrikel kanan, dapat terlihat peningkatan tekanan vena jugularis, maka pada perekaman EKG akan terdapat hasil yang menunjukkan keadaan

30 34 tersebut. Keadaan lain seperti hipoksemia dan hipoksia jaringan yang didukung oleh keadaan inflamasi bronkus akan memperberat kondisi. Laratta dan Van Eeden (2014) mengatakan bahwa pasien PPOK memiliki risiko yang cukup tinggi untuk mendapat penyakit kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner, stroke, dan gagal jantung kongestif (kor pulmonal). Faktor risiko lain yang dilaporkan dapat meningkatkan risiko pasien PPOK mengalami manifestasi kardiovaskular adalah adanya hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner dalam keluarga, abnormal profil lipid, atau diabetes (O Donnell, et al., 2008). Telah banyak dilaporkan bahwa risiko mendapat penyakit kardiovaskular meningkat pada pasien PPOK eksaserbasi akut. Dalam populasi, pasien dengan infeksi sistem pernapasan dalam 1-2 minggu dapat mengalami miokardiak infark (segmen S-T elevasi/stemi atau tidak/nstemi) dengan risiko 2-3 kali dibanding yang tidak. Selain itu, berdasarkan Huiart, et al. (2009), pasien stabil yang menggunakan kortikosteroid memiliki risiko yang lebih besar mendapat miokardiak infark. Hasil pemeriksaan EKG pada pasien PPOK dapat menganalisaadanya penyakit jantung seperti iskemia atau aritmia. Pada PPOK stabil biasanya hanya ada perubahan halus/sedikit pada EKG-nya dibanding dengan yang eksaserbasi akut. Kelainan yang dapat terjadi adalah seperti: variasi interval R-R yang berhubungan dengan derajat hipoksemia (Laratta dan Van Eeden, 2014). Studi lain melaporkan variasi interval R-R juga dapat mengindikasikan gangguan irama jantung akibat gangguan simpatis yang biasanya muncul pada pasien PPOK. Kelainan hasil EKG lain dapat meliputi amplitudo gelombang P di sadapan II, III, dan avf yang lebih tinggi pada pasien PPOK dengan tekanan darah sistolik tinggi (Humagain, et al., 2011), aksis gelombang P 90 sebagai indikasi adanya hipertrofi ventrikel kanan, aksis kompleks QRS > 90. Deviasi aksis ke kanan disebabkan oleh paru berekspansi yang memaksa jantung mengubah posisinya lebih vertical sehingga berorientasi semakin ke kanan (Thaler, 2009). Kelainan EKG dijumpai lebih tinggi pada pasien PPOK berat dibanding dengan yang ringan-sedang (Holtzman, et al., 2011) seperti pembesaran atrium

31 35 kanan (Right Atrium Enlargement/RAE), hipertrofi ventrikel kanan (Right Ventricle Hypertrophy/RVH), blok berkas serabut kanan (Right Bundle Branch Block/RBBB), deviasi aksis ke kiri (Left Axis Deviation/LAD), dan di sebagian kecil populasi terdapat supraventrikular takikardi (SVT). Kelainan-kelainan tersebut dapat sebagai indikasi gangguan jantung kanan bahkan sampai gagal jantung kanan (Banker dan Verma, 2013).

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK DEFINISI PPOK Penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif dan berhubungan dengan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bronkitis Kronik 2.1.1. Definisi bronkitis kronik Terma bronkitis kronik diperkenalkan di negara Inggris pada awal abad ke-19 untuk mendiskripsi inflamasi mukosal bronkial yang

Lebih terperinci

Suradi, Dian Utami W, Jatu Aviani

Suradi, Dian Utami W, Jatu Aviani KEDARURATAN ASMA DAN PPOK Suradi, Dian Utami W, Jatu Aviani Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr. Moewardi Surakarta WORKSHOP PIR 2017 PENDAHULUAN PPOK --> penyebab utama mortalitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya

Bab I. Pendahuluan. yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya Bab I Pendahuluan Latar Belakang Penelitian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinisikan sebagai penyakit yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya reversibel,

