PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI"

Transkripsi

1 KAJIAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN BERDASARKAN KEPMENKES RI NOMOR 1027/MENKES/SK/IX/2004 DI APOTEK-APOTEK KABUPATEN GUNUNGKIDUL SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.) Program Studi Ilmu Farmasi Oleh: Yustinus Bambang Trijatmiko Isdaryatmo NIM : FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2008

2 KAJIAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN BERDASARKAN KEPMENKES RI NOMOR 1027/MENKES/SK/IX/2004 DI APOTEK-APOTEK KABUPATEN GUNUNGKIDUL SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.) Program Studi Ilmu Farmasi Oleh: Yustinus Bambang Trijatmiko Isdaryatmo NIM : FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2008 i

3 PERSETUJUAN PEMBIMBING KAJIAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN BERDASARKAN KEPMENKES RI NOMOR 1027/MENKES/SK/IX/2004 DI APOTEK-APOTEK KABUPATEN GUNUNGKIDUL Diajukan oleh : Yustinus Bambang Trijatmiko Isdaryatmo NIM : Telah disetujui oleh : Pembimbing I Pembimbing II Drs. Sulasmono, Apt. Yustina Sri Hartini, M.Si., Apt. Tanggal : 21 Januari 2008 Tanggal : 21 Januari 2008 ii

4

5 HALAMAN PERSEMBAHAN Ketika kita benar-benar yakin bahwa kita mampu mencapai suatu target, Tuhan akan mengalirkan kekuatannya ke dalam darah kita. Sehingga kita akan berpikir, berbicara, dan bertindak layaknya kita sudah mencapainya. (Imam Munadhi) Ada kalanya cahaya dalam hidup kita padam namun dinyalakan kembali oleh seseorang. Setiap dari kita berutang terima kasih yang terdalam bagi mereka yang menyalakan kembali cayaha kita. Trima kasih kupersembahkan tuk Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan inspirasi kepadaku Kedua orang tuaku dan saudara-saudaraku yang tanpa lelah memberikan dukungan dan semangat kepadaku Sahabat-sahabat yang selalu menyalakan cahaya dalam hidupku I love you all Almamaterku tercinta iv

6

7 PRAKATA Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Kajian Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Apotek-apotek Kabupaten Gunungkidul. Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) di Fakultas Farmasi Sanata Dharma. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. 2. Bapak Drs. Sulasmono, Apt. selaku pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing, memotivasi, memberikan kritik dan saran hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 3. Ibu Yustina Sri Hartini, M.Si., Apt selaku pembimbing II yang juga telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing, memotivasi, memberikan kritik dan saran hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 4. Bapak Ipang Djunarko, S.Si., Apt. selaku pencetus ide awal penelitian ini dan selaku dosen penguji. Terima kasih atas kritik dan saran yang telah diberikan. v

8 5. Bapak Yosef Wijoyo, M.Si., Apt. selaku dosen penguji. Terima kasih atas kritik dan saran yang telah diberikan. 6. Pemerintah Kabupaten Gunungkidul yang telah memberikan izin sehingga penelitian ini dapat terlaksana. 7. Bapak dan Ibu Apoteker Kabupaten Gunungkidul yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini. 8. Keluarga, terutama kedua orang tua, Bapak J.A.Supangkat dan Ibu Susana Letsoin atas segala dukungan dan pengorbanan yang telah diberikan. Kakak dan Adik atas dukungan dan bantuan yang telah diberikan selama ini. 9. Teman-teman seperjuangan : Momon, Adi, Totok, dan Bangun atas kerjasama, bantuan dan dukungan yang telah diberikan selama ini. 10. Teman-teman Fakultas Farmasi Sanata Dharma angkatan 2003 kelas A atas kebersamaan dan keceriaan selama empat tahun ini. 11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Dalam kesempatan ini, penulis juga memohon maaf kepada semua pihak atas kekurangan dan kesalahan yang mungkin dilakukan penulis. Oleh karena itu dengan rendah hati penulis mengharapkan masukan, saran dan kritik yang membangun. Yogyakarta, 21 Januari 2008 Penyusun vi

9

10 INTISARI Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care). Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku untuk dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Apoteker juga harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan. Oleh sebab itu apoteker dalam menjalankan praktek harus sesuai standar yang ada untuk menghindari terjadinya hal tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Apotek-apotek Kabupaten Gunungkidul. Penelitian ini termasuk jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif. Responden dalam penelitian ini adalah Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pendamping yang bersedia mengisi kuesioner yang merupakan instrumen penelitian ini. Analisis yang dilakukan adalah statistik deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 belum dilaksanakan secara menyeluruh oleh Apoteker di apotek-apotek Kabupaten Gunungkidul. Kata kunci : Standar Pelayanan Kefarmasian, Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, Apotek. viii

11 ABSTRACT Pharmaceutical care orientation has changed from drug oriented to patient oriented which refers to pharmaceutical care. The Pharmaceutical care activities has, which previously only focused on the drugs management as a commodity, become more focused in to a comprehensive care that aimed at increasing the quality of patient s life. The consequences of the orientation change, pharmacist are demanded to improving their knowledge, skill and attitude in the course of direct interaction with patient. Pharmacist also have to understand and realize the possibility of medication error in Therefore the pharmacist, in their practices, has to conform with the specified standard in order to prevent injurious event. This research aimed at knowing the description of the implementation of Pharmaceutical Care Standards based on the Kepmenkes RI Number 1027/MENKES/SK/IX/2004 in Dispensaries in Gunungkidul his respondent s were Administrator Pharmacist or Co-Pharmacist who willing to fills the questionnaire, which was instruments of the research. The analysis performed was descriptive statistic. Result of the study suggesting that the Pharmaceutical Care Standards based on the Kepmenkes RI No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 in Dispensaries Gunungkidul was not well performed yet by pharmacists in dispensaries in Gunungkidul. Key words : Pharmaceutical Care Standard, Kepmenkes RI Number 1027/MENKES/SK/IX/2004, Dispensary. ix

12 DAFTAR ISI Hal. HALAMAN JUDUL. HALAMAN PERSETUJUAN.. HALAMAN PENGESAHAN... HALAMAN PERSEMBAHAN PRAKATA PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... INTISARI.. ABSTRACT.. DAFTAR ISI. DAFTAR TABEL. DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN. i ii iii iv v vii viii ix x xiv xvi xx BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Rumusan masalah Keaslian penelitian Manfaat penelitian.. 7 B. Tujuan Penelitian. 8 BAB II PENELAAHAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Apotek. 9 B. Tinjauan Umum Tentang Apoteker.. 10 x

13 1. Peraturan perundang-undangan Apoteker sebagai suatu profesi Peran apoteker 14 C. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Asuhan kefarmasian Akuntabilitas praktek farmasi Manajemen praktis farmasi Komunikasi farmasi Pendidikan dan pelatihan farmasi Penelitian dan pengembangan kefarmasian Peraturan perundang-undangan 19 D. Sumpah Apoteker 23 E. Kode Etik Apoteker. 24 F. Etika Bisnis. 25 G. Keterangan Empiris. 27 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian 28 B. Batasan Operasional Penelitian 28 C. Instrumen Penilitian.. 29 D. Populasi dan Sampel Populasi Sampel 30 xi

14 E. Tata Cara Penelitian Pembuatan kuesioner Pengujian kuesioner Penyebaran kuesioner Pengumpulan kuesioner Wawancara 34 F. Tata Cara Analisis Data 34 G. Kesulitan Penelitian. 35 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Usia responden Lama kerja di apotek Posisi responden di apotek Pekerjaan Lain selain sebagai Apoteker Waktu kerja di apotek dalam seminggu Waktu kerja di apotek dalam satu hari B. Pengelolaan Sumber Daya Sumber daya manusia Sarana dan prasarana Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya Administrasi C. Pelayanan Skrining resep xii

15 2. Penyiapan obat Promosi, edukasi dan tindak lanjut terapi D. Evaluasi Mutu Pelayanan Tingkat kepuasan konsumen Dimensi waktu Prosedur tetap E. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Berdasarkan Karakteristik Responden Usia responden Lama bekerja di apotek Posisi responden di apotek Pekerjaan lain selain sebagai apoteker Waktu kerja di apotek dalam seminggu Waktu kerja di apotek dalam satu hari F. Rangkuman Pembahasan 109 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran 111 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BIOGRAFI PENULIS xiii

16 DAFTAR TABEL Tabel I Lama Kerja Responden di Apotek Hal. Tabel II Pekerjaan Responden Selain Sebagai Apoteker di Apotek.. 39 Tabel III Waktu Kerja Responden di Apotek dalam Satu Hari Tabel IV Ketersediaan Papan Petunjuk Apotek Tabel V Ketersediaan Ruang Tunggu Bagi Pasien. 47 Tabel VI Ketersediaan Informasi Bagi Pasien. 48 Tabel VII Ketersediaan Tempat Khusus untuk Mendisplay Informasi Tabel VIII Ketersediaan Ruang Racikan di Apotek Tabel IX Ketersediaan Keranjang Sampah untuk Staf dan Pasien 51 Tabel X Latar Belakang Perencanaan Pengadaan Sediaan Farmasi di Apotek 54 Tabel XI Sumber Perolehan Obat di Apotek.. 55 Tabel XII Ketersediaan Tempat Penyimpanan Khusus Tabel XIII Pencatatan dan Pengarsipan Transaksi Pembelian Tabel XIV Pencatatan Transaksi Penjualan Dalam Buku Penjualan Tabel XV Pencatatan Penjualan Narkotika dan Psikotropika Tabel XVI Pengisian Medication Record Secara Konstan. 65 Tabel XVII Skrining Resep Persyaratan Administratif xiv

17 Tabel XVIII Skrining Resep Kesesuaian Farmasetik Tabel XIX Skrining Pertimbangan Klinis. 69 Tabel XX Konsultasi Dokter Apabila Ada Ketidakjelasan Pada Resep Tabel XXI Adanya Keluhan Tentang Etiket Oleh Pasien Tabel XXII Pengecekan Resep Sebelum Diserahkan ke Pasien.. 73 Tabel XXIII Informasi Obat yang Diberikan Apoteker 75 Tabel XXIV Pemberian Konseling Secara Berkelanjutan. 78 Tabel XXV Apoteker yang Melakukan Tindak Lanjut Terapi 81 Tabel XXVI Apoteker yang Pernah Melakukan Survey Tabel XXVII Penetapan Prosedur Tertulis dan Tetap xv

18 DAFTAR GAMBAR Hal. Gambar 1. Usia Responden Gambar 2. Posisi Responden di Apotek Gambar 3. Waktu Kerja Responden di Apotek Dalam Seminggu Gambar 4. Pengambilan Keputusan di Apotek Selalu Berdasarkan Persetujuan APA 43 Gambar 5. Diagram Sumber Daya Manusia Gambar 6. Pemisahan Produk Kefarmasian dengan Produk Lainnya Gambar 7. Ketersediaan Ruang Tertutup untuk Konseling Gambar 8. Diagram Kelengkapan Sarana dan Prasarana di Apotek Gambar 9. Pemindahkan Isi Obat ke Wadah Lain Gambar 10. Diagram Pelaksanaan Pengelolaan Sedian Farmasi dan Perbekalan Kesehatan Lainnya.. 59 Gambar 11. Penyertakan Faktur/Nota Penjualan Gambar 12. Penyimpan Resep Secara Urut Gambar 13. Diagram Pelaksanaan Kegiatan Administrasi Gambar 14. Diagram Pelaksanaan Skrining Resep.. 71 Gambar 15. Keterlibatan Apoteker Dalam Penyerapan Obat ke Pesien xvi

19 Gambar 16. Ketersediaan Jam Koseling Setiap Hari di Apotek Gambar 17. Diagram Pelaksanaan Penyiapan Obat.. 79 Gambar 18. Apoteker yang Pernah Melakukan Desiminasi Informasi Kesehatan 80 Gambar 19. Diagram Pelaksanaan Promosi, Edukasi dan Tindak Lanjut Terapi. 82 Gambar 20. Apoteker yang Menetapkan Lama Pelayanan 85 Gambar 21. Diagram Pelaksanaan Evaluasi Mutu Pelayanan Gambar 22. Diagram Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek-Apotek Kabupaten Gunungkidul Gambar 23. Diagram Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek-Apotek Kabupaten Gunungkidul Berdasarkan Usia Responden secara umum Gambar 24. Diagram Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek-Apotek Kabupaten Gunungkidul Berdasarkan Usia Responden secara spesifik Gambar 25. Diagram Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek-Apotek Kabupaten Gunungkidul Berdasarkan Lama Kerja di Apotek Secara Umum 94 Gambar 26. Diagram Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek-Apotek Kabupaten Gunungkidul Berdasarkan Lama Kerja di Apotek Secara Spesifik 95 xvii

20 Gambar 27. Diagram Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek-Apotek Kabupaten Gunungkidul Berdasarkan Posisi Responden di Apotek Secara Umum Gambar 28. Diagram Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek-Apotek Kabupaten Gunungkidul Berdasarkan Posisi Responden di Apotek Secara Spesifik Gambar 29 Diagram Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek-Apotek Kabupaten Gunungkidul Berdasarkan Adanya Pekerjaan Lain Selain Sebagai Apoteker Secara Umum Gambar 30 Diagram Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek-Apotek Kabupaten Gunungkidul Berdasarkan Adanya Pekerjaan Lain Selain Sebagai Apoteker Secara Spesifik Gambar 31. Diagram Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek-Apotek Kabupaten Gunungkidul Berdasarkan Waktu Kerja Responden Dalam Satu Minggu Secara Umum xviii

21 Gambar 32. Diagram Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek-Apotek Kabupaten Gunungkidul Berdasarkan Waktu Kerja Responden Dalam Satu Minggu Secara Spesifik Gambar 33. Diagram Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek-Apotek Kabupaten Gunungkidul Berdasarkan Waktu Kerja Responden Dalam Satu Hari Secara Umum Gambar 34. Diagram Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek-Apotek Kabupaten Gunungkidul Berdasarkan Waktu Kerja Responden Dalam Satu Hari Secara Spesifik Gambar 35. Jalur Distribusi Obat Gambar 36. Alur Pelayanan Resep xix

22 DAFTAR LAMPIRAN Hal. Lampiran 1. Surat Pengantar Kuisioner Penelitian. 118 Lampiran 2. Kuesioner Penelitian Lampiran 3. Surat Izin Penelitian Lampiran 4. Tabulasi Data Lampiran 5. Sumpah/Janji Apoteker. 131 Lampiran 6. Kode Etik Apoteker Indonesia Lampiran 7. Jalur Distribusi Obat Lampiran 8. Hasil Wawancara Lampiran 9. Contoh Angket/Kuesioner Mengenai Tingkat Kepuasan Konsumen. 140 Lampiran 10. Contoh Alur Pelayanan Resep Lampiran 11. Contoh Prosedur tetap Lampiran 12. Contoh Job description. 147 xx

23 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Pelayanan kefarmasiaan pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care). Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku untuk dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah pemberian informasi, monitoring penggunaan obat dan mengetahui tujuan akhirnya sesuai harapan dan terdokumentasi dengan baik. Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan. Oleh sebab itu, apoteker dalam menjalankan praktik harus sesuai standar yang ada untuk menghindari terjadinya hal tersebut. Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan tenaga medis dalam menetapkan terapi untuk mendukung penggunaan obat yang rasional (Anonim, 2004a). Pergeseran orientasi pelayanan kefarmasian berdampak terhadap tugas seorang apoteker tidak hanya meracik obat tetapi juga diharapkan mampu memberikan informasi yang berkaitan dengan obat yang tanpa disadari profesi 1

24 2 apoteker harus mempunyai suatu kemampuan baru seperti communicator, educator, serta advisor (Harding,1993). Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia sebagai satu-satunya organisasi profesi apoteker di Indonesia bersama dengan Dinas Kesehatan RI mencoba untuk menanggapi perubahan peran apoteker dengan cara merumuskan suatu standar pelayanan kefarmasian di apotek seperti termuat dalam KepMenKes RI nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. Standar tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman praktik apoteker dalam menjalankan profesi, untuk melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional, dan melindungi profesi dalam menjalankan praktik kefarmasian. Peningkatan kualitas pelayanan farmasi yang berasaskan pharmaceutical care di apotek dibutuhkan apoteker yang profesional. Ditetapkannya standar pelayanan kefarmasian di apotek ini diharapkan tujuan pelayanan kefarmasian dapat dicapai secara maksimal (Anonim, 2004a). Dinas Kesehatan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mencoba mewujudkan masyarakat sehat demi tercapainya Indonesia sehat 2010 dengan menetapkan beberapa program salah satunya yaitu peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Apotek sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan perlu meningkatkan mutu pelayanannya dengan melaksanakan Sandar Pelayanan Kefarmasian di Apotek di seluruh wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sesuai dengan KepMenKes RI nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. Gunungkidul sebagai bagian dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai peran yang sama dalam mewujudkan masyarakat sehat, sehingga apotek-apotek di Kabupaten

25 3 Gunungkidul perlu dilakukan standarisasi. Hal inilah yang menjadi daya tarik bagi peneliti untuk melihat seberapa jauh pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian berdasarkan KepMenKes RI nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di apotek-apotek Kabupaten Gunungkidul. Selanjutnya diharapkan hasil penilitian ini dapat membantu Kabupaten Gunungkidul khususnya dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta umumnya dalam mewujutkan masyarakat sehat. 1. Perumusan masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : a. Parameter manakah dari Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 telah dilaksanakan dengan baik, cukup, dan kurang dengan persentase masing-masing? b. Apakah Standar Pelayanan Kefarmasian berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 telah dilaksanakan secara menyeluruh oleh apoteker di apotek-apotek Kabupaten Gunungkidul? c. Apakah karakteristik responden memberikan perbedaan dalam pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di apotek-apotek Kabupaten Gunungkidul?

26 4 2. Keaslian penelitian Sejauh yang peneliti ketahui pernah dilakukan penelitian sejenis mengenai Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, yaitu : a. Pemahaman Apoteker Tentang Pelayanan Apoteker dalam Praktek Kefarmasian Sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan Apotek di Apotek-Apotek Kota Yogyakarta (Tobondo, 2000). Penelitian dari Tobondo ini menekankan pada pemahaman apoteker tentang pelayanan apoteker dalam praktek kefarmasian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelayanan apoteker di apotek. Perbedaannya dengan penelitian ini adalah pada penelitian Tobondo tidak mengkhususkan diri atau berpedoman pada suatu undangundang tertentu, sedangkan pada penelitian ini berpedoman pada Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. b. Pendapat Dokter Umum di Rumah Sakit Umum Daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta Terhadap Peran Apoteker (Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 Tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit) (Regziana, 2007). Penelitian dari Regziana ini menekankan pada penerimaan dokter umum terhadap peran apoteker berdasarkan Kepmenkes Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 dan harapan dokter umum terhadap peran apoteker di masa mendatang. Perbedaannya dengan penelitian ini adalah pada penelitian Regziana subyek penelitian merupakan dokter umum,

27 5 sedangkan pada penelitian ini subyek penelitian adalah apoteker di apotek. Penelitian Regziana meneliti mengenai peran apoteker di Rumah Sakit berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, sedangkan penelitian ini meneliti mengenai pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. c. Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kota Yogyakarta (Sukmajanti, 2007). Perbedaan penelitian Sukmajati dengan penelitian ini adalah: Wilayah penelitian Sukmajati (2007) berada pada Kota Yogyakarta dengan periode September-November 2006, sedangkan wilayah penelitian ini berada pada Kabupaten Gunungkidul dengan periode Februari-Mei Penelitian Sukmajati (2007) tidak mencantumkan alasan Apoteker belum/baru sebagian kecil dalam melaksanakan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, sedangkan pada penelitian ini dilengkapi dengan alasan Apoteker belum/baru sebagian kecil dalam melaksanakan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dengan menitikberatkan pada persentase pelaksanaan di bawah 50% serta tiga aspek penting yaitu ruangan tertutup untuk konseling, medication record, dan tindak lanjut terapi.

28 6 Penelitian Sukmajati (2007) belum melihat hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan karakteristik responden, sedangkan penelitian ini telah menampilkan hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan karakteristik responden. d. Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kabupaten Sleman (Soedarsono, 2007). Perbedaan penelitian Soedarsono dengan penelitian ini adalah: Wilayah penelitian Soedarsono (2007) berada pada Kabupaten Sleman dengan periode Oktober-Desember 2006, sedangkan wilayah penelitian ini berada pada Kabupaten Gunungkidul dengan periode Februari-Mei Penelitian Soedarsono (2007) telah mencantumkan alasan Apoteker belum/baru sebagian kecil dalam melaksanakan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, tetapi hanya menitikberatkan tiga aspek penting yaitu ruangan tertutup untuk konseling, medication record, dan tindak lanjut terapi, sedangkan penelitian ini selain menitikberatkan tiga aspek penting yaitu ruangan tertutup untuk konseling, medication record, dan tindak lanjut terapi, juga mencantumkan alasan Apoteker belum/baru sebagian kecil dalam melaksanakan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek yang persentasenya di bawah 50%.

29 7 Penelitian Soedarsono (2007) belum melihat hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan karakteristik responden, sedangkan penelitian ini telah menampilkan hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan karakteristik responden. 3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis Memberi gambaran mengenai Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian berdasarkan KepMenKes RI nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di apotek-apotek Kabupaten Gunungkidul. b. Manfaat praktis Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai : 1) Bahan evaluasi bagi Apoteker Pengelola Apotek (APA) dalam pengelolaan apotek 2) Bahan acuan bagi mahasiswa farmasi atau para calon apoteker yang tertarik dalam pelayanan perapotekkan 3) Bahan evaluasi bagi pihak-pihak yang terkait berkenaan dengan pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di Apotek.

30 8 B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan : 1. Untuk mengetahui parameter manakah dari Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 telah dilaksanakan dengan baik, cukup, dan kurang dengan persentase masing-masing. 2. Untuk mengetahui apakah Standar Pelayanan Kefarmasian berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 telah dilaksanakan secara menyeluruh oleh apoteker di apotek-apotek Kabupaten Gunungkidul. 3. Untuk mengetahui apakah karakteristik responden memberikan perbedaan dalam pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di apotek-apotek Kabupaten Gunungkidul.

