HASIL DAN PEWBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEWBAHASAN"

Transkripsi

1 IV. HASIL DAN PEWBAHASAN 4.1. Validasi Model Validasi model simulasi seleksi dilakukan dengan membandingkan antara hasil simulasi dengan data pemban- ding atau data hasil penelitian. Data yang digunakan untuk validasi model simulasi seleksi adalah data bobot setahunan hasil simulasi dan data pembanding. Pengujian antara data simulasi dan data penelitian dilakukan terhadap model simulasi tanpa seleksi, sebab keluaran model ini diasumsikan tidak mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Keadaan bobot setahunan pada populasi ini akan tetap berada dalam kisaran bobot setahunan pada populasi awal, dari awal sampai akhir simulasi. Validasi dilakukan dengan membandingkan antara bobot setahunan keturunan pertama dan kedua hasil s'imulasi dengan bobot setahunan data pembanding dari data performans produksi sapi Bali tahun 1978 dan 1979 (Ditjennak - IPB) yang diolah kembali. Rataan dan simpangan baku bobot setahunan data hasil simulasi dan data pembanding, diperlihatkan pada Tabel 13. Hasil uji-t student diperoleh bahwa antara bobot setahunan hasil simulasi keturunan tahun pertama dengan data lapang tahun 1978 dan hasil simulasi tahun kedua dengan data lapang tahun 1979 tidak berbeda nyata (P > 0.05). Hal ini menunjukkan bahwa model simulasi tersebut di atas dapat menghasilkan keluaran yang sama

2 Tabel 13. Rataan dan Simpangan Baku Bobot Setahunan Hasil Simulasi dan Data Lapang No. Data simulasi Data lapang N Rataan Sb N Rataan Sb BI TH BI TH Feteranaan: N - Jumlah data Sb = Simpangan baku a = Bobot setahunan keturunan tahun pertama b = Bobot setahunan keturunan tahun kedua c = Bobot setahunan data lapang tahun 1978 d = Bobot setahunan data lapang tahun 1979 dengan data lapang (data riil) sehingga model simulasi tersebut dapat diterima. Hasil uji-t student dapat dilihat pada Lampiran 6. Secara teoritis satu model setelah divalidasi untuk menggambarkan satu populasi tanpa seleksi dari generasi ke generasi menggambarkan sifat yang di validasi, berarti kita menyesuaikan bahwa model yang sama dengan validasi seleksi negatif dan seleksi terbaik juga dianggap berlaku atau valid Simulasi Perkembanaan Kineria Perubahan Genetik Bobot Sa~ih dan Bobot Setahunan Seleksi dilakukan berdasarkan bobot setahunan de- ngan harapan dapat meningkatkan bobot setahunan melalui

3 perbaikan mutu genetiknya secara langsung, dan secara tidak langsung diharapkan akan meningkatkan mutu genetik bobot sapih, sehingga akan meningkatkan bobot setahun dan bobot sapih (Warwick dan Legates, 1979). Hasil perubahan genetik bobot setahunan melalui seleksi massa (seleksi individu), pada populasi dengan seleksi terbaik, seleksi negatif I, dan negatif I1 di- sajikan pada Lampiran 7. Rata-rata perubahan genetik bobot setahunan dari populasi dengan seleksi terbaik adalah 0.29 kg/tahun. Rata-rata perubahan genetik bobot setahunan pada populasi dengan seleksi negatif I dan seleksi negatif I1 masing-masing berturut-turut adalah 0.12 kg/tahun dan 0.09 kg/tahun. Rendahnya perubahan genetik bobot setahunan pada populasi dengan seleksi negatif I1 dibanding dengan se- leksi negatif I, mungkin disebabkan karena dengan se- leksi negatif I sebesar 30 persen masih besar kemungkin- an tersisa ternak-ternak yang berada di atas rataan populasi terseleksi sebagai pejantan, dengan keragaman yang lebih tinggi dibanding dengan populasi dengan seleksi negatif I1 sebesar 66 persen., Grafik perubahan genetik (respons seleksi) bobot setahunan sapi Bali dari populasi dengan metode seleksi yang berbeda disajikan pada Gambar 5. Perubahan genetik (respons seleksi) pada seleksi terbaik, terjadi peningkatan dari tahun ke tahun sampai

4 Respon- Seleksl (kg/ek/th) Tahun Respon Seleksi (kg/ek/th) Srlrksl Nogotlf I + Srlrkrl Nogotlf ll Tahun Gambar 5. Grafik Respons Seleksi Bobot Setahunan Sapi Bali dari Hasil Simulasi dengan Cara Seleksi Berbeda

5 tahun ke-13 simulasi, kemudian terjadi kecenderungan respons seleksi berkurang. Ini menunjukkan bahwa setelah tahun ke-13, seleksi mulai tidak efektif lagi. Perubahan genetik pada seleksi negatif I mulai tidak efektif setelah tahun ke-18 simulasi. Sedangkan pada seleksi negatif I1 respons seleksi berkurang setelah tahun ke-13 simulasi. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh keragaman genetik dengan seleksi negatif I lebih tinggi dibanding seleksi negatif 11, demikian juga terlihat respons seleksi pada seleksi negatif I menurun dengan teratur setelah tahun ke-13. Pola yang sama tanggapan seleksi untuk kandungan minyak pada jagung selama 70 generasi, dengan seleksi dua arah kandungan tinggi dan rendah. Dengan seleksi arah menurun pada mulanya sama efektifnya, tetapi pada saat kadar minyak di bawah dua persen perkecambahan yang rendah dari biji yang berkadar minyak sangat rendah itu akan mengurangi kemajuan seleksi (Dudley dkk., 1974 dalam Warwick dkk., 1984). Sedangkan seleksi dua arah berat tikus pada umur 60 hari, tanggapan seleksi arah bawah tidak efektif setelah berat badan mencapai 12 gram, yang dicapai setelah generasi ke-12 (Mac Arthur, 1949 dalam Warwick dkk., 1984). Perubahan genetik untuk bobot setahunan yang rendah kemungkinan disebabkan potensi genetik sapi Bali yang rendah, yang sudah mengalami degenerasi genetik. Selain daripada itu (Trikesowo, 1988) menyatakan saat ini sulit

6 menemukan sapi Bali yang bobot badannya tinggi dan keragaman yang tinggi. Seleksi berdasarkan bobot setahunan merupakan kriteria yang paling baik, karena mencerminkan potensi sapi itu sendiri karena tidak ada pengaruh induk secara langsung (Lasley, 1978; Minish dan Fox, 1979). Secara tidak langsung sebagai akibat seleksi bobot setahunan juga dapat meningkatkan bobot sapih, karena antara bobot sapih dan bobot setahunan mempunyai korelasi genetik yang tinggi (Massey dan Benyshek, 1982; Preston dan Willis, 1974; Cole, 1966). Rataan perubahan genetik bobot sapih sapi Bali sebagai akibat seleksi bobot sapih secara tidak langsung pada seleksi terbaik, terjadi peningkatan sebesar 0.22 kg/tahun. Rata-rata perubahan genetik bobot sapih se- bagai akibat seleksi bobot sapih secara tidak langsung pada seleksi negatif I dan negatif I1 masing-masing ber- turut-turut adalah 0.13 kg/tahun dan 0.09 kg/tahun. Respons seleksi bobot sapih sebagai akibat seleksi bobot setahunan secara langsung diperlihatkan pada Lampiran 8. Perubahan Rataan Bobot Se tahunan dan Bobot Sa~ih Berdasarkan hasil simulasi komputer dari empat populasi sapi Bali dengan cara seleksi yang berbeda di- jelaskan sebagai berikut.

7 Populasi Tanpa Seleksi Pada populasi tanpa seleksi selama 20 tahun simulasi, tidak terjadi perubahan bobot sapih maupun bobot setahunan yang besar dan dapat diabaikan. Ini menunjukkan sama seperti keadaan populasi ternak secara alami jika suatu populasi kawin acak, tidak terjadi perubahan lingkungan dan tidak terjadi seleksi, tidak terjadi mutasi dan tidak terjadi migrasi akan tetap sama dari waktu ke waktu. Selama simulasi terlihat ada fluktuasi rataan bobot badan yang turun naik tapi masih dalam kisaran populasi awal baik pada bobot setahunan maupun bobot sapih dan terlihat pula bobot badan awal dan akhir selisihnya kecil. Rataan bobot setahunan dan bobot sapih awal dan akhir simulasi diperlihatkan pada Tabel 14. Tabel 14. Rataan Bobot Setahunan dan Bobot Sapih Awal dan Akhir Simulasi (kg) Bobot Awal Bobot Akhir Peningkatan Populasi simulasi simulasi tahun ke-20 (%) 1. Tanpa seleksi (a)* (b) Seleksi negatif I (a) I (b) Seleksi negatif I1 (a) (b) Seleksi terbaik (a) (b) Ketera naan * (a) Bobot setahuan (b) Bobot sapih

8 Populasi Seleksi Negatif I dan I1 Seperti telah diuraikan dalam metode seleksi nega- 'tif yaitu sapi Bali jantan yang berat badannya di atas rata-rata populasi dikeluarkan, sehingga yang terseleksi jadi bibit adalah ternak yang bobot badannya rata-rata atau di bawah rata-rata populasi. Akibatnya terjadi penurunan bobot badan, karena ternak yang terseleksi (jadi bibit) mutu genetiknya kurang baik akibat dari penjualan ternak yang bermutu baik untuk dipotong. Hasil simulasi dengan seleksi negatif I (30 persen) terjadi penurunan bobot setahunan sebagai akibat seleksi secara langsung sebesar 9.62 persen dan terjadi penurunan bobot sapih sebagai akibat seleksi bobot sapih secara tidak langsung sebesar persen. Hasil simulasi seleksi negatif I1 terjadi penurunan bobot setahunan se- bagai akibat seleksi secara langsung dan terjadi penu- runan bobot sapih akibat seleksi secara tidak langsung masing-masing persen (0.64 persen pertahun) untuk bobot setahunan dan persen (0.58 persen pertahun) untuk bobot sapih. Hasil tersebut lebih rendah jika di- bandingkan dengan dugaan seleksi negatif yang terjadi selama ini dari rataan bobot potong menurut IPB (1970) dan Martojo (1984)- 6 Martojo (1988) sebesar kg turun menjadi kg atau dengan penurunan persen atau rata-rata 1.78 persen pertahun. Perbedaan tersebut mungkin disebabkan karena penurunan bobot

