LAJU PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN AGAR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "LAJU PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN AGAR"

Transkripsi

1 LAJU PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN AGAR Gracilaria verrucosa DENGAN PERLAKUAN BOBOT BIBIT TERHADAP JARAK TANAM DI TAMBAK BALAI LAYANAN USAHA PRODUKSI PERIKANAN BUDIDAYA KARAWANG, JAWA BARAT LA ODE ALIFATRI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul: LAJU PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN AGAR Gracilaria verrucosa DENGAN PERLAKUAN BOBOT BIBIT TERHADAP JARAK TANAM DI TAMBAK BALAI LAYANAN USAHA PRODUKSI PERIKANAN BUDIDAYA KARAWANG, JAWA BARAT Adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini. Bogor, Juni 2012 LA ODE ALIFATRI C

3 RINGKASAN LA ODE ALIFATRI. Laju Pertumbuhan dan Kandungan Agar Gracilaria verrucosa dengan Perlakuan Bobot Bibit terhadap Jarak Tanam di Tambak Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya Karawang, Jawa Barat. Dibimbing oleh MUJIZAT KAWAROE dan MEUTIA SAMIRA ISMET. Rumput laut Gracilaria verrucosa merupakan salah satu jenis alga merah (Rhodophyta) yang tumbuh di daerah tropik dan subtropik perairan laut dangkal. Gracilaria verrucosa dapat dibudidayakan di kawasan pertambakan dengan kondisi lingkungan yang sesuai. Budidaya rumput laut Gracilaria verrucosa hingga saat ini masih terus dilakukan khususnya dalam menentukan bobot dan jarak tanam yang sesuai untuk digunakan. Oleh karena itu diperlukan penelitian mengenai perlakuan bobot bibit dan jarak tanam kaitannya terhadap parameter kualitas air tambak. Penelitian ini bertujuan mengkaji pengaruh bobot dan jarak tanam terhadap laju pertumbuhan dan kandungan agar rumput laut jenis Gracilaria verrucosa. Gracilaria verrucosa ditanam menggunakan metode rakit apung dengan perlakuan bobot 50 gr, 100 gr dan 150 gr terhadap jarak tanam 20 cm, 30 cm dan 40 cm serta pengaruh parameter kualitas air terhadap bibit Gracilaria verrucosa pada perairan tambak BLUPPB Karawang, Jawa Barat. Hasil pengamatan kualitas air menunjukkan bahwa suhu antara C, salinitas psu, ph 7,5-8, oksigen terlarut 5,5-6,5 mg/l, nitrat 0,15-0,20 mg/l, fosfat 0,15-0,25 mg/l, kedalaman cm, kecerahan 50-55%. Pada lingkungan perairan ditemukan organisme penempel seperti lumut dari jenis Enteromorpha intestinalis, Chaetomorpha sp., Ectocarpus, kerang dari jenis Limnea glabra dan ikan bandeng. Hasil pengamatan laju pertumbuhan menunjukkan bahwa laju pertumbuhan rata-rata pada perlakuan bobot bibit 50 gr terhadap jarak tanam 40 cm adalah 3,45 gr/hari dengan kandungan agar sebesar 16,08%, pada perlakuan jarak tanam 30 cm adalah 3,06 gr/hari dengan kandungan agar sebesar 15,98% dan pada perlakuan jarak tanam 20 cm adalah 2,62 gr/hari dengan kandungan agar sebesar 15,80%. Pada perlakuan bobot bibit 100 gr terhadap jarak tanam 40 cm adalah 4,25 gr/hari dengan kandungan agar sebesar 15,56%, pada perlakuan jarak tanam 30 cm adalah 4,21 gr/hari dengan kandungan agar sebesar 15,45% dan pada perlakuan jarak tanam 20 cm adalah 4,09 gr/hari dengan kandungan agar sebesar 15,38%. Pada perlakuan bobot bibit 150 gr terhadap jarak tanam 40 cm adalah 4,52 gr/hari dengan kandungan agar sebesar 15,49%, pada perlakuan jarak tanam 30 cm adalah 4,44 gr/hari dengan kandungan agar sebesar 15,23% dan pada perlakuan jarak tanam 20 cm adalah 4,21 gr/hari dengan kandungan agar sebesar 15,16%. Analisis faktorial menghasilkan kategori bibit menjadi tiga tipe yaitu sangat baik (jarak tanam 40 cm dengan bobot 150 gr, 100 gr dan 50 gr), baik (jarak tanam 30 cm dengan bobot 150 gr, 100 gr dan 50 gr) dan tidak baik (jarak tanam 20 cm dengan bobot 150 gr, 100 gr dan 50 gr).

4 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian/seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

5 LAJU PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN AGAR Gracilaria verrucosa DENGAN PERLAKUAN BOBOT BIBIT TERHADAP JARAK TANAM DI TAMBAK BALAI LAYANAN USAHA PRODUKSI PERIKANAN BUDIDAYA KARAWANG, JAWA BARAT LA ODE ALIFATRI SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

6 SKRIPSI Judul Nama NRP Departemen : LAJU PERTUMBUHAN DAN KANDUNGAN AGAR Gracilaria verrucosa DENGAN PERLAKUAN BOBOT BIBIT TERHADAP JARAK TANAM DI TAMBAK BALAI LAYANAN USAHA PRODUKSI PERIKANAN BUDIDAYA KARAWANG, JAWA BARAT : La Ode Alifatri : C : Ilmu dan Teknologi Kelautan Menyetujui, Dosen Pembimbing Dr. Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si Meutia Samira Ismet, S.Si, M.Si NIP NIP Mengetahui, Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc NIP Tanggal lulus : 14 Juni 2012

7 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, hidayah dan kasih sayang-nya yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Laju Pertumbuhan dan Kandungan Agar Gracilaria verrucosa dengan Perlakuan Bobot Bibit terhadap Jarak Tanam di Tambak Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya Karawang, Jawa Barat. Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada : 1. Dr. Ir Mujizat Kawaroe, M.Si. dan Meutia Samira Ismet, S.Si, M.Si. selaku pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktu, tenaga, pikiran dan bimbingannya selama penyusunan skripsi. 2. Bapak Rosyid, Bapak Hadi, Bapak Iyan dan seluruh staff BLUPPB yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian di lapangan. 3. Rekan-rekan ITK 44 yang telah banyak membantu dan memberikan saran dalam penyusunan skripsi. 4. Keluarga tercinta, kedua orang tua, kakak dan adik atas segala dukungan, doa dan kasih sayangnya. Penulis berharap, skripsi ini dapat memberikan kontribusi informasi dan wawasan yang berguna bagi penulis dan pihak yang membacanya. Bogor, Juni 2012 La Ode Alifatri

8 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xii 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Manfaat TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Klasifikasi Rumput Laut Ekologi Gracilaria verrucosa Suhu Salinitas Derajat keasaman (ph) Oksigen terlarut (DO) Kecerahan Intensitas cahaya Kedalaman Faktor biologi Perkembangbiakan Rumput Laut Pertumbuhan Rumput Laut Habitat dan Penyebaran Rumput Laut di Indonesia Penyakit Rumput Laut Agar dan Kandungan Agar Budidaya Rumput Laut Pengadaan, pemilihan dan pemeliharaan bibit Teknik penanaman METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Penanaman Pengamatan Analisa Data Laju pertumbuhan Kandungan agar Analisis statistika... 26

9 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Kualitas Air Suhu Salinitas Derajat keasaman (ph) Oksigen terlarut (DO) Nitrat Fosfat Kedalaman dan kecerahan Substrat dasar Organisme penempel Pertumbuhan Rumput Laut Perlakuan bobot bibit 50 gr, 100 gr dan 150 gr terhadap jarak tanam 20 cm, 30 cm dan 40 cm Laju Pertumbuhan Harian Rumput Laut Perlakuan bobot bibit terhadap jarak tanam Kandungan Agar Rumput Laut Pengaruh dan Penentuan Perlakuan yang Baik Untuk Rumput Laut Gracilaria verrucosa Pengaruh Perbedaan Bobot dan Jarak Tanam Terhadap Lama Hidup Gracilaria verrucosa KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 57

10 DAFTAR TABEL No. Halaman 1. Produksi perikanan budidaya rumput laut di Indonesia tahun Jenis-jenis rumput laut di Indonesia Parameter kualitas air yang diukur Rata-rata parameter kualitas air di lokasi penelitian perairan tambak BLUPPB Laju pertumbuhan (gr/hari) Gracilaria verrucosa pada perlakuan bobot dan jarak tanam Pertumbuhan bobot basah rata-rata (gr) rumput laut Gracilaria verrucosa pada perlakuan bobot dan jarak tanam (selama 6 minggu)... 48

11 DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1. Gracilaria verrucosa Daur hidup rumput laut (Mubarak, 1990) Metode penanaman Gracilaria sp. di tambak Peta lokasi penelitian Rancangan penelitian Desain rakit apung perlakuan bobot bibit (50 gr, 100 gr dan 150 gr) terhadap jarak tanam (20 cm, 30 cm dan 40 cm) tampak atas Suhu perairan pada lokasi penelitian Salinitas perairan pada lokasi penelitian ph perairan pada lokasi penelitian Oksigen terlarut pada lokasi penelitian Pertumbuhan rata-rata bobot basah (gr) Gracilaria verrucosa dengan perlakuan bobot 50 gr terhadap jarak tanam yang berbeda Pertumbuhan rata-rata bobot basah (gr) Gracilaria verrucosa dengan perlakuan bobot 100 gr terhadap jarak tanam yang berbeda Pertumbuhan rata-rata bobot basah (gr) Gracilaria verrucosa dengan perlakuan bobot 150 gr terhadap jarak tanam yang berbeda Laju pertumbuhan (gr/hari) rumput laut Gracilaria verrucosa perlakuan bobot 50 gr terhadap jarak tanam yang berbeda Laju pertumbuhan (gr/hari) rumput laut Gracilaria verrucosa perlakuan bobot 100 gr terhadap jarak tanam yang berbeda Laju pertumbuhan (gr/hari) rumput laut Gracilaria verrucosa perlakuan bobot 150 gr terhadap jarak tanam yang berbeda Kandungan agar Gracilaria verrucosa pada perlakuan bobot bibit terhadap jarak tanam... 46

12 DAFTAR LAMPIRAN No. Halaman 1. Sketsa lokasi tambak penelitian Data bobot basah (gr) pada masing-masing perlakuan Laju pertumbuhan (gr/hari) pada perlakuan bobot bibit dan jarak tanam Proses ekstraksi agar Data kandungan agar Pengaruh perbedaan bobot bibit dan jarak tanam terhadap lama hidup Data kualitas air di lokasi penelitian Statistika deskriptif dari parameter lingkungan Dokumentasi penelitian... 70

13 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumput laut Gracilaria verrucosa merupakan salah satu jenis alga merah (Rhodophyta) yang tumbuh di daerah tropik dan subtropik perairan laut dangkal. Gracilaria verrucosa dapat dibudidayakan di kawasan pertambakan dengan kondisi lingkungan yang sesuai. Gracilaria verrucosa merupakan jenis rumput laut yang berpotensi dikembangkan untuk ekspor karena mengandug agar-agar yang sangat tinggi dan bermanfaat untuk berbagai keperluan. Budidaya Gracilaria verrucosa di tambak Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya mempunyai arti penting bagi masyarakat/petani dalam meningkatkan hasil produksinya dengan peranannya sebagai produksi tambahan dari kegiatan pembudidayaan hasil-hasil perikanan lainnya seperti udang, sidat, lele, kerapu, kerang dan bandeng. Hal ini dikarenakan proses pembudidayaan rumput laut dapat dilakukan hanya dengan menggunakan peralatan sederhana dan tenaga yang relatif lebih kecil. Proses pembudidayaan rumput laut di tambak lebih banyak keuntungannya bila dibandingkan dengan budidaya di laut (Zatnika, 2009). Pengembangan budidaya rumput laut Gracilaria verrucosa yang dilakukan di tambak BLUPPB Karawang Jawa Barat merupakan salah satu pemanfaatan tambak sebagai upaya untuk memenuhi permintaan rumput laut yang semakin meningkat. Pada umumnya kondisi perairan tambak rumput laut di BLUPPB merupakan perairan yang cukup potensial sebagai tempat untuk budidaya rumput laut. Hal ini dikarenakan beberapa faktor antara lain kemudahan memperoleh bibit alam, kehidupan masyarakat sebagian tergantung dari rumput laut dan 1

14 2 adanya jalur pemasaran antara petani dengan pengumpul rumput laut. Namun demikian sistem budidaya Gracilaria verrucosa yang dilaksanakan oleh petani/nelayan BLUPPB dengan sistem rakit apung belum dapat mencapai produksi yang diharapkan, sehingga belum dapat mencukupi tingginya permintaan pasar, terutama permintaan Gracilaria kering sebagai bahan baku utama penghasil agar. Tabel 1 ini menunjukkan besaran produksi budidaya rumput laut di kondisi alami dan tambak. Tabel 1 Produksi perikanan budidaya rumput laut di Indonesia tahun Komoditas Utama Produksi (ton) Kenaikan pertahun Rumput Laut (Laut) 1,485,654 1,937,591 2,791,688 37,25 Rumput Laut (tambak) 242, ,47 171,868-15,86 Sumber : Direktorat jenderal perikanan budidaya Kendala utama dalam pencapaian jumlah produksi adalah adanya penentuan bobot bibit dan jarak tanam yang sangat bervariasi. Oleh karena itu diperlukan suatu penelitian terkait dengan faktor-faktor kualitas rumput laut. Faktor-faktor tersebut berupa faktor eksternal (faktor lingkungan) dan faktor internal (perlakuan bobot bibit dan jarak tanam) dari rumput laut Gracilaria verrucosa terutama di Perairan tambak BLUPPB Karawang, Jawa Barat. Hasil yang diharapkan dari penelitian tersebut adalah dapat menentukan perlakuan yang baik untuk bibit dan faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan rumput laut Gracilaria verrucosa.

15 3 1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini untuk : 1. Mengkaji pengaruh bobot dan jarak tanam terhadap laju pertumbuhan bobot rumput laut jenis Gracilaria verrucosa. 2. Mengkaji pengaruh bobot dan jarak tanam terhadap kandungan agar rumput laut jenis Gracilaria verrucosa. 1.3 Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam menentukan bibit yang tepat sehingga dapat memperbaiki kualitas produksi basah yang maksimal dalam upaya peningkatan pendapatan masyarakat petani budidaya rumput laut di tambak BLUPPB Karawang, Jawa Barat.

16 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Klasifikasi Rumput Laut Rumput laut memiliki morfologi yang tidak memperlihatkan adanya perbedaan antara akar, batang dan daun. Secara kesuluruhan, tanaman ini mempunyai struktur tubuh yang mirip, walaupun sebenarnya berbeda, yang disebut sebagai thallus. Ciri morfologi Gracilaria sp. adalah thallus yang menyerupai silinder, licin, berwarna coklat atau kuning hijau, percabangan tidak beraturan memusat di bagian pangkal dan bercabang lateral memanjang menyerupai rambut dengan ukuran panjang berkisar cm (Ditjen perikanan, 2004). Berikut Gambar 1 Gracilaria verrucosa : Gambar 1. Gracilaria verrucosa Sinulingga (2006) mengklasifikasikan Gracilaria verrucosa dalam taksonomi sebagai berikut : Divisi : Rhodophyta Class : Rhodophyceae Ordo : Gigartinales Familia : Gracilariaceae Genus : Gracilaria Spesies : Gracilaria verrucosa 4

17 5 2.2 Ekologi Gracilaria verrucosa Rumput laut (Gracilaria verrucosa) umumnya terdapat di daerah dengan kondisi tertentu. Kebanyakan tumbuh di daerah pasang surut (intertidal) atau pada daerah yang selalu terendam air (subtidal) melekat pada substrat di dasar perairan yang berupa karang batu mati, karang batu hidup, batu gamping atau cangkang molusca. Umumnya genus Gracilaria sp. tumbuh dengan baik di daerah pantai terumbu (reef). Hal ini dikarenakan pada tempat tersebut beberapa persyaratan untuk pertumbuhan rumput laut dapat terpenuhi, diantaranya adalah faktor kedalaman perairan, cahaya, substrat dan pergerakan air. Habitat khas rumput laut adalah daerah yang memperoleh aliran air laut tetap. Gracilaria sp. lebih menyukai variasi suhu harian yang kecil dan substrat batu karang yang mati. Rumput laut ini tumbuh mengelompok dengan berbagai jenis rumput laut lainnya. Berbagai faktor lingkungan seperti cahaya, suhu, salinitas, ph, gerakan air (arus), zat hara dan faktor biologis, berpengaruh penting pada laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup rumput laut. Uraian di bawah ini menjelaskan betapa pentingnya faktor lingkungan bagi rumput laut yang erat hubungannya dengan laju pertumbuhan rumput laut Gracilaria verrucosa Suhu Suhu perairan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mempelajari gejala-gejala fisika air laut pada perairan yang dapat mempengaruhi kehidupan hewan dan tumbuhan pada suatu perairan. Kemampuan adaptasi rumput laut Gracilaria sp. terhadap suhu bervariasi, tergantung dimana rumput laut tersebut hidup sehingga dimungkinkan akan tumbuh subur pada daerah yang

18 6 sesuai dengan suhu pertumbuhannya. Suhu yang optimal untuk pertumbuhan rumput laut Gracilaria verrucosa adalah berkisar antara C (Zatnika, 2009) Salinitas Salinitas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut. Kondisi salinitas yang baik untuk pertumbuhan rumput laut yaitu berkisar antara ppt (Zatnika, 2009). Dahuri (2002) menjelaskan bahwa secara umum salinitas permukaan perairan Indonesia rata-rata berkisar antara ppt. Selanjutnya ditambahkan oleh Sutika (1989) bahwa salinitas air laut pada umumnya berkisar antara 33 ppt sampai 37 ppt dan dapat berubah berdasarkan waktu dan ruang. Nilai salinitas sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain suplai air tawar ke air laut, curah hujan, musim, topografi, pasang surut dan evaporasi (Nybakken, 2000). Selain itu Nontji (1993) juga menyatakan bahwa sebaran salinitas dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai Derajat Keasaman (ph) Pemilihan lokasi untuk budidaya Gracillaria verrucosa, harus memperhatikan faktor biologis, fisika dan kimiawi. Salah satu faktor kimiawi tersebut adalah ph. Pertumbuhan rumput laut memerlukan ph air laut optimal yang berkisar antara 6-9 (Zatnika, 2009). Chapman (1962 in Supit 1989) menyatakan bahwa hampir seluruh rumput laut menyukai kisaran ph 6,8-9,6 sehingga variasi ph yang tidak terlalu besar tidak akan menjadi masalah bagi pertumbuhan rumput laut.

