BAB II LANDASAN TEORI. penemu teori kognitif sosial (social cognitif theory).

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI. penemu teori kognitif sosial (social cognitif theory)."

Transkripsi

1 digilib.uns.ac.id 5 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Efikasi Diri a. Definisi Efikasi diri pertama dikemukakan oleh Bandura yang merupakan penemu teori kognitif sosial (social cognitif theory). Efikasi diri mengarah pada keyakinan seseorang terhadap kemampuannya dalam mengatur dan melaksanakan serangkaian tindakan dalam mencapai hasil yang ditetapkan (Bandura, 1997). Bandura (1997) menjelaskan ketika dalam realita sosial banyak sekali tantangan, kesengsaraan, dan kemunduran yang harus dihadapi maka rasa optimislah yang dapat membawa individu mencapai keberhasilan dan kesejahteraan. Individu yang memiliki efikasi diri yang rendah akan menghindari semua tugas dan menyerah dengan mudah ketika masalah muncul. Individu tersebut menganggap kegagalan sebagai kurangnya kemampuan yang ada. Kaitannya dengan keyakinan akan kemampuan ini, orang yang memiliki efikasi diri yang tinggi berusaha atau mencoba lebih keras dalam menghadapi tantangan dan hambatan, sebaliknya orang yang memiliki efikasi diri yang rendah akan mengurangi usahanya untuk bekerja dalam situasi yang sulit.

2 digilib.uns.ac.id 6 b. Dimensi Efikasi diri Bandura (1997) mengemukakan bahwa efikasi diri individu dapat dilihat dari tiga dimensi, yaitu : 1) Tingkat (Magnitude) Efikasi diri individu dalam mengerjakan suatu tugas pasti berbeda dalam setiap tingkatan kesulitan tugas. Individu memiliki efikasi diri yang tinggi pada tugas yang mudah dan sederhana, atau juga pada tugas-tugas yang rumit dan membutuhkan kompetensi yang tinggi. Individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi cenderung memilih tugas yang tingkat kesukarannya sesuai dengan kemampuannya. 2) Keluasan (generality) Dimensi ini berkaitan dengan penguasaan individu terhadap bidang atau tugas pekerjaan. Individu dapat menyatakan dirinya memiliki efikasi diri pada aktivitas yang luas, atau terbatas pada fungsi domain tertentu saja. Individu dengan efikasi diri yang tinggi akan mampu menguasai beberapa bidang sekaligus untuk menyelesaikan suatu tugas. Individu yang memiliki efikasi diri yang rendah hanya menguasai sedikit bidang yang diperlukan dalam menyelesaikan suatu tugas. 3) Kekuatan (strength) Dimensi yang ketiga ini lebih menekankan pada tingkat kekuatan atau kemantapan individu terhadap keyakinannya. Efikasi diri menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan individu akan

3 digilib.uns.ac.id 7 memberikan hasil yang sesuai dengan yang diharapkan individu. Efikasi diri menjadi dasar dirinya melakukan usaha yang keras, bahkan ketika menemui hambatan sekalipun. c. Sumber-Sumber Efikasi diri Bandura (1997) menjelaskan bahwa efikasi diri individu didasarkan pada empat hal, yaitu: 1) Pengalaman akan kesuksesan Pengalaman akan kesuksesan adalah sumber yang paling besar pengaruhnya terhadap efikasi diri individu karena didasarkan pada pengalaman otentik. Pengalaman akan kesuksesan menyebabkan efikasi diri individu meningkat, sementara kegagalan yang berulang mengakibatkan menurunnya efikasi diri, khususnya jika kegagalan terjadi ketika efikasi diri individu belum benar-benar terbentuk secara kuat. Kegagalan juga dapat menurunkan efikasi diri individu jika kegagalan tersebut tidak merefleksikan kurangnya usaha atau pengaruh dari keadaan luar. 2) Pengalaman individu lain Individu tidak bergantung pada pengalamannya sendiri tentang kegagalan dan kesuksesan sebagai sumber efikasi dirinya. Efikasi diri juga dipengaruhi oleh pengalaman individu lain. Pengamatan individu akan keberhasilan individu lain dalam bidang tertentu akan meningkatkan efikasi diri individu tersebut pada bidang yang sama. Individu melakukan persuasi terhadap dirinya dengan mengatakan

4 digilib.uns.ac.id 8 jika individu lain dapat melakukannya dengan sukses, maka individu tersebut juga memiliki kemampuan untuk melakukanya dengan baik. Pengamatan individu terhadap kegagalan yang dialami individu lain meskipun telah melakukan banyak usaha menurunkan penilaian individu terhadap kemampuannya sendiri dan mengurangi usaha individu untuk mencapai kesuksesan. Ada dua keadaan yang memungkinkan efikasi diri individu mudah dipengaruhi oleh pengalaman individu lain, yaitu kurangnya pemahaman individu tentang kemampuan orang lain dan kurangnya pemahaman individu akan kemampuannya sendiri. 3) Persuasi verbal Persuasi verbal dipergunakan untuk meyakinkan individu bahwa individu memiliki kemampuan yang memungkinkan individu untuk meraih apa yang diinginkan. 4) Keadaan fisiologis Penilaian individu akan kemampuannya dalam mengerjakan suatu tugas sebagian dipengaruhi oleh keadaan fisiologis. Gejolak emosi dan keadaan fisiologis yang dialami individu memberikan suatu isyarat terjadinya suatu hal yang tidak diinginkan sehingga situasi yang menekan cenderung dihindari. Informasi dari keadaan fisik seperti jantung berdebar, keringat dingin, dan gemetar menjadi isyarat bagi individu bahwa situasi yang dihadapinya berada di atas kemampuannya. Berdasarkan penjelasan di atas, efikasi diri

5 digilib.uns.ac.id 9 bersumber pada pengalaman akan kesuksesan, pengalaman individu lain, persuasi verbal, dan keadaan fisiologis individu. d. Proses efikasi diri Bandura (1997) menguraikan proses psikologi efikasi diri dalam memengaruhi fungsi manusia. Proses tersebut dapat dijelaskan melalui cara-cara di bawah ini : 1) Proses kognitif Dalam melakukan tugas, individu menetapkan tujuan dan sasaran perilaku sehingga individu tersebut dapat merumuskan tindakan yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut. Penetapan sasaran pribadi tersebut dipengaruhi oleh penilaian individu akan kemampuan kognitifnya. Fungsi kognitif memungkinkan individu untuk memprediksi kejadian-kejadian sehari-hari yang akan berakibat pada masa depan. Asumsi yang timbul pada aspek kognitif ini adalah semakin efektif kemampuan individu dalam analisis dan dalam berlatih mengungkapkan ide-ide atau gagasan-gagasan pribadi, maka akan mendukung individu bertindak dengan tepat untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Individu akan meramalkan kejadian dan mengembangkan cara untuk mengontrol kejadian yang memengaruhi hidupnya. Keahlian ini membutuhkan proses kognitif yang efektif dari berbagai macam informasi.

6 digilib.uns.ac.id 10 2) Proses motivasi Motivasi individu timbul melalui pemikiran optimis dari dalam dirinya untuk mewujudkan tujuan yang diharapkan. Individu berusaha memotivasi diri dengan menetapkan keyakinan pada tindakan yang akan dilakukan, merencanakan tindakan yang akan direalisasikan. Terdapat beberapa macam motivasi kognitif yang dibangun dari beberapa teori yaitu atribusi penyebab yang berasal dari teori atribusi dan pengharapan akan hasil yang terbentuk dari teori nilai pengharapan. Efikasi diri memengaruhi atribusi penyebab, di mana individu yang memiliki efikasi diri akademik yang tinggi menilai kegagalannya dalam mengerjakan tugas akademik disebabkan oleh kurangnya usaha, sedangkan individu dengan efikasi diri yang rendah menilai kegagalannya disebabkan oleh kurangnya kemampuan. Teori nilai pengharapan memandang bahwa motivasi diatur oleh pengharapan akan hasil (outcome expectation) dan nilai hasil (outcome value) tersebut. Outcome expectation merupakan suatu perkiraan bahwa perilaku atau tindakan tertentu akan menyebabkan akibat yang khusus bagi individu. Hal tersebut mengandung keyakinan tentang sejauh mana perilaku tertentu akan menimbulkan konsekuensi tertentu. Outcome value adalah nilai yang mempunyai arti dari konsekuensi-konsekuensi yang terjadi bila suatu

