Memastikan Status Tanah Adat dan Hutan Adat di Tanah Batak
|
|
- Surya Lesmana
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 Memastikan Status Tanah Adat dan Hutan Adat di Tanah Batak Ilustrasi oleh Moh Dzikri Hendika Sangat menarik mencermati seruan para perantau (orang Batak yang tinggal di luar Tanah Batak) yang mengajak (baca: mengingatkan) masyarakat Batak yang tinggal di bona pasogit (kampung halaman) agar tidak menjual tanahnya, dan agar sebaiknya menyewakan saja. Seruan ini diposting di facebook oleh para perantau dari Jogjakarta, menyusul kemudian dari Jakarta. Ada penegasan dari seruan ini, bagaimana agar masyarakat Batak yang tinggal di kampung tidak ragu dan tidak perlu takut. Alasannya cukup meyakinkan bahwa masyarakat (adat) Batak sudah lebih dulu ada di daerah ini, jauh sebelum negara yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ada.
2 Seruan ini muncul sebagai respons atas adanya rencana pembangunan parawisata di Kawasan Danau Toba, yang tentunya akan membutuhkan tanah dalam jumlah besar. Baik untuk pembangunan infrastruktur jalan, bandara, pelabuhan, dan infrastruktur lainnya. Juga disebut-sebut untuk pembangunan hotel-resort, dan untuk perkantoran Badan yang dibentuk pemerintah pusat yang nantinya akan bertugas untuk mengelola pembangunan di Kawasan Danau Toba. Kepada Badan ini, untuk tahap awal akan diserahkan hak pengelolaan tanah seluas 500 hektar. Tentang rencana pembangunan ini dapat kita lihat di Perpres No.81 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya dan Perpres No.49/2016 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Parawisata Danau Toba, yang ditandatangani Presiden Jokowi, 1 Juni 2016 yang lalu. Patut diapresiasi munculnya kepedulian sebesar ini dari para perantau terhadap kampung halaman. Meski kemudian muncul tanya dan kegelisahan: masih adakah tanah-tanah adat yang dimiliki masyarakat Batak saat ini? Lantas tanah adat yang mana yang dimaksud dalam seruan tersebut agar tidak dijual dan agar sebaiknya disewakan saja? Tanda tanya dan kegelisahan ini tentunya bukan tanpa alasan. Mengingat selama ini, sangat sulit menyelesaikan konflikkonflik pertanahan yang muncul sebagai akibat kehadiran pembangunan dan investor-industri di Tanah Batak. Hal ini tentunya berdasarkan pengalaman kami di Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), selama 32 tahun dalam mengadvokasi kasus-kasus pertanahan di Tanah Batak. Salah satu kasus (konflik) yang sangat mengemuka dalam tujuh tahun terakhir ini dan masih berlangsung hingga saat ini adalah Konflik Pandumaan-Sipituhuta vs PT Toba Pulp Lestari. Di mana tombak haminjon (hutan kemenyan-hutan adat) masyarakat adat dua desa yang berada di Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, diklaim oleh pihak perusahaan pulp yang bernama PT Toba Pulp Lestari (TPL) sebagai areal konsesinya. Padahal, masyarakat adat dua desa ini sudah mengusahai
3 (memiliki) hutan adat tersebut secara turun-temurun sejak beratus-ratus tahun yang lalu, sudah 14 generasi. Namun tibatiba, pada 2009, pihak TPL melakukan penebangan atas pohonpohon kemenyan dan kayu-kayu alam yang berada di hutan tersebut. Tidak rela hutan adat mereka dirampas karena merupakan tempat (sumber) utama mereka mencari nafkah dan juga merupakan peninggalan leluhur mereka, mereka pun berjuang mempertahankan wilayah adat tersebut. Namun, tujuh tahun sudah mereka berjuang, hingga saat ini sangat sulit untuk memperoleh penyelesaian atas kasus (konflik) ini. Pihak pemerintah kabupaten, yang meskipun mayoritas orang Batak, tidak memiliki keberanian untuk mendukung dan menyatakan bahwa tombak haminjon tersebut adalah tanah adat atau hutan adat masyarakat Pandumaan-Sipituhuta. Meskipun berulangkali sudah didesak agar pemerintah kabupaten menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) atau paling tidak Surat Keputusan (SK) Bupati, yang menyatakan bahwa tombak haminjon tersebut statusnya adalah tanah atau hutan adat, tapi sampai saat ini tidak juga ada Perda atau SK dimaksud. Tuntutan akan adanya Perda (atau SK) ini berdasarkan ketentuan UU Kehutanan No. 41/1999. Bukan itu saja, pihak pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Kehutanan, selalu menawarkan opsi-opsi penyelesaian konflik yang pada intinya menempatkan masyarakat adat (Batak) sebagai bukan pemilik, tetapi sebagai pihak yang menguasai dan mengusahai tanah negara (kawasan hutan negara). Sehingga opsi-opsi penyelesaian yang ditawarkan pemerintah adalah Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Desa, dan konsep Kemitraan. Artinya, opsi-opsi ini menyatakan bahwa status tanah atau hutan yang diklaim masyarakat selama ini sebagai tanah adat atau hutan adat mereka adalah tanah negara atau hutan negara (kawasan hutan negara). Dengan kata lain, tanah adat atau hutan adat belum diakui secara tegas oleh negara. Sehingga dalam hal ini masyarakat hanya dimungkinkan mengajukan permohonan kepada negara untuk mengusahai atau
