vii ANALISIS KEMUNDURAN MUTU DAGING DAN MATA IKAN BANDENG (Chanos chanos) MELALUI PENGAMATAN HISTOLOGIS AINI SYARIAH SAGALA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "vii ANALISIS KEMUNDURAN MUTU DAGING DAN MATA IKAN BANDENG (Chanos chanos) MELALUI PENGAMATAN HISTOLOGIS AINI SYARIAH SAGALA"

Transkripsi

1 vii ANALISIS KEMUNDURAN MUTU DAGING DAN MATA IKAN BANDENG (Chanos chanos) MELALUI PENGAMATAN HISTOLOGIS AINI SYARIAH SAGALA DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 vii RINGKASAN AINI SYARIAH SAGALA. C Analisis Kemunduran Mutu Daging dan Mata Ikan Bandeng (Chanos chanos) melalui Pengamatan Histologis. Di bawah bimbingan TATI NURHAYATI dan AGOES M JACOEB. Mutu ikan berkaitan dengan tingkat kesegaran ikan. Ikan dikategorikan masih segar jika perubahan-perubahan biokimiawi, mikrobiologi, dan fisikawi yang terjadi belum menyebabkan kerusakan berat pada ikan. Perubahan kesegaran tersebut diamati pada jaringan ikan bandeng. Pengamatan histologis daging ikan bandeng yang ditunjang dengan pengujian tekstur, proksimat dan organoleptik penting untuk dilakukan guna memperoleh data dan pemahaman kondisi jaringan ikan selama fase kemunduran mutu ikan. Hal tersebut penting untuk memperkaya pengetahuan dan pemahaman terhadap ikan bandeng yang merupakan salah satu komoditas ikan lokal Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data mengenai komposisi kimia ikan bandeng, mengamati kemunduran mutu ikan secara organoleptik; dan mengamati kemunduran mutu ikan secara fisik dan histologis. Metode yang digunakan adalah kombinasi pengamatan dan pengujian laboratorium. Pertama, ikan diambil dari tambak dengan ukuran yang seragam gram, selanjutnya ikan disimpan sampai ikan busuk. Ikan selalu diamati selama penyimpanan (uji organoleptik, histologis, dan tekstur) dan proksimat. Ikan bandeng memiliki kandungan air 77,54±0,46%, protein 12,45±1,79%, lemak 1,08±0,12%, abu 1,55±0,03%, dan karbohidrat 7,38±2,10%. Hasil penelitian menunjukkan kondisi daging dan mata ikan fase prerigor masih segar seperti saat masih hidup, daging lunak dengan nilai uji kekerasan 2,34 mm/10 /50g. Pada fase rigor, penampakan histologis jaringan daging menebal dan mulai terjadi perenggangan antar serabut otot, namun belum terlihat jelas. Daging ikan mengalami pengerasan (kaku) yang diakibatkan bersatunya filamen aktin dan miosin. Hal tersebut dibuktikan dengan pengujian texture analysis yang mendapatkan nilai paling rendah diantara fase-fase lainnya, yaitu 1,42 mm/10 /50g. Pada mata mulai terlihat terjadi pemisahan antar komponen mata. Komponen sudah tidak terlihat kompak. Pada fase post rigor menunjukkan jaringan daging telah mengalami perenggangan yang terlihat jelas. Komponen mata terlihat terburai, batas antar komponen terlihat tidak jelas. Pada fase busuk daging dan mata ikan telah menunjukkan kerusakan yang jelas. Kerusakan terutama terlihat pada mata ikan yang sudah terburai. Komponen yang tadinya jelas terlihat hanya menyisakan bekas-bekasnya saja. Pengujian kekerasan menunjukkan bahwa daging ikan pada kondisi ini adalah yang paling lunak dengan nilai rata-rata kekerasan dari dua kali pengulangan adalah 33 mm/10 /50g. Pada fase ini, ikan sudah tidak layak lagi untuk dikonsumsi. Nilai organoleptiknya berkisar 1-3.

3 vii ANALISIS KEMUNDURAN MUTU DAGING DAN MATA IKAN BANDENG (Chanos chanos) MELALUI PENGAMATAN HISTOLOGIS Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Institut Pertanian Bogor Oleh AINI SYARIAH SAGALA C DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

4 vii PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Analisis Kemunduran Mutu Daging dan Mata Ikan Bandeng (Chanos chanos) melalui Pengamatan Histologis adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, November 2011 Aini Syariah Sagala C

5 vii Judul Skripsi Nama NIM Departemen : Analisis Kemunduran Mutu Daging dan Mata Ikan Bandeng (Chanos chanos) melalui Pengamatan Histologis : Aini Syariah Sagala : C : Teknologi Hasil Perairan Menyetujui, Pembimbing I Pembimbing II Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, MSi Dr. Ir. Agoes.M. Jacoeb, Dipl.- Biol. NIP NIP Mengetahui : Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan, Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, Mphil. NIP Tanggal lulus:

6 vii KATA PENGANTAR Puji dan syukur dipanjatkan ke hadapan Allah SWT atas karunianya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Analisis Kemunduran Mutu Daging dan Mata Ikan Bandeng (Chanos chanos) melalui Pengamatan Histologis dilaksanakan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB sejak Februari sampai Juni Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, MSi selaku dosen pembimbing pertama yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis sampai dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. 2. Dr. Agoes M Jacoeb, Dipl.-Biol. selaku dosen pembimbing kedua yang telah membantu dan memberikan pengarahan bagi penulis selama melakukan penelitian dan penulisan skripsi. 3. Rahmida (ibu), Amirudin Sagala (ayah), Riski Bayuni Sagala (adik) dan keluarga besar tercinta yang dengan senantiasa selalu mendukung dan memberikan semangat serta doa yang tak henti-hentinya kepada penulis demi kesuksesan masa depan penulis. 4. Bapak Ranta selaku laboran pada Laboratorium Kesehatan Ikan atas bantuannya terhadap kelancaran penelitian ini. 5. Medal Lintas Perceka dan Supartinah, kedua kawan satu tim penulis yang sabar dan murah hati membantu penulis saat pelaksanaan penelitian ini. 6. Teman-teman THP 44 yang telah memberikan dukungan moral serta tenaga yang begitu besar kepada penulis selama pelaksanaan penelitian ini. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang perikanan. Bogor, November 2011 Aini Syariah Sagala C

7 vii BIODATA PENULIS Aini Syariah Sagala. Lahir di Medan, 26 Juli 1990 sebagai putri pertama dari dua bersaudara dari Rahmida dan Amirudin Sagala. Penulis menamatkan Sekolah Menengah Atas pada tahun 2007 di SMA Negeri 58, Jakarta dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis tercatat sebagai anggota tidak aktif Himpunan Mahasiswa Hasil Perairan (Himasilkan). Penulis merupakan penerima beasiswa PPA dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia pada tahun Penulis melaksanakan Praktik Lapangan pada tahun 2010 di PT Indocitra Jaya Samudera, Jembrana, Bali. Penulis menyelesaikan skripsi berjudul Deskriptif Kemunduran Mutu Daging dan Mata Ikan Bandeng (Chanos chanos) melalui Pengamatan Histologis untuk mendapatkan gelar Sarjana Perikanan di bawah bimbingan Dr. Tati Nurhayati, SPi, MSi dan Dr. Ir. Agoes M Jacoeb, Dipl.-Biol.

8 vii DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL viii DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR LAMPIRAN... x 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi, Klasifikasi dan Komposisi Kimia Ikan Bandeng Deskripsi dan klasifikasi ikan bandeng Komposisi kimia ikan bandeng Kemunduran Mutu Ikan Histologi Jaringan otot Mata Pembuatan Preparat Histologi METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Metode Penelitian Analisis proksimat (AOAC 1995) Uji organoleptik (BSN 2006) Analisis kekerasan (Precision, Scientific Petroleum Instruments) Pembuatan preparat histologis (Angka et al. 1990) Analisis data secara deskriptif HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Proksimat Ikan Bandeng Organoleptik Daging dan Mata Ikan Bandeng Kekerasan Daging dan Mata Ikan Bandeng Histologis Daging dan Mata Ikan Bandeng... 31

9 vii 5 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 43

10 vii DAFTAR TABEL Teks Halaman 1 Komposisi kimia ikan bandeng (Chanos chanos) Perbedaan fiksasi aktif dan pasif Kelebihan dan kekurangan berbagai larutan pengawet Masalah-masalah dalam preparasi histologis spesimen Hasil pengujian proksimat daging ikan bandeng Hasil pengujian kekerasan daging ikan bandeng Ringkasan kerusakan daging dan mata ikan bandeng... 37

11 vii DAFTAR GAMBAR Teks Halaman 1 Ikan bandeng (Chanos chanos) (FAO 2011) Otot merah ikan (Morrison et al. 2007) Otot putih ikan (Morrison et al. 2007) Anatomi mata (Care and healed 2010) Retina mata ikan normal (Morrison et al. 2007) Diagram alir penelitian Diagram alir proses pembuatan preparat histologi (Angka et al. 1990) Hasil pengujian organoleptik daging dan mata ikan bandeng Kondisi histologis daging ikan bandeng fase pre rigor (perbesaran 100x) Kondisi histologis daging ikan bandeng fase rigor (perbesaran 100x) Kondisi histologis daging ikan bandeng fase post rigor (perbesaran 100x) Kondisi histologis daging ikan bandeng fase busuk (perbesaran 100x) Kondisi histologis mata ikan bandeng bagian posterior fase pre rigor (perbesaran 100x) Kondisi histologis mata ikan bandeng bagian posterior fase rigor (perbesaran 100x) Kondisi histologis mata ikan bandeng bagian posterior fase post rigor (perbesaran 100x) Kondisi histologis mata ikan bandeng bagian posterior fase busuk (perbesaran 100x)... 36

12 vii DAFTAR LAMPIRAN Teks Halaman 1 Lembar penilaian organoleptik... 44

13 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bandeng merupakan salah satu komoditas penting perikanan Indonesia. Permintaan pasar menunjukkan peningkatan terhadap ikan ini setiap tahunnya. Peningkatan permintaan tersebut diiringi dengan peningkatan produksi ikan bandeng yang pada tahun 2007 hanya ton kemudian meningkat pada tahun 2010 menjadi ton dan target pemerintah tahun ini untuk produksi bandeng diperkirakan mencapai ton. Indonesia juga merupakan pengekspor nener bandeng untuk negara-negara Asia terutama Filipina yang mengimpor 400 juta ton nener (anakan bandeng) per tahun dari Indonesia (Ditjen Perikanan Budidaya 2007; KKP 2010; KKP 2011). Mutu ikan berkaitan dengan tingkat kesegaran ikan. Ikan dikategorikan masih segar jika perubahan-perubahan biokimiawi, mikrobiologi, dan fisikawi yang terjadi belum menyebabkan kerusakan berat pada ikan. Temperatur yang relatif tinggi di negara-negara tropis dapat mempercepat pembusukan karena peningkatan aktivitas bakteri, enzim dan oksidasi kimia lemak pada ikan segar (Bernard et al. 2010). Berdasarkan kesegarannya, ikan dapat digolongkan menjadi empat kelas mutu, yaitu ikan yang kesegarannya masih baik sekali (prima), ikan yang kesegarannya masih baik (advance), ikan yang kesegarannya sudah mulai mundur (sedang), dan ikan yang sudah tidak segar lagi (mutu rendah/busuk). Proses kemunduran mutu ikan dapat diamati secara mikroskopis dengan pengamatan histologis. Pengamatan dengan cara ini dilakukan untuk mengamati perubahan kondisi jaringan ikan pada setiap fase kemunduran mutu. Perubahan tersebut dapat diamati sejak dari fase prerigor sampai fase busuk. Pada fase prerigor keadaan ikan masih sangat segar yang ditunjukkan dengan tampilan histologisnya yang kompak dan belum rusak, sedangkan saat ikan telah masuk fase busuk, penampakan jaringan ikan terlihat longgar dan menunjukkan tandatanda kebusukan (terurai). Pengamatan histologis daging dan mata ikan bandeng yang didukung dengan pengujian tekstur, proksimat dan organoleptik penting untuk dilakukan guna memperoleh data dan pemahaman kondisi jaringan ikan selama fase

14 2 kemunduran mutu. Ikan memiliki tiga tipe sel otot: (1) lurik, tidak bercabang, bekerja secara sadar; (2) otot jantung yang terdiri dari serabut otot bercabang dan (3) otot halus yang bekerja secara tidak sadar (Morrison et al. 2007). Peranan jaringan otot yang utama sebagai alat gerak, karena sifatnya yang mampu berkontraksi. Kontraksi dapat berlangsung bila ada rangsangan (stimulus) dari syaraf atau pengaruh lain (Hartono 1989). Mata terdiri dari tiga bagian dasar atau lapisan. Bagian paling luar disebut fibrous tunic, yang dibagi menjadi kornea dan sklera. Bagian tengah mata terdiri dari koroid, ciliary body dan iris. Bagian posterior mata adalah retina dan saraf optik yang merupakan bagian paling sentral (Samuelson 2007). 1.2 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1 memperoleh informasi mengenai komposisi kimia ikan bandeng. 2 mengamati kemunduran mutu ikan secara organoleptik. 3 mengamati kemunduran mutu ikan secara fisik dan histologis.

15 3 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi, Klasifikasi dan Komposisi Kimia Ikan Bandeng Deskripsi dan klasifikasi merupakan bagian yang penting dalam mempelajari suatu jenis ikan Deskripsi dan klasifikasi ikan bandeng Bandeng (Gambar 1) mampu mentolelir salinitas perairan yang luas (0-158 ppt) sehingga digolongkan sebagai ikan eurihalin. Ikan muda dan dewasa dapat menyesuaikan diri pada perubahan salinitas. Ikan ini juga dapat bertahan pada perubahan jumlah makanan yang tiba-tiba. Makanan alami mereka adalah bentos dan fitoplankton. Ikan bandeng mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan yakni suhu, ph, dan kekeruhan air serta tahan terhadap serangan penyakit (Schuster 1959; Ghufron dan Kardi 1997). Klasifikasi ikan bandeng menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo : Malacopterygii Famili : Chanidae Genus : Chanos Spesies : Chanos chanos Tipe ikan bandeng yang ditemukan di Indonesia memiliki ciri dengan adanya perpanjangan sirip dorsal dan pektoral. Tipe ikan dengan perpanjangan ini hanya ditemukan di Indonesia (Schuster 1959). Gambar 1 Ikan bandeng (Chanos chanos) (FAO 2011).

