SEBARAN LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN DAYA DUKUNG FISIK DAN PENATAAN RUANG DI KABUPATEN LAHAT, SUMATERA SELATAN RISKI AMBAR PRATIWI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SEBARAN LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN DAYA DUKUNG FISIK DAN PENATAAN RUANG DI KABUPATEN LAHAT, SUMATERA SELATAN RISKI AMBAR PRATIWI"

Transkripsi

1 SEBARAN LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN DAYA DUKUNG FISIK DAN PENATAAN RUANG DI KABUPATEN LAHAT, SUMATERA SELATAN RISKI AMBAR PRATIWI DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Sebaran Lahan Kitis dalam Kaitannya dengan Daya Dukung Fisik dan Penataan Ruang di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2015 Riski Ambar Pratiwi NIM E

4 ABSTRAK RISKI AMBAR PRATIWI. Sebaran Lahan Kritis Dalam Kaitannya Dengan Daya Dukung Fisik dan Penataan Ruang di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Dibimbing oleh OMO RUSDIANA dan LA ODE SYAMSUL IMAN. Inkonsistensi antara penggunaan lahan dengan arahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), kondisi kelas kemampuan lahan, dan status kawasan hutan menjadi pokok permasalahan degradasi sumberdaya lahan. Hal tersebut dibenarkan dengan keberadaan lahan kritis yang merupakan salah satu indikator degradasi lahan. Penelitian ini membahas tentang sebaran lahan kritis dalam kaitannya dengan penataan ruang, status kawasan, dan penggunaan lahan, kelas kemampuan lahan di Kabupaten Lahat. Pengolahan data menggunakan metode overlay peta digital. Hasil analisis lahan kritis kriteria Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB menunjukan bahwa tingkat kekritisan lahan di Kabupaten Lahat memiliki lima kategori yaitu tidak kritis, potensial kritis, agak kritis, kritis, dan sangat kritis. Kategori kritis mempunyai luas Ha yang didominasi kawasan areal penggunaan lain (APL) dan tersebar di 15 kecamatan, antara lain Kecamatan Jarai, Muara Payang, dan Tanjung Sakti Pumu. Kategori sangat kritis tersebar di 19 kecamatan mendominasi Kecamatan Pagar Gunung dan Merapi Selatan, dengan luas Ha di kawasan APL peruntukan budidaya. Lahan kritis terbentuk akibat penggunaan lahan yang melebihi daya dukung fisik lahan, tidak sesuai dengan arahan penataan ruang (RTRW) maupun status kawasan hutan. Kata kunci: Inkonsistensi lahan, kemampuan lahan, lahan kritis, penggunaan lahan, pola ruang. ABSTRACT RISKI AMBAR PRATIWI. The Distribution of Critical Land in Relation to Physical Carrying Capacity of the Land and Spatial Planning in Lahat Regency, South Sumatera. Supervised by OMO RUSDIANA and LA ODE SYAMSUL IMAN. Inconsistency between land use and Spatial Planning (RTRW) direction, the condition of land capability class, and status of forest become main issue in degradation of land resources. This is justified by the existence of critical land as the one of land degradation indicator. This research discusses the distribution of critical land in relation to spatial planning, status of the area, and land use, land capability class in Lahat regency. Data processing used digital map overlay method. Analysis result of degraded land criteria from the Ministry of Environment (KLH) and the Center for Regional Development Planning Assessment (P4W) IPB showed that the critical level of land in Lahat regency has five categories, not critical, critical potential, rather critical, critical, and very critical. Critical category has Ha area which dominated by forest for other land uses, spread across 15 district consist of Jarai, Maura Payang, and Tanjung Sakti Pumu districts. Very critical category spread across 19 district dominated in Pagar Gunung and South Merapi subdistricts with Ha in cultivation area of other land use area. Critical land is created by utilization of land which exceeds capacity or physical carrying capacity of land, inappropriate with spatial planning (RTRW) in spite of forest area status. Keywords: Inconsistency land, land capability, critical land, land use, patterns of space.

5 SEBARAN LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN DAYA DUKUNG FISIK DAN PENATAAN RUANG DI KABUPATEN LAHAT, SUMATERA SELATAN RISKI AMBAR PRATIWI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Silvikultur DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

6

7 Judul Skripsi: Sebaran Lahan Kritis dalam Kaitannya dengan Daya Dukung Fisik dan Penataan Ruang di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Nama : Riski Ambar Pratiwi NIM : E Disetujui oleh.. :.-:;:::::.. - ;:Ketua Departemen Tanggal Lulus: 1 3 F F R 2015

8

9 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Sebaran Lahan Kritis dalam Kaitannya dengan Daya Dukung Fisik dan Penataan Ruang di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Omo Rusdiana, MSc dan Bapak Ir La Ode Syamsul Iman, MSi selaku pembimbing atas ilmu, motivasi, bimbingan, dan saran dalam menyempurnaan skripsi. Terima kasih kepada Bapak Dadan Mulyana, SHut, MSi dan Ibu Dr Ir Noor Farikhah Haneda, Msi yang telah banyak memberikan motivasi, saran dan bimbingannya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Lahat yang telah memberikan beasiswa kepada penulis. Tidak lupa ucapan terima kasih disampaikan kepada orang tua (Jumhurodo dan Rif ah), adik (Arung, J, Ardian, Azza), Wak Yen, serta seluruh keluarga besar, atas segala doa, dukungan moril, materil, dan kasih sayangnya. Kepada sahabat tercinta (Kaka Tri, Ipi, Acan, Dorince, Reni, Nanda, Nia, Teteh, Ica, Lita, Indah), serta Pondok Ginastri dan rekan-rekan silvikultur 47 yang telah membantu dalam penelitian ini, semangat, serta doa untuk penulis. Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis menyadari skripsi ini jauh dari kata sempurna, akan tetapi semoga skripsi ini bermanfaat. Bogor, Februari 2015 Riski Ambar Pratiwi

10

11 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 2 Perumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 METODE 5 Waktu dan Lokasi 5 Alat dan Bahan 5 Pengolahan Data Digital dan Analisis Data 6 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 9 HASIL DAN PEMBAHASAN 10 Analisis Sebaran Lahan Kritis 10 Status Kawasan Hutan, Pola Ruang, Kelas Kemampuan Lahan, dan Penggunaan Lahan 17 Matriks Kesesuaian Lahan Terhadap Sebaran Lahan Kritis 23 Upaya Mengurangi Laju Lahan Kritis 30 SIMPULAN DAN SARAN 32 Simpulan 31 Saran 32 DAFTAR PUSTAKA 32 LAMPIRAN 34 RIWAYAT HIDUP 39 vi vi vi

12 DAFTAR TABEL 1 Kriteria lahan kritis Kementerian Lingkungan Hidup 5 2 Bahan penelitian dan peta olahan 6 3 Klasifikasi kelas kemampuan lahan serta faktor pembatasnya 7 4 Kombinasi status kawasan hutan dan pola ruang 8 5 Matriks kesesuaian lahan 9 6 Data kategori lahan kritis di Kabupaten Lahat 13 7 Perbandingan lahan kritis kriteria Kementerian Lingkungan Hidup dengan kriteria Kementerian Kehutanan tahun Perbandingan lahan kritis kategori tidak kritis (Kementerian Lingkungan Hidup) dengan kategori kritis (Kementerian Kehutanan tahun 2011) 14 9 Data implementasi pemanfaatan ruang dan lahan kritis kriteria Kementerian Lingkungan Hidup; Pusat pengkajian perencanaan pengembangan wilayah IPB Matriks kesesuaian lahan dan lahan kritis kriteria Kementerian Lingkungan Hidup; Pusat pengkajian perencanaan pengembangan wilayah IPB Upaya mengurangi laju lahan kritis 30 DAFTAR GAMBAR 1 Peta administrasi Kabupaten Lahat 10 2 Peta lahan kritis Kementerian Kehutanan tahun Peta lahan kritis kriteria KLH dan P4W IPB 12 4 Perbandingan peta lahan kritis kriteria Kementerian Kehutanan tahun 2011 dengan kriteria Lahan kritis KLH dan P4W IPB Peta titik pengamatan lahan kritis di Kabupaten Lahat 16 6 Peta status kawasan hutan Kabupaten Lahat 17 7 Peta rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Lahat tahun Inkonsistensi pemanfaatan ruang antara kawasan hutan dan RTRW 19 9 Peta kelas kemampuan lahan Kabupaten Lahat Peta penggunaan lahan Kabupaten Lahat tahun Inkonsistensi kesesuaian pemanfaatan ruang Matriks kesesuaian lahan Lahan kritis pada kuadran I Lahan kritis pada kuadran II Lahan kritis pada kuadran III Lahan kritis pada kuadran IV 29 DAFTAR LAMPIRAN 1 Pengecekan lapangan 34 2 Kegiatan wawancara yang dilakukan dalam pengecekan lapang. 38

13 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemanfaatan sumberdaya lahan secara optimal sesuai daya dukung lingkungan, berpengaruh terhadap dinamika penggunaan dan penataan peruntukan lahan sesuai fungsinya. Dinamika pemanfaatan lahan yang tidak terkendali dan diatur, berdampak terhadap perubahan biofisik bentang lahan yang cenderung destruktif yang melampaui toleransi batas ambang. Pergeseran penggunaan lahan merupakan konsekuensi dari fenomena aktivitas manusia terhadap pilihan cakupan ekonomi yang dinamis, tipo-fenografi penduduk yang terus meningkat. Konteks tersebut menyebabkan nilai lahan yang fluktuatif akibat kebutuhan terhadap lahan yang terus meningkat. Alih fungsi lahan hutan ke non hutan (pertanian), berdampak terhadap perubahan daya dukung ekologis suatu lahan. Dokumen perencanaan ruang mengatur keselarasan fungsi pemanfaatan dan penggunaan terhadap fungsi perlindungan dan kebijakan pengelolaan suatu wilayah. Inkonsistensi pemanfaatan ruang terjadi sebagai dampak dari tidak terkonfirmasinya suatu penggunaan lahan terhadap arahan pemanfaatan yang ditetapkan, sehingga menyebabkan penggunaan lahan melebihi kapasitas atau daya dukung fisik lingkungan yang menjadi satu pokok permasalahan degradasi sumberdaya lahan. Peruntukan penggunaan lahan yang pemanfaatannya tidak sesuai dengan karakteristik lahan, menyebabkan penurunan kualitas fungsi lahan. Penurunan kualitas lahan langsung berdampak terhadap penurunan tingkat produktifitas, dan kerusakan lingkungan yang besar sehingga fenomena lahan kritis merupakan indikator penting degradasi sumberdaya lahan. Lahan kritis (Departemen Kehutanan, 2003) adalah lahan yang telah mengalami kerusakan akibat eksploitasi lahan yang menyebabkan hilang/rusaknya atau berkurang fungsi produksi dan pengatur air. Fenomena penurunan kualitas lahan terlihat dari adanya efek kerusakan permukaan tanah yang tampak seperti bencana erosi, bencana banjir, tanah longsor pada musim penghujan, kebakaran dan kekeringan pada musim kemarau, pencemaran air sungai, pendangkalan waduk, abrasi pantai, dan tidak berfungsinya sarana perairan. Lahan kritis terbatas penggunaan untuk pertanian dampak terhadap rusaknya media pengatur tata air, dan pelindungan dan pelestarian alam. Oleh karena itu, lahan kritis merupakan indikatif utama lahan untuk prioritas rehabilitasi. Dengan diketahuinya sebaran spasial lahan kritis, semakin mempermudah pemerhati silvikulturis dalam menentukan langkah perlindungan dan pelestarian alam untuk upaya pembanguna hijau rendah karbon, upaya pemulihan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan melalui penerapan konservasi tanah dan air (KTA) dan teknologi dan teknik rehabilitasi fungsi hutan. Rehabilitasi lahan sebaiknya disesuaikan dengan status dan fungsi lahan, untuk menjaga fungsi ekologi, produksi, dan sosial masyarakat, sesuai dengan pengelolaan hutan secara lestari dengan harapan bisa mendapatkan hasil yang optimal. Kabupaten Lahat dipilih menjadi lokasi penelitian, sebab Kabupaten Lahat memiliki sumberdaya pertanian, pertambangan, dan penggalian mineral yang

14 2 potensial. Apabila aktivitas pemanfaatan lahan tidak dilakukan sesuai dengan karakteristik biofisik dan kesesuaian fisik lahan, maka kondisi demikian menimbulkan terbentuknya lahan kritis. Penelitian ini membahas aspek lahan kritis dalam kaitannya dengan penataan ruang, status kawasan, dan penggunaan lahan, kelas kemampuan lahan di Kabupaten Lahat. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut: 1. Wilayah/Daerah mana saja di Kabupaten Lahat yang terdapat lahan kritis? 2. Bagaimana hubungan kesesuaian pola ruang dalam RTRW, status kawasan hutan, kelas kemampuan lahan, dan penggunaan lahan terhadap pembentukan lahan kritis? 3. Apakah rekomendasi terbaik atau paling cocok diterapkan untuk mengurangi laju lahan kritis Kabupaten Lahat? Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah: 1. Mengetahui lahan kritis yang ada di Kabupaten Lahat. 2. Mengkaji sebaran lahan kritis berdasarkan pertimbangan kesesuaian pola ruang dalam RTRW, status kawasan hutan, kelas kemampuan lahan, dan penggunaan lahan. 3. Memberikan masukan atau saran dalam mengurangi laju lahan kritis yang ada di Kabupaten Lahat. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai sebaran lahan kritis di Kabupaten Lahat dan dapat memberikan saran untuk mengurangi laju lahan kritis sesuai dengan arahan RTRW, status kawasan hutan, kelas kemampuan lahan, dan penggunaan lahan. Peningkatan pembangunan Kabupaten Lahat yang lebih baik lagi dari aspek lingkungan, sosial dan ekonomi. TINJAUAN PUSTAKA Penataan Ruang Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Penataan ruang merupakan sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Alokasi pemanfaatan ruang (pola ruang) merupakan distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan fungsi budidaya (Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007).

