BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah perkotaan merupakan suatu zone atau daerah yang merupakan pusat kegiatan ekonomi, pusat pemerintahan serta pemusatan penduduk dengan cara hidup yang heterogen (Lindgren, 1974 dalam Suharyadi, 2008). Sebagai pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan, daerah perkotaan memiliki daya tarik tersendiri dengan banyaknya fasilitas, sarana, dan prasarana yang terwakili oleh dominasi lahan terbangun di perkotaan dalam memenuhi kebutuhan hidup penduduk di dalamnya. Permasalahan yang sering muncul di daerah perkotaan di Indonesia sebagai dampak dari daya tarik daerah perkotaan adalah pertumbuhan penduduk yang tinggi. Diperkirakan pada tahun 2020 penduduk yang tinggal di perkotaan akan mencapai leblh dan 60% dari seluruh penduduk (Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran, 2005). Salah satu faktor dominan yang mempengaruhi tingginya pertumbuhan penduduk tersebut selain diakibatkan oleh laju pertumbuhan penduduk alami, disebabkan oleh adanya proses migrasi penduduk dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan (urbanisasi). Urbanisasi merupakan proses awal pembentukan kota, dengan suatu peningkatan konsentrasi penduduk dan fungsi di dalam perkotaan (Pitzl, 2004). Peningkatan urbanisasi datang dengan seiring adanya era industri di daerah perkotaan. Sebagai imbas dari kemajuan industrialisasi, kegiatan ekonomi mengalami peningkatan yang terkonsentrasi di pusat kota dan penduduk mulai bermigrasi dari pedesaan untuk memanfaatkan peluang ketenagakerjaan yang baru (Urban Environmental Governance, 2007). Fenomena ledakan penduduk (booming) di daerah perkotaan juga berimbas pada hal lain, yaitu makin tingginya tuntutan akan permintaan lahan terbangun. Tingginya permintaan akan lahan terbangun tidak diiringi dengan ketersediaan lahan perkotaan yang sangat terbatas, yang pada akhirnya mengakibatkan pembangunan lahan terbangun yang semakin padat (densifikasi) dan tidak teratur, terlebih lagi pembangunan lahan terbangun tersebut terkadang tidak diimbangi 1

2 dengan fasilitas-fasilitas penunjang kebutuhan hidup. Kondisi lingkungan tersebut sangat tidak memenuhi persyaratan karena tidak memenuhi rasa keamanan, kenyamanan, kesehatan, dan keselamatan serta dapat menyebabkan daerah tersebut berada dalam kondisi bahaya, salah satunya adalah bahaya kebakaran. Kebakaran merupakan bencana yang kerap terjadi di kota-kota besar Indonesia, termasuk Kota Surakarta. Dinas Pemadam Kebakaran Surakarta mencatat bahwa sepanjang tahun 2011 telah terjadi 47 kasus kebakaran, dengan 22 kasus berupa kebakaran rumah dan 25 kasus kebakaran lainnya. Total jumlah kerugian dari kebakaran tersebut tidaklah sedikit, yakni mencapai Rp Bahkan rekor kerugian tertinggi dalam 10 tahun terakhir tercatat mencapai Rp pada tahun Jumlah kejadian kebakaran, dan kerugian akibat kebakaran antara tahun dan jumlah penyebab kebakaran antara tahun di Kota Surakarta disajikan pada Tabel 1.1, Tabel 1.2, dan Tabel 1.3 berikut. Tahun Tabel 1.1. Jumlah Peristiwa Kebakaran dan Yang Terbakar Menurut Jenis Rumah Kantor Industri / Pabrik Bangunan / Objek Terbakar Pasar Toko Swalayan Sumber : Dinas Pemadam Kebakaran Kota Surakarta Tahun 2012 Lain-lain Jumlah

3 Tabel 1.2. Jumlah Korban dan Kerugian Harta Benda dalam Kebakaran Tahun Meninggal Korban Luka-luka Kerugian (rupiah) Sumber : Dinas Pemadam Kebakaran Kota Surakarta Tahun 2012 Melihat kerugian yang ditimbulkan oleh bencana kebakaran baik kerugian material maupun nonmaterial yang tidak sedikit maka diperlukan suatu usaha untuk mencegah dan mengurangi risiko akan bahaya kebakaran, yaitu dengan memetakan tingkat bahaya kebakaran. Dengan adanya peta tingkat bahaya kebakaran, maka langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan kebakaran dapat dilaksanakan dengan efektif. Pemetaan tingkat bahaya kebakaran dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan penginderaan jauh. Pendekatan penginderaan jauh sangat efektif dan efisien dalam fungsinya sebagai sumber data pemetaan, karena dengan menggunakan data penginderaan jauh dapat diperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand et. al, 1990). Penggunaan data penginderaan jauh dapat menutupi beberapa kekurangan pada survei terestrial yang memiliki waktu pengukuran yang relatif lama, biaya kegiatan yang besar, dan membutuhkan tenaga yang tidak sedikit. Untuk pemetaan tingkat bahaya kebakaran di daerah perkotaan, dibutuhkan suatu citra satelit dengan resolusi spasial dan resolusi temporal yang tinggi, karena data yang dibutuhkan berupa data dengan informasi spasial yang detil serta mampu mendeteksi perkembangan fisik perkotaan yang berubah dengan cepat. Salah satu citra satelit yang memiliki kemampuan tersebut adalah citra satelit 3

4 Quickbird yang mampu memiliki resolusi spasial hingga 0,6 meter untuk saluran pankromatik dan resolusi temporal antara 1 hingga 3,5 hari. Kelebihan lain dari citra satelit Quickbird adalah lebar sapuan (swath) yang luas, yaitu sebesar 16,5 km². Data yang disadap melalui citra Quickbird selanjutnya diolah, dianalisis dan disajikan dengan sistem informasi geografis Perumusan Masalah Sebagai pusat dari berbagai kegiatan yang kompleks, daerah perkotaan mengalami perkembangan yang sangat dinamis. Perkembangan tersebut diiringi dengan laju pembangunan lahan terbangun sebagai dampak dari laju pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi di perkotaan. Pertumbuhan penduduk yang tinggi tersebut diakibatkan oleh pertumbuhan alami penduduk dan tingginya laju urbanisasi yang pada akhirnya membutuhkan ruang lebih untuk bertempat tinggal, melaksanakan aktivitas serta fasilitas pemenuhan kebutuhan hidup. Akibatnya terjadi pemadatan lahan terbangun (densifikasi) pada lahan perkotaan yang terbatas, serta tidak tertutup pula kemungkinan berdirinya blok-blok bangunan dengan kepadatan yang sangat tinggi, tata ruang yang semrawut, minim fasilitas pendukung pemenuhan hidup, dan dibangun dengan mutu bahan bangunan yang rendah seperti kayu, triplek, bambu (gedhek), ijuk, dan lain-lain. Blok-blok bangunan dengan ciriciri tersebut biasanya didirikan oleh kaum miskin kota. Fenomena-fenomena tersebut kurang memperhatikan aspek-aspek penunjang keselamatan, kesehatan, dan keamanan lingkungan permukiman sehingga sangat rawan bagi penghuninya untuk terjadi kecelakaan lingkungan, salah satunya adalah bahaya kebakaran. Kebakaran merupakan bencana yang kerap terjadi di lingkungan perkotaan. Selain merenggut korban nyawa, kebakaran juga menimbulkan kerusakan yang tidak sedikit pada lingkungan. Menurut data statistik BPS pada periode tahun 2007 hingga 2011 tercatat total 6 korban meninggal dan kerugian material sebesar 5,92 milyar rupiah sebagai akibat bencana kebakaran di Kota Surakarta. Untuk mencegah dan menghindari banyaknya jatuhnya korban dan kerugian harta benda akibat kebakaran diperlukan suatu upaya yang efektif dan efisien agar upaya tersebut dapat berjalan dengan optimal. Salah satu upaya pencegahan dan 4

5 penanggulangan kebakaran tersebut berupa penyajian informasi mengenai daerah yang termasuk dalam zona bahaya kebakaran. Proses penyajian informasi mengenai zona bahaya kebakaran membutuhkan suatu sumber data yang dapat menyediakan informasi yang dapat diakses dengan cepat dan akurat mengingat perkembangan fisik kota yang berkembang secara dinamis, sehingga dapat dilakukan pemetaan tingkat bahaya kebakaran dengan tepat. Dengan adanya teknologi penginderaan jauh yang semakin berkembang dan canggih, proses perekaman permukaan bumi dapat dilakukan dengan waktu yang relatif singkat dengan keakuratan yang tinggi. Pemetaan terhadap tingkat bahaya kebakaran pada suatu blok bangunan menggunakan beberapa variabel untuk menilai tingkat bahayanya, antara lain kepadatan bangunan, lebar jalan masuk, kualitas bahan bangunan, tata letak bangunan, ukuran bangunan, jarak terhadap kantor pemadam kebakaran, dan ketersediaan hidran. Blok bangunan yang jauh dari ancaman bahaya kebakaran setidaknya memiliki kepadatan yang rendah, memiliki tata letak yang teratur, lebar jalan masuk yang cukup lebar, dan dibangun dengan menggunakan bahan yang kokoh dan tidak mudah terbakar. Penilaian variabel-varibel yang berpengaruh terhadap tingkat bahaya kebakaran tersebut diperoleh dengan menggunakan pendekatan penginderaan jauh yang dikombinasikan dengan sistem informasi geografis. Sistem informasi geogafis sangat penting peranannya dewasa ini karena dapat menjembatani antara dunia nyata (real world) dengan penggambaran dunia nyata itu sendiri dalam bentuk yang lebih sederhana dan representatif. Representasi fenomena di permukaan bumi dapat disajikan dalam bentuk peta yang berisi informasi spasial dan data atribut. Manfaat dari sistem informasi geografis secara teknis adalah dapat mempercepat, menyederhanakan, meningkatkan daya tarik, dan menyeragamkan proses dari suatu data, termasuk data penginderaan jauh. Dengan penggunaan data penginderaan jauh dan sistem informasi geografis, maka penyadapan informasi di permukaan bumi, proses pengolahan data, hingga penyajian informasi dapat dilakukan dengan murah, mudah, cepat, dan akurat. Hasil dari kegiatan penelitian ini berupa peta tingkat bahaya kebakaran, sehingga hasilnya 5