7 digilib.uns.ac.id 11 perilaku dilakukan. Individu harus memiliki outcome value yang tinggi untuk mendukung outcome expectation. 3) Proses afektif Proses afektif terjadi secara alami dalam diri individu dan berperan dalam menentukan intensitas pengalaman emosional. Afektif ditujukan dengan mengontrol kecemasan dan perasaan depresif yang menghalangi pola-pola pikir yang benar untuk mencapai tujuan. Proses afektif berkaitan dengan kemampuan mengatasi emosi yang timbul pada diri-sendiri untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Kepercayaan individu terhadap kemampuannya memengaruhi tingkat stres dan depresi yang dialami ketika menghadapi tugas yang sulit atau bersifat mengancam. Individu yang yakin dirinya mampu mengontrol ancaman tidak akan membangkitkan pola pikir yang mengganggu. Individu yang tidak percaya akan kemampuannya yang dimiliki akan mengalami kecemasan karena tidak mampu mengelola ancaman tersebut. 4) Proses seleksi Proses seleksi berkaitan dengan kemampuan individu untuk menyeleksi tingkah laku dan lingkungan yang tepat, sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Ketidakmampuan individu dalam melakukan seleksi tingkah laku membuat individu tidak percaya diri, bingung, dan mudah menyerah ketika menghadapi masalah atau situasi sulit. Efikasi diri dapat membentuk hidup individu melalui

8 digilib.uns.ac.id 12 pemilihan tipe aktivitas dan lingkungan. Individu akan mampu melaksanakan aktivitas yang menantang dan memilih situasi yang diyakini mampu menangani. Individu akan memelihara kompetensi, minat, hubungan sosial atas pilihan yang ditentukan. e. Dinamika Efikasi diri Dinamika efikasi diri merupakan interaksi dinamis antara tiga faktor yaitu: pernyataan perilaku (represent behavior), proses internal dalam pribadi berbentuk proses kognitif, afektif, dan peristiwa-peristiwa biologis, lingkungan eksternal (Bandura, 1997). Dinamika perkembangan efikasi diri berlangsung melalui dua fase yaitu fase motivasi dan fase volitional. Pada fase motivasi, seseorang mengembangkan intensi atau tujuan untuk bertindak. Fase ini diinspirasi oleh tiga jenis kognisi, yaitu persepsi terhadap risiko, pengharapan hasil dan persepsi terhadap kemampuan diri-sendiri. Pada fase volitional, individu merencanakan tindakan-tindakan secara rinci, mencoba bertindak menghabiskan banyak waktu untuk berusaha, bertahan (persist), siap menghadapi kemungkinan terjadinya. Dengan demikian fase motivasi mengarahkan perilaku intensional dan fase volition mengarahkan perilaku aktual. Perilaku dalam pandangan teori kognitif sosial merupakan hasil pembelajaran yang diperoleh individu melalui interaksi dengan lingkungan. Perilaku tersebut terus berkembang dan bertahan karena adanya penguatan berupa reward dan punishment dari lingkungan commit (Bandura, to user 1997).

9 digilib.uns.ac.id 13 f. Efikasi Diri pada Pasien PPOK Efikasi diri berperan sebagai mediator antara kualitas hidup, gejala penyakit dan psikologis pasien secara keseluruhan. Penelitian yang dilakukan oleh Bentsen et al., (2010) menyatakan bahwa pasien dengan efikasi diri yang baik akan menunjukkan kualitas hidup yang baik pula dalam pengelolaan penyakitnya. Pasien akan lebih percaya diri terhadap kemampuannya dalam perawatan diri dan percaya bahwa dirinya salah satu faktor terpenting yang berperan dalam mengontrol dan mencegah gejala penyakit yang timbul (Abedi, 2013). Makin tinggi efikasi diri pasien maka semakin rendah tingkat depresi, kecemasan dan derajat sesak napas pasien, sebaliknya kemampuan perawatan diri pasien, kualitas hidup dan toleransi pasien terhadap aktivitas akan semakin meningkat (Garrod, 2008). Pengukuran efikasi diri digunakan untuk menilai seberapa besar keyakinan individu melakukan suatu kegiatan tertentu sebagai usaha untuk mencapai tujuan (Garrod, 2008). Efikasi diri pasien PPOK diukur menggunakan kuesioner COPD Self-Efficacy Scale (CSES). Kuesioner ini menilai tingkat keyakinan akan kemampuan penderita PPOK dalam mengelola kesulitan saat bernapas dalam beberapa situasi. Kuesioner ini pertama kali diperkenalkan oleh Wigal et al. pada tahun 1991 dan kemudian pada tahun 2010 direvisi oleh Bentsen et al. sehingga memiliki validitas dan reabilitas yang lebih baik (Abedi et al., 2013). CSES menyediakan item dengan kompleksitas yang memadai dalam

10 digilib.uns.ac.id 14 kaitannya dengan situasi khusus pengelolaan PPOK. Instrumen ini berisi 33 item yang terbagi menjadi 5 domain, yakni dampak negatif, kondisi emosional, kondisi fisik, cuaca dan lingkungan serta faktor risiko perilaku. Di mana beberapa subdomain seperti kondisi fisik, dampak negatif dan kondisi emosional memiliki peranan yang penting terhadap indikator kapasitas fungsional dan kualitas hidup pasien. Sehingga usaha intervensi untuk meningkatkan efikasi diri diharapkan dapat meningkatkan kapasitas fungsional dan kualitas hidup pasien dengan derajat PPOK yang sedang maupun berat (Bradford, 2014). 2. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) a. Definisi PPOK merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan retensi terhadap aliran udara sebagai gambaran utamanya. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya (Price & Wilson, 2005). Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh pembentukan mukus yang berlebihan dalam bronkus dan bermanifestasi sebagai batuk kronik dan pembentukan sputum selama sedikitnya 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dalam dua tahun berturut-turut. Emfisema merupakan suatu perubahan anatomis parenkim paru yang

11 digilib.uns.ac.id 15 ditandai oleh pembesaran alveolus dan duktus alveolaris yang tidak normal, serta destruksi dinding alveolar (Price & Wilson, 2005). b. Permasalahan di Indonesia Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang prevalensi PPOK. Pada Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes RI tahun 1992 menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis dan emfisema menduduki peringkat keenam dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2008). Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesda) pada tahun 2013, prevalensi tertinggi PPOK di Indonesia terdapat di Nusa Tenggara Timur (10,0%), diikuti Sulawesi Tengah (8,0%), Sulawesi Barat, dan Sulawesi Selatan masingmasing 6,7 persen. Sedangkan prevalensi kasus PPOK di Provinsi Jawa Tengah sebesar 3,4% di mana kasus tertinggi terdapat di Kota Salatiga sebesar 0,66%. Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut: 1) Kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70%) 2) Pertambahan penduduk 3) Meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada 1960-an menjadi 63 tahun pada tahun 1990-an 4) Industrialisasi 5) Polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di pertambangan (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2008).

12 digilib.uns.ac.id 16 c. Faktor Risiko Menurut American Thoracic Society (2005), faktor risiko untuk terjadinya PPOK dibagi menjadi dua golongan : 1) Faktor pejamu a) Genetik Faktor genetik yang bisa meningkatkan atau menurunkan risiko PPOK baru sedikit yang bisa diketahui. Salah satunya adalah defisiensi α1-antitriptilin yang merupakan serum protease inhibitor. b) Jenis kelamin PPOK lebih banyak terjadi pada pria dibanding wanita. c) Hiperresponsif dari jalan napas 2) Faktor Paparan a) Merokok b) Status sosioekonomi c) Polusi lingkungan d) Riwayat perinatal dan penyakit saraf anak-anak e) Infeksi bronkopulmoner berulang d. Patofisiologi dan Patogenesis PPOK Patofisiologi PPOK melibatkan beberapa sel inflamasi, mediator inflamasi dan stres oksidatif seperti halnya perubahan pada sistem kardiovaskular sebagai akibat dari pajanan asap rokok. Perubahan ini akan semakin berkembang dan terjadilah keterbatasan aliran udara yang progresif. Sel inflamasi dan mediator inflamasi menginduksi metaplasia

13 digilib.uns.ac.id 17 sel goblet, hipersekresi mukus, hipertrofi otot polos jalan napas dan hilangnya fungsi mukosiliar. Hipersekresi mukus dan kehilangan fungsi siliar adalah keadaan yang mempermudah terjadinya infeksi oleh virus maupun bakteri yang dapat mengubah kondisi jalan napas. Infiltrasi sel yang melepaskan enzim proteolitik dan mengakibatkan kerusakan menetap. Pada saat yang sama, reactive oxygen species (ROS) dihasilkan dalam kompartemen paru sebagai hasil dari inhalasi asap rokok atau peningkatan produksi oleh aktivasi sel inflamasi dan aktivasi siklus xantin oksidase. Oksidan-oksidan ini akan menghambat α1-antitripsin yang merupakan salah satu penghambat enzim elastase yang berperan dalam kerusakan parenkim dan kehilangan elastisitas rekoil. Penelitian terbaru pada hewan yang mengalami emfisema adalah bahwa kerusakan parenkim juga disebabkan oleh proses apoptosis endotel vaskular dan sel alveoli yang mendukung bahwa kejadian emfisema disebabkan oleh gangguan vaskular. Inflamasi dan stres oksidatif merupakan peran utama pada patofisiologi perubahan kompartemen paru pada penderita PPOK (Supriyadi, 2013). Pada bronkitis kronik, saluran pernafasan kecil yang berdiameter kurang dari 2 mm menjadi lebih sempit, berkelok-kelok dan berobliterasi. Penyempitan ini terjadi juga oleh metaplasia sel goblet, saluran nafas besar juga menyempit karena hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus dengan infiltrasi sel radang. Meskipun faktor penyebab terpenting adalah merokok, polutan udara lain, seperti sulfur dioksida dan nitrogen dioksida,

