Konflik Agraria di Desa Pandumaan-Sipituhuta Kabupaten Humbahas

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Konflik Agraria di Desa Pandumaan-Sipituhuta Kabupaten Humbahas"

Transkripsi

1 Konflik Agraria di Desa Pandumaan- Sipituhuta Kabupaten Humbahas FREDY YOHANNES PURBA Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan, Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155, Telepon: , Diterima tanggal 22 Mei 2014/Disetujui tanggal 14 Juni 2014 Land conflict and agrarian reform is the most interesting issues in Indonesia. As we know a lot of people in Indonesia still lives on farms. There is no exception in Sumatera Utara Province. There are many land conflicts here. This study is the study of the problems of agrarian conflict in the Village District Pandumaan-Sipituhuta Humbang Hasundutan (Humbahas) Regency. The focus is about how the process of resolving issues of land conflict in the village Pandumaan- Sipituhuta. The findings of this study, among others, there are three important things to be problems in the agrarian conflict Sipituhuta - Pandumaan village. First, the eucalyptus forest planting activities in forest communities frankincense; Second, the weak role of district government Humbang Hasundutan; Third, problem-solving solutions. This study is using conflict approach. The data collection is using field research. The method used is a qualitative method that is intended to describe an event in more detail. Keywords: Conflict, land reform, indigenous lands. Pendahuluan Sejarah peradaban umat manusia, tanah merupakan faktor yang paling utama dalam menentukan produksi setiap fase peradaban. Tanah tidak hanya mempunyai nilai ekonomis tinggi, tetapi juga nilai filosofis, politik, sosial, dan kultural. Tidak mengherankan jika tanah menjadi harta istimewa yang tidak henti-hentinya memicu berbagai masalah sosial yang kompleks dan rumit. Menyadari nilai dan arti penting tanah, para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merumuskan tentang tanah dan sumber daya alam secara ringkas tetapi sangat filosofis substansial di dalam Konstitusi, Pasal 33 Ayat (3) Undang-undang Dasar 1945, sebagai berikut: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Undang-undang No. Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, LNRI Tahun 1960 No.104-TLNRI No. 2043, disahkan tanggal 24 September 1960, yang lebih dikenal dengan sebutan Undangundang Pokok Agraria (UUPA) tidak memberikan pengertian Agraria, hanya memberikan ruang lingkup agraria sebagaimana yang tercantum dalam konsideran, pasal-pasal maupun penjelasannya. Ruang lingkup Agraria menurut UUPA meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. 1 UUPA yang bersemangat populistik tidak terealisasikan. Rezim orde baru yang lalu gagal mewujudkan keadilan agraria termaksud gagal menjamin kepastian 1 Affan Mukti, Pembahasan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, (USU Press. Medan. 2010). 65

2 penguasaan tanah atau SDA lain bagi komunitas lokal yang telah memanfaatkan tanah dan sumber daya alam yang menyertainya. Bahkan, sebaliknya praktek pembangunan semasa Orde Baru justru menyingkirkan akses rakyat terhadap tanah dan sumber daya alam lain yang telah lama dipunyainya. 2 Kasus pertanahan yang sering terjadi bila dilihat dari konflikkepentingan para pihak dalam sengketa pertanahan antara lain : 3 1.Rakyat berhadapan dengan birokrasi 2.Rakyat berhadapan dengan perusahaan negara 3.Rakyat berhadapan dengan perusahaan swasta 4.Konflik antara rakyat Hampir di setiap daerah yang terdapat sengketa tanah, para pihak yang terkait dan berwenang menangani permasalahan tersebut menyelesaikan dengan berbagai cara. Cara penyelesaian sengketa yang telah ditempuh selama ini adalah melalui pengadilan (litigasi) dan penyelesaian sengketa diluar pengadilan (non litigasi). Dalam dimensi yuridis penguasaan tanah dan pemilikan tanah memerlukan perlindungan, implikasinya harus terdapat perlindungan hukum terhadap hak-hak keperdataan pemilikan tanah dan perlakuan yang adil terhadap kepemilikan tanah tersebut. Sengketa tanah yang berlarut-larut dan tidak ada penyelesaian yang baik dapat menyebabkan pihak yang dirugikan melakukan gugatan ke pengadilan. Meskipun ada peluang lebar menggugat melalui pengadilan tetapi pihak awam cenderung menghindarinya, selain itu terdapat anggapan dalam masyarakat bahwa pengajuan gugatan lewat pengadilan relatif mahal, memakan waktu yang cukup lama bahkan berbelitbelit. Oleh karena itu masyarakat berupaya menyelesaikan sengketanya dengan menempuh jalur non litigasi. Salah satu konflik pertanahan adat juga terjadi antara masyarakat adat Desa Pandumaan-Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan dengan PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL), yang terjadi sejak Juni 2009 yang lalu, hingga kini belum menemukan jalan penyelesaian yang pasti. 4 Konflik berawal saat terbit SK Menteri Kehutanan No. 493/Kpts-II/1992, tentang tentang pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri kepada PT. Inti Indorayon Utama Tbk, seluas hektare di Wilayah Provinsi Sumatera Utara. PT. Indorayon Utama yang berubah nama menjadi PT. Toba Pulp Lestari, Tbk (TPL) dari SK Kementrian Kehutanan No: Sk.351/Menhut-II/2004, wajib melaksanakan penataan tapal batas wilayah kegiatan tanaman industrinya selambatnya 36 bulan sejak keputusan dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan RI, hingga pada saat ini pihak PT. TPL tidak melaksanakan penataan tapal batas wilayah kegiatan tanaman industri tersebut di Kabupaten Humbang Hasundutan. 5 Oleh karena itu menarik mengkaji tentang koflik agraria di desa Pandumaan-Sipituhuta. Pendekatan dan Metode Penelitian ini menggunakan pendekatan konflik untuk menjelaskan masalah konflik pertanahan di Desa Pandumaan-Sipituhuta dan penyelesaiannya. Metode pengumpulan data dengan teknik penelitian lapangan dan wawancara dengan beberapa informan. Analisis data menggunakan analisis kualitatif. Sejarah Konflik Tanah sebagai salah satu sumber daya alam memiliki nilai ekonomi serta memiliki nilai sosial politik dan pertahanan keamanan yang tinggi kebijakan pembangunan pertanahan haruslah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan pembangunan nasional dalam perkembangan sebuah Negara di dae- 2 Gunawan Wiradi, Reforma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir, (Yogyakarta: Insist Press, KPA & Pustaka Pelajar), hal Maria S.W.Sumardjono, Kebijakan Pertanahan, Antara Regulasi dan Implementasi, (Jakarta: Kompas 2005), hal Suryati Simanjuntak Kronologis Kasus Warga Pandumaan-Sipituhuta VS TPL: Penyelesaian Sengketa Berkepanjangan, Warga Bentrok dengan TPL dan Aparat diakses pada situs, diakses pada tanggal 5 Juni

