ESTIMASI STOK SUMBER DAYA IKAN DENGAN METODE HIDROAKUSTIK DI PERAIRAN KABUPATEN BENGKALIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ESTIMASI STOK SUMBER DAYA IKAN DENGAN METODE HIDROAKUSTIK DI PERAIRAN KABUPATEN BENGKALIS"

Transkripsi

1 Estimasi Stok Sumber Daya... di Perairan Kabupaten Bengkalis (Priatna, A. & Wijopriono) ESTIMASI STOK SUMBER DAYA IKAN DENGAN METODE HIDROAKUSTIK DI PERAIRAN KABUPATEN BENGKALIS Asep Priatna 1) dan Wijopriono 2) 1) Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta 2) Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Ancol-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 8 Oktober 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 22 Nopember 2010; Disetujui terbit tanggal: 28 Pebruari 2011 ABSTRAK Perairan Bengkalis termasuk wilayah pengelolaan perikanan Selat Malaka, merupakan kawasan dengan status pemanfaatan tinggi sehingga diperlukan tahapan pemantauan yang intensif dan penelitian potensi sumber daya ikan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan nilai estimasi biomassa dan kepadatan stok sumber daya ikan dengan metode akustik. Data kuantitatif yang diperoleh akan menjadi sumber informasi terkini dari kondisi sumber daya ikan di perairan Kabupaten Bengkalis. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2009 di perairan Kabupaten Bengkalis yang merupakan bagian dari Selat Malaka. Perangkat akustik yang digunakan adalah split beam echosounder Simrad EY60 dengan frekuensi 120 khz. Data hasil tangkapan dengan trawl dari jenis ikan pelagis dan demersal yang dominan di perairan ini digunakan untuk memverifikasi data akustik. Estimasi biomassa pada luas daerah km 2 adalah ton dengan kepadatan stok 0,44 ton/ km 2 untuk ikan pelagis dan 4.441,5 ton dengan kepadatan stok 0,17 ton/km 2 untuk ikan demersal. KATA KUNCI: ABSTRACT: hidroakustik, biomassa, kepadatan stok, ikan pelagis, ikan demersal, Bengkalis Fish stock estimation by hidroacoustic survey in Bengkalis waters. By: Asep Priatna and Wijopriono Bengkalis waters was included in the regional fisheries management of Malacca Strait, having high utilization in fisheries. Therefore intensive monitoring as well as research on fish stock is needed. The aim of the research was to estimate fish biomass and stock density based on acoustic method. The quantitative data are source of current information for fish resources condition in Bengkalis waters. The survey was conducted in October 2009 in Bengkalis waters. Simrad EY60 split beam echosounder with frequency 120 khz was used for acquisition of acoustic data. Both pelagic and demersal fish as dominant species caught were used for verification acoustic data. The biomass estimation on 5,433 km 2 covered area was about 9,374 ton with stock density about 0.44 ton/km 2 for pelagic fish, while 4,441.5 ton with stock density about 0.17 ton/km 2 for demersal fish. KEYWORDS: hidroacoustic, biomass, stock density, pelagic fish, demersal fish, Bengkalis PENDAHULUAN Semakin pesatnya perkembangan pembangunan perikanan, maka upaya penyajian informasi sumber daya perikanan terbaru mutlak diperlukan bagi para perencana pembangunan perikanan di suatu daerah. Pendugaan kuantitatif atas ukuran populasi ikan sangat diperlukan dalam pengembangan dan pengelolaan sumber daya ikan. Pemanfaatan sumber daya ikan dapat dilakukan secara optimal apabila sediaan (stock) dan sebaran sumber daya ikan tersebut diketahui secara pasti sehingga langkahlangkah kebijakan eksploitasi dapat dilakukan dengan tepat tanpa membahayakan kelestariannya. Informasi sumber daya secara kuantitatif yang dapat digunakan sebagai indikator stok sangat ditentukan oleh tersedianya informasi dasar seperti dari hasil survei kapal-kapal penelitian maupun informasi yang terkumpul melalui sistem pemantauan berkala (Balai Riset Perikanan Laut, 2007). Perairan Bengkalis termasuk wilayah pengelolaan perikanan Selat Malaka, merupakan kawasan yang berbeda pada status pemanfaatan tinggi dan telah memasuki tahapan diperlukannya pemantauan yang sangat intensif serta dilakukannya penelitian yang lebih spesifik terutama terhadap potensi sumber daya ikan (Anonimus, 2009). Di dalam pembangunan perikanan, angka potensi sangat diperlukan yang akan menunjukkan bahwa sumber daya ikan tersebut mempunyai batas. Ini berarti bahwa pembangunan perikanan tidak dapat dipacu terus-menerus tanpa melihat batas kemampuan sumber daya tersebut ataupun daya dukungnya. Di lain pihak, berapa angka potensi sumber daya ikan yang tersedia belum banyak diketahui. Korespondensi penulis: Jl.Muara Baru Ujung, Kompleks Pelabuhan Perikanan Samudera-Jakarta 14440, Telp.(021)

2 11- J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 1-10 Menurut Widodo et al. (1998) potensi ikan demersal ton/tahun sedangkan hasil penelitian dengan Baruna Jaya VII tahun 2001 sebesar ton/tahun. Penelitian oleh Sumiono (2008) tentang ikan demersal di Selat Malaka sub daerah Pulau Bengkalis dan Pulau Rupat, diperoleh rata-rata laju tangkap 34,1 kg/jam dengan kepadatan stok 0,9 ton/km 2 dan biomassa ton pada daerah yang disurvei seluas km 2. Beberapa metode langsung yang dapat dipergunakan untuk pengkajian stok ikan antara lain model dinamika biomassa, dinamika kolam, Thomson & Bell, VPA, swept area, transek visual, dan hidroakustik telah banyak dilakukan (Widodo, 2002). Identifikasi jenis ikan serta verifikasi terhadap echo dari sasaran yang terdeteksi sangat diperlukan dalam estimasi stok ikan dengan metode akustik. Verifikasi echo terhadap ikan target di perairan tropis menggunakan ukuran ikan target dominan yang terdapat di perairan tersebut, mengingat sumber daya ikan di perairan tropis yang bersifat multi species dan berinteraksi satu sama lain sehingga sangat sulit untuk memisahkan masing-masing jenis ikan tersebut (Afas, 2007). Penerapan metode akustik dalam pendugaan stok ikan mempunyai beberapa keunggulan yaitu menghasilkan data yang cepat, in situ, relatif akurat, serta tidak membahayakan sumber daya ikan yang diamati. Selain untuk pendugaan stok ikan, hasil pengamatan hidroakustik dapat memberikan suatu gambaran mengenai distribusi dari pengelompokkan sumber daya ikan yang berada di suatu perairan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan nilai dugaan stok serta sebaran kelimpahan ikan dengan metode akustik. Data kuantitatif yang diperoleh diharapkan dapat menjadi sumber informasi terkini dari kondisi sumber daya ikan di perairan Kabupaten Bengkalis. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2009 di perairan Kabupaten Bengkalis yang merupakan bagian dari Selat Malaka mulai dari utara Pulau Rupat sampai timur Pulau Bengkalis. Wahana penelitian ini adalah kapal nelayan setempat. Perangkat hidroakustik yang digunakan adalah SIMRAD EY60 portable splitbeam echosounder dengan frekuensi transducer 120 khz. Akuisisi data akustik dilakukan terus-menerus pada siang dan malam hari selama periode pelayaran dengan kecepatan kapal berkisar antara 7-8 knot. Jalur akuisisi data mencakup luasan daerah yang memungkinkan analisis secara spasial yang dibuat dengan bentuk zig-zag menurut MacLennan (1992) dengan panjang tiap transek sekitar 12 nmi dari batas gugusan pulau ke arah luar. Selama penelitian diperoleh 14 stasiun trawl. Hasil tangkapan ikan secara in situ dengan menggunakan jaring trawl ditujukan untuk memverifikasi data akustik untuk estimasi biomassa ikan. Rata-rata waktu penarikan jaring (towing) tiap stasiun adalah 1 jam dan rata-rata kecepatan 3 knot. Gambaran lokasi penelitian, jalur akuisisi data akustik dan posisi stasiun trawl ditunjukkan dalam Gambar Titinaka Lintang Utara Batupanjang Guntung Sepahat 1.5 Bengkalis nmi Kudap 14 trek akustik Sinunjung Merbau Lalang Kurau Bujur Timur trawl Gambar 1. Figure 1. Lokasi penelitian, trek akuisisi data akustik, dan posisi stasiun trawl. Research location, acoustics track, and trawling positions. 2

3 Estimasi Stok Sumber Daya... di Perairan Kabupaten Bengkalis (Priatna, A. & Wijopriono) Pengolahan dan Analisis Data Data akustik diolah dengan menggunakan software SONAR ver.4. Analisis untuk estimasi ikan pelagis dilakukan mulai dari kedalaman 5-55 m dengan strata tiap 10 m, sementara strata untuk ikan demersal 5 m dari dasar perairan. Dengan mengingat sifat-sifat ikan demersal yaitu kelompok ikan yang menghuni dasar atau dekat dasar perairan (Aoyama, 1973), maka diasumsikan kolom air dengan ketinggian 5 m dari dasar perairan merupakan habitat ikan demersal dan selebihnya merupakan habitat ikan pelagis. Elementary sampling distance unit adalah 1 nmi. Hasil ekstraksi berupa nilai area backscattering coeficient (sa, m 2 /nmi 2 ) dan distribusi nilai target strength ikan tunggal dalam satuan decibel (db) sebagai indeks refleksi ukuran ikan. Hubungan target strength dan óbs (backscattering cross-section, m 2 ) dihitung berdasarkan atas MacLennan & Simmonds (1992) yaitu: TS=10 log óbs... (1 Persamaan untuk densitas ikan (ña, ind./nmi 2 ) adalah: ña=sa/óbs... (2 Panjang ikan (L) berhubungan dengan óbs yaitu: óbs=al b... (3 Hubungan target strength dan L adalah: TS=20 log L+A... (4 di mana: A = nilai target strength untuk 1 cm panjang ikan (normalized target strength) Konversi nilai target strength menjadi ukuran panjang (L) untuk ikan pelagis digunakan persamaan TS = 20 log L-73,97 (Hannachi et al., 2004) sedangkan untuk ikan demersal digunakan persamaan TS = 21,8 log L-74,9 (Anonimus, 2002). Menurut Hile (1936) dalam Effendie (2002), hubungan panjang (L) dan bobot (W) dari suatu spesies ikan yaitu: Menurut Mac Lennan & Simmonds (1992) dalam Natsir et al. (2005) persamaan panjang dan bobot untuk mengkonversi panjang dugaan menjadi bobot dugaan adalah: Wt=a{ i 1 {ni(li+äl/2)b+1 -(Li-ÄL/2) b+1 }/{(b+1)äl}}... (6 di mana: Wt = bobot total (g) ÄL = selang kelas panjang (cm) Li = nilai tengah dari kelas panjang ke-i (cm) ni = jumlah individu pada kelas ke-i a, b = konstanta untuk spesies tertentu Selain nilai estimasi stok ikan berdasarkan atas komposisi ukurannya, hasil analisis juga disajikan dalam bentuk peta sebaran densitas tiap strata kedalaman. HASIL DAN BAHASAN Pendugaan Ukuran dan Bobot Ikan Berdasarkan atas komposisi hasil tangkapan (Lampiran 1 dan 2), ikan puput (Pellona ditchela) sebagai ikan pelagis dan ikan gerot-gerot (Pomadasys sp.) sebagai ikan demersal, merupakan jenis yang tertangkap di semua stasiun trawl dengan persentase komposisi jenis yang paling banyak pada masingmasing stasiun trawl. Kedua jenis ikan tersebut dipilih untuk mewakili populasi ikan pelagis dan demersal pada daerah penelitian karena merupakan jenis yang mendominansi dengan nilai penyebaran yang luas. Hubungan panjang bobot ikan puput diperoleh persamaan W = 0,005*L 3,392 dan untuk ikan gerot-gerot adalah W = 0,03*L 2,695 (Gambar 2). Konstanta a dan b digunakan dalam konversi dari ukuran panjang dugaan berdasarkan atas nilai target strength menjadi bobot dugaan. Dugaan Stok Ikan Total luas perairan yang diamati nmi 2 atau km 2. Terdapat perbedaan luas daerah perairan pada masing-masing strata kedalaman dikarenakan adanya perubahan kontur dasar perairan pada daerah yang diamati, sehingga terdapat perbedaan cakupan luas daerah tiap strata kedalaman. Cakupan luas daerah serta rata-rata kepadatan ikan (ekor/1.000 m 3 ) tiap strata kedalaman disajikan pada Tabel 1. W=aL b... (5 3

4 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 1-10 Gambar 2. Figure 2. Grafik hubungan panjang bobot ikan puput dan ikan gerot-gerot. Length weight relationship Pellona ditchela and Pomadasys maculates. Tabel 1. Table 1. Cakupan luas daerah serta rata-rata kepadatan ikan (ekor/1.000 m 3 ) tiap strata kedalaman Area covered and mean of fish density (ind./1,000 m 3 ) each depth strata Dari pengambilan contoh akustik diperoleh nilai estimasi total biomassa ikan pelagis sampai kedalaman 55 m adalah ton dengan kepadatan stok 0,44 ton/km 2. Berdasarkan atas data produksi perikanan pelagis Kabupaten Bengkalis tahun 2008 diperoleh nilai estimasi ton (Balai Riset Perikanan Laut, 2008), sehingga berdasarkan atas hasil akustik dari penelitian ini tingkat pemanfaatan ikan pelagis sudah 83% dari potensinya. Komposisi jumlah individu, biomassa, serta kepadatan stok untuk masing-masing selang ukuran ikan tiap strata kedalaman disajikan dalam Tabel 2. Sementara nilai estimasi total biomassa ikan demersal 4.441,5 ton dengan kepadatan stok 0,17 ton/km 2. Berdasarkan atas data produksi perikanan demersal Kabupaten Bengkalis tahun 2008 diperoleh Strata/ Luas daerah/ Densitas rata-r Persentase luas/ Level Total area Average dens nilai Percentage of area (m) estimasi ton (Balai Riset Perikanan (km 2 ) Laut, (ekor/1.000 m 2008), 5-15 sehingga tingkat 86,6 pemanfaatan ikan demersal 2 sudah % dari potensinya. 52, , Hasil penelitian menunjukkan 37,6 nilai estimasi biomassa 11 maupun kepadatan stok 25,6 ikan demersal lebih rendah 14 dibandingkan hasil 100,0 penelitian sebelumnya dengan 8 metode swept area oleh Sumiono (2008), terjadi penurunan nilai biomassa ikan demersal 40% dan penurunan nilai kepadatan stok 80%. Meningkatnya tekanan penangkapan akibat penambahan jumlah armada dan alat tangkap (Balai Riset Perikanan Laut, 2008), merupakan salah satu faktor yang menyebabkan semakin turunnya sumber daya ikan di perairan Bengkalis. Komposisi jumlah individu, biomassa, serta kepadatan stok untuk masing-masing selang ukuran ikan disajikan dalam Tabel 3. 4

5 Tabel 2. Table 2. Komposisi jumlah individu, biomassa, serta kepadatan stok untuk masing-masing selang ukuran ikan pelagis tiap strata kedalaman Number of pelagic fish composition, biomass, and stock density by size distributions each depth strata 5 Nilai target strength (db) (-60)-(-57) (-57)-(-54) (-54)-(-51) (-51)-(-48) (-48)-(-45) Panjang (cm) 5,0-7,1 7,1-10,0 10,0-14,1 14,1-19,9 19,9-28,1 Bobot (g) 1,2-3,8 3,8-12,2 12,2-39,3 39,3-126,9 126,9-409,5 Komposisi individu (%) 5-15 m 55,4 24,0 11,5 6,1 3, m 58,7 23,5 9,9 4,9 3, m 55,7 25,0 11,3 5,4 2, m 49,8 28,6 12,9 5,8 2, m 32,8 35,2 19,1 8,8 4,0 Biomassa (ton) 5-15 m 67,8 94,9 146,8 250,3 395, m 136,1 175,9 240,0 380,0 741, m 174,5 252,5 368,6 567,0 886, m 132,4 244,9 357,1 517,3 840, m 73,2 253,2 444,3 656,2 976,7 Kepadatan stok (ton/km 2 ) 5-15 m 0,001 0,002 0,003 0,005 0, m 0,005 0,006 0,008 0,013 0, m 0,006 0,009 0,013 0,021 0, m 0,006 0,012 0,017 0,025 0, m 0,005 0,018 0,032 0,047 0,070 Tabel 3. Table 3. Komposisi jumlah individu, biomassa, serta kepadatan stok untuk masing-masing selang ukuran ikan demersal Number of demersal fish composition, biomass, and stock density by size distributions each depth strata Nilai target strength (db) (-60)-(-57) (-57)-(-54) (-54)-(-51) (-51)-(-48) (-48)-(-45) Panjang (cm) 5,6-7,9 7,9-11,1 11,1-15,7 15,7-22,1 22,1-31,3 Bobot (g) 3,1-7,7 7,7-19,7 19,7-49,8 49,8-126,4 126,4-320,7 Komposisi individu (%) 35,7 27,6 18,4 11,8 6,5 Biomassa (ton) 230,9 453,1 765, , ,3 Kepadatan stok (ton/km 2 ) 0,01 0,02 0,03 0,05 0,06 Estimasi Stok Sumber Daya... di Perairan Kabupaten Bengkalis (Priatna, A. & Wijopriono)

6 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 1-10 Sebaran Spasial Sumber Daya Ikan Nilai kepadatan stok ikan pelagis dan demersal yang diperoleh merupakan jumlah biomassa dari sumber daya ikan terhadap luasan daerah yang diamati. Perolehan nilai kepadatan stok tersebut belum mencerminkan kondisi sumber daya ikan yang sebenarnya, karena menurut sifat hidupnya terdapat ikan yang berkelompok (schoals) dan menyendiri (soliter). Analisis terhadap sebaran spasial berguna untuk mengetahui pola agregasi dari sumber daya ikan di suatu perairan yang diamati sehingga dapat diketahui kondisi dari keberadaan sumber daya ikan yang mendekati sebenarnya di alam. Gambar 3 merupakan gambaran sebaran spasial sumber daya ikan pelagis dan demersal. Hasil deteksi akustik pada saat survei memperlihatkan bahwa keberadaan ikan pelagis maupun demersal lebih banyak terdapat di perairan sekitar Pulau Rupat dibanding ikan di perairan sekitar Pulau Bengkalis. Keberadaan sumber daya ikan di perairan sekitar Pulau Rupat terdeteksi hampir di sepanjang jalur pelayaran. Sementara ikan hanya terdeteksi di sebagian kecil wilayah perairan di sebelah utara Pulau Bengkalis. Hasil overlay antara daerah penangkapan, trek akustik dan sebaran spasial sumber daya ikan, menunjukkan bahwa sasaran sumber daya ikan sebagian besar terdeteksi pada jalur pelayaran di daerah pinggiran atau pada kedalaman yang lebih dangkal. Penyebaran sumber daya ikan yang tidak merata diduga akibat aktivitas penangkapan nelayan setempat, di mana kegiatan penangkapan di perairan Pulau Bengkalis lebih banyak dibandingkan di perairan Pulau Rupat. Selain itu daerah penangkapan cenderung berada di perairan bagian tengah atau yang lebih dalam (Gambar 4) m m Titinaka 2 Titinaka Lintang Utara Batupanjang Guntung Lintang Utara Batupanjang Guntung 1.5 Sepahat Bengkalis 1.5 Sepahat Bengkalis ekor/1000 m3 5 to 10 Kudap Kudap ekor/1000 m3 10 to 15 5 to 10 Sinunjung Sinunjung Merbau 10 to to 25 Merbau Lalang Kurau Lalang Kurau m Bujur Timur m Bujur Timur Titinaka 2 Titinaka Lintang Utara 1.5 Batupanjang Guntung Sepahat Bengkalis Lintang Utara 1.5 ekor/1000 m3 5 to 20 Batupanjang Guntung Sepahat Bengkalis ekor/1000 m3 5 to 20 Kudap 20 to 40 Sinunjung 40 to 60 Merbau Lalang Kurau Bujur Timur 20 to 40 Kudap 40 to 60 Sinunjung 60 to 80 Merbau Lalang Kurau Bujur Timur 6

7 Selat Rupat Estimasi Stok Sumber Daya... di Perairan Kabupaten Bengkalis (Priatna, A. & Wijopriono) m m (demersal) Gambar 3. Figure 3. Sebaran spasial ikan pelagis dan demesal. Spatial distributions of pelagic and demersal fish. 2.5 LU P.BERUK P.BABI Tanjungmedang 2 LU Titakar P.KETAM Teluklencah Rempong P.PAYUNG P.MAMPU P.BARU BATUPANJANG DUMAI Perapattunggal Selatbaru 1.5 LU Kampungjawa Selat Bengkalis BENGKALIS Telukpambong Limau 2.5 Gambar 4. Figure 4. L E G E N D A SKALA 1 : DURI Gill net monofilament Gillnet nylon Rawai dasar Tramel net SUNGAIPAKNING Tanjungkedabu Jaring Batu TELUKBELITUNG Kurau Bubu kawat SELATPANJANG 1 LU 101 BT BT 102 BT BT 103 BT Sungaiselar Pangkalanjambu Tanjungdatuk Selat Panjang Tanjungpadang Kuat Dedap Teluknipah Biran Sekodi Kualamerbau Telesung Tanjungrangsang Daerah penangkapan ikan di perairan Kabupaten Bengkalis. Fishing ground in Bengkalis waters. Lintang Utara ekor/1000 m 3 5 to to to 60 Titinaka Batupanjang Guntung Sepahat KESIMPULAN 1. Estimasi biomassa sumber daya ikan pelagis di perairan Kabupaten Bengkalis pada luas daerah km 2 adalah ton dengan kepadatan stok 0,44 ton/km 2. Sementara biomassa ikan demersal 4.441,5 ton dengan kepadatan stok 0,17 ton/km Keberadaan ikan pelagis maupun demersal pada saat survei dilaksanakan lebih banyak terdapat di perairan sekitar Pulau Rupat dibanding di perairan sekitar Pulau Bengkalis. sistem operasi penangkapan di Selat Malaka dan pantai timur Sumatera, T. A. 2009, di Balai Riset Perikanan Laut-Muara Baru, Jakarta. DAFTAR PUSTAKA 60 to to Aoyama, T The Demersal Fish Stocks and Fisheries of South China Sea. IPFC/SCS/DEV/ 73/3. Rome. Afas Report of the 1 st Asian Fisheries Acoustics Society. 6-8 November Dalian. China. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset pengkajian stok, lingkungan sumber daya ikan demersal dan pelagis ekonomis penting dan Anonimus Kajian Potensi Sumber Daya Ikan dan Lingkungannya di Perairan Kabupaten Bengkalis. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bengkalis. 7

8 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 1-10 Balai Riset Perikanan Laut Status dan Tren Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Laut Arafura. Executive Summary. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2 pp. Balai Riset Perikanan Laut Riset pengkajian stok, lingkungan sumber daya ikan demersal dan pelagis ekonomis penting, dan sistem operasi penangkapan di Selat Malaka dan pantai timur Sumatera. Laporan Akhir Tahun. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. 63 pp. Effendie, M. I Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. 163 pp. Hannachi, M. S., L. B. Abdallah, & O. Marrakchi Acoustic Identification of Small Pelagic Fish Species: Target Strength Analysis and School Descriptor Classification. MedSudMed Technical Documents No.5. Mac Lennan, D. N Acoustical measurement of fish abundance. Journal Acoust. Soc. Am. 62: Mac Lennan, D. N. & E. J. Simmonds Fisheries Acoustic. Chapman and Hall. London. 325 pp. Natsir, M., B. Sadhotomo, & Wudianto Pendugaan biomassa ikan pelagis di perairan Teluk Tomini dengan metode akustik bim terbagi. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 11 (6): Sumiono, B Sumber daya ikan demersal dan struktur komunitas makrozoobentos di perairan Selat Malaka. Thesis. Program Pasca Sarjana. Program Studi Ilmu Kelautan. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia. 96 pp. Widodo, J., K. A. Aziz, B. E. Prijono, G. H. Tampubolon, N. Naamin, & A. Djamali (eds) Potensi dan Penyebaran Sumber Daya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber Daya Ikan Laut di Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 251 pp. Widodo, J Pengantar Pengkajian Stok Ikan. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 11 pp. 8

9 Lampiran 1. Komposisi hasil tangkapan jenis ikan demersal dengan jaring trawl di perairan Kabupaten Bengkalis pada bulan Oktober 2009 Appendix 1. The composition of the catch of demersal fish species with trawl nets in the waters of the Bengkalis District in October Stasiun trawl/trawl stations No. Famili/Family No. Spesies/Species w n w n w n w n w n w n w n w n w 1. Apogonidae 1. Apogon sp. 0,01 4 0, , Ariidae 2. Arius sp. 0,30 3 0,80 3 2, Bothidae 3. P. spinosus 0,08 1 0,20 4 0,32 8 0,02 5 0,35 6 0, Centriscidae 4. Centriscus sp. 0, Charcarinidae 5. Charcharinus sp. 0,25 1 0,35 1 0,20 1 0,05 3 0,24 6. Cynoglossidae 6. Cynoglossus sp. 0,04 3 0,04 2 0,10 6 0,10 9 0,05 7. Dasyatididae 7. Dasyiatis sp. 1,80 1 1,70 3 6, ,80 7 0,75 3 1,65 6 0,20 8. Himantura sp. 0,30 1 0,40 8. Ephippidae 9. Drepane longimana 0,12 3 0,50 2 0,11 2 0, Ephippus orbis 0, ,06 5 0, Gerridae 11. Gerres kapar 0, , , Haemulidae 12. Pomadasys sp. 0, , ,13 1 2, , ,01 1 0, Harpadontidae 13. Harpadon sp. 0,01 1 0,02 2 6, , Kurtidae 14. Kurtus indicus 0,05 1 0, , Lactaridae 15. Lactarius sp. 0, Leiognathidae 16. Gazza minuta 1, , , Leiognathus bindus 0, , Leiognathus decorus 0, Secutor ruconius 0, , , , , , Lutjanidae 20. Lutjanus ruselli 0,30 3 0, Monacanthidae 21. Monacanthus sp. 0, Mullidae 22. Upeneus sulphureus 1, , , , , , , Muraenesocidae 23. Muraenesox 0, Platycephalidae 24. Platycephalus sp. 0,08 4 0,21 8 0,20 4 0, Polynemidae 25. P. microstoma 0,03 1 0,01 1 0,14 5 0, , , , ,07 2 0, P. nigripinnis 0,06 5 0, Scianidae 27. Johnius sp. 0, , , , , , , Otolithes ruber 5, , ,10 1 1, Pennahia sp. 1, Siganidae 30. Siganus sp. 0, Sillaginidae 31. Sillago robusta 0,05 7 0,01 1 0,95 5 0, Soleidae 32. Aesopia sp. 0,01 1 0, Sygnathidae 33. Hyppocampus sp. 0, Synodontidae 34. S. micropectoralis 0,08 3 1, , ,25 3 1, , Synodus sp. 0, Teraponidae 36. Terapon therap 0,16 4 0, , , , Tetraodontidae 37. Arothron sp. 0,50 1 0, Lagocephalus sp. 0,25 6 0,10 4 0,02 1 0, Lagocephalus inermis 0,05 1 0, , , ,30 5 1, Triacantidae 40. Triacanthus sp. 1, , ,70 7 0, , ,16 9 0, Trchiuridae 41. Trichiurus sp. 0,19 6 0,10 2 0,07 2 0,30 8 0,02 Keterangan/Remarks: w = bobot jenis ikan hasil tangkapan (kg); n = jumlah ikan hasil tangkapan (ekor); stasiun 1, 6, 9, dan 12 unsuccessful Estimasi Stok Sumber Daya... di Perairan Kabupaten Bengkalis (Priatna, A. & Wijopriono)

10 10 Lampiran 2. Komposisi hasil tangkapan jenis ikan pelagis dengan jaring trawl di perairan Kabupaten Bengkalis pada bulan Oktober 2009 Appendix 2. The composition of the catch of pelagic fish species with trawl nets in the waters of the Bengkalis District in October 2009 Stasiun trawl/trawl stations No. Famili/Family No. Spesies/Species w n w n w n w n w n w n w n w n w 1. Carangidae 1. Alectis ciliaris 0, Atule mate 0,01 1 0,05 1 0, Carangoides malabaricus 0,01 1 0,07 2 0,02 1 0, Megalaspis cordyla 0,14 3 0, Pampus argenteus 0,01 2 0,08 3 0,10 2 0, Scomberoides sp. 0, ,01 1 0,0 7. Selaroides leptolepis 0, Chirocentridae 8. Chirocentrus dorab 0, Clupeidae 9. Anodontostoma chacunda 0,02 1 0, Dusumieria sp. 0, Ophisthopterus sp. 0,05 3 0,01 1 0,03 4, Pellona ditchela 1, , , , , , , , ,0 4. Engraulidae 13. Coilia sp. (bulu ayam) 1, , , ,2 14. Ophisthopterus tardoore 0,11 8 2, , Setipinna tenuifilis 0, , ,05 1 1, ,2 16. Thryssa sp. 0, , Thryssa setirostris 0, Scombridae 18. Rastriliger kanagurta 0, Sepiidae 19. Sepia sp. 0,03 1 0,20 3 0,04 2 0,11 8 0,20 9 0,05 5 0,2 7. Stromateidae 20. Pampus argenteus 0, ,10 5 0, ,15 7 Other 1. Echinoidea 0, Gastropoda 0, Shrimp 0, , , , , , , ,0 4. Squid 0, , , , , , , ,0 5. starfish 0,12 1 0,05 1 0, Crab 0, ,25 8 0, , , , , ,4 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : 1-10

11 Kelimpahan Stok Sumber Daya Ikan Demersal di Perairan Sub Area Laut Jawa (Badrudin, et al.) KELIMPAHAN STOK SUMBER DAYA IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN SUB AREA LAUT JAWA Badrudin 1), Aisyah 1), dan Tri Ernawati 2) 1) Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Ancol-Jakarta 2) Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 25 Nopember 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 25 Pebruari 2011; Disetujui terbit tanggal: 28 Pebruari 2011 ABSTRAK Tulisan ini menyajikan data dan informasi tentang present status perikanan demersal di Laut Jawa, dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di sub area Laut Jawa yang tidak merata. Data yang dianalisis merupakan sebagian hasil survei Balai Riset Perikanan Laut di Pelabuhan Perikanan Pantai Tegal pada tahun 2010 dan pada periode tahun sebelumnya. Eksploitasi sumber daya ikan demersal di perairan Laut Jawa sudah berlangsung sejak lama dan mencapai puncaknya pada sekitar tahun 1970-an di mana trawl dioperasikan secara intensif terutama di sepanjang pantai utara Jawa. Tingginya tekanan penangkapan di perairan pantai sampai kedalaman 40-an m telah menyebabkan menurunnya kelimpahan sumber daya, sebagaimana tampak pada hasil tangkapan cantrang kecil dan jaring arad yang dioperasikan secara harian. Kelimpahan dan ukuran individu ikan demersal di kawasan yang lebih dalam tampak cukup besar sebagaimana tercermin dari hasil tangkapan cantrang besar yang dioperasikan lebih lama. Dari fenomena tersebut dapat diduga bahwa sumber daya ikan demersal di perairan pantai sudah mengalami tangkap lebih (overfishing) yang mengarah kepada penurunan stok atau bahkan depleted. Kegiatan penangkapan ikan di perairan yang lebih dalam di mana tekanan penangkapan relatif lebih rendah tampak memberikan keuntungan. KATA KUNCI: ABSTRACT: ikan demersal, kelimpahan stok, sub area Laut Jawa Demersal fish stock abundance in the Java Sea sub areas. By: Badrudin, Aisyah, and Tri Ernawati Based on data analysis and information collected, this paper describes the present status of demersal fisheries in the Java Sea and the uneven level of exploitation of the fish resources in the Java Sea sub areas. Data analyzed provide part of research results carried out by the Research Institute for Marine Fisheries. Data were obtained from a number of surveis carried out in Tegal landing place in 2010 and from the previous years. Demersal resources in the Java Sea have been exploited for years, where high fishing intensity occurred in the north coast of Java. High fishing pressure in the coastal waters lead to the decreasing fish resources abundance, as reflected by the catch of small size cantrang and arad operated on daily bases. The relatively high abundance of demersal fish and bigger size of individual fish caught by the offshore cantrang in the deeper waters indicating that this waters provide a lightly exploited area. From this phenomenon it is likely that the status of exploitation of fish resources in the coastal waters are already overfishing that lead to decreasing stock or even depleted. Fishing activities in the relatively lower fishing pressure of the deeper waters area is still likely profitable. KEYWORDS: demersal fisheries, resources abundance, Java Sea sub areas PENDAHULUAN Perairan yang relatif dangkal yang dikenal sebagai continental shelf dengan dasar yang relatif rata dan berlumpur merupakan daerah penangkapan sumber daya ikan demersal. Perairan yang cukup luas dengan kondisi yang demikian hanya terdapat di kawasan Paparan Sunda dan Paparan Sahul. Daerah penangkapan ikan demersal di kawasan Indonesia lainnya relatif sempit. Kelompok ikan demersal adalah jenis-jenis ikan yang sebagian besar dari siklus hidupnya berada di dasar atau sekitar dasar perairan. Ciri-ciri kelompok ikan tersebut adalah aktivitas yang rendah dan gerak ruaya yang tidak jauh (Aoyama, 1973). Pelaksanaan kerja sama penelitian sumber daya ikan demersal Indonesia-Jerman yang dimulai pada tahun 1974 dapat dianggap sebagai benchmark bagi penelitian sumber daya ikan demersal yang dilaksanakan secara teratur di kawasan barat Indonesia. Pada awal periode kerja sama penelitian telah diidentifikasi bahwa berdasarkan atas sebaran jenis ikan peperek (Leiognathus splendens) perairan Laut Jawa dibagi menjadi perairan inshore yang dicirikan oleh kehadiran jenis ikan peperek tersebut Korespondensi penulis: Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur-Jakarta 14430, Telp. (021) , Fax. (021) , rccf_office@indo.net.id 11

12 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : dan offshore di mana tidak dijumpai lagi ikan peperek dalam hasil tangkapan. Perairan inshore Laut Jawa meliputi perairan inshore utara Jawa, timur Lampung atau Sumatera Selatan, selatan Kalimantan, dan perairan offshore meliputi kawasan bagian tengah Laut Jawa (Gambar 1). Gambar 1. Garis imajiner sebaran ikan peperek, Leiognathus splendens sub area Laut Jawa (Aj1 = inshore timur Lampung/Sumatera Selatan; Aj2, Aj3, Aj4 = inshore pantai utara Jawa; Aj5, Aj6, Aj7 = inshore selatan Kalimantan; Aj8, Aj9, Aj10, Aj11 = offshore Laut Jawa *). Figure 1. Distribution area of pony fish, Leiognathus splendens in the Java Sea sub areas (Aj1 = inshore area of East Lampung/South Sumatera; Aj2, Aj3, Aj4 = inshore North Java coast; Aj5, Aj6, Aj7 = inshore area of south coast of Kalimantan; Aj8, Aj9, Aj10, Aj11 = offshore area of Java Sea *) Sumber/Sources: *) Deskripsi sub area Laut Jawa (Losse & Dwiponggo, 1977) Keterangan/Remarks: Sub area inshore Laut Jawa: Aj1 = dieksploitasi oleh trawlers dari Jakarta Aj2 = dieksploitasi oleh trawlers dari Jakarta, Cirebon; dan purse seine dari Tegal Aj3 = dieksploitasi oleh trawlers dari Semarang, Pekalongan; purse seine Pekalongan dan Tegal; gill netters dan bagan Aj4 = dieksploitasi oleh trawlers dari Surabaya; gill netters dan artisanal dari Madura Aj5 = dieksploitasi oleh trawlers dari Jakarta secara musiman Aj6 = dieksploitasi oleh trawlers secara musiman (pukat udang) Kotabaru Aj7 = dieksploitasi oleh trawlers dari Kotabaru (terlihat pada bulan Juli 1976) Offshore Laut Jawa: Aj8 = tidak ada kegiatan penangkapan ikan. Virgin ground (?) Aj9 = tidak ada kegiatan penangkapan ikan. Tidak ada trawlers. Jamur meja (sponges). Virgin ground (?) Aj10 = tidak ada kegiatan penangkapan ikan. Trawlers dari Semarang dilaporkan menangkap ke Karimun Jawa. Virgin ground (?) Aj11 = tidak ada kegiatan penangkapan, kecuali gillnetter dari Bangka. Virgin ground (?) Data dasar yang diperoleh dari sejumlah survei kerja sama di perairan tersebut adalah laju tangkap sebagai indeks kelimpahan stok. Laju tangkap yang tinggi mencerminkan kepadatan stok yang tinggi (Badrudin et al., 2004). Laju tangkap tersebut merupakan dasar bagi penghitungan kepadatan stok (stock density), biomassa (standing stock), dan potensi (potential yield) yang setara dengan maximum sustainable yield. Sebagaimana diketahui bahwa indeks kelimpahan stok (stock abundance) merupakan salah satu indikator dari keberlanjutan pengembangan (sustainability development) sumber daya ikan secara runtun waktu. Salah satu indeks kelimpahan stok adalah catch per unit of effort atau catch rate. Eksploitasi sumber daya ikan demersal di Indonesia sudah berlangsung sejak lama. Dengan berkembangnya teknologi penangkapan sampai dewasa ini dapat dikatakan hampir tidak ada lagi daerah penangkapan ikan yang virgin, kecuali sumber daya inkonvensional ikan laut dalam di Samudera Hindia (Badrudin et al., 2006; Suprapto & Badrudin, 2006) dan perairan slope Laut Arafura (Badrudin et 12

