BAB I PENDAHULUAN. Tahun ini ASEAN genap berusia 47 tahun. Selama itu, telah banyak capaian-capaian yang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Tahun ini ASEAN genap berusia 47 tahun. Selama itu, telah banyak capaian-capaian yang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tahun ini ASEAN genap berusia 47 tahun. Selama itu, telah banyak capaian-capaian yang telah diraih ASEAN dan sumbangsih yang diberikan ASEAN bagi negara-negara anggotanya. Salah satu capaian dan sumbangsih terpenting dari ASEAN adalah terciptanya perdamaian dan stabilitas di kawasan Asia Tenggara. Terciptanya perdamaian dan stabilitas di kawasan merupakan hal utama sehingga program pembangunan Indonesia dapat terus dilaksanakan. Pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN terus mengalami peningkatan. Secara khusus, ASEAN telah membantu Indonesia dalam penanganan bencana Tsunami di Aceh, gempa bumi di Yogyakarta, proses perdamaian di Aceh, penanggulangan kebakaran hutan dan lain-lain. Selama empat dekade keberadaannya, ASEAN telah mengalami banyak perubahan serta perkembangan positif dan signifikan yang mengarah pada pendewasaan ASEAN. Kerjasama ASEAN kini menuju tahapan baru yang lebih integratif dan berwawasan ke depan dengan akan dibentuknya Komunitas ASEAN (ASEAN Community) pada tahun Hal ini diperkuat dengan disahkannya Piagam ASEAN (ASEAN Charter) yang secara khusus akan menjadi landasan hukum dan landasan jati diri ASEAN ke depannya. 1 Namun demikian, masih banyak tantangan yang dihadapi ASEAN. ASEAN harus dapat melakukan berbagai penyesuaian seiring dengan adanya perkembangan yang pesat di bidang politik, keamanan, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan pengetahuan serta bidang-bidang lainnya yang terjadi di negara-negara di luar kawasan Asia Tenggara. ASEAN juga harus menyadari pentingnya upaya untuk lebih melibatkan masyarakat ASEAN sehingga tumbuh 1 ASEAN National Secretariat of Indonesia, ASEAN selayang pandang, (Jakarta : Sekretariat Nasional ASEAN, Departemen Luar Negeri, Republik Indonesia, 1997), hlm. 2 1

2 rasa memiliki (we feeling) terhadap ASEAN. ASEAN harus memfokuskan dirinya untuk dapat menjalin kerjasama yang dapat memberikan manfaat langsung bagi masyarakat ASEAN. Dengan demikian, diharapkan ASEAN tidak lagi menjadi forum kerjasama para pejabat pemerintah negara-negara ASEAN atau kalangan elit tertentu, melainkan dapat menjadi organisasi yang bertumpu pada masyarakat dan menjadi milik seluruh masyarakat ASEAN (people-centered organization). 2 Hal-hal tersebut merupakan tantangan yang membutuhkan tanggapan tepat dan cepat yang tentunya tidak mudah untuk dilaksanakan. Salah satunya adalah isu kebakaran hutan serta dampaknya terhadap lingkungan dan ekonomi. Belakangan ini kebakaran hutan semakin menarik perhatian internasional, khususnya setelah bencana El Nino (ENSO) tahun 1997/98 yang menghanguskan lahan hutan seluas 25 juta hektar di seluruh dunia. 3 Kebakaran dianggap sebagai ancaman potensial bagi pembangunan berkelanjutan karena efeknya secara langsung bagi ekosistem, 4 kontribusinya terhadap peningkatan emisi karbon dan dampaknya bagi keanekaragaman hayati. 5 Di Asia Tenggara, keprihatinan mengenai dampak kebakaran hutan cukup signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan penandatanganan Perjanjian Lintas Batas Pencemaran Kabut oleh negaranegara anggota ASEAN pada bulan Juni 2002 di Kuala Lumpur. Kebakaran hutan merupakan salah satu prioritas yang dinyatakan oleh Departemen Kehutanan Indonesia dan aksi untuk menangani masalah ini dimasukkan dalam dokumen komitmen kepada negara-negara donor yang terhimpun dalam CGI. 6 Dampak langsung dari kebakaran hutan tersebut antara lain: Pertama, timbulnya penyakit infeksi saluran pernafasan akut bagi masyarakat. Kedua, berkurangnya efesiensi kerja karena saat terjadi kebakaran hutan dalam skala besar, sekolah-sekolah dan kantor-kantor akan 2 Ibid., 3 FAO. State of Worlds Forests. (Rome: FAO, 2001). 4 United Nations International Strategy for Disaster Reduction. Natural Disaster and Sustainable Development: Understanding the Links Between Development and Environment and Natural Disaster, (New York: United Nations World Summit on Sustainable Development, 2002). 5 Rowell, A and Moore, P.F., Global Review of Forest Fires, (WWF: IUCN Gland, 2001) 6 Luca Tacconi, Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan, CIFOR Occasional Paper No. 38 (i) hlm. 1. 2

3 diliburkan. Ketiga, terganggunya transportasi di darat, laut maupun udara. Keempat, timbulnya persoalan internasional asap dari kebakaran hutan tersebut menimbulkan kerugian materiil dan imateriil pada masyarakat setempat dan sering kali menyebabkan pencemaran asap lintas batas (transboundary haze pollution) ke wilayah negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, Brunei dan sebagian Thailand. Pembakaran hutan dan lahan selama ini merefleksikan bahwa praktek ini dilakukan secara sengaja dan menjadi salah satu bagian penting dari masalah kehutanan dan perkebunan Indonesia. Fakta lapangan menunjukkan bahwa kawasan yang terbakar adalah kawasan yang telah telah dibersihkan melalui proses land clearing sebagai salah satu persiapan pembangunan perkebunan. Artinya kebakaran hutan secara nyata dipicu oleh api yang sengaja dimunculkan yang ditujukan untuk melakukan pembersihan lahan. Maraknya pembakaran hutan hutan dan lahan setidaknya juga dipengaruhi oleh (1) pembangunan industri kayu yang tidak diikuti dengan pembangunan hutan tanaman sebagai bahan baku; (2) besarnya peluang yang diberikan Pemerintah kepada pengusaha untuk melakukan konversi lahan menjadi perkebunan monokultur skala besar seperti perkebunan sawit dan perkebunan kayu (HTI); (3) penegakan hukum yang lamban merespon tindakan konversi dan pembakaran yang dilakukan meskipun instrumen hukumnya melarang hal tersebut. Berkaca pada kebakaran hebat tahun 1997/1998, penyebabnya cukup bervariasi. Di Jambi dan Riau pembakaran disebabkan pembukaan lahan untuk perkebunan sawit oleh perusahaan. Di Sumatera Selatan kebakaran terjadi di lahan basah yang berkaitan dengan kebiasaan masyarakat untuk bersawah, penangkapan ikan dan penebangan pohon. Di Kalimantan, Project Lahan Sejuta Hektar menjadi pemicu utama ekspor asap ke Malaysia dan Singapura. Sementara di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, kebakaran disebabkan pembukaan lahan untuk perkebunan sawit dan HTI. 3

4 Pada tahun-tahun berikutnya, kebakaran hutan dan lahan memang tidak sedahsyat tahun Meski demikian, angka hotspot yang muncul setiap tahunnya tetap menjadi perhatian karena memicu pencemaran kabut asap dan emisi karbon yang cukup besar. Pada tahun 2001, angka hotspot yang dapat direkam di Sumatera dan Kalimantan pada Bulan Januari sampai dengan Agustus sebanyak titik, dan kemudian angka hotspot tidak pernah turun dari titik setiap tahunnya pada tahun-tahun berikutnya kecuali pada tahun 2005 sebanyak 39 ribu titik dan menurun kembali pada tahun 2006 menjadi 23 ribu titik. Dari dua pulau tersebut, Propinsi Riau tetap tercatat merupakan propinsi yang paling banyak menghasilkan titik panas. Disusul kemudian Kalimantan Tengah, Kalbar dan Sumatera Selatan. Kerugian dari kebakaran hutan dan lahan di tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 cukup besar. Untuk Sumatera saja, total kerugian untuk kebakaran pada medio tersebut mencapai US$ 7,8 milyar kemudian disusul dengan Kalimantan yang mencapai US$ 5,8 milyar. Namun toh gabungan keduanya telah mencapai separuh dari total kerugian di seluruh Indonesia pada medio yang sama. Dari kebakaran tersebut, hilangnya fungsi hutan sebagai pengendali erosi merupakan satu hal yang patut dicermati. Keuntungan yang panjang yang dimiliknya membuat parameter ini memiliki nilai yang sangat besar. Pembukaan hutan dan lahan yang mengakibatkan kebakaran hutan akan mengakibatkan tanah menjadi tidak stabil. Ketika musim hujan, molekulmlekul tanah akan saling melepaskan diri. Pada pergerakan minimal, molekul tersebut akan terbawa air hujan dan menciptakan sedimentasi di sungai. Dimasa mendatang, ketika curah hujan tinggi maka sungai tidak lagi mampu menampung air dalam volume yang besar sehingga menyebabkan banjir. Sedangkan pada pergerakan maksimal yang apabila dipengaruhi dengan faktor kemiringan maka akan menciptakan longsor. Malaysia yang juga terkena mengalami kerugian US$ 300 juta di sector industri dan pariwisata, sedangkan Singapura mengalami kerugian sekitar US% 60 juta di sector pariwisata. 4

