BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL"

Transkripsi

1 BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL 2.1 Tinjauan Pustaka Corporate Social Responsibility (CSR) Corporate Social Responsibility (CSR) telah ada sejak abad ke-17 dan terus mengalami perkembangan dari masa ke masa. Pada awal kemunculannya di tahun 1970-an, konsep CSR telah menjadi pemikiran para pembuat kebijakan sejak lama. Kode Hammurabi (1700-an SM) yang berisi 282 hukum telah memuat sanksi bagi para pengusaha yang lalai dalam menjaga kenyamanan warga atau menyebabkan kematian bagi pelanggannya. Potensi dampak negatif dari kegiatan usaha telah menjadi perhatian pembuat kebijakan sejak dahulu. Tahun 1940-an istilah community development atau pengembangan masyarakat dipergunakan di Inggris, tepatnya pada tahun Pengembangan masyarakat merupakan pendekatan alternatif berbasis komunitas yang dapat melibatkan pemerintah, swasta, ataupun lembaga-lembaga non-pemerintah. Pengembangan masyarakat tidak hanya menjadi kebutuhan masyarakat, namun juga menjadi kebutuhan bagi perusahaan. Manajer perusahaan tidak hanya bertanggung jawab terhadap kepentingan perusahaan tetapi juga memiliki kepentingan pada masyarakat yang lebih luas dan lingkungan 10. Tahun 1950-an menjadi masa konsep CSR modern. Konsep CSR dikemukakan oleh Howard R Bowen dalam Solihin (2009) melalui karyanya yang diberi judul Social Responsibilities of The Businessman. Dua hal yang menjadi perhatian mengenai CSR pada era tersebut, yaitu pada saat itu dunia bisnis belum mengenal dunia korporasi sebagaiman kita saat ini dan judul buku Bowen saat itu masih menyiratkan bias gender karena para pelaku bisnis didominasi oleh kaum laki-laki (businessman). 10 [CSR Jawa Timur]. T.t. Sejarah CSR. [Internet]. [diunduh 30 Maret 2011]. Format/ Ukuran: PDF/ 278 KB. Dapat diunduh dari:

2 11 sebagai: Tanggung jawab sosial didefinisikan oleh Bowen dalam Solihin (2009) The obligations of businessman to pursue those policies, to make those decisions, or to follow those lines of action which are desireable in terms of the objectives and values of our society. Tahun 1960-an, Keith Davis menegaskan adanya tanggung jawab sosial perusahaan diluar tanggung jawab ekonomi. Tahun an, para pimpinan perusahaan terkemuka di Amerika serta para peneliti membentuk Commite for Economic Development (CED). CED membagi tanggung jawab sosial perusahaan ke dalam tiga lingkaran tanggung jawab, yaitu inner circle of responsibilities: tanggung jawab untuk melaksanakan fungsi ekonomi, intermediate circle responsibilities: tanggung jawab melaksanakan fungsi ekonomi dan secara bersamaan juga peka terhadap nilai-nilai atau prioritas sosial, dan outer circle of responsibilities: mencakup kewajiban perusahaan dalam meningkatkan kualitas lingkungan sosial. Tahun 1992, diadakan Earth Summit yang dilaksanakan di Rio de Janeiro. Earth Summit dihadiri oleh 172 negara dengan tema utama Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan. Pertemuan tersebut menghasilkan Agenda 21, Deklarasi Rio dan beberapa kesepakatan lainnya. Hasil akhir dari pertemuan tersebut secara garis besar menekankan pentingnya ecoefficiency dijadikan sebagai prinsip utama dalam berbisnis dan menjalankan pemerintahan 11. Definisi CSR menurut Sukada et al. (2007) adalah Segala upaya manajemen yang dijalankan entitas bisnis untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan berdasar keseimbangan pilar ekonomi, sosial, dan lingkungan, dengan meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan dampak-dampak positif di setiap pilar. Definisi CSR menurut ISO adalah: Responsibility of an organization for the impacts of its decisions and activities on society and the enviroment throught transparent and ethical behaviour that is consistent with sustainable development and welfare of society; tasks into 11 Ibid.

3 12 account the expectation of stakeholders; is in compliance with applicable law and consistent international norms of behaviour; and is integrated throughout the organization. Tingkatan tanggung jawab yang dilakukan oleh perusahaan (korporat) menurut Carroll dan Wood (1991) dalam Zainal (2006) adalah sebagai berikut ini: Tabel 1 Tingkatan Tanggung Jawab Perusahaan Tingkatan/ Level Uraian Level Ekonomi Dimana perusahaan bertanggung jawab untuk memproduksi barang dan jasa sesuai dengan keinginan masyarakat, dan menjualnya kepada masyarakat dengan motif profit. Level Legalitas Perusahaan mematuhi semua peraturan dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah (contoh: pajak, regulasi). Level Etika Perusahaan bertanggung jawab untuk memenuhi keinginan dan ekspektasi dari masyarakat terhadap bisnis yang dijalankannya, melebihi apa yang seharusnya dilakukan perusahaan dalam memenuhi tanggung jawab legalitasnya. Level Keterbukaan Perusahaan melakukan tanggung jawabnya melebihi dari apa yang diinginkan masyarakat, dan menganggap perusahaan adalah bagian dari komunitas. Dua tahapan pertama banyak terjadi pada era tahun 1970 dan 1980 dimana perusahaan hanya mementingkan dan mengutamakan pada aspek ekonomi dan legalitas dalam pemenuhan tanggung jawabnya. Pendekatan ini sering disebut juga sebagai pendekatan corporate philantrophy, yaitu pelaksanaan CSR oleh perusahaan hanya sebatas dalam bentuk derma atau charity yang diberikan oleh perusahaan kepada komunitas lokal di sekitar perusahaan. Pada era 1990, arah tanggung jawab perusahaan beralih ke inisiatif perusahaan itu sendiri untuk melakukan CSR yang mengedepankan etika. Triple Bottom Line merupakan tiga prinsip dasar yang terdapat dalam CSR. Istilah ini dipopulerkan oleh Jhon Elkington pada tahun 1997 melalui bukunya Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business. Triple bottom line, meliputi economic prosperity, enviromental quality, dan social justice (Wibisono, 2007). Ketiga prinsip tersebut (3P: People, Planet, Profit) saling bersinergi satu sama lain.

4 13 Sosial (People) Ekonomi (Profit) Lingkungan (Planet) Sumber: Wibisono (2007). Gambar 1 Triple Bottom Line Profit atau ekonomi menjadi salah satu aspek terpenting dan menjadi tujuan dalam setiap kegiatan usaha karena merupakan tanggung jawab ekonomi yang paling esensial terhadap para pemegang saham. People atau sosial merupakan tanggung jawab sosial dari perusahaan terhadap masyarakat. Planet atau lingkungan menjadi salah satu tanggung jawab perusahaan atas dampak negatif dari operasi perusahaannya terhadap lingkungan. Menurut Wibisono (2007), terdapat empat tahapan penerapan CSR, yaitu: 1) Tahap perencanaan: tahapan awal dari penerapan CSR, langkah-langkah yang biasa dilakukan pada tahapan ini antara lain menetapkan visi, misi, tujuan, kebijakan CSR, merancang struktur organisasi, menyediakan SDM, merencanakan program operasional, membuat wilayah, dan mengelola dana. Tahapan ini terdiri atas tiga langkah utama, yaitu awareness building, CSR assesement, dan CSR manual building; 2) Tahap implementasi: tahapan ini terdiri atas tiga langkah, yaitu sosialisasi, implementasi, dan internalisasi. Sosialisasi merupakan tahap memperkenalkan kepada komponen perusahaan mengenai berbagai aspek yang terkait dengan implementasi CSR. Implementasi kegiatan dilakukan sejalan dengan pedoman CSR yang ada. Internalisasi adalah tahap jangka panjang yang mencakup upaya-upaya untuk memperkenalkan CSR di dalam seluruh proses bisnis perusahaan; 3) Tahap evaluasi: tahap ini merupakan tahap yang perlu dilakukan secara konsisten dari waktu ke waktu untuk mengukur Sejauhmana efektivitas penerapan CSR; dan 4) Tahap pelaporan: tahap pelaporan

5 14 diterapkan untuk membangun sistem informasi material dan relevan mengenai perusahaan. Pengembangan masyarakat (community development) merupakan salah satu upaya bagi perusahaan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Pengembangan masyarakat dalam CSR melibatkan berbagai stakeholders dan shareholders dalam implementasinya. Menurut Princes of Wales Foundation dalam Untung (2008) ada lima hal penting yang dapat mempengaruhi implementasi CSR, yaitu 1) menyangkut human capital atau pemberdayaan manusia, 2) environments (lingkungan), 3) good corporate governance, 4) social cohesion, yaitu pelaksanaan CSR jangan sampai menimbulkan kecemburuan sosial, 5) economic strenght atau memberdayakan lingkungan menuju kemandirian di bidang ekonomi. Peningkatan ekonomi masyarakat lokal adalah konsentrasi CSR pada eksternal stakeholders. Dengan meningkatkan kemampuan ekonomi komunitas sekitar perusahaan, maka perusahaan telah turut berpartisipasi mengurangi kemiskinan yang merupakan tujuan pertama yang tercantum dalam MDGs. Pemberdayaan ekonomi lokal berarti memampukan masyarakat sekitar agar dapat mandiri secara ekonomi atau setidak-tidaknya memberikan pemacu agar terjadi perkembangan ekonomi di daerah tersebut. Pembangunan ekonomi lokal dapat digolongkan dalam penyediaan modal manusia (human capital) dalam bentuk pelatihan untuk meningkatkan keterampilan, usaha (business capital) dapat dalam bentuk pemberian mesin dan peralatan, serta pengetahuan (knowledge capital) dalam bentuk pemberian pengetahuan (Radyati, 2008). Menurut Hubeis (2010), pemanfaatan dana CSR dalam konteks ekonomi makro merupakan sarana cerdas dan tangguh dalam memberdayakan perempuan menuju ketahanan ekonomi keluarga melalui pendidikan dan model PENDANAAN PLUS (Pelatihan dan Pendampingan Usaha). Pemberdayaan ekonomi lokal menjadi salah satu program CSR PT Holcim Indonesia Tbk melalui pelaksanaan Baitul Maal wa Tamwil Swadaya Pribumi.

