PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI"

Transkripsi

1 KAJIAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN BERDASARKAN KEPMENKES RI NOMOR 1027/MENKES/SK/IX/2004 DI APOTEK -APOTEK KABUPATEN KULON PROGO SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm) Program Studi Ilmu Farmasi Oleh : Ignasius Totok Tri Prasetyo NIM : FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2007

2 PLAGIAT PLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

3 PLAGIAT PLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

4 Ojo rumongso, ning ngrumangsanono!!! Semuanya aku serahkan ke dalam tanganmu, semoga menjadi berkat melimpah bagiku. Kupersembahkan buat : Jesus Christ Keluargaku (Ibu-Bapak, mas Didik, Danu) No e almamaterku iv

5 PLAGIAT PLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

6 PLAGIAT PLAGIAT MERUPAKAN MERUPAKAN TINDAKAN TINDAKAN TIDAK TIDAK TERPUJI TERPUJI

7 PRAKATA Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Kajian Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Apotek Apotek Kabupaten Kulon Progo. Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. 2. Ibu Yustina Sri Hartini, M.Si., Apt selaku pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing, memotivasi, memberikan kritik dan saran hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 3. Bapak Drs. Sulasmono, Apt. selaku pembimbing II yang juga telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing, memotivasi, memberikan kritik dan saran hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. vi

8 4. Bapak Ipang Djunarko, S.Si., Apt. selaku pencetus ide awal penelitian ini dan selaku dosen penguji. Terimakasih atas kritik dan saran yang telah diberikan. 5. Bapak Yosef Wijoyo, M.Si., Apt., selaku dosen penguji. Terima kasih atas kritik dan saran yang telah diberikan. 6. Pemerintah Kabupaten Kulon Progo yang telah memberikan izin sehingga penelitian ini dapat terlaksana. 7. Seluruh Apoteker Kabupaten Kulon Progo yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini. 8. Ibu dan Bapak, inilah anakmu! 9. Mefta, terima kasih Tuhan atas kasih yang Kau berikan melalui dia. You are the best I ever had. 10. Rm. Ant. Budi Wihandono, Pr., atas segala doa dan Berkah Dalem. 11. Teman teman kost: Adit dan Yuda, kebersamaan selama kost; Basil, cartride dan printernya; Mamat, ayo wisuda; Fetzo, atas servis virusnya. 12. Sahabat terbaik: Ratih, Wati, Nella, Tina, Bambang, Bangun; kita bukan gerombolan yang tidak berpendidikan! 13. Rekan seperjuangan : Monika, atas semangatnya; Adi, revisiannya, Bambang dan Bangun, akhirnya kita lulus. 14. Teman - teman senasib : Vian, Rosa, Tata, Syu, Ratih, Andi, Vera; terima kasih atas solidaritas, sharing dan kebersamaannya. 15. Teman-teman Fakultas Farmasi Sanata Dharma angkatan 2003 kelas A terutama kelompok B; Nella, Mita, Bambang, Vera, Ana, Angger, Sari, Obe, Rosa, Andika; kapan kita ngrumpi sambil praktikum lagi? vii

9 16. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu dan telah memberikan bantuan bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi. Dalam kesempatan ini, penulis juga memohon maaf kepada semua pihak atas kekurangan dan kesalahan yang mungkin dilakukan penulis. Oleh karena itu dengan rendah hati penulis mengharapkan masukan, saran dan kritik yang membangun. Yogyakarta, 31 November 2007 Penulis viii

10 INTISARI Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care). Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) bekerjasama dengan Departemen kesehatan Republik Indonesia mencoba menanggapi hal tersebut dengan cara merumuskan suatu standar pelayanan kefarmasian di apotek seperti termuat dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. Standar tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman praktik Apoteker dalam menjalankan profesi, untuk melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional, dan melindungi profesi dalam menjalankan praktik kefarmasian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kabupaten Kulon Progo dan sedikit mengkaji pemahaman apoteker mengenai pengertian medication record dan konseling. Penelitian ini termasuk jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif. Responden dalam penelitian ini adalah Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pendamping yang bersedia mengisi kuesioner yang merupakan instrumen penelitian ini. Analisis yang dilakukan adalah statistik deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 belum dilaksanakan secara menyeluruh oleh Apoteker di apotek-apotek Kabupaten Kulon Progo. Kata kunci : Standar Pelayanan Kefarmasian, Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, Apotek. ix

11 ABSTRACT Pharmaceutical care orientation has changed from drug oriented to patient oriented which refers to pharmaceutical care. The Pharmaceutical care activities has, which previously only focused on the drugs management as a commodity, become more focused in to a comprehensive care that aimed at increasing the quality of patient s life. Indonesian Pharmacist Graduated Assosiation( ISFI) work along with Health Department of Indonesia try to answer the mentioned by the way of formulating an pharmaceutical care in dispensary like included in Kepmenkes RI number 1027/MENKES/SK/IX/2004. The standard is expected serve the purpose of guidance of Pharmacist s practice in implementing profession, to protect public from unprofessional service, and protect profession in implementing practice of pharmacy This research aimed at knowing the description of the implementation of Pharmaceutical Care Standards in Dispensary based on the Kepmenkes RI Number 1027/MENKES/SK/IX/2004 in Kulon Progo and briefly studying the pharmacist s comprehension concerning the definition of medication record and counseling. This respondent s were Administrator Pharmacist or Co-Pharmacist who willing to fills the questionnaire, which was instruments of the research. The analysis performed was descriptive statistic. Result of the study suggesting that the Pharmaceutical Care Standards in Dispensary based on the Kepmenkes RI No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 in Kulon Progo was not well performed yet by pharmacists in dispensaries in Kulon Progo. Key words : Pharmaceutical Care Standard, Kepmenkes RI Number 1027/MENKES/SK/IX/2004, Dispensary. x

12 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN... HALAMAN PERSEMBAHAN... PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... PRAKATA.... INTISARI ABSTRACT.... DAFTAR ISI..... DAFTAR TABEL..... DAFTAR GAMBAR.... DAFTAR LAMPIRAN..... i ii iii iv v vi ix x xi xv xvi xix BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Rumusan Masalah Keaslian penelitian Manfaat Penelitian.. 6 B. Tujuan Penelitian.. 7 BAB II PENELAAHAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Apotek. 8 B. Tinjauan Umum Tentang Apoteker xi

13 1. Menurut Peraturan Perundang undangan Apoteker Sebagai Profesi dan Perannya.. 13 C. Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek D. Sumpah Apoteker E. Kode Etik Apoteker.. 22 F. Etika Bisnis G. Keterangan Empiris.. 25 BAB III METODOLOGI PENELITIAN. 26 A. Jenis dan Rancangan Penelitian B. Definisi Operasional Penelitian 26 C. Instrumen Penelitian D. Populasi dan Sampel Popoulasi Sampel E. Tata Cara Penelitian Pembuatan kuisioner Pengujian kuisioner Penyebaran kuisioner Pengumpulan kuisioner Wawancara.. 32 F. Tata Cara Analisis Data G. Kesulitan Penelitian. 33 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN xii

14 A. Data Deskripsi Responden Umur responden Posisi responden di apotek Pengalaman kerja responden di apotek Adanya pekerjaan lain dari responden Waktu kerja responden 37 B. Pengelolaan Sumber Daya Sumber daya manusia Sarana dan prasarana Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan lainnya Administrasi C. Pelayanan Skrining resep Penyiapan obat Promosi, Edukasi dan Tindak lnajut Terapi 69 D. Evaluasi Mutu Pelayanan Tingkat kepuasan konsumen Dimensi waktu Prosedur tetap.. 73 E. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Kulon Progo F. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Kulon Progo Berdasarkan Karakteristik Responden.. 77 xiii

15 1. Umur responden Pengalaman kerja sebagai apoteker Adanya pekerjaan lain Waktu kerja responden selama satu minggu BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.. 89 A. Kesimpulan.. 89 B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BIOGRAFI PENULIS 111 xiv

16 DAFTAR TABEL Tabel I Posisi Responden di Apotek.. 35 Tabel II Waktu Kerja Responden di Apotek dalam Seminggu Hal Tabel III Pengambilan Keputusan di Apotek Selalu Berdasarkan Persetujuan APA Tabel IV Informasi Obat yang Diberikan Apoteker Tabel V Adanya Tempat Khusus untuk Mendisplay Informasi.. 46 Tabel VI Adanya Ruang Racikan di Apotek Tabel VII Tersedianya Keranjang Sampah untuk Staf dan Pasien 48 Tabel VIII Latar Belakang Perencanaan Pengadaan Sediaan Farmasi di Apotek Tabel IX Apotek yang Pernah Memindahkan Isi Obat ke Wadah Lain 52 Tabel X Informasi yang Disertakan Pada Wadah Baru Tabel XI Apoteker yang Memberikan Konseling Secara Berkelanjutan 67 Tabel XII Apoteker yang Melakukan Tindak Lanjut Terapi 70 Tabel XIII Apotek yang Menetapkan Lama Pelayanan 72 xv

17 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Umur Responden Hal. Gambar 2. Pengalaman Kerja Responden sebagai Apoteker di Apotek. 36 Gambar 3. Ada Tidaknya Pekerjaan Lain dari Responden.. 36 Gambar 4. Apotek yang Selalu Melakukan Konsultasi dengan Dokter Apabila Ada Ketidakjelasan pada Resep Gambar 5. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian Sumber Daya Manusia.. 43 Gambar 6. Adanya Ruang Tunggu bagi Pasien Gambar 7. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian Sumber Daya Manusia.. 49 Gambar 8. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Sediaan Lainnya 55 Gambar 9. Apotek yang Selalu Menyertakan Faktur atatu Nota Penjualan 57 Gambar 10. Apotek Yang Selalu Melakukan Pengisian Medication Record.. 58 Gambar 11. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian Administrasi xvi

18 Gambar 12. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian Skrining Resep. 63 Gambar 13. Apotek yang Pernah Menerima keluhan Tentang Etiket Gambar 14. Apoteker yang Selalu Menyediakan jam Konseling Setiap Hari di Apotek Gambar 15. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian Penyiapan Obat.. 68 Gambar 16. Apoteker yang Pernah Melakukan Diseminasi Informasi Obat 69 Gambat 17. Penatalaksanaan Promosi, Edukasi, dan Tidak Lanjut Terapi. 71 Gambar 18. Apotek yang Mempunyai Prosedur Tertulis dan Tetap. 73 Gambar 19. Penatalaksanaan Evaluasi Mutu Pelayanan Gambar 20. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Kulon Progo Gambar 21 Rata Rata Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Kulon Progo Berdasarkan Umur Responden Gambar 22 Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Kulon Progo Berdasarkan Umur Responden xvii

19 Gambar 23 Rata Rata Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Kulon Progo Berdasarkan Pengalaman Kerja Responden Gambar 24 Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Kulon Progo Berdasarkan Pengalaman Kerja Responden Gambar 25 Rata Rata Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Kulon Progo Berdasarkan Adanya Pekerjaan Lain Responden Gambar 26 Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Kulon Progo Berdasarkan Adanya Pekerjaan Lain Responden Gambar 27 Rata Rata Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Kulon Progo Berdasarkan Waktu Kerja Responden Dalam Satu Minggu. 87 Gambar 28 Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Kulon Progo Berdasarkan Waktu Kerja Responden Dalam Satu Minggu xviii

20 DAFTAR LAMPIRAN Hal. Lampiran 1. Surat Pengantar Kuisioner Penelitian. 95 Lampiran 2. Kuesioner Penelitian.. 96 Lampiran 3. Surat Izin Penelitian Lampiran 4. Tabulasi Data. 103 Lampiran 5. Sumpah/Janji Apoteker Indonesia Lampiran 6. Kode Etik Apoteker Lampiran 7. Contoh Alur Pelayanan Resep Lampiran 8. Hasil Wawancara xix

21 1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan secara sendiri atau bersama sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan atau masyarakat. Pelayanan kesehatan dapat diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta, dalam bentuk pelayanan kesehatan perorangan atau pelayanan kesehatan masyarakat (Sirait, 2001) Dimensi pelayanan farmasi sebagai bagian dari sebagian pelayanan kesehatan terdiri dari 2 kegiatan utama, yaitu dimensi pelayanan kefarmasian oleh Apoteker sebagai salah satu tenaga kesehatan, yaitu tenaga kefarmasian dan dimensi pengelolaan obat sebagai produk barang kesehatan (Anief, 1995). Pengelolaan apotek menjadi tugas dan tanggung jawab seorang Apoteker. Saat ini terjadi pergeseran orientasi pelayanan kefarmasian dari drug oriented menjadi patient oriented. Apoteker yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi berubah menjadi pelayanan yang komprehensif dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Dalam hal ini Apoteker dituntut mampu berkomunikasi dengan pasien untuk memberi informasi, monitoring penggunaan obat dan mengetahui tujuan akhir sesuai harapan, serta harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadi kesalahan

22 2 pengobatan (medication error). Disamping itu juga Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi untuk mendukung pengobatan yang rasional (Anonim, 2004a). Dengan demikian terjadi pelayanan informasi obat dalam bentuk komunikasi, informasi dan edukasi tentang obat yang merupakan salah satu fungsi pekerjaan kefarmasian. Meningkatnya arus globalisasi, semakin canggihnya teknologi farmasi dan kedokteran, pasar terbuka, perubahan gaya hidup menyebabkan perubahan tuntutan masyarakat terhadap pelayanan kefarmasian di apotek yang tidak lagi hanya berorientasi pada obat tetapi lebih berorientasi kepada pasien, sehingga apotek diharapkan memberi pelayanan sesuai standar pelayanan kefarmasian. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) sebagai satu satunya organisasi profesi Apoteker di Indonesia bersama dengan Departemen Kesehatan Republik Indonesia mencoba untuk menanggapi perubahan peran apoteker dengan cara merumuskan suatu standar pelayanan kefarmasian di apotek seperti termuat dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 (Anonim, 2004a). Apoteker di apotek dalam menjalankan praktek kefarmasian mendapatkan perlindungan hukum bila praktek kefarmasian tersebut dijalankan sesuai standar yang berlaku, yaitu Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. Menurut pasal 24 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan, perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kesehatan yang melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan.

23 3 Menurut Penjelasan Peraturan Pemerintah no. 32 tahun 1996 pasal 21, yang dimaksud standar profesi tenaga kesehatan adalah pedoman yang harus dipergunakan oleh tenaga kesehatan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesinya secara baik. Standar tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman praktik Apoteker dalam menjalankan profesi, untuk melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional, dan melindungi profesi dalam menjalankan praktik kefarmasian. Dalam meningkatkan kualitas pelayanan farmasi yang berasaskan pharmaceutical care di apotek dibutuhkan Apoteker yang profesional. Dengan ditetapkannya Standar Pelayanan Kefarmasian di apotek ini diharapkan tujuan pelayanan kefarmasian dapat dicapai secara maksimal (Anonim, 2004a). Demikian juga, konsumen mendapatkan perlindungan dari pelaku usaha yang bekerja tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan; sesuai yang tercantum dalam Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Kabupaten Kulon Progo, menurut pokok-pokok pikiran DPRD Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dalam rangka penyusunan arah dan kebijakan umum APBD Propinsi DIY Tahun 2006, merupakan kabupaten di Propinsi DIY yang memiliki status kesehatan paling rendah. Hal ini ditunjukkan dengan masih rendahnya status gizi yang ditandai dengan tingginya penderita anemia gizi besi atau kurang darah pada ibu hamil yang mencapai 73,9 %; gizi kurang pada balita 14%; anemia pada balita %; kekurangan energi kronis pada wanita hamil

24 4 dan menyusui 26,9 % dan juga masih tingginya angka KLB seperti demam berdarah dan malaria ditambah problem sanitasi yang masih buruk. Apotek merupakan salah satu sarana kesehatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan status kesehatan. Apotek akan memberi pengarahan kepada masyarakat tentang pemilihan obat, konseling kesehatan dan sanitasi lingkungan. Melihat hal tersebut di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pelayanan kefarmasian Apoteker di apotek menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, terutama apotek - apotek di Kabupaten Kulon Progo, yang disesuaikan dengan perlindungan konsumen. 1. Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : a. Apakah apotek-apotek di Kabupaten Kulon Progo telah memenuhi Standar Pelayanan Kefarmasian berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004? b. Parameter manakah dari Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 telah terlaksana dengan baik, cukup dan kurang sesuai dengan persentase masing - masing? c. Parameter manakah dari Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 yang hasilnya berbeda berdasarkan karakteristik responden, pada pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek?

25 5 2. Keaslian penelitian Sejauh yang peneliti ketahui belum pernah dilakukan penelitian mengenai Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kabupaten Kulon Progo. Beberapa penelitian sejenis yang pernah dilakukan sebelumnya, yaitu : a. Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kota Yogyakarta (Sukmajati, 2007) Perbedaan penelitian Sukmajati dengan penelitian ini adalah : 1) Daerah penelitian Sukmajati (2007) berada di Kota Yogyakarta dengan periode September-November 2006, sedangkan pada penelitian ini daerah penelitian di Kabupaten Kulon Progo dengan periode Juli-November ) Penelitian Sukmajati (2007) tidak mencantumkan hasil pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan karakteristik responden, sedangkan penelitian ini mencantumkan hasil pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan karakteristik responden berikut dengan pembahasanannya.

26 6 b. Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kabupaten Sleman (Soedarsono, 2007) Perbedaan penelitian Soedarsono dengan penelitian ini adalah : 1) Daerah penelitian Soedarsono (2007) berada di Kabupaten Sleman dengan periode Oktober-Desember 2006, sedangkan pada penelitian ini daerah penelitian di Kabupaten Kulon Progo dengan periode Juli-November ) Penelitian Soedarsono (2007) tidak mencantumkan hasil pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan karakteristik responden, sedangkan penelitian ini mencantumkan hasil pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan karakteristik responden berikut dengan pembahasanannya. 3. Manfaat penelitian a. Manfaat Teoritis Memberi gambaran mengenai Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Apotek Apotek Kabupaten Kulon Progo.