19 Oksigen Terlarut (DO) Oksigen terlarut (DO) merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi organisme air. DO biasanya dijumpai dalam konsentrasi tinggi pada lapisan permukaan karena adanya proses difusi oksigen dari udara ke dalam air. Organisme fotosintetik seperti fitoplankton juga membantu menambah jumlah kadar oksigen terlarut pada lapisan permukaan diwaktu siang hari. Penambahan ini disebabkan oleh terlepasnya gas oksigen sebagai hasil dari fotosintesis. Kelarutan oksigen di perairan sangat penting dalam mempengaruhi kesetimbangan kimia air laut dan juga dalam kehidupan organisme. Selain itu oksigen dibutuhkan oleh hewan dan tanaman air termasuk mikroorganisme untuk proses respirasinya. Effendi (2003) menjelaskan bahwa hubungan antara kadar oksigen terlarut jenuh dengan suhu berbanding terbalik, semakin tinggi suhu maka kelarutan oksigen dan gas-gas lain juga berkurang dengan meningkatnya salinitas. Sehingga kadar oksigen terlarut di laut cenderung lebih rendah dari pada kadar oksigen di perairan tawar. Selanjutnya dikatakan bahwa peningkatan suhu sebesar 1 C akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10%. Sutika (1989) juga mengatakan bahwa pada dasarnya proses penurunan oksigen dalam air disebabkan oleh proses kimia, fisika dan biologi. Proses-proses tersebut antara lain proses respirasi baik oleh hewan maupun tanaman serta proses penguraian (dekomposisi) bahan organik dan proses penguapan. Kelarutan oksigen ke dalam air terutama dipengaruhi oleh faktor suhu, oleh karena itu kelarutan gas oksigen pada suhu rendah relative lebih tinggi jika dibandingkan pada suhu tinggi. Hal ini didukung oleh Fardiaz (1992) yang menyatakan bahwa

20 8 kejenuhan oksigen dalam air dipengaruhi oleh suhu air, dimana semakin tinggi suhu maka konsentrasi oksigen terlarut semakin turun. Konsentrasi dan distribusi oksigen di laut ditentukan oleh kelarutan gas oksigen dalam air dan proses biologis yang mengontrol tingkat konsumsi dan pembebasan oksigen. Sulistijo dan Atmadja (1996) menyatakan bahan baku mutu DO untuk rumput laut adalah lebih dari 5 mg/l. Hal ini berarti jika oksigen terlarut dalam perairan mencapai 5 mg/l maka metabolisme rumput laut dapat berjalan dengan optimal. Buesa (1977 in Iksan 2005) menyatakan perubahan oksigen harian dapat terjadi di perairan dan bisa berakibat nyata terhadap pertumbuhan rumput laut. Namun kadar oksigen biasanya selalu cukup untuk proses metabolisme rumput laut (Chapman 1962 in Iksan 2005) Kecerahan Cahaya matahari adalah merupakan sumber energi dalam proses fotosintesis. Pada proses fotosintesis terjadi pembentukan bahan organik yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan. Widodo dan Suadi (2006) menyatakan bahwa cahaya menyediakan energi bagi terlaksananya fotosintesis, sehingga kemampuan penetrasi cahaya pada kedalaman tertentu sangat menentukan distribusi vertikal organisme perairan. Hal yang berhubungan erat dengan penetrasi cahaya adalah kecerahan perairan. Kecerahan perairan yang ideal lebih dari 1 m. Air yang keruh (biasanya mengandung lumpur) dapat menghalangi tembusnya cahaya matahari di dalam air sehingga proses fotosintesis menjadi terganggu. Hal ini akan berdampak buruk terhadap pertumbuhan dan perkembangan rumput laut (Ditjen perikanan, 1997).

21 Intensitas Cahaya Radiasi matahari menentukan intensitas cahaya pada suatu kedalaman tertentu dan juga sangat mempengaruhi suhu perairan. Cahaya sinar matahari yang menembus permukaan air berperan penting dalam produktivitas perairan. Cahaya mempunyai pengaruh besar terhadap biota laut yaitu sebagai sumber energi untuk proses fotosintesis tumbuh-tumbuhan (Romimohtarto dan Juwana, 2001). Hutabarat dan Evans (2001) mengatakan bahwa penyinaran cahaya matahari akan berkurang secara cepat sesuai dengan makin tingginya kedalaman perairan. Adanya bahan-bahan yang melayang dan tingginya nilai kekeruhan di perairan dekat pantai akan menyebabkan berkurangnya penetrasi cahaya di tempat tersebut. Intensitas cahaya yang diterima sempurna oleh thallus merupakan faktor utama dalam proses fotosintesis yang menentukan tingkat pertumbuhan rumput laut. Penetrasi cahaya lebih optimal bila menggunakan metode terapung dalam pembudidayaan rumput laut Kedalaman Direktorat jenderal perikanan 1997 mengatakan bahwa kedalaman perairan yang baik untuk budidaya rumput laut Gracilaria verrucosa adalah 0,5-1,0 m pada waktu surut terendah di lokasi yang berarus kencang. Sementara kedalaman perairan yang baik untuk budidaya dengan metode lepas dasar antara 2-15 m dan metode rakit apung antara 5-20 m. Kondisi ini untuk menghindari rumput laut mengalami kekeringan dan mengoptimalkan perolehan sinar matahari (Ditjen perikanan, 1997).

22 Faktor Biologi Faktor biologi yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut adalah organisme penempel dan hewan herbivora. Hasil penelitian Sulistijo (1985) menyatakan bahwa tanaman penempel yang terdapat pada rak percobaan baik yang terapung ataupun yang didasar pada umumnya hampir sama dan juga ditemukan menempel pada tanaman yang dibudidayakan. Tanaman penempel tersebut antara lain : Acanthopora sp.; Hypnea sp.; Amphiroa sp.; Padina sp.; Valonia sp.; Laurencia sp.; Gelidiopsis sp.; Caulerpa sp.; Sargassum sp.; Polysiphonia sp. dan Chaetomorpha sp. Kehadiran tanaman ini sudah terjadi sejak semula karena terbawa oleh bibit dari alam berupa spora dan terbawa arus. Sedangkan hewan herbivora adalah ikan yang memanfaatkan alga yang dikultur sebagai makanannya seperti famili Pomancetridae, Platacidae, dan Aluteridae. Contoh ikan-ikan herbivora tersebut adalah ikan Bandeng (Chanos chanos), ikan Beronang (Siganus sp.), bulu babi (Diadema setosum) dan penyu (Chelonia mydas) (Soegiarto et al 1977). 2.3 Perkembangbiakan Rumput Laut Perkembangbiakan rumput laut pada dasarnya terbagi 2 yaitu secara seksual dan aseksual. Pada perkembangbiakan secara seksual, gametofit jantan yang telah dewasa menghasilkan sel-sel spermatangial yang nantinya menjadi spermatangia. Sedangkan gametofit betina menghasilkan sel khusus yang disebut karpogonia yang dihasilkan dari cabang-cabang karpogonial. Perkembangbiakan secara aseksual terdiri dari penyebaran tetraspora, vegetatif dan konjugatif. Sporofit dewasa menghasilkan spora yang disebut tetraspora yang sesudah proses

23 11 germinasi (berkecambah) tumbuh menjadi tanaman beralat kelamin, yaitu gametofit jantan dan gametofit betina. Perkembangan secara vegetatif adalah dengan cara stek. Potongan seluruh bagian dari thallus akan membentuk percabangan baru dan tumbuh berkembang menjadi tanaman dewasa (Poncomulyo, 2006). Berikut gambar 2 daur hidup rumput laut Gracilaria verrucosa Gambar 2. Daur hidup rumput laut (Mubarak, 1990) (Sumber : Pertumbuhan Rumput Laut Pertumbuhan adalah perubahan ukuran suatu organisme yang dapat berupa berat atau panjang dalam waktu tertentu. Pertumbuhan rumput laut sangat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang berpengaruh antara lain jenis, galur, thallus (bibit) dan umur. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh antara lain lingkungan atau oseanografi, bobot bibit, jarak tanam dan teknik penanaman (Kamlasi, 2008). Pertumbuhan rumput laut menunjukkan adanya pertumbuhan besar, panjang serta cabang. Hal ini dikarenakan adanya pertumbuhan dari sel-sel yang

24 12 menyusun rumput laut tersebut. Perbanyakan sel-sel dapat terjadi karena pembelahan pada sel-sel yang menyusun rumput laut. Proses pembelahan sel ini dimulai dengan pembelahan intinya yang selanjutnya terjadi pembelahan plasma atau pembelahan sel. Dalam pembelahan sel ada tiga cara yaitu amitosis, mitosis dan miosis. Budidaya rumput laut yang dilakukan oleh para petani atau nelayan kebanyakan menggunakan dengan cara stek, karena pemilihan metode ini bersifat mudah dan lebih murah dari pada cara seksual. Thallus atau cabang yang diambil untuk metode ini adalah cabang yang masih muda (Sutrian, 2004). Laju pertumbuhan rumput laut yang dianggap cukup menguntungkan adalah 3% pertambahan berat per hari. 2.5 Habitat dan Penyebaran Rumput Laut di Indonesia Gracilaria sp hidup di alam dengan cara menempel pada substrat dasar perairan atau benda lainnya di daerah pasang surut. Bahkan di daerah Sulawesi pada musim-musim tertentu rumput laut jenis Gracilaria sp. banyak terdampar di pantai karena hempasan gelombang dalam jumlah yang sangat besar dan berakibat over produksi. Anggadiredja (2007) mengatakan Gracilaria sp. tersebar luas di sepanjang pantai daerah tropis dan umumnya tumbuh di perairan yang mempunyai rataan terumbu karang, melekat pada substrat karang mati atau kulit kerang dan batu gamping di daerah intertidal dan subtidal. Rumput laut yang umumnya dibudidayakan di tambak di Indonesia adalah jenis Gracilaria verrucosa dan Gracilaria gigas. Jenis ini berkembang di perairan Sulawesi Selatan (Jeneponto, Takalar, Sinjai, Bulukumba, Wajo, Paloppo, Bone, Maros), Pantai utara P. Jawa (Serang, Tangerang, Bekasi,

25 13 Karawang, Brebes, Pemalang, Tuban dan Lamongan) dan Lombok Barat. Rumput laut Gracilaria sp. umumnya dipanen dari hasil budidaya dan juga dari alam. Namun hasil dari alam memiliki kualitas budidaya kurang baik karena tercampur dengan jenis lain (Anonymous, 2005). Pengetahuan tentang penyebaran tiap-tiap spesies di wilayah Indonesia akan membantu dalam menentukan spesies yang akan ditanam dan yang akan diteliti pada daerah tersebut. Perairan pantai yang potensial di Indonesia menyebabkan hampir seluruh perairan pantai di tiap propinsi dapat ditumbuhi rumput laut. Beberapa jenis rumput laut di Indonesia yang dimanfaatkan untuk ekspor yaitu dari marga Eucheuma sp.; Glacilaria sp.; Gelidium sp. dan Hypnea sp. Berikut ini dalah jenis-jenis rumput laut di Indonesia (Tabel 2). Tabel 2 Jenis-jenis rumput laut di Indonesia Daerah Jenis Rumput Laut Sumatra Utara Eucheuma spinosum, Eucheuma edule. Gracilaria intricate, Gracilaria coronopifolia, Gracilaria Sumatra Barat salikornia, Gracilaria arcuata, Gelidium sp. Eucheuma spinosum, Eucheuma edule, Gracilaria confervoides, Riau Gracilaria cuchemioides, Gracilaria cylindrical, Gelidium amansii, Hypnea cervicornis, Hypnea musciformis, Hypnea spp. Bali Gracilaria spp, Gelidium spp, Eucheuma spp. Nusa Tenggara Gelidium spp, Gracilaria spp, Hypnea spp, Eucheuma Barat spinosum, Eucheuma cottonii. Eucheuma spinosum, Eucheuma muricatum, Eucheuma edule, Eucheuma serra, Gracilaria rigida, Gracilaria confervoides, Nusa Tenggara Gracilaria lichenoides, Gracilaria eucheumiodes, Gracilaria Timur verrucosa, Gelidium rigida, Gelidium letifolium, Hypnea choroides, Hypnea cornata, Hypnea musciformis. Eucheuma spinosum, Eucheuma edule, Eucheuma cottonii, Gracilaria blodgetti, Gracilaria eucheumiodes, Gracilaria Maluku aruata, Hypnea cornata, Hypnea musciformis, Hypnea nidulans. Eucheuma cottonii, Eucheuma spinosum, Gracilaria verrucosa, Gracilaria confervoides, Gracilaria lichenoides, Hypnea Jawa cervicornis, Hypnea musciformis, Sargassum aquifolium, Sargassum polycstum, Turbinaria ornata, Turbinaria conoides. Sumber : Hamid 2009

26 Penyakit Rumput Laut Penyakit yang terjadi pada rumput laut pertama kali diketahui pada tahun 1974 di Filipina dengan gejala yang dilaporkan adanya bercak pada thallus yang terinfeksi dan selanjutnya berubah warna dan mati kemudian hancur. Penyakit yang banyak menyerang tanaman rumput laut Gracilaria sp. adalah Ice-ice. Penyakit ini ditandai dengan timbulnya bintik/bercak-bercak pada sebagian thallus yang lama-kelamaan menjadi pucat dan berangsur-angsur menjadi putih dan akhirnya thallus tersebut putus. Penyakit ini timbul karena adanya mikroba yang menyerang tanaman rumput laut yang lemah. Gejala yang diperlihatkan adalah pertumbuhan yang lambat, terjadinya perubahan warna menjadi pucat dan thallus pada beberapa cabang menjadi putih dan membusuk (Direktorat Jenderal Perikanan, 2004). Trono (1974) menjelaskan adanya perubahan lingkungan (seperti arus, suhu dan kecerahan) di lokasi budidaya dapat memicu terjadinya penyakit ice-ice. Tingkat penyerangannya terjadi dalam waktu yang cukup lama. Selain itu korelasi positif terjadinya penyakit ice-ice dikarenakan keadaan lingkungan yang kurang mendukung, diantaranya air yang tenang atau pergerakan arusnya lemah. Bercak putih (ice-ice) pada rumput laut merupakan penyakit yang timbul pada musim laut tenang dan arus lemah diikuti dengan musim panas yang dapat merusak areal tanaman sampai mencapai 60-80% dan lamanya 1-2 bulan (Sulistijo 2002). Direktorat Jenderal Perikanan (2004) menjelaskan terjadinya penyakit iceice dipengaruhi oleh berkembangnya jenis rumput laut lain yang menempel atau epifit. Hal ini didahului dengan rendahnya unsur hara di perairan karena dengan