31 BAB II PENELAAHAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Apotek Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1965 pasal 1 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan apotek ialah suatu tempat dimana dilakukan usaha-usaha dalam bidang farmasi dan pekerjaan kefarmasian. Pasal 2 menyebutkan bahwa tugas dan fungsi apotek, ialah : a. pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat. b. penyaluran perbekalan kesehatan di bidang farmasi yang meliputi : obat, obat asli Indonesia, kosmetika, alat-alat kesehatan dan sebagainya. (Anonim, 1965) Pada perkembangannya fungsi apotek yang diatur pada Peraturan Pemerintah tersebut mengalami perubahan. Hal ini terlihat dengan adanya Peraturan Pemerintah RI Nomor 25 tahun 1980 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 1980 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran obat kepada masyarakat. Pasal 2 mengatur tugas dan fungsi apotek yaitu : a. tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan. b. sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat. c. sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata. (Anonim, 1980) 9

32 10 Pasal 3 Permenkes tersebut menyebutkan bahwa apotek tidak lagi sebagai badan usaha yang hanya dapat diusahakan oleh lembaga Pemerintahan atau perusahaan milik negara saja, namun ijin apotek diberikan pada apoteker yang telah mengucapkan sumpah dan telah memperoleh ijin kerja dari Menteri Kesehatan. Menurut Permenkes Nomor 922 tahun 1993 pasal 10 menyebutkan, yang dimaksud dengan pengelolaan apotek adalah meliputi : a. pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan obat. b. pengadaan, penyimpanan, penyaluran, dan penyerahan perbekalan farmasi lainnya. c. layanan informasi mengenai perbekalan farmasi. Lebih lanjut, yang dimaksud dengan pelayanan informasi pada butir c pasal 10 di atas adalah meliputi : a. pelayanan informasi tentang obat dan perbekalan farmasi lainnya yang diberikan baik kepada dokter dan tenaga kesehatan lainnya maupun kepada masyarakat b. pengamatan dan pelaporan informasi mengenai khasiat, keamanan, bahaya dan atau mutu obat, dan perbekalan farmasi lainnya. (Anonim, 1993b) Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat (Anonim, 2004a). B. Tinjauan UmumTentang Apoteker 1. Menurut peraturan perundang-undangan Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah

33 11 mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker (Anonim, 2004a). Apoteker berkewajiban menyediakan, menyimpan dan menyerahkan sediaan farmasi yang bermutu baik dan yang keabsahannya terjamin. Apoteker pengelola apotek adalah apoteker yang telah diberi surat izin apotek. Apabila apoteker pengelola apotek berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka apotek, apoteker pengelola apotek harus menunjuk apoteker pendamping. Apabila apoteker pengelola apotek dan apoteker pendamping karena hal-hal tertentu berhalangan melakukan tugasnya, apoteker pengelola apotek menunjuk apoteker pengganti. Apoteker pengganti adalah apoteker yang menggantikan apoteker pengelola apotek selama apoteker pengelola apotek tersebut tidak berada di tempat lebih dari tiga bulan secara terus-menerus dan telah memiliki surat izin kerja serta tidak bertindak sebagai apoteker pengelola apotek di apotek lain (Anonim, 2002). Pasal 53 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan menyebutkan bahwa tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk memenuhi standar profesi dan menghormati hak pasien (Anonim, 1992). Hal ini juga ditegaskan pada Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 pasal 22 ayat 1 (c) yang menyebutkan bahwa bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk : a. menghormati hak pasien b. menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien

34 12 c. memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan d. meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan e. membuat dan memelihara rekam medis. (Anonim, 1996) Penjelasan pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 menyebutkan yang dimaksud dengan standar profesi tenaga kesehatan adalah pedoman yang harus dipergunakan oleh tenaga kesehatan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesinya secara baik. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen menyatakan bahwa hak konsumen dalm hal ini dapt diartikan sebagai hak pasien adalah hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa (Anonim, 1999). Berdasarkan hal tersebut maka apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi : cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi (Anonim, 2004a). Permenkes Nomor 922 tahun 1993 pasal 15 menyebutkan bahwa apoteker wajib memberikan informasi : a. yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien b. penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat Dalam Kode Etik Apoteker Indonesia pasal 7 juga menyatakan bahwa seorang apoteker hendaknya menjadi sumber informasi sesuai dengan

35 13 profesinya, selanjutnya pada lafal sumpah/janji apoteker nomor 4 menyebutkan apoteker akan menjalankan tugasnya dengna sebaik-baiknya sesuai dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian. Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 pasal 35 menyatakan berdasarkan ketentuan Pasal 86 Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan barang siapa dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada pasal 22 ayat (1); dipidana denda paling banyak Rp ,00 (sepuluh juta rupiah). 2. Apoteker sebagai suatu profesi Profesi merupakan suatu pekerjaan yang menuntut suatu pengetahuan dan keterampilan yang sangat khusus yang diperoleh melalui pelajaran yang bersifat teoritis dan praktek dan diuji oleh lembaga perguruan tinggi dan kepada yang bersangkutan diberi kewenangan guna pemberian layanan konsumen atau kliennya (Harding, 1993). Banyak kriteria untuk menentukan suatu pekerjaan adalah suatu profesi, menurut Sulasmono (1997) antara lain : 1. unusual learning, yaitu di didik dan menerima pengetahuan yang khas dan merupakan lulusan dari perguruan tinggi, sehingga tidak diperoleh di tempat lain atau bidang yang berbeda. 2. pelayanannya bersifat motivasi altruistik (tidak mementingkan diri sendiri dan mementingkan kepentingan orang lain). 3. telah mengucapkan sumpah. 4. memiliki kode etik

36 14 5. memiliki standar profesi, yaitu pedoman yang harus digunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi secara baik (Anonim, 1992). 6. memiliki pengakuan hukum (adanya undang-undang maupun ketentuan peraturan perundang-undangan lain). 7. memiliki perijinan (Surat Ijin Praktek atau Surat Ijin Kerja). 8. memiliki wadah profesi yang menunjukkan jati diri profesional 9. bersifat otonomi dan independensi. 10. bertemu dan berinteraksi dengan klien atau penderita. 11. confidential relationship dalam pelayanannya. Menurut ISFI (2004) profesi memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. memiliki tubuh pengetahuan yang berbatas jelas. 2. pendidikan khusus berbasis keahlian pada jenjang pendidikan tinggi. 3. memberi pelayanan kepada masyarakat, praktek dalam bidang keprofesian. 4. memiliki perhimpunan dalam bidang keprofesian yang bersifat otonom. 5. memberlakukan kode etik keprofesian. 6. memiliki motivasi altruistik dalam memberikan pelayanan. 7. proses pembelajaran seumur hidup. 8. mendapat jasa profesi. 3. Peran apoteker Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 bahwa sesuai ketentuan perundangan yang berlaku apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang profesional dan dalam pengelolaan apotek tersebut, apoteker

37 15 harus senantiasa memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner, kemampuan mengelola SDM secara efektif, selalu belajar sepanjang karier, membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan (Anonim, 2004a). Peran Apoteker yang digariskan oleh WHO yang dikenal dengan istilah Seven Star of Pharmacist meliputi : 1. Care Giver. Apoteker sebagai pemberi pelayanan dalam bentuk pelayanan klinis, analitis, teknis, sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam memberikan pelayanan, apoteker harus berinteraksi dengan pasien secara individu maupun kelompok, apoteker harus mengintegrasikan pelayanannya pada sistem pelayanan kesehatan secara berkesinambungan dan pelayanan apoteker yang dihasilkan harus bermutu tinggi. 2. Decision-maker. Apoteker mendasarkan pekerjaannya pada kecukupan, keefikasian dan biaya yang efektif dan efisien terhadap seluruh penggunaan sumber daya misalnya sumber daya manusia, obat, bahan kimia, peralatan, prosedur, pelayanan dan lain-lain. Untuk mencapai tujuan tersebut kemampuan dan keterampilan apoteker perlu diukur untuk kemudian hasilnya dijadikan dasar dalam penentuan pendidikan dan pelatihan yang diperlukan. 3. Communicator. Apoteker mempunyai kedudukan penting dalam berhubungan dengan pasien maupun profesi kesehatan yang lain, oleh

38 16 karena itu harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang cukup baik. Komunikasi tersebut meliputi komunikasi verbal, non verbal, mendengar dan kemampuan menulis, dengan menggunakan bahasa sesuai dengan kebutuhan. 4. Leader. Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan. 5. Manager. Apoteker harus efektif dalam mengelola sumber daya (manusia, fisik, anggaran) dan informasi, juga harus dapat dipimpin dan memimpin orang lain dalam tim kesehatan. Lebih jauh lagi apoteker mendatang harus tanggap terhadap kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi informasi mengenai obat dan hal-hal lain yang berhubungan dengan obat. 6. Life-long learner. Apoteker harus senang belajar sejak dari kuliah dan semangat belajar harus selalu dijaga walaupun sudah bekerja untuk menjamin bahwa keahlian dan keterampilannya selalu baru (up-date) dalam melakukan praktek profesi. Apoteker juga harus mempelajari cara belajar yang efektif. 7. Teacher. Apoteker mempunyai tanggung jawab untuk mendidik dan melatih apoteker generasi mendatang. Partisipasinya tidak hanya dalam berbagai ilmu pengetahuan baru satu sama lain, tetapi juga kesempatan memperoleh pengalaman dan peningkatan keterampilan. (Anonim, 2004b)

39 17 C. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Standar Pelayanan Kefarmasian di apotek disusun dengan tujuan sebagai pedoman praktik apoteker dalam menjalankan profesi, untuk melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional serta melindungi profesi dalam menjalankan praktik kefamasian (Anonim, 2004a) 1. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal asuhan kefarmasian, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah : a. memberikan pelayanan obat kepada pasien atas permintaan dari dokter, dokter gigi atau dokter hewan baik verbal maupun non verbal b. memberikan pelayanan kepada pasien atau masyarakat yang ingin melakukan pengobatan mandiri c. memberikan pelayanan informasi obat d. memberikan konsultasi obat e. melakukan monitoring efek samping obat f. melakukan evaluasi penggunaan obat. (Anonim, 2004b) 2. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal akuntabilitas praktek farmasi, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah : a. menjamin praktek kefarmasian berbasis bukti ilmiah dan etika profesi b. merancang, melaksanakan, memonitor dan evaluasi dan mengembangkan standar kerja sesuai arahan pedoman yang berlaku c. bertanggung jawab terhadap setiap keputusan profesional yang diambil d. melakukan kerjasama dengan pihak lain yang terkait atau bertindak mandiri dalam mencegah kerusakan lingkungan akibat obat e. melakukan perbaikan mutu pelayanan secara terus menerus dan berkelanjutan untuk memenuhi kepuasan stakeholder. (Anonim, 2004b) 3. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal manajemen praktis farmasi, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah : a. merancang, membuat, mengetahui, memahami dan melaksanakan regulasi di bidang farmasi. Penjabaran dari kompetensi tersebut adalah dengan menampilkan semua kegiatan operasional kefarmasian di

40 18 apotek berdasarkan undang-undang dan peraturan yang berlaku dari tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional b. merancang, membuat, melakukan pengelolaan apotek yang efektif dan efisien. Penjabaran kompetensi di atas adalah dengan mendefinisikan falsafah asuhan kefarmasian, visi, misi, isu-isu pengembangan, penetapan strategi, kebijakan, program dan menerjemahkannya ke dalam rencana kerja (Plan of Action) c. merancang, membuat,melakukan pengelolaan obat di apotek yang efektif dan efisien. Penjabaran dari kompetensi di atas adalah dengan melakukan seleksi, perencanaan, penganggaran, pengadaan, produksi, penyimpanan, pengamanan persediaan, perancangan dan melakukan dispensing serta evaluasi penggunaan obat dalam rangka pelayanan kepada pasien yang terintegrasi dalam asuhan kefarmasian dan sistem jaminan mutu pelayanan d. merancang organisasi kerja yang meliputi : arah dan kerangka organisasi, sumber daya manusia, fasilitas, keuangan, termasuk sistem informasi manajemen e. merancang, melaksanakan, memantau dan menyesuaikan struktur harga berdasarkan kemampuan bayar dan kembalian modal serta imbalan jasa praktek kefarmasian f. memonitor dan evaluasi penyelenggaraan seluruh kegiatan operasional mencakup aspek manajemen maupun asuhan kefarmasian yang mengarah kepada kepuasan konsumen. (Anonim, 2004b) 4. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal komunikasi farmasi, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah : a. memantapkan hubungan profesional antara farmasis dengan pasien dan keluarganya dengan sepenuh hati dalam suasana kemitraan untuk menyelesaikan masalah terapi obat pasien. b. memantapkan hubungan profesional antara farmasis dengan tenaga kesehatan lain dalam rangka mencapai keluaran terapi yang optimal khususnya dalam aspek obat c. memantapkan hubungan dengan semua tingkat/lapisan manajemen dengan bahasa manajemen berdasarkan atas semangat kefarmasian d. memantapkan hubungan dengan sesama farmasis berdasarkan saling menghormati dan mengakui kemampuan profesi demi tegaknya martabat profesi. (Anonim, 2004b)

41 19 5. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal pendidikan dan pelatihan farmasi, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah : a. memotivasi, mendidik dan melatih farmasis lain dan mahasiswa farmasi dalam penerapan asuhan kefarmasian b. merencanakan dan melakukan aktifitas pengembangan staf, bagi teknisi di bidang farmasi, pekarya dan juru resep dalam rangka peningkatan efisiensi dan kualitas pelayanan farmasi yang diberikan c. berpartisipasi aktif dalam pendidikan dan pelatihan berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas diri dan kualitas praktek kefarmasian e. mengembangkan dan melaksanakan program pendidikan dalam bidang kesehatan umum, penyakit dan manajemen terapi kepada pasien, profesi kesehatan dan masyarakat. (Anonim, 2004b) 6. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal penelitian dan pengembangan kefarmasian, standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah: a. melakukan penelitian dan pengembangan, mempresentasikan dan mempublikasikan hasil penelitian dan pengembangan kepada masyarakat dan profesi kesehatan lain b. menggunakan hasil penelitian dan pengembangan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan dan peningkatan mutu praktek kefarmasian. (Anonim, 2004b) 7. Menurut peraturan perundang-undangan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 adalah sebagai berikut : a. Pengelolaan sumber daya 1) Sumber daya manusia Sesuai ketentuan perundangan yang berlaku Apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang profesional. Dalam pengelolaan Apotek, Apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner, kemampuan mengelola SDM secara efektif, selalu belajar sepanjang karier, dan membantu

42 20 memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan. 2) Sarana dan prasarana Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh masyarakat. Pada halaman terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata apotek. Apotek harus dapat dengan mudah diakses oleh anggota masyarakat. Pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya, hal ini berguna untuk menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko kesalahan penyerahan. Masyarakat harus diberi akses secara langsung dan mudah oleh apoteker untuk memperoleh informasi dan konseling. Lingkungan apotek harus dijaga kebersihannya. Apotek harus bebas dari hewan pengerat, serangga/pest. Apotek memiliki suplai listrik yang konstan, terutama untuk lemari pendingin. Apotek harus memiliki : 1. Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien. 2. Tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk penempatan brosur/materi informasi. 3. Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi dengan meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien 4. Ruang racikan. 5. Keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien. Perabotan apotek harus tertata rapi, lengkap dengan rak-rak penyimpanan obat dan barang-barang lain yang tersusun dengan rapi, terlindung dari debu, kelembaban dan cahaya yang berlebihan serta diletakkan pada kondisi ruangan dengan temperatur yang telah ditetapkan. 3) Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya. Pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku meliputi : perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pelayanan. Pengeluaran obat memakai sistim FIFO (first in first out) dan FEFO (first expire first out) 3.1 Perencanaan. Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi perlu diperhatikan : a. Pola penyakit. b. Kemampuan masyarakat. c. Budaya masyarakat. 3.2 Pengadaan. Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi harus melalui jalur resmi.

43 Penyimpanan. 1.Obat / bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru, wadah sekurang kurangnya memuat nomor batch dan tanggal kadaluarsa. 2.Semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai, layak dan menjamin kestabilan bahan. 4) Administrasi. Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilaksanakan kegiatan administrasi yang meliputi : 4.1. Administrasi umum. Pencacatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku Administrasi pelayanan. Pengarsipan resep, pengarsipan cacatan pengobatan pasien, pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat. b. Pelayanan 1) Pelayanan resep Skrining resep. Apoteker melakukan skrining resep meliputi : Persyaratan administratif : - Nama,SIP dan alamat dokter. - Tanggal penulisan resep. - Tanda tangan/paraf dokter penulis resep. - Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien. - Nama obat, potensi, dosis, jumlah yang minta. - Cara pemakaian yang jelas. - Informasi lainnya Kesesuaian farmasetik : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian Pertimbangan klinis : adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan Penyiapan obat Peracikan. Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur

44 22 tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar Etiket. Etiket harus jelas dan dapat dibaca Kemasan obat yang diserahkan. Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya Penyerahan obat. Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan Informasi obat. Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi : cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi Konseling. Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan Monitoring penggunaan obat. Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti cardiovascular, diabetes,tbc, asthma, dan penyakit kronis lainnya. 2) Promosi dan edukasi. Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet / brosur, poster, penyuluhan, dan lain-lainnya. 3) Pelayanan residensial (Home Care). Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya

45 23 untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record). c. Evaluasi mutu pelayanan Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan adalah : 1) Tingkat kepuasan konsumen : dilakukan dengan survey berupa angket atau wawancara langsung. 2) Dimensi waktu : lama pelayanan diukur dengan waktu (yang telah ditetapkan). 3) Prosedur tetap : untuk menjamin mutu pelayanan sesuai standar yang telah ditetapkan. Disamping itu prosedur tetap bermanfaat untuk : Memastikan bahwa praktik yang baik dapat tercapai setiap saat; Adanya pembagian tugas dan wewenang; Memberikan pertimbangan dan panduan untuk tenaga.kesehatan lain yang bekerja di apotek; Dapat digunakan sebagai alat untuk melatih staf baru; Membantu proses audit. Prosedur tetap disusun dengan format sebagai berikut: Tujuan : merupakan tujuan protap. Ruang lingkup : berisi pernyataan tentang pelayanan yang dilakukan dengan kompetensi yang diharapkan. Hasil : hal yang dicapai oleh pelayanan yang diberikan dan dinyatakan dalam bentuk yang dapat diukur. Persyaratan : hal-hal yang diperlukan untuk menunjang pelayanan. Proses : berisi langkah-langkah pokok yang perlu diikuti untuk penerapan standar. Sifat protap adalah spesifik mengenai kefarmasian. (Anonim, 2004) D. Sumpah Apoteker Sumpah adalah ikrar yang diucapkan dengan sungguh-sungguh dan akan melaksanakannya sesuai dengan yang telah diucapkan (Salim, 1991). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1962 pasal 1 sebelum seorang apoteker melakukan jabatannya, maka ia harus mengucapkan sumpah menurut cara agama yang dipeluknya, atau mengucapkan janji.

46 24 Tujuan mengucapkan suatu sumpah atau janji adalah untuk menyadarkan bagi yang disumpah bahwa dalam menjalankan tugas dan kewajiban atau pekerjaannya mengharapkan tanggung jawab yang besar terutama tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena apoteker di dalam mengamalkan keahliannya harus senantiasa mengharapkan bimbingan dan keridhaan-nya, sehingga bilamana menyalahgunakan jabatan dari pekerjaannya itu akan membawa bahaya bagi keselamatan masyarakat yang dilayaninya dan harus dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa baik dunia maupun akhirat (Budiharjo, 1981). Lafal sumpah atau janji apoteker dapat dilihat pada lampiran 5. E. Kode Etik Apoteker Kode Etik Apoteker Indonesia adalah suatu aturan moral sebagai ramburambu yang membatasi seorang apoteker dalam menjalankan pekerjaan keprofesiannya dari perbuatan tercela dan merugikan martabat profesi apoteker dan organisasi profesi (Sulasmono, 1997). Berdasarkan Permenkes Nomor 184 tahun 1995 pasal 18 disebutkan bahwa apoteker dilarang melakukan perbuatan yang melanggar Kode Etik Apoteker oleh sebab itu seorang apoteker perlu memahami isi dari Kode Etik Apoteker (Hartini, 2006). Kode Etik Apoteker dapat dilihat pada lampiran 6.

47 25 F. Etika Bisnis Apotek mempunyai dua fungsi, yaitu : 1. sebagai unit sarana kesehatan (non profit/social oriented) Apoteker di apotek wajib memberikan pelayanan kefarmasian sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya yang dilandasi kepentingan masyarakat dalam pelayanan sosial (social oriented). Apoteker dalam menjalankan fungsi apotek ini harus patuh terhadap etika kefarmasian sebagai penjabaran Kode Etik Apoteker dan sebagai apoteker yang telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku serta berhak melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai apoteker. Apoteker juga harus mengutamakan kepuasan konsumen (customer satisfaction) antara lain dengan memperhatikan harga, kelengkapan sediaan farmasi dan alat kesehatan lainnya yang dijual di apotek agar tidak ada resep atau permintaan konsumen yang ditolak karena ketidaklengkapan sediaan farmasi maupun alat kesehatan lainnya. 2. sebagai sarana bisnis (profit/business oriented) Apotek berfungsi sebagai sarana bisnis yang diharapkan dapat memberi keuntungan. Dalam hal ini apoteker harus mampu bertindak sebagai manajer untuk mampu mengembangkan modal dan keuntungan yang diperoleh dengan bekal ilmu manajerial demi kelangsungan hidup apotek itu sendiri. (Anief, 1995) Apotek sebagai sarana bisnis maka dalam menjalankan praktiknya apotek senantiasa berpedoman pada etika bisnis. Menurut J.W. Weiss, etika bisnis adalah

48 26 seni dan disiplin dalam menerapkan prinsip etika dalam mengkaji dan memecahkan berbagai masalah moral yang kompleks. Meski belum ada definisi terbaik dari etika bisnis, namun telah muncul konsensus bahwa etika bisnis adalah studi yang mensyaratkan penalaran dan penilaian, baik berdasarkan atas prinsip maupun kepercayaan dalam proses pengambilan keputusan dalam menyeimbangkan kepentingan ekonomi terhadap tuntutan sosial dan kesejahteraan (Isdaryadi, 2005). Bisnis mempunyai etika, dan lima prinsip yang berlaku dalam kegiatan bisnis adalah : 1. prinsip otonomi. Yaitu sikap dan kemampuan manusia untuk bertindak berdasarkan kesadarannya sendiri, disertai kebebasan untuk mengambil keputusan dan bertindak menurut keputusan itu dan juga harus disertai dengan tanggung jawab, baik kepada diri sendiri/hati nuraninya, kepada pemilik perusahaan, pihak yang dilayaninya dan kepada pemerintah dan mayarakat yang langsung menerima dampak keputusan bisnisnya. 2. prinsip kejujuran. Yaitu pemenuhan syarat dalam perjanjian dan kontrak, mutu produk yang ditawarkan, hubungan kerja dalam perusahaan. 3. prinsip tidak berbuat jahat (non-maleficence) dan berbuat baik (beneficence). Hal ini mengarahkan tindakan bisnis yang baik secara aktif dan maksimal, minimal tidak merugikan orang lain. 4. prinsip keadilan. Prinsip ini mengharuskan pelaku bisnis untuk memberikan sesuatu yang menjadi hak orang lain/mitra.

