VIII. ANALISIS KEBUTUHAN LAHAN DAN ALTERNATIF PILIHAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN UNTUK PEMENUHAN KEBUTUHAN HIDUP DALAM KERANGKA REDD

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VIII. ANALISIS KEBUTUHAN LAHAN DAN ALTERNATIF PILIHAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN UNTUK PEMENUHAN KEBUTUHAN HIDUP DALAM KERANGKA REDD"

Transkripsi

1 VIII. ANALISIS KEBUTUHAN LAHAN DAN ALTERNATIF PILIHAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN UNTUK PEMENUHAN KEBUTUHAN HIDUP DALAM KERANGKA REDD 8.1. PENDAHULUAN Latar Belakang Keberadaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan, telah berlangsung cukup lama dan terus berkembang dengan jumlah desa sebanyak 16 dan 7 desa diantaranya berada di dalam areal TPTII PT. SBK Nanga Nuak, dengan mata pencaharian pokok masyarakat yaitu tani ladang dan berkebun. Adanya pemukiman dan aktivitas usaha masyarakat berpengaruh terhadap ketersediaan areal efektif TPTII, yaitu dari rencana luasan ha menjadi ha areal efektif, sehingga terjadi penurunan sebesar ha. Penurunan luasan ini diperuntukan sebagai areal penggunaan lain (APL) untuk menampung kegiatan permukiman dan berladang ( ha) dan areal tidak efektif lainnya seperti kawasan lindung, bekas tebangan, dan areal dengan tingkat gangguan perambahan yang tinggi ( ha). Untuk mengurangi tekanan terhadap sumberdaya hutan, maka pengelolaan hutan secara berkelanjutan perlu mengembangkan alternatif sistem pengelolaan yang terintegasi antara kebutuhan masyarakat dengan keberlanjutan kawasan. Untuk itu perlu kajian yang menjembatani kebutuhan hidup masyarakat dengan penyediaan lahan dan pilihan tanaman yang disukai masyarakat. Keberadaan program REDD hendaknya juga memperhatikan berbagai kebutuhan dan keinginan masyarakat terhadap lahan dan tanaman komersial yang diharapkan dapat memenuhi berbagai kebutuhan ekonominya. Pemenuhan kebutuhan dengan opsi pengembangan jenis tanaman komersial di luar lahan pertanian menurut Niles, et.al (2002), merupakan salah satu opsi dalam menurunkan emisi karbon. Adanya perhatian terhadap masyarakat ini dijelaskan Saunders,et.al (2002) sebagai upaya pembentukan modal sosial

2 160 dalam pelaksanaan REDD mendapat pengakuan masyarakat di sekitar kawasan hutan Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kebutuhan akan lahan bagi masyarakat dengan memasukan usulan kebutuhan akan jenis tanaman komersial yang diinginkan oleh masyarakat METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian dilaksanakan di areal HPH PT. SBK Nanga Nuak Provinsi Kalimantan Tengah yang menerapkan Sistem Silvikultur TPTI Intensif pada bulan Maret 2007 April Lokasi penelitian untuk mengetahui pilihan komoditas masyarakat meliputi tiga obyek desa sampel yaitu : Tumbang Kaburai, Sungkup dan Tanjung Paku Sampel Penelitian Sampel penelitian berjumlah 10 orang terdiri atas peladang/petani, kepala adat, tokoh masyarakat, dan perguruan tinggi. Sampel ditentukan secara purposive (dipilih) berdasarkan pengetahuan dan pemahaman terhadap aktivitas perladangan masyarakat dan jenis tanaman unggulan yang layak di kembangkan oleh masyarakat di sekitar lokasi penelitian Jenis dan Sumber Data Data primer yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh dengan metode wawancara langsung terhadap responden. Wawancara menggunakan daftar pertanyaan yang memuat: (a) luas areal perladangan, pilihan komoditas, luas dan jenis komoditas, status lahan masyarakat, produksi per komodtas, biaya perkomoditas, perkiraan pendapatan perkomoditas, dan pasar komoditas. Data sekunder yang dibutuhkan antara lain: (a) jumlah penduduk, data

3 161 eksisting luas dan jumlah tanaman yang diusahakan masyarakat saat ini, data jumlah dan luas perladangan, peta penutupan kawasan hutan dan lahan di sekitar areal TPTII PT. SBK, dan informasi pendukung lainnya Analisis Data Pendugaan Kebutuhan Lahan Masyarakat Pendugaan kebutuhan lahan masyarakat diproyeksikan untuk jangka waktu 50 tahun atas dasar ketersediaan Areal Penggunaan Lain - APL ( ha) dan atau total areal tidak efektif (ATE) yang berada dalam wilayah kerja PT. SBK ( ha) yaitu luas APL ( ha) ditambah luas kawasan lindung, bekas tebangan dan perambahan ( ha). Perhitungan kebutuhan lahan mempertimbangkan laju pertumbuhan penduduk, jumlah kepala keluarga peladang, luas ladang per kepala keluarga, rotasi perladangan dan proyeksi kebutuhan ladang. Proyeksi kebutuhan luas ladang dihitung menggunakan kondisi eksisting ada TPTII dan PMDH pada kondisi eksisting saat ini (alternatif-1), dan tiga peluang alternatif kondisi lain yaitu: (1) ada PMDH namun tidak ada TPTII (alternatif-1); (2) tidak ada PMDH maupun TPTII (alternatif-2); dan (3) ada PMDH yang terpadu dan TPTII ditingkatkan (alternatif-3). Ketiga alternatif ini akan dijelaskan pada Bab berikut. Dalam menghitung kebutuhan lahan perladangan masyarakat berdasarkan kondisi eksisting saat ini (alternatif-1) menggunaan asumsi-asumsi sebagai berikut: (1) Laju perladangan diasumsikan semakin bertambah seiring dengan laju pertumbuhan penduduk jika tidak ada pembinaan dan pengembangan mata pencaharian alternatif, dan berlaku sebaliknya jika ada pembinaan dan pengembangan mata pencaharian alternatif. (2) Laju pertumbuhan penduduk diasumsikan tetap yaitu rata-rata 4,59%/tahun (laju pertumbuhan 5 tahun terakhir).