13 Kelimpahan Stok Sumber Daya Ikan Demersal di Perairan Sub Area Laut Jawa (Badrudin, et al.) al., 2005). Dengan demikian, asumsi dasar yang sering diterapkan dalam pendugaan potensi sumber daya ikan demersal, di Laut Jawa seperti potential yield = 0,5 biomassa (Guland, 1983) mestinya sudah tidak akurat lagi. Berdasarkan atas hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 2010 dan hasil-hasil penelitian pada tahun sebelumnya, tulisan ini membahas kelimpahan sumber daya ikan demersal di Laut Jawa sebagai salah satu indikator tentang present status yang dapat menjadi salah satu dasar bagi pengelolaan (Food and Agriculture Organization, 2009). Menurut definisi (Larcombe & McLoughlin, 2007) secara umum, kondisi sumber daya ikan demersal di Laut Jawa sudah mengalami overfishing/overfished atau bahkan depleted sebagaimana terjadi pada stok tuna sirip biru (southern bluefin tuna) di Samudera Hindia (Majkowski, 2007). BAHAN DAN METODE Data yang dianalisis merupakan sebagian hasil survei Balai Riset Perikanan Laut, Pusat Riset Perikanan Tangkap pada tahun 2010 dan pada periode sebelumnya. Data laju tangkap sebagai indeks kelimpahan stok periode tahun merupakan hasil survei dengan menggunakan kapal penelitian K. M. Mutiara 4. Data (sampel) komposisi hasil tangkapan cantrang besar, cantrang kecil, dan jaring arad diperoleh dari sebagian catatan hasil lelang (buku bakul kapal cantrang besar, cantrang kecil, dan arad) yang dilakukan di Pelabuhan Perikanan Pantai Tegal pada tahun 2006, 2008, 2009, dan Hasil tangkapan cantrang besar diperoleh di perairan offshore, sedangkan hasil tangkapan cantrang kecil dan arad diperoleh di perairan inshore. Dengan mengacu kepada hasil penelitian sebelumnya (Losse, 1981), perairan offshore dan inshore tersebut merupakan sub area Laut Jawa, di mana stok sumber daya ikan demersal yang ada diasumsikan sebagai sub stok atau populasi yang terpisah. Asumsi tersebut didasarkan atas hasil penelitian Lloyd et al., 1996, yang mengatakan bahwa stok ikan anggoli (Pristipomoides multidens) yang merupakan jenis ikan demersal famili Lutjanidae di Laut Arafura sektor Indonesia terpisah dengan populasi ikan yang sama yang ada Laut Arafura sektor Australia. Terpisahnya stok ikan demersal di kedua sektor Laut Arafura tersebut disebabkan karena pergerakan yang rendah atau migrasi yang tidak jauh. HASIL DAN BAHASAN Indeks Kelimpahan Stok Dari sejumlah kegiatan survei di perairan inshore dan offshore tersebut diperoleh informasi adanya kecenderungan dari kelompok ikan demersal untuk menggerombol di perairan inshore tertentu dalam kaitannya dengan musim timur dan barat. Pada musim timur di mana angin tenggara berhembus kencang telah menyebabkan timbulnya kawasankawasan perairan yang teduh (lee area) di perairan Tanjung Selatan-Muara Barito dan Tanjung Puting- Teluk Kumai. Kegiatan pengambilan contoh penangkapan pada musim timur di kawasan perairan tersebut menghasilkan laju tangkap, sebagai indeks kelimpahan stok, yang lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan perairan lainnya. Sebaliknya pada periode musim barat di mana kawasan yang relatif teduh terjadi di perairan pantai timur Lampung atau Sumatera Selatan, telah menghasilkan laju tangkap yang tinggi dibandingkan dengan kawasan lainnya (Badrudin et al., 1989). Perilaku pengelompokkan ikan demersal tersebut diduga berkaitan erat dengan adanya arus atau massa air dengan organisme atau ikan yang ada di dalamnya yang membentuk sejenis pusaran yang kemudian membentuk kawasan perairan yang teduh. Dari tabel distribusi ikan demersal menurut kedalaman perairan (Saeger et al., 1976) tampak bahwa ada kecenderungan bahwa sebaran ikan demersal akan menurun sesuai dengan bertambahnya kedalaman. Dengan kata lain, bahwa makin dalam suatu perairan kepadatan stoknya semakin kecil. Untuk perairan Paparan Sunda kepadatan stok yang tinggi berada pada kedalaman sampai 40 m. Keadaan ini diduga berlaku umum. Potential Yield Potential yield adalah hasil tangkapan yang dapat diambil dari suatu perairan tanpa menggangu kelestarian stoknya (Saeger et al., 1976). Dugaan besarnya potential yield tersebut diperoleh dari hasil survei penangkapan dengan trawl melalui metode swept area. Pada dasarnya potential yield tersebut adalah sama dengan the maximum sustainable yield yang diperoleh dari analisis data catch dan effort melalui aplikasi model produksi surplus (the surplus production model). Dari survei penangkapan tersebut dapat diperoleh dugaan angka rata-rata laju tangkap (catch rate) sebagai indeks kelimpahan stok yang kemudian dapat dikembangkan menjadi dugaan ratarata kepadatan stok (dalam satuan bobot per satuan luas, ton/km 2 ). Dengan asumsi, bahwa kepadatan 13

14 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : stok tersebut adalah merata, maka perkalian antara kepadatan stok dengan luas perairan yang di survei dapat diperoleh dugaan standing stock atau biomassa. Dikatakan oleh Gulland (1983) dengan mengambil separuh dari biomassa yang ada maka sumber daya ikan tersebut diperkirakan akan lestari yang dikatakan dengan rumus: Py=0,5 MB o... (1 di mana: M = mortalitas alami B o = biomassa Dengan perkataan lain, bahwa dengan menyisakan separuh dari stok yang ada, diharapkan keberadaan (availability) sumber daya ikan tersebut akan berlanjut. Potential yield sumber daya ikan demersal di wilayah pengelolaan perikanan Laut Jawa yang dibagi berdasarkan atas sub area inshore dan offshore secara keseluruhan sekitar an ton, yang terdiri atas perairan inshore utara Jawa, timur Lampung, dan selatan Kalimantan sekitar ton (Losse, 1981) sebagaimana disajikan pada Tabel 1. Dari hasil survei selama tahun di Laut Jawa diperoleh estimasi besarnya potensi sumber daya ikan demersal di berbagai perairan sub area Laut Jawa, seperti perairan inshore utara Jawa, perairan offshore Laut Jawa dan perairan inshore Kalimantan Selatan. Sebagaimana diketahui pada waktu itu, tekanan penangkapan sumber daya ikan demersal di berbagai sub area Laut Jawa tidak merata, di mana tekanan yang paling tinggi terjadi di perairan inshore timur Lampung atau Sumatera Selatan dan utara Jawa. Hal ini didasarkan atas bahwa basis operasi penangkapan dengan trawl pada waktu itu hanya terpusat di perairan utara Jawa, mulai dari Banten atau Kronjo, Jakarta, Subang atau Blanakan, Cirebon, Tegal, Semarang, Juwana, Rembang, dan Tuban. Sebaliknya tekanan penangkapan di perairan selatan Kalimantan dan di bagian offshore (lepas pantai) Laut Jawa pada kedalaman lebih dari 40 m relatif rendah. Relatif rendahnya tekanan penangkapan tersebut juga tercermin dari angka laju tangkap sebagai indeks kelimpahan stok yang relatif lebih tinggi (Tabel 1). Tabel 1. Table 1. Indeks kelimpahan stok (laju tangkap), kepadatan stok, dan potential yield sumber daya ikan demersal di Laut Jawa Stock abundance index (catch rate), stock density, and potential yield of demersal fish in the Java Sea Sub area Luas/ Width (km 2 ) Laju tangkap/ Catch rate (kg/jam) Kepadatan stok/ Stock density (ton/km 2 ) Biomassa/ Biomass (10 3 ton) Potential yield (10 3 ton) Utara Jawa , Selatan Kalimantan , Timur Lampung/Sumatera Selatan , Lepas pantai Laut Jawa , Total Sumber/Sources: Losse (1981) Tampak bahwa sebaran laju tangkap sebagai indeks kelimpahan stok di perairan sub area Laut Jawa sedikit berbeda. Hal ini diduga akibat tidak meratanya tekanan penangkapan pada masing-masing sub area tersebut. Lebih kecilnya indeks kelimpahan stok di perairan pantai utara Jawa dan timur Lampung diduga terkait dengan intensifnya kegiatan penangkapan di kawasan perairan itu. Sebagaimana diketahui bahwa kedua perairan tersebut telah secara bersama-sama dieksploitasi oleh kapal-kapal penangkapan yang berbasis di utara Jawa. Pantai timur Lampung atau Sumatera Selatan merupakan daerah penangkapan (fishing ground) kapal-kapal yang berbasis di Kronjo (Tangerang atau Banten) dan Muara Karang dan Pasar Ikan, Jakarta. Dari pengamatan di lapangan sampai saat ini Pelabuhan Kronjo, Tangerang merupakan basis kapal cantrang yang beroperasi di timur Lampung, Laut Jawa, dan bahkan sampai ke selatan Kalimantan. Basis-basis Perikanan cantrang yang utama di utara Jawa mulai dari barat ke timur adalah Kronjo, Blanakan (Subang-Jawa Barat), Tegal-Jawa Tengah, dan Brondong-Jawa Timur. Selain itu ada sejumlah pendaratan ikan hasil perikanan cantrang yang relatif lebih kecil mulai dari barat ke timur sepanjang pantai utara Jawa seperti Muara Sabak atau Tangerang, Eretan, Indramayu, Losari, Brebes, 14

15 Kelimpahan Stok Sumber Daya Ikan Demersal di Perairan Sub Area Laut Jawa (Badrudin, et al.) Batang, dan Rembang. Tingginya tekanan penangkapan Perikanan cantrang sebagai generasi penerus trawl tersebut diduga terus berlangsung sampai saat ini, sebagaimana terbukti dari hasil survei pada tahun 2010 di Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Tegal. Sub Area Perairan Pantai Utara Jawa 320 Kg/jam CPUE Peperek CPUE Demersal CPUE Total 1. Indeks kelimpahan stok sumber daya ikan demersal Gambaran tentang pengaruh penangkapan terhadap indeks kelimpahan stok sumber daya ikan demersal di perairan utara Jawa Tengah pada tiga tahun sebelum dan sesudah pelarangan penggunaan trawl melalui Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980 tentang pelarangan penggunan trawl, dikatakan oleh Badrudin (1987) sebagaimana pada Gambar 2. Dari gambar tersebut tampak bahwa komunitas sumber daya ikan yang tertangkap dengan trawl di perairan utara Jawa Tengah yang merupakan daerah penangkapan sumber daya ikan demersal yang terluas di perairan utara Jawa di dominansi oleh kelompok sumber daya ikan demersal. Komunitas sumber daya ikan demersal tersebut juga didominansi oleh kelompok ikan peperek. Hal ini tampak jelas dari tiga kurva paralel yang terbentuk yang selama tiga tahun sebelum dan sesudah pelarangan trawl (Gambar 2). Tampak bahwa antara tahun , trend catch per unit of effort sebagai indeks kelimpahan stok cenderung menurun. Hal ini diduga akibat tingginya tekanan penangkapan terhadap sumber daya ikan demersal tersebut. Antara tahun menunjukkan kenaikan yang signifikan yang diduga karena rendahnya tekanan penangkapan sebagai akibat dilarang beroperasinya kapal penangkapan ikan dengan trawl. Antara tahun kegiatan pengambilan contoh penangkapan trawl dengan kapal penelitian di perairan utara Jawa untuk sementara dihentikan akibat diberlakukannya Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980 tersebut. Perairan paparan (shelf) utara Jawa Timur relatif sempit dibandingkan dengan pantai utara Jawa Barat atau Jawa Tengah. Perairan paparan utara Jawa Tengah merupakan kawasan perairan paparan yang terluas di utara Jawa. Berdasarkan atas data laju tangkap sebagai indeks kelimpahan stok dari sejumlah kelompok ikan pada periode tiga tahun sebelum dan beberapa tahun 0 Gambar 2. Figure Tren indeks kelimpahan stok (catch per unit of effort) total, total demersal, dan ikan peperek (Leiognathidae) pada periode sebelum dan sesudah penghapusan trawl di pantai utara Jawa Tengah. Trend of total index of abundance (catch per unit of effort), demersal fish, and pony fish (Leiognathidae) in the pre and after trawl ban period in the north coast of Central Java. setelah dihapusnya trawl melalui Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980, tampak adanya perubahan laju tangkap dari beberapa kelompok ikan. Pada periode tiga tahun sebelum dihapusnya trawl, tampak adanya sedikit penurunan trend dari laju tangkap secara umum baik dari laju tangkap total maupun laju tangkap kelompok ikan demersal. Kelompok ikan peperek (Leiognathidae) dengan ke kecualian pada tahun 1978 yang menunjukkan kenaikan, tren secara umum dapat dikatakan relatif konstan. Keadaan yang sebaiknya terjadi pada periode sesudah dihapusnya trawl. Setelah tahun 1984, baik laju tangkap total, kelompok ikan demersal dan kelompok ikan peperek menunjukkan peningkatan laju tangkap yang sangat menonjol (Gambar 2). Perubahan yang cepat dari laju tangkap kelompok ikan demersal lainnya juga ditunjukkan oleh kelompok ikan kuniran (Mullidae) dan kapas-kapas (Gerreidae), di mana kecenderungan yang menurun tajam terjadi pada tiga tahun sebelum dihapusnya trawl, sebaliknya sejak tahun trend laju tangkap tersebut naik secara tajam (Gambar 3). Keadaan yang sama dengan bobot yang lebih kecil terjadi pada tren laju tangkap kelompok ikan kurisi (Nemipteridae), beloso (Synodontidae), dan kelompok ikan rucah. Ikan rucah adalah jenis-jenis ikan yang (pada waktu itu) merupakan kelompok yang belum dimakan (Lampiran 1). 15

16 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : Kg/jam Gerreidae Mullidae Nemipteridae Syndontidae Trashfish 15 Kg/jam 10 5 Ariidae Lactaridae Lutjanidae Pomadasyidae Stromateidae 0 Gambar 3. Figure Tren indeks kelimpahan stok lima kelompok ikan demersal pada periode sebelum dan sesudah penghapusan trawl di sub area perairan pantai utara Jawa Tengah. Trend of five groups of demersal fish in the pre and after trawl ban period in the sub area of the north coast of Central Java. Sumber/Sources: Badrudin (1987) Suatu fenomena yang berbeda ditunjukkan oleh kelompok ikan lemah (Lactaridae), manyung (Ariidae), gerot-gerot (Pomadasyidae), kakap merah (Lutjanidae), dan layur (Trichiuridae). Dari penampilan tren laju tangkap kelima kelompok ikan tersebut tampak bahwa tekanan penangkapan yang cukup tinggi yang berlangsung saat itu diduga tidak berpengaruh langsung terhadap indeks kelimpahan stoknya. Hal ini diduga kuat bahwa kelima kelompok ikan tersebut berada di luar daerah penangkapan trawl. Sebagaimana diketahui bahwa sasaran utama dari perikanan trawl tersebut adalah udang, sedangkan ikan dapat dikatakan merupakan hasil tangkap sampingan. Dengan proporsi hasil tangkapan udang sekitar 5% dari hasil tangkapan total, sudah dapat mengembalikan seluruh biaya operasional pada trip tersebut (Baum, 1978). Hal yang mengherankan adalah tren dari ikan gerot-gerot (Pomadasyidae) pada periode tahun yang cenderung menurun, sedangkan ikan kakap merah (Lutjanidae) dan bawal putih (Stromateidae) pada periode tahun cenderung naik yang kemudian menurun pada periode satu tahun berikutnya (Gambar 4). Sub Area Perairan Selatan Kalimantan Secara administratif, sebagian perairan selatan Kalimantan termasuk ke dalam wilayah administrasi Provinsi Kalimantan Tengah dan sebagian masuk ke dalam Provinsi Kalimantan Selatan. Pada masingmasing kedua wilayah administratif tersebut terdapat adanya tanjung yang selama periode kegiatan 0 Gambar 4. Figure Tren indeks kelimpahan stok lima kelompok ikan demersal pada periode sebelum dan sesudah penghapusan trawl di sub area perairan pantai utara Jawa Tengah. Trend of five groups of demersal fish in the pre and after trawl ban period in the sub area of the north coast of Central Java. Sumber/Sources: Badrudin (1987) penelitian dianggap mencirikan wilayah perairan. Perairan Tanjung Puting merupakan ciri khas perairan Kalimantan Tengah dan perairan Tanjung Selatan merupakan ciri khas Kalimantan Selatan. Dengan asumsi bahwa antara bulan April sampai Oktober adalah musim timur dan bulan Oktober sampai April adalah musim barat, kegiatan penelitian di perairan selatan Kalimantan yang dilakukan antara tahun , dapat dikelompokkan menjadi tiga kegiatan (cruise) yang dilakukan pada musim timur dan lima kegiatan pada musim barat (Tabel 2). Tingginya indeks kelimpahan stok di selatan Kalimantan tampaknya ada kaitannya dengan musim timur dan musim barat. Pada periode musim timur sebagimana telah dikatakan terdahulu, perairan Tanjung Selatan diduga merupakan tempat berlindungnya ikan demersal dari tekanan arus akibat hembusan angin tenggara yang terus-menerus pada kecepatan yang tinggi. Sebagaimana tampak dari rata-rata indeks kelimpahan stok pada tiga tahun berturut-turut (tahun 1977, 1978, dan 1979) sekitar 409 kg/jam dengan koefisien variasi yang relatif rendah (15%). Sebaliknya pada periode musim barat ratarata indeks kelimpahan stok antara tahun 1978, 1980, 1982, 1983, dan 1984 hanya sekitar 176 kg/jam. Tingginya indeks kelimpahan stok tersebut diduga tetap berlangsung sampai saat ini, yang diduga sebagai akibat relatif rendahnya tekanan penangkapan. Gambaran tersebut diperoleh dari wawancara dengan nakhoda kapal cantrang berbasis Tegal yang beroperasi di perairan selatan Kalimantan. 16

17 Kelimpahan Stok Sumber Daya Ikan Demersal di Perairan Sub Area Laut Jawa (Badrudin, et al.) Tabel 2. Table 2. Indeks kelimpahan stok jenis-jenis ikan demersal (kg/jam) di perairan Laut Jawa sub area Tanjung Selatan, Kalimantan Selatan Stock abundance index of some demersal fish (kgs/hour) in Tanjung Selatan waters of the Java Sea sub area Keterangan/Remarks: + = <0,5 kg. a) dilaksanakan pada musim peralihan barat Sumber/Sources: Badrudin et al. (1989) Sub Area Perairan Offshore Laut Jawa Kegiatan penangkapan ikan dengan cantrang yang dilakukan nelayan di perairan offshore Laut Jawa secara rinci belum diperoleh contoh. Namun dari wawancara dengan nakhoda kapal cantrang yang mengaku menangkap ikan di selatan Kalimantan tersirat dari data global positioning system ternyata menangkap sampai ke perairan offshore Laut Jawa. Jenis ikan/kind of fish Musim timur/east monsoon Ariidae Carangidae Clupeidae Drepanidae Leiognathidae Lutjanidae Pomadasyidae Rays Lain-lain Total catch rate Rata-rata musim 409 Sd (koef.var.) 60,45 (15 %) Rata-rata 264 (Sd: 137; K Gambar 5. Figure 5. Indeks kelimpahan stok di perairan offshore Laut Jawa. Index of stock abundance in the offshore waters of the Java Sea. Sumber/Sources: Losse & Dwiponggo (1977) Sebagaimana tampak pada Gambar 5 tersebut indeks kelimpahan stok di perairan offshore cukup tinggi. Kondisi tersebut diduga tetap berlangsung sampai saat ini sebagaimana terbukti dari hasil tangkapan cantrang kecil dan besar yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Tegal. Komposisi hasil tangkapan dan indeks kelimpahan stok dari kedua jenis cantrang (besar dan kecil) disajikan pada Tabel 3. Komposisi hasil tangkapan utama cantrang yang dioperasikan di peraian offshore 17

18 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : dan inshore Laut Jawa tampak berbeda. Ini menunjukkan bahwa komunitas ikan demersal di perairan inshore sudah berubah. Adanya perubahan komposisi jenis ikan merupakan hal yang terjadi pada perikanan yang dieksploitasi, di mana penyebab utamanya adalah tingginya tekanan penangkapan. Sebagimana diketahui bahwa tiap jenis ikan memiliki ketahanan yang berbeda terhadap tekanan penangkapan. Jenis ikan hasil tangkapan utama cantrang pada tahun 2008, 2009, dan 2010 yang tertangkap dominan, antara lain ikan swanggi (Priacanthus spp.), coklatan (Scolopsis taeniopterus), kurisi (Nemipterus spp.), dan gulamah, tigawaja (Sciaenidae). Dari data ukuran panjang ikan contoh, yang diambil pada bulan Agustus 2010, yaitu jenis ikan swanggi dan kurisi pada umumnya berukuran relatif besar dan ukuran tersebut tidak pernah dijumpai tertangkap di perairan inshore (Gambar 6 dan 7). Jenis ikan hasil tangkapan utama cantrang pada tahun 2008, 2009, dan 2010 antara lain ikan swanggi, coklatan, kurisi, gulamah, dan tigawaja. Menurut Beck & Sudrajat (1978) jenis-jenis ikan tersebut di Laut Jawa merupakan tipe jenis ikan yang habitatnya berada di perairan yang lebih dalam. Hasil tangkapan di perairan inshore sebagimana tercermin pada hasil tangkapan cantrang kecil dan arad tahun 2009 didominansi oleh kelompok ikan beloso (Saurida spp.) dan ikan peperek (Leiognathidae). Kelompok ikan coklatan tidak tertangkap dengan arad di perairan inshore, sebaliknya di perairan offshore tidak dijumpai adanya simping (scallops, Amusium spp.), cumi-cumi (squids), sotong (cuttle fish), dan udang dalam hasil tangkapannya. Tabel 3. Table 3. Persentase komposisi jenis hasil tangkapan utama cantrang di perairan offshore dan inshore Percentage composition of the main catch of cantrang in the offshore and inshore waters Offshore Inshore 2006 (18) 2008 (4) 2010 (10) *) 2009 Cantrang Arad Priacanthus spp. 11,5 27,2 21 Saurida spp. 9,6 24,1 Nemipterus spp. 4,1 7,5 21 Leiognathidae 5,2 7,5 Upeneus spp. 17,6 5,7 13,2 Nemipteridae 11,6 7,5 Scolopsis taeniopterus 22,1 12,7 9,2 P. longimanus 2,9 0,7 Scianidae 3,9 7,6 2,9 Upeneus sulphureus 5,5 0,8 Leiognathus sp. 3,2 0,6 3,7 Soleidae 2,4 0,4 P. longimanus 7,6 2,2 1,3 Pari (Dasyatidae) 2,9 2,9 Saurida spp. 3,6 0,6 2,1 Stolephorus spp. 3,1 4,2 Pari (Dasyiatis spp.) 6,8 2,5 1 Scianidae 3,1 5,6 Tetraodontidae 1,4 0,3 4,9 Ikan campuran 15,2 14,0 Selar 0,5 0,2 3,1 Cumi-cumi 22,5 2,0 Sardinella spp Sontong 3,9 4,3 Epinephelus spp. 0 3,8 0 Simping 0,4 8,5 Arius sp. 4,8 0,6 0,2 Udang 0,6 7,1 Abalistes stellaris 1,4 2,4 1,3 Rajungan 1,7 1,7 Total % 88,5 85,2 84,9 Total % 90,5 91,4 Rata-rata bulanan catch/kapal (kg) Rata-rata bulanan catch/kapal (kg) 66,8 71,1 Keterangan/Remarks: *) angka dalam kurung: jumlah kapal contoh Sumber/Sources: Buku bakul/individual/private auction book 18

19 Kelimpahan Stok Sumber Daya Ikan Demersal di Perairan Sub Area Laut Jawa (Badrudin, et al.) depleted, sedangkan kegiatan penangkapan ikan di perairan offshore diduga memberikan keuntungan. KESIMPULAN 1. Eksploitasi sumber daya ikan demersal di perairan Laut Jawa sudah berlangsung sejak lama dan mencapai puncaknya pada sekitar tahun 1970-an di mana trawl dioperasikan secara intensif terutama di pantai utara Jawa. Gambar 6. Figure 6. Contoh sebaran frekuensi panjang ikan swanggi, Priacanthus tayenus (14-23 cm). Sample of length frequency of red big eye, Priacanthus tayenus (14-23 cm). 2. Tingginya tekanan penangkapan di perairan pantai sampai kedalaman 40-an m telah menyebabkan menurunnya kelimpahan sumber daya, sebagaimana tampak pada hasil tangkapan cantrang kecil dan jaring arad yang dioperasikan secara harian. 3. Kelimpahan dan ukuran individu ikan demersal di kawasan yang lebih dalam tampak cukup besar sebagaimana tercermin dari hasil tangkapan cantrang besar yang dioperasikan lebih lama. 4. Dari fenomena tersebut dapat diduga bahwa sumber daya ikan demersal di perairan pantai sudah mengalami overfishing yang mengarah kepada depleted. 5. Kegiatan penangkapan ikan di perairan yang lebih dalam di mana tekanan penangkapan relatif lebih rendah tampak memberikan keuntungan. Gambar 7. Figure 7. Contoh sebaran frekuensi panjang ikan kurisi, Nemipterus hexodon (9-29 cm). Sample of length frequency of threadfin fish, Nemipterus hexodon (9-29 cm). Dari fenomena tersebut diduga terjadi perubahan komposisi komunitas sumber daya ikan demersal di kawasan perairan pantai utara Jawa. Sebaliknya di perairan lepas pantai kondisi sumber daya ikan diduga relatif stabil sejak beberapa tahun yang lalu akibat rendahnya tekanan penangkapan ikan. Dari rata-rata bulanan hasil tangkapan arad atau cantrang kecil yang jumlahnya sekitar 66,8 dan 71,1 kg, dapat dikatakan bahwa sumber daya ikan demersal di perairan inshore utara Jawa sudah dalam kondisi depleted, sebagimana telah terjadi terhadap sumber daya ikan tuna sirip biru (southern bluefin tuna) di Samudera Hindia (Majkowski, 2007). Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa pergerakkan ikan demersal yang lamban dan migrasi yang tidak jauh, sehingga status eksploitasi di kawasan inshore utara Jawa sudah PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset indeks kelimpahan stok dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan demersal di wilayah pengelolaan perikanan Laut Jawa, T. A. 2010, kerjasama antara Badan Riset Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Riset dan Teknologi. DAFTAR PUSTAKA Aoyama, T The Demersal Stocks and Fisheries of the South China Sea. SCS/DEV/73/3. Food and Agriculture Organization. Rome. 80 pp. Baum, G. A A Cost/Benefit Calculation for Bagansiapi-Api Trawlers Operating Out of Surabaya and Gresik at Java. 34 pp. Beck, U. & A. Sudradjat Variation in size and composition of demersal trawl catches from the North Coast of Java with estimated growth parameters for three important food fish species. 19

20 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : Special Report. Contrib. of the Dem. Fish. Pro. LPPL-GTZ. No : Badrudin, M The recovery of demersal fish stock and the stock parameters of the splendid pony fish, Leiognathus splendens, in the North Coast of Central Java, Indonesia. M.Sc. Thesis. School of Animal Biology. University College of North Wales. Bangor. U. K. 57 pp. Badrudin, H. Wahyuono, & S. Umiyati Sumber daya ikan demersal yang potensial bagi bahan baku pakan ikan budi daya. Prosiding Temu Karya Ilmiah Penelitian menuju Program Swa-Sembada Pakan Ikan Budi Daya. Prosiding Pusat Penelitian dan Pengembangan No.17/1989: Badrudin, S. Nurhakim, & B. Fegan Catch rate and catch composition of trawl fish net in the Arafura Sea. Indonesian Fisheries Research Journal. 10 (1): 1-7. Badrudin, N. N. Wiadnyana, & B. Wibowo Deep water exploratory bottom long lining in the waters of the Arafura Sea. Indonesian Fisheries Research Journal. AMFR. MMAF. 11 (1): Badrudin, Wudianto, N. N. Wiadnyana, & S. Nurhakim Deep sea fish resources diversity and potential in the waters of Western Sumatera of the Eastern Indian Ocean. Indonesian Fisheries Research Journal. 12 (2): Food and Agriculture Organization The State of World Fisheries and Aquaculture Food and Agriculture Organization Fisheries and Aquaculture Department. Food and Agriculture Organization-UN. Rome. 176 pp. Gulland, J. A Fish Stock Assessment-A Manual of Basic Methods. John Wiley & Sons. New York. 223 pp. Losse, G. F. & A. Dwipoggo Report on the Java Sea south east monsoon trawl survei, June- Desember Special Report. Contrib. of the Dem. Fish. Project. No.3. Marine Fisheries Research Report. 119 pp. Losse, G. F Final report of the Indonesian- German demersal fisheries project Special Report. Contrib. of the Dem. Fish. Project. No.8. Marine Fisheries Research Report. RIMF- GTZ. 45 pp. Lloyd, J., J. Ovenden, S. Newman, & C. Keenan, Stock structure of Pristipomoides multidens resources across Northern Australia. Fish. Res. Dev.Corp. Fish. WA, NT-DPIF, QDPI. Fishery Report No p+21 p Tables; 28 p App; 14 p Figs. Larcombe, J. & K. McLoughlin (Eds.) Fishery Status Report Status of Fish Stocks Managed by the Australian Government. Australian Government. Department of Agriculture. Fisheries and Forestry. Bureau of Rural Sciences. Canberra. 285 pp. Majkowski, J Global fishery resources of tuna and tuna like species. Food and Agriculture Organization Fish.Tech.Pap Food and Agriculture Organization-UN. Rome. 54 pp. Saeger, J., P. Martosubroto, & D. Pauly First report of the Indonesian-German demersal fisheries project (result of a trawl survei in the Sunda Shelf area). Special Report. Contrib. of the demersal fisheries project. No.1. Marine Fisheries Research Report. RIMF-GTZ. 46 pp. Suprapto & Badrudin Stock abundance index, density, composition, and distribution of deep sea shark and ray resources in the Eastern Indian Ocean. Indonesian Fisheries Research Journal. 12 (1):

21 Kelimpahan Stok Sumber Daya Ikan Demersal di Perairan Sub Area Laut Jawa (Badrudin, et al.) Lampiran 1. Appendix 1. Jenis-jenis ikan trash fish (belum biasa dikonsumsi) Types of trash fish (not ordinary consumpted) Nama ilmiah/scientific name Nama Inggris/English name Nama lokal/local name Anacanthidae Barbld leather jacket Aluteridae Leather jacket Antennaridae Toad fishes Apogonidae Cardinal fish Serinding Balistidae (excl. Abalistes stellaris) Bregmacerotidae Blenniidae Blennies Callyonymidae Dragonets Centriscidae Razor fish Chaetodontidae Butterfly/coral fish Kepe-kepe Dactylopteridae Flying gurnard Diodontidae Porcupine fish Echeneidae Sucker fish Fistulariidae Flutemouth Julung-julung Gobiidae Gobies Labridae Wrases Lagocephalidae Blowfish Buntal Ostraciontidae Box fish (cowfish) Parapercidae Grubfish Platycephalidae Flathead Ikan anjing Plotosidae Barble Sembilang Pomacanthidae Angelfish Pomacentridae Demoiselles Scaridae Parrotfish Kakaktua Scorpaenidae Scorpionfish Syngnathidae Pipefish Tetraodontidae Blowfish Buntal Triacanthidae Tripodfish Kakitiga Triglidae Gurnards Uranoscopidae Stargazers Zanclidae Moorish ideols Ikan hias 21

22 Daya Tangkap Kapal Pukat.. Pelagis Kecil di Laut Jawa (Purwanto & D. Nugroho) DAYA TANGKAP KAPAL PUKAT CINCIN DAN UPAYA PENANGKAPAN PADA PERIKANAN PELAGIS KECIL DI LAUT JAWA Purwanto dan Duto Nugroho Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Ancol-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 26 Oktober 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 28 Januari 2011; Disetujui terbit tanggal: 7 Pebruari 2011 ABSTRAK Pelaku usaha perikanan cenderung untuk terus memperbesar ukuran kapal, ukuran alat tangkap, dan alat bantu penangkapan ikan guna meningkatkan daya tangkapnya agar tercapai hasil tangkapan yang dapat memberikan jaminan kelangsungan usahanya. Oleh karena itu, estimasi perkembangan upaya penangkapan ikan tanpa memperhitungkan perubahan daya tangkap kapal perikanan tidak akan menggambarkan secara tepat perkembangan tekanan penangkapan terhadap sumber daya ikan. Hasil analisis regresi berganda menggunakan ordinary least square menunjukkan bahwa faktor yang secara signifikan mempengaruhi daya tangkap mencakup kekuatan mesin kapal, serta volume pukat cincin dan kekuatan lampu yang digunakan dalam penangkapan ikan. Pada periode tahun ketiga faktor tersebut cenderung meningkat, sehingga daya tangkap juga cenderung meningkat. Koreksi terhadap upaya penangkapan nominal untuk mengakomodasikan pengaruh perubahan daya tangkap dari tahun ke tahun telah memperbaiki hasil analisis produktivitas kapal. Untuk kebutuhan pengendalian penangkapan ikan guna memperkecil ancaman terhadap kelestarian sumber daya ikan, Pemerintah perlu mengatur kekuatan mesin kapal dan ukuran jaring kaitannya dengan ukuran kapal serta kekuatan maksimum lampu yang digunakan sebagai alat bantu penangkapan ikan. KATA KUNCI: ABSTRACT: daya tangkap, upaya penangkapan, perikanan pelagis kecil, Laut Jawa Fishing power of purse seiners and fishing effort in the Java Sea small pelagic fishery. By: Purwanto and Duto Nugroho Fishers tend to increase the size of fishing vessel, fishing gear, and supporting equipment in order to enlarge its fishing power as an attempt to get greater catch. Therefore, an estimation of the development of fishing effort without taking into account the development of the fishing power would not result in a correct figure of fishing pressure on a fish stock. The result shows that fishing power of purse seiners was affected by vessel engine power, purse seine volume, and lamp power used in fishing. During , there was a tendency of those three factors to increase. Consequently, fishing power of the fleet had a tendency to increase. A correction to the nominal fishing effort by taking into account the annual development of fishing power resulted in a better result of statistical analysis on vessel productivity. For the purpose of controlling fishing activity to minimise risk to the sustainability of fishery resources resulting from over exploitation, it should issue measures on the power of vessel engine and the volume of seinenet relating to vessel size, and the maximum power of light used in fishing. KEYWORDS: fishing power, fishing effort, small pelagic fishery, Java Sea PENDAHULUAN Penangkapan ikan di Laut Jawa merupakan salah satu kegiatan perikanan yang relatif dinamis di Indonesia dan memberikan sumbangan yang relatif besar terhadap produksi perikanan laut nasional tahun 2007, yaitu sekitar 25,4% (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2009). Salah satu kelompok sumber daya ikan utama yang menjadi sasaran kegiatan penangkapan ikan di Laut Jawa adalah sumber daya ikan pelagis kecil. Kegiatan penangkapan ikan pelagis kecil di Laut Jawa telah dilaksanakan jauh sebelum Indonesia merdeka dengan menggunakan alat tangkap tradisional (Butcher, 1995; Dwiponggo, 1987). Perkembangan pesat perikanan pelagis kecil tersebut terjadi setelah diperkenalkannya alat tangkap pukat cincin kepada nelayan pantai utara Jawa pada awal tahun 1970-an (Bailey & Dwiponggo, 1987). Sumber daya ikan pelagis kecil yang relatif melimpah, tingkat permintaan akan ikan yang relatif tinggi dan cenderung terus meningkat, tingkat keuntungan ekonomi yang relatif menarik, dan ketersediaan teknologi penangkapan pukat cincin telah mendorong nelayan untuk terus meningkatkan upaya penangkapannya. Peningkatan upaya penangkapan tersebut berdampak penurunan hasil Korespondensi penulis: Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur-Jakarta 14430, Telp. (021) , Fax. (021) , rccf_office@indo.net.id 23

