PENYUSUN PEMBAHAS. Pambudi Handoyo, S.Sos., M.A. ( Universitas Negeri Surabaya)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENYUSUN PEMBAHAS. Pambudi Handoyo, S.Sos., M.A. ( Universitas Negeri Surabaya)"

Transkripsi

1 PENYUSUN Dra. Hj. Sri Suntari, M.Si ( PPPPTK PKn DAN IPS ) Susvi Tantoro, S.Sos. ( PPPPTK PKn DAN IPS ) Istiqomah, S.Sos., M.Si. ( PPPPTK PKn DAN IPS ) Lilik Tahmidaten, S.Sos., M.A. ( PPPPTK PKn DAN IPS ) PEMBAHAS Pambudi Handoyo, S.Sos., M.A. ( Universitas Negeri Surabaya) Sosiologi SMA K-6 i

2 MODUL PENGEMBANGAN KEPROFESIAN BERKELANJUTAN MATA PELAJARAN SOSIOLOGI SMA KELOMPOK KOMPETENSI 6 PENYUSUN Dra. Hj. Sri Suntari, M.Si ( PPPPTK PKn DAN IPS ) Istiqomah, S.Sos., M.Si. ( PPPPTK PKn DAN IPS ) Susvi Tantoro, S.Sos. ( PPPPTK PKn DAN IPS ) Lilik Tahmidaten, S.Sos., M.A. ( PPPPTK PKn DAN IPS ) PEMBAHAS Pambudi Handoyo, S.Sos., M.A. ( Universitas Negeri Surabaya ) KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN PUSAT PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL PPPPTK PKn DAN IPS 2015 Sosiologi SMA K-6 i

3 PENGANTAR Salah satu komponen yang menjadi fokus perhatian dalam peningkatan kualitas pendidikan adalah peningkatan kompetensi guru. Hal ini menjadi prioritas baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Sejalan dengan hal tersebut, peran guru yang profesional dalam proses pembelajaran di kelas menjadi sangat penting sebagai penentu kunci keberhasilan belajar siswa. Disisi lain, Guru diharapkan mampu untuk membangun proses pembelajaran yang baik sehingga dapat menghasilkan pendidikan yang berkualitas. Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) diperuntukkan bagi semua guru. Sejalan dengan hal tersebut, pemetaan kompetensi baik Kompetensi Pedagogik maupun Kompetensi Profesional sangat dibutuhkan bagi Guru. Informasi, tentang peta kompetensi tersebut diwujudkan dalam buku modul Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan dari berbagai mata pelajaran. PPPPTK PKn dan IPS merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis di lingkungan Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, mendapat tugas untuk menyusun Modul Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB), khususnya modul PKB untuk mata pelajaran PPKn SMP, IPS SMP, PPKn SMA/SMK, Sejarah SMA/SMK, Geografi SMA, Ekonomi SMA, Sosiologi SMA, dan Antropologi SMA. Masing-masing modul Mata Pelajaran disusun dalam Kelompok Kompetensi 1 sampai dengan 10. Dengan adanya modul ini, diharapkan semua kegiatan pendidikan dan pelatihan baik yang dilaksan dengan pola tatap muka maupun on-line bisa mengacu dari modul-modul yang telah disusun ini. Semoga modul ini bisa dipergunakan untuk menjadi acuan dan pengembangan proses pembelajaran, khususnya untuk mata pelajaran PKn dan IPS. Jakarta, Desember 2015 Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Sumarna Surapranata, Ph.D NIP Sosiologi SMA K-6 ii

4 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN i ii iii PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Tujuan... 2 C. Peta Kompetensi... 2 D. Ruang Lingkup... 2 E. Saran Cara Penggunaan Modul.. 2 KEGIATAN PEMBELAJARAN 1: Pengolahan Skor dalam 4 Penilaian Pembelajaran A. Tujuan... 4 B. Indikator Pencapaian Kompetensi 4 C. Uraian Materi... 4 D. Aktivitas Pembelajaran E. Latihan/Kasus/Tugas.. 22 F. Rangkuman G. Umpan Balik dan Tindak Lanjut. 24 H. Kunci Jawaban 24 KEGIATAN PEMBELAJARAN 2: Penelitian Tindakan Kelas 26 (PTK) A. Tujuan B. Indikator Pencapaian Kompetensi C. Uraian Materi D. Aktivitas Pembelajaran E. Latihan/ Kasus/Tugas F. Rangkuman G. Umpan Balik Dan Tindak Lanjut H. Kunci Jawaban 40 KEGIATAN PEMBELAJARAN 3: Metode Penelitian Kuantitatif 44 A. Tujuan B. Indikator Pencapaian Kompetensi C. Uraian Materi D. Aktivitas Pembelajaran E. Latihan/ Kasus/Tugas F. Rangkuman G. Umpan Balik Dan Tindak Lanjut H. Kunci Jawaban 70 Sosiologi SMA K-6 iii

5 KEGIATAN PEMBELAJARAN 4: Paradigma dalam Sosiologi 74 A. Tujuan B. Indikator Pencapaian Kompetensi C. Uraian Materi D. Aktivitas Pembelajaran E. Latihan/ Kasus/Tugas F. Rangkuman G. Umpan Balik Dan Tindak Lanjut H. Kunci Jawaban 98 KEGIATAN PEMBELAJARAN 5 : Dampak Perubahan Sosial 100 A. Tujuan B. Indikator Pencapaian Kompetensi C. Uraian Materi D. Aktivitas Pembelajaran E. Latihan/ Kasus/Tugas F. Rangkuman G. Umpan Balik Dan Tindak Lanjut H. Kunci Jawaban 110 KEGIATAN PEMBELAJARAN 6: Masalah Konflik Sosial 115 A. Tujuan B. Indikator Pencapaian Kompetensi C. Uraian Materi D. Aktivitas Pembelajaran E. Latihan/ Kasus/Tugas F. Rangkuman G. Umpan Balik Dan Tindak Lanjut H. Kunci Jawaban 150 KEGIATAN PEMBELAJARAN 7: Multikulturalisme 153 A. Tujuan B. Indikator Pencapaian Kompetensi C. Uraian Materi D. Aktivitas Pembelajaran E. Latihan/ Kasus/Tugas F. Rangkuman G. Umpan Balik Dan Tindak Lanjut H. Kunci Jawaban 197 Sosiologi SMA K-6 iv

6 DAFTAR GAMBAR Gambar 1:Integrasi Sosial Gambar 2:Hubungan Sosial Sosiologi SMA K-6 v

7 DAFTAR TABEL Tabel 1:Contoh Hasil Koreksi...6 Tabel 2:Contoh Pemberian Skor Soal Mutlipe Choice...7 Tabel 3:Nilai Sementara Hasil Skor...9 Tabel 4:Hasil Konversi Masing Masing Siswa...12 Tabel 5:Nilai Ketuntasan...12 Tabel 6:Sentimen Utama Dalam Mobilisasi Konflik Sosiologi SMA K-6 vi

8 DAFTAR DIAGRAM Diagram 1:Sampel Random Sampling...57 Sosiologi SMA K-6 vii

9 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengembangan keprofesian berkelanjutan sebagai salah satu strategi pembinaan gurudan tenaga kependidikan diharapkan dapat menjamin guru dan tenaga kependidikanmampu secara terus menerus memelihara, meningkatkan, dan mengembangkankompetensi sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Pelaksanaan kegiatan PKB akan mengurangi kesenjangan antara kompetensi yang dimiliki guru dan tenaga kependidikan dengan tuntutan profesional yang dipersyaratkan. Guru dan tenaga kependidikan wajib melaksanakan PKB baik secara mandiri maupun kelompok. Khusus untuk PKB dalam bentuk diklat dilakukan oleh lembaga pelatihan sesuai dengan jenis kegiatan dan kebutuhan guru. Penyelenggaraan diklat PKB dilaksanakan oleh PPPPTK dan LPPPTK KPTK, salah satunya adalah di PPPPTK PKn dan IPS. Pelaksanaan diklat tersebut memerlukan modul sebagai salah satu sumber belajar bagi peserta diklat. Modul tersebut merupakan bahan ajar yang dirancang untuk dapat dipelajari secara mandiri oleh peserta diklat PKB Guru Sosiologi SMA.Modul ini berisi materi, metode, batasan-batasan, tugas dan latihan serta petunjukcara penggunaannya yang disajikan secara sistematis dan menarik untuk mencapai tingkatan kompetensi yang diharapkan sesuai dengan tingkat kompleksitasnya. Dasar hukum dari penulisan modul ini adalah : 1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun ) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru; 3) Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. 4) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Sosiologi SMA K-6 1

10 5) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 41 tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja PPPPTK. B. Tujuan 1. Meningkatkan kompetensi guru untuk mencapai Standar Kompetensi yang ditetapkan sesuai peraturan perundangan yang berlaku. 2. Memenuhi kebutuhan guru dalam peningkatan kompetensi sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. 3. Meningkatkan komitmen guru dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai tenaga profesional. C. Peta Kompetensi Melalui modul PKB diharapkan peserta diklat dapat meningkatkan kompetensi antara lain : 1. Memahami materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran sosiologi 2. Menunjukkan manfaat mata pelajaran sosiologi 3. Menerapkan berbagai pendekatan, strategi, metode, dan teknik penilaian dalam pembelajaran sosiologi D. Ruang Lingkup 1. Pengolahan Skor Dalam Penilaian Pembelajaran 2. Penelitian Tindakan Kelas (Ptk) 3. Metode Penelitian Kuantitatif 4. Paradigma Dalam Sosiologi 5. Dampak Perubahan Sosial 6. Masalah Konflik Sosial 7. Multikulturalisme E. Saran Cara Penggunaan Modul 1. Bacalah modul dengan seksama sehingga bisa dipahami 2. Kerjakan latihan tugas Sosiologi SMA K-6 2

11 3. Selesaikan kasus/permasalahan pada kegiatan belajar kemudian buatlah kesimpulkan 4. Lakukan refleksi Sosiologi SMA K-6 3

12 Kegiatan Pembelajaran 1 PENGOLAHAN SKOR DALAM PENILAIAN PEMBELAJARAN A. Tujuan Melalui informasi, tanya jawab, mengerjakan tugas, guru mampu menyimpulkan ketuntasan belajar siswa. B. Indikator Pencapaian Kompetensi 1. Menjelaskan pengertian skor 2. Membuat skor hasil tes siswa 3. Membedakan Penilaian Acuan Patokan ( PAP ), dan Penilaian Acuan Norma ( PAN ) 4. Menentukan nilai sementara dari hasil tes siswa. 5. Menyimpulkan ketuntasan belajar siswa C. Uraian Materi 1. Pengertian dan Teknik-Teknik Pemberian Skor Pada hakikatnya pemberian skor (scoring) adalah proses pengubahan jawaban soal menjadi angka-angka yang merupakan nilai kuantitatif dari suatu jawaban terhadap item dalam soal. Angka-angka hasil penilaian selanjutnya diproses menjadi nilai-nilai (grade). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), penskoran adalah proses, cara, pembuatan skor.skor berbeda dengan nilai. Nilai adalah angka ( huruf ) yang merupakan hasil ubahan dari skor yang sudah dijadikan satu dengan skor-skor lain serta disesuaikan pengaturannya dengan standart tertentu. Sedangkan skor adalah hasil pekerjaan menyekor (memberikan angka) yang diperoleh dari angkaangka dar setiap butir soal yang telah di jawab oleh testee dengan benar, dengan mempertimbangkan bobot jawaban betulnya. Menurut Suharsimi ( 2005:235 ) bahwa skor adalah hasil pekerjaan menskor yang diperoles dengan menjumlahkan angka-angka bagi setiap soal tes yang di jawab Sosiologi SMA K-6 4

13 betul oleh siswa. Sedangkan nilai adalah angka ubahan dari skor dengan menggunakan acuan tertentu, yakni acuan norma atau acuan standar. Menurut Anas Sudijono ( 2007:309 ) bahwa skor merupakan hasil pekerjaan memberi angka yang diperoleh dengan menjumlahkan angka-angka bagi setiap butir item yang si testee telah menjawab dengan betul. Sedangkan nilai adalah angka ( bisa juga huruf), yang merupakan hasil ubahan dari skor, sehingga dapat disimpulkan bahwa kegiatan penskoran (scoring) dan penilaian merupakan satu rangkaian kegiatan yang tidak dapat dipisahakan. Penskoran merupakan kegiatan mengumpulkan data melalui tes maupun non-tes sehingga di peroles skor mentah (raw store) untuk kemudian diolah atau dikonversi (diubah). Cara pemberian skor terhadap hasil tes hasil belajar pada umumnya disesuaikan dengan bentuk soal yang dikeluarkan dalam tes tersebut, tes uraian (essay) atau tes obyektif (objektive test). a. Pemberian Skor pada Tes Uraian. Pada tes uraian, pemberian skor didasarkan pada bobot (weight) yang diberikan pada setiap butir soal, didasarkan dan disesuaikan dengan tingkat kesulitan dari soal tersebut dan atau banyak sedikitnya unsur yang terdapat dalam jawaban yang dianggap benar. 1) Adapun langkah langkah memberi skor adalah sebagai berikut: 2) Menyusun suatu jawaban model sebagai kunci jawaban yang memenuhi syarat sebagai jawaban yang baik (benar, relevan, lengkap, berstruktur, dan Jelas). 3) Setiap item bisa berbeda bobot. Perbedaan bobot bisa berdasar pada jenis bahan (bahan perangsang, bahan inti, bahan penting, dan kurang penting), teksonomi (pengetahuan, pemahaman, evaluasi, dll). 4) Membaca beberapa jawaban dari peserta didik yang kurang pandai dan yang pandai. Hal ini dapat dipakai untuk memperoleh gambaran umum tentang kualitas dari jawaban dari para peserta didik atau mengecek apakah kunci jawaban cukup realistik. 5) Sebaiknya masing-masing nomor dari jawaban tes diperiksa sekaligus sebelum melakukan skoring nomor yang lain. Sosiologi SMA K-6 5

14 6) Agar tidak terpengaruh oleh kesan mutu jawaban yang mendahului sebaiknya sesudah selesai diperikasa jawaban-jawaban satu nomor, lembar jawab perlu ditukar urutannya. 7) Tidak usah memperhatikan nama dan nomor peserta, untuk mengurangi subyektivitas. 8) Membiasakan hanya memeriksa isi pikiran yang dikemukakan dalam jawaban, sehingga tidak perlu menilai bentuk tulisan dan lain-lain. 9) Mengembalikan lembar jawab lengkap dengan catatan-catatan seperlunya. Contoh pemberian skor soal uraian : Guru sosiolog merancang 10 butir soal uraian yang pembobotan masing-masing sebagai berikut: Nomor soal Bobot soal Skor Jumlah skor 1,2,3 Soal mudah (C2) 3 9 4,5,6,7 Sedang (C3,C4) ,9,10 (C5,C6) 9 27 Jumlah skor maksimum 56 Tabel 1:Contoh hasil koreksi: Guru telah mengoreksi jawaban soal uraian berjumah 10 dengan pembobotan sebagai tersebut di atas pada kelas XA dengan hasil sebagai berikut: Nomor Nama siswa Jumlah skor yang diperoleh 1. Anisah 30 2 Basuki 33 3 Cica 50 4 Didik 44 5 Endah 55 6 Fandi 40 7 Gani 54 8 Harum 39 9 Iza Zainal 45 Sosiologi SMA K-6 6

15 b. Pemberian skor pada tes obyektif Pemberian skor pada tes obyektif ada yang menggunakan sistem denda untuk ujian yang berskala besar seperti ujian masuk perguruan tinggi, atau sekolah yang berkualitas tingga seperti sekolah internasional. Namun untuk jenjang SMA tidak harus menggunakan sistem denda. Untuk soal obyektif bentuk true-false misalnya, setiap item diberi skor maksimal 1 (satu). Apabila testee menjawab benar maka diberikan skor 1 dan apabila salah maka diberikan skor 0. Dalam pemberian skor, perlu diperhatikan pada tes obyektif adalah karena berbentuk multiple choice maka masing-masing item soal memiliki derajat atau tingkat kesulitan yang berbeda-beda, hal ini mengakibatkan setiap soal mempunyai bobot jawaban yang berbeda pula. Ada jawaban yang benar belum tentu memiliki skor 1, ada juga yang berbobot 1,5, 2, 2,5 dan sebagainya. Dalam hal ini yang dapat menentukan bobot soal adalah orang yang paling tahu dengan derajat kesulitan soal tersebut yaitu sebaiknya pembuat soal itu sendiri atau tester. Tabel 2:Contoh pemberian skor soal multiple choice : Guru merancang 40 butir soal uraian yang pembobotan masing-masing sebagai berikut: Nomor soal Bobot soal Skor Jumlah skor 1 sampai dengan 10 Soal mudah (C2) sampai dengan 30 Sedang (C3,C4) 1, sampai dengan 40 (C5,C6) 2 20 Jumlah skor maksimum 60 Contoh hasil koreksi: Guru telah mengoreksi jawaban soal uraian berjumah 10 dengan pembobotan sebagai tersebut di atas pada kelas XA dengan hasil sebagai berikut: Sosiologi SMA K-6 7

16 Nomor Nama siswa Jumlah skor yang diperoleh 1. Anisah 40 2 Basuki 41 3 Cica 55 4 Didik 48 5 Endah 56 6 Fandi 51 7 Gani 48 8 Harum 42 9 Iza Zainal Melakukan verifikasi data Dalam evaluasi hasil belajar, wujud nyata dari kegiatan menghimpun data adalah melaksanakan pengukuran, misalnya dengan menyelenggarakan tes hasil belajar apabila evaluasi hasil belajar itu menggunakan teknik tes, ataukah melakukan pengamatan, wawancara atau angket dengan menggunakan soal-soal tertentu berupa berupa observasi dengan menggunakan lembar pengamatan, penilaian produk, projek, dan sebagainya. Data yang telah berhasil dihimpun disaring terlebih dahulu sebelum diolah lebih lanjut. Proses penyaringan itu dikenal dengan istilah penelitian data atau verifikasi data. Verifikasi data dimaksudkan untuk dapat memisahkan data yang baik yaitu data yang dapat memperjelas gambaran yang akan diperoleh mengenai diri individu atau sekelompok individu yang sedang dievaluasi, dari data yang kurang baik yaitu data yang mengaburkan gambaran yang akan diperoleh apabila data itu ikut serta diolah. Verifikasi data juga untuk memperhatikan prestasi siswa yang sangat menonjol seperti siswa sangat pandai, siswa sangat pandai tetapi sangat aktif dan sering mendapatkan tugas mewakili sekolah sehingga mempunyai ijin khusus, atau siswa yang prestasinya rendah karena mempunyai problem sosial, problem keluarga, atau bahkan mempunyai fisik yang rentang dan sakit-sakitan. Sosiologi SMA K-6 8

17 3. Mengolah dan menganalisis data Mengolah dan menganalisis hasil evaluasi dilakukan dengan tujuan untuk memberikan makna terhadap data yang telah berhasil dihimpun dalam kegiatan evaluasi. Dalam mengolah dan menganalisis data hasil evaluasi itu dapat dipergunakan teknik statistika dan teknik non statistika, tergantung kepada kepada jenis data yang akan diolah dan dianalisis. a. Analisis data soal uraian Rumus menganalisis hasil tes soal uraian Nilai = X 100 sementara Nilai sementara hasil skor soal uraian di atas Nomor Nama siswa Jumlah skor yang Nilai diperoleh sementara 1. Anisah Basuki Cica Didik Endah Fandi Gani Harum Iza Zainal Tabel 3: Nilai sementara hasil skor Catatan : hasilnya masih merupakan nilai sementara, karena sesuai dengan Permendikbud nomor 104 tahun 2014 tetang Penilain Hasil Sosiologi SMA K-6 9

18 Belajar oleh Pendidik pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah menyatakan sebagai berikut: Skor dan Nilai dalam Kurikulum 2013 menggunakan skala skor penilaian 4,00 1,00 dalam menyekor pekerjaan peserta didik untuk setiap kegiatan penilaian (ulangan harian, ujian tengah semester, ujian akhir semester, tugas-tugas, ujian sekolah). b. Analisis data soal pilihan ganda Rumus pengolahan skor hasil tes soal pilihan ganda skor perolehan Nilai sementara = X Nilai sementara pada hasil tes soal pilihan ganda di atas sebagai berikut: Nomor Nama siswa Jumlah skor yang Nilai diperoleh sementara 1. Anisah Basuki Cica Didik Endah Fandi Gani Harum Sosiologi SMA K-6 10

19 9 Iza Zainal Memberikan interpretasi dan menarik kesimpulan Penafsiran atau interpretasi terhadap data hasil evaluasi belajar pada hakikatnya adalah merupakan verbalisasi dari makna yang terkandung dalam data yang telah mengalami pengolahan dan penganalisisan itu. Atas dasar interpretasi terhadap data hasil evaluasi itu akhirnya dapat dikemukakan kesimpulankesmpulan tertentu. Kesimpulan-kesimpulan hasil evaluasi itu sudah tentu harus mengacu kepada tujuan dilakukannya evaluasi itu sendiri. Interpretasi sementara diperoleh denganmenggunakan tabel konversi skala 10 s.d. 100 ke skala 1 s.d. 4 Nomor Skor skala Skor skala Hasil konversi masing-masing siswa sebagai berikut: No Nama Skor hasil Skor hasil tes konversi siswa tes uraian pilihan ganda Konversi 1 Anisah Basuki Cica Didik Endah Fandi Gani Harum Iza Zainal Sosiologi SMA K-6 11

20 Tabel 4: Hasil konversi masing-masing siswa Rata-rata hasil konversi hasil tes pilihan ganda dan uraian No Nama siswa Konversi hasil tes uraian Konversi hasil tes piilihan ganda Rata-rata nilai sementara aspek pengtahuan 1 Anisah 2 3 2,5 2 Basuki 3 4 3,5 3 Cica Didik Endah Fandi 3 4 3,5 7 Gani 4 3 3,5 8 Harum Iza Zainal 3 4 3,5 Interpretasi untuk hasil tes uraian dan pilihan ganda menggunakan ketetuan Permendiknas nomor 104 tahun 2014 tetang Penilain Hasil Belajar oleh Pendidik pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah menyatakan sebagai berikut: Nilai ketuntasan kompetensi pengetahuan dan keterampilan dituangkan dalam bentuk angka dan huruf, yakni 4,00 1,00 untuk angka yang ekuivalen dengan huruf A sampai dengan D sebagaimana tertera pada tabel berikut. Tabel5:Nilai Ketuntasan Nilai Ketuntasan Pengetahuan dan Keterampilan Rentang Angka Huruf 3,85 4,00 A 3,51 3,84 A- 3,18 3,50 B+ 2,85 3,17 B Sosiologi SMA K-6 12

21 2,51 2,84 B- 2,18 2,50 C+ 1,85 2,17 C 1,51 1,84 C- 1,18 1,50 D+ 1,00 1,17 D Ketuntasan Belajar untuk pengetahuan ditetapkan dengan skor rerata 2,67 untuk keterampilan ditetapkan dengan capaian optimum 2,67. Ketuntasan belajar dari aspek pengetahuan hasil tes uraian dan pilihan danga. No Nama siswa Rata-rata nilai sementara aspek pengtahuan Ketuntasan belajar aspek pengetahuan 1 Anisah 2,5 Tidak tuntas 2 Basuki 3,5 Tuntas 3 Cica 4 Tuntas 4 Didik 3 Tuntas 5 Endah 4 Tuntas 6 Fandi 3,5 Tuntas 7 Gani 3,5 Tuntas 8 Harum 3 Tuntas 9 Iza 4 Tuntas 10 Zainal 3,5 Tuntas 5. Tindak lanjut hasil evaluasi belajar Berdasarkan data hasil evaluasi yang telah disusun, diatur, diolah, dinalisis, dan disimpulkan sehingga dapat diketahui makna yang terkandung di dalamnya maka pada akhirnya evaluator akan dapat mengambil keputusan atau merumuskan kebijakan-kebijakan yang dipandang perlu sebagai tindak lanjut dari kegiatan evaluasi tersebut. Harus diingat bahwa setiap kegiatan evaluasi menuntut adanya tindak lanjut yang konkrit. Seluruh catatan penilaian hasil belajar merupakan portofolio guru untuk rekaman perkembangan peserta didik yang secara berkala Sosiologi SMA K-6 13

22 dibuatkan laporannya.tindak lanjut utama yang segera dilakukan adalah melakukan remidi bagi siswa yang belum tuntas ( Anisah ), yang secara perencanaan pembelajaran telah disiapkan oleh guru. 6. Ketuntasan belajar dalam penilaian pembelajaran Pembahasan tentang ketuntasan belajar diperlukan untuk menjelaskan dalam konteks kajian evaluasi pendidikan. Di dalam evaluasi pendidikan ada Penilaian Acuan Patokan (PAP) dan Penilaian Acuan Norma ( PAN ). Dengan memberikan patokan ketuntasan belajar, maka secara teori penilaian menggunakan Penilaian Acuan Patokan (PAP), disisi lain ada Penilaian Acuan Norma (PAN). a. Penilaian Acuan Patokan (PAP) Penilaian Acuan Patokan (criterion referenced evaluation) yang dikenaljuga dengan standar mutlak berusaha menafsirkan hasil tes yang diperoleh siswa dengan membandingkannya dengan patokan yang telah ditetapkan. Sebelum hasil tes diperoleh atau bahkan sebelum kegiatan pengajaran dilakukan, patokan yang akan dipergunakan untuk menentukan kelulusan harus sudah ditetapkan.dengan PAP setiap individu dapat diketahui apa yang telah dan belum dikuasainya. Bimbingan individual untuk meningkatkan penguasaan siswa terhadap materi pelajaran dapat dirancang, demikian pula untuk memantapkan apa yang telah dikuasainya dapat dikembangkan. Guru dan setiap peserta didik (siswa) mendapat manfaat dari adanya PAP. Melalui PAP berkembang upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dengan melaksanakan tes awal (pre test) dan tes akhir (post test). Perbedaan hasil tes akhir dengan test awal merupakan petunjuk tentang kualitas proses pembelajaran. Pembelajaran yang menuntut pencapaian kompetensi tertentu sebagaimana diharapkan dan termuat pada kurikulum saat ini, PAP merupakan cara pandang yang harus diterapkan.pap juga dapat digunakan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya kurang terkontrolnya penguasaan materi, terdapat siswa yang diuntungkan atau dirugikan, dan tidak dipenuhinya nilai-nilai kelompok berdistribusi normal. PAP ini menggunakan prinsip belajar tuntas (mastery learning). Sosiologi SMA K-6 14

23 Selain itu juga, PAP dapat mengacu kepada suatu kriteria pencapaian tujuan instruksional yang telah dirumuskan sebelumnya. Artinya, nilai-nilai yang diperoleh siswa dihubungkan dengan tingkat pencapaian penguasaan (mastery) siswa tentang pengajaran sesuai dengan tujuan (instruksional) yang telah ditetapkan. Kriteria yang digunakanpun bersifat mutlak. Artinya, kriteria itu bersifat tetap dan berlaku bagi semua siswa yang mengikuti tes di lembaga terkait. Selain itu, nilai dari hasil PAP dapat dijadikan indikator untuk mengetahui sampai dimana tingkat kemampuan dan penguasaan siswa tentang materi pengajaran tertentu. Sebagai contoh, untuk dapat diterima sebagai calon penerbang setiap calon harus memenuhi syarat antara lain tinggi badan sekurang-kurangnya 170 cm. Berdasarkan kriteria tersebut, maka siapaun yang tidak memenuhi syarat akan dinyatakan gagal dalam tes dan tidak diterima sebagai siswa calon penerbang. Standar atau patokan tersebut memuat ketentuan-ketentuan yang dipergunakan sebagai batas-batas penentuan kelulusan testee atau batas pemberian nilai pada testee. Jika skor yang diperoleh oleh testee memenuhi batas minimal maka testee dinyatakan telah memenuhi tingkat penguasaan minimal terhadap materi yang disampaikan dan sebaliknya jika testee belum bisa memenuhi batas minimal yang ditentukan maka testee dianggap belum lulus atau belum menguasai materi. Karena batasan-batasan tersebut bersifat mutlak/ pasti maka hasil yang diperoleh tidak dapat di tawar lagi.berhubung standar penilaian ditentukan secara mutlak, banyaknya testee yang memperoleh nilai tinggi atau jumlah kelulusan testee banyak akan mencerminkan penguasaannya terhadap materi yang disampaikan. Pengolahan skor mentah menjadi nilai dilakukan dengan menempuh langkahlangkah sebagai berikut : 1) Menggabungkan skor dari berbagai sumber penilaian untuk memperolah skor akhir. 2) Menghitung skor minimum penguasaan tuntas dengan menerapkan prosentase Batas Minimal Penguasaan (BMP). 3) Menentukan tabel konversi Sosiologi SMA K-6 15

24 . PAP (Criterion Referenced Evaluation) mencoba menafsirkan hasil tes yang diperoleh siswa dengan mem-bandingkannya dengan patokan yang telah ditetapkan. Patokan ini biasanya ditetapkan sebelum pembelajaran dimulai dan digunakan sebagai standar kelulusan. Standar kelu-lusan ini di dalam PAP bersifat ajeg dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu PAP ini dikenal pula dengan na-ma Standar Mutlak.Berhubung standar penilaian ditentukan secara mutlak, maka banyaknya siswa yang lulus dan memperoleh nilai tinggi akan mencerminkan prestasi siswa, sekaligus juga mencerminkan penguasaannya terhadap bahan pelajaran. Se-bagai konsekuensi logis penggunaan standar mutlak ini, sa-ngat mungkin terjadi bahwa sebagian besar siswa dalam satu kelompok lulus dengan nilai tinggi, atau sebagian besar sis-wa tidak lulus karena nilainya di bawah standar minimal, atau jumlah siswa yang mendapat nilai tinggi dan rendah mungkin pula berimbang. Hasil pengolahan yang demikian jika digambarkan dalam bentuk kurva yang akan berwujud kurva juling positif, kurva juling negatif, dan kurva normal. 1). Penetapan Patokan Penafsiran hasil tes yang mempergunakan PAP dilakukan dengan membandingkan nilai hasil tes yang diperoleh siswa dengan patokan yang telah ditetapkan sebelumnya. Ketetapan terkini berdasarkan Permendikbud Nomor104 tahun 2014 tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Dalam Permendikbud tersebut KKM yang dituntut adalah 2,67. 2). Penggunaan PAP PAP pada umumnya digunakan untuk menguji tingkat pe-nguasaan bahan pelajaran.pengujian tingkat penguasaan bahan biasanya dilaksanakan pada pengajaran yang berori-entasi pada tujuan dan strategi belajar tuntas. Oleh karena itu nilai seorang siswa yang ditafsirkan dengan standar mutlak, sekaligus menunjukkan tingkat penguasaan riilnya terhadap bahan pelajaran dan juga merupakan standar pen-capaian indicator sesuai dengan standar ketuntasan Sosiologi SMA K-6 16

25 belajar. Agar nilai yang diperoleh siswa dapat berfungsi seperti yang diharapkan, yaitu mencerminkan tingkat penguasaan siswa, maka alat tes yang dipergunakan harus dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi kelayakan, kesahihan, maupun keterpercayaannya. Butir-butir tes yang disusun harus sesuai dengan tujuan dan deskripsi bahan pelajaran yang diberikan. 3). Kelebihan PAP a). Hasil PAP merupakan umpan balik yang dapat digunakan guru sebagai introspeksi tentang program pembelajaran yang telah dilaksanakan. b). Hasil PAP dapat membantu guru dalam pengambilan keputusan tentang perlu atau tidaknya penyajian ulang topik/materi tertentu. c). Hasil PAP dapat pula membantu guru merancang pelaksanaan program remidi. d). Dapat mengukur dan menilai penguasaan materi terhadap tujuan instruksional khusus dan tujuan pembelajaran e). Langsung dapat menginterpretasikan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik dari kinerja siswa f). Dapat menilai dan mengukur kemampuan penguasaan materi yang harus diketahui siswa g). Efektif untuk pembelajaran individual 4). Kelemahan PAP a). Tidak dapat menunjukkan tingkat kedudukan kemampuan peserta didik terhadap kelompoknya b). Sulit untuk menyatakan semua tujuan instruksional khusus secara eksplisit 90 c). Tidak dapat digunakan untuk menilai dan mengukur kemampuan peserta didik dalam kawasan yang luas d). Pola tujuan instruksional khusus membuat pembelajaran sangat terbatas demikian pula proses belajar peserta didik Sosiologi SMA K-6 17

26 5). Asumsi Dasar PAP Pendekatan penilaian ini mendasarkan diri pada asumsi, bahwa: a). Hal-hal yang harus dipelajari peserta didik mempunyai struktur hierarkis tertentu dan masing-masing taraf tersebut harus dikuasai secara baik sebelum peserta didik melanjutkan ke tahap selanjutnya. Contoh: dalam memahami materi 89 konversi nilai, mahasiswa harus memahami terlebih dahulu materi parameter penilaian. b). Evaluator atau tester (dalam hal ini guru, dosen, dll) dapat Mengidentifikasi masing-masing taraf itu sampai tuntas, atau setidak-tidaknya mendekati tuntas, sehingga dapat disusun alat pengukurnya. Contoh: untuk mengetahui apakah peserta didik telah mengetahui bagaimana dampak perubahan sosial, maka dapat dilakukan identifikasi sebagai berikut: apakah perubahan social berdampak positif atau negative? Jika berdampak positif pertanyaan selanjutnya apakah sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat?.jika berdampak negative bagaimanakah dampaknya?. Aakah sampai menjadikan disintegrasi masyarakat?. b. Penilaian Acuan Norma (PAN) Penilaian Acuan Norma (Norm Referenced Evaluation) dikenal pula dengan Standar Relatif atau Norma Kelompok. Pendekatan penilaian ini menafsirkan hasil tes yang diperoleh testee dengan membandingkan dengan hasil tes dari testee lain dalam kelompoknya. Alat pembanding tersebut yang menjadi dasar standar kelulusan dan pemberian nilai ditentukan berdasarkan skor yang diperoleh testee dalam satu kelompok. Dengan demikian, standar kelulusan baru dapat ditentukan setelah diperoleh skor dari para peserta testee. Hal ini berarti setiap kelompok mempunyai standar masing-masing dan standar satu kelompok tidak dapat dipergunakan sebagai standar kelompok yang lain. Standar dari hasil tes sebelumnya pun tidak dapat dipergunakan sebagai standar sehingga setiap memperoleh hasil tes harus dibuat norma yang baru. Yang dimaksud dengan norma dalam hal ini adalah kapasitas atau prestasi kelompok, sedangkan yang Sosiologi SMA K-6 18

27 dimaksud kelompok adalah semua siswa yang mengikuti tes tersebut. Selain itu, nilai dari hasil PAN tidak mencerminkan tingkat kemampuan dan penguasaan siswa tentang materi pengajaran yang diteskan, tetapi hanya menunjukkan kedudukan siswa di dalam peringkat kelompoknya.sebagai contoh, pada pelajaran bahasa Indonesia, siswa yang mendapat skor 80 di kelas B akan mendapat nilai A, sedangkan di kelas C siswa yang mendapat skor 65 akan mendapat nilai A juga. Mengapa bisa demikian? karena nilai yang didapat siswa hanya dihubungkan dengan norma kelompoknya. Pada kelas C, norma kelompoknya rendah, maka skor 65 saja sudah mendapat nilai A, dan pada kelas B norma kelompoknya tinggi, maka skor 80 baru bisa mendapat nilai A, sehingga skor 65 bisa bernilai C. Dasar pemikiran dari penggunaan standar PAN adalah adanya asumsi bahwa di setiap populasi yang heterogen terdapat siswa dengan kelompok baik, kelompok sedang dan kelompok kurang. Pengolahan skor dengan Penilaian Acuan Norma (PAN) mengharuskan kita menghitung dengan statistik. Perhitungan dilakukan atas skor akhir (penggabungan beberapa sumber skor).. Ini berarti bahwa standar kelulusan baru dapat ditentukan setelah diperoleh skor siswa. Hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa standar yang dibuat untuk kelompok tertentu tidak dapat digunakan untuk kelompok lainnya. Begitu pula dengan standar yang digunakan untuk hasil tes sebelumnya tidak dapat digunakan untuk hasil tes sekarang atau yang akan datang. Jadi setiap kali kita memperoleh data hasil tes, kita dituntut untuk membuat norma baru. Jika dibandingkan anatara norma yang satu dengan yang lainnya mungkin saja akan ditemukan standar yang sangat berbeda. Jika kelompok tertentu kebetulan sis-wanya pintar-pintar, maka norma/standar kelulusannya akan tinggi. Sebaliknya jika siswanya kurang pandai, maka standar kelulusannya pun akan rendah. Itulah sebabnya pendekatan ini disebut standar relatif. Beberapa langkah yang perlu diperlukan dalam mengadakan penilaian berdasarkan acuan kelompok, yaitu: a. Memberikan skor tiap siswa Sosiologi SMA K-6 19

28 b. Mencari nilai rata-rata (mean) kelompok c. Mencari nilai simpangan baku (standar deviation) d. Menbuat pedoman konversi dan menentukan nilai berdasarkan standar yang dibuat. Secara sederhana, konversi nilai yang biasa digunakan ada lima macam, ytaitu: a. Skala Lima (Stanfive) diwujudkan dengan 0,1,2,3,4 atau A,B,C,D,E. b. Skala Sembilan (Stannine) diwujudkan dengan 1,2,3,4,5,6,7,8,9. c. Skala Sepuluh (C-scale) diwujudkan dengan 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10. d. Skala Sebelas (Staneleven), diwujudkan dengan 0,1,2,3,4,5,6,7,8,9,10. e. Skala Seratus (T-Scale), diwujudkan dengan 0,1,2,3,s.d 100. (*) 1). Pedoman Konversi PAN Konversi didasarkan pada Mean dan Standar Deviasi (SD) yang dihitung dari hasil tes yang diperoleh. Oleh karena itu untuk membuat standar penilaian atau pedoman konversi, terlebih dahulu kita harus menghitung Mean dan SD-nya. Jika dihubungkan dengan skala penilaian, maka pedoman konversi untuk PAN dapat mempergunakan berbagai skala, misalnya skala lima, sembilan, sepuluh, dan seratus. 2). Penggunaan PAN Berbeda dengan PAP, PAN tidak dapat digunakan untuk mengukur kadar pencapaian tujuan dan tingkat penguasaan bahan. PAN sering digunakan untuk fungsi prediktif, mera-malkan keberhasilan pendidikan siswa di masa mendatang atau untuk menentukan peringkat/kedudukan siswa dalam kelompok. Sosiologi SMA K-6 20

29 3). Keunggulan PAN Ada beberapa keunggulan yang dimiliki PAN, diantaranya seperti tersaji di bawah ini: a). Hasil PAN dapat membuat guru bersikap positif dalam memperlakukan siswa sebagai individu yang unik. b). Hasil PAN akan merupakan informasi yang baik tentang kedudukan siswa dalam kelompoknya. c). PAN dapat digunakan untuk menyeleksi calon siswa yang dites secara ketat. d). Dapat untuk mengukur dan menilai secara maksimal e). Dapat mengukur, menilai, dan menginterpretasikan kinerja peserta didik di tingkat tinggi pada kawasan/domain afektif dan psikomotorik f). Dapat membedakan kemampuan setiap peserta didik yang pintar dengan yang kurang pintar g). Efektif untuk menguji yang bersifat seleksi tujuan tertentu 4). Kelemahan PAN a). Tidak memadai untuk mengukur dan menilai penguasaan materi dan keterampilan b). Hasil pengukuran dan penilaian tidak langsung dapat diinterpretasikan c). Tidak dapat menunjukkan kemampuan kesiapan dalam melanjutkan materi dari pembelajaran selanjutnya 5). Asumsi Dasar PAN Pendekatan penilaian ini mendasarkan diri pada asumsi, bahwa: a). Pada setiap populasi peserta didik yang sifatnya heterogen akan selalu didapati kelompok baik, kelompok sedang, dan kelompok kurang. Dengan kata lain, setiap kegiatan pengukuran dan penilaian hasil belajar, sebagian dari peserta didik tersebut nilai-nilai hasil belajarnya terkonsentrasi atau memusat di sekitar nilai pertengahan (nilai rata-rata), dan hanya sebagian kecil saja yang nilainya sangat tinggi atau sangat rendah. Sosiologi SMA K-6 21

30 b). Tujuan evaluasi hasil belajar adalah untuk menentukan posisi relative (relative standing) dari para peserta tes dalam hal yang sedang dievaluasi itu, yaitu apakah seorang peserta tes posisi relatifnya berada di atas, di tengah, ataukah di bawah. Pendekatan PAN ini mendasarkan diri pada distribusi normal, walaupun kadar kenormalannya tidak selalu sama untuk tiap kelompok. Dengan demikian, walau tiap-tiap kelompok sama-sama menghasilkan kurva normal, mean kurva yang satu dengan kurva lainnya mungkin saja berbeda. Sebagai konsekuensinya, seorang siswa yang memperoleh nilai tinggi dalam suatu kelompok mungkin akan memperoleh nilai rendah jika ia dimasukkan ke dalam kelompok lainnya. Demikian pula sebaliknya. D. Aktivitas Pembelajaran 1. Sebaiknya mempelajari materi ini dilakuan secara individual dan kelompok. Secara individual, peserta diklat diharapkan membuat ringkasan materi esensial. Jika kurang memahami, berdiskusi dengan teman atau belajar secara kelompok akan mempermudah dalam memahaminya. 2. Setelah mempelajari materi pengolahan skor dalam penilaian ini, selanjutnya Anda ingin mempelajari materi penilaian pembelajaran yang mana? E. Latihan/ Kasus /Tugas Guru telah melaksanakan tes, dan harus melakukan pengolahan skor dalam penilaian, dengan data hasil koreksi tes soal uraian sebagai berikut : Nomor Nama siswa Jumlah skor yang diperoleh 1. Anisah 55 2 Basuki 59 3 Cica 56 4 Didik 44 5 Endah 47 Sosiologi SMA K-6 22

31 6 Fandi 59 7 Gani 60 8 Harum 61 9 Iza Zainal 62 Sedangkan rancangan penilaian tes uraian sebagai berikut : Nomor soal Bobot soal Skor Jumlah skor 1,2 Soal mudah (C2) 4 8 4,5,6,7,8 Sedang (C3,C4) ,10 (C5,C6) Jumlah skor maksimum 63 Guru juga telah mengoreksi hasil tes pilihan ganda, dengan hasil sebagai berikut : Nomor Nama siswa Jumlah skor yang diperoleh 1. Anisah 84 2 Basuki 90 3 Cica 88 4 Didik 60 5 Endah 56 6 Fandi 94 7 Gani 98 8 Harum 92 9 Iza Zainal 90 Sedangkan rancangan yang dibuat oleh guru adalah soal pilihan ganda berjumlah 50 dengan bobot yang setara, yakni masing-masing soal 2. Sehingga skor maksimum 100. Tolong dibantu penyelesaian tugas guru dengan membuat: 1. Verifikasi dan analisis data Sosiologi SMA K-6 23

32 2. Interpretasi dan menarik kesimpulan 3. Tindak lanjut hasil evaluasi F. Rangkuman Prosedur pengolahan skor dalam penilaian sosiologi : 1. Koreksi hasil/jawaban tes siswa. 2. Pemberian skor pada jawaban/hasil tes siswa. 3. Verifikasi data dan analisis data. 4. Memberi interpretasi dan menarik kesimpulan. 5. Tindak lanjut hasil evaluasi. G. Umpan Balik dan Tindak Lanjut 1. Setelah membaca kegiatan pembelajaran dalam modul ini apakah Anda memperoleh pengetahuan baru, yang sebelumnya belum pernah Anda pahami, apakah materi yang diuraikan mempunyai manfaat dalam mengembangkan penilaian pembelajaran, khususnya pengolahan skor dalam penilaian?. 2. Setelah Anda membaca kegiatan pembelajaran dalam modul ini rencana tindak lanjut apa yang akan Anda lakukan? H. Kunci Jawaban Jika Anda telah melakukan pengolahan skor dalam penilaian sesuai dengan rumus dan prosedur yang ada, maka sudah sukses. Sosiologi SMA K-6 24

33 DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsini Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Permendiknas Nomor 104 Tahun 2014 tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik Pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Gafur, Abdul, dkk Pedoman Umum Pola Induk Siswa Pengujian Hasil KBM Berbasis Kemampuan Dasar Sekolah Menengah Umum. Jakarta: Dit. PMU, Ditjen Dikdasmen, Depdiknas. Hart, Diane Authentic Assessment. USA: Addison Wesley. Google id. wikipedia org/wiki/taksonomi Bloom ction=8 Hayati, Sri Bahan Pelatihan PS-S2 Penilaian Pembelajaran Pengetahuan Sosial Bahan Pelatihan Terintegrasi Guru SMP. Jakarta: Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama. Imam Kukuh, Tes, Pengukuran, Penilaian Dan Evaluasidalam Google, download tanggal 27 November 2015 Puskur Penilaian Berbasis Kelas. Jakarta: Puskur Balitbang Depdiknas. Siswanto, Penilaian IPS dan PPKn. Bahan Sajian Untuk Penataran Instruktur. Malang: Proyek PPPG IPS dan PMP Malang. Subiyanto Evaluasi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta: Proyek Pengembangan Lembaga Tenaga Kependidikan, Ditjen Dikti, Depdikbud. Subiyanto Beberapa Masalah Evaluasi Pendidikan. Malang: PPPG IPS dan PMP, Ditjen Dikdasmen, Depdikbud. Purwanto, Ngalim Prinsip-prinsip dan Tekhnik Evaluasi Pengajaran. PT Remaja Rosdakarya. Bandung Puskur Penilaian Berbasis Kelas. Jakarta: Puskur Balitbang Depdiknas. Siswanto, Penilaian IPS dan PPKn. Bahan Sajian Untuk Penataran Instruktur. Malang: Proyek PPPG IPS dan PMP Malang. Siswanto, Penilaian Ilmu Pengetahuan Sosial. Edisi review. Malang: Proyek PPPG IPS dan PMP Malang Sosiologi SMA K-6 25

34 Kegiatan Pembelajaran 2 PENELITIAN TINDAKAN KELAS (PTK) A. Tujuan Melalui nformasi, diskusi, kerja kelompok, guru dapat mengidentifikasi prinsipprinsip penusunan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) B. Indikator Pencapaian Kompetensi 1. Menjelaskan Pengertian PTK 2. Menjelaskan pentingnya PTK 3. Menjelaskan Tujuan dan Manfaat PTK 4. Mengidentifikasi Karakteristik PTK 5. Mengidentifikasi Prinsip PTK C. Uraian Materi 1. Pengertian Penelitian Tindakan Kelas Pada awalnya, penelitian tindakan (action research) dikembangkan dengan tujuan untuk mencari penyelesaian terhadap problema sosial (termasuk pendidikan). Penelitian tindakan diawali oleh suatu kajian terhadap suatu masalah secara sistematis (Kemmis dan Taggart, 1988). Hasil kijian ini dijadikan dasar untuk menyusun suatu rencana kerja (tindakan) sebagai upaya untuk mengatasi masalah tersebut. Kegiatan berikutnya adalah pelaksanaan tindakan dilanjutkan dengan observasi dan evaluasi. Hasil observasi dan evaluasi digunakan sebagai masukkan melakukan refleksi atas apa yang terjadi pada saat pelaksanaan tindakan. Hasil refleksi kemudian dijadikan landasan untuk menentukan perbaikan serta penyempurnaan tindakan selanjutnya. Beberapa pendapat tentang Penelitian Tindakan Kelas sebagai telah diuraikan oleh Supardi dan Suhardjono (2011: 17-18) dengan uraian sebagai berikut: Sosiologi SMA K-6 26

35 a) Menurut Kemmis (1988), penelitian tindakan adalah suatu bentuk peneli- tian refleksi diri yang dilakukan oleh para partisipan dalam situasi-situasi sosial (termasuk pendidikan) untuk memperbaiki praktik yang dilakukan sendiri. Dengan demikian, akan diperoleh pemahaman yang komprehensif mengenai praktik dan situasi di mana praktik tersebut dilaksanakan. Terdapat dua hal pokok dalam penelitian tindakan yaitu perbaikan dan keterlibatan. Hal ini akan mengarahkan tujuan penelitian tindakan ke dalam tiga area yaitu; 1) Untuk memperbaiki praktik; 2) Untuk pengembangan profesional dalam arti meningkatkan pemahaman para praktisi terhadap praktik yang dilaksana- kannya; serta 3) Untuk memperbaiki keadaan atau situasi di mana praktik tersebut dilaksanakan. Dalam bidang pendidikan, khususnya dalam praktik pembelajaran, pene-litian tindakan berkembang menjadi Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau Classroom Action Reserach (CAR). PTK adalah penelitian tindakan yang dilaksanakan di dalam kelas ketika pembelajaran berlangsung. PTK dilaku- kan dengan tujuan untuk memperbaiki atau meningkatkan kualitas pembelajaran. PTK berfokus pada kelas atau pada proses pembelajaran yang terjadi di dalam kelas. b. Suharsimi (2002) menjelaskan PTK melalui gabungan definisi dari tiga kata yaitu Penelitian + Tindakan + Kelas. Makna setiap kata tersebut adalah sebagai berikut.penelitian; kegiatan mencermati suatu obyek dengan menggunakan cara dan metodologi tertentu untuk memperoleh data atau informasi yang bermanfaat dalam memecahkan suatu masalah.tindakan; sesuatu gerak kegiatan yang sengaja dilakukan dengan tujuan tertentu. Tindakan yang dilaksanakan dalam PTK berbentuk suatu rangkaian siklus kegiatan.kelas; sekelompok siswa yang dalam waktu yang sama, menerima pelajaran yang sama dari guru yang sama pula. Siswa yang belajar tidak hanya terbatas dalam sebuah ruangan kelas saja, melainkan dapat juga ketika siswa sedang melakukan karyawisata, praktikum di laboratorium, atau belajar tempat Sosiologi SMA K-6 27

36 lain di bawah arahan guru. Uraian tentang pengertian PTK dijelaskan oleh Mertler. c. Mertler Craig A (2014). Penelitian tindakan didefinisikan sebagai penyelidikan sistematis yang dilakukan oleh guru, administrator, konselor atau orang lain dengan satu kepentingan tertentu dalam proses mengajar dan belajar atau lingkungan dengan tujuan mengumpulkan informasitentang bagaimana sekolah mereka beroperasi,bagaimana mereka mengajar, dan bagaimanasiswa mereka belajar (Mils 2011) Berdasarkan pengertian di atas, komponen yang terdapat dalam sebuah kelas yang dapat dijadikan sasasaran PTK adalah sebagai berikut. a. Siswa, dapat dicermati obyeknya ketika siswa sedang mengikuti proses pembelajaran. Contoh permasalahan tentang siswa yang dapat menjadi sasaran PTK antara lain perilaku disiplin siswa, motivasi atau semangat belajar siswa, keterampilan berpikir kritis, kemampuan memecahkan masalah dan lain-lain. b. Guru, dapat dicermati ketika yang bersangkutan sedang mengajar atau membimbing siswa. Contoh permasalahan tentang guru yang dapat menjadi sasaran PTK antara lain penggunaan metode atau strategi pembelajaran, penggunaan pendekatan pembelajaran, dan sebagainya. c. Materi pelajaran, dapat dicermati ketika guru sedang mengajar atau menyajikan materi pelajaran yang ditugaskan pada siswa. Contoh permasalahan tentang materi yang dapat menjadi sasaran PTK misalnya urutan dalam penyajian materi, pengorganisasian materi, integrasi materi, dan lain sebagainya. d. Peralatan atau sarana pendidikan, dapat dicermati ketika guru sedang mengajar dangan menggunakan peralatan atau sarana pendidikan tertentu. Contoh permasalahan tentang peralatan atau sarana pendidikan yang dapat menjadi sasaran PTK antara lain pemanfaatan laboratorium, penggunaan media pembelajaran, dan penggunaan sumber belajar. Sosiologi SMA K-6 28