27 7 b. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai : 1) Bahan evaluasi bagi Apoteker Pengelola Apotek (APA) dalam pengelolaan apotek 2) Bahan acuan bagi mahasiswa farmasi atau para calon apoteker yang tertarik dalam pelayanan perapotekkan. 3) Bahan evaluasi bagi pihak-pihak yang terkait berkenaan dengan pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di Apotek. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan : 1. Untuk mengetahui apakah apotek-apotek di Kabupaten Kulon Progo telah memenuhi Standar Pelayanan Kefarmasian berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1027/MENKES/SK/IX/ Untuk mengetahui parameter manakah dari Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 telah terlaksana dengan baik, cukup dan kurang sesuai dengan persentase masing masing. 3. Untuk mengetahui parameter manakah dari Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 yang hasilnya berbeda pada pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan karakteristik responden.

28 8 BAB II PENELAAHAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Apotek Peraturan perundang-undangan yang penting mengenai apotek adalah Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 1965 yang kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun Apabila Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 1980 ditelaah secara seksama, maka apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian dan penyaluran obat kepada masyarakat (pasal 1). Tugas dan fungsi apotek (pasal 2) adalah a. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan; b. Sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat; c. Sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata. (Anonim, 1980) Menurut KepMenKes RI nomor 1332/MENKES/SK/X/2002, maka izin apotek diberikan oleh Menteri. Menteri melimpahkaan wewenang pemberian izin apotek kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Selanjutnya Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota wajib melaporkan pelaksanaan pemberian izin, pembekuan izin, pencairan izin, dan pencabutan izin apotek sekali setahun kepada kepada menteri dan tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan (pasal 4). Persyaratan apotik menurut KepMenKes di atas adalah (pasal 6) : (1) Untuk mendapatkan izin apotek, apoteker atau apoteker bekerjasama dengan pemilik sarana yang telah memenuhi persyaratan harus siap dengan tempat,

29 9 perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan lainnya yang merupakan milik sendiri atau milik pihak lain (2) Sarana Apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi (3) Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi. (Anonim,2002) Selanjutnya Peraturan Menteri Kesehatan nomor 922/MENKES/PER/1993 pasal 10 menyebutkan, yang dimaksud dengan pengelolaan apotek adalah pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan obat. Selanjutnya pengelolaannya adalah pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan perbekalan farmasi lainnya. Pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi merupakan juga pengelolaan apotik. Kemudian pasal 11 menyebutkan yang dimaksud dengan pelayanan informasi, meliputi : a. Pelayanan informasi tentang obat dan perbekalan farmasi lainnya yang diberikan baik kepada dokter dan tenaga kesehatan lainnya maupun kepada masyarakat. b. Pengamatan dan pelaporan informasi mengenai khasiat, keamanan, bahaya dan atau mutu obat, danperbekalan farmasi lainnya. (Anonim, 1993b) Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat (Anonim, 2004a).

30 10 1. Menurut peraturan perundang-undangan B. Tinjauan Umum Tentang Apoteker Menurut KepMenKes RI nomor 1332/MENKES/SK/X/2002 pasal 1 menyebutkan bahwa apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker, mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia (Anonim, 2002). Peraturan Menteri Kesehatan nomor 922/MENKES/PER/X/1993 menyebutkan syarat untuk melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai apoteker (pasal 5) adalah : a. Ijazah telah terdaftar pada Departemen kesehatan. b. Telah mengucapkan Sumpah/Janji sebagai Apoteker. c. Memiliki Surat Ijin Kerja dari Menteri. d. Memenuhi syarat-sayarat kesehatan fisik dan mental untuk melaksakan tugasnya, sebagai Apoteker. e. Tidak bekerja di suatu Perusahaan farmasi dan tidak menjadi apoteker Pengelola Apotik di Apotik lain. Menurut KepMenKes RI nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker (Anonim, 2004a). Di Indonesia pemberian izin menjalankan pekerjaan apoteker pendamping, diatur oleh KepMenKes RI nomor 279/MENKES/SK/V/1981. Surat persetujuan sebagai Apoteker Pendamping dapat dicabut apabila, apabila (pasal 31) :

31 11 a. apoteker yang berkepentingan melakukan atau telah melakukan suatu perbuatan pidana b. melakukan atau telah melakukan perbuatan yang melanggar susila kefarmasian c. kesehatan fisik maupun mental terganggu sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan dengan baik d. membuat kesalahan-kesalahan teknis dalm bidang tugas/pekerjaan yang berbahaya e. melakukan hal-hal yang membahayakan kepentingan umum. (Anonim, 1981a) Menurut KepMenKes RI nomor 1332/MENKES/SK/X/2002, maka apoteker berkewajiban menyediakan, menyimpan dan menyerahkan sedian farmasi yang bermutu baik dan yang keabsahannya terjamin. Sediaan Farmasi yang karena sesuatu hal tidak dapat digunakan lagi atau dilarang digunakan, harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau ditanam atau, dengan cara lain yang ditetapkan oleh Menteri. Pemusnahan dilakukan Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pengganti dibantu oleh sekurang-kurangnya seorang karyawan Apotek. (Anonim, 2002) Apoteker pengelola apotek adalah apoteker yang telah diberi Surat Izin Apotek (SIA). Surat Izin Apotik atai SIA adalah Surat izin yang diberikan oleh Menteri kepada Apoteker atau Apoteker bekerjasama dengan pemilik sarana untuk menyelenggarakan Apotek di suatu tempat tertentu. Apabila apoteker pengelola apotek berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka apotek, apoteker pengelola apotek harus menunjuk apoteker pendamping. Apoteker pendamping adalah apoteker yang bekerja di apotek di samping apoteker pengelola apotek dan/atau menggantikannya pada jam-jam tertentu pada hari buka apotek. Apabila apoteker pengelola apotek dan apoteker pendamping karena hal-hal tertentu berhalangan melakukan tugasnya,

32 12 apoteker pengelola apotek menunjuk apoteker pengganti. Apoteker pengganti adalah apoteker yang menggantikan apoteker pengelola apotek selama apoteker pengelola apotek tersebut tidak berada di tempat lebih dari tiga bulan secara terus-menerus dan telah memiliki surat izin kerja serta tidak bertindak sebagai apoteker pengelola apotek di apotek lain (Anonim, 2002). Peraturan Menteri Kesehatan nomor 922/MENKES/PER/X/1993 menyebutkan bahwa apoteker wajib memberikan informasi (pasal 15) : a. yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien. b. penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat. Dalam Kode Etik apoteker Indonesia pasal 7 juga menyatakan bahwa seorang apoteker hendaknya menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya bagi masyarakat dalam rangka pelayanan dan pendidikan kesehatan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa salah satu tugas apoteker adalah memberikan informasi kepada pasien yang datang ke apotek, sehingga kewajiban apoteker, baik apoteker pengelola apotek atau apoteker pendamping atau apoteker pengganti adalah berada di apotek selama jam buka apotek dan memberikan informasi kepada pasien yang datang ke apotek. Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 pasal 35 (d) menyatakan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan, pada pasal 86 yaitu barang siapa dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat 1, dipidana denda paling banyak Rp ,00 (sepuluh juta rupiah).

33 13 2. Apoteker sebagai profesi dan perannya Profesi merupakan suatu pekerjaan yang menuntut suatu pengetahuan dan keterampilan yang sangat khusus yang diperoleh melalui pelajaran yang bersifat teoritis dan praktek dan diuji oleh lembaga perguruan tinggi dan kepada yang bersangkutan diberi kewenangan guna pemberian layanan konsumen atau kliennya (Harding, 1993). Menurut ISFI (2004) profesi memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. memiliki tubuh pengetahuan yang berbatas jelas. 2. pendidikan khusus berbasis keahlian pada jenjang pendidikan tinggi. 3. memberi pelayanan kepada masyarakat, praktek dalam bidang keprofesian. 4. memiliki perhimpunan dalam bidang keprofesian yang bersifat otonom. 5. memberlakukan kode etik keprofesian. 6. memiliki motivasi altruistik dalam memberikan pelayanan. 7. proses pembelajaran seumur hidup. 8. mendapat jasa profesi. Mengacu pada definisi apoteker di Kepmenkes no tahun 2004 maka untuk menjadi seorang apoteker, seseorang harus menempuh pendidikan diperguruan tinggi farmasi baik dijenjang S-1 maupun jenjang pendidikan profesi. Lulusan perguruan tinggi farmasi ini tentunya akan memenuhi ciri profesi yang pertama dan kedua. Ciri ketiga terpenuhi ketika seorang apoteker melakukan praktek profesi dalam arti kemudian melakukan pelayanan kepada masyarakat.

34 14 Berdasarkan Kepmenkes no /KB/121 tanggal 16 September 1965, Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) merupakan satu satunya organisasi sarjana farmasi / apoteker yang bersifat otonom yang menghimpun seluruh tenaga kesehatan sarjana dibidang farmasi. Kode Etik Apoteker Indonesia adalah suatu aturan moral sebagai rambu-rambu yang membatasi seorang apoteker dalam menjalankan pekerjaan keprofesiannya dari perbuatan tercela dan merugikan martabat profesi apoteker dan organisasi profesi. Berdasarkan Permenkes Nomor 184 tahun 1995 pasal 18 disebutkan bahwa apoteker dilarang melakukan perbuatan yang melanggar Kode Etik Apoteker oleh sebab itu seorang apoteker perlu memahami isi dari Kode Etik Apoteker. Kode Etik Apoteker Indonesia disusun oleh Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI). Kode Etik Apoteker Indonesia menurut ISFI hasil Keputusan Kongres Nasional XVII ISFI tahun 2005 nomor 007/2005 tanggal 18 Juni Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan maka proses pembelajaran seumur hidup merupakan tuntutan bagi Apoteker, hal ini mendukung ciri profesi yang pertama dan kedua sehingga tujuan profesionalnya dapat tercapai karena tanpa belajar terus menerus maka tidak akan dapat memberikan pelayanan yang baik bagi masyarakat. Satu satunya ciri yang belum terpenuhi oleh apoteker di Indonesia adalah mendapat jasa profesi. Hal ini dikarenakan balas jasa pelayanan berdasarkan kemampuan apotek menggaji apoteker. Dalam hal ini apoteker

35 15 masih bekerja sebagai seorang yang bekerja bagi kehidupan apotek untuk mendapatkan imbal baliknya (Hartini dan Sulasmono,2006). Di tingkat dunia, International Pharmaceutical Federation mengidentifikasi bahwa profesi adalah kemauan individu farmasis untuk melakukan praktek kefarmasian sesuai syarat legal minimun yang berlaku serta mematuhi standar profesi dan etik kefarmasian. Peran Apoteker yang digariskan oleh WHO yang dikenal dengan istilah Seven Stars of Pharmacist meliputi : 1. Care Giver. Apoteker sebagai pemberi pelayanan dalam bentuk pelayanan klinis, analitis, teknis, sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam memberikan pelayanan, apoteker harus berinteraksi dengan pasien secara individu maupun kelompok, apoteker harus mengintegrasikan pelayanannya pada sistem pelayanan kesehatan secara berkesinambungan dan pelayanan apoteker yang dihasilkan harus bermutu tinggi. 2. Decision-maker. Apoteker mendasarkan pekerjaannya pada kecukupan, keefikasian dan biaya yang efektif dan efisien terhadap seluruh penggunaan sumber daya misalnya sumber daya manusia, obat, bahan kimia, peralatan, prosedur, pelayanan dan lain-lain. Untuk mencapai tujuan tersebut kemampuan dan keterampilan apoteker perlu diukur untuk kemudian hasilnya dijadikan dasar dalam penentuan pendidikan dan pelatihan yang diperlukan. 3. Comunicator. Apoteker mempunyai kedudukan penting dalam berhubungan dengan pasien maupun profesi kesehatan yang lain, oleh

36 16 karena itu harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang cukup baik. Komunikasi tersebut meliputi komunikasi verbal, non verbal, mendengar dan kemampuan menulis, dengan menggunakan bahasa sesuai dengan kebutuhan. 4. Leader. Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan. 5. Manager. Apoteker harus efektif dalam mengelola sumber daya (manusia, fisik, anggaran) dan informasi, juga harus dapat dipimpin dan memimpin orang lain dalam tim kesehatan. Lebih jauh lagi apoteker mendatang harus tanggap terhadap kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi informasi mengenai obat dan hal-hal lain yang berhubungan dengan obat. 6. Life-long learner. Apoteker harus senang belajar sejak dari kuliah dan semangat belajar harus selalu dijaga walaupun sudah bekerja untuk menjamin bahwa keahlian dan keterampilannya selalu baru (up-date) dalam melakukan praktek profesi. Apoteker juga harus mempelajari cara belajar yang efektif. 7. Teacher. Apoteker mempunyai tanggung jawab untuk mendidik dan melatih apoteker generasi mendatang. Partisipasinya tidak hanya dalam berbagai ilmu pengetahuan baru satu sama lain, tetapi juga kesempatan memperoleh pengalaman dan peningkatan keterampilan. (Anonim, 2004b)

37 17 C. Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek Standar Pelayanan Kefarmasian di apotek disusun dengan tujuan sebagai pedoman praktik apoteker dalam menjalankan profesi, untuk melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional serta melindungi profesi dalam menjalankan praktik kefamasian (Anonim, 2004a) Adapun Standar Pelayanan Kefarmasian di apotek menurut KepMenKes No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 antara lain: a. Pengelolaan sumber daya 1) Sumber daya manusia Sesuai ketentuan perundangan yang berlaku Apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang profesional. Dalam pengelolaan Apotek, Apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner, kemampuan mengelola SDM secara efektif, selalu belajar sepanjang karier, dan membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan. 2) Sarana dan prasarana Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh masyarakat. Pada halaman terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata apotek. Apotek harus dapat dengan mudah diakses oleh anggota masyarakat. Pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya, hal ini berguna untuk menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko kesalahan penyerahan. Masyarakat harus diberi akses secara langsung dan mudah oleh apoteker untuk memperoleh informasi dan konseling. Lingkungan apotek harus dijaga kebersihannya. Apotek harus bebas dari hewan pengerat, serangga/pest. Apotek memiliki suplai listrik yang konstan, terutama untuk lemari pendingin. Apotek harus memiliki : 1. Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien. 2. Tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk penempatan brosur/materi informasi. 3. Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi dengan meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien

38 18 4. Ruang racikan. 5. Keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien. Perabotan apotek harus tertata rapi, lengkap dengan rak-rak penyimpanan obat dan barang-barang lain yang tersusun dengan rapi, terlindung dari debu, kelembaban dan cahaya yang berlebihan serta diletakkan pada kondisi ruangan dengan temperatur yang telah ditetapkan. 3) Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya. Pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku meliputi : perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pelayanan. Pengeluaran obat memakai sistim FIFO (first in first out) dan FEFO (first expire first out) 3.1 Perencanaan. Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi perlu diperhatikan : a. Pola penyakit. b. Kemampuan masyarakat. c. Budaya masyarakat. 3.2 Pengadaan. Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi harus melalui jalur resmi. 3.3 Penyimpanan. 1.Obat / bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru, wadah sekurang kurangnya memuat nomor batch dan tanggal kadaluarsa. 2.Semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai, layak dan menjamin kestabilan bahan. 4) Administrasi. Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilaksanakan kegiatan administrasi yang meliputi : 4.1. Administrasi umum. Pencatatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku Administrasi pelayanan. Pengarsipan resep, pengarsipan catatan pengobatan pasien, pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat.

39 19 b. Pelayanan 1) Pelayanan resep Skrining resep. Apoteker melakukan skrining resep meliputi : Persyaratan administratif : - Nama,SIP dan alamat dokter. - Tanggal penulisan resep. - Tanda tangan/paraf dokter penulis resep. - Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien. - Nama obat, potensi, dosis, jumlah yang minta. - Cara pemakaian yang jelas. - Informasi lainnya Kesesuaian farmasetik : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian Pertimbangan klinis : adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan Penyiapan obat Peracikan. Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar Etiket. Etiket harus jelas dan dapat dibaca Kemasan obat yang diserahkan. Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya Penyerahan obat. Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan Informasi obat. Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi : cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.

40 Konseling. Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan Monitoring penggunaan obat. Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti cardiovascular, diabetes,tbc, asthma, dan penyakit kronis lainnya. 2) Promosi dan edukasi. Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet / brosur, poster, penyuluhan, dan lain-lainnya. 3) Pelayanan residensial (Home Care). Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record). c. Evaluasi mutu pelayanan Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan adalah : 1) Tingkat kepuasan konsumen : dilakukan dengan survey berupa angket atau wawancara langsung. 2) Dimensi waktu : lama pelayanan diukur dengan waktu (yang telah ditetapkan). 3) Prosedur tetap : untuk menjamin mutu pelayanan sesuai standar yang telah ditetapkan. Disamping itu prosedur tetap bermanfaat untuk : Memastikan bahwa praktik yang baik dapat tercapai setiap saat; Adanya pembagian tugas dan wewenang; Memberikan pertimbangan dan panduan untuk tenaga.kesehatan lain yang bekerja di apotek; Dapat digunakan sebagai alat untuk melatih staf baru; Membantu proses audit. Prosedur tetap disusun dengan format sebagai berikut:

41 21 Tujuan : merupakan tujuan protap. Ruang lingkup : berisi pernyataan tentang pelayanan yang dilakukan dengan kompetensi yang diharapkan. Hasil : hal yang dicapai oleh pelayanan yang diberikan dan dinyatakan dalam bentuk yang dapat diukur. Persyaratan : hal-hal yang diperlukan untuk menunjang pelayanan. Proses : berisi langkah-langkah pokok yang perlu diikuti untuk penerapan standar. Sifat protap adalah spesifik mengenai kefarmasian. (Anonim, 2004a) D. Sumpah Apoteker Sumpah adalah ikrar yang diucapkan dengan sungguh-sungguh dan akan melaksanakannya sesuai dengan yang telah diucapkan (Salim, 1991). Selain terikat secara horizontal dengan masyarakat, Profesi Apoteker terikat pula secara vertikal dengan Tuhan. Tujuan mengucapkan suatu sumpah atau janji adalah untuk menyadarkan bagi yang disumpah bahwa dalam menjalankan tugas dan kewajiban atau pekerjaannya mengharapkan tanggung jawab yang besar terutama tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena apoteker di dalam mengamalkan keahliannya harus senantiasa mengharapkan bimbingan dan keridhaan-nya, sehingga bilamana menyalahgunakan jabatan dari pekerjaannya itu akan membawa bahaya bagi keselamatan masyarakat yang dilayaninya dan harus dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa baik dunia maupun akhirat (Budiharjo, 1981).