5 Pernyataan maaf secara resmi terhadap masalah ini sebenarnya sudah dikeluarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Malaysia dan Singapura. ASEAN sebagai organisasi regional yang menaungi daerah bencana ini patut memberikan bantuan. ASEAN dalam hal ini sebagai organisasi tempat para pihak bernaung secara internasional memiliki perangkat yuridis berupa traktat internasional yaitu The 1997 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP). Namun negara-negara ASEAN terutama Malaysia dan Singapura belum merasa puas karena Indonesia sampai saat ini belum meratifikasinya. Sampai dengan bulan Juli 2005, tujuh negara ASEAN yang telah meratifikasi AATHP yakni Brunei, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, Vietnam dan Laos dan Kamboja. Menurut asas pacta sunt servanda( kepastian hukum dalam perjanjian ), Indonesia tidak terikat oleh traktat tersebut. Meskipun demikian, pencemaran udara akibat kebakaran hutan bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional. Salah satu prinsip adalah Sic utere tuo ut alienum non laedes yang menentukan bahwa suatu negara dilarang melakukan atau mengijinkan dilakukannya kegiatan yang dapat merugikan negara lan, 7 dan prinsip good neighbourliness. 8 Pada intinya prinsip itu mengatakan bahwa kedaulatan wilayah suatu negara tidak boleh diganggu oleh negara lain. Prinsip-prinsip hukum internasional untuk perlindungan lingkungan lainnya adalah general prohibition to pollute principle, the prohibition of abuse of rights, the duty to prevent principle, the duty to inform principle, the duty to negotiate and cooperate principle, intergenerational equity principle. 9 Konsekuensi dari pelanggaran tersebut dapat menjadi dasar untuk meminta pertanggungjawaban negara terhadap negara yang telah melakukan tindakan yang merugikan negara lain. Menurut hukum internasional pertanggungjawaban negara timbul dalam hal negara 7 J.G, Starke, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta : Sinar Grafika Offset, edisi kesepuluh hal Sucipto, Sistem Tanggung Jawab Dalam Pencemaran Udara, Malang, 1985, hlm.82 9 Adji samekto, Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hlm.119 5

6 yang bersangkutan merugikan negara lain. Dalam hal ini kasus kebakaran hutan di Indonesia telah menimbulkan dampak negatif terhadap negara-negara tetangga. Meski mudah untuk menyalahkan pemerintah Indonesia atas tak adanya tindakan, masyarakat internasional juga telah gagal. Daripada mengkritik Indonesia atas kekurangannya, pemerintah asing seharusnya menjanjikan keahliannya dan memberikan bantuan dalam jumlah besar. Kebakaran hutan Indonesia mempunyai dampak global dengan menghilangkan keanekaragaman hayati dan menyumbangkan gas-gas rumah kaca ke atmosfer (kebakaran tahun 1997 melepaskan sekitar 2,67 milyar ton karbondioksida). Dalam area tertentu, kebakaran ini meracuni udara dan dikaitkan dengan berkurangnya hujan. Dalam kasus dimana masalah Indonesia adalah masalah dunia, masyarakat global seharusnya meningkatkan kesempatan untuk menujukan bencana kebakaran ini dengan sikap yang pintar dan terkoordinasi dengan baik Pertanyaan Penelitian Melihat permasalahan yang ditimbulkan maka ini menjadi alasan bagi penulis untuk mempertanyakan: Mengapa AATHP ASEAN gagal menangani persoalan kebakaran hutan di Indonesia? 1.3. Kajian Pustaka Kajian pustaka (literature review) dipakai sebagai acuan terkait dengan penelitian berjudul Kerja Sama Asean Dalam Menangani Persoalan Kebakaran Hutan Dan Pencemaran Asap Di Indonesia oleh Raisa Rafina. Dalam hal ini ada beberapa studi yang dijadikan acuan dalam kajian penelitian ini. Studi-studi tersebut dijelaskan sebagai berikut: Dalam tulisan Raisa Rafina yang berjudul Kerjasama Negara-Negara Asean Dalam Pengendalian Pencemaran Udara Lintas Batas Negara Di Lihat Dari Hukum Internasional 10, menguraikan tentang dasar hukum kerjasama Negara-negara ASEAN dalam pengendalian 10 Jurnal.usu.ac.id/index.php/jil/article/download/2654/pdf, diakses tanggal 28 April

7 pencemaran udara, kerjasama ASEAN dalam pengendalian pencemaran udara di lingkungan ASEAN dalam perspektif hukum internasional, serta implikasi perjanjian kerjasama dalam pengendalian pencemaran udara bagi Indonesia. Penelitian ini secara khusus membahas dua hal yakni pertama mengenai AATHP dan kedua mengenai kerjasama ASEAN dalam menghadapi kebakaran hutan dan pencemaran asap, serta kendala-kendala yang dihadapi Negara-negara ASEAN dalam mengatasi permasalahan tersebut. Persamaan antara tulisan Raisa dengan penelitian ini yaitu sama-sama membahas mengenai kerjasama ASEAN dalam menghadapi kebakaran hutan dan pencemaran asap di Indonesia. Perbedaannya dalam hal objek bahasan, yaitu Raisa membahas dari perspektif hukum internasional, termasuk implikasinya terhadap Indonesia. Penelitian ini akan membahas mengenai kendala-kendala yang menghambat kerjasama ASEAN dalam menghadapi kebakaran hutan dan pencemaran asap di Indonesia. Tulisan Fadhlan Dini Hanif yang berjudul tanggung jawab negara (state responsibility) terhadap pencemaran udara lintas batas negara berdasarkan ASEAN agreement on transboundary haze pollution 11 menguraikan tentang tanggung jawab Negara anggota terhadap Pencemaran Udara Lintas Batas Negara yang diatur dalam ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, konsekuensi negara pencemar dalam ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, dan mekanisme penyelesaian hukum terhadap pencemaran lintas batas Negara dalam lingkup ASEAN. Persamaan antara tulisan Fadhlan dengan penelitian ini yaitu sama-sama membahas tentang tanggung jawab Negara anggota terhadap Pencemaran Udara Lintas Batas Negara yang diatur dalam ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution. Perbedaannya dalam hal objek bahasan, yaitu Fadhlan membahas dari perspektif hukum internasional, termasuk konsekuensi dan mekanisme penyelesaian hukum terhadap pencemaran lintas batas Negara dalam lingkup ASEAN. Penelitian ini akan membahas mengenai kerjasama ASEAN dalam menghadapi kebakaran hutan dan pencemaran asap di Indonesia. 11 repository.unri.ac.id/xmlui/bitstream/handle/.../4580/jurnal.pdf?.( diakses pada tanggal 28 April

8 Tulisan Agustia Putra yang berjudul Kepentingan Indonesia Tidak Meratifikasi ASEAN Agreement On Transboundary Haze Pollution (AATHP) Tahun kepentingan Indonesia belum meratifikasi Perjanjian ASEAN Pada Polusi Asap Lintas Batas ( AATHP ) dari awal AATHP ditandatangani oleh Indonesia pada tahun 2002 sampai Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kelemahan ASEAN dan adanya kepentingan dan faktor-faktor lain yang menyebabkan AATHP Indonesia belum meratifikasi hingga saat ini. Indonesia adalah negara yang memiliki kawasan hutan dalam jumlah besar di wilayah Asia Tenggara. Perbedaannya dalam hal objek bahasan, yaitu Agustia membahas dari kepentingan Indonesia yang belum meratifikasi AATHP. Penelitian ini juga akan membahas mengenai dampak dari belumnya di ratifikasi AATHP oleh Indonesia Kerangka Teori Untuk membahas permasalahan tentang efektivitas kerjasama ASEAN dalam menangani permasalahan kebakaran hutan dan pencemaran asap di Indonesia dan negara-negara tetangga, penulis menggunakan Konsep Kerjasama dan Konsep Efektivitas serta Teori yang digunakan adalah Teori Rezim Konsep Kerjasama Menurut pendapat James E. Dougherty dan Robert L. Pfaltzgraff kerjasama atau cooperation dapat muncul dari kesepakatan masing-masing individu terhadap kesejahteraan bersama atau sebagai akibat persepsi kepentingan sendiri. 12 Kunci dari perilaku yang mengarah pada kerjasama terletak pada kepercayaan masing-masing pihak (masing-masing negara) bahwa pihak lain juga akan melakukan kerjasama, dimana masalah utama yang muncul dari perilaku ini adalah kepentingan nasional masing-masing negara. Bila mengarah pada persamaan kepentingan nasional maka kerjasama yang diinginkan akan tercapai. 12 Dougherty E, Jamesdan Pfaltzgraff, Jr LRobert, Contending Theories of International Relatins: A Chomprehensive Survey,4 th.ed. Addison Wesley Longman,New York,1997,hal

9 Kerjasama ini dilakukan oleh negara-negara yang secara langsung dan sering merasakan akibat dari kebakaran hutan dan pencemaran asap dari Indonesia. Upaya-upaya kerjasama bilateral maupun regional untuk menangani kasus ini kemudian mulai dijalin dan dirumuskan. Inisiatif kerjasama diambil dengan maksud bahwa kasus asap ini telah mengakibatkan kerugian besar baik materiil maupun non materiil dan juga membahayakan kelangsungan ekologi bumi. Sehingga dengan adanya inisiatif kerjasama ini peluang terjadirya.konflik dapat dihilangkan. Kerjasama ASEAN yang secara khusus memfokuskan pada masalah kabut asap baru dimulai pada bulan Juni 1995, seiring dengan peningkatan intensitas masalah pencemaran kabut asap lintas batas yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan dan lahan. Sebagai langkah awal dalam menanggulangi masalah pencemaran kabut asap lintas batas, para Menteri Lingkungan Hidup negara-negara anggota ASEAN pada bulan Juni 1995 di Manila sepakat untuk membentuk ASEAN Cooperation Plan on Transboundary Pollution. Bahwa polusi asap tersebut dapat menjadi acuan bagi negara-negara yang terkait dalam hal ini untuk menjalin kerjasama baru dalam penanganan kebakaran ini. Tidak bisa dipungkiri bahwa permasalahan lingkungan sudah menyentuh aspek human security ditambah lagi masalah degradasi lingkungan dapat dikatakan membuat sejenis ancaman khusus yang bukan saja ancaman bagi negara tetapi pada keseluruhan umat manusia. Dari konsep kerjasama ini, bentuk kerjasama yang mampu menjelaskan unsur kepentingan politik dan bagaimana efektivenya resim yang digunakan dalam penyelesaian persoalan kebakaran hutan yang melanda Indonesia dan mempengaruhi negara tetangga dilihat dari kerjasama internasional dalam 4 bentuk yaitu: Drs. R. Soeprapto, Hubungan Internasional Sistem,Interaksi dan Perilaku, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta,1997,hal