Lebih terperinci

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Karakteristik Pasien PPOK Eksaserbasi Akut

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Karakteristik Pasien PPOK Eksaserbasi Akut BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep Pada penelitian ini kerangka konsep mengenai karakteristik pasien PPOK eksaserbasi akut akan diuraikan berdasarkan variabel katagorik

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN ASMA EKSASERBASI AKUT

PENATALAKSANAAN ASMA EKSASERBASI AKUT PENATALAKSANAAN ASMA EKSASERBASI AKUT Faisal Yunus Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI - RS Persahabatan Jakarta PENDAHULUAN Asma penyakit kronik saluran napas Penyempitan saluran napas

Lebih terperinci

INTERPRETASI ELEKTROKARDIOGRAFI STRIP NORMAL HIMPUNAN PERAWAT GAWAT DARURAT DAN BENCANA INDONESIA SULAWESI UTARA

INTERPRETASI ELEKTROKARDIOGRAFI STRIP NORMAL HIMPUNAN PERAWAT GAWAT DARURAT DAN BENCANA INDONESIA SULAWESI UTARA INTERPRETASI ELEKTROKARDIOGRAFI STRIP NORMAL HIMPUNAN PERAWAT GAWAT DARURAT DAN BENCANA INDONESIA SULAWESI UTARA PENDAHULUAN Elektrokardiografi adalah ilmu yang mempelajari rekaman aktivitas listrik jantung

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. napas, batuk kronik, dahak, wheezing, atau kombinasi dari tanda tersebut.

BAB 1 PENDAHULUAN. napas, batuk kronik, dahak, wheezing, atau kombinasi dari tanda tersebut. 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah inflamasi saluran napas kecil. Pada bronkitis kronik terdapat infiltrat dan sekresi mukus di saluran pernapasan. Sedangkan

Lebih terperinci

Normal EKG untuk Paramedis. dr. Ahmad Handayani dr. Hasbi Murdhani

Normal EKG untuk Paramedis. dr. Ahmad Handayani dr. Hasbi Murdhani Normal EKG untuk Paramedis dr. Ahmad Handayani dr. Hasbi Murdhani Anatomi Jantung & THE HEART Konsep dasar elektrokardiografi Sistem Konduksi Jantung Nodus Sino-Atrial (SA) - pada pertemuan SVC dg atrium

Lebih terperinci

Gambaran Elektrokardiogram (EKG) Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Tahun 2012.

Gambaran Elektrokardiogram (EKG) Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Tahun 2012. Gambaran Elektrokardiogram (EKG) Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Tahun 2012 Oleh: LASTRI HILLARY HUTAPEA 110100238 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak

Lebih terperinci

KONSEP DASAR EKG. Rachmat Susanto, S.Kep.,Ns.,M.Kep.,Sp.MB (KV)

KONSEP DASAR EKG. Rachmat Susanto, S.Kep.,Ns.,M.Kep.,Sp.MB (KV) KONSEP DASAR EKG Rachmat Susanto, S.Kep.,Ns.,M.Kep.,Sp.MB (KV) TIU Setelah mengikuti materi ini peserta mampu memahami konsep dasar EKG dan gambaran EKG normal. TIK Setelah mengikuti materi ini peserta

Lebih terperinci

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS/ RS Dr M DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS/ RS Dr M DJAMIL PADANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS/ RS Dr M DJAMIL PADANG Pendahuluan asma merupakan proses inflamasi kronik dimana yang berperan adalah sel-sel inflamasi maupun struktural dari bronkus GINA 2010

Lebih terperinci

FARMAKOTERAPI ASMA. H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM

FARMAKOTERAPI ASMA. H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM FARMAKOTERAPI ASMA H M. Bakhriansyah Bagian Farmakologi FK UNLAM Pendahuluan Etiologi: asma ekstrinsik diinduksi alergi asma intrinsik Patofisiologi: Bronkokontriksi akut Hipersekresi mukus yang tebal

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian PPOK Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif

Lebih terperinci

SOP ECHOCARDIOGRAPHY TINDAKAN

SOP ECHOCARDIOGRAPHY TINDAKAN SOP ECHOCARDIOGRAPHY N O A B C FASE PRA INTERAKSI TINDAKAN 1. Membaca dokumentasi keperawatan. 2. Menyiapkan alat-alat : alat echocardiography, gel, tissu. 3. Mencuci tangan. FASE ORIENTASI 1. Memberikan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. PPOK adalah penyakit paru obstruksi kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. PPOK adalah penyakit paru obstruksi kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik 2.1.1 Definisi PPOK adalah penyakit paru obstruksi kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritik 1. Merokok a. Definisi Rokok Berdasarkan PP No. 19 tahun 2003, diketahui bahwa rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus yang meliputi kretek dan rokok

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dengan terjadinya inflamasi disebabkan respon paru- paru terhadap partikel atau

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dengan terjadinya inflamasi disebabkan respon paru- paru terhadap partikel atau BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian PPOK Menurut Europan Respiratory Society (1995), PPOK adalah kondisi keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Kondisi ini berkaitan dengan terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif.

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah suatu keadaan terdapatnya keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif. Penyakit ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronis ditandai dengan hambatan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronis ditandai dengan hambatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronis ditandai dengan hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) merupakan penyakit yang perlu diwaspadai karena penyakit ini merupakan penyebab kematian dengan nomor urut lima di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan beban kerja pernafasan, yang menimbulkan sesak nafas, sehingga pasien mengalami penurunan

Lebih terperinci

DEFINISI BRONKITIS. suatu proses inflamasi pada pipa. bronkus

DEFINISI BRONKITIS. suatu proses inflamasi pada pipa. bronkus PENDAHULUAN Survei Kesehatan Rumah Tangga Dep.Kes RI (SKRT 1986,1992 dan 1995) secara konsisten memperlihatkan kelompok penyakit pernapasan yaitu pneumonia, tuberkulosis dan bronkitis, asma dan emfisema

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma merupakan penyakit heterogen dengan karakteristik adanya inflamasi saluran napas kronis. Penyakit ini ditandai dengan riwayat gejala saluran napas berupa wheezing,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Data prevalensi, morbiditas, dan mortalitas berbeda tiap negara namun secara umum terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Data prevalensi, morbiditas, dan mortalitas berbeda tiap negara namun secara umum terkait BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. EPIDEMIOLOGI Saat ini penyakit paru obstruksi kronik (PPOK ) merupakan masalah kesehatan global. Data prevalensi, morbiditas, dan mortalitas berbeda tiap negara namun secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini kita telah hidup di zaman yang semakin berkembang, banyaknya inovasi yang telah bermunculan, hal ini

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini kita telah hidup di zaman yang semakin berkembang, banyaknya inovasi yang telah bermunculan, hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini kita telah hidup di zaman yang semakin berkembang, banyaknya inovasi yang telah bermunculan, hal ini sangat memberi berbagai dampak, baik itu dampak positif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok,

BAB I PENDAHULUAN. pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Merokok mengganggu kesehatan, kenyataan ini tidak dapat kita pungkiri. Banyak penyakit telah terbukti menjadi akibat buruk dari merokok, baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Asma 2.1.1. Pengertian Asma Asma merupakan sebuah penyakit kronik saluran napas yang terdapat di seluruh dunia dengan kekerapan bervariasi yang berhubungan dengan dengan peningkatan

Lebih terperinci

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5. L/O/G/O Buku pedoman ASMA DEFINISI : Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.Boalemo 11,0% Riskesdas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan penyakit umum pada masyarakat yang di tandai dengan adanya peradangan pada saluran bronchial.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Paru Paru-paru adalah organ penting dari respirasi, jumlahnya ada dua, terletak di samping kanan dan kiri mediastinum, dan terpisah satu sama lain oleh jantung dan

