BAB I PENDAHULUAN. Runtuhnya rezim Orde Baru membawa dampak yang sangat signifikan. Pendapat tersebut sejalan dengan pandangan Hadiz dan Robinson yang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Runtuhnya rezim Orde Baru membawa dampak yang sangat signifikan. Pendapat tersebut sejalan dengan pandangan Hadiz dan Robinson yang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH Runtuhnya rezim Orde Baru membawa dampak yang sangat signifikan terhadap perubahan sistem politik dan pemerintahan di Indonesia. Salah satunya ditandai dengan liberalisasi politik di tingkat nasional dan tingkat lokal. Artinya sistem politik Indonesia mengalami perubahan dari sistem politik nondemokratis menjadi sistem politik yang demokratis. Namun perubahan sistem politik ini tidak serta merta mengakhiri kekuatan politik lama yang lahir dan berkembang pada masa Orde Baru tersebut. Pendapat tersebut sejalan dengan pandangan Hadiz dan Robinson yang mengemukakan bahwa berbagai kepentingan predator (penulis : kekuatan politik lama) yang dibesarkan di bawah sistem patronase rezim Suharto yang begitu luas dan terpusat yang menjalar dari istana Kepresidenan di Jakarta hingga ke propinsi-propinsi, kota-kota dan desa-desa sebagian besar masih terus hidup dan berpengaruh (Hadiz, 2005 : 295). Memang menjadi sebuah anomali manakala sistem politik yang demokratis yang dihadirkan oleh rezim Reformasi, justru memberi ruang tumbuh dan berkembangnya berbagai dinasti politik di beberapa daerah pada berbagai level kekuasaan. Bahkan fenomena dinasti politik ini sudah menyentuh kekuasaan politik ditingkat desa dengan hadirnya dinasti kepala desa yang merupakan warisan kekuasaan rezim Orde Baru, seperti yang dijumpai di Desa Puput yang menjadi lokus penelitian dari studi ini. 1

2 Selanjutnya, fokus kajian dari studi ini adalah tentang dominasi kekuasaan di tingkat desa oleh sebuah kekuatan politik lama yang disebut dengan Dinasti Mustohfa atau dinasti kepala desa. Dinasti Mustohfa telah berkuasa di Desa Puput sejak tahun 1971 sampai saat ini secara terus menerus. Tiga generasi dari dinasti ini yang terdiri dari empat kepala desa, secara bergantian telah mewarnai sejarah kepemimpinan di Desa Puput dalam kurun waktu lebih dari 41 tahun. Fenomena dinasti kepala desa yang berdiri sejak masa Orde Baru dapat dibaca sebagai kemampuan kekuatan politik lama bertransformasi menyikapi perubahan-perubahan akibat peralihan rezim otoriter ke rezim demokratis. Artinya sustainabilitas dominasi kekuasaan mereka pada masa Orde Baru berhasil dipertahankan pada masa Reformasi. Bila disimak dengan seksama survivabilitas Dinasti Mustohfa pasca tumbangnya rezim Orde Baru, erat kaitannya dengan kegagalan rezim Reformasi dalam merestrukturisasi sistem politik, sosial dan ekonomi secara komprehensif. Perubahan struktur politik ditingkat nasional dan lokal tidak dibarengi dengan perubahan struktur sosial dan ekonomi secara komprehensif sehingga masih banyak mengalami ketimpangan. Setelah 14 tahun berdirinya rezim Reformasi, masih banyak dijumpai di beberapa wilayah, tingkat pendidikan formal maupun pendidikan nonformal masyarakat setempat yang masih rendah. Selain itu sumber-sumber ekonomi utama seperti perkebunan dan pertambangan di daerah itu masih terkonsentrasi ditangan sekelompok kecil korporasi maupun elit desa (salah satunya termasuk Dinasti Mustohfa), sehingga menyebabkan masyarakat dalam keadaaan terpaksa ataupun tidak harus tunduk patuh kepada keinginan-keinginan para elit tersebut, 2

3 termasuk ambisi politik. Tujuannya adalah untuk menjamin keberlangsungan distribusi jasa-jasa dan sumber-sumber penghidupan mereka (sustainabilitas subsistensi) yang dikuasai oleh dinasti politik. Kondisi tadi menyadarkan kita bahwa survivabilitas sebuah dinasti politik sangat bergantung kepada sustainabilitas hubungan timbal balik (reciprocal) yang terjalin dalam sebuah relasi patron-klien, yang menempatkan dinasti politik sebagai patron dan masyarakat sebagai klien. Terkait dengan pelaksanaan demokrasi di tingkat desa, rezim Orde Baru maupun rezim Reformasi masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda. Orde Baru hadir dengan karakter yang tertutup dalam rekrutmen politik di tingkat desa. Sedangkan Reformasi hadir dengan rekrutmen politik yang lebih terbuka. Akibat dari rekrutmen politik yang tertutup tersebut, jabatan-jabatan politis seperti kepala desa sering berotasi diantara elit desa dari kelompok yang sama, walaupun dalam setiap suksesinya sudah dilakukan melalui demokrasi elektoral. Studi Antlov di salah satu desa di Jawa Barat dengan judul Negara Dalam Desa ; Patronase Politik Lokal (Antlov, 2003) membuktikan fenomena tersebut. Namun dinasti kepala desa yang ditemukan Antlov tersebut hanya bertahan pada masa Orde Baru saja. Rezim Orde Baru memberlakukan berbagai persyaratan dan seleksi yang ketat terhadap elit desa yang akan mengikuti Pilkades. Studi yang dilakukan oleh Latief di Jawa Tengah (Latief, 2000 : 191) dan Suharni dkk di Jawa Tengah dan DIY (Suharni dkk, 1992 : 36) menemukan bahwa berbagai tahapan seleksi di tingkat kabupaten harus diikuti oleh bakal calon kepala desa. Jika dalam 3

4 serangkaian seleksi tersebut mereka dinyatakan lolos, maka mereka berhak untuk mengikuti Pilkades di desanya masing-masing. Bahkan Antlov dalam salah satu risetnya di Jawa Barat mengemukakan bahwa selain harus lolos berbagai tahapan seleksi yang dilakukan oleh panitia skrining (screening) di tingkat kabupaten, seorang bakal calon kepala desa harus terlebih dahulu menyatakan diri atau paling tidak, dianggap sebagai pendukung Golkar. Peran negara yang sangat dominan ini untuk memastikan bahwa siapa pun yang bertarung dalam Pilkades adalah elit desa yang hanya memiliki monoloyalitas kepada negara dan Golkar sebagai partai negara. Jika mereka dianggap bukan pendukung setia negara maupun Golkar, maka sudah dapat dipastikan bahwa mereka tidak akan lulus dalam serangkaian seleksi tersebut. Loyalitas kepada negara ditunjukkan dengan kesediaan melaksanakan dan menyukseskan berbagai program pemerintah. Seperti yang diutarakan Mas oed bahwa kebijakan publik dari pemerintah pusat yang melibatkan peran kepala desa itu terdapat dalam berbagai bidang, seperti bidang pembangunan perkebunan, kesehatan, penarikan pajak, dan lain-lain. Singkatnya hampir semua departemen di Jakarta punya proyek pembangunan yang pelaksanaannya memerlukan kepala desa sebagai pelaksana lapangan (Mas oed, 2003 : 128). Kondisi itu memaksa kepala desa menjalani dualisme fungsi ; sebagai klien dari negara sekaligus patron bagi masyarakatnya. Sedangkan loyalitas kepada Golkar diwujudkan dengan mendukung Golkar untuk memenangkan setiap pemilihan umum (Pemilu) di wilayahnya. 4

5 Bagi sebuah dinasti politik yang dibesarkan di masa Orde Baru, dukungan dari negara memberikan andil yang cukup besar untuk mempertahankan jabatan kepala desa. Sebagai klien negara, kepala desa menjadi pejabat lapangan untuk melaksanakan program-program pemerintah. Di dukung oleh kondisi itu, kepala desa dapat menggunakan berbagai program pemerintah, sebut saja program bantuan desa (BANDES), Inpres desa tertinggal (IDT), dan program-program lainnya untuk melanggengkan kekuasaannya. Bantuan-bantuan tersebut bisa saja dimanipulasi kepala desa sebagai salah satu bentuk kedermawanannya (patron) untuk masyarakatnya (klien). Ada dua hal yang dapat ditarik dari Pilkades pada masa orde, terkait dengan kontestasi yang harus dilalui oleh seorang kandidat kepala desa untuk sampai pada kursi kekuasaan. Pertama, memenangkan restu negara melalui serangkaian persyaratan dan seleksi oleh pemerintah dari tingkat desa, kecamatan dan kabupaten. Kedua, sebagai jabatan politis, jabatan kepala desa harus dimenangkan melalui dukungan rakyat dengan suara terbanyak. Mas oed bahkan memiliki pandangan yang lebih ekstrem terkait dengan Pilkades, menurutnya keberhasilan seseorang untuk menjadi pejabat desa itu (kepala desa) lebih banyak ditentukan oleh wewenang di luar desa melalui serangkaian seleksi oleh pejabat kabupaten daripada oleh para pemilih dalam desa (Mas oed, 2003 : 127). Rekrutmen politik terbuka pada masa Reformasi ditandai dengan semakin beragamnya kontestan yang mengikuti Pilkades. Mereka berasal dari berbagai latar belakang dan ideologi politik yang berbeda. Kondisi ini disebab oleh dihapuskannya serangkaian persyaratan dan seleksi di tingkat kabupaten yang 5

6 selama ini dijadikan alat oleh pemerintah untuk menjegal bakal calon kepala desa yang dianggap tidak sejalan dengan pemerintah Orde Baru dan Golkar. Artinya kepala desa terpilih sudah terlepas dari kewajiban untuk memberikan loyalitas tunggalnya kepada negara dan Golkar, sekaligus penghapusan perannya sebagai klien bagi negara dan Golkar. Meskipun demikian, kehilangan posisi sebagai klien negara menjadi kerugian tersendiri bagi dinasti politik. Sebab, berbagai program dan bantuan pemerintah yang rutin disalurkan pada masa Orde Baru, sudah dihapuskan atau penggunaannya sudah lebih selektif karena pengawasan oleh lembaga baru seperti badan perwakilan desa (BPD). Selain itu proteksi negara terhadap klien setianya, dengan menjegal bakal calon kepala desa lainnya melalui sejumlah persyaratan dan tes sudah tidak ada lagi. Melihat berbagai kondisi di atas, pertarungan antar elit desa dalam Pilkades di masa Reformasi benar-benar mengandalkan kekuatan politik mereka sendiri untuk meraih dukungan masyarakat (pemilih). Elit yang menjadi kandidat kepala desa harus memiliki berbagai keunggulan sumber daya (resources) agar para pemilih yakin bahwa mereka layak menjadi pemimpin tertinggi di desanya. Bagi pejabat incumbent ataupun keluarganya tantangan menjadi lebih kompleks, sebab selain harus memiliki berbagai keunggulan sumber daya, masa kepemimpinan sebelumnya dijadikan tolak ukur apakah mereka masih layak untuk dipilih atau tidak. Mencermati berbagai kondisi pada masa Orde Baru dan Reformasi di atas, mempertahankan sebuah kekuasaan bukanlah hal yang mudah terutama pada saat transisi pergantian rezim pemerintahan. Hasrat beberapa kelompok masyarakat 6