37 e. Hasil pembelajaran yang ditinjau dari tiga ranah (kognitif, afektif, psikomotorik), merupakan produk yang harus ditingkatkan melalui PTK. Hasil pembelajaran akan terkait dengan tindakan yang dilakukan serta unsur lain dalam proses pembelajaran seperti metode, media, guru, atau perilaku belajar siswa itu sendiri. f. Lingkungan, baik lingkungan siswa di kelas, sekolah, maupun yang lingkungan siswa di rumah. Dalam PTK, bentuk perlakuan atau tindakan yang dilakukan adalah mengubah kondisi lingkungan menjadi lebih kondusif misalnya melalui penataan ruang kelas, penataan lingkungan sekolah, dan tindakan lainnya. g. Pengelolaan, merupakan kegiatan dapat diatur/direkayasa dengan bentuk tindakan. Contoh permasalahan tentang pengelolaan yang dapat menjadi sasaran PTK antara lain pengelompokan siswa, pengaturan jadwal pelajaran, pengaturan tempat duduk siswa, penataan ruang kelas, dan lain sebagainya. Karena makna kelas dalam PTK adalah sekelompok peserta didik yang sedang belajar serta guru yang sedang memfasilitasi kegiatan belajar, maka permasalahan PTK cukup luas. Permasalahan tersebut di antaranya adalah sebagai berikut. a. Masalah belajar siswa di sekolah, seperti misalnya permasalahan pembelajaran di kelas, kesalahan-kesalahan dalam pembelajaran, miskonsepsi, misstrategi, dan lain sebagainya. b. Pengembangan profesionalisme guru dalam rangka peningkatan mutu perencanaan, pelaksanaan serta evaluasi program dan hasil pembelajaran. c. Pengelolaan dan pengendalian, misalnya pengenalan teknik modifi- kasi perilaku, teknik memotivasi, dan teknik pengembangan potensi diri. d. Desain dan strategi pembelajaran di kelas, misalnya masalah pengelo- laan dan prosedur pembelajaran, implementasi dan inovasi penggunaan metode pembelajaran (misalnya penggantian metode mengajar tradisional dengan Sosiologi SMA K-6 29

38 metode mengajar baru), interaksi di dalam kelas (misalnya penggunaan stretegi pengajaran yang didasarkan pada pendekatan tertentu). e. Penanaman dan pengembangan sikap serta nilai-nilai, misalnya pengembangan pola berpikir ilmiah dalam diri siswa. f. Alat bantu, media dan sumber belajar, misalnya penggunaan media perpustakaan, dan sumber belajar di dalam/luar kelas. g. Sistem assesment atau evaluasi proses dan hasil pembelajaran, seperti misalnya masalah evaluasi awal dan hasil pembelajaran, pengembangan instrumen penilaian berbasis kompetensi, atau penggunaan alat, metode evaluasi tertentu h. Masalah kurikulum, misalnya implementasi KBK, urutan penyajian meteri pokok, interaksi antara guru dengan siswa, interaksi antara siswa dengan materi pelajaran, atau interaksi antara siswa dengan lingkungan belajar. Berdasarkan cakupan permasalannya, seorang guru akan dapat menemukan penyelesaian masalah yang terjadi di kelasnya melalui PTK. Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan berbagai ragam teori dan teknik pembelajaran yang relevan. Selain itu, PTK dilaksanakan secara bersamaan dangan pelaksanaan tugas utama guru yaitu mengajar di dalam kelas, tidak perlu harus meninggalkan siswa. Dengan demikian, PTK merupakan suatu bentuk penelitian yang melekat pada guru, yaitu mengangkat masalah-masalah aktual yang dialami oleh guru di lapangan. Dengan melaksanakan PTK, diharapkan guru memiliki peran ganda yaitu sebagai praktisi dan sekaligus peneliti. i. Berdasarkan cakupan permasalahannya, seorang guru akan dapat menmukan penyelesaian masalah yang terjadi dikelasnya melalui PTK. Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan berbagai ragam teori dan teknik pembelajaran yang relevan. j. PTK dilaksanakan secara bersamaan dengan pelaksanaan tugas utama guru yaitu mengajar di dalam kelas, tidak perlu harus meninggalkan siswa. Dengan demikian PTK merupakan suatu bentuk penelitian yang melekat pada guru, yaitu mengangkat masalah-masalah actual yang dialami guru di Sosiologi SMA K-6 30

39 lapangan. Dengan melaksanakan PTK, diharapkan guru memiliki peran ganda yaitu sebagai praktisi dan sekaligus peneliti. 2. Pentingnya PTK Mertler dan Charles (2011: ) mengingatkan bahwa PTK sangatlah penting bagi guru karena: a. PTK berhadapan dengan masalah guru iru sendiri, bukan masalah orang lain. b. PTK sangat tepat waktu, dapat dimulai sekarang atau kapan saja guru siap, dan memberikan hasil langsung. c. PTK memberikan kepada guru untuk memahami lebih baik dan oleh karena itu dapat meningkatkan praktik pendidikannya. d. Sebagai sebuah sebuah proses, penelitian tindakandapat juga mempromisikan bangunanrelasi yang lebih kuat antara rekanrekan yang dengannya mereka bekerja sama. e. Akhirnya dan yang mungkin paling penting, PTK memberikan kepara guru cara alternatif yang memandang serta mendekati masalah dan pertanyaan pendidikan dan dengan cara baru menguji praktik pendidikan kita 3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tindakan Kalas Tujuan utama PTK adalah untuk memecahkan permasalahan nyata yang terjadi di dalam kelas sekaligus mencari jawaban ilmiah mengapa hal tersebut dapat dipecahkan melalui tindakan yang akan dilakukan. PTK juga bertujuan untuk meningkatkan kegiatan nyata guru dalam pengembangan profesinya. Tujuan khusus PTK adalah untuk mengatasi berbagai persoalan nyata guna memperbaiki atau meningkatkan kualitas proses pembelajaran di kelas. Secara lebih rinci tujuan PTK antara lain: a. Meningkatkan mutu isi, masukan, proses, dan hasil pendidikan dan pembelajaran di sekolah. Sosiologi SMA K-6 31

40 b. Membantu guru dan tenaga kependidikan lainnya dalam mengatasi masalah pembelajaran dan pendidikan di dalam dan luar kelas. c. Meningkatkan sikap profesional pendidik dan tenaga kependidikan. d. Menumbuh-kembangkan budaya akademik di lingkungan sekolah sehingga tercipta sikap proaktif di dalam melakukan perbaikan mutu pendidikan/pembelajaran secara berkelanjutan. Output atau hasil yang diharapkan melaltu PTK adalah peningkatan atau perbaikan kualitas proses dan hasil pembelajaran yang meliputi hal-hal sebagai berikut. a. Peningkatan atau perbaikan kinerja siswa di sekolah. b. Peningkatan atau perbaikan mutu proses pembelajaran di kelas. c. Peningkatan atau perbaikan kualitas penggunaan media, alat bantu belajar, dan sumber belajar lainya. d. Peningkatan atau perbaikan kualitas prosedur dan alat evaluasi yang digunakan untuk mengukur proses dan hasil belajar siswa. e. Peningkatan atau perbaikan masalah-masalah pendidikan anak di sekolah. f. Peningkatan dan perbaikan kualitas dalam penerapan kurikulum dan pengembangan kompetensi siswa di sekolah. Dengan memperhatikan tujuan dan hasil yang dapai dapat dicapai melalui PTK, terdapat sejumlah manfaat PTK antara lain sebagai berikut. a. Menghasilkan laporan-laporan PTK yang dapat dijadikan bahan panduan bagi para pendidik (guru) untuk meningkatkan kulitas pembelajaran. Selain itu hasil-hasil PTK yang dilaporkan dapat dijadikan sebagai bahan artikel ilmiah atau makalah untuk berbagai kepentingan antara lain disajikan dalam forum ilmiah dan dimuat di jurnal ilmiah. b. Menumbuhkembangkan kebiasaan, budaya, dan atau tradisi meneliti dan menulis artikel ilmiah di kalangan pendidik. Hal ini ikut mendukung professionalisme dan karir pendidik. Sosiologi SMA K-6 32

41 c. Mewujudkan kerja sama, kaloborasi, dan atau sinergi antarpendidik dalam satu sekolah atau beberapa sekolah untuk bersama-sama memecahkan masalah dalam pembelajaran dan meningkatkan mutu pembelajaran. d. Meningkatkan kemampuan pendidik dalam upaya menjabarkan kurikulum atau program pembelajaran sesuai dengan tuntutan dan konteks lokal, sekolah, dan kelas. Hal ini turut memperkuat relevansi pembelajaran bagi kebutuhan peserta didik. e. Memupuk dan meningkatkan keterlibatan, kegairahan, ketertarikan, kenyamanan, dan kesenangan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran di kelas. Di samping itu, hasil belajar siswa pun dapat meningkat. f. Mendorong terwujudnya proses pembelajaran yang menarik, menantang, nyaman, menyenangkan, serta melibatkan siswa karena strategi, metode, teknik, dan atau media yang digunakan dalam pembelajaran demikian bervariasi dan dipilih secara sungguh-sungguh. 4. Karakteristik Penelitian Tindakan Kalas PTK merupakan bentuk penelitian tindakan yang diterapkan dalam aktivitas pembelajaran di kelas. Ciri khusus PTK adalah adanya tindakan nyata yang dilakukan sebagai bagian dari kegiatan penelitian dalam rangka memecahkan masalah. Tindakan tersebut dilakukan pada situasi alami serta ditujukan untuk memecahkan masalah praktis. Tindakan yang diambil merupakan kegiatan yang sengaja dilakukan atas dasar tujuan tertentu. Tindakan dalam PTK dilakukan dalam suatu siklus kegiatan. Terdapat sejumlah karakteristik yang merupakan keunikan PTK dibandingkan dengan penelitian pada umumnya, antara lain sebagai berikut. a. PTK merupakan kegiatan yang tidak saja berupaya memecahkan masalah, tetapi sekaligus mencari dukungan ilmiah atas pemecahan masalah tersebut. Pada penelitiannya harus terlihat adanya upaya untuk meningkatkan mutu profesional guru, bukan hanya seperti yang dilakukan guru dalam pembelajaran sehari-hari, profesi guru adalah mendidik dan Sosiologi SMA K-6 33

42 mengajar peserta didik, serta hal-hal lain yang disebutkan dalam kompetensi guru, dengan kata lain upaya guru tidak boleh ada di luar tugas profesional guru, tetapi harus nampak dengan jelas perbedaan dari yang biasanya dilakukan. b. PTK merupakan bagian penting upaya pengembangan profesi guru melalui aktivitas berpikir kritis dan sistematis serta membelajarkan guru untuk menulis dan membuat catatan. Dengan demikian penelitian ini pada guru harus tumbuh adanya perubahan ke arah perbaikan dalam meningkatkan mutu proses pembelajaran. c. Persoalahan yang dipermasalahkan dalam PTK bukan dihasilkan dari kajian teoretik atau dan penelitian terdahulu, tetapi berasal dari adanya permasalahan nyata dan aktual (yang terjadi saat ini) dalam pembelajaran di kelas. PTK berfokus pada pemecahan masalah praktis bukan masalah teoretis. d. PTK dimulai dari permasalahan yang sederhana, nyata, jelas, dan tajam mengenai hal-hal yang terjadi di dalam kelas. e. Adanya kolaborasi (kerjasama) antara praktisi (guru dan kepala sekolah) dengan peneliti dalam hal pemahaman, kesepakatan tentang permasalahan, pengambilan keputusan yang akhirnya melahirkan kesamaan tentang tindakan (action). f. PTK dilakukan hanya apabila; (a) Ada keputusan kelompok dan komitmen untuk pengembangan; (b) Bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme guru; (c) Alasan pokok ingin tahu, ingin membantu, ingin meningkatkan; dan (d) Bertujuan memperoleh pengetahuan dan atau sebagai upaya pemecahan masalah. Kolaborasi (kerjasama) antara praktisi (guru) dan peneliti (dosen atau widyaiswara) merupakan salah satu ciri khas PTK. Melalui kolaborasi ini mereka bersama menggali dengan mengkaji permasalahan nyata yang dihadapi oleh guru dan atau siswa. Sebagai penelitian yang bersifat kolaboratif, harus secara jelas diketahui peranan dan tugas guru dengan Sosiologi SMA K-6 34

43 peneliti. Dalam PTK kolaboratif, kedudukan peneliti setara dengan guru, dalam arti masing-masing mempunyai peran serta tanggung jawab yang saling membutuhkan dan saling melengkapi. Peran kolaborasi turut menentukan keberhasilan PTK terutama pada kegiatan mendiagnosis masalah, merencanakan tindakan, melaksanakan penelitian (tindakan, observasi, merekam data, evaluasi, dan refleksi), menganalisis data, menyeminarkan hasil, dan menyusun laporan hasil. Sering terjadi PTK dilaksanakan sendiri oleh guru. Guru melakukan PTK tanpa kerjasama dengan peneliti. Dalam hal ini guru berperan sebagai peneliti sekaigus sebagai praktisi pembelajaran. Guru profesional seharusnya mampu mengajar sekaligus meneliti. Dalam keadaan seperti ini, maka guru melakukan pengamatan terhadap diri sendiri ketika sedang melakukan tindakan (Suharsimi, 2002). Untuk itu guru harus mampu melakukan pengamatan diri secara obyektif agar kelemahan yang terjadi dapat terlihat dengan wajar. Melalui PTK, guru sebagai peneliti dapat: a. mengkaji/ meneliti sendiri praktik pembelajarannya; b. melakukan PTK dengan tanpa mengganggu tugasnya; c. mengkaji permasalahan yang dialami dan yang sangat dipahami; d. melakukan kegiatan guna mengembangkan profesionalismenya. Dalam praktiknya, boleh saja guru melakukan PTK tanpa kolaborasi dengan peneliti. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa PTK yang dilakukan oleh guru tanpa kolaborasi dengan peneliti mempunyai kelemahan karena para praktisi umumnya (dalam hal ini adalah guru) kurang akrab dengan teknikteknik dasar penelitian. Di samping itu, guru pada umumnya tidak memiliki waktu untuk melakukan penelitian sehubungan dengan padatnya kegiatan pengajaran yang dilakukan. Akibatnya, hasil PTK menjadi kurang memenuhi kriteria validitas metodologi ilmiah. Dalam konteks kegiatan pengawasan sekolah, seorang pengawas sekolah dapat berperan sebagai kolaborator bagi guru dalam melaksanakan PTK. Sosiologi SMA K-6 35

44 5. Prinsip Penelitian Tindakan Kelas Terdapat beberapa prinsip yang perlu diperhatikan oleh guru (peneliti) dalam pelaksanaan PTK yaitu sebagai berikut. a. Tindakan dan pengamatan dalam proses penelitian yang dilakukan tidak boleh mengganggu atau menghambat kegiatan utama, misalnya bagi guru tidak boleh sampai mengorbankan kegiatan pembelajaran. Pekerjaan utama guru adalah mengajar, apapun jenis PTK diterapkan, seyogyanya tidak mengganggu tugas guru sebagai pengajar. Terdapat 3 hal penting berkenaan dengan prinsip pertama tersebut yaitu (1) Dalam mencobakan sesuatu tindakan pembelajaran, ada kemungkinan hasilnya kurang memuaskan, bahkan mungkin kurang dari yang diperoleh dari biasanya. Karena bagaimanapun tindakan tersebut masih dalam taraf uji coba. Untuk itu, guru harus penuh pertimbangan ketika memilih tindakan guna memberikan yang terbaik kepada siswa; (2) Siklus tindakan dilakukan dengan mempertimbangkan keterlaksanaan kurikulum secara keseluruhan serta ketercapaian tujuan pembelajaran secara utuh, bukan terbatas dari segi tersampaikannya materi pada siswa dalam kurun waktu yang telah ditentukan; (3) Penetapan jumlah siklus tindakan dalam PTK mengacu kepada penguasaan yang ditargetkan pada tahap perencanaan, tidak mengacu kepada kejenuhan data/informasi sebagaimana lazimnya dalam pengumpulan data penelitian kualitatif. b. Masalah penelitian yang dikaji merupakan masalah yang cukup merisaukannya dan berpijak dari tanggung jawab profesional guru. Guru harus memiliki komitmen untuk melaksanakan kegiatan yang akan menuntut kerla ekstra dibandingkan dengan pelaksanaan tugas secara rutin. Pendorong utama PTK adalah komitmen profesional guru untuk memberikan layanan yang terbaik kepada siswa. Sosiologi SMA K-6 36

45 c. Metode pengumpulan data yang digunakan tidak menuntut waktu yang lama, sehingga berpeluang menggangu proses pembelajaran. Sejauh mungkin harus digunakan prosedur pengumpulan data yang dapat ditangani sendiri oleh guru, sementara guru tetap aktif berfungsi sebagai guru yang bertugas secara penuh. Oleh karena itu, perlu dikembangkan teknik-teknik perekaman data yang cukup sederhana, namun dapat menghasilkan informasi yang cukup bermakna. d. Metodologi yang digunakan harus terencana secara cermat, sehingga tindakan dapat dirumuskan dalam suatu hipotesis tindakan yang dapat diuji di lapangan. Guru dapat mengembangkan strategi yang dapat diterapkan pada situasi kelasnya, serta memperoleh data yang dapat digunakan untuk menjawab hipotesis yang dikemukakan. e. Permasalahan atau topik yang dipilih harus benar benar nyata, menarik, mampu ditangani, dan berada dalam jangkauan kewenangan peneliti untuk melakukan perubahan. Peneliti harus merasa terpanggil untuk meningkatkan diri. f. Peneliti harus tetap memperhatikan etika dan tata krama penelitian serta rambu rambu pelaksanaan yang berlaku umum. Dalam penyelenggaraan PTK, guru harus bersikap konsisten dan peduli terhadap etika yang berkaitan dengan pekerjaannya. Hal ini penting ditekankan karena selain melibatkan para siswa, PTK juga hadir dalam suatu konteks organisasi sehingga penyelenggaraannya harus mengindahkan tata krama kehidupan berorganisasi. Artinya, prakarsa PTK harus diketahui oleh pimpinan lembaga, disosialisasikan pada rekan-rekan di lembaga terkait, dilakukan sesuai tata krama penyusunan karya tulis akademik, di samping tetap mengedepankan kemaslahatan bagi siswa. Sosiologi SMA K-6 37

46 g. Kegiatan PTK pada dasarnya merupakan kegiatan yang berkelanjutan, karena tuntutan terhadap peningkatan dan pengembangan akan menjadi tantangan sepanjang waktu. h. Meskipun kelas atau mata pelajaran merupakan tanggung jawab guru, namun tinjauan terhadap PTK tidak terbatas dalam konteks kelas dan atau mata pelajaran tertentu melainkan dalam perspektif misi sekolah. Hal ini terasa penting apabila dalam suatu PTK terlibat lebih dari seorang peneliti, misalnya melalui kolaborasi antar guru dalam satu sekolah atau dengan dosen, widyaiswara, dan pengawas sekolah. D. Aktivitas Pembelajaran 1. Memperhatikan penjelasan fasilitator 2. Memperhatikan petunjuk kegiatan di modul 3. Pelajari hand out dengan seksama. 4. Mengerjakan latihan/kasus/tugas E. Latihan/ Kasus /Tugas 1. Jelaskan pengertian Penelitian Tindakan Kelas menurut Suharsini Arikunto 2. Jelaskan tiga alasan pentingnya PTK! 3. Jelaskan tujuan khusus PTK 4. Jelaskan ciri khusus PTK 5. Jelaskan prinsip-prinsip PTK F. Rangkuman 1. Pengertian PTK menurut Suharsimi (2002) menjelaskan PTK melalui gabungan definisi dari tiga kata yaitu Penelitian + Tindakan + Kelas. Makna setiap kata tersebut adalah sebagai berikut.penelitian; kegiatan mencermati suatu obyek dengan menggunakan cara dan metodologi tertentu untuk memperoleh data atau informasi yang bermanfaat dalam memecahkan suatu masalah. Sosiologi SMA K-6 38

47 Tindakan; sesuatu gerak kegiatan yang sengaja dilakukan dengan tujuan tertentu. Tindakan yang dilaksanakan dalam PTK berbentuk suatu rangkaian siklus kegiatan.kelas; sekelompok siswa yang dalam waktu yang sama, menerima pelajaran yang sama dari guru yang sama pula. 2. Pentingnya PTK a. PTK berhadapan dengan masalah guru iru sendiri, bukan masalah orang lain. b. PTK sangat tepat waktu, dapat dimulai sekarang atau kapan saja guru siap, dan memberikan hasil langsung. c. PTK memberikan kepada guru untuk memahami lebih baik dan oleh karena itu dapat meningkatkan praktik pendidikannya. d. Sebagai sebuah sebuah proses, penelitian tindakandapat juga mempromisikan bangunanrelasi yang lebih kuat antara rekan-rekan yang dengannya mereka bekerja sama. e. Akhirnya dan yang mungkin paling penting, PTK memberikan kepara guru cara alternatif yang memandang serta mendekati masalah dan pertanyaan pendidikan dan dengan cara baru menguji praktik pendidikan kita 3. Tujuan khusus PTK adalah untuk mengatasi berbagai persoalan nyata guna memperbaiki atau meningkatkan kualitas proses pembelajaran di kelas. Secara 4. Ciri khusus PTK adalah adanya tindakan nyata yang dilakukan sebagai bagian dari kegiatan penelitian dalam rangka memecahkan masalah. Tindakan tersebut dilakukan pada situasi alami serta ditujukan untuk memecahkan masalah praktis. Tindakan yang diambil merupakan kegiatan yang sengaja dilakukan atas dasar tujuan tertentu. Tindakan dalam PTK dilakukan dalam suatu siklus kegiatan. 5. Prinsip-prinsip PTK a. Tindakan dan pengamatan dalam proses penelitian yang dilakukan tidak boleh mengganggu atau menghambat kegiatan utama, yaitu pembelajaran di kelas. Sosiologi SMA K-6 39

48 b. Masalah penelitian yang dikaji merupakan masalah yang cukup merisaukannya dan berpijak dari tanggung jawab profesional guru. c. Metode pengumpulan data yang digunakan tidak menuntut waktu yang lama, sehingga berpeluang menggangu proses pembelajaran. d. Metodologi yang digunakan harus terencana secara cermat, sehingga tindakan dapat dirumuskan dalam suatu hipotesis tindakan yang dapat diuji di lapangan. e. Permasalahan atau topik yang dipilih harus benar benar nyata, menarik, mampu ditangani, dan berada dalam jangkauan kewenangan peneliti untuk melakukan perubahan. f. Peneliti harus tetap memperhatikan etika dan tata krama penelitian serta rambu rambu pelaksanaan yang berlaku umum. g. Kegiatan PTK pada dasarnya merupakan kegiatan yang berkelanjutan, karena tuntutan terhadap peningkatan dan pengembangan akan menjadi tantangan sepanjang waktu. h. Meskipun kelas atau mata pelajaran merupakan tanggung jawab guru, namun tinjauan terhadap PTK tidak terbatas dalam konteks kelas dan atau mata pelajaran tertentu melainkan dalam perspektif misi sekolah. G. Umpan Balik dan Tindak Lanjut 1. Setelah mempelajari PTK, apakah Anda memperoleh informasi baru?. 2. Apakah Anda ingin lebih mendalami PTK, utamanya teori siklus yang menjadi ciri khusus PTK? H. Kunci Jawaban 1. Pengertian Peneltian Tindakan Kelas menurut Suharsimi (2002) menjelaskan PTK melalui gabungan definisi dari tiga kata yaitu Penelitian + Tindakan + Kelas. Makna setiap kata tersebut adalah sebagai berikut.penelitian; kegiatan mencermati suatu obyek dengan menggunakan cara dan metodologi tertentu untuk memperoleh data atau informasi yang bermanfaat dalam memecahkan suatu masalah. Tindakan; sesuatu gerak kegiatan yang Sosiologi SMA K-6 40

49 sengaja dilakukan dengan tujuan tertentu. Tindakan yang dilaksanakan dalam PTK berbentuk suatu rangkaian siklus kegiatan.kelas; sekelompok siswa yang dalam waktu yang sama, menerima pelajaran yang sama dari guru yang sama pula. 2. Pentingnya PTK a. PTK berhadapan dengan masalah guru iru sendiri, bukan masalah orang lain. b. PTK sangat tepat waktu, dapat dimulai sekarang atau kapan saja guru siap, dan memberikan hasil langsung. c. PTK memberikan kepada guru untuk memahami lebih baik dan oleh karena itu dapat meningkatkan praktik pendidikannya. d. Sebagai sebuah sebuah proses, penelitian tindakandapat juga mempromisikan bangunanrelasi yang lebih kuat antara rekan-rekan yang dengannya mereka bekerja sama. e. Akhirnya dan yang mungkin paling penting, PTK memberikan kepara guru cara alternatif yang memandang serta mendekati masalah dan pertanyaan pendidikan dan dengan cara baru menguji praktik pendidikan kita 3. Tujuan khusus PTK adalah untuk mengatasi berbagai persoalan nyata guna memperbaiki atau meningkatkan kualitas proses pembelajaran di kelas. Secara 4. Ciri khusus PTK adalah adanya tindakan nyata yang dilakukan sebagai bagian dari kegiatan penelitian dalam rangka memecahkan masalah. Tindakan tersebut dilakukan pada situasi alami serta ditujukan untuk memecahkan masalah praktis. Tindakan yang diambil merupakan kegiatan yang sengaja dilakukan atas dasar tujuan tertentu. Tindakan dalam PTK dilakukan dalam suatu siklus kegiatan. 5. Prinsip-prinsip PTK a. Tindakan dan pengamatan dalam proses penelitian yang dilakukan tidak boleh mengganggu atau menghambat kegiatan utama, yaitu pembelajaran di kelas. Sosiologi SMA K-6 41

50 b. Masalah penelitian yang dikaji merupakan masalah yang cukup merisaukannya dan berpijak dari tanggung jawab profesional guru. c. Metode pengumpulan data yang digunakan tidak menuntut waktu yang lama, sehingga berpeluang menggangu proses pembelajaran. d. Metodologi yang digunakan harus terencana secara cermat, sehingga tindakan dapat dirumuskan dalam suatu hipotesis tindakan yang dapat diuji di lapangan. e. Permasalahan atau topik yang dipilih harus benar benar nyata, menarik, mampu ditangani, dan berada dalam jangkauan kewenangan peneliti untuk melakukan perubahan. f. Peneliti harus tetap memperhatikan etika dan tata krama penelitian serta rambu rambu pelaksanaan yang berlaku umum. g. Kegiatan PTK pada dasarnya merupakan kegiatan yang berkelanjutan, karena tuntutan terhadap peningkatan dan pengembangan akan menjadi tantangan sepanjang waktu. h. Meskipun kelas atau mata pelajaran merupakan tanggung jawab guru, namun tinjauan terhadap PTK tidak terbatas dalam konteks kelas dan atau mata pelajaran tertentu melainkan dalam perspektif misi sekolah. Sosiologi SMA K-6 42

51 DAFTAR PUSTAKA Keputusan Menteri Negera Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 84/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya Keputusan bersama Menteri Pendidikan dan kebudayaan dan Kepala BAKN Nomor 0433/P/1993, nomor 25 tahun 1993 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 025/0/1995. Kemmis, S. and McTaggart, R The Action Researh Reader.Victoria, Deakin University Press. Mertler Craig A. diterjemahkan Benyamin Molan, Penelitian Tindakan Kelas Meningkatkan Sekolah dan Memberdayakan Pendidik. Jakarta, PT Indek. Suhardjono, Azis Hoesein, dkk Pedoman Penyusunan Karya Tulis Ilmiah di Bidang Pendidikan dan Angka Kredit Pengembangan Profesi Widya-iswara. Jakarta: Depdikbud, Dikdasmen. Suhardjono Penelitian Tindakan Kelas. Makalah pada Diklat Pengembangan Profesi bagi Jabatan Fungsional Guru, Direktorat Tenaga Kependidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas. Suhardjono Laporan Penelitian Eksperimen dan Penelitian Tindakan Kelas sebagai KTI, Makalah pada Pelatihan Peningkatan Mutu Guru di Makasar, Jakarta, 2005 Suharsimi Arikunto, Suhardjono, dan Supardi Peneilitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bina Aksara. Supardi. (2005). Penyusunan Usulan, dan Laporan Penelitian Penelitian Tindakan Kelas, Makalah disampaikan pada Diklat Pengembangan Profesi Widyaiswara, Ditektorat Tenaga Pendidik dan Kependidikan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional Supardi dan Suhardjono, Strategi Menyusun Penelitian Tindakan Kelas. Yogyakarta. Andi Offset.. Tita Lestari (2009) Manajemen Penulisan Karya Tulis Ilmiah. Modul Pelatihan Bagi Guru dan Kepala Sekolah. Pusdiklat Depdiknas. Sawangan. Bogor. Sosiologi SMA K-6 43

52 Kegiatan Pembelajaran 3 : Metode Penelitian Kuantitatif A. Tujuan Dengan berdiskusi, bertanya jawab dan mengerjakan tugas, guru dapat mengidentifikasi jenis-jenis penelitian kuantitatif. B. Indikator Pencapaian Kompetensi 1. Menjelaskan pengertian penelitian kuantitatif. 2. Menjelaskan karakteristik penelitian kuantitatif 3. Menjelaskan jenis-jenis penelitian kuantitatif 4. Mengidentifikasi macam-macam hipotesis pada penelitian kuantitatif 5. Mengidentifikasi variabel dalam penelitian kuantitatif. 6. Mengidentifikasi macam-macam sampel dalam penelitian kuantitatif 7. Mengidentifikasi analisis data dalam penelitian kuantitatif 8. Mengidentifikasi cara menyusunkesimpulanpenelitian kuantitatif. C. Uraian Materi 1. Pengertian Penelitian Kuantitatif Metode penelitian kuantitatif merupakan salah satu jenis penelitian yang spesifikasinya adalah sistematis, terencana, dan terstruktur dengan jelas sejak awal hingga pembuatan desain penelitiannya. Definisi lain menyebutkan penelitian kuantitatif adalah penelitian yang banyak menuntut penggunaan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap data tersebut, serta penampilan dari hasilnya. Demikian pula pada tahap kesimpulan penelitian akan lebih baik bila disertai dengan gambar, table, grafik, atau tampilan lainnya. Menurut Sugiyono ( 2014: 7 ), metode penelitian kuantitatif dinamakan metode tradisional, karena sudah cukup lama digunakan sehingga sudah mentradisi sebagai metode untuk penelitian. Metode ini dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivism. Metode ini sebagai metode ilmiah /scientific karena telah memenuhi kaidah-kaidah ilmiah yaitu Sosiologi SMA K-6 44

53 konkrit/empiris, obyektif, terukur, rasional dan sistematis. Metode ini disebut juga metode discovery karena dapat diketemukan dan dikembangkan berbagai ilmu pengetahuan baru. Filsafat positivisme memandang realitas/fenomena itu dapat diklasifikasikan, relatif tetap, konkrit, teramati, terukur, dan hubungan gejala bersifat sebab akibat. Penelitian dilakukan pada populasiatau sampel tertentu yang representative. Untuk menjawab rumusan masalah digunakan konsep atau teori sehingga dapat dirumuskan sebuah hipotesis. Hipotesis selanjutnya diuji melalui pengumpulan data di lapangan. Untuk pengambilan data digunakaninstrumen penelitian. Selanjutnya data terkumpul dianalisis secara kuantitatif dengan menggunakan statistik deskriptif atau inferansial sehingga dapat disimpulkan hipotesis yang dirumuskan terbukti atau tidak. Umumnya penelitian kuantitatif menggunakan sampel random sehingga kesimpulan hasil penelitian dapat digeneralisasikan dimana sampel tersebut diambil. Filsafat positivisme sering juga disebut sebagai paradigm interpretif dan konstruktif, yang memandang realitas social sebagai sesuatu yang holistic/utuh, kompleks, dinamis, penuh makna dan hubungangejala bersifat interaktif (reciprocal). Penelitian dilakukan pada obyek yanh alamiah, yang berkembang apa adanya. 2. Karakteristik Penelitian Kuantitatif a. Desain penelitian disusun secara spesifik, jelas, dan rinci, ditentukan secara mantap sejak awal sehingga menjadi pegangan langkah demi langkah. b. Tujuan penelitian kuantitatif adalah menunjukkan hubungan antar variable, dalam penelitian untuk menguji teori sehingga apabila teruji dapat dismpulkandengan membuat generalisasi. c. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan instrument kuesioner, dan dapat dengan wawancara terstruktur dan observasi. d. Instrument penelitian dapat berupa : tes, angket, wawancara terstruktur. Instrument telah divalidasi/terstandar. Sosiologi SMA K-6 45

54 e. Data kuantitatif merupakan hasil pengukuran variable yang dioperasionalkan dengan menggunakan instrument. f. Sampel ditentukan sejak awal, muali sampel besar, representative, dan sedapat mungkin random. g. Analisis data dilakukan setelah selesai pengumpulan data, menggunakan statistic, menguji hipotesis. h. Hubungan denga responden dibuat berjarak,bahkan tanpa kontak supaya obyektif. Kedudukan peneliti lebih tinggi dari responden. i. Kajian teori menggunakan literature yang berhubungan dengan masalah, dan variable yang diteliti. j. Masalah dirumuskan dengan spesifik dan jelas. 3. Jenis-Jenis Penelitian Kuantitatif a. Metode Deskriptif 1) Metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku salam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan kegiatan, sikap, pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena. Penelitian deskriptif adalah metode penelitian yang berusaha menggambarkan objek atau subjek yang diteliti sesuai dengan apa adanya (Best, 1982:119). Dalam metode deskriptif, peneliti bisa saja membandingkan fenomena-fenomena tertentu sehingga merupakan suatu studi komparatif. Adakalanya peneliti mengadakan klasifikasi, serta penelitian terhadap fenomena-fenomena dengan menetapkan suatu standar atau suatu norma tertentu, sehingga banyak ahli menamakan metode ini dengan nama survei normatif (normatif survei). Dengan metode ini juga diselidiki kedudukan (status) fenomena atau faktor dan memilih hubungan antara satu faktor dengan faktor yang lain. Karenanya mentode ini juga dinamakan studi kasus (casus study). Sosiologi SMA K-6 46

55 2) Metode deskriptif juga ingin mempelajari norma-norma atau standarstandar sehingga penelitian ini disebut juga survei normatif. Dalam metode ini juga dapat diteliti masalah normatif bersama-sama dengan masalah status dan sekaligus membuat perbandingan-perbandingan antarfenomena. Studi demikian dinamakan secara umum sebagai studi atau penelitian deskritif. Perspektif waktu yang dijangkau, adalah waktu sekarang atau sekurang-kurangnya jangka waktu yang masih terjangkau dalam ingatan responden. 3) Tujuan Penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki. 4) Ciri-ciri Metode Deskriptif a) Untuk membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian, sehingga metode ini berkehendak mengadakan akumulasi data dasar belaka.(secara harafiah) b) Mencakup penelitian yang lebih luas di luar metode sejarah dan eksperimental. c) Secara umum dinamakan metode survei. d) Kerja peneliti bukan saja memberi gambaran terhadap fenomenafenomena, tetapi : Menerangkan hubungan, Menguji hipotesis-hipotesis Membuat prediksi, mendapatkan makna, dan Implikasi dari suatu masalah yang ingin dipecahkan Mengumpulkan data dengan teknik wawancara dan Menggunakan schedule qestionair/interview guide. Ditinjau dari segi masalah yang diselidiki, teknik dan alat yang digunakan dalam meneliti, serta tempat dan waktu, penelitian ini dapat dibagi atas beberapa jenis, yaitu: Sosiologi SMA K-6 47

56 a) Metode survei, b) Metode deskriptif berkesinambungan (continuity descriptive), c) Penelitian studi kasus d) Penelitian analisis pekerjaan dan aktivitas, e) Penelitian tindakan (action research), f) Peneltian perpustakaan dan dokumenter. 5) Kriteria Pokok Metode Deskriptif Metode deskriptif mempunyai beberapa kriteria pokok, yang dapat dibagi atas kriteria umum dan khusus. Kriteria tersebut sebagai berikut: o a) kriteria umum o Masalah yang dirumuskan harus patut, ada nilai ilmiah serta tidak terlalu luas. o Tujuan penelitian harus dinyatakan dengan tegas dan tidak terlalu umum o Data yang digunakan harus fakta-fakta yang terpercaya dan bukan merupakan opini. o Standar yang digunakan untuk membuat perbandingan harus mempunyai validitas. o Harus ada deskripsi yang terang tentang tempat serta waktu penelitian dilakukan. o Hasil penelitian harus berisi secara detail yang digunakan, baik dalam mengumpulkan data maupun dalam menganalisis data serta serta study kepustakaan yang dilakukan. Deduksi logis harus jelas hubungannya dengan kerangka teoritis yang digunakan jika kerangka teoritis untukitu telah dikembangkan. b) Kriteria Khusus Prinsip-prinsip ataupun data yang digunakan dinyatakan dalam nilai (value). Sosiologi SMA K-6 48

57 o o Fakta-fakta atupun prinsip-prinsip yang digunakan adalah mengenai masalah status Sifat penelitian adalah ex post facto, karena itu, tidak ada kontrol terhadap variabel, dan peneliti tidak mengadakan pengaturan atau manupulasi terhadap variabel. Variabel dilihat sebagaimana adanya. 6) Langkah-langkah Umum dalam Metode Deskriptif Dalam melaksanakan penelitian deskripif, maka langkah-langkah umum yang sering diikuti adalah sebagai berikut: Memilih dan merumuskan masalah yang menghendaki konsepsi ada kegunaan masalah tersebut serta dapat diselidiki dengan sumber yang ada. Menentukan tujuan dari penelitian yang akan dikerjakan. Tujuan dari penelitian harus konsisten dengan rumusan dan definisih dari masalah. Menelusuri sumber-sumber kepustakaan yang ada hubungannya dengan masalah yang ingin dipecahkan. Merumuskan hipotesis-hipotesis yang ingin diuji baik secara eksplisit maupun implisit. Melakukan kerja lapangan untuk mengumpulkan data, gunakan teknik pengumpulan data yang cocok untuk penelitian. Membuat tabulasi serta analisis statistik dilakukan terhadap data yang telah dikumpulkan. Kuranggi penggunaan statistik sampai kepada batas-batas yang dapat dikerjakan dengan unit-unit pengukuran yang sepadan. Memberikan interpretasi dari hasil dalam hubungannya dengan kondisi sosial yang ingin diselidiki serta dari data yang diperoleh dan referensi khas terhadap masalah yang ingin dipecahkan. Mengadakan generalisasi serta deduksi dari penemuan serta hipotesishipotesis yang ingin diuji. Berikan rekomendasi-rekomendasi untuk kebijakan yang dapat ditarik dari penelitian. Membuat laporan penelitian dengan cara ilmiah. b. Metode Komparatif Sosiologi SMA K-6 49

58 Metode Komparatif adalah metode yang digunakan dalam penelitian yang diarahkan untuk mengetahui apakah antara dua variable ada perbedaan dalam suatu aspek yang diteliti. Dalam penelitian ini tidak ada manipulasi dari peneliti. Penelitian dilakukan secara alami, dengan mengumpulkan data dengan suatu instrument. Hasilnya dianalisis secara statistik untuk mencari perbedaan variable yang diteliti. c. Metode Korelasi Metode Korelasi adalah suatu penelitian yang dilakukan untuk menggambarkan dua atau lebih fakta-fakta dan sifat-sifat objek yang di teliti. Penelitian dilakukan untuk membandingkan persamaan dan perbedaan dua atau lebih fakta tersebut berdasarkan kerangka pemikiran tertentu. d. Metode Survei Menurut Zikmund (1997) metode penelitian survei adalah satu bentuk teknik penelitian di mana informasi dikumpulkan dari sejumlah sampel berupa orang, melalui pertanyaan-pertanyaan, menurut Gay & Diehl (1992) metode penelitian survei merupakan metode yang digunakan sebagai kategori umum penelitian yang menggunakan kuesioner dan wawancara, sedangkan menurut Bailey (1982) metode penelitian survei merupakan satu metode penelitian yang teknik pengambilan datanya dilakukan melalui pertanyaan tertulis atau lisan e. Metode Ex Post Facto Metode Ex post Facto adalah metode yang digunakan dalam penelitian yang meneliti hubungan sebab akibat yang tidak dimanipulasi oleh peneliti. Adanya hubungan sebab akibat didasarkan atas kajian teoritis, bahwa suatu variable tertentu mengakibatkan variable tertentu f. Metode True Experiment Dikatakan true experiment (eksperimen yang sebenarnya/betul-betul) karena dalam desain ini peneliti dapat mengontrol semua variabel luar yang mempengaruhi jalannya eksperimen. Dengan demikian validitas internal (kualitas pelaksanaan rancangan penelitian) dapat menjadi tinggi. Ciri utama dari true experimental adalah bahwa, sampel yang digunakan untuk eksperimen maupun sebagai kelompok kontrol diambil secara random (acak) dari populasi Sosiologi SMA K-6 50

59 tertentu. Jadi cirinya adalah adanya kelompok kontrol dan sampel yang dipilih secara random g. Metode Quasi Experiment Bentuk desain eksperimen ini merupakan pengembangan dari true experimental design, yang sulit dilaksanakan. Desain ini mempunyai kelompok kontrol, tetapi tidak dapat berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel-variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan eksperimen h. Metode subjek Tunggal Eksperimen subjek tunggal (single subject experimental), merupakan eksperimen yang dilakukan terhadap subjek tunggal 4. Proses Penelitian Penelitian kuantitatif bertolak dari studi pendahuluan dari obyek yang diteliti. Masalah harus digali melalui studi pendahuluan melalui fakta-fakta empiris, sehingga peneliti harus menguasai teori melalui membaca berbagai refrensi. Selanjutnya masalah dirumuskan secara spesifik. Untuk menjawab masalah yang bersifat sementara (hipotesis) maka, peneliti dapat membaca refrensi teoritis yang relevan. Kemudian untuk menguji hipotesis peneliti dapat memilih metode/strategi/pendekatan/desain penelitian yang sesuai. Setelah metode penelitian yang sesuai dipilih maka peneliti dapat menyusun instrumen penelitian. Dan hendaknya instrumen penelitian terlebih dahulu diuji validitas dan realiabilitasnya. Pengumpulan data pada penelitian kuantitatif dilakukan pada objek tertentu baik populasi maupun sampel. Jika peneliti akan membuat generalisasi terhadap temuanya, maka sampel yang diambil harus respensif (mewakili). Setelah data terkumpul, selanjutnya dianalisi untuk menjawab rumusan masalah dan menguji hipotesis. Dalam analisis akan ditemukan apakah hipotesis ditolak atau diterima atau apakah penemuan itu sesuai dengan hipotesis yang dajukan atau tidak. Kesimpulanya berdasarkan metode penelitian kuantitatif maka penelitian ini Sosiologi SMA K-6 51

60 bersifat linear, dimana langkah-langkahnya jelas, mulai dari rumusan masalah, berteori, berhipotesis, pengumpulan data, analis data, serta kesimpulan dan saran. 5. Hipotesis Penelitian Kuantitatif a. Pengertian Penelitian menggunakan hipotesis, karena hipotesis sesung-guhnya adalah jawaban sementara terhadap hasil penelitian yang akan dilakukan/dibuktikan kebenarannya. Dengan hipotesis, penelitian menjadi tidak ngambang, karena dibimbing oleh hipotesis tersebut. Di samping hipotesis berfungsi sebagai guide penelitian, eksistensi penelitian itu sendiri yang terpenting adalah untuk menguji hipotesis. Sebagai guide penelitian, hipotesis dirancang menurut kebutuhan penelitian agar dapat menuntun penelitian. Oleh karena itu, sejak awal peneliti harus sudah tahu untuk apa hipotesis dirancang. b. Fungsi Hipotesis Bagi penelitian eksplanasi (menjelaskan hubungan antar gejala), peneliti dituntut merumuskan dan menguji hipotesis, tetapi penelitian eksploratif misalnya yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi sebanyakbanyaknya tidak perlu menyimpulkan dan menguji hipotesis, karena dengan hipotesis justru akan membatasi informasi yang diperoleh. c. Jenis-jenis Hipotesis Jenis-jenis hipotesis, antara lain: 1) Hipotesis Diskriptif Adalah hipotesis yang menggambarkan suatu gejala tertentu, hipotesis ini terdiri dan satu variabel. 2) Hipotesis Relasional. Sosiologi SMA K-6 52

61 Hipotesis yang menjelaskan hubungan antar dua atau lebih variabel. Berdasarkan cakupannya atau jumlah variabel hipotesis relasional di bagi menjadi dua yaitu: a) Hipotesis Mayor b) Hipotesis Minor Hipotesis Relasioanal bisa menunjukkan arah positif dan negatif. 3) Hipotesis Komparasi atau Perbedaan. Hipotesis komparatif atau perbedaan adalah yang menggambar-kan ada atau tidak adanya perbedaan karakteristik tertentu antar dua atau lebih kelompok. 4) Hipotesis Kerja atau Alternatif. Hipotesis kerja atau Alternatif adalah suatu hipotesis yang dijadikan landasan kerja dalam penelitian. Hipotesis ini bisa diuji dengan metode verifikasi, yaitu dengan membandingkan data dengan teori. 5) Hipotesis Nihil (Nol) atau Statistik. Hipotesis ini dirumuskan kebalikan dari hipotesis kerja atau alternatif, hipotesis ini hanya bisa diuji dengan statistik, oleh karena itu apabila hipotesis kerja akan diuji dengan statistik maka harus diubah ke dalam rumusan hipotesis nihil. Hipotesis nihil sama dengan hipotesis statistik. d. Merumuskan Hipotesis William F. Ogburn dalam Burhan Bungin (2001:92) menyebutkan untuk sampai pada validitas hipotesis yang berkemampuan mencapai keilmuan langgeng harus melalui langkah-langkah mencapai ide, merumuskan ke dalam suatu bentuk hingga dapat didemonstrasi dan verifikasi.pembicaraan mengenai tiga langkah tersebut adalah inti dari pembahasan tentang hal-hal yang perlu dihadirkan dalam rancangan hipotesis dan menjadi roh nya Sosiologi SMA K-6 53

62 hipotesis. Sifat-sifat yang harus dimiliki hipotesis, diformulasikan sebagai berikut: 1) Hipotesis harus muncul dan ada hubungannya dengan teori serta masalah yang diteliti. 2) Setiap hipotesis adalah kemungkinan jawaban terhadap persoalan yang diteliti. 3) Hipotesis harus dapat diuji atau terukur tersendiri untuk menetapkan hipotesis paling besar kemungkinannya didukung oleh data empirik. Formulasi hipotesis memenuhi syarat sebagai berikut : a. Sebuah hipotesis disajikan dalam formulasi konsisten logis. Hipotesis harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga konsekuensi mutlak yang lahir darinya, tidak merupakan sesuatu yang berlawanan atau sesuatu yang inkonsistensi. b. Berprinsip ekonomis. Sesuatu yang tidak penting dan tidak diujikan serta tidak diperlukan secara formal, tidak perlu dimasukkan dalam formulasi hipotesis. c. Hipotesis diajukan dengan kemungkinan untuk dapat diuji kebenarannya. d. Hipotesis harus spesifik dan tidak menggunakan bahasa yang ambigous. e. Acuan empiris yang ditentukan secara tegas. Dalam hal ini hipotesis tidak dapat melepaskan diri dari jangkauan konsep yang telah didefinisikan. Perlu diingat, apa pun sifat dan syarat suatu hipotesis, yang jelas bahwa penampilan setiap hipotesis adalah dalam bentuk statement, yaitu pernyataan tentang sifat atau keadaan hubungan dua atau lebih variabel yang akan diteliti. 6. Variabel dalam Penelitian Kuantitatif Dalam penelitian kuantitatif, terdapat beberapa pembagian variabel yaitu berdasarkan sifatnya; variabel dikotomis (variabel dengan dua nilai kategori yang saling berlawanan) dan variabel kontinyu (variabel yang mempunyai nilai-nilai Sosiologi SMA K-6 54

63 dalam satu variabel tertentu). Sedangkan berdasarkan pada hubungan antar variabel yaitu variabel bebas, moderator, tergantung dan intervening. Variabel penelitian dapat disamakan dengan faktor-faktor yang dapat berubah-ubah ataupun dapat diubah dalam keperluan penelitian. Variabel penelitian perlu ditentukan agar alur hubungan dua atau lebih variabel dalam penelitian dapat dikejar. Penentuan variabel dalam suatu penelitian, berkisar pada variabel bebas (independent variabel), variabel tergantung (dependent variabel) maupun variabel kontrol (intervening variabel). Indikator Variabel. Untuk mengukur variabel, pertama ditentukan dulu indikator variabel, yaitu alat ukur variabel. Salah satu contoh, dalam mengukur variabel pekerjaan yang dicita-citakan, digunakan indikator pegawai negeri, usaha sendiri dan pegawai swasta. pada intinya indikator variabel berfungsi penuh dalam mendeteksi variabel yang akan diukur, sehingga indikator harus peka terhadap variabel yang akan diukur. Tetapi perlu diingat bahwa indikator hanya muncul dari konsep variabel yang telah ditentukan sebelumnya. 7. Populasi dan Sampel a. Populasi Dalam metodologi penelitian kata populasi juga amat populer, digunakan untuk menyebutkan serumpun atau sekelompok objek yang menjadi sasaran penelitian. Oleh karenanya, populasi penelitian merupakan keseluruhan (universum) dan objek penelitian yang dapat berupa manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, udara, gejala, nilai, peristiwa, sikap hidup, dan sebagainya, sehingga objek-objek ini dapat menjadi sumber data penelitian. Populasi dilihat dari penentuan sumber maka populasi dapat dibedakan; populasi terbatas dan populasi tak terhingga. 1) Populasi terbatas, yaitu populasi yang memiliki sumber data yang jelas batas-batasnya secara kuantitatif. Sosiologi SMA K-6 55

64 2) Populasi tak terhingga, yaitu populasi yang memiliki sumber data yang tidak dapat ditentukan batas-batasnya secara kuantitatif. Dilihat dan kompleksitas objek populasi, maka populasi dapat dibedakan; populasi homogen dan populasi heterogen. 1) Populasi homogen, yaitu keseluruhan individu yang menjadi anggota populasi, memiliki sifat-sifat yang relatif sama satu sama lainnya. 2) Populasi heterogen, yaitu keseluruhan individu anggota populasi relatif memiliki sifat-sifat individual, di mana sifat tersebut membedakan individu anggota populasi yang satu dengan lainnya makin beragam. Selain pembedaan-pembedaan di atas, populasi juga dapat dibedakan antara populasi sampling dan populasi sasaran. Misalnya, apabila kita mengambil rumah tangga sebagai sampel, sedangkan yang diteliti hanyalah rumah tangga yang bekerja sebagai nelayan, maka keseluruhan rumah tangga dalam wilayah penelitian disebut populasi sampling, sedangkan seluruh nelayan dalam wilayah penelitian disebut populasi sasaran. b. Sampel Suparmoko (1999: 37-54) menyebutkan: Dua cara utama yang sering dilakukan dalam pengambilan contoh sampel atau pemilihan responden yaitu: pengambilan contoh secara acak sederhana atau disebut sampel random sampling dan pengambilan contoh secara acak berdasarkan strata atau disebut stratified random sampling Sosiologi SMA K-6 56