16 4 Swanson (1998) menyatakan bahwa kadar garam perairan (salinitas) berpengaruh terhadap fisiologi dan tingkah laku ikan. Pertumbuhan ikan yang lebih tinggi pada salinitas 50 dibandingkan salinitas 35 dan pertumbuhannya sedang pada salinitas 15, sedangkan aktivitas paling tinggi ditunjukkan ikan dengan salinitas air 35. Pola yang bervariasi tersebut berhubungan dengan laju metabolisme ikan dengan kisaran salinitas yang relatif tinggi, yaitu 15 dan 55. Toleransinya yang besar terhadap salinitas tersebut sangat menguntungkan petani ikan. Ikan bandeng juga dapat dibudidaya secara polikultur. Suharyanto (2008) melakukan penelitian tentang kemungkinan polikultur rajungan (Portunus pelagius), udang vanamei (Litopenaeus vannamei), ikan bandeng (Chanos chanos), dan rumput laut (Gracilari sp.) di tambak dan pakan yang diberikan ikan rucah (Clupea sp.) selama 105 hari mendapatkan hasil, produksi rajungan adalah 32,6% (18 kg), udang vanamei 70% (10%), ikan bandeng 100% (30 kg), dan rumput laut 125% (36,25 kg). Temperatur adalah faktor utama yang bertanggung jawab terhadap pembatasan habitat spesies pada daerah tropis dan subtropis di Samudera Hindia dan Pasifik. Batas maksimal toleransi suhu Chanos chanos di atas spesies laut lainnya, Chanos chanos dapat bertahan pada suhu di atas 40 ºC (Schuster 1959). Chanos chanos juga ditemukan di pantai-pantai sekitar Laut Merah, pantai timur Afrika termasuk Zanzibar dan Madagaskar, Teluk Aden, pantai barat daya, selatan dan barat India, pantai Ceylon, Malaysia, Thailand, Vietnam dan Taiwan, perairan antara Filipina dan Indonesia, pantai-pantai di Australia, New Zealand, New Guinea, Fiji, Samoa, the Society, Gilbert, Lau dan Pulau Tuamoto, kepulauan Hawai, pantai barat USA (selatan San Francisco), teluk California dan pantai Meksiko. Berdasarkan informasi ini, sebaran geografis spesies ini adalah dari 40º BT-100º BB dan 30º-40º LU sampai 30º-40º LS (Schuster 1959) Komposisi kimia ikan bandeng Ikan merupakan pangan yang bergizi. Tabel 1 menunjukkan komposisi kimia ikan bandeng.

17 5 Tabel 1 Komposisi kimia ikan bandeng (Chanos chanos) Zat gizi Jumlah Satuan Kalori 126 Kalori Protein 17,4 Gram Lemak 5,7 Gram Air 60,2 Gram Kalsium 43,4 Milligram Fosfor 138 Milligram Besi 0,3 Milligram Vitamin A 85 Milligram Vitamin B6 0,4 Milligram Vitamin B12 2,9 Milligram Sumber: (2007) Jaringan ikan sebagian besar terdiri dari protein. Kandungan protein dalam daging ikan sehat adalah 16-18%. Protein ditemukan di dalam semua sel dan semua bagian sel (Lehninger 1982; Burgess et al. 1967). Satu molekul protein dapat terdiri dari 12 sampai 18 macam asam amino dan dapat mencapai jumlah ratusan dari setiap macam asam aminonya. Berdasarkan kelarutannya dalam air, protein dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu protein miofibril, protein sarkoplasma, dan protein stroma (Suhardjo dan Kusharto 1987; Muchtadi et al. 1993). Protein miofibril merupakan bagian terbesar dalam jaringan daging dan merupakan jenis protein yang larut dalam larutan garam. Protein ini terdiri dari miosin, aktin, dan protein regulasi (tropomiosin, troponin, dan aktin). Penyusun utama protein miofibril adalah aktin (hampir 20% dari total miofibril) dan miosin (sebesar 50-60% dari total protein miofibril). Gabungan aktin dan miosin membentuk aktomiosin. Miosin merupakan protein esensial yang dapat meningkatkan elastisitas gel protein. Protein miofibril berfungsi untuk kontraksi otot (Muchadi et al. 1993; Suzuki 1981). Menurut Nurjanah et al. (2004), protein larut garam pada ikan merupakan protein miofibril. Kadar miofibril dalam daging ikan 65-75% yang terdiri dari miosin, aktin, dan komponen minor lainnya. Sarkoplasma merupakan protein terbesar kedua di dalam protein daging, memiliki

18 6 sifat larut dalam air dan secara umum ditemukan dalam plasma sel. Protein sarkoplasma tidak berperan dalam pembentukan gel dan kemungkinan mengganggu pembentukan gel (Hall dan Ahmad 1992). Sarkoplasma memiliki bobot molekul yang relatif rendah, ph isoelektrik tinggi dan struktur berbentuk bulat. Karakteristik fisik ini mungkin yang bertanggung jawab untuk daya larut sarkoplasma yang tinggi dalam air (Muchtadi et al.1993). Protein stroma adalah protein yang membentuk jaringan ikat. Protein stroma tidak dapat diekstrak dengan larutan asam, alkali atau larutan garam netral pada konsentrasi (0,01-0,10) M. Protein stroma terdapat pada bagian luar sel otot. Selain protein stroma, protein kontraktil, seperti konektin dan desmin juga tidak dapat terekstrak (Suzuki 1981). Analisis protein untuk bahan pangan, umumnya lebih ditujukan pada kadar total protein daripada keberadaan protein spesifik dalam bahan pangan tersebut. Jumlah gram protein dalam bahan pangan biasanya dihitung sebagai hasil perkalian jumlah gram nitrogen dengan faktor 6,25 dan kadar protein yang dilaporkan adalah kadar protein kasar (crude protein) (Danitasari 2010). Kandungan lemak pada suatu makanan dapat rendah maupun tinggi hal tersebut tergantung pada bahannya. Asam lemak dibagi menjadi dua golongan, yaitu asam lemak jenuh dan tak jenuh, asam lemak jenuh bertitik leleh lebih tinggi dibandingkan dengan asam lemak tidak jenuh (deman 1997). Asam lemak tak jenuh yang mengandung satu ikatan rangkap disebut asam lemak tak jenuh tunggal (Monounsaturated fatty acid/mufa). Asam lemak yang mengandung dua atau lebih ikatan rangkap disebut asam lemak tak jenuh majemuk (Polyunsaturated fatty acid/pufa) (Muchtadi et al. 1993). Asam lemak yang mengandung dua atau lebih ikatan rangkap disebut asam lemak tak jenuh majemuk. Asam lemak tidak jenuh umumnya terdapat dalam bentuk cis, sedangkan bentuk trans banyak terdapat pada asam lemak susu ruminansia pada hewan teresterial dan lemak yang telah dihidrogenasi (Muchtadi et al. 1993). Lemak daging ikan mengandung asam-asam lemak jenuh dengan panjang rantai C 14 -C 22 dan asam lemak tidak jenuh dengan jumlah ikatan 1-6. Lemak ikan berbeda dengan lemak pada tanaman dan hewan darat. Lemak

19 7 tanaman dan hewan darat jarang yang memiliki asam lemak dengan rantai karbon lebih dari 18 (Adawyah 2006; Nurjanah dan Abdullah 2010). Ikan tidak makan terlalu banyak karbohidrat, tetapi makanan mereka mengandung banyak protein dan lemak. Ketiga jenis makanan, karbohidrat, lemak dan protein dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk memenuhi kebutuhan energi. Jika total pemasukan makanan kurang dari total kebutuhan energi yang dibutuhkan, maka jaringan lemak akan digunakan untuk melengkapinya. Lemak tidak dapat menggantikan protein yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tetapi dapat menjaga cadangan protein (Burgess et al. 1967). Karbohidrat dalam daging ikan merupakan polisakarida yaitu glikogen yang terdapat dalam sarkoplasma diantara miofibril-miofibril. Glikogen terdapat dalam jumlah jumlah terbanyak dari karbohidrat yang terdapat pada daging ikan yaitu 0,05 0,085 %, selain itu terdapat juga glukosa (0,038 %), asam laktat (0,005 0,43 %) dan berbagai senyawa antara dalam metabolisme karbohidrat (Hadiwiyoto 1993). Mineral dalam makanan ditentukan dengan pengabuan atau insinerasi (pembakaran). Pada proses pembakaran yang terbakar adalah bahan-bahan organik karena itulah disebut abu (deman 1997; Winarno 1992). Akan tetapi mineral yang didapat dengan pembakaran tidak mengandung nitrogen yang ada dalam protein, sehingga jumlahnya berbeda dengan kandungan mineral bahan yang sebenarnya. Karbonat dalam abu dapat dibentuk karena penguraian bahan organik. Beberapa unsur sesepora (trace elements) dan beberapa garam dapat hilang karena penguapan. Oleh karena itu, jumlah mineral dalam makanan bergantung kepada metode analisisnya (deman 1997). Mineral dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu komponen garam utama dan unsur sesepora (trace elements). Komponen garam utama mencakup kalium, natrium, kalsium, magnesium, klorida, sulfat, fosfat, dan bikarbonat. Unsur sesepora dapat dibagi menjadi tiga golongan yang pertama adalah unsur gizi esensia, termasuk Fe, Cu, I, Co, Mn, dan Zn, yang kedua adalah unsur gizi nontoksik, termasuk Al, B, Ni, Sn, dan Cr, dan yang terakhir adalah unsur nongizi dan toksik, termasuk Hg, Pb, As, Cd, dan Sb (deman 1997).

20 8 Vitamin yang terdapat pada daging ikan terbagi menjadi dua golongan, yaitu vitamin yang larut dalam air seperti vitamin B kompleks dan vitamin yang larut dalam lemak seperti vitamin A, D, dan E. Vitamin A dan D banyak ditemukan pada spesies-spesies ikan berlemak, terutama dalam hati, seperti pada ikan cod (Junianto 2003). 2.2 Kemunduran Mutu Ikan Ikan merupakan bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan dan kemunduran mutu (perishable food). Kerusakan ini dapat terjadi secara biokimiawi maupun mikrobiologi. Proses kerusakan ikan ini berlangsung cepat terutama di daerah tropis yang mempunyai kelembaban harian yang tinggi. Proses tersebut dipercepat dengan praktek-praktek penangkapan atau pemanenan yang tidak baik, cara penanganan yang kurang tepat, sanitasi dan higiene yang tidak memadai, terbatasnya sarana distribusi dan sarana pemasaran dan sebagainya (Yuniarti 2010). Menurut Eskin (1990) ikan yang telah mati akan mengalami perubahanperubahan yang mengakibatkan penurunan mutu ikan. Perubahan biokimia dan fisikokimia mengakibatkan turunnya kesegaran ikan. Proses perubahan tersebut dibagi menjadi tiga tahap, yaitu pre rigor, rigor mortis dan post rigor. Jika masih ingin dilanjutkan penyimpanan ikan yang telah mencapai fase post rigor selanjutnya ikan akan masuk pada kebusukan. Ikan yang busuk sudah tidak layak konsumsi lagi, biasanya ikan ini hanya digunakan sebagai tepung ikan. Kondisi daging ikan pada fase pre rigor masih lembut dan lunak, dan secara kimiawi ditandai dengan penurunan jumlah ATP dan kreatin fosfat, seperti halnya pada reaksi aktif glikolisis. Sirkulasi darah berhenti pada awal kematian dan terjadi perubahan susunan yang kompleks pada daging. Sirkulasi darah yang terhenti pada ikan mati akan mengakibatkan habisnya aliran oksigen di dalam jaringan. Tahap berikutnya adalah terjadinya perubahan ATP yang telah terbentuk selama ikan masih hidup sebagai sumber energi, sehingga sumber ATP semakin berkurang. Adenosin trifosfat (ATP) mengalami perubahan akibat aktivitas enzim ATPase, bersamaan dengan itu glikogen akan diurai menjadi asam laktat. Proses ini menyebabkan terjadinya akumulasi asam laktat sehingga ph jaringan otot ikan akan terus menurun, kondisi ini disebut rigor mortis. Rigor mortis ditandai dengan

21 9 keadaan otot yang kaku dan keras. Lamanya tahap rigor dipengaruhi oleh kandungan glikogen dalam tubuh ikan dan suhu lingkungan. Kandungan glikogen yang tinggi dapat menunda datangnya proses rigor. Pada fase rigor mortis terjadi penurunan kelenturan otot terus berlangsung seiring dengan semakin sedikitnya jumlah ATP. Kelenturan otot yang hilang ini diakibatkan ion Ca 2+ yang berikatan dengan protein troponin sehingga menyebabkan terjadinya ikatan elektrostatik antara filamen aktin dan miosin (aktomiosin) yang ditandai dengan terjadinya pengkerutan atau kontraksi serabut otot yang tidak dapat balik (irreversible). Adenosin trifosfat merupakan sumber energi tertinggi bagi aktivitas ikan. Pada ikan mati, ATP diperoleh dari penguraian kreatin fosfat. Kemudian ATP mulai mengalami penguraian ketika kandungan kreatin fosfat dan ATP mencapai titik yang sama. Hidrolisis ATP menjadi ADP dengan bantuan enzim ATPase akan menghasilkan energi. Penguraian tersebut terjadi berdasarkan reaksi berikut ini (Eskin 1990): ATP + H 2 O ATPase ADP + H 3 PO 4 Otot ikan ketika baru mati memiliki ph netral atau sedikit basa. Selama rigor mortis, nilai ph perlahan-lahan turun menjadi 6,2-6,5 karena akumulasi asam laktat. Kandungan glikogen yang lebih banyak pada otot ikan mati akan memperpanjang fase rigor mortis (Govidan 1985). Penguraian ATP berkaitan erat dengan terjadinya rigor mortis. Pada saat ATP mulai mengalami penurunan, rigor mortis pun mulai terjadi dan mencapai kejang penuh (full-rigor) ketika kandungan ATP sekitar 1 µmol/g. Energi pada jaringan otot ikan setelah mati diperoleh secara anaerobik dari pemecahan glikogen melalui proses glikolisis menghasilkan ATP dan asam laktat. Akumulasi asam laktat selain menurunkan ph otot, juga diikuti oleh peristiwa rigor mortis (Eskin 1990). Fase post rigor terjadi pada saat otot ikan melunak setelah melewati fase rigor mortis terjadi kenaikan ph ikan secara perlahan-lahan dengan meningkatnya laju perubahan autolitik yang ditandai dengan proses pelunakan daging ikan (Govidan 1985). Serabut otot daging ikan hidup mengandung protein dalam gel lunak. Selama rigor, gel ini menjadi kaku dan bila rigor telah berlalu, otot daging menjadi lunak, keadaan ini berlangsung selama 1-7 jam sesaat setelah ikan mati.

