Analisis Penerapan Ketentuan Safe harbour Dalam Transaksi Transfer Pricing Di Indonesia

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Analisis Penerapan Ketentuan Safe harbour Dalam Transaksi Transfer Pricing Di Indonesia"

Transkripsi

1 Analisis Penerapan Ketentuan Safe harbour Dalam Transaksi Transfer Pricing Di Indonesia Edwin Akbar Lubis dan Ning Rahayu Ilmu Administrasi Fiskal Program Ekstensi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Kampus UI, Depok, 16424, Indonesia Abstrak Prinsip kewajaran dan kelaziman usaha adalah standar yang diakui secara internasional dalam membuktikan kewajaran dari transaksi transfer pricing. Pada kenyataannya, penerapan prinsip ini tidaklah mudah, membutuhkan keterampilan dan biaya yang tinggi serta memungkinkan penerapan prinsip ini tidak relevan untuk transaksi atau wajib pajak tertentu. Dengan demikian, penerapan ketentuan safe harbour dapat menjadi solusi untuk menyederhanakan penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, dimana safe harbour adalah fasilitas yang diberikan oleh otoritas pajak untuk menyederhanakan penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Ketentuan safe harbour dimuat pada Bab IV OECD Guidelines tahun Indonesia telah mengadopsi ketentuan ini yang terdapat pada PER-32 Tahun Penulisan skripsi ini akan membahas lebih jauh mengenai penerapan ketentuan safe harbour di Indonesia dengan pendekatan penelitian kualitatif, jenis penelitian deskriptif serta teknik pengumpulan data studi pustaka dan studi lapangan. Analysis The Application of Safe harbour Provision In Indonesia Transfer Pricing Transaction ABSTRACT Arm s length principle is an internationally accepted standard in proving the arm s length price of transfer pricing transactions. In fact, the application of this principle is not easy, requiring skill and high costs as well as allowing that application. Sometime applying this principle is not relevant to particular transaction and taxpayer. Thus, the application of safe harbor provision can be a solution to comply with arm s length principle. Safe harbor provision is a facility provided by the tax authorities to simplify the application of arm s length principle. Safe harbor provisions contained in Chapter IV OECD Guidelines Indonesia has adopted the provision contained in the PER-32 in This thesis will deliver more about the application of safe harbour provision in Indonesia with qualitative research approach, descriptive research and data collection technique with literature and field study. Keywords: Transfer Pricing, Safe harbour, International Taxation

2 Pendahuluan Perubahan selalu terjadi kapanpun dan dimanapun, pergerakannya sangat cepat dan dinamis. Perubahan seperti ini juga terjadi pada lingkungan perekonomian, dimana setelah diberlakukannya perdagangan bebas, pergerakan perekonomian tidak hanya terjadi pada arus barang dan jasa, melainkan juga terjadi pada sumber daya manusia, modal serta teknologi (Ning Rahayu, 1998, p.1). Perkembangan ekonomi mengakibatkan transaksi perdagangan dan kegiatan perekonomian dapat dengan mudah melintasi batas teritorial suatu negara (Gunadi, 1994, p.1). Salah satu pelaku dari adanya transaksi lintas batas teritorial ini adalah perusahaan multinasional yang terbentuk karena semakin terintegrasinya pasar di berbagai negara dunia. Transaksi lintas batas teritorial dapat terjadi karena didukung dengan kemajuan teknologi serta kebijakan pemerintah yang memungkinkan untuk terjadinya interpedensi ekonomi. Pada umumnya perusahaan multinasional memiliki awal kepemilikan modal pada satu perusahaan induk (parent company), selanjutnya dalam rangka memperluas jaringan usaha, perusahaan ini mendirikan anak perusahaan ataupun melakukan investasi di berbagai negara. Hubungan yang timbul antar anak perusahaan tidak hanya timbul dari adanya hubungan kepemilikan modal, melainkan perusahaan-perusahaan ini juga terhubung dalam hubungan secara ekonomis. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh CorpWatch bahwa sekitar 51 dari 100 keuangan terbesar di dunia ialah dimiliki oleh perusahaan dan hampir 70% dari total perdagangan di seluruh dunia merupakan transaksi dari 500 perusahaan multinasional terbaik dunia dan jumlah ini semakin meningkat selama 20 tahun terakhir. Data yang sama juga dikeluarkan oleh United Nation Conference on Trade and Development (UNCTAD) pada tahun 1996 menyebutkan bahwa transaksi perusahaan multinasional mencapai dua per tiga dari seluruh perdagangan dunia dan di tahun 1999 lebih dari setengah transaksi tersebut merupakan transaksi kepada pihak terafiliasi. Salah satu strategi wajib pajak dalam menjalankan kewajiban perpajakannya ialah dengan melakukan transfer pricing yang digunakan untuk mengurangi beban biaya pajak yang harus dibayar. Transfer pricing berkaitan erat dengan pengalokasian laba dari satu perusahaan ke perusahaan lain pada negara yang berbeda dalam satu grup perusahaan. Pengalokasian laba ini bertujuan untuk menurunkan penghasilan kena pajak di negara yang mempunyai tarif pajak tinggi dan mengalihkan penghasilan kena pajaknya ke negara lain

3 yang memiliki tarif pajak lebih rendah. Dengan demikian, dari sisi perusahaan multinasional, transfer pricing merupakan alat untuk memobilisasi laba usaha pada satu grup perusahaan. Otoritas pajak akan menerima mobilisasi laba dalam satu grup perusahaan, sepanjang transaksi yang dilakukan bersifat arm s length atau wajar (Rachmanto Surahmat, 2009). Pada tahun 2010 firma akuntansi bertaraf internasional Ernst and Young melakukan survey mengenai transfer pricing. Pada survey tersebut didapat hasil bahwa transer pricing merupakan topik perpajakan yang paling utama bagi perusahaan. Gambar 1 Topik Global Perpajakan Pemerintah seringkali menganggap transfer pricing sebagai sebuah aktivitas manipulasi yang dinilai melanggar dan merugikan negara. Hal ini dikarenakan transaksi transfer pricing mimiliki risiko untuk terjadinya pemindahan penghasilan yang akan berakibat berkurangnya pendapatan negara dari penerimaan pajak. Pengaruh pajak yang besar terhadap penerimaan negara, sehingga dibutuhkan pengawasan yang intens untuk menangani transaksi transfer pricing yang bertujuan untuk penghindaran pajak. Jumlah penerimaan perpajakan pada APBN tahun 2013 mencapai Rp1.193 triliun atau sebesar 77,98% dari total keseluruhan pendapatan negara sebesar Rp1.529,7 triliun. Sedangkan total belanja negara pada APBN tahun 2013 sebesar Rp1.683 triliun. Jadi dapat dikatakan bahwa sebesar 70,88% dari total belanja negara dibiayai oleh penerimaan pajak. Maka tidak heran mengapa pemerintah sangat ketat dalam menjaga pendapatan negara dari penerimaan pajak.

4 Tabel 1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2013 (Dalam Triliun) Keterangan Jumlah Pendapatan Negara Rp1.529,7 Pendapatan Dalam Negeri Rp1.525,2 Penerimaan Perpajakan Rp1.193,0 Penerimaan Negara Bukan Pajak Rp332,2 Penerimaan Hibah Rp4,5 Belanja Negara Rp1.683,0 Belanja Pemerintah Pusat Rp1.154,4 Belanja K/L Rp594,6 Belanja Non-K/L Rp559,8 Transfer ke Daerah Rp528,6 Dana Perimbangan Rp444,8 Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian Rp83,8 Surplus Defisit Anggaran (Rp153,3) % Defisit Terhadap PDB (Rp1,65) Pembiayaan Rp153,3 Pembiayaan Dalam Negeri Rp172,8 Pembiayaan Luar Negeri (Neto) (Rp19,5) Adanya pertentangan interpretasi dalam transaksi transfer pricing antara pemerintah dengan perusahaan multinasional menyebabkan perlunya dibuat aturan yang mengatur pembuktian bahwa transfer pricing yang dilakukan oleh perusahaan multinasional telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm s length price principle). Transaksi transfer pricing yang dilakukan, akan diminta dokumentasi oleh otoritas pajak sebagai identifikasi dari kewajaran atas nilai transfer yang dilakukan. Dokumentasi ini dituangkan dalam sebuah dokumen yang pada umumnya disebut transfer pricing documentation. Dokumen ini digunakan oleh wajib pajak sebagai pembuktian bahwa transaksi yang dilakukan telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Dalam rangka penyederhanaan dan meringankan compliance cost yang harus ditanggung, maka otoritas pajak perlu mengatur suatu mekanisme penyederhanaan untuk membuktikan kewajaran dari nilai transfer pricing yang dibuat dalam transfer pricing documentation. Penyederhanaan ini secara otomatis akan diakui kewajarannya oleh otoritas pajak yang pada umumnya dikenal dengan istilah safe harbour atau safe haven. Ketentuan safe harbour dapat memberikan manfaat kepada otoritas pajak untuk mengalokasikan sumber daya yang dimiliki agar lebih mengawasi transaksi transfer pricing yang memiliki risiko besar untuk terjadinya penghindaran pajak. Sementara bagi wajib pajak yang melakukan transaksi transfer pricing, akan meringankan compliance cost karena wajib pajak tidak diwajibkan untuk membuat transfer pricing documentation.

