BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
|
|
- Hadian Rachman
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rumah dan permukiman sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia tidak akan berhenti menjadi sumber masalah dalam kehidupan manusia. Sejak zaman manusia purba hidup dalam gua-gua sampai saat ini dimana manusia hidup dalam gedung-gedung pencakar langit ataupun rumah-rumah susun, permasalahan selalu muncul dan cenderung semakin kompleks. Keberadaan rumah selain sebagai tempat berlindung, juga merupakan privasi dan jatidiri/identitas penghuninya. Tuntutan kebutuhan manusia yang tidak pernah terpuaskan inilah yang menjadi salah satu sebab munculnya masalah-masalah baru dalam proses pengadaan rumah. Rumah sebagai bangunan fisik, dipandang dari segi kegunaan memiliki arti sebagai tempat perlindungan yang mempunyai dinding dan atap, baik tetap ataupun sementara yang digunakan untuk tempat tinggal maupun bukan tempat tinggal (BPS, 1980 dalam Lukisari, 2006). Seiring dengan kemajuan zaman, kebutuhan rumah yang lengkap baik dari fasilitas maupun aksesbilitas semakin dibutuhkan manusia. Indonesia sebagai negara berkembang berpenduduk kurang lebih 230 juta tentu saja memiliki kebutuhan rumah yang sangat besar. Kebutuhan rumah mengalami peningkatan pula seiring pertambahan jumlah penduduk. Hasil survey BPS pada tahun 2010 menunjukkan tingkat kebutuhan rumah di Indonesia mencapai 8 juta unit, belum termasuk kebutuhan rumah akibat pertambahan jumlah penduduk yang mencapai unit per tahun. Jumlah ini tidak sebanding dengan pembangunan perumahan pada tahun 2010 yang hanya mencapai unit. Turner (1976 dalam Lukisari, 2006) menyebutkan ada tiga pihak yang dalam pembangunan perumahan yaitu pemerintah (public service), swasta (private service), dan masyarakat (comunity sector). Pemerintah sebagai pihak yang berwenang mengatur kebijakan pembangunan termasuk sektor perumahan seharusnya mampu berperan sebagai penghasil (provider) sekaligus sebagai pemberi bantuan atau dorongan. Selain itu pemerintah juga harus mampu mengkoordinasikan pembangunan perumahan yang dilakukan oleh swasta atau masyarakat, melalui peraturan-peraturan, sehingga pembangunan lebih terarah. 1
2 Namun kenyataannya, pada saat ini pembangunan perumahan lebih banyak dilakukan oleh pengembang swasta dan masyarakat. Pembangunan oleh masyarakat biasanya dilakukan secara pribadi pada lahan sendiri sehingga sering mengabaikan fasilitas umum penunjang perumahan, sedangkan pengembang swasta lebih menitikberatkan pada keuntungan sehingga perumahan yang dibangun kadang tidak memenuhi standar rumah huni dan tidak memperhatikan kondisi lingkungan. Untuk mewadahi pengembang swasta di Indonesia dibentuklah Persatuan Pengusaha Real Estate Indonesia (REI), agar tidak terjadi persaingan yang tidak sehat antar pengembang swasta dan sebagai jembatan komunikasi antara pengembang swasta dengan pemerintah. Daerah yang sering dijadikan sasaran pengembang swasta sebagai tempat pembangunan perumahan baru adalah kawasan pinggiran kota (sub urban), dikarenakan lahan yang tersedia masih luas, harga lahan yang relatif lebih rendah daripada kawasan dalam kota, aksesibilitas yang cukup baik, serta kondisi sosial kemasyarakatan yang cenderung lebih bersahabat. Banyaknya pembangunan perumahan baru yang tidak terencana dengan baik sering menimbulkan berbagai masalah, baik masalah lingkungan ataupun sosial. Permasalahan lingkungan terutama diakibatkan oleh perubahan penggunaan lahan, biasanya dari lahan pertanian menjadi lahan terbangun, sehingga menyebabkan turunnya produktifitas pangan di daerah tersebut. Sedangkan masalah sosial lebih diakibatkan oleh proses adaptasi dan akulturasi yang tidak lancar antara warga sekitar dengan penghuni baru perumahan. Kecamatan Banguntapan merupakan wilayah Kabupaten Bantul yang berbatasan langsung dengan Kota Yogyakarta. Sebagai wilayah yang memiliki interaksi langsung dengan Kota Yogyakarta, dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bantul, Kecamatan Banguntapan dimasukkan dalam Satuan Wilayah Pembangunan (SWP) II bersama Kecamatan Sewon dan Kasihan, yang arahan utama pembangunannya untuk pengembangan kawasan permukiman dan pelayanan yang berorientasi perkotaan. Dengan luas wilayah 28,48 km 2 dan jumlah penduduk jiwa, Kecamatan Banguntapan merupakan wilayah terpadat di Kabupaten Bantul (BPS Kabupaten Bantul, 2010). Dengan aksesibilitas yang baik dan kondisi fisik dan sosial yang mendukung, tidak heran jika Kecamatan Banguntapan menjadi salah satu wilayah yang mengalami pertumbuhan perumahan baru relatif tinggi. 2
3 Pembangunan perumahan yang tidak terancana pada akhirnya akan menjadi masalah di kemudian hari. Oleh karena itu dalam proses pemilihan letak untuk pembangunan perumahan perlu mempertimbangkan kondisi lahan, serta kesesuaian dengan tata ruang yang telah dibuat pemerintah, yang diwujudkan dengan evaluasi lahan. Pada dasarnya, evaluasi lahan merupakan proses pendugaan kemampuan lahan untuk berbagai penggunaan lahan, sehingga dalam prosesnya perlu mempertimbangkan beberapa kemungkinan penggunaan serta faktor pembatas lahan yang nantinya dapat digunankan sebagai dasar penilaian apakah lahan tersebut memiliki potensi atau kemampuan yang dapat mendukung keberadaan penggunaan lahan di atasnya. Dalam hal ini, digunakan untuk pendugaan apakah lahan tersebut cocok digunakan untuk pembangunan perumahan atau tidak. Tekhnik penginderaan jauh dapat diterapkan dalam penentuan letak perumahan karena menyediakan informasi yang lengkap, akurat, dan cepat dengan tingkat ketelitian yang tinggi sehingga dapat menghemat waktu, tenaga, dan biaya (Sutanto, 1992). Informasi yang dimaksudkan adalah data fisik lahan yang akan digunakan sebagai masukan dalam proses evaluasi kesesuaian lahan untuk penentuan letak perumahan. Semakin lengkap dan akurat informasi fisik lahan yang diekstraksi dari hasil penginderaan jauh, maka akan semakin akurat pula hasil evaluasi kesesuaian lahan yang dilakukan. Citra Quickbird adalah salah satu hasil penginderaan jauh sistem satelit mutakhir yang memiliki resolusi spasial dan temporal yang tinggi, sehingga sangat baik digunakan sebagai sumber data untuk meyajikan informasi fisik lahan yang dibutuhkan. Kemampuan teknik penginderaan jauh untuk penentuan letak perumahan dapat juga dipermudah dengan adanya suatu basis sistem informasi yang cocok untuk analisis masalah keruangan yang disebut Sistem Informasi Geografis (SIG). SIG merupakan sarana pengolah data berbasis digital yang cepat, mampu menampung data dalam jumlah banyak, mudah memperbaharui dan memanggil kembali serta menyajikannya dalam format yang baik sesuai dengan kebutuhan. 3
