PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI"

Transkripsi

1 KAJIAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN BERDASARKAN KEPMENKES RI NOMOR 1027/MENKES/SK/IX/2004 DI APOTEK-APOTEK KABUPATEN BANTUL SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.) Program Studi Ilmu Farmasi Oleh: Henricus Bangun Purwono NIM : FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2008 i

2 Persetujuan Skripsi KAJIAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN BERDASARKAN KEPMENKES RI NOMOR 1027/MENKES/SK/IX/2004 DI APOTEK-APOTEK KABUPATEN BANTUL Oleh : Henricus Bangun Purwono NIM : Skripsi ini telah disetujui oleh : Pembimbing I Pembimbing II Drs. Sulasmono, Apt. Yustina Sri Hartini, M.Si., Apt. ii

3 Pengesahan Skripsi KAJIAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN BERDASARKAN KEPMENKES RI NOMOR 1027/MENKES/SK/IX/2004 DI APOTEK-APOTEK KABUPATEN BANTUL Oleh : HENRICUS BANGUN PURWONO NIM : Dipertahankan dihadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Pada tanggal : 21 Januari 2008 Mengetahui. Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Dekan Rita Suhadi, M.Si., Apt Tanda tangan Pembimbing I : Drs. Sulasmono, Apt. Pembimbing II : Yustina Sri Hartini, M.Si., Apt. Panitia Penguji :.... Tanda tangan 1. Drs. Sulasmono, Apt Yustina Sri Hartini, M.Si., Apt Ipang Djunarko, S.Si., Apt Yosef Wijoyo, M.Si., Apt... iii

4 Buanglah kebodohan, maka kamu akan hidup, dan ikutilah jalan pengertian. (Amsal 9:6) Di bibir orang berpengertian terdapat hikmat, tetapi pentung tersedia bagi punggung orang yang tidak berakal-budi. Orang bijak menyimpan pengetahuan, tetapi mulut orang bodoh adalah kebinasaan yang mengancam. (Amsal 10:13-14) ku persembahkan kepada Tuhan Yesus Kristus, kepada keluargaku, kepada teman-temanku dan kepada almamaterku. Aku akan bersyukur kepada Tuhan dengan segenap hati. Aku akan bersyukur kepadamu dengan hati jujur. (Mazmur 111:1a, 110:7a) iv

5

6 PRAKATA Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Kajian Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Apotek-Apotek Kabupaten Bantul. Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) di Fakultas Farmasi Sanata Dharma. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. 2. Bapak Drs. Sulasmono, Apt. selaku pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing, memotivasi, memberikan kritik dan saran hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 3. Ibu Yustina Sri Hartini, M.Si., Apt selaku pembimbing II yang juga telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing, memotivasi, memberikan kritik dan saran hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 4. Bapak Ipang Djunarko, S.Si., Apt. selaku pencetus ide awal penelitian ini dan selaku dosen penguji. Terimakasih atas kritik dan saran yang telah diberikan. v

7 5. Bapak Yosef Wijoyo, M.Si., Apt. selaku dosen penguji. Terima kasih atas kritik dan saran yang telah diberikan. 6. Pemerintah Kabupaten Bantul yang telah memberikan izin sehingga penelitian ini dapat terlaksana. 7. Bapak dan Ibu Apoteker di Kabupaten Bantul yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini. 8. Keluarga, terutama kedua orang tua, Bapak A. Isdiarto dan Ibu C. Siti Zuriati atas segala dukungan dan pengorbanan yang telah diberikan. Adik Arya & Kharisma atas dukungan dan bantuan yang telah diberikan selama ini. 9. Teman-teman seperjuangan : Adi, Totok, Bambang dan Monica atas kerjasama, bantuan dan dukungan yang telah diberikan selama ini. 10. Teman-teman Fakultas Farmasi Sanata Dharma angkatan 2003 kelas A atas kebersamaan dan keceriaan selama empat setengah tahun ini. 11. Teman-teman Mudika Stasi Tambran, terima kasih atas doanya. 12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Dalam kesempatan ini, penulis juga memohon maaf kepada semua pihak atas kekurangan dan kesalahan yang mungkin dilakukan penulis. Oleh karena itu dengan rendah hati penulis mengharapkan masukan, saran dan kritik yang membangun. Yogyakarta, 13 Januari 2008 Penulis vi

8 INTISARI Pelayanan kefarmasiaan pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care). Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek bertujuan sebagai pedoman praktik apoteker dalam menjalankan profesi serta melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional dan melindungi profesi dalam menjalankan praktik kefarmasian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di apotek-apotek Kabupaten Bantul. Penelitian ini termasuk jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan yang digunakan adalah deskriptif. Responden dalam penelitian ini adalah Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pendamping yang bersedia mengisi kuesioner yang merupakan instrumen penelitian ini. Analisis yang dilakukan adalah analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 belum dilaksanakan secara menyeluruh oleh Apoteker di apotek-apotek Kabupaten Bantul Kata kunci : Standar Pelayanan Kefarmasian, Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, Apotek. vii

9 ABSTRACT Pharmaceutical care orientation has changed from drug oriented to patient oriented which refers to pharmaceutical care. The Pharmaceutical care activities has, which previously only focused on the drugs management as a commodity, become more focused in to a comprehensive care that aimed at increasing the quality of patient s life. Kepmenkes RI Number 1027/MENKES/SK/IX/2004 about Pharmaceutical Care Standards in Dispensary aims at as guidance of pharmacist practice in performing the profession and also protects society of service which is not professional and protects profession in pharmacy practice. This research aimed at knowing the description of the implementation of Pharmaceutical Care Standards based on the Kepmenkes RI Number 1027/MENKES/SK/IX/2004 in dispensaries in Bantul. This research was non eksperimental research type in which the device used was descriptive. This respondents of this research were Administrator Pharmacist or Co-Pharmacist that willingly filled in the questionnaire which was the instrument of the research. The analysis performed was descriptive statistic. The result of the study showed that the Pharmaceutical Care Standards in Dispensary based on the Kepmenkes RI No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 in Bantul was not well performed yet by pharmacists in dispensaries in Bantul. Key words : Pharmaceutical Care Standard, Kepmenkes RI Number 1027/MENKES/SK/IX/2004, Dispensary. viii

10 PERNYATAAN KEASLIAN KARYA Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah. Yogyakarta, 13 Januari 2008 Penulis, Henricus Bangun Purwono ix

11 DAFTAR ISI Hal. HALAMAN JUDUL. HALAMAN PERSETUJUAN.. HALAMAN PENGESAHAN... HALAMAN PERSEMBAHAN PRAKATA INTISARI.. ABSTRACT.. PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... DAFTAR ISI. DAFTAR TABEL. DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN. i ii iii iv v vii viii ix x xiv xvii xx BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Perumusan masalah 3 2. Keaslian penelitian Manfaat penelitian.. 6 B. Tujuan Penelitian. 6 BAB II PENELAAHAN PUSTAKA A. Apoteker Pengertian Apoteker. 7 x

12 2. Apoteker sebagai suatu profesi Peran apoteker 14 B. Apotek C. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Asuhan kefarmasian Akuntabilitas praktek farmasi Manajemen praktis farmasi Komunikasi farmasi Pendidikan dan pelatihan farmasi Penelitian dan pengembangan kefarmasian Peraturan perundang-undangan 20 D. Sumpah Apoteker. 24 E. Kode Etik Apoteker. 25 F. Keterangan Empiris. 28 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian 29 B. Batasan Operasional Penelitian 29 C. Instrumen Penelitian.. 30 D. Populasi dan Sampel Populasi Sampel 31 xi

13 E. Tata Cara Pengumpulan Data Pembuatan kuesioner Pengujian kuesioner Penyebaran kuesioner Pengumpulan kuesioner Wawancara 35 F. Tata Cara Menampilkan Data. 35 G. Kesulitan Penelitian. 36 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Data Responden Posisi responden Usia responden Pengalaman kerja responden sebagai apoteker di apotek Adanya pekerjaan lain dari responden selain sebagai apoteker Waktu kerja responden di apotek dalam seminggu Waktu kerja responden di apotek dalam sehari. 41 B. Pengelolaan Sumber Daya Sumber daya manusia Sarana dan prasarana Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya Administrasi.. 61 C. Pelayanan Pelayanan resep 67 xii

14 2. Promosi dan edukasi Pelayanan residensial (Home Care).. 82 D. Evaluasi Mutu Pelayanan Tingkat kepuasan konsumen Dimensi waktu Prosedur tetap 85 E. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Bantul.. 87 F. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Bantul Berdasarkan Karakteristik Responden.. 89 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran 110 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 116 BIOGRAFI PENULIS 136 xiii

15 DAFTAR TABEL Hal. Tabel I Data apotek yang mengembalikan kuisioner.. 37 Tabel II Data posisi responden di apotek.. 38 Tabel III Data adanya pekerjaan lain dari responden Tabel IV Waktu kerja responden di apotek dalam seminggu. 41 Tabel V Pengambilan keputusan di apotek berdasarkan persetujuan APA.. 43 Tabel VI Ketersediaan papan yang tertulis kata apotek pada muka apotek Tabel VII Pemisahan produk kefarmasian dengan produk lainnya Tabel VIII Ketersediaan ruang tunggu bagi pasien. 46 Tabel IX Ketersediaan brosur/informasi mengenai kesehatan 46 Tabel X Ketersediaan tempat khusus untuk mendisplai informasi. 47 Tabel XI Ketersediaan ruang tertutup untuk konseling 48 Tabel XII Ketersediaan ruang racikan di apotek 49 Tabel XIII Ketersediaan keranjang sampah untuk staf dan pasien 50 Tabel XIV Latar Belakang Perencanaan Pengadaan Sediaan Farmasi di Apotek. 53 Tabel XV Sumber Perolehan Obat di Apotek 56 Tabel XVI Pemindahan isi obat ke wadah lain 57 Tabel XVII Informasi yang disertakan pada wadah baru 58 xiv

16 Tabel XVIII Ketersediaan tempat penyimpanan khusus.. 59 Tabel XIX Penyertaan bukti/faktur pembelian dan mencatat setiap obat yang dibeli. 62 Tabel XX Penyertaan Faktur/Nota Penjualan.. 62 Tabel XXI Pencatatan setiap penjualan dalam buku penjualan 63 Tabel XXII Pencatatan setiap pengeluaran narkotika dan psikotropika 64 Tabel XXIII Penyimpanan resep secara berurutan. 65 Tabel XXIV Pengisian medication record.. 65 Tabel XXV Skrining resep mengenai persyaratan administratif 68 Tabel XXVI Skrining resep mengenai kesesuaian farmasetik 69 Tabel XXVII Skrining resep mengenai pertimbangan klinis 71 Tabel XXVIII Konsultasi dengan dokter apabila ada ketidakjelasan dalam penulisan resep. 72 Tabel XXIX Keluhan tentang etiket oleh pasien 74 Tabel XXX Pengecekan resep sebelum diserahkan ke pasien 75 Tabel XXXI Apoteker selalu terlibat langsung dalam penyerahan obat ke pasien Tabel XXXII Informasi obat yang diberikan apoteker. 77 Tabel XXXIII Ketersediaan jam konseling setiap hari di apotek.. 79 Tabel XXXIV Konseling secara berkelanjutan. 79 Tabel XXXV Diseminasi informasi kesehatan Tabel XXXVI Tindak lanjut terapi 82 Tabel XXXVII Survey tingkat kepuasan konsumen.. 83 xv

17 Tabel XXXVIII Bentuk survey 84 Tabel XXXIX Penetapan lama pelayanan 85 Tabel XXXX Ketersediaan prosedur tetap 85 xvi

18 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Diagram usia responden.. 39 Hal. Gambar 2. Diagram pengalaman responden bekerja sebagai apoteker di apotek 39 Gambar 3. Diagram waktu kerja responden di apotek dalam sehari.. 41 Gambar 4. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bidang sarana dan prasarana 50 Gambar 5. Standar Pelayanan Kefarmasian bagian pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya.. 60 Gambar 6. Standar Pelayanan Kefarmasian bagian administrasi 66 Gambar 7. Standar Pelayanan Kefarmasian bidang pelayanan resep bagian skrining resep 73 Gambar 8. Standar Pelayanan Kefarmasian bidang pelayanan resep bagian penyiapan obat.. 80 Gambar 9. Standar Pelayanan Kefarmasian bidang evaluasi mutu pelayanan.. 86 Gambar 10. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Bantul 87 Gambar 11. Rata-rata Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Bantul berdasarkan posisi responden.. 89 Gambar 12. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Bantul berdasarkan posisi responden. 90 xvii

19 Gambar 13. Rata-rata Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Bantul berdasarkan usia responden Gambar 14. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Bantul berdasarkan usia respoden. 93 Gambar 15. Rata-rata Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Bantul berdasarkan pengalaman respoden 95 Gambar 16. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Bantul berdasarkan pengalaman responden.. 96 Gambar 17. Rata-rata Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Bantul berdasarkan adanya pekerjaan lain respoden. 99 Gambar 18. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Bantul berdasarkan adanya pekerjaan lain respoden 100 Gambar 19. Rata-rata Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Bantul berdasarkan waktu kerja respoden dalam seminggu. 102 Gambar 20. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Bantul berdasarkan waktu kerja respoden dalam seminggu 103 Gambar 21. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Bantul berdasarkan waktu kerja respoden di apotek dalam sehari. 106 xviii

20 Gambar 22. Rata-rata Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Bantul berdasarkan waktu kerja respoden dalam seminggu. 107 xix

21 DAFTAR LAMPIRAN Hal. Lampiran 1. Surat Pengantar Kuisioner Penelitian. 116 Lampiran 2. Kuesioner Penelitian Lampiran 3. Surat Izin Penelitian Lampiran 4. Sumpah/Janji Apoteker. 124 Lampiran 5. Kode Etik Apoteker Indonesia Lampiran 6. Contoh Alur Pelayanan Resep Lampiran 7. Jalur Distribusi Obat Lampiran 8. Tabulasi Data xx

22 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care). Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien (Anonim, 2004a). Pelayanan kefarmasian semakin berkembang, tidak terbatas hanya pada penyiapan obat dan penyerahan obat pada pasien, tetapi perlu melakukan interaksi dengan pasien dan profesional kesehatan lainnya, dengan melaksanakan pelayanan kefarmasian secara menyeluruh oleh tenaga farmasi (Muliawan, 2004). Pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi Apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Apoteker dalam menjalankan prakteknya harus sesuai standar yang ada untuk menghindari terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan. Selain itu Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan tenaga medis dalam menetapkan terapi untuk mendukung penggunaan obat yang rasional (Anonim, 2004a). Sebagai upaya agar para apoteker dapat melaksanakan pelayanan kefarmasian dengan baik, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan bekerja sama dengan Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) menyusun Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek untuk 1

23 2 menjamin mutu pelayanan kefarmasian kepada masyarakat seperti yang tertuang dalam Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. Standar tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman praktik Apoteker dalam menjalankan profesi, untuk melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional, dan melindungi profesi dalam menjalankan praktik kefarmasian (Anonim, 2004a). Apoteker di apotek dalam menjalankan profesinya harus berpedoman pada Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia tahun 2004, salah satu standar prosedur operasional Apoteker di apotek hal manajemen praktis farmasi adalah merancang, membuat, mengetahui, memahami dan melaksanakan regulasi di bidang farmasi. Penjabaran dari kompetensi tersebut adalah dengan menampilkan semua kegiatan operasional kefarmasian di apotek berdasarkan undang-undang dan peraturan yang berlaku dari tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional. Berdasarkan keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu kewajiban Apoteker di apotek adalah melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada semua kegiatan operasional kefarmasian di apotek, termasuk di dalamnya melaksanakan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 sebagai pedoman praktek Apoteker di apotek. Apotek di Kabupaten Bantul menurut data Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul tahun 2006 berjumlah 55 apotek yang tersebar 10 kecamatan. Persebaran lokasi apotek ini dinilai kurang merata dikarenakan Kabupaten Bantul terdiri dari 17 kecamatan. Oleh karena itu, pelayanan kefarmasian di apotek harus

24 3 dilaksanakan dengan baik sehingga dapat menjamin mutu pelayanan kefarmasian dan mencakup seluruh masyarakat di Kabupaten Bantul. Berdasarkan kenyataan di atas maka dilakukan penelitian mengenai KepMenKes RI nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 untuk melihat seberapa jauh pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian berdasarkan KepMenKes RI nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di apotek-apotek Kabupaten Bantul. 1. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : a. Apakah Standar Pelayanan Kefarmasian berdasarkan KepMenKes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 telah dilaksanakan secara menyeluruh oleh apoteker di apotek-apotek Kabupaten Bantul? b. Parameter manakah dari Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 yang telah dilaksanakan dengan baik, cukup dan kurang dengan masing-masing persentase? c. Apakah karakteristik responden memberikan perbedaan dalam pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di apotek-apotek Kabupaten Bantul?

25 4 2. Keaslian Penelitian Sejauh ini belum pernah dilakukan penelitian mengenai Kajian Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian berdasarkan KepMenKes RI nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di apotek-apotek Kabupaten Bantul. Beberapa penelitian sejenis yang pernah dilakukan sebelumnya, yaitu : a. Pemahaman Apoteker Tentang Pelayanan Apoteker dalam Praktek Kefarmasian Sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan Apotek di Apotek-Apotek Kota Yogyakarta (Tobondo, 2000). Penelitian dari Tobondo ini menekankan pada pemahaman apoteker tentang pelayanan apoteker dalam praktek kefarmasian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelayanan apoteker di apotek. Perbedaannya dengan penelitian ini adalah pada penelitian Tobondo tidak mengkhususkan diri atau berpedoman pada suatu undang-undang tertentu, sedangkan pada penelitian ini berpedoman pada Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. b. Pendapat Dokter Umum di Rumah Sakit Umum Daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta Terhadap Peran Apoteker (Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 Tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit) (Regziana, 2007). Penelitian dari Regziana ini menekankan pada penerimaan dokter umum terhadap peran apoteker berdasarkan Kepmenkes Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 dan harapan dokter umum terhadap peran apoteker di masa mendatang. Perbedaannya dengan penelitian ini adalah

26 5 pada penelitian Regziana subyek penelitian merupakan dokter umum, sedangkan pada penelitian ini subyek penelitian adalah apoteker di apotek. Penelitian Regziana meneliti mengenai peran apoteker di Rumah Sakit berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, sedangkan penelitian ini meneliti mengenai pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. c. Kajian Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kota Yogyakarta (Sukmajati, 2007). Penelitian dari Sukmajati memberi gambaran pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek-apotek Kota Yogyakarta, sedangkan penelitian ini memberi gambaran pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek-apotek Kabupaten Bantul. Perbedaannya hanya terletak pada lokasi penelitian dan adanya hubungan karakteristik responden dengan pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasia di Apotek. d. Kajian Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kabupaten Sleman (Soedarsono, 2007). Penelitian dari Soedarsono memberi gambaran pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek-apotek Kabupaten Sleman, sedangkan penelitian ini memberi gambaran pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek-apotek Kabupaten Bantul.

27 6 Perbedaannya hanya terletak pada lokasi penelitian dan adanya hubungan karakteristik responden dengan pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. 3. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Memberi gambaran mengenai Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian berdasarkan KepMenKes RI nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di apotek-apotek Kabupaten Bantul b. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai : 1) bahan evaluasi bagi Apoteker Pengelola Apotek (APA) dalam pengelolaan apotek; 2) bahan acuan bagi mahasiswa farmasi atau para calon apoteker yang tertarik dalam pelayanan perapotekkan; dan 3) bahan evaluasi bagi pihak-pihak yang terkait berkenaan dengan pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di Apotek. B. Tujuan Penelitian Mengetahui apakah Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 telah dilaksanakan secara menyeluruh oleh apoteker di apotek-apotek Kabupaten Bantul.

28 BAB II PENELAAHAN PUSTAKA 1. Pengertian Apoteker A. Apoteker Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai Apoteker. bahwa : Kepmenkes RI nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 mencantumkan Sesuai perundangan yang berlaku apotek harus dikelola oleh seorang Apoteker yang profesional. Dalam pengelolaan apotek, Apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner, kemampuan mengelola SDM secara efektif, selalu belajar sepanjang karier, dan membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan. Apoteker Pengelola Apotek (APA) adalah apoteker yang telah diberi Surat Izin Apotek atau SIA. Surat Izin Apotek adalah surat izin yang diberikan oleh Menteri kepada Apoteker atau Apoteker bekerjasama dengan pemilik sarana apotek untuk menyelenggarakan apotek di suatu tempat tertentu. Apabila Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka apotek, apoteker pengelola apotek harus menunjuk Apoteker Pendamping. Apoteker Pendamping adalah apoteker yang bekerja di apotek di 7

29 8 samping apoteker pengelola apotek dan/atau menggantikannya pada jam-jam tertentu pada hari buka apotek. Apabila APA dan Apoteker Pendamping karena hal-hal tertentu berhalangan melakukan tugasnya, maka APA harus menunjuk Apoteker Pengganti. Apoteker pengganti adalah apoteker yang menggantikan APA selama APA tersebut tidak berada di tempat lebih dari tiga bulan secara terus-menerus dan telah memiliki Surat Izin Kerja (SIK) serta tidak bertindak sebagai APA di apotek lain (Anonim, 2002). Adapun persyaratan untuk menjadi seorang Apoteker Pengelola Apotek diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 922 tahun 1993 (pasal 5) yaitu : a. ijazahnya telah terdaftar pada Departemen kesehatan b. telah mengucapkan Sumpah/Janji sebagai Apoteker c. memiliki Surat Izin Kerja dari Menteri d. memenuhi syarat-syarat kesehatan fisik dan mental untuk melaksakan tugasnya, sebagai Apoteker e. tidak bekerja di suatu Perusahaan farmasi dan tidak menjadi Apoteker Pengelola Apotik di Apotik lain. Menurut Kepmenkes RI Nomor 922 tahun 1993, maka Apoteker berkewajiban menyediakan, menyimpan dan menyerahkan sediaan farmasi yang bermutu baik dan yang keabsahannya terjamin. Obat dan perbekalan farmasi lainnya yang karena sesuatu hal tidak dapat digunakan lagi atau dilarang digunakan, harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau ditanam atau dengan cara lain yang ditetapkan Direktur Jenderal. Pemusnahan dilakukan Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pengganti dibantu oleh sekurangkurangnya seorang karyawan apotek.