3 rahnnya. Permasalahan tanah menjadi semakin kompleks disatu sisi kompleksitas masalah tanah terjadi sebagai akibat meningkatnya kebutuhan tanah untuk keperluan berbagai kegiatan pembangunan dan pertumbuhan penduduk yang cepat dengan penyebaran yang tidak merata antar wilayah. Terjadinya konflik pertanahan pada masyarakat dapat dilihat dari beberapa faktor, yaitu kemiskinan dan pendidikan pada masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta, kemiskinan memiliki hubungan yang sangat erat dengan pendidikan. Karena hal ini peneliti juga mengkaitkan fenomena konflik pertanahan dengan kebutuhan hidup (ekonomi) dan tingkat pendidikan masyarakat Desa Pandumaan Sipituhuta. Kemiskinan yang dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan yang hanya dibatasi pada kebutuhan pokok minimum, yang memungkinkan Masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta hidup layak. Dilingkungan Desa Pandumaan-Sipituhuta terlihat dari kehidupannya, bangunan rumah, jalan dan banyak menggantungkan dari pertanian dan hutan kemenyan. Sehingga menimbulkan pertentangan terhadap perusahaan untuk berhenti beroperasi dan eksploitasi hutan, ini merupakan dampak kemiskinan relative. Kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang dilihat dari aspek ketimpangan sosial, karena ada orang yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya tetapi masih jauh lebih rendah dibanding masyarakat sekitarnya (lingkungannya). Mengenai fasilitas terlihat jelas ketika terjadinya hujan deras yang dengan mudahnya dapat merobohkan bangunan sekolah atau menghentikan proses belajar mengajar karena tidak layak pakainya fasilitas. Ada sebuah pemikiran yang tertanam pada kita tentang ketidak ada kekuatan fasilitas yang disediakan. Selain fasilitas, biaya juga sangat berpengaruh terhadap pendidikan. Tidak sedikit keluarga yang menghentikan pendidikan anak karena mengeluhkan biaya pendidikan yang tinggi. Terkait hal itu, pemerintah mulai memberi bantuan dengan adanya subsidi pendidikan bagi keluarga yang tidak mampu. Namun, penyediaan subsidi atau bantuan biaya pendidikan pada keluarga yang tidak mampu belum berhasil menjadi pendongkrak angka rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Indonesia. Dampak kemiskinan terhadap pendidikan sangat besar. Jika tidak maka akan sangat sulit. Bagi masyarakat yang mampu mungkin tidak masalah, karena mereka memiliki cukup materi untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan dengan berbagai jalan salah satunya dengan kursus. Semua warga negara memiliki hak yang sama yaitu berhak untuk menuntut ilmu. Tetapi karena kemiskinan hak tersebut kemudian terabaikan. Lebih ironis lagi, banyak anakanak yang rela bekerja untuk membantu orang tuanya sehingga waktu belajar mereka habis di gunakan untuk bekerja. Sangat sulit untuk untuk memberantas kemiskinan secara utuh,tetapi setidaknya mengurangi angka kemiskinan. Berbagai cara yang di lakukan oleh pemerintah namun pada kenyataanya kemiskinan masih sangat memperihatinkan. Hingga timbul permasalahan yang diawali dari tahun 2009 mengenai eksploitasi hutan yang diklaim dilakukan oleh PT. TPL dengan warga masyarkat di Kabupaten Humbang Hasundutan Kecamatan Pollung. Pendapatan rata-rata masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhutan pertahun Rp Begitu juga tingkat pendidikan di Desa pandumaan-sipituhuta dimana sebagai pilar pembangunan, pendidikan dua desa tersebut masih sangat minim kontribusi terlihat dari statistik usia pendidikan di Kabupaten Humbang Hasundutan adanya hanya 17%, ini menujukkan angka partisipasi sekolah masih minim dan pendidikan dalam peningkatan sumber daya manusia dan keahlian di masyarakat dua desa tersebut. 6 Begitu pula dari cara proses penyelesaian masalah bahwa taraf pendidikan masyarakat memang masih dibawah keahlian proses pennyelesaian masalah dari perusahaan dan jenjang pendidikan ini yang menyebabkan masyarakat hanya mengandalkan hasil agraria yaitu kemenyan, sehingga masyarakat dengan ekonomi menengah ke atas pun terpaksa tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. 6 diakses 20 April

4 Pada awal Juni 2009 yang lalu, pihak PT. Toba Pulp Lestari bersama para kontraktor melakukan penebangan kayu di atas areal Tombak Hamijon (hutan kemenyan) milik masyarakat adat Desa Pandumaan-Sipituhuta yang terdiri 700 KK masyarakat adat Desa Pandumaan-Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Mereka bukan hanya menebang kayu alam, tetapi juga kemenyan dan menanami areal bekas penebangan tersebut dengan tanaman euclayptus. Mereka juga membuka jalan di areal hutan kemenyan dengan limbah padat PT.TPL sebagai pengganti aspal untuk pengeras jalan. Alasan pihak PT.TPL melakukan penebangan dan mengusahai areal tersebut adalah karena memiliki izin HPH/TI yang diberikan pemerintah dalam hal ini pihak Menteri Kehutanan antara lain: Areal hutan kemenyan seluas kurang lebih 4100 Ha ini, sebenarnya sudah dimiliki dan diusahai masyarakat adat Desa Pandumaan- Sipituhuta secara turun-temurun sejak 300-an tahun yang lalu secara hukum adat yang hidup, ditaati hingga sekarang. Areal ini merupakan identitas dari masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta sebagai masyarakat adat dan merupakan mata pencaharian utama bagi mereka. Dari areal inilah masyarakat dari dua (2) desa tersebut memperoleh sumber kehidupan. Kekecewaan dari dua (2) desa ini adalah kenapa pemerintah memberikan izin penanaman pohon eucalyptus tanpa sosialisasi yang memberitahukan bahwa adanya kegiatan dari PT. TPL yang merusak dan mengganggu hutan kemenyan masyarakat. Sepanjang pengetahuan peneliti yang didapat dari masyarakat dan perusahaan hal sebagaimana dapat diuraikan berdirinya dari PT. TPL merupakan Aktivitas PT. TPL merupakan bukan tindakan pelanggaran hukum perdata maupun pidana dan mendapat perlindungan hukum dari pemerintah daerah. PT. TPL secara otentik memang memiliki surat dari Kementrian kehutanan yang tidak bertentangan hak kepemilikan secara yang disahkan oleh peraturan pemerintah dan undang-undang di UUPA Terhadap masyarakat adat Desa Pandumaan-Sipituhuta, yaitu pemberian izin HPH-TI terhadap PT. TPL atas areal hutan kemenyan Desa Sipituhuta-Pandumaan merupakan pelanggaran hak warga negara yang diakui oleh UUPA No.5 Tahun Pemberian izin HPH-TI kepada PT. TPL atas areal hutan kemenyan bertentangan dengan kebijakan UU NO.41 Tahun 1999 tentang kehutanan, perampasan hak dan penebangan hutan kemenyan mengakibatkan kerusakan lingkungan yang merugikan ekosistem hutan kemenyan. Atas tindakan Pihak PT. TPL ini, masyarakat adat dua desa melakukan penolakan dan protes, melarang dan menghentikan tindakan penebangan yang dilakukan PT. TPL bersama para kontarktornya. Penolakan dan protes warga atas penebangan Hutan Adat warga dari dua (2) desa tersebut menimbulkan reaksi dari pihak aparat Kepolisian Resort (Polres) Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara yaitu melakukan proses hukum (kriminalisasi) beberapa warga, yaitu: James Sinambela, Mausin Lumban Batu, Sartono Lumban Gaol, Medialaham Lumban Gaol. Bukan hanya itu, aparat Polres Humbang Hasundutan juga melakukan tindakan represif, kebrutalan dan tindakan pemaksaan terhadap warga Desa Pandumaan-Sipituhuta, merusak rumah warga, menggeledah secara paksa, menangkap secara paksa yang terjadi 15 Juli Proses hukum terhadap empat (4) warga desa tersebut sampai sekarang belum jelas, meskipun sudah dibebaskan keempat warga tersebut tetap masih sebagai tahanan luar. Proses hukum yang diusahakan beberapa LSM dan Tokoh Agama meminta dihentikan, tetapi pihak kepolisian tidak mengabaikan. Karena dari keempat dituduhkan melakukan pencurian dengan kekerasan, tentang pencurian, tentang pengerusakan di muka umum, tentang pengeruskan barang. Sepanjang pengetahuan dan pengalaman masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta dalam mengelola tanaman kemenyan, bahwa tanaman kemenyan termasuk tanaman endemik yakni hanya dapat tumbuh dengan baik di tempat tertentu di bumi yang salah satunya adalah di daerah Humbang Hasundutan khususnya di Kecamatan Pollung. Tanaman kemenyan juga hanya bisa tumbuh dan menghasilkan dengan baik apabila tumbuh bersama tanaman kayu alam lainnya yang berfungsi sebagai tanaman pelindung, sehingga tanaman kemenyan ini sepatutnya harus dilindungi dari kepunahan. 68

