PERIKANAN SERO DI PERAIRAN PANTAI PITUMPANUA KABUPATEN WAJO - TELUK BONE : SUATU KAJIAN EKOLOGIS TENRIWARE

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERIKANAN SERO DI PERAIRAN PANTAI PITUMPANUA KABUPATEN WAJO - TELUK BONE : SUATU KAJIAN EKOLOGIS TENRIWARE"

Transkripsi

1 i PERIKANAN SERO DI PERAIRAN PANTAI PITUMPANUA KABUPATEN WAJO - TELUK BONE : SUATU KAJIAN EKOLOGIS TENRIWARE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2 ii PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi: Perikanan Sero di Perairan Pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo Teluk Bone : Suatu Kajian Ekologis adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Januari 2012 Tenriware NRP. C

3 iii ABSTRACT TENRIWARE. The Sero Fisheries in Pitumpanua Coastal Waters of Wajo Regency - Bone Bay : an Ecologycal Study. Supervised by M. FEDI A. SONDITA, BUDY WIRYAWAN, and ISMUDI MUCHSIN According to previous study, generally mesh size`4 cm quite selective had operated in Pitumpanua cost at Bone Bay, however the study is not specifically to different habitats such as estuary, mangrove and seagrass. This research tried to evaluate the application of crib which has mesh size 4 cm in sero fisheries in Pitumpanua coast with the goal is to analyze the condition of estuary, mangrove and seagrass environment; to analyze fish community in the different of three habitats; to analyze the selectivity of crib with mesh size 4 cm at the fish dominant of catch; and to analyze the trophic level of fish in food webs. This research conducted in 3 habitats (estuary, mangrove and sea grass area) in Pitumpanua coastal water from januari to May The experimental unit used 1 unit sero in each habitats. Environment parameters (temperature, salinity, ph, dissolved oxygen dan current velocity) were did in field survey, nutrient analyze (nitrat, phospat dan cylikat), refers to Grasshoff method, chlorophyll-a allowed Boyd method, and phytoplankton and zooplankton defined by APHA method. Trophic level analyze defined by Christensen and Pauly formula by TrophLab2K. Catch analyze according to habitats using compare analyze, environment parameter characteristic analyzed by PCA, association of fish and habitat analyzed by FCA. Selectivity analyze of mesh size 4 cm in the sero used logistic model by Sparre dan Venema method. The results showed that physic-chemistry and biology parameters in Pitumpanua coastal waters, Bone Bay is still proper and in the tolerance range to growth and`survival rate of some fish specieses. The proportion of catch biomass that balanced relative among three trophic level of fish indicated that the`ecologic condition of three ecosystems based on fish trophic level is still proper. The management of sero must be consider the variety of ecosystems that exist because of differences in fish communities in three habitats. The selectivity of mesh size 4 cm at the sero experimental crib obtained Sphyraena sphyraena and Leiognathus splendens fish which had reached the allowable length (L 50%), Gerres oyena and Upeneaus sulphureus close to the allowed length, while the Siganus canaliculatus, Siganus guttatus, Lethrinus lentjam, and Terapon jarbua is far from the allowed length. It should be applied the mesh size > 4 cm in seagrass habitat, while in the estuary and near the mangroves applied the size of 4 cm. In general, sero gear that operated in coastal waters Pitumpanua should be applied the mesh size larger than 4 cm. Keywords : selectivity, sero, experimental crib, trophic level

4 iv RINGKASAN TENRIWARE. Perikanan Sero di Perairan Pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo - Teluk Bone: Suatu Kajian Ekologis. Dibimbing oleh M. FEDI A. SONDITA, BUDY WIRYAWAN, dan ISMUDI MUCHSIN Berdasarkan kajian sebelumnya yang secara umum bahwa ukuran mata jaring 4 cm cukup selektif yang dioperasikan di daerah pantai Pitumpanua Teluk Bone, namun kajian tersebut belum secara spesifik untuk habitat yang berbeda seperti estuaria (muara sungai) mangrove, dan lamun. Penelitian mengevaluasi penerapan bunuhan (crib) bermata jaring 4 cm pada perikanan sero di perairan pantai Pitumpanua. Tujuan kajian yaitu : menganalisis kondisi lingkungan habitat muara sungai, mangrove dan lamun; menganalisis komunitas ikan di tiga habitat berbeda; menganalisis selektivitas bunuhan bermata-jaring 4 cm terhadap ikanikan yang dominan tertangkap, dan menganalisis posisi jenis ikan yang tertangkap dalam piramida makanan. Penelitian ini dilaksanakan pada 3 (tiga) habitat berbeda yaitu muara sungai, mangrove, dan lamun di perairan pantai Pitumpanua dari bulan Januari Mei Percobaan menggunakan masing-masing 1 (satu) unit alat tangkap sero setiap habitat. Parameter lingkungan (suhu, salinitas, ph, DO, dan kecepatan arus) dilakukan pengukuran langsung, analisis nutrien (nitrat, fosfat, dan silikat) mengacu pada metode Grasshoff, kandungan klorofil a mengikuti metode Boyd, dan kelimpahan fitoplankton dan zooplankton dan ditentukan berdasarkan metode APHA. Tingkat trofik ditentukan berdasarkan formula Christensen & Pauly dengan bantuan TrophLab2K. Analisis hasil tangkapan berdasarkan habitat dianalisis ragam (Anova). Karakteristik parameter lingkungan dianalisis principle component analysis (PCA). Asosiasi ikan dan habitat dianalisis factorial correspondence analysis (FCA). Analisis biometri untuk hubungan panjang berat ikan. Analisis selektivitas mata jaring 4 cm pada bunuhan sero didekati dengan menggunakan model logistik dengan metode Sparre dan Venema. Hasil penelitian menunjukkan bahwa parameter fisika-kimia dan biologi perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone menunjukkan bahwa perairan pantai masih layak dan dalam batas nilai yang masih ditoleransi dan layak untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup beberapa jenis ikan yang tertangkap dengan alat tangkap sero. Proporsi biomassa hasil tangkapan yang relatif berimbang antar ketiga trofik level mengindikasikan bahwa kondisi ekologis ketiga ekosistem dilihat dari trofik level ikan yang tertangkap dengan sero relatif masih baik. Pengelolaan sero harus memperhatikan ragam dari ekosistem yang ada karena adanya perbedaan komunitas ikan pada ketiga habitat. Selektivitas mata jaring 4 cm pada experimental crib sero didapatkan ikan barakuda dan pepetek yang tertangkap sudah memenuhi panjang yang diperbolehkan (L 50% ), ikan kapas-kapas dan biji nangka mendekati panjang yang diperbolehkan, sedangkan baronang lingkis, baronang, kerong-kerong, dan kuwe masih jauh dari panjang yang diperbolehkan. Sebaiknya menerapkan ukuran mata jaring > 4 cm di habitat lamun sedangkan di muara sungai dan dekat mangrove menerapkan ukuran 4 cm. Secara umum, alat tangkap sero yang dioperasikan di perairan pantai Pitumpanua sebaiknya menggunakan ukuran mata jaring lebih besar 4 cm. Kata Kunci : selektivitas, sero, experimental crib, trofik level.

5 v Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

6 vi PERIKANAN SERO DI PERAIRAN PANTAI PITUMPANUA KABUPATEN WAJO - TELUK BONE : SUATU KAJIAN EKOLOGIS TENRIWARE Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

7 vii Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup 1. Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc. (Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perairan, FPIK IPB) 2. Dr. Ir. Am. Azbas Taurusman, M.Sc. (Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perairan, FPIK IPB) Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka 1. Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja. (Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perairan, FPIK IPB) 2. Dr. Ir. Suharyanto, M.Si. (Direktur Program Pascasarjana STP Jakarta)

8 viii Judul Disertasi Nama Mahasiswa : Perikanan Sero di Perairan Pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo Teluk Bone : Suatu Kajian Ekologis : Tenriware Nomor Pokok : C Program Studi : Teknologi Kelautan Disetujui : Komisi Pembimbing (Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc.) Ketua (Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc.) Anggota (Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin) Anggota Ketua Program Studi Teknologi Kelautan, Diketahui, Dekan Sekolah Pascasarjana, (Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc.) (Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.) Tanggal Ujian : 27 Januari 2012 Tanggal Lulus : 30 Januari 2012

9 ix PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan disertasi berjudul Perikanan Sero di Perairan Pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo-Teluk Bone : Suatu Kajian Ekologis. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada komisi pembimbing Bapak Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing; Bapak Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. dan Bapak Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan selama penyusunan disertasi ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada Ketua STKIP Prima Sengkang dan Ketua Program Studi Pendidikan Biologi Prima Sengkang yang telah memberikan izin untuk melanjutkan pendidikan di IPB, para rekan staf pengajar di STKIP Prima Sengkang, tenaga laboran dan teknisi yang telah banyak membantu selama proses penelitian. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis juga sampaikan kepada Dekan FPIK IPB, Ketua Departemen TKL, Ketua Program Studi Teknologi dan semua staf pengajar dan pegawai Program Sekolah Pascasarjana Teknologi Kelautan IPB yang telah mendidik dan membantu kelancaran kegiatan proses belajar mengajar, kepada Dirjen Pendidikan Tinggi yang telah memberikan bantuan BPPS telah memberikan bantuan dana pendidikan selama kuliah di Sekolah Pascasarjana IPB. Akhirnya penulis menharapkan semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan penelitian-penelitian selanjutnya, khususnya dalam bidang perikanan dan kelautan. Bogor, Januari Tenriware

10 x RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Wajo pada tanggal 1 Oktober 1974 anak sulung dari empat bersaudara dari pasangan Sessu Daeng Mattemmu dan Andi Nurhayati. Pendidikan dasar dan menengah diselesaikan di Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan. Tamat SMA pada tahun 1993 dan pada tahun yang sama penulis diterima untuk melanjutkan pendidikan Diploma Tiga di Jurusan Penangkapan, Politeknik Pertanian Universitas Hasanuddin/POLITANI Pangkep (sekarang) dan lulus pada tahun Pada tahun 1999 penulis melanjutkan pendidikan Sarjana di Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perairan (PSP) di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin dan selesai pada tahun Pendidikan Magister di Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana IPB dan selesai pada Januari Penulis melanjutkan ke program doktor pada tahun 2006 dan program studi yang sama mendapatkan beasiswa Bantuan Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dari Departemen Pendidikan Nasional. Penulis ikut berpartisipasi dalam beberapa penelitian Hibah Bersaing, Hibah Kebaharian, dan Penelitian Strategis Nasional yang dibiayai DP2M Pendidikan Tinggi. Artikel yang berjudul Analisis Hasil Tangkapan Kepiting Rajungan (Portunnus pelagicus) pada Alat Tangkap Sero di Habitat Berbeda telah diterbitkan di Jurnal Ilmiah Teknosains dalam edisi khusus 1 Januari Artikel yang berjudul Analisis Hubungan Panjang-Berat Ikan Baronang Lingkis pada Habitat Berbeda di Perairan Pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo, Teluk Bone telah diterbitkan di Jurnal Perikanan Kopertis IX Wilayah Sulawesi Edisi Desember 2011.

11 xi Daerah penangkapan Ekosistem DAFTAR ISTILAH : Lokasi pada suatu wilayah perairan dimana terjadi interaksi antara alat tangkap dengan sumberdaya ikan yang menjadi tujuan penangkapan. : Semua organisme dan lingkungan yang ada dalam suatu lokasi tertentu FCA : Analisis Faktorial Koresponden, salah satu analisis multivariate Habitat : Tempat suatu makhluk hidup tinggal dan berkembang biak, dimana lingkungan fisiknya di sekeliling populasi suatu spesies yang memengaruhi dan dimanfaatkan oleh spesies tersebut Komunitas Level trofik PCA Pengelolaan perikanan Perikanan Predator Rantai makanan Selektivitas Sero : Satu grup populasi-populasi yang berada bersama-sama dalam satu ruang dan waktu tertentu : Tingkat atau level makanan dalam suatu rantai makanan : Analisis komponen utama, salah satu analisis multivariate : Semua upaya termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelansungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati : Semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengelohan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan : Suatu organisme yang memakan sebagian atau keseluruhan organisme lainnya : Karakteristik linier dari aliran energi dan bahan-bahan kimia melalui organisme : selektivitas merupakan sifat alat tangkap tertentu untuk mengurangi atau mengeluarkan tangkapan yang tidak sesuai ukuran (unwanted catch) atau ikan-ikan tangkapan yang tidak diinginkan (incidential catch) dan selektivitas merupakan fungsi dari suatu alat penangkapan ikan dalam menangkap spesies ikan dalam jumlah dan selang ukuran tertentu pada suatu populasi di daerah penangkapan ikan : Aat tangkap yang sifatnya adalah perangkap dan juga penghadang yang dipasang di pantai dengan tujuan menghadang arah renang ikan yang bermigrasi ke arah pantai dan setelah masuk ke bagian alat yang merupakan daerah bunuhan akan terperangkap dan tidak dapat keluar lagi

12 xii DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xvii DAFTAR LAMPIRAN... xix 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Alat Tangkap Sero Penaju (leader net) Sayap (wing) Badan (body) Bunuhan (crib) Daerah Penangkapan Sero Jenis-jenis Ikan yang Tertangkap Alat Tangkap Sero Ekosistem Perairan Ekosistem muara sungai (estuaria) Ekosistem mangrove Ekosistem lamun Parameter Kualitas Perairan Suhu perairan Salinitas Derajat keasaman (ph) Oksigen terlarut (DO) Kecepatan arus perairan Plankton Trophic Level dan Kebiasaan Makan Ikan Selektivitas Alat Tangkap Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem Review Penelitian Sebelumnya METODOLOGI UMUM Waktu dan Lokasi Penelitian Alat dan Bahan Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data Analisis Data KONDISI UMUM PERIKANAN SERO DI KABUPATEN WAJO Statistik Perikanan Kabupaten Wajo Kondisi Geografis Konstruksi Sero Lokasi Pemasangan Sero Jenis-jenis Ikan yang Tertangkap dengan Sero... 52

13 xiii 5 KONDISI LINGKUNGAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN DENGAN SERO PENDAHULUAN METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Alat dan Bahan Teknik Pengumpulan Data Analisis Data Lingkungan HASIL PENELITIAN Deskripsi Habitat Karakteristik Habitat PEMBAHASAN Deskripsi Habitat Karakteristik Habitat KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran KOMUNITAS IKAN DI HABITAT BERBEDA PENDAHULUAN METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Alat dan bahan Teknik Pengumpulan Data Analisis Data HASIL PENELITIAN Komposisi Jumlah dan Berat Hasil Tangkapan Sero Kisaran Berat dan Panjang Total Setiap Hasil Tangkapan Sero Jumlah dan Berat Hasil Tangkapan Berdasarkan Habitat dan Waktu Penangkapan Hubungan Panjang-Berat Hasil Tangkapan Hubungan Berat Hasil Tangkapan dengan Parameter Lingkungan Asosiasi antara Hasil Tangkapan Dominan dengan Habitat PEMBAHASAN Komposisi Jumlah dan Berat Hasil Tangkapan Kisaran Panjang Total dan Berat Setiap Jenis Ikan Jumlah dan Berat Hasil Tangkapan Berdasarkan Habitat dan Waktu Penangkapan Hubungan Panjang-Berat Hasil Tangkapan Hubungan Berat Hasil Tangkapan dengan Parameter Lingkungan Asosiasi antara Hasil Tangkapan Dominan dan Habitat KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran... 99

14 xiv 7 SELEKTIVITAS MATA JARING EXPERIMENTAL CRIB 4 CM PADA CRIB SERO PENDAHULUAN METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Alat dan bahan Percobaan Penangkapan Ikan Metode Pengukuran Analisis Data HASIL PENELITIAN Komposisi dan Proporsi Layak Tangkap pada Experimental Crib Nilai L 50% Setiap Jenis Ikan yang Tertangkap pada Experimental Crib PEMBAHASAN Komposisi dan Proporsi Layak Tangkap pada Experimental Crib Nilai L 50% Setiap Jenis Ikan yang Tertangkap pada Experimental Crib KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran POSISI JENIS IKAN YANG TERTANGKAP DALAM PIRAMIDA MAKANAN PENDAHULUAN METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Alat dan Bahan Teknik Pengumpulan Data Analisis Data HASIL PENELITIAN Jenis Makanan Ikan Dominan Trofik Level Ikan Dominan PEMBAHASAN Jenis Makanan Ikan Dominan Trofik Level Ikan Dominan KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran PEMBAHASAN UMUM KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

15 xv DAFTAR TABEL 1 Pengelompokan jenis ikan demersal besar dan demersal kecil Komposisi ikan-ikan pada terumbu karang menurut struktur trofik Produktivitas perikanan di habitat laut terbuka, pantai, dan upwelling Jenis-jenis hasil tangkapan dominan tertangkap dengan sero selama penelitian Hasil tangkapan non dominan dan discards alat tangkap sero selama penelitian Jenis alat dan bahan yang digunakan pengambilan contoh air dan pengamatan kualitas air di laboratorium Parameter kualitas air yang diukur selama penelitian Nilai rata-rata, standar deviasi (SD) 11 parameter fisika-kimia dan biologi di muara sungai, mangrove dan lamun tempat pemasangan sero selama penelitian Komposisi jumlah hasil tangkapan (%) sero berdasarkan jenis ikan setiap habitat selama penelitian Komposisi berat hasil tangkapan (%) sero berdasarkan jenis ikan setiap habitat selama penelitian Kisaran panjang total dan berat jenis ikan yang tertangkap dengan sero di perairan pantai Pitumpanua selama penelitian Parameter yang digunakan dalam regresi dan parameter yang dominan pengaruhnya serta besar koefisien determinasi (R 2 ) yang didapatkan dalam hasil regresi antara berat hasil tangkapan dengan parameter lingkungan Hasil analisis factorial correspondence analiss (FCA) menunjukkan bahwa terdapat asosiasi antara jenis ikan dengan habitat selama penelitian Jenis alat dan bahan yang digunakan pembuatan desain experimental crib dan exsperimental fishing selama penelitian Komposisi jenis hasil tangkapan yang tertahan pada jaring experimental crib sero di habitat berbeda selama penelitian

16 xvi 16 Proporsi ukuran layak tangkap ikan yang tertahan pada jaring experimental crib selama penelitian Nilai L 50% ± standar deviasi (SD) setiap jenis ikan berdasarkan habitat selama penelitian Jenis makanan ikan dominan dan item makanan menurut klasifikasi food item III menurut TrophLab2K Rata-rata trofik level setiap jenis ikan berdasarkan habitat selama penelitian Tingkat trofik ikan dominan yang tertangkap dengan sero di perairan pantai Pitumpanua

17 xvii DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka pikir penelitian Perairan pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo, Teluk Bone Produksi ikan dari tiga jenis perikanan terbesar di Kabupaten Wajo Jenis perahu bermotor yang digunakan dalam perikanan sero di perairan pantai Pitumpanua, Teluk Bone Desain sebuah sero dilihat dari atas atau udara. Lima bagian sero: bagian penaju (A), bagian sayap (B), bagian perut (C), bagian badan (D), dan bagian bunuhan (E) Bagian bunuhan atau crib (A) dan panaju atau leader net (B) yang pada salah satu sero yang digunakan dalam penelitian di Kecamatan Pitumpanua Proses kegiatan hauling pada alat tangkap sero (A) Penarikan jaring sero; (B) Pengambilan hasil tangkapan Diagram gerombol (cluster) untuk 24 contoh pengamatan terhadap 8 parameter fisika kimia lingkungan lokasi pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo selama penelitian Plot stasiun dan waktu pengamatan parameter fisika kimia lingkungan selama lokasi pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo selama penelitian Konfigurasi dua komponen utama untuk 24 contoh pengamatan terhadap 8 parameter fisika kimia lingkungan lokasi pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo selama penelitian Kekuatan 8 parameter fisika kimia lingkungan dalam membentuk konfigurasi dua komponen utama untuk 24 contoh pengamatan di lokasi pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo selama penelitian Jumlah hasil tangkapan berdasarkan habitat dan waktu penangkapan selama penelitian Berat hasil tangkapan berdasarkan habitat dan waktu penangkapan selama penelitian... 77

18 xviii 14 Kurva hubungan panjang-berat jenis ikan biji nangka (a), baronang lingkis (b), kerong-kerong (c), kapas-kapas (d), lencam (e), pepetek (f), kuwe (g), dan baronang (h) Kurva hubungan panjang-berat jenis ikan barakuda (i), hubungan lebar karapaks-berat rajungan (j), hubungan panjang karapaks-berat udang putih (k) Plot stasiun dan waktu pengamatan pada sumbu FCA 1 dan Plot jenis ikan pada sumbu FCA 1 dan Konfigurasi tiga komponen utama untuk asosiasi antara jenis hasil tangkapan dan habitat di lokasi pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo selama penelitian Proses pembuatan desain experimental crib sero Desain experimetal crib pada alat tangkap sero Pemasangan jaring experimental crib pada alat tangkap sero Rata-rata ukuran layak tangkap hasil tangkapan yang tertahan pada experimental crib selama penelitian di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone Kurva selektivitas mata jaring 4 cm untuk jenis ikan biji nangka, baronang lingkis, kerong kerong, dan kapas kapas pada daerah penangkapan yang berbeda Kurva selektivitas mata jaring 4 cm untuk jenis ikan lencam, pepetek, kuwe, baronang, dan barakuda pada daerah penangkapan yang berbeda Kurva selektivitas setiap jenis ikan selama penelitian di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone

19 xix DAFTAR LAMPIRAN 1 Hasil analisis ragam (Anova) parameter suhu perairan ( o C) antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian Hasil analisis ragam (Anova) parameter kecepatan arus (cm/dtk) antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian Hasil analisis ragam (Anova) parameter salinitas perairan (ppt) antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian Hasil analisis ragam (Anova) parameter ph perairan antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian Hasil analisis ragam (Anova) parameter kadar oksigen terlarut (ppm) antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian Hasil analisis ragam (Anova) konsentrasi nitrat (µg/l) antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian Hasil analisis ragam (Anova) konsentrasi fosfat (µg/l) antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian Hasil analisis ragam (Anova) konsentrasi silikat (µg/l) antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian Hasil analisis ragam (Anova) kandungan klorofil a (mg/m 3 ) antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian Hasil analisis ragam (Anova) kelimpahan fitoplankton (sel/liter) antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian Hasil analisis ragam (Anova) kelimpahan zooplankton (individu/liter) antar lokasi menurut stasiun dan waktu sampling selama penelitian Nilai rata-rata, standar deviasi (SD) dan kisaran dari 12 parameter fisika dan kimia lingkungan di muara sungai, mangrove dan lamun tempat pemasangan sero dengan experimental crib selama penelitian Hasil analisis PCA untuk parameter lingkungan selama penelitian Hasil analisis ragam (Anova) jumlah hasil tangkapan antar lokasi menurut kelompok waktu penangkapan per jenis ikan serta total jumlah tangkapan

20 xx 15 Hasil analisis ragam (Anova) berat hasil tangkapan antar lokasi menurut kelompok waktu penangkapan per jenis ikan serta total berat tangkapan Parameter hubungan panjang-berat hasil tangkapan selama penelitian Hasil analisis linier berganda antara berat ikan biji nangka dengan parameter lingkungan selama penelitian Hasil analisis linier berganda antara berat ikan baronang lingkis dengan parameter lingkungan selama penelitian Hasil analisis linier berganda antara berat ikan kerong-kerong dengan parameter lingkungan selama penelitian Hasil analisis linier berganda antara berat ikan kapas-kapas dengan parameter lingkungan selama penelitian Hasil analisis linier berganda antara berat ikan lencam dengan parameter lingkungan selama penelitian Hasil analisis linier berganda antara berat ikan pepetek dengan parameter lingkungan selama penelitian Hasil analisis linier berganda antara berat ikan kuwe dengan parameter lingkungan selama penelitian Hasil analisis linier berganda antara berat ikan baronang dengan parameter lingkungan selama penelitian Hasil analisis linier berganda antara berat ikan barakuda dengan parameter lingkungan selama penelitian Hasil analisis linier berganda antara berat total hasil tangkapan dengan parameter lingkungan selama penelitian Hasil analisis FCA jenis hasil tangkapan dengan habitat Perhitungan analisis selektivitas mata jaring sero 4 cm setiap jenis ikan dominan tertangkap pada habitat muara sungai di perairan pantai Pitumpanua, Teluk Bone Perhitungan analisis selektivitas mata jaring sero 4 cm setiap jenis ikan dominan tertangkap pada habitat mangrove di perairan pantai Pitumpanua, Teluk Bone

21 xxi 30 Perhitungan analisis selektivitas mata jaring sero 4 cm setiap jenis ikan dominan tertangkap pada habitat lamun di perairan pantai Pitumpanua, Teluk Bone Hasil analisis trophlab setiap jenis ikan di habitat muara sungai selama penelitian Hasil analisis trophlab setiap jenis ikan di habitat mangrove selama penelitian Hasil analisis trophlab setiap jenis ikan di habitat lamun selama penelitian

22 xxii

23 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan lepas pantai dan perikanan darat. Perikanan pantai cenderung mengalami perkembangan yang cukup pesat dalam teknologi penangkapan dan rekayasa teknologi dalam pengembangan armada penangkapan dan peralatan pendukung lainnya. Skala usaha dalam sistem perikanan pantai sangat beragam dari skala konsumsi rumah tangga hingga yang dikembangkan secara profesional baik oleh perusahaan swasta maupun pemerintah. Salah satu alat tangkap tradisional yang dominan di kawasan pesisir Teluk Bone adalah sero. Alat tangkap tersebut tergolong alat tangkap pasif karena dioperasikan dengan cara menunggu kedatangan ikan, bukan mendekati atau mengejar kawanan ikan. Alat tangkap ini dipasang di kawasan perairan pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut. Salah satu faktor yang menyebabkan alat tangkap sero masih banyak dioperasikan di pesisir pantai sampai saat ini adalah karena relatif murah, mudah, dan sederhana pengoperasiannya. Meskipun jika dilihat dari produktivitasnya bila dibandingkan dengan alat tangkap lainnya seperti purse seine, jaring insang, dan bagan, kontribusi alat tangkap sero dalam total volume hasil tangkapan sero memang relatif lebih rendah. Pengembangan teknologi penangkapannya pun relatif lebih lambat dan inovasi baru hasil riset sangat kurang karena potensi pengembangan ke arah komersial kurang menjanjikan. Hal ini mengakibatkan para peneliti kurang berminat mengkaji masalah sero sehingga informasi dan kajian ilmiah masalah sero ini sangat terbatas, sementara populasi nelayan yang menggantungkan hidupnya pada alat tangkap ini cukup besar dan umumnya mengalami kesulitan untuk memilih pekerjaan lain karena keterbatasan keterampilan dan pengetahuan. Tipologi daerah penangkapan perikanan pantai yang banyak terdiri dari kawasan teluk yang sifatnya semi terbuka memiliki beberapa keistimewaan dibandingkan dengan perikanan tangkap di perairan terbuka. Sumberdaya ikan di kawasan teluk keragamannya sangat tinggi mengikuti keragaman dan tipe habitat yang bervariasi. Keistimewaan lain dibandingkan dengan perairan terbuka

24 2 adalah kemudahan akses oleh para nelayan. Jarak yang dekat dari pantai dan karakteristik oseanografi yang tidak terlalu ekstrim menyebabkan lebih mudah diakses oleh nelayan dengan teknologi dan peralatan armada penangkapan yang untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan yang ada dalam wilayah teluk. Berbeda dengan perairan terbuka yang membutuhkan armada penangkapan yang lebih maju dan skala yang lebih besar. Ekosistem teluk dan beberapa ekosistem pesisir lainnya memiliki fungsi ekologis yang sangat penting terhadap berbagai sumberdaya hayati laut, termasuk jenis-jenis ikan ekonomis penting yang banyak menjadi target penangkapan selama ini. Fungsi ekologis yang penting ekosistem teluk dan pesisir lainnya diantaranya sebagai daerah pemijahan (spawning ground), daerah perlindungan, tempat mencari makan (feeding ground), dan penyebaran larva dan wilayah pembesaran berbagai biota laut (Dahuri 2003). Konsep dasar dalam manajemen perikanan tangkap mengacu pada perspektif pengelolaan sumberdaya berkelanjutan yakni ramah lingkungan, dan menguntungkan secara ekonomis. Pengelolaan sumberdaya perikanan sebaiknya menerapkan sistem perikanan berkelanjutan sehingga tidak terjadi eksploitasi yang menyebabkan overfishing. Hal ini dapat ditempuh melalui pemeliharaan ekosistem dan penggunaan alat tangkap yang bersifat ramah terhadap lingkungan. Sebagai suatu sistem usaha apalagi jika berkembang sampai pada tingkat pengembangan industri perikanan maka secara ekonomis sebuah sistem perikanan harus bersifat menguntungkan. Pengelolaan yang sifatnya menguntungkan dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan sebagai obyek pelaku. Berkaitan dengan konsep manajemen perikanan yang dijelaskan di atas, maka sebaiknya dalam pengelolaan perikanan di wilayah pantai tetap menjaga kelestarian fungsi-fungsi ekosistem yang beragam agar daya dukung lingkungan tetap dapat dipertahankan dan mampu mendukung produksi berbagai sumberdaya yang menjadi target pengelolaan. Sehubungan dengan kemudahan akses wilayah pantai maka sebaiknya dampak aksesbilitas tinggi ini tidak bersifat negatif yaitu merusak ekosistem, sebaliknya harus besifat positif dengan memaksimalkan pemeliharaan habitat-habitat dalam semua ekosistem penyusun pantai. Salah satu aspek penting dan berpotensi merusak ekosistem dan mengganggu kelestarian

25 3 sumberdaya alam dan biota laut di dalamnya adalah penggunaan alat tangkap yang tidak ramah terhadap lingkungan. Oleh sebab itu sebaiknya alat tangkap yang digunakan dalam mengeksploitasi sumberdaya ikan di wilayah pantai adalah alat tangkap yang selektif dan tidak merusak habitat bilamana alat tangkap tersebut dioperasikan. Selektivitas alat tangkap sebaiknya tidak hanya mengacu kepada kalkulasi besaran populasi yang diloloskan tetapi juga mempertimbangkan aspek dinamika populasi sumberdaya ikan dalam wilayah pantai. Untuk itu sangat diperlukan kajian mengenai sistem rantai dan jaring makanan yang terkait dengan target penangkapan setiap jenis alat yang digunakan. Keanekaragaman hayati di kawasan pantai jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di perairan terbuka atau perairan yang lebih dalam. Perbedaan ini lebih disebabkan karena keragaman ekosistem dan variabilitas parameter lingkungan yang relatif lebih tinggi di wilayah pantai. Wilayah pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut dan kegiatan di wilayah darat mampu mempengaruhi fluktuasi dan perubahan parameter lingkungan yang tidak terjadi dalam ekosistem perairan terbuka. Ekosistem perairan pantai merupakan perairan dangkal yang memiliki fungsi ekologis penting seperti penyebaran larva, wilayah pemijahan, pembesaran, dan perlindungan yang tidak terdapat dalam fungsi ekologi perairan terbuka. Ukuran biota laut yang menghuni perairan pantai umumnya lebih kecil dibandingkan dengan ukuran biota yang sama yang menghuni perairan dalam. Kemampuan adaptasi terhadap perubahan lingkungan tertentu pun relatif lebih tinggi dibandingkan dengan organisme atau biota yang menghuni perairan terbuka, dimana hal tersebut terkait dengan perubahan lingkungan dan habitat yang terjadi di wilayah ekosistem perairan pantai. Faktanya bahwa ikan dan biota laut lainnya yang berukuran lebih kecil adalah memudahkan dimangsa oleh berbagai jenis ikan dan biota lain yang berukuran lebih besar. Hubungannya dengan rantai dan jaring makanan maka ada kecenderungan jalur rantai makanan lebih banyak dalam jaring makanan di wilayah pantai tetapi panjang rantai makanan relatif lebih pendek jika dibandingkan dengan pada sistem perairan terbuka (Widodo dan Suadi 2008).