15 3 RTRW disusun oleh pemerintah dimaksudkan untuk mendukung perbaikan ataupun mempertahankan kondisi lingkungan yang ada. Perencanaan tata ruang mencakup perencanaan pola pemanfaatan ruang yang meliputi tataguna lahan, tataguna air, tataguna udara, tataguna sumberdaya lainnya (Hardjowigeno; Widiatmaka 2007). RTRW Kabupaten Lahat telah tersusun dalam Peraturan Daerah Kabupaten Lahat Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lahat Tahun Rustiadi et al. (2004) menyatakan penataan ruang memiliki tiga unsur penting, yaitu: a) optimalisasi pemanfaatan sumberdaya (prinsip produktivitas dan efisiensi); b) alat dan wujud distribusi sumberdaya (prinsip pemerataan, keberimbangan, dan keadilan); c) keberlanjutan (prinsip sustainability). Suatu proses penataan ruang yang didasarkan pada karakteristik dan daya dukung, teknologi yang sesuai tentu akan meningkatkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan, yang berarti juga akan meningkatkan daya dukung dan potensi wilayah. Status Kawasan Hutan Menurut UU Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan menyatakan kawasan hutan merupakan wilayah tertentu yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Pasal 6 (2) menyatakan pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok yaitu fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi. Pada pasal 1 ayat (7) disebutkan bahwa hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Ayat (8) disebutkan bahwa hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara air tanah. Ayat (9) menyatakan hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Penetapan kriteria kawasan hutan didasarkan pada SK Mentan Nomor 837/Kpts/Um/11/80 dan SK Mentan Nomor 683/Kpts/Um/8/81 dengan menggunakan faktor penentu kelerengan, jenis tanah, dan curah hujan. Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) tahun 2012 menyatakan bahwa penetapan kawasan hutan dicirikan dengan telah dikukuhkannya kawasan hutan yang meliputi tahapan penunjukan, tata batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan serta adanya institusi pengelola di tingkat tapak dalam bentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Kelas Kemampuan Lahan Klasifikasi kemampuan lahan yaitu penilaian lahan (komponen-komponen lahan) secara sistematik dan pengelompokannya kedalam beberapa kategori berdasarkan sifat-sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaannya secara lestari (Arsyad 2006). Tujuan klasifikasi kemampuan lahan ini adalah untuk mengelompokkan lahan yang dapat diusahakan bagi pertanian (arable land) berdasarkan potensi dan pembatasnya agar dapat berproduksi secara berkesinambungan.

16 4 Panduan pengklasifikasian kemampuan lahan mengacu pada klasifikasi kemampuan lahan (Klingebial dan Montogeny 1973), yaitu lahan dikelompokkan kedalam tiga kategori utama yaitu 1) Tanah dikelompokkan ke dalam delapan kelas yang ditandai dengan huruf romawi dari I sampai VIII. Ancaman kerusakan atau hambatan meningkat berturut-turut dari kelas I sampai kelas VIII, 2) Subkelas yaitu ancaman erosi ditandai dengan huruf e, ancaman banjir ditandai dengan huruf w, hambatan daerah perakaran atau solum tanah ditandai dengan huruf s, dan hambatan iklim ditandai dengan huruf c, 3) satuan kemampuan/ satuan pengelolaan. Penggunaan Lahan Pengertian penggunaan lahan menurut Arsyad (2006) adalah setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil maupun spiritual. Persyaratan penggunaan lahan adalah sekelompok kualitas lahan yang diperlukan oleh suatu tipe penggunaan lahan agar dapat berproduksi dengan baik. Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) menyatakan penggunaan lahan dapat dibedakan menjadi penggunaan lahan perdesaan (rural land use) dan penggunaan lahan perkotaan (urban land use). Penggunaan lahan pedesaan dititik beratkan pada produksi pertanian, sedangkan penggunaan lahan perkotaan dititik beratkan pada tujuan untuk tempat tinggal. Penggunaan lahan yang optimaldan lestari berkaitan dengan karakteristik dan kualitas lahan tersebut. Lahan Kritis Kementerian Kehutanan (Kemenhut) tahun 2011 menetapkan sasaran penilaian lahan kritis dibedakan berdasarkan fungsi lahan yang berkaitan, yaitu fungsi kawasan lindung di kawasan hutan, fungsi lindung di luar kawasan hutan, dan fungsi kawasan budidaya untuk usaha pertanian. Parameter yang digunakan dalam penilaian tingkat kekritisan lahan tertuang dalam SK Dirjen RLPS No: SK.167/V-SET/2004 meliputi: kondisi tutupan lahan, kemiringan lereng, tingkat bahaya erosi, singkapan batuan (outcrop), kondisi pengelolaan (manajemen), dan produktivitas lahan (Departemen Kehutanan 2004). Selanjutnya masing-masing parameter diberi bobot dan masing-masing kelas diberi skoring. Total skor setiap parameter merupakan perkalian bobot dengan skor dari masing-masing parameter. Penjumlahan dari total skor masing-masing parameter setiap fungsi lahan di overlay sehingga menunjukkan tingkat kekritisan lahan. Penelitian ini menggunakan kriteria lahan kritis dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) bekerjasama dengan Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB yaitu kriteria lahan kritis yang sesuai dengan peruntukan perencanaan ruang (Tabel 1).

17 5 Tabel 1 Kriteria lahan kritis Kementerian Lingkungan Hidup. Kriteria Tidak kritis Potensial kritis Agak kritis Kritis Keterangan Lahan yang kondisi aktualnya sesuai dengan peruntukannya atau daya dukung fisik, vegetasi penutupan lahan berupa hutan, hutan sekunder, perkebunan, pertanian intensif, dan semak belukar. Lahan dimana kondisi aktualnya sesuai dan/atau tidak sesuai dengan pola ruang, kondisi topografi landai, dikaki bukit atau lereng curam, tutupan vegetasi berupa kegiatan pertanian yang intensif, semi intensif, tanah terbuka, dan pemukiman. Lahan aktual tidak sesuai peruntukannya, kelerengan agak miring sampai berbukit, didominasi vegetasi tanaman pertanian intensif, semak belukar. lahan yang kondisi aktualnya tidak sesuai dengan peruntukannya, kelerengan berbukit sampai curam, vegetasi penutupan lahan kurang dari 50% meliputi perkebunan, pemukiman, dan kebun campuran. Sangat kritis Lahan yang kondisi aktualnya tidak sesuai dengan peruntukannya, kelerengan curam sampai sangat curam, tutupan vegetasi sangat rendah, penggunaan lahan berupa tanaman pertanian intensif, semi intensif, kebun campuran, semak belukar, tanah terbuka. Sumber: Penyusunan lahan kritis kriteria Kementerian Lingkungan Hidup. METODE Waktu dan Lokasi Penelitian dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Desember 2014 yang terdiri dari kegiatan pengumpulan data sekunder, analisis spasial, dan pengumpulan data di lapangan (ground check). Data sekunder dikumpulkan dari beberapa instansi Pemerintahan, antara lain Pemerintah Daerah Kabupaten Lahat dan Ditjen Planologi Kehutanan. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Labolatorium Pengaruh Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB. Dan pengecekan lapangan dilakukan pada beberapa titik wilayah di Kabupaten Lahat. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi Global Positioning System (GPS), kamera digital, laptop, alat tulis, software pemetaan, Microsoft Word, Microsoft Excel. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengolahan data spasial dan pengamatan langsung di lapangan berupa aspek fisik lahan. Tabel 2 merupakan bahan penelitian dan peta olahan yang digunakan dalam penelitian.

18 6 Tabel 2 Bahan penelitian dan peta olahan. No Parameter Sumber data sekunder Peta olahan 1 Peta administrasi Badan Pemerintah Daerah - Kabupaten Lahat Kabupaten Lahat. (skala 1: ). 2 Peta topografi Badan Pemerintah Daerah - (skala 1:50 000). Kabupaten Lahat. 3 Peta status kawasan hutan (skala 1:50 000). 4 Peta pola ruang (skala 1:25 000). 5 Peta kelas kemampuan lahan (skala 1:50 000). 6 Peta penggunaan lahan tahun 2010 (skala 1:50 000). 7 a) Peta lahan kritis kriteria Kementerian Kehutanan tahun 2011 (skala 1:50 000). b) Peta lahan kritis kriteia Kementeian Lingkungan Hidup (skala 1:50 000). Badan Pemerintah Daerah Kabupaten Lahat. Diperoleh dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Lahat tahun Badan Pemerintah Daerah Kabupaten Lahat, dan Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB. Badan Pemerintah Daerah Kabupaten Lahat. a) Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) MUSI Provinsi Sumatera Selatan. b) Badan Pemerintah Daerah Kabupaten Lahat, dan Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB. - - Analiasis dilakukan dengan cara meng-overlay peta Land system dari P4W IPB dan peta jenis tanah Kabupaten Lahat. a) b) Analisis terbentuknya lahan kritis kriteria Kementeian Lingkungan Hidup yaitu dengan cara - mengoverlay peta kebijakan (hasil penggabungan peta kawasan hutan dan pola ruang) dengan peta Kebijakan (hasil penggabungan peta kelas kemampuan lahan dan penggunaan lahan). Sumber: Badan Pemerintah Daerah Kabupaten Lahat; Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB; Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) MUSI. Pengolahan Data Digital dan Analisis Data Overlay (Tumpang tindih) Tahap ini dilakukan dengan menggunakan metode overlay peta digital. Pada tahap ini, peta yang satu di-overlay dengan peta yang lain sehingga terbentuk peta baru. Penetapan Kemampuan Lahan Peta kemampuan lahan merupakan hasil penggabungan antara peta jenis tanah dan peta land system. Penentuan peta kemampuan lahan dikategorikan kedalam bentuk kelas dan sub kelas. Faktor pembatas yang terdapat pada masingmasing parameter menentukan lahan yang dianalisis masuk ke kelas dan sub kelas tertentu. Parameter fisik lahan yang dianalisis dari peta sistem lahan dan peta tanah berupa: jenis tanah, permeabilitas, solum tanah, landform, kelerengan,

19 7 tekstur, dan bahan induk. Kelas kemampuan lahan mencerminkan daya dukung fisik suatu lahan untuk penggunaan yang optimal dan lestari (Tabel 3). Tabel 3 Klasifikasi kelas kemampuan lahan serta faktor pembatasnya. Kelas kemampuan lahan IIe IIs IIIe IVe IVs Ve Vw VIe VIIe Literatur (Arsyad 2006; Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007) Hambatan pada lahan kelas II sedikit, memerlukan tindakan konservasi seperti guludan, pengolahan menurut kontur, pergiliran tanaman dan leguminosa, mulsa, pemupukan. Hambatan pada lahan kelas II sedikit, tanah dalam kelas ini memerlukan pengolahan tanah yang baik. Lahan kelas III mempunyai penghambat yang agak berat, memerlukan drainase dan pengelolaan tanah yang dapat memperbaiki struktur dan keadaan olah tanah. Lahan kelas IV mempunyai penghambat yang berat untuk membatasi pilihan tanaman yang dapat diusahakan, memerlukan pengelolaan yang sangat berhati-hati, atau kedua-duanya. Lahan kelas IV mempunyai penghambat yang berat untuk membatasi pilihan tanaman yang dapat diusahakan, memerlukan tindakan konservasi seperti teras bangku, dam penghambat, memelihara kesuburan, dan fisik tanah. Lahan kelas V mempunyai penghambat lain yang praktis sukar dihilangkan, sehingga dapat membatasi penggunaan lahan ini. Lahan kelas V mempunyai penghambat berupa tanah yang sering tergenang air sehingga membatasi penggunaan lahan ini. Lahan kelas VI mempunyai penghambat yang sangat berat sehingga tidak sesuai untuk pertanian dan hanya sesuai untuk tanaman rumput ternak atau dihutankan. Lahan kelas VII sama sekali tidak sesuai untuk usaha tani tanaman semusim dan hanya sesuai untuk padang penggembalaan atau dihutankan. VIIIe Lahan kelas VIII tidak sesuai untuk produksi pertanian, dan hanya dibiarkan dalam keadaan alami atau dibawah vegetasi hutan. Lahan ini dapat digunakan untuk daerah rekreasi cagar alam atau hutan lindung. Sumber: Arsyad 2006; Hardjowigeno dan Widiatmaka Faktor pembatas Bentuk lahan berlereng landai, tanah peka terhadap erosi. Solum tanah sedang. Bentuk lahan berombakbergelombang. Bentuk lahan berbukit, tanah peka terhadap erosi. Solum tanah sangat dangkal sehingga menghambat perakaran tanaman, tanah sangat peka terhadap erosi. Permeabiltas tanah sangat lambat. Drainase yang sangat buruk atau terhambat ditandai dengan warna tanah kekelabuan Bentuk lahan curam, teroreh, dan bergunug yang bisa menyebabkan erosi. Bentuk lahan berupa punggung gunung terjal, dan kelerengan curam Bentuk lahan berupa punggung gunung terjal, dan kelerengan sangat curam. Kombinasi Faktor-Faktor Pembentuk Lahan Kritis a) Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Analisis peta kebijakan didapatkan dari proses overlay peta status kawasan hutan, dan peta pola ruang. Peta kebijakan menggambarkan keselarasan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah. Selaras yaitu kesesuaian kebijakan pemanfaatan ruang antara status kawasan hutan dan pola ruang dalam arahan