7 untuk mengakhiri kekuasaan pejabat desa yang pernah menjadi klien negara di masa Orde Baru bermunculan, sebagai bentuk euforia atas kemenangan rezim Reformasi. Dalam kurun waktu , di Kecamatan Simpangkatis (saat itu masih berstatus kecamatan pembantu) ada dua desa, yaitu Sungkap dan Celuak yang mengalami kekisruhan politik. Kepala desa di dua desa itu terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya karena desakan kuat dari berbagai elemen masyarakat di desanya masing-masing (Purnamawan, 12/03/2013; Syamsiar 12/03/2013; dan Sa ib, 01/05/2013). Dua kasus tadi membuktikan bahwa pasca tumbangnya Orde Baru, masyarakat di kedua desa kehilangan kepercayaan dan dukungannya kepada para pemimpin desa yang merupakan produk Orde Baru dan warisan dinasti politik sebelumnya. Sebab Kepala Desa Celuak saat itu merupakan anak dari Kepala Desa Celuak periode sebelumnya. Sungguhpun demikian Dinasti Mustohfa berhasil melewati berbagai tantangan dari transisi dua rezim tersebut, dengan tetap eksis menguasai jabatan kepala desa. Kemenangan dinasti politik dalam setiap pergulatan politik pada dua rezim pemerintahan, disebabkan oleh sejumlah besar pendukung politik yang loyal terhadap mereka. Masing-masing generasi kepala desa dari dinasti politik ini mampu memelihara loyalitas pendukungnya, bahkan dari waktu ke waktu mereka mampu memperluas jumlah konstituennya. Artinya kepala desa pertama dari dinasti politik ini telah membangun sebuah jaringan kekuasaan, yang berhasil dipelihara dan diperkuat oleh generasi-generasi kepala desa berikutnya dari dinasti tersebut. 7

8 Loyalitas para pendukung politik ini hadir bukan tanpa sebab, mereka punya alasan tersendiri untuk tetap mendukung Dinasti Mustohfa memimpin Desa Puput. Ada hubungan baik yang terus dijaga oleh Dinasti Mustohfa terhadap para pendukung politiknya, dengan memberikan berbagai keuntungan dalam bentuk materi maupun nonmateri. Sehingga orang-orang yang berada dalam jaringan kekuasaannya merasa berkepentingan untuk terus mendukung mereka mempertahankan jabatan kepala desa, untuk menjamin sustainabilitas distribusi materi maupun nonmateri yang mereka terima. Dari berbagai uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa eksistensi Dinasti Mustohfa pada posisi puncak kekuasaan di Desa Puput ditopang oleh loyalitas para pendukung politik yang berada dalam sebuah jaringan klientelistik yang kuat dan luas. Terkait dengan durasi kekuasaannya yang lama, bekerjanya jaringan klientelistik Dinasti Mustohfa cenderung dinamis. Kondisi tersebut terkait dengan berbagai perubahan yang terjadi akibat perubahan struktur sosial, ekonomi dan politik yang terjadi di tingkat nasional maupun lokal. 2. PERUMUSAN MASALAH Dari uraian latar belakang di atas, maka pertanyaan penelitian yang muncul dalam penelitian ini adalah : Mengapa sebuah keluarga mampu mempertahankan jabatan kepala desa dalam dua rezim pemerintahan yang berbeda? 8

9 3. TUJUAN PENELITIAN 1. Untuk melakukan pemetaan terhadap berbagai sumber daya yang digunakan oleh dinasti kepala desa untuk mempertahankan kekuasaannya. 2. Untuk mengetahui kalangan mana saja yang menjadi pendukung politik setia, bagi dinasti kepala desa. 3. Untuk mengetahui strategi dinasti kepala desa dalam mensiasati perubahanperubahan akibat pergantian rezim pemerintahan. 4. Untuk memotret wajah demokrasi lokal di tingkat desa masa Orde Baru dan masa Reformasi. 4. KERANGKA TEORITIK Untuk menganalisa eksistensi dinasti politik di tingkat desa, penulis menggunakan dua kerangkan teori. Teori yang pertama adalah kontestasi elit untuk membahas tentang persaingan-persaingan para elit desa memperebutkan jabatan kepala desa melalui sistem pemilihan langsung oleh rakyat. Teori yang kedua adalah parton-klien yang menunjukkan soliditas dan sustainabilitas hubungan dinasti kepala desa (patron) dengan para pendukung politiknya (klien). Walaupun kedua teori memiliki perpektif dan caranya masing-masing dalam menganalisa sebuah fenomena sosial maupun politik, namun penulis mengelaborasi keduanya dengan beberapa pertimbangan ; pertama, jabatan kepala desa adalah sebuah posisi politik tertinggi di desa, dimana untuk mendapatkan jabatan tersebut seorang kandidat harus menjadi pemenang (meraih suara terbanyak) dalam sebuah kompetisi elektoral (Pilkades). Maksudnya seorang 9

10 kandidat terlebih dahulu harus berhasil menggalang dukungan masyarakat (pemilih). Kedua, dilihat dari catatan panjang kemenangan Dinasti Mustohfa dalam setiap Pilkades Puput sejak tahun 1971, penulis yakin bahwa mereka memiliki pendukung politik luas dan loyal. Artinya mereka berhasil membangun sebuah jaringan kekuasaan untuk mempertahankan jabatan kepala desa tersebut. Jika kedua teori dikaitkan, maka loyalitas pemilih dalam kurun waktu yang lama salah satunya dapat diraih dan dipelihara melalui relasi patron-klien. Dinasti kepala desa sebagai patron mendistribusikan berbagai sumber daya berupa materi ataupun jasa kepada pemilih sebagai kliennya. Sedangkan pihak klien membalas pemberian tersebut, dengan selalu mendukung langkah-langkah politik patronnya terutama dalam memenangkan setiap Pilkades di Desa Puput. 4.1 Kontestasi Elit Desa Jabatan kepala desa merupakan jabatan eksekutif politis pertama di Indonesia yang harus diperoleh melalui pemilihan langsung oleh rakyat (demokrasi elektoral). Argumen ini didukung dengan kehadiran undang-undang No. 14 tahun 1946 tentang perubahan dalam stbld : 1907 no. 212 tentang pemilihan kepala desa (Pilkades). Undang-undang tentang Pilkades tersebut merupakan revisi terhadap golongan pemilih (yang memiliki hak suara) dalam Pilkades yang lebih diperluas lagi. Jika dalam Stb No. 212 para pemilih hanya terbatas pada masyarakat yang merupakan kalangan elit desa karena faktor kekayaan, kedudukan, pekerjaan, keturunan dan lain-lainnya. Undang-undang No. 14 tahun 1946 memberikan hak memilih kepala desa, kepada setiap warga negara 10

11 laki-laki dan perempuan yang sudah berusia minimal 18 tahun atau sudah menikah. Jika undang-undang tersebut dicermati, ada perubahan yang sangat fundamental terkait dengan Pilkades. Pada masa kolonial Belanda pemilihan kepala desa sangat elitis, sebab para pemilih (voter) hanya terbatas pada kalangan tokoh desa saja. Pasca dikeluarkannya undang-undang No. 14 tahun 1946 pemilih berdasarkan status kewarganegaraan. Lahirnya undang-undang tersebut sebagai bentuk kepedulian negara terhadap hak-hak demokrasi rakyat dalam menentukan pemimpinnya, walaupun hanya pada tingkat desa. Artinya, sejak awal kemerdekaan orang-orang yang menginginkan jabatan politik tertinggi di tingkat desa tersebut, harus melewati dan memenangkan sebuah persaingan (kontestasi politik) antar kandidat kepala desa dalam sebuah pemilihan langsung oleh masyarakat, yang dikenal dengan Pilkades. Bagi kepala desa terpilih legitimasi atas kekuasaannya semakin kuat karena memenangkan sebuah kontestasi politik dalam sistem demokrasi elektoral. Memahami kontestasi politik dalam sistem demokrasi elektoral, Kang dalam tulisannya Race and Democratic Contestation menyatakan bahwa Kontestasi demokrasi adalah kompetisi deliberatif di antara para pemimpin politik untuk membentuk dan membingkai pemahaman masyarakat tentang politik elektif, kebijakan publik, dan urusan sipil. Ini meliputi proses dimana pemimpin berani, mendorong, dan menantang masyarakat untuk berpikir tentang politik. Persaingan pemilihan hanya satu elemen yang menonjol dari kompetisi yang lebih besar ini di antara para pemimpin politik untuk mempengaruhi sosial politik - 11

12 sebuah proses yang sehat dari kontestasi demokrasi yang menarik dalam dan melibatkan masyarakat dalam proses tersebut untuk memenangkan hati dan pikiran warga negara (Kang, 2008 : 738). Pendapat di atas mencerminkan bahwa produk dari sebuah kontestasi politik tidak hanya hadirnya seorang pemimpin yang terpilih. Lebih jauh, dampak dari kontestasi politik adalah tingkat pemahaman masyarakat yang lebih baik tentang demokrasi elektoral terutama tentang segala akibat positif maupun negatif yang muncul dari pilihan politik mereka, serta partisipasi aktif mereka dalam setiap pengambilan kebijakan publik dan kegiatan-kegiatan yang menyangkut kepentingan umum. Jika dikaitkan dengan kehidupan di desa, salah satu bentuk partisipasi aktif masyarakat adalah adanya kontrol sosial dan rasa solidaritas yang tinggi antar sesama penduduk desa. Menyangkut kontrol sosial yang berlaku di masyarakat desa, Said menjelaskan bahwa Kontrol sosial dalam khasanah pedesaan yaitu alat pengawasan warga desa terhadap segala bentuk interaksi dan hubungan sosial yang terjadi di masyarakat. Bila terjadi penyimpangan atau pelanggaran norma sosial dan adat istiadat yang dilakukan oleh individu maupun kelompok, maka masyarakat desa dapat menjatuhkan sanksi berdasarkan ketentuan yang berlaku di tingkat lokal (Said, 2007 : 334). Artinya, kontrol sosial yang berlaku di desa dapat pula digunakan oleh masyarakat untuk turut mengawasi jalannya pemerintahan desa. Jika terjadi pelanggaran atau penyimpangan yang dilakukan oleh kepala desa maupun elit pemerintahan desa lainnya, maka masyarakat dapat memberikan sanksi berupa 12