26 4 Tingginya keanekaragaman hayati dengan ukuran individu ikan yang umumnya lebih kecil dan banyaknya jalur rantai makanan dan penangkapan yang sangat intensif menyebabkan pentingnya mempertimbangkan aspek keberlanjutan sumberdaya ikan. Aktivitas penangkapan yang dalam perspektif rantai makanan dapat dianggap puncak predator sangat berpotensi menyebabkan kerusakan keseimbangan ekologis dalam ekosistem pantai. Dampak negatif yang dapat disebabkan dari aktivitas tersebut adalah terputusnya sistem rantai makanan akibat penangkapan terhadap sumberdaya tertentu yang memegang peranan penting dalam sistem rantai makanan dalam ekosistem tersebut. Terputusnya rantai makanan tersebut mungkin saja terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Dampak secara langsung dapat terjadi jika spesies yang berperan penting dalam rantai makanan itu menjadi target penangkapan dan ditangkap melebihi daya dukung lingkungan, sedangkan dampak tidak langsung dapat terjadi ketika jenis atau spesies tersebut bukan menjadi ikan target tetapi ikut tertangkap dalam suatu alat tangkap dan bukan menjadi target dari alat tangkap itu. Mengingat betapa pentingnya mengkaji posisi trofik dan peranan spesies ikan dalam sistem rantai makanan di perairan pantai dalam kaitannya dengan sistem penangkapan sero sehingga sangat diperlukan dalam rangka pengembangan sistem perikanan berbasis ekosistem. Sampai saat ini kajian seperti ini masih sangat terbatas khususnya dalam sistem perikanan pantai dan hal ini menjadikan kajian dengan tema seperti ini sebagai topik terkini yang sangat dibutuhkan dalam rangka mengembangkan pengelolaan perikanan tangkap berbasis ekosistem atau yang dikenal sebagai Ecosystem Based Fisheries Management (EBFM) (Widodo dan Suadi 2008). Isu degradasi populasi pada beberapa daerah penangkapan tidak jarang mendiskreditkan masalah pencemaran lingkungan, kerusakan ekosistem, dan keramahan suatu alat tangkap yang dioperasikan. Penelitian yang umum dilakukan adalah kajian parsial yang kadang menyorot masalah ekosistem dan alat tangkap secara tersendiri dalam bagian yang terpisahkan. Sementara untuk menjelaskan secara obyektif bagaimana gejala degradasi populasi itu terjadi mutlak diperlukan kajian komprehensif dengan melihat pengaruh simultan dari berbagai faktor. Apalagi dalam kasus alat tangkap sero yang daerah

27 5 penangkapannya pada berbagai tipe habitat, tidak mudah untuk digeneralisasikan karena mungkin saja ramah pada suatu habitat tapi tidak ramah pada habitat lainnya. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa alat tangkap sero yang dioperasikan nelayan saat ini dengan mata jaring 0,5 cm, terbukti tidak selektif dan ukuran mata jaring 4 cm yang terbukti selektif dan ramah dalam penangkapan berbagai jenis ikan target (Tenriware 2005). Meskipun dalam kajian tersebut menunjukkan ukuran mata jaring 4 cm selektif pada secara umum, namun belum diketahui secara spesifik tingkat selektivitasnya pada habitat yang berbeda, bukan hanya dilihat dari jumlah yang diloloskan tetapi juga mengkaitkan dengan trofik level ikan berdasarkan rantai dan jaring makanan dalam daerah penangkapan sero. Mengkaji trofik level ikan dalam daerah penangkapan sero maka akan melengkapi hasil analisis selektivitas yang terbatas pada aspek kuantitas yang diloloskan. Hal ini penting sekali karena bisa saja terjadinya degradasi populasi bukan karena pengaruh lingkungan maupun selektivitas alat tangkap, tetapi karena penangkapan berlebih terhadap jenis ikan pada trofik level tertentu yang menjadi fraksi makanan penting bagi beberapa ikan target sero. Hal tersebut penting untuk dilaksanakan dengan harapan memberikan informasi mengenai karakteristik daerah penangkapan sero dan struktur trofik level ikan serta mengevaluasi penerapan bunuhan (crib) bermata jaring 4 cm pada berbagai habitat. 1.2 Perumusan Masalah Perikanan sero dari tahun ke tahun di perairan pantai Pitumpanua mengalami banyak perubahan dari segi bahan yang digunakan dan terjadi penambahan alat tangkap. Perubahan yang signifikan yaitu alat tangkap ini berubah dari bahan bambu menjadi bahan waring dengan ukuran mata jaring 0,5 cm. Kecilnya ukuran mata jaring sero yang digunakan nelayan menimbulkan sorotan dari berbagai pihak bahwa alat tangkap tersebut tidak selektif, terlebih lagi karena alat tangkap sero dipasang di daerah pantai yang merupakan daerah pemijahan (spawning ground), daerah perlindungan, tempat mencari makan (feeding ground), penyebaran larva (nursery ground), dan wilayah pembesaran berbagai biota laut (Dahuri 2003).

28 6 Permasalahan yang dialami oleh nelayan sero adalah menurunnya hasil tangkapan (KKP Wajo 2009). Penurunan hasil tangkapan diduga terkait dengan degradasi populasi ikan yang mungkin disebabkan oleh rusaknya ekosistem daerah penangkapan sero dan tidak selektifnya alat tangkap sero, atau karena penangkapan yang cukup intensif terhadap jenis ikan pada trofik level tertentu yang merupakan komponen makanan dari populasi ikan target. Tingginya intensitas penangkapan sero di daerah pantai akan berakibat secara ekologis terhadap beragam komunitas biologis yang ada di dalamnya. Diketahui bahwa daerah pantai mempunyai tingkat keanekaragaman sumberdaya ikan yang tinggi dan fungsi ekosistem yang sangat vital, tentunya perlu kehatihatian agar sumberdaya hayati yang ada tetap terjaga. Hasil tangkapan sero dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti : parameter lingkungan, selektivitas alat tangkap sero, dan terjadinya interaksi pemangsaan dalam ekosistem tersebut pada masing-masing habitat. Faktor-faktor tersebut dalam kaitannya dengan hasil tangkapan sero belum banyak diteliti sampai saat ini. Bahkan kajian mengenai rantai dan jaring makanan yang membentuk struktur trofik level dalam daerah penangkapan sero belum pernah dilakukan sampai saat ini. Sangat dibutuhkan adanya kajian yang mempelajari bagaimana hubungan karakteristik ekosistem dengan hasil tangkapan, struktur trofik level, dan determinasi parameter yang paling berkontribusi besar terhadap hasil tangkapan pada beberapa tipe habitat di daerah penangkapan sero di pantai. Berdasarkan kajian sebelumnya yang secara umum bahwa ukuran mata jaring 4 cm cukup selektif yang dioperasikan di daerah pantai Pitumpanua (Tenriware 2005), namun kajian tersebut belum secara spesifik untuk habitat yang berbeda seperti estuaria (muara sungai) mangrove, dan lamun. Hasil tangkapan sero yang multispecies dengan ukuran yang sangat bervariasi pada berbagai habitat menimbulkan pertanyaaan bahwa apakah ukuran mata jaring 4 cm selektif untuk semua habitat perairan pantai dan semua jenis target tangkapan. Hal ini merupakan suatu pertanyaan dan masalah yang menarik untuk dikaji dan dievaluasi.

29 7 Apabila penelitian hanya dilakukan untuk mengevaluasi tingkat selektivitas ukuran mata jaring 4 cm hanya dilakukan pada habitat tertentu, maka tidak bisa diketahui pengaruhnya pada habitat yang berbeda. Dengan menguji penerapan mata jaring 4 cm pada habitat yang berbeda, maka hasilnya dapat diterapkan pada kebijakan penentuan lokasi sero pada habitat tertentu. Akibatnya kemungkinan beberapa unit sero direkomendasikan untuk tidak dioperasikan pada habitat tertentu. Hal ini jelas akan berdampak buruk pada penerimaan masyarakat nelayan jika tidak diberikan solusi alternatif. Eksperimen ini diharapkan dapat menjadi solusi alternatif terkait dengan keramahan alat tangkap, selain itu untuk dijadikan bahan pembanding dalam rangka mengevaluasi tingkat keramahan alat tangkap menurut habitat. Penelitian yang dilakukan ini dengan mengkombinasikan karakteristik ekosistem daerah penangkapan sero dan kelayakan mata jaring 4 cm pada berbagai habitat, maka diharapkan hasilnya dapat memberikan alternatif pengelolaan perikanan sero yang berkelanjutan. Dengan demikian diharapkan dalam penerapannya direkomendasikan adanya suatu regulasi yang sesuai kajian ilmiah mengenai kelayakan mata jaring 4 cm terhadap tipe habitat tertentu pada berbagai jenis ikan target tangkapan. Kerangka pikir dalam penelitian ini adalah seperti disajikan dalam Gambar 1.

30 8 Gambar 1 Kerangka pikir penelitian. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini antara lain : Umum: Mengevaluasi penerapan bunuhan (crib) bermata jaring 4 cm pada perikanan sero di perairan pantai Pitumpanua, Teluk Bone, Kabupaten Wajo Khusus: 1. Menganalisis kondisi lingkungan habitat muara sungai, mangrove dan lamun yang menjadi daerah penangkapan ikan dengan sero 2. Menganalisis komunitas ikan di tiga habitat yang menjadi daerah penangkapan ikan dengan sero 3. Menganalisis selektivitas bunuhan bermata-jaring 4 cm terhadap ikanikan yang dominan tertangkap 4. Menganalisis posisi jenis ikan yang tertangkap dalam piramida makanan

31 9 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini : Sains Perikanan Laut: 1 Contoh analisis pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem dalam perikanan sero di Indonesia 2 Penerapan studi ekologi dan teknologi untuk pengembangan pengembangan perikanan tangkap Pengelolaan Perikanan: 1. Input untuk pengelolaan perikanan sero di perairan pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo, Teluk Bone 2. Pembelajaran untuk pengelolaan perikanan tangkap di kawasan pesisir di tempat lain

32 10

33 11 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Alat Tangkap Sero Sero adalah salah satu jenis alat tangkap berbentuk perangkap besar yang sifatnya menetap, alat ini terbuat dari bilahan-bilahan bambu dan rotan yang bentuknya sedemikian rupa, dimana membentuk beberapa bagian ruang berbentuk segitiga yang tersusun satu di belakang dan alat ini umumnya dipasang memanjang dengan arah tegak lurus terhadap garis pantai (Gunarso 1996). Nikonorov (1975) membedakan bagian perangkap (sero) dalam 3 bagian diantaranya: 1) penaju (leader net) untuk penghalau ikan, 2) badan (body) untuk berkumpulnya ikan sementara waktu sebelum masuk ke bunuhan), dan 3) bunuhan (crib) tempat tertahannya atau tertangkapnya ikan. Subani dan Barus (1989) menyatakan bahwa pada prinsipnya alat tangkap ini terdiri dari 4 bagian penting yang masing masing disebut: penaju (leader net), sayap (wing), badan (body) dan bunuhan (crib). Adapun fungsi dari bagian-bagian tersebut adalah sebagai berikut: Penaju (leader net) Penaju mempunyai peranan sangat penting dibandingkan dengan kedua sayap atau kaki lainnya, karena penaju merupakan leader net yang berfungsi untuk menghadang ikan dalam renang ruayanya (Ayodhyoa 1981). Panjang penaju sangat bervariasi tergantung dari besar kecilnya sero. Menurut Nomura dan Yamazaki (1977) dalam Nikonorov (1975) menyatakan bahwa herring masih terus menyusuri leader net sampai pada jarak m dan lebih lanjut mempertegas bahwa perairan yang jernih leader net harus lebih panjang dibandingkan pada perairan keruh. Aslanova (1947) dalam Nikonorov (1975) menambahkan bahwa jenis ikan herring kecil menjaga jarak dengan leader net yaitu 1,5-2 m, tetapi ikan herring tetap berenang dan akhirnya membentuk schooling dan terkonsentrasi pada jarak 0,5 m dengan kedalaman 5-6 m.

34 Sayap (wing) Sayap berfungsi sebagai penghalang ikan yang menyusuri penaju, sampai ikan masuk kedalam badan sero atau kamar-kamar sero, bagian ini mempunyai ruang yang luas sehingga diharapkan ikan bisa bermain atau mencari makan sebelum masuk kedalam bagian berikutnya Badan (body) Badan sero terdiri atas beberapa kamar (room atau chamber). Bentuk kamar ini bermacam-macam, ada yang berbentuk jantung, segitiga dan berbentuk lingkaran. Pada bagian depan kamar-kamar sero tersebut dipasang pintu-pintu dari kere bambu yang mudah ditutup atau dibuka pada saat operasi penangkapan ikan berlangsung. Jumlah kamar sero bervariasi tergantung dari ukuran sero. Sero yang berukuran kecil umumnya terdiri atas 1-2 kamar, yang berukuran sedang terdiri atas 3 kamar sedangkan sero yang berukuran besar biasanya terdiri atas 4-5 kamar. Pada kamar sero tersebut terdapat lengan yang prinsipnya menyukarkan ikan untuk keluar dan akhirnya masuk ke dalam kamar berikutnya Bunuhan (crib) Bunuhan adalah tempat akhir terjebak dan berkumpulnya ikan. Ikan yang telah masuk ke dalam bunuhan sukar untuk meloloskan diri lagi. Pada bagian bunuhan inilah dilakukan pengambilan hasil tangkapan dengan menggunakan bantuan serok. 2.2 Daerah Penangkapan Sero Alat tangkap sero dipasang pada perairan pantai atau daerah pasang surut, yaitu daerah yang mempunyai keanekaragaman biota yang sangat tinggi disebabkan karena habitat perairan pesisir yang dangkal menyediakan makanan bagi ikan pelagis dan demersal dan perairan yang dangkal merupakan tempat yang baik untuk memijah, mencari makan, tempat berlindung dari ancaman ikan-ikan pemangsa atau predator (McConnaughey dan Zottoli 1983).

35 13 Pasang surut dan gerakan ombak di pantai dapat mengangkat zat-zat makanan sehingga berbagai jenis ikan dapat memanfaatkannya dengan relatif mudah (Nybakken 1988). Alat tangkap sero di pasang secara tegak lurus terhadap garis pantai dengan kedalaman perairan berkisar 3 8 m pasang tertinggi (Gunarso 1996). Tiensongrume et al. (1986) dalam Rachmansyah (2004) menyatakan bahwa kriteria penentuan daerah penangkapan sero adalah sebagai berikut : 1) kedalaman perairan pada kisaran 1-10 m, 2) Substrat perairan berupa pasir berlumpur atau lumpur dan pasir, 3) berada di daerah muara sungai dengan jarak kurang lebih m dari sungai, 3) arus perairan pada kisaran 0,05-0,4 m/det, 4) tinggi air pasang pada kisaran 0,5 m, 5) tidak berada di daerah pencemaran, 6) aksesbilitas baik, 7) suhu perairan pada kisaran o C, dan 8) salinitas pada kisaran 60 ppt. Lebih lanjut Wudianto (2007) mengungkapkan bahwa hal penting yang harus diperhatikan sebelum pemasangan set antara lain: ketersedian sumber daya ikan yang menjadi tujuan penangkapan, pola ruaya ikan yang menjadi tujuan penangkapan, kondisi perairan dimana set net akan dipasang (topografi dasar, keadaan arus, pasang surut, dan gelombang). Menurut Widodo dan Suadi (2008) bahwa perairan dangkal dengan kedalaman kurang dari 100 meter dengan dasar perairan yang berlumpur serta relatif datar merupakan daerah penangkapan demersal yang baik. Contoh dari perairan tersebut adalah pada paparan Sunda (Selat Malaka, Laut Jawa dan Laut Cina Selatan serta Paparan Sahul). Lebih lanjut dikemukakan oleh Yusof (2002) bahwa dengan perbedaan kedalaman ternyata jumlah hasil tangkapan berbeda pula. Hal ini bisa dilihat di perairan Peninsular Malaysia pada jenis substrat dasar pasir dan pasir berlumpur dengan kedalaman kurang dari 80 m menunjukkan hasil tangkapan dari 48 stasiun didominasi oleh ikan demersal 95,40% dari seluruh hasil tangkapan dengan rata-rata kemampuan tangkap (catch rate) 66,65 kg/jam. Pada kedalaman perairan antara 5 18 m tertangkap spesies dan pada kedalaman perairan lebih dari 18 m menunjukkan jumlah spesies yang lebih banyak lagi yaitu spesies. Ikan yang mendominasi penangkapan adalah pari (10,79%). Loliginidae (10,63%), Nemipteridae (7,09%), Mullidae (5,83%), dan Synodontidae (3,18%).

36 14 Substrat dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat bagi bermacam-macam biota baik itu mikrofaua maupun makrofauna. Mikrofauna berperan sebagai pengurai bahan-bahan anorganik menjadi bahan-bahan organik yang banyak dimanfaatkan oleh biota-biota lain. Ikan demersal yang termasuk makrofauna juga sangat tergantung dengan substrat dasar perairan, hal ini disebabkan ikan demersal banyak mengambil makanan di substrat dasar perairan. Ikan-ikan demersal umumnya dapat hidup dengan baik di perairan yang bersubstrat lumpur atau lumpur berpasir dan makanan ikan demersal berupa benthos maupun biota kecil lainnya. Hal ini diperkuat oleh penelitian Masrikat (2009) bahwa ikan demersal yang tertangkap selama penelitian dengan jumlah individu terbanyak ( ekor) ditemukan pada stasiun 18 dengan dasar perairan lumpur berpasir. 2.3 Jenis-jenis Ikan yang Tertangkap Alat Tangkap Sero Hasil tangkapan utama dari alat tangkap sero adalah jenis ikan demersal. Jenis ikan ini hidup di dasar atau dekat perairan atau yang bermigrasi di pantai saat air pasang untuk mencari makan. Boer et al. (2001) mengemukakan bahwa sumberdaya ikan demersal merupakan kelompok jenis-jenis ikan yang hidup di dasar atau dekat dengan dasar perairan. Kelompok ikan ini pada umumnya memiliki aktivitas relatif rendah, gerak ruaya tidak terlalu jauh dan membentuk gerombolan yang tidak terlalu besar, sehingga sebarannya relatif lebih merata jika dibandingkan dengan ikan-ikan pelagis. Kondisi demikian, telah mengakibatkan daya tahan ikan demersal terhadap tekanan penangkapan tersebut relatif rendah dan tingkat mortalitas cenderung sejalan dengan peningkatan upaya penangkapan. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Marasabessy (2010) bahwa ikan demersal hidupnya secara soliter dan hanya sedikit yang dijumpai dalam kelompok besar. Jenis ikan demersal yang dimaksud seperti : ikan kakap (Lutjanus sp) dari suku Lutjanidae, kerapu (Epinephelus sp) dari suku Serranidae, baronang (Siganus sp) dari suku Siganidae, namun jenis ikan yang dijumpai dalam kelompok besar misalnya ikan ekor kuning (Casio sp) dari suku Caesionidae. Jenis-jenis ikan demersal tersebut merupakan target utama penangkapan sero. Namun selain jenis ikan demersal yang tertangkap dengan

37 15 sero, juga tertangkap ikan pelagis yang beruaya ke pinggir pantai (Subani dan Barus 1989). Jenis ikan demersal dibagi menjadi dua jenis yaitu ikan demersal besar dan ikan demersal kecil (Tabel 1). Dilihat dari nilai ekonomisnya ikan demersal yang memiliki nilai ekonomis tinggi yaitu kakap merah, kerapu, pari, bawal putih, dan bawal hitam (Boer et al. 2001). Tabel 1 Pengelompokan jenis ikan demersal besar dan demersal kecil No Sub Kelompok Nama Indonesia Nama Perdagangan Nama Ilmiah 1 Demersal besar Kakap merah Barramundi Lutjanus malabaricus Giant sea perch L. sanguineus Kerapu Groupers Ephinephelus spp Manyung Sea catfishes Arius spp Senanging Thread fins E. tetradactylum Pari Rays Trigonidae Remang Murrays Muraenesex spp Bawal putih Silver pomfret Pampus argenteus Bawal hitam Balck pomfret Formio niger Tiga waja Drums Scianidae Ketang-ketang Spotted sickelfish Drepane punctata Gulamah Croackers Scianidae Layur Hairtails Trichiurus spp 2 Demersal Kecil Pepetek Pony fishes Leiognathidae Kuniran Goatfish Upeneus sulphureus Beloso Lizard fishes Saurida spp Kurisi Treadfin breams Nemipterus spp Gerot-gerot Grunters Pomadasys spp Sebelah Indian halibuts Psettodidae. Sumber : Boer et al. (2001) Perikanan demersal di Indonesia merupakan tipe perikanan multispesies, akan tetapi jumlah individu dari masing-masing jenis tersebut relatif rendah. Boer et al. (2001) dan Widodo et al. (1998) mengemukakan bahwa terdapat berpuluh jenis ikan demersal di perairan Indonesia. Ikan ini biasanya dieksploitasi dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap (multigears). Hasil penelitian di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone hasil tangkapan didominasi oleh ikan demersal seperti biji nangka (Upeneus sulphureus), kapaskapas (Gerres kapas), lencam (Lethrinus lentjam), pepetek (Leiognathus splendens), kerong-kerong (Therapon jarbua), salamandar (Siganus canaliculatus), kuwe (Carangoides sp.), baracuda (Sphyraena sp.), baronang

38 16 (Siganus sp.), rajungan (Portunus sp.), udang putih (Peneaus margueinsis), serta hasil tangkapan sampingan adalah balanak (Valamugil sp.), senangin (Eleutheronema sp.), layur (Trichiurus sp.), cendro (Tylosurus sp.), bambangan (Lutjanus sp.), kerapu (Epinephelus sp.), kakap (Lates sp.), pari (Trygon spp.), buntal (Tetraodon spp.), cumi-cumi (Loligo sp.), kepiting bakau (Scylla sp.), dan udang windu (Penaeus sp.) dan (Tenriware 2009). 2.4 Ekosistem Perairan Ekosistem muara sungai (estuaria) Estuaria adalah perairan yang semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari daratan melalui sungai, sehingga air laut dengan salinitas tinggi dapat bercampur dengan air tawar (Pritchard 1967). Secara ekologis, estuaria adalah daerah yang merupakan tempat bertemunya arus sungai dengan arus pasang surut. Pertemuan kedua arus menghasilkan menghasilkan suatu komunitas yang khas, dengan kondisi lingkungan yang bervariasi. Kondisi perairan estuaria sangat berpengaruh terhadap biota yang menghuninya. Odum (1993) beberapa sifat fisika-kimia estuaria berpengaruh penting terhadap kehidupan organisme diantaranya salinitas, suhu, substrat dan bahan organik, sirkulasi air, dan pasang surut. Secara umum estuaria mempunyai peran ekologis penting antara lain : sebagai sumber zat hara dan bahan organik yang diangkut lewat sirkulasi pasangsurut (tidal circulation), penyedia habitat bagi sejumlah spesies hewan yang bergantung pada estuaria sebagai tempat berlindung dan tempat mencari makanan (feeding ground) dan sebagai tempat untuk bereproduksi dan/atau tempat tumbuh besar (nursery ground) terutama bagi sejumlah spesies ikan dan udang. Estuaria merupakan habitat dari ratusan jenis burung, mamalia, ikan, dan hewan liar lainnya (Odum 1993). Secara ekonomi perairan estuaria dimanfaatkan manusia untuk tempat pemukiman, tempat penangkapan dan budidaya ikan, jalur transportasi, pelabuhan, dan kawasan industri (Bengen 2004). Produktivitas estuaria bertumpu pada bahan organik yang terbawa masuk estuaria melalui aliran sungai atau arus pasang surut air laut (Tuwo 2011). Dikatakan lebih lanjut bahwa perairan estuaria mengandung bahan organik hingga

39 mg per liter, sedangkan perairan laut terbuka hanya mengandung bahan organik 1-3 mg liter. Jejaring makanan pada daerah estuaria cenderung bersifat terbuka karena organisme yang menghuninya kebanyakan jenis hewan yang sifatnya hidup sementara pada daerah estuaria. Produktivitas primer pada perairam estuaria pun sangat terbatas dan hanya dihasilkan oleh beberapa jenis alga, rumput laut, diatom bentik dan fitoplankton. Namun demikian, bahan organik berupa detritus yang terendapkan pada estuaria membentuk substrat yang penting bagi tumbuhnya alga dan bakteri, yang kemudian menjadi sumber makanan bagi organisme pada tingkat trofik yang lebih tinggi (Tuwo 2011) Ekosistem mangrove Hutan mangrove adalah hutan pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan dipengaruhi oleh pasang surut laut (Fachrul 2007). Lebih lanjut dikatakan bahwa hutan mangrove dan ekosistemnya merupakan hutan yang menempati zona neritik yang berbatasan dengan daratan (coastal wetland), yakni daerah pantai yang seringkali tergenang air asin din pantai-pantai terlindung daerah tropika dan subtropika. Meskipun daerah itu hanya 10% luas laut, namun menampung 90% kehidupan laut (Suryoatmodjo 1996 dalam Fachrul 2007). Secara ekologis, ekosistem mangrove merupakan penopang ekosistem pesisir lainnya karena mempunyai saling keterkaitan, terutama ekosistem lamun dan terumbu karang. Ekosistem mangrove mempunyai fungsi sebagai penghasil detritus, sumber nutrien, dan bahan organik yang dapat dibawa oleh arus ke ekosistem padang lamun dan terumbu karang. Tuwo (2011) mengemukakan bahwa ketiga ekosistem ini mempunyai keterkaitan dimana, ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang dibawa oleh arus ke ekosistem terumbu karang. Ekosistem lamun juga berfungsi berfungsi sebagai perangkap sedimen sehingga sedimen tersebut tidak menganggu kehidupan terumbu karang. Sedangkan ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak, gelombang, dan arus laut. Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat atau tempat tinggal, tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat

40 18 pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu karang (Nybakken 1988; Tomascik et al. 1997) Ekosistem lamun Lamun merupakan kelompok tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang tumbuh di bawah permukaan air di lingkungan bahari. Fortes (1989) menyatakan bahwa padang lamun memainkan suatu spektrum yang luas dari fungsi biologis dan fisik atau lamun memainkan peranan kunci ekologis antara lain sebagai habitat biota, produser primer, perangkap sedimen serta berperan sebagai pendaur ulang hara dan elemen kelumit (trace element). Lebih dipertegas oleh Nienhuis et al. (1989) peranan lamun adalah antara lain : 1) produser primer, 2) sebagai habitat biota, 3) sebagai penangkap sedimen, 4) sebagai pendaur zat hara, dan 5) sebagai makanan dan kebutuhan lain. Ekosistem padang lamun dihuni berbagai jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi, antara lain : Siganus spp., Lethrinus spp., Lutjanus spp., Epinephelus sp., Lates sp., Lisa sp., dan Upeneaus sp. (Tuwo 2011) Ekosistem padang lamun bukanlah suatu ekosistem yang terisolasi tetapi merupakan bagian dari berbagai ekosistem yang saling berinteraksi secara ekologis terutama dalam ekosistem pantai perairan dangkal di laut tropik. UNESCO (1983) mengelompokkan dalam 5 (lima) bentuk interaksi antara ekosistem terumbu karang, mangrove, dan padang lamun yaitu interaksi fisik, nutrien dan bahan organik terlarut, bahan organik berbutir, ruaya hewan, dampak manusia. Adanya interaksi yang timbal balik dan saling mendukung, maka secara ekologis lamun mempunyai peran yang cukup besar bagi ekosistem pantai tropik. 2.5 Parameter Kualitas Perairan Pengaruh beberapa parameter oseanografi terhadap proses biologi bervariasi menurut skala waktu dan jarak (Mann dan Lazier 1991). Suhu, salinitas, densitas, arus, kadar oksigen dan kadar nutrien merupakan parameter oseanografi yang banyak mempengaruhi proses biologis dalam berbagai skala waktu dan ruang. Proses fisik tersebut dapat mempengaruhi produktivitas perairan.

41 19 Brond (1979) dalam Masrikat (2009) mengatakan bahwa ikan dipengaruhi oleh suhu, salinitas, kecepatan arus, oksigen terlarut dan masih banyak faktor lainnya. Dipertegas oleh Ridho (2004) bahwa suhu, salinitas, kecerahan dan kedalaman memberikan pengaruh terhadap keberadaan jenis-jenis ikan demersal tertentu, sedangkan terhadap kepadatan biomassa ikan demersal pengaruh tersebut kecil. Pengaruh suhu, salinitas, kecerahan dan kedalaman terhadap biomassa ikan demersal tidak bersifat sendiri-sendiri, tetapi secara bersama-sama mempengaruhi kepadatan biomassa ikan demersal. Lebih lanjut Pujiyati (2008) faktor-faktor abiotik seperti jenis substrat dasar perairan, kedalaman, kondisi oseanografi sangat berpengaruh terhadap distribusi komunitas ikan-ikan demersal di perairan Laut Jawa. Hubungan antara keterkaitan tipe substrat dan komunitas ikan demersal di perairan Laut Jawa menunjukkan pola yang berbeda untuk lima jenis ikan dominan yaitu leiognathus splendens (pepetek), Upeneus sulphureus (biji nangka), Nemipterus japanicus (kurisi), Leiognathus bindus (pepetek) dan Saurida longimanus (beloso) Suhu perairan Suhu air merupakan salah satu parameter fisika yang memegang peranan di dalam kehidupan dan pertumbuhan biota perairan. Suhu berpengaruh langsung pada organisme perairan terutama di dalam proses fotosintesis tumbuhan akuatik, proses metabolisme, dan siklus reproduksi (Sverdrup et al. 1961). Kenaikan suhu sebesar 10 o C akan menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen hewan akuatik sebesar dua kali lipat (Wardojo 1975 dalam Wardjan 2005). Suhu air di permukaan dipengaruhi oleh kondisi meteorologi. Faktorfaktor meterologi yang berperan adalah curah hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin, dan intensitas radiasi matahari. Oleh sebab itu, suhu di permukaan biasanya mengikuti pola musiman (Nontji 1993). Suhu air laut pada lapisan permukaan lebih hangat daripada suhu di lapisan dasar, namun variasi suhu pada perairan estuari lebih rendah dari pada perairan laut. Umumnya suhu tinggi pada estuari terjadi pada siang hari. Hal ini bisa terjadi karena daerah dangkal mudah menjadi hangat oleh pasokan aliran panas permukaan laut (Douglas 2001).