30 9 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922 tahun 1993 pasal 15 ayat 4, menyebutkan bahwa Apoteker wajib memberikan informasi : a. yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien b. penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat. Pasal 53 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan menyebutkan bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk memenuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. Standar profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik. Hal ini juga ditegaskan pada Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 pasal 22 ayat 1 (c) yang menyebutkan bahwa bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk : a. menghormati hak pasien b. memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan. Kode Etik apoteker Indonesia pasal 7 juga menyatakan bahwa seorang Apoteker hendaknya menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya bagi masyarakat dalam rangka pelayanan dan pendidikan kesehatan. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen menyatakan bahwa kewajiban pelaku usaha adalah memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Permenkes Nomor 922 tahun 1993 menyebutkan bahwa apoteker wajib memberikan informasi :

31 10 a. yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien. b. penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat. Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurangkurangnya meliputi : cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa salah satu tugas apoteker adalah memberikan informasi kepada pasien yang datang ke apotek, sehingga kewajiban apoteker, baik apoteker pengelola apotek atau apoteker pendamping atau apoteker pengganti adalah berada di apotek selama jam buka apotek dan memberikan informasi kepada pasien yang datang ke apotek. Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 menyatakan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan, pada pasal 86 yaitu barang siapa dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat 1, telah diuraikan sebelumnya, dipidana denda paling banyak Rp ,00 (sepuluh juta rupiah). 2. Apoteker Sebagai Suatu Profesi Profesi merupakan suatu pekerjaan yang menuntut suatu pengetahuan dan keterampilan yang sangat khusus yang diperoleh melalui pelajaran yang bersifat teoritis dan praktek serta diuji oleh lembaga perguruan tinggi dan kepada yang bersangkutan diberi kewenangan guna pemberian layanan

32 11 konsumen atau kliennya (Harding, 1993). Banyak kriteria untuk menentukan suatu pekerjaan adalah suatu profesi, menurut Sulasmono (1997) antara lain : a. unusual learning, yaitu dididik dan menerima pengetahuan yang khas dan merupakan lulusan dari perguruan tinggi, sehingga tidak diperoleh di tempat lain atau bidang yang berbeda b. pelayanannya bersifat altruistik (tidak mementingkan diri sendiri dan mementingkan kepentingan orang lain) c. telah mengucapkan sumpah d. memiliki kode etik e. memiliki standar profesi, yaitu pedoman yang harus digunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik (Anonim, 1992) f. memiliki pengakuan hukum (adanya undang-undang maupun ketentuan peraturan perundang-undangan lain) g. memiliki perijinan (Surat Ijin Praktek atau Surat Ijin Kerja) h. memiliki wadah profesi yang menunjukkan jati diri profesional i. bersifat otonomi dan independensi j. bertemu dan berinteraksi dengan klien atau penderita k. confidental relationship dalam pelayanannya Menurut ISFI, profesi memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a. memiliki tubuh pengetahuan yang berbatas jelas b. pendidikan khusus berbasis keahlian pada jenjang pendidikan tinggi c. memberi pelayanan kepada masyarakat, praktek dalam bidang keprofesian d. memiliki perhimpunan dalam bidang keprofesian yang bersifat otonom

33 12 e. memberlakukan kode etik keprofesian f. memiliki motivasi altruistik dalam memberikan pelayanan g. proses pembelajaran seumur hidup h. mendapat jasa profesi (Anonim, 2004b) Menurut Trait Theory, Apoteker dapat digolongkan sebagai suatu profesi karena menunjukkan beberapa ciri khusus, yaitu : a. memiliki ilmu pengetahuan khusus yang berasal dari pelatihan jangka panjang (specialized knowledge and lengthy training). Agar dapat diterima menjadi salah satu anggota profesi, seseorang harus menjalani pendidikan intensif yang bervariasi dengan spesialisasi tinggi. Untuk menjadi seorang apoteker, seseorang harus menempuh pendidikan di perguruan tinggi farmasi baik di jenjang S-1 maupun jenjang pendidikan profesi. Pada saat menempuh masa pendidikan, apoteker dibekali dengan pengetahuan dan kemampuan khusus yang disesuaikan dengan tugasnya dalam mempersiapkan dan menerapkan penggunaan obat secara klinis (Harding, dkk, 1993). Lembaga Pendidikan Tinggi Farmasi mempunyai andil yang besar bagi perkembangan sejarah kefarmasian pada masa-masa selanjutnya (Sirait, 2001). b. monopoli dalam praktek (monopoly of practice). Monopoli pekerjaan yang dilakukan profesi dijamin dan dilindungi oleh Negara (Harding, 1993). Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan

34 13 telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker. Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 menyebutkan bahwa pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Pada pasal 63 ayat (1) disebutkan bahwa pekerjaan kefarmasian dalam pengadaan, produksi, distribusi dan pelayanan sediaan farmasi harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Berdasarkan keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa profesi farmasi dan pekerjaan kefarmasian memiliki pengakuan secara hukum di Indonesia, dan bahwa pekerjaan kefarmasian tersebut hanya apoteker yang memiliki kewenangan untuk menjalankannya. c. pengaturan diri (self regulation). Organisasi profesi diperbolehkan untuk mengatur sistem pendidikan, memutuskan seseorang yang memenuhi persyaratan untuk menjadi anggota profesi dan memperkirakan seseorang yang berkompeten dalam menjalankan pekerjaannya (Harding, 1993). Organisasi profesi farmasi adalah Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI). Surat Kepmenkes Nomor 41846/KB/121 tanggal 16 September 1965 menyatakan bahwa Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia disingkat ISFI sebagai organisasi tunggal/satu-satunya organisasi sarjana apoteker Indonesia yang menghimpun seluruh tenaga kesehatan sarjana di bidang

35 14 farmasi yakni sarjana apoteker. Wujud pengaturan diri tersebut antara lain dengan adanya Sumpah/Janji Apoteker, Kode Etik Apoteker Indonesia dan Standar Kompetensi Farmasis Indonesia. d. orientasi pelayanan (service orientation). Pernyataan ini menandakan bahwa anggota profesi harus bekerja sebaik-baiknya untuk memenuhi keinginan klien dan tidak diperbolehkan memaksa klien hanya demi keuntungan pribadi semata. Hal ini ditegaskan pada pasal 53 Undang- Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan yang menyebutkan bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk memenuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. 3. Peran Apoteker Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyatakan bahwa sesuai ketentuan perundangan yang berlaku apotek harus dikelola oleh seorang Apoteker yang profesional dan dalam pengelolaan apotek tersebut, apoteker harus senantiasa memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner, kemampuan mengelola SDM secara efektif, selalu belajar sepanjang karier, membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan. Peran Apoteker yang digariskan oleh WHO yang dikenal dengan istilah Seven Stars of Pharmacist meliputi :

36 15 a. Care Giver. Apoteker sebagai pemberi pelayanan dalam bentuk pelayanan klinis, analitis, teknis, sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam memberikan pelayanan, apoteker harus berinteraksi dengan pasien secara individu maupun kelompok, apoteker harus mengintegrasikan pelayanannya pada sistem pelayanan kesehatan secara berkesinambungan dan pelayanan apoteker yang dihasilkan harus bermutu tinggi. b. Decision-maker. Apoteker mendasarkan pekerjaannya pada kecukupan, keefikasian dan biaya yang efektif dan efisien terhadap seluruh penggunaan sumber daya misalnya sumber daya manusia, obat, bahan kimia, peralatan, prosedur, pelayanan dan lain-lain. Untuk mencapai tujuan tersebut kemampuan dan keterampilan apoteker perlu diukur untuk kemudian hasilnya dijadikan dasar dalam penentuan pendidikan dan pelatihan yang diperlukan. c. Communicator. Apoteker mempunyai kedudukan penting dalam berhubungan dengan pasien maupun profesi kesehatan yang lain, oleh karena itu harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang cukup baik. Komunikasi tersebut meliputi komunikasi verbal, non verbal, mendengar dan kemampuan menulis, dengan menggunakan bahasa sesuai dengan kebutuhan. d. Leader. Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan.

37 16 e. Manager. Apoteker harus efektif dalam mengelola sumber daya (manusia, fisik, anggaran) dan informasi, juga harus dapat dipimpin dan memimpin orang lain dalam tim kesehatan. Lebih jauh lagi apoteker mendatang harus tanggap terhadap kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi informasi mengenai obat dan hal-hal lain yang berhubungan dengan obat. f. Life-long learner. Apoteker harus senang belajar sejak dari kuliah dan semangat belajar harus selalu dijaga walaupun sudah bekerja untuk menjamin bahwa keahlian dan keterampilannya selalu baru (up-date) dalam melakukan praktek profesi. Apoteker juga harus mempelajari cara belajar yang efektif. g. Teacher. Apoteker mempunyai tanggung jawab untuk mendidik dan melatih apoteker generasi mendatang. Partisipasinya tidak hanya dalam berbagai ilmu pengetahuan baru satu sama lain, tetapi juga kesempatan memperoleh pengalaman dan peningkatan keterampilan. (Anonim, 2004b) B. Apotek Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1965 pasal 1 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan apotek ialah suatu tempat dimana dilakukan usaha-usaha dalam bidang farmasi dan pekerjaan kefarmasian. Pasal 2 menyebutkan bahwa tugas dan fungsi apotek, ialah : 1. pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat. 2. penyaluran perbekalan kesehatan di bidang farmasi yang meliputi : obat, obat asli Indonesia, kosmetika, alat-alat kesehatan dan sebagainya.

38 17 Pasal 3 menyebutkan bahwa apotek dapat diusahakan oleh : 1. Lembaga atau Instansi Pemerintah dengan tugas pelayanan kesehatan di Pusat dan di Daerah; 2. Perusahaan milik Negara yang ditunjuk oleh Pemerintah; 3. Apoteker yang telah mengucapkan sumpah dan telah memperoleh izin kerja dari Menteri Kesehatan. Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 1980 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran obat kepada masyarakat. Pasal 2 mengatur tugas dan fungsi apotek yaitu : a. tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan. b. sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat. c. sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata. Kepmenkes RI nomor 1332 tahun 2002 pasal 4,menyebutkan bahwa izin apotek diberikan oleh Menteri. Menteri melimpahkaan wewenang pemberian izin apotek kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Selanjutnya Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota wajib melaporkan pelaksanaan pemberian izin, pembekuan izin, pencairan izin, dan pencabutan izin apotek sekali setahun kepada kepada menteri dan tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi. (pasal 6) : Persyaratan apotek menurut Kepmenkes RI nomor 922 tahun 1993 adalah 1. untuk mendapatkan izin apotek, Apoteker atau Apoteker bekerjasama dengan pemilik sarana yang telah memenuhi persyaratan harus siap dengan tempat,

39 18 perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan lainnya yang merupakan milik sendiri atau milik pihak lain 2. sarana Apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi 3. apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi. C. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Sistem praktek kefarmasian dapat diartikan sebagai bagian integral dari sistem pelayanan kesehatan yang utuh dan terpadu, terdiri dari struktur dan fungsi jaringan pelayanan kefarmasian. Praktek kefarmasian adalah upaya penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian dalam rangka pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit bagi perorangan, keluarga, kelompok, dan atau masyarakat. Sistem pelayanan kefarmasian meliputi struktur sistem pelayanan kefarmasian dan fungsi sistem pelayanan kefarmasian (Anonim, 2004b). 1. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal asuhan kefarmasian, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah : a. memberikan pelayanan obat kepada pasien atas permintaan dari dokter, dokter gigi atau dokter hewan baik verbal maupun non verbal; b. memberikan pelayanan kepada pasien atau masyarakat yang ingin melakukan pengobatan mandiri; c. memberikan pelayanan informasi obat; d. memberikan konsultasi obat; e. melakukan monitoring efek samping obat; f. pelayanan klinik berbasis farmakokinetik. (Anonim, 2004b) 2. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal akuntabilitas praktek farmasi, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah : a. menjamin praktek kefarmasian berbasis bukti ilmiah dan etika profesi; b. merancang, melaksanakan, memonitor dan evaluasi dan mengembangkan standar kerja sesuai arahan pedoman yang berlaku; c. bertanggung jawab terhadap setiap keputusan profesional yang diambil; d. melakukan kerjasama dengan pihak lain yang terkait atau bertindak mandiri dalam mencegah kerusakan lingkungan akibat obat; dan

40 19 e. melakukan perbaikan mutu pelayanan secara terus menerus dan berkelanjutan untuk memenuhi kepuasan stakeholder. (Anonim, 2004b) 3. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal manajemen praktis farmasi, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah : a. merancang, membuat, mengetahui, memahami dan melaksanakan regulasi di bidang farmasi. Penjabaran dari kompetensi tersebut adalah dengan menampilkan semua kegiatan operasional kefarmasian di apotek berdasarkan undang-undang dan peraturan yang berlaku dari tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional; b. merancang, membuat, melakukan pengelolaan apotek yang efektif dan efisien. Penjabaran kompetensi di atas adalah dengan mendefinisikan falsafah asuhan kefarmasian, visi, misi, isu-isu pengembangan, penetapan strategi, kebijakan, program dan menerjemahkannya ke dalam rencana kerja (Plan of Action); c. merancang, membuat,melakukan pengelolaan obat di apotek yang efektif dan efisien. Penjabaran dari kompetensi di atas adalah dengan melakukan seleksi, perencanaan, penganggaran, pengadaan, produksi, penyimpanan, pengamanan persediaan, perancangan dan melakukan dispensing serta evaluasi penggunaan obat dalam rangka pelayanan kepada pasien yang terintegrasi dalam asuhan kefarmasian dan sistem jaminan mutu pelayanan; d. merancang organisasi kerja yang meliputi : arah dan kerangka organisasi, sumber daya manusia, fasilitas, keuangan, termasuk sistem informasi manajemen; e. merancang, melaksanakan, memantau dan menyesuaikan struktur harga berdasarkan kemampuan bayar dan kembalian modal serta imbalan jasa praktek kefarmasian; dan f. memonitor dan evaluasi penyelenggaraan seluruh kegiatan operasional mencakup aspek manajemen maupun asuhan kefarmasian yang mengarah kepada kepuasan konsumen. (Anonim, 2004b) 4. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal komunikasi farmasi, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah : a. memantapkan hubungan profesional antara farmasis dengan pasien dan keluarganya dengan sepenuh hati dalam suasana kemitraan untuk menyelesaikan masalah terapi obat pasien; b. memantapkan hubungan profesional antara farmasis dengan tenaga kesehatan lain dalam rangka mencapai keluaran terapi yang optimal khususnya dalam aspek obat; c. memantapkan hubungan dengan semua tingkat/lapisan manajemen dengan bahasa manajemen berdasarkan atas semangat kefarmasian; dan

41 20 d. memantapkan hubungan dengan sesama farmasis berdasarkan saling menghormati dan mengakui kemampuan profesi demi tegaknya martabat profesi. (Anonim, 2004b) 5. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal pendidikan dan pelatihan farmasi, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah : a. memotivasi, mendidik dan melatih farmasis lain dan mahasiswa farmasi dalam penerapan asuhan kefarmasian; b. merencanakan dan melakukan aktifitas pengembangan staf, bagi teknisi di bidang farmasi, pekarya dan juru resep dalam rangka peningkatan efisiensi dan kualitas pelayanan farmasi yang diberikan; c. berpartisipasi aktif dalam pendidikan dan pelatihan berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas diri dan kualitas praktek kefarmasian; dan e. mengembangkan dan melaksanakan program pendidikan dalam bidang kesehatan umum, penyakit dan manajemen terapi kepada pasien, profesi kesehatan dan masyarakat. (Anonim, 2004b) 6. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal penelitian dan pengembangan kefarmasian, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah: a. melakukan penelitian dan pengembangan, mempresentasikan dan mempublikasikan hasil penelitian dan pengembangan kepada masyarakat dan profesi kesehatan lain; dan b. menggunakan hasil penelitian dan pengembangan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan dan peningkatan mutu praktek kefarmasian. (Anonim, 2004b) 7. Menurut peraturan perundang-undangan Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, pelayanan kefarmasian di apotek meliputi : a. Pengelolaan sumber daya 1) Sumber daya manusia Sesuai ketentuan perundangan yang berlaku Apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang profesional. Dalam pengelolaan Apotek, Apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner, kemampuan mengelola

42 21 SDM secara efektif, selalu belajar sepanjang karier, dan membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan. 2) Sarana dan prasarana Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh masyarakat. Pada halaman terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata apotek. Apotek harus dapat dengan mudah diakses oleh anggota masyarakat. Pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya, hal ini berguna untuk menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko kesalahan penyerahan. Masyarakat harus diberi akses secara langsung dan mudah oleh apoteker untuk memperoleh informasi dan konseling. Lingkungan apotek harus dijaga kebersihannya. Apotek harus bebas dari hewan pengerat, serangga/pest. Apotek memiliki suplai listrik yang konstan, terutama untuk lemari pendingin. Apotek harus memiliki : 1. Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien. 2. Tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk penempatan brosur/materi informasi. 3. Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi dengan meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien 4. Ruang racikan. 5. Keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien. Perabotan apotek harus tertata rapi, lengkap dengan rak-rak penyimpanan obat dan barang-barang lain yang tersusun dengan rapi, terlindung dari debu, kelembaban dan cahaya yang berlebihan serta diletakkan pada kondisi ruangan dengan temperatur yang telah ditetapkan. 3) Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya. Pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku meliputi : perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pelayanan. Pengeluaran obat memakai sistim FIFO (first in first out) dan FEFO (first expire first out) 3.1 Perencanaan. Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi perlu diperhatikan : a. Pola penyakit. b. Kemampuan masyarakat. c. Budaya masyarakat.

43 Pengadaan. Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi harus melalui jalur resmi. 3.3 Penyimpanan. 1.Obat / bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru, wadah sekurang kurangnya memuat nomor batch dan tanggal kadaluarsa. 2.Semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai, layak dan menjamin kestabilan bahan. 4) Administrasi. Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilaksanakan kegiatan administrasi yang meliputi : 4.1. Administrasi umum. Pencacatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku Administrasi pelayanan. Pengarsipan resep, pengarsipan cacatan pengobatan pasien, pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat. b. Pelayanan 1) Pelayanan resep Skrining resep. Apoteker melakukan skrining resep meliputi : Persyaratan administratif : - Nama,SIP dan alamat dokter. - Tanggal penulisan resep. - Tanda tangan/paraf dokter penulis resep. - Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien. - Nama obat, potensi, dosis, jumlah yang minta. - Cara pemakaian yang jelas. - Informasi lainnya Kesesuaian farmasetik : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian Pertimbangan klinis : adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan.

44 Penyiapan obat Peracikan. Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar Etiket. Etiket harus jelas dan dapat dibaca Kemasan obat yang diserahkan. Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya Penyerahan obat. Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan Informasi obat. Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi : cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi Konseling. Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan Monitoring penggunaan obat. Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti cardiovascular, diabetes,tbc, asthma, dan penyakit kronis lainnya. 2) Promosi dan edukasi. Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut

45 24 membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet/ brosur, poster, penyuluhan, dan lain-lainnya. 3) Pelayanan residensial (Home Care). Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record). c. Evaluasi mutu pelayanan Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan adalah : 1) Tingkat kepuasan konsumen : dilakukan dengan survey berupa angket atau wawancara langsung. 2) Dimensi waktu : lama pelayanan diukur dengan waktu (yang telah ditetapkan). 3) Prosedur tetap : untuk menjamin mutu pelayanan sesuai standar yang telah ditetapkan. Disamping itu prosedur tetap bermanfaat untuk : Memastikan bahwa praktik yang baik dapat tercapai setiap saat; Adanya pembagian tugas dan wewenang; Memberikan pertimbangan dan panduan untuk tenaga.kesehatan lain yang bekerja di apotek; Dapat digunakan sebagai alat untuk melatih staf baru; Membantu proses audit. Prosedur tetap disusun dengan format sebagai berikut: Tujuan : merupakan tujuan protap. Ruang lingkup : berisi pernyataan tentang pelayanan yang dilakukan dengan kompetensi yang diharapkan. Hasil : hal yang dicapai oleh pelayanan yang diberikan dan dinyatakan dalam bentuk yang dapat diukur. Persyaratan : hal-hal yang diperlukan untuk menunjang pelayanan. Proses : berisi langkah-langkah pokok yang perlu diikuti untuk penerapan standar. Sifat protap adalah spesifik mengenai kefarmasian. (Anonim, 2004a) D. Sumpah Apoteker Sumpah adalah ikrar yang diucapkan dengan sungguh-sungguh dan akan melaksanakannya sesuai dengan yang telah diucapkan (Salim, 1991). Menurut

46 25 Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1962 pasal 1 sumpah apoteker harus diucapkan sebelum apoteker melaksanakan pekerjaan kefarmasian. Apoteker dalam pengabdiannya kepada nusa dan bangsa serta di dalam mengamalkan keahliannya hendaknya selalu berpegang teguh kepada sumpah/janji apoteker (Anonim, 2004b). Tujuan mengucapkan suatu sumpah atau janji adalah untuk menyadarkan bagi yang disumpah bahwa dalam menjalankan tugas dan kewajiban atau pekerjaannya mengharapkan tanggung jawab yang besar terutama tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena apoteker di dalam mengamalkan keahliannya harus senantiasa mengharapkan bimbingan dan keridhaan-nya, sehingga bilamana menyalahgunakan jabatan dari pekerjaannya itu akan membawa bahaya bagi keselamatan masyarakat yang dilayaninya dan harus dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa baik dunia maupun akhirat (Budiharjo, 1981). Lafal sumpah atau janji apoteker dapat dilihat pada lampiran 4. E. Kode Etik Apoteker Kode Etik Apoteker Indonesia adalah suatu aturan moral sebagai ramburambu yang membatasi seorang apoteker dalam menjalankan pekerjaan keprofesiannya dari perbuatan tercela dan merugikan martabat profesi apoteker dan organisasi profesi (Sulasmono, 1997). Berdasarkan Permenkes Nomor 184 tahun 1995 pasal 18 disebutkan bahwa apoteker dilarang melakukan perbuatan

47 26 yang melanggar Kode Etik Apoteker oleh sebab itu seorang apoteker perlu memahami isi dari Kode Etik Apoteker (Hartini dan Sulasmono, 2006). Kode Etik Apoteker Indonesia disusun oleh Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI). Kode Etik Apoteker Indonesia menurut ISFI hasil Keputusan Kongres Nasional XVII ISFI tahun 2005 nomor 007/2005 tanggal 18 Juni 2005 dapat dilihat pada lampiran 5. Apotek mempunyai dua fungsi, yaitu : 1. sebagai unit sarana kesehatan (non profit/social oriented) Apoteker di apotek wajib memberikan pelayanan kefarmasian sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya yang dilandasi kepentingan masyarakat dalam pelayanan sosial (social oriented). Apoteker dalam menjalankan fungsi apotek ini harus patuh terhadap etika kefarmasian sebagai penjabaran Kode Etik Apoteker dan sebagai apoteker yang telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku serta berhak melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai apoteker. Apoteker juga harus mengutamakan kepuasan konsumen (customer satisfaction) antara lain dengan memperhatikan harga, kelengkapan sediaan farmasi dan alat kesehatan lainnya yang dijual di apotek agar tidak ada resep atau permintaan konsumen yang ditolak karena ketidaklengkapan sediaan farmasi maupun alat kesehatan lainnya.

