BAB II TINJAUAN TEORITIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN TEORITIS"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Pendahuluan Dalam interaksi sosial, baik antar individu maupun antar kelompok, manusia tidak bisa menghindari terjadinya konsensus. Konsensus ini tentunya dapat dilakukan antar individu, satu komunitas, maupun antar kelompok. Pada prinsipnya konsensus dapat dilakukan secara lisan ataupun tertulis, tergantung kesepakatan pihak-pihak yang melakukan konsensus. Tujuan dari konsensus yang ada dalam masyarakat yaitu untuk menjaga tatanan sosial tetap dalam suasana integratif sehingga kehidupan sosial selalu damai dan rukun (harmonis). Karena itu, dibutuhkan adanya kesepakatan atas nilai-nilai (values) dan kepentingan (interest) untuk mengikat semua partisan konsensus. Nilai-nilai, norma atau moral yang disepakati tersebut, tentunya diharapkan menjadi pengontrol agar solidaritas tetap kuat dan menegaskan sanksi bagi yang melakukan pelanggaran. Untuk mewujudkan kosensus yang kuat dalam ikatan nilai-nilai (values), norma atau moral, maka manusia melalui proses musyawarah untuk membangun kesepakatan atau konsensus bersama. Konsekuensi logis yang akan dialami manusia dalam dinamika interaksi sosial demikian yaitu manusia berada dalam ketegangan antara keinginan dan kepentingan individu dengan keinginan dan kepentingan kelompok (kolektifitas). Akibatnya conflic of interest tidak bisa dihindari, maka bisa saja terjadi penghianatan dan pelanggaran terhadap konsensus atau kesepakatan. Karena itu, konsensus perlu dibentengi dengan legitimasi nilai-nilai moral atau agama dalam kesadaran kolektif membangun konsensus sakral. Demi menjaga integrasi sosial dan 18

2 keutuhan masyarakat, maka konsensus pun dapat dipagari dengan sanksi bagi yang melanggar. Karena itulah, sebelum memahami lebih jauh tentang konsensus sakral dalam budaya kombongan kalua, maka terlebih dahulu akan diuraikan beberapa pemikiran sosiologi Emile Durkheim yang dianggap berkaitan dengan masalah yang diteliti dalam tesis ini. Selanjutnya, pemikiran Durkheim ini akan dijadikan acuan dalam menganalisis konsensus sakral dalam budaya kombongan kalua tahun 1947 tentang penetapan nama Tana Toraja menjadi nama Kabupaten dan dampaknya terhadap integrasi sosial masyarakat Tana Toraja. 1.2.Gagasan Sosiologi Emile Durkheim Solidaritas Sosial Durkheim menguraikan secara luas tentang solidaritas sosial sebagai fakta sosial dengan melakukan fokus analisis komparatif atas faktor pemersatu dalam masyarakat primitif (solidaritas mekanik) dengan masyarakat modern (solidaritas organik). Pemikiran ini muncul berangkat dari meningkatnya pembagian kerja yang berujung dengan terjadinya transformasi kesadaran kolektif. Sedemikian besarnya peningkatan pembagian pekerjaan hingga kaitannya dengan tatanan sosial tidak dapat diabaikan begitu saja. Durkheim sangat memberikan perhatian pada moralitas yang ada dalam masyarakat, yang memungkinkan terjadinya integrasi sosial dalam masyarakat. Integrasi masyarakat terjadi karena adanya kesepakatan (konsensus) di antara anggota-anggota masyarakat terhadap nilai-nilai kemasyarakatan tertentu. 19

3 Nilai-nilai kemasyarakatan ini lebih lanjut dinamakan oleh Durkheim dengan kesadaran kolektif (bahasa Prancis: collective conscience, bahasa Inggris: collective consciousness), yang dapat diartikan sebagai kesadaran moral ( hati nurani ). Durkheim mendefinisikan kesadaran kolektif, yaitu: Seluruh kepercayaan dan perasaan bersama orang kebanyakan dalam sebuah masyarakat akan membentuk suatu sistem yang tetap yang punya kehidupan sendiri: kita boleh menyebutnya dengan kesadaran kolektif atau kesadaran umum. Dengan demikian, dia tidak sama dengan kesadaran partikular, kendati hanya bisa disadari lewat kesadaran-kesadaran partikular. Kesadaran kolektif ini berada di luar individu atau bersifat eksterior, namun memiliki daya penekan (koersif) terhadap individu-individu sebagai anggota masyarakat. Konsensus adalah hasil kesadaran kolektif. Konsensus masyarakat bertujuan mengatur hubungan sosial di antara anggota masyarakat yang bersangkutan. Kesadaran kolektif tersebut bisa berwujud aturan-aturan moral, aturan-aturan agama, aturan-aturan tentang baik dan buruk, luhur dan mulia. Kesadaran kolektif sangat diperlukan bagi kuatnya solidaritas sosial dan integrasi sosial. Agar konsensus tetap kuat, maka perlu didasarkan atas prinsip-prinsip moral, norma atau agama yang ada dalam masyarakat. Seiring dengan semakin berkembangnya masyarakat, dari masyarakat primitif ke masyarakat modern, akan meningkatkan pula pembagian kerja yang berujung dengan terjadinya transformasi kesadaran kolektif. Durkheim menyebut solidaritas masyarakat primitif dengan nama solidaritas mekanik, dan solidaritas masyarakat modern dengan nama solidaritas organik. Masyarakat primitif 20

4 terutama dipersatukan oleh fakta sosial nonmaterial, khususnya moralitas yang dipegang erat bersama-sama, atau apa yang disebut sebagai kesadaran kolektif yang begitu kuat. Namun, karena kompleksitas masyarakat modern, terjadi perubahan kekuatan kesadaran kolektif. Pergerakan masyarakat dari solidaritas mekanik ke solidaritas organik, menunjukkan adanya suatu transformasi kesadaran kolektif. Pada masyarakat bersolidaritas mekanis, kesadaran kolektif ini sangat tinggi, sedangkan pada masyarakat solidaritas organis tidak demikian halnya. Hubungan yang kuat di antara pembagian kerja dengan solidaritas sosial, Durkheim berpandangan, struktur pembagian kerja di suatu masyarakat akan membentuk corak solidaritas sosial yang khas masyarakat itu. Dengan meningkatnya pembagian kerja dalam masyarakat berhubungan langsung dengan kepadatan moral (moral density) atau dinamika suatu masyarakat. Moral density adalah tingkat kepadatan interaksi antar anggota masyarakat. Pertambahan jumlah penduduk meningkatkan kepadatan moral, yang berimplikasi pada hubungan di antara anggota masyarakat juga semakin rapat. Begitu juga dengan hubungan antara kelompok, berbagai bentuk interaksi baru bermunculan. Hal ini mengakibatkan meningkatnya kerja sama dan munculnya berbagai bentuk solidaritas sosial dalam masyarakat terkait masalah peningkatan pembagian pekerjaan. Ciri-ciri masyarakat dalam solidaritas mekanik yaitu: kesadaran kolektif sangat tinggi (kuat), pembagian kerja rendah, hukum represif sangat dominan, kolektifitas sangat kuat sebaliknya individualitas dihindari, konsensus terhadap 21