23 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : tangkapan dan keuntungan per unit upaya penangkapan. Namun, dengan status sumber daya ikan yang merupakan sumber daya milik umum atau milik bersama (common property), tidak seorang pun memiliki hak khusus untuk memanfaatkan sendiri atau pun melarang orang lain yang ikut memanfaatkan sumber daya alam tersebut meningkatkan upaya penangkapannya. Akibatnya, setiap pelaku usaha berlomba meningkatkan upaya penangkapannya dengan harapan mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak. Jumlah dan ukuran kapal diperbesar guna meningkatkan daya jelajah operasi penangkapan dan memperbesar daya tangkap kapal agar hasil tangkapan per hari per kapal meningkat. Peningkatan daya tangkap juga dilakukan dengan memperbesar ukuran jaring dan mengoperasikan alat bantu penangkapan, antara lain berupa lampu. Upaya peningkatan daya tangkap tersebut telah menyebabkan peningkatan eksploitasi terhadap sumber daya ikan pelagis kecil di Laut Jawa (Purwanto, 2003; Cardinale et al., 2009). Kontribusi perikanan pukat cincin terhadap produksi perikanan pelagis kecil Laut Jawa pada tahun 2007 adalah sekitar 61,4% (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2009). Adapun sumbangan perikanan pelagis kecil terhadap produksi ikan dari Laut Jawa tahun 2007 adalah sekitar 29,8% (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2009). Pangkalan utama pukat cincin yang beroperasi di Laut Jawa adalah Pekalongan dan Juwana. Volume produksi ikan pelagis kecil yang didaratkan di dua pangkalan ini mencapai 40% dari produksi perikanan pelagis kecil Laut Jawa (Nugroho, 2006). Atmaja & Nugroho (2006); Nugroho (2006); Atmaja (2007), telah mengestimasi upaya penangkapan dari armada pukat cincin Pekalongan dan Juwana yang dioperasikan untuk memanfaatkan sumber daya ikan pelagis kecil di Laut Jawa. Upaya penangkapan tersebut diukur dengan menggunakan jumlah hari operasi penangkapan, tanpa mempertimbangkan perkembangan daya tangkap yang juga mempengaruhi produktivitas kapal. Bila kemampuan kapal dalam menangkap ikan meningkat dari tahun ke tahun, jumlah hari penangkapan ikan tidak mencerminkan tingkat upaya penangkapan, sehingga tidak dapat digunakan untuk mengukur besarnya upaya penangkapan riil. Oleh karena itu upaya penangkapan yang diukur dengan jumlah hari penangkapan perlu dikoreksi dengan memperhitungkan perubahan daya tangkap armada perikanan dari tahun ke tahun agar dapat diperoleh tingkat upaya penangkapan riil. Koreksi perlu dilakukan dalam mengestimasi upaya penangkapan ikan dengan memperhitungkan pengaruh dari perkembangan daya tangkap terhadap produktivitas kapal. Namun demikian, sejauh ini belum ada kajian yang mengidentifikasikan faktor yang mempengaruhi daya tangkap dan menggunakannya dalam mengestimasi perkembangan upaya penangkapan riil pada perikanan pelagis kecil di Laut Jawa. Tulisan ini menganalisis faktor yang mempengaruhi daya tangkap, yaitu kemampuan kapal dalam menangkap ikan, dan mengevaluasi perkembangan daya tangkap tersebut. Hasil analisis tersebut kemudian digunakan untuk melakukan koreksi terhadap upaya penangkapan yang diukur dengan jumlah hari penangkapan ikan sehingga diperoleh perkiraan upaya penangkapan riil yang menunjukkan tingkat upaya penangkapan secara tepat. BAHAN DAN METODE Upaya penangkapan nominal diukur dengan jumlah hari operasi penangkapan ikan. Koreksi terhadap upaya penangkapan nominal pada tahun t (E nt ) dilakukan dengan indeks daya tangkap (fishing power index) pada tahun yang sama (I t ) sehingga diperoleh perkiraan upaya penangkapan riil pada tahun t (E wt ). Hubungan dari ketiga variabel tersebut sebagai berikut: E wt =I t.e nt. (1 Indeks daya tangkap pada tahun t (I t ) dihitung dengan rumus berikut ini. Indeks daya tangkap bernilai satu pada tahun yang dijadikan standar. I t = t / ts... (2 di mana: = rata-rata daya tangkap pada tahun t t = rata-rata daya tangkap pada tahun t yang ts dijadikan standar Daya tangkap (fishing power) kapal perikanan, yaitu kemampuan kapal dalam menangkap ikan, diukur dengan rata-rata kemampuan kapal menangkap ikan dengan satuan ton per hari. Hubungan antara daya tangkap kapal perikanan pada tahun t dengan sejumlah faktor yang mempengaruhinya pada tahun t (x it ) dianalisis dengan dua alternatif persamaan berikut ini: h = t a0 di mana: a 0, a i, b 0, b i k + = i k ln h = t b + 0 = 1 aixit 1 1 bi ln = koefisien... (3a xit... (3b 24

24 Daya Tangkap Kapal Pukat.. Pelagis Kecil di Laut Jawa (Purwanto & D. Nugroho) Faktor-faktor yang diperkirakan mempengaruhi daya tangkap kapal perikanan pelagis kecil di Laut Jawa adalah ukuran kapal dengan proxy kekuatan mesin penggerak kapal (x 1 ), ukuran jaring untuk menangkap ikan (x 2 ), dan kekuatan lampu yang merupakan alat bantu penangkapan (x 3 ), masingmasing diukur dengan satuan tenaga kuda (HP), meter kubik dan watt. Analisis untuk memilih bentuk persamaan yang paling sesuai di antara persamaan (3a) dan (3b) serta untuk mengestimasi faktor yang berpengaruh dan nilai koefisiensinya dilakukan dengan ordinary least square. Selanjutnya dilakukan estimasi produktivitas kapal penangkap ikan yang diukur dengan satuan ton per hari. Hasil tangkapan per unit upaya penangkapan digunakan sebagai indikator dari produktivitas kapal. Angka produktivitas kapal penangkap ikan pada tahun t (U jt ) yang diestimasi dengan E wt dibandingkan secara statistik dengan angka produktivitas yang diestimasi dengan E nt. Persamaan yang menggambarkan hubungan antara hasil tangkapan per unit upaya dengan upaya penangkapan dari Schaefer (1957); Fox (1970) berikut ini digunakan dalam analisis statistik tersebut: U jt =d 0 -d 1 E jt... (4a ln U jt =d 0 -d 1 E jt... (4b di mana: j = w dan n Analisis untuk membandingkan antara E wt dengan E nt dan memilih persamaan produktivitas kapal yang paling sesuai di antara persamaan (4a) dan (4b) serta untuk mengestimasi nilai koefisiensinya dilakukan dengan ordinary least square. Data untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi daya tangkap kapal perikanan merupakan hasil monitoring kegiatan penangkapan ikan dari 140 kapal yang beroperasi di perairan sekitar Pulau-Pulau Bawean dan Masalembo pada bulan Oktober Data untuk mempelajari perkembangan daya tangkap dan indeks daya tangkap kapal perikanan merupakan hasil monitoring kegiatan penangkapan ikan pelagis kecil Laut Jawa selama 17 tahun mulai tahun Sementara itu data untuk menganalisis produktivitas kapal penangkap ikan merupakan hasil monitoring kegiatan penangkapan ikan dari armada pukat cincin yang berpangkalan di Pekalongan dan Juwana selama tahun bersumber dari Atmaja & Nugroho (2006); Nugroho (2006); Atmaja (2007). HASIL DAN BAHASAN Hasil Daya Tangkap Kapal Pukat Cincin Hasil analisis daya tangkap dari kapal pukat cincin yang dioperasikan pada perikanan pelagis kecil di Laut Jawa disajikan dalam bentuk persamaan sebagai berikut: h=-1048, x 1 +0,00131x 2 +0,124x 3 ;R 2 =0,586,n=140(5a (-2,23)* (3,97)*** (2,78)*** (1,45) ns ln h= ,546 ln x 1 + 0,438 ln x 2 + 0,498ln x 3 ; (2,52)** (3,30)*** (2,36)** (2,39)** R 2 =0,593;n=140...(5b di mana: 1. Angka dalam kurung adalah nilai t-statistik dari pengaruh variabel independen terhadap daya tangkap. 2. ***, **, dan * menunjukkan bahwa nilai t-statistik masing-masing signifikan pada P<0,01, P<0,02, dan P<0, ns menunjukkan bahwa pengaruh variabel yang bersangkutan secara statistik tidak nyata. Hasil analisis dengan menggunakan persamaan linear (persamaan (5a)) menunjukkan bahwa di antara tiga variabel hanya dua yang secara statistik memiliki pengaruh sangat nyata terhadap daya tangkap kapal pukat cincin. Dua variabel tersebut adalah kekuatan mesin kapal dan ukuran jaring untuk menangkap ikan. Pengaruh dari kekuatan lampu secara statistik tidak nyata. Koefisien determinasi (R 2 ) hasil analisis dengan model persamaan linear tersebut adalah 0,586, yang mengindikasikan bahwa persamaan ini menjelaskan 58,6% dari variasi daya tangkap. Sementara itu, analisis dengan menggunakan data yang ditransformasikan ke dalam nilai logaritma menghasilkan model persamaan yang lebih sesuai dengan data, yaitu persamaan (5b). Berdasarkan atas hasil analisis terakhir ini, ketiga variabel yang diuji memiliki pengaruh yang secara statistik signifikan terhadap daya tangkap. Ketiga variabel tersebut adalah kekuatan mesin kapal, ukuran jaring untuk menangkap ikan, dan kekuatan lampu yang merupakan alat bantu penangkapan. R 2 persamaan (5b) adalah 0,593, yang mengindikasikan bahwa persamaan ini menjelaskan 59,3% dari variasi daya tangkap. Angka ini relatif lebih tinggi dibanding R 2 dari persamaan (5a). Oleh karena itu persamaan (5b) digunakan lebih lanjut dalam mengevaluasi perkembangan daya tangkap kapal pukat cincin di Laut Jawa (Gambar 1). 25

25 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : Gambar 1. Figure 1. Perkembangan kekuatan mesin penggerak kapal, volume pukat cincin, dan kekuatan lampu yang digunakan dalam penangkapan ikan pada perikanan pelagis kecil di Laut Jawa, serta perkiraan nilai dan indeks daya tangkapnya (daya tangkap tahun 1988 sebagai standar, IDT 1988 =1). The development of vessel engine power, purse seine volume, and lamp power used in the small pelagic fishery of the Java Sea, and the estimated value and index of fishing power (average fishing power of vessels in the year 1988 as standard, FPI 1988 =1). Pada periode tahun , rata-rata kekuatan mesin, ukuran jaring, dan kekuatan lampu yang digunakan kapal pukat cincin dalam operasi penangkapan ikan pelagis kecil di Laut Jawa cenderung terus meningkat (Gambar 1 dan Lampiran 1). Karena itu, daya tangkap kapal pukat cincin juga cenderung meningkat pada periode tahun tersebut. Pada tahun-tahun selanjutnya sampai 2007 ketiga faktor tersebut cenderung tidak banyak berubah sehingga tidak terdapat perubahan menyolok pada daya tangkap kapal yang berhubungan dengan tiga faktor tersebut. Upaya dan Produktivitas Kapal Penangkap Ikan Upaya penangkapan nominal, yang diukur dengan jumlah hari penangkapan, cenderung meningkat selama tahun (Gambar 2 dan Lampiran 2). Namun, jumlah hari operasi penangkapan ikan tersebut tidak mencerminkan tingkat upaya penangkapan riil, karena kemampuan kapal dalam menangkap ikan per hari cenderung meningkat dari tahun ke tahun (Gambar 1). Oleh karena itu, upaya penangkapan nominal dikoreksi dengan menggunakan rata-rata daya tangkap (IDT) kapal pukat cincin, dengan IDT tahun 1988 sebagai standar (IDT 1988 =1), sehingga diperoleh perkiraan upaya penangkapan riil tahun tahun (Gambar 2). 26

26 Daya Tangkap Kapal Pukat.. Pelagis Kecil di Laut Jawa (Purwanto & D. Nugroho) Gambar 2. Figure 2. Perkembangan upaya penangkapan dan produktivitas kapal penangkap ikan pelagis kecil di Laut Jawa, tahun The development of fishing power and estimated productivity of vessels in the Java Sea small pelagic fishery, Karena daya tangkap kapal cenderung meningkat dari tahun ke tahun, maka perbedaan antara upaya penangkapan nominal dengan upaya penangkapan riil juga semakin besar dari tahun ke tahun (Gambar 2). Penggunaan upaya penangkapan nominal tanpa dikoreksi dengan perubahan daya tangkap kapal perikanan menghasilkan estimasi upaya penangkapan yang lebih rendah (under estimated fishing effort). Akibatnya, produktivitas kapal yang diukur dengan hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan nominal tersebut menjadi lebih tinggi dari produktivitas riil (over estimated vessel productivity) (Gambar 2). Hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan selain mencerminkan produktivitas kapal perikanan juga mengindikasikan kelimpahan sumber daya ikan. Analisis hubungan antara hasil tangkapan per unit upaya penangkapan dengan upaya penangkapan dilakukan baik dengan menggunakan upaya penangkapan nominal maupun upaya penangkapan riil. Koreksi terhadap upaya penangkapan nominal dilakukan untuk mengakomodasikan pengaruh dari perubahan daya tangkap dari tahun ke tahun, dengan indeks daya tangkap tahun 2004 sebagai standar (IDT 2004 =1). Hasil analisis produktivitas kapal menggunakan tingkat upaya penangkapan nominal, dengan alternatif model persamaan linear dan non linear, sebagai berikut: U nt =194, ,08930 E nt ;R 2 =0,511; n=17.. (6a (5,71)*** (-2,30)* ln U nt =5, ,00081 E nt ; R 2 =0,541; n=17. (6b (18,97)*** (-2,49)* Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa secara statistik model persamaan non linear lebih sesuai dengan data. Hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi dan nilai t-statistik yang lebih tinggi. Sementara itu hasil analisis produktivitas kapal menggunakan tingkat upaya penangkapan riil, juga dengan alternatif model persamaan linear dan non linear, sebagai berikut: U wt =561, ,46817 E wt ; R 2 =0,873; n=17.(7a (11,14)*** (-6,92)*** ln U wt =6, ,00195 E wt ; R 2 =0,956; n=17.(7b (56,49)*** (-12,64)*** Hasil analisis tersebut juga menunjukkan bahwa secara statistik model persamaan non linear lebih sesuai dengan data, sebagaimana ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi dan nilai t-statistik yang lebih tinggi. Membandingkan hasil analisis yang menggunakan model persamaan non linear (persamaan (6b) dan (7b)), dapat disimpulkan bahwa koreksi terhadap 27

27 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : upaya penangkapan nominal untuk mengakomodasikan pengaruh perubahan daya tangkap dari tahun ke tahun telah memperbaiki hasil analisis statistik, baik koefisien determinasi maupun nilai t-statistiknya. Analisis dengan menggunakan upaya penangkapan tanpa koreksi menghasilkan persamaan (6b), dengan nilai koefisien determinasi 0,541, yang berarti bahwa hanya 54,1% dari variasi pada produktivitas kapal yang dapat dijelaskan dengan persamaan tersebut. Sementara itu, analisis dengan menggunakan upaya penangkapan yang dikoreksi dengan daya tangkap menghasilkan persamaan (7b), dengan nilai koefisien determinasi 0,956. Hal ini berarti bahwa 95,6% dari variasi pada produktivitas kapal dapat dijelaskan dengan persamaan tersebut. Dengan demikian, model produktivitas dari Fox (1970) dengan menggunakan upaya penangkapan yang dikoreksi dengan daya tangkap adalah paling sesuai untuk data hasil pengamatan pada perikanan pelagis kecil Laut Jawa. Bahasan Upaya penangkapan pada perikanan pelagis kecil di Laut Jawa pada dasarnya ditentukan oleh dua hal, yaitu jumlah keseluruhan dari hari operasi kapal perikanan dan kemampuan kapal dalam menangkap ikan (daya tangkap kapal perikanan). Jumlah hari operasi penangkapan ikan dari seluruh kapal perikanan dipengaruhi oleh jumlah kapal dan rata-rata lama waktu operasi penangkapan dari masing-masing kapal. Sementara itu, daya tangkap kapal pukat cincin yang dioperasikan untuk menangkap ikan pelagis kecil, sebagaimana ditunjukkan dari hasil analisis, dipengaruhi secara signifikan oleh kekuatan mesin penggerak kapal, ukuran jaring pukat cincin, dan kekuatan lampu yang digunakan dalam penangkapan ikan. Kekuatan mesin, ukuran jaring, dan kekuatan lampu yang digunakan kapal pukat cincin dalam operasi penangkapan ikan pelagis kecil di Laut Jawa cenderung meningkat, sebagaimana dijelaskan oleh Cardinale et al. (2009), sehingga daya tangkap kapal pukat cincin juga cenderung meningkat. Oleh karena itu, upaya penangkapan yang diukur dengan jumlah hari penangkapan ikan tanpa dikoreksi dengan daya tangkap kapalnya, sebagaimana dilakukan oleh Atmaja & Nugroho (2006); Nugroho (2006); Atmaja (2007), tidak akan mencerminkan tingkat upaya penangkapan secara tepat. Jumlah hari operasi penangkapan dari seluruh kapal perikanan yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun (Gambar 2) mengindikasikan bahwa jumlah kapal perikanan juga cenderung meningkat. Di lain pihak, daya tangkap kapal perikanan juga cenderung meningkat dari tahun ke tahun (Gambar 1). Konsekuensinya, tekanan penangkapan terhadap sumber daya ikan pelagis kecil juga cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pengendalian terhadap kapasitas penangkapan ikan diperlukan untuk menjamin agar tekanan penangkapan tidak melebihi daya dukung sumber daya ikannya. Pemerintah telah melakukan pengendalian kapasitas penangkapan ikan untuk masing-masing perusahaan dengan menggunakan perizinan sebagai instrumennya. Dalam pengendalian perikanan pukat cincin, melalui perizinan penangkapan ikan, pemerintah telah membatasi tonase dan jumlah kapal, ukuran mata jaring, maupun daerah penangkapan, namun tidak mengatur kekuatan mesin maksimum kaitannya dengan tonase kapal. Selain itu juga belum terdapat ketentuan yang mengatur ukuran jaring kaitannya dengan ukuran kapal dan ukuran kekuatan lampu maksimum yang dapat digunakan dalam pengendaliannya. Dengan demikian, resiko ancaman terdapat kelestarian sumber daya ikan memungkinkan timbul sebagai akibat dari belum diaturnya kekuatan mesin kapal dan ukuran jaring kaitannya dengan ukuran kapal serta kekuatan maksimum lampu yang digunakan sebagai alat bantu penangkapan ikan. Untuk kebutuhan pengendalian penangkapan ikan pemerintah juga perlu mengatur hal-hal tersebut. KESIMPULAN 1. Daya tangkap kapal pukat cincin yang dioperasikan untuk menangkap ikan pelagis kecil di Laut Jawa dipengaruhi secara signifikan oleh kekuatan mesin penggerak kapal, ukuran jaring pukat cincin, dan kekuatan lampu yang digunakan dalam penangkapan ikan. Ketiga faktor tersebut cenderung meningkat, sehingga daya tangkap kapal pukat cincin juga cenderung meningkat. Oleh karena itu, upaya penangkapan yang diukur dengan jumlah hari penangkapan ikan tanpa dikoreksi dengan daya tangkap tidak akan mencerminkan tingkat upaya penangkapan secara tepat. 2. Untuk kebutuhan pengendalian penangkapan ikan, Pemerintah perlu mengatur kekuatan maksimum mesin kapal, dan ukuran maksimum jaring kaitannya dengan ukuran kapal serta kekuatan maksimum lampu yang digunakan sebagai alat bantu penangkapan ikan. DAFTAR PUSTAKA Atmaja, S. B. & D. Nugroho Interaksi antara biomassa dengan upaya penangkapan: Studi kasus perikanan pukat cincin di Pekalongan dan 28

28 Daya Tangkap Kapal Pukat.. Pelagis Kecil di Laut Jawa (Purwanto & D. Nugroho) Juwana. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 12 (1): Atmaja, S. B Ketidakstabilan besaran stok ikan dari model produksi surplus. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 13 (1): Bailey, C. & A. Dwiponggo Indonesian marine fisheries: Structure and change. In C. Bailey et al. (eds.) Indonesian Marine Capture Fisheries. ICLARM Studies and Reviews Butcher, J. G Extending the frontier: the marine fisheries of Southeast Asia since In J. Roch et al. (eds.) Proceedings of Socioeconomics, Innovation, and Management of the Java Sea Pelagic Fisheries (SOSEKIMA). 4-7 December Java Sea Pelagic Fishery Assessment Project. Jakarta Cardinale, M., D. Nugroho, & L. Hernroth Reconstructing historical trends of small pelagic fish in the Java Sea using standardized commercial trip based catch per unit of effort. Fisheries Research. 99: Dwiponggo, A Indonesian marine fisheries resources. In C. Bailey et al. (eds.). Indonesian Marine Capture Fisheries. ICLARM Studies and Review Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Statistik Perikanan Indonesia Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Jakarta. Fox, W. W An exponential surplus yield model for optimizing exploited fish populations. Trans. Amer. Fish. Soc. 1: Nugroho, D Kondisi trend biomassa ikan layang (Decapterus spp.) di Laut Jawa dan sekitarnya. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 12 (3): Purwanto Status and management of the Java Sea fisheries In G. Silvestre, L. Garces, I. Stobutzki, M. Ahmed, R. A. Valmonte-Santos, C. Luna, L. Lachica-Aliño, P. Munro, V. Christensen, & D. Pauly (eds.) Assessment, Management, and Future Directions for Coastal Fisheries in Asian Countries. WorldFish Center Conference Proceeding 67. 1,120 pp. Schaefer, M. B Some considerations of population dynamics and economics in relation to the management of marine fisheries. Journal of the Fisheries Research Board of Canada. 14:

29 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : Lampiran 1. Appendix 1. Perkembangan kekuatan mesin kapal, volume pukat cincin, dan kekuatan lampu yang dioperasikan dalam penangkapan ikan pelagis kecil di Laut Jawa, tahun The development of vessel engine power, purse seine volume, and lamp power used in the small pelagic fishery of the Java Sea, Keterangan/Remarks: pada tingkat upaya penangkapan ikan setara dengan kondisi tahun 1993/at the level of fishing effort equal to that of 1993 Rata-rata Rata-rata volume Rata-rata kekuatan Lampiran 2. Perkembangan hasil tangkapan, upaya penangkapan pukat cincin/ kekuatan lampu Tahun/ mesin ikan, kapal/ dan hasil tangkapan per unit Average purse seine Average lamp upaya pada perikanan pelagis kecil di Laut Year Jawa, tahun Average vessel volume power Appendix 2. The development of catch, fishing effort, and catch engine per unit power effort in the Java (msea 3 ) small (watt) pelagic fishery, (HP) Upaya penangkapan 1990 Hasil tangkapan 114 per unit upaya penangkapan (100 hari operasi)/ (ton/100 hari)/ Hasil tangkapan Fishing effort (E) 1992 Catch 111 per unit effort Tahun/ (ton)/ (100 fishing days) 1993 (tonnes/ days) Year Catch 1994 Estimasi dengan 178 E Estimasi dengan E (tonnes) Dikoreksi/ 1995 nominal/ 172 dikoreksi/ Nominal Corrected Estimation 1996 by using 281 Estimation by using nominal E 271 corrected E , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,83 121, ,13 98, ,95 95, ,32 110, ,94 71, ,03 73, ,58 75,58 30

30 Tingkat Pemanfaatan Ikan Layang.. (Decapterus macarellus) dari Perairan Kendari (Hariati, T.) TINGKAT PEMANFAATAN IKAN LAYANG ABU-ABU (Decapterus macrosoma) DAN LAYANG BIRU (Decapterus macarellus) DARI PERAIRAN KENDARI ABSTRAK Tuti Hariati Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 10 Agustus 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 23 Nopember 2010; Disetujui terbit tanggal: 28 Pebruari 2011 Sumber daya ikan layang (Decapterus macrosoma dan Decapterus macarellus) di perairan Pantai Kendari tertangkap dengan pukat cincin mini. Sampai saat ini kajian stok belum pernah dilakukan sehingga belum diperoleh data dan informasi tingkat pemanfaatannya. Dalam upaya pelestarian pemanfaatan sumber daya ikan layang, dilakukan pengkajian stok untuk memperoleh nilai dugaan parameter populasi dan tingkat pemanfaatan. Hasil yang diperoleh dapat dijadikan sebagai alternatif kebijakan dalam perkembangan dan pengelolaan. Data frekuensi panjang kedua spesies dikumpulkan tiap bulan dari bulan Maret 2009 sampai dengan Pebruari Kemudian data dianalisis menggunakan paket program FiSAT. Hasil kajian menunjukkan, nilai tingkat pemanfaatan (E) ikan layang abu-abu (Decapterus macrosoma) di perairan Kendari sudah tinggi (0,56) melewati nilai E max (0,47), sedangkan nilai E ikan layang biru (Decapterus macarellus) rendah (0,50) belum mencapai nilai E dengan keuntungan yang maksimal (E 0,10 =0,56) dan nilai E yang maksimal (0,64). Dalam rangka pengembangan pemanfaatan sumber daya ikan layang biru, alternatif perluasan daerah penangkapan dapat dilakukan ke perairan Banggai kepulauan. Untuk sumber daya ikan layang abuabu, pengembangan dapat dilakukan di sepanjang perairan pantai dekat pulau-pulau kecil dari sebelah barat Laut Kendari sampai ke perbatasan dengan wilayah Sulawesi Tengah. KATA KUNCI: ABSTRACT: tingkat pemanfaatan, ikan layang abu-abu dan layang biru, perairan Kendari The exploitation rate of both short fin scad (Decapterus macrosoma) and mackerel scad (Decapterus macarellus) from Kendari waters. By: Tuti Hariati Scads resource in the coastal waters of Kendari general caught by small purse seiner. So far, the assessment of scads stock has not been conducted that data and information of the exploitation rate was not available yet. In order to sustain the resource, assessment was carried out to obtain the population parameters and exploitation rate. The result might be used as a basic for the fisheries development or management policy. A set of length frequency data of the 2 species was collected every month from March to June These data were analyzed using the FiSAT Package Program. Results show, the value of exploitation rate (E) of short fin scad in the Kendari waters was high (0.56) exceeding the value of E max (0.47), whereas mackerel scad was 0.50, lower than E.10 (0.56). In order to extend the exploitation of mackerel scad, it is suggested to move the fishing ground to the waters around Banggai Archipelago. The exploitation of short fin scad could be developed along the coast especially around the small islands lays from the waters north west of Kendari to the border with the Central Sulawesi Province. KEYWORDS: exploitation rate, short fin scad, mackerel scad, Kendari waters PENDAHULUAN Perairan Kendari di Sulawesi Tenggara merupakan bagian dari perairan Laut Banda di tepi sebelah barat. Jenis-jenis sumber daya ikan yang terdapat di perairan Kendari di antaranya terdiri atas kelompok-kelompok sumber daya ikan karang (Hartati & Pralampita, 1993), ikan pelagis, demersal, dan biota laut lainnya (Linting et al., 1994). Alat tangkap sumber daya ikan pelagis di antaranya pukat cincin yang pada tahun 2008 berjumlah 98 unit, dengan hasil tangkapan yang dominan adalah ikan tongkol (Euthynnus affinis) (pelagis besar) 60% dan ikan layang (pelagis kecil) 35% dari total hasil tangkapan yang mencapai ton. Daerah penangkapan saat ini sampai ke Pulau Manui, lepas Pantai Kendari. Jika cuaca buruk operasi penangkapan terpusat di Pulau Saponda dan pantai utara Pulau Wowoni (Langara) dekat mulut Teluk Kendari. Ikan layang yang tertangkap dari perairan terdiri atas ikan layang abu-abu yang bersifat neritik oseanik dan layang biru yang bersifat oseanik. Kedua jenis ikan layang tersebut pada ukuran-ukuran tertentu Korespondensi penulis: Jl.Muara Baru Ujung, Kompleks Pelabuhan Perikanan Samudera-Jakarta 14440, Telp.(021)

31 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : dapat dijadikan sebagai umpan di dalam perikanan rawai tuna, di samping sebagai bahan dalam industri bumbu masak. Dalam upaya pelestarian pemanfaatan sumber daya ikan layang dilakukan pengkajian stok untuk memperoleh nilai dugaan parameter populasi dan tingkat pemanfaatan. Hasil yang diperoleh dapat dijadikan alternatif kebijakan. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Pengumpulan data sebaran frekuensi panjang ikan layang abu-abu dan layang biru dari hasil tangkapan pukat cincin contoh di perairan Kendari dilaksanakan tiap bulan dari bulan Maret 2009 sampai Pebruari 2010 (12 bulan). Daerah penangkapan pukat cincin Kendari saat ini meliputi perairan dekat Pantai Kendari ke arah utara yang banyak pulau-pulau kecil (di antaranya Pulau Umbele), arah ke timur laut yaitu di seputar Pulau Menui dan Pulau Saponda, serta Pulau Wowoni arah ke timur yang hanya berjarak 1 mil dari Kendari (di ujung Teluk Kendari). Prosedur Pengumpulan Data Pengambilan contoh sesuai dengan prosedur standar operasional (Mat et al., 2004). Berdasarkan atas prosedur dalam Sparre & Venema (1999), seperti yang dilakukan oleh Hariati & Pralampita (2008) di perairan Laut Cina Selatan. Satu keranjang ikan (40 kg) hasil tangkapan diambil secara acak dari tiap kapal contoh. Tiap-tiap jenis ikan pelagis kecil disortir lalu ditimbang. Contoh ikan layang (Decapterus macrosoma dan Decapterus macarellus) dipisahkan menurut spesies kemudian panjang cagak tiap-tiap spesies diukur menggunakan kertas ukur khusus. Untuk memperoleh sebaran frekuensi panjang tiap spesies ikan layang. Pengambilan contoh pada tiap bulan dilakukan sekitar enam kali, dari satu minggu sebelum periode bulan gelap sampai satu minggu sesudahnya (tiga minggu), untuk memperoleh jumlah yang diukur tiap spesies ikan layang sekitar 300 ekor. Data frekuensi panjang dari setiap pengambilan contoh disusun dari yang terkecil sampai yang terbesar dan ditabulasi menurut nilai tengah dengan kisaran 0,5 cm. Nama kapal, tanggal pengukuran, dan komposisi jenis ikan dicatat dalam kertas ukur. Hasil tangkapan per jenis ikan dari kapal contoh, terutama hasil tangkapan ikan layang (campuran dua spesies-w L ) dicatat dari nakhoda kapal. Hasil tangkapan Decapterus macrosoma atau layang abuabu (W LA ) dan Decapterus macarellus atau layang biru (W LB ) per kapal diduga berdasarkan atas perbandingan bobot contoh tiap spesies ikan layang (W lb dan W ld ). Bobot contoh W la dan W lb dari tiap kali pengamatan selain dari hasil penimbangan juga dihitung ulang dari data frekuensi panjang dengan persamaan hubungan panjang dan bobot ikan layang sebagai berikut: a. Decapterus macrosoma: W=0,0066*Fl^3, (1 b. Decapterus macarellus: W=0,0077*Fl^3, (2 di mana: W = bobot individu ikan FL = panjang cagak Pembobotan data contoh sebaran frekuensi panjang terhadap data frekuensi panjang tiap spesies ikan layang dari tiap kapal contoh dilakukan pembobotan (rise) terhadap hasil tangkapan tiap spesies ikan layang dalam kapal tersebut dengan rising factor (rf 1 )=W LA /W la untuk ikan layang abu-abu dan W Lb /W lb untuk ikan layang deles. Seluruh data frekuensi panjang tiap spesies dari tiap kapal dalam satu bulan digabung (pooled) sehingga hanya ada satu contoh data frekuensi panjang setiap spesies pada tiap bulan. Data frekuensi panjang (pooled) bulanan dari tiap lokasi tersebut diboboti lagi terhadap hasil tangkapan bulanan ikan layang (W M ) yang terdiri atas hasil tangkapan bulanan ikan layang abu-abu (W MA ) dengan faktor (rf2) = W MA / W LA(1-6), dan ikan layang biru dengan faktor (rf 2 ) = W MD / W LB(1-6), di mana W M = hasil tangkapan ikan layang bulanan, W MA = hasil tangkapan ikan layang abu-abu bulanan W MD = hasil tangkapan ikan layang biru bulanan. Data yang sudah disusun menurut bulan (Lampiran 1 dan 2) siap untuk dianalisis lebih lanjut. Analisis Data Untuk memperoleh dugaan parameter pertumbuhan (L dan K), dan parameter kematian ikan (Z, M, dan F), digunakan paket program FiSAT (Gayanilo & Pauly, 1997). Pertumbuhan ikan yang dieksploitasi mengikuti model von Bertalanffy dengan persamaan berikut: 32

