Sebaran Lahan Kritis dalam Kaitannya dengan Daya Dukung Fisik dan Penataan Ruang Di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Sebaran Lahan Kritis dalam Kaitannya dengan Daya Dukung Fisik dan Penataan Ruang Di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan"

Transkripsi

1 Sebaran Lahan Kritis dalam Kaitannya dengan Daya Dukung Fisik dan Penataan Ruang Di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan The Distribution of Critical Land in Relation to Physical Carrying Capacity of the Land and Spatial Planning in Lahat Regency, South Sumatera Riski Ambar Pratiwi1*), Omo Rusdiana 2 dan La Ode Syamsul Iman 3 1 Mahasiswi Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB (Shut) 2 Dosen Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB (Dr Ir MSc) 3 Dosen Departemen Manajemen Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB (Ir MSi) *) Corresponding author: riskiambarp@gmail.com ABSTRAK Pemanfaatan sumberdaya lahan secara optimal sesuai daya dukung lingkungan, berpengaruh terhadap dinamika penggunaan dan penataan peruntukan lahan sesuai fungsinya. Dinamika pemanfaatan lahan yang tidak terkendali dan diatur, serta tidak terkonfirmasinya suatu penggunaan lahan terhadap arahan pemanfaatan yang ditetapkan, berdampak terhadap perubahan biofisik bentang lahan yang cenderung destruktif yang melampaui toleransi batas ambang, sehingga menjadi salah satu pokok permasalahan degradasi sumberdaya lahan. Penurunan kualitas lahan langsung berdampak terhadap penurunan tingkat produktifitas, dan kerusakan lingkungan yang besar sehingga fenomena lahan kritis merupakan indikator penting degradasi sumberdaya lahan. Penelitian ini membahas aspek lahan kritis dalam kaitannya dengan penataan ruang, status kawasan, dan penggunaan lahan, kelas kemampuan lahan di Kabupaten Lahat. Pengolahan data menggunakan metode overlay peta digital. Hasil analisis lahan kritis kriteria Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB menunjukan bahwa tingkat kekritisan lahan di Kabupaten Lahat memiliki lima kategori yaitu tidak kritis, potensial kritis, agak kritis, kritis, dan sangat kritis. Kategori kritis mempunyai luas Ha mendominasi kawasan areal penggunaan lain (APL) yang tersebar di 15 kecamatan, mendominasi Kecamatan Jarai, Muara Payang, dan Tanjung Sakti Pumu. Kategori sangat kritis tersebar di 19 kecamatan mendominasi Kecamatan Pagar Gunung dan Merapi Selatan, dengan luas Ha di kawasan APL peruntukan budidaya. Lahan kritis tersebut merupakan gambaran bentuk inkonsistensi berupa penggunaan lahan yang tidak terkonfirmasi dalam penataan ruang RTRW, kelas kemampuan lahan tidak sesuai dengan status kawasan hutan, dan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kelas kemampuan lahan. Kata kunci: Inkonsistensi lahan, kemampuan lahan, lahan kritis, penggunaan lahan, pola ruang. PENDAHULUAN Pemanfaatan sumberdaya lahan secara optimal sesuai daya dukung lingkungan, berpengaruh terhadap dinamika penggunaan dan penataan peruntukan lahan sesuai fungsinya. Dinamika pemanfaatan lahan yang tidak terkendali dan diatur, serta tidak terkonfirmasinya suatu penggunaan lahan terhadap arahan pemanfaatan yang ditetapkan, berdampak terhadap perubahan biofisik bentang lahan yang cenderung destruktif yang melampaui toleransi batas ambang, sehingga menjadi salah satu pokok permasalahan degradasi sumberdaya lahan.

2 Penurunan kualitas lahan langsung berdampak terhadap penurunan tingkat produktifitas, dan kerusakan lingkungan yang besar sehingga fenomena lahan kritis merupakan indikator penting degradasi sumberdaya lahan. Lahan kritis (Departemen Kehutanan, 2003) adalah lahan yang telah mengalami kerusakan akibat eksploitasi lahan yang menyebabkan hilang/rusaknya atau berkurang fungsi produksi dan pengatur air. Kabupaten Lahat dipilih menjadi lokasi penelitian, sebab Kabupaten Lahat memiliki sumberdaya pertanian, pertambangan, dan penggalian mineral yang potensial. Apabila aktivitas pemanfaatan lahan tidak dilakukan sesuai dengan karakteristik biofisik dan kesesuaian fisik lahan, maka kondisi demikian menimbulkan terbentuknya lahan kritis. Penelitian ini membahas aspek lahan kritis dalam kaitannya dengan penataan ruang, status kawasan, dan penggunaan lahan, kelas kemampuan lahan di Kabupaten Lahat. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Desember 2014 yang terdiri dari kegiatan pengumpulan data sekunder, analisis spasial, dan pengumpulan data di lapangan (ground check). Pengolahan data dan analisis dilakukan di Labolatorium Pengaruh Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB. Pengecekan lapangan dilakukan pada beberapa titik wilayah Kabupaten Lahat. Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi Global Positioning System (GPS), kamera digital, laptop, alat tulis, software pemetaan, Microsoft Word, Microsoft Excel. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain data primer yang diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan berupa aspek fisik. Data sekunder antara lain: peta sebaran lahan kritis Kabupaten Lahat tahun 2011, peta penggunaan lahan tahun 2010, peta jenis tanah, peta sistem lahan Sumatera, peta kelas kemampuan lahan, peta administrasi Kabupaten Lahat, peta topografi, peta RTRW Kabupaten Lahat Tahun Pengolahan Data Digital dan Analisis Data Overlay (Tumpang tindih). Tahap ini dilakukan dengan menggunakan metode overlay peta digital. Pada tahap ini, peta yang satu dioverlay dengan peta yang lain sehingga terbentuk peta baru. Penetapan Kelas Kemampuan Laha. Peta kemampuan lahan merupakan hasil penggabungan peta jenis tanah dan peta land systems. Penentuan peta kemampuan dikategorikan kedalam bentuk kelas dan sub kelas. Faktor pembatas yang terdapat pada masing-masing parameter menentukan lahan yang dianalisis masuk ke kelas dan sub kelas yang mana. Parameter fisik lahan yang dianalisis dari peta sistem lahan dan peta tanah berupa: jenis tanah, permeabilitas, solum tanah, landform, kelerengan, tekstur, dan bahan induk. Kelas kemampuan lahan mencerminkan daya dukung fisik suatu lahan. Kombinasi Faktor-Faktor Pembentuk Lahan Kritis: a) Analisis Kesesuaian Kebijakan Analisis peta kebijakan didapatkan dari hasil overlay peta status kawasan hutan, dan peta pola ruang. Peta kebijakan menggambarkan keselarasan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah. Selaras yaitu kesesuaian kebijakan pemanfaatan ruang antara status kawasan hutan dan pola ruang dalam arahan RTRW, misalnya pada status kawasan