5 OECD memberikan perhatian yang besar terhadap transaksi tranfer pricing dengan menerbitkan OECD Transfer Pricing Guidelines. Di dalam OECD Guidelines juga diatur mengenai ketentuan mengenai safe harbour yaitu pada Chapter IV huruf E mengenai Administrative Approaches to Avoiding and Resolving Transfer Pricing Disputes. Dalam bab tersebut diberikan gambaran dari mulai definisi, keuntungan dan kelemahan, sampai dengan rekomendasi dalam menggunakan ketentuan safe harbour. Ketentuan safe harbour penting untuk dilakukan agar memberi kejelasan kepada wajib pajak bahwa transaksi transfer pricing yang dilakukan secara otomatis diterima oleh otoritas pajak dan tidak perlu dibuktikan melalui transfer pricing documentation, karena bagi beberapa perusahaan penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha tidak relevan dengan ukuran usaha dan jenis transaksi yang mereka lakukan. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah mengadopsi ketentuan safe harbour yang terdapat pada Pasal 3 Ayat 4 PER-32/PJ/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha. Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa DJP memberikan pengecualian kepada wajib pajak untuk membukitkan penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha untuk transaksi transfer pricing dengan nilai dibawah Rp ,- (sepuluh miliar rupiah). Penerapan ketentuan safe harbour di Indonesia perlu diperhatikan, bagaimana aplikasinya apakah telah sesuai dengan pedoman yang terdapat pada OECD Guidelines 2010, serta bagaimana penerapan ketentuan safe harbour di negara satu regional seperti Singapura sebagai pembanding dalam meningkatkan pemanfaatan ketentuan safe harbour secara lebih optimal serta upaya-upaya yang dapat dilakukan agar meningkatkan pemanfaatan dari ketentuan safe harbour. Perbandingan dengan negara Singapura dikarenakan Indonesia dan Singapura berada pada satu wilayah regional yang sama dan tergabung dalam ASEAN. Dari permasalahan pokok di atas, dapat ditarik menjadi beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Apakah penerapan ketentuan safe harbour di Indonesia telah sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam OECD Guidelines? 2. Bagaimana perbandingan penerapan ketentuan safe harbour di negara Singapura dengan penerapan di Indonesia? 3. Bagaimana upaya peningkatan penerapan ketentuan safe harbour agar lebih dapat mengakomodir kepentingan wajib pajak maupun otoritas pajak dalam transaksi transfer pricing di Indonesia?

6 Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk menganalisis kesesuaian penerapan ketentuan safe harbour di Indonesia dengan ketentuan OECD Guidelines, deskripsi perbandingan penerapan safe harbour di Singapura dengan Indonesia dan menanalisis upayaupaya yang dapat dilakukan dalam penerapan ketentuan safe harbour agar dapat mengakomodir kepentingan wajib pajak maupun otoritas pajak. Tinjauan Teoritis 1. Perusahaan Multinasional Tujuan umum dalam menjalankan perusahaan ialah keinginan untuk memperoleh keuntungan. Setiap perusahaan selalu berusaha mendapatkan keuntungan yang maksimal dengan biaya yang minimal atau dengan kata lain keuntungan yang diperoleh harus melebihi atas risiko yang harus ditanggung. Hal ini menjadi poin utama dalam beberapa poin penting kelangsungan hidup perusahaan yaitu a) Profit (keuntungan); b) Mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan; c) Pertumbuhan perusahaan; d) Tanggung jawab sosial (Anoraga, 1997). 2. Hubungan Istimewa Definisi hubungan istimewa merupakan hal yang sangat penting dalam konteks transfer pricing, karena otoritas pajak memiliki kewenangan untuk melakukan koreksi terhadap transaksi yang dinilai tidak wajar sepanjang transaksi tersebut dilakukan oleh pihakpihak yang memiliki hubungan istimewa. Adapun yang dimaksud dengan hubungan istimewa, pada dasarnya dapat dijelaskan dengan situasi sebagai berikut (Darussalam dan Danny Septriadi, 2008): a. Perusahaan A di Negara A berpartisipasi (participate) baik secara langsung maupun tidak langsung dalam manajemen, pengendalian atau kepemilikan modal dari perusahaan B di Negara B. b. Pihak yang sama (bisa berbentuk orang pribadi maupun perusahaan) berpartisipasi (participate) baik secara langsung maupun tidak langsung dalam manajemen, pengendalian atau kepemilikan saham dari perusahaan A di Negara A dan perusahaan B di Negara B.

7 3. Tax Planning Dalam rangka mengelola kekayaan perusahaan untuk memperoleh laba dan memaksimalkan nilai perusahaan, manajemen perusahaan akan melakukan pembuatan keputusan melalui pertimbangan yang matang. Hal ini dapat dimengerti karena keuntungan merupakan motif utama dalam melakukan bisnis (David Besangko, 2003, p. 3). Salah satu komponen penting yang menjadi pertimbangan perusahaan dan sangat mempengaruhi keuntungan adalah pajak, oleh karenanya pajak harus direncanakan dengan baik (Ning Rahayu, 2008, p. 41). Perencanaan pajak dilakukan dengan upaya meminimalisasi beban pajak, sehingga secara sederhana tax planning adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh wajib pajak untuk meminimalisir pajak terutang dengan memanfaatkan peraturan yang ada (Spitz, 1983). Perencanaan pajak yang dilakukan diharapkan dapat memberikan pengurangan pajak secara permanen maupun penangguhan beban pajak. 4. Pengertian Transfer Pricing Menurut Yenni Mangoting dalam Sitorus (2009), terdapat dua tujuan transfer pricing yang ingin dicapai oleh perusahaan multinasional, yaitu: a. Performance Evaluation Sebagai salah satu alat untuk pendistribusian penghasilan untuk meningkatkan indikator return on investment (ROI). b. Optimal Determination of Taxes Pemindahan keuntungan dari tarif pajak yang tinggi ke tarif pajak yang lebih rendah. Otoritas pajak secara subyektif memandang tujuan dilakukannya transfer pricing adalah untuk menghindari pajak, terutama terkait dengan isu mengenai kelayakan alokasi penghasilan, keuntungan dan biaya di antara jurisdiksi pajak yang berbeda-beda dimana korporasi multinasional tersebut beroperasi (Santoso, Iman, 2005, p.69). Penyalahgunaan transaksi transfer pricing (Abuse of transfer pricing) juga menerapkan transfer biaya yang tinggi ke negara dengan tarif pajak yang lebih tinggi dengan tujuan yang sama agar pembayaran pajak dapat dilakukan serendah mungkin. Hal ini selaras dengan pengertian yang diberikan oleh Ongwamuhana (1991) yang menyebut transfer pricing sebagai the calndestine shifting of profits between countries through the manipulaiton of prices in intra-firm transactions, transfer pricing accounts for substansial losses in tax revenue. Dengan demikian, transfer pricing merupakan upaya memanipulasi harga dalam

8 transaksi antar perusahaan dalam suatu grup yang menimbulkan kerugian pada penerimaan pajak suatu negara. 5. Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Prinsip harga pasar wajar tercermin dalam model perjanjian penghindaran pajak berganda (tax treaty) baik OECD model maupun United Nations (UN) model dijelaskan bahwa kondisi yang tercipta karena adanya hubungan keuangan yang berbeda dibandingkan dengan kondisi hubungan keuangan pada perusahaan yang bersifat independen, kemudian menimbulkan adanya keuntungan yang tidak diakui, maka keuntungan tersebut harus diakui sebagai milik perusahaan tersebut dan dikenakan pajak sesuai dengan yang seharusnya. Secara bisnis komersial, penentuan harga transfer yang tidak sama dengan harga pasar dapat didorong secara murni oleh kebijakan usaha. Beberapa kebijakan tersebut misalnya, motivasi untuk mendapatkan atau memelihara pangsa pasar (market penetration), merangsang produktivitas dan kinerja unit lokal, menaikkan rating perusahaan di negara tertentu, mengatrol gengsi perusahaan asosiasi, meningkatkan bagian laba perusahaan, mengamankan arus kas (cash flows) anak perusahaan dan membina hubungan baik dengan pemerintah (host government) (Gunadi, 1997). 6. Konsep Safe harbour Safe harbour ialah ketentuan yang digunakan untuk meningkatkan aspek kesederhanaan administratif pada transaksi transfer pricing. Beberapa kesulitan dalam menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dapat dihindarkan dengan menyediakan suatu ketentuan dimana wajib pajak dapat mengikuti aturan transfer pricing yang lebih sederhana. Hal ini dibutuhkan bagi wajib pajak tertentu karena penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha tidak relevan dengan transaksi yang dilakukan atau ukuran usaha dari wajib pajak. Safe harbour akan sesuai bila diterapkan pada wajib pajak yang memiliki tingkat risiko rendah atas transaksi yang dilakukan. Nilai safe harbour merupakan nilai yang secara otomatis diakui oleh otoritas pajak akan kewajarannya, sehingga apabila wajib pajak memenuhi persyaratan dalam nilai safe harbour, maka wajib pajak tidak perlu melakukan pembuktian atas kewajaran nilai transaksi transfer pricing yang dilakukan. Ketentuan safe harbour memiliki potensi yang signifikan dalam mengurangi beban kepatuhan wajib pajak

