BAB II LANDASAN TEORI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI"

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Malnutrisi di Rumah Sakit Malnutrisi menggambarkan kekurangan, kelebihan atau ketidakseimbangan zat gizi yang menghasilkan efek tidak baik pada komposisi tubuh, fungsi, dan outcome klinis (Barker et al, 2011; Saunders et al, 2011; Brotherton et al, 2010). Manutrisi merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi rumah sakit (RS). Malnutrisi di RS didefinisikan sebagai ketidakseimbangan gizi yang mempengaruhi pasien rawat inap akibat interaksi yang kompleks antara penyakit, makanan dan gizi (Rodriguez et al, 2014; Barker et al, 2011). Pembagian nomenklatur untuk diagnosis malnutrisi pada orang dewasa di rumah sakit adalah (Jensen et al, 2010): a. Starvation-related malnutrition, yaitu adanya kelaparan kronik tanpa disertai inflamasi misalnya pada kondisi medis seperti anoreksia. b. Chronic disease-related malnutrition, yaitu adanya penyakit kronik yang mengakibatkan inflamasi dengan derajat ringan sampai sedang, misalnya pada kegagalan organ, kanker pankreas dan arthritis rematik. c. Acute disease or injury-related malnutrition, yaitu ditandai dengan respon inflamasi dengan derajat tingkat berat, misalnya penyakit infeksi mayor, luka bakar, trauma Etiologi malnutrisi tergolong kompleks dan multifaktorial. Malnutrisi di rumah sakit dapat terjadi sebagai akibat dari intake makanan tidak memenuhi kebutuhan gizi yang disebabkan penurunan asupan zat gizi, anoreksia, mual, muntah, adanya efek samping dari pengobatan, peningkatan kebutuhan gizi karena penyakit yang diderita, gangguan utilisasi zat gizi, gangguan percernaan, gangguan penyerapan atau perubahan metabolisme atau peningkatan kehilangan zat gizi dan terapi/pengobatan tertentu (seperti 5

2 6 kemoterapi, radioterapi) (Rodriguez et al, 2014; Hernandez et al, 2012; Alberda et al, 2006). Malnutrisi merupakan interaksi kompleks antara penyakit dan gizi. Malnutrisi dapat pula diakibatkan oleh penyakit atau trauma (Tsaousi et al, 2014; ASPEN, 2005) melalui berbagai cara berikut (Tsaousi et al, 2014; Saunders et al, 2011): a. Intake zat gizi yang tidak adekuat karena kurangnya asupan, nafsu makan turun, rasa sakit atau mual terkait makanan, gangguan menelan, depresi dan tidak sadarkan diri. b. Malabsorbsi karena kondisi patologis dari lambung, usus, pankreas dan hati. c. Proses zat gizi yang berubah karena adanya kebutuhan metabolik yang berubah/meningkat dan disfungsi hati. d. Kehilangan zat gizi yang berlebihan: disebabkan oleh muntah, masalah tube feeding, diare, dehidrasi akibat operasi, fistula dan stroma. Malnutrisi di negara berkembang biasanya terjadi akibat perubahan pola makan di suatu populasi atau penyakit tertentu (Hernandez et al, 2012) yang bersifat akut maupun kronik, melalui beberapa mekanisme diantaranya respon terhadap trauma, infeksi atau peradangan sehingga merubah metabolisme, nafsu makan, penyerapan atau asimilasi dari zat gizi. Gangguan mekanisme pada saluran cerna seperti mual atau muntah, efek katabolik, sindrom kakeksia, efek samping pengobatan (seperti kemoterapi, golongan morpin, antibiotik) yang menyebabkan anoreksia atau kesulitan menelan dan demensia pada usia lanjut, immobilisasi, anoreksia, dan gigi geligi rusak yang dapat memperburuk situasi sehingga berisiko malnutrisi (Norman et al, 2008). Beberapa faktor risiko terjadinya malnutrisi di rumah sakit antara lain: a. Usia Usia menjadi salah satu faktor risiko malnutrisi. Semakin tinggi usia dihubungkan dengan peningkatan risiko malnutrisi, peningkatan komplikasi penyakit dan peningkatan perubahan komposisi tubuh (Tsaousi et al, 2014) akibat kondisi fisik, kognitif dan keterbatasan fisiologis tubuh (Ordonez et al, 2013).

3 7 b. Jenis kelamin Jenis kelamin pun dapat menjadi faktor risiko malnutrisi karena perbedaan perubahan komposisi tubuh antara perempuan dan laki-laki akibat proses penuaan (Tsaousi et al, 2014). Penelitian Tsaousi et al (2014) menunjukkan bahwa kejadian malnutrisi terjadi pada perempuan secara signifikan (60,3%) dibandingkan laki-laki (39,7%). Berbeda dengan penelitian da Siva et al (2012) yang menunjukkan bahwa risiko malnutrisi lebih sering terjadi pada laki-laki karena kurang kesadaran terhadap kesehatan diri sendiri. c. Sosial ekonomi Pengaruh kelas sosial (sosial ekonomi atau status ekonomi) dengan prevalensi malnutrisi rumah sakit belum cukup ada penelitian. Pekerja non formal memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami malnutrisi rumah sakit daripada pekerja formal. Hal tersebut berkaitan dengan prevalensi obesitas yang cenderung lebih tinggi pada kelas-kelas sosial pekerja formal. Pasien yang mengalami buta huruf berisiko mengalami malnutrisi (OR: 2,45, CI 95%: 1,52-3,96) dan status single akibat perceraian dan pasien janda pun rentan mengalami malnutrisi (OR: 1,55, CI 95%: 1,02-2,35) (Burgos et al, 2012). d. Jenis penyakit Faktor lain yang dapat menyebabkan malnutrisi adalah berat dan lamanya penyakit. Indeks Komorbid Charlson berfungsi untuk memperkirakan kematian dalam jangka waktu 10 tahun untuk pasien yang memiliki jangkauan kondisi komorbid. Berdasarkan Charlson Comorbidity Index untuk setiap kondisi penyakit diberi skor 1, 2, 3 atau 6, dimana skor 1 untuk penyakit Myocardial Infark, Congestive Heart Failure, Peripheral Vascular, dementia, cerebrovascular, paru kronik, Connective Tissue, Ulcer Disease, Mild Liver dan diabetes mellitus (DM). Skor 2 untuk penyakit hemiplegia, penyakit ginjal sedang dan berat, DM dengan komplikasi, tumor, leukemia dan limfoma. Skor 3 untuk penyakit hati sedang atau berat sedangkan skor 6 untuk penyakit kanker dan AIDS kemudian skoring Charlson Comorbidity Index dikategorikan tidak ada (skor 0), ringan (skor 1-2), sedang (skor 3-4), berat (skor >5)

4 8 (Charlson, 1994 dalam Susetyowati, 2013). Penyakit yang mendasari pasien dirawat di rumah sakit merupakan faktor penting dalam terjadinya malnutrisi, tetapi tidak benar juga menganggap bahwa malnutrisi melekat dengan penyakit karena bisa jadi akibat terlambatnya pengobatan (Burgos et al, 2012) dan jenis penatalaksanaan penyakit seperti penggunaan ventilator dan pembedahan (Barker et al, 2011). e. Kemampuan daya beli, mengolah makanan dan konsumsi makanan, termasuk kemampuan mengunyah dan menelan makanan serta kemampuan sensori (pembau dan perasa) (Barker et al, 2011) Masalah utama lain penyebab masih banyaknya jumlah pasien malnutrisi di rumah sakit adalah kurangnya perhatian terhadap gizi dan kerja sama interdisipliner dalam penanganan asuhan gizi dan kurangnya pengetahuan serta perhatian dari tim kesehatan mengenai status gizi pasien akan kemampuan mengidentifikasi pasien yang berisiko malnutrisi (Hernandez et al, 2012). Susetyowati (2013) dan Barker et al (2011) mengungkapkan bahwa kejadian malnutrisi di rumah sakit secara langsung maupun tidak langsung disebabkan: a. Tinggi dan berat badan tidak diukur dan dicatat secara rutin b. Sarana dan ketrampilan yang belum memadai dalam melakukan penilaian status gizi secara antropometri maupun biokimiawi c. Kurangnya tenaga dalam pelaksanaan sehingga perhatian dalam pemberian makanan berkurang d. Belum ada pencatatan pada rekam medik berapa banyak pasien menghabiskan makanannya sehingga asupan gizi tidak dicatat e. Belum adanya peraturan dan pedoman pelaksanaan asuhan gizi dan dukungan gizi Malnutrisi sering berkaitan dengan penyakit kronis dan memberikan efek negatif terhadap outcome klinis yang buruk (Laky et al 2010). Malnutrisi dapat mengakibatkan gangguan daya tahan tubuh akibat respon humoral dan seluler terhadap infeksi melambat, respon terhadap terapi menurun, penyembuhan luka melambat, penutupan jahitan kurang

5 9 sempurna, gangguan saluran cerna seperti gangguan pencernaan dan penyerapan, gangguan fungsi organ seperti gangguan ventilasi, berkurangnya cardiac output, gangguan fungsi ginjal, penurunan kekuatan, hipotermia, gangguan fungsi hati, serta kematian (Saunders et al, 2011; Norman et al, 2008). Implikasi klinis dari malnutrisi menunjukkan bahwa ada hubungan konsekuensi malnutrisi di rumah sakit terhadap pemulihan yang tertunda, komplikasi penyakit, morbiditas, mortalitas, lama perawatan dan biaya perawatan (Chen et al, 2015; Tahull et al, 2014; Burgos et al, 2012; Hernandez et al, 2012; Lim et al, 2012; Orfila et al, 2012; Barker et al, 2011; Mueller et al, 2011; Neelemaat et al, 2011; Small, 2010; Beghetto et al, 2009; Norman et al, 2008; Alberda et al, 2006). Berikut ini adalah dampak dari malnutrisi di rumah sakit. a. Morbiditas Secara klinis, malnutrisi berkontribusi pada peningkatan jumlah dan keparahan komplikasi penyakit dengan melemahnya tingkat respon imun dan meningkatkan morbiditas (Orfila et al, 2012). Lebih lanjut Norman et al (2008) mengungkapkan bahwa gangguan fungsi imun, penyembuhan luka melambat, penurunan status fungsional, gangguan fungsional tubuh dan penurunan fungsi otot menyebabkan peningkatan morbiditas pada perioperatif. Malnutrisi umum terjadi pada penyakit kronik, seperti pasien yang mengalami penurunan berat badan ketika menjalani kemoterapi untuk pengobatan kanker dan pasien dengan penyakit paru obstruksi menahun mempunyai prognosis yang tidak baik dibandingkan pasien tanpa malnutrisi. Akibat malnutrisi dimulai pada (Barker et al, 2011): Tingkat seluler yang menyebabkan kemampuan terhadap respon imun terhadap infeksi melambat sehingga terjadi peningkatan risiko pressure ulcer, memperlambat penyembuhan luka, peningkatan infeksi, penurunan absorpsi zat gizi, termoregulasi dan gangguan fungsi ginjal Tingkat fisik menyebabkan kehilangan masa otot dan lemak, penurunan fungsi otot pernafasan dan atropi organ visceral. Kehilangan berat badan sebesar 15% menyebabkan penurunan kekuatan fungsi otot dan fungsi pernafasan sedangkan

