BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka. Hakikat Keterampilan Bereksperimen pada Pembelajaran IPA Di Kelas V Sekolah Dasar a. Pengertian Keterampilan Keterampilan sama artinya dengan kecakapan atau pun kecekatan. Hal ini senada dengan pendapat Soemarjadi, Ramanto, dan Zahri yang menyatakan, Keterampilan sama artinya dengan kata cekatan. Terampil atau cekatan adalah kepandaian melakukan suatu pekerjaan dengan cepat dan benar (200: 2). Pekerjaan yang diselesaikan dengan cepat dan benar identik dengan keterampilan yang dikerjakan dengan aktivitas motorik. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Syah (203: 7) yang mendefinisikan keterampilan sebagai suatu kegiatan yang berhubungan dengan urat-urat syaraf dan otot-otot (neuromuscular) yang lazimnya tampak dalam kegiatan jasmaniah seperti menulis, mengetik, olahraga, dan sebagainya. Meskipun sifatnya motorik, namun keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi. Dengan demikian, seseorang dikatakan terampil jika dapat mengoordinasikan gerak dengan teliti dan secara sadar melakukan aktivitas tersebut. Pendapat lain disampaikan Ichsan (203: 29) yang mendefinisikan keterampilan sebagai kegiatan mental dan atau fisik yang terorganisasi serta memiliki bagian-bagian kegiatan yang saling bergantung dari awal hingga akhir. Hal ini mengindikasikan bahwa keterampilan tidak hanya melibatkan aktivitas motorik semata, melainkan juga melibatkan kegiatan mental. Kegiatan mental berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam menggunakan pengetahuannya. Sejalan dengan pendapat di atas, Gagne secara jelas membagi keterampilan menjadi dua, yaitu keterampilan intelektual dan

2 2 keterampilan motorik (Suprijono, 205: 6). Keterampilan intelektual berkaitan dengan kemampuan mempresentasikan konsep dan lambang, yang terdiri dari kemampuan mengategorisasi, kemampuan analisissintesis fakta-konsep dan mengembangkan prinsip-prinsip keilmuan. Sedangkan keterampilan motorik menurut Gagne adalah kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan dan koordinasi, sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani. Pendapat di atas menunjukkan bahwa sebagai hasil belajar, keterampilan tidak hanya berkaitan dengan aktivitas motorik semata melainkan kegiatan yang melibatkan aktivitas intelektual juga disebut sebagai keterampilan. Kemampuan seseorang yang berkaitan dalam proses analitis-sintesis untuk mengkaji sebuah fakta dan konsep pun disebut sebagai keterampilan karena aktivitas ini dilakukan dengan membutuhkan koordinasi kognitif yang baik yang sudah terbentuk di dalam diri seseorang. Oleh karenanya keterampilan intelektual akan dimiliki seseorang manakala dia memiliki pengetahuan yang baik dan dapat dikembangkan. Keterampilan yang berkaitan dengan aktivitas intelektual juga disampaikan oleh Sukmadinata dan Syaodih (202: 84). Mereka berpendapat bahwa keterampilan merupakan kemampuan seseorang dalam menerapkan atau menggunakan pengetahuan yang dikuasainya dalam sesuatu bidang kehidupan. Ini menunjukkan bahwa keterampilan didapatkan setelah ia menguasai suatu pengetahuan, kemudian diaplikasikan dalam sebuah kegiatan yang menuntut seseorang untuk terampil atau cekatan dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Sanjaya (2008: 7) menambahkan bahwa keterampilan (skill) adalah sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk melakukan tugas yang dibebankan. Hal yang dimiliki tersebut berupa pengetahuan seseorang yang dapat diaplikasikan untuk melakukan suatu tugas. Misalnya seseorang dapat melakukan pengamatan tentang mikroorganisme

3 3 manakala ia memiliki keterampilan bagaimana cara menggunakan mikroskop dengan benar. Keterampilan dalam konteks mata pelajaran di sekolah adalah kemampuan siswa menghasilkan benda-benda kerajinan. Kualifikasi keterampilan yaitu memiliki kemampuan pikir dan tindak yang produktif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret sesuai dengan yang ditugaskan kepadanya (DEPDIKNAS, 2006). Selanjutnya ruang lingkup keterampilan sendiri cukup luas, meliputi kegiatan berupa perbuatan, berpikir, berbicara, melihat, mendengar, dan sebagainya. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa keterampilan adalah keahlian yang dimiliki seseorang dengan melibatkan aktivitas fisik dan mental yang terorganisasi untuk menyelesaikan tugas tertentu dari awal hingga akhir. b. Pengertian Keterampilan Bereksperimen Eksperimen atau mencoba didefinisikan Hosnan (204: 58) sebagai suatu kegiatan terinci yang direncanakan untuk menghasilkan data untuk menjawab suatu masalah atau menguji suatu hipotesis. Pendapat senada disampaikan Trianto (2008: 76) bahwa melakukan eksperimen adalah pengujian hipotesis atau prediksi. Pengujian hipotesis dilakukan melalui kegiatan observasi sehingga seseorang dapat memperoleh data untuk kemudian disimpulkan sesuai dengan hipotesis yang telah dibuat. Keterampilan bereksperimen merupakan salah satu keterampilan proses sains (Trianto, 2008: 72). Bundu (2006: 23) membagi keterampilan proses sains menjadi dua, yaitu keterampilan dasar dan keterampilan terintegrasi atau terpadu. Keterampilan bereksperimen termasuk ke dalam keterampilan terintegrasi sebagaimana diungkapkan Abruscato (996: 49), Experimenting is the process that encompasses all of the basic and integrated processes, yaitu bereksperimen adalah proses yang mencakup semua proses dasar dan terintegrasi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa keterampilan bereksperimen melibatkan keterampilan proses sains yang lain.

4 Pendapat di atas diperkuat dengan pendapat Barba (998: ) yang menyatakan 4 Experimenting is the last of the integrated science processes. It involves students in using all other processes. Experimenting involves children in formulating operational questions that they can answer by manipulating materials. Additionally, experimenting involves children in identifiying and controlling variables, designing an activity to test a hypothesis, formulating operational definitions, observating, gathering data and using numbers, making inferences, interpretating data, and drawing conclusions based on data. Secara umum kutipan di atas memberikan pengertian bahwa kegiatan eksperimen adalah akhir dari proses sains yang terintegrasi. Kegiatannya melibatkan siswa dalam menggunakan semua proses lainnya. Kegiatan eksperimen melibatkan siswa dalam mengidentifikasi dan mengontrol variabel, merancang kegiatan untuk menguji sebuah hipotesis, merumuskan definisi operasional, mengobservasi, mengumpulkan data dan menggunakan angka, membuat interferensi, menginterpretasikan data, dan menarik kesimpulan berdasarkan data. Kegiatan eksperimen melibatkan beberapa keterampilan sains yaitu keterampilan menyusun hipotesis, keterampilan mengobservasi, keterampilan menginterpretasikan data, dan keterampilan menarik kesimpulan. Hal tersebut menyebabkan keterampilan bereksperimen disebut sebagai keterampilan proses sains yang terintegrasi Pendapat yang sama juga disampaikan Colvill dan Pattie dalam jurnalnya yang berjudul Science Skills-The Bulding Blocks for Scientific Literacy. Investigating (Vol. 9, Issue ) menyatakan Experimenting is the formal process of investigation a problem and may encompass all of the basic and integrated skills. Experimenting often is the testing of an hypotheses and will involve identifying variables, constructing tests and collecting and interpretating data. Secara umum kutipan di atas memberikan pengertian bahwa eksperimen adalah proses formal dari investigasi masalah yang mencakup semua proses dasar dan terintegrasi. Seringnya eksperimen

5 5 adalah pengujian sebuah hipotesis dan akan melibatkan pengidentifikasian variabel, membangun pengujian, dan mengumpulkan serta menginterpretasi data. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa sebagai keterampilan proses sains yang terintegrasi, keterampilan bereksperimen diawali dengan pengujian sebuah hipotesis dan secara langsung melibatkan keterampilan menyusun hipotesis. Beberapa pendapat di atas menunjukkan bahwa keterampilan bereksperimen merupakan keterampilan proses yang mencakup beberapa keterampilan proses dasar dan terintegrasi. Saat melakukan kegiatan eksperimen, seseorang dituntut untuk menyusun hipotesis, menentukan variabel, melakukan observasi, mengumpulkan data, menginterpretasikan data, dan menarik kesimpulan. Hal ini menunjukkan bahwa keterampilan bereksperimen merupakan bagian dari keterampilan proses sains yang paling kompleks karena melibatkan beberapa beberapa keterampilan proses lain yang harus diaplikasikan seseorang dalam satu waktu. Keterampilan bereksperimen menuntut seseorang untuk dapat merancang dan melakukan kegiatan eksperimen secara runtut. Menurut Semiawan, dkk (Bundu, 2006: 30), eksperimen hendaknya dirancang dan direncanakan dengan baik karena tanpa rencana yang baik akan mengakibatkan terjadinya pemborosan waktu, tenaga, dan biaya, sedangkan hasilnya jauh dari harapan. Bundu (2006: 3) menjelaskan bahwa guru perlu melakukan perencanaan yang matang sebelum mengajak siswa melakukan kegiatan eksperimen. Perencanaan tersebut berupa ) menentukan alat dan bahan; 2) variabel kontrol dan variabel ubah; 3) apa yang diamati dan diukur; 4) menentukan langkah kegiatan; 5) menentukan bagaimana data diolah dan disimpulkan. Putra (203: 34) mengungkapkan bahwa pembelajaran dengan cara eksperimen dapat membantu guru dalam menghubungkan mata pelajaran dengan dunia nyata, terutama dalam konsep IPA, serta bisa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapan dalam kehidupan sehari-hari melalui eksperimen. Putra menambahkan, kegiatan