9 dan beban administrasi otoritas pajak, yang menentukan nilai transfer pricing telah sesuai dengan kewajaran (Chandler, Clark dan Vincent, Francois, 2012). Seperti yang dijelaskan dalam konsideran OECD Guidelines, Safe harbour dalam ruang lingkup transfer pricing adalah batasan nilai yang diterapkan untuk mendefinisikan kategori atas wajib pajak atau transaksi yang secara umum membebaskan Wajib Pajak dari kewajiban mematuhi peraturan mengenai transfer pricing (OECD, 2012). Safe harbour memberikan kesederhanaan bagi wajib pajak untuk memenuhi kewajiban mengenai transfer pricing dengan diberikan pengecualian dari kategori wajib pajak atau transaksi yang harus patuh pada peraturan mengenai transfer pricing. Wajib pajak yang memenuhi batasan mengenai safe harbour akan terbebaskan dari kepatuhan kewajiban transfer pricing, termasuk kewajiban untuk menyediakan transfer pricing documentation. Secara konsep, safe harbour merupakan konsep penyederhanaan atau pengecualian dari kewajiban untuk melakukan dokumentasi atas transaksi transfer pricing. Metode Penelitian Dalam mempelajari dan melihat pokok permasalahan, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini selanjutnya akan diperdalam dengan penggunaan metode kualitatif untuk dapat menjawab pertanyaan penelitian yang timbul. Menurut Neuman pada bukunya yang berjudul Basic of Social Research Qualitative and Quantitative Approach dijelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang mengandalkan hasil pemaknaan dan kritis terhadap ilmu sosial, dengan mengikuti arah penelitian yang tidak linear dan berbicara mengenai kasus dan keadaan. Penelitian kualitatif bergerak dengan cara yang tidak lurus berdasarkan tahapan-tahapan penelitian yang ada. Penelitian ini terkadang kembali ke tahapan sebelumnya sebelum melanjutkan ke tahapan berikutnya. Dengan adanya pengulangan tahapan ini, sehingga peneliti dapat memperoleh informasi dan wawasan yang baru dan lebih mendalam (p. 85, 2004). Pilihan pendekatan kualitatif dimaksudkan agar dengan penelitian ini dapat ditemukan suatu pemaknaan dan interpretasi mendalam terhadap pemanfaatan ketentuan safe harbour dalam memberikan penyederhanaan penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha pada transaksi transfer pricing. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan jurnal ini ialah dengan studi pustaka dan wawancara. Dalam melakukan penelitian terhadap pemanfaatan ketentuan safe harbour pada transaksi transfer pricing, pertama-tama peneliti menentukan pertanyaan penelitian yang relevan dengan fenomena penelitian. Selanjutnya peneliti mengumpulkan data

10 dengan melakukan wawancara kepada para informan kunci yang memiliki pengetahuan serta pengalaman yang memadai mengenai fenomena penelitian. Data-data yang diperoleh akan dibandingkan dengan teori yang relevan guna mendapatkan hasil analisis yang tepat. Selanjutnya peneliti akan menarik kesimpulan dari hasil analisis terhadap data-data empiris yang diperoleh dari lapangan dengan pola-pola yang terkandung di dalamnya. Proses pengumpulan data akan dilakukan beberapa kali sampai peneliti memperoleh pemahaman yang bersifat komprehensif mengenai fenomena sosial yang diteliti. Peneliti membatasi penelitian ini pada analisis pemanfaatan ketentuan safe harbour dalam transaksi transfer pricing sebagai salah satu cara penyederhanaan penerapan prinsip harga wajar melalui pendekatan administratif. Penelitian ini dilakukan pada periode Bulan Februari 2013 hingga Juni Dalam membuat analisis, penelitian ini juga membandingkan pemanfaatan ketentuan safe harbour di negara Singapura berdasarkan data sekunder yang telah tersedia, namun fokus analisis tetap berada pada pemanfaatan ketentuan safe harbour yang diterapkan di Indonesia. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Kesesuaian Penerapan Ketentuan Safe harbour Di Indonesia Dengan Ketentuan OECD Guidelines Tahun 2010 Prinsip kewajaran dan kelaziman usaha ialah standar yang diakui secara internasional sebagai prinsip yang paling sesuai dalam menentukkan nilai kewajaran dari transaksi transfer pricing. Prinsip ini menjunjung tinggi nilai kewajaran atas setiap transaksi yang dilakukan, termasuk transaksi yang dilakukan kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Nilai wajar yang dimaksud ialah nilai transaksi yang dilakukan antar pihak yang ditentukan oleh kondisi pasar, dimana transaksi ini akan timbul pada transaksi yang dilakukan kepada pihak independen. Segala tahapan-tahapan proses penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dirangkum pada sebuh dokumen yang disebut dengan transfer pricing documentation. Dokumen ini digunakan oleh wajib pajak sebagai alat untuk membuktikan bahwa transaksi transfer pricing yang dilakukan telah sesuai dengan harga wajar yang berlaku di pasar. Pembuatan transfer pricing documentation membutuhkan proses yang panjang, penilaian yang tepat serta membutuhkan biaya administrasi yang tidak kecil jumlahnya. Hal ini didasarkan pada penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha yang memang sulit untuk

11 diterapkan dari mulai melakukan Function Asset Risk Analysis, mencari data pebanding, sampai dengan pemilihan dan penerapan metode kesebandingan yang akan digunakan. Oleh karena itu, sesuai dengan pedoman yang diberikan oleh OECD bahwa otoritas pajak perlu memperhatikan beban administrasi yang harus ditanggung oleh wajib pajak dalam pembuatan transfer pricing documentation. Beban administrasi yang timbul baik pada otoritas pajak maupun wajib pajak harus seminimal mungkin dalam melaksanakan suatu ketentuan mengenai transfer pricing. Hal yang sama juga perlu dipertimbangkan oleh DJP, bahwa beban administrasi yang harus dikeluarkan untuk membuat transfer pricing documentation harus sebanding dengan nilai risiko kerugian penerimaan pajak yang akan terjadi dari praktik transfer pricing. Maka akan tepat apabila beban untuk membuat transfer pricing documentation hanya untuk wajib pajak yang besar dengan transaksi yang kompleks serta memiliki nilai risiko terjadi penghindaran pajak yang tinggi. Dalam konteks transfer pricing ketentuan safe harbour dapat berguna untuk mengurangi beban administrasi yang harus ditanggung oleh otoritas pajak maupun wajib pajak. Berdasarkan konsideran OECD Guidelines, yang dimaksud dengan safe harbour adalah suatu ketentuan yang diberikan oleh otoritas pajak untuk mendefinisikan kategori wajib pajak ataupun jenis transaksi yang secara umum membebaskan dari kewajiban untuk memenuhi peraturan mengenai transfer pricing. Ketentuan safe harbour terdapat pada pedoman OECD Guidelines tahun 2010 pada Bab IV mengenai Administrative Approaches to Avoiding and Resolving Transfer Pricing Disputes. Secara khusus pada Bab IV huruf E mengatur mengenai pedoman dalam menerapkan safe harbour. Pada OECD Guidelines tahun 2010, pedoman dalam menerapkan ketentuan safe harbour dapat diterapkan dengan penyederhanaan metode transfer pricing atau pemenuhan kriteria wajib pajak tertentu. Di dalam pedoman ini juga menjelaskan terdapat 2 (dua) varian dalam menerapkan safe harbour pada pemenuhan kriteria wajib pajak tertentu. Pertama ialah dengan pengecualian yang didasarkan pada threshold dan kedua ialah penyederhanaan dengan ditentukan rentang harga yang diakui oleh otoritas pajak. Di dalam peraturan domestik Indonesia yang mengatur mengenai transfer pricing, ketentuan safe harbour telah diadopsi untuk pertama kali pada Pasal 3 Ayat (3) PER-43 Tahun 2010 yang menjelaskan mengenai pemberian threshold sebesar Rp ,- (sepuluh juta rupiah) atas transaksi kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Apabila nilai penghasilan atau nilai pengeluaran di bawah nilai tersebut, maka wajib pajak diberi pengecualian atau tidak diwajibkan untuk membuktikan penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Threshold sebesar Rp ,- (sepuluh juta rupiah) tersebut

12 diaplikasikan pada transaksi transfer pricing yang dilakukan pada transaksi domestik dan juga termasuk untuk transaksi lintas batas teritorial. Selanjutnya terjadi penyempurnaan pada PER-43 Tahun 2010 dengan diterbitkannya PER-32 Tahun Di dalam ketentuan baru ini juga terdapat penyempurnaan atas ketentuan yang mengatur mengenai safe harbour. Di dalam Pasal 3 Ayat (4) PER-32 Tahun 2011 terdapat peningkatan pada jumlah nilai yang diberikan oleh DJP, dari sebelumnya sebesar Rp ,- (sepuluh juta rupiah) ditingkatkan menjadi sebesar Rp ,- (sepuluh milyar rupiah). Bentuk safe harbour ini berupa threshold yang diberikan kepada wajib pajak yang melakukan transaksi transfer pricing kepada setiap 1 (satu) pihak dalam 1 (satu) tahun pajak tidak lebih dari nilai Rp (sepuluh milyar rupiah). Berdasarkan OECD Guidelines Tahun 2010, terdapat beberapa indikator pendukung untuk menerapkan ketentuan safe harbour pada peraturan transfer pricing. Berikut faktorfaktor pendukung dibandingkan dengan penerapan safe harbour di Indonesia: Tabel 2 Kesesuaian Faktor Pendukung Safe harbour Dalam OECD Guidelines 2010 Dengan Penerapan Safe harbour Di Indonesia Faktor Pendukung Compliance Relief Certainty OECD Guidelines Memberikan kemudahan kepada wajib pajak untuk mematuhi peraturan transfer pricing dengan dikecualikan dari pembuatan transfer pricing documentation. Memberi kepastian kepada wajib pajak bahwa nilai transaksi transfer pricing yang dilakukan secara otomatis diakui kewajarannya oleh otoritas pajak. Dengan demikian, otoritas pajak tidak akan melakukan pemeriksaan atau melakukan pemeriksaan secara terbatas pada transaksi transfer pricing tersebut. Indonesia Bagi wajib pajak yang memiliki nilai transfer pricing tidak lebih dari Rp ,- (sepuluh milyar rupiah) tidak diwajibkan untuk membuktikan penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha melalui pembuatan transfer pricing documentation. Transaksi transfer pricing yang dilakukan oleh wajib pajak tidak secara otomatis diakui kewajarannya oleh DJP karena tidak ada keterangan lanjutan bahwa DJP tidak akan melakukan pemeriksaan terhadap transaksi transfer pricing tersebut. Walaupun transaksi yang dilakukan oleh wajib pajak telah memenuhi ketentuan safe harbour,