6 diharapkan dapat menjadi masukan bagi masyarakat dan pemerintah daerah setempat untuk meningkatkan kewaspadaan dan pencegahan terhadap bahaya kebakaran di daerahnya. Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat beberapa pertanyaan penelitian, yaitu : 1. Berapa besar tingkat ketelitian citra Quickbird dalam menyajikan informasi mengenai variabel-variabel yang berpengaruh pada tingkat bahaya kebakaran pada suatu blok bangunan? 2. Bagaimanakah tingkat bahaya kebakaran di daerah penelitian? Berdasarkan permasalah tersebut, penulis melakukan penelitian dengan judul Pemanfaatan Citra Quickbird dan Sistem Informasi Geografis untuk Pemetaan Tingkat Bahaya Kebakaran di Sebagian Kota Surakarta Tujuan Penelitian 1. Mengkaji tingkat ketelitian citra Quickbird dalam menyajikan informasi mengenai variabel-variabel dalam menilai tingkat bahaya kebakaran pada blok bangunan. 2. Pemetaan tingkat bahaya kebakaran di sebagian Kota Surakarta Sasaran Penelitian 1. Tabel uji ketelitian interpretasi citra Quickbird dalam menyajikan informasi mengenai variabel-variabel dalam menilai tingkat bahaya kebakaran pada blok bangunan. 2. Peta tingkat bahaya kebakaran di sebagian Kota Surakarta Kegunaan Penelitian 1. Dapat mengetahui tingkat akurasi data citra penginderaan jauh, khususnya citra Quickbird, dalam menyajikan informasi mengenai variabel-variabel yang berpengaruh pada tingkat bahaya kebakaran blok bangunan. 6

7 2. Dapat memberikan informasi mengenai tingkat bahaya kebakaran pada blok bangunan beserta referensi solusi bagi instansi terkait dalam upaya pencegahan meluasnya kebakaran Telaah Pustaka Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah sebuah alat, teknik, dan metode untuk mengobservasi permukaan bumi melalui suatu ketinggian serta menginterpretasi citra atau nilai numerik yang telah diperoleh, dengan tujuan mendapatkan informasi penting pada suatu objek di permukaan bumi (Buiten dan Clevers, 1993 dalam Principles of Remote Sensing, 2004). Adapun menurut Lillesand et. al. (1990) mengatakan bahwa penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji. Alat yang digunakan dalam proses penyadapan informasi tersebut berupa sensor yang terpasang pada suatu wahana yang berada di angkasa ataupun antariksa, yang dapat berupa balon udara, pesawat terbang, satelit, pesawat ulang alik, dan lain-lain. Sensor tersebut berfungsi sebagai perekam data hasil perekaman permukaan bumi yang berupa pantulan atau pancaran energi elektromagnetik. Dalam buku Penginderaan Jauh Jilid 1, 1986, Sutanto mengemukakan bahwa penginderaan jauh terbentuk atas komponen dan interaksi yang terdiri dari: 1. Sumber Tenaga Sumber tenaga yang dimaksud dalam proses penginderaan jauh adalah gelombang elektromagnetik, yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : a. Tenaga alami, yaitu tenaga yang berasal dari tenaga matahari, yang dapat berupa tenaga pantulan dan tenaga pancaran (emisi). Sistem penginderaan jauh yang menggunakan tenaga matahari sebagai sumber tenaganya sering disebut dengan sistem penginderaan jauh pasif. 7

8 b. Tenaga buatan, yaitu tenaga yang bersumber dari pemancar spektrum elektromagnetik bagian gelombang mikro yang terpasang pada wahana perekam penginderaan jauh. Gelombang mikro tersebut dapat berupa gelombang radio (RADAR), sinar laser (LIDAR), dan gelombang suara (SONAR). Sistem penginderaan jauh gelombang mikro adalah sistem penginderaan jauh dengan sistem aktif. 2. Atmosfer Fungsi utama atmosfer dalam sistem penginderaan jauh adalah sebagai media penyeleksi panjang gelombang elektromagnetik yang dapat mencapai permukaan bumi. 3. Interaksi antara Tenaga dengan Objek Tenaga yang diterima oleh objek akan dipantulkan atau dipancarkan kembali sehingga akan menghasilkan karakteristik tertentu, yang kemudian menjadi salah satu dasar dalam pengenalan objek pada citra. Objek yang banyak memantulkan atau memancarkan tenaga elektromagnetik akan terlihat lebih cerah pada citra daripada objek yang memantulkan atau memancarkan tenaga elektromagnetik lebih sedikit. 4. Sensor Sensor dalam sistem penginderaan jauh berperan sebagai penerima dan perekam tenaga elektromagnetik yang berasal dari pantulan/pancaran objek di permukaan bumi. Sensor memiliki kepekaan yang berbeda-beda dalam merekam tenaga elektromagnetik, sesuai dengan spektrum eletromagnetiknya. Secara umum sensor dibedakan menjadi dua, yaitu sensor fotografik dan sensor nonfotografik 5. Perolehan Data Proses perolehan data penginderaan jauh dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu metode manual yang dilakukan secara visual dan metode digital dengan bantuan perangkat komputer. Pada umumnya metode manual diterapkan untuk perolehan data pada foto udara, sedangkan metode digital diterapkan pada perolehan data citra satelit. 8

9 6. Pengguna Data Pengguna data merupakan salah satu komponen terpenting dalam sistem penginderaan jauh. Data penginderaan jauh dianggap bagus apabila data tersebut dapat diterima dan digunakan dengan baik oleh pengguna data Penginderaan Jauh Non Fotografik Penginderaan jauh sistem non fotografik merupakan generasi tingkat lanjut dari sistem penginderaan jauh terdahulu, yaitu penginderaan jauh fotografik. Penginderaan jauh sistem non fotografik menggunakan scanner sebagai sensor, detektor berupa non film, cakupan daerah relatif lebih luas, serta proses perekaman bekerja secara elektronik dan serentak. Pada umumnya penginderaan jauh non fotografik menggunakan satelit sebagai wahana perekamannya, walaupun terkadang masih menggunakan wahana pesawat terbang untuk tujuan tertentu. Dilihat dari sensor yang digunakan, detektor penyiaman, proses dan mekanisme perekaman, serta spektrum elektromagnetiknya, citra foto memiliki perbedaan mendasar dibandingkan dengan citra foto. Perbedaan-perbedaan tersebut terlampir dalam tabel 1.4 di bawah ini. Variabel Pembeda Tabel 1.4. Perbedaan Citra Non Foto dengan Citra Foto Citra Foto Jenis Citra Citra Non Foto Perekaman data Kamera Scanner / non kamera Detektor Proses perekaman Penyimpanan data Pita film, CCD (charge-coupled device), CMOS (complementary metal-oxide semiconductor) Fotografi/Kimiawi dan elektromagnetik Negatif film, kertas cetak, DVD, harddisk Pita magnetik, foto konduktif, termistor, foto voltaik Elektromagnetik Harddisk, DVD, cloud storage, FTP (file transfer protocol) Mekanisme perekaman Serentak Bertahap / parsial Spektrum Spektrum tampak dan Spektrum tampak dan elektromagnetik perluasannya perluasannya, termal, dan gelombang mikro Dirangkum dari berbagai sumber : Sutanto (1986), Lillesand, Kieffer, dan Chipman ( 2007), dan Digital Globe Inc. (2013) 9