6 10 kehilangan berat badan sebesar 23% dihubungkan dengan penurunan kebugaran fisik (70%) dan penurunan kekuatan otot (30%) Tingkat psikologis menyebabkan rasa lelah dan lemah yang dapat menunda penyembuhan penyakit dan anoreksia b. Mortalitas Penelitian prospektif pada 208 pasien dengan gagal jantung pada bulan Januari 2007 sampai Maret 2008 mendapatkan 13% pasien malnutrisi; 59,9% berisiko malnutrisi dan 27,5% pasien dengan status gizi baik berdasarkan Mini Nutritional Assessment (MNA). Mortalitas pada tiga kelompok setelah diikuti selama 25 bulan adalah 76% untuk malnutrisi; 35,9% risiko malnutrisi dan 18,9% status gizi baik, secara berurutan. Hasil analisis multivariat menunjukkan malnutrisi merupakan prediktor dari mortalitas (Palomas et al, 2011). c. Lama Perawatan Hubungan antara malnutrisi dan lama perawatan sebagai salah satu luaran hasil penyembuhan pasien sangat kompleks dan mungkin merupakan suatu hubungan bidirectional. Sesuai dengan definisi status gizi, maka status gizi dipengaruhi oleh asupan gizi yang akan mempengaruhi fungsi imunitas. Interaksi antara gizi dan imunitas terjadi melalui regulasi langsung oleh zat gizi, modulasi tidak langsung melalui sistem endokrin, pengaturan oleh keadaan gizi (ketersediaan zat gizi yang stabil diperlukan untuk proliferasi limfosit, leukopoesis dan sintesis zat yang disekresikan, zat gizi dibutuhkan hati untuk sekresi protein fase akut), modulasi patologi yang disebabkan respons imun, dan imunitas (Meilyana et al, 2010). Peningkatan morbiditas pada pasien malnutrisi secara signifikan memperpanjang masa pengobatan dan lama perawatan (Barker et al, 2011). Penelitian Caccialanza et al (2010) menunjukkan pasien yang berisiko malnutrisi memiliki lama rawat lebih panjang daripada yang tidak berisiko malnutrisi (RR: 2,63; CI 95%: 2,13-3,26). d. Dampak Ekonomi Tidak hanya memiliki implikasi klinis, malnutrisi pun berdampak pada implikasi ekonomi mengingat bahwa peningkatan lama rawat di rumah sakit dan komplikasi

7 11 klinis yang berasal dari malnutrisi menyebabkan peningkatan biaya rawat inap dan biaya tidak langsung (Susetyowati, 2013; Orfila et al, 2012). Biaya yang harus dikeluarkan menjadi lebih mahal akibat lama rawat inap di rumah sakit yang lebih panjang serta perawatan yang lebih intensif pada pasien malnutrisi (Norman et al, 2008). Penelitian tentang hubungan malnutrisi dan dampak ekonomi di 2 RS Portugal, dan didapatkan pasien yang masuk RS dengan malnutrisi mengeluarkan biaya lebih tinggi sebesar 19,3% yaitu antara euro (Amaral et al, 2007). Bahkan ESPEN dalam Rodriguez et al (2014) telah menghitung biaya kesehatan akibat malnutrisi di rumah sakit sebesar 170 juta euro per tahun. Biaya tersebut 30-70% lebih tinggi pada pasien dengan malnutrisi dibandingkan tanpa risiko malnutrisi. a. Malnutrisi pada Kanker Malnutrisi menjadi salah satu faktor penentu kelangsungan hidup pasien kanker selain usia, stadium, metastase kanker, lokasi metastase, takikardi, penanda tumor dan kualitas hidup (Gupta dan Lis, 2010). Insiden malnutrisi pada pasien kanker diperkirakan antara 40 dan 80%. Hampir 20% dari pasien kanker dilaporkan meninggal akibat malnutrisi atau komplikasi terkait penyakit ganas itu sendiri (Laky et al, 2008). Risiko malnutrisi pada pasien kanker sebesar 1,509 kali lebih tinggi (CI 95%: 1,180-1,930) (Burgos et al, 2012). Prevalensi malnutrisi tergantung pada jenis tumor, lokasi tumor, tahap penyakit, pengobatan yang diterima dan jenis metode assessment gizi yang digunakan (Gupta et al, 2011). Pasien kanker sangat rentan terhadap malnutrisi karena efek gabungan dari penyakit ganas dan pengobatannya. Penyebab utama terkait dengan terapi kanker terhadap malnutrisi adalah efek samping yang umum dialami seperti mual, muntah, anoreksia, lesu, diare, esofagitis dan disfagia yang dapat mempengaruhi asupan makan (Ferreira et al, 2013; Gupta et al, 2011; Nourissat et al, 2007). Penyebab lainnya berupa penurunan respon terhadap pengobatan dan peningkatan risiko toksisitas akibat kemoterapi (Gupta dan Lis, 2010). Hal tersebut mengakibatkan penurunan berat badan yang merupakan gejala utama kanker yang terkait malnutrisi (Merhi et al, 2011).

8 12 Malnutrisi pada kanker berkaitan dengan sindrom anoreksia dan kakeksia atau cancer anorexia-cachexia syndrome (CACS) yang merupakan proses hiperkatabolisme yang dikarakteristikkan dengan anoreksia dan penurunan berat badan yang dihubungkan dengan penurunan massa otot dan jaringan adiposa. Anoreksia didefinisikan sebagai kehilangan asupan makan yang menyebabkan penurunan asupan energi sedangkan kakeksia merupakan kompleks sindrom metabolik yang dihubungkan dengan keparahan penyakit dan dikarakteristikkan dengan penurunan massa otot dan/atau massa lemak tubuh. CACS dikarakteristikkan dengan beberapa tanda dan gejala yang mengganggu asupan (seperti penurunan asupan, perubahan indera perasa/pembau) dan mempengaruhi status gizi (seperti peningkatan metabolisme, penurunan berat badan, gangguan hormon, kehilangan jaringan otot dan adiposa, gangguan fungsional dan kelelahan) (Muliawati et al, 2012). Penyebab kakeksia pada kanker dibedakan menjadi dua kelompok yaitu kelompok primer dan sekunder. Kelompok primer akibat induksi perubahan metabolik tumor. Proses katabolisme yang semakin cepat sedangkan anabolisme melambat menyebabkan kehilangan jaringan. Kanker juga memicu respon inflamasi sistemik. Respon inflamasi ini mencakup tingkat metabolisme tinggi dan pelepasan produk biomekanis yang menekan nafsu makan dan menyebabkan cepat kenyang. Konsekuensi dari kelainan metabolik adalah anoreksia dan kehilangan massa otot dan lemak. Kelompok sekunder disebabkan oleh faktor-faktor yang mengganggu asupan makanan yang menyebabkan malnutrisi seperti mual, muntah, stomatitis, gangguan indera perasa/pembau akibat kemoterapi, diare, sembelit dan kelelahan (Muliawati et al, 2012). Jadi, malnutrisi dan kakeksia melibatkan respon tubuh terhadap tumor dan gangguan asupan makan akibat terapi kanker (Gupta dan Lis, 2010). Patogenesis CACS bersifat multifaktorial. Anoreksia berhubungan dengan gangguan mekanisme fisiologis pusat dalam mengendalikan asupan makanan. Asupan energi dalam kondisi normal dikendalikan terutama di hipotalamus oleh neuron tertentu yang mengintegrasikan sinyal melalui darah perifer untuk menyampaikan informasi tentang energi dan status adiposit. Kakeksia ditandai dengan penurunan jaringan adiposa

9 13 yang disebabkan peningkatan lipolisis daripada penurunan lipogenesis. Selain itu, metabolisme energi terganggu akibat pertumbuhan tumor yang menyebabkan pengeluaran energi meningkat terus menerus (Muliawati et al, 2012). Integrasi fisiologi CACS sebagaimana tersaji pada Gambar 1. Gambar tersebut menjelaskan bahwa kanker dikaitkan dengan aktivasi proinflamasi dan respon neuroendokrin yang menyebabkan penurunan asupan makanan dan perubahan metabolisme. Aktivasi adrenergic dan kanker terkait faktor lipolitik menyebabkan peningkatan lipolisis. Pengaruh hypogonadism, resistensi insulin, aktivasi adrenergic dan peradangan sistemik dengan semistarvation menyebabkan atropi otot. Hati mensintesis protein yang dirangsang sebagai bagian dari respon fase akut dan peningkatan siklus Cori berkontribusi terjadinya hipermetabolisme (Fearon et al, 2012). Gambar 1. Integrasi fisiologi CACS (Fearon et al, 2012) Prevalensi malnutrisi pada kanker tergantung jenis kanker dan tingkatan penyakit. Prevalensi malnutrisi pada kanker terkait ginekologi berkisar 20% (Laky et al, 2008). Penelitian Laky et al (2008) menunjukkan pasien pada kanker ginekologi yang

10 14 mengalami malnutrisi secara signifikan terjadi pada usia yang lebih tua, rendahnya IMT, penurunan berat badan dan rendahnya albumin tetapi tidak signifikan dengan massa bebas lemak dan massa lemak tubuh. Mengingat seriusnya dampak malnutrisi pada pasien kanker yang terjadi di rumah sakit maka perlu dilakukan skrining dan penilaian status gizi awal pasien baru yang akan menjalani rawat inap di rumah sakit untuk mengevaluasi status gizi, mengidentifikasi malnutrisi dan menentukan intervensi gizi berdasarkan permasalahan gizi yang dialami pasien (Huang et al, 2014; Harimawan et al, 2011). Pertimbangan ini memberikan alasan yang kuat untuk manajemen assessment gizi reguler untuk semua pasien kanker selama perjalanan penyakit kanker (Gupta et al, 2011). b. Skrining Gizi Langkah pertama dalam pencegahan malnutrisi di rumah sakit dengan melakukan skrining gizi (Hernandez et al, 2012). Skrining gizi adalah proses mengidentifikasi dan pencatatan karakteristik yang ditemukan dalam membantu proses identifikasi pasien yang berisiko malnutrisi atau malnutrisi (Lim et al, 2009). Skrining gizi menjadi aspek penting karena kondisi patologis tertentu menyebabkan malnutrisi (Lomivorotov et al, 2013). Oleh karena itu, The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organization (JCAHO) menyarankan bahwa skrining gizi minimal dilakukan dalam waktu 24 jam terhitung saat pasien mulai masuk rumah sakit (Kemenkes RI, 2014). Identifikasi pasien malnutrisi atau berisiko malnutrisi merupakan langkah awal dalam rangka membangun dukungan nutrisi yang memadai secepatnya (Orfila et al, 2012). Pasien yang segera dilakukan skrining gizi akan menghasilkan ketepatan dalam intervensi gizi sehingga dapat mencegah malnutrisi di rumah sakit dan mempercepat proses penyembuhan (Susetyowati, 2013). Bila hasil skrining gizi menunjukkan pasien berisiko malnutrisi, maka dilakukan pengkajian/assesmen gizi dan dilanjutkan dengan langkah-langkah proses asuhan gizi terstandar oleh Dietisien. Pasien dengan status gizi baik atau tidak berisiko malnutrisi, dianjurkan dilakukan skrining ulang setelah 1 minggu. Jika hasil skrining ulang berisiko malnutrisi maka dilakukan proses asuhan gizi terstandar