3 hutan berupa hutan lindung di pola ruang hutan lindung. Keputusan tidak selaras yaitu inkonsistensi kebijakan pemanfaatan ruang antara status kawasan hutan dan pola ruang dalam arahan RTRW, misalnya dalam status kawasan hutan berupa hutan lindung dengan pemanfaatan ruang sebagai perkebunan di dalam arahan RTRW. b) Analisis Kesesuaian Pemanfaatan Ruang Penggabungan peta kemampuan dengan peta penggunaan lahan, akan menghasilkan peta kesesuian pemanfaatan ruang. Misalnya kelas kemampuan lahan I-IV penggunaan lahan yang sesuai yaitu pertanian, kelas V-VII cocok untuk rumput dan dihutankan, kelas VIII diperuntukkan sebagai hutan. Analisis kesesuaian dilakukan untuk melihat ketidaksesuaian antara penggunaan lahan terhadap kelas kemampuan lahan. c) Analisis Matriks Kesesuaian Lahan dan Lahan Kritis Kriteria Kementerian Lingkungan Hidup Matriks kesesuaian merupakan kombinasi kawasan hutan dengan pola ruang, kelas kemampuan lahan dengan kawasan hutan, penggunaan lahan dengan pola ruang yang dikelompokkan ke dalam empat kuadran, dan masing-masing kuadran terdiri dari dua kelas (Gambar 1). Selanjutnya dilakukan analisis terbentuknya lahan kritis kriteria KLH bekerjasama dengan P4W IPB menggunakan matriks kesesuaian lahan. Hasil overlay akan diperoleh sebaran lahan kritis, berdasarkan pertimbangan keselarasan kebijakan pemerintah dan daya dukung fisik lingkungan. Kuadran IV (tidak sesuai status kawasan hutan dan sesuai Pola Ruang) K4.1; K4.2 Kuadran III (Tidak sesuai Pola Ruang dan tidak sesuai status kawasan hutan) K3.1; K3.2 Kuadran I (Sesuai Pola Ruang dan sesuai status kawasan hutan) K1.1; K1.2 Kuadran II (Sesuai status kawasan hutan dan tidak sesuai Pola Ruang) K2.1; K2.2 Gambar 1 Matriks kesesuaian lahan Pengecekan lapangan. bertujuan mengamati kondisi aktual penggunaan lahan untuk mendukung validasi dan verifikasi hasil analisis spasial, terutama dalam kaitannya dengan pengkoreksian peta sebaran lahan kritis. Pengambilan sampel dilakukan atas dasar pertimbangan faktor-faktor pembatas dalam pemanfaatan lahan yaitu: tingkat kelerengan lahan. Tahap Analisis Data. Dalam tahap ini, data attribute table dari beberapa peta kombinasi hasil analisis spasial tersebut di-export ke Microsoft Excel, selanjutnya dihitung persentase setiap kombinasi dari poligon. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Analisis Sebaran Lahan Kritis Lahan kritis merupakan lahan yang tidak berfungsi secara baik sebagai media konservasi dan/atau produksi sesuai dengan peruntukannya. Media konservasi adalah untuk melindungi tata air, tanah, dan plasma nutfah. fungsi produksi yaitu sebagai media tumbuh dan berkembang tanaman pertanian, perkebunan, kehutanan, komoditas perikanan, pemukiman, industri, serta pariwisata. Sedangkan untuk peruntukan lahan yang secara

4 legal merujuk pada perencanaan alokasi peruntukan ruang dalam (RTRW) dengan mempetimbangkan daya dukung fisik lahan (KLH dan P4W 2011). Gambar 2 merupakan peta lahan kritis kriteria KLH dan P4W IPB. Gambar 3 Peta lahan kritis kriteria KLH dan P4W IPB Tabel 1 Data kategori lahan kritis di Kabupaten Lahat. Kategori Kementerian Lingkungan Hidup Luas (Ha) % Sangat kritis Kritis Agak kritis Potensial kritis Tidak kritis Total Hasil analisis pada Tabel 1 kriteria KLH dan P4W IPB untuk kategori kritis tersebar di 15 Kecamatan yaitu Gumay Talang dan Ulu, Jarai, Kikim Selatan, Lahat, Kota agung, Muara Payang, Mulak Ulu, Pagar Gunung, Fajar Bulan, Pseksu, Pulau Pinang, Suka Merindu, Tanjung Sakti Pumu dan Pumi, Penggunaan lahan berupa kebun campuran, perkebunan, pemukiman, dan hutan sekunder di kelas kemampuan lahan IV-VIII, di kawasan APL, hutan lindung, dan suaka margasatwa. Kategori sangat kritis tersebar di 19 Kecamatan, dengan penggunaan lahan berupa kebun campuran, sawah, tegalan, semak belukar, dan tanah terbuka di kelas kemampuan lahan VI-VIII yang mendominasi APL. Hasil analisis jumlah poligon pada kategori kritis berjumlah 986 poligon dan sangat kritis berjumlah 1384 poligon dari poligon total, mempunyai kecenderungan pola menyebar. Arsyad (1989) menyatakan bahwa lahan kritis merupakan kondisi lahan yang terjadi karena tidak sesuainya kemampuan lahan dengan penggunaan lahan, sehingga mengakibatkan kerusakan lahan secara fisik, kimia, maupun biologis. 2. Analisis Peta Kebijakan Fungsional Kawasan