22 10 Nilai ph daging ikan pada fase ini sekitar 6-7. Kelenturan ikan yang hilang tersebut karena terbentuknya aktomiosin yang berlangsung lambat pada tahap awal dan kemudian menjadi cepat pada tahap selanjutnya. Lama tahap rigor dipengaruhi oleh kandungan glikogen dalam tubuh ikan dan suhu lingkungannya. Kandungan glikogen yang tinggi dapat menunda datangnya proses rigor (Eskin 1990). Penguraian protein daging ikan karena aktivitas enzim proteolitik mengakibatkan daging ikan menjadi lunak, mudah dilepaskan dari tulang, kehilangan elastisitasnya, dan meninggalkan bekas jari pada saat ditekan (Govidan 1985). Reaksi kimiawi yang terjadi selama proses kemunduran kesegaran ikan adalah penguraian lemak oleh aktivitas enzim jaringan tubuh dan enzim yng dihasilkan oleh bakteri serta berlangsung akibat oksidasi dengan adanya oksigen menjadi asam lemak. Akibat dari reaksi ini adalah terjadinya ketengikan, perubahan warna daging menjadi pucat yang mengarah pada rasa, bau dan perubahan lain yang tidak dikehendaki. Geesink et al. (2006) melakukan penelitian mengenai peran µ-kalpain terhadap proteolisis post mortem pada protein otot menghasilkan kesimpulan bahwa µ-kalpain memiliki peran yang sangat besar dalam aktivitas proteolisis post mortem. Mikroorganisme dominan yang berperan penting di dalam proses penurunan kesegaran ikan adalah bakteri. Pada daging ikan yang masih segar bakteri dapat ditemukan di permukaan kulit, insang, dan saluran pencernaan. Pada ikan mati, bakteri yang terkonsentrasi pada ketiga tempat tersebut perlahan-lahan berpenetrasi dan bergerak aktif menyebar ke seluruh jaringan dan organ ikan selanjutnya mulai dijadikan tempat berkembangnya bakteri. Dekomposisi berjalan intensif, khususnya setelah ikan melewati fase rigor mortis, saat itu jaringan otot longgar dan jarak antar serta diisi oleh cairan (Irianto dan Giyatmi 2009). 2.3 Histologi Histologi (Histos = jaringan, Logos = ilmu) mempelajari struktur jaringan tubuh hewan. Histologi adalah ilmu yang mempelajari struktur dari hewan atau tumbuhan secara terperinci dan hubungan antara pengorganisasian sel dan jaringan serta fungsi-fungsi yang dilakukannya. Histologi dapat juga disebut sebagai ilmu anatomi mikroskopis (Hartono 1989).

23 Jaringan otot Peranan jaringan otot yang utama ialah sebagai alat gerak, karena sifatnya yang mampu berkontraksi. Kontraksi dapat berlangsung bila ada rangsangan (stimulus) dari syaraf atau pengaruh lain (Hartono 1989). Ikan seperti juga vertebrata lainnya memiliki tiga tipe sel otot: (1) lurik, tidak bercabang, bekerja secara sadar; (2) otot jantung yang terdiri dari serabut otot bercabang dan (3) otot halus yang bekerja secara tidak sadar. Otot lurik dibagi menjadi dua jenis, yaitu merah and putih. Otot merah (Gambar 2) memiliki jumlah mitokondria dan aktivitas respirasi yang lebih besar dibandingkan dengan otot putih (Gambar 3) (Morrison et al. 2007). Gambar 2 Otot merah ikan (Morrison et al. 2007). Gambar 3 Otot putih ikan (Morrison et al. 2007).

24 Mata Mata terdiri dari tiga bagian dasar atau lapisan (Gambar 4). Bagian paling luar disebut fibrous tunic, yang dibagi menjadi kornea dan sklera. Fibrous tunic memberikan mata bentuk yang cocok sebagai sistem visual. Bagian luar dari fibrous tunic adalah kornea yang transparan sehingga memungkinkan cahaya masuk dan bentuknya cocok sebagai refraktor (pembelok) cahaya dengan tepat menuju retina mata (Samuelson 2007). Bagian tengah mata (Gambar 4) terdapat uvea atau vaskular tunic atau pembungkus yang terdiri dari koroid, ciliary body dan iris. Koroid terletak pada pertengahan posterior mata diantara sklera dan retina. Fungsi koroid adalah menyediakan makanan untuk retina yang sangat tinggi metabolismenya. Ciliary body berfungsi sebagai tempat pelekatan lensa dan tempat produksi cairan aqueous humor. Bagian anterior dari vaskular tunic adalah iris, yaitu perpanjangan ciliary body. Iris sangat kaya pigmen dan otot (pupil) yang mampu mengatur jumlah cahaya untuk masuk ke bagian posterior (retina). Bagian ketiga dan yang paling sentral adalah retina (Gambar 5) dan saraf optik. Retina terdiri dari sel-sel sensitif cahaya dan fotoreseptor yang mentransmisikan rangsangan kepada otak melalui saraf optik. Bagian lainnya dari mata adalah cairan intraokular yang terdiri dari vitreous dan aquaeos humor yang bersama-sama menciptakan sebuah medium transparan untuk mentransmisikan cahaya (Samuelson 2007). Gambar 4 Anatomi mata (Care and healed 2010).

25 13 Gambar 5 Retina mata ikan normal (Morrison et al. 2007). 2.4 Pembuatan Preparat Histologi Proses pembuatan preparat histologis disebut mikroteknik. Jaringan yang diambil kemudian diproses secara fiksatif untuk menjaga agar sediaan tidak rusak (bergeser posisinya, membusuk atau rusak). Proses ini juga dapat mengawetkan morfologi jaringan sehingga tetap seperti keadaan sewaktu hidup dan mengeraskan jaringan agar dapat diiris serta mencegah jaringan larut selama proses pembuatan preparat. Zat fiksatif yang baik adalah zat yang dapat mengeraskan jaringan dengan cukup cepat sehingga tidak terjadi perubahan bentuk pada saat proses-proses selanjutnya dilakukan (Tabel 3). Zat yang umum digunakan adalah formalin sebab memiliki karakteristik mampu menembus dan memfiksasi jaringan dengan cepat, menyimpan dan mempertahankan lemak, myelin, serabut-serabut saraf, amiloid, homosiderin dan komponen alat tubuh lainnya (Salim 2010; Rumawas et al. 1974). Menurut Samuelson (2007), fiksasi dilakukan dengan mengekspos jaringan pada pengawet kimia seperti formaldehid. Pengeksposan ini dapat dilakukan dengan cara aktif dan pasif (Tabel 2).

26 14 Kriteria Tabel 2 Perbedaan fiksasi aktif dan pasif Fiksasi aktif (perfusion fixation) Fiksasi pasif (immersion fixation) Waktu relatif lebih cepat lebih lambat Jumlah fiksatif relatif lebih sedikit perbandingan dengan (agen fiksasi) sampel 5:1 Cara fiksasi Fiksatif diinjeksi ke dalam arteri utama merendam sampel dalam fiksatif Ukuran spesimen relatif besar kecil (ketebalan 2 cm atau lebih kecil) Sumber: Samuelson (2007) Proses fiksasi dilanjutkan dengan dehidrasi yang merupakan proses menarik air dalam jaringan sehingga jaringan menjadi keras dan kadar airnya menjadi sangat kecil. Proses selanjutnya adalah clearing atau penjernihan yang bertujuan menarik alkohol dari jaringan sehingga jaringan menjadi jernih,lebih keras tetapi elastis (Rumawas et al. 1974). Embedding merupakan proses memasukkan parafin cair ke dalam sel. Tujuannya adalah untuk memudahkan dalam pemotongan jaringan menjadi sangat tipis. Parafin menerobos masuk ke dalam jaringan tanpa mengganggu struktur selsel dan zat-zat dalam jaringan. Jaringan yang telah dibenamkan dalam parafin cair lalu diblok (dicetak agar mudah dipotong) dengan parafin cair yang kemudian dibekukan dan selanjutnya akan dipotong (Rumawas et al. 1974). Hidrasi merupakan proses pemasukan air ke dalam preparat jaringan pada gelas objek yang dilakukan setelah proses dewaxing (pengeluaran parafin). Preparat siap diwarnai, pewarna yang sering digunakan adalah pewarna hematoksilin-eosin. Hematosikslin adalah zat warna alami yang pertama digunakan pada tahun Zat ini memiliki afinitas yang kecil terhadap jaringan jika digunakan sendiri, sehingga dikombinasikan dengan aluminium, besi, kromium, tembaga dan wolfram (yang berfungsi sebagai penajam atau katalisator) akan menjadi pewarnaan yang baik untuk inti dan kromatin. Bahan aktifnya, yaitu hematein, dibentuk dengan mengoksidasi hematosiklin. Proses ini dikenal dengan nama pamatangan selama beberapa hari/minggu jika tidak dipercepat dengan penambahan suatu bahan oksidator (oxydizing agent), seperti HgO dan H 2 O 2. Formula yang paling sering dimasukkan pada pewarnaan dengan hematosiklin

27 15 adalah pengkombinasian dengan aluminim dalam bentuk tawas. Potongan jaringan yang diwarnai dengan hematosiklin ini biasanya ditambahkan dengan eosin, safranin atau pewarna kontras lainnya. Kombinasi hematosiklin dengan besi atau wolfram/tungsten sering digunakan dalam pewarnaan khusus. Preparat jaringan yang telah diwarnai dapat dibuat preparat yang lebih awet dengan cara mounting menggunakan mounting agent misalnya enthelan (Rumawas et al. 1974). Larutan Pengawet Formalin Tabel 3 Kelebihan dan kekurangan berbagai larutan pengawet Kelebihan Cairan pengawet umum, ph netral, potongan jaringan dapat ditinggalkan dalam pengawet tanpa terjadi perubahan berarti (sampai 1 tahun) Kekurangan Waktu perendaman > 24 jam, terjadi pengerutan jaringan Muller Bouin Daya penetrasi cepat dan baik, memfiksasi nukleus dan sitoplasma dengan baik Daya penetrasi cepat dan merata tetapi menyebabkan pengerutan, memberikan warna cemerlang bila diwarnai dengan metode trichrome, sangat baik untuk nukleus dan kromoson, warna kuning membuat jaringan mudah dilihat saat perendaman dan pengirisan jaringan Jika sampel direndam dalam pengawet (> 24 jam), jaringan menjadi rapuh, tidak dapat dipakai untuk pewarnaan dengan metode histokimia, harus dicuci dulu dengan air kran mengalir sebelum dilakukan dehidrasi Bila direndam dalam pengawet (> 24 jam), jaringan menjadi rapuh, harus dicuci dulu dengan air kran untuk menghilangkan kelebihan pikrat Zenker Formol (Cairan Helly) Sumber: Zulham (2009) Daya fiksasi cepat dan kuat, sangat baik untuk fiksasi sumsum tulang, limpa dan organ lain yang banyak mengandung darah, warna sitoplasma menjadi lebih cemerlang Pemaparan jaringan dalam larutan yang melebihi waktu yang ditentukan mengakibatkan jaringan rapuh

28 16 Pada proses pembuatan preparat histologis sering terjadi beberapa kesalahan sehingga terjadi kegagalan. Samuelson (2007 menguraikan beberapa masalah yang mungkin terjadi beserta langkah koreksinya (Tabel 4). Tabel 4 Masalah-masalah dalam preparasi histologis spesimen Problem Penyebab Hasil Langkah koreksi Fiksasi yang tidak cukup (inadequate fixation) Agen fiksasi yang tidak cocok, ukuran spesimen yang terlalu besar Kesulitan embedding (uneven embedding), lautan hipotonik akan mengembungkan spesimen, larutan hipertonik akan mengerutkan spesimen, improper staining Uukuran specimen diperkecil atau dilakukan fiksasi dengan metode perfusion, lihat kembali kekuatan agen fiksatif untuk mendapat tonisitas yang terbaik Improper embedding Fiksasi yang tidak cukup dan atau dehidrasi, medium embedding yang tidak cukup Specimens section unevenly, adanya lubang-lubang di dalam section Tingkatkan fiksasi, gunakan mediam embedding yang seharusnya Irregular sections Embedding yang tidak cukup, penggunaaan pisau yang tumpul, kesalahan microtome Adanya bekas tekanan, spesimen terburai Gunakan pisau sekali pakai yang baru atau pisau yang tajam, perbaiki mikrotom Inadequate staining Fiksasi yang tidak cukup, stain dan pewarna yang sudah lama Sumber: Samuelson (2007) Sedikit atau didak ada warna yang terbagi oleh stain atau pewarna Tingkatkan fiksasi, buat larutan stain dan pewarna yang baru