10 1) Kerjasama Global Adanya hasrat yang kuat dari berbagai bangsa di dunia untuk bersatu dalam satu wadah yang mampu mempersatukan cita-cita bersama merupakan dasar utama bagi kerjasama global. 2) Kerjasama Regional Kerjasama Regional merupakan kerjasama antar negara-negara yang secara geografis letaknya berdekatan. Kerjasama tersebut bisa dalam bidang pertahanan tetapi bisa juga dibidang lain seperti pertanian, hukum, kebudayaan dan lain sebaginya. Menurut Dr. Budiono, kerjasama regional baik yang berbentuk organisasi atau bukan, pada waktu sekarang ini mendapatkan masalah yang cukup rumit dan kompleks. Adapun yang menentukan terwujudnya kerjasama regional selain kedekatan geografis, kesamaan pandangan dibidang politik dan kebudayaan juga perbedaan struktur produktivitas ekonomi. Kerjasama regional merupakan salah satu alternatif yang dapat dipergunakan dalam mengatasi kemiskinan dan kebodohan. 3) Kerjasama Fungsional Kerjasama fungsional, permasalahan atau pun metode kerjasamanya menjadi semakin kompleks disebabkan oleh semakin banyaknya organisasi kerjasama yang ada.walaupun terdapat kompleksitas dan banyak permasalahan yang dihadapi dalam masalah kerjasama fungsional baik dibidang ekonomi maupun sosial,untuk pemecahannya diperlukan kesepakatan dan keputusan politik.kerjasama fungsional berangkat dari pragmatisme pemikiran yang mensyaratkan adanya kemampuan tertentu pada masing-masing mitra dalam kerjasama. Dengan demikian kerjasama fungsional tidak mungkin terselenggara apabila diantara negara mitra kerjasama ada yang tidak mampu untuk mendukung suatu fungsi yang spesifik yang diharapkan darinya oleh yang lain. 10

11 Adapun kendala yang dihadapi dalam kerjasama fungsional terletak pada ideologi politik dan isu-isu wilayah. 4) Kerjasama Ideologis Pengertian ideologi menurut Vilfredo Pareto, adalah alat dari suatu kelompok kepentingan untuk membenarkan tujuan dan perjuangan kekuasaan.dalam hal perjuangan atau kerjasama ideologi batas-batas teritorial tidaklah relevan.berbagai kelompok kepentingan berusaha mencapai tujuannya dengan memanfaatkan berbagai kemungkinan yang terbuka dalam forum yang global. Untuk kasus kebakaran hutan dan pencemaran asap di Indonesia maka bentuk kerjasama yang dapat digunakan adalah kerjasama regional. Karena kasus kebakaran hutan dan pencemaran asap ini berdampak lintas batas yang merugikan negara-negara di kawasan ASEAN, serta mempengaruhi negara-negara yang secara geografis letaknya berdekatan. kerjasama regional negara-negara yang bersangkutan harus bekerjasama untuk menanggulangi permasalahan kebakaran hutan dan pencemaran asap lintas batas. Kerjasama regional ini tidak mungkin terselenggara dengan baik apabila diantara negara mitra kerjasama ada yang tidak mampu untuk mendukung atau mentaati ketentun-ketentuan dalam setiap peraturan atau komitmen bersama dalam wadah sebuah resim yang ada dalam hal ini ASEAN. Jadi masing-masing negara yang bersangkutan dan yang terkena dampak dari kebakaran hutan dan pencemaran asap harus bekerjasama dan saling membantu karena terdapat kepentingan yang sama dari masing-masing negara untuk menanggulangi masalah kebakaran hutan dan pencemaran asap yang berdampak lintas batas. Akibat dari kebakaran hutan dan pencemaran asap ini telah membawa masalah di bidang kesehatan, pariwisata, dan juga di bidang lalulintas. Karena kasus ini melibatkan negara-negara tetangga, maka negara-negara yang bersangkutan harus bekerjasama untuk menanggulangi permasalahan kebakaran hutan dan pencemaran asap lintas batas. Kerjasama fungsional ini 11

12 tidak mungkin terselenggara apabila diantara negara mitra kerjasama ada yang tidak mampu untuk mendukung satu fungsi yang spesifik yang diharapkan darinya oleh yang lain. Jadi masing-masing negara yang bersangkutan dan yang terkena dampak dari kebakaran hutan dan pencemaran asap harus bekerjasama dan saling membantu karena terdapat kepentingan yang sama dari masing-masing negara untuk menanggulangi masalah kebakaran hutan dan pencemaran asap yang berdampak lintas batas Konsep Efektivitas Rezim Dalam melihat rezim, terdapat usaha dalam membangun kerjasama dan mengimplementasinya. Namun permasalahannya, tingkat keberhasilan atau implementasi dari sebuah rezim bervariasi, terdapat rezim yang dapat dikatakan sukses ataupun gagal 14. Penyebabnya ada dua hal : Pertama terdapat pada karakter dari masalah itu sendiri: beberapa masalah secara intelektual kurang rumit atau secara politik lebih benign daripada yang lain dan karena itu lebih mudah untuk diselesaikan. Kemungkinan jawaban kedua focus pada problemsolving capacity: beberapa usaha lebih sukses dibandingkan dengan yang lainnya karena perangkat institusional yang lebih powerful atau skill dan energy yang lebih besar digunakan untuk menyelesaikan masalah. Dalam konsep efektivitas rezim Arild Underdal melakukan pemilahan antara variabel dependen, yaitu efektifitas rezim dengan variabel independen, yang terdiri dua hal yaitu : tipe permasalahan, dan kemampuan untuk mengatasi permasalahan tersebut. 15 Kemudian ada juga yang disebut intervening variable, sebuah variabel yang merupakan akibat dari variabel - variabel independen namun juga bagian dari variabel yang berpengaruh terhadap variabel Underdal, Arild. Explaining Regime Effectiveness. [Pdf]. University of Oslo. Hal. 1 Underdal, Arild. Environmental Regime Effectiveness: Confronting Theory with Evidence. Tersedia disitus: http: //books.google.co.id/books?id=hkoftdbszl8c, diakses pada tanggal 5 Mei 2014, hal

13 dependen. 16 Intervening variable disini menggunakan level of collaboration, atau tingkat kolaborasi antara anggota dari sebuah rezim Dependent variable Efektivitas Rezim sebagai variabel dependen memiliki 3 komponen untuk menganalisa efektivitas rezim, yang terdiri dari output, outcome, dan impact yang ada dalam rezim. 17 Gambar 1. Objek dan penafsiran waktu Output Output adalah aturan, program, dan pengorganisasian yang ditetapkan oleh anggota untuk mengoperasionalkan ketentuan dalam rezim, sehingga hal-hal yang semula hanya berbentuk kesepakatan bisa diwujudkan 18. Keluaran yang muncul dari proses pembentukan, biasanya tertulis tetapi bisa juga tidak tertulis seperti misalnya konvensi, rules of law, treaty, deklarasi, bisa juga norma, prinsip-prinsip dan lain-lain. Penandatangan rezim dan terjadinya langkah langkah domestik negara terkait rezim terjadi pada masa objek ini Underdal, Arild. Environmental Regime Effectiveness: Confronting Theory with Evidence. Tersedia disitus: http: //books.google.co.id/books?id=hkoftdbszl8c, diakses pada tanggal 5 Mei 2014, hal. 447 Ilien Halina Efektivitas Rezim & Kerjasama Internasional. Handout Powerpoint. hlm. 3 Underdal, Arild. Environmental Regime Effectiveness: Confronting Theory with Evidence. Tersedia disitus: http: //books.google.co.id/books?id=hkoftdbszl8c, diakses pada tanggal 5 Mei 2014, hal. 5 13

14 Outcome Outcome adalah perubahan perilaku subyek yang dikenai ketentuan dalam rezim, baik itu berupa penghentian tindakan yang dilakukan sebelum rezim berdiri, maupun tindakan yang sebelum rezim berdiri tidak dilakukan 19. Langkah langkah domestik negara yang terlaksana mulai dirasakan efeknya pada masa objek ini. ] Impact Terakhir adalah Impact, yang berkaitan dengan tingkat keberhasilan dalam mengatasi masalah yang menjadi dasar pemikiran pembentukan rezim tersebut 20. Di masa objek ini terlihat perubahan kebiasaan sebuah negara mengikuti atau tidak mengikuti rezim internasional yang mana dia ikuti Independent variable Jika negara yang melakukan hubungan cenderung lunak maka rezim tersebut akan mudah mendapatkan kesepakatan bersama, sedangkan apabila bersifat malign(gawat) maka rezim akan susah mendapatkan titik temu. Semakin identik dan harmonis preferensi aktor yang ada, maka permasalahan tersebut semakin baik, sebaliknya semakin tidak harmonis preferensi aktor yang terlibat maka permasalahan tersebut semakin malign Problem Malignancy Masalah menjadi susah ketika masalah itu sendiri memang membuat negara - negara tidak mau bekerjasama secara politis, karena memang susah. Malignancy ini memiliki 3 karakter antara lain Incongruity, Asymmetry dan Cumulative Cleavages Ibid. hal Ibid. hal Underdal, Arild. Environmental Regime Effectiveness: Confronting Theory with Evidence.Tersedia disitus: http: //books.google.co.id / books?id=hkoftdbszl8c, diakses pada tanggal 5 Mei 2014, hal