5 nilai-nilai normatif (moral kolektif) sangat penting, dan bersifat primitif (pedesaan). Dalam situasi masyarakat demikian, menjadi amat penting konsensus moral dan pola-pola normatif, sehingga memberi ruang keterlibatan kolektifitas (komunitas) dalam menghukum orang yang meyimpang dari konsensus bersama. Keterlibatan kolektif menghukum pelanggar karena keyakinan dan perasaan moralitas bersama sangat kuat, maka pelanggar dihukum atas pelanggarannya terhadap sistem moral kolektif. Hukuman yang diberikan membuat pelanggar menderita, kehilangan keberuntungan, kehormatan, kebebasan, atau kehilangan kesenangan. Tanpa memperhitungkan manfaat dan rasa keadilan dari hukuman yang diberikan, semata hanya membalas dendam. Sehubunghan dengan ciri-ciri tersebut di atas, maka nilai (norma) sosial yang berlaku dalam masyarakat ditentukan oleh kesadaran kolektif, terutama pada kesamaan dalam kepercayaan, nilai-nilai moral dan hubungan emosional. Maksudnya, jika terjadi pelanggaran oleh individu terhadap konsensus bersama, maka hal itu dianggap sebagai pelanggaran dan pengingkaran terhadap kesadaran kolektif. Sehingga hukuman yang diberikan itu mencerminkan kemarahan kolektif sangat tinggi. Sedangkan ciri-ciri masyarakat dalam solidaritas organik yaitu: solidaritas industri perkotaan, ditandai dengan adanya penghargaan terhadap sistem heterogenitas dan pluralitas, individualitas dihargai, pembagian kerja dalam masyarakat sangat tinggi dan menyuburkan saling ketergantungan fungsional dalam masyarakat, sehingga kesadaran kolektif (collective consciousness) menjadi rendah (lemah) sebab terdistribusi ke dalam masing-masing spesialisasi pekerjaan. 22

6 Durkheim mengatakan itulah pembagian kerja yang terus saja mengambil peran yang tadinya diisi oleh kesadaran kolektif. Meskipun demikian, bentuk kesadaran kolektif mengalami perubahan, bukannya hilang. Dalam situasi masyarakat demikian, maka konsensus pada nilai-nilai abstrak dan umum itu menjadi amat penting, sehingga kontrol sosial terdistribusi melalui badan-badan yang berwenang untuk menghukum orang yang melanggar konsensus. Ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat solidaritas organik, hukum restitutif yang dominan. Kolektifitas tidak terlibat dalam menghukum pelanggar konsensus sebab sudah ada lembaga yang berwenang. Hukum bersifat mendidik bukan bersifat balas dendam, melainkan sekedar memulihkan keadaan. Pelanggar melakukan restitusi untuk kejahatanya dan tidak selamanya akan kehilangan kehormatannya. Pelanggaran dilihat sebagai serangan terhadap individu tertentu atau segmen tertentu dari masyarakat dan bukannya terhadap sistem moral itu sendiri Agama dan Pembentukan Solidaritas Analisis sosiologis Durkheim menekankan adanya hubungan yang sangat erat antara masyarakat, agama, dan dampaknya terhadap solidaritas sosial. Dalam agama primitif (masyarakat primitif suku Arunta di Australia), Durkheim menemukan akar-akar agama dan hubungan saling ketergantungan antara agama dan masyarakat untuk memahami dasar-dasar dari kehidupan sosial. Sedangkan dalam masyarakat modern (agama modern), institusi-institusi agama mengembangkan suatu tingkat otonomi tertentu yang mungkin juga mengaburkan hubungan yang esensial antara agama dan masyarakat. 23

7 Walaupun agama-agama dapat dibedakan menurut tingkatan kompleksitas ritual, dan nilai-nilai yang dianutnya, tetapi pada hakekatnya memiliki kesamaan dasar, yaitu: They respond to the same needs, they play the same role, they depend upon the same cause; the can also well serve to show the nature of the religious life, and consequently to resolvethe problem which we wish to study. [Agama-agama menjawab kebutuhan yang sama, memainkan peranan yang sama, dan terbentuk dari penyebab yang sama; agama-agama juga dapat memperlihatkan apakah arti religiusitas manusia, dan tentunya menjawab pertanyaan yang hendak diteliti (persoalan hidup manusia]. Menurut Durkheim agama merupakan sesuatu keseluruhan yang terdiri bagian-bagian (komponen-komponen), yaitu sistim mitos, dogma, ritus, dan seremoni. Baginya, agama manapun memiliki tiga komponen mendasar: sistim kepercayaan, ritus (upacara keagamaan) dan komunitas religius. Kepercayaan adalah representasi yang mengekspresikan hakikat hal yang sakral dan hubungan yang mereka miliki, baik dengan sesama hal yang sakral atau dengan hal yang profan. Ritual agama, yaitu aturan tingkah laku yang mengatur bagaimana seorang manusia harus bersikap terhadap hal-hal yang sakral tersebut. Agama membutuhkan gereja, atau suatu komunitas moral yang melingkupi seluruh anggotanya. Atas dasar inilah, Durkheim mendefenisikan agama sebagai: a unified system of beliefs and practices relative to sacred things, that is to say, things set apart and forbidden-beliefs and practices which unite into one single moral community called a Church, all those who adhere to them. [Suatu sistim yang terpadu mengenai kepercayaan dan praktek-praktek yang berhubungan dengan hal-hal sakral, dengan kata lain, memberi batasan-batasan dan terlarang kepercayaan dan praktek keyakinan yang bersatu menjadi suatu komunitas moral (gereja) tunggal yang menghimpun mereka semua yang menganutnya]. 24

8 Kepercayaan agama manapun (baik agama primitif maupun agama kompleks) membagi dunia ke dalam dua golongan yaitu: yang sakral dan profan. Yang sakral (sacred realm) terdiri bukan hanya dari makhluk-makhluk yang memiliki jiwa, tetapi juga benda-benda lain seperti karang, pohon dan sebagainya yang dipandang suci (termasuk upacara keagamaan). Kepercayaan religius dapat dikonsepsi sebagai yang mengekspresikan sifat dasar dari hal-hal yang sakral dan relasinya, baik dengan hal sakral yang lain ataupun dengan hal-hal yang profan. Sementara ritus (upacara keagamaan) dapat didefenisikan sebagai prosedur yang menggambarkan bagaimana manusia harus bertingkah laku di hadapan benda-benda suci ini. Dalam agama manapun terdapat komunitas moral yang terdiri dari para imam (alim ulama) dan umatnya. Kesamaan keyakinan menjadi ikatan yang kokoh di antara anggota-anggota komunitas moral ini, antara ulama dan umat, antar ulama, dan antar umat. Komunitas moral ini, yang dinamakan church oleh Durkheim, tidak dapat dikatakan kurang penting bila dibandingkan dengan sistim kepercayaan maupun ritus. Justru sebaliknya: dengan menunjukkan bahwa agama tidak terpisah dari komunitas moral, jelas bahwa agama merupakan sebuah fenomena kolektif. Masyarakat (melalui individu) menciptakan agama dengan mendefenisikan fenomena tertentu sebagai sesuatu yang sakral sementara yang lain sebagai profan. Aspek realitas sosial yang didefenisikan dan dianggap sakral inilah dan merupakan sesuatu yang terpisah dari peristiwa sehari-hari yang membentuk esensi agama. Segala sesuatu yang diluar hal itu, didefenisikan dan 25

9 dianggap profan, misalnya: tempat umum, sesuatu yang biasa dipakai, aspek kehidupan duniawi. Di satu pihak, yang sakral melahirkan sikap hormat, kagum dan bertanggungjawab. Di pihak lain, sikap-sikap terhadap fenomena inilah yang membuatnya dari profan menjadi sakral, atas dorongan kekuatan moral kolektif. Menurut Durkheim sumber agama adalah masyarakat dan agama adalah sesuatu yang amat bersifat moral yang bersumber dari kesadaran kolektif. Itu sebabnya ia menyebut yang sakral itu adalah masyarakat dan lawan dari itu yang ia sebut profan adalah individu. Sakral dalam pemikiran Durkheim berada dalam bingkai believe and rite (kepercayaan dan ritus). Untuk mendapatkan yang disakralkan diperlukan serangkaian ritus tertentu. Menurut Durkheim, ide agama terbentuk dalam masyarakat ketika para anggotanya berkumpul bersama-sama dalam kesempatan-kesempatan khusus yang disebut ritus-ritus. Ia menjelaskan: When they are once come together, a sort of electricity is formed by their collecting which quickly transports them to an extraordinary degree of exaltation. Every sentiment expressed finds a place without resistance in all the minds, which are very open to outside impressions; each re-echoes the others, and is re-echoed by the others. The initial impulse thus proceeds, growing as it goes, as an avalanche grows in its advance. And as such active passions so free from all control could not fail to burst out, on every side one sees nothing but violent gestures, cries, veritable howls, and deafening noises of every sort, which aid in intensifying still more the state of mind which they manifest. So it is in the midst of these effervescent social environments and out of this effervescence it self that the religious idea seems to be born. [Ketika para anggota berkumpul, kebersamaan mereka membentuk sebuah gairah yang menghantar masing-masing ke kondisi surup. Setiap emosi yang meluap merasuk ke pikiran tiap mereka tanpa ada perlawanan, pikiran mereka amat mudah tersugesti (dan masuk ke hati); setiap mereka mengumamkan gumaman yang lain. Gairahpun semakin meluap-luap ibarat tanah longsor yang semakin lama kian deras. Dan seiring gairah yang meliar ini tak bisa dikendalikan lagi, sejauh mata memandang kita hanya akan mendapati gerak tubuh yang liar, pekik tangis, lolongan yang 26