10 Menurut fungsinya citra non foto / citra satelit dapat dibedakan menjadi empat, yaitu satelit sumber daya bumi (Landsat, SPOT, IKONOS, Quickbird, ASTER), satelit cuaca (NOAA, Nimbus, METEOSAT, MODIS), satelit kelautan (MOS, JERS), dan satelit militer. Satelit bergerak di angkasa sesuai dengan jalur lintasannya, atau sering disebut dengan orbit. Orbit satelit disesuaikan dengan fungsi dan tujuan satelit tersebut dalam menjalankan misinya. Dalam penginderaan jauh dikenal 2 tipe orbit yang umum digunakan, yaitu : 1. Geostasioner (Geo synchronous) Orbit geostasioner adalah kondisi dimana posisi satelit terhadap bumi adalah sama. Satelit dengan tipe orbit geostasioner bergerak searah serta memiliki kecepatan yang sama dengan rotasi bumi. Orbit geostasioner diaplikasikan pada satelit yang berinteraksi dengan bagian permukaan bumi yang sama selama misinya. Contoh satelit yang menggunakan orbit geostasioner adalah satelit komunikasi dan satelit cuaca. 2. Sinkron matahari (Sun synchronous) Orbit sun synchronous adalah orbit dimana posisi satelit sinkron kedudukannya terhadap matahari. Satelit berorbit sinkron matahari bergerak ke arah utara-selatan bumi sementara bumi berotasi ke arah timur-barat. Dengan gerakan tersebut memungkinkan satelit untuk merekam seluruh permukaan bumi, dan dapat kembali ke posisi awal dalam periode waktu tertentu Citra Satelit Quickbird Perkembangan teknologi penginderaan jauh saat ini mengarah pada peningkatan resolusi spasial pada citra yang dihasilkan, sehingga dimungkinkannya mendapatkan informasi yang lebih detil dan akurat. Hal tersebut didukung dengan diluncurkannya satelit Quickbird pada tanggal 18 Oktober 2001 di Vandenberg Air Force Base, California. Satelit Quickbird diproduksi oleh DigitalGlobe, Inc. dan diluncurkan dengan pesawat Boeing Delta II untuk misi penginderaan jauh resolusi tinggi. Dengan ketinggian 450 meter dari permukaan bumi dan orbit sunsynchronous, satelit bergerak ke arah utara-selatan hingga mendekati kutub bumi, 10

11 satelit Quickbird mampu meliput sebagian besar permukaan bumi. Luas liputan citra Quickbird sebesar 16,5 km x 16,5 km untuk satu area, dan 16,5 km x 115 km untuk citra strip. Satelit Quickbird bergerak dengan kecepatan 7,1 km/jam dan melintasi permukaan bumi selama 93,6 menit untuk satu periode lintasan. Citra Quickbird memiliki resolusi temporal, yaitu kemampuan satelit untuk merekam liputan yang sama dalam waktu tertentu, selama 1 3,5 hari dan melintasi ekuator kurang lebih pada pukul Dengan resolusi temporal yang tinggi tersebut citra Quickbird sangat cocok digunakan untuk perekaman objek dan fenomena perkotaan. Citra Quickbird memiliki resolusi spasial yang sangat tinggi, yaitu sebesar 0,61 meter untuk saluran pankromatik dan 2,4 meter untuk saluran multispektral. Resolusi spasial adalah ukuran terkecil yang dapat dikenali pada citra, atau dapat juga dikatakan sebagai kemampuan satelit untuk dapat merekam objek terkecil. Semakin tinggi resolusi spasial suatu citra, maka semakin kecil objek yang dapat terekam. Sensor pada satelit Quickbird memiliki kepekaan terhadap 5 spektrum elektromagnetik, yaitu spektrum pankromatik (panjang gelombang 0,45 0,53 µm), spektrum biru (panjang gelombang 0,45 0,52 µm), spektrum hijau (panjang gelombang 0,52 0,60 µm), spektrum merah (panjang gelombang 0,63 0,69 µm), dan spektrum inframerah dekat (panjang gelombang 0,76 0,90 µm ). Satelit Quickbird memiliki kemampuan 11 bit untuk tiap pikselnya, dengan kata lain dalam 1 piksel citra Quickbird mampu menampilkan 2048 skala keabuan (grayscale). Skala keabuan ini tergolong tinggi mengingat citra satelit generasi sebelumnya hanya menggunakan 8 bit atau 256 skala keabuan. Namun pada kenyataan di lapangan hanya 87,9% dari 2048 skala keabuan yang dapat digunakan disesuaikan dengan kemampuan perangkat lunak pengolah data. Data dan karakteristik citra Quickbird dapat dilihat pada tabel 1.5 di bawah ini. 11

12 Tabel 1.5. Karakteristik Citra Satelit Quickbird Tanggal peluncuran 18 Oktober 2001 Wahana Boeing Delta II Lokasi peluncuran Vandenberg Air Force Base, California Altitude km Inklinasi 97,2º Kecepatan 7,1 km/jam Orbit Sun-synchronous, periode orbit 93,6 menit (alt. 450 km) 94,2 menit (alt. 482 km) Akurasi metrik 23 meter horisontal (CE 90%) Resolusi spasial (nadir) Pankromatik : 61 cm (altitude 450 km) - 65 cm (altitude 482 km) Multispektral : 2,44 m (altitude 450 km) 2,62 m (altitude 482 km) Resolusi spektral Pankromatik : 0,45 0,53 µm Biru : 0,430 0,545 µm Hijau : 0,466 0,620 µm Merah : 0,590 0,710 µm Inframerah dekat : 0,715 0,918 µm Masa akhir misi Awal tahun 2014 Sumber : DigitalGlobe, Inc, 2012 Citra Quickbird memiliki tiga level produksi: (1) Basic Imagery dengan sedikit pemrosesan (geometrically raw), antara lain koreksi distorsi radiometrik, geometrik, dan optikal, (2) Standard Imagery dengan koreksi optikal, radiometrik geometrik, serta disiapkan dengan sebuah proyeksi kartografis, dan (3) Orthorectified Imagery, dengan koreksi radiometrik, geometrik, dan topografi, serta mempunyai sebuah proyeksi kartografis. DigitalGlobe memberikan lima pilihan untuk produk citra Quickbird, antara lain : 1. Produk hitam putih (pankromatik) Produk dengan format hitam putih memiliki kesan rona objek yang tajam serupa dengan kesan pada mata manusia dan mudah dianalisis secara visual. 2. Produk multispektral Produk ini mencakup panjang gelombang cahaya tampak dan inframerah dekat, cocok untuk analisis multispektral. 12

13 3. Produk bundel (bundle) Produk ini terdiri dari produk pankromatik (hitam-putih) dan produk multispektral. 4. Produk warna (3 saluran warna natural atau inframerah berwarna) Produk ini terdiri dari kombinasi 3 saluran multispektral, yang dapat divisualisasikan berupa citra warna alami (kombinasi saluran biru, hijau, dan merah) dan citra inframerah berwarna (kombinasi saluran inframerah, saluran hijau, dan merah) 5. Produk pan-sharpened Produk pan-sharpened adalah produk hasil penggabungan saluran multispektral dengan saluran pankromatik. Tujuan dari produk pan-sharpened adalah mengkombinasikan keunggulan saluran multispektral yang memiliki resolusi spektral tinggi tetapi beresolusi spasial rendah dengan citra pankromatik yang beresolusi spasial tinggi tetapi resolusi spektralnya rendah, sehingga dihasilkan sebuah citra pankromatik berwarna yang tajam Unsur-Unsur Interpretasi Citra Citra satelit berisi informasi mengenai objek, fenomena, dan kenampakan di permukaan bumi yang harus melewati proses interpretasi untuk dapat disadap data dan informasi di dalamnya. Proses interpretasi merupakan salah satu tahapan terpenting dalam sistem penginderaan jauh, karena hasil dari proses interpretasi tersebut akan menentukan kualitas suatu data untuk dapat diolah lebih lanjut. Kunci utama dalam interpretsi citra terletak pada pengenalan objek yang bertumpu pada karakteristik tiap objek. Secara umum unsur-unsur interpretasi citra dibagi menjadi 8, yaitu : 1. Rona Rona adalah tingkat kecerahan / kegelapan pada suatu objek yang ditunjukkan dengan tingkatan dari hitam-putih atau sebaliknya. 2. Warna Warna adalah wujud yang terlihat oleh mata pada spektrum yang sempit. Perbedaan antara rona dan warna adalah, rona hanya menunjukkan perbedaan 13

14 tingkat kecerahan / kegelapan dalam hitam putih, sedangkan warna menunjukkan perbedaan tingkat yang lebih beragam (merah, hijau, biru, kuning, jingga, dan lain-lain). 3. Bentuk Bentuk merupakan variabel kualitatif yang memberikan konfigurasi suatu objek. Variabel bentuk sangat jelas terlihat pada citra untuk dapat mengenali suatu objek. Unsur bentuk dapat dibedakan menjadi 2, yaitu bentuk luar (shape) dan bentuk rinci (form) 4. Tekstur Tekstur adalah frekuensi perubahan rona pada citra (Lillesand dan Kieffer, 2004). Tekstur dihasilkan oleh kumpulan objek yang terlalu kecil untuk dilihat sehingga menghasilkan konfigurasi yang mengesankan tingkat kekasaran suatu objek. 5. Pola Pola adalah hubungan spasial antar objek yang menghasilkan karakteristik khas suatu objek secara individu ataupun berkelompok. Identifikasi suatu pola dibutuhkan pengenalan objek lebih lanjut. 6. Bayangan Bayangan banyak digunakan dalam interpretasi identifikasi ketinggian suatu objek. Bayangan juga dapat digunakan sebagai orientasi dalam membaca citra. 7. Situs Situs adalah lokasi objek terhadap objek lain di sekitarnya. Pengenalan situs sangat penting dalam keefektifan pengenalan objek pada citra. 8. Asosiasi Asosiasi merupakan keterkaitan antara objek satu dengan objek yang lain. Asosiasi dapat dijadikan petunjuk pengenalan objek dengan melihat eksistensi objek lain di sekitarnya. 14