20 8 RTRW, misalnya pada status kawasan hutan berupa hutan lindung di pola ruang hutan lindung. Keputusan tidak selaras yaitu bentuk inkonsistensi kebijakan pemanfaatan ruang antara status kawasan hutan dan pola ruang dalam arahan RTRW, misalnya dalam status kawasan hutan berupa hutan lindung dengan pemanfaatan ruang sebagai perkebunan di dalam arahan RTRW (Tabel 4). Tabel 4 Kombinasi status kawasan hutan dan pola ruang. Status Kawasan Hutan* Pola Ruang** HL HP HPT HSA Pkb LB LK Pkm Spd APL TS*** S*** S TS S S S S TS HP TS S S TS S S S S TS HPT TS TS S TS S TS S TS TS HL S TS TS S TS TS TS TS S SM S TS TS S TS TS TS TS S TWA S TS TS S TS TS TS TS S Keterangan: *APL: Areal Penggunaan Lain; HP: Hutan Produksi; HPT: Hutan Produksi Terbatas; HL: Hutan Lindung; SM: Suaka Margasatwa; TWA: Taman Wisata Alam. ** HL: Hutan Lindung; HP: Hutan Produksi; HPT: Hutan Produksi Terbatas; HSA: Hutan Suaka Alam; Pkb: Perkebunan; LB: Lahan Basah; LK: Lahan Kering; Pkm: Pemukiman; Spd: Sempadan. *** S: selaras; TS: tidak selaras. b) Analisis Kesesuaian Pemanfaatan Ruang Penggabungan peta kemampuan dengan peta penggunaan lahan, akan menghasilkan peta kesesuian pemanfaatan ruang. Misalnya kelas kemampuan lahan I-IV penggunaan lahan yang sesuai yaitu pertanian, kelas V-VII cocok untuk rumput atau dihutankan, dan kelas VIII diperuntukkan sebagai hutan. Analisis kesesuaian dilakukan untuk melihat ketidaksesuaian antara penggunaan lahan terhadap kelas kemampuan lahan. c) Analisis Matriks Kesesuaian Lahan dan Lahan Kritis Kriteria Kementerian Lingkungan Hidup Matriks kesesuaian merupakan kombinasi kawasan hutan dengan pola ruang, kelas kemampuan lahan dengan kawasan hutan, penggunaan lahan dengan pola ruang yang dikelompokkan ke dalam empat kuadran, dan masing-masing kuadran terdiri dari dua kelas (Tabel 5). Matriks kesesuaian lahan dapat menggambarkan terbentuknya lahan kritis kriteria Kementerian Lingkungan Hidup. Hasil overlay akan diperoleh sebaran lahan kritis, berdasarkan pertimbangan keselarasan kebijakan pemerintah dan kesesuaian dengan daya dukung fisik lingkungan. Selanjutnya peta sebaran lahan kritis kriteria KLH dibandingkan dengan peta lahan kritis yang ditetapkan oleh Kemenhut tahun 2011.

21 9 Tabel 5 Matriks kesesuaian lahan. Kategori Uraian K1.1 penggunaan lahan sesuai dengan pola ruang dan kelas kemampuan lahan sesuai dengan status kawasan hutan (pola ruang sesuai dengan status kawasan hutan). K1.2 penggunaan lahan sesuai dengan pola ruang dan kelas kemampuan lahan sesuai dengan status kawasan hutan (pola ruang tidak sesuai dengan status kawasan hutan). K2.1 penggunaan lahan tidak sesuai dengan pola ruang, kelas kemampuan lahan sesuai dengan status kawasan hutan (pola ruang sesuai dengan status kawasan hutan). K2.2 penggunaan lahan tidak sesuai dengan pola ruang, kelas kemampuan lahan sesuai dengan status kawasan hutan (pola ruang tidak sesuai dengan status kawasan hutan). K3.1 kemampuan lahan tidak sesuai dengan status kawasan hutan, penggunaan lahan tidak sesuai dengan pola ruang (pola ruang sesuai dengan status kawasan hutan). K3.2 kemampuan lahan tidak sesuai dengan status kawasan hutan, penggunaan lahan tidak sesuai dengan pola ruang (pola ruang tidak sesuai dengan status kawasan hutan). K4.1 penggunaan lahan sesuai dengan pola ruang, kelas kemampuan lahan tidak sesuai dengan status kawasan hutan (pola ruang sesuai dengan status kawasan hutan). K4.2 penggunaan lahan sesuai dengan pola ruang, kelas kemampuan lahan tidak sesuai dengan status kawasan hutan (pola ruang tidak sesuai dengan status kawasan hutan). Pengecekan Lapang Pengecekan di lapangan bertujuan mengamati kondisi aktual penggunaan lahan untuk mendukung validasi dan verifikasi hasil analisis spasial, terutama dalam kaitannya dengan pengkoreksian peta sebaran lahan kritis. Pengambilan sampel dilakukan atas dasar pertimbangan faktor-faktor pembatas dalam pemanfaatan lahan yaitu tingkat kelerengan lahan. Tahap Analisis Data Dalam tahap ini, data attribute table dari beberapa peta kombinasi hasil analisis spasial tersebut di-export ke Microsoft Excel, selanjutnya dihitung persentase setiap kombinasi dari poligon. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Sejak diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia No.1 Tahun 2007 tentang pembentukan Kabupaten Empat Lawang di Provinsi Sumatera Selatan sebagai Kabupaten pemisahan dari Kabupaten Lahat, maka luas wilayah Kabupaten Lahat menjadi Ha. Pembagian wilayah di Kabupaten Lahat terdiri dari 21 Kecamatan, 357 Desa definitif dan 17 Kelurahan (Badan Pusat Statistik 2013). Secara astronomis Kabupaten Lahat terletak pada posisi antara sampai Lintang Selatan dan sampai dengan Bujur Timur. Dengan batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Musi Rawas, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Muara Enim, sebelah Selatan berbatasan dengan Kota Pagar Alam dan Kabupaten Bengkulu Selatan, dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Empat Lawang. Secara fungsional kawasan Kabupaten Lahat mempunyai dua sub DAS

22 10 yaitu sub DAS Lematang bagian DAS Musi dari Provinsi Sumatera Selatan dan sub DAS Manna bagian DAS Ketahun dari Provinsi Bengkulu (Gambar 1). Gambar 1 Administrasi Kabupaten Lahat. Kabupaten Lahat mempunyai iklim tropis basah dengan suhu maksimum rata-rata 30.47ºC dan suhu minimum yaitu rata-rata 22.16ºC. Jenis tanah meliputi tanah organosol, jenis tanah litosol tersebar di pinggiran pegunungan terjal Kota Agung dengan patahan di sepanjang Bukit Barisan, jenis tanah aluvial tersebar di sepajang sungai Lematang, Sungai Kikim, Sungai Manak, Serta jenis tanah hidromorf tersebar di dataran rendah Kecamatan Merapi, Kikim, dan Kota Lahat. Bentuk permukaan Tanah di Kabupaten Lahat sangat bervariasi dari datar, berbukit, sampai bergunung dengan ketinggian m dpl. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Sebaran Lahan Kritis Lahan kritis merupakan lahan yang tidak berfungsi secara baik sebagai media konservasi dan/atau produksi sesuai dengan peruntukannya. Fungsi konservasi merupakan media perlindungan tata air, tanah, dan plasma nutfah. fungsi produksi yaitu sebagai media tumbuh dan berkembang tanaman pertanian, perkebunan, kehutanan, komoditas perikanan, pemukiman, industri, serta pariwisata. Peruntukan lahan yang secara legal merujuk pada perencanaan alokasi peruntukan ruang dalam RTRW dengan mempetimbangkan daya dukung fisik lahan (KLH dan P4W 2011).

23 11 Lahan kritis yang ditentukan Kementerian Kehutanan tahun 2011 untuk wilayah Kabupaten Lahat diketahui terdapat empat kategori yaitu agak kritis, potensial kritis, kritis, dan sangat kritis (Gambar 2). Tingkat kekritisan lahan didominasi oleh kategori kritis seluas Ha, dan agak kritis seluas Ha dari luasan total. Berdasarkan analisis jumlah poligon, kategori kritis mempunyai 35 poligon dengan pola sebaran cenderung mengelompok, dengan sebaran mendominasi sub DAS Lematang. Kategori sangat kritis tersebar di sepanjang sempadan sungai Lematang dan sungai Kikim. Penggunaan lahan didominasi oleh sungai, hutan, hutan sekunder, perkebunan, kebun campuran, tegalan, pemukiman, semak belukar, sawah, dan tanah terbuka yang berada dilahan dengan kelas kemampuan II-VIII, dikawasan areal penggunaan lain (APL). Gambar 2 Peta lahan kritis Kementrian Kehutanan Tahun 2011 Hasil penentuan lahan kritis berdasarkan kriteria KLH dan P4W IPB dapat diketahui bahwa tingkat kekritisan lahan di Kabupaten Lahat ada lima kategori yaitu tidak kritis, potensial kritis, agak kritis, kritis, dan sangat kritis. Kategori tidak kritis mendominasi dengan luasan Ha dari luasan total (Gambar 3). Berdasarkan jumlah poligon kategori tidak kritis mempunyai poligon, dengan pola sebaran cenderung mengelompok. Tingkat kekritisan tidak kritis tersebar di seluruh kecamatan di Kabupaten Lahat, dengan kelas kemampuan lahan VI-VIII, dan penggunaan lahan berupa hutan, hutan sekunder. Pada kelas kemampuan lahan II-V penggunaan lahan berupa perkebunan, kebun campuran, tegalan, sawah, semak belukar, dan air. Arsyad (1989) menyatakan bahwa lahan kritis merupakan kondisi lahan yang terjadi karena tidak sesuainya kemampuan lahan dengan penggunaan lahan, sehingga mengakibatkan kerusakan lahan secara fisik, kimia, maupun biologis.

24 12 Hasil analisis untuk kategori kritis mempunyai luasan Ha, yang tersebar di 15 Kecamatan yaitu Gumay Talang dan Ulu, Jarai, Kikim Selatan, Lahat, Kota agung, Muara Payang, Mulak Ulu, Pagar Gunung, Fajar Bulan, Pseksu, Pulau Pinang, Suka Merindu, Tanjung Sakti Pumu dan Pumi, dengan Penggunaan lahan berupa kebun campuran, perkebunan, pemukiman, dan hutan sekunder di kelas kemampuan lahan IV-VIII, yang berada di kawasan APL, hutan lindung, dan suaka margasatwa. Kategori sangat kritis mempunyai luas Ha, yang tersebar di 19 Kecamatan, dengan penggunaan lahan berupa kebun campuran, sawah, tegalan, semak belukar, dan tanah terbuka di kelas kemampuan lahan VI- VIII yang mendominasi APL. Hasil analisis jumlah poligon pada kategori kritis berjumlah 986 poligon dan sangat kritis berjumlah 1384 poligon dari poligon total, mempunyai kecenderungan pola menyebar. Gambar 3 Peta lahan kritis kriteria KLH dan P4W IPB Perbedaan metode dan parameter dalam menentukan tingkat kekritisan lahan antara kriteria Kemenhut dan kritieria KLH menyebabkan perbedaan hasil analisis yang cukup tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari kriteria Kemenhut lebih cenderung melihat hasil dari fungsi lahan tanpa memperhatikan lingkungan dan kriteria KLH lebih cenderung memperhatikan lingkungan tanpa melihat fungsi lahan (Tabel 6). Kriteria KLH menggunakan metode hukum minimum Liebig. Parameter yang diperhatikan antara lain status kawasan hutan, RTRW, kelas kemampuan lahan dan penggunaan lahan. Kriteria Kemenhut menggunakan metode skoring. Dan parameter yang digunakan antara lain: penutupan lahan, kelerengan, tingkat bahaya erosi, produktifitas, dan manajemen. Santosa (2011) menyatakan evaluasi penilaian kekritisan lahan kriteria Kemenhut penilaian lahan kritis dengan sistem skoring memiliki beberapa kekurangan seperti dapat mengarah ke penilaian yang bersifat subyektif karena tidak ada batasan dalam

25 13 penetapan skornya, sehingga dapat terjadi perbedaan dengan pengamatan langsung di lapangan. Adanya kemungkinan lahan dikelaskan sebagai kritis tetapi di lapangan adalah tidak kritis atau kebalikannya. Tabel 6 Data kategori lahan kritis di Kabupaten Lahat. Kategori Kementerian Kehutanan tahun 2011 Kementerian Lingkungan Hidup Luas (Ha) % Luas (Ha) % Sangat kritis Kritis Agak kritis Potensial kritis Tidak kritis Total Gambar 4 Perbandingan peta lahan kritis kriteria Kementrian Kehutanan tahun 2011 dengan kriteria Lahan kritis KLH dan P4W IPB. Hasil analisis perbandingan lahan kritis kriteria KLH dengan lahan kritis kriteria Kemenhut pada Gambar 4 memperlihatkan bahwa 7.52% keputusan lahan kritis adalah sama sebanyak empat kategori, dengan proporsi terbesar katagori kritis yang terbesar di 14 kecamatan yaitu: Gumay Talang dan Ulu, Jarai, Kikim Selatan, Kota Agung, Muara Payang, Mulak Ulu, Pagar Agung, Pajar Bulan, Pseksu, Pulau pinang, Suka Merindu, Tanjung Sakti Pumi dan Pumu. Sebanyak 92.48% hasil perbandingan tidak sama. Terdapat 16 kategori lahan kritis, dengan proporsi terbesar terdapat pada kategori tidak kritis menurut kriteria KLH dan kategori kritis menurut kriteria Kemenhut seluas Ha, atau % dari luasan total. Kategori tidak kritis (KLH) dan kategori kritis (Kemenhut) mendominasi di kawasan sub DAS Lematang dengan jumlah poligon yang