42 22 E. Kode Etik Apoteker Etika profesi yaitu suatu aturan yang mengatur suatu pekerjaan itu boleh atau tidak dilakukan oleh pelaku profesi sewaktu menjalankan praktek profesinya (Anonim, 2003). Kode etik merupakan salah satu pedoman untuk membatasi, mengatur dan sebagai petunjuk bagi profesi secara baik dan benar serta tidak melakukan perbuatan tercela dan juiga sebagai aturan aturan norma yang menjadi ikatan moral profesi.. Kode Etik Apoteker Indonesia adalah suatu aturan moral sebagai ramburambu yang membatasi seorang apoteker dalam menjalankan pekerjaan keprofesiannya dari perbuatan tercela dan merugikan martabat profesi apoteker dan organisasi profesi (Sulasmono, 1997). Berdasarkan Permenkes Nomor 184 tahun 1995 pasal 18 disebutkan bahwa apoteker dilarang melakukan perbuatan yang melanggar Kode Etik Apoteker oleh sebab itu seorang apoteker perlu memahami isi dari Kode Etik Apoteker (Hartini dan Sulasmono, 2006). F. Etika Bisnis Menurut J.W. Weiss, etika bisnis adalah seni dan disiplin dalam menerapkan prinsip etika dalam mengkaji dan memecahkan berbagai masalah moral yang kompleks. Meski belum ada definisi terbaik dari etika bisnis, namun telah muncul konsensus bahwa etika bisnis adalah studi yang mensyaratkan penalaran dan penilaian, baik berdasarkan atas prinsip maupun kepercayaan dalam proses pengambilan keputusan dalam menyeimbangkan kepentingan ekonomi terhadap tuntutan sosial dan kesejahteraan (Isdaryadi, 2005).

43 23 Etika bisnis mengajari para pelaku bisnis untuk melakukan refleksi tentang dunia bisnis dari sudut etika karena keberhasilan suatu bisnis tidak semata mata dilihat dari sudut keuntungan yang dapat diraih tetapi dari nilai nilai luhur yang dilakukan para pelaku bisnis. Ciri ciri bisnis beretika adalah: a. memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen untuk mendapatkan laba yang wajar dan tidak meneksploitasi konsumen. b. memberikan barang dan jasa kepada konsumen dengan cara yang bertanggung jawab dan jujur. c. peduli pada kepentingan pekerjaannya, pemegang saham dan pihak pihak lain yang terlibat didalamnya. d. berproduksi dengan cara yang paling aman. e. memberi sumbangan terhadap pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial, berperan aktif dalam membentuk kepuasan dan kesejahteraan masyarakat. Bisnis mempunyai etika, dan lima prinsip yang berlaku dalam kegiatan bisnis adalah : 1. prinsip otonomi. Yaitu sikap dan kemampuan manusia untuk bertindak berdasarkan kesadarannya sendiri, disertai kebebasan untuk mengambil keputusan dan bertindak menurut keputusan itu dan juga harus disertai dengan tanggung jawab, baik kepada diri sendiri/hati nuraninya, kepada pemilik perusahaan, pihak yang dilayaninya dan kepada pemerintah dan mayarakat yang langsung menerima dampak keputusan bisnisnya.

44 24 2. prinsip kejujuran. Yaitu pemenuhan syarat dalam perjanjian dan kontrak, mutu produk yang ditawarkan, hubungan kerja dalam perusahaan. 3. prinsip tidak berbuat jahat (non-maleficence) dan berbuat baik (beneficence). Hal ini mengarahkan tindakan bisnis yang baik secara aktif dan maksimal, minimal tidak merugikan orang lain. 4. prinsip keadilan. Prinsip ini mengharuskan pelaku bisnis untuk memberikan sesuatu yang menjadi hak orang lain/mitra. 5. prinsip hormat kepada diri sendiri. Artinya memperlakukan diri sendiri dan orang lain sebagai pribadi yang memiliki nilai yang sama dengan pribadi lain. (Isdaryadi, 2005) Apotek merupakan bagian dari bisnis, selayaknya apotek menerapkan pula prinsip prinsip etika dalam bisnis. Terlebih pelayanan di apotek menerapkan pelayanan yang berhubungan langsung dengan manusia sehingga aspek moral dan kemanusiaan benar benar dijunjung tinggi. Pasien menghendaki pelayanan yang cepat, tepat dan benar. Kejujuran, keramahan dan rasa kekeluargaan dengan pasien dapat memperkuat hubungan pihak apotek dan pasien. Pelayanan yang terbaik sejak awal hingga akhir proses akan meningkatkan kepuasan pasien sehingga aspek loyal terhadap apotek.

45 25 G. Keterangan Empiris Standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan KepMenKes RI nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 mempunyai tiga parameter utama yaitu : pengelolaan sumber daya, pelayanan dan evaluasi mutu pelayanan. Dari hasil penelitian diharapkan dapat diperleh gambaran mengenai pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan KepMenKes RI nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kabupaten Kulon Progo.

46 26 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif. Penelitian non eksperimental adalah penelitian yang observasinya dilakukan terhadap sejumlah ciri subjek menurut keadaan apa adanya, tanpa ada manipulasi atau intervensi peneliti (Praktiknya, 2001). Sedangkan rancangan penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap obyek yang diteliti (Kontour, 2003). Penelitian ini terbatas pada usaha mengungkapkan suatu masalah atau keadaan atau peristiwa sebagaimana adanya sehingga bersifat sekedar untuk mengungkapkan fakta. Hasil penelitian ditekankan pada penggambaran secara obyektif tentang keadaan sebenarnya dari obyek yang diselidiki (Nawawi, 1998). B. Definisi Operasional Penelitian 1. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah ukuran tertentu yang digunakan sebagai patokan dalam pelaksanaan pelayanan kefarmasian, dalam penelitian ini berdasarkan pada Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/ Pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.

47 27 3. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 dikatakan telah dilaksanakan apabila persentasenya lebih dari 50%. Bila persentasenya kurang dari 50% maka dikatakan belum dilaksanakan. 4. Apotek adalah delapan apotek yang berada di wilayah Kabupaten Kulon Progo. 5. Responden adalah Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pendamping yang bersedia mengisi kuisioner. 6. Periode adalah periode penelitian untuk pengambilan data, yaitu dilakukan selama bulan Juli C. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian ini berupa kuesioner yang berisi tentang : 1. Karakteristik responden. 2. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. D. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi adalah keseluruhan penelitian yang terdiri dari manusia, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai tes atau peristiwaperistiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu dalam

48 28 suatu penelitian (Nawawi, 1998). Populasi dari penelitian ini adalah semua apotek yang ada di Kabupaten Kulon Progo. Menurut data terakhir yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo, diketahui bahwa jumlah apotek di Kabupaten Kulon Progo pada bulan Juni 2007 berdasarkan data terakhir bulan Agustus 2006 adalah sebanyak 8 apotek. Sampel 2. Sampel Sampel adalah sebagian dari populasi yang menjadi sumber data sebenarnya dalam penelitian. Menurut Gay (1976), penelitian deskriptif ukuran minimum yang dapat diterima adalah 10 persen dari populasi. Untuk populasi yang sangat kecil diperlukan minimum 20 persen (Sevilla, dkk, 1993). Namun demikian tidak ada satu formula pun yang dapat digunakan secara umum untuk semua penelitian (Pratiknya, 2001). Ada dua pertimbangan pokok untuk penetapan besar sampel, yaitu pertimbangan representativitas dan pertimbangan analisis. Pertimbangan representativitas ialah pertimbangan yang menyangkut jumlah minimum sampel yang masih menjamin representativitasnya terhadap populasi. Pertimbangan analisis ialah pertimbangan yang menyangkut jumlah minimum sampel sehingga dapat dilakukan analisis kuantitatif terhadap data (hasil penelitian) secara adekuat (Pratiknya, 2001).

49 29 E. Tata Cara Penelitian 1. Pembuatan kuesioner Kuesioner merupakan suatu instrumen pengumpulan data dalam penelitian sosial. Dengan kuesioner tersebut peneliti menggali informasi dari responden (orang yang menjadi subjek penelitian) (Adi, 2004). Penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang di dalamnya memuat sejumlah pertanyaan yang harus dijawab secara tertulis oleh responden. Kuesioner terbagi menjadi empat bagian yaitu : deskripsi responden, pengelolaan sumber daya, pelayanan dan evaluasi mutu pelayanan. 2. Pengujian kuesioner a. Uji pemahaman bahasa Uji pemahaman bahasa berfungsi untuk mengetahui sejauh mana bahasa penyusun pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner dapat dipahami oleh responden, termasuk di dalamnya kesalahan pengetikan, pengejaan kata-kata dan susunan kalimat. Uji pemahaman bahasa dilakukan dengan cara menyebar kuesioner tersebut kepada lima apotek di luar populasi penelitian. b. Uji validitas isi Validitas berarti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melaksanakan fungsi ukurnya. Suatu tes atau instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat

50 30 tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut (Azwar, 2003). Suatu alat ukur dikatakan valid (benar/sahih) jika alat ukur tersebut jitu untuk mengukur konsep/variabel yang diukur (Adi, 2004). Validitas yang diukur dalam kuesioner ini adalah validitas isi. Validitas isi merupakan tingkat representativitas isi atau substansi pengukuran terhadap konsep (pengertian) variabel sebagaimana dirumuskan (Praktiknya, 1991). Validitas isi kuesioner ini diuji dengan analisis rasional atau lewat Professional Judgement, yaitu bahwa estimasi validitas isi tidak melibatkan perhitungan statistik apapun, melainkan hanya dengan analisis teoritik. Maka tidaklah diharapkan setiap orang akan sama atau sependapat mengenai sejauh mana validitas isi kuesioner akan tercapai. c. Uji reliabilitas Suatu alat ukur dikatakan reliable (dapat dipercaya) jika alat ukur tersebut mantap, tepat dan homogen. Suatu alat ukur dikatakan mantap apabila dalam mengukur sesuatu berulang kali, alat ukur tersebut memberikan hasil yang sama, dengan syarat kondisi pengukuran tidak berubah. Suatu pertanyaan (alat ukur) dikatakan tepat apabila pertanyaan tersebut mudah dimengerti dan terperinci. Suatu alat ukur dikatakan homogen apabila pertanyaan-pertanyaan yang dibuat untuk mengukur suatu karakteristik mempunyai kaitan yang erat satu sama lain (Adi, 2004).

51 31 Reliabilitas kuesioner penelitian ini tidak perlu diuji lagi karena pertanyaan dalam angket/kuesioner berupa pertanyaan yang langsung terarah pada informasi mengenai data yang hendak diungkap. Reliabilitas data yang diperoleh terletak pada terpenuhinya asumsi bahwa responden menjawab dengan jujur seperti apa adanya. Hal ini berkaitan dengan asumsi dasar penggunaan kuesioner yaitu subjek merupakan orang yang mengetahui tentang dirinya, sehingga data hasil tidak perlu diuji lagi reliabilitas secara statistik (Azwar, 1999). 3. Penyebaran kuesioner Kuesioner langsung disebarkan kepada responden dan peneliti akan mendampingi dalam pengisian kuesioner agar dapat menjelaskan kepada responden jika responden mengalami kesulitan dalam mengisi kuesioner tersebut. Peneliti harus bertemu langsung dengan responden untuk memastikan bahwa yang menerima kuisioner adalah apoteker. Jika responden berhalangan mengisi saat itu juga, maka kuesioner tersebut akan ditinggal selama beberapa waktu untuk kemudian diambil kembali setelah diisi oleh responden. Periode penyebaran kuesioner dilakukan pada bulan Juli Pada penelitian ini ada satu apotek yang apotekernya tidak bisa ditemui secara langsung dalam beberapa kali rencana pertemuan karena suatu hal sehingga peneliti tidak dapat meninggalkan kuisioner di apotek. Dengan demikian pada penelitian ini, apotek yang menjadi objek penelitian hanya tujuh apotek.

52 32 4. Pengumpulan kuesioner Kuesioner langsung dikumpulkan saat itu juga dan ada yang diambil setelah ditinggal selama beberapa waktu. Jumlah kuesioner yang dikembalikan sama dengan jumlah kuesioner yang disebarkan yaitu sebanyak tujuh apotek. 5. Wawancara Wawancara adalah usaha mengumpulkan informasi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan lisan, untuk dijawab secara lisan pula (Nawawi, 1985). Wawancara dapat dipakai untuk melengkapi data yang diperoleh (Mardalis, 2006). Pada penelitian ini, wawancara yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui kesesuaian pemahaman apoteker dengan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. Wawancara yang dilakukan mengenai pengertian konseling, pengertian medication record dan alasan tidak adanya ruang konseling. Wawancara dilakukan terhadap beberapa responden yang bersedia untuk diwawancarai, hasil wawancara dapat dilihat pada lampiran 8. F. Tata Cara Analisis Data Teknik analisis yang umumnya digunakan untuk menganalisis data pada penelitian-penelitian deskriptif ialah dengan menggunakan tabel dan grafik (Kontour, 2003). Penelitian ini menggunakan analisis data statistik deskriptif dalam bentuk persentase dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik/diagram.

53 33 Analisis data dimulai dengan mengelompokkan data berdasarkan tiga parameter utama Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 kemudian menghitung jumlah total untuk tiap alternatif jawaban. Dikatakan telah melaksanakan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 apabila persentasenya lebih dari 50% dan jika kurang dari 50% maka dikatakan belum melaksanakan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2007 tersebut. G. Kesulitan Penelitian Terdapat beberapa kesulitan dalam penelitian ini, yaitu : 1. Peneliti dan responden sulit menentukan waktu bertatap muka secara langsung dalam pengisian kuisioner. 2. Tidak dilakukannya wawancara kepada responden berkaitan dengan alasan responden terhadap tiap jawaban yang diberikan.

54 34 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Data Deskripsi Responden Karakteristik responden yang ditanyakan meliputi : umur, posisi di apotek, pengalaman kerja sebagai apoteker di apotek yang sekarang, adanya pekerjaan lain, waktu kerja di apotek dalam seminggu dan waktu kerja di apotek dalam sehari. 1. Usia responden Gambaran mengenai rentang usia responden dapat dilihat pada Gambar 1 berikut. UMUR RESPONDEN > 50 th 29% th 14% th 57% Gambar 1. Diagram Umur Respoden Gambar 1 di atas memperlihatkan bahwa sebagian besar responden, yaitu sebanyak 57% berada dalam rentang usia antara tahun yang mana rentang usia tersebut merupakan usia produktif untuk masa kerja seseorang. Berdasarkan keterangan tersebut diharapkan responden dapat memahami dan mengisi kuesioner dengan lebih baik.

55 35 2. Posisi responden di apotek Tabel I. Posisi Responden di Apotek No Posisi responden di apotek Jumlah Persentase (%) n = 7 1 Apoteker Pengelola Apotek Apoteker Pendamping 1 14 Total Tabel I di atas memperlihatkan bahwa seluruh responden merupakan apoteker, baik Apoteker Pengelola Apotek maupun Apoteker Pendamping. Hal ini sesuai dengan yang diharapkan peneliti karena apoteker sangat paham mengenai semua sistem dan pengelolaan kinerja apotek dibandingkan dengan staf lainnya. 3. Pengalaman kerja responden sebagai apoteker di apotek yang sekarang Hasil penelitian menunjukkan responden yang memiliki pengalaman kerja sebagai apoteker di apotek yang sekarang selama kurang dari 1 tahun sebesar 14%, 1-5 tahun sebesar 43%, 6-10 tahun sebesar 14% dan yang bekerja lebih dari 10 tahun sebesar 29%. LAMA BEKERJA DI APOTEK > 10 t h 29% < 1 t h 14 % 6-10 th 14 % 1-5 t h 43% Gambar 2. Diagram Pengalaman Kerja

56 36 Dari data tersebut, yang telah memiliki pengalaman kerja sebagai apoteker di apotek yang sekarang selama lebih dari 1 tahun sebesar 86%, di diharapkan bahwa responden telah memahami sistem dan pengelolaan kinerja apotek mereka yang sekarang dan dapat mengisi kuesioner dengan baik sehingga dapat diketahui mengenai pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek mereka. 4. Adanya pekerjaan lain dari responden Hasil penelitian dapat dilihat pada gambar 3 berikut. ADA TIDAKNYA PEKERJAAN LAIN YA 29% TIDAK 71% Gambar 3. Ada Tidaknya Pekerjaan Lain dari Responden Adanya pekerjaan lain, apapun jenisnya dan berapapun frekuensi pekerjaan tersebut, akan mengganggu kehadiran dan kinerja apoteker di apotek. Menurut Permenkes No. 26 tahun 1981 pasal 18, yang ditegaskan dalam KepMenKes No tahun 2002, menyatakan bahwa selama apotek tersebut buka maka Apoteker Pengelola Apotek harus berada di apotek. Apabila Apoteker Pengelola Apotek berhalangan, maka ia dapat digantikan oleh Apoteker Pendamping.