13 Administrative Simplicity Meringankan beban administrasi bagi otoritas pajak, karena ketentuan safe harbour dapat memberikan ruang kepada otoritas pajak hanya untuk fokus pada transaks-transaksi yang memiliki risiko penghindaran pajak yang tinggi. Bagi wajib pajak juga mendapatkan kesederhanaan dalam pembuktian transaksi transfer pricing yang dilakukan karena tidak diwajibkan untuk membuat transfer pricing documentation secara detail. namun penyederhanaan yang diberikan hanya pada dikeculikan untuk membuat transfer pricing documentation. Ketentuan safe harbour memberikan keringanan administrasi bagi terbatasnya sumber daya DJP dalam menangani praktik transfer pricing. Pemeriksa transfer pricing DJP yang jumlahnya masih terbatas dapat hanya fokus pada transaksi transfer pricing yang nilainya di atas Rp ,- (sepuluh milyar rupiah). Bagi wajib pajak menjadi lebih sederhana karena penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha yang dilakukan tidak perlu dibuktikan dengan transer pricing documentation. Disamping itu selain faktor pendukung terdapat beberapa dampak negatif dari penerapan ketentuan safe harbour. Berikut perbandingan dampak negatif penerapan safe harbour dalam OECD Guidelines 2010 dengan penerapan safe harbour di Indonesia: Tabel 3 Kesesuaian Dampak Negatif Safe harbour Dalam OECD Guidelines 2010 Dengan Penerapan Safe harbour Di Indonesia Dampak Negatif Double Taxation OECD Guidelines Penerapan ketentuan safe harbour pada suatu negara, dapat menimbulkan dampak double taxation apabila terjadi koreksi pada negara lawan koreksi. Penyesuaian koreksi yang dilakukan karena negara lawan transaksi tidak dapat menerima nilai kewajaran yang ditetapkan berdasarkan safe harbour negara sumber. Indonesia Penerapan safe harbour di Indonesia berupa threshold, tidak akan menimbulkan dampak double taxation. Hal ini dikarenakan threshold yang diterapkan Indonesia bukan sebagai representasi dari harga wajar suatu transaksi. Tax Planning Penerapan safe harbour dapat Penerapan safe harbour di Indonesia

14 Untuk Tujuan Tax Avoidance Diskriminasi Pajak membuka peluang untuk terjadinya tax planning untuk tujuan penghindaran pajak. Dalam skala yang besar penghindaran pajak ini akan berakibat pada kerugian negara karena kehilangan penerimaan pajak. Isu mengenai keseragaman dan kesamaan akan timbul dari adanya penerapan ketentuan safe harbour. Untuk jenis transaksi yang sama akan menimbulkan perlakuan pajak yang berbeda, hal ini yang akan mengakibatkan diskriminasi dan mengganggu kompetisi usaha yang sehat. berupa threshold sebesar Rp ,- (sepuluh milyar rupiah) dinilai belum cukup materil untuk dilakukannya tax planning tetapi dengan tidak adanya pembatasan lanjutan selain nilai transaksi, masih terbukanya peluang untuk dilakukan tax planning oleh wajib pajak besar untuk tujuan penghindaran pajak. Tidak adanya keterangan lanjutan mengenai ketentuan safe harbour yang diterapkan di Indonesia yang hanya terbatas pada total nilai transaksi, akan memberikan perbedaan perlakuan pajak bagi wajib pajak dan jenis transaksi yang memiliki karakteristik yang sama. Wajib pajak yang memiliki nilai transaksi di atas Rp (sepuluh milyar rupiah) tetapi memiliki keuntungan yang wajar tidak dapat memanfaatkan ketentuan safe harbour. Begitu juga sebaliknya, bagi wajib pajak yang memiliki nilai transaksi di bawah Rp (sepuluh milyar rupiah) tetapi memiliki nilai keuntungan yang tidak wajar dapat memanfaatkan ketentuan safe harbour. 2. Perbandingan Penerapan Ketentuan Safe harbour Antara Indonesia Dengan Singapura Guna memperdalam analisis, di dalam jurnal ini juga dilakukan perbandingan penerapan ketentuan safe harbour antara penerapan di Indonesia dengan Singapura. Perbedaan yang tampak ialah jenis safe harbour yang diterapkan serta terdapat pedoman tersendiri dalam mengaplikasikan ketentuan safe harbour di Singapura yaitu transfer pricing guidelines for related party loans dan transfer pricing guidelines for related party services. Sebagai perbandingan dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

15 Tabel 4 Kesesuaian Dampak Negatif Safe harbour Dalam OECD Guidelines 2010 Dengan Penerapan Safe harbour Di Indonesia Keterangan Indonesia Singapura Jenis harbour Safe Nilai ambang batas (threshold) Rentang harga nilai wajar dan pengecualian Peruntukkan Safe harbour Bentuk Penyederhanaan Untuk seluruh jenis transaksi Total transaksi dalam 1 (satu) tahun kepada 1 (pihak) dengan total nilai dibawah Rp (sepuluh milyar) dikecualikan dari kewajiban pembuktian penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha melalui transfer pricing documentation. Untuk transaksi pinjaman dan jasa dengan nilai tambah yang rendah Transaksi pinjaman domestik diberikan batasan biaya bunga yang diperbolehkan sebagai representasi dari nilai wajar. Transaksi pinjaman cross-border, diwajibkan untuk membuktikan kewajaran melalui transfer pricing documentation. Pedoman Aplikasi Tidak Ada Nilai wajar yang dapat diterima oleh IRAS untuk transaksi intragroup services sebesar mark-up 5%, sepanjang jasa tersebut juga diberikan kepada pihak independen. Transfer pricing guidelines for related party loans. Transfer pricing guidelines for related party services. 3. Upaya-Upaya Penerapan Ketentuan Safe harbour Agar Dapat Mengakomodir Kepentingan Wajib Pajak Dan Otoritas Pajak. Ketentuan safe harbour dapat menghadirkan hasil positif apabila ditempat secara tepat untuk menangani kesulitan penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Di lain sisi, penerapan safe harbour yang kurang tepat juga akan menghadirkan dampak yang negatif bagi wajib pajak maupun otoritas pajak. Berikut beberapa upaya yang dapat diterapkan agar

16 ketentuan safe harbour dapat dimanfaatkan bagi wajib pajak maupun otoritas pajak, khususnya untuk penerapan safe harbour di Indonesia. a. Memantau Nilai Threshold Yang Sesuai Dengan Perkembangan Perekonomian Indonesia Ketentuan safe harbour diterapkan pada kondisi yang tepat agar baik wajib pajak maupun otoritas pajak dapat merasakan dampak positif yang ditawarkan dari ketentuan tersebut. Kondisi perekonomian akan sangat mempengaruhi nilai transaksi yang dilakukan oleh wajib pajak. Oleh karena itu, penetapan nilai safe harbour yang ditetapkan oleh otoritas pajak, selalu mengikuti perkembangan perekonomian yang terjadi. Tujuan ditetapkannya suatu kententuan safe harbour ialah untuk dapat dimanfaatkan oleh wajib pajak maupun otoritas pajak dalam mengurangi beban adminsitrasi yang harus ditanggung. Dengan demikian, akan sangat penting untuk menetapkan nilai safe harbour dengan terus selalu memantau perkembangan perekonomian yang terjadi di Indonesia sehingga nilai threshold yang diberikan sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh wajib pajak maupun otoritas pajak. Dengan begitu, hasil pantauan ini menjadi dasar bagi DJP dalam melakukan update nilai threshold safe harbour sebagai representasi dari nilai wajar. Nilai threshold saat ini yang ditetapkan oleh DJP sebesar Rp ,- (sepuluh milyar rupiah) belum disertai dengan dasar yang jelas atas penentuan nilai tersebut. b. Meningkatkan Kualitas Dan Kuantitas Sumber Daya Manusia DJP Yang Menangani Transaksi Transfer Pricing Transfer pricing merupakan praktik transaksi yang memiliki ruang lingkup luas berskala internasional, transaksi yang dilakukan tidak hanya terjadi pada satu negara melainkan melibatkan negara-negara lain sebagai lawan transaksi. Transaksi ini juga dapat menimbulkan risiko pada kerugian negara apabila digunakan sebagai bentuk penghindaran pajak. Dibutuhkan sumber daya manusia yang cukup yang dimiliki otoritas pajak untuk menangani transaksi transfer pricing. Sumber daya manusia yang dimiliki otoritas pajak tidak hanya cukup dari sisi jumlah tetapi juga harus dibekali dengan pengetahuan dan keahlian yang memumpuni untuk mengatasi kompleksnya transaksi transfer pricing. Peningkatan yang dimaksud dapat berupa rekrutmen pemeriksa transfer pricing yang ketat serta pemberian pelatihan dan pendidikan di dalam maupun luar negeri secara berkala.