4 162 (3) Jumlah penduduk di dalam dan sekitar areal TPTII sebanyak jiwa dengan KK (2006). (4) Jumlah kepala keluarga peladang dalam kurun waktu sebanyak 419 KK (35%) dari jumlah kepala keluarga saat penelitian (Alternatif-1).. (5) Rotasi perladangan petani rata-rata 5 tahun pada kondisi saat penelitian (Alternatif-1).. Proyeksi kebutuhan lahan masyarakat atas dasar luas ladang dan ketersediaan areal penggunaan lain (APL) dan total areal tidak efektif (ATE) yang berada di dalam wilayah kerja PT. SBK, pada kondisi eksiting saat penelitian (alternatif-1) dilakukan dengan tahapan dan metode analisis data sebagai berikut: (1) Perhitungan jumlah penduduk dan jumlah peladang proyeksi 50 tahun, dianalisis dengan mengadopsi persamaan laju pertumbuhan Issard (1960) dalam Simon (2004) yang dimodifikasi sesuai kebutuhan penelitian: P t+o = P t (1+r) o Dimana : P t+o = jumlah penduduk dan jumlah peladang pada tahun proyeksi ke t+o Pt = jumlah penduduk dan jumlah peladang saat ini tahun dasar 2006 r = laju pertumbuhan penduduk dan jumlah peladang dalam 5 tahun terakhir o = proyeksi jumlah penduduk dan peladang untuk 50 tahun ke depan (2) Pendugaan kebutuhan lahan masyarakat didasarkan atas jumlah peladang, luas ladang perkepala keluarga dan rotasi ladang, dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: KLL n = JKKP n x LL n x RL n Dimana: KLL = Kebutuhan lahan ladang pada tahun ke n (ha/thn) JKKP = Jumlah kepala keluarga peladang pada tahun ke- n (orang/thn) LL = Luas lahan per kepala keluarga pada tahun ke-n (ha/orang) RL = Rata-rata rotasi ladang pada tahun ke-n (tahun) n = tahun proyeksi

5 163 (3) Membandingkan proyeksi kebutuhan lahan masyarakat (KLL) dengan APL ( ha) ditambah dengan total areal tidak efektif lainnya (ATE = ha) yang berada dalam areal kerja PT. SBK. Jika hasil perbandingan: KLL > APL, diasumsikan masyarakat berpotensi merambah ke dalam kawasan areal tidak efektif lainnya (ATE), jika tidak ada upaya pembinaan dan TPTII. KLL > ATE, diasumsikan masyarakat berpotensi merambah ke dalam areal tanaman TPTII dan atau ke wilayah di luar areal kerja PT SBK (Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya dan HPH Lain), jika tidak ada upaya pembinaan dan pelaksanaan TPTII yang terpadu Pemilihan Tanaman Unggulan Sebagai Bentuk Kompensasi Yang Diberikan Kepada Masyarakat Analisis yang digunakan adalah analisis AHP. AHP atau Analitycal Hierarchy Process adalah salah satu metode yang telah meluas penggunaannya dalam analisis kebijakan pemerintah. Dalam AHP ditekankan pada penentuan skala penting dari berbagai pilihan yang akan dibuat. Penentuan skala penting mengikuti skala Saaty seperti pada Tabel 39. Tabel 39. Penentuan Skala Penting Berdasarkan Skala Saaty (Saaty, 1986) Tingkat Definisi Kepentingan 1 Sama penting 3 Sedikit lebih penting 5 Jelas lebih penting 7 Sangat jelas lebih Penting 9 Pasti/mutlak lebih penting (kepentingan yang ekstrim) 2,4,6,8 Jika ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan 1/(1-9) Kebalikan nilai tingkat kepentingan dari skala 1-9

6 164 Hasil pembobotan terhadap pemilihan jenis pohon dalam model konservasi karbon didapatkan dari pendapat 10 orang ahli yang menjadi responden dalam penelitian ini. Model pemilihan tanaman unggulan dapat dilihat pada tahapan kegiatan sebagaimana pada (Gambar 45). TUJUAN : PEMILIHAN JENIS TANAMAN KEHUTANAN YANG COCOK KRITERIA KARET SENGON MERANTI GAHARU ASPEK EKONOMI KEMUDAHAN BUDIDAYA / PEMELIHARAAN PENERIMAAN MASYARAKAT ASPEK PEMASARAN KESESUAIAN DENGAN LINGKUNGAN / LAMA DAUR / UMUR TANAMAN KEMAMPUAN MENYERAP CO 2 ALTERNATIF TANAMAN TENGKAWANG MAHONI 8.3. HASIL DAN Gambar PEMBAHASAN 45. Struktur Hirarki Pemilihan Jenis Tanaman 8.3. HASIL DAN PEMBAHASAN Kebutuhan Lahan Masyarkaat Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa luas ladang yang terdapat di dalam dan sekitar kawasan pengusahaan TPTII sampai tahun 2006 yaitu ha dengan jumlah KK sebanyak 419 jiwa atau 35% dari total kepala keluarga (1.205 KK). Luas areal ladang per kepala keluarga mencapai

7 165 3,6 ha/kk, dengan siklus perladangan setiap 5 tahun, dengan laju pertumbuhan penduduk 4,59%/tahun. Hasil analisis kondisi eksisting saat ini (skenario-1) pada lokasi TPTII dengan proyeksi kebutuhan lahan untuk perladangan masyarakat pada periode 25 tahun dan 50 tahun ke depan dapat di lihat pada Gambar 46 dan Lampiran Jumlah Total KK Luas (Ha) Tahun Ke- Jumlah KK Peladang (35%) dari Total KK Proyeksi Kebutuhan Lahan Perladangan 35% KK, 3,6 Ha/KK, rotasi 5 tahun (ha) Areal tidak efektif (Ladang, Pemukiman, kawasan lindung, eks tebangan) (ha) Ketersediaan Lahan Untuk Ladang/Mukim (APL) Selisih (areal ha - kebutuhan lahan bagi 35% KK peladang) Selisih (areal ha - kebutuhan lahan bagi 35% KK peladang) Gambar 46. Proyeksi Luas Areal Perladangan Dalam Kaitannya dengan Pelaksanaan TPTII Proyeksi kebutuhan lahan perladangan masyarakat sampai tahun ke 25 mencapai Ha, yang jika dibandingkan dengan ketersediaan areal penggunaan lain (APL) seluas ha, maka masih ada potensi lahan untuk perladangan seluas ha, namun hanya mampu menampung kegiatan perladangan sampai tahun ke 27. Jika diproyeksikan untuk 50 tahun ke depan, maka APL yang ada saat ini sudah tidak mencukupi lagi untuk perladangan masyarakat, sebab lahan yang dibutuhkan mencapai ha dibanding luas APL ha, sehingga terdapat kekurangan lahan perladangan seluas ha. Demikian halnya pada total areal tidak efektif seluas ha (APL dan kawasan lindung, eks tebangan dan perambahan) mengalami