15 a. Incongruity Ketidaksepahaman akibat tidak semua negara anggota dari sebuah rezim menganggap sebuah isu sebagai permasalahan. b. Asymmetry Adanya kepentingan nasional yang berbeda beda antara negara anggota dari sebuah rezim. c. Cumulative Cleavages Perbedaan yang terakumulasi sehingga menimbulkan perpecahan Problem Solving Capacity Underdal berargumen bahwa permasalahan dapat diatasi dengan efektif apabila ditangani oleh lembaga atau sistem dengan power yang kuat serta didukung adanya ketrampilan atau skill dan energi yang memadai. 22 Apabila satu solusi dihasilkan melalui keputusan kolektif, maka problem solving capacity bisa dipahami sebagai fungsi saling terkait yang terdiri dari tiga unsur, yaitu: a. Seting kelembagaan (institutional setting) yang ada dalam rezim tersebut. b. Distribusi kekuasaan (distribution of power) diantara aktor yang terlibat. Jika ada pembagian kekuasaan yang adil, dimana terdapat pihak dominan yang dapat bertindak sebagai leader namun tidak cukup kuat untuk mengabaikan peraturan, dan juga ada pihak minoritas yang cukup kuat untuk mengontrol pihak dominan. 23 c. Skill (keahlian) dan energy (kekuatan) yang tersedia bagi rezim yang digunakan untuk mencari. 22 Ibid.Hal Ilien Halina Efektivitas Rezim & Kerjasama Internasional. Handout Powerpoint. hlm

16 Intervening Variable Dalam melihat tingkat kolaborasi sebuah rezim internasional, Underdal mengemukakan enam skala ukuran level kolaborasi 24, yang dapat dilihat dalam skala dibawah ini: a. Level of Collaboration (skala 0-5) 0. Gagasan bersama tanpa suatu koordinasi tindakan bersama 1. Koordinasi tindakan secara diam diam 2. Koordinasi tindakan dengan dasar aturan atau standar yang dirumuskan secara eksplisit, namun implementasi berada sepenuhnnya di tangan pemerintah sebuah negara. Tidak ada penilaian terpusat akan efektivitas dari sebuah tindakan. 3. Koordinasi tindakan dengan dasar aturan atau standar yang dirumuskan secara eksplisit, namun implementasi berada sepenuhnnya di tangan pemerintah sebuah negara. Terdapat penilaian terpusat akan efektivitas dari sebuah tindakan. 4. Koordinasi yang terencana, dikombinasikan dengan implementasi pada level nasional. Didalamnya terdapat penilaian terpusat akan efektivitas sebuah tindakan. 5. Koordinasi dengan perencanaan dan implementasi yang menyeluruh terintegrasi, dengan penilaian terpusat akan efektitivitas. Dari penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa pada intinya tingkatan kolaborasi terdiri dari beberapa langkah, sebagai berikut: gagasan bersama, koordinasi tindakan, rumusan aturan secara eksplisit, penilaian secara terpusat, implementasi pada tingkat nasional, koordinasi terencana dan integrasi antara perencanaan dan implementasi. Untuk mengetahui tingkatan kolaborasi dalam sebuah rezim internasional, perlu melihat unsur unser tersebut. Pembagian 24 Underdal, Arild. Environmental Regime Effectiveness: Confronting Theory with Evidence. Tersedia disitus: diakses pada tanggal 5 Mei 2014, hal. 7 16

17 antara masing - masing skala dengan unsur kolaborasi akan dilihat lebih jelas dalam tabel dibawah : Tabel 1.1 Tingkatan Kolaborasi Jenis Kolaborasi Skala Kolaborasi Gagasan bersama Koordinasi tindakan - Rumusan aturan secara eksplisit - - Penilaian secara terpusat Implementasi pada level nasional Koordinasi terencana Integrasi perencanaan & Implementasi Sumber: Underdal, Arild. Environmental Regime Effectiveness: Confronting Theory with Evidence. b. Penentu Tingkat Kolaborasi Efektivitas rezim juga mempunyai hubungan dengan tingkat kolaborasi dan perubahan perilaku. Disini tingkat kolaborasi sebagai sebuah intervening variable, tingkat kolaborasi dipengaruhi oleh problem malignancy dan problem solving capacity yang ada dalam sistem yang membentuk rezim. Intervening variable juga berpengaruh dan memberikan efek langsung terhadap efektivitas rezim. Sementara kedua variabel dependen juga memberikan pengaruh terhadap efektivitas rezim, yang berarti efektivitas rezim dipengaruh oleh tiga variabel 17

18 Adanya masalah yang bersifat malign akan berpengaruh negatif terhadap tingkat kolaborasi, sedangkan tingginya tingkat kolaborasi sendiri mempunyai pengaruh positif terhadap efektifitas rezim. Sehingga adanya masalah yang bersifat malign tidak mendukung semakin efektifnya sebuah rezim. Sedangkan kemampuan mengatasi masalah mempunyai pengaruh positif atau dengan kata lain mendukung meningkatnya tingkat kolaborasi. Karena tingkat kolaborasi mendukung efektifitas rezim maka kemampuan untuk mengatasi masalah berpengaruh positif terhadap tercapainya efektivitas rezim. Untuk lebih jelasnya dalam melihat hubungan diantara tiga variabel diatas dapat kita bisa lihat dalam gambar dibawah: Gambar 2. Model Inti dari 3 Variabel Disini muncul tiga hipotesis terkait model inti dari 3 variabel diatas 25 : a. Masalah semakin bersifat malignancy maka kemungkinan menciptakan kerjasama yg efektif semakin kecil. b. Jika malignancy bersifat politis dan knowledge, maka rezim akan semakin tidak efektif. 25 Ilien Halina Efektivitas Rezim & Kerjasama Internasional. Handout Powerpoint. hlm

19 c. Kalau rezim itu harus menghadapi persoalan yang malignancy, maka efektivitas akan dapat dicapai, hanya jika: 1. Ada proses incentive baru yg diciptakan dari yang mempunyai kepentingan, mis dalam masalah non-profilerasi nuklir, jikalau Amerika berjanji akan memberi bantuan ekonomi yang lebih banyak apabila Iran mau mengurangi nuklirnya, 2. Rezim yang menghadapi masalah yang sulit akan menjadi efektif jika rezim mampu menghubungkan persoalan yang sulit dng persoalan yg lainnya yg lebih gampang (linkage). 3. Jika rezim mengembangkan sistem problem-solving yg lebih canggih, artinya akan ada improvement jika ada inovasi. b.1 Tingkat Kolaborasi (level of collaboration). Untuk mengukur tingkat kolaborasi suatu rezim, diperlukan terlebih dahulu analisis terhadap efektivitas suatu rezim yang ditentukan oleh formula Er = f (Sr.Cr) + Br, dimana Sr adalah Stringency (kekuatan aturan), Cr adalah Compliance (ketaatan anggota rezim terhadap aturan), sedangkan Br berarti efek samping yang dihasilkan rezim. Dengan kata lain kita harus memeriksa terlebih dahulu output,outcome dan impact dari rezim AATHP mengenai kepatuhan negara pihak dalam menerapkan aturannya. 26 b.2 Kegawatan Persoalan (problem malignancy) Keefektifan suatu rezim ditentukan oleh seberapa serius persoalan yang dihadapi. Apabila persoalan semakin rumit, maka keefektifan rezim pun akan semakin kecil. Dengan kata lain, jika terdapat suatu masalah yang sifat malignancynya semakin tinggi, maka kemungkinan terciptanya kerjasama yg efektif akan semakin kecil. 27 Sebagaimana yang telah dijelaskan Arild Underdal. (2007). One Question, Two Answer. Dalam Nanang Pamuji Mugasejati & Ilien Halina. (2007). Bahan Kuliah Rezim Internasional. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM.. Hlm. 6. Ilien Halina. (2007). Efektivitas Rezim & Kerjasama Internasional. Handout Powerpoint. Hlm

20 sebelumnya bahwa peristiwa kebakaran hutan merupakan situasi sangat berbahaya dilihat dari akibat yang ditimbulkannya,baik itu bagi negara Indonesia,dampaknya terhadap negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. b.3 Kapasitas Problem ( Problem Capacity ) Kapasitas permasalahan (problem capacity). Problem solving capacity membicarakan seputar efektivitas rezim diukur dari setting institusional, distribusi kekuasaan (power) 28. a. Institusional setting (the rules of the game) Setting Institusional dalam ASEAN berpengaruh terhadap kesepakatan kesepakatan yang telah dihasilkan, dalam hal ini AATHP. b. Distribusi kekuasaan ( Power ) Distribusi kekuasaan ( Power ) menyangkut pembagian kekuasaan yang adil dalam rezim dimana terdapat pihak dominan yang dapat bertindak sebagai leader namun tidak cukup kuat untuk mengabaikan peraturan, dan juga ada pihak minoritas yang cukup kuat untuk mengontrol pihak dominan Teori Rezim Internasional berdasarkan Pendekatan Interest Pemanasan global merupakan salah satu isu hangat yang sedang marak diperdebatkan di kancah sistem internasional. Fokus utama dari isu ini adalah dampak dari kebakaran hutan dan polusi asap yang tidak hanya merugikan bagi masyarakat sekitar hutan tetapi juga melibatkan negara-negara tetangga, termasuk di dalamnya kerugian dalam bidang ekonomi dan kesehatan. Penyebab dari kebakaran hutan dan polusi asap ini adalah meningkatnya emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh sistem industri ataupun praktik agrikultur. Indonesia dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam penanganan kebakaran hutan dan polusi asap lintas batas, Arild Underdal. (2007). One Question, Two Answer. Dalam Nanang Pamuji Mugasejati & Ilien Halina. (2007). Bahan Kuliah Rezim Internasional. Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana UGM. Hlm Ibid. 20