5 Berdasarkan dari data yang peneliti peroleh dari lapangan dan dari hasil wawancara atau diskusi yang dilakukan oleh peneliti kepada masyarakat maupun elemen Kelompok Studi Pengembangan dan Prakarsa Masyarakat, penyebab konflik secara langsung antara lain: (1).Pengerusakan dan penebangan pohon kemenyan yang ada di areal hutan kemenyan; (2).Pengerusakan areal hutan kemenyan dengan membuka jalan-jalan baru oleh PT. TPL sebagai jalan untuk masuk dan keluar dari areal untuk tujuan pengangkutan kayu hasil tebangan; (3).Menanami areal yang sudah ditebang PT. TPL dengan tanaman eucalyptu; (4).Penangkapan dan penahanan atas warga karena telah berupaya melarang aktifitas PT. TPL. Begitu juga data yang diperoleh dari KSPPM dan PT.Toba Pulp Lestari bahwa konflik agraria yang terjadi secara tidak langsung yaitu: (1).SK Menhut No. 493/Kpts-II/1992 tanggal 1 Juni 1992, mendapat perubahan dengan SK Menhut No. 351/Menhut-II/2004 tentang perubahan kedua atas keputusan Menhut No. No. 493/Kpts-II/1992 tentang pemberian HPHTI kepada PY IIU. SK. Menhut ini hanya merubah nama dari PT IIU menjadi PT. TPL dengan luas konsesi Ha; (2).SK Menteri Kehutanan No. 44/Menhut-II/2005 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di wilayah Provinsi Sumatera Utara seluas ± Ha; (3).Surat Dinas Kehutanan dan Pertambangan Kabupaten Humbang Hasundutan, nomor /2075.A/DPK-X/2008 tertanggal 28 Oktober 2008, perihal Pertimbangan Teknis Kepala Dinas Kehutanan dan Pertambangan. Surat Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera, Nomor /0684/IV, tertanggal 29 Januari 2009, perihal Rencana Kerja Tahunan (RKT) PT. Toba Pulp Lestari Penyebab Terjadinya Konflik Agraria Awal terjadinya konflik agraria Juni 2009 yang lalu, pihak PT. Toba Pulp Lestari bersama para kontraktor melakukan penebangan kayu di atas areal Tombak Hamijon (hutan kemenyan) milik masyarakat adat Desa Pandumaan-Sipituhuta yang terdiri 700 KK masyarakat adat Desa Pandumaan- Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Mereka bukan hanya menebang kayu alam, tetapi juga kemenyan dan menanami areal bekas penebangan tersebut dengan tanaman euclayptus. Selain itu juga membuka jalan di areal hutan kemenyan dengan limbah padat PT.TPL sebagai pengganti aspal untuk pengeras jalan. Ada beberapa hal yang merupakan penyebab terjadinya konflik agraria antara lain: Pertama, kegiatan penanaman hutan eucalyptus di hutan kemenyan masyarakat. Atas tindakan Pihak PT. TPL ini, masyarakat adat dua desa melakukan penolakan dan protes, melarang dan menghentikan tindakan penebangan yang dilakukan PT. TPL bersama para kontarktornya. Penolakan dan protes warga atas penebangan Hutan Adat warga dari dua (2) desa tersebut menimbulkan reaksi dari pihak aparat Kepolisian Resort (Polres) Kabupaten Humbang Hasundutan. Tanaman kemenyan termasuk tanaman endemik yakni hanya dapat tumbuh dengan baik di tempat tertentu di bumi yang salah satunya adalah di daerah Humbang Hasundutan khususnya di Kecamatan Pollung. Tanaman kemenyan juga hanya bisa tumbuh dan menghasilkan dengan baik apabila tumbuh bersama tanaman kayu alam lainnya yang berfungsi sebagai tanaman pelindung, sehingga tanaman kemenyan ini sepatutnya harus dilindungi dari kepunahan. Kasus seperti itu pada akhirnya akan membawa masyarakat Desa Pandumaan- Sipituhuta pada posisi yang tidak diuntungkan sebagai korban dalam masalah pembatasan hutan kemenyan. Hadirnya aktifitas PT. TPL yang merusak ekosistem hutan berdampak pada hutan kemenyan yang dimiliki masyarakat hal ini dikarenakan areal hutan produksi milik PT. TPL yang tak jelas batas wilayahnya hingga lahan adat milik Desa Pandumaan-Sipituhuta kembali dilakukan pembabatan. Oleh karena itu pada tahun 2009 aktifitas PT. TPL diminta untuk berhenti oleh masyarakat Desa Pandumaan- Sipituhuta. Adapun harapan yang diinginkan oleh Kepala Desa Pandumaan, dalam wawancara yang dilakukan peneliti yaitu Bapak Budiman Lumban Batu: 69

6 ... Yang dikehendaki dari masyarakat Pandumaan-Sipituhuta adalah Pemerintah harus menghargai dan mengakui bahwa itu sudah beberapa generasi mengusahai bukan aturan atau hak, bahwa adatkan diakui di Indonesia itulah harapan kami. Bahwa pemerintah itu tetap mengakui karena tanah leluhur itu sudah diusahai bukan milik negara, tetapi itu program pemerintah yang katanya harus mensejahterakan masyarakat, tetapi ntah kenapa mengasih selembar kertas ke perusahaan yang artinya hanya itu cuma modal yang diberikan untuk membabat hutan masyarakat, artinya silsilah tadi dan sejarah masyarakat tidak diakui, harapan saya selaku pemerintah desa kepada pemerintah agar mengakui lahan adat desa ini. 7 Perjuangan yang dilakukan masyarakat untuk mempertahankan hutan kemenyan yang telah ada secara turun-temurun dan telah lama ditanam oleh masyarakat Desa Pandumaan- Sipituhuta dari penebangan yang dilakukan oleh PT. Toba Pulp Lestari yaitu dengan meminta dan mendesak kementrian sebagai pihak yang mengeluarkan undang-undang ini untuk meninjau ulang, mencabut dan memberhentikan. Kepada tokoh masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta yaitu Bapak James Sinambela melalui wawancara yang dilakukan peneliti, dimana Bapak James Sinambela yang ikut di dalam memperjuangkan tanah di desa mereka dan salah satu yang ditunjuk oleh warga yang masih memeperjuangkan tanah kelahiran, yang mengatakan bahwa : Perjuangan warga Desa Pandumaan- Sipituhuta yang telah diwariskan dari nenek moyang, merupakan perjuangan yang dilakukan masyarakat bukan untuk memperkaya tetapi untuk memenuhi makan, minum dan menyekolahkan anak. Perjuangan masyarakat terhadang oleh orangorang yang bermodal yang dibela oleh pemerintah bukan kepada masyarakat, sehingga masyarakat mengalami konflik berkepanjangan hingga empat tahun seperti sekarang ini. Karena kepemilikan tanah adat ini tidak ada istilah untuk beli atau diperjualkan untuk keuntungan, karena kami meyakini adanya makna dari pohon kemenyan 8 yang darisitu pemenuhan kebutuhan kami Menurut teori konflik masyarakat disatukan dengan paksaan dengan artian, keteraturan 7 Wawancara dengan Bapak Budiman Lumban Batu (Kepala Desa Pandumaan), tanggal 19 September 2013, Pukul 16:45, di GKPI Pandumaan. 8 Wawancara dengan Bapak James Sinambela (Tokoh Masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta), tanggal 20 September 2013, di Rumahnya. yang terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan. Oleh karena, teori konflik lekat dengan dominasi, koersi dan kekuatan. Berangkat dari kasus konflik agraria yang terjadi di Desa Pandumaan-Sipituhuta di Kabupaten Humbang Hasundutan dimana pihak yang berkonflik yaitu masyarakat dengan perusahaan terjadi dengan adanya kepemilikan secara keturunan terhadap lahan adat masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta dengan perjuangan yang dilakukan. Kedua, lemahnya peran pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan. Peran kebijakan DPRD Humbang Hasundutan dalam proses penyelesaian konflik antara Desa Pandumaan-Sipituhuta dengan PT TPL begitu minim, Pemerintah Daerah Humbang Hasundutan membuat kebijakan dengan membuat Pansus (Panitia Khusus) dengan mendata dan menetapkan pembatasan lahan yang ditujukkan khusus lahan hutan kemenyan yang dirasa masyarakat masih berpihak ke perusahaan. Pansus DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan telah melakukan pemetaan penentuan tapal batas yang hasilnya telah dikirimkan ke Kementerian Kehutanan melalui surat Bupati No. 522/083/DKLH/2012 tanggal 25 Juni 2012, agar wilayah adat ini dikeluarkan dari konsesi PT TPL dan kawasan Hutan Negara sesuai dengan Keputusan DPRD No.14/2012 tentang Rekomendasi Pansus SK 44/Menhut- II/2005. Adapun kegiatan dari peranan DPRD Humbahas mewadahi adanya pertemuan pimpinan musyawarah daerah yang diwakilkan oleh tiap-tiap element yang bersangkutan dalam ikut membawa proses perumusan masalah untuk diketahui akar permasalahannya. membuat musyawarah pimpinan daerah melibatkan para utusan antara masyarakat perusahaan, LSM dan anggota DPRD. Usulan putusan Mahkamah Konstitusi NO.35/PUU/X/2012 yang menyebutkan hutan adat bukan lagi hutan negara, yang akan diformulasikan menjadi rancangan UU perlindungan hak masyarakat adat. Akan tetapi ada peran dari DPRD Humbang yaitu merapatkan hasil dari RUU yang diusulkan oleh masyarakat dengan KSPPM dengan Bakumsu bersama-sama dengan 70