32 Tingkat Pemanfaatan Ikan Layang.. (Decapterus macarellus) dari Perairan Kendari (Hariati, T.) L t = L -eks (K*(t-t )... (3 0 di mana: L t = panjang ikan pada umur t L = rata-rata panjang maksimum K = konstanta pertumbuhan t 0 = umur pada panjang 0 cm Data frekuensi panjang bulanan dianalisis secara langsung dengan program ELEFAN 1. Sebaran jumlah ikan menurut kelompok panjang diperoleh dari pengambilan contoh hasil tangkapan polymodal. Dalam program ELEFAN 1 modus-modus atau puncak-puncak teridentifikasi dengan proses restrukturisasi. Puncak-puncak tersebut diasumsikan mewakili kohor-kohor dan paling cocok dalam pembentukan suatu kurva pertumbuhan von Bertalanffy secara interaktif, nilai-nilai L dan K dari R n yang tertinggi. Kematian total (Z) diperoleh dari analisis kurva penangkapan yang dikonversikan ke panjang (length converted catch curve): Ln (C(L 1, L 2 )/dt(l 1,L 2 )) = c-z*(t*((l 1 +L 2 )/2)... (4 Dalam analisis ini, digunakan data frekuensi panjang dan nilai-nilai L dan K sebagai input. Setelah kurva terbentuk dipilih data panjang ikan yang terkena eksploitasi, untuk dianalisis (regresi) menghasilkan Z (-b). Kematian alami (M) diduga dengan rumus empiris Pauly dalam Sparre & Venema (1999): M = Exp(-0,0152-0,279*L n L +0,6543*L K+0,463* L T)..(5 n n di mana: T = suhu perairan dari survei laut di daerah penangkapan 29 C dimasukan sebagai input Mengingat ikan layang mempunyai sifat menggerombol (Sparre & Venema, 1999) maka nilai M dikoreksi menjadi 20% lebih rendah, sehingga rumus Pauly tersebut menjadi: M = 0,8* Exp(-0,0152-0,279*L n L +0,6543*L n K+0,463*L n T). (6 Kematian karena penangkapan (F) diperoleh dari nilai Z dikurangi M, sedangkan dugaan tingkat pemanfaatan (E) dari F dibagi Z. Selanjutnya, panjang pertama kali tertangkap (l c ) masing-masing spesies ikan layang diperoleh dari probability of capture. Analisis yield per recruit relatif dilakukan terhadap data frekuensi panjang masing-masing spesies Setelah menambahkan nilai-nilai l c /L dan M/K, akan keluar nilai-nilai E 0,05, E 0,1, dan E max dalam grafik untuk mengetahui status pemanfaatan E saat ini. HASIL DAN BAHASAN Di perairan Kendari, sebaran frekuensi panjang ikan layang abu-abu (Lampiran 1) menunjukkan kisaran panjang 7-33 cm panjang cagak sedangkan sebaran frekuensi panjang ikan layang biru (Lampiran 2) menunjukkan kisaran panjang cm panjang cagak. Hasil analisis dengan program FiSAT menghasilkan parameter populasi yaitu parameter pertumbuhan, kematian, dan tingkat pemanfaatan ikan layang. Parameter Pertumbuhan Dalam Tabel 1 tercantum panjang asimptotik (L ) Decapterus macrosoma (ikan layang abu-abu) dan Decapterus macarellus (ikan layang biru) yang diperoleh dari perairan Kendari memiliki panjang maksimum masing-masing 34 dan 34,7 cm Tl. Di perairan Teluk Ambon yang juga bagian dari perairan Laut Banda pada tahun 1996 diperoleh nilai L yang tidak jauh berbeda. Ikan layang abu-abu yang tertangkap di perairan paparan seperti perairan Natuna dan Anambas (Hariati & Pralampita, 2008); perairan Tawi-Tawi (Aripin & Showers, 2000); dan perairan Teluk Honda (Ramos et al., 2003) keduanya di Filipina, serta perairan Karnabha di India (Rohit & Shanbhogue, 2005) memiliki nilai-nilai L yang lebih rendah (23 cm Tl). Dalam daur hidupnya, ikan layang abu-abu hidup di perairan paparan kemudian bermigrasi ke laut yang lebih dalam (Potier, 1995). Nilai L ikan layang biru di perairan Kendari berada dalam kisaran nilai L di perairan Teluk Tomini (Anonimus, 2005) yang letaknya relatif dekat; sedangkan L ikan layang biru di perairan Sri Langka (Dayaratne, 1997), Samudera Hindia bernilai lebih tinggi. Pada Tabel 1 juga terlihat bahwa nilai-nilai konstanta pertumbuhan (K) ikan layang abu-abu di perairan Anambas dan Natuna dan perairan lainnya relatif tinggi dibandingkan dengan di perairan Kendari atau memiliki kecepatan pertumbuhan yang lebih besar, diduga karena L yang lebih pendek dan juga akibat tingginya eksploitasi. 33

33 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : Tabel 1. Table 1. Parameter pertumbuhan dua spesies ikan layang dari perairan Kendari dan perairan-perairan lainnya di wilayah Asia Tenggara Growth parameter of the 2 species of scads from Kendari waters and others in the South East of Asia Region Spesies/Species L (cm) K Perairan/ Tahun/ Waters Year Keterangan/Remarks Decapterus macrosoma 35,0 0,68 Ambon 1996 Syahailatua & Sumadiharga (1996); Syahailatua (1997) Decapterus macrosoma 24,9 0,77 Tawi-tawi 2000 Aripin & Showers (2000) Decapterus macrosoma 24,76 1,3 Honda Bay 2003 Ramos et al. (2003) Decapterus macrosoma 23,8 0,75 Karnabha 2005 Rohit & Shanbhogue (2005) Decapterus macrosoma 24,60 1,20 Natuna 2005 Hariati & Pralampita (2008) Decapterus macrosoma 23,1 1,20 Anambas 2005 Hariati & Pralampita (2008) Decapterus macrosoma 33,8 0,87 Kendari 2009 This research Decapterus macarellus 41,2 0,80 Sri Lanka 1997 Dayaratne (1997) Decapterus macarellus ,0-1,1 TelukTomini 2003 Anonimus (2005) Decapterus macarellus 35,98 0,92 Kendari 2009 This research Gambar 1. Figure 1. Kurva pertumbuhan layang abu-abu Decapterus macrosoma (atas) dan Decapterus macarellus (bawah) yang tertangkap dari perairan Kendari. Growth curve of mackarel scad Decapterus macrosoma (above) and Decapterus macarellus (under) caught from Kendari waters. 34

34 Tingkat Pemanfaatan Ikan Layang.. (Decapterus macarellus) dari Perairan Kendari (Hariati, T.) Dalam Gambar 1 berdasarkan atas pangkal dari garis pertumbuhan, diperoleh petunjuk musim pemijahan ikan layang abu-abu dari perairan Kendari berlangsung sekitar bulan September, sedangkan untuk ikan layang biru sekitar bulan Oktober. Dugaan ini perlu diperjelas dengan hasil pengamatan kematangan gonad yang dilakukan secara kontinu. Suwarso et al. (2008) berdasarkan atas pengamatan kematangan gonad, menemukan bahwa musim pemijahan ikan layang di perairan Laut Cina Selatan berlangsung dari akhir musim timur (bulan Agustus) berlanjut sampai musim peralihan 2 (bulan September sampai Nopember). Parameter Kematian Dalam Tabel 2 ditunjukkan bahwa nilai-nilai parameter kematian total (Z), kematian alami (M), dan kematian karena penangkapan (F) ikan layang abuabu dan layang biru dari perairan Kendari relatif rendah dibandingkan dengan nilai-nilai Z, M, dan F ikan layang abu-abu dari perairan Teluk Ambon dan Natuna. Hal ini menyebabkan tingkat pemanfaatan (E) ikan layang abu-abu dan layang biru dari perairan Kendari juga relatif lebih rendah daripada di kedua perairan tersebut. Diduga karena pemanfaatan sumber daya ikan layang abu-abu secara intensif menggunakan pukat cincin di perairan Kendari relatif belum lama. Adapun nilai E ikan layang abu-abu dari perairan Kendari saat ini hampir sama dengan nilai E ikan layang abu-abu dari perairan Anambas sedangkan nilai E ikan layang biru dari perairan Kendari menyamai nilai E jenis ikan yang sama dari perairan Teluk Tomini. Dalam Tabel 2 terlihat bahwa nilai-nilai F (kematian karena penangkapan) ikan layang abu-abu hampir di setiap perairan relatif lebih tinggi dari nilai M masingmasing. Artinya di perairan-perairan tersebut telah mengalami tekanan penangkapan dengan intensitas masing-masing. Kecuali di perairan Teluk Tomini di mana kisaran nilai F tidak jauh dari kisaran nilai M sehingga memiliki nilai E yang sama. Tabel 2. Table 2. Parameter kematian (Z, M, dan F) dan tingkat pemanfaatan (E) ikan layang dari perairan Kendari dan di perairan lainnya di wilayah Asia Tenggara Mortality parameters and exploitation rate (E) of scads from Kendari waters and others in the South East of Asia region Spesies/Species Z M F Decapterus macrosoma 2,94 1,29 1,65 Decapterus macrosoma 4,86 0,92 3,94 Decapterus macrosoma 3,49 1,59 1,90 Decapterus macrosoma 5,09 1,76 3,33 Decapterus macrosoma 4,11 1,75 2,36 Decapterus macarellus 2,4-2,5 1,0-1,1 0,8-1,3 0 Decapterus macarellus 2,68 1,34 1,34 Gambar 2. Figure 2. Kurva penangkapan dan parameter kematian Decapterus macrosoma (kiri) dan Decapterus macarellus (kanan) dari perairan Kendari. Catch curve and mortality parameters of both Decapterus macrosoma and Decapterus macarellus (right) from Kendari waters. 35

35 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : Untuk ikan layang biru dari perairan Kendari, nilai F sama dengan nilai M sehingga tingkat pemanfaatan (E) ikan layang abu-abu bernilai 0,50 (Tabel 2 dan Gambar 2). Maka di perairan Kendari nilai E ikan layang biru lebih rendah dibandingkan dengan nilai E ikan layang abu-abu. Diduga ada kaitannya dengan ketersediaan ikan layang abu-abu di perairan Kendari yang selama pengamatan lebih melimpah daripada ikan layang biru. Ini berarti bahwa daerah penangkapan di perairan Kendari memiliki kondisi lingkungan yang lebih cocok untuk kehidupan ikan layang abu-abu (neritik oseanik) daripada ikan layang biru yang lebih cocok hidup di perairan oseanik. Dalam Gambar 3, persentase keberadaan ikan layang biru dalam hasil tangkapan selama pengamatan makin berkurang sedangkan ikan layang abu-abu semakin meningkat dan mencapai 100% pada bulan Maret Diduga karena turunnya kadar garam di perairan Kendari (daerah pantai Laut Banda) akibat saat itu sering terjadi hujan. Status Tingkat Pemanfaatan Status tingkat pemanfaatan ikan layang abu-abu dari perairan Kendari saat ini (E present ) dalam Tabel 4 dan Gambar 4 (kiri) sudah melewati tingkat-tingkat E 0,05 (E=0,29), E 0,1 (E=0,35), dan E max, (E=0,47) sudah berada di bagian kanan kurva yang berarti upaya di daerah penangkapan yang sekarang sudah berlebih dan jika terus-menerus dilakukan akan membahayakan stok ikan layang. Tabel 4. Table 4. Status tingkat pemanfaatan ikan layang abu-abu dan layang biru dari perairan Kendari Status of exploitation rate of both short fin scad and mackerel scad caught from Kendari waters Gambar 3. Figure 3. Perbandingan persentase ikan layang abu-abu dan layang biru yang tertangkap dari perairan Kendari. Percentage ratio of both short fin scad and mackerel scad caught from Kendari waters. Pengembangan daerah penangkapan Decapterus macrosoma dapat dilakukan ke arah utara di perairan sepanjang pantai Sulawesi Tenggara, terutama di pulau-pulau kecil dari sebelah barat Laut Kendari (Pulau Bahulu) sampai perbatasan dengan Sulawesi Spesies/Species E 050 E 10 E max E present 100% Tengah seperti di Kepulauan Umbele dan Kepulauan Decapterus macrosoma 0,29 0,35 0,47 0,56 Salabangka. 90% Decapterus macarellus 0,35 0,56 0,64 0,50 80% Adapun E 70% present dari ikan layang biru berada di sebelah kiri nilai-nilai E 0,1 dan E max (Gambar 4, kanan) 60% antara lain disebabkan karena hasil tangkapan ikan layang 50% biru di daerah penangkapan saat ini kurang. Keberadaan 40% ikan layang biru yang lebih melimpah diduga terdapat di luar daerah penangkapan sekarang 30% salah satu di antaranya di sekitar mulut Teluk Tomini 20% bagian selatan tepatnya di perairan Banggai, Provinsi Sulawesi 10% Tengah, arah ke utara dari perairan Kendari. Menurut 0% Anonimus (2005) perairan Banggai kaya akan plankton nabati sebagai makanan ikan layang biru. M A M J J A S O N D J F M Month Layang abu-abu Layang biru 36

36 Tingkat Pemanfaatan Ikan Layang.. (Decapterus macarellus) dari Perairan Kendari (Hariati, T.) Gambar 4. Figure 4. Kurva yield per recruit relative ikan layang abu-abu Decapterus macrosoma (kiri) dan layang biru Decapterus macarellus (kanan) dari perairan Kendari. Curve of relative yield per recruit of short fin scad Decapterus macrosoma (left) and mackerel scad Decapterus macarellus (right) caught from Kendari waters. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Nilai tingkat pemanfaatan (E) ikan layang abu-abu di perairan Kendari sudah tinggi (0,56) melewati nilai E max (0,47), sedangkan nilai E ikan layang biru rendah (0,50) belum mencapai nilai E dengan keuntungan yang maksimal (E 0,10 =0,56) dan nilai E yang maksimal (0,64). Saran Dalam rangka pengembangan pemanfaatan sumber daya ikan layang biru, perluasan daerah penangkapan diduga dapat dilakukan ke perairan Banggai kepulauan. Untuk sumber daya ikan layang abu-abu, pengembangan dapat dilakukan di sepanjang perairan pantai dekat pulau-pulau kecil di barat Laut Kendari sampai ke perbatasan dengan wilayah Sulawesi Tengah. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset studi hubungan filogenetik dan biologi ikan layang (Decapterus spp. famili Carangidae) di Indonesia Tahap II, T. A. 2009, di Balai Riset Perikanan Laut-Muara Baru, Jakarta. DAFTAR PUSTAKA Aripin, I. E. & P. A. T. Showers Population parameters of small pelagic f Vol. 23 ishes caught of Tawi-tawi. Philippines. Naga. 4: Anonimus Teluk Tomini: Ekologi, Potensi Sumber Daya, Profil Perikanan, dan Biologi Beberapa Jenis Ikan Ekonomis Penting. Balai Riset Perikanan Laut. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Bada Riset Kelautan dan Perikanan. 114 pp. Dayaratne, P Review of small pelagic fishes of Sri Lanka. In Devaraj, M. & P. Martosubroto (Eds.) Small pelagic fishes in Asia-Pasific region. Proceeding of the APFIC Working Party on Marine Fishes. 1 st Session May Bangkok. Thailand. R. A. P. Publication 1997/ Gayanilo, Jr. F. C. & D. Pauly FiSAT-reference manual. ICLARM. Food and Agriculture Organization. 262 pp. Hartati, S. T. & W. A. Pralampita Potensi dan tingkat pengusahaan sumber daya perikanan kerang ekonomis penting di perairan Kendari, Sulawesi Tenggara. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 76: Hariati, T. & W. A. Pralampita Analisis frekuensi panjang ikan layang dari perairan Laut Cina Selatan. Prosiding Seminar Nasional Tahunan V: Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Tahun Jilid 2 Manajemen Sumber Daya Perikanan. No. Paper MS-7. Kerja Sama Jurusan Perikanan dan Kelautan. Fakultas Pertanian. Universitas Gadja Mada dengan Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. 9 pp. 37

37 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : Linting, M. L., Badruddin, & N. Wirdaningsih Indeks kelimpahan stok sumber daya ikan pelagis kecil di perairan Sulawesi Tenggara. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 87: Mat, I. M., S. Siriraksophon, R. Rumpet, S. A. S. A. Kadir, S. Ishikawa, & M. Supongpan Standard Operating Procedures for Data Collection and Analysis in the South China Sea. 9 pp. Potier, M Biodynex workshop. In Biodynex. Potier, M. & S. Nurhakim Eds. AARD Indonesian Ministry of Agriculture. Orstom. European Union Ramos, M. H., M. B. Caudelario, E. M. Mendoza, & F. C. Gonzales An Assessment of the Honda Bay Fisheries. Ramos. pdf. Adobe Reader. 50 pp. Rohit, P. & S. L. Shanbhogue Age and growth of Decapterus russelli and Decapterus macrosoma along Karnataka coast. India. Jur. Mar. Biol. Ass India. 47 (2) July-December Syahailatua, A. & K. Sumadiharga Dinamika populasi dua jenis ikan layang (Decapterus russelli dan Decapterus macrosoma) di Teluk Ambon. TORANI Buletin Ilmu Kelautan. 1 (6): Syahailatua, A Aspek biologi dan eksploitasi sumber daya perikanan ikan layang Decapterus russelli dan Decapterus macrosoma di Teluk Ambon. Prosiding Seminar Riptek Kelautan Nasional. IKN 218-IKN 223. Sparre, P. & S. C. Venema Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. Buku I: Manual. Food and Agriculture Organization. UNO. 438 pp. Suwarso, A. Zamroni, & Wudianto Biologi reproduksi dan dugaan musim pemijahan ikan pelagis kecil di Laut Cina Selatan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 14 (4):

38 Tingkat Pemanfaatan Ikan Layang.. (Decapterus macarellus) dari Perairan Kendari (Hariati, T.) Lampiran 1. Frekuensi panjang ikan layang abu-abu dari perairan Kendari bulan Maret 2009 sampai Pebruari 2010 Appendix 1. Length frequency distribution of scad from Kendari waters March 2009 to February 2010 Mid Maret Agus- Sep- April Mei Juni Juli length 2009 tus tember 7, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

39 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : Lampiran 2. Appendix 2. Frekuensi panjang ikan layang biru dari perairan Kendari Length frequency distribution of scad from Kendari waters Mid Maret Agus- Sep- Okto- Nopem- Desem- Januari Peb- April Mei Juni Juli length 2009 tus tember ber ber ber 2010 ruari 14, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

40 Proporsi Udang dan Hasil Tangkapan... Pukat Udang di Sub Area Laut Arafura (Sumiono, B., et al.) PROPORSI UDANG DAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PERIKANAN PUKAT UDANG DI SUB AREA LAUT ARAFURA Bambang Sumiono, Aisyah, dan Badrudin Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Ancol-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 25 Nopember 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 25 Pebruari 2011; Disetujui terbit tanggal: 28 Pebruari 2011 ABSTRAK Dengan mengurangi hasil tangkapan sampingan secara sadar, nelayan udang telah ikut membantu menjamin kesehatan, keanekaragaman dan keutuhan lingkungan perairan; meningkatkan stok udang dengan cara mengurangi penangkapan yuwana udang; dan melindungi stok ikan dengan cara membiarkan yuwana dan ikan dewasa lolos dari tertangkap jaring. Kajian ini membahas lebih dalam proporsi udang dan ikan demersal pada perikanan pukat udang di Laut Arafura. Gambaran umum masalah hasil tangkapan sampingan yang utama dalam perikanan udang di Indonesia adalah tingginya hasil tangkapan sampingan sehingga mengurangi proporsi udang yang diperoleh. Proporsi udang dan hasil tangkapan sampingan pada perikanan udang di Laut Arafura bervariasi baik pada sub area ataupun tahunan. Makin tinggi proporsi hasil tangkapan sampingan, makin kecil proporsi udang yang diperoleh. Bertentangan dengan logika umum di mana setelah hampir empat dekade eksploitasi, ada anggapan proporsi udang terhadap ikan makin mengecil, ternyata tren persentase udang terhadap ikan periode tahun cenderung naik, sedangkan di sub area Kaimana relatif stabil sebagaimana tampak pada tren yang hampir mendatar. Tren proporsi udang Laut Arafura periode tahun yang cenderung naik tampaknya ditopang (supported) oleh data proporsi udang dari sub area Aru. KATA KUNCI: ABSTRACT: proporsi udang, hasil tangkapan sampingan, sub area Aru, Kaimana, Dolak, Laut Arafura Shrimp and bycatch proportion in the shrimp trawl of the Arafura Sea shrimp fisheries. By: Bambang Sumiono, Aisyah, and Badrudin By reducing bycatch, the shrimp fishers involved intentionally in ensuring environmental health, biodiversity, and environmental integrity; increasing shrimp stock by reducing catch of juvenile; and protect the stock through releasing juvenile and adult fish caught by the net. This study discusses the proportion of shrimp and demersal fish as bycatch in the Arafura Sea shrimp fisheries. The main picture regarding bycatch in shrimp fisheries in Indonesia is that the higher level of bycatch will lead to the decreasing percentage of shrimp in the net. The annual proportion of shrimp and bycatch in the Arafura Sea shrimp fisheries varied in both by sub area and from year to year. The higher the proportion of bycatch causes the lower the proportion of shrimp. Contrary with public opinion that after more than four decades of shrimp exploitation in which proportion of shrimp in the catch becoming smaller and smaller, in fact, the trend of shrimp percentage in the catch during have been increasing. The trend of shrimp proportion in Kaimana sub area was almost horizontal/stable, while in the total Arafura Sea (Kaimana, Aru, and Dolak combined) was increasing. The proportion of shrimp on demersal fish in the Arafura Sea was likely supported by the proportion of shrimp from Aru sub area. KEYWORDS: shrimp proportion, bycatch, Aru sub area, Kaimana, Dolak, Arafura Sea PENDAHULUAN Perikanan trawl udang secara komersial di perairan Arafura dan sekitarnya dengan menggunakan teknik dan peralatan modern dimulai sejak tahun 1969 melalui usaha patungan antara Indonesia dengan Jepang dan dalam pengembangannya sudah menjadi usaha Penanaman Modal Dalam Negeri. Basis operasional kapal penangkapan udang terutama terdapat di Sorong, Tual, Bintuni, Benjina, Merauke, dan Kendari. Menurut Naamin (1984) daerah penangkapan udang yang diusahakan secara intensif di Laut Arafura seluas km 2. Secara geografis dan pemusatan daerah penangkapan dapat dibagi menjadi empat lokasi, yaitu sub area I atau kawasan kepala burung dengan luas lebih kurang km 2 meliputi perairan Selat Sele dan Teluk Bintuni; sub area II yaitu kawasan Fak- Fak, sekitar Pulau Adi, dan Kaimana sampai muara Sungai Uta dengan luas sekitar km 2 ; sub area III yang meliputi kawasan sekitar Pulau Aru dengan luas km 2 ; sub area IV yang meliputi perairan Kokonao, Aika, Mimika, Aiduna, muara Sungai Digul, dan Dolak dengan luas sekitar km 2 (Lampiran 1 dan Tabel 1). Korespondensi penulis: Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur-Jakarta 14430, Telp. (021) , Fax. (021) , rccf_office@indo.net.id 41

41 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : Perairan di kawasan barat Laut Papua relatif cukup tenang dan banyak muara sungai besar dan kecil. Perairan dengan kondisi tersebut merupakan daerah penangkapan udang. Perairan paparan Laut Arafura yang dangkal merupakan salah satu daerah penangkapan sumber daya ikan demersal yang paling produktif di Indonesia, karena perairan tersebut secara regular diduga diperkaya oleh nutrient rich upwelling dari Laut Banda dan tambahan nutrien dari sungaisungai yang bermuara yang berasal dari kawasan terrestrial Papua dengan hutan mangrove yang padat. Kondisi ini yang diduga merupakan sumber kesuburan perairan Laut Arafura sektor Indonesia yang mengakibatkan berkembangnya populasi sumber daya ikan demersal termasuk sumber daya udang. Dibandingkan dengan kawasan sekeliling Laut Arafura, produktivitas primer yang tertinggi terdapat di pantai barat daya Papua (Purwanto, 2008). Penangkapan pada umumnya dilakukan pada kedalaman antara 5-40 m. Dasar perairan terdiri atas lumpur berpasir dan berwarna abu-abu. Di sepanjang Pantai Sele, Teluk Bintuni, dan Kaimana terdapat hutan mangrove yang cukup luas, demikian pula daerah Dolak. Penangkapan udang di muara Sungai Digul dan sekitar Dolak dilakukan pada kedalaman antara 5-50 m. Dasar perairan pada umumnya berlumpur, kadang-kadang terdiri atas campuran antara lumpur dan pasir, di mana sering terdapat kulit kepiting dan kerang-kerangan. Warna air yang kecoklatan menunjukkan besarnya pengaruh aliran sungai. Perairan di sekitar Kepulauan Aru dasar perairannya agak keras, terdiri atas lumpur campur pasir atau pasir. Di sepanjang Pantai Kepulauan Aru pada umumnya terdapat hutan mangrove. Penangkapan udang dilakukan pada kedalaman antara 5-50 m. Tulisan ini disusun sebagai informasi tambahan tentang kecenderungan (trend) proporsi udang dan ikan (yang menjadi hasil tangkapan sampingan) pada perikanan pukat udang di Laut Arafura, yang dapat merupakan informasi tambahan bagi pemanfaatan dan pengelolaannya. BAHAN DAN METODE Data yang dianalisis merupakan sebagian hasil survei atau penelitian yang dilakukan pada periode tahun oleh peneliti Balai Riset Perikanan Laut atau Pusat Riset Perikanan Tangkap dan para perekayasa Balai (Besar) Pengembangan Penangkapan Ikan Semarang, dan sejumlah kajian referensi yang lebih bersifat desk study (Tabel 1). Data tersebut pada umumnya merupakan data laju tangkap udang dari kapal-kapal penangkap komersial dari sejumlah perusahaan anggota Himpunan Pengusaha Penangkapan Udang dan data tambahan dari kapal penelitian dan kapal latih Sekolah Tinggi Perikanan. Sejumlah informasi tambahan diperoleh melalui wawancara dengan beberapa nakhoda dan anak buah kapal pukat udang yang berbasis di Ambon, Tual, Sorong, dan Merauke. Data tersebut diolah melalui analisis tren sehingga kecenderungannya dapat diidentifikasi apakah naik, menurun, atau mendatar. Karena analisis tersebut hanya mengidentifikasi tren, maka keeratan hubungan yang dicirikan oleh tingginya koefisien korelasi, antara kedua parameter yang dianalisis tidak dilakukan. Tren yang mendatar menunjukkan bahwa proporsi udang dan ikan yang menjadi hasil tangkapan sampingan pukat udang relatif stabil. Trend yang naik menunjukkan bahwa proporsi udang cenderung naik dengan berjalannya waktu dan tingkat eksploitasi, sebaliknya jika trend tersebut menurun merupakan indikasi bahwa populasi udang secara keseluruhan adalah makin berkurang. 42

42 Proporsi Udang dan Hasil Tangkapan... Pukat Udang di Sub Area Laut Arafura (Sumiono, B., et al.) Tabel 1. Table 1. Proporsi hasil tangkapan sampingan dan udang di sub area Laut Arafura Bycatch and shrimp proportion in the Arafura Sea sub areas Tahun/ Sub area/ Luas/ Rasio HTS/ Year Sub area Width (km 2 ) Bycatch ratio Sumber/Sources 1992 I Bintuni :1 Prisantoso et al. (1992) 1993 I Bintuni 5:1 Badrudin & Karyana (1993) 1993 II Kaimana :1 Badrudin & Karyana (1993) 1995 II Kaimana 5:1 Nasution (1997) 1996 II Kaimana 9:1 Widodo (1997) 1997 II Kaimana 8:1 Suharyanto (1997) 1998 II Kaimana 8:1 Sumiono et al. (1998) 2001 II Kaimana 5:1 Sumiono & Wiadnyana (2008) 2002 II Kaimana 6:1 Budihardjo & Budiman (2003) 1982 III Aru :1 Sumiono (1982) 1991 III Aru 13:1 Widodo (1991) 1993 III Aru 12:1 Widodo (1997) 1996 III Aru 8:1 Widodo (1997) 1997 III Aru 11:1 Suharyanto (1997) 1998 III Aru 13:1 Sumiono et al. (1998) 2001 III Aru 12:1 Sumiono & Wiadnyana (2008) 2002 III Aru 4:1 Suariyoto et al. (2002) 2004 III Aru 17:1 Purnomo (2004) 2008 III Aru 6:1 Sumiono & Hargiyatno (2009) 1982 IV Dolak :1 Sumiono (1982) 1982 IV Dolak 19:1 Naamin & Sumiono (1983) 1985 IV Dolak 21:1 Rusmadji & Soselisa (1985) 1993 IV Dolak 12:1 Badrudin & Karyana (1993) 2006 IV Dolak 12:1 Anonimous (2006) 2008 IV Dolak 12:1 Sumiono & Hargiyatno (2009) HASIL DAN BAHASAN Hasil Tangkapan Sampingan (Bycatch) Dalam arti luas, hasil tangkapan sampingan adalah semua hasil tangkapan selain target penangkapan baik hewan (termasuk ikan) ataupun material non hayati yang disebut debris. Dalam perikanan trawl udang, hasil tangkapan sampingan dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu yang tidak diniatkan untuk tertangkap, misalnya penyu, ikan, kepiting, cucut, pari, bongkahan karang, tanaman air, dan debris. Hasil tangkapan sampingan juga termasuk hewan-hewan dan material non hayati yang berinteraksi dengan alat tangkap tapi tidak sampai naik ke dek kapal, seperti karang (coral) dan tanaman air (weed) yang disapu oleh tali ris bawah serta ikanikan kecil yang terjerat oleh jaring. Interaksi tersebut walaupun berlangsung hanya sekejap tapi merupakan penyebab mortalitas (kematian) yang tidak diperhitungkan. Hasil tangkapan sampingan yang seperti ini belum diteliti secara memadai. Jika tidak diperhitungkan akan bertentangan dengan kaidah perikanan yang berlanjut (sustainable fisheries) dan dapat merupakan ancaman bagi kesehatan ekosistem. Penangkapan ikan trawl relatif merupakan metode penangkapan yang tidak selektif, karena besarnya volume hasil tangkapan sampingan yang tertahan dalam kantong jaring yang terdiri atas ratusan jenis (species). Pada perikanan industri yang besar hasil tangkapan sampingan ini dibuang (discarded) kembali ke laut. Pada perikanan skala kecil hasil tangkapan sampingan tersebut mempunyai nilai komersial dan dapat digunakan untuk konsumsi manusia ataupun hewan. Di Asia Tenggara dan Afrika Barat, bagian dari hasil tangkapan sampingan tersebut disebut ikan rucah (trash fish). Di Australia bagian hasil tangkapan yang dapat dijual tersebut disebut byproduct (Eayrs, 2007). Permasalahan Hasil Tangkapan Sampingan Masalah hasil tangkapan sampingan yang utama dalam perikanan udang di Indonesia adalah tingginya tingkat hasil tangkapan sampingan yang dibuang (discard) dari industri perikanan udang di Laut Arafura, dampak buruk secara biologis dari perikanan udang skala kecil, langkah-langkah yang memadai untuk mengurangi masalah hasil tangkapan sampingan dan kesulitan penegakkan hukum terkait dengan peraturan 43

43 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : hasil tangkapan sampingan. Dalam kajiannya, Kelleher (2005) vide Gillett (2006), memberikan komentar tentang hasil tangkapan sampingan yang dibuang, kecuali Laut Arafura perikanan trawl udang di sebagian besar Asia Tenggara telah sepakat bahwa laju hasil tangkapan sampingan yang dibuang adalah sekitar 1%, suatu jumlah yang oleh para ahli dianggap insignificant. Perikanan trawl udang Laut Arafura telah membuang sekiar 80% dari hasil tangkapan total yang jumlahnya sekitar ton/tahun. Walaupun telah diintroduksikan alat pemisah hasil tangkapan sampingan (bycatch exclusion devices), total hasil tangkapan sampingan yang dibuang masih tinggi, karena lemahnya penegakan hukum dari peraturan yang ada dan tidak adanya pasar setempat yang dapat menyerap hasil tangkapan sampingan tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa kegiatan perikanan udang tersebut terletak sangat jauh dari pusat-pusat pemukiman. Pada tahun 2001 Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan memberikan informasi tambahan tentang Laut Arafura di mana hasil tangkapan sampingan yang didaratkan lebih rendah karena beberapa faktor operasional dan kondisi sosio ekonomi setempat. Faktor operasional tersebut antara lain kecilnya ukuran kapal (sehingga tidak cukup ruangan untuk menyimpan hasil tangkapan sampingan), waktu yang diperlukan dalam penanganan hasil tangkapan sampingan dan waktu berlayar yang singkat antara daerah penangkapan dan tempat pendaratan (Ambon, Sorong). Faktor sosial ekonomi antara lain rendahnya harga ikan hasil tangkapan sampingan di pasar lokal dan tingginya biaya penyimpanan dan pengangkutan, padahal jumlahnya dapat mencapai lebih dari an ton/ tahun (Purbayanto et al., 2004). Dari tahun 1999 sampai saat ini jumlah ikan yang dibuang (discarded catches) dan hasil tangkapan yang tidak dilaporkan (misreported) cenderung menurun (Wagey et al., 2009). Keputusan Presiden Nomor 85 Tahun 1982 mensyaratkan bahwa alat pemisah hasil tangkapan sampingan digunakan pada pukat udang. Dalam keputusan tersebut juga dikatakan bahwa hasil tangkapan sampingan tersebut diserahkan kepada perusahaan milik pemerintah. Kapal pukat udang di Laut Arafura diharuskan untuk memasang alat untuk melepaskan penyu (turtle excluding devices) dan surat Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Nomor 868/ Kpts/IK.340/II/2000 mensyaratkan agar alat untuk mengurangi hasil tangkapan sampingan (bycatch reduction device) dipasang pada kapal pukat udang. Menurut sumber-sumber dari pihak industri, suatu kebiasaan bagi pukat udang Arafura untuk menghentikan penggunaan bycatch reduction device pada sekitar 10 hari menjelang akhir trip penangkapan, sehingga para anak buah kapal dapat memperoleh ikan untuk keperluan konsumsi dan untuk dijual. Langkah-langkah lain yang menyarankan untuk menurunkan laju pembuangan hasil tangkapan sampingan di Arafura antara lain mengharuskan memperbesar mata jaring, mengembangkan bentuk bycatch reduction device yang memadai, penegakan hukum yang lebih ketat untuk melarang pengoperasian pukat udang di kawasan pantai, mengingkatkan penggunaan kapal induk untuk mengumpulkan hasil tangkapan sampingan di laut dan mengurangi upaya penangkapan. Proporsi Udang dan Ikan Pengoperasian trawl udang di Laut Arafura berpengaruh terhadap rasio ikan sebagai hasil tangkapan sampingan terhadap hasil tangkapan udang. Semakin banyak jumlah armada trawl yang beroperasi, rasio ikan terhadap udang cenderung lebih besar. Pada tahun 1981 di mana terdapat 124 kapal pukat udang yang beroperasi di Laut Arafura, memberikan rasio hasil tangkapan sampingan terhadap udang di daerah Dolak dan Aru cukup tinggi, yaitu sekitar 19:1 di mana 95% di antaranya tidak dimanfaatkan (Naamin & Sumiono, 1983). Pada tahun 1991 rasio tersebut berkisar antara 8:1 sampai 13:1 (Widodo, 1991; Badrudin & Karyana, 1993). Pada tahun 1991 jumlah kapal penangkap ikan yang mendapat ijin beroperasi di Laut Arafura sekitar 250 buah. Penelitian pada bulan Oktober sampai Nopember 1992 di sub area Sele dan Bintuni diperoleh rasio hasil tangkapan sampingan terhadap udang 9:1 (Prisantoso et al., 1992). Sementara hasil observasi pada tahun 2000 di perairan Aru memberikan rasio 12:1 (Sumiono et al., 2001). Rangkuman proporsi hasil tangkapan sampingan terhadap udang menurut sub area disajkan pada Tabel 1. Dari tabel tersebut tampak bahwa proporsi hasil tangkapan sampingan yang tinggi terdapat di sub area Dolak, yaitu perairan meliputi muara Sungai Digul, perairan Pantai Aika, Mimika, dan Agats. Berdasarkan atas data proporsi hasil tangkapan sampingan tersebut (Tabel 1), proporsi udang terhadap ikan (hasil tangkapan sampingan) disajikan pada Tabel 2. Proporsi udang dan ikan di perairan Laut Arafura periode tahun tampak bervariasi, sesuai dengan lokasi daerah penangkapan. Di perairan Aru proporsi udang tertinggi dalam hasil tangkapan 20% dari total hasil tangkapan terjadi pada tahun