29 17 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari-Juni 2011 di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Laboratorium Biokimia Hasil Perairan (Departemen Teknologi Hasil Perairan), Laboratorium Kesehatan Ikan (Departemen Budidaya Perairan), Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan (Departemen Teknologi Pangan), dan Laboratorium Histopatologi (Fakultas Kedokteran Hewan), Institut Pertanian Bogor. 3.2 Bahan dan Alat Penelitian Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan utama berupa ikan bandeng (Chanos chanos) dengan ukuran g/ekor. Ikan bandeng yang diamati adalah ikan bandeng yang disimpan pada suhu chilling. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis proksimat meliputi H 2 SO 4 (MERCK p.a.), kjeltab Selenium (MERCK p.a.), NaOH (MERCK p.a.), H 3 BO 3 (MERCK p.a.), n-heksana (MERCK p.a.), dan HCl (MERCK p.a.). Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan preparat histologi terdiri dari larutan Buffer Normal Formalin 10% (MERCK p.a.), Bouin s 10% (MERCK p.a.), alkohol % (MERCK p.a.), xylol (MERCK p.a.), parafin (MERCK p.a.), hematoksilin (MERCK), eosin (MERCK), dan mounting agent (MERCK). Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi sokhlet (SIBATA SB 6), tabung kjehdahl (PYREX), tanur pengabuan (Yamato FM 38), timbangan analitik (AND HF 400), oven (Yamato DV 40), cetakan yang terbuat dari kertas kalender, rotary mikrotom (Yamato Kohki LR-85), Mikroskop Cahaya Olympus BX51, Microcular MD 130 Electron Eyepiece serta peralatan uji organoleptik, kamera digital canon A495, dan penetrometer (Precision, Scientific Petroleum Instruments). 3.3 Metode Penelitian Sampel ikan bandeng dimatikan dengan menusuk oblongata setelah itu sebagian ikan diambil dan diuji proksimat. Ikan lainnya disimpan pada suhu chilling (±5 C) selama 23 hari (sampai ikan busuk). Ikan yang disimpan tersebut

30 18 diamati setiap hari dan dilakukan pengujian tekstur dan pengamatan histologis pada setiap fase kemunduran mutu (pre rigor, rigor, post rigor, dan busuk). Tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 6. Ikan Bandeng Dimatikan Analisis proksimat Penyimpanan pada suhu chilling (± 5 C) selama 23 hari Pre rigor Rigor Post rigor Busuk Analisis tekstur & Histologi Gambar 6 Diagram alir penelitian Analisis proksimat (AOAC 1995) Analisis proksimat adalah metode analisis kimia untuk mengidentifikasi kandungan nutrisi pada suatu bahan. Analisis proksimat dilakukan pada daging ikan bandeng, meliputi analisis kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat. (1) Kadar air (AOAC 1995) Sejumlah sampel (± 5 g) dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Kemudian cawan dimasukkan ke dalam oven bersuhu 100 ºC hingga diperoleh berat yang konstan. Perhitungan kadar air dilakukan berdasarkan berat basah dengan menggunakan rumus :

31 19 Kadar air (% bb) = x 100% Keterangan: a = berat cawan dan sampel awal (g) b = berat cawan dan sampel akhir (g) c = berat sampel awal (g) (2) Kadar lemak (AOAC 1995) Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven bersuhu 110 ºC, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 5 gram, dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi (soxhlet) yang telah berisi pelarut heksana. Proses reflux dilakukan sampai larutan jernih dan pelarut yang ada di dalam labu lemak terdistilasi. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105 ºC hingga beratnya konstan, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar lemak dihitung dengan rumus: Kadar lemak = x 100% (3) Kadar abu (AOAC 1995) Cawan porselin dikeringkan dalam oven bersuhu 110 ºC, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 5 gram sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselin. Selanjutnya sampel dipijarkan di atas nyala pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi, kemudian dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu ºC selama 4-6 jam atau sampai terbentuk abu berwarna putih. Kemudian sampel didinginkan dalam desikator, selanjutnya ditimbang. Perhitungan kadar abu dilakukan dengan rumus: Kadar abu = x 100% (4) Kadar protein, metode mikro-kjeldahl (AOAC 1995) Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari destruksi, destilasi dan titrasi.

32 20 (a) Tahap destruksi Daging ikan bandeng ditimbang sebesar 1 gram kemudian sampel tersebut dimasukkan ke dalam tabung kjehdahl. Sebanyak 0,25 gram selenium dan 25 ml H 2 SO 4 pekat ditambahkan ke dalam tabung tersebut. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas. Proses destruksi dilakukan sampai larutan berwarna bening. (b) Tahap destilasi Sampel yang telah didestruksi dituangkan ke dalam labu destilasi lalu ditambahkan akuades 50 ml. Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 20 ml. Cairan dalam ujung tabung kondensor ditampung dalam erlenmeyer 10 ml berisi larutan H 3 BO 3 dan 2 tetes indikator (cairan methyl red dan brom creosol green) yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperoleh 10 ml destilat dan berwarna hijau kebiruan. (c) Tahap titrasi Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai warna larutan erlenmeyer berubah menjadi merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat. Perhitungan kadar protein kulit ikan bandeng ditentukan dengan rumus : (5) Kadar karbohidrat (by difference) (AOAC 1995) Kadar karbohidrat (%) = 100% - (P + KA + A + L) Keterangan: P = kadar protein (%) KA = kadar air (%) A = kadar abu (%) L = kadar lemak (%) Uji organoleptik (BSN 2006) Metode yang digunakan untuk uji organoleptik atau uji sensori adalah dengan menggunakan score sheet berdasarkan SNI Pengujian menggunakan 15 panelis semi terlatih yang memiliki kriteria, antara lain tertarik

33 21 dan mau berpartisipasi dalam uji organoleptik, terampil, dan konsisten dalam mengambil keputusan, siap sedia pada saat dibutuhkan dalam pengujian, tidak menolak contoh yang akan diuji, berbadan sehat, bebas dari penyakit THT dan tidak buta warna, dan tidak merokok. Berdasarkan data yang diperoleh, kemudian dilakukan analisis kesegaran ikan dengan kriteria sebagai berikut (SNI ): Segar : nilai organoleptik berkisar antara 7-9 Agak segar : nilai organoleptik berkisar antara 5-6 Tidak segar : nilai organoleptik berkisar antara Analisis kekerasan (Precision, Scientific Petroleum Instruments) Prinsip pengukuran tekstur bahan pangan dengan penetrometer adalah dengan memberikan gaya tekan kepada bahan dengan besaran tertentu sehingga bahan dapat ditentukan. Ikan bandeng dengan ukuran gram dianalisis menggunakan penetrometer Pembuatan preparat histologis (Angka et al. 1990) Pembuatan preparat histopatologi terdiri dari tiga tahapan besar yaitu fiksasi jaringan dan parafinisasi, pemotongan jaringan, serta pewarnaan jaringan (Gambar 7). Organ target, misal otot, diambil menggunakan alat bedah yang sesuai. Otot ikan disayat menggunakan pisau scalpel yang tajam agar jaringan otot tidak rusak. Ikan disayat membentuk persegi panjang dengan ketebalan 5 mm agar bahan fiksatif dapat meresap sempurna. Jaringan otot yang diperoleh direndam dalam larutan fiksatif selama 48 jam, perendaman dilakukan sebanyak kali volume jaringan dan dilanjutkan dengan dehidrasi. Larutan fiksatif dibuang, kemudian alkohol 70% dimasukkan ke dalam botol film hingga jaringan terendam, selanjutnya organ diambil dari dalam botol film dan dibungkus menggunakan kain kasa lalu diikat menggunakan benang yang dibentuk seperti teh celup, agar memudahkan dalam proses pergantian alkohol setelah 24 jam, organ yang dibungkus kain kasa diambil dan ditiriskan di atas kertas tisu lalu dimasukkan ke dalam botol berisi alkohol 80%, 90%, 95% masing-masing selama

34 22 dua jam dan alkohol 100% selama 12 jam dengan cara yang sama. Perendaman dilakukan pada suhu ruang (Rumawas et al. 1974). Proses selanjutnya adalah clearing. Jaringan direndam dalam alkohol-xylol (1:1) selama 30 menit, dilanjutkan dengan xylol I, xylol II dan xylol III masingmasing selama 30 menit. Perendaman dilakukan pada suhu ruang. Selanjutnya dilakukan tahap impregnasi, yaitu penggantian xylol dengan paraffin cair yang berlangsung di dalam oven dengan suhu 60 C. Proses ini dilakukan dengan perendaman jaringan ke dalam xylol-parafin (1:1) yang diletakkan dalam gelas piala selama 45 menit. Proses perendaman dilakukan dengan cara yang sama seperti proses perendaman sebelumnya kemudian dilanjutkan dengan embedding yang merupakan proses memasukkan parafin cair ke dalam sel. Proses ini berlangsung di dalam oven dengan suhu 60 C. Jaringan direndam secara berturutturut ke dalam gelas piala yang berisi parafin I, parafin II dan parafin III masingmasing selama 45 menit. Proses perendaman dilakukan dengan cara sama, seperti proses perendaman sebelumnya. Jaringan yang telah diembedding dalam parafin cair lalu diblok (dicetak agar mudah dipotong) dengan parafin cair, kemudian dibekukan. Proses ini membutuhkan cetakan yang dapat dibuat dari kertas kaku, seperti kertas kalender dengan ukuran 2x2x2 cm. Parafin cair dituangkan ke dalam cetakan hingga memenuhi 1/8 bagian cetakan dan dibiarkan hingga sedikit membeku. Proses selanjutnya, jaringan disusun dalam cetakan dengan bagian sayatan yang diperlukan menghadap dasar cetakan dan dituangi parafin cair hingga material jaringan terendam selanjutnya dibiarkan beku dalam suhu ruang selama 24 jam setelah parafin beku dengan sempurna, blok parafin dikeluarkan dari cetakan lalu dipotong tipis menggunakan silet bermata satu agar dapat disesuaikan dengan tempat blok pada alat pemotong. Pemotongan jaringan dimulai dengan meletakkan blok parafin yang mengandung preparat pada tempat duduknya di mikrotom. Tempat duduk blok parafin beserta blok parafinnya kemudian diletakkan pada pemegangnya (holder) pada mikrotom dan dikunci dengan kuat. Mata pisau mikrotom harus tajam agar proses pemotongan dapat dilakukan dengan sempurna. Ketebalan potongan diatur dengan cara menggeser bagian pengatur ketebalan hingga ketebalan yang

35 23 diinginkan. Ketebalan sayatan yaitu 4 µm. Blok preparat digerakkan ke arah pisau sedekat mungkin lalu blok preparat dipotong secara teratur dan ritmis. Pita-pita parafin yang awal tanpa jaringan dibuang hingga diperoleh potongan yang mengandung preparat jaringan. Hasil irisan diambil dengan jarum lalu diletakkan di permukaan air hangat dalam C waterbath hingga mengembang setelah pita parafin terkembang dengan baik, pita parafin tersebut ditempelkan pada gelas objek yang telah diberi zat perekat, seperti albumin dengan cara memasukkan kaca objek itu ke dalam waterbath dan menggerakkannya ke arah pita parafin. Setelah melekat, gelas objek digerakkan keluar dari waterbath dengan hati-hati agar pita parafin tidak melipat dan dibiarkan hingga mengering setelah itu dilanjutkan dengan dewaxing yang dimulai dengan meletakkan gelas objek yang berisi jaringan dalam keranjang preparat yang ukurannya sesuai dengan gelas objek. Keranjang tersebut dapat diisi dengan 10 gelas objek. Jaringan pada gelas objek yang telah diletakkan dalam keranjang direndam ke dalam xylol I dan xylol II masing-masing selama 2 menit. Lilin akan terlepas dari jaringan dan jaringan akan tampak jernih selanjutnya dilakukan hidrasi yang merupakan proses pemasukkan air ke dalam preparat jaringan pada gelas objek setelah proses dewaxing. Jaringan pada gelas direndam dalam alkohol 100% dalam wadah perendaman, lalu secara berturut-turut dimasukkan ke dalam alkohol 95%, 90%, 80%, 70% dan 50% masing-masing selama dua menit dengan cara yang sama pula selanjutnya preparat jaringan direndam ke dalam akuades selama dua menit setelah hidrasi preparat jaringan diberi pewarna hematoksilin-eosin. Preparat jaringan direndam dengan pewarna hematoksilin selama 7 menit kemudian dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan kelebihan zat warna yang tidak diserap, lalu preparat jaringan direndam dengan pewarna eosin selama 3 menit dan dicuci dengan akuades. Preparat jaringan kemudian direndam dalam alkohol 70%, 85%, 90% dan 100% masing-masing dilakukan selama dua menit selanjutnya preparat jaringan lalu direndam dalam xylol I dan xylol II masing-masing selama dua menit.

36 24 Ikan bandeng daging dan mata Fiksasi larutan Bouin s Dehidrasi alkohol (80%, 90%, 95%, 100%) Penjernihan (clearing) alkohol-xilol (1:1) Impregnasi xilol-parafin (1:1) Penanaman (embedding) dalam parafin Trimming Pemotongan dengan mikrotom ketebalan ± 4 µm Pelekatan pita parafin pada gelas obyek Pewarnaan Hematoksilin-Eosin Perekatan jaringan dengan mounting agent Preparat awetan Pengamatan mikroskop (100x) Pengambilan gambar Gambar 7 Diagram alir proses pembuatan preparat histologi (Angka et al. 1990)

37 25 Preparat jaringan yang telah diwarnai dapat dibuat preparat yang lebih awet dengan cara mounting menggunakan mounting agent seperti enthelan. Preparat jaringan ditutup dengan gelas penutup yang sudah ditetesi enthelan dan dikeringkan dalam oven pada suhu 40 C selama 24 jam, kemudian diamati di bawah mikroskop. Preparat histologi diamati dengan menggunakan mikroskop dengan perbesaran mulai dari 40x hingga 1000x sesuai dengan kejelasan objek selanjutnya dilakukan dokumentasi menggunakan foto untuk dijadikan bahan analisis deskriptif Analisis data secara deskriptif Data dianalisis dengan caradeskripsi kualitatif dengan melihat preparat histologi di bawah mikroskop selanjutnya dari preparat tersebut dianalisis perubahan yang terjadi dari setiap jaringan pada fase-fase pasca kematian (prerigor, rigor, postrigor, busuk) sebagai pendukung dalam analisis juga diikutsertakan hasil pengujian proksimat, organoleptik dan kekerasan.