13 sanksi moral maupun sanksi politis. Salah satunya adalah jika seorang kepala desa melakukan penyalagunaan wewenangnya, maka dia tidak akan terpilih (menang) pada Pilkades periode berikutnya. Sistem yang demokratis menghendaki sebuah kontestasi politik terbuka bagi siapa saja untuk menjadi kandidat. Hal ini untuk menjamin adanya kesetaraan kesempatan bagi setiap masyarakat desa untuk memperebutkan jabatan kepala desa. Pendapat ini sejalan dengan pandangan Schumpeter yang mengartikan demokrasi dengan melibatkan suatu keadaan dimana setiap orang, pada prinsipnya, bebas bersaing memperebutkan kepemimpinan politik (Held, 2007 : 179). Pada prakteknya, demokrasi ala Schumpeterian tersebut hanya terbatas kepada kalangan elit desa saja. Artinya walaupun regulasi itu lahir dengan semangat demokrasi yang memberikan kesetaraan kesempatan bagi siapa saja untuk mengikuti kontestasi politik, namun kenyataannya hanya segelintir orang saja yang menjadi kontestan dalam setiap Pilkades. Kondisi ini berhubungan erat segala persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang dan peraturan-peraturan yang terkait lainnya. Selain itu yang terpenting adalah tuntutan masyarakat yang menghendaki agar pemimpinnya adalah orang-orang yang memiliki keunggulankeunggulan yang melebihi mereka. Orang-orang dengan keunggulan lebih inilah kemudian dikenal dengan elit. Argumen ini sejalan dengan pendapat Bottomore yang menyatakan bahwa elit sebagai kelompok-kelompok fungsional, terutama okupasional, yang memiliki status tinggi (demi alasan apapun juga) dalam suatu masyarakat. (Bottomore, 2006 : 11). 13

14 Keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh kalangan elit ini beragam karena ekonomi, kultural maupun politis. Seorang elit bisa saja memiliki salah satu dari keunggulan tersebut,atau bisa juga ketiganya. Dalam sebuah konteks demokrasi elektoral, semakin banyak jenis dan derajat keunggulan yang dimiliki oleh seorang elit desa semakin besar pula kesempatannya untuk memenangkan Pilkades. Namun yang patut dicatat adalah penggunaan keunggulan-keunggulan elit harus disesuaikan dengan struktur sosial masyarakatnya, serta perubahanperubahan sosial yang terjadi pada masyarakat tersebut. Pada masa Orde Baru, negara menerapkan pola rekrutmen politik yang tertutup, bahkan sampai pada rekrutmen politik di desa. Jabatan-jabatan politik di tingkat desa yang dipilih oleh masyarakat maupun yang berdasarkan penunjukkan, hanya diisi oleh segelintir orang yang dianggap sebagai orang-orang pemerintah atau Golkar. Pendapat ini mengacu pada pemikiran Gaffar bahwa dalam negara yang tidak demokratis, rekrutmen politik biasanya dilakukan secara tertutup. Artinya peluang untuk mengisi jabatan politik hanya dimiliki oleh beberapa gelintir orang saja (Gaffar, 2006 : 8). Rekrutmen yang bersifat tertutup ini ditandai dengan besarnya peran negara dalam menentukan bakal calon kepala desa untuk mengikuti Pilkades. Berbagai persyaratan dan seleksi di tingkat kecamatan maupun kabupaten adalah bentukbentuk campur tangan negara yang dapat menggagalkan bakal calon kepala desa menjadi kontestan dalam Pilkades. Dalam studinya di salah satu desa di Jawa Barat tahun 1990 Antlov menggambarkan kontrol negara yang begitu besar terhadap Pilkades. Sebagai langkah pertama kontrol negara terhadap proses 14

15 pemilihan ini (Pilkades), semua calon harus lolos dari apa yang dikenal sebagai skrining (screening). Riwayat hidup para calon diperiksa untuk memastikan bahwa mereka adalah pendukung Orde Baru yang setia. Proses ini dilakukan dengan dua cara ; pertama, setiap calon diwajibkan untuk mengisi sejumlah dokumen yang bahan-bahannya disiapkan dan disetujui oleh pejabat kecamatan kedua, enam bulan sebelum pemilihan, proses skrining dilakukan dengan memanggil semua calon ke ibukota kabupaten (Bandung) untuk diwawancarai dan mengikuti ujian resmi lisan dan tertulis tentang Pancasila, sejarah Indonesia, hukum nasional, dan berbagai urusan lain yang penting bagi kepala desa Indonesia yang setia (Antlov, 2003 : ). Melalui kontrol pada berbagai tingkatan ini pihak kecamatan maupun kabupaten dapat menggagalkan orang yang dianggap tidak setia pada pemerintah. Salah satunya adalah bakal calon kepala desa yang menjadi kader PPP ataupun PDI (non Golkar). Sebab pada masa itu Golkar adalah partai pemerintah, sehingga tidak mendukung Golkar berarti tidak setia pada pemerintahan saat itu. Artinya siapapun yang lolos mengikuti Pilkades adalah elit-elit desa yang setia pada negara dan sudah menjadi kader Golkar. Peran negara yang sangat dominan tidak hanya terbatas dalam menentukan calon kepala desa saja. Rekrutmen jabatan perangkat desa, juga menjadi domainnya negara melalui kecamatan maupun kabupaten 1. Kepala desa hanya berhak mengajukan nama-nama calon perangkat desa. Artinya negara bisa saja 1 Untuk lebih jelasnya lihat pasal 14, 15, dan 16 UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. 15

16 menolak usulan kepala desa jika calon yang diajukan dianggap tidak setia kepada negara dan Golkar. Antlov menambahkan bahwa pemimpin-pemimpin alternatif tidak diberi akses pada kekuasaan resmi melalui berbagai jalan. Secara hukum, monoloyalitas menjamin bahwa hanya anggota Golkar saja yang dapat menjadi pegawai negeri dan pamong desa (Antlov, 2003 : 227). Kelahiran rezim Reformasi membawa dampak yang besar bagi perubahan sistem politik nasional. Rezim Reformasi menghendaki Indonesia menjadi negara yang demokratis, dimana salah satu cirinya adanya kesetaraan kesempatan bagi setiap warga negara untuk mengikuti kompetisi memperebutkan jabatan-jabatan politis. Dalam konteks politik pedesaan, proses demokratisasi pada masa Reformasi, ditandai dengan redefinisi hak-hak politik masyarakat desa. Ketika rezim Orde Baru berakhir, setiap kalangan menuntut kembali hak-hak politiknya yang selama puluhan tahun dikebiri. Salah satu tuntutan yang paling sering ditemui adalah ledakan partisipasi politik dikalangan elit desa, yang ditandai dengan munculnya sejumlah kandidat kepala desa dalam setiap pelaksanaan Pilkades. Pandangan ini sejalan dengan pemikiran Gaffar tentang rekrutmen politik yang terbuka. Untuk memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan, diperlukan suatu sistem rekrutmen politik yang terbuka. Artinya, setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu jabatan politik yang dipilih oleh rakyat mempunyai peluang yang sama dalam melakukan kompetisi untuk mengisi jabatan tersebut (Gaffar, 2006 : 8). Pendapat tadi menegaskan bahwa meskipun kompetisi yang terbuka bagi siapa saja, tetapi orang-orang yang bertarung dalam sebuah 16

17 kontestasi politik harus memenuhi berbagai persyaratan yang ditetapkan dengan undang-undang, walaupun sudah lebih fleksibel dibandingkan masa Orde Baru. Hilangnya kontrol negara atas tahapan-tahapan Pilkades dan bakal calon kepala desa, memberikan ruang partisipasi politik yang semakin luas bagi masyarakat. Kondisi ini telah merangsang banyak elit desa untuk berkompetisi memperebutkan jabatan kepala desa. Pastinya kompetisi akan semakin sengit, dengan kehadiran elit-elit desa yang pada masa Orde Baru bukan bagian dari subordinasi negara maupun Golkar. Artinya, dalam kontestasi politik di tingkat desa demokrasi ala Schumpeterian baru benar-benar diterapkan pasca Reformasi. Rezim Reformasi ingin menyajikan pertarungan antar elit desa yang lebih beragam dibandingkan Orde Baru. Mereka berasal dari kekuatan politik lama yang ingin mempertahankan eksistensi kekuasaannya di desa. Dari sisi lain hadir pula elit desa baru, yaitu mereka yang sebelumnya tidak berani muncul pada masa Orde Baru, atau tidak pernah mendapatkan kesempatan karena perlakuan rezim yang diskriminatif. Sampai pada bagian ini, dapat difahami bahwa rezim Reformasi menghendaki persaingan yang adil (fair) dalam setiap Pilkades. Meskipun Reformasi memberikan ruang yang luas bagi kalangan elit desa untuk bersaing dalam Pilkades, namun tidak serta merta mereduksi kekuatankekuatan politik lama. Sebuah dinasti politik yang pernah berkuasa pada masa lalu, memiliki basis dukungan politik yang kuat, yang telah dibangun dan dipelihara sejak awal kekuasaannya. Pendapat ini sejalan dengan analisa Bakti yang menyatakan bahwa kekuasaan seorang elit (Puang) di Wajo dari Orde Baru sampai Reformasi, diperkuat melalui anggota kerabat dan kroni dalam 17

18 pemerintahan sehingga mencapai titik hegemoni. Dia (Puang) menunjuk kerabat untuk menduduki jabatan birokratif yang strategis basah dan menguntungkan. Melalui tempat tinggalnya orang memperoleh kenaikan pangkat, dan para keluarga muncul sebagai birokrat-birokrat yang berkuasa Pasca Reformasi, organisasi-organisasi masyarakat sipil yang berpotensi mengimbangi dominasi Puang malah dimasukkan ke dalam rezimnya dengan memberikan bantuan dalam bentuk bangunan fisik dan dana. Demikian pula dengan kelompok-kelompok (LSM) yang mengkritisi pemerintahannya diiming-imingi dengan uang atau ditekan oleh Puang (Bakti, 2007 : ). Penjelasan di atas, menunjukkan bahwa dalam mempertahankan kekuasaannya, elit keluarga tersebut mendistribusikan berbagai jabatan strategis kepada anggota keluarga dan orang-orang dekatnya. Sedangkan untuk orang atau kelompok yang berpotensi menjadi lawan politiknya didistribusikan sumber daya dalam bentuk materi ataupun dengan paksaan (coercive). Walaupun arena kontestasi dan kekuasaannya berbeda, yaitu desa dan kabupaten, namun hasil studi Bakti tersebut dapat dijadikan salah satu perspektif untuk mengkaji kontestasi elit di tingkat desa. Kemenangan kekuatan politik lama dalam setiap Pilkades memperlihatkan beberapa hal ; pertama, jaringan kekuasaan yang dimiliki elit lama yang terdiri dari anggota keluarga dan orang-orang dekat masih efektif digunakan untuk memenangkan kontestasi memperebutkan kekuasaan. Kedua, kekuatan elit lama semakin meluas dengan bergabungnya orang-orang dan organisasi-organisasi masyarakat yang berpotensi sebagai lawan politik, menjadi bagian dari jaringan 18