27 15 berkembangnya rumput laut jenis lain akan mengakibatkan penurunan unsur hara yang diperlukan oleh pertumbuhan. Sampai saat ini belum ada metode yang dapat diterapkan untuk mengendalikan penyakit ice-ice tetapi untuk mengurangi kerugian. Untuk mengatasi hal tersebut maka tanaman harus dipanen sesegera mungkin jika telah terjangkit. Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan memonitor adanya perubahan-perubahan lingkungan. Selain itu dapat dilakukan penurunan posisi tanaman lebih dalam untuk mengurangi penetrasi cahaya sinar matahari. Penelitian terhadap bakteri yang menyebabkan penyakit pada rumput laut ini pernah dilakukan oleh Laboratorium mikrobiologi P2O-LIPI dan hasilnya diduga ada 8 jenis bakteri tersebut yang menimbulkan penyakit ice-ice, ke-8 jenis bakteri tersebut adalah Pseudomonas gelatica, Pseudomonas icthyodermis, Bacillus megaterium, Pseudomodas nigricaciens, Pseudomonas fluorescens, Vibrio granii, Bacillus cereus dan Vibrio agarliquefaciens, namun tingkat patogenitas bakteri tersebut belum diketahui. Kemudian dilanjutkan dengan penelitian uji patogenitas dari 8 jenis bakteri tersebut yang hasilnya menunjukkan hanya 5 bakteri yang dapat menimbulkan penyakit ice ice. Lima bakteri tersebut adalah Pseudomodas nigricaciens, Pseudomonas fluorescens, Vibrio granii, Bacillus cereus dan Vibrio agarliquefaciens. Sementara bakteri Pseudomonas gelatica, Pseudomonas icthyodermis dan Bacillus megaterium tidak menyebabkan gejala penyakit ice ice. Hasil uji patogenitas terhadap kelima bakteri tersebut dilanjutkan dan ditemukan yang memiliki daya patogenitas tertinggi adalah Vibrio agarliquefaciens (Nasution 2005). Cara membasmi penyakit ice-ice sampai saat ini belum diketahui, namun upaya yang dilakukan untuk menghindari penyakit

28 16 tersebut adalah dengan menghentikan proses pembudidayaan rumput laut saat penyakit mulai ada. 2.7 Agar dan Kandungan Agar Agar merupakan senyawa poligalaktosa yang diperoleh dari pengolahan rumput laut jenis agarophyte. Agar-agar disebut sebagai gelosa atau gelosa bersulfat, dengan rumus molekul ( ) atau ( )n. Selain mengandung polisakarida sebagai senyawa utama, agar-agar juga mengandung kalsium dan mineral lainnya. Kandungan kalsium ini cukup tinggi dibandingkan dengan mineral-mineral lain (Angka dan Suhartono, 2000). Menurut Glicksman (1983) agar-agar merupakan kompleks polisakarida linier yang mempunyai berat molekul dan tersusun dari beberapa jenis polisakarida seperti 3,6-anhidro-L-galaktosa, D-galaktopiranosa dan sejumlah kecil metil D-galaktosa. Kandungan agar Gracilaria beragam menurut jenis dan lokasi penanamannya. Umumnya kandungan agar Gracilaria sp. berkisar antara 16-45%. Kandungan agar Gracilaria sp. di Indonesia mencapai 47,34% (Kadi dan Atmadja, 1988 in Ritawati, 1990). Khususnya G. Lichenoides mengandung agar 28,0-36,6% (Nelson, S.G., S.S. Yang, C.Y. Wang dan Y.M.Ciang, 1983 in Ritawati, 1990). Ren (1985) in Ritawati (1990) menyatakan bahwa sebagian besar agar digunakan dalam industri makanan terutama sebagai stabilisator dan pengental. Dalam bidang farmasi agar yang tekandung dalam rumput laut dapat digunakan sebagai obat, pelarut air dan cetakan gigi. Selain itu pemakaian agar juga dapat digunakan untuk keperluan laboratorium seperti elektroforesa, immunologi, kromatografi, sistem immobilisasi dan media kultur bagi mikro-organisme.

29 17 Pengolahan agar-agar dari Gracilaria verrucosa masih jarang dilakukan, padahal sangat mudah dilakukan secara sederhana yaitu secara skala rumah tangga dan skala industri. Proses ekstraksi agar dapat dilakukan melaui tahapan yaitu pencucian dan pembersihan, disortasi, pemucatan, pemasakan (ekstraksi), penghancuran, pemucatan, penyaringan, pendinginan, pencetakan, pengepresan, pengeringan, pemanasan dan perhitungan rendemen agar (Ayuningtyas, 2011). 2.8 Budidaya Rumput Laut Pengadaan, Pemilihan dan Pemeliharaan Bibit Bibit rumput laut yang baik untuk dibudidayakan adalah monospesies, muda, bersih dan segar. Zatnika (2009) menyatakan bibit yang baik dicirikan dengan thallus yang baik (muda, keras dan segar), warna agak gelap (coklatkecoklatan), usia minimal 2 minggu. Selanjutnya pengumpulan, pengangkutan dan penyimpanan bibit harus selalu dilakukan dalam keadaan lembab serta terhindar dari panas, minyak, air tawar dan bahan kimia lain (Kolang, 1996). Kualitas dan kuantitas produksi budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh bibit rumput lautnya, sehingga kegiatan penyediaan bibit harus direncanakan dan memperhatikan sumber perolehan. Syahputra (2005) menjelaskan bahwa pemilihan bibit dalam budidaya rumput laut merupakan hal yang sangat penting. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut : 1. Bibit yang berupa stek dipilih dari tanaman yang segar, dapat diambil dari tanaman yang tumbuh secara alami ataupun dari tanaman bekas budidaya. Selain itu, bibit harus baru dan masih muda. 2. Bibit unggul memiliki ciri bercabang banyak.

30 18 3. Bibit sebaiknya dikumpulkan dari perairan pantai sekitar lokasi usaha budidaya dalam jumlah yang sesuai dengan luas area budidaya. 4. Pengangkutan bibit harus dilakukan dengan hati-hati dan cermat, dimana bibit harus tetap dalam keadaan basah ataupun terendam air. 5. Sebelum ditanam, bibit dikumpulkan pada tempat tertentu seperti dikeranjang atau jaring yang bermata kecil. Sulistijo (2002) menyatakan bahwa rumput yang baik adalah bercabang banyak dan rimbun, tidak terdapat penyakit bercak putih dan mulus tanpa ada cacat terkelupas. Bibit rumput laut yang terpilih tidak lebih dari 24 jam penyimpanan ditempat kering dan harus terlindung dari sinar matahari juga pencemaran (terutama minyak) dan tidak boleh direndam air laut dalam wadah. Indriani dan Sumiarsih (1999) menyatakan bahwa bibit yang diperoleh dari bagian ujung tanaman (muda) umumnya memberikan pertumbuhan yang baik dan hasil panen mengandung kandungan agar yang lebih tinggi dibandingkan dengan bibit dari sisa hasil panen atau tanaman tua. Zatnika (2009) menyatakan saat yang baik untuk penebaran maupun penanaman bibit adalah pada saat cuaca teduh (tidak mendung) dan yang paling baik adalah pagi hari atau sore hari menjelang malam. Tahap pemeliharaan dilakukan seminggu setelah penanaman, bibit yang ditanam harus diperiksa dan dipelihara dengan baik melalui pengawasan yang teratur dan kontinyu. Bila kondisi perairan kurang baik, seperti ombak yang keras, angin serta suasana perairan yang dipengaruhi musim hujan atau kemarau, maka perlu pengawasan 2-3 hari sekali, sedangkan hal lain yang penting diperhatikan adalah menghadapi serangan predator dan penyakit (Zatnika, 2009).

31 Teknik Penanaman Sunarto (1985) in Hamid (2009) menyatakan bahwa seiring kebutuhan rumput laut yang semakin meningkat, baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan luar negeri, sekaligus memperbesar devisa Negara dari sektor nonmigas, maka perlu teknik penanaman rumput laut yang sesuai dengan kondisi lingkungan untuk meningkatkan hasil budidaya rumput laut yang banyak dan berkualitas ekspor. Teknik yang dipakai oleh para nelayan di perairan tambak BLUPPB adalah teknik rakit apung (floating monoline method). Teknik ini menggunakan bambu atau pelampung plastik sebagai pelampung. Bambu dibingkai seperti rakit yang terdiri dari 2 potong bambu yang panjangnya tiap potong 5 meter dan 2 potong bambu yang masing-masing panjangnya 2,5 meter. Bila menggunakan pelampung plastik, bingkai rakit semuanya terbuat dari kayu atau bambu. Potongan bambu yang sudah disiapkan dibuat rakit persegi empat dengan mengikat keempat sudutnya. Agar rakit lebih kuat dan ikatan tidak mudah bergeser, maka tiap-tiap sudut dari rakit ini diberi pasak. Ukuran rakit dapat berkisar antara 2,5 5 m atau 2,5 5. Bila rakit lebih panjang dari ukuran itu, maka tali nilon monofilament kurang teregang dengan baik. Rakit dapat dibuat dari dua potongan kayu dan dua potongan bambu, atau dapat juga rakit dibuat dari 4 potong kayu dan digunakan pelampung plastik. Ukuran memilih model-model ini, kita harus memperhitungkan harga dan daya tahan bahan tersebut. Berikut gambar 3 metode penanaman Gracilaria sp. di tambak.

32 20 Gambar 3. Metode penanaman Gracilaria sp. di tambak Agar produksi tiap satuan luas areal tinggi, maka beberapa rakit digabung untuk dijadikan satu modul. Makin banyak jumlah rakit persatuan modul, produksi tiap satuan areal makin tinggi, akan tetapi ada satu titik atau jumlah optimal yang ditentukan oleh faktor pergerakan air atau ombak tidak dapat mencapai rakit yang berada pada posisi di tengah dari kumpulan atau modul rakit tersebut, maka tanaman yang ada pada rakit tersebut (rakit bagian tengah) tidak dapat tumbuh dengan baik, bahkan sering mengalami kerusakan. Kamlasi (2008) menyatakan bahwa hasil percobaan memperlihatkan bahwa tanaman yang ditanam dengan menggunakan metode rakit apung memiliki angka pertumbuhan yang lebih tinggi dibanding dengan metode lepas dasar. Keuntungan yang diperoleh dengan metode rakit apung adalah tanaman bebas dari serangan biota penganggu (bulu babi), pertumbuhan tanaman lebih baik, bisa digunakan pada dasar perairan yang keras, di mana sukar untuk menancapkan pancang, seperti pada metode lepas dasar. Sedangkan kelemahan dari metode ini adalah diperlukan lebih banyak waktu untuk pembuatan konstruksi, selain itu juga biaya kontruksi lebih mahal.

33 21 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari tanggal 31 Oktober 2011 sampai 18 Desember 2011 selama 42 hari masa pemeliharaan di Tambak Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya Karawang, Jawa Barat. Lokasi ini merupakan lokasi usaha budidaya rumput laut jenis Gracilaria verrucosa. Berikut pada gambar 4 ini disajikan peta lokasi penelitian : Gambar 4. Peta lokasi penelitian Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya (BLUPPB) Karawang terletak di Desa Pusakajaya Utara RT 04/ RW 01 Kecamatan Cilebar Kabupaten Karawang Provinsi Jawa Barat dengan luas lahan ± 450 Ha. Pada penelitian ini digunakan tambak budidaya rumput laut seluas 0,5 Ha. 21

34 22 Pemilihan lokasi di tambak didasarkan pada potensi sumberdayanya yang cukup besar dimana secara ekonomis dapat meningkatkan pendapatan dan memberikan nilai tambah bagi BLUPPB dan masyarakat di pesisir pantai, karena dirangsang untuk memanfaatkan lahan produktif untuk kesejahteraan keluarga melalui kegiatan budidaya rumput laut, serta kebijakan pemerintah daerah yang mendukung dalam pengembangan budidaya rumput laut secara berkelanjutan khususnya di tambak, untuk memenuhi permintaan rumput laut yang semakin meningkat. Selain itu budidaya rumput laut di tambak memiliki banyak keuntungan dibanding budidaya di laut. Keuntungan tersebut antara lain adalah tanaman rumput laut agak terlindung dari pengaruh lingkungan seperti ombak, arus laut yang kuat, binatang predator dan mudah mengontrol kualitas airnya. 3.2 Bahan dan Alat Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bibit rumput laut jenis Gracilaria verrucosa yang diperoleh dari hasil budidaya rumput laut di sekitar daerah penelitian. Pemilihan bibit dilakukan dengan penyortiran sehingga didapatkan bibit yang berasal dari rumput laut yang masih muda. Bibit tanaman yang digunakan masing-masing perlakuan memiliki berat awal 50, 100 dan 150 gr. Alat-alat yang diperlukan untuk membantu pelaksanaan penelitian adalah timbangan untuk mengukur bobot basah rumput laut, meteran untuk membedakan masing-masing jarak tanam yang digunakan (20 cm, 30 cm dan 40 cm), tali ris dari bahan nilon (Polyethylene) yang disimpulkan pada tali rafia sebagai tempat untuk mengikat bibit rumput laut, bambu 6 buah dengan panjang ± 3 m sebagai

35 23 tempat untuk mengikat tali ris dan alat-alat pengukur parameter fisika kimia dan biologi seperti tercantum pada Tabel 3. Tabel 3. Parameter kualitas air yang diukur No Parameter Satuan Metoda/alat Spesifikasi Keterangan Fisika 1 Suhu C Termometer Hg Termometer tempel Lapangan 2 Kedalaman cm Papan ukur Lapangan 3 Kecerahan cm Secci disk Lapangan 4 Substrat dasar - Visual Lapangan Kimia 1 Salinitas ppt Refraktometer Atago-Japan (Hand-held Lapangan refractometer) 2 Oksigen terlarut mg/l DO meter Horiba (DO meter QM-51) Lapangan 3 Nitrat mg/l Spektrofotometer Laboratorium 4 Fosfat mg/l Spektrofotometer Laboratorium 5 Derajat keasaman (ph) - ph meter Multi 340i Lapangan Biologi 1 Biota penganggu Ind/ Identifikasi jenis Visual 2 Laju pertumbuhan bobot thallus gr/hari Timbangan (gr) Ketelitian 0.01 gr Lapangan 3.3 Metode Penelitian Penanaman Penelitian ini menggunakan metode penanaman rakit apung. Metode ini adalah cara penanaman yang dilakukan pada permukaan air dan terapung sehingga mengikuti naik turunnya permukaan air. Metode ini diambil berdasarkan dari keputusan Direktorat Jenderal Perikanan (2004) yang menyatakan bahwa metode yang paling baik digunakan yaitu metode rakit apung, selain itu metode ini didasarkan oleh penelitian Soegiarto et al (1999) yang menyatakan bahwa metode rakit apung lebih baik dibandingkan dengan metode lepas dasar. Bibit yang digunakan dibuat sebanyak tiga perlakuan dengan masing-

36 24 masing tiga ulangan yaitu bobot bibit 50 gr terhadap jarak tanam (20 cm, 30 cm dan 40 cm), bobot bibit 100 gr terhadap jarak tanam (20 cm, 30 cm dan 40 cm) dan bobot bibit 150 gr terhadap jarak tanam (20 cm, 30 cm dan 40 cm). Berikut disajikan Gambar 5 rancangan penelitian. Bobot 50 gr Bobot 100 gr Bobot 150 gr Jarak 20 cm Jarak 30 cm Jarak 40 cm Jarak 20 cm Jarak 30 cm Jarak 40 cm Jarak 20 cm Jarak 30 cm Jarak 40 cm Gambar 5. Rancangan penelitian Perhitungan Laju Pertumbuhan Posisi penanaman terhadap garis pantai dapat dilihat di lampiran 1, sedangkan posisi penanaman tanaman uji untuk setiap bobot terhadap jarak tanam disajikan pada Gambar 6 (Penanaman dilakukan sejajar garis pantai dengan luas tambak 0,5 Ha). Jarak tanam 20 cm Jarak tanam 30 cm Jarak tanam 40 cm Keterangan : : Bobot 150 gr : Bobot 100 gr : Bobot 50 gr : Pelampung (botol aqua) : Tali ris : Bambu Gambar 6. Desain rakit apung perlakuan bobot bibit (50 gr, 100 gr dan 150 gr) terhadap jarak tanam (20 cm, 30 cm dan 40 cm) tampak atas Pengamatan Penimbangan bibit dilakukan setelah tanaman masing-masing berumur 7, 14, 21, 28, 35 dan 42 hari (minggu ke-1 sampai minggu ke-6) untuk dipantau

37 25 pertambahan laju pertumbuhannya, dengan cara menimbang bibit secara acak (3 ulangan) dan dicatat pertambahan bobot. Sebelum ditimbang, ikatan tali ris dibuka satu-persatu dan rumput laut yang akan ditimbang direndam dalam air untuk menghindari kekeringan. Pengamatan parameter kualitas air (fisika kimia dan biologi perairan) dilakukan bersamaan dengan pengukuran pertumbuhan bobot basah setiap minggu. Data kandungan agar diperoleh dari sampel rumput laut yang diambil pada hari ke-42 (masa panen) untuk dianalisa di laboratorium fisika kimia perairan BLUPPB. 3.4 Analisa Data Laju Pertumbuhan Analisis untuk menghitung laju pertumbuhan harian Gracilaria verrucosa menggunakan rumus dari Zonneveld et al. (1991) : Keterangan :... (1) t : Laju pertumbuhan (gr/hari) : Bobot rumput laut pada akhir percobaan (gr) : Bobot rumput laut pada awal percobaan (gr) : Lama percobaan (hari) Laju pertumbuhan ini dihitung sebagai parameter utama apakah masingmasing perlakuan berbeda dan apakah berpengaruh nyata terhadap kondisi rumput laut yang ditanam, yang berupa laju pertumbuhannya.