5 Alokasi pemanfaatan ruang (pola ruang) merupakan distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan fungsi budidaya (Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007). Menurut UU Nomor 41 tahun 1999 tentang pasal 6 (2) bahwa pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok yaitu fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi. Dalam pemanfaatan dan penggunaan lahan diperlukan suatu perencanaan tataguna lahan sehingga pemanfaatan suatu lahan sesuai dengan peruntukkan dan kapasitasnya (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2007). Adanya inkonsistensi kebijakan fungsional kawasan yang terjadi di Kabupaten Lahat seluas Ha atau 3.61 % dari luas total. Inkonsistensi lahan terbesar yaitu Ha dengan pemanfaatan fungsional kawasan sebagai hutan lindung (HL) di pola ruang APL. Kawasan ini tersebar di Kecamatan Kota Agung, Tanjung Sakti Pumi dan Pumu, Jarai, Merapi Selatan dan Barat, dengan kelas kemampuan lahan III-VIII. Fitzsimons et al. (2012) menyatakan Peraturan mengenai pemanfaatan ruang ditetapkan oleh pemerintah dalam RTRW salah satunya bertujuan untuk melindungi beberapa kawasan yang memiliki fungsi lingkungan, konservasi, dan pertanian. Inkonsistensi lahan berupa HL yang digunakan untuk budidaya perkebunan seluas Ha, dengan kelas kemampuan lahan V, VII, VIII, yang berada di Kecamatan Kota Agung, Tanjung Sakti Pumi dan Pumu, Jarai, Suka Merindu, Merapi Selatan dan Barat. Pemanfaatan lahan hutan yang seharusnya untuk melindungi kelestarian sumberdaya air kemudian digarap menjadi lahan pertanian tanpa memperhatikan azas kesesuaian lahan, dapat merusak tanah dan lingkungan. 3. Analisis Peta Implementasi Pemanfaatan Ruang Klasifikasi kemampuan lahan yaitu penilaian lahan (komponen-komponen lahan) secara sistematik dan pengelompokannya kedalam beberapa kategori berdasarkan atas sifat-sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaannya secara lestari. Penggunaan lahan merupakan setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materiil maupun spiritual (Arsyad 2006). Pigram (1983) menyatakan daya dukung fisik suatu kawasan atau areal merupakan jumlah maksimum penggunaan atau kegiatan yang dapat diakomodasi dalam kawasan atau areal tersebut tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas kawasan tersebut secara fisik. Hasil analisis ketidak sesuaian antara peta kemampuan lahan dan penggunanaan lahan diketahui bahwa 37.51% atau Ha dari luas total terjadi ketidaksesuaian pemanfaatan ruang. Terdapat 32 bentuk ketidaksesuaian pemanfaatan lahan diantaranya yaitu kelas VIIe dengan tutupan lahan yaitu semak belukar seluas Ha dari luasan total. Penggunaan lahan yang sesuai dengan kemampuan lahan akan tetap menjaga kualitas lahan, tetapi ketidaksesuaian penggunaan lahan terhadap kelas kemampuan lahan dapat berdampak kepada penurunan kualitas lahan atau menurunnya kemampuan lahan sampai batas yang diharapkan, seperti terjadinya banjir, kekeringan, erosi yang akhirnya menurunkan prodiktivitas lahan dan kesejahteraan masyarakat yang berujung pada lahan kritis. Tabel 2 Data implementasi pemanfaatan ruang dan lahan kritis kriteria Kementerian Lingkungan Hidup; Pusat pengkajian perencanaan pengembangan wilayah IPB. Landu se (Ha) H Kemampuan lahan IIe IIs IIIe IVe IVs Ve Vs VIe VIIe VIIIe TK:3 TK:2 TK:2 TK:354 TK:60 TK:

6 Hs TK:575 TK:8 610 TK: TK:1 358 TK: TK:218 TK: PK:1 175 Pkb TK:150 TK: TK:6 409 TK:6 773 PK: PK: 6 K:424 Kc TK: 26 TK: 117 TK:4 890 TK: TK: PK: K: SK:7 069 Tg TK:378 TK:3 PK:3 PK:12 PK: SK:160 SK:1 SK: SmB TK:310 TK:4 TK:9 TK:1 TK:13 TK: AK:2 AK:28 SK: Sw TK: TK:93 TK:99 AK:2 AK:57 AK:8 AK: SK:2 SK: 859 SK: Tb PK:117 PK:4 PK:6 PK:2 PK:9 SK:253 SK:2 SK: Sungai TK:113 TK:21 TK:3 TK: TK:56 TK: Pmk TK:2 TK:1 224 PK:42 9 PK:1 765 PK:328 K:56 Keterangan: H: hutan; Hs: hutan sekunder; Pkb: perkebunan; Kc: kebun campuran; Tg: tegalan; SmB: semak belukar; Sw: sawah; Tb: tanah terbuka; Pmk: pemukiman; e: pembatas erosi; s: pembatas solum tanah; w: pembatas drainase; SK: sangat kritis; K: kritis; AK: agak kritis; PK: potensial kritis; TK: tidak kritis. 4. Matriks Kesesuaian Lahan terhadap Sebaran Lahan Kritis Menurut Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN 2012) menyatakan perencanaan ruang tidak semata-mata merupakan aktivitas pembangunan, melainkan juga merupakan upaya pengendalian pemanfaatan ruang. Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009, agar pemanfaatan ruang di suatu wilayah sesuai dengan kapasitas lingkungan hidup dan sumberdaya, alokasi pemanfaatan ruang harus mengindahkan kemampuan lahan. Sejalan dengan pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Lahat, penggunaan lahan saat ini ada yang sesuai dan tidak sesuai pengalokasiannya dalam kelas kemampuan lahan, RTRW maupun status kawasan hutan, berdasarkan matriks kesesuaian dikelompokkan menjadi 8 kelas (Tabel 3). Tabel 3 Matriks kesesuaian lahan dan lahan kritis kriteria Kementerian Lingkungan Hidup; Pusat pengkajian perencanaan pengembangan wilayah IPB. kategori Uraian Luas Lahan kritis (Ha) (Ha) K1.2 penggunaan lahan sesuai dengan pola ruang dan kelas kemampuan lahan sesuai dengan status kawasan hutan (pola ruang tidak sesuai dengan status kawasan hutan) 759 TK: PK: AK: K: 413 K2.1 penggunaan lahan tidak sesuai dengan pola ruang, kelas kemampuan lahan sesuai dengan status kawasan hutan (pola ruang sesuai dengan status kawasan hutan) K2.2 penggunaan lahan tidak sesuai dengan pola ruang, kelas kemampuan lahan sesuai dengan status kawasan hutan (pola ruang tidak sesuai dengan status kawasan hutan) K3.1 kemampuan lahan tidak sesuai dengan status kawasan hutan, penggunaan lahan tidak sesuai dengan pola ruang (pola ruang sesuai dengan status kawasan hutan) K3.2 kemampuan lahan tidak sesuai dengan status kawasan hutan, penggunaan lahan tidak sesuai dengan pola ruang (pola ruang tidak sesuai dengan status kawasan hutan) SK: TK: PK: AK: 94 K: SK: TK: PK: 81 AK: K: SK: K4.1 penggunaan lahan sesuai dengan pola ruang, kelas kemampuan lahan tidak sesuai dengan status kawasan hutan (pola ruang sesuai dengan status kawasan hutan) TK: PK: AK: 8 966