10 menyayat, dan segala macam suara yang memekakkan telinga, sebuah keadaan yang memperkuat kondisi serup mereka. Lalu di tengah-tengah lingkungan sosial yang meluap-luap (effervescent) dan dari keadaan yang meluap-luap ini sendirilah nampaknya ide agama itu lahir]. Jeritan dan gerak-gerik yang terjadi dalam upacara itu lantas menjadi berirama dan teratur, menjadi nyanyian dan tarian. Lantaran ritus diadakan hanya pada waktu-waktu tertentu, peristiwa ini dipandang berbeda dengan situasi kehidupan sehari-hari. Ritus membentuk dan memperkuat kesadaran tentang keberadaan kekuatan suci, kekuatan yang lebih superior, di luar diri mereka, dan mendominasi mereka. keadaan ini membuat masing-masing individu, kemudian menganggap diri mereka dirasuki oleh kekuatan suci. Individu merasa tak menjadi dirinya lagi, ia merasa menjadi makhluk baru Agama melalui sistim kepercayaan dan ritus membentuk dan membentengi kesadaran kolektif di antara sekelompok manusia. Karena itulah dapat dikatakan bahwa pada dasarnya agama bermula (dibentuk) dari perasaan ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi lingkungannya (masalah). Ia merasa takut, lemah dan tak berdaya terhadap kekuatan jahat yang mengepungnya. Manusia membutuhkan suatu keberadaan yang lebih superior dari dirinya. Manusia membutuhkan kekuatan superior yang dapat menjadi tumpuannya untuk bergantung. Apa yang dianggap kekuatan ilahi pada dasarnya merupakan sesuatu yang dihasilkan oleh kelompok manusia yang berhimpun dan melakukan sebuah ritus. Simbol yang dipercayaai (Durkheim menamainya: totem) menjadi penting, karena menjadi simbol kekuatan sakral, ia menjadi wujud fisik dari tuhan dan masyarakat. Jika totem merupakan simbol dari tuhan dan masyarakat, itu berarti tuhan dan masyarakat adalah satu dan sama. Masyarakat merupakan kekuatan 27

11 yang lebih besar dari kekuatan individu. Ia melampaui individu, menuntut pengorbanan individu, menekan sifat egois individu dan mengisi individu dengan energi. Dengan kata lain masyarakat merupakan sumber dari kesakralan itu sendiri Konsensus dalam Masyarakat Menurut Durkheim, persepsi individu tentang kepentingan pribadinya tidak dibentuk dalam isolasi dari sesamanya, melainkan dibentuk oleh kepercayaan bersama serta nilai-nilai yang dianut bersama orang-orang lainnya dalam masyarakat. Ia melihat individu dibentuk oleh masyarakat, dan agar persepsi kepentingan individu tidak benturan dengan persepsi kepentingan masyarakat, maka dibutuhkan konsensus moral, yang dihasilkan dari kesadaran kolektif. Solidaritas bisa terjadi jika ada ikatan moralitas yang sama dari suatu komunitas yang didasari atas konsensus bersama untuk menaati dan menjalani bersama, menjadi ikatan sosial bersama untuk membangun integrasi sosial, sehingga kohesi sosial tetap kuat dalam suatu masyarakat. Konsensus dalam suatu masyarakat itu didasarkan atas kesadaran kolektif. Konsensus masyarakat adalah hasil kesadaran kolektif (collective consciousness). Solidaritas mekanik merupakan suatu bentuk hubungan sosial di antara individu atau kelompok yang didasarkan pada kepercayaan bersama, nilai-nilai moral dan diperkuat oleh perasaan senasib sepenanggungan atau pengalaman emosional bersama (hubungan emosional). Ikatan ini lebih kuat dari pada 28

12 hubungan kontraktual yang dibuat atas persetujuan rasional, karena hubungan-hubungan serupa itu mengandaikan sekurang-kurangnya satu tingkat (derajat) konsensus terhadap prinsip-prinsip moral yang menjadi dasar kontrak itu. Demi terpeliharanya keutuhan masyarakat (integrasi sosial), maka dibutuhkan komitmen moral untuk setia kepada konsensus dalam masyarakat. Dua elemen moralitas yang penting yaitu: disiplin dan keterikatan, saling menyempurnakan dan mendukung satu sama lain karena keduanya merupakan aspek yang berbeda dalam masyarakat. Disiplin adalah masyarakat yang dilihat sebagai sesuatu yang menuntun kita, sementara keterikatan adalah masyarakat yang dilihat sebagai bagian dari diri kita. Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa solidaritas sosial sebagai fakta sosial bisa terjadi karena dibangun atas kesadaran kolektif yang bersumber dari masyarakat. Oleh karena solidaritas sosial merupakan wujud konsensus masyarakat, maka hubungan individu harus dibangun sesuai dasar-dasar moral kepercayaan, tradisi atau adat istiadat yang sudah diakui dan dianut secara bersama oleh masyarakat. Dalam masyarakat terjadi konsensus (persetujuan - kesepakatan) sehingga terdapat nilai-nilai bersifat umum yang disepakati secara bersama, demi tujuan bersama. Kepercayaan bersumber dari masyarakat, kepercayaan melahirkan nilai-nilai moral bagi masyarakat, dan mengkonstruksi konsep sakral. Inilah teori agama menurut Durkheim, karena itu ia katakan masyarakat adalah sumber agama, nilai-nilai moral dan segala sesuatu yang dianggap sakral. Jadi, 29

13 kepercayaan, yang sakral, nilai-nilai moral, dan masyarakat adalah satu. Ia mendefenisikan agama adalah satu sistem kepercayaan dengan perilaku-perilaku yang utuh dan selalu dikaitkan dengan yang sakral, yaitu sesuatu yang terpisah dan terlarang. Perilaku-perilaku tersebut kemudian disatukan ke dalam satu komunitas moral yang disebut gereja, tempat masyarakat memberikan kesetiaannya. Kata kunci yaitu komunitas dan gereja. Yang sakral tersebut memiliki pengaruh yang luas, menentukan kesejahteraan dan kepentingan seluruh anggota masyarakat. Sementara yang profan tidak memiliki pengaruh yang begitu besar, hanya merefleksikan keseharian individu. Agama adalah cara masyarakat mengekspresikan dirinya dalam bentuk fakta sosial nonmaterial. Dari perspektif itu, Durkheim menuhankan masyarakat dan produk-produk utamanya, karena ia sangat mengagungkan masyarakat. Ini menunjukkan sikap konservatif Durkheim, bahwa: orang tidak akan mencampakkan tuhan atau sumber sosialnya yaitu masyarakat. Karena mengidentikkan masyarakat dengan tuhan, Durkheim tidak menganjurkan revolusi sosial dalam memperbaiki tatanan sosial. Ia adalah seorang pembaru sosial yang berusaha menemukan cara memperbaiki fungsi masyarakat. Salah satunya yaitu dengan jalan penguatan konsensus normatif dalam masyarakat. Hal itu tercipta melalui ritus-ritus yang mengubah kekuatan moral masyarakat menjadi simbol-simbol religius yang mengikat individu dalam konsensus bersama suatu komunitas. Konsensus yang terjadi itu merupakan konsensus sakral. Menjadi konsensus sakral, karena bagi Durkheim, konsensus masyarakat merupakan hasil dari kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif sama sekali 30