9 potong tersebut selain disebabkan oleh seleksi negatif juga disebabkan oleh biak-dalam. Martojo (1988) menya- 'takan penurunan mutu sapi Bali di Bali mungkin disebabkan karena biak-dalam yang ditandai dengan adanya keragaman sapi Bali antar desa berbeda dan keseragaman fenotipe sapi Bali dalam desa yang sama terutama yang menganut sistem perkawinan tertutup. Populasi Seleksi Terbaik Dengan seleksi terbaik selain dapat meningkatkan bobot setahunan akibat seleksi secara langsung, juga dapat meningkatkan bobot sapih secara tidak langsung. Hasil simulasi seleksi terbaik sampai akhir simulasi tahun-20 menunjukkan peningkatan bobot setahunan sebesar persen (rata-rata 0.60 persen pertahun) dan secara tidak langsung meningkatkan bobot sapih sebesar persen (rata-rata 0.62 persen pertahun). Hasil ini lebih rendah dibanding laporan Pane (1990) yang menyatakan keunggulan hasil keturunan bobot setahun pejantan proyek terbaik persen lebih unggul dibanding keturunan pejantan 1.B dari Dinas Peternakan di P3 Bali dari tahun Perbedaan ini mungkin disebabkan karena pejantan proyek yang digunakan adalah pejantan unggul yang sudah di seleksi. Demikian juga jika dibanding dengan hasil seleksi bangsa sapi unggul, ratarata kemajuan yang diperoleh dari hasil simulasi seleksi terbaik sedikit lebih rendah seperti seleksi pertumbuhan

10 sapi Angus memperoleh peningkatan bobot setahun 0.84 persen dan bobot sapih sebesar 0.72 persen (Parnell, '1989). Grafik rataan bobot setahunan dan simpangan baku dan grafik rataan bobot sapih dan simpangan baku disajikan masing-masing pada Gambar 6 dan Gambar 7. Pola peningkatan rataan bobot setahunan mula-mula terjadi peningkatan dengan cepat, kemudian terjadi peningkatan relatif lebih lambat setelah tahun ke-10 dan menunjukkan grafik yang mendatar setelah tahun ke-15 menunjukkan dicapainya batas seleksi seperti diperlihatkan pada Gambar 6. Sejalan dengan ha1 ini Warwick dkk., (1984) menyatakan seleksi yang dilakukan pada beberapa generasi sampai suatu saat akan dicapai batas seleksi, namun sukar menentukan kapan dicapai batas seleksi dengan pasti sebab sering ditemukan batas seleksi sudah tercapai, kemudian naik lagi karena respons seleksi. Berbeda dengan pola rataan bobot sapih, terjadinya peningkatan rataan sebagai akibat seleksi bobot sapih se- cara tidak langsung, sampai akhir simulasi. Hal ini mungkin disebabkan karena peningkatan yang diperoleh ha- nya merupakan akibat dari respons karena adanya korela- si. Dengan hasil seleksi pada bobot setahunan menunjuk- kan ketepatan lebih tepat karena merupakan respons seleksi secara langsung. Demikian pula seleksi terhadap bobot setahunan lebih baik karena mempunyai heritabilitas lebih tinggi dibanding bobot sapih, dan tidak ada

11 -..*...,.. +.I$., eobot 8etahun (kg) 140 h...a *..*..a Bobot Setahun (kg) 126 -a.t.. ~taa l 1ens.b *mat.. narab eIek.1 Tarbalk 2. Solekrl Nogatif l (30%) 116 L B n * ' a n a * 6 L 1 n 1 1 t 1 a 4,, r 8, ~ 0 ~ a 1 4 1, 1? 1 1 # 0 Tahun ' ' ' ' ' ' ' ' ' ' ' ' ' ' ' ' ' ' ' S S14161@171@1820 Tahun Bobot Setahun (kg) 126 -Cmt.a 11. +IIII.I ~*ms.b +mat.. marah Bobot Setahun (kg) At.. +IIll.l T0ma.b ++@.1.. At. 122 Tahun Tahun Gambar 6. Grafik Rataan Bobot Setahun dan Simpangan Baku dari Hasil Simulasi dengan Cara Seleksi Berbeda

12 Bobot Sapih (kg) e 0 Bobot Saplh (kg) -CSaIaa At.. +YII.I lorn#.* * Sarah 2. Selek8i Nagatif 1 (30%) Tahun 70 l t l l l l * l a l ' * l l l l l l 1 2 a Z1~ ~18)0 Tahun Bobot Saplh (kg) 9 0 Bobot Saplh (kg) +-~ataa AI~. +YII~I Taraah *0a1.a 8.r.h C 6. Tanpa 3eIek0l 3. Sslekri Nagatif 11 (66%)? 6 T ~ 1 ~ ' ~ 1 ~ 1 ~ 1 ~ ~ t 1 a ~ a e 10l11t1lt416101?101, ~ ' 1 ' ' 1 ' ' 1 ' ' ' ' ' Tahun Tahun Gambar 7. Grafik Rataan Bobot Sapih dan Simpangan Baku dari Hasil Simulasi dengan Cara Seleksi Berbeda

13 lagi pengaruh induk secara langsung (Lasley, 1978; Minish dan Fox, 1979). Dengan hasil simulasi seleksi terbaik menunjukkan bahwa dengan seleksi terbaik dapat mencegah terjadinya pengaruh seleksi negatif. Rataan bobot setahunan hasil simulasi seleksi masih berada dalam kisaran penelitian sebelumnya yaitu kg (Pane, 1982). Rataan bobot setahun selama simulasi disajikan pada Lampiran 9 dan rataan bobot sapih disajikan pada Lampiran 10. Di- peroleh peningkatan rataan bobot setahun kg dan bobot sapih sebesar kg selama 20 tahun dengan cara seleksi terbaik. Kenaikan ini cukup tinggi jika dihi- tung dalam suatu populasi yang diseleksi. Korelasi Genetik dan Korelasi Fenoti~ik Korelasi genetik dan korelasi fenotipik antara bobot sapih dan bobot setahunan dari populasi sapi Bali dengan seleksi yang berbeda diperlihatkan pada Tabel 15. Pada Tabel 15 dapat dilihat bahwa korelasi genetik antara bobot sapih dengan bobot setahunan untuk seleksi ter- baik berkisar antara Korelasi genetik an- tara bobot sapih dengan bobot setahunan untuk seleksi negatif I berkisar , seleksi negatif I1 ber- kisar dan tanpa Kisaran ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi genetik antara bobot sapih dengan bobot setahun yang tinggi. Hasil ini dalam kisaran Massey dan Benyshek (1982) yaitu

14 Tabel 15. Korelasi Genetik (rg) dan Korelasi Fenotipik (rp) antara Bobot Sapih dengan Bobot Setahun Keteranuan: + Seleksi 1 Terbaik 2 Negatif I (30%) 3 Negatif I1 (66%) 4 Tanpa

15 Korelasi genetik antara bobot sapih dengan bobot setahunan hasil simulasi lebih tinggi dari hasil penelitian James dan Pattie (1976) yang mendapatkan Tetapi korelasi genetik antara bobot sapih dengan bobot setahunan hasil simulasi ( ) berada dalam kisaran laporan Dickerson dkk. (1974) yaitu Korelasi fenotipik hasil simulasi seleksi untuk keempat populasi berturut-turut untuk seleksi terbaik berkisar antara , seleksi negatif I berkisar , seleksi negatif I1 berkisar , dan tanpa seleksi berkisar antara Hasil tersebut lebih rendah dibanding dengan hasil penelitian James dan Pattie (1976) yang menyatakan korelasi fenotipik antara bobot sapih dengan bobot setahunan KOrelasi fenotipik laporan Dickerson dkk. (1974) juga lebih tinggi dibanding hasil simulasi yaitu Adanya perbedaan korelasi fenotipik tersebut mungkin disebabkan oleh bangsa sapi dan f aktor lingkungan, sebagaimana James dan Pattie (1976) menyatakan bahwa korelasi fenotipik dipengaruhi oleh korelasi genetik, korelasi lingkungan dan heritabilitas antara dua sifat yang berkorelasi Simulasi Perkembanaan Po~ulasi Simulasi perkembangan populasi terdiri dari dua skenario yaitu (I) Populasi dengan pemanenan tidak terkontrol dan (11) Populasi dengan pemanenan terkontrol.