6 Baitul Maal wa Tamwil Sistem ekonomi dan perbankan yang dominan dikembangkan di Indonesia adalah sistem perbankan konvensional yang menggunakan teori dari Negara Barat. Perbankan konvesional memberikan permodalan kepada peminjam modal dengan peraturan yang rumit dan kewajiban membayar bunga yang ditentukan oleh pihak bank. Berbeda dengan sistem perbankan dari Negara Barat, sistem perbankan dengan syariat Islam berprinsip pada saling mempercayai antara pelaku ekonomi sehingga apabila mendapatkan keuntungan ataupun kerugian akibat jalinan kerjasama akan ditanggung bersama (Koesoemowidjojo, 2000). Baitul Maal wa Tamwil (BMT) merupakan salah satu bentuk lembaga keuangan mikro berbasis syariat Islam. Baitul Maal wa Tamwil atau padanan kata Balai Usaha Mandiri Terpadu adalah lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil, menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dan kecil, dalam rangka meningkatkan derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin. Secara konseptual BMT memiliki dua fungsi: 1) Baitut Tamwil (Bait = Rumah, at-tamwil = Pengembangan harta) melakukan kegiatan pengembangan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha mikro dan kecil terutama dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya. 2) Baitul Maal (Bait = Rumah, Maal = Harta) menerima titipan dana zakat, infaq, dan shadaqah serta mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan peraturan dan amanahnya 12. Lembaga keuangan mikro berbasis syari ah, seperti bank syari ah, koperasi syari ah, atau Baitul Maal wa Tamwil memiliki jenis produk yang tidak lepas dari akad (perjanjian). Menurut Ascarya (2008), berbagai jenis akad dapat dibagi ke dalam enam kelompok pola, yaitu: 1) Pola titipan, seperti wadi ah yad amanah dan wadi ah yad dhamanah; 2) Pola pinjaman, seperti qardh dan qardhul hasan; 12 Prof. Dr. Ir. M. Amin Azis. Tata Cara Pendirian BMT. [Internet]. [diunduh 3 Januari 2012]. Format/Ukuran: PDF/ 470KB. Dapat diunduh dari:

7 16 3) Pola bagi hasil, seperti mudharabah dan musharakah; 4) Pola jual beli, seperti murabahah, salam, dan istishna; 5) Pola sewa, seperti ijarah dan ijarah wa iqtina; dan 6) Pola lainnya, seperti wakalah, kafalah, hiwalah, ujr, sharf, dan rahn. Salah satu Baitul Maal wa Tamwil yang merupakan bagian dari CSR suatu perusahaan adalah Baitul Maal wa Tamwil (BMT) Swadaya Pribumi. BMT Swadaya Pribumi merupakan salah satu bentuk dari lembaga keuangan mikro yang berbasis syari ah yang dibentuk secara bersama oleh pihak Community Relation PT Holcim Indonesia Tbk dan tokoh masyarakat di Kecamatan Klapanunggal. BMT Swadaya Pribumi memiliki dua jenis produk, yaitu produk pembiayaan (murabahah, mudharabah, ijarah, dan musyarakah) dan produk simpanan (simpanan swadaya pribumi, simpanan pendidikan, simpanan Idul Fitri, simpanan qurban, dan simpanan berjangka mudharabah). Penjelasan mengenai BMT Swadaya Pribumi dan jenis produk yang ada di BMT Swadaya Pribumi dijelaskan pada BAB V Tujuan ke-3 MDGs MDGs memiliki delapan tujuan yang harus dicapai pada tahun 2015, diantara kedelapan tujuan tersebut terdapat tujuan yang berkaitan dengan kesetaraan gender, yaitu tujuan pertama sampai dengan tujuan keenam. Kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan secara lebih spesifik diuraikan pada tujuan ketiga MDGs: mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Salah satu tujuan pembangunan manusia di Indonesia adalah mencapai kesetaraan dan keadilan gender dalam meningkatkan kualitas hidup manusia tanpa membeda-bedakan antara laki-laki maupun perempuan. Meskipun telah banyak pembangunan yang dicapai, namun kenyataan menunjukkan bahwa kesenjangan gender (gender gap) masih ada dalam sebagian besar bidang (UNDP Indonesia, 2007). Perempuan dan laki-laki memang berbeda, namun tidak untuk dibeda-bedakan. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender diantaranya dengan menghilangkan ketimpangan gender dalam berbagai bidang kehidupan, seperti pendidikan, pekerjaan di sektor

8 17 formal maupun informal, dan berbagai kegiatan atau program lainnya, termasuk program CSR bidang pemberdayaan ekonomi lokal PT Hocim Indonesia Tbk. Tabel 2 Indikator dari Tujuan Ketiga MDGs Tujuan 3. Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan Target 4 Sumber: UNDP Indonesia (2007). Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan pada tahun 2005, dan di semua jenjang pendidikan tidak lebih dari dari tahun Rasio anak perempuan terhadap anak laki-laki di tingkat pendidikan dasar, lanjutan dan tinggi, yang diukur melalui angka partisipasi murni anak perempuan terhadap anak laki-laki (%) 4.2 Rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki usia tahun, yang diukur melalui angka melek huruf perempuan/laki-laki (indeks paritas melek huruf gender) (%) 4.3 Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK ) perempuan (%) 4.4 T ingkat pengangguran terbuka (TPT) perempuan (%) 4.5 Kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan (%) 4.6 T ingkat daya beli (Purchasing Power Parity, PPP) pada kelompok perempuan (%) 4.7 Proporsi perempuan dalam lembaga-lembaga publik (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) (%). Tabel 2 menunjukkan indikator atau pengukuran terhadap pencapaian tujuan ketiga MDGs, yaitu mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Indonesia dapat dikatakan berhasil mencapai tujuan ketiga apabila indikator tersebut telah tercapai dengan optimal. Beberapa tantangan yang dihadapi untuk mencapai tujuan ketiga, yaitu: 1) menjamin kesetaraan gender dalam berbagai peraturan perundang-undangan, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan, mulai dari tingkat nasional, provinsi, hingga kabupaten/kota, terutama dibidang-bidang pembangunan pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, ekonomi, hukum, dan politik; 2) meningkatkan kualitas hidup dan peran perempuan melalui aksi afirmasi (affirmative action) di berbagai bidang pembangunan; 3) meningkatkan kualitas dan kapasitas kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender; 4) meningkatkan peran lembaga masyarakat dalam pemberdayaan perempuan; 5) merevisi peraturan perundang-undangan dan

9 18 kebijakan yang bias gender dan/atau diskriminatif terhadap perempuan (UNDP, 2007) Definisi Gender Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2000 Tanggal 19 Desember 2000 tentang Pedoman Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang dimaksud dengan gender adalah konsep yang mengacu pada pembedaan peran dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat. Gender menurut Hubeis (2010) adalah: Suatu konsep yang merujuk pada suatu sistem peranan dan hubungan antara perempuan dan laki-laki yang tidak ditentukan oleh perbedaan biologis, akan tetapi oleh lingkungan sosialbudaya, politik, dan ekonomi sehingga tidak bersifat kodrati atau mutlak. Selain itu, menurut Hubeis (2010) gender lebih mengacu pada perbedaan peran sosial serta tanggung jawab perempuan dan laki-laki pada perilaku dan karakteristik yang dipandang tepat untuk perempuan dan laki-laki dan pada pandangan tentang bagaimana beragam kegiatan yang mereka lakukan seharusnya dinilai dan dihargai. WHO (2011) memberi batasan gender sebagai 13 : "Gender refers to the socially constructed roles, behaviours, activities, and attributes that a given society considers appropriate for men and women. (Gender mengacu pada seperangkat peran, perilaku, kegiatan, dan atribut yang dianggap layak bagi perempuan dan laki-laki, yang dikonstruksi secara sosial, dalam suatu masyarakat). Menurut Simatauw et al. (2001) gender dan jenis kelamin (sex) memiliki konsep yang berbeda. Gender merupakan bentukan manusia yang tidak mutlak dan dapat berubah tergantung situasi, kondisi, dan waktu, serta dipengaruhi oleh 13 [WHO] World Health Organization What do we mean by "sex" and "gender"?. [Internet]. [dikutip 18 Mei 2011]. Dapat diunduh dari:

10 19 budaya dan kehidupan sosial, seperti perempuan memasak, mengurus rumahtangga, mengurus anak, dan kegiatan lainnya. Sedangkan jenis kelamin (sex) merupakan sesuatu yang bersifat kodrat yang tidak dapat diubah, seperti perempuan menstruasi, hamil, menyusui, dan ciri-ciri biologis perempuan lainnya. Laki-laki menghamili, memiliki sperma, dan ciri-ciri biologis lainnya. Seks Tidak dapat dipertukarkan (kodrat) Gender Dapat dipertukarkan dan merupakan bentukan manusia Laki-laki Ciri dan fungsi Perempuan Ciri dan fungsi Laki-laki Citra/jati diri Perempuan Citra/jatidiri Penis Vagina /peran /peran Jakun Sperma Membuahi Sel telur Menyusui Melahirkan Kuat Rasional Tampan Lemah Emosional Cantik Kasar Halus/lembut Maskulin Feminim Publik Domestik Sumber: Depkeu (T.t). Gambar 2 Perbedaan Seks dan Gender Kesetaraan dan Keadilan Gender Instruksi Presiden dalam Pedoman PUG dalam Pembangunan Nasional mendefinisikan kesetaraan gender sebagai kesamaan kondisi bagi perempuan dan laki-laki untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Keadilan gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap perempuan dan laki-laki. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender antara lain (Simatauw et al. 2001): 1) Marjinalisasi (peminggiran) ekonomi Lemahnya kesempatan perempuan meliputi akses dan kontrol perempuan terhadap sumber-sumber ekonomi, seperti tanah, kredit, pasar.