8 166 kekurangan lahan seluas ha dan hanya mampu menampung kegiatan perladangan sampai tahun ke 45, apabila pola pemanfaatan lahan masyarakat saat ini tidak mengalami perubahan. Hal ini memberikan implikasi bahwa ketergantungan masyarakat terhadap lahan untuk kegiatan perladangan cukup tinggi akibatnya kebutuhan lahan dengan sistem rotasi ladang akan semakin luas dalam jangka panjang, Olehnya itu untuk mengurangi tingkat okupasi lahan perlu adanya usaha pembinaan dengan pola sistem pertanian menetap dengan sjkala usaha yang ekonomis dan mampu meningkatkan pendapatan atau keuntungan bagi petani setempat. Kondisi permintaan lahan yang semakin meningkat untuk kegiatan perladangan dan permukiman masyarakat setiap tahunnya, akan semakin meningkatkan tekanan terhadap keberadaan kawasan hutan dan APL yang berada di luar areal TPTII. Sehingga untuk menekan laju perladangan berpindah dan kegiatan perambahan ke dalam kawasan dalam jangka panjang, perlu adanya peningkatan pembinaan kepada masyarakat. Usaha-usaha pembinaan yang telah dilakukan selama ini oleh perusahaan yang mengelola areal TPTII (HPH. PT SBK), merupakan salah satu contoh yang baik dan relatif mampu menekan laju perladangan masyarakat terutama pada desa-desa binaan perusahaan yang berada di dalam dan sekitar areal pengusahaan TPTII, sehingga secara langsung dapat menekan laju deforestasi dan degradasi sumberdaya hutan. Hal lain yang perlu dilakukan adalah melakukan pemilihan jenis yang tepat untuk mendukung kegiatan masyarakat. Adanya pembinaan dan pelibatan masyarakat di sekitar kawasan hutan dalam pengelolaan hutan diyakini oleh Blom, et. al (2010) sebagai cara baru ke depan untuk tropis hutan konservasi, selain akses pasar untuk hasil hutan bukan kayu dan sertifikasi hutan.

9 Pemilihan Tanaman Unggulan Sebagai Bentuk Kompensasi Yang Diberikan Kepada Masyarakat Dalam Konteks Konservasi Karbon Hasil pembobotan AHP pada tingkat kriteria berturut-turut dari yang terbesar adalah aspek pemasaran (25,2 %), aspek penerimaan masyarakat (24,8 %), aspek budidaya (12,0 %), aspek ekonomi (11,4 %), aspek lingkungan (10,2 %), aspek daur (9,1 %) serta aspek penyerapan CO 2 (7,4 %). Hasil penghitungan tingkat konsistensi sebesar 0,04 yang berarti masih dibawah tingkat konsistensi yang diperbolehkan (kurang dari 0,10) sehingga perbandingan antar kriteria yang dilakukan oleh responden dikatakan konsisten. Hasil pembobotan akhir pada pemilihan jenis pohon dalam model konservasi karbon oleh masyarakat dapat dilihat pada Gambar 47. Mahoni Gaharu Meranti Tengkawang Karet Gambar 47. Hasil Pembobotan Akhir dalam Pemilihan Jenis Pohon Berdasarkan diatas dapat dilihat bahwa hasil pembobotan akhir yakni pembobotan yang telah mempertimbangkan ke tujuh aspek seperti yang telah disebutkan di atas menempatkan jenis pohon karet sebagai prioritas utama dengan bobot 32,7 %, kemudian diikuti berturut-turut tengkawang (21,6 %), meranti (17,6 %), gaharu (12,7 %), sengon (9,3 %) serta mahoni (6,0 %). Tingkat konsistensi pada pembobotan tingkat akhir atau alternatif ini sebesar

10 168 0,04 yang berarti perbandingan antar jenis pohon yang telah dilakukan oleh para responden konsisten karena masih di bawah 0,10. Hal ini berarti model perbandingan antar jenis pohon ini valid dalam menentukan jenis komoditas yang disenangi oleh petani. Dominasi pilihan terhadap komoditas karet, tengkawang, meranti dan gaharu sangat dipengaruhi besaran manfaat ekonomi yang diperoleh dalam mengusahakan jenis-jenis tanaman tersebut. Bagi masyarakat suku dayak yang tinggal di sekitar HPH PT. SBK, tanaman karet, tengkawang, meranti serta gaharu merupakan tanaman yang sudah sangat dikenal. Masyarakat jauh lebih mengenal pohon karet, tengkawang, meranti serta gaharu ketimbang jenis pohon sengon dan mahoni seperti yang ditawarkan dalam model konservasi karbon. Keberadaan pohon tengkawang, meranti dan gaharu belum banyak dibudidayakan oleh masyarakat, dalam memanfaatkannya masyarakat masih banyak mengadalkan keberadaannya di alam. Sementara untuk jenis pohon sengon dan mahoni walaupun bernilai ekonomi, tetapi masyarakat belum tertarik untuk membudidayakannya. Hal ini disebabkan belum jelasnya pemasaran serta teknik budidayanya. Model pengelolaan lahan masyarakat disekitar kawasan hutan ini dengan mengemnbangan jenis tanaman tahunan dan tanaman pangan dalan suatu unit lahan dikenal dengan istilah agroforestri. Menurut Sathaye, et.al (2001) bahwa praktik pertanian intensif dan agroforestri yang demikian memiliki potensi tinggi untuk mengurangi deforestasi yang disebabkan oleh perladangan berpindah Aspek Sosial Ekonomi Lainnya dari Konservasi Karbon Pengetahuan masyarakat yang melatarbelakangi dari pilihan tanaman diatas ternyata berbanding terbalik dengan pilihan idealis tanaman. Masyarakat memilih tanaman bukan karena tahu sebagai penggunaan untuk program konservasi karbon namun lebih pada kesukaan, pengalaman teknis menanam, merawat, serta informasi yang beredar dalam masyarakat.