42 20 Suhu dalam lautan bervariasi sesuai dengan kedalaman. Massa air permukaan di wilayah trofik, panas sepanjang tahun yaitu o C. Di bawah air permukaan suhu mulai menurun dan mengalami penurunan yang sangat cepat pada kisaran kedalaman yang lebih dari m (Nybakken 1988). King (1963) suhu permukaan laut biasanya berkisar antara 27 o C-29 o C. Tidak berbeda jauh yang didapatkan oleh Afdal dan Riyono (2004) di Selat Makassar yaitu nilai ratarata suhu pada lapisan permukaan 28,9±0,3 C dengan kisaran antara 28,5-29,6 C, sedangkan pada lapisan kedalaman suhunya telah mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya kedalaman dan mencapai minimum pada kedalaman 300 m (10,86±0,43 C) di Selat Makassar. Lebih lanjut Hasanuddin (2007) menyatakan bahwa perbedaan temperatur permukaan sangat variatif, tergantung pada lokasi, pengaruh daratan serta profil kedalaman perairan seperti yang terjadi di Perairan Natuna. Hatta (2010) menggambarkan hasil pengukuran suhu perairan pada daerah penangkapan bagan rambo di Kabupaten Barru berkisar antara 27,1-32,0 o C dengan rata-rata 29,75 o C di permukaan dan 26,1-31,8 o C dengan rata-rata 28,65 o C pada kedalaman 25 meter. Pengukuran suhu yang dilakukan oleh Safruddin (2007) selama penelitian di daerah penangkapan purse seine di sebelah selatan di perairan Kabupaten Jeneponto memberikan gambaran yang hampir sama yaitu sebesar 29,71 o C dengan kisaran yang lebih sempit (29-30 o C). Sama halnya dengan Marasabessy dan Edward (2002) memberikan gambaran suhu di Perairan Raha Sulawesi Tenggara pada bulan Mei dan Juni tahun 2001 mendapatkan kisaran yang sedikit lebih sempit (27,8-30,9 o C). Tidak berbeda jauh dengan hasil pengukuran yang dilakukan oleh Umar (2009) yaitu sebesar 29,0 o C di pantai perairan Suppa Kabupaten Pinrang Salinitas Salinitas ialah jumlah berat semua garam (dalam gram) yang terlarut dalam satu liter, biasanya dinyatakan dengan satuan o / oo (per mil, gram per liter) (Nontji 1993). Sebaran salinitas di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone pada bulan Maret-Agustus 2009 rata-rata 28,17 pada permukaan muara sungai (Dangnga et al. 2009). Nilai tersebut sangat jauh kisarannya yang didapatkan

43 21 Hatta (2009) di permukaan Perairan Barru yang jauh dari pantai yaitu 30,0-35,0 ppm dengan rata-rata 31,30 ppm dan pada kedalaman 25 m didapatkan 30,0-35,0 ppm dengan rata-rata 31,70 ppm. Sementara Poppo et al. (2009) mendapatkan kisaran salinitas yang lebih rendah antara 29,0-32,0 ppm di perairan pantai kawasan industri perikanan Kabupaten Jembrana Bali pada bulan Mei-Juni Bervariasinya sebaran salinitas disetiap daerah tersebut disebabkan oleh berbagai faktor seperti topografi perairan, masukan air tawar, curah hujan, pasang surut dan lain-lain. Perubahan salinitas di perairan bebas relatip lebih kecil dibandingkan dengan yang terjadi di perairan pantai. Salah satu faktor yang menyebabkan demikian, karena disebabkan perairan pantai banyak dimasuki oleh air tawar dari muara-muara sungai terutama pada musim hujan (Laevastu dan Hela 1981). Hadikusumah et al. (2001) bahwa di dalam perairan estuari seringkali didominasi oleh proses percampuran dan penyebaran air tawar ke arah lepas pantai dan masukan air tawar. Kondisi demikian akan menyebabkan terjadinya interaksi antara air tawar dan air laut. Interaksi antara air tawar dan air laut di perairan estuari perlu difahami karena dapat memepengaruhi penyebaran suhu, salinitas, kekeruhan dan sebagainya. Adanya perubahan suhu dapat menyebabkan terjadinya sirkulasi dan stratifikasi air yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap distribusi air. Wenno (2003) menyatakan bahwa adanya interaksi antara daratan dengan Selat Makassar menyebabkan nilai ratarata salinitas pada lapisan permukaan sedikit berfluktuasi yaitu berkisar antara 30,4-33,7 psu dan mengalami penambahan dengan bertambahnya kedalaman dan mencapai maksimum pada kedalaman 100 m (34,6 ±0,11 psu), kemudian sedikit menurun sampai pada lapisan 300 m. Sementara Azis (2007) menyatakan bahwa salinitas rata-rata di bagian permukaan lebih rendah jika dibandingkan dengan salinitas rata-rata di bagian dasar pada kondisi pasut menuju pasang. Rendahnya salinitas tersebut disebabkan karena adanya pengaruh dari daratan dan intrusi air tawar dari sungai Binuangeun yang menuju laut. Hal ini berarti bahwa aliran sungai sangat mempengaruhi salinitas di perairan estuaria.

44 Derajat keasaman (ph) Derajat keasaman (ph) merupakan hasil pengukuran aktivitas ion hidrogen dalam perairan yang menunjukkan keseimbangan antara asam dan basa air. Romimohtarto dan Juwana (2001) menyatakan bahwa perubahan ph sedikit saja dapat menyebabkan perubahan dalam reaksi fisologik berbagai jaringan maupun pada reaksi enzim dan lain-lain. Di laut terbuka, variasi ph dalam batas yang diketahui mempunyai pengaruh kecil pada sebagian besar biota. Nilai derajat keasaman (ph) di perairan pesisir umumnya lebih rendah dibandingkan dengan ph air laut lepas, karena adanya pengaruh masukan massa air tawar dari sistem sungai yang bermuara. Rata-rata ph normal air laut adalah 7,8-8,2 dan bahkan perairan tropis dapat meningkat hingga 9,4 selama fotosintesa berlangsung (Phillips dan Menes 1988). Swingle (1968) berpendapat bahwa batas toleransi ph bagi ikan umumnya berkisar antara ph 4 dan ph 11, dan untuk mendukung kehidupan ikan secara wajar diperlukan perairan dengan ph yang berkisar antara 5-9. Di lingkungan perairan laut ph relatif lebih stabil dan berada dalam kisaran yang sempit, biasanya berkisar antara 7,7-8,4 (Nybakken 1988). Batas toleransi organisme air terhadap ph bervariasi, tergantung pada suhu air, oksigen terlarut dan adanya berbagai anion dan kation, serta jenis dan stadium hidup organisme. Baku mutu ph air laut untuk biota laut (budidaya perikanan) yang ditetapkan dalam Kep.No. 02/MENKLH/ Tahun 1988 adalah Oksigen terlarut (DO) Oksigen merupakan salah satu unsur penting dalam kehidupan organisme. Oksigen oleh organisme akuatik dipergunakan dalam proses-proses biologi, khususnya dalam proses respirasi dan penguraian zat organik oleh mikroorganisme. Dalam ekosistem perairan oksigen terlarut sangat penting untuk mendukung eksistensi organisme dan proses-proses yang terjadi di dalamnya, hal ini terlihat dari peranan oksigen selain digunakan untuk aktivitas respirasi organisme air juga dipakai oleh organisme dekomposer dalam proses bahan organik di perairan.

45 23 Sumber utama oksigen dalam air laut adalah dari udara melalui proses difusi dan proses fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan air lainnya pada siang hari. Nybakken (1988) menyatakan bahwa kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi oleh temperatur dan kecerahan, semakin rendah temperatur perairan semakin tinggi kelarutannya, dengan kata lain kandungan oksigen dalam kolom air akan semakin rendah. Oksigen terlarut merupakan gas yang mutlak dibutuhkan untuk pernapasan ikan dan biota lain serta diperlukan dalam perombakan bahan organik. Di laut umumnya dalam 1 liter air laut mengandung 5-6 ml oksigen (Hutagalung et al. 1997). Untuk proses metabolisme, hewan air membutuhkan oksigen terlarut di atas 5 ppm cukup layak bagi kehidupan larva plankton (Shahab 1986). Para ahli perikanan sering menyebutkan bahwa ikan dan biota air lainnya memerlukan sekurang-kurangnya 3 mg/l oksigen terlarut untuk kehidupannya secara normal. Prescod (1973) menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut minimal sebesar 2 ppm, cukup untuk mendukung kehidupan perairan secara normal di daerah tropik dengan asumsi perairan tidak mengandung bahan beracun. Dikatakan juga bahwa agar kehidupan ikan dapat layak dan kegiatan perikanan berhasil, maka kandungan oksigen terlarut tidak boleh kurang dari 4 ppm Kecepatan arus perairan Arus di laut merupakan suatu fenomena dinamika air laut yang terjadi setiap hari dan merupakan pencerminan gerakan massa air laut dari suatu tempat ke tempat lain secara horizontal. Massa air permukaan selalu bergerak, gerakan ini ditimbulkan terutama oleh kekuatan angin yang bertiup melintasi permukaan air dan pasang surut. Angin mendorong bergeraknya air permukaan sehingga menghasilkan suatu gerakan arus horizontal yang lamban, tetapi mampu mengangkut volume air yang sangat besar melintasi jarak di lautan. Keadaan arus ini mempengaruhi pola penyebaran organisme laut (Nybakken 1988). Perairan pantai Indonesia kecepatan arusnya relatif cukup kuat dan bervariasi seperti yang terjadi di sekitar perairan Teluk Klabat, perairan pantai Muntok dan Selat Bangka berkisar antara 5-72 cm/det. Kecepatan utama arus mencapai lebih dari 40 cm/det, pada musim timur (Agustus) lebih kuat dari pada

46 24 musim peralihan (April) (Nurhayati 2007). Kecepatan arus di perairan Selat Lombok pada bulan Agustus pada lapisan permukaan juga bisa mencapai lebih dari 1,5 m/det (Arief 1992). Begitupula dengan di sekitar Selat Malaka kecepatan arus relatif kuat dengan kecepatan kurang dari 1,0 m/det (Nurhayati 2002). Kurnia (2003) melaporkan bahwa kecepatan arus di perairan Teluk Bone selama penelitian yaitu berkisar antara 0,024-0,048 m/det. Sutarmat et al. (2003) dalam Wardjan (2005) mengemukakan bahwa arus yang biasanya disebabkan oleh pasang surut tidak melebihi 50 cm/detik. Aliran air sebagai pergantian air yang cukup yaitu cm/detik Plankton Distribusi biogeografis plankton sangat ditentukan oleh faktor lingkungan, sepeti cahaya, temperatur, salinitas, nutrien dan faktor-faktor lainnya. Faktor tersebut sangat menentukan keberadaan dan kesuksesan spesies plankton di suatu lingkungan (Parsons et al dan Valiela 1984). Lebih lanjut Parsons et al. (1984) mengemukakan bahwa tidak mudah untuk menjelaskan kondisi yang berlaku umum tentang penyebaran fitoplankton secara horisontal di laut. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kondisi ekologi pada bagian-bagian laut yang berbeda, seperti di daerah pantai dan estuari, pesisir pantai, dan laut lepas. Salah satu peranan fitoplankton di perairan adalah mengubah zat-zat anorganik menjadi zat-zat organik dengan bantuan sinar matahari melalui proses fotosintesis. Hasilnya disebut sebagai produktivitas primer dengan satuan volume per waktu atau satuan luas per waktu (APHA 2005). Respon fitoplankton terhadap intensitas cahaya sangat dipengaruhi oleh pigmen yang dikandungnya. Perbedaan pigmen yang dikandung antara jenis fitoplankton menyebabkan perbedaan intensitas cahaya yang diabsorbsi. Lebih spesifik Levinton (1982) menyatakan bahwa fitoplankton berfotosintesa menggunakan klorofil a, c, dan pigmen tambahan. Zooplankton dipengaruhi oleh kecerahan yang erat kaitannya dengan jumlah seston dan penetrasi cahaya kedalam perairan. Kecerahan dipengaruhi oleh kekeruhan dan warna air, makin tinggi kecerahan makin dalam penetrasi cahaya matahari (Arinardi 1989). Lebih lanjut, mengemukakan bahwa jumlah

47 25 zooplankton sangat dipengaruhi oleh kekeruhan. Dengan kekeruhan yang tinggi fitoplankton tidak efektif untuk melakukan fotosintesis sehingga zooplankton tidak tumbuh dengan baik. 2.6 Trophic Level dan Kebiasaan Makan Ikan Seluruh biota penghuni laut dari permukaan sampai dasar saling berhubungan secara kompleks membentuk suatu sistem yang rumit. Hubungan ini terutama adalah dalam hal makanan. Bermacam-macam mata rantai dari sistem tersebut saling menjamin berlangsungnya transformasi energi di laut. Mempelajari struktur dan proses dari sistem tersebut merupakan salah satu persoalan terpenting dalam planktonologi. Transfer energi dari tingkatan tropik yang satu ke yang lain dari permukaan sampai dasar, dalam tingkatan tertentu ditunjukkan oleh sifat sebaran vertikal, kuantitas, dan komposisi plankton pada berbagai kedalaman. Rantai makanan dinyatakan sebagai suatu aliran biomassa yang kontinu dari tingkatan trofik yang ada. Nybakken (1988) mengemukakan bahwa dalam setiap komunitas, spesies tidak terisolasi tetapi berinteraksi dengan spesies lain pada daerah yang sama sehingga akan terjadi proses makan dimakan dalam komunitas tersebut. Ketersedian makanan merupakan faktor yang menentukan ukuran populasi, pertumbuhan, reproduksi dan dinamika populasi serta kondisi ikan yang ada di suatu perairan (Nikolsky 1963). Adanya makanan yang tersedia dalam perairan selain dipengaruhi oleh kondisi biotik, ditentukan pula oleh kondisi abiotik lingkungan seperti suhu, cahaya, ruang, dan luas permukaan (Effendie 1997). Rantai makanan menggambarkan hubungan keterkaitan antar organisme mulai tingkatan trofik terendah sampai dengan tingkatan trofik tertinggi. Di dalam jejaring makanan terdapat mekanisme saling memengaruhi antara tingkatan trofik paling atas terhadap tingkatan trofik di bawahnya (top down effect) dan sebaliknya dari tingkatan trofik paling bawah ke tingkatan trofik di atasnya (bottom up effect) (Chassot et al. 2005). Effendie (1997) mengemukakan jika ditelaah makanan ikan itu sejak dari awal pembentukannya sampai ke makanan yang dimakan oleh ikan, sebenarnya merupakan mata rantai yang dinamakan rantai makanan (food chains). Plankton tumbuh-tumbuhan melalui proses fotosintesis dapat memproduksi bahan

48 26 organik dari bahan anorganik (produsen primer), organisme yang memakan nonprodusen primer dinamakan konsumer primer, organisme yang memakan konsumer primer dinamakan konsumer sekunder dan seterusnya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa panjang pendeknya rantai makanan tergantung dari macam, ukuran atau umur ikan, namun pada kenyataannya dalam interaksi makanpemakan terjadi tumpang tindih, dimana satu jenis konsumen memakan beberapa jenis makanan dan satu jenis produsen dimakan oleh beberapa jenis konsumen sehingga membentuk suatu jaringan yang dinamakan jaring-jaring makanan (food webs). Salah satu contoh struktur rantai makanan yaitu struktur rantai makanan plankton berupa bentuk piramida terbalik (biomassa autotrofik rendah dan biomassa heterotrofik tinggi) sangat dipengaruhi oleh aktivitas organisme prokaryotik. Cyanobacteri berperan selama periode autotrof dan bakteri selama periode heterotrof (Moustaka-Gouni et al. 2006). Di laut ada 5 (lima) tingkatan trofik dalam rantai makanan yaitu bakteri dan detritus (B), Fitoplankton (P), Zooplankton I (Z1), zooplankton II (Z2), dan tingkatan terakhir ikan (F). Setiap tingkatan trofik berbeda energi yang dihasilkan yang dikenal dengan efisiensi ekologi (E). Efisiensi ekologi ini berhubungan dengan produksi ikan (Parson et al. 1984). Sedangkan Schaefer (1965) yang dalam Parson et al. (1984) menyatakan bahwa pengaruh efisiensi ekologi terhadap produksi ikan berkisar dari 10-20% pada lima tingkat trofik tersebut. Yusfiandani (2004) tahapan proses yang sama pada food webs disekitar rumpon di perairan Pasauran terlihat hanya pada tahapan I sampai III, tetapi tingkatan yang didapatkan yaitu sampai pada 5 (lima) tingkatan dalam rantai makanan, yaitu diantaranya : predator puncak (V), predator karnivora dan omnivora (IV), penyaring (ikan herbivora) (III), pemangsa mikroorganisme (II), dan mikroorganisme ( I). Tingkat I yaitu mikroorganisme yang terdiri dari mikroba dan mikroalga merupakan mahluk pertama yang tumbuh pada atraktor. Tingkat II yaitu pemangsa mikroorganisme adalah euphausiid, kopepoda, udang dan lain-lain.

49 27 Tingkat III yaitu penyaring dimaksudkan ikan-ikan penyaring yang terdapat disekitar rumpon, seperti ikan baronang, remora, Abaliste sp, eteman, kurisi dan ikan lainnya. Tingkat IV yaitu ikan predator yang bersifat karnivora dan omnivora merupakan pemangsa ikan penyaring, seperti ikan selar bentong, selar kuning, selar hijau, ikan kembung, ikan tongkol, lumba-lumba, serta ikan lainnya. Tingkat V yaitu ikan predator tinggi adalah ikan yang memangsa ikan predator dan merupakan top level dalam rantai makanan yang terdapat di sekitar rumpon, seperti tuna, cakalang, setuhuk, hiu serta ikan pelagis lainnya. Penelitian serupa yang dilakukan oleh Amiruddin (2006) bahwa pada alat tangkap bagan berlangsung pemangsaan selama proses penangkapan. Terlihat komposisi makanan teri hitam (Stolephorus insularis) yaitu fitoplankton (6%) dan zooplankton (94%) menunjukkan bahwa teri lebih memilih zooplankton sebagai makanan utamanya dibandingkan dengan fitoplankton. Sementara pemangsa dari teri adalah selar, dimana proporsi volume teri dalam lambung selar antara 77,8-91,3% dengan frekuensi kejadian pemangsaan antara %. Hal ini diperkuat oleh Hutomo et al. (1987) bahwa ikan teri adalah termasuk ikan pemakan plankton. Lebih lanjut bahwa ikan teri pada ukuran < 40 mm umumnya memakan fitoplankton dan zooplankton berukuran kecil sedangkan pada ukuran > 40 mm, ikan teri memanfaatkan zooplankton (copepoda) berukuran besar. Lebih lanjut Hatta (2010) menyatakan bahwa ikan planktivor (terutama ikan teri) menunjukkan peranan yang sangat penting dalam ekosistem pelagis di dalam daerah penangkapan bagan rambo. Ikan planktivor berperan penting dalam transfer makanan dari plankton ke populasi ikan omnivor dan ikan karnivor pada trofik level lebih tinggi. Biomassa pada populasi plankton tidak dapat secara efektif langsung dimanfaatkan oleh ikan omnivor dan ikan karnivor sehingga harus melewati ikan planktivor. Posisi strategis ikan planktivor sebagai item makanan ikan omnivor dan ikan karnivor jelas akan mempengaruhi jalur rantai makanan pada trofik level di atasnya. Aranchibia dan Neira (2005) mengemukakan hasil penelitiannya di pusat pendaratan ikan Chili bahwa selama 20 tahun ( ) terjadi penurunan trofik level rata-rata ikan yang lebih besar yaitu 17,5% pertahun. Lebih lanjut

50 28 Pauly et al. (1998) dalam Hatta (2010) mengemukan hasil penelitiannya yang berdasarkan data pendaratan ikan yang diteliti diberbagai negara, bahwa telah terjadi penurunan trofik level rata-rata sebesar 10% per tahun. Hatta (2010) mengelompokkan beberapa jenis ikan berdasarkan makanannya yaitu ikan teri dan ikan tembang merupakan ikan pemakan plankton (planktivor) karena di dalam ususnya hanya ditemukan fitoplankton dan zooplankton saja. Lebih lanjut dikatakan bahwa ternyata dalam isi usus ikan teri terdapat komposisi fitoplankton berkisar 26,32-94,87% dari total plankton dengan rata-rata 64,65%, sementara ikan tembang berkisar antara 42,86-97,14% dengan rata-rata 62,80%. Ikan pepetek, layang, dan kembung tergolong ikan omnivor karena mengkonsumsi nekton berupa jenis ikan kecil, ikan teri, dan udang halus selain plankton dan ikan selar tergolong ikan karnivor yang memakan nekton berupa berbagai jenis ikan kecil, teri, udang, cumi-cumi dan sebagian kecil zooplankton. Menurut Weatherley dan Gill (1987) bahwa ada 11 prinsip mengenai hubungan mangsa dan pemangsa pada ikan : 1) jumlah ikan yang dimakan oleh piscivor lebih banyak dibandingkan dengan jumlah ikan yang ditangkap oleh nelayan; 2) ukuran mangsa yang dimakan oleh pemangsa semakin bertambah besar dengan bertambah besarnya ukuran pemangsa; 3) pemangsa memiliki kesukaan (preverensi) pada spesies mangsa dengan ukuran tertentu; 4) pemangsa umumnya mengambil bermacam-macam mangsa; 5) pemangsaan terhadap suatu jenis mangsa memungkinkan terjadi perubahan terhadap kepadatan mangsa; 6) pemangsa mungkin mengganti makanannya dengan spesies lain dalam suatu kesetimbangan biologi; 7) jumlah mangsa berkurang akibat pemangsaan oleh tekanan pemangsa; 8) komposisi komunitas mangsa dipengaruhi oleh pemangsa; 9) populasi mangsa yang melimpah dapat merangsang pertumbuhan dan densitas pemangsa; 10) persaingan antara spesies pemangsa dapat mempengaruhi pertumbuhan dan densitas populasi; dan 11) pemangsaan terhadap mangsa tertentu dapat menurunkan persaingan diantara spesies mangsa sehingga dapat penambahan keragaman komunitas mangsa. Jenis ikan yang tertangkap pada alat tangkap sero tidak hanya ikan-ikan demersal yang hidupnya di muara sungai, mangrove, dan lamun bahkan ada diantaranya ikan-ikan demersal yang hidupnya di daerah terumbu karang. Ikan

51 29 ikan karang dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok yaitu ikan-ikan diurnal dan ikan-ikan nocturnal. Kelompok ikan diurnal adalah kelompok ikan yang aktif berinteraksi dan mencari makan pada siang hari, seperti dari famili Pomacentridae, Labridae, Achanthuridae, Chaetodontidae, Serranidae, Lutjanidae, Balistidae, Cirrhitidae, Tetraodontidae, Bleniidae, dan Gobiidae. Sedangkan ikanikan nocturnal adalah kelompok ikan-ikan yang aktif berinteraksi dan mencari makan pada malam hari. Di siang hari, kelompok kedua ini menetap pada gua-gua dan celah-celah karang, seperti dari famili Holocentridae, Apongonidae, Haemulidae, Scorpaenidae, Serranidae, dan Labridae (Allen dan Steenes, 1990 dalam Sadarun 2011). Menurut Gladfelter dan Gladfelter (1978) dalam Arami (2006) bahwa struktur trofik ikan-ikan terumbu karang dapat dibedakan menjadi 6 (enam) grup trofik yaitu herbivora, omnivora, plankton feeders, pemakan crustacean, ikan piscivora, dan pemakan lain-lain (Tabel 2). Tabel 2 Komposisi ikan-ikan pada terumbu karang menurut struktur trofik Grup trofik Jumlah Famili Famili Herbivora 5 Scaridae, Acanthuridae, Pomacentridae, Blennidae, dan Kyphosidae Omnivora 13 Labridae, Acanthuridae, Pomacentridae, Mullidae, Ostraciontidae, Cahetodontidae, Monacathidae, Gobiidae, Diodontidae, Sparidae, Carangidae, Gerridae, dan Pempheridae Plakton feeders 7 Apongonidae, Pomacentridae, Holocentridae, Grammidae, Priacanthidae, Sciaenidae, dan Pempheridae Pemakan crustacean dan ikan 9 Serranidae, Holocentridae, Lutjanidae, Scorpaenidae, Sciaenidae, Synodontidae, Fistulariidae, Aulostomidae, dan Bothidae Piscivora 9 Serranidae, Lutjanidae, Carangidae, Spyraenidae, Muraenidae, Synodontidae, dan Fistulariidae, Aulostomidae, dan Bothidae Pemakan lain-lain 4 Pomacentridae, Balistidae, Acanthuridae, dan Gobiidae Sumber : Gladfelter & Gladfelter (1978) dalam Arami (2006) 2.7 Selektivitas Alat Tangkap Gulland (1974) mendefinisikan selektivitas adalah kemampuan dari alat tangkap untuk meloloskan ikan. Lebih lanjut FAO (1999) menyatakan bahwa selektivitas merupakan sifat alat tangkap tertentu untuk mengurangi atau mengeluarkan tangkapan yang tidak sesuai ukuran (unwanted catch) atau ikanikan tangkapan yang tidak diinginkan (incidential catch) dan selektivitas

52 30 merupakan fungsi dari suatu alat penangkapan ikan dalam menangkap spesies ikan dalam jumlah dan selang ukuran tertentu pada suatu populasi di daerah penangkapan ikan. Losanes et al. (1990) mendefinisikan lebih jauh tentang selektivitas ukuran adalah pernyataan kuantitatif dari kemampuan alat tangkap untuk menangkap ikan terhadap spesies dengan ukuran tertentu. Kemampuan tersebut dengan menghindarnya ikan dari hadangan jaring yang merupakan proses penentu peluang tertangkapnya ikan. Peluang ini bervariasi sesuai dengan karakteristik ikan seperti bentuk badan, bagian yang terjerat dan ukuran mata jaring. Selektivitas merupakan fungsi dari suatu alat penangkapan ikan dalam menangkap spesies ikan dalam jumlah dan selang ukuran tertentu pada suatu populasi di daerah penangkapan ikan. Selektivitas menurut Matsuoka (1995) dibagi dalam dua komponen yaitu selektivitas ukuran dan selektivitas spesies. Menurut FAO (1999) bahwa penagkapan ikan yang selektif meliputi; a. Umur dan Ukuran ikan yang tertangkap; perubahan penangkapan yang dilakukan dengan menangkap ikan yang umurnya sudah tua, memungkinkan untuk memperbaiki hasil tangkapan dengan tingkat upaya tertentu sehingga hasil tangkapan sebanding dengan bobot ikan yang menguntungkan secara ekonomis. b. Selektivitas spesies; perikanan yang banyak melibatkan spesies menimbulkan banyak masalah optimasi distribusi bagi upaya tangkap dengan berbagai macam alat tangkap yang berbeda. Hal ini diikuti dengan tingkat upaya tangkap yang berbeda bagi beberapa spesies secara profesional. Dengan adanya aturan yang dibuat untuk menangkap spsesies dan ukuran tertentu akan membantu pengembangan perikanan lestari. Fridman (1986) menyatakan bahwa selektivitas merupakan sifat alat dalam menangkap ukuran dan jenis ikan tertentu dalam suatu populasi. Sifat ini tergantung pada prinsip yang dipakai dalam penangkapan, tetapi juga tergantung pada parameter desain alat seperti mata jaring, benang jaring dan ukuran benang, hanging ratio dan kecepatan menarik. Lebih lanjut Treshchev (1974) dalam Fridman (1986) mengatakan bahwa ukuran mata jaring mempunyai pengaruh terbesar pada selektivitas alat tangkap. Menurut Nielsen dan Lampton (1983)

53 31 menyatakan bahwa ikan yang mempunyai ukuran yang lebih kecil maupun lebih besar dari ukuran ikan optimum lebih sedikit tertangkap karena ikan yang sangat kecil dapat berenang lolos dan ikan besar tidak dapat masuk ke lubang jaring. Secara umum ukuran selektivitas ialah : 1) Girth optimum = 1,25 kali keliling jaring, 2) Panjang ikan = 20% lebih panjang atau lebih pendek dari panjang optimum yang sering tertangkap. Kemampuan selektivitas suatu alat tangkap bergantung pada prinsip penangkapan dan parameter desain alat itu sendiri seperti ukuran mata jaring (mesh size), beban benang, material dan ukuran benang, hanging ratio, dan kecepatan penarikan alat tangkap (Fridman 1986). Lebih lanjut dijelaskan oleh Treshchev (1974) dalam Fridman (1986) bahwa ukuran mata jaring mempunyai pengaruh terbesar pada selektivitas alat tangkap. Memperbesar ukuran mata jaring dapat menyebabkan perubahan komposisi yang pada akhirnya jumlah hasil tangkapan sehingga pengetahuan tentang selektivitas sangat membantu dalam merancang, membuat dan mengoperasikan alat tangkap dengan baik (Fridman 1986). Lebih lanjut Pope et al. (1975) menyatakan bahwa selain ukuran mata jaring yang menentukan selektivitas adalah hanging ratio, elongation, visibilitas benang jaring (menyangkut bahan dan tebal benang), bentuk badan dan tingkah laku ikan tujuan tangkap. Hanging ratio dan bentuk badan ikan berpengaruh terhadap proses cara tertangkap, nilai hanging ratio yang makin kecil berkecenderungan untuk memuntal. Kemuluran benang jaring yang meningkat memberikan peluang ukuran ikan yang lebih besar untuk tertangkap. Visibilitas dan tingkah laku berhubungan dengan kemampuan ikan untuk menghindari jaring. Hal senada juga dikemukakan oleh Sparre dan Venema (1999) bahwa selektivitas dipengaruhi oleh desain alat tangkap dan karakteristik jaring. Selektivitas alat harus diperhitungkan dalam mengestimasi komposisi ukuran ikan yang sesungguhnya di daerah penangkapan. Dalam suatu model yang dikemukakan oleh Beverton dan Holt yang dalam Monintja et al. (1999) bahwa umur ikan termuda yang tertangkap (age at first capture) akan menentukan yield per recruitment. Umur ikan tersebut ditentukan oleh selektivitas alat tangkap terhadap