7 anggota DPRD Humbahas dalam pembuatan rancangan peraturan daerah hak-hak masyarakat adat yang disetujui oleh Mahkamah Konstitusi. Kebijakan ini terlahir dari desakan masyarakat yang menuntut agar jalan penyelesaian yang dilakukan tidak lagi mengganggu masyarkat maupun perusahaan. Sebelum memperoleh ijin pengusahaan kehutanan atau perkebunan, suatu kewajiban pemerintah dan pengusaha kehutanan melibatkan masyarakat adat dan masyarakat lainnya yang hidup dalam maupun di sekitar areal konsesi. Kearifan budaya dan adat masyarakat tersebut bisa dilihat dari polapola mereka dalam masalah kepemilikan lahan dan pemanfaatan lahan. Adanya persepsi yang keliru tentang pola penyelesaian konflik oleh masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta, sulitnya proses pembuktian yang disebabkan kompleksitas faktor penyebab konflik itu, masyarakat dituntut untuk menyelesaikan konflik bersama PT. TPL. Langkah Pemerintah Daerah Humbang Hasundutan menyediakan wadah sebagai proses penyelesaian secara adat atau hukum akan bisa tersampaikan. Akantetapi, kekurangan pada masyarakat Desa Pandumaan-sipituhuta dalam hal legalitas dalam menjamin kepastian hukum kepemilikan suatu tanah tidak terdaftar sebagai pemegang tanah. Hal ini memicu masyarakat dengan perusahaan membuat solusi dengan pemetaan. Berikut peneliti meminta tanggapan dari pihak PT.TPL Bapak Simon Sidabukke terkait pengukuran dan penataan batas sebagai berikut : pemerintah, bersama dinas kehutanan, masyarakat dengan PT. TPL kami sudah melakukan (2) dua kali pengukuran tetapi entah kenapa masyarakat masih menolak, sehingga kamipun bingung dengan cara apalagi untuk mencari penyelesaian untuk membatasi kegiatan produksi PT. TPL. Kamipun sudah mengajak duduk bersama untuk menyelesaikan permasalahan, akan tetapi tidak menemukan hasil yang memuaskan menurut masyarakat. 9 Ketiga, solusi penyelesaian masalah. Sengketa pada kondisi masyarakat yang masih sederhana, dimana hubungan kekerabatan dan kelompok masih kuat, maka pilihan institusi untuk menyelesaikan konflik atau sengketa yang terjadi diarahkan kepada institusi yang bersifat kerakyatan (folk institutions), karena institusi penyelesaian konflik atau sengketa yang bersifat tradisional bermakna sebagai institusi penjaga keteraturan dan pengembalian keseimbangan magis dalam masyarakat. Dalam menangani konflik ini pihak PT. TPL mengatakan sudah melakukan yang terbaik, seperti yang diungkapkan Bapak Simon Sidabukke: bentuk usaha yang dilakukan pihak PT. TPL sudah dilakukan dengan menyikapi dengan arif dan bijaksana berdasarkan klaim masyarakat, tentunya hal ini juga bekerjasama dengan pemerintah kabupaten, departemen kehutanan dan pemerintah provinsi. Terhadap konflik yang terjadi, PT. TPL mensinkronkan kepentingan masyarakat, kepentingan perusahaan dan kepentingan pemerintah bagaimana ini berjalan dengan balance agar tidak ada pihak yang dirugikan dan katakanlah tidak ada pihak yang diuntungkan. Perusahaan juga berperan aktif bagaimana langkah perusahaan untuk pendekatan kepada masyarakat, pemerintah kabupaten dan pusat. Pada saat ini arahan dari dirjen bina usaha kehutan kalau perusahaan bermitra dengan masyarakat. 10 Tawaran bermitra PT. TPL dengan masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta merupakan cara yang terbaik untuk menyelesaikan permasalah daerah tapal batas. Karena hal itu, sudah sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku dalam bermitra, yaitu pihak dari masyarakat Desa Pandumaa- Sipituhuta sebagai objek mitra untuk melakukan kembali penanaman 7000 bibit kemenyan. Tawaran bermitra tersebut disampaikan di Jakarta bulan Agustus 2013, hal itu ditolak oleh perwakilan warga. Penyelesaian yang terjadi bersifat kerakyatan yang dijelaskan terbukti pada kamis, 6 Agustus 2009 masyarakat dua Desa melakukan pertemuan MUSPIDA dengan pihak warga Desa Pandumaan-Sipituhuta untuk membahas yaitu mendata secara kasar 9 Wawancara dengan Bapak Simon Sidabukke (Manager 4L PT. TPL) Tanggal 7 Januari 2014, Pukul 11:00, Di PT. TPL Porsea. 10 Wawancara dengan Bapak Simon Sidabukke (Manager 4L PT. TPL) Tanggal 7 Januari 2014, Pukul 11:00, di PT. TPL Porsea. 71