7 kategori Uraian Luas Lahan kritis (Ha) (Ha) K4.2 penggunaan lahan sesuai dengan pola ruang, kelas kemampuan lahan tidak sesuai dengan status kawasan hutan (pola ruang tidak sesuai dengan status kawasan hutan) K: SK: Kuadran I merupakan kondisi ideal karena penggunaan lahan aktual konsisten terhadap pola ruang dalam RTRW dan status kawasan sesuai dengan kelas kemampuan lahan. Kuadara K1.2 merupakan bentuk inkonsistensi antara pola ruang dan status kawasan yang dapat menyebabkan terbentuknya lahan kritis. Pada kuadaran K1.2 adanya bentuk inkonsistensi berupa penggunaan lahan untuk budidaya, yaitu kebun campuran, sawah, tegalan di kawasan hutan lindung dan hutan konservasi ( suaka margasatwa dan taman wisata alam). Pada kuadran I kategori kritis berada di kawasan hutan lindung dan marga satwa dengan kelas kemampuan lahan V dan VIII, diperuntukkan sebagai kawasan budidaya, penggunaan lahan berupa kebun campuran sehingga kawasan ini dikategorikan kritis karena adanya inkonsistensi status kawasan dan pola ruang, serta kertidaksesuaian penggunaan lahan terhadap kemampuan lahan. Kategori kritis tersebar di 9 kecamatan yaitu Jarai, Kikim Selatan, Kota Agung, Muara Payang, Mulak Ulu, Pagar Gunung, Pajar Bulan, Suka Merindu, dan Tanjung Sakti Pumu. Pada kategori sangat kritis mempunyai kelas kemampuan lahan VII-VIII dengan penggunaan lahan berupa sawah di kawasan hutan lindung dan suaka margasatwa, diperuntukkan untuk budidaya menyebabkan lahan ini terdegradasi kuat sehingga masuk kategori sangat kritis. Kategori sangat kritis tersebar di 3 kecamatan yaitu Kecamatan Kota Agung, Muara Payang, dan Tanjung Sakti Pumu Kuadran II merupakan bentuk inkonsisitensi penggunaan lahan dan pola ruang. Pada kuadran K2.1 adanya bentuk inkonsistensi lahan berupa hutan sekunder di kawasan APL, dan kegiatan pertanian (kebun campuran, tegalan, sawah) di hutan lindung dan hutan konservasi. Kuadran K2.2 terjadi inkonsisitensi berupa hutan di pola ruang budidaya. Kategori lahan tidak kritis mendominasi kuadran II. Kategori kritis mendominasi kawasan suaka margasatwa dan hutan lindung diperuntukkan untuk hutan lindung dan hutan suaka alam dikelas kemampuan lahan IV-VIII, dengan penggunaan lahan kebun campuran dapat menyebabkan penurunan fungsi kawasan sehingga dikstegorikan kritis. Kategori kritis tersebar di 11 kecamatan yaitu Jarai, Kikim Selatan, Kota Agung, Muara Payang, Mulak Ulu, Pagar Gunung, Fajar Bulan, Pseksu, Suka Merindu, Tanjung Sakti Pumu dan Pumi. Kategori sangat kritis berada di kawasan hutan lindung, marga satwa dan taman wisata alam dengan kelas kemampuan lahan VI-VIII, diperuntukan sebagai hutan lindung, hutan suaka alam, dan kegiatan budidaya, penggunaan lahan didominasi semak belukar, tanah terbuka dan tegalan menyebabkan lahan ini dikategorikan sangat kritis karena tidak sesuai status kawasan hutan sebagai sistem penyangga kehidupan, dan pengawetan keanekaragaman flora maupun fauna. Kuadran III merupakan bentuk inkonsistensi penggunaan lahan terhadap pola ruang dalam RTRW dan kelas kemampuan lahan terhadap status kawasan hutan. Kuadran K3.1 terjadi inkonsisitensi yaitu: kelas kemampuan diatas V yang berada di kawasan APL, dan penggunaan lahan hutan, hutan sekunder, dan semak belukar di pola ruang budidaya. Kuadran K3.2 terjadi inkonsistensi yaitu: kelas kemampuan diatas V yang berada di kawasan APL, dengan penggunaan lahan berupa kebun campuran dan semak belukar di pola ruang lindung (hutan lindung, dan hutan konservasi). Kategori lahan kritis pada kuadran III didominasi oleh kategori tidak kritis dan agak kritis. Hasil analisis kuadran III diketahui bahwa pada kategori sangat kritis terdapat penggunaan lahan berupa semak belukar, tanah terbuka di pola ruang lindung dan budidaya, dengan kelas kemampuan lahan VII-VIII pada kawasan APL. Kategori kritis

8 dengan penggunaan lahan berupa pemukiman, kebun campuran, hutan sekunder yang berada di pola ruang budidaya dan lindung, namun kelas kemampuan lahan yaitu VI-VIII berada dikawasan APL. Kuadran IV merupakan bentuk tidak sesuai kelas kemampuan lahan dengan status kawasan hutan. Bentuk inkonsisitensi pada kuadran IV yaitu kelas kemampuan lahan di atas V yang berada di kawasan APL. Kelas kemampuan lahan semakin tinggi menunjukkan kualitas lahan yang semakin buruk, artinya resiko kerusakan dan faktor penghambat bertambah dan pilihan penggunaan lahan yang diterapkan semakin terbatas. Penggunaan lahan di kuadran IV pada lahan kategori potensial kritis berupa tegalan, perkebunan, tanah terbuka yang dalam pengalokasian RTRW berupa kawasan budidaya, berada dikawasan APL namun kelas kemampuan lahan V. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), kelas kemampuan lahan V hanya cocok untuk rumput atau pohon. Kategori kritis pada kuadran IV yaitu penggunaan lahan berupa kebun campuran, perkebunan, dan pemukiman di pola ruang budidaya, dengan kelas kemampuan lahan VI- VII di kawasan budidaya menyebabkan lahan termasuk kategori kritis, dikarenakan berkurangnya tutupan lahan dan penggunaan lahan yang intensif tidak sesuai daya dukung fisik lingkungan. Kategori sangat kritis didominasi kegiatan pertanian seperti sawah, tegalan, kebun campuran, distribusi dalam RTRW berupa kawasan budidaya, dan kelas kemampuan lahan VI-VIII dikawasan APL, menyebabkan lahan ini termasuk kategori sangat kritis. Kekritisan lahan ditentukan oleh interaksi antar komponen lahan, baik yang berlangsung secara alamiah maupun yang berlangsung di bawah pengaruh tindakan manusia (Notohadiprawiro 2006). Pada Tabel 3 dapat kita ketahui bahwa adanya bentuk inkonsistensi berupa penggunaan lahan yang tidak terkonfirmasi dalam penataan ruang RTRW, kelas kemampuan lahan tidak sesuai dengan status kawasan hutan, dan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kelas kemampuan lahan yaitu terbentuknya lahan kritis dan terjadi penambahan luasan pada kategori sangat kritis.