4 1.2. Perumusan Masalah Perkembangan wilayah dan pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi akan menyebabkan tekanan kepada lahan semakin besar, terutama sebagai pemenuhan tempat tinggal dan sarana beraktifitas. Luas lahan yang statis pada akhirnya tidak akan mampu mengimbangi jumlah penduduk yang cenderung bertambah, sehingga menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan dari non permukiman menjadi permukiman untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kecamatan Banguntapan merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Bantul yang mengalami perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian menjadi lahan permukiman dan tempat usaha yang paling besar. Salah satu faktor yang mendorong perubahan penggunaan lahan tersebut adalah maraknya pembangunan perumahan baru yang dilakukan pengembang swasta, baik yang masuk dalam anggota REI ataupun pengembang yang bersifat perorangan. Pembangunan perumahan baru di Kecamatan Banguntapan dalam kurun waktu tercatat sebanyak 62 perumahan, salah satu yang terbanyak dibandingkan kecamatan di Kabupaten Bantul lainnya. Tabel 1.1. Perumahan yang Dibangun di Kecamatan Banguntapan No Nama Perumahan 1 Asana Mutiara 3 2 Baturetno Permai 3 Bona Topaz Residence 4 Bumi Citra Asri 5 Bumi Citra Lestari 6 Bumi Raya Indah 7 Citra Pesona Mandiri 8 Dalem Giri Permai 9 Dalem Kotagede Asri 10 Graha Mulya 11 Grahatama Permai 2 12 Griya Abimana 1 13 Griya Abimana 2 14 Griya Amartha 15 Griya Gilang Asri 16 Griya Harmoni Pratama II 17 Griya Harmoni Pratama IV 18 Griya Mahakam Permai 4
5 19 Griya Mutiara 20 Griya Romansa 21 Griya Taman Karinda 22 Griya Tamanan Asri 23 Griya Wirokerten Pratama 24 Janti Buana Asri 25 Janti Graha Yasa 26 Janti Residence 27 Jogja Elegance 28 Mutiara Tamanan 29 Permata Garden Regency 30 Perum Bumi Mandiri Wirokerten 31 Perum Griya Kunden Astini 32 Perum Griya Wirokerten Indah 33 Perum Pemda Propinsi 34 Perum Pesona Banguntapan Hijau I 35 Perum Pesona Banguntapan Hijau IV 36 Perumahan Azzafira 37 Perumahan Banguntapan Asri 38 Perumahan Graha Banguntapan 39 Perumahan Griya Mulya Sari 40 Perumahan Pesona Tamanan Asri 41 Perumahan Puri Wirokerten Asri 42 Perumahan Tiara Mas 1 43 Pesanggrahan Wirokerten 44 Pesona Alam 45 Pondok Indah Banguntapan 46 Pondok Permai Banguntapan 47 Pondok Permai Blok O 48 Potorono Residence 49 Puri Maheswari 50 Puri Sakinah 51 Puri Sakinah 2 52 Puri Tamanan Indah 53 Purimas Tamansari 54 Purimas Tamansari 2 55 Samara Regency 56 Taman Hijau Residence 57 The Green Leaves 58 Tiara Mas Blok O 59 Villa Banguntapan Asri 3 5
6 60 Villa Cemara 61 Villa Harmony Banguntapan 62 Wiyoro The Residence Sumber: Survei lapangan (2013) Pesatnya pertumbuhan perumahan baru di Kecamatan Banguntapan didorong oleh aksesibilitas yang baik, terutama dengan keberadaan Jalan Lingkar Selatan yang melewati Kecamatan Banguntapan dan Terminal Induk Daerah Istimewa Yogyakarta. Kemudahan transportasi akan menyebabkan konsumen lebih berminat membeli unit perumahan di Kecamatan Banguntapan, selain harga rumah yang relatif lebih murah dibandingkan perumahan di dalam Kota Yogyakarta. Pertumbuhan perumahan baru dipercepat pula oleh munculnya pengembang perorangan yang memiliki modal terbatas. Hal ini mengakibatkan terjadinya pembangunan perumahan baru pada lahan sempit dan tidak terencana dengan baik, sehingga menimbulkan masalah terutama ketersediaan sarana dan prasarana lingkungan perumahan Studi mengenai penentuan lokasi perumahan di kawasan pinggiran kota perlu dilakukan, mengingat selama ini pembangunan perumahan baru yang telah ada di kawasan tersebut cenderung dilakukan tak terencana, terutama berkaitan dengan lingkungan dan keruangannya. Penentuan lokasi perumahan sebaiknya dilakukan dengan komperhensif dengan mempertimbangkan faktor kesesuaian lahan secara fisik dan aksesibilitas, sehingga pengembang dapat menentukan lokasi perumahan yang menguntungkan secara ekonomi namun tidak pula mengesampingkan lingkungan dan tata ruang yang telah dibuat pemerintah. Salah satu teknik untuk penentuan lokasi perumahan yang efektif dan efisien tetepi belum banyak digunakan adalah dengan memanfaatkan citra penginderaan jauh. Penelitian ini menggunakan citra Qiuckbird sebagai masukan data utama karena memiliki resolusi spasial dan temporal yang baik. Citra Quickbird memiliki resolusi spasial mencapai 0,6 m (pankromatik) dan 2,4 m (multispektral), sehingga mempunyai gambaran piktorial yang baik dan sangat mungkin diterapkan untuk kajian keruangan skala detail. Selain itu Citra Quickbird relatif mudah didapatkan dan dapat diunduh gratis melalui aplikasi Google Earth. Dalam penentuan lokasi perumahan, citra Quickbird akan 6
7 digunakan sebagai sumber data keruangan, yaitu untuk menentukan kondisi fisik lahan dan aksesibilitas. Berdasarkan uraian di atas, beberapa pertanyaan penelitian yang melatarbelakangi penelitian ini yaitu : 1. Bagaimana kemampuan citra Quickbird untuk menyadap parameter fisik dan aksesibilitas lahan dalam penentuan perumahan di Kecamatan Banguntapan? 2. Bagaimana kesesuaian lahan untuk perumahan di Kecamatan Banguntapan bersadarkan parameter fisik dan aksesibilitas lahan? 3. Dimana prioritas lokasi yang sesuai untuk pembangunan perumahan di Kecamatan Banguntapan? Beradasarkan pertanyaan penelitian tersebut, penulis akan melakukan penelitian dengan judul : Penggunaan Citra Satelit Quickbird Untuk Penentuan Prioritas Lokasi Perumahan di Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul Tujuan Penelitian 1. Mengkaji kemampuan citra Quickbird untuk menyadap parameter fisik dan aksesibilitas dalam penentuan perumahan di Kecamatan Banguntapan. 2. Mengkaji kesesuaian lahan untuk perumahan di Kecamatan Banguntapan berdasarkan parameter fisik dan aksesibilitas. 3. Menyusun rekomendasi prioritas lokasi dalam pembangunan perumahan di Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul 1.4. Sasaran Penelitian 1. Peta Penggunaan Lahan, Peta Kelas Kemiringan Lereng, Peta Kerawanan Banjir 2. Peta Jarak Terhadap Jalan Utama, Peta Jarak Terhadap Jaringan Listrik, Peta Jarak Terhadap Jaringan Air Minum, Peta Jarak Terhadap Fasilitas Umum 3. Peta Kesesuaian Lahan Berdasarkan Parameter Fisik Lahan dan Peta Kesesuaian Lahan Berdasarkan Parameter Aksesibilitas 4. Peta Prioritas Lokasi Perumahan 7
8 1.5. Kegunaan Penelitian 1. Mengembangkan konsep perpaduan penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam penentuan lokasi untuk perumahan. 2. Sebagai masukan dan bahan pertimbangan pemerintah daerah untuk menentukan kebijakan dalam pembangunan perumahan dan permukiman. 3. Sebagai bahan pertimbangan pengembang swasta untuk pemilihan lokasi pembangunan perumahan di daerah penelitian Tinjauan Pustaka Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah upaya untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena tersebut. Informasi didapatkan dengan sebuah sistem penginderaan yang terdiri dari berbagai komponen dan interaksi antar komponen (Sutanto, 1994). Gambar 1.1 menunjukkan rangkaian komponen tersebut yang meliputi : 1) sumber tenaga, 2) atmosfer, 3) objek, 4) sensor, serta 5) perolehan data dan penggunaan data. Gambar 1.1. Sistem Penginderaan Jauh (Sutanto, 1994) Sumber tenaga dapat berupa tenaga alami (matahari) maupun buatan yaitu sinyal radio. Tenaga ini berinteraksi dengan objek di permukaan bumi, kemudian dipantulkan ke sensor. Atmosfer berperan sebagai media penghantar tenaga yang berasal dari matahari dan penyampai sinyal yang ditransmisikan atau dipantulkan oleh objek di 8