11 20 Perempuan dipinggirkan dalam berbagai kegiatan yang lebih memerlukan laki-laki. 2) Subordinasi (penomorduaan) Keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin lebih baik, lebih penting, atau lebih diutamakan dibandingkan jenis kelamin yang lain. Terdapat batasan-batasan yang berasal dari kultural, agama, atau kebijakan terhadap perempuan dalam melakukan sesuatu. Perempuan tidak memiliki peluang untuk mengambil keputusan bahkan yang menyangkut dengan dirinya. Perempuan diharuskan tunduk terhadap keputusan yang dibuat oleh laki-laki. Laki-laki sebagai pencari nafkah utama (a main breadwinner) sedangkan perempuan sebagai pencari nafkah tambahan (secondary breadwinner). 3) Beban kerja berlebih (over burden) Pembagian peran dibagi menjadi produktif, reproduktif, memelihara masyarakat, dan politik masyarakat. Perempuan biasanya memiliki tiga peran (triple role), yaitu produktif, reproduktif, dan memelihara masyarakat. Perempuan lebih dominan pada tiga peran tersebut sedangkan laki-laki lebih dominan pada peran produktif dan politik masyarakat. 4) Cap-cap negatif (stereotype) Pelabelan negatif pada salah satu jenis kelamin, umumnya perempuan. Perempuan digambarkan sebagai sosok yang emosional, tidak rasional, lemah, dan lainnya. Padahal laki-laki juga dapat berperilaku seperti itu. Pelabelan negatif dapat melahirkan ketidakadilan yang merugikan dan berdampak buruk pada salah satu pihak. 5) Kekerasan (violence) Kekerasan berbasis gender didefinisikan sebagai kekerasan terhadap perempuan. Bentuknya bermacam-macam dapat berupa kekerasan fisik maupun psikologis. Kekerasan terjadi akibat dari adanya konstruksi sosial yang sering dibudayakan di dalam masyarakat.

12 Peran (Pembagian Kerja) Gender Peran (pembagian kerja) gender terlihat dari perbedaan peran atau kegiatan yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki berdasarkan nilai sosialbudaya yang berlaku. Perempuan dan laki-laki dibeda-bedakan dalam melakukan peran atau kegiatan karena persepsi masyarakat yang lazim terbentuk secara umum. Peran gender berbeda antar masyarakat atau bahkan antar kelompok di dalam masyarakat tertentu dan seringkali mengalami perubahan setiap saat. Peran gender menampilkan kesepakatan pandangan dalam masyarakat dan budaya tertentu perihal ketepatan dan kelaziman bertindak untuk seks tertentu atau jenis kelamin tertentu, namun secara perseorangan ada kemungkinan bahwa seorang perempuan dan/atau lelaki memiliki peran aktual gender yang bertentangan dengan peran gender per jenis seks yang dipandang tepat dan lazim serta disepakati di masyarakat bersangkutan (Hubeis, 2010). Peran perempuan dan laki-laki diklasifikasikan dalam tiga jenis peran, yaitu peran reproduktif, produktif, dan sosial. Menurut Simatauw et al. (2001) peran produktif adalah kegiatan yang menghasilkan uang atau mengahasilkan barang-barang lainnya yang tidak dikonsumsi atau digunakan sendiri, misalnya bertani, beternak, berburu, menjadi buruh, berdagang. Peran reproduktif adalah kegiatan-kegiatan yang sifatnya merawat dan mengurusi keperluan keluarga seperti, merawat anak, mengambil air, memasak (Simatauw et al. 2001). Peran sosial terdiri dari peran merawat masyarakat dan politik masyarakat. Peran merawat masyarakat, yaitu kegiatan-kegiatan masyarakat yang sifatnya menjalin kebersamaan, solidaritas antar masyarakat, menjaga keutuhan masyarakat, seperti arisan, pengajian, upacara adat. Peran politik masyarakat yaitu kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk mengambil keputusan yang berpengaruh pada kehidupan masyarakat, seperti pemilihan kepala desa, rapat pembagian tanah, dan lain-lain (Simatauw et al. 2001). Menurut Hubeis (2010) peran reproduktif (domestik) adalah peran yang dilakukan oleh seseorang untuk melakukan kegiatan yang terkait dengan pemeliharaan sumberdaya insani (SDI) dan tugas kerumahtanggan seperti menyiapkan makanan, mengumpulkan air, mencari kayu bakar, berbelanja, memelihara kesehatan dan gizi keluarga, mengasuh dan mendidik anak. Peran

13 22 produktif menurut Hubeis (2010) menyangkut pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa untuk dikonsumsi dan diperjualbelikan (petani, nelayan, konsultasi, jasa, pengusaha, dan wirausaha). Peran sosial menurut Hubeis (2010) adalah peran masyarakat terkait kegiatan jasa dan partisipasi politik. Tabel 3 Klasifikasi Tiga Peran Gender: Peran Reproduktif, Peran Produktif, dan Peran Sosial Gender Reproduktif Produktif Sosial Perempuan Peran Utama: Istri, Ibu, Ibu Rumahtangga (Keluarga) Lelaki Bapak Kepala keluarga 1. Acap diansumsikan tidak memiliki peran produktif 2. Pembantu (turut) mencari nafkah keluarga Peran Utama: Mencari nafkah keluarga 1. Manajemen, jasa penyuluhan terkait pada aspek peran reproduktif 2. Pekerja tidak dibayar (informal) 1. Kepemimpinan 2. Politik 3. Ketahanan/ militer 4. Pekerja dibayar/ formal Sumber: Hubeis (2010). Pembagian peran gender mempengaruhi pembagian kerja, relasi antara perempuan dan laki-laki, akses dalam memperoleh sumberdaya dan manfaat, kontrol atau kuasa dalam memperoleh suamberdaya dan manfaat. Implikasi pembagian kerja gender yang tercantum dalam Panduan Pelatihan PUG (Depkeu, T.t) adalah sebagai berikut: 1) Perempuan menjalankan pekerjaan yang beragam dan pergantian peran yang lebih banyak dan lebih cepat daripada laki-laki 2) Pekerjaan perempuan lebih banyak berhubungan dengan pekerjaan rumahtangga dan pengasuhan anak (reproduktif), sementara laki-laki bertanggung jawab untuk melakukan pekerjaan yang lebih nyata terlihat oleh masyarakat seperti pekerjaan ekonomi maupun politik Analisis Gender dalam CSR Bidang Pemberdayaan Ekonomi Lokal Kegiatan atau program dikatakan telah responsif gender apabila kebijakan, program, kegiatan atau kondisi yang sudah memperhitungkan

14 23 kepentingan perempuan dan laki-laki (lihat Tabel 4). BMT Swadaya Pribumi merupakan program CSR Holcim Indonesia Pabrik Narogong di bidang pemberdayaan ekonomi lokal yang bergerak sebagai lembaga keuangan mikro berbasis syari ah dengan tujuan memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat. Kebutuhan atau kepentingan peserta perempuan dan peserta laki-laki meliputi kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis gender. Analisis gender menjadi suatu alat analisis untuk mengetahui sejauhmana kesetaraan gender dipertimbangkan dalam pelaksanaan BMT Swadaya Pribumi. Tabel 4 Konsep dan Pengertian Istilah Gender Konsep Pengertian Buta gender (gender blind) Sadar gender (gender aware) Bias gender Netral gender Sensitif gender Responsif gender Peka gender Perspektif gender Sumber: Dephut (2004). Kondisi atau keadaan seseorang yang tidak memahami tentang pengertian atau konsep gender (ada perbedaan kepentingan antara perempuan dan laki-laki). Mengenali perbedaan antara prioritas dan kebutuhan perempuan dan laki-laki. Pandangan dan sikap yang lebih mengutamakan salah satu jenis kelamin daripada jenis kelamin lain sebagai akibat pengaturan kepercayaan budaya yang lebih berpihak kepada laki-laki daripada perempuan dan sebaliknya. Kebijakan, program, kegiatan, atau kondisi yang tidak memihak pada salah satu jenis kelamin. Kemampuan dan kepekaan seseorang dalam melihat dan menilai hasil pembangunan dan aspek kehidupan lainnya dari perspektif gender (disesuaikan dengan kepentingan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki). Kebijakan, program, kegiatan, atau kondisi yang sudah memperhitungkan kepentingan perempuan dan laki-laki. Selalu mempertanyakan apakah suatu kebijakan, program, proyek, atau kegiatan organisasi adalah adil dan berdampak sama terhadap perempuan dan laki-laki dan hasilnya juga sama-sama dinikmati oleh perempuan dan laki-laki. Menggunakan aspek gender untuk membahas atau menganalisis isu-isu dalam politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, dan psikologi untuk memahami bagaimana aspek gender tersebut mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan, program, proyek, dan dalam kegiatankegiatan pembahasan tersebut dipelajari bagaimana faktor gender menumbuhkan diskriminasi dan menjadi perintang bagi kesempatan dan pengembangan diri seseorang.