4 mengambil hasil dari hutan tersebut, dan untuk jangka waktu tertentu. Ironisnya lagi, Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa Hutan adat bukan hutan Negara, tidak serta merta dapat diimplementasikan di lapangan. Lagi-lagi masih dituntut adanya berbagai syarat pembuktian atas keberadaan masyarakat adat yang tentunya berkaitan dengan keberadaan hutan adat tersebut. Artinya, harus ada Perda tentang pengakuan hak-hak masyarakat adat tersebut. Beralihnya tanah adat menjadi hutan negara Saya ingin mengajak kita menoleh sejenak ke belakang. Bagaimana proses beralihnya status kepemilikan tanah-tanah adat dan yang namanya tombak atau harangan (hutan adat) menjadi Kawasan Hutan Negara di Tanah Batak, yang selanjutnya menjadi konsesi perusahaan seperti PT Toba Pulp Lestari. Pada jaman pendudukan Belanda di tahun 1940-an, sebagian hutan-hutan adat yang bernama tombak atau harangan itu rupanya telah ditata-batas, yang dikenal sebagai Register. Pemahaman masyarakat Batak, Register ini dimaksudkan oleh Belanda pada masa itu adalah bertujuan untuk melindungi fungsi hutan. Dengan Register ini diharapkan hutan-hutan adat tersebut tidak sembarang ditebang atau dirusak, karena akan berdampak terhadap lingkungan. Bukan peralihan status kepemilikan. Sekali lagi, bukan peralihan status kepemilikan. Namun kemudian oleh negara (pemerintah) mengklaim hutan-hutan yang disebut Register ini sebagai Kawasan Hutan Negara. Lalu, pada tahun 1970-an, tepatnya tahun 1976, berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) muncul program reboisasi dan penghijauan yang bertujuan untuk merehabilitasi lahan-lahan kritis. Kedua istilah ini, baik penghijauan maupun reboisasi, definisi atau pengertiannya hampir sama. Namun sesungguhnya ada perbedaan pada keduanya, menyangkut sasaran lokasi dan kesesuaian jenis tanaman yang ditanam pada masing-masing
5 lokasi kegiatan. Reboisasi, yang disebut sebagai rehabilitasi kawasan hutan dimaksudkan untuk menghutankan kembali kawasan hutan (lindung). Kegiatan penanaman pohon dilakukan di area hutan negara dan di area lain sesuai rencana tata guna lahan yang diperuntukkan sebagai hutan (negara). Sehingga penanaman pohon dilakukan di hutan bekas tebangan, lahan-lahan kosong, dan di wilayah daerah aliran sungai (DAS). Sementara penghijauan, merupakan kegiatan penanaman pada lahan kosong di luar kawasan hutan, terutama pada tanah milik rakyat. Areal-areal ini ditanami dengan tanaman keras, misalnya jenis pohon hutan, pohon buah, tanaman perkebunan, tanaman pakan ternak, dan lainnya. Meski masyarakat Batak kurang jelas memahami kedua istilah atau program ini, namun pada masa itu tidak sedikit tanahtanah adat yang terkena oleh program ini. Ada yang dengan sukarela menyerahkan tanahnya untuk ditanami, tanpa perjanjian atau surat penyerahan, tentunya setelah terlebih dahulu didekati oleh dinas-dinas terkait dengan dalih perluasan kawasan hutan maupun untuk menjaga ketersediaan air. Namun ada juga yang diserahkan dengan surat penyerahan atau surat perjanjian. Pada umumnya, pada surat perjanjian yang kami temukan, yang masih dimiliki masyarakat, disebutkan batas waktu penggunaan tanah tersebut. Misalnya, ada yang menyebutkan dalam waktu 30 tahun, dan setelah itu tanah akan kembali kepada masyarakat. Ada juga surat perjanjian yang menyebutkan bahwa apabila dikemudian hari tanah tersebut dibutuhkan masyarakat, baik karena alasan pertambahan penduduk maupun karena kekurangan lahan pertanian, maka tanah tersebut dapat diminta kembali. Kemudian, pada 1980-an muncul istilah Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Dengan adanya TGHK ini maka terjadi perluasan kawasan hutan. Lalu, muncul SK Menhut No.44/2005 tentang penunjukan kawasan hutan di Sumatera Utara. Sehingga perkampungan-perkampungan, dan termasuk areal-areal
6 perkantoran pun menjadi kawasan hutan negara. Berdasarkan hal-hal di atas, maka tanah-tanah adat pun beralih atau berpindah tangan menjadi kawasan hutan negara. Berdasarkan hal itu pula lah, negara (Kementerian Kehutanan) memberikan konsesi kepada perusahaan yang bernama PT. Toba Pulp Lestari (PT. TPL). Meskipun ketika meminta atau menggunakan tanah-tanah adat tersebut dalam perjanjian disebutkan bahwa dalam waktu 30 tahun tanah akan kembali, pada kenyataannya tanah-tanah tersebut tidak pernah kembali kepada masyarakat. Bahkan kemudian, tanah-tanah tersebut sudah menjadi konsesi perusahaan. Seperti kita ketahui, perusahaan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) ini mengantongi ijin SK MENHUT No: SK.493/Kpts-II/1992 dengan periode ijin mulai 1 Juni 1992 hingga 31 Mei 2035 (43 tahun). Luas areal pengusahaan ha, di mana areal kerjanya tersebar di 11 Kabupaten. SK ini kemudian di-addendum dengan SK.351/Menhut II/2004 sehubungan adanya perubahan nama pada anggal 28 September Kemudian, ijin konsesi TPL direvisi oleh Menteri Kehutanan pada 28 Februari 2011 dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan (SK-IUPPHK-HT) No. 58/MENHUT-II/2011 menjadi seluas 188,055 Ha, yang berada di 12 kabupaten, yaitu (i) Simalungun, 18,275 ha; (ii) Asahan, 2,153 ha; (iii) Toba Samosir, ha; (iv) Samosir, ha; (v) Dairi, ha; (vi) Tapanuli Utara, ha; (vii) Tapanuli Selatan, (viii) Tapanuli Tengah, ha; (ix) Pakpak Bharat, ha; (x) Padang Lawas Utara, ha; (xi) Humbang Hasundutan, ha; dan (xii) Pemko Padang Sidempuan, ha. Ironisnya, masyarakat di Tanah Batak selama ini tidak menyadari bahwa tanah adat mereka sudah berubah menjadi kawasan hutan negara, dan sudah pula menjadi konsesi perusahaan. Mereka masih sangat yakin bahwa tanah-tanah dan hutan tersebut adalah tanah adat dan hutan adat mereka. Mereka meyakini bahwa tanah-tanah, hutan, dan perkampungan tersebut
