ANALISIS INKONSISTENSI PEMANFAATAN RUANG DI KECAMATAN CISARUA, KABUPATEN BOGOR DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS INKONSISTENSI PEMANFAATAN RUANG DI KECAMATAN CISARUA, KABUPATEN BOGOR DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA"

Transkripsi

1 ANALISIS INKONSISTENSI PEMANFAATAN RUANG DI KECAMATAN CISARUA, KABUPATEN BOGOR DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA Oleh: AFIFAH A PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

2 ii RINGKASAN AFIFAH. Analisis Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Di bawah bimbingan ERNAN RUSTIADI dan BAMBANG H. TRISASONGKO. Kawasan Puncak merupakan hulu dari DAS Ciliwung yang mengalir ke Jakarta. Ekosistem DAS bagian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian DAS. Apabila terjadi kerusakan lahan di daerah hulu DAS Ciliwung maka dampaknya tidak hanya dirasakan di daerah hulu dan tengah tetapi akan mengancam pembangunan di daerah hilirnya (Bogor, Jakarta, dan sekitarnya). Di sisi lain, Kawasan Puncak memiliki keunggulan dari segi keindahan alamnya, udara yang sejuk dan merupakan perlintasan regional yang menghubungkan wilayah barat Jawa Barat (Jakarta-Bogor-Bandung). Hal ini mengakibatkan kawasan ini menjadi pusat perhatian masyarakat untuk melakukan kegiatan pembangunan. Dalam RTRW Kabupaten Bogor tahun , rencana pengelolaan kawasan strategis Puncak diarahkan untuk terselengaranya keseimbangan ekologi sebagai kawasan resapan air dan pengendali banjir. Namun, pada kenyataannya inkonsistensi penataan ruang banyak terjadi di Kawasan Puncak. Alih fungsi lahan berlangsung dari aktivitas dengan land rent yang lebih rendah ke aktivitasaktivitas dengan land rent yang lebih tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasikan pola distribusi spasial inkonsistensi pemanfaatan ruang saat ini (eksisting) terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya inkonsistensi tersebut. Kegiatan penelitian dilakukan di Laboratorium Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, DITSL IPB dan P4W LPPM IPB. Metode penelitian terbagi menjadi empat tahap, yaitu: 1) tahap persiapan dan pengumpulan data, 2) pengolahan data digital dan analisis spasial, 3) perhitungan jarak, dan 4) analisis regresi berganda dengan peubah dummy. Inkonsistensi pemanfaatan ruang yang terjadi di Kecamatan Cisarua dikelompokkan menjadi 26 bentuk, termasuk di dalamnya inkonsistensi peruntukan kawasan lindung dengan eksisting penggunaan lahan non lindung dan peruntukan lahan pertanian dengan eksisting penggunaan lahan non pertanian. Kecamatan Cisarua memiliki luas total sekitar 7406 ha. Luas total inkonsistensi ditemukan sekitar 1742 ha atau 23% dari luas total Kecamatan Cisarua, dengan jumlah total poligon inkonsisten sebanyak 1863 poligon. Bentuk inkonsistensi terbesar terjadi pada bentuk peruntukan hutan lindung dengan eksisting penggunaan lahan kebun teh sekitar 524 ha atau 7% dari luas total Kecamatan Cisarua. Dari kesepuluh desa yang diamati, total inkonsistensi terbesar terjadi di Desa Tugu Utara sekitar 570 ha atau 32% dari luas total inkonsistensi Kecamatan Cisarua. Faktor-faktor yang mempengaruhi luas inkonsistensi peruntukan hutan konservasi adalah jarak ke jalan kolektor, jarak ke jalan lokal, dan jarak ke jalan setapak yang berpengaruh positif. Wilayah yang lokasinya jauh dari jalan lebih berpotensi mengalami inkonsistensi pemanfaatan ruang. Adanya permukiman perkampungan cenderung meningkatkan luas inkonsistensi peruntukan hutan

3 konservasi menjadi bentuk penggunaan lain. Luas inkonsistensi peruntukan hutan lindung menjadi bentuk penggunaan lain cenderung meningkat akibat pengaruh tingginya kepadatan penduduk, dominannya penduduk sejahtera (persentase keluarga miskin rendah). Adanya emplasemen/bangunan lain, permukiman perkampungan, villa, dan sawah berpengaruh signifikan dalam meningkatkan luas inkonsistensi peruntukan hutan lindung menjadi bentuk penggunaan lain. Secara umum luas inkonsistensi pada peruntukan kawasan lindung (hutan konservasi dan hutan lindung) menjadi bentuk penggunaan lain dipengaruhi oleh faktor tingginya kepadatan penduduk, dekatnya jarak ke jalan kolektor primer, rendahnya persentase keluarga miskin serta adanya emplasemen/bangunan lain, permukiman perkampungan, dan villa. Kata Kunci: Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang, RTRW, Land Rent iii

4 iv SUMMARY AFIFAH. Inconsistency Analysis in the Cisarua Sub-District, Bogor District Land Utilization and Factors Affecting It. Under supervision of ERNAN RUSTIADI and BAMBANG H. TRISASONGKO. Puncak area is the upstream of Ciliwung watershed that flows to Jakarta. The upstream ecosystem is an important part of the watershed because it has a protective role to the whole watershed. Land degradation in the Ciliwung upstream would influence not only in the upper and middle regions but also in downstream areas (Bogor, Jakarta, and their surrounding areas). Puncak is also important in terms of scenic landscape and transportation, i.e. a regional crossing that connects main places in western area of West Java (Jakarta-Bogor-Bandung). These result a necessity to become a focal point to community development and planning activities. Mentioned in the Spatial Planning (RTRW) of Bogor District year , the region is planned as ecologically balanced area to assist watershed improvement and flood control. However, in reality, inconsistencies between land uses and the spatial planning has occurred, usually related to elevating land rent. This study aims to describe the spatial pattern of inconsistencies in Cisarua Subdistrict to spatial planning (RTRW) Bogor and analyze the influencing factors. These research activities were conducted at the Laboratory of Planning and Regional Development, DITSL and P4W IPB. The methodology is divided into four main stages, i.e 1) the preparation phase and data collection, 2) data processing and spatial analysis, 3) distance calculation and 4) multiple regression analysis with dummy variables. Inconsistencies of land utilization occurred in Cisarua Sub-district and grouped into 26 types, including inconsistency allocation protected areas with existing landuse non-protected and allocation for agriculture with existing landuse non-agricultural land. Cisarua Sub-district occupies about 7406 ha. The research found that total inconsistency was about 1742 ha or 23% of the study area with approximately 1863 inconsistence polygons. The largest inconsistencies took place in allocation of protected forest with existing landuse tea plantations (524 ha or 7% of total study area). Among ten villages in the area, Tugu Utara Village has the largest amount of inconsistency (570 ha or 32% of the total area). Factors that influence inconsistency of forest conservation are the distance to the collector road, the distance to the local roads, and the distance to the path that has a positive effect. Areas located far from the road is more potential to have inconsistency of utilization. The existence of residential villages tend to increase the inconsistencies area of conservation forest into other forms of usage. Inconsistency area of protected forest into other forms of usage is tends to increase by influence of high population density, dominance of prosperous population (lower percentage of poor families). The existence of emplacement/other buildings, residential villages, villas, and rice fields have a significant effect in increasing the inconsistencies area of protected forest into other forms of usage. In general, inconsistencies in of protected areas (forest

5 conservation and protected forests) to other forms of use of factors influenced by the high population density, distance to nearby primary collector street, the low percentage of poor families and the emplacement/other buildings, residential villages, and villas. Keywords : Inconsistency in Land Utilization, Spatial Planning, Land Rent v

6 ANALISIS INKONSISTENSI PEMANFAATAN RUANG DI KECAMATAN CISARUA, KABUPATEN BOGOR DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA Oleh: AFIFAH A Skripsi sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTES PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

7 LEMBAR PENGESAHAN Judul Skripsi : Analisis Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor dan Faktorfaktor yang Mempengaruhinya Nama Mahasiswa : Afifah Nomor Pokok : A Menyetujui, Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II (Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr.) (Ir. Bambang H. Trisasongko, M.Sc.) NIP NIP Mengetahui, Ketua Departemen (Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc.) NIP Tanggal lulus:

8 viii RIWAYAT HIDUP Afifah, dilahirkan di Jakarta, tanggal 09 Desember 1986 merupakan anak dari pasangan Muhammad (abi) dan Latifah (mama). Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara, dengan satu kakak perempuan bernama Ubudiyah, dua adik perempuan bernama Amaliyah dan Ulayya, dan satu adik laki-laki bernama Dzaky. Penulis mengawali studi pada tahun 1991 pada tingkat TK di Aisyiyah Bustanul Atfhal, pada tahun 1992 penulis melanjutkan pendidikan di SDN Bekasi Timur III. Kemudian pada tahun 1998 melanjutkan pada tingkat SLTP di SLTP Negeri 1 Bekasi dan pada tahun 2001 melanjutkan pendidikan pada SMU Bani Saleh. Pada tahun 2005 penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui Program SPMB di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama menempuh studi di IPB, penulis dipercaya menjadi asisten dosen mata kuliah Agrogeologi pada tahun 2007 dan mata kuliah Perencanaan Tata Ruang pada tahun Selain itu, penulis aktif mengikuti kegiatan yang diadakan oleh Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan.

9 ix KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang telah memberikan rahmat-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Kedua orang tuaku Muhammad (abi) dan Latifah (mama) atas cinta, kasih sayang dan semangatnya sehingga anakmu ini memperoleh gelar sarjana. 2. Kakakku satu-satunya Ubudiyah atas semua ilmu, saran dan masukannya, adikadikku tersayang Amaliyah, Ulayya, dan Dzaky yang berharap kakaknya cepat wisuda. 3. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku dosen pembimbing skripsi I yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini. 4. Ir. Bambang H. Trisasongko, M.Sc selaku dosen pembimbing skipsi II yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini. 5. Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan. 6. Seluruh Dosen dan staf Lab. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah terutama Mba Dian dan Mba Emma serta seluruh staf P4W LPPM IPB yang telah memberikan dukungan dan fasilitasnya. 7. Teman-temanku, Lili, Ratih, Acid, Rani, Topan, dan Ucup yang selalu memberikan keceriaan, Soiler 42 serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah telah membantu kelancaran studi. Penulis sangat menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, namun berharap dapat tetap memberikan kontribusi yang positif bagi semua pihak yang membacanya. Bogor, Maret 2010 Penulis

10 x DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xiv I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA Tata Ruang dan Pola (Pemanfaatan) Ruang Inkonsistensi Tata Ruang Kawasan Lindung DAS Ciliwung Kawasan Puncak Land Rent Sistem Informasi Geografis Analisis Regresi... 9 III. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian Data, Sumber Data, dan Alat Metode Penelitian Tahap Persiapan dan Pengumpulan Data Pengolahan Data Digital dan Analisis Spasial Perhitungan Jarak Analisis Regresi Berganda dengan Peubah Dummy IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Lokasi Penelitian Iklim dan Tanah Geologi dan Geomorfologi Rencana Tata Ruang Kabupaten Bogor Tahun

11 V. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Kecamatan Cisarua Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Kecamatan Cisarua Analisis Regresi Berganda Inkonsistensi Peruntukan Hutan Konservasi Menjadi Bentuk Penggunaan Lain Analisis Regresi Berganda Inkonsistensi Peruntukan Hutan Lindung Menjadi Bentuk Penggunaan Lain Analisis Regresi Berganda Inkonsistensi Peruntukan Kawasan Lindung Menjadi Bentuk Penggunaan Lain VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xi

12 xii DAFTAR TABEL No. Teks Halaman Tabel 1. Matrik Logika Inkonsistensi RTRW Kabupaten Bogor Tahun dengan Penggunaan Lahan di Kecamataan Cisarua Tahun Tabel 2. Peubah Penduga yang Dipilih pada Persamaan Hutan Konservasi Tabel 3. Peubah Penduga yang Dipilih pada Persamaan Hutan Lindung Tabel 4. Peubah Penduga yang Dipilih pada Persamaan Kawasan Lindung Tabel 5. Luas Lokasi Penelitian Tabel 6. Klasifikasi Peruntukan Ruang Kecamatan Cisarua Menurut RTRW di Kabupaten Bogor Tahun Tabel 7. Luas Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Kecamatan Cisarua Tabel 8. Proporsi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Kecamatan Cisarua Tabel 9. Jumlah Poligon Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Kecamatan Cisarua Tabel 10. Luas dan Jumlah Poligon Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Desa Tugu Utara Tabel 11. Hasil Analisis Regresi Berganda untuk Inkonsistensi Peruntukan Hutan Konservasi Menjadi Bentuk Penggunaan Lain Tabel 12. Hasil Analisis Regresi Berganda untuk Inkonsistensi Peruntukan Hutan Lindung Menjadi Bentuk Penggunaan Lain Tabel 13. Hasil Analisis Regresi Berganda untuk Inkonsistensi Peruntukan Kawasan Lindung Menjadi Bentuk Penggunaan Lain... 41

13 xiii DAFTAR GAMBAR No. Teks Halaman Gambar 1. Diagram Alir Penetapan Pemanfaatan Ruang yang Dinilai Konsisten dan Inkonsisten Terhadap RTRW... 4 Gambar 2. Diagram Alir Metode Penelitian Gambar 3. Citra Resolusi Tinggi Kecamatan Cisarua yang Telah Terkoreksi.. 14 Gambar 4. Peta Administrasi Kecamatan Cisarua Gambar 5. Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Cisarua Tahun Gambar 6. Peta RTRW Kecamatan Cisarua Tahun Gambar 7. Peta Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kecamatan Cisarua terhadap RTRW Kabupaten Bogor Tahun Gambar 8. Luas dan Proporsi Inkonsistensi Tiap Desa Gambar 9. Jumlah Poligon Inkonsistensi Tiap Desa Gambar 10. Luas dan Jumlah Poligon Inkonsistensi di Desa Tugu Utara Gambar 11. Peta Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Desa Tugu Utara Gambar 12. Luas dan Proporsi Peruntukan Menurut RTRW Kabupaten Bogor Tahun Gambar 13. Luas dan Proporsi Peruntukan Kawasan Lindung Menurut RTRW Kabupaten Bogor Tahun Gambar 14. Luas dan Proporsi Inkonsistensi Peruntukan Kawasan Lindung Gambar 15. Peta Inkonsistensi Peruntukan Hutan Konservasi Gambar 16. Peta Inkonsistensi Peruntukan Hutan Lindung Gambar 17. Luas dan Proporsi Peruntukan Kawasan Budidaya Menurut RTRW Kabupaten Bogor Tahun Gambar 18. Luas dan Proporsi Inkonsistensi Peruntukan Kawasan Budidaya Gambar 19. Peta Inkonsistensi Peruntukan Pertanian Lahan Kering Gambar 20. Peta Inkonsistensi Peruntukan Perkebunan Gambar 21. Peta Inkonsistensi Peruntukan Tanaman Tahunan Gambar 22. Kondisi Jalan Menuju Hutan Konservasi... 39

14 xiv DAFTAR LAMPIRAN No. Teks Halaman Lampiran 1. Tabel Luas Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Kecamatan Cisarua Lampiran 2. Tabel Jumlah Poligon Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Kecamatan Cisarua Lampiran 3. Kliping Surat Kabar Mengenai Kawasan Puncak... 50