38 Kandungan Agar Kandungan agar diperoleh setelah rumput laut berumur minggu ke-6 (masa panen). Data tersebut dianalisa dan ditentukan kandungan agar yang paling tinggi pada setiap perlakuan dalam waktu 42 hari (6 minggu) masa pemeliharaan. Presentase kandungan agar diukur dengan menggunakan rumus sebagai berikut : B Kandungan agar (%) = B 100%... (2) Analisis Statistika Pengujian data untuk melihat perbedaan laju pertumbuhan berdasarkan bobot bibit dan jarak tanam dengan menggunakan software SAS Dalam penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari dua faktor utama yaitu bobot bibit dan jarak tanam, dimana faktor pertama terdiri dari 3 taraf dan faktor kedua terdiri dari 3 taraf sebagai berikut : 1. Faktor bobot bibit (B), terdiri atas 3 taraf : B1 (50 gr), B2 (100 gr), B3 (150 gr). 2. Faktor jarak tanam (J), terdiri atas 3 taraf : J1 (20 cm), J2 (30 cm), J3 (40 cm). Faktor pertama dan kedua yang masing-masing terdiri dari 3 taraf setelah dikombinasikan maka tampilannya sebagai berikut : B1J1 B1J2 B1J3 B2J1 B2J2 B3J3 B3J1 B3J2 B3J3

39 27 Hipotesis ini untuk menguji hipotesis adanya pengaruh bobot bibit dan jarak tanam terhadap pertumbuhan bobot basah rumput laut. Adapun model yang digunakan adalah : µ (3) dimana : = Laju pertumbuhan rumput laut ke-k yang dihasilkan dari bobot bibit ke-i dan jarak tanam ke-j µ = Pengaruh rata-rata = Pengaruh bobot bibit ke-i = Pengaruh jarak tanam ke-j = Pengaruh interaksi bobot bibit ke-i dan jarak tanam ke-j = Pengaruh sisa Nilai parameter kualitas air dibuat grafik time series plot pada Ms.Excel dan Minitab 14.

40 28 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Kualitas Air Faktor lingkungan sangat mempengaruhi kehidupan rumput laut. Oleh karena itu gambaran tentang biofisik perairan penting untuk diketahui. Faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut adalah faktor fisika, kima dan biologi. Hasil pengukuran dan pemantauan kualitas air di lokasi penelitian dicirikan pada Tabel 4. Tabel 4. Rata-rata parameter kualitas air di lokasi penelitian perairan tambak BLUPPB No Parameter Satuan Nilai/Jenis Ideal Sumber pustaka 1 Suhu C Zatnika (2009) 2 Salinitas psu Zatnika (2009) 3 Derajat keasamaan (ph) - 7, Zatnika (2009) 4 Oksigen terlarut mg/l 5,5-6,5 > 4 Sulistijo (1996) 5 Nitrat mg/l 0,15-0,20 0,9-3,5 Andarias (1991) 6 Fosfat mg/l 0,15-0,25 0,09-1,80 Andarias (1991) 7 Kedalaman cm Zatnika (2009) 8 Kecerahan cm Zatnika (2009) Suhu Suhu mempunyai peranan yang penting bagi kehidupan dan pertumbuhan rumput laut. Berikut disajikan Gambar 7 kondisi suhu perairan 29 Suhu ( C) Mingguke Suhu Gambar 7. Suhu perairan pada lokasi penelitian 28

41 29 Suhu air selama penelitian relatif stabil dari minggu ke-1 sampai minggu ke-6, yaitu antara C dengan rata-rata suhu perairan sebesar 27±0,82 C. Suhu tertinggi berdasarkan waktu pengamatan terjadi pada minggu ke-1 yaitu 28 C. Suhu terendah terjadi pada minggu ke-3 dan ke-6 yaitu 26 C. Namun kisaran suhu selama penelitian masih cukup ideal untuk pertumbuhan rumput laut. Hal ini didukung oleh penelitian Zatnika (2009) bahwa kisaran suhu perairan yang baik untuk rumput laut Gracilaria verrucosa adalah C. Selain itu Afrianto dan Liviawaty (1993) menyatakan bahwa rumput laut tumbuh dan berkembang dengan baik pada perairan yang memiliki kisaran suhu C Salinitas Salinitas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut. Berikut disajikan Gambar 8 kondisi salinitas perairan Salinitas (ppt) Minggu ke- Salinitas Gambar 8. Salinitas perairan pada lokasi penelitian Selama penelitian terlihat salinitas berkisar antara psu, salinitas tertinggi terjadi pada minggu ke-3 ke-5 dan ke-6 yaitu 34 psu dan salinitas terendah terjadi pada minggu ke-4 yaitu 31 psu. Kisaran salinitas yang terukur selama penelitian masih dalam kisaran yang dapat ditolerir sehingga mampu mendukung pertumbuhan rumput laut. Hal ini sesuai pendapat Zatnika (2009)

42 30 yang menyatakan bahwa salinitas perairan untuk budidaya rumput laut jenis Gracilaria verrucosa berkisar antara psu. Kadi (2006) bahwa kisaran pertumbuhan rumput laut dapat berada pada salinitas perairan psu Derajat Keasaman (ph) Derajat keasaman (ph) merupakan kondisi kimia air yang berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan rumput laut. Menurut Soesono (1989), bahwa pengaruh ph bagi organisme sangat besar dan penting. Kisaran ph yang kurang dari 6,5 akan menekan laju pertumbuhan bahkan tingkat keasamannya dapat mematikan dan tidak ada laju reproduksi, sedangkan kisaran ph antara 6,5-9 merupakan kisaran optimal dalam suatu perairan. Berikut disajikan Gambar 9 kondisi ph perairan 8.5 ph Minggu keph Gambar 9. ph perairan pada lokasi penelitian Nilai ph selama penelitian berkisar antara 7,5-8. Niai ph tertinggi berdasarkan waktu pengamatan terjadi pada minggu ke-4 dan ke-5 yaitu 8,0. Nilai ph terendah terjadi pada minggu ke-2 dan ke-3 yaitu 7,5. Kondisi ph ini relatif stabil dan berada pada kisaran normal dalam mendukung kehidupan dan pertumbuhan rumput laut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Zatnika (2009),

43 31 bahwa hampir seluruh alga mempunyai kisaran daya penyesuaian terhadap ph antara Oksigen Terlarut (DO) Oksigen dihasilkan dari rumput laut dan menjadi kelanjutan kehidupan biota perairan karena dibutuhkan oleh hewan dan bakteri untuk respirasi. Fitoplankton juga membantu menambah jumlah kadar oksigen terlarut pada lapisan permukaan di waktu siang hari sebagai hasil dari fotosintesis. Berikut disajikan Gambar 10 kondisi oksigen terlarut perairan 7 DO (mg/l) Minggu ke- DO Gambar 10. Oksigen terlarut pada lokasi penelitian Gambar 10 menunjukkan kisaran nilai DO pada lokasi penelitian yaitu antara 5,5-6,5 mg/l dengan nilai DO rata-rata pada daerah penelitian yaitu 5,86±0,3780 mg/l. Diduga yang menyebabkan tingginya nilai DO pada minggu ke-6 dikarenakan hasil fotosintesis. Hal ini didukung oleh Effendi (2003) yang menyatakan bahwa sumber oksigen terlarut dapat berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer (35%) dan aktifitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton. Kisaran oksigen terlarut yang diperoleh selama penelitian masih mendukung pertumbuhan rumput laut. Menurut Zatnika (2009) kondisi oksigen

44 32 terlarut yang optimal dibutuhkan oleh rumput Gracilaria verrucosa berkisar antara 3-8 mg/l Nitrat Nitrat merupakan salah satu unsur yang dibutuhkan untuk pertumbuhan rumput laut. Nilai nitrat selama penelitian berkisar antara 0,15-0,20 mg/l dengan nilai rata-rata 0,15±0,05 mg/l. Menurut Simanjutak (2006), kandungan nitrogen yang tinggi disuatu perairan dapat disebabkan oleh limbah yang berasal dari domestik, pertanian, peternakan dan industri. Konsentrasi nitrat yang diperoleh selama penelitian cukup stabil hal ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan perairan lokasi penelitian cukup baik dimana aktifitas biologis organisme perairan cukup tinggi, selain itu dapat mendukung pertumbuhan rumput laut. Hal ini sesuai dengan pendapat Andarias (1992) bahwa kisaran nitrat yang layak untuk pertumbuhan rumput laut adalah 0,9-3,5 mg/l Fosfat Fosfat diperlukan rumput laut untuk pertumbuhannya. Kandungan fosfat dilokasi penelitian berkisar antara 0,15-0,25 mg/l dengan rata-rata 0,17±0,03 mg/l. Kandungan fosfat yang terukur selama penelitian masih dalam kisaran yang dapat ditolerir sehingga dapat mendukung pertumbuhan rumput laut. Hal ini sesuai dengan pendapat Andarias (1992) menyatakan bahwa kisaran fosfat yang baik untuk pertumbuhan rumput laut adalah 0,09-1,80 mg/l. Tinggi rendahnya nilai fosfat di lokasi penelitian dapat disebabkan karena pengadukan massa air yang mengangkat kandungan fosfat yang terdapat di dasar

45 33 perairan ke permukaan. Hal ini sesuai pendapat Simanjutak (2006) bahwa tingginya kadar fosfat disebabkan oleh arus dan pengadukan massa air yang mengakibatkan terangkatnya kandungan fosfat yang tinggi dari dasar ke lapisan permukaan Kedalaman dan Kecerahan Kedalaman perairan tambak di lokasi penelitian berkisar antara cm, kedalaman perairan merupakan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut. Hal ini dinyatakan oleh Zatnika (2009) yang menyatakan bahwa kedalaman yang sesuai untuk pertumbuhan Gracilaria verrucosa berkisar antara cm. Kecerahan perairan merupakan salah satu faktor yang penting untuk pertumbuhan rumput laut, sebab rendahnya kecerahan mengakibatkan cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan berkurang. Itensitas cahaya matahari yang diterima secara sempurna oleh thallus merupakan faktor utama dalam proses fotosintesis. Dalam proses fotosintesis rumput laut sangat membutuhkan cahaya dan apabila aktifitas fotosintesisnya terganggu akan mengakibatkan pertumbuhan rumput laut yang tidak optimal, sebagai contoh adanya cahaya matahari yang berlebihan mengakibatkan tanaman menjadi putih, karena hilangnya protein yang dibutuhkan untuk hidup. Hasil pengukuran pada lokasi penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kecerahan perairan di lokasi penelitian berkisar antara 50-55%. Tingkat kecerahan ini termasuk kriteria baik dan sangat ideal untuk budidaya rumput laut Gracilaria verrucosa di tambak, hal ini ditandai dengan pernyataan Zatnika (2009) yang menyatakan bahwa persyaratan lokasi budidaya Gracilaria, tidak

46 34 keruh (sinar matahari menembus sampai dasar tambak) dengan kata lain tingkat kecerahan disesuaikan dengan kedalaman tambak Substrat Dasar Secara visual dasar perairan (tambak) di lokasi penelitian memiliki jenis substrat lumpur berpasir. Menurut Zatnika (2009) keadaan dasar tambak untuk membudidayakan rumput laut di perairan (tambak) sebaiknya adalah tanah lumpur berpasir karena tidak mudah menyerap air dan kaya bahan organik (zat hara) sehingga mempercepat pertumbuhan tanaman. Sehingga substrat yang ada di lokasi penelitian dapat dikategorikan baik untuk melakukan proses pembudidayaan dan baik untuk menunjang pertumbuhan rumput laut Organisme Penempel Rumput laut yang dibudidayakan tidak terlepas dari pengaruh predator, pencemaran dan penyakit. Fungsi ekologis dari rumput laut sebagai pendukung kehidupan dilaut yaitu sebagai makanan dan pelindung organisme yang selalu mempengaruhi pembentukan spora rumput laut. Organisme ini pada awalnya hanya memakan tumbuhan penempel disekitar rumput laut tetapi kemudian mulai memakan rumput laut itu sendiri. Biota pengganggu budidaya rumput laut umumnya merupakan organisme laut yang memangsa tanaman rumput laut. Organisme ini hidup dengan rumput laut sebagai makanan utamanya atau sebagian masa hidupnya memakan rumput laut. Organisme pengganggu ini dapat menimbulkan kerusakan secara fisik pada tanaman budidaya, seperti terkelupas, patah atau habis dimakan.

47 35 Selama penelitian terlihat pada tanaman uji diperairan (tambak) ditemukan berbagai jenis organime penempel seperti lumut dari jenis Enteromorpha intestinalis, Chaetomorpha sp. dan Ectocarpus serta kerang dari jenis Limnea glabra yang menyerang tanaman uji (Gracilaria verrucosa) dengan cara melekat dan membelit sehingga dapat menghambat pertumbuhan tanaman uji (Gracilaria verrucosa). Berdasarkan pengamatan semakin lama waktu tanam maka jumlah dari organisme tersebut akan semakin banyak pula. Hal ini ditandai dengan semakin menurunya laju pertumbuhan Gracilaria verrucosa, sehingga dapat mengganggu penyerapan nutrisi dan fotosintesis untuk pertumbuhan. Namun untuk mencegah banyaknya organisme penempel tersebut dengan memasukkan ikan bandeng (Chanos-chanos) yang dimana ikan ini berfungsi untuk memakan lumut yang mengganggu tanaman uji. Namun kadangkala ikan bandeng yang dimasukkan kedalam perairan (tambak) sering memakan tanaman uji (Gracilaria verrucosa) apabila lumut yang menyerang tanaman uji sudah habis. Selain itu untuk mencegah banyaknya organisme penempel ini dapat dilakukan dengan mencabut langsung atau membersihkan tali-tali pengikat tanaman uji setiap minggunya. 4.2 Pertumbuhan Rumput Laut Perlakuan Bobot Bibit 50 gr, 100 gr dan 150 gr terhadap Jarak Tanam 20 cm, 30 cm dan 40 cm. Perlakuan bobot bibit terhadap jarak tanam yang berbeda selama 6 minggu pengamatan umumnya menunjukkan peningkatan setiap minggunya dan mencapai puncak pertumbuhan bobot basah rata-rata tertinggi pada minggu ke-6. Bobot

48 36 basah masing-masing perlakuan pada setiap minggu pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 2. Kecenderungan pola pertumbuhan bobot basah ini terjadi pada rumput laut yang mempunyai bobot awal 50 gr, 100 gr dan 150 gr, namun pada rumput laut dengan jarak tanam 40 cm memperlihatkan puncak bobot yang lebih tinggi dibandingkan jarak tanam 20 cm dan 30 cm. Rumput laut jarak tanam 40 cm pertumbuhannya cenderung lebih baik dari pada jarak tanam 30 cm dan 20 cm, sedangkan jarak tanam 30 cm cenderung lebih baik dari pada jarak tanam 20 cm. Berikut masing-masing disajikan Gambar 11, 12 dan 13 pertumbuhan Gracilaria verrucosa Bobot (gr) Minggu ke Jarak 20 cm Bobot (gr) Minggu ke Jarak 30 cm Minggu ke Jarak 40 cm Gambar 11. Pertumbuhan rata-rata bobot basah (gr) Gracilaria verrucosa dengan perlakuan bobot 50 gr terhadap jarak tanam yang berbeda Bobot (gr) Gracilaria verrucosa dengan bobot bibit 50 gr terhadap jarak tanam 20 cm, 30 cm dan 40 cm menunjukkan peningkatan pertumbuhan bobot basah rata-

49 37 rata yang hampir sama selama 6 minggu pengamatan. Perbedaannya terjadi pada minggu ke-4, terlihat jarak tanam 40 cm dan 30 cm mengalami peningkatan yang lebih baik dibandingkan jarak tanam 20 cm. Adapun bobot basah tertinggi terjadi pada minggu ke-6 yaitu jarak tanam 40 cm sebesar 195±10 gr, jarak tanam 30 cm sebesar 178,3±12,58 gr dan jarak tanam 20 cm sebesar 160±8,66 gr. Bobot (gr) Minggu ke Jarak 20 cm 300 Bobot (gr) Gambar 12. Pertumbuhan rata-rata bobot basah (gr) Gracilaria verrucosa dengan perlakuan bobot 100 gr terhadap jarak tanam yang berbeda Bobot (gr) Minggu ke Jarak 40 cm Minggu ke Jarak 30 cm Gracilaria verrucosa dengan bobot bibit 100 gr terhadap jarak tanam 20 cm, 30 cm dan 40 cm menunjukkan peningkatan pertumbuhan bobot basah ratarata yang hampir sama selama 6 minggu pengamatan. Perbedaannya terjadi pada minggu ke-4, terlihat jarak tanam 40 cm mengalami peningkatan yang lebih baik dibandingkan jarak tanam 20 cm dan 30 cm. Adapun bobot basah tertinggi terjadi pada minggu ke-6 yaitu jarak tanam 40 cm sebesar 278,33±10,41 gr, jarak tanam 30 cm sebesar 276,67±5,77 gr dan jarak tanam 20 cm sebesar 271,67±5,77 gr.