15 24 Definisi analisis gender dalam Pedoman Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional adalah: Proses yang dibangun secara sistematis untuk mengidentifikasi dan memahami pembagian kerja atau peran perempuan dan laki-laki, akses dan kontrol terhadap sumber-sumberdaya pembangunan, partisipasi dalam proses pembangunan dan manfaat yang mereka nikmati, pola hubungan antara perempuan dan laki-laki yang timpang, yang di dalam pelaksanaannya memperhatikan faktor-faktor lainnya seperti kelas sosial, ras, dan suku bangsa. Analisis gender merupakan suatu alat kunci bagi gender mainstreaming 14 untuk memperoleh pemahaman lebih mengenai lingkungan, dampak dan manfaat dari suatu kegiatan, dan prakarsa pemberdayaan masyarakat bagi perempuan dan laki-laki. Analisis gender menjadi himpunan dan analisis informasi dan data mengenai: 1) Peran, kewajiban, dan hak-hak berbeda bagi perempuan dan lakilaki; 2) Kebutuhan, prioritas, peluang, dan hambatan berbeda bagi perempuan dan laki-laki; 3) Alasan mengapa terjadi perbedaan tersebut; dan 4) Peluang-peluang serta strategi untuk meningkatkan kesetaraan gender 15. Kegiatan analisa gender tersebut meliputi: a. Mengidentifikasi kesenjangan antara perempuan dan laki-laki dalam memperoleh manfaat dari kebijakan dan program pembangunan dalam berbagai aspek kehidupan, b. Mengidentifikasi dan memahami sebab-sebab terjadinya ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender dan menghimpun faktorfaktor penyebabnya, c. Menyusun langkah-langkah yang diperlukan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender, d. Menetapkan indikator gender untuk mengukur capaian dari upayaupaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. 14 Gender mainstreaming adalah proses penilaian dampak dari setiap tindakan yang terencana terhadap perempuan dan laki-laki. 15 Sophie Dowling Analisis Gender: Sebuah Panduan Pengantar Disiapkan untuk PT Kaltim Prima Coal (KPC) Mitra Proyek. (Alih bahasa dari bahasa Inggris oleh Aria Jalil). [Internet]. [diunduh 30 April 2011]. Format/ Ukuran: PDF/ 431 KB. Dapat diunduh dari: empoweringcommunities.anu.edu.au/.../gender%20analysis%20toolkit_bahasa%20version.pdf

16 25 Terdapat lima komponen kunci dalam analisis gender tersebut, yaitu: a. Data yang dipilah-pilah berdasarkan jenis kelamin: data sosialekonomi yang dipilah berdasarkan jenis kelamin dan variabel demografis, seperti umur, kelompok sosial, dan etnis (kuantitatif maupun kualitatif), b. Analisis pembagian tugas: apa, dimana, kapan, dan berapa banyak yang dikerjakan oleh laki-laki maupun perempuan untuk menggambarkan tuntutan yang berbeda-beda terhadap waktu dan tenaga perempuan dan laki-laki, berapa pekerjaan mereka dihargai, pola kerja musiman dan strategi dalam memenuhi kebutuhan seharihari, c. Analisis akses dan kontrol, d. Analisis kebutuhan strategis dan kebutuhan praktis, e. Analisis konteks sosial: meneliti dan memahami konteks sosial setempat (hukum, sosio-kultural, agama, institusi, kebijakan pemerintah) yang mempengaruhi peran dan hubungan gender 16. Teknik dalam analisis gender memiliki beberapa model yang telah dikembangkan oleh beberapa ahli (Depkeu, T.t), yaitu: 1) Model Harvard Model Harvard dikembangkan oleh Harvard Institute for International Development bekerjasama dengan Kantor Women in Development (WID)-USAID. Model Harvard didasarkan pada pendekatan efisiensi WID yang merupakan kerangka analisis gender dan perencanaan gender paling awal. Model analisis Harvard lebih sesuai digunakan untuk perencanaan proyek, menyimpulkan data basis atau data dasar (Dephut, 2004). Komponen dasar dalam model Harvard, yaitu: a. Profil kegiatan (produktif, reproduktif, dan sosial) yang didasarkan pada pembagian kerja dan data terpilah berdasarkan jenis kelamin, b. Profil akses dan kontrol, c. Faktor yang mempengaruhi kegiatan akses dan kontrol, 16 Ibid. h. 7-8.

17 26 d. Analisis siklus proyek. 2) Model Moser Teknik analisis Moser adalah suatu teknik analisis yang membantu perencana atau peneliti dalam menilai, mengevaluasi, merumuskan usulan dalam tingkat kebijaksanaan program dan proyek yang lebih peka gender dengan menggunakan pendekatan terhadap persoalan perempuan (kesetaraan, keadilan, anti kemiskinan, efisiensi, penguatan atau pemberdayaan), identifikasi terhadap peranan majemuk perempuan (reproduksi, produksi, sosial-kemasyarakatan), serta identifikasi kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis (Handayani dan Sugiarti, 2008). Model Moser didasarkan pada pendapat bahwa perencanaan gender bersifat teknis dan politis, kerangka ini mengasumsikan adanya konflik dalam perencanaan dan proses transformasi serta mencirikan perencanaan sebagai suatu debat. Terdapat kelemahan dalam model ini yang tidak memperhitungkan kebutuhan strategis laki-laki (Dephut, 2004). Komponen dasar model Moser adalah: a. Tiga peran gender, b. Kontrol dan pengambilan keputusan, c. Kebutuhan strategis dan praktis gender, d. Matriks Women In Development (WID) dan Gender And Development (GAD), e. Pelibatan organisasi untuk pemastian pemasukan kebutuhan startegis gender dan kebutuhan praktis gender. Kebutuhan praktis gender merupakan kebutuhan dasar atau hidup, seperti pangan, air, tempat tinggal, air, sandang, penghasilan, dan perawatan kesehatan sedangkan kebutuhan strategis gender merupakan kebutuhan akan kesetaraan dan pemberdayaan, seperti pemerataan tanggung jawab dan pengambilan keputusan, akses pendidikan dan pelatihan yang sama Nelien Haspels dan Busakorn Suriyasarn Panduan Praktis bagi Organisasi: Meningkatkan Kesetaraan Gender dalam Aksi Penaggulangan Pekerja Anak serta Perdagangan Perempuan dan Anak. [Internet]. [diunduh 10 Mei 2011]. Format/ Ukuran: PDF/808 KB. Dapat diunduh dari: ilojakarta/documents/publication/wcms_ pdf

18 27 3) Model SWOT Analisis manajemen dengan cara mengindetifikasikan secara internal mengenai kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness) serta secara eksternal mengenai peluang (opportunity) dan ancaman (threats). Aspek internal dan eksternal tersebut dipertimbangkan dalam rangka menyusun program aksi, langkah-langkah atau tindakan untuk mencapai sasaran maupun tujuan kegiatan dengan cara memaksimalkan kekuatan dan peluang, serta meminimalkan kelemahan dan ancaman, sehingga dapat mengurangi resiko dan meningkatkan efektivitas. STRENGTH WEAKNESS OPPORTUNITY THREATS Sumber: Depkeu (T.t). Gambar 3 Bagan Analisa SWOT 4) Model PROBA Suatu teknik atau cara analisis gender untuk mengetahui masalah kesenjangan gender sekaligus menyusun kebijakan program dan kegiatan yang responsif gender serta rancangan monitoring dan evaluasi. 5) Model GAP dan POP Suatu alat analisis gender yang dapat digunakan untuk membantu para perencanaan dalam melakukan pengarusutamaan gender dalam perencanaan kebijakan, program, proyek, atau kegiatan pembangunan. Model analisis gender yang dilakukan dalam menganalisis keberhasilan BMT Swadaya Pribumi dalam penelitian ini adalah menggunakan model Harvard dan model Moser. Kedua model tersebut digunakan dengan pertimbangan pengukuran keberhasilan yang digunakan dalam penelitian ini adalah keberhasilan BMT Swadaya Pribumi dalam memenuhi kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis gender peserta produk pembiayaan BMT Swadaya Pribumi dengan

19 28 menggunakan profil kegiatan, profil akses, profil kontrol, dan manfaat yang dirasakan dan diperoleh oleh peserta perempuan dan peserta laki-laki. 2.2 Kerangka Pemikiran Pihak Comrel Holcim menyatakan BMT Swadaya Pribumi sebagai salah satu program CSR PT Holcim Indonesia Tbk yang telah berhasil dan berkelanjutan. Salah satu cara meninjau apakah suatu program telah berhasil atau tidak adalah melalui ada atau tidaknya pemenuhan kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis gender (Lu lu, 2005). BMT Swadaya Pribumi merupakan salah satu bentuk upaya memberdayakan ekonomi lokal masyarakat sekitar Holcim Indonesia Pabrik Narogong. Pemberdayaan ekonomi dilakukan melalui pembiayaan berupa pinjaman (kredit) yang diberikan kepada peserta produk pembiayaan agar dapat meningkatkan perekonomian dan mengembangkan usaha sehingga pemenuhan kebutuhan ekonomi dapat terpenuhi. Menurut Anwar (1997) dalam Koesoemowidjojo (2000) upaya perbaikan dan peningkatan ekonomi sangat ditentukan oleh peranan gender. Analisis gender yang dapat dilihat dari data terpilah gender antara perempuan dan laki-laki, diantaranya dalam hal akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan manfaat dilakukan sebagai upaya meningkatkan kesetaraan gender (ILO, 2001). Analisis gender dalam BMT Swadaya Pribumi dilihat dari data terpilah peserta produk pembiayaan BMT Swadaya Pribumi berdasarkan karakteristik sosial-ekonomi (tingkat pendidikan, jenis usaha, dan tingkat pendapatan) dan karakteristik demografi (umur dan status perkawinan) peserta perempuan dan peserta laki-laki. Karakteristik individu terpilah antara peserta perempuan dan peserta laki-laki tersebut merupakan faktor internal yang berasal dari diri individu masing-masing yang mempengaruhi kesetaraan gender dalam pelaksanaan produk pembiayaan BMT Swadaya Pribumi. Kesetaraan gender dalam BMT Swadaya Pribumi dianalisis dengan melihat dan mengukur akses atau peluang peserta produk pembiayaan terhadap sumberdaya (pembiayaan, pelatihan, dan pendampingan) dari BMT Swadaya Pribumi, kontrol atau kuasa peserta produk pembiayaan terhadap sumberdaya (pembiayaan, pelatihan, dan pendampingan) dari BMT Swadaya Pribumi, dan