15 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Puncak merupakan hulu dari sungai Ciliwung yang mengalir ke Jakarta. Ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) bagian hulu merupakan bagian yang penting dari suatu DAS karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian DAS. Oleh karena itu, perencanaan bagian hulu sangatlah penting dalam suatu DAS. Apabila terjadi kerusakan lahan di daerah hulu DAS Ciliwung maka dampaknya tidak hanya dirasakan di daerah hulu dan tengah tetapi akan mengancam pembangunan di daerah hilirnya (Bogor, Jakarta, dan sekitarnya). Di sisi lain, Kawasan Puncak memiliki keunggulan dari segi keindahan alamnya, udara yang sejuk dan merupakan perlintasan regional yang menghubungkan wilayah barat Jawa Barat (Jakarta-Bogor-Bandung). Hal ini mengakibatkan kawasan ini menjadi pusat perhatian masyarakat untuk melakukan kegiatan pembangunan. Menurut Sabri (2004), terdapat dua tipologi kegiatan masyarakat di kawasan Sub DAS Ciliwung Hulu. Pertama, kegiatan manusia untuk tujuan pariwisata; hal ini ditunjukkan dari banyaknya tempat rekreasi yang selalu ramai dan banyaknya villa (80% dari pemilik villa adalah penduduk Jakarta). Tipologi kedua adalah kegiatan manusia untuk tujuan ekonomi atau berusaha yang ditunjukkan dari banyaknya hotel, restoran, pedagang-pedagang, dan tempattempat hiburan/rekreasi di sepanjang jalan. Untuk kegiatan pembangunan tersebut, pada akhirnya kebutuhan lahan untuk pembangunan sektor pariwisata, permukiman, jasa perdagangan bahkan pertanian mengarah pada lahan non pertanian atau lindung. Kawasan Puncak dikategorikan sebagai Kawasan Strategis Kabupaten yaitu wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup daerah pada aspek ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan. Dalam RTRW Kabupaten Bogor tahun , rencana pengelolaan kawasan strategis Puncak diarahkan untuk terselenggaranya keseimbangan ekologi sebagai kawasan resapan air dan pengendali banjir. Namun, pada kenyataannya inkonsistensi penataan ruang banyak terjadi di Kawasan Puncak. Menjamurnya villa-villa di sepanjang kawasan lindung sangat

16 2 memprihatinkan. Banyaknya bangunan yang berdiri tanpa memiliki izin mendirikan bangunan (IMB) meningkat pesat sehingga semakin mempersempit luas kawasan lindung. Berdasarkan data KLH (2009), terjadi perubahan fungsi lahan di kawasan lindung. Kecamatan Cisarua, misalnya, secara signifikan mengalami penurunan luas hutan dari tahun 2000 hingga 2008 sebesar 74% (4.918 ha menjadi ha), sedangkan tanah terbuka hampir tidak dijumpai (4.550 ha menjadi 14 ha), sementara pemukiman bertambah sangat signifikan yaitu sebesar 44% ( ha menjadi ha). Untuk melihat sejauhmana kondisi penataaan ruang yang terjadi di Sub DAS Ciliwung Hulu/Kawasan Puncak maka perlu dilakukan identifikasi inkonsistensi pemanfaatan ruang yang terjadi saat ini (eksisting) terhadap arahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor Tahun Dengan demikian diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran kondisi inkonsistensi pemanfaatan ruang yang terjadi dan faktor yang mempengaruhinya Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasikan pola distribusi spasial inkonsistensi pemanfaatan ruang di Kecamatan Cisarua saat ini (eksisting) terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya inkonsistensi pemanfaatan ruang Kecamatan Cisarua.

17 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Pola (Pemanfaatan) Ruang Menurut UU RI No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Pemanfaatan ruang di dalam suatu kawasan atau wilayah dilakukan dan dilaksanakan dengan mengacu kepada rencana tata ruang. Rencana tata ruang pada hakekatnya menjadi arahan pemanfaatan ruang yang mengupayakan terwujudnya keserasian dan keselarasan pemanfaatan ruang untuk kawasan lindung dan budidaya. Pemanfaatan ruang yang senantiasa memperhatikan dan mengacu kepada rencana tata ruang dengan sendirinya akan dapat mewujudkan kelestarian lingkungan. Dengan demikian rencana tata ruang juga berfungsi sebagai pengendalian pemanfaatan ruang agar senantiasa mengindahkan aspek-aspek keselarasan dan kelestarian lingkungan hidup (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2006). Menyingkapi fenomena penataan ruang yang cenderung mengutamakan sisi ekonomi dibandingkan sisi ekologi, sosial kultural, dan perspektif jangka panjang dikarenakan kepentingan di bidang ekonomi lebih kuat, maka penataan ruang yang mencakup unsur ekonomi, sosial, dan lingkungan, harus bisa mengakomodasi ketiga elemen tersebut agar berjalan seimbang. Rencana tata ruang yang baik harus responsif terhadap kemajuan global serta tidak meninggalkan sosial budaya sebuah wilayah agar tercapai hakekat perencanaan, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2008). Menurut UU RI No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. Konsep pola pemanfaatan ruang wilayah menunjukkan bentuk hubungan antar berbagai aspek sumberdaya manusia, sumberdaya alam, sumberdaya buatan, sosial-budaya, ekonomi, teknologi, informasi, administrasi, pertahanan keamanan, fungsi lindung, budidaya dan estetika lingkungan, dimensi ruang dan waktu yang dalam kesatuan secara utuh menyeluruh serta berkualitas membentuk tata ruang. Adapun yang menjadi dasar dalam pertimbangan perencanaan pola pemanfaatan ruang

18 4 wilayah adalah dinamika perkembangan wilayah, kebijakan pembangunan, potensi unggulan, optimalisasi ruang untuk kegiatan, kapasitas serta daya dukung sumberdaya. Pola pemanfaatan ruang wilayah meliputi arahan pengelolaan kawasan lindung, arahan pengelolaan kawasan budidaya, kawasan perkotaan dan perdesaan serta kawasan prioritas (Rustiadi et al., 2009) Inkonsistensi Tata Ruang Inkonsistensi tata ruang merupakan bentuk ketidaksesuaian antara pemanfaatan ruang dengan peruntukan tata ruang. Pemanfaatan ruang dinilai tidak sesuai dengan RTRW apabila pemanfaatan ruang (penggunaan lahan) memiliki land rent yang lebih tinggi dibandingkan land rent peruntukan pemanfaatan ruangnya (inkonsisten). Apabila pemanfaatan ruang (penggunaan lahan) memiliki land rent yang lebih rendah dibandingkan dengan land rent peruntukan pemanfaatan ruangnya maka pemanfaatan ruang tersebut dinilai konsisten terhadap arahan RTRW yang telah ditetapkan (Gambar 1). Pemanfaatan Ruang (Penggunaan Lahan Eksisting) (ELU) Tidak Sama Land Rent ELU < Land Rent PLU Konsisten Overlay Land Rent ELU > Land Rent PLU Inkonsisten Peruntukan Pemanfaatan Ruang (RTRW) (PLU) Sama Konsisten Gambar 1. Diagram Alir Penetapan Pemanfaatan Ruang yang Dinilai Konsisten dan Inkonsisten Terhadap RTRW Pemanfaatan ruang pada dasarnya merupakan realisasi dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah disusun. Namun demikian, kompleksitas permasalahan dalam proses perkembangan wilayah dapat mengakibatkan terjadinya pemanfaatan ruang yang menyimpang dari RTRW. Konsistensi dalam pemanfaatan ruang terlihat dari kesesuaian antara aktifitas penggunaan ruang dengan RTRW. Analisis inkonsistensi pemanfaatan ruang terhadap RTRW bertujuan untuk mengetahui apakah pemanfaatan ruang yang telah dilakukan sesuai dengan RTRW yang telah disusun sebagai dasar/pedoman pelaksanaan pemanfaatan ruang.

19 5 Menurut Rustiadi (2001), proses alih fungsi lahan dapat dipandang merupakan suatu bentuk konsekuansi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Perkembangan yang dimaksud tercermin dari adanya: 1) pertumbuhan aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam akibat meningkatnya permintaan kebutuhan terhadap pengguanaan lahan sebagai dampak dari peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan per kapita, dan 2) adanya pergeseran kontribusi sektor-sektor pembangunan dari sektor-sektor primer (sektor-sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam) ke aktifitas sektorsektor sekunder (industri manufaktur dan jasa) Kawasan Lindung Kawasan lindung adalah kawasan yang berfungsi untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup. Kawasan lindung dapat berupa warisan alam maupun hasil olahan manusia dengan tujuan memiliki fungsi lindung. Kawasan lindung mempunyai fungsi utama sebagai penyimpan cadangan air, penstabil debit air, pelindung daerah bawahnya dari kerusakan karena gejala alam (longsor, banjir), penyedia oksigen, penjaga spesies hewan dan tumbuh-tumbuhan dari kepunahan (Tarigan, 2005). Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. Salah satu kawasan lindung utama adalah hutan lindung, yang merupakan kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan di bawahnya. Langkah-langkah pengelolaan kawasan lindung diantaranya adalah: (1) optimalisasi peruntukan dan pengendalian kawasan lindung, (2) pengembalian fungsi kawasan lindung bila terganggu fungsinya, dan (3) mengendalikan fungsi kawasan lindung agar terhindar dari kegiatan budidaya (Rustiadi et al., 2009) DAS Ciliwung Secara umum, Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah yang dibatasi oleh batas alam, seperti punggung bukit/gunung,

20 6 maupun batas buatan, seperti jalan/tanggul, dimana air hujan yang turun di wilayah tersebut memberi kontribusi aliran ke titik keluar (outlet). Menurut kamus Webster dalam Suripin (2002), DAS adalah suatu daerah yang dibatasi oleh pemisah topografi, yang menerima hujan, menampung, menyimpan, dan mengalirkan ke sungai dan seterusnya ke danau/laut. Apapun definisi yang dianut, DAS merupakan suatu ekosistem dimana di dalamnya terjadi suatu proses interaksi antara faktor-faktor biotik, abiotik, dan manusia. Sebagai suatu ekosistem, maka setiap ada masukan (input) ke dalamnya, proses yang terjadi dan berlangsung di dalamnya dapat dievaluasi berdasarkan keluaran (output) dari ekosistem tersebut. Komponen masukan dalam ekosistem DAS adalah curah hujan, sedangkan keluaran terdiri dari debit air dan muatan sedimen. Komponenkomponen DAS yang berupa vegetasi, tanah, dan saluran/sungai dalam hal ini bertindak sebagai prosessor (Suripin, 2002). Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung terletak mulai dari Desa Tugu, Puncak (Hulu DAS) sampai Teluk Jakarta (Outlet DAS). Kegiatan pembangunan di DAS Ciliwung baik hulu maupun hilir tergolong sangat intensif. Di daerah hulu terutama di Puncak merupakan daerah wisata yang selalu ramai dikunjungi wisatawan, khususnya dari Jakarta, sehingga menjadikan daerah tersebut sebagai daerah wisata prioritas. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan lahan yang mengarah pada penurunan kemampuan lahan dalam meresapkan air, yang pada akhirnya menyebabkan tingginya limpasan permukaan dan erosi yang justru akan menurunkan produktivitas lahannya serta memperburuk kondisi tata air. Keadaan seperti ini, ditambah dengan peningkatan populasi penduduk, menyebabkan terjadinya perluasan pertanian pada lahan-lahan yang tidak layak untuk diusahakan atau perluasan ke areal hutan, serta menjadi lahan-lahan pemukiman dan industri yang terjadi di daerah tengah dan hilir (BPDASCTW, 2008) Kawasan Puncak Pemerintah Kabupaten Bogor menetapkan empat kawasan strategis, yakni kawasan strategis Puncak, kawasan strategis industri, kawasan strategis pertambangan, dan kawasan strategis perbatasan dalam Perda No. 19 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor tahun

21 7 Rencana pengelolaan kawasan strategis Puncak diarahkan untuk terselenggaranya keseimbangan ekologi sebagai kawasan resapan air dan pengendali banjir yang meliputi: (1) Kecamatan Cisarua, (2) Kecamatan Megamendung, dan (3) sebagian wilayah Kecamatan Ciawi (Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No 19 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor tahun ). Mantan Menteri Kehutanan M.S Kaban (2009) mengatakan bahwa kerusakan hutan di Kawasan Puncak yang ada di Kabupaten Bogor semakin parah, akibat alih fungsi lahan, dari kawasan hutan lindung menjadi obyek komersial. Ironisnya kerusakan hutan di Kawasan Puncak ini, disebabkan banyaknya pejabat dan pengusaha yang sengaja menjadikan Kawasan Puncak sebagai obyek komersial, seperti villa, sehingga membuat cagar alam di Kawasan Puncak rusak (Harian Pelita, 2009). Kliping mengenai Kawasan Puncak dapat dilihat di Lampiran Land Rent Land rent atau rente lahan didefinisikan sebagai segala bentuk surplus manfaat (ekonomi, lingkungan, dan sosial) yang diperoleh atas pemanfaatan ruang/lahan. Dilihat dari dinamika produksi pertanian dalam penggunaan lahan, mekanisme alokasinya ditentukan melalui asas-asas economic rent. Economic rent adalah surplus pendapatan yang diperoleh atas penggunaan sebidang lahan yang nilainya ditentukan oleh kemampuan lahan pada lokasi tertentu untuk menghasilkan penerimaan dan menutupi biaya produksi. Economic rent sebidang lahan atau ruang dapat dibedakan atas: (1) nilai intrinsik yang terkandung dalam sebidang lahan, seperti kesuburan dan topografinya sehingga mempunyai keunggulan produktivitas lahan (ricardian rent); dan (2) nilai yang disebabkan oleh perbedaan lokasional (locational rent). Istilah locational rent digunakan untuk memahami organisasi spasial produksi dimana besarnya nilai tersebut dipengaruhi oleh jarak, dengan asumsi menurut teori Von Thunen Isotropic Plain (tanah homogen) (Rustiadi et al., 2009). Dalam hukum ekonomi pasar, alih fungsi lahan berlangsung dari aktivitas dengan land rent yang lebih rendah ke aktivitas-aktivitas yang land rent-nya lebih tinggi. Alih fungsi lahan merupakan bentuk dan konsekuensi logis dari

22 8 perkembangan potensial land rent di suatu lokasi. Oleh karenanya, proses alih fungsi lahan dapat dipandang sebagai bagian dari pergeseran dinamika alokasi dan distribusi sumberdaya menuju keseimbangan baru yang lebih produktif. Walaupun hukum pasar yang terus mengarah pada penggunaan lahan dengan land rent tertinggi, namun konversi atau pergeseran penggunaan lahan juga berlangsung secara searah dan bersifat irreversible (tidak dapat balik), seperti lahan-lahan hutan yang sudah dikonversi jadi lahan pertanian umumnya sulit untuk dihutankan kembali. Demikian juga, sawah yang terkonversi menjadi perumahan atau kawasan terbangun lainnya hampir tidak mungkin kembali menjadi sawah. Secara teoritis masalah konversi timbul karena nilai land rent di dalam mekanisme pasar tidak mencerminkan seluruh nilai barang, jasa dan biayabiaya yang tidak ditransaksikan di pasar, seperti nilai dari jasa-jasa lingkungan (Rustiadi et al., 2009) Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis atau disingkat sebagai SIG, terjemahan dari Geographical Information System atau GIS, pada saat ini telah banyak dimanfaatkan oleh kalangan perencana atau kelompok lain yang berkecimpung dalam hal pemetaan. Sistem informasi geografi (SIG) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Dengan kata lain, suatu SIG adalah suatu sistem database dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi kerja. Di Indonesia, perkembangan pemakaian SIG dan inderaja mulai semarak sekitar tahun 1990-an, dimana kebanyakan instansi pemerintah sudah mulai memanfaatkan SIG sebagai sarana untuk pengelolaan data spasial. Instansi pemerintah yang sudah memakai SIG secara efektif antara lain: Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian, Departemen Pertambangan dan Energi, Menteri Negara Lingkungan Hidup/Bapedal, Departemen Dalam Negeri (Bappeda), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan, Departemen Pertahanan dan Keamanan, dan Departemen Pekerjaan Umum (Barus dan Wiradisastra, 1996).