50 38 Bobot (gr) Minggu ke Jarak 20 cm Bobot (gr) Gambar 13. Pertumbuhan rata-rata bobot basah (gr) Gracilaria verrucosa dengan perlakuan bobot 150 gr terhadap jarak tanam yang berbeda Bobot (gr) Minggu ke Jarak 40 cm Minggu ke Jarak 30 cm Gracilaria verrucosa dengan bobot bibit 150 gr terhadap jarak tanam 20 cm, 30 cm dan 40 cm menunjukkan peningkatan pertumbuhan bobot basah ratarata yang hampir sama selama 6 minggu pengamatan. Perbedaannya tidak terlalu signifikan, namun terlihat jarak tanam 40 cm mengalami peningkatan yang lebih baik dibandingkan jarak tanam 20 cm. Adapun bobot basah tertinggi terjadi pada minggu ke-6 yaitu jarak tanam 40 cm sebesar 340±10 gr, jarak tanam 30 cm sebesar 336,67±11,55 gr dan jarak tanam 20 cm sebesar 326,67±2,89 gr. 4.3 Laju Pertumbuhan Harian Rumput Laut Perlakuan Bobot Bibit terhadap Jarak Tanam Laju pertumbuhan (gr/hari) rumput laut Gracilaria verrucosa pada perlakuan bobot bibit dan jarak tanam dapat dilihat pada Tabel 5. Terlihat bahwa

51 39 pada bobot 150 gr memiliki laju pertumbuhan rata-rata sebesar 4,39±0,16 gr/hari lebih tinggi bila dibandingkan dengan bobot bibit 100 gr dan 50 gr yang memiliki laju pertumbuhan rata-rata sebesar 4,27±0,11 gr/hari dan 3,04±0,42 gr/hari (Lampiran 3). Sedangkan pada jarak tanam 40 cm memiliki laju pertumbuhan rata-rata sebesar 4,07±0,56 gr/hari lebih tinggi bila dibandingkan dengan jarak tanam 30 cm dan 20 cm yang memiliki laju pertumbuhan rata-rata sebesar 3,90±0,74 gr/hari dan 3,64±0,87 gr/hari (Lampiran 3). Tabel 5. Laju pertumbuhan (gr/hari) Gracilaria verrucosa pada perlakuan bobot dan jarak tanam Hari ke- Perlakuan B50J20 B50J30 B50J40 B100J20 B100J30 B100J40 B150J20 B150J30 B150J ,48 5,24 4,29 5 5,24 6,43 6,67 7,62* 14 2,62 2,38 2,86 7,14 7,14 7,38 9,52 10,24* 9, ,05 4,76 5,71 5,71 6,19 6,90* 4,05 4,05 4, ,14 3,81* 2,86 0,71 0,95 2,38 1,19 0,71 0, ,19 0,95 2,14 4,05* 3,10 1,90 3,10 3,81 2, ,71 0,95 1,90 2,62 2,86* 1,67 0,95 1,19 1,43 Jumlah 15,71 18,33 20,71 24,52 25,24 25,48 25,24 26,67 27,14 Rataan 2,62 3,06 3,45 4,09 4,21 4,25 4,21 4,44 4,52 Keterangan : J = Jarak (cm) B = Bobot (gr) * = Laju pertumbuhan tertinggi tiap minggu Cetak tebal menunjukkan laju pertumbuhan harian terbesar dari masing-masing perlakuan. Keseluruhan bobot dan jarak tanam Pada hari ke-7 terlihat bahwa pada perlakuan jarak tanam 40 cm dengan bobot 150 gr memiliki laju pertumbuhan tertinggi (7,62 gr/hari) dan pada perlakuan jarak tanam 20 cm dengan bobot 100 gr memiliki laju pertumbuhan terendah (4,29 gr/hari). Pada hari ke-14 terlihat bahwa pada perlakuan jarak tanam 30 cm dengan bobot 150 gr memiliki laju

52 40 pertumbuhan tertinggi (10,24 gr/hari) dan pada perlakuan jarak tanam 30 cm dengan bobot 50 gr memiliki laju pertumbuhan terendah (2,38 gr/hari). Pada hari ke-21 terlihat bahwa pada perlakuan jarak tanam 40 cm dengan bobot 100 gr memiliki laju pertumbuhan tertinggi (6,90 gr/hari) dan pada perlakuan jarak tanam 20 cm dan 30 cm dengan bobot 50 gr dan 150 gr memiliki laju pertumbuhan terendah (4,05 gr/hari). Pada hari ke-28 terlihat bahwa pada perlakuan jarak tanam 30 cm dengan bobot 50 gr memiliki laju pertumbuhan tertinggi (3,81 gr/hari) dan pada perlakuan jarak tanam 20 cm dan 30 cm dengan bobot 100 gr dan 150 gr memiliki laju pertumbuhan terendah (0,71 gr/hari). Pada hari ke-35 terlihat bahwa pada perlakuan jarak tanam 20 cm dengan bobot 100 gr memiliki laju pertumbuhan tertinggi (4,05 gr/hari) dan pada perlakuan jarak tanam 30 cm dengan bobot 50 gr memiliki laju pertumbuhan terendah (0,95 gr/hari). Pada hari ke-42 terlihat bahwa pada perlakuan jarak tanam 30 cm dengan bobot 100 gr memiliki laju pertumbuhan tertinggi (2,86 gr/hari) dan pada perlakuan jarak tanam 20 cm dengan bobot 50 gr memiliki laju pertumbuhan terendah (0,71 gr/hari). Berbedanya laju pertumbuhan pada masing-masing perlakuan diduga karena adanya persaingan antar perlakuan (tanaman uji) dalam memanfaatkan nutrien dan unsur hara. Hal ini dapat disebabkan jarak yang tidak memadai pada masing-masing perlakuan (hanya sekitar 20 cm sampai 40 cm). Laju pertumbuhan (gr/hari) dibagi menjadi 3 fase yaitu fase I (masa tanam 7-14 hari), fase II (masa tanam hari) dan fase III (masa tanam hari). Perlakuan ini dilakukan untuk membedakan laju pertumbuhan harian pada awal, tengah dan akhir pengamatan dari laju pertumbuhan Gracilaria verrucosa yang

53 41 diuji sehingga dapat terlihat jelas pada hari ke berapa suatu rumput laut tumbuh subur baik dengan perlakuan bobot bibit maupun jarak tanam Laju pertumbuhan (gr/hari) Hari ke Jarak 20 cm Laju pertumbuhan (gr/hari) Hari ke Jarak 30 cm Laju pertumbuhan (gr/hari) Hari ke Jarak 40 cm Gambar 14. Laju pertumbuhan (gr/hari) rumput laut Gracilaria verrucosa perlakuan bobot 50 gr terhadap jarak tanam yang berbeda Gambar 14 menunjukkan bahwa pada perlakuan bobot bibit 50 gr terhadap jarak tanam yang berbeda secara umum terlihat bahwa jarak tanam 40 cm (3,45 gr/hari) memiliki laju pertumbuhan rata-rata tertinggi bila dibandingkan dengan jarak tanam 30 cm (3,06 gr/hari) dan jarak tanam 20 cm (2,62 gr/hari). Bobot bibit 50 gr dengan perlakuan jarak tanam yang berbeda-beda terlihat bahwa pada fase I (hari ke-7) jarak tanam 20 cm dan 30 cm memiliki laju pertumbuhan harian tertinggi. Sedangkan pada jarak tanam 40 cm laju pertumbuhannya tertinggi ketika memasuki fase II (hari ke-21). Pertumbuhan tertinggi yang terjadi pada fase ini diduga karena Gracilaria verrucosa cepat beradaptasi dengan perairan, unsur hara masih cukup banyak sehingga dapat

54 42 menunjang laju pertumbuhan rumput laut yang dibudidayakan. Jika dikaitkan dengan parameter kualitas air terlihat bahwa pada fase ini suhu, salinitas, DO, nitrat, fosfat dan ph masih pada kisaran yang optimal untuk pertumbuhan rumput laut. Fase III (hari ke-42) terlihat pada jarak tanam 20 cm, 30 cm dan 40 cm laju pertumbuhannya semakin menurun. Penurunan laju pertumbuhan yang terjadi pada fase ini diduga karena rumput laut telah mencapai waktu panen, yang ditandai dengan terjadinya persaingan antar tanaman uji dalam pemanfaatan ruang yang terbatas. Dengan demikian percabangan dan pertumbuhan tunas baru menjadi terhalang. Selain itu adanya beberapa organisme penempel yang menyerang rumput laut yang muncul setelah hari ke-28. Organisme penempel tersebut adalah Enteromorpha intestinalis, Chaetomorpha sp. dan Ectocarpus serta jenis kerang Limnea glabra Muller yang biasanya dapat menghambat pertumbuhan rumput laut. Selain itu ditemukan juga ikan Herbivora yaitu ikan bandeng (Chanos-chanos) yang memakan tanaman uji dan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan rumput laut yang dibudidayakan. Jika dikaitkan dengan parameter kualitas air terlihat terjadinya peningkatan DO, salinitas, nitrat dan fosfat serta turunnya suhu dan ph. Laju pertumbuhan (gr/hari) Laju pertumbuhan (gr/hari) Hari ke Jarak 20 cm Hari ke Jarak 30 cm

55 43 Laju pertumbuhan (gr/hari) Hari ke Jarak 40 cm Gambar 15. Laju pertumbuhan (gr/hari) rumput laut Gracilaria verrucosa perlakuan bobot 100 gr terhadap jarak tanam yang berbeda Gambar 15 menunjukkan bahwa pada perlakuan bobot bibit 100 gr terhadap jarak tanam yang berbeda secara umum terlihat bahwa jarak tanam 40 cm (4,25 gr/hari) memiliki laju pertumbuhan rata-rata tertinggi bila dibandingkan dengan jarak tanam 30 cm (4,21 gr/hari) dan jarak tanam 20 cm (4,09 gr/hari). Bobot bibit 100 gr dengan perlakuan jarak tanam yang berbeda-beda terlihat bahwa pada fase I (hari ke-14) jarak tanam 20 cm, 30 cm dan 40 cm memiliki laju pertumbuhan harian tertinggi. Pertumbuhan tertinggi yang terjadi pada fase ini diduga karena Gracilaria verrucosa cepat beradaptasi dengan perairan, unsur hara masih cukup banyak sehingga dapat menunjang laju pertumbuhan rumput laut yang dibudidayakan. Jika dikaitkan dengan parameter lingkungan terlihat bahwa pada fase ini terjadi peningkatan suhu, salinitas dan ph pada kisaran optimal untuk pertumbuhan rumput laut. Fase II (hari ke-28) terlihat pada jarak tanam 20 cm dan 30 cm laju pertumbuhannya sangat rendah. Sedangkan pada jarak tanam 40 cm laju pertumbuhannya sangat rendah ketika memasuki fase III (hari ke-42). Rendahnya laju pertumbuhan yang terjadi pada fase ini diduga karena terjadinya persaingan antar tanaman uji dalam pemanfaatan ruang yang terbatas, sehingga percabangan

56 44 dan pertumbuhan tunas baru yang ditandai dengan banyaknya cabang-cabang menjadi terhalang. Selain itu adanya beberapa tanaman penempel yang menyerang rumput laut setelah hari ke-35 yaitu dari jenis Enteromorpha intestinalis, Chaetomorpha sp. dan Ectocarpus serta kerang dari jenis Limnea glabra Muller yang biasanya menyerang tanaman rumput laut dengan cara melekat dan membelit sehingga dapat menghambat pertumbuhan rumput laut. Serta ditemukan juga ikan Herbivora yaitu ikan bandeng (Chanos-chanos) yang memakan tanaman uji dan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan rumput laut yang dibudidayakan. Jika dikaitkan dengan parameter kualitas air terlihat terjadinya peningkatan DO, nitrat dan fosfat serta turunnya suhu dan ph. Laju pertumbuhan (gr/hari) Hari ke Jarak 20 cm Laju pertumbuhan (gr/hari) Hari ke Jarak 30 cm Laju pertumbuhan (gr/hari) Hari ke Jarak 40 cm Gambar 16. Laju pertumbuhan (gr/hari) rumput laut Gracilaria verrucosa perlakuan bobot 150 gr terhadap jarak tanam yang berbeda Gambar 16 menunjukkan bahwa pada perlakuan bobot bibit 150 gr terhadap jarak tanam yang berbeda secara umum terlihat bahwa jarak tanam 40

57 45 cm (4,52 gr/hari) memiliki laju pertumbuhan rata-rata tertinggi bila dibandingkan dengan jarak tanam 30 cm (4,44 gr/hari) dan jarak tanam 20 cm (4,21 gr/hari). Bobot bibit 150 gr dengan perlakuan jarak tanam yang berbeda-beda terlihat bahwa pada fase I (hari ke-14) jarak tanam 20 cm, 30 cm dan 40 cm memiliki laju pertumbuhan harian tertinggi. Pertumbuhan tertinggi yang terjadi pada fase ini diduga karena Gracilaria verrucosa cepat beradaptasi dengan perairan, unsur hara masih cukup banyak sehingga dapat menunjang laju pertumbuhan rumput laut yang dibudidayakan. Jika dikaitkan dengan parameter kualitas air terlihat bahwa pada fase ini suhu, salinitas, DO, nitrat, fosfat dan ph masih pada kisaran yang optimal untuk pertumbuhan rumput laut. Fase II (hari ke-28) terlihat pada jarak tanam 30 cm dan 40 cm laju pertumbuhannya sangat rendah. Sedangkan jarak tanam 20 cm laju pertumbuhannya sangat rendah ketika memasuki fase III (hari ke-42). Rendahnya laju pertumbuhan yang terjadi pada fase ini diduga karena terjadinya persaingan antar tanaman uji dalam pemanfaatan ruang yang terbatas, sehingga percabangan dan pertumbuhan tunas baru yang ditandai dengan banyaknya cabang-cabang menjadi terhalang. Selain itu adanya beberapa tanaman penempel yang menyerang rumput laut setelah hari ke-35 yaitu dari jenis Enteromorpha intestinalis, Chaetomorpha sp. dan Ectocarpus serta kerang dari jenis Limnea glabra Muller yang biasanya menyerang tanaman rumput laut dengan cara melekat dan membelit sehingga dapat menghambat pertumbuhan rumput laut. Serta ditemukan juga ikan Herbivora yaitu ikan bandeng (Chanos-chanos) yang memakan tanaman uji dan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan rumput laut

