Kadek Dwita Apriani. Universitas Udayana Jl P.B. Sudirman Denpasar-Bali Irhamna

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Kadek Dwita Apriani. Universitas Udayana Jl P.B. Sudirman Denpasar-Bali Irhamna"

Transkripsi

1 RESPON PUBLIK TERHADAP MODEL PENGANGGARAN PARTISIPATIF DALAM PEMBANGUNAN DESA: STUDI TIGA PROVINSI DI INDONESIA PUBLIC RESPONSES TOWARDS PARTICIPATORY BUDGETING MODEL IN VILLAGE DEVELOPMENT: CASE STUDIES IN THREE PROVINCES IN INDONESIA Kadek Dwita Apriani Universitas Udayana Jl P.B. Sudirman Denpasar-Bali Irhamna Universitas Indonesia, Depok-Jawa Barat Abstract Participatory budgeting in this article refer to village development through village fund. One of the nine development priorities by the Joko Widodo s Government. However, at their second year after implemented, the discourse of this program was merely related to techincal constraint such as the difference of villages number, the recruitment of village assistants, or how the fund being processed. Therefore, this program was not getting any significant responses from the public, which affected the level of public participation, even when empowerment and participation became the main principles. This research aims to describe public responses towards village fund in three provinces which represented three parts of Indonesia; Banten, Gorontalo, and West Papua. This research use descriptive-quantitative method. There are 800 samples that being taken from each province, with 3% MoE. This research finds that more than 50% of respondents did not have any information about the village fund, therefore the numbers of society who actively engaged in the program is low. There only 53% of respondents who agreed that the village fund was used correctly. Public s knowledge and judgement in three provinces are related to their culture which reflected from their intensity to be involved in public consultation or hearing. The higher their intensity to be involed, the greater the respondents tendency to be aware of village fund, and resulting a positive value about the pertinency of village fund. Key Words: village fund, participatory budgeting, public responses Abstrak Model penganggaran partisipatif dalam pembangunan desa merujuk pada program Dana Desa. Dua tahun berjalan, wacana tentang program ini lebih banyak berkaitan dengan hal teknis seperti perbedaan data jumlah desa; rekrutmen pendamping desa; atau syarat pencairan dana desa. Oleh sebab itu program ini dinilai kurang mendapat respon dari publik dalam arti luas sehingga berdampak pada partisipasi masyarakat dalam program yang dirancang dengan azas partisipasi dan pemberdayaan ini. Tujuan dari penelitian ini, untuk menggambarkan dan memetakan respon publik Indonesia mengenai program Dana Desa di wilayah Indonesia Barat yang diwakili oleh provinsi Banten; wilayah Indonesia Tengah yang diwakili Gorontalo; dan Indonesia Timur oleh Papua Barat. Berkaitan dengan Respon Publik terhadap Model Penganggaran... Kadek Dwita Apriani dan Irhamna 137

2 tujuan penelitian, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan tipe deskriptif. Sampel yang diambil di masing-masing provinsi berjumlah 800, sehingga MoEnya di kisaran 3%. Temuan penelitian ini memperlihatkan bahwa lebih dari 50% responden tidak mengetahui tentang program Dana Desa, sehingga jumlah mereka yang berpartisipasi dalam program tersebut juga lebih rendah. Dari mereka yang mengetahui perihal program Dana Desa tersebut, hanya sekitar 53% yang menilai bahwa pemanfaatan Dana Desa di lingkungan tempat tinggalnya tepat sasaran. Pengetahuan dan penilian masyarakat di tiga wilayah Indonesia tentang program dana desa tersebut berkaitan dengan budaya masyarakatnya yang tercermin dalam indikator intensitas mengikuti rembug warga untuk menyelesaikan persoalan di lingkungan tempat tinggalnya. Makin tinggi intensitas mereka mengikuti rembug warga, maka makin besar kecenderungan responden untuk mengetahui perihal Dana Desa dan memberi penilaian positif terkait ketepatan pemanfaatan Dana Desa di lingkungan sekitarnya. Kata kunci: dana desa, anggaran partisipatif, respon publik Pendahuluan Salah satu tujuan dari desentralisasi adalah menginternalisasikan nilai-nilai demokrasi sampai kepada tingkatan pemerintahan paling bawah 1. Dalam Nawa Cita, dikemukakan sembilan agenda pembangunan prioritas, salah satunya membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daearah dan desa dalam kerangka negara kesatuan 2. Implementasi Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, sebagai sebuah kebijakan desentralisasi, memberikan otonomi yang lebih luas kepada desa dalam merencanakan dan menjalankan program-program pembangunan. UU Desa mengamanatkan negara harus menyediakan 10% dari total APBN untuk dialokasikan sebagai dana desa, dan kemudian juga ditambahkan alokasi dana desa sebesar 10% dari dana perimbangan yang diterima oleh Kabupaten/Kota, setelah dikurangi dengan dana alokasi khusus (DAK) 3. Penyediaan ruang fiskal yang cukup besar ini diharapkan dapat mengurangi ketimpangan pembangunan antara pusat dan daerah. Jumlah dana desa yang dialokasikan pada APBN TA 2015 adalah Rp.20,7 triliun, dan naik menjadi Rp.46,9 triliun 1 Marco Bunte, Indonesia s Protracted Decentralization: Contested Reforms and Their Unintended Consequences dalam Marco Bunte dan Andreas Ufen (ed), Democratization in Post-Suharto Indonesia (New York: Routledge, 2009) hlm Kementerian PPN/Bappenas. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional : Buku I (Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas, 2015) hlm Lihat Pasal 72 dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. dalam APBN TA Jumlah tersebut bahkan melebihi jumlah anggaran belanja beberapa K/L seperti: Kementerian Pertanian (Rp.31,5 triliun), Kementerian Keuangan (Rp.39,3 triliun), dan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Rp.40,6 triliun) 5. Dengan alokasi tersebut, pada APBN TA 2015 jika dibagi sebanyak desa, rata-rata desa akan menerima Rp juta rupiah, sementara pada APBN TA 2016 dengan peningkatan alokasi anggaran, dan meningkatnya jumlah desa menjadi desa, masing-masing desa rata-rata mendapatkan besaran Rp juta. Azas pelaksanaan UU Desa antara lain adalah pemberdayaan dan partisipasi. Dengan demikian, UU Desa membuka ruang seluas-luasnya bagi partisipasi aktif masyarakat dan secara kontinu melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat desa sehingga pembangunan desa dapat berjalan. Azas ini juga menjadi dasar untuk menjamin kepentingan seluruh masyarakat dapat diakomodasi. Partisipasi juga dapat menjadi sebuah mekanisme kontrol yang efektif. Kontrol terhadap pemerintahan dapat diartikan sebagai kemampuan atau kekuasaan untuk mengarahkan, dan untuk menghasilkan sebuah pengawasan yang baik, masyarakat harus terlibat dalam prosesnya, mereka harus tahu apa yang terjadi dibalik sebuah kebijakan 6. 4 Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan, Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan, Informasi APBN 2016: Mempercepat Pembangunan Infrastruktur untuk Memperkuat Pondasi Pembangunan yang Berkualitas (Jakarta: 2016), hlm Danny Burns, Robin Hambleton, dan Paul Hoggert, The Politics of Decentralisation: Revitalising Local Democracy (London: Macmillan, 1994), hlm Jurnal Penelitian Politik Volume 13 No. 2 Desember

3 Salah satu model partisipasi masyarakat dalam pembangunan yang kerap dirujuk sebagai contoh adalah participatory budgeting 7 di Porto Alegre, Brazil. Menurut Souza (2001) proses redemokratisasi yang terjadi di Amerika Latin pada dekade 1980 menciptakan peluang partisipasi bagi masyarakat, hal tersebut kemudian didukung oleh desentralisasi kekuasaan, sehingga pemerintah daerah/lokal memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengatur dan mengalokasikan anggaran serta kebijakan apa yang harus mereka bentuk. Menggunakan konsep tangga partisipasi dari Arnstein (1971), model yang berkembang di Porto Alegre sudah mencapai tahapan citizen control. Proses penganggaran dilakukan secara berjenjang, mulai dari tingkat lingkungan, komite, komite khusus hingga delegasi tingkat kota yang kemudian memutuskan alokasi anggaran. Partisipasi ini pun berjalan secara inklusif, seluruh warga terlibat tanpa adanya diskriminasi, termasuk mereka yang berpenghasilan rendah. Dalam penyusunan anggaran, masyarakatlah yang menentukan alokasi sumber daya, sektor mana yang akan mereka bangun, dan seterusnya. Bank Dunia pada tahun 2001 memilih model ini sebagai salah satu proyek percontohan untuk melihat partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dalam kerangka pembangunan yang inklusif. Ide dasar dari penyusunan anggaran yang partisipatif adalah mendorong terbentuknya pendalaman demokrasi (deepening democracy). Selain itu, pelibatan masyarakat secara penuh dalam proses penyusunan anggaran dapat memperkecil peluang terjadinya tindak pidana korupsi, karena proses yang akuntabel dan transparan. Kondisi objektif di Indonesia sampai saat ini memperlihatkan pemerintah desa masih disibukkan dengan masalah birokrasi yang rumit, alur pertanggungjawaban yang panjang terkait Dana Desa, sehingga membuat mereka terkadang tidak bisa melangkah lebih jauh. Pada saat yang bersamaan, mereka juga dituntut untuk menyelesaikan laporan realisasi penggunaan Dana Desa tahun anggaran sebelumnya untuk bisa mencairkan Dana Desa pada tahun anggaran berjalan. Pada titik inilah, terlihat bahwa dimensi 7 Celina Souza, Participatory Budgeting in Brazilian Cities: Limits and Possibilities in Building Democratic Institutions dalam Environment & Urbanization Vol 13 No. 1, April 2001 partisipasi masyarakat desa belum mendapat perhatian yang memadai, karena perdebatan yang terjadi masih pada tataran administratif. Dengan berbagai persoalan yang disebutkan di atas, Dana Desa dikhawatirkan hanya menjadi wacana yang terhenti di tingkatan elit desa. Pengetahuan warga tentang dana desa pun luput dari kajian pihak terkait. Jika pengetahuan warga tentang dana desa rendah, maka kita tak dapat berharap banyak pada partisipasi warga dalam merencanakan dan mengawasi pemanfaatan dana desa. Oleh karenanya, penelitian mengenai respon publik terhadap program Dana Desa menjadi sangat penting. Penelitian ini ingin memberi gambaran mengenai respon publik di Indonesia terhadap program Dana Desa yang telah dijalankan selama kurang lebih 2 tahun di sekitar desa di seluruh Indonesia. Karenanya, dalam penelitian ini dipilih tiga provinsi yang mewakili wilayah Indonesia Barat, Tengah dan Timur untuk memperlihatkan perbedaan respon publik di tiga wilayah Indonesia mengenai Dana Desa. Kerangka Konsep Participatory Budgeting merupakan sebuah program pembuatan kebijakan yang menekankan pada partisipasi warga secara menyeluruh, melalui tingkatan-tingakatan wilayah (spasial) dan tematik untuk mengatur mengenai alokasi sumber daya berdasarkan prioritas kebijakan, serta memantau pengeluaran publik. 8 Program ini mengutamakan keikutsertaan seluruh lapisan masyarakat dalam menentukan prioritas untuk mengatur kebutuhan publik. 9 Istilah Participatory Budgeting pertama kali populer dari sebuah program peningkatan kualitas hidup di kota Porto Alegre, Brazil. Program ini dicetuskan oleh Partido dos Trabahaldores (PT) pada tahun 1988, sebagai hasil adaptasi nilai-nilai sosialis dalam realitas lokal melalui aliansi-aliansi. 10 Keberhasilan 8 Brian Wampler, A Guide to Participatory Budgeting, (diakses pada 18 November 2016), pukul WIB 9 Ibid. 10 Iain Bruce, The Porto Alegre Alternative: Direct Democracy in Action, (London: Pluto Press, 2004), hlm Respon Publik terhadap Model Penganggaran... Kadek Dwita Apriani dan Irhamna 139

4 program ini dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat Porto Alegre disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu: (1) kebudayaan komunitaskomunitas yang ada untuk menyuarakan aspirasi, keinginan, maupun tuntutan secara bersama; dan (2) gelombang migrasi besar-besaran yang mengakibatkan terbentuknya kesadaran bersama dalam menangani tantangan dan permasalahan yang dihadapi akibat fenomena tersebut. 11 Narasi-narasi mengenai partisipasi dalam proses penganggaran telah menjadi sebuah nilai baru dalam perluasan demokasi dan menjadi kritik terhadap bentuk-bentuk hirarki yang telah ada, termasuk kritik terhadap demokrasi perwakilan yang pada akhirnya hanya menjadi perebutan kekuasaan partai politik 12 Penganggaran partisipatif di Porto Alegre dipandang sebagai sebuah model penerapan demokrasi deliberatif. Pengalaman dari proses tersebut menghasilkan sebuah kesimpulan yang berbeda dari kesimpulan sebelumnya mengenai hubungan antara pengetahuan dan partisipasi. Sebelumnya partisipasi publik dinilai sebagai hasil dari pengetahuan warga yang mumpuni. Dengan kata lain, kualitas partisipasi berbanding lurus dengan tingkat pengetahuan masyarakat. Pengalaman Porto Alegre justeru membuktikan sebaliknya, dimana partisipasi warga dari berbagai lapisan masyarakat dalam program Participatory Budgeting di kota ini meningkatkan pengetahuan politik, khususnya mengenai anggaran publik dan demokrasi. 13 Gret dan Sintomer (2005) menyebutnya sebagai sekolah demokrasi bagi warga. Demokrasi yang dirujuk dalam hal ini adalah demokrasi komunitarian (demokrasi deliberatif). Demokrasi model ini menekankan unit analisa pada masyarakat lokal dan nilai kebersamaan secara kolektif. Pada bentuk umumnya diwujudkan dalam forum warga dengan musyawarah. 14 Nilai utama yang diusung 11 Ibid, hlm Anja Rocke, Framing Citizen Participation: Participatory Budgeting in France, Germany, and the United Kingdom (London: Palgrave Macmillan, 2014), hlm Marion Gret dan Yves Sintomer, The Porto Alegre Experiment: Learning Leassons for Better Democracy, (London: Zed Books, 2005), hlm Sutoro Eko, Komunitarianisme Demokrasi Lokal, demokrasi deliberatif adalah proses pengambilan keputusan yang menggunakan musyawarah, dan dialog antara berbagai pihak warga dengan tujuan mencapai konsensus, atau musyawarah mufakat. 15 Demokrasi deliberatif tidak membuka ruang yang lebar bagi kompetisi politik, melainkan menekankan pada nilai toleransi, saling menghormati, upaya argumentasi, dan lainnya. Kelebihan demokrasi deliberatif terletak pada terbukanya peluang bagi partisipasi masyarakat yang lebih luas, sehingga dapat menghindari munculnya dominasi kelompok elit, serta tarik menarik kekuasaan. 16 Demokrasi deliberatif berupaya meningkatkan komunikasi publik sebagai bentuk pembangunan kesadaran warga dalam berpolitik dan proses penyusunan kebijakan. Alat dari demokrasi deliberatif adalah forum, dialog, dan perkumpulan yang mengutamakan musyawarah. Studi dari Sherry Arnstein 17 (1969) menjadi salah satu studi klasik dari partisipasi masyarakat. Ia menjelaskan mengenai tipologi partisipasi yang kemudian dikenal dengan istilah tangga partisipasi masyarakat atau The Ladder of Citizen Participation. Konsep ini menjelaskan bagaimana sumber daya mengalami redistribusi yang kemudian memungkinkan kelompok yang selama ini tidak memiliki kekuasaan atas sumber daya (the have-not citizens) untuk dapat ikut menentukan bagaimana sebuah kebijakan dibentuk, diimplementasikan, dan diawasi 18. Dalam studinya, Arnstein (1969) membagi partisipasi masyarkat dalam delapan tingkatan: Manipulation; Therapy, dua tingkatan pertama ini dikelompokan kembali dalam derajat non-partisipasi; Information; Consultation; Placation, tiga tingkatan ini disebut dengan degrees of tokenism; Partnership; Delegated (diakses pada 19 November 2016), pukul WIB, hlm Dan Satriana dan Rianingsih Djohani, Memfasilitasi Konsultasi Publik. (Bandung: Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat, 2007), hlm Ibid 17 Ibid., hml Lebih lanjut dalam Sherry R. Arnstein A Ladder of Citizen Participation Journal of the American Institute of Planners (JAIP) Vo.35 No.4 Juli, 1969, hlm Jurnal Penelitian Politik Volume 13 No. 2 Desember

5 Power; dan Citizen Control, tiga tingkatan terakhir merupakan derajat tertinggi yang disebut dengan citizen power. Partisipasi warga dalam program Participatory Budgeting di Porto Alegre dinilai sudah mencapai tangga partisipasi tertinggi, yakni Citizen Control. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana dengan program sejenis yang ada di Indonesia? Program tersebut adalah Dana Desa. Program Dana Desa ini yang akan dibedah dengan konsep Anggaran Partisipatif; Demokrasi Delibertaif; dan Tangga Partisipasi Masyarakat dalam bagian pembahasan. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif berjenis deskriptif karena tujuan penelitian ini adalah untuk memberi gambaran tentang respon publik di Indonesia terhadap model penganggaran partisipatif dalam pembangunan desa, bukan mencari hubungan sebab akibat antar variabel. Pengumpulan data utama dilakukan dengan wawancara terstruktur terhadap responden dengan menggunakan kuesioner. Jumlah total responden dalam penelitian ini sebanyak orang yang terbagi ke tiga provinsi, sehingga jumlah sampel per provinsi adalah 800. Tingkat kepercayaan dalam riset ini adalah 95% dan Margin of Error (MoE) 3% di masing-masing provinsi. 19 Pengambilan sampel dilakukan dengan metode multistage random sampling, dengan memperhatikan proporsi penduduk di masingmasing kabupaten yang ada di ketiga provinsi yang menjadi lokus penelitian. Pengambilan data lapangan di Banten; Gorontalo; dan Papua Barat tidak dilaksanakan secara bersamaan. Adapun jadwal penelitian di tiga provinsi tersebut adalah sebagai berikut. Dipilihnya tiga provinsi tersebut dan waktu penelitian yang tidak bersamaan berdasarkan alasan metodologis, dimana masing-masing provinsi mewakili wilayah Indonesia. Banten dipandang sebagai potret Indonesia bagian Barat; Gorontalo mewakili wilayah Indonesia Tengah; dan Papua Barat merupakan representasi wilayah Indonesia Timur. Di masing-masing provinsi diambil 800 sampel dengan memperhatikan proporsi jumlah penduduk per kabupaten/kota. Selanjutnya jumlah sampel di tiap kabupaten berbeda sesuai dengan jumlah penduduk di kabupaten tersebut. Di masing-masing kabupaten diambil beberapa desa secara acak sesuai proporsi kabupaten. Di masing-masing desa diambil 5 RT/kampung dengan acak sederhana. Kemudian di masing-masing RT/kampung diambil 2 KK dengan acak sederhana, lalu di tiap KK diambil 1 responden dengan sistem Kish Grid. Proporsi gender dalam penelitian ini juga dijaga agar 50:50 dengan mekanisme nomor kuesioner ganjil untuk laki-laki dan genap untuk responden perempuan. Tahapan-tahapan dalam Multistage Random Samplingyang dilakukan terhadap populasi penduduk di masing-masing provinsi digambarkan dalam skema di bawah ini: Gambar 1. Tahapan Pengambilan Sampel Tabel 1.1 Waktu Pengumpulan Data No Provinsi Waktu Pengumpulan Data 1 Gorontalo 2 21 Juni Papua Barat 23 Juni 15 Juli Banten 1-20 Agustus David de Vaus, Research Design in Social Research (London: SAGE Publication, 2006), hlm. 81 Demografi Responden Sebelum memaparkan data mengenai respon publik di Indonesia terhadap model penganggaran partisipatif, penting untuk menjelaskan karakteristik responden dalam penelitian ini, seperti kategori desa/kota; usia; penghasilan; dan tingkat pendidikan. Terdapat variasi karakteristik responden dari tiga provinsi yang merupakan Respon Publik terhadap Model Penganggaran... Kadek Dwita Apriani dan Irhamna 141

6 lokus pada penelitian ini. Berikut adalah data demografik responden di tiga provinsi. Gambar 4: Komposisi Desa-Kota di Masing- Masing Provinsi Gambar 2: Komposisi Usia Responden di Masing- Masing Provinsi *Catatan: angka dalam persen Tabel 2: Komposisi Tingkat Pendidikan Responden di Masing-Masing Provinsi PENDIDIKAN BANTEN GORONTALO PAPUA BARAT TIDAK SEKOLAH TIDAK TAMAT SD TAMAT SD/SEDERAJAT TAMAT SLTP/SEDERAJAT TAMAT SLTA/SEDERAJAT TAMAT SMK AKADEMI (DI/DIII) SARJANA (S1) *Catatan: angka dalam persen *Catatan: angka dalam persen Berdasarkan data demografi responden yang ditampilkan di atas, diketahui bahwa responden dalam penelitian yang tersebar di tiga wilayah Indonesia ini sangat beragam. Di antara tiga provinsi baru (hasil pemekaran) yang menjadi lokus penelitian ini, Gorontalo merupakan provinsi dengan jumlah penduduk yang tinggal di wilayah berciri pedesaan paling banyak. Lebih dari 80% responden di Gorontalo tinggal di desa. Sementara Banten merupakan wilayah dengan penduduk yang tinggal di perkotaan paling banyak jika dibandingkan persentasenya dengan dua provinsi lainnya. Persentase penduduk dengan penghasilan tinggi juga paling banyak ditemukan di Provinsi Banten. Gambar 3: Komposisi Penghasilan Per Bulan Responden di Masing-Masing Provinsi Respon Publik terhadap Program Dana Desa Data berikut adalah data agregat dari tiga provinsi yang menjadi lokus penelitian (Papua Barat, Gorontalo dan Banten). Dua hal yang dilihat untuk mengukur respon publik adalah pengetahuan mengenai Dana Desa dan penilaian tentang ketepatan penggunaan dana desa (dari mereka yang tahu tentang Dana Desa. Data tersebut disajikan dalam dua gambar di bawah ini. *Catatan: angka dalam persen 142 Jurnal Penelitian Politik Volume 13 No. 2 Desember

7 Gambar 5: Pengetahuan Masyarakat Tentang Program Dana Desa *Catatan: angka dalam persen Data di atas memperlihatkan bahwa program Dana Desa yang telah bergulir selama dua tahun ini belum diketahui oleh sebagian besar masyarakat. Lebih dari 50% masyarakat di Indonesia Barat, Tengah, dan Timur tidak mengetahui mengenai program tersebut. Hal ini mengindikasikan respon publik terhadap program tersebut belum optimal. Pengetahuan masyarakat mengenai Dana Desa dipandang memiliki kaitan erat dengan partisipasi publik dalam program tersebut. Informasi atau pengetahuan tentang sebuah program dalam teori tangga partisipasi masyarakat yang dikemukakan Arnstein (1969) menempati posisi penting, namun tidak secara otomatis dapat memberikan ruang dan akses terhadap keputusan yang akan diambil. Masyarakat yang memiliki informasi atau pengetahuan masih berada dalam derajat tokenisme, belum sampai pada tahapan partisipatif. Informasi terkait dana desa menjadi salah satu bahan evaluasi, ketika dalam penelitian ini ditemukan sebesar 58,7% masyarakat di tiga provinsi (secara agregat) belum memiliki pengetahuan dan informasi yang memadai mengenai dana desa, berarti ada pola sosialisasi yang harus dievaluasi. Kementerian teknis yang berkaitan langsung dengan dana desa seperti Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Dalam Negeri, harus menemukan strategi sosialisasi yang lebih efektif. Sehingga, masyarakat desa memiliki akses informasi dan pengetahuan yang memadai. Tanpa adanya informasi yang memadai, agaknya sulit bagi masyarakat desa untuk meningkatkan peran mereka dan mencapai tangga partisipasi masyarakat tertinggi atau tahapan citizen control seperti di Porto Alegre. Temuan berikutnya, dari yang mengaku tahu atau pernah mendengar mengenai program Dana Desa (41,1%) tersebut ditanyakan pertanyaan lanjutan tentang penilaian mereka mengenai pemanfaatan Dana Desa di lingkungan tempat tinggal mereka. Jumlah responden yang menyatakan kurang tepat dan tidak tepat dari mereka yang mengaku tahu, sebanyak 42.2%. Sementara yang menyatakan bahwa program tersebut sangat tepat dan tepat sasaran sekitar 53%. Data mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam gambar di bawah ini. Gambar 6: Penilaian Masyarakat (yang mengaku tahu tentang dana desa) mengenai Ketepatan Pemanfaatan Dana Desa *Angka dalam persen Dari dua data frekuensi agregat di atas, diketahui bahwa respon publik Indonesia tentang Dana Desa belum optimal. Kemudian dilihat peta dari respon publik tersebut dan ingin diketahui faktor apa yang mungkin berkaitan dengan respon terhadap program Dana Desa tersebut. Faktorfaktor demografi yang dikemukan di bagian terdahulu seharusnya berkaitan dengan respon masyarakat mengenai isu-isu pembangunan. Status Sosial Ekonomi (SSE) masyarakat Indonesia umumnya dikaitkan dengan faktor wilayah. Sering kali diasumsikan, makin ke Barat maka SSE masyarakat semakin baik, sehingga akses informasinya juga semakin baik. Atas dasar itu, asumsi awal bahwa pengetahuan dan respon masyarakat tentang pembangunan semakin ke Barat akan semakin baik, dan sebaliknya. Respon Publik terhadap Model Penganggaran... Kadek Dwita Apriani dan Irhamna 143

8 Hanya saja, berdasarkan pemetaan data yang diperoleh dari hasil survei tiga provinsi mengenai dana desa, asumsi di atas tidak terbukti. Temuan lapangan dalam survei ini justeru memperlihatkan bahwa informasi mengenai pembangunan, khususnya program Dana Desa paling banyak diketahui di wilayah Tengah Indonesia. Dari tiga provinsi yang disurvei, pengetahuan masyarakat tentang Dana Desa paling rendah di Banten (Indonesia Barat). Karena temuan di atas, maka perlu didalami mengenai kemungkinan faktor lain yang berhubungan dengan pengetahuan masyarakat mengenai model penganggaran partisipatif ini. Data lapangan berikutnya memperlihatkan adanya kaitan pengetahuan responden mengenai Dana Desa dengan intensitas partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan berbasis spasial, seperti keikutsertaan dalam rapat-rapat desa/kampung/rt. Hal tersebut dapat dilihat dalam tabel hasil tabulasi silang antara variabel intensitas mengikuti rapat RT/kampung/desa dengan variabel pengetahuan program Dana Desa dibawah ini. Tabel 3: Tabulasi silang antara variabel intensitas mengikuti rapat RT/kampung/desa dengan variabel pengetahuan program Dana Desa di 3 Provinsi Gambar 7: Pengetahuan Masyarakat Tentang Program Dana Desa per Provinsi *Catatan: angka dalam persen Data di atas memperlihatkan bahwa 53.6% masyarakat Papua Barat mengetahui adanya program Dana Desa. Di Gorontalo, sebanyak 55.1% masyarakat mengetahui tentang Dana Desa, sedangkan di di Banten angka responden yang mengaku mengetahui tentang program tersebut hanya sebanyak 28.1%. Respon publik terhadap program Dana Desa ternyata tidak sepenuhnya bergantung pada SSE dan akses media. Di provinsi yang memiliki penduduk perkotaan lebih banyak, masyarakatnya cenderung lebih sedikit yang mengetahui tentang Dana Desa. Bila diasumsikan bahwa program Dana Desa yang berjalan 2 tahun ini telah diketahui oleh publik melalui berbagai media, maka seharusnya makin ke Barat, pengetahuan masyarakat semakin baik, namun temuan lapangan mencerminkan hal sebaliknya. Program Dana Desa paling sedikit diketahui di Indonesia bagian Barat yang memiliki infrastruktur; akses informasi; dan penduduk perkotaan dalam persentase yang tinggi. Intensitas mengikuti rapat Desa/Kampung/RT Pengetahuan tentang Dana Desa Tahu Tidak tahu Sering 50.1 % 49.8 % Jarang 36.6 % 63.2 % Tidak pernah 30.1 % 69.3 % Tidak menjawab 32.4 % 67.6 % Tabel di atas memperlihatkan bahwa intensitas partisipasi dalam pengambilan keputusan berbasis spasial berhubungan dengan pengetahuan responden mengenai Dana Desa. Semakin tinggi intensitas partisipasi maka makin besar kecenderungan warga untuk mengetahui mengenai program Dana Desa. Hal ini dapat dianalisis dengan salah satu kesimpulan dari pengalaman Participatory Budgeting yang telah berjalan lebih dari 2 dekade di Porto Alegre, bahwa sangat sulit dan lama jika mengharapkan partisipasi yang dihasilkan dari kecukupan pengetahuan warga mengenai program anggaran partisipatif. Pengalaman Porto Aalegre memperlihatkan bahwa partisipasi dalam forum-forum warga yang menyebabkan peningkatan pengetahuan warga mengenai program Participatory Budgeting itu. Hal yang sama terjadi di Indonesia pada program Dana Desa yang merupakan wujud dari model penganggaran partisipatif. Pengetahuan warga mengenai program ini didapat melalui partisipasi mereka dalam forum-forum warga berbasis spasial. Dengan begitu didapat penjelasan mengapa respon publik tentang Dana Desa 144 Jurnal Penelitian Politik Volume 13 No. 2 Desember

9 lebih baik di Gorontalo dan Papua Barat dibandingkan provinsi Banten. Ternyata basis pengetahuan tentang Dana Desa bukanlah akses informasi melalui media-media, melainkan pengetahuan tersebut berpangkal pada partisipasi. Di wilayah yang persentase masyarakatnya lebih banyak tinggal di wilayah pedesaan ditemukan kecenderungan lebih sering menghadiri forum atau musyawarah warga. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan waktu dan budaya hidup bersama yang masih terpelihara. Kehadiran atau partisipasi dalam forum tersebut menyebabkan mereka terlibat dalam pembahasan mengenai Dana Desa. Dari sana pengetahuan mengenai Dana Desa tersebut diperoleh. Data mengenai intensitas partisipasi warga dalam forum berbasis spasial di tiga wilayah penelitian diperlihatkan dalam grafik di bawah ini. Gambar 8: Intensitas Keikutsertaan dalam Pertemuan/Musyawarah Desa/Kampung/RT di masing-masing Provinsi *Catatan: angka dalam persen Diagram batang di atas menunjukkan bahwa masyarakat di Indonesia Timur dan Tengah cenderung lebih meluangkan waktunya untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan berbasis spasial. Kepedulian masyarakat di Indonesia Bagian Barat, dalam hal ini Banten, pada masalah-masalah di lingkungannya lebih rendah dibandingkan dua provinsi lain yang menjadi lokus dalam penelitian ini. Indikasi ini dilihat dari semakin ke Barat, jumlah responden yang menyatakan tidak pernah mengikuti musyawarah atau proses pengambilan keputusan di wilayah tempat tinggalnya semakin besar. Dalam Tangga Partisipasi Masyarakat yang dikemukakan Arnstein, keterlibatan masyarakat dalam musyawarah desa atau rapat desa, merupakan indikator dari proses yang disebut consultation. Consultation menurut Arnstein merupakan tingkatan partisipasi yang berada satu derajat di atas informasi, namun masih belum menggambarkan secara penuh kontrol masyarakat dalam proses perumusan sebuah kebijakan. Dalam tingkatan konsultasi ini masyarakat desa memiliki akses untuk menyampaikan aspirasi mereka melalui sejumlah rapat desa atau musyawarah desa. Dalam tahapan ini juga proses penganggaran partisipatif dapat dimulai. UU 6/2014 tentang Desa yang memberikan kewenangan luas kepada pemerintah desa melalui dana desa, mengikuti pola yang terjadi di Brazil pada akhir dekade 1980, ketika Konstitusi Brazil 1988 secara signifikan memberikan perluasan kewenangan kepada pemerintah kota, dalam hal alokasi sumber daya. Pemerintah Kota/ Kabupaten (Municipal Government) berwenang untuk menyediakan fasilitas kesehatan publik, pendidikan dasar, dan infrastruktur. 20 Dalam UU Desa tahapan konsultasi ini dapat terlihat dalam proses musyawarah desa, dan musyawarah rencana pembangunan desa (Musrenbangdes). Masyarakat dapat secara aktif memberikan aspirasi mereka untuk rencana kebijakan yang akan diambil, serta usulan-usulan untuk pembangunan proyek infrastruktur yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Dari pengetahuan mengenai program Dana Desa, indikator berikutnya adalah penilaian mengenai ketepatan penggunaan dana desa di desa tempat tinggalnya.temuan survei memperlihatkan data sebagai berikut. 20 Lebih lanjut dalam Brian Wampler, Participatory Budgeting in Brazil: Contestation, Cooperation, and Accountability (Pennsylvania: Pennsylvania State University Press, 2007), hlm. 46. Respon Publik terhadap Model Penganggaran... Kadek Dwita Apriani dan Irhamna 145

10 Gambar 9: Penilaian Ketepatan Penggunaan Dana Desa di Desa Responden (Dari yang Tahu Program Dana Desa) *Catatan: angka dalam persen Penggunaan Dana Desa paling banyak dinilai sudah tepat sasaran di provinsi Gorontalo. Di wilayah Indonesia Barat yang diwakili oleh Banten, responden cenderung menganggap penggunaan Dana Desa di desa tempat tinggalnya tidak/belum tepat. Ditemukan kecenderungan yang juga memperlihatkan pentingnya faktor intensitas mengikuti rapat/musyawarah pengambilan keputusan berbasis spasial dalam mempengaruhi penilaian masyarakat tentang ketepatan pemanfaatan Dana Desa. Data mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam hasil tabulasi silang di bawah ini. Tabel 4: Tabulasi Silang Antara Intensitas Partisipasi dan Penilaian Ketepatan Pemanfaatan Dana Desa Intensitas Ketepatan Penggunaan Dana Desa mengikuti rapat Desa/Kampung/RT Sangat tepat Tepat Kurang tepat Tidak tepat Tidak menjawab Sering 11.9 % 49.1 % 30.6 % 5.3 % 3.1 % Jarang 7.8 % 40.6 % 40.6 % 5.9 % 5.0 % Tidak pernah 8.3 % 27.5 % 44.2 % 14.2 % 5.8 % Tidak menjawab 13.9 % 31.9 % 36.1 % 8.3 % 9.7 % Data di atas menunjukkan bahwa semakin rendah intensitas seseorang mengikuti pertemuan warga di wilayah tempat tinggalnya, maka semakin besar kecenderungan untuk menilai bahwa pemanfaatan dana desa tidak tepat. Berdasarkan beberapa temuan di atas, maka diketahui bahwa program Dana Desa yang telah berjalan selama dua tahun terakhir ternyata belum menuai respon publik yang optimal. Lebih dari setengah masyarakat mengaku masih belum mengetahui mengenai program dengan anggaran yang cukup besar ini. Dari mereka yang menyatakan mengetahui tentang dana desa, hampir setengahnya menyatakan pemanfaatan dana tersebut di lingkungan tempat tinggalnya belum tepat sasaran. Hal ini semakin memperkuat indikasi bahwa proses penanggaran partisipatif dalam program dana desa belum optimal. Respon publik yang dalam penelitian ini diukur melalui dua indikator yaitu pengetahuan masyarakat mengenai dana desa dan penilaian ketepatan penggunaan dana desa di lingkungan tempat tinggal mereka bukan ditentukan oleh infrastruktur dan akses informasi yang baik, melainkan berkaitan dengan intensitas keterlibatan mereka dalam proses-proses pengambilan keputusan berbasis wilayah tempat tinggal. Makin sering seseorang berpartisipasi dalam musyawarah-musyawarah di tingkat kampung/rt, makin besar tendensi yang bersangkutan untuk memiliki pengetahuan tentang dana desa dan memberikan penilaian positif atas pemanfaatan dana desa tersebut. Dengan kata lain, budaya komunitas dalam masyarakat sangat mempengaruhi respon masyarakat terhadap program pembangunan desa ini. Pada bagian kerangka konsep telah disebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan Partisipatory Budgeting di Porto Alegre, Brazil adalah adanya kemauan untuk menyelesaikan masalah bersama, dan budaya komunitas yang menyuarakan aspirasi secara bersama-sama. Di Indonesia, faktor budaya komunitas pada masyarakat juga sangat mempengaruhi respon publik pada program dana desa yang sebenarnya menekankan semangat partisipasi dan pemberdayaan seperti halnya Participatory Budgeting di Brazil. Pengetahuan dan penilaian positif masyarakat tentang program pemerintah pusat bernama Dana Desa ini ternyata tidak bergantung pada kecepatan akses informasi dan terpaan media, melainkan pada intensitas warga yang bersangkutan dalam mengikuti rembug warga yang mengindikasikan tingkat kepedulian dan kemauan satu entitas untuk menyelesaikan masalah bersama. Fenomena di atas dapat dijelaskan dengan kerangka konsep tentang partisipasi publik 146 Jurnal Penelitian Politik Volume 13 No. 2 Desember