6 eksperimen memberi kesempatan kepada siswa untuk mengikuti suatu proses, mengamati suatu objek, menganalisis, membuktikan, dan menarik kesimpulan sendiri mengenai suatu objek keadaan atau proses tertentu (203: 33). Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keterampilan bereksperimen merupakan bagian dari keterampilan proses yang melibatkan aktivitas fisik dan mental yang bertujuan untuk menguji coba suatu teori dengan melibatkan berbagai keterampilan proses dasar seperti penyusunan hipotesis, pengamatan, pengumpulan data, interpretasi data, dan penarikan kesimpulan yang dilakukan dari awal hingga akhir. c. Prosedur Bereksperimen Eksperimen harus dilakukan berdasarkan prosedur yang diterapkan. Hal ini bertujuan agar kegiatan eksperimen mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan. Roestiyah (Hosnan, 204, 2-22) menjelaskan prosedur eksperimen sebagai berikut: 6 ) Menjelaskan tujuan eksperimen kepada siswa karena mereka harus memahami masalah yang akan dibuktikan melalui eksperimen. 2) Memberi penjelasan kepada siswa tentang alat-alat serta bahan-bahan yang akan dipergunakan dalam kegiatan eksperimen, hal-hal yang harus dikontrol dengan ketat, urutan eksperimen, serta hal-hal yang perlu dicatat. 3) Selama eksperimen berlangsung, guru harus mengawasi pekerjaan siswa. Bila perlu memberi saran atau pertanyaan yang menunang kesempurnaan jalannya eksperimen. 4) Setelah eksperimen selesai, guru harus mengumpulkan hasil penelitian siswa, mendiskusikan di kelas, dan mengevaluasi dengan tes atau tanya jawab. Senada dengan pendapat di atas, Putra (203: 36-37) menjelaskan langkah-langkah yang harus diperhatikan dalam kegiatan bereksperimen meliputi persiapan, pelaksanaan, dan tindak lanjut. Persiapan eksperimen meliputi ) menetapkan tujuan eksperimen; 2) mempersiapkan berbagai alat atau bahan yang diperlukan; 3) mempersiapkan tempat eksperimen; 4) mempertimbangkan jumlah siswa

7 7 dengan alat atau bahan yang ada serta daya tampung eksperimen; 5) mempertimbangkan apakah dilaksanakan sekaligus (serentak seluruh siswa) atau secara bergiliran; 6) perhatikan masalah keamanan dan kesehatan agar dapat memperkecil atau menghindari risiko yang merugikan dan berbahaya. Putra (203: 35) menambahkan, pelaksanaan eksperimen meliputi ) siswa memulai percobaan; 2) selama eksperimen berlangsung, guru hendaknya memperhatikan situasi secara keseluruhan. Sementara kegiatan tindak lanjut eksperimen meliputi ) siswa mengumpulkan laporan eksperimen untuk diperiksa guru; 2) Mendiskusikan masalahmasalah yang ditemukan selama eksperimen, serta memeriksa dan menyimpan kembali segala bahan sekaligus peralatan yag digunakan. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa prosedur eksperimen meliputi ) mempersiapkan alat, bahan, dan tempat eksperimen; 2) menetapkan tujuan eksperimen; 3) menjelaskan penggunaan alat dan bahan kepada siswa; 4) mengawasi kegiatan eksperimen; 5) melakukan tindak lanjut dengan membahas hasil eksperimen dan kendala yang ditemukan selama melakukan kegiatan eksperimen. d. Manfaat Eksperimen Kegiatan eksperimen memiliki manfaat bagi siswa untuk dapat belajar langsung tentang fenomena atau permasalahan yang dihadapi sehingga apa yang dipelajari akan terekam cukup kuat dalam diri siswa dikarenakan mereka mengalaminya sendiri (Fadlilah, 204). Putra (203: 34) menambahkan, kegiatan eksperimen memberi manfaat kepada siswa berupa dorongan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, berpikir ilmiah dan rasional, serta pengalamannya tersebut bisa berkembang di masa yang akan datang. Melalui eksperimen, siswa dilatih untuk merekam semua data fakta yang diperoleh melalui hasil pengamatan dan bukan data opini hasil rekayasa pemikiran. Lebih lanjut, siswa mampu menemukan kebenaran

8 8 dari suatu teori yang sedang dipelajarinya serta dalam proses pembelajaran. Ini berarti kegiatan eksperimen merupakan cara yang dapat dilakukan guru untuk mengembangkan keterlibatan fisik, mental, serta emosional siswa. Keterlibatan fisik, mental, dan emosional siswa diharapkan dapat diperkenalkan pada suatu cara atau kondisi pembelajaran yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan juga perilaku yang inovatif dan kreatif (Hosnan, 204: 6). Berdasarkan uraian pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa manfaat eksperimen yaitu guru mengembangkan keterlibatan fisik, mental, serta emosional siswa. Siswa berkesempatan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri berdasarkan pengalaman langsung sehingga tertanam kuat dalam dirinya. Kegiatan eksperimen juga dapat mengembangkan rasa percaya diri dan perilaku inovatif serta kreatif. e. Pembelajaran IPA Di Sekolah Dasar IPA dikenal sebagai sains di lingkungan masyarakat. Cakupan yang terdapat di dalamnya meliputi alam semesta keseluruhan, benda-benda di permukaan bumi, di dalam perut bumi, dan di luar angkasa, baik yang dapat diamati oleh alat indera maupun yang tidak dapat diamati oleh alat indera. Oleh karenanya IPA secara umum dapat dipahami sebagai ilmu kealaman karena berisi tentang alam semesta, yang terdiri dari makhluk hidup dan benda mati (Trianto, 2008: 68). IPA merupakan bagian dari ilmu pengetahuan. Samatowa (2009: 3) mendefinisikan IPA sebagai ilmu pengetahuan yang mempunyai objek dan menggunakan metode ilmiah. Objek yang dimaksud di sini berupa segala sesuatu yang ada di alam sekitar. Metode Ilmiah digunakan untuk menyelidiki segala sesuatu yang terjadi pada objek (alam sekitar) tersebut. Berkaitan dengan penggunaan metode ilmiah, Paolo dan Marten mendefinisikan Ilmu Pengetahuan Alam sebagai ) mengamati apa yang terjadi; 2) mencoba memahami apa yang diamati; 3) mempergunakan

9 pengetahuan baru untuk meramalkan apa yang akan terjadi; 4) menguji ramalan-ramalan di bawah kondisi-kondisi untuk melihat apakah ramalan tersebut benar (Iskandar, 200: 6). Kedua pendapat di atas mengindikasikan bahwa IPA tidak bisa terlepas dari metode ilmiah. IPA sejatinya merupakan ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui proses pengamatan, peramalan, penyelidikan terhadap kondisi lingkungan sekitar. Sejalan dengan pendapat di atas, Trianto (2008: 68-69) menjelaskan IPA adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari gejalagejala melalui proses yang dikenal dengan proses ilmiah yang dibangun atas dasar sikap ilmiah dan hasilnya terwujud sebagai produk ilmiah yang tersusun atas tiga komponen terpenting berupa konsep, prinsip, dan teori yang berlaku secara universal. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan yang didapatkan dalam IPA diperoleh melalui proses yang cukup panjang, yaitu melalui proses ilmiah. Dalam memproses pengetahuan tersebut, didasarkan pada sikap ilmiah sehingga pengetahuan yang diperoleh tidak serta merta diterima begitu saja karena sikap ilmiah dibangun atas dasar rasa ingin tahu yang tinggi pada diri seseorang. Dari sinilah didapatkan pengetahuan yang kemudian disebut sebagai produk ilmiah yang kemudian disebarluaskan untuk dipelajari. Pendapat di atas diperkuat dengan pendapat Abruscato (996: 9) memandang IPA atau sains dari tiga segi yaitu : 9 Science is the name we give to group of processes through which we can systematically gather information about the natural world. Science is also the knowledge gathered through the use of such process. Finally, science is characterized by those values and attitudes possessed by people who use scientific processes gathered knowledge. Secara umum petikan di atas memberikan pengertian ) sains adalah sejumlah proses kegiatan mengumpulkan informasi secara sistematik tentang dunia sekitar; 2) sains adalah pengetahuan yang diperoleh melalui proses kegiatan tertentu; dan 3) sains dicirikan oleh

10 nilai-nilai dan sikap para ilmuwan menggunakan proses ilmiah dalam memperoleh pengetahuan. Atas pendapat ini, maka secara garis besar sains atau IPA memiliki tiga komponen yaitu ) IPA sebagai proses ilmiah; 2) IPA sebagai produk ilmiah; dan 3) IPA sebagai sikap ilmiah. IPA sebagai proses ilmiah memberikan penekanan pada kemampuan siswa untuk mengembangkan pengetahuan, gagasan, dan menerapkan konsep 20 yang diperolehnya untuk menjelaskan dan memecahkan masalah yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Ditinjau dari segi produk ilmiah, IPA menekankan pada kemampuan siswa untuk dapat memahami konsep-konsep yang berkaitan dengan alam sekitar dan keterkaitannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika ditinjau dari segi sikap ilmiah, maka IPA menekankan pada nilai dan minat siswa untuk mempelajari benda-benda di lingkungan sekitarnya, bersikap ingin tahu, tekun, kritis, serta mengenal dan memupuk rasa cinta terhadap alam sekitar sehingga menyadari ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai alat pendidikan yang berguna untuk mencapai pendidikan, pendidikan IPA di sekolah memiliki tujuan-tujuan tertentu sebagaimana disampaikan Laksmi (Trianto: 2008: 69) sebagai berikut: ) Memberikan pengetahuan kepada siswa tentang dunia tempat hidup dan bagaimana bersikap. 2) Menanamkan sikap hidup ilmiah. 3) Memberikan keterampilan untuk melakukan pengamatan. 4) Mendidik siswa untuk mengenal, mengetahuai cara kerja serta menghargai para ilmuwan penemunya. 5) Menggunakan dan menerapkan metode ilmiah dalam memecahkan permasalahan. Berdasarkan tujuan pendidikan IPA di atas, maka diharapkan pendidikan IPA dapat memberikan pengetahuan, sikap, dan keterampilan terkait dengan ilmu pengetahuan alam sekitar yang didapatkannya melalui metode ilmiah. Tujuan pendidikan IPA tersebut berlaku untuk semua jenjang pendidikan. Secara lebih spesifik, tujuan mata pelajaran IPA di SD/ MI dirumuskan sebagai berikut.