11 169 Kesediaan masyarakat terlibat dalam konservasi karbon terlihat bahwa sebagian besar masyarakat sangat setuju untuk ikut dalam konservasi karbon sebesar 93% dan tidak setuju hanya 7% walaupun masyarakat belum mengerti dengan benar apa tujuan program tersebut (Gambar 48). Pengetahuan tentang CDM Kesukaan menanam pohon Kesediaan ikut CDM Tahu 14.0% Tidak Suka 7.0% Tidak bersedia 7.0% tidak Tahu 86.0% Suka Menanam 93.0% Bersedia 93.0% Sumber: Lampiran 27 Gambar 48. Proporsi Pengetahuan Masyarakat Terhadap Konservasi Karbon, Kesukaan Masyarakat dalam Menanam Pohon, dan Kesediaan Ikut dalam Konservasi Karbon Keterlibatan kelembagaan bagi masyarakat di wilayah hutan dapat dilihat pada Gambar 49. Berdasarkan tersebut memperlihatkan bahwa masyarakat menginginkan adanya lembaga yang terlibat dalam tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan pemeliharaan dengan besaran persetujuan sebesar 76,7%, 72,1%, dan 69,8%. Sedangkan untuk proses pemantauan, masyarakat menolaknya yaitu sebesar 55,8%, dan setuju hanya 44,2%. Hal ini sangat terkait dengan keinginan masyarakat untuk mengurangi campur tangan lembaga yang terlibat di dalam proses konservasi karbon. Masyarakat lebih mempercayakan hal tersebut kepada tokoh masyarakat yaitu tokoh adat berserta lembaga adat, tokoh agama, serta pemerintahan lokal.

12 170 Keterlibatan Lembaga dalam CDM pada Tahap Pemeliharaan Keterlibatan Lembaga dalam CDM pada Tahap Pemantauan Tidak Setuju 55.8% Tidak Setuju 30.2% Setuju 69.8% Setuju 44.2% Sumber: Lampiran 27 Gambar 49. Proporsi Keterlibatan Lembaga dalam Konservasi Karbon pada Tahap Perencanaan, Pelaksanaan, Pemeliharaan dan Pemantauan Luas kesediaan menanam tanaman hutan pada lahan masyarakat (sink enhancement) yaitu rata-rata sebesar 3,1 Ha dengan kisaran yang cukup tinggi dari 0 ha (tidak bersedia/belum ada lahan) sampai dengan 30 ha. karena walaupun rata-rata masyarakat bersedia menanam seluas 3,1 ha namun frekuensi masyarakat yang tidak menyediakan lahan untuk konservasi karbon sebesar 11,6% sehingga perlu adanya sosialisasi yang mendalam terhadap konservasi karbon. Kondisi ini terkait dengan minimnya informasi akan keuntungan ikut dalam keiatan sink enhancement sehingga sebagian besar masyarakat masih ragu untuk menyediakan lahan yang akan diikutsertakan dalam program tersebut. Sedangkan masyarakat yang bersedia sampai 30 ha ini karena informasi yang diperoleh cukup banyak sehingga mereka mengetahui keuntungan ikut dalam konservasi karbon yang diprakarsai oleh HPH (Tabel 40).

13 171 Tabel 40. Luas Kesediaan Menanam Konservasi Karbon Luas lahan Frekuensi proporsi (%) Kumulatif Total Sumber: hasil olahan data penelitian Kesediaan masyarakat menerima kompensasi lahan dari kesediaan untuk tanaman hutan (sink enhancement) dapat dilihat pada Gambar 50, terlihat bahwa masyarakat bersedia menerima kompensasi rata-rata sebesar Rp ,-/ha/tahun atau Rp /ha/bulan. Namun berdasarkan grafik juga terlihat bahwa masyarakat tidak mau menerima kompensasi dengan adanya nilai Rp. 0,-. Untuk mencapai titik temu maka perlu adanya mekanisme yang disepakati antar masyarakat serta penyalur kompensasi (dalam hal ini adalah HPH) mengenai besaran, hak milik, kewajiban, serta hal-hal lain yang menyangkut kontrak yang sedianya akan dilaksanakan selama 50 tahun, jika akan mengembangkan mekanisme REDD. Hal ini sejalan dengan penelitian di Way Tenong dan Sidrap oleh Suyamto, et.al dalam Murdiyarso and Skutsch (2006) yang menjelaskan jalan keluar antara menurunkan emisi karbon versus kesejahteran peladang atau petani adalah dengan mengusahakan adanya pengakuan hak-hak ulayat dan promosi sistem penanaman pohon yang didukung oleh penyuluhan, subsidi dan perbaikan pasar terhadap jenis usaha yang dikembangan oleh petani.

14 172 Sumber: Lampiran 27 Gambar 50. Kesediaan Menerima Kompensasi Konservasi Karbon /Ha/Tahun Besarnya kompensasi yang diinginkan oleh masyarakat sebagaimana dijelaskan, diduga belum menggambarkan keinginan masyarakat jika dibandingkan dengan besarnya pengeluaran (Rp /bulan/kk) dan atau atas dasar pendapatan rumah tangga (Rp /bulan/KK). Sehingga idealnya untuk menentukan kompensasi agar masyarakat mau menanam dan tidak merambah kawasan hutan yaitu sebesar Rp /ha/bulan (atas dasar pendapatan) dan Rp /ha/bulan (atas dasar pengeluaran rumah tangga). Nilai kompensasi kepada masyarakat sebagai bentuk ganti untung dari kesedian memberikan lahannya untuk ditanami meranti (sink enhancement) agar tidak merambah dan mau menjaga hutan (konservasi), belum mempertimbangkan biaya yang diperlukan dalam menyediakan bibit tanaman, dan kebutuhan sarana dan prasarana produksi dalam rangja pelaksanaan kegiatan penurunan emisi karbon KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Proyeksi lahan yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk berladang pada kondisi eksisting saat penelitian (baseline) bagi 35% KK, luas ladang 3,4 ha/kk, rotasi ladang 5 tahun, dan laju pertumbuhan penduduk 4,59%/tahun diketahui mengalami peningkatan setiap tahun dan melewati ambang batas ketersediaan APL ha (tahun ke 28), sedang pada total areal tidak efektif seluas ha (APL dan kawasan lindung, eks