44 Proporsi Udang dan Hasil Tangkapan... Pukat Udang di Sub Area Laut Arafura (Sumiono, B., et al.) dan yang terendah 5,6% terjadi pada tahun Di perairan Kaimana proporsi tertinggi 20% terjadi pada tahun 1993 dan terendah 10% terjadi pada tahun Di sub area Dolak proporsi yang tinggi hanya 7,7% dan yang terendah sekitar 4,5%. Tinggi rendahnya proporsi udang di ketiga sub area tersebut mencerminkan proporsi udang di perairan Laut Arafura. Kisaran yang lebar dari proporsi udang tersebut terjadi di sub area perairan Aru, yaitu pada 5,6-20%. Proporsi yang relatif terdapat di sub area Kaimana sedangkan yang terendah terjadi di sub area Dolak. Tabel 2. Table 2. Proporsi udang (%) pada perikanan pukat udang di sub area Laut Arafura periode tahun Proportion of shrimp (%) in the shrimp trawl fisheries in the Arafura Sea sub areas Aru Kaimana Dolak Total Arafura ,33-5,13 6, ,55 4, , , ,69 20,00 7,69 11, ,67-16, ,11 10,00-10, ,33 11,11-9, ,14 11,11-9, ,69 16,67-12, ,00 14,29-17, , , ,69 7, ,29-7,69 10,99 Jumlah 97,29 99,84 32,75 129,85 Rata-rata (%) 9,7 14,3 6,6 10,0 Tingginya proporsi udang di sub area Kaimana tersebut diduga terkait dengan kondisi lingkungan pantai yang subur. Sebagaimana dikatakan oleh Naamin & Sumiono (1983) suburnya perairan di sekitar Kaimana, Teluk Bintuni, dan Kepala Burung ditopang oleh luasnya kawasan mangrove serta banyaknya muara sungai besar dan kecil yang bermura ke daerah tersebut. Dari rata-rata persentase udang pada masing-masing sub area Laut Arafura periode tahun , tampak bahwa proporsi udang tertinggi 14,3% terjadi di sub area Kaimana dan yang terendah 6,6% di sub area Dolak (Tabel 2). Tren Proporsi Tahunan Udang dan Ikan Demersal Mengacu kepada data proporsi udang (Tabel 1), telah dilakukan analisis tren dari proporsi tersebut untuk sub area Aru, Kaimana, dan Dolak periode tahun Tampak bahwa, kecuali di sub area Kaimana yang menunjukkan tren yang hampir mendatar, sub area Aru dan Dolak menunjukkan tren yang relatif sama yaitu cenderung naik. Demikian juga halnya dengan tren proporsi udang dari gabungan ketiga sub area Laut Arafura tampak cenderung naik (Gambar 1). Tren proporsi udang Laut Arafura periode tahun yang cenderung naik tampaknya ditopang (supported) oleh data proporsi udang dari sub area Aru. Kondisi tersebut tampak bertentangan dengan pendapat umum yang mengatakan bahwa proporsi hasil tangkapan sampingan perikanan udang cenderung makin naik dari tahun ke tahun atau dengan kata lain proporsi udang cenderung menurun. Gambar tersebut menunjukkan suatu keadaan yang sebaliknya di mana secara umum tren proporsi udang pada perikanan pukat udang di Laut Arafura cenderung naik. Naiknya proporsi udang dan ikan demersal tersebut ternyata ditunjang oleh proporsi kelompok udang lainnya (krosok) yang menunjukkan yang terus naik, sebagaimana disajikan dalam Census of Marine Life (Wagey & Arifin, 2008). Dari referensi lain diperoleh informasi bahwa secara agregat estimasi maximum sustainable yield perikanan udang di Laut Arafura tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada satu dekade terakhir ini. Perbedaan yang ada terjadi pada komposisi hasil tangkapan udang tahunan (Badrudin et al., 2002). Hal ini diduga terkait dengan adanya fenomena interaksi jenis (species interaction) yang terjadi dalam komunitas udang-demersal. Dari fenomena interaksi tersebut tampak bahwa kelompok udang lainnya (krosok) yaitu kelompok udang berukuran kecil diduga memiliki daya tahan yang lebih tinggi terhadap tekanan penangkapan dibandingkan dengan udang jerbung (Penaeus merguiensis) atau udang windu (Penaeus semisulcatus, Penaeus monodon). Perairan paparan Laut Arafura yang dangkal merupakan salah satu daerah penangkapan yang paling produktif di Indonesia, karena perairan tersebut secara regular diduga diperkaya oleh nutrient rich upwelling dari Laut Banda dan tambahan nutrien dari sungai-sungai yang bermuara yang berasal dari kawasan terrestrial Papua dengan hutan mangrove yang padat. Dibandingkan dengan kawasan sekeliling Laut Arafura, produktivitas primer yang tertinggi terdapat di pantai barat daya Papua (Purwanto, 2008). Kondisi ini yang diduga merupakan pemicu suburnya perairan Laut Arafura sektor Indonesia yang mengakibatkan berkembangnya populasi sumber daya ikan demersal (Badrudin & Aisyah, 2009), termasuk sumber daya udang. 45

45 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : Gambar 1. Tren persentase tahunan udang periode tahun di sub area Laut Arafura. Figure 1. Annual trend of shrimp proportion (%) in the Arafura Sea sub areas KESIMPULAN 1. Proporsi udang dan hasil tangkapan sampingan pada perikanan udang di Laut Arafura tampak bervariasi baik menurut sub area ataupun waktu (tahunan). Makin tinggi proporsi hasil tangkapan sampingan, makin kecil proporsi udang yang diperoleh. 2. Bertentangan dengan logika umum di mana setelah hampir empat dekade eksploitasi ada anggapan proporsi udang terhadap ikan makin mengecil, ternyata tren persentase udang terhadap ikan periode tahun cenderung naik, sedangkan di sub area Kaimana relatif stabil sebagaimana tren yang hampir mendatar. 3. Tren proporsi udang Laut Arafura periode tahun yang cenderung naik tampaknya ditopang (supported) oleh data proporsi udang dari sub area Aru. Dari fenomena interaksi tampak bahwa kelompok udang krosok yang berukuran kecil diduga memiliki daya tahan yang lebih tinggi terhadap tekanan penangkapan dibandingkan dengan udang jerbung atau udang windu. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset kebijakan pemanfaatan hasil tangkapan sampingan perikanan udang di Laut Arafura, T. A. 2009, di Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan-Ancol, Jakarta. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Korservasi Sumber Daya Ikan atas dukungan moral dan material sampai terwujudnya tulisan ini. DAFTAR PUSTAKA Anonimus Riset pengkajian stok sumber daya ikan, oseanografi perikanan, dan sistem perikanan di Laut Halmahera, Banda, dan Arafura. Laporan Survei Lapangan. (Tidak Dipublikasikan). Badrudin & Karyana Proporsi dan komposisi hasil tangkap sampingan pukat udang di perairan Maluku, Irian Jaya. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 79:

46 Proporsi Udang dan Hasil Tangkapan... Pukat Udang di Sub Area Laut Arafura (Sumiono, B., et al.) Badrudin, B. Sumiono, & N. Wirdaningsih Laju tangkap, hasil tangkapan maksimum (maximum sustainable yield) dan upaya optimum perikanan udang di perairan Laut Arafura. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 8 (4): Budihardjo, S. & Budiman Laju tangkap udang dan ikan demersal di Laut Arafura, bulan Agustus Laporan Observasi pada Kapal Komersial. Balai Riset Perikanan Laut. Jakarta. (Tidak Dipublikasikan). Badrudin & Aisyah Separate stock of red snapper exploitation and management in the Indonesian sector of the Arafura Sea. Indonesian Fisheries Research Journal. 15 (2) December: Badrudin, B. Sumiono, Wedjatmiko, Aisyah, S. Triharyuni, I. T. Hargiyatno, H. H. Latief, R. T. Mahulete, P. S. Sulaeman, & R. F. Anggawangsa Kebijakan pemanfaatan hasil tangkapan sampingan perikanan udang di Laut Arafura. Laporan Akhir. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. (Tidak Dipublikasikan). 57 pp. Eayrs, S A Guide to Bycatch Reduction in Tropical Shrimp Trawl Fisheries. Food and Agriculture Organization-UN. 110 pp. Gillett, R An overview of shrimp fishing in Indonesia. Food and Agriculture Organization Project on Global Shrimp Studies. Unpublished. 27 pp. Prisantoso, B. I., B. Sumiono, & Sarjana Penelitian potensi udang dan hasil tangkap sampingan di perairan Maluku dan Irian Jaya. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Perikanan Laut. (Tidak Dipublikasikan). 15 pp. Naamin, N. & B. Sumiono Hasil sampingan (bycatch) pada penangkapan udang di Laut Arafura dan sekitarnya. Laporan Penelitian Perikanan Laut. 24: Naamin, N Dinamika populasi udang jerbung (Penaeus merguiensis de Man) di perairan Arafura dan alternatif pengelolaannya. Disertasi Doktor. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. 281 pp. Nasution, C Highlight of shrimp trawling in the Arafura Sea: Fleet, shrimp catch, and export in Paper in Program of Food and Agriculture Organization s Cooperative Research Network in Asia and Indian Ocean Region on Selective Tropical Shrimp Trawling. Res. Inst. For Mar. Fish. (Unpublished). Purnomo, A Laporan Survei Kegiatan Produktivitas Kapal Pukat Udang di Laut Arafuru, Bulan Juni sampai Juli Balai Pengembangan Penangkapan Ikan Semarang. (Tidak Dipublikasikan). Purbayanto, A., S. H. Wisudo, J. Santoso, R. I. Wahyu, Dinarwan, Zulkarnain, Sumintohadi, A. D. Nugraha, D. A. Soeboer, B. Pramono, A. Marpaung, & M. Riyanto Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan dan Pemanfaatan Hasil Tangkap Sampingan Pukat Udang di Laut Arafura, Provinsi Papua. Dinas Perikanan dan Kelautan. Provinsi Papua. Sucofindo. 68 pp. Purwanto Resource rent generated in the Arafura shrimp fishery. A Report of a Case Study Submitted to the FAO/World Bank PROFISH- Funded Project the Rent Drain Study November pp. Rusmadji, R. & Y. Soselisa Laporan Survei dengan K. M. Bawal Putih II di Perairan Irian Jaya, Bulan Maret sampai Mei Sub Balai Penelitian Perikanan Laut. Semarang. (Tidak dipublikasikan). Sumiono, B Survei udang dengan K. M. Binama VIII di perairan Arafura, bulan September Laporan Survei Balai Penelitian Perikanan Laut. (Tidak Diterbitkan). 12 pp. Suharyanto Laporan Survei Pengamatan Sumber Daya Perikanan Demersal Menggunakan K. M. Bawal Putih II di Perairan Kawasan Timur Indonesia (Bulan Januari sampai Juli 1997). Balai Besar Pengembangan Penangkapan Ikan. Semarang. (Tidak Dipublikasikan). Sumiono, B., T. S. Soselisa, & Murtoyo Survei Laju Tangkap Udang dan Ikan Demersal dengan K. M. Bawal Putih II di Laut Arafura, Sub Area Kaimana dan Aru (Bulan Agustus sampai September 1997). Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. (Tidak Dipublikasikan). Sumiono, B., T. S. Murtoyo, Y. Soselisa, & M. Rijal Survei Laju Tangkap dan Kepadatan Stok Udang dan Ikan Demersal di Laut Arafura dengan Armada Komersil. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. (Tidak Dipublikasikan). 26 pp. 47

47 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : Suariyoto, Y., A. Sumitro, Budihardjo, L. Madrah, & E. Alves Identifikasi dan Pemetaan Sumber Daya Perikanan Demersal di Laut Arafura. (Tidak Dipublikasikan). Sumiono, B. & N. N. Wiadnyana Hasil Tangkap Sampingan (Bycatch) pada Penangkapan Udang Komersil di Laut Arafura. Masyarakat Perikanan Nusantara. Sumiono, B. & I. T. Hargiyatno Kebijakan pemanfaatan hasil tangkapan sampingan perikanan udang di Laut Arafura. Laporan Survei Lapangan. (Tidak Dipublikasikan). Widodo Bycatch assessment of the shrimp fishery in the Arafura Sea and its adjacent waters. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. 63: Widodo, Laporan Survei Pengamatan Sumber Daya Perikanan Demersal Menggunakan K. M. Bawal Putih II di Perairan Kawasan Timur Indonesia (Bulan Nopember 1995 sampai April 1996). BPPI. Semarang. (Tidak Dipublikasikan). Wagey, G. A. & Z. Arifin (Eds) Marine Biodiversity Review of the Arafura and Timor Seas. Ministry of Marine Affairs and Fisheries. Indonesian Institute of Sciences. United Nation Development Programme. Census of Marine Life. 136 pp. Wagey, G. A., S. Nurhakim, V. P. H. Nikijuluw, Badrudin, & T. J. Pitcher A Study of Illegal, Unreported and Unregulatd Fishing in the Arafura Sea. RCCF.AMFR. MMAF. 54 pp. 48

48 Proporsi Udang dan Hasil Tangkapan... Pukat Udang di Sub Area Laut Arafura (Sumiono, B., et al.) Lampiran 1. Appendix 1. Peta daerah penangkapan udang di Laut Arafura Map of fishing ground for shrimp in the Arafura Sea 49

49 Komposisi dan Kelimpahan Stok... Saleh, Nusa Tenggara Barat (Mujiyanto & S.T. Hartati) KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN STOK IKAN KARANG SERTA PERTUMBUHAN BIOTA PENEMPEL PADA TERUMBU KARANG BUATAN DI TELUK SALEH, NUSA TENGGARA BARAT Mujiyanto 1) dan Sri Turni Hartati 2) 1) Peneliti pada Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan, Jatiluhur-Purwakarta 2) Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Ancol-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 18 Juni 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 28 Januari 2011; Disetujui terbit tanggal: 9 Pebruari 2011 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober dan Desember 2005 pasca pemasangan terumbu karang buatan pada bulan Mei 2005 di perairan Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kelimpahan stok ikan karang dan komposisi jenisnya serta pertumbuhan biota penempel di terumbu karang buatan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa jenis ikan yang teridentifikasi selama pengamatan 121 jenis, dengan jumlah jenis bervariasi menurut waktu dan lokasi antara jenis. Kelimpahan stok ikan berkisar antara 4-36 ekor/m 2. Pada bulan Oktober 2005 organisme penempel yang ditemukan yaitu teritip dalam jumlah sedang, turf algae dan coralline algae dalam jumlah yang tinggi pada setiap unit terumbu, sedangkan pada bulan Desember 2005 ditemukan jenis-jenis biota penempel pada ke empat unit terumbu karang buatan hampir sama, terdiri atas jenis/terumbu karang. Komunitas biota penempel yang merupakan salah satu indikator perkembangan terumbu karang buatan yaitu jenis Enteromorpha clathrata menutupi hampir 95% seluruh luasan permukaan terumbu. KATA KUNCI: ABSTRACT: terumbu karang buatan, pemulihan, sumber daya, ikan, Teluk Saleh Composition and abundance of fish stock of bio fouling and growth in artificial reefs of the Teluk Saleh, West Nusa Tenggara. By: Mujiyanto and Sri Turni Hartati The study was conducted in October and December 2005 after the seltlement of artificial reefs in May 2005 in the waters of Teluk Saleh, West Nusa Tenggara. The aim of the study is to investigate abundance of reef fish stocks and species composition and growth of bio fouling. The results showed that the fish species identified during the observation is 121 species, with the number of species varies between species according to time and location. Abundance of fish stocks ranged between 4-36 ind./m 2. In October 2005 bio fouling organisms found are barnacles in artificial reef relatively moderate, turf algae, and coralline algae in a high amount on each unit of coral, while in December 2005 found the bio fouling organism on with relatively same artificial reef, species/unit. Community as an indicator of the development of artificial reefs i.e. Enteromorpha clathrata cover almost 95% of the entire area of the reef surface. KEYWORDS: artificial reefs, recovery, resources, fish, Teluk Saleh PENDAHULUAN Terumbu karang mempunyai hubungan yang erat dengan keanekaragaman spesies ikan-ikan karang. Salah satu penyebab tingginya keragaman spesies di terumbu adalah karena adanya variasi habitat yang terdapat di terumbu karang tersebut. Terumbu karang tidak hanya terdiri atas karang, tetapi juga daerah berpasir, berbagai teluk dan celah, daerah algae, dan juga perairan yang dangkal dan dalam daerah-daerah yang berbeda di antara karang (Nybakken, 1982). Dewasa ini ekosistem terumbu karang mulai terancam dengan banyaknya tekanan dari aktivitas di daratan, seperti adanya aktivitas penebangan hutan dan perubahan lahan yang dapat meningkatkan pasokan sedimen pada daerah terumbu karang. Kerusakkan terumbu karang juga diakibatkan oleh tekanan fisik yang disebabkan oleh pengambilan karang, tingkat penyelaman yang tinggi, dan aktivitas kapal (Salvat, 1987 dalam Gitting, 1992). Seperti terjadinya degradasi lingkungan akan semakin meningkat dengan adanya polusi dari industri (Burke et al., 2002). Permasalahan utama yang dapat menyebabkan degradasi terumbu karang adalah akibat pengelolaan pantai dan daerah hulu yang kurang baik sehingga tingginya tingkat sedimentasi yang masuk ke perairan dan menutupi terumbu karang. Melihat kondisi dan Korespondensi penulis: Jl. Cilalawi, Purwakarta, Purwakarta 41152, irpsi@yahoo.com dan irpsi@telkomnet.id 51

50 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : status terumbu karang di Indonesia, salah satu rumusan kebijakkan nasional pengelolaan terumbu karang adalah mengupayakan pelestarian, perlindungan, perbaikan atau rehabilitasi, dan peningkatan kondisi atau kualitas ekosistem terumbu karang bagi kepentingan seluruh masyarakat. Salah satu upaya menanggulangi masalah kerusakkan ekosistem terumbu karang di Indonesia telah dilakukan melalui pengembangan terumbu karang buatan. Pengembangan terumbu karang buatan di Indonesia telah dirintis oleh Dinas Perikanan DKI pada tahun dengan menenggelamkan bekas kerangka bis dan becak. Pada tahun Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap juga telah mengembangkan terumbu karang buatan dengan bahan ban mobil di enam provinsi, yaitu Sumatera Utara, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Bali. Demikian pula dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, telah mendukung pengembangan terumbu karang buatan dengan menggunakan bahan beton berbentuk kubus berongga yang disusun dalam formasi piramid. Kajian dan evaluasi untuk mengukur tingkat keberhasilan pemasangan terumbu karang buatan, pada umumnya berdasarkan atas komunitas yang muncul pada ekosistem baru tersebut, dalam hal ini adalah ikan karang. Produksi sumber daya ikan tergantung pada kondisi terumbu karang, kualitas pemanfaatan, dan pengelolaan oleh masyarakat di sekitarnya. Pada umumnya kelompok ikan yang dapat dijadikan sebagai indikator adanya perubahan lingkungan perairan di sekitar terumbu karang, besarnya kelimpahan dan keanekaragaman jenis-jenis ikan yang berasosiasi di sekitar terumbu (Rachmawati, 2001; Sya rani & Agung, 2006). Kelompok ikan tersebut adalah kelompok ikan target, merupakan ikan konsumsi ekonomis tinggi yang menjadi sasaran penangkapan oleh nelayan; kelompok ikan indikator sebagai penciri kesuburan atau keutuhan ekologis (ecological integrity); dan kelompok ikan utama, sesuai dengan perannya dalam susunan rantai makanan atau lebih berperan dalam keseimbangan ekologis. Secara umum, diketahui bahwa terumbu karang buatan memiliki daya afinitas yang kuat untuk menarik kedatangan ikan-ikan karang dan ikan-ikan pelagis, yang merupakan salah satu upaya konservasi ekosistem sumber daya hayati di wilayah pesisir dan laut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui komposisi dan kelimpahan stok ikan karang dan komposisi jenisnya serta pertumbuhan biota penempel di terumbu karang buatan di perairan Teluk Saleh pasca pemasangan pada bulan Mei BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober dan Desember 2005, sedangkan pemasangan terumbu karang buatan di lakukan di perairan Pulau Rakit dan Pulau Genteng di perairan Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat pada bulan Mei 2005 (Gambar 1). Terumbu karang buatan terbuat dari bahan beton berbentuk kubus berongga 0,6x0,6x0,6 m, disusun dalam formasi piramida, dengan satu unit piramida tersusun dari 80 kubus beton, di mana setiap lokasi terdiri atas dua piramida. 52

51 Komposisi dan Kelimpahan Stok... Saleh, Nusa Tenggara Barat (Mujiyanto & S.T. Hartati) 8.5 Kondisi karang rusak Kondisi karang bagus Mangrove dan padang lamun Katapang Dompo 8.6 Ganteng Taikabo RAKIET Lipan Baloso Santigi 8.7 Jontal Jambu Nangapela Liang Labuhaji Santong Bonto S U M B A W A Gambar 1. Lokasi penelitian di perairan Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat. Figure 1. Map of research area in the Teluk Saleh waters, West Nusa Tenggara. Metode Pengumpulan Data Data indeks kelimpahan stok ikan dan komposisi jenisnya, serta identifikasi dan pencacahan biota penempel pada terumbu karang buatan diperoleh dengan cara pengamatan sensus visual. Persentase Penutupan Karang Nilai persentase penutupan terumbu karang diperoleh dari hasil pengukuran lifeform (intercept koloni) karang dengan menggunakan formula (English et al., 1994): Li L = x100%... (1 N di mana: L = persentase penutupan karang (%) Li = panjang intercept koloni jenis ke-i yang dilewati garis transek N = panjang transek (50 m) Kisaran nilai persentase tutupan terumbu karang didasarkan atas hasil monitoring coral for global change oleh United Nation Environment Programme (1993), dengan masing-masing kisaran yaitu kategori sangat rusak (1-10%), rusak (11-30%), sedang (31-50%), baik (51-75%), dan sangat baik (76-100%). Struktur Komunitas Ikan Perhitungan untuk menentukan kelimpahan ikan karang dilakukan secara langsung dengan metode transek garis pada wilayah perairan penempatan terumbu karang buatan. Rumus untuk menentukan keanekaragaman iktiofauna digunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener sebagai berikut (Bakus, 1990): s ni ni H ' = log 2... (2 i = 1 N N di mana: H = indeks keanekaragaman S = jumlah spesies n i = jumlah individu spesies ke-i N = jumlah total individu Perbandingan antara keanekaragaman dan keanekaragaman maksimum dikatakan sebagai regularitas atau keseragaman populasi, dengan rumus sebagai berikut (Bakus, 1990): H' E =.. (3 H max 53

52 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : di mana: E = indeks regularitas atau keseragaman H = indeks keanekaragaman Shannon- Wiener H max = indeks keanekaragaman maksimum Shannon-Wiener Rumus untuk mengevaluasi adanya dominansi spesies, digunakan indeks dominansi Simpson sebagai berikut (Bakus, 1990): 2 s ni C = n = 1 N di mana: C = indeks dominansi Simpson n i = jumlah individu spesies ke-i N = jumlah total individu S = jumlah spesies HASIL DAN BAHASAN Komunitas Ikan Karang. (4 Hasil sensus visual dan identifikasi ikan pada setiap lokasi dan waktu disajikan pada Tabel 1. Jenis ikan yang teridentifikasi selama pengamatan 121 jenis, dengan jumlah yang bervariasi menurut waktu dan lokasi antara jenis dengan kelimpahan individu ikan berkisar antara 4-36 ekor/m 2. Hasil sensul visual yang dilakukan dengan berkonsentrasi pada distribusi ikan di lokasi sekitar terumbu karang buatan sebagai habitatnya yaitu kelompok atau jenis-jenis ikan diurnal (ikan siang hari), yang mana mereka mencari makan dan tinggal di permukaan karang dan memakan plankton sekitarnya. Ikan karang yang ditemukan selama pengamatan, jumlah jenis tertinggi dari masing-masing stasiun di sekitar unit terumbu karang buatan memiliki jumlah jenis yang berbeda di mana jumlah jenis pada stasiun di Pulau Rakit memiliki jumlah lebih tinggi dari jenisnya pada kondisi setelah penempatan terumbu karang buatan dibandingkan sebelum penempatan terumbu karang buatan yaitu sebelum penempatan pada stasiun 1, 12 jenis (bulan Mei) dan stasiun 2 berjumlah 19 jenis (bulan Mei). Kenaikan jumlah jenis ikan karang yang tersaji pada Tabel 1 diduga disebabkan adanya perbedaan lingkungan yang berpengaruh terhadap pola hidup dari komunitas ikan di sekitar unit terumbu karang buatan Pulau Rakit. Hasil pengamatan terhadap jumlah jenis ikan di Pulau Ganteng pada stasiun 4 memiliki perbedaan jenis dibandingkan dari ketiga stasiun yang lain, dengan jumlah jenis sebelum dan sesudah penempatan unit terumbu karang buatan memiliki perbedaan dari jumlah jenis ikan di perairan sekitar terumbu karang buatan (Tabel 1). Tabel 1. Table 1. Komunitas ikan karang di sekitar terumbu karang buatan selama penelitian di perairan Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat, pada tahun 2005 Reef fish communities around the artificial reefs for aquatic research in the Teluk Saleh, West Nusa Tenggara in 2005 Pulau Rakit Pulau Ganteng Kategori/Category Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 1* 2** 3*** 1* 2** 3*** 1* 2** 3*** 1* 2** 3*** Jumlah jenis (spesies) Jumlah individu (ekor) Keterangan/Remarks:* = sebelum pemasangan terumbu karang buatan (bulan Mei 2005); ** = setelah pemasangan terumbu karang buatan (bulan Oktober 2005); *** = setelah pemasangan terumbu karang buatan (bulan Desember 2005) Jenis komunitas ikan karang yang ditemukan memilki perbedaan jumlah individu yang cukup signifikan, di mana rata-rata jumlah kehadiran individu setelah penempatan unit terumbu karang buatan memilki perbedaan yang cukup tinggi (Tabel 1). Hal ini diduga bahwa lingkungan sekitar habitat terumbu karang terdapat indikasi adanya hubungan antara kelimpahan maupun keragaman spesies ikan dengan ekosistem terumbu karang (Risk, 1972). Selanjutnya dikatakan juga bahwa daerah yang mempunyai keragaman terumbu karang lebih banyak, maka akan bervariasi pula jenis ikannya. Dengan asumsi lain, bahwa semakin kompleks habitat (terumbu karang) akan memberikan relung ekologi yang lebih banyak bagi organisme laut yang berasosiasi. Tingkat kesamaan ekosistem terumbu karang sangat menentukan pola distribusi dan kelimpahan organsime laut, karena ikan dapat dijadikan sebagai indikator kestabilan pada masing-masing tipe ekosistem. 54

53 Komposisi dan Kelimpahan Stok... Saleh, Nusa Tenggara Barat (Mujiyanto & S.T. Hartati) Tabel 2. Table 2. Nilai indeks biologi komunitas ikan karang di sekitar terumbu karang buatan selama penelitian di perairan Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat, pada tahun 2005 Indeks of biology reef fish communities around the artificial reefs in the Teluk Saleh, West Nusa Tenggara in 2005 year Pulau Rakit Pulau Ganteng Indeks/ Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Index 1* 2** 3*** 1* 2** 3*** 1* 2** 3*** 1* 2** 3*** - H /Keanekaragaman 2,52 1,92 0,90 2,80 1,22 1,33 1,87 1,58 1,75 2,63 1,35 0,97 - E/Keseragaman 0,73 0,59 0,30 0,83 0,39 0,41 0,49 0,49 0,52 0,91 0,39 0,29 - C/Dominans 0,131 0,261 0,658 0,80 0,426 0,396 0,382 0,284 0,274 0,87 0,510 0,553 Keterangan/Remarks:* = sebelum pemasangan terumbu karang buatan (bulan Mei 2005); ** = setelah pemasangan terumbu karang buatan (bulan Oktober 2005); *** = setelah pemasangan terumbu karang buatan (bulan Desember 2005) Indeks keanekaragaman jenis ikan berkisar antara 0,9-2,8. Dalam kondisi alamiah berdasarkan atas nilai indeks keanekaragaman di antara tiga dalam kategori sedang (Tabel 2). Keseimbangan populasi yang serasi dan keanekaragaman yang tinggi adalah gambaran dari suatu ekosistem yang stabil. Kondisi tersebut disebut steady state, di mana kisaran keseimbangan dianggap moderat dan berada pada skala 0,6-0,8. Secara umum, kisaran keanekaragaman dikatakan dengan skala simpson 0-1. Keanekaragaman maksimum, di mana proporsi jumlah individu antar populasi sama besar, tercapai apabila nilainya satu. Akan tetapi, pada kenyataannya secara alamiah keanekaragaman maksimum dapat terjadi di alam. Nilai indeks keanekaragaman pada stasiun pengamatan berkisar antara 0,2-0,9 (Tabel 2). Indeks dominansi berbanding terbalik dengan indeks keanekaragaman di mana semakin besar prediksi nilai dominansi terhadap komunitas biota, berarti semakin kecil nilai prediksi terhadap nilai keanekaragaman komunitas tersebut. Keanekaragaman komunitas dianggap terbaik jika nilai dominansi mendekati nol dan nilai terburuk jika nilainya mendekati satu. Dalam kondisi lingkungan yang buruk dapat menyebabkan bahwa hanya sebagian kecil populasi biota yang dapat bertahan dan menjadi berkembang sehingga mendominansi komunitas biota tersebut. Hal ini berarti bahwa nilai indeks dominansi akan mengalami perubahan lebih besar dari nol dan mendekati satu. Nilai indeks dominansi selama pengamatan pada stasiun terpilih tersebut di atas, berkisar antara 0,08-0,65 (Tabel 2). Komunitas Biota Penempel Biota penempel pada terumbu karang buatan di Pulau Rakit dan Pulau Ganteng mulai terlihat pada waktu pengamatan bulan Oktober Biota penempel seperti algae hijau menutupi hampir sepertiga bagian dari luasan permukaan terumbu karang buatan. Hasil pengamatan organisme penempel pada bulan Oktober yaitu adanya kehadiran teritip pada terumbu karang buatan dalam jumlah sedang dan terlihat adanya Turf algae dan Coralline algae dalam jumlah yang tinggi pada setiap unit terumbu. Kehadiran algae ini melimpah berdasarkan atas intensitas cahaya yang diterima terhadap kedalaman dan susunan terumbu karang buatan (Tabel 3). 55

54 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : Tabel 3. Table 3. Biota penempel di terumbu karang buatan perairan Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat, pada bulan Oktober 2005 Fouling organism in the artificial reef of the Teluk Saleh waters, West Nusa Tenggara, in October 2005 year No. Jenis/Species Tanjung Bila Pulau Ganteng Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 1. Teritip (Balanus spp.) xx xx xx xx 2. Alga rumput (Turt algae) xxx xxx xxx xxx 3. Ganggang berkapur (Coralline sp.) xxx xxx xxx xxx 4. Ulva (iding hijau) (Enteromorpha sp.) xx xx 5. Termasuk alga hijau laut (Chaetomorpha sp.) x x 6. Termasuk jenis rumput laut (Bornetella sp.) xx xx x x 7. Termasuk jenis rumput laut (Cladophoropsis sp.) x 8. Alga merah (Rhodophyta sp.) x 9. Genus alga merah nama daerah: Bulung x tombang iding (Lombok) (Acanthophora sp.) 10. Sponge x x 11. Ganggang (Macro algae) x x 12. Anemon (Stichodactyla sp.) x x 13. Kerang mutiara (Pteri sp.) x x x 14. Kerang bolang-baling (Trisidos sp.) x 15. Tiram bakau (Plicatula sp.) x x 16. Tiram mutiara (Pinctada sp.) x 17. Jenis siput laut (Latirus sp.) x 18. Kumbang kutu (Chirocerus sp.) x x 19. Jenis siput laut (Patelloida sp.) x x x x 20. Jenis siput laut (Cerithium sp.) x x 21. Ascidian sp. x x x x 22. Bulu babi (Echinoidea sp.) xx xx xx xx 23. Ubur-ubur (Aurelia aurita) x x x x Keterangan/Remarks:x = kehadiran rendah; xx = kehadiran sedang (1/3 bagian permukaan); xxx = kehadiran tinggi (lebih dari 1/ 3 bagian permukaan) Penempelan biota pada unit terumbu karang buatan di Pulau Rakit ditemukan jenis algae berbentuk benang (Enteromorpha) dan berbentuk balon (Bornetella) dalam jumlah sedang, serta kehadiran dictyota yang rendah dari golongan chlorophyta, anemon, bivalvia (pteria dan plitaula), gastropoda (lairus, chricoreus dan patelloida), ascidian dan uburubur merupakan beberapa biota yang terlihat dengan kehadiran rendah, sedangkan echinoderamata (bulu babi) terlihat dalam jumlah yang sedang. Jenis-jenis biota penempel pada keempat unit terumbu karang buatan memilki kesamaan yaitu terdiri atas jenis/unit. Dua jenis biota penempel pada terumbu karang buatan di Pulau Rakit yang perkembangan atau reproduksinya relatif cepat yaitu teritip (Saccostrea cuccullata) dari kelas bivalvia dan turf algae (Avrainville erecta) dari kelas chlorophyta. Unit terumbu karang buatan di Pulau Genteng pertumbuhan biota penempel selain teritip ditemukan jenis biota yang memiliki pertumbuhan relatif cepat yaitu Rhopalaea cussa dari kelas ascidian dan pinctada margaritifera dari kelas bivalvia. Enteromorpha clathrata adalah salah satu jenis dari kelompok algae hijau dengan kelimpahan sangat tinggi, menutupi semua permukaan luasan beton, baik pada terumbu karang buatan di Pulau Rakit maupun di Pulau Genteng. Kelimpahan dan komposisi jenis biota penempel pada terumbu karang buatan bulan Desember 2005 disajikan pada Tabel 4. Teritip pada terumbu karang buatan di Pulau Rakit dalam tingkatan juvenile, tampak berwarna keabuabuan, menutupi hampir semua bagian permukaan terumbu yang menghadap ke daratan. Sedangkan teritip yang menempel pada terumbu karang buatan di Pulau Genteng terlihat dalam kondisi lebih dewasa. 56

55 Komposisi dan Kelimpahan Stok... Saleh, Nusa Tenggara Barat (Mujiyanto & S.T. Hartati) Tabel 4. Table 4. Biota penempel pada terumbu karang buatan perairan Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat, bulan Desember 2005 Bentic life pasting in the artificial reef waters of the Teluk Saleh, West Nusa Tenggara in December 2005 year No. Jenis/Species Pulau Rakit (individu) Pulau Ganteng (individu) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 1. Jenis siput karang (Tectus niloticus) 1 2. Bintang laut (Siliquaria cumingi) Jenis siput karang (Chicoreus torrefactus) Kerang mutiara (Pinctada margaritifera) Jenis siput laut (Pteria penguin) Sejenis kerang (Saccostrea cuccullata) Termasuk jenis sponge (Rhopalaea sp.) Alga rumput (Lissoclinum japanicum) 2 9. Ganggang berkapur (Aplidium sp.) Ganggang berkapur (Eusyntyela sp.) Termasuk jenis sponge (Polycara aurata) Termasuk jenis karang lunak (Dendonephtya sp.) 13. Alga rumput (Protula sp.) Karang dengan bentuk seperti cambuk (Cirrihiphates sp.) 15. Alga rumput (Plumularia sp.) Ubur-ubur (Aurelia aurita) Bulu babi dengan duri warna hitam (Diadema savignyi) Bulu babi dengan duri warna putih 1 (Echinothrix calaramis) 19. Bintang laut (Fromia monilis) Ganggang berkapur (Chathia sp.) Alga coklat (Hyrtios erecta) Kipas laut (Distichopora sp.) 10 3 Keterangan/Remarks:luas daerah per kubus terumbu karang buatan = 0,216 m 3 ; jumlah kubus per unit terumbu karang buatan = 80 buah; luas daerah terumbu karang buatan = 12,96 m 2 Avrainvillea erecta, dengan bentuk seperti daun dan warna orange juga terlihat lebih banyak menempel pada sisi terumbu yang menghadap ke daratan. Rhopalaea crussa adalah salah satu jenis dari kelas ascidian yang berwarna orange. Pinctada margaritifera terlihat banyak menempel di sela-sela beton terumbu karang buatan. Beberapa jenis biota penempel lain yang teramati dengan kehadiran rendah sampai sedang dapat dikelompokan sebagai berikut: a. Kelompok makro algae (Dictyota dichotoma), terlihat di bagian dalam terumbu karang buatan dengan kehadiran rendah. b. Pteria penguin dari kelas bivalvia dengan kehadiran sangat rendah. c. Kelas gastropoda atau keong, ditemukan pada bagian terumbu yang menghadap ke daratan. Jenis-jenisnya adalah Chirocereus torrefactus, Siliquaria cumingi, dan Tectus niloticus, dengan kehadiran antara rendah sampai sedang. d. Jenis lainnya dari kelas Ascidian adalah Aplidium sp., Eusynstyela sp., dan Polycarpa aurata kehadirannya rendah sampai sedang. e. Kelas Echinodermata, seperti bulu babi (Diadema savigyi) kehadirannya sedang dan bintang laut (Fromia monilis) kehadirannya sangat rendah. f. Kehadiran dari kelompok Caidarian rendah, jenis yang diamati adalah soft coral (Dendronephyta sp.), ubur-ubur (Scyphozoa sp.), jelatang (Plunnularia sp.), dan akar bahar (Cirripathes sp.). Menurut Sukarno (1981) biota penempel berasal dari pelekatan planula atau larva biota yang terbawa arus dan sebagai pioneer adalah kelompok algae yang dapat berkembang dengan cepat, seperti Enteromorpha sp. adalah jenis dari algae hijau yang dapat menentukan kehadiran biota lainnya, tanpa terganggu pertumbuhannya. Algae hijau tersebut memberikan kesempatan melekat untuk benih atau biota lainnya, seperti tertitip, ascidian, soft coral, dan algae lainnya. 57