65 Pengambilan Sampel Probabilitas 1. Acak sederhana 2. Acak berstrata 3. Acak cluster 4. Acak sistematis Nonprobabilitas 1. Purposive sampling 2. Convenience sampling 3. Judgement sampling 4. Quota sampling Diagram 1: sampel random sampling Metode Pengambilan Sampel (Contoh) Pengambilan contoh atas dasar probabilitas dibedakan lagi menjadi pengambilan contoh atas dasar acak sederhana, pengambilan sample atas dasar acak berstrata, pengambilan sample atas dasar acak dengan kluster, dan pengambilan sampel dengan cara sistematik. Dan berbagai cara pengambilan sampel atas dasar probabilitas seperti tersebut di atas masih dikembangkan lagi menjadi pengambilan contoh atas dasar area (area sampling) dan pengambilan sampel secara berulang (double sampling). Dua cara terakhir sebenarnya hanya merupakan pengembangan dari cara-cara utama yang sebelumnya. Pengambilan sampel tanpa didasarkan pada probabilitas, tetapi lebih atas dasar kesengajaan dengan pertimbangan apakah sampel yang diambil lebih mudah dihubungi dan akan lebih cepat dan tepat dalam memberikan informasi yang dibutuhkan dibanding dengan sampel-sampel yang lain akan menggunakan convenience sampling, purposive sampling dan judgment sampling atau quota sampling. Sosiologi SMA K-6 57

66 Dalam stratified random sampling, sub-kelompok tertentu dipilih untuk menjamin bahwa masing-masing sub-kelompok sama-sama diwakili; atau menjamin keseragaman atau diwakilinya suatu sub-kelompok tertentu. Cara stratified-sample ini dapat mendekati pengukuran yang bersifat eksperimen walaupun derajat ketelitiannya tidak seperti hasil dari experimental research. Dibandingkan dengan cara random sampling, stratified sampling lebih efisien, terutama dalam hal langkanya dana dan daya untuk mengadakan penelitian. Di samping itu dapat ditambahkan cara-cara lain yang merupakan modifikasi dari kedua cara utama itu yaitu dengan systematic sampling, cluster sampling dan multistage sampling. 1) Acak Sederhana (Simple Random Sampling) Dengan cara acak atau random sampling kita memberikan kesempatan yang sama kepada setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih sebagai sampel. Random sampling dapat dengan menaruh kembali setiap sampel yang sudah dipilih (sampling with replacement) dan dapat juga tanpa mengembalikan sampel yang sudah terpilih (sampling without replacement), namun cara yang pertama tidak banyak dipakai karena ada kemungkinan unsur yang terpilih sebagai sampel akan dapat terpilih lagi. 2) Acak Berstrata (Stratified Random Sampling) Acak berstrata dipilih untuk populasi yang bersifat heterogen. Populasi dikelompokkan dalam strata agar mereka lebih tampak homogen. Penyusunan strata ini dilakukan sebelum pengambilan sampel. Hal ini dimaksudkan agar sampel benar-benar mewakili seluruh populasi dan bukan mewakili salah satu kelompok atau strata saja. Setelah populasi dikelompokkan dalam strata, maka suatu random sampling dapat ditempuh untuk masing-masing strata. Jadi stratified random sampling adalah pengambilan sampel secara acak di dalam populasi yang sudah dikelompokkan (distratakan). Sosiologi SMA K-6 58

67 3) Sistematis (Systematic Sampling) Systematic sampling atau cara pengambilan contoh secara sistematis. Misal ada 60 populasi, diambil 20 sampel, maka systemic samplingnya = 60/20 = 3 4) Cluster Sampling Pengambilan contoh atas dasar cluster mirip dengan pengambilan contoh atas dasar strata. Perbedaannya ialah bahwa dalam cluster sampling unsur-unsur yang terdapat di dalam masing masing cluster bersifat heterogen, sedangkan dalam stratified sampling unsur-unsur yang terdapat di dalam masing-masing strata bersifat homogen. 5) Bertahap (Multistage Sampling) Cara pengambilan sampel dilakukan secara bertahap. 6) Populasi Area/Wilayah Sifat populasi area adalah amat mudah ditentukan, asalkan peneliti mengetahui batas-batas area tersebut. Kalau penelitian menggunakan pembatasan suatu area dilihat dari pembatasan sistem pemerintahan, maka unit populasi adalah dukuh, desa, kecamatan, kabupaten dan seterusnya. Area 1 Area 2 Area 3 Area 4 Gambar Populasi Area Sosiologi SMA K-6 59

68 7) Populasi dengan Beraneka Sifat Kesulitan awal yang dihadapi pada populasi dengan beranekaragam sifat adalah pada saat mengadakan pemantauan terhadap keanekaragaman populasi. Sekilas, populasi kelihatan-nya berstrata, karena memang unit-unit populasi berstrata. Akan tetapi kalau diamati lebih jauh lagi sebenarnya tidak berstrata saja, tetapi juga merupakan rumpun-rumpun tertentu, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa unit-unit populasi memiliki wilayah-wilayah tertentu. 8) Purposive Sampling Teknik sampling ini digunakan pada penelitian-penelitian yang lebih mengutamakan tujuan penelitian daripada sifat populasi dalam menentukan sampel penelitian. Walaupun demikian, untuk menggunakan teknik ini peneliti seharusnya orang yang pakar terhadap karakteristik populasi. Berdasarkan pengetahuan yang jeli terhadap populasi, maka unit-unit populasi yang dianggap kunci, diambil sebagai sampel penelitian. 9) Quata Sampling Teknik sampling ini memiliki sifat yang tidak jauh dari purposive sampling, yaitu lebih mementingkan tujuan penelitian dalam penentuan sampling penelitian. Sampel penelitian adalah unit populasi yang telah ditentukan lebih dulu, makanya Quata Sampling digunakan hanya untuk menentukan unit populasi yang akan dijadikan sampel penelitian. Semua unit populasi yang termasuk dalam quata haruslah dijadikan responden dalam penelitian. 10) Incidental Sampling Teknik sampling ini adalah teknik yang paling diragukan akan menghasilkan sampel yang representatif, hal ini disebabkan oleh sifat kebetulan dalam menentukan sampel. Penelitian yang biasa menggunakan teknik sampling ini adalah penelitian yang populasinya adalah individu-individu yang sukar ditemui dengan alasan sibuk, tidak mau diganggu, tidak bersedia menjadi responden, Sosiologi SMA K-6 60

69 atau alasan lainnya. Oleh karena itu, siapa saja yang ditemui dan masuk dalam kategori populasi, dapat diinterviu sebagai sampel atau responden. 11) Double Sampling/Sampling Kembar Teknik ini amat bermanfaat bagi penelitian yang populasinya besar, yang pengumpulan datanya menggunakan angket melalui jasa pos. Dari keseluruhan angket yang disebarkan tentunya ada beberapa yang tidak kembali. Untuk mengatasi ini, maka digunakan metode lain yaitu interviu. Bagi mereka yang tidak mengembalikan angket penelitian, kemudian diinterviu. Double Sampling juga biasanya bermanfaat bagi cross check atau cross validity terhadap sampel penelitian, baik penelitian yang menggunakan satu sampel maupun penelitian yang menggunakan sampel pembanding. Pada penelitian kualitatif, ide dan double sampling ini banyak digunakan pada kegiatan cross validity terhadap informasi yang dihimpun peneliti ataupun untuk keperluan cross check terhadap peneliti lain dalam satu penelitian. 12) Multifarious Sampling Tidak selamanya dalam berbagai penelitian, populasi memiliki satu sifat yang mudah diamati oleh peneliti. Terbanyak dalam penelitian ilmu-ilmu sosial budaya, peneliti menemui populasi dengan beraneka sifat tertentu dan kadang sifat tersebut saling tumpang tindih. Munculnya sifat populasi yang demikian ini disebabkan permasalahan dan tujuan penelitian yang multifarious, yang menyebabkan peneliti berpikir ekstra untuk menentukan teknik sampling apa yang akan dipakai. 8. Analilisis Data Analisis kuantitatif dalam suatu penelitian dapat didekati dari dua sudut pendekatan, yaitu analisis kuantitatif secara deskriptif, dan analisis kuantitatif secara inferensial. Masing-masing pendekatan ini melibatkan pemakaian dua jenis statistik yang berbeda. Yang pertama menggunakan statistik deskriptif dan Sosiologi SMA K-6 61

70 yang kedua menggunakan stastistik inferensial. Kedua jenis statistik ini memiliki karakteristik yang berbeda, baik dalam hal teknik analisis maupun tujuan yang akan dihasilkannya dari analisisnya itu ( Sudijono:1987:4). Sesuai dengan namanya, deskriptif hanya akan mendeskripsikan keadaan suatu gejala yang telah direkam melalui alat ukur kemudian diolah sesuai dengan fungsinya. Hasil pengolahan tersebut selanjutnya dipaparkan dalam bentuk angka-angka sehingga memberikan suatu kesan lebih mudah ditangkap maknanya oleh siapapun yang membutuhkan informasi tentang keberadaan gejala tersebut. Dengan demikian hasil olahan data dengan statistik ini hanya sampai pada tahap deskripsi, belum sampai pada tahap generalisasi. Dengan kata lain, statistik deskriptif adalah statistik yang mempunyai tugas mengorganisasi dan menganalisa data angka, agar dapat memberikan gambaran secara teratur, ringkas dan jelas, mengenai suatu gejala, peristiwa atau keadaan, sehingga dapat ditarik pengertian atau makna tertentu. Statistik inferensial fungsinya lebih luas lagi, sebab dilihat dari analisisnya, hasil yang diperoleh tidak sekedar menggambarkan keadaan atau fenomena yang dijadikan obyek penelitian, melainkan dapat pula digeneralisasikan secara lebih luas kedalam wilayah populasi. Karena itu, penggunaan statistik inferensial menuntut persyaratan yang ketat dalam masalah sampling, sebab dari persyaratan yang ketat itulah bisa diperoleh sampel yang representatif; sampel yang memiliki ciri-ciri sebagaimana dimiliki populasinya. Dengan sampel yang representatif maka hasil analisis inferensial dapat digeneralisasikan ke dalam wilayah populasi. Sudah dikenal bahwa statistik merupakan salah satu cara yang banyak manfaatnya bagi peneliti untuk menganilis data. Satu modal penting yang harus dikuasai terlebih dahulu oleh peneliti yang akan menggunakan teknik statistik adalah pengertian mengenai jenis data yang akan dianalisis, agar penggunaan data kuantitatif untuk keperluan analisis statistik tepat sasaran. Atau sebaliknya, Sosiologi SMA K-6 62

71 pemilihan jenis teknik statistik dapat dipilih secara tepat sesuai dengan sifat-sifat atau jenis-jenis data yang dihadapi. Dalam dunia statistik dikenal setidaknya terdapat empat jenis data hasil pengukuran, yaitu data Nominal, Ordinal, Interval dan Rasio. Masing-masing data hasil pengukuran ini memiliki karaktristik tersendiri yang berbeda antara satu dengan lainnya. Data Nominal Data ini juga sering disebut data diskrit, kategorik, atau dikhotomi. Disebut diskrit karena ini data ini memiliki sifat terpisah antara satu sama lainnya, baik pemisahan itu terdiri dari dua bagian atau lebih; dan di dalam pemisahan itu tidak terdapat hubungan sama sekali. Masing-masing kategori memiliki sifat tersendiri yang tidak ada hubungannya dengan kategori lainnya. Sebagai misal data hasil penelitian dikategorikan kedalam kelompok ya dan tidak saja misalnya lakilaki/wanita (laki-laki adalah ya laki-laki; dan wanita adalah tidak laki-laki ), kawin /tidak kawin; janda/duda, dan lainnya. Data nominal selain contoh di atas terdapat pula yang berupa angka-angka. Akan tetapi angka-angka tersebut bukan merupakan suatu atribut, oleh sebab itu pada angka tersebut tidak berlaku hitungan matematis. Contoh data ini misalnya nomor punggung pemain sepak bola, nomor rumah, nomor plat mobil dan lainnya. Nomor-nomor tersebut semata-semata hanya menunjukkan simbol, tanda, atau stribut saja. Data Ordinal Data ordinal adalah data yang menunjuk pada tingkatan atau penjenjangan pada sesuatu keadaan. Berbeda dengan data nominal yang menunjukkan adanya perbedaan secara kategorik, data ordinal juga memiliki sifat adanya perbedaan di antara obyek yang dijenjangkan. Namun dalam perbedaan tersebut terdapat suatu kedudukan yang dinyatakan sebagai suatu urutan bahwa yang Sosiologi SMA K-6 63

72 satu lebih besar atau lebih tinggi daripada yang lainnya.kriteria urutan dari yang paling tinggi ke yang yang paling rendah dinyatakan dalam bentuk posisi relatif atau kedudukan suatu kelompok. Contoh dari data ini misalnya: prestasi belajar siswa diklasifikasikan menjadi kelompok baik, cukup, dan kurang, atau ukuran tinggi seseorang dengan tinggi, sedang, dan pendek. Dalam kaitannya dengan analisis data, terhadap data ordinal seringkali diberikan skor sesuai dengan tingkatannya. Istilah skor diberi tanda petik karena skor tersebut bukan skor sebenarnya, tetapi sebagai tanda yang menunjukkan tingkatan. Contoh: Baik.. diberi tanda 3 Cukup.. diberi tanda 2 Kurang.. diberi tanda 1 Contoh lain data ordinal misalnya hasil ujian mahasiswa peserta kuliah Statistik Pendidikan Budiman memperoleh skor 90, Rahmat 85, Musyafak 75, dan Mahsunah 65. Berdasarkan skor-skor tersebut dibuatlah suatu jenjang (rangking), sehingga terjadilah urutan jenjang ke 1 (90), ke 2 (85), ke 3 (75), dan ke 4 (65).Data ordinal memiliki harga mutlak (dapat diperbandingkan) dan selisih perbedaan antara urut-urutan yang berdekatan bisa tidak sama. Data ordinal mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan data diskrit karena mempunyai tingkatan yang lebih banyak daripada data diskrit yang hanya mempunyai dua kategori yaitu ya dan tidak. Data Interval Data interval tergolong data kontinum yang mempunyai tingkatan yang lebih tinggi lagi dibandingkan dengan data ordinal karena mempunyai tingkatan yang lebih banyak lagi. Data interval menunjukkan adanya jarak antara data yang satu Sosiologi SMA K-6 64

73 dengan yang lainnya.contoh data interval misalnya hasil ujian, hasil pengukuran tinggi badan, dan lainnya. Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa data interval tidak dikenal adanya nilai 0 (nol) mutlak. Dalam hasil pengukuran (tes) misalnya mahasiswa mendapat nilai 0. Angka nol ini tidak dapat diartikan bahwa mahasiswa tersebut benar-benar tidak bisa apa-apa. Meskipun ia memperoleh nilai nol ia memiliki suatu pengetahuan atau kemampuan dalam matakuliah yang bersangkutan. Nilai nol yang diberikan oleh dosen sebetulnya hanya merupakan atribut belaka hanya saja pada saat ujian, pertanyaan yang diujikan tidak pas seperti yang dipersiapkannya. Atau jawaban yang diberikan tidak sesuai dengan yang dikehendaki soal. Data Rasio Data rasio merupakan data yang tergolong ke dalam data kontinum juga tetapi yang mempunyai ciri atau sifat tertentu. Data ini memiliki sifat interval atau jarak yang sama seperti halnya dalam skala interval. Namun demikian, skala rasio masih memiliki ciri lain. Pertama harga rasio memiliki harga nol mutlak, artinya titik nol benar-benar menunjukkan tidak adanya suatu ciri atau sifat. Misalnya titik nol pada skala sentimeter menunjukkan tidakadanya panjang atau tinggi sesuatu. Kedua angka skala rasio memiliki kualitas bilangan riel yang berlaku perhitungan matematis. Misalnya berat badan Rudi 70 kg, sedangkan Saifullah 35 kg. Keadaan ini dapat dirasiokan bahwa berat badan Rudi dua kali berat badan Saifullah. Atau berat badan Saifullah separuh dari berat badan Rudi. Berbeda dengan data interval misalnya Rudi ujian dapat 70 sementara Saifullah memperoleh 30. Hal ini tidak dapat diartikan bahwa kepandaian Rudi dua kali lipat kepandaian Saifullah. Data rasio dalam ilmu-ilmu sosial jarang dipergunakan, bahkan hampir tidak pernah dipergunakan. Lapangan penggunaan data berskala rasio ini lebih banyak berada dalam bidang ilmu-ilmu eksakta terutama fisika. Sosiologi SMA K-6 65

74 9. Menarik Kesimpulan Menarik kesimpulan selalu harus mendasarkan diri atas semua data yang diperoleh dari kegiatan penelitian, bukan angan-angan peneliti. Apabila kesimpulan penelitian merupakan jawaban dari problematic yang dikemukakan, maka isi maupun banyaknya kesimpulan harus sama dengan isi dan banyaknya problematik. Contoh : a. Problematik 1) Apakah orang tua murid di daerah pedesaan memberikan motivasi belajar yang sama dengan orang tua murid di kota? 2) Apakah ayah mempunyai peranan yang sama dengan ibu dalam memberikanmotivasi belajar, baik di daerah maupun di kota? b. Hipotesis 1) Orang tua murid di daerah pedesaan memberikan motivasi belajar yang sama besarnya dengan orang tua murid di kota. 2) Ayah dan ibu memberikan motivasi belajar yang sama besar kepada anakanaknya, baik di daerah pedesaan maupun di kota. c. Kesimpulan penelitian ( salah satu kemungkinan ) 1) Orang tua murid di daerah pedesaan tidak dapat memberikan motivasi belajar sebesar yang diberikan oleh orang tua murid di kota. 2) Ada perbedaan yang signifikan antara ayah dan ibu di dalam memberikan motivasi belajar, baik bagi orang tua murid di daerah pedesaan maupun di kota ( Suharsimi, 2010: ) D. Aktivitas Pembelajaran a. Sebaiknya mempelajari materi ini dilakuan secara individual dan kelompok. Secara individual, peserta diklat diharapkan membuat ringkasan materi Sosiologi SMA K-6 66

75 esensial. Jika kurang memahami, berdiskusi dengan teman atau belajar secara kelompok akan mempermudah dalam memahaminya. b. Setelah mempelajari materi metode penelitian kuantitatif ini, selanjutnya Anda ingin mempelajari materi metode penelitian sosial yang mana? E. Latihan/ Kasus /Tugas 1. Jelaskan pengertian penelitian kuantitatif. 2. Jelaskan karakteristik penelitian kuantitatif 3. Jelaskan jenis-jenis penelitian kuantitatif 4. Identifikasi macam-macam hipotesis 5. Identifikasi macam-macam variable 6. Buatlah bagan pemilihan sampel penelitian kuantitatif 7. Jelaskan jenis- jenis data penelitian kuantitatif 8. Bagaimanakah cara menarik kesimpulan dalampenelitian kuantitatif? F. Rangkuman 1. Pengertian penelitian kuantitaif adalah penelitian kuantitatif adalah penelitian yang banyak menuntut penggunaan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap data tersebut, serta penampilan dari hasilnya. Demikian pula pada tahap kesimpulan penelitian akan lebih baik bila disertai dengan gambar, table, grafik, atau tampilan lainnya. 2. Karakteristik penelitian kuantitatif a. Desain penelitian disusun secara spesifik, jelas, dan rinci, ditentukan secara mantap sejak awal sehingga menjadi pegangan langkah demi langkah. b. Tujuan penelitian kuantitatif adalah menunjukkan hubungan antar variable, dalam penelitian untuk menguji teori sehingga apabila teruji dapat dismpulkandengan membuat generalisasi. c. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan instrument kuesioner, dan dapat dengan wawancara terstruktur dan observasi. Sosiologi SMA K-6 67

76 d. Instrument penelitian dapat berupa : tes, angket, wawancara terstruktur. Instrument telah divalidasi/terstandar. e. Data kuantitatif merupakan hasil pengukuran variable yang dioperasionalkan dengan menggunakan instrument. f. Sampel ditentukan sejak awal, muali sampel besar, representative, dan sedapat mungkin random. g. Analisis data dilakukan setelah selesai pengumpulan data, menggunakan statistic, menguji hipotesis. h. Hubungan denga responden dibuat berjarak,bahkan tanpa kontak supaya obyektif. Kedudukan peneliti lebih tinggi dari responden. i. Kajian teori menggunakan literature yang berhubungan dengan masalah, dan variable yang diteliti. j. Masalah dirumuskan dengan spesifik dan jelas. 3. Jenis- jenis penelitian kuantitatif a. Metode kuantitatif deskriptif b. Metode kuantitatif komparatif c. Metode kuantitatif korelasi d. Metode kuantitatif survey e. Metode kuantitatif Ex Post Facto f. Metode kuantitatif True Experiment g. Metode kuantitatif Quasi Experiment h. Metode kuantitatif subyek tunggal 4. Hipotesis dalam penelitian kuantitatif a. Hipotesis deskriptif b. Hipotesis relasional : mayor dan minor c. Hipotesis komparasi atau perbedaan d. Hipotesis kerja atau alternative e. Hipotesis nihil (non statistik) Sosiologi SMA K-6 68

77 5. Variabel dalam penelitian kuantitatif i. Variabel bebas (independen ) ii. Variabel kontrol (dependent) 6. Penentuan sampel dalam penelitian kuantitatif 7. Jenis-jenis data kuantitatif a. Data nominal b. Data ordinal c. Data interval d. Data rasio 8. Kesimpulan dalam penelitian kuantitaif Menarik kesimpulan selalu harus mendasarkan diri atas semua data yang diperoleh dari kegiatan penelitian, bukan angan-angan peneliti. Apabila kesimpulan penelitian merupakan jawaban dari problematic yang dikemukakan, maka isi maupun banyaknya kesimpulan harus sama dengan isi dan banyaknya problematik. G. Umpan Balik dan Tindak Lanjut a. Setelah membaca kegiatan pembelajaran dalam modul ini apakah Anda memperoleh pengetahuan baru, yang sebelumnya belum pernah Anda pahami, apakah materi yang diuraikan mempunyai manfaat dalam mengembangkan materi penelitian sosial, khususnya metode penelitian kualitatif?. b. Setelah Anda membaca kegiatan pembelajaran dalam modul ini rencana tindak lanjut apa yang akan Anda lakukan? Sosiologi SMA K-6 69

78 H. Kunci Jawaban 1. Pengertian penelitian kuantitatif adalah penelitian yang banyak menuntut penggunaan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap data tersebut, serta penampilan dari hasilnya. Demikian pula pada tahap kesimpulan penelitian akan lebih baik bila disertai dengan gambar, table, grafik, atau tampilan lainnya. 2. Jelaskan karakteristik penelitian kuantitatif a. Desain penelitian disusun secara spesifik, jelas, dan rinci, ditentukan secara mantap sejak awal sehingga menjadi pegangan langkah demi langkah. b. Tujuan penelitian kuantitatif adalah menunjukkan hubungan antar variable, dalam penelitian untuk menguji teori sehingga apabila teruji dapat dismpulkandengan membuat generalisasi. c. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan instrument kuesioner, dan dapat dengan wawancara terstruktur dan observasi. d. Instrument penelitian dapat berupa : tes, angket, wawancara terstruktur. Instrument telah divalidasi/terstandar. e. Data kuantitatif merupakan hasil pengukuran variable yang dioperasionalkan dengan menggunakan instrument. f. Sampel ditentukan sejak awal, muali sampel besar, representative, dan sedapat mungkin random. g. Analisis data dilakukan setelah selesai pengumpulan data, menggunakan statistic, menguji hipotesis. h. Hubungan denga responden dibuat berjarak,bahkan tanpa kontak supaya obyektif. Kedudukan peneliti lebih tinggi dari responden. i. Kajian teori menggunakan literature yang berhubungan dengan masalah, dan variable yang diteliti. j. Masalah dirumuskan dengan spesifik dan jelas. Sosiologi SMA K-6 70

79 3. Jelaskan jenis-jenis penelitian kuantitatif a. Metode kuantitatif deskriptif b. Metode kuantitatif komparatif c. Metode kuantitatif korelasi d. Metode kuantitatif survey e. Metode kuantitatif Ex Post Facto f. Metode kuantitatif True Experiment g. Metode kuantitatif Quasi Experiment h. Metode kuantitatif subyek tunggal 4. Jenis- jenis penelitian kuantitatif a. Metode kuantitatif deskriptif b. Metode kuantitatif komparatif c. Metode kuantitatif korelasi d. Metode kuantitatif survey e. Metode kuantitatif Ex Post Facto f. Metode kuantitatif True Experiment g. Metode kuantitatif Quasi Experiment h. Metode kuantitatif subyek tunggal 5. Macam-macam hipotesis : a. Hipotesis deskriptif b. Hipotesis relasional : mayor dan minor c. Hipotesis komparasi atau perbedaan d. Hipotesis kerja atau alternative e. Hipotesis nihil (non statistik) 6. Macam-macam variabel dalam penelitian kuantitatif i. Variabel bebas (independen ) ii. Variabel kontrol (dependent) Sosiologi SMA K-6 71

80 7. Bagan pemilihan sampel penelitian kuantitatif Pengambilan Sampel Probabilitas 1. Acak sederhana 2. Acak berstrata 3. Acak cluster 4. Acak sistematis Nonprobabilitas 1. Purposive sampling 2. Convenience sampling 3. Judgement sampling 4. Quota sampling 5. Area sampling 8. Jenis data penelitian kuantitatif a. Data nominal b. Data ordinal c. Data interval d. Data rasio 9. Cara menarik kesimpulan dalampenelitian kuantitatif : menarik kesimpulan selalu harus mendasarkan diri atas semua data yang diperoleh dari kegiatan penelitian, bukan angan-angan peneliti. Apabila kesimpulan penelitian merupakan jawaban dari problematic yang dikemukakan, maka isi maupun banyaknya kesimpulan harus sama dengan isi dan banyaknya problematik. Sosiologi SMA K-6 72

81 DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Bungin, Burhan Metodologi Penelitian Sosial, Airlangga University Press. Brannen, Julia Mixing Methods Qualitative and Quantitatif Research, Avebury. Faisal, Sanapiah. 1982, Metodologi Penelitian Pendidikan, Surabaya, Usaha Nasional. I Wayan Sukarnyana. 1999/2000, Penelitian Tindakan Kelas, Bahan Penataran untuk Instruktur, PPPG IPS dan PMP Malang. John Badudu, 1994, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan. Luth Nursal, dan Fernades Daniel Panduan Belajar Sosiologi untuk SMU Kelas 3, Jakarta, PT. Galaxy Puspa Mega. Moh. Nazir Metode Penelitian, Bogor. Ghalia Indonesia. Nana Syaodih Sukmadinata Metode Penelitian Pendidikan. Kerjasama Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia dengan PT Remaja Rosdakarya. Singarimbun, Masri, 1989, Metode Penelitian Survey, LP3ES. Soekanto, Soerjono Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada. Sugiyono Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung, Alfabeta Sudijono, Anas, Pengantar Statistik Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers. Suharsono Metodologi Penelitian Ilmu Sosial, Bahan Penataran untuk Guru SMU, Depdiknas Ditjen Dikdasmen, Direktorat Pendidikan Menengah Umum. Suparmoko Metode Penelitian Praktis, Yogyakarta, BPFE. Usman Husaini, dkk Metodologi Penelitian Sosial, Bumi Aksara Sosiologi SMA K-6 73

82 KEGIATAN PEMBELAJARAN 4 PARADIGMA DALAM SOSIOLOGI A. Tujuan Setelah menyelesaikan Kegiatan Pembelajaran 3, peserta diklat mampu memahami paradigma teori sosiologi berdasarkan pemikiran para tokoh sosiologi dengan baik B. Indikator Pencapaian Kompetensi 1. Menjelaskan konsep-konsep sosiologi dalam perspektif fungsionalisme struktural, perspektif konflik, dan perspektif interaksionisme simbolik 2. Menjelaskan paradigma fakta sosial 3. Menjelaskan paradigma definisi sosial 4. Menjelaskan paradigma perilaku sosial 5. Menerapkan paradigma sosiologi sebagai alat analisis pembelajaran sosiologi C. Uraian Materi 1. Pengantar Kajian ini berusaha membahas beberapa permasalahan sebagai berikut: Apa yang dimaksudkan dengan paradigma sosiologi itu? Apa sebab timbulnya paradigma dalam sosiologi? Bagaimana hubungan antara paradigma yang satu dengan paradigma yang lain? Inilah beberapa masalah yang dibahas dalam uraian berikut ini. Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dengan karyanya The Structure of Scientific Revolution (1962). Konsep paradigma yang di populerkan oleh Robert Friedrichs melalui bukunya Sosiology of Sosiology (1970). Paradigma merupakan terminologi kunci dalam model perkembangan ilmu pengetahuan yang diperkanalkan Kuhn. Tapi sayangnya ia tidak merumuskan dengan jelas tentang apa yang dimaksudkannya dengan paradigma itu. Malahan Sosiologi SMA K-6 74

83 istilah paradigma yang dipergunakan tak kurang dari dua puluh satu cara yang berbeda. Masterman mencoba meredusir kedua puluh satu konsep paradigma Kuhn yang berbeda beda itu menjadi tiga tipe. Yaitu: a. Paradigma Metafisik (Metaphysical Paradigm) memerankan beberapa fungsi: Menunjukkan kepada sesuatu yang ada (dan sesuatu yang tidak ada) yang menjadi pusat perhatian dari suatu komunitas ilmuwan tertentu. Menunjuk kepada komunitas ilmuwan tertentu yang memusatkan perhatian mereka untuk menemukan sesuatu yang ada yang menjadi pusat perhatian mereka. Menunjuk kepada ilmuwan yang berharap untuk menemukan sesuatu yang sungguh-sungguh ada yang menjadi pusat perhatian dari disiplin ilmu mereka. Dengan demikian paradigma metafisik ini merupakan konsensus yang terluas dalam suatu disiplin ilmu, yang membantu membatasi bidang dari suatu ilmu sehingga dengan demikian membantu mengarahkan komunitas ilmuwan dengan melakukan penyelidikannya. b. Paradigma Sosiologi (Sociological Paradigm) Paradigma sosiologi ini sangat mirip dengan konsep exemplar dari Thomas Khun. Khun mendiskusikan keanekaragaman fenomena yang mencakup dalam pengertian seperti: kebiasaan-kebiasaan nyata, keputusan-keputusan hokum yang diterima, hasil-hasil nyata perkembangan ilmu pengetahuan, serta hasil-hasil penemuan ilmu pengetahuan yang diterima secara umum. c. Paradigma Konstruk (Construct Paradigm) Paradigma konstruk adalah konsep yang paling sempit di antara ketiga tipe paradigman yang di kemukankan oleh Masterman di atas. Di contohkannya pembanguan reaktor nuklir memainkan peranan sebagai paradigma dalam ilmu nuklir. Sampai sedemikian jauh masih belum diperoleh suatu pengertian yang jelas tentang apa yang dimaksudkan dengan paradigma itu. Robert Friedrich adalah Sosiologi SMA K-6 75

84 orang pertama yang mencoba merumuskan pengertian paradigma ini secara lebih jelas. Dalam upayanya menganalisa perkembangan sosiologi dari perspektif paradigma ini, ia merumuskan paradigma: Sebagai suatu pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan (Subject Matter) yang semestinya di pelajari ( a fundamental image a discipline has of its subject matter).george Ritzer(2011) dengan mensintesakan pengertian paradigma yang telah dikemukakan oleh Kuhn, Masterman dan Friedrich, mencoba merumuskan pengertian paradigma itu secara lebih jelas dan terperinci tentang apa ya yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan (discipline). Paradigma membantu merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan apa yang mesti dijawab, bagaimana seharusnya menjawabnya, serta aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang dikumpulkan dalam rangka menjawab persoalan-persoalan tersebut. Mengapa timbul berbagai macam paradigma dalam sosiologi? faktor apa yang membedakan atau menyebabkannya berbeda? Persoalan diatas menurut George Ritzer disebabkan karena tiga faktor. 1) Karena dari semula pandangan filsafat yang mendasari pemikiran ilmuwan tentang apa yang semestinya menjadi substansi dari cabang ilmu yang dipelajari itu berbeda. Dengan demikian, asumsi atau aksiomanya menjadi berbeda antara kelompok ilmuwan yang satu dengan kelompok ilmuwan yang lain. 2) Sebagai konsekuensi logis dari pandangan filsafat yang berbeda itu maka teori-teori yang dibangun dan dikembangkan oleh masing-masing komunitgas ilmuwan itu berbeda. Pada masing-masing komunitas ilmuwan berusaha bukan saja untuk mempertahankan kebenaran teorinya tetapi juga berusaha melancarkan kecaman terhadap kelemahan teori dari komunitas ilmuwan yang lain. 3) Dominasi, perbedaan teori melahirkan beberapa golongan komunitas yang saling untuk mendapatkan dominasi dari paradigma yang di anut masingmasing. Dukungan terhadap suatu paradigma menjadi lebih banya Sosiologi SMA K-6 76

85 didasarkan atas pertimbangan politis di banding kan dengan pertimbangan obyektif ilmiah. Mereka yang mengganut paradigma yang dominan akan mendapatkan alokasi kekuasaan yang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang menganut paradigma yang kurang dominan.dengan demikian dilapangan ilmu pengetahuanm system nilai (value system) juga turut berpengaruh di samping obyektifitas. Ritzer menilai bahwa sosiologi itu terdiri atas kelipatan beberapa paradigma (multiple paradigma). Pergulatan pemikiran tersebut termasuk juga dalam eksemplar, teori-teori, metode serta perangkat yang digunakan masing-masing komunitas ilmuwan yang termasuk kedalam paradigma tertentu. Pergulatan pemikirian sedemikian itulah yang menandai pertumbuhan dan perkembangan sosiologi sejak awal hingga kedudukannya seperti sekarang. 2. Paradigma Fakta Sosial Eksemplar paradigma fakta sosial ini diambil dari kedua karya Durkheim. Durkheim meletakkan landasan paradigma Fakta Sosial melalui karyanya The Rules of Sociological Method (1895) dan Suicide (1897). Untuk memisahkan sosiologi dari pengaruh filsafat dan untuk membantu sosiologi mendapatkan lapangan penyelidikannya sendiri maka Durkheim membangun satu konsep yakni: Fakta sosial Fakta sosial ini lah yang menjadi pokok persoalan penyelidikan sosiologi. Fakta sosial dinyatakannya sebagai barang sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Barang sesuatu menjadi objek penyelidikan dari seluruh ilmu pengetahuan. Ia tidak dapat di pahami melalui kegiatan mental murni. Tetapi untuk memahaminya diperlukan penyusunan data riil dluar pemikiran manusia. Fakta sosial harus diteliti didalam dunia nyata sebagaimana orang mencari barang sesuatu lainya: Fakta sosial menurut Durkheim terdiri atas dua macam: (1) Dalam bentuk material. Yaitu barang sesuatu yang dapat disimak. Ditangkap dan di observasi; (2) Dalam bentuk non material. Yaitu sesuatu yang dianggap nyata (eksternal). Fakta sosial jenis ini merupakan fenomena yang bersifat inter Sosiologi SMA K-6 77

86 subjectiveyang hanya dapat muncul dari dalam kesadaran manusia. Contohnya egoism, altruism dan opini. Untuk memisahkan sosiologi dari psikologi, Durkheim dengan tegas pula membedakan antara fakta sosial dengan fakta psikologi. Fakta psikologi adalah fenomena yang dibawa oleh manusia sejak lahir (inherited). Dengan demikian bukan merupakan hasil pergaulan hidup masyararakat. Fakta sosial tidak dapat diterangkan dengan fakta psikologi. Ia hanya dapat diterangkan dengan fakta sosial pula. Karena itu ahli psikologi telah diperingatkan pula untuk tidak terlallu lama membuang waktu dengan mencoba menyelidiki fakta sosial karena fakta sosial adalah lapangan penyelidikan dari sosiologi. Pokok persoalan yang harus menjadi pusat perhatian penyelidikan sosiologi menurut paradigma ini adalah: fakta-fakta sosial. Secara garis besarnya fakta sosial terdiri atas dua tipe. Masing-masing adalah struktur sosial (social institution) dan pranata sosial. Sifat dasar serta antar hubungan dari fakta sosial inilah yang menjadi sasaran penelitian sosiologi menurut paradigma fakta sosial. Secara lebih terperinci fakta sosial itu terdiri atas : kelompok, kesatuan masyarakat tertentu (societies), sistem sosial, posisi, peranan, nilai-nilai, keluarga, pemerintahan dan sebagainya. Menurut Peter Blau ada dua tipe dasar dari fakta sosial 1. Nilai-nilai umum (common values) 2. Norma yang terwujud dalam kebudayaan atau dalam subkultur Norma dan pola nilai ini biasa disebut institusi atau dengan pranata. Sedangkan jaringan hubungan sosial dimana interaksi sosial berproses dan menjadi terorganisir serta melalui mana posisi-posisi sosial dari individu dan sub kelompok dapat dibedakan sering diartikan sebagai struktur sosial. Dengan demikian, struktur sosial dan pranata sosial inilah yang menjadi pokok persoalan penyelidikan sosiologi menurut paradigma fakta sosial. Bagi penganut paradigma fakta sosial, apakah mereka memusatkan perhatiannya kepada struktur sosial atau kepada pranata sosial, namun keduanya mereka pandang sebagai barang sesuatu yang sungguh-sungguh ada dalam bentuk material yang utuh dan kompleks. Perhatian utama penganut paradigma fakta sosial Sosiologi SMA K-6 78

87 terpaut kepada antar hubungan antara struktur sosial, pranata sosial dan hubungan antara individu dengan struktur sosial serta antara hubungan antara individu dengan pranata sosial. Teori-teori sosiologi berbeda terminologi dalam mengkonseptualisasikan antar hubungan pranata sosial, struktur sosial dan individu ini. Perbedaan tersebut jelas terlihat dalam bahasan. Ada empat varian teori yang tergabung kedalam paradigma fakta sosial ini. Masing-masing adalah : 1) Teori fungsionalisme struktural 2) Teori konflik 3) Teori sistem 4) Teori sosiologi makro 1) Teori Fungsionalisme Struktural Teori ini menekankan kepada keteraturan (order) dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Konsep-konsep utamanya adalah: fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest dan keseimbangan (equilibrium) 2)Teori Konflik Teori ini dibangun dalam rangka untuk menentang secara langsung terhadap teori fungsionalisme struktural. Karena itu tidak mengherankan apabila proposisi yang dikemukakan oleh penganutnya bertentangan dengan proposisi yang terdapat dalam teori fungsionalisme structural. Tokoh utama teori konflik adalah Ralp Dahrendorf. Sedangkan menurut teori fungsionalisme struktural masyarakat berada dalam kondisi statis atau tepatnya bergerak dalam kondisi keseimbangan maka menurut teori konflik malah sebaliknya. Masyarakat senantiasa dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus di antara unsurunsurnya. Kesimpulan penting yang dapat diambil adalah bahwa teori konflik ini ternyata terlalu mengabaikan keteraturan dan stabilitas yang memang ada dalam masyarakat di samping konflik itu sendiri. Masyarakat selalu dipandang dalam kondisi konflik. Mengabaikan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku umum yang Sosiologi SMA K-6 79

88 menjamin terciptanya keseimbangan dalam masyarakat. Masyarakat seperti tidak pernah aman dari pertikaian dan pertentangan. Metode Penelitian Paradigma Fakta Sosial Penganut paradigma fakta sosial cenderung mempergunakan metode kuesioner dan intervieu dalam penelitian empiris mereka. Metode observasi umpamanya ternyata tidak begitu cocok untuk studi fakta sosial. Alasannya karena sebagian besar dari fakta sosialmerupakan sesuatu yang dianggap sebagai barang sesuatu (a thingyang nyata yang tidak dapat diamati secara langsung. Hanya dapat di pelajari melalu pemahaman (intepretatif understanding). Selain itu metode observasi dinilai terlalu sempit dan kasar untuk tujuan penelitian fakta sosial. Metode eksperimen juga ditolak pemakaiannya alasannya karena terlalu sempit untuk dapat meneliti fakta sosial yang memang bersifat makroskopik. Pemakaian metode kuesioner dan interview oleh para penganut paradigma fakta sosial ini sebenarnya mengandung suatu ironi sebab informasi yang dikumpulkan melalui kuesioner dan interviu banyak mengandung unsur subjektivitas dari si informan. Terhadap kelemahan metode tersebut James Coleman (1970) mengajukan beberapa saran sebagai berikut. Pertama kelemahan kuesioner dan interview dapat diatasi dengan menyusun pertanyaan-pertanyaan yang runtun secara rasional. Kedua dengan mengajukan pertanyaan kepada individu tentang unit sosialnya sendiri. Dua cara ini merupakan cara terakhir untuk memperoleh informasi fakta sosial. Ketiga dengan menggunakan teknik sampling yang disebut coleman:snowball Sampling. Artinya menanyakan kepada anggota sampel siapa saja yang menjadi teman terdekatnnya. Selain dari itu dapat pula dipergunakan teknik sampling yang disebutnya :saturation samling, yakni dengan mengajukan pertannyaan sosiometrik dalam jumlah yang banyak. Terakhir dapat pula dilakukan sampling bertingkat (multistage sampling). 3. Paradigma Definisi Sosial Paradigma ini adalah salah satu aspek yang sangat khusus dari karya Weber, yakni dalam analisanya tentang tindakan sosial. Konsep Weber tentang Sosiologi SMA K-6 80

89 fakta sosial berbeda sekali dari konsep Durkheim. Weber tidak memisahkan dengan tegas antara struktur sosial dengan pranata sosial. Struktur sosial dan pranata sosial keduanya membantu untuk membentuk tindakan manusai yang penuh arti dan penuh makna. Pokok persoalan dalam paradigma ini adalah bahwa Weber mengartikan sosiologi sebagai studi tentang tindakan sosial antar hubungan sosial. Kedua hal itulah yang menurutnya menjadi pokok persoalan sosiologi. Yang dimaksudkannya dengan tindakan sosial itu adalah tindakan individu sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Secara defenitif Weber merumuskan sosiologi sebagai ilmu yang berusaha untuk menafsirkan dan memahami (interpretative understanding) tindakan sosial serta antar hubungan sosial untuk sampai kepada penjelasan kausal. Dalam defenisi ini terkandung dua konsep dasarnya. Pertama konsep tindakan sosial. Kedua konsep tentang penafsiran dan pemahaman. Konsep terakhir ini menyangkut metode untuk menerangkan yang pertama. Weber mengemukakan lima ciri pokok yang menjadi sasaran penelitian sosiologi yaitu: 1) Tindakan manusia, yang menurut si aktor mengandung makna yang subyektif. Ini meluputi berbagai tindakan nyata. 2) Tindakan nyata dan bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat subyekfif 3) Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang serta tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam. 4) Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu. 5) Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu Tindakan sosial dapat pula dibedakan dari sudut waktu sehingga ada tindakan yang darahkan kepada waktu sekarang, waktu lalu atau waktu yang akan datang. Pertanyaannya: bagaimana mempelajari tindakan sosial itu? Weber menganjurkan melalui penafsiran dan pemahaman (intepretatif understanding) atau menurut terminologi Weber sendiri dengan: Verstehen. Jelas disini untuk Sosiologi SMA K-6 81

90 mempelajarinya tidak mudah. Bila seseorang hanya berusaha meneliti perilaku (behavior) saja dia tidak akan yakin bahwa perbuatan itu mempunya iarti subyektif dan diarah kan kepada orang lain. Peneliti sosiologi harus mencoba menginterpretasikan tindakan si aktor. Dalam artian yang mendasar, sosiolog harus memahami motif dari tindakan si aktor. Timbul pertanyaan kedua: Bagaimana memahami motif tindakan si aktor itu? Hal ini Weber menyarankan dua cara: 1). Dengan melalui kesungguhan 2). Dengan coba mengenangkan dan menyelami pengalaman siaktor. Tambahan idenya tentang pemahaman ini menempatkan Weber terpisah dari penganut paradigma lainnya. Metode pemahaman yang diajukan weber ini bukan hanya bersifat pemberian penjelasan kausal belaka terhadap tindakan sosial manusia seperti penjelasan dalam ilmu alam. Ada tiga teori yang termasuk ke dalam paradigma defenisi sosial ini. Masingmasing: Teori aksi (action theory), interaksionisme simbolik (simbolic interactionism) dan fenomenologi (phenomenology). Ketiganya jelas mempunyai beberapa perbedaan, tapi juga dengan beberapa persamaan dalam faktor-faktor yang menetukan tujuan penyelidikannya serta gambaran tentang pokok persoalan sosiolgi menurut masing-masing yang dapat mengurangi perbedaannya. Ketiga teori yang termasuk kedalam paradigma definisi sosial, sama sama mengarahkan perhatian kepada: proses sosial, terutama para pengikut interaksionisme simbolik. Dalam kadar yang agak kurang terdapat pula pada penganut teori aksi dan fenomenologi. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas berikut ini akan dibahas ketiga teori itu satu persatu. Sosiologi SMA K-6 82

91 1) Teori Aksi (Action Theory) Teori ini sepenuhnya mengikuti karya Weber. Teori aksi dewasa ini tidak banyak emngalami perkembangan melebihi apa yang sudah di capai took utamanya Weber. Malahan teori ini sebenarnya telah mengalami semacam jalan buntu. Arti pentingnya justru terletak pada peranannya dalam mengembangkan kedua teori berikutnya yakni teori interaksionisme simbolis dan teori fenomenologi. 2) Teori Interaksionisme Simbolik (Simbolic Interactionism Theory) Teori interaksionisme simbolik ini berkembang pertama kali di Universitas Chicago dikenal dengan aliran Chicago. Dua orang tokoh besarnya John Dewey dan Charles Horton Cooley adalah filosof yang semula mengembangkan Teori interaksionisme simbolik di Universitas Michigan. Dewey yang pindah ke Universitas Chicago mempengaruhi beberapa orang tokoh disana. Walaupun begitu dari keseluruhan aliran pemikiran sosiologi. Interaksionisme simbolik adalah teori yang paling sukar disimpulkan. Teori ini berasal dari berbagai sumber tetapi tidak ada satu sumber yangdapat memberikan pernyataan tunggal tentang apa yang menjadi isi dari teori ini, kecuali satu hal, yakni bahwa ide dasar teori ini bersifat menentang behaviorisme radikal yang dipelopori oleh J.B.Watson. hal ini tercermin dari gagasan tokoh sentral teori yakni G.H. Mead yang bermaksud untuk membedakan teori ini dari teori behavioralisme radikal itu. Behaviorisme sebagaimana namanya menunjukan, mempelajari tingkah laku manusia secara obyektif dari luar. Sedangkan Mead dari interaksionisme simbolik, mempelajari tindakan sosial dengan mempergunakan teknik itrospeksi untuk dapat mengetahui barang sesuatu yang melatar belakangi tindakan sosial itu dari sudut aktor. 3) Teori Fenomenologi (Phenomenology Theory) Persoalan pokok yang hendak diterangkan oleh teori ini justru menyangkut persoalan pokok ilmu sosial sendiri, yakni bagaimana kehidupan bermasyarakat ini dapat terbentuk. Secara singkat dapat dikatakan bahwa interaksi sosial terjadi dan Sosiologi SMA K-6 83

92 berlangsung melalui penafsiran dan pemahaman tindakan masing-masing baik antar individu maupun antar kelompok.ada empat unsur pokok dari teori ini: a) Perhatian terhadap aktor. Penggunaan metode ini dimaksudkan pula untuk mengurangi pengaruh subyektivitas yang menjadi sumber penympangan, bias dan ketidaktepatan informasi. b) Memusatkan perhatian pada kenyataan yang penting atau yang pokok dak kepada sikap yang wajar atau alamiah (natural attitude) alasannya adalah tidak keseluruhan gejala kehidupan sosial mampu diamati. Karena itu perhatian harus dipusatkan kepada gejala yang penting dari tindakan manusai sehari-hari dan terhadap sikap-sikap yang wajar. c) Memusatkan perhatian kepada masalah mikro. Maksudnya mempelajari proses pembentukan dan pemeliharaan hubungan sosial pada tingkat interaksi tatap muka untuk memahaminya dalam hubungan nya dengan situasi tertentu. d) Memperhatikan pertumbuhan, perubahan dan proses tindakan. Berusaha memahami bagaimana keteraturan masyarakat diciptakan dan dipelihara dalam kehidupan pergaulan sehari-hari. Metode Penelitian Definisi Sosial Penganut paradigma Definisi sosial ini cenderung mempergunakan metode observasi dalam penelitian mereka. Alasannya adalah untuk dapat memahami realitas intrasubjective dan intersubjective dari tindakan sosial dan interaksi sosial. Untuk maksud tersebut metode kuesioner dan interviu dinilai kurang relefvan. Begitupula metode eksperimen. Metode ini meskipun dapat mengganggu spontanitas tindakan serta kewajaran dari sikap si aktor yang diselidiki, melalui penggunaan metode observasi dapat disimpulkan hal hal yang bersifat intrasubjective dan intersubjective yang timbul dari tindakan aktor yang diamati. Tipe teknik observasi.teknik yang paling ringan adalah observasi yang bersifat eksplorasi. Teknik ini paling subyektif sifatnya dan pemakaiannya berhubungan erat dengan rencana observasi yang sebernarnya. Biasanya teknik observasi dipergunakan terutama untuk mengamati tingkahlaku actual, berdasarkan Sosiologi SMA K-6 84

93 cara peneliti berpartisipasi didalam kelompok yang diselidikinya, dapat dibedakan empat tipe observasi: 1) Participant observation. Peneliti tidak memberitahukan maksudnya kepada kelompok yang diselidikinya. Peneliti dengan sengaja menyembunyikan bahwa kehadirannya ditengah-tengah kelompok yang diselidikinya itu adalah untuk meneliti. 2) Participant as observer. Bedanya dengan teknik yang pertama terletak pada kenyataan bahwa dalm teknik ini peneliti memberitahukan maksudnya kepada kelompok yang diteliti. 3) Observer as participant. Teknik ini dipergunakan dalam penelitian yang hanya berlangsung dalam sekali kunjungan dan dalam waktu singkat, misalnya sehari. Karena itu teknik ini jelas memerlukan perencanaan yang sangat terperinci tentang segala sesuatu yang akan dicari melalui penelitian singkat itu. 4) Complete observer. Peneliti tidak berpartisipasi tetapi menempatkan dirinya sebagai orang luar sama sekali dan subyek yang diselidiki tidak menyadari bahwa mereka sedang diselidiki. Teknik ini dapat terstruktur atau tidak. Kelemahan teknik observasi ini ialah bahwa diberitahukan atau tidak namun kehadiran peneliti ditengah-tengah kelompok yang diselidiki itu akan mempengaruhi tingkah laku subyek yang diselidiki itu. Lagi pula tidak semua tingkah laku dapat diamati dengan teknik ini, misalnya tingkah laku seksual. 4. Paradigma Perilaku Sosial Pendekatan behaviorisme dalam ilmu sosial sudah dikenal sejak lama, khususnya psikologi. Kebangkitannya di seluruh cabang ilmu sosial di zaman modern, ditemukan dalam karya B.F. Skinner, yang sekaligus pemuka exemplar paradigma ini. Melalui karya itu skinner mencoba menerjemahkan prinsip-prinsip psikologi aliran behaviorisme kedalam sosiologi. Teori, gagasan dan praktek yang dilakukannya telah memegang peranan penting dalam pengembangan sosiologi behavior. Sosiologi SMA K-6 85