14 membungkus keseluruhan kesadaran kita dan dalam segala hal, kesadaran kita serupa dengan kesadaran kolektif. Durkheim pun menekankan tentang teori sakral, yang mengatakan bahwa yang sakral itu adalah masyarakat. Menurut Durkheim sumber agama adalah masyarakat, dan agama adalah sesuatu yang amat bersifat moral yang bersumber dari moralitas kolektif (moral community). Itu sebabnya ia menyebut yang sakral itu adalah masyarakat dan lawan dari itu yang ia sebut profan adalah individu Integrasi Sosial Menurut Durkheim, integrasi sosial dalam suatu masyarakat terwujud jika seluruh anggota masyarakat itu mampu membangun suatu collective consciousness. Kondisi dimana masyarakat memiliki hakikat solidaritas sosial dan kohesi sosial yang tinggi. Dalam masyarakat seperti ini, moralitas kolektif sangat dijunjung tinggi, karena telah menjadi konsensus bersama. Kesadaran kolektif akan menciptakan kekuatan yang cukup untuk menanamkan sikap moral yang merupakan dasar suatu keteraturan sosial yang bersifat integratif. Dalam rangka mewujudkan hal itu, maka menurut Durkheim, pendidikan harus dimajukan. Pendidikan didefenisikan sebagai proses di mana individu mendapatkan alat-alat fisik, intelektual dan nilai-nilai moral yang diperlukan untuk berperan dalam masyarakat. Yang hendak ditekankan Durkheim tentang kesadaran kolektif yaitu: Pertama, kesadaran kolektif terdapat dalam kehidupan sebuah masyarakat ketika dia menyebut keseluruhan kepercayaan dan sentimen bersama. Kedua, 31

15 Durkheim memahami kesadaran kolektif sebagai sesuatu terlepas dari dan mampu menciptakan fakta sosial yang lain. Kesadaran kolektif bukan hanya sekedar cerminan dari basis material. Ketiga, kesadaran kolektif baru bisa terwujud melalui kesadaran-kesadaran individual. Durkheim juga menekankan peranan agama dan ide tentang yang suci adalah produk kehidupan kolektif; kepercayaan dan ritus agama juga memperkuat ikatan-ikatan sosial di mana kehidupan kolektif itu bersandar. Dengan kata lain hubungan antara agama dan masyarakat memperlihatkan saling ketergantungan yang sangat erat. Pada intinya menurut Durkheim, kepercayaan-kepercayaan agama memperlihatkan kenyataan masyarakat itu sendiri dalam bentuk simbolis. Misalnya dalam ritus agama, mempersatukan individu dalam kegiatan bersama dengan satu tujuan bersama dan memperkuat kepercayaan, perasaan dan komitmen moral yang merupakan dasar struktur sosial. Jadi ide tentang kesadaran kolektif, yang sakral, solidaritas, ritus dan sebagainya yang bersifat nonmaterial itu dimanifestasikan dalam perasaan bersama serta kegiatan bersama menjadi bukti adanya integrasi sosial dalam masyarakat. 32

BAB II SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERSPEKTIF EMILE DURKHEIM. dengan pihak-pihak terkait. Peneliti memilih teori Solidaritas Emile Durkhei, teori ini

BAB II SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERSPEKTIF EMILE DURKHEIM. dengan pihak-pihak terkait. Peneliti memilih teori Solidaritas Emile Durkhei, teori ini BAB II SOLIDARITAS SOSIAL DALAM PERSPEKTIF EMILE DURKHEIM Melihat kondisi solidaritas dan berdasarkan observasi, serta wawancara dengan pihak-pihak terkait. Peneliti memilih teori Solidaritas Emile Durkhei,

Lebih terperinci

BAB II : KAJIAN TEORITIK. mengajar di tingkat universitas memberikan khusus sosiologi pertama kali di

BAB II : KAJIAN TEORITIK. mengajar di tingkat universitas memberikan khusus sosiologi pertama kali di BAB II : KAJIAN TEORITIK a. Solidaritas Sosial Durkheim dilahirkan di Perancis dan merupakan anak seorang laki-laki dari keluarga Yahudi. Dia mahir dalam ilmu hukum filsafat positif. Dia terakhir mengajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu dan sebagai makhluk sosial. Manusia memiliki kebutuhan dan

BAB I PENDAHULUAN. individu dan sebagai makhluk sosial. Manusia memiliki kebutuhan dan BAB I PENDAHULUAN 1. 1 LATAR BELAKANG Manusia memiliki dua sisi dalam kehidupannya, yaitu sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk sosial. Manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan serta kebiasaan untuk

Lebih terperinci

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, BAB IV ANALISIS 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, yang secara sadar maupun tidak telah membentuk dan melegalkan aturan-aturan yang

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN. Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan pemahaman pada Bab I-IV, maka pada bagian akhir tesis ini terdapat beberapa hal pokok yang akan ditegaskan sebagai inti pemahaman masyarakat Tunua tentang fakta

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI. dan bangsa, dalam semua tempat dan waktu, yang dibuat oleh sang pencipta alam

BAB II KERANGKA TEORI. dan bangsa, dalam semua tempat dan waktu, yang dibuat oleh sang pencipta alam BAB II KERANGKA TEORI 2.1 Agama dan Masyarakat Agama mempunyai peraturan yang mutlak berlaku bagi segenap manusia dan bangsa, dalam semua tempat dan waktu, yang dibuat oleh sang pencipta alam semesta sehingga

Lebih terperinci

BAB II TEORI SOLIDARITAS EMILE DURKHEIM. ataupun kelompok sosial karena pada dasarnya setiap masyarakat membutuhkan

BAB II TEORI SOLIDARITAS EMILE DURKHEIM. ataupun kelompok sosial karena pada dasarnya setiap masyarakat membutuhkan 27 BAB II TEORI SOLIDARITAS EMILE DURKHEIM A. Teori Solidaritas Emile Durkheim. Solidaritas adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh sebuah masyarakat ataupun kelompok sosial karena pada dasarnya setiap

Lebih terperinci

BAB II SOLIDARITAS SOSIAL-EMILE DURKHEIM. objek penelitian.sebagai alat, teori tersebut dipilih yang paling memadai, paling

BAB II SOLIDARITAS SOSIAL-EMILE DURKHEIM. objek penelitian.sebagai alat, teori tersebut dipilih yang paling memadai, paling 49 BAB II SOLIDARITAS SOSIAL-EMILE DURKHEIM Kerangka teori adalah teori-teori yang dianggap relevan untuk menganalisis objek penelitian.sebagai alat, teori tersebut dipilih yang paling memadai, paling

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. solidaritas dan sosial. Solidaritaas sosial merupakan perasaan atau

BAB II KAJIAN TEORI. solidaritas dan sosial. Solidaritaas sosial merupakan perasaan atau 22 BAB II KAJIAN TEORI A. Konsep Solidaritas Sosial 1. Pengertian Solidaritas Pengertian solidaritas sosial berasal dari dua pemaknaan kata yaitu solidaritas dan sosial. Solidaritaas sosial merupakan perasaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sosial (termasuk religi), ekonomi dan ekologi sehingga hubungan hutan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sosial (termasuk religi), ekonomi dan ekologi sehingga hubungan hutan dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Secara tradisional hubungan masyarakat dan hutan meliputi multi aspek yaitu sosial (termasuk religi), ekonomi dan ekologi sehingga hubungan hutan dan masyrakat sekitar hutan memiliki

Lebih terperinci

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan 5.1. Kesimpulan B A B V P E N U T U P Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan umum bahwa integrasi sosial dalam masyarakat Sumba di Kampung Waiwunga, merupakan konstruksi makna

Lebih terperinci

BAB II TEORI FUNGSIONALISME STRUKTURAL DAN TEORI SOLIDARITAS. Solidaritas Dan Stratifikasi Antar Petani Tambak Di Dusun Dukuan Desa