20 29 manfaat yang dinikmati peserta produk pembiayaan BMT Swadaya Pribumi (peningkatan pendapatan, peningkatan status sosial, pemenuhan kebutuhan dasar, dan peningkatan kemampuan berwirausaha) yang dirasakan peserta produk pembiayaan setelah memperoleh pembiayaan dari BMT Swadaya Pribumi. Semakin tinggi tingkat akses, kontrol, dan manfaat yang dinikmati peserta produk pembiayaan, maka kesetaraan gender dalam BMT Swadaya Pribumi telah setara gender. Peran (pembagian kerja) di dalam rumahtangga peserta produk pembiayaan diukur berdasarkan jumlah kegiatan (produktif, reproduktif, dan sosial-kemasyarakatan) yang dilakukan oleh setiap pekerja keluarga (perempuan dan laki-laki). Perempuan memiliki jumlah kegiatan yang lebih banyak daripada laki-laki. Perempuan tidak hanya mengerjakan kegiatan reproduktif dan kegiatan sosial-kemasyarakatan tetapi juga turut serta dalam mengerjakan kegiatan produktif di sela waktu istirahat mereka. Perempuan umumnya membantu suami mereka mencari nafkah dengan berdagang di sekitar rumah. Hal tersebut dilakukan untuk memudahkan perempuan dalam mengerjakan kegiatan mengurus rumahtangga dan mencari nafkah secara bersamaan. Peran (pembagian kerja) tidak dihubungkan dengan keberhasilan produk pembiayaan BMT Swadaya Pribumi dengan pertimbangan peran dalam rumahtangga merupakan variabel diluar kegiatan pembiayaan BMT Swadaya Pribumi, namun analisis terhadap peran (pembagian kerja) dalam rumahtangga peserta tetap dilakukan untuk melihat isu beban kerja berlebih (over burden) yang dialami salah satu pihak, umumnya perempuan. Kesetaraan gender dalam BMT Swadaya Pribumi mempengaruhi keberhasilan produk pembiayaan BMT Swadaya Pribumi. Keberhasilan produk pembiayaan BMT Swadaya Pribumi dalam penelitian ini diukur dengan mempertimbangkan kesetaraan gender dalam pemenuhan kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis gender yang dirasakan oleh peserta produk pembiayaan perempuan dan laki-laki. Ketika kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis gender peserta perempuan dan peserta laki-laki terpenuhi, maka pelaksanaan produk pembiayaan BMT Swadaya Pribumi telah berhasil dan dapat dikatakan pelaksanaan produk pembiayaan BMT Swadaya Pribumi telah responsif gender.

21 30 Karakteristik Sosial Ekonomi dan Demografi Individu terpilah jenis kelamin (X1) X1.1 : Umur X1.2 : Status Pernikahan X1.3 : Tingkat Pendidikan X1.4 : Jenis Usaha X1.5 : Tingkat Pendapatan Tingkat Kesetaraan Gender dalam BMT Swadaya Pribumi (X2) X2.1: Tingkat Akses Peserta terhadap Sumberdaya X2.2: Tingkat Kontrol Peserta terhadap Sumberdaya X2.3: Tingkat Manfaat yang Dinikmati oleh Peserta Kegiatan Produk Pembiayaan BMT Swadaya Pribumi Responsif Gender Tingkat Keberhasilan Produk Pembiayaan BMT Swadaya Pribumi (Y) dalam Pemenuhan Kebutuhan Praktis dan Kebutuhan Startegis Gender Peran (Pembagian Kerja) dalam Rumahtangga (X3) Isu beban kerja berlebih (over burden) yang ditanggung oleh perempuan Keterangan : Berhubungan : Berhubungan tetapi tidak diuji : Analisis gender Gambar 4 Kerangka Pemikiran Analisis Gender terhadap Tingkat Keberhasilan Pelaksanaan BMT Swadaya Pribumi

22 Hipotesis Pengarah Berdasarkan kerangka pemikiran diatas maka dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: 1) Terdapat hubungan yang nyata atau signifikan antara karakteristik individu peserta terpilah berdasarkan jenis kelamin dengan tingkat kesetaraan gender dalam BMT Swadaya Pribumi. a. Terdapat hubungan yang nyata atau signifikan antara umur peserta dengan tingkat kesetaraan gender dalam BMT Swadaya Pribumi. b. Terdapat hubungan yang nyata atau signifikan antara status pernikahan peserta dengan tingkat kesetaraan gender dalam BMT Swadaya Pribumi. c. Terdapat hubungan yang nyata atau signifikan antara tingkat pendidikan peserta dengan tingkat kesetaraan gender dalam BMT Swadaya Pribumi. d. Terdapat hubungan yang nyata atau signifikan antara jenis usaha yang ditekuni peserta dengan tingkat kesetaraan gender dalam BMT Swadaya Pribumi. e. Terdapat hubungan yang nyata atau signifikan antara tingkat pendapatan peserta dengan tingkat kesetaraan gender dalam BMT Swadaya Pribumi. 2) Perempuan memiliki beban kerja berlebih (over burden) yang ditunjukkan melalui peran (pembagian kerja) dalam rumahtangga peserta BMT Swadaya Pribumi. 3) Terdapat hubungan yang nyata atau signifikan antara tingkat kesetaraan gender dalam BMT Swadaya Pribumi dengan tingkat keberhasilan BMT Swadaya Pribumi. a. Terdapat hubungan yang nyata atau signifikan antara tingkat akses peserta terhadap sumberdaya dari BMT Swadaya Pribumi dengan tingkat keberhasilan BMT Swadaya Pribumi.

23 32 b. Terdapat hubungan yang nyata atau signifikan antara tingkat kontrol peserta terhadap sumberdaya dari BMT Swadaya Pribumi dengan tingkat keberhasilan BMT Swadaya Pribumi. c. Terdapat hubungan yang nyata atau signifikan antara tingkat manfaat yang dinikmati oleh peserta dengan tingkat keberhasilan BMT Swadaya Pribumi. 2.4 Definisi Konseptual 1) Gender adalah konsep mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki yang terjadi akibat dari berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat. 2) Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi baik perempuan dan lakilaki untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. 3) Keadilan gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap perempuan dan laki-laki. 4) Analisis gender adalah proses yang dibangun secara sitematis untuk mengidentifikasi dan memahami peran (pembagian kerja) perempuan dan laki-laki, akses dan kontrol terhadap sumber-sumberdaya pembangunan, partisipasi dalam proses pembangunan dan manfaat yang mereka nikmati, pola hubungan antara perempuan dan laki-laki yang timpang, yang di dalam pelaksanaannya memperhatikan faktor-faktor lainnya, seperti kelas sosial, ras, dan suku bangsa. 5) Peran produktif adalah kegiatan yang menghasilkan uang. 6) Peran reproduktif adalah kegiatan-kegiatan yang bersifat mengurus dan merawat keluarga. 7) Peran sosial adalah kegiatan-kegiatan masyarakat yang sifatnya untuk menjalin kebersamaan dan solidaritas antar masyarakat.

24 33 8) Kebutuhan praktis gender adalah kebutuhan segera, kebutuhan material yang diperlukan perempuan dan laki-laki yang tidak harus memerlukan perubahan-perubahan terhadap hubungan gender yang ada. Contoh: tempat tinggal, makanan, air, dan pekerjaan yang memadai. 9) Kebutuhan strategis gender adalah kebutuhan yang memerlukan perubahan-perubahan jangka panjang terhadap hubungan gender agar kebutuhan itu tercapai. Kebutuhan strategis secara langsung dapat berkaitan dengan kebutuhan praktis. Contoh: kebutuhan praktis perempuan untuk mendapatkan tempat tinggal atau makanan dapat berkaitan dengan kebutuhan strategis mereka untuk mendapatkan hak yang sama untuk memiliki tanah atau hak untuk mendapatkan serangkaian pilihan pekerjaan dan mendapatkan sumber penghasilan. 2.5 Definisi Operasional Tabel 5 Definisi Operasional Penelitian Analisis Gender terhadap Tingkat Keberhasilan Pelaksanaan CSR Bidang Pemberdayaan Ekonomi Lokal PT Holcim Indonesia Tbk Definisi No. Variabel Operasional 1. Karakteristik Individu a. Jenis kelamin b. c. Umur 1.Umur berdasarkan median 2.Umur berdasarkan BPS Status pernikahan Identitas biologis peserta. Lamanya hidup peserta produk BMT Swadaya Pribumi. Identitas pernikahan peserta saat diwawancarai. Indikator Laki-laki = 1 Perempuan = 2 Umur (median): < 45 tahun = 1 45 tahun = 2 Umur (BPS): tahun = tahun = tahun = 3 Belum menikah = 1 Menikah = 2 Cerai (janda/ duda) = 3 Pengukuran Data Nominal Ordinal Nominal d. Tingkat Jenis pendidikan Tidak tamat Ordinal

25 34 pendidikan e. Jenis usaha f. Tingkat pendapatan per bulan sekolah tertinggi yang ditamatkan oleh peserta. Usaha yang ditekuni oleh peserta saat memperoleh pembiayaan dari BMT Swadaya Pribumi. Rata-rata hasil kerja berupa uang yang diterima peserta atas pekerjaan utama peserta setiap bulan. 2. Peran (Pembagian Kerja) dalam Rumahtangga a. b. Peran produktif Peran Reproduktif Kegiatan yang menghasilkan uang yang terdiri dari satu kegiatan (mencari nafkah). Kegiatan mengurus rumahtangga dan keluarga yang terdiri dari 12 kegiatan rumahtangga (masak, cuci pakaian, cuci piring, menyapu,mengepel, menyetrika, urus anak, mandikan anak, menyuapi anak, gendong anak, antar anak ke posyandu, dan perbaiki perkakas rumahtangga). SD/tamat SD = 1 (rendah) Tamat SMP = 2 (sedang) Tamat SMA/PT = 3 (tinggi) Usaha makanan = 1 Usaha nonmakanan = 2 Rp s.d Rp = 1 (rendah) Rp s.d Rp = 2 (sedang) >Rp = 3 (tinggi) Laki-laki saja = 1 Perempuan saja = 2 Bersama = 3 Laki-laki saja = 1 Perempuan saja = 2 Bersama = 3 Nominal Ordinal Nominal Nominal