38 26 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Proksimat Ikan Bandeng Tipe ikan bandeng yang ditemukan di Indonesia memiliki ciri adanya perpanjangan sirip dorsal dan pektoral. Tipe ikan dengan perpanjangan ini hanya ditemukan di Indonesia (Schuster 1959). Bandeng mampu mentolelir salinitas perairan yang luas (0-158 ppt) sehingga digolongkan sebagai ikan eurihalin. Ikan bandeng mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan seperti suhu, ph, dan kekeruhan air serta tahan terhadap serangan penyakit (Ghufron dan Kardi 1997). Hasil pengujian proksimat yang dilakukan pada daging ikan bandeng disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Hasil pengujian proksimat daging ikan bandeng Komponen proksimat Rata-rata Air 77,54 ± 0,46% Protein 12,45 ± 1,79% Lemak 1,08 ± 0,12% Abu 1,55 ± 0,03% Karbohidrat 7,38 ± 2,10% Kandungan protein ikan bandeng dari pengujian adalah 12,45 ± 1,79%. Kadar protein tersebut lebih rendah dibandingkan kadar protein yang diperoleh Wibowo (2000) yaitu 22,84%. Perbedaan tersebut dapat disebabkan pakan yang diberikan tidak mengandung jumlah protein yang cukup. Berdasarkan hasil penelitian Fatimatussholikhah (2007) diketahui bahwa pemberian bungkil kelapa yang memiliki kadar protein besar sangat berpengaruh terhadap kadar protein ikan lele dumbo. Murray et al. (1977) mengatakan bahwa peningkatan suplementasi lemak pada pakan ikan dapat meningkatkan jumlah protein jaringan ikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian pakan yang cukup nutrisi sangat berpengaruh terhadap komposisi protein ikan. Menurut Burgess et al. (1967) ikan sangat beragam dalam konsumsi makanannya, tergantung dari musim dan lokasi dimana mereka hidup. Temperatur juga memiliki efek langsung selain musim dan geografis terhadap nafsu makan ikan.

39 27 Lemak merupakan bentuk cadangan energi. Lemak tidak dapat menggantikan protein untuk pertumbuhan tetapi dapat menjaga cadangan protein (Burgess et al. 1967). Kadar lemak ikan bandeng berdasarkan hasil penelitian adalah 1,08 ± 0,12%, sedangkan menurut Wibowo (2000) adalah 1,51%. Kandungan lemak yang kecil tersebut dapat disebabkan oleh komposisi pakan yang diberikan pembudidaya jumlah lemaknya sangat sedikit. Jumlah lemak pada ikan menurut Tarr (1954) dipengaruhi oleh spesies, musim, umur, lingkungan dan kematangan seksual. Faktor lingkungan dan pakan dapat menjadi kontributor utama rendahnya kadar lemak pada ikan bandeng yang diambil dari tambak ini. Burgess et al. (1967) mengatakan bahwa otot ikan yang diambil dari lokasi yang berbeda menunjukkan perbedaan dalam kandungan lemaknya. Faktor lain dari rendahnya komposisi lemak tersebut adalah distribusi lemak tidak sama pada tubuh ikan. Lemak paling banyak terdapat pada lapisan tipis dan dikenal dengan nama jaringan adiposa yang terdapat di bawah kulit. Pengujian proksimat lemak ikan pada penelitian ini tidak mengikutkan kulit ikan sehingga lemak di bawah kulit tidak diperhitungkan. Karbohidrat dalam daging ikan merupakan polisakarida, yaitu glikogen yang terdapat dalam sarkoplasma diantara miofibril (Hadiwiyoto 1993). Komposisi karbohidrat dari hasil penelitian adalah 7,38 ± 2,10%. Perhitungan komposisi karbohidrat dilakukan berdasarkan metode by difference sehingga sangat tergantung pada jumlah protein dan lemaknya. Jumlah protein dan lemak yang kecil menyebabkan jumlah karbohidrat menjadi tinggi. Pakan merupakan faktor yang sangat penting terhadap komposisi ketiga unsur tersebut. Pakan yang diberikan pembudidaya kemungkinan memiliki kandungan karbohidrat tinggi, rendah lemak serta protein. Air merupakan komponen sel hidup yang ada dimana-mana dan merupakan 60-95% dari berat organisme (Amstrong 1995). Air dalam makanan biasanya terbagi dua yaitu air imbibisi dan air kristal. Air imbibisi adalah air yang masuk ke dalam bahan pangan dan menyebabkan pengembangan volume. Air kristal merupakan air yang terikat dalam semua bahan, baik pangan maupun non pangan yang berbentuk kristal, yaitu gula, garam, dan CuSO 4, dan lain-lain (Winarno 1992). Komposisi air ikan bandeng dari hasil pengujian adalah 77,54 ±

40 28 0,46% sedangkan menurut Wibowo (2000) adalah 70,45%. Perbedaan kadar air tersebut diduga karena adanya kemampuan bahan mengikat air yang disebut water holding capacity (WHC). Molekul air akan terikat melalui ikatan hidrogen berenergi besar. Molekul air akan membentuk hidrat dengan molekul yang mengandung atom O dan N layaknya protein dan karbohidrat (Pearson dan Dutson 1999; Winarno 1997). Mineral dalam makanan ditentukan dengan pengabuan atau insinerasi (pembakaran) (deman 1997). Dalam proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar tetapi zat anorganiknya tetap yang disebut abu (Winarno 1992). Elemenelemen yang termasuk mineral adalah potasium, sodium, kalsium, magnesium, besi, tembaga, mangan, zink, dan kobalt. Ada juga elemen yang tidak termasuk metal, yaitu fosfor, sulfur, klorin, iodin dan elemen lain dengan jumlah yang sangat kecil. Semua elemen di atas ditemukan dalam daging ikan. (Burgess et al. 1967). Kadar abu ikan bandeng yang didapat dari penelitian adalah 1,55 ± 0,03%, sedangkan Wibowo (2000) memperoleh kadar abu ikan bandeng 2,15 %. Perbedaan kadar abu ini diduga akibat perbedaan lingkungan ikan, sehingga mineral yang terakumulasi pun berbeda tergantung habitatnya. 4.2 Organoleptik Daging dan Mata Ikan Bandeng Pengujian organoleptik adalah salah satu jenis pengujian kesegaran yang paling awal yang dikenal manusia. Uji ini menggunakan sensor (indera) yang dimiliki oleh manusia. Berdasarkan hasil pengujian organoleptik (Gambar 8) diketahui bahwa pada jam ke-0, kondisi mata dan daging ikan bandeng masih sangat segar yang ditunjukkan dengan penampakan mata yang cerah, bola mata menonjol, dan kornea jernih. Kondisi daging juga sangat baik yang dapat dilihat dari sayatannya yang sangat cemerlang dan dinding perut utuh. Pada jam ke-120 sampai 192, ikan berada dalam kondisi yang agak segar dengan ciri-ciri mata agak cerah, bola mata rata sampai agak cekung, pupil agak keabu-abuan sampai keabuabuan dan kornea agak keruh, pada daging terlihat sayatan daging sedikit kurang cemerlang. Pada jam ke-264 sampai 480 ikan telah berada dalam keadaan tidak segar, bola mata telah cekung, pupil menjadi putih susu dan kornea keruh sampai agak kuning, sayatan daging terlihat sangat kusam dan dinding perut ikan sangat lunak. Pengelompokan tersebut dilakukan berdasarkan pada SNI

41 Nilai Organoleptik Daging Nilai Organoleptik Mata Gambar 8 Hasil pengujian organoleptik daging dan mata ikan bandeng. Menurut Sulaksana (1999) semakin lama waktu pengamatan (jam postmortem) kecenderungan degenerasi serabut otot semakin meningkat, hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya asam laktat yang tertimbun sehingga terjadi denaturasi protein otot dan menyebabkan degradasi serabut otot. Selama proses kemunduran mutu mata ikan mengalami perubahan yang diakibatkan oleh berhentinya aliran darah yang menyumplai oksigen. Winkler dan Hopkins (1982) menyatakan bahwa aktivitas ATPase pada retina manusia menurun setelah 24 jam postmortem, mencapai titik stabil setelah 48 jam. Hal ini disebabkan oleh rendahnya aktivitas Mg 2+ dan N + -K + untuk menstimulasi ATPase. Hal yang sama terjadi pada vertebrata lainnya. Retina dan pigmen epitelium dari berbagai jenis vertebrata memiliki beberapa jenis ATPase yang aktivitasnya distimulasi oleh Mg 2+, N + dan K +, HCO - 3 (atau anion yang lain) dan Ca Kekerasan Daging dan Mata Ikan Bandeng Setiap fase kemunduran mutu memiliki karakteristik kekerasan daging yang berbeda akibat adanya perubahan kimia dan biologi pada daging ikan. Hasil pengujian kekerasan ikan bandeng dapat dilihat pada Tabel 6.

42 30 Tabel 6 Hasil pengujian kekerasan daging ikan bandeng Fase Pasca Kematian Rata-rata (mm/10''/50g) Prerigor 2,34 ± 0,08 Rigor 1,42 ± 0,17 Postrigor 3,75 ± 0,07 Busuk 33,00 ± 2,83 Hasil pengujian penetrometer fase prerigor menunjukkan nilai 2,34 ± 0,08 mm/10''/50g yang artinya bahwa penetrasi jarum pada daging ikan sampai kedalaman 2,34 mm dari permukaan dengan pemberat 50 g. Eskin (1990) menyatakan saat fase pre rigor kondisi daging ikan masih lembut dan lunak, secara kimiawi terjadi penurunan jumlah ATP dan kreatin fosfat yang disebabkan terhentinya suplai oksigen ke jaringan setelah ikan mati. Hasil pengujian memperlihatkan bahwa pada fase rigor kondisi daging ikan paling keras dengan hasil penetrometer 1,42 ± 0,17 mm/10''/50g yang menunjukkan bahwa penetrasi jarum pada daging ikan hanya sampai kedalaman daging 1,42 mm dengan pemberat yang digunakan 50 g. Keadaan daging ikan yang keras tersebut menurut Eskin (1990) disebabkan oleh terjadinya ikatan elektrostatik antara filamen aktin dan miosin (aktomiosin) yang ditandai dengan terjadinya pengkerutan atau kontraksi serabut otot yang tidak dapat balik (irreversible) atau biasa disebut kejang otot (rigor mortis). Nilai hasil uji penetrometer fase postrigor adalah 3,75 ± 0,07 mm/10''/50g. Pada post rigor terjadi kenaikan ph ikan secara perlahan-lahan dengan meningkatnya laju perubahan autolitik yang ditandai dengan proses pelunakan daging ikan (Govidan 1985). Menurut Dwiari et al. (2008) saat post rigor terjadi pelunakan daging yang disebabkan aktivitas enzim meningkat sehingga terjadi penguraian daging ikan yang selanjutnya menghasilkan substansi yang baik bagi pertumbuhan bakteri. Keadaan daging paling lunak adalah saat busuk. Hasil pengujian penetrometer menunjukkan nilai 33,00 ± 2,83 mm/10''/50 g yang artinya bahwa jarum penetrometer dapat masuk ke sedalam 33 mm ke dalam daging ikan dengan berat pemberat 50 g. Keadaan ini disebabkan kondisi daging yang telah rusak

43 31 akibat serangan bakteri. Bakteri yang umum ditemukan pada ikan adalah bakteri dari golongan Pseudomonas, Alcaligenes, Micrococus, Sarcina, Flavobacterium, Serratia, Vibrio, dan Bacillus. Pada ikan segar yang baru ditangkap bakteri yang dominan adalah jenis Micrococus dan Flavobacterium, kemudian setelah pembusukan berlangsung dominasi beralih kepada jenis-jenis bakteri pembusuk seperti Pseudomonas dan Achromobacter (Ilyas 1983). 4.4 Histologis Daging dan Mata Ikan Bandeng Sistem otot pada telestoi terdiri dari sel yang disebut serabut otot, yang elemen utamanya adalah miofibril. Miofibril terdiri dari ratusan protein miofilamen yang terbagi menjadi bagian tipis (aktin) dan bagian tebal (miosin). Jika dilihat secara longitudinal penampakan lurik pada serabut otot adalah akibat susunan aktin dan miosin ini (Chinabut et al. 1991). Jaringan otot pada fase prerigor (Gambar 9) terlihat sangat kompak. Sel otot menyatu dengan baik, hubungan antar sel otot atau biasa disebut serabut otot terlihat erat. Fase ini merupakan saat daging ikan berada dalam kondisi paling optimal. Jaringan otot juga nornal, tidak mengalami penebalan. Histologis jaringannya sama dengan saat ikan masih hidup karena belum mengalami perubahan kimia dan biologi yang dapat mengubah bentuk serta susunan sel dalam jaringan otot ikan bandeng. Menurut Eskin (1990), daging ikan pada fase ini lembut dan lunak seperti saat ikan masih hidup, kondisi daging paling ideal untuk konsumsi dan paling segar. Gambar 9 Kondisi histologis daging ikan bandeng fase pre rigor; panah: serabut otot (H&E).