8 siapa saja pemilik hutan kemenyan, mengumpulkan dampak penebangan penebangan yang dilakukan PT. TPL terhadap warga, melihat batas-batas hutan kemenyan dan pembuatan peta lokasi serta terakhir mengetahui keinginan atau tuntutan masyarakat terhadap penyelesaian konflik. Masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta tidak setuju pendataan karena secara adat dimiliki oleh warga Pandumaan dan warga Sipituhuta. Melihat batas batas hutan kemenyan untuk sebagai bukti kepemilikan masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta peneliti mewawancarai Bapak James Sinambela mengenai pembatasan dan pengukuran lahan hutan kemenyan: batas-batas lahan yang sudah dilakukan masyarakat dan peta lokasi yang sesuai kami ketahui ialah meliputi hutan alam yang menutupi hutan kemenyan dan kami memasangi dengan GPS, TPL harus keluar dan menghentikan kegiatan dari penebangan hutan kemenyan kami. TPL juga sudah melakukan 2 (dua) kali pengukuran lahan batas hutan produksi, tetapi kami menolak karena pembatasan lahan hutan kemenyan masyarakat memang tidak kena, tetapi mengenai hutan alam yang berdampak padahutan kemenyan. Sebab itu kami menolak hasil pemetaan PT. TPL. 11 Adanya rancangan UU/peraturan daerah yang diharapkan akan menjadi penyelesaian kepada masyarakat Desa Pandumaan- Sipituhuta, agar terlihat jelas batas pemisahan lahan adat kemenyan Desa Pandumaan-Sipituhuta dengan PT. Toba Pulp Lestari. Hal ini, juga membantu perkembangan nasib lahan adat yang ada di daerah Kabupaten Humbang Hasundutan. Pada saat ini masih diformulasikan untuk menjadi undang-undang yang akan di sahkan oleh DPRD Humbang Hasundutan. Hingga peneliti melakukan wawancara dengan Ibu Suryati Simanjuntak untuk penyelesaian yang diharapkan akhir permasalahan, yaitu: Pada saat ini masyarakat menunggu rancangan undang-undang untuk memberikan pengakuan lahan adat di berikan kepada masyarakat bukan lagi menjadi kewenangan pemerintah, bersama-sama BAKUMSU dan KSPPM merancang undang-undang tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Hal ini tinggal menunggu rapat persetujuan 11 Wawancara dengan Bapak James Sinambela (Tokoh Masyarakat Desa Pandumaan-Sipituhuta), tanggal 20 September 2013, di Rumahnya. dari pihak DPRD Humbang Hasundutan. adapun dua (2) kali cara penyelesaian yang dibuat oleh Dinas Kehutanan Humbang Hasundutan, masyarakat desa Pandumaan-Spituhuta dan PT. TPL dengan penataan tapal batas hutan kemenyan dengan hutan produksi milik PT. TPL tetapi masyarakat menolak hasil penataan tapal batas. 12 Hal ini menunjukkan bahwa penyelesaian konflik tersebut masih mengalami persoalan dalam menentukan solusi permasalahannya. Penutup Konflik pertanahan merupakan masalah terbesar yang terjadi di Sumatera Utara. Dalam kasus di Desa Pandumaan-Sipituhuta kasus pertanahan terjadi karena tapal batas yang tak jelas hingga sekarang. Terdapat tiga hal penting yang menjadi penyebab utama konflik agraria di Desa Pandumaan-Sipituhuta. Penyebab tersebut antara lain: kegiatan penanaman hutan eucalyptus di hutan kemenyan masyarakat; lemahnya peran pemerintah kabupaten Humbang Hasundutan; dan, solusi penyelesaian masalah yang belum tercapai. Daftar Pustaka Mukti, Affan Pembahasan Undang- Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun USU Press. Medan. Sumardjono, Maria S.W., 2005, Kebijakan Pertanahan, Antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta: Kompas Simanjuntak, Suryati Kronologis Kasus Warga Pandumaan-Sipituhuta VS TPL: Penyelesaian Sengketa Berkepanjangan, Warga Bentrok dengan TPL dan Aparat diakses pada situs, diakses pada tanggal 5 Juni Wiradi, Gunawan. 2000, Reforma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir, Yogjakarta: KPA & Pustaka Pelajar Insist Press. Wawancara dengan Bapak Budiman Lumban Batu (Kepala Desa Pandumaan), tanggal 19 September 2013, Pukul 16:45, di GKPI Pandumaan. Wawancara dengan Bapak James Sinambela (Tokoh Masyarakat Desa Pandumaan- 12 Wawancara dengan Ibu Suryati Simajuntak (Sekretaris Eksekutif KSPPM) 12 November 2013, di KSPPM Parapat 72

9 Sipituhuta), tanggal 20 September 2013, di Rumahnya. Wawancara dengan Ibu Suryati Simajuntak (Sekretaris Eksekutif KSPPM), tanggal 12 November 2013, pukul di KSPPM Parapat. Wawancara dengan Bapak Simon Sidabukke (Manager 4L PT. TPL) Tanggal 7 Januari 2014, Pukul 11:00, di PT. TPL Porsea. 73

Memastikan Status Tanah Adat dan Hutan Adat di Tanah Batak

Memastikan Status Tanah Adat dan Hutan Adat di Tanah Batak Memastikan Status Tanah Adat dan Hutan Adat di Tanah Batak Ilustrasi oleh Moh Dzikri Hendika Sangat menarik mencermati seruan para perantau (orang Batak yang tinggal di luar Tanah Batak) yang mengajak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang 18 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang pembangunan ekonomi nasional. Hak Pengusahaan Hutan (HPH) menjadi sistem yang dominan dalam

Lebih terperinci

INTERVIEW GUIDE. Universitas Sumatera Utara

INTERVIEW GUIDE. Universitas Sumatera Utara INTERVIEW GUIDE Data Informan Nama : Usia : Alamat: Pekerjaan: Status: 1. Kepala desa : - Lokasi hutan kemenyan ( peta) - Data kependudukan - Profil desa Pandumaan 2. Petani kemenyan - Profil informan

Lebih terperinci

DEPARTEMEN ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN KONFLIK AGRARIA (STUDI KASUS: KONFLIK PERTANAHAN ANTARA PERUSAHAAN TOBA PULP LESTARI DENGAN MASYARAKAT DESA PANDUMAAN- SIPITUHUTA DALAM PEMBATASAN LAHAN HUTAN ADAT DI KECAMATAN POLLUNG, HUMBAHAS) FREDY

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki dimensi ekonomi, sosial, kultural, politik dan ekologis.

BAB I PENDAHULUAN. memiliki dimensi ekonomi, sosial, kultural, politik dan ekologis. BAB I PENDAHULUAN Tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada umat manusia di muka bumi. Tanah menjadi kebutuhan dasar manusia sejak lahir sampai meninggal dunia, manusia membutuhkan tanah untuk tempat

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI RUU TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA Tahun Sidang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat

BAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat BAB IV ANALISIS A. Perbedaan Antara Masyarakat dan Masyarakat Adat Penyebutan masyarakat dapat ditemukan dalam berbagai peraturan. Masyarakat yang dimaksud tersebut bukan berarti menunjuk pada kerumunan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah pengelolaan hutan di Indonesia selama ini diwarnai dengan ketidakadilan distribusi manfaat hutan terhadap masyarakat lokal. Pengelolaan hutan sejak jaman kolonial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mereka pergi. Dalam sejarah peradaban umat manusia, tanah merupakan faktor

BAB I PENDAHULUAN. mereka pergi. Dalam sejarah peradaban umat manusia, tanah merupakan faktor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah adalah karunia dari Tuhan yang Maha Esa kepada umat manusia dimuka bumi. Tanah menjadi kebutuhan dasar manusia. Sejak lahir sampai meninggal dunia, manusia membutuhkan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2001 NOMOR 79 SERI C NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 48 TAHUN 2001

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2001 NOMOR 79 SERI C NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 48 TAHUN 2001 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2001 NOMOR 79 SERI C NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 48 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN PRODUKSI

Lebih terperinci

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Konflik di Provinsi Riau meningkat seiring dengan keluarnya beberapa izin perkebunan, dan diduga disebabkan oleh lima faktor yang saling terkait, yakni pertumbuhan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KEMASYARAKATAN (IUPHHKM) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerja dan pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri. 1 Oleh karena itu, pencaharian bertani dan berkebun, 2

BAB I PENDAHULUAN. kerja dan pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri. 1 Oleh karena itu, pencaharian bertani dan berkebun, 2 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bidang perkebunan merupakan salah satu bidang yang termasuk ke dalam sumber daya alam di Indonesia yang memiliki peranan strategis dan berkontribusi besar