16 Skenario I Berdasarkan simulasi komputer maka peranan pemanen- 'an terhadap pola perkembangan populasi dijelaskan sebagai berikut. Pengaruh perubahan tingkat pemanenan ternak masingmasing sebesar 16 persen, 14 persen, dan 12 persen dengan kenaikan masing-masing 6.2 persen per tahun dikombinasikan dengan tingkat kelahiran 60 persen, kematian anak enam persen dan kematian dewasa empat persen. Hasil simulasi dari ketiga tingkat pemanenan tersebut menunjukkan bahwa pada pemanenan 16 persen dan pemanenan 14 persen menghasilkan perkembangan populasi yang menurun, sedangkan pada pemanenan 12 persen meng- hasilkan perkembangan populasi yang meningkat. Rincian hasil simulasi perkembangan populasi seperti yang diper- lihatkan pada Tabel 16. Tabel 16. Hasil Simulasi Perkembangan Populasi dari Berbagai Tingkat Pemanenan Total Populasi (ST) Rataan Pemanenan (ST) pop Kenaikan Rats-rats Awa 1 Akhir per th (%) Awal Akhir (ST Keteranaan: +pop 1 = Populasi dengan pemanenan 16% Pop 2 = Populasi dengan pemanenan 14% Pop 3 = Populasi dengan pemanenan 12%

17 Tabel 16 terlihat pada tingkat pemanenan 16 persen, total populasi menurun dari ST pada awal simu-.lasi menjadi ST pada akhir simulasi tahun ke-20, atau rata-rata penurunan populasi sebesar 1.52 persen. Penurunan tingkat pemanenan dari 16 persen menjadi 14 persen, menyebabkan penurunan total populasi pada akhir simulasi lebih kecil yaitu dari ST menjadi ST atau turun sebesar 1.23 persen per tahun atau dengan perkataan lain penekanan pemanenan sebesar dua persen dari 16 persen menjadi 14 persen menaikkan total populasi sebesar 8.2 persen. Pada tingkat pemanenan 12 persen menyebabkan peningkatan populasi akhir simulasi tahun ke-20 dari ST menjadi ST atau populasi naik sebesar 0.78 persen per tahun. Tabel 16 menunjukkan bahwa dengan pemanenan sebesar 12 persen tidak mempengaruhi pertumbuhan populasi karena persediaan ternak yang siap dipanen cukup, sehingga populasi induk dan betina muda calon tetua tidak terganggu. Pada populasi tiga, total populasi dan total pemanenan akhir simulasi meningkat rata-rata 0.78 persen dan 2.19 persen. Sebaliknya jika intensitas pemanenan cukup tinggi (16 persen dan 14 persen), maka untuk memenuhi permintaan, setelah prioritas ternak yang akan dipanen (pejantan afkir, induk afkir, majir, jantan muda) habis maka kekurangannya diambil dari induk dan betina muda

18 sehingga akan mengurangi induk produktif yang sekaligus mengurangi angka kelahiran, dan penurunan jumlah popula- 'si. Grafik perkembangan populasi sapi Bali hasil simulasi skenario 1 (populasi tanpa kontrol) disajikan pada Gambar 8. Gambar 8. Grafik Perkembangan Populasi Sapi Bali Hasil Simulasi dengan Tingkat Pemanenan Berbeda Pada Gambar 8 terlihat bahwa total populasi tertinggi pada Populasi 1, 2 dan 3 dicapai masing-masing berturut pada tahun kedua, keenam dan ke-12. Adanya perbedaan pencapaian populasi tertinggi dari ketiga populasi ini disebabkan oleh intensitas pemanenan, makin tinggi prosentase pemanenan makin cepat terjadinya

19 pemanenan betina produktif sehingga mengurangi jumlah kelahiran. Dilihat dari perkembangan populasi dari awal "sampai akhir simulasi maka untuk mempertahankan total populasi saat ini pemanenan dapat dilakukan per- sen. Hal ini didasarkan pada simulasi Populasi 3 ter- jadi peningkatan populasi pada akhir simulasi, sedangkan pemanenan 14 persen telah mengakibatkan penurunan populasi setelah tahun ketujuh sampai akhir simulasi. Pada tingkat pemanenan 16 persen, total pemanenan meningkat dari tahun ke tahun sampai tahun kedelapan dengan total pemanenan ST, kemudian pemanenan me- nurun secara berangsur-angsur. Sejalan dengan itu pe- ningkatan populasi hanya berlangsung sampai pada tahun ketiga, kemudian mengalami penurunan. Total pemanenan pada akhir simulasi ST atau rata-rata pemanenan ST seperti diperlihatkan pada Lampiran 11. Pola perubahan total pemanenan pada kondisi pemanenan 14 persen hampir sama pada keadaan pemanenan 16 persen, dengan peningkatan pemanenan berlangsung sampai pada tahun ke-15 periode simulasi dengan total pemanenan ST sementara keadaan total populasi meningkat dari tahun pertama sampai pada tahun ketujuh, kemudian menurun. Total pemanenan pada akhir simulasi ST atau dengan rata-rata pemanenan ST setahun (Lampiran 12).

20 Pemanenan sebesar 12 persen terjadi peningkatan po- pulasi dari awal sampai akhir simulasi dengan total pe-.manenan ST atau rata-rata pemanenan ST. Perkembangan total populasi juga meningkat dari tahun ke tahun sampai pada tahun ke-12, kemudian berangsur-angsur terjadi penurunan. Hal ini berarti bahwa pada kondisi ini mulai terjadi pemanenan betina produktif, setelah mencapai total pemanenan ST seperti dimuat pada Lampiran 13. Komposisi populasi anak dan muda dari ketiga popu- lasi hampir tidak mengalami perubahan. Akan tetapi kom- posisi populasi pejantan dan induk mengalami perubahan seperti dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Komposisi Induk dan Penjantan dari Kondisi Awal dan Akhir Simulasi Pop o+ Pop 1 Pop 2 Pop 3 Klasifikasi ST 1 ST 1 ST 1 ST 1 Pe jantan Induk Anak-luda Total Populasi Keteranaaq: +pop 0 = Populasi awal Pop 1 = Populasi dengan pemanenan 16% Pop 2 = Populasi dengan pemanenan 14% Pop 3 = Populasi dengan pemanenan 12%

21 Tabel 17 terlihat bahwa pada pemanenan 12 persen, prosentase pejantan tertinggi dari ketiga populasi yaitu persen, tetapi prosentase populasi induk terendah yaitu persen. kontrol pemanenan. Hal ini disebabkan tidak adanya Bila dilakukan pengurangan jumlah pejantan sebanyak 30 persen maka populasi induk dapat ditingkatkan sampai 40 persen. Hal ini akan sama dengan komposisi sapi Bali pada kondisi awal yaitu rasio pejantan dan induk 1 : 2.43 ST. Ini tidak berbeda de- ngan kondisi sapi Bali di Bali tahun 1989 dengan rasio pejantan induk 1 : 2.22 ST (Masudana, 1990). Rasio pejantan-induk pada kondisi pemanenan 16 persen adalah 1 : 8.65 ST, sedangkan pada kondisi pemanenan 14 persen rasio pejantan-induk adalah 1 : 7.00 ST, ber- arti lebih tinggi dari keadaan populasi awal. Sekalipun rasio pejantan-induk pada kondisi pemanenan 16 dan 14 persen cukup ideal, tetapi dengan total populasi menurun pada akhir simulasi menunjukkan intensitas pemanenan yang cukup tinggi. Jika keadaan pemanenan yang cukup tinggi persen dari hasil simulasi ternyata menurunkan populasi, maka kekhawatiran terjadinya seleksi negatif sapi di Bali bisa terjadi. Apalagi pemanenan pada tahun sebe- lumnya pernah mencapai sampai 23 persen dari populasi (Dinas Peternakan Propinsi. Bali, 1987). Kejadian ini selain populasi yang menurun juga bisa terjadi seleksi

22 negatif karena ternak yang jadi tetua adalah ternak sisa yang tidak laku terjual. Sejalan dengan ini Trikesowo (1988) menyatakan telah terjadi seleksi negatif terhadap sapi-sapi di Indonesia ketika masih dilakukan ekspor ternak ke luar negeri (ke Hongkong) dalam kurun waktu tahun 1960 sampai tahun 1970-an. Bahkan sampai saat ini masih tetap berlangsung dengan adanya perdagangan ternak antar pulau yang cenderung mengantar pulaukan ternak yang terbesar. Penjualan ternak terbesar (seleksi negatif) seperti ini diperkuat Pane (1982) menyatakan peraturan ternak yang dapat diantar pulaukan adalah yang mempunyai bobot badan nilai minimal 360 kg. Skenario I1 Telah dikemukakan pada bab sebelumnya bahwa daya dukung wilayah Propinsi Bali berdasarkan produksi bahan kering hijauan dan limbah pertanian diperkirakan dapat menampung ST. Tetapi jika diamsumsikan bahwa limbah jerami padi yang berjumlah ton bahan kering, hanya dapat dimanfaatkan 10 persen maka daya dukung proporsi Bali ST berdasarkan bahan kering. Dengan asumsi bahwa surplus pakan dalam satu wilayah tersedia, layak untuk ternak di daerah lain. Pada skenario kedua ini pemanenan dikontrol, rasio pejantan dan induk diperlebar dan jumlah induk dipertahankan ekor. Mengingat sapi Bali menempati jumlah terbanyak (94 persen) dari total ternak "herbivoraw

23 yang ada, maka dalam perhitungan daya dukung wilayah untuk pengembangan ternak sapi Bali adalah ST.berdasarkan bahan kering. Hasil simulasi perkembangan populasi pada skenario I1 (populasi terkontrol) setelah dirinci disajikan pada Tabel 18. Sedangkan hasil lengkap simulasi perkembangan populasi dapat dilihat pada Lampiran Keadaan lima tahun pertama simulasi kombinasi tingkat kelahiran 60 persen, kematian anak enam persen dan kematian dewasa empat persen, rata-rata total populasi ekor atau naik sebesar ekor dibanding keadaan populasi awal. Keadaan lima tahun kedua simulasi kondisi pertama kombinasi dari tingkat kelahiran 65 persen, kematian anak lima persen dan kematian dewasa tiga persen ratarata pemanenan meningkat menjadi ekor pertahun total populasi rata-rata ekor atau naik sekitar 15 persen. Keadaan kondisi kedua dimana tingkat kelahiran tidak naik (60 persen), sedangkan kematian anak dan dewasa seperti kondisi pertama rata-rata populasi lebih rendah yaitu ekor. Keadaan kondisi ketiga dimana tingkat kelahiran 65 persen, sedangkan kematian anak lima persen, kematian dewasa tiga persen rata-rata populasi ekor.