11 2 ) Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Mahas Esa berdasarkan keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam ciptaan-nya 2) Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsepkonsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari 3) Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif, dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi, dan masyarakat 4) Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah, dan membuat keputusan 5) Meningkatkan kesadaran untuk berperanserta dalam memelihara, menjaga, dan melestarikan lingkungan alam 6) Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan 7) Memperoleh bekal pengetahuan, konsep, dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/ MTs (BSNP, 2006). Berdasarkan tujuan mata pelajaran IPA di atas, tampak semakin jelas bahwa proses belajar mengajar IPA lebih ditekankan pada pendekatan keterampilan proses, hingga siswa dapat menemukan faktafakta, membangun konsep-konsep, teori-teori, dan sikap ilmiah siswa itu sendiri. Oleh karena itu, bahwa IPA di sekolah dasar menekankan pada tiga ranah yang harus dikuasai siswa, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Agar ketiga ranah tersebut dapat dikuasai siswa, maka pembelajaran IPA di SD/ MI menekankan pada pemberian pengalaman langsung melalui penggunaan dan pengembangan keterampilan proses dan sikap ilmiah. Pembelajaran IPA di sekolah dasar memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir kritis membangun pengetahuannya sendiri dengan menerapkan keterampilan proses IPA. Karena struktur kognitif anak tidak dapat dibandingkan dengan struktur kognitif ilmuwan, maka keterampilan proses IPA yang diajarkan dimodifikasi sesuai dengan tahap perkembangan kognitifnya (Samatowa, 2009: 5). Penelitian ini memfokuskan pada proses IPA di sekolah dasar. Variabel penelitian yang diukur adalah salah satu bagian dari

12 keterampilan proses IPA yaitu keterampilan bereksperimen. Dengan demikian diharapkan pada pembelajaran ini siswa dapat meningkatkan keterampilannya yakni dalam melakukan pengamatan, klasifikasi, interpretasi, eksperimen, dan menarik kesimpulan yang semuanya sudah terangkum dalam keterampilan bereksperimen. f. Keterampilan Bereksperimen pada Pembelajaran IPA Berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), IPA memiliki tujuan dan ruang lingkup yang harus dikuasai oleh siswa. Dengan hal ini, seorang guru harus dapat memetakan proses pembelajaran yang dilaksanakan selama satu semester. Adapun ruang lingkup materi IPA SD Kelas V semester II dalam penelitian ini sebagai berikut. Tabel 2. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran IPA SD Kelas V Semester II Semester II Alokasi Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Waktu 6. Menerapkan sifat-sifat 6. Mendeskripsikan sifatsifat 4 JP cahaya melalui kegiatan cahaya membuat suatu karya/ 6.2 Membuat suatu karya/ 6 JP model model, misal periskop atau lensa dari bahan sederhana dengan menerapkan sifatsifat cahaya 22 Berdasarkan Tabel 2. tentang pemetaan standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran IPA SD Kelas V Semester II, materi di semester II tidak hanya menekankan pada aspek kognitif saja melainkan juga pada aspek psikomotorik atau keterampilan. Keterampilan bereksperimen dilakukan pada KD 6. Mendiskripsikan sifat-sifat cahaya. Materi sifat-sifat cahaya dapat digunakan untuk bermacammacam eksperimen mulai dari tingkat eksperimen yang paling mudah hingga yang sulit. Selain itu, dengan melakukan eksperimen pada materi ini siswa lebih memahami manfaat secara praktis karena sifat-sifat cahaya banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya cahaya

13 23 yang merambat lurus dimanfaatkan untuk lampu belajar, efek dari pemantulan cahaya dimanfaatkan untuk penerangan ruangan sehingga tidak gelap, dan sebagainya. Berdasarkan kompetensi dasar 6.. Mendeskripsikan sifat-sifat cahaya, ada enam kegiatan eksperimen yang telah dilakukan dalam penelitian ini meliputi ) membuktikan bahwa cahaya merambat lurus; 2) membuktikan bahwa cahaya dapat menembus benda bening; 3) pemantulan cahaya; 4) pembiasan cahaya pada medium air; 5) pembiasan cahaya pada medium kaca prisma; 6) penguraian cahaya matahari. g. Penilaian Keterampilan Bereksperimen pada Pembelajaran IPA Penilaian menurut Purwanto (200: 3) adalah pengambilan keputusan berdasarkan hasil pengukuran dan kriteria tertentu. Senada dengan pendapat tersebut, Sudjana (2009: 3) mendefinisikan penilaian sebagai suatu proses memberikan atau menentukan nilai kepada objek tertentu berdasarkan suatu kriteria tertentu. Adapun Suwandi (2009: 7) menyatakan bahwa penilaian adalah suatu proses untuk mengetahui apakah proses dan hasil dari suatu program kegiatan telah sesuai dengan tujuan atau kriteria yang telah ditetapkan. Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa penilaian adalah proses untuk menentukan nilai terhadap suatu kegiatan telah sesuai dengan tujuan dan kriteria yang ditetapkan atau belum. Kegiatan yang dinilai dalam penelitian ini merupakan kegiatan eksperimen yang di dalamnya menuntut siswa untuk melakukan kegiatan eksperimen dengan prosedur yang benar sehingga siswa tersebut terampil bereksperimen. Penilaian pada penelitian tindakan kelas ini menggunakan penilaian proses belajar. Penilaian proses belajar adalah upaya memberi nilai terhadap kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh siswa dan guru dalam mencapai tujuan-tujuan pengajaran (Sudjana, 2009: 3). Cara menilai proses belajar dalam penelitian yang akan dilakukan ini dengan menggunakan Penilaian Berbasis Kelas (PBK). Suwandi (2009: 2) menjelaskan Penilaian Berbasis Kelas adalah:

14 24 Penilaian berbasis kelas merupakan suatu proses yang dilakukan melalui langkah-langkah perencanaan, penyusunan alat penilaian, pengumpulan informasi melalui sejumlah bukti yang menunjukkan pencapaian hasil belajar peserta didik, pengolahan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar peserta didik. Penilaian berbasis kelas dilaksanakan melalui berbagai teknik/ cara, seperti penilaian unjuk kerja (performance), penilaian sikap, penilaian tertulis (paper and pencil test), penilaian proyek, penilaian produk, penilaian melalui kumpulan hasil kerja nyata/ karya siswa (portofolio), dan penilaian diri. Suwandi (2009: 4) menambahkan bahwa PBK memiliki tujuan untuk mengetahui kemajuan dan hasil belajar siswa, mendiagnosis kesulitan belajar, memberikan umpan balik/ perbaikan proses pembelajaran, penentuan kenaikan kelas, dan memotivasi siswa. Adapun pada penelitian ini menggunakan tiga jenis penilaian meliputi penilaian sikap, penilaian tertulis, dan penilaian portofolio. Penilaian sikap bertujuan untuk untuk menilai siswa ditinjau dari aspek afektif berupa sikap kritis, rasa ingin tahu, dan kerja sama dalam kegiatan eksperimen. Penilaian tertulis bertujuan untuk menilai aspek kognitif siswa setelah melakukan kegiatan eksperimen. Penilaian portofolio dilakukan untuk menilai kegiatan eksperimen siswa mulai dari merencanakan hingga melaksanakan kegiatan eksperimen. Penilaian dalam penelitian tindakan kelas ini juga ditujukan terhadap guru dengan melakukan penilaian proses selama guru mengajar. Penilaian dilakukan menggunakan pedoman observasi kinerja guru. Semiawan, dkk (Bundu, 2006: 30) menjelaskan bahwa dalam kegiatan eksperimen guru dan siswa perlu menentukan alat dan bahan yang diperlukan, objek yang akan diteliti, variabel yang perlu diperhatikan, cara/ langkah kerja, cara pencatatan, dan kriteria keberhasilan yang mungkin dicapai. Sementara Hadiat menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan kegiatan bereskperimen terdapat beberapa indikator penilaian yang perlu diperhatikan, yaitu siswa mampu menentukan alat dan bahan yang akan digunakan, variabel, apa yang

15 25 diamati/ diukur, langkah kegiatan, dan bagaimana data diolah dan disimpulkan (Bundu: 2006: 3). Berdasarkan uraian di atas maka dilakukan modifikasi kriteria penilaian keterampilan bereksperimen yang diukur dalam pembelajaran IPA kelas V SD, meliputi menuliskan alat dan bahan, merumuskan langkah kerja, melakukan kegiatan eksperimen, menuliskan hasil eksperimen, dan merumuskan kesimpulan. Adapun indikator penilaian keterampilan bereksperimen pada pembelajaran IPA secara jelas dijabarkan pada tabel berikut.