11 (Kemenkes RI, 2013). Algoritme skrining dan assessment gizi pada pasien dewasa disajikan pada Gambar Skrining Gizi: Penyakit akut: dalam waktu 24 jam Pasien kronis atau pasien baru masuk : dalam waktu maksimal 48 jam Home care: pada saat kunjungan tenaga kesehatan pertama Pasien berisiko: Pasien dewasa yang berisiko malnutrisi adalah apabila mempunyai tanda-tanda sbb: 1. Penurunan/peningkatan Berat badan yang tidak diinginkan >10% berat badan biasanya dalam 6 bulan terakhir, atau >5% dari berat badan biasanya dalam waktu 1 bulan terakhir, atau berat badan > 120% atau < 80% berat badan ideal, mengalami penyakit kronis atau peningkatan metabolisme 2. Perubahan diet (mendapat TPN/makanan enteral, pembedahan, kesakitan atau trauma) 3. Asupan zat gizi yang tidak adekuat (karena tidak mendapatkan makanan/produk makanan, penurunan kemampuan pencernaan dan penyerapan) > 7 hari Stabil Tidak Berisiko Skrining ulang pada: 1. Interval waktu tertentu atau 2. Ada perubahan kondisi klinis/status gizi 3. Berisiko Berisiko Dilakukan assessment gizi meliputi: Review riwayat gizi Evaluasi data antropometri, dan biokimia terkait gizi Review data klinis Penilaian data fisik Buat perencanaan asuhan gizi berdasarkan: Pendekatan inter disiplin Tujuan asuhan gizi baik jangka pendek maupun jangka panjang, kebutuhan pendidikan gizi, rencana pemulangan pasien dan atau pelatihan saat di rumah Perencanaan preskripsi diet Pemberian nutrisi enteral/parenteral Re-assessment berdasarkan pada: Perubahan data klinis Pola pemberian nutrisi enteral/parenteral Protokol/ketentuan yang tersedia Gambar 2. Algoritme Skrining dan Asesmen Gizi pada Pasien Dewasa (ADA, 2009)

12 16 Rekomendasi ESPEN dan ASPEN menetapkan bahwa skrining gizi perlu dilakukan pada awal pasien masuk rumah sakit untuk mengidentifikasi pasien yang mempunyai risiko masalah gizi dan diulang secara periodik. Pasien yang mempunyai masalah gizi dievaluasi oleh tenaga kesehatan yang bekerjasama dalam tim dukungan gizi (Mueller, 2011; Lorenzo, 2005). Tujuan skrining gizi adalah untuk mengidentifikasi seseorang mengalami malnutrisi atau berisiko malnutrisi untuk dilakukan pengkajian lanjut dan intervensi gizi lebih dini (Kemenkes RI, 2013; Hernandez et al, 2012; Lim et al, 2009). Pendapat serupa diungkapkan Rasmussen et al (2010) dan Gupta et al (2011) bahwa tujuan dari skrining gizi adalah untuk memprediksi probabilitas membaik atau memburuknya outcome yang berkaitan dengan faktor gizi dan mengetahui pengaruh dari intervensi gizi. Outcome dari intervensi gizi dapat dinilai dari beberapa cara, yaitu perbaikan atau pencegahan penurunan fungsi mental dan fisik, pengurangan komplikasi penyakit, percepatan pemulihan dari penyakit dan penurunan lama perawatan. Neelemaat et al (2011) mengungkapkan bahwa skrining gizi dapat meningkatkan deteksi dini pasien malnutrisi hingga 50-80% dan dapat menurunkan lama rawat inap. Skrining gizi umumnya mempunyai dua peran. Peran pertama dapat mengidentifikasi atau memprediksi risiko dari berkembangnya suatu kondisi diantaranya komplikasi termasuk kematian dan biaya. Skrining dapat untuk mencegah atau mengatasi kondisi atau komplikasi yang terjadi, karena dapat digunakan sebagai dasar tindak lanjut dalam memberikan intervensi yang sesuai. Peranan skrining yang kedua adalah dapat mengidentifikasi individu yang mungkin atau tidak mungkin memperoleh manfaat dari pengobatan tersebut (Elia dan Stratton, 2012). Komponen skrining gizi menurut ESPEN terdiri dari empat komponen utama (Rasmussen et al, 2010), yaitu: a. Kondisi sekarang, digambarkan melalui pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk menentukan Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT merupakan indeks pengukuran status gizi yang sederhana dan objektif serta menjadi komponen penting dalam skrining gizi namun IMT tidak dapat digunakan sebagai penentu status malnutrisi

13 17 secara akurat. Pasien yang memiliki IMT tinggi dapat menjadi malnutrisi karena kurangnya asupan makan atau keganasan penyakit (Tsaousi et al, 2014). Bila pengukuran berat badan dan tinggi badan tidak dapat dilakukan maka dapat menggunakan pengukuran lingkar lengan atas. b. Kondisi stabil, digambarkan dengan kehilangan berat badan yang didapat dari riwayat pasien. Penurunan berat badan (baik disengaja maupun tidak disengaja) merupakan salah satu bagian penting dalam pengkajian gizi yang dihubungkan dengan mortalitas (Tsaousi et al, 2014). Kehilangan berat badan tidak disengaja sebesar 5% atau lebih selama 3 bulan biasanya dianggap signifikan. c. Kondisi memburuk, digambarkan dengan pertanyaan yang berkaitan dengan asupan makan yang menurun meliputi jumlah dan lamanya penurunan asupan. d. Pengaruh penyakit terhadap penurunan status gizi, digambarkan dengan pengaruh penyakit yang menyebabkan penurunan nafsu makan dan peningkatan kebutuhan terkait stres metabolik. Hubungan antara malnutrisi dan komplikasi pencernaan pada fistula (OR=2,4; CI 95%: 1,1-5,1) dan kegagalan usus (OR=4,3; CI 95%: 1,8-10,4). Penyakit gagal ginjal mengalami malnutrisi lebih tinggi (OR=2,8; CI 95%: 1,9-4,0) karena gagal ginjal sering dikaitkan dengan sepsis, trauma dan kegagalan multi-organ (Orfila et al, 2012). Karakteristik metode skrining sebaiknya memenuhi syarat berikut: a. Sederhana, artinya metode tersebut dapat mudah digunakan oleh orang lain tenaga rumah sakit. b. Mudah diterima, artinya metode tersebut dapat diterima subyek dan orang lain. c. Biaya. d. Ketelitian, artinya derajat dari kemampuan untuk menghasilkan pengukuran antara variabel yang diukur sama dengan kenyataan. e. Ketepatan, artinya kedekatan hasil pengukuran dengan kenyataannya. f. Sensitivitas, artinya proporsi subyek yang sakit dan hasil tesnya juga positif. g. Spesifisitas, artinya proporsi subyek yang sehat dan hasil tesnya juga negatif.

14 18 h. Nilai prediksi, artinya probabilitas/kemungkinan pada subyek yang memiliki hasil tes positif adalah benar sakit atau pada subyek yang memiliki hasil negatif adalah benar sehat. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk pengembangan alat skrining gizi yang paling baik dan tepat digunakan pada berbagai kondisi, tempat, dan populasi. Adapun macam alat/metode skrining gizi antara lain adalah Malnutrition Screening Tool (MST), Malnutrition Universal Screening Tool (MUST), Nutritional Risk Screening-2002 (NRS- 2002), Short Nutritional Assessment Questionaire (SNAQ), Subjective Global Assessment (SGA), Mini Nutritional Assessment-Short Form (MNA-SF), Paediatric Yorkhill Malnutrition Score (PYMS) dan lain-lain (Kemenkes, 2013). MST merupakan metode skrining gizi yang sederhana, cepat, valid dan fleksibel untuk mengidentifikasi pasien yang mempunyai risiko malnutrisi. MST dikembangkan berdasarkan pemilihan pertanyaan-pertanyaan skrining gizi dengan tingkat sensitivitas dan spesifisitas paling tinggi dibandingkan dengan skor SGA (Susetyowati, 2013). Metode skrining MST terdiri dari dua pertanyaan yaitu kehilangan berat badan yang tidak diharapkan dan penurunan nafsu makan yang telah divalidasi digunakan untuk pasien umum, pembedahan dan kanker (Barker et al, 2011). Kehilangan berat badan pada metode skrining MST: (1) jika kehilangan berat badan 1 kg sampai 5 kg, maka diberi skor 1, (2) jika kehilangan berat badan 6 kg sampai 10 kg, maka diberi skor 2, (3) jika kehilangan berat badan 11 kg sampai 15 kg, maka diberi skor 3, (4) jika kehilangan berat badan lebih dari 15 kg maka diberi skor 4, dan (5) jika ragu-ragu dalam mengidentifikasi kehilangan berat badan, maka diberi skor 2. Adanya penurunan nafsu makan diberikan skor 1. Kesimpulan hasil skrining yaitu pasien dengan kategori risiko malnutrisi, jika jumlah skor lebih atau sama dengan 2, maka disimpulkan pasien mengalami risiko malnutrisi (Susetyowati, 2013). Metode skrining MST telah dibuktikan dengan tingkat keakuratan pada evaluasi yang terdiri dari 1513 kutipan dan 9 penelitian dari jurnal elektronik yang ditambahkan dengan hasil kongres dan abstrak ASPEN dan ESPEN pada tahun 2000 sampai 2005,