11 dan pengetahuan yang telah dipaparkan di bagian terdahulu. Dalam model penganggaran partisipatif ditemukan sebuah kecenderungan bahwa pengetahuan tidak menjamin partisipasi, namun partisipasi dapat menstimulasi peningkatan pengetahuan tentang program secara signifikan. Itulah yang menjadi penjelasan bagi temuan penelitian yang menyebutkan adanya kecenderungan hubungan antara intensitas mengikuti temu warga dengan pengetahuan tentang Dana Desa. Makin sering responden mengikuti temu warga berbasis spasial (rapat RT/ kampung), maka makin tinggi kecenderungan responden mengetahui tentang Dana Desa. Merujuk pada temuan penelitian dari pengalaman Participatory Budgeting di Porto Alegre bahwa partisipasi meningkatkan pengetahuan, maka dapat dikatakan bahwa hal tersebut juga terjadi di Indonesia. Lebih jauh, hal ini dapat menjadi penjelasan bagi fenomena pengetahuan dana desa berbasis wilayah (Indonesia Barat, Tengah, dan Timur), dimana makin ke barat maka pengetahuan tentang dana desa yang merupakan wujud dari model penganggaran partisipatif di Indonesia semakin rendah, padahal umumnya pengetahuan warga di Indonesia tentang sesuatu akan semakin baik dari Timur ke Barat, karena berkaitan dengan akses informasi dan infrastruktur yang cenderung lebih baik di Indonesia bagian Barat. Hal ini tidak berlaku bagi model penganggaran partisipatif yang diwujudkan dalam Dana Desa. Pengetahuan tentang Dana Desa yang lebih baik di bagian Timur Indonesia bukan dipengaruhi oleh infrastruktur dan akses informasi, melainkan dengan budaya partisipasi masyarakatnya dalam forum yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah bersama pada lingkup kecil. Rendahnya respon publik terutama mengenai pengetahuan masyarakat juga mengindikasikan bahwa proses sosialisasi yang dilakukan kementerian teknis terkait belum menemui sasaran. Pola sosialisasi yang dilakukan tidak akan efektif jika hanya menggunakan media massa, karena terkait dengan komposisi desakota dan kecenderungan terbatasnya akses informasi pada masyarakat yang bercirikan desa. Peningkatan pengetahuan masyarakat mengenai penganggaran partisipatif sebaiknya dilakukan dengan mendorong keterlibatan warga secara langsung dalam proses penganggaran. Pelibatan masyarakat secara menyeluruh dan inklusif dapat menjadi faktor yang mempercepat proses penganggaran partisipatif. Masyarakat Indonesia melalui penlitian tentang respon terhadap model penganggaran partisipatif dalam pembangunan desa ini diketahui masih berada dalam tingkatan non patisipasi, tokenisme dan konsultasi pada konsep Tangga Partisipasi Masyarakat Arnstein. Partisipasi masyarakat kita belum sampai pada Citizen Control yang merupakan derajat tertinggi dari Tingkatan Partisipasi Masyarakat seperti yang terlihat di Porto Alegre melalui program Participatory Budgeting. Sebenarnya UU Desa telah membuka peluang bagi masyarakat untuk meningatkan partisipasinya dari tiga tingkatan terbawah dalam Tangga Partisipasi menuju tingkatan delegated power dan citizen control. Semakin besarnya anggaran desa yang diberikan oleh pemerintah kepada desa-desa di Indonesia, semakin menuntut adanya transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaanya. Semangat dalam melaksanakan pembangunan yang partisipatif sangat bergantung kepada model demokrasi deliberatif yang terjadi dalam masyarakat desa. Pemilihan program unggulan desa atau prioritas pembangunan desa harus menjadi usulan bersama yang kemudian dapat diimplementasikan dengan menggunakan dana desa. Ketidaktahuan publik tentang dana desa dapat menjadi potensi penyalahgunaan dana desa oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Karena merasa tidak diawasi dan memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat desa tersebut. Proses deliberatif dalam pengambilan keputusan melalui rapat-rapat desa menjadi kunci dalam pelibatan masyarakat yang lebih luas. Penutup Partisipasi masyarakat Indonesia dalam proses penganggaran partisipatif yang dilihat melalui program Dana Desa di tiga provinsi ini menunjukkan derajat partisipasi yang masih rendah baik, yakni pada tingkatan non partisipasi, tokenisme, dan konsultasi. Padahal Respon Publik terhadap Model Penganggaran... Kadek Dwita Apriani dan Irhamna 147

12 model penganggaran partisipatif membutuhkan tingkatan partisipasi yang lebih tinggi, yakni pada tataran delegated power dan citizen control. Kebutuhan tersebut semakin mendesak karena besaran dana desa semakin meningkat tiap tahunnya dan membutuhkan transparansi serta akuntabilitas dalam pengelolaannya. Publik terlihat tidak terlalu antusias dengan program yang menelan anggaran besar ini, terbukti dari respon mereka yang diukur melalui pengetahuan dan sikap terhadap program ini yang cenderung rendah. Peningkatan pengetahuan tentang Dana Desa memang sangat diperlukan, namun proses tersebut membutuhkan waktu yang sangat panjang dan program ini telah berjalan. Peningkatan pengetahuan tersebut sama pentingnya dengan peningkatan derajat partisipasi dari tokenisme ke citizen control. Cara untuk mencapai peningkatan keduanya adalah dengan mendorong partisipasi masyarakat dalam forum-forum warga berbasis spasial yang bertujuan menyelesaikan permasalahan bersama. Partisipasi dalam forum berbasis spasial seperti rapat RT atau temu warga kampung akan meningkatkan pengetahuan warga tentang permasalahan sekitarnya termasuk masalah pembangunan dan Dana Desa, serta menjadi wahana bagi warga untuk meningkatkan kemampuan argumentasinya dalam memperjuangkan kepentingan dalam forum. Hal ini sangat besar artinya bagi peningkatan derajat partisipasi masyarakat dari sekadar tokenisme menuju citizen control. Referensi Buku Bruce, Iain. The Porto Alegre Alternative: Direct Democracy in Action. London: Pluto Press Bunte, Marco. Indonesia s Protracted Decentralization: Contested Reforms and Their Unintended Consequences dalam Marco Bunte dan Andreas Ufen (ed). Democratization in Post-Suharto Indonesia. New York: Routledge Burns, Danny, Robin Hambleton, dan Paul Hoggert The Politics of Decentralisation: Revitalising Local Democracy. London: Macmillan De Vaus, David. Research Design in Social Research. London: SAGE Publication Direktorat Jenderal Anggaran. Kementerian Keuangan, Informasi APBN 2016: Mempercepat Pembangunan Infrastruktur untuk Memperkuat Pondasi Pembangunan yang Berkualitas. Jakarta: Kementerian Keuangan Gret, Marion dan Yves Sintomer. The Porto Alegre Experiment: Learning Leassons for Better Democracy. London: Zed Books Kementerian PPN/Bappenas. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional : Buku I. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas Rocke, Anja. Framing Citizen Participation: Participatory Budgeting in France, Germany and the United Kingdom. London: Palgrave Macmillan Satriana, Dan dan Rianingsih Djohani. Memfasilitasi Konsultasi Publik. Bandung: Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat Wampler, Brian. Participatory Budgeting in Brazil: Contestation, Cooperation, and Accountability. Pennsylvania: Pennsylvania State University Press Jurnal Souza, Celina, Participatory Budgeting in Brazilian Cities: Limits and Possibilities in Building Democratic Institutions dalam Environment & Urbanization Vol 13 No. 1, April 2001 Arnstein, Sherry R, A Ladder of Participation dalam JAIP Vol. 35 No.4 July 1969 Sumber Elektronik Eko, Sutoro Komunitarianisme Demokrasi Lokal, diakses dari php?about=komunitarian.htm, pada tanggal 19 November 2016 pukul WIB Wampler, Brian A Guide to Participatory Budgeting, diakses dari org/reso urces/library/gpb.pdf, pada tanggal 18 November 2016, pukul WIB 148 Jurnal Penelitian Politik Volume 13 No. 2 Desember

13 KONTEKS SOSIAL EKONOMI KEMUNCULAN PEREMPUAN KEPALA DAERAH 1 SOCIO ECONOMIC CONTEXT OF INDONESIAN WOMEN PATH TO LOCAL POLITICS Kurniawati Hastuti Dewi Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta kurniawati.dewi@yahoo.com Ahmad Helmy Fuady Pusat Penelitian Sumber Daya Regional, Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta elhelmy@yahoo.com Abstract This paper aims to see possible pattern of socio-economic conditions that may contribute in facilitating the rise and victory of female leaders, particularly in the December 2015 local direct elections. This paper reveals that, human development index, poverty rate, and gini ratio of a region did not strongly correlate with the number of female leader candidates, nor with the number of the elected female leaders. This paper also shows that the number of candidate and elected female leaders is concentrated in areas which have large number of universities and high proportion of internet access, such as Java. This paper highlighted two important points: first, female leader candidates can emerge and be elected from various socio-economic conditions of region; second, flows of ideas and information through universities and internet access are important keys to the rise and victory of female leaders in local politics. Keywords: socio-economic condition, university, internet, female local leader. Abstrak Tulisan ini bertujuan melihat kemungkinan kondisi sosial ekonomi memfasilitasi kemunculan dan kemenangan para perempuan kepala daerah, khususnya pada Pilkada langsung Desember Tulisan ini menunjukkan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM), tingkat kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan, tidak memiliki korelasi kuat dengan jumlah perempuan kandidat kepala daerah, maupun jumlah perempuan yang terpilih. Tulisan ini menemukan bahwa jumlah perempuan kandidat kepala daerah maupun jumlah perempuan terpilih terkonsentrasi di daerah yang memiliki jumlah universitas yang banyak dan rata-rata tingkat akses internet yang tinggi seperti di Jawa. Oleh karena itu, tulisan ini menggarisbawahi dua hal: pertama, perempuan kepala daerah dapat muncul dalam kondisi sosial ekonomi apapun; kedua, persebaran berbagai gagasan baru dan informasi melalui universitas dan media internet menjadi kunci peningkatan jumlah perempuan kepala daerah. Kata Kunci: sosial ekonomi, universitas, internet, perempuan kepala daerah. 1 Draft awal tulisan ini berjudul Socio Economic Context of Indonesian Women Path to Local Politics telah dipresentasikan dalam konferensi internasional The 9th International Indonesia Forum Conference: in search of Key Drivers of Indonesian Empowerment, Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, 24 August Konteks Sosial Ekonomi... Kurniawati Hastuti Dewi dan Ahmad Helmy Fuady 149

14 Pendahuluan Pemilihan kepala daerah secara langsung (selanjutnya disebut Pilkada langsung) merupakan salah satu capaian penting demokratisasi Indonesia pasca lengsernya Suharto dari kursi kepresidenan Indonesia. Pilkada langsung dapat dilihat sebagai sebuah terobosan dalam penguatan demokrasi, terutama partisipasi masyarakat dalam menentukan kepemimpinan di tingkat lokal. Sejak 2005, pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga fase. Fase pertama adalah tahun , sebagai fase awal implementasi Pilkada langsung yang merupakan amanat Undang-Undang No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah,; fase kedua adalah tahun sebagai fase lanjutan pelaksanaan Pilkada langsung; dan fase ketiga adalah sejak tahun 2015 sebagai fase Pilkada langsung serentak sesuai amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8/2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang, yang sekarang diganti dengan UU No.10/ Mekanisme Pilkada langsung telah membuka peluang partisipasi politik yang lebih besar pada berbagai elemen masyarakat, termasuk kaum perempuan untuk ikut mewarnai dan menentukan arah demokrasi lokal. Sejak dimulainya Pilkada 2 Pasal 1 ayat (1) UU No. 8/2015 menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah adalah memilih paket calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yaitu Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis. Selain itu, pasal 3 ayat (1) UU No. 8/2015 juga menyebutkan bahwa Pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, ke depan Pilkada langsung berupa pemilihan kepala daerah dan wakilnya baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota diharapkan dapat dilaksanakan serentak waktunya. Pasal 201 UU No. 8/2015 menjelaskan bahwa terdapat tujuh gelombang Pilkada langsung serentak yaitu: gelombang pertama, pada Desember 2015 (telah selesai dilaksanakan), gelombang kedua pada tahun 2017, gelombang ketiga pada tahun 2018, gelombang keempat pada tahun 2020, gelombang kelima pada tahun 2022, gelombang keenam pada tahun 2023, dan terakhir gelombang ketujuh pada tahun 2027, informasi dalam document/uu/1627.pdf, (diakses pada 18 Agustus 2016). langsung di berbagai wilayah Indonesia sejak tahun 2005, jumlah perempuan yang menjadi kandidat dan atau terpilih sebagai kepala daerah meningkat cukup signifikan. Pada Pilkada langsung selama dua periode ( ) dan ( ), terdapat 26 perempuan terpilih sebagai kepala daerah (18 di Pulau Jawa--Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat--, dan 8 perempuan di luar Pulau Jawa). 3 Sementara itu, pada Pilkada langsung serentak tanggal 9 Desember 2015, tepilih 24 perempuan yang menjadi bupati/walikota. Tulisan ini terutama difokuskan pada persoalan partisipasi politik perempuan dalam Pilkada langsung serentak gelombang pertama yang telah dilakukan pada 9 Desember 2015 yang lalu. Pada 9 Desember 2015, terdapat 269 daerah (9 provinsi, 36 kotamadya, dan 224 kabupaten) yang telah melaksanakan Pilkada langsung serentak. Sejauh ini evaluasi maupun analisis mengenai Pilkada langsung serentak tahun 2015, banyak menyoroti hal-hal berupa: (i) persoalan efisiensi dan efektifitas anggaran, pemutakhiran data pemilih, persoalan calon tunggal dalam Pilkada, sengketa Pilkada; 4 (ii) rendahnya partisipasi masyarakat, politisasi birokrasi, dan persoalan politik uang; 5 (iii) kurang semaraknya Pilkada langsung serentak sebagai dampak pembatasan kampanye yang diatur oleh KPUD, dan ketidaknetralan penyelenggara pemilu. 6 Beberapa tulisan telah menyoroti partisipasi perempuan yang kemudian terpilih menjadi kepala daerah. Perludem misalnya membuat catatan potret perempuan dalam Pilkada langsung serentak: dari 264 daerah, hanya 45 daerah 3 Kurniawati Hastuti Dewi, Profiles, Statuses and Performance of Female Local Leaders: Impact Study of Direct Local Elections, Indonesian Feminist Journal, vol.3, no. 1 (August 2015): hlm Lihat Perludem, Evaluasi Pilkada Serentak 2015, Jurnal Pemilu & Demokrasi, no. 8 (April 2016). 5 Lihat Dewan Perwakilan Daerah-Republik Indonesia, DPD evaluasi Pilkada serentak 2015, 18 Desember 2015, dpdri.merdeka.com/berita/dpd-evaluasi-pilkada-serentak o.html (diakses 18 Agustus 2016). 6 Lihat Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Pilkada Serentak Telah Usai, Ini Evaluasi Pusat Studi Hukum Konstitusi FH UII, 18 Januari 2016, dalam pilkada-serentak-telah-usai-ini-evaluasi-pusat-studi-hukumkonstitusi-fh-uii/, (diakses pada 18 Agustus 2016). 150 Jurnal Penelitian Politik Volume 13 No. 2 Desember

15 yang melahirkan perempuan pemimpin di mana 24 orang perempuan yang terpilih sebagai kepala daerah, 22 orang perempuan yang terpilih sebagai wakil kepala daerah, masih dominannya petahana, serta masih rendahnya komitmen perempuan kepala daerah terhadap persoalan perempuan. 7 Yayasan SATUNAMA Yogyakarta memberikan catatan yang lebih optimistik misalnya, perempuan tidak mengalami stagnasi politik karena separuh dari perempuan yang saat ini menjadi kepala daerah terlebih dahulu menjadi wakil kepala daerah, 53 % dari keseluruhan kandidat perempuan memiliki perspektif gender, dan mengemukakan temuan yang hampir sama dengan Perludem bahwa sebagian besar perempuan kepala daerah terpilih adalah dari petahana, mantan anggota legislatif, pengusaha, dan birokrat. 8 Berbeda dengan tulisan ataupun analisis tersebut di atas, tulisan ini menganalisis kemungkinan pola hubungan (korelasi) antara kondisi sosial ekonomi di daerah dengan partisipasi politik perempuan dalam Pilkada langsung serentak Kondisi sosial ekonomi dalam tulisan ini merujuk pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM), tingkat kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan (indeks gini) di kabupaten/kota. Selain itu, tulisan ini juga melihat kemungkinan persebaran berbagai gagasan baru dan informasi melalui universitas dan media internet yang menjadi kunci peningkatan jumlah perempuan kepala daerah. Terdiri dari tiga bagian, setelah pendahuluan, bagian kedua merupakan pembahasan, yang terdiri dari dua sub-judul yaitu review literatur yang menjelaskan kerangka pikir perempuan dan rekruitmen politik, diikuti dengan pemberdayaan perempuan, pembangunan ekonomi dan demokrasi. Disusul dengan sub-judul data dan analisis yang menjelaskan proses pengumpulan, pengolahan, dan analisis data yang memaparkan sejauhmana kontribusi 7 Perludem, Jalan Terjal Perempuan Kepala Daerah Terpilih: Potret Keterpilihan Perempuan dan Tantangan Lahirkan Kebijakan Properempuan, Jakarta, 20 Desember Yayasan SATUNAMA, Perempuan di Pilkada Serentak 2015: Perspektif dan Lingkar Kekuasaan di Sekitaran Calon Perempuan Peserta Pilkada, Yayasan SATUNAMA, Yogyakarta, IPM, tingkat kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan terhadap kemunculan kandidat perempuan dan kemenangannya dalam Pilkada langsung serentak 2015 yang lalu. Bagian ini juga menampilkan hasil pengujian terhadap variabel lain yaitu jumlah universitas dan jumlah orang yang mengakses internet di daerah yang bersangkutan untuk menjelaskan perbedaan jumlah kandidat yang begitu besar di Jawa, dibandingkan dengan daerah lain. Bagian ketiga penutup yang merangkum temuan, analisis dan dua poin penting yang digarisbawahi dalam tulisan ini. Rekruitmen Politik, Pemberdayaan Perempuan, Pembangunan Ekonomi dan Demokrasi Mendiskusikan tentang kiprah perempuan kepala daerah, nampaknya dapat juga didekati dari literatur tentang rekruitmen politik. Pada dasarnya teori perempuan dan rekruitmen politik seperti yang dikemukakan oleh Pippa Norris (1995:21) menggariskan bahwa rekuitmen anggota legislatif pada dasarnya meliputi tiga level yaitu: pertama, the systematic factor meliputi konteks rekruitmen seperti legal, electoral, and party system ; kedua, konteks dalam partai politik tertentu seperti organisasi partai, aturan, dan ideologi; ketiga, faktor yang langsung mempengaruhi rekruitmen kandidat individual seperti: (a) sumber daya dan motivasi dari kandidat, dan (b) perilaku dari para elit penyeleksi (gatekeepers). 9 Dalam buku yang lain, Pippa Norris (1997:1) memakai kata supply dan demand untuk menjelaskan faktor ketiga yang disebutkan di atas, di mana supply berarti suplai kandidat yang ingin maju ke dalam posisi politik dengan melihat khususnya motivasi mereka dan sumber daya politiknya; sementara demand merujuk pada keinginan dari gatekeepers yaitu pemilih, anggota partai politik, pemimpin partai politik, pemimpin politik, penyokong dana, yang menyeleksi beberapa (kandidat) dari sejumlah besar calon potensial. 10 Sebagaimana dijelaskan 9 Pippa Norris and Joni Lovenduski, Political Recruitment: Gender, Race, and Class in the British Parliament (Great Britain: Cambridge University Press, 1995), hlm Pippa Norris, Introduction: Theories of Recruitment, dalam Pippa Norris (ed). Passage to Power: Legislative Recruitment in Konteks Sosial Ekonomi... Kurniawati Hastuti Dewi dan Ahmad Helmy Fuady 151

16 Noris di atas, sebenarnya teori perempuan dan rekuitment politik untuk menganalisis kompetisi pemilihan anggota perlemen perempuan dalam lembaga legislatif fokus pada supply dan demand. Dalam konteks ini, posisi perempuan anggota parlemen adalah seorang wakil rakyat dalam sebuah lembaga perwakilan yang tidak bisa berdiri sendiri, cenderung kolekfif, dan bukan pemimpin tertinggi sebuah daerah. Sementara itu, tulisan ini mengkaji perempuan calon kepala daerah yang kemudian berhasil memenangkan Pilkada langsung sebagai pucuk pimpinan tertinggi eksekutif daerah. Oleh karena itu, dalam konteks ini harus dimengerti bahwa melandaskan diri pada sebuah teori yang sudah mapan sekalipun seperti teori perempuan dan rekruitmen politik, yang berasal dari konteks legislatif yang fokus pada aspek supply dan demand saja tidak cukup mampu menerangkan bekerjanya faktor di luar kedua hal tersebut, untuk persoalan perempuan sebagai calon pemimpin daerah. Diskusi mengenai perempuan sebagai pucuk pimpinan tertinggi di sebuah daerah menyangkut dimensi yang lebih kompleks dibandingkan dengan permasalahan perempuan sebagai anggota parlemen. Apalagi dalam sebuah masyarakat mayoritas Muslim seperti Indonesia. Sebagaimana catatan aktifis perempuan Muslim (almarhumah) Lili Zakiyah Munir, (2002) bahwa terdapat persepsi umum yang berkembang bahwa Islam sebagai sumber diskriminasi dan penindasan perempuan, sehingga tidak ramah terhadap perempuan, 11 serta adanya beberapa kasus penolakan terhadap perempuan sebagai calon pemimpin kepala daerah. 12 Oleh karena itulah, tulisan ini memerlukan bangunan teori lain untuk membangun kerangka tulisan untuk memahami apakah terdapat konteks sosial ekonomi masyarakat tertentu Advanced Democracies (Great Britain: Cambridge University Press, 1997), hlm.1 11 Lili Zakiyah Munir, Islam, Gender and Equal Rights for Women, The Jakarta Post, December 10, (2002), hlm Lihat studi mendalam mengenai dinamika dan penolakan terhadap perempuan Muslim sebagai calon kepala daerah di Kebumen, Pekalongan dan Banyuwangi sebagaimana ditulis Kurniawati Hastuti Dewi, Indonesian Women and Local Politics: Islam, Gender and Networks in Post-Suharto Indonesia (Singapore: NUS Press and Kyoto University Press, 2015). yang berkorelasi dengan kemunculan dan kemenangan perempuan sebagai pemimpin tertinggi sebuah daerah (kepala daerah) melalui kompetisi elektoral Pilkada langsung. Dalam konteks inilah, selanjutnya tulisan ini memakai bangunan teori pemberdayaan. Penelitian ini mengasumsikan bahwa terdapat hal ini berupa konteks sosial ekonomi masyarakat yang melingkupi seorang perempuan politisi, yang kemungkinan berkorelasi terhadap kemunculan dan kemenangan perempuan sebagai kepala daerah. Berikutnya adalah eksplorasi teori pemberdayaan, yang nantinya akan berujung pada tiga asumsi dasar dalam tulisan ini. Upaya peningkatan partisipasi perempuan dalam politik dapat didekati dari istilah pemberdayaan ( empowerment ). Kata pemberdayaan atau empowerment telah banyak dipakai paling tidak sejak tahun 1960an dalam dokumen-dokumen kebijakan pembangunan negara-negara Utara dan Selatan. Amartya Sen (1999) dalam Development as Freedom menekankan bahwa pembangunan seharusnya tidak saja dilihat dari ukuranukuran ekonomi semata, tetapi dilihat sejauh mana masyarakat memilki banyak pilihan dari berbagai kesempatan; Sen memperkenalkan konsep kebebasan manusia (human freedom) dalam lima hal yaitu pemberdayaan ekonomi, kebebasan politik, kesempatan sosial, keamanan dan transparansi sebagai prinsip dan tujuan akhir dari pembangunan, sementara ukuran-ukuran ekonomi adalah cara untuk mencapainya. 13 Kemudian, istilah pembangunan dan pemberdayaan semakin sering dipakai dan muncul dalam dokumen-domuken resmi lembaga-lembaga interrnasional. Sebagai contoh, Laporan Pembangunan Manusia tahun 1995 (The Human Development Report 1995) menekankan bahwa pemberdayaan (empowerment) adalah sebagai berikut: Empowerment. Development must be by people, not only for them. People must participate fully in the decision and processes that shape their lives. (UN, 1995 b: 12) but at the same time promotes a rather instrumentalist view of 13 Lihat Amartya Sen, Development as Freedom (New York: Alfred A. Knopf, 1999). Lihat juga review buku Amartya Sen oleh Siri Terjesen, A. Sen s Development as freedom, January 2004, dalam publication/ , (diakses pada 16 Agustus 2016). 152 Jurnal Penelitian Politik Volume 13 No. 2 Desember

17 empowerment; Investing in women s capabilities and empowering them to exercise their choices is not only valuable in itself but also is the surest way to contribute to economic growth and overall development (UN, 1995 b: iii). 14 Sementara itu, OXFAM menyatakan: Empowerment involves challenging the forms of oppression which compel millions of people to play a part in their society on terms which are inequitable, or in way which deny their human rights (Oxfam, 1995). 15 Jika dicermati, catatan Laporan Pembangunan Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1995 menekankan pemberdayaan sebagai partisipasi sepenuhnya dari warga masyarakat dalam proses dan pembuatan keputusan, serta meningkatkan kapasitas perempuan agar dapat melakukan berbagai inisiatif dan pilihan untuk berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, pemberdayaan menurut OXFAM menekankan pada upaya menentang segala bentuk-bentuk penindasan hak-hak dasar, pengingkaran terhadap hak asasi manusia atau diskriminasi yang membelenggu masyarakat. Bagaimana jika kata pemberdayaan dikaitkan dengan persoalan perempuan? Konsep mengenai pemberdayaan perempuan (women s empowerment), mulai muncul dalam diskursus para feminis di dunia ketiga sejak tahun 1980an, seiring dengan kritik mereka terhadap konsep-konsep modernisasi dan pembangunan. Dimulai dari Ester Bosorup yang mengkritisi pendekatan kesejahteraan sebelum tahun 1970-an. Dalam bukunya Woman s Role in Economic Development (1970) Boserup menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan modernisasi di perdesaan di negara-negara dunia ketiga (Asia, Afrika, Latin Amerika) tidak serta merta memberikan keuntungan dan manfaat yang sama terhadap perempuan dan laki-laki, dimana perempuan banyak ditinggalkan dalam proses produksi digantikan dengan mesin, menerima upah yang sangat rendah 14 Sebagaimana dikutip dari Zoe Oxaal and Sally Baden, Gender and Empowerment: Definitions, Approaches, and Implications for Policy, BRIDGE Development Gender Report, no. 40 (October 1997), hlm Ibid. di sektor non-pertanian di daerah perkotaan, dan bahkan tidak dihargai pekerjaan mereka di perdesaan. 16 Kemudian, kritik para feminis terhadap pembangunan ekonomi semacam itu diterjemahkan dalam upaya mengintegrasikan perempuan dalam pembangunan melalui pendekatan Women in Development (WID) sejak tahun 1970an. Pengadopsian WID ditandai pada Konferensi Tingkat Tinggi PBB pertama tentang Perempuan di Mexico tahun 1975, yang memperkenalkan term Women in Development (WID) untuk memastikan integrasi perempuan dalam pembangunan. Namun demikian, Caroline Mosser (1991) mencatat bahwa pendekatan anti kemiskinan (anti-poverty approach) yang dipakai dalam WID untuk mencapai kesetaraan gender, lebih menekankan pada upaya mengurangi kesenjangan pendapatan antara perempuan dan laki-laki karena dipercaya bahwa sumber ketidakadilan adalah kemiskinan, dan bukan sub-ordinasi. 17 Menurut Geeta Chowdhry (1995) pendekatan anti kemiskinan dalam WID lebih difokuskan pada peran reproduksi perempuan, untuk perempuan perdesaan di dunia ketiga yang lekat dengan peran dan posisi konvensional perempuan sebagai istri atau ibu di rumah. 18 Jadi, WID justru tidak mengintegrasikan perempuan dalam modernisasi dan pertumbuhan ekonomi, tetapi malah meminggirkan perempuan. Maka, melihat kecenderungan ini, para feminis di negara-negara dunia ketiga di Selatan (Global South --Asia, Afrika, Latin Amerika--) yang tergabung dalam Development Alternatives with Women for a New Era (DAWN) menyerukan agar WID diganti dengan Gender and 16 Lihat Ester Boserup, Woman s Role in Economic Development (Great Britain: George Allen and Unwin, 1970); baca juga Barbara Rogers, The Domestication of Women: Discrimination in Developing Societies (London and New York: Routledge, 1980); Irene Tinker (ed)., Persistent Inequalities: Women and World Development (New York: Oxford University Press, 1990). 17 Caroline Mosser, Gender Planning in the third World: Meeting Practical and Strategic Needs, dalam Rebecca Grant and Kathleen Newland (eds.), Gender and International Relations (Suffolk: Open University Press, 1991), hlm Geeta Chowdhry, Engendering Development: Women in Development (WID) in International Development Regimes, dalam Marianne H. Marchand and Jane L. Papart (eds.), Feminism/Postmodernism/Development (London and New York: Routledge, 1995), hlm 32. Konteks Sosial Ekonomi... Kurniawati Hastuti Dewi dan Ahmad Helmy Fuady 153

18 Development (GAD) 19 untuk mengintegrasikan kepentingan perempuan dalam modernisasi dan pertumbuhan ekonomi, meskipun ternyata pendekatan anti-kemiskinan masih tetap digunakan. GAD berfokus pada hubungan politik atau relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki upaya untuk meningkatkan kuasa sosial politik perempuan dengan membenahi ketimpangan relasi tersebut. 20 Dalam perkembangannya sejak tahun 1980an, lembaga-lembaga donor internasional menggunakan kata gender dan pembangunan termasuk kemudian merebak dalam term pemberdayaan perempuan (women s empowerment) menggambarkan spirit yang lebih politis untuk melakukan transformasi, menentang struktur patriarkhi yang membelenggu peran dan posisi perempuan di negara-negara dunia ketiga. 21 Dalam bahasa Srilatha Batliwala (2007) women s empowerment adalah sebuah proses sosial politik di mana pintu pembuka dalam pemberdayaan adalah perpindahan penguasaan sosial, ekonomi, politik di antara dan antara individu maupun kelompok sosial. 22 Salah satu menifestasi konkrit adopsi pemberdayaan perempuan adalah pada Konferensi Tingkat Tinggi PBB tentang Perempuan di Nairobi, Kenya tahun Konferensi itu menjadi momen penyebaran gagasan dan pendekatan GAD, 23 selain rekomendasi the Nairobi Forward Looking Strategy untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan DAWN adalah forum kerja sama dan komunikasi antara perempuan di negara-negara dunia yang menyadari bahwa WID justru meminggirkan perempuan. Lihat DAWN, Rethinking Social Development: DAWN s Vision, World Development 23, no.11(1996). 20 Kathryn Robinson, Indonesian Women s Rights, International Feminism and Democratic Change, Communal/Plural 6, no.2 (1998): , hlm Srilatha Batliwala, Taking the Power out of Empowerment: An Experiential Account, Development in Practice, vol. 17, no. 4/5 (August 2007): , hlm Ibid., hlm Kate Young, Gender and Development dalam Nalini Visvanathan, and others, (eds), The Women, Gender and Development Reader, (London and New Jersey: Zed Books, 2000). 24 Sjamsiah Achmad, Perempuan Dalam Politik: Kampanye Asia Pasifik 2005, Indonesia Kapan, paper dipresentasikan Dalam kacamata GAD, upaya mengintegrasikan gender dalam kebijakan pembangunan dilakukan dengan mainstreaming (pengarusutamaan) yakni upaya menyeluruh, lintas kebijakan, lintas tingkat pemerintahan, dan yang terpenting menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai mitra aktif dalam proses tersebut. 25 Dalam perkembangan kekinian, kaum feminis khawatir dengan penggunaan istilah pemberdayaan perempuan yang dalam praktiknya seringkali sekedar dimaknai sebagai upaya memobilisasi perempuan (umumnya) kelas bawah melalui program-program swakarsa untuk meningkatkan taraf ekonomi, partisipasi, tetapi tanpa memberikan kuasa untuk menentang narasi dominan dari pembangunan atau merumuskan jalan alternatif. 26 Menurut Rowland (1997:14) pandangan feminis mengenai pemberdayaan tidak sekedar merujuk pada partisipasi dalam pengambilan keputusan, tetapi harus meliputi proses yang menyebabkan seseorang mampu mencapai kesadaran diri untuk dapat membuat keputusan; pemberdayaan harus meliputi dimensi power to yaitu untuk melakukan kewenangan pengambilan keputusan untuk mengatasi persoalan, serta dimensi power within 27 dimana seseorang memiliki rasa percaya diri, kesadaran diri dan ketegasan diri. 28 Dalam pandangan feminis, sebagaimana ditegaskan Rowland, pemberdayaan meliputi tiga dimensi yaitu: pertama, personal dimana seseorang mampu membangun rasa percaya diri, kapasitas, dan melepaskan diri dari penindasan dari dalam; kedua, relational yaitu kemampuan untuk negosiasi atau mempengaruhi hubungan atau keputusan didalamnya; ketiga, collective di mana seseorang dapat bekerja bersama di Jakarta, 13 April 2001, Jakarta, hlm Kurniawati Hastuti Dewi, Menjenderkan Pemerintahan Daerah, KOMPAS, 15 Februari Elliot (2008) sebagaimana dikutip dari Manisha Desai, Hope in Hard Times: Women s Empowerment and Human development, United Nations Development Programme, Human Development Research Paper 2010/14, July 2010, hlm Elaborasi mengenai power to dan power within diambil dari Zoe Oxaal and Sally Baden, Gender and Empowerment: Definitions, Approaches, and Implications for Policy, hlm Jo Rowlands, Questioning Empowerment: Working with Women in Honduras (UK and Ireland: Oxfam, 1997), hlm Jurnal Penelitian Politik Volume 13 No. 2 Desember