56 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : Terumbu Karang Buatan (Artificial Reef) sebagai Ekosistem Baru Terumbu karang buatan (artificial reef) merupakan alternatif untuk membuat habitat baru dalam rangka meningkatkan produktivitas perairan, di samping upaya preventif dan rehabilitasi untuk mengurangi tingkat pengrusakan terumbu karang. Dasar dari pelaksanaan kegiatan pemasangan terumbu karang buatan di perairan Teluk Saleh dikarenakan bahwa kondisi terumbu karang di perairan tersebut sudah mengalami banyak kerusakan, terutama pada perairan yang dangkal yaitu pada kedalaman kurang dari 15 m. Kerusakkan terumbu karang tersebut akibat dari kegiatan penangkapan ikan dengan cara-cara yang merusak. Kondisi terumbu karang di perairan pantai barat Teluk Saleh, Kabupaten Sumbawa Besar, persentase penutupan karang mati (dead coral) mencapai kisaran antara 48,24-66,37%. Hasil pengamatan terumbu karang alami di perairan Pulau Rakit dan perairan Pulau Genteng terlihat adanya penurunan persentase tutupan karang hidup antara bulan Mei dan Oktober Pada bulan Mei penutupan karang hidup di perairan Pulau Rakit ±16,25% menjadi 27,79% pada bulan Oktober. Demikian juga dengan di perairan Pulau Genteng, terjadi penurunan persentase penutupan karang hidup daripada bulan Mei 18,38% menjadi 38,26% pada bulan Oktober. Perbedaan titik pengambilan contoh pada bulan Mei dan Oktober dengan sendirinya ikut mempengaruhi perbedaan persentase penutupan karang hidup tersebut. Dari hasil pengamatan kondisi terumbu karang pada bulan Mei tersebut diperoleh ketepatan titik lokasi penempatan terumbu karang buatan. Analisis hasil sensus visual ikan karang menunjukkan bahwa jumlah jenis, marga, dan suku pada semua lokasi penempatan terumbu karang buatan (Pulau Rakit dan Pulau Genteng) tergolong rendah jika dibandingkan pada daerah terumbu karang yang sehat. Seperti yang dikatakan oleh Dahuri (2000), bahwa pada terumbu karang yang sehat dapat ditemukan lebih dari 200 jenis ikan karang. Hasil penelitian Edrus et al. (1992) dalam Hartati et al. (2005) di perairan Kepulauan Banda dijumpai jenis ikan karang yang berasal dari suku. Jumlah jenis ikan pada waktu pengamatan sebelum penceburan terumbu karang buatan tidak menunjukkan perbedaan yang berarti dengan waktu pengamatan sesudah penceburan, bahkan pada stasiun 3 Pulau Genteng, jumlah jenis relatif banyak pada waktu sebelum penceburan. Sedangkan jumlah individu terlihat lebih banyak pada waktu pengamatan sesudah penceburan terumbu karang buatan (bulan Oktober dan Desember 2005) dan pada waktu sebelum penceburan (bulan Mei 2005). Jumlah individu ikan yang lebih banyak tersebut karena adanya sekelompok ikan mayor (kelompok ikan karang sejati atau ikan hias) dalam jumlah banyak berlindung pada terumbu karang buatan. Kelompok ikan target atau ikan pangan yang hadir dalam kelompok besar hanya ekor kuning (Caesio cuning) dan ikan-ikan pasir (Scolopis sp.). Kelompok ikan target lainnya dijumpai dalam kelompok yang kecil. Kelompok ikan indikator yang merupakan petunjuk kesehatan terumbu karang dan memiliki kemampuan ekonomis tinggi kehadirannya sangat rendah, seperti ikan kepe-kepe (Chaetodontidae). Menurut Nybakken & Mackay dalam Edrus & Syam (1988), ketertarikkan ikan kepekepe terhadap terumbu karang sangat kuat sekali dan ini disinyalir karena alasan jenis makanan. Chaetodon trifascialis keberadaannya tergantung dengan adanya Acropora confertus dan Acropora hyacinthus (Reese, 1977). Kehadiran Chaetodon baronessa merupakan suatu pertanda adanya karang keras Acropora tubular dan bercabang, karena makanan pokoknya adalah polyp karang dari marga acropora. Untuk alasan tersebut kehadiran Chaetodontidae di setiap stasiun pengamatan sangat rendah. Pertumbuhan biota penempel pada terumbu karang buatan di perairan Pulau Rakit terlihat tidak berbeda dengan yang ada di terumbu karang buatan Pulau Genteng. Algae hijau (Enteromorpha clathrata) menutupi hampir 95% permukaan terumbu karang buatan baik di Pulau Rakit maupun di Pulau Genteng. Demikian juga dengan biota penempel lainnya yang mendominansi seperti teritip (Saccostrea cuccullata). Dari hasil pengamatan posisi penempelan biota pada terumbu karang buatan, kelihatannya yang mempengaruhi kehadiran jenis biota penempel adalah cahaya dan arus selain kemampuan biota itu sendiri untuk hidup dan melekatkan bysusnya. KESIMPULAN 1. Jenis ikan yang teridentifikasi 121 jenis, dengan jumlah yang bervariasi menurut waktu dan lokasi antara jenis dengan kelimpahan individu ikan berkisar antara 4-36 ekor/m Penempelan biota pada unit terumbu karang buatan di Pulau Rakit ditemukan jenis algae berbentuk benang (Enteromorpha) dan berbentuk balon (Bornetella) dalam jumlah sedang, serta kehadiran dictyota yang rendah dari golongan chlorophyta, anemon, bivalvia (pteria dan plitaula), gastropoda (lairus, chricoreus, dan patelloida), ascidian dan ubur-ubur. 58

57 Komposisi dan Kelimpahan Stok... Saleh, Nusa Tenggara Barat (Mujiyanto & S.T. Hartati) 3. Di Pulau Genteng pertumbuhan biota penempel selain teritip ditemukan jenis biota yang memiliki pertumbuhan relatif cepat yaitu rhopalaea cussa dari kelas ascidian dan pinctada margaritifera dari kelas bivalvia. 4. Secara keseluruhan, biota penempel jenis Enteromorpha clathrata sebagai indikator perkembangan terumbu karang buatan sudah tampak menutupi hampir 95% seluruh luasan permukaan terumbu. Diduga bahwa hal tersebut dipengaruhi adanya kondisi dasar perairan Pulau Rakit dan Pulau Genteng dengan reef flat yang relatif luas, dasar perairan keras dan tidak berlumpur memenuhi persyaratan untuk penempatan terumbu karang buatan. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset rehabilitasi habitat dan pemacuan stok sumber daya perairan karang di Teluk Saleh Nusa, Tenggara Barat, T. A. 2005, di Loka Riset Pemacuan Stok Ikan-Jatiluhur, Purwakarta. DAFTAR PUSTAKA Bakus, G. J Quantitave Ecology and Narine Biology. Department of Biological Science. University of Sothern California. Los Angeles. Burke, L., L. Selig, & M. Spalding Reef at Risk in Southest Asia. Diakses Tanggal 17 Februari Dahuri, R Kebijakan dan strategi pengelolaan terumbu karang Indonesia. Prosiding Lokakarya Pengelolaan dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Terumbu Karang Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. COREMAP. Jakarta. English, S., C. Wilkinson, & V. Baker Survey Manual for Tropical Marine Resource (2 nd Edition). Australian Institute of Marine Science. Australia. X: 390 pp. Edrus, I. N. & A. R. Syam Sebaran ikan hias suku Chaeodontidae di perairan karang Pulau Ambon dan peranannya dalam penentuan kondisi terumbu karang. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. (3): Gitting Coral reef population and growth on the flower Garden Bank, North West Gulf of Maxico. Procceding of the 7 th International Coral Reef Symposium. Guam. Hartati, S. T., Krismono, A. Thamrin, S. E. Purnamaningtyas, Mujiyanto, I. Supriyanto, S. M. Syarif, & Wasilun Laporan Akhir Kegiatan Penelitian Rehabilitasi Habitat dan Pemacuan Stok Sumber Daya Perairan Karang di Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat. Loka Riset Pemacuan Stok Ikan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan Perikanan. (Tidak Dipublikasikan). Nybakken, J. W Marine Biology. An Ecological Approach. PT. Gramedia. Jakarta. 445 pp. Risk, M. J Fish diversity on a coral reef in the Virgin Island. Atoll Research Bulletin. No.153. Washington. Reese, E Coevolution of coral and coral feeding fishes of family Chaetodontidae. Proceeding of the Thi International Coral Reef Symposium. 1: Rachmawati, R Terumbu Karang Buatan (Artificial Reef). Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. 53 pp. Sukarno Terumbu Karang di Indonesia: Sumber Daya, Permasalahan, dan Pengelolaan. Lembaga Oseanografi Nasional. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Sya rani, L. & S. Agung Gambaran Umum Kepulauan Karimun Jawa. Unissula Press. Semarang. Cetakan Pertama pp. United Nation Environment Programme Monitoring Coral Reef for Global change. United Nation Environment Programme. Monaco. 59

58 Dampak Perubahan Luasan Habitat.. di Laguna Segara Anakan (Hufiadi, et al.) DAMPAK PERUBAHAN LUASAN HABITAT SUMBER DAYA IKAN TERHADAP PERIKANAN PERANGKAP PASANG SURUT (APONG) DI LAGUNA SEGARA ANAKAN Hufiadi 1), Suherman Banon Atmaja 1), Duto Nugroho 2), dan Mohamad Natsir 1) 1) Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta 2) Peneliti pada Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Ancol-Jakarta Teregistrasi I tanggal: 1 Pebruari 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 18 Pebruari 2011; Disetujui terbit tanggal: 28 Pebruari 2011 ABSTRAK Saat ini, proses sedimentasi yang terjadi di Laguna Segara Anakan telah mengakibatkan penyempitan luasan Laguna. Berkurangnya luasan badan air berkorelasi dengan berkurangnya daerah penangkapan maupun daya dukung keberadaan sumber daya ikan terutama spesies ikan yang memiliki tingkah laku ruaya inter habitat. Selama periode tahun , laju penurunan luasan Laguna tertinggi terjadi pada kurun waktu tahun Kajian ini ditujukan untuk mengungkap dampak perubahan luasan habitat sumber daya ikan terhadap komposisi hasil tangkapan dan produksi perikanan jaring apong. Hasil kajian menunjukkan bahwa di wilayah Ujung Gagak, terjadi penurunan hasil tangkapan/unit/trip sementara di daerah Kuta Weru hasil tangkapan relatif tinggi jika dibandingkan dengan hasil tangkapan periode sebelumnya. Jumlah spesies yang tertangkap jaring apong di wilayah Kuta Weru menurun 47% pada tahun 2010 jika dibandingkan dengan tahun 1985 dan meningkat delapan jenis ikan jika dibandingkan dengan hasil tangkapan tahun Di daerah Ujung Gagak jumlah jenis ikan yang tertangkap jaring apong menurun jika dibandingkan dengan tahun Jumlah jenis yang tertangkap pada tahun 2010 menurun 36% jika dibandingkan dengan tahun 1985 dan meningkat 12 jenis ikan jika dibandingkan dengan hasil tangkapan tahun KATA KUNCI: ABSTRACT: Habitat, jaring pasang surut, hasil tangkapan, Segara Anakan The impact of habitat change on tidal traps fisheries in Segara Anakan Waters. By: Hufiadi, Suherman Banon Atmaja, Duto Nugroho, and Mohamad Natsir Currently, the sedimentation process in Segara Anakan as a resulted in reducing the lagoon area. Reducing area of estuarine water bodies is strongly correlated with decreasing fishing area and its carrying capacity, particularly to the fish species which have inter habitat migrating behavior during their life cycle. Observation based on serial available publication during , showed that the highest declining rate of the lagoon area occurred in the period This study aimed to reveal the impact of diminishing habitat area to fish resource availability and alteration of catch composition on production of tidal trap fishing nets (apong). Catch data analysis shows that declining catch/unit/trip occurred in Ujung Gagak while in the Kuta Weru. The catch relatively high compared with previous periods. Number of species caught in tidal traps net at Kuta Weru area decreased by 47% in 2010 compared to year 1985, but increased about 8 fish species compared with In ujung Gagak number of fish species caught in nets decreased compared to the year The number of species captured in 2010 decreased by 36% compared to 1985 and increased by a total of 12 species of fish when compared to the catch in KEYWORDS: Habitat, tidal trap fishery, catch, Segara Anakan PENDAHULUAN Peningkatan tekanan ekologis pada zona pesisir sebagai konsekuensi berbagai aktivitas manusia di kawasan terestrial kerapkali berujung pada penurunan kualitas lingkungan dan hilangnya habitat sumber daya ikan yang berdampak serius pada kesehatan dan produktivitas ekosistem pantai. Pada tahun 1980-an, negara-negara di dunia ini telah menyadari fakta bahwa di samping kemajuan pembangunan juga terjadi degradasi lingkungan hidup. Seiring dengan peningkatan pembangunan di Indonesia, khususnya di kawasan Segara Anakan, berbagai permasalahan lingkungan telah menjadi tema media massa, baik lokal, nasional, maupun internasional. Peran nyata media massa telah berhasil menarik perhatian berbagai pihak, sehingga sejak tahun itu perhatian pada keberadaan Segara Anakan pun terus Korespondensi penulis: Jl.Muara Baru Ujung, Kompleks Pelabuhan Perikanan Samudera-Jakarta 14440, Telp.(021)

59 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : bermunculan, termasuk pemerintah yang mendapat pinjaman lunak dari Asian Development Bank (Sonjaya, 2007). Beberapa data dan informasi yang tersedia memperlihatkan hutan mangrove di kawasan ini telah mengalami penebangan dalam skala berat. Selama periode tahun , secara keseluruhan kehilangan hampir 50% tutupan hutannya (Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan, 2005) dan selama periode tahun penurunan hutan mangrove lebih dari 40% (Ardli & Wolff, 2008). Sementara itu, luas badan air Segara Anakan sangat menurun drastis sebagai akibat dari proses sedimentasi dan pendangkalan di kawasan muara sungai. Sonjaya (2007) mengatakan pada tahun 1978 luas Laguna sekitar ha menurun menjadi 400 ha pada tahun Pada tahun 1986 luas Segara Anakan ha, namun yang tertutup air saat pasang hanya ha atau hanya 42% dari luas Segara Anakan dan pada tahun 1992 sekitar ha. Pada tahun 2000 luas estuari ini hanya tinggal ha, pada tahun 2005 luas perairan di Segara Anakan diperkirakan hanya tersisa 600 ha (Kusnida et al., 2009). Pada tahun 1980 luas Laguna Segara Anakan di atas 3,636 ha, tetapi terus menurun pada tahun 2002 hanya sekitar 600 ha (White et al., 1989; Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan, 2005). Antar habitat dan keanekaragaman jenis hayati kelautan terdapat keterkaitan di mana pada tingkat penyusutan habitat alami 50% berakibat terhadap penyusutan keanekaragaman spesies 10%; sedangkan bila penyusutan habitat alami 90% berakibat penyusutan keanekaragaman spesies 50% (Keanekaragaman Hayati Kelautan-Keanekaragaman Hayati Laut. web.ipb.ac.id/~mujizat/). Sukardjo (2002) mengatakan tidak ada keraguan bahwa permasalahan dan konflik dalam pengelolaan terpadu daerah pantai di Indonesia, termasuk: 1. Hilangnya hutan mangrove dan rawa-rawa pasang surut yang mendukung perikanan tradisional, seperti perikanan artisanal, silvofisheries, pengumpulan moluska, kepiting bakau (Scylla serrata). 2. Pemanfaatan daerah pantai yang tidak terkendali, seperti, konversi besar-besaran hutan mangrove menjadi tambak dan kolam ikan. 3. Peluang status, ketenagakerjaan dan ekonomi sosial penduduk menurun, serta masyarakat desa miskin yang terus meningkat. 4. Tinggi dan meningkatnya tingkat polusi pantai. 5. Overfishing dan overexploitation sumber daya pantai, termasuk cara penangkapan sumber daya ikan yang merusak, seperti pemboman terumbu karang. 6. Kurangnya pemahaman akan pentingnya ekologi daerah pantai dan pemeliharaan sumber daya pantai oleh pengembang dan pembuat keputusan di pemerintahan. 7. Pengembangan pertanian melalui konversi daerah pantai. Tujuan penelitian adalah melakukan evaluasi dampak sejalan krisis habitat dan pendugaan dampakdampak yang merugikan dari aktivitas penangkapan sumber daya ikan di Segara Anakan. BAHAN DAN METODE Survei dilakukan di dua lokasi utama yaitu Kuta Weru dan Ujung Gagak yang mewakili aktivitas perikanan di Laguna Segara Anakan pada bulan Juli dan Nopember Pengumpulan data berupa jenis, komposisi, dan ukuran hasil tangkapan jaring apong yang dilakukan melalui pengamatan dan pengukuran secara langsung serta pencatatan data berkaitan dengan ekosistem mangrove di Laguna Segara Anakan. Sumber data lain berasal dari data perikanan dan lingkungan yang berasal dari instansi-instansi terkait serta temuan hasil penelitian terdahulu yang berhasil dirangkum dari berbagai sumber yang dapat diperoleh. Analisis data dilakukan secara deskriptif, melalui tabulasi data terkumpul untuk menjelaskan trend dan rata-rata baik melalui bentuk diagram maupun grafikal. HASIL DAN BAHASAN Keadaan Umum Laguna Segara Anakan Segara Anakan adalah sebuah Laguna yang terletak di Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah (Gambar 1). Dari perspektif lingkungan hidup, Laguna tersebut merupakan suatu ekosistem unik yang terdiri atas badan air (Laguna) bersifat payau, hutan mangrove, dan lahan rendah yang dipengaruhi pasang surut air laut. Ekosistem tersebut berfungsi sebagai tempat pemijahan udang dan ikan, sebagai habitat burung-burung air migran dan non migran, berbagai jenis reptil dan mamalia serta berbagai jenis flora. Dari perspektif sumber daya air, Laguna tersebut termasuk dalam daerah aliran Sungai Segara Anakan yang merupakan bagian hilir dari wilayah Sungai Citanduy (Anonimus, 2006). Perairan Laguna Segara Anakan merupakan perairan pasang surut yang sangat dipengaruhi oleh masa air Sungai Citanduy dan masa air pantai selatan Jawa yang terutama masuk melalui muara sungai di sekitar Desa Majingklak di bagian barat dan muara 62

60 Dampak Perubahan Luasan Habitat.. di Laguna Segara Anakan (Hufiadi, et al.) Sungai Donan, Cilacap di bagian timur, sehingga pertukaran masa air dengan perbedaan salinitas selalu terjadi melalui proses pasang surut. Perubahan pasang surut tersebut berhubungan erat dengan perubahan karakteristik lingkungan yang berasosiasi dengan keberadaan dan kelimpahan temporal sumber daya ikan di kawasan ini. Pemanfaatan melalui aktivitas penangkapan dengan teknologi sederhana merupakan penopang utama kehidupan masyarakat pantai yang telah berjalan sejak lama. Luasan perairan Laguna Segara Anakan telah mengalami penyempitan akibat terjadinya proses sedimentasi di kawasan hulu (Ludwig, 1985 dalam White et al., 1989; Anonimus, 2006). A B Gambar 1. Figure 1. Laguna Segara Anakan (titik A adalah lokasi Ujung Gagak dan B adalah lokasi Kuta Weru). Segara Anakan Lagoon (A ferer to Ujung Gagak and B refer to Kuta Weru location). Sumber/Sources: Sudjastani (1989) dalam White et al. (1989) Perubahan Luasan Laguna Pemanfaatan lahan di kawasan hulu bagi berbagai kepentingan masyarakat berakibat perubahan pada kandungan transport sedimen daerah aliran Sungai Citanduy. Akumulasi kandungan tersebut menyebabkan tingginya laju pendangkalan Sungai Citanduy serta penumpukan materi terendapkan di kawasan Laguna Segara Anakan yang mengakibatkan berkurangnya luasan perairan Laguna. Laguna berfungsi sebagai daerah pemijahan ikan di mana sebagian besar antara lain dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir melalui aktivitas perikanan perangkap pasang surut. Secara perekonomian masyarakat, kerusakkan ekosistem menyebabkan penduduk kesulitan menangkap ikan sehingga terjadi penurunan produktivitas hasil tangkapan para nelayan. Perubahan historis luasan Laguna Segara Anakan pada kurun waktu tahun memperlihatkan kecenderungan laju penyempitan yang semakin tinggi (Gambar 2). 63

61 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : LUAS LAGUNA (Ha) y = x y = x y = x y = x Gambar 2. Figure 2. TAHUN Perubahan laju penyempitan luasan Laguna Segara Anakan (tahun ). The rate of change of narrowing Segara Anakan Lagoon ( ). Sumber/Sources: Diolah kembali berdasarkan atas data Anonimus (2006) Dengan menggunakan analisis sederhana hubungan antara luasan dan tahun pengamatan pada kurun waktu tertentu diperoleh besarnya koefisien kecuraman yang semakin tinggi di mana koefisien laju penyusutan tertinggi terjadi pada kurun waktu tahun kemudian cenderung melandai pada tahun Luasan minimum terjadi pada tahun 2003 sebesar 600 ha kemudian relatif meningkat pada tahun 2005 menjadi (834 ha) setelah tahun 2004 dilakukan pengerukkan lumpur perairan Laguna. Menurunnya luasan Laguna menyebabkan penyempitan daerah asuhan ikan di mana sebagian antara lain merupakan daerah penangkapan bagi aktivitas perikanan pasang surut. Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Jenis sumber daya ikan yang didaratkan oleh aktivitas perikanan tangkap sangat beragam. White et al. (1989) mengatakan bahwa 25-40% komposisi hasil tangkapan didominansi oleh jenis-jenis ikan sedangkan selebihnya merupakan jenis krutasea yang terdiri atas 10 spesies sedangkan Naamin (1972) mengatakan jenis udang di Laguna Segara Anakan terdiri atas 20 jenis udang di mana enam spesies antara lain memiliki nilai ekonomis tinggi yaitu jenis udang jerbung yang terdiri atas spesies Penaeus merguiensis, Penaeus chinensis, Penaeus monodon, dan Penaeus semisulcatus; jenis udang dogol yang terdiri atas Metapenaeus ensis, Metapenaeus elegans, dan Metapenaeus affinis; udang campur (krosok), terdiri atas Parapenaeopsis coromandelica, Metapenaeus dobsoni, dan Solenosera crassiconis; Sergestidae dan Mysidaceae. Sudjastani (1982) dalam White et al. (1989) mengatakan bahwa terdapat 21 jenis ikan demersal dan 12 jenis ikan pelagis yang didaratkan di Cilacap, sedangkan White et al. (1989) mengatakan secara keseluruhan terdapat 60 jenis ikan yang didaratkan di kawasan Laguna. Alat Tangkap Perangkap Pasang Surut (Apong) Alat tangkap yang digunakan nelayan di Segara Anakan antara lain apong (tidal traps net), bubu (trap), jaring sirang (gill net), jaring ciker (gill net), dan jala (cast net). Alat tangkap yang dominan dan banyak menangkap udang adalah perangkap pasang surut yang dikenal dengan sebutan jaring apong. Data jaring apong pada tahun 1995 adalah 645 unit, tahun 2000 sebanyak unit, dan tahun 2003 sebanyak unit. Purnamaji (2003) mengatakan bahwa konstribusi apong terhadap hasil tangkapan udang di Segara Anakan berkisar antara 84,6-93,9%. Efektivitas dan daya tangkap apong untuk menangkap udang ditentukan oleh konstruksi dan metode atau cara mengoperasikan alat tangkap tersebut. Apong adalah sejenis tidal filter net, berbentuk kerucut yang memanjang dari kedua ujung sayap paling depan ke belakang dan mulai dari bukaan mulut kantong mengerucut sampai ujung kantong (cod end). Bentuknya mirip jaring pukat seperti trawl dan cantrang (Zarohman, 2001) (Gambar 3). Bagian sayap yang berfungsi sebagai pengarah (leader) terhadap sasaran penangkapan menuju bagian kantong lewat bukaan mulut jaring terbuat dari webing PE berukuran mata jaring 6-10 inci dan 2-5 inci dengan ukuran panjang 8-27 m. Panjang tali ris atas dan tali ris bawah masingmasing berkisar m. Tali ris atas dilengkapi pelampung dan tali ris bawah dilengkapi dengan pemberat. Panjang lingkar mulut jaring berkisar mata tergantung kedalaman perairan. Ukuran mata jaring mulai dari mulut jaring sampai bagian badan kantong yang paling ujung berturut turut 5; 4,5; 4; 3,5; 3; 2,75; 2,5; 2,25; 2; 1,75; 1,5; 1,25; 1; dan 0,75 inci. Bagian ujung kantong (cod end) pada umumnya mempunyai ukuran mata jaring berkisar 0,75-1 inci. Panjang jaring mulai dari bagian mulut terdepan sampai ujung belakang bagian badan kantong berkisar m. 64

62 Dampak Perubahan Luasan Habitat.. di Laguna Segara Anakan (Hufiadi, et al.) Dua, Klaces, Motean/Ujungalang, beberapa cabang anak sungai, alur pelayaran Sapuregel. Hasil tangkapan sebagian berupa udang dan ikan demersal. Hasil Tangkapan Dari sejumlah 16 contoh unit (trip) jaring apong di Kuta Weru, diperoleh total hasil tangkapan rata-rata 8,34 kg/unit/trip/hari dengan kisaran 4,7-18,6 kg/unit/ trip, sedangkan apong yang beroperasi di daerah Ujung Gagak menunjukkan hasil tangkapan yang relatif lebih kecil yaitu rata-rata 2,9 kg/unit/trip dengan kisaran 0,6-9,1 kg/unit/trip. Gambar 3. Figure 3. Jaring apong. Tidal traps net. Sumber/Source: Boesono (2003) Operasi penangkapan dilakukan dua kali dalam sebulan pada saat terjadinya arus pasang surut kuat. Pengoperasian bersifat menetap dengan cara dipancang berjajar menghadang arus pasang dan menyilang alur pintu masuk dari laut terbuka ke perairan Laguna atau menyilang alur sungai dan cabang-cabang sungai yang ada dalam Laguna. Penyebaran pasang jaring apong mulai dari kawasan barat sampai timur adalah dari Sungai Cibeureum, Muara Cibeureum, Cimeneng ke arah selatan sampai di Pelawangan Barat, dan ke arah timur daerah Muara Gambaran rata-rata tangkapan dari ke-16 contoh armada jaring apong Kuta Weru dan 19 contoh kapal di Ujung Gagak pada bulan Nopember 2010 tertera pada Gambar 4a dan 4b. Pada gambar tersebut memperlihatkan bahwa untuk tangkapan Anguilla sp. merupakan hasil tangkapan tertinggi yaitu rata-rata 3 kg, sementara hasil tangkapan terendah kelompok jenis teri (Stolephorus sp.) yaitu rata-rata 0,54 kg, jenis ini pada umumnya tertangkap pada saat musim kering di mana masa air dengan salinitas tinggi dapat mencapai kawasan Laguna. Pada Gambar 4b terlihat bahwa hasil tangkapan tertinggi di daerah Ujung Gagak (Pangandaran) adalah Oxyeleotris marmorata dan Anguilla sp. masing-masing 0,13 dan 0,11 kg. (a) (b) Gambar 4. Figure 4. Komposisi hasil tangkapan rata-rata jaring apong di Kuta Weru (a) dan Ujung Gagak (b) bulan Nopember Average catch composition of apong in Kuta Weru (a) and Ujung Gagak (b) during November

63 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : Berdasarkan atas pengelompokkan jenis hasil tangkapan di Kuta Weru, rata-rata hasil tangkapan dari ke-16 contoh unit jaring apong untuk tangkapan udang rata-rata berturut-turut untuk udang dragon merupakan udang berukuran kecil terdiri atas campuran udang jari, udang peci, udang pletok, udang rebon (Paelamonidae), udang jambu (Metapenaeus dobsoni) rata-rata 2,52 kg/trip (1,5-3,8 kg), udang jari 1,88 kg/trip (0,2-5,7 kg), udang jerbung (Penaeus merguensis de man) 1,35 kg (0,5-3,1 kg), dan udang windu (Penaeus monodon) 0,54 kg/trip (0,1-1,5 kg). Saputra (2005) mengatakan bahwa bobot per jenis udang hasil tangkapan jaring apong di Segara Anakan, terlihat bahwa kontribusi terbesar diberikan oleh Metapenaeus elegans yaitu 62,5%, disusul Penaeus merguensis (13%), Metapenaeus dobsoni (11,7%). Hasil Tangkapan udang di Ujung Gagak didominansi oleh jenis udang krosok (Metapenaeus lysianassa) yaitu 91,15% dari total keseluruhan udang yang tertangkap. Pada Gambar 5a terlihat bahwa perbandingan hasil tangkapan keseluruhan ikan dan udang dari 16 contoh jaring apong di Kuta Weru, diperoleh komposisi hasil tangkapan udang mencapai 93,68 kg (70,21%) dan hasil tangkapan ikan diperoleh 39,75 kg (27,79%). Persentase rata-rata hasil tangkapan jaring apong di Ujung Gagak dari 19 contoh jaring apong diperoleh tangkapan udang 75,83%, ikan 18,11%, dan lain-lain 6,05% (Gambar 5b). Gambar 5. Perbandingan komposisi udang dan ikan hasil tangkapan jaring apong bulan Nopember 2010 (a) Kuta Weru dan (b) Ujung Gagak. Figure 5. Comparison between shrimp composition of apong net catches in November 2010 (a) Kuta Weru and (b) Ujung Gagak. Penurunan dan Perubahan Hasil Tangkapan Penurunan produksi ikan diduga disebabkan adanya penyempitan habitat bagi ikan-ikan. Kerusakkan tersebut ditandai berkurangnya kawasan mangrove. Hubungan kawasan Laguna dan produksi ikan ditunjukkan pada Gambar 6 (hasil reanalisis data produksi perikanan dan luasan Laguna dalam Boesono, 2003), adapun persamaan hubungan antara luas kawasan Laguna (ha) dan produksi ikan (kg) adalah: Y = 0,275x+465,5 dengan R 2 0,942 (1 di mana: Y = produksi (ton) x = luasan Laguna (ha) Gambar 6. Figure 6. Hubungan penyusutan luasan Laguna dengan produksi perikanan periode tahun Relationship between Laguna area and fisheries production period. 66

64 Dampak Perubahan Luasan Habitat.. di Laguna Segara Anakan (Hufiadi, et al.) Berkurangnya total produksi ikan di kawasan Laguna Segara Anakan ini mempunyai kecenderungan bersamaan dengan berkurangnya jenis-jenis ikan yang ada di daerah tersebut. Jumlah alat tangkap di Segara Anakan berperan dalam meningkatkan produksi perikanan. Banyaknya jumlah alat tangkap pada tahun-tahun tertentu menyebabkan peningkatan yang berarti pada produksi ikan. Pada tahun 1987 produksi ikan tampak cukup tinggi karena pada tahun tersebut jumlah alat tangkap cukup banyak yaitu unit, sebaliknya pada tahun 1994 dan 2001 produksi ikan menurun akibat penurunan jumlah alat tangkap yaitu secara berturut-turut dan unit. Secara umum, dari gambaran hasil tangkapan 16 contoh armada jaring apong Kuta Weru dan 19 contoh kapal di Ujung Gagak pada bulan Nopember 2010 dapat dilihat pada Gambar 7a dan 7b. Pada Gambar 7a terlihat bahwa perolehan hasil tangkapan jaring apong di Kuta Weru total hasil tangkapan rata-rata 8,34 kg/ unit/trip yaitu berkisar dari 4,35-18,60 kg. Berdasarkan atas hasil pengamatan di daerah Ujung Gagak, Kampung Laut diperoleh hasil tangkapan jaring apong berkisar antara 0, kg, dengan rata-rata hasil tangkapan kg (Gambar 7b). Gambar 7b. Figure 7b. Hasil tangkapan per unit upaya nominal apong di Segara Anakan bulan Nopember 2010 di daerah Ujung Gagak. Catch per unit of nominal effort of Apong net in Segara Anakan during November 2010 in Ujung Gagak area. Sementara kajian Dudley (2000) menyimpulkan bahwa hasil tangkapan jaring apong yang beroperasi mencakup kawasan bagian barat Laguna Segara Anakan, tertangkap sekitar 27 famili. Gambar 7a. Figure 7a. Hasil tangkapan per unit apong di Segara Anakan bulan Nopember 2010 di daerah Kuta Weru. Catch per unit of Apong net in Segara Anakan during November 2010 in Kuta Weru Area. Berdasarkan atas hasil penelitian terdahulu menunjukkan selama kurun waktu 14 tahun (Djuwito, 1985; Murni, 2000) telah terjadi hilangnya beberapa famili. Pada tahun 1985 di Segara Anakan ditemukan 45 jenis ikan dari 36 famili (Djuwito, 1985). Murni (2000) mengatakan bahwa di Segara Anakan pada tahun 1999 ditemukan 16 jenis ikan dari 12 famili beberapa jenis yang hilang antara lain Anguilla sp., Apogon aureus, Areus maculates, dan lain-lain (Lampiran 1). Penurunan kondisi lingkungan yang mengakibatkan timbulnya berbagai permasalahan antara lain berkurangnya habitat fauna benthik dan berkurangnya tingkat perkembangbiakan ikan dan udang (Toro & Sukardjo, 1988). Dari beberapa kajian sebelumnya juga menunjukkan deforestasi hutan mangrove dan sedimentasi menyebabkan berkurangnya luasan badan air dan daerah penangkapan, sehingga berdampak langsung terhadap daya dukung dan keberadaan sumber daya ikan, serta penurunan produksi ikan di Laguna Segara Anakan, terutama spesies ikan yang memiliki tingkah laku antar koneksi habitat (inter habitat connectivity), seperti udang dan kepiting (Lampiran 1). Dari hasil perbandingan komposisi jenis yang tertangkap pada tahun 1985, 1999, dan 2010 dapat dilihat adanya penurunan jumlah jenis ikan yang tertangkap jika dibandingkan dengan tahun Di wilayah Kuta Weru terjadi penurunan jumlah jenis yang tertangkap jaring apong pada tahun 2010 sebesar 47% yaitu tinggal 53% (24 jenis) jika dibandingkan dengan jumlah jenis yang tertangkap tahun Sementara di daerah Ujung Gagak terjadi 67