15 19 didapatkan MST merupakan metode yang tingkat keakuratannya lebih tinggi daripada metode skrining lainnya (Venrooij et al, 2007). Hasil Konsensus Ahli Gizi dari Nutrition Education Materials Online (NEMO) tahun 2014 pun menunjukkan MST memiliki sensitifitas dan spesifisitas tinggi sebesar masing-masing 93%; kappa antar ahli gizi 0,88 dan pasien yang dideteksi mengalami risiko malnutrisi mampu memprediksi LOS lebih panjang. Namun, MST tidak bisa diterapkan untuk pasien yang mengalami kesulitan komunikasi (Herawati et al, 2014). 2. Albumin Albumin adalah protein plasma yang paling banyak dalam tubuh dan berperan penting sebagai pembawa berbagai molekul. Albumin memiliki afinitas tinggi dalam mengikat kation valensi tertentu, bilirubin, asam lemak bebas dan molekul lainnya, termasuk xenobiotik. Hal tersebut disebabkan oleh jumlahnya melimpah dan berat molekul rendah. Albumin bertanggung jawab sekitar 80% dari tekanan onkotik plasma total. Oleh karena itu, albumin sebagai pengatur distribusi cairan antara plasma dan interstisial pada kondisi fisiologis (Figueira et al, 2010). Kadar albumin normal adalah 3,5 g/dl sampai 5,2 g/dl. Bila cadangan albumin kurang dalam sirkulasi darah, konsentrasi darah akan menurun dan sejumlah albumin dapat kembali ke sirkulasi darah. Ketika sintesa meningkat, albumin akan mencukupi cadangan ekstravaskuler (Gibson, 2005). Serum albumin mempunyai ukuran body pool besar (3-5 g per kg BB) dengan waktu paruh hari sehingga albumin tidak terlalu sensitif terhadap perubahan status protein yang singkat (Gibson, 2005). Hal tersebut menjadikan albumin sebagai alat penanda biokimia yang paling umum digunakan untuk menilai status malnutrisi dan mencerminkan kekurangan protein (Ishida et al, 2014; Basu et al, 2011; Gupta dan Lis, 2010), tingkat keparahan penyakit, perkembangan penyakit dan prognosa (Laky et al, 2010; Gupta et al, 2009). Bahkan selama malnutrisi kronis, ketika sintesis albumin di hati menurun, konsentrasi albumin di dalam serum akan dipertahankan melalui sebuah mekanisme

16 20 kompensasi yaitu melalui penurunan katabolisme albumin bersama dengan redistribusi albumin ekstravaskuler ke intravaskuler (Gibson, 2005). Malnutrisi dan inflamasi dapat menekan sintesis albumin (Gupta dan Lis, 2010). Sebagai bagian dari sistem respon inflamasi terhadap tumor, sitokin proinflamasi dan growth factor dikeluarkan akan menyebabkan proses katabolik pada tubuh. IL-6 yang diproduksi oleh tumor atau sekitar sel tumor akan merangsang produksi hati dari reaksi protein fase akut seperti protein C-reaktif (CRP) dan fibrinogen. Hal tersebut menyebabkan kebutuhan asam amino tertentu, bila terbatas dalam makanan akan diperoleh dari pemecahan skeletal otot. Rendahnya kadar serum albumin diakibatkan produksi sitokin seperti IL-6 yang memodulasi produksi albumin oleh hepatosit. Penyebab lainnya yaitu tumor necrosis factor (TNF) meningkatkan permeabilitas mikrovaskuler sehingga mengakibatkan peningkatan transkapiler albumin (Gupta dan Lis, 2010). Penanda biokimia sederhana seperti albumin telah lama dianggap sebagai penanda yang dapat mencerminkan risiko malnutrisi terkait komplikasi dan merupakan alat skrining sederhana bagi pasien berisiko malnutrisi. Namun, penggunaan penanda tersebut sebagai indikator malnutrisi masih kontroversial. Perdebatan tersebut terkait apakah faktor biokimia normal dapat mencerminkan malnutrisi atau apakah hanya mencerminkan tingkat keparahan penyakit fisiologis (Basu et al, 2011). Pendapat lainnya diungkapkan Gupta dan Lis (2010) bahwa serum albumin memiliki kelemahan karena faktor-faktor non-gizi, seperti hidrasi dan jenis penyakit. Gibson (2005) menyatakan bahwa hipoalbumin dapat disebabkan oleh beberapa penyakit terkait saluran pencernaan seperti kolitis ulseratif, crohn disease, gagal ginjal, gangguan hati, hipotiroid dan gagal jantung kongestif. Albumin tidak hanya sebagai indikator status gizi pasien tetapi juga berguna dalam memprediksi prognosis pasien sehingga albumin dapat digunakan sebagai indikator independen dari intervensi gizi (Gupta dan Lis, 2010). Albumin juga telah terbukti menjadi prediksi dari LOS, infeksi nosokomial dan kematian di rumah sakit (Basu et al, 2011; Laky et al, 2010; Gupta et al, 2009). Penelitian da Silva et al (2012) menunjukkan

17 21 bahwa rendahnya albumin tidak berhubungan dengan LOS karena adanya perbedaan jenis penyakit dan asupan makan yang kurang. Rendahnya albumin atau hipoalbumin diduga menjadi indikator prognosis pada pasien kanker namun penelitian ini masih terdapat perbedaan satu sama lainnya berkaitan dengan populasi yang diteliti, desain penelitian, ukuran sampel, definisi hipoalbumin yang digunakan dan faktor lain yang dianalisis. Prognostik serum albumin pada pasien dengan kanker ovarium menunjukkan bahwa setiap satu gram peningkatan per dl serum albumin dikaitkan dengan RR 0,39 (CI 95%: 0,29-0,53; p <0,001) (Gupta et al, 2009). Alphs et al (2006) memprediksi hasil bedah dan kelangsungan hidup pada wanita lansia dengan diagnosis kanker ovarium dan kanker peritoneal primer menemukan bahwa pasien yang berusia lebih dari 80 tahun dikaitkan dengan peningkatan hampir 2 kali lipat risiko kematian dan kadar albumin pra operasi 3,7 g/dl dikaitkan dengan penurunan risiko kematian sebesar 40%. Hasil sistematik review Gupta dan Lis (2010) menunjukkan serum albumin menjadi prognostik kelangsungan hidup pasien kanker ovarium pada semua penelitian retrospektif. 3. Lama Rawat Inap Lama rawat inap atau length of stay (LOS) adalah masa rawat seorang pasien di rumah sakit dihitung sejak pasien masuk rumah sakit dan keluar rumah sakit, dipengaruhi oleh faktor usia, komorbiditas, hipermetabolisme, dan kegagalan organ serta defisiensi gizi (Meilyana et al, 2010). LOS dikaitkan dengan usia pasien karena semakin bertambahnya usia maka kemampuan sistem kekebalan tubuh berkurang (Wartawan, 2012). Faktor lain yang dihubungkan dengan lamanya perawatan di rumah sakit antara lain clinical setting, jenis dan keparahan penyakit, kualitas dan jumlah intervensi (Caccialanza et al, 2010). Pekerjaan pasien dan kelas perawatan yang dipilih pun berperan terhadap LOS. Pekerjaan tidak secara langsung mempengaruhi lama hari rawat pasien, namun mempengaruhi cara pasien dalam membayar biaya perawatan. Pekerjaan menentukan penghasilan serta ada atau tidaknya jaminan kesehatan untuk menanggung biaya selama perawatan di rumah sakit. Pasien yang dirawat pada kelas yang lebih tinggi

18 22 akan mempunyai lama hari rawat lebih pendek daripada pasien yang dirawat pada kelas yang lebih rendah terkait pelayanan baik medis dan non medis yang diperoleh pasien (Wartawan, 2012). LOS digunakan sebagai penanda perbaikan kesehatan pasien selama perawatan di rumah sakit, mencerminkan tingkat kegawatan penyakit dan status kesehatan pasien yang dipengaruhi oleh genetika, jenis trauma atau penyakit, pengobatan atau pembedahan, kualitas perawatan pasien, dan ketersediaan fasilitas perawatan (Huang et al, 2014; Gupta et al, 2011; Laky et al, 2010). Penurunan LOS berpotensi untuk mengurangi biaya perawatan kesehatan, risiko infeksi dan komplikasi penyakit serta meningkatkan kualitas hidup pasien (Gupta et al, 2011). Laporan Departemen Kesehatan Spanyol dalam Hernandez et al (2012) menunjukkan rata-rata LOS pada tahun 2009 adalah 7,31 hari. Penelitian Hernandez et al (2012) menunjukkan terjadi peningkatan rata-rata LOS menjadi 8,3 hari (tanpa bangsal anak dan oftalmologi). Lebih lanjut penelitian tersebut mengungkapkan bahwa satu diantara empat pasien yang dirawat di rumah sakit berisiko malnutrisi yang berdampak pada penambahan biaya kesehatan. Berbagai penelitian menyatakan bahwa adanya malnutrisi pada saat pasien masuk rumah sakit mengakibatkan pasien tersebut memiliki LOS yang lebih panjang bila dibandingkan dengan pasien berstatus gizi baik dan memiliki risiko lebih tinggi mengalami malnutrisi selama perawatan (Meilyana et al, 2010; Nourissat et al, 2007). Pasien yang mengalami malnutrisi secara signifikan mengalami LOS lebih lama (10,5 ± 9,5 hari vs 7,7 ± 7,8 hari, p <0,0001) dan tingginya mortalitas (8,6% vs 1,3%, p <0,0001) (Burgos et al, 2012). Menurut Orfila et al (2012), pasien yang mengalami malnutrisi meningkatkan lama rawat di rumah sakit sebesar 30%. Delapan penelitian yang menggunakan SGA/PG-SGA sebagai alat assessment menunjukkan rata-rata LOS secara signifikan lebih tinggi pada kelompok yang malnutrisi dibandingkan kelompok tanpa malnutrisi (Gupta et al, 2011). Pasien yang berisiko malnutrisi 1,5 kali tinggal lebih lama dibandingkan pasien tanpa risiko malnutrisi setelah mengontrol usia, jenis kelamin dan jenis penyakit (Lim et al, 2014). Bahkan penelitian Tsaousi et al (2014) menunjukkan