24 Tabel 18. Rata-rata Populasi Pejantan, Induk dan Anak-Muda dan Populasi Total Setiap Lima Tahun Periode ~imulasi Periode Lima Tahun ke- No. Uraian Alternatif (0-4) (5-9) (10-14) (15-20) 1. Pejantan I* I Induk I I1 I11 3. Anak-Muda I I1 I11 3. Populasi I Ekor Total ST I1 Ekor ST I11 Ekor ST.Keteranaan:* I = Tingkat kelahiran 0.60 (naik 5% setiap 5 tahun). Tingkat kematian anak 0.06 (turun 1% pada 5 tahun ke-2 dan ke-3), kematian dewasa 0.04 turun 1% pada 5 tahun kedua. I1 = Tingkat kelahiran 0.60 tetap selama simulasi. Tingkat kematian sama dengan alternatif I. I11 = Tingkat kelahiran sama dengan alternatif I. Tingkat kematian anak 0.06, kematian dewasa 0.04 dan tetap selama simulasi. Keadaan periode tahun ketiga simulasi dengan kombi- nasi tingkat kelahiran 70 persen kematian anak empat persen, kematian dewasa tiga persen, pengafkiran induk

25 dan pejantan masing-masing 10 persen dan pengafkiran dara 10 persen, rata-rata populasi berjumlah ekor. Pada periode simulasi ini telah dicapai jumlah induk yang akan dipertahankan (induk stabil) sebanyak ekor, dan daya dukung wilayah maksimal sebanyak ST. Keadaan ini dicapai pada tahun ke-12 simulasi, yang merupakan jumlah populasi yang stabil. Pada saat dicapainya jumlah induk yang stabil, panen betina muda "surplus daraw mencapai Pada kondisi kedua rata-rata populasi berjumlah ekor dan belum dicapai keadaan populasi yang stabil, sedangkan kondisi ketiga rata-rata populasi sedikit lebih tinggi dalam jumlah ekor ( ekor) tapi dalam satuan animal unit lebih rendah karena ternak 0-3 tahun lebih ba- nyak dibanding kondisi pertama. Populasi stabil ini di- capai pada tahun ke-12. Keadaan lima tahun keempat (periode tahun 15-20) simulasi, dengan kombinasi tingkat kelahiran 75 persen, kematian anak empat persen, kematian dewasa tiga persen dengan pengafkiran pejantan dan induk masing-masing 20 persen, total populasi rata-rata ekor, keadaan kondisi kedua rata-rata populasi ekor, dan kestabilan populasi baru dicapai pada tahun ke-15. Ke- adaan populasi pada kondisi ketiga rata-rata ekor. Pemanenan temuan di lapang sebesar ekor atau

26 16 persen dari populasi yang berjumlah ekor, setelah disimulasi mula-mula turun, kemudian meningkat 'kembali. Dengan pemanenan pejantan afkir persen, induk afkir persen, betina muda (dara) afkir 10 persen, kelebihan dara, dan jantan gemuk ( "steerw), keadaan lima tahun pertama prosentase pemanenan dari ketiga kondisi (alternatif) hasil simulasi pemanenan rata-rata ekor atau 12 persen dari populasi. Angka ini lebih rendah 20 persen dari pemanenan di lapang. Pada lima tahun pertama belum terdapat surplus dara, karena semua ternak betina muda yang ada dipertahankan sebagai ternak pengganti, sampai dicapai keadaan populasi stabil, yang jumlahnya sesuai dengan daya dukung wilayah ST berdasarkan bahan kering. Pada keadaan lima tahun kedua, terjadi peningkatan pemanenan yang cukup tinggi terutama disebabkan pengurangan jumlah pejantan yang digunakan, kestabilan populasi dan mulai terdapat surplus dara. Demikian juga pada keadaan lima tahun ketiga dan keempat pemanenan meningkat sampai dicapai keadaan yang konstan, seperti dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 dapat dilihat bahwa komponen pemanenan terbanyak dari ketiga kondisi tersebut adalah jantan gemuk lebih dari 48 persen, induk afkir lebih dari 35 persen kemudian pejantan afkir, dara afkir dan surplus

27 dara seluruhnya berjumlah 17 persen dari total pemanenan. Kondisi populasi pertama dengan kombinasi tingkat ~kelahiran 60 persen meningkat lima persen setiap lima tahun dan penurunan kematian anak satu persen pada lima tahun pertama, kedua dan ketiga dan penurunan satu persen tingkat kematian dewasa, rata-rata per tahun terjadi surplus betina muda (bibit) antara ekor Tabel 19. Rata-rata Pemanenan Setiap Lima Tahun Simulasi Alterna- Lima Tahun ke- No. Komponen tif/... kondisi Pejantan I afkir 11 I11 2. Induk I afkir I1 I11 3. Dara I afkir I1 I11 4. Dara I surplus I1 I11 5. Jantan I gemuk I1 I11 6. Total I pemanenan I1 7. Prosentase I populasi I1 I11

28 ekor pada periode lima tahun kedua, ketiga dan keempat. Pada keadaan tingkat kelahiran sama seperti kondisi per- 'tama, tapi tingkat kematian anak tetap enam persen dan kematian dewasa empat persen, pada periode lima tahun kedua, ketiga dan keempat rata-rata terdapat surplus betina muda berturut-turut 5 927, dan ekor. Sedangkan pada kondisi dimana tingkat kelahiran tetap 60 persen, sekalipun tingkat kematian turun seperti kondisi pertama surplus betina muda pada periode lima tahun kedua rata-rata ekor, lima tahun ketiga 78 ekor dan lima tahun terakhir ekor. Prosentase tingkat pemanenan pada kondisi pertama dari 12 persen menjadi 19 persen dari populasi pada akhir simulasi untuk kondisi pertama dan dari 12 persen menjadi 18 persen dari populasi pada kondisi kedua dan ketiga ini dapat dicapai jika persediaan hijauan atau surplus pakan di daerah tertentu layak digunakan untuk di daerah lain. Grafik perkembangan populasi dan pemanenan pada populasi terkontrol disajikan pada Gambar 9. Pada Gambar 9 terlihat peningkatan populasi sampai tahun ketujuh setelah itu total populasi sedikit menu- run dan sampai pada tahun 12 keadaan mendatar yang me- nunjukkan keadaan populasi sudah stabil. Pola yang sama diperlihatkan total pemanenan meningkat mengikuti total populasi.

29 TAHUN - Populasi I - Pemanenan I - Populasi ll -O- Pemanenan ll- Populasi Ill -+ Pemanenan Ill L - Gambar 9. Grafik Perkembangan Populasi dan Pemanenan Sapi Bali selama Simulasi Populasi Terkontrol 4.4. Dn~likasi Hasil Penelitiaq Hasil simulasi perkembangan penampilan produksi (simulasi seleksi) menunjukkan bahwa untuk meningkatkan bobot badan dan kualitas sapi Bali memungkinkan dengan melakukan seleksi, Dengan seleksi dua arah yaitu seleksi terbaik dan seleksi negatif menunjukkan adanya respon seleksi, Pengaruh seleksi negatif dengan pengeluaran/ pemotongan pejantan-pejantan yang bermutu baik memberi- kan respon seleksi negatif. Sebaliknya dengan seleksi terbaik memberikan hasil dengan peningkatan bobot badan atau kualitas sapi Bali. Ini berarti bahwa untuk me- nanggulangi penurunan mutu sapi Bali akibat terjadinya seleksi negatif dapat diatasi dengan melakukan seleksi terbaik terhadap populasi sapi Bali.

30 Hasil simulasi perkembangan populasi menunjukkan bahwa dengan pemanenan saat ini cukup tinggi yaitu 16 'persen dengan peningkatan 6.2 persen pertahun, maka jika keadaan ini berlangsung terus akan terjadi seleksi negatif yang dapat menurunkan mutu (kualitas) sapi Bali. Pemanenan antar pulau yang cukup tinggi atau sekitar dua pertiga dari sapi jantan produktif (Pane, 1982) dengan bobot badan minimal 360 kg, akan memacu terkurasnya sapi-sapi jantan potensial. Kendala dalam peningkatan populasi sapi Bali terutama lahan yang terbatas dan tidak ada lahan khusus untuk menghasilkan hijauan. Untuk mempertinggi jumlah ternak yang lahir dapat dilakukan dengan memperlebar rasio pejantan-induk. Sistem produksi sapi potong di Bali walaupun sulit dibedakan, menurut Darmadja (1980) terbagi dalam dua sistem yaitu: Sistem pembibitan yang terdapat di daerah persawahan terutama di Kabupaten Jembrana, Gianyar, Karangasem, Badung dan Tabanan. Sedangkan daerah penggemukan terdapat di daerah pegunungan dan daerah pertanian darat yaitu terutama di Kabupaten Bangli, Buleleng me- nyusul Tabanan dan Klungkung. Di daerah pegunungan lebih banyak hijauan dan kualitas lebih tinggi terutama karena legum-palawija banyak ditanam di daerah pertanian tanah darat.