9 KESMPULAN Hasil analisis lahan kritis kriteria Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB dapat diketahui bahwa tingkat kekritisan lahan di Kabupaten Lahat ada lima kategori yaitu tidak kritis, potensial kritis, agak kritis, kritis, dan sangat kritis. Kategori kritis mempunyai luas Ha mendominasi kawasan areal penggunaan lain (APL) yang tersebar di 15 kecamatan, mendominasi Kecamatan Jarai, Muara Payang, dan Tanjung Sakti Pumu. Kategori sangat kritis tersebar di 19 kecamatan mendominasi Kecamatan Pagar Gunung dan Merapi Selatan, dengan luas Ha di kawasan APL peruntukan budidaya. Lahan kritis tersebut merupakan gambaran bentuk inkonsistensi berupa penggunaan lahan yang tidak terkonfirmasi dalam penataan ruang RTRW, kelas kemampuan lahan tidak sesuai dengan status kawasan hutan, dan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kelas kemampuan lahan. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi laju lahan kritis antara lain: perlunya peningkatan produktivitas lahan pada kawasan budidaya dan pengamanan pada kawasan lindung, rehabilitasi lahan sesuai dengan status kawasan, alih status kawasan sesuai peruntukan, dan relokasi pemukiman yang berada di kawasan pertanian. DAFTAR PUSTAKA [Dephut] Departemen Kehutanan. 2003b. Buku Utama Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) di 29 DAS Prioritas Tahun Jakarta (ID): Dephut. Arsyad S Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID): IPB Pr. Arsyad S Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID): IPB Pr. Arsyad S Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID): IPB Pr. [BKPRN] Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional Menata Kawasan Hutan dan Mempertahankan Lahan Pertanian. Jakarta (ID): Sekretariat Tim Pelaksana BKPRN. Fitzsimons J, Pearson C, Lawson C, and Hill M Evaluation of land use planning in greenbelts based on intrinsic characteristics and stakeholder values. Landscape and Urban Planning. 106(10): Hardjowigeno S dan Widiatmaka Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Lahan. Yogyakarta (ID): Gadjah mada University Pr. Kementrian Lingkungan Hidup, Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah (P4W) IPB Report Penyusunan Lahan Kritis. Jakarta. Notohadiprawiro T Lahan Kritis dan Bincangan Pelestarian Lingkungan Hidup, Seminar Nasional Penanganan Lahan Kritis di Indonesia Yogyakarta (ID): Repro Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada. Pigram P Outdoor Recreation and Resource Management. New York (ID): St. Martin s Pr.

10 Pemerintah Republik Indonesia Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Jakarta (ID): Sekretariat Negara. Pemerintah Republik Indonesia Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta (ID): Sekretariat Negara.

SEBARAN LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN DAYA DUKUNG FISIK DAN PENATAAN RUANG DI KABUPATEN LAHAT, SUMATERA SELATAN RISKI AMBAR PRATIWI

SEBARAN LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN DAYA DUKUNG FISIK DAN PENATAAN RUANG DI KABUPATEN LAHAT, SUMATERA SELATAN RISKI AMBAR PRATIWI SEBARAN LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN DAYA DUKUNG FISIK DAN PENATAAN RUANG DI KABUPATEN LAHAT, SUMATERA SELATAN RISKI AMBAR PRATIWI DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN

KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN KONDISI TUTUPAN HUTAN PADA KAWASAN HUTAN EKOREGION KALIMANTAN oleh: Ruhyat Hardansyah (Kasubbid Hutan dan Hasil Hutan pada Bidang Inventarisasi DDDT SDA dan LH) Kawasan Hutan Hutan setidaknya memiliki

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK

POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK 1 POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi DAS Deli berdasarkan evaluasi kemampuan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kemampuan Lahan

TINJAUAN PUSTAKA Kemampuan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kemampuan Lahan Klasifikasi kemampuan (kapabilitas) lahan merupakan klasifikasi potensi lahan untuk penggunaan berbagai sistem pertanian secara umum tanpa menjelaskan peruntukkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah harus dipandang sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya ruang agar sesuai dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (UU No.5 Tahun 1960). Penataan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Data tentang luas tutupan lahan pada setiap periode waktu penelitian disajikan pada 82,6 443.8 157.9 13.2 2664.8 1294.5 977.6 2948.8 348.7 1777.9 1831.6 65.8 2274.9 5243.4 469.2 4998.4 Hektar 9946.9 11841.8 13981.2 36 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis Citra Data tentang luas tutupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Kebutuhan tersebut terkait untuk pemenuhan kebutuhan hidup

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Kebutuhan tersebut terkait untuk pemenuhan kebutuhan hidup 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan sumberdaya alam terutama air dan tanah oleh masyarakat kian hari kian meningkat sebagai akibat dari laju pertumbuhan penduduk yang tinggi. Kebutuhan tersebut

Lebih terperinci

V. EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK PERTANIAN DI HULU DAS JENEBERANG

V. EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK PERTANIAN DI HULU DAS JENEBERANG 57 V. EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK PERTANIAN DI HULU DAS JENEBERANG 5.1. Pendahuluan Pemenuhan kebutuhan manusia untuk kehidupannya dapat dilakukan antara lain dengan memanfaatkan lahan untuk usaha pertanian.