23 Analisis Regresi Model regresi linear sederhana adalah persamaan regresi yang menggambarkan hubungan antara satu peubah bebas (X, indenpendent variable) dan satu peubah tak bebas (Y, dependent variable), dimana dugaan hubungan keduanya dapat digambarkan sebagai suatu garis lurus. Model regresi berganda merupakan pengembangan dari model regresi sederhana. Persamaan model regresi linear berganda secara umum adalah sebagai berikut: Y 1 = β 1 X 1i + β 2 X 2i + β 3 X 3i β k X ki + ε i Dimana: Y 1 = Peubah yang diduga (Dependent Variable) X 1 = Peubah penduga (Independent Variable) β = Koefisien regresi ε = Error Dalam analisis regresi seringkali terjadi bahwa peubah tak bebas dipengaruhi, tidak hanya oleh peubah yang dapat dinyatakan secara kuantitatif pada skala yang didefinisikan dengan baik (kepadatan penduduk dan persentase keluarga miskin) tapi juga dengan peubah yang bersifat kualitatif (ada atau tidak penggunaan lahan emplasemen/bangunan lain). Peubah yang bersifat kualitatif seperti ada atau tidak penggunaan lahan emplasemen/bangunan lain memang mempengaruhi peubah tak bebas dan seharusnya dimasukkan di antara peubah yang menjelaskan. Karena peubah yang menjelaskan seperti itu biasanya menunjukkan adanya atau tidak adanya kualitas atau ciri-ciri, satu metode untuk membuatnya kuantitatif dari atribut seperti itu adalah dengan membentuk peubah buatan yang mengambil nilai 1 atau 0, 1 menunjukkan adanya ciri tadi dan 0 menunjukkan ketidakhadiran ciri tadi. Sebagai contoh, 1 menunjukkan bahwa adanya penggunaan lahan emplasemen/bangunan lain dan 0 menunjukkan tidak adanya penggunaan lahan emplasemen/bangunan lain. Peubah yang mengambil 1 dan 0 disebut variable dummy (Juanda, 2008).

24 10 III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelititan Kegiatan penelitian ini dilakukan di laboratorium dan di lapangan. Pengolahan citra digital dan analisis data statistik dilakukan di Bagian Perencanaan Pengembangan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan P4W LPPM IPB. Pengecekan lapang dilakukan di daerah penelitian (Gambar 3) yaitu di Kecamatan Cisarua meliputi Desa Cilember, Desa Jogjogan, Desa Batu Layang, Desa Kopo, Desa Cisarua, Desa Citeko, Desa Leuwimalang, Desa Tugu Utara, Desa Tugu Selatan, dan Desa Cibeureum. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Mei hingga Desember Data, Sumber Data, dan Alat Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1. Citra Google Earth 2007, waktu pengunduhan mulai dari bulan Agustus- September 2009 (sumber: hasil unduh dari perangkat lunak Google Earth Pro Versi ). 2. Citra Quickbird 2006 (sumber: P4W LPPM IPB dan JIRCAS JAPAN). 3. Citra Ikonos 2006 (sumber: Rani Yudarwati) 4. Peta RTRW Kabupaten Bogor Tahun (format dwg) (sumber: Bappeda yang diperoleh dari P4W-LPPM IPB). 5. Peta Administrasi Kecamatan Cisarua (Hasil digitasi dari RTRW Kabupaten Bogor ). 6. Peta Jalan Kabupaten Bogor (sumber: Bappeda yang diperoleh dari P4W- LPPM IPB). 7. Data Potensi Desa Sub DAS Ciliwung Hulu tahun 2006 (sumber: Bagian Perencanaan Pengembangan Wilayah, Departemen ITSL, IPB). Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat lunak ArcGIS 9.3, ArcView GIS 3.3, Statistica 8.0, Adobe Photoshop CS2, Microsoft Office Word, Microsoft Office Excel, GPS Magellan, dan kamera digital.

25 Metode Penelitian Penelitian ini (Gambar 2) terbagi menjadi empat tahap kegiatan, yaitu: 1) tahap persiapan dan pengumpulan data, 2) pengolahan data digital dan analisis spasial, 3) perhitungan jarak, dan 4) analisis regresi berganda dengan peubah dummy. Peta Jalan Kab. Bogor Citra Google Earth Tahun 2007 Koreksi Geometri Citra Ikonos dan QuickBird 2006 Peta RTRW Kabupaten Bogor Citra Digital ResolusiTinggi Kecamatan Cisarua 2007 Croping (Batas Kec. Cisarua) Digitasi Penggunaan Lahan (Klasifikasi 9 Kelas Penggunaan Lahan) Digitasi Matriks Logik Inkonsistensi Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Cisarua 2007 Overlay Peta RTRW Kecamatan Cisarua Peta inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kecamatan Cisarua 2007 Peta Admin Batas Desa Kecamatan Cisarua Luas Masingmasing Poligon dalam Satuan Hektar (ha) Overlay Peta inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kecamatan Cisarua per Desa 2007 Atribut Peta Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kecamatan Cisarua per Desa Data PODES 2006 Das Ciliwung Hulu Luas Poligon Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang (Y) Peubah Penduga (X) dan Peubah Dummy (D) Jarak ke Jalan Analisis Regresi Berganda Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Kecamatan Cisarua Gambar 2. Diagram Alir Metode Penelitian

26 Tahap Persiapan dan Pengumpulan Data Pada tahap ini dilakukan pengumpulan studi literatur yang berhubungan dengan penataan ruang, inkonsistensi tata ruang di Kawasan Puncak, dan pengumpulan data yang mendukung penelitian ini. Citra yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari tiga jenis citra yaitu citra Google Earth 2007, citra Quickbird 2006, dan citra Ikonos Hasil unduhan citra Google Earth pada bagian timur Kecamatan Cisarua meliputi sebagian wilayah Desa Tugu Utara dan sebagian Desa Tugu Selatan yang diperoleh tidak sempurna, sehingga citra tersebut sulit dikoreksi terhadap peta jalan. Untuk memperoleh citra dengan batas administratif Kecamatan Cisarua, maka pada bagian tersebut digunakan citra Ikonos Di sebelah utara Kecamatan Cisarua meliputi sebagian Desa Cilember dan di sebelah selatan Kecamatan Cisarua meliputi sebagian Desa Citeko dan Desa Kopo terdapat tutupan awan. Adanya tutupan awan tersebut menghalangi proses interpretasi pengunaan lahan. Untuk memperoleh citra tanpa adanya tutupan awan maka pada bagian utara Kecamatan Cisarua ditampalkan dengan citra Ikonos 2006 sedangkan pada bagian selatan Kecamatan Cisarua ditumpangtindihkan dengan citra Quickbird Dari penggabungan ketiga citra tersebut maka diperoleh citra resolusi tinggi dengan batas administratif Kecamatan Cisarua yang bebas awan Pengolahan Data Digital dan Analisis Spasial Pada tahap ini dilakukan koreksi geometri antara citra Google Earth, citra Quickbird, dan citra Ikonos dengan peta jalan Kabupaten Bogor sehingga diperoleh citra digital di Kecamatan Cisarua (Gambar 3). Setelah tahap koreksi geometri, selanjutnya dilakukan interpretasi citra secara visual. Unsur-unsur interpretasi yang digunakan adalah: (1) rona (tone/color tone/grey tone) yaitu tingkat kegelapan atau tingkat kecerahan obyek pada citra, (2) warna yaitu wujud yang tampak oleh mata dengan menggunakan spektrum sempit, lebih sempit dari spektrum tampak, (3) bentuk yaitu peubah kualitatif yang memberikan konfigurasi atau kerangka suatu obyek, (4) ukuran yaitu atribut obyek yang antara lain berupa jarak, luas, tinggi, lereng, dan volume, dan (5) tekstur yaitu frekuensi perubahan

27 13 rona pada citra atau pengulangan rona kelompok obyek yang terlalu kecil untuk dibedakan secara individual (Sutanto, 1986). Tahap digitasi dilakukan langsung pada layar komputer (on-screen digitizing) di atas citra terkoreksi dengan batas administratif Kecamatan Cisarua dan skala ketelitian yang digunakan pada saat digitasi adalah 1:1000. Proses ini menghasilkan peta penggunaan lahan Kecamatan Cisarua tahun 2007 dengan sembilan bentuk penggunaan lahan, yaitu hutan, semak/pertanian lahan kering, kebun teh, permukiman perkampungan, permukiman estate, villa, emplasmen/ bangunan lain, sawah, dan hutan rakyat/kebun campuran. Setelah tahap digitasi, peta penggunaan lahan ditumpangtindihkan dengan peta RTRW Kabupaten Bogor tahun dan peta administrasi Kecamatan Cisarua. Kemudian peta hasil tumpang tindih di-query berdasarkan matrik logika inkonsistensi (Tabel 1) yang menghasilkan peta inkonsistensi pemanfaatan ruang Kecamatan Cisarua. Kemudian dilakukan penghitungan luas masing-masing poligon penggunaan lahan yang inkonsisten dalam satuan hektar (ha). Pengolahan citra digital dan analisis spasial dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ArcGis 9.3 dan ArcView GIS 3.3. Penelitian di lapangan dilakukan untuk mengecek bentuk penggunaan lahan yang telah diklasifikasikan secara visual di layar komputer dengan eksisting penggunaan lahan sebenarnya di lapangan. Penelitian lapang dilaksanakan pada hari Kamis, 01 Oktober 2009 yang dimulai pada pukul Alat yang digunakan untuk penelitian lapang adalah GPS Magellan, kamera digital dan alat tulis.

28 Gambar 3. Citra Resolusi Tinggi Kecamatan Cisarua 2007 yang Telah Terkoreksi 14

29 Tabel 1. Matrik Logika Inkonsistensi RTRW Kabupaten Bogor Tahun dengan Penggunaan Lahan di Kecamataan Cisarua Tahun 2007 Penggunaan Lahan di Kecamatan Cisarua Tahun No Klasifikasi Peruntukan RTRW Kabupaten Bogor Tahun Hutan Semak/ pertanian lahan kering Kebun teh Permukiman perkampungan Permukiman estate Villa Emplasmen/ bangunan lain Sawah Hutan rakyat/ kebun campuran Kawasan Hutan Konservasi V X X X X X X X X 2 Lindung Hutan Lindung V X X X X X X X X Kawasan Budidaya Perkebunan V X V X X X X X V Permukiman Perdesaan (Hunian Jarang) Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah) Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah) Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang) Pertanian Lahan Kering V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V X X X X X V 9 Tanaman Tahunan V X V X X X X X V Keterangan: V = Konsisten X = Inkonsisten

30 Perhitungan Jarak Dalam penelitian ini, perhitungan jarak antar poligon inkonsistensi dilakukan berdasarkan jarak antar titik centroid. Centroid merupakan pusat geometrik suatu poligon. Selain itu, centroid juga dapat didefinisikan sebagai titik tengah (mid-point) antara awal dan akhir suatu jarak alamat (address range). Dalam penelitian ini penentuan titik centroid digunakan untuk mengetahui jarak pusat masing-masing poligon inkonsistensi di Kecamatan Cisarua dengan tiga hirarki jalan yang melintas di Kecamatan Cisarua. Menurut peta Jalan Kabupaten Bogor tahun 2005, terdapat tiga hirarki jalan yaitu jalan kolektor primer 1 (Jalan Raya Puncak), jalan lokal, dan jalan setapak. Berikut rumus perhitungan jarak dari poligon ke jalan: D 01n= (X 1n X 0 ) 2 + (Y 1n Y 0 ) 2 Dimana: (X 0,Y 0 ) = Koordinat centroid poligon yang diamati (X n,y n ) = Koordinat posisi objek lokasi n D 01n = Jarak dari centroid poligon (X 0,Y 0 ) ke lokasi n (X 1,Y 1 ) n = 1,2, dan 3 n : 1 = Jarak ke jalan kolektor primer 1 (km) n : 2 = Jarak ke jalan lokal (km) n : 3 = Jarak ke jalan setapak (km) Pada penentuan titik centroid poligon dan perhitungan jarak centroid ke jalan, digunakan perangkat lunak ArcView GIS 3.3 Extension Xtools dan EditTools Analisis Regresi Berganda dengan Peubah Dummy Model yang dkembangkan pada penelitian ini adalah: Y = b 0 + b 1 X 1 + b 2 X 2 + b 3 X b n X n Dimana: Y = Peubah yang diduga (Dependent Variable) X = Peubah penduga (Independent Variable) b = Koefisien regresi

31 17 Pada analisis ini, terdapat tiga jenis regresi yang diuji, yaitu model regresi untuk inkosistensi hutan konservasi menjadi bentuk penggunaan lain (Y 1 ) (ha), inkonsistensi hutan lindung menjadi bentuk penggunaan lain (Y 2 ) (ha), dan inkonsistensi kawasan lindung menjadi bentuk penggunaan lain (Y 3 ) (ha). Peubah penduga (Independent Variable) yang dipakai terdiri dari dua kategori peubah yaitu peubah kuantitatif dan peubah kualitatif (Dummy Variable). Contoh peubah kuantitatif adalah kepadatan penduduk (jiwa/ha). Sedangkan contoh peubah kualitatif adalah peubah yang mengalami inkonsistensi peruntukan lahan dengan eksisting penggunaan lahan emplasemen/bangunan lain. Peubah ini selanjutnya diberi nilai 1 sedangkan peubah yang tidak mengalami inkonsistensi peruntukan lahan dengan eksisting penggunaan lahan emplasemen/bangunan lain diberi nilai 0. Peubah-peubah yang dipilih dalam persamaan ini didasarkan pada pertimbangan logis bahwa peubah tersebut terkait dengan inkonsistensi pemanfaatan ruang yang terjadi di hutan konservasi, hutan lindung, dan kawasan lindung. Untuk menghindari terjadinya multikolinearitas maka persamaan ini diduga dengan menggunakan metode forward stepwise multiple regression sehingga semua peubah yang digunakan dalam persamaan ini tidak memiliki hubungan satu sama lainnya. Data yang digunakan dalam model ini berasal dari data atribut peta inkonsistensi pemanfaatan ruang Kecamatan Cisarua tahun 2007, jarak ke jalan, dan data potensi desa (PODES) Sub DAS Ciliwung Hulu tahun Untuk mempermudah dalam interpretasi hasil analisis regresi maka peubah D 4 (jenis penggunaan permukiman estate) digunakan sebagai blanko, sehingga poligon yang mengalami inkonsistensi pemanfaatan ruang dengan eksisting penggunaan lahan permukiman estate diberi nilai 0 untuk setiap peubah dummynya (D 4 = 0; peubah lainnya = 0). Peubah-peubah penduga yang dipilih untuk persamaan hutan konservasi (Y 1 ) selengkapnya disampaikan pada Tabel 2.