48 27 2. sebagai sarana bisnis (profit/business oriented) Apotek berfungsi sebagai sarana bisnis yang diharapkan dapat memberi keuntungan. Dalam hal ini apoteker harus mampu bertindak sebagai manajer untuk mampu mengembangkan modal dan keuntungan yang diperoleh dengan bekal ilmu manajerial demi kelangsungan hidup apotek itu sendiri. (Anief, 1995) Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa apotek melakukan bisnis yang beretika. Menurut J.W. Weiss, etika bisnis adalah seni dan disiplin dalam menerapkan prinsip etika dalam mengkaji dan memecahkan berbagai masalah moral yang kompleks. Meski belum ada definisi terbaik dari etika bisnis, namun telah muncul konsensus bahwa etika bisnis adalah studi yang mensyaratkan penalaran dan penilaian, baik berdasarkan atas prinsip maupun kepercayaan dalam proses pengambilan keputusan dalam menyeimbangkan kepentingan ekonomi terhadap tuntutan sosial dan kesejahteraan (Isdaryadi, 2005). Bisnis mempunyai etika, dan lima prinsip yang berlaku dalam kegiatan bisnis adalah : 1. prinsip otonomi. Yaitu sikap dan kemampuan manusia untuk bertindak berdasarkan kesadarannya sendiri, disertai kebebasan untuk mengambil keputusan dan bertindak menurut keputusan itu dan juga harus disertai dengan tanggung jawab, baik kepada diri sendiri/hati nuraninya, kepada pemilik perusahaan, pihak yang dilayaninya dan kepada pemerintah dan mayarakat yang langsung menerima dampak keputusan bisnisnya.

49 28 2. prinsip kejujuran. Yaitu pemenuhan syarat dalam perjanjian dan kontrak, mutu produk yang ditawarkan, hubungan kerja dalam perusahaan. 3. prinsip tidak berbuat jahat (non-maleficence) dan berbuat baik (beneficence). Hal ini mengarahkan tindakan bisnis yang baik secara aktif dan maksimal, minimal tidak merugikan orang lain. 4. prinsip keadilan. Prinsip ini mengharuskan pelaku bisnis untuk memberikan sesuatu yang menjadi hak orang lain/mitra. 5. prinsip hormat kepada diri sendiri. Artinya memperlakukan diri sendiri dan orang lain sebagai pribadi yang memiliki nilai yang sama dengan pribadi lain. (Isdaryadi, 2005) Etika biasanya dirumuskan oleh asosiasi atau organisasi yang bersangkutan dan dilaksanakan secara sukarela oleh para anggotanya. Jika ada anggota yang melanggar etika, sanksi paling berat yang diterima adalah dikeluarkan dari keanggotaan asosiasi tersebut (Wahyuni, 2005). F. Keterangan Empiris Standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan KepMenKes RI nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 mempunyai tiga parameter utama yaitu : pengelolaan sumber daya, pelayanan dan evaluasi mutu pelayanan. Dari hasil penelitian diharapkan dapat diperleh gambaran mengenai pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian berdasarkan KepMenKes RI nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di apotek-apotek Kabupaten Bantul.

50 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif. Penelitian non eksperimental adalah penelitian yang observasinya dilakukan terhadap sejumlah ciri subyek menurut keadaan apa adanya, tanpa ada manipulasi atau intervensi peneliti (Praktiknya, 2001). Sedangkan rancangan penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap obyek yang diteliti (Kontour, 2003). Penelitian ini terbatas pada usaha mengungkapkan suatu masalah atau keadaan atau peristiwa sebagaimana adanya sehingga bersifat sekedar untuk mengungkapkan fakta. Hasil penelitian ditekankan pada penggambaran secara obyektif tentang keadaan sebenarnya dari obyek yang diselidiki (Nawawi, 1998). B. Batasan Operasional Penelitian 1. Kajian adalah studi yang dilaksanakan untuk memperdalam atau mengetahui dengan lebih jelas suatu hal. 2. Pelaksanaan adalah proses melaksanakan. 3. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah ukuran tertentu yang digunakan sebagai patokan, dalam hal ini berdasarkan pada KepMenKes Nomor 1027/MENKES/SK/X/2004 dikatakan telah dilaksanakan dengan baik apabila 29

51 30 persentasenya lebih dari 50%. Bila persentasenya kurang dari 50% maka dikatakan belum sepenuhnya dilaksanakan dengan baik. 4. Apotek adalah 55 apotek yang berada di wilayah Kabupaten Bantul. 5. Responden adalah Apoteker baik Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pendamping yang bersedia mengisi kuisioner. C. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian ini berupa kuesioner yang berisi tentang : 1. karakteristik responden. 2. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. D. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi adalah keseluruhan penelitian yang terdiri dari manusia, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai tes atau peristiwaperistiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu dalam suatu penelitian (Nawawi, 1998). Populasi dari penelitian ini adalah semua apotek yang ada di Kabupaten Bantul. Menurut data terakhir yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul, diketahui bahwa jumlah apotek di Kabupaten Bantul tahun 2006 adalah sebanyak 55 apotek.

52 31 2. Sampel Sampel adalah sebagian dari populasi yang menjadi sumber data sebenarnya dalam penelitian. Ada dua pertimbangan pokok untuk penetapan besar sampel, yaitu pertimbangan representativitas dan pertimbangan analisis. Pertimbangan representativitas ialah pertimbangan yang menyangkut jumlah minimum sampel yang masih menjamin representativitasnya terhadap populasi. Pertimbangan analisis ialah pertimbangan yang menyangkut jumlah minimum sampel sehingga dapat dilakukan analisis kuantitatif terhadap data (hasil penelitian) secara adekuat (Pratiknya, 2001). Menurut Notoatmodjo, sampel dapat diperoleh dengan rumus : n = N 1+ N ( d 2 ) dimana : n = besar sampel yang diambil N = besar populasi d = tingkat signifikansi (10%) (Notoatmodjo, 2002). Penelitian ini tidak digunakan teknik sampling dikarenakan penelitian dapat mencakup seluruh populasi, dikarenakan populasi berjumlah kurang dari seratus responden yaitu 55 responden

53 32 E. Tata Cara Pengumpulan Data 1. Penyusunan Kuisioner Kuesioner merupakan suatu instrumen pengumpulan data dalam penelitian sosial. Dengan kuesioner tersebut peneliti menggali informasi dari responden (orang yang menjadi subyek penelitian) (Adi, 2004). Kuisioner yang digunakan memuat sejumlah pertanyaan yang harus dijawab secara tertulis oleh responden. Kuisioner disusun dengan mengacu KepMenKes RI Nomor 1027/MenKes/SK/IX/2004 dan terbagi menjadi empat bagian yaitu : deskripsi responden, pengelolaan sumber daya, pelayanan dan evaluasi mutu pelayanan. 2. Pengujian kuesioner a. Uji pemahaman bahasa Uji pemahaman bahasa berfungsi untuk mengetahui sejauh mana bahasa penyusun pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner dapat dipahami oleh responden, termasuk di dalamnya kesalahan pengetikan, pengejaan kata-kata dan susunan kalimat. Uji pemahaman bahasa dilakukan dengan cara menyebar kuesioner tersebut kepada lima apotek di luar populasi penelitian. b. Uji validitas isi Validitas berarti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melaksanakan fungsi ukurnya. Suatu tes atau instrumen

54 33 pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut (Azwar, 2003). Suatu alat ukur dikatakan valid (benar/sahih) jika alat ukur tersebut jitu untuk mengukur konsep/variabel yang diukur (Adi, 2004). Validitas yang diukur dalam kuesioner ini adalah validitas isi. Validitas isi merupakan tingkat representativitas isi atau substansi pengukuran terhadap konsep (pengertian) variabel sebagaimana dirumuskan (Praktiknya, 1991). Validitas isi kuesioner ini diuji dengan analisis rasional atau lewat Professional Judgement, yaitu bahwa estimasi validitas isi tidak melibatkan perhitungan statistik apapun, melainkan hanya dengan analisis teoritik. Maka tidaklah diharapkan setiap orang akan sama atau sependapat mengenai sejauh mana validitas isi kuesioner akan tercapai. c. Uji reliabilitas Suatu alat ukur dikatakan reliable (dapat dipercaya) jika alat ukur tersebut mantap, tepat dan homogen. Suatu alat ukur dikatakan mantap apabila dalam mengukur sesuatu berulang kali, alat ukur tersebut memberikan hasil yang sama, dengan syarat kondisi pengukuran tidak berubah. Suatu pertanyaan (alat ukur) dikatakan tepat apabila pertanyaan tersebut mudah dimengerti dan terperinci. Suatu alat ukur dikatakan homogen apabila pertanyaan-pertanyaan yang dibuat untuk mengukur suatu karakteristik mempunyai kaitan yang erat satu sama lain (Adi, 2004).

55 34 Reliabilitas kuesioner penelitian ini tidak perlu diuji lagi karena pertanyaan dalam angket/kuesioner berupa pertanyaan yang langsung terarah pada informasi mengenai data yang hendak diungkap. Reliabilitas data yang diperoleh terletak pada terpenuhinya asumsi bahwa responden menjawab dengan jujur seperti apa adanya. Hal ini berkaitan dengan asumsi dasar penggunaan kuesioner yaitu subyek merupakan orang yang mengetahui tentang dirinya, sehingga data hasil tidak perlu diuji lagi reliabilitas secara statistik (Azwar, 1999). 3. Penyebaran Kuisioner Penyebaran kuisioner langsung kepada responden dan peneliti akan mendampingi dalam pengisian kuisioner agar dapat menjelaskan kepada responden maksud dari kuisioner dan pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalamnya serta apabila responden mengalami kesulitan dalam mengisi kuesioner tersebut. Jika responden berhalangan mengisi saat itu juga, maka kuesioner tersebut akan ditinggal selama beberapa waktu untuk kemudian diambil kembali setelah diisi oleh responden. Periode penyebaran kuisioner dilakukan pada bulan Februari-Maret Pengumpulan Kuisioner Kuisioner langsung dikumpulkan saat itu juga, sehingga kuisioner yang dikembalikan jumlahnya sama dengan jumlah kuisioner yang disebarkan. Kuesioner langsung dikumpulkan saat itu juga dan ada yang

56 35 diambil setelah ditinggal selama beberapa waktu. Jumlah kuesioner yang dikembalikan yaitu sebanyak 35 buah. 5. Wawancara Menurut Nawawi (1998), wawancara adalah usaha mengumpulkan informasi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan lisan, untuk dijawab secara lisan pula. Wawancara dapat dipakai untuk melengkapi data yang diperoleh (Mardalis, 2006). Wawancara ini dilakukan dengan dititikberatkan pada tiga hal, yaitu ketersediaan ruang tertutup untuk konseling, medication record dan tindak lanjut terapi melalui home care. F. Tata Cara Menampilkan Data Menampilkan data dilakukan menggunakan metode deskrptif non analisis, yaitu dengan cara dengan mengelompokkan data berdasarkan tiga parameter utama Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 kemudian menghitung jumlah total untuk tiap alternatif jawaban. Hasil perhitungan data ditampilkan dalam bentuk tabel dan diagram. Dikatakan telah melaksanakan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 secara menyeluruh apabila persentasenya lebih dari 50% dan jika kurang dari 50% maka dikatakan belum melaksanakan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2007 secara menyeluruh..

57 36 G. Kesulitan Penelitian Terdapat beberapa kesulitan dalam penelitian ini, yaitu : 1. sulit untuk meminta kesediaan apoteker menjadi responden 2. tidak dilakukannya wawancara secara mendalam kepada responden berkaitan dengan alasan responden terhadap tiap jawaban yang diberikan 3. sulit untuk mengetahui perbandingan tingkat pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dari setiap responden.

58 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Data Apotek yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Bantul pada tahun 2006 berjumlah 55 Apotek. Jumlah tersebut merupakan populasi apotek yang akan diteliti mengenai Kajian Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan KepMenKes RI No 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kabupaten Bantul. Dari 55 kuisioner yang disebarkan untuk penelitian hanya dikembalikan oleh 35 responden. Tabel I. Data apotek yang mengembalikan kuisioner No Kecamatan Jumlah apotek 1 Bantul 9 2 Sewon 3 3 Banguntapan 6 4 Imogiri 1 5 Piyungan 4 6 Sedayu 1 7 Bambanglipuro 1 8 Kasihan 6 9 Plered 1 10 Srandakan 3 Total 35 37

59 38 Hasil yang diperoleh dari 35 responden tersebut kemudian ditampilkan dengan metode deskriptif non analisis dimana jawaban yang sama dikelompokkan dan dihitung persentasenya. Data tersebut kemudian ditampilkan dalam bentuk tabel atau diagram (gambar). Berikut hasil tampilan data : A. Data Responden 1. Posisi Responden tabel berikut: Gambaran mengenai posisi responden di apotek dapat dilihat pada Tabel II. Data posisi responden di apotek No Posisi responden di apotek Jumlah Persentase (%) n = 35 1 Apoteker Pengelola Apotek Apoteker Pendamping 3 9 Total Menurut Permenkes 922 tahun 1993, Apoteker di apotek ada yang disebut dengan Apoteker Pengelola Apotek (APA), Apoteker Pendamping dan Apoteker Pengganti. Hasil penelitian didapatkan bahwa 91% responden sebagai Apoteker Pengelola Apotek dan sembilan persen responden sebagai Apoteker Pendamping.

60 39 2. Usia Responden Gambaran mengenai usia responden dapat dilihat pada gambar berikut: Usia Responden 17% 3% tahun tahun >50 tahun 80% Gambar 1. Diagram Usia Respoden Hasil penelitian mengenai usia responden diatas menunjukkan bahwa delapan puluh persen responden berusia tahun, tujuh belas persen responden berusia tahun dan tiga persen responden berusia di atas 50 tahun. 3. Pengalaman responden bekerja sebagai apoteker di apotek Gambaran mengenai pengalaman responden bekerja sebagai apoteker di apotek dapat dilihat pada gambar berikut: Pengalaman bekerja sebagai Apoteker di apotek 23% 3% 17% < 1 tahun 1-5 tahun 6-10 tahun > 10 tahun 57% Gambar 2. Diagram pengalaman responden bekerja sebagai apoteker di apotek

61 40 Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang memiliki pengalaman kerja sebagai Apoteker di apotek selama kurang dari satu tahun sebesar tujuh belas persen, satu sampai lima tahun sebesar 57%, enam sampai sepuluh tahun sebesar 23% dan yang bekerja lebih dari sepuluh tahun sebesar tiga persen. 4. Adanya pekerjaan lain dari responden selain sebagai apoteker Gambaran mengenai jumlah responden yang memiliki pekerjaan lain selain apoteker di apotek yang bersangkutan dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel III. Data adanya Pekerjaan Lain dari Responden No Adanya pekerjaan lain selain sebagai apoteker Jumlah Persentase (%) n = 35 1 Ya Tidak Total Hasil penelitian menunjukkan bahwa 31% responden memiliki pekerjaan lain selain sebagai Apoteker di apotek, sedangkan 69% responden tidak memiliki pekerjaan lain selain sebagai Apoteker di apotek. 5. Waktu kerja responden di apotek dalam seminggu Gambaran mengenai waktu kerja responden di apotek dalam seminggu dapat dilihat pada tabel berikut:

62 41 Tabel IV. Data waktu kerja responden dalam seminggu No Waktu kerja responden di apotek dalam seminggu Jumlah Persentase (%) n = hari hari Total Hasil penelitian dapat dilihat bahwa empat belas persen responden bekerja sebagai apoteker di apotek selama tiga sampai lima hari dalam seminggu dan 86% responden bekerja selama enam sampai tujuh hari dalam seminggu. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa responden yang bekerja sebagai apoteker di apotek telah memenuhi ketentuan yang berlaku. 6. Waktu kerja responden di apotek dalam sehari Gambaran mengenai waktu kerja responden di apotek dalam sehari dapat dilihat pada gambar berikut: Rata-rata Apoteker berada di apotek dalam satu hari 12% 54% 34% < 4 jam 4-6 jam > 6 jam Gambar 3. Diagram waktu kerja responden di apotek dalam sehari Hasil penelitian dapat dilihat bahwa 54% apoteker berada di apotek selama lebih dari enam jam. Menurut pasal 77 ayat 2 Undang-Undang Nomor

63 42 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu waktu kerja dalam sehari adalah 7 (tujuh) jam. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan apoteker sebagian besar telah memenuhi ketentuan yang berlaku. B. Pengelolaan Sumber Daya 1. Sumber daya manusia Dalam Permenkes Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, sesuai dengan ketentuan yang berlaku apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang profesional. Dalam mengelola apotek, Apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner, kemampuan mengelola SDM secara efektif, selalu belajar sepanjang karier, dan membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan. WHO sebagai badan kesehatan dunia menyatakan dalam seven stars pharmacist, yaitu Apoteker atau farmasis sebagai leader. Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan. Permenkes Nomor 922 tahun 1993 pasal 20 menyebutkan bahwa Apoteker Pengelola Apotek bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker Pendamping, Apoteker Pengganti di dalam pengelolaan apotek. Apoteker Pengelola Apotek bertanggung jawab penuh

64 43 dalam menjalankan tugasnya di apotek serta mengawasi kinerja asisten apoteker dan karyawan lain (Hartini dan Sulasmono, 2006). Tabel V. Pengambilan keputusan di apotek berdasarkan persetujuan APA No Pengambilan keputusan berdasarkan persetujuan APA Jumlah Persentase(%) n = 35 1 Ya Tidak 5 17 Total Hasil penelitian diketahui bahwa sebanyak 83% pengambilan keputusan di apotek selalu berdasarkan persetujuan APA dan tujuh belas persen tidak selalu berdasarkan keputusan APA. Keputusan yang diambil berdasarkan persetujuan APA dalam penelitian ini mencakup perencanaan, pengadaan dan penyimpanan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya. Hasil tersebut menunjukkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian sumber daya manusia telah dilaksanakan dengan baik karena memiliki persentase lebih dari 50 %, yaitu sebanyak 83 %. 2. Sarana dan prasarana a. Papan petunjuk apotek Kepmenkes Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian menyebutkan bahwa Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh masyarakat. Pada halaman terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata apotek. Dalam lampiran Form Apt-3 Kepmenkes No tahun 2002 disebutkan papan

65 44 nama berukuran minimal panjang 60 cm, lebar 40 cm dengan tulisan hitam di atas dasar putih; tinggi huruf minimal 5 cm, tebal 5 cm. Pada pasal 6 ayat 3 Kepmenkes No. 278 tahun 1981 tentang persyaratan apotek disebutkan bahwa Papan nama harus memuat : Nama apotek, nama Apoteker Pengelola Apoteker, Nomor Surat Izin Apotek, Alamat apotek dan nomor telepon, kalau ada. Tabel VI. Ketersediaan papan yang tertulis kata apotek pada muka apotek No Ketersediaan papan apotek Jumlah Persentase (%) n = 35 1 Ya Tidak 0 0 Total Hasil penelitian dapat dilihat bahwa 100% apotek yang terdapat di Kabupaten Bantul sudah terpasang papan bertuliskan apotek yang sesuai dengan ketentuan pada Kepmenkes No tahun 2002 dan Kepmenkes No. 278 tahun Data tersebut menunjukkan bahwa lokasi apotek dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat. b. Tempat yang terpisah antara produk kefarmasian dengan produk lainnya Permenkes No. 922 tahun 1993 pasal 6 tentang Persyaratan Apotek : ayat 2 Sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi dan ayat 3 Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi lainnya di

66 45 luar sediaan farmasi. Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 diberi batasan antara produk kefarmasian dengan produk lainya dengan menyebutkan bahwa pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya, hal ini berguna untuk menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko kesalahan penyerahan. Tabel VII. Pemisahan produk kefarmasian dengan produk lainnya No Tempat yang terpisah dari produk lain Jumlah Persentase (%) n = 35 1 Ya Tidak Total Hasil penelitian diatas, dapat dilihat bahwa 69% responden melakukan pemisahkan produk kefarmasian dengan produk lainnya sesuai dengan Kepmenkes No tahun 2004, sedangkan 31% responden tidak melakukan pemisahkan produk kefarmasian dengan produk lainnya. Produk lain yang dimaksud antara lain pembalut wanita, alat kontrasepsi, peralatan bayi, dan lain-lain. c. Ruang tunggu bagi pasien Kepmenkes Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa apotek harus memiliki ruang tunggu yang nyaman bagi pasien, yaitu yang bersih dan bebas dari hewan pengerat, serangga/pest. Hal ini juga diatur dalam Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 pasal 4 ayat 2 yang

67 46 pada salah satu syaratnya menyebutkan bahwa apotek harus memiliki ruang tunggu. Tabel VIII. Ketersediaan ruang tunggu bagi pasien No Ketersediaan ruang tunggu bagi pasien Jumlah Persentase (%) n = 35 1 Ya Tidak 0 0 Total Hasil penelitian dapat dilihat bahwa semua apotek telah memiliki ruang tunggu. Hal ini telah sesuai dengan yang tertera dalam Kepmenkes No tahun d. Tempat untuk mendisplai informasi kesehatan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa apotek harus memiliki tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk penempatan brosur/materi informasi. Informasi disini mungkin obat-obatan baru atau isu-isu kesehatan yang beredar di masyarakat. Tabel IX. Ketersediaan brosur/informasi mengenai kesehatan No Ketersediaan brosur / informasi mengenai kesehatan Jumlah Persentase (%) n = 35 1 Ya Tidak 1 3 Total

68 47 Hasil penelitian menunjukkan bahwa 97% responden menyediakan brosur/informasi bagi pasien dan tiga persen tidak menyediakan informasi bagi pasien. Tabel X. Ketersediaan tempat khusus untuk mendisplai informasi No Ketersediaan tempat khusus untuk mendisplai informasi Jumlah Persentase (%) n = 35 1 Ya Tidak 3 9 Total Hasil penelitian dapat dilihat bahwa 91% apotek mempunyai tempat khusus untuk mendisplai brosur/informasi bagi pasien dan sembilan persen apotek tidak mempunyai tempat khusus untuk mendisplai brosur/informasi bagi pasien. e. Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien Masyarakat harus diberi akses secara langsung dan mudah oleh apoteker untuk memperoleh informasi dan konseling. Kepmenkes Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan ruang tertutup untuk konseling bagi pasien dilengkapi dengan meja dan kursi untuk menyimpan catatan medikasi pasien. Konseling yang dilakukan dapat mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya (Hartini dan Sulasmono, 2006).