26 35 c. Peran Sosial Kegiatan kemasyarakatan yang terdiri dari 6 kegiatan (arisan, pengajian, PKK, kerjabakti,kematian, pernikahan). Laki-laki saja = 1 Perempuan saja = 2 Bersama = 3 Nominal a. b. c. 3. Tingkat Kesetaraan Gender Peserta dalam BMT Swadaya Pribumi Pengkategorian: Tidak setara gender = Setara gender = Akses terhadap sumberdaya Kontrol terhadap sumberdaya Manfaat yang dinikmati Peluang atau kesempatan yang dimiliki peserta dalam memperoleh izin usaha, pembiayaan(kredit), pembayaran angsuran, pelatihan kewirausahaan, dan pendampingan usaha. Kuasa yang dimiliki peserta atas besarnya pinjaman, pemanfaatan uang, jenis usaha, dan kendali atas usaha. Manfaat yang dinikmati oleh peserta berupa peningkatan pendapatan, status sosial, kebutuhan dasar, dan kemampuan berwirausaha. 4. Tingkat Keberhasilan BMT Swadaya Pribumi Pengkategorian: Keberhasilan rendah = Keberhasilan tinggi = a. Pemenuhan kebutuhan praktis Pemenuhan kebutuhan peserta terhadap permodalan usaha, pengetahuan Skor total 6-9 = 1 (rendah) Skor total = 2 (tinggi) Skor total 5-8 = 1 (rendah) Skor total 9-10 = 2 (tinggi) Skor total 4-6 = 1 (rendah) Skor total 7-8 = 2 (tinggi) Skor total 5-8 = 1 (rendah) Skor total 9-11 = 2 (tinggi) Ordinal Ordinal Ordinal Ordinal

27 36 kewirausahaan, kebutuhan ekonomi, perbaikan kondisi hidup, dan perkembangan usaha. b. Pemenuhan kebutuhan strategis Pemenuhan kebutuhan peserta dalam memperoleh kesempatan yang setara dalam memperoleh pembiayaan, mengikuti kegiatan pelatihan kewirausahaan, dan pengambilan keputusan dalam keluarga. Skor total 6-7 = 1 (rendah) Skor total 8-9 = 2 (tinggi) Ordinal

BAB I PENDAHULUAN. 1 [HDI] Human Development Report Human Development Index (HDI). [Internet]. [dinduh. 4 Ibid.

BAB I PENDAHULUAN. 1 [HDI] Human Development Report Human Development Index (HDI). [Internet]. [dinduh. 4 Ibid. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Hubeis (2010) kualitas hidup manusia dapat diukur berdasarkan pengukuran Human Development Index (HDI), Gender Development Index (GDI), dan Gender Empowerment

Lebih terperinci

BAB VI PERAN (PEMBAGIAN KERJA) DALAM RUMAHTANGGA PESERTA PRODUK PEMBIAYAAN BMT SWADAYA PRIBUMI

BAB VI PERAN (PEMBAGIAN KERJA) DALAM RUMAHTANGGA PESERTA PRODUK PEMBIAYAAN BMT SWADAYA PRIBUMI BAB VI PERAN (PEMBAGIAN KERJA) DALAM RUMAHTANGGA PESERTA PRODUK PEMBIAYAAN BMT SWADAYA PRIBUMI 6.1 Peran (Pembagian Kerja) dalam Rumahtangga Peserta Peran atau pembagian kerja tidak hanya terdapat dalam

Lebih terperinci

ANALISIS GENDER TERHADAP TINGKAT KEBERHASILAN PELAKSANAAN CSR BIDANG PEMBERDAYAAN EKONOMI LOKAL PT HOLCIM INDONESIA Tbk

ANALISIS GENDER TERHADAP TINGKAT KEBERHASILAN PELAKSANAAN CSR BIDANG PEMBERDAYAAN EKONOMI LOKAL PT HOLCIM INDONESIA Tbk ISSN : 1978-4333, Vol. 06, No. 01 ANALISIS GENDER TERHADAP TINGKAT KEBERHASILAN PELAKSANAAN CSR BIDANG PEMBERDAYAAN EKONOMI LOKAL PT HOLCIM INDONESIA Tbk Gender Analysis on CSR Program of Local Economic

Lebih terperinci

ANALISIS GENDER. SUYATNO, Ir. MKes FKM UNDIP SEMARANG, 2009

ANALISIS GENDER. SUYATNO, Ir. MKes FKM UNDIP SEMARANG, 2009 ANALISIS GENDER SUYATNO, Ir. MKes FKM UNDIP SEMARANG, 2009 Analisa Gender Adalah proses yang dibangun secara sistematis untuk mengidentifikasi dan memahami: pembagian kerja/peran laki-laki dan perempuan,

Lebih terperinci

Gender Analysis Pathway (GAP) (Alur Kerja Analisis Gender (AKAG)

Gender Analysis Pathway (GAP) (Alur Kerja Analisis Gender (AKAG) Modul: Gender Analysis Pathway (GAP) (Alur Kerja Analisis Gender (AKAG) Oleh : Suyatno, Ir. M.Kes Fakultas Kesehatan Masyarakat UNDIP Semarang Tujuan pembelajaran: 1. Menjelaskan pengertian analisis gender

Lebih terperinci

Corporate Social Responsibility (CSR) Bidang Pertanian

Corporate Social Responsibility (CSR) Bidang Pertanian Corporate Social Responsibility (CSR) Bidang Pertanian Perkembangan CSR (1) Dr. Ir. Teguh Kismantoroadji, M.Si. Ir. Indah Widowati, MP. Eko Murdiyanto, SP., M.Si. Pertemuan-3 PROGRAM STUDI AGRIBISNIS UPN

Lebih terperinci

GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN

GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN G E N D E R B R I E F S E R I E S NO. 1 GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN The Australia-Indonesia Partnership for Reconstruction and Development Local Governance and Community Infrastructure for Communities

Lebih terperinci

PENDEKATAN TEORITIS. Tinjauan Pustaka

PENDEKATAN TEORITIS. Tinjauan Pustaka 5 PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Konsep Gender Gender merupakan suatu konsep yang merujuk pada peran dan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tidak ditentukan oleh perbedaan biologis, tetapi

Lebih terperinci

GENDER DALAM PERKEMBANGAN MASYARAKAT. Agustina Tri W, M.Pd

GENDER DALAM PERKEMBANGAN MASYARAKAT. Agustina Tri W, M.Pd GENDER DALAM PERKEMBANGAN MASYARAKAT Agustina Tri W, M.Pd Manusia dilahirkan o Laki-laki kodrat o Perempuan Konsekuensi dg sex sbg Laki-laki Sosial Konsekuensinya dg sex sbg Perempuan 2 Apa Pengertian

Lebih terperinci

ANALISIS GENDER TERHADAP TINGKAT KEBERHASILAN PELAKSANAAN CSR BIDANG PEMBERDAYAAN EKONOMI LOKAL PT HOLCIM INDONESIA

ANALISIS GENDER TERHADAP TINGKAT KEBERHASILAN PELAKSANAAN CSR BIDANG PEMBERDAYAAN EKONOMI LOKAL PT HOLCIM INDONESIA ANALISIS GENDER TERHADAP TINGKATT KEBERHASILAN PELAKSANAAN CSR BIDANG PEMBERDAYAAN EKONOMI LOKAL PT HOLCIM INDONESIA Tbk (Kasus: Baitul Maal wa Tamwil/BMT Swadaya Pribumi, Desa Kembang Kuning, Kecamatan

Lebih terperinci

GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar

GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar 90 menit Managed by IDP Education Australia IAPBE-2006 TUJUAN Peserta mampu: 1. Memahami konsep gender sebagai konstruksi sosial 2. Memahami pengaruh gender terhadap pendidikan

Lebih terperinci

BUPATI LOMBOK UTARA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER

BUPATI LOMBOK UTARA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER BUPATI LOMBOK UTARA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK UTARA, Menimbang

Lebih terperinci

Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender

Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender XVII Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender Salah satu strategi pokok pembangunan Propinsi Jawa Timur 2009-2014 adalah pengarusutamaan gender. Itu artinya, seluruh proses perencanaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagaimana tertulis dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, pemerintah menetapkan visi pembangunan yaitu Terwujudnya Indonesia yang

Lebih terperinci

C KONSEP PENGURUSUTAMAAN/ MAINSTREAMING GENDER

C KONSEP PENGURUSUTAMAAN/ MAINSTREAMING GENDER C KONSEP PENGURUSUTAMAAN/ MAINSTREAMING GENDER 1. Tentang Lahirnya PUG Pengarusutamaan Gender PUG secara formal diadopsi dalam Beijing Flatform For Action BPFA tahun yang menyatakan bahwa pemerintah dan

Lebih terperinci

Dr. Mulyaningrum Bakrie School of Management Jakarta, Indonesia

Dr. Mulyaningrum Bakrie School of Management Jakarta, Indonesia Dr. Mulyaningrum Bakrie School of Management Jakarta, Indonesia PENDAHULUAN BMT berkembang dari kegiatan Baitul maal : bertugas menghimpun, mengelola dan menyalurkan Zakat, Infak dan Shodaqoh (ZIS) Baitul

Lebih terperinci

PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARIMUN NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN

PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARIMUN NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN 1 PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARIMUN NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARIMUN, Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG

PEMERINTAH KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG PEMERINTAH KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDENRENG RAPPANG NOMOR 04 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

TEKNIK ANALISIS GENDER. Oleh: Dr. Nahiyah Jaidi Faraz, M.Pd

TEKNIK ANALISIS GENDER. Oleh: Dr. Nahiyah Jaidi Faraz, M.Pd TEKNIK ANALISIS GENDER Oleh: Dr. Nahiyah Jaidi Faraz, M.Pd FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2012 MAKALAH TEKNIK ANALISIS GENDER Dr. Nahiyah Jaidi Faraz M.Pd nahiyah@uny.ac.id Pengertian Analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan tujuan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,