58 46 yang dibudidayakan. Jika dikaitkan dengan parameter kualitas air terlihat terjadinya peningkatan DO, nitrat dan fosfat serta turunnya suhu dan ph. 4.4 Kandungan Agar Rumput Laut Kandungan agar dari rumput laut Gracilaria verrucosa diukur pada minggu ke-6 (hari ke-42) saat rumput laut siap untuk di panen. Kandungan agar rumput laut yang ditanam dipengaruhi oleh perlakuan yang berbeda yakni bobot bibit dan jarak tanam. Faktor lain yang berpegaruh terhadap kandungan agar adalah metode yang digunakan saat proses ekstraksi dan kualitas yang dihasilkan rumput laut selama budidaya. Alur proses ekstraksi dapat dilihat di lampiran 4. Hasil pengukuran kandungan agar pada rumput laut dari masing-masing perlakuan yang dicobakan terlihat pada gambar 17 (dan tabel data dicantumkan pada Lampiran 5) adalah sebagai berikut 16,20 Kandungan Agar (%) 16,00 15,80 15,60 15,40 15,20 15,00 14,80 Kandungan agar 14,60 20 cm 30 cm 40 cm 20 cm 30 cm 40 cm 20 cm 30 cm 40 cm 50 gram 100 gram 150 gram Gambar 17. Kandungan agar Gracilaria verrucosa pada perlakuan bobot bibit terhadap jarak tanam Kandungan agar pada semua bobot dengan perlakuan jarak tanam (20 cm, 30 cm dan 40 cm) menunjukkan bahwa kandungan agar paling tinggi secara berurutan terdapat pada bobot 50 gr (40 cm sebesar 16,08 %, 30 cm sebesar 15,98 % dan 20 cm sebesar 15,80 %) pada bobot 100 gr (40 cm sebesar 15,56 %, 30 cm

59 47 sebesar 15,45 % dan 20 cm sebesar 15,38 %) dan pada bobot 150 gr (40 cm sebesar 15,49 %, 30 cm sebesar 15,23 % dan 20 cm sebesar 15,16 %). Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan bobot dan jarak tanam dari penanaman bibit akan menghasilkan jumlah dan kandungan agar yang berbeda pula. Disamping itu jarak tanam dan bobot awal thallus memiliki pengaruh terhadap persaingan antar thallus dalam suatu pertumbuhan pada tanaman, baik dalam segi pemanfaatan ruang gerak, sinar matahari maupun zat-zat hara yang diperlukan dalam proses fotosintesa dan penyerapan unsur hara. Terlihat dari Gambar 17 kandungan agar bobot 100 gr dan 150 gr lebih kecil bila dibandingkan dengan bobot 50 gr, hal ini dikarenakan bobot awal thallus rumput laut mempengaruhi dalam penyerapan nutrien sebagai pembentuk agar. Semakin besar bobot awal thallus rumput laut maka konsentrasi penyerapan nutrien akan semakin banyak dan menyebar ke berbagai thallus untuk melakukan proses reproduksi. Sedangkan apabila semakin kecil bobot awal thallus rumput laut maka konsentrasi penyerapan nutrien untuk proses reproduksi akan semakin sedikit dan tersimpan sebagai cadangan makanan, sehingga menyebabkan kualitas kandungan agar yang dihasilkan cukup baik. Menurut beberapa ahli bahwa tinggi rendahnya kandungan agar yang terdapat pada rumput laut dipengaruhi oleh umur tanaman. Seperti yang dinyatakan oleh Rigney (in Chapman 1980) bahwa umur tanaman sangat berpengaruh terhadap kandungan agar dan komposisi lainnya. Sedangkan Pamungkas (1987) tanaman yang berumur satu setengah bulan mempunyai kandungan agar yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanaman yang berumur kurang atau lebih dari satu setengah bulan.

60 Pengaruh dan Penentuan Perlakuan yang Baik untuk Rumput Laut Gracilaria verrucosa Tabel 5 menunjukkan bahwa perlakuan bobot bibit yang berbeda memberikan pengaruh yang nyata (berbeda secara signifikan) terhadap pertumbuhan bobot basah rumput laut baik pada bobot 50 gr, 100 gr dan 150 gr. Namun untuk bobot 100 gr dan 150 gr tidak ditemukan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan rumput laut (tidak bebeda secara signifikan), sedangkan jarak tanam yang berbeda juga memberikan pengaruh yang nyata (berbeda secara signifikan) terhadap pertumbuhan bobot basah rumput laut baik pada jarak tanam 20 cm, 30 cm dan 40 cm. Namun untuk jarak tanam 30 cm dan 40 cm tidak ditemukan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan rumput laut (tidak berbeda secara signifikan). Oleh karena itu untuk penentuan bibit perlu diperhatikan asal bobot dan jarak tanamnya dari rumput laut itu sendiri. Sehingga dapat diasumsikan bahwa pengunaan perlakuan yang berbeda terhadap bobot dan jarak tanam akan berdampak pada pertumbuhan rumput laut. Berikut tabel 6 pertumbuhan bobot basah rumput laut. Tabel 6. Pertumbuhan bobot basah rata-rata (gr) rumput laut Gracilaria verrucosa pada perlakuan bobot dan jarak tanam (selama 6 minggu) Bobot 50 gr 100 gr 150 gr Perlakuan 20 cm 30 cm 40 cm 20 cm 30 cm 40 cm 20 cm 30 cm 40 cm Jarak 261,90 305,56 345,24 408,73 420,63 424,6 420,63 444,44 452,38 Selisih 211,90 255,56 295,24 308,73 320,63 324,60 270,63 294,44 302,38 (gr) Jarak 20 cm 30 cm 40 cm Perlakuan 50 gr 100 gr 150 gr 50 gr 100 gr 150 gr 50 gr 100 gr 150 gr Bobot 261,90 408,73 420,63 305,56 420,63 444,44 345,24 424,6 452,38 Keterangan : Huruf yang berbeda pada baris yang sama (perlakuan) menunjukkan adanya perbedaan antar perlakuan (P<0,05) berdasarkan uji Duncan Multiple Range.

61 49 Jadi secara keseluruhan, perlakuan bobot bibit dan jarak tanam berpengaruh terhadap pertumbuhan rumput laut hal ini ditandai dengan adanya perlakuan yang tidak sama (huruf a dan b). Pada tabel 5 juga dapat ditentukan mengenai perlakuan antara bobot bibit dan jarak tanam yang cocok untuk digunakan sebagai bibit awal dalam pembudidayaan rumput laut Gracilaria verrucosa dengan melihat selisih terbesar. Semakin besar selisihnya maka perlakuan tersebut cocok digunakan untuk bibit awal. Adapun untuk perlakuan bobot awal dikategorikan menjadi tiga yaitu perlakuan sangat baik, baik dan tidak baik. Adapun untuk perlakuan yang termasuk kategori : 1. Sangat baik yaitu jarak 40;150 gr, jarak 40;100 gr dan jarak 40;50 gr. 2. Baik yaitu jarak 30;150 gr, jarak 30;100 gr dan jarak 30;50 gr. 3. Tidak baik yaitu jarak 20;150 gr, jarak 20;100 gr dan jarak 20;50 gr. 4.6 Pengaruh Perbedaan Bobot dan Jarak tanam terhadap Lama Hidup Gracilaria verrucosa Laju pertumbuhan rumput laut yang terdiri dari dua faktor yaitu bobot bibit dan jarak tanam yang masing-masing memiliki tiga perlakuan, sehingga untuk mengetahui pengaruh dari kedua faktor tersebut terhadap lama hidup dari rumput laut Gracilaria verrucosa digunakan Analisis Desain Faktorial. Analisis desain faktorial dari bobot bibit dan jarak tanam dapat dilihat pada Lampiran 6. Hasil uji pada hari ke-7, 14, 28, 35 dan 42 hasil uji menunjukkan bahwa seluruh perlakuan jarak tanam (20 cm, 30 cm dan 40 cm) tidak berpengaruh secara nyata terhadap lama hidup dari rumput laut tersebut dengan kata lain tidak ada perbedaan yang signifikan antara jarak tanam terhadap lama hidup dari

62 50 rumput laut (Lampiran 6A, 6B, 6D, 6E dan 6F). Sedangkan untuk uji pengaruh bobot bibit terhadap waktu hidup dari rumput laut menunjukkan bahwa bobot bibit sangat berpengaruh terhadap lama hidup rumput laut. Dengan demikian terdapat perbedaan antara ketiga perlakuan (50 gr, 100 gr dan 150 gr) terhadap lama hidup dari rumput laut tersebut. Selain itu uji terhadap interaksi antara bobot bibit dan jarak tanam terhadap waktu hidup menunjukkan adanya pengaruh yang cukup signifikan. Perlakuan bobot bibit dan jarak tanam yang berbeda menyebabkan waktu hidup yang berbeda pula. Sehingga diasumsikan bahwa akan terjadi penurunan bobot basah dari seluruh perlakuan bobot bibit terhadap jarak tanam rumput laut Gracilaria verrucosa. Hasil uji diatas berlaku untuk seluruh perlakuan kecuali pada hari ke-21 untuk uji pengaruh jarak tanam dan bobot bibit terhadap waktu hidup rumput laut. Pada hari ke-21 tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara seluruh perlakuan jarak tanam (20 cm, 30 cm dan 40 cm) dan bobot bibit (50 gr, 100 gr dan 150 gr) terhadap waktu hidup dari rumput laut tersebut. Dengan demikian perlakuan bobot bibit dan jarak tanam tidak berpengaruh terhadap lama hidup dari rumput laut (Lampiran 6C). Hasil menunjukkan bahwa pada hari ke- 21 tidak terjadi penurunan bobot basah dari seluruh perlakuan bobot bibit terhadap jarak tanam rumput laut Gracilaria verrucosa.

63 51 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Perlakuan bobot bibit dan jarak tanam yang berbeda memberikan pengaruh nyata (berbeda secara signifikan) terhadap laju pertumbuhan bobot basah rumput laut Gracilaria verrucosa. Perlakuan bobot bibit dan jarak tanam yang berbeda memberikan pengaruh nyata (berbeda secara signifikan) terhadap kandungan agar rumput laut Gracilaria verrucosa. 5.2 Saran Perlu dilakukan penelitian lanjut tentang laju pertumbuhan rumput laut dengan menggunakan metode yang sama pada musim dan waktu yang berbeda baik di perairan tambak maupun di perairan laut. Serta perlu dilakukan kajian hubungan antara pertumbuhan bibit rumput laut yang berbeda terhadap kandungan agar yang dihasilkan. 51

64 52 DAFTAR PUSTAKA Afrianto, E., dan E. Liviawati. 1993, Budidaya Rumput Laut dan Cara Pengolahannya. Bhratara. Jakarta. Anonymus. 2005, Prospect and Perspective of the Seaweed Industry for Building Capacities of Lokal Communities to Cope with Globalization (presentasi). Seaweed Industry Association of the Philipines. Manila. Anggadiredja, J.T Prospek Pasar Rumput Laut Indonesia di Pasar Global. Makalah disampaikan pada Lokakarya Implementasi Program Berkelanjutan Sulawesi Selatan Menuju Sentra Rumput Laut Dunia. Tanggal 7 Mei Makassar. Anggadiredja, J.T.,A. Zatnika, H. Purwoto, dan S. Istini Rumput Laut; Pembudidayaan, Pengolahan dan Pemasaran Komoditas Perikanan Potensial. Penebar Swadaya, Jakarta. Andarias, I., Pengaruh Takaran Urea dan TSP Terhadap Produksi Bobot Kering Klekap. Disertasi Doktor (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Angka, S.L. dan Maggy T. Suhartono Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Kautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Atmadja, W. S., A. Kadi., Sulistijo, dan Rachmaniar Pengenalan Jenis- Jenis Rumput Laut Indonesia. Puslitbang Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Atmadja, W.S. dan Sulistija Beberapa Aspek Vegetasi dan Habitat Tumbuhan Laut Bentik di Pulau-Pulau Seribu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Ayuningtyas Ekstraksi agar. Laporan praktikum fikologi : halaman 4. Ketersediaan. Print-Smua. (Tanggal 25 februari 2011). Chapman. V.J Seaweeds and Their Uses 2 edition. Methuein and Co.,Ltd. London. Chapman, V.J., and D.J. Chapman,1980. Seaweeds and Their Uses 3 edition. Chapman and Hall, New York. Dahuri, R Pemanfaatan sumberdaya perairan di pesisir bagi pembangunan yang berkelanjutan melalui pengembangan industri budidaya. Prosiding Seminar Nasional Limnologi Hal :

65 53 Dawes CJ., Matheieson AC dan Chenney DP Ecological studies of Floridean Eucheuma Rhodophyta, Gigartinales. I. Seasonal Growth and Reproduction. Bull. Mar. Sci. 24 : Direktorat Jenderal Perikanan Hama dan Penyakit Rumput Laut. Ditjen Perikanan. Jakarta. Direktorat Jenderal Perikanan Pedoman Teknis Pemilihan Lokasi Budidaya Rumput Laut. Ditjen Perikanan. Jakarta. Doty M.S, Glenn EP Photosynthesis and Respiration of the Tropical Red Seaweeds, Eucheuma striatum (Tambalang and Elkhorn Varietes) and E. Denticulatum. Aquatic Botany Vol. 10 (4) : Effendi, H., Telaah Kualitas Air. Kanisisus. Yogyakarta. Fardiaz, S., Polusi Air dan Udara. Kanisisus. Yogyakarta. Glicksman, M., Food Hydrocolloid. Volume II, CRC Press, New York. Hamid Pengaruh Berat Bibit Awal dengan Metode Apung (Floating method) Terhadap Persentase Pertumbuhan Harian Rumput Laut. Skripsi (tidak dipublikasikan). Program sarjana, Universitas Islam Negeri. Malang. Hutabarat dan Evans Pengantar Oseanografi. Universitas Indonesia. Jakarta. Iksan, K. H Kajian Pertumbuhan, Produksi Rumput Laut (Eucheuma cattonii), dan kandungan Karaginan pada berbagai Bobot Bibit dan Asal Thallus di perairan desa Guraping Oba Maluku Utara. Tesis (tidak dipublukasikan). Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Indriani H, Sumiarsih, E Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran Rumput Laut (cetakan 7), Penebar Swadaya, Jakarta. Kadi, A., Atmadja WS Rumput Laut Jenis Algae. Reproduksi, Produksi, Budidaya dan Pasca Panen. Proyek Studi Potensi Sumberdaya Alam Indonesia. Jakarta: Pusat penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Kamlasi, Y Kajian Ekologis Dan Biologi Untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cotonii) Di Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur. Tesis (tidak dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kolang, M., X, Lalu, dan H, Korah Panduan Budidaya dan Pengolahan Rumput Laut. Dinas Perikanan Sulawesi Utara. Manado

66 54 Kuhl A, Phosphorus in : Stewar W. D. P. (ed) Algae Phisiology and Bioehemistry. Botanical Monographs. Vol. 10. Blackwell Scientific Publications, Melburne, Hal.: Mubarak, H., Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Nasution MH Patogenitas Beberapa Isolat Bakteri Terhadap Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Asal Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Fakultas Biologi Universitas Nasional Jakarta. Jakarta. Nontji, A Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. Nyabakken, J., W., Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. PT. Gramedia. Jakarta. Pamungkas, K.T Mempelajari Korelasi Antara Umur Panen dan Kandungan Karaginan dan Senyawa-Senyawa Lainnya Pada Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosium. Karya Ilmiah. Fakultas Perikanan Jurusan Pengolahan Hasil Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Patadjal R S Pengaruh Pupuk TSP Terhadap Pertumbuhan dan Kualitas Rumput Laut Gracilaria gigas Harv. Tesis (Tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Poncomulyo, T, Budi Daya Dan Pengolahan Rumput Laut. PT Agro Media Pustaka. Jakarta. Renn. D. W Uses of Marine Algae in Biotechnology and Industry. Dalam Laporan Lokakarya Bioteknologi Rumput Laut. J. Anggadiredja (ed.). Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta. Ritawati, Laju Pertumbuhan Rumput Laut Gracilaria lichenoides (L) GMEL Berdasarkan Kedalaman dan Jarak Tanam. Skripsi (tidak di publikasikan). Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Romimohtarto, K., dan Juwana, S., Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Secara Berkelanjutan. Djambatan. Jakarta. Simanjuntak, M., Kadar Fosfat, Nitrat Dan Silikat Kaitannya Dengan Kesuburan Di Perairan Delta Mahakam, Kalimantan Timur. Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Sinulingga, M., dan Sri Darmanti Kemampuan Mengikat Air oleh Tanah Pasir yang Diperlukan dengan Tepung Rumput Laut Gracilaria verrucosa. Laboratorium Biologi Struktur dan Fungsi Tumbuhan, Jurusan Biologi FMIPA UNDIP Hal.:

67 55 Soesono Limnology. Direktorat Jenderal Perikanan. Departemen Pertanian. Bogor. Soegiarto A. Sulistijo, dan W. S. Atmadja Pertumbuhan Alga Laut Eucheuma spinosum pada Berbagai Kedalaman. Oseanologi Indonesia, 8: Sulistijo Budidaya Rumput Laut. Lembaga Oseanologi Nasional. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Sulistijo Penelitian Budidaya Rumput Laut (Algae Makro/Seaweed) di Indonesia. Pidato Pengukuhan Ahli Penelitian Utama Bidang Akuakultur, Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Sulistijo dan W. S. Atmadja Perkembangan budidaya Rumput Laut di Indonesia. Puslitbang Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Sunarto, G Budidaya Laut dan Kemungkinan Pengembangannya di Propinsi Nusa Tenggara Barat. (Tanggal 25 februari 2011). Supit, S.D Karakteristik Pertumbuhan dan Kandungan Rumput Laut yang berwarna Abu-abu Cokelat dan Hijau yang Ditanam di Goba lambungan Pasir Pulau Pari, Karya Ilmiah (tidak dipubliokasikan). Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sutika, N., Ilmu Air. Universitas Padjadjaran. Bandung. Sutrian, Y Pengantar Anatomi, Tumbuhan Tumbuhan (Tentang Sel dan Jaringan). PT Rineka Cipta. Jakarta. Syahputra, Y Pertumbuhan dan kandungan karaginan Budidaya Rumput Laut Eucheuma cottonii pada Kondisi Lingkungan yang Berbeda dan Perlauan Jarak Tanam di Teluk Lhok Seudu. Tesis (tidak di publikasikan). Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Trono, G. C A Review of The Production Technologies of Tropical Species of Economic Seaweeds. Technical Research Reports. Marine Science Institute, University of the Philippines. Manila. Widodo dan Suadi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Yogyakarta. Zatnika, A. dan W.I. Angkasa Teknologi Budidaya Rumput Laut. Makalah pada seminar Pekan Akuakultur V. Tim Rumput Laut Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta.