69 48 Tabel XI. Ketersediaan ruang tertutup untuk konseling No Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien Jumlah Persentase (%) n = 35 1 Ya Tidak Total Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya tujuh belas persen apotek yang mempunyai ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien, sedangkan 83% apotek tidak mempunyai ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien dikarenakan keterbatasan bangunan yang dipakai untuk apotek, sehingga tidak memungkinkan membuat ruang khusus untuk konseling. Selain itu ada juga Apoteker yang belum mengetahui adanya peraturan mengenai ketersediaan ruang tertutup untuk konseling. Hal ini jelas tidak sesuai dengan Kode Etik Apoteker Indonesia pasal 8 yang menyatakan bahwa seorang Apoteker harus aktif mengikuti perkembangan peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya. f. Ruang racikan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa apotek harus memiliki ruang racikan. Hal ini juga diatur pada Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 pasal 4 dan pada lampiran Form Apt-3 Kepmenkes Nomor 1332 tahun 2002 yang menyebutkan bahwa apotek harus memiliki ruang peracikan.

70 49 Tabel XII. Ketersediaan ruang racikan di apotek No Ruang racikan Jumlah Persentase (%) n = 35 1 Kering dan basah Kering saja Tidak ada ruang racikan 4 11 Total Hasil penelitian dapat dilihat bahwa 60% apotek memiliki ruang racikan kering dan basah; 29% hanya memiliki ruang racikan kering; dan sebanyak 11% tidak mempunyai ruang racikan. Alasannya dikarenakan keterbatasan bangunan sehingga ruang racikan kering dan basah dijadikan satu dalam suatu ruangan. g. Keranjang sampah untuk staf maupun pasien Kepmenkes Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa lingkungan apotek harus dijaga kebersihannya dan apotek harus bebas dari hewan pengerat, serangga / pest. Sehingga apotek harus memiliki keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien. Pada lampiran Form Apt-3 Kepmenkes Nomor 1332 tahun 2002 disebutkan bahwa bangunan apotek sekurang-kurangnya harus memiliki sanitasi yang baik serta memenuhi persyaratan hygiene lainnya. Keranjang sampah merupakan salah satu fasilitas untuk menjaga sanitasi di apotek agar dapat terjaga dengan baik.

71 50 Tabel XIII. Ketersediaan keranjang sampah untuk staf dan pasien No Keranjang sampah Jumlah Persentase (%) n = 35 1 staf dan pasien staf saja 5 14 Total Hasil penelitian menunjukkan bahwa apotek yang memiliki keranjang sampah untuk staf dan pasien sebanyak 86%. Sedangkan sebanyak empat belas persen apotek hanya memiliki keranjang sampah untuk staf, karena dianggap waktu yang diperlukan untuk antri atau menunggu pelayanan obat hanya sebentar sehingga keranjang sampah untuk pasien dianggap kurang perlu. h. Rangkuman hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian sarana dan prasarana 100% 100% 100% 69% 91% 60% 86% 50% 17% 0% Papan petunjuk apotek Tempat yang terpisah antara produk kefarmasian dengan produk lainnya Ruang tunggu bagi pasien Tempat untuk mendisplai informasi kesehatan Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien Ruang racikan Keranjang sampah untuk staf maupun pasien Gambar 4. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bidang sarana dan prasarana

72 51 Berdasarkan keterangan di atas, sarana dan prasarana yang telah ada atau dilaksanakan, yaitu dengan persentase pelaksanaan di atas 50%, meliputi ketersediaan papan petunjuk apotek (100%), tempat yang terpisah antara produk kefarmasian dengan produk lainnya (69%), tersedianya ruang tunggu bagi pasien (100%), tersedianya tempat untuk mendisplai informasi kesehatan (91%), tersedianya ruang racikan (60%) dan tersedianya keranjang sampah untuk staf dan pasien (86%). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian pengelolaan sarana dan prasarana sebagian besar telah dilaksanakan dengan baik kecuali ketersediaan ruangan tertutup untuk konseling (17%). Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian perlu ditingkatkan lagi terutama dalam penyediaan ruangan tertutup untuk konseling. 3. Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan, yang meliputi perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pelayanan. a. Perencanaan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa perencanaan pengadaan sediaan farmasi perlu memperhatikan pola penyakit, tingkat perekonomian masyarakat dan budaya masyarakat.

73 52 1) Pola penyakit Perlu memperhatikan dan mencermati pola penyakit yang timbul di masyarakat sehingga apotek dapat memenuhi kebutuhan masyarakat tentang obat-obat untuk penyakit tertentu. 2) Kemampuan masyarakat Tingkat ekonomi masyarakat di sekitar apotek juga akan mempengaruhi daya beli terhadap obat-obatan. Jika masyarakat sekitar memiliki tingkat perekonomian menengah ke bawah, maka apotek perlu menyediakan obat-obat yang harganya terjangkau seperti obat generic berlogo. Demikian pula sebaliknya, jika masyarakat sekitar memiliki tingkat perekonomian menengah ke atas yang cenderung memilih obat paten, maka apotek juga harus menyediakan obat-obat paten yang sering diresepkan. 3) Budaya masyarakat Pandangan masyarakat terhadap obat, pabrik obat, bahkan iklan obat dapat mempengaruhi dalam hal pemilihan obat-obatan khususnya obat-obat tanpa resep. Demikian juga dengan budaya masyarakat uang lebih senang berobat ke dokter, maka apotek perlu memperhatikan obat-obat yang sering diresepkan oleh dokter tersebut. (Hartini dan Sulasmono, 2006)

74 53 Tabel XIV. Latar Belakang Perencanaan Pengadaan Sediaan Farmasi di Apotek No Perencanaan pengadaan sediaan Jumlah Persentase (%) farmasi n = 35 1 Pola penyakit, kemampuan masyarakat dan budaya masyarakat 2 Pola penyakit dan kemampuan 5 14 masyarakat 3 Kemampuan dan budaya 1 3 masyarakat Total Hasil penelitian menunjukkan bahwa perencanaan pengadaan sediaan farmasi sebanyak 83% responden telah memperhatikan pola penyakit, kemampuan masyarakat dan budaya masyarakat; empat belas persen hanya memperhatikan pola penyakit dan kemampuan masyarakat; sedangkan tiga persen hanya memperhatikan kemampuan dan budaya masyarakat. Selain itu ada juga metode yang sering digunakan dalam perencanaan pengadaan sediaan farmasi yaitu metode epidemiologi, metode konsumsi, metode kombinasi dan metode just in time. 1) Metode epidemiologi Perencanaan dengan metode ini dibuat berdasarkan pola penyebaran penyakit dan pola pengobatan penyakit yang terjadi daloam masyarakat. 2) Metode konsumsi Perencanaan dengan metode ini dibuat berdasarkan data pengeluaran barang periode lalu. Selanjutnya data tersebut dapat dikelompokkan

75 54 dalam kelompok fast moving (cepat beredar) maupun yang slow moving (lambat beredar). 3) Metode kombinasi Metode ini merupakan gabungan dari metode epidemiologi dan metode konsumsi. Perencanaan pengadaan barang dibuat berdasarkan pola penyebaran penyakit dan melihat kebutuhan sediaan farmasi periode sebelumnya 4) Metode just in time Perencanaan dilakukan saat obat dibutuhkan dan obat yang ada di apotek dalam jumlah terbatas. Perencanaan ini untuk obat-obat yang jarang dipakai atau diresepkan dan harganya mahal serta memiliki waktu kadaluwarsa yang pendek. b. Pengadaan Permenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi harus melalui jalur resmi. Pengadaan barang berdasarkan perencanaan yang telah di buat dan disesuaikan dengan anggaran keuangan yang ada. Pengadaan barang meliputi proses pemesanan, pembelian, dan penerimaan barang. Ada 3 macam pengadaan yang biasa dilakukan di apotek, yaitu pengadaan pengadaan dalam jumlah terbatas, pengadaan secara berencana, dan pengadaan spekulatif.

76 55 1) Pengadaan dalam jumlah terbatas Pengadaan dalam jumlah yang terbatas dimaksudkan apabila persediaan barang dalam hal ini adalah obat-obatan sudah menipis. Barang-barang yang dibeli hanyalah obat-obatan yang dibutuhkan saja, dalam waktu satu sampai dua minggu.hal tersebut dilakukan untuk mengurangi stok obat dalam jumlah besardan pertimbangan masalah biaya yang minimal. Namun perlu pula adanya pertimbangan pengadaan obat dalam jumlah terbatas ini dilakukan apabila PBF tersebut ada di dalam kota dan selalu siap mengirimkan obat dalam waktu cepat. 2) Pengadaan secara berencana Pengadaan secara berencana adalah perencanaan pembelian obat berdasarkan penjualan perminggu atau perbulan. Sistem ini dilakukan pendataan obat-obat mana yang laku banyak dan tergantung pula pada kondisi cuaca, misalnya saat pergantian musim banyak orang yang menderita penyakit batuk dan pilek. Hasil pendataan tersebut diharapkan dapat memaksimalkan prioritas pengadaan obat. Cara ini biasa dilakukan apabila supplier atau PBF berada di luar kota. 3) Pengadaan secara spekulatif Cara ini dilakukan apabila akan ada kenaikan harga serta bonus yang ditawarkan jika mengingat kebutuhan, namun resiko ini terkadang tidak sesuai dengan rencana, karena obat dapat rusak, apabila stok obat di gudang melapaui kebutuhan. Di sisi lain obat-

77 56 obatan yang mempunyai ED akan menyebabkan kerugian yang besar, namun apabila spekulasinya benar dapat mendatangkan keuntungan yang besar. Menurut Hartini dan Sulasmono (2006), pengadaan sediaan farmasi apotek termasuk di dalamnya golongan obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, psikotropika dan narkotika dapat berasal langsung dari pabrik farmasi, Pedagang Besar Farmasi (pasal 3 Permenkes 918 Nomor 918 tahun 1993 tentang Pedagang Besar Farmasi) maupun ke apotek lain. Sediaan farmasi berupa golongan obat bebas dapat pula dibeli dari toko obat berijin/pedagang eceran obat. Semua pembelian harus dengan faktur pembelian resmi. Bagan jalur distribusi obat dapat dilihat pada lampiran 6. Tabel XV. Sumber Perolehan Obat di Apotek No Sumber perolehan obat Jumlah Persentase (%) n = 35 1 PBF, pabrik, apotek lain, toko obat, swalayan PBF, pabrik, apotek lain, toko obat PBF, pabrik, toko obat PBF, pabrik PBF, apotek lain, toko obat, 6 16 swalayan 6 PBF, apotek lain, toko obat PBF, apotek lain, swalayan PBF, apotek lain PBF saja 2 6 Total

78 57 Hasil penelitian didapatkan bahwa responden memperoleh obatobatan melalui jalur resmi sesuai Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 sebesar 72%, sedangkan responden yang lain memperoleh obat-obatan dari jalur resmi dan jalur tidak resmi, misalnya swalayan. c. Penyimpanan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Tabel XVI. Pemindahan isi obat ke wadah lain No Pemindahan isi obat ke wadah lain Jumlah Persentase (%) n = 35 1 Ya Tidak 15 4 Total Hasil penelitian didapatkan bahwa 43% responden selalu menyimpan obat dalam wadah asli dari pabrik, sedangkan 57% responden pernah memindahkan isi obat ke wadah lain. Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru, wadah sekurang kurangnya memuat nomor batch dan tanggal kadaluwarsa. Pemindahan obat dari

79 58 wadah aslinya bertujuan untuk meningkatkan waktu pelayanan sehingga lebih efisien. Gambaran mengenai informasi yang disertakan apoteker pada wadah baru dapat dilihat pada Tabel XVII berikut. Tabel XVII. Informasi yang disertakan pada wadah baru No Informasi yang disertakan Jumlah 1 Produsen, nomor batch, tanggal kadaluwarsa, aturan pakai, cara penyimpanan 2 Produsen, nomor batch, tanggal kadaluwarsa, aturan pakai 3 Produsen, nomor batch, tanggal kadaluwarsa 4 Nomor batch, tanggal kadaluwarsa 5 Tanggal kadaluwarsa, aturan pakai, cara penyimpanan Persentase (%) n = Tanggal kadaluwarsa Aturan pakai, cara penyimpanan Tidak ada informasi 2 10 Total Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, informasi yang harus dicantumkan pada wadah baru sekurang-kurangnya memuat nomor batch dan tanggal kadaluwarsa. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa responden yang mencantumkan nomor batch dan tanggal kadaluwarsa sesuai yang tertera dalam Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 sebesar 55%, sedangkan 45% responden tidak mencantumkan nomor batch dan tanggal kadaluwarsa seperti yang telah ditentukan.

80 59 Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 juga menyebutkan bahwa semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai, layak dan menjamin kestabilan bahan. Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 pasal 4 menyebutkan bahwa apotek harus mempunyai ruang penyimpan obat. Tabel XVIII. Ketersediaan tempat penyimpanan khusus No Ketersediaan tempat penyimpanan khusus Jumlah Persentase (%) n = 35 1 Ya Tidak 1 3 Total Hasil penelitian didapatkan bahwa 97% apotek mempunyai tempat penyimpanan khusus untuk obat-obat tertentu. Dalam Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 pasal 7, tempat penyimpanan khusus yang dimaksud dalam penelitian ini contohnya adalah tempat penyimpanan khusus untuk narkotika dan pasal 9, lemari pendingin yang digunakan untuk menyimpan obat-obat tertentu yang mudah rusak atau meleleh pada suhu kamar seperti serum dan vaksin. Adanya tempat penyimpanan khusus di apotek tersebut secara tidak langsung dapat menggambarkan kesesuaian dan kelayakan tempat dengan kestabilan obat pada saat penyimpanan. Menurut Kepmenkes Nomor 1332 tahun 2002 pasal 25, izin apotek dicabut apabila Apoteker tidak memenuhi kewajiban seperti yang dimaksud pasal 12 ayat 1 : Apoteker berkewajiban menyediakan, menyimpan dan menyerahkan sediaan farmasi yang bermutu baik dan

81 60 yang keabsahannya terjamin dan pasal 12 ayat 2 : Sediaan farmasi yang karena sesuatu hal tidak dapat dipergunakan lagi atau dilarang dipergunakan, harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau ditanam, atau dengan cara lain yang ditetapkan oleh menteri. d. Rangkuman hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya 100% 83% 72% 97% 50% 43% 0% Perencanaan, meliputi : pola penyakit, tingkat perekonomian masyarakat dan budaya masyarakat Pengadaan melalui jalur resmi Penyimpanan dalam wadah asli dari pabrik Informasi yang disertakan pada wadah baru, meliputi : nomor batch dan tanggal kadaluwarsa Gambar 5. Standar Pelayanan Kefarmasian bagian pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya sebagian telah dilaksanakan dengan baik. Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya yang telah

82 61 dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di atas 50%, meliputi perencanaan sebesar 83%, pengadaan melalui jalur resmi sebesar 72% dan penyertaan informasi pada wadah baru sebesar 97%. Namun demikian masih terdapat pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya yang belum dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di bawah 50%, meliputi penyimpanan dalam wadah asli pabrik sebesar 43% sehingga perlu ditingkatkan lagi pelaksanaannya. 4. Administrasi Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilaksanakan kegiatan administrasi yang meliputi administrasi umum dan administrasi pelayanan. a. Administrasi umum Administrasi umum ini meliputi pencacatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 1) Pencatatan dan pengarsipan transaksi pembelian Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 pasal 13 (e) menyebutkan bahwa dalam apotek harus tersedia buku pembelian dan penerimaan.

83 62 Tabel XIX. Penyertaan bukti/faktur pembelian dan mencatat setiap obat yang dibeli No Selalu disertai bukti atau faktur pembelian dan dicatat Jumlah Persentase (%) n = 35 1 Ya Tidak 0 - Total Hasil penelitian didapatkan bahwa semua responden (100%) selalu menyertakan bukti/faktur pembelian untuk setiap obat yang mereka pesan/beli dan selalu dicatat dalam buku penerimaan 2) Pencatatan dan pengarsipan transaksi penjualan Pasal 12 Kepmenkes RI Nomor 280 tahun 1981 menyebutkan bahwa setiap penjualan harus disertai dengan nota penjualan. Pasal 13 (d) menyebutkan bahwa dalam apotek harus tersedia blangko faktur dan blangko nota penjualan. Tabel XX. Penyertaan Faktur/Nota Penjualan No Dilengkapi faktur/nota penjualan Jumlah Persentase (%) n = 35 1 Ya Tidak Total Hasil penelitian didapatkan bahwa 57% responden selalu menyertakan faktur atau nota penjualan pada setiap transaksi penjualan yang mereka lakukan, sedangkan 43% responden tidak selalu

84 63 menyertakan faktur atau nota penjualan pada setiap transaksi penjualan yang mereka lakukan. Tabel XXI. Pencatatan setiap penjualan dalam buku penjualan No Pencatatan dalam buku penjualan Jumlah Persentase (%) n = 35 1 Ya Tidak 2 6 Total Hasil penelitian didapatkan bahwa terdapat 94% responden selalu mencatat setiap transaksi penjualan dalam buku penjualan, sedangkan enam persen responden tidak selalu mencatat setiap transaksi penjualan yang terjadi. 3) Pengeluaran narkotika dan psikotropika Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 pasal 13 (g) menyebutkan bahwa dalam apotek harus tersedia buku pencatatan obat narkotika dan psikotropika. Pasal 33 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 menyebutkan bahwa apotek wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika dan pada pasal 11 Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 disebutkan bahwa apotek wajib membuat laporan berkala mengenai pengeluaran narkotika.

85 64 Tabel XXII. Pencatatan setiap pengeluaran narkotika dan psikotropika No Dicatat dalam buku pencatatan Jumlah Persentase (%) n = 35 1 Ya Tidak 2 6 Total Hasil penelitian didapatkan bahwa 94% responden selalu melakukan pencatatan setiap pengeluaran narkotika dan psikotropika dalam buku pencatatan narkotika dan psikotropika. Sedangkan enam persen responden tidak selalu melakukan pencatatan setiap pengeluaran narkotika dan psikotropika dalam buku pencatatan narkotika dan psikotropika. b. Administrasi pelayanan Administrasi pelayanan ini meliputi pengarsipan resep, pengarsipan cacatan pengobatan pasien dan pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat. 1) Pengarsipan resep Kepmenkes Nomor 280 tahun 1981 pasal 7 menyebutkan bahwa Apoteker Pengelola Apotek mengatur resep yang telah dikerjakan menurut urutan tanggal dan nomor urut penerimaan resep dan harus disimpan sekurang-kurangnya selama tiga tahun.

86 65 Tabel XXIII. Penyimpanan resep secara berurutan No Selalu menyimpan resep secara berurutan Jumlah Persentase (%) n = 35 1 Ya Tidak 0 0 Total Hasil penelitian didapatkan bahwa semua responden (100%) selalu menyimpan resep menurut urutan tanggal dan nomor resep. 2) Medication record Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, medication record adalah pengarsipan catatan pengobatan pasien. Medication record berisi tentang data pribadi pasien (nama, usia, jenis kelamin, alamat), nomor resep, nama dokter, riwayat obat yang pernah digunakan pasien dan riwayat penyakit pasien. Catatan pengobatan setiap pasien ini bertujuan apabila sewaktu-waktu dibutuhkan informasi mengenai riwayat pengobatannya dan sumber bagi apoteker untuk melaksanakan pelayanan residensial (home care) Tabel XXIV. Pengisian medication record No Pengisian medication record Jumlah Persentase (%) n = 35 1 Ya Tidak Total

87 66 Hasil penelitian didapatkan bahwa 46% responden selalu melakukan pengisian medication record dan 54% responden tidak selalu melakukan pengisian medication record. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa pelaksanaan pengisian medication record hanya dilakukan pada pasien tertentu, yaitu pasien yang lansia dan pasien dengan penyakit tertentu seperti cardiovascular, TBC, diabetes, asma dan penyakit kronis lainnya. Selain itu juga dikarenakan keterbatasan waktu dan sumber daya manusia untuk melakukan pencatatan pengobatan setiap pasien. 3) Rangkuman hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian administrasi 100% 50% 100% 94% 94% 100% 57% 46% 0% Pencatatan dan pengarsipan pembelian Penyertaan bukti/faktur penjualan Pencatatan penjualan Pencatatan narkotika dan psikotropika Pengarsipan resep Pelaksanaan pengisian medication record Gambar 6. Standar Pelayanan Kefarmasian bagian administrasi Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian administrasi, meliputi

88 67 administrasi umum dan administrasi pelayanan sebagian besar telah dilaksanakan dengan baik. Kegiatan administrasi yang telah dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di atas 50%, meliputi pencatatan dan pengarsipan pembelian (100%), penyertaan bukti/faktur penjualan (57%), pencatatan penjualan (94%), pencatatan narkotika dan psikotropika (94%), pengarsipan resep (100%), Namun demikian, masih terdapat kegiatan administrasi yang belum sepenuhnya dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di bawah 50%, meliputi pengisian medication record (46%) sehingga perlu ditingkatkan lagi pelaksanaannya. C. Pelayanan 1. Pelayanan resep Pelayanan resep meliputi skrining resep dan penyiapan obat. a. Skrining resep Skrining resep dilakukan dengan tujuan untuk meminimalisasi terjadinya medication error. Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 medication error adalah kejadian yang merugikan pasien akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan, yang sebetulnya dapat dicegah. Medication error yang berusaha diminimalisir melalui skrining resep ini adalah dispensing error yang merupakan lingkup tanggung jawab farmasis. Kepmenkes RI Nomor 1027 tahun 2004 apoteker melakukan skrining resep meliputi persyaratan administratif, kesesuaian farmasetik dan pertimbangan klinis.