16 Tabel 2.2 Indikator Penilaian Keterampilan Bereksperimen pada Mata Pelajaran IPA Kelas V Semester II No Indikator Deskriptor Skor. Menuliskan alat dan bahan 2. Merumuskan langkah kerja 3. Melakukan kegiatan eksperimen 4. Menuliskan hasil eksperimen 5. Merumuskan kesimpulan a. Menuliskan alat eksperimen sesuai jenis yang dibutuhkan. b. Menuliskan bahan eksperimen sesuai jenis yang dibutuhkan. c. Menuliskan alat eksperimen sesuai jumlah yang dibutuhkan. d. Menuliskan bahan eksperimen sesuai jenis yang dibutuhkan. a. Merumuskan langkah kerja secara runtut. b. Menuliskan langkah kerja dengan jelas. c. Menggunakan bahasa yang mudah dipahami. d. Menuliskan langkah kerja sesuai dengan kegiatan eksperimen. a. Menyiapkan alat dan bahan. b. Menyiapkan Lembar Kegiatan Eksperimen. c. Melakukan eksperimen sesuai langkah kerja. d. Membersihkan dan merapikan kembali tempat, alat, dan bahan ke tempat semula. a. Menuliskan hasil eksperimen sesuai kegiatan yang dilakukan. b. Menuliskan hasil eksperimen secara urut. c. Menuliskan hasil eksperimen secara sistematis. d. Menggunakan bahasa yang mudah dipahami. a. Berisi data hasil eksperimen. b. Berdasarkan rumusan masalah. c. Alur pemikiran yang runtut (sistematis). d. Menggunakan bahasa yang mudah dipahami. 26 Total Skor 4 Dimodifikasi dari : Semiawan, dkk (992) dalam Bundu (2006: 30) dan Hadiat dalam Bundu (2006: 3)

17 Keterangan : ) Skor 4, jika 4 deskriptor terpenuhi (kategori terampil) Skor 3, jika 3 deskriptor terpenuhi (kategori cukup terampil) Skor 2, jika 2 deskriptor terpenuhi (kategori kurang terampil) Skor, jika hanya deskriptor yang terpenuhi (kategori tidak terampil) 2) Jumlah skor maksimal = 20 3) Nilai akhir = jumlah skor x 5, nilai maksimal = 00 Ketuntasan belajar tercapai jika siswa mendapat nilai 85 4) Kategori keterampilan bereksperimen: <50 = Tidak Terampil = Kurang Terampil = Cukup Terampil = Terampil = Sangat Terampil 2. Hakikat Strategi Pembelajaran REACT (Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring) a. Pengertian Strategi Pembelajaran Istilah strategi banyak digunakan dalam berbagai bidang kegiatan yang bertujuan memperoleh kesuksesan atau keberhasilan dalam mencapai tujuan. Strategi dapat diartikan sebagai garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam rangka mencapai sasaran yang telah ditentukan (Kosasih dan Sumarna, 203: 44). Dalam konteks pembelajaran, Kosasih dan Sumarna mendefinisikan strategi pembelajaran sebagai pola-pola umum kegiatan guru dan murid dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan (203: 44). Pendapat senada disampaikan Sanjaya (20: 24) yang mendefinisikan strategi pembelajaran sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Sejalan dengan pendapat tersebut, Gulo (2005: 2) menyatakan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu seni dan ilmu untuk membawakan pengajaran di kelas sedemikian rupa sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai secara efektif dan efisien. Dari tiga pengertian di atas mengandung makna bahwa strategi pembelajaran 27

18 menekankan pada pencapaian tujuan tertentu dalam proses belajar mengajar. Strategi pembelajaran memuat berbagai alternatif yang harus dipertimbangkan untuk dipilih dalam merencanakan pembelajaran. Seorang guru harus dapat memikirkan strategi pembelajaran terlebih dahulu sebelum menyusun perencanaan pembelajaran. Setelah menemukan strategi alternatif, barulah seorang guru menyusun rencana pembelajaran atau desain instruksional. Desain instruksional inilah yang nantinya mengandung tujuan pembelajaran yang harus dicapai oleh siswa. Strategi pembelajaran tidak hanya berfokus pada pencapaian tujuan pembelajaran semata, melainkan juga pada cakupan dalam pelaksanaannya. Majid (205: 3-4) meyatakan bahwa strategi pembelajaran mencakup tujuan kegiatan, siapa yang terlibat dalam kegiatan, isi kegiatan, proses kegiatan, dan sarana penunjang kegiatan. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Suyono dan Hariyanto (204: 20) yang menyatakan bahwa 28 Strategi pembelajaran adalah kegiatan dalam proses pembelajaran yang terkait dengan pengelolaan siswa, pengelolaan guru, pengelolaan kegiatan pembelajaran, pengelolaan lingkungan belajar, pengelolaan sumber belajar dan penilaian (asesmen) agar pembelajaran lebih efektif dan efisien sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ditetapkan. Pendapat di atas mengindikasikan bahwa strategi pembelajaran dilakukan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga penilaian yang didalamnya mencakup berbagai komponen pembelajaran. Hal terebut bermakna bahwa tujuan pembelajaran tidak akan dicapai apabila komponen pembelajaran yang dibutuhkan tidak lengkap. Ini artinya bahwa dalam menjalankan strategi pembelajaran, seorang guru harus melakukan persiapan yang matang dengan memastikan semua komponen pembelajaran dapat terlibat secara efektif dan efisien sehingga tujuan pembelajaran yang ditetapkan dapat tercapai.

19 29 Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran adalah perencanaan yang didesain guru untuk membawakan pengajarannya sehingga dapat melibatkan siswa secara aktif memanfaatkan lingkungan belajarnya dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan tertentu. Guru harus secara jelas menentukan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai selama proses belajar-mengajar sehingga dapat tercapai secara efektif dan efisien dan dapat melakukan penilaian baik dalam proses maupun hasilnya terhadap siswa. b. Strategi Pembelajaran REACT (Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring) Strategi pembelajaran merupakan perencanaan yang didesain guru di kelas dengan melibatkan siswa dan memanfaatkan lingkungan belajar. Dengan menerapkan strategi pembelajaran, proses pembelajaran menjadi terarah karena memiliki tujuan yang harus dicapai. Dalam lingkup pembelajaran di sekolah dasar, banyak strategi yang dapat digunakan dalam proses belajar mengajar. Penerapan strategi pembelajaran harus dapat melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan pembelajaran. Keaktifan siswa dapat diwujudkan melalui pemberian kesempatan kepada mereka untuk menerapkan langsung pengetahuan mereka dalam kehidupan sehari-hari sehingga menjadi bermakna. Dalam kegiatan eksperimen yang menekankan partisipasi siswa secara aktif, guru dapat menerapkan strategi REACT (Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring). Strategi REACT merupakan strategi yang ada di dalam pembelajaran kontekstual. Pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Crawford (200: 2) dalam jurnalnya yang berjudul Teaching Contextually (Research, Rationale, and Techniques for Improving

20 30 Student Motivation and Achievement in Mathematics and Science) menyatakan bahwa REACT merupakan strategi pembelajaran yang didasarkan pada bagaimana siswa belajar untuk mendapatkan pemahaman dan bagaimana guru mengajarkan untuk memberikan pemahaman. Pemahaman tidak semata-mata diberikan melalui ceramah tetapi melalui kegiatan yang sifatnya melibatkan siswa dan guru dalam pembelajaran. Keterlibatan siswa justru lebih dominan karena diharapkan siswa dapat menemukan pengetahuannya secara mandiri melalui kegiatan eksplorasi, penemuan, dan penciptaan. Oleh karena itulah guru bertugas sebagai fasilitator untuk mengarahkan siswa dalam memproses pengetahuannya tersebut. Pendapat di atas diperkuat dengan pendapat Ozbay dan Kayaoglu (205: 04-05) dalam jurnalnya yang berjudul The Use of EACT Strategy for The Incoorporation of The Context of Physics into The Teaching English to The Physics English Prep Students menyatakan bahwa strategi REACT memungkinkan siswa mengembangkan kompetensinya secara individual dalam pembelajaran kaitannya dengan pengalaman nyata. Siswa dapat mencapai pengetahuannya ketika mereka menemukan pengetahuan sesuai dengan kapasitas kognitif mereka. Dari dua pendapat di atas mengindikasikan bahwa strategi REACT memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan pengetahuannya sendiri sesuai dengan kemampuan mereka. Pengetahuan tersebut diperoleh manakala dikaitkan dengan pengalaman nyata siswa. Pendapat senada disampaikan Ultay dan Calik (20: 200) dalam jurnalnya yang berjudul Distinguishing 5E Model from REACT Strategy: An Example of 'Acids and Bases' Topic berpendapat bahwa pembelajaran dengan strategi REACT guru hanya berperan sebagai fasilitator dan siswa aktif berperan dalam pembelajaran, yakni dalam mengkonstruksi pengetahuan, menerapkan pengetahuan yang diperoleh untuk menyelesaikan permasalahan, menyampaikan pendapat, dan mengaplikasikan konsep untuk menyelesaikan permasalahan yang lebih

21 3 kompleks. Hal ini mengindikasikan bahwa strategi REACT didominasi oleh peran serta siswa dalam memperoleh pengetahuannya untuk kemudian dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ozbay dan Kayaoglu (205: 04) menambahkan bahwa Activities based on REACT strategy increase student s interest and affect their learning positively. Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa aktivitas berdasarkan strategi REACT meningkatkan ketertarikan siswa dan mempengaruhi kegiatan pembelajarannya secara positif. Hal ini disebabkan karena pembelajaran melalui strategi REACT memberikan kebebasan kepada siswa untuk menemukan pengetahuannya sendiri melalui lingkungan di sekitarnya. Strategi REACT merupakan bagian dari pembelajaran kontekstual yang berlangsung lebih alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa, sebagaimana model pembelajaran konvensional atau metode ceramah (Putra, 203: 242). Dengan lima tahap dalam strategi pembelajaran kontekstual ini, yaitu relating, experiencing, applying, cooperating, transferring, diharapkan siswa mampu mencapai kompetensi secara maksimal. Berlandaskan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa strategi REACT (Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring) adalah strategi pembelajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif dalam mendapatkan pemahaman melalui pengalaman secara langsung dengan mengkonstruksi pengetahuan dan mengaplikasikan konsep yang dimiliki untuk menyelesaikan permasalahan yang lebih kompleks. Dalam strategi REACT, guru berperan sebagai fasilitator, yaitu mengarahkan siswa untuk memperoleh pemahaman melalui cara mereka sendiri. Strategi REACT merupakan strategi yang ada di dalam pembelajaran kontekstual. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya harus mengandung tujuh komponen dalam pembelajaran kontekstual yang meliputi konstruktivisme (constructivism), inkuiri (inquiry), bertanya

22 32 (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya (authentic assesment). Masing-masing komponen pembelajaran kontekstual terkait dengan penerapan strategi REACT dijelaskan sebagai berikut. ) Konstruktivisme (Constructivism) Komponen ini pada dasarnya menekankan pada pentingnya siswa membangun sendiri pengetahuan mereka lewat keterlibatan aktif proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar yang baik berbasis pada aktivitas siswa. Konstruktivisme merupakan landasan berpikir dalam pembelajaran kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (Sagala, 204: 88). Siswa harus dapat mengkonstruksi pengetahuan tersebut dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Sagala (204: 88) menambahkan bahwa esensi dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan menstranformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, dan apabila dikehendaki, informasi tersebut menjadi milik mereka sendiri. Esensi ini sejalan dengan tahap Relating dan Experiencing yang ada dalam strategi pembelajaran REACT di mana kedua tahapan tersebut menekankan agar siswa dapat membuat keterkaitan antara pengetahuan yang ada dengan pengalaman yang dimilikinya agar menjadi lebih bermakna. Dalam proses pembelajaran, guru hanya bertugas sebagai fasilitator untuk membantu siswa dalam mengaitkan pengetahuannya. Pengetahuan siswa dibangun sendiri melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar. 2) Inkuiri (Inquiry) Inkuiri merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta, melainkan hasil menemukan sendiri (Rusman, 202: 94).