7 adalah hak asal-usul mereka, hak asal-usul marga-marga, yang disebut dengan bona ni pasogit. Sehingga ketika perusahaan yang bernama TPL ini mulai hadir (beraktivitas) di lahan-lahan tersebut, mereka pun tersentak dan melakukan perlawanan. Namun sekuat apa pun mereka berjuang, mempertahankan hak-hak adat sesuai dengan hak-hak konstitusionalnya, sangat sulit membuahkan hasil. Secara de facto di beberapa tempat masyarakat masih bisa mengusahai lahan tersebut karena kuatnya perlawanan atau perjuangan mereka. Namun secara de jure belum ada kepastian akan status kepemilikan mereka atas tanah atau hutan adat tersebut. Hingga saat ini, mereka masih menunggu adanya kebijakan, UU atau Perda, bahkan SK, yang mengakomodir dan mengakui keberadaan mereka sebagai masyarakat adat beserta hak-haknya. Masih adakah tanah adat dan hutan adat? Berangkat dari timbulnya berbagai konflik pertanahan selama ini, dan sulitnya penyelesaian atas berbagai konflik tersebut, adalah menjadi relevan mempertanyakan kejelasan (kepastian) keberadaan tanah-tanah adat dan hutan adat di Tanah Batak. Masih adakah tanah-tanah adat atau hutan adat dimaksud? Saya juga akan mengajak kita kembali melihat sekilas bagaimana proses penguasaan tanah oleh PT Inti Indorayon Utama (PT IIU) yang saat ini berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL). Sekitar 33 tahun yang lalu, tepatnya 26 April 1983, perusahaan ini hadir di Sosor Ladang, Kecamatan Porsea (sekarang Parmaksian), Kabupaten Tapanuli Utara (sekarang Tobasa). Kemudian, pada 31 Oktober 1984, permohonan lokasi pabrik yang diajukan perusahaan ini dikabulkan oleh Gubernur Sumatera Utara waktu itu (Kaharuddin Nasution) seluas 200 ha. Maka melalui Pemerintah Daerah Tapanuli Utara, diadakan musyawarah dengan sejumlah pemuka masyarakat dan tokoh adat. Hasilnya, 225 hektar tanah yang dulunya sebagai tempat penggembalaan
8 ternak masyarakat beberapa desa, diserahkan kepada Indorayon secara adat Batak dengan istilah pago-pago atau ingot-ingot. Sebagai tanda pertama ganti rugi dinyatakan sebesar Rp /hektar atau Rp.125/meter persegi. Penyerahan tanah waktu itu dinyatakan selama 30 tahun. Melihat proses ini, tentunya muncul pertanyaan, kalau pada masa itu masyarakat menerima pago-pago atau ingot-ingot, yang oleh pemerintah (negara) menyebutnya dengan istilah gantirugi, bukankah dalam hal ini sudah terjadi manipulasi (hukum) adat? Di mana pada proses peralihan tanah adat ini digunakan aturan adat atau kebiasaan yang tidak pada tempatnya. Dalam adat Batak, istilah pago-pago biasanya diberikan atau digunakan kepada pihak ketiga. Di mana ketika berlangsung upacara adat atau transaksi jual-beli, maka akan diberikan sejumlah uang kepada orang-orang yang hadir menyaksikan upacara atau transaksi tersebut, yang disebut sebagai uang saksi, demikian juga halnya ingot-ingot. Sehingga menjadi pertanyaan, kalau pihak Indorayon memberikan uang saksi kepada masyarakat pemilik tanah, lantas siapa penerima uang jualbeli? Bukankah ini menunjukkan bahwa saat itu masyarakat tidak dianggap sebagai pemilik tanah yang sah? Kemudian, berdasarkan keterangan masyarakat, tidak semua desa pemilik tanah yang 225 ha tersebut menerima ganti-rugi, pagopago atau piso-piso tersebut. Masyarakat dari Desa Lumban Sitorus misalnya, tidak (belum) menerima apa pun dari perusahaan ini. Itulah sebabnya dalam dua tahun terakhir ini mereka semakin gencar menuntut pengembalian tanahnya yang sudah 30-an tahun dipakai pihak TPL secara gratis. Sekitar 50- an hektar tanah adat mereka, dipakai TPL sebagai lokasi pabrik dan pembibitan, tanpa adanya proses jual-beli (ganti-rugi), tanpa pago-pago atau ingot-ingot. Namun, sejak tahun 1985 mereka berjuang, belum juga berhasil menuntut pengembalian tanah adat mereka. Bahkan tahun lalu, salah seorang dari mereka, Sammas Sitorus, dikriminalisasi pihak perusahaan ini, yang oleh PN Balige divonnis bebas murni pada Senin, 25
9 Januari 2016 lalu. Dalam perjuangan masyarakat adat Lumban Sitorus selama ini, pihak TPL selalu berdalih bahwa pihaknya sudah memberikan ganti-rugi tanah tersebut kepada pemerintah. Pemerintah juga selalu berkelit dan malah mengatakan supaya kasus ini dibawa saja ke pengadilan. Dari contoh kasus-kasus di atas, menjadi sangat penting memperjelas (memastikan) keberadaan tanah-tanah adat dan hutan adat di Tanah Batak. Apalagi dengan adanya Perpres No.81 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya, dan Perpres No.49/2016 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Parawisata Danau Toba. Demikian halnya dengan Perda No.1/1990 tentang Penataan Kawasan Danau Toba, yang meskipun disebut mati suri tapi hingga kini belum dicabut. Mendesak adanya Perda tentang pengakuan hak-hak masyarakat adat, minimal Surat Keputusan Bupati, menjadi sangat penting dan prioritas dilakukan. Jika tidak, maka ke depan, konflik pertanahan di daerah ini akan meningkat dan akan sulit terselesaikan. Parapat, 21 Juni 2016