31 Ada kemungkinan batas wilayah daerah penggemukan dan daerah pembibitan lebih jelas pada masa mendatang. "Kriteria sementara di wilayah dimana banyak ditemukan sapi-sapi jantan yang dipelihara merupakan daerah penggemukan dan daerah dimana lebih banyak betina yang dipelihara sebagai daerah pembibitan (Darmadja, 1980). Jika dihitung jumlah satuan ternak per luas lahan pertanian Propinsi Bali sudah merupakan daerah padat ternak ( ekor) dengan luas lahan darat menurut konversi Darmadja (1980) yaitu ha, maka kepadat- an ternak saat ini 1.45 ekor per ha. Tetapi bila semua sumber hijauan dan limbah pertanian dimanfaatkan, masih bisa ditingkatkan. Untuk meningkatkan produktivitas ternak dalam arti jumlahnya dan mutunya, membutuhkan usaha dan kerja keras terutama menyediakan bibit sapi Bali yang bermutu genetik tinggi. Pengendalian pemanenan merupakan suatu alternatif yang dapat dilakukan terutama menjaga agar mutu genetik ternak yang dijual seimbang dengan mutu ternak yang tinggal. Pengembangan potensi genetik, baru bisa terlihat jika didukung oleh penyediaan makanan ber- mutu dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan. Salah satu usaha yang dapat dilakukan ialah dengan penanam leguminosa seperti lamtoro, gamal dan sebagainya dipekarangan rumah. Selain daripada itu pemanfaatan konsentrat sebagai makanan tambahan akan meningkatkan kualitas pakan ternak.

32 115 Karena peningkatan mutu ternak terutama produk akhir lewat penggemukan, memerlukan modal yang besar, 'sehingga perlu melibatkan pemilik modal untuk membantu petani yang bermodal sangat lemah. Rasanya untuk itu dewasa ini cukup memadai dengan adanya permintaan dari konsumen restoran dan hotel-hotel berbintang. Tentunya nilai jual sapi yang digemukkan mempunyai harga yang lebih tinggi per kilogram bobot badan. Peranan pemerintah dalam usaha memperbaiki sistem pemeliharaan, pemuliaan dan manajemen lewat instansi terkait sangat menentukan. Tentunya ha1 yang tidak kalah pentingnya adalah adanya pengaturan ekspor atau antar pulau sapi potong keluar Pulau Bali, sehingga kekhawatiran terjadinya seleksi negatif tidak terjadi.

Pengembangan Sistem Manajemen Breeding Sapi Bali

Pengembangan Sistem Manajemen Breeding Sapi Bali Sains Peternakan Vol. 6 (1), Maret 2008: 9-17 ISSN 1693-8828 Pengembangan Sistem Manajemen Breeding Sapi Bali Luqman Hakim, Suyadi, Nuryadi, Trinil Susilawati dan Ani Nurgiartiningsih Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

Dasar pemilihan Propinsi Bali sebagai tempat penelitian adalah sebagai berikut:

Dasar pemilihan Propinsi Bali sebagai tempat penelitian adalah sebagai berikut: 3.1, Tem~at Penelitian Dasar pemilihan Propinsi Bali sebagai tempat penelitian adalah sebagai berikut: 1. Adanya isu tentang mundurnya mutu ternak sapi Bali, yang ditandai dengan bobot potong dan ukuran

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan salah satu ternak ruminansia kecil yang memiliki potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan sudah sangat umum dibudidayakan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :...... LAMPIRAN 50 Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama :... 2. Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :... 4. Pendidikan Terakhir :.. 5. Mata Pencaharian a. Petani/peternak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kambing merupakan salah satu ternak yang banyak dipelihara dan dikembang

I. PENDAHULUAN. Kambing merupakan salah satu ternak yang banyak dipelihara dan dikembang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kambing merupakan salah satu ternak yang banyak dipelihara dan dikembang kan oleh peternak di Lampung. Populasi kambing di Lampung cukup melimpah, tercatat pada

Lebih terperinci

Prediksi Kemajuan dan Respon Seleksi Bobot Badan dan GenotipGH Induk Sapi PO

Prediksi Kemajuan dan Respon Seleksi Bobot Badan dan GenotipGH Induk Sapi PO BAB 12 Prediksi Kemajuan dan Respon Seleksi Bobot Badan dan GenotipGH Induk Sapi PO A. Hubungan Proporsi Seleksi, Intensitas Seleksi dan Respon Seleksi Proporsi seleksi adalah nilai yang menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

MAKALAH PRODUKSI TERNAK DAN KAMBING. Seleksi dan Manfaat Untuk Meningkatkan Produktivitas Ternak. Disusun Oleh : Kelompok 3.

MAKALAH PRODUKSI TERNAK DAN KAMBING. Seleksi dan Manfaat Untuk Meningkatkan Produktivitas Ternak. Disusun Oleh : Kelompok 3. MAKALAH PRODUKSI TERNAK DAN KAMBING Seleksi dan Manfaat Untuk Meningkatkan Produktivitas Ternak Disusun Oleh : Kelompok 3 Kelas C Arbinissa Mayzura 200110100116 Andrianto 200110100117 Tsaniya Fitriani

Lebih terperinci

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 No. 54/08/51/Th. III, 3 Agustus 2015 PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PRODUKSI CABAI BESAR SEBESAR 20,35 RIBU TON, CABAI RAWIT SEBESAR 28,44 RIBU TON, DAN BAWANG MERAH SEBESAR

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dunia dengan hidup yang sangat beragam dari yang terkecil antara 9 sampai 13 kg

TINJAUAN PUSTAKA. dunia dengan hidup yang sangat beragam dari yang terkecil antara 9 sampai 13 kg TINJAUAN PUSTAKA Asal dan Klasifikasi Ternak Kambing Kingdom Bangsa Famili Subfamili Ordo Subordo Genus Spesies : Animalia : Caprini : Bovidae :Caprinae : Artiodactyla : Ruminansia : Capra : Capra sp.

Lebih terperinci

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN A. Kesimpulan Secara umum kinerja produksi ternak sapi dan kerbau di berbagai daerah relatif masih rendah. Potensi ternak sapi dan kerbau lokal masih dapat ditingkatkan

Lebih terperinci

ESTIMASI OUTPUT SAPI POTONG DI KABUPATEN SUKOHARJO JAWA TENGAH

ESTIMASI OUTPUT SAPI POTONG DI KABUPATEN SUKOHARJO JAWA TENGAH ESTIMASI OUTPUT SAPI POTONG DI KABUPATEN SUKOHARJO JAWA TENGAH (The Estimation of Beef Cattle Output in Sukoharjo Central Java) SUMADI, N. NGADIYONO dan E. SULASTRI Fakultas Peternakan Universitas Gadjah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan kebutuhan daging sapi lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan daging sapi. Ternak sapi,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih Bobot Lahir HASIL DAN PEMBAHASAN Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih Rataan dan standar deviasi bobot lahir kambing PE berdasarkan tipe kelahiran dan jenis kelamin disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Rataan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber daya hewan

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI SAPI POTONG BAKALAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

ANALISIS POTENSI SAPI POTONG BAKALAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA ANALISIS POTENSI SAPI POTONG BAKALAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (Potency Analysis of Feeders Beef Cattle at Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta) SUMADI, WARTOMO HARDJOSUBROTO dan NONO NGADIYONO Fakultas

Lebih terperinci

LINGKUNGAN BISNIS USAHA TERNAK ITIK. : Wahid Muhammad N. Nim : SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER STMIK AMIKOM YOGYAKARTA

LINGKUNGAN BISNIS USAHA TERNAK ITIK. : Wahid Muhammad N. Nim : SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER STMIK AMIKOM YOGYAKARTA LINGKUNGAN BISNIS USAHA TERNAK ITIK Nama : Wahid Muhammad N Nim : 10.01.2733 Kelas : D3 TI 2A SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER STMIK AMIKOM YOGYAKARTA I ABSTRAK Pengembangan usaha ternak

Lebih terperinci

FORMULASI RANSUM PADA USAHA TERNAK SAPI PENGGEMUKAN

FORMULASI RANSUM PADA USAHA TERNAK SAPI PENGGEMUKAN AgroinovasI FORMULASI RANSUM PADA USAHA TERNAK SAPI PENGGEMUKAN Usaha penggemukan sapi potong semakin menarik perhatian masyarakat karena begitu besarnya pasar tersedia untuk komoditas ini. Namun demikian,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditi pangan utama

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditi pangan utama I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu komoditi pangan utama setelah padi dan jagung yang merupakan sumber protein utama bagi masyarakat. Pemanfaatan

Lebih terperinci

Seuntai Kata. Denpasar, November 2013 Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. Ir. I Gde Suarsa, M.Si.