54 32 jenis ikan tersebut. Oleh karena itu pendekatan teknis berupa pengetahuan tentang mata jaring merupakan salah satu cara dalam manajemen sumberdaya perikanan. Sementara Matsuoka (1995) membagi dua komponen selektivitas yaitu selektivitas ukuran dan selektivitas spesies. Regier dan Robson (1966) menentukan pengaruh ukuran mata jaring terhadap selektivitas dapat dilakukan dengan 3 (tiga) metode yaitu: langsung, tidak langsung dan iteratif. Metode langsung memerlukan data komposisi ukuran dari populasi dan kemudian mengestimasikan selektivitas dengan membandingkan komposisi ikan yang tertangkap dengan komposisi populasi. Pendekatan ini dapat dilaksanakan jika komposisi ikan dalam populasi ikan diketahui. Metode tidak langsung membutuhkan asumsi matematika untuk kurva selektivitas, yakni ketergantungan antara selektivitas dengan ukuran mata jaring. Data hasil tangkapan yang digunakan terdiri dari beberapa kelas ukuran ikan yang tertangkap oleh mata jaring yang berbeda ukuran. Metode iteratif memerlukan asumsi matematika tertentu berbasiskan pada data yang diperoleh pada interval yang panjang atau pada beberapa interval ulangan. Hal utama dalam metode ini adalah memperkirakan hubungan antara selektivitas terhadap bukaan mata jaring dan nilai tengah panjang ikan yang diulang-ulang berdasarkan jumlah relatif ikan pada suatu populasi sampai menghasilkan sebaran titik-titik yang memadai untuk membuat kurva. Lebih lanjut Matsuoka (1995) mengemukakan bahwa selektivitas umumnya digambarkan sebagai suatu ukuran relatif. Dalam perhitungan tidak langsung (indirect estimation method) nilai selektivitas 100% bukan berarti bahwa semua ikan tertangkap dalam operasi penangkapan. Hal tersebut menandakan suatu nilai efisiensi relatif tertinggi. Kebanyakan alat penangkapan ikan memiliki selektivitas (size selectivity) yang digambarkan dalam kurva selektivitas yaitu : (1) kurva yang berhubungan dengan efisiensi tertinggi disekitar puncak, menurun pada kedua sisi dengan dua buah ekor (a modal curve/normal curve) dan (2) kurva satu ekor dengan efisiensi tertinggi pada ikan-ikan yang berukuran besar, seperti kurva model logiistik (a on tail curve). Alat tangkap passif seperti gillnet, perangkap, dan pancing memiliki kurva selektivitas yang berbentuk normal curve, sedangkan pada alat tangkap yang aktif seperti trawl dan jenis

55 33 jaring yang lain dimana proses selektivitasnya terjadi dengan penyeleksian maka alat tangkap tersebut memiliki bentuk a one tail curve/logistic curve. Kurva selektivitas memberikan gambaran kisaran selektivitas a% dibandingkan efisiensi tertinggi sehingga didapat panjang selektif a% dengan notasi L a (a%-selective length) misalnya L 25 atau L 50 dan berkaitan dengan masing-masing ukuran mata jaring (Matsuoka 1995). Perhitungan tentang selektivitas dapat menggunakan beberapa metode antara lain metode McCombie dan Fry s, metode girth inference dan metode Kitahara (Reis & Pawson 1992). Pada metode Kitahara, selektivitas diestimasi dari fungsi L/M (panjang ikan dibagi ukuran mata jaring) dan G/M (keliling lingkar tubuh ikan dibagi ukuran mata jaring), diantilog-kan kurva master dan puncak kurva diperoleh ketika efisiensi relatif mencapai 100%. Metode ini pada dasarnya mirip metode yang dideskripsikan oleh Pope et al. (1975) dan Jones (1976) yaitu secara cover-net, dimana cover-net tersebut mempunyai ukuran mata jaring yang lebih kecil dari ukuran mata jaring cod-end. Pada prinsipnya membandingkan jumlah hasil ikan yang berada di cover-net dengan jumlah seluruh ikan yang ada di bagian cod-end dan cover-net yang menutupi cod-end. 2.8 Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem Pendekatan ekosistem dapat dipahami sebagai pendekatan yang mengikutsertakan keseluruhan komponen utama ekosistem dan berbagai jasa yang diberikannya dalam perhitungan untuk memperoleh suatu upaya pengelolaan perikanan secara berkelanjutan. Pengertian ini juga menyangkut pengelolaan perilaku manusia untuk menjaga tingkat tertentu keragaman, kepadatan, dan produktivitas ekosistem laut. Dalam beberapa pengertian lain seperti dijelaskan oleh Mathew (2001) bahwa pendekatan dapat dipahami sebagai cara untuk memahami interaksi yang terjadi pada spesies ikan target, predator, kompetitor, dan spesies mangsanya, serta berbagai interaksi dan dampak ekploitasi organisme tersebut terhadap lingkungan. Permasalahan yang mendasar dalam pengkajian stok untuk pengelolaan perikanan saat ini adalah orientasi yang berbasis pada spesies tunggal atau sumberdaya ikan target saja. Widodo dan Suadi (2008) mengemukakan dampak

56 34 kebijakan pengelolaan perikanan yang selama ini berkembang hanya berbasis pada spesies target (tunggal) saja telah meninggalkan permasalahan baru bagi spesies target sendiri, spesies ikan lainnya, dan organisme lain yang memiliki hubungan dengan jenis tersebut, serta lingkungan. Hal ini sering memunculkan pertanyaan bahwa perubahan dan dampak apa yang dapat terjadi sebagai akibat dari kegiatan perikanan tersebut?. Kondisi ini telah menarik perhatian internasional tentang pengembangan pola pengelolaan sumberdaya ikan yang berbasis ekosistem atau yang dikenal sebagai ecosystem-based fisheries management (EBFM). Dengan berbasis pada pendekatan ini, pengelolaan perikanan ke depan perlu diupayakan ke arah pendekatan yang bersifat multidisiplin dengan mengoptimalkan pemanfataan ilmu pengetahuan yang ada seperti oseanografi, biologi perikanan, sosial ekonomi, hukum, teknologi informasi (sistem informasi geografis dan penginderaan jauh), dan lain-lain, serta pendekatan ini dapat dipadukan berbagai informasi yang tersedia tentang sistem sumberdaya ikan seperti produktivitas primer, sumberdaya ikan utama dan berbagai pola hubungan makan-memakan atau rantai dan jaring makanan dapat digunakan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh dari proses dinamis yang terjadi pada ekosistem perairan. Dalam rangka menguatkan pendekatan ini, FAO pada bulan Oktober 2001 di Reykjavik Iceland, melakukan suatu pertemuan ilmiah internasional dan menghasilkan Deklarasi Reykjavik tentang perikanan berkelanjutan pada ekosistem laut (Responsible Fisheries in the Marine Ecosystem). Dalam deklarasi Reykjavik dipaparkan isu kunci perlunya mengumpulkan dan mereview berbagai pengetahuan terbaik tentang isu ekosistem laut terkait dengan kegiatan perikanan tangkap dan mengintegrasikannya dalam berbagai aktivitas baik di tingkat regional maupun internasional untuk pengelolaan perikanan. Pertemuanpertemuan dunia tentang pembangunan dan lingkungan berikutnya seperti pertemuan di Johannesburg 2002 juga semakin mempertegas kebutuhan untuk membangun dunia yang lebih berpedoman pada prinsip pembangunan berkelanjutan. Lebih jauh FAO juga melengkapi dengan berbagai panduan teknis menuju perikanan berkelanjutan.

57 35 Perikanan sero merupakan perikanan pantai yang terdiri dari beberapa ekosistem yang ada di dalamnya. Oleh karena itu penerapan pola pengelolaan sumberdaya ikan yang berbasis ekosistem atau yang dikenal sebagai ecosystembased fisheries management (EBFM) sangatlah tepat untuk diterapkan. Mengingat bahwa pemanfaatan perikanan dunia saat ini terkonsentrasi pada perairan dangkal pada kedalaman antara m (Pauly dan Christensen 2002). Dipertegas bahwa produktivitas perairan di daerah pantai (paparan) yang tinggi telah menghasilkan suatu produktivitas perikanan yang juga tinggi. Ekosistem ini diperkirakan menyumbang lebih dari 90% sumber ikan dunia. Daerah terumbu karang dapat memproduksi 10-12% dari total hasil tangkapan di negara tropis dan sekitar 20-25% di negara berkembang. Tingginya tingkat produktivitas di daerah pantai dibandingkan pada daerah lain digambarkan oleh Wolff (2004) dalam Widodo dan suadi (2008) seperti pada Tabel 3 berikut. Tabel 3 Produktivitas perikanan di habitat laut terbuka, pantai, dan upwelling Habitat Laut Terbuka Pantai Upwelling Persentase luas perairan 90 9,9 0,1 Rata-rata produktivitas primer (g.c/m/tahun) Total Produksi (10 9 ton C/tahun 16,3 3,6 0,1 Jumlah energi yang ditranfer 5 3 1,5 antara berbagai tingkat trofik Rata-rata efisiensi ekologi 10% 15% 20% Rata-rata produksi ikan (mg 0, C/m 2 /tahun) Total produksi ikan ( 10 6 ton C/tahun) 0, Tabel 3 menunjukkan bahwa perairan laut terbuka (lepas pantai) walaupun memiliki luas area yang terbesar (mencapai 90% dari total perairan laut), namun total produksi ikan yang dapat didukung oleh wilayah ini hanya mencapai ton C/tahun. Jumlah ini sangat berbeda dengan produksi yang mampu dihasilkan oleh dua habitat perairan laut lainnya yaitu paparan (pantai) dan daerah upwelling yaitu mencapai 12 juta ton C/tahun, walaupun luas areanya sangat kecil. Interaksi yang terjadi antar organisme yang hidup pada tiga habitat tersebut juga cukup berbeda. Di antara tiga habitat utama perikanan, interaksi biologi yang terjadi

58 36 pada perairan laut lepas lebih kompleks dengan rantai makanan yang lebih panjang (mencapai 6 tingkat trofik) dibandingkan perairan pantai (4 trofik) dan daerah upwelling (1,5 trofik). Bahkan jumlah tingkat trofik pada daerah upwelling bisa mencapai bisa mencapai 2 jika ikan didominasi oleh jenis herbivora (Pauly dan Christensen 2002). Pencapaian tujuan pola pengelolaan sumberdaya ikan yang berbasis ekosistem diperlukan teknik pengelolaan perikanan yang baik. Widodo dan Suadi (2008) mengemukakan beberapa pendekatan pengelolaan perikanan yakni : 1) pengaturan ukuran mata jaring (dari pukat atau alat tangkap yang digunakan); 2) pengaturan batas ukuran ikan yang boleh ditangkap, didaratkan, atau dipasarkan; 3) kontrol terhadap musim penangkapan ikan (opened or closed season); 4) kontrol terhadap daerah penangkapan (opened or closed areas); 5) pengaturan terhadap alat tangkap serta perlengkapannya di luar pengaturan ukuran mata jaring (mesh size); 6) perbaikan dan peningkatan sumberdaya hayati (stock enhancement); 7) pengaturan hasil tangkapan total per jenis, kelompok jenis, atau bila memungkinkan per lokasi atau wilayah; dan 8) setiap tindakan langsung yang berhubungan dengan konservasi semua jenis ikan dan sumberdaya hayati lainnya dalam wilayah perairan tertentu. 2.9 Review Penelitian Sebelumnya Penelitian tentang parameter lingkungan perairan telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya seperti (Andriyani 2004; Murifto 2000; Aryawati 2007; Ridho 2004) namun tidak ada diantara penelitian tersebut mengkaitkan bagaimana hubungan parameter lingkungan tersebut terhadap hasil tangkapan sebuah alat tangkap. Begitupula penelitian trofik level telah banyak dikaji (Asriyana 2010; Anakotta 2002; Sjafei & Robiyani 2001) tetapi kajian terbatas pada kebiasaan makan dan aspek biologis ikan. Begitupula dengan kajian tentang selektivitas alat tangkap telah banyak diteliti (Rengi 2002; Matsuoka 1995; Manoppo 1999; Tenriware 2005) tetapi kajian ini hanya terfokus pada selektivitas alat tangkap tanpa melihat kondisi parameter lainnya.

59 37 Penelitian-penelitian tersebut di atas hanya dilakukan secara parsial saja, sehingga penelitian ini dilakukan secara serentak mengukur kondisi daerah penangkapan ikan, struktur trofik level jenis ikan, dan selektivitas mata jaring hubungannya dengan hasil tangkapan sero. Keunggulan penelitian ini yaitu mengkaji parameter lingkungan dan trofik level hasil tangkapan, untuk melengkapi kajian selektivitas mata jaring yang dilakukan pada alat tangkap sero pada perairan pantai. Penelitian yang serupa dengan kajian ini yaitu struktur dan dinamika trofik level di daerah penangkapan perikanan bagan rambo Kabupaten Barru Sulawesi Selatan (Hatta 2010), namun kajian ini tidak dilakukan analisis selektivitas alat tangkap dan dilebih difokuskan pada perairan lepas pantai dengan hasil tangkapan pelagis.

60

61 39 3 METODOLOGI UMUM 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini mencakup kegiatan pengumpulan data berupa pengamatan lapangan dan experimental fishing yang dilaksanakan selama 4 bulan, yaitu sejak 15 Januari hingga 15 Mei Penelitian ini dilaksanakan di lokasi yang menjadi daerah pengoperasian sero di teluk Bone, tepatnya di perairan pantai Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo yang terletak pada posisi 03 o o LS dan 120 o o BT (Gambar 2). Gambar 2 Perairan pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo, Teluk Bone.

62 Alat dan Bahan Peralatan utama yang digunakan adalah 3 unit sero yang dilengkapi dengan bagian bunuhan khusus (experimental crib). Bahan jaring crib tersebut memiliki ukuran mata jaring sebesar 4 cm. Sero tersebut adalah milik nelayan setempat, sedangkan experimental crib dibuat khusus untuk keperluan penelitian ini. Peralatan lain adalah peralatan pengambilan contoh air dan peralatan pengukur parameter lingkungan, seperangkat alat dan bahan laboratorium untuk pengamatan dan identifikasi serta sejumlah peralatan lain yang diperlukan selama pengumpulan data di lapangan. Daftar alat dan bahan yang dipakai selama penelitian ini dijelaskan secara lebih rinci di bagian metode penelitian pada Bab 5, 6, 7, dan Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan di lapangan dan laboratorium meliputi : 1) parameter kondisi perairan, seperti suhu, salinitas, ph, oksigen terlarut (DO), kecepatan dan arah arus air, plankton, zat hara perairan (fosfat, silikat, dan nitrat), kadar klorofil a, dan plankton; 2) data yang diperlukan untuk menentukan trofik level ikan-ikan yang tertangkap sero meliputi data hasil tangkapan sero (hasil tangkapan 16 trip, mulai tanggal 15 Januari 14 Mei 2011) ; 3) data jenis dan jumlah ikan yang tertangkap (hasil tangkapan 16 trip, mulai tanggal 15 Januari- 14 Mei 2011); 4) data tentang selektivitas sero yang dilengkapi dengan experimental crib dari 3 (tiga) unit sero yang ditempatkan di 3 habitat berbeda, yaitu muara sungai, padang lamun dan kawasan mangrove. Cara pengambilan untuk setiap jenis data tersebut disajikan dalam bagian metode penelitian pada Bab 5, 6, 7, dan 8. Data jenis pertama (parameter kondisi perairan) dikumpulkan di setiap habitat dalam 8 kali kesempatan dengan setiap dua mingguan pengamatan (22 Januari 14 Mei 2011). Data jenis kedua untuk menentukan trofik level ikan dikumpulkan dari penelitian pendahuluan pada tanggal Desember 2010 dan penelitian dilaksanakan pada 15 Januari 15 Mei 2011, sedangkan data untuk menentukan selektivitas diperoleh dari 16 trip penangkapan ikan di setiap habitat.

63 Analisis Data Analisis untuk membandingkan karakteristik kondisi lingkungan dan komunitas ikan di antara ketiga habitat yang tertangkap oleh sero dengan experimental crib dilakukan dengan menerapkan analisis ragam (ANOVA) dan principle component analysis (PCA). Dalam perbandingan antar habitat tersebut ada dua faktor yang dipertimbangkan, yaitu faktor habitat (H) dan faktor waktu (T), sedangkan uji signifikansi dilakukan pada taraf α = 0,05 (Zar 1984 dan Petersen 1985). Oleh karena itu dalam model linier analisis ada faktor habitat, waktu, dan faktor interaksi antara habitat dan waktu. Uji lanjutan berupa uji beda rerata Tukey (Tukey s HSD test) dilakukan terhadap faktor yang secara signifikan mempengaruhi variabel yang dianalisis. Kalkulasi untuk melakukan sidik ragam ini menggunakan perangkat lunak SPSS Release Data parameter perairan yang terdiri dari banyak variabel dan observasi berdasarkan waktu dan lokasi maka untuk memudahkan dalam interpretasi maka digunakan teknik reduksi data dengan menggunakan analisis multivariate principle component analysis (PCA) (Legendre & Lagendre 1983). Dengan analisis PCA maka karakterisasi waktu dan lokasi pengamatan dapat disederhanakan berdasarkan distribusi spasiotemporal parameter perairan. Kemiripan antara observasi dianalisis dengan sidik gerombol (cluster analysis) untuk mengeksplorasi kemiripan atau kedekatan di antara sampel-sampel yang bersifat multivariat tersebut. Analisis PCA ini dijalankan dengan menggunakan perangkat lunak Excel Stat 6.0 sedangkan sidik gerombol dijalankan menggunakan SPSS Release Analisis untuk melihat asosiasi setiap jenis ikan dengan habitat menggunakan factorial correspondence analysis (FCA) (Legendre & Lagendre 1983), sedangkan analisis untuk melihat hubungan parameter lingkungan terhadap setiap jenis ikan digunakan analisis linier berganda (Kleinbaum et al. 1988). Analisis-analisis ini dijalankan dengan menggunakan perangkat lunak Excel Stat 6.0 dan SPSS Release Posisi jenis ikan yang tertangkap dalam struktur trofik (trophic level) ditentukan dengan menerapkan perangkat lunak TrophLab2K. Data yang diperlukan untuk menentukan posisi ini adalah jenis dan komposisi makanan

64 42 (food item) yang diketahui dari analisis isi lambung ikan (gut content analysis), seperti yang dilakukan oleh Pauly et al. (2000). Posisi ikan dinyatakan sebagai nilai trophic level yang ditentukan dengan cara menghitung rata-rata nilai trophic level dari setiap food item ditambah 1. Selanjutnya, keterkaitan ekologi di antara setiap jenis ikan pada setiap habitatnya dengan makanannya dieksplorasi dengan analisis regresi linier sederhana, mengikuti petunjuk Kleimbaum et al. (1988). Kelimpahan plankton ditentukan dengan menerapkan analisis laboratorium terhadap sampel yang telah diawetkan. Analisis ini menghitung individu plankton secara lengkap (sensus) dengan menggunakan Sedwick Rafter Cell (SRC) (APHA 2005) sedangkan densitas klorofil-a ditentukan dengan menerapkan metode Boyd (1982). Data panjang dan berat sampel ikan dianalisis untuk menentukan rumus hubungan panjang-berat (Romimohtarto & Juwana 2001) yang menerapkan persamaan eksponensial, yaitu W = al b, seperti dikemukakan oleh Teisser (1960) dan Carlander (1968) dalam Effendie (1997). Dari analisis ini diketahui nilai koefisien b yang menggambarkan pola pertumbuhan berat ikan terkait dengan panjang ikan, apakah ikan tumbuh langsing (b < 3), normal (b = 3) atau gemuk (b > 3). Data panjang ikan yang tertangkap selama penelitian juga digunakan untuk menentukan selektivitas experimental crib. Karakteristik selektivitas ini digunakan sebagai dasar untuk menentukan kelayakan biologis-teknis bunuhan (crib) bermata jaring 4 cm dalam menangkap ikan-ikan yang ada di tiga habitat pesisir. Mengingat metode penangkapan ikan yang diterapkan pada sero tergolong sebagai filtering, yaitu penyaringan, maka penelitian ini ini menerapkan model kurva logistik yang biasa diterapkan dalam mengkaji selektivitas trawl (Paloheimo dan Cadima, 1964; Kimura, 1977; Hoydal et al., 1982 dalam Sparre dan Venema 1999). Bentuk kurva selektivitas ini sangat tergantung kepada data komposisi ukuran ikan dan proporsi ikan yang tertangkap. Kelayakan ditentukan dengan membandingkan ukuran ikan yang berpeluang tertangkap sebesar 50% (L 50 ) dengan ukuran ikan ketika matang gonad untuk pertama kali atau length at first maturity (L mat ). Analisis kelayakan biologis-teknis sero ini diterapkan pada sembilan jenis ikan yang dominan tertangkap di tiga habitat pesisir.

65 43 Selanjutnya, berdasarkan karakteristik lingkungan daerah penangkapan ikan, komposisi jenis dan ukuran ikan yang tertangkap, kelayakan biologis-teknis sero, dilakukan perumusan strategi pengelolaan perikanan sero di Kabupaten Wajo.

66

67 45 4 KONDISI UMUM PERIKANAN SERO DI KABUPATEN WAJO 4.1 Statistik Perikanan Kabupaten Wajo Nelayan Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo menggunakan enam jenis alat penangkapan ikan, yaitu sero, jaring insang permukaan (surface gillnet), rawai dasar (bottom longline), jaring insang hanyut (drift gillnet), pancing ulur (handline), dan bagan (liftnet). Pada tahun 2008, sero adalah jenis alat yang paling banyak dioperasikan sehingga perikanan Kabupaten Wajo dicirikan oleh perikanan sero dengan nama lokal belle. Perikanan sero adalah penyumbang produksi ikan terbesar ketiga setelah perikanan jaring insang dan perikanan bagan perahu (Gambar 3). Pada tahun 2003 produksi perikanan sero meningkat tajam menjadi 1126,5 ton dari 911,7 ton pada tahun 2002, namun pada tahun berikutnya (2004) produksi menurun tetapi sejak tahun 2005 produksi terus meningkat sampai tahun Adanya 71 unit sero di perairan sepanjang pesisir Pitumpanua menjadikan sero sebagai jenis alat penangkapan ikan yang paling dominan di kawasan tersebut (KKP Wajo 2009) Produksi hasil tangkapan (ton) Jaring Insang Tetap Bagan Perahu Sero Tahun Gambar 3 Produksi ikan dari tiga jenis perikanan terbesar di Kabupaten Wajo.

68 46 Jumlah kapal ikan yang berpangkalan di di Kecamatan Pitumpanua pada tahun 2003 secara keseluruhan mencapai 202 unit. Sebagian besar di antaranya (> 70%) adalah perahu bermotor tempel (147 unit), sisanya adalah 22 unit perahu tidak bermotor dan 33 unit kapal motor. Kapal ikan yang umum digunakan untuk mengoperasikan sero di Kecamatan Pitumpanua Kabupaten Wajo tergolong sebagai perahu bermotor tempel namun sebagian nelayan kecil masih menggunakan dayung saja. Perahu-perahu ini lebih berfungsi sebagai pengangkut nelayan menuju lokasi sero ketika mereka memeriksa dan mengangkat ikan, serta kembali mengangkut nelayan dan ikan ke darat. Perahu-perahu tersebut mempunyai panjang yang berkisar dari 7-10 m, lebar 0,7-2,0 m dan dalam 0,8-1,5 m. Perahu-perahu yang bermotor tempel umumnya menggunakan mesin berkekuatan 8 25 PK (Gambar 4). Perahu-perahu sero ini biasanya dilengkapi dengan katir atau alat penjaga keseimbangan yang terbuat dari kayu atau bambu di kedua sisi kapal atau perahu. Hingga saat ini belum ada sarana tempat pelelangan ikan (TPI) sehingga nelayan mendaratkan hasil tangkapannya di tepi sungai. Gambar 4 Jenis perahu bermotor yang digunakan dalam perikanan sero di perairan pantai Pitumpanua, Teluk Bone. 4.2 Kondisi Geografis Panjang garis pantai Pitumpanua ± 15 km terbentang mulai dari perairan Pantai Paojepe (Desa Paojepe) sampai pada Sungai Buriko Desa Tellesang. Topografi perairan pantai Pitumpanua rata-rata pada ketinggian 5 m dari permukaan laut dengan curah hujan rata-rata 2.017,7 mm/tahun dengan suhun

69 47 udara 37 o C. Sepanjang pantai Pitumpanua bermuara sungai-sungai pendek sebagai aliran pembuangan persawahan yang ada di kaki-kaki bukit. Panjang sungai rata-rata 2-4 km dan lebar rata-rata 25 m serta dapat di lalui oleh perahuperahu kecil jika laut laut sedang pasang. Bentuk muara sungai yang berbentuk outlet air persawahan hampir tidak mengendapkan lumpur (Ludiro et al. 1999). Wilayah pantai Pitumpanua sebagian besar mempunyai jenis tanah alluvial hidromorf kelabu dengan bahan induk dari bahan endapan liat-debu. Fisiografi daerah ini merupakan daratan pasang surut pesisir. Medan pada umumnya berlereng 0-2%. Perairan laut yang berhadapan dengan pesisir pantai Pitumpanua rata-rata kedalaman lautnya dangkal (2-20 m). Gelombang laut yang terjadi di daerah ini umumnya di bawah 1 m dan tinggi pasang surut air laut di pesisir sekitar 3 m, dengan pasang tertinggi tepat di batas pematang pertambakan (Ludiro et al. 1999). Tipe pasang surut di daerah ini adalah diurnal dan semi diurnal. Pasang tertinggi terjadi pada jam Wita. Rata-rata pasang tertinggi mencapai 82,71 cm dan pasang terendah pada titik -133,86 cm. Gerakan spektra dari fluktuasi pasang surut di daerah ini menunjukkan bahwa jenis harian (diurnal) terjadi selama 23,74 jam, sama halnya dengan semi diurnal yang bertahan selama 11,87 jam (Prioharyono et al. 2003). Ketinggian gelombang di perairan pantai Pitumpanua (H1/10) memiliki kisaran dengan nilai terendah 0,07 cm dan tertinggi 72,89 cm, periode gelombang minimum 1,52 detik dan maksimum 4,66 detik. Ketinggian gelombang paling tinggi 99,08 cm dan paling rendah 29,20 cm. Kecepatan arus berkisar antara 10-62,64 cm/detik. Hal ini dipengaruhi oleh kecepatan angin yang relatif kencang sering terjadi antara bulan Oktober sampai bulan Maret. Gerakan perputaran udara yang kuat ini juga terjadi pada musim pancaroba atau musim peralihan, dari musim kemarau atau sebaliknya. Salinitas perairan pantai berkisar antara 31-31ppm, dengan suhu antara o C (Prioharyono et al. 2003).

70 Konstruksi Sero Sero yang dioperasikan di lokasi penelitian terdiri dari 5 bagian, yaitu bagian penaju, bagian sayap, bagian perut, bagian badan, dan bagian bunuhan. Setiap bagian tersebut memiliki fungsi yang berbeda; penaju berfungsi untuk menghadang ruaya ikan dan mengarahkan ikan agar menuju crib (bunuhan) sero, bagian sayap berfungsi sebagai penghalang ikan yang menyusuri penaju, sampai ikan masuk kedalam badan sero atau kamar-kamar sero, bagian ini mempunyai ruang yang luas sehingga diharapkan ikan bisa bermain atau mencari makan sebelum masuk kedalam bagian berikutnya. Bagian perut dan badan berfungsi menyukarkan ikan untuk keluar dan akhirnya masuk ke dalam bunuhan, dan bagian bunuhan berfungsi sebagai tempat terakhir berkumpulnya ikan agar ikan tidak lepas atau meloloskan diri dan ikan akan mudah diambil kemudian. Bagian terakhir ini merupakan zone of retention (Nikonorov 1975). Jika dilihat dari atas atau udara, sero berbentuk segitiga dimana penaju (leader net) berada lebih dekat dengan garis pantai dibandingkan dengan bunuhan (crib) yang terletak di tempat yang lebih jauh dari pantai (Gambar 5). Nelayan lokal menggunakan waring berwarna hitam dengan mesh size sebesar 0,5 cm sebagai bahan bunuhan (crib). Panjang bagian penaju rata-rata adalah m, panjang sayap adalah m dengan lebar pintu masuk sekitar 2 m, panjang bagian badan sekitar 3,5 4 m dengan lebar pintu masuk sebesar 0,7 m, panjang bagian perut adalah 3 3,5 m dengan lebar pintu masuk sekitar 0,5 m berbentuk segitiga tidak sama sisi sedangkan pada bagian bunuhan (crib) berbentuk persegi empat (Gambar 5). Bagian bunuhan ini memiliki panjang, lebar dan tinggi rata-rata masing-masing sebesar 4m, 5m dan 4,5 m dengan ukuran pintu masuk selebar 0,2 m.

71 49 Crib asli 5 m A 4 m 0.2 m B 2.5 m 3 m 0.5 m 1 m 3.5 m C 0.7 m 1 m D 20 m 2 m 10 m E 100 m A = Bunuhan (crib ) Exp. Crib Crib asli B = Perut (belly ) C = Badan (body ) D = Sayap (wing ) E = Penaju Gambar 5 Desain sebuah sero dilihat dari atas atau udara. Lima bagian sero: bagian penaju (A), bagian sayap (B), bagian perut (C), bagian badan (D), dan bagian bunuhan (E)

72 50 Gambar 6 Bagian bunuhan atau crib (A) dan panaju atau leader net (B) yang pada salah satu sero yang digunakan dalam penelitian di Kecamatan Pitumpanua. Bahan yang diperlukan untuk pembuatan satu unit sero adalah tiang-tiang pancang, waring dan kayu-kayu penjepit tali ris bawah yang disiapkan di darat. Pembuatan atau pembangunan sebuah sero dimulai dengan membuat rangka atau pola berupa tiang-tiang kayu atau bambu yang ditancapkan di dasar laut. Tiangtiang tersebut berfungsi sebagai tempat menggantungkan jaring yang sudah dirangkai di darat. Agar sero terpasang secara rapat dengan dasar laut atau tidak terangkat jika terkena arus air atau ombak maka tali ris bawah waring diberi sejumlah penjepit (pacco). Jumlah tiang kayu yang dipakai dalam satu unit sero biasanya mencapai batang. Jenis kayu yang dijadikan tiang adalah kayu bakau dan bambu. Panjang tiang-tiang tersebut tergantung dari posisi pemasangannya; panjang tiang untuk bagian penaju dan sayap adalah 4 5 m, untuk bagian perut dan badan adalah 5 9 m sedangkan untuk bagian bunuhan 9 11 m. Penancapan kerangka atau tiang-tiang dimulai untuk bagian bunuhan, kemudian bagian badan sero, lalu dilanjutkna dengan penancapan tiang-tiang untuk bagian perut, sayap serta terakhir bagian penaju. Setelah semua tiang-tiang tertancap dan terpancang, dilakukan pemasangan waring yang dimulai dari waring bagian bunuhan hingga terakhir waring bagian penaju. Nelayan biasa memasang sero ketika laut sedang surut; pemasangan satu unit sero memerlukan waktu 1 2

73 51 hari. Setiap setelah 3 bulan dioperasikan, nelayan biasanya membawa waring sero ke darat untuk diperbaiki dan kemudian dipasang kembali ke laut. Di Pitumpanua, satu unit sero biasanya dioperasikan oleh seorang nelayan; selain mengoperasikan sero, dia juga berfungsi sebagai juru mudi. Kegiatan penangkapan ikan dengan sero ini biasanya berlangsung sepanjang tahun. Satu trip operasi penangkapan ikan dengan sero biasanya dimulai ketika nelayan berangkat menuju lokasi sero pada sekitar pukul 07:00 9:00 WITA. Setibanya di lokasi sero, motor tempel segera dimatikan agar ikan-ikan yang telah masuk ke dalam bunuhan tidak terusik. Selanjutnya, nelayan akan mendekati sero dengan cara mendayung perahunya. Nelayan akan naik ke atas bagian bunuhan untuk mengambil ikan-ikan yang berkumpul di dalamnya. Proses pengambilan ikan (hauling) dimulai dengan membuka semua tali kolor (purse line) dari setiap sudut dan sisi bunuhan agar waring dapat diangkat dengan mudah dan tidak berat. Selanjutnya, bagian mulut bunuhan diangkat sampai di atas permukaan air agar ikan-ikan yang berada di dalam bunuhan tidak dapat meloloskan diri atau keluar dari bunuhan. Secara bertahap dan perlahan, waring diangkat hingga hampir semua waring bagian bunuhan terangkat sementara sisanya tetap di air untuk memudahkan pengambilan ikan dengan serok (Gambar 7). Ikan-ikan tersebut kemudian langsung dipindahkan ke perahu. Gambar 7 Proses kegiatan hauling pada alat tangkap sero (A) Penarikan jaring sero; (B) Pengambilan hasil tangkapan.

