Analisis penerapan Advance Pricing Agreement di Indonesia dan Singapura

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Analisis penerapan Advance Pricing Agreement di Indonesia dan Singapura"

Transkripsi

1 Analisis penerapan Advance Pricing Agreement di Indonesia dan Singapura Yudistira Aria Satyakusuma dan Ning Rahayu Ilmu Administrasi Fiskal Program Ekstensi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Kampus UI, Depok, 16424, Indonesia Abstrak Transfer pricing merupakan praktik yang lazim digunakan oleh multinational enterprises dalam kegiatan usahanya. Transfer pricing yang dilakukan oleh multinational enterprises memungkinkan terjadinya pengenaan pajak berganda. Untuk mendapatkan kepastian dalam metode transfer pricing yang dilakukannya maka advance pricing agreement dapat digunakan. Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran mengenai penerapan advance pricing agreement di Indonesia dan faktor-faktor yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam penerapan tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan analisis data kualitatif. Data kualitatif didapatkan melalui studi literatur dan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini adalah penerapan advance pricing agreement di Indonesia masih memiliki banyak kekurangan bila dibandingkan dengan Singapura, faktor-faktor penghambat penerapan advance pricing agreement di Indonesia dan saran agar Direktorat Jenderal Pajak sebagai otoritas pajak di Indonesia memperbaiki peraturan pelaksana advance pricing agreement dan mengatasi faktor-faktor penghambat penerapan advance pricing agreement di Indonesia. Analysis on Advance Pricing Agreement Application in Indonesia and Singapore Abstract Transfer pricing is a common practices used by multinational enterprises in their business activities. Transfer pricing used by multinational enterprises leads to possibility of double taxation. To get a certainty on their transfer pricing method, multinational enterprises can use advance pricing agreement. This study aims to provide an overview of advance pricing agreement application in Indonesia and obstacles faced by Directorate General of Tax in its application. The method use was a qualitative study with qualitative data analysis. Qualitative data was obtained through study of literature and in-depth interviews. The result of this study is advance pricing agreement application in Indonesia still have many inadequacy compared with Singapore, obstacle on advance pricing agreement application in Indonesia and suggestion so Directorate General of Tax as Indonesian tax authority can make improvement on advance pricing agreement regulation and how to overcome obstacles on advance pricing agreement implementation in Indonesia. Key Words: Advance Pricing Agreement, transfer pricing, double taxation Pendahuluan

2 Berkembangnya era globalisasi, perdagangan internasional, dan teknologi memberikan dampak signifikan terhadap ekonomi global. Pertumbuhan ekonomi global juga dibantu oleh perusahaan multinasional (Multinational enterprises) sebagai pelaku perdagangan internasional yang memanfaatkan perkembangan teknologi, transportasi dan komunikasi untuk menjalankan usaha nya di beberapa negara. Ada beberapa alasan mengapa investor asing dari negara maju melakukan investasi di negara berkembang. Lal Das menyebutkan bahwa ada tiga alasan utama yang mendorong investor asing dari negara maju melakukan investasi di negara berkembang. Pertama adalah pemahaman bahwa keuntungan dari modal yang diperoleh di negaranya kurang memadai, kedua adalah sebagai upaya untuk mengkombinasikan modal yang dimilikinya dengan tenaga kerja yang murah di negara tujuan investasi untuk mengurangi biaya produksi, dan ketiga adalah penggunaan bahan baku di negara berkembang yang dekat dengan sumbernya (Rahayu, 2008, p. 2). Berkembangnya multinational enterprises di Indonesia membuka jalan terjadinya cross-border transaction atas transaksi intracompany antara perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam satu grup (related parties). Transaksi antar related parties adalah masalah penting dalam hal perpajakan, hal ini dikarenakan adanya perbedaan perlakuan perpajakan antara transaksi dengan related parties dan transaksi yang tidak dipengaruhi oleh related parties (independen). Transaksi antar related parties memungkinkan adanya perhitungan harga, imbalan, atau persyaratan dagang (term of trade) pembiayaan dan pelaksanaan bisnis antar related parties ditentukan berdasarkan kebijakan harga transfer (transfer pricing) sebagai salah satu cara dalam melakukan manajemen pajak (tax planning) yang bertujuan untuk melakukan penghematan pembayaran pajak (tax saving) (Gunadi, 2007, p. 222). Otoritas pajak suatu negara dalam usahanya untuk melindungi penerimaan negara di bidang perpajakan umumnya memberlakukan keharusan pelaporan dokumentasi transfer pricing (TP Doc / Transfer Pricing Documentation) atas transaksi yang dilakukan oleh wajib pajaknya dengan related parties untuk membuktikan bahwa transaksi yang dilakukan dengan related parties sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (Arm s Length Principle) sehingga transaksi tersebut mencerminkan harga pasar yang wajar (Fair Market Value). Pada dasarnya arm s length principle adalah prinsip dimana dalam melakukan transaksi dengan related parties harus sama dengan transaksi antara pihak yang tidak tergabung dalam related parties. Dalam

3 menentukan arm s length principle, untuk suatu komoditas atau barang berwujud, fair market value dapat terlihat dari perbandingan harga serupa dengan pihak lain di luar related party. Berbeda dengan penentuan arm s length principle untuk suatu barang khusus, barang tidak berwujud, atau jasa yang terkadang sulit untuk menentukan barang atau jasa pembanding yang digunakan untuk menentukan arm s length principle. Dalam penentuan arm s length principle oleh wajib pajak, terkadang terjadi dispute antara otoritas pajak dengan wajib pajak mengenai metode yang digunakan dalam penentuan arm s length principle. Untuk mengurangi ketidakpastian bagi wajib pajak yang menunggu disetujui atau tidaknya arm s length principle yang telah ditentukannya oleh otoritas pajak melalui pemeriksaan dan penyidikan pajak yang memakan waktu dan dana yang tidak sedikit, wajib pajak dapat melakukan negosiasi di muka mengenai metode transfer pricing yang dilakukannya dengan memanfaatkan kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement / APA). Advance pricing agreement dikembangkan sebagai suatu alternatif dalam mengatasi masalah penentuan metode transfer pricing dengan menegosiasikan metode transfer pricing yang digunakan oleh wajib pajak dengan otoritas pajak dan bila diperlukan dengan mitra otoritas pajak negara lain (tax treaty partner). Perbedaan sistem perpajakan antara dua Negara akan menyebabkan terjadinya pengenaan pajak berganda terhadap penghasilan orang atau badan yang sama (Surahmat, 2005, p. 2) untuk menghindari hal tersebut advance pricing agreement dapat digunakan karena advance pricing agreement adalah salah satu bentuk dari advance ruling system yaitu sebuah sistemb dalam perpajakan yang dapat digunakan oleh wajib pajak untuk mendapatkan suatu kepastian pajak atas kegiatan bisnisnya. Dalam pemenuhan kewajiban perpajakan, wajib pajak dapat memperoleh kepastian perpajakan atas kegiatan bisnisnya untuk menghindari kesalahan dan sanksi yang mungkin didapatkan karena ketidaktahuannya. Advance pricing agreement juga dapat dilakukan secara bilateral dan multilateral untuk menghindari terjadinya pajak berganda. Sebagai salah satu pendekatan yang proaktif dalam menangani permasalahan transfer pricing, advance pricing agreement dapat meningkatkan baik efektifitas maupun efisiensi perusahaan dengan memberikan sebuah perkembangan administratif dalam hal penentuan metode transfer pricing dan mencegah terjadinya dispute di masa yang akan datang dengan otoritas pajak mengenai metode transfer pricing yang dilakukan oleh wajib pajak dan memberikan suatu

4 kepastian dan mengurangi biaya yang mungkin terjadi karena advance pricing agreement merupakan suatu perjanjian yang mengikat. Banyak negara yang telah mengadopsi advance pricing agreement sebagai salah satu cara mengatasi permasalahan transfer pricing yang telah mendunia, tercatat per januari 2012 telah ada lebih dari 30 negara yang mengadopsi advance pricing agreement (Ernst &Young Global survey 2010). Perkembangan advance pricing agreement di Indonesia yang terbilang lambat sejak pertama kali diundangkan mulai mencapai titik cerah saat PER-69/PJ/2010 dikeluarkan karena untuk pertama kali nya sejak diundangkan wajib pajak di Indonesia mendapatkan suatu panduan (guidelines) untuk memulai proses pengajuan advance pricing agreement. PER-69/PJ/2010 mengatur tentang tata cara pengajuan advance pricing agreement meskipun belum secara sempurna memberikan hal-hal yang dirasa penting bagi wajib pajak untuk menggunakan advance pricing agreement dalam penentuan metode transfer pricing yang dilakukan oleh wajib pajak. Namun sejak keluarnya PER-69/PJ/2010 hingga tahun 2014 belum ada satu pun perusahaan yang proses pengajuan advance pricing agreement nya dapat diselesaikan (hasil wawancara dengan Anung Andang Wiratama), berbeda dengan Singapura yang pada tahun 2012 saja berhasil merampungkan 11 pengajuan advance pricing agreement secara unilateral dan bilateral. Dalam proses pematangan yurisdiksi transfer pricing oleh pemerintah Indonesia salah satu yang harus diperhatikan adalah penting nya peran advance pricing agreement sebagai solusi dalam pencegahan penyalahgunaan transfer pricing khususnya bagi multinational enterprises yang banyak berekspansi ke Indonesia. Lambatnya perkembangan advance pricing agreement di Indonesia bertolak belakang dengan perkembangan advance pricing arrangement di Singapura, dengan adanya beberapa faktor yang menghambat perkembangan advance pricing agreement di Indonesia. Pokok permasalahan di atas dapat dijabarkan dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana penerapan advance pricing agreement di Indonesia dan di Singapura? 2. Apa faktor-faktor yang menghambat penerapan advance pricing agreement di Indonesia? Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk menjelaskan bagaimana penerapan advance pricing agreement di Indonesia dan Singapura serta menjelaskan faktor-faktor yang menghambat penerapan advance pricing agreement di Indonesia.