49 27 5. prinsip hormat kepada diri sendiri. Artinya memperlakukan diri sendiri dan orang lain sebagai pribadi yang memiliki nilai yang sama dengan pribadi lain. (Isdaryadi, 2005) Etika biasanya dirumuskan oleh asosiasi atau organisasi yang bersangkutan dan dilaksanakan secara sukarela oleh para anggotanya. Jika ada anggota yang melanggar etika, sanksi paling berat yang diterima adalah dikeluarkan dari keanggotaan asosiasi tersebut (Wahyuni, 2005). G. Keterangan Empiris Standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan KepMenKes RI nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 mempunyai tiga parameter utama yaitu : pengelolaan sumber daya, pelayanan dan evaluasi mutu pelayanan. Dari hasil penelitian diharapkan dapat diperoleh gambaran mengenai pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan KepMenKes RI nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kabupaten Gunungkidul.

50 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif. Penelitian non eksperimental adalah penelitian yang observasinya dilakukan terhadap sejumlah ciri subyek menurut keadaan apa adanya, tanpa ada manipulasi atau intervensi peneliti (Praktiknya, 2001). Sedangkan rancangan penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap obyek yang diteliti (Kontour, 2003). Penelitian ini terbatas pada usaha mengungkapkan suatu masalah atau keadaan atau peristiwa sebagaimana adanya sehingga bersifat sekedar untuk mengungkapkan fakta. Hasil penelitian ditekankan pada penggambaran secara obyektif tentang keadaan sebenarnya dari obyek yang diselidiki (Nawawi, 1998). B. Batasan Operasional Penelitian 1. Kajian adalah studi yang dilaksanakan untuk memperdalam atau mengetahui dengan lebih jelas suatu hal. 2. Pelaksanaan adalah penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menurut pendapat responden. 28

51 29 3. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah ukuran tertentu yang digunakan sebagai patokan dalam pelaksanaan pelayanan kefarmasian, dalam penelitian ini berdasarkan pada Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/ Pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. 5. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 dikatakan telah dilaksanakan secara menyeluruh apabila persentasenya lebih dari 50%. Bila persentasenya kurang dari 50% maka dikatakan belum dilaksanakan secara menyeluruh. 6. Apotek adalah 9 apotek sampel yang berada di Kabupaten Gunungkidul. 7. Responden adalah Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pendamping yang bersedia mengisi kuisioner. 8. Periode adalah periode penelitian untuk pengambilan data, yaitu dilakukan selama bulan Februari Mei C. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian ini berupa kuesioner yang berisi tentang : 1. karakteristik responden. 2. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004.

52 30 D. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi adalah keseluruhan penelitian yang terdiri dari manusia, bendabenda, hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai tes atau peristiwaperistiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu dalam suatu penelitian (Nawawi, 1998). Populasi dari penelitian ini adalah Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pendamping di semua apotek yang ada di Kabupaten Gunungkidul. Pemilihan Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pendamping sebagai responden dalam penelitian ini adalah dengan tujuan sebagai bahan introspeksi diri atau perenungan bagi Apoteker Pengeloa Apotek atau Apoteker Pendamping pada saat pengisian kuisioner. Menurut data terakhir yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul, diketahui bahwa jumlah apotek di Kabupaten Gunungkidul sebanyak 9 apotek (periode Februari Mei 2007). 2. Sampel Sampel adalah sebagian dari populasi yang menjadi sumber data sebenarnya dalam penelitian. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh populasi yang ada. Jadi dalam penelitian ini, tidak dilakukan teknik sampling. Dengan kata lain, penelitian ini disebut juga dengan penelitian populasi. Apotek yang terdapat di Kabupaten Gunungkidul yaitu : 1. Apotek Anindita, 2. Apotek Asri Agung, 3. Apotek Saras, 4. Apotek Andayani, 5.

53 31 Apotek Sambipitu, 6. Apotek Farmasari, 7. Apotek Arga Nirmala, 8. Apotek Istana, 9. Apotek Moro Sehat. E. Tata Cara Penelitian 1. Pembuatan kuisioner Kuisioner merupakan suatu instrumen pengumpulan data dalam penelitian sosial. Dengan kuisioner tersebut peneliti menggali informasi dari responden (orang yang menjadi subyek penelitian) (Adi, 2004). Penelitian ini menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpul data yang di dalamnya memuat sejumlah pertanyaan yang harus dijawab secara tertulis oleh responden. Kuisioner terbagi menjadi empat bagian yaitu : deskripsi responden, pengelolaan sumber daya, pelayanan dan evaluasi mutu pelayanan. 2. Pengujian kuisioner a. Uji pemahaman bahasa Uji pemahaman bahasa berfungsi untuk mengetahui sejauh mana bahasa penyusun pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam kuisioner dapat dipahami oleh responden, termasuk di dalamnya kesalahan pengetikan, pengejaan kata-kata dan susunan kalimat. Uji pemahaman bahasa dilakukan dengan cara menyebar kuesioner tersebut kepada apotek di luar populasi penelitian.

54 32 b. Uji validitas isi Validitas berarti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melaksanakan fungsi ukurnya. Suatu tes atau instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut (Azwar, 2003). Suatu alat ukur dikatakan valid (benar/sahih) jika alat ukur tersebut jitu untuk mengukur konsep/variabel yang diukur (Adi, 2004). Validitas yang diukur dalam kuisioner ini adalah validitas isi. Validitas isi merupakan tingkat representativitas isi atau substansi pengukuran terhadap konsep (pengertian) variabel sebagaimana dirumuskan (Praktiknya, 1991). Validitas isi kuesioner ini diuji dengan analisis rasional atau lewat Professional Judgement, yaitu bahwa estimasi validitas isi tidak melibatkan perhitungan statistik apapun, melainkan hanya dengan analisis teoritik. Maka tidaklah diharapkan setiap orang akan sama atau sependapat mengenai sejauh mana validitas isi kuesioner akan tercapai. c. Uji reliabilitas Suatu alat ukur dikatakan reliable (dapat dipercaya) jika alat ukur tersebut mantap, tepat dan homogen. Suatu alat ukur dikatakan mantap apabila dalam mengukur sesuatu berulang kali, alat ukur tersebut memberikan hasil yang sama, dengan syarat kondisi pengukuran tidak

55 33 berubah. Suatu pertanyaan (alat ukur) dikatakan tepat apabila pertanyaan tersebut mudah dimengerti dan terperinci. Suatu alat ukur dikatakan homogen apabila pertanyaan-pertanyaan yang dibuat untuk mengukur suatu karakteristik mempunyai kaitan yang erat satu sama lain (Adi, 2004). Reliabilitas kuesioner penelitian ini tidak perlu diuji lagi karena pertanyaan dalam angket/kuisioner berupa pertanyaan yang langsung terarah pada informasi mengenai data yang hendak diungkap. Reliabilitas data yang diperoleh terletak pada terpenuhinya asumsi bahwa responden menjawab dengan jujur seperti apa adanya. Hal ini berkaitan dengan asumsi dasar penggunaan kuesioner yaitu subyek merupakan orang yang mengetahui tentang dirinya, sehingga data hasil tidak perlu diuji lagi reliabilitas secara statistik (Azwar, 1999). 3. Penyebaran kuisioner Kuisioner langsung disebarkan kepada responden dan peneliti akan mendampingi dalam pengisian kuisioner agar dapat menjelaskan kepada responden jika responden mengalami kesulitan dalam mengisi kuisioner tersebut. Jika responden berhalangan mengisi saat itu juga, maka kuisioner tersebut akan ditinggal selama beberapa waktu untuk kemudian diambil kembali setelah diisi oleh responden. Periode penyebaran kuesioner dilakukan pada bulan Februari Mei 2007.

56 34 4. Pengumpulan kuisioner Kuisioner langsung dikumpulkan saat itu juga dan ada yang diambil setelah ditinggal selama beberapa waktu. Jumlah kuisioner yang dikembalikan sama dengan jumlah kuisioner yang disebarkan yaitu sebanyak 9 buah sesuai jumlah populasi yang telah ditentukan sebelumnya. 5. Wawancara Wawancara adalah usaha mengumpulkan informasi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan lisan, untuk dijawab secara lisan pula (Nawawi, 1985). Wawancara dapat dipakai untuk melengkapi data yang diperoleh (Mardalis, 2006). Pada penelitian ini, wawancara yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui alasan Apoteker belum/baru sebagian kecil dalam melaksanakan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dengan menitikberatkan pada persentase pelaksanaan di bawah 50% serta tiga aspek penting yaitu ruangan tertutup untuk konseling, medication record, dan tindak lanjut terapi. Wawancara dilakukan terhadap beberapa responden yang bersedia untuk diwawancarai dan hasil wawancara dapat dilihat pada lampiran 8. F. Tata Cara Analisis Data Teknik analisis yang umumnya digunakan untuk menganalisis data pada penelitian-penelitian deskriptif ialah dengan menggunakan tabel dan grafik (Kontour, 2003). Penelitian ini menggunakan analisis data statistik deskriptif dalam bentuk persentase dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik/diagram.

57 35 Analisis data dimulai dengan mengelompokkan data berdasarkan tiga parameter utama Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 kemudian menghitung jumlah total untuk tiap alternatif jawaban. Dikatakan telah melaksanakan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 secara menyeluruh apabila persentasenya lebih dari 50% dan jika kurang dari 50% maka dikatakan belum melaksanakan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2007 secara menyeluruh.. G. Kesulitan Penelitian Kesulitan dalam penelitian ini, yaitu tidak dilakukannya wawancara secara mendalam kepada responden berkaitan dengan alasan responden terhadap tiap jawaban yang diberikan. Wawancara hanya menitikberatkan pada persentase pelaksanaan di bawah 50% serta tiga aspek penting yaitu ruangan tertutup untuk konseling, medication record, dan tindak lanjut terapi.

58 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengisian kuisioner dari 9 responden kemudian diolah dengan menggunakan metode statistik-deskriptif di mana jawaban yang sama dikelompokkan dan dihitung persentasenya kemudian hasilnya disajikan dalam bentuk tabel atau gambar (diagram). Berikut hasil dari rekapitulasi data. 1. Usia responden A. Karakteristik Responden. Gambaran mengenai usia responden dapat dilihat pada gambar 1 berikut. Usia Responden 22% thn >50 thn 78% Gambar 1. Usia Responden Gambar di atas menunjukkan sebagian besar responden yaitu sebanyak 78% responden berusia antara tahun dan sebanyak 22% responden berusia di atas 50 tahun. Dengan demikian dapat dikatakan mereka memiliki pengetahuan dan pengalaman kerja yang cukup dalam pelayanan kefarmasian khususnya pelayanan kefarmasian di Apotek, sehingga akan membantu dalam pengisian kuisioner. 36

59 37 2. Lama kerja di apotek Data yang diperoleh menunjukkan 11% responden telah bekerja di apotek selama kurang dari satu tahun; 45% responden telah bekerja antara 1-5 tahun; 11% responden bekerja selama 6-10 tahun; dan sebesar 33% responden bekerja lebih dari 10 tahun. Tabel I. Lama Kerja Responden di Apotek No Lama bekerja di apotek Jumlah Persentase (%) n = 9 1 < 1 tahun tahun > 6 10 tahun > 10 tahun 3 33 Total Terlihat bahwa sebagian besar responden baru bekerja di apotek selama 1-5 tahun bahkan ada yang kurang dari 1 tahun. Meskipun tidak dapat dinyatakan secara mutlak, dengan pengalaman kerja kurang dari 5 tahun belum bisa dikatakan bahwa apoteker tersebut memahami tugas dan tanggung jawabnya sepenuhnya. Dengan begitu Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek tidak dapat dilakukan secara maksimal. Persentase terbesar kedua yaitu 33% responden telah bekerja di apotek selama lebih dari 10 tahun dan 11% responden telah bekerja selama 6-10 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden sudah memiliki pengalaman kerja, dengan pengalaman kerja yang dimiliki responden diharapkan

60 38 responden benar-benar memahami Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek dan selanjutnya akan membantu dalam pengisian kuisioner. 3. Posisi responden di apotek 2 di bawah ini. Gambaran mengenai posisi responden di apotek, dapat dilihat pada gambar Posisi Responden di Apotek 11% Apoteker Pengelola Apotek Apoteker Pendamping 89% Gambar 2. Posisi Responden di Apotek Dari 9 responden, 89% bekerja sebagai Apoteker Pengelola Apoteker dan 11% lainnya bekerja sebagai Apoteker Pendamping di Apotek. Adanya responden yang bekerja sebagai Apoteker Pendamping di apotek karena Apoteker Pendamping yang menggantikan tugas Apoteker Pengelola Apotek bersedia untuk menjadi responden menggantikan Apoteker Pengelola Apotek. Selain itu penelitian ini pun sebenarnya tidak hanya ditujukan kepada Apoteker Pengelola Apotek saja melainkan seluruh Apoteker yang bekerja di apotek di kabupaten Gunungkidul, jadi baik Apoteker Pengelola Apotek maupun Apoteker Pendamping (jika di Apoteker Pengelola Apotek sedang tidak berada di tempat) merupakan populasi dalam penelitian ini.

61 39 4. Pekerjaan lain selain sebagai Apoteker Tabel II berikut memberikan gambaran mengenai jumlah responden yang memilki pekerjaan lain selain apoteker di apotek yang bersangkutan. No Tabel II. Pekerjaan Responden Selain Sebagai Apoteker di apotek Pekerjaan lain selain sebagai apoteker Jumlah Persentase (%) n = 9 1 Memiliki Tidak memiliki 5 56 Total Dari tabel II terlihat bahwa sebanyak 44% responden memiliki pekerjaan lain selain sebagai apoteker di apotek yang bersangkutan. Pekerjaan yang digeluti antara lain sebagai pegawai negeri, wiraswasta, apoteker pendamping di apotek lain dan apoteker di rumah sakit. Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang profesional. Berdasarkan keterangan tersebut, apoteker diharapkan dapat tetap bersikap profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai apoteker di apotek walaupun memiliki pekerjaan lainnya sehingga tugas dan tanggung jawabnya di apotek tidak terbengkalai atau tidak ditinggalkan.terutama dalam Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Tabel II juga memperlihatkan sebanyak 56% responden tidak memilki pekerjaan lain selain sebagai apoteker di apotek yang bersangkutan. Pada umumnya, responden ini merupakan apoteker-apoteker yang baru saja menyelesaikan pendidikan program profesi apoteker. Dengan kondisi demikian,

62 40 diharapkan mereka dapat berkonsentrasi pada tugas dan tanggung jawabnya di apotek sehingga Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dapat dilakukan secara optimal. 5. Waktu kerja di apotek dalam seminggu Waktu Kerja di Apotek Dalam Seminggu 56% 44% 3-5 hari 6-7 hari Gambar 3. Waktu Kerja Responden di Apotek dalam Seminggu Gambar 3 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar, yaitu sebanyak 56% responden berada di apotek dalam seminggu. Hal ini sesuai dengan Permenkes No. 26/Menkes/Per/1/1981 bahwa Apoteker Pengelola Apotek harus berada di Apotek selama apotek dibuka. Selain itu, menurut pasal 77 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, waktu kerja adalah 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dan sebagian besar responden bekerja 6-7 hari sehingga dapat disimpulkan bahwa responden telah memenuhi ketentuan yang berlaku. Gambar 3 juga memeperlihatkan sebanyak 44% responden berada di apotek selama 3 5 hari dalam kurun waktu satu minggu. Hal ini menunjukkan

63 41 bahwa ada hari-hari tertentu dimana apoteker tidak berada di apotek. Tetapi tugas apoteker dapat digantikan oleh apoteker pendamping. 6. Waktu kerja di apotek dalam satu hari Menurut pasal 77 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, waktu kerja dalam sehari adalah 7 (tujuh) jam 1 (hari). Dari tabel di bawah dapat dilihat bahwa kehadiran responden tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, padahal kehadiran respoden, dalam hal ini apoteker di apotek dapat memastikan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek sepenuhnya dilaksanakan. Tabel III. Waktu Kerja Responden di Apotek dalam Satu Hari No Waktu Kerja Responden di Apotek dalam Satu hari Jumlah Persentase (%) n = 9 1 < 4 jam jam > 6 jam 3 33 Total 9 100

64 42 B. Pengelolaan Sumber Daya 1.a. Sumber daya manusia Dalam Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Apoteker di apotek harus mampu mengambil keputusan yang tepat. Salah satu peran Apoteker dalam pelayanan kesehatan adalah sebagai leader, di mana diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan untuk mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan. Menurut Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal akuntabilitas praktek farmasi, standar prosedur operasional apoteker di apotek salah satunya adalah merancang, melaksanakan, memonitor dan evaluasi dan mengembangkan standar kerja sesuai arahan pedoman yang berlaku dan bertanggung jawab terhadap setiap keputusan profesional yang diambil. Berdasarkan Permenkes Nomor 922 tahun 1993 pasal 20, Apoteker Pengelola Apotek bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker Pendamping, Apoteker Pengganti di dalam pengelolaan apotek. Apoteker Pengelola Apotek bertanggung jawab penuh dalam menjalankan tugasnya di apotek serta mengawasi kinerja asisten apoteker dan karyawan lain (Hartini dan Sulasmono, 2006). Karena itulah sudah seharusnya keputusan yang diambil di apotek selalu berdasarkan persetujuan Apoteker Pengelola Apotek.

65 43 Pengambilan Keputusan Di Apotek Selalu Berdasarkan Persetujuan APA 11% Ya Tidak 89% Gambar 4. Pengambilan Keputusan di Apotek Selalu Berdasarkan Persetujuan APA Gambar 4 menunjukkan bahwa pengambilan keputusan di Apotek berdasarkan persetujuan APA sebesar 89% dan 11% sisanya tidak selalu berdasarkan persetujuan APA. Keputusan yang diambil berdasarkan persetujuan APA dalam penelitian ini mencakup perencanaan, pengadaan dan penyimpanan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya. b Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian sumber daya manusia. 100% 89% 50% Ya Tidak 11% 0% Gambar 5. Diagram Sumber Daya Manusia

66 44 Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian pengelolaan sumber daya manusia telah dilaksanakan dengan baik karena memiliki persentase pelaksanaan di atas 50%, yaitu sebesar 89%. 2. Sarana dan prasarana a. Papan petunjuk apotek Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek menyebutkan bahwa Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh masyarakat. Pada halaman terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata apotek. Apotek harus dapat dengan mudah diakses oleh anggota masyarakat. Dalam lampiran Form Apt-3 Kepmenkes Nomor 1332 tahun 2002 disebutkan papan nama berukuran minimal panjang 60 cm, lebar 40 cm dengan tulisan hitam di atas dasar putih; tinggi huruf minimal 5 cm, tebal 5 cm. Pada pasal 6 ayat 1 dan 3 Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 tentang persyaratan apotek menyebutkan bahwa Setiap Apotik harus memasang papan nama pada bagian muka Apotik, yang terbuat dari papan, seng atau bahan lain yang memadai. Selanjutnya ayat 3 menyebutkan Papan nama harus memuat : nama apotek, nama Apoteker Pengelola Apotek, nomor surat izin apotek, alamat apotek dan nomor telepon, kalau ada.

67 45 No Tabel IV. Ketersediaan Papan Petunjuk Apotek Papan yang tertulis kata Persentase (%) Jumlah apotek n = 9 1 Ada Tidak Ada 0 0 Total Tabel IV menunjukkan bahwa semua apotek (100%) telah memilki papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata apotek, selain itu letak papan petunjuk cukup strategis sehingga sangat mudah dikenali dan diakses oleh masyarakat. Hal ini sesuai dengan Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek seperti yang termuat dalam Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. b. Tempat yang terpisah antara produk kefarmasian dengan produk lainnya Permenkes Nomor 922 tahun 1993 pasal 6 tentang Persyaratan Apotek ayat 2 disebutkan bahwa sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi dan ayat 3 apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi. Selanjutnya pada Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 diberi batasan antara produk kefarmasian dengan produk lainya dengan menyebutkan bahwa pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya, hal ini berguna untuk

68 46 menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko kesalahan penyerahan. Pemisahan Produk Kefarmasian dengan Produk Lainnya 22% Ya Tidak 78% Gambar 6. Pemisahan Produk Kefarmasian dengan Produk Lainnya Gambar 6 menunjukkan bahwa apoteker yang menempatkan produk kefarmasian terpisah dari produk lainnya sesuai Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 sebesar 78% dan sisanya 22% menempatkan produk kefarmasian tidak terpisah dari produk lainnya. Adapun penjualan produk non kefarmasian di apotek merupakan diferensiasi usaha apotek, di mana produk-produk tersebut masih berhubungan dengan bidang kesehatan. Contoh produk non kefarmasian yang dijual adalah makanan bayi, susu, dan food supplement. Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar apotek di Gunungkidul telah menerapkan Standar Kefarmasian Di Apotek khususnya mengenai pemisahan produk kefarmasian dengan produk

69 47 lainnya seperti yang ditetapkan dalam Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. c. Ruang tunggu bagi pasien Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa apotek harus memiliki ruang tunggu yang nyaman bagi pasien, yaitu yang bersih dan bebas dari hewan pengerat, serangga/pest. Hal ini juga diatur dalam Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 pasal 4 ayat 2 yang pada salah satu syaratnya menyebutkan bahwa apotek harus memiliki ruang tunggu. Tabel V. Ketersediaan Ruang Tunggu Bagi Pasien No Ruang tunggu bagi pasien Jumlah Persentase (%) n = 9 1 Ada Tidak Ada 0 0 Total Tabel V menunjukkan bahwa semua apotek (100%) memiliki ruang tunggu bagi pasien sesuai Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. Fungsi ruang tunggu sangat penting bagi pasien, yaitu memberikan rasa nyaman bagi pasien sambil menunggu obat ditebus, bahkan untuk lebih memberikan rasa nyaman bagi pasien apotek biasanya menyediakan koran, majalah maupun layanan televisi sebagai sumber informasi dan hiburan bagi pasien.