19 23 bahwa LOS pasien yang mengalami malnutrisi hampir empat kali lebih tinggi daripada pasien tanpa malnutrisi (14,1 hari dibandingkan dengan 3,7 hari). LOS dihubungkan dengan clinical outcome yang buruk, penurunan asupan makanan, tingkatan asuhan gizi, diagnosis dari SGA dan diagnosis malnutrisi berdasarkan alat ukur yang dikombinasi tetapi LOS tidak menunjukkan perbedaan menurut usia, jenis kelamin, perubahan konsistensi makanan dan pengukuran antropometri. Pasien yang mengalami penurunan asupan makan memiliki lama rawat 3 hari lebih lama daripada pasien tanpa penurunan asupan makanan (p=0,001). LOS pasien malnutrisi 5 hari lebih lama dibandingkan pasien tanpa malnutrisi. LOS pasien malnutrisi berat yang dikombinasikan dengan beberapa alat ukur memiliki masa rawat 5 hari lebih lama dibandingkan pasien tanpa malnutrisi dan 10 hari lebih lama dibandingkan pasien obesitas (Ordonez et al, 2013). Status gizi yang optimal dikaitkan dengan singkatnya lama perawatan (Orfila et al, 2012). Pengukuran status gizi menggunakan IMT tidak ditemukan sebagai indikator yang baik dari LOS. IMT mencerminkan berat dan tinggi badan pasien kemudian diasumsikan sebagai komposisi tubuh. Hal tersebut tidak memperhitungkan penurunan asupan oral atau perubahan berat badan yang signifikan secara klinis dengan penurunan massa sel tubuh yang mungkin telah terjadi sebelum rawat inap. Penurunan berat badan dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas (Gupta et al, 2011). Status gizi berdasarkan IMT juga memiliki indikator dengan sensitivitas rendah dalam mendeteksi malnutrisi di rumah sakit. Hal tersebut disebabkan proses malnutrisi akut terjadi akibat penurunan berat badan tanpa disertai penurunan simpanan lemak (Merhi et al, 2011). Individu dengan IMT <18,5 tidak selalu mengalami malnutrisi atau berisiko malnutrisi sedangkan individu dengan IMT normal dapat mengalami malnutrisi. IMT pun tidak memperhitungkan penurunan asupan oral atau perubahan berat badan yang signifikan secara klinis dengan kehilangan massa sel tubuh, yang mungkin telah terjadi sebelum rawat inap. Hal ini juga kemungkinan bahwa ada variasi yang luas dalam komposisi tubuh dan status gizi pada populasi kelebihan berat badan dan obesitas serta tingkat keparahan penyakit (Gupta et al, 2011).

20 24 Berbeda dengan penelitian Caccialanza et al (2010) bahwa pasien yang meninggal di rumah sakit cenderung memiliki rawat inap lebih panjang ( 3 hari) akibat IMT rendah, mengalami malnutrisi, mengalami penurunan berat badan tidak disengaja >5% baik sebelum masuk maupun selama di rumah sakit, menderita penyakit berat, kanker dan adanya komorbiditas penyakit. Status gizi awal yang diukur menggunakan SGA juga berpengaruh terhadap lama rawat pasien. Pasien yang tidak berisiko malnutrisi mengalami lama rawat pendek 3 kali daripada pasien yang mengalami malnutrisi (Merhi et al, 2011). Hal tersebut disebabkan sebagian besar zat gizi baik secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam sintesis protein dan respon imun tergantung dari protein-protein dengan fungsi spesifik. Zat gizi makro akan mempengaruhi sistem imunitas sedangkan zat gizi mikro seperti zink, selenium, zat besi, tembaga, vitamin A, C, E dan B6 serta asam folat merupakan immunomodulator yang sangat penting dalam menentukan respon tubuh terhadap antigen maupun keadaan patologis yang terjadi dalam tubuh sehingga berdampak pada proses penyembuhan (Harimawan et al, 2011). Rendahnya serum albumin dihubungkan dengan LOS dan tingginya mortalitas selama masa rawat inap di rumah sakit (Cabrerizo et al, 2015). Penelitian Laky et al (2008) menunjukkan bahwa konsentrasi serum albumin yang rendah dikaitkan dengan risiko malnutrisi pada pasien kanker ginekologi. LOS dihubungkan dengan kejadian malnutrisi pada beberapa tipe kanker. LOS berbeda antar jenis kanker. Kanker ovarium memiliki LOS lebih lama (96%) dibandingkan kanker endometrium (50%) dan pasien dengan tumor pelvis (42%) pada wanita (Laky et al, 2010). Mengingat seriusnya dampak malnutrisi pada LOS pasien kanker maka perlu dilakukan skrining dan penilaian status gizi awal pasien baru yang akan menjalani rawat inap di rumah sakit untuk mengevaluasi status gizi, mengidentifikasi malnutrisi dan menentukan intervensi gizi berdasarkan permasalahan gizi yang dialami pasien (Huang et al, 2014; Harimawan et al, 2011).

21 B. Penelitian yang Relevan Tabel 1. Penelitian yang Relevan No Judul Tujuan Metode Hasil 1 Association Between Mengetahui Rancangan Insiden outcome Nutritional Risk and hubungan antara penelitian: pasien berdasarkan: Routine Clinical risiko gizi prospective Risiko malnutrisi Laboratory berdasarkan NRS- observational (OR=1,34; CI 95%: Measurements and 2002 dan study 0,89-1,99) dan Adverse Outcomes: a pengukuran Lokasi: RS hipoalbumin Prospective Study in biokimia rutin Wuhan Tongji (OR=1,61; CI 95%: Hospitalized Patients terhadap outcome Cina 1,30-1,97) of Wuhan Tongji Subyek: 916 Hospital (Chen et al, pasien 2015) 25 2 Kajian Metode Subjective Global Assessment (SGA) dan Nutrition Services Screening Assessment (NSSA) sebagai Status Gizi Awal Pasien Dewasa sebagai Prediktor Lama Rawat Inap dan Status Pulang (Harimawan et al, 2011) Menilai status gizi awal pasien penyakit dalam yang baru dirawat dengan menggunakan metode SGA dan NSSA serta membandingkan kemampuan keduanya dalam memprediksi lama rawat inap dan status pulang Rancangan penelitian: prospective cohort Lokasi: RSD Anuntaloko Parigi Kab. Parigi Moutong Sulteng Subyek: 162 pasien Kemampuan indikator SGA lebih baik dari indicator NSSA dalam memprediksi lama rawat inap sedangkan status pulang pasien tidak dapat ditentukan 3 Pengaruh Hasil Skrining berdasarkan Metode MNA terhadap Lama Rawat Inap dan Status Pulang Pasien Lansia di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta (Prasetiyo, 2010) Mengetahui pengaruh hasil skrining berdasarkan metode MNA terhadap lama rawat inap dan status pulang pasien lansia di bangsal penyakit dalam dan saraf Rancangan penelitian: prospective cohort Lokasi: RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Subyek: 83 orang Pasien yang terpapar (malnutrisi) berisiko dirawat selama 7 hari adalah 1,63 kali lebih besar daripada pasien yang tidak terpapar (tidak malnutrisi). Berdasarkan hasil regresi logistik tidak ada pengaruh antara hasil skrining dengan lama rawat inap.

22 No Judul Tujuan Metode Hasil 4 Hubungan Skrining Mengetahui Rancangan NRS-2002 dan MUST Gizi NRS-2002 dan hubungan penelitian: tidak berhubungan MUST dengan skrining gizi cross sectional dengan indikator Assessment Biokimia NRS-2002 dan Lokasi: RSUP biokimia pasien di pada Pasien di MUST dengan Dr. Sardjito bangsal penyakit Bangsal Penyakit assessment Yogyakarta dalam dan syaraf Dalam dan Saraf biokimia (albumin Subyek: 195 RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta (Simanjuntak, 2010) dan hemoglobin) pasien 26 5 Perbandingan Metode Skrining Gizi NRS 2002 dengan Assesmen Biokimia (Albumin dan TLC) untuk Mendeteksi Malnutrisi di Bangsal Bedah dan Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta (Ansari, 2011) Mengetahui hubungan skrining gizi NRS-2002 dengan assessment biokimia (albumin dan TLC) Rancangan penelitian: cross sectional Lokasi: RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Subyek: 95 pasien NRS-2002 tidak berhubungan dengan albumin dan TLC di bangsal penyakit dalam dan bedah meskipun nilai albumin lebih rendah pada pasien yang berisiko malnutrisi 6 Accuracy of Nutritional Assessment Tools for Predicting Adverse Hospital Outcomes (Baghetto et al, 2009) Membandingkan akurasi IMT, prosentasi penurunan BB tidak disengaja selama 6 bulan terakhir, SGA, albumin dan TLC dalam memprediksi kematian, infeksi dan lama rawat Rancangan penelitian: prospective observational study Lokasi: University Hospital Subyek: 434 pasien Metode assessment gizi dievaluasi sebagai prediktor yang lemah terhadap outcome pasien. Hipoalbumin terkait dengan LOS (OR: 2,40; CI 95%; 1,46-3,94) setelah mengendalikan faktor diagnosis kanker dan rawat inap non-bedah

23 C. Kerangka Berpikir Personal: Usia Tindakan (operasi, ventilator) Jenis Kelamin Asupan Mental illness (demensia, depresi) Jenis penyakit Ketidakmampuan daya beli Gangguan mengunyah, menelan Mobilitas terbatas Gangguan sensori (perasa, pembau) Pengobatan Organizational: Kurangnya kemampuan mendeteksi malnutrisi Sarana dan keterampilan kurang dalam melakukan skrining dan assessment Belum dilakukan pengukuran dan pencatatan tinggi badan dan berat badan Belum ada pencatatan asupan makan Kurangnya tenaga dalam pemberian makanan Belum ada peraturan dan pedoman pelaksanaan asuhan gizi dan dukungan gizi Albumin Risiko Malnutrisi kanker di RS Tingkat seluler: Kemampuan terhadap respon imun terhadap infeksi melambat Physical level: Kehilangan massa otot dan lemak Atropi organ visceral Psikologis: Mudah lelah Apatis Penurunan daya tahan dan respon terhadap terapi/pengobatan Lama rawat Mortalitas Morbiditas Peningkatan biaya RS Gambar 3. Kerangka Berpikir Penelitian Hubungan Risiko Malnutrisi dan Kadar Albumin terhadap Lama Rawat Inap Pasien Kanker Obstetri Ginekologi variabel yang diteliti variabel yang tidak diteliti

24 28 D. Hipotesis 1. Ada hubungan risiko malnutrisi terhadap lama rawat inap pasien kanker obstetri ginekologi 2. Ada hubungan kadar albumin terhadap lama rawat inap pasien kanker obstetri ginekologi

BAB I PENDAHULUAN. Tingginya prevalensi malnutrisi pada pasien di rumah sakit masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Tingginya prevalensi malnutrisi pada pasien di rumah sakit masih menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tingginya prevalensi malnutrisi pada pasien di rumah sakit masih menjadi perhatian, baik di negara maju maupun negara berkembang. Menurut Barker (2011), malnutrisi