74 52 Setelah proses pengambilan hasil tangkapan selesai, waring bagian bunuhan tersebut dikembalikan lagi ke laut, tali-tali kolor kemudian dikendurkan dan tali-tali pada sudut dan sisi bunuhan diikatkan kembali pada tiang-tiang sehingga ikan-ikan lain selanjutnya dapat masuk ke dalam bunuhan dan siap dipanen pada trip penangkapan ikan berikutnya. Kegiatan hauling ini memerlukan waktu kurang lebih menit. Ikan-ikan tersebut kemudian dibawa ke rumah dan dijual langsung oleh nelayan kepada pembeli. 4.4 Lokasi Pemasangan Sero Di perairan pantai Pitumpanua paling sedikit ada tiga kawasan yang merupakan tempat pemasangan sero, yaitu kawasan muara sungai, kawasan mangrove, dan kawasan lamun. Jarak di antara ketiga habitat tersebut sekitar 3 km (Gambar 2) Kedalaman air pada saat pasang tertinggi di lokasi ini berkisar 2-13 meter. Kedalaman air di tempat bagian bunuhan berbeda di antara ketiga habitat: 8-13 m pada kawasan muara sungai, 8-10 m pada kawasan mangrove, dan 9-13 m pada kawasan lamun. Substrat pada ketiga kawasan tersebut adalah pasir berlumpur, berlumpur, dan berpasir. Kedalaman perairan tersebut tidak jauh berbeda dari yang dikemukakan oleh Tiensongrume et al. (1986) diacu oleh Rachmansyah (2004) bahwa salah satu kriteria daerah pemasangan sero mempunyai kisaran kedalaman 1-10 meter. Ketiga kawasan tempat pemasangan sero tersebut berdekatan dengan 4 muara sungai, yaitu Sungai Bulete (3 o 43 07,8 ; 120 o 26 14,5 ), Sungai Siwa (3 o 41 34,6 ; 120 o 26 06,1 ), Sungai Bau-bau (3 o 40 32,8 ; 120 o 25 34,9 ), dan Sungai Buriko (3 o 40 17,1 ; 120 o 25 03,4 ). Kawasan mangrove dan lamun diapit oleh sungai Bulete dan sungai Siwa, sementara kawasan muara sungai berada depan sungai Bau-bau dan diapit oleh sungai Siwa dan sungai Buriko (Gambar 2). 4.5 Jenis-jenis Ikan yang Tertangkap dengan Sero Berdasarkan identifikasi terhadap ikan-ikan yang tertangkap sero selama penelitian, sebelas jenis ikan dan biota yang dominan atau paling banyak tertangkap adalah: (1) biji nangka (Upeneus sulphureus), (2) kapas-kapas (Gerres oyena), (3) lencam (Lethrinus lentjam), (4) pepetek (Leiognathus splendens), (5)

75 53 kerong-kerong (Therapon jarbua), (6) baronang lingkis (Siganus canaliculatus), (7) kuwe (Caranx sexfaciatus.), (8) baronang (Siganus guttatus), (9) barakuda (Sphyraena sphyraena), (10) kepiting rajungan (Portunus pelagicus), dan (11) udang putih (Peneaus margueinsis); nama lokal dari biota yang tertangkap tersebut disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Jenis-jenis hasil tangkapan dominan tertangkap dengan sero selama penelitian Jenis ikan dan non ikan No Nama lokal Nama Indonesia Nama latin 1 Tiko-tiko Biji nangka Upeneus sulphureus 2 Kape'-kape' Kapas-kapas Gerres oyena 3 Katampa Lencam Lethrinus lentjam 4 Caria cakkang Pepetek Leiognathus splendens 5 Kerung-kerung Kerong-kerong Therapon jarbua 6 Manaja Baronang lingkis Siganus canaliculatus 7 Cepa Kuwe Caranx sexfaciatus 8 Baronang Baronang Siganus guttatus. 9 Kaso'-kaso' Barakuda, alu-alu Sphyraena sphyraena 10 Bukkang soji Rajungan Portunus pelagicus 11 Bongko puteh Udang putih Peneaus margueinsis Hasil tangkapan non dominan dan discards alat tangkap sero ditemukan sangat beragam. Hasil tangkapan non dominan dan discards tersebut tidak tertangkap pada setiap trip penangkapan dan jumlahnya sangat sedikit. Hasil tangkapan yang non dominan tersebut mempunyai harga tinggi seperti: ikan bambangan (Lutjanus spp.), kerapu (Epinephelus spp.), kakap (Lates spp.), balanak (Liza vaigiensis), kepiting bakau (Scylla serrata), cumi-cumi (Loligo sp.), dan udang windu (Penaeus sp.). Sedangkan discards atau hasil tangkapan yang sama sekali tidak dimanfaatkan oleh nelayan adalah ikan sebelah (Psettodes erumei), ikan buntal (Arothron reticularis), ubur-ubur (Obelia sp.), ikan lepu (Dendrochirus sp.), ikan sumpit (Toxotes jaculatrix), ikan buaya (Platycephalus sp.), dan kuda laut (Hippocampus sp.). Selama penelitian didapatkan sebanyak 25 spesies (Tabel 5) hasil tangkapan non dominan bernilai ekonomis dan discards.

76 54 Tabel 5 Hasil tangkapan non dominan dan discards alat tangkap sero selama penelitian No Nama Daerah Nama Lokal Nama Ilmiah Non-Dominan bernilai tinggi: 1 Orapu Kerapu Epinephelus spp. 2 Bale cella Bambangan Lutjanus spp. 3 Bonti Balanak Liza vaigiensis 4 Kakap Kakap Lates spp. 5 Comi Cumi-cumi Loligo sp. 6 Bukkang dato Kepiting bakau Scylla serrata 7 Bongko bolong Udang windu Penaeus sp. Non-dominan bernilai sedang: 8 Pakka-pakka ikko Senangin Eleutheronema sp. 9 Alajuru Layur Trichiurus sp. 10 Sori Cendro Tylosorus sp. 11 Pari Pari Trygon spp. 12 Balolo kuning Julung-julung Hemiramphus far 13 Samelang Sambilang Plotosus sp. 14 Pallepe Lidah Psettodes erumei 15 Bau'-bau' Selar kuning Selaroides sp. 16 Ape'-ape Ketang-ketang Drepane sp. 17 Tembang Tembang Sardinella sp. 18 Lure puteh Teri Stolephorus spp. Discards: 19 Bale pallepe Ikan sebelah Psettodes erumei 20 Buntala Buntal Arothron reticularis 21 Ubur-ubur Ubur-ubur Obelia sp. 22 Tae opu Lepu Dendrochirus sp. 23 Mai-mai Kuda laut Hippocampus sp. 24 Sumpiti Ikan sumpit Toxotes jaculatrix 25 Palu gendrang Ikan buaya Platycephalus sp

77 55 5 KONDISI LINGKUNGAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN DENGAN SERO 5.1 PENDAHULUAN Kondisi lingkungan pada suatu habitat sangat penting diketahui karena dapat menentukan karakteristik berbagai organisme yang ada di dalamnya (Levinton 1982). Kondisi lingkungan tersebut biasanya dinyatakan dengan menggunakan sejumlah parameter lingkungan yang dapat dipakai untuk menjelaskan hubungan di antara fenomena biologis dari sejumlah organisme yang menjadi perhatian dan faktor fisika kimia lingkungan. Kondisi lingkungan fisika kimia dalam suatu skala ruang dapat berubah dalam skala waktu yang berbeda, misalnya harian, musiman dan tahunan. Oleh karena itu, penelitian tentang kondisi lingkungan suatu habitat seyogianya memperhatikan ragam yang dihasilkan oleh faktor waktu. Sebagai konsekuensinya, fenomena atau perubahan biologis juga dapat berubah sejalan dengan perubahan waktu. Sehubungan dengan masalah dan tujuan dari penelitian ini, kondisi lingkungan dari tiga habitat ikan yang menjadi tempat pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua dijelaskan. Informasi tentang kondisi lingkungan di setiap habitat tersebut dimanfaatkan untuk menjelaskan karakteristik komunitas ikan yang merupakan potensi perikanan lokal. Dalam bab ini akan disajikan kondisi lingkungan dari tempat pemasangan sero. Kondisi perairan tersebut dinyatakan sebagai parameter biologi, fisika dan kimia lingkungan, yaitu suhu air, salinitas, ph, kadar oksigen terlarut (DO), kadar zat hara, klorofil-a, fitoplankton, dan zooplankton. 5.2 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Pengumpulan data dengan cara pengambilan contoh-contoh air dan biota dilakukan selama 4 (bulan) sejak tanggal 22 Januari hingga 14 Mei Contoh-contoh tersebut diambil dari tiga lokasi tempat sero yang dilengkapi dengan experimental crib di perairan pantai Pitumpanua, yaitu di muara sungai (3 o 40 24,9 LS; 120 o 25 39,4 BT), mangrove (3 o 42 09,9 LS; 120 o 26 15,3 BT),

78 56 dan lamun (3 o 42 18,9 LS; 120 o 26 24,6 BT) (Gambar 2). Contoh-contoh tersebut kemudian dianalisis untuk mengidentifikasi jenis biota dan densitasnya serta kadar zat hara di laboratorium pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FIKP), Universitas Hasanuddin, Makassar Alat dan Bahan Peralatan dan bahan yang digunakan selama pengamatan kondisi lingkungan dan pengambilan contoh air di lapangan serta analisis di laboratorium disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Jenis alat dan bahan yang digunakan pengambilan contoh air dan pengamatan kualitas air di laboratorium No Alat dan bahan Jumlah Kegunaan 1 Perahu motor 1 unit Sebagai sarana transportasi 2 Global Position System (GPS) 1 buah Untuk mengetahui titik kordinat lokasi pengambilan sampel 3 DO meter 1 unit Secara simultan mengukur suhu perairan dan oksigen terlarut 4 Handrefraktometer 1 unit Mengukur salinitas 5 Cammerer water sampler 1 unit Mengambil contoh air 6 Jaring plankton No unit Mengambil plankton 7 Larutan lugol 1 botol Mengawetkan contoh air 8 ph meter 1 buah Untuk mengukur ph peraian 9 Current meter 1 buah Mengukur arus perairan 10 Mikroskop 1 buah Identifikasi plankton 11 Spectrofotometer 1 buah Analisis laboratorium untuk nutrien 12 Aseton 90% * Analisis klorofil a 13 Botol sampel (botol aqua) 9 buah Menyimpan contoh air untuk nutrien 14 Botol sampel 9 buah Menyimpan contoh air untuk plankton 15 Papan skala 1 buah Mengukur kedalaman perairan 16 plastik sampel * Tempat hasil tangkapan yang sudah disortir 17 Cool Box 1 buah Menyimpan/memisahkan sampel 18 Buku identifikasi plankton 1 buah Mengidentifikasi plankton 19 Kamera 1 buah Pengambilan gambar 20 Alat tulis/data sheet * Mencatat data 21 Alat bantu lainnya * Digunakan di lapangan dan di laboratorium Teknik Pengumpulan Data Rangkuman tentang jenis data yang dikumpulkan dan jenis metode pengumpulan data atau analisis yang dilakukan serta metode, alat, dan tempat pengukuran/pengambilan contoh air disajikan pada Tabel 7.

79 57 Tabel 7 Parameter kualitas air yang diukur selama penelitian No Parameter Satuan Metode Alat Analisis Parameter Fisika 1 Suhu o C - DO meter In situ 2 Kecepatan Arus m/det Visual Current meter In situ 3 Kedalaman Perairan m Visual Meteran In situ Parameter Kimia 4 ph - Potensiometrik ph Meter In situ 5 Oksigen Terlarut ml/l - DO meter In situ 6 Salinitas o / oo - Handrafroktometer In situ 7 N-Nitrat mg/l Brucine Spektrofotometer Lab 8 Silikat mg/l Molybdosilicate Spektrofotometer Lab 9 Ortofosfat mg/l Stanous chloride Spektrofotometer Lab Parameter Biologi 10 Plankton sel/l Lackley Drop Plankton Net 25, Lab Microstransect Counting 11 Klorofil a mg/m 3 Boyd (1982) Spektrofotometer Lab Penjelasan yang lebih rinci untuk beberapa hal dalam Tabel 7 tersebut disajikan pada bagian berikut Pengukuran kedalaman air Kedalaman air diukur dengan menggunakan papan skala. Selama penelitian, pengukuran ini hanya dilakukan sebanyak 2 (dua), yaitu pada saat pasang tertinggi dan surut terendah. Setiap lokasi pemasangan sero dengan experimental crib dianggap mewakili satu habitat. Pada setiap lokasi tersebut ada tiga titik tempat pengukuran kedalaman air Pengukuran kecepatan dan arah arus air Kecepatan arus air diukur dengan sebuah current meter bermerek valeport seri Pengukuran parameter ini dilakukan sebelum kegiatan pengambilan ikan (hauling) dari bunuhan (crib). Pengukuran kecepatan air dilakukan pada pukul WITA pada hari yang sama. Pengukuran kecepatan arus dilakukan pada 3 posisi di setiap daerah penangkapan ikan.

80 Pengambilan contoh air untuk analisis zat hara dan klorofil-a Contoh air untuk analisis zat hara (nitrat, fosfat, dan silikat) dan klorofil-a diambil dengan Cammerer water sampler. Pengambilan contoh air dilakukan pada pukul WITA di stasiun yang telah ditentukan di muara sungai, mangrove, dan lamun. Kegiatan ini dilakukan 8 kali pengamatan bersamaan dengan trip operasi penangkapan ikan. Contoh air yang dianalisis berasal dari lapisan dekat dengan dasar perairan. Contoh air tersebut disimpan dalam botol sampel (botol aqua) yang ditaruh dalam cool box. Analisis laboratorium terhadap contoh air ini dilakukan di laboratorium dengan menggunakan spectrophotometer merek Hach type drel Analisis zat hara dan klorofil a dilakukan dengan metode yang berbeda (Tabel 7) Pengambilan contoh plankton Contoh plankton diperoleh dari penyaringan terhadap 30 liter air laut dengan jaring plankton berbentuk serok (scoop net) dengan diameter 30 cm dan panjang 120 cm dan terbuat dari bahan jaring No. 25 (meshsize 64 µm). Pengambilan contoh dilakukan pada pukul WITA pada hari yang sama dengan pengambilan contoh ikan. Hasil saringan dari setiap stasiun langsung disimpan dalam botol sampel yang berukuran 25 ml. Contoh plankton ini diawetkan dengan larutan lugol sebanyak 0,5 ml sesuai dengan cara yang dilakukan oleh Cole dan Cloern (19870 dan Al-Gahwari (2003). Sampel tersebut disimpan dalam cool box untuk proses identifikasi jenis plankton dan analisis kuantitatif di laboratorium Penghitungan kelimpahan fitoplankton dan zooplankton Penghitungan kelimpahan fitoplankton dan zooplankton dilakukan di laboratorium berdasarkan rumus dari modifikasi metode Lackley Drop Microstransect Counting (APHA 2005). Setiap sampel di ambil 1 ml pada setiap backet kemudian diencerkan dengan 250 ml, kemudian diambil sebanyak tiga tetes untuk diamati. Perhitungan plankton dilakukan dengan cara sensus di atas sedwick. Jumlah fitoplankton dan zooplankton dihitung dengan rumus berikut:

81 59...(1) Keterangan : N : Jumlah total plankton (sel/liter). n : Jumlah rata-rata plankton. Vr : Volume air yang tersaring (ml). Vo : Volume air satu tetes (ml). Vs : Volume air yang disaring (l) Penghitungan kelimpahan klorofil-a Kandungan klorofil-a dihitung dengan jumlah air yang disaring dengan menerapkan rumus Boyd (1982) berikut:...(2) Keterangan: A 665 : Absorban pada panjang gelombang 665 nm. A 750 : Absorban pada panjang gelombang 750 nm. V : Ekstraksi aseton yang diperoleh (ml). L : Panjang lintasan cahaya pada cairan dalam cuvet (1 cm). S : Volume sampel yang disaring (ml) Analisis Data Lingkungan Deskripsi setiap parameter lingkungan untuk masing-masing habitat (muara sungai, mangrove dan lamun) diperoleh dari analisis statistika univarian (Zar 1984). Perbandingan nilai setiap parameter di antara ketiga habitat dilakukan dengan menerapan sidik ragam (analysis of variance atau ANOVA). Dalam analisis ini ada dua faktor yang dipertimbangkan dapat mempengaruhi nilai sebuah parameter lingkungan, yaitu faktor habitat (H) dan faktor waktu pengambilan data (T). Pada model linier yang diterapkan dalam analisis statistika dimasukan faktor interaksi antara H dan T, yaitu HT (Zar 1984 dan Petersen 1985). Oleh karena itu, model linear untuk sidik ragam ini adalah: Y ijk = µ + H i + T j + HT ij + e ijk..(3) Dimana : i = 1, 2, 3 dan j = 1, 2, Y ijk = Respon pengamatan ke-i dan kelompok ke-j µ = Nilai rataan umum H i = Pengaruh habitat ke-i; T j = Pengaruh waktu penagmbilan contoh ke-j; HT ij = Pengaruh interaksi εijk = Galat percobaan dari perlakuan ke-i dan kelompok ke-j.

82 60 Pengambilan kesimpulan dilakukan pada taraf α = 0,05. Kalkulasi untuk analisis statistika univariate ini dilakukan dengan bantuan perangkat lunak SPSS Release Karakteristik kondisi lingkungan di ketiga habitat juga dilakukan dengan menerapkan analisis statistika multivariate, yaitu principle component analysis (PCA), dan analisis gerombol (cluster analysis). Pada kedua analisis ini kondisi lingkungan setiap habitat dinyatakan secara simultan dengan 8 (delapan) variabel (yaitu parameter lingkungan). Konfigurasi posisi setiap contoh yang dihasilkan sebagai output analisis statistika dieksplorasi untuk melihat perbedaan (persamaan) kondisi lingkungan di antara ketiga habitat. Parameter lingkungan yang diperkirakan menentukan konfigurasi tersebut diketahui dari analisis diskriminan (Legendre dan Legendre 1983). Kalkulasi untuk tiga jenis analisis statistika multivariate ini dilakukan dengan perangkat lunak Excel Stat HASIL PENELITIAN Deskripsi Habitat Pada ekosistem lamun ditemukan jenis lamun yang paling dominan yaitu Enhalus acoroides dan juga ditemukan jenis Halodule pinifolia dan Cymodocea rotundata dalam sebaran yang jumlahnya sedikit. Jenis substrat di daerah lamun yaitu berpasir halus, berbeda pada substrat di sekitar mangrove dan muara sungai yaitu berpasir campur lumpur. Vegetasi yang tumbuh di sekitar mangrove yaitu didomonasi oleh tumbuhan mangrove jenis Rhizophora sp, Avicennia sp, dan Sonneratia sp. Pada sekitar muara sungai didapatkan tumbuhan mangrove yang jumlahnya sangat sedikit, namun pada sepanjang tepi sungai lebih dominan tumbuh jenis mangrove yaitu Rhizophora sp. Untuk kondisi lingkungan lokasi pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo di setiap habitat selama penelitian disajikan pada Tabel 8. Berikut penjelasan singkat dari setiap parameter tersebut dan perbandingannya di antara ketiga kawasan tempat pemasangan sero yang masing-masing dicirikan oleh habitat muara sungai, mangrove dan lamun.

83 61 Tabel 8 Nilai rata-rata, standar deviasi (SD) 11 parameter fisika-kimia dan biologi di muara sungai, mangrove dan lamun tempat pemasangan sero selama penelitian No Parameter Muara sungai Mangrove Lamun 1 Suhu perairan ( o C) 28,28 b ±0,62 28,79 a ±0,60 29,00 a ±0,66 2 Kecepatan arus (m/dtk) 0,26 a ±0,29 0,22 b ±0,38 0,16 c ±0,32 3 Salinitas ( o / oo ) 29,60 b ±1,21 30,99 a ±0,96 31,15 a ±0,84 4 ph 6,92 b ±0,13 6,95 ab ±0,15 7,01 a ±0,12 5 Kadar DO (ppm) 5,75 b ±0,44 5,96 ab ±0,43 6,14 a ±0,50 6 Nitrat (µg/l) 0,21 a ±0,09 0,19 a ±0,09 0,13 b ±0,07 7 Fosfat (µg/l) 0,12 a ±0,02 0,11 a ±0,03 0,09 b ±0,03 8 Silikat (µg/l) 0,008 ±0,003 0,007 ±0,003 0,007 ±0,003 9 Klorofil a (µg/m 3 ) 0,835 b ±0,282 0,687 ab ±0,192 0,976 a ±0, Fitoplankton (sel/liter) a ± b ±3, a ± Zooplankton (ind/liter) 1010 a ± b ± a ±582 Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (α = 0,05) berdasarkan uji beda rerata Tukey Karakteristik Habitat Persebaran spasiotemporal parameter lingkungan berdasarkan habitat dan waktu pengamatan dianalisis dari rata-rata 3 kali pengukuran menggunakan analisis PCA (24 observasi). Parameter lingkungan yang dianalisis sebanyak 8 (delapan) parameter yaitu : suhu, salinitas, kecepatan arus, ph, kadar oksigen terlarut (DO), nitrat, fosfat, dan silikat. Hasil analisis PCA menunjukkan bahwa besarnya ragam terjelaskan pada 3 (tiga) sumbu utama pertama sebesar 78,93% dengan akar ciri masing-masing secara berurut masing-masing sumbu 1 (F1) = 3,211, sumbu 2 (F2) = 1,814, dan sumbu 3 (F3) = 1,289. Parameter lingkungan yang berpengaruh besar pada sumbu utama diantaranya DO, ph, dan fosfat yang berkorelasi positif dengan sumbu 1 (F1). Nitrat dan suhu berkontribusi besar dalam pembentukan sumbu utama kedua (F2) (Lampiran 13). Observasi di muara sungai (MS7 dan MS5), mangrove (MG7 dan MG8), dan lamun (LM8) berkontribusi besar dalam pembentukan sumbu utama pertama dan berkorelasi negatif dengan sumbu utama pertama. Observasi (MS6), (MG4 dan MG6), dan (LM3, LM4, dan LM5) berkontribusi besar dan berkorelasi positif

84 62 dalam pembentukan sumbu utama pertama. Observasi (MS4), (MG4), dan (LM4) berkontribusi besar dan berkorelasi negatif dalam pembentukan sumbu utama kedua, sedangkan observasi (MS6) (MG6) dan (LM6) berkontribusi besar dan berkorelasi negatif dalam pembentukan sumbu utama kedua (Lampiran 13). Berdasarkan plot dan observasi dan parameter lingkungan (Gambar 10 & 11) menunjukkan bahwa sebagian besar observasi dari lamun dan mangrove beragregat pada sumbu satu positif. Observasi-observasi tersebut dicirikan oleh suhu, salinitas, ph, dan DO yang tinggi. Dalam arah yang berlawanan di sumbu 1 negatif tersebar sebagian besar observasi di muara sungai. Kelompok observasi ini dicirikan oleh kadar nitrat dan fosfat serta kecepatan arus yang lebih tinggi. Berdasarkan hasil sidik gerombol (cluster analysis) pada skala jarak similiritas 50% terdapat 3 (tiga) kelompok besar observasi yaitu kelompok satu (MS6, MG1, MG3, MG6, LM1, LM3, LM4, dan LM8) dan kelompok (MS2, MS7, dan MG7), dan lainnya kelompok tiga (Gambar 8). Gambar 8 Diagram gerombol (cluster) untuk 24 contoh pengamatan terhadap 8 parameter fisika kimia lingkungan lokasi pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo selama penelitian.

85 63 Gambar 9 Plot stasiun dan waktu pengamatan parameter fisika kimia lingkungan selama lokasi pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo selama penelitian. Gambar 10 Konfigurasi dua komponen utama untuk 24 contoh pengamatan terhadap 8 parameter fisika kimia lingkungan lokasi pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo selama penelitian.

86 64 Gambar 11 Kekuatan 8 parameter fisika kimia lingkungan dalam membentuk konfigurasi dua komponen utama untuk 24 contoh pengamatan di lokasi pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo selama penelitian. 5.4 PEMBAHASAN Deskripsi Habitat Perubahan rata-rata suhu perairan selama penelitian menujukkan fluktuasi dan pola yang sama diantara ketiga habitat. Terjadi perbedaan suhu yang signifikan menurut habitat. Suhu di muara sungai (28,28 o C) lebih rendah dibanding suhu di sekitar mangrove dan lamun (Tabel 8 & Lampiran 12). Rendahnya suhu di muara sungai sangat besar kemungkinan dipengaruhi oleh limpasan air tawar yang bersuhu relatif lebih rendah dibandingkan suhu air di perairan pantai. Faktor limpasan air tawar memang merupakan pemicu menurunnya suhu perairan di sekitar muara sungai, seperti hasil penelitian yang didapatkan oleh Wahyudewantoro (2009) ternyata suhu di estuari Binuaengeun Banten akibat limpasan air tawar. Berbeda yang didapatkan oleh Andriani (2004) di perairan pantai Kabupaten Luwu Teluk Bone yang kisaran suhunya lebih tinggi (30,0-32,0 o C) hal ini dikarenakan lokasinya semi tertutup dan terisolasi sehingga tidak ada percampuran massa air tawar yang bersuhu lebih dingin. Hal yang sama

87 65 juga didapatkan oleh Zainuddin (2011) di perairan Palopo dan sebelah timur Teluk Bone (Perairan Kolaka). Nilai salinitas di daerah lamun tidak berbeda dengan di mangrove, tetapi kedua daerah tersebut berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan di muara sungai (Tabel 8 & Lampiran 12). Rendahnya salintas di muara sungai dikarenakan pada muara sungai dipengaruhi oleh daratan, dimana dari daratan masuk aliran air tawar melalui sungai menuju muara sungai yang menyebabkan penurunan salinitas di daerah muara sungai tersebut, atau pada muara sungai terjadi proses percampuran air tawar dari sungai. Salinitas yang tinggi di daerah mangrove dan lamun karena terletak di wilayah yang jauh dari muara sungai. Semakin jauh dari muara sungai ke arah laut, salinitas akan bertambah (Duxburry 2002). Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai (Nontji 2005). Kecepatan arus berbeda pada setiap stasiun. Kecepatan arus tertinggi dijumpai pada daerah muara sungai (0,26 m/detik) (Tabel 8 & Lampiran 12). Hal ini kemungkinan besar disebabkan besarnya arus yang mengalir karena derasnya aliran sungai yang masuk ke perairan muara sungai. Tidak jauh berbeda yang didapatkan di perairan pantai Kabupaten Luwu yaitu 0,19 m/detik (Andriani 2004). Namun relatif kuat yang didapatkan di Teluk Kotania pada pasang dan surut masing-masing 0,7 m/detik (Supriyadi 2009), di Selat Bangka yaitu lebih dari 50 cm/detik (Nurhayati 2007), dan di perairan Berau memiliki nilai tertinggi adalah sebesar 115,3 cm/detik dan kecepatan arus permukaan terendah diperoleh nilai sebesar 5,4 cm/detik (Aryawati 2007). Nilai ph cenderung lebih rendah didapatkan di muara sungai karena adanya pengaruh masukan massa air tawar dari sistem sungai yang bermuara. (Tabel 8 & Lampiran 12). Secara umum kisaran ph yang didapatkan yaitu 6,7-7,2 jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian Andriani (2004) di perairan pantai Kabupaten Luwu Teluk Bone yaitu 8,0-8,1. Kisaran yang didapatkan selama penelitian masih menunjang kehidupan fitoplankton yaitu berada pada kisaran 6,5-8,5 (Prescod 1973). Lebih lanjut Sachlan (1982) bahwa fitoplankton dapat hidup subur pada ph 7-8 bilamana terdapat cukup mineral di dalam perairan tersebut.