9 permukaan bumi. Pengaruh atmosfer bersifat selektif terhadap panjang gelombang. Berdasarkan pengaruh ini akan muncul istilah jendela atmosfer, yaitu spektrum elektromagnetik yang dapat melalui atmosfer dan mencapai permukaan bumi. Setiap kenampakan di permukaan bumi dapat dilacak informasinya karena setiap objek memiliki karateristik spektral tersendiri dalam interaksinya dengan tenaga yang mengenainya, sehingga menimbulkan perbedaan jumlah tenaga yang dipantulkan. Sensor yang terpasang pada wahana berfungsi sebagai alat perekam sistem penginderaan jauh. Setiap sensor memiliki resolusi spektral, yaitu kepekaan sensor terhadap bagian spektrum elektromagnetik tertentu, dan resolusi spasial yang berbeda. Perbedaan kedua hal ini sangat berpengaruh pada kualitas citra penginderaan jauh yang dihasilkan. Perolehan data dapat dilakukan secara manual maupun digital menggunakan komputer. Penggunaan data merupakan komponen sangat penting dalam penginderaan jauh karena komponen ini menentukan dapat diterima atau tidaknya hasil penginderaan jauh untuk suatu aplikasi. Semakin pesat perkembangan teknologi penginderaan jauh, semakin luas pula aplikasinya karena data penginderaan jauh dapat diandalkan dalam analisis keruangan serta hemat waktu, tenaga, dan biaya. Meskipun demikian penggunaan data penginderaan jauh harus selalu memperhatikan kerincian data terhadap tujuan dan skala penelitian yang dilakukan Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem berbasis komputer dengan kemampuan menangani data spasial meliputi: pemasukan (input), pengelolaan (management), manipulasi dan analisis, dan keluaran (output) (Aronoff, 1989). SIG adalah sistem informasi yang berbasis keruangan (spasial). SIG mampu menyimpan semua informasi deskriptif unsur-unsurnya sebagai atribut dalam suatu basis data. Basis data disini diartikan sebagai sekumpulan informasi tentang sesuatu beserta hubungan satu dengan yang lainnya (Aronoff, 1989). Pada tahap selanjutnya, SIG membentuk dan menyimpannya dalam tabel-tabel relasional sekaligus menghubungkan unsur-unsur tersebut beserta atributnya. Dengan demikian atribut-atribut dapat diakses melalui lokasi unsur-unsur peta, dan sebaliknya unsur-unsur peta dapat diakses berdasarkan atributnya 9
10 Basis data merupakan kumpulan dari banyak data yang di dalamnya mampu mengakses data dari satu atau banyak data dengan mudah yang memerlukan bermacammacam struktur atau organisasi (Burrough, 1986). Secara umum basis data terdapat dua data yang berbeda, yaitu data geometrik atau data spasial dan data non-geometrik atau sering disebut sebagai data atribut. Data geometrik disebut sebagai data grafis, memiliki keterangan, lokasi, ukuran dan dimensi yang dapat dipresentasikan ke dalam sistem koordinat. Sistem Informasi Geografis (SIG) terdiri dari tiga komponen dasar yang dapat digunakan untuk memasukkan data, proses manipulasi / analisa data, dan keluaran data. Secara garis besar ketiga komponen dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Masukan Data Input data pada SIG adalah data dasar yang dipakai sebagai data yang bersifat spasial dimana data ini digunakan sebagai data mentah dalam analisis selanjutnya. Data-data tersebut dapat berupa peta analog, peta digital, peta hasil interpretasi foto udara atau citra satelit sebagai data grafis, serta data tabel sebagai data atribut. Data masukan ini memegang peranan yang sangat penting, karena analisis dan manipulasi data selanjutnya sangat tergantung dari keakuratan data ini. 2. Proses Manipulasi dan Analisis Data Sistem ini berfungsi untuk membedakan data yang akan diproses dalam SIG dan digunakan untuk merubah format data, memanipulasi data, dan menganalisa data. Pemrosesan data yang dapat dilakukan dengan memanfaatkan SIG antara lain adalah : pengubahan format data, pengukuran jarak dan luas, tumpangsusun dan sebagainya. Berbagai proses tersebut selalu disesuaikan dengan tujuan serta informasi yang ingin dihasilkan. Pemrosesan data dalam SIG dapat dilakukan baik terhadap data grafis maupun data atributnya. Data grafis yang merupakan data yang berbentuk peta dalam format digital dapat dilakukan berbagai pemrosesan yang diharapkan dapat menghasilkan informasi baru yang digunakan sebagai dasar analisis dalam penelitian, sedangkan pemrosesan data tabuler dilakukan dengan menggunakan dasar perhitungan matematis. 10
11 3. Keluaran Data Keluaran data adalah suatu prosedur penyajian informasi yang dihasilkan oleh SIG dalam bentuk yang sesuai dengan para pengguna (Aronoff,1989). Sistem keluaran berfungsi untuk menayangkan informasi ataupun hasil analisis data geografis secara kualitatif ataupun kuantitatif. Keluaran ini dapat berupa softcopy yang berupa tabel, peta, ataupun arsip elektronik (electronic file), dan dalam bentuk hardcopy yang berupa peta-peta Citra Satelit Quickbird Citra Satelit Quickbird adalah citra satelit dengan resolusi spasial yang tinggi berpotensi untuk aplikasi dalam bidang pemetaan, manajemen sumberdaya, perencanaan kota, telekomunikasi, pertanian dan aplikasi pembangunan lainnya. ( Januari 2010). Satelit Quickbird diluncurkan oleh roket Boeing Delta II di Pangkalan Angkatan Udara Vandenberg, California, USA pada tanggal 18 Oktober Satelit ini mempunyai orbit sunsynchronous pada ketinggian 450 km dari permukaan laut dengan sudut inklinasi sebesar 97,2 0. Satelit Quickbird bergerak melintasi bumi sebanyak 14 kali dalam sehari atau memerlukan 93,4 menit untuk sekali lintasan dengan kecepatan 7 km/detik atau km/jam. Dengan orbit ini, satelit akan melintasi equator pada waktu yang tetap yaitu pukul Hal ini memungkinkan melakukan perekaman di setiap daerah equator pada siang hari. Dengan kemampuan 11 bit per piksel (2048 gray scale) berarti mempunyai kualitas cita yang lebih baik karena gradasi keabuan mengalami peningkatan 8 kali dibandingkan tipe 8 bit (256 gray scale) yang telah dimiliki sebagian besar citra satelit yang ada saat ini. Resolusi temporalnya citra satelit ini kurang lebih tiga hari, sehingga sangat mudah untuk memperbarui data untuk cakupan daerah seluas 16,5 km x 16,5 km dalam waktu 4 detik. ( Januari 2010). Resolusi spasial Quickbird yang bervariasi ini memungkinkan untuk dilakukan proses fusi (data fusion) untuk mendapatkan citra baru dengan kualitas visual lebih detail. Data digital satelit Quickbird yang dikeluarkan oleh vendor Digital Globe telah terkoreksi secara geometrik, artinya data citra Quickbird mempunyai kedudukan koordinat yang 11