32 18 Tabel 2. Peubah Penduga yang Dipilih pada Persamaan Hutan Konservasi Keterangan Satuan X 1 Kepadatan Penduduk (kpdt) (jiwa/ha) X 2 Persentase Keluarga Pertanian (%_ktani) (%) X 3 Jarak dari Desa ke Ibu Kota Kecamatan (j_dkec) (km) X 4 Jarak ke Jalan Kolektor (j_kolek) (km) X 5 Jarak ke Jalan Lokal (j_lokal) (km) X 6 Jarak ke Jalan Setapak (km) (j_stpk) (km) X 7 Persentase Keluarga Miskin (%_kmiskin) (%) D 1 Jenis Penggunaan Emplasemen/bangunan lain (emp), D 1 = 1; peubah lainnya = 0 Ada/Tidak D 2 Jenis Penggunaan Hutan rakyat/kebun campuran (kbn), D 2 = 1; peubah lainnya = 0 Ada/Tidak D 3 Jenis Penggunaan Kebun Teh (teh), D 3 = 1; peubah lainnya = 0 Ada/Tidak D 4 Jenis Penggunaan Permukiman Estate (est), D 4 = 0; peubah lainnya = 0 Ada/Tidak D 5 Jenis Penggunaan Permukiman Perkampungan (kmp), D 5 = 1; peubah lainnya = 0 Ada/Tidak D 6 Jenis Penggunaan Semak/pertanian lahan kering (smk), D 6 = 1; peubah lainnya = 0 Ada/Tidak D 7 Jenis Penggunaan Villa (vila), D 7 = 1; peubah lainnya = 0 Ada/Tidak Peubah-peubah penduga yang dipilih untuk persamaan hutan lindung (Y 2 ) selengkapnya disampaikan pada Tabel 3. Tabel 3. Peubah Penduga yang Dipilih pada Persamaan Hutan Lindung Keterangan Satuan X 1 Kepadatan Penduduk (kpdt) (jiwa/ha) X 2 Persentase Keluarga Pertanian (%_ktani) (%) X 3 Jarak dari Desa ke Ibu Kota Kecamatan (j_dkec) (km) X 4 Jarak ke Jalan Kolektor (j_kolek) (km) X 5 Jarak ke Jalan Lokal (j_lokal) (km) X 6 Jarak ke Jalan Setapak (km) (j_stpk) (km) X 7 Persentase Keluarga Miskin (%_kmiskin) (%) D 1 Jenis Penggunaan Emplasemen/bangunan lain (emp), D 1 = 1; peubah lainnya = 0 Ada/Tidak D 2 Jenis Penggunaan Hutan rakyat/kebun campuran (kbn), D 2 = 1; peubah lainnya = 0 Ada/Tidak D 3 Jenis Penggunaan Kebun Teh (teh), D 3 = 1; peubah lainnya = 0 Ada/Tidak D 4 Jenis Penggunaan Permukiman Estate (est), D 4 = 0; peubah lainnya = 0 Ada/Tidak D 5 Jenis Penggunaan Permukiman Perkampungan (kmp), D 5 = 1; peubah lainnya = 0 Ada/Tidak D 6 Jenis Penggunaan Sawah (swh), D 6 = 1; peubah lainnya = 0 Ada/Tidak D 7 Jenis Penggunaan Semak/pertanian lahan kering (smk), D 7 = 1; peubah lainnya = 0 Ada/Tidak D 8 Jenis Penggunaan Villa (vila), D 8 = 1; peubah lainnya = 0 Ada/Tidak Peubah-peubah penduga yang dipilih untuk persamaan kawasan lindung (Y 3 ) selengkapnya disampaikan pada Tabel 4.

33 19 Tabel 4. Peubah Penduga yang Dipilih pada Persamaan Kawasan Lindung Keterangan Satuan X 1 Kepadatan Penduduk (kpdt) (jiwa/ha) X 2 Persentase Keluarga Pertanian (%_ktani) (%) X 3 Jarak dari Desa ke Ibu Kota Kecamatan (j_dkec) (km) X 4 Jarak ke Jalan Kolektor (j_kolek) (km) X 5 Jarak ke Jalan Lokal (j_lokal) (km) X 6 Jarak ke Jalan Setapak (km) (j_stpk) (km) X 7 Persentase Keluarga Miskin (%_kmiskin) (%) D 1 Jenis Penggunaan Emplasemen/bangunan lain (emp), D 1 = 1; peubah lainnya = 0 Ada/Tidak D 2 Jenis Penggunaan Hutan rakyat/kebun campuran (kbn), D 2 = 1; peubah lainnya = 0 Ada/Tidak D 3 Jenis Penggunaan Kebun Teh (teh), D 3 = 1; peubah lainnya = 0 Ada/Tidak D 4 Jenis Penggunaan Permukiman Estate (est), D 4 = 0; peubah lainnya = 0 Ada/Tidak D 5 Jenis Penggunaan Permukiman Perkampungan (kmp), D 5 = 1; peubah lainnya = 0 Ada/Tidak D 6 Jenis Penggunaan Sawah (swh), D 6 = 1; peubah lainnya = 0 Ada/Tidak D 7 Jenis Penggunaan Semak/pertanian lahan kering (smk), D 7 = 1; peubah lainnya = 0 Ada/Tidak D 8 Jenis Penggunaan Villa (vila), D 8 = 1; peubah lainnya = 0 Ada/Tidak

34 IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Cisarua (Gambar 4), Sub DAS Ciliwung Hulu. Secara geografis Sub DAS Ciliwung Hulu terletak pada kedudukan LS dan BT, termasuk dalam zona 48 UTM. Daerah penelitian termasuk Daerah Tingkat II Bogor, Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Bogor mencakup sepuluh desa di Kecamatan Cisarua yaitu Desa Cilember, Desa Jogjogan, Desa Batu Layang, Desa Kopo, Desa Cisarua, Desa Citeko, Desa Leuwimalang, Desa Tugu Utara, Desa Tugu Selatan, dan Desa Cibeureum. Ke Arah Bogor N Cilember Leuwimalang Jogjogan Kopo Batu Layang Cisarua Tugu Utara Keterangan &V Masjid Attawun #Y Taman Safari Indonesia Sungai Utama Anak Sungai Jalan Raya Puncak Jalan Lokal Batu Layang Cibeureum Cilember Cisarua Citeko Jogjogan Kopo Leuwimalang Tugu Selatan Tugu Utara Citeko #Y Cibeureum &V Tugu Selatan Ke Arah Cianjur Kilometers Gambar 4. Peta Administrasi Kecamatan Cisarua Lokasi penelitian ini memiliki luas 7.406,30 ha dengan rincian sebagai berikut (Tabel 5):

35 21 Tabel 5. Luas Lokasi Penelitian No Kecamatan Desa Luas (ha) Proporsi (%) 1 Cisarua Cilember 296,74 4,01 2 Cisarua Jogjogan 235,64 3,18 3 Cisarua Batu Layang 272,15 3,67 4 Cisarua Kopo 652,6 8,81 5 Cisarua Cisarua 240,36 3,25 6 Cisarua Citeko 585,69 7,91 7 Cisarua Leuwimalang 136,98 1,85 8 Cisarua Tugu Utara 1201,3 16,22 9 Cisarua Tugu Selatan 2665,41 35,99 10 Cisarua Cibeureum 1119,43 15,11 Total 7406, Sumber: Peta RTRW, diolah (2009) 4.2. Iklim dan Tanah Curah hujan rata-rata di Sub DAS Ciliwung Hulu sebesar mm/tahun dengan perbedaan bulan basah dan kering yang sangat mencolok yaitu 10,9 bulan basah dan 0,9 bulan kering. Menurut sistem klasifikasi Schimdt- Ferguson yang didasarkan pada besarnya curah hujan, yaitu Bulan Basah (>200 mm) dan Bulan Kering (<100 mm) adalah termasuk ke dalam Tipe A. Debit sungai maksimum (Q max ) yang tercatat di Stasiun Katulampa tahun 2008 sebesar 91,87 m 3 /detik dan debit sungai minimum (Q min ) sebesar 3,28 m 3 /detik. Sedangkan unsur iklim lainnya, yaitu temperatur berkisar antara o C, dengan kelembaban udara antara 73-98%, dan lama penyinaran matahari antara 27 83%. Sedangkan besarnya evaporasi bulanan di Puncak sebesar mm (BPDAS Citarum-Ciliwung, 2008). Berdasarkan Peta Tanah Semi Detil tahun 1992 skala 1: yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, jenis tanah yang terdapat di Sub DAS Ciliwung Hulu meliputi order Andisol, Ultisol, Inceptisol, dan Entisol yang masing-masing sebesar 38%, 11%, 48%, dan 2,1% (Janudianto, 2004) Geologi dan Geomorfologi Geologi yang menyusun daerah penelitian ini umumnya hasil produk gunung api muda dari Gunung Salak dan Gunung Gede-Pangrango terdiri dari

36 22 breksi, lahar, lava dan tufa, produk gunung api tua dari Gunung Limo, Gunung Kencana, berupa batuan yang sulit untuk dipisahkan seperti breksi dan lava (Riyadi dalam Janudianto, 2004). Ditinjau dari kondisi geomorfologinya, Sub DAS Ciliwung Hulu didominasi oleh dataran volkanik tua dengan bentuk wilayah bergunung, hanya sebagian kecil merupakan dataran aluvial. Geomorfologi daerah penelitian ini dibentuk oleh gunung api muda dari Gunung Salak (2.211 m) dan Gunung Gede- Pangrango (3.019 m); rangkaian pegunungan api tua dari Gunung Malang (1.262 m), Gunung Limo, Gunung Kencana dan Gunung Gedongan (Riyadi dalam Janudianto, 2004) Rencana Tata Ruang Kabupaten Bogor Tahun Kebijakan penataan ruang wilayah meliputi kebijakan pengembangan struktur ruang dan kebijakan pengembangan pola ruang. Kebijakan pengembangan pola ruang, meliputi: a. kebijakan pengembangan kawasan lindung, meliputi: 1. pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup; dan 2. pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup. b. kebijakan pengembangan kawasan budidaya, meliputi: 1. perwujudan dan peningkatan keterpaduan dan keterkaitan antarkegiatan budidaya; dan 2. pengendalian perkembangan kegiatan budidaya agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan. c. kebijakan pengembangan kawasan strategis, meliputi: 1. pengembangan kawasan strategis Puncak sebagai kawasan strategis lingkungan hidup yang berperan sebagai kawasan andalan pariwisata melalui pembatasan pemanfaatan ruang yang lebih selektif dan efisien; 2. pengembangan kawasan strategis industri sebagai kawasan strategis sosial ekonomi melalui penataan dan pemanfaatan ruang serta pembangunan jaringan infrastruktur yang mendorong perkembangan kawasan;

37 3. pengembangan kawasan strategis pertambangan sebagai kawasan strategis lingkungan hidup yang berperan sebagai kawasan andalan sumberdaya alam melalui konservasi bahan galian; dan 4. pengembangan kawasan strategis lintas administrasi kabupaten sebagai kawasan strategis sosial ekonomi melalui sinkronisasi sistem jaringan. Rencana Tata Ruang Wilayah Kecamatan Cisarua diklasifikasikan menjadi 9 bentuk peruntukan lahan, dengan rincian sebagai berikut (Tabel 6): Tabel 6. Klasifikasi Peruntukan Ruang Kecamatan Cisarua Menurut RTRW di Kabupaten Bogor Tahun Klasifikasi Peruntukan Ruang Kecamatan Cisarua Proporsi No Luas (ha) Menurut RTRW Kabupaten Bogor (%) 1 Hutan Konservasi 1237,02 16,70 2 Hutan Lindung 2584,70 34,90 3 Perkebunan 1107,77 14,96 4 Permukiman Perdesaan (Hunian Jarang) 134,92 1,82 5 Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah) 298,82 4,03 6 Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah) 792,74 10,70 7 Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang) 341,54 4,61 8 Pertanian Lahan Kering 834,72 11,27 9 Tanaman Tahunan 62,46 0,84 10 Sungai Besar 11,61 0,16 Total (Ha) 7406, Sumber: Hasil Analisis (2009) 23

38 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kecamatan Cisarua Peta inkonsistensi pemanfaatan ruang Kecamatan Cisarua (Gambar 7) merupakan hasil dari tumpang tindih antara peta penggunaan lahan (Gambar 5), peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun (Gambar 6), dan peta administrasi (Gambar 4). Kecamatan Cisarua memiliki luas total sekitar 7406 ha dan memiliki sepuluh desa, meliputi Desa Cilember, Desa Jogjogan, Desa Batu Layang, Desa Kopo, Desa Cisarua, Desa Citeko, Desa Leuwimalang, Desa Tugu Utara, Desa Tugu Selatan, dan Desa Cibeureum. Dari ke-10 desa tersebut, terdapat dua desa yang seluruh wilayahnya termasuk ke dalam klasifikasi peruntukan permukiman (menurut peta RTRW Kabupaten Bogor tahun ) yaitu Desa Cisarua dan Desa Leuwimalang sehingga kedua desa tersebut dianggap konsisten. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh informasi bahwa sekitar 5663 ha atau 76% pemanfaatan ruang di Kecamatan Cisarua konsisten terhadap arahan RTRW Kabupaten Bogor tahun , sedangkan sekitar 1742 ha atau 23% pemanfaatan ruang di Kecamatan Cisarua ditengarai tidak konsisten terhadap arahan RTRW. Dalam peta inkonsistensi pemanfaatan ruang Kecamatan Cisarua diperoleh 26 bentuk inkonsistensi pemanfaatan ruang, termasuk di dalamnya inkonsistensi peruntukan kawasan lindung dengan eksisting penggunaan lahan non lindung dan peruntukan lahan pertanian dengan eksisting penggunaan lahan non pertanian. Dari Tabel 7 dan Tabel 8, terlihat bahwa bentuk inkonsistensi terbesar di Kecamatan Cisarua adalah pada bentuk peruntukan hutan lindung dengan eksisting penggunaan lahan kebun teh yaitu sebesar 524,18 ha atau 7,08% dari luas total Kecamatan Cisarua. Selanjutnya hal tersebut diikuti oleh bentuk peruntukan perkebunan dengan eksisting penggunaan lahan semak/pertanian lahan kering sebesar 354,53 ha atau 4,79% dari luas total Kecamatan Cisarua dan bentuk peruntukan hutan lindung dengan eksisting penggunaan lahan semak/pertanian lahan kering sebesar 235,19 ha atau 3,18% dari luas total Kecamatan Cisarua.