94 Skinner melihat kedua paradigma fakta sosial dan definisi sosial sebagai perspektif yang bersifat mistik, dalam arti mengandung sesuatu persoalan yang bersifat teka-teki, tidak dapat diterangkan secara rasional. Kritik Skinner ini tertuju kepada masalah yang substansial dari kedua paradigma itu, yakni eksistensi obyek studinya sendiri. Menurut Skinner, kedua paradigma itu membangun obyek studi berupa sesuatu yang bersifat mistik. Ide pengembangan paradigma perilaku sosial ini dari awal sudah dimaksudkan untuk menyerang kedua paradigma lainnya. Karena itu tidak mengherankan bila perbedaan pandangan antara paradigma perilaku sosial dengan kedua paradigma lainnya itu merupakan sesuatu yang tidak dapat terelakkan. Dalam bukunya Beyond Freedom and Dignity, Skinner menyerang langsung paradigma definisi sosial dan secara tak langsung terhadap paradigma fakta sosial, seperti yang tercermin dalam uraian berikut. Konsep yang didefinisikan oleh paradigma fakta sosial dinilainya mengandung ide yang bersifat tradisional khususnya mengenai nilai-nilai sosial. Menurutnya pengertian kultur yang diciptakan itu tak perlu disertai dengan unsure mistik seperti ide dan nilai sosial itu. Alasannya karena orang tidak dapat melihat secara nyata ide dan nilai-nilai dalam mempelajari masyarakat. Yang jelas terlihat adalah bagimana manusia hidup, memelihara anaknya, cara berpakaian, mengatur kehidupan bersamanya dan sebagainya. Pokok persoalan dalam Paradigma perilaku sosial memusatkan perhatiannya kepada antar hubungan antara individu dan lingkungannya. Lingkungan itu terdiri atas: (1) Bermacam-macam obyek sosial; (2) Bermacam-macam obyek non sosial. Prinsip yang menguasai hubungan antara individu dengan obyek sosial adalah sama dengan prinsip yang menguasai hubungan antara individu dengan obyek non sosial. Penganut paradigma ini memusatkan perhatian kepada proses interaksi. Tetapi secara konseptual berbeda dengan paradigma definisi sosial. Bagi paradigma definisi sosial, aktor adalah dinamis dan mempunyai kekuatan kreatif di dalam interaksi. Aktor tidak hanya sekedar penanggap pasif terhadap stimulus tetapi menginterpretasikan stimulus yang diterimanya menurut caranya mendefinisikan stimulus yang diterimanya itu. Bagi paradigma perilaku sosial individu kurang sekali memiliki kebebasan. Sosiologi SMA K-6 86

95 Perbedaan pandangan antara paradigma perilaku sosial ini dengan paradigma fakta sosial terletak pada sumber pengendalian tingkah laku individu. Bagi paradigma fakta sosial, strutur makroskopik dan pranata-pranata yang mempengaruhi atau yang mengendalikan tingkah laku inidividu, bagi paradigma perilaku sosial persoalannya lalu bergeser. Sampai seb erapa jauh faktor strukturhubungan individu dan terhadap kemungkinan perulangan kembali persoalan ini yang dicoba dijawab oleh teori-teori paradigma prilaku sosial. Ada dua teori yang termasuk ke dalam paradigma perilaku sosial 1). Behavioral Sociology dan 2). Teori Exchange 1) Teori Sosiologi Perilaku (Behavioral Sociology Theory) Teori ini dibangun dalam rangka menerapkan prinsip psikologi perilaku kedalam sosiologi. Teori ini memusatkan perhatiannya kepada hubungan antara akibat dari tingkah laku yang terjadi di dalam lingkungan aktor dengan tingkah laku aktor. Konsep dasar behavioral sosiologi yang menjadi pemahamannya adalah reinforcement yang dapat diartikan sebagai ganjaran (reward) tak ada sesuatu yang melekat dalam obyek yang dapat menimbulkan ganjaran. Perulangan tingkahlaku tak dapat dirumuskan terlepas dari efeknya terhadap perilaku itu sendiri. Perulangan dirumuskan dalam pengertiannya terhadap aktor. 2) Teori Pertukaran (Exchange Theory) Tokoh utamanya adalah George Hofman. Teori ini dibangun dengan maksud sebagai reaksi terhadap paradigma fakta sosial. Keseluruhan materi teori pertukaran itu secara garis besarnya dapat dikembalikan kepada lima proposisi George Hofman berikut: 1. Jika tingkah laku atau kejadian yang sudah lewat dalam konteks stimulus dan situasi tertentu memperoleh ganjaran, maka besar kemungkinan tingkah laku atau kejadian yang mempunyai hubungan stimulus dan situasi yang sama Sosiologi SMA K-6 87

96 akan terjadi atau dilakukan. Proposisi ini menyangkut hubungan antara apa yang terjadi pada waktu silam dengan yang terjadi pada waktu sekarang. 2. Menyangkut frekuensi ganjaran yang diterima atas tanggapan atau tingkah laku tertentu dan kemungkinan terjadinya peristiwa yang sama pada waktu sekarang. 3. Memberikan arti atau nilai kepada tingkah laku yang diarahkan oleh orang lain terhadap aktor. Makin bernilai bagi seorang sesuatu tingkah laku orang lain yang ditujukan kepadanya makin besar kemungkinan untuk mengulangi tingkah lakunya itu. 4. Makin sering orang menerima ganjaran atas tindakannya dari orang lain, makin berkurang nilai dari setiap tindakan yang dilakukan berikutnya 5. Makin dirugikan seseorang dalam hubungannya dengan orang lain, makin besar kemungkinan orang tersebut akan mengembangkan emosi, misalnya marah. Metode Penelitian Paradigma Perilaku Sosial Paradigma perilaku sosial dapat menggunakan metode yang dipergunakan oleh paradigma yang lain seperti kuesioner, interviu dan observasi. Namun demikian paradigma ini tidak banyak mempergunakan metode experiment dalam penelitiannya. Keutamaan metode eksperimen adalah memberikan kemungkinan terhadap peneliti untuk mengontrol dengan ketat obyek dan kondisi di sekitarnya. Metode ini memungkinkan pula untuk membuat penilaian atau pengukuran dengan tingkat ketepatan yang tinggi terhadap efek dari perubahanperubahan tingkah laku aktor yang ditimbulkan dengan sengaja didalam eksperimen itu Ritzer menemukan perbedaan antara ketiga paradigma sosiologi itu bersifat estetis. Perbedaan ini sesuai dengan pengalaman penelitian dilapangan. Berbagai komponen dalam masing-masing paradigma saling menyesuaikan diri kearah hubungan yang makin harmonis. Keseluruhan pendekatan teoritis dalam masing-masing paradigma diakui sebagai persamaan yang medasar, meskipun terdapat perbedaan dalam orientasi Sosiologi SMA K-6 88

97 teoritis. Metode yang disukai oleh masing-masing paradigma, jelas sekali salng berpautan dengan masing-masing paradigma. Karena itu menurut Ritzer, paradigma yang ada dalam sosiologi itu saling berhubungan satu sama lain dengan demikian akan melemahkan sebagian besar dasar-dasar perbedaan yang ada sekarang. Ada memang perspektif yang tak dapat dikategorikan. Di antaranya adalah teori penting yang laihir dari aliran Frankfurt yang menentang klasifikasi. Teori ini menggambarkan dasar bagi kemunculan paradigma keempat. Yang lainny adalah semakin meningkatnya arti penting dari aliran biologi dalam sosiologi. 5. Perbedaan Paradigma Sosiologi Sekarang dan di Masa Datang Sosiologi dewasa ini secara radikal terbagi dalam tiga paradigma yang saling bersaingan. Masing masing berjuang mencapai dominasi. Pada waktu bersamaan ketiganya berkompetisi untuk memperoleh keunggulan dalam sub-area yang berdekatan dalam sosiologi. Tak ada pendukung paradigma tertentu yang bebas dari keritik penganut paradigma lainnya. Adapun yang menjadi implikasi dari kemajemukan paradigma tersebut terhadap sosiologi modern dewasa ini. Ritzer menduga sebagian besar sosiolog tidak menyadari ujud perbedaan yang mendasar dalam sosiologi itu. Sebagian besar sosiolog dimasa lalu percaya perbedaan antara teori konflik dan teori fungsionalisme struktural merupakan perbedaan yang mendasar dalam sosiologi. Konklusi paling umum ialah bahwa dalam waktu dekat akan terjadi perdamaian paradigma sosiologi. Dalam waktu singkat nampaknya tak aka nada paradigma dominan dalam sosiologi. Alasannya banyak. Pertama, jarang terjadi suatu ilmu didominasi oleh satu paradigma saja. Kedua, meskipun penganut masing-masing paradigma menyatakan mampu menyelesaikan segenap persoalan sosiologi, namun pendekatan mereka rupanya hanya cocok untuk bidang realitas sosial tertentu saja. Ketiga, dan terpenting, karena kesetiaan yang fanatic penganut paradigma itu terhadap politik dan tujuan paradigmanya masing-masing belum terlihat langkahlangkah yang berarti kearah pengembangan paradigma tunggal sampai saat ini karena kebanyakan sosiolog lebih beketetapan hati terhadap paradigma yang Sosiologi SMA K-6 89

98 mereka anut daripada pengembangan pemikiran sosiologisnya. Komitmen utama mereka ialah untuk memenangkan paradigma yang mereka anut. Untuk memahami ketiga paradigma, paradigma fakta sosial, paradigma prilaku sosial dan paradigma defenisi sosial secara mendalam kita harus mempelajari strukturnya, norma-norma dan nilai-niali yang dilipatnya seperti, definisi situasi dan akibat tindakan dari sosiolog penganut masing-masing paradigma itu. Suatu paradigma sosiologi mencakup struktur, institusi, defenisi situasi, tindakan dan kemungkinan perulangan tindakan. Berdasarkan kenyataan ini kita memerlukan seluruh paradigma. 6. Jembatan Paradigma: Menuju Paradigma Sosiologi Yang Terpadu Menurut Ritzer semua teoritis besar sosiologi sebenarnya mampu menjadi jembatan paradigma. Mereka sedikit banyak mampu bergerak dengan mudah di antara dua atau lebih paradigma yang didiskusikan di sini. Ini sama sekali bukan proses yang disadari sekalipun sebagian besar teoritisi itu merasa perlu menerangkan realitas sosial menurut cara yang berlainan. Ada yang mencoba berususan dengan berbagai macam paradigma sekaligus, sementara yang lain berpindah dari satu paradigma ke paradigma lainnya. Yang termasuk jembatan paradigma dalam sosiologi ialah: Durkheim, Weber, Marx dan Parsons. Secara terperinci kandungan Bab ini dapat disimpulkan sebagai berikut. a. Behaviorisme selain disukai banyak sosiolog juga merupakan perspektif utama sosiologi kontemporer. Sebagian besar analisa sosiologi mengabaikan arti penting behaviorisme b. Konsepsi umum yang memisahkan antara teori fungsionalisme structural dan teori konflik adalah menyesatkan. Kedua teori ini lebih banyak unsure persamaanya ketimbang perbedaanya, karena keduanya tercakup kedalam satu paradigma c. Implikasi lain ialah adanya hubungan antara teori dan metode yang selalu dikira dipraktekan secara terpisah satu sama lain. Umumnya terdapat keselarasan antara teori dan metode Sosiologi SMA K-6 90

99 d. Ada irrasionalitas dalam sosiologi, kebanyakan sosiolog yang terlibat dalam pekerjaan teoritis dan metodologi tidak memahami kaitan erat antar keduanya. e. Pertentangan antar paradigma sosiologi sangat bersifat politik. Tiap paradigma bersaing disetiap bidang sosiologi. Kebanyakan upaya sematamsata untuk menyerang lawan dari paradigma lain dengan berondongan kata-kata yang berlebih-lebihan. Pemikiran awal tentang status paradigm sosiologi, menurut Kuhn, periode normal science adalah suatu periode pengumpulan ilmu pengetahuan,dimanapara ilmuwan terus menyelidiki. Pengertian kunci dan aplikasi soiologis karya Kuhn ini adalah konsep Paradigma. menurut Ritzer,sosiologi didominasi oleh tiga paradigm yaitu Paradigma fakta social,definisi social dan perilaku social. Perspektif strukturalisme juga berpotensi untuk tampil sebagai paradigm sosiologi yang baru. Karena pendekatan sosiologi bersifat sepihak maka pertumbuhan minat dan kesadaran akan pentingnya suatu pendekatan terpadu sudah selayaknya dikembangkan. Masalah bagi teori umum tentang keteraturan sosial adalah menetapkan hubungan antar aktivitas struktural dengan fakta struktural. Penganut paradigma fakta sosial terlihat menekankan struktur makro sedangkan paradigm definisi sosial berpendirian bahwa individulah yang menentukan struktur sosial. Menuju integrasi paradigma exemplar untuk paradigam terpadu Untuk mengatasi masalah di tingkat paradigm, Ritzer mencoba menciptakan suatu exemplar paradigm yang terpadu. Ide kuncinya adalah tingkatan realitas sosial, realitas sosial paling tepat dipandang sebagai kesatuan sosial yang berskala luas yang mengalami perubahan terus menerus. Paradigma Sosiologi terpadu harus bisa menjelaskan: 1) kesatuan makro-obyektif seperti birokrasi 2) struktur makro-obyektif seperti kultur 3) fenomena mikro-obyektif sepert pola-pola interkasi sosial 4) fakta-fakta mikro subyektif seperti proses pembentukan realitas. pendekatan terpadu terhadap realitas sosial. Sosiologi SMA K-6 91

100 Ada 4 teoritis yang dibicarakan: Durkheim, Marx, Weber dan Parsons. Mereka memusatkan perhatian kepada fenomena sosial pada tingkat makro-obyektif dan makro subyektif. Mereka mengajukan konsep yang berguna untuk membicarakan secara terpadu kesemua tingkatan utama relitas sosial. Hal yang harus diperhatikan: 1) Paradigma terpadu bukan pengganti paradigma yang ada. 2) inti dari paradigam terpadu terletak antara hubungan makro dan mikroobjektif, makro dan mikro subyektif 3) menekankan perhatian kepada sosiologi modern. 4) paradigma terpadu harus diperbandingkan dengan perjalanan waktu atau antara masyarakat. Pendekatan terpadu terhadap realitas sosial. Sosiologi adalah ilmu yang berparadigma banyak, sasaran utama adalah menciptakan paradigma lebih terpadu. Paradigma ini banyak mengambil dari manfaat logika dialektis yang membiasakan kita kepada berjenis hubungan antar berbagai tingkat realitas social. Satu hal yang menyebabkan paradigma menjadi menarik adalah kenyataan bahwa paradigma itu tidak mampu menjawab persoalan. Untuk menanggulangi masalah di tingkat paradigma, Ritzer mencoba mencipatakan suatu exemplar paradigma terpadu. Untuk itu ia mengajukan model yang diharapkannya akan menarik perhatian sosiolog yang tak menyukai paradigma sosiologi yang kini ada. Ide kuncinya disini ialah tingkat realitas sosial. Ini bukan berarti bahwa realitas sosial benar-benar terbagi dalam beberapa tingkatan. Dalam kenyataanm realitas sosial paling cepat dipandang sebagai kesatuan sosial yang berskala luas yang mengalami perubahan secara terus menerus. Untuk menerangkan kompleksitas yang sangat luas ini, sosiolog harus melakukan abstraksi dalam berbagai tingkatan kepentingan analisa secara sosiologis. Jadi tingkatan tersebut lebih merupakan suatu kontrak sosiologis dari pada sebagai gambaran keadaan sebenarnya yang ada dalam masyarakat. Tingkatan realitas sosial dapat diperoleh dari interrelasi dua dasar kontinum sosial, yakni maskroskopik-mikroskopik dan obyektif-subyektif. Dimensi Sosiologi SMA K-6 92

101 makroskopik-mikroskopik berkaitan dengan ukuran besarnya fenomena sosial, mulai dari kehidupan masyarakat sebagai suatu keseluruhan sampai kepada tindakan sosial. Sedangkan kontinum obyektif-subyektif, mengacu pada persoalan apakah fenomena sosial berupa barang suat yang nyata-nyata ada dan berujud material (seperti birokrasi dan pola-pola interaksi sosial) ataukah berupa barang sesuat yang adanya hanya di dalam alam ide dan didalam pengetahuan saja (seperti normanorma dan nilai-nilai) Sosiologi adalah ilmu yang berparadigma banyak. Dalam bab ini Ritzer menguraikan pandangannya tentang status dan perluasan ide-ide yang dikumukakannya dalam karyanya terdahulu. Sasaran utama nya adalah menciptakan paradigma yang lebih terpadu. Untuk maksud itu ia telah membahas karya-karya sosiolog terkemuka yang telah mengetengahkan petunjuk bermanfaat dalam hal ini. Meskipun tak satupun dari karya itu yang sama sekali memadai, tetapi ternyata sudah banyak sosiolog yang telah mempunyai pengertian tentang pendekatan terpadu itu. Berdasarkan karya mereka itu Ritzer menawarkan garis besar exemplar bagi paradigma terpadu. Ritzer menyadari bahwa pembedahan teori dan kecenderungan arah berpikir sosiolog yang ia temukan dalam tiga paradigma, masing-masing membuat posisi paradigma menguat seiring dengan bertambahnya jumlah pengusung, serta pengokohan bangunan paradigma yang diusung. Setiap paradigma berada pada dimensi yang ekslusif subyektif sehingga meredupsi peran yang dapat pula diberikan oleh paradigma lainnya dalam memandang realitas sosial. Ritzer mengemukakan bahwa dalam upaya menutu paradigma sosiologi yang terpadu, entah kapan itu akan terwujud, sebaiknya mampu mengakomodir aras generas yang dilalui oleh ketiga paradigma tersebut, yang diharapkan mampu menjelaskan kesatuan makro obyektif seperti birokrasi, struktur makro subyektf seperti kultur, fenomena mikro obyekfi seperti pola-pola interaksi sosial, dan juga fakta-fakta mikro subyekfi seperti proses pembentukan realitas. Sebenarnya tidak hanya Ritzer seorang yang mengemukakan paradigma dalam ilmu sosiologi, ilmuwan sosial lainnya juga memiliki pembagian teorisasi sosiologi yang didasarkan pada cara pandangnya masing-masing. Randall Collins Sosiologi SMA K-6 93

102 (1994) dalam bukunya yang berjudul Four Sociological Traditions menggolongkan sosiologi ke dalam empat tradisi pikir yang disebutnya sebagai tradisi konflik, tradisi rasional/utilitaritarian, tradisi Durkheimian, dan tradisi mikro interaksionisme. Dalam tradisi konflik ia memasukan pemikiran Karl Marx yang tergambar dalam teori kelas sosial, teori ideologi, teori konflik politik, teori revolusi, teori stratifikasi jenis kelamin. Pemikiran konflik Max Weber antara lain seperti pengorganisasian sebagai kekuatan perjuangan, pembagian kelas, budaya kelas, dan ketidaksetaraan kelas, mobilisasi kelas, dan konflik politik, serta zaman emas dalam sejarah sosiologi. Dalam tradisi rasional/utilitarian ia memasukan proposisi tiga hal sosiologis yang diterapkan dalam perdagangan pasar, yakni inflasi pendidikan, split tenaga kerja, dan barang ilegal. Dan usulan solusi rasional dalam menciptakan solidaritas sosial. Dalam tradisi Durkheimian ia memasukan kesamaan pandangan sosial antar Montequieu, Comte, dan Spencer, fungsionalisme Merton dan Parson, ritual perang antar kelas oleh Fustel de Coulanges, teori kematian dan simbolik Durkheim, dasar ritual stratifikasi oleh W. Lioyd Warness, pemujaan individu sehari-hari oleh Erving Goffman, ritual interaksi dan budaya kelas oleh Collins, Bernstein dan Douglas. Selanjutnya teori keajaiban pertukaran sosial Marcel Mauss, teori aliansi Levi Strauss, dan teori rantai ritual interaksi. Terakhir, dalam tradisi mikro interaksionis Colins memasukan pemikiran Charles Sanders Peire tentang pragmatis, pemikiran Cooley tentang masyarakat dalam khayalan, sosiologi pemikiran oleh Mead, interaksionisme simbolik Blumer, sosiologi kesadaran oleh Husserl, Schutz, dan Garfinkel, serta pemikiran Goffman mengenai balas dendam. Bryan S. Turner (1997) dalam bukunya yang berjudul The Structure of Sociological Theory membagi sosiologi ke dalam tujuh perspektif antara lain teori fungsionalisme, teori evolusi, teori konflik, teori pertukaran, teori interaksionisme, teori strukturalis, dan teori kritis. Pada perspektif pertama teori fungsionalisme mencakup pendekatan empirik Robert K. Merton, pendekatan analisis Talcott Sosiologi SMA K-6 94

103 Parsons, neo fungsionalisme Jeffrey C. Alexander, dan fungsionalisme sistem Niklas Luhmann. Perspektif kedua teori evolusi mencakup teori ekologi, teori biologi, dan teori evolusi baru. Perspektif ketiga teori konflik mencakup dialektika konflik Ralf Dahrendorf, konflik fungsionalisme Lewis Coser, teori konflik sintetik Jonathan H. Turner, pendekatan analisis Randall Collins (Teori Neo Weberian), teori konflik dalam perbandingan sejarah sosiologi, teori konflik Neo Marxian, dan teori stratifikasi serta ketidaksetaraan gender. Perspektif keempat teori pertukaran mencakup teori pertukaran, pendekatan behavioristik George C. Homans, pendekatan dialektikal Peter M. Blau, pendekatan pertukaran jaringan Richard M. Emerson, dan teori pilihan rasional. Perspektif kelima teori interaksionisme mencakup teori interaksionisme dan fenomenologi, teori interaksionisme simbolik, teori diri dan identitas, teori peranan(pendekatan sisntesis Ralph H. Turner), pendekatan dramaturgi Erving Goffman, teori tantangan etnometodologi, teori emosi dalam interaksi sosial, dan teori negara harapan. Perspektif keenam teori strukturalis mencakup teori strukturalis, teori strukturasi Anthony Gidden, teori budaya, analisis jaringan, dan teori makro struktural Peter M. Blau. Perspektif ketujuh teori kritis mencakup analisis kritis atas modernitas, pemikiran Frankfurt School atas budaya yang terus berubah, pemikiran Jurgen Hubermas pada proyek Frakfurt School, teori sosiologi atas kritik feminisme, meliputi gender, politik, dan patriarki, dan teori postmodernisme. D. Aktivitas Pembelajaran Pelaksanaan pembelajaran menggunakan pendekatan andragogi lebih mengutamakan pengungkapan kembali pengalaman peserta diklat menganalisis, menyimpulkan dalam suasana yang aktif, inovatif dan kreatif, menyenamgkan dan bermakna. Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam mempelajari materi ini mencakup : Sosiologi SMA K-6 95

104 1. Aktivitas individu, meliputi : a. Memahami dan mencermati materi diklat b. Mengerjakan latihan tugas, menyelesaikan masalah/kasus pada setiap kegiatan belajar, c. Menyimpulkan d. Melakukan refleksi 2. Aktivitas kelompok, meliputi : a. Mendiskusikan materi pelathan b. Bertukar pengalaman dalam melakukan pelatihan penyelesaian masalah /kasus c. Melaksanakan refleksi E. Latihan/ Kasus /Tugas F. Rangkuman Status Paradigma Sosiologi Sosiologi lahir di tengah pergulatan antara ilmu filsafat dan psikologi. Pergulatan ini membawa kepada sintesis baru yang khusus melihat entitas manusia yang terhimpun dalam kelompok-kelompok masyarakat. Pada awalnya sosiologi diperlakukan sebagai fisika sosial oleh pendirinya Auguste Comte, kemudian mindset itu dirubah oleh Emile Durkheim dengan melepaskan tarik menarik di antara dua kutub utama tadi melalui karyanya Suicide dan The Role of Sociological Method. Paradigma sebenarnya (Kuhn) dimunculkan untuk menantang asumsi ilmuwan yang berlaku saat itu, bahwa ilmu pengetahuan berdiri secara kumulatif. Kuhn menjelaskan bahwa adanya paradigma saat ini merupakan bagian dari benturan panjang antara paradigma yang lama dengan berbagai proses yang dilaluinya. Kuhn sendiri mengajukan dua puluh satu jenis paradigma yang kemudian diredupsi oleh Masterman menjadi tiga bagian besar, antara lain paradigma metafisik, paradigma sosiologis, dan paradigma konstruk. Ritzer sendiri mengemukakan sintesisnya pada pengertian paradigma sebagai pandangan yang mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan. Sosiologi SMA K-6 96

105 Paradigma fakta sosial secara umum merupakan terminologi yang diadopsi dari karya Durkheim mengenai fakta sosial. Menurut Durkheim, fakta sosial terdiri dari dua macam yakni dalam bentuk material dan dalam bentuk non material. Menurut Blau, ada dua tipe dasar dari fakta sosial, yakni nilai-nilai umum dan norma yang terwujud dalam kebudayaan atau dalam sub kultur.dalam paradigma fakta sosial teori-teori yang tercakup di dalamnya antara lain teori fungsionalisme struktural, teori konflik, teori sistem, dan teori makro. Penganut paradigma fakta sosial cenderung menggunakan metode kuesioner dan interview dalam penelitian empirisnya. Paradigma yang kedua adalah definisi sosial, yang nampaknya lebih diwarnai oleh pemikiran Weber tentang tindakan sosial, yakni tindakan sosial murni, tindakan berorientasi tujuan, tindakan yang dibuat-buat, dan tindakan atas dasar kebiasaan. Adapun paradigma ini mengakumulasi teori aksi, interaksionisme simbolik, dan fenomenologi sebagai bagian daripadanya. Penganut paradigma ini lebih merasa nyaman menggunakan metode observasi dalam penelitian mereka. Paradigma Perilaku Sosial Paradigma yang terakhir adalah perilaku sosial, yang lebih didominasi oleh arus pemikiran B. F. Skinner yang mencoba menerjemahkan prinsip-prinsip psikologi aliran behaviorisme ke dalam ilmu sosiologi. Perilaku sosial memusatkan perhatiannya pada bermacam obyek sosial juga obyek non sosial. Adapun teori yang tergabung dalam paradigma ini antara lain behavioral sociology dan teori exchange. Perbedaan Antar Paradigma (Suatu Penilaian) Sebenarnya yang menjadi titik perbedaan pada tiga paradigma di atas bukanlah mengenai keragaman pandangan para sosiolog, tetapi terletak pada pokok persoalan yang dikaji. Ritzer sendiri membuat sebuah skema yang menerangkan posisi variabilitas pada masing-masing paradigma, pada paradigma perilaku sosial variabelnya bersifat individual, pada paradigma defisini sosial variabelnya bersifat individual/ grup, dan pada paradigma fakta sosial variabelnya bersifat grup. Untuk menuju paradigma sosiologi yang terpadu, Ritzer menyadari bahwa pembedahan teori dan kecenderungan arah berpikir sosiolog yang ia temukan dalam tiga paradigma, masing-masing membuat posisi paradigma menguat seiring dengan Sosiologi SMA K-6 97

106 bertambahnya jumlah pengusung, serta pengokohan bangunan paradigma yang diusung. Setiap paradigma berada pada dimensi yang ekslusif subyektif sehingga meredupsi peran yang dapat pula diberikan oleh paradigma lainnya dalam memandang realitas sosial. Ritzer mengemukakan bahwa dalam upaya menuju paradigma sosiologi yang terpadu, entah kapan itu akan terwujud, sebaiknya mampu mengakomodir aras generasi yang dilalui oleh ketiga paradigma tersebut, yang diharapkan mampu menjelaskan kesatuan makro obyektif seperti birokrasi, struktur makro subyektf seperti kultur, fenomena mikro obyekfi seperti pola-pola interaksi sosial, dan juga fakta-fakta mikro subyekfi seperti proses pembentukan realitas. Sebenarnya tidak hanya Ritzer seorang yang mengemukakan paradigma dalam ilmu sosiologi, ilmuwan sosial lainnya juga memiliki pembagian teorisasi sosiologi yang didasarkan pada cara pandangnya masing-masing. G. UMPAN BALIK Setelah membaca kegiatan pembelajaran dalam modul ini apakah Anda memperoleh pengetahuan baru, yang sebelumnya belum pernah Anda pahami, apakah materi yang diuraikan mempunyai manfaat dalam mengembangkan profesionalisme, apakah materi yang diuraikan mempunyai kedalaman dan keluasan yang Anda butuhkan sebagai guru. Setelah Anda membaca kegiatan pembejaran dalam modul ini rencana tindak lanjut apa yang akan Anda lakukan? Glosarium Sosiologi SMA K-6 98

107 Daftar Pustaka Cabin, Philipe & Jean Francois Dortier (ed) Sosiologi: Sejarah dan Berbagai Pemikirannya. Yogyakarta: Kreasi Wacana Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt Sosiologi Jilid 2. Terjemahan Aminuddin Ram dan Tita Sobari. Jakarta: Penerbit Erlangga. Johnson, Doyle Paul Teori Sosiologi Klasik dan Modern 2. Terjemahan Robert M.Z. Lawang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Ritzer, George Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Penyadur: Alimandan. Jakarta: Rajawali Pers. Ritzer, George & Douglas J. Goodman Teori Sosiologi Modern. Penyadur: Alimandan. Jakarta: Kencana Siahaan, Hotman M Pengantar ke Arah Sejarah dan TeoriSosiologi. Jakarta: Penerbit Erlangga. Zamroni Pengantar Pengembangan Teori Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana Sosiologi SMA K-6 99

108 Kegiatan Pembelajaran 5 DAMPAK PERUBAHAN SOSIAL A. Tujuan Dengan berdiskusi, membaca modul, mengerjakan tugas, guru mampumenyimpulkan dampak perubahan sosial bagi masyarakat. B. Indikator Pencapaian Kompetensi 1. Menjelaskan dampak positif perubahan sosial 2. Menjelaskan dampak negatif perubahan sosial C. Uraian Materi Pembahasan materi perubahan sosial telah diberikan pada sebelum grade 6 yang meliputi : pengertian, ciri-ciri perubahan sosial, faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sosial, bentuk- bentuk perubahan sosial, faktor pendorong dan penghambat perubahan sosial, teori-teori perubahan sosial. Maka modul ini membahas dampak perubahan sosial tentunya berupa dampak positif dan dampak negatif. 1. Dampak positif a. Integrasi Sosial Dalam perubahan sosial di masyarakat, perlu diikuti adanya penyesuaian baik unsur masyarakat maupun unsur baru. Hal ini sering disebut sebagai integrasi sosial. Unsur yang saling berbeda dapat saling menyesuaikan diri. Indonesia yang terdiri dari beranekaragam suku bangsa dan budayanya, diharapkan semua unsur/ komponen bangsa dapat menyesuaikan diri. Oleh karena itu akan terciptakan integrasi sosial atau integrasi nasional Indonesia. Contoh dengan diroklamasikan negara Repblik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, maka terjadi integrasi sosial untuk seluruh bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa yang hidup dan bertempat tinggal di pulau-pulau diseluruh Indonesia. Sosiologi SMA K-6 100

109 Gambar 1:Google, download 7 Desember Integrasi sosial jika digambarkan seperti gambar di atas, nampak masing-masing anggota masyarakat memegang dan dipegang erat tangannya, merapatkan keanggotaannya, konsekuen dan bertanggungjawab terhadap keutuhan anggota masyarakat. b. Berkembang nilai-nilai yang lebih bermakna dalam hidup. Untuk kemudahan hidup bersama, pemahaman untuk saling menghormati, menghargai prestasi dan karya orang lain, bahkan akan terjadi sharing hidup dan saling memberi dan menerima, sehingga hubungan sosialnya interdependensi. Gambar 2:Google, &source=lnms&tbm= Sosiologi SMA K-6 101

110 Hubungan sosial interdependensi apabia digambarkan nampak seperti gambar di atas, dimana masing-masing individu dalam masyarakat mempunyai kemauan bersama, menjalin ikatan untuk hidup bersama, saling menghargai, saling menolong, saling memberi dan mau menerima dari sesamanya. 2. Dampak negatif a. Disintegrasi Sosial Disintegrasi sering diartikan sebagai proses terpecahnya suatu kesatuan menjadi bagian-bagian kecil yang terpisah satu sama lain. Sedangkan disintegrasi sosial adalah proses terpecahnya suatu kelompok sosial menjadi beberapa unit sosial yang terpisah satu sama lain. Proses ini terjadi akibat hilangnya ikatan kolektif yang mempersatukan anggota kelompok satu sama lain. Perubahan sosial sering ditandai dengan perubahan unsur kebudayaan, tanpa diimbangi perubahan unsur kebudayaan yang lain yang saling terkait. Biasanya unsur yang cepat berubah adalah kebudayaan kebendaan bila dibandingkan dengan kebudayaan rokhani. Dalam hal ini dapat dikemukakan beberapa bentuk: 1) Anomie Anomie adalah keadaan kritis dalam masyarakat akibat perubahan sosial dimana norma/ nilai lama memudar, namun norma/ nilai baru yang akan menggantikan belum terbentuk. Dengan demikian dalam kehidupan masyarakat sekolah-olah tidak ada norma atau nilai. Tokoh teori ini adalah Durkheim yang menyatakan tidak ada norma dalam arti norma lama ditolak sedangkan norma baru belum diberlakukan. Sedangkan Robert K Merton menyatakan bahwa budaya mengharuskan memunculkan nilai tertentu, tetapi realitas sosial menolak mempraktikan nilai itu. Maka terjadilah anomie. 2) Cultural Lag Menurut William F. Ogburn dikemukakan sebagai perbedaan taraf kemajuan antara berbagai bagian dalam kebudayaan, atau ketertinggalan antara unsur kebudayaan material dengan non material. Budaya yang masuk dalam masyarakat begitu pesat Sosiologi SMA K-6 102

111 tanpa diimbangi dengan ilmu pengetahuan tentang budaya itu. Masyarakat menjadi seperti orang yang terkejut dalam menerima budaya baru itu. Tak jarang manusia menggunakan fungsi kebudayaan itu dengan tidak semestinya. Perkembangan budaya yang tak seimbang merupakan masalah pokok dari semua ini.. Budaya material cenderung berkembang lebih maju dan lebih dulu meninggalkan kebudayaan non material Dalam kehidupan sehari-hari banyak kita jumpai orangorang yang sudah memiliki teknologi canggih. Banyak orang yang memiliki handphone yang canggih, yang dilengkapi dengan banyak fitur untuk memudahkan kehidupan. Akan tetapi, mereka tidak tahu atau tidak bisa untuk menggunakan fiturfitur yang telah tersedia. Bahkan kadang kita temui orang yang memiliki handphone yang canggih, tetapi masih bertanya tentang bagaiman cara menghidupkan alaram. Kejadian seperti ini sering kita temukan. Dalam berkembangnya budaya materiil oran mudah untuk menerimanya. Iklan-iklan di televisi yang begitu menarik merupakan daya tarik tersendiri. Hal ini menyebabkan budaya tersebut tidak berfungsi sesuai dengan semestinya, mudah akan menjadi bumerang bagi pemakainya. Komputer diciptakan untuk mempermudah kebutuhan manusia akan berubah menjadi hal yang mealah membuat manusia itu menjadi lupa dengan waktu. 3) Mestizo Culture. Mestizo culture atau kebudayaan campuran merupakan proses percampuran unsur kebudayaan yang satu dengan unsur kebudayaan lain yang memiliki warna dan sifat yang berbeda. Hal ini bercirikan sifat formalisme, yaitu hanya dapat meniru bentuknya, tetapi tidak mengerti akan arti sesungguhnya. Keadaan ini ditandai dengan meningkatnya pola konsumsi masyarakat serta terjadinya demonstrasi efek (pamer kekayaan) yang makin besar dengan adanya iklan. Kondisi demikian dapat menimbulkan disintegrasi sosial. Dalam kehidupan masyarakat perubahan sosial kadang-kadang dapat menimbulkan ketidakseimbangan (disequilibrium). Ketidakseimbangan tersebut dapat disebabkan adanya kesenjangan budaya dalam masyarakat (disintegrasi sosial). Sosiologi SMA K-6 103

112 Adapun gejala yang menyebabkan terjadinya disintegrasi sosial adalah: a. Tidak ada persepsi atau persamaan pandangan di antara anggota masyarakat mengenai norma yang semula dijadikan pegangan oleh anggota masyarakat. b. Norma-norma masyarakat tidak berfungsi dengan baik sebagai alat untuk mencapai tujuan masyarakat. c. Timbul pertentangan norma-norma dalam masyarakat, sehingga menimbulkan kebingungan bagi anggota masyarakat itu sendiri. d. Tidak ada tindakan sanksi yang tepat bagi pelanggar norma. e. Tindakan dalam masyarakat sudah tidak sesuai lagi dengan norma masyarakat. f. Interaksi sosial yang terjadi ditandai dengan proses yang bersifat disosiatif. Berdasarkan gejala tersebut, kehidupan dalam masyarakat sudah tidak ada lagi penyesuaian di antara unsur yang berbeda (disintegrasi sosial). Disintegrasi sosial akan mendorong timbulnya gejala kehidupan sosial yang tidak normal yang dinamakan masalah sosial. Adapun bentuk disintegrasi sebagai akibat terjadinya perubahan sosial yang dapat dijumpai di Indonesia cukup kompleks. 1) Pergolakan di daerah Pergolakan daerah adalah peristiwa disintegrasi yang mempermasalahkan isu lokal/ daerah. Pergolakan dapat berupa tuntutan sekelompok massa kepada kelompok lain termasuk the rulling class (penguasa). Dari bentuk disintegrasi ini kita dapat mengambil pelajaran untuk lebih berhati-hati dalam melangkah terutama menyangkut hal mendasar dan melibatkan masyarakat luas. Hal ini dapat dicontohkan gerakan RMS (1950), DI/TII ( ), PRRI/Permesta ( ), pergolakan di Aceh, pergolakan di Papua, dan sebagainya. Timbulnya pergolakan daerah dapat dilatarbelakangi hal berikut: a) Sentimen kedaerahan dan primordialisme lebih berkembang dibanding sentimen nasionalisme. b) Sentralisasi kehidupan ekonomi dan politik yang mengakibatkan perbedaan pertumbuhan yang tajam antara pusat dan daerah. Sosiologi SMA K-6 104

113 Adapun faktor yang dapat memunculkan pergolakan di daerah atau konflik antar kelompok antara lain: a) Program pembangunan yang dilaksanakan tidak memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. b) Kurang berfungsinya lembaga masyarakat. c) Ketidakstabilan situasi politik dan keamanan nasional. d) Sarana-sarana komunikasi dan interaksi sosial antar daerah di berbagai bidang tidak berjalan dengan baik. e) Terjadinya kesenjangan sosial ekonomi di masyarakat. f) Masing-masing kelompok atau daerah memiliki kesetiaan primordial yang berlebihan. Pergolakan yang kemungkinan berlangsung dalam masyarakat dapat diminimalisir dengan cara: a) Menyusun perencanaan pembangunan yang mengarah pada peningkatan kualitas hidup masyarakat dan meminimalkan konflik. b) Memfungsikan secara optimal lembaga sosial kemasyarakatan sebagai kontrol sosial. c) Mengefektifkan sarana komunikasi, interaksi atau kerjasama antar kelompok dengan baik. d) Berbagai pihak yang ada dalam masyarakat diajak bersama dalam kelangsungan proses pembangunan. e) Proses pembauran bangsa atau antar suku bangsa harus tetap dijalankan. f) Mempertegas tata nilai hukum dalam kehidupan bangsa. g) Membudayakan nilai Pancasila dan UUD ) Aksi protes dan demonstrasi Aksi protes dapat diartikan gerakan yang dilakukan secara perorangan atau bersama untuk menyampaikan pernyataan tidak setuju yang oleh sebagian besar orang biasanya dilancarkan melalui kecaman pedas. Demonstrasi adalah tindakan Sosiologi SMA K-6 105

114 sekelompok orang secara bersama-sama untuk menunjukkan rasa ketidakpuasan yang pada umumnya menyangkut bidang ekonomi, sosial dan politik.bentuk disintegrasi ini dapat dikategorikan menjadi: a) Demonstrasi yang berkaitan dengan sengketa tanah Aksi ini biasanya dilakukan petani dengan latar belakang mereka merasa ganti rugi yang kurang layak dan ditetapkan secara sepihak, misal pengalihan hak untuk kepentingan ekonomi dan industri seperti perumahan, industri dan kantor. b) Demonstrasi yang berkaitan dengan perburuhan Kategori ini termasuk paling menonjol dan cenderung meningkat. Meningkatnya kasus ini seiring dengan pesatnya perkembangan industri di Indonesia. Tuntutan yang diajukan menyangkut perbaikan kesejahteraan misal, kenaikan upah (UMK), jaminan sosial dan kondisi dan keselamatan kerja. c) Demonstrasi dan protes mahasiswa. Mahasiswa sering dianggap sebagai tumpuan bagi perubahan (agent of change). Tindakan mahasiswa terpusat pada isu lokal/daerah, namun memiliki konteks nasional. Dengan demikian masalah yang diangkat tumpang tindih dengan demonstrasi petani dan buruh. Aksi protes dan demonstrasi dapat membawa pengaruh: a) Negatif Pengaruh negatif akan timbul apabila aksi dilakukan dengan merusak fasilitas umum, mengganggu ketertiban umum, peledakan bom, tidak terkendali dan tidak terarah, akan berakibat merugikan masyarakat umum. b) Positif Pengaruh positif akan timbul jika aksi dilakukan secara terkendali dan terarah, tuntutan disampaikan melalui legislatif/ wakil rakyat atau langsung kepada penguasa melalui nomor kotak pos atau nomor ponsel yang terbuka bagi masyarakat umum. Misal kotak pos 5000 dan 777 Jakarta pada masa orde baru. c) Kriminalitas Tindak kejahatan adalah tingkah laku anggota masyarakat yang melanggar norma hukum dan norma sosial. Secara yuridis, tindak kejahatan diartikan sebagai bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral dan kemanusiaan, Sosiologi SMA K-6 106

115 merugikan masyarakat, dan melanggar ketentuan hukum. Ditinjau secara sosiologis, kejahatan adalah setiap bentuk ucapan, perbuatan, dan tingkah laku yang secara ekonomi, politik, sosial, dan psikologis merugikan kepentingan umum, melanggar norma sosial, dan menyerang keselamatan warga masyarakat. Tindak kriminal pada dasarnya bukan bawaan sejak lahir, namun bisa dilakukan setiap orang. Jika ditinjau secara mendalam, kriminalitas dapat disebabkan adanya proses-proses berikut: a) Persaingan dan pertentangan kebudayaan. b) Perbedaan ideologi politik. c) Pertentangan masalah agama dan kesenjangan di bidang ekonomi. d) Kepadatan dan komposisi kekayaan. e) Perbedaan distribusi kekayaan. f) Perbedaan kekayaan dan pendapatan individu atau manusia dalam masyarakat dapat berbuat tindak kejahatan atas dorongan media massa dan dipelajari dari kelompok kecil yang bersifat intim. Adapun bentuk tindak kejahatan dibedakan atas: a) Blue colour crime atau kejahatan kerah biru merupakan tindak kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat umum yang secara ekonomi dan politik tergolong miskin. Mereka yang berbuat jahat termasuk kelas menengah ke bawah. Tindak kriminal berkaitan dengan pencurian, penjambretan, dans ebagainya. Perbuatan mereka didasari alasan kemiskinan. b) White colour crime atau kejahatan kerah putih merupakan tindak kejahatan yang dilakukan masyarakat lapisan atas (pejabat atau pengusaha) Tindak kejahatan sangat ditentang masyarakat, karena tindakan itu melanggar norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat, terutama norma hukum. Padahal nilai dan norma merupakan bagian penting bagi kesinambungan masyarakat. Oleh karena itu, timbul upaya masyarakat untuk menentang dan mengatasi tindak kejahatan. Sosiologi SMA K-6 107

116 1)Preventif. Tindakan ini dilakukan dengan pencegahan untuk menjaga agar kejahatan tidak timbul kembali, misal melalui penyuluhan hukum atau kadarkum. 2)Represif. Masyarakat melalui lembaga yang ditunjuk melakukan upaya dengan menciptakan sistem dan program untuk menghukum mereka yang berbuat jahat. Disamping itu juga mengupayakan orang tidak berbuat jahat lagi, misal warga diberi konsultasi psikologis atau diklat. D. Aktivitas Pembelajaran 1. Memperhatikan penjelasan fasilitator 2. Memperhatikan petunjuk kegiatan di modul 3. Pelajari hand out dengan seksama 4. Mengerjakan latihan/kasus/tugas 5. Sebaiknya mempelajari materi ini dilakuan secara individual dan kelompok. Secara individual, peserta diklat diharapkan membuat ringkasan materi esensial. Jika kurang memahami, berdiskusi dengan teman atau belajar secara kelompok akan mempermudah dalam memahaminya. 6. Setelah mempelajari materi dampak perubahan sosial ini, selanjutnya Anda ingin mempelajari materi perubahan sosial yang mana? E. Latihan/ Kasus /Tugas 1. Dalam hubungan internasional selalu terjadi perubahan sosial, jelaskan dampak perubahan sosial yang terjadi sesuai dengan gambar di bawah. Google, download 7 Desember Sosiologi SMA K-6 108

117 2. Seiring perjalanan kehidupnan dalam masyarakat, terjadi perubahan sosial yang berdampak seperti gabar di bawah, jelaskan dampak perubahan sosial tersebut. Google download 8 Desember Jika ada ibu-ibu yang membawa gambar di bawah, namun masih sangat sering bertanya cara menggunakannya, orang tersebut termasuk dari dampak perubahan sosial yang mana? Jelaskan argumentasinya. Google, download tanggal 8 Desember Jelaskan yang dimaksu mestizo culture. 5. Jelaskan gejala-gejala sosial yang menyebabkan disintegrasi sosial. Sosiologi SMA K-6 109

118 F. Rangkuman Dampak perubahan sosial: 1. Dampak positif a. Integrasi sosial b. Tumbuh nilai-nilai kehidupan lebih baik : toleransi, menghargai karya orang lain, saling memberi dan menerima, saling membeutuhkan atau interdepensi 2. Dampak negatif a. Disintegrasi sosial b. Aksi demonstrasi c. Kriminalitas G. Umpan Balik dan Tindak Lanjut Setelah membaca kegiatan pembelajaran dalam modul ini apakahandamemperoleh pengetahuan baru, yang sebelumnya belum pernah Anda pahami, apakah materi yang diuraikan mempunyai manfaat dalam mengembangkan materi perubahan sosial, khususnya dampak perubahan sosial?. Setelah Anda membaca kegiatan pembelajaran dalam modul ini rencana tindak lanjut apa yang akan Anda lakukan? H. Kunci Jawaban 1. Berdasarkan gambar di atas terjadi dampak perubahan sosial yang positif, integrasi masyarakat. 2. Berdasarkan gambar di atas, terjadi dampak perubahan sosial negatif, disintegrasi bangsa yang ditandai dengan konflik sosial melalui pergerakan masa, bakkan membakar di tempat umum yang membahayakan anggota masyarakat lainnya. 3. Disebut cultural lag 4. Mestizo culture atau kebudayaan campuran merupakan proses percampuran unsur kebudayaan yang satu dengan unsur kebudayaan lain yang memiliki warna dan sifat yang berbeda. Hal ini bercirikan sifat formalisme, yaitu hanya dapat meniru bentuknya, tetapi tidak mengerti akan arti sesungguhnya. Keadaan ini ditandai dengan meningkatnya pola konsumsi masyarakat serta terjadinya Sosiologi SMA K-6 110

119 demonstrasi efek (pamer kekayaan) yang makin besar dengan adanya iklan. Kondisi demikian dapat menimbulkan disintegrasi sosial. Dalam kehidupan masyarakat perubahan sosial kadang-kadang dapat menimbulkan ketidakseimbangan (disequilibrium). Ketidakseimbangan tersebut dapat disebabkan adanya kesenjangan budaya dalam masyarakat (disintegrasi sosial). 5. Adapun gejala yang menyebabkan terjadinya disintegrasi sosial adalah: a. Tidak ada persepsi atau persamaan pandangan di antara anggota masyarakat mengenai norma yang semula dijadikan pegangan oleh anggota masyarakat. b. Norma-norma masyarakat tidak berfungsi dengan baik sebagai alat untuk mencapai tujuan masyarakat. c. Timbul pertentangan norma-norma dalam masyarakat, sehingga menimbulkan kebingungan bagi anggota masyarakat itu sendiri. d. Tidak ada tindakan sanksi yang tepat bagi pelanggar norma. e. Tindakan dalam masyarakat sudah tidak sesuai lagi dengan norma masyarakat. f. Interaksi sosial yang terjadi ditandai dengan proses yang bersifat disosiatif. DAFTAR PUSTAKA A.Fatchan,2004. Teori-teori Perubahan Sosial Dalam Kajian Perspektif dan Empiris Pada Proses Pembangunan Pertanian, Yayasan Kampusina. Afif Farhan 2012.Selaras Dengan Alam Ala Suku Baduy Dalam, dimuat dalam Google, - detiktravel,senin, 23/04/ :38:00 WIB, di download tanggal 2 Juni 2012 Ali Lukman dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pustaka. Anton 2011, Pembangunan Gedung Bertingkat dalam Google download tanggal 7 Juni 2012 Sosiologi SMA K-6 111

120 Azzans Djuli el-asyi, 2011, Tamu Wajib Lapor 1 X 24 Jam, dalam Google jam_09.html#ixzz1zihw7mwf, download tanggal 5 Juli 2012 Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (Statistics Indonesia of The Republic Indonesia),2009. Tabel Hasil Sensus Penduduk 2010Population Census 2010(Penduduk Menurut Kelompok Umur/Population by Age Group and Sex) dalam Google : download tanggal 11 Juni 2012 Denny Lee, Wow Keren. Foto Lady GaGa Luncurkan Born This Way Foundation Copyright Media Info All Rights Reserved. Dalam Google Edukasi.net Karakteristik Masyarakat Multikultural, Copyright 2010 All rights reserved Google ew&id=281&uniq=2719 Google, download 8 Desember Google download 8 Desember Google, 7 Desember Google, 7 Desember 215 Google, =lnms&tbm Harrison Lawrence E dan Huntington P Samuel,2006. Kebangkitan Peran Budaya Bagaimana Nilai-nilai Membentuk Kemajuan Manusia. LP3ES Sosiologi SMA K-6 112

121 Harun arun Rochayat dan Ardianto Elvinaro,2011. Komunikasi Pembangunan Perubahan Sosial Perspektif Dominan Kaji Ulang dan Teori Kritis, Rajawali Press Imam Murtagi, Teori-teori Perubahan Sosial, dalam Google download 12 Mei 2012 Inimu.com Laptop Bisa Menyebabkan Kemandulan dalam Google di download tanggal 5 Juni 2012 Ita Lismawati F. Malau, Permad I dalam Viva News, Pesawat Sukhoi Jatuh di Gunung Salak. Dalam Google pesawat-sukhoi-superjet-jatuh-di-gunung-salak. download 12 Mei 2012 Johnson di Indonesiakan Lawang Robert M.Z.,1990. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. PT Gramedia. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kopertis Perguruan Tinggi Wilayah XII dalam kompas 3 Maret 2011, Peringkat Pendidikan di Indonesia Menurun dalam Google Martono Nanang, Sosiologi Perubahan Sosial. Perspektif Klasik, Modern, Pos Modern dan Poskolonial, Rajawali Pers. Narwoko Dwi dan Suyanto Bagong,2004. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Kreasindo Fajar Interpratama Offset Permendiknas no. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi Permendiknas no. 16 tahun 2007 tentang standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru Reza Fahlevi,2011. Afganistan, Medan Perang Tak Berujung dalam Google Sosio Blogspot 2012 Dampak Perubahan Sosial. Dalam Googel download 15 Mei 2012 Sosiologi SMA K-6 113

122 Sztompka Piottr alih bahasa Alimandan, Sosiologi Perubahan Sosial, Prenada Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, Soekarno, dalam Google download tanggal 4 Juli 2012 Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, Daftar Wakil Presiden Indonesia, dalam Google tanggal 4 Juli 2012 Wordpress,2011. Dampak Perubahan Sosial Dalam Kehidupan Bermasyarakat, dalam Google, download 10 Mei 2012 Sosiologi SMA K-6 114