KONDISI KAWASAN HUTAN PROVINSI SUMATERA UTARA
KONDISI KAWASAN HUTAN PROVINSI SUMATERA UTARA (Bahan Kata Sambutan Gubernur Sumatera Utara pada Rapat Monitoring dan Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Indonesia Sektor Kehutanan dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang
18 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan sebagai penopang pembangunan ekonomi nasional. Hak Pengusahaan Hutan (HPH) menjadi sistem yang dominan dalam
Lebih terperinciKAWASAN HUTAN PROVINSI SUMATERA UTARA
PAPARAN USULAN REVISI KA WASAN H UTAN P ROVINSI SUMATERA UTARA PEMERINTAH PROVINSI SUMATERA UTARA JA NUARI 2010 KAWASAN HUTAN PROVINSI SUMATERA UTARA No Fungsi Hutan TGHK (1982) RTRWP (2003) 1 2 3 4 5
Lebih terperinciProvinsi Sumatera Utara: Demografi
Fact Sheet 02/2015 (28 Februari 2015) Agrarian Resource Center ARC Provinsi Sumatera Utara: Demografi Provinsi Sumatera Utara adalah provinsi peringkat ke-4 di Indonesia dari sisi jumlah penduduk. Pada
Lebih terperinciPT. TOBA PULP LESTARI Tbk.
PT. TOBA PULP LESTARI Tbk. Ijin HPHTI (IUPHHK Tanaman) PT. Toba Pulp Lestari didasarkan pada: SK Menteri Kehutanan No: 493/Kpts-II/1992 SK Menteri Kehutanan No: SK.351/Menhut-II/2004 Seluas 269.060 hektar
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah wilayah dengan topogafi yang dibatasi oleh punggung-punggung bukit tempat tangkapan air hujan yang akan dialirkan melalui anak-anak sungai
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAKPAK BHARAT,
PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAKPAK BHARAT, Menimbang : a. bahwa penggalian kekayaan alam di hutan secara
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.60/Menhut-II/2008 TENTANG
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.60/Menhut-II/2008 TENTANG PEDOMAN PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN DALAM KAWASAN HUTAN EKS PERKEBUNAN KPKS BUKIT HARAPAN DAN PT. TORGANDA SERTA KOPERASI PARSUB DAN PT TORUS
Lebih terperinciBank selaku penyedia jasa keuangan memiliki
Peran Perbankan Terhadap Ekspansi Industri dan Hutan Tanaman Industri PT Toba Pulp Lestari yang Menyebabkan Terjadinya Perusakan Lingkungan dan Maraknya Konflik Oleh: Muhamad Kosar (FWI) Bank selaku penyedia
Lebih terperinciMENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK. 101/Menhut-II/2006 TENTANG PEMBAHARUAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN PT. MITRA HUTANI JAYA ATAS
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.282, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Barang Milik Negara. Perkebunan. Kelapa Sawit. Bangunan. Pemanfaatan. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 12/Menhut-II/2014
Lebih terperinciKonflik Agraria di Desa Pandumaan-Sipituhuta Kabupaten Humbahas
Konflik Agraria di Desa Pandumaan- Sipituhuta Kabupaten Humbahas FREDY YOHANNES PURBA Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan, Jl. Dr. Sofyan No.1
Lebih terperinciStandard Operating Procedure
Halaman : 1 of 7 01. TUJUAN Sebagai pedoman dalam pelaksanaan FPIC/Padiatapa (Pesertujuan di Awal Tampa Paksaan) sebagai penghormatan hak-hak masyarakat atas tanah/hutan adatnya. 02. RUANG LINGKUP Prosedur
Lebih terperinciREGULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PEMBERIAN HAK ATAS TANAH UNTUK PERKEBUNAN
REGULASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PEMBERIAN HAK ATAS TANAH UNTUK PERKEBUNAN DISAMPAIKAN OLEH PROF. DR. BUDI MULYANTO, MSc DEPUTI BIDANG PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM KEMENTERIAN AGRARIA, TATA
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.293 / MENHUT-II / 2007 TENTANG
KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.293 / MENHUT-II / 2007 TENTANG PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU RESTORASI EKOSISTEM DALAM HUTAN ALAM KEPADA PT. RESTORASI EKOSISTEM INDONESIA ATAS
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 12/Menhut-II/2014 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI KAWASAN HUTAN REGISTER 40 PADANG LAWAS PROVINSI
Lebih terperinciBAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.17/MENHUT-II/2006 TENTANG
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.17/MENHUT-II/2006 TENTANG PERPANJANGAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM KEPADA PT. MULTI SIBOLGA TIMBER
Lebih terperinciMENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL
MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PENGATURAN DAN TATA CARA PENETAPAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. usaha pertanian (0,74 juta rumah tangga) di Sumatera Utara.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian merupakan basis utama perekonomian nasional. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menggantungkan hidupnya pada
Lebih terperinciMENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 397/Kpts-II/2005
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 397/Kpts-II/2005 TENTANG PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM KEPADA PT. MITRA PERDANA PALANGKA ATAS