19 kekuasaannya. Ketiga, demokrasi yang dianggap memberikan kesempatan bagi elit lain untuk memegang jabatan politis, kenyataannya justru memperkuat hegemoni elit lama terhadap jabatan tersebut. Kalaupun ada elit baru yang mengisi jabatan-jabatan politik, namun mereka hanyalah bagian dari subordinasi dari elit lama, sehingga kehadiran mereka malah memperkuat jaringan kekuasaan elit lama. 4.2 Patron-Klien Untuk membaca survivabilitas sebuah dinasti politik, penulis juga menggunakan teori patron-klien sebagai kerangka analisis. Artinya ada jaringan kekuasaan yang sudah dibangun melalui jaringan patron-klien oleh sebuah dinasti politik, untuk memenangkan setiap kontestasi elektoral memperebutkan jabatan kepala desa. Beberapa literatur yang telah dihasilkan oleh beberapa ilmuwan sosial dan politik mengakui bahwa praktek-praktek kekuasaan patron-klien yang sudah ada pada masa pra-kolonial, tetap berlangsung pada masa Orde Baru, bahkan hingga saat ini. Pendapat tersebut dibenarkan oleh Eko Sutoro yang melihat adanya ciri khas seperti, kedudukan, tingkah laku dan keseluruhan hirarkhi dalam struktur kekuasaan sebagian besar tergantung pada hubungan personal kekeluargaan atau antara patron (bapak) dan klien (anak buah) (Sutoro, 2003 : 50). Konsep patron-klien sebenarnya berangkat dari teori pertukaran sosial (social exchange theory) yang dikemukakan oleh Blau, bahwa Ketidakseimbangan dalam masyarakat terhadap materi dan keadaan sosial adalah 19

20 menghasilkan perbedaan dalam kekuasaan (Spread, 1984 : 162). Maksudnya struktur kekuasaan muncul karena terjadinya suatu hubungan pertukaran yang tidak seimbang. Ketidakseimbangan pertukaran melahirkan kesenjangan kekuasaan dan ketidakseimbangan rasa hormat, sehingga menjadi sangat relevan dengan dasar hubungan patron-klien. Dalam konsep pertukaran sosial, mensyaratkan salah satu diantara dua pihak yg melakukan pertukaran harus memiliki sumber daya yang dibutuhkan oleh pihak lainnya, sedangkan pihak penerima (pihak lain tersebut) tidak memiliki sumber daya yang sama nilainya untuk dipertukarkan dengan pihak pemberi. Sehingga satu-satunya cara untuk membalas pertukaran ini adalah dengan memberikan kepatuhan (menerima posisi sebagai subordinasi) kepada pihak pemberi sumber daya tadi. Dalam konsepsi patron-klien membahas lebih spesifik tentang pertukaran sosial. Salah satu ilmuwan sosial dan politik, Scott mengemukakan bahwa Hubungan patron-klien sebagai hubungan pertukaran antara dua orang (dyadic) yang sebagian besar melibatkan persahabatan instrumental, di mana seorang individu yang lebih tinggi status sosial ekonominya (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya yang dimiliki untuk memberikan perlindungan dan/atau keuntungan kepada seseorang dengan status lebih rendah (klien) yang pada gilirannya membalas pemberian tersebut dengan dukungan dan bantuan, termasuk jasa pribadi kepada patron (Scott, 1972a : 92). Dalam hubungan patron-klien ada pihak yang menjadi superior (patron) dengan kelebihan status sosial dan ekonominya, dan pihak yang menjadi inferior (klien) karena status sosial dan ekonominya lebih rendah. Orang-orang berada 20

21 pada posisi sebagai inferior tidak dapat memenuhi kebutuhannya, sehingga membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pada kondisi seperti inilah sang patron membantu memenuhi kebutuhan kliennya dengan status dan sumber dayanya. Pelras menambahkan bahwa hubungan patron-klien digolongkan sebagai hubungan yang tidak sejajar (tetapi tidak mengikat) antara atasan (patron atau pemimpin) dengan sejumlah bawahan (klien, pelayan, atau pengikut), berdasarkan pertukaran pelayanan yang asimetris, di mana secara de facto patron tergantung kepada para klien yang memberi pelayanan cuma-cuma yang bisa mencakup kewajiban secara ekonomis, tugastugas dengan upah atau tidak, menjadi prajurit perang, dukungan politik dan pelayanan lainnya, diimbangi dengan peran patron untuk menjadi figur pemimpin bagi semua klien dan pemberian bantuan, termasuk pinjaman uang dan perlindungan (Pelras, 1981 : 2-3). Masyarakat pedesaan secara umum saling mengenal satu sama lain karena lingkup kehidupan yang memang kecil. Frekuansi dan intensitas interaksi mereka cukup tinggi dalam kehidupan sehari-hari, baik antar masyarakat yang setara status sosial dan ekonominya, maupun antara masyarakat dengan status sosial dan ekonomi yang berbeda (antara elit desa dengan masyarakat biasa). Interaksi yang relatif mudah dilakukan di lingkungan sosial pedesaan disebabkan oleh kedekatan emosional (perasaan) masyarakatnya karena hubungan pertemanan maupun karena sebagian masyarakat desa masih memiliki hubungan kekerabatan. Melalui interaksi yang sering dilakukan, mereka mengetahui berbagai kesulitan yang dialami oleh tetangga, teman, dan kerabatnya. Demikian 21

22 pula sebaliknya, segala kelebihan atau keunggulan dalam berbagai aspek yang dimiliki oleh elit desa juga diketahui oleh masyarakatnya. Akibat yang ditimbulkan adalah munculnya kekuasaan, sebab masing-masing pihak akan saling mendekat dengan kondisinya masing-masing. Masyarakat yang tidak mampu berusaha memenuhi kebutuhannya dengan mencari bantuan pihak lain, sedangkan elit desa dengan segala sumber daya yang dimiliki dapat membantu masyarakat yang membutuhkan pertolongannya. Atas dasar kedekatan emosional dan bantuan-bantuan sumber daya itulah Scott membagi ikatan patron-klien menjadi dua ; ikatan yang bersifat afektif dan instrumental. Orang-orang yang terikat karena kedekatan emosional dengan seorang patron merupakan pengikut inti (core) dari sebuah ikatan patron-klien yang bersifat afektif, dan mereka begitu kuat terikat kepada patronnya. Sedangkan orang-orang yang terikat kepada patron hanya karena hadiah materi atau jasa dianggap sebagai pengikut pinggiran (periphery) dari ikatan patron-klien yang bersifat instrumental, dan ikatan ini relatif mudah terlepas (Scott, 1972a : 99). Walaupun demikian bukan berarti dalam ikatan afektif tidak terjadi pertukaran sumber daya materi ataupun jasa, namun itu bukan satu-satunya alasan terjalinnya relasi patron-klien. Bekerjanya relasi patron-klien di sebuah desa sangat tergantung kepada struktur ekonomi di desa tersebut. Desa-desa di mana sumber-sumber ekonomi utama seperti perkebunan, pertambangan dan yang lainnya, yang masih dikuasai oleh sekelompok kecil elit desa, serta angka kemiskinan yang masih tinggi, menjadi lahan subur bagi bekerjanya relasi patron-klien. Relasi yang terbangun 22

23 bersifat vertikal di mana ada elit desa biasanya berperan sebagai atasan (patron) dan masyarakat yang menjadi bawahan (klien). Patron biasanya memberikan perlindungan, bantuan material dan spiritual kepada anak-buahnya, dan sebagai imbalannya, para anak buah akan memberikan dukungan dan loyalitas kepada patron (Muhaimin, 1991 : 11). Namun, bila dicermati dalam relasi patron-klien sulit untuk menentukan siapa yang paling diuntungkan atas pertukaran-pertukaran tersebut, sebab bisa saja hal tersebut berlangsung secara seimbang. Patron menyediakan kebaikan, pekerjaan, perlindungan, atau bahkan jabatan, sedangkan klien menawarkan penghormatan dan dukungan politik. Sehingga jika dicermati hubungan semacam ini akan terasa sulit membedakan siapa yang memanfaatkan siapa sebab sebenarnya masing-masing pihak mendapatkan sesuatu yang diharapkannya (Muhaimin, 1990 : 25). Relasi patron-klien dapat digunakan untuk memahami dominasi sebuah dinasti politik desa di masa Orde Baru dan Reformasi. Kemenangan dalam setiap Pilkades dan mampu melewati transisi politik pasca pergantian rezim pemerintahan, menjadi bukti bahwa dinasti politik itu memiliki basis loyalitas pendukung politik yang terintegrasi ke dalam sebuah jaringan klientelistik yang kuat, dan kemampuan bertransformasi yang baik. Artinya, elektabilitas dinasti politik itu sangat tergantung kepada seberapa besar jaringan klientelistik yang berhasil dibangun dan dipelihara sepanjang sejarah kekuasaannya. Pelras mengungkapkan ada tiga cara dalam membangun jaringan patronklien, yaitu (Pelras, 1981 : 15-16) ; Pertama, dengan menunjukkan kedemawanan 23