19 untuk mencapai dampak yang lebih optimal seperti upaya bersama dalam struktur politik menekankan kerja sama dan bukan kompetisi. 29 Tidak jauh berbeda, catatan Naila Kabeer (1999) juga mengetengahkan tiga dimensi pemberdayaan (perempuan), yaitu: pertama, resources (pre-condition) meliputi tidak hanya sumber daya material tetapi juga sumber daya manusia, jaringan hubungan sosial dalam keluarga, pasar, masyarakat; kedua, agency (process) sebagai kemampuan mendefinisikan tujuan dan mencapainya yang dapat berupa kemampuan melakukan negosiasi, tawar menawar dalam sebuah keadaan atau pengambilan keputusan, memanipulasi atau memainkan, yang dilakukan sendiri maupun bersama-sama; ketiga, achievements (outcomes). 30 Kabeer merumuskan bahwa pemberdayaan perempuan (women s empowerment) adalah proses dimana seseorang (perempuan) yang semula tidak memperoleh kesempatan melakukan pilihan strategis dalam hidupnya, kemudian mampu menguasai kemampuan tersebut. 31 Kajian tentang kemunculan perempuan Indonesia dalam organisasi kemasyarakatan maupun politik di Indonesia telah banyak mengangkat aspek agency. Beberapa kajian tentang agency perempuan misalnya yang dilakukan oleh Safira Machrusah (2005), Susan Blackburn, Bianca J Smith, Siti Syamsiyatun (2008), Kurniawati Hastuti Dewi (2008) dan (2015), Eva F. Amrullah (2011), dan tim Gender dan Politik P2P LIPI (2016). Dalam penelitiannya Machrusah (2005) melihat bagaimana Muslimat Nahdlatul Ulama, sebuah badan otonom organisasi Islam tradisional, menegosiasikan kesetaraan gender dengan organisasi induknya, Nahdlatul Ulama. 32 Blackburn, Smith dan Syamsiyatun (2008) mengetengahkan agency perempuam Muslim dalam menegosiasikan nilai-nilai dan 29 Ibid., hlm Naila Kabeer, Resource, Agency, Achievements: Reflections on the Measurement of Women s Empowerment, Development and Change, vol. 30 (1999): , hlm Ibid. 32 Safira Machrusah, Muslimat Nahdlatul Ulama: Negotiating Gender Relations within a Traditional Muslim Organisation in Indonesia (Master thesis, the Australian National University, 2005). praktik Islam dalam berbagai bidang misalnya polygami, pemakaian jilbab, kegiatan pilantropi, sebagai nyai (istri kyai), dan pembentukan identitas baru perempuan Muslim. 33 Sementara itu Dewi (2008) melihat strategi perempuan di Aisyiyah dalam menegosiasikan persoalan kepemimpian perempuan di Muhammadiyah. 34 Dalam level politik praktis, Dewi (2015) menganalisis agency tiga perempuan yang memenangkan kompetisi Pilkada langsung di daerah yang berbasis Islam di Jawa, yaitu Ratna Ani Lestari di Banyuwangi (2005), Rustriningsih di Kebumen (2005), dan Siti Qomariyah di Pekalongan (2006). Studi tersebut menemukan bahwa ketiga perempuan tersebut mampu menggunakan dan memainkan ide-ide atau norma-norma mengenai kesalehan dalam Islam (Islamic piety) seperti memakai kerudung dikombinasikan dengan identitas gender mereka sebagai seorang perempuan Muslim Jawa. 35 Amrullah (2011) meneliti perempuan Muslim kelas menengah atas yang bergabung aktif dalam Jamaah Tabligh di Jakarta; menemukan bahwa partisipasi aktif para perempuan Muslim tersebut termasuk dalam menyebarkan dan merekrut anggota baru menunjukkan sisi agency 36 dari perempuan, oleh karena itu tidak tepat menilai bahwa bergabungnya mereka ke Jamaah Tabligh sebagai sebuah ketertindasan. 37 Sementara itu, tim peneliti Gender dan Politik P2P-LIPI 33 Susan Blackburn, Bianca J Smith, Siti Syamsiyatun, Introduction, dalam Susan Blackburn, Bianca J. Smith, Siti Syamsiyatun (eds), Indonesian Islam in A New Era: How Women Negotiate Their Muslim Identities, (Clayton: Monash University Press, 2008), hlm Kurniawati Hastuti Dewi, Perspectives Versus Practices: Women s Leadership in Muhammadiyah, SOJOURN: Journal of Social Issues in Southeast Asia, vol. 23/2, October 2008 : hlm Kurniawati Hastuti Dewi, Indonesian Women and Local Politics: Islam, Gender and Networks in Post-Suharto Indonesia. 36 Amrullah terinspirasi dan mengikuti pengertian agency dari Saba Mahmood, Feminist Theory, Embodiment, and the Docile Agents: Some Reflections on the Egyptian Islamic Revival, Cultural Anthropology 16, no. 2 (May 2001), hlm. 225; Saba Mahmood, Politics of Piety: the Islamic Revival and the Feminist Subject (Princeton and Oxford: Princeton University Press, 2005). 37 Eva F. Amrullah, Seeking Sancturay in the age of disoder : Women in Contemporary Tablighi Jama at, Contemporary Islam 5/2, (2011): hlm Konteks Sosial Ekonomi... Kurniawati Hastuti Dewi dan Ahmad Helmy Fuady 155

20 (2016) menunjukkan bagaimana Eka Wiryastuti dapat memainkan perannya dalam mengolah, menegosiasikan, atau menyiasati agama Hindu Bali, budaya, adat istiadat sejak proses persiapan awal kemunculannya dan kemenangannya di Tabanan, Bali. 38 Kajian-kajian tersebut lebih banyak melihat bagaimana agensi yang diperankan para perempuan untuk muncul sebagai pemimpin politik. Belum ada kajian yang secara serius melihat bagaimana kemungkinan konteks sosial ekonomi yang menjadi pra-kondisi atau memfasilitasi kemunculan perempuan dalam politik lokal tersebut. Sementara itu, Seymour Martin Lipset (1959) sejak lama mengungkapkan tentang perlunya melihat prasyarat sosial bagi perkembangan demokrasi. Menurutnya, pembangunan ekonomi yang efektif berkorelasi positif dengan demokrasi. 39 Hal senada dinyatakan oleh Guillermo A. O Donnel (2004), bahwa salah satu komponen penting bahkan sangat dasar dari demokrasi, yang selama ini kerap diabaikan, adalah manusia dalam hal ini warga negara; O Donnel percaya ada hubungan erat antara demokrasi, pembangunan manusia (Human Development), dan hak asasi manusia (Human Rights). 40 Oleh karena itulah, untuk mengisi kekosongan yang ada dalam kajian tersebut, tulisan ini melihat bagaimana hubungan antara variabel sosial ekonomi dengan keberadaan perempuan pemimpin politik. Aspek sosial ekonomi masyarakat dalam tulisan ini merujuk pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI), prosentase kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan. Penggunaan IPM, didasari pemikiran bahwa ada hubungan erat antara demokrasi, pembangunan manusia 38 Kurniawati Hastuti Dewi, ed., Kebangkitan Perempuan Tabanan dalam Politik Lokal (Tangerang: Mahara Publishing, 2016). 39 Seymour Martin Lipset, Some Social Requisites of Democracy: Economic Development and Political Legitimacy, The American Political Science Review, vol. 53, no. 1 (Mar, 1959): hlm Guillermo O Donnell, Human Development, Human Rights, and Democracy, dalam Guillermo O Donnell, Jorge Vargas Cullell, Osvaldo M. Iazzetta (eds.), The Quality of Democracy Theory and Applications, (USA: University of Notre Dame Press, 2004), hlm (Human Development), dan hak asasi manusia (Human Rights). 41 Di Indonesia, IPM merupakan indeks komposit dari faktor kesehatan (angka harapan hidup), pendidikan (lama sekolah) dan standar hidup layak (besar pengeluaran). Diperkenalkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) pada tahun 1990, IPM ini dapat menunjukkan kualitas pembangunan yang dinikmati oleh penduduk. Tulisan ini didasari tiga asumsi yaitu: pertama, daerah yang memiliki prosentase kemiskinan yang rendah dianggap memiliki kelas menengah yang cukup banyak, sehingga cenderung mudah menerima adanya pemimpin perempuan. Asumsi kedua adalah, ketimpangan pendapatan yang tercermin dari indeks gini dianggap menunjukkan kesetaraan dalam suatu daerah; daerah dengan ketimpangan yang rendah diasumsikan memiliki pandangan yang lebih terbuka dalam menerima pemimpin perempuan. Variabel lain yang dilihat dalam tulisan ini terkait dengan arus informasi dan pengetahuan yang mendukung persebaran ide tentang kesetaraan gender dan peran perempuan dalam politik, yaitu jumlah perguruan tinggi dan proporsi penduduk yang memiliki akses internet. Kedua variable ini menjadai sarana penyebaran ide-ide baru, diskusi-diskusi mengenai perkembangan demokrasi, termasuk tentang perkembangan tafsir atas persoalan kepemimpinan perempuan. Oleh karena itu, asumsi ketiga tulisan ini adalah: bahwa eksposur yang lebih banyak terhadap ide dan perkembangan tentang demokrasi dan kesetaraan gender melaui perguruan tinggi dan proporsi penduduk yang memiliki akses internet, diasumsikan akan memudahkan kemunculan kepemimpinan perempuan dalam politik. Data dan Analisis Pasal 1 ayat (1) UU No. 8/2015 menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah adalah memilih paket calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pada Pilkada langsung serentak 9 Desember 2015, terdapat 825 paket pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah terdiri dari 19 paket pasangan untuk posisi kepala daerah provinsi, 110 paket pasangan untuk posisi 41 Ibid. 156 Jurnal Penelitian Politik Volume 13 No. 2 Desember

21 kepala daerah kota, dan 694 paket pasangan untuk posisi kepala daerah kabupaten. Sumber: diolah oleh penulis dari data dasar di website KPU RI, php?r=dashboard/paslon&tahap=3 (diakses pada 22 Oktober 2015) Grafik 2 menunjukkan hanya ada 1 perempuan dicalonkan sebagai calon gubernur, tidak ada perempuan dicalonkan sebagai wakil gubernur. Maya Rumantir (anggota DPD RI) dicalonkan sebagai gubernur Sulawesi Utara oleh Gerindra dan Partai Demokrat. Sementara ada 18 laki-laki dicalonkan sebagai gubernur, dan 19 orang laki-laki dicalonkan sebagai wakil gubernur. Grafik ini menunjukkan betapa sulit dan sengitnya persaingan kedudukan seorang kepala daerah provinsi, sehingga semakin sedikit politisi perempuan yang mampu muncul dan masuk dalam bursa pencalonan posisi wakil gubernur dan sebagai calon gubernur. Selanjutnya untuk melihat di level kabupaten kota disajikan dalam Grafik 3. Gambar 1. Grafik 1. Distribusi Pasangan Calon Kepala Daerah berdasarkan Pencalonan Sebagaimana terlihat dari Grafik 1, terdapat 19 paket pasangan calon gubernur & wakil gubernur, di mana sebagian besar dicalonkan oleh partai politik. Demikian pula untuk paket pasangan calon bupati & wakil bupati, dan walikota & wakil walikota, sebagian besar juga dicalonkan oleh partai politik. Selanjutnya untuk melihat jumlah calon gubernur dan wakil gubernur atas dasar gender dapat disajikan dalam Grafik 2. Sumber: diolah oleh penulis dari data dasar di website KPU RI php?r=dashboard/paslon&tahap=3 (diakses pada 22 Oktober 2015) Grafik 2. Jumlah Calon Gubernur dan Wakil Gubernur atas dasar Gender Sumber: diolah oleh penulis dari data dasar di website KPU RI php?r=dashboard/paslon&tahap=3 (diakses pada 16 Oktober 2015) Grafik 3. Jumlah Calon Bupati/Walikota dan Calon Wakil Bupati/Wakil Walikota atas dasar Gender Berdasarkan Grafik 3 di atas, hanya ada 56 politisi perempuan sebagai calon bupati/walikota, dan 66 politisi perempuan sebagai calon wakil bupati/calon walikota. Dibandingkan dengan 748 politisi laki-laki pada posisi calon bupati/ walikota, dan 738 politisi laki-laki pada posisi calon wakil bupati/wakil walikota. Grafik ini menggambarkan masih dominannya politisi laki-laki dalam pertarungan politik lokal level kabupaten/kota. Namun jika dilihat lebih jauh, grafik ini memberikan gambaran menarik bahwa level kabupaten/kota nampaknya menjadi wahana pertarungan politik yang relatif dinamis, lebih terbuka bagi para politisi perempuan untuk ikut berkiprah, dibandingkan di level provinsi. Jadi, level kabupaten/kota dapat dijadikan tidak saja sebagai tempat bertarung awal bagi seorang Konteks Sosial Ekonomi... Kurniawati Hastuti Dewi dan Ahmad Helmy Fuady 157

22 politisi perempuan, namun dapat menjadi media pembelajaran untuk kemudian secara bertahap naik pada posisi level provinsi, seiring dengan pengalaman politik dan kinerjanya. Dari Grafik 2 dan Grafik 3, itu dapat diketahui bahwa terdapat 57 perempuan yang dicalonkan sebagai kepala daerah yaitu 1 sebagai calon gubernur dan 56 sebagai calon bupati/ walikota. Kemudian, tulisan ini fokus pada dari 56 daerah di mana terdapat perempuan sebagai calon bupati/walikota. Dari 56 daerah tersebut, terdapat 24 daerah di mana perempuan berhasil menang menjadi kepala daerah dalam Pilkada Langsung serentak 9 Desember Tulisan ini terutama menggunakan data Pilkada langsung serentak 2015 dari laman Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan data sosial ekonomi dari laman Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia. Data yang didapat dari laman KPU adalah data tentang kandidat kepala daerah dan jumlah kabupaten/kota peserta Pilkada langsung tahun Sementara data sosial ekonomi yang berupa proporsi penduduk perempuan dibanding laki-laki, IPM, proporsi penduduk miskin, indeks gini, 43 jumlah perguruan tinggi, dan proporsi pengguna internet didapat dari laman BPS pusat dan provinsi. Data sosial ekonomi yang digunakan adalah data tahun 2014 karena Tabel 1. Data Pilkada dan Indikator Sosial Ekonomi Terpilih Kandidat Perempuan Kabupaten/ Kota Peserta pemilu Perempuan /Laki-laki IPM % Miskin GINI Perguruan Tinggi % Pengguna Internet Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kep. Bangka Belitung Kep. Riau Jawa Barat Jawa Tengah Di Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kalimantan Utara Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Sumber: Diolah dari laman KPU dan BPS 42 Mengacu pada data Perludem, Perludem, Jalan Terjal Perempuan Kepala Daerah Terpilih: Potret Keterpilihan Perempuan dan Tantangan Lahirkan Kebijakan Properempuan, Jakarta, 20 Desember Mengacu pada koefisien gini Badan Pusat Statistik-RI, untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan secara menyeluruh. Koefisien gini didasarkan pada kurva lorenz, yaitu sebuah kurva pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari suatu variabel tertentu (misalnya pendapatan) dengan distribusi uniform (seragam) yang mewakili persentase kumulatif penduduk, view&id=22 (diakses pada 25 Agustus 2016) 158 Jurnal Penelitian Politik Volume 13 No. 2 Desember

23 dianggap sebagai tahun dasar pengambilan kebijakan politik dalam Pilkada langsung Karena di tahun 2015 tidak ada kabupaten/kota dari DI Aceh dan DKI Jakarta yang mengikuti Pilkada langsung, maka kedua provinsi tersebut tidak disertakan dalam analisis. Analisis korelasi dilakukan untuk melihat hubungan antara keberadaan perempuan calon bupati/walikota dengan variable sosial ekonomi daerah yang berupa proporsi penduduk perempuan dibanding laki-laki, IPM, proporsi penduduk miskin, indeks gini, distribusi perguruan tinggi, dan proporsi pengguna internet di 31 provinsi yang memiliki kabupaten/kota peserta Pilkada langsung Dalam analisis ini, variabel keberadaan perempuan bupati/ walikota merupakan jumlah perempuan calon bupati/walikota yang ada di suatu provinsi dibagi dengan jumlah kabupaten/kota peserta Pilkada langsung 2015 yang ada di provinsi yang bersangkutan. Variabel sosial ekonomi yang dipakai mengikuti data yang ada dari BPS. Khusus variabel distribusi perguruan tinggi merupakan data jumlah perguruan tinggi yang ada di suatu provinsi dibagi dengan jumlah total perguruan tinggi di Indonesia. Hasil analisis korelasi ditunjukkan pada Tabel 2. hanya menunjukkan hubungan yang rendah dengan keberadaan keberadaan perempuan calon bupati/walikota, dengan koefisien korelasi sebesar 0,25 dan 0,26. Sementara itu, hubungan keberadaan perempuan calon bupati/walikota dengan variabel proporsi penduduk perempuan dibanding laki-laki dan variabel kemiskinan sangat rendah (0,07 dan -0,15). Lebih jauh, Grafik 4 di bawah ini, menunjukkan bahwa calon perempuan bupati/walikota dapat muncul dan menang di daerah dengan IPM rendah maupun IPM tinggi. Hal ini terlihat misalnya di Boven Digoel yang hanya memiliki nilai IPM sebesar 51,9 atau di Kota Tangerang Selatan dengan nilai IPM sebesar 79,38. Ini sekaligus menjawab asumsi pertama, bahwa daerah yang memiliki prosentase kemiskinan yang rendah dianggap memiliki kelas menengah yang cukup banyak, sehingga cenderung mudah menerima adanya pemimpin perempuan. Namun ternyata, analisis korelasi menunjukkan tidak adanya hubungan yang kuat antara keberadaan perempuan calon bupati/walikota dengan variabel sosial ekonomi masyarakat menunjukkan bahwa perempuan pemimpin politik dapat muncul di daerah dengan kondisi sosial ekonomi yang beragam. Tabel 2. Koefisien Korelasi Kandidat Perempuan Perempuan/Laki-laki IPM Kemiskinan Gini Perguruan Tinggi % Pengguna Internet Sumber: diolah oleh penulis Sumber: data BPS diolah oleh penulis. Tabel 2 menunjukkan bahwa tidak ada variabel sosial ekonomi yang memiliki hubungan yang kuat dengan variabel keberadaan perempuan calon bupati/walikota. Hanya variabel IPM dan proporsi pengguna internet yang memiliki hubungan level sedang atau menengah dengan keberadaan perempuan calon bupati/walikota, dengan koefisien korelasi sebesar 0,48 dan 0,46. Indeks gini dan distribusi perguruan tinggi Grafik 4. IPM di beberapa Kabupaten/Kota yang dimenangkan Calon Perempuan Konteks Sosial Ekonomi... Kurniawati Hastuti Dewi dan Ahmad Helmy Fuady 159

24 Sementara itu, Grafik 5 selanjutnya, menunjukkan variasi tingkat kemiskinan di kabupaten/kota yang dimenangkan oleh perempuan calon bupati/walikota pada Pilkada langsung Kandidat perempuan bisa muncul dan menang di daerah dengan prosentase kemiskinan yang sangat rendah, seperti di Kota Tangerang Selatan (1,68%), Bontang (5,2%) dan Tabanan (5,2%) atau di daerah dengan penduduk yang prosentase kemiskinannya sangat tinggi seperti di Seram Bagian Timur (23,4%) maupun Gunung Kidul (20,83%). Hal serupa juga terlihat pada tingkat kesenjangan sosial yang tercermin pada nilai IPM. Kandidat bupati/walikota perempuan ternyata dapat muncul di daerah dengan tingkat kesenjangan tinggi seperti Tabanan (IPM=0,36), maupun daerah dengan tingkat kesenjangan rendah seperti Kutai Timur (IPM=0,20). Hal ini untuk menjawab asumsi kedua tulisan ini bahwa ketimpangan pendapatan yang tercermin dari indeks gini dianggap menunjukkan kesetaraan dalam suatu daerah; daerah dengan ketimpangan yang rendah diasumsikan memiliki pandangan yang lebih terbuka dalam menerima pemimpin perempuan. Ternyata, menang tidaknya kandidat perempuan juga tidak berhubungan dengan tingkat kesenjangan di daerah tersebut. Mereka dapat menang di daerah dengan kesenjangan rendah seperti di Bontang, Jember atau Kutai Kertanegara, maupun di daerah dengan tingkat kesenjangan tinggi seperti di Sragen, Klaten atau Grobogan. Sumber: Data BPS diolah oleh penulis. Grafik 5. Proporsi Penduduk Miskin di Kabupaten/ Kota yang dimenangkan Calon Perempuan Selanjutnya, tabel 3 di bawah ini, menampilkan distribusi kandidat menurut wilayah yang dibagi ke dalam enam wilayah yaitu Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Maluku, Kalimantan, Bali-NTT-NTB, dan Papua. Tabel tersebut menunjukkan distribusi kandidat yang tidak merata, terkonsentrasi di Jawa (39,29%), Sumatera (21,43%) dan Sulawesi-Maluku (19,64%). Selain itu, terlihat bahwa sebagian besar kandidat perempuan yang menang berada di Jawa mencapai 54,17%. Walaupun demikian, prosentase kemenangan kandidat perempuan terbesar berada di Bali-NTT-NTB (Tabanan, Karangasem, Bima) yang mencapai 100%. Tabel 3. Distribusi Kandidat dan Prosentase Kemenangan Perempuan dalam Pilkada Langsung serentak, 9 Desember 2015 Kandidat Menang Jumlah % Jumlah % Sumber: diolah dan dikelompokkan oleh penulis berdasarkan data dari laman KPU tahun 2015 % Menang Jawa Sumatera Sulawesi-Maluku Kalimantan Bali-NTT-NTB Papua Total Analisis korelasi pada level provinsi menunjukkan hubungan antara keberadaan perempuan calon bupati/walikota dengan distribusi perguruan tinggi nilainya rendah. Namun, jika diagregasi pada level yang lebih tinggi pada level wilayah (Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Maluku, Kalimantan, Bali-NTT- NTB, dan Papua) terlihat sebaran kandidat perempuan yang sangat mirip dengan sebaran perguruan tinggi baik (Grafik 6). Agregasi data perguruan tinggi pada level wilayah yang lebih tinggi ini secara sederhana dapat menunjukkan pola sebaran yang terjadi. Selain itu, persebaran penduduk dalam menempuh pendidikan tinggi lebih kami anggap dapat lebih dijelaskan oleh persebaran perguruan tinggi di level wilayah tersebut dibanding membatasinya pada level provinsi. 160 Jurnal Penelitian Politik Volume 13 No. 2 Desember

25 Ket: Balok warna biru (kiri) menunjukkan jumlah perempuan kandidat kepala daerah Balok warna merah (kanan) menunjukkan jumlah perguruan tinggi Sumber: diolah dan dikelompokkan oleh penulis berdasarkan data dari laman KPU tahun ? Grafik 6. Jumlah Perempuan Calon Bupati/Walikota pada Pilkada Langsung 2015, dan Jumlah Perguruan Tinggi Balok warna biru (di bagian kiri) menggambarkan jumlah perempuan kandidat kepala daerah dimana paling banyak berada di Jawa (22 orang), kemudian disusul Sumatera (12 orang), Sulawesi-Maluku (11), dan kemudian dalam jumlah yang lebih sedikit di Kalimantan (6 orang), Bali-NTT-NTB (3 orang), dan terakhir adalah Papua (2 orang). Ternyata salah satu penjelasan yang masuk akal mengapa jumlah perempuan kandidat kepala daerah cenderung terkonsentrasi di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi- Maluku adalah terkait dengan fakta keberadaan perguruan tinggi yang juga terkonsentrasi paling banyak di Jawa, menyusul Sumatera, lalu Sulawesi-Maluku. Sementara jumlah perguruan tinggi semakin sedikit di Kalimantan, lalu Bali- NTT-NTB, dan Papua. Perguruan tinggi menjadi salah satu faktor yang bisa menjelaskan perbedaan signifikan jumlah perempuan kandidat kepala daerah di Jawa dan daerah-daerah lainnya karena melalui perguruan tinggi yang banyak tersebut, karena perguruan tinggi menjadi tempat penyebaran ideide baru, diskusi-diskusi mengenai perkembangan demokrasi, termasuk perkembangan dari luar meyangkut persoalan kepemimpinan perempuan. Dengan demikian, masyarakat banyak terutama yang hidup dan berada di sekitar daerah tersebut, akan memiliki kesempatan eksposur yang lebih banyak terhadap ide dan perkembangan baru termasuk persoalan kepemimpinan perempuan. Peran strategis perguruan tinggi, sebagai pusat diseminasi ide-ide, menggagas nilai-nilai ideal dalam kehidupan sosial kemasyarakatan di sekitarnya, bahkan penemuan-penemuan revolusioner dalam sejarah peradaban manusia telh teruji ratusan tahun dalam berbagai lintasan sejarah bahkan sejak zaman Renaissance (pencerahan). 44 Dalam konteks inilah, penelusuran lebih jauh memperlihatkan bahwa sejak masa kolonial Belanda, Jawa dan Madura adalah daerah dengan jumlah penduduk terpadat disebabkan beberapa hal di antaranya keberadaan tanah lahan pertanian yang subur, jumlah intensitas hujan yang tinggi, dan pembangunan fasilitas pendidikan, kesehatan yang banyak dilakukan pemerintah Belanda. 45 Konsentrasi pembangunan berbagai fasilitas pendidikan di Jawa yang berbeda dengan daerah lainnya terus berlanjut pada masa setelah kemerdekaan. Apalagi ditambah dengan pergerakan kaum muda Muslim dalam gerakan tarbiyah tahun 1980an di universitas-universitas di Jawa (ITB, UGM, 44 Doris Wilkinson, Transforming the Social Order: The Role of the University in Social Change, Sociological Forum, vol. 9, no. 3 (September 1994), hlm , stable/ (diakses pada 23 Agustus 2016) 45 Lihat Ministry of Social Affairs of the Republic of Indonesia, Towards Social Welfare in Indonesia (Jakarta: Ministry of Social Affairs, Republic of Indonesia, 1954), hlm. 11. Konteks Sosial Ekonomi... Kurniawati Hastuti Dewi dan Ahmad Helmy Fuady 161

26 IAIN) sebagai bagian gerakan kebangkitan Islam tahun 1970an menjadi salah satu katalis penting bagi ide-ide progresif untuk bermunculan. Patut dicatat pula bahwa sejak awal tahun 1990an, para aktifis Muslim di Jakarta menyebarkan gagasan-gagasan feminis Muslim melalui Jurnal Ulumul Qur an dengan mengetengahkan pemikiran dan tulisan Ashgar Ali Engineer, Riffat Hasan, dan Fatima Mernissi. Kemudian secara perlahan muncul figur-figur berpengaruh dalam wacana kesetaraan gender dalam Islam seperti Wardah Hafidz, Siti Musdah Mulia, Lili Zakiyah Munir, Farha Ciciek, Siti Ruhaini Dzuhayatin, Lies-Marcos Natsir, Nasaruddin Umar, dan KH. Husein Muhammad. Melihat dinamika yang terjadi di perguruan tinggi dan komunitas intelektual sedemikian rupa, maka tidak mengherankan catatan Sita van Bemmelen dan Mies Grijn (2005) bahwa meskipun tren kemunculan para perempuan Muslim yang semakin percaya diri dalam politik tidak hanya terjadi di Jawa, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa Jawa adalah pusat berbagai pendidikan, pusat gerakan Islam tradisional dan Islam modernis yang paling berpengaruh, di mana sebagian besar para penggiat wacana gender (dalam Islam) berasal. 46 Selanjutnya, tulisan ini melihat secara lebih jauh mengenai bagaimana arus informasi sangat penting dalam membentuk keterbukaan masyarakat dalam menerima nilai-nilai maupun ide-ide baru. Sebelumnya dalam analisis korelasi telah disebutkan bahwa terdapat hubungan dengan nilai yang sedang antara keberadaan perempuan calon bupati/walikota dengan proporsi pengguna internet pada level provinsi. Grafik 7 menunjukkan sebaran kedua variabel tersebut pada tingkat agregasi yang lebih tinggi atau level wilayah. Sumber: dan dihitung oleh penulis. Grafik 7. Jumlah Perempuan Kandidat Kepala Daerah pada Pilkada Langsung Serentak 9 Desember 2015 dan Persentase Pengguna Internet Internet dalam hal ini merujuk pada jaringan elektronik yang menghubungkan orang-orang dan informasi melalui komputer dan sarana lainnya yang memungkinkan komunikasi dan saling memberikan informasi orang-per orang. 47 Penggunaan internet secara massif oleh berbagai kalangan mulai merebak sejak tahun 1990an, yang semula terbatas pada laman lembaga-lembaga tertentu, dan bersifat pasif. Kemudian sejak tahun 2000an, penggunaan internet semakin berkembang ke komunikasi digital dua arah melaui media sosial seperti facebook, twitter, instagram, dan sebagainya. Jadi, internet menyajikan kemudahan bagi siapa saja yang memiliki komputer dan jaringan untuk mengakses beragam informasi apa saja, dari mana saja, termasuk di dalamnya ide, gagasan, atau praktik terkait persoalan gender atau kepemimpinan perempuan yang muncul di negara lain. Intenet memiliki peran strategis sebagai salah satu kekuatan politik, karena internet memungkinkan orang berjejaring melalui sosial media, menjadi sebuah komunitas besar lintas benua dan negara, di mana akses informasi menjadi lebih mudah, cepat, termasuk untuk 46 Sita van Bemmelen and Mies Grijns, What Has Become of The Slendang? Changing Images of Women and Java, dalam Hans Antlov and Jorgen Hellman (eds), The Java That Never Was: Academic Theories and Political Practices (USA and London: Transaction Publisher, 2005), hlm Paul DiMaggio, Eszter Hargittai, W. Russell Neuman and John P. Robinson, Social Implications of the Internet, Annual Review of Sociology, vol. 27 (2001): , hlm (diakses pada 23 Agustus 2016). 162 Jurnal Penelitian Politik Volume 13 No. 2 Desember

27 melakukan mobilisasi kolektif melakukan sebuah gerakan perubahan. 48 Melihat betapa strategisnya peran internet dalam penyebaram ide dan gagasan secara luas dan massif, maka tulisan ini menyajikan Grafik 7 tersebut. Grafik 7 menunjukkan adanya kecenderungan bahwa perempuan (calon) kepala daerah terkonsentrasi di wilayah yang memiliki proporsi penduduk berumur 5 tahun ke atas yang mengakses internet selama tiga bulan terakhir dengan nilai yang tinggi. Hal ini sekaligus menjawab asumsi ketiga tulisan ini bahwa eksposur yang lebih banyak terhadap ide dan perkembangan tentang demokrasi dan kesetaraan gender melalui perguruan tinggi dan proporsi penduduk yang memiliki akses internet, di daerah yang bersangkutan menjadi salah satu pendorong banyaknya jumlah kandidat perempuan sebagai kepala daerah. Hal ini menunjukkan bagaimana arus informasi sangat penting dalam membentuk keterbukaan masyarakat dalam menerima nilainilai maupun ide-ide baru, termasuk persoalan gender dan perempuan sebagai pemimpin. Penutup Tulisan ini didasari ketertarikan yang mendalam untuk melihat kemungkinan kondisi sosial ekonomi yang kemungkinan memfasilitasi kemunculan dan kemenangan para perempuan kepala daerah, khususnya pada Pilkada Langsun 9 Desember Tulisan ini menunjukkan bahwa dari 179 kabupaten/kota, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), tingkat kemiskinan, dan gini rasio (ketimpangan pendapatan) tidak berkorelasi dengan jumlah perempuan kandidat kepala daerah, maupun jumlah perempuan yang menang. Tulisan ini menemukan bahwa jumlah perempuan kandidat kepala daerah maupun jumlah perempuan terpilih terkonsentrasi di daerah yang memiliki jumlah universitas yang banyak dan rata-rata tingkat akses internet yang tinggi seperti di Jawa. Lembaga perguruan tinggi dalam hal ini universitas menjadi menjadi salah satu katalis penting bagi ide-ide progresif 48 Clay Shirky, The Political Power of Social Media: Technology, the Public Sphere, and Political Change, Foreign Affairs, vol. 90, no. 1 (January/Feburay 2011): 28-41, (diakses pada 23 Agustus 2016). untuk bermunculan, termasuk dalam wacana mengenai perempuan sebagai pemimpin atau kandidat dalam Pilkada Langsung. Sementara itu, tulisan ini juga menemukan bahwa eksposur masyarakat di daerah terhadap ide-ide baru melalui internet menjadi salah satu pendorong banyaknya jumlah kandidat perempuan sebagai kepala daerah di daerah yang bersangkutan. Hal ini menunjukkan bagaimana arus informasi sangat penting dalam membentuk kesadaran dan keterbukaan masyarakat dalam menerima ide-ide baru, termasuk persoalan gender dan perempuan sebagai pemimpin. Temuan dan analisis tulisan ini berhasil menampilkan sisi-sisi lain yang selama ini belum terungkap. Melalui pendekatan kuantitatif, tulisan ini tidak saja mampu menampilkan data-data yang belum tergali untuk menunjukkan dinamika sosial ekonomi di daerah-daerah di mana para perempuan kepala daerah berasal, sebagai bagian upaya memahami fenomena kemunculan para perempuan sebagai kepala daerah di Indonesia secara lebih utuh. Pada akhirnya, tulisan ini hendak menggarisbawahi dua hal penting: pertama, perempuan kepala daerah dapat muncul dalam kondisi sosial ekonomi apapun. Hal ini menjadi sebuah berita positif bagi perempuan Indonesia. Karena perempuan di daerah mana saja di Indonesia, tidak peduli dalam kondisi masyarakat dengan IPM tinggi atau rendah, tingkat kemiskinan tinggi atau rendah, dan tingkat ketimpangan pendapatan yang tinggi atau rendah, tetap dapat muncul sebagai calon kepala daerah. Kedua, penyebaran berbagai gagasan baru dan informasi melalui universitas dan media internet di suatu daerah menjadi kunci peningkatan jumlah perempuan kepala daerah. Hal ini menyiratkan pesan pentingnya upaya untuk terus menerus membuka akses pendidikan dan komunikasi ke daerah-daerah terbelakang (kawasan Indonesia timur) untuk memperbesar eksposur masyarakat terhadap gagasan-gasagan baru, dan meningkatkan imajinasi mereka mengenai kiprah progresif perempuan Indonesia dalam politik. Jika dikaitkan dengan agency sebagai salah satu dimensi dalam pemberdayaan perempuan, pendidikan dalam hal ini perguruan tinggi memang menjadi salah satu kunci penting Konteks Sosial Ekonomi... Kurniawati Hastuti Dewi dan Ahmad Helmy Fuady 163

28 bagi perempuan untuk meningkatkan modal individu (individual capital). Jadi, dengan memperbanyak jumlah perguruan tinggi di suatu daerah tidak saja akan memperbesar ekposure masyarakat terhadap dinamika gagasan-gagasan baru yang berkembang. Namun lebih dari itu, akan memperbanyak pilihan bagi seorang perempuan dalam upaya memenuhi agency - nya yaitu meningkatkan kapasitas dirinya, memperoleh kepercayaan diri, sebagai modal mendasar untuk berkiprah di ruang publik, dengan berbagai pilihan pendidikan di daerahnya maupun di tempat lain. Referensi Buku Blackburn, Susan., Bianca J Smith, Siti Syamsiyatun. Introduction, dalam Susan Blackburn, Bianca J. Smith, Siti Syamsiyatun (eds). Indonesian Islam in A New Era: How Women Negotiate Their Muslim Identities. Clayton: Monash University Press Boserup, Ester. Woman s Role in Economic Development. Great Britain: George Allen and Unwin Chowdhry, Geeta. Engendering Development: Women in Development (WID) in International Development Regimes, dalam Marianne H. Marchand and Jane L. Papart (eds.). Feminism/ Postmodernism/Development. London and New York: Routledge Dewi, Kurniawati Hastuti, ed., Kebangkitan Perempuan Tabanan dalam Politik Lokal. Tangerang: Mahara Publishing, Dewi, Kurniawati Hastuti. Indonesian Women and Local Politics: Islam, Gender and Networks in Post-Suharto Indonesia. Singapore: NUS Press and Kyoto University Press, Mahmood, Saba. Politics of Piety: the Islamic Revival and the Feminist Subject.Princeton and Oxford: Princeton University Press, Ministry of Social Affairs of the Republic of Indonesia. Towards Social Welfare in Indonesia. Jakarta: Ministry of Social Affairs, Republic of Indonesia Mosser, Caroline. Gender Planning in the third World: Meeting Practical and Strategic Needs, dalam Rebecca Grant and Kathleen Newland (eds.). Gender and International Relations. Suffolk: Open University Press Norris, Pippa. Introduction: Theories of Recruitment, dalam ed. Pippa Norris (ed). Passage to Power: Legislative Recruitment in Advanced Democracies. Great Britain: Cambridge University Press Norris, Pippa., and Joni Lovenduski, Political Recruitment: Gender, Race, and Class in the British Parliament. Great Britain: Cambridge University Press O Donnell, Guillermo. Human Development, Human Rights, and Democracy, dalam Guillermo O Donnell, Jorge Vargas Cullell, Osvaldo M. Iazzetta (eds.). The Quality of Democracy Theory and Applications. USA: University of Notre Dame Press Rogers, Barbara. The Domestication of Women: Discrimination in Developing Societies. London and New York: Routledge Rowlands, Jo. Questioning Empowerment: Working with Women in Honduras. UK and Ireland: Oxfam Sen, Amartya. Development as Freedom New York: Alfred A. Knopf Terjesen, Siri, A. Sen s Development as freedom, January 2004, publication/ (diakses pada 16 Agustus 2016) Tinker, Irene, ed., Persistent Inequalities: Women and World Development. New York: Oxford University Press Van Bemmelen, Sita and Mies Grijns. What Has Become of The Slendang? Changing Images of Women and Java, dalam Hans Antlov and Jorgen Hellman (eds). The Java That Never Was: Academic Theories and Political Practices. USA and London: Transaction Publisher Yayasan SATUNAMA, Perempuan di Pilkada Serentak 2015: Perspektif dan Lingkar Kekuasaan di Sekitaran Calon Perempuan Peserta Pilkada, Yayasan SATUNAMA, Yogyakarta, Young, Kate. Gender and Development dalam Nalini Visvanathan, and others, (eds). The Women, Gender and Development Reader, London and New Jersey: Zed Books Jurnal Amrullah, Eva F. Seeking Sanctuary in the age of disroder : Women in Contemporary Tablighi Jama at, Contemporary Islam 5/2, (2011): Jurnal Penelitian Politik Volume 13 No. 2 Desember