123 KEGIATAN PEMBELAJARAN 6: MASALAH KONFLIK SOSIAL A. TUJUAN Setelah mempelajari materi modul Masalah Konflik Sosial peserta diklat diharapkanmampu: 1. Membedakan konsep konflik sosial dengan benar 2. Menjelaskan bentuk-bentuk konflik dengan benar 3. Mengurai masalah konflik sebagai fenomena sosial dengan benar B. INDIKATOR PENCAPAIAN KOMPETENSI Indikator pencapaian kompetensi dalam kegiatan pembelajaran ini, peserta diklat diharapkan mampu: 1. Menjelaskan konsep dasar konflik sosial 2. Menjelaskan teori konflik sosial 3. Mengidentifikasi faktor-faktor penyebab konflik sosial 4. Membedakan bentuk-bentuk konflik sosial 5. Menemutunjukkan alternatif pemecahan konflik sosial. C. URAIAN MATERI 1. Latar Belakang Dimanapun keberadaannya, setiap manusia selalu terlibat interaksi dengan orang lain. Hal itu untuk mencukupi kebutuhannya. Agar semuanya berjalan teratur, maka masyarakat manusia memerlukan aturan-aturan guna mencapai tujuan bersama. Namun seiring perkembangan zaman, interaksi sosial yang berjalan teratur dapat berubah sehingga terjadi adanya konflik sosial. Konflik sosial bisa dipicu oleh beberapa hal, antara lain adanya anggota masyarakat yang tidak paham dengan tujuan kelompok atau masyarakat. Misalnya seseorang yang sesekali berbicara dengan kata-kata kotor diselingi umpatan, Sosiologi SMA K-6 115

124 sedangkan di sekitarnya ada beberapa anak yang sedang memperhatikannya. Konflik juga dapat berlangsung karena norma-norma sosial yang ada tidak membantu anggota masyarakat mencapai tujuan. Hal ini terlihat saat didengungdengungkannya profesionalitas di lingkungan suatu organisasi. Pada saat anggotanya ada yang memiliki kemampuan lebih dibandingkan seniornya, dia tidak bisa menduduki kepengurusan, karena terbentur oleh aturan atau budaya yang ada di organisasi, dimana senior lebih diutamakan (budaya senioritas). Selain hal di atas masih banyak lagi penyebab konflik yang berkembang dalam masyarakat. Konflik yang berlangsung dalam masyarakat dapat terjadi antar individu, individu dengan kelompok, serta kelompok dengan kelompok. Banyak contoh kasus yang terjadi di masyarakat Indonesia saat ini, apalagi sejak adanya reformasi tahun 1998/1999, kebebasan berpendapat di depan umum mulai marak bahkan terkadang tidak terkontrol. Misalnya bentuk pertentangan dengan adanya demonstrasi yang berakhir dengan tindakan anarkhi, berupa perusakan pagar, melakukan pelemparan benda ke aparat atau gedung sampai ada yang rusak. Konflik sosial memang tidak bisa hilang dalam masyarakat, namun apakah membiarkan terjadinya konflik berlangsung tanpa aturan dan ditunjukkan begitu saja tanpa kendali? Anggota masyarakat pasti tidak menghendakinya. Maka konflik perlu dikelola, dalam arti disalurkan melalui media yang tepat, misalnya dengan perundingan atau musyawarah, sehingga konflik tidak mengarah pada merusak barang orang lain atau melukai fisik orang lain. Dalam kerangka itulah, setiap anggota masyarakat perlu mengetahui dan mempelajari apa itu konflik, apa penyebabnya, dan saluran apa yang dapat digunakan untuk meredam konflik. Sehingga anggota masyarakat paham bahwa konflik sebagai peristiwa yang biasa terjadi, tidak perlu dihindari dan konflik bisa diselesaikan dengan cara yang baik. Maka sosialisasi tentang konflik sosial perlu diberikan melalui lembaga formal seperti sekolah-sekolah. Untuk tujuan tersebut, maka bahan ajar ini dibuat agar wawasan tentang konflik sosial lebih luas, sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat dalam menghadapi konflik yang ada. Sosiologi SMA K-6 116

125 2. Konsep Dasar Konflik Menurut Webster dalam Pruitt (2004:9), istilah conflict di dalam bahasa Inggris berarti suatu perkelahian, peperangan atau perjuangan, yaitu berupa pertentangan fisik antara beberapa pihak. Arti kata itu kemudian berkembang dengan masuknya ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide, gagasan, dan lain-lain. Sehingga istilah konflik juga menyentuh aspek psikologis di balik pertentangan fisik itu sendiri. Pribadi maupun kelompok menyadari adanya perbedaan-perbedaan dengan pihak lain, misalnya dalam hal emosi, bentuk fisik, unsur kebudayaan, dan pola perilaku. Perbedaan-perbedaan itu akan semakin menajam manakala dipengaruhi oleh unsur psikologis dalam diri manusia. Unsur psikologis yang dimaksud dapat berupa perasaan amarah, benci yang menyebabkan dorongan-dorongan untuk saling menekan, saling menyerang, saling melukai dan bahkan saling menghancurkan individu atau kelompok yang dianggap sebagai lawan (Soekanto, 2002:98). Suatu pertentangan pada umumnya berkembang dari pertentangan nonfisik, berkadar rendah tanpa kekerasan (non-violent) menjadi benturan fisik, yang bisa berkadar tinggi dalam bentuk kekerasan (violent). Dalam kaitannya dengan pertentangan sebagai konflik, Gurr dalam Al Hakim (2003:3) membuat kriteria yang menandai suatu pertentangan sebagai konflik. Pertama, sebuah konflik harus melibatkan dua pihak atau lebih di dalamnya; kedua, pihak-pihak tersebut saling tarik-menarik dalam aksi-aksi saling bermusuhan (mutualy opposing actions); ketiga, mereka biasanya cenderung menjalankan perilaku koersif untuk menghadapi dan menghancurkan musuh ; keempat, interaksi pertentangan di antara pihak-pihak itu berada dalam keadaan yang tegas, karena itu keberadaan peristiwa pertentangan dapat dideskripsikan dengan mudah oleh para pengamat sosial yang tidak terlibat dalam pertentangan. Dalam kehidupan masyarakat, konflik juga dapat berupa proses instrumental yang mengarah pada pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial serta dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Sosiologi SMA K-6 117

126 Dengan konflik, suatu kelompok dapat memperkuat kembali identitas dan solidaritas di antara anggotanya. 3. Peta Teori Konflik Sosiologi sebagai a multiple paradigm science, sebagaimana yang dinamakan oleh Ritzer (1992), mempunyai banyak teori dan paradigma. Ritzer membedakannya ke dalam (1) paradigma fakta sosial, yang melahirkan teori fungsionalisme struktural dan teori konflik; (2) paradigma definisi sosial yang melahirkan teori aksi, interaksionisme simbolik, dan fenomenologi; dan (3) paradigma pertukaran sosial, yang melahirkan teori sosiologi perilaku dan teori pertukaran. Dari beberapa teori konflik yang dikenal dalam sosiologi, terdapat dua golongan yaitu pertama, teori konflik fungsional dan kedua, teori konflik kelas (Affandi, 2004:135). Kedua kelompok teori ini berakar pada pada pemikiran dua tokoh yaitu Georg Simmel dan Karl Marx. Pemikiran Simmel kemudian diikuti oleh Lewis Coser, sedangkan Marx diikuti oleh Ralf Dahrendorf. Georg Simmel, seorang sosiolog fungsionalis Jerman, dalam karyanya yang berjudul Conflict and The Web of Group-Affiliations, mencoba mendekati teori konflik dengan menunjukkan bahwa konflik merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang bersifat mendasar, berkaitan dengan sikap bekerja sama dalam masyarakat. Simmel memandang konflik sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari dalam masyarakat karena konflik berfungsi untuk mengatasi ketegangan antara hal-hal yang bertentangan dan mencapai kedamaian. Oleh karena itu antagonisme atau sifat yang saling bertentangan adalah unsur dalam suatu kerjasama. Lewis Coser melalui karyanya yang berjudul The Functions ofsocial Conflict, mencoba menitikberatkan pada konsekuensi-konsekuensi terjadinya konflik pada sebuah sistem sosial secara keseluruhan. Teorinya menunjukkan bahwa adalah salah jika memandang konflik sebagai hal yang merusak sistem sosial, karena konflik juga dapat memberikan keuntungan pada masyarakat luas di Sosiologi SMA K-6 118

127 mana konflik itu terjadi. Konflik justru membuka peluang bagi terciptanya integrasi antarkelompok, selain itu konflik juga mengakibatkan terjadinya perubahan sosial. Karl Marx adalah salah seorang teoretisi konflik paling besar dan menjadi rujukan dalam setiap kali pembahasan mengenai konflik. Bangunan utama pemikiran Marx berdasarkan pra-anggapan bahwa pelaku utama dalam masyarakat adalah kelas-kelas sosial. Dalam karyanya The Communist Manifesto, disebutkan bahwa sejarah semua masyarakat hingga sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas. Marx mengkritik masyarakat kapitalis dan membaginya dalam dua pembagian kelas, yaitu kelas atas atau kelas yang berkuasa atau pemilik modal (borjuis) dan kelas bawah atau kelas buruh (proletar). Kelas atas menguasai produksi sedangkan kelas bawah tunduk terhadap kekuasaan kelas atas. Dalam pandangan Marx, negara secara hakiki dikuasai oleh kelas atas yaitu kelas yang menguasai ekonomi. Perspektif negara kelas dapat menjelaskan mengapa yang menjadi korban pembangunan adalah rakyat kecil. Negara dianggap merupakan negara kelas yang mendukung kepentingan kelas-kelas penindas. Negara memungkinkan kelas atas untuk memperjuangkan kepentingan khusus mereka menjadi kepentingan umum. Selain Coser, Ralf Dahrendorf merupakan salah satu teoretisi konflik modern yang sangat terkenal. Melalui karyanya Class and ClassConflict in Industrial Society, Dahrendorf mengajak kembali pada reorientasi sosiologi yang mengarah pada problem-problem perubahan, konflik dan tekanan dalam struktur sosial, khususnya yang menyangkut permasalahan totalitas masyarakat. Meskipun pandangan Dahrendorf banyak dilhami oleh pemikiran Marx, namun teorinya sangat berbeda dengan teori Marx, karena ia menganalisis konflik tanpa memperhitungkan politik ekonomi yang ada, apakah kapitalisme atau sosialisme. Jika Marx bersandar pada pemilikan alat produksi, maka Dahrendorf bersandar pada kontrol atas alat produksi. Dalam terminologi Dahrendorf, pada masa post-kapitalisme, kepemilikan alat produksi baik sosialis maupun kapitalis, tidak menjamin adanya kontrol atas alat produksi (Johnson, 1990:183). Oleh karena itu di luar Marxisme, ia mengembangkan beberapa terminologi dari Max Weber, antara lain bahwa sistem sosial itu Sosiologi SMA K-6 119

128 dikoordinasi secara imperatif melalui otoritas atau kekuasaan. Teori sosial Dahrendorf ini berfokus pada kelompok kepentingan konflik yang berkenaan dengan kepemimpinan, ideologi, dan komunikasi, di samping berusaha melakukan berbagai usaha untuk menstrukturkan konflik itu sendiri, mulai dari proses terjadinya hingga intensitasnya dan kaitannya dengan kekerasan. Dalam hal ini Dahrendorf ingin menunjukkan bahwa kepentingan kelas bawah menantang legitimasi struktur otoritas yang ada. Menurut penganut teori konflik, kesatuan masyarakat yang berdasarkan integrasi dan kesanggupan orang untuk menyesuaikan perilaku mereka dengan struktur-struktur yang ada dan memainkan peranan-peranan mereka sebagaimana mestinya hanyalah sebuah penampakan belaka. Masyarakat hanya nampaknya berintegrasi dan bersepakat tentang nilai-nilai dasar. Pada hakikatnya, masyarakat terbagi dalam kubu-kubu yang saling berlawanan. Teori konflik tidak bertolak dari masalah Apakah yang mempersatukan masyarakat?, tetapi dari Apakah yang mendorong dan menggerakkan masyarakat?. Bukan nilai-nilai bersama yang diutamakan, tetapi kepentingan-kepentingan, persaingan, siasat adu domba, dan sebagainya. Teori konflik menyatakan bahwa adanya kelangkaan terhadap sesuatu yang berharga, misalnya kekuasaan, wewenang, dan barang-barang yang menghasilkan kenikmatan telah memunculkan golongan atau kelompok oposisi, yaitu kelompok yang dirugikan atau porsi lebih besar lagi, atau kelompok yang mencegah pihak lain menguasai barang yang langka itu. Menurut Veeger (1997:93), penalaran teori konflik adalah sebagai berikut: 1. Kedudukan orang-orang di dalam kelompok atau masyarakat tidaklah sama karena ada pihak yang berkuasa dan ada pihak yang tergantung. 2. Perbedaan dalam kedudukan menimbulkan kepentingan yang berbeda pula. Satu pihak ingin meraih kedudukan, di pihak lain ingin mempertahankannya. 3. Mula-mula sebagian dari kepentingan yang berbeda itu tidak disadari yang disebut dengan kepentingan tersembunyi (latent interest) yang tidak akan meletuskan suatu aksi. Tetapi apabila kepentingan tersembunyi itu terusmenerus tertekan bahkan tertindas, maka akan berubah menjadi manifest Sosiologi SMA K-6 120

129 interest, sehingga benturan antara dua pihak, yang berkuasa dan yang dikuasai pun tak terelakkan. 4. Konflik akan berhasil membawa perubahan dalam struktur-struktur relasi sosial. Melihat dari beberapa pandangan mengenai teori konflik di atas, teori konflik pada umumnya berdasar pada asumsi dasar bahwa masyarakat atau organisasi berfungsi sedemikian rupa di mana individu dan kelompoknya berjuang untuk memaksimalkan keuntungan; secara tidak langsung dan tidak mungkin dihindari adalah perubahan sosial yang besar seperti revolusi dan perubahan tatanan politik. Ringkasnya ada sedikitnya empat hal yang penting dalam memahami teori konflik sosial, antara lain: b. Kompetisi atas kelangkaan sumber daya, seperti benda-benda ekonomi. c. Ketidaksamaan struktural, baik dalam hal kekuasaan maupun perolehan yang ada dalam struktur sosial. d. Individu dan kelompok yang ingin mendapatkan keuntungan dan berjuang untuk mencapai revolusi. e. Perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari konflik antara keinginan yang saling berkompetisi. 4. Akar Konflik Setelah mengetahui teori konflik, maka setidaknya ada tiga pilar utama yang harus mendapat perhatian (Affandi, 2004: 80), yaitu: pertama, watak psikologis manusia yang merupakan dasar sentimen dan ide yang membangun hubungan sosial di antara berbagai kelompok manusia (keluarga, suku, dan lainnya); kedua, adalah fenomena politik, yaitu berhubungan dengan perjuangan memperebutkan kekuasaan dan kedaulatan yang melahirkan imperium, dinasti, maupun negara; ketiga, fenomena ekonomi, yaitu fenomena yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi, baik pada tingkat individu, keluarga, masyarakat maupun negara. Sosiologi SMA K-6 121

130 1. Watak Psikologis Manusia Menurut Plato dalm Siahaan (1986:57), manusia memiliki tiga sifat tingkatan dalam dirinya, yaitu nafsu atau perasaan (the appetities or thesenses), semangat atau kehendak (the spirit or the will), dan kecerdasan atau akal (inteligence, reason, and judgement). Ketiga potensi di atas apabila mampu dikelola dengan baik, maka manusia akan mampu mengembangkan eksistensinya sebagai manusia secara baik pula. Namun sebaliknya, di balik ketiga sifat di atas, manusia juga memiliki sifat binatang (animal rationale) yang bisa memunculkan perasaan yang berlebihan yang bisa mendorong untuk bertindak agresif. Berikut ini sebagian sifat dasar yang dimiliki manusia : a) Cinta terhadap kelompok Manusia secara fitrah telah dianugerahi rasa cinta terhadap garis keturunan dan golongannya. Rasa cinta ini menimbulkan perasaan senasib dan sepenanggungan serta harga diri kelompok, kesetiaan, kerja sama, dan saling membantu dalam menghadapi musibah atau ancaman yang pada akhirnya akan membentuk kesatuan dan persatuan kelompok. Cinta merupakan sebuah subjek meditasi filosofis yang berkaitan dengan masalah-masalah etis (Affandi, 2004:82). Cinta dalam hal ini merupakan salah satu dorongan manusia yang paling kuat, awalnya dilihat sebagai kebutuhan akan kontrol, terutama ketika manusia sebagai animal rationale mampu menggunakan kemampuan rasionalnya. Ketika manusia hidup bersamasama dalam suatu kelompok, maka fitrah ini mendorong terbentuknya rasa cinta maupun solidaritas terhadap kelompok. Manusia tidak akan rela jika salah satu anggota kelompoknya terhinakan dan dengan segala daya upaya akan membela dan mengembalikan kehormatan kelompoknya. Sebagai sebuah fitrah, maka rasa cinta terhadap kelompok ini terdapat pada sebua bentuk masyarakat, baik dalam masyarakat yang masih sederhana maupun masyarakat modern. Perbedaannya hanya pada faktor pengikat. Dalam masyarakat sederhana, faktor pengikatnya adalah ikatan darah atau keturunan. Sosiologi SMA K-6 122

131 Sedangkan dalam masyarakat modern, ikatan didasarkan atas kepentingan anggota-anggota kelompok. b) Agresif Manusia memiliki watak agresif sebagai akibat adanya animal power dalam dirinya yang mendorong untuk melakukan kekerasan. Agresifitas manusia ini dapat berakibat terjadinya permusuhan, pertumpahan darah, bahkan pemusnahan umat manusia itu sendiri. Beberapa tokoh seperti Konrad Lorenz (biologi), Sigmund Freud (psikologi), dan Thomas Hobbes (sosiologi) berpendapat bahwa agresifitas selalu melingkupi diri manusia (Mulkhan, 2002:25-27). Lorenz mengemukakan bahwa sebagaimana hewan, manusia mempunyai instink agresif yang menyatu dalam struktur genetikanya. Freud juga melontarkan pandangan bahwa manusia adalah makhluk rendah yang dipenuhi oleh kekerasan, kebencian, dan agresi. Kalaulah kemudian konflik itu tidak terjadi lebih disebabkan oleh superego yang mengekang dorongan-dorongan agresifnya. Demikian halnya dengan Hobbes, ia mengungkapkan bahwa dalam keadaan alamiah, keadaan manusia didasarkan pada keinginan-keinginan yang mekanis, sehingga manusia selalu berkelahi. Dalam kaitan ini dapat dikatakan bahwa bukanlah perrbedaan-perbedaan dalam diri manusia yang menyebabkan terjadinya agresi, melainkan watak agresiflah yang menyebabkan terjadinya perbedaan dalam setiap kelompok manusia. Fromm (2000:390) tidak menyangkal adanya potensi agresif dalam diri manusia, tetapi menurutnya tindakan agresif-destruktif tersebut muncul karena adanya kondisi eksternal yang ikut menstimulir, seperti masalah politik, kemiskinan, dan sebagainya. Fromm juga melihat narsisme (paham kecintaan terhadap diri sendiri) sebagai salah satu sumber utama agresifitas manusia. Suatu kelompok atau bangsa yang narsistik akan bereaksi dengan penuh amarah dan bersikap agresif ketika ada kelompok yang melecehkan simbol narsisme mereka. Bahkan untuk itu mereka bersedia mendukung kebijakan perang yang dikeluarkan oleh pemimpin mereka. Sosiologi SMA K-6 123

132 2. Fenomena Politik Dalam membahas fenomena politik yang berhubungan erat dengan konflik tentunya tidak lepas dari pembahasan mengenai kekuasaan. Pembahasan mengenai hal ini menjadi sangat penting mengingat peran yang semestinya dilakukan oleh seorang pemimpin diharapkan mampu menjadi penengah dan pemisah diantara kelompok-kelompok yang berbeda. Kekuasaan erat kaitannya dengan kepemimpinan atau kepemerintahan. Kekuasaan pada hakikatnya adalah sebuah otoritas untuk mengambil keputusan (Affandi, 2004: 94). Kepemimpinan lahir dari dua faktor yang saling terkait, yaitu pertama, faktor personal, dan kedua, solidaritas sosial atau dukungan kelompok. Secara personal, seseorang yang akan menjadi pemimpin harus memiliki sifat terpuji dan adil untuk dijadikan panutan dan pengayoman bagi rakyat, serta mampu melaksanakan hukum yang ditetapkan dengan undang-undang. Sedangkan solidaritas atau dukungan dari rakyat mutlak diperlukan karena tanpa hal itu maka kekuasaannya akan jatuh. Kekuasaan negara adalah puncak kekuasaan dalam kehidupan bersama umat manusia. Karenanya, pertarungan akan sering terjadi antar kelompok dalam memperebutkan kekuasaan tersebut. Sedangkan cara-cara atau strategi yang dipakai untuk meraihnya terkadang menggunakan cara yang kotor dan penuh intrik. Pemimpin atau penguasa tidak serta-merta menjadi pemimpin yang berlaku adil. Keinginan untuk mengikuti hawa nafsu dan ambisi pribadi terkadang menjadi penyebab timbulnya penindasan, teror, dan anarkhi. Oleh karena itu, kekuasaan kepemerintahan harus didasarkan pada peraturan dan kebijakan politik tertentu. Seorang pemimpin yang telah berkuasa akan menjalankan kekuasaannya dengan cara yang berbeda-beda. Ibn Khaldun dalam Affandi (2004:99) membedakan pola menjalankan kuasa dalam tiga bentuk: (1) kekuasaan dijalankan dengan lemah lembut dan penuh keadilan. Ciri dalam masyarakat ini adalah setiap orang mempunyai kesempatan untuk mengembangkan potensi serta dapat mengemukakan pendapat secara bebas tanpa rasa takut dan tertekan; (2) kekuasaan yang dijalankan dengan dominasi, kekerasan, dan teror. Masyarakat di Sosiologi SMA K-6 124

133 bawah kepemimpinan ini akan hidup dalam tekanan dan rasa takut. Tidak ada kebebasan menyalurkan aspirasi. Kecenderungannya, rakyat menjadi apatis; (3) kekuasaan dijalankan dengan menjatuhkan sanksi atau hukuman. Masyarakat di bawah kekuasaan ini akan mudah menyimpan dendam bahkan mudah bergolak manakala keputusan yang dikeluarkan penguasa tidak mencerminkan rasa keadilan. Tipe-tipe kekuasaan di atas dapat menjadi tolok ukur keadaan suatu masyarakat, apakah kondisi masyarakat dalam keadaan aman dan tertib tidak ada gejolak, atau masyarakat dalam kondisi konflik yang kacau balau. Namun selain faktor kepemimpinan, karakteristik dan tingkat kedewasaan masyarakat juga sangat mendukung dalam tegaknya sebuah negara. 3. Fenomena Ekonomi Dalam teori-teori sosial modern yang membahas konflik, tidak satu pun yang melepaskan perhatiannya dari fenomena ekonomi. Perbedaannya hanya terjadi pada apakah faktor ekonomi menjadi determinan yang menyebabkan konflik atau tidak. Teori konflik yang berakar dari Marx dan Dahrendorf akan selalu memandang bahwa konflik disebabkan oleh masalah distribusi dan perebutan sumber-sumber ekonomi. Kondisi ekonomi sangat mempengaruhi bahkan menentukan situasi dan perkembangan politik. Perekonomian yang stabil adalah faktor penting dalam mencapai kestabilan politik. Fenomena ekonomi dan fenomena politik ibarat dua sisi mata uang. Yang menjadi masalah adalah ketika proses kolaborasi antara penguasa politik (pemerintah) dengan penguasa ekonomi (pengusaha) menjadi tidak sehat dan tidak berpihak kepada masyarakat. Banyak kasus kerusuhan terjadi salah satu penyebabnya adalah ulah permainan para elit politik dan pengusaha dalam menguasai sumber-sumber ekonomi. Ketika pertumbuhan dijadikan jargon dalam pembangunan ekonomi, maka perhatian kebijakan pun mengarah ke sana. Akibatnya pemerintah merupakan sumber dana utama bagi pengusaha di setiap level pemerintahan karena banyak Sosiologi SMA K-6 125

134 memberikan proyek pembangunan sarana dan prasarana fisik. Kondisi yang demikian sudah pasti rentan dengan masalah kolusi dan korupsi. Pola penguasa yang turut menjadi pengusaha serta jalinan erat yang menciptakan simbiosis mutualistik antara penguasa dengan pengusaha sangatlah sulit untuk dilawan rakyat kecil. Kebijakan yang diskriminatif ini dapat mengakibatkan dendam yang berkepanjangan dan ketika suasana berubah drastis dan memungkinkan, maka akumulasi kekecewaan ini dilampiaskan dengan melakukan perusakan terhadap simbol-simbol kesewenang-wenangan dan penyebab kesenjangan. Akar dari konflik menurut Leopold von Wiise (Soekanto, 2002:99) dapat disebabkan oleh adanya: 1. Perbedaan pendirian dan perasaan. 2. Perbedaan kebudayaan. Perbedaan kepribadian dari orang perorangan tergantung pula dari pola-pola kebudayaan yang menjadi latar belakang pembentukan serta serta perkembangan kepribadian tersebut. Seorang secara sadar maupun tidak sadar, sedikit banyaknya akan terpengaruh oleh pola-pola pemikiran dan pola-pola pendirian dari kelompoknya. Selanjutnya keadaan tersebut dapat pula menyebabkan terjadinya konflik antarkelompok manusia. 3. Perbedaan kepentingan. Bentuk kepentingan dapat berupa kepentingan ekonomi, politik, dan sebagainya. 4. Perubahan sosial. Perubahan sosial yang berlangsung dengan cepat untuk sementara waktu akan mengubah nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, dan ini menyebabkan terjadinya golongan-golongan yang berbeda pendiriannya, misalnya mengenai reorganisasi sistem nilai. Sebagaimana diketahui perubahan sosial mengakibatkan terjadinya disorganisasi pada struktur. Loekman Soetrisno (2003:13-19) mengungkapkan bahwa faktor penyebab konflik adalah: a. Kondisi masyarakat yang multietnis dan multibudaya; kondisi yang demikian ini menyebabkan terjadinya banyak perbedaan, baik mengenai budaya, cara Sosiologi SMA K-6 126

135 pandang, nilai, tingkat pendidikan, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan inilah yang sering menimbulkan pertentangan dalam kehidupan sosial. b. Kecemburuan sosial; faktor ini erat hubungannya dengan masalah ekonomi dan rasa keadilan. Kecemburuan bisa terjadi manakala suatu kelompok merasa diperlakukan tidak adil, baik oleh penguasa atau oleh kelompok lainnya. c. Penggunaan kekuasaan yang berlebihan Sudah menjadi kewajiban pemerintah yang berkuasa untuk melindungi rakyatnya, di sisi lain demi kebaikan bersama pemerintah berhak melakukan penertiban agar tercipta suatu keteraturan sosial. Namun cara-cara yang digunakan pemerintah seringkali dianggap sebagai tindakan berlebihan. Tindakan pemaksaan (koersif) dan sikap represif dari aparat kerap kali menimbulkan kesan yang buruk bahkan sifat dendam di mata masyarakat. Menyimak dari pembahasan di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa faktor utama penyebab konflik sosial paling tidak ada tiga faktor: Pertama, sifat agresif seseorang atau suatu kelompok dengan ditunjang oleh kondisi masyarakat yang pluralistik; kedua, faktor ekonomi; berkaitan dengan masalah kemiskinan, kesenjangan, dan perebutan sumber dan bahan pangan; dan ketiga, faktor politik; berkaitan dengan tuntutan rasa keadilan akibat perlakuan dari pihak penguasa atau pemerintah. 5. Bentuk-bentuk Konflik 1. Berdasarkan Sifatnya Para sosiolog membedakan dua jenis konflik yang masing-masing memiliki sebab yang berbeda dalam pemunculannya, yaitu konflik yang bersifat destruktif dan fungsional (Soetrisno, 2003:14). a. Konflik destruktif Konflik destruktif adalah konflik yang mengakibatkan benturan fisik yang membawa kerugian jiwa dan harta. Konflik ini muncul karena rasa benci satu kelompok terhadap kelompok lain. Kebencian itu disebabkan karena berbagai hal Sosiologi SMA K-6 127

136 seperti adanya kesenjangan ekonomi, fanatisme terhadap suatu golongan sebagainya. dan Contoh konflik destruktif adalah konflik antara etnis Dayak dan Melayu dengan etnis Madura di Sampit yang dipicu oleh rasa kebencian akibat kecemburuan sosial, juga terjadinya kerusuhan pada bulan Mei 1998 yaitu konflik antara para demonstran dan aparat keamanan yang berujung pada perusakan dan penjarahan. b. Konflik fungsional Konflik fungsional adalah konflik yang menghasilkan perubahan atau konsensus baru yang bermuara pada perbaikan. Konflik jenis ini berasal dari perbedaan pendapat antara dua kelompok tentang suatu masalah yang sama-sama mereka hadapi. Misalnya, kasus perbedaan pendapat dalam penentuan hari raya, perbedaan konsep dalam membuat kurikulum, dan sebagainya. Perdebatan antara para ilmuwan dalam rangka mencari kebenaran itu tentunya sangat keras tetapi tidak berkembang menjadi sebuah konflik yang destruktif, seperti terjadinya perkelahian, perusakan, maupun pembakaran, atau kemudian tidak saling tegur antara satu dengan yang lain. Hasil dari konflik fungsional ini adalah suatu konsensus atau kesepakatan bersama terhadap hal-hal yang yang menjadi sumber munculnya perbedaan pendapat. 2. Berdasarkan Arahnya Berdasarkan model arahnya, konflik dapat digolongkam menjadi dua yaitu, konflik horisontal dan konflik vertikal (Sihbudi dan Nurhasim, 2001:vii). Model konflik yang pertama, yaitu konflik horisontal adalah konflik yang terjadi intra masyarakat. Faktor pemicu terjadinya konflik jenis ini bisa disebabkan oleh masalah yang berkaitan dengan primordialisme, atau SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan). Kasus konflik di Sambas Kalimantan Barat, perusakan toko-toko milik warga keturunan Tionghoa, konflik antar pendukung partai politik adalah sebagian contoh dari jenis konflik ini. Bahkan sering juga terdengar lewat media massa konflik Sosiologi SMA K-6 128

137 antar suporter olahraga, antar mahasiswa, antar pelajar, bahkan antarwarga desa yang kadang tidak jelas apa pendorongnya. Lemahnya penegakan hukum dapat juga mengakibatkan terabaikannya rasa keadilan yang pada akhirnya memunculkan kekecewaan yang kemudian dijadikan sebagai alasan pembenar untuk menggunakan hukum sendiri (main hakim sendiri) dengan melakukan tindakan anarkis. Contoh kasus yang banyak terjadi di masyarakat adalah tindakan main hakim sendiri atau pengadilan massa terhadap seseorang atau kelompok pelaku tindak kriminal. Sementara jenis kedua yaitu konflik vertikal adalah konflik yang terjadi antara masyarakat dengan penguasa atau negara. Konflik biasanya ditandai oleh kekecewaan dan kemarahan massa terhadap kebijakan pemerintah dan sikap aparat negara yang dianggap telah berlaku tidak adil. Beberapa kasus yang banyak terjadi seperti demonstrasi massa, demonstrasi mahasiswa, penggusuran dan penertiban kawasan kumuh, bahkan bisa juga sampai pada gerakan perlawanan terhadap negara, misalnya perlawanan GSA (Gerakan Separatis Aceh), OPM (Organisasi Papua Merdeka), dan RMS (Republik Maluku Selatan). 3. Berdasarkan Akar Permasalahannya Berdasarkan akar permasalahannya, konflik dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a) Konflik Agama Salah satu faktor utama pemicu konflik di masyarakat atau hubungan antar bangsa adalah masalah agama atau prinsip keagamaan. Sesuai fakta, agama menjadi pemicu konflik telah tercacat dalam sejarah dunia. Pada dasarnya semua agama sebagai sebuah ajaran sekaligus tuntunan bagi pemeluknya yang menghubungkan antara dirinya dengan Tuhan dan sesamanya. Namun agama seringkali menjadi dasar munculnya konflik dari jaman ke jaman. Konflik agama sebagai konflik klasik yang sulit diselesaikan karena berhubungan dengan doktrin yang sakral atau disakralkan oleh penganutnya. Keyakinan terhadap doktrin agama tersebut berdampak pada sentimen antar agama. Seringkali agama dijadikan alasan pembenar oleh suatu kelompok untuk Sosiologi SMA K-6 129

138 menyerang atau memusuhi kelompok lain. Contoh dari permasalahan di atas antara lain adanya Perang Salib yang terjadi beberapa fase antara bangsa Eropa Barat yang beragama Nasrani dengan bangsa Arab yang memeluk Islam. Konflik di Irlandia Utara muncul disebabkan terjadi disharmoni antara umat Kristen dengan Katholik. Lahirnya negara Pakistan sebagai manifestasi konflik agama antara Islam dan Hindu di India. Bahkan konflik klasik antara dua negara yang berlarut-larut sampai sekarang tetap menjadi potensi utama konflik antara India-Pakistan adalah mengenai masalah Khasmir, sebuah wilayah yang secara geografis bagian dari India namun secara ideologi keagamaan menjadi bagian Pakistan. Sampai saat ini, konflik di Timur Tengah juga didominasi oleh masalah agama atau alasan keagamaan yaitu antara bangsa Yahudi dengan bangsa Arab. Meskipun masalah konflik Palestina-Israel disebabkan perebutan wilayah atau negara namun perbedaan agama sangat berperan dalam permasalahan tersebut. Sementara itu, juga muncul konflik seagama yang disebabkan paham atau penafsiran yang berbeda dalam agama. Contohnya antara penganut Suni dan Syiah di Timur Tengah yang sering berakibat pada pertumpahan darah. Dalam sejarah Indonesia, konflik dengan tendensi agama atau aliran keagamaan bukan merupakan hal yang baru. Pada tahun 1950-an terjadi pemberontakan DI/TII yang bertujuan mendirikan Negara Islam. Gerakan ini menimbulkan konflik antara pemerintah sebagai penguasa dengan para pemberontak sehingga mengganggu stabilitas nasional sampai gerakan ini dapat ditumpas pada tahun 1960-an. Di antara paham atau aliran keagamaan yang dianggap sering menimbulkan konflik adalah paham fundamentalisme. Agama-agama besar yang ada di dunia seperti Islam, Kristen, Hindu dan lainnya pada umumnya terdapat kelompok yang menganut aliran radikal tersebut. Fundamentalisme pada umumnya muncul sebagai tanggapan terhadap tantangan modern yang bersifat internal dan eksternal untuk menghadapi hegemoni budaya dan legitimasi politik serta penolakannya secara radikal terhadap sekulerisme. Fundamentalisme juga sebagai gerakan purification atau pemurnian terhadap ajaran agama serta penerapan ajaran agama yang dilaksanakan secara kaku bahkan cenderung menggunakan kekerasan. Sosiologi SMA K-6 130

139 Meskipun dalam peristiwa-peristiwa di atas, agama memiliki peran vital namun peran agama dalam masing-masing peristiwa berbeda-beda. Dalam persitiwa Perang Salib dan konflik di Irlandia Utara, peran agama sebagai penyebab konflik sangat dominan. Perbedaan doktrin agama berkembang pada perasaan sentimen antarumat masing-masing agama menjadi sebab utama dari munculnya konflik tersebut. Dalam peristiwa tersebut, agama telah berubah dari suatu paham spiritual menjadi paham spiritual yang dibalut dengan identitas yang eksklusif dari sebuah komunitas yang membedakannya dengan komunitas lain (Soetrisno, 2003:34). Sementara itu, dalam kasus peristiwa pemberontakan DI/TII atau terpisahnya Pakistan dari India, agama dapat dimanfaatkan sebagai wahana untuk membangun solidaritas dan dukungan bagi penganut agama Islam untuk mencapai tujuan politiknya. Agama merupakan sarana yang efektif untuk memobilisasi massa. Namun keefektifan agama sebagai penyebab suatu konflik tergantung pada kondisi yang dialami sebuah masyarakat. Jika masyarakat mengalami ketidakberdayaan ekonomi dan politik maka agama akan mudah menjadi wahana mobilisasi guna mencapai tujuan. Sebaliknya, hal itu sulit dilakukan apabila masyarakat mempunyai basis ekonomi yang kuat sehingga masyarakat sejahtera lebih bersikap menjaga situasi. b) Konflik Ideologi Istilah Ideologi diciptakan oleh filsuf Perancis, Antoine Destuutt de Tracy ( ), seorang bangsawan yang bersimpati pada Revolusi Perancis tahun De Tracy adalah pengikut rasional, sebagai gerakan pembaharu yang kritis terhadap otoritas tradisional dan mistifikasi ajaran agama. Menurutnya, Ideologi sebagai ilmu tentang pemikiran manusia yang mampu menunjukkan arah yang benar menuju masa depan (Eatwell, 2004:5). Pada akhirnya istilah Ideologi pada perkembangannya bermakna negatif yang utamanya digunakan untuk mengelompokkan ide-ide yang bias atau ekstrem. Ideologi berperan bagi individu atau kelompok masyarakat karena mempunyai ragam efek termasuk perilaku dan kebijakan yang mengilhami dan membatasi. Sosiologi SMA K-6 131

140 Ideologi sebagai sebuah produk pemikiran sosial dapat digunakan sebagai alat pendorong sekumpulan manusia untuk mencapai cita-citanya. Namun sering kali ideologi ditafsirkan sebagai sesuatu yang negatif karena mengandung unsur kefanatikan buta. Ideologi pada umumnya dihubungkan dengan masalah politik di masyarakat atau negara. Perbedaan ideologi tak jarang menjadi potensi awal munculnya konflik. Kekuatan atas kefanatikan terhadap ide akhirnya melahirkan pemikiran dan tindakan radikal dalam masyarakat. Ideologi-ideologi yang secara universal dikenal antara lain komunisme, nasionalisme, kolonialisme, impetralisme, kapitalisme, demokrasi, feodalisme, militerisme, totalitarisme, dan lain-lain. Pada tingkat yang bersifat ideologis, konflik terwujud di dalam bentuk konflik antara sistem nilai yang dianut serta menjadi ideologi dari berbagai kesatuan sosial. Paham nasionalisme Asia-Afrika, muncul sebagai akibat dari imperalisme dan kolonialisme bangsa Eropa. Antara nasionalisme Asia-Afrika dengan imperalisme sebagai sesuatu yang berbeda tujuan bahkan bertentangan sehingga dalam mengaplikasikan paham masing-masing terjadi benturan kepentingan yang berujung pada konflik. Terjadinya perlawanan atau pemberontakan di negara-negara terjajah pasca Perang Dunia II, sebagai konflik kepentingan yang didasarkan pada konflik ideologi tersebut. Sementara itu, komunisme yang identik dengan pandangan Karl Marx meninggalkan warisan yang ambigu sehingga menjadi sumber konflik diantara para pewaris ideologinya. Pada hakikatnya, komunisme mengecam paham lain seperti kapitalisme yang dianggap telah menghancurkan ikatan dan kesetiaan organik (Eatwell, 2004:141). Meski perbedaan paham antara komunisme dan kapitalisme dimulai pada pasca Revolusi Industri di Inggris sebagai pertentangan antara kepentingan kaum buruh dengan pemilik modal namun konflik tersebut berlanjut sepanjang jaman. Munculnya Perang Dingin pada tahun 1950-an sampai bubarnya Uni Soviet antara Blok Barat dan Timur juga disebabkan perbedaan ideologi tersebut. Dalam perjalanan politik suatu pemerintahan juga sering muncul konflik antara kelompok Militer dan Partai Komunis. Meski keduanya punya insting melakukan violence political namun secara substansif latar belakang keduanya Sosiologi SMA K-6 132

141 berbeda dalam mewujudkan naluri politiknya. Terdapat pola-pola tertentu yang umumnya terdapat di kalangan militer di suatu negara yaitu penekanan pada nasionalisme, apolitik praktis dan esprit de corps. Secara universal fungsi formal militer sebatas alat pertahanan negara sehingga di negara yang mengedepankan supremasi sipil, golongan militer di bawah kendalinya. Namun secara faktual kecenderungan tersebut bertolak belakang bagi negara tertentu yang punya sejarah pemerintahan dan latar belakang politik sehingga muncul supremasi militer. Di negara-negara yang baru berkembang seperti di Asia, dan Afrika perlu adanya kekuasaan diktator militer untuk menyelamatkan diri dari bahaya Komunisme (Lev, 1967: ). Sementara itu, paham demokrasi yang menekankan pada persamaan individu atau kelompok dalam masalah sosial-politik bertolak belakang dengan paham politik lain seperti feodalisme yang bersifat konservatif ataupun paham totalitarisme yang menerapkan otoriter dalam kebijakannya. Secara historis, lahirnya paham-paham kebebasan dan persamaan di Eropa yang akhirnya berlaku universal seperti demokrasi dan liberalisme sebagai reaksi dominasi kaum feodal yang mempunyai hak istimewa atau privilege. Demokrasi juga menimbulkan tarik menarik dengan kediktatoran sebagai konflik antara pemerintahan berdasarkan suara rakyat dengan sistem tirani. Konflik ideologi ini juga berpotensi terhadap perpecahan suatu bangsa atau negara seperti yang terjadi pada Jerman dan Korea pada pasca Perang Dunia II. Perbedaan ideologi para tokoh bangsanya serta dukungan dari masing-masing negara yang mempunyai kesamaan ideologi politik berakibat Jerman menjadi dua yaitu Jerman Barat yang beraliran liberalis yang didukung negara-negara Eropa Barat dan Amerika serta Jerman Timur berpaham komunis yang didukung Uni Soviet. Pada saat Uni Soviet bubar seiring dengan jatuhnya pengaruh komunis di dunia, maka antara Jerman Barat dan Timur dapat disatukan lagi dengan dasar atau asas liberalis. Sementara itu, Korea dipecah menjadi dua yaitu Korea Selatan berpaham Liberalis dan Korea Utara berpandangan komunis. Namun sampai Sosiologi SMA K-6 133

142 sekarang antara kedua Korea masih terpisah bahkan kecenderungan muncul ketegangan-ketegangan sampai saat ini disebabkan perbedaan ideologi tersebut. Perjuangan menegakkan suatu ideologi sering menggunakan cara-cara revolusi sehingga menimbulkan konflik terhadap kelompok lain. Sebagai contohnya adalah munculnya Revolusi Rusia ketika Raja Tsar Nicolas II dijatuhkan sebagai akumulasi dari perang ideologi antara feodalisme dan komunisme di Rusia. Peristiwa revolusi juga terjadi di Indonesia, ketika PKI pada tahun 1965 melakukan gerakannya. Konflik tersebut juga mengakibatkan terbunuhnya ribuan nyawa manusia. c) Konflik Politik Konflik politik sebagai sesuatu yang menarik untuk dibahas karena permasalahan ini sebagai hal yang paling komplek di antara jenis-jenis konflik yang ada. Dalam konflik politik ini mencakup hampir semua aspek yang ada seperti kepentingan ekonomi, sosial, ideologi, agama, dan lingkungan hidup. Pada tingkat yang bersifat politik, konflik terjadi dalam bentuk pertentangan di dalam pembagian status kekuasaan, dan sumber-sumber ekonomi yang terbatas di dalam masyarakat. Dalam situasi konflik, pihak yang berselisih berusaha mengabadikan diri dengan cara memeperkokoh solidaritas ke dalam di antara sesama anggotanya, membentuk organisasi-organisasi kemasyarakatan untuk keperluan kesejahteraan dan pertahanan bersama. d) Konflik Ekonomi Perubahan-perubahan besar dalam sejarah peradaban umat manusia, terutama setelah munculnya jaman renaissance di Eropa, selalu menunjukkan pengaruh faktor ekonomi. Karenanya, berbagai peristiwa besar yang menggerakkan manusia dalam jumlah besar tidak pernah lepas dari persoalan kepentingan ekonomi. Imperalisme dan kolonialisnme dari bangsa-bangsa Eropa faktor pendorong utamanya adalah alasan ekonomi. Revolusi diberbagai negara juga tidak terlepas dari masalah ekonomi. Dengan realitas masyarakat yang demikian maka Sosiologi SMA K-6 134

143 wajar jika lahir pemikiran Karl Marx yang menyebutkan bahwa sejarah peradaban umat manusia adalah sejarah perjuangan kelas dalam memperebutkan sumbersumber produksi atau ekonomi. Terjadinya konflik di masyarakat disebabkan oleh dampak dari struktur sosial yang tidak seimbang, di mana kelompok pemilik modal melakukan eksploitasi terhadap kelompok kelas bawah (kelas pekerja). Kondisi sosial yang tidak seimbang ini, terus bertahan karena pada dasarnya kelas pemilik modal mampu mempertahankan dukungan dari kebijakan negara yang telah dikuasainya. Pemikiran Marx telah mengilhami pengikut-pengikutnya (Marxist dan Neo- Marxist) untuk menjelaskan konflik dan berbagai peristiwa besar lainnya dalam perspektif perebutan sumber-sumber ekonomi. Pemikiran tersebut menghasilkan ideologi gerakan dan menjadi pemicu revolusi diberbagai negara di awal abad XX (Affandi, 2004:200). Menurut Ibnu Khaldun, faktor ekonomi lebih dominan sebagai pemicu munculnya konflik dibanding faktor lainnya (Affandi, 2004:200). Di antaranya adalah pertama, munculnya pemberontakan-pemberontakan atau perlawanan terhadap pemerintahan yang sah sering terjadi akibat adanya indikasi pemerintahan yang korup dan perampasan terhadap hak rakyat; kedua, terjadinya krisis perekonomian di mana pengeluaran negara lebih besar daripada devisa negara. Kondisi tersebut antara lain disebabkan pola kehidupan pada kemewahan. Di sisi lain terjadi ketimpangan sosial di mana rakyat hidup dalam kemiskinan bahkan kelaparan. Akumulasi kekecewaan rakyat akan menimbulkan gerakan perubahan bahkan revolusi. Selain itu, institusi keamanan negara seperti kepolisian dan militer yang lemah juga menjadi pemicu terjadinya peristiwa di atas. Dengan demikian dapat disimpulkan, sebuah pemberontakan atau perlawanan terjadi karena kegagalan penguasa politik dalam mengelola sumbersumber ekonomi. Sebaliknya, apabila seorang penguasa politik mampu menangani persoalan ekonomi dan menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya, maka kekuasaan akan bertahan lebih lama dan konflik dapat diminimalisir. Sosiologi SMA K-6 135

144 Sementara itu, konflik ekonomi di masyarakat tidak terbatas pada pemerintah dan rakyatnya. Pada masa modern sekarang ini, sering terjadi konflik disebabkan masalah ekonomi antara negara. Meskipun konflik antar negara tersebut juga muncul pada masa masa lalu akibat persaingan dalam perdagangan. Persaingan perekonomian atau perdagangan antar negara pada masa sekarang pada umumnya tidak secara langsung menjadi pemicu konflik namun yang terjadi adanya ketegangan-ketagangan atau memburuknya hubungan antar negara yang bersangkutan. e) Konflik SARA Sebagai gejala sosial, konflik akan selalu muncul pada setiap masyarakat karena antagonisme atau perbedaan yang menjadi ciri dan penunjang terbentuknya masyarakat. Perbedaan-perbedaan sosial tidak mungkin dihindari karena adanya kelompok lapisan atas disebabkan terdapatnya fakta adanya lapisan bawah. Konflik antarkelompok sering kali timbul karena adanya sejarah persaingan, prasangka dan rasa benci yang dilatarbelakangi oleh sesuatu yang bersifat pribadi, politis, etnis, ideologis dan lainnya. Konflik antar kelompok ditentukan oleh bangunan nilai dan penggunaan simbol yang berbeda antar kelompok tersebut sehingga menimbulkan penafsiran dan rasa yang berbeda untuk dihargai dan menghargai. Nilai-nilai kebudayaan dapat menjiwai kepribadian, sehingga mempengaruhi struktur kebutuhan yang selanjutnya dapat menentukan kehendak kelompok atau seseorang menerapkan peran sosialnya. Konflik yang disebabkan masalah SARA terutama suku dan ras, pada umumnya selalu terkait dengan faktor-faktor struktural yang ada dalam masyarakat. Di Indonesia sampai saat ini sering muncul konflik dengan latar belakang SARA. Struktur masyarakat Indonesia, ditandai oleh dua ciri yang bersifat unik. Secara horisontal, ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan agama, suku-bangsa, adat-istiadat, dan kedaerahan. Secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan bawah yang cukup tajam. Perbedaan-perbedaan suku-bangsa, agama, adat dan kedaerahan seringkali Sosiologi SMA K-6 136

145 disebut sebagai ciri masyarakat yang majemuk, suatu istilah yang diperkenalkan oleh Furnivall untuk menggambarkan masyarakat Indonesia pada masa Hindia- Belanda. Pierre L. van den Berghe menyebutkan beberapa karaktersitik sebagai sifat dasar masyarakat majemuk, yaitu (1) terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang sering memiliki sub-kebudayaan yang berbeda dengan lainnya; (2) memiliki struktur sosial yang terbagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer; (3) kurang mengembangkan konsensus di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar; (4) secara relatif seringkali mengalami konflik-konflik diantara kelompok satu dengan lainnya; (5) secara relatif integrasi sosial tumbuh diatas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi; (6) adanya dominasi politik oleh suatau kelompok atas kelompok-kelompok lainnya (Nasikun, 2004:41). Masyarakat majemuk seringkali menimbulkan gesekan antara masyarakat yang berbeda sehingga muncul konflik atau kerusuhan yang bersifat SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan). Faktor-faktor terjadinya kerusuhan sosial yang disebabkan SARA adalah: 1. Dinamika sosial, ekonomi, budaya dan politik suatu daerah mempunyai potensi bagi terjadinya ketegangan sosial atau konflik. 2. Perimbangan kekuatan-kekuatan sosial seperti suku, agama, ras dan antargolngan yang hampir sama merupakan akar utama penyebab terjadinya kerusuhan. 3. Daerah dengan perimbangan antara penduduk asli dan pendatang yang timpang dilihat dari penguasaan aset ekonomi maupun politik, akan berpotensi munculnya konflik SARA 4. Pola pemukiman penduduk yang heterogen atau miltietnik dapat menjadi sumber konflik. 5. Adanya faktor-faktor akselerator (pemicu) terjadinya konflik. Peristiwa konflik yang disebabkan masalah SARA di Indonesia seperti kasus di Ambon, Sambas, Kupang dan beberapa tempat di Indonesia merupakan wujud konkret dari konflik horisontal yang sampai sekarang masih sulit untuk dicegah. Sosiologi SMA K-6 137

146 Hubungan sosial dan politik pada masa lalu yang diwadahi oleh konsep SARA menimbulkan dampak negatif bagi harmonisasi hubungan sosial dalam masyarakat sekarang ini. Konflik SARA sudah meluas dari konflik stigma pribumi-nonpribumi namun sudah pada transisi gejala perubahan masalah sosial yang lebih kompleks menjadi konflik yang berdimensi agama, suku, ras dan antar golongan. f) Konflik Sumber Daya Alam Dalam beberapa tahun terakhir ini fenomena konflik sumber daya alam mencuat ke permukaan secara terbuka. Konflik itu tidak hanya terjadi dalam kegiatan eksploitasi sumber daya alam yang tergolong tidak dapat diperbaharui (non-renewable resources) seperti minyak dan mineral, tetapi juga yang tergolong dapat diperbaharui (renewable resources). Konflik sumber daya alam yang selama ini terjadi telah menimbulkan kerusakan fisik, merugikan materi dan menyisakan tuntutan yang tidak mudah dipenuhi, seperti permintaan agar kawasan eksploitasi sumber daya alam dikembalikan kepada masyarakat (Usman, 2004:1). Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sering dihadapkan pada pilihan yang sulit. Kalau tuntutan semacam itu diabaikan, maka akan dapat mengobarkan permusuhan, membangkitkan separatisme, dan disintegrasi, tetapi sebaliknya kalau hal itu dipenuhi bila mengganggu kegiatan eksploitasi sumber daya alam itu sendiri. Konflik sumber daya alam dapat berupa bentuk hubungan sosial yang tidak harmonis di antara struktur sosial yang berkembang di daerah sumber daya alam, yang terdiri dari masyarakat lokal, pemerintah, dan pengusaha atau investor. Hubungan yang tidak harmonis itu diawali ketika pemerintah melakukan monopoli dan manipulasi proses eksploitasi sumber daya alam, sehingga terjadi perbedaan akses. Perbedaan akses itu itu membuat pemerintah dan pengusaha atau investor dapat menikmati hasil terlau banyak, sementara masyarakat terabaikan. Konflik muncul ke permukaan ketika ketidakpuasan dan semangat berjuang memperbaiki nasib secara kolektif, dan konflik itu menjadi semakin keras ketika ketidakpuasan dan semangat semacam itu bertemu secara simultan dengan akumulasi perasaan dan kesadaran bahwa telah terjadi penindasan dalam Sosiologi SMA K-6 138