24 dan membangkitkan rasa hormat dari kalangan pengikut dengan melindungi dan menjaga kesejahteraan mereka lebih baik dibanding yang lain. Kedua, dengan membangkitkan kebanggaan pengikut dan harapan akan masa depan yang lebih baik dengan menduduki jabatan tinggi atau tampak sebagai orang yang paling berpeluang untuk menduduki jabatan tersebut. Pengikut pada gilirannya akan merasa ikut terhormat, dan berharap memperoleh keuntungan dari jabatan pemimpinnya, karena dengan memegang jabatan tersebut meningkatkan peluang patron mereka untuk mendistribusikan kembali kekayaan yang diperolehnya. Ketiga, untuk memperluas jaringan pengikut adalah melalui perkawinan politik dengan menikahi anggota keluarga bangsawan. Tujuannya adalah untuk menambah pengikut, kehormatan atau menaikkan status sosial. Pelras menambahkan bahwa pengikut dapat pula diperoleh melalui ; pertama, warisan, ketika seorang patron meninggal dunia, pengikutnya terkadang mengabdikan kesetiaannya kepada salah seorang anak sang pemimpin, tetapi proses tersebut bukan hal yang terjadi secara otomatis. Kedua, dengan memperlihatkan karisma pribadi yang luhur. Pada kedua cara tersebut lanjut Pelras, yang harus diperhatikan adalah status sang patron, jabatan yang ia pegang, dan kepribadiannya (Pelras, 2006 : 206) 2. Koentjaraningrat menambahkan bahwa karisma pribadi seorang pemimpin dalam masyarakat kontemporer ditandai dengan kepemilikan lambang-lambang kepemimpinan, dan memiliki ciri-ciri rohaniah yang disegani (Koentjaraningrat, 1984 : 140). 2 Sebenarnya menurut Pelras ada tiga cara untuk meraih pengikut, namun poin ketiga dalam manusia Bugis (2006 : 206) sama dengan poin ketiga dalam tulisan Pelras (1981) Hubungan Patron Klien pada Masyarakat Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan. 24

25 Kelima cara yang ditawarkan oleh Pelras berada dalam konteks kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan dengan sistem stratifikasi sosialnya yang masih kaku. Sungguhpun demikian, kenyataannya kelima cara itu masih relevan berlaku pada masyarakat dengan sistem stratifikasi sosial yang luwes dan rawan mobilisasi sosial, di mana orang-orang yang menjadi patron hanyalah mereka yang memiliki kekayaan, jabatan, dan pengetahuan atau keahlian. Terkait dengan pertukaran sumber daya antara patron dengan kliennya, Scott (1972b : 9) mengklasifikasikannya sebagai berikut : Sarana dasar subsistensi. Dalam kehidupan di pedesaan, pelayanan utama yang diberikan oleh patron kepada klien berupa pekerjaan, jabatan-jabatan di pemerintahan desa atau organisasi desa 3. Praktek-praktek seperti ini dapat kita temukan dalam pada masa Orde Baru di mana seorang elit desa mempekerjakan buruh yang juga merupakan pendukung politiknya yang setia. Disamping itu seorang kepala desa mengangkat para elit desa yang punya pengaruh besar di masyarakat menjadi perangkat desa atau pengurus organisasi desa lainnya. Jaminan krisis subsistensi. Umumnya, patron diharapkan memberikan pinjaman pada saat bencana ekonomi, membantu menghadapi krisis, atau membantu pada saat usaha klien dalam keadaan bangkrut. Jadi, patron diharapkan memberikan jaminan dasar subsistensi bagi kliennya dengan menyerap kerugian-kerugian (dalam usaha atau pekerjaan) yang dapat merugikan kehidupan klien jika tidak dilakukan oleh patron. 3 Organisasi desa yang dimaksudkan dalam tesis ini adalah organisasi keagamaan dalam hal ini pengurus mesjid, dan lembaga kemasyarakatan. Selanjutnya lembaga kemasyarakatan yang menjadi objek pembahasan penulis batasi menjadi tiga, yaitu ; LKMD (LPM), RT, dan RW dengan pertimbangan bahwa ketiga lembaga desa itulah yang banyak bersinggungan dengan pelayanan administrasi pemerintahan dan pembangunan di Desa. 25

26 Perlindungan. Perlindungan ini berarti melindungi klien dari gangguan atau tekanan dari pihak lain. Gangguan atau tekanan bisa saja datang dari musuh pribadi maupun dari pemerintah melalui tentara, pejabat, pengadilan, maupun pemungut pajak). Gangguan atau tekanan tersebut tidak hanya yang mengancam pribadi dan keluarga klien saja, namun mencakup juga ancaman terhadap usaha atau pekerjaannya. Perantara dan pengaruh. Jika patron melindungi kliennya dari perusakan atau intimidasi yang datang dari luar, ia juga menggunakan kekuatan dan pengaruhnya untuk menarik hadiah dari luar untuk kepentingan kliennya. Perlindungan merupakan peran defensifnya dalam menghadapi dunia luar; keperantaraan adalah peran agresifnya. Pelayanan kolektif patron. Secara internal, patron sebagai kelompok dapat melakukan fungsi ekonomi kolektif. Mereka bisa mengelola dan memberikan bantuan berupa subsidi untuk badan amal setempat, menyumbangkan tanah untuk kepentingan komunal, mendukung pelayanan publik lokal (seperti sekolah, jalanjalan kecil, dan bangunan masyarakat), tuan rumah kunjungan pejabat, dan sponsor festival desa dan perayaan. Arus barang dan jasa dari klien ke patron, menurut Scott pada umumnya sangat sulit untuk mengkarakterisasikannya karena, sebagai orang patronnya, seorang klien umumnya menyediakan tenaga dan keahliannya untuk kepentingan patron apa pun bentuknya, termasuk melayani sebagai anggota setia dari faksi patron lokal. Bagi klien, unsur kunci dari evaluasi ialah perbandingan antara jasa yang diterimanya dengan yang diberikannya. Makin besar nilai yang diterimanya 26

27 dari patron dibanding biaya yang harus ia kembalikan, maka makin besar kemungkinannya ia melihat ikatan ini sebagai sah (Scott, 1972b : 9-10). Penjelasan di atas menunjukkan bahwa baik patron maupun klien masingmasing memiliki sumber daya berupa materi atau jasa yang dapat dipergunakan dalam sebuah hubungan pertukaran. Artinya pertukaran dapat terjadi ketika sumber daya yang diberikan oleh patron dapat diterima oleh klien, dan sebaliknya patron dapat pula menerima sumber daya yang diberikan oleh kliennya. Dengan demikian, walaupun di awal disebutkan bahwa hubungan patron-klien merupakan hubungan pertukaran yang tidak seimbang, namun kenyatannya hubungan yang terjalin bersifat saling menguntungkan (simbiosis mutualisme). Bila dikontekskan dengan keperluan studi tentang dinasti kepala desa ini, pemikiran Scott tadi dapat disederhanakan seperti berikut ini Tabel 1.1 Arus Pertukaran Materi dan Jasa Antara Dinasti Kepala Desa dan Klien Arus Pertukaran Materi dan Jasa No Dari Dinasti Kepala Desa ke Klien No Dari Klien ke Dinasti Kepala Desa 1. Distribusi sumber daya ekonomi 1. Dukungan suara pada setiap Pilkades 2. Lapangan kerja 2. Dukungan terhadap kinerja patron 3. Jabatan formal di desa 3. Membela patron dalam konflik 4. Pelayanan spiritual Perlu diperhatikan bahwa hubungan patron-klien bukanlah hubungan bersifat permanen dan tertulis, artinya sewaktu-waktu salah satu pihak dapat memutuskan hubungan tersebut. Hal tersebut bisa disebabkan oleh baik patron 27

28 maupun klien sudah merasa tidak nyaman lagi dengan hubungan tersebut karena berbagai alasan, atau kondisi klien yang mengalami peningkatan hidup sehingga tidak membutuhkan bantuan patronnya lagi. Terkait dengan pernyataan tersebut Putra menyatakan bahwa hubungan patron-klien juga perlu didukung oleh norma-norma dalam masyarakat yang memungkinkan pihak yang lebih rendah kedudukannya (klien) melalukan penawaran, artinya bilamana salah satu pihak merasa bahwa pihak lain tidak memberi seperti yang diharapkannya, dia dapat menarik diri dari hubungan tersebut tanpa terkena sanksi masalah (Putra, 2007 : 4-9). Hubungan kerjasama antara patron dan klien sangat dibutuhkan dalam dunia politik terutama dalam konteks politik di pedesaan. Terlebih lagi bagi sebuah dinasti politik yang ingin mempertahankan kekuasaannya melalui kontestasi elektoral. Terkait hal tersebut Scott menambahkan bahwa di satu sisi, pemilihan umum dapat dilihat sebagai pembentukan kembali mekanisme redistributif dari pengaturan tradisional. Sekali lagi posisi patron menjadi agak lebih tergantung pada persetujuan sosial komunitasnya-persetujuan sosial yang kini didukung oleh kekuatan untuk mengalahkan dia atau kandidat di tempat pemungutan suara. Tidak dapat bergantung pada paksaan langsung, dan dihadapkan dengan pesaing, patron pemilu tahu ia harus (kecuali kalau kekuatan ekonomi lokalnya adalah menentukan) biasanya menawarkan kliennya hal yang lebih baik daripada saingannya jika ia berharap untuk mempertahankan kekuasaan setempat (Scott, 1972a : ). 28

29 Pendapat di atas menunjukkan bahwa karir politik patron sangat tergantung kepada dukungan para kliennya. Patron harus mampu menampilkan diri sebagai kandidat yang paling layak dipilih, berupa distribusi berbagai sumber daya sebelum maupun setelah pemilihan dilaksanakan. Apalagi dalam sebuah kontestasi politik, kandidat lainnya (lawan politik) juga menawarkan berbagai sumber daya kepada para pemilih, termasuk kepada klien dari seorang patron. Kondisi ini memaksa patron harus bisa membaca sumber daya apa yang cocok untuk diberikan kepada kliennya, sebab mereka berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda. Sumber daya ekonomi atau materi mungkin cocok diberikan kepada klien yang sedang mengalami kesulitan ekonomi. Terkait argumen tersebut Wantchekon menjelaskan bahwa hasil empiris menunjukkan klientelisme berhasil untuk semua jenis kandidat tetapi sangat baik untuk kandidat regional dan incumbent. Saya berpendapat bahwa daya tarik kredibilitas klientelis dan aksesibilitas terhadap barang klientelis sangat mempengaruhi perilaku pemilih Misalnya, kandidat incumbent memiliki sarana untuk membuat daya tarik klientelis lebih kredibel dengan memberikan sebagian barang yang dijanjikan sebelum pemilu. Kandidat oposisi dapat mengambil keuntungan dari ketidakmampuan yang terungkap dari incumbent dalam menyediakan barang-barang publik selama siklus pemilu sebelumnya untuk membuat jenis barang publik yang dijanjikan lebih menarik dan lebih kredibel (Wantchekon, 2003 : ). Distribusi jabatan formal di desa adalah salah satu langkah politik yang tepat dalam rangka memperluas jaringan klientelisme. Klien dari elit desa 29