70 48 d. Tempat untuk mendisplay informasi bagi pasien Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa apotek harus memiliki tempat untuk mendisplay informasi bagi pasien, termasuk penempatan brosur / materi informasi. Informasi disini contohnya berupa brosur, leaflet atau poster yang berisi informasi tentang misalnya obat-obat baru. Tabel VI. Ketersediaan Informasi Bagi Pasien Brosur/informasi mengenai Persentase (%) No Jumlah kesehatan n = 9 1 Ada Tidak Ada 0 0 Total Tabel VII. Ketersediaan Tempat Khusus untuk Mendisplay Informasi Tempat khusus untuk Persentase (%) No Jumlah mendisplay n = 9 1 Ada Tidak Ada 0 0 Total Tabel VI menunjukkan bahwa semua apotek (100%) tersedia brosur / informasi mengenai dan selanjutnya pada tabel VII menunjukkan bahwa dari apotek yang menyediakan informasi bagi pasien tersebut, juga telah memiliki tempat khusus untuk mendisplay informasi tersebut. Informasi tentang kesehatan sangat berguna bagi masyarakat karena masyarakat

71 49 dapat meningkatkan pengetahuannya tentang kesehatan lewat membaca brosur-brosur tersebut. e. Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa apotek harus memiliki ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga privacy dan kenyaman pasien selama melakukan konseling. Ruang Tertutup untuk Konseling 44% Ada Tidak Ada 56% Gambar 7. Ketersediaan Ruang Tertutup untuk Konseling Gambar 7 menunjukkan bahwa 56% apotek yang mempunyai ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien dan sisanya sebesar 44% belum mempunyai ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien. Alasan yang dikemukakan adalah keterbatasan ruangan sehingga apotek tidak menyediakan ruang tertutup untuk konseling bagi pasien, selanjutnya konseling dilakukan secara langsung/bersamaan dengan penerimaan resep.

72 50 f. Ruang racikan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa apotek harus memiliki ruang racikan. Hal ini juga diatur pada Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 pasal 4 dan pada lampiran Form Apt-3 Kepmenkes Nomor 1332 tahun 2002 yang menyebutkan bahwa apotek harus memiliki ruang peracikan. Tabel VIII. Ketersediaan Ruang Racikan di Apotek No Ruang racikan Jumlah Persentase (%) n = 9 1 Kering Basah+kering 6 67 Total Tabel VIII menunjukkan bahwa 67% apotek memiliki ruang racikan kering dan hanya 33% apotek yang belum memiliki ruang racikan basah. Alasan yang dikemukan oleh Apoteker pengelola atau Apoteker pendamping adalah hanya sedikit resep yang masuk ke apotek dengan meminta racikan basah dan keterbatasan ruang/efisiensi tempat karena apotek yang dikelola cukup kecil sehingga ruang racikan kering dan basah dijadikan satu. Ruang racikan kering dan basah seharusnya dipisahkan untuk memudahkan pencarian bahan obat berdasarkan sifat fisiknya dan juga mempermudah proses pembersihannya.

73 51 g. Keranjang sampah untuk staf maupun pasien Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa apotek harus memiliki keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien. Pada lampiran Form Apt-3 Kepmenkes Nomor 1332 tahun 2002 disebutkan bahwa apotek harus memiliki sanitasi yang baik serta memenuhi persyaratan hygiene lainnya. Keranjang sampah merupakan salah satu fasilitas untuk menjaga sanitasi di apotek agar dapat terjaga dengan baik. Tabel IX. Ketersediaan Keranjang Sampah untuk Staf dan Pasien No Keranjang sampah Jumlah Persentase (%) n = 9 1 Staf saja Pasien saja Staf +pasien Total Tabel IX menunjukkan bahwa semua apotek (100%) mempunyai keranjang sampah untuk staf dan pasien sesuai Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004.

74 52 h. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian sarana dan prasarana 100% 100% 78% 100% 100% 50% 56% 67% 100% 0% papan petunjuk apotek tempat produk kefarmasian yang terpisah dengan produk lainnya ruang tunggu tempat display informasi ruang konseling tertutup ruang racikan keranjang sampah untuk staf+pasien Gambar 8. Diagram Kelengkapan Sarana dan Prasarana di Apotek Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian pengelolaan sarana dan prasarana sebagian besar telah dilaksanakan dengan baik. Pengelolaan sarana dan prasarana yang telah dilaksanakan dengan baik memiliki persentase pelaksanaan di atas 50%, meliputi adanya papan petunjuk apotek (100%), tersedianya ruang tunggu (100%), tersedianya tempat display informasi (100%), tersedianya ruang konseling tertutup (56%), tersedianya ruang racikan (67%) dan tersedianya keranjang sampah untuk staf dan pasien (100%). Walaupun persentase pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek lebih dari 50% tetapi tetap perlu ditingkatkan lagi terutama dalam penyediaan ruang konseling tertutup. Karena dengan peningkatan persentase penyediaan ruang konseling diharapkan masyarakat dapat benar-benar merasakan pelayanan keeshatan dari seorang apoteker.

75 53 3. Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku meliputi : perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pelayanan. a. Perencanaan Perencanaan merupakan kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah dan harga dalam rangka pengadaan dengan tujuan mendapatkan jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, serta menghindari kekosongan obat (Hartini dan Sulasmono, 2006). Sesuai Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi yang perlu diperhatikan adalah pola penyakit, kemampuan masyarakat dan budaya masyarakat. 1) Pola penyakit. Perlu memperhatikan dan mencermati pola penyakit yang timbul di sekitar masyarakat sehingga apotek dapat memenuhi kebutuhan masyarakat tentang obat-obat untuk penyakit tersebut. 2) Tingkat perekonomian masyarakat. Tingkat ekonomi masyarakat di sekitar apotek juga akan mempengaruhi daya beli terhadap obatobatan. Jika masyarakat sekitar memiliki tingkat perekonomian menengah ke bawah, maka apotek perlu menyediakan obat-obat yang harganya terjangkau seperti obat generik berlogo. Demikian pula sebaliknya, jika masyarakat sekitar memiliki tingkat perekonomian menengah keatas yang cenderung memilih membeli obat-obat paten,

76 54 maka apotek juga harus menyediakan obat-obat paten yang sering diresepkan. 3) Budaya masyarakat. Pandangan masyarakat terhadap obat, pabrik obat, bahkan iklan obat dapat mempengaruhi dalam hal pemilihan obatobatan khususnya obat-obat tanpa resep. Demikian juga dengan budaya masyarakat yang lebih senang berobat ke dokter, maka apotek perlu memperhatikan obat-obat yang sering diresepkan oleh dokter tersebut (Hartini dan Sulasmono, 2006). Tabel X. Latar Belakang Perencanaan Pengadaan Sediaan Farmasi di Apotek No Latar Belakang Perencanaan Jumlah Persentase (%) n = 9 1 Pola penyakit dan kemampuan masyarakat Pola penyakit, kemampuan masyarakat dan budaya 8 89 masyarakat Total Tabel X menunjukkan bahwa apoteker yang memperhatikan pola penyakit, kemampuan masyarakat dan budaya masyarakat dalam perencanaan pengadaan sediaan farmasi sesuai Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 sebesar 89%, sisanya sebesar 11% hanya memperhatikan pola penyakit dan kemampuan masyarakat, tanpa melihat budaya masyarakat sekitar apotek.

77 55 b. Pengadaan Persediaan barang di apotek dilakukan berdasarkan perencanaan yang telah dibuat dan disesuaikan dengan anggaran keuangan yang ada. Pengadaan barang meliputi proses pemesanan, pembelian dan penerimaan barang (Hartini dan Sulasmono, 2006). Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi harus melalui jalur resmi. Pengadaan sediaan farmasi apotek termasuk di dalamnya golongan obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, psikotropika dan narkotika dapat berasal langsung dari pabrik farmasi, Pedagang Besar Farmasi (pasal 3 Permenkes 918 Nomor 918 tahun 1993 tentang Pedagang Besar Farmasi) maupun apotek lain (Hartini dan Sulasmono, 2006). Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jalur pengadaan sediaan farmasi yang resmi hanya melalui pabrik farmasi, PBF dan apotek lain. Tabel XI. Sumber Perolehan Obat di Apotek No Sumber Perolehan Obat Jumlah Persentase (%) n = 9 1 PBF+apotek lain PBF+pabrik farmasi+apotek lain PBF+apotek lain+toko obat PBF+apotek lain+toko obat+swalayan PBF+pabrik farmasi+apotek lain+toko obat+swalayan 1 11 Total 9 100

78 56 Tabel XI menunjukkan bahwa apotek yang memperoleh obat-obatan melalui jalur resmi sesuai Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 sebesar 56%, sisanya memperoleh obat melalui jalur tidak resmi Obat yang diperoleh melalui jalur tidak resmi, pada umumnya adalah obat bebas. Bagan jalur distribusi obat dapat dilihat pada lampiran 7. c. Penyimpanan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru, wadah sekurang kurangnya memuat nomor batch dan tanggal kadaluarsa. Pencantuman nomor batch bertujuan untuk penelusuran obat, apabila ada obat yang sudah beredar namun tidak memenuhi syarat, sehingga mempermudah penarikan dari peredaran untuk segera dimusnahkan. Sedangkan pencantuman tanggal kadaluarsa bertujuan untuk menjamin kepercayaan masyarakat terhadap apoteker, bahwa obat yang dibelinya dari apotek tersebut bermutu baik, dalam hal ini belum melewati tanggal kadaluwarsanya.

79 57 Pemindahan Isi Obat ke Wadah Lain 11% Ya Tidak 89% Gambar 9. Pemindahan Isi Obat ke Wadah Lain Gambar 9 menunjukkan bahwa 89% apoteker selalu menyimpan obat/bahan obat dalam wadah asli dari pabrik, dan hanya 11% apotek yang pernah memindahkan isi obat dari wadah asli ke wadah lain. Pada umumnya, apotek memindahkan obat ke wadah baru dalam jumlah tertentu, di mana jumlah tertentu tersebut berdasarkan kebiasaan dokter meresepkan suatu obat dalam jumlah tertentu. Hal ini akan mempercepat pelayanan kepada pasien dengan hanya mengambil dari wadah baru tersebut. Pasien juga lebih efisien karena dapat membeli obat dalam jumlah yang dibutuhkan dan tidak harus membeli seluruh obat dalam wadah asli. Pemindahan yang dilakukan apotek juga telah menyertakan informasi yang jelas pada wadah baru yaitu produsen (pabrik), nomor Batch, tanggal kadaluarsa, aturan pakai, dan cara penyimpanan. Selanjutnya Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 juga menyebutkan bahwa semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai, layak dan menjamin kestabilan bahan. Kepmenkes Nomor 278

80 58 tahun 1981 pasal 4 menyebutkan bahwa apotek harus mempunyai ruang penyimpan obat. Tabel XII. Ketersediaan Tempat Penyimpanan Khusus No Tempat penyimpanan khusus Jumlah Persentase (%) n = 9 1 Ada Tidak Ada 0 0 Total Tabel XII menunjukkan bahwa semua apotek (100%) memiliki tempat penyimpanan khusus untuk obat-obat tertentu. Tempat penyimpanan khusus yang dimaksud dalam penelitian ini contohnya adalah tempat penyimpanan khusus untuk narkotika (pasal 7 Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981) dan lemari pendingin yang digunakan untuk menyimpan obat-obat tertentu yang mudah rusak atau meleleh pada suhu kamar seperti serum dan vaksin (pasal 9 Kepmenkes RI Nomor 278 tahun 1981). Dengan mengetahui adanya tempat penyimpanan khusus di apotek tersebut secara tidak langsung dapat menggambarkan apakah apotek tersebut memperhatikan kesesuaian dan kelayakan tempat dengan kestabilan obat pada saat penyimpanan.

81 59 d. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya 100% 50% 89% 56% 89% 0% perencanaan meliputi : pola penyakit+kemampuan masyarakat+budaya masyarakat pengadaan melalui jalur resmi penyimpanan dalam wadah asli pabrik Gambar 10. Diagram Pelaksanaan Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan Lainnya Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya sebagian besar telah dilaksanakan dengan baik. Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya yang telah dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di atas 50%, meliputi perencanaan (89%), pengadaan (56%), dan penyimpanan dalam wadah asli pabrik (89%). 4. Administrasi Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilaksanakan kegiatan administrasi yang meliputi administrasi umum dan administrasi pelayanan.

82 60 a) Administrasi umum Administrasi umum ini meliputi pencacatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 1. Pencatatan dan pengarsipan transaksi pembelian Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 pasal 13 (e) menyebutkan bahwa dalam apotek harus tersedia buku pembelian dan penerimaan. Tabel XIII. Pencatatan dan Pengarsipan Transaksi Pembelian Selalu disertai bukti/faktur Persentase (%) No Jumlah pembelian dan dicatat n = 9 1 Ya Tidak 0 0 Total Tabel XIII menunjukkan bahwa semua apoteker (100%) selalu menyertakan bukti/faktur pembelian untuk setiap obat yang mereka pesan/beli dan selalu dicatat dalam buku penerimaan. Faktur pembelian harus disertakan pada saat transaksi obat. Hal ini berfungsi untuk menghindari kemungkinan adanya pemalsuan obat bila pembelian obat tidak melalui jalur distribusi yang resmi. Faktur tersebut akan menjamin keaslian obat sehingga khasiat dan keamanan obat terjamin. Selain itu, adanya faktur pembelian akan mempermudah proses pengecekan jika terjadi keraguan terhadap obat yang telah dibelinya. Apabila obat yang sudah diterima tidak sesuai dengan permintaan apotek, maka dengan adanya faktur pembelian akan

83 61 mempermudah komplain dan meretur obat tersebut kembali, sedangkan buku penerimaan berfungsi untuk kelengkapan administrasi apotek, jadi apotek mengetahui obat apa saja yang sudah masuk ke dalam apotek. 2. Pencatatan dan pengarsipan transaksi penjualan KepMenKes Nomor 278 yahun 1981 pasal 13(d) menyatakan bahwa dalam apotek harus tersedia blangko faktur dan blangko nota penjualan. KepMenKes RI Nomor 280 tahun 1981 Pasal 12 ayat (2) menyatakan bahwa setiap penjualan harus disertai dengan nota penjualan. ayat (3) menyatakan bahwa dalam nota penjualan, harus dicantumkan jenis, jumlah, harga, tanggal penyerahan, dan paraf yang menyerahkan. Nota penjualan berfungsi sebagai bukti resmi bahwa obat sudah diterima oleh pasien dan pasien sudah membayar dengan lunas. Penyertakan Faktur/Nota Penjualan 11% Ya Tidak 89% Gambar 11. Penyertaan Faktur/Nota Penjualan

84 62 Gambar 11 menunjukkan bahwa apoteker yang selalu menyertakan faktur atau nota penjualan pada setiap transaksi penjualan yang mereka lakukan sebanyak 89% dan 11% sisanya tidak selalu menyertakan faktur atau nota penjualan pada setiap transaksi penjualan yang mereka lakukan. Dalam hal pemberian nota tiap penjualan, masih terdapat apotek yang hanya memberikan nota apabila pasien memintanya. Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 pasal 13 (e) menyebutkan bahwa dalam apotek harus tersedia buku penjualan dan penerimaan obat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak setiap transaksi penjualan selalu dicatat dalam buku penjualan. Tabel XIV. Pencatatan Transaksi Penjualan Dalam Buku Penjualan No Dicatat dalam buku penjualan Jumlah Persentase (%) n = 9 1 Ya Tidak 0 0 Total Tabel XIV menunjukkan bahwa semua apoteker (100%) selalu mencatat setiap transaksi penjualan yang terjadi. Pencatatan ini berguna untuk kelengkapan administrasi, yaitu untuk mengetahui obat apa saja yang telah terjual dan untuk melacak kembali apabila ada pihak-pihak yang berkepentingan membutuhkannya di kemudian hari.

85 63 3. Pengeluaran narkotika dan psikotropika Kepmenkes Nomor 278 tahun 1981 pasal 13 (g) menyebutkan bahwa dalam apotek harus tersedia buku pencatatan obat narkotika dan psikotropika. Pasal 33 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 menyebutkan bahwa apotek wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika dan pada pasal 11 Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 disebutkan bahwa apotek wajib membuat laporan berkala mengenai pengeluaran narkotika. Undang-Undang No. 9 tahun 1976 menyebutkan bahwa pencatatan narkotika dilakukan dengan menggunakan buku register narkotika (Hartini dan Sulasmono, 2006). Tabel XV. Pencatatan Penjualan Narkotika dan Psikotropika Dicatat dalam buku Persentase (%) No Jumlah pencatatan n = 9 1 Ya Tidak 0 0 Total Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua apoteker (100%) selalu melakukan pencatatan setiap pengeluaran narkotika dan psikotropika dalam buku pencatatan narkotika dan psikotropika, 2006).

86 64 b) Administrasi pelayanan Administrasi pelayanan ini meliputi pengarsipan resep, pengarsipan cacatan pengobatan pasien dan pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat. 1. Pengarsipan resep Permenkes Nomor 922 tahun 1993 Pasal 17 ayat (2) menyebutkan bahwa resep harus dirahasiakan dan disimpan di apotek dengan baik dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun. Pasal 7 Kepmenkes Nomor 280 tahun 1981 menyebutkan bahwa Apoteker Pengelola Apotek mengatur resep yang telah dikerjakan menurut urutan tanggal dan nomor urut penerimaan resep dan harus disimpan sekurangkurangnya selama tiga tahun. Gambaran mengenai pengarsipan resep dapat dilihat pada gambar berikut. Penyimpanan Resep Secara Urut 11% Ya Tidak 89% Gambar 12. Penyimpanan Resep Secara Urut Hasil penelitian menunjukkan bahwa 89% apoteker selalu menyimpan resep menurut urutan tanggal dan nomor resep dan hanya

87 65 11% apoteker yang tidak selalu menyimpan resep menurut urutan tanggal dan nomor resep. 2. Medication record Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 medication record adalah catatan pengobatan setiap pasien. Pencatatan pengobatan setiap pasien ini bertujuan apabila sewaktu-waktu dibutuhkan informasi mengenai riwayat pengobatannya dan sumber bagi apoteker untuk melaksanakan pelayanan residensial (home care). Tabel XVI. Pengisian MedicationRecord Secara Konstan Selalu melakukan pengisian Persentase (%) No Jumlah medication record n = 9 1 Ya Tidak 6 67 Total Hasil penelitian menunjukkan hanya 33% apoteker yang selalu melakukan pengisian medication record dan selebihnya sebesar 67% apoteker yang tidak selalu melakukan pengisian medication record. Alasan yang dikemukan adalah keterbatasan waktu dan tenaga. Responden menjelaskan sebelumnya medication record selalu dilakukan, tetapi dengan semakin banyaknya pasien dan keterbatasan tenaga pengisian medication record tidak dilakukan lagi.

88 66 3) Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian administrasi 100% 100% 89% 100% 100% 89% 50% 0% 33% pencatatan&pengarsipan pembelian penyertaan bukti/faktur penjualan pencatatan penjualan pencatatan narkotika&psikotropika pengarsipan resep pelaksanaan pengisian medication record Gambar 13. Diagram Pelaksanaan Kegiatan Administrasi Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian administrasi, meliputi administrasi umum dan administrasi pelayanan sebagian besar telah dilaksanakan dengan baik. Kegiatan administrasi yang telah dilaksanakan, dengan baik memiliki persentase pelaksanaan di atas 50%, meliputi pencatatan dan pengarsipan pembelian (100%), pencatatan narkotika dan psikotropika (100%), pencatatan penjualan (100%), pengarsipan resep (899%), penyertaan bukti/faktur penjualan (89%). Namun demikian, masih terdapat kegiatan administrasi yang belum dilaksanakan dengan baik yaitu persentase pelaksanaan di bawah 50%, meliputi pengisian medication record (33%) sehingga perlu ditingkatkan lagi pelaksanaannya.

89 67 C. Pelayanan 1. Skrining resep Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 apoteker melakukan skrining resep meliputi persyaratan administratif, kesesuaian farmasetik dan pertimbangan klinis. Skrining resep dilakukan dengan tujuan untuk melihat keabsahan resep. Di apotek ada prosedur tetap untuk pelayanan resep, ketika resep datang kemudian dilakukan skrining untuk melihat apakah resep asli atau palsu. Selain itu juga skrining resep dilakukan untuk meminimalisasi terjadinya medication error. Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 medication error adalah kejadian yang merugikan pasien akibat pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan, yang sebetulnya dapat dicegah. a. Persyaratan administratif Hasil penelitian menunjukkan 100% apoteker selalu melakukan skrining resep persyaratan administratif. Hal ini dapat dilihat pada Tabel XVII berikut. Tabel XVII. Skrining Resep Persyaratan Administratif Persentase (%) No Persyaratan administratif Jumlah n = 9 1 Ya Tidak 0 0 Total 0 100

90 68 Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 persyaratan administratif meliputi : nama, SIP dan alamat dokter; tanggal penulisan resep; tanda tangan/paraf dokter penulis resep; nama, alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien; nama obat, potensi, dosis, jumlah yang minta; cara pemakaian yang jelas dan informasi lainnya. b. Kesesuaian farmasetik Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 kesesuaian farmasetik meliputi : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian. Gambaran mengenai pelaksanaan skrining resep kesesuaian farmasetik dapat dilihat pada Tabel XVIII berikut. No 1 2 Tabel XVIII. Skrining Resep Kesesuaian Farmasetik Skrining kesesuaian farmasetik yang dilakukan Bentuk sediaan+dosis+potensi+cara pemberian+lama pemberian Bentuk sediaan+dosis+potensi+stabilitas+inkomp atibilitas+cara pemberian+lama pemberian Persentase Jumlah (%) n= Total Tabel XVIII menunjukkan bahwa apoteker yang melakukan skrining resep kesesuaian farmasetik meliputi bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara pemberian dan lama pemberian sesuai Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 sebesar 78%, dan

91 69 sisanya sebesar 22% belum melakukan skrining resep kesesuaian farmasetik secara keseluruhan yaitu pada item stabilitas dan inkompatibilitas. c. Pertimbangan klinis Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 pertimbangan klinis meliputi alergi, efek samping, interaksi, durasi dan jumlah obat. No Tabel XIX. Skrining Pertimbangan Klinis Persentase Skrining pertimbangan klinis yang Jumlah (%) dilakukan n = 9 Alergi+efek samping+ dosis+ jumlah obat 1 11 Alergi+efek samping +dosis+durasi+jumlah obat 1 11 Alergi+efek samping+interaksi+dosis+durasi+jumlah 7 78 obat Total Tabel XIX menunjukkan bahwa apoteker yang melakukan skrining resep pertimbangan klinis meliputi alergi, efek samping, interaksi, durasi dan jumlah obat sesuai dengan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 sebesar 78%, dan sisanya sebesar 22% belum melakukan skrining resep pertimbangan klinis yaitu pada item interaksi dan durasi.