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 138/PUU-XIII/2015 Penggunaan Tanah Hak Ulayat untuk Usaha Perkebunan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 138/PUU-XIII/2015 Penggunaan Tanah Hak Ulayat untuk Usaha Perkebunan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 138/PUU-XIII/2015 Penggunaan Tanah Hak Ulayat untuk Usaha Perkebunan I. PEMOHON 1. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS); 2. Perkumpulan Sawit Watch; 3. Aliansi Petani Indonesia

Lebih terperinci

Strategi rehabilitasi hutan terdegradasi

Strategi rehabilitasi hutan terdegradasi Strategi rehabilitasi hutan terdegradasi Kajian sistem pengelolaan dan rehabilitasi IUPHHK restorasi ekosistem Kajian Sistem Pengelolaan dan Rehabilitasi IUPHHK Restorasi Ekosistem Strategi Rehabilitasi

Lebih terperinci

Bank selaku penyedia jasa keuangan memiliki

Bank selaku penyedia jasa keuangan memiliki Peran Perbankan Terhadap Ekspansi Industri dan Hutan Tanaman Industri PT Toba Pulp Lestari yang Menyebabkan Terjadinya Perusakan Lingkungan dan Maraknya Konflik Oleh: Muhamad Kosar (FWI) Bank selaku penyedia

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK. 101/Menhut-II/2006 TENTANG PEMBAHARUAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN PT. MITRA HUTANI JAYA ATAS

Lebih terperinci

Tentang Hutan Kemasyarakatan. MEMUTUSKAN PEDOMAN PENGARUSUTAMAAN KEMISKINAN DALAM PELAKSANAAN HUTAN KEMASYARAKATAN BAB I KETENTUAN UMUM.

Tentang Hutan Kemasyarakatan. MEMUTUSKAN PEDOMAN PENGARUSUTAMAAN KEMISKINAN DALAM PELAKSANAAN HUTAN KEMASYARAKATAN BAB I KETENTUAN UMUM. PERATURAN BUPATI KABUPATEN SIKKA NOMOR TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGARUSUTAMAAN KEMISKINAN DALAM PELAKSANAAN HUTAN KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIKKA, Menimbang Mengingat :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bumi, air, ruang angkasa dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

BAB I PENDAHULUAN. Bumi, air, ruang angkasa dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bumi, air, ruang angkasa dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MUSYAWARAH DEWAN PERSEKUTUAN MASYARAKAT ADAT ARSO JAYAPURA NOMOR : 03/KPTS DPMAA/DJ/94 TENTANG

KEPUTUSAN MUSYAWARAH DEWAN PERSEKUTUAN MASYARAKAT ADAT ARSO JAYAPURA NOMOR : 03/KPTS DPMAA/DJ/94 TENTANG KEPUTUSAN MUSYAWARAH DEWAN PERSEKUTUAN MASYARAKAT ADAT ARSO JAYAPURA NOMOR : 03/KPTS DPMAA/DJ/94 TENTANG PEMBANGUNAN, HAK MASYARAKAT DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP MUSYAWARAH PERSEKUTUAN MASYARAKAT ADAT

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK YANG DIRUGIKAN ATAS BERALIHNYA LAHAN HAK GUNA USAHA UNTUK PERKEBUNAN MENJADI WILAYAH PERTAMBANGAN.

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK YANG DIRUGIKAN ATAS BERALIHNYA LAHAN HAK GUNA USAHA UNTUK PERKEBUNAN MENJADI WILAYAH PERTAMBANGAN. Al Ulum Vol.53 No.3 Juli 2012 halaman 30-34 30 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK YANG DIRUGIKAN ATAS BERALIHNYA LAHAN HAK GUNA USAHA UNTUK PERKEBUNAN MENJADI WILAYAH PERTAMBANGAN Noor Azizah* PENDAHULUAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan di Jambi telah menjadi suatu fenomena yang terjadi setiap tahun, baik dalam cakupan luasan yang besar maupun kecil. Kejadian kebakaran tersebut tersebar dan melanda

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG Menimbang : a. bahwa dalam penjelasan pasal 11 ayat (1)

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1969 TENTANG TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1967 TENTANG KETENTUAN- KETENTUAN POKOK PERTAMBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

Bab V Kesimpulan Dan Saran. kabupaten Maluku Tenggara Barat provinsi Maluku. Ijin pengelolaan disahkan

Bab V Kesimpulan Dan Saran. kabupaten Maluku Tenggara Barat provinsi Maluku. Ijin pengelolaan disahkan Bab V Kesimpulan Dan Saran A. Kesimpulan PT Karya Jaya Berdikari merupakan salah satu perusahaan representasi negara untuk mengelola sumber daya hutan model HPH (Hak Pengusahaan Hutan) di kabupaten Maluku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang penting bagi kelangsungan hidup manusia. Agraria merupakan sumber

BAB I PENDAHULUAN. yang penting bagi kelangsungan hidup manusia. Agraria merupakan sumber BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Agraria sebagai sumberdaya alam yang dikaruniakan Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia sebagai kekayaan nasional merupakan sarana dalam meyelenggaraakan seluruh

Lebih terperinci

PERSPEKTIF PEMERINTAH ATAS HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

PERSPEKTIF PEMERINTAH ATAS HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT HUKUM ADAT PERSPEKTIF PEMERINTAH ATAS HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DR. Wahiduddin Adams, SH., MA ** Pembentukkan Negara Kesatuan Republik Indonesia berawal dari bersatunya komunitas adat yang ada di seluruh

Lebih terperinci

Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Disampaikan pada acara : Rapat Monitoring dan Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Jakarta, 22

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA LAPORAN SINGKAT RAPAT PANJA BADAN LEGISLASI DPR RI DALAM RANGKA PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI RUU TENTANG PERTANAHAN Tahun Sidang Masa

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang : a. bahwa hutan dan lahan merupakan sumberdaya

Lebih terperinci

BUPATI KONAWE UTARA PROVINSI SULAWESI TENGGARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE UTARA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LOKASI

BUPATI KONAWE UTARA PROVINSI SULAWESI TENGGARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE UTARA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LOKASI BUPATI KONAWE UTARA PROVINSI SULAWESI TENGGARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KONAWE UTARA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG IZIN LOKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KONAWE UTARA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAKPAK BHARAT,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAKPAK BHARAT, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAKPAK BHARAT, Menimbang : a. bahwa penggalian kekayaan alam di hutan secara

Lebih terperinci

8 KESIMPULAN DAN SARAN

8 KESIMPULAN DAN SARAN 8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Dalam konteks kelembagaan pengelolaan hutan, sistem pengelolaan hutan bukan hanya merupakan representasi keberadaan lembaga regulasi negara, melainkan masyarakat

Lebih terperinci

Menimbang : Mengingat :

Menimbang : Mengingat : Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa hutan produksi di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konteks Indonesia, salah satu isu yang menarik untuk dibicarakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konteks Indonesia, salah satu isu yang menarik untuk dibicarakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam konteks Indonesia, salah satu isu yang menarik untuk dibicarakan adalah mengenai pengakuan dan perlindungan hukum terhadap hak hak masyarakat hukum adat

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 82/KPTS-II/2001 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 82/KPTS-II/2001 TENTANG MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 82/KPTS-II/2001 TENTANG PEMBERIAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN KAYU PERTUKANGAN KEPADA PT. SUMATERA SYLVA LESTARI ATAS AREAL HUTAN

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SELAYAR NOMOR 03 TAHUN 2007 TENTANG PENJUALAN, PEMILIKAN DAN PENGGUNAAN GERGAJI RANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SELAYAR NOMOR 03 TAHUN 2007 TENTANG PENJUALAN, PEMILIKAN DAN PENGGUNAAN GERGAJI RANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SELAYAR NOMOR 03 TAHUN 2007 TENTANG PENJUALAN, PEMILIKAN DAN PENGGUNAAN GERGAJI RANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SELAYAR, Menimbang : a. bahwa untuk melindungi