21 namun di sisi lain, negara-negara di dunia juga memiliki kepentingan terhadap kelestarian hutan di Indonesia. Oleh karenanya, kebakaran hutan dan polusi asap lintas batas menjadi sebuah isu global yang patut dinegosiasikan oleh negara-negara di dunia, khususnya negara-negara yang tergabung dalam ASEAN melalui sebuah rezim internasional sebagai refleksi dari pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Berbagai bentuk kerjasama yang telah dibentuk ASEAN antara lain: ASEAN Cooperation Plan ontransboundary Poluution, Haze Technical Task Force,Strategic Plan of Action on Environment dan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution yang kesemuanya bertujuan untuk menanggulangi masalah kebakaran hutan dan pencemaran asap. Kedua model negosiasi tersebut dapat dijadikan patokan bagi pembentukan rezim kebakaran hutan dan polusi asap lintas batas yang baru. Namun, perlu diperhatikan bahwa kemungkinan pencapaian persetujuan atas isu kebakaran hutan dan polusi asap lintas batas sejatinya lebih sulit. Hal ini dikarenakan upaya penurunan kebakaran hutan dan polusi asap lintas batas di Indonesia tak hanya melibatkan permasalahan lingkungan saja, namun upayanya juga menghendaki sejumlah pengorbanan, termasuk pertumbuhan ekonomi. Negosiasi diantara negara ASEAN lainnya dan negara Indonesia pun semakin sulit akibat adanya pertentangan kepentingan. Sementara itu, isu kebakaran hutan dan polusi asap lintas batas juga dianggap penuh dengan ketidakpastian. Hampir semua orang menyadari bahwa ada yang salah dengan penegakan hukum di Indonesia sehingga masalah kebakaran hutan dan lahan selalu berulang setiap tahunnya. Namun kesadaran saja ternyata tidak cukup. Dibutuhkan kemauan untuk merubah kebiasaan tersebut. Masalah penegakan hukum misalnya, sampai dengan tahun 2006 ternyata hanya 11 kasus yang ditangani pengadilan. Dari sebelas kasus tersebut hanya 3 yang memiliki putusan tetap. Sisanya kandas sebelum atau dalam putusan sela dengan alasan administrasi atau masalah keterwakilan. 21

22 Pengendapan kasus-kasus kebakaran adalah hal lain yang juga harus dicermati. Kebakaran hutan dan lahan pada pertengahan 2006 lalu misalnya, meskipun telah disebutkan bahwa seluruh berkas telah siap namun hingga hari ini tidak pernah terdengar khabar beritanya. Jadi pertanyaan publik nasional dan internasional mengenai keseriusan penegakkan hukum baik yang bersumber pada peraturan perundang-undangan yang ada maupun instrumen internasional yang telah disepakati oleh Indonesia menjadi pertanyaan serius, terutama untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, kepentingan menjaga lingkungan dan penerapan prinsip zero burning. Sampai disini, pemerintah Indonesia pada dasarnya telah gagal untuk meminimalisir kebakaran hutan dan lahan. Meskipun ratusan seminar dan workshop telah dilakukan, ratusan agenda telah dihasilkan namun toh kebakaran selalu berulang. Apakah dana menjadi kendala? Sepertinya tidak. Hingga tahun 2004, Departemen Kehutanan telah menjalin kerjasama dengan pihak donor dan mendapatkan dana hibah lebih dari 452 milyar. 30 Ini belum termasuk kerjasama bilateral yang dilakukan secara langsung baik dengan departemen luar negeri maupun dengan kemerntrian lingkungan. Ini juga belum termasuk bantuan langsung dari Malaysia yang acap kali menurunkan bantuannya dalam bentuk team pemadam kebakaran (Bomba). Untuk menghindari munculnya kekuatan koalisi penghalang, maka diperlukan sebuah rancangan proses negosiasi yang baik. Rancangan tersebut dapat terdiri dari mekanisme ratchet, negotiated baselines, dan tindakan sukarela. 31 Sebenius menawarkan sejumlah solusi, yakni pendekatan sequential, yang menunjukkan adanya konsensus atas sejumlah protokol yang mencakup potensi isu yang dapat memberikan keuntungan bersama; protokol dasar, yang menjadi protokol utama; aksi sukarela, yang merupakan aksi pengusulan perencanaan secara sukarela yang dapat diawali dengan greenhouse action plan; kemudian dilanjutkan dengan persetujuan tambahan dan rachets, hal ini beriringan dengan adanya kemungkinan perubahan 30 Departemen Kehutanan, Sebenius, James K Designing Negotiation Toward a New Regime: The Case of Global Warming, dalam International Security, Vol 15, No 4 (Spring 1991), hlm

23 pemahaman isu akibat fenomena baru yang berkaitan dengan isu; dan pengurangan benturan antara negara Utara dan negara Selatan akibat perbedaan kepentingan. Dari serangkaian penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kebakaran hutan dan polusi asap lintas batas menjadi sorotan kancah internasional seiring dengan pengaruh fenomenanya secara global. Sepakat dengan pemikiran Sebenius, untuk menangani fenomena tersebut, maka diperlukan sebuah negosiasi global diantara negara-negara di dunia yang dapat diakomodasi melalui terbentuknya rezim internasional. Pembentukan rezim sendiri dapat berkaca dari pengalaman terbentuknya negosiasi ASEAN ataupun AATHP. Belajar dari hambatan-hambatan pada negosiasi sebelumnya, seperti hambatan koalisi penghalang, maka penulis sepakat bahwa diperlukan sebuah rancangan negosiasi yang tepat dalam pembuatan rezim kebakaran hutan dan polusi asap lintas batas Argumen Utama Kefektifan AATHP ASEAN didalam penanganan masalah kabut asap ini mencerminkan bagaimana keberadaan ASEAN sebagai sebuah organisasi kerjasama regional menyadari pentingnya penanganan secara mendalam menyangkut kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia tiap tahun. Keterlibatan ASEAN dalam penanganan masalah kabut asap ini tidak berjalan efektif. Hal ini dikarenakan dimana upaya keikutsertaan negara-negara anggota ASEAN dalam meratifikasi isi perjanjian ini mengalami masalah yang bersifat malign. Dapat dlihat dari adanya ketidaksepahaman ( Ingcongurity ) akibat tidak semua negara anggota ASEAN menganggap sebuah isu sebagai permasalahan. Ini dikarenakan tidak semua negara mengalami persoalan yang sama seperti yng terjadi di negara Malaysia dan Singapura yang berdekatan letaknya dengan Indonesia. Walaupun demikian namun sikap ikut berperan serta dalam mendukung upaya ASEAN dalam penangan isu ini tercermin dengan bersedianya masingmasing negara mertifikasi hasil AATHP,terkecuali Indonesia. 23

24 Untuk mengetahui Incongruity ini dapat dilihat melalui asynmetry dan cumulative cleavages. Asymmetry dalam incongruity ini, AATHP ASEAN pada negara-negara anggota ASEAN terdapat perbedaan kepentingan. Perbedaan kepentingan ini dibagi menjadi dua hal yakni negara penghasil dan negara penerima. Dalam hal ini Indonesia dan negara tetangga anggota ASEAN. Dalam cumulative cleavages, dapat dilihat dari bagaimana keberadaan Indonesia yang tidak meratifikasi dan negara-negara anggota ASEAN yang meratifikasi AATHP. Dengan terbentuknya pihak yang berseberangan didalam AATHP ini, yaitu pihak yang meratifikasi dan tidak meratifikasi. Dengan terpenuhinya indikator asymmetry dan cumulative cleavages telah menunjukan bahwa unsur incongruity yang merupakan tanda bahwa struktur masalah didalam rezim merupakan masalah yang sulit untuk diselesaikan atau masalah yang bersifat malign. Strukutur masalah polusi asap menjadi sulit diselesaikan karena terdapat perbedaan pandangan negara anggota ASEAN dalam melihat AATHP. Perbedaan pandangan ini didasari atas perbedaan kepentingan antar negara anggotanya, yaitu kepentingan sebagai negara penghasil, negara penerima atau negara bukan pengasil atau penerima. Dengan adanya perbedaan kepentingan inilah yang membuat terdapat perpecahan dan ketidakefetifan didalam AATHP ASEAN Metode Penelitian Dalam penulisan tesis ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data dilakukan melalui metode kepustakaan (Library Research) dengan menggunakan data-data sekunder yang diperoleh dari literature, buku-buku, jurnal, majalah-majalah, koran-koran, serta tulisan-tulisan yang relevan dengan masalah-masalah yang akan dibahas. Selain itu data atau informasi juga diperoleh melalui internet yang tentu saja berhubungan dengan tulisan yang dimaksud. 24