92 70 d. Konsultasi dengan dokter penulis resep Permenkes Nomor 922 tahun 1993 pasal 16 ayat 1 Apabila Apoteker menganggap bahwa dalam resep terdapat kekeliruan atau penulisan resep yang tidak tepat, Apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis resep. Selanjutnya Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyatakan bahwa jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan. Hal ini bertujuan untuk meminimalisasi terjadinya medication error. Konsultasi dengan dokter penulis resep juga dapat dimanfaatkan untuk membangun dan meningkatkan hubungan dengan rekan sejawat petugas kesehatan. Hal ini sesuai dengan pasal 13 Kode Etik Apoteker Indonesia. Tabel XX. Konsultasi Dokter Apabila Ada Ketidakjelasan Pada Resep No Selalu melakukan konsultasi dengan Persentase (%) Jumlah dokter penulis resep n = 9 1 Ya Tidak 0 0 Total Tabel XX menunjukkan bahwa semua apoteker (100%) selalu melakukan konsultasi dengan dokter penulis resep apabila ada

93 71 ketidakjelasan dalam penulisan resep. Hal ini sesuai dengan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. e. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian skrining resep 100% 100% 78% 78% 100% 50% 0% persyaratan administratif kesesuaian farmasetik meliputi : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara pemberian dan lama pemberian pertimbangan klinis meliputi : alergi, efek samping, interaksi, durasi dan jumlah obat konsultasi dengan dokter penulis resep Gambar 14. Diagram Pelaksanaan Skrining Resep Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian skrining resep sebagian besar telah dilaksanakan dengan baik. Pelayanan skrining resep yang telah dilaksanakan, yaitu yang memiliki persentase pelaksanaan di atas 50%, meliputi skrining resep persyaratan administratif (100%), konsultasi dengan dokter penulis resep (100%), skrining resep kesesuaian farmasetik (78%) dan. skrining resep pertimbangan klinis (78%).

94 72 2. Penyiapan obat a. Etiket Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 bahwa etiket harus jelas dan dapat dibaca. Etiket yang tidak jelas dapat menyebabkan kesalahan pasien dalam membaca atau mengartikan isi etiket, sehingga dapat terjadi medication error. Tabel XXI. Adanya Keluhan Tentang Etiket Oleh Pasien Pernah terjadi keluhan tentang Persentase (%) No Jumlah etiket n = 9 1 Ya Tidak Total Tabel XXI menunjukkan bahwa semua apoteker (100%) tidak pernah menerima keluhan tentang etiket oleh pasien sehingga dapat disimpulkan bahwa etiket yang dibuat jelas dan dapat dibaca. b. Penyerahan obat Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Pemeriksaan akhir (medication review) dilakukan dengan tujuan untuk menghindari terjadinya medication error terutama dispensing error yang merupakan tanggung jawab pihak farmasis.

95 73 No Tabel XXII. Pengecekan Resep Sebelum Diserahkan ke Pasien Selalu melakukan pengecekan sebelum diserahkan ke pasien Jumlah Persentase (%) n = 9 1 Ya Tidak 0 0 Total Tabel XXII menunjukkan bahwa semua apoteker (100%) selalu melakukan pengecekan terhadap kesesuaian obat dan etiket terhadap resep sebelum diserahkan kepada pasien. Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan. Hal ini juga tertera pada Standar Kompetensi Farmasis Indonesia hal asuhan kefarmasian yang menyebutkan bahwa salah satu standar prosedur operasional apoteker di apotek adalah memberikan pelayanan informasi obat dan memberikan konsultasi obat. Menurut WHO, salah satu peran Apoteker dalam pelayanan kesehatan adalah care-giver, yaitu Apoteker bertindak sebagai pemberi pelayanan dalam bentuk pelayanan klinis, analisis, dan teknis. Dalam memberikan pelayanan, Apoteker harus berinteraksi langsung dengan pasien secara individu maupun kelompok (Hartini dan Sulasmono, 2006).

96 74 Berdasarkan keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu kewajiban apoteker adalah memberikan informasi mengenai obat kepada pasien sehingga apoteker sebaiknya selalu terlibat langsung dalam penyerahan obat kepada pasien agar dapat menjalankan kewajiban tersebut. Keterlibatan Apoteker Dalam Penyerahan Obat Ke Pasien 22% Ya Tidak 78% Gambar 15. Keterlibatan Apoteker Dalam Penyerahan Obat ke Pasien Gambar 15 menunjukkan bahwa apoteker yang selalu terlibat langsung dalam penyerahan obat ke pasien sebesar 78% dan 22% sisanya tidak selalu terlibat langsung dalam penyerahan obat. Untuk responden yang tidak selalu terlibat langsung dalam penyerahan obat, tanggung jawab penyerahan obat diserahkan kepada apoteker pendamping. Penyerahan obat yang dilakukan apoteker pendamping juga disertai informasi kepada pasien. Hal ini sesuai dengan Kepmenkes RI Nomor 1332 tahun 2002 bahwa apabila APA behalangan melakukan tugasnya pada jam buka apotek, maka APA harus menunjuk seorang Pendamping.

97 75 c. Informasi obat Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa informasi obat yang harus diberikan kepada pasien sekurangkurangnya meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, makanan dan minuman yang harus dihindari dan aktivitas yang harus dihindari. Dalam Permenkes Nomor 922 tahun 1993 Pasal 15 ayat (4), disebutkan bahwa Apoteker wajib memberikan informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien dan penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat. Pasal 7 Kode Etik Apoteker Indonesia menyatakan bahwa seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya. Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 pasal 35 juga menyebutkan bahwa jika apoteker tidak melaksanakan kewajibannya dalam memberikan informasi kepada pasien maka akan dikenakan pidana denda paling banyak Rp ,00 (sepuluh juta rupiah). Tabel XXIII. Informasi Obat yang Diberikan Apoteker No Informasi Obat yang diberikan Jumlah 1 2 Cara pemakaian obat+cara penyimpanan obat+jangka waktu pengobatan+aktivitas yang harus dihindari Cara pemakaian obat+cara penyimpanan obat+jangka waktu pengobatan+ makanan dan minuman yang harus dihindari+aktivitas yang harus dihindari Persentase (%) n = Total 9 100

98 76 Tabel XXIII menunjukkan bahwa apoteker yang memberikan informasi kepada pasien meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, makanan dan minuman yang harus dihindari dan aktivitas yang harus dihindari sesuai Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 sebesar 89%, sisanya sebesar 11% belum memberikan informasi secara menyeluruh kepada pasien. Pemberian informasi ini seharusnya lebih diperhatikan oleh apoteker karena melalui pemberian informasi apoteker dapat meminimalisasi terjadinya medication error yang mungkin dilakukan oleh pasien pada saat pasien mengkonsumsi obat. d. Konseling Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa apoteker harus memberikan konseling mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Selain konseling kita mengenal pula konsultasi. Kedua kata ini memiliki pengertian yang berbeda. Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 Konseling adalah suatu proses komunikasi dua arah yang sistematik antara apoteker dan pasien untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah yang berkaitan dengan obat

99 77 dan pengobatan, sedangkan konsultasi merupakan proses komunikasi satu arah. Dalam penelitian ini, peneliti tidak memberikan batasan mengenai pengertian konseling. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kesesuaian antara pemahaman apoteker dengan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 mengenai pengertian konseling. Dari hasil wawancara sebagian besar responden berpendapat bahwa konseling dan konsultasi mempunyai pengertian yang sama. Dari sini terlihat bahwa apoteker mempunyai pemahaman yang berbeda/tidak sesuai dengan yang tertera pada Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004. Ketersediaan Jam Konseling Setiap Hari Di Apotek 11% Ya Tidak 89% Gambar 16. Ketersediaan Jam Konseling di Apotek Gambar 16 di atas menunjukkan bahwa apoteker yang menyatakan bahwa mereka selalu menyediakan jam konseling bagi pasien setiap harinya di apotek sebesar 89%, sisanya sebesar 11% belum menyediakan jam konseling setiap hari.

100 78 Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan. Gambaran mengenai pelaksanaan pemberian konseling secara berkelanjutan dapat dilihat pada Tabel XXIV berikut. No 1 2 Tabel XXIV. Pemberian Konseling Secara Berkelanjutan Memberikan konseling secara Persentase (%) Jumlah berkelanjutan n = 9 Ya 5 56 Tidak 4 44 Total Tabel XXIV menunjukkan bahwa apoteker yang memberikan konseling secara berkelanjutan untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma dan penyakit kronis lainnya hanya sebesar 56% dan apoteker yang tidak memberikan konseling secara berkelanjutan sebesar 44%. Pemberian konseling secara berkelanjutan bertujuan untuk mengontrol kepatuhan pasien dalam meminum obat yang diberikan, karena penyakit yang diderita membutuhkan jangka waktu pengobatan yang cukup panjang.

101 79 e. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian penyiapan obat 100% 100% 100% 50% 78% 89% 56% 89% 0% etiket jelas&dapat dibaca pengecekan resep sebelum diserahkan keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat jam konseling setiap hari konseling secara berkelanjutan informasi yang diberikan meliputi : cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, makanan dan minuman yang harus dihindari dan aktivitas yang harus dihindari Gambar 17. Diagram Pelaksanaan Penyiapan Obat Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pelayanan penyiapan obat telah dilaksanakan dengan baik karena memiliki persentase pelaksanaan di atas 50%, maliputi penulisan etiket yang jelas dan dapat dibaca (100%), pengecekan resep sebelum diserahkan kepada pasien (100%), adanya jam konseling setiap hari (89%), pemberian informasi oleh apoteker kepada pasien (89%), keterlibatan apoteker secara langsung dalam penyerahan obat (78%), dan konseling secara berkelanjutan (56%). 3. Promosi, edukasi dan tindak lanjut terapi

102 80 a. Diseminasi informasi kesehatan Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet/brosur, poster, penyuluhan dan lain-lainnya. Diseminasi informasi kesehatan ini sangat berguna untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat, di mana masyarakat dapat mengetahui informasi lebih banyak tentang kesehatan. Apoteker yang Pernah Melakukan Diseminasi Informasi Kesehatan 33% 67% Ya Tidak Gambar 18. Apoteker yang Pernah Melakukan Diseminasi Informasi Kesehatan Gambar 18 menunjukkan bahwa sebagian besar (67%) apoteker belum pernah melakukan diseminasi (penyebaran) informasi kesehatan. dan hanya 33 % yang pernah melakukan diseminasi (penyebaran) informasi kesehatan. b. Tindak lanjut terapi

103 81 Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah (pelayanan residensial), khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Tabel XXV. Apoteker yang Melakukan Tindak Lanjut Terapi Melakukan tindak lanjut Persentase (%) No Jumlah terapi n = 9 1 Ya Tidak 6 67 Total Tabel XXV menunjukkan bahwa sebagian besar (67%) apoteker tidak melakukan tindak lanjut terapi, misalnya dengan mengunjungi pasien atau komunikasi melalui telepon untuk memantau keadaan pasien dan hanya 33% yang melakukan tindak lanjut terapi. Tindak lanjut terapi merupakan salah satu bentuk perhatian yang seharusnya dilakukan oleh seorang apoteker. Tindak lanjut terapi dengan kunjungan rumah atau komunikasi dengan telepon akan sangat banyak membantu pasien, terutama bagi pasien lansia atau pasien yang karena penyakit yang dideritanya tidak memungkinkan untuk datang dan melakukan konseling secara langsung ke apotek.

104 82 c. Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian promosi, edukasi dan tindak lanjut terapi 100% 50% 33% 33% 0% diseminasi informasi kesehatan tindak lanjut terapi Gambar 19. Diagram Pelaksanaan Promosi, Edukasi dan Tindak Lanjut Terapi Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian promosi, edukasi dan tindak lanjut terapi belum dilaksanakan dengan baik secara menyeluruh. Pelayanan promosi, edukasi dan tindak lanjut terapi yang belum dilaksanakan dengan baik memiliki persentase pelaksanaan di bawah 50%, meliputi diseminasi informasi kesehatan (33%) dan pelayanan tindak lanjut terapi (33%) sehingga perlu ditingkatkan lagi pelaksanaannya. D. Evaluasi Mutu Pelayanan Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 indikator yang digunakan untuk mengevaluasi mutu pelayanan adalah : 1. Tingkat kepuasan konsumen : dilakukan dengan survey berupa angket atau wawancara langsung.

105 83 Hasil penelitian menunjukkan bahwa apotek belum pernah melakukan survey mengenai tingkat kepuasan konsumen. Hal ini dapat dilihat pada Tabel XXVI berikut. Tabel XXVI. Apoteker yang Pernah Melakukan Survey Pernah melakukan survey tingkat Persentase (%) No Jumlah kepuasan konsumen n = 9 1 Ya Tidak Total Survey ini dimaksudkan untuk mengetahui pendapat pasien/pengunjung apotek mengenai kinerja di apotek dan dapat digunakan sebagai bahan evaluasi oleh APA agar dapat meningkatkan mutu pelayanan di apotek mereka. Contoh angket/kuisioner mengenai tingkat kepuasan konsumen dapat dilihat pada lampiran Dimensi waktu : lama pelayanan diukur dengan waktu (yang telah ditetapkan). Penetapan lama pelayanan (waktu pelayanan maksimal per pasien) bertujuan agar apoteker cepat tanggap dalam melayani pasien sehingga pasien tidak menunggu terlalu lama untuk mendapatkan obat. Salah satu caranya adalah dengan menetapkan lama waktu untuk tiap pembuatan dan pengambilan setiap sediaan, misalnya salep, puyer, kapsul, sirup, baik dalam sediaan tunggal maupun campuran sehingga pasien mendapatkan kepastian waktu.

106 84 Apoteker yang Menetapkan Lama Pelayanan 11% Ya Tidak 89% Gambar 20. Apoteker yang Menetapkan Lama Pelayanan Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 11% apoteker yang menetapkan lama pelayanan (waktu pelayanan maksimal per pasien) dan 89% sisanya belum menetapkan lama pelayanan per pasien. 3. Prosedur tetap : untuk menjamin mutu pelayanan sesuai standar yang telah ditetapkan. Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 prosedur tetap ini antara lain bermanfaat untuk memastikan bahwa praktek yang baik dapat tercapai setiap saat dan adanya pembagian tugas dan wewenang di apotek (contoh job description dapat dilihat pada lampiran 12), sehingga pelayanan dapat berjalan dengan baik karena tidak terjadi tumpang tindih tugas dan wewenang.

107 85 No Tabel XXVII. Penetapan Prosedur Tertulis dan Tetap Ada prosedur tertulis dan tetap Persentase (%) Jumlah dalam pelayanan pasien n = 9 1 Ada Tidak ada 6 67 Total Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 33% apoteker yang mempunyai prosedur tertulis dan tetap dalam pelayanan pasien dan 67% sisanya belum mempunyai prosedur tertulis dan tetap dalam pelayanan pasien. Contoh prosedur tetap dapa dilihat pada lampiran Hasil pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian evaluasi mutu pelayanan 100% 50% 33% 0% 0% 11% survey tingkat kepuasan konsumen waktu pelayanan per pasien prosedur tetap Gambar 21. Diagram Pelaksanaan Evaluasi Mutu Pelayanan

108 86 Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bagian evaluasi mutu pelayanan belum dilaksanakan dengan baik karena memiliki persentase pelaksanaan di bawah 50%, yaitu untuk pelaksanaan survey tingkat kepuasan konsumen belum pernah dilaksanakan, penetapan waktu pelayanan per pasien sebesar 11% dan untuk penetapan prosedur tetap sebesar 33%, sehingga perlu ditingkatkan pelaksanaannya.

109 Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek-Apotek Kabupaten Gunungkidul 100% 50% 0% Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan pengambilan keputusan di apotek (89%) papan petunjuk apotek (100%) penempatan produk yang terpisah (78%) ruang tunggu (100%) tempat display informasi (100%) ruang konseling tertutup (56%) ruang racikan (67%) keranjang sampah (100%) perencanaan (89%) pengadaan (56%) penyimpanan (89%) informasi pada wdah baru (100%) pencatatan&pengarsipan pembelian (100%) penyertaan bukti/faktur penjualan (89%) pencatatan penjualan (100%) pencatatan narkotika&psikotropika (100%) pengarsipan resep (89%) pengisian medication record (33%) persyaratan administratif (100%) kesesuaian farmasetik (78%) pertimbangan klinis (78%) konsultasi dengan dokter (100%) etiket jelas dan dapat dibaca (100%) pengecekan resep sebelum diserahkan (100%) keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat (78%) jam konseling setipa hari (89%) konseling secara berkelanjutan (89%) informasi yang diberikan kepada pasien (56%) desiminasi informasi kesehatan (33%) tindak lanjut terapi (33%) survei tingkat kepuasan pasien (0%) waktu pelayanan per pasien (11%) prosedur tetap (33%) Gambar 22. Diagram Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefamasian di Apotek-Apotek Kabupaten Gunungkidul 87

110 88 E. Hasil Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek-Apotek Kabupaten Gunungkidul Berdasarkan Karakteristik Responden 1. Usia responden Menurut penelitian yang dilakukan Harvard Growth Study, proses pertumbuhan dan perkembangan intelegensi diawali pada usia remaja dan mencapai puncaknya pada usia 30 tahun. Berdasarkan gambar dapat dilihat bahwa sebagian besar responden berada pada usia tahun Pada usia tersebut seseorang mampu berpikir hipotetik dan dapat menguji secara sistematik berbagai penjelasan mengenai kejadian-kejadian tertentu dan dapat memahami prinsipprinsip abstrak yang berlaku (Azwar, 1999). Sisanya responden berada pada usia lebih dari 50 tahun. Jika dilihat secara umum pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek untuk responden yang berusia tahun lebih baik dibandingkan dengan responden yang berusia lebih dari 50 tahun. Pelaksanaan pengelolaan sumber daya untuk responden yang berusia tahun sebesar 86,51%, sedangkan untuk responden yang berusia lebih dari 50 tahun sebesar 83%, pelaksanaan pelayanan untuk responden yang berusia tahun sebesar 79%, sedangkan untuk responden yang berusia lebih dari 50 tahun sebesar 79%, pelaksanaan evaluasi mutu pelayanan untuk responden yang berusia tahun sebesar 19,23%, sedangkan untuk responden yang berusia lebih dari 50 tahun belum dilaksanakan. Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa semakin tingginya usia tidak menjamin Pelaksanaan Standar

111 89 Pelayanan kefarmasian di Apotek lebih baik, walaupun jika dilihat dari segi usia kelompok ini memiliki banyak pengetahuan dan pengalaman kerja di bidangnya. Jika dilihat secara spesifik pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian, responden dengan usia lebih dari 50 tahun pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasiannya labih baik dibandingkan dengan responden yang berusia tahun. Gambar juga menunjukkan pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek oleh responden yang berumur lebih dari 50 tahun lebih merata dibandingkan dengan responden yang berusia tahun. Namun jika dilihat dari pelaksanaan evaluasi mutu pelayanan, responden yang berusia tahun lebih baik dibandingkan responden yang berusia lebih dari 50 tahun.

112 Usia Responden 100% 86.51% 79% 83% 79% 50% 19.23% 0% 0.00% Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan tahun (n=7) > 50 tahun (n=2) Gambar 23 Diagram Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek-Apotek Kabupaten Gunungkidul Berdasarkan Usia Responden Secara Umum 90

113 100% 50% 0% Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Usia Responden Evaluasi Mutu Pelayanan Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan tahun (n=7) > 50 tahun (n=2) Evaluasi Mutu Pelayanan pengambilan keputusan di apotek papan petunjuk apotek penempatan produk yg terpisah ruang tunggu tempat display informasi ruang konseling tertutup ruang racikan keranjang sampah perencanaan pengadaan penyimpanan informasi pada w adah baru pencatatan&pengarsipan pembelian penyertaan bukti/faktur penjualan pencatatan penjualan pencatatan narkotika&psikotropika pengarsipan resep pengisian medication record persyaratan administratif kesesuaian farmasetik pertimbangan klinis konsultasi dengan dokter etiket jelas&dapat dibaca pengecekan resep sebelum diserahkan keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat jam konseling setiap hari konseling secara berkelanjutan informasi yg diberikan pada pasien diseminasi informasi kesehatan tindak lanjut terapi survey tingkat kepuasan konsumen w aktu pelayanan per pasien prosedur tetap Gambar 24. Diagram Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek-Apotek Kabupaten Gunungkidul Berdasarkan Usia Responden Secara Spesifik 91

114 92 2. Lama kerja di apotek Secara umum pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek untuk responden dengan pengalaman kerja 6-10 tahun lebih baik dibandingkan dengan kelompok pengalaman kerja yang lain. Pelaksanaan pengelolaan sumber daya untuk responden dengan pengalaman kerja kurang dari 1 tahun sebesar 100%, untuk responden dengan pengalaman kerja 1-5 tahun sebesar 79%, untuk responden dengan pengalaman kerja 6-10 tahun sebesar 94%, dan untuk responden dengan pengalaman kerja lebih dari 10 tahun sebesar 91%. Pelaksanaan pelayanan untuk responden dengan pengalaman kerja kurang dari 1 tahun sebesar 83%, untuk responden dengan pengalaman kerja 1-5 tahun sebesar 67%, untuk responden dengan pengalaman kerja 6-10 tahun sebesar 92%, dan untuk responden dengan pengalaman kerja lebih dari 10 tahun sebesar 83%. Pelaksanaan evaluasi mutu pelayanan untuk responden dengan pengalaman kerja kurang dari 1 tahun belum dilaksanakan, untuk responden dengan pengalaman kerja 1-5 tahun sebesar 8,33%, untuk responden dengan pengalaman kerja 6-10 tahun sebesar 66,67%, dan untuk responden dengan pengalaman kerja lebih dari 10 tahun sebesar 11%. Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa semakin tinggi pengalaman kerja tidak menjamin Pelaksanaan Standar Pelayanan kefarmasian di Apotek lebih baik, walaupun jika dilihat dari segi pengalaman kerja kelompok ini memiliki banyak pengetahuan dan telah menguasai bidangnya. Jika dilihat secara spesifik, pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan pengalaman kerja responden, responden dengan pengalamam

115 93 kerja 6-10 tahun lebih baik dibandingkan dengan kelompok pengalaman kerja yang lain. Dilihat dari pengalaman kerja seharusnya responden dengan pengalaman kerja lebih dari 10 tahun, pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasiannya lebih baik. Tetapi dari gambar, pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian untuk kelompok pengalaman kerja lebih dari 10 tahun tidak lebih baik dibandingkan dengan kelompok pengalaman kerja 6-10 tahun. Dari data diketahui bahwa kelompok pengalaman kerja lebih dari 10 tahun, pada umumnya berada pada usia lebih dari 50 tahun.

