BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2010 diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, manfaat, perlindungan dan diarahkan untuk dapat meningkatkan kesadaran, kemauan, kemampuan hidup sehat dan memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan merata. Sistem jaminan kesehatan (SKN) 2004 memberikan landasan, arah dan pedoman penyelenggaraan pembangunan kesehatan bagi seluruh penyelenggara kesehatan khususnya bagi dunia usaha yang berkaitan dengan obat. Obat merupakan salah satu komponen yang tak tergantikan dalam suatu pelayanan kesehatan. Obat adalah bahan atau paduan bahan - bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan dan peningkatan kesehatan (Depkes, 2009 a ). Kebijakan obat nasional (KONAS) merupakan bagian dari sistem jaminan kesehatan yang bertujuan untuk menjamin ketersediaan, pemerataan, keterjangkauan obat terutama obat esensial, keamanan, khasiat dan mutu semua obat yang beredar serta melindungi masyarakat dari penggunaan obat yang tidak benar, penyalahgunaan obat dan penggunaan obat yang rasional. Sarana pelayanan kesehatan berkewajiban untuk menyediakan, menyimpan, menyerahkan sediaan farmasi yang bermutu baik dan keabsahannya terjamin serta bertanggung jawab untuk menjamin pasien agar mendapatkan pengobatan yang rasional. Survei disarana pelayanan kesehatan menunjukkan bahwa ketidak rasionalan penggunaan obat masih tinggi. Ketidak rasionalan obat

2 2 yang sering terjadi adalah polifarmasi, penggunaan obat esensial dan penggunaan obat antimikroba yang tidak tepat, ketidak patuhan pasien (non compliency) dan pengobatan sendiri secara tidak tepat (Depkes, 2006). Sehingga Pemerintah harus bertanggung jawab untuk mengatur, membina dan mengawasi penyelenggaraan pelayanan kesehatan disuatu sarana pelayanan kesehatan. Untuk dapat mewujudkan Indonesia sehat maka perlu adanya sarana dan prasarana yang memadai dan tersedianya sumber daya manusia yang berkompeten dan profesional dalam melakukan kegiatan pelayanan kesehatan. Apotek adalah salah satu fasilitas atau sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker. Apoteker berhak melakukan pekerjaan kefarmasian dan berkewajiban untuk menyediakan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai serta memberikan pelayanan kefarmasian yang bermutu sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pelayanan kefarmasian telah mengalami banyak perubahan yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat (Drug Oriented) sekarang telah mengalami perubahan dan berkembang orientasinya menjadi pelayanan yang komprehensif yaitu mengacu kepada pelayanan kefarmasian (Pharmaceutical Care). Pelayanan kefarmasian merupakan wujud dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasiannya di apotek. Pekerjaan kefarmasian sangat komplek yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional (Depkes, 2009 b ).

3 3 Sehingga apoteker dituntut untuk dapat meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kemampuannya untuk berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya dan dapat berinteraksi langsung dengan pasien. Bentuk interaksinya adalah dengan melakukan dispensing obat, pemberian informasi obat, konseling, penyuluhan, pelayanan kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care) dan pemantauan terapi obat. Selain itu apoteker dituntut untuk mendokumentasikan segala aktivitasnya tentang kefarmasian, melakukan evaluasi mutu pelayanan kefarmasian untuk meningkatkan mutu pelayanan sesuai dengan peraturan yang berlaku (Depkes, 2014). Apotek yang ideal menurut konsumen adalah apotek yang memiliki sumber daya manusia yang berkompeten, sarana dan prasarana yang memadai, lengkap, pelayanan cepat, informasi jelas dan mempunyai waktu yang cukup untuk konsultasi (Gitawati, dkk, 2009). Apotek tidak dapat berdiri tanpa adanya seorang apoteker. Keberadaan keduanya tidak bisa dipisahkan dalam menjalankan satu bidang kefarmasian (Umar, 2005). Dalam mendirikan apotek, apoteker dapat bekerjasama dengan pemilik modal baik perorangan maupun perusahaan ataupun dengan modal sendiri. Apoteker merupakan bagian dari profesi kesehatan yang memiliki kompetensi dalam bidang obat dan wajib memiliki surat tanda registrasi apoteker (STRA) dan surat tanda registrasi tenaga teknis kefarmasian (STRTTK) bagi tenaga teknis kefarmasian dalam menjalankan pekerjaan kefarmasiannya di apotek (Depkes, 2011 a ). Registrasi merupakan pencatatan resmi terhadap tenaga kesehatan yang telah memiliki sertifikat kompetensi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu lainnya serta diakui secara hukum untuk menjalankan praktik