5 Tinjauan Teoritis 1. Perusahaan multinasional ( Multinational Enterprise / MNE ) Menurut Rugman (2007, p. 1) adalah perusahaan yang menjalankan produksi dan atau mendistribusikan produk dan atau jasa antar Negara. Ekspansi yang dilakukan oleh multinational enterprises dalam bentuk Foreign Direct Investment / FDI untuk menjalankan usahanya dapat terbagi menjadi dua yaitu cabang (branch) dan anak perusahaan (subsidiary company) 2. Tax Planning Mohammad Zain dalam buku Manajemen Perpajakan, menyatakan bahwa tax planning adalah proses mengorganisasi usaha wajib pajak atau kelompok wajib pajak sedemikian rupa sehingga utang pajaknya, baik pajak penghasilan maupun pajak-pajak lainnya berada dalam posisi yang paling minimal sepanjang hal ini dimungkinkan baik oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku maupun secara komersial. Lebih lanjut, ia juga menyimpulkan bahwa tax planning adalah perbuatan yang sifatnya mengurangi beban pajak secara legal dan bukan mengurangi kesanggupan memenuhi kewajiban perpajakannya melunasi utang-utang pajaknya. 3. Transfer Pricing Transfer pricing dapat disimpulkan sebagai salah satu strategi tax planning yang sering dilakukan oleh MNE yang tergabung dalam related parties dimana pemberian imbalan atas suatu jasa dan atau barang dapat direkayasa sedemikian rupa sesuai dengan kebijaksanaan induk perusahaan. Hal tersebut dilakukan karena umumnya MNE bertujuan untuk memaksimalkan laba perusahaan secara keseluruhan. Menurut Santoso (2007, p. 59) transfer pricing dipercaya menjadi salah satu strategi yang efektif untuk memenangkan persaingan dalam memperebutkan sumber-sumber daya yang terbatas bagi multinational enterprises. 4. Advance Pricing Agreement Menurut Gunadi (2007, p. 249) advance pricing agreement adalah suatu perjanjian yang mengikat kedua belah pihak (wajib pajak dan otoritas pajak) yang dimulai dengan permintaan wajib pajak untuk memperoleh kepastian atas metode transfer pricing yang dilakukannya. Salah satu kepastian yang diperoleh dengan adanya advance pricing agreement adalah terhindar dari pengenaan pajak berganda jika dilakukan secara bilateral atau multilateral yang diakibatkan oleh perbedaan yurisdiksi fiskal (Knechtle,1979, p. 23)

6 Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif karena dapat memberikan pemahaman menyeluruh atas penerapan advance pricing agreement di indonesia,dan memberikan gambaran mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan advance pricing agreement di Indonesia dan perbandingan penerapan advance pricing agreement di Singapura. Salah satu ciri dari penelitian kualitatif adalah digunakannya metode-metode kualitatif. Metode yang sering digunakan pada penelitian kualitatif adalah pengamatan, wawancara, atau penalahaan dokumen (Lexy J. Moleong, 2007, p. 9). Untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini digunakan beberapa metode pengumpulan data sebagai berikut: 1. Studi Kepustakaan (Library Research) 2. Studi Lapangan (field research) Analisis data dilakukan sejalan dengan pengumpulan data, tidak ada aturan baku untuk menganalisis data kualitatif. Data yang berasal dari wawancara dianalisis secara deskriptif dan diilustrasikan dengan contoh-contoh, termasuk kutipan-kutipan dan rangkuman dari dokumen dianalisis secara verbal (Lexy J. Moleong, 2007, p. 36). Studi kepustakaan dilakukan dengan mempelajari dan menelaah berbagai literature untuk mengumpulkan sebanyak mungkin pengetahuan yang berhubungan dengan pokok permasalahan yang dapat diterapkan dalam penelitian yang dilakukan. Agar penelitian menjadi fokus dan terarah peneliti membatasi penelitian ini pada penerapan advance pricing agreement di Indonesia, faktor faktor yang menghambat penerapan advance pricing agreement di Indonesia dan perbandingan penerapan advance pricing agreement di Singapura. Penelitian tidak dilakukan untuk menentukan metode transfer pricing yang tepat dalam pengajuan permohonan advance pricing agreement di Indonesia dan Singapura. Hasil Penelitian dan Pembahasan Melalui perbandingan penerapan advance pricing agreement di Indonesia dan Singapura diperoleh data sebagai berikut:

7 Tabel 1. Perbandingan Penerapan Advance Pricing Agreement di Indonesia dan Singapura Proses APA Indonesia Singapura Perbedaan Sejarah Diundangkan pertama kali pada tahun 2000 dan peraturan pelaksana dikeluarkan pada tahun 2010 Pertemuan Awal Pertemuan dilakukan antara wajib pajak dan Direktorat Jenderal Diperkenalkan pada tahun 2006 dan peraturan pelaksana dikeluarkan pada tahun 2008 Pertemuan dilakukan antara wajib pajak dan Pajak untuk Authority of membahas advance pricing agreement dan perlu tidaknya mengikutsertakan otoritas pajak asing Inland Revenue Singapore untuk membahas advance pricing agreement. Indonesia membutuhkan waktu 10 tahun untuk mengeluarkan peraturan pelaksana sedangkan Singapura hanya membutuhkan 2 tahun Pertemuan awal di Indonesia membahas kemungkinan diikutsetakannya otoritas pajak asing Inland Revenue agreement sedangkan Authority of Singapore mendorong wajib pajaknya untuk mengadakan pembahasan advance pricing agreement dengan otoritas pajak asing jika mengajukan advance pricing agreement bilateral atau multilateral dalam pembahasan advance pricing di Singapura pengajuan advance pricing agreement secara bilateral atau multilateral dilakukan dengan metode MAP APA yaitu dengan mengajukan advance pricing agreement juga dengan otoritas pajak asing Pengajuan Formal Wajib pajak Wajib pajak Tidak ada perbedaan

8 mengajukan permohonan formal setelah melakukan pertemuan awal dengan Direktorat Jenderal Pajak dan melengkapi informasi yang diperlukan untuk pembahasan Pembahasan Pembahasan dilakukan antara wajib pajak dengan Direktorat Jenderal Pajak (unilateral) atau Direktorat Jenderal Pajak dengan otoritas pajak asing terkait (bilateral atau multilateral) Penerbitan Diterbitkan setelah selesai melakukan pembahasan dalam jangka waktu 20 hari kerja dan harus disepakati oleh wajib pajak dan Direktorat mengajukan permohonan formal setelah melakukan pertemuan awal dengan Inland Revenue Authority of Singapore dan melengkapi informasi yang diperlukan untuk pembahasan Pembahasan dilakukan antara wajib pajak dengan Inland Revenue Authority of Singapore (unilateral) atau Inland Revenue Authority of Singapore dengan otoritas pajak asing terkait (bilateral atau multilateral) Diterbitkan setelah melakukan pertemuan akhir antara wajib pajak dengan Inland Revenue Authority of Singapore untuk mensepakati advance yang signifikan dalam proses pengajuan advance pricing agreement secara formal di Indonesia dan Singapura Proses pembahasan advance pricing agreement secara unilateral dilakukan antara wajib pajak dan otoritas pajak, sedangkan untuk bilateral dan multilateral dilakukan antara otoritas pajak dengan otoritas pajak asing terkait melalui mutual agreement procedure Penerbitan advance pricing agreement di Indonesia tidak melalui pertemuan akhir namun tetap harus disepakati oleh Direktorat Jenderal

9 Jenderal Pajak pricing agreement dan Pajak dan wajib pajak mendiskusikan detail advance pricing agreement Evaluasi Evaluasi atas advance Evaluasi dilakukan Proses evaluasi pricing agreement dengan mewajibkan terhadap advance yang telah disepakati wajib pajak pricing agreement di dilakukan dengan cara melaporkan laporan Indonesia dan mewajibkan wajib tahunan yang Singapura pajak untuk diserahkan bersamaan mewajibkan pelaporan melaporkan laporan dengan annual income tahunan atas tahunan paling lama 4 tax return (SPT pelaksanaan advance bulan setelah tahun tahunan) pricing agreement pajak berakhir. 1. Perbandingan Pertemuan Awal dan Pembahasan Dalam proses pengajuan advance pricing agreement di Indonesia melalui perbandingan dengan Singapura sesuai dengan tabel di atas dapat dilihat bahwa proses pembahasan advance pricing agreement secara bilateral dan multilateral di Singapura berawal dari wajib pajak yang juga melakukan pembahasan advance pricing arrangement dengan otoritas pajak asing, sedangkan proses pembahasan tersebut di Indonesia berawal dari permohonan wajib pajak.