15 173 tebangan dan perambahan) hanya mampu menampung kegiatan perladangan sampai tahun ke 45. Sehingga pada tahun ke 46, kegiatan perladangan berpeluang masuk ke dalam areal TPTII, Taman Nasional dan HPH lain. 2. Pilihan tanaman unggulan sebagai bentuk kompensasi kepada masyarakat dalam konteks konservasi karbon yang sangat diminati oleh lebih dari 70% masyarakat yaitu Karet, Meranti, dan Tengkawang sedangkan tanaman gaharu, mahoni, dan sengon relatif sedikit. Pilihan tanaman karet merupakan pilihan terbesar (dengan bobot 32,7%), disebabkan karena harga getah karet semakin meningkat, mudahnya perawatan dan diterima oleh masyarakat. 3. Dalam konteks konservasi karbon, masyarakat bersedia menerima kompensasi rata-rata sebesar Rp ,-/ha/tahun atau Rp /ha/bulan. Nilai kompensasi ini lebih rendah jika dibanding dengan kebutuhan kebutuhan hidup masyarakat sekitar hutan atas dasar pendapatan maupun pengeluaran rumah tangga, sehingga jumlah kompensasi yang paling layak untuk melibatkan masyarakat dalam sink enhancement yaitu antara Rp /ha/bulan sampai Rp /ha/bulan. Nilai ini akan lebih tinggi apabila memperhitungkan biaya produksi dan peralatan dalam pelaksanaan kegiatan Saran 1. Perlu adanya usaha pemerintah, pengusaha dan pihak lain untuk memberikan pelatihan dan pembinaan kepada masyarakat dalam bentuk kegiatan: PMDH dan adaposi sistem TPTII atau SILIN di wilayah eks perladangan untuk ditanami guna mencegah pembukaan dan perambahan kawasan hutan serta peningkatan alternatif matapencaharain masyarakat lokal, 2. Perlunya upaya pihak terkait untuk memenuhi kebutuhan minimal masyarakat melalui pemberian alternatif usaha diantaranya melalui pilihan tanaman unggulan komersial yang disukai masyarakat dan menguntungkan bagi masyarakat.

DINAMIKA SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI SISTEM SILVIKULTUR TPTII DALAM KERANGKA

DINAMIKA SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI SISTEM SILVIKULTUR TPTII DALAM KERANGKA DINAMIKA SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI SISTEM SILVIKULTUR TPTII DALAM KERANGKA REDD Deforestrasi yang terjadi di daerah tropis diduga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks global emisi gas rumah kaca (GRK) cenderung meningkat setiap tahunnya. Sumber emisi GRK dunia berasal dari emisi energi (65%) dan non energi (35%). Emisi

Lebih terperinci

VII. DINAMIKA SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DALAM HUBUNGANNYA DENGAN MODEL PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DAN SISTEM TPTII

VII. DINAMIKA SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DALAM HUBUNGANNYA DENGAN MODEL PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DAN SISTEM TPTII VII. DINAMIKA SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DALAM HUBUNGANNYA DENGAN MODEL PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DAN SISTEM TPTII 7.1. PENDAHULUAN 7.1.1. Latar Belakang Masyarakat yang tinggal di sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor sosial budaya dan lingkungan. Salah satu sektor lingkungan yang terkait

BAB I PENDAHULUAN. sektor sosial budaya dan lingkungan. Salah satu sektor lingkungan yang terkait BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan yang dilaksanakan oleh pemerintahan daerah di Indonesia sejak adanya otonomi daerah harus terintegrasi antar berbagai sektor. Pembangunan

Lebih terperinci

BAB 3 OBJEK PENELITIAN. IKH termuat di dalam Akte Pendirian Perseroan. Akte ini telah disahkan oleh

BAB 3 OBJEK PENELITIAN. IKH termuat di dalam Akte Pendirian Perseroan. Akte ini telah disahkan oleh BAB 3 OBJEK PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian 3.1.1 Sejarah Singkat PT. IKH didirikan pada tanggal 19 Mei 1997. Anggaran dasar PT. IKH termuat di dalam Akte Pendirian Perseroan. Akte ini telah disahkan oleh

Lebih terperinci

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan tropis merupakan sumber utama kayu dan gudang dari sejumlah besar keanekaragaman hayati dan karbon yang diakui secara global, meskupun demikian tingginya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Definisi atau pengertian tentang hutan menurut Dengler (1930) dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon atau tumbuhan berkayu lainya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan

PENDAHULUAN. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan lingkungan hidup. Hutan memiliki

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG 133 PROSIDING Workshop Nasional 2006 134 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG PERTAMA KESIMPULAN 1. Ramin dan ekosistemnya saat ini terancam kelestariannya. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumber daya alam yang terdapat pada suatu wilayah pada dasarnya merupakan modal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sumber daya alam yang terdapat pada suatu wilayah pada dasarnya merupakan modal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumber daya alam yang terdapat pada suatu wilayah pada dasarnya merupakan modal dasar pembangunan yang perlu digali dan dimanfaatkan secara tepat dengan memperhatikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya hutan pada masa lalu banyak menimbulkan kerugian baik secara sosial, ekonomi, dan ekologi. Laju angka kerusakan hutan tropis Indonesia pada

Lebih terperinci

pernyataan singkat tentang hasil penelitian sedangkan saran berisikan hal-hal yang perlu dilakukan berkaitan dengan hasil penelitian. 8.1.

pernyataan singkat tentang hasil penelitian sedangkan saran berisikan hal-hal yang perlu dilakukan berkaitan dengan hasil penelitian. 8.1. BAB VIII. KE SIMPU LAN DAN SARAN BAB VIII. KESIMPULAN DAN SARAN Pada bagian ini terdiri dari kesimpulan dan saran. Kesimpulan berisikan pernyataan singkat tentang hasil penelitian sedangkan saran berisikan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 71 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005 MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 71

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Konversi Lahan Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh

II. TINJAUAN PUSTAKA Konversi Lahan Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konversi Lahan Konversi lahan merupakan perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Iman Santosa T. (isantosa@dephut.go.id) Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan sumberdaya alam yang terbatas dan tidak dapat diperbaharui. Jumlah penduduk yang terus bertambah mendorong meningkatnya kebutuhan dan persaingan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya alam juga semakin besar, salah satunya kekayaan alam yang ada

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya alam juga semakin besar, salah satunya kekayaan alam yang ada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Meningkatnya laju pertumbuhan penduduk dan perubahan kondisi sosial ekonomi sekarang, menjadikan tuntutan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam juga semakin

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaturan hasil saat ini yang berlaku pada pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia menggunakan sistem silvikultur yang diterapkan pada IUPHHK Hutan Produksi dalam P.11/Menhut-II/2009.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry TINJAUAN PUSTAKA Pengertian hutan kemasyarakatan Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry memiliki beberapa pengertian, yaitu : 1. Hutan kemasyarakatan menurut keputusan menteri