68 56 Zatnika, A Pedoman Teknis Budidya Rumput Laut. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta. Zatnika, A. dan Sri istini Optimasi Perlakuan Alkali Dalam Upaya Peningkatan Kualitas Agar Dari Rumput Laut (Gracilaria spp.). Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta. Zonneveld, N., Huisman, E.A., dan Boon, J.H Prinsip-prinsip Budidaya Ikan. Pustaka Utama. Gramedia. Jakarta.

69 LAMPIRAN 57

70 Lampiran 1. Sketsa lokasi tambak penelitian 58

71 59 Lampiran 2. Data bobot basah (gr) pada masing-masing perlakuan Bobot Jarak Tanam Ulangan Minggu Ke gr 20 cm Rata-rata 50 85,00 103,33 131,67 146,67 155,00 160,00 30 cm Rata-rata 50 88,33 105,00 138,33 165,00 171,67 178,33 40 cm Rata-rata 50 86,67 106,67 146,67 166,67 181,67 195, gr 20 cm Rata-rata ,00 180,00 220,00 225,00 253,33 271,67 30 cm Rata-rata ,00 185,00 228,33 235,00 256,67 276,67 40 cm Rata-rata ,67 188,33 236,67 253,33 266,67 278, gr 20 cm , Rata-rata ,00 261,67 290,00 298,33 320,00 326,67 30 cm , Rata-rata ,67 268,33 296,67 301,67 328,33 336,67 40 cm Rata-rata ,33 270,00 303,33 310,00 330,00 340,00

72 60 Lampiran 3. Laju pertumbuhan (gr/hari) pada perlakuan bobot bibit dan jarak tanam Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model <.0001 Error Corrected Total Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F bobot <.0001 jarak bobot*jarak Level of bobot N Mean respon1 Std Dev Level of jarak N Mean respon1 Std Dev Level of bobot Level of jarak N Mean respon1 Std Dev

73 61 Level of bobot Level of jarak N Mean respon1 Std Dev Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N bobot A A B Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N jarak A A B

74 Lampiran 4. Proses ekstraksi agar 62

75 63 Lampiran 5. Data kandungan agar Bobot Jarak Tanam Kandungan Agar (%) Bobot Kering (gr) Bobot Agar (gr) 50 gr 20 cm 15, ,16 30 cm 15,98 20,7 3,30 40 cm 16,08 25,5 4, gr 20 cm 15,38 30,5 4,69 30 cm 15,45 30,75 4,75 40 cm 15,56 31,5 4, gr 20 cm 15,16 44,2 6,70 30 cm 15,23 45,1 6,86 40 cm 15,49 45,5 7,05

76 64 Lampiran 6. Pengaruh perbedaan bobot bibit dan jarak tanam terhadap lama hidup a. Laju pertumbuhan minggu 1 (hari ke-7) Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N jarak A A A Duncan Grouping Mean N bobot A B B Duncan Grouping Mean N perlakuan A B150J20 B A B150J30 B A C B50J30 B C B50J40 B C B100J40 B C B100J30 B C B50J20 C B100J20 b. Laju pertumbuhan minggu 2 (hari ke-14) Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N jarak A A A Duncan Grouping Mean N bobot A B C Duncan Grouping Mean N perlakuan

77 65 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N jarak A B150J30 A B150J20 A B100J40 B A B100J30 B A B100J20 C B50J20 C B50J30 c. Laju pertumbuhan minggu 3 (hari ke-21) Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N jarak A A A Duncan Grouping Mean N bobot A A A Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N perlakuan A B100J40 A B100J30 A B100J20 A B50J40 A B50J30 A B150J20 A B150J30 A B50J20

78 66 d. Laju pertumbuhan minggu 4 (hari ke-28) Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N jarak A A A Duncan Grouping Mean N bobot A B B Duncan Grouping Mean N perlakuan A B50J30 B A B50J40 B A B100J40 B A B50J20 B B150J20 B B100J30 B B100J20 B B150J30 e. Laju pertumbuhan minggu 5 (hari ke-35) Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N jarak A A A Duncan Grouping Mean N bobot A A B Duncan Grouping Mean N perlakuan A B100J20

79 67 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N jarak A B150J30 B A B100J30 B A B150J20 B A B50J40 B A B100J40 B B50J20 B B50J30 f. Laju pertumbuhan minggu 6 (hari ke-42) Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N jarak A A A Duncan Grouping Mean N bobot A B B Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N perlakuan A B100J30 B A B100J20 B C B50J40 D C B100J40 D C E B150J30 D C E B150J20 D E B50J30 E B50J20

80 68 Lampiran 7. Data kualitas air di lokasi penelitian No Parameter Pengamatan (Minggu ke-) Suhu Salinitas ph 7,5 8,0 7,5 7,5 8,0 8,0 7,5 4 Oksigen terlarut 5,5 5, ,5 6,5 5 Nitrat 0,15 0,1 0,2 6 Fosfat 0,15 0,15 0,2 7 Kecerahan Kedalaman cm 9 Substrat dasar Lumpur berpasir

81 69 Lampiran 8. Statistika Deskriptif dari parameter lingkungan Descriptive Statistica : (Suhu) : Pagi; Siang; Sore Variable N N* Mean SE Mean StDev Minimum Q Median Pagi Siang Sore Variable Q3 Maximum Pagi Siang Sore Descriptive Statistica : (Salinitas) Variable N N* Mean SE Mean StDev Minimum Q1 Median Salinitas Variable Q3 Maximum Salinitas Descriptive Statistica : (ph) Variable N N* Mean SE Mean StDev Minimum Q1 Median ph Variable Q3 Maximum ph Descriptive Statistica : (DO) Variable N N* Mean SE Mean StDev Minimum Q1 Median DO Variable Q3 Maximum DO Descriptive Statistica : (Nitrat) Variable N N* Mean SE Mean StDev Minimum Q1 Median Nitrat Variable Q3 Maximum Nitrat Descriptive Statistica : (Fosfat) Variable N N* Mean SE Mean StDev Minimum Q1 Median Fosfat Variable Q3 Maximum Fosfat Descriptive Statistica : (Kecerahan) Variable N N* Mean SE Mean StDev Minimum Q1 Median Kecerahan Variable Q3 Maximum Kecerahan

82 70 Lampiran 9. Dokumentasi penelitian Rumput laut untuk proses ekstraksi Penimbangan bobot basah Proses pengikatan bibit Metode rakit apung Saluran inlet tambak Pengambilan sampel air tambak Laboratorium Fisika kimia Timbangan bobot agar Refraktrometer ph-meter Spektrofotometer Sampel pengukuran kualitas air

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 21 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari tanggal 31 Oktober 2011 sampai 18 Desember 2011 selama 42 hari masa pemeliharaan di Tambak Balai Layanan Usaha Produksi

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. perbedaan antara akar, batang dan daun. Secara kesuluruhan, tanaman ini

2. TINJAUAN PUSTAKA. perbedaan antara akar, batang dan daun. Secara kesuluruhan, tanaman ini 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Klasifikasi Rumput Laut Rumput laut memiliki morfologi yang tidak memperlihatkan adanya perbedaan antara akar, batang dan daun. Secara kesuluruhan, tanaman ini mempunyai

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. berkembang pada substrat dasar yang kuat (Andi dan Sulaeman, 2007). Rumput laut

1. PENDAHULUAN. berkembang pada substrat dasar yang kuat (Andi dan Sulaeman, 2007). Rumput laut 1 1. PENDAHULUAN Rumput laut atau yang biasa disebut seaweed tidak memiliki akar, batang dan daun sejati. Sargassum talusnya berwarna coklat, berukuran besar, tumbuh dan berkembang pada substrat dasar

Lebih terperinci

3.3 Teknik Budidaya Rumput Laut (Gracillaria verrucosa) dengan Metode Longline Rumput laut adalah salah satu hasil perikanan yang mempunyai nilai

3.3 Teknik Budidaya Rumput Laut (Gracillaria verrucosa) dengan Metode Longline Rumput laut adalah salah satu hasil perikanan yang mempunyai nilai 3.3 Teknik Budidaya Rumput Laut (Gracillaria verrucosa) dengan Metode Longline Rumput laut adalah salah satu hasil perikanan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan menjadi sumber devisa non migas. Secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. internasional. Menurut Aslan (1991), ciri-ciri umum genus Eucheuma yaitu : bentuk

I. PENDAHULUAN. internasional. Menurut Aslan (1991), ciri-ciri umum genus Eucheuma yaitu : bentuk I. PENDAHULUAN Eucheuma cottonii merupakan salah satunya jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) yang mempunyai nilai ekonomi tinggi karena mengandung karaginan yang berupa fraksi Kappa-karaginan. Rumput

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Budidaya laut (marinecultur) merupakan bagian dari sektor kelautan dan perikanan yang mempunyai kontribusi penting dalam memenuhi target produksi perikanan. Walaupun

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 45 hari dengan menggunakan 4 perlakuan yakni perlakuan A (Perlakuan dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 45 hari dengan menggunakan 4 perlakuan yakni perlakuan A (Perlakuan dengan 4.1. Laju Pertumbuhan Mutlak BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Laju pertumbuhan mutlak Alga K. alvarezii dengan pemeliharaan selama 45 hari dengan menggunakan 4 perlakuan yakni perlakuan A (Perlakuan dengan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Fisika Kimia Perairan Lokasi budidaya rumput laut diketahui memiliki dasar perairan berupa substrat pasir dengan serpihan karang mati. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu sumberdaya hayati laut Indonesia yang cukup potensial adalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu sumberdaya hayati laut Indonesia yang cukup potensial adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sumberdaya hayati laut Indonesia yang cukup potensial adalah rumput laut atau yang dikenal dengan sebutan ganggang laut atau alga laut. Beberapa diantaranya

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii PADA KEDALAMAN PENANAMAN YANG BERBEDA

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii PADA KEDALAMAN PENANAMAN YANG BERBEDA Media Litbang Sulteng III (1) : 21 26, Mei 2010 ISSN : 1979-5971 PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii PADA KEDALAMAN PENANAMAN YANG BERBEDA Oleh : Novalina Serdiati, Irawati Mei Widiastuti

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI SPESIES ALGA KOMPETITOR Eucheuma cottonii PADA LOKASI YANG BERBEDA DI KABUPATEN SUMENEP

IDENTIFIKASI SPESIES ALGA KOMPETITOR Eucheuma cottonii PADA LOKASI YANG BERBEDA DI KABUPATEN SUMENEP IDENTIFIKASI SPESIES ALGA KOMPETITOR Eucheuma cottonii PADA LOKASI YANG BERBEDA DI KABUPATEN SUMENEP Moh Hadi Hosnan 1, Apri Arisandi 2, Hafiludin 2 Mahasiswa Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

Produksi rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) Bagian 2: Metode long-line

Produksi rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) Bagian 2: Metode long-line Standar Nasional Indonesia Produksi rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) Bagian 2: Metode long-line ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup...

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun sebenarnya dalam dunia ilmu pengetahuan diartikan sebagai alga (ganggang) yang berasal dari bahasa

Lebih terperinci

Oleh : ONNY C

Oleh : ONNY C JENIS, KELIMPAHAN DAN PATOGENISITAS BAKTERI PADA THALLUS RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii YANG TERSERANG ICE-ICE DI PERAIRAN PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA Oleh : ONNY C14103066 SKRIPSI Sebagai

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE PENELITIAN. A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian

MATERI DAN METODE PENELITIAN. A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian II. MATERI DAN METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian a. Alat Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi jaring, bambu, pelampung, hand refraktometer,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Sketsa lokasi tambak penelitian

Lampiran 1. Sketsa lokasi tambak penelitian Lampiran 1. Sketsa lokasi tambak penelitian 58 59 Lampiran 2. Data bobot basah (gr) pada masing-masing perlakuan Bobot Jarak Tanam Ulangan Minggu Ke- 0 7 14 21 28 35 42 50 gr 20 cm 1 50 85 105 145 150

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Budidaya Laut (BBL) stasiun

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Budidaya Laut (BBL) stasiun BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Balai Budidaya Laut (BBL) stasiun Sekotong Lombok Barat, NTB. Pelaksanaan penelitian selama ± 65 hari dari bulan Februari hingga

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

3 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Materi Uji

3 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Materi Uji 13 3 METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitiaan telah dilaksanakan di perairan Teluk Gerupuk, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat (Gambar 2). Jangka waktu pelaksanaan penelitian terdiri

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

KAJIAN FAKTOR LINGKUNGAN HABITAT KERANG MUTIARA (STADIA SPAT ) DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT

KAJIAN FAKTOR LINGKUNGAN HABITAT KERANG MUTIARA (STADIA SPAT ) DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT KAJIAN FAKTOR LINGKUNGAN HABITAT KERANG MUTIARA (STADIA SPAT ) DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT Oleh : H. M. Eric Harramain Y C64102053 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Dawson (1946) dalam Soegiarto, dkk,(1978), secara umum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Dawson (1946) dalam Soegiarto, dkk,(1978), secara umum BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Gracilaria salicornia Menurut Dawson (1946) dalam Soegiarto, dkk,(1978), secara umum Gracilaria salicornia dapat di klasifikasikan sebagai berikut:

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 1. Materi, Lokasi dan Waktu penelitian 1.1. Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit S. duplicatum, sampel air laut, kertas whatman no.1, HCL 1N, Phenolpthaelin,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau, dengan garis pantai sekitar 81.000 km. Wilayah lautannya meliputi 5,8 juta km2 atau

Lebih terperinci

Produksi bibit rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) Bagian 1: Metode lepas dasar

Produksi bibit rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) Bagian 1: Metode lepas dasar Standar Nasional Indonesia Produksi bibit rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) Bagian 1: Metode lepas dasar ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional BSN 2011 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API (Avicennia marina Forssk. Vierh) DI DESA LONTAR, KECAMATAN KEMIRI, KABUPATEN TANGERANG, PROVINSI BANTEN Oleh: Yulian Indriani C64103034 PROGRAM

Lebih terperinci

II. METODE PENELITIAN

II. METODE PENELITIAN II. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian Materi Bahan Bahan yang digunakan untuk budidaya adalah rumput laut S. polycystum yang diambil dari Pantai Karangbolong (Cilacap), NaOH 0,5%,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena harganya terjangkau dan sangat bermanfaat bagi kesehatan. Pisang adalah buah yang

Lebih terperinci

LAJU KECEPATAN PENYERANGAN ICE-ICE PADA RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii DI PERAIRAN BLUTO SUMENEP MADURA

LAJU KECEPATAN PENYERANGAN ICE-ICE PADA RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii DI PERAIRAN BLUTO SUMENEP MADURA LAJU KECEPATAN PENYERANGAN ICE-ICE PADA RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii DI PERAIRAN BLUTO SUMENEP MADURA Abdul Qadir Jailani, Indah Wahyuni Abida, Haryo Triajie Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai 81.000 km merupakan kawasan pesisir dan lautan yang memiliki berbagai sumberdaya hayati yang sangat besar

Lebih terperinci

II. METODE PENELITIAN

II. METODE PENELITIAN II. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Materi 1.1. Bahan Bahan-bahan yang digunakan yaitu bibit Sargassum polycystum, sampel air laut, kertas Whatman no.1, HCL 1N, Phenolpthaelin,

Lebih terperinci

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH Oleh : Helmy Hakim C64102077 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