26 14 memiliki kecenderungan pola mengelompok. Tabel 7 merupakan luasan perbandingan lahan kritis kriteria KLH dengan kriteria Kemenhut tahun Tabel 7 Perbandingan lahan kritis kriteria Kementerian Lingkungan Hidup dengan kriteria Kementerian Kehutanan tahun Kementerian Lingkungan Hidup Kementerian Kehutanan Total (Ha) Kategori* SK K AK PK TK SK K AK PK TK Total (Ha) Keterangan: *SK: sangat kritis; K: kritis; AK: agak kritis; PK: potensial kritis; TK: tidak kritis. Penyebab perbedaan tingkat kekritisan perbandingan antar kriteria dapat dilihat dari data karakteristik lahan. Tabel 8 merupakan data karakteristik lahan hasil perbandingan kategori kritis menurut kriteria KLH dan tidak kritis menurut kriteria Kemenhut tahun Tabel 8 Perbandingan lahan kritis kategori tidak kritis (Kementerian Lingkungan Hidup) dengan kategori kritis (Kementerian Kehutanan 2011). Komparasi Tidak kritis (Kementerian Lingkungan Hidup) kritis (Kementerian kehutanan) Seluas Ha Pola ruang* Fungsi Kawasan** Karakteristik lahan dan luasan (Ha) Penggunaan lahan*** Kelas kemampuan lahan**** kelerengan Kawasan lindung Hutan Suaka Alam H: e: 28 <3%: HSA: SM: HL: TWA: 6 Hs: s: %: 76 Kawasan budidaya HL: Pkb: e: %: HP: HPT: 152 HPT: 35 Kc: e: %: LK: HP: 728 Tg: s: %: 369 -LB: APL: SmB: e: %: Pkb: Sw: 567 5w: 16 >60%: Pkm: Air: 376 6e: 517 Pkm: 643 7e: e: Keterangan: * HSA: hutan suaka alam; HL: hutan lindung; HP: hutan produksi; HPT: hutan produksi terbatas; LK: budidaya lahan kering; LB: budidaya lahan basah; Pkb: perkebunan; Pkm: pemukiman. ** SM: suaka margasatwa; TWA: taman wisata alam; HL: hutan lindung; HPT: hutan produksi terbatas; HP: hutan produksi; APL: areal penggunaan lain; *** H: hutan; Hs: hutan sekunder; Pkb: perkebunan; Kc: kebun campuran; Tg: tegalan; SmB: semak belukar; Sw: sawah; Air: Sungai; Pkm: pemukiman. ****e: pembatas erosi; s: pembatas solum tanah; w: pembatas drainase. Areal penggunaan lain (APL) merupakan area yang tidak termasuk dalam kawasan hutan, sehingga dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya. Kawasan budidaya merupakan kawasan yang dimanfaatkan secara terarah bagi hidup dan kehidupan manusia. Kawasan budidaya bertujuan untuk memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya buatan yang berdaya guna dan berhasil guna dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan. Pengembangan kawasan budidaya meliputi

27 15 kawasan pertanian, kawasan pemukiman, kawasan pariwisata, kawasan perdagangan, kawasan industri dan kawasan pertambangan (Santoso 2011). Berdasarkan Kemenhut (2011) pada kawasan budidaya faktor atau parameter penentu tingkat kekritisan lahan adalah produktivitas lahan pertanian. Parameter yang lain adalah faktor pengelolaan lahan terkait untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan produktivitas lahan. Dapat dilihat pada Tabel 5 yaitu tingginya inkonsistensi lahan, berupa penggunaan lahan hutan sekunder dan hutan dikawasan APL dengan pola ruang didominasi perkebunan dan budidaya lahan kering, dengan kelas kemampuan lahan IVe akan menyebabkan produktivitas pertanian menurun. Kriteria Kemenhut menetapkan lahan ini termasuk kategori kritis. Kelas kemampuan lahan IV dapat digunakan untuk mendukung budidaya pertanian dengan pemilihan jenis tanaman yang tepat dan penerapan konservasi tanah dan air untuk memelihara kesuburan serta kondisi fisik tanah. Perubahan penggunaan lahan berpengaruh terhadap tingkat kekritisan lahan. Pengaruh perubahan penggunaan lahan dapat bersifat menambah atau mengurangi luasan setiap tingkat kekritisan lahan. Pada kawasan budidaya perubahan penggunaan lahan yang terjadi umumnya berpengaruh positif. Menurut KLH dan P4W IPB (2001) bahwa penggunaan lahan hutan akan mempertahankan lahan pada kawasan budidaya tetap tidak kritis. Kondisi hutan yang masih baik akan mempertahankan tutupan lahan berupa pepohonan yang mempunyai tajuk bertingkat. Tajuk paling atas merupakan tajuk tinggi yang tersusun oleh pohon tinggi, sampai pada permukaan tanah masih tertutup oleh tajuk dari tumbuhan bawah dan seresah. Penutupan lahan oleh tajuk membuat hujan yang turun tidak langsung mengenai permukaan tanah. Hal ini akan mencegah terjadinya erosi, sehingga tidak terbentuk lahan kritis. Kategori tidak kritis yang berada di kawasan APL yang diperuntukan untuk mendukung kegiatan budidaya pertanian (intensif dan semi intensif) dengan kelas kemampuan lahan II-IV. Kelas kemampuan lahan II-IV memang diperuntukan untuk mendukung kegiatan budidaya pertanian agar tercapai fungsi produksi yang optimal dan sesuai arahan RTRW. Hasil perbandingan lahan kritis kriteria KLH over estimate terhadap kriteria Kemenhut. Hal ini dapat dilihat dari kesesuian penggunaan lahan aktual yang merupakan hasil pengecekan lapang. Pengambilan sampel dilakukan atas dasar pertimbangan faktor-faktor pembatas dalam pemanfaatan lahan yaitu tingkat kelerengan. Kelerengan curam-sangat curam (>41%), agak curam bergunung (26-40%), bergelombang berbukit (25 9 %), datar landai (<8%) (Gambar 5). Hasil pengecekan lapang lahan kategori kritis pada lereng bergelombangberbukit yang ada di Desa Kedaton (Gambar 5a), dengan kelas kemampuan lahan VIe, penggunaan lahan aktual berupa kebun campuran dan perkebunan. Lahan kelas kemampuan diatas VI sebaiknya penutupan lahan berupa hutan, karena pada lahan ini mempunyai faktor pembatas yang sulit dihilangkan. Pada Kelerengan datar-landai (Gambar 5b) dengan kelas kemampuan lahan Ve berlokasi di sepanjang sub DAS Lematang, dengan penggunaan lahan aktual berupa pemukiman, kebun campuran, aktivitas tambang galian C, menyebabkan lahan ini dikategorikan potensial kritis. Kelas kemampuan lahan V mempunyai pembatas yang sulit dihilangkan, seperti drainase yang buruk sehingga dapat menurunkan hasil produksi.

28 16 a c b d Gambar 5 Peta titik pengamatan lahan kritis di Kabupaten Lahat Kategori kritis yang berada pada kelerengan curam-sangat curam dengan kelas kemampuan lahan VIIe berada di Kecamatan Pulau Pinang (Gambar 5c). Dalam arahan pola ruang diperuntukan budidaya lahan kering, status kawasan berupa APL, dan penggunaan lahan aktual berupa pemukiman, perkebunan, dan semak belukar. Pada kelerengan agak curam-bergunung (Gambar 5d) dengan kelas kemampuan lahan IIIe-IVe yang berada di Perumnas Tebing Sage dengan kawasan berupa APL, pola ruang budidaya pemukiman (BPkm) dan Desa Sukasari dengan status kawasan APL, pola ruang budidaya hutan produksi (BHP), penggunaan lahan aktual perkebunan karet, semak belukar, dan pemukiman.

29 17 Lahan ini dikategorikan tidak kritis karena penggunaan lahan konsisten dalam arahan RTRW dan sesuai daya dukung fisik lingkungan. Status Kawasan Hutan, Pola Ruang, Kelas Kemampuan Lahan, dan Penggunaan Lahan Analisis Peta Kebijakan Fungsional Kawasan Analisis peta kebijakan fungsional kawasan merupakan hasil penggabungan antara peta status kawasan hutan dan peta pola ruang untuk melihat inkonsistensi antar kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. BKPRN (2012) menyatakan bahwa inkonsistensi tata ruang merupakan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan pola ruang yang tercantum dalam dokumen RTRW. Bentuk pelanggaran tata ruang yang umum terjadi adalah pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan, seperti pemanfaatan ruang untuk tujuan budidaya yang dilakukan di kawasan lindung (Gambar 6). Gambar 6 Peta status kawasan hutan Kabupaten Lahat. Pemerintah menetapkan kawasan hutan berdasarkan fungsinya yaitu fungsi lindung, fungsi produksi, dan fungsi konservasi (hutan suaka alam, kawasan hutan pelestarian alam, dan taman buru). Berdasarkan informasi peta status kawasan hutan di Kabupaten Lahat terdapat enam status kawasan hutan yang terdiri dari areal penggunaan lain (APL) seluas Ha, Hutan Produksi (HP) seluas Ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas Ha, dan kawasan lindung berupa: Hutan Lindung (HL) seluas Ha, Suaka Margasatwa (SM) seluas Ha, Taman Wisata Alam (TWA) seluas 181 Ha. Berdasarkan hasil analisis jumlah polygon diketahui terdapat poligon dari jumlah poligon total merupakan kawasan APL dengan kecenderungan pola mengelompok (Gambar 6).

30 18 Penataan ruang sebagai basis pembangunan diwujudkan dengan ditetapkannya UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUPR). Gambar 7 merupakan peta RTRW Kabupaten Lahat tahun : Gambar 7 Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Lahat tahun Komitmen pemerintah kabupaten dalam implementasi RTRW kabupaten merupakan sebuah awalan bagi perwujudan pembangunan yang terpadu di berbagai daerah. Alokasi penataan ruang berdasarkan arahan dalam Peraturan Pemerintah tersebut, terdapat 9 bentuk pola ruang di Kabupaten Lahat yaitu kawasan lindung yang terdiri dari kawasan hutan konservasi berupa Hutan Suaka Alam (HSA) seluas Ha, Sempadan (Spd) seluas 0 Ha dan kawasan hutan lindung (HL) seluas Ha dari luasan total, sedangkan kawasan budidaya terdiri dari kawasan Hutan Produksi (HP) seluas Ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas Ha, Budidaya Lahan Kering (BLK) seluas Ha, Budidaya Lahan Basah (BLB) Ha, Perkebunan (Pkbn) seluas Ha, dan Pemukiman (Pkm) Ha. Hasil analisis jumlah poligon diketahui bahwa terdapat polygon dari dari jumlah polygon total merupakan pola ruang perkebunan. Pola ruang perkebunan mempunyai pola kecenderungan mengelompok (Gambar 7). Dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal dari kawasan hutan bagi kesejahteraan masyarakat, maka pada prinsipnya semua kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik dan kerentanannya, serta tidak dibenarkan mengubah fungsi pokoknya. Pemanfaatan hutan dan kawasan hutan harus disesuaikan dengan fungsi pokoknya yaitu fungsi konservasi, lindung dan produksi. Pemanfaatan kawasan hutan yang tidak sesuai dengan fungsi dari status kawasan hutan menyebabkan terbentuknya inkonsistensi

31 19 antar kebijakan pemerintah (Gambar 8). Inkonsistensi kebijakan fungsional kawasan yang terjadi di Kabupaten Lahat seluas Ha atau 3.61 % dari luas total. Terdapat 16 bentuk inkonsistensi kebijakan yang didominasi oleh pemanfaatan fungsional kawasan sebagai hutan lindung (HL) di pola ruang APL seluas Ha, atau 1.33% dari luasan toal. Kawasan ini tersebar di Kecamatan Kota Agung, Tanjung Sakti Pumi dan Pumu, Jarai, Merapi Selatan dan Barat, dengan kelas kemampuan lahan III-VIII. Fitzsimons et al. (2012) menyatakan Peraturan mengenai pemanfaatan ruang ditetapkan oleh pemerintah dalam RTRW salah satunya bertujuan untuk melindungi beberapa kawasan yang memiliki fungsi lingkungan, konservasi, dan pertanian. Gambar 8 menunjukkan inkonsistensi antara status kawasan hutan dan RTRW. Gambar 8 Inkonsistensi pemanfaatan ruang antara kawasan hutan dan RTRW. Pada Gambar 8 dapat dilihat adanya bentuk inkonsistensi lahan berupa HL yang digunakan untuk kegiatan budidaya perkebunan seluas Ha, dengan kelas kemampuan lahan V, VII, VIII, yang berada di Kecamatan Kota Agung, Tanjung Sakti Pumi dan Pumu, Jarai, Suka Merindu, Merapi Selatan dan Barat. Lahan hutan yang seharusnya untuk melindungi kelestarian sumberdaya air kemudian digarap menjadi lahan pertanian tanpa memperhatikan azas kesesuaian lahan, dapat merusak tanah dan lingkungan. Analisis Peta Kesesuaian Pemanfaatan Ruang Analisis peta kesesuaian pemanfaatan ruang merupakan gabungan antara peta kelas kemampuan lahan dan penggunaan lahan, untuk melihat apakah penggunaan lahan aktual mempertimbangkan daya dukung fisik lingkungan dengan tujuan penggunaan yang maksimal dan berkelanjutan. Kelas kemampuan lahan mencerminkan daya dukung suatu fisik suatu lahan. Pigram (1983)

32 20 menyatakan daya dukung fisik suatu kawasan atau areal merupakan jumlah maksimum penggunaan atau kegiatan yang dapat diakomodasi dalam kawasan atau areal tersebut tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas kawasan tersebut secara fisik. Hasil analisis diketahui bahwa tedapat 10 kelas kemampuan lahan di Kabupaten Lahat yang didominasi oleh kelas kemampuan lahan VII dengan pembatas erosi dan kelerengan sebanyak 712 poligon atau 29.37%. Diikuti kelas kemampuan V dengan pembatas erosi sebanyak 748 poligon atau seluas % dari luasan total. Kelas kemampuan VIIe dan Ve mempunyai kecenderungan pola sebaran mengelompok (Gambar 9). Gambar 9 peta kelas kemampuan lahan Kabupaten Lahat. Kelas kemampuan lahan merupakan salah satu pengendali pemanfaatan ruang dalam hal ini yaitu penggunaan lahan. Kelas kemampuan sebagai pengendali penggunaan lahan untuk menjaga kelestarian lingkungan dan produksi yang berkesinambungan. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan diketahui bahwa tedapat 10 bentuk penggunaan lahan di Kabupaten Lahat terdiri dari penggunaan lahan berupa hutan seluas Ha, hutan sekunder seluas Ha, perkebunan seluas Ha, kebun campuran seluas Ha, tegalan seluas Ha, pemukiman seluas Ha, sawah seluas Ha, semak belukar seluas Ha, sungai seluas Ha, dan tanah terbuka seluas Ha dari luasan total. Penggunaan lahan didominasi oleh hutan dengan jumlah 112 poligon, dan kebun campuran 140 poligon dari poligon total, yang mempunyai kecenderungan pola sebaran mengelompok (Gambar 10).