4 4 dan pekerjaan profesinya (Depkes, 2011 b ). Surat tanda registasi (STR) sebagai bukti tertulis yang diberikan oleh Pemerintah kepada tenaga kesehatan yang telah memiliki sertifikat kompetensi. Sertifikat kompetensi yang telah habis masa berlakunya dapat diperpanjang melalui partisipasi tenaga kesehatan dalam kegiatan pendidikan atau pelatihan serta kegiatan ilmiah lainnya sesuai dengan bidang tugas dan profesinya untuk memenuhi persyaratan perolehan satuan kredit profesi (SKP) yang ditentukan oleh organisasi profesi. Permasalahan mengenai peran apoteker di apotek masih perlu senantiasa untuk dikaji agar dapat meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian yang lebih baik. Permasalahan tersebut antara lain mengenai informasi cara pemakaian obat, nama obat, dosis obat serta indikasi obat selama ini masih belum dilakukan secara optimal oleh apoteker (Satibi dan Fauziyah, 2012). Pelayanan swamedikasi yang meliputi interpretasi gejala penyakit, pengalaman menggunakan obat, pemilihan obat 95% dan pelayanan obat bebas, obat bebas terbatas 100% dilakukan oleh asisten apoteker (Supardi, dkk, 2004). Hal ini juga dinyatakan sama oleh Monita dalam penelitiannya yang berjudul evaluasi implementasi standar pelayanan kefarmasian di apotek Kota Padang menyatakan bahwa peran apoteker sebagai Care Giver dan Communicator telah digantikan oleh asisten apoteker dan bahkan oleh tenaga non kefarmasian. Munculnya permasalahan tentang pelayanan kefarmasian tersebut dikarenakan kurangnya peran apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian di apotek, sehingga keberadaan apoteker selama jam buka apotek mutlak diperlukan. Karena masih banyak masyarakat yang melakukan pengobatan sendiri tanpa bekal ilmu pengetahuan obat yang cukup dan belum

5 5 mendapatkan informasi obat yang memadai (Baroroh, 2011), sehingga akibatnya kesalahan dalam pengobatan atau medication error dan penyalahgunaan obat sering terjadi di masyarakat. Dengan adanya PP No. 51/2009 apoteker yang selama ini tidak sepenuhnya melakukan kegiatan kefarmasian, sekarang dituntut untuk lebih baik lagi. Sebesar 49,40% apoteker menyatakan setuju dan mendukung peraturan tersebut, karena apoteker merasa aman dalam melaksanakan kegiatan kefarmasian yang dapat menciptakan komunikasi, membangun hubungan baik dengan tenaga kesehatan lainnya (Meilanda, 2011). Sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No. 51/2009 pasal 21 ayat 4 tentang pekerjaan kefarmasian yang menyatakankan bahwa apoteker harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan RI, Menteri Kesehatan diberi kewenangan dalam menetapkan standar pelayanan kefarmasiannya di apotek. Dengan menimbang Keputusan Menteri Kesehatan No.1027 / Menkes / SK / IX / 2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum, kemudian Menteri Kesehatan mengeluarkan peraturan terbaru nomor 35 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek. Peraturan tersebut menjadi pedoman dan wajib dilakukan oleh apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasiannya di apotek. Tujuannya adalah untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian menjadi lebih baik, menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian, melindungi masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dan pelayanan yang tidak profesional,