147 masyarakat. Misalnya, kasus konflik PT Freeport dengan penduduk sekitar di Papua, PT Caltex di Riau, dan sebagainya. Selain itu konflik juga dapat terjadi secara horisontal yaitu antara warga masyarakat. Masalah yang terjadi biasanya karena perebutan lahan atau klaim atas suatu daerah, maupun pelanggaran terhadap batas-batas daerah yang telah disepakati bersama yang menjadi lahan eksploitasi sumber daya alam. Sebagai contoh adalah kasus konflik antara nelayan Madura, nelayan Sidoarjo, dan nelayan Pasuruan di Jawa Timur. g) Konflik Lingkungan Hidup Salah satu aset yang lazim ditempatkan sebagai bagian penting dalam proses pembangunan adalah modal alam (natureresources). Akumulasi aset ini ditambah dengan modal fisik bangunan, modal manusia, dan modal sosial sangat menentukan dampak jangka panjang terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Menurut Thomas Vinod (Usman, 2004:21), modal alam mencakup fungsi sumber, misalnya hutan, perikanan, pertambangan; dan fungsi penampung, misalnya udara dan air terutama sebagai media penerima polusi. Upaya melindungi fungsi sumber sangat diperlukan karena memiliki kontribusi yang berharga bagi kehidupan masyarakat. Kerusakan fungsi sumber tentu saja akan menjadi malapetaka bagi kehidupan. Lingkungan yang tak terkontrol bukan saja berbahaya bagi kesehatan, tetapi juga akan mengganggu pelbagai macam aktivitas sosial. Dalam dua dasa warsa terakhir ini dengan dalih memacu pertumbuhan ekonomi, di Indonesia telah terjadi proses industrialisasi yang cukup pesat. Bersamaan dengan itu terjadi pula eksploitasi sumber daya alam yang cukup besar, terutama pada sektor kehutanan, perairan, dan pertambangan. Proses industrialisasi dan eksploitasi tersebut telah menimbulkan persoalan degradasi lingkungan yang serius, misalnya terjadinya penggundulan hutan, berkurangnya keanekaragaman hayati, polusi udara, pencemaran sungai dan laut, penurunan kualitas tanah, dan sebagainya. Aliran-aliran beracun yang berasal dari pabrik, misalnya di beberapa Sosiologi SMA K-6 139

148 daerah telah menciptakan pencemaran. Polusi udara akibat dari kegiatan industri bukan hanya menciptakan bau yang tak sedap, tempat pemukiman tidak nyaman, tetapi juga menimbulkan gangguan pernapasan. Konflik sosial yang terkait dengan masalah lingkungan hidup ini bisa terjadi antara masyarakat dengan pihak industri (pengusaha atau pabrik), maupun di antara anggota masyarakat itu sendiri. Konflik sosial dalam konteks ini dapat dikonsepsikan sebagai hubungan sosial yang tidak harmonis sebagai konsekuensi dari perbedaan nilai, kepentingan dan tindakan yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan. Berbagai kasus yang berkaitan dengan konflik lingkungan hidup ini diantaranya adalah polusi kabut asap yang terjadi di Kalimantan dan sebagian wilayah Sumatera akibat kebakaran hutan atau akibat pembakaran hutan berkaitan dengan pengelolaan hutan yang salah. Polusi kabut asap ini tidak saja menimbulkan gangguan penyakit saluran pernapasan tetapi juga mengganggu lalu lintas dan sejumlah jadwal penerbangan. Kasus pencemaran Teluk Buyat di Minahasa yang diduga tercemar limbah merkuri sehingga menyebabkan terjangkitnya penyakit minamata bagi penduduk sekitar teluk. Kasus pembangunan Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) di daerah Bojong Jawa Barat yang sempat diprotes warga karena dikhawatirkan menimbulkan polusi udara dan sumber penyakit. Kasus protes para warga yang tinggal di daerah sekitar Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) milik PLN, dan berbagai macam kasus lain yang terjadi baik dalam skala besar maupun kecil. Konflik sosial yang terkait dengan masalah degradasi lingkungan ini memiliki sifat positif dan negatif (Usman, 2004:23). Konflik dapat bersifat positif manakala menjadi bagian dari proses pengelolaan lingkungan yang tidak berjalan secara efektif dan efisien, dengan kata lain konflik dapat diperlukan untuk meluruskan ketentuan yang pernah disepakati atau menjelaskan kembali kesalahpahaman yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Sedangkan konflik dapat bersifat negatif apabila semakin mempersulit jalinan kerjasama dalam proses pengelolaan lingkungan. Konflik menjadi semakin meresahkan ketika tidak melahirkan alternatif solusi, karena boleh jadi mereka yang terlibat konflik mengembangkan prinsip lebih Sosiologi SMA K-6 140

149 baik sama-sama tidak menikmati daripada harus memberi kemenangan terhadap salah satu pihak. 6. Alternatif Penanganan Konflik Para penganut pendekatan konflik dengan penuh keyakinan menganggap bahwa konflik merupakan gejala kemasyarakatan yang akan senantiasa melekat di dalam kehidupan setiap masyarakat. Karena itu konflik tidak mungkin dilenyapkan. Konflik hanya akan lenyap bersama lenyapnya masyarakat itu sendiri. Konflik dapat terjadi dengan siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Konflik tidak perlu dicari dan tak perlu dihindari apabila konflik itu terjadi. Menghindar dari konflik akan membuka kesempatan untuk terjadinya frustasi di kalangan masyarakat yang kemudian pecah menjadi suatu konflik yang destruktif. Konflik yang bersifat destruktif inilah yang harus dihindari. Bagaimana mencegah terjadinya konflik destruktif? Melalui pendekatan budaya, Loekman Soetrisno (2003:18) mengemukakan empat cara pencegahan; pertama, mengembangkan sikap tenggang rasa atau tepo seliro. Artinya, apabila tidak mau disakiti orang lain, jangan pula menyakiti orang lain; kedua, bersikap demokratis. Dalam artian seseorang harus mampu menghargai pluralisme pendapat, paham, budaya, dan suku bangsa yang beragam dalam masyarakat; ketiga, mengembangkan sikap toleransi beragama, tanpa harus keluar dari akidah agama masing-masing; keempat, bersikap sportif, yakni mau mengakui dan menerima kekalahan dalam berargumentasi atau dalam persaingan apabila memang argumentasi lawan lebih baik dan bermanfaat bagi masyarakat. Setiap orang harus dapat memahami konflik dan memberikan perhatian tersendiri untuk dapat menetapkan cara yang tepat, bagaimana konflik dapat dikelola sedemikian rupa agar tidak menimbulkan perpecahan antar manusia dan disintegrasi bangsa. Dalam kaitannya dengan pengelolaan konflik tersebut, Hodge dan Anthony dalam Al Hakim (2003:9) memberikan gambaran melalui berbagai metode penyelesaian konflik (conflict resolution methods). Sosiologi SMA K-6 141

150 Pertama, dengan metode paksaan (coercion). Setiap individu menggunakan kekuasaan dan kewenangan agar konflik dapat diredam atau dipadamkan. Namun sebenarnya cara ini kurang baik untuk dilakukan, karena bisa jadi konflik malah akan terus berlanjut dan orang akan kehilangan kewibawaan bahkan kekuasaan di mata orang lain yang terlibat konflik karena dianggap kurang adil dalam menyelesaikan pertikaian atau dianggap memihak salah satu individu atau kelompok yang terlibat konflik. Kedua, penyelesaian konflik dengan metode penghalusan (smoothing). Pihak-pihak yang berkonflik hendaknya saling memahami konflik dengan menggunakan bahasa cinta untuk memecahkan dan memulihkan hubungan yang bersifat perdamaian. Membiasakan bersikap dan mengembangkan kehidupan yang penuh dengan suasana kekeluargaan dirasakan sangat bermanfaat dalam menyelesaikan konflik. Melalui metode ini, dimungkinkan dapat dilakukan cara-cara kompromis dalam menyelesaikan konflik. Ketiga, penyelesaian konflik dengan cara demokratis, artinya memberikan peluang kepada masing-masing pihak untuk mengemukakan pendapat dan memberikan keyakinan akan kebenaran pendapatnya sehingga dapat diterima oleh kedua belah pihak. Dengan cara ini, masing-masing pihak dapat saling membangun sebuah keterbukaan, dengan cara saling memahami potensi masing-masing. Misalnya dengan cara memperhatikan aspek kultural yang menggambarkan aspirasi, cita-cita, serta ideologi mereka. Strategi pemecahan konflik yang efektif hendaknya juga perlu untuk dikaji secara matang. Cribbin dalam Al Hakim (2003:10) mengelaborasi strategi penanganan konflik mulai dari yang paling tidak efektif sampai dengan yang paling efektif: 1. Paksaan Strategi ini umumnya tidak disukai banyak orang. Dengan paksaan mungkin konflik dapat diselesaikan dengan cepat, tetapi bisa menimbulkan reaksi kemarahan atau reaksi negatif lainnya. Sosiologi SMA K-6 142

151 2. Penundaan Strategi ini dapat menyebabkan konflik semakin berlarut-larut. 3. Bujukan Strategi ini berdampak psikologis, di mana orang akan kebal dengan berbagai macam bujukan sehingga perselisihan akan semakin tajam. 4. Koalisi Koalisi merupakan suatu bentuk persekutuan untuk mengendalikan konflik. Akan tetapi strategi ini dapat memaksa orang untuk memihak, yang pada gilirannya bisa menambah kadar konflik menjadi semakin memanas 5. Tawar-menawar distribusi Strategi ini sering tidak menyelesaikan masalah karena masing-masing pihak sering melepaskan beberapa hal penting yang menjadi haknya, dan jika terjadi konflik berarti masing-masing pihak merasa menjadi korban konflik. 6. Konsistensi damai Strategi ini mengendalikan konflik dengan cara tidak saling mengganggu dan salin merugikan, dengan menetapkan peraturan yang mengacu pada perdamaian serta diterapkan secara ketat dan konsekuen. 7. Perantara (mediasi) Jika penyelesaian konflik menemui jalan buntu, masing-masing pihak dapat menunjuk pihak ketiga untuk menjadi perantara yang berperan secara jujur dan adil, serta tidak memihak. 8. Tujuan sekutu besar Strategi ini melibatkan pihak-pihak yang berkonflik ke arah tujuan yang lebih besar dan kompleks, misalnya dengan cara membangun sebuah kesadaran nasional yang lebih luas dan mantap. 9. Tawar menawar integratif (bargaining) Sosiologi SMA K-6 143

152 Merupakan strategi untuk menggiring pihak-pihak yang bertikai untuk lebih berkonsentrasi pada kepentingan yang lebih luas, yang tidak hanya berorientasi pada kepentingan sempit, misalnya kepentingan individu, kelompok, golongan, atau suku bangsa tertentu. Selain itu Nasikun (2004:27-31) mengidentifikasi berbagai bentuk pengendalian konflik sosial, yaitu dengan mengadakan konsiliasi (conciliation), mediasi (mediation), dan arbitrasi atau perwasitan (arbitration). Pengendalian dalam bentuk konsiliasi dapat terwujud melalui lembagalembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan-keputusan di antara pihak-pihak yang berlawanan mengenai persoialanpersoalan yang mereka pertentangkan. Pada umumnya mengambil contoh di dalam kehidupan politik, misalnya lembaga-lembaga yang bersifat parlementer (sidang pleno, sidang paripurna, dan sebagai berikut), dimana wakil-wakil dari kelompok parlemen (fraksi-fraksi di DPR) saling bertemu untuk mewujudkan pertentangan dengan cara damai. Dalam pada itu, agar lembaga-lembaga itu dapat berfungsi secara efektif, setidaknya harus memenuhi empat hal berikut: 1. Bersifat otonom dengan wewenang untuk mengambil keputusan-keputusan tanpa campur tangan dari badan-badan lain yang ada di luarnya. 2. Kedudukan lembaga dalam masyarakat bersifat monopolistis, dalam arti hanya lembaga-lembaga itulah yang berfungsi demikian. 3. Peranan lembaga melalui keputusan yang dihasilkannya harus mampu mengikat berbagai kelompok kepentingan yang berlawanan. 4. Bersifat demokratis, yakni setiap pihak harus didengarkan dan menyatakan pendapatnya sebelum keputusan diambil. Tanpa adanya keempat hal di atas, maka konflik yang terjadi di antara berbagai kekuatan sosial akan menyelinap ke bawah permukaan, yang pada saatnya dapat meledak ke dalam bentuk kekerasan. Namun demikian, konsiliasi dapat diselenggarakan secara baik apabila kelompok-kelompok yang bertikai memiliki tiga prasyarat sebagai berikut: Sosiologi SMA K-6 144

153 1. Menyadari akan adanya situasi konflik, melaksanakan prinsip keadilan dan kejujuran bagi semua pihak. 2. Kelompok-kelompok yang bertikai harus terorganisir secara jelas. Sejauh kekuatan-kekuatan sosial tidak terorganisir, maka pengendalian konflik pun akan sulit dilakukan, misalnya adanya aksi gerakan massa, amuk massa, dan lain-lain. Sebaliknya, konflik yang terjadi di antara kelompok yang terorganisir akan lebih mudah melembaga sehingga akan lebih mudah dikendalikan. 3. Setiap kelompok yang bertikai harus taat pada aturan main, serta menghindarkan diri dari munculnya pihak ketiga yang akan merugikan kepentingan-kepentingan mereka sendiri. Pengendalian dengan cara mediasi atau dengan perantara dimaksudkan bahwa pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk menunjuk pihak ketiga yang dapat memberi nasihat-nasihat berkaitan dengan penyelesaian yang terbaik terhadap pertentangan yang mereka alami. Sekalipun nasihat dari pihak ketiga tidak bersifat mengikat terhadap yang terlibat konflik, namun cara pengendalian ini dirasa efektif karena memberikan kemungkinan pihak-pihak yang bertentangan untuk menarik diri tanpa harus kehilangan muka, mengurangi pemborosan, dan lain sebagainya. Pengendalian konflik dengan cara perwasitan atau arbitrasi, dimaksudkan bahwa pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk menerima pihak ketiga, yang akan berperan untuk memberikan keputusan-keputusan dalam rangka menyelesaikan konflik yang ada. Berbeda dengan mediasi, cara ini mengharuskan pihak-pihak yang berkonflik untuk menerima keputusan-keputusan yang diambil oleh wasit. Lebih jelas lagi Jack Rothman (Sihbudi dan Nurhasim, 2003:35) menyatakan bahwa untuk mengatasi konflik di dalam masyarakat, maka perlu dilakukan beberapa tindakan, yaitu: (1) Tindakan koersif (paksaan), perlu ada pengaturan pengaturan administratif, penyelesaian hukum, tekanan politik dan ekonomi; (2) Memberikan insentif seperti memberikan penghargaan kepada suatu komunitas akan keberhasilannya menjaga ketertiban dan keharmonisan; (3) Tindakan Sosiologi SMA K-6 145

154 persuasif, terutama terhadap ketidakpuasan realitas sosial yang dihadapi masyarakat; (4) Tindakan normatif, yakni melakukan proses membangun persepsi dan keyakinan masyarakat akan sistem sosial yang akan dicapai. Selanjutnya untuk mengatasi konflik vertikal perlu dibangun suatu rekonsiliasi atau penyelesaian politik yang menguntungkan masyarakat luas. Karena bagi kalangan elite, konflik dijadikan sebagai sarana untuk tawar-menawar atau untuk melakukan penekanan demi tercapainya tujuan-tujuan tertentu. D. AKTIVITAS PEMBELAJARAN Pelaksanaan pembelajaran menggunakan pendekatan andragogi lebih mengutamakan pengungkapan kembali pengalaman peserta diklat menganalisis, menyimpulkan dalam suasana yang aktif, inovatif dan kreatif, menyenamgkan dan bermakna. Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam mempelajari materi ini mencakup : 3. Aktivitas individu, meliputi : e. Memahami dan mencermati materi diklat f. Mengerjakan latihan tugas, menyelesaikan masalah/kasus pada setiap kegiatan belajar, g. Menyimpulkan h. Melakukan refleksi 4. Aktivitas kelompok, meliputi : d. Mendiskusikan materi pelathan e. Bertukar pengalaman dalam melakukan pelatihan penyelesaian masalah /kasus f. Melaksanakan refleksi Sosiologi SMA K-6 146

155 E. LATIHAN/TUGAS Identifikasikan berbagai macam konflik yang terjadi di Indonesia, baik konflik horisontal maupun konflik vertikal, kemudian analisislah mengenai sentimen utama dalam mobilisasi konflik! Tabel6: sentimen utama dalam mobilisasi konflik! NO KEJADIAN KONFLIK (KERUSUHAN) SENTIMEN UTAMA DALAM MOBILISASI KONFLIK TEMPAT WAKTU AGAMA SUKU KELAS POLITI K 1. Munculnya budaya kekerasan erta kaitannya dengan adanya kemiskinan atau kesenjangan ekonomi. Jelaskan kaitannya! 2. Budaya kekerasan bisa jadi muncul karena adanya proses penumpulan perasaan di kalangan insan Indonesia. Berikan masukan berkaitan dengan dunia pendidikan! 3. Dalam masyarakat kita seringkali muncul tindakan diskriminasi terhadap etnis tertentu, sebagai contoh diskriminasi etnis Tionghoa di Jawa. Mengapa hal itu bisa terjadi? 4. Setiap kali terjadi perhelatan politik seperti pemilu dan pilkada, acapkali pula terjadi kerusuhan akibat fanatisme yang berlebih dari para pendukung salah Sosiologi SMA K-6 147

156 satu pihak. Berikan argumen mengapa hal itu dapat terjadi? Kaitkan dengan budaya dan karakteristik bangsa Indonesia! 5. Gejala menarik yang terjadi di negara kita adalah adanya satu birokrasi yang merupakan bagian dari organisasi sosial politik (parpol). Ketidaknetralan birokrasi dapat memancing ketegangan sosial yang memanifestasi pada tindakan-tindakan yang berdimensi SARA. Meskipun SARA adalah bagian dari bangsa dan negara Indonesia, tetapi SARA tetap tidak dapat dihindari. Analisalah kasus tersebut! Bagaimana menyikapinya? F. RANGKUMAN Sebagai gejala sosial, konflik akan selalu ada pada setiap masyarakat, karena antagonisme atau perbedaan menjadi ciri dan penunjang terbentuknya masyarakat. Fenomena konflik memang tak pernah lepas dari faktor ekonomi dan kekuasaan (politik). Teori konflik yang paling awal pun dibagun atas kerangka persoalan ekonomi. Adalah Karl Marx yang mencetuskan teori konflik, yang melihat bahwa kehidupan masyarakat selalu dalam kondisi konflik akibat perebutan sumbersumber ekonomi yang semakin langka. Pandangan itu kemudian diikuti oleh ilmuwan lain seperti Georg Simmel, Dahrendorf, Lewis Coser, dan ilmuwan modern lainnya. Ibn Khaldun, seorang teoretisi sosiologi abad XIV pun telah mengidentifikasi adanya konflik. Faktor yang menentukan terjadinya konflik menurutnya adalah watak manusia, faktor ekonomi, dan faktor politik. Terjadinya konflik sosial dapat didekati melalui beberapa asumsi sebagai berikut: 1. Dinamika sosial, ekonomi, budaya, dan politik suatu daerah mempunyai potensi bagi terjadinya ketegangan sosial maupun konflik, baik dalam katagori lunak maupun keras seperti kerusuhan. Sosiologi SMA K-6 148

157 2. Perimbangan kekuatan-kekuatan sosial seperti suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang hampir sama dianggap sebagai akar utama penyebab terjadinya kerusuhan. 3. Daerah dengan perimbangan antara penduduk asli dan pendatang yang timpang dilihat dari penguasaan aset ekonomi maupun politik, akan memungkinkan timbulnya konflik dan kerusuhan. 4. Pola pemukiman penduduk yang hetetogen atau multietnik dianggap dapat menjadi sumber konflik atau ketegangan sosial. Kerusuhan sosial tidak akan terjadi apabila tidak didahului oleh faktor-faktor akselerator maupun pemicu yang saling terkait, meskipun di suatu daerah sudah ada sumber masalah. Berdasarkan akar masalahnya, berbagai konflik yang terjadi menyaru ke dalam bentuk konflik ekonomi, konflik agama, konflik ideologi, konflik politik, konflik suku atau rasial, konflik perebutan sumber daya alam, maupun konflik lingkungan. Namun dalam kenyataannya konflik tidak selalu berdiri sendiri berdasarkan akar masalahnya. Konflik dapat berdimensi luas yang berakar dari berbagai sumber. Alternatif pemecahan konflik dapat dilakukan dengan berbagai cara, konflik horisontal biasanya mengedepankan penyelesaian dengan jalan damai melalui kompromi, mediasi, maupun arbitrasi. Sedangkan konflik vertikal memerlukan bangunan rekonsiliasi yang berpihak pada rakyat. G. UMPAN BALIK Setelah membaca kegiatan pembelajaran dalam modul ini apakahandamemperoleh pengetahuan baru, yang sebelumnya belum pernah Anda pahami, apakah materi yang diuraikan mempunyai manfaat dalam mengembangkan materi sosiologi, khususnya masalah sosial? Setelah Anda membaca kegiatan pembelajaran dalam modul ini rencana tindak lanjut apa yang akan Anda lakukan? Sosiologi SMA K-6 149

158 GLOSARIUM Arbitrasi Cara untuk mencapai kompromi dengan mendatangkan pihak ketiga yang dipilih oleh kedua belah pihak yang bertikai dan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Asosiatif Sifat mendukung kerja sama. Disosiatif Sifat menolak kerja sama, oposisi. Illegitimate Tidak terlegitimasi, tidak diakui, tidak sah. Imperium Pemerintahan atau kekuasaan yang besar. Impulsif Bersifat menyebabkan bergerak, mendorong. Kompromi Bentuk akomodasi di mana pihak-pihak yang bertikai saling mengurangi tuntutannya. Konsiliasi Suatu usaha untuk mempertemukan keinginan dari pihakpihak yang berselisih demi tercapainya suatu persetujuan bersama. Meditasi filosofis Perenungan yang berkaitan dengan rasa dan pikiran. Narsisme Paham kecintaan terhadap diri sendiri. Superego Sensor terhadap ego manusia, bisa meliputi kata hati, moral, ideal, dan pengamatan diri. Totalitarisme Paham yang secara menyeluruh mengontrol, menguasai, dan memobilisasikan segala segi kehidupan masyarakat; diktator. DAFTAR PUSTAKA Affandi, Hakimul Ikhwan Akar Konflik Sepanjang Zaman: ElaborasiPemikiran Ibn Khaldun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Al Hakim, Suparlan Manajemen Konflik: Pemberdayaan SARAMenuju Dialog Mendalam. Makalah Diklat Guru SMU Swasta Tradisional MP Sosiologi- Antropologi. Malang: PPPG IPS PMP. Arendt, Hannah Asal Usul Totalitarisme. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Sosiologi SMA K-6 150

159 Beilharz, Peter Teori-Teori Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Camara, Dom Helder Spiral Kekerasan. Terjemahan Komunitas Apiru. Yogyakarta: Insist Press-Pustaka Pelajar. Eatwell, Roger dan Anthony Wright Ideologi Politik Kontemporer. Yogyakarta: Penerbit Jendela. Fromm, Erich Akar Kekerasan: Analisis Sosio-Psikologis AtasWatak Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Gurr, Robert Ted Deprivasi Relatif dan Kekerasan dalam Thomas Santoso Teori-Teori Kekerasan. Yogyakarta: Ghalia Indonesia. Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt Sosiologi Jilid 2. Terjemahan Aminuddin Ram dan Tita Sobari. Jakarta: Penerbit Erlangga. Johnson, Doyle Paul Teori Sosiologi Klasik dan Modern 2. Terjemahan Robert M.Z. Lawang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Koentjaraningrat Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional. Jakarta: UI Press. Kusnadi Konflik Sosial Nelayan. Yogyakarta: Lkis Lavine, T.Z Mark: Konflik Kelas dan Orang Yang Terasing. Seri Petualangan Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Jendela. Lev, Daniel S The Political Role of The Army in Indonesia. San Francisco: Charder Publishing Company. Mulkhan, Abdul Munir, dkk Membongkar Praktik KekerasanMenggagas Kultur Nir Kekerasan.Yogyakarta: Sinergi Press-PSIF. Nasikun Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Pruitt, Dean G. dan Jeffrey Z. Rubin Teori Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ritzer, George Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Penyadur: Alimandan. Jakarta: Rajawali Pers. Siahaan, Hotman M Pengantar ke Arah Sejarah dan TeoriSosiologi. Jakarta: Penerbit Erlangga. Sihbudi, Riza dan Moch. Nurhasim Kerusuhan Sosial di Indonesia. Jakarta: PT Grasindo. Sosiologi SMA K-6 151

160 Soekanto, Soerjono Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Soetrisno, Loekman Konflik Sosial: Studi Kasus Indonesia. Yogyakarta: Tajidu Press. Suharman Beberapa Masalah Kerukunan Suku: Kasus Pembakaran Pasar Abepura, Irian Jaya dalam Mohtar Mas oed. Kritik Sosialdalam Wacana Pembangunan. Yogyakarta: UII Press. Syamsudin, Nazaruddin Integrasi Politik di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia. Trijono, Lambang Konflik Maluku. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Usman, Sunyoto Jalan Terjal Perubahan Sosial. Yogyakarta: CIRed-Jejak Pena. Veeger, Karel J Pengantar Sosiologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama APTIK. Sosiologi SMA K-6 152

161 KEGIATAN PEMBELAJARAN 7: MULTIKULTURALISME A. TUJUAN Setelah mempelajari Kegiatan Pembelajaran 7 ini, peserta diklat memiliki kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami konsep-konsep yang berkaitan dengan masyarakat multikultural 2. Mempunyai sensitivitas terhadap konsekuensi dari masyarakat multikultural 3. Berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial berkaitan dengan ekses kehidupan pada masyarakat multikultural 4. Berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat multikultural di tingkat lokal, nasional, dan global. B. INDIKATOR PENCAPAIAN KOMPETENSI 1. Menjelaskan Konsep Masyarakat Multikultural 2. Menjelaskan Konsep Multikulturalisme 3. Menganalisis Multikulturalisme di Indonesia C. URAIAN MATERI 1.Latar Belakang Meluasnya disintegrasi sosial merupakan salah satu fenomena krusial yang telah membuat negeri ini terbengkalai. Konflik horisontal antarsuku, agama, ras, misalnya, dan berbagai golongan sampai saat ini masih marak terjadi. Tragedi kekerasan antarkelompok yang meledak secara sporadis diakhir tahun 1990-an, misalnya, kemudian konflik kekerasan yang bernuansa politis, etnis dan agama seperti yang terjadi di berbagai wilayah Aceh, Maluku, Kalimantan Barat dan Tengah, Poso, serta daerah lain merupakan salah satu fakta yang tidak terbantahkan bahwa dalam lingkaran sosial bangsa Indonesia masih kokoh semangat narsistik-egosentrisnya. Sosiologi SMA K-6 153

162 Fakta paling mutakhir berkenaan dengan masalah tersebut adalah bergolaknya kembali konflik bernuansa SARA. Hal itu juga menjadi bukti betapa rapuhnya konstruksi kebangsaan berbasis multikultural di negeri ini. Sehingga tidak heran kalau belakangan ini rasa kebersamaan sudah tidak tampak lagi dan nilai-nilai kebudayaan yang dibangun menjadi terberangus. Sebagai bahan pengayaan yang diperuntukkan guru, buku ini hadir dalam rangka merajut kebersamaan dan saling pengertian antarsesama bangsa dalam bingkai pemahaman tentang masyarakat multikultural. Selain itu dalam bahasan ini juga dikupas tentang ideologi atau paham sebagai perekat sendi-sendi masyarakat multikultural yaitu multikulturalisme. Multikulturalisme adalah sebuah paham yang menekankan pada kesederajatan dan kesetaraan budaya-budaya lokal tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya lain. Hal ini sangat penting kita pahami bersama dalam kehidupan masyarakat yang multikultural seperti di Indonesia ini. Sebab bagaimana pun secara riil, bangsa Indonesia memiliki keragaman bahasa, sosial, agama, budaya dan sebagainya. Keragaman tersebut amat kondusif bagi munculnya konflik dalam berbagai dimensi kehidupan. 2. Konsep Masyarakat Multikultural Liliweri (2005: 57-62) secara tersirat menyamakan istilah masyarakat multikultural dengan masyarakat majemuk. Menurutnya, masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang struktur penduduknya terdiri dari beragam etnik, dan keragaman itu menjadi sumber keragaman kebudayaan atau subkultur dari masing-masing etnik. Konsep multikultural menjelaskan tentang kehadiran dan daya tahan sekelompok orang dari beragam ras dan etnik minoritas yang mendefinisikan diri mereka secara berbeda dengan orang lain yang mereka temui dalam kehidupan sehari-hari. Secara ideologis, konsep multikultural terdiri atas seperangkat gagasan yang relatif mempunyai koherensi dengan gagasan yang membentuk sebuah mosaik kebudayaan (Kymlicka, 2002: 13-49). Perbedaan latar belakang kebudayaan mendeskripsikan bahwa kita tidak bisa mengelak dari keberagaman, Sosiologi SMA K-6 154

163 karena kita pun tak mampu menolak identitas ganda (multiple identities) yang kita miliki. Identitas ganda itu terbentuk melalui keunikan dan kompleksitas akibat interseksi dari ras, etnik, kelas sosial, gender, bahasa, agama, orientasi seksual, hingga kemampuan personal. 3. Multikulturalisme: Ideologi Perekat Masyarakat Multikultural a. Pengertian Multikulturalisme Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Seperti dikemukakan oleh Liliweri (2005: 68) yaitu bahwa studi tentang masyarakat majemuk selalu menggambarkan bahwa multikulturalisme merupakan ideologi dari sebuah masyarakat multikultur. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mosaik tersebut. Model multikulturalisme ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi: "kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah". Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk mendesain kebudayaan bangsa Indonesia tetapi bagi pada umumnya orang Indonesia masa kini multikulturalisme adalah sebuah konsep asing. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai Sosiologi SMA K-6 155

164 multikulturalisme mau tidak mau juga mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakkan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas. Menurut kamus ensiklopedi Wikipedia,multikulturalisme adalah sebuah filosofi terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosialpolitik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negara. Akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan. Pengertian kebudayaan di antara para ahli harus dipersamakan atau setidak-tidaknya tidak dipertentangkan antara satu konsep seorang ahli dengan konsep lainnya. Karena multikulturalsime itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia. Yang juga harus kita perhatikan bersama untuk kesamaan pendapat dan pemahaman adalah bagaimana kebudayaan itu operasional melalui pranatapranata sosial. Sebagai sebuah ide atau ideologi multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan Kajian-kajian mengenai corak kegiatan, yaitu hubungan antarmanusia dalam berbagai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya akan merupakan sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia. Multikulturalisme pada mulanya adalah terminologi dalam disiplin antropologi. Tetapi, sebagaimana lazimnya, istilah dan konsep dalam sebuah Sosiologi SMA K-6 156

165 cabang ilmu kemudian digunakan juga dalam cabang ilmu lain dengan makna dan tujuan yang sudah bergeser, maka penjernihan istilah dan konsep sangat perlu untuk menghindari bias pemahaman. Ada beberapa istilah lain yang secara konseptual tampak mirip dengan terminologi multikulturalisme tetapi sebenarnya beda. Misalnya, pluralisme, diversitas, heterogenitas atau yang sering disebut saja dengan istilah masyarakat majemuk. Selain itu, multikulturalisme adalah sebuah perangkat analisis terhadap realitas kebudayaan sebagai pilihan lain di luar beberapa pendekatan seperti asimilasionisme dan diferensialisme. Masyarakat majemuk (plural society) berbeda dengan keragaman budaya atau multikulturalitas (plural cultural). Masyarakat majemuk lebih menekankan soal etnisitas atau suku bangsa yang pada gilirannya membangkitkan gerakan etnosentrisme dan etnonasionalisme. Sifatnya sangat askriptif dan primordial. Bahaya chauvinisme sangat potensial. Karena wataknya yang sangat mengagungkan ciri stereotip kesukubangsaan, anggotanya memandang masyarakat lain dengan cara pandang seperti itu juga. Masyarakat majemuk dengan demikian selalu mengeram konflik dalam dirinya yang setiap saat siap mewujud baik secara halus lewat kata-kata sindiran maupun secara kasar melalui tindakan kekerasan. Bahaya rasialisme juga bermula dari sini. Jati diri seseorang dianggap sebagai sesuatu yang terbawa dengan sendirinya dengan berbagai kebenarannya yang niscaya tanpa perlu digugat (taken for granted). Setiap suku menganggap kelompoknya lebih unggul, begitu juga budayanya. Seseorang kemudian diperlakukan berdasarkan asal usul kesukuannya, keyakinannya, kebudayaannya. Perbedaan dianggap sebagai sesuatu yang bukan cuma tidak terjembatani, tetapi bahkan memang tidak boleh dijembatani. Ada kecemasan dan ketakutan akan hancurnya dan lenyapnya hakikat serta jati diri suatu suku jika jembatan dibangun. Dialog dan komunikasi menjadi dua hal yang muskil. Hanya satu jalan untuk meluluhkan arogansi etnik seperti itu yaitu dengan kekuatan koersif penguasa yang lebih tinggi. Seperti itulah yang dipraktikkan selama rezim Orde Baru. Akibatnya, lahirlah generasi yang menghayati hidup Sosiologi SMA K-6 157

166 penuh kebohongan dan amarah terpendam yang tinggal menunggu waktu meledak. Dapat disaksikan sendiri bukti empiris kostanta ini terutama pada era pascareformasi. Berbeda dengan konsep dan perspektif masyarakat majemuk, konsep multikulturalisme memandang hakikat kemanusiaan sebagai sesuatu yang universal dan oleh karenanya sama. Tetapi ketika bicara soal cara hidup (way of life), aturan berpikir (rule of thinking), dan pendirian atau prinsip hidup (state of mind), multikulturalisme justru melihat bahwa sungguh tidak adil kalau realitas keanekaan itu dinafikan entah dengan cara apa pun. Perbedaan dipandang sebagai kesempatan untuk memanifestasikan hakikat sosial dan sosiabilitas manusia dengan dialog dan komunikasi. Masyarakat yang hidup dalam perspektif ini sangat mementingkan dialektika yang kreatif. Watak masyarakat multikulturalis adalah toleran. Mereka hidup dalam semangat peaceful co-existence, hidup berdampingan secara damai. Setiap entitas sosial dan budaya masih tetap membawa serta jati dirinya, tidak terlebur kemudian hilang, tetapi juga tidak diperlihatkan sebagai kebanggaan melebihi penghargaan terhadap entitas lain. Dalam perspektif multikulturalisme ini, baik individu maupun kelompok dari berbagai entitas etnik dan budaya hidup dalam societal cohesion tanpa kehilangan identitas etnik dan kultur mereka. Masyarakat bersatu dalam ranah sosial tetapi antar-entitas tetap ada jarak. Prinsipnya, aku bisa bersatu dengan engkau, tetapi antara kita berdua tetap ada jarak. Aku hanya bisa menjadi aku dalam arti sepenuhnya dengan menjadi satu dengan engkau, begitu sebaliknya, tetapi tetap saja antara aku dan engkau ada jarak. Jarak itu harus kita jaga dengan komunikasi, dialog dan toleransi yang kreatif. Multikulturalisme adalah sebuah perspektif alternatif untuk mengatasi pertentangan dan konflik sosial bernuansa etnis, agama, ras dan berbagai identitas primordial lainnya. Selain pendekatan ini terdapat beberapa pendekatan lain yang perlu diuraikan di sini secara sepintas. Dengan membandingkan multikulturalisme dengan pendekatan lain tersebut selain dengan konsep masyarakat majemuk yang telah diuraikan di atas bisa diperoleh gambaran Sosiologi SMA K-6 158

167 apakah multikulturalisme memang lebih unggul atau ideal untuk digunakan sebagai perangkat analisis. Menurut Anthony Giddens (Sociology, 1995), terdapat tiga model pendekatan untuk pengembangan relasi etnik atau entitas lain di masa depan, yaitu asimilasi, melting pot, dan pluralisme kultural (multikulturalisme). Pembagian yang mirip dengan ini digambarkan oleh Maria Hartiningsih (Kompas, 14 Maret 2001) dan Parsudi Suparlan (Media Indonesia, 10 Desember 2001) yaitu asimilasionisme, diferensialisme, dan multikulturalisme. Dalam pendekatan asimilasionisme, terdapat pemilahan atas mayoritas dan minoritas. Minoritas melebur ke dalam mayoritas. Semua karakteristik khas yang melekat dalam entitas minoritas kemudian hilang ditelan karakteristik mayoritas. Di sinilah mitos pengorbanan menemukan pembenarannya. Asumsinya, dengan pembauran tersebut konflik dapat diredam. Berbeda dengan asimilasionisme yang menyuburkan hegemoni mayoritas, pendekatan diferensialisme justru membiarkan semua entitas itu tumbuh. Tetapi, kontak, komunikasi, dialog sama sekali dihapus atau dihilangkan. Tak ada ruang untuk interaksi sosial. Konflik dihindari bukan dengan melenyapkan salah satu entitas, tetapi dengan membangun tembok tinggi antara berbagai entitas tersebut. Masyarakat dikotak-kotakkan. Contoh empiris yang menyajikan ekses ekstrem pendekatan seperti ini adalah politik apartheid di Afrika Selatan pra-mandela. Kejahatan genosida dan pembersihan etnis (ethnic cleansing) juga mendapatkan pembenarannya di atas konsep seperti ini. Sementara, yang dimaksudkan dengan melting pot adalah pencampuran berbagai kebudayaan atau entitas melebur menjadi sesuatu yang baru. Konsep ini bisa dianalogikan dengan konsep senyawa dalam ilmu kimia. Misalnya, unsur H (hidrogen) direaksikan dengan unsur O (oksigen) dengan ukuran (dalam ilmu kimia diistilahkan mol ) tertentu akan menghasilkan H2O yang sering kita sebut sebagai air. Ia lebih dari sekadar sebuah larutan (misalnya larutan air dan gula yang kedua unsurnya masih bisa dirasakan kendati sudah menyatu), apa lagi dari sekadar campuran (misalnya tanah dan air dicampur, di mana kedua unsurnya tidak menyatu dan sangat mudah dipilah dan dibedakan). Dalam Sosiologi SMA K-6 159

168 sejarah dunia, kita mengenal adanya kebudayaan Helenisme zaman Aleksander Agung yang merupakan persenyawaan kebudayaan Yunani dengan kebudayaan wilayah-wilayah taklukannya. Giddens mencontohkan kebudayaan Anglo-Saxon Amerika untuk menggambarkan model melting pot ini. Ternyata dari berbagai pendekatan tersebut terdapat kekurangan dan kelebihan. Pendekatan multikulturalisme pun memiliki kekurangan selain kelebihan yaitu sangat rentan dengan bahaya diskriminatif, bahkan oleh orang semacam Dr. Gary Hull, pendekatan ini justru contradictio in terminis dan sarat paradoks. Distinct but equal, berbeda tetapi sama. Tetapi, bagaimanapun, pendekatan ini jauh lebih memadai daripada berbagai pendekatan lainnya. Giddens sendiri menganjurkan untuk memadukan ketiga pendekatan asimilasi, melting pot, dan multikultralisme, tetapi seperti apa bentuknya, belum jelas. Selain itu, perlu dipahami bahwa kecurigaan dan keraguan terhadap multikulturalisme lebih diakibatkan oleh bergesernya wacana tersebut dari memandangnya sebagai pendekatan intelektual dan eksistensial ke pendekatan politik semata. Ketika dipandang sebagai pendekatan politik, ia tidak bisa luput dari bias. Padahal, cukup dipahami secara sederhana saja bahwa inti multikulturalisme adalah relasi makna yang saling bersentuhan untuk mencapai pemahaman yang utuh dan komprehensif atas berbagai kultur. b. Sejarah Multikulturalisme Kalau dilihat apa yang terjadi di Amerika Serikat dan di negara-negara Eropa Barat maka sampai dengan Perang Dunia ke-2 masyarakat-masyarakat tersebut hanya mengenal adanya satu kebudayaan, yaitu kebudayaan Kulit Putih yang Kristen. Golongan-golongan lainnya yang ada dalam masyarakatmasyarakat tersebut digolongkan sebagai minoritas dengan segala hak-hak mereka yang dibatasi atau dikebiri. Pada pertengahan abad ke-19 imigran asal Irlandia yang beragama Katolik didiskriminasi secara politik, sosial, dan ekonomi oleh golongan White Anglo-Saxon Protestant (WASP) yang mengaku sebagai suku bangsa asli Amerika (Budianta, 2004: 22-26). Orang-orang Cina di Pantai Barat menjadi Sosiologi SMA K-6 160

169 sasaran pelecehan hukum dan sosial pada akhir abad ke-19. Selama Perang Dunia II warga Amerika keturunan Jepang dikirim ke kemah-kemah gurun pasir dengan tuduhan palsu. Pada paruh pertama abad ke-20 hukum imigrasi bersifat sangat rasis. Orang-orang Asia dilarang masuk ke Amerika atau menjadi warga negara. Tindakan-tindakan diskriminatif menimpa bukan hanya ras minoritas, melainkan juga golongan-golongan minoritas lainnya. Pemerintah Federal tercatat pernah memenjarakan para Pendeta Mormon karena dianggap mempunyai kepercayaan yang aneh dan merendahkan martabat. Kaum perempuan yang mencapai separuh populasi pun direndahkan secara hukum dan sosial. Di Amerika Serikat berbagai gejolak untuk persamaan hak bagi golongan minoritas dan kulit hitam serta kulit berwarna mulai muncul di akhir tahun 1950an. Puncaknya adalah pada tahun 1960an dengan dilarangnya perlakuan diskriminasi oleh orang Kulit Putih terhadap orang Kulit Hitam dan Kulit Berwarna di tempat-tempat umum, perjuangan hak-hak sipil, dan dilanjutkannya perjuangan hak-hak sipil ini secara lebih efektif melalui berbagai kegiatan affirmative action atau diskriminasi terbalikyangmembantu mereka yang tergolong sebagai yang terpuruk dan minoritas untuk dapat mengejar ketinggalan mereka dari golongan Kulit Putih yang dominan di berbagai posisi dan jabatan dalam berbagai bidang pekerjaan dan usaha. Pada tahun 1970-an upaya-upaya untuk mencapai kesederajatan dalam perbedaan mengalami berbagai hambatan, karena corak kebudayaan Kulit Putih yang Protestan dan dominan itu berbeda dari corak kebudayaan orang Kulit Hitam, orang Indian atau Pribumi Amerika, dan dari berbagai kebudayaan bangsa dan sukubangsa yang tergolong minoritas. Hal yang ang dilakukan oleh para cendekiawan dan pejabat pemerintah yang pro demokrasi dan HAM, dan yang antirasisme dan diskriminasi adalah dengan cara menyebarluaskan konsep multikulturalisme dalam bentuk pengajaran dan pendidikan di sekolahsekolah di tahun 1970an. Bahkan anak-anak Cina, Meksiko, dan berbagai golongan sukubangsa lainnya dewasa ini dapat belajar dengan menggunakan bahasa ibunya di sekolah sampai dengan tahap-tahap tertentu. Jadi kalau Sosiologi SMA K-6 161

170 Glazer (1997) mengatakan bahwa 'we are all multiculturalists now' dia menyatakan apa yang sebenarnya terjadi pada masa sekarang ini di Amerika Serikat, dan gejala tersebut adalah produk dari serangkaian proses-proses pendidikan multikulturalisme yang dilakukan sejak tahun 1970an (Suparlan, 2001). Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi yang telah menjadi norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19. Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif (istilah 'monokultural' juga dapat digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belum terwujud (pre-existing homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru. Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa- Inggris (English-speaking countries), yang dimulai di Kanada pada tahun Kebijakan ini kemudian diadopsi oleh sebagian besar anggota Uni Eropa, sebagai kebijakan resmi, dan sebagai konsensus sosial di antara para elit. Namun beberapa tahun belakangan, sejumlah negara Eropa, terutama Belanda dan Denmark, mulai mengubah kebijakan mereka ke arah kebijakan monokulturalisme. Pengubahan kebijakan tersebut juga mulai menjadi subyek debat di Britania Raya dam Jerman, dan beberapa negara lainnya. 6. Multikulturalisme di Indonesia a. Multikulturalisme dan Kesederajatan Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang menekankan pengakuan dan penghargaan pada kesederajatan perbedaan kebudayaan. Tercakup dalam pengertian kebudayaan adalah para pendukung kebudayaan, baik secara individual maupun secara kelompok, dan terutama ditujukan terhadap golongan sosial askriptif yaitu sukubangsa, ras, gender, dan umur. Ideologi multikulturalisme ini secara bergandengan tangan saling mendukung dengan proses-proses demokratisasi, yang pada dasarnya adalah kesederajatan pelaku Sosiologi SMA K-6 162

171 secara individual (HAM) dalam berhadapan dengan kekuasaan dan komuniti atau masyarakat setempat. Upaya penyebarluasan dan pemantapan serta penerapan ideologi multikulturalisme dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, mau tidak mau harus bergandengan tangan dengan upaya penyebaran dan pemantapan ideologi demokrasi dan kebangsaan atau kewarganegaraan dalam porsi yang seimbang. Sehingga setiap orang Indoensia nantinya, akan mempunyai kesadaran tanggung jawab sebagai orang warga negara Indonesia, sebagai warga sukubangsa dan kebudayaannya, tergolong sebagai gender tertentu, dan tergolong sebagai umur tertentu yang tidak akan berlaku sewenang-wenang terhadap orang atau kelompok yang tergolong lain dari dirinya sendiri dan akan mampu untuk secara logika menolak diskriminasi dan perlakuan sewenangwenang oleh kelompok atau masyarakat yang dominan. Program penyebarluasan dan pemantapan ideologi multikulturalisme ini pernah diwacanakan untuk dilakukan melalui pendidikan dari Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Menengah Atas, dan juga Strata-1 Universitas. Melalui kesempatan ini saya juga ingin mengusulkan bahwa ideologi multikulturalisme seharusnya juga disebarluaskan dan dimantapkan melalui program-program yang diselenggarakan oleh LSM yang yang sejenis. Mengapa perjuangan anti-diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas dilakukan melalui perjuangan menuju masyarakat multikultural? Karena perjuangan antidiskriminasi dan perjuangan hak-hak hidup dalam kesederajatan dari minoritas adalah perjuangan politik, dan perjuangan politik adalah perjuangan kekuatan. Perjuangan kekuatan yang akan memberikan kekuatan kepada kelompok-kelompok minoritas sehingga hak-hak hidup untuk berbeda dapat dipertahankan dan tidak tidak didiskriminasi karena digolongkan sebagai sederajad dari mereka yang semula menganggap mereka sebagai dominan. Perjuangan politik seperti ini menuntut adanya landasan logika yang masuk akal di samping kekuatan nyata yang harus digunakan dalam penerapannya.logika yang masuk akal tersebut ada dalam multikulturalisme dan dalam demokrasi. Sosiologi SMA K-6 163

172 Upaya yang telah dan sedang dilakukan terhadap lima kelompok minoritas di Indonesia oleh LSM, untuk meningkatkan derajad mereka, mungkin dapat dilakukan melalui program-program pendidikan yang mencakup ideologi multikulturalisme dan demokrasi serta kebangsaan, dan berbagai upaya untuk menstimuli peningkatan kerja produktif dan profesi. Sehingga mereka itu tidak lagi berada dalam keterbelakangan dan ketergantungan pada kelompokkelompok dominan dalam masyarakat setempat di mana kelompok minoritas itu hidup. b. Membangun Multikulturalisme Indonesia Sejak jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya yang kemudian diikuti dengan masa yang disebut sebagai era reformasi, kebudayaan Indonesia cenderung mengalami disintegrasi. Krisis moneter, ekonomi dan politik yang bermula sejak akhir 1997, pada gilirannya juga telah mengakibatkan terjadinya krisis sosio-kultural di dalam kehidupan bangsa dan negara. Jalinan tenun masyarakat (fabric of society) kelihatan tercabik-cabik akibat berbagai krisis yang melanda masyarakat. Krisis sosial budaya yang meluas itu dapat disaksikan dalam berbagai bentuk disorientasi dan dislokasi banyak kalangan masyarakat kita, misalnya: disintegrasi sosial-politik yang bersumber dari euforia kebebasan yang nyaris kebablasan; lenyapnya kesabaran sosial (social temper) dalam menghadapi realitas kehidupan yang semakin sulit sehingga mudah mengamuk dan melakukan berbagai tindakan kekerasan dan anarki; merosotnya penghargaan dan kepatuhan terhadap hukum, etika, moral, dan kesantunan sosial; semakin meluasnya penyebaran narkotika dan penyakit-penyakit sosial lainnya; berlanjutnya konflik dan kekerasan yang bersumber atau sedikitnya bernuansa politis, etnis dan agama seperti terjadi di berbagai wilayah Aceh, Kalimantan Barat dan Tengah, Maluku Sulawesi Tengah, dan lain-lain. Disorientasi, dislokasi atau krisis sosial-budaya di kalangan masyarakat kita semakin merebak dengan kian meningkatnya penetrasi dan ekspansi budaya Barat khususnya Amerika sebagai akibat proses globalisasi yang terus tidak Sosiologi SMA K-6 164

173 terbendung. Berbagai ekspresi sosial budaya yang sebenarnya alien (asing), yang tidak memiliki basis dan preseden kulturalnya dalam masyarakat kita, semakin menyebar pula dalam masyarakat kita sehingga memunculkan kecenderungan-kecenderungan gaya hidup baru yang tidak selalu sesuai, positif dan kondusif bagi kehidupan sosial budaya masyarakat dan bangsa (cf. al-roubaie 2002). Hal ini misalnya bisa dilihat dari semakin merebaknya budaya McDonald, makanan instan lainnya dan, dengan demikian, budaya serba instan; meluasnya budaya telenovela, yang menyebarkan permisifisme, kekerasan, dan hedonisme; mewabahnya MTVisasi, Valentine s day, dan kini juga Prom s Night (malam pesta dansa) di kalangan remaja. Meminjam ungkapan Edward Said, gejala ini tidak lain daripada cultural imperialism baru, menggantikan imperialisme klasik yang terkandung dalam Orientalisme. Dari berbagai kecenderungan ini, maka orang bisa menyaksikan kemunculan kultur hybrid, budaya gado-gado tanpa identitas, di Indonesia dewasa ini. Pada satu segi, kemunculan budaya hybrid nampaknya tidak terelakkan, khususnya karena proses globalisasi yang semakin sulit dihindari. Tetapi pada segi lain, budaya hybrid apalagi yang bersumber dari dan didominasi budaya luar, karena dominasi dan hegemoni politik, ekonomi dan informasi mereka dapat mengakibatkan krisis budaya nasional dan lokal lebih lanjut. Tidak hanya itu, budaya hybrid dapat mengakibatkan lenyapnya identitas kultural nasional dan lokal; padahal identitas nasional dan lokal tersebut sangat mutlak bagi terwujudnya integrasi sosial, kultural dan politik masyarakat dan negara-bangsa Indonesia. c. Pluralitas dan Multikulturalisme: Bhinneka Tunggal Ika Pluralisme kultural di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, Malaysia dan Singapura, sebagaimana dikemukakan Hefner (2001:4) sangat mencolok; terdapat hanya beberapa wilayah lain di dunia yang memiliki pluralisme kultural seperti itu. Karena itulah dalam teori politik Barat sepanjang dasawarsa 1930-an dan 1940-an, wilayah ini khususnya Indonesia dipandang sebagai lokus klasik Sosiologi SMA K-6 165