Lebih terperinci

HUBUNGAN RISIKO MALNUTRISI DAN KADAR ALBUMIN TERHADAP LAMA RAWAT INAP PASIEN KANKER OBSTETRI GINEKOLOGI TESIS

HUBUNGAN RISIKO MALNUTRISI DAN KADAR ALBUMIN TERHADAP LAMA RAWAT INAP PASIEN KANKER OBSTETRI GINEKOLOGI TESIS HUBUNGAN RISIKO MALNUTRISI DAN KADAR ALBUMIN TERHADAP LAMA RAWAT INAP PASIEN KANKER OBSTETRI GINEKOLOGI TESIS Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister Program Studi Ilmu Gizi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kurang lebih 21 hari. Albumin mengisi 50% protein dalam darah dan menentukan

BAB I PENDAHULUAN. kurang lebih 21 hari. Albumin mengisi 50% protein dalam darah dan menentukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Albumin adalah protein serum yang disintesa di hepar dengan waktu paruh kurang lebih 21 hari. Albumin mengisi 50% protein dalam darah dan menentukan 75% tekanan onkotik

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi. 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Rumah Sakit RSUD dr. Moewardi 1. Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi RSUD dr. Moewardi adalah rumah sakit umum milik pemerintah Propinsi Jawa Tengah. Berdasarkan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN INSTRUMEN SKRINING GIZI DI RUMAH SAKIT. Dr. Susetyowati DCN,M.Kes Universitas Gadjah Mada 2014

PENGEMBANGAN INSTRUMEN SKRINING GIZI DI RUMAH SAKIT. Dr. Susetyowati DCN,M.Kes Universitas Gadjah Mada 2014 PENGEMBANGAN INSTRUMEN SKRINING GIZI DI RUMAH SAKIT Dr. Susetyowati DCN,M.Kes Universitas Gadjah Mada 2014 MALNUTRISI DI RUMAH SAKIT STUDI DELPHI (Meijers dkk, 2010) Defisiensi energi, Defisiensi protein

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes melitus merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Prevalensi di dunia tahun 2014 sebanyak 9%, di Indonesia meningkat dari 1,1% pada tahun 2007 menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia adalah negara berkembang yang masih terus melakukan pembangunan dalam segala aspek kehidupan masyarakatnya. Banyak indikator yang menentukan keberhasilan

Lebih terperinci

SKRINING DAN PENILAIAN NUTRISI

SKRINING DAN PENILAIAN NUTRISI SKRINING DAN PENILAIAN NUTRISI Skrining nutrisi adalah alat yang penting untuk mengevaluasi status nutrisi seseorang secara cepat dan singkat. - Penilaian nutrisi merupakan langkah yang peting untuk memastikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ginjal adalah organ vital yang berperan penting dalam mempertahankan

BAB I PENDAHULUAN. Ginjal adalah organ vital yang berperan penting dalam mempertahankan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ginjal adalah organ vital yang berperan penting dalam mempertahankan kestabilan lingkungan dalam tubuh. Ginjal mengatur keseimbangan cairan tubuh, elektrolit,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akibat kanker setiap tahunnya antara lain disebabkan oleh kanker paru, hati, perut,

BAB I PENDAHULUAN. akibat kanker setiap tahunnya antara lain disebabkan oleh kanker paru, hati, perut, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit kanker merupakan salah satu penyebab kematian utama di seluruh dunia. Pada tahun 2012, kanker menjadi penyebab kematian sekitar 8,2 juta orang. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit kritis merupakan suatu keadaan sakit yang membutuhkan dukungan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit kritis merupakan suatu keadaan sakit yang membutuhkan dukungan BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anak sakit kritis Penyakit kritis merupakan suatu keadaan sakit yang membutuhkan dukungan terhadap kegagalan fungsi organ vital yang dapat menyebabkan kematian, dapat berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Albumin merupakan protein terbanyak dalam plasma, sekitar 60% dari total

BAB I PENDAHULUAN. Albumin merupakan protein terbanyak dalam plasma, sekitar 60% dari total BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Albumin merupakan protein terbanyak dalam plasma, sekitar 60% dari total plasma protein, dengan nilai normal 3,5 5,5 g/dl. Albumin juga didapatkan pada ruang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit kanker merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik di dunia maupun di negara berkembang seperti Indonesia. Menurut

Lebih terperinci

Hubungan Albumin Serum Awal Perawatan dengan Perbaikan Klinis Infeksi Ulkus Kaki Diabetik di Rumah Sakit di Jakarta

Hubungan Albumin Serum Awal Perawatan dengan Perbaikan Klinis Infeksi Ulkus Kaki Diabetik di Rumah Sakit di Jakarta LAPORAN PENELITIAN Hubungan Albumin Serum Awal Perawatan dengan Perbaikan Klinis Infeksi Ulkus Kaki Diabetik di Rumah Sakit di Jakarta Hendra Dwi Kurniawan 1, Em Yunir 2, Pringgodigdo Nugroho 3 1 Departemen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sehingga terdapat kesepakatan umum bahwa inti dari kerapuhan yaitu meningkatnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sehingga terdapat kesepakatan umum bahwa inti dari kerapuhan yaitu meningkatnya BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kerapuhan 2.1.1 Pengertian Kerapuhan Pada penelitian sebelumnya, dikatakan bahwa kerapuhan adalah suatu konsep yang baru dan masih menjadi kontroversi dalam konsep maupun definisinya.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Laparotomi merupakan salah satu prosedur pembedahan mayor dengan cara melakukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Laparotomi merupakan salah satu prosedur pembedahan mayor dengan cara melakukan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laparotomi merupakan salah satu prosedur pembedahan mayor dengan cara melakukan penyayatan pada lapisan dinding abdomen untuk mendapatkan organ dalam abdomen yang mengalami

Lebih terperinci

CRITICAL ILLNESS. Dr. Syafri Guricci, M.Sc

CRITICAL ILLNESS. Dr. Syafri Guricci, M.Sc CRITICAL ILLNESS Dr. Syafri Guricci, M.Sc Respon Metabolik pada Penyakit Infeksi dan Luka Tiga komponen utama, Yaitu : Hipermetabolisme Proteolisis dengan kehilangan nitrogen Percepatan Utilisasi Glukosa

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. yang semakin tinggi diantara rumah sakit. Rumah sakit dituntut untuk tetap

BAB I. PENDAHULUAN. yang semakin tinggi diantara rumah sakit. Rumah sakit dituntut untuk tetap BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era globalisasi ini menuntut adanya persaingan pelayanan kesehatan yang semakin tinggi diantara rumah sakit. Rumah sakit dituntut untuk tetap mampu meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sel tubuh normal mengadakan mutasi menjadi sel kanker yang kemudian. Penyakit kanker saat ini sudah merupakan masalah kesehatan di

BAB I PENDAHULUAN. sel tubuh normal mengadakan mutasi menjadi sel kanker yang kemudian. Penyakit kanker saat ini sudah merupakan masalah kesehatan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit kanker merupakan penyakit keganasan yang timbul ketika sel tubuh normal mengadakan mutasi menjadi sel kanker yang kemudian tumbuh cepat dan tidak mempedulikan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stroke adalah suatu penyakit defisit neurologis akut yang disebabkan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stroke adalah suatu penyakit defisit neurologis akut yang disebabkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke adalah suatu penyakit defisit neurologis akut yang disebabkan oleh gangguan pembuluh darah otak yang terjadi secara mendadak dan menimbulkan gejala dan tanda

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Glukosa Darah Karbohidrat merupakan sumber utama glukosa yang dapat diterima dalam bentuk makanan oleh tubuh yang kemudian akan dibentuk menjadi glukosa. Karbohidrat yang dicerna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diperkirakan bahwa 2-3% dari jumlah penduduk Indonesia menderita gangguan jiwa berat dan memerlukan perawatan di rumah sakit. Gangguan psikiatri pada masa muda dapat

Lebih terperinci

Oleh : Fery Lusviana Widiany

Oleh : Fery Lusviana Widiany PENGARUH DUKUNGAN GIZI PUDING TEPUNG TEMPE TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA PASIEN BEDAH DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA Oleh : Fery Lusviana Widiany 01/12/2014 1 Latar Belakang RS SARMILLA 2,89% pasien menurun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kecemasan merupakan salah satu masalah psikologi yang banyak dialami oleh seorang pasien di rumah sakit. Kecemasan adalah pengalaman umum manusia dan merupakan emosi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan keserasian antara perkembangan fisik dan perkembangan mental. Tingkat. lampau, bahkan jauh sebelum masa itu (Budiyanto, 2002).

BAB I PENDAHULUAN. dan keserasian antara perkembangan fisik dan perkembangan mental. Tingkat. lampau, bahkan jauh sebelum masa itu (Budiyanto, 2002). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Gizi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan keserasian antara perkembangan fisik dan perkembangan mental. Tingkat keadaan gizi normal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sakit kritis nondiabetes yang dirawat di PICU (Pediatric Intensive Care Unit)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sakit kritis nondiabetes yang dirawat di PICU (Pediatric Intensive Care Unit) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hiperglikemia sering terjadi pada pasien kritis dari semua usia, baik pada dewasa maupun anak, baik pada pasien diabetes maupun bukan diabetes. Faustino dan Apkon (2005)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atrofi otot karena kurang bergerak. Atrofi (penyusutan) otot menyebabkan otot

BAB I PENDAHULUAN. atrofi otot karena kurang bergerak. Atrofi (penyusutan) otot menyebabkan otot BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap pasien yang berobat ke rumah sakit memiliki status gizi berbeda-beda, ada yang sangat kurus, kurus, normal hingga pasien yang berbadan gemuk. Pada umumnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Malnutrisi merupakan salah satu permasalahan yang banyak dialami

BAB I PENDAHULUAN. Malnutrisi merupakan salah satu permasalahan yang banyak dialami 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Malnutrisi merupakan salah satu permasalahan yang banyak dialami pasien sebelum maupun setelah masuk rumah sakit. Salah satu malnutrisi yang sering dijumpai adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. TB Paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh. Mycobacterium tuberculosis, yaitu kuman aerob yang mudah mati dan

BAB I PENDAHULUAN. TB Paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh. Mycobacterium tuberculosis, yaitu kuman aerob yang mudah mati dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang TB Paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yaitu kuman aerob yang mudah mati dan didapat terutama di paru atau berbagai organ tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom klinik ini terjadi karena adanya respon tubuh terhadap infeksi, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Sindrom klinik ini terjadi karena adanya respon tubuh terhadap infeksi, dimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sepsis merupakan suatu sindrom kompleks dan multifaktorial, yang insidensi, morbiditas, dan mortalitasnya sedang meningkat di seluruh belahan dunia. 1 Sindrom klinik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. setelah pembedahan tergantung pada jenis pembedahan dan jenis. dilupakan, padahal pasien memerlukan penambahan kalori akibat