Lebih terperinci

PENDIDIKAN ADIL GENDER DALAM KELUARGA 1. Siti Rohmah Nurhayati, M.Si. 2

PENDIDIKAN ADIL GENDER DALAM KELUARGA 1. Siti Rohmah Nurhayati, M.Si. 2 PENDIDIKAN ADIL GENDER DALAM KELUARGA 1 Siti Rohmah Nurhayati, M.Si. 2 Pendahuluan Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama bagi anak. Di dalam keluarga, anak mendapatkan seperangkat nilai-nilai, aturan-aturan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun , pemerintah mengakui masih rendahnya kualitas sumberdaya

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun , pemerintah mengakui masih rendahnya kualitas sumberdaya 17 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004-2009, pemerintah mengakui masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) Indonesia. Hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara berkembang memiliki keanekaragaman dalam hal adat istiadat, bahasa, kepercayaan, norma, dan nilai budaya lainnya. Tidak hanya dalam hal budaya,

Lebih terperinci

BUPATI KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER

BUPATI KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER SALINAN BUPATI KEBUMEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN, Menimbang Mengingat :

Lebih terperinci

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA. a. INPRES No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA. a. INPRES No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam 10 BAB. II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengarusutamaan Gender (PUG) 1. Kebijakan Pengarusutamaan Gender Terkait dengan Pengarusutamaan Gender (PUG), terdapat beberapa isitilah yang dapat kita temukan, antara lain

Lebih terperinci

Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan

Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Umum Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan), yang dalam Pedoman ini disebut BADAN, adalah badan hukum publik yang dibentuk dengan

Lebih terperinci

1Konsep dan Teori Gender

1Konsep dan Teori Gender 1Konsep dan Teori Gender Pengantar Dalam bab ini akan disampaikan secara detil arti dan makna dari Gender, serta konsepsi yang berkembang dalam melihat gender. Hal-hal mendasar yang perlu dipahami oleh

Lebih terperinci

BAB II. Kajian Pustaka. Studi Kesetaraan dan Keadilan Gender Dalam Pembangunan 9

BAB II. Kajian Pustaka. Studi Kesetaraan dan Keadilan Gender Dalam Pembangunan 9 BAB II Kajian Pustaka Studi Kesetaraan dan Keadilan Gender Dalam Pembangunan 9 Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) sudah menjadi isu yang sangat penting dan sudah menjadi komitmen bangsa-bangsa di dunia

Lebih terperinci

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GAWI SABARATAAN PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARBARU, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BUPATI SOPPENG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SOPPENG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

BUPATI SOPPENG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SOPPENG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH 1 BUPATI SOPPENG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SOPPENG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SOPPENG,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1604, 2014 BNPB. Penanggulangan. Bencana. Gender. Pengarusutamaan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1604, 2014 BNPB. Penanggulangan. Bencana. Gender. Pengarusutamaan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1604, 2014 BNPB. Penanggulangan. Bencana. Gender. Pengarusutamaan. PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA SABANG NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER DALAM PEMBANGUNAN DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

PERATURAN WALIKOTA SABANG NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER DALAM PEMBANGUNAN DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA PERATURAN WALIKOTA SABANG NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER DALAM PEMBANGUNAN DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA WALIKOTA SABANG, Menimbang : a. bahwa dokumen perencanaan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 119 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 119 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 119 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYUSUNAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dilihat dari

BAB I PENDAHULUAN. lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dilihat dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bank merupakan salah satu lembaga keuangan yang mempunyai peranan penting di dalam perekonomian suatu negara sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki

BAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki dan perempuan dibedakan sesuai dengan perannya masing-masing yang dikonstruksikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Corporate Social Responsibility (CSR) 2.1.1. Pengertian CSR Definisi Corporate Social Responsibility yang biasanya disingkat CSR adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Agroforestri Secara umum agroforestri adalah manajemen pemanfaatan lahan secara optimal dan lestari, dengan cara mengkombinasikan kegiatan kehutanan dan pertanian

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

B A B I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional B A B I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Agar peran pemerintah bersama masyarakat semakin efektif dan efisien dalam upaya mewujudkan sistem pemerintahan yang baik (good

Lebih terperinci

Laki-laki, Perempuan, dan Kelompok Masyarakat Rentan dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam

Laki-laki, Perempuan, dan Kelompok Masyarakat Rentan dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Laki-laki, Perempuan, dan Kelompok Masyarakat Rentan dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Apakah Gender itu? Pengertian awal: Pembedaan ketata-bahasaan (gramatical) penggolongan kata benda menjadi feminin,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan wanita untuk bekerja adalah

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BAB II PENDEKATAN TEORITIS BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1 Corporate Social Responsibility 2.1.1.1 Konsep Corporate Social Responsibility Konsep Corporate Social Responsibility (CSR) memiliki banyak definisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peran kaum perempuan Indonesia dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam menegakkan NKRI dipelopori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah di negara manapun. Salah satu aspek penting untuk mendukung strategi

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH SALINAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan Indonesia kearah modernisasi maka semakin banyak peluang bagi perempuan untuk berperan dalam pembangunan. Tetapi berhubung masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian masih menjadi sumber mata pencaharian utama bagi masyarakat Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang mampu diserap dari berbagai

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PERANAN WANITA DALAM PEMBANGUNAN BERWAWASAN GENDER

PERANAN WANITA DALAM PEMBANGUNAN BERWAWASAN GENDER PERANAN WANITA DALAM PEMBANGUNAN BERWAWASAN GENDER OLEH WAYAN SUDARTA Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Udayana Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan peranan (hak

Lebih terperinci

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. 1. Atas undangan Organisasi Kesehatan Dunia, kami, Kepala Pemerintahan, Menteri dan perwakilan pemerintah datang

Lebih terperinci

BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 34 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYUSUNAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER (PPRG)

BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 34 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYUSUNAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER (PPRG) BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 34 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYUSUNAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER (PPRG) BUPATI MALANG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mengintegrasikan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu isu yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial. Gender

Lebih terperinci

DEFINISI & TERMINOLOGI ANALISIS GENDER

DEFINISI & TERMINOLOGI ANALISIS GENDER DEFINISI & TERMINOLOGI ANALISIS GENDER ISTILAH GENDER DIGUNAKAN UNTUK MENJELASKAN PERBEDAAN PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI YANG BERSIFAT BAWAAN SEBAGAI CIPTAAN TUHAN DAN PERBEDAAN PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI YANG

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS TAHUN : 2013 NOMOR : 22 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 22 TAHUN 2013 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS TAHUN : 2013 NOMOR : 22 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 22 TAHUN 2013 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS TAHUN : 2013 NOMOR : 22 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 22 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

MENGENALI DAN MEMAHAMI PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) DALAM PEMBANGUNAN YURNI SATRIA

MENGENALI DAN MEMAHAMI PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) DALAM PEMBANGUNAN YURNI SATRIA MENGENALI DAN MEMAHAMI PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) DALAM PEMBANGUNAN YURNI SATRIA MASYARAKAT SEBAGAI LINGKUNGAN STRATEJIK/ASET PEMBANGUNAN Perempuan, 49.9% Laki- laki 50.1 % KUALITASNYA? JUMLAH PENDUDUK

Lebih terperinci

Manusia selalu dihadapkan pada masalah ekonomi seperti kesenjangan. ekonomi, kemiskinan, dan masalah-masalah lainnya. Namun banyak masyarakat

Manusia selalu dihadapkan pada masalah ekonomi seperti kesenjangan. ekonomi, kemiskinan, dan masalah-masalah lainnya. Namun banyak masyarakat PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia selalu dihadapkan pada masalah ekonomi seperti kesenjangan ekonomi, kemiskinan, dan masalah-masalah lainnya. Namun banyak masyarakat yang tidak mengerti apa sebenarnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perusahaan sebagai sebuah sistem, dalam keberlanjutan dan keseimbangannya tidak dapat berdiri sendiri. Keberadaan perusahaan dalam lingkungan masyarakat membawa pengaruh

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive), yaitu di Desa Kembang Kuning, Kecamatan Klapanunggal, Bogor yang merupakan kawasan

Lebih terperinci

STATISTIK PENDIDIKAN DAN INDIKATOR BERWAWASAN GENDER

STATISTIK PENDIDIKAN DAN INDIKATOR BERWAWASAN GENDER STATISTIK PENDIDIKAN DAN INDIKATOR BERWAWASAN GENDER KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PUSAT DATA DAN STATISTIK PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN Jakarta, November 2015 Latar Belakang Forum internasional:

Lebih terperinci

Pemahaman Analisis Gender. Oleh: Dr. Alimin

Pemahaman Analisis Gender. Oleh: Dr. Alimin Pemahaman Analisis Gender Oleh: Dr. Alimin 1 2 ALASAN MENGAPA MENGIKUTI KELAS GENDER Isu partisipasi perempuan dalam politik (banyak caleg perempuan) Mengetahui konsep gender Bisa menulis isu terkait gender

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Peran Pekerjaan dan Keluarga Fenomena wanita bekerja di luar rumah oleh banyak pihak dianggap sebagai sesuatu yang relatif baru bagi masyarakat Indonesia. Kendati semakin lumrah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perusahaan dapat dikatakan sebagai salah satu aktor ekonomi dalam satu wilayah, baik itu wilayah desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, dan negara. Sebagai salah satu

Lebih terperinci

Penilaian Pencapaian MDGs di Provinsi DIY Oleh Dyna Herlina Suwarto, SE, SIP

Penilaian Pencapaian MDGs di Provinsi DIY Oleh Dyna Herlina Suwarto, SE, SIP Penilaian Pencapaian MDGs di Provinsi DIY Oleh Dyna Herlina Suwarto, SE, SIP Sejak tahun 2000, Indonesia telah meratifikasi Millenium Development Goals (MDGs) di bawah naungan Persatuan Bangsa- Bangsa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan. minoritas seperti pemuda, petani, perempuan, dan