116 100% 100% 83% 79% Lama Kerja di Apotek 94% 92% 91% 83% 67% 66.67% 50% 0% 0.00% 8.33% 11.00% Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan < 1 tahun (n=1) 1-5 tahun (n=4) 6-10 tahun (n=1) > 10 tahun (n=3) Gambar 25. Diagram Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek-Apotek Kabupaten Gunungkidul Berdasarkan Lama Kerja di Apotek Secara Umum 94

117 100% 50% 0% Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan Pengelolaan Sumber Daya Lama Kerja di Apotek Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan < 1 tahun (n=1) 1-5 tahun (n=4) 6-10 tahun (n=1) > 10 tahun (n=3) Evaluasi Mutu Pelayanan pengambilan keputusan di apotek papan petunjuk apotek penempatan produk yg terpisah ruang tunggu tempat display informasi ruang konseling tertutup ruang racikan keranjang sampah perencanaan pengadaan penyimpanan informasi pada w adah baru pencatatan&pengarsipan pembelian penyertaan bukti/faktur penjualan pencatatan penjualan pencatatan narkotika&psikotropika pengarsipan resep pengisian medication record persyaratan administratif kesesuaian farmasetik pertimbangan klinis konsultasi dengan dokter etiket jelas&dapat dibaca pengecekan resep sebelum diserahkan keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat jam konseling setiap hari konseling secara berkelanjutan informasi yg diberikan pada pasien diseminasi informasi kesehatan tindak lanjut terapi survey tingkat kepuasan konsumen w aktu pelayanan per pasien prosedur tetap Gambar 26. Diagram Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek-Apotek Kabupaten Gunungkidul Berdasarkan Lama Kerja di Apotek Secara Spesifik 95

118 96 3. Posisi responden di apotek Menurut Permenkes Nomor 922 tahun 1993, apoteker di apotek ada yang disebut Apoteker Pengelola Apotek (APA), Apoteker Pendamping dan Apoteker Pengganti. Secara umum pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian oleh Apoteker Pendamping lebih baik dibandingkan Apoteker Pengelola Apotek. Pelaksanaan pengelolaan sumber daya oleh Apoteker Pendamping sebesar 100%, sedangkan pengelolaan sumber daya oleh Apoteker Pengelola Apotek sebesar 85,42%. Pelaksanaan Pelayanan oleh Apoteker Pendamping sebesar 92%, sedangkan pelayanan oleh Apoteker Pengelola Apotek sebesar 77%. Pelaksanaan evaluasi mutu pelayanan oleh Apoteker Pendamping belum dilaksanakan, sedangkan pengelolaan evaluasi mutu pelayanan oleh Apoteker Pengelola Apotek sebesar 16,67%. Secara spesifik, pelakanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek yang dilakukan oleh Apoteker Pendamping lebih baik dibandingkan Apoteker Pengelola Apotek. Hal ini disebabkan karena Apoteker Pengelola Apotek memiliki pekerjaan lain selain apoteker sehingga dapat menyebabkan terlalu lelah, berkurangnya konsentrasi sehingga tidak optimal dalam pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (Gambaran hubungan adanya pekerjaan lain dengan pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dapat dilihat pada gambar berikutnya). Namun pelaksanaan evaluasi mutu pelayanan oleh Apoteker Pengelola Apotek lebih baik dibandingkan Apoteker Pendamping. Hal ini disebabkan Apoteker Pengelola Apotek Lebih memiliki tanggungjawab terhadap perkembangan dan kemajuan apotek yang dikelolanya.

119 Posisi Responden di Apotek 100% 85.42% 77% 100% 92% 50% 16.67% 0% 0.00% Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan Apoteker Pengelola Apotek (n=8) Apoteker Pendamping (n=1) Gambar 27. Diagram Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek-Apotek Kabupaten Gunungkidul Berdasarkan Posisi Responden di Apotek Secara Umum 97

120 100% 50% 0% Pengelolaan Sumber Daya Posisi Responden di Apotek Pelayanan Apoteker Pengelola Apotek (n=8) Evaluasi Mutu Pelayanan Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Apoteker Pendamping (n=1) Evaluasi Mutu Pelayanan pengambilan keputusan di apotek papan petunjuk apotek penempatan produk yg terpisah ruang tunggu tempat display informasi ruang konseling tertutup ruang racikan keranjang sampah perencanaan pengadaan penyimpanan informasi pada w adah baru pencatatan&pengarsipan pembelian penyertaan bukti/faktur penjualan pencatatan penjualan pencatatan narkotika&psikotropika pengarsipan resep pengisian medication record persyaratan administratif kesesuaian farmasetik pertimbangan klinis konsultasi dengan dokter etiket jelas&dapat dibaca pengecekan resep sebelum diserahkan keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat jam konseling setiap hari konseling secara berkelanjutan informasi yg diberikan pada pasien diseminasi informasi kesehatan tindak lanjut terapi survey tingkat kepuasan konsumen w aktu pelayanan per pasien prosedur tetap Gambar 28. Diagram Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek-Apotek Kabupaten Gunungkidul Berdasarkan Posisi Responden di Apotek Secara Spesifik 98

121 99 4. Adanya pekerjaan lain selain sebagai Apoteker Ada tidaknya pekerjaan lain selain sebagai apoteker di apotek, apa pun jenis pekerjaannya, sedikit banyak akan berpengaruh pada jam kehadiran dan kinerja apoteker di apotek. Menurut Surat Kepmenkes RI Nomor 831/Ph/64/b apotek-apotek yang didirikan berdasarkan ijin Departemen Kesehatan yang dikeluarkan sesudah tanggal 1 September 1964 harus dipimpin oleh seorang apoteker yang bekerja penuh (full-time). Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan bahwa apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang profesional. Berdasarkan keterangan tersebut, apoteker diharapkan dapat tetap bersikap profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai apoteker di apotek walaupun memiliki pekerjaan lainnya. Secara umum, pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian oleh apoteker yang tidak memiliki pekerjaan lain selain sebagai apoteker lebih baik dibandingkan dengan apoteker yang memiliki pekerjaan lain. Pelaksanaan pengelolaan sumber daya oleh apoteker yang tidak memiliki pekerjaan lain selain sebagai apoteker sebesar 90%, sedangkan apoteker yang memiliki pekerjaan sebesar 83%. Pelaksanaan pelayanan oleh apoteker yang tidak memiliki pekerjaan lain selain sebagai apoteker sebesar 82%, sedangkan apoteker yang memiliki pekerjaan sebesar 73%. Pelaksanaan evaluasi mutu pelayanan oleh apoteker yang tidak memiliki pekerjaan lain selain sebagai apoteker sebesar 20%, sedangkan apoteker yang memiliki pekerjaan sebesar 8,33%. Secara spesifik, pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek oleh apoteker yang tidak memiliki pekerjaan lain selain apoteker lebih baik

122 100 dibandingkan apateker yang mempunyai pekerjaan lain. Hal ini dikarenakan, dengan tidak adanya pekerjaan lain, fokus perhatian responden terpusat pada satu objek yaitu apotek dan segala aspek di dalamnya. Selain itu, apoteker yang tidak memiliki pekerjaan lain pada umumnya berada pada kelompok umur tahun dan memiliki pengalaman kerja 1-5 tahun dan responden ini merupakan apotekerapoteker yang baru saja menyelesaikan pendidikan program profesi apoteker. Dengan demikian mereka dapat berkonsentrasi pada tugas dan tanggung jawabnya di apotek.

123 Adanya Pekerjaan Lain Selain Sebagai Apoteker 100% 83% 73% 90% 82% 50% 8.33% 20% 0% Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan Ada Pekerjaan Lain (n=4) Tidak Ada Pekerjaan Lain (n=5) Gambar 29. Diagram Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek-Apotek Kabupaten Gunungkidul Berdasarkan Adanya Pekerjaan Lain selain sebagai Apoteker Secara Umum 101

124 100% 50% 0% Adanya Pekerjaan Lain Selain Sebagai Apoteker Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Ada Pekerjaan Lain (n=4) Evaluasi Mutu Pelayanan Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Tidak Ada Pekerjaan Lain (n=5) Evaluasi Mutu Pelayanan pengambilan keputusan di apotek papan petunjuk apotek penempatan produk yg terpisah ruang tunggu tempat display informasi ruang konseling tertutup ruang racikan keranjang sampah perencanaan pengadaan penyimpanan informasi pada w adah baru pencatatan&pengarsipan pembelian penyertaan bukti/faktur penjualan pencatatan penjualan pencatatan narkotika&psikotropika pengarsipan resep pengisian medication record persyaratan administratif kesesuaian farmasetik pertimbangan klinis konsultasi dengan dokter etiket jelas&dapat dibaca pengecekan resep sebelum diserahkan keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat jam konseling setiap hari konseling secara berkelanjutan informasi yg diberikan pada pasien diseminasi informasi kesehatan tindak lanjut terapi survey tingkat kepuasan konsumen w aktu pelayanan per pasien prosedur tetap Gambar 30. Diagram Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek-Apotek Kabupaten Gunungkidul Berdasarkan Adanya Pekerjaan Lain selain sebagai Apoteker Secara Spesifik 102

125 Waktu kerja di apotek dalam seminggu Secara umum, pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian oleh responden dengan waktu kerja 3-5 hari lebih baik dibandingkan dengan responden dengan waktu kerja 6-7 hari. Pelaksanaan pengelolaan sumber daya oleh responden dengan waktu kerja 3-5 hari sebesar 88%, sedangkan responden dengan waktu kerja 6-7 hari sebesar 81%. Pelaksanaan pelayanan oleh responden dengan waktu kerja 3-5 hari sebesar 79%, sedangkan responden dengan waktu kerja 6-7 hari sebesar 75%. Pelaksanaan evaluasi mutu pelayanan oleh responden dengan waktu kerja 3-5 hari sebesar 8,33%, sedangkan responden dengan waktu kerja 6-7 hari sebesar 20%. Secara spesifik tidak ada perbedaan yang begitu besar antara dua kelompok perbedaan waktu kerja dalam satu minggu. Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian untuk parameter sumber daya dan pelayanan tidak terlalu berbeda jauh, sedangkan untuk parameter evaluasi mutu pelayanan, responden dengan waktu kerja 6-7 hari dalam seminggu lebih baik dibandingkan responden dengan waktu kerja 3-5 hari. Selain itu responden dengan waktu kerja 6-7 hari dalam seminggu pada umumnya bekerja dalam sehari lebih panjang (rata-rata waktu kerja dalam sehari lebih dari 6 jam). Gambaran hubungan pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dengan perbedaan waktu kerja dalam sehari dapat dilihat pada gambar berikutnya.

126 Waktu Kerja di Apotek Dalam Seminggu 100% 88% 79% 81% 75% 50% 8.33% 20% 0% Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan 3-5 hari (n=4) 6-7 hari (n=5) Gambar 31. Diagram Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek-Apotek Kabupaten Gunungkidul Berdasarkan Waktu Kerja di Apotek dalam Seminggu Secara Umum 104

127 100% 50% 0% Pengelolaan Sumber Daya Waktu Kerja di Apotek Dalam Seminggu Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan 3-5 hari (n=4) 6-7 hari (n=5) Evaluasi Mutu Pelayanan pengambilan keputusan di apotek papan petunjuk apotek penempatan produk yg terpisah ruang tunggu tempat display informasi ruang konseling tertutup ruang racikan keranjang sampah perencanaan pengadaan penyimpanan informasi pada w adah baru pencatatan&pengarsipan pembelian penyertaan bukti/faktur penjualan pencatatan penjualan pencatatan narkotika&psikotropika pengarsipan resep pengisian medication record persyaratan administratif kesesuaian farmasetik pertimbangan klinis konsultasi dengan dokter etiket jelas&dapat dibaca pengecekan resep sebelum diserahkan keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat jam konseling setiap hari konseling secara berkelanjutan informasi yg diberikan pada pasien diseminasi informasi kesehatan tindak lanjut terapi survey tingkat kepuasan konsumen w aktu pelayanan per pasien prosedur tetap Gambar 32. Diagram Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek-Apotek Kabupaten Gunungkidul Berdasarkan Waktu Kerja di Apotek dalam Seminggu Secara Spesifik 105

128 106 6.Waktu kerja di apotek dalam satu hari Secara umum, pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian untuk responden dengan waktu kerja lebih dari 6 jam dalam 1 hari lebih baik dibandingkan dengan responden dengan waktu kerja yang lain. Pelaksanaan pengelolaan sumber daya untuk responden dengan waktu kerja lebih dari 6 jam sebesar 89%, responden dengan waktu kerja 4-6 jam sebesar 85%, dan responden dengan waktu kerja kurang dari 4 jam sebesar 87%. Pelaksanaan pelayanan untuk responden dengan waktu kerja lebih dari 6 jam sebesar 88,89%, responden dengan waktu kerja 4-6 jam sebesar 70%, dan responden dengan waktu kerja kurang dari 4 jam sebesar 81%. Pelaksanaan evaluasi mutu pelayanan untuk responden dengan waktu kerja lebih dari 6 jam sebesar 11%, responden dengan waktu kerja 4-6 jam sebesar 22%, dan responden dengan waktu kerja kurang dari 4 jam sebesar 11%. Secara spesifik dapat disimpulkan bahwa apoteker dengan waktu kerja lebih dari 6 jam dalam 1 hari lebih baik dibandingkan apoteker dengan waktu kerja dibawah 6 jam dalam 1 hari. Hal ini disebabkan karena apoteker tersebut tidak memiliki pekerjaan lain atau secara full time bekerja di apotek, sehingga pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian dapat dilakukan secara optimal.

129 Waktu Kerja di Apotek Dalam Satu Hari 100% 87% 81% 85% 70% 89% 88.89% 50% 22% 11% 11% 0% Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan < 4 jam (n=3) 4-6 jam (n=3) > 6 jam (n=3) Gambar 33. Diagram Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek-Apotek Kabupaten Gunungkidul Berdasarkan Waktu Kerja di Apotek dalam Satu Hari Secara Umum 107

130 100% 50% 0% Pengelolaan Sumber Daya Waktu Kerja di Apotek Dalam Satu Hari Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan Evaluasi Mutu Pelayanan Pengelolaan Sumber Daya Pelayanan < 4 jam (n=3) 4-6 jam (n=3) > 6 jam (n=3) Evaluasi Mutu Pelayanan pengambilan keputusan di apotek papan petunjuk apotek penempatan produk yg terpisah ruang tunggu tempat display informasi ruang konseling tertutup ruang racikan keranjang sampah perencanaan pengadaan penyimpanan informasi pada w adah baru pencatatan&pengarsipan pembelian penyertaan bukti/faktur penjualan pencatatan penjualan pencatatan narkotika&psikotropika pengarsipan resep pengisian medication record persyaratan administratif kesesuaian farmasetik pertimbangan klinis konsultasi dengan dokter etiket jelas&dapat dibaca pengecekan resep sebelum diserahkan keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat jam konseling setiap hari konseling secara berkelanjutan informasi yg diberikan pada pasien diseminasi informasi kesehatan tindak lanjut terapi survey tingkat kepuasan konsumen w aktu pelayanan per pasien prosedur tetap Gambar 34. Diagram Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek-Apotek Kabupaten Gunungkidul Berdasarkan Waktu Kerja di Apotek dalam Satu Hari Secara Spesifik 108

131 109 F. Rangkuman Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 belum dilaksanakan secara menyeluruh oleh apoteker di apotek-apotek Kabupaten Gunungkidul karena masih terdapatnya persentase pelaksanaan di bawah 50%. Pelaksanaan pengelolaan sumber daya yang masih di bawah 50% yaitu pengisian medication record (34%). Pelaksanaan pelayanan yang masih di bawah 50% yaitu diseminasi informasi kesehatan (34%), dan pelaksanaan tindak lanjut terapi (33%). Semua aspek dalam pelaksanaan evaluasi mutu pelayanan masih memiliki persentase di bawah 50%, yaitu pelaksanaan survei tingkat kepuasan konsumen tidak dilaksanakan, penetapan lama pelayanan tiap pasien (11%), dan adanya prosedur tertulis dan tetap (34%). Urutan persentase pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 dari persentase terbesar ke persentase terkecil yaitu pelaksanaan pengelolaan sumber daya, pelaksanaan pelayanan, dan pelaksanaan evaluasi mutu pelayanan. Persentase terbesar dimiliki oleh pengelolaan sumber daya sedangkan persentase terkecil dimiliki oleh evaluasi mutu pelayanan, sehingga evaluasi mutu pelayanan perlu diberi perhatian yang lebih agar dapat ditingkatkan lagi pelaksanaannya. Selain itu juga dapat dilihat bahwa usia, pengalaman kerja, posisi, adanya pekerjaan lain, waktu kerja dalam sehari maupun dalam seminggu berpengaruh dalam pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian. Dari parameter tersebut dapat

132 110 disimpulkan apoteker dengan usia muda atau apoteker-apoteker yang baru menyelesaikan program studi apoteker dengan pengalaman kerja yang minim melaksanakan Standar Pelayanan Kefarmasain di Apotek lebih baik dibandingkan dengan apoteker yang memiliki usia dan pengalaman kerja yang lama. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan introspeksi/perenungan diri bagi Apoteker baik Apoteker Pengelola Apotek maupun Apoteker Pendamping dalam meningkatkan kinerja pelayanan kefarmasian, juga Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul, ISFI sebagai organisasi sarjana farmasi serta BPOM sebagai instansi pengawasan dan pembinaan mampu meningkatkan kinerjanya sehingga dapat melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional.

133 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah 1. Parameter dari Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 yang telah terlaksana dengan baik, cukup dan kurang secara berurutan adalah pengelolaan sumber daya manusia (85%), pelayanan (77,83%) dan evaluasi mutu pelayanan (14,67%). 2. Apoteker di apotek-apotek di Kabupaten Gunungkidul belum melaksanakan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 secara menyeluruh. 3. Karakteristik responden memberikan perbedaan dalam pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di apotek-apotek Kabupaten Gunungkidul. Perbedaan itu terletak pada pelaksanaan pengelolaan sumber daya manusia, pelayanan.serta belum dilaksanakannya evaluasi mutu pelayanan. 4. Standar Pelayanan Kefamasian yang telah dilaksanakan sepenuhnya adalah papan petunjuk apotek, ruang tunggu, tempat display informasi, keranjang sampah, informasi pada wadah baru, pencatatan dan pengarsipan pembelian, pencatatan penjualan, pencatatan narkotika dan psikotropika, persyaratan administrasi, konsultasi dengan dokter, etiket jelas dan mudah dibaca, serta 111

134 112 pengecekan resep, sedangkan Standar Pelayanan Kefamasian yang belum dilaksanakan sepenuhnya adalah survey tingkat kepuasan pasien. B. Saran 1. Dalam rangka menindak lanjuti hasil penelitian ini, diharapkan adanya respon positif dari pihak Departemen Kesehatan, ISFI dan Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul untuk mensosialisasikan pelaksanaan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/IX/2004 dengan mengadakan penyuluhan dan seminar sehingga Apoteker Pengelola Apotek di Kabupaten Gunungkidul dapat melaksanakan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/IX/ Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul bekerja sama dengan ISFI serta BPOM melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/IX/ Perlu peningkatan kesadaran Apoteker di apotek-apotek Kabupaten Gunungkidul akan pentingnya pemahaman perundang-undangan mengenai Keputusan Menteri tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek terutama pengisian medication record, desiminasi informasi kesehatan, tindak lanjut terapi dan evaluasi mutu pelayanan. 4. Perlu adanya peran dari Perguruan Tinggi dalam mempersiapkan calon apoteker sehingga lulusan apoteker memiliki kualitas yang bisa diandalkan terutama dalam medication record dan pelayanan residensial (Home Care).

135 Perlu dilakukan penelitian sejenis pada tingkat populasi yang lebih besar seperti penelitian pada tingkat Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 6. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengacu pada pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian dengan responden yang berbeda yaitu Apoteker di Rumah Sakit. 7. Perlu diadakannya wawancara yang lebih mendalam pada penelitian selanjutnya, mengenai alasan responden untuk tiap jawaban yang diberikan sehingga dapat diketahui latar belakang sudah dilaksanakan maupun belum dilaksanakannya Standar Pelayanan Kefarmasian tersebut. 8. Perlu dilakukan penelitian sejenis dengan responden adalah pengguna jasa apotek, misalnya pasien atau pengunjung apotek.