39 N Kilometers Keterangan Emplasmen/Bangunan Lain Hutan Hutan Rakyat/Kebun Campuran Jalan Utama Kebun Teh konsisten Permukiman Estate Permukiman Perkampungan Sawah Semak/Pertanian Lahan Kering Sungai Utama Villa Sumber: Hasil Digitasi Citra Google Earth 2007, Citra Ikonos 2006, dan Citra Quickbird 2006 Gambar 5. Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Cisarua Tahun N Keterangan Jalan Utama Sungai Utama Anak Sungai Kilometers Keterangan Hutan Konservasi Hutan Lindung Perkebunan Permukiman Perdesaan (Hunian Jarang) Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah) Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah) Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang) Pertanian Lahan Kering Sungai Besar Tanaman Tahunan Sumber: Peta Pola Ruang RTRW Kabupaten Bogor Gambar 6. Peta RTRW Kecamatan Cisarua Tahun

40 Cilember N Kopo Jogjogan Leuwimalang Batu Layang Cisarua Citeko Tugu Utara Cibeureum Tugu Selatan Kilometers Keterangan Hutan Konservasi => Emplasemen/ Bangunan Lain Hutan Konservasi => Hutan Rakyat/ Kebun Campuran Hutan Konservasi => Kebun Teh Hutan Konservasi => Permukiman Perkampungan Hutan Konservasi => Permukman Estate Hutan Konservasi => Semak/ Pertanian Lahan Kering Hutan Konservasi => Villa Hutan Lindung => Emplasemen atau Bangunan Lain Hutan Lindung => Hutan Rakyat/ Kebun Campuran Hutan Lindung => Kebun Teh Hutan Lindung => Permukiman Estate Hutan Lindung => Permukiman Perkampungan Hutan Lindung => Sawah Hutan Lindung => Semak/ Pertanian Lahan Kering Hutan Lindung => Villa Perkebunan => Emplasemen/ Bangunan Lain Perkebunan => Permuiman Estate Perkebunan => Permukiman Perkampungan Perkebunan => Semak/ Pertanian Lahan Kering Perkebunan => Villa Pertanian Lahan Kering => Emplasemen/Bangunan Lain Pertanian Lahan Kering => Permukiman Perkampungan Pertanian Lahan Kering => Villa Tanaman Tahunan => Permukiman Perkampungan Tanaman Tahunan => Semak/ Pertanian Lahan Kering Tanaman Tahunan => Villa Batas Desa Sumber: Peta Penggunaan Lahan Kec. Cisarua 2007 Peta RTRW Kec. Cisarua Peta Administrasi Kec. Cisarua Gambar 7. Peta Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Kecamatan Cisarua terhadap RTRW Kabupaten Bogor Tahun

41 27 Tabel 7. Luas Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Kecamatan Cisarua Penggunaan Lahan Saat Ini (Eksisting) di Kecamatan Cisarua Tahun 2007 (ha) No Klasifikasi RTRW Kab. Bogor Emplasmen/ bangunan lain Hutan rakyat/ kebun campuran Kebun teh Permukiman estate Permukiman perkampungan Sawah Semak/ pertanian lahan kering Villa Hutan 1,33 21,07 70,1 1,03 4,15 117,63 1,54 Konservasi 2 Hutan Lindung 6,8 152,02 524,18 11,87 5,19 9,49 235,19 12,87 3 Perkebunan 21,63 9,26 32,23 354,53 16,68 4 Pertanian Lahan Kering 5 Tanaman Tahunan 1,39 69,92 35,1 Keterangan: : tidak ada bentuk inkonsistensi Sumber: Hasil Analisis (2009) 3,65 22,76 0,97 Tabel 8. Proporsi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Kecamatan Cisarua Penggunaan Lahan saat ini (Eksisting) di Kecamatan Cisarua Tahun 2007 (%) No Klasifikasi RTRW Kab. Bogor Emplasmen/ bangunan lain Hutan rakyat/ kebun campuran Kebun teh Permukiman estate Permukiman perkampungan Sawah Semak/ pertanian lahan kering Villa Hutan 0,02 0,28 0,95 0,01 0,06 1,59 0,02 Konservasi 2 Hutan Lindung 0,09 2,05 7,08 0,16 0,07 0,13 3,18 0,17 3 Perkebunan 0,29 0,13 0,44 4,79 0,23 4 Pertanian Lahan Kering 5 Tanaman Tahunan 0,02 0,94 0,47 Keterangan: : tidak ada bentuk inkonsistensi Sumber: Hasil Analisis (2009) 0,05 0,31 0,01 Dari atribut peta inkonsistensi, terdapat 1863 poligon inkonsistensi pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan RTRW Kabupaten Bogor tahun di Kecamatan Cisarua, seperti yang disajikan pada Tabel 9. Tabel tersebut mengindikasikan bahwa jumlah poligon inkonsisten terbanyak terjadi pada bentuk inkonsistensi peruntukan pertanian lahan kering dengan eksisting penggunaan lahan villa sebanyak 426 poligon. Dari hasil survei lapang, diperoleh informasi bahwa sebagian besar lahan pertanian di Kecamatan Cisarua dimiliki oleh penduduk di luar kecamatan tersebut (umumnya berasal dari Jakarta, Bogor

42 28 dan sekitarnya). Lahan pertanian ini kemudian banyak yang terkonversi menjadi villa atau tempat rekreasi. Hal ini kemudian diikuti dengan bentuk inkonsistensi pertanian lahan kering dengan eksisting penggunaan lahan permukiman perkampungan sebanyak 229 poligon. Berdasarkan data PODES Sub DAS Ciliwung Hulu tahun 2006, terjadi peningkatan jumlah penduduk di Kecamatan Cisarua dari tahun sekitar 13%. Hal ini diduga akan meningkatkan kecenderungan konversi lahan pertanian menjadi permukiman. Dan bentuk inkonsistensi peruntukan hutan lindung dengan eksisting penggunaan lahan villa sebanyak 210 poligon. Tabel 9. Jumlah Poligon Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Kecamatan Cisarua Penggunaan Lahan Saat Ini (Eksisting) di Kecamatan Cisarua Tahun 2007 No Klasifikasi RTRW Kab. Bogor Emplasmen/ bangunan lain Hutan rakyat/ kebun campuran Kebun teh Permukiman estate Permukiman perkampungan Sawah Semak/ pertanian lahan kering Villa Hutan Konservasi 2 Hutan Lindung Perkebunan Pertanian Lahan Kering 5 Tanaman Tahunan Keterangan: : tidak ada poligon inkonsistensi Sumber: Hasil Analisis (2009) Gambar 8 menyajikan informasi bahwa luas inkonsistensi terbesar yang terjadi di Kecamatan Cisarua terletak di Desa Tugu Utara yaitu sebesar 570,69 ha atau 32,75% dari luas total inkonsistensi Kecamatan Cisarua, yang diikuti oleh Desa Tugu Selatan sebesar 417,39 ha atau 23,95% dari luas total inkonsistensi Kecamatan Cisarua dan Desa Citeko sebesar 220,12 ha atau 12,63% dari luas total inkonsistensi Kecamatan Cisarua. Luas dan proporsi setiap bentuk inkonsistensi pemanfaatan ruang masing-masing desa secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 1.

43 , ,39 8,41% 3,96% 4,13% 6,18% Cilember Jogjogan ,12 Batu Layang ,34 107,69 68,93 71,93 146,49 23,95% 8,00% 12,63% Kopo Citeko 0 ha 32,75% Tugu Utara Tugu Selatan Cibeureum Desa a). Luas Inkonsistensi Tiap Desa (ha) b).proporsi Inkonsistensi Tiap Desa(%) Gambar 8. (a) Luas dan (b) Proporsi Inkonsistensi Tiap Desa Gambar 9 menunjukkan jumlah poligon inkonsistensi yang terdapat di masing-masing desa di Kecamatan Cisarua. Desa yang memiliki jumlah poligon inkonsistensi terbanyak terletak pada Desa Tugu Utara sebanyak 363 poligon. Kemudian diikuti oleh Desa Tugu Selatan sebanyak 356 poligon dan Desa Cibeureum sebanyak 225 poligon. Jumlah poligon masing-masing bentuk inkonsistensi tiap desa secara lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran Poligon 50 0 Desa Gambar 9. Jumlah Poligon Inkonsistensi Tiap Desa Berdasarkan data luas inkonsistensi dan jumlah poligon, desa yang memiliki luas dan poligon inkonsistensi terbesar adalah Desa Tugu Utara. Untuk membandingkan antara luas inkonsistensi dan jumlah poligonnya maka analisis lebih mendalam akan diarahkan pada desa tersebut.

44 Tabel 10. Luas dan Jumlah Poligon Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Desa Tugu Utara No Inkonsistensi Peruntukan Penggunaan Lahan ha 332,55 Hutan Lindung Kebun Teh 9 Poligon Luas Inkonsistensi Luas Inkonsistensi (ha) 6,56 Jumlah poligon Hutan Lindung Villa 111 Poligon Luas poligon (ha) 1 Hutan Konservasi Kebun Teh 0,33 1 0,33 0,33 0,33 2 Hutan Lindung Emplasmen/Bangunan Lain 0,15 4 0,01 0,07 0,04 3 Hutan Lindung Hutan rakyat/kebun campuran 65, ,02 21,87 2,19 4 Hutan Lindung Kebun Teh 332,55 9 0,10 303,72 36,95 5 Hutan Lindung Permukiman Estate 5,21 4 0,26 2,47 1,30 6 Hutan Lindung Permukiman Perkampungan 0, ,01 0,10 0,02 7 Hutan Lindung Semak/pertanian lahan kering 129, ,01 48,12 5,17 8 Hutan Lindung Villa 6, ,01 1,11 0,06 9 Perkebunan Permukiman Perkampungan 0,51 9 0,01 0,19 0,06 10 Perkebunan Semak/pertanian lahan kering 23,3 15 0,03 8,34 1,55 11 Perkebunan Villa 4, ,01 1,77 0,06 12 Pertanian Lahan Kering Permukiman Perkampungan Min Max 30 Rata- rata 0, ,01 0,09 0,02 13 Pertanian Lahan Kering Villa 1, ,01 0,32 0,05 Total 570, Sumber: Hasil Analisis (2009) Dari Tabel 10 dapat diketahui bahwa luas inkonsistensi terbesar terjadi pada bentuk inkonsistensi hutan lindung dengan eksisting penggunaan lahan kebun teh yaitu seluas 332,55 ha dengan 9 jumlah poligon. Sedangkan jumlah poligon terbanyak terdapat pada bentuk inkonsistensi hutan lindung dengan eksisting penggunaan villa sebanyak 111 poligon (luas inkonsistensi seluas 6,56 ha). Gambar 10. Luas dan Jumlah Poligon Inkonsistensi di Desa Tugu Utara Gambar 10 memperlihatkan bahwa bentuk inkonsistensi hutan lindung dengan eksisting penggunaan lahan kebun teh memiliki luas poligon yang relatif besar (luas rata-rata poligonnya 36,95 ha) dan umumnya memiliki pola sebaran

45 memusat. Sedangkan bentuk inkonsistensi hutan lindung dengan eksisting penggunaan lahan villa memiliki luas poligon yang relatif kecil (luas rata-rata poligonnya 0,06 ha) dan secara umum tersebar di wilayah Desa Tugu Utara (Gambar 11) Peta Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Desa Tugu Utara N Keterangan Batas Desa Tugu Utara Hutan Lindung =>Kebun Teh Hutan Lindung =>Villa Kilometers Gambar 11. Peta Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Desa Tugu Utara Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor tahun dijelaskan rencana pola ruang wilayah yang diantaranya meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Dalam peta RTRW, kawasan yang diperuntukkan sebagai kawasan lindung adalah hutan lindung dan hutan konservasi sedangkan kawasan yang diperuntukkan sebagai kawasan budidaya adalah perkebunan, permukiman perdesaan (hunian jarang), permukiman perdesaan (hunian rendah), permukiman perkotaan (hunian rendah), permukiman perkotaan (hunian sedang), pertanian lahan kering, dan tanaman tahunan (Gambar 12).

46 , , ,77 792,74 834, ha 134,92 298,82 341,54 62,46 11,61 Peruntukan RTRW a). Luas Peruntukan 0,84% 0,16% 1,82% 11,27% 4,61% 10,70% 4,03% 14,96% 16,70% 34,90% Hutan Konservasi Hutan Lindung Perkebunan Permukiman Perdesaan (Hunian Jarang) Permukiman Perdesaan (Hunian Rendah) Permukiman Perkotaan (Hunian Rendah) Permukiman Perkotaan (Hunian Sedang) Pertanian Lahan Kering Tanaman Tahunan Sungai Besar b). Proporsi Peruntukan Gambar 12. (a) Luas dan (b) Proporsi Peruntukan Menurut RTRW Kabupaten Bogor Tahun Menurut RTRW Kabupaten, kawasan yang diperuntukkan sebagai kawasan lindung di Kecamatan Cisarua adalah sebesar 3821,72 ha atau 51,60% dari luas Kecamatan Cisarua. Di samping itu, luas peruntukan hutan konservasi adalah sebesar 1237,02 ha atau 32,37% dari luas peruntukan kawasan lindung dan hutan lindung sebesar 2584,70 ha atau 67,63% dari luas peruntukan kawasan lindung (Gambar 13).