14 digilib.uns.ac.id 18 juga berperan. Berbagai iritan ini memicu hipersekresi kelenjar mukosa bronkus, menyebabkan pembentukan metaplastik sel goblet penghasil musin di epitel permukaan bronkus. Pembentukan mukus yang meningkat mengakibatkan gejala khas yaitu batuk produktif. Batuk kronik yang disertai peningkatan sekresi bronkus tampaknya memengaruhi bronkiolus kecil sehingga bronkiolus tersebut rusak dan dindingnya melebar. Polusi udara yang terus-menerus yang merupakan predisposisi infeksi rekuren karena polusi memperlambat aktivitas silia dan fagositosis, sehingga timbunan mukus meningkat, sedangkan mekanisme pertahanannya sendiri lemah. Selain itu, zat tersebut juga menyebabkan peradangan dengan infiltrasi sel T CD8+, makrofag, dan neutrofil (Price & Wilson, 2005). Pada emfisema paru penyempitan saluran nafas disebabkan oleh berkurangnya elastisitas paru-paru. Pada emfisema terjadi akibat dua ketidakseimbangan protease-antiprotease dan ketidakseimbangan oksidanantioksidan. Ketidakseimbangan ini hampir selalu terjadi bersamaan, dan pada kenyataannya, efek keduanya saling memperkuat dalam menyebabkan kerusakan jaringan. Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal dan disertai kerusakan dinding alveoli (Price & Wilson, 2005).

15 digilib.uns.ac.id 19 Emfisema dibagi menurut bentuk asinus yang terserang. Secara anatomi dapat dibedakan tiga jenis emfisema: 1) Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke perifer, terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok yang lama. 2) Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan terbanyak pada paru bagian bawah. 3) Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas distal, duktus dan sakus alveolar. Prosesnya terlokalisir di septa atau dekat pleura (Price & Wilson, 2005). e. Klasifikasi PPOK Menurut Global Initiative Obstructive Lung Disease (2006), PPOK diklasifikasikan sebagai berikut: 1) Klasifikasi tingkat keparahan berdasarkan spirometri Berdasarkan pengukuran fungsi paru dengan menggunakan spirometri, PPOK diklasifikasikan sebagai berikut: Tabel 2.1 Klasifikasi Tingkat Keparahan Berdasarkan Spirometri Tahap Keterangan Tahap I : Mild FEV1/FVC < 0,70 FEV1 80 % predicted Tahap II : Moderate FEV1/FVC < 0,70 50% FEV1 < 80% predicted

16 digilib.uns.ac.id 20 Tahap III : Severe FEV1/FVC < 0,70 30% FEV1 < 50% predicted Tahap IV : Very Severe FEV1/FVC < 0,70 FEV1 < 30% predicted or FE1 < 50% predicted plus chronic respiratory failure Keterangan : FEV1 : Forced Expiratory Volume dalam 1 detik FVC : Forced Vital Capacity Sumber: Global Initiative Obstructive Lung Disease (2006) 2) Tahapan Penyakit PPOK Tabel 2.2 Klasifikasi PPOK Berdasarkan Tahapan Penyakit Tahap Keterangan Tahap I : Mild a) Keterbatasan aliran udara ringan FEV1/FVC < 0,70 FEV1 80 % b) Gejala batuk kronik c) Sputum produktif d) Penderita tidak menyadari adanya penurunan fungsi paru Tahap II : Moderate a) Keterbatasan aliran udara buruk FEV1/FVC < 0,70 ; 50% FEV1 < 80% b) Batuk kronik c) Sputum produktif

17 digilib.uns.ac.id 21 d) Sesak nafas saat aktifitas e) Penderita mulai mencari pelayanan kesehatan karena keluhannya Tahap III : Severe a) Keterbatasan aliran udara buruk FEV1/FVC < 0,70 ; 30% FEV1 < 50% b) Batuk kronik c) Sputum produktif d) Sesak nafas sangat berat e) Mengurangi aktifitas, kelelahan f) Eksaserbasi berulang g) Mengurangi kualitas hidup Tahap IV: Very Severe a) Keterbatasan aliran udara sangat buruk FEV1/FVC < 0,70 ; 30% FEV1 < 50% b) Gagal nafas (Pa O2 : 60 mmhg, dengan atau tanpa Pa CO2 : 50 mmhg c) Batuk kronik d) Sputum produktif e) Sesak nafas sangat berat f) Eksaserbasi berulang g) Mengurangi kualitas hidup h) Terjadi komplikasi gagal jantung i) Mengancam jiwa Sumber: Global Initiative Obstructive Lung Disease (2006)

18 digilib.uns.ac.id 22 f. Diagnosis Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan hingga berat. 1) Gambaran Klinis a) Anamnesis (1) Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan (2) Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja (3) Riwayat penyakit emfisema pada keluarga (4) Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misalnya Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara. (5) Batuk berulang dengan atau tanpa dahak (6) Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi b) Pemeriksaan fisik (1) Inspeksi (a) Pursed lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu) (b)barrel chest (diameter antero posterior dan transversal sebanding) (c) Penggunaan otot bantu napas (2) Palpasi Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar.

19 digilib.uns.ac.id 23 (3) Perkusi Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah. (4) Auskultasi (a) Suara napas vesikuler normal, atau melemah (b) Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa (c) Ekspirasi memanjang (d) Bunyi jantung terdengar jauh c) Pemeriksaan Penunjang (1) Pemeriksaan rutin (a) Spirometri (b) Uji bronkodilator (c) Darah rutin (d) Radiologi Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain. (2) Pemeriksaaan khusus (tidak rutin) (a) Faal paru (b) Uji latih kardiopulmoner (c) Uji provokasi bronkus

20 digilib.uns.ac.id 24 (d) Uji coba kortikosteroid Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednisolon atau metilprednisolon) sebanyak 0 50 mg per hari selama 2 minggu yaitu peningkatan VEP1 pasca bronkodilator >20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid. (e) Analisis gas darah Terutama untuk menilai gagal napas kronik stabil dan gagal napas akut pada gagal napas kronik (f) Radiologi (g) Elekrokardiografi Membantu penegakan diagnosis hipertrofi ventrikel kanan, aritmia, dan iskemia. (h) Bakteriologi Pemeriksaan bakteriologi sputum, pewarnaan Gram dan kultur resistensi kuman terhadap antibiotik diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.

21 digilib.uns.ac.id 25 (i) Kadar alfa-1 antitripsin Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda), defisiensi antitrypsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia (PDPI, 2004). g. Penatalaksanaan PPOK Tujuan penatalaksanaan PPOK: 1) Mengurangi gejala 2) Mencegah eksaserbasi berulang 3) Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru 4) Meningkatkan kualitas hidup penderita (PDPI, 2004) Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi: 1) Edukasi Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di Unit Gawat Darurat ataupun di ICU dan di rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan commit to waktu user yang khusus dan memerlukan alat

22 digilib.uns.ac.id 26 peraga. Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi kecemasan penderita PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan keterbatasan aktivitas. Penyesuaian aktivitas dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas hidup penderita PPOK. Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita. Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah : a) Berhenti merokok b) Pengetahuan dasar PPOK c) Obat-obatan d) Pencegahan perburukan penyakit e) Menghindari pencetus f) Penyesuaian aktivitas 2) Farmakologi a) Bronkodilator Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat berefek panjang (long acting).