15 Sistem Informasi Geografis Sistem informasi geografis adalah sebuah sistem untuk pengelolaan, penyimpanan, pemrosesan atau manipulasi, analisis, dan penayangan data, yang mana data tersebut secara spasial (keruangan) terkait dengan muka bumi (Linden, 1987, dalam Suharyadi, 2006). Adapun Calkins dan Tomlinson (1977) mengatakan bahwa sistem informasi geografis merupakan paket perangkat lunak (software) terpadu yang didesain khusus untuk fungsi data geografis yang menampilkan kisaran komprehensif berbagai tugas penanganan data. Tugas-tugas tersebut meliputi masukan data, penyimpanan, pengambilan, dan keluaran data, serta berbagai proses deskriptif dan analisis. Menurut Aronoff (1989) sistem informasi geografis adalah sistem berbasis komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasiinformasi geografis. Sistem informasi geografis dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objek-objek dan fenomena dimana lokasi geografi merupakan aspek yang penting untuk dianalisis. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat dideskripsikan bahwa sistem informasi geografis adalah suatu sistem yang terdiri dari proses penyimpanan, pengolahan, pemanipulasian, dan analisis data secara keruangan yang bekerja secara otomatis dengan bantuan perangkat lunak komputer. Sistem informasi geografis terdiri dari tiga tahapan yang saling berhubungan dalam prosesnya, yaitu masukan data, pengolahan data, dan keluaran data. Penjabaran lebih lanjut mengenai ketiganya dapat diuraikan sebagai berikut. 1. Masukan data (input) Jenis masukan data dalam sistem informasi geografis dapat dibagi menjadi dua, yaitu data grafis dan data atribut. Data grafis dapat diperoleh melalui proses digitasi (manual dan on screen), koordinat geometri, penyiaman (raster to vektor process), live digitizing, dan hasil pengolahan citra penginderaan jauh. 2. Pengolahan data (proses) Tahap pengolahan data meliputi proses konversi data, manipulasi data, hingga analisis data sehingga didapat informasi tertentu. 15

16 3. Keluaran data (output) Proses keluaran data berfungsi untuk menayangkan informasi hasil analisis data geografis secara kualitatif dan kuantitatif. Penayangan informasiinformasi tersebut dapat ditayangkan dengan format data softcopy yang berupa peta elektronik maupun dalam bentuk hardcopy melalui proses pencetakan terlebih dahulu Kebakaran dan Pencegahannya pada Bangunan Gedung Kebakaran adalah suatu nyala api, baik kecil atau besar pada tempat yang tidak kita kehendaki, merugikan dan pada umumnya sukar dikendalikan. Proses nyala api terjadi karena adanya persenyawaan dari sumber panas (energi elektron listrik statis atau dinamis, sinar matahari, reaksi kimia dan perubahan kimia), benda mudah terbakar (bahan-bahan kimia, bahan bakar, kayu, plastik dan sebagainya), serta adanya oksigen sebagai bahan bakar api (Suprapto, 2008). Secara keseluruhan bencana kebakaran dimulai dari awal terjadi kebakaran hingga penjalaran api, asap, dan gas yang ditimbulkan. Kebakaran dapat dibedakan berdasarkan kondisi dan lokasi sumber api berada. Kebakaran pada bangunan umumnya berawal dari kebakaran dalam suatu ruangan, yang sering disebut sebagai kebakaran dalam ruangan tertutup (compartment fire). Sifat kimia dan fisika yang terjadi saat penyulutan, dilanjutkan dengan pembakaran (combustion) ditambah dengan tersedianya beban api (fire load) dengan jumlah yang cukup dan didukung dengan dimensi ruangan serta faktor ventilasi yang menunjang, maka intensitas kebakaran akan meningkat. Peningkatan intensitas kebakaran ditandai dengan kecepatan penjalaran dan panas yang tinggi dalam waktu yang relatif singkat (Suprapto, 2008). Semakin meningkatnya kejadian kebakaran bangunan di perkotaan mendorong pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan berupa Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum nomor 10/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Pengamanan Terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan, serta Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum nomor 11/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran 16

17 di Perkotaan. Kedua keputusan menteri tersebut memuat hal-hal yang berkaitan dengan pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran, seperti perencanaan tata letak bangunan, sarana penyelamatan, sistem proteksi pasif dan aktif, kelaikan dan keandalan bangunan gedung, serta manajemen penanggulangan kebakaran. Penelitian ini menyinggung tentang perencanaan tata letak bangunan, sistem proteksi pasif dan aktif, serta kelaikan dan keandalan bangunan. Pemerintah juga memperkuat upaya pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran pada bangunan gedung dengan dikeluarkannya Undang-Undang tentang Bangunan Gedung Nomor 28 Tahun Pada undang-undang tersebut bangunan gedung didefinisikan sebagai wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus. Pada Bab IV undang-undang tersebut terdapat 2 (dua) hal utama pada persyaratan bangunan yakni persyaratan administrasi (perizinan, status lahan, kepemilikan bangunan) dan persyaratan teknis (persyaratan intensitas bangunan dan persyaratan kehandalan). Pada persyaratan kehandalan diatur mengenai persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan persyaratan aksesibilitas. Proteksi kebakaran termasuk dalam aspek keselamatan disamping gempa dan bahaya petir. Persyaratan kemampuan gedung dalam mencegah dan menanggulangi kebakaran merupakan kemampuan gedung untuk melakukan pengamanan terhadap bahaya kebakaran melalui sistem proteksi aktif dan pasif. Sistem proteksi pasif meliputi kemampuan stabilitas struktur dan elemennya, konstruksi tahan api, serta proteksi pada bukaan yang ada untuk menahan dan membatasi kecepatan penjalaran api dan asap kebakaran. Sistem proteksi aktif meliputi kemampuan dalam mendeteksi dan memadamkan kebakaran, pengendalian asap, dan sarana penyelamatan kebakaran. Pemenuhan peraturan dan standar teknis proteksi kebakaran secara konsisten diperlukan dalam rangka keselamatan bangunan terhadap bahaya kebakaran yang setiap saat bisa terjadi. Banyak kejadian kebakaran yang berakibat fatal karena tidak memenuhi ketentuan proteksi kebakaran seperti minimnya jumlah 17

18 dan kerusakan fasilitas pencegah meluasnya dampak kebakaran di daerah perkotaan, salah satunya adalah hidran. Hidran adalah suatu sistem pemadam kebakaran dengan menggunakan air bertekanan tinggi. Karena keberadaannya sangat penting sebagai pencegah meluasnya dampak kebakaran, proses perancangan dan penempatan hidran telah melalui tahapan perencanaan yang matang sehingga keberadaannya dapat dimanfaatkan dengan maksimal. Penempatan hidran diprioritaskan pada daerah-daerah yang memiliki kondisi yang bahaya akan kebakaran dan diletakkan pada lokasi yang mudah diakses oleh semua orang khususnya petugas pemadam kebakaran, seperti di pinggir jalan dan di selasela trotoar. Kelengkapan alat pemadam kebakaran seperti selang-selang dan pipapipa dapat membantu pemadaman api dan menghambat penjalaran api, disamping itu hidran tersebut harus memiliki suatu pompa untuk dapat menghasilkan air yang bertekanan tinggi (Egan, 1977 dalam Karina, 2005) Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai studi lahan terbangun perkotaan khususnya tentang identifikasi bahaya kebakaran dengan pendekatan penginderaan jauh dan sistem informasi geografis telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Setiawan (2001) meneliti tentang pemetaan potensi rawan kebakaran permukiman dengan menggunakan foto udara dan sistem informasi geografis. Selain untuk memetakan potensi rawan kebakaran, penelitian ini juga bertujuan untuk mengukur kemampuan foto udara dalam menyadap variabel penilaian potensi rawan kebakaran permukiman. Analisis potensi rawan kebakaran permukiman diperoleh dengan memadukan variabel kondisi fisik permukman dengan ketersediaan fasilitas pemadam kebakaran. Variabel kondisi fisik permukiman didapat melalui penyadapan informasi pada foto udara pankromatik hitam putih tahun 1996 skala 1 : , meliputi kepadatan permukiman, ukuran rumah, lebar jalan masuk, tata letak, lokasi permukiman, dan jenis atap. Variabel fasilitas pemadam kebakaran didapat melalui dua cara yaitu melalui kegiatan kerja lapangan untuk variabel jarak lokasi kantor pemadam kebakaran dari permukiman dan ketersediaan alat pemadam portabel (APAR), dan data sekunder untuk data lokasi 18