57 37 Menurut Surat Kepmenkes RI Nomor 831/Ph/64/b apotek-apotek yang didirikan berdasarkan ijin Departemen Kesehatan yang dikeluarkan sesudah tanggal 1 September 1964 harus dipimpin oleh seorang apoteker yang bekerja penuh (full-time). Demikian juga dalam Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 disebutkan bahwa apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang profesional. Berdasarkan keterangan tersebut, apoteker diharapkan dapat tetap bersikap profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai apoteker di apotek walaupun memiliki pekerjaan lainnya. 5. Waktu kerja responden di apotek Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua responden bekerja di apotek selama 4 6 jam dalam sehari, sedangkan waktu kerja dalam seminggu ditunjukkan dalam tabel berikut ini: Tabel II. Waktu Kerja Responden di Apotek dalam Seminggu No Waktu kerja di apotek Persentase (%) Jumlah dalam seminggu n = 7 1 < 40 jam jam > 40 jam 0 0 Total Menurut pasal 77 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, waktu kerja dalam sehari adalah 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. Hasil penelitian tersebut menujukkan bahwa waktu kerja apoteker dalam satu hari

58 38 belum sesuai dengan Undang Undang Ketenagakerjaan. Hasil yang sama didapatkan dari perhitungan waktu kerja dalam satu minggu disesuaikan dengan jam kerja dalam satu hari. Bila apotek buka dari pukul 8.00 sampai (Permenkes nomer 244 tahun 1990), maka untuk enam hari kerja dalam seminggu apotek buka 84 jam; sehingga setiap apotek harus mempunyai lebih dari dua apoteker. B. Pengelolaan Sumber Daya 1. a. Sumber daya manusia Sumber daya manusia di apotek meliputi apoteker, asisten apoteker, pemilik sarana apotek dan juru resep. Dalam struktur organisasi apotek, Apoteker Pengelola Apotek menempati posisi tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa Apoteker Pengelola Apotek bertanggung jawab penuh dalam menjalankan tugasnya di apotek serta mengawasi kinerja Asisten Apoteker dan karyawan lainnya (Hartini dan Sulasmono, 2006). Salah satu peran Apoteker dalam pelayanan kesehatan adalah sebagai leader, dimana diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Kepemimpinan yang yang diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemapuan mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan. Hal ini diperkuat dalam Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 yang menyebutkan bahwa apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang profesional. Apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan untuk

59 39 mengambil keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi dan menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner. Karena itulah sudah seharusnya keputusan yang diambil di apotek selalu berdasarkan persetujuan Apoteker Pengelola Apotek. Tabel III menunjukkan persentase pengambilan keputusan di Apotek berdasarkan persetujuan APA. Keputusan yang diambil berdasarkan persetujuan APA dalam penelitian ini mencakup perencanaan, pengadaan dan penyimpanan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya. Tabel III. Pengambilan Keputusan di Apotek Selalu Berdasarkan Persetujuan APA No Berdasarkan persetujuan APA Jumlah Persentase (%) n = 7 1 Ya Tidak 2 29 Total b. Penyerahan obat dan informasi obat Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien. Hal ini juga tertera pada Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal asuhan kefarmasian yang menyebutkan bahwa salah satu standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah memberikan pelayanan informasi obat dan memberikan konsultasi obat. Pasal 7 Kode Etik Apoteker Indonesia menyebutkan bahwa seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan

60 40 profesinya. Berdasarkan keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu kewajiban apoteker adalah memberikan informasi mengenai obat kepada pasien, yang berinteraksi secara langsung dengan pasien untuk memberikan bentuk pelayanan klinis, analitis sesuai peraturan perundangan, untuk mewujudkan salah satu perannya yaitu sebagai care giver. Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 juga menyebutkan bahwa jika apoteker tidak melaksanakan kewajibannya dalam memberikan informasi kepada pasien maka akan dikenakan pidana denda paling banyak Rp ,00 (sepuluh juta rupiah). Namun dari hasil penelitian tidak ada satupun apoteker yang selalu terlibat langsung dalam penyerahan obat ke pasien. Selama peneliti mengamati, yang menyerahkan obat ke pasien adalah karyawan apotek selain Apoteker. Sehingga dalam hal ini apoteker tidak bisa menjalankan kewajibannya untuk memberikan informasi kepada pasien. Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa informasi obat yang harus diberikan kepada pasien sekurangkurangnya meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, makanan dan minuman yang harus dihindari dan aktivitas yang harus dihindari

61 41 Tabel IV. Informasi Obat yang Diberikan Apoteker No Informasi Obat yang diberikan Jumlah 1 2 Cara pemakaian obat+cara penyimpanan obat+jangka waktu pengobatan Cara pemakaian obat+cara penyimpanan obat+jangka waktu pengobatan+ makanan dan minuman yang harus dihindari+aktivitas yang harus dihindari Persentase (%) n = Total Tabel IV menunjukkan bahwa apoteker yang memberikan informasi kepada pasien meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, makanan dan minuman yang harus dihindari dan aktivitas yang harus dihindari sesuai Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 sebesar 57%, selebihnya belum memberikan informasi secara menyeluruh kepada pasien. Pemberian informasi ini seharusnya lebih diperhatikan oleh apoteker karena melalui pemberian informasi apoteker dapat meminimalisasi terjadinya medication error yang mungkin dilakukan oleh pasien pada saat pasien mengkonsumsi obat. c. Konsultasi dengan dokter penulis resep Permenkes Nomor 26 tahun 1981 pasal 10 menyebutkan bahwa resep harus ditulis dengan jelas dan lengkap. Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyatakan bahwa jika ada keraguan

62 42 terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan. Hal ini bertujuan untuk meminimalisasi terjadinya medication error. Konsultasi dengan dokter penulis resep juga dapat dimanfaatkan untuk membangun dan meningkatkan hubungan dengan rekan sejawat petugas kesehatan. Hal ini sesuai dengan pasal 13 Kode Etik Apoteker Indonesia dan juga perannya sebagai communicator antara pasien dengan profesi kesehatan lainnya. KONSULTASI DOKTER TIDAK 14% YA 86% Gambar 4. Apotek yang Selalu Melakukan Konsultasi dengan Dokter Apabila Ada Ketidakjelasan Pada Resep

63 43 d. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian sumber daya manusia. 100% 50% 71.00% 57.00% 86.00% 0% 0.00% Pengambilan keputusan di apotek selalu berdasarkan persetujuan APA Informasi obat yang diberikan Konsultasi dengan dokter penulis resep Penyerahan obat Gambar 5. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Bagian Sumber Daya Manusia Berdasarkan keterangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian pengelolaan sumber daya manusia sebagian besar telah dilaksanakan dengan cukup baik. Bagian pengelolaan sumber daya manusia yang telah dilaksanakan adalah pengambilan keputusan di apotek selalau berdasarakan persetujuan APA sebesar 71%, informasi obat yang diberikan sebesar 57% dan konsultasi dengan dokter penulis resep sebesar 86%. Sedangkan bagian yang belum dilaksanakan adalah penyerahan obat yang selalu dilakukan oleh apoteker, yaitu sebesar 0%.

64 44 2. Sarana dan prasarana a. Papan petunjuk apotek Dalam Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 disebutkan bahwa apotek harus dapat dengan mudah diakses oleh anggota masyarakat. Pemudahan akses ini ditunjukkan dengan adanya papan nama. Peraturan lebih detail mengenai papan nama disebutkan dalam lampiran Form Apt-3 Kepmenkes Nomor 1332 tahun 2002 antara lain bahwa papan nama berukuran minimal panjang 60 cm, lebar 40 cm dengan tulisan hitam di atas dasar putih; tinggi huruf minimal 5 cm, tebal 5 cm. Selanjutnya pasal 6 ayat 3 Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 tentang persyaratan apotek menyebutkan bahwa papan nama harus memuat : nama apotek, nama Apoteker Pengelola Apotek, nomor surat izin apotek dan nomor telepon, kalau ada. Namun penelitian ini mengacu pada Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 yang hanya menyebutkan bahwa pada halaman apotek terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata apotek dan tidak membahas lebih lanjut mengenai syarat-syarat lainnya seperti yang tersebut diatas. Hasil penelitian menujukkan bahwa semua apotek (100%) mempunyai papan yang tertulis kata apotek pada halaman depan apotek mereka sesuai Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004

65 45 b. Tempat yang terpisah antara produk kefarmasian dengan produk lainnya Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya, hal ini berguna untuk menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko kesalahan penyerahan. Contoh produk noin kefarmasian yang dijual diapotek adalah makanan bayi, susu, alat kesehatan dan food supplement. Hasil penelitian menunjukkan bahawa tidak ada satupun apotek (0%) yang menempatkan produk kefarmasian terpisah dari produk lainnya sesuai Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. c. Ruang tunggu bagi pasien Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa apotek harus memiliki ruang tunggu yang nyaman bagi pasien, yaitu yang bersih dan bebas dari hewan pengerat, serangga/pest. Hal ini juga diatur dalam Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 pasal 4 yang pada salah satu syaratnya menyebutkan bahwa apotek harus memiliki ruang tunggu. Hasil penelitian dapat dilihat pada gambar 5 berikut ini: RUANG TUNGGU TIDAK 43% YA 57% Gambar 6. Adanya Ruang Tunggu Bagi Pasien

66 46 d. Tempat untuk display informasi bagi pasien Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa apotek harus memiliki tempat untuk mendisplay informasi bagi pasien, termasuk penempatan materi informasi tersebut. Informasi disini contohnya berupa brosur, leaflet atau poster. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua apotek (100%) menyediakan informasi mengenai kesehatan kepada pasien. Namun demikian tidak semua apotek menyediakan tempat khusus untuk display informasi. Tabel V. Ketersediaan Tempat Khusus untuk Display Informasi No Tempat khusus untuk display Jumlah Persentase (%) n = 7 1 Ada Tidak Ada 1 14 Total Tabel V menunjukkan persentase dari apotek yang menyediakan dan tidak menyediakan tempat khusus untuk display informasi. e. Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa apotek harus memiliki ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada satupun apotek (0%) yang mempunyai ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien Ruang tertutup ini berfungsi untuk menjaga privacy dan kenyamanan pasien

67 47 selama konseling berlangsung sehingga konseling dapat berjalan dengan baik. Dari hasil wawancara, diperoleh alasan mengapa mereka tidak menyediakan ruang konseling. Sebagian besar dari mereka berpendapat bahwa ruang konseling yang telah mereka sediakan sebelumnya tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Hal ini dikarenakan tidak ada pasien yang konseling dalam kurun waktu tertentu. Dengan pertimbangan tertentu, akhirnya mereka mengubah ruangan tersebut menjadi ruang lain yang lebih berfungsi. Salah satu dari responden mengubah ruang konseling menjadi ruang kerja pribadi dan juga ruang konseling. f. Ruang racikan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa apotek harus memiliki ruang racikan. Hal ini juga diatur pada Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 pasal 4 dan pada lampiran Form Apt-3 Kepmenkes Nomor 1332 tahun 2002 yang menyebutkan bahwa apotek harus memiliki ruang peracikan. Hasil penelitian ditunjukkan dalam tabel VI: Tabel VI. Ketersediaan Ruang Racikan di Apotek No Ruang racikan Jumlah Persentase (%) n = 7 1 Kering saja Basah saja Kering+Basah Tidak punya 1 14 Total 7 100

68 48 g. Keranjang sampah untuk staf maupun pasien Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa apotek harus memiliki keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien. Persyaratan lain tercantum dalam lampiran Form Apt-3 Kepmenkes Nomor 1332 tahun 2002 yang menyebutkan bahwa apotek harus memiliki sanitasi yang baik serta memenuhi persyaratan hygiene lainnya. Keranjang sampah merupakan salah satu fasilitas untuk menjaga sanitasi di apotek agar dapat terjaga dengan baik. Hasil penelitian untuk tersedianya keranjang sampah untuk staf dan pasien ditunjukkan dalam tabel VII berikut ini: Tabel VII. Ketersediaan Keranjang Sampah untuk Staf dan Pasien No Keranjang sampah Jumlah Persentase (%) n = 7 1 Staf saja Pasien saja Staf +pasien 2 28 Total 7 100

69 49 h. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian sarana dan prasarana 100% 100% 86.00% 86.00% % 50% 57% 0% 0.00% 0.00% papan petunjuk apotek tempat produk kefarmasian yang terpisah dengan produk lainnya ruang tunggu tempat display informasi ruang konseling tertutup ruang racikan keranjang sampah untuk staf+pasien Gambar 7. Kelengkapan Sarana dan Prasarana di Apotek Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian pengelolaan sarana dan prasarana sebagian besar telah dilaksanakan dengan baik. Pengelolaan sarana dan prasarana yang telah dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di atas 50%, meliputi adanya papan petunjuk apotek (100%), tersedianya ruang tunggu (57%), tersedianya tempat display informasi (86%), dan tersedianya keranjang sampah untuk staf dan pasien (100%) Namun demikian masih terdapat pengelolaan sarana dan prasarana yang tidak dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di bawah 50%, meliputi tersedianya ruang konseling tertutup (0%) dan penempatan produk kefarmasian yang terpisah dengan produk lainnya (0%) sehingga perlu ditingkatkan lagi pelaksanaannya.

70 50 3. Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku meliputi : perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pelayanan. a. Perencanaan Perencanaan merupakan kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah dan harga dalam rangka pengadaan dengan tujuan mendapatkan jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, serta menghindari kekosongan obat (Hartini dan Sulasmono, 2006). Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi yang perlu diperhatikan adalah pola penyakit, kemampuan masyarakat dan budaya masyarakat. a) Pola penyakit. Perlu memperhatikan dan mencermati pola penyakit yang timbul di sekitar masyarakat sehingga apotek dapat memenuhi kebutuhan masyarakat tentang obat-obatan untuk penyakit tersebut. b) Tingkat perekonomian masyarakat. Tingkat ekonomi masyarakat di sekitar apotek juga akan mempengaruhi daya beli terhadap obatobatan. c) Budaya masyarakat. Pandangan masyarakat terhadap obat, pabrik obat, bahkan iklan obat dapat mempengaruhi dalam hal pemilihan obatobatan khususnya obat-obat tanpa resep. (Hartini dan Sulasmono, 2006)

71 51 Hasil penelitian mengenai latar belakang apotek dalam perencanaan pengadaan sediaan farmasi yang memperhatikan pola penyakit, kemampuan masyarakat dan budaya masyarakat ditunjukkan dalam tabel VIII berikut ini: Tabel VIII. Latar Belakang Perencanaan Pengadaan Sediaan Farmasi di Apotek No Latar Belakang Perencanaan Jumlah Persentase (%) n = 7 1 Pola penyakit Pola penyakit dan kemampuan masyarakat Kemampuan masyarakat dan budaya masyarakat Pola penyakit, kemampuan masyarakat dan budaya 5 72 masyarakat Total b. Pengadaan Persediaan barang di apotek diadakan berdasarkan perencanaan yang telah dibuat dan disesuaikan dengan anggaran keuangan yang ada. Pengadaan barang meliputi proses pemesanan, pembelian dan penerimaan barang (Hartini dan Sulasmono, 2006). Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi harus melalui jalur resmi. Pengadaan sediaan farmasi apotek termasuk di dalamnya golongan obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, psikotropika dan narkotika dapat berasal langsung dari pabrik farmasi, Pedagang Besar Farmasi (pasal

72 52 3 Permenkes 918 Nomor 918 tahun 1993 tentang Pedagang Besar Farmasi) maupun apotek lain (Hartini dan Sulasmono, 2006). Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jalur pengadaan sediaan farmasi yang resmi hanya melalui pabrik farmasi, PBF dan apotek lain. Bagan jalur distribusi dapat dilihat pada lampiran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua apotek (100%) dalam pengadaan sediaan farmasi melalui jalur resmi dan tidak ada satupun apotek yang membeli di swalayan (tidak resmi). c. Penyimpanan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Tabel IX. Pemindahkan Isi Obat ke Wadah Lain No Pernah memindahkan isi ke Persentase (%) Jumlah wadah lain n = 7 1 Ya Tidak 3 43 Total Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru, wadah sekurang kurangnya memuat nomor batch dan tanggal kadaluwarsa. Apotek memindahkan obat ke dalam wadah baru dengan alasan untuk mempercepat proses pelayanan. Pemindahan ke dalam wadah baru

73 53 tersebut berdasarkan kebiasaan dokter meresepkan obat dalam jumlah tertentu. Pasien juga lebih efisien karena dapat membeli obat dalam jumlah yang dibutuhkan dengan waktu yang cepat dan tidak harus membeli seluruh obat dalam wadah asli. Gambaran mengenai informasi yang disertakan apoteker pada wadah baru dapat dilihat pada Tabel X berikut. Tabel X. Informasi yang Disertakan pada Wadah Baru No Informasi yang disertakan Jumlah Persentase (%) n = 7 1 Tidak ada informasi Nomor batch+tanggal kadaluarsa Tanggal kadaluarsa+aturan pakai Aturan pakai 1 14 Total Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, informasi yang harus dicantumkan pada wadah baru sekurang-kurangnya memuat nomor batch dan tanggal kadaluwarsa. Tabel X menunjukkan bahwa apotek yang mencantumkan nomor batch dan tanggal kadaluwarsa sesuai Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 hanya satu apotek (14%), selebihnya tidak mencantumkan nomor batch dan tanggal kadaluwarsa seperti yang telah ditentukan. Pencantuman ini dimaksudkan bilamana terjadi penarikan suatu obat karena sub standard dan bila apoteker tidak menyediakan, menyimpan dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan yang keabsahannya terjamin, maka Surat Izin Apotek yang bersangkutan akan dicabut. Hal ini sesuai dengan pasal 25 Permenkes Nomor 922 tahun 1993.

74 54 Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 juga menyebutkan bahwa semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai, layak dan menjamin kestabilan bahan. Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 pasal 4 menyebutkan bahwa apotek harus mempunyai ruang penyimpan obat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua apotek (100%) memiliki tempat penyimpanan khusus untuk obat-obat tertentu. Tempat penyimpanan khusus yang dimaksud dalam penelitian ini contohnya adalah tempat penyimpanan khusus untuk narkotika (pasal 7 Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981) dan lemari pendingin yang digunakan untuk menyimpan obat-obat tertentu yang mudah rusak atau meleleh pada suhu kamar seperti suppositoria, serum dan vaksin (pasal 9 Kepmenkes RI Nomor 278 tahun 1981). Dengan mengetahui adanya tempat penyimpanan khusus di apotek tersebut secara tidak langsung dapat menggambarkan apakah apotek tersebut memperhatikan kesesuaian dan kelayakan tempat dengan kestabilan obat pada saat penyimpanan.

75 55 d. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya % % 50.00% 72.00% % 57.00% 43.00% 0.00% perencanaan meliputi : pola penyakit+kemampuan masyarakat+budaya masyarakat pengadaan melalui jalur resmi penyimpanan dalam wadah asli pabrik informasi yang disertakan pada wadah baru meliputi : tgl kadaluwarsa+nmr batch Gambar 8. Pelaksanaan Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan Lainnya Berdasarkan keterangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya sebagian besar telah dilaksanakan dengan baik. Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya yang telah dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di atas 50%, meliputi perencanaan (72%), penyimpanan dalam wadah asli pabrik (57%) dan pengadaan (100%). Namun demikian masih terdapat pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya yang belum dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di bawah 50%, meliputi penyertaan informasi pada wadah baru (43%) sehingga perlu ditingkatkan lagi pelaksanaannya.