Lebih terperinci

ANALISIS DAN REKOMENDASI SUMBER-SUMBER PENERIMAAN DAERAH DARI BAGI HASIL SUB SEKTOR PERKEBUNAN

ANALISIS DAN REKOMENDASI SUMBER-SUMBER PENERIMAAN DAERAH DARI BAGI HASIL SUB SEKTOR PERKEBUNAN Karya Tulis ANALISIS DAN REKOMENDASI SUMBER-SUMBER PENERIMAAN DAERAH DARI BAGI HASIL SUB SEKTOR PERKEBUNAN Murbanto Sinaga DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2006

Lebih terperinci

BUPATI KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PENETAPAN KAWASAN, HEMAQ BENIUNG, HUTAN ADAT KEKAU DAN HEMAQ PASOQ SEBAGAI HUTAN ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.169/MENHUT-II/2005 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.169/MENHUT-II/2005 TENTANG MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.169/MENHUT-II/2005 TENTANG PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU (IUPHHK) PADA HUTAN TANAMAN KEPADA PT. KELAWIT WANALESTARI

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Sejarah lahan tanah jaluran di Sumatera Timur bermula dari kedatangan onderneming swasta yang dimulai oleh J. Nienhuys yang mampu menghasilkan 50 bal tembakau dan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI, PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanah terdapat hubungan yang erat. Hubungan tersebut dikarenakan. pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Berdasarkan prinsip

BAB I PENDAHULUAN. tanah terdapat hubungan yang erat. Hubungan tersebut dikarenakan. pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Berdasarkan prinsip BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Tanah merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan suatu masyarakat. Hukum alam telah menentukan bahwa keadaan tanah yang statis menjadi tempat tumpuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Tanah adalah elemen sangat penting bagi kehidupan masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai Negara agraris karena sebagian besar penduduknya adalah petani yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan sumber agraria yang memiliki makna ekonomis serta

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan sumber agraria yang memiliki makna ekonomis serta 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah merupakan sumber agraria yang memiliki makna ekonomis serta memiliki nilai sosio-kultural dan pertahanan keamanan. Secara ekonomi tanah merupakan aset (faktor)

Lebih terperinci

EKSPANSI PERKEBUNAN KAYU YANG MENGHILANGKAN HUTAN ALAM DAN MENIMBULKAN KONFLIK SOSIAL (Studi Kasus Provinsi Sumatera Utara dan Riau) PRESS BRIEFING

EKSPANSI PERKEBUNAN KAYU YANG MENGHILANGKAN HUTAN ALAM DAN MENIMBULKAN KONFLIK SOSIAL (Studi Kasus Provinsi Sumatera Utara dan Riau) PRESS BRIEFING EKSPANSI PERKEBUNAN KAYU YANG MENGHILANGKAN HUTAN ALAM DAN MENIMBULKAN KONFLIK SOSIAL (Studi Kasus Provinsi Sumatera Utara dan Riau) PRESS BRIEFING PENDAHULUAN Masih terjadinya deforestasi di dalam area

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria, pada Pasal 19 dinyatakan bahwa untuk menciptakan kepastian hukum pertanahan,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN 1 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAROS Menimbang : a. bahwa guna meningkatkan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

PEMERINTAH KABUPATEN POSO PEMERINTAH KABUPATEN POSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN POSO NOMOR : 8 TAHUN 2006 TENTANG DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN DANAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI POSO, Menimbang : a. bahwa daerah aliran sungai

Lebih terperinci

LUAS KAWASAN (ha)

LUAS KAWASAN (ha) 1 2 3 Berdasarkan Revisi Pola Ruang Substansi Kehutanan sesuai amanat UU No 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang mengalami perubahan yang telah disetujui Menteri Kehutanan melalui Keputusan No. 936/Kpts-II/2013

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 11 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BARITO UTARA, Menimbang : a. bahwa semangat penyelenggaraan

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 34 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN LOKASI DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 34 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN LOKASI DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 34 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN IZIN LOKASI DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang : a. bahwa sejalan dengan dinamika pembangunan,

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG IZIN LOKASI

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG IZIN LOKASI BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG IZIN LOKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

REFORMA AGRARIA DAN REFLEKSI HAM

REFORMA AGRARIA DAN REFLEKSI HAM BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA REFORMA AGRARIA DAN REFLEKSI HAM GUNAWAN SASMITA DIREKTUR LANDREFORM ALIANSI PETANI INDONESIA JAKARTA 10 DESEMBER 2007 LANDASAN FILOSOFI TANAH KARUNIA TUHAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 201/KPTS-II/1998. Tentang

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 201/KPTS-II/1998. Tentang MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 201/KPTS-II/1998 Tentang PEMBERIAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DENGAN SISTEM TEBANG PILIH DAN TANAM JALUR KEPADA ATAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ayat (2) UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. ayat (2) UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 244/KPTS-II/2000 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 244/KPTS-II/2000 TENTANG MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 244/KPTS-II/2000 TENTANG PEMBERIAN HAK PENGUSAHAAN HUTAN TANAMAN KEPADA PT. SATRIA PERKASA AGUNG ATAS AREAL HUTAN SELUAS ± 76.017

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanah dapat menimbulkan persengketaan yang dahsyat karena manusia-manusia

BAB I PENDAHULUAN. tanah dapat menimbulkan persengketaan yang dahsyat karena manusia-manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pentingnya arti tanah bagi kehidupan manusia ialah karena kehidupan manusia itu sama sekali tidak dapat di pisahkan dari tanah. Mereka hidup di atas tanah dan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA IZIN PEMANFAATAN HASIL HUTAN PADA TANAH MILIK DAN KEBUN RAKYAT

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA IZIN PEMANFAATAN HASIL HUTAN PADA TANAH MILIK DAN KEBUN RAKYAT SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 9 TAHUN 2003 TENTANG IZIN PEMANFAATAN HASIL HUTAN PADA TANAH MILIK DAN KEBUN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 365/Kpts-II/2003 TENTANG PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU (IUPHHK) PADA HUTAN TANAMAN KEPADA PT. BUKIT BATU HUTANI

Lebih terperinci

Standard Operating Procedure

Standard Operating Procedure Halaman : 1 of 7 01. TUJUAN Sebagai pedoman dalam pelaksanaan FPIC/Padiatapa (Pesertujuan di Awal Tampa Paksaan) sebagai penghormatan hak-hak masyarakat atas tanah/hutan adatnya. 02. RUANG LINGKUP Prosedur

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U AN

BAB I P E N D A H U L U AN BAB I P E N D A H U L U AN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kebutuhan rumah tempat tinggal atau hunian di daerah perkotaan semakin meningkat dan dirasakan kurang, mengingat jumlah perumahan yang tersedia tidak

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK KEGIATAN PERTAMBANGAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN NUNUKAN NOMOR 04 TAHUN 2004 TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT LUNDAYEH KABUPATEN NUNUKAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN NUNUKAN NOMOR 04 TAHUN 2004 TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT LUNDAYEH KABUPATEN NUNUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN NUNUKAN NOMOR 04 TAHUN 2004 TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT LUNDAYEH KABUPATEN NUNUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NUNUKAN, Menimbang : a. bahwa Masyarakat

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 95/PUU-XII/2014 Penunjukan Kawasan Hutan Oleh Pemerintah

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 95/PUU-XII/2014 Penunjukan Kawasan Hutan Oleh Pemerintah RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 95/PUU-XII/2014 Penunjukan Kawasan Hutan Oleh Pemerintah I. PEMOHON 1. Masyarakat Hukum Adat Nagari Guguk Malalo, sebagai Pemohon I; 2. Edi Kuswanto, sebagai Pemohon

Lebih terperinci

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PENGATURAN DAN TATA CARA PENETAPAN

Lebih terperinci

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 11 No. 1, April 2014 : 54-70 masyarakat, pemegang ijin, perkebunan (sawit/karet dan lain-lain). Hal ini terjadi sudah cukup lama, diawali dengan masyarakat transmigrasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alam baik itu berupa sumber daya tanah, air, udara dan sumber daya alam lainnya