33 21 Gambar 10 Peta penggunaan lahan Kabupaten Lahat tahun Pada Tabel 9 dapat dilihat penggunaan lahan yang sesuai dengan kemampuan lahan akan tetap menjaga kualitas lahan, sehingga lahan tetap tidak kritis. Semakin intensif pemanfaatan ruang terhadap kelas kemampuan lahan akan menyebabkan penurunan kualitas lahan yang mengarah terbentuknya lahan kritis. Contohnya penggunaan lahan berupa pertanian intensif (tegalan, sawah) di kelas kemampuan lahan VII-VIII akan menyebabkan peningkatan kategori lahan menjadi sangat kritis.

34 Tabel 9 Data implementasi pemanfaatan ruang dan lahan kritis kriteria Kementerian Lingkungan Hidup; Pusat pengkajian perencanaan pengembangan wilayah IPB. 22 Landuse Keterangan: *H: hutan; Hs: hutan sekunder; Pkb: perkebunan; Kc: kebun campuran; Tg: tegalan; SmB: semak belukar; Sw: sawah; Tb: tanah terbuka; Kemampuan lahan** (Ha)* IIe IIs IIIe IVe IVs Ve Vs VIe VIIe VIIIe H TK:3 745 TK:2 830 TK:2 029 TK:354 TK: TK: Hs TK:575 TK:8 610 TK: TK:1 358 TK: TK:218 TK: PK:1 175 Pkb TK:150 TK: TK:6 409 TK:6 773 PK: PK:6 K:424 Kc TK:26 TK:117 TK:4 890 TK: TK: PK: K: SK:7 069 Tg TK:378 TK:3 379 PK:3 010 PK: PK:10 SK:160 SK:1 797 SK:352 SmB TK:310 TK:4 284 TK:9 477 TK:1 374 TK: TK:22 AK:2 885 AK: SK: Sw TK:10 TK:93 TK:999 AK:2 270 AK:57 AK:8 308 AK:183 SK:2 607 SK: 859 SK:1 134 Tb PK:117 PK:4 275 PK:6 704 PK:2 551 PK:9 367 SK:253 SK:2 457 SK:18 Sungai TK:113 TK:211 TK:3 TK:22 TK:56 TK:4 Pmk TK:2 TK:1 224 PK:429 PK:1 765 PK:328 K:56 Pmk: pemukiman. ** e: pembatas erosi; s: pembatas solum tanah; w: pembatas drainase. SK: sangat kritis; K: kritis; AK: agak kritis; PK: potensial kritis; TK: tidak kritis.

35 23 Terkait dengan kerusakan lahan atau lahan kritis, kemampuan lahan dapat digunakan sebagai parameter pengecekan ketepatan penggunaan suatu lahan. Hasil analisis ketidak sesuaian antara peta kemampuan lahan dan penggunanaan lahan diketahui bahwa terdapat 35 bentuk ketidak sesuaian pemanfaatan ruang seluas 37.51% atau Ha dari luas total. Ketidak sesuaian pemanfaatan lahan didominasi kelas VIIe dengan tutupan lahan berupa semak belukar seluas Ha dengan jumlah 174 poligon, dan kelas Ve yang digunakan sebagai perkebunan seluas Ha, dengan jumlah 89 poligon dari poligon total, yang mempunyai kecenderungan pola mengelompok (Gambar 11). Gambar 11 Inkonsistensi kesesuaian pemanfaatan ruang. Matriks Kesesuaian Lahan terhadap Sebaran Lahan Kritis BKPRN (2012) menyatakan perencanaan ruang tidak semata-mata merupakan aktivitas pembangunan, melainkan juga merupakan upaya pengendalian pemanfaatan ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009, agar pemanfaatan ruang di suatu wilayah sesuai dengan kapasitas lingkungan hidup dan sumberdaya, alokasi pemanfaatan ruang harus mengindahkan kemampuan lahan. Kemampuan lahan merupakan pencerminan kapasitas fisik lingkungan yang dicerminkan oleh keadaan topografi, tanah, hidrologi, dan iklim, serta dinamika yang terjadi khususnya erosi, banjir dan lainnya (Rustiadi et al. 2010). Penggunaan lahan seharusnya sesuai dengan kelas kemampuan lahan dan sesuai berdasarkan distribusi dalam RTRW. Penggunaan lahan merupakan indikator penting untuk mengetahui dampak aktivitas manusia terhadap lahan di suatu wilayah. Aktivitas manusia berhubungan dengan karakteristik lahan, sehingga secara umum

36 24 kesejahteraan kehidupan manusia berhubungan pada ketersediaan dan pengelolaan sumberdaya lahan (Nagasawa 2009). Sejalan dengan pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Lahat, adanya bentuk ketidak sesuaian antara kombinasi kawasan hutan dengan pola ruang, kelas kemampuan lahan dengan kawasan hutan, penggunaan lahan dengan pola ruang yang dikelompokkan ke dalam empat kuadran, dan masing-masing kuadran terdiri dari dua kelas (Gambar 12). Gambar 12 Matriks kesesuaian lahan. Inkonsistensi penggunaan lahan akan berdampak terhadap penurunan kualitas lahan yang secara langsung akan berdampak terhadap penurunan produktifitas, dan kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan yang telah berlanjut, sangat sulit dapat pulih kembali secara alami, sehingga akan terbentuk lahan kritis. Tabel 10 merupakan matriks kesesuaian dan lahan kritis kriteia KLH. Kuadran I merupakan kondisi ideal karena penggunaan lahan aktual konsisten terhadap pola ruang dalam RTRW dan status kawasan sesuai dengan kelas kemampuan lahan. Berdasarkan matriks kesesuaian diketahui bahwa luas K1.1 memiliki luas Ha dari luasan total. K1.2 memiliki luas 759 Ha (Gambar 12). Hasil analisis kuadran K1.1 diketahui penggunaan lahan didominasi oleh hutan pada kelas VIIe seluas Ha. Pada kuadran K1.2 penggunaan lahan didominasi oleh kebun campuran di kelas kemampuan lahan VIIIe seluas 350 Ha dari luasan total.

37 25 Tabel 10 Matriks kesesuaian lahan dan lahan kritis kriteria Kementerian Lingkungan Hidup; Pusat pengkajian perencanaan pengembangan wilayah IPB. kategori Uraian Luas (Ha) Lahan kritis (Ha) K1.2 penggunaan lahan sesuai dengan pola ruang dan kelas kemampuan lahan sesuai dengan status kawasan hutan (pola ruang tidak sesuai dengan status kawasan hutan). 759 TK: PK: AK: K: 413 K2.1 penggunaan lahan tidak sesuai dengan pola ruang, kelas kemampuan lahan sesuai dengan status kawasan hutan (pola ruang sesuai dengan status kawasan hutan). K2.2 penggunaan lahan tidak sesuai dengan pola ruang, kelas kemampuan lahan sesuai dengan status kawasan hutan (pola ruang tidak sesuai dengan status kawasan hutan). K3.1 kemampuan lahan tidak sesuai dengan status kawasan hutan, penggunaan lahan tidak sesuai dengan pola ruang (pola ruang sesuai dengan status kawasan hutan). K3.2 kemampuan lahan tidak sesuai dengan status kawasan hutan, penggunaan lahan tidak sesuai dengan pola ruang (pola ruang tidak sesuai dengan status kawasan hutan). K4.1 penggunaan lahan sesuai dengan pola ruang, kelas kemampuan lahan tidak sesuai dengan status kawasan hutan (pola ruang sesuai dengan status kawasan hutan). K4.2 penggunaan lahan sesuai dengan pola ruang, kelas kemampuan lahan tidak sesuai dengan status kawasan hutan (pola ruang tidak sesuai dengan status kawasan hutan). SK: TK: PK: AK: K: SK: TK: PK: 81 AK: K: SK: TK: PK: AK: K: SK: Pada Tabel 10 diketahui bahwa kuadran 1 didominasi kategori kekritisan lahan berupa tidak kritis seluas Ha dengan kelas kemampuan lahan II sampai VIII. Penggunaan lahan pada kelas II-V berupa pertanian (sawah, tegalan, perkebunan, kebun campuran), dan semak belukar yang berada dikawasan APL. Penggunaan lahan pada kelas kemampuan VI-VIII berupa hutan di kawasan lindung. Hutan merupakan penggunaan lahan yang paling baik untuk mendukung fungsi kawasan lindung. Penggunaan lahan hutan akan mempertahankan kualitas kawasan lindung sehingga tetap tidak kritis. Lahan pada kawasan lindung merupakan lahan dengan kelas kemampuan rendah sehingga setiap perubahan hutan menjadi penggunaan non hutan akan membuat kualitas lahan menurun dan menyebabkan terbentuknya lahan kritis. Berdasarkan hasil analisis jumlah poligon kategori tidak kritis berjumlah dari poligon total yang mempunyai kecenderungan pola mengelompok di seluruh wilayah Kabupaten Lahat, terutama di Kecamatan Pseksu. Pada kuadran I kategori kritis berada di kawasan hutan lindung dan marga satwa dengan kelas kemampuan lahan V dan VIII, diperuntukkan sebagai kawasan budidaya, dengan penggunaan lahan berupa kebun campuran. Lahan menjadi kritis disebabkan adanya bentuk inkonsistensi antara status kawasan dan

38 26 pola ruang, serta kertidaksesuaian penggunaan lahan terhadap kemampuan lahan. Kategori kritis tersebar di 9 kecamatan yaitu Jarai, Kikim Selatan, Kota Agung, Muara Payang, Mulak Ulu, Pagar Gunung, Pajar Bulan, Suka Merindu, dan Tanjung Sakti Pumu. Kategori sangat kritis berada di kelas kemampuan lahan VII-VIII dengan penggunaan lahan berupa sawah yang berada di kawasan hutan lindung dan suaka margasatwa, diperuntukkan untuk budidaya. Kelas kemampuan lahan VII-VIII yang digunakan untuk budidaya pertanian intensif menyebabkan lahan ini terdegradasi kuat sehingga masuk kategori sangat kritis. Kategori sangat kritis tersebar di 3 kecamatan yaitu Kecamatan Kota Agung, Muara Payang, dan Tanjung Sakti Pumu (Gambar 13). Gambar 13 Lahan kritis pada kuadran I. Kuadran II merupakan bentuk penggunaan lahan yang inkonsisten terhadap pola ruang dalam RTRW, namun status kawasan hutan konsisten terhadap kelas kemampuan lahan (Tabel 10). Penggunaan lahan pada kuadran K2.1 didominasi oleh hutan sekunder pada kelas kemampuan lahan IVe, dengan pola ruang budidaya lahan kering (BLK) dan status kawasan berupa APL. Pada kuadran K2.2 penggunaan lahan hutan pada kelas VIIe mendominasi lahan dengan luasan Ha dari luasan total, yang berada kawasan HL, namun pola ruang berupa budidaya perkebunan (Bkbn). Pada Gambar 14 kategori lahan tidak kritis mendominasi kuadran II sebesar Ha. Penggunaan lahan pada kuadran II berupa hutan dan hutan sekunder yang berada dipola ruang budidaya di dalam RTRW, namun kelas kemampuan lahan konsisten terhadap status kawasan hutan. Kelas II-V merupakan kawasan APL, dan kelas kemampuan VI-VIII merupakan kawasan lindung. Hasil analisis jumlah poligon, kategori tidak kritis pada kuadran II diketahui berjumlah dari poligon total yang mempunyai