19 hidran. Variabel lain didapat melalui kerja lapangan antara lain variabel instalasi listrik, ketersediaan penangkal petir, kualitas bahan bangunan, dan aktivitas internal. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa foto udara pankromatik hitam putih skala 1: dapat digunakan sebagai sumber data yang valid untuk penelitian potensi kerawanan kebakaran permukiman dengan akurasi 87,5%. Saptoriyadi (2003) dalam penelitiannya tentang pewilayahan tingkat kerawanan kebakaran permukiman kota dengan penggunaan foto udara, berlokasi di Kecamatan Jetis dan Tegalrejo Kota Yogyakarta, menyimpulkan bahwa wilayah permukiman yang sangat rawan kebakaran ditandai dengan kepadatan bangunan tinggi, bangunan rumah saling menempel, pola tidak teratur, lebar jalan sempit, lokasi permukiman jauh dari jalan utama, kualitas bahan bangunan buruk, dan tidak ada fasilitas pemadam kebakaran. Wilayah permukiman dengan ciri tersebut mencakup sebagian besar luasan pada daerah penelitian yaitu sebesar 187,94 Ha (68,42%), disusul wilayah dengan kategori rawan seluas 86,4 Ha (31,15%) dan kategori tidak rawan seluas 1,9 Ha (0,43%). Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh variabel penilai rawan kebakaran permukiman kota berdasarkan interpretasi foto udara dan menentukan pewilayahan tingkat kerawanan kebakaran permukiman. Analisis tingkat kerawanan kebakaran permukiman didapat melalui pengharkatan berjenjang tertimbang antara variabel fisik permukiman dan variabel ketersediaan fasilitas pemadam kebakaran. Variabel fisik permukiman meliputi kepadatan bangunan mukim, pola bangunan, lebar jalan masuk, dan lokasi permukiman dari jalan utama diperoleh dari interpretasi foto udara pankromatik hitam putih skala 1 : Variabel yang diperoleh melalui kegiatan lapangan meliputi kualitas bahan bangunan, instalasi listrik, dan ketersediaan alat pemadam portabel. Variabel ketersediaan hidran diperoleh dari data sekunder. Martanti (2004) melakukan penelitian dengan judul Pemanfaatan Teknik Penginderaan Jauh untuk Pemetan Tingkat Kerawanan Kebakaran Permukiman (studi kasus di Kecamatan Jatinegara dan Pulogadung, Jakarta Timur). Penelitian tersebut bertujuan untuk mengkaji kemampuan foto udara pankromatik hitam putih skala 1 : dalam menyadap variabel-variabel fisik lingkungan permukiman untuk penilaian kerawanan kebakaran. Variabel-variabel tersebut diperoleh dari 19

20 interpretasi foto udara, data sekunder, dan kerja lapangan. Variabel yang diperoleh dari interpretasi foto udara adalah kepadatan bangunan, tata letak bangunan, lebar jalan masuk, dan lokasi permukiman dari jalan utama. Variabel ukuran rumah, tata letak bangunan, bahan bangunan, instalasi listrik, ketersediaan hidran, ketersediaan alat pemadam portabel dan informasi jarak permukiman dengan kantor pemadam kebakaran diperoleh dari data sekunder dan kerja lapangan. Variabel-variabel tersebut digolongkan dalam dua jenis variabel, yaitu variabel yang menjadi faktor pemicu terjadinya kebakaran dan variabel yang menjadi faktor terhadap penanggulangan meluasnya kebakaran. Tingkat kerawanan kebakaran diperoleh dari overlay antara variabel kerawanan kebakaran yang menjadi faktor pemicu kebakaran dan faktor penanggulangan kebakaran. Hasil dari penelitian ini disimpulkan bahwa foto udara pankromatik hitam putih skala 1 : dapat digunakan untuk pemetaan kerawanan kebakaran dengan tingkat ketelitian 85%. Selain itu didapati permukiman yang sangat rawan kebakaran dicirikan dengan kepadatan permukiman yang sangat tinggi (kepadatan >60%), ukuran rumah kecil, tata letak tidak teratur, lokasi permukiman jauh dari jalan utama, jalan masuk sempit, bahan bangunan non permanen, instalasi listrik tidak sesuai ketentuan, diperparah dengan ketersediaan pemadam api portabel <25% dari unit permukiman, hidran banyak rusak, lokasi jauh dari kantor pemadam kebakaran. Perbedaan utama antara penelitian ini dengan 3 (tiga) penelitian di atas terletak pada tema pemetaan, objek penelitian, dan alat yang digunakan. Sasaran pemetaan pada tiga penelitian di atas adalah tingkat kerawanan kebakaran, sedangkan sasaran pemetaan pada penelitian ini adalah tingkat bahaya kebakaran. Objek pada tiga penelitian di atas terbatas pada permukiman saja, sedangkan objek pada penelitian ini adalah bangunan gedung secara umum (bangunan mukim dan nonmukim). Alat yang digunakan pada tiga penelitian di atas berupa foto udara pankromatik hitam putih, sedangkan alat yang digunakan pada penelitian ini adalah citra Quickbird. Hati (2005) melakukan penelitian dengan judul Pemanfaatan Citra Quickbird untuk Zonasi Daerah Rawan Kebakaran di Sebagian Wilayah Kota Yogyakarta. Penelitian tersebut bertujuan mengkaji tingkat ketelitian citra 20

21 Quickbird dalam menyajikan informasi mengenai variabel-variabel yang berpengaruh terhadap tingkat kerawanan kebakaran dan untuk menentukan tingkat kerawanan kebakaran di daerah penelitian. Selain dua hal yang telah disebutkan di atas, penelitian ini juga bertujuan untuk menyusun prioritas pembangunan hidran sebagai alternatif untuk mencegah meluasnya kebakaran. Bahan yang digunakan dalam ini adalah citra Quickbird, yang mampu memberikan informasi mengenai kepadatan bangunan, tata letak bangunan, lebar jalan masuk, ukuran bangunan, jarak terhadap kantor pemadam kebakaran, dan jarak terhadap sungai. Variabel aktivitas internal, kualitas bahan bangunan, dan instalasi listrik diperoleh melalui kegiatan kerja lapangan. Informasi data ketersediaan dan lokasi hidran diperoleh melalui dua metode yaitu melalui kegiatan lapangan dan data sekunder. Proses pengambilan sampel data di lapangan menggunakan metode strarified random sampling, yang kemudian dianalisis melalui pemodelan spasial dengan pendekatan pengharkatan berjenjang tertimbang. Pemberian harkat dan faktor penimbang pada tiap variabel didasari oleh besarnya pengaruh variabel tersebut dalam tingkat kerawanan kebakaran. Semakin besar nilai harkat dan faktor penimbang maka semakin besar pula pengaruhnya terhadap tingkat kerawanan kebakaran. Hasil dari penelitian ini adalah citra Quickbird dapat digunakan untuk menyadap informasi pada lahan terbangun perkotaan yang berkaitan dengan kerawanan kebakaran dengan tingkat ketelitian sebesar 91,8%. Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian di atas terletak pada tema pemetaan dan daerah penelitian. Penelitian di atas bertujuan untuk memetakan tingkat kerawanan kebakaran, sedangkan penelitian ini bertujuan untuk memetakan tingkat bahaya kebakaran. Penelitian di atas berlokasi di Kota Yogyakarta, sedangkan penelitian ini berlokasi di Kota Surakarta. Perbandingan antara penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya selengkapnya disajikan dalam Tabel