10 Gambar 1 Proses Pembahasan advance pricing agreement Bilateral di Indonesia Gambar 2 Proses Pembahasan advance pricing agreement Bilateral di Singapura Melalui kedua gambar di atas dapat dilihat bahwa proses yang terjadi pada pembahasan advance pricing agreement secara bilateral di Indonesia sesuai ilustrasi tersebut adalah PT. A mengajukan permohonan advance pricing agreement kepada Direktur Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Pajak kemudian memanfaatkan Exchange of Information dengan otoritas pajak asing untuk kemudian mengundang otoritas pajak asing tersebut melalui APA, setelah

11 terjadi kesepakatan maka otoritas pajak asing tersebut akan melakukan coresponding adjustment kepada A Corp. Sedangkan proses yang terjadi di Singapura melalui ilustrasi di atas adalah A Corp berkoordinasi dengan related party mereka di luar negeri yaitu A Bhd untuk bersama-sama mengajukan advance pricing agreement kepada otoritas pajak masingmasing Negara lalu otoritas pajak masing-masing negara akan menggunakan Exchange of Information untuk kemudian bersama-sama melakukan mutual agreement procedure. Pembahasan advance pricing agreement di Indonesia dilaksanakan oleh Subdirektorat Perjanjian dan Kerjasama Perpajakan Internasional sedangkan di Singapura pembahasan advance pricing agreement dilaksanakan oleh Corporate Tax Division dalam hal advance pricing agreement yang diajukan adalah unilateral karena masih merupakan bagian dari advance ruling system yang berlaku di Singapura, dan International Tax Affairs and Relations Branch jika advance pricing agreement yang diajukan adalah bilateral atau multilateral. Pembahasan advance pricing agreement secara bilateral atau multilateral akan dilakukan oleh otoritas pajak Negara yang terkait dengan advance pricing agreement tersebut. Tahapan pembahasan advance pricing agreement adalah tahapan yang paling lama dalam proses pengajuan advance pricing agreement ditambah lagi jika advance pricing agreement yang diajukan berupa bilateral dan multilateral karena kesepakatan yang ingin dicapai bukan hanya antara wajib pajak dan otoritas pajak melainkan memerlukan kesepakatan dengan otoritas pajak asing yang terkait untuk menghindari terjadinya double taxation. Pembahasan advance pricing agreement sebaiknya dilakukan oleh tim yang kompeten dan memiliki pengalaman, khususnya dalam bidang audit untuk mengetahui secara pasti apakah metode transfer pricing yang diajukan oleh wajib pajak telah sesuai dengan fakta dan negosiator yang memahami perpajakan internasional untuk melakukan negosiasi dengan otoritas pajak asing agar melakukan corresponding adjustment. Dalam proses pembahasan secara bilateral dan multilateral sebaiknya turut melibatkan wajib pajak untuk menyampaikan pandangannya terhadap metode transfer pricing yang digunakannya agar dapat menjadi pertimbangan para otoritas pajak yang terlibat. Pembagian pelaksanaan pembahasan advance pricing agreement seperti yang dilakukan oleh Singapura juga dapat ditiru di Indonesia karena tidaklah relevan dalam pembahasan advance

12 pricing agreement secara unilateral melibatkan tim pelaksana yang memiliki spesialisasi dalam perpajakan internasional. Pembagian pelaksanaan pembahasan advance pricing agreement tersebut juga berdampak pada load kerja yang dilakukan tim pembahasan sehingga akan lebih efektif jika pembagian kerja dilakukan berdasarkan jenis advance pricing agreement yang diajukan. Pembagian pelaksanaan pembahasan advance pricing agreement unilateral dapat dilimpahkan kepada Subdirektorat Peraturan Pajak Penghasilan Badan karena sesuai dengan fungsinya yang tertulis pada PMK 184/PMK.01/2010 pasal 415 salah satunya adalah penyiapan dan penyusunan petunjuk pelaksanaan dan penegasan (ruling) di bidang Pajak Penghasilan Badan. Dengan fungsi Subdirektorat Peraturan Pajak Penghasilan Badan untuk memberikan penegasan (ruling) maka akan relevan dengan sifat dari advance pricing agreement secara unilateral karena masih termasuk dalam advance ruling system. 2. Perbandingan Jangka Waktu Berlakunya Advance Pricing Agreement Advance pricing agreement merupakan suatu kesepakatan yang memberikan kepastian kepada wajib pajak atas metode transfer pricing pada suatu transaksi terhadap related party yang akan dilakukannya dalam suatu periode yang telah disepakati. Periode yang dicakup dalam advance pricing agreement belum termasuk dengan periode sebelumnya yang dapat disesuaikan (compensating adjustment) jika wajib pajak merasa periode sebelumnya belum mencerminkan hasil advance pricing agreement (roll-back). Periode yang berlaku dalam advance pricing agreement di Indonesia paling lama adalah 3 tahun pajak yang dihitung sejak tahun pajak saat advance pricing agreement disepakati. Periode roll-back di Indonesia diperbolehkan selama tahun pajak yang bersangkutan belum pernah dilakukan pemeriksaan, keberatan, banding, dan tidak terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, kriteria tersebut berlaku untuk advance pricing agreement secara unilateral, bilateral, dan multilateral. Berbeda dengan Indonesia, periode yang dicakup dalam advance pricing arrangement di Singapura paling lama adalah 5 tahun. Periode roll-back di Singapura diperbolehkan untuk advance pricing arrangement secara bilateral dan multilateral namun tidak melebihi 2 tahun sejak periode yang dicakup oleh advance pricing arrangement sepanjang tidak ada

13 perubahan besar dalam metode transfer pricing yang digunakan. Dalam advance pricing arrangement secara unilateral, Inland Revenue Authority of Singapore tidak memperbolehkan adanya periode roll-back. Jangka waktu berlakunya advance pricing agreement di Indonesia sebaiknya ditingkatkan paling tidak menjadi paling lama 5 tahun karena proses pengajuan advance pricing agreement memerlukan waktu yang lama dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Analisis penulis juga didukung oleh OECD yang menyebutkan bahwa jangka waktu yang efektif dalam berlakunya advance pricing agreement adalah 3 sampai 5 tahun yang berarti jangka waktu berlakunya advance pricing agreement di Indonesia adalah jangka waktu minimum seperti yang disarankan oleh OECD, ditambah lagi dalam PER-69/PJ/2010 belum mengatur tentang proses renegosiasi advance pricing agreement yang akan atau sudah berakhir sehingga dikhawatirkan wajib pajak akan merasa tidak efektif untuk mengikuti program advance pricing agreement di Indonesia karena tidak dapat memberikan efek yang signifikan terhadap kegiatan usaha wajib pajak. Masa roll-back di Indonesia diperbolehkan selama belum pernah dilakukan pemeriksaan, keberatan, banding dan tidak terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan, namun menurut pasal 8 Undang-Undang nomor 28 tahun 2007 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan (Undang-Undang KUP) tertulis bahwa pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 tahun sebelum daluwarsa penetapan. Dengan kata lain masa roll-back yang berlaku sesungguhnya di Indonesia adalah 3 tahun (2 tahun sebelum daluwarsa penetapan), kecuali metode transfer pricing yang diajukan oleh wajib pajak dalam advance pricing agreement tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu 5 tahun (daluwarsa penetapan) yang menyebabkan wajib pajak tidak harus melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan sehingga masa roll-back adalah 5 tahun. Fakta yang terjadi di lapangan ternyata berbeda dengan analisis penulis, berdasarkan wawancara dengan Bapak X, Transfer Pricing Manager di salah satu konsultan pajak terkemuka di Indonesia, diketahui bahwa hasil diskusi Bapak X dengan tim pelaksana advance pricing agreement menyimpulkan bahwa roll-back ternyata hanya diberikan sejak tahun pajak pengajuan advance pricing agreement, hal ini tidak dijelaskan di PER-69/PJ/2010 sehingga penulis merasa Direktorat Jenderal Pajak harus menjelaskan lebih lanjut tentang masa roll-back yang diperbolehkan.