39 27 kecenderungan pola mengelompok. Kategori tidak kritis mendominasi Kecamatan Kikim Timur dan Selatan, Lahat dan Merapi Barat. Adanya kategori kekritisan berupa potensial kritis, agak kritis, kritis dan sangat kritis pada kuadran II disebabkan penggunaan lahan yaitu: tanah terbuka, semak belukar dan pertanian intensif (sawah, tegalan) di kelas kemampuan VI-VIII yang berada dikawasan lindung menyebabkan lahan pada kuadran ini terdegradasi kuat. Gambar 14 Lahan kritis pada kuadran II. Pada kuadran II penggunaan lahan kebun campuran mendominasi kawasan suaka margasatwa dan hutan lindung, diperuntukkan untuk hutan lindung dan hutan suaka alam dikelas kemampuan lahan IV-VIII. Penggunaan lahan yang tidak sesuai status kawasan dan peruntukan dapat menyebabkan penurunan fungsi kawasan sehingga dikategorikan kritis. Kategori kritis tersebar di 11 kecamatan yaitu Jarai, Kikim Selatan, Kota Agung, Muara Payang, Mulak Ulu, Pagar Gunung, Fajar Bulan, Pseksu, Suka Merindu, Tanjung Sakti Pumu dan Pumi. Kategori sangat kritis berada di kawasan hutan lindung, marga satwa dan taman wisata alam di kelas kemampuan lahan VI-VIII, dengan penggunaan lahan didominasi semak belukar, tanah terbuka dan tegalan, diperuntukan sebagai hutan lindung, hutan suaka alam, dan kegiatan budidaya. Kategori sangat kritis disebabkan adanya inkonsistensi status kawasan hutan sebagai sistem penyangga kehidupan, dan pengawetan keanekaragaman flora maupun fauna yang digunakan selain peruntukannya. Kategori sangat kritis tersebar di 14 kecamatan yaitu Merapi Selatan dan Barat, Gumay Talang dan Ulu, Kikim Selatan, Jarai, Kota Agung, muara Payang, Pagar Gunung, Fajar Bulan, Pseksu, Suka Merindu, Tanjung Sakti Pumu dan Pumi (Gambar 14). Kuadran III merupakan bentuk inkonsistensi penggunaan lahan terhadap pola ruang dalam RTRW dan kelas kemampuan lahan terhadap status kawasan hutan

40 28 (Tabel 10). Penggunaan lahan pada kuadran III berupa semak belukar pada kelas VIIe mendominasi lahan pada kuadran K3.1 dengan luasan Ha dan kuadran K3.2 dengan luasan Ha dari luasan total. Gambar 15 Sebaran lahan kritis pada kuadran III. Pada Gambar 15 kuadran III didominasi oleh kategori tidak kritis seluas Ha dan agak kritis seluas Ha dari luasan total. Kategori tidak kritis didominasi penggunaan lahan berupa hutan dan hutan sekunder dikawasan budidaya, namun didalam alokasi status kawasan hutan merupakan APL dengan kelas kemampuan lahan VI-VIII. Terjadi inkonsistensi penggunaan lahan terhadap RTRW dan kelas kemampuan terhadap status kawasan hutan, namun penggunaan lahan sesuai dengan kelas kemampuan lahan sehingga lahan tersebut tidak kritis. Hasil analisis jumlah poligon kategori tidak kritis kuadran III berjumlah 989 dari poligon, yang mempunyai pola sebaran cenderung mengelompok, dan mendominasi di Kecamatan Kikim Selatan, Pseksu, Gumay Talang, dan Tanjung Sakti Pumi. Hasil analisis kuadran III diketahui bahwa penggunaan lahan semak belukar dengan kelas kemampuan lahan V, di kawasan lindung dan pola ruang budidaya menyebabkan suatu lahan termasuk kategori potensial kritis. Kategori agak kritis disebabkan penggunaan lahan semak belukar dengan status kawasan budidaya, dan kelas kemampuan lahan VI-VII di kawasan APL. Kategori kritis dengan penggunaan lahan berupa pemukiman, kebun campuran, hutan sekunder yang berada di pola ruang budidaya dan lindung, namun kelas kemampuan lahan yaitu VI-VIII berada dikawasan APL. Kategori sangat kritis terdapat penggunaan lahan berupa semak belukar, tanah terbuka di pola ruang lindung dan budidaya, dengan kelas kemampuan lahan VII-VIII pada kawasan APL. Penggunaan lahan untuk kelas kemampuan lahan VIII sebaiknya berupa hutan dan penetapan sebagai

41 29 kawasan lindung, untuk melindungi kawasan tersebut dari degradasi lingkungan (Gambar 15). Kuadran IV merupakan kombinasi penggunaan lahan sesuai pola ruang dan kelas kemampuan lahan tidak sesuai dengan status kawasan hutan (Tabel 10). Pada kuadran K4.1 penggunaan lahan didominasi perkebunan di kelas kemampuan lahan Ve seluas Ha. Penggunaan lahan pada kuadran K4.2 didominasi oleh kebun campuran di kelas kemampuan lahan VIIe seluas Ha. Gambar 16 Sebaran lahan kritis pada kuadran IV. Kombinasi penggunaan lahan sesuai dengan pola ruang dan kelas kemampuan lahan tidak sesuai status kawasan hutan pada kuadran IV, menunjukkan adanya sebaran lahan potensial kritis seluas Ha dan kategori kritis seluas Ha. Penggunaan lahan pada lahan kategori potensial kritis berupa tegalan, perkebunan, tanah terbuka yang dalam pengalokasian RTRW berupa kawasan budidaya, berada dikawasan APL, dan kelas kemampuan lahan V. Kategori agak kritis dengan penggunaan lahan berupa sawah di pola ruang budidaya, berada dikawasan APL namun kelas kemampuan lahan V. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), kelas kemampuan lahan V hanya cocok untuk rumput atau pepohonan. Hasil analisis jumlah poligon kategori potensial kritis di kuadran IV berjumlah poligon dari poligon total yang mempunyai pola sebaran cenderung mengelompok, dengan sebaran mendominasi Kecamatan Kikim Barat, Tengah, Selatan, dan Kecamatan Suka Merindu. Lahan dikatakan tidak kritis pada kuadran IV yaitu penggunaan lahan berupa hutan dipola ruang lindung. Kategori kritis pada kuadran IV yaitu penggunaan lahan didominasi kebun campuran, perkebunan, dan pemukiman yang berada di pola ruang budidaya, dengan kelas kemampuan lahan VI-VII di

42 30 peruntukan kawasan budidaya. Hal tersebut dapat menyebabkan berkurangnya tutupan lahan dan penggunaan lahan yang intensif tidak sesuai daya dukung fisik lingkungan sehingga lahan dikategorikan kritis. Kategori sangat kritis didominasi kegiatan pertanian seperti sawah, tegalan, kebun campuran, distribusi dalam RTRW berupa kawasan budidaya, di kelas kemampuan lahan VI-VIII berada di kawasan APL (Gambar 16). Kekritisan lahan ditentukan oleh interaksi antar komponen lahan, baik yang berlangsung secara alamiah maupun yang berlangsung di bawah pengaruh tindakan manusia (Notohadiprawiro 2006). Pada Tabel 10 dapat kita ketahui bahwa adanya bentuk inkonsistensi berupa penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan arahan dalam penataan ruang RTRW, kelas kemampuan lahan tidak sesuai dengan status kawasan hutan, dan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kelas kemampuan lahan yaitu terbentuknya lahan kritis dan terjadi penambahan luasan pada kategori sangat kritis. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan secara fisik, kimia, dan biologis yang berakibat membahayakan fungsi hidrologis, sosialekonomi, produksi pertanian ataupun bagi permukiman. Upaya Mengurangi Laju Lahan Kritis Menurut Arsyad (2000), konservasi tanah untuk menanggulangi lahan kritis diartikan sebagai penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Tabel 11 merupakan kategori lahan kritis dan upaya penanggulanganya. Tabel 11 Lahan kritis dan upaya penanggulangannya. Lahan kritis Kuadran 1 a) Potensial kritis b) Agak kritis c) Kritis d) Sangat kritis Kuadran II a) Potensial kritis b) Agak kritis c) Kritis d) Sangat kritis Luas (Ha)/ Pola ruang/ status kawasan/ penggunaan lahan/ kemampuan lahan a) Ha/ budidaya/ APL/ tegalan, pemukiman/ IVe-Ve b) Ha/ budidaya/ APL/ sawah/ IVe,s c) 413 Ha/ budidaya/ HL,SM/ kebun campuran/ Ve,VIIIe d) 204 Ha/ budidaya/ HL,SM/ sawah/ VIIe- VIIIe a) Ha/ budidaya/ APL,HP, HPT/ tanah terbuka/ II-Ve b) 94 Ha/ lindung, budidaya/ APL,TWA/sawah, tegalan/ IIIe-Ve c) Ha/ lindung, budidaya/ APL,HL,SM/ kebun campuran/ IVe- VIIIe d) Ha/ lindung, budidaya/ TWA,HL,SM/ semak belukar,tanah terbuka, sawah/ VIe-VIIIe Upaya Perlunya peningkatan produktivitas lahan pada kawasan budidaya dan pengamanan pada kawasan lindung. a) Rehabilitasi lahan sesuai status kawasan, perkebunan berupa tanaman ekstraktif, biopori, pemulsaan, tanaman lorong, strip rumput, guludan. b) Agroforestry, alih status kawasan menjadi kawasan budidaya, perkebunan berupa tanaman ekstraktif, biopori, pemulsaan, tanaman lorong, strip rumput, guludan. c) Rehabilitasi lahan sesuai status kawasan, guludan, pemulsaan, tanaman lorong, strip rumput. d) Rehabilitasi dan alih status menjadi kawasan lindung.

43 31 Lahan kritis Kuadran III a) Potensial kritis b) Agak kritis c) Kritis d) Sangat kritis Kuadran IV a) Potensial kritis b) Agak kritis c) Kritis d) Sangat kritis Luas (Ha)/ Pola ruang/ status kawasan/ penggunaan lahan/ kemampuan lahan a) 81 Ha/ lindung, budidaya/ APL,TWA,HL,SM/ semak belukar,tanah terbuka/ Ve b) Ha/ lindung, budidaya/ TWA,HL/ semak belukar, sawah, tegalan/ IVe-VIIe c) Ha/ lindung, budidaya/ APL,HL/ kebun campuran, pemukiman, hutan sekunder/ IVe-VIIIe. d) Ha/ lindung, budidaya/ APL, HP/ semak belukar, tanah terbuka/ VIe-VIIIe a) Ha/ budidaya/ APL/ perkebunan, pemukiman, tegalan/ Ve b) Ha/ budidaya/ APL,HL/ tegalan, sawah/ IVe-Ve,w c) Ha/ lindung, budidaya/ TWA,HL/ kebun campuran, pemukiman, perkebunan, hutan sekunder/ IVe-VIIIe d) Ha/ lindung, budidaya/ APL,HPT,SM,HL/ kebun campuran,sawah, tegalan,semak belukar/ VIe-VIIIe. Upaya a) Rehabilitasi sesuai status kawasan, biopori, pemulsaan. b) Rehabilitasi sesuai status kawasan, biopori, pemulsaan, tanaman lorong, strip rumput, guludan. c) Rehabilitasi lahan sesuai dan status kawasan, biopori, pemulsaan, tanaman lorong, strip rumput, guludan. d) Rehabilitasi dan alih status kawasan menjadi lindung. a) Agroforestry, relokasi atau mitigasi pada pemukiman, biopori, pemulsaan. b) Perkebunan berupa tanaman ekstraktif, pemulsaan, biopori, guludan. c) Rehabilitasi lahan sesuai status kawasan, pemulsaan, tanaman lorong, strip rumput, guludan. d) Rehabilitasi dan alih status kawasan menjadi lindung. KESIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil analisis lahan kritis kriteria Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB dapat diketahui bahwa tingkat kekritisan lahan di Kabupaten Lahat ada lima kategori yaitu tidak kritis, potensial kritis, agak kritis, kritis, dan sangat kritis. Kategori kritis mempunyai luas Ha mendominasi kawasan areal penggunaan lain (APL) yang tersebar di 15 kecamatan, mendominasi Kecamatan Jarai, Muara Payang, dan Tanjung Sakti Pumu. Kategori sangat kritis tersebar di 19 kecamatan mendominasi Kecamatan Pagar Gunung dan Merapi Selatan, dengan luas Ha di kawasan APL peruntukan budidaya. Lahan kritis tersebut terbentuk akibat penggunaan lahan yang melebihi kapasitas atau daya dukung fisik lahan, tidak sesuai dengan arahan dalam penataan ruang RTRW, maupun status kawasan hutan. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi laju lahan kritis antara lain: perlunya peningkatan produktivitas lahan pada kawasan budidaya dan pengamanan pada kawasan lindung, rehabilitasi lahan sesuai dengan status kawasan, alih status kawasan sesuai peruntukan, dan relokasi pemukiman yang berada di kawasan pertanian.