17 Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan Kantor Pusat DJP telah membentuk subbidang khusus yang menangani transaksi transfer pricing. Sub bidang ini tidak secara tidak langsung menangani pemeriksaan praktik transfer pricing melainkan sebagai fasilitator dari pemeriksapemeriksa transfer pricing yang ada di Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Pengetahuan dan keahlian pemeriksa transaksi transfer pricing sangat menentukkan penilaian atas hasil pemeriksaan yang dilakukan. Dibutuhkan kemampuan dan keahlian yang merata pada setiap pemeriksa transfer pricing, terutama bagi pemeriksa-pemeriksa KPP yang berhubungan langsung dengan wajib pajak. Dimilikinya kapabilitas yang baik dari pemeriksa pajak akan menghasilkan penilaian atas transaksi transfer pricing yang lebih tepat. Penilaian pemeriksa pajak terhadap transaksitransaksi yang sekiranya telah memenuhi ketentuan safe harbour tidak perlu dilakukan pemeriksaan secara detail oleh pemeriksa. Hal ini akan mendukung tujuan dari ditetapkannya ketentuan safe harbour yaitu mengurangi beban administrasi DJP, dengan mengalihkan fokus pada transaksi transfer pricing yang memiliki tingkat risiko tinggi.

18 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Pada dasarnya penerapan ketentuan safe harbour di Indonesia telah sesuai dengan pedoman yang diberikan oleh OECD. Di dalam OECD Guidelines Tahun 2010, penerapan safe harbour dapat diterapkan dalam bentuk threshold sebagaimana yang telah diterapkan oleh Indonesia dengan menetapkan threshold dari nilai transaksi kepada 1 (satu) pihak dalam 1 (satu) tahun pajak sebesar Rp ,- (sepuluh milyar rupiah). Penerapan safe harbour di Indonesia telah menemui beberapa kesesuaian dengan indikator pendukung penerapan safe harbour yang tertera pada OECD Guidelines Tahun Penerapan safe harbour di Indonesia telah memenuhi indikator pendukung compliance relief dan administrative simplicity, namun belum dapat memenuhi indikator certainty karena belum adanya kepastian pada wajib pajak bahwa nilai transaksi yang dilakukan akan diterima secara otomatis oleh DJP. Sehubungan dengan dampak buruk yang dapat terjadi yang terdapat pada OECD Guidelines Tahun 2010, penerapan safe harbour di Indonesia dapat menemui kendala dengan terbukanya tax planning untuk tujuan tax avoidance dan dapat terjadinya diskriminasi pajak. 2. Perbandingan dengan Singapura menunjukkan penerapan ketentuan safe harbour yang berbeda. Apabila indonesia menerapkan ketentuan safe harbour berupa threshold dari keseluruhan nilai transaksi sebesar Rp ,- (sepuluh milyar rupiah), sedangkan ketentuan safe harbour yang diterapkan di Singapura berdasarkan jenis transaksi, yaitu transaksi pinjaman dan jasa dengan nilai tambah yang rendah. Singapura dalam melaksanakan ketentuan safe harbour memberikan pedoman tersendiri terpisah dari peraturan umum mengenai transfer pricing. Pedoman yang diberikan oleh IRAS untuk penerapan safe harbour yaitu transfer pricing guidelines for related party loans dan transfer pricing guidelines for related party services. Bentuk

19 penyederhanaan yang diberikan untuk penerapan safe harbour di Indonesia ialah untuk nilai transaksi dibawah Rp ,- (sepuluh milyar rupiah) tidak diwajibkan untuk membuat transfer pricing documentation. Sedangkan bentuk penyederhanaan yang diberikan atas penerapan safe harbour di Singapura ialah untuk related domestic loans akan dibatasi jumlah biaya yang dapat dibebankan oleh wajib pajak sebagai representasi dari nilai wajar dan bentuk penyederhanaan pada related party services yaitu nilai jasa dengan mark-up sebesar 5% akan secara otomatis diterima oleh IRAS. 3. Upaya yang dilakukan oleh DJP dalam menerapkan ketentuan safe harbour yang dapat mengakomodir kepentingan wajib pajak dan otoritas pajak ialah dengan memantau nilai safe harbour disesuaikan dengan perkembangan perekonomian Indonesia yang ada. Hal ini dilakukan oleh DJP dengan dilakukan penyempurnaan pada PER-43 Tahun 2010 menjadi PER-32 Tahun 2011 dengan peningkatan nilai threshold menjadi Rp ,- (sepuluh milyar rupiah). Dalam rangka peningkatan jumlah pegawai pajak termasuk penambahan jumlah pemeriksa pajak, DJP menargetkan akan menambah sebanyak pegawai yang akan dilakukan pada tahun 2013 sampai dengan tahun Peningkatan kualitas pengetahuan dan keahlian pemeriksa transfer pricing, saat ini dilakukan secara terpusat pada sub bidang transfer pricing direktorat pemeriksaan dan penagihan kantor pusat DJP. Selanjutnya, kantor pusat akan melakukan pendistribusian pengetahuan melalui sosialisasi dan penerbitan surat edaran. Saran Adapun saran yang dapat diberikan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ada adalah sebagai berikut: 1. Dalam menerapkan ketentuan safe harbour sebaiknya DJP lebih memperhatikan setiap ketentuan yang ada pada OECD Guidelines untuk melakukan penyesuaian atas setiap penjelasan yang ada. DJP harus lebih tanggap untuk melakukan penyesuaian terhadap segala perubahan yang terjadi pada OECD Guidelines, termasuk penyesuaian atas revisi ketentuan safe harbour pada OECD Guidelines yang telah disetujui pada tanggal 16 Mei Penyesuaian yang dilakukan dapat dengan melakukan penyempurnaan atas ketentuan safe harbour pada PER-32 Tahun 2011 dengan lebih spesifik menjelaskan kategori wajib pajak seperti apa yang ditujukan untuk memanfaatkan ketentuan safe harbour dan mencoba menggali lebih jauh penerapan ketentuan safe harbour lain yang

20 mencerminkan harga wajar dari suatu transaksi, misalnya bunga wajar dari transaksi pinjaman. Dengan adanya penyesuaian dengan OECD Guidelines, diharapkan sistem perpajakan Indonesia dapat mendapatkan manfaat yang diberikan serta dapat mengantisipasi dampak buruk yang mungkin akan terjadi. 2. Dalam penerapan safe harbour ada baiknya Indonesia meniru penerapan safe harbour yang dilakukan di Singapura. Dalam penerapan ketentuan safe harbour, IRAS memberikan suatu pedoman tersendiri yang khusus menjelaskan mengenai penerapan ketentuan safe harbour di Singapura. Pedoman tersendiri ini juga sebaiknya diberikan oleh DJP untuk memberi kejelasan kepada wajib pajak dalam penerapan ketentuan safe harbour maupun penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha secara keseluruhan. Pedoman yang diberikan dapat berupa lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Dirjen Pajak. 3. Pemantauan nilai threshold safe harbour yang dilakukan oleh DJP sebaiknya perlu mempertimbangkan tingkat inflasi serta memahami praktik bisnis yang benar-benar terjadi di lapangan. Dengan demikian, nilai threshold safe harbour yang diberikan dapat merepresentasikan wajib pajak tertentu yang perlu dilindungi misalnya Unit Usaha Kecil dan Menengah (UMKM). Dalam rangka meningkatkan kuantitas sumber daya manusia DJP yang khusus menangani transfer pricing, DJP sebaiknya melakukan rekrutmen yang ketat terhadap calon pemeriksa transfer pricing, seperti seleksi berdasarkan pengalaman, psikotest, serta kemampuan bahasa inggris yang harus memadai. Dalam meningkatkan kualitas pengetahuan dan keahlian pemeriksa transfer pricing DJP, sebaiknya pelatihan dan pendidikan yang diberikan termasuk pendidikan di luar negeri untuk mengetahui perkembangan praktik transfer pricing yang terjadi serta pendidikan dilakukan secara merata pada pemeriksa KPP karena pemeriksa KPP yang berhubungan langsung dengan wajib pajak.

21 Daftar Referensi Besanko, David et.al. (2003). Economics of Strategy, third edition. The United State of America: John Wiley & Sons, Inc. Chandler, Clark dan Vincent, Francois. (2012). KPMG Comments on Proposed Revision of The Section on Safe harbour in OECD Transfer Pricing Guidelines Darussalam dan Danny. (2008). Konsep dan Aplikasi Cross Border Transfer Pricing untuk tujuan perpajakan. Jakarta: Danny Darussalam Tax Center Ernst & Young s. (2010). globalization. Global transfer pricing survey addressing the challenges of Gunadi. (1994). Tranfer Pricing: suatu tinjauan Akuntansi, Manajemen, Pajak. Jakarta: PT Bina Rena Pariwara, (1997). Pajak Internasional. Depok: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI Neuman, W.L. (2004). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approach. Boston: Ally and Bacon OECD, Discussion Draft Proposed Revision of The Section on Safe harbours in Chapter IV of The OECD Transfer Pricing Guidelines, 2012 Rahayu, Ning dan Santoso, Iman. Bunga Rampai Perpajakan Indonesia. Depok: FISIP UI Pers. Rahayu, Ning. Praktik Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)Pada Foreign Direct Investment Yang Berbentuk Subsidiary Company (PT PMA) Di Indonesia (Suatu Kajian Tentang Kebijakan Anti Tax Avoidance), Disertasi Doktor Universitas Indonesia, 2008 Spitz, Barry. (1983). International Tax Planning, London: Butterworths

BABl PENDAHULUAN. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita makin dominan sehingga

BABl PENDAHULUAN. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita makin dominan sehingga - ',' BABl PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam beberapa tahun terakhir 1m, penerimaan pajak dalam pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita makin dominan sehingga diharapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pesatnya pertumbuhan kegiatan ekonomi internasional turut merangsang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pesatnya pertumbuhan kegiatan ekonomi internasional turut merangsang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pesatnya pertumbuhan kegiatan ekonomi internasional turut merangsang berkembangnya perusahaan multinasional. Dalam perusahaan multinasional terjadi berbagai