14 3. Tim Pelaksana Advance Pricing Agreement Menurut OECD Guidelines, tim pelaksanaan advance pricing agreement harus mempunyai transfer pricing specialist dalam bidang audit namun mempunyai peran yang berbeda dengan transfer pricing specialist pada audit lapangan. Advance pricing agreement merupakan salah satu solusi penanganan transfer pricing yang menyepakati metode transfer pricing yang digunakan oleh wajib pajak dan prinsip kewajaran dan kelaziman yang digunakan. Untuk mengetahui dengan tepat, maka tim pelaksana advance pricing agreement harus memiliki auditor yang dapat menguji perumusan advance pricing agreement yang diberikan oleh wajib pajak. Berdasarkan wawancara dengan Anung Andang Wiratama, Pelaksana Seksi Perjanjian Asia Pasifik, Direktorat Jenderal Pajak, proses seleksi yang telah dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak hanya menguji kemampuan Bahasa Inggris dan perpajakan internasional sehingga penulis menganggap peningkatan kompetensi di tim pelaksana advance pricing agreement belum tepat sasaran. Peningkatan kompetensi dapat dilakukan dengan dua hal yaitu dengan merekrut ahli-ahli di bidang yang diperlukan, atau dengan melakukan pelatihan khusus, training, dan program kesempatan pendidikan. Proses rekrutmen dalam tim pelaksana advance pricing agreement sebaiknya dilakukan dalam beberapa bidang seperti ahli industri keuangan, manufacturing, jasa, minyak dan gas, pertambangan dan lain-lain, ahli ekonomi, ahli perpajakan internasional dan auditor transfer pricing. Peningkatan kompetensi dalam berbagai bidang industri dilakukan agar Direktorat Jenderal Pajak dapat menggali lebih dalam tentang kegiatan usaha yang dilakukan oleh wajib pajak yang mengajukan advance pricing agreement. Sifat advance pricing agreement yang merupakan sebuah individual ruling berarti dalam pelaksanaan advance pricing agreement Direktorat Jenderal Pajak tidak dapat menerapkan prinsip umum suatu usaha karena mungkin akan bertentangan dengan fakta yang terjadi di lapangan sehingga diperlukan ahli dalam bidang usaha wajib pajak yang mengajukan advance pricing agreement untuk mengetahui fakta di lapangan. Ahli ekonomi dalam tim pelaksana advance pricing agreement diperlukan untuk mengetahui apakah critical assumptions yang diajukan saat pengajuan advance pricing agreement oleh wajib pajak telah sesuai dengan proyeksi yang akan datang atau tidak. Critical assumptions

15 merupakan proyeksi atas beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kegiatan usaha wajib pajak di masa yang akan datang yang juga mempengaruhi apakah metode transfer pricing yang dicakup dalam advance pricing agreement akan tetap relevan atau tidak. Ahli perpajakan internasional dibutuhkan dalam tim pelaksana advance pricing agreement untuk melakukan perjanjian perpajakan internasional seperti mutual agreement procedure dalam hal advance pricing agreement bilateral atau multilateral. Keahlian perpajakan internasional juga diperlukan untuk menentukan adjustment pada transaksi transfer pricing yang diajukan dalam rangka penghindaran pengenaan pajak berganda. Auditor transfer pricing diperlukan dalam tim pelaksana advance pricing agreement untuk mengetahui apakah metode transfer pricing yang diajukan sudah tepat atau tidak. Auditor dalam pelaksanaan advance pricing agreement sebaiknya mempunyai peran yang berbeda dengan auditor lapangan. 4. Perbandingan Sistem Hukum Perbedaan sistem hukum yang berlaku di Indonesia dan Singapura juga membedakan penerapan advance pricing agreement di Indonesia dan Singapura. Sistem hukum yang berlaku di Indonesia adalah Civil Law yang banyak berkembang di benua Eropa dan dibawa ke Indonesia oleh Belanda. Civil law menurut Tetley (1994, p, 596) Civil law is highly systematised and structured and relies on declaration of broad, general principles, often ignoring the details yang dapat diartikan dengan Civil law sangat tersistematis dan terstruktur dan bergantung kepada deklarasi secara umum, prinsip umum, seringkali tidak melihat detail Singapura yang lama diduduki oleh Inggris menganut sistem Common law yang banyak berkembang di Inggris. Common law menurut Tetley (1994, p, 597) Common law adalah tradisi hukum yang berkembang di Inggris. Prinsip yang muncul dalam hampir semua keputusan tergantung kepada fakta spesifik keadaan yang muncul dalam perselisihan yang ditangani Dari kedua definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Civil law menggunakan prinsip yang berlaku secara umum sedangkan Common law lebih melihat fakta spesifik yang terjadi dalam suatu situasi.

16 Berdasarkan perbedaan tersebut penerapan advance pricing agreement di Indonesia akan lebih sulit dilakukan dibandingkan dengan Singapura karena advance pricing agreement merupakan salah satu bentuk individual ruling. Dalam sistem civil law, hukum diterapkan secara umum dengan menggunakan prinsip yang berlaku secara umum sehingga berbeda dengan bentuk individual ruling yang ditentukan melalui fakta spesifik yang terjadi yang mungkin bertentangan dengan prinsip umum dan mungkin berbeda dengan peraturan yang berlaku. Tabel 2. Advance Pricing Agreement di Beberapa Negara Tahun 2010 Negara Sistem Hukum Jumlah APA yang berlaku Kanada Common Law 96 Amerika Serikat Common Law 973 Inggris Common Law 72 Jerman Civil Law 12 Spanyol Civil Law 30 Prancis Civil Law 76 Berdasarkan data yang penulis kumpulkan dari beberapa sumber tersebut dapat terlihat bahwa melalui perbandingan singkat sistem hukum di beberapa Negara terhadap advance pricing agreement yang dihasilkannya Negara dengan sistem hukum common law melakukan advance pricing agreement yang lebih banyak dibandingkan dengan Negara civil law, ratarata perbandingan di atas adalah 380 per Negara common law berbanding dengan 39 per Negara civil law. Perbandingan juga dapat dilakukan antara Indonesia dengan India, India yang menggunakan civil law baru mempunyai peraturan advance pricing agreement pada Agustus 2012, namun pada Maret 2014 India sudah menerbitkan 5 advance pricing agreement unilateral, berbeda dengan Indonesia yang lebih dulu mempunyai peraturan pelaksana advance pricing agreement pada tahun 2010 namun hingga sekarang belum ada satupun permohonan advance pricing agreement yang disepakati.

17 5. Faktor Penghambat Penerapan Advance Pricing Agreement di Indonesia Faktor penghambat penerapan advance pricing agreement di Indonesia dapat dibagi menjadi dua yaitu 1. Faktor Internal a. Peraturan advance pricing agreement yang belum sempurna Terdapat beberapa kekurangan dalam PER 69/PJ/2010 yaitu belum memuat tentang jangka waktu minimal pengajuan advance pricing agreement, kurang mengatur tentang perlindungan hukum bagi wajib pajak atas informasi yang diberikannya, belum mengatur tentang proses renegosiasi, dan periode roll-back yang belum jelas. b. Proses advance pricing agreement yang belum tepat Proses pengajuan advance pricing agreement di Indonesia berbeda dengan Singapura yang menggunakan proses MAP APA dalam pengajuan advance pricing agreement secara bilateral dan multilateral. c. Sumber daya manusia di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak i. Struktur Organisasi yang kurang memadai Tidak ada direktorat khusus perpajakan internasional di Direktorat Jenderal Pajak. ii. Kurangnya kompetensi tim pelaksana Tim pelaksana advance pricing agreement hanya terdiri dari auditor,dan ahli perpajakan internasional dan memiliki kemampuan berbahasa Inggris, tidak sesuai dengan kebutuhan advance pricing agreement yang paling tidak terdiri dari ekonom, ahli industri, ahli perpajakan internasional, dan auditor. iii. Kurangnya keberanian dalam pengambilan keputusan Wawancara dengan Gunadi menyebutkan bahwa dalam pengambilan keputusan diperlukan keberanian moral karena advance pricing agreement merupakan kesepakatan yang bisa berbeda dengan peraturan yang ada. d. Kurangnya kerjasama dengan pihak lain yang terkait Advance pricing agreement merupakan kebijakan pemerintah Indonesia jadi sebaiknya Direktorat Jenderal Pajak bekerjasama dengan aparatur penegak hukum