Lebih terperinci

ABSTRAK FAAL PARU PADA PEROKOK DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DAN PEROKOK PASIF PASANGANNYA

ABSTRAK FAAL PARU PADA PEROKOK DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DAN PEROKOK PASIF PASANGANNYA ABSTRAK FAAL PARU PADA PEROKOK DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DAN PEROKOK PASIF PASANGANNYA Siti A. Sarah M, 2011. Pembimbing I : dr.jahja Teguh Widjaja,Sp.P.,FCCP Pembimbing II: dr.sijani

Lebih terperinci

BAB I A. LATAR BELAKANG. morbiditas kronik dan mortalitas di seluruh dunia, sehingga banyak orang yang

BAB I A. LATAR BELAKANG. morbiditas kronik dan mortalitas di seluruh dunia, sehingga banyak orang yang BAB I A. LATAR BELAKANG Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) merupakan penyebab utama dari morbiditas kronik dan mortalitas di seluruh dunia, sehingga banyak orang yang menderita akibat PPOK. PPOK merupakan

Lebih terperinci

Laporan Pendahuluan Elektrokardiogram (EKG) Oleh Puji Mentari

Laporan Pendahuluan Elektrokardiogram (EKG) Oleh Puji Mentari Laporan Pendahuluan Elektrokardiogram (EKG) Oleh Puji Mentari 1106053344 A. Pengertian Tindakan Elektrokardiogram (EKG) adalah suatu pencatatan grafis aktivitas listrik jantung (Price, 2006). Sewaktu impuls

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) 2.1.1 Definisi Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) atau juga dikenali sebagai Chronic Obstructive

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Paru-paru merupakan organ utama yang sangat penting bagi kelangsungan

BAB I PENDAHULUAN. Paru-paru merupakan organ utama yang sangat penting bagi kelangsungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Paru-paru merupakan organ utama yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Fungsi utama dari paru-paru adalah untuk proses respirasi. Respirasi merupakan proses

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). Asma merupakan penyakit inflamasi

Lebih terperinci

CURRICULUM VITAE. Nama : DR. Dr. Nur Ahmad Tabri, SpPD, K-P, SpP(K) Tempat, tanggal lahir : Ujung Pandang, 12 April 1959 Agama: Islam

CURRICULUM VITAE. Nama : DR. Dr. Nur Ahmad Tabri, SpPD, K-P, SpP(K) Tempat, tanggal lahir : Ujung Pandang, 12 April 1959 Agama: Islam CURRICULUM VITAE Nama : DR. Dr. Nur Ahmad Tabri, SpPD, K-P, SpP(K) Tempat, tanggal lahir : Ujung Pandang, 12 April 1959 Agama: Islam Email: nurahmad_59@yahoo.co.id Jabatan: Ketua Divisi Pulmonologi Dept.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Amerika dan mengakibatkan kematian jiwa pertahun, peringkat ke-empat

BAB I PENDAHULUAN. Amerika dan mengakibatkan kematian jiwa pertahun, peringkat ke-empat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) mempengaruhi 15 juta orang Amerika dan mengakibatkan kematian 160.000 jiwa pertahun, peringkat ke-empat sebagai penyebab kematian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berfokus dalam menangani masalah penyakit menular. Hal ini, berkembangnya kehidupan, terjadi perubahan pola struktur

BAB I PENDAHULUAN. berfokus dalam menangani masalah penyakit menular. Hal ini, berkembangnya kehidupan, terjadi perubahan pola struktur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan epidemiologi kesehatan pada umumnya berfokus dalam menangani masalah penyakit menular. Hal ini, dapat dilihat dari sejarah ilmu epidemiologi itu sendiri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) termasuk ke dalam penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) termasuk ke dalam penyakit BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) termasuk ke dalam penyakit pernapasan kronis yang merupakan bagian dari noncommunicable disease (NCD). Kematian akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Merokok merupakan sebuah kebiasaan yang telah membudaya bagi masyarakat di sekitar kita. Di berbagai wilayah perkotaan sampai pedesaan, dari anak anak sampai orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang mempunyai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang mempunyai karakteristik keterbatasan aliran nafas yang persisten, bersifat progresif dan berkaitan