89 68 1) Persyaratan administratif Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa skrining resep mengenai persyaratan administrasi meliputi : a) nama,sip dan alamat dokter b) tanggal penulisan resep c) tanda tangan/paraf dokter penulis resep d) nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien e) nama obat, potensi, dosis, jumlah yang minta f) cara pemakaian yang jelas g) informasi lainnya. Tabel XXV. Skrining resep mengenai persyaratan administratif No Persyaratan administrasi Jumlah Persentase (%) n = 35 1 Ya Tidak 2 6 Total Hasil penelitian tersebut dapat dilihat bahwa sebanyak 94% responden selalu melakukan skrining resep mengenai persyaratan administrasi dan sebanyak 6% responden tidak selalu melakukan skrining resep mengenai persyaratan administrasi.

90 69 2) Kesesuaian farmasetik Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa skrining resep mengenai kesesuaian farmasetik meliputi : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian. Tabel XXVI. Skrining resep mengenai kesesuaian farmasetik No Kesesuaian farmasetik Jumlah Bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian. Bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara pemberian. Bentuk sediaan, dosis,potensi, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian. Bentuk sediaan, dosis,potensi, cara dan lama pemberian. Bentuk sediaan, dosis, stabilitas, cara pemberian. Bentuk sediaan, dosis, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian. Bentuk sediaan, dosis, cara dan lama pemberian. Bentuk sediaan, potensi, cara dan lama pemberian. Dosis,potensi, cara dan lama pemberian. Persentase (%) n = Tidak melakukan 1 3 Total

91 70 Hasil penelitian didapatkan bahwa bahwa enam puluh persen responden telah melakukan skrining resep mengenai kesesuaian farmasetik meliputi bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara pemberian dan lama pemberian sesuai dengan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, sedangkan 37% responden belum melakukan skrining resep kesesuaian farmasetik secara menyeluruh, termasuk tiga persen sama sekali tidak melakukan skrining resep kesesuaian farmasetik sehingga kemungkinan terjadinya medication error masih relatif besar. 3) Pertimbangan klinis Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa skrining resep mengenai pertimbangan klinis meliputi : alergi, efek samping, interaksi, dosis, durasi dan jumlah obat. Hasil penelitian didapatkan bahwa enam puluh persen responden telah melakukan skrining resep tentang pertimbangan klinis yang meliputi alergi, efek samping, interaksi, durasi dan jumlah obat sesuai dengan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, sedangkan sebanyak empat puluh persen responden hanya melakukan sebagian skrining resep sehingga kemungkinan terjadinya medication error relatif besar.

92 71 Tabel XXVII. Skrining resep mengenai pertimbangan klinis No Pertimbangan klinis Jumlah Alergi, efek samping, interaksi, dosis, durasi dan jumlah obat Alergi, efek samping, interaksi, dosis dan jumlah obat Alergi, efek samping, interaksi, dosis dan durasi obat Alergi, efek samping, interaksi, durasi dan jumlah obat Alergi, efek samping, dosis, durasi dan jumlah obat Alergi, interaksi, durasi dan jumlah obat Persentase (%) n = Alergi, efek samping, interaksi, dosis dan jumlah obat Efek samping, interaksi, dosis dan jumlah obat Efek samping, dosis, durasi dan jumlah obat Efek samping, dosis dan jumlah obat Total ) Konsultasi dengan dokter penulis resep Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan

93 72 pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan. Hal ini bertujuan untuk meminimalisasi terjadinya medication error. Menurut Kode Etik Apoteker Indonesia pasal 13, dinyatakan bahwa setiap Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk membangun dan meningkatkan hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai, dan menghormati sejawat petugas kesehatan. Sehingga konsultasi dengan dokter penulis resep juga dapat dimanfaatkan untuk membangun dan meningkatkan hubungan dengan rekan sejawat petugas kesehatan. Tabel XXVIII. Konsultasi dengan dokter apabila ada ketidakjelasan dalam penulisan resep No Konsultasi dengan dokter penulis resep Jumlah Persentase (%) n = 35 1 Ya Tidak 6 17 Total Hasil penelitian dapat dilihat bahwa sebanyak 83% responden selalu melakukan konsultasi dengan dokter penulis resep apabila ada ketidakjelasan dalam penulisan resep dan sebanyak 17% responden tidak selalu melakukan konsultasi dengan dokter penulis resep apabila ada ketidakjelasan dalam penulisan resep.

94 73 5) Rangkuman hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian skrining resep % 50.00% 94% 60% 60% 83% 0.00% Persyaratan administratif Kesesuaian farmasetik Pertimbangan klinis Konsultasi dengan dokter penulis resep Gambar 7. Standar Pelayanan Kefarmasian bidang pelayanan resep bagian skrining resep Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bidang pelayanan bagian skrining resep telah dilaksanakan dengan baik. Pelayanan skrining resep yang telah dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di atas 50%, meliputi skrining resep persyaratan administratif (94%), skrining resep kesesuaian farmasetik (60%), skrining resep pertimbangan klinis (60%) dan konsultasi dengan dokter penulis resep (83%). b. Penyiapan obat 1) Etiket Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menebutkan bahwa etiket harus jelas dan dapat dibaca. Etiket yang tidak jelas dapat menyebabkan terjadinya medication error karena pasien salah

95 74 membaca/mengartikan apa yang tertulis di etiket, karena itulah maka etiket harus jelas dan dapat dibaca Kepmenkes No. 280 tahun 1981 pasal 11 menyatakan bahwa obat yang diserahkan atas dasar resep,. harus dilengkapi dengan etiket berwarna putih untuk obat dalam dan warna biru untuk obat luar. Pada etiket, harus dicantumkan : a) nama dan alamat apotek b) nama dan nomor Surat Izin Pengelolaan Apotek Apoteker Pengelola Apotek c) nomor dan tanggal pembuatan d) nama pasien e) aturan pemakaian f) tanda lain yang diperlukan, misalnya : Kocok dulu, tidak boleh diulang tanpa resep dokter dan sebagainya. Tabel XXIX. Keluhan tentang etiket oleh pasien No Keluhan dari pasien mengenai etiket Jumlah Persentase (%) n = 35 1 Ya Tidak Total Hasil penelitian didapatkan bahwa sebanyak 83% responden belum pernah mendapatkan keluhan mengenai etiket dan 17% responden pernah mendapatkan keluhan mengenai etiket.

96 75 2) Penyerahan Obat. Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan. Hal ini juga tertera pada Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal asuhan kefarmasian yang menyebutkan bahwa salah satu standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah memberikan pelayanan informasi obat dan memberikan konsultasi obat. Pasal 7 Kode Etik Apoteker Indonesia menyebutkan bahwa seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya. Berdasarkan keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu kewajiban apoteker adalah memberikan informasi mengenai obat kepada pasien sehingga apoteker sebaiknya selalu terlibat langsung dalam penyerahan obat kepada pasien agar dapat menjalankan kewajiban tersebut. Tabel XXX. Pengecekan resep sebelum diserahkan ke pasien No Pengecekan sebelum diserahkan ke pasien Jumlah Persentase (%) n = 35 1 Ya Tidak 0 0 Total

97 76 Hasil penelitian didapatkan bahwa semua responden (100%) selalu melakukan pengecekan terhadap kesesuaian obat dan etiket terhadap resep sebelum diserahkan kepada pasien. Pemeriksaan akhir (medication review) dilakukan dengan tujuan untuk menghindari terjadinya medication error terutama dispensing error yang merupakan tanggung jawab pihak farmasis. Tabel XXXI. Apoteker selalu terlibat langsung dalam penyerahan obat ke pasien No Apoteker selalu terlibat dalam penyerahan obat Jumlah Persentase (%) n = 35 1 Ya Tidak Total Hasil penelitian didapatkan bahwa 57% responden selalu terlibat langsung dalam penyerahan obat ke pasien dan 43% responden tidak selalu terlibat langsung dalam penyerahan obat kepada pasien sehingga tidak bisa menjalankan kewajibannya untuk memberikan informasi kepada pasien. 3) Informasi obat Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi: cara pemakaian obat,

98 77 cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi. Tabel XXXII. Informasi obat yang diberikan apoteker No Informasi obat yang Jumlah Persentase (%) diberikan n = 35 cara pemakaian, cara penyimpanan obat, jangka 1 waktu pengobatan, makanan, minuman dan aktivitas yang harus dihindari cara pemakaian, cara penyimpanan obat, jangka 2 waktu pengobatan, 4 11 makanan dan minuman yang harus dihindari. 3 cara pemakaian, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan dan 2 5 aktivitas yang harus dihindari. 4 cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat dan jangka waktu pengobatan 3 8 cara pemakaian obat, cara 5 penyimpanan obat, dan aktivitas yang harus 1 3 dihindari. cara pemakaian obat, 6 jangka waktu pengobatan, makanan dan minuman 1 3 yang harus dihindari 7 cara pemakaian obat dan jangka waktu pengobatan Tidak ada informasi 1 3 Total Hasil penelitian didapatkan bahwa 57% responden telah memberikan informasi kepada pasien sesuai Kepmenkes RI Nomor

99 /MENKES/SK/IX/2004 yaitu meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, makanan dan minuman yang harus dihindari dan aktivitas yang harus dihindari. Sedangkan 43% responden belum memberikan informasi secara menyeluruh kepada pasien sesuai Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. Pemberian informasi ini seharusnya lebih diperhatikan oleh apoteker karena melalui pemberian informasi apoteker dapat meminimalisasi terjadinya medication error yang mungkin dilakukan oleh pasien pada saat pasien mengkonsumsi obat. 4) Konseling Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa konseling adalah suatu proses komunikasi dua arah yang sistematik antara apoteker dan pasien untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah yang berkaitan dengan obat dan pengobatan. Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya.

100 79 Tabel XXXIII. Ketersediaan jam konseling setiap hari di apotek No Jam konseling bagi pasien Jumlah Persentase (%) n = 35 1 Ya Tidak 3 9 Total Berdasarkan penelitian didapatkan bahwa sebanyak 91% responden telah menyediakan jam konseling bagi pasien setiap hari dan sembilan persen responden tidak menyediakan jam konseling bagi pasien setiap hari. Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan. Tabel XXXIV. Konseling secara berkelanjutan No Konseling secara berkelanjutan Jumlah Persentase (%) n = 35 1 Ya Tidak Total Hasil penelitian didapatkan bahwa enam puluh persen responden memberikan konseling secara berkelanjutan untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma dan penyakit kronis lainnya. Sedangkan empat puluh persen rersponden tidak

101 80 memberikan konseling secara berkelanjutan. Konseling berkelanjutan sangat penting bagi proses penyembuhan, dikarenakan penyakit yang disebutkan di atas membutuhkan jangka waktu pengobatan yang lama untuk dapat sembuh. Selain itu juga meningkatkan kepatuhan pasien untuk meminum obat yang telah diberikan. 5) Rangkuman hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian penyiapan obat % 83% 100% 91% 57% 57% 60% 50.00% 0.00% Etiket jelas dan dapat dibaca Pengecekan resep sebelum diserahkan Keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat Informasi obat, meliputi: cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari Jam konseling setiap hari Konseling secara berkelanjutan Gambar 8. Standar Pelayanan Kefarmasian bidang pelayanan resep bagian penyiapan obat Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pelayanan penyiapan obat telah dilaksanakan dengan baik karena memiliki

102 81 persentase pelaksanaan di atas 50%, meliputi penulisan etiket yang jelas dan dapat dibaca (83%), pengecekan resep sebelum diserahkan kepada pasien (100%), keterlibatan apoteker secara langsung dalam penyerahan obat (57%), pemberian informasi oleh apoteker kepada pasien (57%), adanya jam konseling setiap hari (91%), dan adanya konseling secara berkelanjutan (60%). 2. Promosi dan edukasi Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet/brosur, poster, penyuluhan dan lain-lainnya. Tabel XXXV. Diseminasi informasi kesehatan No Diseminasi informasi kesehatan Jumlah Persentase (%) n = 35 1 Ya Tidak Total Dari hasil penelitian di dapatkan bahwa 26% responden pernah melakukan diseminasi (penyebaran) informasi kesehatan dan 74% responden tidak pernah melakukan diseminasi (penyebaran) informasi kesehatan. Promosi dan edukasi yang berupa diseminasi informasi kesehatan belum sepenuhnya dilaksanakan dengan baik, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di bawah 50%.

103 82 3. Pelayanan residensial (Home Care) Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah (pelayanan residensial), khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record) Tindak lanjut terapi merupakan salah satu bentuk perhatian yang seharusnya dilakukan oleh seorang apoteker. Tindak lanjut terapi dengan kunjungan rumah atau komunikasi dengan telepon akan sangat banyak membantu pasien, terutama bagi pasien lansia atau pasien yang karena penyakit yang dideritanya tidak memungkinkan untuk datang dan melakukan konseling secara langsung ke apotek. Tabel XXXVI. Tindak lanjut terapi No Melakukan tindak lanjut terapi Jumlah Persentase (%) n = 35 1 Ya Tidak Total Hasil penelitian didapatkan bahwa 34% responden melakukan tindak lanjut terapi, misalnya dengan mengunjungi pasien atau komunikasi melalui telepon untuk memantau keadaan pasien. Sedangkan 66% responden tidak melakukan tindak lanjut terapi. Pelayanan residensial yang dilakukan dengan tindak lanjut terapi belum sepenuhnya dilaksanakan dengan baik, yaitu yang

104 83 memiliki persentase pelaksanaan di bawah 50%. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa responden merasa kesulitan dalam melakukan tindak lanjut terapi dikarenakan keterbatasan waktu dan sumber daya manusia. Selain itu pasien juga tidak selalu menggunakan jasa apotek yang bersangkutan. D. Evaluasi Mutu Pelayanan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan ada tiga indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan yaitu tingkat kepuasan konsumen, dimensi waktu dan prosedur tetap 1. Tingkat kepuasan konsumen : dilakukan dengan survey berupa angket atau wawancara langsung. Tabel XXXVII. Survey tingkat kepuasan konsumen No Survey tingkat kepuasan konsumen Jumlah Persentase (%) n = 35 1 Ya Tidak Total Hasil penelitian didapatkan bahwa 26% responden pernah melakukan survey tentang tingkat kepuasan konsumen. Sedangkan 74% responden belum pernah melakukan survey tentang kepuasan konsumen. Survey ini dimaksudkan untuk mengetahui pendapat pasien/pengunjung apotek mengenai kinerja di apotek dan dapat digunakan sebagai bahan evaluasi oleh APA agar dapat meningkatkan mutu pelayanan di apotek

105 84 mereka. Survey yang dimaksud dalam Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 dapat berupa angket atau wawancara langsung. Tabel XXXVIII. Bentuk survey No Bentuk survey Jumlah Persentase (%) n = 9 1 Angket dan wawancara Angket Wawancara 6 67 Total Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari responden yang pernah melakukan survey tersebut, 22% responden diantaranya melakukan survey dengan angket dan wawancara, 11% responden melakukan survey dengan angket dan 67% responden melakukan survey dengan wawancara. 2. Dimensi waktu : lama pelayanan diukur dengan waktu (yang telah ditetapkan). Penetapan lama pelayanan (waktu pelayanan maksimal per pasien) bertujuan agar apoteker cepat tanggap dalam melayani pasien sehingga pasien tidak menunggu terlalu lama untuk mendapatkan obat. Salah satu caranya adalah dengan menetapkan lama waktu untuk tiap pembuatan dan pengambilan setiap sediaan, misalnya salep, puyer, kapsul, sirup, baik dalam sediaan tunggal maupun campuran sehingga pasien mendapatkan kepastian waktu.

106 85 Tabel XXXIX. Penetapan lama pelayanan No Penetapan lama pelayanan Jumlah Persentase (%) n = 35 1 Ya Tidak Total Hasil penelitian didapatkan bahwa 26% responden menetapkan lama pelayanan (waktu pelayanan maksimal per pasien) sedangkan 74% responden tidak menetapkan lama pelayanan per pasien. 3. Prosedur tetap : untuk menjamin mutu pelayanan sesuai standar yang telah ditetapkan. Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa prosedur tetap ini antara lain bermanfaat untuk memastikan bahwa praktek yang baik dapat tercapai setiap saat, adanya pembagian tugas dan wewenang, memberikan pertimbangan dan panduan untuk tenaga kesehatan lain yang bekerja di apotek, dapat digunakan sebagai alat untuk melatih staf baru dan membantu proses audit. Tabel XXXX. Ketersediaan prosedur tetap No Prosedur tetap Jumlah Persentase (%) n = 35 1 Ya Tidak Total

107 86 Hasil penelitian didapatkan bahwa 23% apotek yang mempunyai prosedur tertulis dan tetap dalam pelayanan pasien dan 77% sisanya tidak mempunyai prosedur tertulis dan tetap dalam pelayanan pasien. 4. Rangkuman hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bidang evaluasi mutu pelayanan % 50.00% 26% 26% 23% 0.00% Survey ingkat kepuasan konsumen Prosedur tetap Waktu pelayanan per pasien Gambar 9. Standar Pelayanan Kefarmasian bidang evaluasi mutu pelayanan Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bidang evaluasi mutu pelayanan belum sepenuhnya dilaksanakan dengan baik karena memiliki persentase pelaksanaan di bawah 50%, yaitu untuk pelaksanaan survey tingkat kepuasan konsumen sebesar 26%, penetapan waktu pelayanan per pasien sebesar 26% dan penetapan prosedur tetap sebesar 23%, sehingga perlu ditingkatkan pelaksanaannya.

108 87 E. Rangkuman Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Bantul % 50.00% 0.00% Pengelolaan sumber daya pengambilan keputusan di apotek (83%) Pengelolaan sumber daya papan petunjuk apotek (100%) Pengelolaan sumber daya penempatan produk yg terpisah (69%) Pengelolaan sumber daya ruang tunggu (100%) Pengelolaan sumber daya tempat display informasi (97%) Pengelolaan sumber daya ruang konseling tertutup (17%) Pengelolaan sumber daya ruang racikan (60%) Pengelolaan sumber daya keranjang sampah (86%) Pengelolaan sumber daya perencanaan (83%) Pengelolaan sumber daya pengadaan (72%) Pengelolaan sumber daya penyimpanan (43%) Pengelolaan sumber daya informasi pada wadah baru (97%) Pengelolaan sumber daya pencatatan&pengarsipan pembelian (100%) Pengelolaan sumber daya penyertaan bukti/faktur penjualan (57%) Pengelolaan sumber daya pencatatan penjualan (94%) Pengelolaan sumber daya pencatatan narkotika&psikotropika (94%) Pengelolaan sumber daya pengarsipan resep (100%) Pengelolaan sumber daya pengisian medication record (46%) Pelayanan persyaratan administratif (94%) Pelayanan kesesuaian farmasetik (60%) Pelayanan pertimbangan klinis (60%) Pelayanan konsultasi dengan dokter (83%) Pelayanan etiket jelas&dapat dibaca (83%) Pelayanan pengecekan resep sebelum diserahkan (100%) Pelayanan keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat (57%) Pelayanan informasi yg diberikan pada pasien (57%) Pelayanan jam konseling setiap hari (91%) Pelayanan konseling secara berkelanjutan (60%) Pelayanan diseminasi informasi kesehatan (26%) Pelayanan tindak lanjut terapi (34%) Evaluasi mutu pelayanan survey tingkat kepuasan konsumen (26%) Evaluasi mutu pelayanan waktu pelayanan per pasien (26%) Evaluasi mutu pelayanan prosedur tetap (23%) Gambar 10. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Bantul

109 88 Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 belum dilaksanakan secara menyeluruh oleh apoteker di apotek-apotek Kabupaten Bantul karena masih terdapat persentase pelaksanaan yang di bawah 50% pada tiga parameter utama Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. Persentase pelaksanaan dibawah 50% pada bidang pengelolaan sumber daya meliputi ketersediaan ruang tertutup untuk konseling (17%), penyimpanan dalam wadah asli dari pabrik (43%) dan pengisian medication record (46%). Persentase pelaksanaan dibawah 50% pada bidang pelayanan meliputi diseminasi informasi kesehatan (26%) dan tindak lanjut terapi (34%). Persentase pelaksanaan di bawah 50% pada bidang evaluasi mutu pelayanan meliputi semua bagian yaitu survey tingkat kepuasan konsumen (26%), penetapan waktu pelayanan per pasien (26%) dan penetapan prosedur tetap (23%). Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek yang paling rendah tingkat pelaksanaannya berdasarkan tiga parameter utama Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tersebut adalah bagian evaluasi mutu pelayanan, karena semua persentase pelaksanaannya masih di bawah 50% sehingga perlu perhatian yang lebih agar dapat ditingkatkan lagi pelaksanaannya. Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul dan BPOM diharapkan melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/IX/2004 dengan melibatkan ISFI sebagai organisasi profesi, untuk menghindari terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan.