76 56 4. Administrasi Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilaksanakan kegiatan administrasi yang meliputi administrasi umum dan administrasi pelayanan. 1) Administrasi umum Administrasi umum ini meliputi pencacatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. a. Pencatatan dan pengarsipan transaksi pembelian Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 pasal 13 (e) menyebutkan bahwa dalam apotek harus tersedia buku pembelian dan penerimaan. Pencatatan ini bertujuan untuk memperudah proses pengecekan jika terjadi keraguan terhadap obat yang telah dibeli. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua apotek (100%) selalu menyertakan bukti/faktur pembelian untuk setiap obat yang mereka pesan/beli dan selalu dicatat dalam buku penerimaan. b. Pencatatan dan pengarsipan transaksi penjualan Pasal 12 Kepmenkes RI Nomor 280 tahun 1981 menyebutkan bahwa setiap penjualan harus disertai dengan nota penjualan. Pasal 13 (d) menyebutkan bahwa dalam apotek harus tersedia blangko faktur dan blangko nota penjualan.

77 57 PENJUALAN DENGAN NOTA TIDAK 43% YA 57% Gambar 9. Penyertaan Faktur/Nota Penjualan Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 pasal 13 (e) menyebutkan bahwa dalam apotek harus tersedia buku penjualan dan penerimaan obat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak setiap transaksi penjualan selalu dicatat dalam buku penjualan. Namun demikian, walaupun dalam setiap penjualan tidak disertai faktur/nota penjualan, semua apotek (100%) selalu mencatat setiap transaksi penjualan yang terjadi. Adanya faktur/nota penjualan bisa menjadi bukti bagi konsumen/pembeli terhadap penjual bila suatu saat ada ketidakcocokan dengan barang yang dibeli. Sedangkan catatan penjualan sangat berguna bagi penjual sebagai laporan terhadap manajemen keuangan dan juga perdagangan dalam apotek tersebut.

78 58 c. Pengeluaran narkotika dan psikotropika Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 pasal 13 (g) menyebutkan bahwa dalam apotek harus tersedia buku pencatatan obat narkotika dan psikotropika. Pasal 33 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 juga menyebutkan bahwa apotek wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika dan pada pasal 11 Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 disebutkan bahwa apotek wajib membuat laporan berkala mengenai pengeluaran narkotika. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua apotek (100%) selalu melakukan pencatatan setiap pengeluaran narkotika dan psikotropika dalam buku pencatatan narkotika dan psikotropika. 2) Administrasi pelayanan Administrasi pelayanan ini meliputi pengarsipan resep, pengarsipan cacatan pengobatan pasien dan pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat. a. Pengarsipan resep Pasal 7 Kepmenkes Nomor 280 tahun 1981 menyebutkan bahwa Apoteker Pengelola Apotek mengatur resep yang telah dikerjakan menurut urutan tanggal dan nomor urut penerimaan resep dan harus disimpan sekurang-kurangnya selama tiga tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua apotek (100%) selalu menyimpan resep menurut urutan tanggal dan nomor resep.

79 59 b. Medication record Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 medication record adalah catatan pengobatan setiap pasien. CATATAN PENGOBATAN PASIEN YA 29% TIDAK 71% Gambar 10. Ketersediaan Medication Record Melalui wawancara lepas kepada beberapa responden, responden mempunyai persepsi yang hampir sama mengenai pengisian medication record, yaitu catatan pengobatan setiap pasien yang memuat antara lain data pribadi pasien (nama, usia, jenis kelamin, alamat), nomor resep, nama dokter, riwayat obat yang pernah digunakan pasien dan riwayat penyakit pasien. Berdasarkan hasil wawancara pada salah satu responden yang menyatakan tidak selalu melakukan pengisian medication record, diketahui bahwa pelaksanaan pengisian medication record hanya dilakukan pada pasien tertentu, yaitu pasien yang lansia dan pasien dengan penyakit tertentu seperti TBC dan diabetes. Berdasarkan hasil wawancara tersebut terlihat bahwa pemahaman apoteker mengenai medication record sudah sesuai

80 60 dengan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, tetapi belum dalam pelaksanaannya. 3) Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian administrasi 100% % 100% 100% 100% 50% 57.00% 29.00% 0% pencatatan&pengarsipan pembelian penyertaan bukti/faktur penjualan pencatatan penjualan pencatatan narkotika&psikotropika pengarsipan resep pelaksanaan pengisian medication record Gambar 11. Pelaksanaan Kegiatan Administrasi Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian administrasi, meliputi administrasi umum dan administrasi pelayanan sebagian besar telah dilaksanakan dengan baik. Kegiatan administrasi yang telah dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di atas 50%, meliputi pencatatan dan pengarsipan pembelian (100%), pencatatan narkotika dan psikotropika (100%), pengarsipan resep (100%), pencatatan penjualan (95,65%), penyertaan bukti/faktur penjualan (57%). Namun demikian,

81 61 masih terdapat kegiatan administrasi yang belum dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di bawah 50%, meliputi pengisian medication record (29%) sehingga perlu ditingkatkan lagi pelaksanaannya. C. Pelayanan 1. Skrining resep Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 apoteker melakukan skrining resep meliputi persyaratan administratif, kesesuaian farmasetik dan pertimbangan klinis. Skrining resep dilakukan dengan tujuan untuk meminimalisasi terjadinya medication error. Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 medication error adalah kejadian yang merugikan pasien akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan, yang sebetulnya dapat dicegah. Medication error yang berusaha diminimalisir melalui skrining resep ini adalah dispensing error yang merupakan lingkup tanggung jawab farmasis. a. Persyaratan administratif Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua apotek (100%) selalu melakukan skrining resep persyaratan administratif. Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 persyaratan administratif meliputi : nama, SIP dan alamat dokter; tanggal penulisan resep (inscriptio); tanda tangan/paraf dokter penulis resep (subsciptio); nama, alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien;

82 62 nama obat (invocatio), potensi, dosis, jumlah yang minta; cara pemakaian yang jelas (signature) dan informasi lainnya. Pada penelitian ini tidak dijabarkan mengenai persyaratan administratif yang dilakukan karena responden dianggap sudah mengetahui dan memahami mengenai persyaratan administratif beserta cakupannya. b. Kesesuaian farmasetik Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 kesesuaian farmasetik meliputi : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua apotek melakukan skrining resep sesuai Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 sehingga kemungkinan terjadinya medication error relatif kecil. c. Pertimbangan klinis Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 pertimbangan klinis meliputi alergi, efek samping, interaksi, durasi dan jumlah obat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua apotek melakukan skrining resep pertimbangan klinis meliputi alergi, efek samping, interaksi, durasi dan jumlah obat sesuai dengan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 sehingga kemungkinan terjadinya medication error relatif kecil.

83 63 e. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian skrining resep % % % % 50.00% 0.00% persyaratan administratif kesesuaian farmasetik meliputi : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara pemberian dan lama pemberian pertimbangan klinis meliputi : alergi, efek samping, interaksi, durasi dan jumlah obat Gambar 12. Pelaksanaan Skrining Resep Berdasarkan keterangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian skrining resep semuanya telah dilaksanakan dengan baik. Pelayanan skrining resep yang telah dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di atas 50%, meliputi skrining resep persyaratan administratif (100%), konsultasi dengan dokter penulis resep (86%) skrining resep kesesuaian farmasetik (100%) dan skrining resep pertimbangan klinis (100%). 2. Penyiapan obat a. Etiket Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 bahwa etiket harus jelas dan dapat dibaca. Etiket yang tidak jelas dapat

84 64 menyebabkan terjadinya medication error karena pasien salah membaca/mengartikan apa yang tertulis di etiket, karena itulah maka etiket harus jelas dan dapat dibaca. KELUHAN PASIEN TENTANG ETIKET YA 29% TIDAK 71% Gambar 13. Penerima Keluhan Tentang Etiket Oleh Pasien Gambar menunjukkan bahwa terdapat 71% apotek yang tidak pernah menerima keluhan tentang etiket oleh pasien dan 29% sisanya pernah menerima keluhan tentang etiket oleh pasien karena tidak jelas atau sulit dibaca sehingga dapat menyebabkan terjadinya medication error. b. Pengecekan kesesuaian resep dengan obat Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Menurut UU RI nomer 8 tahun 1999 pasal 7, salah satu kewajiban pelaku usaha adalah menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan atau jasa yang berlaku.

85 65 Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua apotek (100%) selalu melakukan pengecekan terhadap kesesuaian obat dan etiket terhadap resep sebelum diserahkan kepada pasien. Pemeriksaan akhir (medication review) dilakukan dengan tujuan untuk menghindari terjadinya medication error terutama dispensing error yang merupakan tanggung jawab pihak apoteker. c. Konseling Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 konseling adalah suatu proses komunikasi dua arah yang sistematik antara apoteker dan pasien untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah yang berkaitan dengan obat dan pengobatan. Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 juga menyebutkan bahwa apoteker harus memberikan konseling mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Dalam penelitian ini, peneliti sengaja tidak memberikan batasan mengenai pengertian konseling karena peneliti bermaksud mengetahui kesesuaian antara pemahaman apoteker dengan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 mengenai pengertian konseling. Melalui wawancara lepas kepada beberapa responden, sebagian besar dari mereka mempunyai pemahaman yang hampir sama mengenai pengertian

86 66 konseling yaitu konseling adalah proses tanya jawab searah antara pasien dengan apoteker, dimana apoteker hanya menjawab pertanyaan yang diajukan oleh pasien, yang dating kepada mereka. Responden juga berpendapat bahwa konseling dan konsultasi itu mempunyai pengertian yang sama, padahal konseling dan konsultasi mempunyai pengertian yang berbeda. Jika konseling merupakan proses dua arah, konsultasi merupakan proses satu arah dan ada perbedaan status, baik dalam hal pengalaman maupun pengetahuan. Dari sini terlihat bahwa apoteker mempunyai pemahaman yang berbeda/tidak sesuai dengan yang tertera pada Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. Namun demikian, walaupun mempunyai pemahaman yang berbeda namun dalam pelaksanaannya apoteker sering melakukan apa yang disebut konseling karena mereka juga menerima masukan dari pasien yang lebih mengetahui keadaan dirinya sendiri dan dari dokter yang menangani pasien tersebut, terutama tentang obat-obatan yang sering mereka konsumsi. Menurut Undang Undang no. 23 tahun 1992 pasal 53 (2) menyatakan bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk memenuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. Kode Etik Apoteker Indonesia pasal 9 menyebutkan bahwa seorang Apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian harus mengutamakan kepentingan masyarakat dan menghormati hak asasi penderita dan melindungi makhluk hidup insani. Peraturan Pemerintah no. 32 tahun 1996 pasal 22 (1) menyebutkan bahwa tenaga kesehatan dalam

87 67 melaksanakan tugasnya berkewajiban menghormati hak pasien; menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien; memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan; dan meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilangsungkan. JAM KONSELING SETIAP HARI TIDAK 14% YA 86% Ganbar 14. Penyediaan Jam Konseling Setiap Hari di Apotek Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan. Gambaran mengenai pelaksanaan pemberian konseling secara berkelanjutan dapat dilihat pada Tabel XI berikut. Tabel XI. Pemberian Konseling Secara Berkelanjutan oleh Apoteker No Memberikan konseling secara Persentase (%) Jumlah berkelanjutan n = 7 1 Ya Tidak 4 57 Total 7 100

88 68 Penderita penyakit tertentu seperti yang telah disebutkan membutuhkan jangka waktu pengobatan yang tidak sebentar untuk dapat sembuh dan harus teratur meminum obat yang telah diberikan, karena itulah apoteker seharusnya memberikan perhatian khusus kepada mereka, salah satunya adalah dengan memberikan konseling secara berkelanjutan guna mendukung proses penyembuhan. e. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian penyiapan obat 100,00% 71,00% 100% 86,00% 50,00% 43,00% 0,00% etiket jelas&dapat dibaca pengecekan resep sebelum diserahkan jam konseling setiap hari konseling secara berkelanjutan Gambar 15. Pelaksanaan Penyiapan Obat Berdasarkan keterangan, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pelayanan penyiapan obat telah dilaksanakan dengan baik karena memiliki persentase pelaksanaan di atas 50%, maliputi pengecekan resep sebelum diserahkan kepada pasien (100%), penulisan etiket yang jelas dan dapat dibaca (71%), adanya jam konseling setiap hari (86%), dan pemberian informasi oleh apoteker kepada pasien (57%). Namun demikian hal

89 69 mendasar yang belum terlaksana justru keterlibatan apoteker secara langsung dalam penyerahan obat (0%) dan juga adanya konseling secara berkelanjutan (43%). 3. Promosi, edukasi dan tindak lanjut terapi a. Diseminasi informasi kesehatan Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet/brosur, poster, penyuluhan dan lain-lainnya. Sumber informasi tersebut berasal dari pabrik atau distributor obat, sehingga dalam hal ini apotek hanya sebagai perantara pemberi informasi kepada pasien. Hasil penelitian ditunjukkan dalam gambar 15 berikut ini DISEMINASI KESEHATAN YA 29% TIDAK 71% Gambar 16. Apoteker yang Pernah Melakukan Diseminasi Informasi Kesehatan. b. Tindak lanjut terapi Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat. Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah

90 70 (pelayanan residensial), khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Hasil penelitian ditunjukkan dalam Tabel XII berikut: Tabel XII. Adanya Tindak Lanjut Terapi Melakukan tindak lanjut Persentase (%) No Jumlah terapi n = 7 1 Ya Tidak 4 57 Total Selain melakukan konseling secara berkelanjutan, tindak lanjut terapi dengan kunjungan rumah atau komunikasi dengan telepon merupakan salah satu bentuk perhatian khusus yang seharusnya dilakukan apoteker guna mendukung proses penyembuhan pasien, terutama bagi pasien lansia atau pasien yang karena penyakit yang dideritanya tidak memungkinkan untuk datang dan melakukan konseling secara langsung ke apotek.

91 71 c. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian promosi, edukasi dan tindak lanjut terapi % 50.00% 29.00% 43.00% 0.00% diseminasi informasi kesehatan tindak lanjut terapi Gambar 17. Pelaksanaan Promosi, Edukasi dan Tindak Lanjut Terapi Berdasarkan keterangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian promosi, edukasi dan tindak lanjut terapi belum dilaksanakan dengan baik karena memiliki persentase dibawah 50% yaitu meliputi diseminasi informasi kesehatan (29%) dan pelayanan tindak lanjut terapi (43,48%) sehingga perlu ditingkatkan lagi pelaksanaannya. D. Evaluasi Mutu Pelayanan Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan adalah : 1. Tingkat kepuasan konsumen : dilakukan dengan survey berupa angket atau wawancara langsung.

92 72 Hasil penelitian menunjukkan bahwa apotek yang pernah melakukan survey mengenai tingkat kepuasan konsumen hanya sebanyak 29%, sedangkan sebanyak 71% apotek tidak pernah melakukan survey mengenai tingkat kepuasan konsumen. Survey ini dimaksudkan untuk mengetahui pendapat pasien/pengunjung apotek mengenai kinerja di apotek dan dapat digunakan sebagai bahan evaluasi oleh APA agar dapat meningkatkan mutu pelayanan di apotek mereka. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dari apotek yang pernah melakukan survey tersebut, semuanya dilakukan dengan wawancara lisan. 2. Dimensi waktu : lama pelayanan diukur dengan waktu (yang telah ditetapkan). Penetapan lama pelayanan (waktu pelayanan maksimal per pasien) bertujuan agar apoteker cepat tanggap dalam melayani pasien sehingga pasien tidak menunggu terlalu lama untuk mendapatkan obat. Salah satu caranya adalah dengan menetapkan lama waktu untuk tiap pembuatan dan pengambilan setiap sediaan, misalnya salep, puyer, kapsul, sirup, baik dalam sediaan tunggal maupun campuran sehingga pasien mendapatkan kepastian waktu. Hasil penelitian ditunjukkan dalam tabel berikut. Tabel XIII. Penetapan Lama Pelayanan No Menetapkan lama pelayanan Jumlah Persentase (%) n = 7 1 Ya Tidak 6 86 Total 7 100

93 73 3. Prosedur tetap : untuk menjamin mutu pelayanan sesuai standar yang telah ditetapkan. Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 prosedur tetap ini antara lain bermanfaat untuk memastikan bahwa praktek yang baik dapat tercapai setiap saat dan adanya pembagian tugas dan wewenang di apotek. Hal ini dapat dilakukan dengan adanya alur pelayanan resep di apotek sehingga pelayanan dapat berjalan dengan baik karena tidak terjadi tumpang tindih tugas dan wewenang. Contoh alur pelayanan resep dapat dilihat pada lampiran 8. Hasil penelitian pada gambar berikut ini PROSEDUR PELAYANAN YA 29% TIDAK 71% Gambar 18. Ketersediaan Prosedur Tertulis dan Tetap

94 74 4. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian evaluasi mutu pelayanan 100,00% 50,00% 29,00% 14,00% 29,00% 0,00% survey tingkat kepuasan konsumen waktu pelayanan per pasien prosedur tetap Gambar 19. Pelaksanaan Evaluasi Mutu Pelayanan Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian evaluasi mutu pelayanan belum dilaksanakan dengan baik karena memiliki persentase pelaksanaan di bawah 50%, yaitu untuk pelaksanaan survey tingkat kepuasan konsumen sebesar 29%, penetapan waktu pelayanan per pasien sebesar 14% dan untuk penetapan prosedur tetap sebesar 29%, sehingga perlu ditingkatkan pelaksanaannya.