Lebih terperinci

2006 Global Initiative for Asthma (GINA) tuntunan baru dalam penatalaksanaan asma yaitu kontrol asma

2006 Global Initiative for Asthma (GINA) tuntunan baru dalam penatalaksanaan asma yaitu kontrol asma 2006 Global Initiative for Asthma (GINA) tuntunan baru dalam penatalaksanaan asma yaitu kontrol asma penatalaksanaan asma terbaru menilai secara cepat apakah asma tersebut terkontrol, terkontrol sebagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. SK/XI/2008 tentang pedoman pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik,

BAB I PENDAHULUAN. SK/XI/2008 tentang pedoman pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan penyakit paru obstruktif kronik telah di bahas dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1022/MENKES/ SK/XI/2008 tentang pedoman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. PPOK atau Penyakit Paru Obstruksi Kronis merupakan penyakit yang

BAB I PENDAHULUAN. PPOK atau Penyakit Paru Obstruksi Kronis merupakan penyakit yang BAB I PENDAHULUAN PPOK atau Penyakit Paru Obstruksi Kronis merupakan penyakit yang dapat dicegah dan dirawat dengan beberapa gejala ekstrapulmonari yang signifikan, yang dapat mengakibatkan tingkat keparahan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Asma 2.1.1. Definisi Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan berbagai sel inflamasi sehingga menimbulkan gejala yang berhubungan dengan luas inflamasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fungsi utama jantung adalah memompa darah ke seluruh tubuh dimana pada saat memompa jantung otot-otot jantung (miokardium) yang bergerak. Untuk fungsi tersebut, otot

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. polusi udara baik dalam maupun luar ruangan, serta polusi di tempat kerja. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. polusi udara baik dalam maupun luar ruangan, serta polusi di tempat kerja. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) telah berkembang menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas di dunia yang makin penting. PPOK menjadi penyakit berbahaya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan salah satu jenis dari penyakit tidak menular yang paling banyak ditemukan di masyarakat dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyebab mortalitas terbesar kelima di dunia dan menunjukkan peningkatan jumlah kasus di negara maju dan

Lebih terperinci

BAB I. 1.1 Latar Belakang. Atrial fibrilasi (AF) didefinisikan sebagai irama jantung yang

BAB I. 1.1 Latar Belakang. Atrial fibrilasi (AF) didefinisikan sebagai irama jantung yang BAB I 1.1 Latar Belakang Atrial fibrilasi (AF) didefinisikan sebagai irama jantung yang abnormal dengan aktivitas listrik jantung yang cepat dan tidak beraturan. Hal ini mengakibatkan atrium bekerja terus

Lebih terperinci

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK ( PPOK )

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK ( PPOK ) PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK ( PPOK ) 1973-2003 PEDOMAN DIAGNOSIS & PENATALAKSANAAN DI INDONESIA Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2003 DAFTAR ISI I Definisi 2 II Permasalahan di Indonesia 2 III Faktor

Lebih terperinci

Bab 2 TINJAUAN PUSTAKA. a. Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronis. yang ditandai dengan pembatasan aliran udara yang irreversibel (Celli & Macnee,

Bab 2 TINJAUAN PUSTAKA. a. Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronis. yang ditandai dengan pembatasan aliran udara yang irreversibel (Celli & Macnee, Bab 2 TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) a. Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronis Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah keadaan progresif lambat yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan. penelitian, manfaat penelitian sebagai berikut.

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan. penelitian, manfaat penelitian sebagai berikut. 1 BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian sebagai berikut. A. Latar Belakang Aktivitas kehidupan manusia sangat dipengaruhi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Asma Dari waktu ke waktu, definisi asma mengalami perubahan beberapa kali karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai patologi, patofisiologi,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bronchitis adalah suatu peradangan yang terjadi pada bronkus. Bronchitis