23 33 Komponen tersebut sejalan dengan salah satu strategi REACT yaitu Applying yang memberi kesempatan kepada siswa untuk menerapkan pengetahuan yang dimilikinya sehingga tak sebatas ingatan saja. Siklus inkuiri yang terdiri dari observasi, bertanya, mengajukan dugaan, pengumpulan data, dan penyimpulan sesuai dengan strategi Applying karena bertujuan untuk menerapkan pengetahuan yang sudah tertanam dalam otak siswa sehingga siswa dapat menemukan sendiri kebenaran teori yang ada dan membuktikan keabsahan dari teori tersebut. 3) Bertanya (Questioning) Menurut Trianto (2008: 8), questioning merupakan strategi utama yang berbasis kontekstual. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Aktivitas bertanya ditemukan ketika siswa berdiskusi, bekerja dalam kelompok, ketika menemukan kesulitan, ketika mengamati, dan sebagainya. Kegiatan yang menumbuhkan dorongan untuk bertanya tersebut dapat dimunculkan saat menerapkan Cooperating dalam strategi REACT. Tujuan utama adanya kerjasama tak terlepas dari aktivitas berdiskusi, merespon, dan saling memberi masukan jika ada kesulitan selama proses belajar mengajar. 4) Masyarakat Belajar (Learning Community) Sagala (204: 89) menjelaskan bahwa konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Konsep tersebut muncul pada tahap Cooperating dalam strategi REACT yang menekankan pentingnya kerja sama dalam proses belajar mengajar. Siswa yang merupakan makhluk sosial dapat menjalin komunikasi yang baik dengan siswa lain melalui kerja sama. Kerja sama dibentuk dalam kelompok kecil yang sifatnya heterogen agar antar siswa dapat saling berkolaborasi dalam memberi gagasan terhadap kegiatan yang mereka kerjakan.

24 34 5) Pemodelan (Modeling) Dalam suatu pembelajaran pengetahuan maupun keterampilan dibutuhkan sebuah model yang ditiru oleh siswa. Model tersebut dapat berupa demosntrasi yang dilakukan guru dalam menunjukkan langkah-langkah suatu kegiatan. Pemodelan dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Tujuannya agar siswa mendapat contoh konkret dari konsep yang belum ia pahami. Dengan demikian siswa memiliki gambaran tentang konsep yang hendak ia pelajari dan tidak sekedar hal-hal yang sifatnya abstrak semata. Selain kegiatan demonstrasi, pemodelan juga dapat dilakukan guru dengan menunjukkan suatu media pembelajaran yang sifatnya konkrit untuk membantu siswa memahami materi yang akan diajarkan guru. 6) Refleksi (Reflection) Rusman (202: 97) menyatakan bahwa refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan di masa yang lalu. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima. Realisasi kegiatan refleksi dapat berupa diskusi, membuat catatan kecil, hasil karya, kesan dan kesan siswa, dan sebagainya. Komponen ini penting dilakukan karena dilaksanakan dalam tahap Applying dan Transferring pada strategi REACT. Tujuannya agar siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang abru dipelajarinya. 7) Penilaian Autentik (Authentic Assesment) Al-Tabany (204: 5) menjelaskan bahwa penilaian autentik diberikan untuk menilai pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa selama mengikuti proses belajar mengajar. Asesmen memberikan gambaran tentang berkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui guru agar dapat memastikan bahwa siswanya mengikuti proses pembelajaran

25 35 dengan benar. Selain itu, asesmen juga membantu guru memetakan sejauh mana tujuan pembelajaran yang ditentukan sudah tercapai. Penilaian autentik dilakukan tidak hanya setelah pembelajaran tetapi selama proses pembelajaran. Pada dasarnya penilaian autentik lebih menekankan pada proses pembelajaran sehingga data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran. Misalnya, selama siswa melakukan kegiatan eksperimen maka siswa wajib mengumpulkan laporan dari kegiatan eksperimen tersebut. Laporan tersebut merupakan data autentik yang dapat digunakan guru untuk melakukan penilaian. c. Tahap-tahap Strategi Pembelajaran REACT (Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring) Crawford (200) menjabarkan 5 (lima) tahap yang harus diterapkan dalam strategi REACT, meliputi relating (mengaitkan), experiencing (mengalami), applying (menerapkan), cooperating (bekerja sama), dan transferring (mentransfer). Kelima strategi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. ) Relating (mengaitkan) Crawford (200: 3) menyatakan Relating is learning in the context of one s life experiences or preexisting knowledge. Pendapat di atas mengandung arti bahwa relating (mengaitkan) adalah belajar dengan menghubungkan pada konteks kehidupan sehari-hari atau dengan pengetahuan sebelumnya yang dimiliki. Pendapat senada disampaikan Tural (203: 55) dalam jurnalnya yang berjudul Evaluating The REACT Strategy Activities ofphisics Teacher Candidates menyatakan, Relating is learning in the context of life experience and linking the concept or subject with everyday sights, events, and conditions. Pendapat di atas mengandung arti bahwa relating adalah belajar pada konteks kehidupan dan menghubungkannya pada konsep atau subyek dengan

26 36 pemandangan, peristiwa, dan keadaan sehari-hari. Dua pendapat di atas memiliki kesamaan bahwa dalam tahap relating (mengaitkan) siswa belajar menghubungkan pengetahuannya dengan konteks kehidupan sehari-hari yang pernah dialaminya. Pendapat di atas diperkuat oleh Al-Tabany (204: 42) yang menyatakan bahwa Relating adalah belajar dalam suatu konteks pengalaman hidup yang nyata atau awal sebelum pengetahuan itu diperoleh siswa. Konteks merupakan kerangka kerja yang dirancang guru untuk membantu siswa agar yang dipelajari bermakna (Suprijono, 204: 84). Sejalan dengan pendapat tersebut, Putra (203: 254) menyatakan bahwa mengaitkan sebagai sesuatu yang telah diketahui oleh siswa dengan informasi yang baru. Ketika siswa dapat mengaitkan isi dari mata pelajaran akademik dengan pengalamannya sendiri, berarti ia menemukan makna, dan makna memberinya alasan untuk belajar. Crawford menambahkan bahwa strategi Relating merupakan strategi pembelajaran kontekstual yang paling kuat sekaligus merupakan inti dari kontruktivis (200: 3). Pada tahap inilah siswa berkesempatan untuk mengkonstruksi pengetahuan yang dimilikinya berkaitan dengan permasalahan yang dihadapinya. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa relating adalah tahap belajar dengan mengaitkan pengetahuan awal siswa dengan pengalaman yang telah dilakukannya. Tujuannya untuk mengkonstruksi pengetahuan yang dimilikinya berkaitan dengan permasalahan yang dihadapinya. 2) Experiencing (mengalami) Crawford (200: 5) mengemukakan, This strategy is called experiencing. It is learning by doing through exploration, discovery, and invention. Pendapat Crawford tersebut mengandung makna bahwa experiencing adalah belajar melalui kegiatan eksplorasi, penemuan, dan penciptaan. Senada dengan pendapat tersebut, Tural

27 37 (203: 55) menyatakan, Experiencing is learning in the context of exploration, discovery, and invention via laboratory activities, project or problem solving. Pendapat tersebut mengandung arti bahwa experiencing (mengalami) adalah pembelajaran dalam konteks eksplorasi, penemuan, dan penciptaan lewat kegiatan laboratorium, proyek, dan pemecahan masalah. Dua pendapat di atas memiliki kesamaan yaitu penekanannya pada kegiatan eksplorasi, penemuan, dan penciptaan. Keduanya mengandung makna bahwa Experiencing (mengalami) dilakukan oleh manakala siswa dapat melakukan tiga kegiatan tersebut dalam rangka menemukan pengetahuan barunya sesuai dengan konsep yang telah dimilikinya ataupun sedang dipelajarinya. Pada Experiencing siswa dapat menemukan pengetahuan melalui pengalaman langsung berkenaan konsep yang dipelajarinya. Di sisi lain, guru harus dapat memberikan kegiatan yang hands-on kepada siswa, sehingga dari kegiatan yang dilakukan siswa tersebut dapat membangun pengetahuannya (Al- Tabany, 204: 42). Sejalan dengan pendapat tersebut, Suprijono (204: 84) mendefinisikan Experiencing sebagai kegiatan mengalami, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berproses secara aktif dengan hal yang dipelajari dan berupaya melakukan eksplorasi terhadap hal yang dikaji, berusaha menemukan dan menciptakan hal baru dari apa yang dipelajarinya. Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa Experiencing adalah belajar dengan membangun pengetahuannya melalui kegiatan eksplorasi, penemuan, dan penciptaan. Pada tahap ini siswa dapat langsung melakukan eksperimen dalam rangka menemukan pengetahuan baru sesuai konsep yang sedang dipelajarinya.