BAB I PENDAHULUAN. Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan. minoritas seperti pemuda, petani, perempuan, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan di radio komunitas. Karakteristik radio komunitas yang didirikan oleh komunitas, untuk komunitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembiayaan murabahan..., Claudia, FH UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembiayaan murabahan..., Claudia, FH UI, 2010. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kehidupan sehari-hari manusia tidak dapat dilepaskan dari dunia ekonomi. Aspek dunia ekonomi yang dikenal saat ini sangat luas. Namun yang sering digunakan oleh masyarakat

Lebih terperinci

Perempuan dan Industri Rumahan

Perempuan dan Industri Rumahan A B PEREMPUAN DAN INDUSTRI RUMAHAN PENGEMBANGAN INDUSTRI RUMAHAN DALAM SISTEM EKONOMI RUMAH TANGGA UNTUK PENINGKATAN KUALITAS HIDUP PEREMPUAN DAN ANAK C ...gender equality is critical to the development

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada waktu itu istilah yang umum dikenal adalah Social Responsibility (SR), hal

BAB I PENDAHULUAN. pada waktu itu istilah yang umum dikenal adalah Social Responsibility (SR), hal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sejarah perkembangan CSR modern diawali pada tahun 1950-an dimana pada waktu itu istilah yang umum dikenal adalah Social Responsibility (SR), hal ini disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia yang berkembang pesat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia yang berkembang pesat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia yang berkembang pesat menunjukkan kontribusi yang positif bagi perekonomian domestik nasional. 1 Lembaga keuangan yang

Lebih terperinci

KESEHATAN REPRODUKSI DALAM PERSPEKTIF GENDER. By : Basyariah L, SST, MKes

KESEHATAN REPRODUKSI DALAM PERSPEKTIF GENDER. By : Basyariah L, SST, MKes KESEHATAN REPRODUKSI DALAM PERSPEKTIF GENDER By : Basyariah L, SST, MKes Kesehatan Reproduksi Dalam Persfektif Gender A. Seksualitas dan gender 1. Seksualitas Seks : Jenis kelamin Seksualitas : Menyangkut

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari dua istilah, yaitu Baitul mall dan Baitul Tamwil. Pengertian BMT

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari dua istilah, yaitu Baitul mall dan Baitul Tamwil. Pengertian BMT BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Baitul Maal wat Tamwil (BMT) merupakan suatu lembaga yang terdiri dari dua istilah, yaitu Baitul mall dan Baitul Tamwil. Pengertian BMT secara defenisi adalah balai

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN menyebabkan banyak bank yang menjalankan prinsip syariah. Perbankan

BAB I PENDAHULUAN menyebabkan banyak bank yang menjalankan prinsip syariah. Perbankan BAB I PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian Sejak dikeluarkannya fatwa bunga bank haram dari MUI pada tahun 2003 menyebabkan banyak bank yang menjalankan prinsip syariah. Perbankan syari ah merupakan lembaga

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Metode Penelitian Rancangan penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Metode Penelitian Rancangan penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Tempat yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Subang. Alasan penetapannya karena di kabupaten ini terdapat dua pelabuhan perikanan pantai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 189 negara anggota PBB pada bulan September 2000 adalah deklarasi Millenium

BAB I PENDAHULUAN. 189 negara anggota PBB pada bulan September 2000 adalah deklarasi Millenium BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai sebuah negara berkembang, Indonesia turut serta dan berperan aktif dalam setiap kegiatan dan program-program pembangunan yang menjadi agenda organisasi negara-negara

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN KABUPATEN KOTABARU

BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN KABUPATEN KOTABARU BUPATI KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN KABUPATEN KOTABARU BUPATI KOTABARU, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS

PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS PEMERINTAH KABUPATEN SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN BANK PERKREDITAN RAKYAT SYARIAH SAMBAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS, Menimbang :

Lebih terperinci

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER PADA SATUAN KERJA PERANGKAT ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Sejarah

I. PENDAHULUAN A. Sejarah I. PENDAHULUAN A. Sejarah Daerah pinggiran kota (sub urban) merupakan wilayah penyangga daerah kota, dengan kondisi penduduknya yang heterogen, baik dilihat dari kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya,

Lebih terperinci

PERMUKIMAN UNTUK PENGEMBANGAN KUALITAS HIDUP SECARA BERKELANJUTAN. BAHAN SIDANG KABINET 13 Desember 2001

PERMUKIMAN UNTUK PENGEMBANGAN KUALITAS HIDUP SECARA BERKELANJUTAN. BAHAN SIDANG KABINET 13 Desember 2001 PERMUKIMAN UNTUK PENGEMBANGAN KUALITAS HIDUP SECARA BERKELANJUTAN BAHAN SIDANG KABINET 13 Desember 2001 PERMUKIMAN DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Agenda 21 yang dicanangkan di Rio de Janeiro tahun 1992

Lebih terperinci

PENERAPAN PUG DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

PENERAPAN PUG DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN PENERAPAN PUG DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DEPUTI BIDANG PUG BIDANG EKONOMI KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK PERPRES NO. 5 TAHUN 2010 RPJMN 2010-2014 A. 3

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam lembaga keuangan, khususnya lembaga perbankan yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam lembaga keuangan, khususnya lembaga perbankan yang merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam lembaga keuangan, khususnya lembaga perbankan yang merupakan salah satu lembaga keuangan paling strategis sangat penting bagi pendorong kemajuan perekonomian

Lebih terperinci

BAB VII ANALISIS DAN SINTESIS PARTISIPASI MASYARAKAT STAKEHOLDER

BAB VII ANALISIS DAN SINTESIS PARTISIPASI MASYARAKAT STAKEHOLDER BAB VII ANALISIS DAN SINTESIS PARTISIPASI MASYARAKAT STAKEHOLDER DALAM PENYELENGGARAAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DAN DAMPAKNYA TERHADAP KOMUNITAS PERDESAAN Keberadaan perusahaan dalam lingkungan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 14 II. TINJAUAN PUSTAKA Aktivitas ekonomi rumahtangga petani lahan sawah erat kaitannya dengan upaya meningkatkan ketahanan pangan rumahtangga. Ketahanan pangan rumahtangga sebagaimana hasil rumusan Internasional

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Berdasarkan BPS (2010), jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan sebesar 1,5 juta orang. Pada Maret 2009, jumlah penduduk miskin sebesar 32,5 juta orang, sedangkan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Ogan Komering

Lebih terperinci

Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan

Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan Wagiran Pokja Gender Bidang Pendidikan DIY Disampaikan dalam Acara Sosialisasi Bahan Ajar Responsif Gender SMP bagi Guru SD dan SMP di Wisma LPP Tanggal 8 Oktober

Lebih terperinci

Kesehatan reproduksi dalam perspektif gender. By : Fanny Jesica, S.ST

Kesehatan reproduksi dalam perspektif gender. By : Fanny Jesica, S.ST Kesehatan reproduksi dalam perspektif gender By : Fanny Jesica, S.ST DEFINISI KESEHATAN REPRODUKSI K E S P R Suatu keadaan kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh, bebas dari penyakit dan kecacatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau badan badan hukum koperasi yang memberikan kebebasan masuk

BAB I PENDAHULUAN. atau badan badan hukum koperasi yang memberikan kebebasan masuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Koperasi merupakan suatu perkumpulan yang beranggotakan orangorang atau badan badan hukum koperasi yang memberikan kebebasan masuk dan keluar sebagai anggota,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perempuan atau laki-laki secara terpisah, tetapi bagaimana menempatkan

BAB I PENDAHULUAN. perempuan atau laki-laki secara terpisah, tetapi bagaimana menempatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Studi tentang gender bukan hanya sekedar sebuah upaya memahami perempuan atau laki-laki secara terpisah, tetapi bagaimana menempatkan keduanya dalam konteks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maksud dan tujuan pembangunan. Tidaklah mudah untuk mengadakan perubahan

BAB I PENDAHULUAN. maksud dan tujuan pembangunan. Tidaklah mudah untuk mengadakan perubahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk menyampaikan maksud dan tujuan pembangunan. Tidaklah mudah untuk mengadakan perubahan pembangunan di setiap

Lebih terperinci

Sulit menciptakan keadilan dan kesetaraan gender jika negara terus menerus memproduksi kebijakan yang bias gender. Genderisasi kebijakan publik telah

Sulit menciptakan keadilan dan kesetaraan gender jika negara terus menerus memproduksi kebijakan yang bias gender. Genderisasi kebijakan publik telah KATA PENGANTAR Pengarusutamaan Gender telah menjadi garis kebijakan pemerintah sejak keluarnya Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000. Instruksi tersebut menggariskan: seluruh departemen maupun lembaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan agraris, dimana terdiri dari banyak pulau dan sebagian besar mata pencaharian penduduknya bercocok tanam atau petani. Pertanian

Lebih terperinci

PENDIDIKAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

PENDIDIKAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN PENDIDIKAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN Pengampu : Nur Djazifah E.R Fitta Ummaya Santi PLS_FIP_UNY RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER ( RPS ) Program Studi : Pendidikan Luar Sekolah Nama Mata Kuliah : Pendidikan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA MILIK NEGARA TIDAK DIPERDAGANGKAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 84 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER BIDANG PENDIDIKAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN

Lebih terperinci

BAB 12. PENANGGULANGAN KEMISKINAN KELUARGA DI INDONESIA. Oleh: Herien Puspitawati Tin Herawati

BAB 12. PENANGGULANGAN KEMISKINAN KELUARGA DI INDONESIA. Oleh: Herien Puspitawati Tin Herawati BAB 12. PENANGGULANGAN KEMISKINAN KELUARGA DI INDONESIA Oleh: Herien Puspitawati Tin Herawati Kondisi Kemiskinan di Indonesia Isu kemiskinan yang merupakan multidimensi ini menjadi isu sentral di Indonesia

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN PEREMPUAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA MASYARAKAT DI BIDANG PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK

Lebih terperinci