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bronchitis adalah suatu peradangan yang terjadi pada bronkus. Bronchitis 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bronchitis adalah suatu peradangan yang terjadi pada bronkus. Bronchitis dapat bersifat acute maupun chronic ( Manurung, 2008). Bronchitis adalah suatu peradangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyakit dengan preventif dan terapi yang umum, penyakit ini dicirikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit paru-paru merupakan suatu masalah kesehatan di Indonesia, salah

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit paru-paru merupakan suatu masalah kesehatan di Indonesia, salah BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Penyakit paru-paru merupakan suatu masalah kesehatan di Indonesia, salah satunya adalah asma. Asma merupakan penyakit yang sering di jumpai di masyarakat, asma

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Patofisiologi Kelainan Paru akibat Paparan Uap/Gas BBM Secara fisiologis sebelum masuk ke paru udara inspirasi sudah dibersihkan dari partikel debu dan asap yang memiliki diameter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menerus, maka akan terjadi perubahan pada fungsi paru-paru mereka

BAB I PENDAHULUAN. menerus, maka akan terjadi perubahan pada fungsi paru-paru mereka BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Polusi udara sangat berhubungan dengan keaadaan paru, terutama pada fungsi paru. Sesorang yang terkena polusi udara secara terus menerus, maka akan terjadi perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kafein banyak terkandung dalam kopi, teh, minuman cola, minuman berenergi, coklat, dan bahkan digunakan juga untuk terapi, misalnya pada obatobat stimulan, pereda nyeri,

Lebih terperinci

TUGAS KEPERAWATAN GAWAT DARURAT INTERPRETASI DASAR EKG

TUGAS KEPERAWATAN GAWAT DARURAT INTERPRETASI DASAR EKG TUGAS KEPERAWATAN GAWAT DARURAT INTERPRETASI DASAR EKG Disusun untuk memenuhi tugas mandiri keperawatan gawat darurat Dosen Setiyawan S.Kep.,Ns.,M.Kep. Disusun oleh : NUGKY SETYO ARINI (P15037) PRODI D3

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Penyakit Paru Obstruksi Kronik a. Definisi Penyakit Paru Obstruksi Kronik adalah penyakit yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang bersifat menetap

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang bisa dicegah dan diobati. PPOK ditandai dengan adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli

BAB I PENDAHULUAN. reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan penyakit jalan napas obstruktif intermiten yang bersifat reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu yang

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN FUNGSI SISTEM KARDIOVASKULER

STRUKTUR DAN FUNGSI SISTEM KARDIOVASKULER STRUKTUR DAN FUNGSI SISTEM KARDIOVASKULER Tujuan Pembelajaran Menjelaskan anatomi dan fungsi struktur jantung : Lapisan jantung, atrium, ventrikel, katup semilunar, dan katup atrioventrikular Menjelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk-batuk terutama pada malam

BAB I PENDAHULUAN. berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk-batuk terutama pada malam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Proses inflamasi kronik ini menyebabkan saluran pernapasan menjadi hiperesponsif

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsep Pernapasan a) Fisiologi Pernapasan Potter dan Perry (2006) menyatakan bahwa pernapasan adalah upaya yang dibutuhkan untuk mengembangkan dan membuat paru

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. lebih dini pada usia bayi, atau bahkan saat masa neonatus, sedangkan

BAB 1 PENDAHULUAN. lebih dini pada usia bayi, atau bahkan saat masa neonatus, sedangkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Jantung Bawaan (PJB) adalah kelainan struktur dan fungsi pada jantung yang muncul pada saat kelahiran. (1) Di berbagai negara maju sebagian besar pasien PJB

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Cronic Obstruktive

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Cronic Obstruktive BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Cronic Obstruktive Pulmonary Disease (COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. American Thoracic Society (ATS) dan European Respiratory Society (ERS)

BAB I PENDAHULUAN. American Thoracic Society (ATS) dan European Respiratory Society (ERS) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang American Thoracic Society (ATS) dan European Respiratory Society (ERS) mengartikan Penyakit Paru Obstruktif Kronik disingkat PPOK sebagai penyakit yang ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gerak adalah aktivitas fisik dan merupakan ciri kehidupan. Sesuai dengan pepatah yang mengatakan Dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat, maka aktivitas fisik