12 tepat pada permukaan bumi, sehingga memungkinkan digunakan sebagai data untuk pemetaan. Tabel 1.2. Karateristik Sensor Satelit Quickbird Tanggal peluncuran 18 Oktober 2001 Awak peluncur Lokasi peluncuran Orbit Altitude Orbit Inclination Kecepatan Waktu melintas Equator Waktu orbit Waktu pengulangan Lebar sapuan Metric Accuracy Digitization Resolusi spasial Resolusi spektral Boeing Delta II Vandenberg Air Force Base, California, USA 450 Km 97.2º, sun-synchronous 7.1 Km/second - 25,560 Km/hour 10:30 a.m. (descending node) 93.5 minutes days depending on Latitude (30º off-nadir) 16.5 Km x 16.5 Km at nadir 23-meter horizontal (CE90%) 11 bits Pan: 61 cm (nadir) to 72 cm (25º offnadir) MS: 2.44 m (nadir) to 2.88 m (25º offnadir) Pan: nm Blue: nm Green: nm Red: nm Near IR nm Sumber : (Januari 2010) 12
13 1.6.4 Unsur-Unsur Interpretasi citra Menurut Estes dan Holz (1984, dalam Sutanto, 1986) menyatakan bahwa kegiatan interpretasi dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu deteksi, klasifikasi, analisa, dan penilaian arti penting dari objek yang dikaji. Sedangkan menurut Sutanto (1986), kegiatan interpretasi pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah pelaksanaan penyadapan dari foto udara atau citra, bagian kedua adalah penggunaan data tersebut untuk tujuan tertentu. Pengenalan objek dilakukan dengan cara menyidik karakteristik objek yang tergambar dengan memperhatikan kesembilan unsur, yaitu rona / warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, bayangan, situs, dan asosiasi. 1. Rona / Warna Rona merupakan tingkat gelap atau cerah relatif objek pada citra/foto. Rona pada foto pankromatik merupakan atribut bagi objek yang berinteraksi dengan saluran spektrum tampak. Warna adalah wujud yang tampak oleh mata dengan menggunakan spektrum sempit, lebih sempit dari spektrum tampak. 2. Ukuran Ukuran ialah atribut objek, antara lain berupa jarak, luas, tinggi, lereng, dan volume. Karena ukuran objek pada citra merupakan fungsi skala, maka di dalam memanfaatkan ukuran sebagai unsur interpretasi citra harus diingat skalanya. 3. Bentuk Bentuk merupakan variabel kualitatif yang memberikan konfigurasi atau kerangka suatu objek. Bentuk merupakan atribut yang jelas sehingga banyak yang dapat dikenali berdasarkan bentuknya saja. 4. Tekstur Tekstur adalah frekuensi perubahan rona pada citra atau pengulangan rona kelompok objek yang terlalu kecil untuk dibedakan secara individual. Tekstur sering dinyatakan dengan kasar dan halus. 13
14 5. Pola Pola ialah hubungan susunan spasial objek. Pengulangan bentuk umum tertentu atau hubungan merupakan karakteristik bagi banyak objek alamiah maupun bangunan, dan akan memberikan suatu pola yang membantu penafsir untuk mengenali suatu objek. 6. Bayangan Bayangan bersifat menyembunyikan detil yang berada di daerah gelap. Di samping menutup objek atau gejala, bayangan sering merupakan kunci pengenalan yang penting seperti pengenalan tinggi objek. 7. Situs Situs bukan merupakan ciri objek secara langsung, tetapi lebih berkaitan dengan lingkungan sekitarnya, atau dengan kata lain merupakan letak relatif objek terhadap objek lainnya. 8. Asosiasi Asosiasi dapat diartikan sebagai keterkaitan antara objek yang satu dengan objek yang lain, karena adanya keterkaitan maka terlihatlah suatu objek pada citra sering merupakan petunjuk bagi adanya objek lain Perumahan dan Permukiman Menurut UU No. 4 Tahun 1992, rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Perumahan adalah sekelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan hidup. Sedangkan permukiman diartikan sebagai bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Yunus (1987, dalam Lukisari, 2006) menekankan pemaknaan perumahan dan permukiman dari lingkup skala bahasan maupun dari segi skala wilayah. Secara luas 14
15 permukiman diartikan sebegai semua bentukan buatan maupun alami dengan segala perlengkapannya, yang diperlukan manusia baik secara individu maupun kelompok, untuk bertempat tinggal sementara maupun menetap, dalam rangka menyelenggarakan kehidupannya. Perumahan dimaknai sebagai kelompok bangunan rumah dengan segala kelengkapannya, yang digunakan manusia sebegai tempat tinggal secara menetap maupun sementara, dalam rangka menyelenggarakan kehidupannya. Yunus (2007) menggunakan skala relatif mengenai besar kecilnya ujud permukiman, yaitu skala permukiman mikro, meso dan makro. Skala permukiman makro meliputi sistem kota atau sistem kota-kota dalam wilayah yang relatif luas, pembahasan dapat dilakukan dalam teritori yang luas sampai ke kota-kota secara individual. Dalam skala permukiman meso meliputi bagian tertentu dari kota-kota secara individual yang betul-betul digunakan untuk tempat tinggal penduduk misalnya kampung, blok, komplek perumahan. Kemudian dalam skala permukiman mikro lebih memusatkan perhatiannya pada bangunan-bangunan yang digunakan penduduk untuk tempat tinggal sehari-hari atau rumah-rumah penduduk. Dalam penelitian ini skala permukiman yang digunakan adalah skala permukiman meso. Permukiman skala meso, sebagai suatu ruang yang dipergunakan oleh manusia untuk bertempat tinggal, terbentuk dari unsur-unsur yang mendukung terciptanya suatu keadaan yang memungkinkan manusia untuk menyelenggarakan kehidupannya. Menurut Yunus (2007) terdapat lima macam unsur pendukung skala permukiman meso, yaitu pertama adalah tempat/kesempatan kerja dengan segala sarana dan prasarananya (working opportunities), kedua adalah jalur transportasi dengan segala sarana dan prasarananya (circulation), ketiga adalah perumahan dengan segala kelengkapan dan fasilitasnya (housing), keempat adalah hiburan/sejenisnya dengan segala sarana dan prasarananya (recreation) dan kelima adalah hal-hal yang tidak termasuk ke dalam empat unsur sebelumnya tetapi mutlak diperlukan dalam kehidupan masyarakat modern (perfecting elements) contohnya fasilitas pendidikan, keagamaan, kesehatan dan jaringan utilitas umum. 15
16 1.6.6 Evaluasi Kesesuaian Lahan Sitorus (1985) mengemukakan tujuan evaluasi lahan adalah memberikan pengertian tentag hubungan-hubungan antara kondisi lahan dan penggunaannya serta memberikan kepada perencana berbagai perbandingan dan alternatif pilihan penggunaan yang dapat diharapkan berhasil. Hasil akhir dari evaluasi lahan adalah kepuasan bagi pengguna lahan yang optimum, baik dalam bentuk usaha pribadi atau untuk keperluan umum. Menurut FAO, kegiatan utama dalam evaluasi lahan meliputi : 1. Konsultasi pendahuluan yang meliputi penetapan yang jelas tentang tujuan evaluasi, jenis data yang digunakan, asumsi yang digunakan dalam evaluasi, daerah penelitian, serta intensitas dan skala survei. 2. Penjabaran dari jenis penggunaan lahan yang sedang dipertimbangkan dan persyaratan-persayaratan yang diperlukan. 3. Deskripsi peta satuan lahan dan kualitas lahan berdasarkan persyaratan yang diperlukan untuk penggunaan lahan tertentu dan pembatas-pembatasnya. 4. Membandingkan jenis penggunaan lahan dengan tipe-tipe lahan yang ada 5. Penyajian hasil evaluasi 1.7. Penelitian Sebelumnya Dibyosaputro dan Sunarto (1990), melakukan penelitian evaluasi lahan untuk perkembangan permukiman Kota Wates, Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi kesesuaian lahan untuk permukiman dengan pendekatan geomorfologis. Data parameter geomorfologis didapat dari interpretasi foto udara dan kegiatan lapangan. Parameter geomorfologis yang digunakan untuk evaluasi kesesuaian lahan permukiman adalah: kemiringan lereng, kerapatan dan kedalaman alur, proses geomorfologis dan material penyususn, dan penggunaan lahan. Metode yang digunakan adalah kuantitatif empiris, dengan memberikan nilai harkat pada setiap parameter geomorfologis dalam setiap satuan lahan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa foto udara dapat digunakan untuk menyadap data parameter geomorfologis lahan yang diperlukan dalam evaluasi 16