22 Tabel 1.6. Perbandingan penelitian antara penelitian yang dilakukan dengan penelitian sebelumnya. Peneliti (tahun) Sony Setiawan (2001) Judul Penggunaan Foto Udara dan Sistem Inforamsi Geografis untuk Pemetaan Potensi Rawan Kebakaran Permukiman di Sebagian Kota Yogyakarta Tujuan Pemetaan potensi kerawanan kebakaran dengan FU dan SIG Lokasi Sebagian kota penelitian Yogyakarta T. Saptoriyadi (2003) Penggunaan Foto Udara untuk Pewilayahan Tingkat Kerawanan Kebakaran Permukiman Kota Pewilayahan tingkat kerawanan kebakaran Kec. Tegalrejo dan Jetis, Kota Yogyakarta Metode Integrasi PJ dan SIG Interpretasi FU dan SIG Bahan Foto udara pankromatik hitam putih skala 1: tahun 1996 Variabel - Kepadatan rumah - Ukuran rumah - Tata letak - Lebar jalan masuk - Lokasi dari jalan - Jenis atap - Ketersediaan hidran - Lokasi kantor pemadam kebakaran - Alat portabel - Aktivitas internal - Listrik - Penangkal petir Foto udara pankromatik hitam putih skala 1: Kepadatan bangunan - Pola bangunan - Lebar jalan masuk - Lokasi dari jalan - Kualitas bahan bangunan - Ketersediaan hidran - Lokasi kantor pemadam kebakaran - Alat portabel - Listrik H. Sri Martanti (2004) Pemanfaatan Teknik Penginderaan Jauh untuk Pemetaan Kerawanan Kebakaran Permukiman (Kasus di Kec. Jatinegara dan Pulogadung, Jakarta Timur) Pemetaan tingkat kerawanan kebakaran permukiman Kec. Jatinegara dan pulogadung, jakarta timur Integrasi PJ dan SIG serta analisis data sekunder Foto udara pankromatik hitam putih skala 1: Kepadatan bangunan - Ukuran bangunan - Tata letak bangunan - Lebar jalan masuk - Lokasi dari jalan - Kualitas bahan bangunan - Ketersediaan hidran - Lokasi kantor pemadam kebakaran - Alat portabel - Aktivitas internal - Listrik K. Bunga Hati (2005) Pemanfaatan Citra Quickbird untuk Zonasi Daerah Rawan Kebakaran di Sebagian Wilayah Kota Yogyakarta Pemetaan tingkat kerawanan kebakaran dan prioritas hidran Kec. Gondokusuman, Gondomanan, dan Pakualaman. Kota Yogyakarta Interpretasi citra satelit dan SIG Citra Quickbird tahun Kepadatan bangunan - Ukuran bangunan - Tata letak bangunan - Lebar jalan masuk - Jarak terhadap sungai - Kualitas bahan bangunan - Ketersediaan hidran - Lokasi kantor pemadam kebakaran - Aktivitas internal - Listrik Yuniar Adiarto (penelitian saat ini) Pemanfaatan Citra Quickbird dan Sistem Informasi Geografis untuk Pemetaan Tingkat Bahaya Kebakaran di Sebagian Kota Surakarta - Pemetaan tingkat bahaya kebakaran Sebagian Surakarta kota Integrasi PJ sistem satelit dan SIG Citra Quickbird perekaman tahun Kepadatan bangunan - Ukuran bangunan - Tata letak bangunan - Lebar jalan masuk - Kualitas bahan bangunan - Ketersediaan hidran - Jarak terhadap kantor pemadam kebakaran Hasil Peta Potensi Rawan Kebakaran Permukiman Sebagian Kota Yogyakarta Peta Tingkat Kerawanan Kebakaran Permukiman di Sebagian Kota Yogyakarta Peta Tingkat Kerawanan Kebakaran Permukiman di kec. Jatinegara, Jakarta Timur Peta Zonasi Tingkat Kerawanan Kebakaran Sebagian Kota Yogyakarta Dan Peta Prioritas Hidran - Peta Tingkat Bahaya Kebakaran di Sebagian Kota Surakarta 22

23 Kerangka Pemikiran Meningkatnya jumlah penduduk di perkotaan berbanding lurus dengan meningkatnya kepadatan penduduk dan melonjaknya jumlah permintaan lahan terbangun serta fasilitas penunjang dan pelayanan kehidupan. Hal ini ditandai dengan tumbuhnya banyak permukiman padat dan bangunan lain dimana jarak antar bangunan sangat berdekatan bahkan berhimpitan dengan pola yang tidak teratur. Meningkatnya kepadatan bangunan tersebut terkadang tidak diiringi dengan dipenuhinya persyaratan teknis bangunan dari segi keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan. Salah satu bahaya lingkungan yang timbul dari wilayah tersebut adalah bahaya kebakaran yang dapat mengancam kehidupan manusia di sekitarnya. Langkah pemantauan, pencegahan dan penanggulangan terjadinya bahaya kebakaran di perkotaan membutuhkan suatu pedoman dalam memberikan informasi mengenai tingkat bahaya kebakaran. Hal ini dimaksudkan agar upaya tersebut dapat berjalan efektif. Informasi tersebut selanjutnya disajikan dalam bentuk peta tingkat bahaya kebakaran. Tahap awal dalam langkah pemantauan, pencegahan dan penanggulangan terhadap bahaya kebakaran adalah dengan mengumpulkan data mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat bahaya akan bahaya kebakaran pada lahan terbangun perkotaan. Dalam menunjang proses tersebut dibutuhkan suatu alat dan metode yang dapat memberikan data fisik lahan terbangun dengan akurat, waktu yang singkat, dan efisien. Penggunaan data penginderaan jauh diharapkan dapat menjembatani permasalahan tersebut. Citra satelit Quickbird memiliki resolusi spasial dan temporal yang sangat baik sehingga cocok untuk studi perkotaan dalam memberikan penilaian faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat bahaya kebakaran di perkotaan. Tingkat bahaya kebakaran diformulasikan sebagai sejauh mana dampak penjalaran api terhadap kerusakan yang ditimbulkan apabila terjadi bencana kebakaran. Untuk menentukan tingkat bahaya kebakaran pada suatu wilayah dibutuhkan informasi atau data mengenai kondisi fisik lingkungan. Informasi atau data tersebut disadap sebagai variabel-variabel yang berpengaruh terhadap potensi dan meluasnya kebakaran, antara lain kepadatan bangunan, tata letak bangunan, 23

24 ukuran bangunan, lebar jalan masuk, jarak dari kantor pemadam kebakaran, kualitas bahan bangunan, dan ketersediaan hidran. Tujuh variabel tersebut diperoleh dari tiga sumber data, yaitu citra Quickbird, data hasil kerja lapangan, dan data sekunder. Variabel yang diperoleh melalui penyadapan informasi citra Quickbird antara lain kepadatan bangunan, tata letak bangunan, ukuran bangunan, lebar jalan masuk, kualitas bahan bangunan, dan jarak terhadap kantor pemadam kebakaran. Variabel yang diperoleh melalui data sekunder dan kegiatan kerja lapangan adalah variabel ketersediaan hidran. Kegiatan kerja lapangan selain bertujuan untuk memperoleh data yang tidak bisa disadap melalui citra Quickbird, juga untuk mengecek ketelitian hasil interpretasi citra dengan kondisi nyata di lapangan (cek lapangan). Cek lapangan dilakukan untuk mengetahui ketelitian hasil interpretasi citra, yang mana hasilnya berpengaruh terhadap kevalidan data tersebut sebagai sumber data. Proses kerja lapangan tidak dilakukan pada seluruh satuan pemetaan, tapi hanya pada daerah yang telah dijadikan sampel dengan metode stratified random sampling. Data sekunder dibutuhkan untuk mengetahui data sebaran dan ketersediaan hidran. Proses pengolahan dan penyajian data untuk mengetahui tingkat bahaya kebakaran dikerjakan dengan sistem informasi geografis secara dijital. Hal ini dilakukan karena proses pengerjaannya yang relatif cepat dan mudah dibanding sistem manual, tampilan yang menarik, dan proses updating dan editing data dapat dilakukan dengan mudah. 24

25 Pertumbuhan jumlah penduduk perkotaan Peningkatan kebutuhan tahan terbangun (bangunan mukim dan non mukim) Penginderaan jauh citra satelit Quickbird dan survei lapangan Variabel fisik bangunan Utilitas dan yang berpengaruh terhadap pelayanan pemadam bahaya kebakaran kebakaran Pemadatan daerah terbangun (densifikasi) Pemodelan spasial menggunakan SIG Penurunan kualitas lingkungan dalam bentuk bahaya kebakaran bangunan Tingkat bahaya kebakaran sebagian Kota Surakarta Gambar 1.1 Diagram Alir Kerangka Pemikiran 25

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan fisik penggunaan lahan terutama di daerah perkotaan relatif cepat dibandingkan dengan daerah perdesaan. Maksud perkembangan fisik adalah penggunaan

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 10 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO Citra nonfoto adalah gambaran yang dihasilkan oleh sensor nonfotografik atau sensor elektronik. Sensornya

Lebih terperinci

ISTILAH DI NEGARA LAIN

ISTILAH DI NEGARA LAIN Geografi PENGERTIAN Ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

JENIS CITRA

JENIS CITRA JENIS CITRA PJ SENSOR Tenaga yang dipantulkan dari obyek di permukaan bumi akan diterima dan direkam oleh SENSOR. Tiap sensor memiliki kepekaan tersendiri terhadap bagian spektrum elektromagnetik. Kepekaannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh daya beli masyarakat (Pasal 3, Undang-undang No. 14 Tahun 1992

BAB I PENDAHULUAN. terjangkau oleh daya beli masyarakat (Pasal 3, Undang-undang No. 14 Tahun 1992 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Transportasi jalan diselenggarakan dengan tujuan untuk mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan dengan selamat, aman, cepat, tertib dan teratur, nyaman dan efisien,

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 09 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK Menggunakan sensor nonkamera atau sensor elektronik. Terdiri dari inderaja sistem termal,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Seiring dengan berkembangnya permintaan akan pemetaan suatu wilayah dalam berbagai bidang, maka semakin berkembang pula berbagai macam metode pemetaan. Dengan memanfaatkan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA QUICKBIRD DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ZONASI KERENTANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN KASUS DI KOTA BANDUNG BAGIAN BARAT

PEMANFAATAN CITRA QUICKBIRD DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ZONASI KERENTANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN KASUS DI KOTA BANDUNG BAGIAN BARAT PEMANFAATAN CITRA QUICKBIRD DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ZONASI KERENTANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN KASUS DI KOTA BANDUNG BAGIAN BARAT Lili Somantri Jurusan Pendidikan Geografi, FPIPS, UPI, L_somantri@ymail.com

Lebih terperinci

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data PENGINDERAAN JAUH KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data Lanjutan Sumber tenaga * Alamiah/sistem pasif : sinar matahari

Lebih terperinci

ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI

ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI Oleh: Nama Mahasiswa : Titin Lichwatin NIM : 140722601700 Mata Kuliah : Praktikum Penginderaan Jauh Dosen Pengampu : Alfi Nur Rusydi, S.Si., M.Sc

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA I. Citra Foto Udara Kegiatan pengindraan jauh memberikan produk atau hasil berupa keluaran atau citra. Citra adalah gambaran suatu objek yang

Lebih terperinci

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI Arif Supendi, M.Si MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI STANDAR KOMPETENSI Memahami pemanfaatan citra penginderaan jauh ( PJ ) dan Sistem Informasi Geografi KOMPETENSI DASAR Menjelaskan

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T PENGERTIAN Penginderaan Jauh atau Remote Sensing merupakan suatu ilmu dan seni untuk memperoleh data dan informasi dari suatu objek dipermukaan bumi dengan menggunakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan.