Lebih terperinci

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003 KATA PENGANTAR Assalaamu alaikum Wr. Wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Buku

Lebih terperinci

ANALISIS SPASIAL KONVERSI LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (Studi Kasus Kawasan Hulu Daerah Aliran Sungai Cimanuk ) 1) ABSTRAK

ANALISIS SPASIAL KONVERSI LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (Studi Kasus Kawasan Hulu Daerah Aliran Sungai Cimanuk ) 1) ABSTRAK ANALISIS SPASIAL KONVERSI LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (Studi Kasus Kawasan Hulu Daerah Aliran Sungai Cimanuk ) 1) La Ode S. Iman dan Didit Okta Pribadi 2) Eksplorasi Nusantara Kompleks BBIHP No.25 Cikaret,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang yang dibutuhkan manusia, dengan cara budidaya usaha tani. Namun pertumbuhan manusia dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, arti hutan dirumuskan sebagai Suatu lapangan tetumbuhan pohon-pohonan yang secara keseluruhan merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan banyak digunakan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, selain itu lahan

Lebih terperinci

BUPATI LAHAT PROVINSI SUMATERA SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAHAT NOMOR 04 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI LAHAT PROVINSI SUMATERA SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAHAT NOMOR 04 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI LAHAT PROVINSI SUMATERA SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAHAT NOMOR 04 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH KABUPATEN LAHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAHAT,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Pembangunan dan pengembangan wilayah di setiap daerah merupakan kegiatan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat di wilayah

Lebih terperinci

Edisi 1 No. 1, Jan Mar 2014, p Resensi Buku

Edisi 1 No. 1, Jan Mar 2014, p Resensi Buku Resensi Buku Edisi 1 No. 1, Jan Mar 2014, p.33-38 Judul Buku: : Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) Tahun 2011-2030 Penyunting Akhir : Ir. Basoeki Karyaatmadja, M.Sc., Ir. Kustanta Budi Prihatno,

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 27 Juli 2013

Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVIII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 27 Juli 2013 APLIKASI DATA PENGINDERAAN JAUH DAN SIG UNTUK ANALISIS KESESUAIAN PENGGUNAAN LAHAN BERDASARKAN KEMAMPUAN LAHAN (Studi Kasus : Daerah Aliran Sungai Karang Mumus) Dwi Agung Pramono (*), Teguh Hariyanto,

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak 1. Luas DTA (Daerah Tangkapan Air) Opak Dari hasil pengukuran menggunakan aplikasi ArcGis 10.1 menunjukan bahwa luas

Lebih terperinci

ANALISIS TUTUPAN LAHAN TERHADAP KUALITAS AIR SITU BURUNG, DESA CIKARAWANG, KABUPATEN BOGOR

ANALISIS TUTUPAN LAHAN TERHADAP KUALITAS AIR SITU BURUNG, DESA CIKARAWANG, KABUPATEN BOGOR ANALISIS TUTUPAN LAHAN TERHADAP KUALITAS AIR SITU BURUNG, DESA CIKARAWANG, KABUPATEN BOGOR R Rodlyan Ghufrona, Deviyanti, dan Syampadzi Nurroh Fakultas Kehutanan - Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Situ

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb. KATA PENGANTAR Assalamu alaikum wr.wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Penghitungan Deforestasi Indonesia Periode Tahun 2009-2011

Lebih terperinci

PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI BERBASIS LAND USE DAN LAND SLOPE DI SUB DAS KRUENG SIMPO

PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI BERBASIS LAND USE DAN LAND SLOPE DI SUB DAS KRUENG SIMPO PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI BERBASIS LAND USE DAN LAND SLOPE DI SUB DAS KRUENG SIMPO Rini Fitri Dosen pada Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Almuslim ABSTRAK Lahan kering di

Lebih terperinci

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011

IPB International Convention Center, Bogor, September 2011 IPB International Convention Center, Bogor, 12 13 September 2011 Kerangka Latar Belakang Masalah PERTUMBUHAN EKONOMI PERKEMBANGAN KOTA PENINGKATAN KEBUTUHAN LAHAN KOTA LUAS LAHAN KOTA TERBATAS PERTUMBUHAN

Lebih terperinci

TATA GUNA LAHAN DAN PERTUMBUHAN KAWASAN

TATA GUNA LAHAN DAN PERTUMBUHAN KAWASAN TATA GUNA LAHAN DAN PERTUMBUHAN KAWASAN Pengantar Perencanaan Wilayah dan Kota Johannes Parlindungan Disampaikan dalam Mata Kuliah Pengantar PWK Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penggunaan/Penutupan Lahan Aktual Jabodetabek Tahun 2010 Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa terdapat 11 tipe penggunaan/penutupan lahan wilayah Jabodetabek

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lahan dapat disebutkan sebagai berikut : manusia baik yang sudah ataupun belum dikelola.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lahan dapat disebutkan sebagai berikut : manusia baik yang sudah ataupun belum dikelola. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Lahan 1. Pengertian Pengertian lahan meliputi seluruh kondisi lingkungan, dan tanah merupakan salah satu bagiannya. Menurut Ritohardoyo, Su (2013) makna lahan dapat disebutkan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian, pemukiman, penggembalaan serta berbagai usaha lainnya

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian, pemukiman, penggembalaan serta berbagai usaha lainnya BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan lahan semakin meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk Indonesia. Peningkatan kebutuhan akan lahan akan digunakan untuk kegiatan pertanian, pemukiman,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO

ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO Sabua Vol.7, No.1: 383 388, Maret 2015 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO Verry Lahamendu Staf Pengajar JurusanArsitektur,

Lebih terperinci

PERENCANAAN LOKASI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN KARET RAKYAT DI KABUPATEN MANDAILING NATAL, PROVINSI SUMATERA UTARA

PERENCANAAN LOKASI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN KARET RAKYAT DI KABUPATEN MANDAILING NATAL, PROVINSI SUMATERA UTARA PERENCANAAN LOKASI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN KARET RAKYAT DI KABUPATEN MANDAILING NATAL, PROVINSI SUMATERA UTARA Planning of Development Location of Rubber Smallholding in Mandailing Natal Regency, North

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk Indonesia tiap tahunnya mengalami peningkatan. Berdasarkan sensus penduduk, jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 2010 hingga 2015 mengalami

Lebih terperinci

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan kondisi hidrologi DAS sebagai dampak perluasan lahan kawasan budidaya yang tidak terkendali tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air seringkali

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undangundang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang perlu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha yang memanfaatkan potensi sumberdaya lahan secara maksimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat

Lebih terperinci

B A B I PE N D A H U L U A N. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk

B A B I PE N D A H U L U A N. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk 1 B A B I PE N D A H U L U A N A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk yang banyak dan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi. Tercatat pada tahun 2005,

Lebih terperinci

Gambar 2. Lokasi Studi

Gambar 2. Lokasi Studi 17 III. METODOLOGI 3.1. Lokasi Studi Studi ini berlokasi di Kawasan Sungai Kelayan di Kota Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan. Sungai Kelayan terletak di Kecamatan Banjarmasin Selatan (Gambar 2).