17 kesesuaian lahan permukiman, dan sebagain besar Kota Wates terletak pada kelas sangat sesuai dan sebagian kecil pada kelas sesuai. Handoko (2003), melakukan penelitian evaluasi kesesuaian lahan untuk pemilihan lokasi perumahan di sebagian Kabupaten Sleman bagian Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian bertujuan untuk menentukan lokasi pembangunan perumahan berdasarkan aspek fisik dan non fisik lahan. Aspek fisik dan non fisik lahan disadap dari foto udara, cek lapangan, dan data sekunder, yaitu: penggunaan lahan, kemiringan lereng, kerentanan gerak massa batuan, drainase tanah, daya dukung tanah, kedalaman muka air tanah dangkal, jarak dari jalan utama, jarak dari jaringan telepon, dan jarak dari jaringan listrik. Metode yang digunakan adalah kuantitatif empiris dengan pengharkatan tiap-tiap parameter lahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar daerah Kabupaten Sleman bagian timur sangat sesuai untuk lokasi pembangunan perumahan. Mustakim (2003), melakukan penelitian evaluasi kesesuaian lahan untuk penentuan prioritas lokasi perumahan menengah di Kota Pekalongan, Jawa Tengah. Penelitian bertujuan untuk menentukan prioritas lokasi perumahan dengan parameter fisik lahan, jarak, dan tata ruang kota. Parameter yang digunakan diperoleh dari hasil ekstraksi foto udara, survey lapangan, dan data sekunder. Parameter yang digunakan untuk penilaian adalah: kemiringan lereng, kerawanan banjir, daya dukung tanah, drainase tanah, kedalaman air tanah, kualitas air tanah, jarak dari jalan utama, ketersediaan air minum, jarak dari jaringan listrik, jarak dari jaringan telepon, dan jarak dari fasilitas umum. Metode yang digunakan adalah kuantitatif empiris dengan permberian nilai harkat pada tiap paremeter lahan yang digunakan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa foto udara memiliki kemampuan yang baik dalam menyadap paramater-parameter fisik perkotaan, dan Kota Pekalongan sebagian besar sesuai untuk lokasi perumahan menengah. Lukisari (2006), melakukan penelitian evaluasi kesesuaian lahan di Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang. Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi lahan untuk penentuan lokasi perumahan dengan pertimbangan kondisi fisik lahan dan aksesibilitas. Data diperoleh dari interpretasi citra Ikonos, survey lapangan, dan data sekunder. Parameter yang digunakan untuk evaluasi kesesuaian lahan 17
18 yaitu: kemiringan lereng, kembang kerut tanah, daya dukung tanah, kedalaman air tanah, kerawanan banjir, jarak dari jalan utama, jarak dari jaringan listrik, jarak dari jaringan telepon, jarak dari jaringan air minum, jarak dari sarana umum, dan jarak dari saluran drainase. Metode yang digunakan kuantitatif empiris dengan pengharkatan parameter fisik dan aksesibilitas lahan. Hasil penelitian menunjukkan citra Ikonos memiliki kemampuan yang sangat baik untuk sumber ekstraksi data parameter lahan untuk studi perumahan, dan penentuan lokasi prioritas perumahan di Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang. Tabel 1.3. Perbandingan Dengan Penelitian Sebelumnya Peneliti Tahun Lokasi Tujuan Metode Hasil Penelitian Suprapto Dibyosaputro dan Sunarto Albertus Dwi Handoko 1990 Kota Wates, Kabupaten Kulonprogo 2003 Kabupaten Sleman, DIY Mustakim 2003 Kota Pekalongan, Jawa Tengah Bambina Lukisari Resta Gunawan 2006 Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang 2013 Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul Sumber: Telaah pustaka tahun 2013 Evaluasi kesesuaian lahan permukiman dengan pendekatan geomorfologis Penentuan lokasi pengembangan perumahan berdasarkan aspek fisik dan non fisik Penentuan prioritas lokasi perumahan menengah berdasarkan parameter fisik lahan, jarak, dan tata ruang kota Evaluasi kesesuaian lahan dalam penentuan lokasi perumahan dengan pertimbangan kondisi fisik lahan dan aksesibilitas Penentuan prioritas lokasi perumahan berdasarkan parameter fisk dan aksesibilitas lahan Interpretasi foto udara, kuantitatif empiris dengan pengharkatan parameter geomorfologi setiap saruan lahan Interpretasi foto udara, pengharkatan terhadap perameter lahan fisik dan non fisik Interpretasi foto udara, pengharkatan parameter fisik lahan dan parameter jarak Interpretasi citra Ikonos, pengharkatan perameter fisik lahan dan parameter aksesibilitas Interpretasi citra Quickbird, pengharkatan parameter fisik dan aksesibilitas lahan Peta kelas kesesuaian lahan untuk permukiman Peta kelas kesesuaian lahan untuk lokasi perumahan Peta prioritas lokasi perumahan menengah Peta prioritas lokasi perumahan Hasil yang diharapkan: Peta prioritas lokasi perumahan 18
19 1.8. Kerangka Pemikiran Pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin meningkat pada akhirnya akan meningkatkan tekanan tekanan pada lahan yang ditempatinya. Hal ini terjadi karena lahan yang tersedia semakin lama semakin tidak mampu menampung jumlah penduduk yang meningkat cepat. Tekanan yang berlebihan pada lahan akan menyebabkan terjadinya masalah lahan, terutama menyangkut perubahan penggunaan lahan akibat peningkatan kebutuhan penduduk terhadap perumahan. Untuk menghindari tekanan yang berlebihan diperlukan perencanaan, baik dalam pengendalian jumlah penduduk maupun dalam pembangunan perumahan. Pembangunan perumahan pada lokasi yang tepat akan menghindari efek buruk dari perubahan penggunaan lahan. Pemilihan lokasi perumahan memerlukan beberapa masukan untuk bahan pertimbangan agar lokasi yang dipilih sesuai dengan kebutuhan, baik dari kondisi fisik maupun non fisik. Beberapa pertimbangan yang digunakan untuk penentuan lokasi perumahan adalah kesesuaian lahan berdasarkan aspek fisik dan akesibilitas, pertimbangan penggunaan lahan yang telah ada, dan tata ruang wilayah yang dikaji. Sumber data yang tepat dan akurat diperlukan dalam ekstraksi parameter yang mempengaruhi penilaian kesesuaian lahan untuk lokasi perumahan. Sumber data utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra Quickbird dilengkapi oleh data sekunder maupun data lapangan. Citra Quickbird digunakan untuk menghasilkan informasi keruangan berupa penggunaan lahan, bentuklahan, jarak dari jalan utama dan jarak dari fasilitas umum. Peta Rupa Bumi Indonesia digunakan untuk mengetahui batas administrasi wilayah maupun informasi kelas lereng melalui analisis kontur. Peta-peta tematik digunakan untuk memperoleh informasi jaringan listrik, air minum, dan kerawanan banjir. Sedangkan kegiatan lapangan dilakukan untuk uji interpretasi dengan kondisi sebenarnya. Proses penentuan lokasi perumahan dilakukan dengan pengharkatan masingmasing parameter lahan secara bertingkat untuk mendapatkan kekesuaian lahan berdasarkan aspek fisik lahan maupun aksesibilitas. Peta rekomendasi akhir prioritas lokasi perumahan didapatkan dari penapisan peta kesesuaian lahan beradasarkan aspek fisik dan aksesibilitas dengan penggunaan lahan yang telah ada saat ini dan luas minimal lahan yang diperbolehkan untuk pembangunan perumahan. 19