BAB 1 PENDAHULUAN. setelah pembedahan tergantung pada jenis pembedahan dan jenis. dilupakan, padahal pasien memerlukan penambahan kalori akibat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Diet paska bedah merupakan makanan yang diberikan kepada pasien setelah menjalani pembedahan. Pengaturan makanan setelah pembedahan tergantung pada jenis pembedahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Sirosis adalah suatu keadaan patologik yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1. Perumusan masalah Penyakit hati menahun dan sirosis merupakan penyebab kematian kesembilan di Amerika Serikat dan bertanggung jawab terhadap 1,2% seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya malnutrisi pada pasien dan meningkatkan angka infeksi, atrofi otot,

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya malnutrisi pada pasien dan meningkatkan angka infeksi, atrofi otot, 11 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Status nutrisi pasien sakit kritis merupakan faktor utama untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas. Rendahnya terapi nutrisi akan menyebabkan terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum (UD) adalah luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan oleh adanya komplikasi kronik berupa mikroangiopati dan makroangiopati akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditularkan dari orang ke orang. PTM dalam Riskesdas 2013 meliputi : asma,

BAB I PENDAHULUAN. ditularkan dari orang ke orang. PTM dalam Riskesdas 2013 meliputi : asma, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit tidak menular (PTM) merupakan penyakit kronis yang tidak ditularkan dari orang ke orang. PTM dalam Riskesdas 2013 meliputi : asma, Penyakit Paru Obstruksi Kronis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (PGK) tahap akhir yang menjalani dialisis masih sangat tinggi, kira-kira 15 -

BAB I PENDAHULUAN. (PGK) tahap akhir yang menjalani dialisis masih sangat tinggi, kira-kira 15 - BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Angka morbiditas dan mortalitas pasien penyakit ginjal kronik (PGK) tahap akhir yang menjalani dialisis masih sangat tinggi, kira-kira 15-20 persen per tahun, meskipun

Lebih terperinci

Diabetes Mellitus Type II

Diabetes Mellitus Type II Diabetes Mellitus Type II Etiologi Diabetes tipe 2 terjadi ketika tubuh menjadi resisten terhadap insulin atau ketika pankreas berhenti memproduksi insulin yang cukup. Persis mengapa hal ini terjadi tidak

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095 LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 NAMA NIM : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095 PROGRAM S1 KEPERAWATAN FIKKES UNIVERSITAS MUHAMMADIAH SEMARANG 2014-2015 1 LAPORAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proses-proses kehidupan (Soenarjo, 2000). Menurut Soenarjo (2000), Nutrisi

BAB I PENDAHULUAN. proses-proses kehidupan (Soenarjo, 2000). Menurut Soenarjo (2000), Nutrisi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nutrisi adalah ikatan kimia yang yang diperlukan tubuh untuk melakukan fungsinya yaitu energi, membangun dan memelihara jaringan, serta mengatur proses-proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. permeabilitas mikrovaskular yang terjadi pada jaringan yang jauh dari sumber infeksi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. permeabilitas mikrovaskular yang terjadi pada jaringan yang jauh dari sumber infeksi BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang penelitian Sepsis merupakan suatu sindrom klinis infeksi yang berat dan ditandai dengan tanda kardinal inflamasi seperti vasodilatasi, akumulasi leukosit, dan peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nutrisi dari makanan diet khusus selama dirawat di rumah sakit (Altmatsier,

BAB I PENDAHULUAN. nutrisi dari makanan diet khusus selama dirawat di rumah sakit (Altmatsier, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berbagai macam jenis penyakit yang diderita oleh pasien yang dirawat di rumah sakit membutuhkan makanan dengan diet khusus. Diet khusus adalah pengaturan makanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Artritis reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit inflamasi kronik yang ditandai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Artritis reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit inflamasi kronik yang ditandai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Artritis reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit inflamasi kronik yang ditandai dengan peradangan pada sinovium, terutama sendi sendi kecil dan seringkali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, didapatkan peningkatan insiden dan prevalensi dari gagal ginjal, dengan prognosis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. inap di rumah sakit. Pada penelitian Kusumayanti dkk (2004) di tiga Rumah

BAB I PENDAHULUAN. inap di rumah sakit. Pada penelitian Kusumayanti dkk (2004) di tiga Rumah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan malnutrisi masih banyak ditemukan pada pasien rawat inap di rumah sakit. Pada penelitian Kusumayanti dkk (2004) di tiga Rumah Sakit Pendidikan, yakni Perjan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. belakang hidung dan belakang langit-langit rongga mulut. Data Laboratorium

BAB I PENDAHULUAN. belakang hidung dan belakang langit-langit rongga mulut. Data Laboratorium BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker nasofaring merupakan jenis kanker yang tumbuh di rongga belakang hidung dan belakang langit-langit rongga mulut. Data Laboratorium Patologi Anatomi FKUI melaporkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. napas bagian bawah (tumor primer) atau dapat berupa penyebaran tumor dari

BAB 1 PENDAHULUAN. napas bagian bawah (tumor primer) atau dapat berupa penyebaran tumor dari BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker paru adalah penyakit keganasan yang berasal dari sel epitel saluran napas bagian bawah (tumor primer) atau dapat berupa penyebaran tumor dari organ lain (tumor

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Malaria merupakan penyakit kronik yang mengancam keselamatan jiwa yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Malaria merupakan penyakit kronik yang mengancam keselamatan jiwa yang BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Malaria Malaria merupakan penyakit kronik yang mengancam keselamatan jiwa yang disebabkan oleh parasit yang ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi. 3 Malaria

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak

BAB I PENDAHULUAN. siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan kelainan siklus sel yang khas yang menimbulkan kemampuan sel untuk tumbuh tidak terkendali (pembelahan sel melebihi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Obesitas telah menjadi masalah kesehatan yang serius di seluruh dunia,

BAB 1 PENDAHULUAN. Obesitas telah menjadi masalah kesehatan yang serius di seluruh dunia, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Obesitas telah menjadi masalah kesehatan yang serius di seluruh dunia, setelah menjadi masalah pada negara berpenghasilan tinggi, obesitas mulai meningkat di negara-negara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013). BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori 1. Status Gizi a. Definisi Status Gizi Staus gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam

Lebih terperinci

Kanker Usus Besar. Bowel Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Kanker Usus Besar. Bowel Cancer / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Kanker Usus Besar Kanker usus besar merupakan kanker yang paling umum terjadi di Hong Kong. Menurut statistik dari Hong Kong Cancer Registry pada tahun 2013, ada 66 orang penderita kanker usus besar dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. The World Health

BAB I PENDAHULUAN. utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. The World Health BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Preeklamsi merupakan penyulit utama dalam kehamilan dan penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. The World Health Organization (WHO) melaporkan angka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan dan kematian pada anak. 1,2 Watson dan kawan-kawan (dkk) (2003) di Amerika Serikat mendapatkan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL. 2,3 (0,3-17,5) Jenis Kelamin Pria 62 57,4 Wanita 46 42,6

BAB 4 HASIL. 2,3 (0,3-17,5) Jenis Kelamin Pria 62 57,4 Wanita 46 42,6 BAB 4 HASIL 4.1. Data Umum Pada data umum akan ditampilkan data usia, lama menjalani hemodialisis, dan jenis kelamin pasien. Data tersebut ditampilkan pada tabel 4.1. Tabel 4.1. Data Demogragis dan Lama

Lebih terperinci

PANDUAN SKRINING GIZI RS. BAPTIS BATU TAHUN 2013

PANDUAN SKRINING GIZI RS. BAPTIS BATU TAHUN 2013 PANDUAN SKRINING GIZI RS. BAPTIS BATU TAHUN 2013 RS BAPTIS BATU JL RAYA TLEKUNG NO 1 JUNREJO BATU DAFTAR ISI Halaman Judul... i Daftar Isi... ii Definisi... 1 1. Pengertian... 1 2. Tujuan... 1 Ruang Lingkup...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dicapai dalam kemajuan di semua bidang riset DM maupun penatalaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. dicapai dalam kemajuan di semua bidang riset DM maupun penatalaksanaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh adanya kenaikan gula darah (hiperglikemia) kronik. Masalah DM sudah banyak dicapai dalam kemajuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. baru atau berulang. Kira-kira merupakan serangan pertama dan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. baru atau berulang. Kira-kira merupakan serangan pertama dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Stroke adalah penyebab kematian terbanyak ketiga di seluruh dunia setelah penyakit jantung dan kanker dan setiap tahunnya 700.000 orang mengalami stroke baru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pada usus yang diperantarai proses aktivasi imun yang patofisiologinya kompleks

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pada usus yang diperantarai proses aktivasi imun yang patofisiologinya kompleks BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Inflamatory bowel disease (IBD) adalah suatu kondisi penyakit kronik pada usus yang diperantarai proses aktivasi imun yang patofisiologinya kompleks dan multifaktorial.

Lebih terperinci

OLEH : KELOMPOK 5 WASLIFOUR GLORYA DAELI

OLEH : KELOMPOK 5 WASLIFOUR GLORYA DAELI OLEH : KELOMPOK 5 HAPPY SAHARA BETTY MANURUNG WASLIFOUR GLORYA DAELI DEWI RAHMADANI LUBIS SRI DEWI SIREGAR 061101090 071101025 071101026 071101027 071101028 Nutrisi adalah apa yang manusia makan dan bagaimana

Lebih terperinci

Hubungan Antara Index Masa Tubuh (Imt) Dan Kadar Hemoglobin Dengan Proses Penyembuhan Luka Post Operasi Laparatomi

Hubungan Antara Index Masa Tubuh (Imt) Dan Kadar Hemoglobin Dengan Proses Penyembuhan Luka Post Operasi Laparatomi Hubungan Antara Index Masa Tubuh (Imt) Dan Kadar Hemoglobin Dengan Proses Penyembuhan Luka Post Operasi Laparatomi (Body Mass Index And Hemoglobin Level Related To Wound Healing Of Patients Undergoing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sirosis hati merupakan penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jantung yang prevalensinya paling tinggi dalam masyarakat umum dan. berperan besar terhadap mortalitas dan morbiditas.