Lebih terperinciPROGRAM BANTUAN PENGHIJAUAN DAN REBOISASI Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 1976 Tanggal 1 April 1976 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PROGRAM BANTUAN PENGHIJAUAN DAN REBOISASI Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 1976 Tanggal 1 April 1976 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perlu diusahakan peningkatan kegiatan penghijauan
Lebih terperinciMENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK KEGIATAN PERTAMBANGAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.64/Menhut-II/2006 TENTANG
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.64/Menhut-II/2006 TENTANG PERUBAHAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.14/Menhut-II/2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang:
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 248 TAHUN 2006 TENTANG
KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 248 TAHUN 2006 TENTANG PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN RENCANA KERJA LIMA TAHUN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM KE II TAHUN 2006-2010 ATAS NAMA PT. KIANI
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan membagi hutan menjadi hutan negara dan hutan hak. Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani
Lebih terperinciPERATURAN GUBERNUR SUMATERA UTARA NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTANG BADAN KOORDINASI PENGELOLAAN EKOSISTEM KAWASAN DANAU TOBA
PERATURAN GUBERNUR SUMATERA UTARA NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTANG BADAN KOORDINASI PENGELOLAAN EKOSISTEM KAWASAN DANAU TOBA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA UTARA, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 58/Menhut-II/2009. Tentang
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 58/Menhut-II/2009 Tentang PENGGANTIAN NILAI TEGAKAN DARI IZIN PEMANFAATAN KAYU DAN ATAU DARI PENYIAPAN LAHAN DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN DENGAN
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Hutan Produksi. Pelepasan.
No.377, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Hutan Produksi. Pelepasan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.33/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PELEPASAN KAWASAN
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK KEGIATAN PERTAMBANGAN MENTERI KEHUTANAN,
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK KEGIATAN PERTAMBANGAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. tanaman dagang yang sangat menguntungkan, dengan masukan (input) yang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kacang tanah merupakan tanaman palawija yang secara ekonomis berperan penting bagi kehidupan manusia. Selain itu, juga dapat dijadikan bahan baku industri. Sebagai sumber
Lebih terperinciKEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN J A K A R T A : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN
KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN J A K A R T A PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN Nomor : P. 14/VII-PKH/2012 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PINJAM PAKAI KAWASAN
Lebih terperinciINTERVIEW GUIDE. Universitas Sumatera Utara
INTERVIEW GUIDE Data Informan Nama : Usia : Alamat: Pekerjaan: Status: 1. Kepala desa : - Lokasi hutan kemenyan ( peta) - Data kependudukan - Profil desa Pandumaan 2. Petani kemenyan - Profil informan
Lebih terperinciBERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.388, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Izin Usaha. Kawasan Hutan Silvo Pastura. Hutan Produksi
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.388, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Izin Usaha. Kawasan Hutan Silvo Pastura. Hutan Produksi PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2009 TENTANG
Lebih terperincij. PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG k. PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG l. NOMOR 3 TAHUN 2009
h. i. j. PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG k. PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG l. NOMOR 3 TAHUN 2009 m. TENTANG IZIN LOKASI DAN RETRIBUSI IZIN LOKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PANGKALPINANG,
Lebih terperinciKAJIAN KONFLIK SOSIAL KEHUTANAN PT WIRAKARYA SAKTI 1
KAJIAN KONFLIK SOSIAL KEHUTANAN PT WIRAKARYA SAKTI 1 Legalitas: PT. Wirakarya Sakti merupakan perusahaan swasta yang bergerak dalam bidang kehutanan berdasarkan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
Lebih terperinciEKSPANSI PERKEBUNAN KAYU YANG MENGHILANGKAN HUTAN ALAM DAN MENIMBULKAN KONFLIK SOSIAL (Studi Kasus Provinsi Sumatera Utara dan Riau) PRESS BRIEFING
EKSPANSI PERKEBUNAN KAYU YANG MENGHILANGKAN HUTAN ALAM DAN MENIMBULKAN KONFLIK SOSIAL (Studi Kasus Provinsi Sumatera Utara dan Riau) PRESS BRIEFING PENDAHULUAN Masih terjadinya deforestasi di dalam area
Lebih terperinciKONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN. Sejarah Singkat Pendirian PT. Toba Pulp Lestari, Tbk
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Sejarah Singkat Pendirian PT. Toba Pulp Lestari, Tbk Berdirinya PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. yang dulunya bernama PT. Inti Indorayon Utama Tbk. (IIU) adalah untuk memenuhi
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN A.