29 Batliwala, Srilatha. Taking the Power out of Empowerment: An Experiential Account, Development in Practice, vol. 17, no. 4/5 (August 2007): 558 DAWN. Rethinking Social Development: DAWN s Vision, World Development 23, no.11(1996). Dewi, Kurniawati Hastuti. Profiles, Statuses and Performance of Female Local Leaders: Impact Study of Direct Local Elections, Indonesian Feminist Journal, vol.3, no. 1 (August 2015): Dewi, Kurniawati Hastuti. Perspectives Versus Practices: Women s Leadership in Muhammadiyah, SOJOURN: Journal of Social Issues in Southeast Asia, vol. 23/2, October 2008: ( ) DiMaggio, Paul., Eszter Hargittai, W. Russell Neuman and John P. Robinson. Social Implications of the Internet, Annual Review of Sociology, vol. 27 (2001): 307, jstor.org/stable/ (diakses pada 23 Agustus 2016). Kabeer, Naila. Resource, Agency, Achievements: Reflections on the Measurement of Women s Empowerment, Development and Change, vol. 30 (1999): Lipset, Seymour Martin. Some Social Requisites of Democracy: Economic Development and Political Legitimacy, The American Political Science Review, vol. 53, no. 1 (Mar., 1959): Mahmood, Saba. Feminist Theory, Embodiment, and the Docile Agents: Some Reflections on the Egyptian Islamic Revival, Cultural Anthropology 16, no. 2 (May 2001), 225 Oxaal, Zoe and Sally Baden. Gender and Empowerment: Definitions, Approaches, and Implications for Policy, BRIDGE Development Gender Report, no. 40 (October 1997). Perludem. Evaluasi Pilkada Serentak 2015, Jurnal Pemilu & Demokrasi, no. 8 (April 2016). Robinson, Kathryn. Indonesian Women s Rights, International Feminism and Democratic Change, Communal/Plural 6, no.2 (1998): 212. Shirky, Clay. The Political Power of Social Media: Technology, the Public Sphere, and Political Change, Foreign Affairs, vol. 90, no. 1 (January/Feburay 2011), (diakses pada 23 Agustus 2016). Wilkinson, Doris. Transforming the Social Order: The Role of the University in Social Change, Sociological Forum, vol. 9, no. 3 (September 1994) : , (diakses pada 23 Agustus 2016) Thesis Safira Machrusah, Muslimat Nahdlatul Ulama: Negotiating Gender Relations within a Traditional Muslim Organisation in Indonesia (Master thesis, the Australian National University, 2005). Paper Achmad, Sjamsiah. Perempuan Dalam Politik: Kampanye Asia Pasifik 2005, Indonesia Kapan. Paper 13 April 2001, Jakarta, hlm. 1. Desai, Manisha. Hope in Hard Times: Women s Empowerment and Human development. United Nations Development Programme, Human Development Research Paper 2010/14, July 2010, hal. 4. PERLUDEM, Jalan Terjal Perempuan Kepala Daerah Terpilih: Potret Keterpilihan Perempuan dan Tantangan Lahirkan Kebijakan Properempuan. Jakarta, 20 Desember Surat Kabar Dewi, Kurniawati Hastuti Menjenderkan Pemerintahan Daerah, KOMPAS, 15 Februari. Dewan Perwakilan Daerah-Republik Indonesia, 2015, DPD evaluasi Pilkada serentak 2015, 18 Desember 2015, dalam com/berita/dpd-evaluasi-pilkada-serentak o.html,iunduh 81 Agustus Munir, Lili Zakiyah. Islam, Gender and Equal Rights for Women, The Jakarta Post, December 10, Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Pilkada Serentak Telah Usai, Ini Evaluasi Pusat Studi Hukum Konstitusi FH UII, 18 Januari 2016, dalam pilkada-serentak-telah-usai-ini-evaluasi-pusatstudi-hukum-konstitusi-fh-uii/, diunduh 18 Agustus Sumber Online Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8/2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang, dokjdih/document/uu/1627.pdf, diunduh 18 Agustus Konteks Sosial Ekonomi... Kurniawati Hastuti Dewi dan Ahmad Helmy Fuady 165

30 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10/2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang- Undang Nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang, data_tematik/uu_nomor_10_tahun_2016. pdf, diunduh 8 November Jurnal Penelitian Politik Volume 13 No. 2 Desember

31 DESENTRALISASI DAN OLIGARKI PREDATOR DI WAKATOBI: PERAN OLIGARKI DAN ELIT PENENTU DALAM PEMBANGUNAN PERDESAAN DECENTRALIZATION AND OLIGARCHY PREDATOR IN WAKATOBI: THE ROLE OF OLIGARCHY S AND ELITE S STRATEGIC IN RURAL DEVELOPMENT Eka Suaib Universitas Halu Oleo ekasuaib1966@gmail.com La Husen Zuada Universitas Halu Oleo husenzuadaui@gmail.com Waode Syifatu Universitas Halu Oleo Abstract The present article discusess about the practice of oligarchy in Wakatobi. Wakatobi has attracted lots of tourist in recent past and tourism has become one of the major source of bussiness in this area. The tourism industry guarantees not only employment in the region but is also a major way to gain political power. In this era of Wakatobi the regional autonomy is controlled by political elites and entrepreneurs. It is these political elites and the enterprenuers who also control the tourism industry and are the owners of the largest tourist company.there is nexus between the politicians and the entreprenuers who takes away all the major gorvernment tourist projects. This group of politicians and enternprenuers, who are responsible for the development of the region, are also the people who control the maximum wealth of the region. Though the presence of oligarchy in Wakatobi has grown new businesses, created jobs and increased the number of tourists in the region, but it has also brought income inequality, land owners and labors conflicts and other problems among people of Wakatobi. Key words: Decentralization, Oligarchy Predator, Elite Strategic, Rural Development, Wakato Abstrak Artikel ini menguraikan tentang praktek oligarki di Wakatobi. Keunggulan pariwisata yang dimiliki Wakatobi menjadikan daerah ini sebagai lahan bisnis paling menjajikan. Potensi ini menjadi incaran para pengusaha, tidak terkecuali para elit politik. Di era otonomi daerah, para elit politik dan pengusaha adalah pemilik perusahan sektor pariwisata terbesar di Wakatobi dan juga berperan sebagai kelompok yang mengerjakan proyek pemerintah. Di era otonomi daerah, elit politik dan elit ekonomi di Wakatobi merupakan elit penentu, diantara mereka bertransformasi menjadi oligarki predator yang melibatkan diri dalam pertahanan dan peningkatan kekayaan melalui sejumlah bisnis yang mereka kelola. Kehadiran oligarki di Wakatobi menumbuhkan gairah usaha baru, membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan jumlah wisatawan. Namun pada sisi yang lain, kehadiran oligarki memunculkan ketimpangan pendapatan, konflik lahan serta perburuhan antara pemerintah, pengusaha dan warga di Wakatobi. Kata Kunci: Desentralisasi, Oligarki Predator, Elite Penentu, Pembangunan Perdesaan, Wakatobi Desentralisasi dan Oligarki... Eka Suaib dan La Husen Zuada 167

32 Pendahuluan Transisi kekuasaan dari otoriter Soeharto menuju demokrasi tidak diikuti dengan keruntuhan oligarki di Indonesia. Kelompok oligarki yang hidup dan dibesarkan oleh Soeharto masih tetap bertahan dan mereformasi diri. Fenomena bertahannya oligarki terlihat dalam laporan majalah Forbes (2010), dimana setelah dua belas tahun reformasi bergulir sebanyak 40 orang warga negara Indonesia menguasai 10,3 % PDB dengan total kekayaan 680 triliun rupiah. Jumlah ini setara dengan kekayaaan 60 juta jiwa orang paling miskin. Pada tahun 2015 berdasarkan catatan Bank Dunia, Indonesia menempati peringkat pertama negara paling timpang di Asia. Sejumlah analis berpendapat bahwa situasi ini lebih parah bila dibandingkan dengan kesenjangan menjelang orde baru runtuh serta enam belas tahun reformasi bergulir. Bercokoknya oligarki di tingkat nasional tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di tingkat daerah, dimana kekuasaan material (kekayaan) terkonsentrasi pada sekolompok orang. Mereka adalah kaum oligarki zaman orde baru yang masih bertahan dan para oligarki yang muncul ketika desentralisasi digulirkan. 1 Oligarki yang disebutkan terakhir, lahir dengan memanfaatkan sejumlah kewenangan yang diserahkan kepada daerah di era otonomi daerah. Kehadiran otonomi daerah dan desentralisasi dipandang dapat menciptakan tiga hal 2 : pertama, menyediakan public good and services, efisiensi dan efektitas pembangunan ekonomi; kedua, meningkatkan keterampilan dan kemampuan politik para penyelenggara pemerintahan dan masyarakat serta mempertahankan integrasi nasional; ketiga, mewujudkan politic equality, local acountablity, local responsiveness. Tidak dapat dipungkiri tiga tujuan itu terwujud pada 1 Ulasan tentang oligarki era orde baru dan era reformasi ini baca Vedi R. Hadiz, Dinamika Kekuasaan Indonesia Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto, (Jakarta: LP3ES, 2005). Baca pula Jeffrey Winters., Oligarki. (Jakarta: Gramedia, 2011), hal Baca juga Richard Robison, Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2012). 2 Pandangan ini diutarakan oleh Rondinelli, dalam bahasa yang berbeda diutarakan pula oleh Jurgen Ruland. Keduanya lihat dalam Syarif Hidayat., Too Much Too Soon Local State Elite s Perspective on and The Puzzle of Conteporary Indonesian Regional Autonomy Policy, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), hlm beberapa daerah. Meskipun pada sisi yang lain, desentralisasi dimanfaatkan pula oleh sekelompok orang untuk memperkaya diri. Tak heran kemudian istilah desentralisasi kekuasaan, diikuti pula desentralisasi kekayaan kepada sekelompok orang. Istilah ini tampak relevan untuk menggambarkan perjalanan lima belas tahun otonomi daerah di Indonesia ( ). Desentralisasi yang diharapkan mewujudkan prinsip kesetaraan, keadilan dan partisipasi, pada beberapa daerah di Indonesia, justru meminggirkan masyarakat, baik dalam aspek politik maupun ekonomi. Praktek tersebut diantaranya berlangsung di Wakatobi, dimana sekelompok orang menguasai sebagian besar bisnis pariwisata yang menjadi sektor andalan kabupaten yang mekar dari Kabupaten Buton tahun 2003 silam. Penguasaan bisnis pariwisata oleh sekelompok orang semakin tidak menguntungkan bagi masyarakat Wakatobi yang memiliki kekuasaan atas tanah dan berprofesi sebagai nelayan. Mereka dibatasi dan dilarang untuk mencari mata pencaharian di sekitar pusatpusat bisnis pariwisata (resort) yang dikelola oleh para oligarki di Wakatobi. Selain pemilik resort, pembatasan terhadap nelayan juga didukung oleh kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah 3 yang memberlakukan sistem zonasi taman nasional, yang berakibat pada pelarangan penangkapan ikan pada zona-zona tertentu. 4 Dampak ini sangat dirasakan oleh nelayan dan orang laut (suku Bajo) yang semakin sulit dalam memenuhi kebutuhan hidup. 5 3 Salah satu peraturan daerah yang membatasi ruang gerak nelayan di Wakatobi adalah Peraturan Daerah Kabupaten Wakatobi Nomor 31 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kabupaten Wakatobi. 4 Kesulitan para nelayanan ini ditulis pula dalam laporan riset lembaga intenasional OXFAM bahwa masalah yang dihadapai oleh nelayan-nelayan lokal di Wakatobi (Sampela dan Ambeua) yaitu kebebasan mereka untuk menangkap ikan di lepas pantai telah dibatasi. Lihat Paul Simonin, Laporan Mengenai Resiliensi (Ketangguhan) Pedesaan: Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Indonesia, (Atkinson Center for a Sustainable Future & OXFAM), hlm Keluh kesah kesulitan hidup yang dialami oleh Suku Bajo di Wakatobi diceritakan oleh Indrawati Aminudin (scholar jurusan Leisure, Tourism and Enviroment di Wageningen University, Belanda) dalam artikelnya yang berjudul Orang Bajo di Surga Bawah Laut 5 Maret 2012, orang-bajo-di-surga-bawah-laut/ (diakses pada tanggal 29 September 2016). 168 Jurnal Penelitian Politik Volume 13 No. 2 Desember

33 Keunggulan pariwisata dan desentralisasi di Wakatobi dimanfaatkan oleh elit politik dan elit ekonomi untuk melakukan akumulasi kekayaan dan mempertahkan kekayaan pertahanan harta dan pertahanan pendapatan. Di era otonomi daerah (tahun 2015) sejumlah elit politik dan ekonomi di Wakatobi merupakan pemain besar dalam sektor perkonomian. Diantara mereka terbagi dalam bisnis yang berbeda dan ada pula yang mencoba menggarap lebih dari dua sektor. Bisnis itu meliputi: bisnis transportasi (kapal), pengerjaan proyek infrastruktur (jalan, bandara dan pelabuhan), serta penyedia resort dan hotel. Bisnis transportasi laut terbesar di Wakatobi misalnya, dimiliki oleh Arhawi (pengusaha lokal/wakil Bupati Wakatobi / Bupati Wakatobi terpilih ). Sektor infrastruktur dikerjakan oleh Ceng Ceng, pengusaha Tionghoa yang berasal dari Bau-Bau dan memiliki kedekatan dengan Hugua, Bupati Wakatobi dua periode ( / ). Hugua yang juga Ketua DPD PDI.P Sulawesi Tenggara membangun kerajaan bisnis dibawah bendera Patuno Resort dan Pata Pulo Travel, yang bergerak dibidang bisnis pariwisata dan transportasi. Sosok lain yang cukup berpengaruh adalah Mr. Lorenz Mader, pengusaha dan warga negara Swiss pemilik Wakatobi Dive Resort. Berbeda dengan Hugua, Arhawi dan Ceng Ceng yang muncul di era otonomi daerah, Mr. Lorenz hadir sejak orde baru dan di era otonomi daerah tetap bertahan. Mr. Lorenz merupakan saingan Hugua dalam bisnis pariwisata (Resort) di Wakatobi. Melalui wawancara di media Hugua seringkali menyinggung sektor Pariwisata Wakatobi dikuasai oleh asing (Lorenz didalamnya) dan harus dikurangi, meskipun hal ini tidak pernah terbukti. Di Lamanggau Lorenz semakin berkuasa dan mampu mempertahankan pendapatannya. Secara bersamaan Hugua tumbuh menjadi oligarki lokal yang predator. Sejak dipimpin Hugua, Wakatobi menjadi salah satu daerah yang mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi (mendekati 10 %) di Sulawesi Tenggara. Sepuluh tahun berkuasa, Hugua mampu meningkatkan pendapatan asli daerah, kunjungan wisatawan dan membuka keterisolasian Wakatobi melalui pembangunan dan pengoperasian bandara Mataohara. Hugua juga secara perlahan menurunkan angka kemiskinan di Wakatobi, namun hal ini tidak disertai dengan pemerataan pendapatan. Ketimpangan masyarakat berpenghasilan rendah dan berpenghasilan tinggi setiap tahun mengalami kenaikan. Disisi lain, pertumbuhan ekonomi tinggi Wakatobi tampak tidak berpengaruh secara nyata terhadap penurunan angka kemiskinan dan pengurangan jumlah pengangguran. Laporan analisis pembangunan Provinsi Sulawesi Tenggara 6 mengkategorikan Wakatobi sebagai daerah yang mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi tapi pengurangan kemiskinan dan pengangguran di bawah rata-rata (high-growth less-pro poor dan high-growth, less-pro job). 7 Pembangunan di era Hugua juga dinilai terlalu fokus ke laut dan mengabaikan daratan. Situasi ini tergambar pada rendahnya kualitas infrastruktur di daratan, seperti: jalan dan keterbatasan fasilitas umum (perbankan, hotel dan alat transportasi darat). 8 Atas kondisi itu, tidak heran kemudian para aktivis, pemerhati 9 dan elit politik 10 di Wakatobi bersuara kritis. Hugua dinilai tidak memberikan banyak manfaat bagi Wakatobi sejak memisahkan diri dari Kabupaten Buton. Dalam berbagai tulisan dan pernyataan para aktivis seringkali meminjam istilah Hugua yang menyebut Wakatobi sebagai Surga Laut. Oleh para aktivis tagline ini dijadikan kelakar surga di laut dan neraka di darat. Ungkapan ini merupakan ekspresi kekecewaan atas kepemimpinan Hugua yang tidak memberikan 6 Perkembangan Pembangunan Provinsi Sulawesi Tenggara. Seri Analisis Pengembangan Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara 2015, hlm Pada tahun 2014 IPM Wakatobi mencapai 66,95. Lihat: Badan Pusat Statistik, Kabupaten Wakatobi Dalam Angka Tahun 2015, (Kendari: BPS, 2015), hlm Suasana ini dirasakan langsung oleh penulis saat berkunjung ke Wakatobi 5-11 Agustus Sebuah lembaga Swadaya Masyarakat, Forum Komunikasi KABALI menyampaikan sikap kritis terhadap pemerintah Hugua yang mengesampingkan kepentingan masyarakat dan lebih berpihak pada kepentingan pemodal. Lihat kabali-indonesia.blogspot.co.id/2014/10/kebijakan-programkepariwisataan.html (diakses pada 8 Agustus 2016) 10 Salah satu elit politik yang cukup kritis terhadap pemerintahan Hugua adalah Daryono Moane (Mantan Ketua DPRD Wakatobi). Desentralisasi dan Oligarki... Eka Suaib dan La Husen Zuada 169

34 banyak manfaat bagi masyarakat Wakatobi, terkecuali Hugua dan kelompok elit lainnya yang semakin kaya dan berkuasa. Berdasarkan uraian di atas, maka artikel ini mencoba menjawab pertanyaan, seperti apa profil dan sumber daya kekuasaan kelompok oligarki di Wakatobi? Dampak apa yang ditimbulkan dari praktek oligarki terhadap pembangunan perdesaan? Oligarki, Desentralisasi dan Pembangunan Perdesaan Dalam terminologi klasik, oligarki dipahami sebagai kekuasaan sekelompok kecil orang (minoritas). Istilah ini dianggap kurang tepat, karena mengartikan oligarki sebagai kekuasaan sekelompok orang sama halnya menyamakannya dengan elit, yang juga dipahami sebagai kekuasaan oleh sekelompok orang. Oligarki dan elit adalah dua hal yang berbeda. Seseorang dapat dikatakan oligarki, jika ia memegang kendali sumber daya kekuasaan individual secara terkosentrasi. Sumber daya kekuasaan itu meliputi: 1). hak politik; 2). kekuasaan jabatan resmi dalam pemerintahan atau organisasi; 3). kekuasaan pemaksaan (koersif); 4). kekuasaan mobilisasi; 5). kekuasaan material. 11 Sebaliknya, jika sesorang hanya menguasai empat sumber daya kekuasaan disebutkan pertama, tanpa memiliki kekuasaan material bukanlah oligarki, tapi elit. Guna membedakan keduanya Winters menyebut sebagai berikut: oligark bisa punya bentuk kekuasaan elite di atas atau bercampur dengan dasar material. tapi elite tak bisa menjadi oligark kalau tidak memiliki dan menggunakan sendiri kekuasaan material yang besar.seorang bangsawan feodal dapat menjadi oligark, tapi jelas bukan kapitalis. Seorang pemilik bisnis bisa menjadi kapitalis namun mungkin kekuasaan materialnya masih kurang untuk menjadi oligark. Elite yang disebut Winters ini hampir senada dengan pendapat Suzanne Keller yang mempopulerkan istilah elite penentu yaitu mereka yang dipertimbangkan keputusan-keputusannya dan tindakan-tindakannya mempunyai akibatakibat penting dan menentukan untuk kebanyakan 11 Jeffrey Winters, Oligarki, hlm. 18 anggota masyarakat. 12 Elit penentu menurut Keller meliputi pemimpin politik, ekonomi, militer, moral, budaya dan ilmu pengetahuan. Mesikupun itu menurut Keller mereka-mereka tersebut dapat dikatakan sebagai elit penentu, jika ruang lingkup kegiatannya mengenai berapa banyak anggota masyarakat yang dikenai. Oligarki menurut Jeffrey Winters adalah politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan material. 13 Pertahanan kekayaan mengandung dua hal yaitu pertahanan harta dan pertahanan pendapatan. Pertahanan harta adalah upaya oligarki untuk memastikan kekayaan mereka tidak diambil oleh pihak lain yang menginginkan, sedangkan pertahanan pendapatan adalah bagaimana oligarki mempertahankan pendapatannya melalui investasi pribadi. Seorang pejabat korup dan mengumpulkan kekayaan pribadi (dengan cara apapun), maka dia menjadi elite pemerintah sekaligus oligark yang mampu melibatkan diri dalam politik pertahanan kekayaan. 14 Dengan demikian seseorang dapat dikatakan oligarki jika menguasai sumber daya politik dan sumber daya ekonomi, yang digunakan untuk melindungi dan melakukan akumulasi kekayaan. Vedi Hadiz menyatakan bahwa desentralisasi di Indonesia memberikan jalan bagi kebangkitan dan konsolidasi oligarki lokal. Subyek tersebut adalah bertahannya warisan Orde baru yaitu kelompok predatoris yang kuat yang mengontrol kekuasaan negara (institusinya dan sumber dayanya) dan dibarengi dengan tidak terorganisirnya gerakan sosial yang independen di masa desentralisasi di Indonesia. Desentralisasi justru memperkuat posisi ekonomi dan politik oligarki lokal yang predator ketimbang memperkuat masyarakat lokal. 15 Vedi Hadiz melihat bahwa pasca Soeharto terjadi suatu persaingan di antara berbagai 12 Suzanne Keller, Penguasa dan Kekompok Elite: Peranan Elite Penentu dalam Masyarakat Modern, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm Jeffrey Winters, Oligarki, hlm Ibid., hlm Vedi R. Hadiz, Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective, (Stanford: Stanford University Press, 2010), hlm Jurnal Penelitian Politik Volume 13 No. 2 Desember

35 kelompok dominan untuk memperebutkan kontrol atas aparatur dan otoritas negara, terutama dalam hubungannya dengan alokasi sumber daya dan patronase negara. 16 Persaingan itu berlangsung dalam sistem terbuka dan tidak terpusat. Partai politik dan parlemen menjadi wadah persaingan, disertai dengan politik uang. Sistem ini diperankan oleh aktor-aktor lokal tokoh-tokoh daerah, birokrat-politik dan para pengusaha yang pada era Soeharto telah mengalami kematangan. Singkatnya, logika utama kehidupan politik di Indonesia pasca- Soeharto tetap saja perebutan peluang-peluang untuk rent-seeking melalui pengamanan akses menuju posisi aparatur negara untuk tujuantujuan akumulasi pribadi. Lebih lanjut Hadiz menyebut, desentralisasi menyebabkan politik di tingkat lokal menguat kembali tetapi tidak disertai dengan konsolidasi demokrasi berideologi liberal karena menghasilkan oligarki lokal yang predatoris dengan penggunaan politik uang dan premanisme. Pembajakan institusi demokrasi yang berlangsung selama desentralisasi dilakukan oleh koalisi yang memiliki kepentingan-kepentingan predatoris (perampok/penghisap). Indikasinya dapat dilihat dari aktor politik yang terlibat seperti birokrat dan pengusaha yang masih membutuhkan dan bergantung pada proyek negara dan kontrakkontrak pemerintah, politisi-politisi yang asal usulnya masih bisa dihubungkan dengan partaipartai lama Orde Baru dan rekruitmen aparatur politik dan operator politik masih berasal dari organisasi-organisasi seperti KNPI, HMI dan GMNI. 17 Dalam penelitian Vedi R. Hadiz di Sumatera Utara, para elit menganggap lembaga-lembaga demokrasi yang digerakkan dengan politik uang dan kekerasan bisa sama menguntungkannya dengan perlindungan rezim otoritarian yang bersifat menyeluruh. Bahkan deretan kepentingan yang sekarang memperebutkan kekuasaan di tingkat lokal tampak lebih bervariasi dibandingkan 16 Vedi R. Hadiz, Dinamika Kekuasaan : Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto, (Jakarta : Penerbit Pustaka LP3ES Indonesia, 2005), hlm Vedi R. Hadiz dan Richard Robison, Neo-liberal Reforms and Illiberal Consolidations : The Indonesian Paradox, Journal of Development Studies Volume 41 Nomor 2 Bulan Februari 2005 pada masa Soeharto. Di dalamnya termasuk para pialang dan bandar politik ambisius, birokrat negara yang lihai dan masih bersifat predatoris, kelompok-kelompok bisnis baru yang berambisi tinggi serta beranekaragam gangster politik, kaum kriminal dan barisan keamanan sipil. Mayoritas dari kelompok-kelompok ini dibesarkan oleh rezim Orde Baru sebagai operator dan pelaksana lapangannya. 18 Oligarki yang dibesarkan oleh rezim otoritarian Orde Baru secara mengesankan berhasil melakukan metamorfosis menjadi oligarki dengan penggunaan politik uang. Oligarki baru yang hidup di masa pasca otoritarian berhasil memanfaatkan jaringan patronase dan mekanisme untuk mengalokasi kekuasaan dan kekayaan publik, mereka mendapatkan arena baru dalam wujud partai politik dan parlemen. Di dalam akomodasi sistem kekuasaan politik yang telah mengalami desentralisasi dan difusi berhasil mampu mengubah mereka yang pada awalnya seorang reformis menjadi bagian di dalam persatuan kapitalisme predatoris dan politik demokratis yang dibangun oleh kekuatan Oligarki. 19 Desentralisasi telah dibajak oleh kepentingan predatoris lokal. Fakta memperlihatkan oligarki lama dan kepentingan predatoris tidak mampu dihilangkan oleh reformasi. Mereka berhasil menyesuaikan diri dan memperlihatkan bahwa mereka juga bagian dari demokrasi dan reformasi. Ada lima bentuk elit lokal yang bertarung dalam arena politik lokal di Indonesia era desentralisasi. Pertama, mantan elit yang dibesarkan oleh Orde Baru yang telah belajar untuk menguasai politik demokrasi pada tingkat lokal melalui penggunaan politik uang dan berbagai instrumen mobilisasi politik dan intimidasi. Kedua, birokrat tua yang dibesarkan oleh Orde Baru yang berharap mampu melakukan transformasi birokrasi yang telah lama mereka pegang menjadi kekuatan politik yang mampu secara langsung menentukan melalui pembangunan koalisi lokal sebagai kekuatan pendukungnya. Ketiga, pengusaha lokal dengan kategori pengusaha dibidang usaha 18 ibid 19 Richard Robison dan Vedi R. Hadiz, Reorganizing Power in Indonesia : The Politics of Oligarchy in an Age of Markets, (London: Routledge, 2004), hlm Desentralisasi dan Oligarki... Eka Suaib dan La Husen Zuada 171

36 kecil atau menengah seperti misalnya kontraktor, perdagangan dan jasa yang ambisi semakin meningkat. Keempat, kelompok preman dan kelompok kekerasan yang selama Orde Baru menjadi alat ditingkat lokal yang hendak mencoba mencari peruntungan dalam politik demokrasi. Kelima, kelompok politik yang biasanya menjadi operator dimasa Orde Baru terutama organisasi massa mahasiswa dan pemuda yang dibina Orde Baru seperti Himpunan Mahasiswa Islam, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia, Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia dan Komite Nasional Pemuda Indonesia. 20 Oligarki lokal yang predator melakukan berbagai macam cara terutama politik uang dan premanisme politik dalam rangka mempertahankan dan mengamankan posisi mereka. Politik uang dilakukan karena tidak transparannya penghimpunan dana politik terutama di tingkat lokal. Pemilihan umum (eksekutif dan legislatif) di tingkat lokal telah berubah menjadi industri yang berbiaya tinggi. Premanisme politik dilakukan oleh satgas partai dan ormas yang menjadi milisi represif bagi kekuasaan Orde Baru (FKPPI dan Pemuda Pancasila) serta organisasi kekerasan berbasis agama dan kedaerahan (FPI dan FBR), 21 organisasi Jawara (PPPSBBI Banten), 22 Blater di Madura 23 dan mantan kombatan di Aceh. Vedi Hadiz mencatat bahwa kekuatankekuatan gerakan sosial memiliki akses yang kecil terhadap kekuasaan dan sumberdaya serta tidak dipersiapkan dengan baik berani menantang dan bertarung dengan elit lokal yang predatoris yang memiliki posisi sosial dominan. Pertarungan yang berakhir dengan kekalahan dipihak kekuatan-kekuatan gerakan sosial dikarenakan demokratisasi dan desentralisasi tidak berdampak 20 Vedi R. Hadiz, Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective, (Stanford: Stanford University Press, 2010), hlm ibid, hlm Lihat: Lili Romli, Jawara dan Penguasaan Politik Lokal di Provinsi Banten ( ), (Jakarta: Disertasi Doktor, Universitas Indonesia, 2007). 23 Baca Abrur Rozaki, Social Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura. Kyoto Review of Southeast Asia Issue 11 (December 2009). positif bagi peningkatan kapasitas organisasi petani dan organisasi buruh sebagai kekuatan sosial utama gerakan sosial. Tanpa organisasi yang kuat dan vokal, buruh terisolasi dalam sistem pemilihan yang didominasi pembelian suara, biaya tinggi dan persekutuan pengusaha kota besar dan organisasi kekerasan. Tidak ada keberpihakan pemerintah ketika gerakan petani dan masyarakat adat menghadapi konflik tanah dengan perusahaan besar. Justru aparat keamanan kembali melakukan represi seperti jaman otoriter. 24 Melvin P. Hutabarat menyebut ada 8 ciri oligarki predator yang dimaksud oleh Vedi Hadiz. 25 Pertama, kelompok predator mengontrol masyarakat melalui politik uang dan kekerasan. Kedua, latar belakang ekonomi kelompok predator tidak selalu kaya. Ketiga, proses pembentukan kelompok predatoris melalui: 1). Bertahannya warisan politik otoriter yaitu kelompok predatoris yang kuat mengontrol kekuasaan negara (institusinya dan sumber dayanya); 2. Tidak terorganisirnya gerakan sosial yang independen. Keempat, aktor kelompok predatoris terdiri dari mantan elit orde baru, birokrat tua orde baru, pengusaha lokal, kelompok preman dan kelompok ormas mahasiswa/pemuda. Kelima, kekuasaan di tingkat lokal terpusat kepada klik politik antara pengusaha, birokrat dan politisi. Keenam, hubungan dengan pemerintah pusat bersekutu, karena mereka adalah bagian dari oligarki lama Orde Baru yang mampu bertahan. Ketujuh, afiliasi partai politik, bisa bergabung dengan partai lama seperti Golkar, PDI Perjuangan dan PPP ataupun partai-partai baru seperti PAN, PKB, PKS dan partai lainnya. Kedelapan, reproduksi kekuasaan adalah bagian dari klik politik melalui mekanisme pemilihan umum. Kehadiran oligarki dan elit ekonomi mendorong gairah usaha baru yang berdampak pada pembangunan perdesaan. Konsep pembangunan perdesaan berasal dari kata 24 Vedi R. Hadiz, Dinamika Kekuasaan : Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto, (Jakarta : Penerbit Pustaka LP3ES Indonesia, 2005), hlm Lihat Melvin P. Hutabarat, Fenomena Orang Kuat Di Indonesia Era Desentralisasi Studi Kasus Tentang Dinamika Kekuasaan Zulkifli Nurdin Di Jambi. (Depok: Tesis, Universitas Indonesia, 2012), hlm Jurnal Penelitian Politik Volume 13 No. 2 Desember

37 desa. Desa menurut UU Nomor 6 Tahun 2014 adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara perdesaan menurut UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Pengertian tersebut menyiratkan bahwa desa dan perdesaan memang mempunyai perbedaan, tetapi keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain, dan hal ini membentuk desa (rural village), sekaligus sangat terkait dengan agenda pembangunan lokal. Bappenas membedakan pengertian pembangunan desa dan pembangunan perdesaan. Pembangunan desa identik dengan desa membangun, sedangkan pembangunan perdesaan identik dengan membangun desa. Tabel. 1. Pembangunan Perdesaan Vs. Pembangunan Desa Items/Isu Membangun Desa (Pembangunan Perdesaan) Desa Membangun (Pembangunan Desa) Pintu masuk Perdesaan Desa Pendekatan Functional Locus Level Rural Local development development Isu dan Rural-urban konsep- linkage, market, konsep pertumbuhan, terkait lapangan pekerjaan, Level, skala dan cakupan Skema kelembagaan Kawasan ruang dan ekonomi yang lintas desa. Contohnya adalah kecamatan sebagai small town. Pemda melakukan perencanaan dan pelaksanaan didukung alokasi dana khusus. Pusat melakukan fasilitasi, supervisi dan akselerasi. Otonomi, kearifan lokal, modal sosial, demokrasi, partisipasi, kewenangan, alokasi dana, dll. Dalam jangkauan skala dan yurisdiksi desa UU menetapkan kewenangan skala desa, melembagakan perencanaan desa, alokasi dana dan kontrol lokal. Skema kelembagaan Pemegang kewenangan Tujuan Peran pemerintah daerah Peran desa Hasil sebagai small town. Pemda melakukan perencanaan dan pelaksanaan didukung alokasi dana khusus. Pusat melakukan fasilitasi, supervisi dan akselerasi. Pemerintah daerah Mengurangi keterbelakangan, ketertinggalan, kemiskinan, sekaligus membangun kesejahteraan Merencanakan, membiayai dan Melaksanakan Berpartisipasi dalam perencanaan dan pengambilan keputusan Infrastruktur lintasdesa yang lebih baik Tumbuhnya kota-kota kecil sebagai pusat pertumbuhan dan penghubung transaksi ekonomi desa kota. Terbangunnya kawasan hutan, collective farming, industri, wisata, dll. UU menetapkan kewenangan skala desa, melembagakan perencanaan desa, alokasi dana dan kontrol lokal. Desa (pemerintah desa dan masyarakat) Menjadikan desa sebagai ujung depan yang dekat dengan masyarakat, serta membangun desa yang mandiri Fasilitasi, supervisi dan pengembangan kapasitas desa Sebagai aktor utama yang merencanakan, membiayai dan melaksanakan Pemerintah desa menjadi ujung depan penyelenggar aan pelayanan public bagi warga Satu desa mempunyai produk ekonomi unggulan (one village one product). Sumber: Hasil Kajian Direktorat Perkotaan dan Perdesaan, Bappenas, Desa membangun adalah campur tangan pemerintah level di atasnya (kabupaten, provinsi, pusat) dilakukan secara tidak langsung kepada masyarakat desanya, sedangkan membangun desa dilakukan oleh sektor-sektor terkait dari level pemerintah di atasnya. 26 Pembangunan perdesaan sendiri secara umum dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan rnasyarakat di kawasan perdesaan yang bertumpu pada kepentingan, karakter, potensi serta kemandirian. Struktur Sosial Ekonomi Wakatobi Wakatobi merupakan salah satu daerah otonom yang terbentuk sejak tahun 2003 pemekaran dari Kabupaten Buton berdasarkan UU No. 29 Tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten Bombana, Wakatobi, dan Kolaka Utara di Provinsi Sulawesi Tenggara. Nama Wakatobi merupakan akronim 26 BAPPENAS, Laporan Akhir Evaluasi Pembangunan Perdesaan Dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. (Jakarta: BAPPENAS, 2011), hlm. 16 Desentralisasi dan Oligarki... Eka Suaib dan La Husen Zuada 173