44 32 Saran Perlu penggabungan kriteria lahan kritis Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup dengan parameter (status kawasan hutan, RTRW, kelas kemampuan lahan, penggunaan lahan, produktifitas, dan manajemen) untuk perbaikan atau penyempurnaan penyusunan kriteria lahan kritis agar diterima semua pihak dan hasil analisis lahan kritis sesuai dengan penggunaan lahan aktual. DAFTAR PUSTAKA Arsyad S Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID): IPB Pr. Arsyad S Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID): IPB Pr. Arsyad S Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID): IPB Pr. Barus B, Wiradisastra US Sistem Informasi Geografis : Sarana Manajemen Sumberdaya Alam. Bogor (ID): Labolatorium Penginderaan Jauh dan Kartografi Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB. [BKPRN] Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional Menata Kawasan Hutan dan Mempertahankan Lahan Pertanian. Jakarta (ID): Sekretariat Tim Pelaksana BKPRN. [BPS] Badan Pusat Statistik Lahat dalam angka. Lahat (ID): Perda. Danudoro P Sains Informasi Geografis : Dari Pengelolaan dan Analisis Citra Hingga Pemetaan dan Pemodelan Spasial. Yogyakarta (ID): Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh Fakultas Geografi UGM. [Dephut] Departemen Kehutanan Buku Utama Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) di 29 DAS Prioritas Tahun Jakarta (ID): Dephut. [Dephut] Departemen Kehutanan Peraturan Direktur Jenderal RLPS tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis. Jakarta (ID): Dirjen RLPS. Fitzsimons J, Pearson C, Lawson C, and Hill M Evaluation of land use planning in greenbelts based on intrinsic characteristics and stakeholder values. Landscape and Urban Planning. 106(10): Hardjowigeno S, Widiatmaka Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Lahan. Yogyakarta (ID): Gadjah mada University Pr. [Kemenhut] Kementerian Kehutanan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.32/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTkRHL-DAS). Jakarta (ID): Biro Peraturan Perundang-Undangan I. Kementerian Lingkungan Hidup, Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB Report Penyusunan Lahan Kritis. Jakarta. [KLH] Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun Tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah. Jakarta (ID): KLH.

45 Klingebiel AA, Montgomery PM Land Capability Classification. USDA- SCS (US): Agric Handbook. Nagasawa R Agricultural Land Use and Crops Classification Using Leaf Water Content Index (LWCI) : A Case Study in Thailand. Proceedings of The ICALRD JIRCAS Workshop On Enhancement of Remote Sensing and GIS Technology for Sustainable Utilization of Agricultural Resources in Indonesia; 2008 June 25; Bogor, Indonesia: hlm Notohadiprawiro T Lahan Kritis dan Bincangan Pelestarian Lingkungan Hidup, Seminar Nasional Penanganan Lahan Kritis di Indonesia Yogyakarta (ID): Repro Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada. Pemerintah Republik Indonesia Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Jakarta (ID): Sekretariat Negara. Pemerintah Republik Indonesia Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta (ID): Sekretariat Negara. [Perda] Peraturan Daerah Kabupaten Lahat Peraturan Daerah Kabupaten Lahat Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lahat Tahun Lahat (ID): Perda. Pigram P Outdoor Recreation and Resource Management. New York (ID): St. Martin s Pr. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR Diktat Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Bogor (ID): Fakultas Pertanian IPB. Rustiadi E, Barus B, Prastowo, dan Iman LS Kajian Daya Dukung Lingkungan Hidup Provinsi Aceh. Jakarta (ID): Crestpent Pr. Santoso E Analisis perubahan penggunaan lahan dan potensi lahan kritis di Kabupaten Kulon Progo Daerah Istemewa Yogyakarta [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sastrowihardjo M, Napitupulu H Kebijakan Pertanahan dan Pembangunan. Jakarta (ID): Pusdiklat BPN. Sys C, Van Rast E, Debaveje J Land evaluation part II. Methods in land evaluation. Agric. Pub. No.7. Genaral Administration for Development Coorperation. Brussels, Belgium. hlm

46 34 Lampiran 1 Pengecekan lapang. LAMPIRAN No sampel = 10 X= ,5 Y = Keterangan lapang Administrasi Kec. Lahat Desa Pasar Bawah Status kawasan APL APL hutan Pola ruang Budidaya Budidaya Pemukiman Pemukiman (BPkm) (BPkm) Kelas kemampuan lahan 5e (lereng datarlandai) 5e (lereng datarlandai) Penggunaan Pemukiman Pemukiman lahan Kekritisan lahan Agak Kritis Kemenhut 2011 Kekritisan lahan Potensial Kritis Analisis Survey lapangan Agak Kritis Deskripsi Desa pasar bawah merupakan desa lapangan yang terletak di pinggir sungai lematang, penggunaan lahan pemukiman, mayoritas penduduknya bekerja di tambang galian C dengan tingkat sedimentasi yang tinggi. No sampel = 11 X= ,1 Y = Keterangan lapang Administrasi Kec. Merapi Desa Payo Barat Status kawasan APL APL hutan Pola ruang Budidaya Budidaya Perkebunan Perkebunan (BKbn) (BKbn) Kelas kemampuan lahan 5e (lereng datarlandai) 5e (lereng datarlandai) Penggunaan Kebun Kebun campuran, lahan campuran kebun karet. Kekritisan lahan Kritis Kemenhut 2011 Kekritisan lahan Tidak Kritis Analisis Survey lapangan Tidak Kritis Deskripsi lapangan Desa Payo merupakan desa yang terletak di pinggir sungai lematang, penggunaan lahan perkebunan dan kebun campuran, mayoritas penduduknya bekerja di tambang galian C. No sampel = 12 X= ,2 Y = ,5 Keterangan lapang Administrasi Kec. Merapi Desa Karang Barat Endah Status kawasan APL APL Gambar Gambar Gambar

47 35 hutan Pola ruang Budidaya Lahan kering (BLk) Kelas kemampuan lahan Penggunaan lahan Kekritisan lahan Kemenhut 2011 Kekritisan lahan Analisis Survey lapangan Deskripsi lapangan 5e (lereng datarlandai) Tegalan Kritis Potensial Kritis Budidaya Lahan kering (BLk) 5e (lereng datarlandai) Pemukiman, tegalan Potensial Kritis Desa Karang Endah merupakan salah satu desa yang terletak di pinggir sungai lematang, penggunaan lahan pemukiman, Tegalan, kebun campuran. No sampel = 14 X= ,8 Y = ,8 Keterangan lapang Administrasi Kec. Lahat Desa Pagar Agung Status kawasan APL APL hutan Pola ruang Budidaya Budidaya Pemukiman Pemukiman (BPkm) (BPkm) Kelas kemampuan lahan Penggunaan lahan Kekritisan lahan Kemenhut 2011 Kekritisan lahan Analisis Survey lapangan Deskripsi lapangan 7e (lereng curam-sangat curam) Tegalan Kritis Sangat Kritis 7e (lereng curamsangat curam) pemukiman, kebun karet, semak belukar Sangat Kritis Pada Desa Pagar Agung, penggunaan lahan didominasi oleh pemukiman dan perkebunan karet, dengan tingkat erosi yang tinggi. Gambar No sampel = 04 Y = ,3 X= ,6 Administrasi Kec. Pulau Pinang Status kawasan APL hutan Pola ruang Budidaya Perkebunan (BKbn) Kelas 6e (lereng agak kemampuan curambergunung) lahan Keterangan lapang Desa Kedaton APL Budidaya Perkebunan (BKbn) 6e (lereng agak curam-bergunung) Gambar

48 36 Penggunaan lahan Kekritisan lahan Kemenhut 2011 Kekritisan lahan Analisis Survey lapangan Deskripsi lapangan Semak belukar Kebun campuran, kebun karet. Kritis Agak Kritis Kritis Pada Desa Kedaton penggunaan lahan didominasi oleh kebun campuran dan perkebunan karet. No sampel = 05 X= ,6 Y = ,4 Keterangan lapang Administrasi Kec. Pulau Pinang Desa Talang Sawah Status kawasan APL APL hutan Pola ruang Budidaya Lahan Budidaya Lahan kering (BLk) kering (BLk) Kelas kemampuan lahan Penggunaan lahan Kekritisan lahan Kemenhut 2011 Kekritisan lahan Analisis Survey lapangan Deskripsi lapangan 7e (lereng curamsangat curam) Semak Belukar Kritis Tidak Kritis 7e (lereng curamsangat curam) Pemukiman, semak belukar, Perkebunan Kritis Pada desa Talang Sawah penggunaan lahan didominasi oleh perkebunan karet dan sawit, pemukiman, dan semak belukar. Gambar No sampel = 13 X= ,4 Y = ,7 Keterangan lapang Administrasi Kec. Lahat Perumnas Tebing Sage Status kawasan APL APL hutan Pola ruang Budidaya Budidaya Pemukiman Pemukiman (BPkm) (BPkm) Kelas kemampuan lahan Penggunaan lahan Kekritisan lahan Kemenhut 2011 Kekritisan lahan Analisis Survey lapangan 3e (lereng agak miring-berbukit) Tegalan Kritis Tidak Kritis Tidak Kritis 3e (lereng agak miring-berbukit) Pemukiman, semak belukar Gambar

49 37 Deskripsi lapangan Pada perumnas tebing sage penggunaan lahan didominasi pemukimn, dan semak belukar. No sampel = 02 X= ,3 Y = ,1 Keterangan lapang Administrasi Kec. Lahat Desa Pagar Agung Status kawasan APL APL hutan Pola ruang Budidaya perkebunan Perkebunan (BKbn) Kelas 7e (lereng 7e (lereng curamsangat kemampuan curam-sangat curam) lahan curam) Penggunaan Hutan Sekunder Pemukiman, lahan perkebunan Kekritisan lahan Kritis Kemenhut 2011 Kekritisan lahan Tidak Kritis Analisis Survey lapangan Kritis Deskripsi Pada Desa Pagar Agung penggunaan lapangan lahan didominasi perkebunan dan pemukiman. Gambar No sampel = 06 X= ,7 Y = ,1 Keterangan lapang Administrasi Kec. Lahat Desa Keban Status kawasan APL APL hutan Pola ruang Budidaya Lahan Perkebunan karet kering (BLk) Kelas kemampuan lahan Penggunaan lahan Kekritisan lahan Kemenhut 2011 Kekritisan lahan Analisis Survey lapangan Deskripsi lapangan 4e (lereng agak miring-berbukit) Tegalan Kritis Tidak Kritis 4e (lereng agak miring-berbukit) Pemukiman, perkebunan karet Kritis Pada Desa Keban penggunaan lahan didominasi perkebunan karet dan pemukiman. Gambar No sampel = 08 Y = ,0 X= ,9 Administrasi Kec. Merapi Barat Keterangan lapang Desa Sukasari Gambar

50 38 Status kawasan hutan Pola ruang Kelas kemampuan lahan Penggunaan lahan Kekritisan lahan Kemenhut 2011 Kekritisan lahan Analisis Survey lapangan Deskripsi lapangan APL Budidaya Hutan Produksi (BHP) 3e (lereng agak miring-berbukit) APL Perkebunan 3e (lereng agak miring-berbukit) Tanah Terbuka Perkebunan karet, semak belukar Kritis Agak Kritis Tidak Kritis Pada Desa Sukasari penggunaan lahan didominasi perkebunan karet, semak belukar, dan pemukiman. No sampel = 02 X= ,9 Y = ,2 Keterangan lapang Administrasi Kec. Lahat Desa Keban Status kawasan APL APL hutan Pola ruang Budidaya Perkebunan Perkebunan (BKbn) Kelas 3e (lereng agak kemampuan miring-berbukit) lahan Penggunaan lahan Kekritisan lahan Kemenhut 2011 Kekritisan lahan Analisis Survey lapangan Deskripsi lapangan Pemukiman Kritis Tidak Kritis 3e (lereng agak miring-berbukit) Pemukiman, perkebunan Tidak Kritis Pada Desa Keban penggunaan lahan didominasi perkebunan dan pemukiman. Gambar Lampiran 2 Kegiatan wawancara yang dilakukan dalam pengecekan lapang. a b Gambar Kegiatan wawancara yang dilakukan a) wawancara di Departemen Konservasi Sumberdaya Alam (KSDA). b) wawancara dilakukan di Kantor Kelurahan Pasar Bawah.

Sebaran Lahan Kritis dalam Kaitannya dengan Daya Dukung Fisik dan Penataan Ruang Di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan

Sebaran Lahan Kritis dalam Kaitannya dengan Daya Dukung Fisik dan Penataan Ruang Di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan Sebaran Lahan Kritis dalam Kaitannya dengan Daya Dukung Fisik dan Penataan Ruang Di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan The Distribution of Critical Land in Relation to Physical Carrying Capacity of the

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

V. EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK PERTANIAN DI HULU DAS JENEBERANG

V. EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK PERTANIAN DI HULU DAS JENEBERANG 57 V. EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK PERTANIAN DI HULU DAS JENEBERANG 5.1. Pendahuluan Pemenuhan kebutuhan manusia untuk kehidupannya dapat dilakukan antara lain dengan memanfaatkan lahan untuk usaha pertanian.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kemampuan Lahan

TINJAUAN PUSTAKA Kemampuan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kemampuan Lahan Klasifikasi kemampuan (kapabilitas) lahan merupakan klasifikasi potensi lahan untuk penggunaan berbagai sistem pertanian secara umum tanpa menjelaskan peruntukkan

Lebih terperinci

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA Asmirawati Staf Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kabupaten Bulukumba asmira_st@gmail.com ABSTRAK Peningkatan kebutuhan lahan perkotaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN oleh: Ruhyat Hardansyah (Kasubbid Hutan dan Hasil Hutan pada Bidang Inventarisasi DDDT SDA dan LH) Kawasan Hutan Hutan setidaknya memiliki

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Menurut Rustiadi et al. (2009) ruang terdiri dari lahan dan atmosfer. Lahan dapat dibedakan lagi menjadi tanah dan tata air. Ruang merupakan bagian dari alam yang

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

Evaluasi Lahan. proses perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Evaluasi lahan

Evaluasi Lahan. proses perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Evaluasi lahan Evaluasi Lahan Evaluasi lahan merupakan salah satu komponen yang penting dalam proses perencanaan penggunaan lahan (land use planning). Evaluasi lahan merupakan proses penilaian atau keragaab lahan jika