Lebih terperinci

Ditulis pada Rabu, 20 September :47 WIB oleh damian dalam katergori Pemeriksaan tag EKG, ECG, pemeriksaan, elektromedis

Ditulis pada Rabu, 20 September :47 WIB oleh damian dalam katergori Pemeriksaan tag EKG, ECG, pemeriksaan, elektromedis - V1 di garis parasternal kanan sejajar dengan ICS 4 berwarna merah Elektrokardiografi (EKG) Ditulis pada Rabu, 20 September 2017 08:47 WIB oleh damian dalam katergori Pemeriksaan tag EKG, ECG, pemeriksaan,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menyerang lebih dari 25% populasi dewasa. (Smeltzer & Bare, 2001)

BAB 1 PENDAHULUAN. menyerang lebih dari 25% populasi dewasa. (Smeltzer & Bare, 2001) BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah klasifikasi luas dari gangguan, yang mencakup bronkitis kronis, bronkiektasis, emfisema, dan asma. Penyakit Paru Obstruksi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) 2.1.1. Defenisi Penyakit Paru Obstruktif Kronif (PPOK) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka kejadian penyakit asma akhir-akhir ini mengalami peningkatan dan relatif sangat tinggi dengan banyaknya morbiditas dan mortalitas. WHO memperkirakan 100-150 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan akibat buruk merokok, baik secara langsung maupun tidak langsung.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan akibat buruk merokok, baik secara langsung maupun tidak langsung. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Merokok mengganggu kesehatan barangkali merupakan istilah yang tepat, namun tidak populer dan tidak menarik bagi perokok. Banyak orang sakit akibat merokok, tetapi orang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan. aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan. aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba memerlukan tatalaksana segera dan kemungkinan

Lebih terperinci

0.1% kasus di rumah sakit di Amerika Serikat dengan usia rata-rata 67 tahun dan lakilaki

0.1% kasus di rumah sakit di Amerika Serikat dengan usia rata-rata 67 tahun dan lakilaki 1. Definisi Atrial flutter merupakan bentuk aritmia berupa denyut atrium yang terlalu cepat akibat aktivitas listrik atrium yang berlebihan ditandai dengan denyut atrial rata-rata 250 hingga 350 kali per

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. penemu teori kognitif sosial (social cognitif theory).

BAB II LANDASAN TEORI. penemu teori kognitif sosial (social cognitif theory). digilib.uns.ac.id 5 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Efikasi Diri a. Definisi Efikasi diri pertama dikemukakan oleh Bandura yang merupakan penemu teori kognitif sosial (social cognitif theory).

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian dilakukan pada penderita PPOK eksaserbasi akut yang dirawat inap di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dan RSUD Ario Wirawan Salatiga pada tanggal 18 Maret sampai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang dapat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati. Penyakit ini berhubungan dengan peningkatan respon inflamasi kronik pada jalan

Lebih terperinci

Asma sering diartikan sebagai alergi, idiopatik, nonalergi atau gabungan.

Asma sering diartikan sebagai alergi, idiopatik, nonalergi atau gabungan. A S M A DEFINISI Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermitten, reversibel dimana trakea dan bronki berespons dalam secara hiperaktif terhadap stimulun tertentu. Asma dimanifestasikan dengan

Lebih terperinci

Curah jantung. Nama : Herda Septa D NPM : Keperawatan IV D. Definisi

Curah jantung. Nama : Herda Septa D NPM : Keperawatan IV D. Definisi Nama : Herda Septa D NPM : 0926010138 Keperawatan IV D Curah jantung Definisi Kontraksi miokardium yang berirama dan sinkron menyebabkan darah dipompa masuk ke dalam sirkulasi paru dan sistemik. Volume

Lebih terperinci

BAB 1. Pendahuluan. Faktor perinatal menjadi faktor risiko gangguan respiratorik kronis masa