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan pemanfaatan lahan antara masyarakat adat dan pemerintah merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Salah satu kasus yang terjadi yakni penolakan Rancangan
Lebih terperinciDARI REFORMASI KEMBALI KE ORDE BARU
Okt 2017 DARI REFORMASI KEMBALI KE ORDE BARU Tinjauan Kritis Peraturan Presiden No. 88 Tahun 2017 Oleh: Agung Wibowo, Muhammad Arman, Desi Martika Vitasari, Erasmus Cahyadi, Erwin Dwi Kristianto, Siti
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. sebagai pihak yang menyewakan lahan atau sebagai buruh kasar. Saat itu,
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebelum tahun 1975, keikutsertaan petani dalam pengadaan tebu hanya terbatas sebagai pihak yang menyewakan lahan atau sebagai buruh kasar. Saat itu, sebagian besar bahan
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT
PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG PENYELENGGARAAN KEHUTANAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI BARAT, Menimbang
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN. Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN Disampaikan pada Acara Sosialisasi PP Nomor 10 Tahun 2010 Di Kantor Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sektor sosial budaya dan lingkungan. Salah satu sektor lingkungan yang terkait
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah di Indonesia sejak adanya otonomi daerah harus terintegrasi antar berbagai sektor. Pembangunan
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 63/Menhut-II/2008
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 63/Menhut-II/2008 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN REKOMENDASI GUBERNUR DALAM RANGKA PERMOHONAN ATAU PERPANJANGAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU (IUPHHK) HUTAN
Lebih terperinciGUBERNUR JAWA TENGAH, PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 44 TAHUN 2013 TENTANG PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN DI WILAYAH PROVINSI JAWA TENGAH
GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 44 TAHUN 2013 TENTANG PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN DI WILAYAH PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang
Lebih terperinciDengan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Indonesia Akan Makmur, Adil Dan Sejahtera
Kantor Berita Korando Digital-Cyber Suara Insan Pancasila(4/1/2017) - www.kampusdigitalpancasila.com - www.kbkorandonews.blogspot.com > Dr Henry Pandapotan Panggabean, SH.,MS. mantan Hakim Agung RI, Ketua
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tujuan Pembangunan Nasional, sebagaimana diamanatkan dalam. Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan Pembangunan Nasional, sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
Lebih terperinciPENGADILAN TINGGI MEDAN
P U T U S A N NOMOR: 192/PID/2016/PT.MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Medan yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara Pidana pada peradilan tingkat banding telah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Batak Simalungun, Batak Pakpak, Batak Angkola dan Mandailing. Keenam suku
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Suku Batak Toba merupakan salah satu suku besar di Indonesia. Suku Batak merupakan bagian dari enam ( 6) sub suku yakni: Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun,
Lebih terperinciMENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK. 55/Menhut-II/2006
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK. 55/Menhut-II/2006 TENTANG PEMBAHARUAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM PT. MANCARAYA AGRO MANDIRI ATAS
Lebih terperinciINSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1982 TENTANG BANTUAN PENGHIJAUAN DAN REBOISASI TAHUN 1982/1983 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1982 TENTANG BANTUAN PENGHIJAUAN DAN REBOISASI TAHUN 1982/1983 Menimbang : a. bahwa perlu diusahakan peningkatan kegiatan penghijauan dan reboisasi di
Lebih terperinciBUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG IZIN LOKASI
BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG IZIN LOKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang : a. bahwa dalam rangka
Lebih terperinciBab II HAK HAK ATAS TANAH. A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA. I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas
Bab II HAK HAK ATAS TANAH A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas tanah adalah Pasal 4 ayat 1 dan 2, 16 ayat 1 dan 53. Pasal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Danau Toba merupakan sebuah danau vulkanik dengan ukuran panjang 100
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang dikenal dengan banyaknya objek wisata yang tersebar di banyak kota dan kabupatennya. Salah satunya
Lebih terperinciINSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1976 TENTANG PROGRAM BANTUAN PENGHIJAUAN DAN REBOISASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1976 TENTANG PROGRAM BANTUAN PENGHIJAUAN DAN REBOISASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perlu diusahakan peningkatan kegiatan penghijauan
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciREFLEKSI PEMBANGUNAN BIDANG KEHUTANAN DIKEPEMIMPINAN GUBERNUR JAMBI BAPAK Drs. H. HASAN BASRI AGUS, MM
REFLEKSI PEMBANGUNAN BIDANG KEHUTANAN DIKEPEMIMPINAN GUBERNUR JAMBI BAPAK Drs. H. HASAN BASRI AGUS, MM Provinsi Jambi mempunyai Luas Wilayah daratan 4.882.857 ha. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan
Lebih terperinciLUAS KAWASAN (ha)
1 2 3 Berdasarkan Revisi Pola Ruang Substansi Kehutanan sesuai amanat UU No 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang mengalami perubahan yang telah disetujui Menteri Kehutanan melalui Keputusan No. 936/Kpts-II/2013