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi dan hal itu telah diakui oleh negara-negara lain di dunia, terutama tentang potensi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

tokoh masyarakat. Estetika dan peningkatan pendapatan rumah tangga menjadi faktor pendorong RT lain untuk mereplikasi model.

tokoh masyarakat. Estetika dan peningkatan pendapatan rumah tangga menjadi faktor pendorong RT lain untuk mereplikasi model. tokoh masyarakat. Estetika dan peningkatan pendapatan rumah tangga menjadi faktor pendorong RT lain untuk mereplikasi model. Potensial Pelaku pelaku Pertambahan jumlah RT Jumlah RT Pengaruh Tokoh Masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi prioritas dunia saat ini. Berbagai skema dirancang dan dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN tentang Kehutanan, hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa

BAB I PENDAHULUAN tentang Kehutanan, hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan kumpulan pepohonan yang tumbuh rapat beserta tumbuhtumbuhan memanjat dengan bunga yang beraneka warna yang berperan sangat penting bagi kehidupan di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang TAHURA Bukit Soeharto merupakan salah satu kawasan konservasi yang terletak di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara dengan luasan 61.850 ha. Undang-Undang

Lebih terperinci

KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA

KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA KAJIAN PERMUKIMAN DI KAWASAN HUTAN BAKAU DESA RATATOTOK TIMUR DAN DESA RATATOTOK MUARA KABUPATEN MINAHASA TENGGARA Marthen A. Tumigolung 1, Cynthia E.V. Wuisang, ST, M.Urb.Mgt, Ph.D 2, & Amanda Sembel,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri pengolahan kayu merupakan salah satu sektor penunjang perekonomian di Provinsi Jawa Timur. Hal ini terlihat dengan nilai ekspor produk kayu dan barang dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan di bidang kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu kriteria keberhasilan pembangunan adalah meningkatnya kualitas hidup masyarakat melalui peningkatan partisipasinya dalam pembangunan itu sendiri. Pembangunan di bidang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman PENDAHULUAN Latar Belakang Terdegradasinya keadaan hutan menyebabkan usaha kehutanan secara ekonomis kurang menguntungkan dibandingkan usaha komoditi agribisnis lainnya, sehingga memicu kebijakan pemerintah

Lebih terperinci

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keterpurukan sektor kehutanan sudah berjalan hampir 14 tahun belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Masih besarnya angka laju kerusakan hutan serta bangkrutnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR : 53 TAHUN 2001 T E N T A N G IJIN USAHA HUTAN TANAMAN (IHT) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

Karakteristik dan definisi Petani swadaya dalam konteks perkebunan kelapa sawit berkelanjutan.

Karakteristik dan definisi Petani swadaya dalam konteks perkebunan kelapa sawit berkelanjutan. Karakteristik dan definisi Petani swadaya dalam konteks perkebunan kelapa sawit berkelanjutan www.spks-nasional.org Latar belakang Belum ada titik temu antara kondisi petani swadaya kelapa sawit dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Fungsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan kehutanan. Kegiatan

Lebih terperinci

BAB VI PROSPEK DAN TANTANGAN KEHUTANAN SULAWESI UTARA ( KEDEPAN)

BAB VI PROSPEK DAN TANTANGAN KEHUTANAN SULAWESI UTARA ( KEDEPAN) BAB VI PROSPEK DAN TANTANGAN KEHUTANAN SULAWESI UTARA (2014 - KEDEPAN) Gambar 33. Saluran Listrik Yang Berada di dalam Kawasan Hutan 70 Kiprah Kehutanan 50 Tahun Sulawesi Utara Foto : Johanes Wiharisno

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam lain yang terdapat di atas maupun di bawah tanah. Definisi hutan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, yaitu manfaat ekologis, sosial maupun ekonomi. Tetapi dari berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak manusia diciptakan di atas bumi, sejak itu manusia telah beradaptasi

BAB I PENDAHULUAN. Sejak manusia diciptakan di atas bumi, sejak itu manusia telah beradaptasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak manusia diciptakan di atas bumi, sejak itu manusia telah beradaptasi dengan alam sekelilingnya atau lingkungannya. Seiring dengan perkembangan zaman,

Lebih terperinci

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut www.greenomics.org KERTAS KEBIJAKAN Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut 21 Desember 2009 DAFTAR ISI Pengantar... 1 Kasus 1:

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestry adalah salah

PENDAHULUAN. hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestry adalah salah PENDAHULUAN Latar Belakang Alih-guna lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan

Lebih terperinci

B A B I PE N D A H U L U A N. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk

B A B I PE N D A H U L U A N. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk 1 B A B I PE N D A H U L U A N A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk yang banyak dan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi. Tercatat pada tahun 2005,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat yang masih memiliki nilai-nilai dan kultur tradisional. Sejak jaman dahulu, mereka tidak hanya

Lebih terperinci

VI. GAMBARAN UMUM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT Sejarah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat

VI. GAMBARAN UMUM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT Sejarah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat 73 VI. GAMBARAN UMUM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT 6.1. Sejarah Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Hutan sebagai asset dan modal pembangunan nasional memiliki potensi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya pemanfaatan sumber daya alam khususnya hutan, disamping intensitas teknologi yang digunakan. Kehutanan

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

INDIKATOR KINERJA PROGRAM (OUTCOME) DAN KEGIATAN (OUTPUT) Program Pelayanan Administrasi Perkantoran

INDIKATOR KINERJA PROGRAM (OUTCOME) DAN KEGIATAN (OUTPUT) Program Pelayanan Administrasi Perkantoran 1 2 3 5 6 8 9 21 URUSAN PILIHAN Lampiran Tabel 5.1 RENCANA PROGRAM, KEGIATAN,, KELOMPOK SASARAN DAN PENDANAAN INDIKATIF SATUAN KERJA DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN KABUPATEN LAMANDAU Tujuan Sasaran Indikator

Lebih terperinci

BAB II. PERENCANAAN KINERJA

BAB II. PERENCANAAN KINERJA BAB II. PERENCANAAN KINERJA A. Rencana Strategis Organisasi Penyelenggaraan pembangunan kehutanan di Sumatera Selatan telah mengalami perubahan paradigma, yaitu dari pengelolaan yang berorientasi pada