38 dari empat pulau yang berjejer disebelah tenggara pulau Buton yaitu Wanci, Kaledupa, Tomia dan Binongko. Dahulu jejeran pulau-pulau kecil yang berada dibawah pulau Buton dinamai kepulauan tukang besi. Istilah tersebut melekat dengan profesi masyarakat Wakatobi khususnya Binongko sebagai pengrajin besi, seperti: membuat parang yang ditempa dari besi. Atas hal ini, Hoger seorang berkebangsaan Belanda menyebut wilayah Wakatobi sebagai kepulauan Toekang Besi Eilanden. Lain pula cerita tradisi lisan masyarakat Wakatobi, tukang besi merupakan nama Raja Hitu, Tuluka Besi. Raja Tuluka Besi dikenal memiliki pengikut setia dan seringkali merepotkan pemerintahan kolonial Belanda. Oleh Belanda, Raja Tuluka Besi bersama pengikutnya direncanakan untuk diasingkan ke Batavia, namun hal ini batal terlaksana setelah melakukan perlawanan dan selanjutnya melarikan diri di Pulau Wangi-Wangi. Tuluka Besi dan para pengikutnya ini oleh masyarakat Wakatobi diyakini sebagai cikal bakal penduduk Wakatobi. 27 Penuturan seorang antropolog Universitas Halu Oleo, Dr. Waode Syifatu menyebut bahwa pengikut Tuluka Besi bukanlah penduduk asli Maluku. Mereka adalah orangorang Buton yang merantau di Maluku. Dengan demikian kedatangan mereka di Wangi-Wangi bukanlah pelarian tapi kembalinya mereka ke tanah leluhur. 28 Wakatobi yang menjadi bagian dari wilayah kekuasaan kesultanan Buton mengenal startifikasi sosial dalam masyarakat, yang terbagi dalam tiga kelompok, yaitu: golongan Kaomu, Walaka dan Papara. 29 Di era kesultanan, kekuasaan di Wakatobi dipegang oleh golongan kaomu (bangsawan/raja). Di era pemerintahan modern dan demokrasi liberal pemimpin lahir atau diseleksi melalui mekanisme pemilihan dan 27 Pemerintah Daerah Wakatobi, Laporan Akhir Rencana Pengelolaan Pariwisata Wakatobi, Pemda Wakatobi, hlm Wawancara dengan Waode Syifatu, 21 Oktober 2016, pukul WITA. 29 Kaomu adalah golongan masyarakat yang berhak menduduki jabatan sultan. Walaka adalah golongan masyarakat kesultanan Buthuuni yang berhak menduduki jabatan legislatif. Papara yaitu mereka yang tidak mempunyai garis silsilah keturunan dari kedua golongan tersebut (Kaomu dan Walaka) disebut sebagai golongan masyarakat biasa. keahlian di bidang tertentu khusunya pendidikan. Hal ini berakibat pada terkikisnya secara perlahan dominasi bangsawan yang dalam tulisan ini saya sebut elite lama (old elite). Sebaliknya mereka yang punya perahu, perantau, birokrat dan aktivis menjadi elite baru (new elite). Mereka yang punya perahu dan perantau oleh masyarakat Wakatobi diidentifikasi sebagai orang yang berada/berharta (memiliki kekayaan). Menurut Waode Syifatu, orang yang punya perahu dan perantau di Wakatobi memiliki kemampuan untuk mengganti camat dan jajaran pemerintahan lainnya. 30 Lain pula birokrat dan aktivis yang menjadi penguasa karena memiliki pengetahuan, pendidikan dan keahlian. Di era reformasi, sumber kekuasaan di Wakatobi semakin beragam, jika sebelumnya penguasa berasal dari kaum bangsawan, kini bergeser pada kalangan terdidik dan mereka yang memiliki kekayaan (harta). Munculnya kaum terdidik tampak pada terpilihnya dan terangkatnya mereka sebagai pejabat pemerintahan di Wakatobi, seperti Bupati, anggota DPRD dan birokrat. Saat masih menjadi bagian dari Kabupaten Buton, pejabat di Wakatobi berasal dari kaum birokrat (camat). Pasca menjadi daerah otonom, kepala daerah diseleksi melalui mekanisme pemilihan, mereka yang terpilihlah menjadi penguasa di Wakatobi. Terpilihnya Hugua sebagai Bupati Wakatobi Tahun 2005 menjadi awal kebangkitan kaum aktivis. Hugua oleh masyarakat Wakatobi dikenal sebagai aktivis dan pegiat LSM. Profesi Hugua sebagai pegiat LSM mampu mendatangkan bantuan (air bersih) bagi daerahnya. Hal ini menjadikan ia semakin dikenal dan menjadi modal sosial bagi dirinya ketika mencalonkan diri sebagai Bupati Wakatobi. 31 Selain Hugua ada pula Muhamad Ali Tembo yang juga berlatar belakang aktivis yang berhasil terpilih menjadi anggota DPRD Wakatobi. Lebih lanjut, masuknya orang kaya sebagai pejabat di Wakatobi diawali dengan terpilihnya Arhawi sebagai anggota DPRD Wakatobi tahun Dua tahun berselang (2011), Arhawi terpilih sebagai Wakil Bupati mendampingi 30 Wawancara dengan Waode Syifatu, 21 Oktober 2016, pukul WITA. 31 Wawancara dengan Rasman, Dosen Universitas Muhamadiyah Buton, 19 September 2016, pukul WITA. 174 Jurnal Penelitian Politik Volume 13 No. 2 Desember

39 Hugua pada periode kedua pemerintahannya. Seperti keterangan salah satu narasumber, pemilihan Arhawi oleh Hugua lebih pada pertimbangan materi yang dimiliki. Latar belakang Arhawi sebagai pengusaha dipandang dapat memudahkan langkahnya terpilih kembali ditengah biaya politik yang semakin mahal. 32 Pada Pemilu 2014, orang yang memiki kekayaan dan perahu semakin banyak yang mencalonkan diri sebagai caleg, diantara mereka ada yang terpilih dan ada pula yang tidak terpilih. Pilkada 2015, kekuatan uang dalam memperebutkan jabatan kepala daerah semakin nyata terlihat. Di Wakatobi calon kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah yang berjumlah dua pasangan calon (head to head) memiliki kekayaan tertinggi dibanding enam daerah lain yang melangsungkan Pilkada. 33 Menurut Waode Syifatu, status sosial sebagai bangsawan, orang yang memiliki perahu (kaya) dan memiliki pendidikan, menjadi daya dukung seseorang untuk terpilih atau menjadi penguasa di Wakatobi. Penuturan ini diakui pula oleh Mahmud, seorang akademisi asal Wakatobi. Di Wakatobi untuk bisa terpilih sebagai pejabat politik harus didukung oleh kekuatan finansial (seperti: memiliki perahu, perantau, tanah). Mereka yang memiliki perahu/ kapal mempekerjakan banyak orang dan memiliki uang, sehingga sangat mudah untuk mengajak dan memobilisasi pemilih agar memberikan dukungan. Jika para pekerja tidak menuruti perintah sang pemilik kapal mereka akan dipecat/ tidak dipekerjakan lagi. Pengaruh mereka yang memiliki uang ini sangat kuat terasa ketika dalam pemilihan kepala desa, caleg hingga kepala daerah. Salah satu contohnya legislator PAN terpilih, Ariati. Legislator asal Tomia ini bukan bangsawan dan bukan pula yang memiliki pendidikan baik, tapi karena kekuatan uang dan bapaknya (Baharudin Isa/mantan 32 Wawancara dengan S, aktivis Wakatobi, 22 Oktober 2016, pukul WITA. 33 Pilkada Wakatobi 2015 diikuti dua pasangan Calon yaitu Pasangan Arhawi dan Ilmiati Daud yang diusung oleh PAN dan koalisinya. Sementara pasangan Haliana dan Muhamad Syawal didukung oleh PDI.P. Dalam rilis harta kekayaan oleh KPU, Arhawi merupakan calon kepala daerah terkaya di Wakatobi dan Sultra dengan jumlah kekayaan 44 miliar rupiah. Sementara Haliana merupakan calon kepala daerah terkaya kedua di Wakatobi dan Sultra dengan jumlah harta berkisar 31 miliar rupiah. camat dan penguasa tanah pulau One Mobaa/ pulau Lorenz), pada Pemilu 2014 ia terpilih sebagai anggota DPRD. Selain itu, mereka yang berpendidikan juga banyak terpilih/duduk sebagai pejabat politik di Wakatobi, contohnya: Hugua dan Muh. Ali Tembo (Ketua DPRD Wakatobi). Mereka berdua bukan bangsawan, bukan pula orang kaya, tapi mereka dikenal sebagai aktivis LSM yang memiliki pengetahuan dan pendidikan. 34 Menurut Mahmud, modal finansial dan pendidikan merupakan sumber kekuasaan di Wakatobi. Sebaliknya status sosial sebagai bangsawan semakin tidak mendapat tempat/ dukungan untuk bisa terpilih. Menurut Mahmud, kepemilikan finansial, pendidikan, peran mosega (orang kuat, pandai silat, kebal dari benda tajam, kebal dari guna-guna) sangat mempengaruhi terpilihnya pejabat publik di Wakatobi. 35 Dalam pemilihan, mosega memiliki kekuasaan informal untuk mempengaruhi pemilih secara persuasif dan represif. Mosega seringkali digunakan oleh para elite politik sebagai alat pemaksa dan pelindung mereka, selain polisi dan aparat pemerintah. Dalam ajang pemilihan, pejabat atau calon pejabat mendapat pengawalan dari polisi, satgas partai dan preman. Satgas partai banyak diisi oleh orang-orang sega (berani) yang dikenal memiliki kekebalan dan pandai berkelahi. 36 Mosega dalam perpolitikan lokal Indonesia memiliki kemiripan dengan Jawara (Banten), Blater (Madura), mantan kombatan (Aceh). Yang membedakan, Mosega di Wakatobi belum menduduki kekuasaan atau terpilih sebagai kepala daerah. Sementara Jawara, Blater dan 34 Wawancara dengan Mahmud, akademisi UHO asal Wakatobi. 35 Di zaman dahulu (kerajaan) mosega dikenal sebagai pasukan yang pandai silat (balaba) dan memiliki kesaktian (tidak ditembus parang dari serangan senjata) yang bertugas mempertahankan wilayah kekuasaan. Mosega menujuk pada pemimpin suatu kelompok biasanya diambil dari orang-orang yang gagah berani, cekatan, ahli berkelahi dan ahli perang Wawancara dengan SD, mahasiswa asal Wakatobi. Desentralisasi dan Oligarki... Eka Suaib dan La Husen Zuada 175

40 mantan kombatan telah berhasil menduduki posisi sebagai kepala daerah (transformasi menjadi penguasa). Sosok Mosega di Wakatobi identik dengan terminologi Migdal tentang local strongman (orang kuat lokal). Bangsawan, pemilik perahu atau yang memiliki tanah, aktivis, mosega dan birokrat merupakan elite penentu di Wakatobi. Orang Wakatobi dikenal sebagai pelaut tangguh yang mampu melintasi lautan luas. Keberanian pelaut Wakatobi tidak terlepas dari kebiasaan menaklukan ombak di wilayah tempat tinggal mereka, yang berhadapan langsung dengan laut Banda. 37 Sambil berlayar, orang Wakatobi juga menjalankan aktivitas perdagangan antar pulau bahkan antar negara. Tidak heran kemudian orang Wakatobi memiliki peranakan dan banyak menetap (merantau) di setiap wilayah pesisir kepulauan di Indonesia, sebagaimana kebiasaan yang dilakukan oleh orang Bugis, Makassar dan Bajo. Profesi pelaut orang Wakatobi kerap dimanfaatkan oleh para penyeludup untuk mengangkut barang-barang (elektronik, otomotif, pakaian, ikan, kayu dan hasil laut) dari dalam dan luar negeri demi menghindari pajak negara. Lapangan pekerjaan penduduk Wakatobi paling banyak berasal dari sektor pertanian (19.376), perdagangan (8.143), jasa (6.108), lainnya (6.163) dan indsutri (2.438). Pada tahun-tahun terakhir terjadi peningkatan dalam investasi luar di daerah Wakatobi. 38 Disisi lain Wakatobi menyimpan potensi wisata laut berkelas dunia, ini mulai terlihat ketika masih menjadi bagian dari Kabupaten Buton. Kekhasan bawah laut yang dimiliki Wakatobi menjadikan daerah ini ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional oleh pemerintah pada tahun Jauh sebelum itu, Wakatobi telah menarik perhatian masyarakat internasional, diantaranya Mr. Lorenz Mader, seorang investor berkebangsaan Swiss. Pada Tahun 1995, di pulau One Mobaa, Desa 37 Laut Banda dikenal sebagai laut terdalam di Indonesia yang memiliki ombak tinggi. 38 Kebanyakan toko yang menjual barang-barang industri saat ini dimiliki oleh pebisnis dari bagian lain Sulawesi, dan operasi budidaya mutiara di sekitar Kaledupa dimiliki investor-investor dari Bali Lihat: Paul Simonin, Laporan Mengenai Resiliensi (Ketangguhan) Pedesaan: Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Indonesia, hlm. 18 Lamanggau salah satu bagian dari wilayah Kecamatan Tomia, Mr. Lorenz merintis pendirian resort kelas dunia dengan nama Wakatobi Dive Resort (WDR). WDR beroperasi setelah mengantongi surat izin tempat usaha dari pemerintah setempat dengan nomor registrasi 17/ V1/2000 yang dikeluarkan oleh Bupati Buton. Setelah berdiri sebagai daerah otonom, sektor wisata Wakatobi tumbuh dan menjadi andalan untuk meningkatkan penghasilan daerah. Upaya tersebut dicanangkan oleh Bupati Wakatobi, Ir. Hugua melalui visi pemerintahannya yaitu Terwujudnya Surga Nyata Bawah Laut di Pusat Segitiga Karang Dunia. Visi ini mengadung tiga hal pokok yaitu: 1). Surga nyata adalah perwujudan kesejahteraan dan kemakmuran baik secara ekonomi, sosial dan lingkungan hidup serta daya saing daerah yang didukung oleh situasi ketertiban dan ketentraman umum yang kondusif; 2). Bawah laut adalah perwujudan kemanfaatan dan kelestarian atas potensi sumberdaya bawah laut dan perairannya khususnya dalam hal kelautan, perikanan, pariwisata, dan lingkungan/ kawasannya; 3). Pusat segi tiga karang dunia adalah aktualisasi posisi geostrategi Wakatobi, yakni pada pusat segitiga karang dunia yang mempunyai keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. 39 Dalam rangka mewujudkan visi tersebut, pemerintah Wakatobi mengeluarkan berbagai kebijakan diantaranya mempromosikan pariwisata Wakatobi di dalam dan luar negeri, menerbitkan Perda Nomor 4 Tahun 2006 Tentang Retribusi Izin Usaha Industri dan Usaha Perdagangan, serta Perda Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Penanaman Modal Di Kabupaten Wakatobi. Berbagai kebijakan tersebut ditujukan untuk meningkatkan perekonomian daerah. Profil dan Sumber Daya Oligarki Sektor pariwisata yang mendatangkan banyak wisatawan setiap tahun mampu meningkatkan PAD dan menggairahkan ekonomi Wakatobi. Namun, secara bersamaan capaian positif tidak disertai dengan pemerataan pendapatan, yang setiap tahun pendapatan masyarakat semakin mengalami ketimpangan. Perekonomian Wakatobi dikuasai oleh para elit politik dan 39 BPS, Kabupaten Wakatobi Dalam Angka Tahun Jurnal Penelitian Politik Volume 13 No. 2 Desember

41 ekonomi, sementara masyarakat hanya mendapat bagian kecil dari efek pertumbuhan ekonomi. Fenomena ini tampak dalam pengelolaan bisnis pariwisata dan kebutuhan pendukung pariwisata, sarana dan prasarana pendukung pariwisata, seperti: jalan, bandara, hotel, resort, kapal, alat transportasi dan lainnya dikuasai/dikelola oleh beberapa orang. Mereka inilah yang dalam tulisan ini dinamai sebagai kelompok oligarki predatoris dan elit ekonomi yang menguasai bisnis dan sumber daya pariwisata di Wakatobi. Latar belakang mereka sangat beragam mulai dari pengusaha, politisi hingga mantan birokrat. Tabel. 2. Profil Oligarki dan Elite Ekonomi di Wakatobi Nama Latar Belakang Grup Bisnis/tahun pendirian Hugua Aktivis Patuno Resort & PT. Patua Insani Sapulo (Pata Pulo Travel)/ Lorenz Mader Pengusaha Wakatobi Dive Resort/ 1995 Arhawi Pengusaha PT. Askar Saputra Ceng Ceng Pengusaha / Kontraktor PT. Golden Prima Wakatobi & Tunas Mandiri Haliana Pengusaha CV.Liya Persada (Kontraktor), UD.Rezky Abadi (Perdagangan Umum), PT. Tomia Bersinar (SPBN/PERTA MINA), Pudonggala Damai Bersinat (Transportasi Laut), Anggota plasma pada PT. Agrosawit Indonesia (Perkebunan Kelapa Sawit) Bisnis/ proyek Yang di Kelola Pariwisata (resort & penyeleman) dan Travel Pariwisata (resort dan penyeleman) Transportasi (kapal laut) Infrastrukur (jalan yang didanai APBD dan perluasan Apron dan Taxiway termasuk Marking Bandara Matohara Sumber Daya Kekuasaan - Hak politik dan ekonomi (memilih/dipilih, investasi) - Jabatan resmi (Bupati Wakatobi , ; Ketua DPD PDI.P Sultra) - Kekusaan pemaksaan (pajabat negara/aparatur negara ) - Kekuasaan mobilisasi (aktivis sosial/lsm/tokoh partai) - Kekuasaan material (Pemilik Patuno Resort & Pata Pulo Travel) - Hak ekonomi (investasi) - Jabatan resmi (pemilik Wakatobi Dive Resort) - Kekuasaan material (Pemilik Wakatobi Dive Resort) - Hak politik dan ekonomi (memilih/dipilih, investasi) - Jabatan resmi (Wakil Bupati Wakatobi , Bupati terpilih Wakatobi terpilih ; Ketua DPD PAN Wakatobi, CEO Aksar) - Kekusaan pemaksaan (pejabat negara/aparatur negara ) - Kekuasaan mobilisasi (tokoh partai) - Kekuasaan material (Pemilik Grup Aksar) - Hak ekonomi (investasi) - Jabatan resmi (pemilik Golden Prima Wakatobi & Tunas Mandiri) - Kekuasaan material (Pemilik Golden Prima Wakatobi & Tunas Mandiri) - Hak ekonomi - Hak politik - Kekuasaan material Kewargan egaraan Harta/Kekayaan/ Pendapatan Keterangan Indonesia Tidak diketahui Aktivis yang bertransformas i menjadi elite politik dan elite ekonomi, lalu menjadi Oligarki Swiss Indonesia Pendapatan WDR sebesar 64,8 Milyar Rupiah/Tahun (data tahun 2007). Rp (LHKPN Tahun 2015). Elite ekonomi Pengusaha yang bertransformas i menjadi elite politik dan menjadi Oligarki Indonesia Tidak diketahui Elite ekonomi Indonesia Rp (LHKPN Tahun 2015). Elite ekonomi yang berusaha menjadi elite politik namun gagal (tidak terpilih) Desentralisasi dan Oligarki... Eka Suaib dan La Husen Zuada 177

42 Baharudi n Isa Pemilik Tanah/ Mantan Birokrat Pihak yang memfasilitasi Lorenz menyewa Pulau One Mobaa - Hak ekonomi - Hak politik - Kekuasaan material Indonesia Tidak diketahui Mantan birokrat yang bertransformas i menjadi elite ekonomi dan memiliki pengaruh politik (anaknya terpiluh menjadi anggota DPRD) Sumber: diolah penulis dari berbagai sumber, tahun Hugua merupakan salah satu kelompok oligarki di Wakatobi. Ia merupakan Bupati Wakatobi dua periode ( )/( ). Sebelum terpilih sebagai Bupati, Hugua merupakan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat Himpunan Pendidikan Luar Sekolah Oleh Masyarakat (HPP LSM RA) dan Himpunan Lembaga Latihan Swasta Indonesia (HILLSI). Pada dua organisasi itu, Hugua terpilih sebagai Ketua I DPD dan Ketua DPD Sultra. Semasa kuliah di Universitas Halu Oleo (UHO), Hugua terdaftar sebagai salah satu kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Di organisasi internal kampus, Hugua pernah menjadi anggota Badan Perwakilan Mahasiswa FAPERTA UHO serta Koordinator Himpunan Mahasiswa Agronomi Pecinta Buku (HIPMAPBU) Sultra. Di organisasi kepemudaan Hugua pernah menjadi Ketua Departemen ICMI Sultra dan Ketua Kerukunan Keluarga Tomia di Kendari Periode Ia juga pernah menjadi Ketua Pengurus Masjid dan tercatat pernah menjabat sebagai Working Group ILO Periode Keterlibatan dalam organisasi menjadikan Hugua memiliki jaringan luas, baik di dalam maupun luar negeri. Hugua kerap mengikuti kursus dan pelatihan internasional yang menjadikannya semakin fasih bahasa asing dan memiliki jaringan internasional. Semasa aktif di LSM, Hugua berhasil mendatangkan program pemberdayaan yang didanai oleh lembaga donor internasional, diantaranya program air bersih. Program ini menjadikan Hugua semakin dikenang oleh masyarakat Wakatobi. 40 Suara Kendari, Profil Hugua, Putera Terbaik Sultra Calon Menteri Kelautan di Kabinet Jokowi JK, 3 Agustus 2014, (diakses pada 25 Juli 2016). Pada Pemilu 2004, Hugua berbekal kepopuleran, pengalaman organisasi dan jaringan yang dimiliki mencalonkan diri sebagai anggota legislatif provinsi Sultra, namun tidak berhasil. Meski gagal dalam pemilu legislatif, tidak menurunkan semangat Hugua menjauh dari aktivitas politik. Setahun berselang (2005), ia mencalonkan diri sebagai Bupati Wakatobi. Pencalonan ini didukung oleh koalisi PDI.P dan PPP. Pada Pilkada itu, Hugua terpilih menjadi Bupati Wakatobi. Tidak lama berselang ia dipercaya memimpin ketua DPC PDI.P Wakatobi, selanjutnya pada tahun 2010, Hugua terpilih melalui musyawarah sebagai Ketua PDI.P Sultra periode Dipilihnya Hugua pada saat itu dianggap sangat tepat karena ia dipandang berhasil menaikan kursi PDI.P didaerahnya serta sukses memimpin Wakatobi. PDI.P berpikiran, keberhasilan di Wakatobi bisa diikuti oleh Kabupaten/Kota lain di Sulawesi Tenggara. Juga Hugua merupakan kader. PDI.P juga memiliki hitungan dengan terpilihnya Hugua, posisinya sebagai Bupati dapat dimanfaatkan untuk melakukan banyak hal untuk kesejahteraan rakyat dan membesarkan partai. 41 Terpilihnya Hugua sebagai Ketua PDI.P Sultra, dipertemukan pada kepentingan yang hampir sama antara partai dan Hugua. Pada sisi Hugua, PDI.P sangat dibutuhkan untuk tetap mem-back-up pemerintahannya di legislatif, serta memuluskan dirinya untuk bertarung kembali pada Pemilukada Wakatobi Belakangan Hugua berkepentingan mewariskan kesuksesan politik dirinya kepada keluargannya. Hal ini tampak pada pencalonan istrinya, Ratna Lada 41 Pada Pemilu 2009, kursi PDI.P di Wakatobi berjumlah 5. Wawancara dengan Agus Sanaa (Wakil Sekertrais DPD PDI.P Sultra), 19 Agustus 2016, pukul WITA. 178 Jurnal Penelitian Politik Volume 13 No. 2 Desember

43 sebagai Caleg DPR-RI dari PDI.P serta adik iparnya Nursalam Lada sebagai Caleg DPRD Provinsi. Ratna Lada gagal melenggang ke Senayan, namun adik iparnya Nursalam Lada lolos sebagai anggota DPRD Sultra dan ditunjuk sebagai Wakil Ketua DPRD. Dominasi dan keberhasilan PDI.P menjadi partai penguasa (the rulling party) di Wakatobi, menjadi pembeda dengan Kabupaten/Kota di Sulawesi Tenggara yang didominasi oleh Partai Golkar, PAN dan Partai Demokrat. Selama dipimpin Hugua, PDI.P Wakatobi pada Pemilu 2009 menguasai 20 % suara (5 kursi) di legislatif. Sejak menjabat Ketua PDI.P Sultra, ia berhasil memenangkan dirinya dalam Pemilukada Wakatobi tahun 2011 dan menaikan perolehan kursi legislatif PDI.P Tahun 2014 di hampir seluruh Kab/Kota dan Provinsi di Sulawesi Tenggara. Di tingkat Propinsi PDI.P mendudukan 5 wakilnya, sekaligus merebut posisi wakil ketua DPRD Provinsi. Pencapaian ini secara perlahan menjadikan PDI.P mendekati dominasi PAN, Golkar dan Demokrat di Sulawesi Tenggara. Kesuksesan Hugua di bidang politik berlangsung pula di bidang ekonomi. Ia muncul sebagai salah satu elit politik Wakatobi yang memiliki aset dan kekayaan material besar. Di Wakatobi Hugua dikenal sebagai pemilik Patuno Resort dan Pata Pulo Travel. 42 Dalam rangka mencapai kesukesan ekonomi, Hugua melakukan berbagai strategi demi memberikan keuntungan bagi usahanya. Hugua mewajibkan kepada setiap pegawai pemerintah yang bepergian untuk menggunakan tiket yang dipesan melalui Pata Pulo Travel. 43 Hugua secara intens menyelenggarakan kegiatan dan promosi untuk menarik wisatawan, yang secara bersamaan terselip kepentingan bisnis Hugua yaitu terisinya resort-resort di Wakatobi, diantaranya Patuno yang merupakan resort miliknya. Sejak berdirinya Patuno Resort dan Pata Pulo Travel, Hugua seringkali mencampuradukkan kepentingan pemerintah daerah dan kepentingan bisnis pribadinya. Patuno Resort dan Pata Pulo Travel menjadi mesin pencetak uang bagi Hugua. Kedatangan banyak pengunjung di Wakatobi selain meningkatkan PAD turut menambah akumulasi kapital Hugua dari hasil sewa wisatawan, yang menginap di Patuno Resort dan menggunakan agen perjalanan Pata Pulo Travel. Penuturan Daryono Moane (Mantan Ketua DPRD Wakatobi/PDI.P) Patuno Resort dan Pata Pulo Travel adalah asset Hugua yang terlihat. Menurutnya Hugua juga memiliki sejumlah tanah di Wakatobi dan Kendari, serta rumah di Australia. 44 Wawancara dengan salah satu akademisi asal Wakatobi yang bekerja di Universitas Muhamadiyah Buton menceritakan hal ini: Semua orang sudah tahu bahwa Hugua adalah pemilik Patuno Resort dan Pata Pulo Travel. Hugua juga memiliki banyak tanah di Wakatobi dan Kendari. Ia juga memiliki rumah di Kendari. 45 Penguasaan aset oleh Hugua dikonfirmasi pula Muhamad Daulat, seorang aktivis anti korupsi lokal. Daulat menyebut bahwa banyak tanah dan lahan kosong di Wakatobi dimiliki oleh Hugua yang dibeli dengan harga murah, pengambilan secara paksa dari warga serta diperoleh melalui pematokan tanah/pulau yang belum berpenghuni. Sumiman Udu seorang akademisi Universitas Halu Oleo asal Wakatobi menuturkan, pengembangan Pariwisata Wakatobi menyebabkan hilangnya tanah Sara dan memicu perlawanan masyarakat adat terhadap Negara. 46 Tanah menjadi alat akumulasi dan perlindungan kekayaan para elit politik dan 42 Patuno Resort merupakan satu-satunya resort yang berada ibukota Kabupaten (Wangi-Wangi). Hal ini menjadikannya sangat strategis bagi siapa saja yang berkunjung ke Wakatobi, baik untuk tujuan wisata maupun sekedar menghadiri acara pemerintahan. Untuk bisa menginap di Patuno Resort pengunjung harus menyediakan minimal Rp /malam. Sementara itu, Pata Pulo Travel merupakan perusahan yang bergerak dibidang agen penyedia tiket pesawat. 43 Wawancara dengan Muhamad Daulat 5 Agustus 2016, pukul WITA 44 Daryono Moane, Korupsi Bupati Wakatobi, 26 April 2013, i_552fa49e6ea b4591 (diakses pada 5 Agustus 2016). 45 Wawancara dengan Rasman 31 Juli 2016, pukul WITA 46 Lihat Sumiman Udu, Pengembangan Pariwisata dan Hilangnya Tanah-Tanh Sara di Wakatobi: Kajian Atas Perlawanan Masyarakat Adat. Prosiding The 4 th International Conference on Indonesian Studies: Unity, Diversity and Future, Bali 9-10 Februari Desentralisasi dan Oligarki... Eka Suaib dan La Husen Zuada 179

44 ekonomi di Wakatobi. Menurut Daulat, seorang pejabat Wakatobi diduga pernah melakukan gratifikasi tanah kepada seorang petinggi Polri yang bertugas di Wakatobi demi mengamankan dirinya dari pengusutan kasus korupsi. Dugaan korupsi yang melibatkan Hugua menurut Daulat telah berlangsung sejak awal pemerintahannya. 47 Sementara itu dugaan korupsi yang melibatkan Hugua dihimpun oleh Wakatobi Information Agency (WAINA). Selain insentif PPB, WAINA menemukan dugaan korupsi belanja subsidi kepada perusahaan penerbangan Express Air sebesar Rp Kedua kasus tersebut telah dilaporkan oleh WAINA pada Kepolisian Republik Indonesia. Namun hasil penyelidikan Polri mengklarifikasi bahwa dugaan korupsi subsidi penerbangan Express Air belum ditemukan unsur pidana, sedangkan dugaan korupsi insentif PBB, Polri tidak dapat menangani dikarenakan telah diusut oleh pihak kejaksaan. 48 Seteru politik Hugua, Daryono Moane (mantan Ketua DPRD Wakatobi/PDI.P) mengungkapkan lebih banyak dugaan korupsi di Wakatobi, diantaranya pengadaan kapal laut, pengadaan pipa dan dana sharing PNPM Daulat bercerita bahwa pada tahun 2005 Wakatobi mendapatkan insentif pajak bumi dan bangunan dari pemerintah sebesar Rp Uang hasil insentif pajak ini dibagi-bagi kepada elit politik dan birokrasi Wakatobi. Bagian terbesar diperuntukan kepada Bupati, Wakil Bupati dan Sekertaris Daerah sebesar 43 %, 22 % diperuntukan kepada Kepala Dinas Pendapatan Wakatobi, asisten Setda Kabupaten Wakatobi dan Kepala Kantor pelayanan PBB Bau-Bau. Sisanya sebesar 35 % diperuntukan kepada unsur sekertaris dan anggota tim intensifikasi PBB. Instruksi pembagian insentif pajak ini merujuk pada surat perintah Bupati Wakatobi, Hugua, dengan nomor 973/334. Wawancara dengan Muhamad Daulat dan kutipan salinan Surat Perintah Bupati Wakatobi Nomor 973/334 dan lampiran 48 Hasil klarifikasi POLRI atas pengaduan masyarakat. Wakatobi Invormatian Agency 49 1). Proyek pengadaan kapal ikan pada TA 2007 melalui penunjukkan Bupati yang jatuh kepada Nursalam Lada (Adik Ipar Bupati) dengan total anggaran Rp. 7 miliar. Menurut Daryono, kapal tersebut tidak pernah dipakai oleh nelayan, karena sebelum serah terima kepada nelayan kapal-kapal tersebut telah rusak. 2). Dugaan korupsi pengadaan pipa untuk air minum sebesar Rp. 30 miliar yang dianggarkan pada dua APBD (APBD Kabupaten dan ABPD Propinsi). 3). Tidak adanya pertanggung jawaban atas dana sharing PNPM yang setiap tahunnya mencapai Rp. 3 s/d 4 miliar. Daryono Moane, Korupsi Bupati Wakatobi, 26 April 2013, kompasiana.com/putrawaka/korupsi-bupati-waktobi_552fa4 9e6ea b4591 (diakses pada 5 Agustus 2016). Selain itu, Hugua dikenal memiliki kedekatan dengan pengusaha Ceng Ceng, seorang kontraktor asal Bau-Bau. Di Wakatobi Ceng Ceng sangat familiar, ia dikenal sebagai kontraktor yang kerap memenangkan tender proyek. 50 Kehebatan Ceng Ceng ini diakui pula oleh salah satu karyawan yang bekerja di perusahaan miliknya. Ceng-Ceng merupakan kontraktor yang telah lama bermain (menangani proyek) di Wakatobi. Proyek besar di Wakatobi selalu dimenangkan oleh Ceng Ceng. Jika ada kontraktor selain Ceng Ceng yang memenangkan tender, nilai proyeknya sangat kecil, itu sisa-sisa/buangan Ceng Ceng. 51 Guna mendapatkan banyak proyek, Ceng Ceng mendirikan lebih dari satu perusahan yaitu Golden Prima Wakatobi dan Tunas Mandiri (praktek kartel). Ia juga kerap menyewa perusahan lain demi menghindari kecurigaan publik dan badan pemeriksa. Jenis proyek yang dikerjakan oleh Ceng Ceng diantaranya adalah jalan yang didanai oleh APBD Kabupaten dan jalan inspeksi Bandara Mataohara. Sang karyawan menuturkan, kemenangan Ceng Ceng dalam tender proyek di Wakatobi didukung oleh ketersediaan peralatan yang lengkap (alat berat, seperti: mesin pengeruk) yang tidak dimiliki oleh kontraktor lain. Bermodal kelengkapan perlatan itu, Ceng Ceng meski tidak memenangkan tender, ia seringkali diminta oleh pemenang tender (kontraktor lain) untuk mengerjakan proyek yang dimenangkan, atau sekedar meminjam peralatan melalui komitmen pembagian keuntungan. Ceng Ceng juga dianggap berpengalaman dalam mengerjakan proyek di Kepulauan Wakatobi, sejak masih bergabung dengan Kabupaten Buton. Keunggulan Ceng Ceng lainya adalah memiliki hubungan baik dengan para penguasa di era otonomi daerah. Hubungan baik dipelihara melalui sikap royalnya terhadap penguasa yaitu menjadi donatur pada pagelaran politik penting. Menurut karyawan yang bekerja di perusahan 50 Nama Ceng Ceng adalah nama yang dikenal oleh warga Wakatobi, saat penulis berkunjung ke Tomia disana sedang dikerjakan pengaspalan jalan kabupaten. Sang sopir bercerita bahwa proyek dikerjakan oleh Ceng Ceng, kontraktor yang mengerjakan proyek-proyek di Wakatobi. Wawancara dengan A, Warga Tomia, Kabupaten Wakatobi, 6 Agustus 2015, pukul WITA 51 Wawancara dengan N, 7 Agustus 2016, pukul WITA 180 Jurnal Penelitian Politik Volume 13 No. 2 Desember