30 memiliki pengaruh di kalangan keluarga maupun orang-orang dalam kelompoknya. Merekrut mereka ke dalam jaringan klientelisme dinasti kepala desa, maka keluarga dan orang-orang dalam kelompoknya dengan sendirinya menjadi pendukung politik bagi dinasti kepala desa. Selama sang patron dapat menjamin sustainabilitas pekerjaan atau jabatan mereka, maka selama itu pula para klien selalu memberikan loyalitas politik kepada patronnya. Sebab bila karir politik patronnya berakhir, maka para klien juga akan kehilangan pekerjaan maupun jabatannya. Terkait hal tersebut Itoh menambahkan bahwa Kesetiaan seorang pendukung politik kepada pemimpinnya karena beberapa alasan diantaranya, karena keyakinan politik yang sama, hubungan baik, kepribadian yang saling mengisi, dan yang terpenting adalah karir seorang pendukung politik sangat tergantung kepada kesuksesan karir politik pemimpinnya (Itoh, 2003 : ). 5. STUDI TENTANG DINASTI POLITIK YANG SUDAH DIHASILKAN Salah satu kesulitan dalam menyusun tesis ini adalah penulis belum (tidak) berhasil menemukan literatur-literatur dengan pokok bahasan yang sama tentang dinasti kepala desa. Meskipun lingkup kekuasaannya kecil namun posisi politik kepala desa cukup signifikan karena bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat dan aktifitas pelayanan publik. Sehingga peran kepala desa cukup menentukan bagi kesuksesan program-program pemerintah. Penulis mereview dua studi yang membahas tentang dinasti politik yang telah dihasilkan oleh ilmuwan sosial dan politik. 30

31 Bakti memotret peran politik seorang elit lokal di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan dalam membangun dinasti politik, melalui tulisannnya yang berjudul Kekuasaan Keluarga di Wajo Sulawesi Selatan. Perubahan rezim politik Orde Baru ke Reformasi tidak serta merta mengakhiri dominasi politik sang puang (nama tokoh sentral dalam tulisan Bakti). Bahkan kekuasaannya menjadi semakin menguat pasca Reformasi dengan adanya liberalisasi politik sampai tingkat lokal. Beberapa jabatan penting dan strategis di eksekutif maupun di legislatif Wajo telah dikooptasi oleh Puang dengan menempatkan orang-orang dari kalangan keluarga maupun orang-orang yang dekat dengannya. Dominasi Puang juga merambah dalam ranah organisasi-organisasi non pemerintah seperti KNPI dan ICMI. Artinya berbagai sumber daya (resource) yang melekat pada jabatanjabatan tersebut turut mengalir dan dinikmati pula oleh Puang dalam rangka memperluas jaringan politik klientelismenya. Namun yang perlu diperhatikan adalah jaringan klientelisme yang dibangun oleh Puang hanyalah terbatas dari kalangan keluarganya dan teman-teman dekatnya saja. Cerita-cerita tentang lawan-lawan politik yang berhasil dia rangkul menjadi bagian dari barisan pendukungnya tidak tergambar dalam tulisan Bakti ini. Kalaupun ada hanyalah keberhasilan dia berdamai dengan kalangan LSM, organisasi lokal, dan pers untuk tidak mengkritisi gaya pemerintahan dan politik dinastinya. Selain itu literatur yang ditawarkan oleh Bakti ini hanya menggambarkan tentang keberhasilan Puang menempati puncak kekuasaan di Kabupaten Wajo sebagai Ketua DPRD dan kemudian menjadi Bupati. 31

32 Eksistensi dinasti politik Wajo ini masih belum teruji mengingat kekuasaan Puang baru berumur satu periode, apalagi jabatan Bupati dimenangkannya melalui pemilihan oleh DPRD Wajo yang sebagian besar anggotanya adalah aliansi politik Puang dari kalangan kerabat dan kawan dekatnya. Artinya jabatan Puang sebagai Bupati belum teruji melalui sistem pemilihan elektoral, dan survivabilitas dinasti politik ini juga belum teruji karena belum ada keluarga dekat Puang yang berhasil mewarisi jabatan yang sama sebagai Bupati di Wajo. Keberhasilan Puang membangun dinasti politiknya juga tidak terlepas dari faktor stratifkasi sosial masyarakatnya yang kaku, dengan kehadiran kaum bangsawan dan non bangsawan. Bagaimanapun Puang juga mewarisi kekuasaan tradisional yang mendudukkannya sebagai salah satu bangsawan di Wajo, demikian pula dengan isterinya. Bagi masyarakat Wajo maupun Sulawesi Selatan kaum ningrat ini masih dianggap layak untuk menduduki berbagai jabatan politik setempat. Dalam lingkup yang lebih kecil Antlov dengan karyanya yang berjudul Negara Dalam Desa : Patronase Kepemimpinan Lokal, mencoba menganalisa jaringan klientelisme di tingkat desa pada masa Orde Baru. Negara berperan sebagai patron dan kepala desa sebagai klien dari negara, serta disaat yang sama kepala desa bertidak sebagai patron bagi masyarakatnya. Peran ganda seperti ini merupakan syarat mutlak bagi seorang elit desa untuk meraih jabatan kepala desa maupun jabatan-jabatan di pemerintahan desa dan organisasi desa lainnya. Cerita-cerita tentang upaya sekelompok elit desa untuk membangun sebuah dinasti politik juga tergambar cukup jelas dalam literatur ini. Seorang kepala desa 32

BAB VI PENUTUP. Dominasi politik Dinasti Mustohfa di Desa Puput telah dirintis sejak lama

BAB VI PENUTUP. Dominasi politik Dinasti Mustohfa di Desa Puput telah dirintis sejak lama BAB VI PENUTUP 1. KESIMPULAN Dominasi politik Dinasti Mustohfa di Desa Puput telah dirintis sejak lama di tahun-tahun awal Orde Baru. Walaupun struktur politik nasional maupun lokal mengalami perubahan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik

BAB II KAJIAN PUSTAKA. gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Konsep Kesenian Sebagai Unsur Kebudayaan Koentjaraningrat (1980), mendeskripsikan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. aspirasi dan memilih pemimpin dengan diadakannya pemilihan umum.

I. PENDAHULUAN. aspirasi dan memilih pemimpin dengan diadakannya pemilihan umum. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan suatu negara yang menganut paham demokrasi, dan sebagai salah satu syaratnya adalah adanya sarana untuk menyalurkan aspirasi dan memilih pemimpin

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebelum berbicara mengenai konsep dan pola Patron-Klien, Scott (1989,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebelum berbicara mengenai konsep dan pola Patron-Klien, Scott (1989, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep dan Pola Hubungan Patron Klien Sebelum berbicara mengenai konsep dan pola Patron-Klien, Scott (1989, hlm 1-18) melihat bahwa petani yang berada di daerah Asia Tenggara

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Dari penelitian tersebut, bisa disimpulkan bahwa, kekuatan sumber daya

BAB V KESIMPULAN. Dari penelitian tersebut, bisa disimpulkan bahwa, kekuatan sumber daya BAB V KESIMPULAN Dari penelitian tersebut, bisa disimpulkan bahwa, kekuatan sumber daya ekonomi yang dimiliki seseorang mampu menempatkannya dalam sebuah struktur politik yang kuat dan penting. Yang secara

Lebih terperinci

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil temuan lapangan, terdapat beberapa persoalan mendasar yang secara teoritis maupun praksis dapat disimpulkan sebagai jawaban dari pertanyaan penelitian.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di Studi Kasus: Kontestasi Andi Pada Pilkada Kabupaten Pinrang 1 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pada Bab Penutup ini melihat kesimpulan dari data yang diperoleh di lapangan yang menyajikan interpretasi saya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat yang diselenggarkan secara langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil guna menghasilkan

Lebih terperinci

publik pada sektor beras karena tidak memiliki sumber-sumber kekuatan yang cukup memadai untuk melawan kekuatan oligarki politik lama.

publik pada sektor beras karena tidak memiliki sumber-sumber kekuatan yang cukup memadai untuk melawan kekuatan oligarki politik lama. BAB VI. KESIMPULAN Perubahan-perubahan kebijakan sektor beras ditentukan oleh interaksi politik antara oligarki politik peninggalan rezim Orde Baru dengan oligarki politik reformis pendatang baru. Tarik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan

I. PENDAHULUAN. wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Demokrasi mengamanatkan adanya persamaan akses dan peran serta penuh bagi laki-laki, maupun perempuan atas dasar perinsip persamaan derajat, dalam semua wilayah

Lebih terperinci

BAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta

BAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta BAB V Kesimpulan A. Pengantar Bab V merupakan bab terakhir dari seluruh narasi tulisan ini. Sebagai sebuah kesatuan tulisan yang utuh, ide pokok yang disajikan pada bab ini tidak dapat dipisahkan dari

Lebih terperinci

MEMAKNAI ULANG PARTISIPASI POLITIK WARGA: TAHU, MAMPU, AWASI PUSAT KAJIAN POLITIK FISIP UNIVERSITAS INDONESIA 28 JANUARI 2015

MEMAKNAI ULANG PARTISIPASI POLITIK WARGA: TAHU, MAMPU, AWASI PUSAT KAJIAN POLITIK FISIP UNIVERSITAS INDONESIA 28 JANUARI 2015 MEMAKNAI ULANG PARTISIPASI POLITIK WARGA: TAHU, MAMPU, AWASI PUSAT KAJIAN POLITIK FISIP UNIVERSITAS INDONESIA 28 JANUARI 2015 DEFINISI UMUM Partisipasi politik dipahami sebagai berbagai aktivitas warga

Lebih terperinci

Menuju Pemilu Demokratis yang Partisipatif, Adil, dan Setara. Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP Universitas Indonesia Jakarta, 16 Desember 2015

Menuju Pemilu Demokratis yang Partisipatif, Adil, dan Setara. Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP Universitas Indonesia Jakarta, 16 Desember 2015 Menuju Pemilu Demokratis yang Partisipatif, Adil, dan Setara Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP Universitas Indonesia Jakarta, 16 Desember 2015 1 Konteks Regulasi terkait politik elektoral 2014 UU Pilkada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kyai dan Jawara ditengah tengah masyarakat Banten sejak dahulu menempati peran kepemimpinan yang sangat strategis. Sebagai seorang pemimpin, Kyai dan Jawara kerap dijadikan

Lebih terperinci

BAB II. KAJIAN PUSTAKA. Dalam setiap hubungan antar manusia maupun antar kelompok sosial

BAB II. KAJIAN PUSTAKA. Dalam setiap hubungan antar manusia maupun antar kelompok sosial BAB II. KAJIAN PUSTAKA 2.1. Relasi Kekuasaan Dalam setiap hubungan antar manusia maupun antar kelompok sosial selalu tersimpul pengertian pengertian kekuasaan dan wewenang. Kekuasaan terdapat disemua bidang

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan

BAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan BAB VI KESIMPULAN Penelitian ini tidak hanya menyasar pada perihal bagaimana pengaruh Kyai dalam memproduksi kuasa melalui perempuan pesantren sebagai salah satu instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi,

Lebih terperinci

Bab VI: Kesimpulan. 1 Pemilih idealis mengaktualisasikan suaranya berdasarkan ideologi untuk memperjuangkan nilai-nilai

Bab VI: Kesimpulan. 1 Pemilih idealis mengaktualisasikan suaranya berdasarkan ideologi untuk memperjuangkan nilai-nilai Bab VI Kesimpulan Studi ini telah mengeksplorasi relasi dari kehadiran politik klan dan demokrasi di Indonesia dekade kedua reformasi. Lebih luas lagi, studi ini telah berupaya untuk berkontribusi terhadap

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP 1. Kesimpulan

BAB VI PENUTUP 1. Kesimpulan BAB VI PENUTUP Setelah menjelaskan berbagai hal pada bab 3, 4, dan 5, pada bab akhir ini saya akan menutup tulisan ini dengan merangkum jawaban atas beberapa pertanyaan penelitian. Untuk tujuan itu, saya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melaluinya masyarakat dapat menyalurkan, menitipkan mandat dan harapan.