25 1.7. Sistematika Penulisan Tesis ini terdiri dari empat bab. Bab I, Penulis menulis dan membahas latar belakang masalah,pertanyaan penelitian, tinjauan pustaka,kerangaka teori, argument utama, dan sistematika penulisan. Bab II, Akan menjelaskan tentang kebakaran hutan dan polusi asap lintas batas sebagai isu rezim ASEAN. Dimana akan dibahas mengenai kebakaran hutan dan dampaknya, kepentingan nasional Indonesia dan Malaysia Mengenai Isu Kabut Asap, perjanjian kerjasama ASEAN terhadap isu kabut asap di Indonesia serta Upaya pendekatan yang dilakukan ASEAN terhadap Indonesia Bab III, Ketidakefektifan Asean Agreement On Transboundary Haze Pollution (AATHP) dalam penanggulangan polusi asap. Bab IV, Akan membahas tentang kegagalan rezim ASEAN dalam menangani masalah kabut asap di Indonesia. Pokok bahasan dalam bab ini akan menyoroti Kegagalan ASEAN di level ASEAN, Level Indonesia, dan tentang lemahnya sentralitas ASEAN sebagai suatu rezim, serta alasan Indonesia belum meratifikasi AATHP. Bab V, Pada bab ini merupakan kesimpulan dan rangkuman atas uraian yang telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya. 25

BAB V PENUTUP. Akhir-akhir ini masalah yang menjadi keprihatinan umat manusia di seluruh dunia dan

BAB V PENUTUP. Akhir-akhir ini masalah yang menjadi keprihatinan umat manusia di seluruh dunia dan BAB V PENUTUP 4.1. Kesimpulan Akhir-akhir ini masalah yang menjadi keprihatinan umat manusia di seluruh dunia dan masyarakat di Asia Tenggara meluas mencangkup persolan-persoalan yang tidak terbatas pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia tersebut. Upaya upaya pembangunan ini dilakukan dengan banyak hal,

BAB I PENDAHULUAN. dunia tersebut. Upaya upaya pembangunan ini dilakukan dengan banyak hal, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Negara negara dunia pasca perang dunia II gencar melaksanakan pembangunan guna memperbaiki perekonomian negaranya yang hancur serta memajukan kesejahteraan penduduknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan suatu pondasi alam dalam menyediakan dan

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan suatu pondasi alam dalam menyediakan dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan merupakan suatu pondasi alam dalam menyediakan dan mengendalikan berbagai kebutuhan manusia, seperti udara, air dan sebagainya. Selain sebagai sumber daya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN ASEAN AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION (PERSETUJUAN ASEAN TENTANG PENCEMARAN ASAP LINTAS BATAS) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Indonesia dibalik penundaan ratifikasi ini. Kesimpulan yang penulis sampaikan

BAB V KESIMPULAN. Indonesia dibalik penundaan ratifikasi ini. Kesimpulan yang penulis sampaikan BAB V KESIMPULAN Penelitian ini menjabarkan mengenai alasan dari penundaan ratifikasi AATHP oleh Indonesia yang selanjutnya mengindikasikan pada kepentingan Indonesia dibalik penundaan ratifikasi ini.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia sangat bergantung pada lingkungan. Lingkungan telah

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia sangat bergantung pada lingkungan. Lingkungan telah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan manusia tidak akan pernah lepas dari lingkungan. Eksistensi kehidupan manusia sangat bergantung pada lingkungan. Lingkungan telah menyediakan beragam kebutuhan

Lebih terperinci

Sebelum meratifikasi AATHP, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh Indonesia agar keputusan yang diambil merupakan keputusan yang rasional.

Sebelum meratifikasi AATHP, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh Indonesia agar keputusan yang diambil merupakan keputusan yang rasional. BAB IV KESIMPULAN Kebakaran hutan yang menjadi cikal bakal permasalahan persebaran asap di ASEAN telah terjadi semenjak tahun 1980-an di Indonesia. Setelah diterapkannya zero-burning policy pada tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hidup. Selain berfungsi sebagai paru-paru dunia, hutan dianggap rumah bagi

I. PENDAHULUAN. hidup. Selain berfungsi sebagai paru-paru dunia, hutan dianggap rumah bagi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kawasan hutan merupakan kawasan penting sebagai keberlangsungan makhluk hidup. Selain berfungsi sebagai paru-paru dunia, hutan dianggap rumah bagi berbagai ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (UN, 2001). Pertumbuhan populasi dunia yang hampir menyentuh empat kali lipat

BAB I PENDAHULUAN. (UN, 2001). Pertumbuhan populasi dunia yang hampir menyentuh empat kali lipat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang UNDP (2014) dalam laporan tahunannya Human Development Reports menyebutkan bahwa populasi penduduk dunia saat ini sebesar 7,612 milyar penduduk sedangkan pada tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan lingkungan hidup, telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjuangan Indonesia terkait dengan prinsip Wawasan Nusantara telah membuahkan hasil dengan diakuinya konsep negara kepulauan atau archipelagic state secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hutan sebagai salah satu penentu penyangga kehidupan dan sumber

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hutan sebagai salah satu penentu penyangga kehidupan dan sumber BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hutan sebagai salah satu penentu penyangga kehidupan dan sumber kesejahteraan yang semakin menurun keadaannya, oleh sebab itu eksistensinya harus dijaga secara terus-menerus,

Lebih terperinci

Ratifikasi Setengah Hati Undang-Undang Penanganan Bencana Asap Lintas Negara

Ratifikasi Setengah Hati Undang-Undang Penanganan Bencana Asap Lintas Negara Ratifikasi Setengah Hati Undang-Undang Penanganan Bencana Asap Lintas Negara Setelah 12 tahun menunggu, DPR RI akhirnya menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan ASEAN Agreement on Transboundary

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1997 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Senjata kimia merupakan sistem senjata yang terdiri atas senjata dan

BAB I PENDAHULUAN. Senjata kimia merupakan sistem senjata yang terdiri atas senjata dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Senjata kimia merupakan sistem senjata yang terdiri atas senjata dan pelontarnya serta amunisi dengan isiannya yang menggunakan bahan racun kimia, karena daya racunnya

Lebih terperinci

LESTARI BRIEF KETERPADUAN DALAM PENANGANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN USAID LESTARI PENGANTAR. Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri

LESTARI BRIEF KETERPADUAN DALAM PENANGANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN USAID LESTARI PENGANTAR. Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri LESTARI BRIEF LESTARI Brief No. 01 I 11 April 2016 USAID LESTARI KETERPADUAN DALAM PENANGANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri PENGANTAR Bagi ilmuwan, kebakaran

Lebih terperinci

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA)

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) Copyright 2002 BPHN UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) *9571 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan kehutanan. Kegiatan

Lebih terperinci

Lembar Info KEBAKARAN HUTAN

Lembar Info KEBAKARAN HUTAN KEBAKARAN HUTAN Setelah bencana El Nino pada tahun 1997/98 yang menghanguskan 25 juta hektar 1 hutan diseluruh dunia, kebakaran hutan dianggap sebagai faktor yang paling potensial dalam menghambat pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bangsa Indonesia dikaruniai kekayaan alam, bumi, air, udara serta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bangsa Indonesia dikaruniai kekayaan alam, bumi, air, udara serta 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa Indonesia dikaruniai kekayaan alam, bumi, air, udara serta ribuan pulau oleh Tuhan Yang Maha Esa, yang mana salah satunya adalah hutan. Hutan merupakan sesuatu

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I PENGESAHAN. Agreement. Perubahan Iklim. PBB. Kerangka Kerja. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 204) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagainya. Hal tersebut menyebabkan negara-negara di seluruh dunia turut

BAB I PENDAHULUAN. sebagainya. Hal tersebut menyebabkan negara-negara di seluruh dunia turut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akhir-akhir ini isu mengenai lingkungan hidup menjadi perhatian negaranegara di dunia selaras dengan semakin meningkatnya perhatian negara pada masalah keamanan non

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. internasional, sebagai aktor dalam hubungan internasional, dalam hal pembentukan

BAB V KESIMPULAN. internasional, sebagai aktor dalam hubungan internasional, dalam hal pembentukan BAB V KESIMPULAN Penelitian ini merupakan sarana eksplanasi tentang perilaku organisasi internasional, sebagai aktor dalam hubungan internasional, dalam hal pembentukan suatu program atau agenda yang diimplementasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang wajib dimiliki dalam mewujudkan persaingan pasar bebas baik dalam kegiatan maupun

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN MEMORANDUM OF UNDERSTANDING ON THE ASEAN POWER GRID (MEMORANDUM SALING PENGERTIAN MENGENAI JARINGAN TRANSMISI TENAGA LISTRIK

Lebih terperinci

sebagai seratus persen aman, tetapi dalam beberapa dekade ini Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang cenderung bebas perang.

sebagai seratus persen aman, tetapi dalam beberapa dekade ini Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang cenderung bebas perang. BAB V KESIMPULAN Asia Tenggara merupakan kawasan yang memiliki potensi konflik di masa kini maupun akan datang. Konflik perbatasan seringkali mewarnai dinamika hubungan antarnegara di kawasan ini. Konflik

Lebih terperinci

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar Ketua : Marfuatul Latifah, S.H.I, L.LM Wakil Ketua : Sulasi Rongiyati, S.H., M.H. Sekretaris : Trias

Lebih terperinci

Oleh : Akbar Kurnia Putra 1. Abstrak

Oleh : Akbar Kurnia Putra 1. Abstrak Transboundary Haze Pollution Dalam Perspektif Hukum Lingkungan Internasional Oleh : Akbar Kurnia Putra 1 Abstrak Pencemaran udara diartikan sebagai adanya satu atau lebih pencemar yang masuk ke dalam udara

Lebih terperinci

ABSTRAK DUKUNGAN AUSTRALIA DALAM PENANGGULANGAN DEFORESTASI HUTAN DI INDONESIA TAHUN

ABSTRAK DUKUNGAN AUSTRALIA DALAM PENANGGULANGAN DEFORESTASI HUTAN DI INDONESIA TAHUN ABSTRAK DUKUNGAN AUSTRALIA DALAM PENANGGULANGAN DEFORESTASI HUTAN DI INDONESIA TAHUN 2004-2009 AKRIS SERAFITA UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL 2012 Hubungan Indonesia dan Australia memiliki peranan penting

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Bab I Pendahuluan Bab ini membahas mengenai latar belakang penelitian, rumusan persoalan, serta tujuan dan sasaran studi. Uraian dalam bab ditujukan untuk mengantarkan pembaca pada penelitian yang dikerjakan.