65 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : penurunan jumlah jenis ikan yang tertangkap jaring apong jika dibandingkan dengan tahun Penurunan jumlah jenis yang tertangkap pada tahun 2010 mencapai 36% yaitu tinggal 64% (29 jenis) jika dibandingkan dengan jumlah jenis yang tertangkap tahun Secara umum, jika dibandingkan dengan komposisi tangkapan tahun 1999 baik di Kuta Weru dan Ujung Gagak ada peningkatan jenis, namun secara produksi hasil tangkapan mengalami penurunan. Peningkatan jenis pada tahun 2010 diduga terkait dengan penurunan aktivitas penangkapan dengan jaring apung. Penurunan daya tangkap per unit jaring apong disikapi oleh nelayan Kuta Weru dengan cara menambah unit jaring apong yang dioperasikan dalam setiap trip operasinya. Sehingga rata-rata setiap unit perahu membawa dua buah unit jaring apong untuk dioperasikan dalam waktu yang sama. Hasil tangkapan pada umumnya adalah jenis udang dan ikan berukuran kecil atau muda, dengan dominannya hasil tangkapan udang dan ikan berukuran kecil atau muda dapat mengganggu atau mengancam pada kelestarian sumber daya dan lingkungan di perairan Segara Anakan. Berdasarkan atas kondisi riil kegiatan penangkapan perikanan jaring apong di lapangan, sangat diperlukan adanya alternatif dan upaya alih teknologi atau alih usaha lain yang mengarah pada kegiatan perikanan yang lebih bertanggungjawab. Alternatif kegiatan nelayan jaring apong di Kuta Weru yang pernah dilakukan adalah budi daya lele dumbo, namun berbagai kendala saat ini sudah tidak berjalan lagi. Alternatif lainnya adalah kegiatan pembesaran kepiting melalui sistem mutilasi. Kegiatan budi daya kepiting yang ada di Kuta Weru tersebut relatif terbatas di samping banyak dijumpai berbagai kendala terutama kesulitan memperoleh bibit dan kendala pemasaran dari hasil pembesaran kepiting tersebut. Di masa yang akan datang sangat diperlukan adanya terobosan baru alternatif usaha selain jaring apong yang dapat diterima oleh nelayan lokal. KESIMPULAN 1. Penurunan luasan habitat Segara Anakan berdampak terhadap penurunan hasil tangkapan ikan dan udang di laut sepanjang pesisir selatan Cilacap. Berdasarkan atas data produksi hasil tangkapan menunjukkan kecenderungan penurunan hasil tangkapan dari tahun ke tahun baik di dalam maupun di luar Laguna. 2. Adanya degradasi lingkungan juga ditandai oleh penurunan jumlah jenis yang tertangkap jaring apong. Rata-rata terjadi penurunan jumlah jenis 45,5% di kedua daerah jika dibandingkan kondisi tahun Terjadi perubahan strategi penangkapan di mana nelayan cenderung menambah jumlah jaring apong yang dioperasikan untuk meningkatkan hasil tangkapan. PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan kontribusi dari kegiatan hasil riset dampak krisis habitat terhadap perikanan tangkap: Kasus perairan Sagara Anakan, Cilacap, T. A. 2010, di Balai Riset Perikanan Laut-Muara Baru, Jakarta-Dewan Riset Nasional. DAFTAR PUSTAKA Anonimus Konservasi dan Pengendalian Daya Rusak Air Demi Penyelamatan Segara Anakan. Balai Data dan Informasi Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat. 15 pp. Ardli, E. R. & M. Wolff Land Use and Land Cover Change Affecting Habitat Distribution in the Segara Anakan Lagoon, Java, Indonesia. Regional Environmental Change. Springer-Verlag. Boesono, S. H Perkembangan perikanan tangkap akibat perubahan luasan Laguna Segara Anakan Cilacap (Jawa Tengah). Tesis. Program Pasca Sarjana. Universitas Diponegoro. Semarang. Badan Pengelola Kawasan Segara Anakan Laporan Mini Survei Sosial Ekonomi Kawasan Segara Anakan. Cilacap. Djuwito Analisa struktur komunitas ikan di Segara Anakan, Cilacap. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Dudley, R. G Segara Anakan Fisheries Management Plan. Segara Anakan Conservation and Development Project Components B. & C. Consultant s Report. 33 pp. Kusnida, D., I. W. Lugra, & L. Sarmili Batimetri, Pola Arus, dan Perubahan Garis Pantai di Segara Anakan, Cilacap. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan. ww.mgi.esdm.go.id/.../batimetri-pola-arus-danperubahan-garis-pantai-di-sagara-anakan-cilacap. 68

66 Dampak Perubahan Luasan Habitat.. di Laguna Segara Anakan (Hufiadi, et al.) Murni, C. N. H Perencanaan pengelolaan kawasan konservasi estuaria dengan pendekatan tata ruang dan zonasi (Studi kasus Segara Anakan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah). Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Naamin, N Perkembangan Perikanan Udang di Perairan Cilacap dan Pangandaran. Lembaga Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. 1: 59 pp. Purnamaji, S Analisis tingkat eksploitasi sumber daya udang putih (Penaeus merguensis De Man, 1888) di Laguna Segara Anakan dengan simulasi model dinamis. Tesis. Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Semarang. Sukardjo, S Integrated Coastal Zone Management in Indonesia: A View from a Mangrove Ecologist/Southeast Asian Studies. 4 (2). Sonjaya, J. A Kebijakan untuk Mangrove: Mengkaji Kasus dan Merumuskan Kebijakan. IUCN and Mangrove Action Project. Indonesia. 46 pp. Toro, V. & Sukardjo Mangrove forest of Segara Anakan Lagoon, fisheries resource, and substrate of paneid shrimp. Proceeding of National Seminar on Fish and Shrimp Breeding. Bandung. 5-7 Juli White, A. T., P. Martosubroto, & M. S. M. Sadorra The coastal environmental profile of Segara Anakan, Cilacap, South Java, Indonesia. Iclarm Technical Reports pp. Zarochman Penataan apong untuk keselamatan tumbuh udang dalam Segara Anakan. Jurnal Gema Segara Anakan. III (9). 69

67 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : Lampiran 1. Perbandingan komposisi ikan hasil tangkapan jaring apong untuk tahun 1985, 1999, dan 2010 Appendix 1. Comparison of tidal traps nets catch composition for 1985, 1999, and 2010 No. Famili/Family Jenis/Species Tahun/Years Kuta Weru 2010 Ujung Gagak 1. Anguillidae Anguilla sp. v 0 v v 2. Apogonidae Apogon aureus v 0 v v 3. Aridae Arius maculatus v 0 v** v 4. Belonidae Tylosurus v Bothhidae Crossorhombus azureus v 0 0 v** 6. Carangiadae Alectis indicus v 0 v v 7. Alepes sp.1 v Alepes sp.2 v Chaetodontidae Chaetodon fasciatus v Clupeidae Anchoviella commersonii v Cynoglossidae Cynoglossus lingua v 0 v v 12. Opisthopterus tardoore v** 13. Drepanidae Drepane longimana v Engraulidae Setipinna taty v 0 0 v 15. Stolephorus indicus v 0 v v 16. Thryssa malabarica v Thryssa mystax v 0 v V 18. Gerreidae Geres filamentosus v 0 v v** 19. Gobiidae Acentrogbius sp. v 0 v V 20. Hemirphamlidae Hemirphamphus sp. v Labridae 0 v** 22. Lagocephalidae Sphacnoroldes lunaris v 0 0 v** 23. Leiogonahidae Leiognathus dussumieri v Leiognathus equulus v V 25. Leiognathus bindus v v** 26. Lutjanidae Lutjanus fulviflamma v 0 v** V 27. Lutjanus johni 0 v** Lutjanus sp.1 0 v** Lutjanus sp.2 v Monodactylidae Monodactylus falciformis v** Mugillidae Mugil buchanani v 0 0 v** 32. M. dussumieri v v** v Mullidae Upeneus tragula v v** 0 v** 34. Muradaeneidae Muraenesox cinerius v 0 v v** 35. Polynomidae Polynemus indicus v 0 v Pomadacidae Pamadasys hasta v 0 0 v** 37. Patabouridae Rataboura bicolor v 0 v v** 38. Scathopagidae Scatophagus argus v 0 v V 39. Scianidae Johnistus sp.1 v Sciaenidae Johnius sp.2 0 v** Scombridae Scomberomorus guttatus v Serranidae Epinephelus sp. v Sillago sihema v Sparidae Acenthopagus berda v Stromnteidae Pampus argenteus v 0 0 v 46. Synodontidae Saurida tumbil v 0 v Thrachicephalus sp. v Tetrodontine Tetrodon reticulatus v Theraponidae Therapon theraps v 0 0 v** 50. Trichluridae Trichiurus lepturus v 0 v Trygonidae Himanturus varnak v 0 0 v 52. Trypanichheridae Trypauchen vagina v

68 Dampak Perubahan Luasan Habitat.. di Laguna Segara Anakan (Hufiadi, et al.) 53. Serranidae Ephinepelus tauvina 0 v Chaetodontidae Chaetodon auriga 0 v** Apogonidae 0 v** Polynomidae Eleutronema tridactylum 0 v** Clupeidae Engraulis mordax 0 v** Goblidae 0 v** v** Balistidae Balistapus rectangulus 0 v** Pseudobalistapus fuscus 0 v** B. undulates 0 v** B. encharpe 0 v** 0 v** 63. Syngnathidae Hippocampus kuda 0 v** 0 v 64. Eleotridae Oedura marmorata 0 0 v v 65. Synbranchidae Monopterus albus 0 0 v v Keterangan/Remarks: v ditemukan lebih dari 10 ekor; v** ditemukan kurang dari 10 ekor; 0 tidak ditemukan 71

69 Struktur Komunitas dan Relung.. Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes (Purnomo, K. & A. Warsa) STRUKTUR KOMUNITAS DAN RELUNG MAKANAN IKAN PASCA INTRODUKSI IKAN PATIN SIAM (Pangasianodon hypophthalmus) DI WADUK MALAHAYU, KABUPATEN BREBES Kunto Purnomo dan Andri Warsa Peneliti pada Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan, Jatiluhur-Purwakarta Teregistrasi I tanggal: 8 Pebruari 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 18 Pebruari 2011; Disetujui terbit tanggal: 28 Pebruari 2011 ABSTRAK Studi tentang struktur komunitas ikan dan pembagian sumber daya pakan ikan pasca introduksi ikan patin siam (Pangasianodon hypophthalmus) di Waduk Malahayu (620 ha) dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui komposisi jenis ikan, preferensi makanan, dan luas relung tiap jenis ikan. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode survei pada bulan Agustus sampai Nopember 2009 dan bulan Maret sampai Oktober Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur komunitas ikan terdiri atas 13 jenis ikan, yang didominansi oleh ikan nila (Oreochromis niloticus), udang (Macrobrachium sp.), dan gabus (Channa striata). Jenis-jenis sumber daya pakan yang dimanfaatkan oleh ikan adalah fitoplankton (20%), detritus (19%), zooplankton (17%), insekta (11%), tumbuhan air (9%), ikan (9%), udang (9%), dan moluska (6%). Ikan patin siam, mujair (Oreochromis mossambicus), dan beunteur (Puntius binotatus) bersifat generalis karena mampu memanfaatkan semua sumber daya pakan alami yang tersedia. Ikan sili (Macrognathus aculeatus) dan keting (Mystus nigriceps) lebih bersifat spesialis karena hanya memanfaatkan insekta sebagai makanan utamanya. Peluang kompetisi antara ikan patin siam (diintroduksikan tahun 2009) dan ikan nila relatif kecil sebab sumber daya pakan utamanya berbeda, yaitu ikan patin siam memanfaatkan moluska sebagai makanan utamanya sedangkan ikan nila sebagian memanfaatkan fitoplankton. Hasil tangkapan ikan di waduk ini berkisar antara 34, ,1 ton/tahun dengan rata-rata 157,3 ton/tahun. KATA KUNCI: ABSTRACT: struktur komunitas, introduksi, patin siam, relung makanan, Waduk Malahayu Community structure and food resource partitioning of fishes after the introduction of catfish (Pangasianodon hypophthalmus) in Malahayu Reservoir, Brebes Regency. By: Kunto Purnomo and Andri Warsa Malahayu Reservoir located in Brebes Regency, was impounded in 1930, with a surface area of 620 hectares, a mean water depth of 8 m. Its main function are flood control and irrigation. Study on fish community structure and food resource partitioning of fishes in Malahayu Reservoir were conducted from August to November 2009 and March to October The aim of the study was to evaluate the existing condition of fish resources, with emphasis on species composition, food preferency, and niche breadth of fishes. Results of this study showed that the structure of fish community compose of thirteen fish species which were dominated by nile tilapia (Oreochromis niloticus), freshwater prawn (Macrobrachium sp.), and snakehead (Channa striata). The food resources consumed by fishes in this reservoir are phytoplankton (20%), detritus (19%), zooplankton (17%), insect (11%), aquatic plants (9%), fish (9%), shrimp (9%), and molusc (6%). The striped catfish, mozambique tilapia and spotted barb were generalist because used all of the food resources. The lesser spiny eel (Macrognathus aculeatus) and twospot catfish (Mystus nigriceps) were specialist, only used the insect larva as the food item. The striped catfish (introduced in 2009) and nile tilapia in this reservoir not compete each other because the main food item are different, the striped catfish mainly eats the molusc while nile tilapia eats phytoplankton. The fish production range from ,323.1 ton/yr with average ton/yr. KEYWORDS: community structure, introduction, Siamese catfish, food resource, Malahayu Reservoir PENDAHULUAN Waduk Malahayu terletak pada ketinggian 29 m, dpl. yaitu pada koordinat geografis 108º49 12" BT dan Korespondensi penulis: Jl. Cilalawi, Purwakarta, Purwakarta 41152, irpsi@yahoo.com dan irpsi@telkomnet.id 07º01 48" LS, terbentuk karena pembendungan aliran Sungai Ciomas dan Cikabuyutan di Desa Malahayu. Secara administratif, waduk ini termasuk wilayah Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah. Waduk 73

70 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1930 tersebut kini luasnya hanya tinggal 620 ha dan kedalaman rata-rata sekitar 10 m. Tujuan utama pembangunannya semula adalah sebagai penyedia air baku untuk kebutuhan rumah tangga dan irigasi pertanian di daerah pantai utara. Fungsi tersebut kini sudah bertambah, yaitu untuk pengembangan usaha perikanan tangkap, pariwisata, dan transportasi air. Dalam hal pemanfaatan perairan untuk kegiatan perikanan, Kantor Badan Pengelola Wilayah Sungai setempat berkeberatan bila perairan waduk ini dimanfaatkan untuk pengembangan budi daya ikan dalam keramba jaring apung. Kekhawatiran kantor tersebut cukup beralasan, yaitu supaya kualitas lingkungan perairan tidak rusak seperti yang terjadi di Waduk Saguling dan Cirata (Kartamihardja, 1991; Nastiti et al., 2001). Kegiatan perikanan yang berkembang di Waduk Malahayu hanya berupa perikanan tangkap. Produksi perikanan tangkap waduk ini meningkat cukup signifikan, yaitu dari 348 ton pada tahun 2003 sampai ton pada tahun 2007 (Kustanto, 2008). Upaya untuk lebih meningkatkan produksi tangkapan ikan sudah lama dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Dinas Perikanan setempat yang bekerjasama dengan kelompok nelayan setempat yaitu Nila Jaya. Upaya tersebut antara lain berupa penebaran ikan berbagai jenis ikan yaitu ikan nila, mas (Cyprinus carpio), dan tawes (Puntius javanicus) yang jumlahnya antara tahun berkisar antara ekor/tahun. Jadi secara tidak disadari sebenarnya masyarakat nelayan setempat sudah lama melaksanakan program pengembangan perikanan melalui pola perikanan tangkap berbasis budi daya (culture based fisheries). Program ini dapat dirasakan manfaatnya oleh para nelayan dan terasa dampaknya, oleh karena itu para nelayan sangat menghargai lembaga kelompok nelayan yang sudah ada sekarang ini. Untuk lebih meningkatkan capaian produksi tangkapan ikan saat ini maka perlu dicarikan terobosan jenis ikan baru yang juga disukai masyarakat dan memiliki nilai jual yang lebih tinggi, terlebih bila juga mempunyai pangsa ekspor yang cukup baik. Obsesi ini untuk mewujudkannya memerlukan dukungan data dan informasi, terutama misalnya tentang pola dan tingkat pemanfaatan sumber daya pakan alami oleh komunitas ikan di Waduk Malahayu. Data dan informasi yang diperoleh selanjutnya dapat dipakai sebagai dasar dalam penyusunan rencana kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan ke depan. Tentunya data dan informasi tersebut sebaiknya berasal dari serangkaian hasil-hasil penelitian mendasar yang aplikatif sehingga dapat diserap oleh pengguna (users), dan bukan dari hasil proses coba-coba (trial by error) di lapangan seperti yang telah banyak dilakukan di beberapa perairan waduk dan danau selama ini. Bertolak dari permasalahan tersebut di atas maka penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui komposisi jenis ikan, preferensi makanan, dan luas relung tiap jenis ikan di Waduk Malahayu. Hasil penelitian diharapkan bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan rencana pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan di waduk tersebut. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di Waduk Malahayu menggunakan metode survei lapangan yang dilakukan pada bulan Agustus sampai Nopember 2009 dan bulan Maret sampai Oktober Untuk mempermudah jalannya penelitian maka di waduk tersebut ditetapkan beberapa stasiun penelitian untuk pemantauan pengamatan kualitas air dan lokasi pemasangan jaring percobaan (experimental gillnet). Stasiun tersebut adalah di Desa Karacak, Malahayu (di daerah dermaga perahu), Cawiri, dan Pananggapan (Gambar 1). Survei fisika dan kimiawi air hanya mencakup beberapa parameter penting kualitas air yang diukur secara insitu menggunakan metode standar seperti yang telah ditetapkan oleh American Public Health Association (1989), antara lain suhu dan kecerahan air, kandungan oksigen terlarut (dissolved oxygen), konsentrasi karbon dioksida (CO 2 ), dan ph air. Contoh ikan untuk keperluan penelitian ini diperoleh dari hasil tangkapan nelayan di keempat stasiun penelitian di atas dan juga dari hasil percobaan penangkapan ikan memakai jaring insang percobaan (experimental gillnet) yang terbuat dari benang monofilamen. Jumlah jaring insang yang dipakai dalam penelitian ini adalah empat set, tiap set terdiri atas beberapa ukuran mata jaring (mesh size), yaitu ukuran 0,50; 0,75; 1,00; 1,50; 1,75; 2,00; 2,25; 2,50; 3,0; dan 3,50 inci (stretched mesh). Di tiap stasiun dipasang satu set jaring yang posisi pemasangannya adalah tegak lurus garis pantai (perpendicular). Jaring tersebut dipasang pada sore hari dan diangkat (pengambilan hasil tangkapan) pada keesokan pagi harinya. Ikan hasil tangkapan dipisahkan menurut ukuran mata jaring, kemudian dicatat nama jenis ikannya dan ukuran panjang (cm) serta bobot (g) tiap individu ikan. Identifikasi untuk memastikan nama tiap jenis yang ditemukan dilakukan memakai buku dari Kottelat et al. (1993). Selanjutnya perut ikan dibedah dan diambil saluran pencernakannya, kemudian 74

71 Struktur Komunitas dan Relung.. Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes (Purnomo, K. & A. Warsa) dimasukan ke dalam kantung plastik dan diawetkan memakai larutan formalin 4%. Setelah itu contoh awetan tersebut dibawa ke Laboratorium Biologi Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan, Jatiluhur- Purwakarta untuk dianalisis lebih lanjut. Analisis contoh di laboratorium mencakup pengamatan organisme jenis makanan secara mikroskopis dan identifikasi memakai buku-buku dari Needham & Needham (1963); Edmonson (1978); Quigley (1977); Sachlan (1982). Gambar 1. Figure 1. Lokasi stasiun penelitian di Waduk Malahayu. The sampling stations in Malahayu Reservoir. Analisis data untuk mengetahui preferensi dan kebiasaan makanan ikan dilakukan menggunakan metode indeks bagian terbesar (index of preponderance) dari Natarajan & Jhingran dalam Effendie (1979) sebagai berikut: IPi = {vo/ i i (vo)}* i i 100%... (1 di mana: IP i = indeks bagian terbesar (index of preponderance) makanan ke-i v i = persentase volume makanan ke-i = persentase frekuensi kejadian makanan ke-i o i Luas relung (niche breadth) makanan ikan dihitung menggunakan model Levins dalam Colwell & Futuyma (1971) sebagai berikut: B i =1/ (p k ik )2. (2 di mana: B i = luas relung jenis ikan ikan ke-i p ik = proposi jenis ikan ke-i dalam memanfaatkan sumber daya makanan ke-k Analisis untuk mengetahui adanya peluang kompetisi antar jenis ikan (niche overlap) dihitung menggunakan model dari Pianka (1986) sebagai berikut: O ij = (p ik p jk )/( 2 p ik p jk2 ) 1/2 (3 di mana: O ij = tumpang-tindih relung (niche overlap) antara jenis ikan ke-i dan ke-j p ik = proposi jenis ikan ke-i dalam memanfaatkan sumber daya makanan ke-k p jk = proposi jenis ikan ke-j dalam memanfaatkan sumber daya makanan ke-k Tingkatan peluang terjadinya kompetisi ditentukan seperti menurut kriteria yang diajukan oleh Moyle & Senanayake (1984) sebagai berikut: 1. Bila O ij <0,3: peluang terjadinya kompetisi tergolong rendah. 2. Bila O ij e 0,3-0,8: peluang terjadinya kompetisi tergolong sedang. 3. Bila O ij > 0,8: peluang terjadinya kompetisi tergolong tinggi. 75

72 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : HASIL DAN BAHASAN Kualitas Air dan Sumber Daya Makanan Alami Ikan Hasil pengukuran beberapa parameter penting fisika dan kimiawi air selama penelitian di Waduk Malahayu (Tabel 1) tidak memperlihatkan suatu kondisi yang ekstrim, artinya nilai-nilai konsentrasi tiap parameter terukur adalah seperti yang lazim dijumpai di perairan lainnya. Sampai saat ini kondisi perairannya baik untuk kehidupan ikan, belum pernah dilaporkan adanya kematian ikan dalam kondisi yang ekstrim sekalipun, misalnya musim kemarau yang panjang sehingga air waduk menjadi sangat rendah. Selain itu, sungai yang masuk ke dalam waduk yaitu Sungai Cikabuyutan dan Ciomas alirannya hanya melalui daerah pertanian dan pemukiman yang tidak terlalu padat sehingga limbah domestik hanya relatif sedikit dan perairan waduk tetap terlihat bersih. Di perairan ini tidak ada stratifikasi suhu air (ratarata antara 27,0-25,6ºC) dan kandungan oksigen terlarut (rata-rata antara 8,8-5,0 mg/l). Hal ini disebabkan perairannya relatif dangkal, kedalaman maksimum hanya sekitar m sehingga kondisi perairan di bagian bawah terpengaruh efek penyinaran oleh sinar matahari yang dapat menembus sampai kedalaman tertentu. Pengaruh yang sama juga terjadi untuk kandungan oksigen terlarut yang dari lapisan atas sampai ke bawah penurunannya hanya sedikit. Perairan waduk yang tidak terlalu dalam dan pengadukan massa air oleh angin menyebabkan perairan menjadi keruh, tapi kekeruhan tersebut bukan akibat proses siltasi melainkan karena kelimpahan fitoplankton yang cukup tinggi yaitu berkisar antara sel/l (rata-rata sel/l). Keadaan ini mengindikasikan perairan Waduk Malahayu tergolong subur dan cocok untuk perkembangan jenis-jenis ikan yang tergolong pemakan plankton (planktivora). Tabel 1. Fisika, kimiawi, dan biologi perairan Waduk Malahayu, tahun 2010 Table 1. Water, physico, and chemical and biology features of Malahayu Reservoir, in 2010 Parameter Kedalaman/Depth (m) Suhu Air (ºC) 25,7-29,3 (27,0) 25,7-27,6 (26,4) 25,9-27,4 (26,2) 25,0-25,9 (25,6) O 2 (mg/l) 5,3-13,1 (8,8) 5,3-9,5 (7,1) 5,3-8,9 (6,6) 4,7-5,3 (5,0) CO 2 (mg/l) 0,0-3,0 (0,7) 0,0-5,9 (1,7) 0,0-5,9 (1,3) 1,5-3,0 (2,2) ph (unit) 7,0-8,0 (7,4) 7,0-8,0 (7,4) 7,0-8,0 (7,5) 7,5-8,0 (7,6) Kelimpahan fitoplankton (sel/l) (26.800) ( ) (22.760) (19.776) Kelimpahan zooplankton (ind./l) (4.299) (9.746) (5.659) (3.420) Keterangan/Remarks:Kecerahan air antara 29,0-160,0 cm; suhu udara antara 24,8-28,8ºC; angka dalam kurung menunjukan nilai rata-rata/water transparency cm, air temperature ºC, number in the bracket is the average Kelimpahan fitoplankton di Waduk Malahayu didominansi oleh kelas Cyanophyceae dan Dinophyceae (Gambar 2). Kelimpahan yang tinggi tersebut terdapat baik pada kedalaman 0,5; 2,0; dan 4,0 m, yang paling tinggi adalah pada kedalaman 2 m. Cyanophyceae merupakan kelas fitoplankton dengan kelimpahan tertinggi setelah Dinophyceae. Secara umum, genera fitoplankton yang sering ditemukan dan berlimpah adalah Chlorella, Pediastrum, Oscillatoria, Synedra, Peridinium, Scenedesmus, Coleastrum, dan Nitzchia. 76

73 Struktur Komunitas dan Relung.. Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes (Purnomo, K. & A. Warsa) Kelimpahan (x1000) sel/l Individu (x1000) Liter Bacteria Chlorophyceae Cyanophyceae Bacillariophyceae Desmideacea Dinophyceae Rotifera Cladocera Copepoda Euglenophyceae - 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 Gambar 2. Kelimpahan fitoplankton di Waduk Malahayu, tahun Figure 2. Abundance of phytoplankton of Malahayu Reservoir, in Struktur Komunitas Ikan Dari monitoring terhadap hasil tangkapan ikan oleh nelayan selama penelitian berlangsung ada 10 jenis ikan yang menghuni Waduk Malahayu (Tabel 2), adapun jenis ikan yang tergolong dominan adalah ikan nila (50,83%), beunteur (18,19%), dan patin (15,06%). Keberadaan ikan patin siam yang diintroduksikan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan-Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tanggal 11 Juli Jenis ikan tersebut kini sudah berkembang pesat, ukuran terbesar yang pernah tertangkap sampai akhir tahun 2010 adalah panjang 66,0 cm dan bobot g. Pola pertumbuhan ikan patin selama ini bersifat alometrik positif (b = 3,144), artinya ikan ini terlihat gemuk sebab pertambahan bobot badannya lebih cepat dibanding pertumbuhan panjangnya. Informasi ini secara tidak langsung mengindikasikan bahwa habitat Waduk Malahayu cocok untuk kehidupan ikan patin siam. Indikasi ini akan dijelaskan lebih lanjut dalam alinea pembahasan tentang komposisi makanan ikan di waduk tersebut. Selain ikan patin siam maka jenis-jenis ikan introduksi lainnya mampu hidup dan berkembang di waduk ini adalah ikan nila, mujair, mas, dan tawes. Jenis-jenis ikan yang ditemukan kebanyakkan pola pertumbuhannya isometrik (pertumbuhan panjang badan seimbang dengan bobot badannya), kecuali ikan beunteur, gabus dan mujair yang bersifat alometrik (Tabel 2). Tabel 2. Table 2. Hubungan panjang dan bobot tiap jenis ikan di Waduk Malahayu Length and weight relationship of fishes in Malahayu Reservoir Jenis ikan/species Persamaan/Equation R 2 n Pertumbuhan/Growth Nila (Oreochromis niloticus) B=0,020P 2,986 0, Isometrik Beunteur (Puntius binotatus) B=0,052P 2,377 0, Alometrik Gabus (Channa striata) B=0,068P 2,383 0, Alometrik Mujair (Oreochromis mossambicus) B=0,034P 2,727 0, Alometrik Patin (Pangasianodon hypophthalmus) B=0,006P 3,144 0, Alometrik Sepat (Trichogaster trichopterus) B=0,024P 2,740 0, Isometrik Mas (Cyprinus carpio) B=0,041P 2,839 0, Isometrik Keting (Mystus nigriceps) B=0,012P 2,921 0,935 7 Isometrik Tawes (Barbonymus gonionotus) B=0,024P 2,919 0, Isometrik Sili (Macrognathus aculeatus) 4 Dalam penelitian ini juga ditemukan jenis ikan sili (Macrognathus aculeatus) dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Jenis ikan ini juga banyak ditemukan di beberapa perairan waduk seperti Waduk Gajahmungkur, Kedungombo, Sempor, dan lain-lain. Pada umumnya ditemukan di daerah sekitar inlet sungai ke dalam waduk atau danau, sebab jenis ikan ini aslinya adalah ikan sungai (riverine). Menurut Anonimus (2010), seorang peneliti dari Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto mengatakan bahwa di Indonesia ada 11 jenis ikan sili (nama lainnya adalah sisili, tilan) di mana tiga jenis antara lain 77

74 J. Lit. Perikan. Ind. Vol.17 No. 1 Maret 2011 : ditemukan di Jawa yaitu Macrognathus aculeatus, Macrognathus maculatus, dan Mastacembelus unicolor. Macrognathus dan Mastacembelus sepintas sama perwujudannya, bedanya adalah pada jumlah spina dan duri di punggung di mana Macrognathus memiliki 31 duri sedangkan Mastacembelus mempunyai 33 duri. Keduanya tergolong jenis ikan yang mahal, mulai langka dan banyak dimanfaatkan sebagai ikan hias. Hasil percobaan penangkapan ikan memakai jaring insang percobaan (Tabel 3) memperlihatkan bahwa ikan kebanyakan tertangkap pada ukuran mata jaring antara 1,00-1,75 inci. Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa populasi ikan di waduk ini didominansi oleh individu ikan yang berukuran kecil. Untungnya nelayan setempat sangat mentaati Peraturan Daerah setempat yang melarang penggunaan ukuran mata jaring kurang dari dua inci (<2 inci). Dari Tabel 3 juga terlihat bahwa ukuran ikan yang tertangkap tidak meningkat secara linier dengan bertambahnya ukuran mata jaring, artinya ukuran mata jaring yang kecil mungkin saja menangkap ukuran ikan yang lebih besar. Ikan-ikan ini kemungkinan hanya tertangkap dengan posisi tersangkut atau terpuntal (tangled). Tabel 3. Table 3. Komposisi hasil tangkapan jaring insang percobaan di Waduk Malahayu Catch composition of experimental gillnet in Malahayu Reservoir Mata jaring/ Mesh size (inci) Jenis ikan/ Species Panjang/Length (cm) Bobot/Weight (g) Total bobot/ Total weight (g) Jumlah/ Number (ekor) 1,00 Mujair 6,7 5,6 5,6 1 Beunteur 7,5-11,5 (9,3) 6,3-17,4 (11,1) 489,7 44 Sili 22 33,4 33,4 1 1,25 Mujair 6,5-12,5 (9,6) 7,2-36,8 (17,6) 1.075,5 61 Sili 25,5 53,1 53,1 1 Nila 7,5-12 (8,9) 7,2-36,8 (17,6) 1.109,0 76 Gabus 17,5-23 (20,3) 51,5-105 (78,3) 156,5 2 Sepat 8,5 9,6 9,6 1 Beunteur 10-15(11,3) 15-29,1 (19,4) ,50 Mujair 8,2-12 (10,2) 10,5-29,1 (19,3) 573,8 30 Nila 9,2-11,5 (10,6) (21,7) ,75 Mujair 8,3-13,5 (11,4) (21,7) Nila 7-13 (10,9) 7-35,1 (24,6) 638,7 27 2,00 Mujair 12,5-13,5 (13,6) 43,3-50,7 (46,8) Nila 12-15,5 (13,8) 41,7-76,9 (52,9) 582,9 11 Gabus 19,5 221,5 221,5 1 2,25 Mujair (14,3) 49,1-77 (59,8) Nila 12-19,5 (16,5) 35,6 (161) 642,1 7 Gabus ,8 480,8 1 2,50 Nila 15,5-20 (17,6) 76,4-157 (114,3) ,00 Nila 15,5-20 (18,3) 62,3-145,2 (120,8) 483,3 7 Relung Makanan Sumber Daya Ikan Komunitas adalah kumpulan beberapa spesies yang hidup secara bersama-sama menurut ruang dan waktu. Habitat adalah tempat keberadaan suatu makhluk hidup atau organisme atau komunitas guna memenuhi kebutuhannya. Apabila kebutuhannya tidak ditemukan atau tidak mencukupi maka organisme tadi akan mati atau berpindah ke lokasi lain yang lebih cocok. Relung ekologi atau niche ekologi (ecological niches) merupakan bagian ilmu ekologi yang lebih menekankan pada peranan atau profesi suatu organisme di dalam habitatnya (Giller, 1984; Krebs, 1999). Jika dalam habitat tersebut terdapat atau hidup beberapa berbagai jenis organisme lain yang niche ekologinya sama maka akan terjadi kompetisi atau persaingan dalam mendapatkan ruang (spatial niche) maupun utamanya adalah makanan (trophic niche). Kompetisi tersebut dikenal dengan istilah kompetisi eksploitatif (Piet, 1996). Dalam kompetisi ini masingmasing spesies tersebut akan mempertinggi efisiensi cara hidup sehingga masing-masing akan cenderung lebih bersifat spesialis dan luas relungnya akan menyempit. Akan tetapi bila populasi semakin meningkat. maka juga akan terjadi persaingan antara individu di dalam spesies yang sama (Krebs, 1999; Piet, 1996). 78

75 Struktur Komunitas dan Relung.. Waduk Malahayu, Kabupaten Brebes (Purnomo, K. & A. Warsa) Hasil analisis isi saluran pencernaan beberapa jenis ikan yang ditemukan ternyata sumber daya pakan alami yang dapat dimanfaatkan oleh ikan di Waduk Malahayu cukup beragam yaitu berupa udang, anak ikan, tumbuhan air, moluska, insekta, fitoplankton, zooplankton, dan detritus (Gambar 3). Pada Gambar 3 tersebut juga terlihat bahwa ikan nila, mujair, dan sepat (Trichogaster trichopterus) makanan utamanya adalah fitoplankton. Ikan gabus makanan utamanya anak ikan. Ikan tawes makanan utamanya berupa tumbuhan air sedangkan makanan tambahannya berupa fitoplankton. Ikan sili dan keting (Mystus nigriceps) makanan utamanya adalah larva insekta. Menurut jenis-jenis makanan alami yang dikonsumsi oleh ikan di Waduk Malahayu ternyata luas relung paling besar pada tahun 2009 adalah ikan beunteur, sedangkan pada tahun 2010 adalah ikan patin, mujair, dan beunteur (Tabel 4). Menurut Giller (1984); Piet (1996); Krebs (1999), luas relung yang besar mencirikan bahwa jenis ikan tersebut bersifat generalis, artinya dapat memanfaatkan semua jenis sumber daya pakan yang tersedia di perairan. Sebaliknya ikan dikatakan bersifat spesialis adalah bila hanya dapat memanfaatkan jenis sumber daya pakan alami tertentu, misalnya ikan sili dan keting. Gambar 3. Figure 3. Komposisi makanan ikan di Waduk Malahayu. Diet composition of fishes in Malahayu Reservoir. Tabel 4 juga menerangkan peluang terjadinya kompetisi antar jenis ikan, yaitu dengan melihat nilai tumpang-tindih relungnya (niche overlap), atau untuk lebih jelasnya dapat dilihat juga dari dendrogram pengelompokkan jenis ikan berdasarkan atas kesamaan makanannya, seperti tersaji dalam Gambar 4 dan 5. 79

ESTIMASI STOK SUMBER DAYA IKAN DENGAN METODE HIDROAKUSTIK DI PERAIRAN KABUPATEN BENGKALIS

ESTIMASI STOK SUMBER DAYA IKAN DENGAN METODE HIDROAKUSTIK DI PERAIRAN KABUPATEN BENGKALIS Estimasi Stok Sumber Daya... di Perairan Kabupaten Bengkalis (Priatna, A. & Wijopriono) ESTIMASI STOK SUMBER DAYA IKAN DENGAN METODE HIDROAKUSTIK DI PERAIRAN KABUPATEN BENGKALIS Asep Priatna 1) dan Wijopriono

Lebih terperinci

PENDUGAAN KELIMPAHAN DAN SEBARAN IKAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI PERAIRAN BELITUNG

PENDUGAAN KELIMPAHAN DAN SEBARAN IKAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI PERAIRAN BELITUNG Pendugaan Kelimpahan dan Sebaran Ikan... Metode Akustik di Perairan Belitung (Fahmi, Z.) PENDUGAAN KELIMPAHAN DAN SEBARAN IKAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI PERAIRAN BELITUNG ABSTRAK Zulkarnaen

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil 5.1.1 Penyebaran target strength ikan Target strength (TS) sangat penting dalam pendugaan densitas ikan dengan metode hidroakustik karena untuk dapat mengetahui ukuran

Lebih terperinci

KELIMPAHAN STOK SUMBER DAYA IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN SUB AREA LAUT JAWA

KELIMPAHAN STOK SUMBER DAYA IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN SUB AREA LAUT JAWA Kelimpahan Stok Sumber Daya Ikan Demersal di Perairan Sub Area Laut Jawa (Badrudin, et al.) KELIMPAHAN STOK SUMBER DAYA IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN SUB AREA LAUT JAWA Badrudin 1), Aisyah 1), dan Tri Ernawati

Lebih terperinci

FLUKTUASI BULANAN HASIL TANGKAPAN CANTRANG YANG BERBASIS DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI TEGAL SARI, KOTA TEGAL

FLUKTUASI BULANAN HASIL TANGKAPAN CANTRANG YANG BERBASIS DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI TEGAL SARI, KOTA TEGAL Fluktuasi Bulanan Hasil Tangkapan... Tegal Sari, Kota Tegal (Ernawati, T. & B. Sumiono) FLUKTUASI BULANAN HASIL TANGKAPAN CANTRANG YANG BERBASIS DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI TEGAL SARI, KOTA TEGAL Tri

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Substrat dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat bagi bermacam-macam biota baik itu mikrofauna maupun makrofauna. Mikrofauna berperan

Lebih terperinci

STATUS PERIKANAN DAN STOK SUMBERDAYA IKAN PELAGIS KECIL DI LAUT ARAFURA STATUS OF FISHERY AND STOCK OF SMALL PELAGIC FISH RESOURCES IN ARAFURA SEA

STATUS PERIKANAN DAN STOK SUMBERDAYA IKAN PELAGIS KECIL DI LAUT ARAFURA STATUS OF FISHERY AND STOCK OF SMALL PELAGIC FISH RESOURCES IN ARAFURA SEA Status Perikanan dan Stok Ikan Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil di Laut Arafura (Wijopriono & F. Satria) STATUS PERIKANAN DAN STOK SUMBERDAYA IKAN PELAGIS KECIL DI LAUT ARAFURA STATUS OF FISHERY AND STOCK

Lebih terperinci

5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK

5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK 5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK Pendahuluan Sumberdaya perikanan LCS merupakan kontribusi utama yang sangat penting di tingkat lokal, regional dan internasional untuk makanan

Lebih terperinci

Tri Ernawati Balai Riset Perikanan Laut

Tri Ernawati Balai Riset Perikanan Laut Jurnal lktio/ogi Indonesia, Volume 7, Nomor 1, Juni 2007 DISTRIBUSI DAN KOMPOSISI JENIS IKAN DEMERSAL YANG TERTANGKAP TRAWLPADAMUSIMBARATDIPERAIRANUTARAJAWATENGAH [Fish distribution and composition demersal

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

Penangkapan Tuna dan Cakalang... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.)