BAB II TEORI FUNGSIONALISME STRUKTURAL DAN TEORI SOLIDARITAS. Solidaritas Dan Stratifikasi Antar Petani Tambak Di Dusun Dukuan Desa BAB II TEORI FUNGSIONALISME STRUKTURAL DAN TEORI SOLIDARITAS A. Teori Fungsionalisme Struktural Untuk menjelaskan fenomena yang diangkat oleh peneliti yaitu Solidaritas Dan Stratifikasi Antar Petani Tambak

Lebih terperinci

Oleh: Moch. Masykur Fuadz A. NIM:

Oleh: Moch. Masykur Fuadz A. NIM: Eksistensi Sunda Wiwitan (Eksistensi Sunda Wiwitan pada Anggota Suku Baduy di Jakarta) Oleh: Moch. Masykur Fuadz A. NIM: 071014025 Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN. 1. Solidaritas Sosial sebagai Kekuatan dalam Hubungan Kekerabatan dan

BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN. 1. Solidaritas Sosial sebagai Kekuatan dalam Hubungan Kekerabatan dan BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN 1. Solidaritas Sosial sebagai Kekuatan dalam Hubungan Kekerabatan dan Perkawinan Masyarakat Aimoli Masyarakat di kampung Aimoli meyakini bahwa mereka adalah satu keluarga

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISA. IV.1 Sakralnya Pusat Pulau Dalam Pemahaman Orang Abubu

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISA. IV.1 Sakralnya Pusat Pulau Dalam Pemahaman Orang Abubu BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISA IV.1 Sakralnya Pusat Pulau Dalam Pemahaman Orang Abubu Dari hasil penelitian seperti yang telah dipaparkan dalam Bab III sebagai Pendekatan Lapangan, diketahui bahwa orang

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP VI.1. Kesimpulan Data.

BAB VI PENUTUP VI.1. Kesimpulan Data. 219 BAB VI PENUTUP Dari hasil analisa terhadap ulos dalam konsep nilai inti berdasarkan konteks sosio-historis dan perkawinan adat Batak bagi orang Batak Toba di Jakarta. Juga analisa terhadap ulos dalam

Lebih terperinci

BAB VI KOMUNITAS DIBO-DIBO SEBAGAI JARINGAN YANG HIDUP

BAB VI KOMUNITAS DIBO-DIBO SEBAGAI JARINGAN YANG HIDUP BAB VI KOMUNITAS DIBO-DIBO SEBAGAI JARINGAN YANG HIDUP Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dijabarkan pada dua bab sebelumnya, dapat diidentifikasi bahwa komunitas karakter sosial dan juga karakter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena hubungan-hubungan serupa itu mengandaikan sekurang-kurangnya satu

BAB I PENDAHULUAN. karena hubungan-hubungan serupa itu mengandaikan sekurang-kurangnya satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Solidaritas sosial menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN KRITIS INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT YALAHATAN DALAM PLURALITAS AGAMA

BAB IV TINJAUAN KRITIS INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT YALAHATAN DALAM PLURALITAS AGAMA BAB IV TINJAUAN KRITIS INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT YALAHATAN DALAM PLURALITAS AGAMA 4.1. Pengantar Masyarakat Yalahatan secara administratif merupakan masyarakat dusun di bawah pemerintahan Negeri Tamilouw

Lebih terperinci

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU BAB VI KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU Konflik merupakan sebuah fenonema yang tidak dapat dihindari dalam sebuah kehidupan sosial. Konflik memiliki dua dimensi pertama adalah dimensi penyelesaian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Interaksi Sosial Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hubungan antara individu, antara kelompok maupun antara individu dengan kelompok (Soekanto,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir,

BAB I PENDAHULUAN. Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan

Lebih terperinci

BAB II PERSELINGKUHAN DAN KONTROL SOSIAL - DURKHEIM

BAB II PERSELINGKUHAN DAN KONTROL SOSIAL - DURKHEIM BAB II PERSELINGKUHAN DAN KONTROL SOSIAL - DURKHEIM A. Perselingkuhan Perselingkuhan adalah hubungan pribadi di luar nikah, yang melibatkan sekurangnya satu orang yang berstatus nikah, dan didasari oleh

Lebih terperinci

MANUSIA dan AGAMA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI. Pertemuan III FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2014

MANUSIA dan AGAMA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI. Pertemuan III FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2014 MANUSIA dan AGAMA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI Pertemuan III FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2014 Agama adalah salah satu bentuk kontruksi sosial. Tuhan, ritual, nilai, hierarki keyakinankeyakinan,

Lebih terperinci

SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN

SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN Pada hakekatnya manusia merupakan mahluk sosial. Hal ini dapat dilihat dari kehidupannya yang senantiasa menyukai dan membutuhkan kehadiran manusia lain. Manusia memiliki

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Komunitas dapat diartikan sebagai masyarakat community atau masyarakat

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Komunitas dapat diartikan sebagai masyarakat community atau masyarakat BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Komunitas Komunitas dapat diartikan sebagai masyarakat community atau masyarakat setempat, komunitas berasal dari bahasa lain yaitu communitas yang memiliki arti kesamaan (http://id.wikipedia.org/wiki/komunitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberagaman etnik yang ada di Indonesia dapat menjadi suatu kesatuan

BAB I PENDAHULUAN. Keberagaman etnik yang ada di Indonesia dapat menjadi suatu kesatuan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberagaman etnik yang ada di Indonesia dapat menjadi suatu kesatuan apabila ada interaksi sosial yang positif, diantara setiap etnik tersebut dengan syarat kesatuan

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS. Hindu merupakan suatu hewan yang dihormati dan disucikan. beragama tidak dapat dilepaskan dari bendanya.

BAB V ANALISIS. Hindu merupakan suatu hewan yang dihormati dan disucikan. beragama tidak dapat dilepaskan dari bendanya. BAB V ANALISIS A. Sakral dan Profan Pengertian sakral yaitu hal yang lebih dirasakan dari pada yang dilukiskan. Misalnya suatu benda mengandung nilai sakral atau nilai profan, dalam masyarakat terdapat

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP V. 1. KESIMPULAN

BAB V PENUTUP V. 1. KESIMPULAN 84 BAB V PENUTUP V. 1. KESIMPULAN Keyakinan agama dewasa ini telah dipinggirkan dari kehidupan manusia, bahkan harus menghadapi kenyataan digantikan oleh ilmu pengetahuan. Manusia modern merasa tidak perlu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk kerjasama kehidupan antara pria dan wanita di dalam masyarakat. Perkawinan betujuan untuk mengumumkan

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE 6 POKOK BAHASAN

PERTEMUAN KE 6 POKOK BAHASAN PERTEMUAN KE 6 POKOK BAHASAN A. TUJUAN PEMBELAJARAN Adapun tujuan pembelajaran yang akan dicapai sebagai berikut: 1. Mahasiswa dapat menjelaskan perbedaan pengertian nilai dengan nilai social. 2. Mahasiswa

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Dorongan beragama bagi manusia merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari.

Bab I Pendahuluan. Dorongan beragama bagi manusia merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari. 1 Bab I Pendahuluan Latar Belakang Masalah Dorongan beragama bagi manusia merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari. Dorongan beragama merupakan dorongan psikis yang merupakan landasan ilmiah dalam

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS

BAB II KAJIAN TEORITIS BAB II KAJIAN TEORITIS Pada BAB ini akan menjelaskan mengenai pengenalan totem yang dipakai berdasarkan pemahaman dari Emile Durkheim dan Mircea Eliade. Pemahaman mereka mengenai totem beserta dengan fungsinya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijalankan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Seorang individu

BAB I PENDAHULUAN. dijalankan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Seorang individu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perilaku individu berkaitan erat dengan yang namanya peran dalam kehidupan bermasyarakat. Peran mengandung hal dan kewajiban yang harus dijalani oleh seorang

Lebih terperinci

LAPORAN TUGAS AKHIR KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA DAN DASAR NEGARA

LAPORAN TUGAS AKHIR KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA DAN DASAR NEGARA LAPORAN TUGAS AKHIR KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA DAN DASAR NEGARA Disusun Oleh: Nama : Heruadhi Cahyono Nim : 11.02.7917 Dosen : Drs. Khalis Purwanto, MM STIMIK AMIKOM

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Simpulan dan Saran. Keduanya merupakan bagian penutup dari tesis ini.