Lebih terperinci

Ketika Negara Gagal Mengatasi Asap. Oleh: Adinda Tenriangke Muchtar

Ketika Negara Gagal Mengatasi Asap. Oleh: Adinda Tenriangke Muchtar Ketika Negara Gagal Mengatasi Asap Oleh: Adinda Tenriangke Muchtar Tahun 2015 menjadi tahun terburuk bagi masyarakat di Sumatera dan Kalimantan akibat semakin parahnya kebakaran lahan dan hutan. Kasus

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal...

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal... DAFTAR ISI DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... iii DAFTAR GRAFIK... iii DAFTAR SINGKATAN... iii ABSTRAK... iii ABSTRACT... iv BAB I PENDAHULUAN... 1 I.1 Latar Belakang... 1 I.2 Rumusan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional yang bersifat global yang terpenting masa kini. 1 Di dalam

BAB I PENDAHULUAN. internasional yang bersifat global yang terpenting masa kini. 1 Di dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah salah satu organisasi internasional yang bersifat global yang terpenting masa kini. 1 Di dalam piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa

Lebih terperinci

MENGENAI KERJA SAMA EKONOMI). DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MENGENAI KERJA SAMA EKONOMI). DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT BETWEEN THE GOVERNMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA AND THE GOVERNMENT OF THE CZECH REPUBLIC OF ECONOMIC COOPERATION

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) adalah organisasi

BAB I PENDAHULUAN. ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) adalah organisasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) adalah organisasi regional di kawasan Asia Tenggara yang telah membangun mitra kerjasama dengan Tiongkok dalam berbagai

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB NEGARA (STATE RESPONSIBILITY) TERHADAP PENCEMARAN UDARA LINTAS BATAS NEGARA BERDASARKAN ASEAN AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION

TANGGUNG JAWAB NEGARA (STATE RESPONSIBILITY) TERHADAP PENCEMARAN UDARA LINTAS BATAS NEGARA BERDASARKAN ASEAN AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION TANGGUNG JAWAB NEGARA (STATE RESPONSIBILITY) TERHADAP PENCEMARAN UDARA LINTAS BATAS NEGARA BERDASARKAN ASEAN AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION Fadhlan Dini Hanif Maria Maya Lestari, SH., M.Sc,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global.

I. PENDAHULUAN. Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global. Hal itu terjadi karena dampak dari kebakaran hutan tersebut bukan hanya dirasakan ole11 Indonesia saja

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk kegiatan malpraktek

BAB V KESIMPULAN. penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk kegiatan malpraktek BAB V KESIMPULAN Illegal Fishing merupakan kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan yang tidak bertanggung jawab dan bertentangan oleh kode etik penangkapan bertanggung jawab. Illegal Fishing termasuk

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pemaparan-pemaparan pada bab-bab sebelumnya, penulis. dengan ini menarik kesimpulan sebagai sebagai berikut :

BAB V PENUTUP. Berdasarkan pemaparan-pemaparan pada bab-bab sebelumnya, penulis. dengan ini menarik kesimpulan sebagai sebagai berikut : BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan-pemaparan pada bab-bab sebelumnya, penulis dengan ini menarik kesimpulan sebagai sebagai berikut : Pertama, terkait Pengaruh Penerapan ASEAN Community

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. asing. Indonesia telah menjadikan Jepang sebagai bagian penting dalam proses

BAB V KESIMPULAN. asing. Indonesia telah menjadikan Jepang sebagai bagian penting dalam proses BAB V KESIMPULAN Dinamika hubungan diplomatik Indonesia dengan Jepang telah mengalami berbagai perkembangan, mulai dari masa penjajahan, kerjasama ekonomi hingga bidang politik dan keamanan. Politik luar

Lebih terperinci

Dampak Pemanasan Global Terhadap Perubahan Iklim di Indonesia Oleh : Ahkam Zubair

Dampak Pemanasan Global Terhadap Perubahan Iklim di Indonesia Oleh : Ahkam Zubair Dampak Pemanasan Global Terhadap Perubahan Iklim di Indonesia Oleh : Ahkam Zubair Iklim merupakan rata-rata dalam kurun waktu tertentu (standar internasional selama 30 tahun) dari kondisi udara (suhu,

Lebih terperinci

BAB IV KEGAGALAN OKI DALAM MENANGANI KONFLIK ARAB/PALESTINA-ISRAEL

BAB IV KEGAGALAN OKI DALAM MENANGANI KONFLIK ARAB/PALESTINA-ISRAEL BAB IV KEGAGALAN OKI DALAM MENANGANI KONFLIK ARAB/PALESTINA-ISRAEL Dalam Bab 4 ini akan membahas tentang Kegagalan OKI (Organisasi Kerjasama Islam) sebagai Organisasi Internasional dalam menangani konflik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerja sama merupakan upaya yang dilakukan oleh perseorangan, kelompok maupun negara untuk mencapai kepentingan bersama. Lewat bekerjasama, tentu saja seseorang, kelompok

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.9/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2018 TENTANG KRITERIA TEKNIS STATUS KESIAGAAN DAN DARURAT KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer akibat berbagai aktivitas manusia di permukaan bumi, seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. J. Suatma, Kesiapan Indonesia dalam Menghadapi ASEAN Economic Community 2015, Jurnal STIE Semarang, vol.4 no.1, 2012.

BAB I PENDAHULUAN. J. Suatma, Kesiapan Indonesia dalam Menghadapi ASEAN Economic Community 2015, Jurnal STIE Semarang, vol.4 no.1, 2012. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kerjasama ASEAN telah dimulai ketika Deklarasi Bangkok ditandatangani oleh Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filiphina pada tahun 1967. Sejak saat

Lebih terperinci

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut SUMBER DAYA AIR Indonesia memiliki potensi lahan rawa (lowlands) yang sangat besar. Secara global Indonesia menempati urutan keempat dengan luas lahan rawa sekitar 33,4 juta ha setelah Kanada (170 juta

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia terletak di benua Asia, tepatnya di kawasan Asia Tenggara. Negara-negara yang terletak di kawasan ini memiliki sebuah perhimpunan yang disebut dengan ASEAN (Assosiation

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan di Jambi telah menjadi suatu fenomena yang terjadi setiap tahun, baik dalam cakupan luasan yang besar maupun kecil. Kejadian kebakaran tersebut tersebar dan melanda

Lebih terperinci

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA Nindyantoro Permasalahan sumberdaya di daerah Jawa Barat Rawan Longsor BANDUNG, 24-01-2008 2008 : (PR).- Dalam tahun 2005 terjadi 47 kali musibah tanah longsor

Lebih terperinci

Dewan Perubahan Iklim Menyongsong Kopenhagen Dewan Perubahan Iklim Menyongsong Kopenhagen

Dewan Perubahan Iklim Menyongsong Kopenhagen Dewan Perubahan Iklim Menyongsong Kopenhagen Dewan Perubahan Iklim Menyongsong Kopenhagen Dewan Perubahan Iklim Menyongsong Kopenhagen OLEH: ALAN KOROPITAN Sinar Harapan, 13 Juni 2009 Tak terasa, dengan hadirnya PP No 46 Tahun 2008, Dewan Nasional

Lebih terperinci

PENGARUH ELNINO PADA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

PENGARUH ELNINO PADA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PENGARUH ELNINO PADA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DEPUTI BIDANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP Jakarta, 12 Juni 2014 RUANG LINGKUP 1. KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA)

Lebih terperinci

seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO) juga beberapa kali mengingatkan akan dilakukan pemerintah di sektor pangan terutama beras, seperti investasi

seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO) juga beberapa kali mengingatkan akan dilakukan pemerintah di sektor pangan terutama beras, seperti investasi 1.1. Latar Belakang Upaya pemenuhan kebutuhan pangan di lingkup global, regional maupun nasional menghadapi tantangan yang semakin berat. Lembaga internasional seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kedepannya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan. empat situasi pokok, yaitu (a) perubahan (change); (b) kompleksitas

BAB I PENDAHULUAN. kedepannya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan. empat situasi pokok, yaitu (a) perubahan (change); (b) kompleksitas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan upaya sadar yang dilakukan oleh manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Hakikat pembangunan adalah bagaimana kehidupan akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Lingkungan hidup telah menjadi isu utama hampir di seluruh negara di dunia. Perubahan iklim beserta dampak yang ditimbulkannya bagi kesehatan dan keselamatan

Lebih terperinci

PEMANASAN GLOBAL: Dampak dan Upaya Meminimalisasinya

PEMANASAN GLOBAL: Dampak dan Upaya Meminimalisasinya PEMANASAN GLOBAL: Dampak dan Upaya Meminimalisasinya Pemanasan global (global warming) adalah suatu bentuk ketidakseimbangan ekosistem di bumi akibat terjadinya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer,

Lebih terperinci

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut www.greenomics.org KERTAS KEBIJAKAN Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut 21 Desember 2009 DAFTAR ISI Pengantar... 1 Kasus 1:

Lebih terperinci

PERUBAHAN IKLIM DAN BENCANA LINGKUNGAN DR. SUNARTO, MS FAKULTAS PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

PERUBAHAN IKLIM DAN BENCANA LINGKUNGAN DR. SUNARTO, MS FAKULTAS PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA PERUBAHAN IKLIM DAN BENCANA LINGKUNGAN DR. SUNARTO, MS FAKULTAS PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA Perubahan Iklim Dan Dampaknya Terhadap Lingkungan Lingkungan adalah semua yang berada di