Penangkapan Tuna dan Cakalang... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.) Penangkapan Tuna dan... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.) PENANGKAPAN TUNA DAN CAKALANG DENGAN MENGGUNAKAN ALAT TANGKAP PANCING ULUR (HAND LINE) YANG BERBASIS DI PANGKALAN PENDARATAN

Lebih terperinci

KERAGAAN TEKNIS KAPAL RISET SARDINELLA SEBAGAI TRAWLER

KERAGAAN TEKNIS KAPAL RISET SARDINELLA SEBAGAI TRAWLER Keragaan Teknis Kapal Riset Sardinella sebagai Trawler (Nurdin, E.) KERAGAAN TEKNIS KAPAL RISET SARDINELLA SEBAGAI TRAWLER ABSTRAK Erfind Nurdin Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie-

PENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie- PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah Pengelolaan Perikanan 571 meliputi wilayah perairan Selat Malaka dan Laut Andaman. Secara administrasi WPP 571 di sebelah utara berbatasan dengan batas terluar ZEE Indonesia

Lebih terperinci

DRN LAPORAN AKHIR INDEKS KELIMPAHAN STOK DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN DEMERSAL DIWPPLAUTJAWA. Oleh: Badrudin, Aisyah dan N. N.

DRN LAPORAN AKHIR INDEKS KELIMPAHAN STOK DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN DEMERSAL DIWPPLAUTJAWA. Oleh: Badrudin, Aisyah dan N. N. DRN LAPORAN AKHIR INDEKS KELIMPAHAN STOK DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN DEMERSAL DIWPPLAUTJAWA Oleh: Badrudin, Aisyah dan N. N. Wiadnyana PROGRAM INSENTIF PENINGKA TAN KEMAMPUAN PENELITI DANPEREKAYA

Lebih terperinci

PROTOKOL SAMPLING DI TEMPAT PENDARATAN/PELABUHAN (PORT SAMPLING PROTOCOL)

PROTOKOL SAMPLING DI TEMPAT PENDARATAN/PELABUHAN (PORT SAMPLING PROTOCOL) PROTOKOL SAMPLING DI TEMPAT PENDARATAN/PELABUHAN (PORT SAMPLING PROTOCOL) PENDAHULUAN Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan.

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari Ekspedisi Selat Makassar 2003 yang diperuntukkan bagi Program Census of Marine Life (CoML) yang dilaksanakan oleh

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan Ikan kurisi dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Kapal dengan alat tangkap cantrang memiliki

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 44 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Selat Malaka Perairan Selat Malaka merupakan bagian dari Paparan Sunda yang relatif dangkal dan merupakan satu bagian dengan dataran utama Asia serta

Lebih terperinci

POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN SEKTOR PERIKANAN DI SELATAN JAWA TIMUR

POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN SEKTOR PERIKANAN DI SELATAN JAWA TIMUR POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN IKAN SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN SEKTOR PERIKANAN DI SELATAN JAWA TIMUR Nurul Rosana, Viv Djanat Prasita Jurusan Perikanan Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permintaan ikan yang meningkat memiliki makna positif bagi pengembangan perikanan, terlebih bagi negara kepulauan seperti Indonesia yang memiliki potensi perairan yang

Lebih terperinci

6. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN DEMERSAL BERDASARKAN METODE SWEPT AREA

6. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN DEMERSAL BERDASARKAN METODE SWEPT AREA 6. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN DEMERSAL BERDASARKAN METODE SWEPT AREA Pendahuluan Laut Cina Selatan merupakan suatu area yang memiliki keanekaragaman biologi yang penting. Perairan ini merupakan daerah

Lebih terperinci

Kebiasaan Makanan Ikan Beloso (Saurida undosquamis) di Perairan Laut Cina Selatan Bagian Selatan (LCS)

Kebiasaan Makanan Ikan Beloso (Saurida undosquamis) di Perairan Laut Cina Selatan Bagian Selatan (LCS) Kebiasaan Makanan Ikan Beloso (Saurida undosquamis) di Perairan Laut Cina Selatan Bagian Selatan (LCS) Moh. Rasyid Ridho 1), Richardus F. Kaswadji, Indra Jaya 2) dan Subhat Nurhakim 3) Abstract Fak. MIPA

Lebih terperinci

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH 1,2) Urip Rahmani 1, Imam Hanafi 2, Suwarso 3 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA)

PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA) Marine Fisheries ISSN 2087-4235 Vol. 3, No. 2, November 2012 Hal: 135-140 PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA) Tuna Lingline Fisheries Productivity in Benoa

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu isu penting perikanan saat ini adalah keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya dan lingkungannya. Upaya pemanfaatan spesies target diarahkan untuk tetap menjaga

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS ARMADA PENANGKAPAN DAN POTENSI PRODUKSI PERIKANAN UDANG DI LAUT ARAFURA

PRODUKTIVITAS ARMADA PENANGKAPAN DAN POTENSI PRODUKSI PERIKANAN UDANG DI LAUT ARAFURA PRODUKTIVITAS ARMADA PENANGKAPAN DAN POTENSI PRODUKSI PERIKANAN UDANG DI LAUT ARAFURA FISHING FLEET PRODUCTIVITY AND POTENTIAL PRODUCTION OF SHRIMP FISHERY IN THE ARAFURA SEA ABSTRAK Purwanto Anggota Komisi

Lebih terperinci

SEBARAN DAN KELIMPAHAN IKAN PARI DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) 711 NRI

SEBARAN DAN KELIMPAHAN IKAN PARI DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) 711 NRI SEBARAN DAN KELIMPAHAN IKAN PARI DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) 711 NRI Helman Nur Yusuf, Asep Priatna & Karsono Wagiyo Disampaikan pada Simposium Hiu & Pari di Indonesia, Maret 2018 Balai Riset

Lebih terperinci

PROPORSI DAN KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN JARING TIGA LAPIS (TRAMMEL NET) DI PELABUHAN RATU

PROPORSI DAN KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN JARING TIGA LAPIS (TRAMMEL NET) DI PELABUHAN RATU Proporsi dan Komposisi Hasil Tangkapan Jaring Tiga Lapis (Trammel Net) di Pelabuhan Ratu (Hufiadi) PROPORSI DAN KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN JARING TIGA LAPIS (TRAMMEL NET) DI PELABUHAN RATU ABSTRAK Hufiadi

Lebih terperinci

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5.1 Pendahuluan Pemanfaatan yang lestari adalah pemanfaatan sumberdaya perikanan pada kondisi yang berimbang, yaitu tingkat pemanfaatannya

Lebih terperinci

PENGARUH KEDALAMAN DAN SUHU MENGGUNAKAN FISH FINDER TERHADAP HASIL TANGKAPAN ARAD (SMALL BOTTOM TRAWL) DI PERAIRAN REMBANG

PENGARUH KEDALAMAN DAN SUHU MENGGUNAKAN FISH FINDER TERHADAP HASIL TANGKAPAN ARAD (SMALL BOTTOM TRAWL) DI PERAIRAN REMBANG PENGARUH KEDALAMAN DAN SUHU MENGGUNAKAN FISH FINDER TERHADAP HASIL TANGKAPAN ARAD (SMALL BOTTOM TRAWL) DI PERAIRAN REMBANG Depth and Temperature Effect in the Fish Finder of Arad (Small Bottom Trawl) Catch

Lebih terperinci

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah Maspari Journal 03 (2011) 24-29 http://masparijournal.blogspot.com Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah Onolawe Prima Sibagariang, Fauziyah dan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 8 Peta lokasi penelitian.

3 METODE PENELITIAN. Gambar 8 Peta lokasi penelitian. 30 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini menggunakan data hasil survei akustik yang dilaksanakan oleh Balai Riset Perikanan Laut (BRPL), Dirjen Perikanan Tangkap, KKP RI pada bulan Juni

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan 5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan Hasil tangkapan yang diperoleh selama penelitian menunjukan bahwa sumberdaya ikan di perairan Tanjung Kerawang cukup beragam baik jenis maupun ukuran ikan yang

Lebih terperinci

PENGARUH JUMLAH LAMPU TERHADAP HASIL TANGKAPAN PUKAT CINCIN MINI DI PERAIRAN PEMALANG DAN SEKITARNYA

PENGARUH JUMLAH LAMPU TERHADAP HASIL TANGKAPAN PUKAT CINCIN MINI DI PERAIRAN PEMALANG DAN SEKITARNYA Pengaruh Lampu terhadap Hasil Tangkapan... Pemalang dan Sekitarnya (Nurdin, E.) PENGARUH JUMLAH LAMPU TERHADAP HASIL TANGKAPAN PUKAT CINCIN MINI DI PERAIRAN PEMALANG DAN SEKITARNYA Erfind Nurdin Peneliti

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR 1 PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR (Trichiurus sp.) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT Adnan Sharif, Silfia Syakila, Widya Dharma Lubayasari Departemen Manajemen Sumberdaya

Lebih terperinci

PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA

PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA Pengamatan Aspek Operasional Penangkapan...di Selat Malaka (Yahya, Mohammad Fadli) PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA Mohammad Fadli Yahya Teknisi pada Balai

Lebih terperinci

DISTRIBUSI SPASIAL KEPADATAN IKAN PELAGIS DI PERAIRAN ENGGANO

DISTRIBUSI SPASIAL KEPADATAN IKAN PELAGIS DI PERAIRAN ENGGANO DISTRIBUSI SPASIAL KEPADATAN IKAN PELAGIS DI PERAIRAN ENGGANO Oleh: Deddy Bakhtiar deddy_b2@yahoo.co.id Prodi Ilmu Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu Jl. Raya Kandang Limun Bengkulu 38371A.

Lebih terperinci

TINGKAT PEMANFAATAN PERIKANAN DEMERSAL DI PERAIRAN KABUPATEN REMBANG. Utilization Levels of Demersal Fisheries in Rembang Regency Seawaters

TINGKAT PEMANFAATAN PERIKANAN DEMERSAL DI PERAIRAN KABUPATEN REMBANG. Utilization Levels of Demersal Fisheries in Rembang Regency Seawaters TINGKAT PEMANFAATAN PERIKANAN DEMERSAL DI PERAIRAN KABUPATEN REMBANG Utilization Levels of Demersal Fisheries in Rembang Regency Seawaters Pratama Saputro 1 Bambang Argo Wibowo 2 Abdul Rosyid 2 1 Mahasiswa

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN DENGAN DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011

HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN DENGAN DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011 Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. Vol. 4. No. 1 Mei 2013: 31-39 ISSNN 2087-4871 HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN DENGAN DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011 (THE RELATION

Lebih terperinci

MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN PANGKEP

MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN PANGKEP Jurnal Galung Tropika, 5 (3) Desember 2016, hlmn. 203-209 ISSN Online 2407-6279 ISSN Cetak 2302-4178 MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN PANGKEP Crab

Lebih terperinci

Oleh : HARDHANI EKO SAPUTRO C SKRIPSI

Oleh : HARDHANI EKO SAPUTRO C SKRIPSI PENGUKURAN NILAI DAN SEBARAN TARGET STRENGTH IKAN PELAGIS DAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM AKUSTIK BIM TERBAGI (SPLIT BEAM ACOUSTIC SYSTEM) DI LAUT A MFUM PADA BULAN OKTOBER-NOPEMBER 2003 Oleh :

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Selat Sunda secara geografis menghubungkan Laut Jawa serta Selat Karimata di bagian utara dengan Samudera Hindia di bagian selatan. Topografi perairan ini secara

Lebih terperinci

ANALISIS PERBEDAAN KEDALAMAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TERHADAP KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN PADA ALAT TANGKAP CANTRANG

ANALISIS PERBEDAAN KEDALAMAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TERHADAP KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN PADA ALAT TANGKAP CANTRANG ANALISIS PERBEDAAN KEDALAMAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TERHADAP KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN PADA ALAT TANGKAP CANTRANG (Boat Seine) DI PERAIRAN REMBANG Fishing Area Depth Analysis of Differences to the Composition

Lebih terperinci

DISTRIBUSI, DENSITAS IKAN DAN KONDISI FISIK OSEANOGRAFI DI SELAT MALAKA

DISTRIBUSI, DENSITAS IKAN DAN KONDISI FISIK OSEANOGRAFI DI SELAT MALAKA 2003 Julius A.N. Masrikat Posted 11 December 2003 Makalah Pribadi Pengantar Ke Falsafah Sains (PPS702) Program Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor Desember 2003 Dosen: Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng

Lebih terperinci

ANALISIS KECENDERUNGAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN LAUT HALMAHERA TAHUN Adrian A. Boleu & Darius Arkwright

ANALISIS KECENDERUNGAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN LAUT HALMAHERA TAHUN Adrian A. Boleu & Darius Arkwright ANALISIS KECENDERUNGAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN LAUT HALMAHERA TAHUN 2007 2008 Adrian A. Boleu & Darius Arkwright Abstract Small pelagic fishing effort made bythe fishermen in North Halmahera

Lebih terperinci

EVALUASI TINGKAT EKSPLOITASI SUMBERDAYA IKAN GULAMAH (Johnius sp) BERDASARKAN DATA TPI PPS CILACAP

EVALUASI TINGKAT EKSPLOITASI SUMBERDAYA IKAN GULAMAH (Johnius sp) BERDASARKAN DATA TPI PPS CILACAP Jurnal Saintek Perikanan Vol. 4, No. 1, 28 : 56-61 EVALUASI TINGKAT EKSPLOITASI SUMBERDAYA IKAN GULAMAH (Johnius sp) BERDASARKAN DATA TPI PPS CILACAP Evaluation of Croaker Fish (Johnius sp) Resource Exploitation

Lebih terperinci

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac.

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac. KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta rinda@ut.ac.id ABSTRAK Aktivitas usaha perikanan tangkap umumnya tumbuh dikawasan

Lebih terperinci

ASPEK BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYANG (Decapterus russelli) DAN IKAN BANYAR (Rastrelliger kanagurta) YANG DIDARATKAN DI REMBANG, JAWA TENGAH

ASPEK BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYANG (Decapterus russelli) DAN IKAN BANYAR (Rastrelliger kanagurta) YANG DIDARATKAN DI REMBANG, JAWA TENGAH ASPEK BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYANG (Decapterus russelli) DAN IKAN BANYAR (Rastrelliger kanagurta) YANG DIDARATKAN DI REMBANG, JAWA TENGAH ABSTRAK Wiwiet An Pralampita dan Umi Chodriyah Peneliti pada

Lebih terperinci

KEPADATAN STOK IKAN DEMERSAL DAN BEBERAPA PARAMETER KUALITAS AIR DI PERAIRAN TEGAL DAN SEKITARNYA

KEPADATAN STOK IKAN DEMERSAL DAN BEBERAPA PARAMETER KUALITAS AIR DI PERAIRAN TEGAL DAN SEKITARNYA Kepadatan Stok Ikan Demersal... Perairan Tegal dan Sekitarnya (Sumiono, B., et al.) KEPADATAN STOK IKAN DEMERSAL DAN BEBERAPA PARAMETER KUALITAS AIR DI PERAIRAN TEGAL DAN SEKITARNYA 1) Bambang Sumiono,

Lebih terperinci

FLUKTUASI HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DENGAN ALAT TANGKAP JARING INSANG HANYUT (DRIFT GILLNET) DI PERAIRAN DUMAI, PROVINSI RIAU

FLUKTUASI HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DENGAN ALAT TANGKAP JARING INSANG HANYUT (DRIFT GILLNET) DI PERAIRAN DUMAI, PROVINSI RIAU FLUKTUASI HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DENGAN ALAT TANGKAP JARING INSANG HANYUT (DRIFT GILLNET) DI PERAIRAN DUMAI, PROVINSI RIAU Helisha Damayanti 1), Arthur Brown 2), T. Ersti Yulika Sari 3) Email : helishadamayanti@gmail.com

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis). 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kuniran 2.1.1 Klasifikasi Ikan Kuniran Upeneus moluccensis, Bleeker 1855 Dalam kaitan dengan keperluan pengkajian stok sumberdaya ikan, kemampuan untuk mengidentifikasi spesies

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

ANALISIS BIOEKONOMI MODEL COPES PERIKANAN DEMERSAL PESISIR REMBANG. Bioeconomic Analitic Copes Mode Demersal Fish in Rembang Water

ANALISIS BIOEKONOMI MODEL COPES PERIKANAN DEMERSAL PESISIR REMBANG. Bioeconomic Analitic Copes Mode Demersal Fish in Rembang Water ANALISIS BIOEKONOMI MODEL COPES PERIKANAN DEMERSAL PESISIR REMBANG Bioeconomic Analitic Copes Mode Demersal Fish in Rembang Water Timotius Tarigan, Bambang Argo Wibowo *), Herry Boesono Program Studi Pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jaring Arad Jaring arad (mini trawl) adalah jaring yang berbentuk kerucut yang tertutup ke arah ujung kantong dan melebar ke arah depan dengan adanya sayap. Bagian-bagiannya

Lebih terperinci

Densitas Ikan Pelagis Kecil Secara Akustik di Laut Arafura

Densitas Ikan Pelagis Kecil Secara Akustik di Laut Arafura Jurnal Penelitian Sains Volume 13 Nomer 1(D) 13106 Densitas Ikan Pelagis Kecil Secara Akustik di Laut Arafura Fauziyah dan Jaya A PS. Ilmu Kelautan FMIPA, Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan, Indonesia

Lebih terperinci

Sp.) DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA

Sp.) DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA PENENTUAN MUSIM PENANGKAPAN IKAN LAYANG (Decapterus Sp.) DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA DETERMINATION OF FISHING CATCHING SEASON (Decapterus Sp.) IN EAST WATERS OF SOUTHEAST SULAWESI Eddy Hamka 1),

Lebih terperinci

Oleh : PAHMI PARHANI C SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Oleh : PAHMI PARHANI C SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan STUDI TENTANG ARAH DAN KECEPATAN RENANG IKAN PELAGIS DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM AKUSTIK BIM TEmAGI (SPLIT-BEAM ACOUSTIC SYSTEM ) DI PERAIRAN TELUK TOMINI PADA BULAN JULI-AGUSTUS 2003 Oleh : PAHMI PARHANI

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS, KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN DAN DAERAH PENANGKAPAN JARING CANTRANG YANG BERBASIS DI PPP TEGALSARI, TEGAL

PRODUKTIVITAS, KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN DAN DAERAH PENANGKAPAN JARING CANTRANG YANG BERBASIS DI PPP TEGALSARI, TEGAL Produktivitas, Komposisi Hasil Tangkapan.. Berbasis di PPP Tegalsari, Tegal (Ernawati. T., et al.) PRODUKTIVITAS, KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN DAN DAERAH PENANGKAPAN JARING CANTRANG YANG BERBASIS DI PPP TEGALSARI,

Lebih terperinci

Catch per unit effort (CPUE) periode lima tahunan perikanan pukat cincin di Kota Manado dan Kota Bitung

Catch per unit effort (CPUE) periode lima tahunan perikanan pukat cincin di Kota Manado dan Kota Bitung Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap 2(1): 1-8, Juni 2015 ISSN 2337-4306 Catch per unit effort (CPUE) periode lima tahunan perikanan pukat cincin di Kota Manado dan Kota Bitung Catch per unit effort

Lebih terperinci

ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN JARING INSANG HANYUT DAN KOMPOSISI JENIS IKAN HASIL TANGKAPAN DI SEKITAR PULAU BENGKALIS, SELAT MALAKA

ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN JARING INSANG HANYUT DAN KOMPOSISI JENIS IKAN HASIL TANGKAPAN DI SEKITAR PULAU BENGKALIS, SELAT MALAKA ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN JARING INSANG HANYUT DAN KOMPOSISI JENIS IKAN HASIL TANGKAPAN DI SEKITAR PULAU BENGKALIS, SELAT MALAKA Enjah Rahmat Teknisi pada Balai Penelitian Perikanan Laut, Muara Baru

Lebih terperinci

Pengumunan terkait revisi Dosen Pengampu dan Materi DPI

Pengumunan terkait revisi Dosen Pengampu dan Materi DPI Pengumunan terkait revisi Dosen Pengampu dan Materi DPI Dosen Pengampu: RIN, ASEP, DIAN, MUTA Revisi pada pertemuan ke 13-15 Sehubungan dgn MK Indraja yg dihapus. Terkait hal tersebut, silakan disesuaikan

Lebih terperinci

KOMPOSISI JENIS DAN DISTRIBUSI IKAN PETEK (LEIOGNATHIDAE) DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR *)

KOMPOSISI JENIS DAN DISTRIBUSI IKAN PETEK (LEIOGNATHIDAE) DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR *) Komposisi Jenis dan Distribusi Ikan Petek (Leiognathidae) di Perairan Selat Makassar (Wedjatmiko et al.) KOMPOSISI JENIS DAN DISTRIBUSI IKAN PETEK (LEIOGNATHIDAE) DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR *) 2) Wedjatmiko

Lebih terperinci

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Wilayah Sebaran Penangkapan Nelayan Labuan termasuk nelayan kecil yang masih melakukan penangkapan ikan khususnya ikan kuniran dengan cara tradisional dan sangat tergantung pada

Lebih terperinci

PENDUGAAN MUSIM IKAN MALALUGIS BIRU (Decapterus macarellus) DI PERAIRAN SEKITAR LIKUPANG, SULAWESI UTARA.

PENDUGAAN MUSIM IKAN MALALUGIS BIRU (Decapterus macarellus) DI PERAIRAN SEKITAR LIKUPANG, SULAWESI UTARA. @2003 Alfret Luasunaung Posted 10 December 2003 Makalah falsafah Sains (PPs 702) Program Pasca Sarjana/S3 Institut Pertanian Bogor Desember 2003 Dosen: Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Lebih terperinci

OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI

OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI OPTIMASI UPAYA PENANGKAPAN UDANG DI PERAIRAN DELTA MAHAKAM DAN SEKITARNYA JULIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... Halaman xii DAFTAR GAMBAR... DAFTAR

Lebih terperinci

PERIKANAN TUNA SKALA RAKYAT (SMALL SCALE) DI PRIGI, TRENGGALEK-JAWA TIMUR

PERIKANAN TUNA SKALA RAKYAT (SMALL SCALE) DI PRIGI, TRENGGALEK-JAWA TIMUR ABSTRAK PERIKANAN TUNA SKALA RAKYAT (SMALL SCALE) DI PRIGI, TRENGGALEK-JAWA TIMUR Erfind Nurdin Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregristrasi I tanggal: 18 September 2007;

Lebih terperinci

Status Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI 571) Laut Andaman dan Selat Malaka 1

Status Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI 571) Laut Andaman dan Selat Malaka 1 Status Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI 571) Laut Andaman dan Selat Malaka 1 Oleh: Yudi Wahyudin 2 Abstrak Wilayah Pengelolaan Perikanan Repubik Indonesia (WPP RI)

Lebih terperinci

PERUBAHAN UPAYA DAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS KECIL DI SEKITAR LAUT JAWA: KAJIAN PASKA KOLAPS PERIKANAN PUKAT CINCIN BESAR

PERUBAHAN UPAYA DAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS KECIL DI SEKITAR LAUT JAWA: KAJIAN PASKA KOLAPS PERIKANAN PUKAT CINCIN BESAR Perubahan Upaya dan Hasil Tangkapan.. Perikanan Pukat Cincin Besar (Suwarso et al.) PERUBAHAN UPAYA DAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS KECIL DI SEKITAR LAUT JAWA: KAJIAN PASKA KOLAPS PERIKANAN PUKAT CINCIN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang bersifat terbarukan (renewable). Disamping itu sifat open access atau common property yang artinya pemanfaatan

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan 6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan Daerah penangkapan ikan kakap (Lutjanus sp.) oleh nelayan di Kabupaten Kupang tersebar diberbagai lokasi jalur penangkapan.

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PANTURA JAWA TENGAH

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PANTURA JAWA TENGAH POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN USAHA PERIKANAN TANGKAP DI PANTURA JAWA TENGAH Potency and Development Opportunity of Bussines Capture Fisheries in North Coastal of Central Java Imam Triarso 1 1 Staf

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL TANGKAPAN ARAD MODIFIKASI (MODIFIED SMALL BOTTOM TRAWL) DI PERAIRAN PPP TAWANG KENDAL JAWA TENGAH

ANALISIS HASIL TANGKAPAN ARAD MODIFIKASI (MODIFIED SMALL BOTTOM TRAWL) DI PERAIRAN PPP TAWANG KENDAL JAWA TENGAH ANALISIS HASIL TANGKAPAN ARAD MODIFIKASI (MODIFIED SMALL BOTTOM TRAWL) DI PERAIRAN PPP TAWANG KENDAL JAWA TENGAH Analysis of Modified Small Bottom Trawl Catch in Fishery Port Beach (PPP) Tawang Kendal

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1. Letak Geografis Kabupaten Sukabumi yang beribukota Palabuhanratu termasuk kedalam wilayah administrasi propinsi Jawa Barat. Wilayah yang seluas 4.128 Km 2, berbatasan dengan

Lebih terperinci

Jurnal PERIKANAN dan KELAUTAN 14,2 (2009) :

Jurnal PERIKANAN dan KELAUTAN 14,2 (2009) : APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM PENENTUAN DAERAH PENGOPERASIAN ALAT TANGKAP GOMBANG DI PERAIRAN SELAT BENGKALIS KECAMATAN BENGKALIS KABUPATEN BENGKALIS PROPINSI RIAU Irwandy Syofyan 1), Rommie

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sedimen Dasar Perairan Berdasarkan pengamatan langsung terhadap sampling sedimen dasar perairan di tiap-tiap stasiun pengamatan tipe substrat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:

Lebih terperinci

PERIKANAN TONGKOL DI PERAIRAN BUYAT PANTE (LITTLE TUNA FISHERIES IN THE WATERS OF BUYAT PANTE) Meta Sonja Sompie 1 ABSTRACT

PERIKANAN TONGKOL DI PERAIRAN BUYAT PANTE (LITTLE TUNA FISHERIES IN THE WATERS OF BUYAT PANTE) Meta Sonja Sompie 1 ABSTRACT PERIKANAN TONGKOL DI PERAIRAN BUYAT PANTE (LITTLE TUNA FISHERIES IN THE WATERS OF BUYAT PANTE) Meta Sonja Sompie 1 ABSTRACT Fisheries development in Indonesia, especially in North Sulawesi, is to optimize

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun memiliki hak yang sama untuk mengambil atau mengeksploitasi sumberdaya didalamnya. Nelayan menangkap

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuna mata besar (Thunnus obesus) atau lebih dikenal dengan bigeye tuna adalah salah satu anggota Famili Scombridae dan merupakan salah satu komoditi ekspor perikanan tuna

Lebih terperinci

ABSTRAK. JULIANI. Optimasi Upaya Penangkapan Udang di Perairan Delta Mahakam dan Sekitarnya. Dibimbing oleh M. FEDI A. SONDITA dan ZULKARNAIN.

ABSTRAK. JULIANI. Optimasi Upaya Penangkapan Udang di Perairan Delta Mahakam dan Sekitarnya. Dibimbing oleh M. FEDI A. SONDITA dan ZULKARNAIN. ABSTRAK JULIANI. Optimasi Upaya Penangkapan Udang di Perairan Delta Mahakam dan Sekitarnya. Dibimbing oleh M. FEDI A. SONDITA dan ZULKARNAIN. Penelitian ini mengkaji optimasi upaya penangkapan udang di

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 26 4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis Lamongan merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Jawa Timur. Secara astronomis Kabupaten Lamongan terletak pada posisi 6 51 54 sampai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rajungan merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia. Berdasarkan data ekspor impor Dinas Kelautan dan Perikanan Indonesia (2007), rajungan menempati urutan ke

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1. 1.Kondisi umum Perairan Utara Jawa Perairan Utara Jawa dulu merupakan salah satu wilayah perikanan yang produktif dan memilki populasi penduduk yang padat. Panjang

Lebih terperinci

DRAFT KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PRODUKTIVITAS KAPAL PENANGKAP IKAN

DRAFT KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PRODUKTIVITAS KAPAL PENANGKAP IKAN DRAFT Menimbang : KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/KEPMEN-KP/14 TENTANG PRODUKTIVITAS KAPAL PENANGKAP IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

5 EVALUASI UPAYA PENANGKAPAN DAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN

5 EVALUASI UPAYA PENANGKAPAN DAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN 5 EVALUASI UPAYA PENANGKAPAN DAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN PANTAI BARAT SULAWESI SELATAN 5.1 Pendahuluan Armada penangkapan yang dioperasikan nelayan terdiri dari berbagai jenis alat tangkap,

Lebih terperinci

KOMPOSISI SUMBERDAYA IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN SELAT MALAKA BIOLOGICAL ASPECTS OF DEMERSAL FISH IN MALACCA STRAIT

KOMPOSISI SUMBERDAYA IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN SELAT MALAKA BIOLOGICAL ASPECTS OF DEMERSAL FISH IN MALACCA STRAIT 101 Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.) XII (2): 101-106 ISSN: 0853-6384 KOMPOSISI SUMBERDAYA IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN SELAT MALAKA BIOLOGICAL ASPECTS OF DEMERSAL FISH IN MALACCA STRAIT Wedjatmiko Balai

Lebih terperinci

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas 26 4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi 4.1.1 Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas Menurut DKP Kabupaten Banyuwangi (2010) luas wilayah Kabupaten Banyuwangi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Profil Peta Batimetri Laut Arafura Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori perairan dangkal dimana kedalaman mencapai 100 meter. Berdasarkan data

Lebih terperinci

ELASTISITAS PRODUKSI PERIKANAN TANGKAP KOTA TEGAL PRODUCTION ELASTICITY OF TEGAL MARINE CATCHING FISHERIES

ELASTISITAS PRODUKSI PERIKANAN TANGKAP KOTA TEGAL PRODUCTION ELASTICITY OF TEGAL MARINE CATCHING FISHERIES ELASTISITAS PRODUKSI PERIKANAN TANGKAP KOTA TEGAL PRODUCTION ELASTICITY OF TEGAL MARINE CATCHING FISHERIES Suharso 1), Azis Nur Bambang 2), Asriyanto 2) ABSTRAK Dari tahun 1999 2003 pelaksanaan program

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hasil tangkapan sampingan (bycatch) menjadi masalah ketika bycatch yang dikembalikan ke laut (discarded) tidak semuanya dalam keadaan hidup atau berpeluang baik untuk

Lebih terperinci

Jurnal Harpodon Borneo Vol.10. No.1. April ISSN : X

Jurnal Harpodon Borneo Vol.10. No.1. April ISSN : X Jurnal Harpodon Borneo Vol.10. No.1. April. 2017 ISSN : 2087-121X ANALISIS IDENTIFIKASI KOMPOSISI HASIL TANGKAPAN MENGGUNAKAN ALAT TANGKAP JARING INSANG HANYUT (Drift Gill Net) DI SEKITAR PULAU BUNYU,

Lebih terperinci

ESTIMASI PRODUKSI PERIKANAN DAN KUNJUNGAN KAPAL DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI WONOKERTO, KABUPATEN PEKALONGAN

ESTIMASI PRODUKSI PERIKANAN DAN KUNJUNGAN KAPAL DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI WONOKERTO, KABUPATEN PEKALONGAN Akuatik- Jurnal Sumberdaya Perairan Volume 1. Nomor. 1. Tahun 216 1 ISSN 1978-1652 ESTIMASI PRODUKSI PERIKANAN DAN KUNJUNGAN KAPAL DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI WONOKERTO, KABUPATEN PEKALONGAN Fisheries

Lebih terperinci

Aspek Biologi Ikan Kembung Lelaki (Rastrelliger kanagurta) Sebagai Landasan Pengelolaan Teknologi Penangkapan Ikan di Kabupaten Kendal

Aspek Biologi Ikan Kembung Lelaki (Rastrelliger kanagurta) Sebagai Landasan Pengelolaan Teknologi Penangkapan Ikan di Kabupaten Kendal Aspek Biologi Ikan Kembung Lelaki (Rastrelliger kanagurta) Sebagai Landasan Pengelolaan Teknologi Penangkapan Ikan di Kabupaten Kendal Nadia Adlina 1, *, Herry Boesono 2, Aristi Dian Purnama Fitri 2 1

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN MATA PANCING GANDA PADA RAWAI TEGAK TERHADAP HASIL TANGKAPAN LAYUR

PENGARUH PENGGUNAAN MATA PANCING GANDA PADA RAWAI TEGAK TERHADAP HASIL TANGKAPAN LAYUR Pengaruh Penggunaan Mata Pancing.. terhadap Hasil Tangkapan Layur (Anggawangsa, R.F., et al.) PENGARUH PENGGUNAAN MATA PANCNG GANDA PADA RAWA TEGAK TERHADAP HASL TANGKAPAN LAYUR ABSTRAK Regi Fiji Anggawangsa

Lebih terperinci

Study Catches of Decpterus Fish (Decapterus Sp) With The Arrested Purse Seine in Samudera Fishing Port (Pps) Lampulo

Study Catches of Decpterus Fish (Decapterus Sp) With The Arrested Purse Seine in Samudera Fishing Port (Pps) Lampulo Studi Hasil Tangkapan Ikan Layang (Decapterus Sp) Dengan Alat Tangkap Pukat Cincin (Purse Seine) Yang Didaratkan di Pelabuhan Perikanan Samudera (Pps) Lampulo Study Catches of Decpterus Fish (Decapterus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara kepulauan memilki zona maritim yang sangat luas, yaitu 5,8 juta km 2 yang terdiri atas perairan kepulauan 2,3 juta km 2, laut teritorial

Lebih terperinci