44 32 A B Gambar 10 Kondisi histologis daging ikan bandeng fase rigor; A: serabut otot (H&E); B: perenggangan. Pada fase rigor (Gambar 10) mulai terjadi perenggangan jaringan otot ikan. Perenggangan serabut otot itu terlihat sangat jelas dengan adanya ronggarongga antar serabut otot. Perubahan yang menarik pada fase ini dibandingkan dengan fase sebelum dan sesudahnya adalah serabut otot terlihat lebih tebal akibat penyatuan filamen aktin dan miosin membentuk aktomiosin yang ditandai dengan terjadinya pengkerutan atau kontraksi serabut otot yang tidak dapat balik (irreversible). Kondisi kejang penuh (full-rigor) ketika kandungan ATP sekitar 1 µmol/g (Eskin 1990). Pada fase ini juga mulai terlihat perjadi perenggangan jaringan otot, hal tersebut kemungkinan disebabkan karena terjadi penurunan ph yang meningkatkan kerja enzim autolisis. Menurut Haard (1994), enzim lisosomal proteinase aktif saat ph asam yang termasuk dalam tipe enzim ini adalah jenisjenis enzim katepsin. Jiang et al. (1990) diacu dalam Haard (1994) mengatakan bahwa terdapat dua jenis enzim mirip katepsin A pada ikan bandeng. Pada Gambar 11 dapat dilihat bahwa telah terjadi perenggangan yang jelas pada serabut-serabut otot. Jarak antarserabut otot semakin besar yang disebabkan aktifitas enzim autolitik meningkat (Govidan 1985). Pada fase ini serabut otot tidak tebal lagi seperti pada fase sebelumnya, mulai terlihat adanya kerusakan pada serabut otot, yakni serabut otot terlihat terpotong-potong.

45 33 50µm Gambar 11 Kondisi histologis daging ikan bandeng fase post rigor. Menurut Okitani et al diacu dalam Haard (1994), katepsin D yang terdapat pada ikan dapat mendegradasi protein aktin dan miosin. Alkalin protease juga berperan dalam perubahan jaringan otot ikan fase post mortem. Enzim lain yang aktif adalah kalpain yang dapat dengan cepat mendegradasi miofibril dan protein sitoskeletal yang terdiri dari desmin, vimentin, gelsolin, spektrin, nebulin, vinkulin, dan troponin T. Gambar 12 Kondisi histologis daging ikan bandeng fase busuk. Fase terakhir dalam kemunduran mutu adalah kebusukan. Gambar 12 memperlihatkan keadaan serabut otot yang renggang. Jarak suatu serabut otot dengan serabut otot yang lain terlihat dengan jelas. Serabut otot tidak utuh lagi, telah terpotong-potong menjadi potongan kecil. Jaringan otot terlihat rusak dan sangat renggang. Fase busuk ini merupakan fase saat mikroorganisme telah

46 34 intensif menghancurkan daging ikan. Dekomposisi oleh mikroorganisme yang berasal dari permukaan kulit, insang dan saluran cerna berjalan intensif, khususnya setelah ikan melewati fase rigor mortis, saat itu jaringan otot longgar dan jarak antar serta diisi oleh cairan (Irianto dan Giyatmi 2009). Tarr (1954) mengatakan bahwa mikroorganisme yang sangat aktif dalam proses pembusukan daging ikan adalah dari jenis Pseudomonas dan Achromobacter. Mata merupakan alat indera lihat yang sangat penting bagi kehidupan organisme. Bagian mata yang utama adalah kornea, lensa, retina dan koroid. Setiap bola mata dihubungkan dengan lobus optikus dari otak melalui syaraf optik (Angka et al. 1990). Mata ikan yang baik adalah yang masih cerah, utuh, belum mengeruh dan tidak terdapat lapisan lendir yang tebal di permukaan mata. A B C D Gambar 13 Kondisi histologis mata ikan bandeng bagian posterior fase pre rigor; A : inner plexiform layer; B: inner nuklear layer; C: outer plexiform layer; D: outer nuklear layer. Gambar 13 memperlihatkan bahwa saat fase prerigor mata masih utuh. Batas antar satu komponen dengan komponen lainnya terlihat jelas. Mata berada dalam kondisi paling segar. Komponen mata tersusun rapi dan kompak. Keadaan jaringan mata pada fase ini secara umum mirip dengan keadaan mata yang ditunjukkan oleh Morrison et al. (2007) (Gambar 5). Berdasarkan kemiripan tersebut dapat disimpulkan bahwa bagian mata ikan di atas adalah bagian pada posterior mata ikan. Menurut Samuelson (2007), bagian ini juga dapat pula

47 35 dikatakan sebagai bagian ketiga dan yang paling sentral yang terdiri dari retina dan kumpulan dari saraf optik. Pembagian lapisan mata pada fase ini masih terlihat jelas saat mata ikan berada dalam fase pre rigor. A B Gambar 14 Kondisi histologis mata ikan bandeng bagian posterior fase rigor; A: bagian retina; B: koroid. Gambar 14 adalah kondisi histologis mata ikan saat dalam fase rigor. Gambar di atas menunjukkan mulai terjadi perenggangan antarkomponen dalam mata. Batas antar komponen mulai rusak. Lapisan-lapisan yang menyusun mata sudah tidak terlihat jelas lagi walaupun jenis komponen masih dapat dikenali melalui kemiripannya. Penamaan komponen mata Gambar 14 mengacu pada kemiripan gambar histologis mata hasil pengamatan dengan yang terdapat dalam buku Histology for Pathologists oleh Mills (2007). Winkler dan Hopkins (1982) menyatakan bahwa aktifitas ATPase pada retina menurun setelah 24 jam postmortem, mencapai titik stabil setelah 48 jam. Hal ini dikarenakan rendahnya aktivitas Mg 2+ dan N + -K + untuk menstimulasi ATPase.

48 36 Gambar 15 Kondisi histologis mata ikan bandeng bagian posterior fase post rigor. Gambar 16 Kondisi histologis mata ikan bandeng bagian posterior fase busuk. Pada Gambar 15 dan Gambar 16 dapat dilihat bahwa mata ikan semakin lama semakin terurai. Gambar 15 menunjukkan kondisi mata ikan pada saat fase post rigor. Pelapisan komponen telah rusak. Perbedaan antar satu komponen dengan komponen lainnya masih dapat dikenali dengan melihat persamaan warna dan struktur kompenen dalam gambar. Mata telah rusak sedangkan pada saat busuk (Gambar 16), mata telah benar-benar rusak. Batas antarkomponen sudah tidak terlihat lagi. Perbedaannya lapisannya sudah tidak terlihat sama sekali. Mata

49 37 sudah mengalami kerusakan total. Kerusakan yang terjadi selamat fase kemunduran mutu pada daging dan mata ikan bandeng dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Ringkasan kerusakan daging dan mata ikan bandeng Organ Prerigor Rigor Postrigor Busuk Daging Utuh Serabut otot menebal, mulai terjadi perenggangan Serabut otot mulai terpotong, terjadi Serabut otot rusak Mata Utuh Mulai terjadi penguraian perenggangan Bagian mata terburai Komponen mata rusak

50 38 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Ikan bandeng memiliki kandungan air 77,54 ± 0,46%, protein 12,45 ± 1,79%, lemak 1,08 ± 0,12%, abu 1,55 ± 0,03%, dan karbohidrat 7,38 ± 2,10%. Pada jam ke-120 ikan bandeng berada dalam kondisi yang agak segar dan pada jam ke-264 sampai 480 ikan telah berada dalam keadaan tidak segar. Ikan pre rigor memiliki nilai kekerasan 2,34 ± 0,08 mm/10 /50g. Tampilan histologis daging dan mata ikan bandeng terlihat kompak dan rapat antarselnya. Pada histologis mata dapat dilihat pembagian komponen dengan jelas. Daging ikan pada fase rigor memiliki nilai kekerasan 1,42 ± 0,17 mm/10 /50g. Serabut otot menebal perenggangan antarserabut otot belum terlihat jelas. Pada histologis mata mulai terlihat kerusakan. Komponen sudah tidak terlihat kompak. Pada fase post rigor kekerasan daging adalah 3,75 ± 0,07 mm/10 /50g, terlihat perenggangan antarsel yang jelas, serabut otot mulai rusak dan terpotong. Komponen mata terlihat terburai, batas antarkomponen mulai terlihat tidak jelas. Pada fase busuk, pengujian kekerasan menunjukkan nilai 33,00 ± 2,83 mm/10 /50g. Secara histologis kondisi daging dan mata ikan bandeng telah menunjukkan kerusakan sangat jelas. Serabut otot telah pecah dan terjadi perenggangan yang besar antarserabut otot. Kerusakan terutama terlihat pada mata ikan yang sudah terburai. Komponen yang tadinya jelas terlihat hanya menyisakan bekas-bekasnya saja. 5.2 Saran Saran yang dapat disampaikan guna pengembangan penelitian selanjutnya antara lain adalah: 1. Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan pengamatan komponen mikroskopis daging dan mata ikan yang lebih jelas dan detail. 2. Jenis ikan lain juga dapat dijadikan topik penelitian terutama ikan-ikan endemik Indonesia.

51 39 DAFTAR PUSTAKA Adawyah Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta: Bumi Aksara. Amstrong FB Buku Ajar Biokimia (Biochemistry). Edisi ketiga. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Angka SL, Mokoginta I, Dana D Pengendalian Penyakit Ikan Histologi dan Hematologi Ikan-ikan Air Tawar yang dibudidayakan. Fakultas Perikanan IPB. Bogor. AOAC Official Method of Analysis. Washington DC: Association of Official Agricultural Chemists. Badan Standarisasi Nasional Uji Organoleptik Ikan Segar. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional Indonesia. Bernard E, Bankole NO, Akande GR, Adeyemi S, Ayo-Olalusi CI Organoleptic characteristics, length-weight relationship and condition factor of Oreochromis niloticus in Egah river at Idah L.G.A of Kogi state, Nigeria. Internet Journal of Food Safety 12: Burgess GHO, Lovern JA, Cutting CL, Waterman JJ Fish Handling and Processing. New York: Chemical Publishing Company Inc. Care and healed Anatomy of eye. Website. [21 September 2011]. Chinabut S, Limsuwan C, Kitsawat P Histology of The Walking Catfish, Clarias Batrachus. Kanada: International Development Research Centre. Danitasari SM Karakterisasi petis ikan dari limbah cair hasil perebusan ikan tongkol (Authynnus affinis). [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. deman JM Kimia Makanan. Edisi kedua. Bandung: ITB Press. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Kebijakan dan Program Prioritas Tahun Makalah disampaikan dalam Rakornas DKP. Website. [20 Desember 2010] Dwiari SR, Asadayanti DD, Nurhayati, Sofyaningsih M, Yudhanti SFAR, Yoga IBKW Teknologi Pangan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Eskin Biochemistry of Foods. London: Academic Press. FAO Milkfish. Website. [21 September 2011]

52 40 Fatimatussholikhah Pengaruh pemberian bungkil kelapa sebagai pakan terhadap kadar protein ikan lele dumbo (Clarias geriepinus) [skripsi]. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah. Geesink GH µ-calpain is essential for postmortem proteolysis of muscle proteins. Journal of Animal Science 84: Ghufron M, Kardi H Budidaya Kepiting dan Ikan Bandeng di Tambak Sistem Polikultur. Semarang: Dahara Prize. Govidan Fish Processing Technology. New Delhi: Oxford & IBH Publishing Co. Pvt. Ltd. Haard NF Seafoods Chemistry, Processing Technology and Quality. Shahidi F, Botta JR, editor. London: Blackie Academic & Professional. Hadiwiyoto, S Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan, Fakultas Teknologi Pertanian UGM. Liberty. Yogyakarta. Hall GM, Ahmad NH Surimi And Fish Minced Products, Fish Processing Technology. New York: Blackie Academic & Profesional. Hartono Bahan Pengajaran: Histologi Veteriner. Bogor: Antaruniversitas Ilmu Hayat IPB. Pusat Ilyas Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan. Jakarta: CV Paripurna. Irianto, Giyatmi Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta: Universitas Terbuka. Junianto Teknik Penanganan Ikan. Jakarta: Penebar Swadaya. Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Filipina Impor Nener Indonesia. Website. [14 Oktober 2011]. Lehninger AJ Dasar-dasar Biokimia Jilid 1. Jakarta: Erlangga. Mills SE Histology for Pathologists. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins. Muchadi D, Palupi NS, dan Astawan M Metabolisme Zat Gizi. Pusat Antar Universitas, IPB. Bogor: Perpustakaan Sinar Harapan. Morrison J, Mumford S, Smith C, Heidel J, MacConnell B, Blazer V Fish Histology and Histopathology. USFWS-NCTC. Murray MW, Andrews JW, DeLoach HL Effects of dietary lipids, dietary protein and environmental temperatures on growth, feed conversion and body composition of channel catfish. Journal of Nutrition 107:

53 41 Nurjanah, Trilaksani W, Kustiariyah Teknologi Preparasi Hasil Perikanan. Departemen Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Nurjanah, Abdullah A Cerdas Memilih Ikan dan Mempersiapkan Olahannya. Bogor: IPB Press. Pearson AM, Dutson TR Fish Products Advances in Meat Research Series Vol 9. Britain: An Aspen Publication. Rumawas W, Maidie MS, Budiarso IT Ilmu Penyakit Hewan. Bogor: Bagian Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Saanin H Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jakarta: Bina Cipta. Salim A Analisis Anatomi dan Histologi Ikan. Politeknik Negeri Jember, Kementrian Pendidikan Nasional. Samuelson DA Textbook of Veterinary Histology.Missouri: Saunders Elsevier. Schuster WH Synopsis Of Biological Data on Milkfish. Thailand: FAO Regional Office for Asia and The Far East. Suhardjo C, Kusharto Prinsip-prinsip Ilmu Gizi. Bogor: PAU-IPB. Suharyanto Polikultur rajungan (Portunus pelagicus), udang vanamei (Litopenaeus vannamei), ikan bandeng (Chanos chanos), dan rumput laut (Gracilari sp.) di tambak. Pusat Riset Perikanan Budidaya 2: Sulaksana I Pengaruh suhu penyimpanan terhadap sifat fisik dan histologis daging sapi pada fase rigor mortis [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Suzuki T Fish and Krill Protein Processing Technology. London: Applied Science Publisher LTD. Swanson C Interactive effects of salinity on metabolic rate, activity, Growth and osmoregulation in the euryhaline milkfish (chanos chanos). Journal of Experimental Biology 201: Tarr HLA Microbiological deterioration of fish post mortem, its detection and control. Microbiol. Mol. Biol. Rev 18: Wibowo S Industri Pemindangan Ikan. Jakarta: Penebar Swadaya. Winarno FG Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia. Winkler BS, Hopkins JM ATPase activities of human retina and pigment epithelium-choroid. Invest. Ophthalmol. Vis. Sci. 22: 113.