6 6 sehingga pelayanan kefarmasian di apotek akan semakin optimal dan bermutu yang dapat dirasakan manfaatnya langsung oleh masyarakat. Keberhasilan dalam melaksanakan Permenkes No. 35/2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek harus didukung oleh ketersediaan sumber daya manusia yang berkompeten, sarana dan prasarana yang memadai serta dukungan dari semua pihak yang terlibat (Stakeholder). Namun apabila implementasi tidak dilakukan secara tepat dan komprehensif maka tujuan dan sasaran kebijakan sulit dicapai sehingga masalah yang ada dimasyarakat sulit untuk dipecahkan. Hasil implementasinya pun akan beragam dan berbeda oleh masing-masing pelaksana program (Anggara, 2014). Berdasarkan latar belakang diatas, pertanyaan yang timbul pada penulis adalah apakah Permenkes No. 35/2014 telah diimplementasikan oleh apoteker di apotek Kabupaten Kendal. Menurut hasil informasi supervisi yang telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Kendal, ada beberapa temuan apotek yang tidak ada apoteker pengelola apotek (APA) pada saat jam buka apotek, sehingga untuk mengetahui implementasi peraturan tersebut maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pelaksanaan Permenkes No. 35/2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek. Penelitian ini dilakukan dengan cara mendistribusikan kuesioner dan wawancara kepada apoteker pengelola apotek sebanyak 58 apoteker. Pengukuran pelaksanaan Permenkes tersebur berdasarkan empat standar yaitu standar satu tentang pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai, standar dua tentang pelayanan farmasi klinik, standar tiga mengenai sumber daya

7 7 kefarmasian (sarana dan prasarana), standar empat tentang evaluasi mutu pelayanan kefarmasian. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan evaluasi untuk meningkatkan kinerja dan mutu pelayanan kefarmasian bagi apoteker di apotek sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek dan dapat menjadi masukan kepada regulasi khususnya Dinas Kesehatan Kabupaten Kendal dalam memberikan suatu kebijakan pembinaan diapotek. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang yang telah dipaparkan, maka dirumuskan suatu permasalahan yang diamati dalam penelitian ini adalah apakah Peraturan Menteri Kesehatan No.35/2014 telah diimplementasikan oleh apoteker di apotek Kabupaten Kendal. C. Tujuan Penelitian Sebagaimana yang telah dikemukakan pada latar belakang sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran implementasi standar pelayanan kefarmasian di apotek Kabupaten Kendal sesuai dengan Permenkes No. 35/2014. D. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai implementasi Permenkes No. 35/ 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek Kabupaten Kendal belum pernah dilakukan, tetapi penelitian sebelumnya pernah dilakukan oleh Monita (2009), Atmini (2010) dan Sidrotullah (2010). Adapun pembeda dari penelitian ini dengan penelitian sebelumnya dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini:

8 8 Unit Pembeda Tujuan Penelitian Hal yang di analisis Lokasi Penelitian Tabel 1. Penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya Monita, 2009 Atmini, 2010 Sidrotullah, 2010 Penelitian yang dilakukan Mengetahui Menganalisa Mengetahui Mengetahui gambaran pelaksanaan standar gambaran gambaran pelaksanaan pelayanan pelaksanaan standar implementasi standar pelayanan kefarmasian di pelayanan standar pelayanan kefarmasian di apotek di Kota kefarmasian di kefarmasian di apotek Kota Yogyakarta dan Rumah Sakit Umum apotek kabupaten Padang dan mengetahui faktor Kelas C Provinsi Kendal sesuai faktor pendukung, penghambat Nusa Tenggara Barat dengan penghambat dan faktor Pendukung Permenkes No. Mengacu pada Kepmenkes No. 1027/Menkes/SK/ IX/2004 Apotek Kota Padang (11 kecamatan) mengacu pada Kepmenkes No. 1027/Menkes/SK/ IX/2004 Apotek di Kota Yogyakarta (14 kecamatan) atau penghambat mengacu pada Kepmenkes No. 1197/Menkes/SK/X/ 2004 RSUD tipe C di Provinsi Nusa Tenggara Barat (3 RSUD) 35/2014 mengacu pada Permenkes No. 35/2014 Apotek Kabupaten Kendal (16 Kecamatan) September - Waktu Penelitian November Januari 2009 Februari April 2010 Desember Januari 2011 November 2015 Responden Apoteker yang Apoteker Pengelola Kepala Instalasi Apoteker bekerja di apotek apotek, Karyawan, Farmasi Rumah Sakit pengelola apotek swasta Pasien (APA) Instrumen Kuesioner Kuesioner Tipe recordert Kuesioner penelitian Penilaian Meliputi 6 standar Meliputi 3 Standar Meliputi 7 standar Meliputi 4 standar Pada tabel 1 di atas terlihat bahwa penelitian ini mengacu kepada Peraturan Menteri Kesehatan No. 35/2014 terdiri dari 4 standar yang dilakukan di 16 kecamatan apotek Kabupaten Kendal pada bulan September sampai dengan bulan November 2015 dengan menggunakan kuesioner yang didistribusikan kepada responden apoteker pengelola apotek (APA). Sedangkan penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya oleh Monita dan Atmini keduanya mengacu kepada pada Kepmenkes No / Menkes / SK / IX/ 2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek dengan menggunakan kuesioner yang didistribusikan kepada responden. Lokasi penelitian yang dilakukan oleh Monita berada di 11 Kecamatan apotek Kota Padang dan dilakukan pada bulan November tahun 2008