20 Kebutuhan perumahan Informasi lokasi pembangunan perumahan Parameter penentu lokasi pembangunan perumahan Kondisi fisik lahan Kondisi aksesibilitas Penginderaan jauh untuk menyadap data Kesesuaian lahan berdasarkan faktor fisik Kesesuaian lahan berdasarkan faktor jarak Pengolahan data dengan Sistem Informasi Geografis Prioritas lokasi perumahan Gambar 1.2. Diagram Alir Kerangka Pemikiran 20
21 1.9. Batasan Istilah Aksesibilitas adalah kemudahan bergerak dari satu tempat ke tempat lain dalam satu wilayah yang erat sangkut pautnya dengan jarak (Bintarto, 1979) Bentuklahan adalah bentuk dan sifat dari kenampakan tertentu pada permukaan bumi (Suharsono, 1988) Citra adalah gambaran rekaman suatu obyek yang dibuahkan dengan cara optik, elektrooptik, optik-mekanik, atau elektronik. Pada umumnya ia digunakan bila radiasi elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan dari suatu obyek tidak langsung direkam pada film (Sutanto,1985) Evaluasi sumber daya lahan adalah proses untuk menduga potensi sumberdaya lahan untuk berbagai penggunaan (Sitorus, 1985) Interpretasi citra adalah kegiatan mengkaji foto udara atau citra satelit dengan maksud untuk mengidentifikasi obyek yang tergambar pada citra atau foto tersebut (Sutanto, 1994) Kesesuaian lahan adalah penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu (Sitorus, 1985) Klasifikasi adalah penggolongan obyek-obyek ke dalam kelas-kelas dengan adanya persamaan sifat, atau ada kaitan antar obyek-obyek (Bintarto, 1987) Klasifikasi kesesuaian lahan adalah penafsiran dan pengelompokan atau proses penilaian dan pengelompokan lahan yang mempunyai tipe khusus dalam kesesuainnya secara mutlak atau relatif untuk suatu jenis tanaman atau penggunaan tertantu (FAO, 1976) Lahan adalah lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air, vegetasi, serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan (FAO, 1976) Penggunaan lahan adalah segela bentuk campur tangan manusia baik secara permanen maupun secara sekilas terhadap sumberdaya buatan yang secara keseluruahan disebut lahan dengan tujuan mencukupi segala kebutuhan baik material maupun spiritual maupun keduanya (Malingreau, 1981) Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan 21
22 tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan (UU No.4 Th. 1992) Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempal tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan (UU No.4 Th. 1992) Prasarana lingkungan adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya (UU No.4 Th. 1992) Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga (UU No.4 Th. 1992) Sarana lingkungan adalah fasililas penunjang, yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan penqembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya Sistem Informasi Geografis adalah suatu sistem berbasis komputer dengan kemampuan menangani data spasial meliputi pemasukan / input, pengelolaan (management), manipulasi dan analisis, dan keluaran / output (Aronoff, 1989) 22
BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rumah merupakan kebutuhan manusia yang tidak dapat dihindari. Kebutuhan rumah bahkan termasuk ke dalam kebutuhan primer selain makanan dan pakaian. Dengan semakin
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah penduduk di Indonesia terus bertambah setiap tahun. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia tidak menunjukkan peningkatan, justru sebaliknya laju pertumbuhan penduduk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan fisik penggunaan lahan terutama di daerah perkotaan relatif cepat dibandingkan dengan daerah perdesaan. Maksud perkembangan fisik adalah penggunaan
Lebih terperinciULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH
ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Seiring dengan berkembangnya permintaan akan pemetaan suatu wilayah dalam berbagai bidang, maka semakin berkembang pula berbagai macam metode pemetaan. Dengan memanfaatkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di bumi terdapat kira-kira 1,3 1,4 milyar km³ air : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, masih cukup tinggi. Salah satu penyebab adanya laju pertambahan penduduk
Lebih terperinciyang tersedia untuk dibangun dan terus meningkatnya harga tanah yang terlalu tinggi serta kesulitan dalam proses pembebasan tanah untuk perumahan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dari tahun ke tahun jumlah penduduk Indonesia terus mengalami pertambahan yang sangat pesat, hal ini akan berdampak pada peningkatan kebutuhan akan tempat tinggal.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan materi yang terdiri dari agregat (butiran) padat yang tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain serta dari bahan bahan organik yang telah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. listrik harus bisa men-supplay kebutuhan listrik rumah tangga maupun
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi listrik merupakan energi utama yang digunakan hampir diseluruh sisi kehidupan manusia saat ini dimana semua aktifitas manusia berhubungan dengan energi listrik.
Lebih terperinciTabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Tempat tinggal merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan karena merupakan salah satu kebutuhan primer manusia. Tempat tinggal menjadi sarana untuk berkumpul,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik
Lebih terperinciBab II Tinjauan Pustaka
8 Bab II Tinjauan Pustaka II.1. Penelitian terdahulu Wiantoko,M, 2005, melakukan penelitian perubahan obyek bangunan PBB untuk pemeliharan data obyek PBB, dengan membandingkan peta bangunan dengan citra
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk khususnya di wilayah perkotaan dipengaruhi dari berbagai faktor-faktor yang menyebabkan suatu daerah menjadi padat penduduknya. Hal ini akan menimbulkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan.