BAB I PENDAHULUAN. jantung yang prevalensinya paling tinggi dalam masyarakat umum dan. berperan besar terhadap mortalitas dan morbiditas. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan pola hidup menyebabkan berubahnya pola penyakit infeksi dan penyakit rawan gizi ke penyakit degeneratif kronik seperti penyakit jantung yang prevalensinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan insufisiensi vaskuler dan neuropati. 1

BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan insufisiensi vaskuler dan neuropati. 1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum pada penderita diabetes melitus merupakan komplikasi kronis berupa makroangiopati dan mikroangiopati yang paling sering kita jumpai diakibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia dan menyebabkan angka kematian yang tinggi. Penyakit ini

BAB I PENDAHULUAN. dunia dan menyebabkan angka kematian yang tinggi. Penyakit ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit tertua yang menginfeksi manusia. Penyakit ini menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia dan menyebabkan angka kematian

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Definisi malnutrisi dan malnutrisi rumah sakit. Malnutrisi adalah suatu ketidakseimbangan (kekurangan atau kelebihan)

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Definisi malnutrisi dan malnutrisi rumah sakit. Malnutrisi adalah suatu ketidakseimbangan (kekurangan atau kelebihan) BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi malnutrisi dan malnutrisi rumah sakit Malnutrisi adalah suatu ketidakseimbangan (kekurangan atau kelebihan) antara asupan energi, protein dan nutrisi lainnya dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA) 2005 adalah

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA) 2005 adalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA) 2005 adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara menahun dan sifatnya irreversibel, ditandai dengan kadar ureum dan

BAB I PENDAHULUAN. secara menahun dan sifatnya irreversibel, ditandai dengan kadar ureum dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah penurunan fungsi ginjal yang terjadi secara menahun dan sifatnya irreversibel, ditandai dengan kadar ureum dan kreatinin yang sangat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. pada awalnya mungkin menimbulkan sedikit gejala, sementara komplikasi

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. pada awalnya mungkin menimbulkan sedikit gejala, sementara komplikasi BAB 1 PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) tipe 2 merupakan kondisi yang progresif meskipun pada awalnya mungkin menimbulkan sedikit gejala, sementara komplikasi diabetes menimbulkan beban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makronutrien maupun mikronutrien yang dibutuhkan tubuh dan bila tidak

BAB I PENDAHULUAN. makronutrien maupun mikronutrien yang dibutuhkan tubuh dan bila tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gizi sangat penting bagi kesehatan manusia dan diperlukan untuk menentukan kualitas fisik, biologis, kognitif dan psikososial sepanjang hayat manusia. Komposisi zat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Makanan adalah sumber kehidupan. Di era modern ini, sangat banyak berkembang berbagai macam bentuk makanan untuk menunjang kelangsungan hidup setiap individu. Kebanyakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengukuran Antropometri Antropometri berasal dari kata anthropos dan metros. Anthoropos artinya tubuh dan metros artinya ukuran. Jadi antropometri adalah ukuran tubuh. Pengertian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan sangat susah ditanggulangi, sebagian besar berakhir dengan kematian

BAB 1 PENDAHULUAN. dan sangat susah ditanggulangi, sebagian besar berakhir dengan kematian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya angka kurang gizi pada pasien yang dirawat di bagian bedah adalah karena kurangnya perhatian terhadap status gizi pasien yang memerlukan tindakan bedah, sepsis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemampuan fisiologis seseorang akan mengalami penurunan. secara bertahap dengan bertambahnya umur. Proses penuaan ditandai

BAB I PENDAHULUAN. Kemampuan fisiologis seseorang akan mengalami penurunan. secara bertahap dengan bertambahnya umur. Proses penuaan ditandai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemampuan fisiologis seseorang akan mengalami penurunan secara bertahap dengan bertambahnya umur. Proses penuaan ditandai dengan kehilangan massa otot tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penduduk lanjut usia, yang kemudian disebut sebagai lansia adalah penduduk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penduduk lanjut usia, yang kemudian disebut sebagai lansia adalah penduduk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penduduk lanjut usia, yang kemudian disebut sebagai lansia adalah penduduk berusia 60 tahun ke atas. 1 Proporsi jumlah penduduk lanjut usia tersebut terus mengalami

Lebih terperinci

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas.

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini studi tentang hubungan antara makanan dan kesehatan memerlukan metode yang mampu memperkirakan asupan makanan biasa. Pada penelitian terdahulu, berbagai upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pola penyakit yang diderita masyarakat telah bergeser ke arah. penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah,

BAB I PENDAHULUAN. Pola penyakit yang diderita masyarakat telah bergeser ke arah. penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pola penyakit yang diderita masyarakat telah bergeser ke arah penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, serta kanker dan Diabetes Melitus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI... ii PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI... iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS SKRIPSI.... iv ABSTRAK v ABSTRACT. vi RINGKASAN.. vii SUMMARY. ix

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada macam pembedahan dan jenis penyakit penyerta.

BAB I PENDAHULUAN. pada macam pembedahan dan jenis penyakit penyerta. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diet Pasca-Bedah adalah makanan yang diberikan kepada pasien setelah menjalani pembedahan. Pengaturan makanan sesudah pembedahan tergantung pada macam pembedahan dan

Lebih terperinci

Esti Nurwanti, S.Gz., Dietisien., MPH

Esti Nurwanti, S.Gz., Dietisien., MPH Esti Nurwanti, S.Gz., Dietisien., MPH Suatu model problem solving yang sistematis, menggunakan cara berpikir kritis dalam membuat keputusan menangani berbagai masalah yang berkaitan dengan nutrisi dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Protein Energi Malnutrisi (PEM) sering dijumpai dibangsal-bangsal bedah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Protein Energi Malnutrisi (PEM) sering dijumpai dibangsal-bangsal bedah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Masalah kadar albumin pada pasien bedah Protein Energi Malnutrisi (PEM) sering dijumpai dibangsal-bangsal bedah (Bistrian, 1974). Satu survai populasi pasien bedah disebuah rumah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung merupakan salah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung merupakan salah satu diagnosis kardiovaskular yang paling cepat meningkat jumlahnya (Schilling, 2014). Di dunia,

Lebih terperinci

Buku 2 : RKPM PENILAIAN STATUS GIZI

Buku 2 : RKPM PENILAIAN STATUS GIZI UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS KEDOKTERAN / PRODI GIZI KESEHATAN Jl. Farmako Sekip Utara Yogyakarta Buku 2 : RKPM (Rencana Kegiatan Pembelajaran Mingguan) Modul Pembelajaran Pertemuan Ke 13 PENILAIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru semakin

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan penyakit non infeksi (penyakit tidak menular) justru semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Di Indonesia sering terdengar kata Transisi Epidemiologi atau beban ganda penyakit. Transisi epidemiologi bermula dari suatu perubahan yang kompleks dalam pola kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Komplikasi infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Komplikasi infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Komplikasi infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) terhadap perubahan status nutrisi telah diketahui sejak tahap awal epidemi. Penyebaran HIV di seluruh

Lebih terperinci

KONTRIBUSI PELAYANAN GIZI RUMAH SAKIT

KONTRIBUSI PELAYANAN GIZI RUMAH SAKIT KONTRIBUSI PELAYANAN GIZI RUMAH SAKIT DALAM MENINGKATKAN ANGKA KESEMBUHAN MENURUNKAN LAMA RAWAT RISIKO MATI, DAN BIAYA PERAWATAN DI RUMAH SAKIT FROM THE SARMILLA STUDY Ambhara, 13 Oktober 2010 Dr. Hamam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit tidak menular (PTM), merupakan penyakit kronik yang tidak. umumnya berkembang lambat. Empat jenis PTM utama menurut WHO

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit tidak menular (PTM), merupakan penyakit kronik yang tidak. umumnya berkembang lambat. Empat jenis PTM utama menurut WHO BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit tidak menular (PTM), merupakan penyakit kronik yang tidak ditularkan dari orang ke orang. PTM mempunyai durasi yang panjang dan umumnya berkembang lambat. Empat

Lebih terperinci

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Menua 2.1.1 Definisi Menua didefinisikan sebagai proses yang mengubah seorang dewasa sehat menjadi seorang yang rentan dengan berkurangnya sebagian besar cadangan sistem fisiologis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. relatif sensitivitas sel terhadap insulin, akan memicu munculnya penyakit tidak

BAB 1 PENDAHULUAN. relatif sensitivitas sel terhadap insulin, akan memicu munculnya penyakit tidak BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit kronis yang dapat meningkatkan dengan cepat prevalensi komplikasi kronis pada lansia. Hal ini disebabkan kondisi hiperglikemia

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang American Diabetes Association (ADA) menyatakan bahwa Diabetes melitus

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang American Diabetes Association (ADA) menyatakan bahwa Diabetes melitus BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang American Diabetes Association (ADA) menyatakan bahwa Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Gangguan ginjal akut (GnGA), dahulu disebut dengan gagal ginjal akut,

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Gangguan ginjal akut (GnGA), dahulu disebut dengan gagal ginjal akut, BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Gangguan Ginjal Akut pada Pasien Kritis Gangguan ginjal akut (GnGA), dahulu disebut dengan gagal ginjal akut, merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan peningkatan kadar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 telah dilakukan di RS

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 telah dilakukan di RS BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Hasil Penelitian Pelaksanaan penelitian tentang korelasi antara kadar asam urat dan kreatinin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema

BAB I PENDAHULUAN. penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronis pada kulit dengan penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema ditutupi sisik tebal

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) merupakan salah satu penyakit

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) merupakan salah satu penyakit BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) merupakan salah satu penyakit tidak menular (non-communicable disease) yang perlu mendapatkan perhatian karena telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tantangan dalam bidang kesehatan di beberapa negara (Chen et al., 2011).

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tantangan dalam bidang kesehatan di beberapa negara (Chen et al., 2011). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes tipe 2 merupakan kelainan heterogen yang ditandai dengan menurunnya kerja insulin secara progresif (resistensi insulin), yang diikuti dengan ketidakmampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya prevalensi diabetes melitus (DM) akibat peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya prevalensi diabetes melitus (DM) akibat peningkatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya prevalensi diabetes melitus (DM) akibat peningkatan kemakmuran di negara berkembang banyak disoroti. Peningkatan pendapatan perkapita dan perubahan gaya

Lebih terperinci

Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya

Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya Diabetes type 2: apa artinya? Diabetes tipe 2 menyerang orang dari segala usia, dan dengan gejala-gejala awal tidak diketahui. Bahkan, sekitar satu dari tiga orang dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh keadaan gizi (Kemenkes, 2014). Indonesia merupakan akibat penyakit tidak menular.

BAB 1 PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh keadaan gizi (Kemenkes, 2014). Indonesia merupakan akibat penyakit tidak menular. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu ciri bangsa maju adalah bangsa yang memiliki tingkat kesehatan, kecerdasan, dan produktivitas kerja yang tinggi. Ketiga hal ini dipengaruhi oleh keadaan gizi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Diabetes Melitus disebut juga the silent killer merupakan penyakit yang akan

I. PENDAHULUAN. Diabetes Melitus disebut juga the silent killer merupakan penyakit yang akan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes Melitus disebut juga the silent killer merupakan penyakit yang akan memicu krisis kesehatan terbesar pada abad ke-21. Negara berkembang seperti Indonesia merupakan

Lebih terperinci