28 38 3) Applying (menerapkan) Crawford (200: 8) menyatakan, The applying strategy is learning by putting the concepts to use. Strategi applying adalah kegiatan belajar dengan menerapkan konsep untuk digunakan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Al-Tabany (204: 42-43) menyatakan bahwa strategi Applying sebagai belajar dengan menerapkan konsep-konsep. Pendapat di atas diperkuat dengan pendapat Putra (203: 255) yang mendefinisikan Applying sebagai penerapan konsep-konsep dan informasi dalam konteks yang bermanfaat bagi diri siswa. Siswa mengaplikasikan konsep-konsep ketika mereka berhubungan dengan aktivitas penyelesaian masalah. Dalam strategi ini guru dapat memberikan tugas yang menantang tetapi masuk akal dan relevan terhadap kemampuan siswa. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa Applying merupakan penerapan konsep-konsep yang sudah dimiliki siswa melalui tugas proyek yang berkaitan dengan aktivitas penyelesaian masalah. Tujuannya agar pengetahuan yang didapatkannya melalui tahap Experiencing dapat ditanamkan langsung melalui tugas yang diberikan guru. 4) Cooperating (bekerja sama) Crawford (200: ) menyatakan bahwa tahap Cooperating adalah belajar dalam konteks saling berbagi (sharing), saling menanggapi (responding), dan berkomunikasi dengan siswa lain (communicating with other learners). Pengalaman dalam bekerja sama tidak hanya menolong untuk mempelajari suatu bahan pelajaran, hal ini juga secara konsisten berkaitan dengan penitikberatan pada kehidupan nyata dalam pembelajaran kontesktual (Al- Tabany, 204: 43). Sejalan dengan pendapat di atas, Ozbay dan Kayaoglu (205: 05) menyatakan, Studying in group activities increased the student s motivation because they

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) merupakan salah satu mata pelajaran wajib yang harus diajarkan di bangku sekolah dasar. Hal tersebut secara jelas tertuang dalam Undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Denok Norhamidah, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Denok Norhamidah, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fisika merupakan salah satu bidang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang mempelajari gejala-gejala alam secara sistematis untuk menguasai pengetahuan berupa fakta, konsep,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sains atau Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan salah satu mata pelajaran pokok dalam kurikulum pendidikan di Indonesia, termasuk pada jenjang Sekolah Dasar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keterampilan Proses Sains 2.1.1 Hakikat Sains Kata sains atau Science menurut Wonorahardjo (2010) dilihat dari sudut bahasa berasal dari bahasa latin, yaitu dari kata Scientia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nur Inayah, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nur Inayah, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Standar Nasional pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pembelajaran IPA di SD Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di SD pada kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), menurut Permendiknas RI No. 22 Tahun

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pembelajaran IPA di SD Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berhubungan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. A. Hakikat Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) 1. Pengertian Contextual Teaching and Learning (CTL)

BAB II KAJIAN TEORI. A. Hakikat Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) 1. Pengertian Contextual Teaching and Learning (CTL) 10 BAB II KAJIAN TEORI A. Hakikat Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) 1. Pengertian Contextual Teaching and Learning (CTL) Menurut Suprijono Contextual Teaching and Learning (CTL)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dirasakan oleh siswa kelas VII SMPN 1 Bandar Lampung. Berdasarkan hasil

BAB I PENDAHULUAN. dirasakan oleh siswa kelas VII SMPN 1 Bandar Lampung. Berdasarkan hasil BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mata pelajaran biologi merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan alam yang mempelajari tentang makhluk hidup, mulai dari makhluk hidup tingkat rendah hingga makhluk

Lebih terperinci

Seminar Nasional Pendidikan Biologi FKIP UNS 2010

Seminar Nasional Pendidikan Biologi FKIP UNS 2010 PEMBELAJARAN FISIKA DENGAN PENDEKATAN C T L (Contextual Teaching and Learning) MELALUI METODE DEMONSTRASI Rini Budiharti Pendidikan Fisika P.MIPA UNS ABSTRAK Permasalahan yang akan dibahas dalam makalah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Belajar Aunurrahman ( 2012 : 35 ) belajar adalah suatu proses yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.Kajian Teori Dalam Bab II ini akan diuraikan kajian teori yang merupakan variabel dalam penelitian yang dilakukan yaitu hasil belajar, pendekatan CTL, dan alat peraga. 2.1.1 Hasil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimaksud adalah suatu proses penyampaian maksud pembicara kepada orang

I. PENDAHULUAN. yang dimaksud adalah suatu proses penyampaian maksud pembicara kepada orang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP perlu diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa berkomunikasi, baik secara lisan maupun tertulis. Komunikasi yang dimaksud

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah dalam memahami fakta-fakta alam dan lingkungan serta

BAB I PENDAHULUAN. masalah dalam memahami fakta-fakta alam dan lingkungan serta 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hasil penelitian Program for International Student Assesment (PISA) 2012 yang befokus pada literasi Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) mengukuhkan peserta didik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Inkuiri dalam Pembelajaran IPA. menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan.

TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Inkuiri dalam Pembelajaran IPA. menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran Inkuiri dalam Pembelajaran IPA Model Pembelajaran inkuiri adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dapat diketahui hasilnya melalui penilaian proses dan penilaian hasil. Hasil

BAB II KAJIAN TEORI. dapat diketahui hasilnya melalui penilaian proses dan penilaian hasil. Hasil 9 BAB II KAJIAN TEORI A. Tinjauan Tentang Hasil Belajar 1. Pengertian Hasil Belajar Segala upaya yang dilakukan seorang guru dalam proses pembelajaran dapat diketahui hasilnya melalui penilaian proses

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Prestasi Belajar IPA 2.1.1.1 Pembelajaran IPA Gagne (1992:3) menyimpulkan bahwa pembelajaran adalah serangkaian kegiatan yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya

Lebih terperinci

PENERAPAN PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI ENERGI PANAS

PENERAPAN PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI ENERGI PANAS Jurnal Pena Ilmiah: Vol. 1, No. 1 (2016) PENERAPAN PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI ENERGI PANAS Eneng Siti Fatimah Nurlela 1, Atep Sujana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembelajaran adalah setiap perubahan perilaku yang relatif permanen, perubahan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembelajaran adalah setiap perubahan perilaku yang relatif permanen, perubahan 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Makna Pembelajaran Pembelajaran adalah setiap perubahan perilaku yang relatif permanen, perubahan ini terjadi sebagai hasil dari pengalaman (wikipedia.org). Dalam dunia pendidikan,

Lebih terperinci

guna mencapai tujuan dari pembelajaran yang diharapkan.

guna mencapai tujuan dari pembelajaran yang diharapkan. 8 II. KAJIAN PUSTAKA A. Strategi Pembelajaran 1. Pengertian Strategi Pembelajaran Menurut Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan diamanatkan bahwa proses pembelajaran

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Keterampilan proses sains merupakan semua keterampilan yang digunakan untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. Keterampilan proses sains merupakan semua keterampilan yang digunakan untuk 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Keterampilan Proses Sains a. Pengertian Keterampilan Proses Sains Keterampilan proses sains merupakan semua keterampilan yang digunakan untuk menemukan dan mengembangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbuka, artinya setiap orang akan lebih mudah dalam mengakses informasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbuka, artinya setiap orang akan lebih mudah dalam mengakses informasi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan teknologi dan era globalisasi yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di dunia yang terbuka,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses dimana seseorang memperoleh

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses dimana seseorang memperoleh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses dimana seseorang memperoleh pengetahuan (Knowledge acquisition), mengembangkan kemampuan/ keterampilan (Skills development), sikap

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran kontekstual Pengajaran dan pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning (CTL) merupakan suatu konsepsi yang membantu guru mengkaitkan konten mata

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Pembelajaran merupakan proses komunikasi du arah, mengajar dilakukan oleh

BAB II KAJIAN TEORI. Pembelajaran merupakan proses komunikasi du arah, mengajar dilakukan oleh 7 BAB II KAJIAN TEORI A. Pembelajaran IPA di SD 1. Pembelajaran Pembelajaran ialah membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan.

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. Hilman Latief,2014 PENGARUH PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL TERHADAP HASIL BELAJAR Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.

BAB. I PENDAHULUAN. Hilman Latief,2014 PENGARUH PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL TERHADAP HASIL BELAJAR Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi. 1 BAB. I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan segala usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana dan bertujuan mengubah tingkah laku manusia kearah yang lebih baik dan sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sikap serta tingkah laku. Di dalam pendidikan terdapat proses belajar,

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sikap serta tingkah laku. Di dalam pendidikan terdapat proses belajar, - 1 - BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan sangatlah penting bagi manusia karena didalam pendidikan, maka akan mendapatkan berbagai macam pengetahuan, keterampilan, dan perubahan sikap

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengalaman langsung menggunakan eksperimen. Belajar harus bersifat menyelidiki

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengalaman langsung menggunakan eksperimen. Belajar harus bersifat menyelidiki II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Guide Discovery Guru dapat membantu siswa memahami konsep yang sulit dengan memberikan pengalaman langsung menggunakan eksperimen. Belajar harus bersifat menyelidiki

Lebih terperinci

DASAR FILOSOFI. Manusia harus mengkontruksikan pengetahuan pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.

DASAR FILOSOFI. Manusia harus mengkontruksikan pengetahuan pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. DASAR FILOSOFI Pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit), dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.Kajian Teori Hasil Belajar. Sudjana, (2004:22) berpendapat hasil Belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.Kajian Teori Hasil Belajar. Sudjana, (2004:22) berpendapat hasil Belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.Kajian Teori 2.1.1. Hasil Belajar. Sudjana, (2004:22) berpendapat hasil Belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Hasil belajar mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nasional Pendidikan pasal 19 dikatakan bahwa proses pembelajaran pada satuan

BAB I PENDAHULUAN. Nasional Pendidikan pasal 19 dikatakan bahwa proses pembelajaran pada satuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 19 dikatakan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan IPA diharapkan menjadi wahana bagi peserta didik untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan IPA diharapkan menjadi wahana bagi peserta didik untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan IPA diharapkan menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Belajar Proses belajar mengajar merupakan kegiatan paling pokok dalam seluruh proses pendidikan di sekolah. Proses belajar terjadi berkat siswa memperoleh sesuatu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teori 2.1.1. Ilmu Pengetahuan Alam untuk SD/MI Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Sekolah Dasar (SD)/Madrasah

Lebih terperinci

Pendekatan Contextual Teaching and Larning (CTL)

Pendekatan Contextual Teaching and Larning (CTL) Pendekatan Contextual Teaching and Larning (CTL) 2.1.3.1 Hakikat Contextual Teaching and Learning Landasan filosofi CTL adalah konstruktivisme, yaitu filosofi belajar yang menekankan bahwa belajar tidak