174 bagi konsep masyarakat majemuk/plural (plural society) yang diperkenalkan ke dunia Barat oleh JS Furnival (1944, 1948). Menurut Furnivall, masyarakat plural adalah masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih unsur-unsur atau tatanan-tatanan sosial yang hidup berdampingan, tetapi tidak bercampur dan menyatu dalam satu unit politik tunggal (Furnivall 1944:446). Teori Furnivall ini banyak berkaitan dengan realitas sosial politik Eropa yang relatif homogen, tetapi sangat diwarnai chauvinisme etnis, rasial, agama dan gender. Berdasarkan kerangka sosial-kultural, politik dan pengalaman Eropa, Furnivall memandang masyarakat-masyarakat plural Asia Tenggara, khususnya Indonesia, akan terjerumus ke dalam anarki jika gagal menemukan bentuk federasi pluralis yang memadai (Furnivall 1944:468-9). Meski demikian, berbeda dengan doomed scenario Furnivall, masyarakatmasyarakat plural Asia Tenggara, khususnya Indonesia, pada akhirnya setelah Perang Dunia II dapat menyatu dalam satu kesatuan unit politik tunggal. Tetapi, harus diakui, kesatuan politik tidak menghilangkan realitas pluralitas sosialbudaya yang bukannya tidak sangat divisif, khususnya jika negara-bangsa baru seperti Indonesia gagal menemukan common platform yang dapat mengintegrasikan berbagai keragaman itu. Padahal, pada saat yang sama, kemerdekaan yang dicapai negara-negara baru ini mendorong bangkitnya sentimen etno-religius yang dapat sangat ekplosif, karena didorong semangat yang bernyala-nyala untuk mengontrol kekuasaan (Geertz 1973). Berhadapan dengan tantangan untuk tidak hanya mempertahankan kemerdekaan, tetapi juga eksistensi negara-bangsa (nation building) yang mengandung keragaman tersebut, maka para penguasa negara-negara baru ini memiliki kecenderungan kuat untuk melaksanakan politik keseragaman budaya (monokulturalisme atau monoculturality ). Pengalaman Indonesia sejak masa awal kemerdekaan, khususnya pada masa Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno dan masa Orde Baru di bawah Presiden Soeharto memperlihatkan kecenderungan kuat pada penerapan politik monokulturalisme. Secara restrospektif, politik mono-kulturalisme atau monokulturalitas yang dilaksanakan pemerintah Orde Baru atas nama stabilitas untuk Sosiologi SMA K-6 166

175 developmentalism telah menghancurkan kearifan budaya lokal (local cultural geniuses), seperti tradisi pela-gandong di Ambon, republik nagari di Sumatera Barat dan lain-lain. Padahal, sistem atau tradisi sosio-kultural lokal seperti ini merupakan kekayaan kultural yang tidak ternilai bukan hanya bagi masyarakatnya sendiri, tetapi juga bagi masyarakat-masyarakat lain. Lebih jauh lagi, kearifan lokal juga berfungsi sebagai mekanisme pelestarian (defense mechanism) dan sekaligus sistem peringatan dini (early warning system) yang dapat mengantisipasi ancaman terhadap keutuhan tradisi dan sistem sosiokultural dan, dengan demikian, memelihara integrasi dan keutuhan sosio-kultural masyarakat bersangkutan. Politik monokulturalisme yang telah menghancurkan kearifan lokal ini, pada gilirannya mengakibatkan terjadinya kerentanan dan disintegrasi sosial-budaya lokal. Konflik dan kekerasan yang bernuansa etnis dan agama yang khususnya marak sejak 1996 tidak terlepas dari hancurnya kearifan lokal tersebut. Tetapi penting dicatat, dari perspektif politik Indonesia, berakhirnya sentralisme kekuasaan yang pada masa Orde Baru memaksakan monokulturalisme, monokulturalitas, keseragaman, memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang pada hakikatnya multi-kultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan, terjadi pula peningkatan gejala provinsialisme atau kabupatenisme yang hampir tumpang tindih dengan etnisitas. Kecenderungan ini, jika tidak terkendali dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosial-kultural lebih lanjut, tetapi juga disintegrasi politik. Sebagaimana dikemukakan di atas, merupakan kenyataan yang sulit diingkari, bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri dari sejumlah besar kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain, sehingga negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat multi-kultural. Realitas Indonesia seperti itu, cocok dengan definisi Parekh (1997:167) bahwa, just as society with several religions or languages is multi religious or multi lingual, a society containing several cultures is multicultural. Karena itu, sekali lagi, sebagaimana Sosiologi SMA K-6 167

176 dirumuskan Parekh, bahwa a multicultural society, then, is one that includes several cultural communities with their overlapping but none the less distinct conceptions of the world, systems of meaning, values, forms of social organization, histories, customs and practices. Pengertian multikulturalisme yang diberikan para ahli sangat beragam. Sebagaimana diisyaratkan terdahulu dan juga nanti di bawah, multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam politics of recognition. Dengan pengertian yang beragam dan kecenderungan perkembangan konsep dan praktek multikulturalisme, maka Parekh (1997: ) membedakan lima macam multikulturalisme. Tentu saja pembagian kelima bentuk multikulturalisme itu tidak kedap air (watertight), sebaliknya bisa tumpang tindih dalam segi-segi tertentu: Pertama, multikulturalisme isolasionis yang mengacu kepada masyarakat di mana berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain. Contoh-contoh kelompok ini adalah seperti masyarakat yang ada pada sistem millet di Turki Usmani atau masyarakat Amish di AS. Kelompok ini menerima keragaman, tetapi pada saat yang sama berusaha mempertahankan budaya mereka secara terpisah dari masyarakat lain umumnya. Kedua, multikulturalisme akomodatif, yakni masyarakat plural yang memiliki kultur dominan, yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultural kaum minoritas. Masyarakat multikultural akomodatif merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan mereka; sebaliknya kaum minoritas tidak menantang kultur dominan. Multikulturalisme akomodatif ini dapat ditemukan di Inggris, Prancis, dan beberapa negara Eropa lain. Sosiologi SMA K-6 168

177 Ketiga, multikulturalisme otonomis, yakni masyarakat plural di mana kelompok-kelompok kultural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima. Concern pokok kelompok-kelompok kultural terakhir ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok kultural dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat di mana semua kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar. Jenis multikulturalisme didukung misalnya oleh kelompok Quebecois di Kanada, dan kelompokkelompok Muslim imigran di Eropa, yang menuntut untuk bisa menerapkan syari`ah, mendidik anak-anak mereka pada sekolah Islam, dan sebagainya. Keempat, multikulturalisme kritikal atau interaktif, yakni masyarakat plural di mana kelompok-kelompok kultural tidak terlalu concern dengan kehidupan kultural otonom; tetapi lebih menuntut penciptaan kultur kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif keistimewaan mereka. Kelompok budaya dominan tentu saja cenderung menolak tuntutan ini, dan bahkan berusaha secara paksa untuk menerapkan budaya dominan mereka dengan mengorbankan budaya kelompok-kelompok minoritas. Karena itulah kelompok-kelompok minoritas menantang kelompok kultur dominan, baik secara intelektual maupun politis, dengan tujuan menciptakan iklim yang kondusif bagi penciptaan secara bersama-sama sebuah kultur kolektif baru yang egaliter secara genuine. Jenis multikulturalisme, sebagai contoh, diperjuangkan masyarakat Kulit Hitam di Amerika Serikat, Inggris dan lain-lain. Kelima, multikulturalisme kosmopolitan, yang berusaha menghapuskan batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat dan patuh kepada budaya tertentu dan, sebaliknya, secara bebas terlibat dalam eksperimen-eksperimen interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing. Para pendukung multikulturalisme jenis ini yang sebagian besar adalah intelektual diasporik dan kelompok-kelompok liberal yang memiliki kecenderungan Sosiologi SMA K-6 169

178 postmodernistmemandang seluruh budaya sebagai sumber daya yang dapat mereka pilih dan ambil secara bebas. d. Multikulturalisme Demokratis; Basis Kewargaan Memandang berbagai kerangka konseptual tentang masyarakat multikultural dan multikulturalisme, maka pandangan dunia multikultural secara substantif sebenarnya tidaklah terlalu baru di Indonesia; jejak dan reminiscent kelima bentuk multikulturalisme yang baru saja dikemukakan dapat juga ditemukan di Indonesia. Prinsip Indonesia sebagai negara bhinneka tunggal ika mencerminkan bahwa meskipun Indonesia adalah multikultural, tetapi tetap terintegrasi dalam keikaan, kesatuan. Tetapi, sekali lagi, meski Indonesia pada dasarnya adalah masyarakat multikultural, namun paradigma multikulturalisme, apalagi multikulturalisme demokratis yang memiliki konotasi politis merupakan sesuatu yang baru. Kebaruan konsep multikulturalisme itu sebenarnya tidak hanya pada tingkat nasional, bahkan juga pada tingkat internasional. Seperti dicatat Kelly dalam pengantarnya (2002:1), multiculturalism is a recent phenomenon in political and social theory: the standar works are no more than twenty years old. Realitas Indonesia yang multikultural berhadapan dengan berbagai masalah dalam masa reformasi sekarang, maka terlihat adanya kebutuhan mendesak untuk merekontruksi kembali kebudayaan nasional Indonesia yang dapat menjadi integrating force yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut. Pembentukan masyarakat multi-kultural Indonesia yang demokratis tidak bisa secara taken for granted atau coba-coba. Sebaliknya harus diupayakan secara sistematis, programatis, integrated dan berkesinambungan. Salah satu langkah yang paling strategis dalam hal ini adalah melalui pendidikan multi-kultural yang diselenggarakan melalui seluruh lembaga pendidikan, baik formal maupun nonformal, dan bahkan informal dalam masyarakat luas. Kebutuhan dan urgensi pendidikan multikultural demokratis setidaknya dalam tiga dasawarsa terakhir dirasakan semakin mendesak bagi negarabangsa multikultural lainnya. Di beberapa negara Barat, seperti Kanada, Inggris, Sosiologi SMA K-6 170

179 Amerika Serikat dan lain-lain, yang sejak usainya Perang Dunia II semakin multikultural karena proses migrasi penduduk luar ke negara-negara tersebut (Hefner, 2001:2-3), pendidikan multikultural telah menemukan momentumnya sejak dasawarsa 1970-an, setelah sebelumnya di AS misalnya dikembangkan pendidikan interkultural. Berhadapan dengan meningkatnya multikulturalisme di negara-negara tersebut, maka paradigma, konsep dan praktek pendidikan multikultural semakin relevan dan tepat waktu. Pada pihak lain, gagasan pendidikan multikultural merupakan sesuatu yang baru di Indonesia. Meski belakangan ini sudah mulai muncul suara-suara yang mengusulkan pendidikan multikultural tersebut di tanah air, tidak berkembang wacana publik tentang subjek ini. Pembahasan dan literatur mengenai subyek ini sangat terbatas. Padahal, realitas kultural dan perkembangan terakhir kondisi sosial, politik, dan budaya bangsa, khususnya sejak era reformasi yang penuh dengan gejolak sosial-politik dan konflik dalam berbagai level masyarakat, membuat pendidikan multikultural demokratis terasa semakin dibutuhkan. Keragaman, atau kebhinnekaan atau multikultural merupakan salah satu realitas utama yang dialami masyarakat dan kebudayaan Indonesia di masa silam, lebih-lebih lagi pada masa kini dan di waktu-waktu mendatang. Multikulturalisme, perlu ditegaskan kembali, secara sederhana dapat pula dipahami sebagai pengakuan, bahwa sebuah negara atau masyarakat adalah beragam dan majemuk. Sebaliknya, tidak ada satu negarapun yang mengandung hanya kebudayaan nasional tunggal. Tetapi penting dicatat, sebagaimana dikemukakan di atas keragaman itu hendaklah tidak diinterpretasikan secara tunggal. Dan lebih jauh, komitmen untuk mengakui keragaman sebagai salah satu ciri dan karakter utama masyarakat-masyarakat dan negara-bangsa, seperti Indonesia, tidaklah berarti ketercerabutan, relativisme kultural, kekacauan sosial (social disruption) atau konflik berkepanjangan pada setiap komunitas, masyarakat dan kelompok etnis dan rasial. Sebab, pada saat yang sama sesungguhnya juga terdapat simbolsimbol, nilai-nilai, struktur-struktur dan lembaga-lembaga dalam kehidupan bersama yang mengikat berbagai keragaman tadi. Semuanya ini, terutama Sosiologi SMA K-6 171

180 lembaga-lembaga, struktur-struktur, dan bahkan pola tingkah laku (patterns of behavior) memiliki fokus terhadap kolaborasi, kerjasama, mediasi dan negosiasi perbedaan-perbedaan dan, dengan demikian, untuk menyelesaikan konflik yang potensial muncul dan berkembang sewaktu-waktu. Dengan demikian, mereka menekankan pada kehidupan bersama, saling mendukung dan menghormati satu sama lain dalam berbagai hak dan kewajiban personal maupun komunal, dan lebih jauh lagi masyarakat nasional. Pada tahap ini, komitmen terhadap nilai-nilai tidak dapat dipandang berkaitan hanya dengan eksklusivisme personal dan sosial, atau dengan superioritas kultural, tetapi lebih jauh lagi dengan kemanusiaan (humanness), komitmen dan kohesi kemanusiaan termasuk di dalamnya melalui toleransi, saling menghormati hak-hak personal dan komunal. Manusia, ketika berhadapan dengan simbol-simbol, doktrin-doktrin, prinsip-prinsip dan pola-pola tingkah laku, sesungguhnya mengungkapkan dan sekaligus mengidealisasikan komitmen kepada kemanusiaan, baik secara personal maupun komunal dan kebudayaan yang dihasilkannya. Dalam konteks ini, multikulturalisme demokratis dapat pula dipahami sebagai kepercayaan kepada normalitas dan penerimaan keragaman. Pandangan dunia multikulturalisme demokratis seperti ini dapat dipandang sebagai titik tolak dan fondasi bagi kewarganegaraan yang berkeadaban. Di sini, multikulturalisme demokratis dapat dipandang sebagai landasan budaya (cultural basic) bagi kewargaan, kewarganegaraan, dan pendidikan. Multikulturalisme demokratis sebagai landasan budaya, lebih jauh lagi, terkait erat dengan pencapaian civility (keadaban) yang sangat esensial bagi demokrasi yang berkeadaban dan keadaban yang demokratis (democratic civility). Dalam upaya penumbuhan dan pengembangan democratic civility, maka civil society (CS) dan pendidikan menduduki peran sangat instrumental. Namun penting diingatkan, terdapat persepsi dalam masyarakat untuk secara taken for granted menerima bahwa civil society selalu mendorong keadaban dan demokrasi. Padahal, terdapat kecenderungan, bahwa civil society terorganisasi berdasarkan distingsi sosial, budaya, etnis, dan agama sehingga Sosiologi SMA K-6 172

181 cenderung eksklusif dan merasa paling benar sendiri yang pada akhirnya menjadi kontra-produktif tidak hanya terhadap multikulturalisme, tetapi juga bahkan terhadap demokrasi. Karena itu, dalam hal civil society seperti ini, perlu pengembangan sikap inklusif, toleran, dan respek terhadap pluralitas. Pada saat yang sama, juga terdapat sangat banyak civil society yang mengatasi berbagai garis demarkasi tersebut, menjadi organisasi yang melintas batas-batas etnis, agama dan sosial, sehingga pada gilirannya dapat menjadi social and cultural capital yang esensial bagi pengembangan dan pemberdayaan civilitas dan demokrasi yang berkeadaban (cf. Hefner 2001:9-10). Dalam konteks pengembangan civil society yang benar-benar dapat menjadi modal sosial-budaya (social and cultural capital) bagi keadaban dan demokrasi, maka pendidikan merupakan salah satu sarana terpenting. Tidak perlu uraian panjang lebar, modal sosial-budaya sangat krusial dan instrumental bagi terwujudnya kohesi sosial-budaya (social and cultural cohesiveness) dan, pada gilirannya, integrasi negara-bangsa. Sebaliknya, negara-bangsa dan masyarakat akan mengalami disintegrasi jika tidak memiliki modal sosial-budaya. Dalam kerangka pengembangan modal sosial-budaya, diperlukan tidak hanya peningkatan pengetahuan dan pemahaman tentang berbagai nilai sosial-budaya, tetapi juga pengejawantahan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan bersama, bermasyarakat, berbangsa-bernegara. Di sinilah terletak peran instrumental pendidikan. Untuk penumbuhan dan pengembangan modal sosial-budaya melalui pendidikan, maka pendidikan kewargaan (civic education) menjadi sebuah keharusan. Keadaban dan demokrasi, sekali lagi, tak bisa dicapai secara cobacoba (trial and error) atau diperlakukan secara taken for granted; sebaliknya justru harus diprogramkan secara konseptual dan komprehensif pada setiap jenjang pendidikan, dan pada setiap lembaga pendidikan, baik formal, nonformal, maupun informal. Melalui Civic Education dapat ditumbuhkan tidak hanya pemahaman lebih benar tentang demokrasi, HAM, pluralitas, dan respek dan toleransi di antara berbagai komunitas, tetapi juga pengalaman berdemokrasi keadaban (Azra 2002). Sosiologi SMA K-6 173

182 e. Memahami Psikologi Masyarakat Indonesia: Upaya Menjembatani Permasalahan Silang Budaya Dalam konsep yang paling dominan kebudayaan dapat dimaknai sebagai fenomena material, sehingga menurut faham ini pemahaman dan pemaknaan kebudayaan lebih banyak dicermati sebagai keseluruhan system gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1996 : 193). Sejalan dengan pengertian tersebut maka tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat akan terikat oleh kebudayaan yang terlihat wujudnya dalam berbagai pranata yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku manusia (Geertz, 1973), kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial, Sehingga suatu kebudayaan oleh para anggota suatu masyarakat. bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan (folkways) dan tata kelakuan (mores) tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi. Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai budaya secara logis akan mengalami berbagai permasalahan, persentuhan antar budaya akan selalu terjadi karena permasalahan silang budaya selalu terkait erat dengan curural materialisme yang mencermati budaya dari pola pikir dan tindakan dari kelompok sosial tertentu dimana pola temperamen ini banyak ditentukan oleh faktor keturunan (genetic), ketubuhan dan hubungan sosial tertentu. Nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan menjadi acuan sikap dan perilaku manusia sebagai makhluk individual yang tidak terlepas dari kaitannya pada kehidupan masyarakat dengan orietasi kebudayaannya yang khas, sehingga baik pelestarian maupun pengembangan nilai-nilai budaya merupakan proses yang bermatra individual, sosial dan cultural sekaligus. Dalam kenyataan persentuhan nilai-nilai budaya sebagai manifestasi dinamika kebudayaan tidak selamanya berjalan secara mulus. Permasalahan silang buaya dalam masyarakat majemuk (heterogen) dan jamak (pluralistis) seringkali bersumber dari masalah komunikasi, kesenjangan tingkat pengetahuan, status sosial, geografis, adat kebiasaan dapat merupakan Sosiologi SMA K-6 174

183 kendala bagi tercapainya suatu konsensus yang perlu disepakati dan selanjutnya ditaati secara luas. Ditambah lagi dengan posisi Indonesia sebagai negara berkembang, akan selalu mengalami perubahan yang pesat dalam berbagai aspek kehidupan, maka dengan meminjam istilah Budiono, yang menyatakan bahwa pangkal masalah dalam masyarakat Indonesia adalah : masyarakat Indonesia cenderung dapat dipandang sebagai suatu masyarakat besar yang belum selesai. Hal ini dapat dikembalikan pada adanya berbagai dorongan sentripetal dan sentrifugal yang bersilangan secara terus menerus naik ke permukaan secara silih berganti. Persentuhan antar budaya yang terjadi secara dinamis dalam proses tawar menawar bisa mewujudkan perubahan tata nilai yang tampil sekedar sebagai pergeseran (shift) antar nilai, atau peresengketaan (conflict) antar nilai atau bahkan dapat berupa benturan (clash) antar nilai tersebut. Apapun bentuk dan perwujudan dari permasalahan silang budaya, harus dapat dipandu dan dikendalikan, atau paling tidak diupayakan adanya mekanisme yang dapat menjembatani permasalahan ini, baik melalui jalur pendidikan maupun media masa. Harus dipahami bahwa penggalian budaya nasional bukan diarahkan konformisme budaya, tetapi lebih diarahkan pada totalitas nilai dan perilaku yang mencerminkan hasrat dan kehendak masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara sehingga mempunyai dua arah pokok yaitu fungsi pelestarian dan fungsi pengembangan. Fungsi pelestarian diarahkan pada pengenalan dan pendalaman nilai-nilai luhur budaya bangsa yang bersifat universal, dan merupakan kekayaan budaya bangsa yang tak ternilai harganya, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan dan memperkokoh rasa cinta tanah air dan kebanggan nasional. Dalam fungsi pengembangan diarahkan pada perwujutan budaya nasional yaitu perpaduan keragaman budaya tradisional ditambah dengan nilai-nilai baru yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal yang berlaku dalam budaya masyarakat, guna memperkaya budaya bangsa dan mempekukuh jati diri dan kepribadian bangsa. Kebudayaan etnis yang kadangkala sedemikian kuat membelenggu, perlu dipahami sebagai kebudayaan sekumpulan individu yang bersatu kedalam etnis tertentu oleh karenanya Sosiologi SMA K-6 175

184 permasalahan silang budaya, hanya dapat terjembatani dengan pemahaman bahwa keutuhan suatu bangsa dapat terbentuk dengan kesadaran setiap individu dan kesadaran setiap etnis yang terhimpun dalam suatu bangsa, sehingga perlu membina kesadaran individu dan kesadaran etnis sebagai himpunan individu. Masyarakat Indonesia sebagai salah satu negara berkembang mempunyai ciri, adanya perubahan yang sangat pesat dalam berbagai aspek kehidupan, baik perubahan system ekonomi, polotik sosial dan sebagainya, dan dalam kenyataan tidak ada satupun gejala perubahan sosial yang tidak menimbulkan akibat terhadap kebudayaan setempat. Kebudayaan dianggap sebagai sumber penggalangan konformisme perilaku individu pada sekelompok masyarakat pendukung kebudayaan tersebut, karena setiap anak manusia lahir dalam suatu lingkungan alam tertentu (nature) dan dalam satu lingkungan kebudayaan tertentu (culture) yang keduanya merupakan lingkungan yang secara apriori menentukan proses pengasuhannya (nurture) dalam pengembangannya sebagai anak manusia, dalam proses pembelajaran, sehingga dalam kanyataan, kebudayaan cenderung mengulang-ulang perilaku tertentu melalui pola asuh dan proses belajar yang kemudian memunculkan adanya kepribadian rata-rata, atau stereotip perilaku yang merupakan ciri khas dan masyarakat tertentu yang mencerminkan kepribadian modal dalam lingkungan tersebut, dari pemahaman ini kemudian muncul stereotip perilaku pada sekelompok individu pada masyarakat tertentu.. Konsep watak kebudayaan sebagai kesamaan regularitis sifat di dalam organisasai intrapsikis individu anggota suatu masyarakat tertentu yang diperoleh karena cara pengasuhan anak yang sama di dalam masyarakat yang bersangkutan, (Margaret Mead) Apabila ini dikaitkan dengan konsep watak masyarakat (social character) dilandasi oleh pikiran untuk menghubungkan kepribadian tipikal dari suatu kebudayaan (watak masyarakat) dengan kebutuhan obyektif masyarakat yang dihadapi suatu masyarakat. Dalam hal ini Danandjaja (1988) ingin menggabungkan antara gagasan lama tentang sifat adaptasi pranata sosial terhadap kondisi lingkungan, dengan modifikasi Sosiologi SMA K-6 176

185 karakterologi psiko analitik. Teori Erich Fromm mengenai watak masyarakat (social character) kendati mengakui juga asumsi dari teori lainnya mengenai tranmisi kebudayaan dalam hal membentuk kepribadian tipikal atau kepribadian kolektif namun dia telah juga mencoba untuk menjelaskan fungsifungsi sosio historis dari tipe kepribadian tersebut. Yang menghubungkan kepribadian tipikal dari suatu kebudayaan dengan kebutuhan objektif yang dihadapi suatu masyarakat. Untuk memuskan hubungan itu secara efektif suatu masyarakat perlu menerjemahkannya kedalam unsur-unsur watak (traits) dari individu anggotanya agar mereka bersedia melaksanakan apa yang harus mereka lakukan. Unsur-unsur watak bersama tersebut membentuk watak masyarakat dari masyarakat tersebut melalui latihan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak-anak mereka, sementara orang tua telah memperoleh unsur-unsur watak tersebut baik dari orangtuanya atau sebagai jawaban langsung terhadap kondisikondisi perubahan masyarakat. Dalam konteks ekologi kebudayaan manusia merupakan hasil dari dua proses yang saling mengisi yaitu adanya perkembangan sebagai hasil hubungan manusia dengan lingkungan alamnya yang mendorong manusia untuk memilih cara dalam menyesuaikan diri secara aktif dan kemampuan manusia dalam berpikir metaforik sehingga dapat memperluas atau mempersempit jangkauan dari lambang-lambang dalam system arti yang berkembang sedemikian rupa sehingga lepas dari pengertia aslinya, sehingga kebudayaan secara umum diartikan sebagai kompleksitas sistem nilai dan gagasan vital yang menguasai atau merupakan pedoman bagi terwujudnya pola tingkah laku bagi masyarakat pendukungnya. Masyarakat indonesia dan kompleks kebudayaannya masing-masing plural (jamak ) dan heterogen (anekaragam). Pluralitas sebagai kontradiksi dari singularitas mengindikasikan adanya suatu situasi yang terdiri dari kejamakan, yaitu dijumpainya berbagai sub kelompok masyarakat yang tidak bisa dikelompokkan satu dengan yang lainnya, demikian pula dengan kebudayaan mereka, sementara heterogenitas merupakan kontraposisi dari homogenitas Sosiologi SMA K-6 177

186 mengindikasi suatu kualitas dari keadaan yang menyimpan ketidak samaan dalam unsur-unsurnya. Hambatan-hambatan yang potensial dimiliki oleh suatu masyarakat yang plural dan heterogen juga dapat ditentukan dalam banyak aspek lainnya : Struktur sosial yang berbeda akan menghasilkan pola dan proses pembuatan keputusan sosial yang berbeda, pluralitas dan heterogentitas seperti diuraikan di atas juga tanpa memperoleh tantangan yang sama kerasnya dengan tantangan terhadap upaya untuk mempersatukannya melalui konsep negara kesatuan yang mengimplikasikan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dilakukan secara sentralistik. Masyarakat Indonesia yang majemuk yang terdiri dari berbagai budaya, karena adanya berbagai kegiatan dan pranata khusus dimana setiap kultur merupakan sumber nilai yang memungkinkan terpeliharanya kondisi kemapanan dalam kehidupan masyarakatta pendukungnya, setiap masyarakat pendukung kebudayaan (culture bearers) cenderung menjadikan kebudayaannya sebagai kerangka acuan bagi peri kehidupannya yang sekaligus untuk mengukuhkan jati diri sebagai kebersamaan yang berciri khas (Fuad Hassan, 1998). Sehingga perbedaan antar kebudayaan, justru bermanfaat dalam mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut. Pluralisme masyarakat dalam tatanan sosial agama, dan suku bangsa telah ada sejak jaman nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan secara damai merupakan kekayaan yang tak ternilai dalam khasanah budaya nasional karena diunggulkannya suatu nilai oleh seseorang atau sekelompok masyarakat, bukan berarti tidak dihiraukannya nilai-nilai lainnya melainkan kurang dijadikannya sebagai acuan dalam bersikap dan berperilaku dibandingkan dengan nilai yang diunggulkannya. Sehingga permasalahan multikultural justru merupakan suatu keindahan bila indentitas masing-masing budaya dapat bermakna dan diagungkan oleh masyarakat pendukungnya serta dapat dihormati oleh kelompok masyarakat yang lain, bukan untuk kebanggan dan sifat egoisme kelompok apalagi bila diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik tertentu Sosiologi SMA K-6 178

187 misalnya digunakanya simbol-simbol budaya jawa yang salah kaprah untuk membengun struktur dan budaya politik yang sentralistik. Masalah yang biasanya dihadapi oleh masyarakat majemuk adalah adanya persentuhan dan saling hubungan antara kebudayaan suku bangsa dengan kebudayaan umum lokal, dan dengan kebudayaan nasional. Diantara hubungan-hubungan ini yang paling kritis adalah hubungan antara kebudayaan suku bangsa dan umum lokal di satu pihak dan kebudayaan nasional di pihak lain. Pemaksaan untuk merubah tata nilai atau upaya penyeragaman budaya seringkali dapat memperkuat penolakan dari budaya-budaya daerah, atau yang lebih parah bila upaya mempertahankan tersebut, justru disertai dengan semakin menguatnya Etnosentrime. Etnosentrisme secara formal didefinisikan sebagai pandangan bahwa kelompok sendiri adalah pusat segalanya dan kelompok lain akan selalu dibandingkan dan dinilai sesuai dengan standar kelmok sendiri. Etnosentrisme membuat kebudayaan diri sebagai patokan dalam mengukur baik buruknya, atau tinggi rendahnya dan benar atau ganjilnya kebudayaan lain dalam proporsi kemiripannya dengan kebudayaan sendiri, adanya. kesetiakawanan yang kuat dan tanpa kritik pada kelompok etnis atau bangsa sendiri disertai dengan prasangka terhadap kelompok etnis dan bangsa yang lain. Orang-orang yang berkepribadian etnosentris cenderung berasal dari kelompok masyarakat yang mempunyai banyak keterbatasan baik dalam pengetahuan, pengalaman, maupun komunikasi, sehingga sangat mudah terprofokasi. Perlu pula dipahami bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia masih berada pada berbagai keterbatasan tersebut. Ditambahkan oleh Budiono bahwa dalam masyarakat selalu bekerja dua macam kekuatan yaitu kekuatan yang ingin menerima perubahan dan kekuatan yang menolek adanya perubahan. Meskipun selalu terdapat dua kekuatan, namun sejarah memperlihatkan bahwa kaum konservatif cepat atau lambat akan terdesak untuk memberi tempat pada adanya perobahan. Proses itu seringkali tidak berjalan secara linier, tapi berjalan maju mundur. Konflik antara kaum progresif dengan kaum konservatif maupun konflik diantara kaum progresif itu sendiri. Dalam masyarakat yang sudah selesai konflik itu sudah Sosiologi SMA K-6 179

188 ditempatkan dalam suatu mekanisme yang biasanya merupakan tatanan sosial politik yang sudah dirasionalisasikan sehingga konflik itu didorong untuk diselesaikan secara argumentatif. Sebaliknya pada masyarakat berkembang (masyarakat yang belum selesai) konflik itu biasanya berlangsung secara liar karena para pelakunya masih sama-sama mencari mekanisme untuk menyelesaikan/ mengatasi perbedaan-perbedaan di antara mereka secara rasional, susahnya dalam bersama-sama mencari mekanisme itu masingmasing kekutan progresif itu juga berusaha untuk mencari kekuatan yang dominan, untuk mencari dan menentukan bentuk mekanisme penyelesaian, kadang-kadang bentuk mekanisme itu bisa diusahakan serasional mungkin tetapi bisa saja terjadi bahwa usaha-usaha itu dipadu dengan pemaksaan fisik. Dengan pemahaman pada fenomena tersebut landasan sosial budaya masyarakat Indonesia yang bercorak pada masyarakat majemuk (plural society) perlu memperoleh perhatian dan dikaji kembali, karena ideologi masyarakat majemuk lebih menekankan pada keanekaragaman suku bangsa akan sangat sulit untuk diwujudkan dalam masarakat yang demokratis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk mencapai tujuan proses-proses demokratisasi, ideologi harus digeser menjadi ideologi keanekaragaman budaya atau multikulturalisme, Kemajeukan masyarakat Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa maka yang nampak mencolok dalam kemajemukan masyarakat Indonesia adalah penekakanan pada pentingnya kesukubangsaan yang terwujud dalam komunitas-komunitas suku bangsa, dan digunakannya kesukubangsaan tersebut sebagai acuan utama bagi jati diri individu. Ada sentimen-sentimen kesuku bangsaan yang memiliki potensi pemecah belah dan penghancuran sesama bangsa Indonesia karena masyarakat majemuk menghasilkan batas-batas suku bangsa yang didasari oleh stereotip dan prasangka yang menghasilkan penjenjangan sosial, secara primordial dan subjektif. Konflik-konflik yang terjadi antaretnik dan antar agama yang terjadi, sering kali berintikan pada permasalahan hubungan antara etnik asli setempat dengan pendatang, konflik-konflik itu terjadi karena adanya pengaktifan secara Sosiologi SMA K-6 180

189 berlebihan jatidiri etnik untuk solidaritas dalam memperebutkan sumber daya yang ada (Hamengku Buwono X. 2001). Dengan mencermati berbagai permasalahan silang budaya dan kondisi masyarakat Indonesia, dapat ditemui adanya berbagai masalah yang ditengarai sebagai kendala penyelesaian masalah diantaranya adalah : (1) Rendahnya tingkat pengetahuan, pengalaman, dan jangkauan komunikasi sebagian masyarakat yang dapat mengakibatkan rendahnya daya tangkal terhadap budaya asing yang negatif, dan keterbatasan dalam menyerap serta mengembangkan nilai-nilai baru yang positif, sekaligus mudah sekali terprovokasi dengan isu-isu yang dianggap mengancam eksistensinya (2) Kurang maksimalnya media komunikasi dalam memerankan fungsinya sebagai mediator dan korektor informasi, (3) Paradigma pendidikan yang lebih menekankan pengembangan intelektual dengan mengabaikan pengembangan kecerdasan emosional, pembentukan sikap moral, dan penanaman nilai budaya. Manusia terbuai kegiatan dan pembangunan yang pragmatis, yang memberikan manfaat materiil yang lebih mudah teramati dan terukur, sehingga seringkali sangsi formal lebih ditakuti daripada sangsi moral. (4). Meningkatnya gejala societal crisis on caring (krisis pengasuhan dan kepedulian dalam masyarakat) karena tingginya mobilitas sosial dan transformasi kultural yang ditangkap dan diadopsi secara terbatas. Sejalan dengan berbagai kendala yang ada maka upaya penyelesaian permasalahan silang budaya dapat dilakukan dengan : Pertama, dapat dilakukan dengan membangun kehidupan multikultural yang sehat; dilakukan dengan meningkatkan toleransi dan apresiasi antarbudaya. Yang dapat diawali dengan peningkatan tingkat pengetahuan masyarakat tentang kebhinekaan budaya, dengan berbagai model pengenalan ciri khas budaya tertentu, terutama psikologi masyarakat yaitu pemahaman pola perilaku khusus masyarakatnya. Kedua, peningkatan peran media komunikasi; untuk melakukan sensor secara substantif yang berperan sebagai korektor terhadap penyimpangan norma sosial yang dominan, dengan melancarkan tekanan korektif terhadap subsistem yang mungkin keluar dari keseimbangan fungsional. Pengungkapan Sosiologi SMA K-6 181

190 skandal atau perbuatan yang merugikan kepentingan umum dan melecehkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, harus disiarkan dengan fungsi sebagai pemeliharaan kestabilan. Sedang kontrol secara distributif, berfungsi memelihara keseimbangan sistem melalui diseminasi selektif dan berbagai ragam teknik-teknik penyebaran maupun penyaringan informasi, yang mungkin dapat mengundang kemelut dalam masyarakat atau menimbulkan perpecahan, justru media komunikasi dituntut untuk dapat menampilkan berbagai informasi yang bersifat apresiatif terhadap budaya masyarakat lain. Ketiga, strategi pendidikan yang berbasis budaya; dapat menjadi pilihan karena pendidikan berbasis adat tidak akan melepaskan diri dari prinsip bahwa manusia adalah faktor utama, sehingga manusia harus selalu merupakan subjek sekaligus tujuan dalam setiap langkah dan upaya perubahan. Nilai-nilai budaya tradisional dapat terinternalisasi dalam proses pendidikan baik di lingkungan keluarga, pendidikan formal maupun nonformal. Khususnya pendidikan di sekolah diperlukan adanya paradigma baru yang dapat menyajikan model dan strategi pembelajaran yang dapat menyeimbangkan proses homonisasi yang melihat manusia sebagai makhluk hidup dalam konteks lingkungan ekologinya, yang memerlukan terasahnya kemampuan intelektual untuk menghadapi tantangan kesejagadan dengan pendidikan sebagai proses humanisasiyang lebih menekankan manusia sebagai makhluk sosial yang mempunyai otonomi moral dan sensivitas /kedaulatan budaya, sehingga terbentuk manusia yang bisa mengelola konflik, dan menghargai kemajemukan, serta dapat tegar terhadap arus perubahan dengan memperetajam sence of belonging, self of integrity, sence of participation dan sence of responcibility sebagai benteng terhadap pengaruh faktor eksternal tersebut, transformasi budaya harus dipandu secara perlahan, bukan merupakan revolusi yang dipaksakan. 6. Pendidikan Multikultural Sampai di sini, layak ditegaskan kembali paradigma multikultural tersebut. Peneguhan ini harus lebih ditekankan kepada persoalan kompetensi Sosiologi SMA K-6 182

191 kebudayaan sehingga tidak hanya berkutat pada aspek kognitif melainkan beranjak kepada aspek psikomotorik. Peneguhan ini bermaksud mendedahkan kesadaran bahwa multikulturalisme, sebagaimana diungkap oleh Goodenough (1976) adalah pengalaman normal manusia. Ia ada dan hadir dalam realitas empirik. Untuk itu, pengelolaan masyarakat multikultural Indonesia tidak bisa dilakukan secara taken for granted atau trial and error. Sebaliknya harus diupayakan secara sistematis, programatis, integrated, dan berkesinambungan. Di sinilah fungsi strategis pendidikan multikultural sebagai sebuah proses di mana seseorang mengembangkan kompetensi dalam beberapa sistem standar untuk mempersepsi, mengevaluasi, meyakini, dan melakukan tindakan. Beberapa hal yang dibidik dalam pendidikan multikultural ini adalah: Pertama, pendidikan multikultural menolak pandangan yang menyamakan pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan juga bermaksud membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer dalam mengembangkan kompetensi kebudayaan semata-mata berada di tangan mereka melainkan tanggung jawab semua pihak. Kedua, pendidikan ini juga menolak pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik. Hal ini dikarenakan seringnya para pendidik, secara tradisional, mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient. Oleh karena individuindividu memiliki berbagai tingkat kompetensi dalam berbagai dialek atau bahasa, dan berbagai pemahaman mengenai situasi-situasi di mana setiap pemahaman tersebut sesuai, maka individu-individu memiliki berbagai tingkat kompetensi dalam sejumlah kebudayaan. Dalam konteks ini, pendidikan multikultural akan melenyapkan kecenderungan memandang individu secara stereotip menurut identitas etnik mereka. Malah akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak-didik dari berbagai kelompok etnik. Sosiologi SMA K-6 183

192 Ketiga, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi seseorang pada suatu waktu ditentukan oleh situasinya. Meski jelas berkaitan, harus dibedakan secara konseptual antara identitas-identitas yang disandang individu dan identitas sosial primer dalam kelompok etnik tertentu. Keempat, kemungkinan bahwa pendidikan meningkatkan kesadaran mengenai kompetensi dalam beberapa kebudayaan akan menjauhkan kita dari konsep dwi-budaya (bicultural) atau dikotomi antara pribumi dan non-pribumi. Karena dikotomi semacam ini bersifat membatasi kebebasan individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Dalam melaksanakan pendidikan multikultural ini mesti dikembangkan prinsip solidaritas. Yakni kesiapan untuk berjuang dan bergabung dalam perlawanan demi pengakuan perbedaan yang lain dan bukan demi dirinya sendiri. Solidaritas menuntut untuk melupakan upaya-upaya penguatan identitas melainkan berjuang demi dan bersama yang lain. Dengan berlaku demikian, kehidupan multikultural yang dilandasi kesadaran akan eksistensi diri tanpa merendahkan yang lain diharapkan segera terwujud. Secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan. Agar definisi ini bermanfaat, maka diperlukan untuk mendefinisikan kembali apa yang dimaksud dengan budaya dan kebudayaan. Dan upaya perumusan ini, jelas tidak mudah, karena perubahan-perubahan yang begitu cepat dan dramatis dalam kebudayaan itu sendiri, khususnya karena proses globalisasi yang semakin meningkat. Menurut Tilaar (2002:495-7), pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang inter-kulturalisme seusai Perang Dunia II. Kemunculan gagasan dan kesadaran interkulturalisme ini selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas di negara-negara Barat sendiri sebagai akibat dari Sosiologi SMA K-6 184

193 peningkatan migrasi dari negara-negara yang baru merdeka ke Amerika dan Eropa. Mempertimbangkan semua perkembangan ini, pada dasawarsa 1940-an dan 1950-an di Amerika Serikat berkembang konsep pendidikan inter-kultural dan inter-kelompok (intercultural and intergroup education). Pada hakikatnya pendidikan interkultural merupakan cross-cultural education untuk mengembangkan nilai-nilai universal yang dapat diterima berbagai kelompok masyarakat berbeda (cf. La Belle 1994:21-27). Pada tahap pertama, pendidikan interkultural ditujukan untuk mengubah tingkah laku individu untuk tidak meremehkan apalagi melecehkan budaya orang atau kelompok lain, khususnya dari kalangan minoritas. Selain itu, juga ditujukan untuk tumbuhnya toleransi dalam diri individu terhadap berbagai perbedaan rasial, etnis, agama, dan lainlain. Tetapi, harus diakui, pada prakteknya pendidikan interkultural lebih terpusat pada individu daripada masyarakat. Lagi pula, konflik dalam skala luas, terjadi bukan pada tingkat individu, melainkan pada tingkat masyarakat sehingga dapat benar-benar mengganggu hubungan bersama di antara warga masyarakat negara-bangsa. Sebab itu pula, pendidikan interkultural dipandang kurang berhasil dalam mengatasi konflik antar golongan dan masyarakat; dan kenyataan inilah pada gilirannya mendorong munculnya gagasan tentang pendidikan multikultural. Sebagaimana dikemukakan Tilaar (2002:498), dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural dominan atau mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya dapat membuat orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan interkultural seperti ini pada akhirnya memunculkan tidak hanya sikap tidak peduli (indifference) terhadap nilai-nilai budaya minoritas, tetapi bahkan cenderung melestarikan prasangka-prasangka sosial dan kultural Sosiologi SMA K-6 185

194 yang rasis dan diskriminatif. Dan dari kerangka inilah, maka pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap peduli dan mau mengerti (difference), atau politics of recognition, politik pengakuan terhadap orangorang dari kelompok minoritas (Cf Taylor et al 1994). Dalam konteks itu, pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap indifference dan nonrecognition berakar tidak hanya dari ketimpangan struktural rasial, paradigma pendidikan multikultural mencakup subyek-subyek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang; sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Paradigma seperti ini pada gilirannya mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang ethnic studies, untuk kemudian menemukan tempatnya di dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai ke tingkat pendidikan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang semua subyek ini adalah untuk mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadvantaged. Istilah pendidikan multikultural (multicultural education) dapat digunakan baik pada tingkat deskriptif dan normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakankebijakan dan strategi-strategi bagi pendidikan bagi peserta didik di dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriptif dan normatif ini, maka kurikulum pendidikan multikultural mestilah mencakup subyek-subyek seperti; toleransi; tema-tema tentang perbedaan ethnokultural, dan agama; bahaya diskriminasi; penyelesaian konflik dan mediasi; HAM; demokrasi dan pluralitas; kemanusiaan universal, dan subyek-subyek lain yang relevan. Perumusan dan implementasi pendidikan multi-kultural di Indonesia masih memerlukan pembahasan serius dan khusus. Hal ini bukan hanya karena menyangkut masalah isi pendidikan multikultural itu sendiri, tetapi juga mengenai strategi yang akan ditempuh; apakah misalnya dalam bentuk matapelajaran terpisah, berdiri sendiri (separated), atau sebaliknya terpadu atau terintegrasi Sosiologi SMA K-6 186

195 (integrated). Terlepas dari berbagai isu dan masalah ini, perkembangan Indonesia sekarang nampaknya membutuhkan pendidikan multikultural, yang diharapkan dapat memberikan kontribusi penting bagi pembentukan keikaan di tengah kebhinnekaan yang betul-betul aktual; tidak hanya sekedar slogan dan jargon. Adanya ketidaksalingpengertian dan pemahaman terhadap realitas kehidupan itulah yang menjadi kajian utama pendidikan multikultural (Multicultural education). Pendidikan multikultural merupakan respons terhadap perkembangan zaman yang semakin kompleks, di mana egosen- trisme, etnosentrisme, dan chauvinisme yang pada gilirannya memunculkan klaim kebenaran (truth claim) terus menggejala pada masing-masing individu. Dengan demikian, pada prinsipnya, pendidikan multikultural adalah menghargai perbedaan. Pendidikan multikultural senantiasa menciptakan struktur dan proses di mana setiap kebudayaan bisa melakukan ekspresi. Hilda Hernandez Dalam Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking Context, Process, and Content (1989), mengartikan pendidikan multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, sosial, ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas dan gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan. Atau dengan kata lain, bahwa ruang pendidikan sebagi media transformasi ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) hendaknya mampu memberikan nilai-nilai multikulturalisme dengan cara saling menghargai dan menghormati atas realitas yang beragam (plural), baik latar belakang maupun basis sosio budaya yang melingkupinya. Hal ini sejalan dengan pemikiran Paulo Freire. Dalam pedagogy of the oppressed, sebagaimana dikutip oleh M. Yunus Firdaus dalam buku: Pendidikan Berbasis Realitas Sosial (2005), Freire mengatakan bahwa pendidikan harus mampu menciptakan harmonisme sosial dalam sebuah kehidupan masyarakat yang beragam secara kultur. Sebab pendidikan bukanlah menara gading yang harus menjauhi hiruk-pikuk kehidupan sosial. Apalagi di negara Indonesia yang Sosiologi SMA K-6 187

196 rentan terjadi konflik. Karena itu, pendidikan berbasis multikulturalisme sudah saatnya dijadikan sebagai paradigma atau pijakan dalam sistem pendidikan kita. Sebab bagaimana pun juga, pendidikan multikultural dapat memberikan solusi bagi sejumlah permasalahan yang dihadapi Indonesia. Pertama, sebagai sarana alternatif pemecahan konflik. Penyelenggaraan pendidikan multikultural di dunia pendidikan diyakini dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat, khususnya yang kerap terjadi di Indonesia yang secara realitas plural. Spektrum kultur masyarakat Indonesia yang amat beragam menjadi tantangan bagi dunia pendidikan guna mengolah perbedaan tersebut menjadi suatu aset, bukan sumber perpecahan. Kedua, pendidikan multikultural juga signifikan dalam membina peserta didik supaya tidak tercerabut dari akar budaya yang ia miliki sebelumnya, ketika berhadapan dengan realitas sosial-budaya di era globalisasi. Sebab disadari maupun tidak, dalam era globalisasi saat ini, pertemuan antarbudaya menjadi ancaman serius bagi peserta didik. Untuk menyikapi realitas global tersebut, peserta didik hendaknya diberi penyadaran akan pengetahuan yang beragam, sehingga mereka memiliki kompetensi yang luas akan pengetahuan global, termasuk aspek kebudayaan. Ketiga, sebagai landasan pengembangan kurikulum nasional. Pengembangan kurikulum masa depan yang berdasarkan pendekatan multikulturalisme menjadi sangat penting. Langkah demikian dapat dilakukan setidaknya dengan mengubah filosofi kurikulum dari yang berlaku seragam seperti saat ini menjadi filosofi yang lebih sesuai dengan tujuan, misi, dan fungsi setiap jenjang pendidikan dan unit pendidikan. Filosofi konservatif seperti esensialisme dan perenialisme haruslah dapat diubah ke filosofi yang lebih menekankan pendidikan sebagai upaya mengembangkan kemanusiaan peserta didik. Kemudian, filosofi kurikulum yang progresif seperti humanisme, progresifisme dan rekonstruksi sosial dapat dijadikan sebagai landasan kurikulum (hal ). Dengan demikian, pendidikan berbasis multikulturalisme pada akhirnya akan memberikan sebuah pencerahan: yakni kearifan untuk melihat Sosiologi SMA K-6 188

197 keanekaragaman budaya sebagai realitas fundamental dalam kehidupan masyarakat. Kearifan itu muncul seiring dengan adanya keterbukaan untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural sebagai kemestian hidup yang kodrati. Sebagaimana dikatakan oleh Musa Asy ari (2004), bahwa keanekaragaman dalam realitas kehidupan manusia adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri. Pendidikan multikultural merupakan fenomena baru dalam pergaulan umat manusia yang mendambakan persamaan hak, termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan yang sama bagi semua orang. Pendidikan multikultural menjadi acuan beberapa negara termasuk Indonesia yang penduduknya relatif heterogen. Musa Asyarie (Kompas, 3/9/2004) menegaskan bahwa pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Carl A. Grant dan Christine E. Sleeter (2003) menjelaskan bahwa terdapat lima tipologi pendidikan mutlikultural yang berkembang: (1) mengajar mengenai kelompok siswa yang memiliki budaya yang lain (culture difference). Perubahan ini terutama pada siswa dalam transisi dari berbagai kelompok kebudayaan ke dalam mainstream budaya yang ada; (2) Hubungan manusia (human relation). Program ini membantu siswa dari kelompok-kelompok tertentu sehingga dia dapat mengikuti bersama-sama dengan siswa yang lain dalam kehidupan sosial; (3) Single group studies. Program ini mengajarkan hal-hal yang memajukan pluralisme, tetapi tidak menekankan kepada adanya perbedaan stratifikasi sosial yang ada di dalam masyarakat; (4) Pendidikan multikultural. Program ini merupakan suatu reformasi pendidikan di sekolahsekolah dengan menyediakan kurikulum serta materi-materi pelajaran yang menekankan kepada adanya perbedaan siswa dalam bahasa, yang keseluruhannya untuk memajukan pluralisme kebudayaan dan equilitas sosial; (5) Pendidikan multikultural yang sifatnya rekonstruksi sosial. Program ini bertujuan untuk menyatukan perbedaan-perbedaan kultural dan menantang ketimpangan-ketimpangan sosial dalam masyarakat. Sosiologi SMA K-6 189

198 Menurut Leirissa (2005) bahwa sistem pendidikan multikultural pertama kali muncul dalam tahun-tahun 1970-an di Inggris dan Australia, kemudian menyebar ke Amerika dan negera-bangsa lain di Eropa. Dalam sistem pendidikan itu, kurikulum sekolah memberi tempat bagi pelajaran tentang berbagai sistem budaya dari kelompok ras yang ada di negara tersebut. Di Amerika, misalnya, sejarah tentang sejarah budaya kelompok rasial seperti orang Negro asal Afrika atau kelompok ras Hispanik yang berbudaya spanyol menjadi bagian dari kurikulum. Dengan demikian, anak didik yang berasal dari budaya Inggris dapat memahami budaya kelompok ras lainnya, sehingga akan mereduksi perbedaan yang sering menimbulkan konflik rasial. Penjelasan di atas mengisyaratkan bahwa pendidikan multikultural lebih berorientasi pada pengenalan keragaman budaya yang tumbuh dan berkembang di sekitar kita. Selain itu, untuk menghindari pandangan supurior pemilik budaya tertentu kemudian menempatkan budaya lain pada posisi imferiol. Karena itu, orang Batak tidak boleh dipahami sebagai orang yang memiliki karakter kasar dalam berkomunikasi sebab cenderung medak-ledak ketika berbicara, lalu orang Solo dipahami sebagai etnis yang lembut dan santun. Penilaian terhadap kasar-lembut suatu budaya sangat subjektif dan tergantung pada instrumen yang digunakan untuk menilai. Multikultural adalah sebuah realitas sosial dan merupakan fitra manusia yang apabila dikelola secara benar, akan melahirkan energi dan sebaliknya, jika ditangani secara keliru akan menimbulkan bencana yang dahsyat. Orang buta dan orang lumpuh yang berkolaborasi secara positif dapat meningkatkan produktifitasnya berlipat ganda. Kerusuhan di Poso yang dampaknya masih dirasakan sekarang adalah bentuk pengelolaan multukultural yang keliru. D. AKTIFITAS PEMBELAJARAN Pelaksanaan pembelajaran menggunakan pendekatan andragogi lebih mengutamakan pengungkapan kembali pengalaman peserta diklat menganalisis, menyimpulkan dalam suasana yang aktif, inovatif dan kreatif, menyenamgkan dan Sosiologi SMA K-6 190