47 , ,02 67,63% 32,37% ha Hutan Konservasi Hutan Lindung Peruntukan Menurut RTRW Hutan Konservasi Hutan Lindung a). Luas Peruntukan b). Proporsi Peruntukan Gambar 13. (a) Luas dan (b) Proporsi Peruntukan Kawasan Lindung Menurut RTRW Kabupaten Bogor Tahun Luas total inkonsistensi yang terjadi pada bentuk peruntukan hutan konservasi (Gambar 15) adalah sebesar 216,85 ha atau 17,53% dari luas peruntukan hutan konservasi. Inkonsistensi peruntukan hutan konservasi tersebar pada 105 poligon diketahui berada di Desa Cibeureum, Desa Citeko, Desa Tugu Selatan, dan Desa Tugu Utara. Sedangkan luas total inkonsistensi yang terjadi pada peruntukan hutan lindung (Gambar 16) adalah sebesar 957,61 ha atau 37,05% dari luas peruntukan hutan lindung. Inkonsistensi peruntukan hutan lindung tersebar pada 533 poligon, yang diketahui berada di Desa Batu Layang, Desa Cilember, Desa Jogjogan, Desa Tugu Selatan, dan Desa Tugu Utara (Gambar 14) ,85 957, ,53% 37,05% ha Hutan Konservasi Hutan Lindung % Hutan Konservasi Hutan Lindung Peruntukan RTRW Peruntukan RTRW a). Luas Inkonsistensi b). Proporsi Inkonsistensi Gambar 14. (a) Luas dan (b) Proporsi Inkonsistensi Peruntukan Kawasan Lindung

48 Villa Semak/ Pertanian Lahan Kering N Kebun Teh Kilometers Keterangan Batas Peruntukan Hutan Konservasi Emplasmen/Bangunan Lain Hutan Rakyat/Kebun Campuran Kebun Teh Permukiman Estate Permukiman Perkampungan Semak/Pertanian Lahan Kering Villa Gambar 15. Peta Inkonsistensi Peruntukan Hutan Konservasi N Villa Semak/ Pertanian Lahan Kering Kilometers Keterangan Batas Peruntukan Hutan Lindung Emplasmen/Bangunan Lain Hutan Rakyat/Kebun Campuran Kebun Teh Permukiman Estate Permukiman Perkampungan Sawah Semak/Pertanian Lahan Kering Villa Gambar 16. Peta Inkonsistensi Peruntukan Hutan Lindung

49 35 Kawasan yang diperuntukan sebagai kawasan budidaya di Kecamatan Cisarua adalah sebesar 3572,97 ha atau 48,23% dari luas Kecamatan Cisarua. Kawasan budidaya di Kecamatan Cisarua meliputi perkebunan sebesar 1107,77 ha atau 31,00% dari luas peruntukan kawasan budidaya, permukiman perdesaan (hunian jarang) sebesar 134,92 ha atau 3,78%, permukiman perdesaan (hunian rendah) sebesar 298,82 ha atau 8,36% dari luas peruntukan kawasan budidaya, permukiman perkotaan (hunian rendah) sebesar 792,74 ha atau 22,19% dari luas peruntukan kawasan budidaya, permukiman perkotaan (hunian sedang) sebesar 341,54 ha atau 9,56% dari luas peruntukan kawasan budidaya, pertanian lahan kering sebesar 834,72 ha atau 23,36% dari luas peruntukan kawasan budidaya, dan tanaman tahunan sebesar 62,46 ha atau 1,75% dari luas peruntukan kawasan budidaya. Bentuk peruntukan kawasan budidaya yang mengalami inkonsistensi adalah peruntukan pertanian lahan kering, perkebunan, dan tanaman tahunan (Gambar 17) , ,77 62, ,36% 31,00% 1,75% ha Pertanian Lahan Kering Perkebunan Tanaman Tahunan % Pertanian Lahan Kering Perkebunan Tanaman Tahunan Peruntukan Menurut RTRW Peruntukan Menurut RTRW a). Luas Peruntukan b). Proporsi Peruntukan Gambar 17. Luas dan Proporsi Peruntukan Kawasan Budidaya Menurut RTRW Kabupaten Bogor Tahun Luas total inkonsistensi yang terjadi pada bentuk peruntukan pertanian lahan kering (Gambar 19) adalah sebesar 106,41 ha atau 12,75% dari luas peruntukan pertanian lahan kering. Inkonsistensi peruntukan pertanian lahan kering tersebar pada 657 poligon yang diketahui berada di Desa Batu Layang, Desa Cibeureum, Desa Cilember, Desa Citeko, Desa Jogjogan, Desa Kopo, Desa Tugu Selatan, dan Desa Tugu Utara. Luas total inkonsistensi yang terjadi pada bentuk peruntukan perkebunan (Gambar 20) adalah sebesar 434,33 ha (39,21%

50 dari luas peruntukan perkebunan). Inkonsistensi peruntukan perkebunan tersebar pada 518 poligon yang diketahui berada di Desa Cibeureum, Desa Kopo, Desa Tugu Selatan, dan Desa Tugu Utara. Luas total inkonsistensi yang terjadi pada bentuk peruntukan tanaman tahunan (Gambar 21) sebesar 27,38 ha atau 43,84% dari luas peruntukan tanaman tahunan. Inkonsistensi peruntukan tanaman tahunan tersebar di Desa Cilember dan Desa Jogjogan. Sebanyak 50 poligon ditemukan tidak konsisten pada peruntukan tanaman tahunan (Gambar 18) ,41 434,33 27, ,75% 39,21% 43,84% ha Pertanian Lahan Kering Perkebunan Tanaman Tahunan % Pertanian lahan Kering Perkebunan Tanaman Tahunan Peruntukan Menurut RTRW Peruntukan Menurut RTRW a). Luas Inkonsistensi b). Proporsi Inkonsistensi Gambar 18. (a) Luas dan (b) Proporsi Inkonsistensi Peruntukan Kawasan Budidaya N Villa Permukiman Perkampungan Kilometers Keterangan Batas Peruntukan Pertanian Lahan Kering Emplasmen/Bangunan Lain Permukiman Perkampungan Villa Gambar 19. Peta Inkonsistensi Peruntukan Pertanian Lahan Kering

51 N Semak/ Pertanian Lahan Kering Kilometers Keterangan Batas Peruntukan Perkebunan Emplasmen/Bangunan Lain Permukiman Estate Permukiman Perkampungan Semak/Pertanian Lahan Kering Villa Gambar 20. Peta Inkonsistensi Peruntukan Perkebunan N Kilometers Keterangan Batas Peruntukan Tanaman Tahunan Permukiman Perkampungan Semak/Pertanian Lahan Kering Villa Gambar 21. Peta Inkonsistensi PeruntukanTanaman Tahunan

52 5.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Kecamatan Cisarua Analisis Regresi Berganda Inkonsistensi Peruntukan Hutan Konservasi Menjadi Bentuk Penggunaan Lain Inkonsistensi pertama yang dianalisis adalah inkonsistensi hutan konservasi menjadi bentuk penggunaan lain (Y 1 ) dan ditunjukkan pada Tabel 11. Peubah penduga dengan nilai p<0,05 memiliki pengaruh sangat nyata (cetak tebal) sedangkan untuk peubah penduga dengan nilai 0,1<p<0,05 memiliki pengaruh nyata dalam meningkatkan luas inkonsistensi peruntukan hutan konservasi menjadi bentuk penggunaan lain. Tabel 11. Hasil Analisis Regresi Berganda untuk Inkonsistensi Peruntukan Hutan Konservasi Menjadi Bentuk Penggunaan Lain Effect B Std.Err T p Beta (ß) St.Err.ß Intercept -1050,22 510,8829-2, , teh (D 3 ) -1,81 0,6511-2, , , ,14919 kmp (D 5 ) 0,93 0,4884 1, , , ,18562 j_kolek (X 4 ) 275,84 134,0316 2, , , ,28340 j_lokal (X 5 ) 8,90 4,6538 1, , , ,44579 j_stpk (X 6 ) 300,93 147,0745 2, , , ,10090 Sumber: Hasil Analisis (2009) Dari tabel 11 diperoleh persamaan regresi sebagai berikut: Y 1 = -1050, ,39 X 4 +0,85 X ,85 X 6 0,41 D 3 + 0,35 D 5 R 2 = 0,49 Dimana: Y 1 = Luas poligon inkonsistensi peruntukan hutan konservasi (ha) X 4 = Jarak ke jalan kolektor primer(km) X 5 = Jarak ke jalan lokal (km) X 6 = Jarak ke jalan setapak (km) D 3 = Jenis penggunaan kebun teh = Jenis penggunaan permukiman perkampungan D 5 Nilai beta menunjukkan nilai koefisien dari setiap peubah dilihat dari arah dan besaran pengaruhnya. Jarak ke jalan kolektor primer, jalan lokal dan jalan setapak berpengaruh positif terhadap luas inkonsistensi peruntukan hutan konservasi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin jauh lokasi yang bermasalah ke jalan kolektor primer, jalan lokal, dan jalan setapak akan meningkatkan luas inkonsistensi hutan konservasi ke bentuk penggunaan lain. Lokasi peruntukan hutan konservasi yang jauh dari jalan utama (Jl. Raya Puncak) dengan akses jalan menuju lokasi tersebut cukup sulit (jalan sempit, berliku, dan menanjak) serta 38

53 39 pengawasan yang kurang maksimal cenderung meningkatkan inkonsistensi peruntukan hutan konservasi. Kondisi eksisting jalan menuju peruntukan hutan konservasi dapat dilihat pada Gambar 22. (a) (b) Gambar 22. Kondisi Jalan Menuju Hutan Konservasi Untuk interpretasi peubah dummy digunakan luas poligon inkonsistensi permukiman real estate sebagai blanko. Adanya permukiman perkampungan berpengaruh positif terhadap inkonsistensi peruntukan hutan konservasi. Hal ini menunujukkan bahwa adanya permukiman perkampungan memiliki pengaruh yang cenderung lebih besar dibandingkan peubah dummy yang lain kecuali pada peubah kebun teh Analisis Regresi Berganda Inkonsistensi Peruntukan Hutan Lindung Menjadi Bentuk Penggunaan Lain Analisis regresi kedua yang dilakukan yaitu luas poligon inkonsistensi peruntukan hutan lindung menjadi bentuk penggunaan lain sebagai Y 2 dengan 15 varibel penduga (Tabel 12). Peubah penduga dengan nilai p<0,05 memiliki pengaruh sangat nyata (cetak tebal) sedangkan untuk peubah penduga dengan nilai 0,1<p<0,05 memiliki pengaruh nyata dalam meningkatkan luas inkonsistensi hutan lindung menjadi bentuk penggunaan lain. Peubah kepadatan penduduk berpengaruh positif terhadap luas inkonsistensi peruntukan hutan lindung menjadi bentuk penggunaan lain. Hal ini menunjukkan bahwa semakin padat penduduk wilayah tersebut akan meningkatkan luas inkonsistensi peruntukan hutan lindung menjadi bentuk penggunaan lain.

54 40 Tabel 12. Hasil Analisis Regresi Berganda untuk Inkonsistensi Peruntukan Hutan Lindung Menjadi Bentuk Penggunaan Lain Effect B Std.Err T P Beta (ß) St.Err.ß Intercept -3, , , , emp (D 1 ) 1, , , , , , teh (D 3 ) -0, , , , , , kmp (D 5 ) 1, , , , , , swh (D 6 ) 0, , , , , , vila (D 8 ) 1, , , , , , kpdt (X 1 ) 0, , , , , , %_ksjhtra (X 7 ) -0, , , , , , Sumber: Hasil Analisis (2009) Dari Tabel 12 diperoleh persamaan sebagai berikut: Y 2 = -3,06 + 0,15 X 1 0,42 X 7 + 0,25 D 1 0,13 D 3 + 0,73 D 5 + 0,08 D 6 + 0,70 D 8 R 2 = 0,57 Dimana: Y 2 = Luas poligon inkonsistensi peruntukan hutan lindung (ha) X 1 = Kepadatan penduduk (jiwa/ha) X 7 = Persentase keluarga miskin (%_kmiskin) (%) D 1 = Jenis penggunaan emplasemen/bangunan lain D 3 = Jenis penggunaan kebun teh D 5 = Jenis penggunaan permukiman perkampungan D 6 = Jenis penggunaan sawah D 8 = Jenis penggunaan villa Faktor penduduk seringkali menjadi faktor utama dari berbagai masalah dalam pembangunan, terutama berkaitan dengan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Pada banyak kasus, kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan pada kenyataannya banyak terkait dengan tekanan penduduk (Rustiadi et al., 2009). Semakin padat penduduk suatu wilayah akan memicu terjadinya konversi lahan, baik konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian karena meningkatnya kebutuhan pangan ataupun konversi lahan hutan atau lahan pertanian menjadi lahan terbangun karena kebutuhan penduduk akan permukiman serta fasilitas-fasilitas umum lainnya yang semakin meningkat. Persentase keluarga miskin berpengaruh negatif yang berarti semakin rendah persentase keluarga miskin di wilayah tersebut akan meningkatkan luas inkonsistensi peruntukan ruang hutan lindung menjadi bentuk penggunaan lain. Rendahnya persentase keluarga miskin menunjukkan bahwa tingkat ekonomi di

55 wilayah tersebut cukup baik. Seseorang dengan tingkat ekonomi yang baik cenderung lebih mudah melakukan konversi lahan ke pemanfaatan lahan dengan land rent yang lebih tinggi. Untuk peubah dummy emplasemen/bangunan lain, permukiman perkampungan, dan villa berpengaruh positif terhadap luas inkonsistensi hutan lindung menjadi bentuk penggunaan lain. Hal ini menunjukkan bahwa adanya emplasemen/bangunan lain, permukiman perkampungan, sawah, dan villa memiliki pengaruh yang cenderung lebih besar dibandingkan peubah dummy lainnya kecuali peubah kebun teh Analisis Regresi Berganda Inkonsistensi Peruntukan Kawasan Lindung Menjadi Bentuk Penggunaan Lain Luas poligon inkonsistensi peruntukan kawasan lindung menjadi bentuk penggunaan lain (Y 3 ) merupakan gabungan poligon Y 1 dan Y 2 (Tabel 13). Peubah penduga dengan nilai p<0,05 memiliki pengaruh sangat nyata (cetak tebal) sedangkan untuk peubah penduga dengan nilai 0,1<p<0,05 memiliki pengaruh nyata dalam meningkatkan luas inkonsistensi kawasan lindung menjadi bentuk penggunaan lain. Tabel 13. Hasil Analisis Regresi Berganda untuk Inkonsistensi Peruntukan Kawasan Lindung Menjadi Bentuk Penggunaan Lain Effect B Std.Err T P Beta (ß) St.Err.ß Intercept -1, , , , emp (D 1 ) 0, , , , , , teh (D 3 ) -0, , , , , , kmp (D 5 ) 1, , , , , , vila (D 8 ) 1, , , , , , kpdt (X 1 ) 0, , , , , , j_kolek (X 4 ) -0, , , , , , %_ksjhtra (X 7 ) -0, , , , , , Sumber: Hasil Analisis (2009) Dari tabel 13 diperoleh persamaan sebagai berikut: 41 Y 3 = -1,75 + 0,07 X 1 0,19 X 4 0,08 X 7 + 0,21 D 1 0,15 D 3 + 0,65 D 5 +0,64 D 8 R 2 = 0,54 Dimana: Y 3 = Luas poligon inkonsistensi peruntukan kawasan lindung (ha) X 1 = Kepadatan penduduk (jiwa/ha)

56 42 X 4 = Jarak ke jalan kolektor (km) X 7 = Persentase keluarga miskin (%_kmiskin) (%) D 1 = Jenis penggunaan emplasemen/bangunan lain D 3 = Jenis penggunaan kebun teh D 5 = Jenis penggunaan permukiman perkampungan D 8 = Jenis penggunaan villa Peubah kepadatan penduduk berpengaruh positif yang berarti semakin padat penduduk di wilayah tersebut akan meningkatkan luas inkonsistensi kawasan lindung menjadi bentuk penggunaan lain. Semakin padat penduduk suatu wilayah maka kebutuhan akan perumahan, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya akan semakin meningkat. Hal inilah yang akan memicu terjadinya inkonsistensi penataan ruang. Jarak ke jalan kolektor primer berpengaruh negatif yang berarti pendeknya jarak akan mendorong luas inkonsistensi kawasan lindung menjadi bentuk penggunaan lain. Sebagian kawasan lindung dilalui oleh Jalan Raya Puncak (jalan kolektor primer); jalan ini merupakan akses transportasi menuju Bogor-Cianjur-Bandung yang selalu ramai. Di sepanjang jalan ini banyak bermunculan hotel, restoran, dan tempat rekreasi yang semakin mengarah pada penyimpangan penggunaan lahan. Persentase keluarga miskin ditemukan berpengaruh negatif terhadap luas inkonsistensi peruntukan kawasan lindung menjadi bentuk penggunaan lain. Hal ini menunjukkan bahwa semakin rendah persentase keluarga miskin maka luas inkonsistensi peruntukan kawasan lindung menjadi bentuk penggunaan lain akan semakin meningkat. Rendahnya persentase keluarga miskin menunjukkan bahwa tingkat ekonomi penduduk di sekitar kawasan lindung cukup sejahtera. Kegiatan manusia yang mengarah pada tujuan ekonomi akan memicu terjadinya perubahan penggunaan lahan dari aktivitas land rent yang rendah ke aktivitas land rent yang lebih tinggi. Kegiatan ini pada akhirnya akan meningkatkan inkonsistensi peruntukan kawasan lindung menjadi bentuk penggunaan lain. Peubah dummy emplasemen/bangunan lain, permukiman perkampungan, dan villa berpengaruh positif terhadap luas inkonsistensi peruntukan kawasan lindung. Hal ini menunjukkan bahwa adanya emplasemen/bangunan lain, permukiman perkampungan, dan villa memiliki pengaruh yang cenderung lebih besar dibandingkan peubah dummy lainnya kecuali peubah kebun teh.