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

Lebih terperinci

PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DI KABUPATEN KENDAL

PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DI KABUPATEN KENDAL PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) DI KABUPATEN KENDAL Febriana Yogyasari, Dedy Kurnia Sunaryo, ST.,MT., Ir. Leo Pantimena, MSc. Program Studi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah, terutama kondisi lahan pertanian yang dimiliki Indonesia sangat berpotensi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Menurut Rustiadi et al. (2009) ruang terdiri dari lahan dan atmosfer. Lahan dapat dibedakan lagi menjadi tanah dan tata air. Ruang merupakan bagian dari alam yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN 7 Latar Belakang Tekanan terhadap sumberdaya hutan menyebabkan terjadinya eksploitasi yang berlebihan, sehingga sumberdaya hutan tidak mampu lagi memberikan manfaat yang optimal. Tekanan yang

Lebih terperinci

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Sumberdaya Alam Hayati : Unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan sumberdaya alam hewani (satwa) yang bersama dengan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

KAJIAN LAHAN KRITIS SUB DAERAH ALIRAN CI KERUH DI KAWASAN CEKUNGAN BANDUNG

KAJIAN LAHAN KRITIS SUB DAERAH ALIRAN CI KERUH DI KAWASAN CEKUNGAN BANDUNG KAJIAN LAHAN KRITIS SUB DAERAH ALIRAN CI KERUH DI KAWASAN CEKUNGAN BANDUNG Asep Mulyadi dan Jupri Pendidikan Geografi UPI-Badung E-mail: asepmulka@gmail.com ABSTRAK - Salah satu tujuan dari pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang penting bagi

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang penting bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang penting bagi kehidupan manusia sekarang ini. Lahan mempunyai beberapa fungsi penting bagi manusia diantaranya dapat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa yang tidak terhingga nilainya bagi seluruh umat manusia. Sebagai anugerah, hutan mempunyai nilai filosofi yang

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Karakter Daerah Tangkapan Air Merden

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Karakter Daerah Tangkapan Air Merden BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Analisis Karakter Daerah Tangkapan Air Merden 1. Luas DTA (Daerah Tangkapan Air) Merden Dari hasil pengukuran menggunakan aplikasi ArcGis 10.3 menunjukan bahwa luas DTA

Lebih terperinci

PENERAPAN IPTEKS ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DELI. Nurmala Berutu W.Lumbantoruan Anik Juli Dwi Astuti Rohani

PENERAPAN IPTEKS ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DELI. Nurmala Berutu W.Lumbantoruan Anik Juli Dwi Astuti Rohani ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DELI. Nurmala Berutu W.Lumbantoruan Anik Juli Dwi Astuti Rohani Abstrak Daerah penelitian adalah DAS Deli yang meliputi tujuh subdas dan mempunyai luas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin

BAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan di Indonesia mempunyai peranan baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial budaya, maupun secara ekologis. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi BAB III METODOLOGI. Lokasi dan Waktu Kegiatan studi dilakukan di Dukuh Karangkulon yang terletak di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan luas

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.326, 2015 KEHUTANAN. Hutan. Kawasan. Tata Cara. Pencabutan (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5794). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang PENDAHULUAN BAB A. Latar Belakang Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas nasional, hal tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA)

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlokasi di Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPA) Galuga dan sekitarnya, Desa Galuga, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor,

Lebih terperinci

DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH

DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH Lampiran II. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : Tanggal : DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH Tabel-1. Lindung Berdasarkan

Lebih terperinci

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT Ria Rosdiana Hutagaol 1 dan Sigit Hardwinarto 2 1 Faperta Jurusan Kehutanan Universitas

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berbasis Masyarakat untuk Hutan Aceh Berkelanjutan Banda Aceh, 19 Maret 2013

Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berbasis Masyarakat untuk Hutan Aceh Berkelanjutan Banda Aceh, 19 Maret 2013 ANALISIS SPASIAL ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN KEKRITISAN LAHAN SUB DAS KRUENG JREUE Siti Mechram dan Dewi Sri Jayanti Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian, kehutanan, perikanan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah DAS Biru yang mencakup Kecamatan Bulukerto dan Kecamatan Purwantoro berdasarkan peraturan daerah wonogiri termasuk dalam kawasan lindung, selain itu DAS Biru

Lebih terperinci

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang TEMU ILMIAH IPLBI 2015 Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang Studi Kasus: Kota Manado Ingerid L. Moniaga (1), Esli D. Takumansang (2) (1) Laboratorium Bentang Alam, Arsitektur

Lebih terperinci

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Pemikiran Pembangunan pulau kecil menjadi kasus khusus disebabkan keterbatasan yang dimilikinya seperti sumberdaya alam, ekonomi dan kebudayaannya. Hal

Lebih terperinci

Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Nilai Koefisien Limpasan di DAS Krueng Meureudu Provinsi Aceh

Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Nilai Koefisien Limpasan di DAS Krueng Meureudu Provinsi Aceh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Nilai Koefisien Limpasan di DAS Krueng Meureudu Provinsi Aceh 1 Hairul Basri, 2 Syahrul, 3,4 *Rudi Fadhli 1 Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari penunjukan kawasan konservasi CA dan SM Pulau Bawean adalah untuk

I. PENDAHULUAN. dari penunjukan kawasan konservasi CA dan SM Pulau Bawean adalah untuk I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suaka Alam Pulau Bawean ditunjuk dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 76/Kpts/Um/12/1979 tanggal 5 Desember 1979 meliputi Cagar Alam (CA) seluas 725 ha dan Suaka

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai tambang timah rakyat dilakukan di Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Penelitian dilaksanakan pada bulan April

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Respon Petani Terhadap Lahan Pertanian Kritis di Wilayah Hulu Sud Das Cisangkuy Kabupaten Bandung

BAB I PENDAHULUAN. Respon Petani Terhadap Lahan Pertanian Kritis di Wilayah Hulu Sud Das Cisangkuy Kabupaten Bandung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan adalah salah satu sumber daya alam yang sangat penting bagi kehidupan. Lahan merupakan sumber daya alam yang dapat menghasilkan bahan makanan, pakaian,

Lebih terperinci

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481)

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) Oleh : GITA ALFA ARSYADHA L2D 097 444 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Lebih terperinci