Lebih terperinci

19 Juni 2014 Hotel Bidakara, Jakarta Juni 2014 Training Room Ortax Read More...

19 Juni 2014 Hotel Bidakara, Jakarta Juni 2014 Training Room Ortax Read More... Tax Aspect on Production Sharing Contract (PSC) 19 Juni 2014 Audit dan Keberatan Kepabeanan dan Cukai Basic Transfer Pricing 23 Juni 2014 Training Room Ortax 08.30 16.00 26 28 Juni 2014 Training Room Ortax

Lebih terperinci

07 Juni 2014 Hotel Bidakara, Jakarta Read More...

07 Juni 2014 Hotel Bidakara, Jakarta Read More... Pengelolaan Komprehensif dan Pemeriksaan PPh Potput Updating Aspek Praktis PPN & Kupas Tuntas Faktur Pajak 21 Mei 2014 24 Mei 2014 Aspek Perpajakan Merger, Akuisisi dan Holding Comprehensive Tax Planning

Lebih terperinci

Comprehensive Tax Planning 2014

Comprehensive Tax Planning 2014 Updating Manajemen Pemeriksaan Pajak dan Penyelesaian Sengketa Pajak 5 Juli 2014 Training Room Ortax 08.30 16.00 Updating Teknik Praktis Faktur Pajak (efaktur Pajak) Sesuai PER-16/PJ/2014 dan PER- 17/PJ/2014

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan Controlled Foreign..., Stenny Mariani Lumban Tobing, FISIP UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan Controlled Foreign..., Stenny Mariani Lumban Tobing, FISIP UI, 2008 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Globalisasi dunia yang cepat dan dinamis telah mengakibatkan hubungan perdagangan internasional semakin terbuka luas dan semakin ekstensif yang ditandai dengan terbentuknya

Lebih terperinci

19 Juni 2014 Hotel Bidakara, Jakarta Juni 2014 Training Room Ortax Read More...

19 Juni 2014 Hotel Bidakara, Jakarta Juni 2014 Training Room Ortax Read More... Tax Aspect on Production Sharing Contract (PSC) 19 Juni 2014 Audit dan Keberatan Kepabeanan dan Cukai Basic Transfer Pricing 23 Juni 2014 Training Room Ortax 08.30 16.00 26 28 Juni 2014 Training Room Ortax

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa transfer pricing dilakukan antara

BAB I PENDAHULUAN. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa transfer pricing dilakukan antara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adanya perusahaan multinasional membuat transfer sumber daya (baik berupa barang, jasa, laba, maupun aset) tidak hanya dilakukan antardivisi namun juga antarperusahaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perekonomian saat ini telah berkembang pesat mengikuti globalisasi perekonomian dunia. Dengan adanya globalisasi yang semakin marak ini membuat perusahaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan tinggi dalam

BAB I PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan tinggi dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan tinggi dalam perdagangan lintas negara, terutama dipengaruhi oleh kehadiran perusahaan multinasional (Multinational

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Perkembangan ekonomi mengakibatkan transaksi perdagangan dan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Perkembangan ekonomi mengakibatkan transaksi perdagangan dan kegiatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkembangan ekonomi mengakibatkan transaksi perdagangan dan kegiatan perekonomian dapat dengan mudah melintasi batas territorial suatu Negara (Gunadi, 2007).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh perusahaan nasional atau internasional di perlukan dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. oleh perusahaan nasional atau internasional di perlukan dalam rangka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Efisiensi dan efektivitas yang merupakan strategi utama dalam pencapaian laba setinggi-tingginya diperlukan dalam setiap perusahaan. Strategi utama seperti itu oleh

Lebih terperinci

19 Juni 2014 Hotel Bidakara, Jakarta Read More Juni 2014 Training Room Ortax Read More

19 Juni 2014 Hotel Bidakara, Jakarta Read More Juni 2014 Training Room Ortax Read More Tax Aspect on Production Sharing Contract (PSC) Audit dan Keberatan Kepabeanan dan Cukai 19 Juni 2014 23 Juni 2014 Training Room Ortax 08.30 16.00 Read More Updating Manajemen Pemeriksaan Pajak dan Penyelesaian

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii PERNYATAAN ORISINALITAS... iii KATA PENGANTAR... iv ABSTRAK... vi DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Globalisasi yang berkembang dengan cepat membuat kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, transportasi, sistem informasi hingga perekonomian sehingga kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan penting dalam Anggaran

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan penting dalam Anggaran 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan penting dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, karenanya pajak setiap tahun dituntut untuk terus meningkat

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 32/PJ/2011 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 32/PJ/2011 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 32/PJ/2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-43/PJ/2010 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA DALAM TRANSAKSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. investor asing berkenaan dengan permasalahan utama bagi setiap investor untuk

BAB I PENDAHULUAN. investor asing berkenaan dengan permasalahan utama bagi setiap investor untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Persaingan untuk menarik investor asing menanamkan modalnya pada suatu negara semakin ketat. Oleh karena itu, negara juga secara aktif mempromosikan negaranya

Lebih terperinci

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

DIREKTUR JENDERAL PAJAK, PERATURAN DIRJEN PAJAK NOMOR PER-43/PJ/2010 TANGGAL 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA DALAM TRANSAKSI ANTARA WAJIB PAJAK DENGAN PIHAK YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA

Lebih terperinci

2016, No pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia; b. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (2) P

2016, No pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia; b. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (2) P BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2120, 2016 KEMENKEU. Wajib Pajak. Jenis Dokumen. Informasi Tambahan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 213/PMK.03/2016 TENTANG JENIS DOKUMEN DAN/ATAU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Persaingan yang dihadapi di era globalisasi ini, menuntut perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Persaingan yang dihadapi di era globalisasi ini, menuntut perusahaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Persaingan yang dihadapi di era globalisasi ini, menuntut perusahaan untuk melakukan pengembangan pasar untuk meningkatkan permintaan pasar. Permintaan pasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi saat ini semakin memudarkan batas geografis antar negara

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi saat ini semakin memudarkan batas geografis antar negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era globalisasi saat ini semakin memudarkan batas geografis antar negara di dunia. Berdasarkan cara pandang tersebut, para pengusaha dari berbagai negara dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipergunakan secara bijak untuk keperluan belanja Negara. Namun daripada itu, banyak

BAB I PENDAHULUAN. dipergunakan secara bijak untuk keperluan belanja Negara. Namun daripada itu, banyak BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian Pajak merupakan alat pemasukan Negara yang utama dan sepenuhnya dipergunakan secara bijak untuk keperluan belanja Negara. Namun daripada itu, banyak perusahaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya perkembangan teknologi informasi dan semakin majunya

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya perkembangan teknologi informasi dan semakin majunya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Meningkatnya perkembangan teknologi informasi dan semakin majunya ekonomi suatu negara tentu akan memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk membangun bisnis

Lebih terperinci

Implementasi Perencanaan Pajak Melalui Transfer Pricing atas Intra Group Services Pada Perusahaan Multinasional Berbentuk Subsidiary Company

Implementasi Perencanaan Pajak Melalui Transfer Pricing atas Intra Group Services Pada Perusahaan Multinasional Berbentuk Subsidiary Company Implementasi Perencanaan Pajak Melalui Transfer Pricing atas Intra Group Services Pada Perusahaan Multinasional Berbentuk Subsidiary Company Almizzi Valderani Yunitianti dan Ning Rahayu Ilmu Administrasi

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7/PMK.03/2015 TENTANG

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7/PMK.03/2015 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7/PMK.03/2015 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN DAN PELAKSANAAN KESEPAKATAN HARGA TRANSFER (ADVANCE PRICING AGREEMENT)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batas negara yang telah membawa dampak pada kemajuan yang pesat di segala

BAB I PENDAHULUAN. batas negara yang telah membawa dampak pada kemajuan yang pesat di segala BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan perekonomian berkembang tanpa mengenal batas negara yang telah membawa dampak pada kemajuan yang pesat di segala bidang. Salah satunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membiayai belanja negara. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pajak,

BAB I PENDAHULUAN. membiayai belanja negara. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pajak, BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Sebagai bentuk iuran kepada negara yang disahkan oleh undang-undang dan bersifat memaksa, pajak memiliki dua fungsi yaitu fungsi reguler dan fungsi budgetair

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dari sudut pandang perencanaan pajak, pajak dari keuntungan sebuah perusahaan multinasional di banyak negara dibagi menjadi dua prinsip yang utama, yaitu the company-by-company

Lebih terperinci

Reguler Training Bulan Mei Desember 2017

Reguler Training Bulan Mei Desember 2017 Tgl Pelaksanaan Reguler Training Bulan Mei Desember 2017 Judul Details MEI 03/05/2017 Laporan Keuangan dan Akuntansi Pajak details 06/05/2017 Manajemen Pemeriksaan dan Litigasi Pajak details 06/05/2017

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bebasnya jalur bisnis di jaman sekarang dan adanya fenomena globalisasi menyebabkan munculnya banyak perusahaan multinasional di Indonesia. Perpajakan yang berbeda

Lebih terperinci

MAKALAH PAJAK INTERNASIONAL MODEL PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

MAKALAH PAJAK INTERNASIONAL MODEL PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA MAKALAH PAJAK INTERNASIONAL MODEL PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA Oleh : Misdawati 1110531019 Risa Kurnia 1210532063 JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS ANDALAS 2015 BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara membuat arus transaksi perdagangan antarnegara juga semakin mudah dan

BAB I PENDAHULUAN. negara membuat arus transaksi perdagangan antarnegara juga semakin mudah dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan perekonomian yang semakin pesat tanpa mengenal batas negara membuat arus transaksi perdagangan antarnegara juga semakin mudah dan lancar, dimana