18 seperti kepolisian, kejaksaan dan juga dengan komisi pemberantasan korupsi, hal ini dikarenakan advance pricing agreement tidak mengikuti aturan yang berlaku umum karena sifatnya adalah individual ruling. 2. Faktor Eksternal a. Biaya dan waktu Dalam pengajuan advance pricing agreement terdapat beberapa kelemahan antara lain, biaya menggunakan jasa konsultan pajak, biaya pengurusan dokumen yang diperlukan, dan waktu penyelesaian yang lama. b. Keraguan terhadap Direktorat Jenderal Pajak Keraguan terhadap Direktorat Jenderal Pajak terbagi menjadi dua yaitu keraguan terhadap konsistensi Direktorat Jenderal Pajak dalam menerapkan peraturan dan keraguan terhadap kompetensi tim pelaksana advance pricing agreement c. Kerahasiaan Informasi Kerahasiaan informasi merupakan keraguan utama wajib pajak karena infomasi yang diberikan saat pengajuan advance pricing agreement merupakan informasi rahasia yang tidak dapat diberikan kepada pihak lain. Simpulan Berdasarkan perbandingan penerapan advance pricing agreement di Indonesia dan Singapura, penulis bersimpulan bahwa penerapan advance pricing agreement di Indonesia masih tertinggal dengan peraturan di Singapura antara lain, pertemuan awal di Indonesia tidak melibatkan otoritas pajak asing, jangka waktu berlakunya advance pricing agreement hanya 3 tahun sedangkan proses pengajuan memakan waktu yang lama, tidak adanya subdirektorat khusus untuk perpajakan internasional di Direktorat Jenderal Pajak, dan sistem hukum Indonesia yang tidak mendukung penerapan advance pricing agreement. Faktor-faktor penghambat penerapan advance pricing agreement dapat dibagi menjadi dua yaitu: a. Faktor Internal 1. Peraturan advance pricing agreement yang belum sempurna 2. Proses advance pricing agreement yang belum tepat

19 3. Sumber daya manusia di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak i. Struktur Organisasi ii. Kurangnya kompetensi sumber daya manusia iii. Kurangnya keberanian dalam pengambilan keputusan 4. Kurangnya kerjasama dengan pihak lain yang terkait b. Faktor Eksternal 1. Biaya dan waktu 2. Keraguan terhadap Direktorat Jenderal Pajak 3. Kerahasiaan Informasi Saran 1. Dalam perbandingan penerapan advance pricing agreement di Indonesia dan Singapura dapat terlihat bahwa Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan Negara lain khususnya dengan Singapura. Untuk menerapkan advance pricing agreement di Indonesia maka Direktorat Jenderal Pajak dapat meniru beberapa ketentuan advance pricing agreement yang diatur di Singapura contohnya seperti mengikuti Singapura dalam hal pertemuan awal agar pengajuan advance pricing agreement secara bilateral dan multilateral dapat dipercepat. 2. Dalam menghadapi faktor-faktor yang menghambat penerapan advance pricing agreement Indonesia, penulis mempunyai beberapa saran yang dapat diterapkan yaitu: a) Proses pengajuan advance pricing agreement secara bilateral dan multilateral sebaiknya mendorong wajib pajak untuk berinisiatif melakukan advance pricing agreement dengan otoritas pajak Negara lain yang terkait melalui related party mereka. b) Kompetensi tim yang menangani advance pricing agreement dan juga tim audit transfer pricing sebaiknya ditingkatkan dengan berbagai cara, seperti memasukan ahli industri, ekonom, dan audit pada tim pelaksana advance pricing agreement dan juga dengan melakukan pelatihan-pelatihan khusus dan kerjasama dengan institusi pendidikan terkait. c) Direktorat Jenderal Pajak harus menunjukan konsistensi dalam penerapan aturan perpajakan yang berlaku untuk meningkatkan kepercayaan wajib pajak. Konsistensi dapat

20 ditunjukan dengan menerapkan kebijakan yang telah diterbitkan sesuai dengan ketentuannya. d) Kerahasiaan informasi wajib pajak merupakan faktor penghambat yang paling utama maka Direktorat Jenderal Pajak sebaiknya menggunakan mekanisme tertentu untuk melindungi informasi wajib pajak, salah satu contohnya adalah dengan membuat nondisclosure agreement secara spesifik dalam setiap pengajuan advance pricing agreement. Daftar Referensi Buku Gunadi Transfer Pricing: Suatu Tujuan Akuntansi, Manajemen dan Pajak. Jakarta: PT Bina Rena Pariwara Pajak internasional. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Rugman, Alan M The Regional Multinationals: MNE and Global Strategic Management. United Kingdom: University Press, Cambridge. Tetley, William Q.C International Conflict of Laws, Common, Civil and Maritime. Montreal: International Shipping Publications Wallace, Cynthia Day The Multinational Enterprise and Legal Control : Host State Sovereignty in an Era of Economic Globalization. The Netherlands: Kluwer Law International. Zain, Mohammad 2007 Manajemen Perpajakan, Salemba empat Disertasi Rahayu, Ning Praktik penghindaran pajak tax avoidance pada foreign direct invesment yang berbentuk subsidiary company (PT PMA) di suatu kajian tentang kebijakan anti tax avoidance. Disertasi Fisip Universitas Indonesia.

PER - 69/PJ/2010 KESEPAKATAN HARGA TRANSFER (ADVANCE PRICING AGREEMENT)

PER - 69/PJ/2010 KESEPAKATAN HARGA TRANSFER (ADVANCE PRICING AGREEMENT) PER - 69/PJ/2010 KESEPAKATAN HARGA TRANSFER (ADVANCE PRICING AGREEMENT) Contributed by Administrator Friday, 31 December 2010 Pusat Peraturan Pajak Online PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER -

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7/PMK.03/2015 TENTANG

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7/PMK.03/2015 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7/PMK.03/2015 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN DAN PELAKSANAAN KESEPAKATAN HARGA TRANSFER (ADVANCE PRICING AGREEMENT)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan Controlled Foreign..., Stenny Mariani Lumban Tobing, FISIP UI, 2008

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan Controlled Foreign..., Stenny Mariani Lumban Tobing, FISIP UI, 2008 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Globalisasi dunia yang cepat dan dinamis telah mengakibatkan hubungan perdagangan internasional semakin terbuka luas dan semakin ekstensif yang ditandai dengan terbentuknya

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 240/PMK.03/2014

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 240/PMK.03/2014 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 240/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PROSEDUR PERSETUJUAN BERSAMA (MUTUAL AGREEMENT PROCEDURE) DENGAN

Lebih terperinci

BABl PENDAHULUAN. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita makin dominan sehingga

BABl PENDAHULUAN. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita makin dominan sehingga - ',' BABl PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam beberapa tahun terakhir 1m, penerimaan pajak dalam pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita makin dominan sehingga diharapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa transfer pricing dilakukan antara

BAB I PENDAHULUAN. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa transfer pricing dilakukan antara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adanya perusahaan multinasional membuat transfer sumber daya (baik berupa barang, jasa, laba, maupun aset) tidak hanya dilakukan antardivisi namun juga antarperusahaan

Lebih terperinci

07 Juni 2014 Hotel Bidakara, Jakarta Read More...

07 Juni 2014 Hotel Bidakara, Jakarta Read More... Pengelolaan Komprehensif dan Pemeriksaan PPh Potput Updating Aspek Praktis PPN & Kupas Tuntas Faktur Pajak 21 Mei 2014 24 Mei 2014 Aspek Perpajakan Merger, Akuisisi dan Holding Comprehensive Tax Planning

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan tinggi dalam

BAB I PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan tinggi dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan tinggi dalam perdagangan lintas negara, terutama dipengaruhi oleh kehadiran perusahaan multinasional (Multinational

Lebih terperinci

19 Juni 2014 Hotel Bidakara, Jakarta Juni 2014 Training Room Ortax Read More...

19 Juni 2014 Hotel Bidakara, Jakarta Juni 2014 Training Room Ortax Read More... Tax Aspect on Production Sharing Contract (PSC) 19 Juni 2014 Audit dan Keberatan Kepabeanan dan Cukai Basic Transfer Pricing 23 Juni 2014 Training Room Ortax 08.30 16.00 26 28 Juni 2014 Training Room Ortax

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pesatnya pertumbuhan kegiatan ekonomi internasional turut merangsang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pesatnya pertumbuhan kegiatan ekonomi internasional turut merangsang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pesatnya pertumbuhan kegiatan ekonomi internasional turut merangsang berkembangnya perusahaan multinasional. Dalam perusahaan multinasional terjadi berbagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dari sudut pandang perencanaan pajak, pajak dari keuntungan sebuah perusahaan multinasional di banyak negara dibagi menjadi dua prinsip yang utama, yaitu the company-by-company

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. investor asing berkenaan dengan permasalahan utama bagi setiap investor untuk

BAB I PENDAHULUAN. investor asing berkenaan dengan permasalahan utama bagi setiap investor untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Persaingan untuk menarik investor asing menanamkan modalnya pada suatu negara semakin ketat. Oleh karena itu, negara juga secara aktif mempromosikan negaranya

Lebih terperinci

Comprehensive Tax Planning 2014

Comprehensive Tax Planning 2014 Updating Manajemen Pemeriksaan Pajak dan Penyelesaian Sengketa Pajak 5 Juli 2014 Training Room Ortax 08.30 16.00 Updating Teknik Praktis Faktur Pajak (efaktur Pajak) Sesuai PER-16/PJ/2014 dan PER- 17/PJ/2014

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penentuan status..., Benny Mangoting, FH UI, 2010