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Indonesia sebagai salah satu negara yang tergabung dalam rezim internasional

BAB V PENUTUP. Indonesia sebagai salah satu negara yang tergabung dalam rezim internasional BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Indonesia sebagai salah satu negara yang tergabung dalam rezim internasional UNFCCC dan juga telah menyepakati mekanisme REDD+ yang dihasilkan oleh rezim tersebut dituntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah di Indonesia, Pemerintah Pusat maupun Daerah pun memiliki database

BAB I PENDAHULUAN. daerah di Indonesia, Pemerintah Pusat maupun Daerah pun memiliki database BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan merupakan bukan hal baru terjadi disejumlah daerah di Indonesia, Pemerintah Pusat maupun Daerah pun memiliki database yang seharusnya menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan merupakan tujuan dari suatu negara

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan merupakan tujuan dari suatu negara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Modal manusia berperan penting dalam pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan merupakan tujuan dari suatu negara maka modal manusia merupakan faktor

Lebih terperinci

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJA SAMA INTERNASIONAL A. KONDISI UMUM Perhatian yang sangat serius terhadap persatuan dan kesatuan nasional, penegakan hukum dan penghormatan HAM

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan konsentrasi karbon di atmosfer menjadi salah satu masalah lingkungan yang serius dapat mempengaruhi sistem kehidupan di bumi. Peningkatan gas rumah kaca (GRK)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1988 TENTANG PENGESAHAN "PROTOCOL AMENDING THE TREATY OF AMITY AND COOPERATION IN SOUTHEAST ASIA" DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang manfaat serta fungsinya belum banyak diketahui dan perlu banyak untuk dikaji. Hutan berisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penghubung, media rekreasi, dan lain sebagainya. Oleh karena itu

BAB I PENDAHULUAN. penghubung, media rekreasi, dan lain sebagainya. Oleh karena itu 10 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pencemaran lingkungan laut mendapat perhatian dunia dewasa ini, baik secara Nasional, Regional, atau Internasional disebabkan karena dampak yang ditimbulkan

Lebih terperinci

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN.

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN. MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN Faisyal Rani 1 1 Mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Riau 1 Dosen

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pencemaran dan kerusakan lingkungan merupakan permasalahan yang cukup pelik dan sulit untuk dihindari. Jika tidak ada kesadaran dari berbagai pihak dalam pengelolaan lingkungan,

Lebih terperinci

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL

BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL BAB 7 PEMANTAPAN POLITIK LUAR NEGERI DAN PENINGKATAN KERJASAMA INTERNASIONAL A. KONDISI UMUM Perhatian yang sangat serius terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu, kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang melimpah membuat beberapa Negara di Eropa mempunyai niat untuk

BAB I PENDAHULUAN. yang melimpah membuat beberapa Negara di Eropa mempunyai niat untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Letak Asia Tenggara yang sangat strategis serta memiliki kekayaan alam yang melimpah membuat beberapa Negara di Eropa mempunyai niat untuk menguasai wilayah di Asia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. juga mencuat dalam pertemuan umum pemimpin APEC di Sydney dan. Berbagai fakta mudah sekali ditemukan bahwa pemanasan global telah

BAB I PENDAHULUAN. juga mencuat dalam pertemuan umum pemimpin APEC di Sydney dan. Berbagai fakta mudah sekali ditemukan bahwa pemanasan global telah 12 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemanasan global (global warming) adalah isu yang akan terus menghangat dalam beberapa dekade kedepan. Terakhir, isu pemanasan global juga mencuat dalam pertemuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di jaman yang kemajuan teknologinya semakin pesat, masyarakat justru

BAB I PENDAHULUAN. Di jaman yang kemajuan teknologinya semakin pesat, masyarakat justru BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Di jaman yang kemajuan teknologinya semakin pesat, masyarakat justru melalaikan satu faktor yang pada awalnya hanya merupakan masalah minor, yaitu meningkatnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendekatan pembangunan manusia telah menjadi tolak ukur pembangunan. pembangunan, yaitu United Nations Development Programme (UNDP)

BAB I PENDAHULUAN. Pendekatan pembangunan manusia telah menjadi tolak ukur pembangunan. pembangunan, yaitu United Nations Development Programme (UNDP) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sumber Daya Manusia (SDM) adalah kekayaan suatu negara yang dijadikan sebagai modal dasar pembangunan. Pembangunan bertujuan untuk menciptakan lingkungan

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Pengaturan Hukum Internasional tentang Tanggung Jawab Negara Terhadap Pencemaran Udara Lintas Batas dan Implementasinya di Indonesia International Laws on The State

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG PENGESAHAN PARIS AGREEMENT TO THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE (PERSETUJUAN PARIS ATAS KONVENSI KERANGKA KERJA PERSERIKATAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saja kebanyakan dari mereka masih memfokuskan tujuan utamanya pada pencarian

BAB I PENDAHULUAN. saja kebanyakan dari mereka masih memfokuskan tujuan utamanya pada pencarian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada era sekarang ini, sektor bisnis di Indonesia mulai berkembang. Tentu saja kebanyakan dari mereka masih memfokuskan tujuan utamanya pada pencarian keuntungan semata.

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi

Lebih terperinci

NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO THE ASEAN CHARTER ON DISPUTE SETTLEMENT MECHANISM (PROTOKOL PIAGAM ASEAN MENGENAI MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA)

NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO THE ASEAN CHARTER ON DISPUTE SETTLEMENT MECHANISM (PROTOKOL PIAGAM ASEAN MENGENAI MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA) NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO THE ASEAN CHARTER ON DISPUTE SETTLEMENT MECHANISM (PROTOKOL PIAGAM ASEAN MENGENAI MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA) 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Protokol Piagam ASEAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN ,87 Milyar atau senilai 14,99 % dari Produk Domestik Bruto

PENDAHULUAN ,87 Milyar atau senilai 14,99 % dari Produk Domestik Bruto PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Jawa Timur adalah salah satu provinsi yang menjadi kutub pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan didukung oleh ketersediaan infrastruktur dan sumber daya lokal, pembangunan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PERDAGANGAN INDONESIA KE ASEAN PLUS THREE

BAB IV GAMBARAN UMUM PERDAGANGAN INDONESIA KE ASEAN PLUS THREE BAB IV GAMBARAN UMUM PERDAGANGAN INDONESIA KE ASEAN PLUS THREE 4.1. Kerjasama Ekonomi ASEAN Plus Three Kerjasama ASEAN dengan negara-negara besar di Asia Timur atau lebih dikenal dengan istilah Plus Three

Lebih terperinci

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) 1) Disampaikan pada Lokakarya Nasional Rencana Pembangunan Jangka

Lebih terperinci

Pidato Presiden RI mengenai Dinamika Hubungan Indonesia - Malaysia, 1 September 2010 Rabu, 01 September 2010

Pidato Presiden RI mengenai Dinamika Hubungan Indonesia - Malaysia, 1 September 2010 Rabu, 01 September 2010 Pidato Presiden RI mengenai Dinamika Hubungan Indonesia - Malaysia, 1 September 2010 Rabu, 01 September 2010 PIDATO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MENGENAI DINAMIKA HUBUNGAN indonesia - MALAYSIA DI MABES

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Undang Undang No. 6 Tahun 1994 Tentang : Pengesahan United Nations Framework Convention On Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Perubahan Iklim) Oleh : PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Kekayaan Indonesia akan flora dan faunanya membawa indonesia kepada sederet rekor dan catatan kekayaan di dunia. Tanahnya yang subur dan iklim yang menunjang, memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era globalisasi menuntut adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik keterbukaan dalam perdagangan luar negeri (trade openness) maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. PBB tentang lingkungan hidup pada bulan Juni Pemerintah Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. PBB tentang lingkungan hidup pada bulan Juni Pemerintah Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perhatian dunia terhadap lingkungan hidup telah diawali sejak konferensi PBB tentang lingkungan hidup pada bulan Juni 1972. Pemerintah Indonesia sendiri menaruh

Lebih terperinci

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi: Nita Murjani n.murjani@cgiar.org Regional Communications for Asia Telp: +62 251 8622 070 ext 500, HP. 0815 5325 1001 Untuk segera dipublikasikan Ilmuwan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.258, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN. Persetujuan. Pencemaran Asap. Lintas Batas. ASEAN. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 2014 Nomor 5592) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hampir seluruh kegiatan ekonomi berpusat di Pulau Jawa. Sebagai pusat pertumbuhan

Lebih terperinci

PERAN INDONESIA DALAM ORGANISASI REGIONAL

PERAN INDONESIA DALAM ORGANISASI REGIONAL PERAN INDONESIA DALAM ORGANISASI REGIONAL Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) ASEP GINANJAR PPG DALAM JABATAN Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi 2018 1. Peran Indonesia dalam

Lebih terperinci

PENDEKATAN LANSKAP DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM

PENDEKATAN LANSKAP DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM PENDEKATAN LANSKAP DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM Oleh: Dr. Dolly Priatna Yayasan Belantara Seminar Nasional Perubahan Iklim Mengembangkan Program Pendidikan Konservasi dan Lingkungan Hidup Bagi Para Pihak

Lebih terperinci

Menghitung PDRB Hijau di Kabupaten Bandung

Menghitung PDRB Hijau di Kabupaten Bandung ISSN : 205-421 Menghitung PDRB Hijau di Kabupaten Bandung Randy Maulana Institut Teknologi Bandung E-mail : maulana.randy@fe.unpad.ac.id Abstrak. Ekonomi hijau menunjukan hubungan antara degradasi lingkungan,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 3 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim yang kaya akan sumber daya hayati maupun non hayati. Letak Indonesia diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia yang merupakan

Lebih terperinci