Karakteristik Tanah / Lahan Kritis dalam Perspektif Penataan Ruang

Karakteristik Tanah / Lahan Kritis dalam Perspektif Penataan Ruang Karakteristik Tanah / Lahan Kritis dalam Perspektif Penataan Ruang Oleh: Dr Baba Barus Ketua PS S2 Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan, IPB Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam 11 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan, termasuk hutan tanaman, bukan hanya sekumpulan individu pohon, namun merupakan suatu komunitas (masyarakat) tumbuhan (vegetasi) yang kompleks yang terdiri dari pohon,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Puncak merupakan bagian dari kawasan Bogor Puncak Cianjur (Bopunjur) dalam wilayah administratif Kabupaten Bogor. Kawasan ini memiliki beragam fungsi strategis,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 12 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlokasi di kawasan agropolitan Cendawasari, Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Kegiatan analisis data dilakukan

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI. Gambar 14. Peta Orientasi Lokasi Penelitian.

IV. METODOLOGI. Gambar 14. Peta Orientasi Lokasi Penelitian. IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada jalur pendakian Gunung Tambora wilayah Kabupaten Bima dan Dompu, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini dilaksanakan selama

Lebih terperinci

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati 1 Konservasi Lingkungan Lely Riawati 2 Dasar Hukum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan praktek model agroforestri yang mempunyai fungsi ekonomi dan ekologi, akhir-akhir ini menjadi perhatian khusus. Banyak kawasan hutan yang beralih fungsi

Lebih terperinci

RINGKASAN DISERTASI. Oleh : Sayid Syarief Fathillah NIM 06/240605/SPN/00217

RINGKASAN DISERTASI. Oleh : Sayid Syarief Fathillah NIM 06/240605/SPN/00217 PENILAIAN TINGKAT BAHAYA EROSI, SEDIMENTASI, DAN KEMAMPUAN SERTA KESESUAIAN LAHAN KELAPA SAWIT UNTUK PENATAGUNAAN LAHAN DAS TENGGARONG, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA RINGKASAN DISERTASI Oleh : Sayid Syarief

Lebih terperinci

PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN

PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN PENATAAN RUANG DALAM PERSPEKTIF PERTANAHAN Oleh : Ir. Iwan Isa, M.Sc Direktur Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional PENGANTAR Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa untuk kesejahteraan bangsa

Lebih terperinci

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT

6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT 6 PERTIMBANGAN KAWASAN KARST DALAM PENYUSUNAN ZONASI TNMT 6.1 Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Manapeu Tanahdaru Wilayah karst dapat menyediakan air sepanjang tahun. Hal ini disebabkan daerah karst memiliki

Lebih terperinci

PENGELOLAAN DAS TERPADU

PENGELOLAAN DAS TERPADU PENGELOLAAN DAS TERPADU PENGELOLAAN DAS 1. Perencanaan 2. Pelaksanaan 3. Monitoring dan Evaluasi 4. Pembinaan dan Pengawasan 5. Pelaporan PERENCANAAN a. Inventarisasi DAS 1) Proses penetapan batas DAS

Lebih terperinci

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Gambar 1. Lokasi Penelitian 11 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Analisis citra dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan,

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, karakteristik lahan dan kaidah konservasi akan mengakibatkan masalah yang serius seperti

Lebih terperinci

TATACARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni Oktober 2015 dan dilakukan

TATACARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni Oktober 2015 dan dilakukan 22 TATACARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni Oktober 2015 dan dilakukan di lapangan dan di laboratorium. Pengamatan lapangan dilakukan di empat lokasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan sumberdaya alam yang terbatas dan tidak dapat diperbaharui. Jumlah penduduk yang terus bertambah mendorong meningkatnya kebutuhan dan persaingan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan aslinya (Hairiah, 2003). Hutan menjadi sangat penting

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan aslinya (Hairiah, 2003). Hutan menjadi sangat penting BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan kesatuan flora dan fauna yang hidup pada suatu kawasan atau wilayah dengan luasan tertentu yang dapat menghasilkan iklim mikro yang berbeda dengan keadaan

Lebih terperinci

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan Iman Santosa T. (isantosa@dephut.go.id) Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan

Lebih terperinci

Identifikasi Desa Dalam Kawasan Hutan

Identifikasi Desa Dalam Kawasan Hutan Identifikasi Desa Dalam Kawasan Hutan 2007 Kerja sama Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan, Departemen Kehutanan dengan Direktorat Statistik Pertanian, Badan Pusat Statistik Jakarta, 2007 KATA PENGANTAR

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan ekosistem alami yang sangat kompleks dan juga merupakan salah satu gudang plasma nutfah tumbuhan karena memiliki berbagai spesies tumbuhan. Selain itu,

Lebih terperinci

KAJIAN EROSI TANAH DENGAN PENDEKATAN WISCHMEIER PADA DAS KALIMEJA SUBAIM KECAMATAN WASILE TIMUR KABUPATEN HALMAHERA TIMUR

KAJIAN EROSI TANAH DENGAN PENDEKATAN WISCHMEIER PADA DAS KALIMEJA SUBAIM KECAMATAN WASILE TIMUR KABUPATEN HALMAHERA TIMUR KAJIAN EROSI TANAH DENGAN PENDEKATAN WISCHMEIER PADA DAS KALIMEJA SUBAIM KECAMATAN WASILE TIMUR KABUPATEN HALMAHERA TIMUR Adnan Sofyan dan Gunawan Hartono*) Abstrak : Erosi yang terjadi di Sub Das Kalimeja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan sumber daya alam yang strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan adalah bagian dari sumber daya alam yang makin terbatas

BAB I PENDAHULUAN. Lahan adalah bagian dari sumber daya alam yang makin terbatas 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan adalah bagian dari sumber daya alam yang makin terbatas ketersediaannya. Seperti sumber daya alam lainnya, lahan merupakan salah satu objek pemenuhan

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA ANI MARDIASTUTI JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kawasan Konservasi Indonesia UURI No 5 Tahun 1990 Konservasi

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (STUDI KASUS KABUPATEN BANJAR, KALIMANTAN SELATAN)

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (STUDI KASUS KABUPATEN BANJAR, KALIMANTAN SELATAN) IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (STUDI KASUS KABUPATEN BANJAR, KALIMANTAN SELATAN) Yastin David Batara 1, Dewi Nur Indah Sari 2 Program Studi DIII Teknik Geodesi, Politeknik

Lebih terperinci