BAB 1 PENDAHULUAN. Penentuan status..., Benny Mangoting, FH UI, 2010 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemajakan atas suatu penghasilan secara bersamaan oleh negara domisili 1 dan sumber 2 menimbulkan pajak ganda internasional (international double taxation). Oleh para

Lebih terperinci

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil analisis dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil analisis dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: BAB VI SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan hasil analisis dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Praktik-praktik penghindaran pajak (tax avoidance) yang pada umumnya dilakukan oleh Foreign

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI (EXCHANGE OF INFORMATION)

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI (EXCHANGE OF INFORMATION) PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI (EXCHANGE OF INFORMATION) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.162, 2011 EKONOMI. Pajak. Hak dan Kewajiban. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN BAB V SIMPULAN DAN SARAN V.I. Simpulan Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah melakukan pengamatan, penghitungan, dan pembahasan terhadap pelaksanaan Tax Treaty antara Indonesia dan United Kingdom

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN Undang-Undang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan 1 PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 29/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN LAPORAN PER NEGARA DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 29/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN LAPORAN PER NEGARA DIREKTUR JENDERAL PAJAK, PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 29/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN LAPORAN PER NEGARA DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 12 ayat (2) Peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batas negara yang telah membawa dampak pada kemajuan yang pesat di segala

BAB I PENDAHULUAN. batas negara yang telah membawa dampak pada kemajuan yang pesat di segala BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan perekonomian berkembang tanpa mengenal batas negara yang telah membawa dampak pada kemajuan yang pesat di segala bidang. Salah satunya

Lebih terperinci

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 59 Peraturan Pemerintah N

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 59 Peraturan Pemerintah N No.404, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Pertukaran Informasi. Perpajakan. Tata Cara. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perekonomian dunia saat ini mengacu kepada perekonomian global.tidak dapat dipungkiri bahwa globalisasi kian hari kian menyeluruh.arus informasi dan transaksi

Lebih terperinci

19 Juni 2014 Hotel Bidakara, Jakarta Juni 2014 Training Room Ortax Read More...

19 Juni 2014 Hotel Bidakara, Jakarta Juni 2014 Training Room Ortax Read More... Tax Aspect on Production Sharing Contract (PSC) 19 Juni 2014 Audit dan Keberatan Kepabeanan dan Cukai Basic Transfer Pricing 23 Juni 2014 Training Room Ortax 08.30 16.00 26 28 Juni 2014 Training Room Ortax

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara membuat arus transaksi perdagangan antarnegara juga semakin mudah dan

BAB I PENDAHULUAN. negara membuat arus transaksi perdagangan antarnegara juga semakin mudah dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan perekonomian yang semakin pesat tanpa mengenal batas negara membuat arus transaksi perdagangan antarnegara juga semakin mudah dan lancar, dimana

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perekonomian saat ini telah berkembang pesat mengikuti globalisasi perekonomian dunia. Dengan adanya globalisasi yang semakin marak ini membuat perusahaan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 9 TAHUN 2017 TENTANG : PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN

Lebih terperinci

2017, No penguatan basis data perpajakan untuk memenuhi kebutuhan penerimaan pajak dan menjaga keberlanjutan efektivitas kebijakan pengampunan

2017, No penguatan basis data perpajakan untuk memenuhi kebutuhan penerimaan pajak dan menjaga keberlanjutan efektivitas kebijakan pengampunan No.190, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN. Perpajakan. Informasi. Akses. Penetapan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6112). UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

ERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125/PMK.010/2015 TENTANG

ERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125/PMK.010/2015 TENTANG ERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 125/PMK.010/2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 60/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI (EXCHANGE OF INFORMATION)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Perkembangan ekonomi mengakibatkan transaksi perdagangan dan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Perkembangan ekonomi mengakibatkan transaksi perdagangan dan kegiatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkembangan ekonomi mengakibatkan transaksi perdagangan dan kegiatan perekonomian dapat dengan mudah melintasi batas territorial suatu Negara (Gunadi, 2007).

Lebih terperinci

ANALISA PENGARUH PENERAPAN TAX TREATY INDONESIA - HONGKONG TERHADAP INVESTASI MODAL DI INDONESIA

ANALISA PENGARUH PENERAPAN TAX TREATY INDONESIA - HONGKONG TERHADAP INVESTASI MODAL DI INDONESIA ANALISA PENGARUH PENERAPAN TAX TREATY INDONESIA - HONGKONG TERHADAP INVESTASI MODAL DI INDONESIA Ervina Binus University Jl. Raya Sesetan No. 216b Denpasar- Bali 081805488886 rvinalee@gmail.com Stefanus

Lebih terperinci

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

DIREKTUR JENDERAL PAJAK, PERATURAN DIRJEN PAJAK NOMOR PER-43/PJ/2010 TANGGAL 6 SEPTEMBER 2010 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA DALAM TRANSAKSI ANTARA WAJIB PAJAK DENGAN PIHAK YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN DAN KETENTUAN MENGENAI SANKSI PERPAJAKAN DI INDONESIA

BAB 3 GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN DAN KETENTUAN MENGENAI SANKSI PERPAJAKAN DI INDONESIA BAB 3 GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN DAN KETENTUAN MENGENAI SANKSI PERPAJAKAN DI INDONESIA 3.1. Gambaran Singkat Operasi Perusahaan Agar perencanaan pajak dapat dilakukan dengan baik dan dipahami oleh pihak-pihak

Lebih terperinci

TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI BERDASARKAN PERMINTAAN

TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI BERDASARKAN PERMINTAAN LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 125/PMK.010/2015 TENTANG : PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 60/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI (EXCHANGE

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Persaingan yang dihadapi di era globalisasi ini, menuntut perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Persaingan yang dihadapi di era globalisasi ini, menuntut perusahaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Persaingan yang dihadapi di era globalisasi ini, menuntut perusahaan untuk melakukan pengembangan pasar untuk meningkatkan permintaan pasar. Permintaan pasar

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA. A. Permintaan Informasi kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA. A. Permintaan Informasi kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR : 125/PMK.010/2015 TENTANG : PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 60/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI (EXCHANGE OF INFORMATION)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh perusahaan nasional atau internasional di perlukan dalam rangka

BAB I PENDAHULUAN. oleh perusahaan nasional atau internasional di perlukan dalam rangka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Efisiensi dan efektivitas yang merupakan strategi utama dalam pencapaian laba setinggi-tingginya diperlukan dalam setiap perusahaan. Strategi utama seperti itu oleh

Lebih terperinci

POTENSI PENERIMAAN PAJAK DENGAN MINIMALISIR PRAKTEK TRANSFER PRICING. Abstrak

POTENSI PENERIMAAN PAJAK DENGAN MINIMALISIR PRAKTEK TRANSFER PRICING. Abstrak POTENSI PENERIMAAN PAJAK DENGAN MINIMALISIR PRAKTEK TRANSFER PRICING Abstrak Tak hanya kasus restitusi fiktif dan praktek makelar pajak yang menggerus potensi penerimaan negara dari sektor pajak, praktek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya perkembangan teknologi informasi dan semakin majunya

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya perkembangan teknologi informasi dan semakin majunya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Meningkatnya perkembangan teknologi informasi dan semakin majunya ekonomi suatu negara tentu akan memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk membangun bisnis

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.157, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Penyelenggaraan. Pembukuan. Tata Cara. Perubahan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/PMK.011/2012 TENTANG PERUBAHAN

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, maka regulasi dokumentasi transfer pricing di Indonesia sebaiknya mencakup, memuat dan/atau mengatur hal hal sebagai berikut :

Lebih terperinci

BAB III PERLAKUAN PENETAPAN SUATU KEGIATAN SEBAGAI BUT AGEN YANG TIDAK BEBAS BERDASARKAN KETENTUAN DOMESTIK

BAB III PERLAKUAN PENETAPAN SUATU KEGIATAN SEBAGAI BUT AGEN YANG TIDAK BEBAS BERDASARKAN KETENTUAN DOMESTIK BAB III PERLAKUAN PENETAPAN SUATU KEGIATAN SEBAGAI BUT AGEN YANG TIDAK BEBAS BERDASARKAN KETENTUAN DOMESTIK Dalam Undang-undang Pajak Domestik di Negara Jerman pada tahun 1922 memberikan pandangan yang

Lebih terperinci

PERPAJAKAN INTERNASIONAL

PERPAJAKAN INTERNASIONAL Modul ke: Fakultas EKONOMI PERPAJAKAN INTERNASIONAL Pengertian Pajak Berganda (Double taxation) para ahli, pemajakan berganda dalam aspek Nasional dan Internasional, Penerapan pajak berganda dalam UU PPh

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 32/PJ/2011 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 32/PJ/2011 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 32/PJ/2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-43/PJ/2010 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA DALAM TRANSAKSI

Lebih terperinci

No ke luar Indonesia. Dengan adanya pusat-pusat pelarian pajak/perlindungan dari pengenaan pajak (tax haven), dan belum adanya mekanisme serta