95 E. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek - Apotek Kabupaten Kulon Progo 100,00% 50,00% 0,00% Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan pengambilan keputusan di apotek (71%) konsultasi dengan dokter (86%) keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat (0%) informasi yg diberikan pada pasien (100%) papan petunjuk apotek (100%) penempatan produk yg terpisah (0%) ruang tunggu (57%) tempat display informasi (86%) ruang konseling tertutup (0%) ruang racikan (86%) keranjang sampah (100%) perencanaan (72%) pengadaan (100%) penyimpanan (57%) informasi pada wadah baru 43%) pencatatan&pengarsipan pembelian (100%) penyertaan bukti/faktur penjualan (100%) pencatatan penjualan (57%) pencatatan narkotika&psikotropika (100%) pengarsipan resep (100%) pengisian medication record (29%) persyaratan administratif (100%) kesesuaian farmasetik (100%) pertimbangan klinis (100%) etiket jelas&dapat dibaca (71%) pengecekan resep sebelum diserahkan (100%) jam konseling setiap hari (86%) konseling secara berkelanjutan (43%) diseminasi informasi kesehatan (29%) tindak lanjut terapi (43%) survey tingkat kepuasan konsumen (29%) waktu pelayanan per pasien (14%) prosedur tetap (29%) Gambar 20. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek - Apotek Kabupaten Kulon Progo 75

96 76 Berdasarkan hasil penelitian, Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek yang paling rendah tingkat pelaksanaannya berdasarkan tiga parameter utama Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tersebut adalah bagian evaluasi mutu pelayanan. Pada parameter ini hanya 24% apotek di Kabupaten Kulon Progo yang sudah melaksanakannya, sehingga perlu perhatian yang lebih agar dapat ditingkatkan pelaksanaannya. Parameter kedua yang masih perlu ditingkatkan lagi pelaksanaannya yaitu pengelolaan sumber daya, dimana hanya 57,39% apotek yang sudah melaksanakannya. Sedangkan pada parameter pelayanan, 72% apotek sudah melaksanakannya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 belum dilaksanakan secara menyeluruh oleh apoteker di apotek-apotek Kabupaten Kulon Progo. Melihat hasil penelitian tersebut dan juga pengalaman peneliti di lokasi penelitian, diharapkan adanya sosialisasi dan juga pembinaan mengenai standar pelayanan kefarmasian oleh pihak pihak terkait yaitu Departemen dan atau Dinas Kesehatan, Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) dan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan; dengan harapan adanya peningkatan pelaksanaan pharmaceutical care yang sesuai standar untuk menghindari medication error yang merugikan semua pihak.

97 77 F. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek - Apotek Kabupaten Kulon Progo Berdasarkan Karakteristik Responden 1. Umur responden Umur seseorang akan mempengaruhi kemampuannya dalam bekerja sesuai dengan fisik dan mentalnya. Menurut penelitian yang dilakukan Harvard Growth Study, proses pertumbuhan dan perkembangan intelegensi diawali pada usia remaja dan mencapai puncaknya pada usia 30 tahun. Pada usia tersebut seseorang mampu berpikir hipotetik dan dapat menguji secara sistematik berbagai penjelasan mengenai kejadian-kejadian tertentu dan dapat memahami prinsip-prinsip abstrak yang berlaku (Azwar, 1999). Usia diatas 60 tahun merupakan masa orang mengundurkan diri dari tahun tahun yang kreatif dan berguna dengan melihat kemunduran dari kemampuan fisik dan mentalnya. Individu akan melihat ke belakang, masa kejayaannya (Sadli, 1991). Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang berusia 35 sampai dengan 60 tahun melaksanakan standar pelayanan kefarmasian dengan persentase yang paling tinggi diantara usia yang lainnya. Hal itu terlihat pada parameter pengelolaan sumber daya dan pelayanan, sedangkan pada parameter evaluasi mutu pelayanan tidak ada satupun responden yang sudah melaksanakannya. Rata rata hasil pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian berdasarkan umur responden dapat dilihat pada gambar berikut ini.

98 78 UMUR RESPONDEN 100,00% 70,8% 75,0% 50,00% 45,8% 55,2% 53,0% 60,0% 33,3% 25,0% 16,7% 0,00% 21 s.d. 35 (n=4) 35 sd 60 (n=1) > 60 (n=2) 21 s.d. 35 (n=4) 35 sd 60 (n=1) > 60 (n=2) 21 s.d. 35 (n=4) 35 sd 60 (n=1) > 60 (n=2) Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan Gambar 21. Rata Rata Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefamasian di Apotek Apotek Kabupaten Kulon Progo Berdasarkan Umur Responden Standar pelayanan kefarmasian pada parameter sumber daya yang tidak pernah dilaksanakan (0%) adalah keterlibatan apoteker pada setiap penyerahan obat, penempatan produk yang terpisah, adanya ruang konseling tertutup dan pengisian medication record. Pada parameter pelayanan, jam konseling setiap hari dan diseminasi informasi belum dilaksanakan responden yang berusia 21 sampai dengan 35 tahun. Responden yang berusia lebih dari 60 tahun belum melaksanakan konseling secara berkelanjutan dan tindak lanjut terapi. Responden yang berusia 21 sampai 35 tahun belum melaksanakan parameter evaluasi mutu pelayanan (25%), sedangkan responden dengan usia 35 sampai 60 tahun tidak pernah menetapkan waktu pelayanan per pasien dan prosedur tetap tetapi telah melaksanakan survey mengenai tingkat kepuasan konsumen (100%). Responden yang berusia lebih dari enam puluh tahun baru melaksanakan prosedur tetap (50%). Hasil pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian berdasarkan umur responden dapat dilihat pada gambar 22.

99 100,00% 50,00% 0,00% UMUR REPONDEN 21 s.d sd 60 > s.d sd 60 > s.d sd 60 > 60 Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan pengambilan keputusan di apotek konsultasi dengan dokter keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat informasi yg diberikan pada pasien papan petunjuk apotek penempatan produk yg terpisah ruang tunggu tempat display informasi ruang konseling tertutup ruang racikan keranjang sampah perencanaan pengadaan penyimpanan informasi pada w adah baru pencatatan&pengarsipan pembelian penyertaan bukti/faktur penjualan pencatatan penjualan pencatatan narkotika&psikotropika pengarsipan resep pengisian medication record persyaratan administratif kesesuaian farmasetik pertimbangan klinis etiket jelas&dapat dibaca pengecekan resep sebelum diserahkan jam konseling setiap hari konseling secara berkelanjutan diseminasi informasi kesehatan tindak lanjut terapi survey tingkat kepuasan konsumen w aktu pelayanan per pasien prosedur tetap Gambar 22. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Kulon Progo Berdasarkan Umur Responden 79

100 80 2. Pengalaman kerja responden sebagai apoteker Hasil penelitian pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan pengalaman kerja responden pada parameter pengelolaan sumber daya, pengalaman kerja lebih dari enam tahun terlaksana paling baik dibandingkan dengan yang lainnya. Pada parameter pelayanan, pengalaman kerja satu sampai dengan lima tahun terlaksana paling baik dibandingkan yang lainnya, sedangkan pada parameter evaluasi mutu pelayanan, pengalaman satu sampai dengan sepuluh tahun. Rata rata hasil pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian berdasarkan pengalaman kerja dapat dilihat pada gambar 23 berikut ini. PENGALAMAN KERJA 100,00% 75,0% 81,2% 66,7% 72,2% 50,00% 50,0% 56,7% 60,4% 55,6% 33,0% 33,3% 16,7% 0,00% < 1 th (n=1) 1~5 th (n=3) 6~10 th (n=1) >10 th (n=2) < 1 th (n=1) 1~5 th (n=3) 6~10 th (n=1) >10 th (n=2) 0,0% < 1 th (n=1) 1~5 th (n=3) 6~10 th (n=1) >10 th (n=2) Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan Gambar 23. Rata Rata Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefamasian di Apotek Kabupaten Kulon Progo Berdasarkan Pengalaman Kerja Responden. Hal tersebut dikarenakan pada pengalaman lebih dari enam tahun, responden dalam tahap menjaga dan mengembangkan relasi yang telah dibangun dengan lingkungannya pada tahun tahun sebelumnya. Sehingga kemampuan responden untuk mengelola dirinya dan apoteknya benar benar

101 81 dikembangkan. Sedangkan pada parameter pelayanan, pengalaman satu sampai dengan lima tahun menunjukkan bahwa responden harus melakukan banyak hal untuk menambah pengalaman disesuaikan dengan semangat bekerja yang masih tinggi dan juga ketentuan yang berlaku. Keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat, penempatan produk yang terpisah, ruang konseling tertutup, informasi pada wadah baru dan pengisian medication record merupakan parameter pengelolaan sumber daya yang tidak pernah dilaksanakan dengan baik oleh semua responden; sedangkan pada parameter pelayanan, pengalaman kerja kurang dari satu tahun belum melaksanakan penulisan etiket yang jelas, konseling secara berkelanjutan, diseminasi dan tindak lanjut terapi. Pengalaman enam sampai sepuluh tahun belum melaksanakan penulisan etiket yang jelas, diseminasi dan tindak lanjut terapi, sedangkan pengalaman lebih sepuluh tahun belum melaksanakan konseling secara berkelanjutan dan tindak lanjut terapi. Tidak adanya pengalaman (<1 tahun) menyebabkan responden tidak melaksanakan parameter evaluasi mutu pelayanan. Minimnya pengalaman (1-5 tahun) menyebabkan belum terlaksananya evaluasi dengan baik (33%). Survey kepuasan konsumen telah dilaksanakan pada pengalaman 6 sampai 10 tahun dan prosedur tetap pada pengalaman lebih dari sepuluh tahun, lainnya tidak pernah dilaksanakan. Hasil pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian berdasarkan pengalaman dapat dilihat pada gambar 24 berikut ini.

102 100% 50% 0% < 1 th (n=1) 1~5 th (n=3) 6~10 th (n=1) >10 th (n=2) < 1 th (n=1) PENGALAMAN KERJA 1~5 th (n=3) 6~10 th (n=1) >10 th (n=2) < 1 th (n=1) 1~5 th (n=3) 6~10 th (n=1) Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan >10 th (n=2) pengambilan keputusan di apotek konsultasi dengan dokter keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat informasi yg diberikan pada pasien papan petunjuk apotek penempatan produk yg terpisah ruang tunggu tempat display informasi ruang konseling tertutup ruang racikan keranjang sampah perencanaan pengadaan penyimpanan informasi pada w adah baru pencatatan&pengarsipan pembelian penyertaan bukti/faktur penjualan pencatatan penjualan pencatatan narkotika&psikotropika pengarsipan resep pengisian medication record persyaratan administratif kesesuaian farmasetik pertimbangan klinis etiket jelas&dapat dibaca pengecekan resep sebelum diserahkan jam konseling setiap hari konseling secara berkelanjutan diseminasi informasi kesehatan tindak lanjut terapi survey tingkat kepuasan konsumen w aktu pelayanan per pasien prosedur tetap Gambar 24. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Kulon Progo Berdasarkan Pengalaman Kerja Responden. 82

103 83 3. Adanya pekerjaan lain dari responden Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada parameter pengelolaan sumber daya dan evaluasi mutu pelayanan, responden yang tidak mempunyai pekerjaan lain pelaksanaan standar pelayanan kefarmasiannya lebih baik daripada responden yang mempunyai pekerjaan lain. Sedangkan pada parameter pelayanan, responden yang memiliki pekerjaan lain, pelaksanaan standar pelayanan lebih baik daripada responden yang tidak memiliki pekerjaan lain. Hal ini dikarenakan, dengan tidak adanya pekerjaan lain, fokus perhatian responden terpusat pada satu objek yaitu apotek dan segala aspek didalamnya. Tetapi, dengan adanya pekerjaan lain, responden akan banyak belajar dari tempat ia bekerja dan juga relasi. Hal ini nantinya akan dipilh mana yang kiranya cocok buat pengembangan apoteknya dan mana yang tidak. Rata rata hasil pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian berdasarkan adanya pekerjaan lain dapat dilihat pada gambar 25. ADANYA PEKERJAAN LAIN 100,00% 70,0% 77,8% 50,00% 46,9% 47,0% 33,3% 0,00% 0,0% ya (n=2) tidak (n=5) ya (n=2) tidak (n=5) ya (n=2) tidak (n=5) Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan Gambar 25. Rata Rata Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefamasian di Apotek Kabupaten Kulon Progo Berdasarkan Adanya Pekerjaan Lain Responden

104 84 Parameter pengelolaan sumber daya manusia yang tidak pernah dilaksanakan oleh semua responden adalah keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat, penempatan produk yang terpisah, dan ruang konseling tertutup. Responden yang mempunyai pekerjaan lain juga belum melaksanakan pencatatan penjualan, pemberian informasi pada wadah baru dan pengadaan obat melalui jalur resmi. Jam konseling setiap hari, konseling secara berkelanjutan, diseminasi informasi dan tindak lanjut terapi merupakan standar yang tidak pernah dilaksanakan oleh responden yang tidak mempunyai pekerjaan lain, sedangkan yang mempunyai pekerjaan lain adalah diseminasi informasi kesehatan. Responden yang mempunyai pekerjaan lain tidak pernah melaksanakan evaluasi mutu pelayanan (0%) sedangkan responden yang tidak mempunyai pekerjaan lain sudah melakukan standar pelayanan namun persentasenya masih dibawah 50%. Hasil pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian berdasarkan adanya pekerjaan lain dari responden dapat dilihat pada gambar 26 berikut ini.

105 100,00% 50,00% 0,00% PEKERJAAN LAIN ya (n=2) tidak (n=5) ya (n=2) tidak (n=5) ya (n=2) tidak (n=5) Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan pengambilan keputusan di apotek konsultasi dengan dokter keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat informasi yg diberikan pada pasien papan petunjuk apotek penempatan produk yg terpisah ruang tunggu tempat display informasi ruang konseling tertutup ruang racikan keranjang sampah perencanaan pengadaan penyimpanan informasi pada w adah baru pencatatan&pengarsipan pembelian penyertaan bukti/faktur penjualan pencatatan penjualan pencatatan narkotika&psikotropika pengarsipan resep pengisian medication record persyaratan administratif kesesuaian farmasetik pertimbangan klinis etiket jelas&dapat dibaca pengecekan resep sebelum diserahkan jam konseling setiap hari konseling secara berkelanjutan diseminasi informasi kesehatan tindak lanjut terapi survey tingkat kepuasan konsumen w aktu pelayanan per pasien prosedur tetap Gambar 26. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Kulon Progo Berdasarkan Adanya Pekerjaan Lain Responden 85

106 86 4. Waktu kerja responden di apotek dalam seminggu Pelaksanaan standar kefarmasian berdasarkan waktu kerja dalam satu minggu, waktu kerja enam sampai tujuh hari pada parameter pengelolaan sumber daya dilaksanakan lebih baik daripada waktu kerja tiga sampai dengan lima hari. Sedangkan pada parameter pelayanan dan evaluasi mutu pelayanan waktu kerja tiga sampai lima hari dilaksakan lebih baik daripada waktu kerja enam sampai tujuh hari. Hal ini dikarenakan waktu kerja enam sampai tujuh hari dalam satu minggu, responden dapat melihat perkembangan apoteknya setiap saat sehingga perubahan sedikitpun dapat diamati. Namun demikian, dalam waktu tersebut responden mempunyai keterbatasan sebagai seorang manusia yang membutuhkan istirahat. Dengan adanya istirahat dan juga penenangan diri, responden dapat bekerja dengan lebih segar dalam pelayanan dan mutunya. Sehingga dalam hal ini, apoteker dituntut untuk bekerja professional dalam mengembangkan pelayananan kefarmasian. Rata rata hasil pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian berdasarkan waktu kerja dalam satu minggu dapat dilihat pada gambar 27.

107 87 WAKTU KERJA DALAM SATU MINGGU 100,00% 73,8% 74,0% 50,00% 45,8% 52,8% 33,3% 25,0% 0,00% 3 sd 5 hari (n=3) 6 sd 7 hari (n=4) 3 sd 5 hari (n=3) 6 sd 7 hari (n=4) 3 sd 5 hari (n=3) 6 sd 7 hari (n=4) Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan Gambar 27. Rata Rata Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefamasian di Apotek Kabupaten Kulon Progo Berdasarkan Waktu Kerja Responden Dalam Satu Minggu Semua responden belum melaksanakan parameter pengelolaan sumber daya pada bagian keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat, penempatan produk yang terpisah, dan ruang konseling tertutup. Responden dengan waktu kerja tiga sampai lima hari juga belum melaksanakan pemberian informasi pada wadah baru, pencatatan penjualan dan pengisian medication record. Responden dengan waktu kerja tiga sampai lima hari belum melaksanakan tindak lanjut terapi, sedangkan responden ynag bekerja enam sampai tujuh hari belum melaksanakan konseling secara berkelanjutan, diseminasi obat dan tindak lanjut terapi pada parameter pelayanan. Semua responden telah melksanakan evaluasi mutu pelayanan walaupun persentasenya masih dibawah lima puluh persen. Hasil pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian berdasarkan waktu kerja dalam satu minggu dapat dilihat pada gambar 28 berikut ini.

108 100% 50% 0% 3 sd 5 hari (n=3) WAKTU KERJA DALAM SATU MINGGU 6 sd 7 hari (n=4) 3 sd 5 hari (n=3) 6 sd 7 hari (n=4) 3 sd 5 hari (n=3) 6 sd 7 hari (n=4) Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan pengambilan keputusan di apotek konsultasi dengan dokter keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat informasi yg diberikan pada pasien papan petunjuk apotek penempatan produk yg terpisah ruang tunggu tempat display informasi ruang konseling tertutup ruang racikan keranjang sampah perencanaan pengadaan penyimpanan informasi pada w adah baru pencatatan&pengarsipan pembelian penyertaan bukti/faktur penjualan pencatatan penjualan pencatatan narkotika&psikotropika pengarsipan resep pengisian medication record persyaratan administratif kesesuaian farmasetik pertimbangan klinis etiket jelas&dapat dibaca pengecekan resep sebelum diserahkan jam konseling setiap hari konseling secara berkelanjutan diseminasi informasi kesehatan tindak lanjut terapi survey tingkat kepuasan konsumen w aktu pelayanan per pasien prosedur tetap Gambar 28. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Kulon Progo Berdasarkan Waktu Kerja Responden Dalam Satu Minggu 88

109 89 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Apoteker di apotek-apotek di Kabupaten Kulon Progo belum melaksanakan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 secara menyeluruh. 2. Parameter dari Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 yang telah terlaksana dengan baik, cukup dan kurang secara berurutan adalah parameter pelayanan (72%), pengelolaan sumber daya (57%) dan evaluasi mutu dan pelayanan (24%). 3. Karakteristik responden memberikan hasil yang berbeda (persentase pelaksanaan >50%) pada parameter pengelolaan sumber daya dan pelayanan standar pelayanan kefarmasian di apotek - apotek Kabupaten Kulon Progo, sedangkan parameter evaluasi mutu pelayanan pada semua karakteristik responden memberikan persentase hasil kurang dari 50%. 4. Standar pelayanan kefarmasian yang sudah terlaksana (100%) adalah pemberian informasi kepada pasien, papan petunjuk apotek, keranjang sampah, pencatatan dan pengarsipan pembelian, penyertaan bukti / faktur penjualan, pencatatan narkotika dan psikotropika, pengarsipan resep, skrining resep, dan pengecekan resep; sedangkan standar yang belum terlaksana (0%) adalah keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat, penempatan produk terpisah, dan ruang konseling tertutup.