88 66 Nilai kandungan oksigen terlarut berbeda berdasarkan habitat. Kadar oksigen terlarut di daerah lamun berbeda dengan di muara sungai, tetapi kedua daerah tersebut tidak berbeda nyata dengan di daerah mangrove (Tabel 8). Kadar oksigen terlarut yang didapatkan di ketiga habitat berada pada kisaran 5,0-6,1 ml/l (Lampiran 12). Salmin (2005) mengemukakan bahwa perairan yang kadar oksigen terlarutnya (DO) > 5 maka perairan tersebut tingkat pencemarannya rendah dan bisa dikategorikan sebagai perairan yang baik. Kadar oksigen terlarut rata-rata yang didapatkan dalam penelitian ini tidak jauh berbeda dengan yang terdapat di perairan Berau Kalimantan Timur berkisar antara 4,77 6,14 ml/l (Aryawati 2007), di perairan pantai Kabupaten Pinrang Selat Makassar 3,8-8,7 ppm (Umar 2009), dan di Selat Makassar Kabupaten Barru berkisar antara 3,9-7,9 (Hatta 2010). Kandungan nitrat berbeda setiap habitat. Kandungan nitrat di muara sungai (0,209 µg/l) lebih tinggi dibandingkan di daerah mangrove dan lamun. Rata-rata kandungan nitrat (0,175 µg/l) (Tabel 8 & Lampiran 12) secara umum di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone sedikit lebih rendah ambang batas kebutuhan oftimal pertumbuhan fitoplankton. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mackentum (1969) bahwa kadar nitrat yang dibutuhkan oleh fitoplankton laut adalah 0,203-0,790 µg at/l, bila kurang dari nilai tersebut maka menyebabkan nitrat sebagai faktor pembatas di perairan tersebut. Rata-rata kandungan fosfat di habitat muara sungai dan mangrove (0,118 µg/l dan 0,110 µg/l) lebih tinggi dibanding pada lamun (Tabel 8 & Lampiran 12). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena adanya masukan dari daratan. Nontji (1984) menyatakan bahwa kandungan fosfat di suatu perairan antara lain dapat disebabkan karena masukan dari darat atau karena terjadinya pengayaan dari lapisan dalam, baik karena penaikan air maupun karena pengadukan. Lebih lanjut dijelaskan pula bahwa proses penaikan air lebih banyak terjadi di perairan dalam sedangkan proses pengadukan lebih banyak berperan di perairan dangkal. Nilai rata-rata kandungan fosfat yang ditemukan di lokasi penelitian masih kondisi yang normal (baik). Hal ini diperkuat oleh Mackentum (1969) bahwa kandungan fosfat yang baik bagi pertumbuhan fitoplankton adalah berkisar 0,09-1,80 µg/l dan ditambahkan oleh Sumardianto (1985) dalam Andriyani (2004) bahwa kandungan ortofosfat yang optimal bagi pertumbuhan fitoplankton adalah

89 67 0,27-5,51 µg/l dan jika kurang dari 0,02 µg/l maka akan menjadi faktor pembatas. Rata-rata kandungan silikat (0,015 µg/l) di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone tidak menunjukkan adanya perbedaan, baik berdasarkan waktu pengamatan maupun habitat (Tabel 8 dan Lampiran 12). Menurut Cushing dan Walsh (1976) dalam Aryawati (2007) salah satu sumber silikat adalah buangan dari darat melalui run off. Lebih lanjut Millero dan Sohn (1991) menerangkan bahwa pada dasarnya sumber silikat di laut sebagian besar merupakan hasil pelapukan yang terbawa oleh aliran sungai. Hasil penelitian ini sama yang didapatkan di perairan pantai Kabupaten Luwu Teluk Bonen yaitu sebesar 0,011-0,031 µg/l (Andriani 2004). Kandungan klorofil-a di perairan pantai Pitumpanua menunjukkan nilai yang sangat fluktuatif dan heterogen. Kandungan klorofil-a di habitat muara sungai dan lamun (0,835 dan 0,976 mg/m 3 ) lebih tinggi dibandingkan di habitat mangrove (0,687 mg/m 3 ) (Tabel 8 & Lampiran 12). Tinggi rendahnya kandungan klorofil-a di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone sangat berhubungan dengan pasokan nutrien yang berasal dari darat melalui aliran sungai-sungai yang bermuara ke perairan tersebut. Afdal & Riyono (2004) mempertegas bahwa tinggi rendahnya kandungan klorophil-a di laut sangat dipengaruhi oleh faktor hidrolgi perairan (suhu, salinitas, nitrat, dan fosfat). Pada kedalaman 0-50 m suhu, salinitas, nitrat, dan fosfat tidak terlalu mempengaruhi kandungan klorofil-a, sedangkan pada kedalaman 100 m mempengaruhi. Bila dibandingkan dengan kandungan klorofil di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone dengan perairan Barru Selat Makassar maka kandungan klorofil-a di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone memiliki nilai yang lebih tinggi. Menurut Hatta (2010) kandungan klorofil-a di perairan Barru Selat Makassar berkisar 0,015-0,383 mg/m 3 dan menurut Alianto et al. (2008) kandungan klorofil-a di perairan Teluk Banten memiliki berkisar 0,069-0,303 mg/m 3. Tetapi apabila dibandingkan dengan kandungan klorofil-a di perairan Ujung Watu, Jepara; pantai Kartini, Jepara, dan Teluk Jakarta, nilai kandungan klorofil-a di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone relatif lebih rendah. Di perairan Ujung Watu, Jepara kandungan rata-rata klorofil-a adalah sebesar 4,68

90 68 mg/m 3 (Sutomo et al. 1989). Kadar klorofil-a yang tinggi di perairan Indonesia umumnya disebabkan karena penyuburan yang terjadi akibat turbulensi atau pengadukan air di daerah dangkal, aliran dari sungai-sungai (run off) ataupun karena upwelling. Kelimpahan fitoplankton dan zooplankton di perairan pantai Pitumpanua berbeda secara signifikan berdasarkan waktu pengamatan dan habitat. Rata-rata kelimpahan fitoplankton tertinggi selama penelitian di dapatkan di habitat lamun sebesar sel/l (Tabel 8 & Lampiran 12). Kelimpahan ini lebih tinggi dibandingkan dengan yang didapatkan oleh Andriyani (2004) di perairan Bua Kabupaten Luwu Teluk Bone (4511 sel/liter) dan yang didapatkan oleh Hatta (2010) di perairan Barru Selat Makassar yaitu berkisar sel/liter. Tingginya kelimpahan yang didapatkan kemungkinan disebabkan karena lokasi pengambilan sampel berada pada daerah pantai yang tersedia banyak unsur hara yang dimanfaatkan oleh fitoplankton untuk pertumbuhan dan perkembangbiakannya. Berbeda yang didapatkan oleh Djokosetiyanto & Rahardjo ( 2006) di perairan pantai Dadap Teluk Jakarta yaitu sel/liter sangat jauh lebih tinggi dibandingkan di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone. Sedangkan rata-rata kelimpahan tertinggi zooplankton di dapatkan di habitat muara sungai yaitu sebesar 1010 ind/liter (Tabel 8 & Lampiran 12). Bila dibandingkan kelimpahan yang di dapatkan Thoha (2007) di Teluk Gilimanuk, Bali yang mendapatkan kelimpahan zooplankton rata-rata ind/l, sangat jauh lebih rendah bila dibandingkan yang ditemukan di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone. Kelimpahan zooplankton yang didapatkan selama penelitian berada pada kisaran yang didapatkan oleh Andriyani (2004) di Kabupaten Luwu Teluk Bone yaitu ind/liter dengan rata-rata kelimpahan 1022 ind/liter.

91 Karakteristik Habitat Hasil analisis PCA menunjukkan bahwa karakteristik di lokasi penelitian dicirikan oleh parameter DO, ph, salinitas, dan silikat cenderung lebih tinggi di daerah sekitar mangrove dan lamun, sedangkan parameter kadar nitrat, fosfat, dan kecepatan arus cenderung lebih tinggi di daerah muara sungai (Gambar 10 & 11). Secara umum, kadar nitrat di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone memperlihatkan nilai yang tinggi di daerah muara sungai dibandingkan pada daerah lamun dan sekitar mangrove. Hal ini bisa dimengerti karena lokasi ini dapat disebabkan kondisi sekitar muara sungai, dimana sepanjang pinggiran sungai terdapat mangrove yang dapat menyumbangkan hara dari serasahnya yang membusuk mengalir ke muara sungai. Sesuai dengan pernyataan Wattayakorn (1988) bahwa kandungan nitrat di suatu daerah estuaria selain berasal dari perairan itu sendiri juga tergantung kepada keadaan sekelilingnya antara lain, sumbangan dari daratan melalui sungai yang bermuara ke perairan tersebut, juga tergantung kepada hutan mangrove yang serasahnya membusuk, karena adanya bakteri, terurai menjadi zat hara. Begitu juga dengan kandungan fosfat di muara sungai lebih tinggi dibanding dengan lamun dan mangrove, kemungkinan besar oleh karena adanya masukan dari darat. Nontji (1984) mempertegas bahwa tingginya fosfat di muara karena proses pengadukan lebih banyak terjadi di perairan dangkal. Alasan tersebut sejalan dengan kecepatan arus yang ditemukan di muara sungai juga tinggi. Tingginya kecepatan arus tersebut disebabkan karena derasnya aliran sungai yang mengalir keluar masuk muara sungai sehingga terjadi pengadukan di muara sungai. Parameter suhu, DO, ph, dan salinitas lebih tinggi ditemukan di daerah lamun dan sekitar mangrove (Gambar 10 & 11). Tingginya kadar oksigen terlarut (DO) kemungkinan disebabkan karena tingginya efek produksi fotosintesis dari lamun, begitupula halnya dengan nilai ph kemungkinan diakibatkan oleh kurangnya proses penguraian bahan organik dibandingkan di muara sungai. Salinitas yang tinggi di lamun dan mangrove diakibatkan tidak adanya percampuran air tawar yang bersalinitas rendah seperti pada di habitat muara sungai. Kandungan silikat secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara ketiga habitat tersebut (α = 0,05, Lampiran 8).

92 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Parameter lingkungan menunjukkan secara statistik bahwa parameter suhu, DO, ph, dan salinitas lebih tinggi di daerah lamun dan mangrove, sedangkan parameter nitrat, fosfat, dan kecepatan arus lebih tinggi di muara sungai. 2. Variasi spasiotemporal parameter lingkungan di perairan pantai terjadi dalam tiga habitat selama penelitian. 3. Habitat muara sungai dicirikan dengan kandungan nitrat, fosfat, dan kecepatan arus yang lebih tinggi, sedangkan di daerah lamun dan sekitar mangrove dicirikan dengan parameter suhu, DO, ph, dan salinitas Saran Perlu dilakukan kajian oseanografi dalam siklus tahunan untuk melihat pola kondisi oseanografi di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone, sehingga dengan mengetahui pola kondisi oseanografi dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan sero.

93 71 6 KOMUNITAS IKAN DI HABITAT BERBEDA 6.1 PENDAHULUAN Sero merupakan alat tangkap yang pengoperasiannya di daerah pantai. Sebagaimana kita ketahui bahwa pantai terdiri didalamnya beberapa ekosistem seperti ekosistem estuaria (muara sungai), mangrove, lamun, dan terumbu karang. Kesemua ekosistem tersebut sangat produktif hingga berfungsi sebagai daerah pertumbuhan (nursery ground) bagi larva, post-larva dan juvenil dari berbagai jenis ikan, udang, dan kerang-kerangan, dan daerah penangkapan (Dahuri 2003). Bila dicermati secara seksama dengan keberadaan pengoperasian sero ini, tentunya sangat mempengaruhi keberadaan sumberdaya ikan bila tidak dikelola dengan baik. Terlebih lagi ukuran mata jaring sero yang sangat kecil (0,5 cm) yang digunakan di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone, tidak menutup kemungkinan juvenil dan ikan-ikan yang belum matang gonad yang berada pada habitat tersebut ikut tertangkap. Hasil tangkapan merupakan parameter yang menjadi bahan pertimbangan dalam memilih alat tangkap. Banyaknya hasil tangkapan sero sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya kelimpahan ikan dalam perairan dan ukuran mata jaring. Kelimpahan ikan itu sendiri sangat ditentukan oleh habitat atau kondisi daerah penangkapan. Pemasangan sero di perairan pantai Pitumpanua di muara sungai, mangrove, dan lamun banyak dijumpai jenis ikan yang tertangkap menghuni ketiga habitat tersebut dan beruaya menurut umur dan waktu. Hal ini tentu berdampak pada hasil tangkapan sesuai dinamika perubahan kelimpahan ikan pada masing-masing habitat, sehingga kajian hasil tangkapan sero sangat penting untuk dikaji. Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui komposisi hasil tangkapan; 2) mengetahui kisaran ukuran panjang total ikan dan berat setiap jenis ikan; 3) membandingkan jumlah hasil tangkapan pada habitat berbeda; 4) menganalisis hubungan panjang-berat ikan pada habitat berbeda; 5) mengidentifikasi parameter lingkungan yang berpengaruh terhadap biomassa hasil tangkapan; dan 6) menentukan asosiasi antara hasil tangkapan dominan dengan habitat.

94 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Pelaksanaan pengambilan sampel hasil tangkapan dilakukan selama 4 (empat) bulan, terhitung tanggal 15 Januari - 14 Mei 2011 selama 16 trip penangkapan. Lokasi pengambilan sampel dilakukan di 3 (tiga) unit sero pada 3 (tiga) daerah penangkapan sero yang berbeda yaitu muara sungai, mangrove, dan lamun di perairan pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo, Teluk Bone Alat dan bahan Alat dan bahan yang digunakan selama pengambilan data untuk analisis hasil tangkapan diantaranya perahu motor, sero, serok, global position system (gps), measuring board / mistar, formalin 90%, plastik sample, cool box/kulkas, timbangan analitik, kamera, buku identifikasi ikan, alat tulis/data sheet, dan alat bantu lainnya Teknik Pengumpulan Data Ikan yang tertangkap sero yang dioperasikan pada kondisi habitat berbeda (muara sungai, mangrove, dan lamun) diambil sebanyak 25% dari total hasil tangkapan setiap unit sero. Ikan dipisahkan berdasarkan jenisnya. kemudian ikan diukur panjang total dengan measuring board atau mistar dan beratnya ditimbang menggunakan timbangan. Panjang total diukur mulai dari ujung kepala terdepan sampai ujung bagian ekornya Analisis Data Analisis perbandingan hasil tangkapan berdasarkan waktu dan habitat Untuk membandingkan hasil tangkapan semua jenis ikan dominan tertangkap antara habitat dan waktu pengamatan maka digunakan analisis ragam (ANOVA), dengan rancangan percobaan adalah rancangan acak kelompok (RAK). Perlakuan adalah tiga habitat (muara sungai, mangrove, dan lamun). Ulangan adalah 16 blok waktu penangkapan hasil tangkapan. Model matematis rancangan tersebut sebagai berikut:

95 73 Y ij = µ + H i +T j + ε ij...(4) Dimana : i = 1, 2, 3 dan j = 1, 2, Y ij = Respon pengamatan pada hasil tangkapan ke-i dan kelompok ke-j µ = Nilai rataan umum H i = pengaruh hasil tangkapan ke-i (habitat i = 1,2, dan 3); T j = pengaruh kelompok (blok) waktu penangkapan ke-j; εijk = Galat percobaan dari perlakuan ke-i dan kelompok ke-j. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA). Analisis data dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak SPSS Release Untuk membandingkan antar habitat yang berbeda jika hasil uji F dalam ANOVA signifikan berbeda maka digunakan uji lanjut menggunakan uji beda rerata Tukey (Tukey s HSD Test) (Zar 1984 dan Petersen 1985) Analisis hubungan panjang-berat Hubungan panjang-berat dihitung dengan menggunakan analisis biometri (Romimohtarto dan Juwana 2001). dengan mengacu pada persamaan eksponensial yang dikemukakan oleh Teisser (1960) dan Carlander (1968) dalam Effendie (1997) : W = al b... (5) Dimana : W = berat ikan (gram) a. b = konstanta L = panjang total (cm). Nilai a dan b yang dihitung dari transformasi data ke dalam persamaan regresi linier. sehingga membentuk persamaan : log W = log a + b log L (6) Jika nilai b < 3. maka pertumbuhan bersifat allometrik negatif. sedangkan pola pertumbuhan bersifat allometrik positif dan isometrik apabila nilai b masing-masing b > 3 dan b = 3 (Effendie 1997).

96 HASIL PENELITIAN Komposisi Jumlah dan Berat Hasil Tangkapan Sero Jenis hasil tangkapan dominan pada alat tangkap sero di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone yaitu ikan pepetek (Leiognathus splendens), baronang lingkis (Siganus canaliculatus), kerong-kerong (Therapon jarbua), kuwe (Caranx sexfaciatus), biji nangka (Upeneaus sulphureus), baronang (Siganus guttatus), udang putih (Peneaus margueinsis), lencam (Lethrinus lentjam), barakuda (Sphyraena sphyraena), kapas-kapas (Gerres kapas), dan kepiting rajungan (Portunnus pelagicus). Komposisi jumlah hasil tangkapan sero selama penelitian di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone paling banyak tertangkap ikan pepetek dan paling sedikit yaitu kepiting rajungan (Tabel 9). Untuk komposisi berat hasil tangkapan terbanyak yaitu ikan barakuda dan terkecil yaitu udang putih (Tabel 10). Tabel 9 Komposisi jumlah hasil tangkapan (%) sero berdasarkan jenis ikan setiap habitat selama penelitian No Jenis ikan Muara Sungai Mangrove Lamun Rata-rata (%) (%) (%) (%) 1 Pepetek 25,72 17,96 12,12 18,60 2 Baronang lingkis 9,60 12,89 17,11 13,20 3 Kerong-kerong 12,57 14,58 6,97 11,37 4 Kuwe 7,05 9,98 16,90 11,31 5 Biji nangka 10,13 6,60 9,54 8,76 6 Baronang 7,16 7,50 10,48 8,38 7 Udang putih 6,36 7,34 5,92 6,54 8 Lencam 4,72 6,44 7,68 6,28 9 Barakuda 6,79 7,29 3,95 6,01 10 Kapas-kapas 7,10 5,12 6,09 6,10 11 Kepiting rajungan 2,81 4,28 3,24 3,44

97 75 Tabel 10 Komposisi berat hasil tangkapan (%) sero berdasarkan jenis ikan setiap habitat selama penelitian No Jenis ikan Muara Sungai Mangrove Lamun Rata-rata (%) (%) (%) (%) 1 Barakuda 24,49 23,12 13,63 20,41 2 Kerong kerong 18,06 18,97 9,70 15,58 3 Baronang 13,18 11,81 18,12 14,37 4 B. Lingkis 7,08 12,51 18,68 12,76 5 Kuwe 6,35 7,73 11,23 8,43 6 Lencam 5,61 6,75 8,90 7,09 7 Biji nangka 7,32 4,15 6,09 5,85 8 Rajungan 3,58 4,64 4,33 4,18 9 Pepetek 6,27 3,58 2,49 4,11 10 Kapas-kapas 4,31 2,88 3,69 3,63 11 Udang putih 3,50 3,87 3,21 3,52 Total Presentase Kisaran Berat dan Panjang Total Setiap Hasil Tangkapan Sero Kisaran berat dan panjang total setiap hasil tangkapan sero hampir merata pada setiap habitat. Kisaran panjang total dan berat jenis ikan yang tertangkap di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone (Tabel 11). Tabel 11 Kisaran berat dan panjang total setiap jenis hasil tangkapan sero di perairan pantai Pitumpanua selama penelitian Jenis Ikan Kisaran Berat Kisaran Panjang Lmat (gr) (cm) (cm) Biji nangka ,6-20,3 10,2 A Baronang lingkis ,9-25,7 17,0 B Kerong-kerong ,6-20,3 18,0 C Lencam ,3-20,8 18,2 D Pepetek ,0-23,2 9,0 E Kapas-kapas ,2-18,6 10,5 F Kuwe ,0-21,2 30,0 G Baronang ,0-23,5 21,0 H Barakuda ,8-55,0 17,3 I Kepiting rajungan ,0-15,2 9,5 J Udang putih ,0-16,8 15,2 K Keterangan : A) Martasuganda et al. (1991) B) Wassef & Hady (1997) G) Tharwat & Rahman (2006) C) Situ & Sadovy (2004) H) Sutomo & Juwana (1990) D) Krajangdara (2004) I) Allam et al. (2004) E ) Pauly (1977) dalam Sjafei & Saadah (2001) F) Sjafei & Syaputra (2009) J) Jazayery et al. (2011) K) Machado et al. (2009)

98 Jumlah dan Berat Hasil Tangkapan Berdasarkan Habitat dan Waktu Penangkapan Hasil tangkapan sero selama penelitian menunjukkan adanya variabilitas jumlah hasil tangkapan menurut jenis ikan (Gambar 12). Disamping itu terlihat bahwa ada jenis ikan yang jumlahnya tidak signifikan berbeda antar ketiga habitat. Hal ini menunjukkan bahwa jenis ikan tersebut bervariasi menurut ukuran rata-rata antara habitat. Selain perbedaan antara habitat, jumlah, dan berat hasil tangkapan beberapa jenis ikan yang dominan tertangkap dengan sero juga berbeda menurut waktu penangkapan. Analisis ragam (ANOVA) menyimpulkan bahwa semua jenis ikan yang tertangkap berbeda menurut lokasi (habitat) tetapi tidak semua jenis ikan yang tertangkap berbeda berdasarkan waktu penangkapan. Kepiting rajungan yang tertangkap tidak berbeda menurut habitat dan waktu penangkapan, sedangkan udang putih berbeda menurut lokasi dan berbeda menurut waktu penangkapan (Lampiran 14). Total jumlah hasil tangkapan (kecuali kepiting dan udang) berbeda menurut habitat dan tidak berbeda menurut waktu penanngkapan (Lampiran 14). Gambar 12 Jumlah hasil tangkapan berdasarkan habitat dan waktu penangkapan selama penelitian.

99 77 Berat hasil tangkapan sero selama penelitian menunjukkan adanya variabilitas menurut jenis ikan (Gambar 13). Analisis ragam menunjukkan bahwa berat hasil tangkapan semua jenis ikan berbeda menurut waktu penangkapan dan tidak semua jenis ikan berbeda menurut habitat (α = 0,05, Lampiran 15). Analisis ragam (Anova) untuk total berat hasil tangkapan (kecuali kepiting dan udang) berbeda menurut habitat dan waktu penanngkapan (α = 0,05, Lampiran 15). Gambar 13 Berat hasil tangkapan berdasarkan habitat dan waktu penangkapan selama penelitian

100 Hubungan Panjang-Berat Hasil Tangkapan Analisis biometri menyimpulkan bahwa semua jenis hasil tangkapan pada 3 (tiga) habitat bersifat allometrik negatif. Artinya pertambahan panjang ikan tidak secepat dengan pertambahan beratnya (Gambar 14 & 15 dan Lampiran 16). Gambar 14 Kurva hubungan panjang-berat jenis ikan biji nangka (a), baronang lingkis (b), kerong-kerong (c), kapas-kapas (d), lencam (e), pepetek (f), kuwe (g), dan baronang (h).

101 Gambar 15 Kurva hubungan panjang-berat jenis ikan barakuda (i), hubungan lebar karapas-berat rajungan (j), hubungan panjang karapaks-berat udang putih (k). 79

102 Hubungan Berat Hasil Tangkapan dengan Parameter Lingkungan Berdasarkan hasil perhitungan regresi linier berganda antara berat hasil tangkapan setiap jenis ikan dengan parameter lingkungan (Lampiran 17-26) maka didapatkan rangkuman yang menunjukkan hubungan antara berat ikan hasil tangkapan dengan parameter lingkungan dan yang dominan pengaruhnya seperti dirangkum dalam Tabel 12. Tabel 12 Parameter yang digunakan dalam regresi dan parameter yang dominan pengaruhnya serta besar koefisien determinasi (R 2 ) yang didapatkan dalam hasil regresi antara berat hasil tangkapan dengan parameter lingkungan Parameter Jenis Ikan Parameter dlm Regresi berpengaruh Dominan R 2 Biji nangka Suhu, salinitas, ph, DO, Klorofil a 0,519 arus dan klorofil a Baronang lingkis Suhu, salinitas, ph, DO, DO dan arus 0,639 arus, klorofil a, fito, dan zoo Kerong-kerong Suhu, salinitas, ph, DO, Zoo, salinitas, 0,667 arus, klorofil a, fito, dan ph, dan klorofil zoo a Kapas-kapas Suhu, salinitas, ph, DO, Suhu, DO, arus, 0,623 arus, klorofil a, fito, dan dan klorofil a zoo Lencam Suhu, salinitas, ph, DO, arus, klorofil a, fito, dan zoo DO, arus, dan klorofil a 0,602 Pepetek Kuwe Suhu, salinitas, DO, arus, Suhu, DO, arus, 0,445 dan fito dan fito Baronang Barakuda Total hasil tangkapan Suhu, ph, DO, arus, Suhu dan DO 0,499 Klorofil a dan fito Asosiasi antara Hasil Tangkapan Dominan dengan Habitat Hasil analisis factorial correspondence analiss (FCA) menunjukkan bahwa terdapat asosiasi antara jenis ikan dengan habitat dan waktu tertentu. Berdasarkan perhitungan didapatkan bahwa 87,47% keragaman terjelaskan dalam 3 sumbu utama pertama dengan akar ciri secara berurut masing-masing 0,076, 0,034 dan 0,015 (Tabel 13 & Lampiran 27). Habitat lamun berkontribusi cukup

103 81 besar dalam pembentukan sumbu utama 1 sedangkan mangrove dan muara sungai berkontribusi besar dalam membetuk sumbu utama 2 positif dan negatif. Plot jenis ikan dan habitat per waktu pengamatan menunjukkan bahwa ikan biji nangka, baronang, baronang lingkis, kerong-kerong, barakuda, dan kuwe lebih berasosiasi dengan habitat lamun. Ikan lencam, kapas-kapas, dan pepetek lebih berasosiasi dengan habitat dekat mangrove sedangkan udang dan rajungan berasosiasi dengan muara sungai (Gambar 16, 17 & 18). Tabel 13 Hasil analisis factorial correspondence analiss (FCA) menunjukkan bahwa terdapat asosiasi antara jenis ikan dengan habitat selama penelitian F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8 F9 F10 Eigenvalue 0,076 0,034 0,015 0,009 0,005 0,002 0,001 0,000 0,000 0,000 Inertia (%) 52,922 23,989 10,554 6,626 3,432 1,417 0,678 0,334 0,028 0,019 Cumulative % 52,922 76,911 87,465 94,091 97,523 98,940 99,618 99,952 99, ,000 Gambar 16 Plot stasiun dan waktu pengamatan pada sumbu FCA 1 dan 2.

104 82 Gambar 17 Plot jenis ikan pada sumbu FCA 1 dan 2. Gambar 18 Konfigurasi tiga komponen utama untuk asosiasi antara jenis hasil tangkapan dan habitat di lokasi pemasangan sero di Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo selama penelitian.

105 83 Asosiasi antara habitat dan jenis ikan yang dihitung berdasarkan biomassa hasil tangkapan (Gambar 17 & 18) hal tersebut terjadi karena setiap jenis ikan memiliki toleransi dan preverensi terhadap parameter lingkungan tertentu. Kondisi optimal paramater lingkungan bagi ikan dan makanan setiap jenis ikan yang berbeda antara jenis ikan dan perbedaan parameter lingkungan yang terjadi pada setiap habitat dapat terjadi secara simultan dengan terjadinya perubahan ukuran ikan. Demikian pula dengan perbedaan kebiasaan makanan dan pengaruh parameter lingkungan terhadap jenis makanan masing-masing spesies dapat menyebabkan perbedaan dan perubahan preverensi habitat bukan saja antar spesies tetapi antar ukuran berbeda dalam spesies yang sama. 6.4 PEMBAHASAN Komposisi Jumlah dan Berat Hasil Tangkapan Jenis ikan yang tertangkap dengan sero selama penelitian nampak bahwa jenis ikan pepetek, baronang lingkis, kerong-kerong, kuwe, biji nangka, dan baronang yang banyak tertangkap dan hampir merata di semua habitat (Tabel 9). Hal ini disebabkan karena jenis ikan ini memang menghuni habitat muara sungai, mangrove, dan lamun. Sebagian besar jenis hasil tangkapan tersebut tergolong jenis ikan-ikan demersal kecil yang bernilai ekonomis penting (Boer et al. 2001). Jenis ikan pelagis yang tertangkap hanya ikan barakuda. Kemungkinan jenis ini mengejar mangsanya kemana-mana sehingga ikut tertangkap pada alat tangkap, karena diketahui bahwa ikan barakuda tergolong ikan omnivor dan karnivor. Ikan barakuda yang tertangkap di perairan pantai Pitumpanua dengan alat tangkap sero memiliki volume yang tinggi. Berbeda yang ditemukan di perairan Kabupaten Barru Selat Makassar dengan alat tangkap bagan rambo, jenis ikan ini ditemukan relatif sedikit (Hatta 2010). Hal ini diduga karena pada alat tangkap sero waktu tenggang pengangkatan alat tangkap sero (hauling) cukup lama dibandingkan bagan rambo, sehingga diduga bahwa ikan barakuda dengan leluasa mencari makan dalam bunuhan, dengan terperangkapnya pada bunuhan menyulitkan untuk meloloskan diri melalui pintu bunuhan sero.