BAB I PENDAHULUAN. alam baik itu berupa sumber daya tanah, air, udara dan sumber daya alam lainnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memerlukan sumber daya alam baik itu berupa sumber daya tanah, air, udara dan sumber daya alam lainnya yang termasuk ke dalam

Lebih terperinci

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo Hutan Kemasyarakatan (HKm) menjadi salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan untuk menekan laju deforestasi di Indonesia dengan

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DAN HUTAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

KEPUTUSAN BUPATI KUTAI BARAT NOMOR: 08 TAHUN 2002 T E N T A N G

KEPUTUSAN BUPATI KUTAI BARAT NOMOR: 08 TAHUN 2002 T E N T A N G KEPUTUSAN BUPATI KUTAI BARAT NOMOR: 08 TAHUN 2002 T E N T A N G TATA CARA PEMBERIAN IZIN PEMUNGUTAN DAN PEMANFAATAN KAYU LIMBAH PADA HUTAN RAKYAT/HUTAN MILIK/TANAH MILIK, AREAL TAMBANG, HTI, PERKEBUNAN

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA. 4. Undang-Undang.../2

GUBERNUR PAPUA. 4. Undang-Undang.../2 GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMANFAATAN KAYU LIMBAH PEMBALAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA, Menimbang : a. bahwa sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendefinisikan hutan sebagai sekumpulan pohon-pohon atau tumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. mendefinisikan hutan sebagai sekumpulan pohon-pohon atau tumbuhan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Hutan merupakan lahan yang di dalamnya terdiri dari berbagai tumbuhan yang membentuk suatu ekosistem dan saling ketergantungan. Spurr mendefinisikan hutan sebagai

Lebih terperinci

PROYEKSI PERKEMBANGAN PERHUTANAN SOSIAL DI SUMATERA SELATAN

PROYEKSI PERKEMBANGAN PERHUTANAN SOSIAL DI SUMATERA SELATAN KERTAS KEBIJAKAN PROYEKSI PERKEMBANGAN PERHUTANAN SOSIAL DI SUMATERA SELATAN Perhutanan Sosial yang menjadi salah satu agenda RPJMN diharapkan dapat menjawab beberapa permasalahan nasional yang juga terjadi

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH SALINAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 41 TAHUN 2014 T E N T A N G PENGELOLAAN KAWASAN BERNILAI KONSERVASI TINGGI DALAM USAHA PERKEBUNAN DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

Lebih terperinci

I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam baik hayati maupun non-hayati sangat besar peranannya bagi kelangsungan hidup manusia. Alam memang disediakan untuk memenuhi kebutuhan manusia di bumi,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.293 / MENHUT-II / 2007 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.293 / MENHUT-II / 2007 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.293 / MENHUT-II / 2007 TENTANG PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU RESTORASI EKOSISTEM DALAM HUTAN ALAM KEPADA PT. RESTORASI EKOSISTEM INDONESIA ATAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

I. PENDAHULUAN. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan

Lebih terperinci

Yang Mulia Ketua dan Hakim Anggota Mahkamah Konstitusi ; Para Pemohon dan Termohon serta hadirin persidangan yang saya hormati.

Yang Mulia Ketua dan Hakim Anggota Mahkamah Konstitusi ; Para Pemohon dan Termohon serta hadirin persidangan yang saya hormati. Para Pemohon dan Termohon serta hadirin persidangan yang saya hormati. Pada kesempatan ini saya menyampaikan ucapan terima kasih karena diberikan ruang dan waktu untuk menyampaikan faktafakta yang saya

Lebih terperinci

Moratorium gambut diabaikan, dua kebun sawit grup Panca Eka menebangi hutan alam di Semenanjung Kampar, Riau

Moratorium gambut diabaikan, dua kebun sawit grup Panca Eka menebangi hutan alam di Semenanjung Kampar, Riau Moratorium gambut diabaikan, dua kebun sawit grup Panca Eka menebangi hutan alam di Semenanjung Kampar, Riau Laporan Investigatif Eyes on the Forest Januari 2016 Eyes on the Forest (EoF) adalah koalisi

Lebih terperinci

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar Ketua : Marfuatul Latifah, S.H.I, L.LM Wakil Ketua : Sulasi Rongiyati, S.H., M.H. Sekretaris : Trias

Lebih terperinci

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG MASYARAKAT ADAT

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG MASYARAKAT ADAT PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG MASYARAKAT ADAT I. Pendahuluan Badan Legislasi telah menerima surat tertanggal 27 Juli 2017 perihal usulan Rancangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyejahterakan masyarakatnya, salah satu dari kekayaan yang dimiliki

I. PENDAHULUAN. menyejahterakan masyarakatnya, salah satu dari kekayaan yang dimiliki I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kaya, menyimpan banyak kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kekayaan tersebut diharapkan dapat menyejahterakan masyarakatnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan akan mengalami perkembangan. Adanya laba yang maksimal. produksi. Biaya produksi merupakan biaya yang dikeluarkan suatu

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan akan mengalami perkembangan. Adanya laba yang maksimal. produksi. Biaya produksi merupakan biaya yang dikeluarkan suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perusahaan industri merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan bahan baku untuk menghasilkan suatu produk. Biaya dalam perusahaan industri dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelompok atau beberapa kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk

BAB I PENDAHULUAN. kelompok atau beberapa kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Menurut Pudyatmoko (2009:1) negara merupakan organisasi tertinggi di antara satu kelompok atau beberapa kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. buminya yang melimpah ruah serta luasnya wilayah negara ini. Kekayaan

I. PENDAHULUAN. buminya yang melimpah ruah serta luasnya wilayah negara ini. Kekayaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alamnya, hasil buminya yang melimpah ruah serta luasnya wilayah negara ini. Kekayaan alam yang dimiliki

Lebih terperinci

PEMETAAN POLA SENGKETA TANAH PERKEBUNAN DI KABUPATEN JEMBER

PEMETAAN POLA SENGKETA TANAH PERKEBUNAN DI KABUPATEN JEMBER ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY LAPORAN PENELITIAN DOSEN PEMULA PEMETAAN POLA SENGKETA TANAH PERKEBUNAN DI KABUPATEN JEMBER Warah Atikah, SH., M.Hum. NIDN. 0025037306 Di danai oleh: DIPA Universitas Jember

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 8 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERDAYAAN PELESTARIAN, PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN KEDAMANGAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 8 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERDAYAAN PELESTARIAN, PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN KEDAMANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 8 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERDAYAAN PELESTARIAN, PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN KEDAMANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN BARAT

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR 51 TAHUN 2001 TENTANG IJIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia

MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia www.greenomics.org MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia 5 Desember 2011 HPH PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa -- yang beroperasi di Provinsi Riau -- melakukan land-clearing hutan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA, Menimbang : a. bahwa hutan disamping

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi masyarakat. Padahal, tanah dari dulu hingga sekarang tidak

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi masyarakat. Padahal, tanah dari dulu hingga sekarang tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejak zaman dahulu hingga era industri sekarang ini, tanah mempunyai peran vital dalam menunjang kehidupan manusia dan produktivitasnya. Dari waktu ke waktu

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 8 TAHUN 2009 SERI : E NOMOR : 2

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 8 TAHUN 2009 SERI : E NOMOR : 2 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR : 8 TAHUN 2009 SERI : E NOMOR : 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG KERJASAMA PEMERINTAH KABUPATEN KEBUMEN DENGAN BADAN USAHA DALAM PENYEDIAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. digunakan untuk pemenuhan berbagai kebutuhan dasar manusia seperti untuk

BAB I PENDAHULAN. digunakan untuk pemenuhan berbagai kebutuhan dasar manusia seperti untuk BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Tanah memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Tanah dapat digunakan untuk pemenuhan berbagai kebutuhan dasar manusia seperti untuk sandang, pangan dan

Lebih terperinci