110 90 B. Saran 1. Dalam rangka menindak lanjuti hasil penelitian ini, diharapkan adanya respon positif dari pihak Departemen Kesehatan, ISFI dan Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo untuk mensosialisasikan pelaksanaan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/IX/2004 dengan mengadakan pelatihan, bimbingan, penyuluhan dan seminar sehingga apoteker di apotek apotek Kabupaten Kulon Progo mendapatkan persepsi dan pemahaman yang sama. 2. Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo, Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan dan atau ISFI,sebagai organisasi profesi, melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/IX/ Perguruan Tinggi hendaknya memberikan pengetahuan dasar kepada calon apoteker untuk mempersiapkan pelayanan kefarmasian, antara lain home care dan medication record. 4. Perlu peningkatan kesadaran Apoteker di apotek-apotek Kabupaten Kulon Progo akan pentingnya pemahaman dan pelaksanaan perundang-undangan terutama Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, ruang konseling, evaluasi mutu pelayanan dan keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat. 5. Perlu dilakukan penelitian sejenis dengan responden pengguna jasa apotek (pasien) dan atau karyawan apotek (kasir, asisten apoteker) untuk mendapatkan hasil penelitian yang lebih objektif.

111 91 DAFTAR PUSTAKA Adi, R., 2004, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, 79-82, Granit, Jakarta Anief, M., 1995, Manajemen Farmasi, Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta Anonim, 1962, Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1962 Tentang Lafal Sumpah/Janji Apoteker, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1965, Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 Tentang Apotek, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1980, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1980 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 Tentang Apotek, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1981a, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 278/MENKES/SK/V/1981 Tentang Persyaratan Apotik, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1981b, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 280/MENKES/SK/V/1981 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengelolaan Apotik, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1981c, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 26/MENKES/ PER/I/1981, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1991, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan kedua, Balai Pustaka, Jakarta Anonim, 1992, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1993a, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 918/MENKES/PER/X/1993 Tentang Pedagang Besar Farmasi, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1993b, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/MENKES/PER/X/1993 Tentang Ketentuan dan Tatacara Pemberian Izin Apotek, Depkes RI, Jakarta

112 92 Anonim, 1995, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 184/MENKES/PER/II/1995 Tentang Penyempurnaan Pelaksanaan Masa Bakti da Izin Kerja Apoteker, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1996, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1997a, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1997b, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1999, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Depkes RI, Jakarta Anonim, 2002, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1332/MENKES/SK/X/2002 Tentang Ketentuan dan Tatacara Pemberian Izin Apotek, Depkes RI, Jakarta Anonim, 2003, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Depkes RI, Jakarta Anonim, 2004a, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Depkes RI, Jakarta Anonim, 2004b, Standar Kompetensi Farmasis Indonesia, Badan Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Jakarta Anonim, 2006, Pokok-pokok Pikiran DPRD Provinsi DIY Dalam Rangka Penyusunan Arah & Kebijakan Umum APBD Provinsi DIY Tahun diakses tanggal 13 Desember 2007 Azwar, S., 1999, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Azwar, S., 2003, Reliabilitas dan Validitas, 4-8, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Budiharjo, 1981, Kode Etik Kefarmasian, Pembinaan Profesi Apoteker Pengelola Apotek, Jilid B, 4-5, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Pelaksanaan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

113 93 Hadi, S., 2004, Metodologi Research untuk Penulisan Laporan, Skripsi, Thesis dan Desertasi, Penerbit Andi, Yogyakarta Harding, 1993, Sociology for Pharmacists; an Introduction, The Macmillan, London Hartini, Y.S. dan Sulasmono, 2006, Apotek : Ulasan Beserta Naskah Peraturan Perundang-Undangan Terkait Apotek, Penerbit Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta ISFI, 2001, Draft Hasil Rapat Kerja Nasional I, Badan Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Semarang Isdaryadi, F.W., 2005, Bisnis Berwawasan Etika, Ombudsman, No.II, Kontour, R., 2003, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, 105, PPM, Yogyakarta Mardalis, 2006, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, 24-69, Bumi Aksara, Jakarta. Nawawi, H., 1998, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Pratiknya, A.W., 2001, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan, 67-68, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Sadli, S., 1991, Di Atas 40 tahun, Kondisi Problematik Pria Wanita, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Salim, P. dan Salim, 1991, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer, Edisi III, Modern English Press, Jakarta Sirait, M., 2001, Tiga Dimensi Farmasi: Ilmu-Teknologi, Pelayanan Kesehatan dan Potensi Ekonomi, Institut Darma Mahardika, Jakarta Sevilla, C.G., 1993, Pengantar Metode Penelitian, diterjemahkan oleh Alimuddin Tuwu, edisi pertama, , UI-Press, Jakarta

114 94 Soedarsono, A.K., Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Berdasarkan Kepmenkes RI nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kabupaten Sleman, Skripsi, Fakultas Farmasi USD, Yogyakarta Sukmajati, M.A., Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Berdasarkan Kepmenkes RI nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kota Yogyakarta, Skripsi, Fakultas Farmasi USD, Yogyakarta Trisna, Y., 2007, Mencegah Medication Error, Makalah Seminar Patient Safety and Drug Information, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

115 95 LAMPIRAN Lampiran 1. Surat Pengantar Kuesioner Penelitian Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Kepada Yth Apoteker Pengelola Apotek Kabupaten Kulon Progo Dengan hormat, Dalam rangka menyelesaikan jenjang studi S-1, saya bermaksud mengadakan penelitian dengan judul Kajian Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kabupaten Kulon Progo. Sehubungan dengan hal itu, saya mohon kerelaan Bapak/Ibu untuk menjawab pertanyaan berikut dengan lengkap dan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Semua informasi yang Bapak/Ibu berikan akan dijaga kerahasiannya demi kepentingan ilmiah. Atas bantuan Bapak/Ibu saya ucapkan terima kasih. Hormat saya, Ignasius Totok Tri Prasetyo NIM:

116 96 Lampiran 2. Kuesioner Penelitian KUESIONER PENELITIAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK BERDASARKAN KEPMENKES RI NOMOR 1027/MENKES/SK/IX/2004 DI KABUPATEN SLEMAN I. Data Responden Petunjuk Pengisian : Lingkarilah jawaban yang benar No Pertanyaan Jawaban 1. Berapakah umur Anda? a tahun b tahun c. >50 tahun 2. Apakah posisi Anda di apotek? a. APA b. Apoteker Pendamping c. Apoteker Pengganti 3. Berapa lama pengalaman Anda bekerja sebagai Apoteker di apotek yang sekarang? a. <1 tahun b. 1-5 tahun c tahun d. >10 tahun 4. Apakah Anda memiliki pekerjaan yang lain? a. Ya b. Tidak 5. Berapa hari rata-rata Anda bekerja di apotek dalam seminggu? a. <3 hari b. 3-5 hari c. 6-7 hari 6. Berapa lama rata-rata Anda bekerja di apotek dalam satu hari? a. <4 jam b. 4-6 jam c. >6 jam

117 97 II. Kuesioner Tentang Pengelolaan Sumber Daya Petunjuk Pengisian: Berilah tanda pada jawaban yang sesuai No Pertanyaan YA TIDAK 1 Apakah pada halaman depan apotek Anda terdapat papan yang tertulis kata apotek? 2 Apakah apotek Anda memiliki ruang tunggu bagi pasien? a. Apakah di apotek Anda tersedia informasi berupa brosur, leaflet atau poster mengenai kesehatan 3 (misalnya obat-obat baru)? b. Jika ya, apakah ada tempat khusus untuk mendisplay informasi tersebut (misalnya penempatan brosur dalam suatu wadah)? 4 Apakah apotek Anda memiliki ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien? Apakah apotek Anda memiliki : 5 a. ruang racikan kering? b. ruang racikan basah? 6 7 Apakah apotek Anda memiliki keranjang sampah yang tersedia untuk staf? Apakah apotek Anda memiliki keranjang sampah yang tersedia untuk pasien? Apakah dalam perencanaan pengadaan sediaan farmasi Anda memperhatikan : 8 a. pola penyakit? b. kemampuan masyarakat? c. budaya masyarakat?

118 98 1. Dari manakah Anda memperoleh obat-obatan? a. PBF b. Pabrik farmasi c. Apotek lain 9 d. Toko obat e. Swalayan 2. Apakah setiap obat yang dipesan/dibeli, selalu disertai bukti/faktur pembelian? 3. Apakah setiap obat yang dipesan/dibeli, selalu dicatat dalam buku penerimaan? 10 Adakah tempat penyimpanan khusus (misalnya lemari pendingin atau tempat penyimpanan narkotika dan psikotropika) untuk obat tertentu (misalnya serum, vaksin)? 1. Apakah apotek Anda pernah memindahkan isi obat dari wadah asli ke wadah lain? 2. Jika ya, apakah informasi di bawah ini Anda sertakan pada wadah baru tersebut? 11 a.produsen (pabrik) b.nomor batch c.tanggal kadaluarsa d.aturan pakai e.cara penyimpanan Apakah pelayanan produk kefarmasian (misalnya 12 obat, kosmetik, makanan) diberikan pada tempat yang terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya (misalnya pembalut wanita, alat

119 99 kontrasepsi, popok bayi)? Apakah setiap penjualan selalu dilengkapi dengan faktur atau nota penjualan? Apakah setiap penjualan selalu dicatat dalam buku penjualan? Apakah setiap pengeluaran narkotika dan psikotropika 15 selalu dicatat dalam buku pencatatan narkotika dan psikotropika? 16 Apakah setiap resep selalu disimpan menurut urutan tanggal dan nomor urut resep? 17 Apakah Anda selalu melakukan medication record? III. Kuesioner Tentang Pelayanan Petunjuk Pengisian: Berilah tanda pada jawaban yang sesuai No Pertanyaan YA TIDAK 18 Apakah Anda selalu melakukan skrining resep, meliputi : 1. PERSYARATAN ADMINISTRATIF 2. KESESUAIAN FARMASETIK : a. Bentuk sediaan b. Dosis c. Potensi d. Stabilitas e. Inkompatibilitas f. Cara pemberian g. Lama pemberian 3. PERTIMBANGAN KLINIS : a. Alergi

120 100 b. Efek samping c. Interaksi e. Durasi f. Jumlah obat Apakah Anda selalu melakukan konsultasi dengan 19 dokter penulis resep apabila ada ketidakjelasan dalam penulisan resep? Apakah anda selalu melakukan pengecekan 20 kesesuaian antara obat dan etiket terhadap resep sebelum diserahkan kepada pasien? 21 Apakah apoteker selalu terlibat langsung dalam penyerahan obat kepada pasien? Apakah Anda selalu memberikan infomasi mengenai: a. Cara pemakaian obat 22 b. Cara penyimpanan obat c. Jangka waktu pengobatan d. Makanan dan minuman yang harus dihindari e. Aktivitas yang harus dihindari 23 Apakah pernah terjadi keluhan dari pasien mengenai etiket (tidak jelas/sulit dibaca)? Apakah keputusan yang diambil di apotek (mencakup 24 perencanaan, pegadaan dan penyimpanan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya) selalu berdasarkan persetujuan APA? 25 Apakah Anda menyediakan jam konseling setiap hari bagi pasien?

121 101 Apakah Anda juga menyediakan jam konseling secara 26 berkelanjutan, terutama untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya? Apakah Anda melakukan tindak lanjut terapi (misalnya 27 melalui komunikasi telepon dengan pasien atau mengunjungi pasien)? Apakah Anda pernah melakukan diseminasi 28 (penyebaran) informasi kesehatan (misalnya penyebaran brosur dan poster, melakukan penyuluhan)? IV. Kuesioner Tentang Evaluasi Mutu Pelayanan Petunjuk Pengisian: Berilah tanda pada jawaban yang sesuai No Pertanyaan YA TIDAK Apakah pernah dilakukan survey mengenai tingkat kepuasan konsumen? 2. Jika ya, apakah survey tersebut berupa: a.angket b.wawancara Apakah Anda menetapkan lama pelayanan (waktu pelayanan maksimal per pasien)? Apakah ada prosedur yang tertulis dan tetap dalam pelayanan pasien?

122 102 Lampiran 3. Surat Izin Penelitian

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA MENIMBANG : bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

MEHTERIKESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHAT AN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG

MEHTERIKESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHAT AN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG .. MEHTERIKESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHAT AN REPUBLIK INDONESIA Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN 01 APOTEK MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan hak asasi manusia, setiap orang mempunyai hak untuk hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk di dalamnya mendapat

Lebih terperinci

PERANAN APOTEKER DI RUMAH SAKIT

PERANAN APOTEKER DI RUMAH SAKIT PERANAN APOTEKER DI RUMAH SAKIT Peranan Apoteker Farmasi Rumah Sakit adalah : 1. Peranan Dalam Manajemen Farmasi Rumah Sakit Apoteker sebagai pimpinan Farmasi Rumah Sakit harus mampu mengelola Farmasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Apotek Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker. (Peraturan Pemerintah no 51 tahun 2009). Sesuai ketentuan perundangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong masyarakat untuk semakin memperhatikan derajat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong masyarakat untuk semakin memperhatikan derajat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong masyarakat untuk semakin memperhatikan derajat kesehatan demi peningkatan kualitas hidup yang lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masalah kesehatan di Indonesia sebagai salah satu negara berkembang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masalah kesehatan di Indonesia sebagai salah satu negara berkembang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah kesehatan di Indonesia sebagai salah satu negara berkembang menjadi prioritas utama program pemerintah menuju masyarakat yang sehat dan sejahtera. Untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Pengetahuan Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini setelah orang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan dalam membantu mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Pelayanan kesehatan adalah

Lebih terperinci

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN LAWEYAN KOTA SOLO TAHUN 2007 SKRIPSI

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN LAWEYAN KOTA SOLO TAHUN 2007 SKRIPSI GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN LAWEYAN KOTA SOLO TAHUN 2007 SKRIPSI Oleh: ROSY MELLISSA K.100.050.150 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Lebih terperinci

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2008 SKRIPSI

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2008 SKRIPSI GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2008 SKRIPSI Oleh: WAHID BEKTI FITRIANTO K 100 040 146 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA

Lebih terperinci

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI KAJIAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN BERDASARKAN KEPMENKES RI NOMOR 1027/MENKES/SK/IX/2004 DI APOTEK-APOTEK KABUPATEN GUNUNGKIDUL SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Lebih terperinci

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI KAJIAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN BERDASARKAN KEPMENKES RI NOMOR 1027/MENKES/SK/IX/2004 DI APOTEK-APOTEK KABUPATEN BANTUL SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Apotek Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus dan telah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Profesi adalah kelompok disiplin individu yang mematuhi standar etika dan mampu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Profesi adalah kelompok disiplin individu yang mematuhi standar etika dan mampu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Profesi Profesi adalah kelompok disiplin individu yang mematuhi standar etika dan mampu menegakkan diri dan diterima oleh masyarakat sebagai seorang yang memiliki ketrampilan

Lebih terperinci

Apoteker berperan dalam mengelola sarana dan prasarana di apotek. Selain itu, seorang apoteker juga harus menjamin bahwa:

Apoteker berperan dalam mengelola sarana dan prasarana di apotek. Selain itu, seorang apoteker juga harus menjamin bahwa: I.PENDAHULUAN Apotek adalah suatu tempat tertentu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian berupa penyaluran perbekalan farmasi kepada masyarakat dan tempat dilakukannya praktik kefarmasian

Lebih terperinci

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit Puskesmas dan sebagai bahan masukan kepada Dinas Kesehatan Kota Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Obat merupakan komoditi utama yang digunakan manusia untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Obat merupakan komoditi utama yang digunakan manusia untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Obat merupakan komoditi utama yang digunakan manusia untuk menunjang kesehatannya. Semua orang rela mengeluarkan uangnya untuk mendapatkan kesehatan, bahkan

Lebih terperinci

EVALUASI STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KOTA SALATIGA TAHUN 2011 SESUAI PERUNDANGAN YANG BERLAKU NASKAH PUBLIKASI

EVALUASI STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KOTA SALATIGA TAHUN 2011 SESUAI PERUNDANGAN YANG BERLAKU NASKAH PUBLIKASI EVALUASI STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KOTA SALATIGA TAHUN 011 SESUAI PERUNDANGAN YANG BERLAKU NASKAH PUBLIKASI Oleh : DEWI MARYATI K 100 040 014 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRASI PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KABUPATEN PEMALANG PERIODE JANUARI - JUNI 2008 SKRIPSI

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRASI PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KABUPATEN PEMALANG PERIODE JANUARI - JUNI 2008 SKRIPSI TINJAUAN ASPEK ADMINISTRASI PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KABUPATEN PEMALANG PERIODE JANUARI - JUNI 2008 SKRIPSI Oleh : LINDA WIDYA RETNA NINGTYAS K 100 050 110 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 284/MENKES/PER/III/2007 TENTANG APOTEK RAKYAT MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 284/MENKES/PER/III/2007 TENTANG APOTEK RAKYAT MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 284/MENKES/PER/III/2007 TENTANG APOTEK RAKYAT MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan dan memperluas akses