Lebih terperinci

SILABUS MATA AJAR PERPAJAKAN 3 SKS

SILABUS MATA AJAR PERPAJAKAN 3 SKS SILABUS MATA AJAR PERPAJAKAN 3 SKS Deskripsi dan Tujuan Mata ajaran ini bertujuan untuk membahas berbagai peraturan perpajakan yang berlaku serta pengaruhnya perusahaan dan penyajian kewajaran penyajian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Struktur modal merupakan perimbangan jumlah utang, saham

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Struktur modal merupakan perimbangan jumlah utang, saham BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Struktur modal merupakan perimbangan jumlah utang, saham preferen dan saham biasa, sehingga kebijakan struktur modal mempunyai peran yang cukup penting bagi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Dalam penelitian ilmiah, metodologi penelitian merupakan tata cara untuk memahami objek yang dibahas dimana metode penelitian didefinisikan sebagai cara ilmiah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penentuan status..., Benny Mangoting, FH UI, 2010

BAB 1 PENDAHULUAN. Penentuan status..., Benny Mangoting, FH UI, 2010 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemajakan atas suatu penghasilan secara bersamaan oleh negara domisili 1 dan sumber 2 menimbulkan pajak ganda internasional (international double taxation). Oleh para

Lebih terperinci

Analisis penerapan Advance Pricing Agreement di Indonesia dan Singapura

Analisis penerapan Advance Pricing Agreement di Indonesia dan Singapura Analisis penerapan Advance Pricing Agreement di Indonesia dan Singapura Yudistira Aria Satyakusuma dan Ning Rahayu Ilmu Administrasi Fiskal Program Ekstensi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pajak merupakan sektor pemasukan tersebesar kas negara. Penerimaan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pajak merupakan sektor pemasukan tersebesar kas negara. Penerimaan BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pajak merupakan sektor pemasukan tersebesar kas negara. Penerimaan negara dari sektor pajak memegang peranan yang sangat penting untuk kelangsungan sistem pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendorong transaksi internasional atau sering disebut dengan cross border

BAB I PENDAHULUAN. mendorong transaksi internasional atau sering disebut dengan cross border 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Fenomena globalisasi dalam dunia bisnis yang terjadi saat ini telah mendorong transaksi internasional atau sering disebut dengan cross border transaction

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung terusmenerus

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung terusmenerus 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia sebagai negara berkembang membutuhkan dana pembangunan. Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung terusmenerus dan berkesinambungan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Globalisasi ekonomi mengakibatkan semakin meningkatnya transaksi internasional. Kemudahan interaksi dan komunikasi mendorong kecepatan arus barang, jasa dan investasi

Lebih terperinci

Transfer Pricing dan Risikonya Terhadap Penerimaan Negara. Oleh: Hadi Setiawan 1

Transfer Pricing dan Risikonya Terhadap Penerimaan Negara. Oleh: Hadi Setiawan 1 Pendahuluan Transfer Pricing dan Risikonya Terhadap Penerimaan Negara Oleh: Hadi Setiawan 1 Beberapa waktu yang lalu kita dihebohkan dengan kasus yang menimpa Google di Inggris, Starbucks Inggris, Amazon

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, maka regulasi dokumentasi transfer pricing di Indonesia sebaiknya mencakup, memuat dan/atau mengatur hal hal sebagai berikut :

Lebih terperinci

ANALISIS PERBEDAAN PERLAKUAN PENERAPAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN Dedi Haryanto

ANALISIS PERBEDAAN PERLAKUAN PENERAPAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN Dedi Haryanto ANALISIS PERBEDAAN PERLAKUAN PENERAPAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 46 TAHUN 2013 Oleh : Dedi Haryanto BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembayaran pajak merupakan perwujudan kenegaraan dan peranserta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang digunakan untuk membiayai berbagai pengeluaran negara.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang digunakan untuk membiayai berbagai pengeluaran negara. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pajak merupakan salah satu pendapatan negara yang berasal dari masyarakat yang digunakan untuk membiayai berbagai pengeluaran negara. Pendapatan dari sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehubungan dengan investasi, salah satunya adalah transfer pricing. Meskipun beberapa

BAB I PENDAHULUAN. sehubungan dengan investasi, salah satunya adalah transfer pricing. Meskipun beberapa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin majunya era globalisasi menyebabkan perekonomian berkembang tanpa mengenal batas negara. Perusahaan multinasional akan menghadapi masalah perbedaan tarif pajak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang terbesar, terbukti. (http://www.kemenkeu.go.id/laporan-keuangan-pemerintahpusat,

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang terbesar, terbukti. (http://www.kemenkeu.go.id/laporan-keuangan-pemerintahpusat, perpajakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang terbesar, terbukti dari data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2010-2014 bahwa sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan perekonomian dewasa ini, pajak merupakan suatu hal yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan perekonomian dewasa ini, pajak merupakan suatu hal yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Balakang Penelitian Dalam kehidupan perekonomian dewasa ini, pajak merupakan suatu hal yang harus dikelola dengan baik kerena setiap orang tidak dapat mengindarkan dirinya dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Panama papers yang merupakan fenomena bocornya kumpulan 11,5 juta

BAB I PENDAHULUAN. Panama papers yang merupakan fenomena bocornya kumpulan 11,5 juta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Panama papers yang merupakan fenomena bocornya kumpulan 11,5 juta dokumen rahasia yang dibuat oleh penyedia jasa perusahaan (firma) asal Panama, Amerika Latin yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah mengandalkan berbagai pemasukan negara sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah mengandalkan berbagai pemasukan negara sebagai sumber BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia yang notabenenya masih tergolong sebagai negara berkembang tentunya masih berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri.

BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pajak merupakan sumber penerimaan yang sangat penting artinya bagi perekonomian suatu Negara. Demikian juga dengan Indonesia sebagai negara yang sedang membangun,

Lebih terperinci

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil analisis dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil analisis dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: BAB VI SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan hasil analisis dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Praktik-praktik penghindaran pajak (tax avoidance) yang pada umumnya dilakukan oleh Foreign

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan perekonomian di dunia terjadi dengan pesat. Demikian pula perekonomian di Indonesia. Perkembangan ini memberikan dampak semakin meningkatnya transaksi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perekonomian dunia saat ini mengacu kepada perekonomian global.tidak dapat dipungkiri bahwa globalisasi kian hari kian menyeluruh.arus informasi dan transaksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Erly Suandy (2008), dari segi ekonomi, pajak merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Erly Suandy (2008), dari segi ekonomi, pajak merupakan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian Menurut Erly Suandy (2008), dari segi ekonomi, pajak merupakan pemindahan sumber daya dari sektor privat (perusahaan) ke sektor publik. Pemindahan sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. warga negara untuk menunjang pembangunan. Kegiatan kenegaraan sulit

BAB I PENDAHULUAN. warga negara untuk menunjang pembangunan. Kegiatan kenegaraan sulit BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sudah menjadi informasi umum bahwa salah satu sumber pemasukan negara yang cukup menjanjikan adalah dari sektor pajak. Pajak merupakan salah satu sumber keuangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penerimaan dari sektor pajak adalah penyangga utama Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Oleh karena itu, seiring dengan tuntutan pembangunan yang diakomodir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun pengeluaran pembangunan. Pentingnya penerimaan pajak terhadap

BAB I PENDAHULUAN. maupun pengeluaran pembangunan. Pentingnya penerimaan pajak terhadap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bagi negara, pajak adalah salah satu sumber penerimaan yang penting yang akan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran

Lebih terperinci

LAMPIRAN KHUSUS SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN

LAMPIRAN KHUSUS SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN 0 A DAFTAR PENYUSUTAN DAN AMORTISASI FISKAL NPWP : NAMA WAJIB PAJAK : BULAN / HARGA NILAI SISA BUKU FISKAL METODE PENYUSUTAN / AMORTISASI KELOMPOK / JENIS HARTA TAHUN PEROLEHAN AWAL TAHUN PENYUSUTAN /

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 29/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN LAPORAN PER NEGARA DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 29/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN LAPORAN PER NEGARA DIREKTUR JENDERAL PAJAK, PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 29/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN LAPORAN PER NEGARA DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 12 ayat (2) Peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dengan kondisi bangsa Indonesia yang masih dalam kategori

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dengan kondisi bangsa Indonesia yang masih dalam kategori BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dengan kondisi bangsa Indonesia yang masih dalam kategori negara berkembang maka bangsa Indonesia masih harus terus menerus melaksanakan pembangunan untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Indonesia kembali melakukan reformasi pajak dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Indonesia kembali melakukan reformasi pajak dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemerintah Indonesia kembali melakukan reformasi pajak dengan mengeluarkan beberapa undang-undang pajak baru yaitu undang-undang No 28 tahun 2007 Tentang Ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Memasuki era globalisasi, transaksi internasional atau transaksi antar negara menjadi hal yang lazim dilakukan. Transaksi ini dapat berupa perdagangan internasional,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semakin berkembangnya zaman, semakin meningkat pula frekuensi kegiatan bisnis yang terjadi di berbagai negara. Perlu diragukan jika ada seseorang yang berpendapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penerimaan dalam negeri yang terbesar. Semakin besarnya

BAB I PENDAHULUAN. merupakan penerimaan dalam negeri yang terbesar. Semakin besarnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sasaran utama dari kebijaksanaan keuangan negara di bidang penerimaan dalam negeri adalah untuk menggali, mendorong, dan mengembangkan sumbersumber penerimaan dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Bagi negara, pajak adalah salah satu sumber penerimaan penting

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Bagi negara, pajak adalah salah satu sumber penerimaan penting BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Bagi negara, pajak adalah salah satu sumber penerimaan penting yang akan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi yang diberikan, maka tidak terlepas bahwa pajak memiliki peran

BAB I PENDAHULUAN. kontribusi yang diberikan, maka tidak terlepas bahwa pajak memiliki peran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pajak memberikan kontribusi terbesar dalam sumber penerimaan negara, salah satunya berupa APBN (Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara). Atas kontribusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena setiap orang tidak dapat menghindarkan dirinya dari pajak. Pajak merupakan

BAB I PENDAHULUAN. karena setiap orang tidak dapat menghindarkan dirinya dari pajak. Pajak merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam segi ekonomi, pajak merupakan suatu hal yang harus dikelola dengan baik karena setiap orang tidak dapat menghindarkan dirinya dari pajak. Pajak merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh wajib pajak baik orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Globalisasi yang telah terjadi sejak beberapa tahun yang lalu telah membawa dampak pada kemajuan yang pesat di segala bidang. Salah satunya pada bidang ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membiayai pengeluaran negara, pembangunan maupun untuk biaya rutin negara.