199 bermakna. Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam mempelajari materi ini mencakup : 5. Aktivitas individu, meliputi : i. Memahami dan mencermati materi diklat j. Mengerjakan latihan tugas, menyelesaikan masalah/kasus pada setiap kegiatan belajar, k. Menyimpulkan l. Melakukan refleksi 6. Aktivitas kelompok, meliputi : g. Mendiskusikan materi pelathan h. Bertukar pengalaman dalam melakukan pelatihan penyelesaian masalah /kasus i. Melaksanakan refleksi E. LATIHAN/KASUS/TUGAS F. RANGKUMAN Multikulturalisme sejak beberapa tahun belakangan ini marak diperbincangkan oleh pelbagai kalangan dan tampaknya masih akan terus demikian karena memang sangat relevan dengan corak masyarakat seperti yang terdapat di Indonesia. Membicarakan multikulturalisme atau masyarakat multikultural sama halnya membicarakan tentang masyarakat-negara, bangsa, daerah, bahkan lokasi geografis terbatas seperti kota atau sekolah-yang terdiri dari orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda-beda. Tetapi perbedaan yang ditekankan di sini adalah perbedaan dalam kesederajatan Multikulturalisme yang meniscayakan adanya perbedaan itu sesungguhnya mengusung semangat untuk hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence) dalam perbedaan kultur yang ada. Menurut Parsudi Suparlan dalam seminar Menuju Indonesi Baru: Dari Masyarakat Majemuk ke Masyarakat Multikultural di Yogyakarta pada Agustus 2001 (Kompas, 3 September 2001), fokus multikulturalisme adalah pada pemahaman dan hidup dengan perbedaan sosial dan Sosiologi SMA K-6 191

200 budaya, baik secara individual maupun secara kelompok dan masyarakat. Individu dalam hal ini dilihat sebagai refleksi dari kesatuan sosial dan budaya di mana mereka menjadi bagian darinya. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa perbedaan dalam perspektif multikulturalisme bukanlah sesuatu yang bersifat negatif, tetapi justru karena adanya perbedaan itulah manusia bisa saling memberikan warna satu sama lain dalam kehidupan mereka. Tanpa perbedaan, hidup akan terasa hambar. Dalam konteks masyarakat Indonesia, benih-benih multikulturalisme sesungguhnya telah ada sejak dahulu, sebab negeri ini terdiri dari beraneka ragam suku bangsa sebagaimana terangkum dalam semboyan "Bhineka Tunggal Ika". Suku-suku bangsa tersebut bagaikan sebuah mozaik yang hidup berdampingan dengan damai. Masing-masing suku mempunyai corak budaya sendiri-sendiri yang sangat jelas dan belum tercampur oleh warna budaya dari suku lain. Tentu saja mozaik kebudayaan diharapkan akan tetap seperti itu, bahkan kalau bisa lebih dari sekadar hidup berdampingan secara damai. Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi atau perombakan tatanan kehidupan Orde Baru adalah sebuah "masyarakat multikultural Indonesia" dari puing-puing tatanan kehidupan Orde Baru yang bercorak"masyarakat majemuk" (plural society). Sehingga, corak masyarakat Indonesia yang bhinneka tunggal ika bukan lagi keanekaragaman sukubangsaan dan kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia. Konsepsi multikulturalisme adalah mengakui dan melindungi keragaman budaya yang tidak selalu dan tidak semata-mata berdasarkan keragaman etnis. Terkandung juga pengertian tentang penyetaraan derajat dari kebudayaan yang berbeda-beda itu. Penekanan terletak pada pemahaman dan upaya untuk menggumuli, mempertanyakan, dan belajar dari pihak lain yang berbeda, serta hidup dalam konteks perbedaan sosial-budaya,baik secara individual maupun kelompok. Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan, menampakkan bahwa kongruensi antara aspek kebhinekaan yang manunggal dalam ke ekaan mulai menjadi mesalah yang tak pernah kunjung selesai. Masyarakat majemuk yang menekankan Sosiologi SMA K-6 192

201 keanekaragaman etnik sepatutkan dikaji ulang untuk digeser pada pluraisme budaya yang mencakup tidak hanya kebudayaan etnik tapi juga berbagai lokal yang ada di Indonesia, sekaligus harus dibarengi oleh kebijakan politik Nasional yang meletakkan berbagai kebudayaan itu dalam kesetaraan derajad. Tranformasi budaya dan berbagai permasalahan silang budaya harus dapat dipandu secara perlahan lewat jalu media massa maupun pendidikan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta arus informasi, memerlukan berbagai penyesuaian, baik dalam struktur pekerjaan, tuntutan keahlian mobilitas sosial dan sebagainya, dalam proses perubahan tersebut bila tidak memiliki akar budaya yang kuat akan kehilangan identitas diri, dan terbawa arus. Tatanan sosial dan tradisi lokal yang berakar kuat akan memberikan sentuhan halus yang mengingatkan manusia agar tidak terbawa arus perubahan yang demikian dahsyat. Nilai budaya yang berkembang dalam suatu masyarakat, akan selalu berakar dari kearifan tradisional yang muncul dan berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat itu sendiri, kemajemukanmasyarakat Indonesia dengan ciri keragaman budayanya tidak bisa secara otomatis terintegrasi menjadi kebudayaan Nasional, yang sama mantapnya dengan setiap sistem adat yang ada, karena kebudayaan Nasional tersebut baru pada taraf pembentukan. Dengan berpijak pada pemahaman tersebut, nampak bahwa kebijakan pendidikan yang sentralistik menjadi tidak relevan. Strategi pendidikan yang berbasis budaya, dapat menjadi pilihan karena pendidikan berbasis adat tidak akan melepaskan diri dari prinsip bahwa manusia adalah faktor utama, sehingga manusia harus selalu merupakan sobyek sekaligus tujuan dalam setiap langkah dan upaya perubahan. Nilai-nilai budaya tradisional dapat terinternalisasi dalam proses pendidikan baik di lingkungan keluarga, pendidikan formal maupun non formal. Khususnya pendidikan di sekolah diperlukan adanya paradigma baru yang dapat menyajikan model & strategi pembelajaran yang dapat menseimbangkan proses homonisasi dan humanisasi. Untuk membangun kohesivitas kesadaran kolektif ideologi multikulturalisme dalam rajutan kemajemukan sosial diperlukan dua hal pokok, sebagaimana dijelaskan Barbara Houston, yaitu adanya kesadaran bersama untuk berbagi nilai (shared values) dan berbagi identitas (shared identity). Dalam masyarakat plural, Sosiologi SMA K-6 193

202 kesadaran kolektif untuk legawo berbagi nilai di tengah perbedaan akan mampu mendorong munculnya kesepakatan norma dasar sebagai landasan sikap yang mutual concern. Pengakuan terhadap diversitas tersebut dapat mengantarkan kita pada suatu kemampuan membangun kesadaran komunalitas. Misalnya, Kanada sebagai salah satu negara yang memiliki latarbelakang etnik yang beragam, pemerintahnya mengambil kebijakan politik agar proses share warga negaranya dilakukan secara equal, jujur, dialogis, akomodatif, toleran, mempromosikan diversitas serta komitmen untuk memperjuangkan kebebasan, perdamaian dan perubahan tanpa kekerasan. Adapun sikap berbagi identitas merupakan upaya dalam melapangkan proses pencairan identitas untuk mencapai status kewarganegaraan yang sederajat (sosial) dan setara (politik). Kewarganegaraan tidak semata-mata status hukum yang didefinisikan oleh hak-hak dan tanggungjawab namun juga sebagai identitas yang merupakan ekspresi pengakuan keanggotaan dalam komunitas politik. Pilar pembangunan masyarakat multikultural itu mengantarkan kita pada satu kenyataan bahwa kesukubangsaan atau jatidiri sukubangsa sebagai sebuah kekuatan sosial yang tidak bisa ditawar, yang muncul dalam interaksi sosial, menjadi sebuah acuan yang ampuh dalam upaya kohesi sosial dan solidaritas diantara sesama anggota warga dan suku bangsa. Meminjam istilah gagasan Karl Popper (Ul Haq, 2006), visi masyarakat multikultural adalah meruntuhkan tembok besi masyarakat tertutup yang tribalis untuk kemudian menapaki masyarakat terbuka yang demokratis, egaliter dan berkeadilan. Memperjuangkan masyarakat terbuka merupakan harga yang harus dibayar untuk setiap peningkatan pengetahuan dan pemikiran dalam rangka menciptakan kerjasama yang saling menguntungkan serta sebagai konsekwensi dari kesempatan kita untuk bertahan hidup. Ini merupakan beban yang harus dibayar untuk menjadi manusia. Tidak pelak lagi, cita-cita sosial masyarakat multikultural berada pada pundak sejarah sebagai beban peradaban. Masyarakat multikultural yang mengedepankan watak keterbukaan yang berkeadilan tidak diciptakan, terlebih diberikan oleh kuasa rejimentasi kepentingan yang mengerami diskursus maupun mainstream tertentu. Sekali lagi, menghadirkan Sosiologi SMA K-6 194

203 masyarakat multikultural harus diperjuangkan secara kolektif tanpa mengenal struktur kasta kolonial seiring dengan pelepasan ke-aku-an dan de-supremasi sistem nilai yang membaku. Visi Masyarakat multikultural di atas merupakan ikhtiar untuk menggayuh perimbangan kekuasaan/kepentingan/hegemoni dalam tata sosial yang berlaku. Ideologi multikuturalisme yang menekankan pada kesederajatan tentu saja sangat mendukung terwujudnya demokrasi seutuhnya di Indonesia. Adalah pilihan yang tepat jika pemerintah sekarang mulai merintis usaha-usaha membangun multikulturalisme. Mengapa demikian? Karena sejak penerapan UU Pemerintah Daerah yang mendasari pelaksanaan otonomi daerah muncul kekuasaan ''raja-raja kecil di daerah'' dan semangat rasis dan kesukuan (dan keagamaan) yang besar dari penduduk di daerah yang merasa diri mereka asli dan bermaksud ''memurnikan'' daerah tempat tinggal mereka dari pendatang. Kuncinya keberhasilan penerapan ideologi multikulturalisme adalah penerapan hukum yang konsekuen dan konsisten. Penerapan hukum yang baik akan menghasilkan perilaku hukum yang baik pula. Friedman (2001) mengatakan bahwa apa yang disebut perilaku hukum (legal behavior) adalah perilaku yang dipengaruhi oleh aturan, keputusan, perintah, atau undang-undang yang dikeluarkan oleh pejabat dengan wewenang hukum. Jika orang berperilaku secara khusus atau mengubah perilakunya secara khusus karena diperintahkan hukum. Inilah perilaku hukum. Untuk mempengaruhi perilaku hukum masyarakat atau untuk mendorong mereka mematuhi hukum, Friedman juga menguraikan beberapa hal yang harus dilakukan. Dua hal di antaranya, yang saya anggap paling penting adalah komunikasi hukum dan sanksi hukum. Komunikasi hukum diperlukan karena sangat aneh jika orang mematuhi hukum atau tidak mematuhi hukum tanpa mengetahui aturan yang sebenarnya. Dengan kata lain, aturan harus dikomunikasikan. Namun tidak cukup bahwa norma atau aturan telah dikomunikasikan kepada audiens yang menjadi sasarannya. Karena yang mendorong mereka ke arah mematuhi atau tidak mematuhi norma atau aturan itu adalah berkaitan dengan ganjaran (reward) dan hukuman (punishment). Sosiologi SMA K-6 195

204 Orang mengikuti aturan karena mereka takut apa yang akan terjadi jika mereka tidak mengikutinya. Dengan kata lain, hukum dan sanksi mencegahnya. Lebih jauh lagi, pranata hukum akan disegani oleh masyarakat jika bersifat adil dalam artian tidak memihak salah satu golongan atau kelompok, dan perananperanan yang ada di dalam pranata tersebut dilakukan secara sungguh-sungguh. Cita-cita reformasi yang sekarang ini nampaknya mengalami kemacetan dalam pelaksanaannya ada baiknya digulirkan kembali. Alat penggulir bagi prosesproses reformasi sebaiknya secara model dapat dioperasionalkan dan dimonitor, yaitu mengaktifkan model multikulturalisme untuk meninggalkan masyarakat majemuk dan secara bertahap memasuki masyarakat multikultural Indoneaia. Sebagai model maka masyarakat multikultural Indonesia adalah sebuah masyarakat yang berdasarkan pada ideologi multikulturalisme atau bhinneka tunggal ika yang multikultural, yang melandasi corak struktur masyarakat Indonesia pada tingkat nasional dan lokal. Bila pengguliran proses-proses reformasi yang terpusat pada terbentuknya masyarakat multikultural Indonesia itu berhasil maka tahap berikutnya adalah mengisi struktur-struktur atau pranata-pranata dan organisasi-organisasi sosial yang tercakup dalam masyarakat Indonesia. Isi dari struktur-struktur atau pranata-pranata sosial tersebut mencakup reformasi dan pembenahan dalam kebudayaan-kebudayaan yang ada, dalam nilai-nilai budaya dan etos, etika, serta pembenahan dalam hukum dan penegakkan hukum bagi keadilan. Dalam upaya ini harus dipikirkan adanya ruang-ruang fisik dan budaya bagi keanekaragaman kebudayaan yang ada setempat atau pada tingkat lokal maupun pada tingkat nasional dan berbagai corak dinamikanya. Upaya ini dapat dimulai dengan pembuatan pedoman etika dan pembakuannya sebagai acuan bertindak sesuai dengan adab dan moral dalam berbagai interaksi yang terserap dalam hak dan kewajiban dari pelakunya dalam berbagai struktur kegiatan dan manajemen. Pedoman etika ini akan membantu upaya-upaya pemberantasan KKN secara hukum. Upaya-upaya tersebut diatas tidak akan mungkin dapat dilaksanakan bila pemerintah nasional maupun pemerintah-pemerintah daerah dalam berbagai Sosiologi SMA K-6 196

205 tingkatnya tidak menginginkannya atau tidak menyetujuinya. Ketidak inginan merubah tatanan yang ada biasanya berkaitan dengan berbagai fasilitas dan keistimewaan yang diperoleh dan dipunyai oleh para pejabat dalam hal akses dan penguasaan atas sumber-sumber daya yang ada dan pendistribusiannya. Mungkin peraturan yang ada berkenaan dengan itu harus direvisi, termasuk revisi untuk meningkatkan gaji dan pendapatan para pejabat, sehingga peluang untuk melakukan KKN dapat dibatasi atau ditiadakan. Bersamaan dengan upaya-upaya tersebut diatas, sebaiknya Depdiknas R.I. mengadopsi pendidikan multikulturalisme untuk diberlakukan dalam pendidikan sekolah, dari tingkat SD sampai dengan tingkat SLTA. Multikulturalisme sebaiknya termasuk dalam kurikulum sekolah, dan pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai pelajaran ekstra-kurikuler atau menjadi bagian dari krurikulum sekolah (khususnya untuk daerah-daerah bekas konflik berdarah antar sukubangsa, seperti di Poso, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan berbagai tempat lainnya). Dalam sebuah diskusi dengan tokoh-tokoh Madura, Dayak, dan Melayu di Singkawang baru-baru ini, mereka itu semuanya menyetujui dan mendukung ide tentang diselenggarakannya pelajaran multikulturalisme di seklah-sekolah dalam upaya mencegah terulangnya kembali di masa yang akan datang konflik berdarah antar sukubangsa yang pernah mereka alami baru-baru ini (Suparlan, 2006) Sebagai penutup mungkin dapat kita pikirkan bersama apakah multikulturalisme sebagai ideologi yang mendukung cita-cita demokrasi akan hanya kita jadikan sebagai wacana ataukah akan kita jadikan sebagai sebuah tema utama dalam antropologi Indonesia yang akan merupakan sumbangan antropologi Indonesia bagi pembangunan masyarakat Indonesia. Semuanya terpulang pada keputusan kita bersama. G. UMPAN BALIK DAN TINDAK LANJUT Setelah membaca kegiatan pembelajaran dalam modul ini apakahandamemperoleh pengetahuan baru, yang sebelumnya belum pernah Anda pahami, apakah materi yang diuraikan mempunyai manfaat dalam mengembangkan materi sosiologi, khususnya masalah sosial? Setelah Anda Sosiologi SMA K-6 197

206 membaca kegiatan pembelajaran dalam modul ini rencana tindak lanjut apa yang akan Anda lakukan? GLOSARIUM DAFTAR PUSTAKA Glaser, N & Moynihan, DP (Eds.) Etnicity: Theory and Experience (E-book). Cambridge: Harvard University Press. Hidayah, Zulyani Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES. Koentjaraningrat Pengantar AntropologiI. Jakarta: Rineka Cipta Kymlicka, Will Kewargaan Multikultural. Terj. Jakarta: LP3ES. Liliweri, Alo Prasangka & Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur Yogyakarta: LkiS. May, Larry Etika Terapan: Sebuah Pendekatan Multikultural. Terj. Yogyakarta: Tiara Wacana Mahfud MD, Moh. et. al. (ed) Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan. Yogyakarta: UII Press. Nasikun Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Poerwanti, Endang Pemahaman Psikologi Masyarakat Indonesia Sebagai Upaya Menjembatani Permasalahan Silang Budaya Purwasito, Andrik Komunikasi Multikultural. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Ranjabar, Jacobus Sistem Sosial Budaya Indonesia: Suatu Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia. Semendawai, Abdul Haris dan Eddie Sius R. Laggut Otonomi Daerah dalam Kehidupan Multikulturalitas di Indonesia Shadily, Hassan Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Sihbudi, Riza Kerusuhan Sosial di Indonesia. Jakarta: Grasindo. Sosiologi SMA K-6 198

207 Sunarto, Kamanto et. al. (ed) Multicultural Education in Indonesia and Southeast Asia Stepping into The Unfamiliar. Depok: TIFA Foundation-Department of Anthropology UI. Suparlan, Parsudi Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural Tilaar, H.A.R Multikulturalisme: Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo Yaqin, M. Ainul Pendidikan Multikultural: Cross Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media. Sosiologi SMA K-6 199

208 Sosiologi SMA K-6 1

JURUSAN PENDIDIKAN FISIKA FPMIPA UPI

JURUSAN PENDIDIKAN FISIKA FPMIPA UPI BAHAN AJAR (MINGGU KE 12) MATA KULIAH EVALUASI PEMBELAJARAN FISIKA BIDANG STUDI FISIKA JURUSAN PENDIDIKAN FISIKA FPMIPA UPI 2 1. Pengertian Bobot, Skor dan Nilai Bobot = bilangan yang dikenakan terhadap

Lebih terperinci

PENILAIAN ACUAN PATOKAN dan PENILAIAN ACUAN NORMATIF

PENILAIAN ACUAN PATOKAN dan PENILAIAN ACUAN NORMATIF PENILAIAN ACUAN PATOKAN dan PENILAIAN ACUAN NORMATIF PENGOLAHAN DAN KONVERSI SKOR MENTAH MENJADI SKOR STANDAR (NILAI) 1. PENGOLAHAN DAN KONVERSI SKOR MENTAH MENJADI NILAI DILAKUKAN DENGAN MENGACU PADA

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. A. Kompetensi Guru Mata Pelajaran Qur an Hadits dalam Perencanaan. Evaluasi Hasil Belajar Siswa di MTs Negeri Ngantru

BAB V PEMBAHASAN. A. Kompetensi Guru Mata Pelajaran Qur an Hadits dalam Perencanaan. Evaluasi Hasil Belajar Siswa di MTs Negeri Ngantru BAB V PEMBAHASAN A. Kompetensi Guru Mata Pelajaran Qur an Hadits dalam Perencanaan Evaluasi Hasil Belajar Siswa di MTs Negeri Ngantru Dalam perencanaan evaluasi hasil belajar seorang guru harus menyesesuaikan

Lebih terperinci

PENILAIAN ACUAN KRITERIA (PAK)

PENILAIAN ACUAN KRITERIA (PAK) PENILAIAN ACUAN KRITERIA (PAK) Tujuan penggunaan tes acuan berfokus pada kelompok perilaku siswa yang khusus. Joesmani menyebutnya dengan didasarkan pada kriteria atau standard khusus. Dimaksudkan untuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. tindakan kelas (PTK) atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah

BAB III METODE PENELITIAN. tindakan kelas (PTK) atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah penelitian tindakan kelas (PTK) atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Classroom Action Research

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Dalam pembelajaran yang terjadi di sekolah, guru adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas hasilnya. Dengan demikian, guru patut dibekali dengan evaluasi sebagai

Lebih terperinci

PENINGKATAN KOMPETENSI GURU MEMBUAT PENELITIAN TINDAKAN KELAS (PTK) MELALUI WORKSHOP MODEL P2FR DI SMP NEGERI 43 MEDAN

PENINGKATAN KOMPETENSI GURU MEMBUAT PENELITIAN TINDAKAN KELAS (PTK) MELALUI WORKSHOP MODEL P2FR DI SMP NEGERI 43 MEDAN ISSN 0852-0151 Jurnal Bidang Pendidikan Volume 20(2): 129-138, 2014 PENINGKATAN KOMPETENSI GURU MEMBUAT PENELITIAN TINDAKAN KELAS (PTK) MELALUI WORKSHOP MODEL P2FR DI SMP NEGERI 43 MEDAN Rasmin Simbolon

Lebih terperinci

15. Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif.

15. Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif. KOMPETENSI INTI 15. Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif. KONSEP DASAR DAN PROSEDUR PELAKSANAAN PENELITIAN TINDAKAN KELAS A. Konsep Dasar Penelitian Tindakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang akan dilaksanakan peneliti adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian Tindakan Kelas (PTK) adalah penelitian tindakan (action

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN

BAB III METODELOGI PENELITIAN BAB III METODELOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Pada penelitian ini, peneliti berusaha mendeskripsikan bentuk pembelajaran untuk meningkatkan hasil belajar siswa dengan menerapkan pembelajaran problem

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian adalah tahapan-tahapan atau cara dalam melakukan penelitian. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan rancangan Penelitian Tindakan Kelas

Lebih terperinci

PENELITIAN TINDAKAN KELAS (Pengertian, Prinsip, dan Karakteristik PTK) Oleh: Dwi Rahdiyanta *)

PENELITIAN TINDAKAN KELAS (Pengertian, Prinsip, dan Karakteristik PTK) Oleh: Dwi Rahdiyanta *) PENELITIAN TINDAKAN KELAS (Pengertian, Prinsip, dan Karakteristik PTK) Oleh: Dwi Rahdiyanta A. Pendahuluan Berdasarkan Keputusan Menteri Negera Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 84/1993 tentang Jabatan

Lebih terperinci

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016 MATERI PEDAGOGIK

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016 MATERI PEDAGOGIK SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016 MATERI PEDAGOGIK BAB VIII PENILAIAN DAN EVALUASI PEMBELAJARAN Prof. Dr. Sunardi, M.Sc Dr. Imam Sujadi, M.Si KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL

Lebih terperinci

Sebagaimana ditunjukkan sebelumnya suatu tes hasil belajar dapat dipakai untuk menyatakan :

Sebagaimana ditunjukkan sebelumnya suatu tes hasil belajar dapat dipakai untuk menyatakan : A. Latar Belakang Masalah Seringkali pengembang intruksional termasuk pengajar menyusun tes setelah proses instruksional berakhir. Ia menyusunnya dalam waktu yang singkat berdasarkan isi pelajaran yang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah, penelitian ini menggunakan metode penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research) penelitian tindakan kelas ini bertujuan

Lebih terperinci

Topik 1 Penelitian Tindakan Kelas. Pengembangan Profesi

Topik 1 Penelitian Tindakan Kelas. Pengembangan Profesi Topik 1 Penelitian Tindakan Kelas sebagai kegiatan Pengembangan Profesi Guru DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT JENDERAL PENINGKATAN MUTU PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN DIREKTORAT PROFESI PENDIDIK

Lebih terperinci

PENDEKATAN PENILAIAN Grading Nilai

PENDEKATAN PENILAIAN Grading Nilai PENDEKATAN PENILAIAN Grading Nilai CORRECTION FOR GUESSING Jawaban salah Skor = Jawaban benar - ----------------------- ( n 1 ) n = jumlah alternatif pilihan yang disediakan PENILAIAN dan PENDEKATAN PENILAIAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dengan tujuan meningkatkan mutu atau pemecahan masalah pada sekelompok subyek

BAB III METODE PENELITIAN. dengan tujuan meningkatkan mutu atau pemecahan masalah pada sekelompok subyek BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian Tindakan Kelas (PTK) diartikan sebagai penelitian yang berorientasi pada penerapan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Pada bab III metode penelitian akan dipaparkan mengenai jenis dan pendekatan, tempat dan waktu penelitian, populasi dan sampel penelitian, variabel dan indikator penelitian, teknik

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian, Populasi, dan Sampel Penelitian yang akan dilaksanakan yaitu penelitian tindakan kelas, menurut Arikunto (2010, hlm. 39) menyatakan...perlu ditekankan bahwa

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan Penelitian Tindakan Kelas atau biasa disingkat PTK. Penelitian tindakan kelas adalah penelitian tindakan (action research)

Lebih terperinci

BAB III PROSEDUR PENELITIAN TINDAKAN KELAS. suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan yang sengaja

BAB III PROSEDUR PENELITIAN TINDAKAN KELAS. suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan yang sengaja 54 BAB III PROSEDUR PENELITIAN TINDAKAN KELAS A. Metode Penelitian Penelitian ini dirancang dengan penelitian tindakan kelas yang merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan

Lebih terperinci

MATERI KULIAH EVALUASI PEMBELAJARAN

MATERI KULIAH EVALUASI PEMBELAJARAN MATERI KULIAH EVALUASI PEMBELAJARAN A. Pendekatan Penilaian Hasil Belajar Sebelum melakukan proses evaluasi terlebih dahulu kita harus melakukan pengukuran dengan alat yang disebut tes. Hasil pengukuran

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (Class Action

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (Class Action BAB III METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (Class Action Research), yaitu penelitian yang dilakukan seorang pendidik untuk memahami apa yang terjadi di kelas untuk

Lebih terperinci

Pemahaman Guru Fisika SMA Kota Medan dalam Mengimplementasikan Standar Evaluasi Pendidikan

Pemahaman Guru Fisika SMA Kota Medan dalam Mengimplementasikan Standar Evaluasi Pendidikan Pemahaman Guru Fisika SMA Kota Medan dalam Mengimplementasikan Standar Evaluasi Pendidikan Alkhafi Maas Siregar 1 dan Rahmansyah 2 1. Jurusan Fisika FMIPA Unimed dan 2. Jurusan Fisika FMIPA Unimed Jln.

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Contents A. LATAR BELAKANG B. TUJUAN C. RUANG LINGKUP KEGIATAN D. UNSUR YANG TERLIBAT E. REFERENSI...

DAFTAR ISI. Contents A. LATAR BELAKANG B. TUJUAN C. RUANG LINGKUP KEGIATAN D. UNSUR YANG TERLIBAT E. REFERENSI... DAFTAR ISI Contents A. LATAR BELAKANG... 13 B. TUJUAN... 13 C. RUANG LINGKUP KEGIATAN... 13 D. UNSUR YANG TERLIBAT... 14 E. REFERENSI... 14 F. URAIAN PROSEDUR KERJA... 19 LAMPIRAN 1 : ALUR PROSEDUR KERJA

Lebih terperinci

Asesmen Pembelajaran

Asesmen Pembelajaran Asesmen Pembelajaran [Menggunakan PAN dan PAP dalam Pemberian Nilai] Disusun oleh: TIM AHLI 2 1. Tina Dwi Lestari (06131181419013) 2. Venny Astriani (06131181419016) 3. M. Imam Santoso (06131181419021)

Lebih terperinci

BAB III PROSEDUR PENELITIAN TINDAKAN KELAS. Penelitian tindakan kelas merupakan ragam penelitian

BAB III PROSEDUR PENELITIAN TINDAKAN KELAS. Penelitian tindakan kelas merupakan ragam penelitian BAB III PROSEDUR PENELITIAN TINDAKAN KELAS A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian tindakan kelas atau yang lebih sering disebut dengan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 31 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 1) WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan pada tanggal 24 Nopember sampai 3 Desember tahun 2009 Penentuan waktu penelitian mengacu pada

Lebih terperinci

Kegiatan Belajar 4: Menelaah Tes Hasil Belajar

Kegiatan Belajar 4: Menelaah Tes Hasil Belajar Kegiatan Belajar 4: Menelaah Tes Hasil Belajar Uraian Materi 1. Menelaah Kualitas Soal Tes Bentuk Objektif Sebagaimana telah anda pelajari sebelumnya, bahwa analisis kualitas perangkat soal tes hasil belajar

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau disebut juga Classroom Action Research. Penelitian Tindakan Kelas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dengan baik dan benar (Kunandar, 2011: 41). Adlan (2011: 4) menjelaskan

BAB III METODE PENELITIAN. dengan baik dan benar (Kunandar, 2011: 41). Adlan (2011: 4) menjelaskan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan (Classroom Action Research). Penelitian Tindakan Kelas atau PTK (Classroom Action

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN TINDAKAN KELAS. mengetahui peningkatan kemampuan pemahaman dalam menentukan pokok

BAB III METODE PENELITIAN TINDAKAN KELAS. mengetahui peningkatan kemampuan pemahaman dalam menentukan pokok 29 BAB III METODE PENELITIAN TINDAKAN KELAS A. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian tindakan yang dilakukan untuk mengetahui peningkatan kemampuan pemahaman dalam menentukan pokok pikiran

Lebih terperinci

BAB III PROSEDUR PENELITIAN TINDAKAN KELAS. research), karena penelitian dilakukan untuk memecahkan masalah

BAB III PROSEDUR PENELITIAN TINDAKAN KELAS. research), karena penelitian dilakukan untuk memecahkan masalah BAB III PROSEDUR PENELITIAN TINDAKAN KELAS A. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (classroom action research), karena penelitian dilakukan untuk memecahkan masalah pembelajaran

Lebih terperinci

PENERAPAN METODE QUANTUM LEARNING TEKNIK PETA PIKIRAN UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SOSIOLOGI SISWA KELAS X IPS 5 SMA AL ISLAM 1 SURAKARTA

PENERAPAN METODE QUANTUM LEARNING TEKNIK PETA PIKIRAN UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SOSIOLOGI SISWA KELAS X IPS 5 SMA AL ISLAM 1 SURAKARTA PENERAPAN METODE QUANTUM LEARNING TEKNIK PETA PIKIRAN UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SOSIOLOGI SISWA KELAS X IPS 5 SMA AL ISLAM 1 SURAKARTA TAHUN AJARAN 2015/2016 JURNAL Oleh : MARYUNINGSIH K8411045

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. e) Indikator Keberhasilan, f) Tahap-tahap Penelitian. ini, karena penelitian diadakan dalam kelas dan lebih difokuskan pada

BAB III METODE PENELITIAN. e) Indikator Keberhasilan, f) Tahap-tahap Penelitian. ini, karena penelitian diadakan dalam kelas dan lebih difokuskan pada BAB III METODE PENELITIAN Pada bab ini akan dibahas: a) Jenis Penelitian, b) Lokasi dan Subyek Penelitian, c) Teknik Pengumpulan Data, d) Teknik Analisis Data, e) Indikator Keberhasilan, f) Tahap-tahap

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan BAB III METODE PENELITIAN Dalam bab ini akan diuraikan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan metode penelitian, setting penelitian dan subjek penelitian, sasaran penelitian, data dan cara pengambilannya,

Lebih terperinci

PENELITIAN TINDAKAN BAGI GURU DALAM MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN

PENELITIAN TINDAKAN BAGI GURU DALAM MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN PENELITIAN TINDAKAN BAGI GURU DALAM MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN Oding Supriadi Dosen STKIP Setia Budhi Rangkas Bitung Banten Abstrak: Tujuan dari tulisan ini yaitu menyajikan konsep penelitian tindakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dilakukan di kelas dengan tujuan memperbaiki mutu praktik pembelajaran

BAB III METODE PENELITIAN. dilakukan di kelas dengan tujuan memperbaiki mutu praktik pembelajaran BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis penelitian yang dilaksanakan ini adalah penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research) yaitu penelitian tindakan yang dilakukan di kelas dengan

Lebih terperinci

Perencanaan. Siklus I. Pengamatan. Perencanaan. Siklus III. Pengamatan. Perencanaan. Pengamatan. Hasil Penelitian

Perencanaan. Siklus I. Pengamatan. Perencanaan. Siklus III. Pengamatan. Perencanaan. Pengamatan. Hasil Penelitian 47 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Penelitian Tindakan Kelas 3.1.1. Pengertian Penelitian Tindakan Kelas Penelitian tindakan kelas (PTK) adalah sebuah penelitian yang dilakukan di kelas dengan jalan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 32 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research) dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian tindakan

Lebih terperinci

PERANGKAT MODUL PENGEMBANGAN KEPROFESIAN BERKELANJUTAN SEKOLAH DASAR KELAS AWAL KELOMPOK KOMPETENSI H

PERANGKAT MODUL PENGEMBANGAN KEPROFESIAN BERKELANJUTAN SEKOLAH DASAR KELAS AWAL KELOMPOK KOMPETENSI H PERANGKAT MODUL PENGEMBANGAN KEPROFESIAN BERKELANJUTAN SEKOLAH DASAR KELAS AWAL KELOMPOK KOMPETENSI H DIREKTORRAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN 2017 KATA PENGANTAR

Lebih terperinci

UPAYA PENINGKATAN HASIL BELAJAR FISIKA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN EDUTAINMENT (EDUCATION-ENTERTAINMENT)

UPAYA PENINGKATAN HASIL BELAJAR FISIKA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN EDUTAINMENT (EDUCATION-ENTERTAINMENT) Upaya Peningkatan Hasil. UPAYA PENINGKATAN HASIL BELAJAR FISIKA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN EDUTAINMENT (EDUCATION-ENTERTAINMENT) DENGAN METODE KUIS GALILEO DI SMP NEGERI 2 KALIWUNGU 1 Oleh : Wahyuni 2

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) Menurut Suharsimi A. (2004 dalam Sukajati, 2008) ada tiga kata yang

Lebih terperinci

MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA DENGAN MENGGUNAKAN METODE TANYA JAWAB PADA PEMBELAJARAN PPKN DI KELAS VIIB SMP NEGERI 10 PALU ABSTRAK

MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA DENGAN MENGGUNAKAN METODE TANYA JAWAB PADA PEMBELAJARAN PPKN DI KELAS VIIB SMP NEGERI 10 PALU ABSTRAK 1 MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA DENGAN MENGGUNAKAN METODE TANYA JAWAB PADA PEMBELAJARAN PPKN DI KELAS VIIB SMP NEGERI 10 PALU Arni 1 Abduh H. Harun 2 Imran 3 Program Studi PPKn, Jurusan pendidikan IPS

Lebih terperinci

Jurnal Kreatif Tadulako Online Vol. 4 No. 4 ISSN X. Maspupah SDN Inpres 1 Birobuli, Sulawesi Tengah

Jurnal Kreatif Tadulako Online Vol. 4 No. 4 ISSN X. Maspupah SDN Inpres 1 Birobuli, Sulawesi Tengah Penerapan Metode Pembelajaran Demonstrasi Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Materi Perkalian Bilangan Cacah di Kelas II SDN Inpres 1 Birobuli Maspupah SDN Inpres 1 Birobuli, Sulawesi Tengah ABSTRAK

Lebih terperinci

BAHAN AJAR Kompetensi Dasar Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) TOPIK-4: Evaluasi HAsil Belajar dalam PJJ

BAHAN AJAR Kompetensi Dasar Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) TOPIK-4: Evaluasi HAsil Belajar dalam PJJ BAHAN AJAR Kompetensi Dasar Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) TOPIK-4: Evaluasi HAsil Belajar dalam PJJ SEAMEO SEAMOLEC Jakarta - INDONESIA 2012 Pendahuluan Dalam topik ini akan diuraikan evaluasi hasil belajar

Lebih terperinci

(Staf Pengajar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta) Kata kunci: pembelajaran ekonomi, penilaian berbasis kompetensi.

(Staf Pengajar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta) Kata kunci: pembelajaran ekonomi, penilaian berbasis kompetensi. Jurnal Ekonomi & Pendidikan, Volume 1 Nomor 2, Mei 2005 SISTEM PENILAIAN PEMBELAJARAN EKONOMI BERBASIS KOMPETENSI Oleh: Barkah Lestari (Staf Pengajar Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta)

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di MAN 1 Blora yang beralamat di jalan Gatot Subruto Km.04 Telp. (0296) 533453 Blora, Jawa Tengah. Dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 1. Penelitian, kegiatan mencermati suatu objek dengan menggunakan cara

BAB III METODE PENELITIAN. 1. Penelitian, kegiatan mencermati suatu objek dengan menggunakan cara BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas Classroom Action Research (CAR). Dilihat dari namanya sudah dapat menunjukkan isi yang terkandung di dalamnya,

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN

BAB III METODELOGI PENELITIAN BAB III METODELOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian tindakan kelas atau Classroom Action Research model Kemmis dan McTaggart. Suharsimi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Km dari ibukota kabupaten. Adapun lingkungan sekolah berada pada daerah yang

BAB III METODE PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Km dari ibukota kabupaten. Adapun lingkungan sekolah berada pada daerah yang BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Lokasi penelitian adalah di SMA Negeri 1 Sukodono, yang terletak di Jalan Raya Sukodono Tanon, Kecamatan Sukodono Kabupaten

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. (PTK). Penelitian Tindakan kelas merupakan terjemahan dari Classroom

BAB III METODE PENELITIAN. (PTK). Penelitian Tindakan kelas merupakan terjemahan dari Classroom 32 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian Tindakan kelas merupakan terjemahan dari Classroom Action Research,

Lebih terperinci

UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA DENGAN METODE PROBLEM-BASED LEARNING

UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA DENGAN METODE PROBLEM-BASED LEARNING UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA DENGAN METODE PROBLEM-BASED LEARNING PADA POKOK BAHASAN LOGIKA MATEMATIKA DI KELAS X-1SMA NEGERI 2 SUMENEP TAHUN PELAJARAN 2010-2011 Hasanudin Guru SMAN 2

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Bab ini membahas mengenai metode penelitian, model penelitian, lokasi, waktu dan subjek penelitian, prosedur penelitian dan pengolahan analisis data. A. Metode Penelitian

Lebih terperinci

JURNAL OLEH YENI FARIDA The Learning University

JURNAL OLEH YENI FARIDA The Learning University PENGARUH PENERAPAN METODE PEMBELAJARAN BERBASIS PORTOFOLIO TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN IPS SEJARAH KELAS VII SMP NEGERI 1 MALANG SEMESTER GASAL TAHUN AJARAN 2011/2012 JURNAL OLEH YENI

Lebih terperinci

Melaksanakan Penelitian Tindakan Kelas

Melaksanakan Penelitian Tindakan Kelas Topik 3 Melaksanakan Penelitian Tindakan Kelas DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL DIREKTORAT JENDERAL PENINGKATAN MUTU PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN DIREKTORAT PROFESI PENDIDIK 2007 Materi TOT pada kegiatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 52 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini menggunakan PTK yaitu penelitian yang bertujuan untuk memberikan sumbangan nyata bagi peningkatan profesionalisme guru, menyiapkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. yang dilaksanakan ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian

III. METODE PENELITIAN. yang dilaksanakan ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian III. METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Menurut Arikunto (2006: 136) metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam pengumpulan data penelitiannya. Penelitian yang dilaksanakan ini

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 38 BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif adalah pendekatan yang banyak dituntut menggunakan angka, mulai

Lebih terperinci

problem-problem praktis masyarakat dalam situasi problematik dan pada Defenisi menurut Stephen Kemmis (1983) :

problem-problem praktis masyarakat dalam situasi problematik dan pada Defenisi menurut Stephen Kemmis (1983) : BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Kegiatan ini dilakukan tehadap sejumlah siswa dalam satu kelas. Penelitian tindakan

Lebih terperinci

BAB III PROSEDUR PENELITIAN

BAB III PROSEDUR PENELITIAN BAB III PROSEDUR PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian ini menghadirkan suatu perkembangan bidang penelitian tindakan yang mengarahkan mengidentifikasian karakteristik kebutuhan pragmatisndari

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan pada tanggal 06 November sampai 28 November 2009. Penentuan waktu penelitian mengacu pada kalender akademik

Lebih terperinci

Oleh: Gunawan SD N 1 Wonoanti, Trenggalek

Oleh: Gunawan SD N 1 Wonoanti, Trenggalek JURNAL PENDIDIKAN PROFESIONAL, VOLUME 5, NO. 1, APRIL 016 51 UPAYA PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS V SDN 1 WONOANTI TRENGGALEK PADA BIDANG STUDI IPS TENTANG KERAGAMAN SUKU BANGSA DAN BUDAYA INDONESIA

Lebih terperinci

Inisiasi IV ASESMEN PEMBELJARAN SD

Inisiasi IV ASESMEN PEMBELJARAN SD Inisiasi IV ASESMEN PEMBELJARAN SD Saudara-saudara mahasiswa PGSD S-1 PJJ, selamat bertemu kembali dalam kegiatan tutorial bersama saya Yuni Pantiwati sebagai tutor mata kuliah Asesmen Pembelajaran SD.

Lebih terperinci

BAB III PROSEDUR PENELITIAN. kelas (PTK) sebenarnya diawali dari istilah action research atau penelitian

BAB III PROSEDUR PENELITIAN. kelas (PTK) sebenarnya diawali dari istilah action research atau penelitian BAB III PROSEDUR PENELITIAN A. Jenis Penelitian Munculnya istilah classroom action research atau penelitian tindakan kelas (PTK) sebenarnya diawali dari istilah action research atau penelitian tindakan.

Lebih terperinci

MEMAHAMI STANDAR PENILAIAN BSNP

MEMAHAMI STANDAR PENILAIAN BSNP MEMAHAMI STANDAR PENILAIAN BSNP LATAR BELAKANG BSNP SECARA FILOSOFIS: - PROSES PEND PROSES MENGEMBANGKAN POTENSI SISWA MENJADI KEMAMPUAN DAN KETERAMPILAN TTT. SISWA SIPERLAKUKAN DAN DINILAI SEC. ADIL tidak

Lebih terperinci

LENTERA Jurnal Ilmiah Kependidikan ISSN : Vol. 13 No. 1 (2018) 1 10

LENTERA Jurnal Ilmiah Kependidikan ISSN : Vol. 13 No. 1 (2018) 1 10 LENTERA Jurnal Ilmiah Kependidikan ISSN : 0216-7433 Vol. 13 No. 1 (2018) 1 10 PENERAPAN COACHING UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI KEPALA SEKOLAH DALAM SUPERVISI AKADEMIK PADA SMP BINAAN DINAS PENDIDIKAN KOTA

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. pembelajaran sehari-hari dikelas, maka jenis penelitian ini adalah Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. pembelajaran sehari-hari dikelas, maka jenis penelitian ini adalah Penelitian 28 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Permasalahan yang muncul pada penelitian ini berasal dari kegiatan pembelajaran sehari-hari dikelas, maka jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. memperbaiki kinerjanya sebagai guru, sehingga hasil belajar siswa menjadi

BAB III METODE PENELITIAN. memperbaiki kinerjanya sebagai guru, sehingga hasil belajar siswa menjadi BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Menurut I G A K Wardani dan Kuswaya Wihardit (2009: 1.4), penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah, penelitian ini menggunakan metode Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research) yang bertujuan untuk mengubah perilaku

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini yaitu metode Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research) yang berusaha menerapkan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah yang terkandung di dalam judul skripsi.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah yang terkandung di dalam judul skripsi. 33 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Definisi Operasional Definisi operasional diperlukan agar tidak terjadi salah pengertian dan perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah yang terkandung di dalam

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN RENCANA PENELITIAN. yang dalam istilah Bahasa Inggris adalah Classroom Action Research (CAR),

BAB III METODE DAN RENCANA PENELITIAN. yang dalam istilah Bahasa Inggris adalah Classroom Action Research (CAR), BAB III METODE DAN RENCANA PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dalam istilah Bahasa Inggris adalah Classroom Action Research (CAR),

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. difokuskan pada situasi kelas yang lazim dikenal Classroom Action Research

BAB III METODE PENELITIAN. difokuskan pada situasi kelas yang lazim dikenal Classroom Action Research BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian tindakan kelas yang difokuskan pada situasi kelas yang lazim dikenal Classroom Action Research (Wardhani Igak

Lebih terperinci

BAB III PROSEDUR PENELITIAN TINDAKAN KELAS. Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian tindakan kelas (PTK) atau

BAB III PROSEDUR PENELITIAN TINDAKAN KELAS. Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian tindakan kelas (PTK) atau 31 BAB III PROSEDUR PENELITIAN TINDAKAN KELAS A. Metode Penelitian Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian tindakan kelas (PTK) atau Classroom Action Reseacrh (CAR). Menurut Nur Hamim PTK merupakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. lazim dikenal classroom action research (Wardhani dkk, 2007: 13). Menurut

BAB III METODE PENELITIAN. lazim dikenal classroom action research (Wardhani dkk, 2007: 13). Menurut BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Penelitian Tindakan Kelas yang difokuskan pada situasi kelas yang lazim dikenal classroom

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian tindakan kelas (PTK). Karena PTK sangat bermanfaat untuk memperbaiki dan

Lebih terperinci

PENGGUNAAN SELF ASSESSMENT SEBAGAI UPAYA DOSEN MENINGKATKAN OBYEKTIVITAS DALAM PENILAIAN TUGAS PROYEK

PENGGUNAAN SELF ASSESSMENT SEBAGAI UPAYA DOSEN MENINGKATKAN OBYEKTIVITAS DALAM PENILAIAN TUGAS PROYEK Pendidikan ISBN : 979-498-467-1 PENGGUNAAN SELF ASSESSMENT SEBAGAI UPAYA DOSEN MENINGKATKAN OBYEKTIVITAS DALAM PENILAIAN TUGAS PROYEK Sri Yamtinah Prodi Pendidikan Kimia PMIPA FKIP-UNS E-mail:jengtina_sp@yahoo.com

Lebih terperinci

Penerapan Integrasi Model Pembelajaran Group Investigation (Gi) dan Inkuiri Terbimbing Berbasis Lesson Study

Penerapan Integrasi Model Pembelajaran Group Investigation (Gi) dan Inkuiri Terbimbing Berbasis Lesson Study Penerapan Integrasi Model Pembelajaran Group Investigation (Gi) dan Inkuiri Terbimbing Berbasis Lesson Study Indah Panca Pujiastuti Program Studi Pendidikan Biologi FMIPA Universitas Sulawesi Barat e-mail:

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 34 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (classroom Action Reserch). Penelitian tindakan kelas (PTK)

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Metode penelitian terdiri dari dua kata,

BAB III METODE PENELITIAN. data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Metode penelitian terdiri dari dua kata, BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Secara umum, metode penelitian diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Metode penelitian terdiri dari dua

Lebih terperinci

DESAIN EVALUASI PEMBELAJARAN

DESAIN EVALUASI PEMBELAJARAN 0 DESAIN EVALUASI PEMBELAJARAN MAKALAH MAKALAH Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Desain dan Pengembangan Kurikulum Dosen Pengampu : Dr. Ahsan Hasbulloh, M.Ag Oleh KUWAT DWI WALUYO (1617652006)

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam rangka memecahkan permasalahan yang terjadi selama proses pembelajaran di kelas berlangsung dengan mencoba menerapkan model

Lebih terperinci

TEKNIK PENGOLAHAN HASIL PENGUKURAN

TEKNIK PENGOLAHAN HASIL PENGUKURAN TEKNIK PENGOLAHAN HASIL PENGUKURAN A. Teknik Pemberian Skor Pemberian Skor (Skoring) adalah proses pengubahan atau jawaban jawaban soal tes menjadi angkaangka yang pasti atau dengan kata lain pemberian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 44 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dan kuantitatif (statistic). Pendekatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau dalam bahasa Inggris PTK disebut Classroom Action Research

Lebih terperinci

MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA MALIA ULFA. Jl. Semarang 5 Malang.

MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA MALIA ULFA. Jl. Semarang 5 Malang. MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA MALIA ULFA Prodi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Universitas Negeri Malang Jl. Semarang 5 Malang E-mail: malyaulfa@ymail.com

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimen. Menurut Sugiyono, penelitian eksperimen adalah metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Subyek Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kelas XI IPA MA Manbaul Ulum Karangawen Demak Tahun Pelajaran 2009-2010 dengan jumlah 38 peserta didik, terdiri dari 12 laki-laki

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Setting dan Karakteristik Subjek Penelitian Ada dua hal yang akan dideskripsikan dalam sub judul ini, yakni seting penelitian dan karakteristik subjek penelitian. Seting penelitian

Lebih terperinci

PENILAIAN AUTENTIK DI SEKOLAH DASAR Oleh: Wuri Wuryandani Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta

PENILAIAN AUTENTIK DI SEKOLAH DASAR Oleh: Wuri Wuryandani Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta Pendahuluan PENILAIAN AUTENTIK DI SEKOLAH DASAR Oleh: Wuri Wuryandani Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta Penilaian merupakan salah satu proses yang harus dilakukan guru dalam PBM.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas (classroom action research). Menurut Wina Sanjaya ( 2009 : 26) mengartikan bahwa penelitian tindakan

Lebih terperinci

BAB III PROSEDUR PENELITIAN TINDAKAN KELAS. Metode penelitian merupakan cara atau prosedur yang sistematis dan

BAB III PROSEDUR PENELITIAN TINDAKAN KELAS. Metode penelitian merupakan cara atau prosedur yang sistematis dan BAB III PROSEDUR PENELITIAN TINDAKAN KELAS A. Metode Penelitian Metode penelitian merupakan cara atau prosedur yang sistematis dan terorganisasi untuk menyelidiki suatu masalah tertentu dengan maksud mendapatkan

Lebih terperinci

PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATERI KAIDAH FUNDAMENTAL BANGSAKU DENGAN TEKNIK JIGSAW DI SMAN I GADING. Luluk Hidayati

PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATERI KAIDAH FUNDAMENTAL BANGSAKU DENGAN TEKNIK JIGSAW DI SMAN I GADING. Luluk Hidayati PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATERI KAIDAH FUNDAMENTAL BANGSAKU DENGAN TEKNIK JIGSAW DI SMAN I GADING Luluk Hidayati SMAN 1 Gading Kabupaten Probolinggo Abstrak: Tujuan penelitian yang ingin dicapai : (a)

Lebih terperinci

PROSEDUR OPERASIONAL BAKU (POB) TAILOR-MADE PELAKSANAAN PLPG

PROSEDUR OPERASIONAL BAKU (POB) TAILOR-MADE PELAKSANAAN PLPG PROSEDUR OPERASIONAL BAKU (POB) TAILOR-MADE PELAKSANAAN PLPG Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan Pusat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang memiliki peranan yang sangat penting dan strategis untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan Classroom Action Research atau Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan Classroom Action Research atau Penelitian 51 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan Classroom Action Research atau Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Dalam penelitian ini peneliti berupaya meningkatkan hasil belajar

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Penelitian yang digunakan penulis adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau juga disebut dengan istilah Classroom Action Research. Penelitian tindakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif adalah pendekatan yang banyak dituntut menggunakan angka, mulai dari

Lebih terperinci