136 114 DAFTAR PUSTAKA Adi, R., 2004, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, 79-82, Granit, Jakarta Anief, M., 1995, Manajemen Farmasi, Universitas Gadjah Mada Press, Yogyakarta Anonim, 1962, Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1962 Tentang Lafal Sumpah/Janji Apoteker, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1965, Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 Tentang Apotek, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1980, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1980 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 Tentang Apotek, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1981a, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 278/MENKES/SK/V/1981 Tentang Persyaratan Apotik, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1981b, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 280/MENKES/SK/V/1981 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengelolaan Apotik, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1981c, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 26/MENKES/ PER/I/1981, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1991, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan kedua, Balai Pustaka, Jakarta Anonim, 1992, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1993a, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 918/MENKES/PER/X/1993 Tentang Pedagang Besar Farmasi, Depkes RI, Jakarta

137 115 Anonim, 1993b, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/MENKES/PER/X/1993 Tentang Ketentuan dan Tatacara Pemberian Izin Apotek, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1995, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 184/MENKES/PER/II/1995 Tentang Penyempurnaan Pelaksanaan Masa Bakti da Izin Kerja Apoteker, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1996, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1997a, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1997b, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika, Depkes RI, Jakarta Anonim, 1999, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Depkes RI, Jakarta Anonim, 2001, Draft Hasil Rapat Kerja Nasional I, Badan Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Semarang Anonim, 2002, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1332/MENKES/SK/X/2002 Tentang Ketentuan dan Tatacara Pemberian Izin Apotek, Depkes RI, Jakarta Anonim, 2003, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Depkes RI, Jakarta Anonim, 2004a, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Depkes RI, Jakarta Anonim, 2004b, Standar Kompetensi Farmasis Indonesia, Badan Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Jakarta Azwar, S., 1999, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Azwar, S., 2003, Reliabilitas dan Validitas, 4-8, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

138 116 Budiharjo, 1981, Kode Etik Kefarmasian, Pembinaan Profesi Apoteker Pengelola Apotek, Jilid B, 4-5, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Pelaksanaan Departemen Kesehatan Republik Indonesua, Jakarta Harding, 1993, Sociology for Pharmacists; an Introduction, The Macmillan, London Hartono, 2003, Manajemen Apotek, edisi baru, Depot Informasi Obat, Jakarta. Hartini, Y.S. dan Sulasmono, 2006, Apotek : Ulasan Beserta Naskah Peraturan Perundang-Undangan Terkait Apotek, Penerbit Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta Isdaryadi, F. Wisnu., 2005, Bisnis Berwawasan Etika, Ombudsman, No.II, Kontour, R., 2003, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, 105, PPM, Yogyakarta Mardalis, 2006, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, 24-69, Bumi Aksara, Jakarta. Nawawi, H., 1998, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Pratiknya, A.W., 2001, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan, 67-68, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Salim, P. dan Yenny Salim, 1991, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer, Edisi III, Modern English Press, Jakarta Sulasmono, 1997, Profesi di Apotek Sekarang dan Masa Depan dengan Analisis SWOT, Diskusi Kuliah Pengantar Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta Sukmajati, M.A., 2007, Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek berdasarkan KepMenKes RI Nomor 1027/MenKes/SK/IX/2004 di Kota Yogyakarta, Skripsi, Fakultas Farmasi USD, Yogyakarta

139 117 Soedarsono, A.K., 2007, Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Berdasarkan KepMenKes RI Nomor 1027/MenKes/SK/IX/2004 di Kabupaten Sleman, Skripsi, Fakultas Farmasi USD, Yogyakarta Trisna, Y., 2007, Mencegah Medication Error, Makalah Seminar Patient Safety and Drug Information, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta Wahyuni, B., 2005, Publik Tidak Boleh Ditipu Lagi, Ombudsman, No.II, 25

140 118 LAMPIRAN Lampiran 1. Surat Pengantar Kuesioner Penelitian Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Kepada Yth Apoteker Pengelola Apotek Kabupaten Gunungkidul Dengan hormat, Dalam rangka menyelesaikan jenjang studi S-1, saya bermaksud mengadakan penelitian dengan judul Kajian Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 di Kabupaten Gunungkidul. Sehubungan dengan hal itu, saya mohon kerelaan Bapak/Ibu untuk menjawab pertanyaan berikut dengan lengkap dan sesuai dengan hati nurani Bapak/Ibu. Karena jawaban yang saya butuhkan adalah jawaban yang paling sesuai dengan keadaan Bapak/Ibu, dan jawaban tidak mendapat penilaian benar atau salah. Semua informasi yang Bapak/Ibu berikan akan dijaga kerahasiannya demi kepentingan ilmiah. Atas bantuan Bapak/Ibu mengisi daftar pertanyaaan berikut saya mengucapkan terima kasih. Hormat saya, Yustinus Bambang T.I NIM:

141 119 Lampiran 2. Kuesioner Penelitian KUESIONER PENELITIAN KAJIAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK BERDASARKAN KEPMENKES RI NOMOR 1027/MENKES/SK/IX/2004 DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL I. Data Responden Petunjuk Pengisian : Lingkarilah jawaban yang benar No Pertanyaan Jawaban 1. Berapakah umur Anda? a tahun b tahun c. >50 tahun 2. Apakah posisi Anda di apotek? a. APA b. Apoteker Pendamping c. Apoteker Pengganti 3. Berapa lama pengalaman Anda bekerja sebagai Apoteker di apotek yang sekarang? a. <1 tahun b. 1-5 tahun c tahun d. >10 tahun 4. Apakah Anda memiliki pekerjaan yang lain? a. Ya b. Tidak 5. Berapa hari rata-rata Anda bekerja di apotek dalam seminggu? a. <3 hari b. 3-5 hari c. 6-7 hari 6. Berapa lama rata-rata Anda bekerja di apotek dalam satu hari? a. <4 jam b. 4-6 jam c. >6 jam

142 120 II. Kuesioner Tentang Pengelolaan Sumber Daya Petunjuk Pengisian: Berilah tanda pada jawaban yang sesuai No Pertanyaan YA TIDAK 1 Apakah pada halaman depan apotek Anda terdapat papan yang tertulis kata apotek? 2 Apakah apotek Anda memiliki ruang tunggu bagi pasien? a. Apakah di apotek Anda tersedia informasi berupa brosur, leaflet atau poster mengenai kesehatan 3 (misalnya obat-obat baru)? b. Jika ya, apakah ada tempat khusus untuk mendisplay informasi tersebut (misalnya penempatan brosur dalam suatu wadah)? 4 Apakah apotek Anda memiliki ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien? Apakah apotek Anda memiliki : 5 a. ruang racikan kering? b. ruang racikan basah? 6 7 Apakah apotek Anda memiliki keranjang sampah yang tersedia untuk staf? Apakah apotek Anda memiliki keranjang sampah yang tersedia untuk pasien? Apakah dalam perencanaan pengadaan sediaan farmasi Anda memperhatikan : 8 a. pola penyakit? b. kemampuan masyarakat? c. budaya masyarakat?

143 Dari manakah Anda memperoleh obat-obatan? a. PBF b. Pabrik farmasi c. Apotek lain 9 d. Toko obat e. Swalayan 2. Apakah setiap obat yang dipesan/dibeli, selalu disertai bukti/faktur pembelian? 3. Apakah setiap obat yang dipesan/dibeli, selalu dicatat dalam buku penerimaan? 10 Adakah tempat penyimpanan khusus (misalnya lemari pendingin atau tempat penyimpanan narkotika dan psikotropika) untuk obat tertentu (misalnya serum, vaksin)? 1. Apakah apotek Anda pernah memindahkan isi obat dari wadah asli ke wadah lain? 2. Jika ya, apakah informasi di bawah ini Anda sertakan pada wadah baru tersebut? 11 a.produsen (pabrik) b.nomor batch c.tanggal kadaluarsa d.aturan pakai e.cara penyimpanan Apakah pelayanan produk kefarmasian (misalnya 12 obat, kosmetik, makanan) diberikan pada tempat yang terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya (misalnya pembalut wanita, alat

144 122 kontrasepsi, popok bayi)? Apakah setiap penjualan selalu dilengkapi dengan faktur atau nota penjualan? Apakah setiap penjualan selalu dicatat dalam buku penjualan? Apakah setiap pengeluaran narkotika dan psikotropika 15 selalu dicatat dalam buku pencatatan narkotika dan psikotropika? 16 Apakah setiap resep selalu disimpan menurut urutan tanggal dan nomor urut resep? 17 Apakah Anda selalu melakukan medication record? III. Kuesioner Tentang Pelayanan Petunjuk Pengisian: Berilah tanda pada jawaban yang sesuai No Pertanyaan YA TIDAK 18 Apakah Anda selalu melakukan skrining resep, meliputi : 1. PERSYARATAN ADMINISTRATIF 2. KESESUAIAN FARMASETIK : a. Bentuk sediaan b. Dosis c. Potensi d. Stabilitas e. Inkompatibilitas f. Cara pemberian g. Lama pemberian 3. PERTIMBANGAN KLINIS : a. Alergi

145 123 b. Efek samping c. Interaksi e. Durasi f. Jumlah obat Apakah Anda selalu melakukan konsultasi dengan 19 dokter penulis resep apabila ada ketidakjelasan dalam penulisan resep? Apakah anda selalu melakukan pengecekan 20 kesesuaian antara obat dan etiket terhadap resep sebelum diserahkan kepada pasien? 21 Apakah apoteker selalu terlibat langsung dalam penyerahan obat kepada pasien? Apakah Anda selalu memberikan infomasi mengenai: a. Cara pemakaian obat 22 b. Cara penyimpanan obat c. Jangka waktu pengobatan d. Makanan dan minuman yang harus dihindari e. Aktivitas yang harus dihindari 23 Apakah pernah terjadi keluhan dari pasien mengenai etiket (tidak jelas/sulit dibaca)? Apakah keputusan yang diambil di apotek (mencakup 24 perencanaan, pegadaan dan penyimpanan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya) selalu berdasarkan persetujuan APA? 25 Apakah Anda menyediakan jam konseling setiap hari bagi pasien?

146 124 Apakah Anda juga menyediakan jam konseling secara 26 berkelanjutan, terutama untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya? Apakah Anda melakukan tindak lanjut terapi (misalnya 27 melalui komunikasi telepon dengan pasien atau mengunjungi pasien)? Apakah Anda pernah melakukan diseminasi 28 (penyebaran) informasi kesehatan (misalnya penyebaran brosur dan poster, melakukan penyuluhan)? IV. Kuesioner Tentang Evaluasi Mutu Pelayanan Petunjuk Pengisian: Berilah tanda pada jawaban yang sesuai No Pertanyaan YA TIDAK Apakah pernah dilakukan survey mengenai tingkat kepuasan konsumen? 2. Jika ya, apakah survey tersebut berupa: a.angket b.wawancara Apakah Anda menetapkan lama pelayanan (waktu pelayanan maksimal per pasien)? Apakah ada prosedur yang tertulis dan tetap dalam pelayanan pasien?

147 125 Lampiran 3. Surat Izin Penelitian

148 126 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Lampiran 4. Tabulasi Data DATA RESPONDEN NO DATA RESPONDEN JUMLAH % a tahun 7 77, b tahun - - c > 50 tahun 2 22,22222 a < 1 tahun 1 11, b 1-5 tahun 4 44,44444 c 6-10 tahun 1 11,11111 d > 10 tahun 3 33,33333 a Apoteker Pengelola Apotik 8 88, Apoteker b Pendamping c Apoteker Pengganti a Ya 4 44,44444 b Tidak 5 55,55556 a < 3 hari b 3-5 hari 4 44,44444 c 6-7 hari 5 55,55556 a < 4 jam 3 33, b 4-6 jam 3 33,33333 c > 6 jam 3 33,33333

149 127 DATA PENGELOLAAN SUMBER DAYA NO JUMLAH % YA TIDAK - - YA TIDAK - - YA a TIDAK YA b TIDAK - - YA 5 55,56 4 TIDAK 4 44,44 YA a TIDAK YA 6 66,67 b TIDAK 3 33, a 8 b YA 8 88,89 c TIDAK 1 11,11 a YA 3 33,33 b TIDAK 6 66, c YA 4 44,44 d TIDAK 5 55,56 YA 2 22,22 e TIDAK 7 77,78 YA YA YA YA YA YA TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK

150 YA TIDAK YA TIDAK - - YA TIDAK YA TIDAK YA 1 11,11 TIDAK 8 88,89 a YA 1 11,11 TIDAK - - b YA 1 11,11 TIDAK c YA 1 11,11 TIDAK - - d YA 1 11,11 TIDAK - - e YA 1 11,11 TIDAK - - YA 7 77,78 TIDAK 2 22,22 YA 8 88,89 TIDAK 1 11,11 YA TIDAK - - YA TIDAK - - YA 8 88,89 TIDAK 1 11,11 YA 3 33,33 TIDAK 6 66,67

151 129 DATA PELAYANAN NO JUMLAH % YA TIDAK - - YA a TIDAK -- - YA b TIDAK - - YA c TIDAK - - YA 7 77,78 2 d TIDAK 2 22,22 YA 7 77,78 e TIDAK 2 22,22 YA f TIDAK YA g TIDAK a b YA 7 77,78 c TIDAK 2 22,22 d YA 8 88,89 e TIDAK 1 11,11 f YA 7 77,78 21 TIDAK 2 22,22 a 22 b c YA 8 88,89 d TIDAK 1 11,11 YA YA YA YA YA YA YA YA YA TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK

152 e YA TIDAK - - YA - - TIDAK YA 8 88,89 TIDAK 1 11,11 YA 8 88,89 TIDAK 1 11,11 YA 5 66,67 TIDAK 4 44,44 YA 3 33,33 TIDAK 6 55,56 YA 3 33,33 TIDAK 6 66,67 DATA EVALUASI MUTU PELAYANAN NO JUMLAH % YA - - TIDAK a YA - - TIDAK b YA 1 11,11 TIDAK 8 88,88 YA - - TIDAK YA 3 33,33 TIDAK 6 66,66

153 131 Lampiran 5. Sumpah/Janji Apoteker LAFAL SUMPAH/JANJI APOTEKER PERATURAN PEMERINTAH NO.20 TAHUN 1962 TANGGAL 20 SEPTEMBER 1962 Pasal 1 (1) Sebelum seorang apoteker melakukan jabatannya, maka ia harus mengucapkan sumpah menurut cara agama yang dipeluknya, atau mengucapkan janji. Ucapan sumpah dimulai dengan, kata-kata Demi Allah bagi mereka yang beragama Islam, dan sumpah untuk agama lain, pemakaian kata-kata Demi Allah..disesuaikan dengan kebiasaan agama masingmasing. (2) Sumpah/Janji itu berbunyi sebagai berikut : 1. Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan, terutama dalam bidang kesehatan; 2. Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan keilmuan saya sebagai apoteker; 3. Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kefarmasian saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan; 4. Saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian;

154 Dalam menunaikan kewajiban saya, saya akan berikhtiar dengan sungguhsungguh supaya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik kepartaian atau kedudukan sosial; 6. Saya ikrarkan sumpah/janji ini dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh keinsyafan.

155 133 Lampiran 6. Kode Etik Apoteker Indonesia KODE ETIK APOTEKER/FARMASIS INDONESIA KEPUTUSAN KONGRES NASIONAL XVII ISFI NO.007/KONGRES XVII/ISFI/2005 TANGGAL 18 JUNI 2005 Mukadimah Bahwasanya seorang Apoteker di dalam menjalankan tugas kewajibannya serta dalam mengamalkan keahliannya harus senantiasa mengharapkan bimbingan dan keridhaan Tuhan Yang Maha Esa. Apoteker di dalam pengabdiannya kepada nusa dan bangsa serta di dalam mengamalkan keahliannya selalu berpegang teguh kepada sumpah/janji Apoteker. Menyadari akan hal tersebut Apoteker di dalam pengabdian profesinya berpedoman pada satu ikatan moral yaitu : BAB I Kewajiban Umum Pasal 1 : sumpah/janji Setiap Apoteker harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah Apoteker. Pasal 2 Setiap Apoteker harus berusaha dengan sungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Apoteker Indonesia. Pasal 3 Setiap Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi Apoteker Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya. Pasal 4 Setiap Apoteker harus selalu aktif mengikuti perkembangan di bidang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya. Pasal 5 Didalam menjalankan tugasnya setiap Apoteker harus menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian.

156 134 Pasal 6 Seorang Apoteker harus berbudi luhur dan menjadi contoh yang baik bagi orang lain. Pasal 7 Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya. Pasal 8 Seorang Apoteker harus aktif mengikuti perkembangan peraturan perundangundangan di bidang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi khususnya. BAB II Kewajiban Apoteker Terhadap Penderita Pasal 9 Seorang Apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian harus mengutamakan kepentingan masyarkat dan menghormati hak azasi penderita dan melindungi mahluk hidup insani. BAB III Kewajiban Apoteker Terhadap Teman Sejawat Pasal 10 Setiap Apoteker harus memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan. Pasal 11 Sesama Apoteker harus selalu saling mengingatkan dan saling menasehati untuk mematuhi ketentuan-ketentuan Kode Etik. Pasal 12 Setiap Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan kerjasama yang baik sesama Apoteker di dalam memelihara keluhuran martabat jabatan kefarmasian, serta mempertebal rasa saling mempercayai di dalam menunaikan tugasnya.

157 135 BAB IV Kewajiban Apoteker Terhadap Teman Sejawat Petugas Kesehatan Lainnya Pasal 13 Setiap Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk membangun dan meningkatkan hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai dan menghormati sejawat petugas kesehatan. Pasal 14 Setiap Apoteker hendaknya menjauhkan diri dari tindakan atau perbuatan yang dapat mengakibatkan berkurangnya/hilangnya kepercayaan masyarakat kepada sejawat petugas kesehatan lainnya. BAB V Penutup Pasal 15 Setiap Apoteker bersungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Apoteker Indonesia dalam menjalankan tugas kefarmasian sehari-hari. Jika seorang Apoteker baik dengan sengaja maupun tak sengaja melanggar atau tidak mematuhi Kode Etik Apoteker Indonesia, maka dia wajib mengakui dan menerima sanksi dari pemerintah, ikatan/organisasi profesi farmasi yang menanganinya (ISFI) dan mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

158 136 Lampiran 7. Jalur Distribusi Obat JALUR DISTRIBUSI OBAT INDUSTRI FARMASI PBF/ DISTRIBUTOR SUB-DISTRIBUTOR APOTEK INSTALASI FARMASI RS TOKO OBAT BERIJIN RS TANPA INSTALASI FARMASI OBAT KERAS OBAT BEBAS VAKSIN Gambar 35. Jalur Distribusi Obat

159 137 Lampiran 8. Hasil Wawancara (P) : Peneliti (R) : Responden Responden 1 P : menurut Anda, apakah pengertian dari medication record? R : medication record itu adalah catatan pengobatan pasien. P : setiap pasien atau hanya pasien tertentu saja? R : Seharusnya setiap pasien, tetapi disini kami baru melakukan pada pasien tertentu saja kayak yang udah lansia atau yang punya penyakit tertentu yang butuh dikontrol, selain itu juga bagi paien tetap (langganan). Untuk pasien yang tidak tetap (tidak langganan) dalam arti tidak sering membeli obat di apotek ini, tidak kami masukkan dalam medication record. P : keterangan apa saja yang terdapat dalam medication record? R : semuanya tentang pasien. Nama pasien, macam-macam obat yang rutin di pakai, terutama untuk pasien yang lansia, yang punya penyakit seperti TBC itu harus dikontrol, misalnya dengan di telepon pada akhir bulan untuk mengetahui perkembangannya. P : menurut Anda, apakah pengertian dari konseling? R : konseling itu proses tanya jawab antara pasien dengan apoteker. P : pasien tanya dan anda menjawab? R : iya.

160 138 P : menurut Anda, konseling dan konsultasi memiliki pengertian yang sama atau berbeda? R : kalau konseling itu lebih spesifik, kita memberi tahu mereka tentang semuanya. P : maksud Anda prosesnya searah?bagaimana dengan konsultasi? R : iya. Kalau konsultasi itu dua arah, P : Apakah ada ruang terpisah antara ruang konseling dengan ruang konsultasi? R : iya. Responden 2 P : menurut Anda, apakah pengertian dari medication record? R : medication record itu catatan mengenai data-data tentang pasien, penyakitnya, pola pengobatannya. P : setiap pasien? keterangan apa saja yang terdapat dalam medication record? R : iya, setiap pasien. Ada nama pasien, nomor resep, alamat pasien, alamat dokter terutama untuk resep yang ada narkotikanya, riwayat penyakit. P : menurut Anda, apakah pengertian dari konseling? R : konseling itu proses dimana kalau pasien tanya mengenai obat-obatan dan penyakit. P : maksud Anda proses tanya jawab? R : iya. Jika pasien bingung bisa tanya terus kita beri penjelasan. P : hanya pasien saja yang bertanya dan Anda hanya menjawab? R : gak juga. Kadang kita juga harus bertanya untuk mengetahui kondisi pasien yang sebenarnya.