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan sangat diperlukan untuk kelanjutan hidup manusia. Kemajuan pembangunan di suatu wilayah sejalan dengan peningkatan jumlah pertumbuhan penduduk yang diiringi
Lebih terperinciANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DENGAN MEMANFAATKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DAN SIG (Studi Kasus: Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta)
ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DENGAN MEMANFAATKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DAN SIG (Studi Kasus: Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta) TUGAS AKHIR Oleh: SUPRIYANTO L2D 002 435 JURUSAN PERENCANAAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era Teknologi merupakan era dimana informasi serta data dapat didapatkan dan ditransfer secara lebih efektif. Perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan kemajuan
Lebih terperinciKOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data
PENGINDERAAN JAUH KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data Lanjutan Sumber tenaga * Alamiah/sistem pasif : sinar matahari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Di era globalisasi saat ini, perkembangan suatu daerah semakin pesat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan sarana prasarana. Akibatnya, pembangunan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni perolehan informasi objek di permukaan Bumi melalui hasil rekamannya (Sutanto,2013). Objek di permukaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada waktu sekarang dalam perekonomian manapun di permukaan bumi ini tumbuh dan berkembang berbagai macam lembaga keuangan. Semua lembaga keuangan tersebut mempunyai
Lebih terperinciPEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR. Oleh : Lili Somantri*)
PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR Oleh : Lili Somantri*) Abstrak Banjir adalah bencana alam yang sering terjadi setiap musim hujan. Bencana ini tidak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, dengan susunan fungsi
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya
5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya
Lebih terperinciISTILAH DI NEGARA LAIN
Geografi PENGERTIAN Ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pertumbuhan dan aktivitas penduduk sekarang ini meningkat terutama terjadi di daerah perkotaan, sehingga daerah perkotaan pada umumnya mengalami perubahan
Lebih terperinciJurnal Gea, Jurusan Pendidikan Geografi, vol. 8, No. 2, Oktober 2008
PEMANFAATAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERENTANAN DAN RISIKO BANJIR Oleh : Lili Somantri, S.Pd. M.Si ABSTRAK Banjir adalah bencana alam yang sering terjadi setiap musim hujan. Bencana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota mempunyai peranan penting sebagai titik pusat pertumbuhan dan pusat aktivitas ekonomi, sosial maupun budaya. Hal ini dicirikan dengan adanya kegiatan atau aktivitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota besar akan mengalami perkembangan, dimana perkembangan tersebut berdampak pada daerah disekitarnya. Salah satu dampak yang terjadi adalah munculnya istilah kota
Lebih terperinciINTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K
INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K 5410012 PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS
Lebih terperinci2. TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal Data kedalaman merupakan salah satu data dari survei hidrografi yang biasa digunakan untuk memetakan dasar lautan, hal
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Menurut Arikunto (1988), metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya. Data yang dikumpulkan bisa berupa
Lebih terperinciPERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA
PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA I. Citra Foto Udara Kegiatan pengindraan jauh memberikan produk atau hasil berupa keluaran atau citra. Citra adalah gambaran suatu objek yang
Lebih terperinciPENGINDERAAN JAUH. --- anna s file
PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (http://berita.plasa.msn.com
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gunung Sinabung terus menunjukkan peningkatan aktivitas vulkanologi. Awan hitam dan erupsi terus terjadi, 5.576 warga dievakuasi. Evakuasi diberlakukan setelah pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah memiliki peranan penting dalam menunjang pembangunan nasional. Pada masa Orde baru pembangunan nasional dikendalikan oleh pemerintah pusat, sedangkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkotaan merupakan suatu kawasan yang memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat karena mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan
Lebih terperinciLAPORAN PENELITIAN. Oleh: Dyah Respati Suryo Sumunar
LAPORAN PENELITIAN KAJIAN KUALITAS LINGKUNGAN PERMUKIMAN KOTA YOGYAKARTA BAGIAN SELATAN DENGAN FOTO UDARA PANKROMATIK HITAM PUTIH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh: Dyah Respati Suryo Sumunar Penelitian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh daya beli masyarakat (Pasal 3, Undang-undang No. 14 Tahun 1992
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Transportasi jalan diselenggarakan dengan tujuan untuk mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan dengan selamat, aman, cepat, tertib dan teratur, nyaman dan efisien,
Lebih terperinciGEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik
GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 10 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO Citra nonfoto adalah gambaran yang dihasilkan oleh sensor nonfotografik atau sensor elektronik. Sensornya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan teknologi penginderaan jauh yang semakin pesat menyebabkan penginderaan jauh menjadi bagian penting dalam mengkaji suatu fenomena di permukaan bumi sebagai
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan
TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan
Lebih terperinciRINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA
Lampiran 1 Ringkasan Materi RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA 1 Pengertian Intepretasi Citra Inteprtasi Citra adalah kegiatan menafsir, mengkaji, mengidentifikasi, dan mengenali objek pada citra, selanjutnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Jumlah penduduk Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada tahun 1990 jumlah penduduk
Lebih terperinciSISTEM INFORMASI GEOGRAFIS,
Integrasi GISdan Inderaja Penginderaan jauh (remote sensing) adalah ilmu dan ketrampilan untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan penggunaan lahan merupakan obyek kajian yang dinilai penting untuk diteliti karena dapat berkaitan dengan masalah global maupun lokal. Masalah dari perubahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bentang permukaan bumi yang dapat bermanfaat bagi manusia baik yang sudah dikelola maupun belum. Untuk itu peran lahan cukup penting dalam kehidupan
Lebih terperinciCitra Satelit IKONOS
Citra Satelit IKONOS Satelit IKONOS adalah satelit inderaja komersiil pertama yang dioperasikan dengan tingkat ketelitian 1 meter untuk model pankromatik dan 4 meter untuk model multispektral yang merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang mempunyai permasalahan dalam mengelola tata ruang. Permasalahan-permasalahan tata ruang tersebut juga timbul karena penduduk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini kota-kota besar di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam bidang industri, sarana transportasi, perluasan daerah pemukiman dan lain sebagainya.