57 43 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1. Luas total inkonsistensi pemanfaatan ruang di Kecamatan Cisarua adalah sekitar 1742 ha atau 23% dari luas total Kecamatan Cisarua. Luasan tersebut dibagi menjadi 1863 poligon. Bentuk inkonsistensi terbesar terjadi pada bentuk inkonsistensi hutan lindung dengan eksisting penggunaan lahan kebun teh (524 ha atau 7% dari luas total Kecamatan Cisarua). Sedangkan desa yang memiliki luas inkonsistensi terbesar adalah Desa Tugu Utara yaitu sekitar 570 ha atau 32% dari luas total inkonsistensi Kecamatan Cisarua. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi luas inkonsistensi peruntukan hutan konservasi adalah wilayah yang lokasinya jauh dari jalan (jalan kolektor primer, jalan lokal, dan jalan setapak) lebih berpotensi mengalami inkonsistensi pemanfaatan ruang. Adanya permukiman perkampungan cenderung meningkatkan luas inkonsistensi peruntukan hutan konservasi. Luas inkonsistensi peruntukan hutan lindung dipengaruhi oleh tingginya kepadatan penduduk, dominannya penduduk sejahtera (persentase keluarga miskin rendah). Adanya emplasemen/bangunan lain, permukiman perkampungan, villa, dan sawah berpengaruh signifikan dalam meningkatkan luas inkonsistensi peruntukan hutan lindung. Faktor-faktor penentu luas inkonsistensi peruntukan kawasan lindung adalah: tingginya kepadatan penduduk, jarak ke jalan kolektor primer (dekatnya jarak ke jalan) dan persentase keluarga miskin (rendahnya persentase keluarga miskin) berpotensi mengalami inkonsistensi pemanfatan ruang. Adanya emplasemen/bangunan lain, permukiman perkampungan, dan villa cenderung meningkatkan luas inkonsistensi peruntukan kawasan lindung menjadi bentuk penggunaan lain.

58 Saran Perlunya pemantauan pemanfaatan ruang di Kecamatan Cisarua yang patut diduga merupakan bentuk pelanggaran tata ruang karena pemanfaatannya inkonsisten dengan peruntukan tata ruang (RTRW). Lokasi-lokasi tersebut khususnya di daerah yang jauh dari jalan, baik jalan utama, jalan lokal, dan jalan setapak. Dengan aksesibilitas yang sulit dijangkau, wilayah tersebut lebih berpotensi mengalami inkonsistensi pemanfaaatan ruang. Daerah dengan kepadatan penduduk tinggi dan penduduk sejahtera diduga berpengaruh dalam meningkatkan konversi lahan ke pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Serta adanya emplasemen/bangunan lain, permukiman perkampungan, sawah, dan villa juga cenderung meningkatkan inkonsistensi pemanfaatan ruang di Kecamatan Cisarua. Perlunya perhatian lebih saat melakukan koreksi geometri antara citra dengan peta jalan karena Kecamatan Cisarua memiliki bentang lahan yang bergunung dan berbukit sehingga proses ini cukup sulit dilakukan. Penelitian lanjutan sangat disarankan terutama dengan menggunakan data beberapa titik tahun sehingga laju perubahan inkonsistensi pemanfaatan ruang dapat diketahui.

59 45 DAFTAR PUSTAKA Barus, B., dan U.S Wiradisastra Sistem Informasi Geografi. Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. BPDAS Citarum-Ciliwung Sub DAS Ciliwung Hulu. (diakses 24 Maret, 2009, 13:01). BPDASCTW Urutan Prioritas DAS. (diakses 4 Februari, 2009, 18:16). Direktorat Jendral Penataan Ruang Pemanfaatan Ruang di Kawasan Bencana Banjir. (diakses 4 Februari, 2009, 12:49). Direktorat Jendral Penataan Ruang World Town Planning Day: Momen Tepat Mengajak Stakeholder Untuk Bersama Menata Ruang. (diakses 10 Februari, 2010, 15:05). Harian Kompas Pembongkaran Belum Selesai. Sabtu, 19 Desember 2009 Hal 26. Harian Pelita Rusaknya Kawasan Puncak dan TNGHS Ulah Para Pejabat. (diakses 24 Februari, 2009, 10.30). Harian Pos Kota Vila Liar Rusak Resapan Air. Sabtu, 31 Oktober 2009 Hal 1. Harian Pos Kota Vila Liar Rata Tanah. Sabtu, 12 Desember 2009 Hal 4. Harian Pos Kota Target Pembongkaran Meleset. Sabtu, 19 Desember 2009 Hal 4. Harian Radar Bogor Bangunan Salah Peruntukan. Senin, 21 Desember 2009 Hal 17. Janudianto Analisis Perubahan Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Debit Maksimum-Minimum di Sub DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat (Skripsi). Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Juanda, B Modul Kuliah Ekonometrika I. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Kementrian Negara Lingkungan Hidup (diakses 5 Februari, 2009, 09:33). Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No 19 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor Tahun

60 Rustiadi, E Alih Fungsi Lahan dalam Perspektif Lingkungan Perdesaan. Makalah Lokakarya Penyususnan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Lingkungan Kawasan Perdesaan di Cibogo, Bogor, Mei. Rustiadi, E., S. Saefulhakim, dan D.R. Panuju Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Sabri Analisis Alih fungsi Lahan dengan Menggunakan Penginderaan Jauh dan Ketersediaan Membayar di Sub DAS Ciliwung Hulu Jawa Barat (Tesis). Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suripin Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. ANDI. Yogyakarta. Sutanto Penginderaan Jauh Jilid I. Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada. Gadjah Mada University Press. Tarigan, R Perencanaan Pengembangan Wilayah. Bumi Aksara. Jakarta. Undang-undang Republik Indonesia No 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. 46

61 LAMPIRAN 47

62 48 Lampiran 1. Tabel Luas Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Kecamatan Cisarua No Bentuk Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Desa Cilember Jogjogan Batu Layang Kopo Cisarua Citeko Leuwimalang Tugu Utara Tugu Selatan Cibeureum Total Inkonsistensi 296,74 ha 235,64 ha 272,15 ha 652,6 ha 240,36 ha 585,69 ha 136,98 ha 1201,3 ha 2665,41 ha 1119,43 ha ha % ha % ha % ha % ha % ha % ha % ha % ha % ha % ha % 1 Hutan Konservasi Emplasmen/ Bangunan Lain ,19 0, ,14 0,01 1,33 0,02 2 Hutan Konservasi Hutan Rakyat/ Kebun Campuran ,50 0, ,57 0,38 21,07 0,28 3 Hutan Konservasi Kebun Teh ,00 3, ,33 0,02 0,36 0,02 16,41 0,94 70,10 0,95 4 Hutan Konservasi Permukiman Estate ,03 0, ,03 0,01 5 Hutan Konservasi Permukiman Perkampungan ,25 0, ,90 0,05 4,15 0,06 6 Hutan Konservasi Semak/ Pertanian Lahan Kering ,11 4, ,52 2,27 117,63 1,59 7 Hutan Konservasi Villa ,73 0, ,81 0,05 1,54 0,02 8 Hutan Lindung Emplasmen/ Bangunan Lain ,21 0, ,15 0,01 6,44 0, ,80 0,09 9 Hutan Lindung Hutan Rakyat/ Kebun Campuran 22,29 1,28 19,79 1,14 39,12 2, ,71 3,77 5,11 0, ,02 2,05 10 Hutan Lindung Kebun Teh ,55 19,08 191,63 11, ,18 7,08 11 Hutan Lindung Permukiman Estate ,21 0,30 6,66 0, ,87 0,16 12 Hutan Lindung Permukiman Perkampungan 1,95 0,11 1,21 0,07 0,99 0, ,87 0,05 0,17 0, ,19 0,07 13 Hutan Lindung Sawah 7,27 0,42 1,28 0,07 0,94 0, ,49 0,13 14 Hutan Lindung Semak/ Pertanian Lahan Kering 13,83 0,79 13,66 0,78 57,27 3, ,28 7,42 21,15 1, ,19 3,18 15 Hutan Lindung Villa 0,36 0,02 2,41 0,14 3,04 0, ,56 0,38 0,50 0, ,87 0,17 16 Perkebunan Emplasmen/ Bangunan Lain ,29 0, ,27 1,16 0,07 0,004 21,63 0,29 17 Perkebunan Permukiman Estate ,26 0, ,26 0,13 18 Perkebunan Permukiman Perkampungan ,54 0, ,76 0, ,51 0,03 8,10 0,46 7,32 0,42 32,23 0,44 19 Perkebunan Semak/ Pertanian Lahan Kering ,24 6, ,19 2, ,30 1,34 112,66 6,47 54,14 3,11 354,53 4,79 20 Perkebunan Villa ,91 0, ,21 0,24 8,43 0,48 3,13 0,18 16,68 0,23 21 Pertanian Lahan Kering Emplasmen/ Bangunan Lain ,39 0, ,39 0,02 22 Pertanian Lahan Kering Permukiman Perkampungan 11,15 0,64 9,32 0,53 4,96 0,28 3,42 0, ,02 0, ,24 0,01 14,71 0,84 12,1 0,69 69,92 0,94 23 Pertanian Lahan Kering Villa 2,61 0,15 6,35 0,36 1,16 0,07 0,94 0, ,95 0, ,77 0,10 11,94 0,69 5,38 0,31 35,10 0,47 24 Tanaman Tahunan Permukiman Perkampungan 2,78 0,16 0,87 0, ,65 0,05 25 Tanaman Tahunan Semak/ Pertanian Lahan Kering 6,33 0,36 16,43 0, ,76 0,31 26 Tanaman Tahunan Villa 0,36 0,02 0,61 0, ,97 0,01 Total per Desa 68,93 3,96 71,93 4,13 107,69 6,18 139,34 8, ,12 12, ,69 32,75 417,39 23,95 146,49 8, ,58 23,53

63 49 Lampiran 2. Tabel Jumlah Poligon Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang di Kecamatan Cisarua No Bentuk Inkonsistensi Pemanfaatan Ruang Cilember Jogjogan Batu Layang Kopo Cisarua Citeko Leuwimalang Tugu Utara Tugu Selatan Cibeureum 1 Hutan Konservasi Emplasmen/ Bangunan Lain Hutan Konservasi Hutan Rakyat/ Kebun Campuran Hutan Konservasi Kebun Teh Hutan Konservasi Permukiman Estate Hutan Konservasi Permukiman Perkampungan Hutan Konservasi Semak/ Pertanian Lahan Kering Hutan Konservasi Villa Hutan Lindung Emplasmen/ Bangunan Lain Hutan Lindung Hutan Rakyat/ Kebun Campuran Hutan Lindung Kebun Teh Hutan Lindung Permukiman Estate Hutan Lindung Permukiman Perkampungan Hutan Lindung Sawah Hutan Lindung Semak/ Pertanian Lahan Kering Hutan Lindung Villa Perkebunan Emplasmen/ Bangunan Lain Perkebunan Permukiman Estate Perkebunan Permukiman Perkampungan Perkebunan Semak/ Pertanian Lahan Kering Perkebunan Villa Pertanian Lahan Kering Emplasmen/ Bangunan Lain Pertanian Lahan Kering Permukiman Perkampungan Pertanian Lahan Kering Villa Tanaman Tahunan Permukiman Perkampungan Tanaman Tahunan Semak/ Pertanian Lahan Kering Tanaman Tahunan Villa Total per Desa Desa Total Poligon

64 50 Lampiran 3. Kliping Mengenai Kawasan Puncak Sumber: Harian Pos Kota, hal. 11 (31 Oktober 2009)

65 51 Sumber: Harian Pos Kota, hal. 4 (12 Desember 2009) Sumber: Harian Pos Kota, hal. 4 (19 Desember 2009)

66 Sumber: Harian Kompas, hal. 26 (19 Desember 2009) 52

67 Sumber: Harian Radar Bogor, hal. 17 (21 Desember 2009) 53

III. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelititan

III. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelititan 10 III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelititan Kegiatan penelitian ini dilakukan di laboratorium dan di lapangan. Pengolahan citra digital dan analisis data statistik dilakukan di Bagian Perencanaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Pola (Pemanfaatan) Ruang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Pola (Pemanfaatan) Ruang 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Pola (Pemanfaatan) Ruang Menurut UU RI No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Pemanfaatan ruang di dalam

Lebih terperinci

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian

3 METODE. Lokasi dan Waktu Penelitian 8 3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah Kabupaten Bogor Jawa Barat yang secara geografis terletak pada 6º18 6º47 10 LS dan 106º23 45-107º 13 30 BT. Lokasi ini dipilih karena Kabupaten

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Bekasi (Gambar 1) dan analisis data dilakukan di studio Bagian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Departemen

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Karakteristik Biofisik 4.1.1 Letak Geografis Lokasi penelitian terdiri dari Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua, Kabupaten Bogor yang terletak antara 6⁰37 10

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret hingga bulan November 2009, bertempat di laboratorium dan di lapangan. Penelitian di lapangan ( pengecekan

Lebih terperinci

III.BAHAN DAN METODE. Gambar 1. Lokasi Penelitian (DAS Ciliwung Hulu)

III.BAHAN DAN METODE. Gambar 1. Lokasi Penelitian (DAS Ciliwung Hulu) III.BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di DAS Ciliwung Hulu yang secara geografi terletak pada 6 o 38 01 LS 6 o 41 51 LS dan 106 o 50 11 BT 106 o 58 10 BT. Penelitian

Lebih terperinci

PEMBAHASAN 5.1 Data dan Analisis Penghitungan Komponen Penduduk

PEMBAHASAN 5.1 Data dan Analisis Penghitungan Komponen Penduduk V PEMBAHASAN 5.1 Data dan Analisis 5.1.1 Penghitungan Komponen Penduduk Kependudukan merupakan salah satu komponen yang penting dalam perencanaan suatu kawasan. Faktor penduduk juga memberi pengaruh yang

Lebih terperinci

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Gambar 1. Lokasi Penelitian 11 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Analisis citra dan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN GUNUNG DEPOK SINDUR PARUNG RUMPIN CISEENG CIBINONG BOJONG GEDE KEMANG RANCA BUNGUR KOTA BOGOR CIBUNGBULANG CIAMPEA DRAMAGA

III. METODOLOGI PENELITIAN GUNUNG DEPOK SINDUR PARUNG RUMPIN CISEENG CIBINONG BOJONG GEDE KEMANG RANCA BUNGUR KOTA BOGOR CIBUNGBULANG CIAMPEA DRAMAGA 13 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kawasan Agropolitan Cendawasari yang terletak di, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Sedangkan, analisis spasial

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Interpretasi Citra Landsat Tahun 1990, 2001 dan 2010 Interpretasi citra landsat dilakukan dengan melihat karakteristik dasar kenampakan masing-masing penutupan/penggunaan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 14 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Bandung Barat yang merupakan kabupaten baru di Provinsi Jawa Barat hasil pemekaran dari Kabupaten Bandung. Kabupaten

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Diresmikannya Kota Tasikmalaya sebagai daerah otonom pada tanggal 17 Oktober 2001 mengandung konsekuensi adanya tuntutan peningkatan pelayanan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Sebaran Penggunaan/Penutupan Lahan dan Perubahan Luasannya di Kota Bogor Kota Bogor memiliki luas kurang lebih 11.267 Ha dan memiliki enam kecamatan, yaitu Kecamatan Bogor

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS ANALISIS FAKTOR-FAKTOR FISIK YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS PADI SAWAH DENGAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus di Kabupaten Bogor, Jawa Barat) RANI YUDARWATI PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan Tahun 2009 Peta penutupan lahan dihasilkan melalui metode Maximum Likelihood dari klasifikasi terbimbing yang dilakukan dengan arahan (supervised) (Gambar 14).