Lebih terperinciINSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1977 TENTANG PROGRAM BANTUAN PENGHIJAUAN DAN REBOISASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1977 TENTANG PROGRAM BANTUAN PENGHIJAUAN DAN REBOISASI Menimbang : a. bahwa perlu diusahakan peningkatan kegiatan penghijauan dan reboisasi di daerahdaerah
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN (IPHH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BATANG HARI, Menimbang : a. bahwa dalam melaksanakan Otonomi
Lebih terperinciEkspansi Industri Pulp: Cara Optimis Penghancuran Hutan Alam
Ekspansi Industri Pulp: Cara Optimis Penghancuran *Contoh Kasus RAPP dan IKPP Ringkasan Sampai akhir Desember 27 realisasi pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) hanya 33,34 persen dari total 1.37 juta
Lebih terperinciMENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.393/MENHUT-II/2005 TENTANG
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.393/MENHUT-II/2005 TENTANG PERPANJANGAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM KEPADA PT. WANA INTI KAHURIPAN
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI,
PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN
1 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.39/Menhut-II/2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SETEMPAT MELALUI KEMITRAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.169/MENHUT-II/2005 TENTANG
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.169/MENHUT-II/2005 TENTANG PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU (IUPHHK) PADA HUTAN TANAMAN KEPADA PT. KELAWIT WANALESTARI
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. kerusakan sumber daya alam, hutan, tanah, dan air. Sumber. daya alam tersebut merupakan salah satu modal dasar
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu masalah lingkungan hidup di Indonesia adalah kerusakan sumber daya alam, hutan, tanah, dan air. Sumber daya alam tersebut merupakan salah satu modal dasar pembangunan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lainnya.tanah tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Manusia pada hakikatnya berusaha selalu untuk mempertahankan hidupnya. Dalam upaya mempertahankan hidup dapat kita lihat manusia berusaha mengembangkan usahanya dan
Lebih terperinciHarmonisasi Kebijakan dan Peraturan Perundangan
Lampiran KESATU Harmonisasi Kebijakan dan Peraturan Perundangan Bab 1. Pendahuluan Konflik perizinan dan hak terjadi atas klaim pada areal yang sama Keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi No: 45/PUU-IX/2011
Lebih terperinciMateri USULAN KEBIJAKAN KHUSUS PRESIDEN R.I
Materi USULAN KEBIJAKAN KHUSUS PRESIDEN R.I Percepatan Pembangunan Daerah Sulawesi Tenggara Sebagai Pusat Industri Pertambangan Nasional Oleh, Gubernur Sulawesi Tenggara H. Nur Alam S U L A W E S I T E
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN terbentuklah daerah Tapanuli Selatan dengan kantor bupati yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Tapanuli Selatan berdiri sejak jaman penjajahan belanda. Ketika itu kabupaten ini disebut sebagai Afdeeling padangsidempuan yang dikepalai oleh seorang residen
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 60-an,
60 BAB I PENDAHULUAN 3.1. Latar Belakang Sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 60-an, luas areal perkebunan kelapa sawit mengalami perkembangan yang sangat pesat. Bila pada
Lebih terperinciPEMOHON MENGAJUKAN PERMOHONAN TERTULIS DITUJUKAN KEPADA KADISBUNSU
PEMOHON MENGAJUKAN TERTULIS DITUJUKAN KEPADA KADISBUNSU 2. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) 3. Surat Izin Tempat Usaha (SITU) 4. Izin Lokasi dari Bupati beserta peta dalam bentuk print out & digital skala
Lebih terperinciBANTUAN PENGHIJAUAN DAN REBOISASI TAHUN 1983/1984 Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 1983 Tanggal 7 Mei 1983 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
BANTUAN PENGHIJAUAN DAN REBOISASI TAHUN 1983/1984 Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 1983 Tanggal 7 Mei 1983 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perlu diusahakan peningkatan kegiatan
Lebih terperinciPRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014
BPS PROVINSI SUMATERA UTARA No. 50/08/12/Th. XVIII, 3 Agustus 2015 PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PRODUKSI CABAI BESAR SEBESAR 147.810 TON, CABAI RAWIT SEBESAR 33.896 TON,
Lebih terperinciINSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. NOMOR 8 TAHUN 1978 TENTANG PROGRAM BANTUAN PENGHIJAUAN DAN REBOISASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. NOMOR 8 TAHUN 1978 TENTANG PROGRAM BANTUAN PENGHIJAUAN DAN REBOISASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa perlu diusahakan peningkatan kegiatan penghijauan
Lebih terperinci: Kepala Dinas Provinsi dan Kepala Dinas Kabupaten melakukan pengendalian terhadap pelaksanaan Keputusan ini.
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN Nomor : SK.106/VI-BPHA/2007 TENTANG IZIN PEMASUKAN DAN PENGGUNAAN PERALATAN UNTUK KEGIATAN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM A.N. PT.
Lebih terperinciProses Permohonan Izin Usaha HTI (Berdasarkan Permenhut No. P.19/Menhut-II/2007 jo. P.11/Menhut-II/2008)
Oleh: Raflis Proses Permohonan Izin Usaha HTI (Berdasarkan Permenhut No. P.19/Menhut-II/2007 jo. P.11/Menhut-II/2008) Permohonan Persyaratan Admin&Teknis (Proptek) SK IUPHHK dibatalkan apabila tdk membayar
Lebih terperinciHUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo
HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo Hutan Kemasyarakatan (HKm) menjadi salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan untuk menekan laju deforestasi di Indonesia dengan
Lebih terperinci9/1/2014. Pelanggaran yang dirancang sebelum FCP APP diluncurkan?