Lebih terperinciMATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH
MATERI 4 : PENGENALAN TATAGUNALAHAN DI GOOGLE EARTH 1. Tata Guna Lahan 2. Identifikasi Menggunakan Foto Udara/ Citra Identifikasi penggunaan lahan menggunakan foto udara/ citra dapat didefinisikan sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Wilayah perkotaan merupakan wilayah yang menjadi pusat dari segala aktivitas masyarakat yang ada disekitarnya. Wilayah perkotaan sendiri memiliki suatu daya tarik yang
Lebih terperinciGEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK
GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 08 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH Penginderaan jauh (inderaja) adalah cara memperoleh data atau informasi tentang objek atau
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya
3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi
Lebih terperinciPEMANFAATAN CITRA QUICKBIRD DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ZONASI KERENTANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN KASUS DI KOTA BANDUNG BAGIAN BARAT
PEMANFAATAN CITRA QUICKBIRD DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ZONASI KERENTANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN KASUS DI KOTA BANDUNG BAGIAN BARAT Lili Somantri Jurusan Pendidikan Geografi, FPIPS, UPI, L_somantri@ymail.com
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan secara alami akan menimbulkan masalah. Permasalahan utama yang terjadi di kota adalah masalah permukiman manusia, yang pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara yang berada di bumi merupakan komponen yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Penggunaannya akan tidak terbatas selama udara mengandung unsur-unsur
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan
Lebih terperinci11. TINJAUAN PUSTAKA Konse~ Dasar Linukunuan Permukiman Kota
11. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konse~ Dasar Linukunuan Permukiman Kota Pengertian lingkungan, menurut Undang-undang Republik Indonesia no. 4 tahun 1982 "kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan
Lebih terperinciSejalan dengan berkembangnya suatu kota atau wilayah dan meningkatnya kebutuhan manusia, infrastruktur jalan sangat diperlukan untuk menunjang proses
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sistem transportasi terutama infrastruktur jaringan jalan merupakan salah satu modal utama dalam perkembangan suatu wilayah. Pada daerah perkotaan, terutama, dibutuhkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat kenyamanan permukiman di kota dipengaruhi oleh keberadaan ruang terbuka hijau dan tata kelola kota. Pada tata kelola kota yang tidak baik yang ditunjukkan dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pembangunan pada suatu negara dapat dijadikan sebagai tolak ukur kualitas dari pemerintahan suatu negara. Pembangunan wilayah pada suatu negara dapat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan adalah keseluruhan lingkungan yang menyediakan kesempatan bagi manusia menjalani kehidupannya (Rahayu, 2007). Lahan adalah tanah yang sudah ada peruntukkannnya
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemetaan Sawah Baku 2.2. Parameter Sawah Baku
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemetaan Sawah Baku Mega isu pertanian pangan dan energi, mencakup: (1) perbaikan estimasi produksi padi, dari list frame menuju area frame, (2) pemetaan lahan baku sawah terkait
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang dengan jumlah penduduk yang cukup padat dan pertambahan penduduk yang cukup tinggi di setiap tahunnya. Pertambahan jumlah penduduk
Lebih terperinciBab I Pendahuluan. I.1. Latar Belakang
1 Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Identifikasi merupakan langkah strategis dalam menyukseskan suatu pekerjaan. (Supriadi, 2007). Tujuan pemerintah dalam rangka penertiban dan pendayagunaan tanah
Lebih terperinciPEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERUSAKAN BANGUNAN AKIBAT GEMPA BUMI. Oleh : Lili Somantri
PEMANFAATAN CITRA IKONOS UNTUK MENGIDENTIFIKASI KERUSAKAN BANGUNAN AKIBAT GEMPA BUMI Oleh : Lili Somantri Abstrak Indonesia merupakan negara yang sangat rawan bencana, baik karena faktor alam maupun karena
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sistem transportasi adalah suatu kesatuan dari elemen elemen, komponen komponen yang saling mendukung dan bekerja sama dalam pengadaan transportasi yang memiliki jangkaun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya
Lebih terperinciInterpretasi Citra dan Foto Udara
Interpretasi Citra dan Foto Udara Untuk melakukan interpretasi citra maupun foto udara digunakan kreteria/unsur interpretasi yaitu terdiri atas rona atau warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, bayangan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tiap-tiap negara mempunyai pertimbangan berbeda mengenai penetapan suatu wilayah yang disebut kota. Pertimbangan itu dipengaruhi oleh beberapa variasi kewilayahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Latar belakang penelitian ini dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Latar belakang penelitian ini dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama adalah latar belakang fomal, bagian kedua adalah latar belakang material. Penjelasan
Lebih terperinciSISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.
GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 14 Sesi NGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI A. MODEL DATA SPASIAL Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. a. Model Data Vektor
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Jumlah Penduduk Kabupaten Bantul
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan lahan saat ini semakin meningkat akibat bertambahnya jumlah penduduk. Bertambahnya jumlah penduduk tidak hanya dari dalam daerah, namun juga luar daerah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Perwilayahan adalah usaha untuk membagi bagi permukaan bumi atau bagian permukaan bumi tertentu untuk tujuan yang tertentu pula (Hadi Sabari Yunus, 1977).
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN. Bahan dan alat yang dibutuhkan dalam interpretasi dan proses pemetaan citra
67 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang dibutuhkan dalam interpretasi dan proses pemetaan citra satelit ke dalam peta tematik antara lain sebagai berikut : 1. Bahan a. Data
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagaimana keadaan di negara-negara lain, industri keuangan di Indonesia kini tengah mengalami perubahan yang mendasar. Perubahan yang mendasar tersebut terjadi
Lebih terperinciBAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan tubuh alam yang menyelimuti permukaan bumi dan merupakan sumberdaya yang sangat penting bagi makhluk hidup. Tanah mempunyai kemampuan untuk mendukung
Lebih terperinciEVALUASI PEMANFAATAN RUANG DI KECAMATAN UMBULHARJO KOTA YOGYAKARTA TUGAS AKHIR
EVALUASI PEMANFAATAN RUANG DI KECAMATAN UMBULHARJO KOTA YOGYAKARTA TUGAS AKHIR Oleh: YUSUF SYARIFUDIN L2D 002 446 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2007
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah perkotaan merupakan suatu zone atau daerah yang merupakan pusat kegiatan ekonomi, pusat pemerintahan serta pemusatan penduduk dengan cara hidup yang heterogen
Lebih terperinciANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD
ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD NASKAH PUBLIKASI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan Mencapai derajat Sarjana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan teknologi yang cepat dewasa ini dapat membantu dalam hal efisiensi biaya, waktu, maupun tenaga dalam menghasilkan data yang akurat dan lebih baik, salah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG
1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN Aplikasi teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis semakin meluas sejak dikembangkan di era tahun 1960-an. Sejak itu teknologi penginderaan jauh dan
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok
III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).
TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DAS (Daerah Aliran Sungai) Daerah aliran sungai adalah merupakan sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis, yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota akan selalu berhubungan erat dengan perkembangan lahan baik dalam kota itu sendiri maupun pada daerah yang berbatasan atau daerah sekitarnya. Selain itu lahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan pada suatu wilayah akan berpengaruh terhadap perubahan suatu kawasan. Perubahan lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN
III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah di Kota Jakarta Timur, dengan fokus pada Kecamatan Jatinegara. Kecamatan ini memiliki 8 Kelurahan yaitu Cipinang Cempedak, Cipinang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan organik merupakan komponen tanah yang terbentuk dari jasad hidup (flora dan fauna) di tanah, perakaran tanaman hidup maupun mati yang sebagian terdekomposisi
Lebih terperinciISSN Jalan Udayana, Singaraja-Bali address: Jl. Prof Dr Soemantri Brodjonogoro 1-Bandar Lampung
ISSN 0216-8138 73 SIMULASI FUSI CITRA IKONOS-2 PANKROMATIK DENGAN LANDSAT-7 MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN METODE PAN-SHARPEN UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS CITRA DALAM UPAYA PEMANTAUAN KAWASAN HIJAU (Studi Kasus
Lebih terperinciJENIS CITRA
JENIS CITRA PJ SENSOR Tenaga yang dipantulkan dari obyek di permukaan bumi akan diterima dan direkam oleh SENSOR. Tiap sensor memiliki kepekaan tersendiri terhadap bagian spektrum elektromagnetik. Kepekaannya
Lebih terperinciACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI
ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI Oleh: Nama Mahasiswa : Titin Lichwatin NIM : 140722601700 Mata Kuliah : Praktikum Penginderaan Jauh Dosen Pengampu : Alfi Nur Rusydi, S.Si., M.Sc
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Indonesia memiliki kurang lebih 17.508 pulau (Indonesia.go.id). Wilayah Indonesia didominasi laut dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi
Lebih terperinci