No ke luar Indonesia. Dengan adanya pusat-pusat pelarian pajak/perlindungan dari pengenaan pajak (tax haven), dan belum adanya mekanisme serta TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.6051 KEUANGAN. Perpajakan. Informasi. Akses. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 95) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

BAB 3 OBJEK PENELITIAN DAN DESAIN PENELITIAN Sejarah Kantor Konsultan Pajak Panorama48

BAB 3 OBJEK PENELITIAN DAN DESAIN PENELITIAN Sejarah Kantor Konsultan Pajak Panorama48 BAB 3 OBJEK PENELITIAN DAN DESAIN PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian 3.1.1 Sejarah Kantor Konsultan Pajak Panorama48 Kantor Konsultan Pajak Panorama48 berdiri sejak tahun 1948, Panorama48 merupakan kantor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. transaksi dalam pasar ruang virtual ini sering disebut E-Commerce. Transaksi

BAB I PENDAHULUAN. transaksi dalam pasar ruang virtual ini sering disebut E-Commerce. Transaksi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam era globalisasi, transaksi perdagangan lintas negara semakin mudah seiring kemajuan di bidang teknologi komunikasi dan transportasi. Kemajuan teknologi informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan perekonomian dewasa ini, pajak merupakan suatu hal yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan perekonomian dewasa ini, pajak merupakan suatu hal yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Balakang Penelitian Dalam kehidupan perekonomian dewasa ini, pajak merupakan suatu hal yang harus dikelola dengan baik kerena setiap orang tidak dapat mengindarkan dirinya dari

Lebih terperinci

SILABUS MATA AJAR PERPAJAKAN 3 SKS

SILABUS MATA AJAR PERPAJAKAN 3 SKS SILABUS MATA AJAR PERPAJAKAN 3 SKS Deskripsi dan Tujuan Mata ajaran ini bertujuan untuk membahas berbagai peraturan perpajakan yang berlaku serta pengaruhnya perusahaan dan penyajian kewajaran penyajian

Lebih terperinci

TERM OF REFERENCE TAX ON SEMINAR CONFERENCE : Transfer Pricing : Practice and Theory in Transparency Era

TERM OF REFERENCE TAX ON SEMINAR CONFERENCE : Transfer Pricing : Practice and Theory in Transparency Era TERM OF REFERENCE TAX ON SEMINAR CONFERENCE Nama Kegiatan : TAX ON SEMINAR CONFERENCE Tema : Transfer Pricing : Practice and Theory in Transparency Era Tujuan : 1. Sebagai sarana diskusi ilmiah, diseminasi,

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 28/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI BERDASARKAN PERMINTAAN

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 28/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI BERDASARKAN PERMINTAAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 28/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI BERDASARKAN PERMINTAAN DALAM RANGKA MELAKSANAKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rasio pajak di Indonesia, sebagai salah satu tolok ukur kepatuhan wajib pajak dalam melakukan pemenuhan kewajiban pajak, tergolong rendah. Sebagai gambaran,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Seluruh negara di dunia memperoleh sumber pendanaan utamanya adalah dari

BAB 1 PENDAHULUAN. Seluruh negara di dunia memperoleh sumber pendanaan utamanya adalah dari BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seluruh negara di dunia memperoleh sumber pendanaan utamanya adalah dari perpajakan. Secara sederhana pajak adalah instrumen yang dipergunakan oleh pemerintah untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendorong transaksi internasional atau sering disebut dengan cross border

BAB I PENDAHULUAN. mendorong transaksi internasional atau sering disebut dengan cross border 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Fenomena globalisasi dalam dunia bisnis yang terjadi saat ini telah mendorong transaksi internasional atau sering disebut dengan cross border transaction

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19/PMK.03/2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19/PMK.03/2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19/PMK.03/2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 70/PMK.03/2017 TENTANG PETUNJUK TEKNIS MENGENAI AKSES INFORMASI KEUANGAN

Lebih terperinci

AKSES INFORMASI KEUANGAN

AKSES INFORMASI KEUANGAN AKSES INFORMASI KEUANGAN Untuk Kepentingan Perpajakan Dedie Sugiarta Global Krisis Global tahun 2008 > berdampak pada hampir semua negara di dunia > perlambatan & ketidakpastian ekonomi dunia Diperlukan

Lebih terperinci

19 Juni 2014 Hotel Bidakara, Jakarta Read More Juni 2014 Training Room Ortax Read More

19 Juni 2014 Hotel Bidakara, Jakarta Read More Juni 2014 Training Room Ortax Read More Tax Aspect on Production Sharing Contract (PSC) Audit dan Keberatan Kepabeanan dan Cukai 19 Juni 2014 23 Juni 2014 Training Room Ortax 08.30 16.00 Read More Updating Manajemen Pemeriksaan Pajak dan Penyelesaian

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 10/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 10/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DIREKTUR JENDERAL PAJAK, PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 10/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Menimbang : a. bahwa ketentuan mengenai tata cara penerapan

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 10/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 10/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DIREKTUR JENDERAL PAJAK, PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 10/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Menimbang : a. bahwa ketentuan mengenai tata cara penerapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Memasuki era globalisasi, transaksi internasional atau transaksi antar negara menjadi hal yang lazim dilakukan. Transaksi ini dapat berupa perdagangan internasional,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi saat ini semakin memudarkan batas geografis antar negara

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi saat ini semakin memudarkan batas geografis antar negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era globalisasi saat ini semakin memudarkan batas geografis antar negara di dunia. Berdasarkan cara pandang tersebut, para pengusaha dari berbagai negara dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dewasa ini pemerintah Indonesia sedang gencar dalam pelaksanaan sadar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dewasa ini pemerintah Indonesia sedang gencar dalam pelaksanaan sadar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini pemerintah Indonesia sedang gencar dalam pelaksanaan sadar pajak. Sebagai contohnya, tahun 2015 ini sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.03/2015

Lebih terperinci

Silabus CA Ikatan Akuntan Indonesia MANAJEMEN PERPAJAKAN. Jakarta, 23 June Christine Tjen, SE.Ak., M.Int.Tax,CA

Silabus CA Ikatan Akuntan Indonesia MANAJEMEN PERPAJAKAN. Jakarta, 23 June Christine Tjen, SE.Ak., M.Int.Tax,CA Silabus CA Ikatan Akuntan Indonesia MANAJEMEN PERPAJAKAN Jakarta, 23 June 2016 Christine Tjen, SE.Ak., M.Int.Tax,CA Tujuan Pembelajaran Memahami konsep manajemen perpajakan Mengevaluasi aspek perpajakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di tahun 2015, ASEAN akan

BAB I PENDAHULUAN. Di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di tahun 2015, ASEAN akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di tahun 2015, ASEAN akan menjadi pasar tunggal dan berbasis produksi tunggal dimana terjadi arus barang, jasa investasi dan tenaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. punggung pembiayaan nasional. Pajak merupakan pengalihan sumber dana dari

BAB I PENDAHULUAN. punggung pembiayaan nasional. Pajak merupakan pengalihan sumber dana dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan dan kontribusi pajak kini semakin diperhitungkan sebagai tulang punggung pembiayaan nasional. Pajak merupakan pengalihan sumber dana dari sektor swasta ke sektor

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 36 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Menurut Irawan ( 2006 ) peneliti kualitatif berfikir secara induktif

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Globalisasi yang berkembang dengan cepat membuat kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, transportasi, sistem informasi hingga perekonomian sehingga kegiatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan perekonomian di dunia terjadi dengan pesat. Demikian pula perekonomian di Indonesia. Perkembangan ini memberikan dampak semakin meningkatnya transaksi

Lebih terperinci

Analisis Penerapan Ketentuan Safe harbour Dalam Transaksi Transfer Pricing Di Indonesia

Analisis Penerapan Ketentuan Safe harbour Dalam Transaksi Transfer Pricing Di Indonesia Analisis Penerapan Ketentuan Safe harbour Dalam Transaksi Transfer Pricing Di Indonesia Edwin Akbar Lubis dan Ning Rahayu Ilmu Administrasi Fiskal Program Ekstensi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena itu, perencanaan diperlukan agar laba dapat dicapai dalam perusahaan yang

BAB I PENDAHULUAN. karena itu, perencanaan diperlukan agar laba dapat dicapai dalam perusahaan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada umumnya orang mendirikan perusahaan untuk mencapai laba. Oleh karena itu, perencanaan diperlukan agar laba dapat dicapai dalam perusahaan yang dibangun. Dalam

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 533/KMK.04/2000 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 533/KMK.04/2000 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 533/KMK.04/2000 TENTANG PENYELENGGARAAN PEMBUKUAN DALAM BAHASA ASING DAN MATA UANG SELAIN RUPIAH SERTA PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN MENTERI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pajak merupakan komponen utama dalam penerimaan negara sehingga sangat mempengaruhi kehidupan dan pembangunan di Indonesia. Hingga saat ini berbagai perubahan

Lebih terperinci

HAK DAN KEWAJIBAN INVESTOR ASING DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL

HAK DAN KEWAJIBAN INVESTOR ASING DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL HAK DAN KEWAJIBAN INVESTOR ASING DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL Oleh Kadek Febby Sara Sitradewi Anak Agung Gede Agung Dharma Kusuma Bagian Hukum Perdata Fakultas

Lebih terperinci

Reguler Training Bulan Mei Desember 2017

Reguler Training Bulan Mei Desember 2017 Tgl Pelaksanaan Reguler Training Bulan Mei Desember 2017 Judul Details MEI 03/05/2017 Laporan Keuangan dan Akuntansi Pajak details 06/05/2017 Manajemen Pemeriksaan dan Litigasi Pajak details 06/05/2017

Lebih terperinci

Program Studi Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Widyatama. Tgl. Berlaku : Mei 2012 Versi/Revisi : 01/00

Program Studi Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Widyatama. Tgl. Berlaku : Mei 2012 Versi/Revisi : 01/00 SILABUS/SAP Tgl. Berlaku : Mei 2012 Versi/Revisi : 01/00 Tgl. Revisi : - Kode Dok.: FRM-01 1 P a g e SILABUS/SAP MATA KULIAH PAJAK INTERNASIONAL DAN TAX TREATY 3 SKS Deskripsi dan tujuan mata kuliah Mata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. objek pajak melalui peningkatan jumlah PMA. Namun, dalam meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. objek pajak melalui peningkatan jumlah PMA. Namun, dalam meningkatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan bisnis yang terjadi di Indonesia dapat dijadikan suatu kesempatan untuk menarik investor dari luar negeri agar menanamkan modalnya di Indonesia. Semakin

Lebih terperinci

PER - 10/PJ/2012 PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-11/PJ/2010 TENTANG TATA

PER - 10/PJ/2012 PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-11/PJ/2010 TENTANG TATA PER - 10/PJ/2012 PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-11/PJ/2010 TENTANG TATA Contributed by Administrator Wednesday, 18 April 2012 Pusat Peraturan Pajak Online PERATURAN DIREKTUR

Lebih terperinci

BENEFICIAL OWNER DI DALAM TAX TREATY (STUDI KASUS TAX TREATY INDONESIA BELANDA)

BENEFICIAL OWNER DI DALAM TAX TREATY (STUDI KASUS TAX TREATY INDONESIA BELANDA) BENEFICIAL OWNER DI DALAM TAX TREATY (STUDI KASUS TAX TREATY INDONESIA BELANDA) Silvia Flouren Universitas Bina Nusantara Jalan Rawa Belong Raya No.8, Kemanggisan Jakarta Barat 11480 085217772077 silviaflouren@ymail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena setiap orang tidak dapat menghindarkan dirinya dari pajak. Pajak merupakan

BAB I PENDAHULUAN. karena setiap orang tidak dapat menghindarkan dirinya dari pajak. Pajak merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam segi ekonomi, pajak merupakan suatu hal yang harus dikelola dengan baik karena setiap orang tidak dapat menghindarkan dirinya dari pajak. Pajak merupakan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN HASIL PENELITIAN

BAB IV ANALISIS DAN HASIL PENELITIAN BAB IV ANALISIS DAN HASIL PENELITIAN Pembahasan bab ini akan difokuskan pada analisis regulasi dokumentasi transfer pricing yang bagaimana yang sesuai dengan kondisi di Indonesia. Pembandingan akan dilakukan

Lebih terperinci

BAB 3 OBJEK DAN METODA PENELITIAN. penelitian ini menggunakan satu metode dalam mengumpulkan data yang. serta karakter dari masalah yang diteliti.

BAB 3 OBJEK DAN METODA PENELITIAN. penelitian ini menggunakan satu metode dalam mengumpulkan data yang. serta karakter dari masalah yang diteliti. BAB 3 OBJEK DAN METODA PENELITIAN 3.1. Metoda Penelitian Berdasarkan karakterisitik masalah dalam penelitian ini, maka penelitian ini menggunakan satu metode dalam mengumpulkan data yang dibutuhkan untuk

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No. 5773 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I KEUANGAN. OJK. Nasabah Asing. Perpajakan. Negara Mitra. Informasi Penyampaian. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 291). PENJELASAN

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 27/PJ/2008 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 27/PJ/2008 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR 27/PJ/2008 TENTANG TATA CARA PENYAMPAIAN, PENGADMINISTRASIAN, SERTA PENGHAPUSAN SANKSI ADMINISTRASI SEHUBUNGAN DENGAN PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN PAJAK

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. 1. Metode pengukuran yang digunakan perusahaan properti terdaftar di BEI, ASX dan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. 1. Metode pengukuran yang digunakan perusahaan properti terdaftar di BEI, ASX dan BAB V SIMPULAN DAN SARAN V.1 Simpulan 1. Metode pengukuran yang digunakan perusahaan properti terdaftar di BEI, ASX dan SGX berbeda-beda yaitu keseluruhan perusahaan properti di BEI menggunakan pengukuran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bebasnya jalur bisnis di jaman sekarang dan adanya fenomena globalisasi menyebabkan munculnya banyak perusahaan multinasional di Indonesia. Perpajakan yang berbeda

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 29/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN LAPORAN PER NEGARA DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 29/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN LAPORAN PER NEGARA DIREKTUR JENDERAL PAJAK, PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 29/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN LAPORAN PER NEGARA DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 12 ayat (2) Peraturan

Lebih terperinci

KODE SURAT UNIT ORGANISASI DI LINGKUNGAN KANTOR PUSAT DIREKTORAT JENDERAL PAJAK NO. NAMA UNIT ORGANISASI KODE SURAT

KODE SURAT UNIT ORGANISASI DI LINGKUNGAN KANTOR PUSAT DIREKTORAT JENDERAL PAJAK NO. NAMA UNIT ORGANISASI KODE SURAT LAMPIRAN I - 1 KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP- 180 /PJ/2006 TENTANG PENGGUNAAN NOMOR KODE SURAT DAN CAP DINAS SEMENTARA UNTUK UNIT-UNIT DI LINGKUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SEHUBUNGAN DENGAN

Lebih terperinci

PENERAPAN PERENCANAAN PAJAK UNTUK EFISIENSI PPh TERHUTANG PADA PT. SUHADA PETROLEUM

PENERAPAN PERENCANAAN PAJAK UNTUK EFISIENSI PPh TERHUTANG PADA PT. SUHADA PETROLEUM PENERAPAN PERENCANAAN PAJAK UNTUK EFISIENSI PPh TERHUTANG PADA PT. SUHADA PETROLEUM Tanzil Tri Saputra, Murtedjo, SE.,AK.,MM.,CA Universitas Bina Nusantara, Jl. Kebon Jeruk Raya No.27,(021) 53696969,tanziltrisaputra@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang. Tarif pajak penghasilan atas badan (PPh badan) yang besarnya ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang. Tarif pajak penghasilan atas badan (PPh badan) yang besarnya ditentukan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Tarif pajak penghasilan atas badan (PPh badan) yang besarnya ditentukan oleh masing-masing negara, memungkinkan terjadinya variasi tarif PPh badan antara satu negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan penting dalam Anggaran

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan penting dalam Anggaran 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan penting dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, karenanya pajak setiap tahun dituntut untuk terus meningkat

Lebih terperinci

- 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

- 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 25 /POJK.03/2015 TENTANG PENYAMPAIAN INFORMASI NASABAH ASING TERKAIT PERPAJAKAN KEPADA NEGARA MITRA ATAU YURISDIKSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian 13 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pada tahun 1983 telah terjadi momentum penting dalam sistem perpajakan yang dirombak dari sistem official assessment menjadi sistem self assessment. Kedua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Dalam setiap pembicaraan mengenai perpajakan hampir selalu dikemukakan bahwa antara Pemerintah (fiskus) dengan Wajib Pajak itu mempunyai kepentingan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan sejalan dengan sikap sosial dari masyarakat tersebut. Menurut Warren (2008:2),

BAB I PENDAHULUAN. dan sejalan dengan sikap sosial dari masyarakat tersebut. Menurut Warren (2008:2), BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan diciptakannya perusahaan adalah untuk menyediakan kebutuhan kepada masyarakat umum, berupa barang atau jasa yang diperlukan atau yang diinginkan dan sejalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehubungan dengan investasi, salah satunya adalah transfer pricing. Meskipun beberapa

BAB I PENDAHULUAN. sehubungan dengan investasi, salah satunya adalah transfer pricing. Meskipun beberapa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin majunya era globalisasi menyebabkan perekonomian berkembang tanpa mengenal batas negara. Perusahaan multinasional akan menghadapi masalah perbedaan tarif pajak

Lebih terperinci

PERAN KASIH SAYANG DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA

PERAN KASIH SAYANG DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA PERAN KASIH SAYANG DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA Penulis A, Penulis B RSPI Abstract Tax societies should be well understood about tax regulations. Moreover a tax authority is expected to be able

Lebih terperinci