110 89 F. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Bantul Berdasarkan Karakteristik Responden 1. Posisi Responden Di apotek, apoteker dapat bertugas sebagai : a. Apoteker Pengelola Apotek (APA) adalah Apoteker yang telah diberi Surat Izin Apotek (SIA). Setiap apotek harus ada satu APA dan seorang Apoteker hanya bisa menjadi APA di satu apotek saja. b. Apoteker Pendamping adalah Apoteker yang bekerja di apotek disamping APA dan/atau menggantikannya pada jam-jam tertentu pada hari buka apotek. Menurut Kepmenkes No tahun 2002, Apabila APA berhalangan hadir pada jam buka apotek, maka harus harus menunjuk apoteker pendamping. Apabila APA tidak bisa selalu ada di apotek selama jam buka apotek, maka apoteker pendamping ini dapat menggantikannya. POSISI RESPONDEN % 50.00% 75.5% 83.3% 66.0% 53.0% 27.0% 0.00% Apoteker Pengelola Apotek (n=32) Apoteker Pendamping (n=3) Apoteker Pengelola Apotek (n=32) Apoteker Pendamping (n=3) Apoteker Pengelola Apotek (n=32) 0.0% Apoteker Pendamping (n=3) Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan Gambar 11. Rata-rata Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Bantul berdasarkan posisi responden

111 100.00% 50.00% 0.00% Apoteker Pengelola Apotek (n=32) Apoteker Pendamping (n=3) Apoteker Pengelola Apotek (n=32) POSISI RESPONDEN Apoteker Pendamping (n=3) Apoteker Pengelola Apotek (n=32) Apoteker Pendamping (n=3) Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan pengambilan keputusan di apotek papan petunjuk apotek penempatan produk yg terpisah ruang tunggu tempat display informasi ruang konseling tertutup ruang racikan keranjang sampah perencanaan pengadaan penyimpanan informasi pada wadah baru pencatatan&pengarsipan pembelian penyertaan bukti/faktur penjualan pencatatan penjualan pencatatan narkotika&psikotropika pengarsipan resep pengisian medication record persyaratan administratif kesesuaian farmasetik pertimbangan klinis konsultasi dengan dokter etiket jelas&dapat dibaca pengecekan resep sebelum diserahkan keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat informasi yg diberikan pada pasien jam konseling setiap hari konseling secara berkelanjutan diseminasi informasi kesehatan tindak lanjut terapi survey tingkat kepuasan konsumen waktu pelayanan per pasien prosedur tetap Gambar 12. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Bantul berdasarkan posisi responden 90

112 91 Gambaran di atas, dapat kita lihat adanya hubungan antara posisi responden dengan pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. Perbandingan yang terlihat pada gambar tersebut dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 yang dilakukan oleh Apoteker Pendamping lebih baik dibandingkan Apoteker Pengelola Apotek pada bidang pengelolaan sumber daya karena mempunyai persentase rata-rata yang lebih tinggi. Namun Apoteker Pendamping mempunyai kekurangan dalam hal ketersediaan ruang konseling tertutup (0%), sedangkan Apoteker Pengelola Apoteker juga mempunyai kekurangan dalam hal adanya ruang konseling tertutup (16%) dan pengisian medication record (44%). Bidang pelayanan dan evaluasi mutu pelayanan, pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 yang dilakukan oleh Apoteker Pengelola Apotek lebih baik dibandingkan Apoteker Pendamping karena mempunyai persentase rata-rata yang lebih tinggi. Bidang pelayanan, Apoteker Pengelola Apotek masih mempunyai kekurangan dalam hal diseminasi informasi kesehatan (25%) dan tindak lanjut terapi (35%) Sedangkan Apoteker Pendamping mempunyai kekurangan dalam hal informasi yang diberikan kepada pasien (0%), diseminasi informasi kesehatan (0%) dan tindak lanjut terapi (0%). Bidang evaluasi mutu pelayanan, Apoteker Pengelola Apotek mempunyai kekurangan dalam hal survey tingkat kepuasan konsumen (28%), penetapan

113 92 waktu pelayanan per pasien (28%) dan penetapan prosedur tetap (25%). Sedangkan pelaksanaan evaluasi mutu pelayanan oleh Apoteker Pendamping sebesar 0%. 1. Usia Responden Menurut penelitian yang dilakukan oleh Havard Growth Study, proses pertumbuhan dan perkembangan intelegensi diawali pada usia remaja dan mencapai puncaknya pada usia 30 tahun. Pada usia tersebut seseorang mampu berfikir hipotetik dan dapat menguji secara sistematik mengenai kejadiankejadian tertentu dan dapat memahami prinsip abstrak yang berlaku (Azwar, 1999). USIA RESPONDEN % 77.4% 79.6% 77.8% 67.0% 67.0% 58.0% 50.00% 28.7% 11.0% 0.00% 21 s.d. 35 (n=28) 35 sd 50 (n=6) > 50 (n=1) 21 s.d. 35 (n=28) 35 sd 50 (n=6) > 50 (n=1) 21 s.d. 35 (n=28) 35 sd 50 (n=6) 0.0% > 50 (n=1) Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan Gambar 13. Rata-rata Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Bantul berdasarkan usia responden

114 100.00% 50.00% 0.00% 21 s.d. 35 (n=28) 35 sd 50 (n=6) > 50 (n=1) 21 s.d. 35 (n=28) USIA RESPONDEN 35 sd 50 (n=6) > 50 (n=1) 21 s.d. 35 (n=28) 35 sd 50 (n=6) > 50 (n=1) Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan pengambilan keputusan di apotek papan petunjuk apotek penempatan produk yg terpisah ruang tunggu tempat display informasi ruang konseling tertutup ruang racikan keranjang sampah perencanaan pengadaan penyimpanan informasi pada w adah baru pencatatan&pengarsipan pembelian penyertaan bukti/faktur penjualan pencatatan penjualan pencatatan narkotika&psikotropika pengarsipan resep pengisian medication record persyaratan administratif kesesuaian farmasetik pertimbangan klinis konsultasi dengan dokter etiket jelas&dapat dibaca pengecekan resep sebelum diserahkan keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat informasi yg diberikan pada pasien jam konseling setiap hari konseling secara berkelanjutan diseminasi informasi kesehatan tindak lanjut terapi survey tingkat kepuasan konsumen w aktu pelayanan per pasien prosedur tetap Gambar 14. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Bantul berdasarkan usia respoden 93

115 94 Berdasarkan gambar di atas, dapat dilihat bahwa pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian bidang pengelolaan sumber daya, responden yang berusia tahun mempunyai rata-rata persentase yang lebih tinggi di bandingkan responden yang berusia tahun dan lebih dari 50 tahun. Namun responden dengan usia tahun mempunyai kekurangan dalam hal ketersediaan ruang konseling tertutup (17%), informasi pada wadah baru (33%), dan pengisian medication record (33%). Sedangkan responden yang berusia tahun mempunyai kekurangan dalam hal ruang konseling tertutup (18%). Responden dengan usia lebih dari 50 tahun mempunyai persentase 0% dalam hal ketersediaan ruang konseling tertutup, ruang racikan, perencanaan, pengadaan dan pengisian medication record. Bidang pelayanan, pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian yang dilaksanakan oleh responden yang berusia tahun dan tahun lebih baik dibandingkan oleh responden yang berusia di atas 50 tahun, dikarenakan mempunyai rata-rata persentase yang lebih tinggi. Responden yang berusia tahun mempunyai kekurangan dalam hal diseminasi informasi kesehatan (25%) dan tindak lanjut terapi (38%), sedangkan responden yang berusia tahun mempunyai kekurangan dalam hal informasi yang diberikan pada pasien (33%) diseminasi informasi kesehatan (17%) dan tindak lanjut terapi (33%). Responden dengan usia lebih dari 50 tahun mempunyai persentase 0% dalam hal kesesuaian farmasetik, pertimbangan klinis, keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat, konseling secara berkelanjutan, tindak lanjut terapi.

116 95 Bidang evaluasi mutu pelayanan, responden yang berusia tahun mempunyai rata-rata persentase yang lebih tinggi di bandingkan responden yang berusia tahun dan lebih dari 50 tahun, walaupun persentase pelaksanaannya kurang dari 50%. Responden yang berusia tahun mempunyai kekurangan dalam hal survey tingkat kepuasan konsumen (32%), penetapan waktu pelayanan per pasien (25%) dan penetapan prosedur tetap (29%). Sedangkan pada responden dengan usia tahun mempunyai kekurangan dalam hal survey tingkat kepuasan konsumen (0%), penetapan waktu pelayanan per pasien (33%) dan penetapan prosedur tetap (0%). Responden dengan usia di atas 50% mempunyai persentase 0% pada bidang evaluasi mutu pelayanan. 1. Pengalaman bekerja sebagai apoteker di apotek PENGALAMAN KERJA % 100.0% 76.8% 74.4% 77.1% 65.0% 69.0% 68.0% 58.0% 50.00% 31.7% 33.3% 17.0% 12.5% 0.00% < 1 th (n=6) 1~5 th (n=20) 6~10 th (n=8) >10 th (n=1) < 1 th (n=6) 1~5 th (n=20) 6~10 th (n=8) >10 th (n=1) < 1 th (n=6) 1~5 th (n=20) 6~10 th (n=8) >10 th (n=1) Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan Gambar 15. Rata-rata Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Bantul berdasarkan pengalaman respoden

117 100% 50% 0% PENGALAMAN RESPONDEN < 1 th (n=6) 1~5 th (n=20) 6~10 th (n=8) >10 th (n=1) < 1 th (n=6) 1~5 th (n=20) 6~10 th (n=8) >10 th (n=1) < 1 th (n=6) 1~5 th (n=20) 6~10 th (n=8) >10 th (n=1) Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan pengambilan keputusan di apotek papan petunjuk apotek penempatan produk yg terpisah ruang tunggu tempat display informasi ruang konseling tertutup ruang racikan keranjang sampah perencanaan pengadaan penyimpanan informasi pada wadah baru pencatatan&pengarsipan pembelian penyertaan bukti/faktur penjualan pencatatan penjualan pencatatan narkotika&psikotropika pengarsipan resep pengisian medication record persyaratan administratif kesesuaian farmasetik pertimbangan klinis konsultasi dengan dokter etiket jelas&dapat dibaca pengecekan resep sebelum diserahkan keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat informasi yg diberikan pada pasien jam konseling setiap hari konseling secara berkelanjutan diseminasi informasi kesehatan tindak lanjut terapi survey tingkat kepuasan konsumen waktu pelayanan per pasien prosedur tetap Gambar 16. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Bantul berdasarkan pengalaman respoden 96

118 97 Berdasarkan gambar di atas, dapat dilihat bahwa pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian bidang pengelolaan sumber daya, responden yang mempunyai pengalaman lebih dari 10 tahun mempunyai rata-rata persentase yang lebih tinggi di bandingkan responden yang mempunyai pengalaman kurang dari 1 tahun, 1-5 tahun dan 6-10 tahun. Responden dengan pengalaman kurang dari 1 tahun mempunyai kekurangan dalam hal ketersediaan ruang konseling tertutup (17%), informasi pada wadah baru (33%), dan penyertaan bukti atau faktur penjualan (33%). Responden dengan pengalaman 1-5 tahun mempunyai kekurangan dalam hal ruang konseling tertutup (15%), informasi pada wadah baru (35%) dan pengisian medication record (45%). Sedangkan responden dengan pengalaman 6-10 tahun mempunyai kekurangan dalam hal ketersediaan ruang konseling tertutup (12,5%), informasi pada wadah baru (0%) dan pengisian medication record (25%). Bidang pelayanan, pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian yang dilaksanakan oleh responden yang mempunyai pengalaman lebih dari 1-5 tahun mempunyai rata-rata persentase yang lebih tinggi di bandingkan responden yang mempunyai pengalaman kurang dari 1 tahun, 6-10 tahun dan lebih dari 10 tahun. Namun responden dengan pengalaman 1-5 tahun mempunyai kekurangan dalam hal diseminasi informasi kesehatan (25%) dan tindak lanjut terapi (40%). Responden dengan pengalaman kurang dari 1 tahun mempunyai kekurangan dalam hal diseminasi informasi kesehatan (17%) dan tindak lanjut terapi (0%). Responden dengan pengalaman 6-10 tahun mempunyai kekurangan dalam hal skrining resep bagian kesesuaian

119 98 farmasetik (37,5%) dan pertimbangan klinis (25%), serta diseminasi informasi kesehatan (37,5%). Sedangkan responden dengan pengalaman lebih dari 10 tahun mempunyai persentase 0% dalam hal etiket yang jelas dan dapat dibaca, keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat, informasi yang diberikan pada pasien, diseminasi informasi kesehatan dan tindak lanjut terapi. Bidang evaluasi mutu pelayanan, pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian yang dilaksanakan oleh responden yang mempunyai pengalaman lebih dari 10 tahun mempunyai rata-rata persentase yang lebih tinggi di bandingkan responden yang mempunyai pengalaman kurang dari 1 tahun, 1-5 tahun dan 6-10 tahun. Namun responden dengan pengalaman lebih dari 10 tahun mempunyai persentase 0% dalam hal survey tingkat kepuasan konsumen dan prosedur tetap. Responden dengan pengalaman kurang dari 1 tahun mempunyai persentase 17% pada semua bidang evaluasi mutu pelayanan. Responden dengan pengalaman 1-5 tahun mempunyai kekurangan dalam hal survey tingkat kepuasan konsumen (40%), waktu pelayanan per pasien (25%) dan prosedur tetap (30%). Sedangkan responden dengan pengalaman dari 6-10 tahun mempunyai persentase 0% dalam hal survey tingkat kepuasan konsumen, serta waktu pelayanan per pasien (25%) dan prosedur tetap (12,5%).

120 99 1. Adanya pekerjaan lain dari responden selain sebagai apoteker Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang profesional. Menurut Surat Kepmenkes RI Nomor 831/Ph/64/b apotek-apotek yang didirikan berdasarkan ijin Departemen Kesehatan yang dikeluarkan sesudah tanggal 1 September 1964 harus dipimpin oleh seorang apoteker yang bekerja penuh (full-time). ADANYA PEKERJAAN LAIN % 78.3% 78.5% 68.0% 67.0% 50.00% 21.0% 26.3% 0.00% ya (n=11) tidak (n=24) ya (n=11) tidak (n=24) ya (n=11) tidak (n=24) Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan Gambar 17. Rata-rata Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Bantul berdasarkan adanya pekerjaan lain respoden Dari gambar di atas menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang besar dalam pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian antara responden yang mempunyai pekerjaan lain selain sebagai apoteker dan responden yang tidak mempunyai pekerjaan lain. Ada ataupun tidak suatu pekerjaan lain seharusnya tidak mengganggu pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian, dikarenakan responden sebagai apoteker harus profesional dalam mengelola suatu apotek sesuai yang tertera dalam Permenkes Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004.

121 100.00% 50.00% 0.00% PEKERJAAN LAIN ya (n=11) tidak (n=24) ya (n=112) tidak (n=24) ya (n=11) tidak (n=24) Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan pengambilan keputusan di apotek papan petunjuk apotek penempatan produk yg terpisah ruang tunggu tempat display informasi ruang konseling tertutup ruang racikan keranjang sampah perencanaan pengadaan penyimpanan informasi pada w adah baru pencatatan&pengarsipan pembelian penyertaan bukti/faktur penjualan pencatatan penjualan pencatatan narkotika&psikotropika pengarsipan resep pengisian medication record persyaratan administratif kesesuaian farmasetik pertimbangan klinis konsultasi dengan dokter etiket jelas&dapat dibaca pengecekan resep sebelum diserahkan keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat informasi yg diberikan pada pasien jam konseling setiap hari konseling secara berkelanjutan diseminasi informasi kesehatan tindak lanjut terapi survey tingkat kepuasan konsumen w aktu pelayanan per pasien prosedur tetap Gambar 18. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Bantul berdasarkan adanya pekerjaan lain respoden 100

122 101 Berdasarkan gambar di atas, dapat dilihat bahwa pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian bidang pengelolaan sumber daya, responden yang tidak mempunyai pekerjaan lain mempunyai rata-rata persentase yang lebih tinggi di bandingkan responden yang mempunyai pekerjaan lain. Namun respondenyang tidak mempunyai pekerjaan lain mempunyai kekurangan dalam hal ketersediaan ruang konseling tertutup (25%) dan pengisian medication record (46%). Sedangkan responden mempunyai pekerjaan lain mempunyai persentase 0% dalam hal ruang konseling tertutup. Bidang pelayanan, pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian yang dilaksanakan oleh responden yang mempunyai pekerjaan lain mempunyai rata-rata persentase yang lebih tinggi di bandingkan responden yang tidak mempunyai pekerjaan lain. Responden yang mempunyai pekerjaan lain mempunyai kekurangan dalam hal keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat (45%), diseminasi informasi kesehatan (45%) dan tindak lanjut terapi (45%). Sedangkan responden yang berusia tidak mempunyai pekerjaan lain mempunyai kekurangan dalam hal diseminasi informasi kesehatan (17%) dan tindak lanjut terapi (29%). Bidang evaluasi mutu pelayanan, responden yang tidak mempunyai pekerjaan lain mempunyai rata-rata persentase yang lebih tinggi di bandingkan responden yang mempunyai pekerjaan lain, walaupun persentase pelaksanaannya kurang dari 50%. Responden yang tidak mempunyai pekerjaan lain mempunyai kekurangan dalam hal survey tingkat kepuasan konsumen (17%), penetapan waktu pelayanan per pasien (33%) dan penetapan

123 102 prosedur tetap (29%). Sedangkan pada responden yang mempunyai kekurangan dalam hal survey tingkat kepuasan konsumen (45%), penetapan waktu pelayanan per pasien (9%) dan prosedur tetap (9%). 1. Waktu kerja responden di apotek dalam seminggu Menurut pasal 77 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, waktu kerja dalam seminggu adalah 40 (empat puluh) jam untuk 6 (enam) hari kerja. Responden yang bekerja enam sampai tujuh hari setiap minggu secara keseluruhan mempunyai rata-rata persentase pelaksanaan yang lebih tinggi di bandingkan responden yang bekerja hanya tiga sampai lima hari, seperti yang terlihat pada gambar berikut. WAKTU KERJA DALAM SATU MINGGU % 76.7% 78.9% 69.7% 53.3% 50.00% 29.0% 0.00% 3 sd 5 hari (n=5) 6 sd 7 hari (n=30) 3 sd 5 hari (n=5) 6 sd 7 hari (n=30) 0.0% 3 sd 5 hari (n=5) 6 sd 7 hari (n=30) Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan Gambar 19. Rata-rata Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Bantul berdasarkan waktu kerja respoden dalam seminggu

124 WAKTU KERJA DALAM SATU MINGGU pengambilan keputusan di apotek papan petunjuk apotek penempatan produk yg terpisah 100% ruang tunggu tempat display informasi ruang konseling tertutup ruang racikan keranjang sampah perencanaan pengadaan penyimpanan informasi pada w adah baru pencatatan&pengarsipan pembelian penyertaan bukti/faktur penjualan pencatatan penjualan pencatatan narkotika&psikotropika 50% pengarsipan resep pengisian medication record 0% 3 sd 5 hari (n=5) 6 sd 7 hari (n=30) 3 sd 5 hari (n=5) 6 sd 7 hari (n=30) 3 sd 5 hari (n=5) 6 sd 7 hari (n=30) Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan persyaratan administratif kesesuaian farmasetik pertimbangan klinis konsultasi dengan dokter etiket jelas&dapat dibaca pengecekan resep sebelum diserahkan keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat informasi yg diberikan pada pasien jam konseling setiap hari konseling secara berkelanjutan diseminasi informasi kesehatan tindak lanjut terapi survey tingkat kepuasan konsumen w aktu pelayanan per pasien prosedur tetap Gambar 20. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Bantul berdasarkan waktu kerja respoden dalam seminggu 103

125 104 Berdasarkan gambar di atas, dapat dilihat bahwa pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian bidang pengelolaan sumber daya, responden yang bekerja 6-7 hari seminggu mempunyai rata-rata persentase yang lebih tinggi di bandingkan responden yang bekerja 3-5 hari seminggu. Namun responden yang bekerja 6-7 hari seminggu mempunyai kekurangan dalam hal ruang konseling tertutup (20%) dan pengisian medication record (47%). Sedangkan responden yang bekerja 3-5 hari seminggu mempunyai kekurangan dalam hal ketersediaan ruang konseling tertutup (0%), ruang racikan (20%) dan pengisian medication record (40%). Bidang pelayanan, pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian yang dilaksanakan oleh responden yang bekerja 6-7 hari seminggu mempunyai ratarata persentase yang lebih tinggi di bandingkan responden yang bekerja 3-5 hari seminggu. Namun responden yang bekerja 6-7 hari seminggu mempunyai kekurangan dalam hal diseminasi informasi kesehatan (27%) dan tindak lanjut terapi (40%). Sedangkan responden yang yang bekerja 3-5 hari seminggu mempunyai kekurangan dalam hal skrining resep bagian kesesuaian farmasetik (40%) keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat (0%), informasi yang diberikan pada pasien (40%), diseminasi informasi kesehatan (20%) dan tindak lanjut terapi (0%). Bidang evaluasi mutu pelayanan, responden yang bekerja 6-7 hari seminggu mempunyai rata-rata persentase yang lebih tinggi di bandingkan responden yang bekerja 3-5 hari seminggu, walaupun persentase pelaksanaannya kurang dari 50%. Responden yang bekerja 6-7 hari seminggu

126 105 mempunyai kekurangan dalam hal survey tingkat kepuasan konsumen (30%), penetapan waktu pelayanan per pasien (30%) dan prosedur tetap (27%). Sedangkan responden yang bekerja 3-5 hari seminggu mempunyai persentase 0% dalam semua bagian evaluasi mutu pelayanan. 1. Waktu kerja responden di apotek dalam sehari Menurut pasal 77 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, waktu kerja dalam sehari adalah 7 (tujuh) jam. Ketentuan tentang jam buka minimal suatu apotek diatur dalam Permenkes Nomor 244 tahun 1990 tentang Ketentuan dan Tatacara Perizinan Apotek Apotek wajib melayani masyarakat minimal dari jam s,d Pada Permenkes No. 922 yang mencabut Permenkes tersebut tidak diatur lagi tentang ketentuan jam buka apotek, demikian juga di Kepmenkes No tahun 2002 maupun di Kepmenkes No tahun Dalam Bab Penutup dari Permenkes dari Permenkes No. 922 tahun 1993 pasal 33 yang mencabut Permenkes tersebut di atas disebutkan bahwa Semua ketentuan menteri tentang apotek lainnya yang telah dikeluarkan sebelum ditetapkan peraturan ini masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dengan peraturan ini. Oleh karena itu ketentuan tentang jam buka apotek minimal antara jam mestinya masih berlaku (Hartini dan Sulasmono, 2006). Jam buka apotek selama 14 jam tersebut setidaknya membutuhkan dua apoteker setiap harinya sesuai pasal 77 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yaitu waktu kerja dalam sehari adalah 7 (tujuh) jam.