Lebih terperinci

POTENSI PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL RANGKA PADA PENGEMBANGAN KETERAMPILAN PROSES, SIKAP ILMIAH DAN HASIL BELAJAR BIOLOGI

POTENSI PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL RANGKA PADA PENGEMBANGAN KETERAMPILAN PROSES, SIKAP ILMIAH DAN HASIL BELAJAR BIOLOGI POTENSI PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL RANGKA PADA PENGEMBANGAN KETERAMPILAN PROSES, SIKAP ILMIAH DAN HASIL BELAJAR BIOLOGI Evi Suryawati evien_riau@yahoo.com Pendidikan Biologi FKIP Universitas Riau ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Secara umum pengertian pembelajaran adalah seperangkat peristiwa yang

BAB II LANDASAN TEORI. Secara umum pengertian pembelajaran adalah seperangkat peristiwa yang 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Hakekat Pembelajaran 1. Pengertian Pembelajaran Secara umum pengertian pembelajaran adalah seperangkat peristiwa yang mempengaruhi peserta didik sedemikian rupa sehingga peserta

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) definisi efektivitas adalah sesuatu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) definisi efektivitas adalah sesuatu II. TINJAUAN PUSTAKA A. Efektivitas Pembelajaran Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) definisi efektivitas adalah sesuatu yang memiliki pengaruh atau akibat yang ditimbulkan, membawa hasil dan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

Lebih terperinci

PENINGKATAN AKTIVITAS INKUIRI DAN KETUNTASAN HASIL BELAJAR FISIKA MENGGUNAKAN PEMBELAJARAN INKUIRI BERBASIS KONTEKSTUAL PADA SISWA KELAS XA SMA NEGERI PASIRIAN LUMAJANG Intan Fitriani 1, Dewi Iriana 2,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. setelah mengalami pengalaman belajar. Dalam Sudjana (2008:22), hasil belajar

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. setelah mengalami pengalaman belajar. Dalam Sudjana (2008:22), hasil belajar BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1 Hasil Belajar Hasil belajar merupakan perubahan perilaku secara keseluruhan dari siswa setelah mengalami pengalaman belajar. Dalam Sudjana (2008:22), hasil

Lebih terperinci

PENERAPAN METODE INKUIRI DALAM PENINGKATAN PEMBELAJARAN IPA SISWA KELAS IV SEKOLAH DASAR

PENERAPAN METODE INKUIRI DALAM PENINGKATAN PEMBELAJARAN IPA SISWA KELAS IV SEKOLAH DASAR PENERAPAN METODE INKUIRI DALAM PENINGKATAN PEMBELAJARAN IPA SISWA KELAS IV SEKOLAH DASAR Ulfatun Rohmah 1, Suhartono 2, Ngatman 3 PGSD FKIP Universitas Negeri Sebelas Maret, Jalan Kepodang 67A Panjer Kebumen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dapat membentuk persamaan dan kemauan siswa, metode ini juga melibatkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dapat membentuk persamaan dan kemauan siswa, metode ini juga melibatkan 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Eksperimen Eksperimen adalah bagian yang sulit dipisahkan dari Ilmu Pengetahuan Alam. Eksperimen dapat dilakukan di laboratorium maupun di alam terbuka. Metode ini mempunyai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu teori belajar yang cukup dikenal dan banyak implementasinya dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu teori belajar yang cukup dikenal dan banyak implementasinya dalam 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Kontekstual Salah satu teori belajar yang cukup dikenal dan banyak implementasinya dalam proses pembelajaran adalah teori belajar konstruktivisme. Piaget (Suherman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yuanita, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yuanita, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu hal penting bagi peserta didik untuk menghadapi masa depannya. Pendidikan sekolah merupakan suatu proses kompleks yang mencakup

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh seseorang untuk

BAB II LANDASAN TEORI. suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh seseorang untuk 8 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Membaca Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang hendak disampaikan oleh penulis melalui bahasa tulis.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Untuk mewujudkan upaya tersebut, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31. Ayat (3) mengamanatkan agar pemerintah mengusahakan dan

BAB I PENDAHULUAN. Untuk mewujudkan upaya tersebut, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31. Ayat (3) mengamanatkan agar pemerintah mengusahakan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia salah satunya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mewujudkan upaya tersebut, Undang-Undang

Lebih terperinci

Rumusan masalahan. Tujuan Penelitian. Kajian Teori. memahaminya. Demikian pula dengan siswa kelas IX SMP Negeri 1 Anyar masih

Rumusan masalahan. Tujuan Penelitian. Kajian Teori. memahaminya. Demikian pula dengan siswa kelas IX SMP Negeri 1 Anyar masih memahaminya. Demikian pula dengan siswa kelas IX SMP Negeri 1 Anyar masih mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal soal yang berkaitan dengan menghitung luas selimut tabung, kerucut dan bola, sehingga

Lebih terperinci

Mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika, J.PMIPA, FKIP, UNS. Alamat Korespondensi:

Mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika, J.PMIPA, FKIP, UNS. Alamat Korespondensi: PENERAPAN STRATEGI REACT DALAM MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE (TPS) UNTUK MENINGKATKAN KEAKTIFAN DAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MATEMATIKA SISWA KELAS VIII E SMP NEGERI 14 SURAKARTA TAHUN PELAJARAN 2014/2015

Lebih terperinci

Pendekatan Kontekstual (CTL) dalam KTSP pada Pembelajaran di SD

Pendekatan Kontekstual (CTL) dalam KTSP pada Pembelajaran di SD Pendekatan Kontekstual (CTL) dalam KTSP pada Pembelajaran di SD Oleh Nana Supriatna Universitas Pendidikan Indonesia Makalah Semiloka di Musibanyuasin, Sumsel 7 September 2007 Pengertian Pendekatan Contextual

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hasil Belajar Menurut Lindgren dalam Agus Suprijono (2011: 7) hasil pembelajaran meliputi kecakapan, informasi, pengertian, dan sikap. Hal yang sama juga dikemukakan

Lebih terperinci

PENERAPAN METODE INKUIRI DALAM PENINGKATAN PEMBELAJARAN IPA SISWA KELAS IV SEKOLAH DASAR

PENERAPAN METODE INKUIRI DALAM PENINGKATAN PEMBELAJARAN IPA SISWA KELAS IV SEKOLAH DASAR PENERAPAN METODE INKUIRI DALAM PENINGKATAN PEMBELAJARAN IPA SISWA KELAS IV SEKOLAH DASAR Ulfatun Rohmah 1, Suhartono 2, Ngatman 3 PGSD FKIP Universitas Negeri Sebelas Maret, Jalan Kepodang 67A Panjer Kebumen

Lebih terperinci

II. KERANGKA TEORETIS. 1. Pembelajaran berbasis masalah (Problem- Based Learning)

II. KERANGKA TEORETIS. 1. Pembelajaran berbasis masalah (Problem- Based Learning) 7 II. KERANGKA TEORETIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pembelajaran berbasis masalah (Problem- Based Learning) Untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar, para ahli pembelajaran telah menyarankan penggunaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta perubahan aspek-aspek yang lain yang ada pada individu yang belajar.

BAB I PENDAHULUAN. serta perubahan aspek-aspek yang lain yang ada pada individu yang belajar. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakikatnya belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil dari proses belajar dapat diindikasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan memiliki sumber daya manusia yang berkualitas. Salah satu cara

BAB I PENDAHULUAN. dengan memiliki sumber daya manusia yang berkualitas. Salah satu cara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Persaingan yang begitu ketat dari berbagai macam bidang pada era globalisasi abad 21 ini, salah satunya adalah pada bidang pendidikan. Persaingan yang terjadi pada era

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Alam semesta beserta isinya diciptakan untuk memenuhi semua kebutuhan makhluk hidup yang ada di dalamnya. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Helen Martanilova, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Helen Martanilova, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika merupakan ilmu pengetahuan universal yang mendasari perkembangan teknologi modern dan memiliki peranan penting yang dapat diterapkan dalam berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam perjalanan hidup manusia. Pelaksanaan pendidikan di negara kita mengacu pada tujuan pendidikan nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di sekolah memegang peranan penting dalam pembangunan bangsa. Oleh karena itu, masalah pendidikan selalu mendapat perhatian dari berbagai pihak. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan sekaligus pembangunan SDM (Sumber Daya Manusia). Matematika juga

BAB I PENDAHULUAN. dan sekaligus pembangunan SDM (Sumber Daya Manusia). Matematika juga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Matematika merupakan bagian dari ilmu pengetahuan yang turut memberikan sumbangan signifikan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan sekaligus pembangunan SDM (Sumber

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori Sebagai suatu disiplin ilmu, matematika merupakan salah satu ilmu dasar yang memiliki kegunaan besar dalam kehidupan sehari-hari. Maka dari itu, konsepkonsep dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB II PEMBAHASAN Contextual Teaching and Learning

BAB I PENDAHULUAN BAB II PEMBAHASAN Contextual Teaching and Learning BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi menggingat jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat

II. TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Efektivitas Pembelajaran Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat keberhasilan dari suatu proses pembelajaran. Pembelajaran dikatakan efektif

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. tersebut bukan diperoleh langsung dari proses pertumbuhan seseorang secara

I. TINJAUAN PUSTAKA. tersebut bukan diperoleh langsung dari proses pertumbuhan seseorang secara I. TINJAUAN PUSTAKA A. Belajar Menurut Gegne dalam Suprijono (2009 : 2), belajar adalah perubahan disposisi atau kemampuan yang dicapai seseorang melalui aktivitas. Perubahan disposisi tersebut bukan diperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Proses pembelajaran pada dasarnya merupakan transformasi pengetahuan, sikap dan keterampilan dengan melibatkan aktivitas fisik dan mental siswa. Keterlibatan

Lebih terperinci

Meningkatkan Pemahaman Konsep Perubahan Wujud Benda Pada Siswa Kelas IV SDN 3 Siwalempu Melalui Pendekatan