106 84 Jenis krustasea yang dominan tertangkap yaitu kepiting rajungan dan udang putih. Tertangkapnya kedua jenis krustasea tersebut disebabkan karena rajungan dan udang putih secara ekologis hidup bersama-sama dan berinteraksi dalam satu ruang ekosistem dengan ikan pada daerah pantai. Diketahui bahwa udang putih dan rajungan sebagian daur hidupnya berada di daerah pesisir pantai seperti estuaria dan sebagian di laut (Saputra & Subiyanto 2007; Suharyanto & Tjaronge 2009). Lebih lanjut dipertegas Pasquier & Pẻrez (2004) bahwa keberadaan hidupnya pada masa juvenile di pantai atau estuaria dan dewasa bermigrasi ke laut terbuka. Banyaknya hasil tangkapan ikan demersal pada alat tangkap sero karena pengoperasian sero berada pada perairan dangkal. Hal ini diperkuat oleh pernyataan oleh Widodo dan Suadi (2008) bahwa perairan dangkal dengan kedalaman kurang dari 100 meter dengan dasar perairan yang berlumpur serta relatif datar merupakan daerah penangkapan demersal yang baik. Dipertegas Yusof (2002) bahwa pada kedalaman perairan yang kurang dari 80 m didominasi oleh ikan demersal 95,40% dari total hasil tangkapan, lebih lanjut mengatakan bahwa perairan 5-18 meter di perairan Peninsular Malaysia tertangkap jenis ikan demersal. Berat hasil tangkapan yang terbanyak selama penelitian yaitu ikan barakuda, kerong-kerong, baronang, baronang lingkis, kuwe, dan lencam (Tabel 10). Urutan komposisi berat tersebut lebih disebabkan karena faktor ukuran jenis ikan tersebut, dimana jenis ikan yang mempunyai ukuran lebih besar memiliki komposisi berat yang lebih berat dibanding dengan jenis ikan yang ukurannya lebih kecil, walaupun jumlah hasil tangkapannya lebih sedikit dibanding ikan-ikan yang berukuran lebih kecil seperti pepetek, biji nangka, dan kapas-kapas. Penelitian yang di lakukan Pujiyati (2008) justru jenis ikan pepetek merupakan berat hasil tangkapan yang paling banyak ditemukan di Laut Jawa dengan alat tangkap bottom mini trawl yaitu 90,70 kg pada kedalaman 40 m. Kemungkinan disebabkan kedalaman daerah penangkapan yang berbeda, karena di perairan pantai Pitumpanua kedalaman daerah penangkapan sero hanya sekitar 8-15 m, sehingga beragam jenis ikan demersal yang tertangkap. Hal ini diperkuat

107 85 pernyataan Pujiyati (2008) berdasarkan hasil penelitiannya bahwa densitas ikan demersal menyukai daerah dangkal, semakin dalam perairan densitas ikan demersal semakin rendah. Begitu pula hasil penelitian Soadiq (2010) menemukan pepetek sebagai hasil tangkapan terbanyak di perairan Selayar dengan alat tangkap fyke net. Komposisi berat ikan baronang yang tertangkap di perairan pantai Pitumpanua yaitu rata-rata 14,37%. Tingginya persentase ini kemungkinan disebabkan karena ikan baronang di daerah ini secara ekologis lebih mendukung kelangsungan hidupnya. Hal ini dipertegas oleh Kurnia (2003) dalam penelitian di tempat sama dengan alat tangkap bubu yaitu ternyata ikan baronang memiliki berat hasil tangkapan yang lebih besar dibanding dengan ikan lainnya. Hasil tangkapan seperti ikan pepetek, biji nangka, kapas-kapas, kepiting rajungan, dan udang putih memiliki persentase berat hasil tangkapan yang kecil. Kecilnya persentase komposisi berat hasil tangkapan bukan berarti bahwa jenis hasil tangkapan ini dari segi jumlah hasil tangkapan lebih sedikit dengan lainnya, bahkan jenis hasil tangkapan ini frekuensi kemunculan tertangkap lebih besar. Hal sama yang diungkapkan oleh Imron (2008) bahwa jenis ikan-ikan demersal yang kontinyu tertangkap di perairan Tegal Jawa Tengah dengan alat tangkap dogol/cantrang dan jaring arad yaitu ditemukan 8 (delapan) jenis ikan demersal seperti pepetek, biji nangka, dan udang yang juga ditemukan di perairan pantai Pitumpanua Kisaran Panjang Total dan Berat Setiap Jenis Ikan Kisaran panjang total ikan biji nangka yang tertangkap di perairan pantai Pitumpanua yaitu 5,6-20 cm (Tabel 11). Kisaran tersebut lebih besar yang didapatkan perairan Demak yaitu antara 8-30 cm dengan modus panjang yaitu 16,2 cm (Saputra et al. 2009). Begitupula kisaran yang ditemukan di perairan Terengganu Peninsular, Malaysia juga lebih besar yaitu 22,8-24,3 cm (Rahardjo 1997). Kisaran yang ditemukan hampir sama di lokasi penelitian yaitu di perairan Andhara-Oissa yaitu 9,1-17,7 cm (Reuben et al. 1992). Ukuran yang ditemukan di Brondong Jawa Timur dengan alat tangkap danish seine yaitu 13,3 cm. Tidak berbeda jauh juga yang ditemukan oleh Ernawati dan Sumiono (2006) di perairan

108 86 Selat Makassar yaitu 5,0-17,0 cm. Begitupula halnya yang ditemukan di Teluk Palu dengan menggunakan pukat pantai yaitu 9,1 cm. Hal ini memberikan indikasi bahwa ukuran-ukuran tersebut sangat dipengaruhi oleh lokasi daerah penangkapan, dimana daerah penangkapan yang berdekatan memiliki kisaran yang hampir sama. Kisaran-kisaran tersebut sudah sesuai yang dikemukakan oleh Genisa (1999) bahwa kisaran ikan biji nangka umumnya tertangkap yaitu 15 cm. Ikan baronang lingkis yang tertangkap di daerah perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone yaitu 5,9-25,7 cm. Kisaran tersebut lebih banyak tertangkap pada ukuran kecil sampai sedang. Penelitian ini sejalan yang ditemukan oleh Jalil et al. (2003) bahwa ikan baronang lingkis tertangkap di perairan Kecamatan Bua Kabupaten Luwu Teluk Bone memiliki kisaran 6,2-22,0 cm dan kisaran tersebut lebih banyak tertangkap pada kisaran kecil sampai sedang. Kemiripan kisaran tersebut dikarenakan karena daerah penangkapannya satu wilayah yaitu Teluk Bone. Ikan kerong-kerong yang tertangkap yaitu pada kisaran 5,6-20,3 cm. Kisaran ini hampir sama dikemukakan oleh Subani (1990) bahwa umumnya tertangkap di perairan Indonesia pada kisaran 5,0-25,0 cm. Kisaran hampir sama juga didapatkan di pantai selatan laut India yaitu 8,0-19,0 cm, dan yang ditemukan di Teluk Rayong, Thailand yaitu 9,6-28, cm ( Senada yang dikemukakan oleh Marwoto et al. (2006) bahwa jenis ikan kerongkerong yang tertangkap dengan jaring arad di perairan pantai Cilacap yaitu pada kisaran panjang 6,6-20,6 cm. Bisa dikatakan bahwa jenis ikan ini ukurannya hampir sama diberbagai daerah. Kisaran panjang total ikan Kapas-kapas yang tertangkap di perairan Pitumpanua Teluk Bone yaitu 4,2-18,6 cm. Kisaran ini sangat jauh berbeda yang didapatkan pada penelitian tahun 2005 di lokasi yang sama yaitu tertangkap pada kisaran 3,0-23,5 cm (Tenriware 2005). Bisa disimpulkan bahwa selama 5 (lima) tahun terakhir ini, jenis ikan kapas-kapas yang berukuran di atas 20 cm sudah habis tertangkap di lokasi tersebut. Kisaran ukuran panjang ikan yang ditemukan jauh lebih kecil yang didapatkan di perairan pantai Mayangan, Jawa Barat yaitu 9,5-14,0 cm untuk jantan dan 10,2-16,5 cm untuk betina (Sjafei dan Syaputra 2009). Sejalan yang dikemukakan oleh Genisa (1999) bahwa ukuran ikan kapas-

109 87 kapas umumnya tertangkap pada ukuran panjang total 15 cm dan jenis ikan ini bisa mencapai pada ukuran 25 cm. Ikan lencam atau bisa dikenal katamba tertangkap pada kisaran 8,3-20,0 cm. Ukuran ini sangat kecil bila dibandingkan yang dikemukakan oleh Genisa (1999) bahwa pada umumnya jenis ikan ini tertangkapa pada kisaran cm. Tahun 2005 di perairan pantai Pitumpanua masih ditemukan ukuran panjang maksimun yaitu 25,9 cm (Tenriware 2005). Hal memberikan gambaran bahwa jenis ikan lencam di lokasi tersebut semakin hari ukuran semakin kecil yang tertangkap. Ikan pepetek atau peperek cina tertangkap pada kisaran 6,0-23,2 cm. Diduga bahwa jenis ikan ini merajai perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone. Dugaan ini berdasarkan hasil tangkapan yang didapatkan yaitu paling banyak tertangkap dan penelitian sebelumnya pada tahun 2005 ukuran jenis ikan ini hanya tertangkap pada kisaran 3,4-17,4 cm, namun pada saat ini kisarannya lebih besar dari sebelumnya. Kemungkinan pertumbuhan dan perkembangbiakan jenis ikan ini lebih cepat. Pernyataan ini didukung oleh Pauly (1977) bahwa jenis ikan tersebut berkembang biak dengan pesat karena jenis ikan ini terhindar dari pemangsa karena keseluruhan tubuh pepetek menghasilkan cahaya, dimana cahaya ini dilepaskan pada siang hari ke arah bawah berupa cahaya difusi yang cenderung memecah bayangan dirinya menjadi tidak utuh, akibatnya pemangsa potensial tidak dapat melihat nyata mangsanya dalam hal ini pepetek. Ikan kuwe yang tertangkap di perairan pantai Pitumpanua kisaran ukuran panjangnya masih sangat kecil yaitu 6,0-21,2 cm. Kisaran tersebut jauh lebih kecil yang dikemukakan oleh Genisa (1999) bahwa jenis ikan ini umumnya tertangkap pada ukuran panjang total 50 cm dan bisa mencapai pada ukuran 75 cm. Seperti yang ditemukan di perairan Teluk Arab dengan alat tangkap trap ukuran kecil ikan kuwe (Caranx sexfaciatus) didapatkan pada panjang 34 cm, sedangkan pada alat tangkap trap ukuran besar didapatkan panjang 50 cm (Tharwat dan Rahman 2006). Ikan baronang tertangkap pada kisaran 8,0-23,5 cm. Kisaran ini jauh lebih kecil yang didapatkan di perairan Pulau Pari, wilayah Pulau-pulau Seribu yaitu 14,0-21,0 cm (Sutomo dan Juwana 1990). Tidak berbeda jauh yang dikemukakan

110 88 oleh Genisa (1999) bahwa jenis ikan ini umumnya tertangkapa pada ukuran 20 cm dan bisa mencapai panjang 35 cm. Ikan barakuda tertangkap pada kisaran 11,8-55,0 cm. Kisaran ini hampir sama yang dikemukan oleh Genisa (1999) bahwa umumnya tertangkap pada panjang cm dan bisa mencapai 100 cm. Kisaran tersebut sangat jauh berbeda yang ditemukan oleh Allam et al. (2004) di perairan Mediterania yaitu Sphyraena chrysotaenia (13-27 cm), S. flavicauda (17-41 cm), dan S. sphyraena (16-44 cm). Kemungkinan disebabkan karena kondisi iklim yang berbeda dan daerah penangkapan. Kepiting rajungan tertangkap pada kisaran lebar karapaks yaitu 6,0-15,2 cm. Kisaran ini hampir sama yang didapatkan di Pantai Khuzestan, Teluk Persia yaitu dari kisaran 8,0-17,9 cm (Jazayeri et al. 2011). Kisaran ukuran yang didapatkan masih jauh lebih besar bila dibandingkan di Tanzania dengan ukuran terkecil 1,5 cm dan ukuran terbesarnya yaitu 11,5 cm (Chande dan Mgaya 2003). Adanya perbedaan kisaran ukuran yang sangat mencolok, kemungkinan disebabkan karena disetiap wilayah mempunyai rajungan yang berbeda baik itu secara morfologi, genetik, dan ukurannya (Lai et al. 2010). Kisaran panjang karapaks udang putih yang tertangkap di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone yaitu 5,0-16,8 cm. Kisaran panjang ini tidak berbeda jauh yang telah didapatkan di sekitar Perairan Semarang dengan menggunakan alat tangkap jaring arad (baby trawl) yaitu (Pramonowibowo et al. 2007) Jumlah dan Berat Hasil Tangkapan Berdasarkan Habitat dan Waktu Penangkapan Jumlah dan berat hasil tangkapan ikan biji nangka yang tertangkap di perairan pantai Pitumpanua berbeda menurut habitat/lokasi penangkapan tetapi waktu penangkapan tidak menunjukkan adanya perbedaan. Jumlah yang tertangkap pada daerah mangrove lebih sedikit di lamun sedangkan di muara sungai tidak menunjukkan adanya perbedaan hasil tangkapan pada dua lokasi lainnya. Sementara berat hasil tangkapan di muara sungai dan muara sungai lebih sedikit dibanding pada lamun. Hal ini menunjukkan bahwa ikan biji nangka pada daerah lamun variabilitas ukurannya lebih kecil dan jumlahnya lebih sedikit. Tidak berbeda waktu penangkapan memberikan gambaran bahwa jenis ikan ini tertangkap sepanjang tahun. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Imron (2008)

111 89 bahwa salah satu ikan yang kontinyu tertangkap di perairan Tegal Jawa Tengah yaitu ikan kuniran (biji nangka). Seperti halnya yang ditemukan di perairan Selat Makassar salah satu jenis ikan kuniran yang lebih dominan tertangkap yaitu Upeneaus sulphureus dibandingkan ikan kuniran jenis lainnya seperti U. vittatus, U. tragula, U. bensasi, U. sundaicus, dan U. moluccensis (Ernawati dan Sumiono 2006) Ikan baronang lingkis yang tertangkap berbeda menurut habitat/lokasi dan waktu penangkapan berdasarkan jumlah maupun berat hasil tangkapan. Jumlah hasil tangkapan pada muara sungai dan mangrove lebih sedikit dibandingkan pada daerah lamun, sementara berat hasil tangkapan berbeda dari ketiga habitat tersebut (muara sungai < mangrove < lamun). Artinya berat hasil tangkapan terbanyak pada daerah lamun dibandingkan kedua habitat tersebut, begitujuga dengan jumlah hasil tangkapannya. Kuat dugaan bahwa dengan beratnya hasil tangkapan di habitat kemungkinan disebabkan jenis ikan termasuk kedalam kelompok ikan herbivora yang makanannya adalah alga, sehingga kondisi ekologisnya sangat mendukung dibandingkan dengan kedua habitat lainnya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Tuwo (2011) bahwa salah satu jenis ikan di daerah lamun yaitu Siganus spp memanfaatkan lamun sebagai tempat berlindung, memijah dan mengasuh anaknya, dan sebagai tempat mencari makan. Ikan kerong-kerong yang tertangkap berbeda menurut habitat/lokasi dan waktu penangkapan berdasarkan jumlah dan berat hasil tangkapan. Jumlah hasil tangkapan pada muara sungai dan mangrove lebih banyak dibanding di lamun, namun berat hasil tangkapan lebih banyak di daerah muara sungai dibandingkan kedua habitat lainnya. Diduga jenis ikan kerong-kerong bisa beradaptasi di daerah estuari dan toleran pada salinitas rendah. Hal ini diperkuat penelitian Muchlisin dan Azizah (2010) bahwa salah satu jenis ikan yang tertangkap di sungai-sungai di perairan Aceh yaitu ikan kerong-kerong. Jumlah dan berat hasil tangkapan ikan kapas-kapas yang tertangkap selama penelitian berbeda menurut habitat/lokasi dan waktu penangkapan. Jumlah hasil tangkapan pada muara sungai dan lamun lebih besar dibanding pada mangrove, sementara berat hasil tangkapan pada mangrove dan muara sungai lebih sedikit dibanding di habitat lamun. Walaupun hasil tangkapan lebih banyak

112 90 di lamun dibandingkan mangrove, tetapi tidak menjamin berat hasil tangkapan yang lebih banyak, ini menandakan bahwa ukuran ikan kapas-kapas pada habitat lamun lebih kecil dibanding pada kedua habitat lainnya. Banyaknya hasil tangkapan di daerah estuaria diduga jenis ikan kapas-kapas lebih menyukai perairan yang air lebih sedikit tawar. Hal dibuktikan oleh Muchlisin dan Azizah (2010) bahwa ikan dari famili Gerreidae tertangkap di muara-muara sungai di perairan Aceh. Seperti halnya juga tertangkap di perairan sekitar hutan lindung Angke Kapuk (Novanistati 2001 dalam Sjafei dan Syaputra 2009). Jumlah dan berat hasil tangkapan ikan lencam yang tertangkap berbeda menurut habitat/lokasi dan waktu penangkapan. Jumlah hasil tangkapan di muara sungai lebih sedikit dibanding di lamun, sedangkan di mangrove tidak ada perbedaan jumlah hasil tangkapan dari kedua habitat tersebut. Berat hasil tangkapan di muara sungai dan mangrove lebih banyak dibanding di lamun. Kondisi seperti ini menujukkan bahwa keberadaan ikan lencam di lamun kebanyakan ikan-ikan yang masih mudah atau juvenil (berukuran kecil). Jumlah hasil tangkapan ikan pepetek berbeda menurut habitat/lokasi tapi tidak berbeda menurut waktu penangkapan. Sementara berat hasil tangkapan berbanding terbalik yaitu berbeda menurut waktu dan tidak berbeda menurut lokasi. Artinya ikan pepetek yang tertangkap dengan jumlah berbeda dari setiap habitat tidak menunjukkan adanya perbedaan berat di setiap habitat walaupun waktu penangkapan yang berbeda, sehingga bisa disimpulkan bahwa jenis ikan ini mempunyai variabilitas ukuran berat tidak berbeda setiap lokasi, tetapi variasi jumlah setiap lokasi yang berbeda, walaupun jumlah hasil tangkapan ikan pepetek lebih banyak didapatkan di muara sungai dibanding kedua habitat tersebut. Jumlah hasil tangkapan ikan kuwe berbeda menurut habitat/lokasi tetapi tidak berbeda menurut waktu penangkapan. Berat hasil tangkapan berbeda menurut waktu tetapi tidak berbeda habitat/lokasi. Jumlah hasil tangkapan pada muara sungai lebih sedikit dibanding di mangrove, sedangkan di lamun tidak menunjukkan adanya perbedaan di kedua habitat tersebut. Walaupun dari segi perbedaan jumlah hasil tangkapan terjadi pada habitat tertentu tetapi berat hasil tangkapan tidak mempengaruhi di setiap habitat. Indikasi ini menunjukkan bahwa pada daerah mangrove jenis ikan ini banyak ditemukan dibanding di kedua

113 91 habitat, namun ukuran berat seiap jenis ikan lebih kecil dibanding habitat lainnya. Hal inilah menunjukkan adanya variasi ukuran berat setiap habitat. Jumlah dan berat hasil tangkapan ikan baronang yang tertangkap berbeda menurut habitat/lokasi dan waktu penangkapan. Jumlah dan berat hasil tangkapan pada muara sungai lebih sedikit dibanding di lamun, sedangkan di mangrove tidak menunjukkan adanya perbedaan di kedua habitat tersebut. Jumlah dan berat hasil tangkapan ikan barakuda yang tertangkap berbeda menurut habitat/lokasi dan waktu penangkapan. Jumlah tangkapan ikan barakuda lebih sedikit dibanding di mangrove, sedangkan di muara tidak menunjukkan adanya perbedaan kedua habitat tersebut. Berat hasil tangkapan menunjukkan bahwa pada muara sungai lebih sedikit dibanding di lamun, sedangkan di mangrove tidak berbeda keduanya. Artinya ikan barakuda di habitat lamun mempunyai ukuran berat yang lebih kecil dibanding di habitat lainnya dan jumlahnya lebih sedikit. Kepiting rajungan yang tertangkap tidak menunjukkan perbedaan jumlah hasil tangkapan berdasarkan habitat/lokasi dan waktu penangkapan. Sementara berat hasil tangkapan berbeda menurut waktu dan lokasi penangkapan. Artinya berat kepiting yang tertangkap berbeda menurut habitat walaupun jumlah kepiting sama pada setiap habitat. Kemungkinan hal ini disebabkan karena pada habitat tertentu mempunyai ketersediaan makanan yang cukup sehingga bobot atau berat kepiting lebih besar dibanding pada habitat lainnnya. Terlihat bahwa pada muara sungai berat kepiting rajungan lebih berat dibanding kedua habitat lainnya. Udang putih yang tertangkap tidak menunjukkan adanya perbedaan jumlah hasil tangkapan berdasarkan habitat/lokasi tetapi berbeda menurut waktu penangkapan. Berat hasil tangkapan berbeda menurut habitat dan waktu penangkapan. Artinya walaupun penangkapan udang dilakukan waktu yang berbeda tetapi tidak menunjukkan adanya perbedaan jumlah tangkapan, tetapi berdasarkan berat berbeda pada setiap habitat. Hal ini menunjukkan adanya variasi berat udang putih pada ketiga habitat. Dimana berat udang putih yang tertangkap di muara sungai lebih banyak dibanding kedua habitat lainnya. Kemungkinan hal ini disebabkan karena udang yang tertangkap di mangrove adalah udang-udang yang sudah berukuran besar karena sebagaimana kita ketahui bahwa udang memijah di sekitar hutan bakau atau mangrove.

114 92 Berdasarkan total jumlah hasil tangkapan ikan (selain kepiting dan udang) yang tertangkap berbeda menurut waktu penangkapan tetapi tidak berbeda menurut habitat/lokasi. Sementara berat total hasil tangkapan ikan berbeda menurut habitat/lokasi dan waktu penangkapan. Artinya waktu penangkapan tidak mempengaruhi total jumlah hasil tangkapan, sedangkan waktu yang berbeda mempengaruhi total berat hasil tangkapan setiap habitat. Dimana berat total hasil tangkapan di mangrove lebih banyak dibanding di lamun, sedangkan di muara sungai tidak berbeda dari kedua habitat tersebut. Jumlah dan berat total hasil tangkapan berdasarkan waktu penangkapan terlihat bahwa jumlah hasil tangkapan cenderung berfluktuasi selama penelitian (Gambar 12 & 13). Dimana jumlah hasil tangkapan pada akhir bulan Januari mulai menurun sampai pada awal Februari, dan kembali terjadi peningkatan jumlah dan berat total hasil tangkapan mulai akhir Februari sampai awal April, dan kembali menurun pada pertengahan April. Berfluktuasinya hasil tangkapan sero selama penelitian memberikan ilustrasi bahwa musim penangkapan ikan dengan alat tangkap sero di perairan pantai Pitumpanua mulai bulan Januari April, dengan puncak penangkapan pada bulan Maret sampai pertengahan April. Hal ini didukung penelitian Budiman et al. (2006) bahwa penangkapan ikan demersal di pesisir Kendal dengan alat tangkap cantrang terjadi musim penangkapan pada bulan Januari, Maret, April, dan puncak musim terjadi pada bulan Maret April. Terjadinya fluktuasi hasil tangkapan kemungkinan lebih cenderung dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan. Hal ini terkait dengan pola kehidupan ikan yang tidak bisa dipisahkan dengan adanya berbagai faktor lingkungan (Luasunaung et al. 2008) lebih lanjut bahwa faktor fisik yang paling berpengaruh keberadaan sumberdaya ikan adalah suhu dan salinitas. Laevastu dan Hayes (1982) dalam Luasunaung et al. (2008) adanya perubahan baik suhu maupun salinitas akan mempengaruhi keadaan organisme di suatu perairan. Marwoto et al. (2006) mengatakan bahwa distribusi ikan di laut sangat ditentukan oleh faktor internal dan eksternal dari lingkungan diantaranya parameter oseanografis seperti suhu, salinitas, densitas dan kedalaman, lapisan termoklin, arus dan sirkulasi massa air, oksigen serta kelimpahan makanan.

115 93 Hasil tangkapan di daerah lamun lebih banyak dibanding di muara sungai dan mangrove. Hal ini kemungkinan karena pada daerah lamun memiliki produktivitas sekunder dan dukungan yang besar terhadap kelimpahan dan keragaman ikan (Gilanders 2006) sehingga padang lamun merupakan tempat berbagai jenis ikan berlindung, mencari makan, bertelur, dan membesarkan anaknya. Sejalan yang dikemukan oleh Bell dan Pollard (1989) dalam Rappe (2010) mengindentifikasi karakteristik utama kumpulan ikan yang berasosiasi dengan lamun dikatakan bahwa : (1) keanekaragaman dan kelimpahan ikan di padang lamun biasanya lebih tinggi daripada substrat kosong, (2) sebagian besar asosiasi ikan dengan padang lamun didapatkan dari plankton sehingga padang lamun adalah daerah asuhan untuk banyak spesies, (3) zooplankton dan epifauna krustasean adalah makanan utama ikan yang berasosiasi dengan lamun, dengan tumbuhan, pengurai, dan komponen infauna dari jaring-jaring makanan di lamun yang dimanfaatkan oleh ikan, (5) hubungan yang kuat terjadi antara padang lamun dan habitat yang berbatasan, kelimpahan relatif dan komposisi spesies ikan di padang lamun menjadi tergantung pada pada tipe (terumbu karang, estuaria, mangrove) dan jarak dari habitat yang terdekat Hubungan Panjang-Berat Hasil Tangkapan Analisis biometri menyimpulkan bahwa semua jenis hasil tangkapan pada 3 (tiga) habitat bersifat allometrik negatif. Artinya pertambahan panjang ikan tidak secepat dengan pertambahan beratnya (Gambar 14 & 15, Lampiran 16). Jenis hasil tangkapan yang menghampiri nilai b = 3 yaitu ikan biji nangka dan jenis ikan yang memiliki nilai b paling kecil yaitu ikan baronang lingkis. Hasil analisis biometri menunjukkan bahwa jenis ikan biji nangka, baronang lingkis, lencam, kuwe, dan baronang memiliki nilai b pada habitat lamun lebih tinggi bila dibandingkan dengan kedua habitat lainnya. Kemungkinan disebabkan karena pada daerah lamun cukup tersedia sumber makanan, sehingga tidak salah bila dikatakan bahwa daerah lamun sebagai tempat mencari makanan bagi ikan atau biota lainnya yang berasosiasi dengannya. Jenis ikan tersebut merupakan ikan-ikan karang. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Soadiq (2010) bahwa ikanikan karang yang tertangkap dengan fyke net di sekitar karang seperti famili

116 94 Serranidae, Lethrinidae, Lutjanidae, Mullidae, Nemipteridae, Plotoseidae, dan Haemulidae diduga tertangkap karena sifat ini bermigrasi keluar karang secara horizontal untuk mencari makanan. Hubungan panjang-berat ikan kuniran yang ditemukan di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone di habitat lamun tidak berbeda jauh yang ditemukan di perairan Demak yaitu allometrik negatif dengan nilai b = 2,918 (Saputra et al. 2009). Nilai b tersebut menghampiri nilai b = 3, artinya pertumbuhan panjang ikan kuniran di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone hampir seimbang dengan pertumbuhan berat tubuhnya. Berbeda yang ditemukan oleh Sjafei & Susilawati (2001) pertumbuhan ikan biji nangka yang didapatkan bersifat isometrik. Ikanikan lainnya yang didapatkan di perairan pantai Pitumpanua mempunyai nilai b jauh lebih kecil dari nilai 3. Hal ini bisa dijelaskan bahwa pertumbuhan ikan kurus atau pertumbuhan panjang lebih cepat dibanding beratnya. Ikan kapas-kapas, pepetek, kerong-kerong, barakuda, dan udang putih mempunyai nilai b yang hampir seragam (sama) pada ketiga habitat. Artinya pertumbuhan jenis ikan tersebut tidak di pengaruhi oleh adanya faktor habitat. Berbeda dengan kepiting rajungan didapatkan pada habitat mangrove nilai b lebih besar dibanding dengan habitat lainnya. Kemungkinan hal ini terjadi karena kepiting rajungan di daerah mangrove masih pada tahap juvenil yang tertangkap sehingga pertumbuhan lebih cepat dibandingkan kepiting dewasa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa walaupun dari segi jumlah lebih banyak ditemukan di daerah mangrove tetapi berat total lebih kecil dibanding pada habitat lamun, sehingga bisa disimpulkan bahwa kepiting yang tertangkap di habitat mangrove adalah ukurannya hampir sama dengan ukuran yang kecil. Pernyataan ini dibenarkan oleh Adam (2006) bahwa semakin jauh dari pantai, ukuran tubuh dan bobot rajungan semakin meningkat. Lebih lanjut mempertegas bahwa kepiting rajungan pada fase juvenil sampai dewasa berada pada daerah estuaria dalam hal ini pantai.

117 Hubungan Berat Hasil Tangkapan dengan Parameter Lingkungan Sesuai dengan hasil analisis yang disajikan dalam Tabel (12) terlihat bahwa suhu dan DO sangat dominan mempengaruhi total berat hasil tangkapan. Hasil tangkapan berat total ikan cenderung meningkat dengan menurunnya suhu dan meningkatnya kadar DO. Hubungan yang menunjukkan meningkatnya berat total hasil tangkapan dengan menurunnya suhu mengindikasikan bahwa keseluruhan jenis ikan yang tertangkap dengan sero di sekitar pantai di lokasi penelitian kemungkinan lebih menyukai air yang bersuhu lebih rendah di sekitar muara sehingga populasinya meningkat ketika masukan air tawar yang lebih dingin banyak yang masuk ke wilayah pantai melalui aliran sungai. Sementara pengaruh kadar DO yang berbanding lurus dengan hasil tangkapan menunjukkan bahwa kadar DO yang lebih tinggi memungkinkan lebih banyaknya ikan dan juga berpengaruh langsung terhadap proses fisiologis respirasi ikan. Kondisi ini umum terjadi seperti didapatkan oleh Ridho (1999) di perairan pantai barat Sumatera bahwa tingginya keanekaragaman ikan dan keseragaman ikan demersal dipengaruhi oleh salinitas yang rendah serta kadar oksigen terlarut (DO) dan suhu yang tinggi. Sedangkan distribusi jenis-jenis ikan demersal di perairan Laut Cina Selatan dipengaruhi oleh faktor suhu, salinitas, kecerahan, dan kedalaman perairan (Ridho 2004). Pengaruh parameter lingkungan yang dominan pengaruhnya terhadap berat hasil tangkapan nampak bervariasi diantara jenis ikan. Suhu dominan berpengaruh terhadap hasil tangkapan ikan kapas-kapas dan kuwe. Salinitas dan ph berpengaruh dominan terhadap ikan kerong-kerong. Kecepatan arus berpengaruh dominan terhadap ikan baronang lingkis, kapas-kapas, lencam dan kuwe. Klorofil a terlihat dominan pengaruhnya terhadap berat hasil tangkapan ikan biji nagka, kerong-kerong, kapas-kapas, dan lencam. Fitoplankton berpengaruh dominan terhadap ikan Kuwe sedangkan zooplankton berpengaruh dominan terhadap ikan kerong-kerong. Hubungan yang signifikan antara berat hasil tangkapan dengan parameter lingkungan yang bervariasi pada setiap jenis ikan menunjukkan bahwa setiap jenis ikan memiliki respon dan prevarensi habitat berdasarkan karakteristik lingkungannya. Perlu diketahui bahwa hubungan linier yang signifikan yang

118 96 ditunjukkan dalam analisis tersebut dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Hubungan langsung yang paling mungkin terjadi secara teoritis adalah pengaruh parameter fisika kimia yang memang dapat berpengaruh langsung terhadap aktivitas biologis dan fisiologis setiap jenis ikan. Sementara pengaruh parameter biologi seperti klorofil-a, kelimpahan fitoplankton dan zooplankton dapat terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh tidak langsung dapat terjadi karena parameter biologi mempengaruhi makanan atau predator terhadap suatu jenis ikan. Sebagai contoh terlihat dari pengaruh dominan klorofil a terhadap ikan biji nangka sebagai ikan omnivor yang tidak mengkonsumsi langsung fitoplankton yang mengandung klorofil a. Mekanisme pengaruh tidak langsung klorofil a terhadap ikan biji nangka dapat saja terjadi karena klorofil a mempengaruhi kelimpahan zooplankton yang selanjutnya mempengaruhi salah satu makanan ikan biji nangka yaitu udang-udangan yang banyak mengkonsumsi zooplankton. Hal ini menyebabkan semakin meningkatnya jumlah ikan biji nangka dengan meningkatnya kandungan klorofil a dalam perairan. Hal serupa terjadi pada ikan kuwe yang menunjukkan pengaruh dominan zooplankton sedangkan ikan kuwe tidak mengkonsumsi langsung zooplankton. Variasi pengaruh parameter lingkungan terhadap setiap jenis ikan dapat menjelaskan terjadinya variasi perbedaan jumlah dan berat hasil tangkapan berdasarkan waktu dan lokasi (habitat). Variasi lingkungan yang terlihat antara muaras sungai, lamun dan sekitar daerah mangrove mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung pertumbuhan dan kelangsungan hidup setiap spesies ikan yang tertangkap dengan sero Pengaruh parameter lingkungan bukan saja dapat bervariasi antar spesies tetapi dalam spesies yang sama respon dan toleransi ikan dapat berbeda terhadap paremater lingkungan. Hal ini sangat mendukung sebagai alasan sehingga terlihat adanya variasi ukuran rata-rata hasil tangkapan yang relatif berbeda antar habitat pada beberapa jenis ikan yang didapatkan dalam penelitian ini. Fakta ini terlihat dari analisis hasil tangkapan yang menunjukkan jumlah tangkapan yang sama pada beberapa jenis ikan namun menunjukkan perbedaan dalam berat.