127 WAKTU KERJA DALAM SATU HARI pengambilan keputusan di apotek papan petunjuk apotek penempatan produk yg terpisah 100% ruang tunggu tempat display informasi ruang konseling tertutup ruang racikan keranjang sampah perencanaan pengadaan penyimpanan informasi pada w adah baru pencatatan&pengarsipan pembelian penyertaan bukti/faktur penjualan pencatatan penjualan pencatatan narkotika&psikotropika 50% pengarsipan resep pengisian medication record 0% < 4 jam (n=4) 4-6 jam (n=12) > 6 jam (n=19) < 4 jam (n=4) 4-6 jam (n=12) > 6 jam (n=19) < 4 jam (n=4) 4-6 jam (n=12) > 6 jam (n=19) Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan persyaratan administratif kesesuaian farmasetik pertimbangan klinis konsultasi dengan dokter etiket jelas&dapat dibaca pengecekan resep sebelum diserahkan keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat informasi yg diberikan pada pasien jam konseling setiap hari konseling secara berkelanjutan diseminasi informasi kesehatan tindak lanjut terapi survey tingkat kepuasan konsumen w aktu pelayanan per pasien prosedur tetap Gambar 21. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Bantul berdasarkan waktu kerja respoden di apotek dalam sehari 106

128 107 Responden yang bekerja lebih dari enam jam setiap hari secara keseluruhan mempunyai rata-rata persentase pelaksanaan yang lebih tinggi di bandingkan responden yang kurang dari empat jam dan 4-6 setiap hari, seperti yang terlihat pada gambar berikut. WAKTU KERJA DALAM SATU HARI % 81.8% 69.4% 71.6% 58.0% 64.0% 71.0% 50.00% 31.7% 16.7% 16.7% 0.00% < 4 jam (n=4) 4-6 jam (n=12) > 6 jam (n=19) < 4 jam (n=4) 4-6 jam (n=12) > 6 jam (n=19) < 4 jam (n=4) 4-6 jam (n=12) > 6 jam (n=19) Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan Gambar 22. Rata-rata Pelaksanan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Bantul berdasarkan waktu kerja respoden di apotek dalam sehari Berdasarkan gambar di atas, dapat dilihat bahwa pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian bidang pengelolaan sumber daya, responden yang yang bekerja lebih dari 6 jam setiap hari mempunyai rata-rata persentase yang lebih tinggi di bandingkan responden yang bekerja kurang dari 4 jam dan 4-6 jam setiap hari. Namun responden yang bekerja lebih dari 6 jam setiap hari mempunyai kekurangan dalam hal ketersediaan ruang konseling tertutup (21%). Responden yang bekerja kurang dari 4 jam setiap hari mempunyai persentase 0% dalam hal ruang konseling tertutup, informasi pada wadah baru

129 108 dan pengisian medication record. Sedangkan responden yang bekerja 4-6 jam setiap hari mempunyai kekurangan dalam hal ketersediaan ruang konseling tertutup (17%), ruang racikan (42%), informasi pada wadah baru (14%) dan penyertaan bukti atau faktur penjualan (42%). Bidang pelayanan, pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian yang dilaksanakan oleh responden yang yang bekerja lebih dari 6 jam setiap hari mempunyai rata-rata persentase yang lebih tinggi di bandingkan responden yang bekerja kurang dari 4 jam dan 4-6 jam setiap hari. Namun responden yang bekerja lebih dari 6 jam setiap hari mempunyai kekurangan dalam hal mempunyai kekurangan dalam hal diseminasi informasi kesehatan (21%) dan tindak lanjut terapi (37%). Responden yang bekerja kurang dari 4 jam setiap hari mempunyai persentase 25 % dalam hal skrining resep bagian kesesuaian farmasetik dan pertimbangan klinis, serta keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat, konseling secara berkelanjutan dan tindak lanjut terapi. Responden yang bekerja 4-6 jam setiap hari mempunyai kekurangan dalam hal keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat (42%), informasi yang diberikan pada pasien (42%) diseminasi informasi kesehatan (17%) dan tindak lanjut terapi (37%). Bidang evaluasi mutu pelayanan, pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian yang dilaksanakan oleh responden yang yang bekerja lebih dari 6 jam setiap hari mempunyai rata-rata persentase yang lebih tinggi di bandingkan responden yang bekerja kurang dari 4 jam dan 4-6 jam setiap hari. Namun responden yang yang bekerja lebih dari 6 jam setiap hari mempunyai

130 109 kekurangan dalam hal survey tingkat kepuasan konsumen (26%), waktu pelayananan per pasien (37%) dan prosedur tetap (32%). Responden yang bekerja kurang dari 4 jam setiap hari mempunyai kekurangan dalam hal survey tingkat kepuasan konsumen (25%), waktu pelayananan per pasien (0%) dan prosedur tetap (25%). Sedangkan responden yang bekerja 4-6 jam setiap hari mempunyai kekurangan dalam hal survey tingkat kepuasan konsumen (25%), waktu pelayanan per pasien (17%) dan prosedur tetap (8%).

131 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah : 1. Apoteker di apotek-apotek di Kabupaten Bantul belum sepenuhnya melaksanakan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. Namun pada bagian tertentu telah dilaksanakan sepenuhnya (100%) meliputi ketersediaan papan petunjuk apotek, ruang tunggu, pencatatan dan pengarsipan pembelian, pengarsipan resep dan pengecekan kesesuaian resep sebelum diserahkan. 2. Parameter dari Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 yang telah dilaksanakan dengan baik, cukup dan kurang secara berurutan adalah pengelolaan sumber daya (78%), pelayanan (67%) dan evaluasi mutu pelayanan (25%). 3. Karakteristik responden memberikan perbedaan dalam pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di apotek-apotek Kabupaten Bantul, terletak pada pengelolaan sumber daya dan pelayanan. B. Saran 1. Dalam rangka menindak lanjuti hasil penelitian ini, diharapkan adanya respon positif dari pihak Departemen Kesehatan, ISFI dan Dinas Kesehatan 110

132 111 Kabupaten Bantul untuk mensosialisasikan pelaksanaan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/IX/2004 dengan mengadakan bimbingan dan pelatihan sehingga Apoteker di Kabupaten Bantul dapat mendapatkan persepsi dan pemahaman yang sama tentang Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/IX/ Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul dan BPOM melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/IX/2004 dengan melibatkan ISFI sebagai organisasi profesi. 3. Universitas sebagai lembaga pendidikan harus berperan aktif dalam mempersiapkan calon apoteker mengenai Standar Pelayanan Kefarmasian, terutama dalam hal ketersediaan ruang konseling tertutup, penyimpanan, diseminasi informasi kesehatan, tindak lanjut terapi dan evaluasi mutu pelayanan. 4. Apoteker di apotek-apotek Kabupaten Bantul perlu meningkatan kesadaran akan pentingnya pemahaman perundang-undangan terutama Keputusan Menteri Kesehatan mengenai Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. 5. Perlu dilakukan penelitian sejenis pada tingkat populasi yang lebih besar seperti penelitian pada tingkat Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan dengan responden karyawan apotek maupun pengguna jasa apotek. 6. Perlu diadakannya wawancara pada penelitian selanjutnya, mengenai alasan responden untuk tiap jawaban yang diberikan sehingga dapat diketahui latar belakang pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian.

133 112 DAFTAR PUSTAKA Adi, R., 2004, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, 79-82, Granit, Jakarta Anief, M., 1995, Manajemen Farmasi, Universitas Gajah Mada Press, Yogyakarta Anonim, 1962, Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1962 Tentang Lafal Sumpah/Janji Apoteker, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1965, Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 Tentang Apotek, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1980, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1980 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 Tentang Apotek, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1981, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 278/MENKES/SK/V/1981 Tentang Persyaratan Apotik, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1981, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 280/MENKES/SK/V/1981 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengelolaan Apotik, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1981, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 26/MENKES/ PER/I/1981, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1992, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1993, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 918/MENKES/PER/X/1993 Tentang Pedagang Besar Farmasi, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1993, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/MENKES/PER/X/1993 Tentang Ketentuan dan Tatacara Pemberian Izin Apotek, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1995, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 184/MENKES/PER/II/1995 Tentang Penyempurnaan Pelaksanaan Masa Bakti da Izin Kerja Apoteker, Depkes RI, Jakarta

134 113 Anonim, 1996, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1997, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1997, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1999, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Depkes RI, Jakarta Anonim, 2001, Draft Hasil Rapat Kerja Nasional I, Badan Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Semarang Anonim, 2002, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1332/MENKES/SK/X/2002 Tentang Ketentuan dan Tatacara Pemberian Izin Apotek, Depkes RI, Jakarta Anonim, 2003, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Depkes RI, Jakarta Anonim, 2004a, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Depkes RI, Jakarta Anonim, 2004b, Standar Kompetensi Farmasis Indonesia, Badan Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Jakarta Azwar, S., 1999, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Azwar, S., 2003, Reliabilitas dan Validitas, 4-8, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Budiharjo, 1981, Kode Etik Kefarmasian, Pembinaan Profesi Apoteker Pengelola Apotek, Jilid B, 4-5, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Pelaksanaan Departemen Kesehatan Republik Indonesua, Jakarta Harding, 1993, Sociology for Pharmacists; an Introduction, The Macmillan, London

135 114 Hartini, Y.S. dan Sulasmono, 2006, Apotek : Ulasan Beserta Naskah Peraturan Perundang-Undangan Terkait Apotek, Penerbit Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta Isdaryadi, F. Wisnu., 2005, Bisnis Berwawasan Etika, Ombudsman, No.II, Kontour, R., 2003, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, 105, PPM, Yogyakarta Nawawi, H., 1998, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Notoatmodjo, S., 2002, Metodologi Penelitian Kesehatan, 92, Rhieka Cipto, Jakarta Pratiknya, A.W., 2001, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan, 67-68, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Regziana, 2007, Pendapat Dokter Umum di Rumah Sakit Umum Daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta Terhadap Peran Apoteker (Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 Tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit), Skripsi, Fakultas Farmasi USD, Yogyakarta Salim, P. dan Yenny Salim, 1991, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer, Edisi III, Modern English Press, Jakarta Sirait, M., 2001, Tiga Dimensi Farmasi: Ilmu-Teknologi, Pelayanan Kesehatan dan Potensi Ekonomi, Institut Darma Mahardika, Jakarta Soedarsono, A.K., 2007, Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kabupaten Sleman Periode Oktober-Desember 2006, Skripsi, Fakultas Farmasi USD, Yogyakarta Sukmajati, M.A., 2007, Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kota Yogyakarta, Skripsi, Fakultas Farmasi USD, Yogyakarta Sulasmono, 1997, Profesi di Apotek Sekarang dan Masa Depan dengan Analisis SWOT, Diskusi Kuliah Pengantar Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

136 115 Tobondo, 2000, Pemahaman Apoteker Tentang Pelayanan Apoteker dalam Praktek Kefarmasian Sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan Apotek di Apotek-Apotek Kota Yogyakarta, Skripsi, Fakultas Farmasi USD, Yogyakarta Wahyuni, B., 2005, Publik Tidak Boleh Ditipu Lagi, Ombudsman, No.II, 25

137 116 LAMPIRAN Lampiran 1. Surat Pengantar Kuesioner Penelitian Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Kepada Yth Apoteker Pengelola Apotek Kabupaten Bantul Dengan hormat, Dalam rangka menyelesaikan jenjang studi S-1, saya bermaksud mengadakan penelitian dengan judul Kajian Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kabupaten Bantul. Sehubungan dengan hal itu, saya mohon kerelaan Bapak/Ibu untuk menjawab pertanyaan berikut dengan lengkap dan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Semua informasi yang Bapak/Ibu berikan akan dijaga kerahasiannya demi kepentingan ilmiah. Atas bantuan Bapak/Ibu saya ucapkan terima kasih. Hormat saya, Henricus Bangun Purwono NIM:

138 117 Lampiran 2. Kuesioner Penelitian KUESIONER PENELITIAN KAJIAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK BERDASARKAN KEPMENKES RI NOMOR 1027/MENKES/SK/IX/2004 DI KABUPATEN BANTUL I. Data Responden Petunjuk Pengisian : Lingkarilah jawaban yang benar No Pertanyaan Jawaban 1. Berapakah umur Anda? a tahun b tahun c. >50 tahun 2. Apakah posisi Anda di apotek? a. APA b. Apoteker Pendamping c. Apoteker Pengganti 3. Berapa lama pengalaman Anda bekerja sebagai Apoteker di apotek yang sekarang? a. <1 tahun b. 1-5 tahun c tahun d. >10 tahun 4. Apakah Anda memiliki pekerjaan yang lain? a. Ya b. Tidak 5. Berapa hari rata-rata Anda bekerja di apotek dalam seminggu? a. <3 hari b. 3-5 hari c. 6-7 hari 6. Berapa lama rata-rata Anda bekerja di apotek dalam satu hari? a. <4 jam b. 4-6 jam c. >6 jam

139 118 II. Kuesioner Tentang Pengelolaan Sumber Daya Petunjuk Pengisian: Berilah tanda pada jawaban yang sesuai No Pertanyaan YA TIDAK 1 Apakah pada halaman depan apotek Anda terdapat papan yang tertulis kata apotek? 2 Apakah apotek Anda memiliki ruang tunggu bagi pasien? a. Apakah di apotek Anda tersedia informasi berupa brosur, leaflet atau poster mengenai kesehatan 3 (misalnya obat-obat baru)? b. Jika ya, apakah ada tempat khusus untuk mendisplay informasi tersebut (misalnya penempatan brosur dalam suatu wadah)? 4 Apakah apotek Anda memiliki ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien? Apakah apotek Anda memiliki : 5 a. ruang racikan kering? b. ruang racikan basah? 6 7 Apakah apotek Anda memiliki keranjang sampah yang tersedia untuk staf? Apakah apotek Anda memiliki keranjang sampah yang tersedia untuk pasien? Apakah dalam perencanaan pengadaan sediaan farmasi Anda memperhatikan : 8 a. pola penyakit? b. kemampuan masyarakat? c. budaya masyarakat?

140 Dari manakah Anda memperoleh obat-obatan? a. PBF b. Pabrik farmasi c. Apotek lain 9 d. Toko obat e. Swalayan 2. Apakah setiap obat yang dipesan/dibeli, selalu disertai bukti/faktur pembelian? 3. Apakah setiap obat yang dipesan/dibeli, selalu dicatat dalam buku penerimaan? 10 Adakah tempat penyimpanan khusus (misalnya lemari pendingin atau tempat penyimpanan narkotika dan psikotropika) untuk obat tertentu (misalnya serum, vaksin)? 1. Apakah apotek Anda pernah memindahkan isi obat dari wadah asli ke wadah lain? 2. Jika ya, apakah informasi di bawah ini Anda sertakan pada wadah baru tersebut? 11 a.produsen (pabrik) b.nomor batch c.tanggal kadaluarsa d.aturan pakai e.cara penyimpanan Apakah pelayanan produk kefarmasian (misalnya obat, 12 kosmetik, makanan) diberikan pada tempat yang terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya (misalnya pembalut wanita, alat kontrasepsi, popok bayi)? 13 Apakah setiap penjualan selalu dilengkapi dengan

141 120 faktur atau nota penjualan? 14 Apakah setiap penjualan selalu dicatat dalam buku penjualan? Apakah setiap pengeluaran narkotika dan psikotropika 15 selalu dicatat dalam buku pencatatan narkotika dan psikotropika? 16 Apakah setiap resep selalu disimpan menurut urutan tanggal dan nomor urut resep? 17 Apakah Anda selalu melakukan medication record? IV. Kuesioner Tentang Pelayanan Petunjuk Pengisian: Berilah tanda pada jawaban yang sesuai No Pertanyaan YA TIDAK 18 Apakah Anda selalu melakukan skrining resep, meliputi : 1. PERSYARATAN ADMINISTRATIF 2. KESESUAIAN FARMASETIK : a. Bentuk sediaan b. Dosis c. Potensi d. Stabilitas e. Inkompatibilitas f. Cara pemberian g. Lama pemberian 3. PERTIMBANGAN KLINIS : a. Alergi b. Efek samping c. Interaksi

142 121 e. Durasi f. Jumlah obat Apakah Anda selalu melakukan konsultasi dengan 19 dokter penulis resep apabila ada ketidakjelasan dalam penulisan resep? Apakah anda selalu melakukan pengecekan 20 kesesuaian antara obat dan etiket terhadap resep sebelum diserahkan kepada pasien? 21 Apakah apoteker selalu terlibat langsung dalam penyerahan obat kepada pasien? Apakah Anda selalu memberikan infomasi mengenai: a. Cara pemakaian obat 22 b. Cara penyimpanan obat c. Jangka waktu pengobatan d. Makanan dan minuman yang harus dihindari e. Aktivitas yang harus dihindari 23 Apakah pernah terjadi keluhan dari pasien mengenai etiket (tidak jelas/sulit dibaca)? Apakah keputusan yang diambil di apotek (mencakup 24 perencanaan, pegadaan dan penyimpanan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya) selalu berdasarkan persetujuan APA? 25 Apakah Anda menyediakan jam konseling setiap hari bagi pasien?

143 122 Apakah Anda juga menyediakan jam konseling secara 26 berkelanjutan, terutama untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya? Apakah Anda melakukan tindak lanjut terapi (misalnya 27 melalui komunikasi telepon dengan pasien atau mengunjungi pasien)? Apakah Anda pernah melakukan diseminasi 28 (penyebaran) informasi kesehatan (misalnya penyebaran brosur dan poster, melakukan penyuluhan)? V. Kuesioner Tentang Evaluasi Mutu Pelayanan Petunjuk Pengisian: Berilah tanda pada jawaban yang sesuai No Pertanyaan YA TIDAK Apakah pernah dilakukan survey mengenai tingkat kepuasan konsumen? 2. Jika ya, apakah survey tersebut berupa: a.angket b.wawancara Apakah Anda menetapkan lama pelayanan (waktu pelayanan maksimal per pasien)? Apakah ada prosedur yang tertulis dan tetap dalam pelayanan pasien?

144 123 Lampiran 3. Surat Izin Penelitian

145 124 Lampiran 4. Sumpah/Janji Apoteker LAFAL SUMPAH/JANJI APOTEKER PERATURAN PEMERINTAH NO.20 TAHUN 1962 TANGGAL 20 SEPTEMBER 1962 Pasal 1 (1) Sebelum seorang apoteker melakukan jabatannya, maka ia harus mengucapkan sumpah menurut cara agama yang dipeluknya, atau mengucapkan janji. Ucapan sumpah dimulai dengan, kata-kata Demi Allah bagi mereka yang beragama Islam, dan sumpah untuk agama lain, pemakaian kata-kata Demi Allah..disesuaikan dengan kebiasaan agama masingmasing. (2) Sumpah/Janji itu berbunyi sebagai berikut : 1. Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan, terutama dalam bidang kesehatan; 2. Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan keilmuan saya sebagai apoteker; 3. Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kefarmasian saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan; 4. Saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian;

146 Dalam menunaikan kewajiban saya, saya akan berikhtiar dengan sungguhsungguh supaya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik kepartaian atau kedudukan sosial; 6. Saya ikrarkan sumpah/janji ini dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh keinsyafan.

147 126 Lampiran 5. Kode Etik Apoteker Indonesia KODE ETIK APOTEKER/FARMASIS INDONESIA KEPUTUSAN KONGRES NASIONAL XVII ISFI NO.007/KONGRES XVII/ISFI/2005 TANGGAL 18 JUNI 2005 Mukadimah Bahwasanya seorang Apoteker di dalam menjalankan tugas kewajibannya serta dalam mengamalkan keahliannya harus senantiasa mengharapkan bimbingan dan keridhaan Tuhan Yang Maha Esa. Apoteker di dalam pengabdiannya kepada nusa dan bangsa serta di dalam mengamalkan keahliannya selalu berpegang teguh kepada sumpah/janji Apoteker. Menyadari akan hal tersebut Apoteker di dalam pengabdian profesinya berpedoman pada satu ikatan moral yaitu : BAB I Kewajiban Umum Pasal 1 : sumpah/janji Setiap Apoteker harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah Apoteker. Pasal 2 Setiap Apoteker harus berusaha dengan sungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Apoteker Indonesia. Pasal 3 Setiap Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi Apoteker Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya. Pasal 4 Setiap Apoteker harus selalu aktif mengikuti perkembangan di bidang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya. Pasal 5 Didalam menjalankan tugasnya setiap Apoteker harus menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian.

148 127 Pasal 6 Seorang Apoteker harus berbudi luhur dan menjadi contoh yang baik bagi orang lain. Pasal 7 Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya. Pasal 8 Seorang Apoteker harus aktif mengikuti perkembangan peraturan perundangundangan di bidang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi khususnya. BAB II Kewajiban Apoteker Terhadap Penderita Pasal 9 Seorang Apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian harus mengutamakan kepentingan masyarkat dan menghormati hak azasi penderita dan melindungi mahluk hidup insani. BAB III Kewajiban Apoteker Terhadap Teman Sejawat Pasal 10 Setiap Apoteker harus memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan. Pasal 11 Sesama Apoteker harus selalu saling mengingatkan dan saling menasehati untuk mematuhi ketentuan-ketentuan Kode Etik. Pasal 12 Setiap Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan kerjasama yang baik sesama Apoteker di dalam memelihara keluhuran martabat jabatan kefarmasian, serta mempertebal rasa saling mempercayai di dalam menunaikan tugasnya. BAB IV Kewajiban Apoteker Terhadap Teman Sejawat Petugas Kesehatan Lainnya Pasal 13 Setiap Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk membangun dan meningkatkan hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai dan menghormati sejawat petugas kesehatan.