Seuntai Kata. Denpasar, November 2013 Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. Ir. I Gde Suarsa, M.Si. Seuntai Kata Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap 10 (sepuluh) tahun sekali sejak 1963. Pelaksanaan ST2013 merupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Lokasi BBPTU-SP Baturraden, Purwokerto

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Lokasi BBPTU-SP Baturraden, Purwokerto HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian ini dilakukan di Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul-Sapi Perah (BBPTU-SP) Baturraden, Purwokerto, lebih tepatnya di Farm Tegalsari. BBPTU-SP Baturraden

Lebih terperinci

AGROVETERINER Vol.5, No.2 Juni 2017

AGROVETERINER Vol.5, No.2 Juni 2017 109 DINAMIKA POPULASI TERNAK KERBAU DI LEMBAH NAPU POSO BERDASARKAN PENAMPILAN REPRODUKSI, OUTPUT DANNATURAL INCREASE Marsudi 1), Sulmiyati 1), Taufik Dunialam Khaliq 1), Deka Uli Fahrodi 1), Nur Saidah

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar

PENGANTAR. Latar Belakang. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar PENGANTAR Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi yang sangat besar dalam pengembangan sektor peternakan dalam rangka mendukung upaya pemerintah dalam program pemenuhan kebutuhan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul (BBPTU) Sapi Perah Baturraden, Kecamatan Baturraden, Kabupaten Purwokerto, Jawa Tengah. Penelitian

Lebih terperinci

STRUKTUR ONGKOS USAHA PETERNAKAN JAWA TENGAH TAHUN 2014

STRUKTUR ONGKOS USAHA PETERNAKAN JAWA TENGAH TAHUN 2014 No. 78/12/33 Th. VIII, 23 Desember 2014 STRUKTUR ONGKOS USAHA PETERNAKAN JAWA TENGAH TAHUN 2014 TOTAL BIAYA PRODUKSI UNTUK USAHA SAPI POTONG SEBESAR 4,67 JUTA RUPIAH PER EKOR PER TAHUN, USAHA SAPI PERAH

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Salah satu sumber daya genetik asli Indonesia adalah domba Garut, domba

I PENDAHULUAN. Salah satu sumber daya genetik asli Indonesia adalah domba Garut, domba I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Salah satu sumber daya genetik asli Indonesia adalah domba Garut, domba Garut merupakan salah satu komoditas unggulan yang perlu dilestarikan sebagai sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Peternakan di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan, sehingga

I. PENDAHULUAN. Peternakan di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan, sehingga 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan, sehingga membutuhkan ketersediaan pakan yang cukup untuk ternak. Pakan merupakan hal utama dalam tata laksana

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gaduhan Sapi Potong. Gaduhan adalah istilah bagi hasil pada bidang peternakan yang biasanya

TINJAUAN PUSTAKA. Gaduhan Sapi Potong. Gaduhan adalah istilah bagi hasil pada bidang peternakan yang biasanya TINJAUAN PUSTAKA Gaduhan Sapi Potong Gaduhan adalah istilah bagi hasil pada bidang peternakan yang biasanya dilakukan pada peternakan rakyat. Hal ini terjadi berkaitan dengan keinginan rakyat untuk memelihara

Lebih terperinci

KORELASI GENETIK DAN FENOTIPIK ANTARA BERAT LAHIR DENGAN BERAT SAPIH PADA SAPI MADURA Karnaen Fakultas peternakan Universitas padjadjaran, Bandung

KORELASI GENETIK DAN FENOTIPIK ANTARA BERAT LAHIR DENGAN BERAT SAPIH PADA SAPI MADURA Karnaen Fakultas peternakan Universitas padjadjaran, Bandung GENETIC AND PHENOTYPIC CORRELATION BETWEEN BIRTH WEIGHT AND WEANING WEIGHT ON MADURA CATTLE Karnaen Fakulty of Animal Husbandry Padjadjaran University, Bandung ABSTRACT A research on estimation of genetic

Lebih terperinci

Respon Seleksi Domba Garut... Erwin Jatnika Priyadi RESPON SELEKSI BOBOT LAHIR DOMBA GARUT PADA INTENSITAS OPTIMUM DI UPTD BPPTD MARGAWATI GARUT

Respon Seleksi Domba Garut... Erwin Jatnika Priyadi RESPON SELEKSI BOBOT LAHIR DOMBA GARUT PADA INTENSITAS OPTIMUM DI UPTD BPPTD MARGAWATI GARUT RESPON SELEKSI BOBOT LAHIR DOMBA GARUT PADA INTENSITAS OPTIMUM DI UPTD BPPTD MARGAWATI GARUT Erwin Jatnika Priyadi*, Sri Bandiati Komar Prajoga, dan Deni Andrian Universitas Padjadjaran *Alumni Fakultas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus. Sapi potong adalah sapi yang dibudidayakan untuk diambil dagingnya atau dikonsumsi. Sapi

Lebih terperinci

DASAR-DASAR PROGRAM PENINGKATAN MUTU GENETIK DOMBA EKOR TIPIS

DASAR-DASAR PROGRAM PENINGKATAN MUTU GENETIK DOMBA EKOR TIPIS DASAR-DASAR PROGRAM PENINGKATAN MUTU GENETIK DOMBA EKOR TIPIS Subandriyo dan Luis C. Iniguez (Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan/Small Ruminant-CRSP) PENDAHULUAN Sekitar 50% dari populasi domba

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. tahun seiring meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat akan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. tahun seiring meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat akan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan protein hewani mengalami peningkatan dari tahun ke tahun seiring meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi bagi kesehatan. Salah satu

Lebih terperinci

Daya Dukung Produk Samping Tanaman Pangan sebagai Pakan Ternak Ruminansia di Daerah Sentra Ternak Berdasarkan Faktor Konversi

Daya Dukung Produk Samping Tanaman Pangan sebagai Pakan Ternak Ruminansia di Daerah Sentra Ternak Berdasarkan Faktor Konversi Daya Dukung Produk Samping Tanaman Pangan sebagai Pakan Ternak Ruminansia di Daerah Sentra Ternak Berdasarkan Faktor Konversi Daya Dukung Produk Samping Tanaman Pangan sebagai Pakan Ternak Ruminansia

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i. KATA PENGANTAR... iii. UCAPAN TERIMA KASIH... iv. DAFTAR ISI... vii. DAFTAR TABEL... xi. DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i. KATA PENGANTAR... iii. UCAPAN TERIMA KASIH... iv. DAFTAR ISI... vii. DAFTAR TABEL... xi. DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... iii UCAPAN TERIMA KASIH... iv DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xv DAFTAR LAMPIRAN... xvii BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang Masalah...

Lebih terperinci

IV PEMBAHASAN. yang terletak di kota Bekasi yang berdiri sejak tahun RPH kota Bekasi

IV PEMBAHASAN. yang terletak di kota Bekasi yang berdiri sejak tahun RPH kota Bekasi 25 IV PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Bekasi adalah rumah potong hewan yang terletak di kota Bekasi yang berdiri sejak tahun 2009. RPH kota Bekasi merupakan rumah potong dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka Tipologi usaha peternakan dibagi berdasarkan skala usaha dan kontribusinya terhadap pendapatan peternak, sehingga bisa diklasifikasikan ke dalam kelompok berikut:

Lebih terperinci

LABORATORIUM PEMULIAAN DAN BIOMETRIKA FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADAJARAN JATINANGOR 2009

LABORATORIUM PEMULIAAN DAN BIOMETRIKA FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADAJARAN JATINANGOR 2009 ANALISIS HERITABILITAS POLA REGRESI LAPORAN PRAKTIKUM Oleh Adi Rinaldi Firman 200110070044 LABORATORIUM PEMULIAAN DAN BIOMETRIKA FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADAJARAN JATINANGOR 2009 BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sedikit berbukit. Kecamatan Tanjung Bintang merupakan daerah yang sebagian

I. PENDAHULUAN. sedikit berbukit. Kecamatan Tanjung Bintang merupakan daerah yang sebagian 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi Geografis Kecamatan Tanjung Bintang merupakan daerah dataran yang sedikit berbukit. Kecamatan Tanjung Bintang merupakan daerah yang sebagian wilayahnya dimanfaatkan

Lebih terperinci

Gambar 2. Domba didalam Kandang Individu

Gambar 2. Domba didalam Kandang Individu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja (kandang B) pada bulan Mei sampai dengan bulan November 2010. Analisis sampel dilakukan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu hasil ternak yang tidak dapat dipisahkan dari

I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu hasil ternak yang tidak dapat dipisahkan dari 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Susu merupakan salah satu hasil ternak yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Ketersediaan susu sebagai salah satu bahan pangan untuk manusia menjadi hal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan salah satu prioritas utama dalam pembangunan

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan salah satu prioritas utama dalam pembangunan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Ketahanan pangan merupakan salah satu prioritas utama dalam pembangunan pertanian Indonesia. Hal ini terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan bahan pangan sebagianbesarpenduduk

Lebih terperinci

PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (ANGKA TETAP TAHUN 2015)

PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (ANGKA TETAP TAHUN 2015) No. 46/07/51/Th. X, 1 Juli 2016 PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (ANGKA TETAP TAHUN 2015) PRODUKSI PADI TAHUN 2015 TURUN 0,49 PERSEN A. PADI Produksi padi di Bali tahun 2015 tercatat sebesar 853.710

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan konsumsi daging sapi penduduk Indonesia cenderung terus meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia dan kesadaran masyarakat akan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. penting diberbagai agro-ekosistem, karena memiliki kapasitas adaptasi yang

TINJAUAN PUSTAKA. penting diberbagai agro-ekosistem, karena memiliki kapasitas adaptasi yang TINJAUAN PUSTAKA SistematikaTernak Kambing Ternak kambing merupakan ruminansia kecil yang mempunyai arti besarbagi rakyat kecil yang jumlahnya sangat banyak. Ditinjau dari aspek pengembangannya ternak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persepsi Peternak Terhadap IB Persepsi peternak sapi potong terhadap pelaksanaan IB adalah tanggapan para peternak yang ada di wilayah pos IB Dumati terhadap pelayanan IB

Lebih terperinci

Nomor : Nama pewancara : Tanggal : KUESIONER PETERNAK SAPI BALI DI DESA PA RAPPUNGANTA KABUPATEN TAKALAR, SULAWESEI SELATAN

Nomor : Nama pewancara : Tanggal : KUESIONER PETERNAK SAPI BALI DI DESA PA RAPPUNGANTA KABUPATEN TAKALAR, SULAWESEI SELATAN LAMPIRAN Lampiran 1. Form Kuesioner Wawancara Peternak Nomor : Nama pewancara : Tanggal : KUESIONER PETERNAK SAPI BALI DI DESA PA RAPPUNGANTA KABUPATEN TAKALAR, SULAWESEI SELATAN I. Identitas Responden