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Kalimantan Tengah

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Kalimantan Tengah Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

kepemilikan lahan. Status lahan tidak jelas yang ditunjukkan oleh tidak adanya dokumen

kepemilikan lahan. Status lahan tidak jelas yang ditunjukkan oleh tidak adanya dokumen Lampiran 1 Verifikasi Kelayakan Hutan Rakyat Kampung Calobak Berdasarkan Skema II PHBML-LEI Jalur C NO. INDIKATOR FAKTA LAPANGAN NILAI (Skala Intensitas) KELESTARIAN FUNGSI PRODUKSI 1. Kelestarian Sumberdaya

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pendekatan Masalah Pelaksanaan pengelolaan hutan yang dilaksanakan selama ini (BAU) mengakibatkan menurunnya luas kawasan hutan dan tutupan bervegetasi hutan. Tercatat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya hutan tropis untuk kepentingan pertanian terkait dengan upayaupaya

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya hutan tropis untuk kepentingan pertanian terkait dengan upayaupaya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berkurangnya hutan tropis untuk kepentingan pertanian terkait dengan upayaupaya masyarakat sekitar hutan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Khusus di Propinsi Lampung, pembukaan

Lebih terperinci

AKTIFITAS ILLEGAL DI DALAM KAWASAN HUTAN. Penebangan Liar Pencurian Kayu Perambahan Hutan Perladangan Liar Pengembalaan Liar

AKTIFITAS ILLEGAL DI DALAM KAWASAN HUTAN. Penebangan Liar Pencurian Kayu Perambahan Hutan Perladangan Liar Pengembalaan Liar AKTIFITAS ILLEGAL DI DALAM KAWASAN HUTAN Penebangan Liar Pencurian Kayu Perambahan Hutan Perladangan Liar Pengembalaan Liar HUTAN TERANCAM Indonesia Kehilangan hutan asli 72% (Walhi, 2009) Luas Hutan dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Interaksi Manusia dengan Lingkungan Interaksi merupakan suatu hubungan yang terjadi antara dua faktor atau lebih yang saling mempengaruhi dan saling memberikan aksi dan reaksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan rakyat telah menjadi bagian yang sangat penting dalam perkembangan dunia kehutanan dewasa ini. Di Pulau Jawa khususnya, perkembangan hutan rakyat dirasakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah karunia alam yang memiliki potensi dan fungsi untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Potensi dan fungsi tersebut mengandung manfaat bagi populasi manusia

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Geografi Geografi adalah ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan fenomena geosfer dengan sudut pandang kelingkungan atau kewilayahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk menopang perekonomian nasional. Pembangunan pertanian yang baik untuk Negara Indonesia adalah

Lebih terperinci

VI. DAYA DUKUNG WILAYAH UNTUK PERKEBUNAN KARET

VI. DAYA DUKUNG WILAYAH UNTUK PERKEBUNAN KARET 47 6.1. Aspek Biofisik 6.1.1. Daya Dukung Lahan VI. DAYA DUKUNG WILAYAH UNTUK PERKEBUNAN KARET Berdasarkan data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Cianjur tahun 2010, kondisi aktual pertanaman karet

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sekitar 60 Pg karbon mengalir antara ekosistem daratan dan atmosfir setiap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sekitar 60 Pg karbon mengalir antara ekosistem daratan dan atmosfir setiap BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cadangan Karbon Aliran karbon dari atmosfir ke vegetasi merupakan aliran yang bersifat dua arah, yaitu pengikatan CO 2 ke dalam biomasa melalui fotosintesis dan pelepasan CO

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH (BAPPEDA)

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH (BAPPEDA) PEMERINTAH PROVINSI PAPUA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH (BAPPEDA) 1 1. PROSES PENYUSUNAN DILAKUKAN SECARA SWAKELOLA; 2. TIM PENYUSUN DIBENTUK DALAM KELOMPOK KERJA (POKJA) SK GUBERNUR PAPUA NOMOR

Lebih terperinci

Memperhatikan pokok-pokok dalam pengelolaan (pengurusan) hutan tersebut, maka telah ditetapkan Visi dan Misi Pembangunan Kehutanan Sumatera Selatan.

Memperhatikan pokok-pokok dalam pengelolaan (pengurusan) hutan tersebut, maka telah ditetapkan Visi dan Misi Pembangunan Kehutanan Sumatera Selatan. BAB II. PERENCANAAN KINERJA A. Rencana Strategis Organisasi Penyelenggaraan pembangunan kehutanan di Sumatera Selatan telah mengalami perubahan paradigma, yaitu dari pengelolaan yang berorientasi pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya bagi kesejahteraan manusia. Keberadaan sumber daya alam dan manusia memiliki kaitan yang sangat

Lebih terperinci

BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT

BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT 6.1 Kelembagaan Pengurusan Hutan Rakyat Usaha kayu rakyat tidak menjadi mata pencaharian utama karena berbagai alasan antara lain usia panen yang lama, tidak dapat

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA

BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA BAB IV. LANDASAN SPESIFIK SRAP REDD+ PROVINSI PAPUA 4.1. Landasan Berfikir Pengembangan SRAP REDD+ Provinsi Papua Landasan berpikir untuk pengembangan Strategi dan Rencana Aksi (SRAP) REDD+ di Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Perkembangan kota sebagai pusat pemukiman, industri dan perdagangan telah mengalami transformasi lingkungan fisik lahan. Transformasi lingkungan fisik lahan tersebut

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan sebagai modal dasar pembangunan perlu dipertahankan keberadaannya dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Luas kawasan hutan

Lebih terperinci

Laporan Kegiatan Tahun Buku II BPK Palembang 126

Laporan Kegiatan Tahun Buku II BPK Palembang 126 Program : Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan Judul RPI : Agroforestry Koordinator : Ir. Budiman Achmad, M.For.Sc. Judul Kegiatan : Paket Analisis Sosial, Ekonomi, Finansial, dan Kebijakan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 31 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Metode Penentuan Lokasi Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive sampling) difokuskan pada kawasan yang berada di hulu sungai dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat 2.1.1. Pengertian Hutan Rakyat Hutan secara singkat dan sederhana didefinisikan sebagai suatu ekosistem yang didominasi oleh pohon (Suharjito, 2000). Menurut

Lebih terperinci

Oleh : Pusat Sosial Ekonomi Kebijakan Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

Oleh : Pusat Sosial Ekonomi Kebijakan Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan KONSERVASI HUTAN TROPIS UNTUK PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN, SERTA PENINGKATAN KARBON STOK DI TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, INDONESIA ITTO PROJECT PD 519/08 Rev.1 (F) Jl. Gunung