161 139 P : menurut Anda, konseling dan konsultasi memiliki pengertian yang sama atau berbeda? R : menurut saya konseling dan konsultasi berbeda tetapi biasanya pada saat pasien melakukan konseling, bisanya dibarengi dengan konsultasi, atas dasar itu kami tidak menyediakan tempat/ruang terpisah. Jadi proses konseling dan konsultasi terjadi dalm satu ruang/ruangnya jadi satu. Responden 3 P : menurut Anda, apakah pengertian dari medication record? R : medication record itu data atau catatan yang memuat data pasien. P : setiap pasien atau hanya pasien tertentu saja? R : setiap pasien yang datang. P : keterangan apa saja yang terdapat dalam medication record? R : data pribadi pasien ; nama, usia, jenis kelamin, tempat tinggal, terus obat yang dikonsumsi, data dokter, pemberian obat. Tetapi untuk saat ini kami tidak melakukan secara full, karena keterbatasan tenaga. P : menurut Anda, apakah pengertian dari konseling? R : konseling itu penyebaran informasi yang berkaitan dengan segala sesuatu yang ditanyakan pasien, penyakit, obat, efek samping. P : menurut Anda, konseling dan konsultasi memiliki pengertian yang sama atau berbeda? R : sama, hanya beda istilah. Kai tidak menyediakan tempat khusus untuk proses ini, karena keterbatasan ruang/ tempat

162 140 Lampiran 9. Contoh Angket/Kuesioner Mengenai Tingkat Kepuasan Konsumen

163

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA MENIMBANG : bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

MEHTERIKESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHAT AN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG

MEHTERIKESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHAT AN REPUBLIK INDONESIA. Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG .. MEHTERIKESEHATAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KESEHAT AN REPUBLIK INDONESIA Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 TENTANG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN 01 APOTEK MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan merupakan hak asasi manusia, setiap orang mempunyai hak untuk hidup layak, baik dalam kesehatan pribadi maupun keluarganya termasuk di dalamnya mendapat

Lebih terperinci

PERANAN APOTEKER DI RUMAH SAKIT

PERANAN APOTEKER DI RUMAH SAKIT PERANAN APOTEKER DI RUMAH SAKIT Peranan Apoteker Farmasi Rumah Sakit adalah : 1. Peranan Dalam Manajemen Farmasi Rumah Sakit Apoteker sebagai pimpinan Farmasi Rumah Sakit harus mampu mengelola Farmasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong masyarakat untuk semakin memperhatikan derajat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong masyarakat untuk semakin memperhatikan derajat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong masyarakat untuk semakin memperhatikan derajat kesehatan demi peningkatan kualitas hidup yang lebih

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Apotek Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker. (Peraturan Pemerintah no 51 tahun 2009). Sesuai ketentuan perundangan

Lebih terperinci

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN LAWEYAN KOTA SOLO TAHUN 2007 SKRIPSI

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN LAWEYAN KOTA SOLO TAHUN 2007 SKRIPSI GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KECAMATAN LAWEYAN KOTA SOLO TAHUN 2007 SKRIPSI Oleh: ROSY MELLISSA K.100.050.150 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Pengetahuan Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini setelah orang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masalah kesehatan di Indonesia sebagai salah satu negara berkembang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masalah kesehatan di Indonesia sebagai salah satu negara berkembang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah kesehatan di Indonesia sebagai salah satu negara berkembang menjadi prioritas utama program pemerintah menuju masyarakat yang sehat dan sejahtera. Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan dalam membantu mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Pelayanan kesehatan adalah

Lebih terperinci

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI KAJIAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN BERDASARKAN KEPMENKES RI NOMOR 1027/MENKES/SK/IX/2004 DI APOTEK-APOTEK KABUPATEN BANTUL SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2008 SKRIPSI

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2008 SKRIPSI GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2008 SKRIPSI Oleh: WAHID BEKTI FITRIANTO K 100 040 146 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRASI PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KABUPATEN PEMALANG PERIODE JANUARI - JUNI 2008 SKRIPSI

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRASI PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KABUPATEN PEMALANG PERIODE JANUARI - JUNI 2008 SKRIPSI TINJAUAN ASPEK ADMINISTRASI PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KABUPATEN PEMALANG PERIODE JANUARI - JUNI 2008 SKRIPSI Oleh : LINDA WIDYA RETNA NINGTYAS K 100 050 110 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

Lebih terperinci

Apoteker berperan dalam mengelola sarana dan prasarana di apotek. Selain itu, seorang apoteker juga harus menjamin bahwa:

Apoteker berperan dalam mengelola sarana dan prasarana di apotek. Selain itu, seorang apoteker juga harus menjamin bahwa: I.PENDAHULUAN Apotek adalah suatu tempat tertentu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian berupa penyaluran perbekalan farmasi kepada masyarakat dan tempat dilakukannya praktik kefarmasian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Apotek Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus dan telah

Lebih terperinci

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit

Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas adalah unit Puskesmas dan sebagai bahan masukan kepada Dinas Kesehatan Kota Stabat dalam rangka pembinaan Puskesmas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat yang disingkat puskesmas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Profesi adalah kelompok disiplin individu yang mematuhi standar etika dan mampu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Profesi adalah kelompok disiplin individu yang mematuhi standar etika dan mampu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Profesi Profesi adalah kelompok disiplin individu yang mematuhi standar etika dan mampu menegakkan diri dan diterima oleh masyarakat sebagai seorang yang memiliki ketrampilan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu Pada penelitian sebelumnya dengan judul pengaruh keberadaan apoteker terhadap mutu pelayanan kefarmasian di Puskesmas wilayah Kabupaten Banyumas berdasarkan

Lebih terperinci

SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI APOTEK KECAMATAN AMPEL KABUPATEN BOYOLALI SKRIPSI

SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI APOTEK KECAMATAN AMPEL KABUPATEN BOYOLALI SKRIPSI SURVEI KESALAHAN DALAM PENULISAN RESEP DAN ALUR PELAYANANNYA DI APOTEK KECAMATAN AMPEL KABUPATEN BOYOLALI SKRIPSI Oleh : DWI KURNIYAWATI K 100 040 126 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Lebih terperinci

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN BREBES TAHUN 2008 SKRIPSI

GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN BREBES TAHUN 2008 SKRIPSI GAMBARAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN BREBES TAHUN 2008 SKRIPSI Oleh: ASRI MUHTAR WIJIYANTI K 100 040 150 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA

Lebih terperinci

EVALUASI STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KOTA SALATIGA TAHUN 2011 SESUAI PERUNDANGAN YANG BERLAKU NASKAH PUBLIKASI

EVALUASI STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KOTA SALATIGA TAHUN 2011 SESUAI PERUNDANGAN YANG BERLAKU NASKAH PUBLIKASI EVALUASI STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK WILAYAH KOTA SALATIGA TAHUN 011 SESUAI PERUNDANGAN YANG BERLAKU NASKAH PUBLIKASI Oleh : DEWI MARYATI K 100 040 014 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

Lebih terperinci

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI KAJIAN PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN BERDASARKAN KEPMENKES RI NOMOR 1027/MENKES/SK/IX/2004 DI APOTEK -APOTEK KABUPATEN KULON PROGO SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Obat merupakan komoditi utama yang digunakan manusia untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Obat merupakan komoditi utama yang digunakan manusia untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Obat merupakan komoditi utama yang digunakan manusia untuk menunjang kesehatannya. Semua orang rela mengeluarkan uangnya untuk mendapatkan kesehatan, bahkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Apotek Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker (Presiden RI, 2009). Praktik kefarmasian meliputi pembuatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mewujudkan suatu negara yang lebih baik dengan generasi yang baik adalah tujuan dibangunnya suatu negara dimana

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mewujudkan suatu negara yang lebih baik dengan generasi yang baik adalah tujuan dibangunnya suatu negara dimana BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mewujudkan suatu negara yang lebih baik dengan generasi yang baik adalah tujuan dibangunnya suatu negara dimana untuk memperoleh generasi yang baik perlu adanya peningkatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Apotek Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tenpat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker (PP no. 51 tahun 2009) Apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia sebagai apoteker (Presiden, RI., 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia sebagai apoteker (Presiden, RI., 2009). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Apotek Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus dan telah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 284/MENKES/PER/III/2007 TENTANG APOTEK RAKYAT MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 284/MENKES/PER/III/2007 TENTANG APOTEK RAKYAT MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 284/MENKES/PER/III/2007 TENTANG APOTEK RAKYAT MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan dan memperluas akses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelayanan kefarmasian merupakan bagian yang penting dalam pelayanan kesehatan. Cara pelayanan kefarmasian yang baik menyangkut seluruh aspek pelayanan kefarmasian dan

Lebih terperinci

PENERAPAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KOTA MAGELANG

PENERAPAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KOTA MAGELANG PENERAPAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KOTA MAGELANG Elmiawati Latifah 1, Prasojo Pribadi 2, Fitriana Yuliastuti 3 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penerapan standar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pelayanan kefarmasian Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser dari obat ke pasien yang mengacu pada Pharmaceutical care. Kegiatan pelayanan kafarmasian yang semula

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengetahuan masyarakat akan pentingnya kesehatan terus meningkat seiring perkembangan zaman. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan masyarakat senantiasa diupayakan

Lebih terperinci

satu sarana kesehatan yang memiliki peran penting di masyarakat adalah apotek. Menurut Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2014, tenaga kesehatan

satu sarana kesehatan yang memiliki peran penting di masyarakat adalah apotek. Menurut Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2014, tenaga kesehatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia adalah kesehatan. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat, pemerintah melakukan berbagai upaya diantaranya menyediakan sarana pelayanan kesehatan seperti farmasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2010 diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, manfaat, perlindungan dan diarahkan untuk dapat meningkatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek. dalam rangka keselamatan pasien (patient safety) (Menkes, RI., 2014).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek. dalam rangka keselamatan pasien (patient safety) (Menkes, RI., 2014). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek Pelayanan kefarmasian di apotek saat ini telah mempunyai standar dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode zaman penjajahan sampai perang kemerdekaaan tonggak sejarah. apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode zaman penjajahan sampai perang kemerdekaaan tonggak sejarah. apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan Profesi Kefarmasian Secara historis perubahan mendasar dalam profesi kefarmasian dapat dibagi dalam beberapa periode (Anonim. 2008 b ). 1. Periode zaman penjajahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Apoteker Berdasarkan KepMenKes RI No. 1027/MenKes/SK/IX/2004, apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi yang telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Apotek merupakan bidang usaha yang sangat menjanjikan untuk digarap sebagai lahan bisnis saat ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan menjamurnya usaha apotek diberbagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Apotek Definisi apotek menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1332/MENKES/SK/X/2002 yaitu sebagai suatu tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian, penyaluran

Lebih terperinci

PENERAPAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KOTA MAGELANG BULAN SEPTEMBER TAHUN 2014 LAPORAN HASIL PENELITIAN

PENERAPAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KOTA MAGELANG BULAN SEPTEMBER TAHUN 2014 LAPORAN HASIL PENELITIAN PENERAPAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KOTA MAGELANG BULAN SEPTEMBER TAHUN 2014 LAPORAN HASIL PENELITIAN Disusun oleh: Elmiawati Latifah, M.Sc, Apt Prasojo Pribadi, M.Sc, Apt Fitriana Yuliastuti,

Lebih terperinci

HEALTH & BEAUTY. Oleh Aftiyani. Guardian, The One You Trust

HEALTH & BEAUTY. Oleh Aftiyani. Guardian, The One You Trust HEALTH & BEAUTY Guardian, The One You Trust Guardian adalah salah satu unit bisnis bagian dari Hero Group yang bergerak pada apotek modern berupa toko kesehatan dan kecantikan. Guardian memulai bisnisnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaaan Tonggak sejarah. asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaaan Tonggak sejarah. asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan Profesi Kefarmasian Secara historis perubahan mendasar dalam profesi kefarmasian dapat dibagi dalam beberapa periode. 1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dalam melakukan kegiatan perlu memperhatikan masalah kesehatan. Kesehatan merupakan keadaan dimana tubuh dan mampu melakukan kegiatan yang produktif, oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah salah satu faktor yang sangat penting bagi kehidupan setiap umat manusia karena aktivitasnya dapat terhambat apabila kondisi kesehatan tidak baik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Usaha untuk mewujudkan masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan merupakan visi dari Kementerian Kesehatan RI dan telah dirumuskan dalam UU RI No. 36 tahun 2009

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Apotek Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek yang menjelaskan mengenai apotek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap manusia memiliki hak asasi yang diatur dalam perundang-undangan, salah satunya yaitu hak mengenai kesehatan, sesuai dengan UU No. 36 tahun 2009 bahwa kesehatan

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap mahluk hidup didunia memiliki hak untuk hidup sehat. Kesehatan merupakan suatu keadaan dimana tubuh dan jiwa yang tiap orang miliki mampu melakukan kegiatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari pelayanan obat (drug oriented) menjadi pelayanan pasien (patient

Lebih terperinci

MAKALAH FARMASI SOSIAL

MAKALAH FARMASI SOSIAL MAKALAH FARMASI SOSIAL KONDISI SOSIAL MASYARAKAT DENGAN ASUHAN KEFARMASIAN DAN KESEHATAN DISUSUN OLEH KELOMPOK 1 DIANSARI CITRA LINTONG ADE FAZLIANA MANTIKA JURUSAN FARMASI FAKULTASMATEMATIKA DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada hakikatnya kesehatan adalah hak dasar yang senantiasa dimiliki oleh setiap manusia, tak terkecuali seluruh rakyat Indonesia. Menurut Undang - Undang Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan semakin meningkat secara nyata. Kesehatan sangat mempengaruhi aktivitas seseorang. Dalam kondisi sehat jasmani dan rohani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pembangunan kesehatan di Indonesia, bertanggung jawab untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pembangunan kesehatan di Indonesia, bertanggung jawab untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Puskesmas merupakan unit pelaksana tingkat pertama dan ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia, bertanggung jawab untuk menyelenggarakan upaya kesehatan di tingkat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebuah gambar yang bermakna tentang dunia (Kotler, 2008).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebuah gambar yang bermakna tentang dunia (Kotler, 2008). BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Persepsi Persepsi diartikan sebagai proses individu dalam memilih, mengorganisasi, dan menafsirkan informasi yang ada untuk menciptakan sebuah gambar yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kesehatan adalah salah satu tujuan dari pembangunan suatu bangsa. Kesehatan sendiri adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan

Lebih terperinci

PENGARUH PELAYANAN TERHADAP TINGKAT KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DI APOTEK BUNDA SURAKARTA SKRIPSI

PENGARUH PELAYANAN TERHADAP TINGKAT KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DI APOTEK BUNDA SURAKARTA SKRIPSI PENGARUH PELAYANAN TERHADAP TINGKAT KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DI APOTEK BUNDA SURAKARTA SKRIPSI Oleh : DIDIK SANTOSO K 100 050 243 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA 2010

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam kehidupan sekarang ini, dunia kesehatan semakin berkembang pesat dengan ditemukannya berbagai macam penyakit yang ada di masyarakat dan segala upaya untuk mengatasinya.

Lebih terperinci

Lampiran 1. Daftar Tilik Mutu Pelayanan Kefarmasian DAFTAR TILIK

Lampiran 1. Daftar Tilik Mutu Pelayanan Kefarmasian DAFTAR TILIK Lampiran 1. Daftar Tilik Mutu Pelayanan Kefarmasian DAFTAR TILIK Jumlah tenaga teknis kefarmasian dan kualifikasi : Jumlah Apoteker : Orang Jumlah tenaga teknis kefarmasian (TTK) : Orang Jumlah tenaga

Lebih terperinci

EVALUASI IMPLEMENTASI KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 35/MENKES/SK/2014 TENTANG PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SLEMAN

EVALUASI IMPLEMENTASI KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 35/MENKES/SK/2014 TENTANG PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SLEMAN EVALUASI IMPLEMENTASI KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 35/MENKES/SK/2 TENTANG PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KABUPATEN SLEMAN EVALUATION OF THE IMPLEMENTATION OF THE MINISTER OF HEALTH No. 35 / MENKES/

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pelayanan Kefarmasian oleh Apoteker PP 51 Tahun 2009 menyatakan bahwa tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian. Tenaga kefarmasian terdiri atas apoteker

Lebih terperinci

KIE di Rumah Riset Jamu. Dikompilasi dari materi Pelatihan Apoteker Saintifkasi Jamu di B2P2TOOT

KIE di Rumah Riset Jamu. Dikompilasi dari materi Pelatihan Apoteker Saintifkasi Jamu di B2P2TOOT KIE di Rumah Riset Jamu Dikompilasi dari materi Pelatihan Apoteker Saintifkasi Jamu di B2P2TOOT 1 PMK No. 003/Per/I/Menkes/2010 Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan Tujuan 1.

Lebih terperinci

SKRIPSI. Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Farmasi

SKRIPSI. Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Farmasi PELAKSANAAN STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK BERDASARKAN KEPMENKES RI NOMOR 1027/MENKES/SK/IX/2004 DI KABUPATEN SLEMAN PERIODE OKTOBER-DESEMBER 2006 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 25 Maret 2012 di Apotek RSUD Toto

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 25 Maret 2012 di Apotek RSUD Toto BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 25 Maret 2012 di Apotek RSUD Toto Kabupaten Bone Bolango. Dalam rangka memperoleh data yang diperlukan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Menurut Undang-undang Republik

Lebih terperinci

a. bahwa apotek dan pedagang eceran obat merupakan pelayanan kesehatan yang dapat dilaksanakan oleh swasta;

a. bahwa apotek dan pedagang eceran obat merupakan pelayanan kesehatan yang dapat dilaksanakan oleh swasta; BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2006 NOMOR 10 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 19 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN APOTEK DAN PEDAGANG ECERAN OBAT (TOKO OBAT) WALIKOTA BOGOR, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pelayanan Kefarmasian Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada Pharmaceutical Care. Kegiatan pelayanan kefarmasian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan kebutuhan setiap manusia dan menjadi suatu hal yang penting untuk dapat menjalankan segala bentuk aktifitas sehari-hari dengan baik. Menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia nomor 36 tahun 2014, tentang Kesehatan, adalah. setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan 1

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia nomor 36 tahun 2014, tentang Kesehatan, adalah. setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan citacita Bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Agnesyanti Dwi Pujiawardani (2013) yang berjudul Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Apoteker dalam Pelaporan Efek

Lebih terperinci

STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK 615.4 Ind p STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini masyarakat pada umumnya semakin sadar akan pentingnya kesehatan dalam kehidupan. Kesehatan merupakan salah satu kunci utama bagi seseorang dalam melaksanakan

Lebih terperinci

EVALUASI PELAYANAN APOTEK BERDASARKAN INDIKATOR PELAYANAN PRIMA DI KOTA MAGELANG PERIODE 2016

EVALUASI PELAYANAN APOTEK BERDASARKAN INDIKATOR PELAYANAN PRIMA DI KOTA MAGELANG PERIODE 2016 EVALUASI PELAYANAN APOTEK BERDASARKAN INDIKATOR PELAYANAN PRIMA DI KOTA MAGELANG PERIODE 2016 Fitriana Yuliastuti 1, Heni Lutfiyati 2 Intisari Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan standar

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang PKPA di Apotek

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang PKPA di Apotek BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang PKPA di Apotek Setiap manusia berhak atas kesehatan, serta memiliki kewajiban dalam memelihara serta meningkatkan kesehatan tersebut. Kesehatan merupakan salah satu

Lebih terperinci

STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK

STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK 6 1 5.4 I n d p STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN DEPARTEMEN

Lebih terperinci

2017, No Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (

2017, No Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ( No.276, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKES. Apotek. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG APOTEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN

Lebih terperinci

KODE ETIK APOTEKER INDONESIA DAN IMPLEMENTASI - JABARAN KODE ETIK

KODE ETIK APOTEKER INDONESIA DAN IMPLEMENTASI - JABARAN KODE ETIK KODE ETIK APOTEKER INDONESIA DAN IMPLEMENTASI - JABARAN KODE ETIK KODE ETIK APOTEKER INDONESIA MUKADIMAH Bahwasanya seorang Apoteker di dalam menjalankan tugas kewajibannya serta dalam mengamalkan keahliannya

Lebih terperinci

INTISARI. Madaniah 1 ;Aditya Maulana PP 2 ; Maria Ulfah 3

INTISARI. Madaniah 1 ;Aditya Maulana PP 2 ; Maria Ulfah 3 INTISARI PENGARUH PELAYANAN INFORMASI OBAT KEPADA ORANG TUA PASIEN TERHADAP TINGKAT PENGETAHUANNYA PADA PENGGUNAAN SUSPENSI KERING ANTIBIOTIK CEFADROXIL 125 MG DI APOTEK AMANDIT FARMA BANJARMASIN Madaniah

Lebih terperinci

BAB 11: PERBEKALAN FARMASI

BAB 11: PERBEKALAN FARMASI SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2016 FARMASI BAB 11: PERBEKALAN FARMASI Nora Susanti, M.Sc, Apk KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN 2016 BAB XI PERBEKALAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disingkat puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hal yang paling penting dan utama dalam kehidupan. Dengan menjaga kesehatan, manusia dapat memenuhi pekerjaan atau aktivitas sehari-hari dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan kebutuhan penting dari setiap manusia. Hidup sehat bukan hanya tujuan dari setiap individu melainkan juga tanggung jawab dan tujuan dari setiap

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB IV. dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek. Pekerjaan kefarmasian menurut UU Kesehatan No. 36

BAB IV. dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek. Pekerjaan kefarmasian menurut UU Kesehatan No. 36 BAB IV 1. GAMBARAN UMUM SEJARAH PERUSAHAAN A. Sejarah dan Perkembangan Apotik Azzmi Apotek adalah suatu tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian, penyaluran sediaan farmasi, dan perbekalan kesehatan lainnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan untuk meningkatkan kualitas dan produktifitas kehidupan manusia. Pembangunan

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRATIF PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI TAHUN 2008 SKRIPSI

TINJAUAN ASPEK ADMINISTRATIF PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI TAHUN 2008 SKRIPSI TINJAUAN ASPEK ADMINISTRATIF PADA RESEP DI TIGA APOTEK DI KOTA SURAKARTA PERIODE JANUARI-JUNI TAHUN 2008 SKRIPSI Oleh : MAYA DAMAYANTI K 100 050 191 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini masyarakat mulai menyadari pentingnya menjaga kesehatan, dimana kesehatan merupakan salah satu faktor penting yang dapat mendukung dan mempengaruhi pekerjaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kuesioner Kuesioner atau angket merupakan suatu daftar pertanyaan atau pernyataan tentang topik tertentu yang diberikan kepada subyek, baik secara individual atau kelompok untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Adanya perkembangan dan perubahan pola hidup pada manusia (lifestyle) dapat berdampak langsung salah satunya pada kesehatan, sehingga kesehatan menjadi salah satu hal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era globalisasi seperti sekarang ini, pola pikir masyarakat semakin berkembang sesuai dengan perkembangan dunia saat ini. Demikian juga dalam hal kesehatan, masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia seperti dimaksud dalam Pancasila

Lebih terperinci

SURAT KEPUTUSAN PENGURUS PUSAT IKATAN APOTEKER INDONESIA Nomor : PO. 002/ PP.IAI/1418/VII/2014. Tentang

SURAT KEPUTUSAN PENGURUS PUSAT IKATAN APOTEKER INDONESIA Nomor : PO. 002/ PP.IAI/1418/VII/2014. Tentang SURAT KEPUTUSAN PENGURUS PUSAT IKATAN APOTEKER INDONESIA Nomor : PO. 002/ PP.IAI/1418/VII/2014 Tentang PERATURAN ORGANISASI TENTANG PEDOMAN PRAKTIK APOTEKER INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelayanan Kefarmasian Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada Pharmaceutical Care. Kegiatan pelayanan kefarmasian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Apoteker merupakan profesi kesehatan terbesar ketiga di dunia, farmasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Apoteker merupakan profesi kesehatan terbesar ketiga di dunia, farmasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Apoteker merupakan profesi kesehatan terbesar ketiga di dunia, farmasi komunitas merupakan salah satu bagian penting karena sebagian besar apoteker melakukan

Lebih terperinci

2. Bagi Apotek Kabupaten Cilacap Dapat dijadikan sebagai bahan masukan sehingga meningkatkan kualitas dalam melakukan pelayanan kefarmasian di Apotek

2. Bagi Apotek Kabupaten Cilacap Dapat dijadikan sebagai bahan masukan sehingga meningkatkan kualitas dalam melakukan pelayanan kefarmasian di Apotek 2. Bagi Apotek Kabupaten Cilacap Dapat dijadikan sebagai bahan masukan sehingga meningkatkan kualitas dalam melakukan pelayanan kefarmasian di Apotek Cilacap. 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Focus Group Discusion

Lebih terperinci

resep, memberikan label dan memberikan KIE secara langsung kepada pasien. 4. Mahasiswa calon apoteker yang telah melaksanakan PKPA di Apotek Kimia

resep, memberikan label dan memberikan KIE secara langsung kepada pasien. 4. Mahasiswa calon apoteker yang telah melaksanakan PKPA di Apotek Kimia BAB V KESIMPULAN Berdasarkan Praktek Kerja Profesi Apotek (PKP) yang dilaksanakan di Apotek Kimia Farma 180, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Mahasiswa calon apoteker yang telah melaksanakan PKPA di Apotek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam mewujudkan pembangunan kesehatan di Indonesia pada dasarnya berhubungan dengan semua segi kehidupan, baik fisik, mental maupun sosial ekonomi. Keberhasilan pembangunan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk optimalisasi peran yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk optimalisasi peran yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk optimalisasi peran yang dilakukan oleh apoteker terhadap pasien dalam melakukan terapi pengobatan sehingga

Lebih terperinci