45 Ceng Ceng, sang bos sampai tahun 2015 merupakan salah satu donatur utama Hugua dalam kegiatan politik. Perpisahan keduanya berlangsung pada Pemilukada 2016, Hugua mendukung Haliana, sementara Ceng Ceng memberikan dukungan kepada Arhawi (Bupati terpilih Wakatobi periode ). 52 Arhawi merupakan Ketua DPD PAN Wakatobi dua periode, / Pada Pemilu 2009, PAN berhasil mendudukan 3 kursi di legislatif sekaligus menempatkan Arhawi sebagai wakil ketua DPRD. Dua tahun menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD ( ), Arhawi terpilih sebagai wakil bupati mendampingi Hugua. Saat menjabat sebagai Wakil Bupati, Arhawi dipercaya memimpin organisasi kepemudaan, KNPI dan Kwarcab Pramuka Wakatobi periode Di partai, Arhawi tetap dipercaya memimpin PAN Wakatobi. Hasilnya pada Pemilu 2014 PAN berhasil mengirimkan 7 wakilnya di legislatif, perolehan suara PAN hanya berselisih 1 kursi dengan PDI.P, partai yang sangat dominan di Wakatobi. Kesuksesan politik Arhawi diwariskan pula pada keluarganya, Sukardi dan Hamiruddin. Kakak dan ipar Arhawi ini pada Pemilu 2014, terpilih menjadi anggota DPRD Wakatobi dari PAN. Arhawi dan Hugua memimpin partai yang berbeda, namun keduanya sangat harmonis (tidak terlibat konflik) dalam menjalankan pemerintahan sebagai Bupati-Wakil Bupati 53 terkecuali menjelang Pemilukada Wakatobi Rivalitas politik keduanya tampak ketika PDI.P dan PAN tidak lagi berkoalisi, Hugua sebagai Ketua PDI.P Sultra mendukung Haliana-Syawal, sementara PAN mendukung Arhawi untuk menjadi Bupati Wakatobi periode Wawancara dengan N, 7 Agustus 2016, pukul WITA 53 LIPI menemukan hampir 95 persen pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah juga mengalami pecah kongsi atau konflik. Kementerian Dalam Negeri pernah merilis data bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah hasil pilkada langsung dari tahun 2005 hingga 2013 sebesar 94,6 persen pecah kongsi. Liputan 6, Mendagri: 95% Kepala Daerah & Wakilnya Pecah Kongsi Tengah Jalan 10 Maret 2014, lihat com/read/ /mendagri-95-kepala-daerah-wakilnyapecah-kongsi-tengah-jalan diakses tanggal 6 Agustus Persaingan dalam Pemilukada berakhir dengan kemenangan tipis Arhawi atas Halina. 54 Kemenangan Arhawi pada Pemilukada Wakatobi tidak terlepas dari dukungan PAN dan Nur Alam sebagai pimpinan PAN saat itu dan Gubernur Sultra. 55 Di samping itu, Arhawi juga memiliki basis material yang setara bahkan melampui Hugua. Jika Hugua memiliki Patuno Resort dan Pata Pulo Travel, Arhawi merupakan pemilik Askar Saputra Grup, perusahan perkapalan yang melayani angkutan penumpang dan barang yang beroperasi di dalam dan luar Sulawesi Tenggara (Maluku, Maluku Utara, Papua dan Sulawesi). Grup Askar tercatat memiliki beberapa cabang perusahaan dan puluhan kapal angkut penumpang dan barang. Arhawi sebagai pemilik Grup Askar memiliki kekayaan sebesar Rp Hugua dan Arhawi adalah elit politik yang juga menjadi elit ekonomi di Wakatobi. Hal yang membedakan keduanya adalah Hugua memiliki kekayaan setelah menjadi Bupati, sementara Arhawi sebelum memasuki dunia politik telah memiliki basis material besar. Arhawi memiliki latar belakang pengusaha dan pernah menjadi Ketua KADIN Wakatobi pada periode , sedangkan Hugua berlatar belakang aktivis. Meminjam pendapat Winters, masuknya Arhawi dalam politik merupakan bagian dari upaya menambah dan mempertahankan kekayaan 57, meski hal ini tentu perlu dibuktikan hingga akhir periode kepemimpinannya sebagai Bupati. Keberadaan Askar Saputra Grup sangat berkontribusi dalam memenangkan Arhawi 54 Hasil pleno KPU Waktobi, Pilkada Wakatobi dimenangkan oleh pasangan Arhawi-Ilmiati Daud dengan selisih 777 suara atau 0,7 persen. 55 Nur Alam merupakan Ketua DPW PAN Sultra tiga periode. Tahun 2016, setelah ia tidak terpilih menjadi Ketua DPW PAN dan memilih untuk istrahat dari kepartaian. Uraian lebih lengkap tentang sosok Nur Alam, baca Eka Suaib dan La Husen Zuada, Fenomena Bosisme Local di Era Desentralisasi: Studi Hegemoni Politik Nur Alam di Sulawesi Tenggara, Jurnal Penelitian Politik LIPI. Vol.12, No Baca pula Eka Suaib dan La Husen Zuada, Institusionalisasi Partai Politik: Studi Kasus Hegemoni PAN di Sulawesi Tenggara, Jurnal The Politics. Magister Ilmu Politik Universitas Hasanuddin. Vol. 2 No.1 Tahun Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara yang disetor di KPUD Wakatobi 57 Lihat Jeffrey Winters, Oligarki, hlm. 18 Desentralisasi dan Oligarki... Eka Suaib dan La Husen Zuada 181

46 pada Pemilukada Kabupaten Wakatobi. Laporan Bawaslu Sultra mencatat, PT. Askar Saputra Lines merupakan salah satu penyumbang biaya kampanye Arhawi. 58 Kapal milik PT. Askar Saputra menjadi alat pertukaran suara antara kandidat dan pemilih (klientalisme). Pola klientalisme yang dipraktekan yaitu dengan menggratiskan atau memotong tiket penumpang pengguna kapal milik Arhawi (PT. Askar Saputra). 59 Kapal Arhawi pada saat Pemilukada digunakan sebagai alat intimidasi bagi penduduk yang berbeda pilihan politik. Sebuah surat kabar memberitakan tindakan intimidasi dan perlakuan tidak menyenangkan yaitu larangan naik kapal dan pengusiran penumpang PT. Askar yang tidak berpihak pada salah satu calon bupati. 60 Lebih lanjut menurut salah satu fungsionaris PDI.P Sultra, pada Pilkada 2015 kapal milik Arhawi digunakan sebagai alat mobilisasi pemilih (mendatangkan pemilih) dari luar daerah. Para pemilih ini adalah orang-orang Wakatobi yang merantau ke Indonesia bagian timur seperti, Papua, Taliabu dan Maluku. 61 Mobilisasi pemilih dari luar daerah merupakan salah satu pola yang ditemukan oleh Bawaslu Sultra pada penyelenggaraan Pemilukada serentak Saat Pemilukada, para penduduk Wakatobi yang berada di luar daerah (merantau) kembali ke Sultra dengan alasan pulang kampung. Diantara mereka ada yang telah memiliki KTP dan tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT), maka dengan pulang kampung mereka bisa memilih. Ada pula yang memiliki KTP tapi tidak tercatat dalam DPT, maka berdasarkan PKPU No. 10 Tahun 58 Bawaslu Sultra, Laporan Akhir Hasil Pengawasan Bawaslu Sultra, 2016, hlm Salinan putusan MK. Nomor 117 PHP-BUP-XV/2016, tentang sidang sengketa Pilkada Wakatobi Tahun 2015, hlm Kompas, Penumpang diturunkan dari kapal gara-gara beda pilihan, 5 Januari 2016, read/2016/01/05/ /penumpang.mengaku.diturunkan. dari.kapal.gara-gara.beda.pilihan.di.pilkada (diakses pada 6 Agustus 2016). 61 Wawancara dengan Agus Sanaa, 22 Agustus 2016, jam WITA. Fenomena mobilisasi pemilih dari luar daerah di Wakatobi pernah terungkap dalam Pemilukada tahun Lihat Putusan MK Nomor 40/PHPU.D-Ix/2011 tentang sidang sengketa Pilkada Wakatobi Tahun 2011, hlm Wawancara dengan Munsir Salam, Komisioner Bawaslu Sultra, 28 Juni 2016, pukul WITA 2015 mereka berhak untuk memilih. Bagi mereka yang belum memiliki KTP, maka dibuatkan KTP baru. Selain Hugua dan Arhawi, nama lain yang cukup dikenal di Wakatobi adalah Mr. Lorenz Mader, pemilik Wakatobi Dive Resort (WDR) yang berlokasi di Pulau One Mobaa, Desa Lamanggau Kecamatan Tomia. Lorenz biasa disapa merupakan warga negara Swiss yang berinvestasi di Wakatobi. Lorenz merintis berdirinya WDR sejak tahun 1995 dan mendapatkan izin dari Bupati Buton lima tahun kemudian (tahun 2000). Kehadiran WDR cukup kontroversial dikalangan masyarakat, pemerintah dan pihak keamanan. Pro kontra masyarakat terkait keberadaan WDR diantaranya menyangkut sewa lahan yang dipersoalkan oleh pemilik lahan 63, kontribusi bagi masyarakat sekitar, larangan terhadap nelayan setempat untuk mencari ikan, pelanggaran ketanagakerjaan dan ancaman keamanan/kedaulatan negara. Menurut salah satu ahli waris pemilik lahan yang disewa oleh Lorenz, surat perjanjian sewa menyewa lahan milik warga dilakukan secara illegal dan penuh manipulasi. Lorenz menyewa lahan warga tanpa sepengetahuan pemilik lahan. Pemilik lahan tiba-tiba dikirimkan/serahkan akta notaris yang telah ditanda tangani dan menyebutkan bahwa lahan tersebut telah disepakati untuk disewa oleh Lorenz selama 30 tahun. Akta notaris itu mengangetkan kami, karena orang tua dan ahli waris tidak pernah menanda tangani apalagi menyetujui sewa lahan tersebut. Kami kemudian menyapaikan protes pada pemerintah setempat. Namun saya justru mendapatkan ancaman kekerasan dari preman dan keluarga Baharudin Isa (mantan Camat Tomia) dengan menuduh saya telah mencemarkan nama baik orang tua mereka (Baharudin Isa). Atas peristiwa tersebut, saya diamankan oleh keluarga. 64 Penuturan warga setempat, lahan mereka disewa oleh Lorenz melalui perjanjian yang dibuat oleh Camat. Pemilik lahan tidak pernah mengetahui isi perjanjian antara Lorenz dan 63 Lihat Marwan, Studi Ekonomi Politik: Pengelolaan Pariwisata Di Kabupaten Wakatobi. (Skripsi: Program Studi Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, 2014), hlm Wawancara dengan S, 8 Agustus 2016, pukul WITA 182 Jurnal Penelitian Politik Volume 13 No. 2 Desember

47 Camat. Atas bantuan Camat pula Lorenz menggunakan lahan di Pulau Tomia sebagai lokasi berdirinya lapangan terbang (Lapter) Maranggo, tempat pendaratan pesawat milik Lorenz. 65 Setiap seminggu sekali pesawat milik Lorenz membawa wisatawan langsung dari Bali, tanpa melalui bandara Mataohara, Wakatobi. Dengan itu, Pemda Wakatobi mendapatkan sedikit keuntungan atas keberadaan bandara tersebut, kecuali sewa tanah yang diterima langsung oleh pemilik tanah. Berdasarkan catatan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, keberadaan WDR menyumbang PAD sebanyak 106 juta pada tahun 2002 dan setiap tahun terus mengalami peningkatan. 66 Para wisatawan untuk bisa menginap dan menikmati fasilitas WDR dikenakan biaya Rp /malam. 67 Dari sisi keamanan dan kedaulatan Negara penguasaan lapangan terbang oleh orang asing sangat membahayakan. Lapangan terbang merupakan salah satu infrastruktur vital dalam pertahanan sebuah wilayah/negara. Lapter menjadi pintu masuk sebuah wilayah, sehingga pengawasan negara terhadap lapangan terbang tidak kalah vital. Pada saat penulis melakukan observasi di Tomia, menemukan begitu ekslusifnya Lapter Maranggo dan WDR, hanya atas izin Lorenz untuk bisa mengaksesnya. Para tamu WDR juga ekslusif, ketika mendarat di Lapter Maranggo telah disediakan mobil dan kapal khusus untuk mengangkut orang dan barang para tamu WDR, tanpa melalui pemeriksaan aparat keamanan atau otoritas lainnya. Para tamu WDR juga tidak membaur dengan masyarakat, seperti wisatawan pada umumnnya yang kerap mengunjungi tempat- 65 Kepemilikan Tanah di lokasi Lapter Maranggo kontroversial. Pada tahun 2009 seorang warga bernama L.M. Urufi Prasad,SH.,MH (ahli waris pemilik tanah) menggugat Lorenz, Bupati Wakatobi, Bupati Buton. Ketua DPRD Wakatobi, Ketua DPRD Buton dan Camat Tomia atas penggunaan lahan miliki orang tua penggugat dan warga Tomia. Putusan Mahkamah Agung Republik Indoensia, 21 Desember 2011 file:///c:/ Users/hp/Downloads/2326_K_Pdt_2011.pdf (diakses pada 6 Agustus 2016). 66 Lihat Nur Ayu, Zulkhair Burhan, Beche BT. Mamma, Dampak Investasi Pt. Wakatobi Dive Resort Pada Sektor Pariwisata One Mobaa Serta Potensi Perkembangan Ekonomi Masyarakat Lamanggau, Jurnal Paradigma. Vol. 003, Nomor. 003, Juli 2015, hlm Wawancara dengan A, Warga Tomia, Kabupaten Wakatobi, 7 Agustus 2015, pukul WITA tempat umum atau warga. Di WDR, wisatawan sangat terjaga hak-hak individu dan privasinya, tanpa ada yang mengganggu. Inilah menjadikan WDR menjadi salah satu tujuan wisata favorit. Penuturan seorang warga menyebut, antusiasme wisatawan yang ingin ke WDR mirip dengan antrian yang ingin naik haji. 68 Lorenz sangat berkuasa, ia melarang dan mengusir nelayan setempat yang mencari ikan di sekitar resort miliknya. Penuturan Muhamad Daulat, Kapolda Sultra pernah suatu ketika memasuki wilayah Tomia dan hendak berlabuh di pelabuhan milik Lorenz namun tidak dibolehkan. Sikap WDR membuat Kapolda marah dan memerintahkan jajarannya menyelidiki sikap ekslusif WDR, namun pengusutan itu tidak dilanjutkan, setelah Kapolda mendapatkan surat dari Kementrian Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia. 69 Selain memiliki relasi dengan oknum pemerintah pusat, Lorenz memiliki hubungan bisnis dengan tokoh lokal Tomia (Baharudin Isa). Mantan camat Tomia ini merupakan tokoh yang memfasilitasi Lorenz dalam penyewaan tanah di lahan bisnis miliknya. Atas hal itu, masyarakat Tomia mengenal Baharudin Isa sebagai pemilik pulau One Mobaa (lokasi berdirinya WDR). Baharudin Isa juga dikenal sebagai orang kaya di Tomia, berkat ketokohan dan kekayaan yang dimilikinya menjadikan ia sangat disegani. Hal ini pula yang menjadikan anaknya, Ariati terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten Wakatobi pada Pemilu 2014 lalu. Masyarakat Tomia mengenal Ariati sebagai anak Baharudin Isa yang sempat menempuh kuliah jurusan kesehatan masyarakat, namun ia tidak menyelesaikan karena terpilih menjadi anggota DPRD. Pada Pemilu 2014, Ariati menjadi anggota legislatif mewakili PAN, partai yang dipimpin oleh Arhawi di Wakatobi dan Nur Alam di Sulawesi Tenggara. 70 Nur Alam dan Arhawi saat kampanye Pemilukada Wakatobi 2015 di Tomia menginap di WDR 68 Wawancara dengan D, aktivis Tomia, 21 Oktober 2016, pukul WITA 69 Wawancara dengan Muhamad Daulat, 5 Agustus 2016, pukul PAN merupakan peraih kursi terbanyak kedua di Wakatobi (dibawah PDI.P). Sejak 2006 sampai saat ini PAN Wakatobi diketuai oleh Arhawi. Sementara Nur Alam merupakan Ketua DPW PAN Sultra hingga tahun Desentralisasi dan Oligarki... Eka Suaib dan La Husen Zuada 183

48 milik Lorenz. Keterbukaan WDR menerima tamu yang masuk lewat Wakatobi diluar kebiasaan atau prosedur yang lazim berlangsung selama ini, mengingat menurut cerita warga Tomia yang bekerja di WDR, untuk bisa menginap di WDR harus melakukan registrasi (pintu masuk) di Bali. Dari Bali kemudian para wisatawan diantar menggunakan pesawat milik Lorenz. 71 Pemerintah Wakatobi tampak lemah menghadapi Lorenz. Dugaan pelanggaran UU ketenagakerjaan oleh WDR tidak mendapatkan sanksi apapun dari pemerintah. 72 Pemerintah Wakatobi juga gagal memberikan perlindungan pada warganya. Ancaman dan intimadasi terhadap nelayan oleh WDR masih terus berlangsung. Pelarangan nelayan oleh WDR sangat berdampak pada komunitas suku Bajo Lamanggau. 73 Pada sebagian masyarakat Lamanggau dan Tomia, Lorenz mendapat dukungan dan sebagian masyarakat yang lain mentang. Masyarakat pendukung Lorenz beranggapan bahwa WDR sangat berkontribusi bagi kampung mereka berupa ketersediaan listrik, lapangan kerja dan pendapatan desa. Untuk diketahui, di Desa Lamanggau, Lorenz memberikan kompensasi berupa lampu penerangan (listrik) secara gratis kepada masyarakat yang bersumber dari listrik WDR. Listrik yang diberikan WDR dapat 71 Wawancara dengan D, aktivis Tomia, 21 Oktober 2016, pukul WITA 72 Pelanggaran perburuan di WDR terungkap setelah adanya demonstrasi para buruh yang bekerja di WDR pada tanggal 1 Agustus Sebuah sumber menyebut perlakuan yang kurang menyenangkan dari perusahaan atau pelanggaran hak pekerja di PT. Wakatobi Dive Resort sudah berlangsung sejak tahun Dalam aksi tersebut, para buruh menuntut hakhak normatif sesuai regulasi ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia seperti menuntut gaji sesuai Upah Minimum Provinsi (UMP), pemberlakuan upah lembur, cuti haid, cuti hamil dan cuti melahirkan bagi perempuan, pemberlakuan shiff jam kerja, kontrak kerja serta hak libur hari raya. Lihat Nur Ayu, Zulkhair Burhan, Beche BT. Mamma, Op.cit, hlm Lihat pula tulisan Ismmar Indarsyah, Nasib Tragis Buruh PT. Wakatobi Dive Resort, 13 Maret 2012, (diakses pada 6 Agustus 2016). 73 Saat observasi, penulis berkesempatan wawancara dengan mereka. Melalui wawancara itu, mereka (Orang Bajo) tampak ketakutan menjawab setiap pertanyaan. Akibat larangan WDR, Orang Bajo Lamanggau mengeluhkan kehidupan dirasa semakin sulit. Namun mereka tidak mampu melawan Lorenz yang mengintimidasi melalui orang-orang lokal yang mendukung Lorenz dan ancaman pemutusan saluran listrik. dinikmati oleh seluruh masyarakat Lamanggau dari pukul Bahkan menurut penuturan warga Lamanggau, Lorenz bersedia menambah jam pasokan listrik menjadi 12 jam, asal warga Lamanggau menyanggupi permintaan Lorenz untuk menambah luas lahan yang dikuasai/sewa oleh WDR. Sebaliknya bagi mereka yang kritis terhadap WDR, Lorenz mengancam memutus aliran listrik. Selain listrik, Lorenz juga memberikan kompensasi uang kepada pemerintah desa yang berdekatan dengan WDR. Setiap Desa mendapatkan kompensasi sebesar Rp /bulan. Hal ini diakui oleh para Kepala Desa di Lamanggau, Dete dan Kahiyanga. 74 WDR juga dipandang mendatangkan pekerjaan bagi warga, meski hanya sebagai pegawai rendahan. Jajaran pimpinan dan pengelola WDR berasal dari luar Wakatobi. 75 Asal-usul Lorenz sebagai warga asing tidak dipersoalkan oleh masyarakat Tomia. Lorenz dianggap sebagai bagian dari masyarakat Wakatobi, setelah ia menikah dengan perempuan asal Tomia. 76 Upaya Pemda Wakatobi meredam dominasi dan ekspansi Lorenz di Lamanggau, dilakukan dengan mendirikan resort di sekitar (bersampingan) WDR. Akan tetapi resort yang dibangun Pemerintah Wakatobi ini kalah bersaing dengan WDR, yang tersisa adalah bangunan yang tidak terawat. Sebaliknya, WDR semakin berkembang berkat perlindungan politik lebih kuat, pengunjung yang terus meningkat, kekayaan material lebih banyak (aset perusahaan), fasilitas yang lengkap dan berstandar internasional serta manajemen perusahaan yang modern. Keunggulan yang dimiliki WDR berhasil mengokohkan kekuasaan Lorenz atas tanah dan laut pulau One Mobaa, memunculkan polarisasi antar warga serta membungkam suara kritis warga desa sekitar 74 Wawancara penulis dengan Kepala Desa Lamanggau, Dete dan Kahiyanga, 5-7 Agustus Pimpinan perusahan (WDR) setingkat manajer berasal dari luar Wakatobi (orang Bali). Posisi tertinggi yang dijabat oleh orang lokal adalah kepala keamanan (Satpam). Selain sebagai Satpam, penduduk local dipekerjakan sebagai buruh cuci, buruh masak dan tukang kebersihan. Observasi 7 Agustus 2015, pukul WITA. 76 Wawancara dengan A, Warga Tomia, Kabupaten Wakatobi, 7 Agustus 2015, pukul WITA 184 Jurnal Penelitian Politik Volume 13 No. 2 Desember

49 lokasi WDR. Disisi lain, atas penguasaan pulau One Mobaa, Lorenz dipandang melanggar dan mengancam kedaulatan wilayah, diantaranya berkaitan dengan keberadaan bandara dan penguasaan pulau One Mobaa. Suatu ketika, pada tahun 2008 Pulau One Mobaa berganti menjadi pulau Lorenz. Peristiwa ini berawal setelah info cellular ponsel masyarakat dan wisatawan yang berkunjung atau hanya sekedar melewati batas resort One Mobaa bertuliskan pulau Lorenz. 77 Saat penulis berkunjung di Tomia, penyebutan pulau Lorenz ini lebih populer dibanding pulau One Mobaa. Dampak oligarki dan Eite Penentu Dalam Pembangunan Perdesaan Hugua dan Arhawi merupakan kelompok oligarki di Wakatobi. Mereka menguasai sumber daya politik dan perekonomian Wakatobi. Mereka mempertahankan pendapatan dan menambah kekayaan dengan bersandar pada kekuasaan dan jejaring politik yang mereka miliki. Diantara mereka bersaing satu sama lain, kadang menjadi teman dan juga lawan, namun tidak saling meniadakan, sehingga kelompok oligarki ini tetap bertahan. Selain mereka, konstalasi politik dan ekonomi di Wakatobi sangat dipengaruhi oleh keberadaan elite penentu seperti elite ekonomi, birokrat dan aktivis. Elite ekonomi di Wakatobi diantaranya ada pada Lorenz dan Ceng Ceng, sedangkan elite birokrat yang bertransformasi menjadi elite ekonomi ada pada mantan birokrat seperti: Baharudin Isa, elite aktivis ada pada Muhamad Ali Tembo. Bertahannya kelompok oligarki dan elite ekonomi memberikan dampak positif maupun negatif bagi pembangunan kawasan perdesaan Wakatobi. Pertama, menggairakan per-ekonomian daerah. Perekonomian Kabupaten Wakatobi bila dilihat dari struktur PDRB, pertanian merupakan sektor paling berperan. Meski demikian kontribusi PDRB berdasarkan pembagian pada tiga sektor primer (pertanian dan penggalian), sekunder (industri, listrik dan bangunan) dan tersier (perdagangan, hotel, restoran, keuangan 77 Saat penulis berkunjung ke Desa Lamanggau lokasi WDR berdiri tepat berada disebelah selatan Pulau Tomia yang berhadapan dengan pelabuhan Usuku. Pulau yang oleh masyarakat Tomia dikenal sebagai pulau One Mobaa, kini penyebutannya telah berganti menjadi pulau Lorenz. dan jasa-jasa), tersier berkontribusi paling besar terhadap PDRB Wakatobi (52,37 %), disusul sektor primer (33,16 %) dan sektor sekunder (10,15 %). 78 Sektor primer mempekerjakan banyak orang namun minim modal (padat karya), sebaliknya sektor sekunder dan tersier mempekerjakan sedikit orang namun memiliki modal besar (padat modal). Sektor sekunder dan tersier di Wakatobi dikuasai oleh kelompok oligarki dan elit ekonomi. Sektor jasa misalnya: resort Patuno dan WDR, hotel dan penginapan milik Hugua dan Lorenz. Sektor konstruksi dikelola oleh Ceng Ceng dan sektor transportasi dimiliki oleh Arhawi (PT. Askar Saputra) dan Hugua (Pata Pulo Travel). Penguasaan sektor yang padat modal dan minim tenaga kerja oleh kelompok oligarki dan elite ekonomi, menjadi pemicu ketimpangan pendapatan di Wakatobi. Meski hal itu, tidak dipungkiri keberadaan kelompok oligarki dan elit ekonomi ikut menumbuhkan perekonomian daerah. Pada tahun , perekonomian Wakatobi tumbuh mendekati 10 %, ini sejalan dengan peningkatan IPM diatas rata-rata. 79 Pertumbuhan ekonomi Wakatobi ditunjukkan dengan peningkatan PDRB setiap tahun. Tabel. 3. PDRB Wakatobi Tahun Sektor Perekonomian * 2014** Pertanian 510, , , Penggalian 327, , , Industri Pengolahan 83, , , Listrik & Air Bersih 5, , , Bangunan 279, , , Perdagangan, Hotel dan Restoran 267, , , Transportasi, komunikasi 52, , , Keuangan, R. Estate & Jasa persewahan 80, , , Jasa kemasyarakatan sosial 283, , , PDRB 1,889, ,037, ,197, Sumber: BPS Wakatobi *angka sementara **angka sangat sementara Kedua, peningkatan kunjungan wisata. Upaya pemerintah Wakatobi menggenjot sektor 78 Pemerintah Daerah Wakatobi, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan Kabupaten Wakatobi Tahun 2014, hlm IPM diatas rata-rata tetap menjadi catatan karena secara peringkat dan capaian, IPM Wakatobi masih berada dibawah rata-rata provinsi dan menduduki peringkat 10 terendah dengan perolehan 66,95 pada tahun 2014 Desentralisasi dan Oligarki... Eka Suaib dan La Husen Zuada 185

50 pariwisata dan sejumlah bisnis yang dimiliki oleh kelompok oligarki dan elit ekonomi berdampak pada peningkatan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Wakatobi, sehingga memberikan multiplayer efek pada peningkatan PAD dan PDRB setiap tahunnya. Tabel. 4. Jumlah Kunjungan Wisata dan PAD Wakatobi Tahun Jumlah Kunjungan Wisata PAD (dalam juta Rp) , , , Sumber: BPS (diolah kembali oleh peneliti). Ketiga, membuka lapangan pekerjaan baru. Secara umum serapan lapangan pekerjaan selama sepuluh tahun terakhir ( ) di Wakatobi mengalami peningkatan (6,56 %). Meski demikian secara parsial ada yang mengalami penurunan, seperti sektor pertanian (20,46 %), perdagangan (20,34 %), keuangan dan persewahan (49,49 %). Tabel. 5. Perkembangan Pekerja menurut Lapangan Pekerjaan Utama (Orang), di Wakatobi, 2000,2006, No Lapangan Usaha Pertanian 23,566 18,743 2 Penggalian 486 1,368 3 Industri 1,582 1,875 4 Listrik, Air 54-5 Konstruski 972 3,021 6 Perdagangan, akomodasi 5,889 4,691 7 Transportasi, komunikasi 2,425 3,350 8 Keuangan, persewahan Jasa kemasyarakatan sosial 3,499 8, Lainnya - - Total (Orang) 38,869 41,421 Sumber: BPS (diolah kembali oleh penulis) Sebaliknya kenaikan terjadi pada sektor penggalian (281,48 %), industri (118,52 %), konstruksi (310,80 %), transportasi dan komunikasi (138,43 %), jasa (233,58 %). Kenaikan ini diakibatkan oleh kebijakan pemerintah Wakatobi yang memfokuskan pembangunan pada sektor pariwisata, yang membutuhkan daya dukung dari sektor konstruksi, transportasi dan jasa-jasa milik para oligarki dan elit ekonomi. Keempat, kemudahan akses transportasi. Bisnis para oligarki dan elite ekonomi berkontribusi pada peningkatan alat dan jaringan transportasi di Wakatobi selama sepuluh tahun terakhir. Tabel. 6. Alat & Jaringan Transportasi di Wakatobi Tahun No Alat dan jaringan Transportasi Tahun 2006 Tahun Jalan (km) 284, * 2 Bandara/Lapter 1 2** 3 Dernaga/Pelabuhan Angkutan pedesaan (unit) Angkuatan penyebarangan (unit) 17 6 Kendaraan Bermotor Sumber: BPS (Diolah kembali) *Kondisi jalan baik (24,63 %), sedang (14,99 %), rusak (20,86 %), rusak berat (5,27 %), tidak terinci (34,22 %). ** Bandara/Lapter yaitu Bandara Mataohara milik Pemda Wakatobi dan Lapter Maranggo milik Lorenz. Ketersediaan sarana transportasi menjadikan wilayah Wakatobi mudah diakses. Keberadaan Bandara Mataohara mempercepat waktu tempuh menuju dan dari Wakatobi. Keberadaan dermaga dan kapal milik PT. Askar Grup ikut memperlancar mobilitas barang dan orang, ini ditandai dengan peningkatan arus penumpang selama delapan tahun terakhir. Berbeda dengan itu, arus barang justru mengalami penurunan bobot. Hal ini dipicu oleh keberadaan sektor industri di Wakatobi yang terus tumbuh, sehingga secara perlahan mampu memproduksi barang yang diperlukan oleh masyarakat lokal. Tabel. 7. Arus Penumpang dan Barang di Wakatobi Tahun 2006 dan 2014 Tahun Penumpang Barang Naik (orang) Turun (orang) Bongkar (Ton) Muat (Ton) ,00 122,946,00 895,88 849,38 Sumber: BPS (Diolah kembali oleh penulis) 186 Jurnal Penelitian Politik Volume 13 No. 2 Desember

51 Tingginya mobilitas menuju dan dari Wakatobi tidak terlepas dari ketersediaan alat dan jaringan transportasi. Meskipun hal itu tetap menjadi catatan, kondisi daratan jaringan jalan tidak lebih baik dari infrastruktur laut. Persentase jalan baik pada tahun 2015 hanya 24,63 %, selebihnya mengalami kerusakan dalam kategori sedang hingga buruk. Tabel. 8. Peringkat Daya Saing Infrastruktur dan SDA di Wakatobi Tahun 2007 Nama Kabupaten/ Kota Kabupaten Buton Kabupaten Muna Kota Bau-Bau Kabupaten Wakatobi Kabupaten Konawe Kota Kendari Kabupaten Kolaka Kabupaten Konawe Selatan Kabupaten Bombana Kabupaten Kolaka Utara Sumber: Penelitian Ira Irawati dkk, Peringkat Daya Saing Infrastruktur dan SDA VIII V IV X I III II IX VI VII Studi Ira Irawati dkk 80 pada tahun 2007 menyebut, kondisi daya saing infrastruktur di Wakatobi masih tertinggal dibanding daerah lain di Sulawesi Tenggara. Suasana itu tidak jauh berbeda dengan yang dirasakan penulis ketika berkunjung ke Wakatobi pada tahun Kelima, mendorong gairah usaha baru yang ditandai dengan pertumbuahan sektor usaha mikro, kecil dan menengah. Keunggulan sektor pariwisata dan kemudahan akses di Wakatobi ikut mempengaruhi perkembangan jumlah usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) serta jumlah (orang) bekerja di sektor tersebut. 80 Ira Irawati Dkk, Pengukuran Tingkat Daya Saing Daerah Berdasarkan Variabel Perekonomian Daerah, Variabel Infrastruktur Dan Sumber Daya Alam, Serta Variabel Sumber Daya Manusia Di Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal J@TI Undip, Vol VII, No 1, Januari Tabel. 9. Perkembangan UMKM di Wakatobi Tahun 2011 dan 2013 Tahun Jumlah Usaha Tenaga Kerja Mikro Kecil Menengah Mikro Kecil Menengah Sumber: Profil Perekonomian Wakatobi 2014 Tabel di atas menampakan, jumlah usaha dan tenaga kerja sektor usaha mikro dan menengah meningkat, sebalikanya usaha kecil mengalami penurunan. Keenam, oligarki memperlebar kesenjangan pendapatan masyarakat. Wakatobi mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi, namun hal ini tidak berpengaruh secara nyata terhadap penurunan angka kemiskinan dan pengurangan jumlah pengangguran. Sebuah laporan analisis pembangunan Sulawesi Tenggara mengkategorikan Wakatobi sebagai daerah yang mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi tapi pengurangan kemiskinan dan pengangguran di bawah rata-rata (high-growth less-pro poor dan high-growth, less-pro job). 81 Pertumbuan ekonomi tinggi Wakatobi tidak disertai dengan pemerataan pendapatan. Gambar. 1. Indeks Gini Wakatobi Indeks Gini (%) 25 Sumber: BPS 2016 (diolah kembali oleh penulis) Berdasarkan perhitungan BPS, rasio gini atau indeks ketimpangan pendapatan masyarakat Wakatobi mengalami peningkatan dari tahun ketahun. 82 Grafik di atas menampilkan ketimpangan pendapatan di Wakatobi semakin 81 Perkembangan Pembangunan Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2014, Seri Analisis Pengembangan Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara 2015, hlm Gini rasio membagi ketimpangan pengeluaran penduduk dalam tiga kategori yaitu jika G < 0,3 berarti ketimpangan rendah, jika G 0,5 berarti ketimpangan sedang, jika G > 0,5 berarti ketimpangan tinggi Desentralisasi dan Oligarki... Eka Suaib dan La Husen Zuada 187

52 lebar. Capaian tersebut termasuk dalam kategori sedang, butuh 17 poin untuk dikategorikan sebagai ketimpangan tinggi. Jika indeks ketimpangan terus meningkat, maka ini sangat membahaya-kan bagi kestabilan sosial politik di Wakatobi. Gejala ketidakstabilan sosial itu setidaknya terlihat pada munculnya konflik perburuhan dan agraria yang melibatkan tiga pihak, yaitu: warga, pemerintah dan swasta di Wakatobi (lihat tabel 9). Ketujuh, mahalnya harga tanah dan keterbatasan jumlah lahan. Kehadiran para investor pariwisata secara perlahan mengurangi penguasaan lahan oleh warga, akibat banyaknya tanah yang berpindah tangan (dijual) oleh orang perorang kepada pengusaha pariwisata. Kesaksian Sumiman Udu menyebut, hampir 30 % tanah-tanah rakyat yang ada di wilayah Longa, Patuno, Togo dan Wanci telah dijual kepada pendatang dan yang punya uang untuk sekedar membeli motor, handphone dan penukaran untuk jaminan lulus CPNS. 83 Kedelapan, kesulitan hidup nelayan. Sektor perikanan yang juga mempekerjakan banyak orang mengalami hambatan dalam upaya meningkatkan produktivitas dan pendapatan nelayan. Penelusuran Sumiman Udu 84 dan studi yang dilakukan oleh Paul Simonin menyebut, nelayan yang bermukim di sekitar lokasi wisata dan zona pemanfaatan (suku Bajo) mengalami penurunan produktivitas dan kesulitan untuk bertahan hidup, sebagaimana dimuat dalam penuturan nelayan berikut: Masalah utama yang kami hadapi adalah kami menangkap ikan lebih sedikit daripada yang biasa kami tangkap. Kami perlu ikan untuk bertahan hidup. Setiap orang di sini menangkap ikan. 85 Masalah yang dialami nelayan ini dikarenakan adanya larangan dari para pengusaha dan pemerintah untuk menangkap ikan di sekitar resort milik investor, serta adanya zona larangan 83 Lihat: Sumiman Udu, Pengembangan Pariwisata dan Hilangnya Tanah-Tanah Sara di Wakatobi: Kajian Atas Perlawanan Masyarakat Adat, hlm Ibid, hlm Paul Simonin, Laporan Mengenai Resiliensi (Ketangguhan) Pedesaan: Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Indonesia, hlm. 14 yang ditetapkan oleh pemerintah Wakatobi dan Taman Nasional. Pembatasan wilayah laut ini bertentangan dengan adat kebiasaan orang Wakatobi yang menjadikan wilayah pantai sebagai ruang publik mereka. Tak heran kemudian upaya pemerintah untuk menjadikan Wakatobi sebagai Badan Otoritas Pariwisata (BOP) ditentang oleh warga, karena dipandang akan semakin meminggirkan dan memiskinkan mereka. Kesembilan, oligarki memuncul-kan konflik antara warga, pemerintah dan swasta. Konflik ini diantaranya menyangkut konflik lahan/tanah dan perburuhan. Tanah merupakan salah satu asset penting dalam meningkatkan produksi. Kelangkaan tanah akan menimbulkan konflik. Potensi konflik lahan di Wakatobi sangat mungkin terjadi, selain dikarenakan wilayah ini didominasi oleh lautan (97%) dan daratan (3 %) 86, juga dipicu oleh penyerobotan dan penguasaan lahan oleh para oligarki untuk mendirikan resort, seperti: Patuno Resort dan Wakatobi Dive Resort. 87 Tabel. 10. Konflik Warga, Pemerintah dan Swasta di Wakatobi. Tahun Pihak terlibat 2011 Buruh dan PT. WDR saat ini Masyarakat Lamanggau dan PT. WDR Masyarakat (Desa Matohara dan Desa Longa) dan Pemerintah 2010 Masyarakat (Desa Matohara dan Liya) dan pemerintah 2010 Masyarakat (desa Sombu) dan investor 2015 Masyarakat dan pemerintah Sumber: data diolah oleh penulis Uraian dan Jenis Konflik Tuntutan hak buruh (upah) dan pelanggaran UU Ketenagakerjaan - Larangan terhadap nelayan untuk menangkap ikan di sekitar lokasi WDR. - Sewa menyewa lahan milik warga tempat Lapter Maranggo dan lokasi berdirinya WDR. Konflik pembebasan lahan bandara Mataohara Konflik ganti rugi lahan pembangunan sekolah Internasional 'School For M arine Protected Area Rencana pembangunan perumahan Rencana proyek PLTU Penolakan warga terhadap Badan Otoritas Pariwisata 86 Buku Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Wakatobi menyebut wilayah Wakatobi terdiri atas 97 % lautan dan 3 % darat. (Tim, 2008: Bab III-15). 87 Konflik lahan di Wakatobi yang terbaru adalah adanya penolakan masyarakat tentang Badan Otoritas Pariwisata. Menurut warga BOP akan mengurangi hak-hak mereka atas lahan dan sumber kehidupan mereka sebagai nelayan. 188 Jurnal Penelitian Politik Volume 13 No. 2 Desember