Lebih terperinci

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN BREBES TAHUN 2008 SKRIPSI

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN BREBES TAHUN 2008 SKRIPSI GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN BREBES TAHUN 2008 SKRIPSI Oleh: ASRI MUHTAR WIJIYANTI K 100 040 150 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA

Lebih terperinci

SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI APOTEK KECAMATAN AMPEL KABUPATEN BOYOLALI SKRIPSI

SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI APOTEK KECAMATAN AMPEL KABUPATEN BOYOLALI SKRIPSI SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI APOTEK KECAMATAN AMPEL KABUPATEN BOYOLALI SKRIPSI Oleh : DWI KURNIYAWATI K 100 040 126 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia sebagai apoteker (Presiden, RI., 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia sebagai apoteker (Presiden, RI., 2009). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Apotek Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus dan telah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu Pada penelitian sebelumnya dengan judul pengaruh keberadaan apoteker terhadap mutu pelayanan kefarmasian di Puskesmas wilayah Kabupaten Banyumas berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek. dalam rangka keselamatan pasien (patient safety) (Menkes, RI., 2014).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek. dalam rangka keselamatan pasien (patient safety) (Menkes, RI., 2014). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek Pelayanan kefarmasian di apotek saat ini telah mempunyai standar dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengetahuan masyarakat akan pentingnya kesehatan terus meningkat seiring perkembangan zaman. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan masyarakat senantiasa diupayakan

Lebih terperinci

PENERAPAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KOTA MAGELANG

PENERAPAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KOTA MAGELANG PENERAPAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KOTA MAGELANG Elmiawati Latifah 1, Prasojo Pribadi 2, Fitriana Yuliastuti 3 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penerapan standar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Apotek Definisi apotek menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1332/MENKES/SK/X/2002 yaitu sebagai suatu tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian, penyaluran

Lebih terperinci

satu sarana kesehatan yang memiliki peran penting di masyarakat adalah apotek. Menurut Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2014, tenaga kesehatan

satu sarana kesehatan yang memiliki peran penting di masyarakat adalah apotek. Menurut Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2014, tenaga kesehatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia adalah kesehatan. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Apotek Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tenpat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker (PP no. 51 tahun 2009) Apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pelayanan kefarmasian Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser dari obat ke pasien yang mengacu pada Pharmaceutical care. Kegiatan pelayanan kafarmasian yang semula

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada hakikatnya kesehatan adalah hak dasar yang senantiasa dimiliki oleh setiap manusia, tak terkecuali seluruh rakyat Indonesia. Menurut Undang - Undang Republik

Lebih terperinci

HEALTH & BEAUTY. Oleh Aftiyani. Guardian, The One You Trust

HEALTH & BEAUTY. Oleh Aftiyani. Guardian, The One You Trust HEALTH & BEAUTY Guardian, The One You Trust Guardian adalah salah satu unit bisnis bagian dari Hero Group yang bergerak pada apotek modern berupa toko kesehatan dan kecantikan. Guardian memulai bisnisnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat, pemerintah melakukan berbagai upaya diantaranya menyediakan sarana pelayanan kesehatan seperti farmasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mewujudkan suatu negara yang lebih baik dengan generasi yang baik adalah tujuan dibangunnya suatu negara dimana

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mewujudkan suatu negara yang lebih baik dengan generasi yang baik adalah tujuan dibangunnya suatu negara dimana BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mewujudkan suatu negara yang lebih baik dengan generasi yang baik adalah tujuan dibangunnya suatu negara dimana untuk memperoleh generasi yang baik perlu adanya peningkatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Apotek Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker (Presiden RI, 2009). Praktik kefarmasian meliputi pembuatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha untuk mewujudkan masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan merupakan visi dari Kementerian Kesehatan RI dan telah dirumuskan dalam UU RI No. 36 tahun 2009

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelayanan kefarmasian merupakan bagian yang penting dalam pelayanan kesehatan. Cara pelayanan kefarmasian yang baik menyangkut seluruh aspek pelayanan kefarmasian dan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah salah satu faktor yang sangat penting bagi kehidupan setiap umat manusia karena aktivitasnya dapat terhambat apabila kondisi kesehatan tidak baik.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Apotek Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek yang menjelaskan mengenai apotek

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode zaman penjajahan sampai perang kemerdekaaan tonggak sejarah. apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode zaman penjajahan sampai perang kemerdekaaan tonggak sejarah. apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan Profesi Kefarmasian Secara historis perubahan mendasar dalam profesi kefarmasian dapat dibagi dalam beberapa periode (Anonim. 2008 b ). 1. Periode zaman penjajahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari pelayanan obat (drug oriented) menjadi pelayanan pasien (patient

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hal yang paling penting dan utama dalam kehidupan. Dengan menjaga kesehatan, manusia dapat memenuhi pekerjaan atau aktivitas sehari-hari dengan

Lebih terperinci

Nomor : 1332/MENKES/SK/X/2002 TENTANG NOMOR. 922/MENKES/PER/X/1993

Nomor : 1332/MENKES/SK/X/2002 TENTANG NOMOR. 922/MENKES/PER/X/1993 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 1332/MENKES/SK/X/2002 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KESEHATAN RI NOMOR. 922/MENKES/PER/X/1993 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PEMBERIAN

Lebih terperinci

PENGARUH PELAYANAN TERHADAP TINGKAT KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DI APOTEK BUNDA SURAKARTA SKRIPSI

PENGARUH PELAYANAN TERHADAP TINGKAT KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DI APOTEK BUNDA SURAKARTA SKRIPSI PENGARUH PELAYANAN TERHADAP TINGKAT KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DI APOTEK BUNDA SURAKARTA SKRIPSI Oleh : DIDIK SANTOSO K 100 050 243 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA 2010

Lebih terperinci

PENERAPAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KOTA MAGELANG BULAN SEPTEMBER TAHUN 2014 LAPORAN HASIL PENELITIAN

PENERAPAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KOTA MAGELANG BULAN SEPTEMBER TAHUN 2014 LAPORAN HASIL PENELITIAN PENERAPAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KOTA MAGELANG BULAN SEPTEMBER TAHUN 2014 LAPORAN HASIL PENELITIAN Disusun oleh: Elmiawati Latifah, M.Sc, Apt Prasojo Pribadi, M.Sc, Apt Fitriana Yuliastuti,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Apoteker Berdasarkan KepMenKes RI No. 1027/MenKes/SK/IX/2004, apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi yang telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Apotek merupakan bidang usaha yang sangat menjanjikan untuk digarap sebagai lahan bisnis saat ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan menjamurnya usaha apotek diberbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini masyarakat mulai menyadari pentingnya menjaga kesehatan, dimana kesehatan merupakan salah satu faktor penting yang dapat mendukung dan mempengaruhi pekerjaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaaan Tonggak sejarah. asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaaan Tonggak sejarah. asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan Profesi Kefarmasian Secara historis perubahan mendasar dalam profesi kefarmasian dapat dibagi dalam beberapa periode. 1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan kebutuhan setiap manusia dan menjadi suatu hal yang penting untuk dapat menjalankan segala bentuk aktifitas sehari-hari dengan baik. Menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2010 diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, manfaat, perlindungan dan diarahkan untuk dapat meningkatkan

Lebih terperinci

a. bahwa apotek dan pedagang eceran obat merupakan pelayanan kesehatan yang dapat dilaksanakan oleh swasta;

a. bahwa apotek dan pedagang eceran obat merupakan pelayanan kesehatan yang dapat dilaksanakan oleh swasta; BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2006 NOMOR 10 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 19 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN APOTEK DAN PEDAGANG ECERAN OBAT (TOKO OBAT) WALIKOTA BOGOR, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Farmasi

SKRIPSI. Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Farmasi PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK BERDASARKAN KEPMENKES RI NOMOR 1027/MENKES/SK/IX/2004 DI KABUPATEN SLEMAN PERIODE OKTOBER-DESEMBER 2006 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Lebih terperinci

STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK 615.4 Ind p STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam mewujudkan pembangunan kesehatan di Indonesia pada dasarnya berhubungan dengan semua segi kehidupan, baik fisik, mental maupun sosial ekonomi. Keberhasilan pembangunan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 25 Maret 2012 di Apotek RSUD Toto

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 25 Maret 2012 di Apotek RSUD Toto BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 25 Maret 2012 di Apotek RSUD Toto Kabupaten Bone Bolango. Dalam rangka memperoleh data yang diperlukan,

Lebih terperinci

EVALUASI IMPLEMENTASI KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 35/MENKES/SK/2014 TENTANG PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SLEMAN

EVALUASI IMPLEMENTASI KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 35/MENKES/SK/2014 TENTANG PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SLEMAN EVALUASI IMPLEMENTASI KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 35/MENKES/SK/2 TENTANG PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SLEMAN EVALUATION OF THE IMPLEMENTATION OF THE MINISTER OF HEALTH No. 35 / MENKES/

Lebih terperinci

STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK 6 1 5.4 I n d p STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN DEPARTEMEN

Lebih terperinci

Lampiran 1. Daftar Tilik Mutu Pelayanan Kefarmasian DAFTAR TILIK

Lampiran 1. Daftar Tilik Mutu Pelayanan Kefarmasian DAFTAR TILIK Lampiran 1. Daftar Tilik Mutu Pelayanan Kefarmasian DAFTAR TILIK Jumlah tenaga teknis kefarmasian dan kualifikasi : Jumlah Apoteker : Orang Jumlah tenaga teknis kefarmasian (TTK) : Orang Jumlah tenaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang PKPA di Apotek

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang PKPA di Apotek BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang PKPA di Apotek Setiap manusia berhak atas kesehatan, serta memiliki kewajiban dalam memelihara serta meningkatkan kesehatan tersebut. Kesehatan merupakan salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Apoteker merupakan profesi kesehatan terbesar ketiga di dunia, farmasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Apoteker merupakan profesi kesehatan terbesar ketiga di dunia, farmasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Apoteker merupakan profesi kesehatan terbesar ketiga di dunia, farmasi komunitas merupakan salah satu bagian penting karena sebagian besar apoteker melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Adanya perkembangan dan perubahan pola hidup pada manusia (lifestyle) dapat berdampak langsung salah satunya pada kesehatan, sehingga kesehatan menjadi salah satu hal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disingkat puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu hak asasi manusia dan kebutuhan hidup yang diwujudkan dan dilaksanakan dalam mencapai kesejahteraan kehidupan dalam masyarakat. Menurut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Izin Apotek Pasal 1 ayat (a): Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Izin Apotek Pasal 1 ayat (a): Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Apotek Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1332/Menkes/SK/X/2002 Tentang Perubahan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/Menkes/Per/X/1993

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN. Tahun 2007 No. 15 PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 15 TAHUN 2007

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN. Tahun 2007 No. 15 PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 15 TAHUN 2007 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN Tahun 2007 No. 15 PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG IZIN APOTEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam kehidupan sekarang ini, dunia kesehatan semakin berkembang pesat dengan ditemukannya berbagai macam penyakit yang ada di masyarakat dan segala upaya untuk mengatasinya.

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap mahluk hidup didunia memiliki hak untuk hidup sehat. Kesehatan merupakan suatu keadaan dimana tubuh dan jiwa yang tiap orang miliki mampu melakukan kegiatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pelayanan Kefarmasian Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada Pharmaceutical Care. Kegiatan pelayanan kefarmasian

Lebih terperinci

2017, No Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (

2017, No Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ( No.276, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKES. Apotek. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG APOTEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dalam melakukan kegiatan perlu memperhatikan masalah kesehatan. Kesehatan merupakan keadaan dimana tubuh dan mampu melakukan kegiatan yang produktif, oleh

Lebih terperinci

BAB IV. dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek. Pekerjaan kefarmasian menurut UU Kesehatan No. 36

BAB IV. dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek. Pekerjaan kefarmasian menurut UU Kesehatan No. 36 BAB IV 1. GAMBARAN UMUM SEJARAH PERUSAHAAN A. Sejarah dan Perkembangan Apotik Azzmi Apotek adalah suatu tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian, penyaluran sediaan farmasi, dan perbekalan kesehatan lainnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan semakin meningkat secara nyata. Kesehatan sangat mempengaruhi aktivitas seseorang. Dalam kondisi sehat jasmani dan rohani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan dalam membantu mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Pelayanan kesehatan adalah

Lebih terperinci

MAKALAH FARMASI SOSIAL

MAKALAH FARMASI SOSIAL MAKALAH FARMASI SOSIAL KONDISI SOSIAL MASYARAKAT DENGAN ASUHAN KEFARMASIAN DAN KESEHATAN DISUSUN OLEH KELOMPOK 1 DIANSARI CITRA LINTONG ADE FAZLIANA MANTIKA JURUSAN FARMASI FAKULTASMATEMATIKA DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kesehatan adalah salah satu tujuan dari pembangunan suatu bangsa. Kesehatan sendiri adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan

Lebih terperinci

KODE ETIK APOTEKER INDONESIA DAN IMPLEMENTASI - JABARAN KODE ETIK

KODE ETIK APOTEKER INDONESIA DAN IMPLEMENTASI - JABARAN KODE ETIK KODE ETIK APOTEKER INDONESIA DAN IMPLEMENTASI - JABARAN KODE ETIK KODE ETIK APOTEKER INDONESIA MUKADIMAH Bahwasanya seorang Apoteker di dalam menjalankan tugas kewajibannya serta dalam mengamalkan keahliannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pembangunan kesehatan di Indonesia, bertanggung jawab untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pembangunan kesehatan di Indonesia, bertanggung jawab untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Puskesmas merupakan unit pelaksana tingkat pertama dan ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia, bertanggung jawab untuk menyelenggarakan upaya kesehatan di tingkat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kuesioner Kuesioner atau angket merupakan suatu daftar pertanyaan atau pernyataan tentang topik tertentu yang diberikan kepada subyek, baik secara individual atau kelompok untuk

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN KERJA / TERM OF REFERENCE KEGIATAN EVALUASI DAN PENGEMBANGAN STANDAR PELAYANAN KESEHATAN TA. 2017

KERANGKA ACUAN KERJA / TERM OF REFERENCE KEGIATAN EVALUASI DAN PENGEMBANGAN STANDAR PELAYANAN KESEHATAN TA. 2017 KERANGKA ACUAN KERJA / TERM OF REFERENCE KEGIATAN EVALUASI DAN PENGEMBANGAN STANDAR PELAYANAN KESEHATAN TA. 2017 Program : Program Pelayanan Kefarmsian Puskesmas Megang Hasil (Outcome) : Terselengaranya

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 922/MENKES/PER/X/1993 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PEMBERIAN IZIN APOTIK MENTERI KESEHATAN

PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 922/MENKES/PER/X/1993 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PEMBERIAN IZIN APOTIK MENTERI KESEHATAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 922/MENKES/PER/X/1993 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PEMBERIAN IZIN APOTIK MENTERI KESEHATAN Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pelayanan apotik harus diusahakan agar

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pelayanan Kefarmasian oleh Apoteker PP 51 Tahun 2009 menyatakan bahwa tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian. Tenaga kefarmasian terdiri atas apoteker

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin maju, berkembang pula akan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menjaga kesehatan. Kesehatan merupakan hak asasi

Lebih terperinci

TINGKAT KEPUASAN PASIEN RAWAT JALAN TERHADAP KUALITAS PELAYANAN DI APOTEK INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SRAGEN SKRIPSI

TINGKAT KEPUASAN PASIEN RAWAT JALAN TERHADAP KUALITAS PELAYANAN DI APOTEK INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SRAGEN SKRIPSI TINGKAT KEPUASAN PASIEN RAWAT JALAN TERHADAP KUALITAS PELAYANAN DI APOTEK INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SRAGEN SKRIPSI Oleh : MEILINA DYAH EKAWATI K 100 050 204 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan ilmu penetahuan dan teknologi dewasa ini sangat mempengaruhi kualitas hidup bagi setiap manusia. Kualitas hidup seorang terlihat dari bagaimana upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu aspek yang sangat penting yang dapat menunjang aktivitas kehidupan manusia. Apabila kesehatannya baik maka aktivitas yang dijalankan

Lebih terperinci

BAB 11: PERBEKALAN FARMASI

BAB 11: PERBEKALAN FARMASI SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016 FARMASI BAB 11: PERBEKALAN FARMASI Nora Susanti, M.Sc, Apk KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN 2016 BAB XI PERBEKALAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini masyarakat pada umumnya semakin sadar akan pentingnya kesehatan dalam kehidupan. Kesehatan merupakan salah satu kunci utama bagi seseorang dalam melaksanakan

Lebih terperinci

2 Mengingat e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang

2 Mengingat e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang No.307, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KESEHATAN. Keperawatan. Pelayanan. Praktik. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5612) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia nomor 36 tahun 2014, tentang Kesehatan, adalah. setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan 1

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia nomor 36 tahun 2014, tentang Kesehatan, adalah. setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan citacita Bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRATIF PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI TAHUN 2008 SKRIPSI

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRATIF PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI TAHUN 2008 SKRIPSI TINJAUAN ASPEK ADMINISTRATIF PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI TAHUN 2008 SKRIPSI Oleh : MAYA DAMAYANTI K 100 050 191 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era globalisasi seperti sekarang ini, pola pikir masyarakat semakin berkembang sesuai dengan perkembangan dunia saat ini. Demikian juga dalam hal kesehatan, masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap manusia memiliki hak asasi yang diatur dalam perundang-undangan, salah satunya yaitu hak mengenai kesehatan, sesuai dengan UU No. 36 tahun 2009 bahwa kesehatan

Lebih terperinci

RELEVANSI PERATURAN DALAM MENDUKUNG PRAKTEK PROFESI APOTEKER DI APOTEK

RELEVANSI PERATURAN DALAM MENDUKUNG PRAKTEK PROFESI APOTEKER DI APOTEK ISSN : 1693-9883 Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. VI, No. 2, Agustus 2009, 97-106 RELEVANSI PERATURAN DALAM MENDUKUNG PRAKTEK PROFESI APOTEKER DI APOTEK Yustina Sri Hartini Fakultas Farmasi, Universitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan terapi, paradigma pelayanan kefarmasian di Indonesia telah bergeser dari pelayanan yang berorientasi pada obat (drug

Lebih terperinci