23 digilib.uns.ac.id 27 Macam - macam bronkodilator : (1) Golongan antikolinergik Digunakan pada derajat ringan sampai berat, di samping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari). (2) Golongan agonis β-2 Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat digunakan sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tetapi tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip digunakan untuk mengatasi eksaserbasi berat. (3) Kombinasi antikolinergik dan agonis β-2 Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Di samping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita. (4) Golongan xantin Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak

24 digilib.uns.ac.id 28 (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. b) Anti inflamasi Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena, yang berfungsi untuk menekan inflamasi yang terjadi. Anti infamasi yang digunakan berupa golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif, yaitu terdapat perbaikan VEP 1 pasca bronkodilator meningkat >20% dan minimal 250 mg. c) Antibiotik Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan : (1) Lini I : amoksisilin makrolid (2) Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat sefalosporin kuinolon makrolid baru d) Mukolitik Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada

25 digilib.uns.ac.id 29 PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin. e) Antioksidan Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup, digunakan N-asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang berulang dan tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin (PDPI, 2004). f) Non Farmakologi (1) Terapi Oksigen Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya. Manfaat oksigen: (a) Mengurangi sesak (b) Memperbaiki aktivitas (c) Mengurangi hipertensi pulmonal (d) Mengurangi vasokonstriksi (e) Mengurangi hematokrit (f) Memperbaiki fungsi neuropsikiatri (g) Meningkatkan kualitas hidup

26 digilib.uns.ac.id 30 Indikasi: (a) PaO 2 < 60 mmhg atau Saturasi O 2 < 90% (b) PaO 2 di antara mmhg atau Saturasi O 2 > 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan P pulmonal, Hematokrit >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain. (2) Ventilasi Mekanik Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada penderita PPOK derajat berat dengan napas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah. Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara : (a) Ventilasi mekanik dengan intubasi, digunakan pada pasien PPOK yang mengalami gagal napas pertama kali, perburukan yang belum lama terjadi dengan penyebab jelas dan dapat diperbaiki serta pada pasien yang aktivitas ebelumnya tidak terbatas. (b) Ventilasi mekanik tanpa intubasi, digunakan pada pasien PPOK dengan gagal napas kronik dan dapat digunakan selama di rumah.

27 digilib.uns.ac.id 31 (3) Nutrisi Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapnea menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortalitas PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah. Malnutrisi dapat dievaluasi dengan : (a) Penurunan berat badan (b) Kadar albumin darah (c) Antropometri (d) Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi) (e) Hasil metabolisme (hiperkapnea dan hipoksia) Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresif tidak akan mengatasi masalah, karena akibat dari gangguan ventilasi pada PPOK, CO 2 hasil dari metabolisme karbohidrat tidak dapat dikeluarkan. Diperlukan keseimbangan antara kalori yang masuk dengan kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan secara terusmenerus (nocturnal feedings) dengan pipa nasogaster. Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak

28 digilib.uns.ac.id 32 rendah karbohidrat. Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan ventilasi semenit oxigen comsumption dan respons ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapnea. Tetapi pada PPOK dengan gagal napas, kelebihan pasokan protein dapat menyebabkan timbulnya kelelahan. (4) Rehabilitasi PPOK Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki kualitas hidup penderita PPOK Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah penderita yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai: (a) Simptom pernapasan berat (b) Beberapa kali masuk ruang gawat darurat (c) Kualitas hidup yang menurun Program dilaksanakan di dalam maupun di luar rumah sakit oleh suatu tim multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog. Program rehabilitasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisik, psikososial dan latihan pernapasan (PDPI,2014).

29 digilib.uns.ac.id 33 h. Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah : 1) Gagal napas kronik Hasil analisis gas darah PO 2 < 60 mmhg dan PCO 2 > 60 mmhg, dan ph normal, penatalaksanaan : a) Jaga keseimbangan PO 2 dan PCO 2 b) Bronkodilator adekuat c) Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur d) Antioksidan e) Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing 2) Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh : a) Sesak napas dengan atau tanpa sianosis b) Sputum bertambah dan purulen c) Demam d) Kesadaran menurun 3) Infeksi berulang Pada penderita PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbetuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imunitas menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah. 4) Kor pulmonal Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematrokrit > 50%, dapat disertai gagal jantung kanan (PDPI, 2004).

30 digilib.uns.ac.id Kualitas Hidup a. Definisi Ditinjau dari berbagai disiplin ilmu, kualitas hidup mempunyai pengertian dan tujuan yang berbeda. Dari segi filsafat, penilaian kualitas hidup dilakukan melalui kesadaran manusia terhadap makna dan tujuan hidupnya. Dari segi psikologi, kualitas hidup tercermin dari tingkat kepuasan hidupnya (Pradono, 2009). Definisi kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan dapat diartikan sebagai respon emosi dari penderita terhadap aktivitas sosial, emosional, pekerjaan dan hubungan antarkeluarga, rasa senang atau bahagia, adanya kesesuaian antara harapan dan kenyataan yang ada, adanya kepuasan dalam melakukan fungsi fisik, sosial dan emosional serta kemampuan mengadakan sosialisasi dengan orang lain (Silitonga, 2007). Menurut Donald dalam Silitonga (2007), kualitas hidup berbeda dengan status fungsional, kualitas hidup mencakup evaluasi subyektif tentang dampak dari penyakit dan pengobatannya dalam hubungannya dengan tujuan, nilai dan pengharapan seseorang, sedangkan status fungsional memberikan suatu penilaian obyektif dari kemampuan fisik dan emosional penderita. Dalam definisi WHO, sehat bukan hanya terbebas dari penyakit, akan tetapi juga berarti sehat secara fisik, mental, maupun sosial. Seseorang yang sehat akan mempunyai kualitas hidup yang baik, begitu pula kualitas hidup yang baik tentu saja akan menunjang kesehatan (Harmaini, 2006).

31 digilib.uns.ac.id 35 Menurut de Haan et al. dalam Yani (2010), kualitas hidup terkait kesehatan harus mencakup beberapa dimensi sebagai berikut: 1) Dimensi fisik Dimensi merujuk pada gejala-gejala yang terkait penyakit dan pengobatan yang dijalani. 2) Dimensi fungsional Dimensi ini terdiri dari perawatan diri, mobilitas, serta level aktivitas fisik seperti kapasitas untuk dapat berperan dalam kehidupan keluarga maupun pekerjaan. 3) Dimensi psikologis Meliputi fungsi kognitif, status emosi, serta persepsi terhadap kesehatan, kepuasan hidup, serta kebahagiaan. 4) Dimensi sosial Meliputi penilaian aspek kontak dan interaksi sosial secara kualitatif maupun kuantitatif. b. Ruang Lingkup Kualitas Hidup Secara umum terdapat 5 bidang (domain) yang dipakai untuk mengukur kualitas hidup berdasarkan kuesioner yang dikembangkan oleh World Health Organization (WHO), bidang tersebut adalah kesehatan fisik, kesehatan psikologik, keleluasaan aktivitas, hubungan sosial dan lingkungan.

32 digilib.uns.ac.id 36 Secara rinci bidang-bidang yang termasuk kualitas hidup adalah sebagai berikut: 1) Kesehatan fisik (physical health): kesehatan umum, nyeri, energi dan vitalitas, aktivitas seksual, tidur dan istirahat. 2) Kesehatan psikologis (psychological health): cara berpikir, belajar, memori dan konsentrasi. 3) Tingkat aktivitas (level of independence): mobilitas, aktivitas seharihari, komunikasi, kemampuan kerja. 4) Hubungan sosial (social relationship): hubungan sosial, dukungan sosial. 5) Lingkungan (environment), keamanan, lingkungan rumah, kepuasan kerja (Silitonga, 2007). c. Kualitas Hidup Penderita PPOK Kualitas hidup adalah keadaan individu dalam lingkup kemampuan, keterbatasan, gejala dan sifat psikososial untuk berfungsi dalam berbagai peran yang diinginkan dalam masyarakat dan merasa puas akan peran tersebut (Khotimah, 2013). Menurut sistem International Classification of Impairment Disability and Handicap (ICIDH)-WHO, penyakit paru diklasifikasikan menjadi tiga tingkat yaitu impairment, disability dan handicap. Impairment merupakan keadaan patologis dan dapat ditentukan dengan pengukuran laboratorium. Pada penyakit saluran napas impairment menunjukkan penurunan Volume Ekspirasi Paksa detik pertama (VEP1) dan udara yang terperangkap pada

33 digilib.uns.ac.id 37 uji faal paru atau penurunan kekuatan otot quadriceps pada uji fungsi otot. Disability terjadi disaat penderita mengalami sesak napas, kapasitas fisik menurun sehingga terjadi penurunan kemampuan berjalan, naik tangga dan melakukan aktivitas harian. Handicap, penderita mengalami gangguan tidur, berkurang rasa percaya diri dan terjadi gangguan aktivitas sosial. Handicap adalah suatu keadaan akibat impairment dan disability sehingga penderita tidak mampu berperan dalam masyarakat seperti yang diharapkan. Penderita akan jatuh ke dalam keadaan yang kurang menguntungkan karena berkurangnya aktivitas yang dapat memengaruhi sistem muskuloskeletal, respirasi, kardiovaskuler dan lainnya (Ikalius, 2007). Kualitas hidup penderita PPOK amat penting dinilai karena berhubungan langsung dengan gejala yang dialami. Pada penderita PPOK terjadi peningkatan beban kerja pernapasan yang menimbulkan sesak napas sehingga penderita mengalami penurunan kapasitas fungsional dan aktivitas kehidupan sehari-hari dan selanjutnya terjadi penurunan kualitas hidup (Khotimah, 2013). Kemampuan fisik yang terbatas pada penderita PPOK lebih dipengaruhi oleh fungsi otot skeletal atau perifer. Pada penderita PPOK ditemukan kelemahan otot perifer disebabkan oleh hipoksia, hiperkapnea, inflamasi dan malnutrisi kronik. Hal inilah yang membuat kondisi penderita PPOK semakin memburuk dan membuat penderita mengalami