BAB V PENUTUP. Simpulan dan Saran. Keduanya merupakan bagian penutup dari tesis ini. BAB V PENUTUP Pada bagian ini akan dikemukakan tentang dua hal yang merupakan Simpulan dan Saran. Keduanya merupakan bagian penutup dari tesis ini. A. Simpulan 1. Denda adat di Moa merupakan tindakan adat

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI Disampaikan Pada Sarasehan Nasional Pendidikan Budaya Politik Nasional Berlandaskan Pekanbaru,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebudayaan Tradisional Masyarakat Desa Konsep kebudayaan tradisional mengacu pada gambaran tentang cara hidup (way of life) masyarakat desa yang belum dirasuki oleh penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara horizontal dalam struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh

BAB I PENDAHULUAN. Secara horizontal dalam struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Secara horizontal dalam struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaaan agama, adat dan perbedaan

Lebih terperinci

BAB IV. KOMBONGAN KALUA Dalam BINGKAI KONSENSUS SAKRAL. Dan INTEGRASI SOSIAL. 1.1.Menelaah Konsensus Kombongan Kalua Dalam Perspektif Durkheim

BAB IV. KOMBONGAN KALUA Dalam BINGKAI KONSENSUS SAKRAL. Dan INTEGRASI SOSIAL. 1.1.Menelaah Konsensus Kombongan Kalua Dalam Perspektif Durkheim BAB IV KOMBONGAN KALUA Dalam BINGKAI KONSENSUS SAKRAL Dan INTEGRASI SOSIAL 1.1.Menelaah Konsensus Kombongan Kalua Dalam Perspektif Durkheim Budaya kombongan kalua di Toraja (sebagaimana diuraikan dalam

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS. persaudaraan antar keluarga/gandong sangat diprioritaskan. Bagaimana melalui meja

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS. persaudaraan antar keluarga/gandong sangat diprioritaskan. Bagaimana melalui meja BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS Salah satu adat perkawinan di Paperu adalah adat meja gandong. Gandong menjadi penekanan utama. Artinya bahwa nilai kebersamaan atau persekutuan atau persaudaraan antar keluarga/gandong

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN TEORITIS. Asumsi umum yang paling fundamental yang mendasari pendekatan Durkheim

BAB II PENDEKATAN TEORITIS. Asumsi umum yang paling fundamental yang mendasari pendekatan Durkheim BAB II PENDEKATAN TEORITIS A. Fakta Sosial Asumsi umum yang paling fundamental yang mendasari pendekatan Durkheim mengenai sosiologi adalah bahwa gejala sosial itu riil dan mempengaruhi kesadaran individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di Indonesia sangat kaya akan berbagai macam budaya baik itu bahasa,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di Indonesia sangat kaya akan berbagai macam budaya baik itu bahasa, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia sangat kaya akan berbagai macam budaya baik itu bahasa, tarian dan adat istiadat yang dimiliki oleh setiap suku bangsa juga sangat beragam. Keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB VII REFLEKSI DAN KESIMPULAN

BAB VII REFLEKSI DAN KESIMPULAN BAB VII REFLEKSI DAN KESIMPULAN Fakta-fakta dan analisis di dalam disertasi ini melahirkan satu kesimpulan umum yaitu bahwa keberadaan Jemaat Eli Salom Kele i adalah sebuah hasil konstruksi sosial dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar merupakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar merupakan 12 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Belajar Matematika Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Ini berarti bahwa berhasil tidaknya

Lebih terperinci

LRC. Oleh : Harun Azwari (Peneliti LRC) Latar Belakang

LRC. Oleh : Harun Azwari (Peneliti LRC) Latar Belakang Oleh : Harun Azwari (Peneliti ) Latar Belakang Ilmu hukum adalah ilmu yang mandiri atau otonom, keberadaannya betul-betul independen lepas sama sekali dari anasir-anasir di luar dirinya. Ungkapan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki struktur masyarakat majemuk dan multikultural terbesar di dunia. Keberagaman budaya tersebut memperlihatkan

Lebih terperinci

BAB II SOLIDARITAS EMILE DURKHEIM DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT GERSIK PUTIH. paradigma fakta sosial yang di dalamnya memuat teori

BAB II SOLIDARITAS EMILE DURKHEIM DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT GERSIK PUTIH. paradigma fakta sosial yang di dalamnya memuat teori BAB II SOLIDARITAS EMILE DURKHEIM DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT GERSIK PUTIH Sebelum masuk pada pembahasan dan mengupas tentang teori solidaritas yang digunakan dalam penelitian ini ada baiknya peneliti ingin

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA DATA. dan biasanya jatuh pada bulan Maret/April. Ritual ini dilakukan dengan

BAB IV ANALISA DATA. dan biasanya jatuh pada bulan Maret/April. Ritual ini dilakukan dengan BAB IV ANALISA DATA Ritual Jumat Agung merupakan ritual yang dilaksanakan pada hari Jumat dan biasanya jatuh pada bulan Maret/April. Ritual ini dilakukan dengan mempunyai tujuan untuk memperingati hari

Lebih terperinci

PERANAN AGAMA DALAM KEHIDUPAN MODERN

PERANAN AGAMA DALAM KEHIDUPAN MODERN PERANAN AGAMA DALAM KEHIDUPAN MODERN Oleh Nurcholish Madjid Berbicara tentang agama memerlukan suatu sikap ekstra hatihati. Sebab, sekalipun agama merupakan persoalan sosial, tetapi penghayatannya amat

Lebih terperinci

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA Modul ke: PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA BAHAN TAYANG MODUL 7 SEMESTER GASAL 2016 Fakultas FAKULTAS TEKNIK RANI PURWANTI KEMALASARI SH.MH. Program Studi Teknik SIPIL www.mercubuana.ac.id Dalam bahasa

Lebih terperinci

SOSIOLOGI AGAMA PRODI PENDIDIKAN SOSIOLOGI SEMESTER VI PERTEMUAN IV AGAMA DAN MASYARAKAT OLEH: AJAT SUDRAJAT

SOSIOLOGI AGAMA PRODI PENDIDIKAN SOSIOLOGI SEMESTER VI PERTEMUAN IV AGAMA DAN MASYARAKAT OLEH: AJAT SUDRAJAT SOSIOLOGI AGAMA PRODI PENDIDIKAN SOSIOLOGI SEMESTER VI PERTEMUAN IV AGAMA DAN MASYARAKAT OLEH: AJAT SUDRAJAT AGAMA DAN MASYARAKAT (1) Menurut Mark Twain manusia adalah binatang beragama, sementara Mircea

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest dan keseimbangan (equilibreum).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest dan keseimbangan (equilibreum). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fungsionalisme Struktural Beberapa konsep penting dalam memahami struktural fungsional adalah: fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest dan keseimbangan (equilibreum).

Lebih terperinci

Nilai & Norma DORIS FEBRIYANTI M,SI

Nilai & Norma DORIS FEBRIYANTI M,SI Nilai & Norma DORIS FEBRIYANTI M,SI NILAI SOSIAL DALAM MASYARAKAT Nilai sosial dalah segala sesuatu pandangan yang dianggap baik dan benar oleh suatu lingkungan masyarakat yang kemudian dipedomani sebagai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat,

PENDAHULUAN. satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat, BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 1.1. Identifikasi Permasalahan Adanya ikatan persaudaraan ibarat adik kakak yang terjalin antar satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat,

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Penelitian ini mendapatkan konsep awal tentang anti-materialisme

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Penelitian ini mendapatkan konsep awal tentang anti-materialisme BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini mendapatkan konsep awal tentang anti-materialisme berdasarkan eksplorasi terhadap sikap hidup orang-orang yang memandang diri mereka sebagai tidak materialistis.