119 Asosiasi antara Hasil Tangkapan Dominan dan Habitat Hasil analisis FCA menunjukkan bahwa terdapat asosiasi antara hasil tangkapan (jenis ikan) dengan habitat dan waktu tertentu di lokasi penelitian (Gambar 17 & 18). Ditemukan 6 (enam) jenis ikan yang berasosiasi di habitat lamun yaitu ikan biji nangka, baronang, baronang lingkis, kerong-kerong, barakuda, dan kuwe. Ditemukannya jumlah ikan di habitat lamun lebih tinggi dibanding kedua habitat lainnya kemungkinan karena pada daerah lamun merupakan tempat berbagai jenis ikan berlindung, mencari makan, bertelur, dan membesarkan anaknya. Hal ini dipertegas oleh Gilanders (2006) bahwa daerah lamun memiliki kelimpahan dan keragaman ikan yang tinggi karena dukungan produktivitas sekunder. Jenis-jenis ikan yang ditemukan di habitat lamun tersebut merupakan ikan-ikan yang juga berasosiasi dengan habitat lain. Penelitian ini sama yang ditemukan oleh Fahmi & Adrim (2009) bahwa jenis ikan-ikan yang ditemukan pada lamun di Kepulauan Riau umumnya merupakan ikan-ikan yang berasosiasi dengan habitat lain dan menjadikan padang lamun sebagai daerah asuhan, pembesaran dan tempat mencari makanan. Ternyata jenis ikan yang didapatkan oleh Fahmi & Adrim (2009) berbeda yang ditemukan di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone. Dikatakan bahwa jenis Leiognathus spp dan Gerres spp merupakan jenis ikan yang banyak ditemukan di padang lamun sedangkan di lokasi penelitian ini, kedua jenis ikan tersebut lebih banyak ditemukan/berasosiasi pada daerah mangrove. Jenis-jenis ikan yang berasosiasi di habitat lamun di perairan pantai Pitumpanua termasuk kedalam famili Siganidae, Theraponidae, dan Mulidae. Famili-famili tersebut sama yang ditemukan di Teluk Kotania dan Pelitajaya (Supriyadi 2009), hal ini kemungkinan disebabkan karena jenis lamun yang banyak ditemukan di kedua daerah tersebut dari jenis Enhalus acoroides. Hal ini diperkuat oleh Rappe (2010) bahwa ditemukannya ikan baronang dan baronang lingkis di stasiun LPO (lamun padat monospesifik) diduga disebabkan antara lain karena ikan tersebut memiliki kebiasaan hidup bergerombol di daerah padang lamun, terutama lamun monospesifik yang hanya disusun oleh jenis Enhalus acoroides. Selanjutnya dikatakan bahwa dari 14 famili yang ditemukan di padang

120 98 lamun Pulau Barrang Lompo, 2 (dua) diantaranya ditemukan di perairan pantai Pitumpanua yaitu famili Siganidae dan Sphhyraenidae. Ikan lencam, kapas-kapas, dan pepetek lebih berasosiasi dengan habitat dekat mangrove. Ikan kapas-kapas sebenarnya ikan yang hidupnya lebih banyak di estuaria, namun pada saat penelitian ini ditemukan lebih berasosiasi pada daerah dekat mangrove, kemungkinan jenis ikan tersebut mencari tempat pemijahan pada daerah sekitar mangrove. Sebagaimana yang dikemukan oleh Blaber (1997) dalam Sjafei dan Syaputra (2009) bahwa jenis ikan ini di Natal, Afrika Selatan meninggalkan estuaria saat ingin melakukan pemijahan. Lebih lanjut dikatakan bahwa musim pemijahan biasanya pada bulan Februari, musim pemijahan ini bertepatan pada saat melakukan penelitian. Udang putih dan rajungan berasosiasi dengan muara sungai (Gambar 15). Kedua jenis krustasea ini kemungkinan lebih dipengaruhi oleh sebagian daur hidupnya berada di daerah pesisir pantai seperti estuaria dan sebagian di laut (Saputra & Subiyanto 2007; Suharyanto & Tjaronge 2009). Pasquier & Pẻrez (2004) bahwa udang putih dan kepiting rajungan keberadaan hidupnya pada masa juvenile di pantai atau estuaria dan dewasa bermigrasi ke laut terbuka. 6.5 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Komposisi hasil tangkapan dari jumlah hasil tangkapan paling banyak ditemukan yaitu ikan pepetek, sedangkan berat (biomassa) hasil tangkapan yaitu ikan barakuda. 2. Total jumlah hasil tangkapan ikan yang tertangkap berbeda menurut waktu penangkapan tetapi tidak berbeda menurut habitat. Sementara berat total hasil tangkapan ikan berbeda menurut habitat/lokasi dan waktu penangkapan. 3. Kisaran panjang total ikan yang tertangkap masih lebih banyak yang berukuran juvenil atau ikan-ikan muda. 4. Hubungan panjang-berat hasil tangkapan pada semua habitat bersifat allometrik negatif.

121 99 5. Parameter lingkungan yang sangat dominan pengaruhnya terhadap total berat hasil tangkapan sero yaitu parameter suhu dan kadar oksigen terlarut (DO). 6. Ada perbedaan komunitas ikan pada ketiga habitat. Ikan biji nangka, baronang lingkis, kerong-kerong, kuwe, baronang, dan barakuda lebih berasosiasi pada habitat lamun. Ikan pepetek, kapas-kapas, dan lencam lebih berasosiasi pada daerah sekitar mangrove. Kepiting rajungan dan udang putih lebih berasosiasi pada muara sungai Saran Sebaiknya dipertimbangkan pengelolaan sero di perairan pantai Pitumpanua Teluk Bone saat ini karena terbukti kisaran panjang total ikan yang tertangkap lebih banyak yang berukuran juvenil atau ikan-ikan muda. Perlu kiranya regulasi untuk memperbesar mata jaring alat tangkap sero untuk meloloskan ikan-ikan yang masih mudah..

122 100

123 101 7 SELEKTIVITAS MATA JARING EXPERIMENTAL CRIB 4 CM PADA CRIB SERO 7.1 PENDAHULUAN Perairan pantai yang terdiri dari berbagai ekosistem seperti lamun, terumbu karang, mangrove, dan muara sungai memiliki berbagai peran sebagai darerah pemijahan, perlindungan, pembesaran, dan tempat mencari makanan. Oleh karena itu daerah penangkapan sero di pantai dihuni oleh berbagai jenis dan ukuran biota laut termasuk ikan yang menjadi target penangkapan. Sero yang dioperasikan dengan ukuran tertentu jelas memiliki selektivitas tertentu dan sangat besar kemungkinannya bervariasi menurut spesies dan habitat. Sero dengan ukuran mata jaring tertentu dapat saja selektif terhadap salah satu jenis ikan tertentu tetapi tidak selektif terhadap jenis ikan lainnya pada habitat tertentu. Hal ini disebabkan perbedaan persebaran ukuran berdasarkan habitat. Sehubungan dengan hal itu maka kajian mengenai selektivitas sero yang mengkaji secara simultan berdasarkan jenis ikan dan habitat daerah penangkapan sero sangat penting dilaksanakan agar dapat menentukan tingkat selektivitas sero terhadap jenis ikan berdasarkan habitat yang ada di perairan pantai. Kajian mengenai selektivitas sero yang ada saat ini umumnya terbatas pada habitat tertentu saja dan sangat jarang melihat sekaligus berdasarkan jenis dan habitat daerah penangkapan alat tangkap sero. Mengkaji selektivitas mata jaring sero pada beberapa jenis ikan yang dominan tertangkap pada 3 (tiga) tipe habitat di perairan pantai Pitumpanua maka diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kesesuaian ukuran mata jaring dengan lokasi pemasangan sero di pantai sehingga dari aspek selektivitas mata jaring sero tetap ramah terhadap lingkungan. Apalagi dalam penelitian ini secara serentak juga dilihat perbandingan hasil tangkapan pada ketiga tipe habitat tersebut. Hasil analisis selektivitas yang dihasilkan dari penelitian ini dapat menjadi referensi dan pertimbangan dalam regulasi operasional sero di perairan pantai khususnya kelayakan ukuran mata jaring dan habitat daerah pemasangannya. Meskipun dalam penelitian ini hanya menggunakan satu jenis ukuran mata jaring, namun dapat menunjukkan bahwa apakah ukuran yang digunakan sebaiknya ditingkatkan agar dapat selektif terhadap salah satu atau beberapa jenis ikan yang

124 102 dominan tertangkap apabila sero akan dipasang di muara sungai, perairan di sekitar mangrove atau lamun. Pemasangan alat tangkap sero maupun penggunaan bahan alat tangkap sero oleh nelayan di perairan pantai Pitumpanua tidak didasari pertimbangan yang cermat. Hal ini disebabkan karena selain kurangnya sosialisasi dari pemerintah setempat, juga karena tidak adanya dasar kebijakan yang tepat untuk pengelolaan perikanan sero di daerah ini. Selama ini penangkapan sero di perairan pantai Pitumpanua berlangsung terus menerus sepanjang tahun dengan menggunakan mata jaring ukuran yang sangat kecil (0,5 cm). Bila hal tersebut dibiarkan, maka tentunya berdampak pada berkurangnya stok sumberdaya pada masa akan datang, karena dengan ukuran mata jaring yang sangat kecil tentunya ikan-ikan muda tidak dapat meloloskan diri untuk berkembang biak sebelum ditangkap. Parahnya lagi karena alat tangkap ini di pasang pada daerah pantai yang merupakan daerah pemijahan dan pembesaran bagi juvenile berbagai jenis ikan dan biota lainnya. Kajian ini bertujuan untuk menghitung proporsi ukuran layak tangkap setiap jenis ikan yang tertangkap pada experimental crib dan menganalisis L 50%, setiap jenis ikan yang dominan tertangkap dengan sero di perairan pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo Teluk Bone. Manfaat yang diharapkan yaitu sebagai dasar untuk menentukan kebijakan pengelolaan perikanan dalam hal pengaturan mata jaring yang selektif pada daerah penangkapan sero sehingga sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. 7.2 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Kegiatan pembuatan desain kantong bunuhan (experimental crib) dilakukan pada tanggal 18 Nopember Januari Experimental fishing dilakukan pada tanggal 15 Januari 14 Mei 2011 di perairan pantai Pitumpanua Kabupaten Wajo, Teluk Bone.

125 Alat dan bahan Alat dan bahan yang digunakan untuk pembuatan desain experimental crib dan experimental fishing adalah sebagai berikut : Tabel 13 Jenis alat dan bahan yang digunakan pembuatan desain experimental crib dan experimental fishing selama penelitian No Alat dan bahan Jumlah Kegunaan Pembuatan desain experimental crib 1 Jaring trawl D12x1 1 / 2 7,7 kg Desain jaring pengukuran selektivitas 2 Benang trawl D9 4 rol Benang jahit pembuatan experimental crib 3 Coban 4 buah Untuk menjurai /menjahit jaring 4 Tali nilon no 4 dan 5 4 kg Tali ris experimental crib 5 Gunting 1 buah Untuk keperluan memotong benang 6 Meteran 1 buah Untuk pengukuran Kegiatan experimental fishing Perahu motor 1 unit Sebagai sarana transportasi Sero 3 unit Experimental fishing Serok 3 buah Mengambil hasil tangkapan Tali nilon no 4 dan 5 2 kg Tali kolor experimental crib Measuring Board 4 buah Mengukur panjang ikan Mikrometer skrup (caliper) 1 buah Mengukur mata jaring dan waring Plastik sample * Tempat hasil tangkapan yang sudah disortir Cool Box/kulkas 3 buah Penyimpanan hasil tangkapan Timbangan Analitik 1 unit Menimbang sampel ikan per ekor Kamera digital 1 buah Pengambilan gambar Buku identifikasi ikan * Mengetahui jenis ikan Alat tulis/data sheet * Mencatat data Alat bantu lainnya * Digunakan di lapangan Percobaan Penangkapan Ikan Kegiatan percobaan penangkapan dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu : tahapan desain experimental crib, tahapan pembuatan experimental crib, tahapan pemasangan experimental crib, dan tahapan proses pengambilan hasil tangkapan. Hasil tangkapan yang didapatkan dari experimental crib dan cover-net dianalisis untuk melihat sejauhmana kesesuaian mata jaring yang diujicobakan pada ketiga habitat Tahapan desain experimental crib Percobaan pada alat tangkap sero ini hanya pada bagian bunuhan yang dimodifikasi dengan cara ketiga sero yang telah ditentukan pada daerah penangkapan berbeda diberikan experimental crib yang ukuran mata jaringnya

126 104 sama yaitu 4 cm yang berfungsi sebagai bunuhan percobaan sedangkan jaring bunuhan aslinya berfungsi sebagai cover-net. Ukuran dari experimental crib tersebut yaitu panjang dan lebar jaringnya 2 m x 2 m, sedangkan crib asli berukuran 4 m x 5 m. Jarak dinding experimental crib dengan dinding cover-net sebelah kiri dan kanan yaitu 0,5 m, bagian belakang 1 m dan bagian depan berhimpit sedangkan bagian dasar atau bawah experimental crib dengan cover-net jaraknya 0,5 m. Gambar 17 Proses pembuatan desain experimental crib sero.

127 105 5 m Crib asli 1 m 2 m Experimental crib 0.5 m 4 m A 2 m 0.2 m B 2.5 m 3 m 0.5 m 1 m 3.5 m C 0.7 m 1 m D 20 m 2 m 10 m E 100 m A = Bunuhan (crib ) Exp. Crib Crib asli B = Perut (belly ) C = Badan (body ) D = Sayap (wing ) E = Penaju Gambar 18 Desain experimental crib pada alat tangkap sero Tahapan pembuatan experimental crib Tahapan pembuatan experimental crib pada alat tangkap sero adalah sebagai berikut : (1) Bahan yang digunakan adalah jaring trawl yang terbuat dari polyethylen berwarna hijau dengan ukuran mata jaring 4 cm. (2) Semua jaring tersebut dilakukan pemotongan secara all bar dengan ukuran setiap lembar jaring 2 m (3) Jumlah lembaran jaring yang diperlukan untuk satu experimental crib yaitu 5 lembaran dengan ukuran yang sama besar (4) Tiap lembaran jaring dijurai membentuk empat persegi panjang dengan ukuran (p x l x t) 2 m x 2 m x 3 m, yang berfungsi sebagai experimental crib. (5) Setiap pinggiran jaring yang telah digunting diberikan tali ris sebagai penguat jaring dimana diameter tali sebesar 0,5 cm

128 106 (6) Pada bagian depan jaring experimental crib dan cover-netnya dibuatkan mulut yang berfungsi sebagai pintu masuk ikan dengan lebar pintu yaitu 0,2 m (7) Semua sudut jaring dan bagian depan jaring diberikan tali penarik yang berfungsi untuk mengencangkan experimental crib, agar jaring tertata dengan sempurna bila dipasang di perairan Tahapan pemasangan experimental crib Tahapan pemasangan experimental crib pada bagian bunuhan sero adalah sebagai berikut : (1) Experimental crib yang telah dibuat dipasang pada bagian dalam bunuhan asli dalam hal ini yang berfungsi juga sebagai cover-net yang terbuat dari waring dengan mata jaring 0,5 cm dengan ukuran 4 m x 5 m x 3,5 m (2) Bagian mulut experimental crib dipasang sejajar dengan mulut cover-net (3) Tali penarik yang dipasang pada bagian bawah dan sudut experimental crib melalui sisi cover-net, kemudian tali penarik tersebut dikencangkan dan diikat pada tiang yang terpancang pada sisi cover-net tersebut (4) Jaring experimental crib yang dipasang diberikan jarak, baik dari sisi depan, belakang, kiri dan kanan serta sisi bagian bawah, agar ikan diharapkan untuk memberikan ruang gerak untuk meloloskan diri keluar dari jaring experimental crib bila ukuran girth maximum ikan tersebut lebih kecil dari ukuran mata jaring dari experimental crib (5) Jaring experimental crib dan cover net dari bagian sisi depan berhimpit dan sisi belakang berjarak 1 m, sedangkan bagian sisi kanan dan kiri yaitu 0,5 m, begitu pula dengan sisi bagian bawah jaraknya dari cover-net yaitu 0,5 m. (6) Setelah proses pemasangan experimental crib telah selesai semua tali penarik dari tiap sudut experimental crib yang melewati sisi cover-net, dikencangkan dengan cara ditarik agar experimental crib tertata dengan sempurna atau tidak kendur, kemudian diikat pada tiang yang telah dipasang di samping cover-net.

129 107 Gambar 19 Pemasangan jaring experimental crib pada alat tangkap sero Tahapan pengambilan hasil tangkapan Tahapan pengambilan hasil tangkapan pada experimental crib pada bagian bunuhan sero adalah sebagai berikut : (1) Kegiatan pengambilan hasil tangkapan sero dilakukan hanya sekali sehari yaitu pada pagi hari (2) Pelaksanaan hauling dilakukan di atas bunuhan sero dengan cara yaitu semua tali kolor baik dari tali kolor dari experimental crib (cod-end) maupun tali cover-net dibuka secara bersamaan dengan perlahan-lahan. (3) Mulut depan bunuhan diangkat terlebih dahulu secara bersamaan baik itu codend maupu cover-net dengan tujuan agar ikan-ikan tidak bisa lagi meloloskan diri keluar dari tempat dimana ikan tersebut tersaring/tertahan. (4) Perlahan-lahan kedua jaring tersebut diangkat sampai ketinggian air dalam jaring sekitar 80 cm. (5) Hasil tangkapan pada cod-end terlebih dahulu diambil dengan menggunakan serok (bunre ), disusul hasil tangkapan pada cod-end sero. Hasil tangkapannya dipisahkan.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

7 SELEKTIVITAS MATA JARING EXPERIMENTAL CRIB 4 CM PADA CRIB SERO 7.1 PENDAHULUAN

7 SELEKTIVITAS MATA JARING EXPERIMENTAL CRIB 4 CM PADA CRIB SERO 7.1 PENDAHULUAN 101 7 SELEKTIVITAS MATA JARING EXPERIMENTAL CRIB 4 CM PADA CRIB SERO 7.1 PENDAHULUAN Perairan pantai yang terdiri dari berbagai ekosistem seperti lamun, terumbu karang, mangrove, dan muara sungai memiliki

Lebih terperinci

8 POSISI JENIS IKAN YANG TERTANGKAP DALAM PIRAMIDA MAKANAN 8.1 PENDAHULUAN

8 POSISI JENIS IKAN YANG TERTANGKAP DALAM PIRAMIDA MAKANAN 8.1 PENDAHULUAN 123 8 POSISI JENIS IKAN YANG TERTANGKAP DALAM PIRAMIDA MAKANAN 8.1 PENDAHULUAN Interaksi trofik merupakan salah satu kunci untuk mengetahui peran ekologis suatu populasi atau spesies di dalam ekosistem.

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

6 KOMUNITAS IKAN DI HABITAT BERBEDA 6.1 PENDAHULUAN

6 KOMUNITAS IKAN DI HABITAT BERBEDA 6.1 PENDAHULUAN 71 6 KOMUNITAS IKAN DI HABITAT BERBEDA 6.1 PENDAHULUAN Sero merupakan alat tangkap yang pengoperasiannya di daerah pantai. Sebagaimana kita ketahui bahwa pantai terdiri didalamnya beberapa ekosistem seperti

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH Oleh : Helmy Hakim C64102077 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan zat yang sangat penting bagi kehidupan semua makhluk hidup yang ada di bumi. Hampir 71%

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Kabupaten Luwu Timur merupakan kabupaten paling timur di Propinsi Sulawesi Selatan dengan Malili sebagai ibukota kabupaten. Secara geografis Kabupaten Luwu Timur terletak

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah penangkapan ikan merupakan wilayah perairan tempat berkumpulnya ikan, dimana alat tangkap dapat dioperasikan sesuai teknis untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

PERBANDINGAN MAKROZOOBENTHOS DI LOKASI KERAMBA JARING APUNG DENGAN LOKASI YANG TIDAK MEMILIKI KERAMBA JARING APUNG SKRIPSI MUHAMMAD FADLY AGUSTIAN

PERBANDINGAN MAKROZOOBENTHOS DI LOKASI KERAMBA JARING APUNG DENGAN LOKASI YANG TIDAK MEMILIKI KERAMBA JARING APUNG SKRIPSI MUHAMMAD FADLY AGUSTIAN PERBANDINGAN MAKROZOOBENTHOS DI LOKASI KERAMBA JARING APUNG DENGAN LOKASI YANG TIDAK MEMILIKI KERAMBA JARING APUNG SKRIPSI MUHAMMAD FADLY AGUSTIAN PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Lokasi Penelitian Cirebon merupakan daerah yang terletak di tepi pantai utara Jawa Barat tepatnya diperbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 0 I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luas terumbu karang Indonesia kurang lebih 50.000 km 2. Ekosistem tersebut berada di wilayah pesisir dan lautan di seluruh perairan Indonesia. Potensi lestari sumberdaya

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan 5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan Hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian menunjukan bahwa sumberdaya ikan di perairan Tanjung Kerawang cukup beragam baik jenis maupun ukuran ikan yang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung biota laut, termasuk bagi beragam jenis ikan karang yang berasosiasi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu isu penting perikanan saat ini adalah keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya dan lingkungannya. Upaya pemanfaatan spesies target diarahkan untuk tetap menjaga

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perairan Pulau Pramuka terletak di Kepulauan Seribu yang secara administratif termasuk wilayah Jakarta Utara. Di Pulau Pramuka terdapat tiga ekosistem yaitu, ekosistem

Lebih terperinci

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem laut merupakan suatu kumpulan integral dari berbagai komponen abiotik (fisika-kimia) dan biotik (organisme hidup) yang berkaitan satu sama lain dan saling berinteraksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan

BAB I PENDAHULUAN. Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan mempunyai kemampaun berenang yang lemah dan pergerakannya selalu dipegaruhi oleh gerakan massa

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Kepulauan Selayar merupakan wilayah yang memiliki ciri khas kehidupan pesisir dengan segenap potensi baharinya seperti terumbu karang tropis yang terdapat di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya yang sangat tinggi. Nybakken (1988), menyatakan bahwa kawasan

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya yang sangat tinggi. Nybakken (1988), menyatakan bahwa kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dikenal sebagai ekosistem perairan yang memiliki potensi sumber daya yang sangat tinggi. Nybakken (1988), menyatakan bahwa kawasan pesisir terdapat

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah beriklim tropis dan merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya perairan. Laut tropis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rajungan merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia. Berdasarkan data ekspor impor Dinas Kelautan dan Perikanan Indonesia (2007), rajungan menempati urutan ke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan ix M Tinjauan Mata Kuliah ata kuliah ini merupakan cabang dari ekologi dan Anda telah mempelajarinya. Pengetahuan Anda yang mendalam tentang ekologi sangat membantu karena ekologi laut adalah perluasan

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA

PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh: BETZY VICTOR TELAUMBANUA 090302053 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Pramuka secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu, Kotamadya Jakarta

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak di Cagar Alam Leuweung Sancang. Cagar Alam Leuweung Sancang, menjadi satu-satunya cagar

Lebih terperinci

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA Oleh; Galih Kurniawan C64104033 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak pada garis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI

KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI KARAKTERISASI ALAT PENANGKAP IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA BARAT FIFIANA ALAM SARI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun memiliki hak yang sama untuk mengambil atau mengeksploitasi sumberdaya didalamnya. Nelayan menangkap

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Perairan di Kabupaten Barru

5 PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Perairan di Kabupaten Barru 5 PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Perairan di Kabupaten Barru Perairan Kabupaten Barru terletak di pantai barat pulau Sulawesi dan merupakan bagian dari Selat Makassar. Perairan ini merupakan salah satu pintu masuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Panjang garis pantai di Indonesia adalah lebih dari 81.000 km, serta terdapat lebih dari 17.508 pulau dengan luas

Lebih terperinci

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di beberapa negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai dingin dan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem padang lamun (seagrass) merupakan suatu habitat yang sering dijumpai antara pantai berpasir atau daerah mangrove dan terumbu karang. Padang lamun berada di daerah

Lebih terperinci

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Oleh: Livson C64102004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

Pengumunan terkait revisi Dosen Pengampu dan Materi DPI

Pengumunan terkait revisi Dosen Pengampu dan Materi DPI Pengumunan terkait revisi Dosen Pengampu dan Materi DPI Dosen Pengampu: RIN, ASEP, DIAN, MUTA Revisi pada pertemuan ke 13-15 Sehubungan dgn MK Indraja yg dihapus. Terkait hal tersebut, silakan disesuaikan

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO

STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK BENI PRAMONO. Strategi Pengelolaan Perikanan Jaring

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA DI PERAIRAN MUARA JAYA TELUK JAKARTA USMAN MADUBUN

PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA DI PERAIRAN MUARA JAYA TELUK JAKARTA USMAN MADUBUN PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA DI PERAIRAN MUARA JAYA TELUK JAKARTA USMAN MADUBUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

Randy Aditya, Paulus Taru dan Adnan

Randy Aditya, Paulus Taru dan Adnan STUDI HASIL TANGKAPAN BELAT (Set Net) DAN KETAHANAN BELAT (Set Net) TERHADAP PENGARUH ARUS DAN GELOMBANG DI PERAIRAN TJ. LIMAU KOTA BONTANG (Catches and Resistance Study of Set Net toward Currents and

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut di Indonesia memegang peranan penting, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan jasajasa lingkungan yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makanan Alami Ikan Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam perkembangbiakan ikan baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut. Fungsi utama

Lebih terperinci

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL DAN KOMPOSISI TANGKAPAN JARING INSANG PERMUKAAN DAN JARING INSANG DASAR DI PERAIRAN DESA SEI NAGALAWAN SERDANG BEDAGAI

PERBANDINGAN HASIL DAN KOMPOSISI TANGKAPAN JARING INSANG PERMUKAAN DAN JARING INSANG DASAR DI PERAIRAN DESA SEI NAGALAWAN SERDANG BEDAGAI PERBANDINGAN HASIL DAN KOMPOSISI TANGKAPAN JARING INSANG PERMUKAAN DAN JARING INSANG DASAR DI PERAIRAN DESA SEI NAGALAWAN SERDANG BEDAGAI RURI PERWITA SARI 090302004 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai merupakan suatu perairan yang airnya berasal dari air tanah dan air hujan, yang mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran tersebut dapat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perairan pesisir merupakan wilayah perairan yang banyak menerima beban masukan bahan organik maupun anorganik (Jassby and Cloern 2000; Andersen et al. 2006). Bahan ini berasal

Lebih terperinci

IKHWANUL CHAIR NAWAR PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2013

IKHWANUL CHAIR NAWAR PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2013 ANALISIS HASIL TANGKAPAN ALAT PENANGKAPAN JARING INSANG SATU LEMBAR (GILLNET) DAN TIGA LEMBAR (TRAMMEL NET) DI PERAIRAN PANTAI CERMIN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI IKHWANUL CHAIR NAWAR 090302056 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN karena sungai-sungai banyak bermuara di wilayah ini. Limbah itu banyak dihasilkan dari

PENDAHULUAN karena sungai-sungai banyak bermuara di wilayah ini. Limbah itu banyak dihasilkan dari PENENTUAN PARAMETER PALING DOMINAN BERPENGARUH TERHADAP PERTUMBUHAN POPULASI FITOPLANKTON PADA MUSIM KEMARAU DI PERAIRAN PESISIR MAROS SULAWESI SELATAN 1 Rahmadi Tambaru 1, Enan M. Adiwilaga 2, Ismudi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan pasang surut,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR Oleh: Sabam Parsaoran Situmorang C64103011 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI 2 STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

PENGARUH KECEPATAN ARUS TERHADAP DINAMIKA JARING KEJER PADA PERCOBAAN DI FLUME TANK

PENGARUH KECEPATAN ARUS TERHADAP DINAMIKA JARING KEJER PADA PERCOBAAN DI FLUME TANK PENGARUH KECEPATAN ARUS TERHADAP DINAMIKA JARING KEJER PADA PERCOBAAN DI FLUME TANK SINGGIH PRIHADI AJI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati, diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia memiliki banyak hutan

Lebih terperinci

PROPORSI DAN KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN JARING TIGA LAPIS (TRAMMEL NET) DI PELABUHAN RATU

PROPORSI DAN KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN JARING TIGA LAPIS (TRAMMEL NET) DI PELABUHAN RATU Proporsi dan Komposisi Hasil Tangkapan Jaring Tiga Lapis (Trammel Net) di Pelabuhan Ratu (Hufiadi) PROPORSI DAN KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN JARING TIGA LAPIS (TRAMMEL NET) DI PELABUHAN RATU ABSTRAK Hufiadi

Lebih terperinci

KELIMPAHAN UDANG KARANG BERDURI (Panulirus spp) DI PERAIRAN PANTAI WATUKARUNG PACITAN SKRIPSI

KELIMPAHAN UDANG KARANG BERDURI (Panulirus spp) DI PERAIRAN PANTAI WATUKARUNG PACITAN SKRIPSI KELIMPAHAN UDANG KARANG BERDURI (Panulirus spp) DI PERAIRAN PANTAI WATUKARUNG PACITAN SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Sains Oleh: Laksito Nugroho M 0401037 JURUSAN

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian telah dilaksanakan di perairan Pulau Biawak Kabupaten Indramayu dan Laboratorium Manajemen Sumberdaya dan Lingkungan Perairan Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN UMUM 1.1. Latar belakang

1. PENDAHULUAN UMUM 1.1. Latar belakang 1. PENDAHULUAN UMUM 1.1. Latar belakang Estuari merupakan daerah pantai semi tertutup yang penting bagi kehidupan ikan. Berbagai fungsinya bagi kehidupan ikan seperti sebagai daerah pemijahan, daerah pengasuhan,

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH Hidup ikan Dipengaruhi lingkungan suhu, salinitas, oksigen terlarut, klorofil, zat hara (nutrien)

Lebih terperinci

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM 69 4. DESKRIPSI SISTEM SOSIAL EKOLOGI KAWASAN PENELITIAN 4.1 Kondisi Ekologi Lokasi studi dilakukan pada pesisir Ratatotok terletak di pantai selatan Sulawesi Utara yang termasuk dalam wilayah administrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Performa Fyke Net Modifikasi

5 PEMBAHASAN 5.1 Performa Fyke Net Modifikasi 5 PEMBAHASAN 5.1 Performa Fyke Net Modifikasi Fyke net yang didisain selama penelitian terdiri atas rangka yang terbuat dari besi, bahan jaring Polyetilene. Bobot yang berat di air dan material yang sangat

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS ZOOPLANKTON DI PERAIRAN MOROSARI, KECAMATAN SAYUNG, KABUPATEN DEMAK

STRUKTUR KOMUNITAS ZOOPLANKTON DI PERAIRAN MOROSARI, KECAMATAN SAYUNG, KABUPATEN DEMAK Journal of Marine Research. Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, Halaman 19-23 Online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jmr STRUKTUR KOMUNITAS ZOOPLANKTON DI PERAIRAN MOROSARI, KECAMATAN SAYUNG, KABUPATEN

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan 6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan Daerah penangkapan ikan kakap (Lutjanus sp.) oleh nelayan di Kabupaten Kupang tersebar diberbagai lokasi jalur penangkapan.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang yang merupakan salah satu ekosistem wilayah pesisir mempunyai peranan yang sangat penting baik dari aspek ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai berlindung, laguna, dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API (Avicennia marina Forssk. Vierh) DI DESA LONTAR, KECAMATAN KEMIRI, KABUPATEN TANGERANG, PROVINSI BANTEN Oleh: Yulian Indriani C64103034 PROGRAM

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD Oleh : IRMA DEWIYANTI C06400033 SKRIPSI PROGRAM STUD1 ILMU

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITAN

3. METODOLOGI PENELITAN 3. METODOLOGI PENELITAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pantai Sanur Desa Sanur, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Provinsi Bali (Lampiran 1). Cakupan objek penelitian

Lebih terperinci