149 128 Pasal 14 Setiap Apoteker hendaknya menjauhkan diri dari tindakan atau perbuatan yang dapat mengakibatkan berkurangnya/hilangnya kepercayaan masyarakat kepada sejawat petugas kesehatan lainnya. BAB V Penutup Pasal 15 Setiap Apoteker bersungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Apoteker Indonesia dalam menjalankan tugas kefarmasian sehari-hari. Jika seorang Apoteker baik dengan sengaja maupun tak sengaja melanggar atau tidak mematuhi Kode Etik Apoteker Indonesia, maka dia wajib mengakui dan menerima sanksi dari pemerintah, ikatan/organisasi profesi farmasi yang menanganinya (ISFI) dan mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

150

151 130 Lampiran 7. Jalur Distribusi Obat JALUR JALUR DISTRIBUSI DISTRIBUSI OBAT OBAT INDUSTRI FARMASI PBF/ DISTRIBUTOR SUB-DISTRIBUTOR APOTEK INSTALASI FARMASI RS TOKO OBAT BERIJIN RS TANPA INSTALASI FARMASI OBAT KERAS OBAT BEBAS VAKSIN

152 131

153 132

154 133

155 134

156 135

157

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA MENIMBANG : bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

MEHTERIKESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHAT AN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG

MEHTERIKESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHAT AN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG .. MEHTERIKESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHAT AN REPUBLIK INDONESIA Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN 01 APOTEK MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan hak asasi manusia, setiap orang mempunyai hak untuk hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk di dalamnya mendapat

Lebih terperinci

PERANAN APOTEKER DI RUMAH SAKIT

PERANAN APOTEKER DI RUMAH SAKIT PERANAN APOTEKER DI RUMAH SAKIT Peranan Apoteker Farmasi Rumah Sakit adalah : 1. Peranan Dalam Manajemen Farmasi Rumah Sakit Apoteker sebagai pimpinan Farmasi Rumah Sakit harus mampu mengelola Farmasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong masyarakat untuk semakin memperhatikan derajat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong masyarakat untuk semakin memperhatikan derajat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong masyarakat untuk semakin memperhatikan derajat kesehatan demi peningkatan kualitas hidup yang lebih

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Pengetahuan Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini setelah orang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Apotek Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker. (Peraturan Pemerintah no 51 tahun 2009). Sesuai ketentuan perundangan

Lebih terperinci

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI KAJIAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN BERDASARKAN KEPMENKES RI NOMOR 1027/MENKES/SK/IX/2004 DI APOTEK-APOTEK KABUPATEN GUNUNGKIDUL SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan dalam membantu mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Pelayanan kesehatan adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masalah kesehatan di Indonesia sebagai salah satu negara berkembang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masalah kesehatan di Indonesia sebagai salah satu negara berkembang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah kesehatan di Indonesia sebagai salah satu negara berkembang menjadi prioritas utama program pemerintah menuju masyarakat yang sehat dan sejahtera. Untuk

Lebih terperinci

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2008 SKRIPSI

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2008 SKRIPSI GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2008 SKRIPSI Oleh: WAHID BEKTI FITRIANTO K 100 040 146 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA

Lebih terperinci

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN LAWEYAN KOTA SOLO TAHUN 2007 SKRIPSI

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN LAWEYAN KOTA SOLO TAHUN 2007 SKRIPSI GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN LAWEYAN KOTA SOLO TAHUN 2007 SKRIPSI Oleh: ROSY MELLISSA K.100.050.150 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRASI PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KABUPATEN PEMALANG PERIODE JANUARI - JUNI 2008 SKRIPSI

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRASI PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KABUPATEN PEMALANG PERIODE JANUARI - JUNI 2008 SKRIPSI TINJAUAN ASPEK ADMINISTRASI PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KABUPATEN PEMALANG PERIODE JANUARI - JUNI 2008 SKRIPSI Oleh : LINDA WIDYA RETNA NINGTYAS K 100 050 110 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Apotek Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus dan telah

Lebih terperinci

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit Puskesmas dan sebagai bahan masukan kepada Dinas Kesehatan Kota Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas

Lebih terperinci

Apoteker berperan dalam mengelola sarana dan prasarana di apotek. Selain itu, seorang apoteker juga harus menjamin bahwa:

Apoteker berperan dalam mengelola sarana dan prasarana di apotek. Selain itu, seorang apoteker juga harus menjamin bahwa: I.PENDAHULUAN Apotek adalah suatu tempat tertentu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian berupa penyaluran perbekalan farmasi kepada masyarakat dan tempat dilakukannya praktik kefarmasian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Profesi adalah kelompok disiplin individu yang mematuhi standar etika dan mampu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Profesi adalah kelompok disiplin individu yang mematuhi standar etika dan mampu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Profesi Profesi adalah kelompok disiplin individu yang mematuhi standar etika dan mampu menegakkan diri dan diterima oleh masyarakat sebagai seorang yang memiliki ketrampilan

Lebih terperinci

SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI APOTEK KECAMATAN AMPEL KABUPATEN BOYOLALI SKRIPSI

SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI APOTEK KECAMATAN AMPEL KABUPATEN BOYOLALI SKRIPSI SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI APOTEK KECAMATAN AMPEL KABUPATEN BOYOLALI SKRIPSI Oleh : DWI KURNIYAWATI K 100 040 126 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Lebih terperinci

EVALUASI STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KOTA SALATIGA TAHUN 2011 SESUAI PERUNDANGAN YANG BERLAKU NASKAH PUBLIKASI

EVALUASI STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KOTA SALATIGA TAHUN 2011 SESUAI PERUNDANGAN YANG BERLAKU NASKAH PUBLIKASI EVALUASI STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KOTA SALATIGA TAHUN 011 SESUAI PERUNDANGAN YANG BERLAKU NASKAH PUBLIKASI Oleh : DEWI MARYATI K 100 040 014 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Obat merupakan komoditi utama yang digunakan manusia untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Obat merupakan komoditi utama yang digunakan manusia untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Obat merupakan komoditi utama yang digunakan manusia untuk menunjang kesehatannya. Semua orang rela mengeluarkan uangnya untuk mendapatkan kesehatan, bahkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu Pada penelitian sebelumnya dengan judul pengaruh keberadaan apoteker terhadap mutu pelayanan kefarmasian di Puskesmas wilayah Kabupaten Banyumas berdasarkan

Lebih terperinci

satu sarana kesehatan yang memiliki peran penting di masyarakat adalah apotek. Menurut Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2014, tenaga kesehatan

satu sarana kesehatan yang memiliki peran penting di masyarakat adalah apotek. Menurut Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2014, tenaga kesehatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia adalah kesehatan. Berdasarkan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 284/MENKES/PER/III/2007 TENTANG APOTEK RAKYAT MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 284/MENKES/PER/III/2007 TENTANG APOTEK RAKYAT MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 284/MENKES/PER/III/2007 TENTANG APOTEK RAKYAT MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan dan memperluas akses

Lebih terperinci

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN BREBES TAHUN 2008 SKRIPSI

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN BREBES TAHUN 2008 SKRIPSI GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN BREBES TAHUN 2008 SKRIPSI Oleh: ASRI MUHTAR WIJIYANTI K 100 040 150 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelayanan kefarmasian merupakan bagian yang penting dalam pelayanan kesehatan. Cara pelayanan kefarmasian yang baik menyangkut seluruh aspek pelayanan kefarmasian dan

Lebih terperinci

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI KAJIAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN BERDASARKAN KEPMENKES RI NOMOR 1027/MENKES/SK/IX/2004 DI APOTEK -APOTEK KABUPATEN KULON PROGO SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Lebih terperinci

PENERAPAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KOTA MAGELANG

PENERAPAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KOTA MAGELANG PENERAPAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KOTA MAGELANG Elmiawati Latifah 1, Prasojo Pribadi 2, Fitriana Yuliastuti 3 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penerapan standar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Apotek Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker (Presiden RI, 2009). Praktik kefarmasian meliputi pembuatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia sebagai apoteker (Presiden, RI., 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia sebagai apoteker (Presiden, RI., 2009). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Apotek Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus dan telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mewujudkan suatu negara yang lebih baik dengan generasi yang baik adalah tujuan dibangunnya suatu negara dimana

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mewujudkan suatu negara yang lebih baik dengan generasi yang baik adalah tujuan dibangunnya suatu negara dimana BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mewujudkan suatu negara yang lebih baik dengan generasi yang baik adalah tujuan dibangunnya suatu negara dimana untuk memperoleh generasi yang baik perlu adanya peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2010 diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, manfaat, perlindungan dan diarahkan untuk dapat meningkatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek. dalam rangka keselamatan pasien (patient safety) (Menkes, RI., 2014).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek. dalam rangka keselamatan pasien (patient safety) (Menkes, RI., 2014). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek Pelayanan kefarmasian di apotek saat ini telah mempunyai standar dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Apotek Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek yang menjelaskan mengenai apotek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada hakikatnya kesehatan adalah hak dasar yang senantiasa dimiliki oleh setiap manusia, tak terkecuali seluruh rakyat Indonesia. Menurut Undang - Undang Republik

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap mahluk hidup didunia memiliki hak untuk hidup sehat. Kesehatan merupakan suatu keadaan dimana tubuh dan jiwa yang tiap orang miliki mampu melakukan kegiatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pelayanan kefarmasian Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser dari obat ke pasien yang mengacu pada Pharmaceutical care. Kegiatan pelayanan kafarmasian yang semula

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah salah satu faktor yang sangat penting bagi kehidupan setiap umat manusia karena aktivitasnya dapat terhambat apabila kondisi kesehatan tidak baik.

Lebih terperinci

PENERAPAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KOTA MAGELANG BULAN SEPTEMBER TAHUN 2014 LAPORAN HASIL PENELITIAN

PENERAPAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KOTA MAGELANG BULAN SEPTEMBER TAHUN 2014 LAPORAN HASIL PENELITIAN PENERAPAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KOTA MAGELANG BULAN SEPTEMBER TAHUN 2014 LAPORAN HASIL PENELITIAN Disusun oleh: Elmiawati Latifah, M.Sc, Apt Prasojo Pribadi, M.Sc, Apt Fitriana Yuliastuti,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha untuk mewujudkan masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan merupakan visi dari Kementerian Kesehatan RI dan telah dirumuskan dalam UU RI No. 36 tahun 2009

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengetahuan masyarakat akan pentingnya kesehatan terus meningkat seiring perkembangan zaman. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan masyarakat senantiasa diupayakan

Lebih terperinci

HEALTH & BEAUTY. Oleh Aftiyani. Guardian, The One You Trust

HEALTH & BEAUTY. Oleh Aftiyani. Guardian, The One You Trust HEALTH & BEAUTY Guardian, The One You Trust Guardian adalah salah satu unit bisnis bagian dari Hero Group yang bergerak pada apotek modern berupa toko kesehatan dan kecantikan. Guardian memulai bisnisnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Apotek Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tenpat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker (PP no. 51 tahun 2009) Apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat, pemerintah melakukan berbagai upaya diantaranya menyediakan sarana pelayanan kesehatan seperti farmasi

Lebih terperinci

2017, No Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (

2017, No Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ( No.276, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKES. Apotek. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG APOTEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Apotek Definisi apotek menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1332/MENKES/SK/X/2002 yaitu sebagai suatu tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian, penyaluran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia nomor 36 tahun 2014, tentang Kesehatan, adalah. setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan 1

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia nomor 36 tahun 2014, tentang Kesehatan, adalah. setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan citacita Bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila

Lebih terperinci

MAKALAH FARMASI SOSIAL

MAKALAH FARMASI SOSIAL MAKALAH FARMASI SOSIAL KONDISI SOSIAL MASYARAKAT DENGAN ASUHAN KEFARMASIAN DAN KESEHATAN DISUSUN OLEH KELOMPOK 1 DIANSARI CITRA LINTONG ADE FAZLIANA MANTIKA JURUSAN FARMASI FAKULTASMATEMATIKA DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB 11: PERBEKALAN FARMASI

BAB 11: PERBEKALAN FARMASI SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016 FARMASI BAB 11: PERBEKALAN FARMASI Nora Susanti, M.Sc, Apk KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN 2016 BAB XI PERBEKALAN

Lebih terperinci

EVALUASI IMPLEMENTASI KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 35/MENKES/SK/2014 TENTANG PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SLEMAN

EVALUASI IMPLEMENTASI KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 35/MENKES/SK/2014 TENTANG PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SLEMAN EVALUASI IMPLEMENTASI KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 35/MENKES/SK/2 TENTANG PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SLEMAN EVALUATION OF THE IMPLEMENTATION OF THE MINISTER OF HEALTH No. 35 / MENKES/

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Menurut Undang-undang Republik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Apoteker Berdasarkan KepMenKes RI No. 1027/MenKes/SK/IX/2004, apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi yang telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang PKPA di Apotek

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang PKPA di Apotek BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang PKPA di Apotek Setiap manusia berhak atas kesehatan, serta memiliki kewajiban dalam memelihara serta meningkatkan kesehatan tersebut. Kesehatan merupakan salah satu

Lebih terperinci

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 22 TAHUN 2018 TENTANG PENYELENGGARAAN APOTEK

BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 22 TAHUN 2018 TENTANG PENYELENGGARAAN APOTEK BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 22 TAHUN 2018 TENTANG PENYELENGGARAAN APOTEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang : a. bahwa untuk mendukung

Lebih terperinci

PENGARUH PELAYANAN TERHADAP TINGKAT KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DI APOTEK BUNDA SURAKARTA SKRIPSI

PENGARUH PELAYANAN TERHADAP TINGKAT KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DI APOTEK BUNDA SURAKARTA SKRIPSI PENGARUH PELAYANAN TERHADAP TINGKAT KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DI APOTEK BUNDA SURAKARTA SKRIPSI Oleh : DIDIK SANTOSO K 100 050 243 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA 2010

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode zaman penjajahan sampai perang kemerdekaaan tonggak sejarah. apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode zaman penjajahan sampai perang kemerdekaaan tonggak sejarah. apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan Profesi Kefarmasian Secara historis perubahan mendasar dalam profesi kefarmasian dapat dibagi dalam beberapa periode (Anonim. 2008 b ). 1. Periode zaman penjajahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hal yang paling penting dan utama dalam kehidupan. Dengan menjaga kesehatan, manusia dapat memenuhi pekerjaan atau aktivitas sehari-hari dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Apotek merupakan bidang usaha yang sangat menjanjikan untuk digarap sebagai lahan bisnis saat ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan menjamurnya usaha apotek diberbagai

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 25 Maret 2012 di Apotek RSUD Toto

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 25 Maret 2012 di Apotek RSUD Toto BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 25 Maret 2012 di Apotek RSUD Toto Kabupaten Bone Bolango. Dalam rangka memperoleh data yang diperlukan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaaan Tonggak sejarah. asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaaan Tonggak sejarah. asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan Profesi Kefarmasian Secara historis perubahan mendasar dalam profesi kefarmasian dapat dibagi dalam beberapa periode. 1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini masyarakat mulai menyadari pentingnya menjaga kesehatan, dimana kesehatan merupakan salah satu faktor penting yang dapat mendukung dan mempengaruhi pekerjaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pembangunan kesehatan di Indonesia, bertanggung jawab untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pembangunan kesehatan di Indonesia, bertanggung jawab untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Puskesmas merupakan unit pelaksana tingkat pertama dan ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia, bertanggung jawab untuk menyelenggarakan upaya kesehatan di tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dalam melakukan kegiatan perlu memperhatikan masalah kesehatan. Kesehatan merupakan keadaan dimana tubuh dan mampu melakukan kegiatan yang produktif, oleh

Lebih terperinci

Lampiran 1. Daftar Tilik Mutu Pelayanan Kefarmasian DAFTAR TILIK

Lampiran 1. Daftar Tilik Mutu Pelayanan Kefarmasian DAFTAR TILIK Lampiran 1. Daftar Tilik Mutu Pelayanan Kefarmasian DAFTAR TILIK Jumlah tenaga teknis kefarmasian dan kualifikasi : Jumlah Apoteker : Orang Jumlah tenaga teknis kefarmasian (TTK) : Orang Jumlah tenaga

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebuah gambar yang bermakna tentang dunia (Kotler, 2008).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebuah gambar yang bermakna tentang dunia (Kotler, 2008). BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Persepsi Persepsi diartikan sebagai proses individu dalam memilih, mengorganisasi, dan menafsirkan informasi yang ada untuk menciptakan sebuah gambar yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pelayanan Kefarmasian oleh Apoteker PP 51 Tahun 2009 menyatakan bahwa tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian. Tenaga kefarmasian terdiri atas apoteker

Lebih terperinci

Nomor : 1332/MENKES/SK/X/2002 TENTANG NOMOR. 922/MENKES/PER/X/1993

Nomor : 1332/MENKES/SK/X/2002 TENTANG NOMOR. 922/MENKES/PER/X/1993 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 1332/MENKES/SK/X/2002 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KESEHATAN RI NOMOR. 922/MENKES/PER/X/1993 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PEMBERIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan ilmu penetahuan dan teknologi dewasa ini sangat mempengaruhi kualitas hidup bagi setiap manusia. Kualitas hidup seorang terlihat dari bagaimana upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap masyarakat berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan terbaik bagi dirinya. Pengertian kesehatan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam kehidupan sekarang ini, dunia kesehatan semakin berkembang pesat dengan ditemukannya berbagai macam penyakit yang ada di masyarakat dan segala upaya untuk mengatasinya.

Lebih terperinci

STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK 615.4 Ind p STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Agnesyanti Dwi Pujiawardani (2013) yang berjudul Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Apoteker dalam Pelaporan Efek

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 922/MENKES/PER/X/1993 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PEMBERIAN IZIN APOTIK MENTERI KESEHATAN

PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 922/MENKES/PER/X/1993 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PEMBERIAN IZIN APOTIK MENTERI KESEHATAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 922/MENKES/PER/X/1993 TENTANG KETENTUAN DAN TATA CARA PEMBERIAN IZIN APOTIK MENTERI KESEHATAN Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pelayanan apotik harus diusahakan agar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap manusia memiliki hak asasi yang diatur dalam perundang-undangan, salah satunya yaitu hak mengenai kesehatan, sesuai dengan UU No. 36 tahun 2009 bahwa kesehatan

Lebih terperinci

a. bahwa apotek dan pedagang eceran obat merupakan pelayanan kesehatan yang dapat dilaksanakan oleh swasta;

a. bahwa apotek dan pedagang eceran obat merupakan pelayanan kesehatan yang dapat dilaksanakan oleh swasta; BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2006 NOMOR 10 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 19 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN APOTEK DAN PEDAGANG ECERAN OBAT (TOKO OBAT) WALIKOTA BOGOR, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini masyarakat pada umumnya semakin sadar akan pentingnya kesehatan dalam kehidupan. Kesehatan merupakan salah satu kunci utama bagi seseorang dalam melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap manusia karena tanpa kesehatan yang baik, maka setiap manusia akan sulit dalam melaksanakan aktivitasnya sehari-hari.

Lebih terperinci

STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK 6 1 5.4 I n d p STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN DEPARTEMEN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari pelayanan obat (drug oriented) menjadi pelayanan pasien (patient

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu hak asasi manusia dan kebutuhan hidup yang diwujudkan dan dilaksanakan dalam mencapai kesejahteraan kehidupan dalam masyarakat. Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan untuk meningkatkan kualitas dan produktifitas kehidupan manusia. Pembangunan

Lebih terperinci

EVALUASI PELAYANAN APOTEK BERDASARKAN INDIKATOR PELAYANAN PRIMA DI KOTA MAGELANG PERIODE 2016

EVALUASI PELAYANAN APOTEK BERDASARKAN INDIKATOR PELAYANAN PRIMA DI KOTA MAGELANG PERIODE 2016 EVALUASI PELAYANAN APOTEK BERDASARKAN INDIKATOR PELAYANAN PRIMA DI KOTA MAGELANG PERIODE 2016 Fitriana Yuliastuti 1, Heni Lutfiyati 2 Intisari Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan standar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak paling mendasar yang harus dipenuhi setiap orang dalam mencapai kesejahteraan sosial dalam masyarakat. Menurut World Health Organization (WHO),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia seperti dimaksud dalam Pancasila

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN. Tahun 2007 No. 15 PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 15 TAHUN 2007

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN. Tahun 2007 No. 15 PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 15 TAHUN 2007 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN Tahun 2007 No. 15 PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SELATAN NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG IZIN APOTEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009, yang dimaksud dengan kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual, maupun sosial yang memungkinkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau perorangan terhadap asuhan kesehatan yang sesuai dengan standar profesi yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau perorangan terhadap asuhan kesehatan yang sesuai dengan standar profesi yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mutu Pelayanan Kesehatan Mutu pelayanan kesehatan adalah derajat dipenuhinya kebutuhan masyarakat atau perorangan terhadap asuhan kesehatan yang sesuai dengan standar profesi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era globalisasi seperti sekarang ini, pola pikir masyarakat semakin berkembang sesuai dengan perkembangan dunia saat ini. Demikian juga dalam hal kesehatan, masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan dalam membantu mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Pelayanan kesehatan adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu unsur yang sangat penting bagi setiap manusia, karena dengan tubuh yang sehat setiap manusia dapat hidup produktif baik secara sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kesehatan adalah salah satu tujuan dari pembangunan suatu bangsa. Kesehatan sendiri adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Izin Apotek Pasal 1 ayat (a): Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Izin Apotek Pasal 1 ayat (a): Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Apotek Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1332/Menkes/SK/X/2002 Tentang Perubahan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/Menkes/Per/X/1993

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kehidupan manusia dalam melakukan segala aktivitas dengan baik dan maksimal yang harus diperhatikan salah satu hal yaitu kesehatan. Kesehatan merupakan Hak Asasi Manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sarana pelayanan kefarmasian oleh apoteker (Menkes, RI., 2014). tenaga teknis kefarmasian (Presiden, RI., 2009).

BAB I PENDAHULUAN. sarana pelayanan kefarmasian oleh apoteker (Menkes, RI., 2014). tenaga teknis kefarmasian (Presiden, RI., 2009). BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 35 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, yang dimaksud dengan apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesejahteraan manusia tidak pernah terlepas dari kesehatan. Kesehatan merupakan keadaan yang sehat secara fisik, mental, spiritual dan sosial yang memungkinkan setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam mewujudkan pembangunan kesehatan di Indonesia pada dasarnya berhubungan dengan semua segi kehidupan, baik fisik, mental maupun sosial ekonomi. Keberhasilan pembangunan

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Farmasi

SKRIPSI. Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Farmasi PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK BERDASARKAN KEPMENKES RI NOMOR 1027/MENKES/SK/IX/2004 DI KABUPATEN SLEMAN PERIODE OKTOBER-DESEMBER 2006 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk optimalisasi peran yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk optimalisasi peran yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk optimalisasi peran yang dilakukan oleh apoteker terhadap pasien dalam melakukan terapi pengobatan sehingga

Lebih terperinci