34 digilib.uns.ac.id 38 gangguan dalam beraktivitas sehari-hari dan aktivitas sosial (Ikalius, 2007). Penderita PPOK karena penyakitnya progresif sering mengalami gangguan psikis dan sosial. Gangguan tersebut berupa depresi, cemas, gelisah, marah, terancam kematian, kelelahan dan lain-lain. Prevalensi depresi penderita PPOK diperkirakan 42%. Gejala lain depresi seperti rasa sedih, tidak ada motivasi, perasaan lelah atau tidak bertenaga, keinginan bunuh diri dan kemunduran psikomotor sering terjadi pada penderita PPOK. Dalam hal ini tekanan psikologis pada penderita PPOK memberikan kontribusi yang besar pada kualitas hidup penderita PPOK (Ikalius, 2007). d. Faktor yang Memengaruhi Kualitas Hidup Penderita PPOK 1) Usia Insidensi PPOK terus meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pasien PPOK dengan usia yang semakin bertambah menunjukkan kualitas hidup yang semakin buruk, hal ini disebabkan penurunan fungsi paru secara fisiologis yang berkaitan dengan proses penuaan (Smeltzer & Bare, 2008). 2) Jenis Kelamin Kualitas Hidup penderita PPOK laki-laki cenderung lebih buruk daripada perempuan dalam hal mengelola dampak dari PPOK. Selain itu terdapat perbedaan fenotipe dalam merespon asap rokok pada laki-

35 digilib.uns.ac.id 39 laki dan perempuan, di mana laki-laki lebih rentan terhadap fenotipe empisemateus dan perempuan terhadap fenotipe airway (Rini, 2011). 3) Status merokok Merokok merupakan salah satu faktor risiko dari PPOK. Dengan mengonsumsi rokok atau terpapar asap rokok dapat memperberat gejala yang dialami. Dengan berhenti merokok dapat memperbaiki ventilasi pernapasan, mengurangi gejala dan meningkatkan status kesehatan (Price & Wilson, 2005). 4) Pekerjaan Orang yang sudah pensiun atau tidak bekerja cenderung memiliki kualitas hidup yang lebih rendah, karena pensiunan mempunyai hari yang secara fisik tidak sehat lebih banyak daripada yang bekerja. Akan tetapi terdapat beberapa jenis pekerjaan yang justru menurunkan kualitas hidup penderita karena pekerjaan tersebut memperberat kondisi penderita (Rini, 2011). 5) Lama menderita PPOK Menurut Tanaflos dalam Rini (2011) durasi lama menderita PPOK dan berat kondisi penyakit akan berpengaruh pada buruknya kualitas hidup penderita. 6) Derajat sesak napas Sesak napas merupakan masalah utama pada PPOK dan sebagai alasan penderita mencari pengobatan. Sesak napas bersifat persisten serta progresif dan juga commit sebagai to penyebab user ketidakmampuan penderita

36 digilib.uns.ac.id 40 untuk melakukan aktivitas. Gejala sesak napas harus dievaluasi secara rutin pada setiap penderita PPOK. Gangguan ini secara progresif memperburuk fungsi paru dan keterbatasan aliran udara khususnya saat ekspirasi. Perburukan penyakit menyebabkan menurunnya kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, bahkan sampai penurunan kualitas hidup (Anwar, 2012). e. Hubungan Efikasi Diri dengan Kualitas Hidup Penderita PPOK Seiring dengan peningkatan komplikasi pada penderita PPOK, penderita memerlukan upaya khusus untuk memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru dengan melakukan pengobatan dan perawatan penyakit. Bahkan penderita PPOK seharusnya didorong untuk mampu melakukan manajemen diri yang efektif (Rini, 2011). Karena walaupun telah diberikan pengobatan medis yang optimal, pada penderita PPOK tetap dapat terjadi penurunan kualitas hidup (Bentsen et al., 2010). Terdapat berbagai faktor yang berhubungan terhadap kualitas hidup penderita PPOK yakni status merokok, usia, jenis kelamin, lama menderita PPOK, pekerjaan, dan derajat sesak napas (Rini, 2011; Okutan et al., 2012). Akan tetapi persepsi penderita dan keyakinan terhadap kemampuan berperilaku kesehatan juga menentukan sebagian besar kualitas hidup secara keseluruhan (Gupta & Kant, 2008). Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Bentsen (2010), penderita PPOK dengan efikasi diri yang baik lebih percaya diri untuk melakukan

37 digilib.uns.ac.id 41 aktivitas fisik dan psikososialnya daripada pada penderita dengan efikasi diri yang rendah. Perkembangan efikasi diri pada penderita PPOK berlangsung melalui dua fase yaitu fase motivasi dan fase volitional. Fase motivasi mengarahkan perilaku intensional dari pasien PPOK, sedangkan fase volitional mengarahkan perilaku aktual. Di mana pada kedua fase ini penderita memiliki pandangan terhadap segala risiko dari penyakit, harapan mengenai hasil dari terapi dan keyakinan terhadap kemampuan diri-sendiri untuk melakukan manajemen perawatan diri serta usaha untuk bertahan (Bandura, 1997). Berdasarkan hal tersebut, Bentsen (2010) memperkirakan jika efikasi diri merupakan faktor penentu yang secara konsisten memengaruhi kualitas hidup.

38 digilib.uns.ac.id 42 B. Kerangka Pemikiran Faktor risiko PPOK: 1. Faktor pejamu 2. Faktor paparan a. Keterbatasan aliran udara progresif b. Hipertrofi otot polos c. Hipersekresi mukus Gejala dan tanda: a) Dispnea b) Batuk kronik c) Pursed lips breathing d) Barrel chest e) Sputum berlebihan f) Wheezing PPOK Komplikasi 1) Gagal napas kronik 2) Gagal napas akut 3) Infeksi berulang 4) Kor pulmonal Kualitas Hidup Faktor Perancu: (1) Usia (2) Jenis Kelamin (3) Status Merokok (4) Pekerjaan (5) Lama Menderita PPOK (6) Derajat sesak napas Penatalaksanaan (a) Edukasi (b) Obat-obatan (c) Non Farmakologi Fase Motivasi i. persepsi terhadap risiko ii. persepsi pengharapan hasil iii. persepsi kemampuan diri-sendiri Fase Volitional i. merencanakan dan mencoba bertindak ii. bertahan dan siap hadapi berbagai kemungkinan Keterangan: : menyebabkan : memengaruhi Efikasi Diri Sumber efikasi diri 1. Pengalaman akan kesuksesan 2. Pengalaman orang lain 3. Persuasi verbal 4. Keadaan fisiologis Proses pembentukan efikasi diri 1. Proses kognitif 2. Proses motivasi 3. Proses afektif 4. Proses seleksi Dimensi efikasi diri 1. Magnitude 2. Generality 3. Strength

39 digilib.uns.ac.id 43 C. Hipotesis Ada hubungan antara efikasi diri dengan kualitas hidup penderita PPOK.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel

Lebih terperinci

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK DEFINISI PPOK Penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif dan berhubungan dengan

Lebih terperinci

Suradi, Dian Utami W, Jatu Aviani

Suradi, Dian Utami W, Jatu Aviani KEDARURATAN ASMA DAN PPOK Suradi, Dian Utami W, Jatu Aviani Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr. Moewardi Surakarta WORKSHOP PIR 2017 PENDAHULUAN PPOK --> penyebab utama mortalitas

Lebih terperinci

PENATALAKSANAAN ASMA EKSASERBASI AKUT

PENATALAKSANAAN ASMA EKSASERBASI AKUT PENATALAKSANAAN ASMA EKSASERBASI AKUT Faisal Yunus Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI - RS Persahabatan Jakarta PENDAHULUAN Asma penyakit kronik saluran napas Penyempitan saluran napas

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya

Bab I. Pendahuluan. yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya Bab I Pendahuluan Latar Belakang Penelitian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinisikan sebagai penyakit yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya reversibel,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bronkitis Kronik 2.1.1. Definisi bronkitis kronik Terma bronkitis kronik diperkenalkan di negara Inggris pada awal abad ke-19 untuk mendiskripsi inflamasi mukosal bronkial yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) akan mengalami peningkatan beban kerja pernafasan, yang menimbulkan sesak nafas, sehingga pasien mengalami penurunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Paru-paru merupakan organ utama yang sangat penting bagi kelangsungan