Lebih terperinci

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang TEMU ILMIAH IPLBI 2015 Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang Studi Kasus: Kota Manado Ingerid L. Moniaga (1), Esli D. Takumansang (2) (1) Laboratorium Bentang Alam, Arsitektur

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat yang masih memiliki nilai-nilai dan kultur tradisional. Sejak jaman dahulu, mereka tidak hanya

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 34/Menhut -II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lahan dapat disebutkan sebagai berikut : manusia baik yang sudah ataupun belum dikelola.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lahan dapat disebutkan sebagai berikut : manusia baik yang sudah ataupun belum dikelola. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Lahan 1. Pengertian Pengertian lahan meliputi seluruh kondisi lingkungan, dan tanah merupakan salah satu bagiannya. Menurut Ritohardoyo, Su (2013) makna lahan dapat disebutkan

Lebih terperinci

POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK

POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK 1 POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi DAS Deli berdasarkan evaluasi kemampuan

Lebih terperinci

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati 1 Konservasi Lingkungan Lely Riawati 2 Dasar Hukum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber

Lebih terperinci

PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU

PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU SKRIPSI OLEH: BASA ERIKA LIMBONG 061201013/ MANAJEMEN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.326, 2015 KEHUTANAN. Hutan. Kawasan. Tata Cara. Pencabutan (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5794). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai ketentuan

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat

TINJAUAN PUSTAKA. fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat 4 TINJAUAN PUSTAKA Pendekatan Agroekologi Agroekologi adalah pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang hampir sama dimana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak

Lebih terperinci

SUMBER DAYA HABIS TERPAKAI YANG DAPAT DIPERBAHARUI. Pertemuan ke 2

SUMBER DAYA HABIS TERPAKAI YANG DAPAT DIPERBAHARUI. Pertemuan ke 2 SUMBER DAYA HABIS TERPAKAI YANG DAPAT DIPERBAHARUI Pertemuan ke 2 Sumber daya habis terpakai yang dapat diperbaharui: memiliki titik kritis Ikan Hutan Tanah http://teknologi.news.viva.co.id/news/read/148111-

Lebih terperinci

PENGELOLAAN DAS TERPADU

PENGELOLAAN DAS TERPADU PENGELOLAAN DAS TERPADU PENGELOLAAN DAS 1. Perencanaan 2. Pelaksanaan 3. Monitoring dan Evaluasi 4. Pembinaan dan Pengawasan 5. Pelaporan PERENCANAAN a. Inventarisasi DAS 1) Proses penetapan batas DAS

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pendekatan

METODE PENELITIAN Kerangka Pendekatan 27 METODE PENELITIAN Kerangka Pendekatan Pertumbuhan penduduk dan peningkatan aktivitas ekonomi yang terjadi pada tiap waktu membutuhkan peningkatan kebutuhan akan ruang. Di sisi lain luas ruang sifatnya

Lebih terperinci

ABSTRACT PREDICTION EROSION, LAND CAPABILITY CLASSIFICATION AND PROPOSED LAND USE IN BATURITI DISTRICT, TABANAN REGENCY, BALI PROVINCE.

ABSTRACT PREDICTION EROSION, LAND CAPABILITY CLASSIFICATION AND PROPOSED LAND USE IN BATURITI DISTRICT, TABANAN REGENCY, BALI PROVINCE. ABSTRACT PREDICTION EROSION, LAND CAPABILITY CLASSIFICATION AND PROPOSED LAND USE IN BATURITI DISTRICT, TABANAN REGENCY, BALI PROVINCE. Land resource damage caused by the land conversion and land use without

Lebih terperinci

KONSEP EVALUASI LAHAN

KONSEP EVALUASI LAHAN EVALUASI LAHAN KONSEP EVALUASI LAHAN Evaluasi lahan adalah suatu proses penilaian sumber daya lahan untuk tujuan tertentu dengan menggunakan suatu pendekatan atau cara yang sudah teruji. Hasil evaluasi

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI BERBASIS LAND USE DAN LAND SLOPE DI SUB DAS KRUENG SIMPO

PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI BERBASIS LAND USE DAN LAND SLOPE DI SUB DAS KRUENG SIMPO PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI BERBASIS LAND USE DAN LAND SLOPE DI SUB DAS KRUENG SIMPO Rini Fitri Dosen pada Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Almuslim ABSTRAK Lahan kering di

Lebih terperinci

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Sabua Vol.6, No.2: 215-222, Agustus 2014 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Arifin Kamil 1, Hanny Poli, 2 & Hendriek H. Karongkong

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 KATA PENGANTAR Assalaamu alaikum Wr. Wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Buku

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penggunaan/Penutupan Lahan Aktual Jabodetabek Tahun 2010 Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa terdapat 11 tipe penggunaan/penutupan lahan wilayah Jabodetabek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang yang dibutuhkan manusia, dengan cara budidaya usaha tani. Namun pertumbuhan manusia dan

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah DAS Biru yang mencakup Kecamatan Bulukerto dan Kecamatan Purwantoro berdasarkan peraturan daerah wonogiri termasuk dalam kawasan lindung, selain itu DAS Biru

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN PENANAMAN BAGI PEMEGANG IZIN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN DALAM RANGKA REHABILITASI DAERAH ALIRAN SUNGAI Menimbang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah harus dipandang sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya ruang agar sesuai dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (UU No.5 Tahun 1960). Penataan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undangundang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang perlu

Lebih terperinci

SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2004 TENTANG PENETAPAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2004 TENTANG PENETAPAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 30 APRIL 2004 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK 01 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2004 TENTANG PENETAPAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan ekosistem alami yang sangat kompleks dan juga merupakan salah satu gudang plasma nutfah tumbuhan karena memiliki berbagai spesies tumbuhan. Selain itu,

Lebih terperinci

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011 IPB International Convention Center, Bogor, 12 13 September 2011 Kerangka Latar Belakang Masalah PERTUMBUHAN EKONOMI PERKEMBANGAN KOTA PENINGKATAN KEBUTUHAN LAHAN KOTA LUAS LAHAN KOTA TERBATAS PERTUMBUHAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah wilayah dengan topogafi yang dibatasi oleh punggung-punggung bukit tempat tangkapan air hujan yang akan dialirkan melalui anak-anak sungai

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berbasis Masyarakat untuk Hutan Aceh Berkelanjutan Banda Aceh, 19 Maret 2013

Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berbasis Masyarakat untuk Hutan Aceh Berkelanjutan Banda Aceh, 19 Maret 2013 ANALISIS SPASIAL ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN KEKRITISAN LAHAN SUB DAS KRUENG JREUE Siti Mechram dan Dewi Sri Jayanti Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya

Lebih terperinci

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau ABSTRAK Sejalan dengan peningkatan kebutuhan penduduk, maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian dan perkebunan juga meningkat. Lahan yang dulunya

Lebih terperinci

Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan

Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan 3 Nilai Tanah : a. Ricardian Rent (mencakup sifat kualitas dr tanah) b. Locational Rent (mencakup lokasi relatif dr tanah) c. Environmental Rent (mencakup sifat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

LOGO Potens i Guna Lahan

LOGO Potens i Guna Lahan LOGO Potensi Guna Lahan AY 11 Contents 1 Land Capability 2 Land Suitability 3 4 Ukuran Guna Lahan Pengantar Proses Perencanaan Guna Lahan Land Capability Pemanfaatan Suatu lahan untuk suatu peruntukan

Lebih terperinci

DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH

DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH Lampiran II. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : Tanggal : DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH Tabel-1. Lindung Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologis di Sub Daerah Aliran Ci Karo, maka penulis dapat menarik

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Kebutuhan tersebut terkait untuk pemenuhan kebutuhan hidup

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Kebutuhan tersebut terkait untuk pemenuhan kebutuhan hidup 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan sumberdaya alam terutama air dan tanah oleh masyarakat kian hari kian meningkat sebagai akibat dari laju pertumbuhan penduduk yang tinggi. Kebutuhan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi di kehidupan manusia. Itu terjadi dikarenakan proses alam dan tatanan

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi di kehidupan manusia. Itu terjadi dikarenakan proses alam dan tatanan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana merupakan suatu kejadian dan fenomena baik alam non alam dan sosial yang terjadi di kehidupan manusia. Itu terjadi dikarenakan proses alam dan tatanan kehidupan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi lahan kering untuk menunjang pembangunan pertanian di Indonesia sangat besar yaitu 148 juta ha (78%) dari total luas daratan Indonesia sebesar 188,20 juta ha

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa yang tidak terhingga nilainya bagi seluruh umat manusia. Sebagai anugerah, hutan mempunyai nilai filosofi yang

Lebih terperinci

Edisi 1 No. 1, Jan Mar 2014, p Resensi Buku

Edisi 1 No. 1, Jan Mar 2014, p Resensi Buku Resensi Buku Edisi 1 No. 1, Jan Mar 2014, p.33-38 Judul Buku: : Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) Tahun 2011-2030 Penyunting Akhir : Ir. Basoeki Karyaatmadja, M.Sc., Ir. Kustanta Budi Prihatno,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.48/Menhut-II/2013 TENTANG PEDOMAN REKLAMASI HUTAN PADA AREAL BENCANA ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.48/Menhut-II/2013 TENTANG PEDOMAN REKLAMASI HUTAN PADA AREAL BENCANA ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.48/Menhut-II/2013 TENTANG PEDOMAN REKLAMASI HUTAN PADA AREAL BENCANA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

Gambar 2. Lokasi Studi

Gambar 2. Lokasi Studi 17 III. METODOLOGI 3.1. Lokasi Studi Studi ini berlokasi di Kawasan Sungai Kelayan di Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan. Sungai Kelayan terletak di Kecamatan Banjarmasin Selatan (Gambar 2).

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Sumberdaya lahan merupakan suatu sumberdaya alam yang sangat penting bagi mahluk hidup, dengan tanah yang menduduki lapisan atas permukaan bumi yang tersusun

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTANG Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG KAWASAN BANDUNG UTARA DI WILAYAH KABUPATEN BANDUNG DAN KABUPATEN BANDUNG

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian, pemukiman, penggembalaan serta berbagai usaha lainnya

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian, pemukiman, penggembalaan serta berbagai usaha lainnya BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan lahan semakin meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk Indonesia. Peningkatan kebutuhan akan lahan akan digunakan untuk kegiatan pertanian, pemukiman,

Lebih terperinci

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu BAB I PENDAHULUAN Pembangunan pertanian merupakan bagian integral daripada pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur (Ditjen Tanaman Pangan, 1989). Agar pelaksanaan

Lebih terperinci

TATA GUNA LAHAN DAN PERTUMBUHAN KAWASAN

TATA GUNA LAHAN DAN PERTUMBUHAN KAWASAN TATA GUNA LAHAN DAN PERTUMBUHAN KAWASAN Pengantar Perencanaan Wilayah dan Kota Johannes Parlindungan Disampaikan dalam Mata Kuliah Pengantar PWK Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, arti hutan dirumuskan sebagai Suatu lapangan tetumbuhan pohon-pohonan yang secara keseluruhan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan Lahan Aktual Berdasarkan hasil interpretasi citra satelit Landsat ETM 7+ tahun 2009, di Kabupaten Garut terdapat sembilan jenis pemanfaatan lahan aktual. Pemanfaatan lahan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.14/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG TATA CARA INVENTARISASI DAN PENETAPAN FUNGSI EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1127, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Reklamasi Hutan. Areal Bencana. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.48/Menhut-II/2013 TENTANG PEDOMAN REKLAMASI

Lebih terperinci

Analisis DAS Sambong Dengan Menggunakan Aplikasi GIS

Analisis DAS Sambong Dengan Menggunakan Aplikasi GIS Analisis DAS Sambong Dengan Menggunakan Aplikasi GIS 1) Moh Arif Bakhtiar E 1) Dosen Fakultas Teknik Universitas MerdekaMadiun Abstract Watershed management becomes an important effort for development

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2012 yang

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO

ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO Sabua Vol.7, No.1: 383 388, Maret 2015 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO Verry Lahamendu Staf Pengajar JurusanArsitektur,

Lebih terperinci

METODOLOGI. dilakukan di DAS Asahan Kabupaen Asahan, propinsi Sumatera Utara. Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

METODOLOGI. dilakukan di DAS Asahan Kabupaen Asahan, propinsi Sumatera Utara. Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Inventarisasi Hutan Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian dan penelitian lapangan dilakukan di DAS Asahan Kabupaen Asahan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan banyak digunakan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, selain itu lahan

Lebih terperinci

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Jurnal Reka Buana Volume 1 No 2, Maret-Agustus 2015 9 ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Galih Damar Pandulu PS. Teknik Sipil, Fak. Teknik, Universitas

Lebih terperinci

Karakteristik Tanah / Lahan Kritis dalam Perspektif Penataan Ruang

Karakteristik Tanah / Lahan Kritis dalam Perspektif Penataan Ruang Karakteristik Tanah / Lahan Kritis dalam Perspektif Penataan Ruang Oleh: Dr Baba Barus Ketua PS S2 Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan, IPB Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara Opini Masyarakat Terhadap Fungsi Hutan di Hulu DAS Kelara OPINI MASYARAKAT TERHADAP FUNGSI HUTAN DI HULU DAS KELARA Oleh: Balai Penelitian Kehutanan Makassar, Jl. Perintis Kemerdekaan Km.16 Makassar, 90243,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR P.12/MENLHK-II/2015

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan lingkungan seperti banjir, erosi dan longsor terjadi dimana-mana pada musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau terjadi kekeringan dan kebakaran hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian, kehutanan, perikanan,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Bab IV Undang-undang Nomor

Lebih terperinci