54 42 Yuniarti T Purifikasi dan karakterisasi kolagenase dari organ dalam ikan bandeng (Chanos chanos, Forskal) [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Zulham Penuntun Praktikum Histoteknik. Website. histologi.usu.ac.id [15 Oktober 2011].

55 43

56 Lampiran 1 Lembar penilaian organoleptik 44

57 45

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat Penelitian 3.3 Metode Penelitian

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat Penelitian 3.3 Metode Penelitian 17 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari-Juni 2011 di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Laboratorium Biokimia Hasil Perairan (Departemen

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Pengambilan Sampel

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Pengambilan Sampel 14 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-Agustus 2011 di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Departemen Teknologi

Lebih terperinci

Gambar 1 Ikan bandeng (Chanos chanos) (FAO 2011).

Gambar 1 Ikan bandeng (Chanos chanos) (FAO 2011). 3 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi, Klasifikasi dan Komposisi Kimia Ikan Bandeng Deskripsi dan klasifikasi merupakan bagian yang penting dalam mempelajari suatu jenis ikan. 2.1.1 Deskripsi dan klasifikasi

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian 18 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Agustus 2011. Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 15 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2011 sampai Juni 2011 bertempat di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan dan Laboratorium Preservasi dan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah umbi talas segar yang dibeli di Bogor (Pasar Gunung Batu, Jalan Perumahan Taman Yasmin, Pasar

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 26 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Proksimat Ikan Bandeng Tipe ikan bandeng yang ditemukan di Indonesia memiliki ciri adanya perpanjangan sirip dorsal dan pektoral. Tipe ikan dengan perpanjangan ini

Lebih terperinci

Bab III Bahan dan Metode

Bab III Bahan dan Metode Bab III Bahan dan Metode A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2012 di daerah budidaya rumput laut pada dua lokasi perairan Teluk Kupang yaitu di perairan Tablolong

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 13 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2011 sampai Juni 2011. Tempat-tempat yang digunakan adalah Laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perairan, Laboratorium

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan yang digunakan Kerupuk Udang. Pengujian ini adalah bertujuan untuk mengetahui kadar air dan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 20 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Juni 2011 di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku, Laboratorium biokimia, Departemen Teknologi Hasil Perairan,

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2015 dari survei sampai

MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2015 dari survei sampai III. MATERI DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2015 dari survei sampai pengambilan sampel di Kelurahan Tuah Karya Kecamatan Tampan Kota Pekanbaru dan dianalisis

Lebih terperinci

METODE. Materi. Rancangan

METODE. Materi. Rancangan METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2008, bertempat di laboratorium Pengolahan Pangan Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di salah satu industri rumah tangga (IRT) tahu di

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di salah satu industri rumah tangga (IRT) tahu di III. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di salah satu industri rumah tangga (IRT) tahu di Kelurahan Gunung Sulah Kecamatan Sukarame Bandar Lampung, Laboratorium

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang pada sebuah wadah timbang yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan metode eksperimental menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial. Sampel yang digunakan berjumlah 24, dengan

Lebih terperinci

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g)

dimana a = bobot sampel awal (g); dan b = bobot abu (g) Lampiran 1. Metode analisis proksimat a. Analisis kadar air (SNI 01-2891-1992) Kadar air sampel tapioka dianalisis dengan menggunakan metode gravimetri. Cawan aluminium dikeringkan dengan oven pada suhu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 39 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Bagan Alir Produksi Kerupuk Terfortifikasi Tepung Belut Bagan alir produksi kerupuk terfortifikasi tepung belut adalah sebagai berikut : Belut 3 Kg dibersihkan dari pengotornya

Lebih terperinci

Lampiran 1. Gambar tanaman dan wortel. Tanaman wortel. Wortel

Lampiran 1. Gambar tanaman dan wortel. Tanaman wortel. Wortel Lampiran 1. Gambar tanaman dan wortel Tanaman wortel Wortel Lampiran 2. Gambar potongan wortel Potongan wortel basah Potongan wortel kering Lampiran 3. Gambar mesin giling tepung 1 2 4 3 5 Mesin Giling

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan 20 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium Politeknik

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK Disusun oleh: Jekson Martiar Siahaan

LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK Disusun oleh: Jekson Martiar Siahaan LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK Disusun oleh: Jekson Martiar Siahaan I. Tujuan: 1. Mahasiswa mampu memahami dan melakukan teknik teknik histoteknik yang digunakan dalam pembuatan preparat jaringan 2. Mahasiswa

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan bulan November 2011 sampai Januari 2012. Pengambilan sampel dilakukan di Cisolok, Palabuhanratu, Jawa Barat. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

Lampiran 1 Prosedur Pembuatan Preparat Histologi

Lampiran 1 Prosedur Pembuatan Preparat Histologi LAMPIRAN 38 Lampiran 1 Prosedur Pembuatan Preparat Histologi Pembuatan preparat histologi terdiri dari beberapa proses yaitu dehidrasi (penarikan air dalam jaringan) dengan alkohol konsentrasi bertingkat,

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Metode Pembuatan Petak Percobaan Penimbangan Dolomit Penanaman

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Metode Pembuatan Petak Percobaan Penimbangan Dolomit Penanaman MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan mulai akhir bulan Desember 2011-Mei 2012. Penanaman hijauan bertempat di kebun MT. Farm, Desa Tegal Waru. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah bubuk susu kedelai bubuk komersial, isolat protein kedelai, glucono delta lactone (GDL), sodium trpolifosfat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Organoleptik Ikan Layang Data hasil penelitian pengaruh konsentrasi belimbing terhadap nilai organoleptik ikan layang dapat dilihat pada Lampiran 2. Histogram hasil

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI A. Alat dan Bahan A.1Alat yang digunakan : - Timbangan - Blender - Panci perebus - Baskom - Gelas takar plastik - Pengaduk -

BAB III METODOLOGI A. Alat dan Bahan A.1Alat yang digunakan : - Timbangan - Blender - Panci perebus - Baskom - Gelas takar plastik - Pengaduk - digilib.uns.ac.id BAB III METODOLOGI A. Alat dan Bahan A.1Alat yang digunakan : - Timbangan - Blender - Panci perebus - Baskom - Gelas takar plastik - Pengaduk - Kompor gas - Sendok - Cetakan plastik A.2Bahan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengujikan L. plantarum dan L. fermentum terhadap silase rumput Kalanjana.

BAB III METODE PENELITIAN. mengujikan L. plantarum dan L. fermentum terhadap silase rumput Kalanjana. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Percobaan Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yaitu dengan cara mengujikan L. plantarum dan L. fermentum terhadap silase rumput Kalanjana. Rancangan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini telah dilakukan di Farm dan Laboratorium Fakultas Peternakan Universitas Jambi, pada tanggal 28 September sampai tanggal 28 November 2016.

Lebih terperinci

Laporan Praktikum Histotehnik. Oleh: Lucia Aktalina. Jum at, 14 September WIB

Laporan Praktikum Histotehnik. Oleh: Lucia Aktalina. Jum at, 14 September WIB Laporan Praktikum Histotehnik Oleh: Lucia Aktalina Jum at, 14 September 2012 14.00 17.00 WIB Tujuan Praktikum: Melihat demo tehnik-tehnik Histotehnik,mulai dari pemotongan jaringan organ tikus sampai bloking,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Alat dan Bahan Dalam pembuatan dan analisis kualitas keju cottage digunakan peralatan waterbath, set alat sentrifugase, set alat Kjedalh, AAS, oven dan autoklap, ph meter,

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT Waktu penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Oktober 2011. Penelitian dilaksanakan di laboratorium LBP (Lingkungan dan Bangunan Pertanian) dan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian 14 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai September 2010. Penelitian dilakukan di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku, Laboratorium Pengolahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kecukupan gizi. Unsur gizi yang dibutuhkan manusia antara lain: protein, lemak,

BAB I PENDAHULUAN. kecukupan gizi. Unsur gizi yang dibutuhkan manusia antara lain: protein, lemak, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kelangsungan hidup manusia sangat dipengaruhi oleh nilai atau kecukupan gizi. Unsur gizi yang dibutuhkan manusia antara lain: protein, lemak, karbohidrat, mineral, serta

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Daging Domba Daging domba yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging domba bagian otot Longissimus thoracis et lumborum.

MATERI DAN METODE. Daging Domba Daging domba yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging domba bagian otot Longissimus thoracis et lumborum. MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-November 2011. Pemeliharaan ternak prapemotongan dilakukan di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1.Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Riset Kimia Universitas Pendidikan Indonesia dan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI )

Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI ) 41 Lampiran 1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) (SNI 06-6989.22-2004) 1. Pipet 100 ml contoh uji masukkan ke dalam Erlenmeyer 300 ml dan tambahkan 3 butir batu didih. 2. Tambahkan KMnO

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM. : Histoteknik : Selly Oktaria Tanggal Praktikum : 14 September 2012

LAPORAN PRAKTIKUM. : Histoteknik : Selly Oktaria Tanggal Praktikum : 14 September 2012 LAPORAN PRAKTIKUM Judul : Histoteknik Nama : Selly Oktaria Tanggal Praktikum : 14 September 2012 Tujuan Praktikum : 1. Melihat demonstrasi pembuatan preparat histology mulai dari fiksasi jaringan hingga

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK

LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK LAPORAN PRAKTIKUM HISTOTEKNIK NAMA PRAKTIKAN : Ramadhan Bestari GRUP PRAKTIKAN : Grup Pagi (08.00-11.00) HARI/TGL. PRAKTIKUM : Rabu, 24 Oktober 2013 I. TUJUAN PRAKTIKUM 1. Mahasiswa mampu memahami dan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 15 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2011 sampai Januari 2012. Preparasi bahan baku, perhitungan rendemen, dan analisis morfometrik dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. ayam broiler terhadap kadar protein, lemak dan bobot telur ayam arab ini bersifat

BAB III METODE PENELITIAN. ayam broiler terhadap kadar protein, lemak dan bobot telur ayam arab ini bersifat BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Percobaan Penelitian tentang peran pemberian metionin dan linoleat pada tepung kaki ayam broiler terhadap kadar protein, lemak dan bobot telur ayam arab

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan 24 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Biomassa Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dan 1 kontrol terhadap ikan nila (O. niloticus). bulan, berukuran 4-7 cm, dan berat gram.

BAB III METODE PENELITIAN. dan 1 kontrol terhadap ikan nila (O. niloticus). bulan, berukuran 4-7 cm, dan berat gram. BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen menggunakan 1 faktor, yaitu perlakuan limbah cair nata de coco yang terdiri atas 5 variasi kadar dan 1 kontrol

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dantempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di UKM Mekar Sari di Dusun Boleleu No. 18 Desa Sidomakmur Kecamatan Sipora Utara Kabupaten Kepulauan Mentawai. Sementara

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada setiap sediaan otot gastrocnemius dilakukan tiga kali perekaman mekanomiogram. Perekaman yang pertama adalah ketika otot direndam dalam ringer laktat, kemudian dilanjutkan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan 19 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Laboratorium Analisis Kimia Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil

Lebih terperinci

Nova Nurfauziawati Kelompok 11 A V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Nova Nurfauziawati Kelompok 11 A V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN Praktikum yang dilaksanakan pada 12 September 2011 mengenai perubahan fisik, kimia dan fungsional pada daging. Pada praktikum kali ini dilaksanakan pengamatan perubahan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Rumus konversi dalam pembuatan media

Lampiran 1. Rumus konversi dalam pembuatan media LAMPIRAN 27 Lampiran 1. Rumus konversi dalam pembuatan media Keterangan : V 1 = Volume air media ke-1 V 2 = Volume air media ke-2 M 1 = Konsentrasi ph media ke-1 = Konsentrasi ph media ke-2 M 2 HCl yang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 38 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu Dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Mei Tahun 2013 di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Kimia Fakultas Pertanian Dan Peternakan Universitas Islam

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Dalam pembuatan dan analisis kualitas keju cottage digunakan peralatan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Dalam pembuatan dan analisis kualitas keju cottage digunakan peralatan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Alat dan Bahan 3.1.1 Alat Dalam pembuatan dan analisis kualitas keju cottage digunakan peralatan antara lain : oven, autoklap, ph meter, spatula, saringan, shaker waterbath,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2011-Februari 2012. Proses penggorengan hampa keripik ikan tongkol dilakukan di UKM Mekar Sari,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Rendemen Cookies Ubi Jalar Ungu. 1. Penentuan Nilai Rendemen (Muchtadi dan Sugiyono, 1992) :

Lampiran 1. Prosedur Analisis Rendemen Cookies Ubi Jalar Ungu. 1. Penentuan Nilai Rendemen (Muchtadi dan Sugiyono, 1992) : Lampiran 1. Prosedur Analisis Rendemen Cookies Ubi Jalar Ungu 1. Penentuan Nilai Rendemen (Muchtadi dan Sugiyono, 1992) : Rendemen merupakan persentase perbandingan antara berat produk yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di industri rumah tangga terasi sekaligus sebagai