53 Keberadaan resort para oligarki tidak hanya mengurangi luas tanah milik warga, namun juga membatasi ruang gerak mereka yang berprofesi sebagai nelayan dan petani. Para petani dan nelayan dilarang untuk mencari ikan dan berkebun, akibatnya konflik menjadi sering terjadi. Disisi lain, keberadaan oligarki juga memicu konflik perburuhan akibat pelanggaran hak-hak buruh oleh perusahaan milik kaum oligarki, sebagaimana dialami oleh buruh yang bekerja di Wakatobi Dive Resort. Konflik juga sangat mungkin terjadi diantara pemangku kepentingan di bidang pariwisata yang memiliki modal kecil dan modal besar. 88 Kesepuluh, oligarki berusaha mempertahankan kekayaan dengan membangun dinasti. Mereka mengusung istri, ipar, saudara sebagai anggota legislatif. Sementara elite ekonomi menjalin hubungan baik dengan elit politik lokal dan kelompok oligarki, demi menjaga kelangsungan usaha mereka, diantaranya menjadi donatur dalam kegiatan politik penting dan menyediakan fasilitas bagi para elite politik saat kampanye. Penutup Kehadiran desentralisasi dan otonomi daerah memberikan perubahan politik, sosial dan ekonomi di Wakatobi. Pada era otonomi daerah elit lama (old elite) yang berasal dari kaum bangsawan (kaomu) secara perlahan digantikan oleh kehadiran elit baru (new elite) yang berasal dari mereka yang memiliki keahlian (birokrat), berlatar belakang pendidikan tinggi (aktivis) dan memiliki kekayaan (orang yang memiliki perahu, tanah, perantau, pengusaha, kontraktor). Para elite baru aktivis, pemilik kekayaan, birokrat bertransformasi menjadi elite politik (Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah, Anggota DPRD), elite ekonomi (pengusaha) dan elit politik plus ekonomi (oligarki). Kemunculan oligarki di Wakatobi terbagi dalam dua klasifikasi: pertama, aktivis yang bertransformasi menjadi elit politik dan pengusaha; kedua, pengusaha yang bertransformasi menjadi 88 Baca Kompas, Jadi Pemain di Negeri Surga Bawah Laut, 2 Agustus jadi-pemain-di-negeri-surga-bawah-laut/ (diakses pada 27 Desember 2016). elit politik. Klasifikasi pertama menjadi oligarki dengan mengumpulkan kekayaan, sedangkan klasifikasi kedua menjadi oligarki dengan mempertahankan kekayaan. Para oligarki dalam mengumpulkan dan mempertahankan kekayaan dan juga kekuasaan berafiliasi dengan elite ekonomi, pengusaha, kontraktor, mantan birokrat, orang memiliki perahu dan mosega (pemberani). Kehadiran oligarki di Wakatobi berdampak positif dan negatif dalam pembangunan kawasan perdesaan. Pertama, menggairakan perekonomian daerah. Kedua, peningkatan kunjungan wisata. Ketiga, membuka lapangan pekerjaan baru. Keempat, kemudahan akses transportasi. Kelima, mendorong gairah usaha baru. Keenam, memperlebar kesenjangan pendapatan masyarakat. Ketujuh, mahalnya harga tanah dan keterbatasan jumlah lahan. Kedelapan, kesulitan hidup nelayan. Kesembilan, konflik antara warga, pemerintah dan swasta. Kesepuluh, oligarki berusaha mempertahankan kekayaan dengan membangun dinasti. Referensi Buku Hadiz, Vedi R. Dinamika Kekuasaan Indonesia Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Jakarta: LP3ES, Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia : A Southeast Asia Perspective. Stanford: Stanford University Press, Hidayat, Syarif. Too Much Too Soon Local State Elite s perspective on and The Puzzle of Conteporary Indonesian Regional Autonomy Policy. Jakarta: Rajawali Pers, Keller, Suzanne. Penguasa dan Kekompok Elite: Peranan Elite Penentu Dalam Masyarakat Modern. Jakarta: Raja Grafindo Persada, Robison, Richard dan Vedi R. Hadiz, Reorganizing Power in Indonesia : The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London : Routledge, Robison, Richard. Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu, Winters, Jeffrey. Oligarki. Jakarta: Gramedia, Desentralisasi dan Oligarki... Eka Suaib dan La Husen Zuada 189

54 Jurnal Ayu, Nur, Zulkhair Burhan, Beche BT. Mamma, Dampak Investasi Pt. Wakatobi Dive Resort Pada Sektor Pariwisata One Mobaa Serta Potensi Perkembangan Ekonomi Masyarakat Lamanggau. Jurnal Paradigma. Vol. 003, Nomor. 003, Juli Hadiz, Vedi R. dan Richard Robison, Neo-liberal Reforms and Illiberal Consolidations : The Indonesian Paradox, Journal of Development Studies Volume 41 Nomor 2 Bulan Februari Ira Irawati Dkk, Pengukuran Tingkat Daya Saing Daerah Berdasarkan Variabel Perekonomian Daerah, Variabel Infrastruktur Dan Sumber Daya Alam, Serta Variabel Sumber Daya Manusia Di Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal J@TI Undip, Vol VII, No 1, Januari Suaib, Eka dan La Husen Zuada, Fenomena Bosisme Local di Era Desentralisasi: Studi Hegemoni Politik Nur Alam di Sulawesi Tenggara, Jurnal Penelitian Politik LIPI. Vol.12, No , Institusionalisasi Partai Politik: Studi Kasus Hegemoni PAN di Sulawesi Tenggara. Jurnal The Politics. Magister Ilmu Politik Universitas Hasanuddin. Vol. 2 No.1 Tahun Laporan dan Makalah Badan Pusat Statistik, Kabupaten Wakatobi Dalam Angka Bappenas. Laporan Akhir Evaluasi Pembangunan Perdesaan Dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Buku Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Wakatobi. Tim, Hutabarat, Melvin P. Fenomena Orang Kuat Di Indonesia Era Desentralisasi Studi Kasus Tentang Dinamika Kekuasaan Zulkifli Nurdin Di Jambi, Tesis: Universitas Indonesia, Laporan Akhir Hasil Pengawasan Pemilukada Tahun 2015, Bawaslu Sultra. Marwan, Studi Ekonomi Politik: Pengelolaan Pariwisata Di Kabupaten Wakatobi. Skripsi: Program Studi Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, Pemerintah Daerah Wakatobi, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan Kabupaten Wakatobi Tahun Romli, Lili. Jawara dan Penguasaan Politik Lokal di Provinsi Banten ( ), Jakarta: Disertasi Doktor, Universitas Indonesia, Rozaki, Abrur. Social origin dan Politik Kuasa Blater di Madura. Kyoto Review of Southeast Asia Issue 11 (December 2009). Salinan Surat Perintah Bupati Wakatobi Nomor 973/334 dan lampiran Seri Analisis Pengembangan Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara 2015 Simonin, Paul. Laporan Mengenai Resiliensi (Ketangguhan) Pedesaan: Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Indonesia. Atkinson Center for a Sustainable Future & OXFAM Udu, Sumiman. Pengembangan Pariwisata dan Hilangnya Tanah-Tanah Sara di Wakatobi: Kajian Atas Perlawanan Masyarakat Adat. Prosiding The 4 th International Conference on Indonesian Studies: Unity, Diversity and Future, Wawancara Wawancara dengan Agus Sanaa, Wakil Sekertrais DPD PDI.P Sultra, 19 Agustus Wawancara dengan Muhamad Daulat, 5 Agustus Wawancara dengan Rasman, 31 Juli 2016 Wawancara dengan A, Warga Tomia, Kabupaten Wakatobi, 6 Agustus 2015 Wawancara dengan N, 7 Agustus 2016 Wawancara dengan Munsir Salam, Komisioner Bawaslu Sultra, 28 Juni 2016 Wawancara dengan S, 8 Agustus 2016 Wawancara dengan Kepala Desa Lamanggau, Dete dan Kahiyanga, 5-7 Agustus 2016 Wawancara dengan Mahmud, 22 Oktober 2016 Sumber Internet Aminudin, Indrawati. Orang Bajo di Surga Bawah Laut Kompas, Penumpang Mengaku Diturunkan dari Kapal garagara Beda Pilihan di Pilkada. 5 Januari regional.kompas.com/read/2016/01/05/ /penumpang.mengaku.diturunkan.dari.kapal.gara-gara. Beda.Pilihan.di.Pilkada Kompas, Jadi Pemain di Negeri Surga Bawah Laut, 2 Agustus Kompasiana, Korupsi Bupati Waktobi. 26 April tobi_552fa49e6ea b , Nasib Tragis Buruh PT Wakatobi Dive Resort. 15 Maret nasib-tragis-buruh-pt-wakatobi-dive-resort_550e c82cbc Jurnal Penelitian Politik Volume 13 No. 2 Desember

55 News Kabali Indonesian Culture on the World. Kebijakan Program Unggulan Hugua Kepariwisataan Maritim Kurang Mendapat Resfon Para Pakar Asal Kepulauan Wangi-Wangi. 5 Desember Pikiran Rakyat, Ketimpangan Penghasilan Paling Tinggi? Di Indonesia. 21 Desember Suara Kendari, Profil Hugua, Putera Terbaik Sultra Calon Menteri Kelautan di Kabinet Jokowi JK. Tribun news, Pendapatan 40 Orang Kaya Setara 60 Juta Orang Miskin. 26 Oktober nasional/2011/10/26/pendapatan-40-orang-kaya-setara- 60-juta-orang-miskin Desentralisasi dan Oligarki... Eka Suaib dan La Husen Zuada 191

56 OTONOMI DESA DAN EFEKTIVITAS DANA DESA THE VILLAGE AUTONOMY AND THE EFFECTIVENESS OF VILLAGE FUND Nyimas Latifah Letty Aziz Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No.10, Jakarta Abstract The Law No.6 / 2014 on the village has opened up opportunities for villages to become self-sufficient and autonomous. The Village autonomy is autonomous of village governments in managing the finances of the village. One of program that given by the government is the village fund with the proportion of 90:10. The purpose of giving the village fund is to fund village governance, implement the development, and empower rural communities. However, the implementation of the use of village funds were still not effective due to inadequate capacity and capability of the village government and lack of community involvement in the management of village funds. Keywords : village autonomy, effectiveness, village fund Abstrak Lahirnya UU No.6/2014 tentang desa telah membuka peluang bagi desa untuk menjadi mandiri dan otonom. Otonomi desa yang dimaksud adalah otonomi pemerintah desa dalam melakukan pengelolaan keuangan desa. Salah satu program yang diberikan pemerintah saat ini adalah pemberian dana desa dengan proporsi 90:10. Tujuan pemberian dana desa ini adalah untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat desa. Namun, dalam pelaksanaan penggunaan dana desa masih dirasakan belum efektif dikarenakan belum memadainya kapasitas dan kapabilitas pemerintah desa dan belum terlibatnya peran serta masyarakat secara aktif dalam pengelolaan dana desa. Kata Kunci : otonomi desa, efektivitas, dana desa Pendahuluan Otonomi daerah di Indonesia (sejak 2001) telah membuka ruang bagi pemerintah daerah untuk bertanggung jawab dalam mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Ini merupakan solusi alternatif dalam mengatasi berbagai persoalan yang terjadi karena masalah ketimpangan pembangunan baik antara pusat dan daerah maupun antardaerah kabupaten dan kota. Ketidakseimbangan yang terjadi sebagai akibat pembangunan yang tidak merata hingga menyebabkan tingginya angka kemiskinan di Indonesia. Berdasarkan data BPS (September, 2015) bahwa tingkat kemiskinan di perkotaan sebesar 8,22% sedangkan tingkat kemiskinan di perdesaan mencapai 14,09%. 1 Menghadapi persoalan tersebut, strategi pemerintah untuk mengatasi ketimpangan pembangunan nasional dengan menaruh perhatian besar terhadap pembangunan daerah perdesaan. Salah satu wujud perhatian pemerintah dengan lahirnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. UU ini membawa perubahan besar yang mendasar bagi kedudukan dan relasi 1 Lihat (diakses pada 1 Oktober 2016). Otonomi Desa dan Efektivitas Dana Desa... Nyimas Latifah Letty Aziz 193

57 desa dengan daerah dan pemerintah meliputi aspek kewenangan, perencanaan, pembangunan, keuangan dan demokrasi desa. Melalui UU ini, kedudukan desa menjadi lebih kuat. UU ini dengan jelas menyatakan bahwa desa dan desa adat mendapat perlakuan yang sama dari pemerintah dan pemerintah daerah. Dalam hal ini, desa diberikan otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal-usul, adat istiadat, dan nilai sosial budaya masyarakat desa, serta menetapkan dan mengelola kelembagaan desa. Tentunya untuk menjalankan kesemuanya itu maka pemerintah desa perlu mendapatkan dukungan dana. Dana tersebut diperoleh dari sumber-sumber pendapatan desa meliputi PADesa (Pendapatan Asli Desa), alokasi APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara), bagian dari PDRD kabupaten/ kota, ADD (Alokasi Dana Desa), bantuan keuangan dari APBD provinsi/kabupaten/kota, hibah dan sumbangan pihak ketiga, dan lain-lain pendapatan yang sah. Ini bertujuan supaya pemerintah desa dapat memberikan pelayanan prima dengan memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam program kegiatan pembangunan baik fisik maupun non fisik sehingga tercapai pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Sejak tahun 2015, pemerintah memberikan Dana Desa (selanjutnya akan disebut dengan DD) kepada desa yang bersumber dari APBN yang ditransfer melalui APBD kabupaten/ kota. Desa mempunyai hak untuk mengelola kewenangan dan pendanaannya. Namun, sebagai bagian dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) pemerintah desa perlu mendapat supervisi dari level pemerintah di atasnya. Hal ini dikarenakan untuk kedepannya, jumlah DD yang akan diberikan ke desa akan semakin besar sementara kapasitas dan kapabilitas SDM (Sumber Daya Manusia) dalam pengelolaan keuangan desa masih belum cukup memadai. Selain itu, keterlibatan masyarakat untuk merencanakan dan mengawasi penggunaan dana desa masih dirasakan minimal. Dengan demikian, ini menjadi tugas dan catatan penting tidak hanya bagi pemerintah pusat, tetapi juga bagi pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah desa serta masyarakat untuk membangun desa secara kolektif. Pembangunan dapat diartikan sebagai upaya meningkatkan kemampuan manusia untuk memengaruhi masa depannya. Ada lima implikasi utama dari pembangunan tersebut yakni: (a) capacity, pembangunan berarti membangkitkan kemampuan optimal manusia, baik individu maupun kelompok; (b) equity, mendorong tumbuhnya kebersamaan dan kemerataan nilai dan kesejahteraan; (c) empowerment, menaruh kepercayaan kepada masyarakat untuk membangun dirinya sendiri sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Kepercayaan dalam bentuk kesempatan yang sama, kebebasan memilih dan kekuasaan dalam memutuskan; (d) sustainability, membangkitkan kemampuan untuk membangun secara mandiri; dan (e) interdependence, mengurangi ketergantungan negara yang lain dan menciptakan hubungan saling menguntungkan dan saling menghormati. 2 Pembangunan memiliki tiga sasaran pembangunan yakni pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan. Apabila ketiganya mengalami penurunan, pembangunan memiliki arti penting. Namun, apabila terjadi sebaliknya, sulit dikatakan adanya pembangunan. 3 Sayangnya, ketidakmerataan pembangunan yang terjadi di Indonesia antara kawasan perkotaan dan perdesaan memiliki gap yang tinggi sehingga pembangunan pedesaan menjadi jauh tertinggal dibanding perkotaan. Oleh karena itu, fokus perhatian pemerintahan saat ini adalah bagaimana membangun desa menjadi desa yang otonom dan mandiri, salah satunya melalui pemberian dana desa. Kajian mengenai dana desa ini merupakan kajian yang baru dan menarik mengingat penyaluran dana desa baru diberlakukan pada tahun Tulisan ini akan membahas tentang otonomi desa dan efektivitas penggunaaan dana desa. serta kendala yang dihadapi dalam implementasi penggunaan dana desa. Bagian akhir merupakan catatan penutup untuk memberikan 2 Lihat : Bryan White dalam Budi Suryadi, Ekonomi Politik Modern Suatu Pengantar, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006). 3 Lihat : Dudley Seers dalam Hudiyanto, Ekonomi Politik, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005). 194 Jurnal Penelitian Politik Volume 13 No. 2 Desember

58 masukan atas kendala yang terjadi dalam proses implementasi penggunaan dana desa. Otonomi Desa Desa atau yang disebut dengan nama lain telah ada sebelum NKRI terbentuk. Pasal 18 UUD NRI (Negara Republik Indonesia) tahun 1945 (sebelum perubahan) menyebutkan bahwa dalam teritori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volsgemeenschappen. Ini sama dengan penyebutan desa untuk di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, gampong di Aceh, dusun dan marga di Palembang, lembang di Toraja, negeri di Maluku, dan sebagainya. Daerah-daerah tersebut mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dianggap istimewa. Dalam hal ini, negara mengakui keberadaan desa tersebut dengan mengingat hak-hak asal usulnya. Oleh karena itu, keberadaannya wajib dan diberikan jaminan keberlangsungan hidupnya dalam NKRI. Sejarah pengaturan tentang Desa telah mengalami beberapa kali perubahan sejak Indonesia merdeka sampai dengan sekarang, yaitu pada masa orde lama UU No. 22/1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah, UU No. 1/1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, UU No. 18/1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, dan UU No. 19/1965 tentang Desa Praja sebagai Bentuk Peralihan untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah RI. Selanjutnya pada masa orde baru dibentuk UU No. 5/1975 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa. Pada masa reformasi dibentuklah UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No.6/2014 tentang Desa, serta terakhir UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, dalam pelaksanaannya pengaturan tentang desa belumlah mewadahi apa yang menjadi kepentingan dan kebutuhan masyarakat desa. Barulah melalui UU No.6/2014 kepentingan desa mulai diakomodasi. Terbitnya UU No.6/2014 tentang desa merupakan upaya untuk menghidupkan kembali peran penting desa dalam proses pembangunan nasional. Sebagaimana yang diketahui bahwa pasca reformasi UU No.22/1999 dan UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dinilai belum memiliki semangat untuk menampilkan desa sebagai salah satu komponen penting dalam proses pembangunan nasional. Dalam perspektif UU No. 22/1999, kebijakan mengenai desa tidak cukup memberikan ruang bagi desa untuk berkreasi dalam skema kewenangan yang lebih luas. Sejak konstitusi sampai dengan UU No.22/1999, kesemuanya lebih mengedepankan ruang desentralisasi bagi pemerintah daerah kabupaten/kota. Pasal 18 ayat (1) UUD NRI 1945 justru menyatakan bahwa yang memiliki pemerintah desa adalah provinsi, kabupaten dan kota. Pasal 1 huruf o UU No. 22/1999 melihat kewenangan mengatur dan mengurus desa ditempatkan dalam format kewenangan daerah otonom, sebagaimana yang ditegaskan dalam UU No. 22/1999 pasal Secara normatif dapat dikatakan bahwa otonomi desa hanya merupakan pelengkap dari otonomi daerah. Explanatory factor terhadap otonomi desa justru dapat dielaborasi berdasarkan UU tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Pasal 7 ayat (2) UU No.22/1999 mengatur bahwa peraturan desa/peraturan yang setingkat dibuat oleh BPD atau dengan nama lain kepala desa atau dengan nama lainnya. Ini dikelompokkan ke dalam jenis perda yang diakui secara tegas sebagai skema hierarki peraturan perundang-undangan RI. Hal ini merupakan kelanjutan dari Keputusan Mendagri No. 126/2003 tentang Bentuk-Bentuk Produk Hukum di Lingkungan Pemerintah Desa meliputi: (a) peraturan desa, (b) keputusan kepala desa, (c) keputusan bersama, dan (d) instruksi kepala desa. Dengan demikian ada kepastian hukum bagi peraturan desa yang menegaskan pengakuan terhadap otonomi desa, meskipun dalam batasbatas kewenangan pengaturan yang digariskan oleh perda kabupaten/kota. 5 4 W. Riawan Tjandra, (Perspektif Otonomi Desa dalam Dinamika Desentralisasi dalam Dadang Juliantara: Mewujudkan Kabupaten Partisipatif, (Yogyakarta: Pustaka Jogja Mandiri, 2004), hlm Ibid. Lihat juga Hessel Nogi S. Tangkilisan, Analisis Kebijakan dan Masnajemen Otonomi Daerah Kontemporer, (Yogyakarta: Lukman Offset, 2003), hlm Otonomi Desa dan Efektivitas Dana Desa... Nyimas Latifah Letty Aziz 195

59 Selanjutnya dalam perspektif UU No.32/2004 pasal 200 ayat (1), pemerintahan desa dibentuk dalam lingkup pemda kabupaten/ kota. Pemerintahan desa terdiri dari pemerintah desa dan BPD (Badan Permusyawaratan Desa). Pembentukan, penghapusan, dan penggabungan desa, dilakukan dengan memperhatikan asal-usul atau prakarsa masyarakat. Desa di kabupaten/kota secara bertahap dapat diubah statusnya menjadi kelurahan atas usul dan prakarsa pemerintah desa dan BPD yang ditetapkan dengan perda (peraturan daerah). Pemerintah desa terdiri dari kepala desa dan perangkat desa. Perangkat desa terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa lainnya. Sekretaris desa diisi oleh PNS yang memenuhi syarat. 6 Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa yakni : (1) urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa; (2) urusan pemerintahan yang menjadi kewajiban kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya ke desa; (3) tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau kabupaten/kota yang disertai pembiayaan, sarana, prasarana, dan SDM; dan (4) urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan ke desa. Apabila kita melihat urusan kewenangan (pada pon 2 dan 3), tampak bahwa pemerintah desa mengalami proses penunggangan kepentingan pemerintahan di atasnya. Demikian halnya dengan BPD yang menjadikan proses demokrasi di tingkat desa menjadi terancam. 7 Ini menunjukkan bahwa UU No.32/2004 sebagai bagian dari proses penyeragaman bentuk pemerintahan di daerah. Kondisi pemerintahan demikian menjadi bagian dari proses sejarah yang tidak dapat dielakkan. Sebagai contoh, sistem pemerintahan nagari di Sumatera Barat kurang mempunyai landasan pijakan yang sah bila mengacu pada UU ini. Desa tidak lagi mempunyai otonomi. Sementara UU No.22/1999 pasal 95 ayat (1) menyatakan bahwa pemerintah desa terdiri atas kepala desa atau yang disebut juga dengan nama lain, yaitu 6 J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah: Suatu Solusi dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global (ed. Revisi), (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007), hlm Ibid, hlm perangkat desa. Sedangkan UU No.32/2004 menyatakan pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa. Tidak ada klausul tentang atau yang disebut dengan nama lain. Ini artinya terjadi pola penyeragaman sebutan kepala desa. Secara formal tidak ada lagi wali nagari di Sumatera Barat, hukum tua di Minahasa, opo lao di Sangihe dan Talaud, sangadi di Bolaang Mongondow, atau ayahanda di Gorontalo. Semua diseragamkan dengan satu nama kepala desa. Ini merupakan sebagian warna yang dibawa oleh UU No. 32/ Saat ini jumlah desa yang ada di Indonesia sudah mencapai (tujuh puluh empat ribu). 9 Dengan demikian pelaksanaan pengaturan desa yang selama ini berlaku sampai dengan UU No.32/2004 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, terutama dalam hal masyarakat hukum adat, keberagaman, demokratisasi, partisipasi masyarakat, dan pemerataan pembangunan sehingga terjadi gap yang tinggi antarwilayah, kemiskinan, sosial budaya, dan lingkungan yang dapat mengancam keutuhan NKRI. Oleh karena itu, perlu ada suatu gerakan pembaharuan desa untuk meredam semua itu, khususnya dalam memahami otonomi desa. UU No.6/2014 memberikan ruang gerak yang luas untuk mengatur perencanaan pembangunan atas dasar kebutuhan prioritas masyarakat desa tanpa terbebani oleh program-program kerja dari berbagai instansi pemerintah yang selanjutnya disebut otonomi desa. Otonomi desa merupakan otonomi yang asli, bulat dan utuh serta bukan merupakan pemberian dari pemerintah. Sebaliknya pemerintah berkewajiban menghormati otonomi asli yang dimiliki oleh desa tersebut J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah: Suatu Solusi dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, hlm Lihat Kemenkeu Minta Jumlah Desa di Indonesia Tidak Ditambah, 20 April berita/nasional/umum/16/04/20/o5xcdd383-kemenkeu-mintajumlah-desa-di-indonesia-tidak-ditambah, (diakses pada 1 Oktober 2016). 10 HAW Widjaja, Otonomi Desa : Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008),hlm Jurnal Penelitian Politik Volume 13 No. 2 Desember

60 Ada 4 (empat) hal penting untuk memahami tentang otonomi desa, yakni pertama, cara pandang legal formal yang merujuk pada diktum-diktum yang tertuang dalam UU bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Di sini desa sebagai subyek hukum yang berhak dan berwenang membuat tindakan hukum, membuat peraturan yang mengikat, menguasai tanah, membuat surat-surat resmi, berhubungan dengan pengadilan, menyelenggarakan kerjasama, dan lain-lain. Namun, desa sebagai daerah otonom tidak bisa hanya dilihat sebagai subyek hukum, tetapi juga menjadi bagian dan implikasi dari desentralisasi sehingga tidak bisa hanya dilihat dari sisi hukum tetapi juga dari sisi hubungan desa dengan negara. Oleh karena itu, desa juga berhak memperoleh pembagian kewenangan tidak hanya dari sisi pengelolaan pemerintahan, tetapi juga pengelolaan keuangannya. Kedua, desa dapat dikatakan otonom apabila mendapat pengakuan dari negara atas eksistensinya beserta hak asal-usul dan adat istiadatnya. Di sini negara tidak hanya mengakui eksistensinya, tetapi juga melindungi sekaligus memberikan pembagian kekuasaan, kewenangan dalam pengelolaan pemerintahan dan keuangan. Ketiga, dengan menggabungkan fungsi self governing community (kesatuan masyarakat hukum) dengan local self government diperlukan penataan kesatuan masyarakat hukum adat yang merupakan bagian dari wilayah desa menjadi desa dan desa adat. Adapun fungsi dan tugas keduanya hampir sama, namun berbeda dalam pelaksanaan hak asal usul, utamanya yang berkaitan dengan pelestarian sosial, pengaturan wilayah, ketentraman dan ketertiban masyarakat hukum adat, serta pengaturan pelaksanaannya atas dasar susunan asli. Keberadaan desa dan desa adat mendapat perlakuan yang sama dari Pemerintah dan Pemda (Pemerintah Daerah). Oleh karena itu, akan ada pengaturan tersendiri mengenai hal tersebut yang diatur dalam UU No.6/2014. Keempat, melalui UU No.6/2014 diberikan ruang gerak yang luas untuk mengatur perencanaan pembangunan atas dasar kebutuhan prioritas masyarakat desa tanpa terbebani oleh program-program kerja dari berbagai instansi pemerintah yang selanjutnya disebut otonomi desa sebagai otonomi yang asli, bulat dan utuh serta bukan merupakan pemberian dari pemerintah. 11 Demi memperkuat otonomi desa, pemerintah kabupaten/kota perlu mengupayakan beberapa kebijakan. Pertama, memberi akses dan kesempatan kepada desa untuk menggali potensi SDA (Sumber Daya Alam) untuk dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan desa dengan tetap memperhatikan ekologi untuk pembangunan berkelanjutan. Kedua, memberikan bantuan kepada desa berdasar peraturan perundangan yang berlaku. Ketiga, memfasilitasi upaya capacity building tidak hanya bagi aparatur desa, tetapi juga bagi komponen-komponen masyarakat melalui korbinwas (koordinasi, bimbingan dan pengawasan). Ketiga hal di atas menjadi penting mengingat meskipun desa diberikan otonomi dalam mengurus rumah tangganya sendiri, pelaksanaan otonomi tersebut tidak akan berhasil tanpa adanya sumber pendapatan. Beberapa hal yang menyebabkan desa membutuhkan sumber pendapatan yakni; (a) Desa memiliki APBDes (Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa) yang kecil di mana sumber pendapatannya sangat bergantung pada bantuan yang juga kecil. (b) PADes (Pendapatan Asli Desa) juga masih rendah karena kemampuan SDM desa yang masih rendah dalam mengelola SDA sehingga kesejahteraan masyarakat desa juga rendah. (c) Dana operasional untuk pelayanan publik juga rendah. (d) Program-program yang dijalankan di desa bersifat top down sehingga tidak sesuai dengan apa yang menjadi prioritas kebutuhan masyarakat desa. Sehubungan dengan permasalahan tersebut pemerintah memberikan dukungan dalam bentuk dana perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dimana minimal 10% (sepuluh persen) dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dikurangi DAK diperuntukkan bagi desa. Ini kemudian dikenal dengan ADD (Alokasi Dana Desa). Tujuan pemberian ADD untuk menstimulasi pemerintah desa melaksanakan program-program kegiatannya dengan melibatkan masyarakat. Bahkan, dalam dua tahun ini (sejak 2015), 11 Ibid., hlm.165 Otonomi Desa dan Efektivitas Dana Desa... Nyimas Latifah Letty Aziz 197

61 pemerintah telah memberikan bantuan dana kepada desa yang dikenal dengan DD (Dana Desa) untuk semakin mendorong pembangunan perdesaan demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Dana desa merupakan dana realokasi anggaran pusat berbasis desa yang diberikan 10% dari dan diluar dana transfer ke daerah secara bertahap. Dengan demikian desa semakin diberikan ruang gerak yang luas untuk mengelola pembangunan desa melalui sumber-sumber pendapatan yang diperolehnya. Lantas sejauhmana desa mampu mengoptimalkan penggunaan DD tersebut? Efektivitas Dana Desa Efektivitas pada umumnya sering dihubungkan dengan efisiensi dalam pencapaian tujuan baik tujuan individu, kelompok dan organisasi. 12 Menurut Gibson ada 2 (dua) pendekatan dalam menilai keefektifan menurut tujuan dan teori sistem. Berdasarkan pendekatan tujuan maka untuk merumuskan dan mengukur keefektifan melalui pencapaian tujuan ditetapkan dengan usaha kerjasama. Sedangkan pendekatan teori sistem menekankan pentingnya adaptasi terhadap tuntutan ekstern sebagai kriteria penilaian keefektifan. Lebih lanjut Gibson menyatakan bahwa konsep efektivitas organisasi haruslah mencerminkan 2 (dua) kriteria, yakni (a) keseluruhan siklus masukan-proses-keluaran, dan (b) mencerminkan hubungan timbal balik antara organisasi dan lingkungannya. Kriteria ini kemudian berkembang dengan dimensi waktu jangka pendek meliputi : 13 (a) Kriteria produksi; mencerminkan kemampuan organisasi untuk menghasilkan jumlah dan keluaran kualitas yang dibutuhkan lingkungan. (b) Kriteria efisiensi; perbandingan keluaran terhadap masukan yang mengacu pada ukuran pengguna sumber daya yang langka dalam organisasi. (c) Kriteria kepuasan; ukuran keberhasilan organisasi dalam memenuhi kebutuhan anggotanya. 12 James L.Gibson, et.al, Organisasi dan Manajemen. Perilaku Struktur Proses, Alih Bahasa: Wahid, Djoerban, (Jakarta: Erlangga, 1995), hlm Ibid., hlm.27 (d) Kriteria keadaptasian; ketanggapan organisasi terhadap perubahan internal dan eksternal (e) Kriteria pengembangan; mengukur kemampuan organisasi untuk meningkatkan kapasitasnya terhadap tuntutan lingkungan. Sedangkan Steers mengemukakan efektivitas tidak hanya untuk mendapatkan keuntungan yang banyak, tetapi juga diukur dengan jumlah barang atau kualitas pelayanan yang dihasilkan di mana ukuran kriteria efektivitas itu sendiri sebenarnya intangible. Lebih lanjut Steers mengemukakan bahwa efektivitas organisasi adalah kemampuan organisasi dalam memperoleh dan menggunakan secara efisien sumber-sumber yang tersedia untuk mencapai tujuannya. 14 Pendekatan yang digunakan untuk mengukur efektivitas adalah optimalisasi tujuan dengan asumsi bahwa organisasi yang berbeda memiliki tujuan yang berbeda pula. Ada 4 (empat) kategori yang memengaruhi efektivitas yakni (a) sifat organisasi, seperti struktur dan teknologi; (b) sifat lingkungan, seperti kondisi pasar dan ekonomi; (c) sifat karyawan, seperti tingkat kinerja dan prestasi karyawan; (d) kebijakan dan praktek manajerial. 15 Pendapat lainnya, Robbins menyatakan keefektifan organisasi dilihat dari pencapaian tujuan yang kemudian dikenal dengan pendekatan konstituensi strategis, bahwasanya organisasi dikatakan efektif apabila memenuhi tuntutan konstituensi yang terdapat di lingkungan organisasi tersebut. Konstituensi yang dimaksud adalah pendukung kelanjutan eksistensi organisasi. 16 Berdasarkan ketiga pendapat di atas, dapat disimpulkan untuk mengukur efektivitas penggunaan dana desa, ada beberapa aspek penting yang perlu dipertimbangkan yakni (a) pencapaian tujuan, bahwa penggunaan dana desa dapat dikatakan efektif apabila penggunaannya 14 Richard M Steers, Efektivitas Organisasi, diterjemahkan oleh Magdalena Jamin, (Jakarta : Erlangga, 1997), hlm Ibid, hlm Robins, Stephen P, Adminstrasi Negara-Negara Berkembang (Terjemahan), (Jakarta: CV Rajawali, 1995), hlm Jurnal Penelitian Politik Volume 13 No. 2 Desember