Meningkatkan Pemahaman Konsep Perubahan Wujud Benda Pada Siswa Kelas IV SDN 3 Siwalempu Melalui Pendekatan Meningkatkan Pemahaman Konsep Perubahan Wujud Benda Pada Siswa Kelas IV SDN 3 Siwalempu Melalui Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) Arif Abdul Karim Mahasiswa Program Guru Dalam Jabatan Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah IPA merupakan salah satu mata pelajaran bagian dari kurikulum yang harus dikuasai siswa sesuai tingkat sekolah dari jenjang dasar sampai tingkat lanjutan. Semakin

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Konstruktivisme Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi (bentukan) kita sendiri.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Peradapan manusia yang terus berkembang menyebabkan perkembangan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) juga terus mengalami kemajuan yang pesat. Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen penting dalam membentuk manusia yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen penting dalam membentuk manusia yang memiliki A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Perkembangan abad 21 saat ini ditandai oleh pesatnya perkembangan IPA dan teknologi. Terutama pada pembangunan nasional yaitu bidang pendidikan. Oleh karena

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing (Guided Inquiry) Inkuiri terbimbing (guided inquiry) merupakan model pembelajaran yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing (Guided Inquiry) Inkuiri terbimbing (guided inquiry) merupakan model pembelajaran yang 11 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing (Guided Inquiry) Inkuiri terbimbing (guided inquiry) merupakan model pembelajaran yang dapat melatih keterampilan siswa dalam melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap orang membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Undang- Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. meningkatkan hasil belajar siswa apabila secara statistik hasil belajar siswa menunjukan

II. TINJAUAN PUSTAKA. meningkatkan hasil belajar siswa apabila secara statistik hasil belajar siswa menunjukan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Efektivitas Pembelajaran Efektivitas pembelajaran merupakan suatu ukuran yang berhubungan dengan tingkat keberhasilan dari suatu proses pembelajaran. Pembelajaran dikatakan efektif

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) Ilmu pengetahuan alam atau sains (science) diambil dari kata latin Scientia yang arti harfiahnya adalah pengetahuan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori Pembelajaran IPA IPA merupakan ilmu yang mempelajari tentang alam yang sesuai dengan kenyataan dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori Pembelajaran IPA IPA merupakan ilmu yang mempelajari tentang alam yang sesuai dengan kenyataan dan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pembelajaran IPA IPA merupakan ilmu yang mempelajari tentang alam yang sesuai dengan kenyataan dan pengamatan melalui langkah-langkah metode ilmiah dan proses

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Aktivitas Belajar Belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu dalam bentuk tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghadapi tantangan-tantangan global. Keterampilan berpikir kritis

BAB I PENDAHULUAN. menghadapi tantangan-tantangan global. Keterampilan berpikir kritis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan arus globalisasi yang semakin pesat menyebabkan terjadinya persaingan di berbagai bidang kehidupan salah satunya yaitu bidang pendidikan. Untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jenjang pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Akan tetapi, matematika

BAB I PENDAHULUAN. jenjang pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Akan tetapi, matematika BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang harus dipenuhi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Maju mundurnya suatu bangsa dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.Kajian Teori 2.1.1.Pengertian Belajar dan Pembelajaran Menurut Sudjana ( 1989 : 28 ) belajar merupakan suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. saling berkaitan. Dalam kegiatan pembelajaran terjadi proses interaksi (hubungan timbal

II. TINJAUAN PUSTAKA. saling berkaitan. Dalam kegiatan pembelajaran terjadi proses interaksi (hubungan timbal II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Inquiri Terbimbing Pembelajaran merupakan suatu proses yang kompleks dan melibatkan berbagai aspek yang saling berkaitan. Dalam kegiatan pembelajaran terjadi proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Heri Sugianto, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Heri Sugianto, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang fenomena alam secara sistematis. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan penting dalam upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia dalam rangka menghadapi era kompetisi yang mengacu pada penguasaan

Lebih terperinci

ilmiah serta rasa mencintai dan menghargai kebesaran Tuhan yang Maha Esa perlu ditanamkan kepada siswa. Hal tersebut dapat tercapai salah

ilmiah serta rasa mencintai dan menghargai kebesaran Tuhan yang Maha Esa perlu ditanamkan kepada siswa. Hal tersebut dapat tercapai salah PENERAPAN METODE INKUIRI TERBIMBING UNTUK PENINGKATAN KEAKTIFAN BELAJAR IPA PADA SISWA KELAS IV SD Retno Megawati 1, Suripto 2, Kartika Chrysti Suryandari 3 PGSD FKIP Universitas Sebelas Maret, Jl. Kepodang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang wajib dipelajari di Sekolah Dasar. Siswa akan dapat mempelajari diri

BAB I PENDAHULUAN. yang wajib dipelajari di Sekolah Dasar. Siswa akan dapat mempelajari diri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib dipelajari di Sekolah Dasar. Siswa akan dapat mempelajari diri sendiri dan alam sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam pengembangan kurikulum matematika pada dasarnya digunakan. sebagai tolok ukur dalam upaya pengembangan aspek pengetahuan dan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pengembangan kurikulum matematika pada dasarnya digunakan. sebagai tolok ukur dalam upaya pengembangan aspek pengetahuan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Standar kompetensi dan kompetensi dasar matematika yang disusun dalam pengembangan kurikulum matematika pada dasarnya digunakan sebagai tolok ukur dalam upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis merupakan kemampuan matematika yang harus dimiliki siswa dalam pencapaian kurikulum. Keberhasilan pembelajaran

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mampu merangsang peserta didik untuk menggali potensi diri yang sebenarnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. mampu merangsang peserta didik untuk menggali potensi diri yang sebenarnya II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pendekatan Keterampilan Proses Sains Keberhasilan proses pembelajaran sangat bergantung pada peran seorang guru dalam menciptakan lingkungan belajar yang efektif. Proses pembelajaran

Lebih terperinci

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL. contextual teaching and learning

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL. contextual teaching and learning PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL contextual teaching and learning Strategi Pembelajaan Kontekstual Strategi pembelajaran CTL (contextual teaching and learning) merupakan strategi yang melibatkan siswa secara penuh

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di SD Ilmu pengetahuan alam (IPA) merupakan bagian dari ilmu pegetahuan atau sains yang semula berasal dari bahasa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dinamis dan sarat perkembangan. Oleh karena itu, perubahan atau. antisipasi kepentingan masa depan (Trianto, 2009:1).

I. PENDAHULUAN. dinamis dan sarat perkembangan. Oleh karena itu, perubahan atau. antisipasi kepentingan masa depan (Trianto, 2009:1). 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang dinamis dan sarat perkembangan. Oleh karena itu, perubahan atau perkembangan pendidikan adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. budaya dalam bentuk pola pikir. Sebagai proses transformasi, sudah barang tentu

BAB I PENDAHULUAN. budaya dalam bentuk pola pikir. Sebagai proses transformasi, sudah barang tentu BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses transformasi budaya dari generasi ke generasi berikutnya, baik yang berbentuk ilmu pengetahuan, nilai, moral maupun budaya dalam

Lebih terperinci

BAB II HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA POKOK BAHASAN MENGHITUNG LUAS PERSEGI DAN PERSEGI PANJANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME

BAB II HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA POKOK BAHASAN MENGHITUNG LUAS PERSEGI DAN PERSEGI PANJANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME BAB II HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA POKOK BAHASAN MENGHITUNG LUAS PERSEGI DAN PERSEGI PANJANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME A. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar Mata pelajaran Matematika

Lebih terperinci

BAB I. kedewasaan. Purwanto (2007: 10) menyatakan pendidikan ialah pimpinan yang

BAB I. kedewasaan. Purwanto (2007: 10) menyatakan pendidikan ialah pimpinan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan ialah segala usaha orang dewasa dalam pergaulanya dengan anak anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. Purwanto

Lebih terperinci

Oleh: Drs.NANA DJUMHANA M.Pd PRODI PGSD FIP UPI

Oleh: Drs.NANA DJUMHANA M.Pd PRODI PGSD FIP UPI Oleh: Drs.NANA DJUMHANA M.Pd PRODI PGSD FIP UPI MENGAPA GURU PERLU MEMAHAMI METODOLOGI PEMBELAJARAN? S elain faktor penguasaan materi, salah satu faktor lain yang dapat mempengaruhi profesionalisme guru

Lebih terperinci

1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN

1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Pembelajaran Fisika seyogyanya dapat menumbuhkan rasa ingin tahu yang lebih besar untuk memahami suatu fenomena dan mengkaji fenomena tersebut dengan kajian

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Kajian Teori Hakikat Ilmu Pengetahuan Alam Ruang Lingkup IPA SD/MI

BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Kajian Teori Hakikat Ilmu Pengetahuan Alam Ruang Lingkup IPA SD/MI BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Kajian Teori 2.1.1. Hakikat Ilmu Pengetahuan Alam IPA atau Ilmu Pengetahuan Alam dari segi istilah dapat diartikan sebagai ilmu yang berisi pengetahuan alam. Ilmu artinya pengetahuan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Model Pembelajaran CTL 2.1.1.1 Pengertian Model Pembelajaran CTL Peneliti memilih model pembelajaran CTL, dengan alasan model pembelajaran CTL mampu memfasilitasi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 4 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hakikat Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) didefinisikan sebagai kumpulan pengetahuan yang tersusun secara terbimbing. Hal ini

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Teori 2.1.1 Ilmu Pengetahuan Alam Dalam bahasa inggris Ilmu Pengetahuan Alam disebut natural science, natural yang artinya berhubungan dengan alam dan science artinya

Lebih terperinci

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CTL PADA BAHAN AJAR GEOMETRI DAN PENGUKURAN DI SEKOLAH DASAR. Oleh TITA ROSTIAWATI 1 MAULANA 2 ABSTRAK

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CTL PADA BAHAN AJAR GEOMETRI DAN PENGUKURAN DI SEKOLAH DASAR. Oleh TITA ROSTIAWATI 1 MAULANA 2 ABSTRAK PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CTL PADA BAHAN AJAR GEOMETRI DAN PENGUKURAN DI SEKOLAH DASAR Oleh TITA ROSTIAWATI 1 MAULANA 2 ABSTRAK Salah satu masalah yang dihadapi dalam pembelajaran matematika adalah

Lebih terperinci