Lebih terperinci

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di DAS Ciliwung Hulu dan Cisadane Hulu. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli 2009 dan selesai pada

Lebih terperinci

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT Ria Rosdiana Hutagaol 1 dan Sigit Hardwinarto 2 1 Faperta Jurusan Kehutanan Universitas

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Febuari 2009 sampai Januari 2010, mengambil lokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengolahan dan Analisis

Lebih terperinci

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Gambar 1. Lokasi Penelitian BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Bekasi dan kegiatan analisis data dilakukan di studio bagian Perencanaan Pengembangan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN WILAYAH DI KABUPATEN BANDUNG

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN WILAYAH DI KABUPATEN BANDUNG ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN WILAYAH DI KABUPATEN BANDUNG An Analysis of Land Use Change and Regional Land Use Planning in Bandung Regency Rani Nuraeni 1), Santun Risma

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 11 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Februari 2009 sampai Januari 2010 yang berlokasi di wilayah administrasi Kabupaten Bogor. Analisis data dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan diuraikan latar belakang studi, rumusan masalah, tujuan dan sasaran yang akan dicapai, metoda penelitian (meliputi ruang lingkup, pendekatan, sumber dan cara mendapatkan

Lebih terperinci

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan suatu ruang terbuka di kawasan perkotaan yang didominasi tutupan lahannya oleh vegetasi serta memiliki fungsi antara lain

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa

Lebih terperinci

EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN EKSISTING DAN ARAHAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG KOTA TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT

EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN EKSISTING DAN ARAHAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG KOTA TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN EKSISTING DAN ARAHAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG KOTA TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT NINA RESTINA 1i SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepadatan penduduk di Kota Bandung yang telah mencapai 2,5 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni. Perumahan

Lebih terperinci

Evaluasi Penyimpangan Penggunaan Lahan Berdasarkan Peta Arahan Pemanfaatan Lahan di Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

Evaluasi Penyimpangan Penggunaan Lahan Berdasarkan Peta Arahan Pemanfaatan Lahan di Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali Evaluasi Penyimpangan Penggunaan Lahan Berdasarkan Peta Arahan Pemanfaatan Lahan di Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali FRANSISKA PURBA R. SUYARTO *) I WAYAN NUARSA Jurusan/Prodi Agroekoteknologi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan salah satu bentuk ekosistem yang secara umum terdiri dari wilayah hulu dan hilir. Wilayah hulu DAS didominasi oleh kegiatan pertanian lahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan lingkungan terkait antara hubungan faktor abiotik, biotik dan sosial budaya pada lokasi tertentu, hal ini berkaitan dengan kawasan bentanglahan yang mencakup

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah di Kota Jakarta Timur, dengan fokus pada Kecamatan Jatinegara. Kecamatan ini memiliki 8 Kelurahan yaitu Cipinang Cempedak, Cipinang

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN

ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN ANALISIS KERAPATAN VEGETASI PADA KELAS TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI LEPAN SKRIPSI Oleh : WARREN CHRISTHOPER MELIALA 121201031 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai tambang timah rakyat dilakukan di Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Penelitian dilaksanakan pada bulan April

Lebih terperinci

AUDIT TATA RUANG DESA TUGU UTARA DAN DESA TUGU SELATAN KAWASAN PUNCAK LUTFIA NURSETYA FUADINA

AUDIT TATA RUANG DESA TUGU UTARA DAN DESA TUGU SELATAN KAWASAN PUNCAK LUTFIA NURSETYA FUADINA AUDIT TATA RUANG DESA TUGU UTARA DAN DESA TUGU SELATAN KAWASAN PUNCAK LUTFIA NURSETYA FUADINA DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN

Lebih terperinci

ANALISIS KESELARASAN PEMANFAATAN RUANG KECAMATAN SEWON BANTUL TAHUN 2006, 2010, 2014 TERHADAP RENCANA DETAIL TATA RUANG KAWASAN (RDTRK )

ANALISIS KESELARASAN PEMANFAATAN RUANG KECAMATAN SEWON BANTUL TAHUN 2006, 2010, 2014 TERHADAP RENCANA DETAIL TATA RUANG KAWASAN (RDTRK ) ANALISIS KESELARASAN PEMANFAATAN RUANG KECAMATAN SEWON BANTUL TAHUN 2006, 2010, 2014 TERHADAP RENCANA DETAIL TATA RUANG KAWASAN (RDTRK 2008-2018) Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan dinamika daerah menuju kemajuan yang diinginkan masyarakat. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dalam memajukan kondisi sosial,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Salah satu tantangan pembangunan jangka panjang yang harus dihadapi Indonesia terutama di kota-kota besar adalah terjadinya krisis air, selain krisis pangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kota seringkali menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologis lingkungan perkotaan yang mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan. Oleh karena itu

Lebih terperinci

KAJIAN PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN PADA DAS CILIWUNG HULU DENGAN PENDEKATAN SPASIAL DINAMIK

KAJIAN PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN PADA DAS CILIWUNG HULU DENGAN PENDEKATAN SPASIAL DINAMIK KAJIAN PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN PADA DAS CILIWUNG HULU DENGAN PENDEKATAN SPASIAL DINAMIK Study of Land Cover Changing in Ciliwung Upper Stream with Spatial Dynamic Approach Dedi Ruspendi Mahasiswa Program

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Letak, Luas dan Batas Wilayah Secara Geografis Kota Depok terletak di antara 06 0 19 06 0 28 Lintang Selatan dan 106 0 43 BT-106 0 55 Bujur Timur. Pemerintah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 20 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari 2009 sampai bulan November 2009. Lokasi penelitian adalah wilayah administrasi Kota Jakarta Timur.

Lebih terperinci

ANALISIS SPASIAL KONVERSI LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (Studi Kasus Kawasan Hulu Daerah Aliran Sungai Cimanuk ) 1) ABSTRAK

ANALISIS SPASIAL KONVERSI LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (Studi Kasus Kawasan Hulu Daerah Aliran Sungai Cimanuk ) 1) ABSTRAK ANALISIS SPASIAL KONVERSI LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (Studi Kasus Kawasan Hulu Daerah Aliran Sungai Cimanuk ) 1) La Ode S. Iman dan Didit Okta Pribadi 2) Eksplorasi Nusantara Kompleks BBIHP No.25 Cikaret,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ruang Lingkup Penelitian

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ruang Lingkup Penelitian METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Dalam rangka perumusan kebijakan, pembangunan wilayah sudah seharusnya mempertimbangkan pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan. Penelitian ini dilakukan atas dasar

Lebih terperinci

III. METEDOLOGI PENELITIAN

III. METEDOLOGI PENELITIAN III. METEDOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli hingga Desember 2011, berlokasi di DAS Ciliwung Hulu, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Wilayah penelitian meliputi

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 21 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Kondisi Umum Fisik Wilayah Geomorfologi Wilayah pesisir Kabupaten Karawang sebagian besar daratannya terdiri dari dataran aluvial yang terbentuk karena banyaknya sungai

Lebih terperinci

PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU

PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU SKRIPSI OLEH: BASA ERIKA LIMBONG 061201013/ MANAJEMEN

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur

Gambar 2. Peta Batas DAS Cimadur 11 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian DAS, Banten merupakan wilayah yang diambil sebagai daerah penelitian (Gambar 2). Analisis data dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Definisi daerah aliran sungai dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek, diantaranya menurut kamus penataan ruang dan wilayah,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR ISI SAMPUL DALAM... PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... ABSTRACT... ABSTRAK... RINGKASAN... HALAMAN PERSETUJUAN... TIM PENGUJI... RIWAYAT HIDUP... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR

Lebih terperinci

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Sub DAS pada DAS Bekasi Hulu Berdasarkan pola aliran sungai, DAS Bekasi Hulu terdiri dari dua Sub-DAS yaitu DAS Cikeas dan DAS Cileungsi. Penentuan batas hilir dari DAS Bekasi

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan banyak digunakan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, selain itu lahan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 11 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Depok Kabupaten Sleman yang terdiri dari Desa Caturtunggal, Desa Maguwoharjo dan Desa Condongcatur (Gambar 3).

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan kawasan konservasi tanah dan air bagi kawasan Bopunjur (Bogor,

BAB I PENDAHULUAN. merupakan kawasan konservasi tanah dan air bagi kawasan Bopunjur (Bogor, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kecamatan Cipanas berdasarkan Rencana Umum Tata Ruang merupakan kawasan konservasi tanah dan air bagi kawasan Bopunjur (Bogor, Puncak, Cianjur). Berdasarkan

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh : MUHAMMAD TAUFIQ

SKRIPSI. Oleh : MUHAMMAD TAUFIQ APLIKASI TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK ESTIMASI KOEFISIEN LIMPASAN PERMUKAAN SUB DAS PADANG JANIAH DAN PADANG KARUAH PADA DAS BATANG KURANJI KECAMATAN PAUH KOTA PADANG

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian 23 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini difokuskan pada lahan sagu yang ada di sekitar Danau Sentani dengan lokasi penelitian mencakup 5 distrik dan 16 kampung di Kabupaten Jayapura.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya

Lebih terperinci

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Bab 5 5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan 5.2.1 Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Perhatian harus diberikan kepada kendala pengembangan,

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ruang, Tata Ruang dan Penataan Ruang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ruang, Tata Ruang dan Penataan Ruang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ruang, Tata Ruang dan Penataan Ruang Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

ANALISISPERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI WAMPU, KABUPATEN LANGKAT, SUMATERA UTARA

ANALISISPERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI WAMPU, KABUPATEN LANGKAT, SUMATERA UTARA 1 ANALISISPERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI WAMPU, KABUPATEN LANGKAT, SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh : EDRA SEPTIAN S 121201046 MANAJEMEN HUTAN PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Bogor, 08 Desember 2015 Walikota Bogor, Dr. Bima Arya Sugiarto

KATA PENGANTAR. Bogor, 08 Desember 2015 Walikota Bogor, Dr. Bima Arya Sugiarto WALIKOTA BOGOR KATA PENGANTAR Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan perlu didukung data dan informasi lingkungan hidup yang akurat, lengkap dan berkesinambungan. Informasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini 57 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Hutan Indonesia Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini mencapai angka 120,35 juta ha atau sekitar 61 % dari luas wilayah daratan Indonesia.

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI Oleh : Ardiansyah Putra 101201018 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan menegaskan bahwa air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU

GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU 75 GAMBARAN UMUM SWP DAS ARAU Sumatera Barat dikenal sebagai salah satu propinsi yang masih memiliki tutupan hutan yang baik dan kaya akan sumberdaya air serta memiliki banyak sungai. Untuk kemudahan dalam

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak dan Luas Daerah penelitian mencakup wilayah Sub DAS Kapuas Tengah yang terletak antara 1º10 LU 0 o 35 LS dan 109 o 45 111 o 11 BT, dengan luas daerah sekitar 1 640

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap negara mempunyai kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya alamnya untuk pembangunan. Pada negara berkembang pembangunan untuk mengejar ketertinggalan dari

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya

Lebih terperinci

PEMETAAN DAERAH RAWAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN TOBA SAMOSIR PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI

PEMETAAN DAERAH RAWAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN TOBA SAMOSIR PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI PEMETAAN DAERAH RAWAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN TOBA SAMOSIR PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh MAYA SARI HASIBUAN 071201044 PROGRAM STUDI MANAJEMEN HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

Pembangunan Basis Data Guna Lahan Kabupaten Bengkalis

Pembangunan Basis Data Guna Lahan Kabupaten Bengkalis Jurnal Rekayasa LPPM Itenas No.1 Vol. XV Institut Teknologi Nasional Januari Maret 2011 Pembangunan Basis Data Guna Lahan Kabupaten Bengkalis M. ABDUL BASYID, DIAN SURADIANTO Jurusan Teknik Geodesi FTSP

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Wilayah Bodetabek Sumber Daya Lahan Sumber Daya Manusia Jenis tanah Slope Curah Hujan Ketinggian Penggunaan lahan yang telah ada (Land Use Existing) Identifikasi Fisik Identifikasi

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN METODE PENELITIAN

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN METODE PENELITIAN APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DALAM EVALUASI DAERAH RAWAN LONGSOR DI KABUPATEN BANJARNEGARA (Studi Kasus di Gunung Pawinihan dan Sekitarnya Sijeruk Kecamatan Banjarmangu Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Septi Sri Rahmawati, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Septi Sri Rahmawati, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lahan merupakan salah satu faktor penunjang kehidupan di muka bumi baik bagi hewan, tumbuhan hingga manusia. Lahan berperan penting sebagai ruang kehidupan,

Lebih terperinci

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang TEMU ILMIAH IPLBI 2015 Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang Studi Kasus: Kota Manado Ingerid L. Moniaga (1), Esli D. Takumansang (2) (1) Laboratorium Bentang Alam, Arsitektur

Lebih terperinci

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian Sub DAS Cikapundung

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian Sub DAS Cikapundung BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Sub DAS Cikapundung yang merupakan salah satu Sub DAS yang berada di DAS Citarum Hulu. Wilayah Sub DAS ini meliputi sebagian Kabupaten

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 23 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini memanfaatkan data sekunder yang tersedia pada Perum Jasa Tirta II Jatiluhur dan BPDAS Citarum-Ciliwung untuk data seri dari tahun 2002 s/d

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD NASKAH PUBLIKASI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan Mencapai derajat Sarjana

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan suatu lingkungan binaan yang selalu berubah dan berkembang sebagai wadah lingkungan fisik yang menampung segala kegiatan fungsional dan sosial masyarakat,

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan Mencapai derajat Sarjana S-1

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB III METODOLOGI. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 14 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODOLOGI Kegiatan penelitian ini dilakukan di Pusat Kota Banda Aceh yang berada di Kecamatan Baiturrahman, tepatnya mencakup tiga kampung, yaitu Kampung Baru,

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN KATINGAN DAN KOTA PALANGKA RAYA

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN KATINGAN DAN KOTA PALANGKA RAYA 31 KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN KATINGAN DAN KOTA PALANGKA RAYA Administrasi Secara administratif pemerintahan Kabupaten Katingan dibagi ke dalam 11 kecamatan dengan ibukota kabupaten terletak di Kecamatan

Lebih terperinci