Lebih terperinci

BAB II TEORI KONFLIK DAN KONSENSUS

BAB II TEORI KONFLIK DAN KONSENSUS 17 BAB II TEORI KONFLIK DAN KONSENSUS Landasan teori pada penelitian ini menggunakan teori Ralf Dahendrof. Karena, teori Dahendrof berhubungan dengan fenomena sosial masyarakat salah satunya adalah teori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Olahraga hingga kini kian meluas dan memiliki makna sebagai sebuah fenomena yang bersifat global, mencakup wilayah kajian hampir seluruh sendisendi kehidupan manusia.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Masjid Agung Demak mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan

BAB V PENUTUP. Masjid Agung Demak mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan BAB V PENUTUP Masjid Agung Demak mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan orang-orang Islam di Jawa. Kedudukan dan kelebihan Masjid Agung Demak tidak terlepas dari peran para ulama yang bertindak

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

Persoalan Ekonomi dan Sosiologi

Persoalan Ekonomi dan Sosiologi SOSIOLOGI EKONOMI Persoalan Ekonomi dan Sosiologi Economics and sociology; Redefining their boundaries: Conversations with economicts and sociology (Swedberg:1994) Tiga pembagian kerja ekonomi dengan sosiologi:

Lebih terperinci

BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU

BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN SOSIOLOGI BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU ALI IMRON, S.Sos., M.A. Dr. SUGENG HARIANTO, M.Si. KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI

BAB II KERANGKA TEORI BAB II KERANGKA TEORI 2.1. Pola Asuh Berdasarkan tata bahasanya, pola asuh terdiri dari kata pola dan asuh. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (dalam Isni Agustiawati, 2014), kata pola berarti model,

Lebih terperinci

TEORI KONFLIK DAN INTEGRASI SOSIAL

TEORI KONFLIK DAN INTEGRASI SOSIAL II. TEORI KONFLIK DAN INTEGRASI SOSIAL A. Konflik Istilah konflik secara etimologis berasal dari bahasa latin con yang berarti bersama dan fligere yang berarti benturan atau tabrakan. Jadi, konflik dalam

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. Kehidupan berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. Kehidupan berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola 1 BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Kehidupan berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola perilaku masyarakat. Perilaku ini tercermin dari perilaku individu selaku anggota masyarakat. Indonesia

Lebih terperinci

SOSIOLOGI PENDIDIKAN

SOSIOLOGI PENDIDIKAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF STRUKUTRAL FUNGSIONAL TOKOH PEMIKIR ANTARA LAIN: 1. AUGUSTE COMTE (1798 185) 4. CHARLES DARWIN (1809 1882) 2. HERBERT SPENCER (1820 1903) 5. TALCOT PARSON

Lebih terperinci

KEBUDAYAAN. Oleh : Firdaus

KEBUDAYAAN. Oleh : Firdaus KEBUDAYAAN Oleh : Firdaus Pertemuan ini akan Membahas : 1. Konsep Kebudayaan 2. Unsur-Unsur Kebudayaan 3. Wujud Ideal Kebudayaan 4. Beberapa Teori Kebudayaan Pertanyaan untuk Diskusi Awal: 1. Apa Itu Kebudayaan

Lebih terperinci

BAB IV SOSIAL NEGERI HARIA DAN SIRI SORI ISLAM PASCA KONFLIK DI MALUKU. Louleha adalah sebuah hubungan kekerabatan. Louleha merupakan sebuah

BAB IV SOSIAL NEGERI HARIA DAN SIRI SORI ISLAM PASCA KONFLIK DI MALUKU. Louleha adalah sebuah hubungan kekerabatan. Louleha merupakan sebuah BAB IV REVITALISASI PERAN LOULEHA DALAM PROSES REINTEGRASI SOSIAL NEGERI HARIA DAN SIRI SORI ISLAM PASCA KONFLIK DI MALUKU Louleha adalah sebuah hubungan kekerabatan. Louleha merupakan sebuah produk budaya.

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS KEPARIWISATAAN. suci. Ritual menciptakan dan memelihara mitos, adat, sosial, dan agama, ritual

BAB II URAIAN TEORITIS KEPARIWISATAAN. suci. Ritual menciptakan dan memelihara mitos, adat, sosial, dan agama, ritual BAB II URAIAN TEORITIS KEPARIWISATAAN 2.1 Pengertian Ritual Ritual adalah tehnik (cara metode) membuat suatu adat kebiasaan menjadi suci. Ritual menciptakan dan memelihara mitos, adat, sosial, dan agama,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pembahasan terhadap hasil-hasil penelitian sebagaimana

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pembahasan terhadap hasil-hasil penelitian sebagaimana 223 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan terhadap hasil-hasil penelitian sebagaimana penulis sampaikan pada bab sebelumnya, kesimpulan tentang makna-makna reflective teaching yang terkandung

Lebih terperinci

INTERAKSI SOSIAL PADA AKTIVIS IMM DAN KAMMI. Skripsi

INTERAKSI SOSIAL PADA AKTIVIS IMM DAN KAMMI. Skripsi INTERAKSI SOSIAL PADA AKTIVIS IMM DAN KAMMI Skripsi Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana S-1 Psikologi Oleh : NANANG FEBRIANTO F. 100 020 160 FAKULTAS PSIKOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang begitu unik. Keunikan negara ini tercermin pada setiap dimensi kehidupan masyarakatnya. Negara kepulauan yang terbentang dari

Lebih terperinci

CONTOH BAHAN AJAR. A. TOPIK : PENGERTIAN dan RUANG LINGKUP SOSIOLOGI AGAMA

CONTOH BAHAN AJAR. A. TOPIK : PENGERTIAN dan RUANG LINGKUP SOSIOLOGI AGAMA CONTOH BAHAN AJAR A. TOPIK : PENGERTIAN dan RUANG LINGKUP SOSIOLOGI AGAMA 1. Pengantar Pemahaman Sosiologi tentang masyarakat bagaimanapun juga dalamnya dan detailnya tidak akan lengkat tanpa mengikut

Lebih terperinci

PRINSIP DASAR MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK INDIVIDU DAN MAKHLUK SOSIAL DI MASYARAKAT

PRINSIP DASAR MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK INDIVIDU DAN MAKHLUK SOSIAL DI MASYARAKAT INTERAKSI SOSIAL DAN PERUBAHAN SOSIAL PRINSIP DASAR MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK INDIVIDU DAN MAKHLUK SOSIAL DI MASYARAKAT 1. Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial 2. Manusia berada di dalam sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebudayaan yang berkembang di daerah-daerah di seluruh Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Kebudayaan yang berkembang di daerah-daerah di seluruh Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebudayaan yang berkembang di daerah-daerah di seluruh Indonesia merupakan buah Pergumulan Kreatif dari penduduk setempat dan telah menjadi warisan untuk genarasi

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan. kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan

BAB VI KESIMPULAN. Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan. kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan 533 BAB VI KESIMPULAN A. Kesimpulan Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan sebagai landasan relasi manusia-tuhan-alam semesta.