9/1/2014 Pelanggaran yang dirancang sebelum FCP APP diluncurkan? Satu Pelanggaran yang dirancang sebelum Forest Conservation Policy APP/SMG diluncurkan ke Publik SENARAI Pada 5 Februari 2013, Sinar Mas
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dibandingkan jumlah kebutuhan manusia untuk mencukupi kebutuhan hidupnya
I. PENDAHULUAN. Latar Belakang Manusia selalu menghadapi masalah untuk bisa tetap hidup. Hal ini disebabkan karena tidak sesuainya jumlah barang dan jasa yang tersedia dibandingkan jumlah kebutuhan manusia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki 34 provinsi yang kini telah tumbuh menjadi beberapa wacana
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki 34 provinsi yang kini telah tumbuh menjadi beberapa wacana untuk mendirikan provinsi-provinsi baru di Indonesia. Pembentukan provinsi baru ini didasari
Lebih terperinciOleh : Ketua Tim GNPSDA. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pontianak, 9 September 2015
Oleh : Ketua Tim GNPSDA Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Pontianak, 9 September 2015 Data dan Informasi Kawasan Hutan 2 KAWASAN HUTAN KALIMANTAN BARAT, KALIMANTAN TENGAH, KALIMANTAN SELATAN,
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.14/Menhut-II/2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.14/Menhut-II/2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Lebih terperinciLaksanakan Penataan Kehutanan Menyeluruh, dan Batalkan Rencana Pengesahan RUU tentang Pemberantasan Perusakan Hutan
Pandangan dan Sikap Dewan Kehutanan Nasional (DKN) Atas Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Perusakan Hutan Laksanakan Penataan Kehutanan Menyeluruh, dan Batalkan Rencana Pengesahan RUU tentang Pemberantasan
Lebih terperinciRangkuman dari isu isu yang dijabarkan dalam laporan studi tersebut dalam kaitannya dengan komitmen kebijakan FCP APP adalah:
Laporan Verifikasi Keluhan melalui Laporan yang dibuat oleh FPP, Scale UP & Walhi Jambi berjudul Pelajaran dari Konflik, Negosiasi dan Kesepakatan antara Masyarakat Senyerang dengan PT Wirakarya Sakti
Lebih terperinciGUBERNUR KALIMANTAN TENGAH
GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH KEPUTUSAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 188.44 / 94 / 2012 TENTANG KELAYAKAN LINGKUNGAN HIDUP RENCANA USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN INDUSTRI (UPHHK-HTI)
Lebih terperinciStrategi rehabilitasi hutan terdegradasi
Strategi rehabilitasi hutan terdegradasi Kajian sistem pengelolaan dan rehabilitasi IUPHHK restorasi ekosistem Kajian Sistem Pengelolaan dan Rehabilitasi IUPHHK Restorasi Ekosistem Strategi Rehabilitasi
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 21 TAHUN 2005 TENTANG PENANAMAN MODAL ASING DI BIDANG USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 21 TAHUN 2005 TENTANG PENANAMAN MODAL ASING DI BIDANG USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN TANAMAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Penjelasan
Lebih terperinciBAB VI ANALISIS PERKEMBANGAN PRODUKSI KAYU PETANI HUTAN RAKYAT
26 BAB VI ANALISIS PERKEMBANGAN PRODUKSI KAYU PETANI HUTAN RAKYAT 6.1 Analisis Perkembangan Produksi Kayu Petani Hutan Rakyat Produksi kayu petani hutan rakyat pada penelitian ini dihitung berdasarkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya berusaha di bidang pertanian. Dengan tersedianya lahan dan jumlah tenaga kerja yang besar, diharapkan
Lebih terperinciOleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Oleh : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Disampaikan pada acara : Rapat Monitoring dan Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Jakarta, 22
Lebih terperinciMENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 365/Kpts-II/2003 TENTANG PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU (IUPHHK) PADA HUTAN TANAMAN KEPADA PT. BUKIT BATU HUTANI
Lebih terperinciMENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.45/MENHUT-II/2006 TENTANG
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.45/MENHUT-II/2006 TENTANG PERPANJANGAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM KEPADA PT. INHUTANI I (UNIT PANGEAN)
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN BERBASIS MASYARAKAT KABUPATEN WONOSOBO
PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN BERBASIS MASYARAKAT KABUPATEN WONOSOBO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOSOBO Menimbang : 1. bahwa
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 251 TAHUN 2006 TENTANG
KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 251 TAHUN 2006 TENTANG PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN RENCANA KERJA LIMA TAHUN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM KE VIII ATAS NAMA PT. TELAGA MAS KALIMANTAN
Lebih terperincitertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang
PENDAHULUAN BAB A. Latar Belakang Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas nasional, hal tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA)
Lebih terperinciGUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN
GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang
Lebih terperincidisampaikan oleh: Direktur Perencanaan Kawasan Kehutanan Kementerian Kehutanan Jakarta, 29 Juli 2011
disampaikan oleh: Direktur Perencanaan Kawasan Kehutanan Kementerian Kehutanan Jakarta, 29 Juli 2011 Hutan : suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.94/MENHUT-II/2005 TENTANG
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.94/MENHUT-II/2005 TENTANG PERPANJANGAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU PADA HUTAN ALAM KEPADA PT. NUSA PADMA CORPORATIAON
Lebih terperinci