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 113 Tahun 2009 tentang Ornagisasi dan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 113 Tahun 2009 tentang Ornagisasi dan IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Tempat Penelitian Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Sapi Potong atau BPPT merupakan salah satu UPTD lingkup Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat sesuai dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lampung (2009), potensi wilayah Provinsi Lampung mampu menampung 1,38

I. PENDAHULUAN. Lampung (2009), potensi wilayah Provinsi Lampung mampu menampung 1,38 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Lampung merupakan daerah yang memiliki potensi untuk pengembangan usaha peternakan. Menurut data Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung (2009),

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. sangat tinggi. Jumlah penduduk Indonesia di tahun 2008 diperkirakan sebesar

1. PENDAHULUAN. sangat tinggi. Jumlah penduduk Indonesia di tahun 2008 diperkirakan sebesar 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk yang sangat tinggi. Jumlah penduduk Indonesia di tahun 2008 diperkirakan sebesar 227.779.100 orang dan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH No. 04/01/51/Th. VIII, 2 Januari 2014 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DAN HARGA PRODUSEN GABAH A. DESEMBER 2013, NTP BALI NAIK SEBESAR 0,13 PERSEN Berdasarkan penghitungan dengan tahun dasar baru (2012

Lebih terperinci

MAKALAH MANAJEMEN TERNAK POTONG MANAJEMEN PEMILIHAN BIBIT

MAKALAH MANAJEMEN TERNAK POTONG MANAJEMEN PEMILIHAN BIBIT P a g e 1 MAKALAH MANAJEMEN TERNAK POTONG MANAJEMEN PEMILIHAN BIBIT MANAJEMEN PEMILIHAN BIBIT TERNAK DOMBA POTONG EKOR GEMUK (DEG) DAN DOMBA EKOR TIPIS (DET )DI INDONESIA UNTUK SIFAT PRODUKSI DAGING MELALUI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar belakang

PENDAHULUAN Latar belakang PENDAHULUAN Latar belakang Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang memiliki potensi sumber daya manusia dan alam yang sangat potensial dalam menunjang pembangunan ekonomi serta mempunyai faktor daya

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN AKHMAD HAMDAN dan ENI SITI ROHAENI BPTP Kalimantan Selatan ABSTRAK Kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia yang memiliki potensi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pangan pokok saja, tetapi telah berkembang menjadi berbagai jenis bahan makanan

I. PENDAHULUAN. pangan pokok saja, tetapi telah berkembang menjadi berbagai jenis bahan makanan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan penduduk Indonesia yang cukup pesat menyebabkan pemenuhan akan kebutuhan juga semakin banyak. Perkembangan tersebut terlihat pada semakin meningkatnya jenis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi yang menyebar di berbagai penjuru dunia terdapat kurang lebih 795.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi yang menyebar di berbagai penjuru dunia terdapat kurang lebih 795. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi yang menyebar di berbagai penjuru dunia terdapat kurang lebih 795. Walaupun demikian semuanya termasuk dalam genus Bos dari famili Bovidae (Murwanto, 2008).

Lebih terperinci

DAFTAR ISI... SAMPUL DALAM. PERNYATAAN KEASLIAN KARYA SKRIPSI.. ABSTRACT... RINGKASAN... HALAMAN PERSETUJUAN.. TIM PENGUJI.. RIWAYAT HIDUP.

DAFTAR ISI... SAMPUL DALAM. PERNYATAAN KEASLIAN KARYA SKRIPSI.. ABSTRACT... RINGKASAN... HALAMAN PERSETUJUAN.. TIM PENGUJI.. RIWAYAT HIDUP. DAFTAR ISI ISI SAMPUL DALAM. PERNYATAAN KEASLIAN KARYA SKRIPSI.. ABSTRACT... ABSTRAK RINGKASAN... HALAMAN PERSETUJUAN.. TIM PENGUJI.. RIWAYAT HIDUP. KATA PENGANTAR. DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan merupakan indikator terpenting dalam meningkatkan nilai ekonomi untuk budidaya sapi pedaging. Sapi Pesisir dan sapi Simmental merupakan salah satu jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk membajak sawah oleh petani ataupun digunakan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk membajak sawah oleh petani ataupun digunakan sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Sapi adalah salah satu hewan yang sejak jaman dulu produknya sudah dimanfaatkan oleh manusia seperti daging dan susu untuk dikonsumsi, dimanfaatkan untuk membajak

Lebih terperinci

MUNGKINKAH SWASEMBADA DAGING TERWUJUD?

MUNGKINKAH SWASEMBADA DAGING TERWUJUD? Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 1 No. 2, Agustus 2014: 105-109 ISSN : 2355-6226 MUNGKINKAH SWASEMBADA DAGING TERWUJUD? 1* 1 1 Juniar Atmakusuma, Harmini, Ratna Winandi 1 Departemen Agribisnis,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penting di berbagai agri-ekosistem. Hal ini dikarenakan kambing memiliki

I. PENDAHULUAN. penting di berbagai agri-ekosistem. Hal ini dikarenakan kambing memiliki I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kambing adalah salah satu jenis ternak penghasil daging dan susu yang sudah lama dikenal petani dan memiliki potensi sebagai komponen usaha tani yang penting

Lebih terperinci

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Analisis Kebijakan 1 Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Ada dua pendapat mengenai faktor penyebab kenaikan harga beras akhirakhir ini yaitu : (1) stok beras berkurang;

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN UJI PERFORMAN SAPI POTONG TAHUN 2012

PEDOMAN PELAKSANAAN UJI PERFORMAN SAPI POTONG TAHUN 2012 PEDOMAN PELAKSANAAN UJI PERFORMAN SAPI POTONG TAHUN 2012 DIREKTORAT PERBIBITAN TERNAK DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2012 KATA PENGANTAR Peningkatan produksi ternak

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Sumber Daya Ternak Sapi dan Kerbau Sebanyak empat puluh responden yang diwawancarai berasal dari empat kecamatan di Kabupaten Sumbawa yaitu : Kecamatan Moyo Hilir, Lenangguar, Labuan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum BBPTU-HPT Baturraden Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang ada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah Berdasarkan aspek pewilayahan Kalimantan Tengah mempunyai potensi besar untuk pengembangan peternakan dilihat dari luas lahan 153.564 km 2 yang terdiri atas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk yang secara turun-temurun dikembangkan masyarakat di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk yang secara turun-temurun dikembangkan masyarakat di BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Wonosobo Domba Wonosobo merupakan domba hasil persilangan antara domba Texel yang didatangkan pada tahun 1957 dengan Domba Ekor Tipis dan atau Domba Ekor Gemuk yang secara

Lebih terperinci

IV. POTENSI PASOKAN DAGING SAPI DAN KERBAU

IV. POTENSI PASOKAN DAGING SAPI DAN KERBAU IV. POTENSI PASOKAN DAGING SAPI DAN KERBAU Ternak mempunyai arti yang cukup penting dalam aspek pangan dan ekonomi masyarakat Indonesia. Dalam aspek pangan, daging sapi dan kerbau ditujukan terutama untuk

Lebih terperinci

PEMANFAATAN KULIT KAKAO SEBAGAI PAKAN TERNAK KAMBING PE DI PERKEBUNAN RAKYAT PROPINSI LAMPUNG

PEMANFAATAN KULIT KAKAO SEBAGAI PAKAN TERNAK KAMBING PE DI PERKEBUNAN RAKYAT PROPINSI LAMPUNG PEMANFAATAN KULIT KAKAO SEBAGAI PAKAN TERNAK KAMBING PE DI PERKEBUNAN RAKYAT PROPINSI LAMPUNG SITI AMINAH, DAN ZULQOYAH LAYLA Balai Penelitian Ternak, P.O. Box 221, Bogor 16002 RINGKASAN Pengenalan pemanfaatan

Lebih terperinci

STRUKTUR ONGKOS USAHA PETERNAKAN TAHUN 2014

STRUKTUR ONGKOS USAHA PETERNAKAN TAHUN 2014 No. 73/12/72/Th. XVII, 23 Desember 2014 STRUKTUR ONGKOS USAHA PETERNAKAN TAHUN 2014 TOTAL BIAYA PRODUKSI PER EKOR PER TAHUN DARI USAHA SAPI POTONG SEBESAR Rp.3,6 JUTA, USAHA KAMBING Rp.578,8 RIBU, USAHA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Menurut

PENDAHULUAN. dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Menurut I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permintaan daging sapi terus meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Menurut Direktorat Jendral Peternakan (2012)

Lebih terperinci

ESTIMASI KETERSEDIAAN BIBIT SAPI POTONG DI PULAU SUMATERA

ESTIMASI KETERSEDIAAN BIBIT SAPI POTONG DI PULAU SUMATERA 1 2 3 ESTIMASI KETERSEDIAAN BIBIT SAPI POTONG DI PULAU SUMATERA Sumadi Departemen Pemuliaan dan Reproduksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada Email : profsumadi@yahoo.co.id ABSTRAK Makalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Barat cendrung meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Badan Pusat

I. PENDAHULUAN. Barat cendrung meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Badan Pusat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permintaan terhadap daging khususnya daging sapi di Propinsi Sumatera Barat cendrung meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Sumatera Barat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menurut Pane (1991) meliputi bobot badan kg, panjang badan

TINJAUAN PUSTAKA. menurut Pane (1991) meliputi bobot badan kg, panjang badan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Bali Sapi bali adalah sapi lokal Indonesia keturunan banteng yang telah didomestikasi. Sapi bali banyak berkembang di Indonesia khususnya di pulau bali dan kemudian menyebar

Lebih terperinci

PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (ANGKA SEMENTARA TAHUN 2015)

PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (ANGKA SEMENTARA TAHUN 2015) No. 20/03/51/Th. X, 1 Maret 2016 PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (ANGKA SEMENTARA TAHUN 2015) PRODUKSI PADI TAHUN 2015 (ANGKA SEMENTARA) TURUN 0,49 PERSEN A. PADI Angka Sementara (ASEM) produksi padi

Lebih terperinci

RISET UNGGULAN DAERAH

RISET UNGGULAN DAERAH RISET UNGGULAN DAERAH ANALISIS PRODUKSI DAN DISTRIBUSI PEDET SAPI PO KEBUMEN (MILIK PRIBADI DAN KELOMPOK) PETERNAK DI SPR SATO WIDODO KECAMATAN PURING DAN SPR KLIRONG-01 KECAMATAN KLIRONG KABUPATEN KEBUMEN

Lebih terperinci

PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (ANGKA RAMALAN II TAHUN 2015)

PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (ANGKA RAMALAN II TAHUN 2015) No. 74/11/51/Th. IX, 2 November 2015 PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (ANGKA RAMALAN II TAHUN 2015) PRODUKSI PADI TAHUN 2015 (ARAM II) DIPERKIRAKAN TURUN 0,81 PERSEN DIBANDINGKAN PRODUKSI TAHUN 2014

Lebih terperinci

NILAI PEMULIAAN. Bapak. Induk. Anak

NILAI PEMULIAAN. Bapak. Induk. Anak Suhardi, S.Pt.,MP NILAI PEMULIAAN Dalam pemuliaan ternak, pemilihan ternak ternak terbaik berdasarkan keunggulan genetik, karena faktor ini akan diturunkan pada anak anaknya.? Nilai Pemuliaan (NP) merupakan

Lebih terperinci

BUPATI KAPUAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS NOMOR : 6 TAHUN 2011 T E N T A N G POLA PENGEMBANGAN TERNAK PEMERINTAH DI KABUPATEN KAPUAS

BUPATI KAPUAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS NOMOR : 6 TAHUN 2011 T E N T A N G POLA PENGEMBANGAN TERNAK PEMERINTAH DI KABUPATEN KAPUAS SALINAN BUPATI KAPUAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS NOMOR : 6 TAHUN 2011 T E N T A N G POLA PENGEMBANGAN TERNAK PEMERINTAH DI KABUPATEN KAPUAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KAPUAS, Menimbang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kelas: Mammalia, Order: Artiodactyla, Genus: Sus,Spesies: Sus scrofa, Sus

TINJAUAN PUSTAKA. Kelas: Mammalia, Order: Artiodactyla, Genus: Sus,Spesies: Sus scrofa, Sus TINJAUAN PUSTAKA Babi Yorkshire Klasifikasi zoologis ternak babi dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kelas: Mammalia, Order: Artiodactyla, Genus: Sus,Spesies: Sus scrofa, Sus vittatus, Sus cristatus,

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa SawitSapi POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN ABDULLAH BAMUALIM dan SUBOWO G. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlangsung dari bulan Mei sampai September 2013 di Desa

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlangsung dari bulan Mei sampai September 2013 di Desa III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Mei sampai September 2013 di Desa Sidomukti Kecamatan Tanjung Sari Kabupaten Lampung Selatan. B. Alat

Lebih terperinci

perluasan kesempatan kerja di pedesaan, meningkatkan devisa melalui ekspor dan menekan impor, serta menunjang pembangunan wilayah.

perluasan kesempatan kerja di pedesaan, meningkatkan devisa melalui ekspor dan menekan impor, serta menunjang pembangunan wilayah. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan pertanian dan ketahanan pangan adalah meningkatkan produksi untuk memenuhi penyediaan pangan penduduk, mencukupi kebutuhan bahan baku industri dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Sapi Perah

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Sapi Perah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Sapi Perah Menurut Yusdja (2005), usaha sapi perah sudah berkembang sejak tahun 1960 ditandai dengan pembangunan usaha-usaha swasta dalam peternakan sapi perah

Lebih terperinci

Strategi Peningkatan Produktivitas Sapi Bali Penggemukan Melalui Perbaikan Pakan Berbasis Sumberdaya Lokal di Pulau Timor

Strategi Peningkatan Produktivitas Sapi Bali Penggemukan Melalui Perbaikan Pakan Berbasis Sumberdaya Lokal di Pulau Timor Judul : Strategi Peningkatan Produktivitas Sapi Bali Penggemukan Melalui Perbaikan Pakan Berbasis Sumberdaya Lokal di Pulau Timor Narasumber : Ir. Yohanis Umbu Laiya Sobang, M.Si Instansi : Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

Integrasi Tanaman Jeruk dengan Ternak Kambing

Integrasi Tanaman Jeruk dengan Ternak Kambing AgroinovasI Integrasi Tanaman Jeruk dengan Ternak Kambing 7 Ketersediaan sumberdaya alam yang semakin kompetitif dan terbatas telah disadari dan kondisi ini menuntut adanya upaya-upaya inovatif dan bersifat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (genus Glycine) merupakan jenis tanaman pangan yang tergolong

I. PENDAHULUAN. Kedelai (genus Glycine) merupakan jenis tanaman pangan yang tergolong I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (genus Glycine) merupakan jenis tanaman pangan yang tergolong ke dalam tanaman polong-polongan. Biji kedelai merupakan bahan baku utama pembuatan makanan pokok

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Perah Fries Holland (FH) Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Phylum Subphylum Class Sub class Infra class

Lebih terperinci

PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (ANGKA SEMENTARA TAHUN 2014)

PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (ANGKA SEMENTARA TAHUN 2014) No. 22/03/51/Th. IX, 2 Maret 2015 PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (ANGKA SEMENTARA TAHUN 2014) PRODUKSI PADI TAHUN 2014 (ANGKA SEMENTARA) TURUN 2,74 PERSEN A. PADI Angka Sementara (ASEM) produksi padi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. anorganik menjadi bahan organik dengan bantuan tumbuh-tumbuhan dan

I. PENDAHULUAN. anorganik menjadi bahan organik dengan bantuan tumbuh-tumbuhan dan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris artinya pertanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini dapat ditunjukkan dari banyaknya penduduk

Lebih terperinci

Lingkup Kegiatan Adapun ruang lingkup dari kegiatan ini yaitu :

Lingkup Kegiatan Adapun ruang lingkup dari kegiatan ini yaitu : PROJECT DIGEST NAMA CLUSTER : Ternak Sapi JUDUL KEGIATAN : DISEMINASI INOVASI TEKNOLOGI pembibitan menghasilkan sapi bakalan super (bobot lahir > 12 kg DI LOKASI PRIMA TANI KABUPATEN TTU PENANGGUNG JAWAB

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu produk peternakan yang berperan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu produk peternakan yang berperan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Susu merupakan salah satu produk peternakan yang berperan dalam memenuhi kebutuhan gizi masyarakat sebagai sumber protein hewani karena hampir 100% dapat dicerna.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat pedesaan pada umumnya bermatapencaharian sebagai petani, selain usaha pertaniannya, usaha peternakan pun banyak dikelola oleh masyarakat pedesaan salah satunya

Lebih terperinci

TEKNIS BUDIDAYA SAPI POTONG

TEKNIS BUDIDAYA SAPI POTONG TEKNIS BUDIDAYA SAPI POTONG Oleh : Ir. BERTI PELATIHAN PETANI DAN PELAKU AGRIBISNIS BADAN PELAKSANA PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN KABUPATEN BONE TA. 2014 1. Sapi Bali 2. Sapi Madura 3.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian. Tahun Publikasi BPS Kabupaten Lampung Barat

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian. Tahun Publikasi BPS Kabupaten Lampung Barat METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Desain penelitian ini adalah retrospektif. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan yaitu (1) Kabupaten Lampung Barat akan melakukan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk yang

1. PENDAHULUAN. Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk yang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk yang sangat tinggi. Jumlah penduduk Indonesia di tahun 2008 diperkirakan sebesar 227.779.100 orang dan akan

Lebih terperinci

V. PROFIL PETERNAK SAPI DESA SRIGADING. responden memberikan gambaran secara umum tentang keadaan dan latar

V. PROFIL PETERNAK SAPI DESA SRIGADING. responden memberikan gambaran secara umum tentang keadaan dan latar V. PROFIL PETERNAK SAPI DESA SRIGADING A. Karakteristik Responden Responden dalam penelitian ini adalah peternak yang mengusahakan anakan ternak sapi dengan jumlah kepemilikan sapi betina minimal 2 ekor.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Rataan sifat-sifat kuantitatif domba Priangan menurut hasil penelitian Heriyadi et al. (2002) terdapat pada Tabel 1.

TINJAUAN PUSTAKA. Rataan sifat-sifat kuantitatif domba Priangan menurut hasil penelitian Heriyadi et al. (2002) terdapat pada Tabel 1. TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Domba Priangan Domba Priangan atau lebih dikenal dengan nama domba Garut merupakan hasil persilangan dari tiga bangsa yaitu antara domba merino, domba kaapstad dan domba lokal.

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli Oktober 2016 di Satuan Kerja

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli Oktober 2016 di Satuan Kerja 9 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli Oktober 2016 di Satuan Kerja Sumberejo, Kendal. Sakter Sumberejo ini merupakan satuan kerja dibawah naungan Balai Pembibitan dan Budidaya

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. lokal adalah salah satu unggas air yang telah lama di domestikasi, dan

I PENDAHULUAN. lokal adalah salah satu unggas air yang telah lama di domestikasi, dan I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ternak unggas penghasil telur, daging dan sebagai binatang kesayangan dibedakan menjadi unggas darat dan unggas air. Dari berbagai macam jenis unggas air yang ada di Indonesia,

Lebih terperinci