Lebih terperinci

AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim

AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL Oleh : Erna Karim DEFINISI AGAMA MENGUNDANG PERDEBATAN POLEMIK (Ilmu Filsafat Agama, Teologi, Sosiologi, Antropologi, dan Ilmu Perbandingan Agama) TIDAK ADA DEFINISI AGAMA YANG

Lebih terperinci

PANDANGAN HIDUP SISTEM

PANDANGAN HIDUP SISTEM PANDANGAN HIDUP SISTEM SEPERTI APA REALITAS YANG EKOLOGIS? Oleh : Dr. Sri Trisnaningsih, SE, M.Si (Kaprogdi Akuntansi FE UPN Veteran Jatim) Pemahaman Hidup Sistem Visi atau pandangan hidup akan realitas

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN. Berdasarkan uraian pada Bab Latar Belakang dan Landasan Teori, maka masalah yang

BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN. Berdasarkan uraian pada Bab Latar Belakang dan Landasan Teori, maka masalah yang BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN Berdasarkan uraian pada Bab Latar Belakang dan Landasan Teori, maka masalah yang diteliti ini bersifat variabel tunggal yakni hukuman rotan (Suatu Analisa Sosiologi Terhadap

Lebih terperinci

B. TOPIK PENDEKATAN SOSIOLOGI TERHADAP AGAMA

B. TOPIK PENDEKATAN SOSIOLOGI TERHADAP AGAMA B. TOPIK PENDEKATAN SOSIOLOGI TERHADAP AGAMA 1. Pendekatan Sosiologi Terhadap Agama. Beberapa cara melihat agama; menurut Soedjito (1977) ada empat cara, yaitu: memahami atau melihat sejarah perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu berupa akal, cipta, rasa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istiadat yang berlaku, akan kesulitan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. istiadat yang berlaku, akan kesulitan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Adat merupakan warisan nenek moyang yang harus ditaati. Masyarakat harus memiliki pengetahuan tentang adat yang berlaku di masyarakat agar tidak terjadi kesalahpahaman

Lebih terperinci

PENGANTAR PERKOPERASIAN

PENGANTAR PERKOPERASIAN PENGANTAR PERKOPERASIAN BAB V : NILAI-NILAI DASAR DAN PRINSIP-PRINSIP KOPERASI OLEH ; LILIS SOLEHATI Y PENTINGNYA IDEOLOGI Ideologi adalah keyakinan atas kebenaran dan kemanfaatan sesuatu, jika sesuatu

Lebih terperinci

Telaah Budi Pekerti dalam Pembelajaran di Sekolah (Implementasi Konsep dan Prinsip Tatakrama dalam Kehidupan Berbasis Akademis) Oleh: Yaya S.

Telaah Budi Pekerti dalam Pembelajaran di Sekolah (Implementasi Konsep dan Prinsip Tatakrama dalam Kehidupan Berbasis Akademis) Oleh: Yaya S. Telaah Budi Pekerti dalam Pembelajaran di Sekolah (Implementasi Konsep dan Prinsip Tatakrama dalam Kehidupan Berbasis Akademis) Oleh: Yaya S. Kusumah Pendahuluan Pergeseran tata nilai dalam kehidupan sehari-hari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan, bahasa maupun sikap dan perasaan (Kamanto Sunarto, 2000:149).

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan, bahasa maupun sikap dan perasaan (Kamanto Sunarto, 2000:149). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial karena di dalam kehidupannya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh manusia lain. Pada diri manusia juga terdapat

Lebih terperinci

NATURALISME Naturalisme 'natura' naturalisme supernaturalisme

NATURALISME Naturalisme 'natura' naturalisme supernaturalisme NATURALISME Naturalisme adalah teori yang menerima 'natura' (alam) sebagai keseluruhan realitas. Istilah naturalisme adalah kebalikan dari dari istilah supernaturalisme yang mengandung pandangan dualistik

Lebih terperinci

PELATIHAN PENGEMBANGAN KULTUR SEKOLAH

PELATIHAN PENGEMBANGAN KULTUR SEKOLAH PELATIHAN PENGEMBANGAN KULTUR SEKOLAH Oleh: Drs. Widarto, M.Pd. FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA DISAMPAIKAN PADA PELATIHAN PENGEMBANGAN KULTUR SEKOLAH DI LEMBAGA PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

Lebih terperinci

BAB II AGAMA DALAM PRESPEKTIF FILOSOFIS

BAB II AGAMA DALAM PRESPEKTIF FILOSOFIS 21 BAB II AGAMA DALAM PRESPEKTIF FILOSOFIS A. Profan dan Sakral 1. Pengertian Profan dan Sakral Profan adalah sesuatu yang biasa, yang bersifat umum dan dianggap tidak penting. Sedangakan sakral adalah

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan BAB V PENUTUP Manusia dalam kehidupannya adalah manusia yang hidup dalam sebuah institusi. Institusi yang merupakan wujud implementasi kehidupan sosial manusia. Di mana pun keberadaannya manusia tidak

Lebih terperinci

BAB II TELAAH TEORITIS ANIMISME DALAM MASYARAKAT. Nusak Dengka, dan makna perayaan Limbe dalam masyarakat tersebut.

BAB II TELAAH TEORITIS ANIMISME DALAM MASYARAKAT. Nusak Dengka, dan makna perayaan Limbe dalam masyarakat tersebut. BAB II TELAAH TEORITIS ANIMISME DALAM MASYARAKAT Bab ini merupakan pembahasan atas kerangka teoritis yang dapat menjadi referensi berpikir dalam melihat masalah penelitian yang dilakukan sekaligus menjadi

Lebih terperinci

ARTIKEL ILMIAH POPULER STUDY EXCURSIE

ARTIKEL ILMIAH POPULER STUDY EXCURSIE ARTIKEL ILMIAH POPULER STUDY EXCURSIE MUTHMAINNAH 131211132004 FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA hmadib2011@gmail.com1 a. Judul Toleransi yang tak akan pernah pupus antar umat beragama di dalam

Lebih terperinci

Matakuliah : L0094-Ilmu Sosial Untuk Psikologi Tahun : Pertemuan 14

Matakuliah : L0094-Ilmu Sosial Untuk Psikologi Tahun : Pertemuan 14 Matakuliah : L0094-Ilmu Sosial Untuk Psikologi Tahun : 2008 Pertemuan 14 MASYARAKAT MATERI: Pengertian Masyarakat Hubungan Individu dengan Masyarakat Masyarakat Menurut Marx Masyarakat Menurut Max Weber

Lebih terperinci

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) MODUL PERKULIAHAN Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 03 MK61112 Aulia Kirana,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan dasar negara membawa konsekuensi logis bahwa nilai-nilai Pancasila harus selalu

BAB I PENDAHULUAN. dan dasar negara membawa konsekuensi logis bahwa nilai-nilai Pancasila harus selalu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah mengungkapkan Pancasila sebagai jiwa seluruh rakyat Indonesia, memberi kekuatan hidup serta membimbing dalam mengejar kehidupan lahir batin yang makin

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. serba terbatas, dengan konsep pemisahan ruang antara napi laki-laki dengan napi

BAB V KESIMPULAN. serba terbatas, dengan konsep pemisahan ruang antara napi laki-laki dengan napi 128 BAB V KESIMPULAN Seksualitas merupakan bagian penting yang diperlukan dalam pemenuhan kebutuhan biologis seorang napi. Berada dalam situasi dan kondisi penjara yang serba terbatas, dengan konsep pemisahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disepakati oleh adat, tata nilai adat digunakan untuk mengatur kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. disepakati oleh adat, tata nilai adat digunakan untuk mengatur kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Budaya pantun dalam Dendang lahir secara adat di suku Serawai. Isi dan makna nilai-nilai keetnisan suku Serawai berkembang berdasarkan pola pikir yang disepakati

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PERILAKU MORAL

PERKEMBANGAN PERILAKU MORAL TEORI ETIKA PERKEMBANGAN PERILAKU MORAL Beberapa konsep yang memerlukan penjelasan, antara lain: perilaku moral (moral behavior), perilaku tidak bermoral (immoral behavior), perilaku di luar kesadaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pesisir pantai barat. Wilayah budaya pantai barat Sumatera, adalah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pesisir pantai barat. Wilayah budaya pantai barat Sumatera, adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masyarakat yang tinggal disepanjang pinggiran pantai, lazimnya disebut masyarakat pesisir. Masyarakat yang bermukim di sepanjang pantai barat disebut masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional di Indonesia, harus didahului dengan pengetahuan tentang latar

BAB I PENDAHULUAN. nasional di Indonesia, harus didahului dengan pengetahuan tentang latar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemahaman mengenai peranan pendidikan dalam pembangunan nasional di Indonesia, harus didahului dengan pengetahuan tentang latar belakang sosial budaya bangsa Indonesia.

Lebih terperinci

Pengetahun, wawasan, dan pengalaman menjadikan manusia bijak

Pengetahun, wawasan, dan pengalaman menjadikan manusia bijak Pengetahun, wawasan, dan pengalaman menjadikan manusia bijak P A R A D I G M A (Penelitian Sosial) I Paradigma Merton universalisme, komunalisme, pasang jarak/ tanpa keterlibatan emosional, skeptisisme

Lebih terperinci