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di industri rumah tangga terasi sekaligus sebagai 13 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di industri rumah tangga terasi sekaligus sebagai penjual di Kecamatan Menggala, Kabupaten Tulang Bawang dan Laboratorium

Lebih terperinci

Lampiran 1 Skema Prosedur Pembuatan Preparat Histologi Skema langkah-langkah pengujian histologi secara garis besar adalah sebagai berikut:

Lampiran 1 Skema Prosedur Pembuatan Preparat Histologi Skema langkah-langkah pengujian histologi secara garis besar adalah sebagai berikut: 79 Lampiran 1 Skema Prosedur Pembuatan Preparat Histologi Skema langkah-langkah pengujian histologi secara garis besar adalah sebagai berikut: Pengambilan Organ Fiksasi Pemotongan Organ Washing Dehidrasi

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Bumbu Pasta Ayam Goreng 1. Kadar Air (AOAC, 1995) Air yang dikeluarkan dari sampel dengan cara distilasi

Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Bumbu Pasta Ayam Goreng 1. Kadar Air (AOAC, 1995) Air yang dikeluarkan dari sampel dengan cara distilasi Lampiran 1. Prosedur Analisa Karakteristik Bumbu Pasta Ayam Goreng 1. Kadar Air (AOAC, 1995) Air yang dikeluarkan dari sampel dengan cara distilasi azeotropik kontinyu dengan menggunakan pelarut non polar.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik Nilai Organoleptik BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Organoleptik Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik ikan lolosi merah (C. chrysozona) dapat di lihat pada analisis

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. diketahui kandungan airnya. Penetapan kadar air dapat dilakukan beberapa cara.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. diketahui kandungan airnya. Penetapan kadar air dapat dilakukan beberapa cara. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Kandungan air dalam suatu bahan perlu diketahui untuk menentukan zatzat gizi yang terkandung dalam bahan pangan tersebut. Kadar air dalam pangan dapat diketahui melakukan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada 26 Agustus 2015 di Laboratorium Produksi dan

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada 26 Agustus 2015 di Laboratorium Produksi dan III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada 26 Agustus 2015 di Laboratorium Produksi dan Reproduksi Ternak, Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

Lampiran 1 Analisis probit uji LC50-96 jam minyak sereh. Pengamatan Jumlah Respon

Lampiran 1 Analisis probit uji LC50-96 jam minyak sereh. Pengamatan Jumlah Respon 58 Lampiran 1 Analisis probit uji LC5096 jam minyak sereh LC 50 96jam Konsentrasi Jumlah Terekspos Pengamatan Jumlah Respon Pengaturan Proporsi Respon Prediksi Proporsi Respon Proposi Respon 60 10 1 0,1000

Lebih terperinci

Kadar air % a b x 100% Keterangan : a = bobot awal contoh (gram) b = bobot akhir contoh (gram) w1 w2 w. Kadar abu

Kadar air % a b x 100% Keterangan : a = bobot awal contoh (gram) b = bobot akhir contoh (gram) w1 w2 w. Kadar abu 40 Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat 1. Kadar air (AOAC 1995, 950.46) Cawan kosong yang bersih dikeringkan dalam oven selama 2 jam dengan suhu 105 o C dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang.

Lebih terperinci

PENGUJIAN TINGKAT KESEGARAN MUTU IKAN DISUSUN OLEH: NAMA : F. I. RAMADHAN NATSIR NIM : G KELOMPOK : IV (EMPAT)

PENGUJIAN TINGKAT KESEGARAN MUTU IKAN DISUSUN OLEH: NAMA : F. I. RAMADHAN NATSIR NIM : G KELOMPOK : IV (EMPAT) TUGAS PENDAHULUAN APLIKASI TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL LAUT PENGUJIAN TINGKAT KESEGARAN MUTU IKAN DISUSUN OLEH: NAMA : F. I. RAMADHAN NATSIR NIM : G 311 09 003 KELOMPOK : IV (EMPAT) LABORATORIUM PENGAWASAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perikanan yang sangat besar. Oleh karena itu sangat disayangkan bila. sumber protein hewani, tingkat konsumsi akan ikan yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN. perikanan yang sangat besar. Oleh karena itu sangat disayangkan bila. sumber protein hewani, tingkat konsumsi akan ikan yang tinggi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas perairan, dan mempunyai laut serta potensi perikanan yang sangat besar. Oleh

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimen karena pada penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimen karena pada penelitian BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimen karena pada penelitian ini objek yang diteliti diberi perlakuan dan adanya kontrol sebagai pembanding. B.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g

BAB III METODE PENELITIAN. Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g 19 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Bagan Alir Penelitian Ubi jalar ± 5 Kg Dikupas dan dicuci bersih Diparut dan disaring Dikeringkan dan dihaluskan Tepung Ubi Jalar ± 500 g Kacang hijau (tanpa kulit) ± 1

Lebih terperinci

MATERI METODE. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan November 2014-Januari Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

MATERI METODE. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan November 2014-Januari Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. III. MATERI METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian telah dilaksanakan pada bulan November 2014-Januari 2015. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Pasca Panen dan Laboratorium Ilmu Nutrisi

Lebih terperinci

METODE PENGUJIAN. 1. Kadar Oksalat (SNI, 1992)

METODE PENGUJIAN. 1. Kadar Oksalat (SNI, 1992) LAMPIRAN 1. Kadar Oksalat (SNI, 1992) METODE PENGUJIAN Sebanyak 5 gram sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer. Untuk pengujianan total oksalat ke dalam Erlenmeyer ditambahkan larutan

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Kadar Air dengan Metode Thermogravimetri (Sudarmadji, dkk., 2007)

LAMPIRAN. Kadar Air dengan Metode Thermogravimetri (Sudarmadji, dkk., 2007) LAMPIRAN Lampiran 1. Kadar Air dengan Metode Thermogravimetri (Sudarmadji, dkk., 2007) Cara kerja: a. Timbang kerupuk samiler yang sudah dihaluskan sebanyak 1-2 gram dalam botol timbang konstan yang sudah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada September Oktober Pengambilan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada September Oktober Pengambilan III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada September 2013--Oktober 2013. Pengambilan sampel onggok diperoleh di Kabupaten Lampung Timur dan Lampung Tengah.

Lebih terperinci

A = berat cawan dan sampel awal (g) B = berat cawan dan sampel yang telah dikeringkan (g) C = berat sampel (g)

A = berat cawan dan sampel awal (g) B = berat cawan dan sampel yang telah dikeringkan (g) C = berat sampel (g) LAMPIRAN 42 Lampiran 1. Prosedur Analisis mutu kompos A. Kadar Air Bahan (AOAC, 1984) Cawan porselen kosong dan tutupnya dimasukkan ke dalam oven selama 15 menit pada suhu 100 o C.Cawan porselen kemudian

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Terpadu, Laboratorium Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Pusat Antar Universitas (PAU),

Lebih terperinci

PEMANFAATAN FILTRAT TAOGE UNTUK MEREDUKSI KADAR UREA IKAN CUCUT (Carcharinus sp)

PEMANFAATAN FILTRAT TAOGE UNTUK MEREDUKSI KADAR UREA IKAN CUCUT (Carcharinus sp) PEMANFAATAN FILTRAT TAOGE UNTUK MEREDUKSI KADAR UREA IKAN CUCUT (Carcharinus sp) Anna C.Erungan 1, Winarti Zahiruddin 1 dan Diaseniari 2 Abstrak Ikan cucut merupakan ikan yang potensi produksinya cukup

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu. Kadar Abu (%) = (C A) x 100 % B Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Pati Sagu 1. Analisis Kadar Air (Apriyantono et al., 1989) Cawan Alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya diisi sebanyak 2 g contoh lalu ditimbang

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTEK LABORATORIUM HISTOTEKNIK TISSUE PROCESSING DAN PEWARNAAN

LAPORAN PRAKTEK LABORATORIUM HISTOTEKNIK TISSUE PROCESSING DAN PEWARNAAN LAPORAN PRAKTEK LABORATORIUM HISTOTEKNIK TISSUE PROCESSING DAN PEWARNAAN Nama : Yulia Fitri Djaribun NIM : 127008005 Tanggal : 22 September 2012 A.Tujuan Praktikum : 1. Agar mahasiswa mampu melakukan proses

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di lapangan dan di laboratoirum. Pengambilan sampel ikan bertempat di DAS Citarum bagian hulu dengan 4 stasiun yang telah ditentukan.

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE PENELITIAN III. MATERI DAN METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Juni 2014 di Laboratorium Teknologi Pasca Panen, Laboratorium Nutrisi dan Kimia serta Laboratorium Patologi,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama bulan Mei hingga Agustus 2015 dan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama bulan Mei hingga Agustus 2015 dan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan selama bulan Mei hingga Agustus 2015 dan dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian dan Laboratorium Kimia,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Laboratoriun Analisis Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Lebih terperinci

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama

MATERI DAN METOD E Lokasi dan Waktu Materi Prosedur Penelitian Tahap Pertama MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Bagian Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Pada penelitian ini digunakan berbagai jenis alat antara lain berbagai

BAB III METODE PENELITIAN. Pada penelitian ini digunakan berbagai jenis alat antara lain berbagai 30 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Alat dan Bahan Pada penelitian ini digunakan berbagai jenis alat antara lain berbagai macam alat gelas, labu Kjeldahl, set alat Soxhlet, timble ekstraksi, autoclave, waterbath,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri Lampung, Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratoriun

Lebih terperinci

METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian Penelitian Pendahuluan

METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian Penelitian Pendahuluan METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan mulai dari bulan Mei 2012 sampai bulan Agustus 2012. Tempat yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah Laboratorium Percobaan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Gambar 3. Domba Jonggol R1 (a) dan Domba Jonggol R2 (b) Gambar 4. Domba Garut R1 (a) dan Domba Garut R2 (b)

MATERI DAN METODE. Gambar 3. Domba Jonggol R1 (a) dan Domba Jonggol R2 (b) Gambar 4. Domba Garut R1 (a) dan Domba Garut R2 (b) MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan dari bulan Juli sampai Oktober 2011 di Laboratorium Lapang Ilmu Produksi Ternak Ruminansia Kecil Blok B, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. kuantitatif. Menurut Sugiyono (2013) Penelitian deskriptif kuantitatif bertujuan

BAB III METODE PENELITIAN. kuantitatif. Menurut Sugiyono (2013) Penelitian deskriptif kuantitatif bertujuan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif. Penelitian deskriptif kuantitatif merupakan metode penelitian yang digunakan

Lebih terperinci

II. METODELOGI 2.1 Waktu dan Tempat 2.2 Alat dan Bahan 2.3 Tahap Penelitian

II. METODELOGI 2.1 Waktu dan Tempat 2.2 Alat dan Bahan 2.3 Tahap Penelitian II. METODELOGI 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November sampai dengan Desember 2011 di Laboratorium Lingkungan dan Laboratorium Kesehatan Ikan, Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 11 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan April 2012 dan bertempat di beberapa laboratorium, yaitu Laboratorium Pusat Antar Universitas (PAU) Pangan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juli sampai Oktober 2011, dan dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas

Lebih terperinci

1.Penentuan Kadar Air. Cara Pemanasan (Sudarmadji,1984). sebanyak 1-2 g dalam botol timbang yang telah diketahui beratnya.

1.Penentuan Kadar Air. Cara Pemanasan (Sudarmadji,1984). sebanyak 1-2 g dalam botol timbang yang telah diketahui beratnya. 57 Lampiran I. Prosedur Analisis Kimia 1.Penentuan Kadar Air. Cara Pemanasan (Sudarmadji,1984). Timbang contoh yang telah berupa serbuk atau bahan yang telah dihaluskan sebanyak 1-2 g dalam botol timbang

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penentuan Suhu Optimum Ekstraksi Inhibitor Katepsin Penentuan suhu optimum ekstraksi inhibitor katepsin bertujuan untuk mengetahui suhu optimum untuk pemisahan antara kompleks

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2013 di

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2013 di BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2013 di Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) Gorontalo. 3.2 Bahan

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1 Rancangan Perlakuan Penelitian ini terdiri dari enam perlakuan yang masing-masing diberi 3 kali ulangan. Perlakuan yang diberikan berupa perendaman dengan dosis relhp berbeda yaitu

Lebih terperinci

3 METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

3 METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 27 3 METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli hingga Desember 2010. Bahan baku diambil dari petani rumput laut di Kabupaten Kotawaringin Barat Kecamatan Kumai desa

Lebih terperinci

BROWNIES TEPUNG UBI JALAR PUTIH

BROWNIES TEPUNG UBI JALAR PUTIH Lampiran 1 BROWNIES TEPUNG UBI JALAR PUTIH Bahan Tepung ubi jalar Putih Coklat collata Margarin Gula pasir Telur Coklat bubuk Kacang kenari Jumlah 250 gr 350 gr 380 gr 250 gr 8 butir 55 gr 50 gr Cara Membuat:

Lebih terperinci

Kadar air (%) = B 1 B 2 x 100 % B 1

Kadar air (%) = B 1 B 2 x 100 % B 1 LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur analisis proksimat dan penurunan mutu produk kopi instan formula a. Kadar air (AOAC, 1995) Penetapan kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven. Prinsip dari metode

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran,(6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai Desember 2012. Cangkang kijing lokal dibawa ke Laboratorium, kemudian analisis kadar air, protein,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Politeknik Negeri Lampung dan Laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Pengujian kualitas fisik telur dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Pengujian kualitas kimia telur dilakukan

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Mozzarela dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 di Laboratorium Kimia dan

BAB III MATERI DAN METODE. Mozzarela dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 di Laboratorium Kimia dan 20 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dengan judul Pemanfaatan Susu Sapi,Susu Kerbau Dan Kombinasinya Untuk Optimalisasi Kadar Air, Kadar Lemak Dan Tekstur Keju Mozzarela dilaksanakan pada bulan Oktober

Lebih terperinci