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan sangat diperlukan untuk kelanjutan hidup manusia. Kemajuan pembangunan di suatu wilayah sejalan dengan peningkatan jumlah pertumbuhan penduduk yang diiringi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di bumi terdapat kira-kira 1,3 1,4 milyar km³ air : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang,

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertambahan penduduk daerah perkotaan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, masih cukup tinggi. Salah satu penyebab adanya laju pertambahan penduduk

Lebih terperinci

Identifikasi Kawasan Rawan Kebakaran di Martapura Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan dengan Sistem Informasi Geografis

Identifikasi Kawasan Rawan Kebakaran di Martapura Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan dengan Sistem Informasi Geografis Identifikasi Kawasan Rawan Kebakaran di Martapura Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan dengan Sistem Informasi Geografis Nisfi Sasmita 1, Rina Reida 1, Ida Parida Santi 1, Daratun Nurahmah 1, Neny Kurniawati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. listrik harus bisa men-supplay kebutuhan listrik rumah tangga maupun

BAB I PENDAHULUAN. listrik harus bisa men-supplay kebutuhan listrik rumah tangga maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Energi listrik merupakan energi utama yang digunakan hampir diseluruh sisi kehidupan manusia saat ini dimana semua aktifitas manusia berhubungan dengan energi listrik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 08 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH Penginderaan jauh (inderaja) adalah cara memperoleh data atau informasi tentang objek atau

Lebih terperinci

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016

Tabel 1.1 Tabel Jumlah Penduduk Kecamatan Banguntapan Tahun 2010 dan Tahun 2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Tempat tinggal merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan karena merupakan salah satu kebutuhan primer manusia. Tempat tinggal menjadi sarana untuk berkumpul,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bentang permukaan bumi yang dapat bermanfaat bagi manusia baik yang sudah dikelola maupun belum. Untuk itu peran lahan cukup penting dalam kehidupan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Geografi, Pendekatan Geografi, dan Konsep Geografi

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Geografi, Pendekatan Geografi, dan Konsep Geografi BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Geografi, Pendekatan Geografi, dan Konsep Geografi a. Pengertian Geografi Menurut hasil seminar lokakarya peningkatan kualitas pengajaran geografi di Semarang tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini kota-kota besar di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam bidang industri, sarana transportasi, perluasan daerah pemukiman dan lain sebagainya.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemetaan Sawah Baku 2.2. Parameter Sawah Baku

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemetaan Sawah Baku 2.2. Parameter Sawah Baku II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemetaan Sawah Baku Mega isu pertanian pangan dan energi, mencakup: (1) perbaikan estimasi produksi padi, dari list frame menuju area frame, (2) pemetaan lahan baku sawah terkait

Lebih terperinci

ISSN Jalan Udayana, Singaraja-Bali address: Jl. Prof Dr Soemantri Brodjonogoro 1-Bandar Lampung

ISSN Jalan Udayana, Singaraja-Bali  address: Jl. Prof Dr Soemantri Brodjonogoro 1-Bandar Lampung ISSN 0216-8138 73 SIMULASI FUSI CITRA IKONOS-2 PANKROMATIK DENGAN LANDSAT-7 MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN METODE PAN-SHARPEN UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS CITRA DALAM UPAYA PEMANTAUAN KAWASAN HIJAU (Studi Kasus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya pertumbuhan penduduk dan pembangunan pada suatu wilayah akan berpengaruh terhadap perubahan suatu kawasan. Perubahan lahan terbuka hijau menjadi lahan terbangun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara yang berada di bumi merupakan komponen yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Penggunaannya akan tidak terbatas selama udara mengandung unsur-unsur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kota selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu baik dari segi fisik maupun non fisik. Kota adalah sebuah bentang budaya yang ditimbulkan oleh unsur-unsur

Lebih terperinci

PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG

PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG PENGGUNAAN HIGH TEMPORAL AND SPASIAL IMAGERY DALAM UPAYA PENCARIAN PESAWAT YANG HILANG Oleh : Yofri Furqani Hakim, ST. Ir. Edwin Hendrayana Kardiman, SE. Budi Santoso Bidang Pemetaan Dasar Kedirgantaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Di era globalisasi saat ini, perkembangan suatu daerah semakin pesat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan sarana prasarana. Akibatnya, pembangunan

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K

INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K INTERPRETASI CITRA IKONOS KAWASAN PESISIR PANTAI SELATAN MATA KULIAH PENGINDERAAN JAUH OLEH : BHIAN RANGGA J.R NIM : K 5410012 PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA QUICKBIRD DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ZONASI KERENTANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN (Kasus di Kota Bandung Bagian Barat)

PEMANFAATAN CITRA QUICKBIRD DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ZONASI KERENTANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN (Kasus di Kota Bandung Bagian Barat) PEMANFAATAN CITRA QUICKBIRD DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ZONASI KERENTANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN (Kasus di Kota Bandung Bagian Barat) Oleh: Lili Somantri 24060/1-6/259/06 LATAR BELAKANG Terjadinya

Lebih terperinci

Citra Satelit IKONOS

Citra Satelit IKONOS Citra Satelit IKONOS Satelit IKONOS adalah satelit inderaja komersiil pertama yang dioperasikan dengan tingkat ketelitian 1 meter untuk model pankromatik dan 4 meter untuk model multispektral yang merupakan

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH (REMOTE SENSING) Oleh : Lili Somantri

TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH (REMOTE SENSING) Oleh : Lili Somantri TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH (REMOTE SENSING) Oleh : Lili Somantri 1. Pengertian Penginderaan Jauh Menurut Lilesand et al. (2004) mengatakan bahwa penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN Aplikasi teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis semakin meluas sejak dikembangkan di era tahun 1960-an. Sejak itu teknologi penginderaan jauh dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk khususnya di wilayah perkotaan dipengaruhi dari berbagai faktor-faktor yang menyebabkan suatu daerah menjadi padat penduduknya. Hal ini akan menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagaimana keadaan di negara-negara lain, industri keuangan di Indonesia kini tengah mengalami perubahan yang mendasar. Perubahan yang mendasar tersebut terjadi

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN. Oleh: Dyah Respati Suryo Sumunar

LAPORAN PENELITIAN. Oleh: Dyah Respati Suryo Sumunar LAPORAN PENELITIAN KAJIAN KUALITAS LINGKUNGAN PERMUKIMAN KOTA YOGYAKARTA BAGIAN SELATAN DENGAN FOTO UDARA PANKROMATIK HITAM PUTIH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh: Dyah Respati Suryo Sumunar Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada waktu sekarang dalam perekonomian manapun di permukaan bumi ini tumbuh dan berkembang berbagai macam lembaga keuangan. Semua lembaga keuangan tersebut mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dinamika bentuk dan struktur bumi dijabarkan dalam berbagai teori oleh para ilmuwan, salah satu teori yang berkembang yaitu teori tektonik lempeng. Teori ini

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 14 Sesi NGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI A. MODEL DATA SPASIAL Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. a. Model Data Vektor

Lebih terperinci

Wisnu Widyatmadja Taufik Hery Purwanto

Wisnu Widyatmadja Taufik Hery Purwanto APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN ZONASI KERAWANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN DENGAN MEMANFAATKAN CITRA QUICKBIRD DI KECAMATAN BALIKPAPAN SELATAN Wisnu Widyatmadja atmadjawima@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan materi yang terdiri dari agregat (butiran) padat yang tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain serta dari bahan bahan organik yang telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peta merupakan representasi dari permukaan bumi baik sebagian atau keseluruhannya yang divisualisasikan pada bidang proyeksi tertentu dengan menggunakan skala tertentu.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jalan merupakan salah satu sarana transportasi darat yang penting untuk menghubungkan berbagai tempat seperti pusat industri, lahan pertanian, pemukiman, serta sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era Teknologi merupakan era dimana informasi serta data dapat didapatkan dan ditransfer secara lebih efektif. Perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan kemajuan

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

K13 Revisi Antiremed Kelas 12 Geografi

K13 Revisi Antiremed Kelas 12 Geografi K13 Revisi Antiremed Kelas 12 Geografi 01. Suatu ilmu atau teknik untuk mengetahui suatu benda, gejala, dan area dan jarak jauh dengan menggunakan alat pengindraan berupa sensor buatan disebut... (A) citra

Lebih terperinci

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing).