62 sesuai dengan prioritas kebutuhan sehingga tujuan tercapai; (b) ketepatan waktu, proses penyaluran dan penggunaan dana sesuai dengan waktu pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan hingga berakhirnya kegiatan; (c) sesuai manfaat, dana desa dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat desa sebagai penerima program; dan (d) hasil sesuai harapan masyarakat. Sebelum membahas lebih lanjut apakah desa telah mampu mengoptimalkan penggunaan DD demi peningkatan kesejahteraan masyarakat desa akan dijelaskan terlebih dahulu dasar hukum DD dan skema penyaluran DD, penyaluran dan penggunaan DD, serta tata kelola DD. Dasar Hukum dan Skema Penyaluran Dana Desa UU No.6/2014 tentang Dana Desa telah memuat aturan tentang pengelolaan DD. Namun, untuk pelaksanaannya ada 3 (tiga) kementerian (kemendagri, kemenkeu, dan kemendes) dan pemda yang terlibat mulai proses awal sampai dengan akhir dalam penyaluran dan penggunaan DD. Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri) bertanggung jawab dalam hal penyelenggaraan capacity building bagi aparat desa; penyelenggaraan pemerintahan desa; pengelolaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban keuangan desa; penguatan desa terhadap akses, aset dan kepemilikan lahan dan pemanfaatannya bagi kesejahteraan masyarakat, penyusunan dokumen perencanaan desa; kewenangan berdasarkan hak asal-usul, dan kewenangan skala lokal desa; serta tata cara penyusunan pedoman teknis peraturan desa. Kemenkeu (Kementerian Keuangan) bertanggung jawab dalam penganggaran dana desa dalam APBN; penetapan rincian alokasi DD pada peraturan bupati/walikota; penyaluran DD dari RKUN (Rekening Kas Umum Negara) ke RKUD (Rekening Kas Umum Daerah) dan dari RKUD ke RKD (Rekening Kas Desa); dan pengenaan sanksi jika tidak terpenuhinya porsi ADD dalam APBD. Sementara Kemendes (Kementerian Desa) bertanggung jawab dalam penetapan pedoman umum dan prioritas penggunaan DD; pengadaan tenaga pendamping untuk desa; penyelenggaraan musyawarah desa yang partisipatif; pendirian, pengurusan, perencanaan usaha, pengelolaan, kerjasama, dan pembubaran BUMDesa; serta pembangunan kawasan perdesaan. Pemda dalam hal ini bertugas melakukan pembinaan dan pengawasan dalam penyusunan perda yang mengatur desa; pemberian alokasi DD; pembinaan capacity building Kades dan perangkat desa, BPM (Badan Permusyawaratan Desa), dan lembaga kemasyarakatan; pembinaan manajemen pemerintahan desa; pemberian bantuan keuangan, pendampingan, bantuan teknis; bimtek (bimbingan teknis) dalam bidang tertentu yang tidak mungkin dilakukan pemkab/pemkot; inventarisasi kewenangan provinsi yang dilaksanakan oleh desa; binwas RAPBD kabupaten/kota dalam pembiayaan desa; membantu pemerintah dalam rangka penentuan kesatuan masyarakat hukum adat sebagai desa; dan binwas penetapan pengaturan BUMDesa kab/kota dan lembaga kerjasama antardesa. Berikut ini payung hukum yang melandasi pemberian DD. UU No.6/2014 tentang desa PP No. 43/2014 tentang Peraturan Pelaksana UU No.6/2014 PP No.47/2015 tentang Perubahan atas PP No. 43/2014 PP No.60/2014 tentang DD Bersumber dari APBN PP No. 22/2015 tentang Perubahan atas PP No. 60/2014 PP No.8/2016 tentang Perubahan Kedua atas PP No. 60/2014 Skema 1. Dasar Hukum PERMENDAGRI: 1. Permendagri No.111/2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa 2. Permendagri No. 112/2014 tentang Pemilihan Kepala Desa 3. Permendagri No. 113/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa 4. Permendagri No. 114/2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa PERMENDES: 1. Permendes No.1/2015 tentang Pedoman Kewenangan Lokal Berskala Desa 2. Pemendes No. 2/2015 tentang Musyawarah Desa 3. Permendes No.3/2015 tentang Pendampingan Desa 4. Permendes No.4/2015 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengelolaan dan Pembubaran BUMDesa 5. Permendes No.21/2015 jo No.8/2016 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa 2016 PMK No.257/PMK.07/2015 tentang Tata Cara Penundaan dan/atau Pemotongan Dana Perimbangan terhadap Daerah yang Tidak Memenuhi ADD PMK No. 49/PMK.07/2016 tentang Tata Cara Penggunaan, Pemantauan dan Evaluasi Dana Desa Sumber : Kementerian Keuangan, Otonomi Desa dan Efektivitas Dana Desa... Nyimas Latifah Letty Aziz 199

63 Berdasarkan skema payung hukum tersebut, jelas PP No. 60/2014 menyatakan bahwa DD bersumber dari APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara). DD diberikan 10% (sepuluh persen) dari dan di luar dana transfer ke daerah dan diberikan secara bertahap. Pada tahun 2015 terdapat tiga tahapan dalam penyaluran DD. Pada tahap I (April) DD disalurkan sebesar 40%, tahap II (Agustus) sebesar 40% dan tahap III (Oktober) sebesar 20%. Kemudian pada tahun 2016, skema ini mengalami perubahan menjadi 2 (dua) tahapan yakni tahap I (Maret) sebesar 60% dan tahap II (Agustus) sebesar 40%. Alasan perubahan tahapan ini karena skema tahun 2015, persyaratan penyaluran DD tidak berdasarkan kinerja penyaluran/penggunaan DD tahap sebelumnya. Padahal ini penting untuk memastikan apakah penyaluran DD tepat waktu dan tepat jumlahnya sehingga dapat menghindari penundaan penyaluran DD tahap berikutnya. Hal ini dapat diketahui dari tahapan pemenuhan 10% DD pada tahun 2015 sebesar 3% yakni Rp. 20,7 triliun. Kemudian pada tahun 2016 naik menjadi 6% yakni Rp. 46,9 triliun. Disini terjadi peningkatan sebesar 126,24%. Pada tahun 2017 DD direncanakan sebesar Rp. 8,6 triliun. Adapun yang menjadi persyaratan penyaluran DD bahwa DD dapat disalurkan dari RKUN ke RKUD setelah persyaratan dipenuhi. Kemudian paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah diterima di RKUD barulah disalurkan ke RKD. Apabila Bupati/Walikota tidak menyalurkan sebagaimana yang dimaksud akan dikenakan sanksi administratif berupa penundaan penyaluran DAU (Dana Alokasi Umum) dan/atau DBH (Dana Bagi Hasil) yang menjadi hak kabupaten/kota bersangkutan. Persyaratan penyaluran DD pada tahap I bahwa penyaluran dari RKUN ke RKUD haruslah dilengkapi dengan dokumen (a) perda mengenai APBD kabupaten/kota tahun berjalan; (b) perbup/ walikota mengenai tata cara pembagian dan penetapan besaran DD; (c) laporan realisasi penyaluran dan konsolidasi penggunaan DD tahap sebelumnya. Kemudian penyaluran DD dari RKUD ke RKD haruslah dilengkapi dengan dokumen (a) perdes mengenai APB Desa tahun anggaran berjalan dan (c) laporan realisasi penggunaan DD tahap sebelumnya. Apalabila dokumen tersebut belum/terlambat disampaikan, Menteri atau Bupati/Walikota mengenakan sanksi administratif berupa penundaan penyaluran DD sampai dipenuhinya dokumen tersebut. Dalam hal ini, penundaan terjadi karena sebagian daerah belum memasukkan DD ke dalam APBD induk, dan terlambat menetapkan perbup/perwali tentang pengalokasian DD per desa. Untuk penyaluran tahap II bahwa penyaluran DD dari RKUN ke RKUD dilakukan setelah Menteri cq. Dirjen Perimbangan Keuangan menerima laporan realisasi penyaluran dan penggunaan DD tahap I dari Bupati/Walikota, dan laporan realisasi penyaluran dan konsolidasi penggunaan DD tahap I menunjukkan paling kurang 50% (lima puluh persen). Kemudian penyaluran DD dari RKUD ke RKD dilakukan setelah Bupati/Walikota menerima laporan realisasi penggunaan DD tahap I dari Kades (kepala desa) dan laporan realisasi tahap I menunjukkan paling kurang 50% (lima puluh persen). Berikut ini merupakan skema pengalokasian DD 200 Jurnal Penelitian Politik Volume 13 No. 2 Desember

64 MENTERI KEUANGAN BUPATI/WALIKOTA APBN Dana Desa per kab/kota Dana Desa per desa Transfer ke Daerah 90% alokasi dasar 10% formula Alokasi Dasar Formula=Pagu DD-Alokasi Dasar Dana Desa 25% x jml penduduk desa 35% x jml penduduk miskin desa Alokasi dasar/ desa x jumlah desa 25% x jumlah penduduk desa 35% x jumlah penduduk miskin desa 10% x luas wilayah desa 10% x luas wilayah desa 30% x IKK 30% x IKG Skema 2. Pengalokasian DD (Dana Desa) Sumber: Kementerian Keuangan, 2016 Skema pengalokasian DD menggunakan alokasi dasar sebesar 90% merata untuk semua desa pada kabupaten/kota (alokasi minimal yang diterima oleh desa secara merata di kabupaten/kota). Alokasi formula sebesar 10% didistribusikan ke desa secara proporsional berdasarkan 4 (empat) indikator yakni jumlah penduduk, jumlah penduduk miskin, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis. Namun, khusus untuk daerah pemekaran apabila data jumlah penduduk desa, angka kemiskinan desa, dan luas wilayah desa yang belum tersedia datanya dapat menggunakan data desa induk secara proporsional. Sedangkan untuk data tingkat kesulitan geografis dapat menggunakan data yang sama dengan desa induk atau data yang bersumber dari pemda. Dana Desa setiap kabupaten/kota dialokasikan berdasarkan jumlah desa di setiap kabupaten/kota dan rata-rata DD setiap provinsi. Berikut ini adalah gambaran perkembangan dana ke desa pada tahun 2015 dan 2016 yang mengalami peningkatan. Pada tahun 2015 DD sebesar Rp. 20,766 triliun naik menjadi Rp. 46,982 triliun pada tahun Terjadi kenaikan sebesar 126,24%. ADD juga mengalami peningkatan meskipun jumlahnya tidak sebesar DD yakni Rp. 33,835 triliun menjadi Rp. 35,455 triliun, ada kenaikan sebesar 4,79%. Bagi hasil PDRD juga mengalami peningkatan sebesar 9,39% di mana pada tahun 2015 jumlahnya Rp. 2,650 triliun menjadi Rp. 2,899 triliun pada tahun Otonomi Desa dan Efektivitas Dana Desa... Nyimas Latifah Letty Aziz 201

Kadek Dwita Apriani. Universitas Udayana Jl P.B. Sudirman Denpasar-Bali Irhamna

Kadek Dwita Apriani. Universitas Udayana Jl P.B. Sudirman Denpasar-Bali   Irhamna RESPON PUBLIK TERHADAP MODEL PENGANGGARAN PARTISIPATIF DALAM PEMBANGUNAN DESA: STUDI TIGA PROVINSI DI INDONESIA PUBLIC RESPONSES TOWARDS PARTICIPATORY BUDGETING MODEL IN VILLAGE DEVELOPMENT: CASE STUDIES

Lebih terperinci

KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PEMBANGUNAN DAERAH DI KABUPATEN PATI TUGAS AKHIR

KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PEMBANGUNAN DAERAH DI KABUPATEN PATI TUGAS AKHIR KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PEMBANGUNAN DAERAH DI KABUPATEN PATI TUGAS AKHIR Oleh: WAHYU DYAH WIDOWATI L2D 003 378 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB VI KEBERLANJUTAN KELEMBAGAAN

BAB VI KEBERLANJUTAN KELEMBAGAAN 50 BAB VI KEBERLANJUTAN KELEMBAGAAN Dalam penelitian ini, keberlanjutan kelembagaan dikaji berdasarkan tingkat keseimbangan antara pelayanan-peran serta (manajemen), tingkat penerapan prinsip-prinsip good

Lebih terperinci

DESA: Gender Sensitive Citizen Budget Planning in Villages

DESA: Gender Sensitive Citizen Budget Planning in Villages DESA: Gender Sensitive Citizen Budget Planning in Villages Baseline Study Report Commissioned by September 7, 2016 Written by Utama P. Sandjaja & Hadi Prayitno 1 Daftar Isi Daftar Isi... 2 Sekilas Perjalanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan otomomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32

BAB I PENDAHULUAN. Penyelenggaraan otomomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan otomomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan dua hal yang amat penting, pertama adalah

Lebih terperinci

DUKUNGAN TERHADAP CALON INDEPENDEN

DUKUNGAN TERHADAP CALON INDEPENDEN DUKUNGAN TERHADAP CALON INDEPENDEN Temuan Survei Nasional Juli 2007 LEMBAGA SURVEI INDONESIA (LSI) www.lsi.or.id Tujuan Survei Mendekatkan desain institusional, UU dan UUD, dengan aspirasi publik agar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kedudukan negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan Daerah mengharuskan untuk diterapkannya kebijakan otonomi daerah. Meskipun dalam UUD 1945 disebutkan

Lebih terperinci

MEMBANGUN DAN MEMBERDAYAKAN DESA MELALUI UNDANG-UNDANG DESA Oleh : Mardisontori, LLM *

MEMBANGUN DAN MEMBERDAYAKAN DESA MELALUI UNDANG-UNDANG DESA Oleh : Mardisontori, LLM * MEMBANGUN DAN MEMBERDAYAKAN DESA MELALUI UNDANG-UNDANG DESA Oleh : Mardisontori, LLM * DPR-RI dan Pemerintah telah menyetujui RUU Desa menjadi Undang- Undang dalam rapat paripurna DPR pada tanggal 18 Desember

Lebih terperinci

PROFIL KABUPATEN SAMPANG (2014) Tahun berdiri Jumlah penduduk Luas Wilayah km 2

PROFIL KABUPATEN SAMPANG (2014) Tahun berdiri Jumlah penduduk Luas Wilayah km 2 PROFIL KABUPATEN SAMPANG (2014) Tahun berdiri Jumlah penduduk 883.282 Luas Wilayah 1.233 km 2 Skor IGI I. 4,02 Anggaran pendidikan per siswa II. 408.885 rupiah per tahun III. Kota Yogyakarta KABUPATEN

Lebih terperinci

Program Pengembangan BOSDA Meningkatkan Keadilan dan Kinerja Melalui Bantuan Operasional Sekolah Daerah

Program Pengembangan BOSDA Meningkatkan Keadilan dan Kinerja Melalui Bantuan Operasional Sekolah Daerah KEMENTERIAN Program Pengembangan BOSDA Meningkatkan Keadilan dan Kinerja Melalui Bantuan Operasional Sekolah Daerah Mei 2012 Dari BOS ke BOSDA: Dari Peningkatan Akses ke Alokasi yang Berkeadilan Program

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Simpulan Faktor yang mempengaruhi keberhasilan inisiasi pelembagaan partisipasi perempuan dalam perencanaan dan penganggaran daerah adalah pertama munculnya kesadaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumarto, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 1-2

BAB I PENDAHULUAN. Sumarto, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 1-2 BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Penelitian Governance disini diartikan sebagai mekanisme, praktik, dan tata cara pemerintah dan warga mengatur sumber daya serta memecahkan masalahmasalah publik. Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kinerja kepala daerah beserta wakil rakyat di kursi dewan.

BAB I PENDAHULUAN. kinerja kepala daerah beserta wakil rakyat di kursi dewan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah menjadikan daerah memiliki kewenangan tersendiri dalam mengatur dan melaksanakan anggaran sesuai dengan prioritas yang telah ditetapkan. Kepala daerah

Lebih terperinci

LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI II DPR RI

LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI II DPR RI TERBATAS (Untuk Kalangan Sendiri) LAPORAN SINGKAT RAPAT KERJA KOMISI II DPR RI (Bidang Pemerintahan Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kepemiluan, Pertanahan dan

Lebih terperinci

SIDANG UJIAN TUGAS AKHIR

SIDANG UJIAN TUGAS AKHIR SIDANG UJIAN TUGAS AKHIR PENINGKATAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PERBAIKAN LINGKUNGAN FISIK PERMUKIMAN (STUDI KASUS : KECAMATAN RUNGKUT) Disusun Oleh: Jeffrey Arrahman Prilaksono 3608 100 077 Dosen Pembimbing:

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN I. UMUM 1. Dasar Pemikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG top PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH I. UMUM 1. Dasar

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengesahan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa oleh mantan

BAB I PENDAHULUAN. pengesahan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa oleh mantan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Awal tahun 2014 lalu, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan adanya pengesahan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

Lebih terperinci

KPU Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Sumedang BAB I PENDAHULUAN

KPU Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Sumedang BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara demokratis, Langsung Umum Bebas Rahasia, Jujur dan Adil dalam Negara Kesatuan

Lebih terperinci

AMANDEMEN UUD 45 UNTUK PENGUATAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) SEBUAH EVALUASI PUBLIK. LEMBAGA SURVEI INDONESIA (LSI)

AMANDEMEN UUD 45 UNTUK PENGUATAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) SEBUAH EVALUASI PUBLIK. LEMBAGA SURVEI INDONESIA (LSI) AMANDEMEN UUD 45 UNTUK PENGUATAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) SEBUAH EVALUASI PUBLIK TEMUAN SURVEI JULI 2007 LEMBAGA SURVEI INDONESIA (LSI) www.lsi.or.id IHTISAR TEMUAN Pada umumnya publik menilai bahwa

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.245, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAH DAERAH. Pemilihan. Gubernur. Bupati. Walikota. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5588) PERATURAN

Lebih terperinci

MENGEMBANGKAN DEMOKRATISASI DESA. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia

MENGEMBANGKAN DEMOKRATISASI DESA. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia MENGEMBANGKAN DEMOKRATISASI DESA Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia Potret Desa URBANISASI 14.107 Desa Sangat Tertinggal (18.87%) 33.948 Desa Tertinggal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945) menyebutkan bahwa tujuan dari dibentuknya negara Indonesia adalah:

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG 1 BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN PENETAPAN JUMLAH KURSI DAN DAERAH PEMILIHAN PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPRD

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH NO. 07 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) KABUPATEN PROBOLINGGO TAHUN

PERATURAN DAERAH NO. 07 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) KABUPATEN PROBOLINGGO TAHUN PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO PERATURAN DAERAH NO. 07 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) KABUPATEN PROBOLINGGO TAHUN 2013-2018 JL. RAYA DRINGU 901 PROBOLINGGO SAMBUTAN

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SERANG,

PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SERANG, PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SERANG, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 22 ayat (1)

Lebih terperinci

BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK

BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK BAB III PEMBANGUNAN BIDANG POLITIK A. KONDISI UMUM Setelah melalui lima tahun masa kerja parlemen dan pemerintahan demokratis hasil Pemilu 1999, secara umum dapat dikatakan bahwa proses demokratisasi telah

Lebih terperinci

Berdasarkan Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,

Berdasarkan Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH I. UMUM 1. Dasar

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan menghambat tercapainya demokrasi, keadilan dan persatuan.

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan menghambat tercapainya demokrasi, keadilan dan persatuan. BAB I PENDAHULUAN Kemiskinan menghambat tercapainya demokrasi, keadilan dan persatuan. Penanggulangan kemiskinan memerlukan upaya yang sungguh-sungguh, terusmenerus, dan terpadu dengan menekankan pendekatan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.23, 2015 PEMERINTAHAN DAERAH. Pemilihan. Gubernur. Bupati. Walikota. Penetapan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5656) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

Tujuan, Metodologi, dan Rekan Survei

Tujuan, Metodologi, dan Rekan Survei Sejak reformasi dan era pemilihan langsung di Indonesia, aturan tentang pemilu telah beberapa kali mengalami penyesuaian. Saat ini, empat UU Pemilu yang berlaku di Indonesia kembali dirasa perlu untuk

Lebih terperinci

International IDEA, Strömsborg, Stockholm, Sweden Phone , Fax: Web:

International IDEA, Strömsborg, Stockholm, Sweden Phone , Fax: Web: Extracted from Democratic Accountability in Service Delivery: A practical guide to identify improvements through assessment (Bahasa Indonesia) International Institute for Democracy and Electoral Assistance

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengaruh penganggaran partisipatif..., 1 Amaliah Begum, FE Universitas UI, 2009 Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengaruh penganggaran partisipatif..., 1 Amaliah Begum, FE Universitas UI, 2009 Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akuntansi sektor publik adalah bidang ilmu yang memberikan informasi yang diperlukan dalam pengelolaan domain publik, yaitu, secara kelembagaan, meliputi badan-badan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA SALINAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% Daerah Kota Kendari tahun anggaran

BAB I PENDAHULUAN. Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% Daerah Kota Kendari tahun anggaran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% perempuan dan kaitannya dalam penyusunan anggaran responsif gender. Yang menjadi fokus dalam penelitian

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENATAAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENATAAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENATAAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012 1 PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR : 10 TAHUN 2005 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR : 10 TAHUN 2005 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR : 10 TAHUN 2005 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 2 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemekaran daerah adalah pembentukan wilayah administratif baru di tingkat provinsi maupun kota dan kabupaten dari induknya. Alasan paling mengemuka dalam wacana pemekaran

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA MENJADI UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

Pembaruan Parpol Lewat UU

Pembaruan Parpol Lewat UU Pembaruan Parpol Lewat UU Persepsi berbagai unsur masyarakat terhadap partai politik adalah lebih banyak tampil sebagai sumber masalah daripada solusi atas permasalahan bangsa. Salah satu permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDHULUAN. memegang teguh adat-istiadat setempat, sifat sosialnya masih tinggi dan

BAB I PENDHULUAN. memegang teguh adat-istiadat setempat, sifat sosialnya masih tinggi dan BAB I PENDHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Desa merupakan wilayah penduduk yang mayoritas masyarakatnya masih memegang teguh adat-istiadat setempat, sifat sosialnya masih tinggi dan hubungan antar masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemilu merupakan proses pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan

I. PENDAHULUAN. Pemilu merupakan proses pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemilu merupakan proses pemilihan orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai dari presiden, kepala daerah,

Lebih terperinci

PENGARUSUTAMAAN GENDER SEBAGAI UPAYA STRATEGIS UNTUK MEWUJUDKAN DEMOKRATISASI DALAM BIDANG EKONOMI. Murbanto Sinaga

PENGARUSUTAMAAN GENDER SEBAGAI UPAYA STRATEGIS UNTUK MEWUJUDKAN DEMOKRATISASI DALAM BIDANG EKONOMI. Murbanto Sinaga Karya Tulis PENGARUSUTAMAAN GENDER SEBAGAI UPAYA STRATEGIS UNTUK MEWUJUDKAN DEMOKRATISASI DALAM BIDANG EKONOMI Murbanto Sinaga DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PENTINGNYA KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEMBAGA PENYELENGGARA PEMILU

PENTINGNYA KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEMBAGA PENYELENGGARA PEMILU PENTINGNYA KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEMBAGA PENYELENGGARA PEMILU DIAN KARTIKASARI, KOALISI PEREMPUAN INDONESIA DISKUSI MEDIA PUSKAPOL, PENTINGNYA KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM KPU DAN BAWASLU, JAKARTA,

Lebih terperinci

Strategi Gerakan untuk Kepentingan Perempuan Surya Tjandra Unika Atma Jaya Jakarta, 10 Maret 2016

Strategi Gerakan untuk Kepentingan Perempuan Surya Tjandra Unika Atma Jaya Jakarta, 10 Maret 2016 Strategi Gerakan untuk Kepentingan Perempuan Surya Tjandra Unika Atma Jaya Jakarta, 10 Maret 2016 Pijakan Awal Pengalaman perjuangan rakyat untuk gagasan2, prinsip2 dan kemungkinan2 baru, perlu terus berada

Lebih terperinci

BANGKITNYA INDONESIA. Prioritas Kebijakan untuk Tahun 2010 dan Selanjutnya

BANGKITNYA INDONESIA. Prioritas Kebijakan untuk Tahun 2010 dan Selanjutnya BANGKITNYA INDONESIA. Prioritas Kebijakan untuk Tahun 2010 dan Selanjutnya Menyelesaikan Desentralisasi Pesan Pokok Pemerintah daerah (Pemda) di Indonesia kurang memiliki pengalaman teknis untuk meningkatkan

Lebih terperinci

Pengelolaan. Pembangunan Desa Edisi Desember Buku Bantu PENGANGGARAN PELAKSANAAN PERENCANAAN PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pengelolaan. Pembangunan Desa Edisi Desember Buku Bantu PENGANGGARAN PELAKSANAAN PERENCANAAN PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Buku Bantu Pengelolaan Pembangunan Desa Edisi Desember 2016 PENGANGGARAN PELAKSANAAN PERENCANAAN PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PELAPORAN Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi yang dimulai beberapa tahun lalu telah merambah ke seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah aspek pemerintahan yaitu

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA KEDIRI

PEMERINTAH KOTA KEDIRI PEMERINTAH KOTA KEDIRI PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG TRANSPARANSI DAN PARTISIPASI DALAM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KEDIRI, Menimbang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan desentralisasi tercatat mengalami sejarah panjang di Indonesia. Semenjak tahun 1903, Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan Desentralisatie wet yang menjadi

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM ATAS MEKANISME PENYALURAN, PENGGUNAAN, DAN PELAPORAN SERTA PERTANGGUNGJAWABAN DANA DESA. Sumber : id.wordpress.com

TINJAUAN HUKUM ATAS MEKANISME PENYALURAN, PENGGUNAAN, DAN PELAPORAN SERTA PERTANGGUNGJAWABAN DANA DESA. Sumber : id.wordpress.com TINJAUAN HUKUM ATAS MEKANISME PENYALURAN, PENGGUNAAN, DAN PELAPORAN SERTA PERTANGGUNGJAWABAN DANA DESA Sumber : id.wordpress.com I. PENDAHULUAN Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 32 TAHUN 2011 TANGGAL 9 AGUSTUS 2011

SALINAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 32 TAHUN 2011 TANGGAL 9 AGUSTUS 2011 SALINAN LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 32 TAHUN 2011 TANGGAL 9 AGUSTUS 2011 PETUNJUK TEKNIS PENGGUNAAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) BIDANG PENDIDIKAN TAHUN ANGGARAN 2011 UNTUK SEKOLAH

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO NOMOR : 07 TAHUN 2013 BAB I PENDAHULUAN

LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO NOMOR : 07 TAHUN 2013 BAB I PENDAHULUAN LAMPIRAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO NOMOR : 07 TAHUN 2013 Rencana Pembangunan TANGGAL Jangka : 11 Menengah JUNI 2013 Daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perencanaan pembangunan memainkan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG TAHAPAN, TATA CARA PENYUSUNAN, PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

RINGKASAN PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA

RINGKASAN PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA Pengalihan kewenangan pemerintah pusat ke daerah yang membawa konsekuensi derasnya alokasi anggaran transfer ke daerah kepada pemerintah daerah sudah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG TAHAPAN, TATA CARA PENYUSUNAN, PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kerangka desentralisasi yang dicanangkan dengan berlakunya Undang

I. PENDAHULUAN. Kerangka desentralisasi yang dicanangkan dengan berlakunya Undang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerangka desentralisasi yang dicanangkan dengan berlakunya Undang Undang nomor 22 tahun 1999 dan telah direvisi menjadi Undang Undang nomor 32 tahun 2004 telah membawa

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2018 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA KERJA PEMERINTAH DENGAN

Lebih terperinci

TINGKAT PARTISIPASI STAKEHOLDER DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN MENENGAH

TINGKAT PARTISIPASI STAKEHOLDER DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN MENENGAH 45 TINGKAT PARTISIPASI STAKEHOLDER DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN MENENGAH Bentuk Partisipasi Stakeholder Pada tahap awal kegiatan, bentuk partisipasi yang paling banyak dipilih oleh para stakeholder yaitu

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 36 TAHUN 2011 TANGGAL 23 AGUSTUS 2011

SALINAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 36 TAHUN 2011 TANGGAL 23 AGUSTUS 2011 SALINAN LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 36 TAHUN 2011 TANGGAL 23 AGUSTUS 2011 PETUNJUK TEKNIS PENGGUNAAN DANA ALOKASI KHUSUS (DAK) BIDANG PENDIDIKAN TAHUN ANGGARAN 2011 UNTUK PENINGKATAN

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KOMISI PEMILIHAN UMUM,

PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KOMISI PEMILIHAN UMUM, KOMISI PEMILIHAN UMUM PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PENETAPAN JUMLAH DAN TATA CARA PENGISIAN KEANGGOTAAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI ATAU DEWAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem desentralistik atau otonomi daerah merupakan salah satu keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut dilatarbelakangi oleh pelaksanaan

Lebih terperinci

LAPORAN SURVEY PERILAKU PEMILIH MENJELANG PILKADA KABUPATEN LAMONGAN

LAPORAN SURVEY PERILAKU PEMILIH MENJELANG PILKADA KABUPATEN LAMONGAN LAPORAN SURVEY PERILAKU PEMILIH MENJELANG PILKADA KABUPATEN LAMONGAN Oleh: PUSAT STUDI DEMOKRASI DAN HAM ( PuSDekHAM ) FISIP UNISDA LAMONGAN 2015 1 DAFTAR ISI DAFTAR ISI....2 PENGANTAR..3 METODE....5 TEMUAN.6

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.135, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KELEMBAGAAN. KPAI. Pencabutan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2016 TENTANG KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1482, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK. Partisipasi Politik. Perempuan. Legislatif. Peningkatan. Panduan. PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN

Lebih terperinci

BAB IV. Mekanisme Rekrutmen Politik Kepala Daerah PDI Perjuangan. 4.1 Rekrutmen Kepala Daerah Dalam Undang-Undang

BAB IV. Mekanisme Rekrutmen Politik Kepala Daerah PDI Perjuangan. 4.1 Rekrutmen Kepala Daerah Dalam Undang-Undang BAB IV Mekanisme Rekrutmen Politik Kepala Daerah PDI Perjuangan 4.1 Rekrutmen Kepala Daerah Dalam Undang-Undang Tahapan Pilkada menurut Peraturan KPU No.13 Th 2010 Tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pencalonan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Competitiveness Report Seperti halnya laporan tahun-tahun sebelumnya,

BAB I PENDAHULUAN. Competitiveness Report Seperti halnya laporan tahun-tahun sebelumnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah World Economic Forum (WEF) menerbitkan laporan tahunan The Global Competitiveness Report 2012 2013.Seperti halnya laporan tahun-tahun sebelumnya, laporan tahunan

Lebih terperinci

Good Governance. Etika Bisnis

Good Governance. Etika Bisnis Good Governance Etika Bisnis Good Governance Good Governance Memiliki pengertian pengaturan yang baik, hal ini sebenarnya sangat erat kaitannya dengan pelaksanaaan etika yang baik dari perusahaan Konsep

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemberlakukan otonomi daerah berakibat pada terjadinya dinamika perkembangan dan perbaikan sistem keuangan serta akuntansi di pemerintahan daerah menuju pengelolaan

Lebih terperinci

SAMBUTAN KEPALA BAPPENAS Dr. Djunaedi Hadisumarto

SAMBUTAN KEPALA BAPPENAS Dr. Djunaedi Hadisumarto // SAMBUTAN KEPALA BAPPENAS Dr. Djunaedi Hadisumarto PADA RAPAT KONSOLIDASI PEMERINTAHAN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA Jakarta, {6 Mei 2001 Pendahuluan Setelah hampir 5 (lima) bulan sejak dicanangkannya

Lebih terperinci

Pengelolaan. Pembangunan Desa. Buku Bantu PENGANGGARAN PELAKSANAAN PERENCANAAN PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PELAPORAN

Pengelolaan. Pembangunan Desa. Buku Bantu PENGANGGARAN PELAKSANAAN PERENCANAAN PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PELAPORAN Buku Bantu Pengelolaan Pembangunan Desa PENGANGGARAN PELAKSANAAN PERENCANAAN PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PELAPORAN Berdasarkan Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa Buku Bantu

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG KEUANGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG KEUANGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG KEUANGAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG, Menimbang : a. bahwa Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum berwenang untuk

Lebih terperinci

: BRIGGIE PETRONELLA ANGRAINIE

: BRIGGIE PETRONELLA ANGRAINIE NAMA NIM FAKULTAS PRODI/BAGIAN E-MAIL : BRIGGIE PETRONELLA ANGRAINIE : A31104018 : EKONOMI DAN BISNIS : AKUNTANSI : g.4bjad@gmail.com ABSTRAKSI BRIGGIE PETRONELLA ANGRAINIE. A31104018. PENGARUH PERFORMANCE

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 04 TAHUN 2009 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 04 TAHUN 2009 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 04 TAHUN 2009 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang : a. bahwa untuk mendukung penyelenggaraan Pemerintah

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2016 TENTANG KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2016 TENTANG KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2016 TENTANG KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pelaksanaan otonomi daerah tidak terlepas dari sebuah perencanaan baik perencanaan yang berasal dari atas maupun perencanaan yang berasal dari bawah. Otonomi

Lebih terperinci

GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21

GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21 Forum Dunia tentang HAM di Kota tahun 2011 GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21 16-17 Mei 2011 Gwangju, Korea Selatan Deklarasi Gwangju tentang HAM di Kota 1

Lebih terperinci

Hambatan dan Tantangan dalam Mewujudkan Good Governance melalui Penerapan E-Government di Indonesia *

Hambatan dan Tantangan dalam Mewujudkan Good Governance melalui Penerapan E-Government di Indonesia * Hambatan dan Tantangan dalam Mewujudkan Good Governance melalui Penerapan E-Government di Indonesia * Teguh Kurniawan Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI,Kampus FISIP UI Gd B Lt 2 Depok 16424, email

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan dan kebutuhan masyarakat Indonesia pada umumnya terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan dan kebutuhan masyarakat Indonesia pada umumnya terhadap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuntutan dan kebutuhan masyarakat Indonesia pada umumnya terhadap pelayanan prima dari pemerintah yang berorientasi pada kepuasan masyarakat semakin besar sejak era

Lebih terperinci

PARTISIPASI PETANI DALAM KEGIATAN KELOMPOKTANI (Studi Kasus pada Kelompoktani Irmas Jaya di Desa Karyamukti Kecamatan Pataruman Kota Banjar)

PARTISIPASI PETANI DALAM KEGIATAN KELOMPOKTANI (Studi Kasus pada Kelompoktani Irmas Jaya di Desa Karyamukti Kecamatan Pataruman Kota Banjar) PARTISIPASI PETANI DALAM KEGIATAN KELOMPOKTANI (Studi Kasus pada Kelompoktani Irmas Jaya di Desa Karyamukti Kecamatan Pataruman Kota Banjar) Oleh: Aip Rusdiana 1, Dedi Herdiansah S 2, Tito Hardiyanto 3

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memperlakukan rakyat sebagai subjek bukan objek pembangunan, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. memperlakukan rakyat sebagai subjek bukan objek pembangunan, sehingga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Parameter paling utama untuk melihat ada atau tidaknya pembangunan politik di sebuah negara adalah demokrasi. Meskipun sebenarnya demokrasi tidak sepenuhnya menjadi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL PENELITIAN

LAPORAN HASIL PENELITIAN LAPORAN HASIL PENELITIAN PEMETAAN PERSEPSI ATAS PENYELENGGARAAN SOSIALISASI KEPEMILUAN, PARTISIPASI DAN PERILAKU PEMILIH DI KABUPATEN BANGLI Kerjasama Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bangli dan Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembahasan, akhirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

BAB I PENDAHULUAN. pembahasan, akhirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Setelah melalui perjalanan panjang selama kurang lebih 7 tahun dalam pembahasan, akhirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disahkan pada tanggal 15 Januari

Lebih terperinci

Penguatan Partisipasi dan Perbaikan Keterwakilan Politik Melalui Pembentukan Blok Politik Demokratik

Penguatan Partisipasi dan Perbaikan Keterwakilan Politik Melalui Pembentukan Blok Politik Demokratik Penguatan Partisipasi dan Perbaikan Keterwakilan Politik Melalui Pembentukan Blok Politik Demokratik Pendahuluan Pokok Pokok Temuan Survei Nasional Demos (2007 2008) : Demokrasi masih goyah: kemerosotan

Lebih terperinci

penduduknya bekerja sebagai petani dan tingkat pendidikan relatif rendah, dengan

penduduknya bekerja sebagai petani dan tingkat pendidikan relatif rendah, dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Desa adalah bentuk pemerintahan terkecil yang ada di Indonesia, mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani dan tingkat pendidikan relatif rendah, dengan pimpinan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PARTISIPASI KOMITE SEKOLAH DENGAN PEMENUHAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN KEPANJEN KABUPATEN MALANG

HUBUNGAN ANTARA PARTISIPASI KOMITE SEKOLAH DENGAN PEMENUHAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN KEPANJEN KABUPATEN MALANG HUBUNGAN ANTARA PARTISIPASI KOMITE SEKOLAH DENGAN PEMENUHAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN KEPANJEN KABUPATEN MALANG Relationship Between Participation of School Committee with Fulfillment

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

PENGELOLAAN PARTAI POLITIK MENUJU PARTAI POLITIK YANG MODERN DAN PROFESIONAL. Muryanto Amin 1

PENGELOLAAN PARTAI POLITIK MENUJU PARTAI POLITIK YANG MODERN DAN PROFESIONAL. Muryanto Amin 1 PENGELOLAAN PARTAI POLITIK MENUJU PARTAI POLITIK YANG MODERN DAN PROFESIONAL Muryanto Amin 1 Pendahuluan Konstitusi Negara Republik Indonesia menuliskan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan UU. No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan UU. No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sesuai dengan UU. No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal - usul, dan/atau

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal - usul, dan/atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang

BAB I PENDAHULUAN. secara langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak bulan Juni 2005 pemilihan kepala daerah dan wakilnya dipilih secara langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Lebih terperinci