BAB I PENDAHULUAN. Paru-paru merupakan organ utama yang sangat penting bagi kelangsungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Paru-paru merupakan organ utama yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Fungsi utama dari paru-paru adalah untuk proses respirasi. Respirasi merupakan proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut data World Health Organization (WHO) 2012, bahwa Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit yang mengancam jiwa. Lebih dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) merupakan penyakit yang perlu diwaspadai karena penyakit ini merupakan penyebab kematian dengan nomor urut lima di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada era modern saat ini, gaya hidup manusia masa kini tentu sudah

BAB I PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada era modern saat ini, gaya hidup manusia masa kini tentu sudah BAB I PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada era modern saat ini, gaya hidup manusia masa kini tentu sudah mengalami perubahan yang sangat besar. Saat ini orang cenderung memiliki gaya hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyebab mortalitas terbesar kelima di dunia dan menunjukkan peningkatan jumlah kasus di negara maju dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menyerang lebih dari 25% populasi dewasa. (Smeltzer & Bare, 2001)

BAB 1 PENDAHULUAN. menyerang lebih dari 25% populasi dewasa. (Smeltzer & Bare, 2001) BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah klasifikasi luas dari gangguan, yang mencakup bronkitis kronis, bronkiektasis, emfisema, dan asma. Penyakit Paru Obstruksi

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma merupakan penyakit heterogen dengan karakteristik adanya inflamasi saluran napas kronis. Penyakit ini ditandai dengan riwayat gejala saluran napas berupa wheezing,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif.

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah suatu keadaan terdapatnya keterbatasan aliran udara yang menetap pada saluran napas dan bersifat progresif. Penyakit ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Asma Dari waktu ke waktu, definisi asma mengalami perubahan beberapa kali karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai patologi, patofisiologi,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. napas, batuk kronik, dahak, wheezing, atau kombinasi dari tanda tersebut.

BAB 1 PENDAHULUAN. napas, batuk kronik, dahak, wheezing, atau kombinasi dari tanda tersebut. 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah inflamasi saluran napas kecil. Pada bronkitis kronik terdapat infiltrat dan sekresi mukus di saluran pernapasan. Sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli

BAB I PENDAHULUAN. reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan penyakit jalan napas obstruktif intermiten yang bersifat reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) merupakan suatu istilah yang digunakan untuk sekelompok penyakit paru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia, diantaranya adalah COPD (Chonic Obstructive Pulmonary Disease)

BAB I PENDAHULUAN. dunia, diantaranya adalah COPD (Chonic Obstructive Pulmonary Disease) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit sistem pernapasan merupakan penyebab 17,2% kematian di dunia, diantaranya adalah COPD (Chonic Obstructive Pulmonary Disease) 5,1%, infeksi pernapasan bawah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. SK/XI/2008 tentang pedoman pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik,

BAB I PENDAHULUAN. SK/XI/2008 tentang pedoman pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan penyakit paru obstruktif kronik telah di bahas dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1022/MENKES/ SK/XI/2008 tentang pedoman

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan. aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan. aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba memerlukan tatalaksana segera dan kemungkinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang mempunyai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang mempunyai karakteristik keterbatasan aliran nafas yang persisten, bersifat progresif dan berkaitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bronkitis menurut American Academic of Pediatric (2005) merupakan penyakit umum pada masyarakat yang di tandai dengan adanya peradangan pada saluran bronchial.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional secara keseluruhan, sehingga diperlukan suatu kajian yang lebih menyeluruh mengenai determinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. American Thoracic Society (ATS) dan European Respiratory Society (ERS)

BAB I PENDAHULUAN. American Thoracic Society (ATS) dan European Respiratory Society (ERS) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang American Thoracic Society (ATS) dan European Respiratory Society (ERS) mengartikan Penyakit Paru Obstruktif Kronik disingkat PPOK sebagai penyakit yang ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Amerika dan mengakibatkan kematian jiwa pertahun, peringkat ke-empat

BAB I PENDAHULUAN. Amerika dan mengakibatkan kematian jiwa pertahun, peringkat ke-empat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) mempengaruhi 15 juta orang Amerika dan mengakibatkan kematian 160.000 jiwa pertahun, peringkat ke-empat sebagai penyebab kematian

Lebih terperinci

2006 Global Initiative for Asthma (GINA) tuntunan baru dalam penatalaksanaan asma yaitu kontrol asma

2006 Global Initiative for Asthma (GINA) tuntunan baru dalam penatalaksanaan asma yaitu kontrol asma 2006 Global Initiative for Asthma (GINA) tuntunan baru dalam penatalaksanaan asma yaitu kontrol asma penatalaksanaan asma terbaru menilai secara cepat apakah asma tersebut terkontrol, terkontrol sebagian

Lebih terperinci

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Karakteristik Pasien PPOK Eksaserbasi Akut

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Karakteristik Pasien PPOK Eksaserbasi Akut BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep Pada penelitian ini kerangka konsep mengenai karakteristik pasien PPOK eksaserbasi akut akan diuraikan berdasarkan variabel katagorik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. PPOK atau Penyakit Paru Obstruksi Kronis merupakan penyakit yang

BAB I PENDAHULUAN. PPOK atau Penyakit Paru Obstruksi Kronis merupakan penyakit yang BAB I PENDAHULUAN PPOK atau Penyakit Paru Obstruksi Kronis merupakan penyakit yang dapat dicegah dan dirawat dengan beberapa gejala ekstrapulmonari yang signifikan, yang dapat mengakibatkan tingkat keparahan

Lebih terperinci

CURRICULUM VITAE. Nama : DR. Dr. Nur Ahmad Tabri, SpPD, K-P, SpP(K) Tempat, tanggal lahir : Ujung Pandang, 12 April 1959 Agama: Islam

CURRICULUM VITAE. Nama : DR. Dr. Nur Ahmad Tabri, SpPD, K-P, SpP(K) Tempat, tanggal lahir : Ujung Pandang, 12 April 1959 Agama: Islam CURRICULUM VITAE Nama : DR. Dr. Nur Ahmad Tabri, SpPD, K-P, SpP(K) Tempat, tanggal lahir : Ujung Pandang, 12 April 1959 Agama: Islam Email: nurahmad_59@yahoo.co.id Jabatan: Ketua Divisi Pulmonologi Dept.

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia sekarang sedang menanggung beban ganda dalam kesehatan yang

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia sekarang sedang menanggung beban ganda dalam kesehatan yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia sekarang sedang menanggung beban ganda dalam kesehatan yang dikarenakan bukan hanya penyakit menular yang menjadi tanggungan negara tetapi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan. penelitian, manfaat penelitian sebagai berikut.

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan. penelitian, manfaat penelitian sebagai berikut. 1 BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian sebagai berikut. A. Latar Belakang Aktivitas kehidupan manusia sangat dipengaruhi

Lebih terperinci

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5. L/O/G/O Buku pedoman ASMA DEFINISI : Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.Boalemo 11,0% Riskesdas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup dan semakin tingginya penjanan faktor resiko, seperti faktor pejamu

BAB I PENDAHULUAN. hidup dan semakin tingginya penjanan faktor resiko, seperti faktor pejamu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronis ditandai dengan hambatan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronis ditandai dengan hambatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronis ditandai dengan hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini

Lebih terperinci

ABSTRAK FAAL PARU PADA PEROKOK DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DAN PEROKOK PASIF PASANGANNYA

ABSTRAK FAAL PARU PADA PEROKOK DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DAN PEROKOK PASIF PASANGANNYA ABSTRAK FAAL PARU PADA PEROKOK DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DAN PEROKOK PASIF PASANGANNYA Siti A. Sarah M, 2011. Pembimbing I : dr.jahja Teguh Widjaja,Sp.P.,FCCP Pembimbing II: dr.sijani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berfokus dalam menangani masalah penyakit menular. Hal ini, berkembangnya kehidupan, terjadi perubahan pola struktur

BAB I PENDAHULUAN. berfokus dalam menangani masalah penyakit menular. Hal ini, berkembangnya kehidupan, terjadi perubahan pola struktur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan epidemiologi kesehatan pada umumnya berfokus dalam menangani masalah penyakit menular. Hal ini, dapat dilihat dari sejarah ilmu epidemiologi itu sendiri,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). Asma merupakan penyakit inflamasi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. PPOK adalah penyakit paru obstruksi kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. PPOK adalah penyakit paru obstruksi kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik 2.1.1 Definisi PPOK adalah penyakit paru obstruksi kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Merokok menimbulkan berbagai masalah, baik di bidang kesehatan maupun sosio-ekonomi. Rokok menimbulkan berbagai masalah kesehatan seperti gangguan respirasi, gangguan