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing). Istilah penginderaan jauh merupakan terjemahan dari remote sensing yang telah dikenal di Amerika Serikat sekitar akhir tahun 1950-an. Menurut Manual of Remote Sensing (American Society of Photogrammetry

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah memiliki peranan penting dalam menunjang pembangunan nasional. Pada masa Orde baru pembangunan nasional dikendalikan oleh pemerintah pusat, sedangkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Menurut Arikunto (1988), metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya. Data yang dikumpulkan bisa berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan organik merupakan komponen tanah yang terbentuk dari jasad hidup (flora dan fauna) di tanah, perakaran tanaman hidup maupun mati yang sebagian terdekomposisi

Lebih terperinci

Pengertian Sistem Informasi Geografis

Pengertian Sistem Informasi Geografis Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Citra Quickbird untuk menperoleh data variabel penelitian. Digunakan teknik

BAB III METODE PENELITIAN. Citra Quickbird untuk menperoleh data variabel penelitian. Digunakan teknik BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini memanfaatkan Citra Quickbird untuk menperoleh data variabel penelitian. Digunakan teknik interpretasi

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD NASKAH PUBLIKASI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan Mencapai derajat Sarjana

Lebih terperinci

Konsep Dasar Pengolahan Citra. Pertemuan ke-2 Boldson H. Situmorang, S.Kom., MMSI

Konsep Dasar Pengolahan Citra. Pertemuan ke-2 Boldson H. Situmorang, S.Kom., MMSI Konsep Dasar Pengolahan Citra Pertemuan ke-2 Boldson H. Situmorang, S.Kom., MMSI Definisi Citra digital: kumpulan piksel-piksel yang disusun dalam larik (array) dua-dimensi yang berisi nilai-nilai real

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah penduduk di Indonesia terus bertambah setiap tahun. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia tidak menunjukkan peningkatan, justru sebaliknya laju pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh besarnya tingkat pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman,

BAB I PENDAHULUAN. ditunjukkan oleh besarnya tingkat pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkembangan kota yang ditunjukkan oleh pertumbuhan penduduk dan aktivitas kota menuntut pula kebutuhan lahan yang semakin besar. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya tingkat

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal

2. TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal Data kedalaman merupakan salah satu data dari survei hidrografi yang biasa digunakan untuk memetakan dasar lautan, hal

Lebih terperinci

Sumber Data, Masukan Data, dan Kualitas Data. by: Ahmad Syauqi Ahsan

Sumber Data, Masukan Data, dan Kualitas Data. by: Ahmad Syauqi Ahsan Sumber Data, Masukan Data, dan Kualitas Data by: Ahmad Syauqi Ahsan Data pada SIG Mendapatkan data adalah bagian yang sangat penting pada setiap proyek SIG Yang harus diketahui: Tipe-tipe data yang dapat

Lebih terperinci

ANALISIS KERENTANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KECAMATAN DEPOK KABUPATEN SLEMAN

ANALISIS KERENTANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KECAMATAN DEPOK KABUPATEN SLEMAN ANALISIS KERENTANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KECAMATAN DEPOK KABUPATEN SLEMAN SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi

Lebih terperinci

banyaknya perubahan lahan dari lahan terbuka menjadi lahan terbangun, memaksa penyediaan lahan menjadi semakin besar dan apabila lahan tidak mungkin

banyaknya perubahan lahan dari lahan terbuka menjadi lahan terbangun, memaksa penyediaan lahan menjadi semakin besar dan apabila lahan tidak mungkin Gambar 4.15 Peta Kelas Lebar Jalan Masuk Kecamatan Balikpapan Selatan. 100 Gambar 4.16 Peta Pelanggan Listrik terhadap Blok Bangunan. 103 Gambar 4.17 Kenampakan Kualitas jalan baik hasil lapangan 105 Gambar

Lebih terperinci

Pengumpulan dan Integrasi Data. Politeknik elektronika negeri surabaya. Tujuan

Pengumpulan dan Integrasi Data. Politeknik elektronika negeri surabaya. Tujuan Pengumpulan dan Integrasi Data Arna fariza Politeknik elektronika negeri surabaya Tujuan Mengetahui sumber data dari GIS dan non GIS data Mengetahui bagaimana memperoleh data raster dan vektor Mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (http://berita.plasa.msn.com

BAB I PENDAHULUAN. pada radius 4 kilometer dari bibir kawah. (http://berita.plasa.msn.com BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gunung Sinabung terus menunjukkan peningkatan aktivitas vulkanologi. Awan hitam dan erupsi terus terjadi, 5.576 warga dievakuasi. Evakuasi diberlakukan setelah pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisi tentang latar belakang, tujuan, dan sistematika penulisan. BAB II KAJIAN LITERATUR

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisi tentang latar belakang, tujuan, dan sistematika penulisan. BAB II KAJIAN LITERATUR BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Citra yang direkam oleh satelit, memanfaatkan variasi daya, gelombang bunyi atau energi elektromagnetik. Selain itu juga dipengaruhi oleh cuaca dan keadaan atmosfer

Lebih terperinci

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA Lampiran 1 Ringkasan Materi RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA 1 Pengertian Intepretasi Citra Inteprtasi Citra adalah kegiatan menafsir, mengkaji, mengidentifikasi, dan mengenali objek pada citra, selanjutnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang mempunyai permasalahan dalam mengelola tata ruang. Permasalahan-permasalahan tata ruang tersebut juga timbul karena penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat kenyamanan permukiman di kota dipengaruhi oleh keberadaan ruang terbuka hijau dan tata kelola kota. Pada tata kelola kota yang tidak baik yang ditunjukkan dengan

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) Sistem Informasi Geografis atau disingkat SIG dalam bahasa Inggris Geographic Information System (disingkat GIS) merupakan sistem informasi

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengklasifikasi tata guna lahan dari hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tiap-tiap negara mempunyai pertimbangan berbeda mengenai penetapan suatu wilayah yang disebut kota. Pertimbangan itu dipengaruhi oleh beberapa variasi kewilayahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni perolehan informasi objek di permukaan Bumi melalui hasil rekamannya (Sutanto,2013). Objek di permukaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Otonomi daerah di Indonesia lahir seiring bergulirnya era reformasi di penghujung era 90-an. Krisis ekonomi yang bermula dari tahun 1977 telah mengubah sistem pengelolaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan teknologi penginderaan jauh yang semakin pesat menyebabkan penginderaan jauh menjadi bagian penting dalam mengkaji suatu fenomena di permukaan bumi sebagai

Lebih terperinci

Sejalan dengan berkembangnya suatu kota atau wilayah dan meningkatnya kebutuhan manusia, infrastruktur jalan sangat diperlukan untuk menunjang proses

Sejalan dengan berkembangnya suatu kota atau wilayah dan meningkatnya kebutuhan manusia, infrastruktur jalan sangat diperlukan untuk menunjang proses BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sistem transportasi terutama infrastruktur jaringan jalan merupakan salah satu modal utama dalam perkembangan suatu wilayah. Pada daerah perkotaan, terutama, dibutuhkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil 4 TINJAUAN PUSTAKA Makin banyak informasi yang dipergunakan dalam klasifikasi penutup lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil klasifikasinya. Menggunakan informasi multi

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1. Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1. Latar Belakang 1 Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Identifikasi merupakan langkah strategis dalam menyukseskan suatu pekerjaan. (Supriadi, 2007). Tujuan pemerintah dalam rangka penertiban dan pendayagunaan tanah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, dengan susunan fungsi

Lebih terperinci

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA?

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA? PENGUKURAN KEKOTAAN Geographic Information System (1) Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering Permohonan GIS!!! Karena tidak pernah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bencana Alam

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bencana Alam II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bencana Alam Bencana alam pada dasarnya adalah sebuah konsekuensi dari gabungan proses-proses alami (suatu peristiwa fisik, seperti letusan gunungapi, gempa bumi, tanah longsor,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan secara alami akan menimbulkan masalah. Permasalahan utama yang terjadi di kota adalah masalah permukiman manusia, yang pada

Lebih terperinci

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL

LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Sumber Energi Resolusi (Spasial, Spektral, Radiometrik, Temporal) Wahana Metode (visual, digital, otomatisasi) Penginderaan jauh adalah ilmu pengetahuan dan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah di Kota Jakarta Timur, dengan fokus pada Kecamatan Jatinegara. Kecamatan ini memiliki 8 Kelurahan yaitu Cipinang Cempedak, Cipinang

Lebih terperinci

REMOTE SENSING AND GIS DATA FOR URBAN PLANNING

REMOTE SENSING AND GIS DATA FOR URBAN PLANNING REMOTE SENSING AND GIS DATA FOR URBAN PLANNING Jarot Mulyo Semedi disampaikan pada: Workshop Continuing Professional Development (CPD) Ahli Perencanaan Wilayah dan Kota Jakarta, 7 Oktober 2016 Isi Presentasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pusat aktivitas dari penduduk, oleh karena itu kelangsungan dan kelestarian kota

BAB I PENDAHULUAN. pusat aktivitas dari penduduk, oleh karena itu kelangsungan dan kelestarian kota 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota dalam konsep umum adalah wilayah atau ruang terbangun yang didominasi jenis penggunaan tanah nonpertanian dengan jumlah penduduk dan intensitas penggunaan

Lebih terperinci