II. METODE PENELITIAN

II. METODE PENELITIAN II. METODE PENELITIAN 2.1. Materi, Waktu dan Lokasi Penelitian A. Materi 1. Bahan Bahan-bahan yang digunakan yaitu bibit Sargassum polycystum (Lampiran 3), sampel air laut, kertas Whatman no.1, HCL 1N,

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan lokasi penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan September 2010 sampai Mei 2011. Kegiatan penelitian meliputi tahap persiapan, pengamatan laju pertumbuhan Kappaphycus

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui

Lebih terperinci

Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume II, Nomor 1, Maret 2014

Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume II, Nomor 1, Maret 2014 Pengaruh Dosis Perendaman Pupuk Formula Alam Hijau terhadap Pertumbuhan Alga Kappaphycus alvarezii di Desa Ilodulunga Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara Provinsi Gorontalo 1,2 Alfandi Daud, 2

Lebih terperinci

BOKS 2 HASIL KAJIAN POTENSI RUMPUT LAUT DI KABUPATEN ROTE NDAO

BOKS 2 HASIL KAJIAN POTENSI RUMPUT LAUT DI KABUPATEN ROTE NDAO BOKS 2 HASIL KAJIAN POTENSI RUMPUT LAUT DI KABUPATEN ROTE NDAO Pendahuluan Perkembangan perekonomian NTT tidak dapat hanya digerakkan oleh kegiatan perekonomian di Kota Kupang saja. Hal tersebut mengindikasikan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pertumbuhan Pada Tabel 2 dijelaskan bahwa pada minggu pertama nilai bobot biomasa rumput laut tertinggi terjadi pada perlakuan aliran air 10 cm/detik, dengan nilai rata-rata

Lebih terperinci

II. METODE PENELITIAN

II. METODE PENELITIAN II. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi 1.1. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit rumput laut jenis S. duplicatum yang diperoleh dari petani rumput

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

Laju Pertumbuhan Rumput Laut Gracilaria sp. dengan Metode Penanaman yang Berbeda di Perairan Kalianda, Lampung Selatan

Laju Pertumbuhan Rumput Laut Gracilaria sp. dengan Metode Penanaman yang Berbeda di Perairan Kalianda, Lampung Selatan 1 B. D. Putra et al. / Maspari Journal 03 (2011) 36-41 Maspari Journal 03 (2011) 36-41 http://masparijournal.blogspot.com Laju Pertumbuhan Rumput Laut Gracilaria sp. dengan Metode Penanaman yang Berbeda

Lebih terperinci

PENGARUH WAKTU FRAGMENTASI KOLONI SPONS Petrosia sp. TERHADAP KANDUNGAN SENYAWA BIOAKTIF

PENGARUH WAKTU FRAGMENTASI KOLONI SPONS Petrosia sp. TERHADAP KANDUNGAN SENYAWA BIOAKTIF PENGARUH WAKTU FRAGMENTASI KOLONI SPONS Petrosia sp. TERHADAP KANDUNGAN SENYAWA BIOAKTIF Oleh : Siti Aisyah Cinthia Indah Anggraini C64103025 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi dan Variasi Temporal Parameter Fisika-Kimiawi Perairan Kondisi perairan merupakan faktor utama dalam keberhasilan hidup karang. Perubahan kondisi perairan dapat mempengaruhi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kappaphycus alvarezii sering juga disebut cottonii, merupakan jenis rumput laut

TINJAUAN PUSTAKA. Kappaphycus alvarezii sering juga disebut cottonii, merupakan jenis rumput laut II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kappaphycus alvarezii Kappaphycus alvarezii sering juga disebut cottonii, merupakan jenis rumput laut penghasil kappa kraginan yang dibudidayakan secara komersial di daerah tropis

Lebih terperinci

Kata kunci : pencahayaan matahari, E. cottonii, pertumbuhan

Kata kunci : pencahayaan matahari, E. cottonii, pertumbuhan LAMA PENCAHAYAAN MATAHARI TERHADAP PERTUMBUHAN RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii DENGAN METODE RAKIT APUNG Haryo Triajie, Yudhita, P, dan Mahfud Efendy Program studi Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura

Lebih terperinci

Laju Pertumbuhan Rumput Laut Gracilaria sp dengan Metode Rak Bertingkat di Perairan Kalianda, Lampung Selatan

Laju Pertumbuhan Rumput Laut Gracilaria sp dengan Metode Rak Bertingkat di Perairan Kalianda, Lampung Selatan Maspari Journal 03 (2011) 58-62 http://masparijournal.blogspot.com Laju Pertumbuhan Rumput Laut Gracilaria sp dengan Metode Rak Bertingkat di Perairan Kalianda, Lampung Selatan Reza Novyandi, Riris Aryawati

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

TUGAS LINGKUNGAN BISNIS KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS BUDIDAYA RUMPUT LAUT

TUGAS LINGKUNGAN BISNIS KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS BUDIDAYA RUMPUT LAUT TUGAS LINGKUNGAN BISNIS KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS BUDIDAYA RUMPUT LAUT DISUSUN OLEH : NAMA : ANANG SETYA WIBOWO NIM : 11.01.2938 KELAS : D3 TI-02 STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2012/2013 TEKNOLOGI BUDIDAYA

Lebih terperinci

Kerangka Pemikiran 2 TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Kappaphycus alvarezii

Kerangka Pemikiran 2 TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Kappaphycus alvarezii 3 Kerangka Pemikiran Penempatan posisi tanam pada kedalaman yang tepat dapat meningkatkan produksi rumput laut dan kualitas kandungan karaginan rumput laut. Untuk lebih jelas, kerangka pemikiran penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG

KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG F1 05 1), Sigit Febrianto, Nurul Latifah 1) Muhammad Zainuri 2), Jusup Suprijanto 3) 1) Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK UNDIP

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi Data 1. Kondisi saluran sekunder sungai Sawojajar Saluran sekunder sungai Sawojajar merupakan aliran sungai yang mengalir ke induk sungai Sawojajar. Letak

Lebih terperinci

STUDI LAJU PERTUMBUHAN RUMPUT LAUT Euchema spinosum DAN Eucheuma cottoni DI PERAIRAN DESA KUTUH, KECAMATAN KUTA SELATAN, KABUPATEN BADUNG-BALI

STUDI LAJU PERTUMBUHAN RUMPUT LAUT Euchema spinosum DAN Eucheuma cottoni DI PERAIRAN DESA KUTUH, KECAMATAN KUTA SELATAN, KABUPATEN BADUNG-BALI STUDI LAJU PERTUMBUHAN RUMPUT LAUT Euchema spinosum DAN Eucheuma cottoni DI PERAIRAN DESA KUTUH, KECAMATAN KUTA SELATAN, KABUPATEN BADUNG-BALI Dwi Budi Wiyanto 1 dan Komang Dianto 2 1) Prodi Ilmu Kelautan,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut ini berada di Teluk Cikunyinyi, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Kondisi alami sampel karang berdasarkan data (Lampiran 1) dengan kondisi tempat fragmentasi memiliki perbedaan yang tidak terlalu signifikan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dracaena adalah tanaman yang tumbuh tegak dengan bentuk batang bulat dan

TINJAUAN PUSTAKA. Dracaena adalah tanaman yang tumbuh tegak dengan bentuk batang bulat dan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Taksonomi Tanaman Dracaena Dracaena adalah tanaman yang tumbuh tegak dengan bentuk batang bulat dan beruas-ruas. Daun dracaena berbentuk tunggal, tidak bertangkai,

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI 2 STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komunitas Fitoplankton Di Pantai Balongan Hasil penelitian di perairan Pantai Balongan, diperoleh data fitoplankton selama empat kali sampling yang terdiri dari kelas Bacillariophyceae,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

LAJU PERTUMBUHAN BIBIT RUMPUT LAUT

LAJU PERTUMBUHAN BIBIT RUMPUT LAUT LAJU PERTUMBUHAN BIBIT RUMPUT LAUT Eucheuma cattonii DENGAN PERLAKUAN ASAL THALLUS TERHADAP BOBOT BIBIT DI PERAIRAN LAKEBA, KOTA BAU-BAU, SULAWESI TENGGARA Oleh : Nurfadly Mamang C 64104014 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Morfologi Bawang Merah ( Allium ascalonicum L.)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Morfologi Bawang Merah ( Allium ascalonicum L.) 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Morfologi Bawang Merah ( Allium ascalonicum L.) Menurut Rahayu dan Berlian ( 2003 ) tanaman bawang merah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Tabel 1. Botani Bawang Merah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kali di terjemahkan seaweed bukan sea grass yang sering di sebut dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA. kali di terjemahkan seaweed bukan sea grass yang sering di sebut dengan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Rumput laut Rumput laut atau seaweed merupakan nama dalam perdagangan nasional untuk jenis alga yang banyak di panen di laut. Rumput laut atau alga yang sering kali di terjemahkan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 22 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Karya, Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Pulau Seribu Utara, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Stasiun

Lebih terperinci

PRODUKSI Gracilaria verrucosa YANG DIBUDIDAYAKAN DI TAMBAK DENGAN BERAT BIBIT DAN JARAK TANAM YANG BERBEDA

PRODUKSI Gracilaria verrucosa YANG DIBUDIDAYAKAN DI TAMBAK DENGAN BERAT BIBIT DAN JARAK TANAM YANG BERBEDA J. Agrisains 12 (1) : 57-62, April 2011 ISSN : 1412-3657 PRODUKSI Gracilaria verrucosa YANG DIBUDIDAYAKAN DI TAMBAK DENGAN BERAT BIBIT DAN JARAK TANAM YANG BERBEDA Irawati Mei Widiastuti 1) 1) Program

Lebih terperinci

II. METODE PENELITIAN

II. METODE PENELITIAN II. METODE PENELITIAN A. Materi, Waktu dan Lokasi Penelitian 1. Materi 1.1.Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit rumput laut Sargassum polycystum Bibit tanaman yang digunakan pada

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN ALAT PEMISAH GARAM DAN AIR TAWAR DENGAN MENGGUNAKAN ENERGI MATAHARI

RANCANG BANGUN ALAT PEMISAH GARAM DAN AIR TAWAR DENGAN MENGGUNAKAN ENERGI MATAHARI RANCANG BANGUN ALAT PEMISAH GARAM DAN AIR TAWAR DENGAN MENGGUNAKAN ENERGI MATAHARI RIZQI RIZALDI HIDAYAT SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PARAMETER KUALITAS AIR

PARAMETER KUALITAS AIR KUALITAS AIR TAMBAK PARAMETER KUALITAS AIR Parameter Fisika: a. Suhu b. Kecerahan c. Warna air Parameter Kimia Salinitas Oksigen terlarut ph Ammonia Nitrit Nitrat Fosfat Bahan organik TSS Alkalinitas Parameter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak di Cagar Alam Leuweung Sancang. Cagar Alam Leuweung Sancang, menjadi satu-satunya cagar

Lebih terperinci

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh 45 4.2 Pembahasan Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan memperhatikan syarat tumbuh tanaman dan melakukan pemupukan dengan baik. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makanan Alami Ikan Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam perkembangbiakan ikan baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut. Fungsi utama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke perairan yang menyebabkan pencemaran. Limbah tersebut

Lebih terperinci

Produksi bibit rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) - Bagian 2: Metode longline

Produksi bibit rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) - Bagian 2: Metode longline Standar Nasional Indonesia Produksi bibit rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) - Bagian 2: Metode longline ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional BSN 2011 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian 1.1 Bahan

bio.unsoed.ac.id METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian 1.1 Bahan III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian 1.1 Bahan Bahan-bahan yang digunakan yaitu Sargassum polycystum, akuades KOH 2%, KOH 10%, NaOH 0,5%, HCl 0,5%, HCl 5%,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat I. PENDAHULUAN Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat dengan cara membendung aliran sungai sehingga aliran air sungai menjadi terhalang (Thohir, 1985). Wibowo (2004) menyatakan

Lebih terperinci

MANAJEMEN KUALITAS AIR

MANAJEMEN KUALITAS AIR MANAJEMEN KUALITAS AIR Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya,

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian laju pertumbuhan dan produksi lamun Cymodocea rotundata

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian laju pertumbuhan dan produksi lamun Cymodocea rotundata 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian laju pertumbuhan dan produksi lamun Cymodocea rotundata dan Cymodocea serrulata di Pulau Pramuka dan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Gracilaria verrucosa menurut Dawes (1981) adalah:

II TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Gracilaria verrucosa menurut Dawes (1981) adalah: II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Gracilaria verrucosa Klasifikasi Gracilaria verrucosa menurut Dawes (1981) adalah: Kingdom Division Class Ordo Family Genus Species : Plantae : Rhodophyta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan berklorofil. Dilihat dari ukurannya, rumput laut terdiri dari jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan berklorofil. Dilihat dari ukurannya, rumput laut terdiri dari jenis BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Rumput laut atau sea weeds secara ilmiah dikenal dengan istilah alga atau ganggang. Rumput laut termasuk salah satu anggota alga yang merupakan tumbuhan berklorofil.

Lebih terperinci

Pertumbuhan Rumput Laut

Pertumbuhan Rumput Laut BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Laju pertumbuhan Laju pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii yang diperoleh selama penelitian terdapat pada Tabel 1 berikut : Tabel 1.PertumbuhanRumputLautSetelah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh membentuk rumpun dengan tinggi tanaman mencapai 15 40 cm. Perakarannya berupa akar

Lebih terperinci

b) Bentuk Muara Sungai Cimandiri Tahun 2009

b) Bentuk Muara Sungai Cimandiri Tahun 2009 32 6 PEMBAHASAN Penangkapan elver sidat di daerah muara sungai Cimandiri dilakukan pada malam hari. Hal ini sesuai dengan sifat ikan sidat yang aktivitasnya meningkat pada malam hari (nokturnal). Penangkapan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Kacang Hijau Kacang hijau (Vigna radiata L.) merupakan salah satu komoditas tanaman kacang-kacangan yang banyak dikonsumsi rakyat Indonesia. Kacang hijau termasuk

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada Bulan April 2013 hingga Mei 2013 bertempat di laboratorium budidaya perikanan Ciparanje Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNPAD.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Sungai Air merupakan salah satu sumber daya alam dan kebutuhan hidup yang penting dan merupakan sadar bagi kehidupan di bumi. Tanpa air, berbagai proses kehidupan

Lebih terperinci

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA BY: Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya, karena hasil

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PENINGKATAN LAJU PERTUMBUHAN THALLUS RUMPUT LAUT

PENINGKATAN LAJU PERTUMBUHAN THALLUS RUMPUT LAUT PENINGKATAN LAJU PERTUMBUHAN THALLUS RUMPUT LAUT (Kappaphycus alvarezii) YANG DIRENDAM AIR BERAS DENGAN KONSENTRASI YANG BERBEDA Nursyahran dan Reskiati Sekolah Tinggi Teknologi Kelautan (STITEK) Balik

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG Oleh: Muhammad Firly Talib C64104065 PROGRAM STUDI ILMU DAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ordo : Liliales ; Famili : Liliaceae ; Genus : Allium dan Spesies : Allium

TINJAUAN PUSTAKA. Ordo : Liliales ; Famili : Liliaceae ; Genus : Allium dan Spesies : Allium 14 TINJAUAN PUSTAKA Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) Dalam dunia tumbuhan, tanaman bawang merah diklasifikasikan dalam Divisi : Spermatophyta ; Sub Divisi : Angiospermae ; Class : Monocotylodenae ;

Lebih terperinci

KADAR SALINITAS DI BEBERAPA SUNGAI YANG BERMUARA DI TELUK CEMPI, KABUPATEN DOMPU-PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

KADAR SALINITAS DI BEBERAPA SUNGAI YANG BERMUARA DI TELUK CEMPI, KABUPATEN DOMPU-PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT Kadar Salinitas di Beberapa... Dompu-Provinsi Nusa Tenggara Barat (Sumarno, D & Aswar R.) KADAR SALINITAS DI BEBERAPA SUNGAI YANG BERMUARA DI TELUK CEMPI, KABUPATEN DOMPU-PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT Dedi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar pulau

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar pulau 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.504 pulau dengan 13.466 pulau bernama, dari total pulau bernama, 1.667 pulau diantaranya berpenduduk dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pusat Studi Ilmu Kelautan IPB,

3. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pusat Studi Ilmu Kelautan IPB, 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pusat Studi Ilmu Kelautan IPB, Ancol, Jakarta yang meliputi dua tahap yaitu persiapan dan fragmentasi Lobophytum

Lebih terperinci

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas 2.3 suhu 2.3.1 Pengertian Suhu Suhu merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan organisme di lautan. Suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme-organisme tersebut.

Lebih terperinci