Lebih terperinci

DEFINISI BRONKITIS. suatu proses inflamasi pada pipa. bronkus

DEFINISI BRONKITIS. suatu proses inflamasi pada pipa. bronkus PENDAHULUAN Survei Kesehatan Rumah Tangga Dep.Kes RI (SKRT 1986,1992 dan 1995) secara konsisten memperlihatkan kelompok penyakit pernapasan yaitu pneumonia, tuberkulosis dan bronkitis, asma dan emfisema

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) 2.1.1 Definisi Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) atau juga dikenali sebagai Chronic Obstructive

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dibutuhkan manusia dan tempat pengeluaran karbon dioksida sebagai hasil sekresi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dibutuhkan manusia dan tempat pengeluaran karbon dioksida sebagai hasil sekresi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Paru-paru merupakan salah satu organ vital pada manusia yang berfungsi pada sistem pernapasan manusia. Bertugas sebagai tempat pertukaran oksigen yang dibutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan kisaran usia 5-14 tahun (Gerald dkk, 2004). Prevalens asma di Indonesia belum

BAB I PENDAHULUAN. dengan kisaran usia 5-14 tahun (Gerald dkk, 2004). Prevalens asma di Indonesia belum 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, terdapat sekitar 300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi pada anak-anak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Data prevalensi, morbiditas, dan mortalitas berbeda tiap negara namun secara umum terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Data prevalensi, morbiditas, dan mortalitas berbeda tiap negara namun secara umum terkait BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. EPIDEMIOLOGI Saat ini penyakit paru obstruksi kronik (PPOK ) merupakan masalah kesehatan global. Data prevalensi, morbiditas, dan mortalitas berbeda tiap negara namun secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gerak adalah aktivitas fisik dan merupakan ciri kehidupan. Sesuai dengan pepatah yang mengatakan Dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat, maka aktivitas fisik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah penyakit paru kronik

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah penyakit paru kronik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara saluran nafas, dimana hambatan aliran udara saluran nafas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bronchitis adalah suatu peradangan yang terjadi pada bronkus. Bronchitis

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bronchitis adalah suatu peradangan yang terjadi pada bronkus. Bronchitis 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bronchitis adalah suatu peradangan yang terjadi pada bronkus. Bronchitis dapat bersifat acute maupun chronic ( Manurung, 2008). Bronchitis adalah suatu peradangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Merokok merupakan sebuah kebiasaan yang telah membudaya bagi masyarakat di sekitar kita. Di berbagai wilayah perkotaan sampai pedesaan, dari anak anak sampai orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk-batuk terutama pada malam

BAB I PENDAHULUAN. berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk-batuk terutama pada malam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Proses inflamasi kronik ini menyebabkan saluran pernapasan menjadi hiperesponsif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peringkat kelima di seluruh dunia dalam beban penyakit dan peringkat

BAB I PENDAHULUAN. peringkat kelima di seluruh dunia dalam beban penyakit dan peringkat BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah masalah kesehatan secara global yang sejak tahun 2001 merupakan masalah utama dalam kesehatan masyarakat. PPOK diperkirakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Latihan fisik merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran. Seseorang dengan aktivitas fisik rendah memiliki 20% sampai 30% lebih tinggi risiko

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dengan terjadinya inflamasi disebabkan respon paru- paru terhadap partikel atau

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. dengan terjadinya inflamasi disebabkan respon paru- paru terhadap partikel atau BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian PPOK Menurut Europan Respiratory Society (1995), PPOK adalah kondisi keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Kondisi ini berkaitan dengan terjadinya

Lebih terperinci

BAB I A. LATAR BELAKANG. morbiditas kronik dan mortalitas di seluruh dunia, sehingga banyak orang yang

BAB I A. LATAR BELAKANG. morbiditas kronik dan mortalitas di seluruh dunia, sehingga banyak orang yang BAB I A. LATAR BELAKANG Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) merupakan penyebab utama dari morbiditas kronik dan mortalitas di seluruh dunia, sehingga banyak orang yang menderita akibat PPOK. PPOK merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit menular bergeser ke penyakit tidak menular (noncommunicable

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit menular bergeser ke penyakit tidak menular (noncommunicable BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dengan berubahnya tingkat kesejahteraan, pola penyakit saat ini telah mengalami transisi epidemiologi yang ditandai dengan beralihnya penyebab kematian yang semula

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian PPOK Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. diatasi, dikarakterisir dengan keterbatasan aliran udara yang menetap, yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. diatasi, dikarakterisir dengan keterbatasan aliran udara yang menetap, yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD), Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang dapat dicegah dan diatasi, dikarakterisir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang dapat dicegah dan diobati berupa hambatan aliran udara yang progresif, ditandai dengan inflamasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering timbul dikalangan masyarakat. Data Report Word Healt Organitation

BAB I PENDAHULUAN. sering timbul dikalangan masyarakat. Data Report Word Healt Organitation 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit paru-paru merupakan suatu masalah kesehatan di Indonesia, salah satunya adalah asma. Serangan asma masih merupakan penyebab utama yang sering timbul dikalangan

Lebih terperinci

PENGARUH PURSED LIPS BREATHING

PENGARUH PURSED LIPS BREATHING PENGARUH PURSED LIPS BREATHING (PLB) TERHADAP NILAI FORCED EXPIRATORY VOLUME IN ONE SECOND (FEV1) PADA PENDERITA PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS DI RS PARU DR ARIO WIRAWAN SALATIGA NASKAH PUBLIKASI Diajukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Spirometri adalah salah satu uji fungsi paru yang dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) (Health Partners, 2011). Uji fungsi paru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang besar di dunia luas dengan prevalensi, dan biaya yang tinggi. Penyakit ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang besar di dunia luas dengan prevalensi, dan biaya yang tinggi. Penyakit ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan masalah kesehatan yang besar di dunia luas dengan prevalensi, dan biaya yang tinggi. Penyakit ini telah menjadi enam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan keadaan sakit sesak nafas karena terjadinya aktivitas berlebih terhadap rangsangan tertentu sehingga menyebabkan peradangan dan penyempitan pada saluran

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN DAN SIMPULAN. nafas dan nutrisi dengan kesenjangan antara teori dan intervensi sesuai evidance base dan

BAB IV PEMBAHASAN DAN SIMPULAN. nafas dan nutrisi dengan kesenjangan antara teori dan intervensi sesuai evidance base dan BAB IV PEMBAHASAN DAN SIMPULAN A. Pembahasan Bab ini membahas tentang gambaran pengelolaan terapi batuk efektif bersihan jalan nafas dan nutrisi dengan kesenjangan antara teori dan intervensi sesuai evidance

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten yang ditandai dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten yang ditandai dengan adanya trakea dan bronki berespon dalam secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. Asma

Lebih terperinci

Bab 2 TINJAUAN PUSTAKA. a. Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronis. yang ditandai dengan pembatasan aliran udara yang irreversibel (Celli & Macnee,

Bab 2 TINJAUAN PUSTAKA. a. Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronis. yang ditandai dengan pembatasan aliran udara yang irreversibel (Celli & Macnee, Bab 2 TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) a. Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronis Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah keadaan progresif lambat yang

Lebih terperinci

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS/ RS Dr M DJAMIL PADANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS/ RS Dr M DJAMIL PADANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS/ RS Dr M DJAMIL PADANG Pendahuluan asma merupakan proses inflamasi kronik dimana yang berperan adalah sel-sel inflamasi maupun struktural dari bronkus GINA 2010

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan 63% penyebab kematian di seluruh dunia dengan membunuh 36 juta jiwa

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan 63% penyebab kematian di seluruh dunia dengan membunuh 36 juta jiwa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan epidemiologi kesehatan pada umumnya berfokus dalam menangani masalah penyakit menular. Hal ini dapat dilihat dari sejarah ilmu epidemiologi itu sendiri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara maju tetapi juga di negara berkembang. Menurut data laporan dari Global

BAB I PENDAHULUAN. negara maju tetapi juga di negara berkembang. Menurut data laporan dari Global BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asma merupakan masalah kesehatan dunia yang tidak hanya terjangkit di negara maju tetapi juga di negara berkembang. Menurut data laporan dari Global Initiatif for Asthma

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 5 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Asma a. Definisi Definisi Asma menurut Global Initiative for Asthma adalah gangguan inflamasi kronik pada saluran pernapasan yang melibatkan banyak sel dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satunya sehat secara fisik. Tujuan tersebut memicu seseorang untuk menjaga