9 9 sampai dengan bulan Januari tahun 2009, repondennya adalah apoteker yang bekerja di apotek swasta dinilai berdasarkan 6 standar yaitu sumber daya manusia, sarana dan prasarana, pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya, administrasi, pelayanan dan evaluasi mutu pelayanan. Penelitian Atmini dilakukan di 14 Kecamatan Kota Yogyakarta pada bulan Februari sampai dengan bulan April 2010, respondennya adalah apoteker, pasien, dan karyawan dinilai berdasarkan 3 standar yaitu mengenai sumber daya manusia (sarana dan prasarana, pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan), pelayanan, evaluasi mutu pelayanan. Sedangkan penelitian Sidrotullah mengacu kepada Kepmenkes No / Menkes / SK / X / 2004 tentang standar pelayanan kefarmasian dirumah sakit. Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2010 samapai Januari 2011 di 3 Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat, respondennya adalah kepala instalasi farmasi rumah sakit, dinilai berdasarkan 7 standar yaitu Falsafah dan tujuan, administrasi dan pengelolaan, staf dan pimpinan, fasilitas dan peralatan, kebijakan dan prosedur, pengembangan staf dan program pendidikan, evaluasi dan pengendalian mutu dengan menggunakan tipe recordert. E. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian Implementasi Peraturan Menteri Kesehatan No.35/2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Kabupaten Kendal adalah sebagai berikut: 1. Bagi Apoteker

10 10 Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan evaluasi untuk mereview dan melatih apoteker dalam meningkatkan pelayanan kefarmasian khususnya pelayanan farmasi klinik mengenai pelayanan home care sehingga pelayanan kefarmasian menjadi lebih baik. 2. Bagi Instansi Dinas Kesehatan Kabupaten Kendal Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan dalam meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian dan membuat suatu kebijakan di apotek Kabupaten Kendal. 3. Bagi Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Hasil penelitian ini sebagai masukan untuk mengevaluasi semua anggotanya dalam melaksanakan standar pelayanan kefarmasian di apotek Kabupaten Kendal supaya menjadi lebih baik. 4. Bagi Peneliti Manfaat bagi peneliti yaitu dapat membantu Dinas Kesehatan Kabupaten Kendal tempat peneliti bekerja untuk merubah mutu pelayanan kefarmasian yang lebih baik dan memberikan pengetahuan serta pemahaman tentang pelaksanaan Permenkes No. 35/2014 yang menjadi pedoman bagi apoteker dalam melakukan suatu pelayanan kefarmasian di apotek. 5. Bagi Peneliti lain Penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan lebih lanjut oleh peneliti yang akan datang mengenai Implementasi Permenkes No. 35/2014 tentang standar pelayanan di apotek Kabupaten Kendal.