Lebih terperinci

PERHUTANAN SOSIAL DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT YANG EFEKTIF

PERHUTANAN SOSIAL DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT YANG EFEKTIF Peran Penting Masyarakat dalam Tata Kelola Hutan dan REDD+ 3 Contoh lain di Bantaeng, dimana untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian, pemerintah kabupaten memberikan modal dan aset kepada desa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan di Jambi telah menjadi suatu fenomena yang terjadi setiap tahun, baik dalam cakupan luasan yang besar maupun kecil. Kejadian kebakaran tersebut tersebar dan melanda

Lebih terperinci

INDONESIA - AUSTRALIA FOREST CARBON PARTNERSHIP (IAFCP)

INDONESIA - AUSTRALIA FOREST CARBON PARTNERSHIP (IAFCP) INDONESIA - AUSTRALIA FOREST CARBON PARTNERSHIP (IAFCP) I. PENDAHULUAN - IAFCP didasarkan pada Kesepakatan Kerjasama ditandatangani oleh Presiden RI dan Perdana Menteri Australia 13 Juni 2008, jangka waktu

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Proyeksi Pertumbuhan Penduduk Kota Per Kecamatan Kota yang terdiri dari enam kecamatan memiliki proporsi jumlah penduduk yang tidak sama karena luas masing-masing kecamatan

Lebih terperinci

VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS)

VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) VII. PERSEPSI MASYARAKAT KASEPUHAN SINAR RESMI TERHADAP PERLUASAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (TNGHS) 7.1. Persepsi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi terhadap Keberadaan Hutan Penilaian

Lebih terperinci

mendorong menemukan pasar untuk produk yang sudah ada dan mendukung spesies-spesies lokal yang menyimpan potensi ekonomi (Arifin et al. 2003).

mendorong menemukan pasar untuk produk yang sudah ada dan mendukung spesies-spesies lokal yang menyimpan potensi ekonomi (Arifin et al. 2003). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat hutan pegunungan sangat rentan terhadap gangguan, terutama yang berasal dari kegiatan pengelolaan yang dilakukan manusia seperti pengambilan hasil hutan berupa

Lebih terperinci

Dampak moratorium LoI pada hutan alam dan gambut Sumatra

Dampak moratorium LoI pada hutan alam dan gambut Sumatra Dampak moratorium LoI pada hutan alam dan gambut Sumatra - Analisa titik deforestasi Riau, Sumatra- 16 Maret 2011 oleh Eyes on the Forest Diserahkan kepada : Dr. Ir. Kuntoro Mangkusubroto, Kepala Unit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin

BAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan di Indonesia mempunyai peranan baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial budaya, maupun secara ekologis. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sumberdaya alam yang banyak dimiliki di Indonesia adalah hutan. Pembukaan hutan di Indonesia merupakan isu lingkungan yang populer selama dasawarsa terakhir

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Rakyat Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh diatas tanah yang dibebani hak milik (Departeman Kehutanan dan Perkebunan, 1999).

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia ISSN : 2085-787X Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM Jl. Gunung Batu No.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan perubahan kondisi sosial masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat dalam pemanfaatan

Lebih terperinci

RENCANA AKSI MITIGASI 9S TRATEGI PELAKSANAAN RENCANA TATA GUNA LAHAN

RENCANA AKSI MITIGASI 9S TRATEGI PELAKSANAAN RENCANA TATA GUNA LAHAN RENCANA AKSI MITIGASI 9S TRATEGI PELAKSANAAN RENCANA TATA GUNA LAHAN UNTUK MENDUKUNG PEMBANGUNAN RENDAH EMISI KELOMPOK KERJA PERENCANAAN PEMBANGUNAN EKONOMI HIJAU KABUPATEN BANYUMAS 0 1 6 Pengantar Pemerintah

Lebih terperinci

Strategi dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi GRK dan REDD di Provinsi Kalimantan Timur Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau. Daddy Ruhiyat.

Strategi dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi GRK dan REDD di Provinsi Kalimantan Timur Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau. Daddy Ruhiyat. Strategi dan Rencana Aksi Pengurangan Emisi GRK dan REDD di Provinsi Kalimantan Timur Menuju Pembangunan Ekonomi Hijau Daddy Ruhiyat news Dokumen terkait persoalan Emisi Gas Rumah Kaca di Kalimantan Timur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, arti hutan dirumuskan sebagai Suatu lapangan tetumbuhan pohon-pohonan yang secara keseluruhan merupakan

Lebih terperinci

Mengoptimalkan Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang Dalam Unit Daerah Aliran Sungai 1

Mengoptimalkan Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang Dalam Unit Daerah Aliran Sungai 1 Mengoptimalkan Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang Dalam Unit Daerah Aliran Sungai 1 Arif Ismail GIS Specialist SCBFWM Disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2012 tentang pengelolaan daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

Penjelasan PP No. 34 Tahun 2002 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG

Penjelasan PP No. 34 Tahun 2002 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG Page 1 of 19 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 UMUM TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, PEMANFAATAN HUTAN DAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI 4.1 Letak dan Luas Desa Curug Desa Curug merupakan sebuah desa dengan luas 1.265 Ha yang termasuk kedalam wilayah Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Desa

Lebih terperinci

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI LAHAN PANGAN MENJADI KELAPA SAWIT DI BENGKULU

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI LAHAN PANGAN MENJADI KELAPA SAWIT DI BENGKULU ABSTRAK FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI LAHAN PANGAN MENJADI KELAPA SAWIT DI BENGKULU : KASUS PETANI DI DESA KUNGKAI BARU Umi Pudji Astuti, Wahyu Wibawa dan Andi Ishak Balai Pengkajian Pertanian Bengkulu,

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. ± 30 km atau sekitar 2 jam jarak tempuh, sementara menuju Kabupaten Aceh

BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. ± 30 km atau sekitar 2 jam jarak tempuh, sementara menuju Kabupaten Aceh BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 2.1 Kondisi Geografis Desa Suka Damai merupakan salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan Gereudong Pase, Kabupaten Aceh Utara. Ibu kota kecamatan ini berada

Lebih terperinci

BAB IV KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB IV KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN BAB IV KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kecamatan Conggeang 4.1.1 Letak geografis dan administrasi pemerintahan Secara geografis, Kecamatan Conggeang terletak di sebelah utara Kabupaten Sumedang. Kecamatan

Lebih terperinci