BAB I PENDAHULUAN. satunya sehat secara fisik. Tujuan tersebut memicu seseorang untuk menjaga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Seluruh individu di dunia tentunya ingin memiliki kesehatan salah satunya sehat secara fisik. Tujuan tersebut memicu seseorang untuk menjaga kesehatannya.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) 2.1.1. Defenisi Penyakit Paru Obstruktif Kronif (PPOK) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang

Lebih terperinci

Pemakaian obat bronkodilator sehari- hari : -Antikolinergik,Beta2 Agonis, Xantin,Kombinasi SABA+Antikolinergik,Kombinasi LABA +Kortikosteroid,,dll

Pemakaian obat bronkodilator sehari- hari : -Antikolinergik,Beta2 Agonis, Xantin,Kombinasi SABA+Antikolinergik,Kombinasi LABA +Kortikosteroid,,dll LAMPIRAN 1 Lembaran Pemeriksaan Penelitian Nama : Umur :...tahun Tempat / Tanggal Lahir : Alamat : Pekerjaan : No telf : No RM : Jenis kelamin : 1. Laki laki 2. Perempuan Tinggi badan :...cm Berat badan

Lebih terperinci

menunjukkan 19,7% diderita oleh perempuan dewasa perkotaan, 13,1% lakilaki dewasa, dan 9,8% anak-anak. Anemia pada perempuan masih banyak ditemukan

menunjukkan 19,7% diderita oleh perempuan dewasa perkotaan, 13,1% lakilaki dewasa, dan 9,8% anak-anak. Anemia pada perempuan masih banyak ditemukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anemia merupakan salah satu penyakit dengan penyebab multifaktorial, dapat dikarenakan reaksi patologis dan fisiologis yang bisa muncul sebagai konsekuensi dari

Lebih terperinci

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK ( PPOK )

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK ( PPOK ) PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK ( PPOK ) 1973-2003 PEDOMAN DIAGNOSIS & PENATALAKSANAAN DI INDONESIA Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2003 DAFTAR ISI I Definisi 2 II Permasalahan di Indonesia 2 III Faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia (Kementerian Kesehatan, 2008).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gangguan pada sistem pernafasan merupakan penyebab utama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gangguan pada sistem pernafasan merupakan penyebab utama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan pada sistem pernafasan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Infeksi pada saluran pernafasan jauh lebih sering terjadi dibandingkan dengan infeksi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diobati, ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang terus-menerus yang

BAB 1 PENDAHULUAN. diobati, ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang terus-menerus yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang terus-menerus yang biasanya progresif

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. atau gangguan paru yang memberikan kelainan ventilasi berupa ostruksi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. atau gangguan paru yang memberikan kelainan ventilasi berupa ostruksi BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinsikan sebagai penyakit atau gangguan paru yang memberikan kelainan ventilasi berupa ostruksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) termasuk ke dalam penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) termasuk ke dalam penyakit BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) termasuk ke dalam penyakit pernapasan kronis yang merupakan bagian dari noncommunicable disease (NCD). Kematian akibat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. polusi udara baik dalam maupun luar ruangan, serta polusi di tempat kerja. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. polusi udara baik dalam maupun luar ruangan, serta polusi di tempat kerja. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) telah berkembang menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas di dunia yang makin penting. PPOK menjadi penyakit berbahaya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Global Initiative of

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Global Initiative of BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Global Initiative of Chronic Obstructive Lung Diseases (GOLD) merupakan penyakit yang dapat cegah dan diobati, ditandai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang dapat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati. Penyakit ini berhubungan dengan peningkatan respon inflamasi kronik pada jalan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KAPASITAS VITAL PAKSA DENGAN KUALITAS HIDUP PENDERITA PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS

HUBUNGAN ANTARA KAPASITAS VITAL PAKSA DENGAN KUALITAS HIDUP PENDERITA PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS HUBUNGAN ANTARA KAPASITAS VITAL PAKSA DENGAN KUALITAS HIDUP PENDERITA PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS NASKAH PUBLIKASI DISUSUN GUNA MEMENUHI PERSYARATAN DALAM MENDAPATKAN GELAR SARJANA FISIOTERAPI Disusun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan perhatian di Indonesia. World Health Organisation (2012)

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan perhatian di Indonesia. World Health Organisation (2012) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) telah menjadi suatu keadaan yang membutuhkan perhatian di Indonesia. World Health Organisation (2012) mengatakan bahwa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan salah satu jenis dari penyakit tidak menular yang paling banyak ditemukan di masyarakat dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memburuk menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang sering berubahubah. yang merugikan kesehatan, kususnya pada penderita asma.

BAB I PENDAHULUAN. memburuk menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang sering berubahubah. yang merugikan kesehatan, kususnya pada penderita asma. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini zaman semakin berkembang seiring waktu dan semakin memburuk menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang sering berubahubah. Saat ini tingkat ozon naik hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan paling banyak ditemui menyerang anak-anak maupun dewasa. Asma sendiri

BAB I PENDAHULUAN. dan paling banyak ditemui menyerang anak-anak maupun dewasa. Asma sendiri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Asma bronkial merupakan penyakit kronik tidak menular yang paling sering dan paling banyak ditemui menyerang anak-anak maupun dewasa. Asma sendiri berkorelasi

Lebih terperinci

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013 ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013 Data WHO 2013 dan Riskesdas 2007 menunjukkan jumlah penderita

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Prevalensipenyakit paru obstruktif kronikdisingkat dengan PPOKterus

BAB 1 PENDAHULUAN. Prevalensipenyakit paru obstruktif kronikdisingkat dengan PPOKterus BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Prevalensipenyakit paru obstruktif kronikdisingkat dengan PPOKterus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah perokok, polusi udara dari industri dan asap kendaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) atau COPD (Chronic

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) atau COPD (Chronic BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) atau COPD (Chronic obstructive pulmonary disease) merupakan penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatanaliran udara di saluran

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN PRAKTEK KOMPREHENSIF I DENGAN DIAGNOSA MEDIS PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

LAPORAN PENDAHULUAN PRAKTEK KOMPREHENSIF I DENGAN DIAGNOSA MEDIS PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) LAPORAN PENDAHULUAN PRAKTEK KOMPREHENSIF I DENGAN DIAGNOSA MEDIS PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) A. Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit paru kronik dengan karakteristik

Lebih terperinci

commit to user BAB V PEMBAHASAN

commit to user BAB V PEMBAHASAN 48 BAB V PEMBAHASAN Penelitian mengenai perbedaan kualitas tidur antara pasien asma dengan pasien PPOK dilakukan pada bulan April sampai Mei 2013 di Poliklinik Paru RSUD Dr. Moewardi, dengan subjek penelitian

Lebih terperinci

ANALISIS JURNAL PENGARUH LATIHAN NAFAS DIAFRAGMA TERHADAP FUNGSI PERNAFASAN PADA PASIEN

ANALISIS JURNAL PENGARUH LATIHAN NAFAS DIAFRAGMA TERHADAP FUNGSI PERNAFASAN PADA PASIEN ANALISIS JURNAL PENGARUH LATIHAN NAFAS DIAFRAGMA TERHADAP FUNGSI PERNAFASAN PADA PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK Juniartha Semara Putra ANALISIS JURNAL PENGARUH LATIHAN NAFAS DIAFRAGMA TERHADAP

Lebih terperinci

Saat. penyakit paling. atau. COPD/ Indonesia 1

Saat. penyakit paling. atau. COPD/ Indonesia 1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik Saat ini belum ada obat untuk mengobati Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK/COPD Chronic Obstructive Pulmonary Disease) dann penyakit ini akan memburuk secara berkalaa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. PPOK merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati dengan beberapa efek

BAB I PENDAHULUAN. PPOK merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati dengan beberapa efek BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PPOK merupakan penyakit yang dapat dicegah dan diobati dengan beberapa efek ekstraparu yang signifikan dan berpengaruh terhadap keparahan penderita. Menurut GOLD (Global

Lebih terperinci

populasi yang rentan atau vulnerable sebagai akibat terpajan risiko atau akibat buruk dari masalah kesehatan dari keseluruhan populasi (Stanhope dan

populasi yang rentan atau vulnerable sebagai akibat terpajan risiko atau akibat buruk dari masalah kesehatan dari keseluruhan populasi (Stanhope dan digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia menarik diamati. Dari tahun ke tahun jumlahnya cenderung meningkat. Berdasarkan data

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Hidup. individu mengenai posisi individu dalam hidup, konteks budaya dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Hidup. individu mengenai posisi individu dalam hidup, konteks budaya dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Hidup 1. Pengertian Menurut WHOQOL Group (1997) kualitas hidup adalah persepsi individu mengenai posisi individu dalam hidup, konteks budaya dan sistem nilai dimana

Lebih terperinci