BAB 1. Pendahuluan. Faktor perinatal menjadi faktor risiko gangguan respiratorik kronis masa BAB 1. Pendahuluan 1.1 Latar belakang: Faktor perinatal menjadi faktor risiko gangguan respiratorik kronis masa anak anak karena masa perkembangan dan maturasi fungsi paru dimulai sebelum lahir. Berat

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronis 2.1.1.1 Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronis adalah penyakit yang umumnya dapat dicegah dan diobati,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maka masa balita disebut juga sebagai "masa keemasan" (golden period),

BAB I PENDAHULUAN. maka masa balita disebut juga sebagai masa keemasan (golden period), 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa lima tahun pertama kehidupan merupakan masa yang sangat peka terhadap lingkungan dan masa ini sangat pendek serta tidak dapat diulang lagi, maka masa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Beberapa penyakit yang dapat menggangu sistem oksigenasi yaitu seperti TBC,

BAB 1 PENDAHULUAN. Beberapa penyakit yang dapat menggangu sistem oksigenasi yaitu seperti TBC, 1 BAB 1 A. Latar Belakang PENDAHULUAN Beberapa penyakit yang dapat menggangu sistem oksigenasi yaitu seperti TBC, PPOK, ISPA, dan lain-lain. WHO melaporkan bahwa 0,5% dari penduduk dunia terserang Penyakit

Lebih terperinci

EFEK PENUAAN TERHADAP FISIOLOGI SISTEM RESPIRASI

EFEK PENUAAN TERHADAP FISIOLOGI SISTEM RESPIRASI Tinjauan Kepustakaan V Selasa 7 Januari 2014 EFEK PENUAAN TERHADAP FISIOLOGI SISTEM RESPIRASI Penyusun: Rina Puspasari S., dr. Pembimbing: Marina Moeliono, dr., SpKFR(K) Penilai: Marietta Shanti P., dr.,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Spirometri adalah salah satu uji fungsi paru yang dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) (Health Partners, 2011). Uji fungsi paru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. umumnya. Seseorang bisa kehilangan nyawanya hanya karena serangan

BAB I PENDAHULUAN. umumnya. Seseorang bisa kehilangan nyawanya hanya karena serangan 1 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Saat ini asma semakin berkembang menjadi penyakit pembunuh bagi masyarakat di dunia, selain penyakit jantung. Serangan yang terjadi akibat asma menjadi momok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering timbul dikalangan masyarakat. Data Report Word Healt Organitation

BAB I PENDAHULUAN. sering timbul dikalangan masyarakat. Data Report Word Healt Organitation 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit paru-paru merupakan suatu masalah kesehatan di Indonesia, salah satunya adalah asma. Serangan asma masih merupakan penyebab utama yang sering timbul dikalangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan pembunuh nomor satu di seluruh dunia. Lebih dari 80% kematian

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan pembunuh nomor satu di seluruh dunia. Lebih dari 80% kematian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kardiovaskular yang terdiri dari penyakit jantung dan stroke merupakan pembunuh nomor satu di seluruh dunia. Lebih dari 80% kematian terjadi di negara berkembang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 32 HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan Fisik Keseluruhan anjing yang dipergunakan pada penelitian diperiksa secara klinis dan dinyatakan sehat sesuai dengan klasifikasi status klas I yang telah ditetapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara maju tetapi juga di negara berkembang. Menurut data laporan dari Global

BAB I PENDAHULUAN. negara maju tetapi juga di negara berkembang. Menurut data laporan dari Global BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asma merupakan masalah kesehatan dunia yang tidak hanya terjangkit di negara maju tetapi juga di negara berkembang. Menurut data laporan dari Global Initiatif for Asthma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut data World Health Organization (WHO) 2012, bahwa Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit yang mengancam jiwa. Lebih dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun fungsional dari pengisian atau pompa ventrikel (Yancy et al., 2013).

BAB I PENDAHULUAN. maupun fungsional dari pengisian atau pompa ventrikel (Yancy et al., 2013). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal jantung merupakan suatu sindrom klinis akibat kelainan struktural maupun fungsional dari pengisian atau pompa ventrikel (Yancy et al., 2013). Prevalensi gagal

Lebih terperinci