BAB I PENDAHULUAN. membiayai pengeluaran negara, pembangunan maupun untuk biaya rutin negara. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang sangat penting dalam menopang pembiayaan pembangunan yang bersumber dari dalam negeri. Besar kecilnya pajak akan menentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat sehingga terciptalah kesejahteraan nasional. Dalam melaksanakan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat sehingga terciptalah kesejahteraan nasional. Dalam melaksanakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia termasuk dalam kategori negara berkembang. Indonesia masih terus melaksanakan pembangunan negara untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat sehingga

Lebih terperinci

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terkait analisis revaluasi aset tetap dan dampaknya terhadap Pajak Penghasilan terutang (Studi Kasus

Lebih terperinci

REFORMASI PAJAK DAN KETERBUKAAN INFORMASI PROF. DR. HJ. NUNUY NUR AFIAH, SE, M.SI, AK, CA DOSEN DEPARTEMEN AKUNTANSI UNIVERSITAS PADJADJARAN

REFORMASI PAJAK DAN KETERBUKAAN INFORMASI PROF. DR. HJ. NUNUY NUR AFIAH, SE, M.SI, AK, CA DOSEN DEPARTEMEN AKUNTANSI UNIVERSITAS PADJADJARAN REFORMASI PAJAK DAN KETERBUKAAN INFORMASI PROF. DR. HJ. NUNUY NUR AFIAH, SE, M.SI, AK, CA DOSEN DEPARTEMEN AKUNTANSI UNIVERSITAS PADJADJARAN AGENDA TAX AMNESTY DAN KEPATUHAN PAJAK REFORMASI PERPAJAKAN

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 134 BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan pada Bab IV, diperoleh kesimpulan sebab-sebab timbulnya perbedaan antara keputusan keberatan oleh fiskus dan putusan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Landasan Teori Tax Avoidance OECD sendiri tidak memberikan definisi tax avoidance secara tegas.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Landasan Teori Tax Avoidance OECD sendiri tidak memberikan definisi tax avoidance secara tegas. 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Tax Avoidance OECD sendiri tidak memberikan definisi tax avoidance secara tegas. OECD hanya memberikan gambaran bahwa tax avoidance biasanya dipergunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara yang digunakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara yang digunakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran negara. Untuk melaksanakan pembangunan dibutuhkan dana yang tidak sedikit,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan potensi pajak yang ada dapat dipungut secara optimal. Langkah-langkah

BAB I PENDAHULUAN. dan potensi pajak yang ada dapat dipungut secara optimal. Langkah-langkah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemerintah selalu berupaya untuk meningkatkan tax ratio secara bertahap dengan memperhatikan kondisi ekonomi Indonesia dan ekonomi dunia. Peningkatan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebelumnya. Dalam upaya meningkatkan, memaksimalkan serta melancarkan

BAB I PENDAHULUAN. sebelumnya. Dalam upaya meningkatkan, memaksimalkan serta melancarkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka mencapai tujuan nasional yaitu mewujudkan suatu masyarakat Indonesia yang adil dan makmur baik materil maupun spiritual yang sesuai dengan pembukaan UUD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Analisis keputusan keberatan..., Sri Lestari Pujianstuti, FISIP UI, 2009

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Analisis keputusan keberatan..., Sri Lestari Pujianstuti, FISIP UI, 2009 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tidak menentunya ekonomi dunia mendorong pemerintah membuat penyesuaian akibat berubahnya asumsi-asumsi makro. Hal tersebut mengakibatkan UU APBN 2009 yang

Lebih terperinci

PENGARUH TRANSFER PRICING TERHADAP PERENCANAAN PAJAK BAGI PERUSAHAAN MULTINASIONAL

PENGARUH TRANSFER PRICING TERHADAP PERENCANAAN PAJAK BAGI PERUSAHAAN MULTINASIONAL 1 PENGARUH TRANSFER PRICING TERHADAP PERENCANAAN PAJAK BAGI PERUSAHAAN MULTINASIONAL Tri Marta Chandraningrum Universitas Negeri Surabaya Anmarta91@gmail.com Abstract Transfer pricing is a classical issue

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membayar pengeluaran umum (Siti, 2011: 1). pendanaan APBN (Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara) dimana

BAB I PENDAHULUAN. membayar pengeluaran umum (Siti, 2011: 1). pendanaan APBN (Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara) dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (konstraprestasi) yang

Lebih terperinci

Judul : Pengaruh Corporate Governance, Profitabilitas dan Koneksi Politik pada Tax Avoidance

Judul : Pengaruh Corporate Governance, Profitabilitas dan Koneksi Politik pada Tax Avoidance Judul : Pengaruh Corporate Governance, Profitabilitas dan Koneksi Politik pada Tax Avoidance (Studi Kasus pada Perusahaan Industri Properti dan Real Estate di Bursa Efek Indonesia) Nama : Ni Kadek Yuliani

Lebih terperinci

TERM OF REFERENCE TAX ON SEMINAR CONFERENCE : Transfer Pricing : Practice and Theory in Transparency Era

TERM OF REFERENCE TAX ON SEMINAR CONFERENCE : Transfer Pricing : Practice and Theory in Transparency Era TERM OF REFERENCE TAX ON SEMINAR CONFERENCE Nama Kegiatan : TAX ON SEMINAR CONFERENCE Tema : Transfer Pricing : Practice and Theory in Transparency Era Tujuan : 1. Sebagai sarana diskusi ilmiah, diseminasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan pembangunan yang cukup pesat dalam kehidupan nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan pembangunan yang cukup pesat dalam kehidupan nasional yang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dimana dalam perkembangannya telah menghasilkan pembangunan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan sebagai alat dalam mengatur pelaksanaan kebijakan di bidang

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan sebagai alat dalam mengatur pelaksanaan kebijakan di bidang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pajak adalah pendapatan yang diperoleh oleh suatu Negara yang paling besar. Pemerintah melakukan pemungutan pajak yang digunakan sebagai sumber dana bagi pemerintah

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

PMK No. 213/PMK.03/2016

PMK No. 213/PMK.03/2016 PMK No. 213/PMK.03/2016 Penerapan dan Implikasinya bagi PGN dan Grup Jakarta, 2 Februari 2017 Dasar hukum PMK No. 213/PMK.03/2016 1 Kewajiban Pembukuan sesuai Pasal 28 ayat (1), UU KUP 2 Transaksi Hubungan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Globalisasi bukanlah suatu fenomena yang terjadi begitu saja, namun merupakan suatu proses yang panjang. Ekonomi dunia berkembang mulai dari ekonomi subsistem di mana

Lebih terperinci

PER - 69/PJ/2010 KESEPAKATAN HARGA TRANSFER (ADVANCE PRICING AGREEMENT)

PER - 69/PJ/2010 KESEPAKATAN HARGA TRANSFER (ADVANCE PRICING AGREEMENT) PER - 69/PJ/2010 KESEPAKATAN HARGA TRANSFER (ADVANCE PRICING AGREEMENT) Contributed by Administrator Friday, 31 December 2010 Pusat Peraturan Pajak Online PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER -

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara. Dengan kemampuan kapasitas fiskal tinggi suatu negara akan

BAB I PENDAHULUAN. negara. Dengan kemampuan kapasitas fiskal tinggi suatu negara akan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak sebagai pendapatan utama untuk pembangunan ekonomi suatu negara. Dengan kemampuan kapasitas fiskal tinggi suatu negara akan dapat memiliki kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. objek pajak melalui peningkatan jumlah PMA. Namun, dalam meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. objek pajak melalui peningkatan jumlah PMA. Namun, dalam meningkatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan bisnis yang terjadi di Indonesia dapat dijadikan suatu kesempatan untuk menarik investor dari luar negeri agar menanamkan modalnya di Indonesia. Semakin

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG PINJAMAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG PINJAMAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2011 TENTANG PINJAMAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan efektivitas dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PERMASALAHAN BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Pembangunan nasional salah satunya memiliki tujuan untuk mensejahterakan kehidupan bangsa sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945. Kunci keberhasilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seperti layaknya manusia yang membutuhkan udara segar untuk hidup sehat, demikian pula halnya dengan negara yang membutuhkan dana segar untuk membiayai berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Definisi pajak menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 pasal 1 ayat 1,

BAB I PENDAHULUAN. Definisi pajak menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 pasal 1 ayat 1, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Definisi pajak menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 pasal 1 ayat 1, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.131, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA EKONOMI. Pajak. Pengampunan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5899) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016

Lebih terperinci