BAB I PENDAHULUAN. melaluinya masyarakat dapat menyalurkan, menitipkan mandat dan harapan. BAB I PENDAHULUAN I. 1.Latar Belakang Masalah Partai politik merupakan tulang punggung dalam demokrasi karena hanya melaluinya masyarakat dapat menyalurkan, menitipkan mandat dan harapan. Kenyataan ini

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR TAHUN 2014 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG,

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR TAHUN 2014 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG, RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR TAHUN 2014 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG, Menimbang :a. bahwa sesuai dengan Pasal 65 ayat (2)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1945 disebutkan bahwa negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1945 disebutkan bahwa negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik,

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 172 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dipaparkan dalam bab ini merujuk pada jawaban atas permasalahan penelitian yang telah dikaji oleh penulis di dalam skripsi yang berjudul Peta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. diperlukan sikap keyakinan dan kepercayaan agar kesulitan yang kita alami. bisa membantu semua aspek dalam kehidupan kita.

I. PENDAHULUAN. diperlukan sikap keyakinan dan kepercayaan agar kesulitan yang kita alami. bisa membantu semua aspek dalam kehidupan kita. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepercayaan itu adalah kemauan seseorang atau sekelompok orang untuk mau memberi keyakinan pada seseorang yang ditujunya. Kepercayaan adalah suatu keadaan psikologis dimana

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. didukung berbagai sumber lainnya, menunjukkan bahwa terjadinya kontinuitas

BAB V KESIMPULAN. didukung berbagai sumber lainnya, menunjukkan bahwa terjadinya kontinuitas BAB V KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dari temuan penelitian di lapangan dan didukung berbagai sumber lainnya, menunjukkan bahwa terjadinya kontinuitas penguasaan tanah ulayat oleh negara sejak masa

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA SALINAN BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang

Lebih terperinci

B U P A T I T A N A H L A U T PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT

B U P A T I T A N A H L A U T PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT 1 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 9 TAHUN 2015 B U P A T I T A N A H L A U T PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH LAUT NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PERANGKAT DESA DAN BADAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan Umum (pemilu) adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. akuntabilitas bagi mereka yang menjalankan kekuasaan. Hal ini juga

I. PENDAHULUAN. akuntabilitas bagi mereka yang menjalankan kekuasaan. Hal ini juga 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Menurut berbagai kajiannya tentang politik, para sarjana politik sepakat bahwa demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang paling baik. Sistem ini telah memberikan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Sebagai intisari dari uraian yang telah disampaikan sebelumnya dan

BAB V PENUTUP. Sebagai intisari dari uraian yang telah disampaikan sebelumnya dan BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Sebagai intisari dari uraian yang telah disampaikan sebelumnya dan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, telah teridentifikasi bahwa PDI Perjuangan di Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara tersebut (http://www.wikipedia.org). Dalam prakteknya secara teknis yang

BAB I PENDAHULUAN. negara tersebut (http://www.wikipedia.org). Dalam prakteknya secara teknis yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara demokrasi, dimana rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pada suatu negara tersebut. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. oleh rakyat dan untuk rakyat dan merupakan sistem pemerintahan yang. memegang kekuasaan tertinggi (Gatara, 2009: 251).

BAB I. PENDAHULUAN. oleh rakyat dan untuk rakyat dan merupakan sistem pemerintahan yang. memegang kekuasaan tertinggi (Gatara, 2009: 251). BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Demokrasi secara sederhana dapat diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat dan merupakan sistem pemerintahan yang dianggap paling

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sangat penting dalam kehidupan bernegara. Pemilihan umum, rakyat berperan

I. PENDAHULUAN. sangat penting dalam kehidupan bernegara. Pemilihan umum, rakyat berperan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan umum adalah suatu proses dari sistem demokrasi, hal ini juga sangat penting dalam kehidupan bernegara. Pemilihan umum, rakyat berperan penuh untuk memilih

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. masyarakat yang diberikan pada kandidat-kandidat partai politik.

BAB V PENUTUP. masyarakat yang diberikan pada kandidat-kandidat partai politik. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dalam sistem demokrasi prosedural sebagaimana diterapkan di Indonesia, tidak dapat dipungkiri salah satu implikasinya adalah akan hadir partai politik yang ingin meraih kekuasaan

Lebih terperinci

2015 MODEL REKRUTMEN DALAM PENETUAN CALON ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) PROVINSI JAWA BARAT

2015 MODEL REKRUTMEN DALAM PENETUAN CALON ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) PROVINSI JAWA BARAT BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia adalah negara demokrasi. Salah satu ciri dari negara demokrasi adalah adanya pemilihan umum. Sebagaimana diungkapkan oleh Rudy (2007 : 87)

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Terciptanya budaya feodalisme dapat terjadi apabila masyarakat selalu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Terciptanya budaya feodalisme dapat terjadi apabila masyarakat selalu BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Konsep Budaya Feodalisme Terciptanya budaya feodalisme dapat terjadi apabila masyarakat selalu berorientasi pada atasan, senior, dan pejabat untuk menjalankan suatu kegiatan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG PERANGKAT DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS, Menimbang : a.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG PERANGKAT DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS, Menimbang : a. PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG PERANGKAT DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS, Menimbang : a. bahwa dalam rangka terwujudnya penyelenggaraan pemerintah desa

Lebih terperinci

Pemerintahan Desa diselenggarakan oleh Pemerintah Desa

Pemerintahan Desa diselenggarakan oleh Pemerintah Desa PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DESA BERDASARKAN PERDA KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 3 TAHUN 2015 Pemerintahan Desa diselenggarakan oleh Pemerintah Desa Pemerintah Desa adalah kepala Desa yang dibantu oleh perangkat

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. KPUD sebagai penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah harus. menjunjung tinggi netralitas. KPUD adalah birokrasi

BAB V PENUTUP. 1. KPUD sebagai penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah harus. menjunjung tinggi netralitas. KPUD adalah birokrasi BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. KPUD sebagai penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah harus menjunjung tinggi netralitas. KPUD adalah birokrasi harusnya bersikap netral. Tudingan tidak netral yang dialamatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang dianggap demokratis selalu mencantumkan kata kedaulatan

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang dianggap demokratis selalu mencantumkan kata kedaulatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Negara yang dianggap demokratis selalu mencantumkan kata kedaulatan rakyat didalam konstitusinya. Hal ini menunjukkan bahwa kedaulatan rakyat merupakan suatu

Lebih terperinci

LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA

LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA 1. BPUPKI dalam sidangnya pada 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945 membicarakan. a. rancangan UUD b. persiapan kemerdekaan c. konstitusi Republik Indonesia Serikat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kerangka Teoritis 2.1.1 Pemerintahan Daerah Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menyatakan bahwa, Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang digunakan dalam suatu negara. Indonesia adalah salah satu

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang digunakan dalam suatu negara. Indonesia adalah salah satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Demokrasi merupakan suatu proses dalam pembentukan dan pelaksanaan pemerintahan yang digunakan dalam suatu negara. Indonesia adalah salah satu negara yang menjalankan

Lebih terperinci

BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG

Lebih terperinci

II. KERANGKA TEORITIS. A. Definisi Konseptual Mengenai Kader dan Kaderisasi. manusia sebagai calon anggota dalam organisasi yang melakukan proses

II. KERANGKA TEORITIS. A. Definisi Konseptual Mengenai Kader dan Kaderisasi. manusia sebagai calon anggota dalam organisasi yang melakukan proses II. KERANGKA TEORITIS A. Definisi Konseptual Mengenai Kader dan Kaderisasi Pengertian kader adalah: Sumber daya manusia yang melakukan proses pengelolaan dalam suatu organisasi. Dalam pendapat lain kader

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paket kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. paket kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak awal tahun 2001 secara resmi pemerintah mengimplementasikan paket kebijakan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

Lebih terperinci

BUPATI SRAGEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

BUPATI SRAGEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA SALINAN NN BUPATI SRAGEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SRAGEN, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. keterlibatan masyarakat dalam berpartisipasi aktif untuk menentukan jalannya

BAB I PENGANTAR. keterlibatan masyarakat dalam berpartisipasi aktif untuk menentukan jalannya 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Situasi perkembangan politik yang berkembang di Indonesia dewasa ini telah membawa perubahan sistem yang mengakomodasi semakin luasnya keterlibatan masyarakat dalam

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian BAB V KESIMPULAN Bagian kesimpulan ini menyampaikan empat hal. Pertama, mekanisme ekstraksi surplus yang terjadi dalam relasi sosial produksi pertanian padi dan posisi perempuan buruh tani di dalamnya.

Lebih terperinci

PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN BUPATI SERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PERATURAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG KODE ETIK INSAN OMBUDSMAN KETUA OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG KODE ETIK INSAN OMBUDSMAN KETUA OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA, 1 PERATURAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG KODE ETIK INSAN OMBUDSMAN KETUA OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa untuk mencapai tujuan Ombudsman, para

Lebih terperinci

: 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan

: 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLORA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLORA, Menimbang : a. bahwa badan permusyawaratan

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Visi & Misi Kepemimpinan Nasional dalam Pembangunan

Visi & Misi Kepemimpinan Nasional dalam Pembangunan Visi & Misi Kepemimpinan Nasional dalam Pembangunan 2015-2019 Rancangan Teknokratik RPJ 2015-2019, Bappenas Oleh Partai Kebangkitan Bangsa Mukaddimah Kepemimpinan nasional menjadi salah satu faktor strategis

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.245, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAH DAERAH. Pemilihan. Gubernur. Bupati. Walikota. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5588) PERATURAN

Lebih terperinci

HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA

HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA KELOMPOK 2: 1. Hendri Salim (13) 2. Novilia Anggie (25) 3. Tjandra Setiawan (28) SMA XAVERIUS BANDAR LAMPUNG 2015/2016 Hakikat Warga Negara Dalam Sistem Demokrasi Warga Negara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA SALINAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Berdasarkan ketentuan ini

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Berdasarkan ketentuan ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan desa secara yuridis formal diakui dalam Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN GRESIK PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN PERANGKAT DESA

PEMERINTAH KABUPATEN GRESIK PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN PERANGKAT DESA 1 PEMERINTAH KABUPATEN GRESIK PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN PERANGKAT DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GRESIK Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

~ 1 ~ BUPATI KAYONG UTARA PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

~ 1 ~ BUPATI KAYONG UTARA PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA ~ 1 ~ SALINAN BUPATI KAYONG UTARA PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KAYONG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. oleh Unang Sunardjo yang dikutip oleh Sadu Wasistiono (2006:10) adalah

I. PENDAHULUAN. oleh Unang Sunardjo yang dikutip oleh Sadu Wasistiono (2006:10) adalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Desa atau yang disebut dangan nama lainnya sebagaimana yang dikemukakan oleh Unang Sunardjo yang dikutip oleh Sadu Wasistiono (2006:10) adalah suatu kesatuan masyarakat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Peran Menurut Abdulsyani (1994) peran atau peranan adalah apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya. Peran merupakan suatu

Lebih terperinci

MENGENAL HUBUNGAN PATRON-KLIEN

MENGENAL HUBUNGAN PATRON-KLIEN MENGENAL HUBUNGAN PATRON-KLIEN Linayati Lestari, S.IP, MA Dosen Fisipol, Universitas Riau Kepulauan, Batam Bagi para peminat dan pengamat sosial, tentu sering menemukan beragam pola atau bentuk hubungan

Lebih terperinci

Perempuan dan Pembangunan Berkelanjutan

Perempuan dan Pembangunan Berkelanjutan SEMINAR KOALISI PEREMPUAN INDONESIA (KPI) Perempuan dan Pembangunan Berkelanjutan 20 Januari 2016 Hotel Ambhara 1 INDONESIA SAAT INI Jumlah Penduduk Indonesia per 201 mencapai 253,60 juta jiwa, dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam sistem pemerintahan di Indonesia, desa merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam sistem pemerintahan di Indonesia, desa merupakan salah satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem pemerintahan di Indonesia, desa merupakan salah satu bagian dari sistem pemerintahan yang paling dasar atau pemerintahan terendah dalam wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bentuk kepedulian sebuah Negara terhadap rakyatnya. Di Indonesia sendiri,

BAB I PENDAHULUAN. bentuk kepedulian sebuah Negara terhadap rakyatnya. Di Indonesia sendiri, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesejahteraan sosial adalah impian bagi setiap Negara dibelahan dunia termasuk di Indonesia. Upaya untuk mencapai mimpi tersebut adalah bentuk kepedulian sebuah Negara

Lebih terperinci

BUPATI TORAJA UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN

BUPATI TORAJA UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN BUPATI TORAJA UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TORAJA UTARA NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN LEMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TORAJA UTARA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negarawan merupakan karakter yang sangat penting bagi kepemimpinan nasional Indonesia. Kepemimpinan negarawan diharapkan dapat dikembangkan pada pemimpin pemuda Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Demokrasi lebih dari sekedar seperangkat aturan dan prosedur konstitusional yang menentukan suatu fungsi pemerintah. Dalam demokrasi, pemerintah hanyalah salah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Reformasi politik yang sudah berlangsung sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998, telah melahirkan perubahan besar

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. khususnya di Kabupaten Kebumen ketika menjelang Pemilihan Kepala Desa.

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. khususnya di Kabupaten Kebumen ketika menjelang Pemilihan Kepala Desa. BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Ngeyeg termasuk dalam kebiasaan umum masyarakat di Jawa Tengah khususnya di Kabupaten Kebumen ketika menjelang Pemilihan Kepala Desa. Tahapan ngeyeg apabila dihubungkan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.23, 2015 PEMERINTAHAN DAERAH. Pemilihan. Gubernur. Bupati. Walikota. Penetapan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5656) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

DEMOKRASI & POLITIK DESENTRALISASI

DEMOKRASI & POLITIK DESENTRALISASI Daftar Isi i ii Demokrasi & Politik Desentralisasi Daftar Isi iii DEMOKRASI & POLITIK DESENTRALISASI Oleh : Dede Mariana Caroline Paskarina Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2008 Hak Cipta 2008 pada penulis,

Lebih terperinci

BAB IV. Mekanisme Rekrutmen Politik Kepala Daerah PDI Perjuangan. 4.1 Rekrutmen Kepala Daerah Dalam Undang-Undang

BAB IV. Mekanisme Rekrutmen Politik Kepala Daerah PDI Perjuangan. 4.1 Rekrutmen Kepala Daerah Dalam Undang-Undang BAB IV Mekanisme Rekrutmen Politik Kepala Daerah PDI Perjuangan 4.1 Rekrutmen Kepala Daerah Dalam Undang-Undang Tahapan Pilkada menurut Peraturan KPU No.13 Th 2010 Tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pencalonan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Bab ini merupakan hasil kajian, dan analisis dari data-data yang diperoleh

BAB V KESIMPULAN. Bab ini merupakan hasil kajian, dan analisis dari data-data yang diperoleh BAB V KESIMPULAN Bab ini merupakan hasil kajian, dan analisis dari data-data yang diperoleh selama penelitian yaitu tentang bagaimana upaya PPP dalam meningkatkan perolehan hasil suara pada Pemilu tahun

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN I. UMUM 1. Dasar Pemikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

Demokrasi Sudah Digagas Jauh Sebelum Merdeka

Demokrasi Sudah Digagas Jauh Sebelum Merdeka Demokrasi Sudah Digagas Jauh Sebelum Merdeka Desain Negara Indonesia Merdeka terbentuk sebagai Negara modern, dengan kerelaan berbagai komponen pembentuk bangsa atas ciri dan kepentingan primordialismenya,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pemilihan umum

Lebih terperinci

BUPATI ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

BUPATI ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA BUPATI ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. 1. Atas undangan Organisasi Kesehatan Dunia, kami, Kepala Pemerintahan, Menteri dan perwakilan pemerintah datang

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Setelah Perang Dunia II, demokrasi menjadi salah satu wacana sentral di

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Setelah Perang Dunia II, demokrasi menjadi salah satu wacana sentral di BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Setelah Perang Dunia II, demokrasi menjadi salah satu wacana sentral di seluruh dunia. Saking derasnya arus wacana mengenai demokrasi, hanya sedikit saja negara yang

Lebih terperinci

BUPATI MAGELANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

BUPATI MAGELANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA SALINAN BUPATI MAGELANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAGELANG, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

S A L I N A N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 4 TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG

S A L I N A N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 4 TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG S A L I N A N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 4 TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG SEKRETARIAT DAERAH KABUPATEN SUMEDANG 2015 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kehadiran perempuan dalam kontestasi politik di Indonesia, baik itu

BAB I PENDAHULUAN. Kehadiran perempuan dalam kontestasi politik di Indonesia, baik itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehadiran perempuan dalam kontestasi politik di Indonesia, baik itu pemilihan umum (pemilu) ataupun pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) di daerah-daerah semakin

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemuda sebagai generasi penerus bangsa idealnya mempunyai peran

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemuda sebagai generasi penerus bangsa idealnya mempunyai peran BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemuda sebagai generasi penerus bangsa idealnya mempunyai peran dalam kemajuan bangsa. Pentingya peran generasi muda, didasari atau tidak, pemuda sejatinya memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. teknologi baru untuk memuaskan kebutuhan. Untuk dapat beradaptasi dengan perubahan yang

BAB I PENDAHULUAN. teknologi baru untuk memuaskan kebutuhan. Untuk dapat beradaptasi dengan perubahan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan global yang begitu cepat terjadi di masa sekarang disebabkan oleh bertambah tingginya tingkat pendidikan masyarakat, tingkat pendapatan, arus informasi serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Politik merupakan upaya atau cara untuk memperoleh sesuatu yang dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya berkisar di lingkungan kekuasaan

Lebih terperinci

Title? Author Riendra Primadina. Details [emo:10] apa ya yang di maksud dengan nilai instrumental? [emo:4] Modified Tue, 09 Nov :10:06 GMT

Title? Author Riendra Primadina. Details [emo:10] apa ya yang di maksud dengan nilai instrumental? [emo:4] Modified Tue, 09 Nov :10:06 GMT Title? Author Riendra Primadina Details [emo:10] apa ya yang di maksud dengan nilai instrumental? [emo:4] Modified Tue, 09 Nov 2010 14:10:06 GMT Author Comment Hafizhan Lutfan Ali Comments Jawaban nya...

Lebih terperinci

2015 PERANAN PEREMPUAN DALAM POLITIK NASIONAL JEPANG TAHUN

2015 PERANAN PEREMPUAN DALAM POLITIK NASIONAL JEPANG TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Jepang merupakan negara maju yang terkenal dengan masyarakatnya yang giat bekerja dan juga dikenal sebagai negara yang penduduknya masih menjunjung tinggi

Lebih terperinci

Kekerasan Sipil dan Kekuasaan Negara

Kekerasan Sipil dan Kekuasaan Negara Kekerasan Sipil dan Kekuasaan Negara Abdil Mughis Mudhoffir http://indoprogress.com/2016/12/kekerasan-sipil-dan-kekuasaan-negara/ 15 December 2016 IndoPROGRESS KEBERADAAN kelompok-kelompok sipil yang dapat

Lebih terperinci

BAB VII PENUTUP. sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai penelitian dengan judul

BAB VII PENUTUP. sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai penelitian dengan judul BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan data dan analisis yang telah dibahas pada bab bab sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai penelitian dengan judul ekonomi politik pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hampir seluruh organisasi politik memiliki strategi yang berbeda-beda.

BAB I PENDAHULUAN. hampir seluruh organisasi politik memiliki strategi yang berbeda-beda. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Strategi adalah suatu cara atau taktik dalam meraih dan memperoleh sesuatu. Sehingga dalam wahana politik strategi merupakan sesuatu hal yang sangat urgen yang kianhari

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan. 1. Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas Tentang Aksesibilitas Pemilu

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan. 1. Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas Tentang Aksesibilitas Pemilu BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 7.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas

Lebih terperinci

BAB V. Penutup. A. Kesimpulan

BAB V. Penutup. A. Kesimpulan BAB V Penutup A. Kesimpulan Kuasa uang dalam pemilu dengan wujud money politics, masih menjadi cara mutakhir yang dipercaya oleh calon anggota legislatif untuk menjaring suara masyarakat agar mampu menghantarkan

Lebih terperinci