Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang
|
|
- Hamdani Hadiman
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 Bab I Pendahuluan Bab ini membahas mengenai latar belakang penelitian, rumusan persoalan, serta tujuan dan sasaran studi. Uraian dalam bab ditujukan untuk mengantarkan pembaca pada penelitian yang dikerjakan. Bab ini juga memberikan ruang lingkup bagi pelaksanaan penelitian serta metode studi yang dilakukan yang mencakup pendekatan studi, metode analisis data dan metode pengumpulan data. Dengan membaca Bab Pendahuluan ini, pembaca mendapatkan aspek-aspek kunci dari penelitian secara sepintas, seperti alasan mengapa studi ini penting untuk dilakukan. I.1 Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi hampir tiap tahun di Indonesia. Kebakaran hebat pernah terjadi pada tahun 1997/1998 yang tidak hanya menimbulkan dampak asap di negara Indonesia, namun juga mempengaruhi kualitas udara negara-negara tetangga terdekat seperti Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam. Kebakaran yang terjadi di Indonesia ini sangat terkait dengan aktivitas pembersihan dan penyiapan lahan yang diperuntukkan terutama untuk tanaman-tanaman perkebunan. Suatu penelitian (Glover dan Jessup, 2002) menyebutkan bahwa kebakaran tahun 1997/1998 secara konservatif telah menyebabkan kerugian ekonomi sebesar US$ 4,47 milyar (perhitungan di tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia dan Singapura). Angka ini tidak termasuk beberapa kerugian yang sulit diukur dalam bentuk uang seperti kematian, dampak jangka panjang terhadap kesehatan dan berbagai bentuk hilangnya keanekaragaman hayati. Untuk menangani permasalahan ini, maka Indonesia telah melakukan berbagai upaya, salah satunya dengan menerbitkan berbagai produk hukum seperti undang-undang, peraturan, pedoman, petunjuk pelaksana dan memperkuat kapasitas institusi pengendali kebakaran hutan di berbagai tingkat pemerintahan (nasional, propinsi dan kabupaten/kota).
2 2 Usaha pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan melibatkan banyak lembaga/institusi, mulai dari lembaga pemerintah sampai organisasi non-pemerintah. Banyaknya lembaga tersebut menimbulkan banyak persoalan, seperti sulitnya koordinasi dan tumpang tindihnya wewenang. Seperti yang dilaporkan oleh Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP (1998) sedikitnya ada 6 (enam) masalah kelembagaan, yaitu : (1) sentralistik yang mengakibatkan keputusan penanggulangan menjadi lambat, (2) banyaknya organisasi menyulitkan koordinasi, (3) tumpang tindih kepemimpinan, (4) pola kepemimpinan yang bersifat non-struktural sehingga mengabaikan prinsip profesionalisme dan pendelegasian wewenang, (5) sifat kelembagaan yang ad-hoc sehingga menimbulkan inefisiensi dan (6) pengerahan satuan tugas pengendali kebakaran yang masih bersifat mobilisasi dan instruksional. Selain permasalahan di atas, masih banyak lagi persoalan-persoalan kelembagaan yang perlu diperbaiki, salah satunya adalah belum adanya manajemen pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang sistematis, komprehensif dan terintegrasi. Peraturan atau pun program institusi masih lebih merefleksikan pendekatan sektoral dalam menangani kebakaran hutan dan lahan daripada pendekatan yang sifatnya integral (Simorangkir dan Sumantri, 2002:35). Padahal sesungguhnya pengelolaan bencana haruslah bersifat terpadu yang dapat mengarahkan semua stakeholder dari pengelolaan bencana sub-sektor ke sektor silang. Pengelolaan bencana terpadu meliputi tiga elemen penting, yaitu the enabling environment (suatu pengkondisian yang memungkinkan terjadi), peranperan institusi (institutional roles) dan alat-alat manajemen (management instruments) (Kodoatie dan Sjarief, 2006:78). Permasalahan lainnya adalah upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia yang lebih fokus kepada upaya yang bersifat pemadaman daripada pencegahan. Meskipun peraturan yang ada memberikan dukungan terhadap upaya pencegahan daripada pemadaman, namun kenyataan yang terjadi adalah berbeda, contohnya adalah institusi-institusi di setiap jenjang pemerintahan (nasional/propinsi/kabupaten/kota) bertindak jika kebakaran sudah terjadi dan bukan sebelumnya. Selain itu program-program jangka pendek yang dijalankan oleh institusi tersebut lebih mencerminkan upaya pemadaman daripada
3 3 pencegahan. Lainnya adalah komitmen atau kemauan untuk mengalokasikan sumberdaya (manusia, dana, peralatan, teknologi) terhadap upaya pencegahan lebih rendah dibandingkan upaya pemadaman (Simorangkir dan Sumantri, 2002: 36). Seperti yang dinyatakan oleh Osborne dan Gaebler (1992) pada prinsipprinsip kelembagaan yang dikemukakannya disebutkan bahwa seharusnya suatu kelembagaan bersifat antisipatif artinya lebih mementingkan tindakan preventif daripada tindakan kuratif. Selain itu juga mementingkan sinergi dan keterpaduan baik dari segi program maupun keterlibatan seluruh unsur kelembagaan yang berkepentingan (Institutional Stakeholders). Pendekatan penanggulangan bencana (disaster management) yang seharusnya dilakukan adalah bersifat kontinyu karena penanggulangan bencana adalah suatu proses yang dinamis yang secara umum mencakup pengelolaan fungsi perencanaan, organisasi, personel, kepeloporan dan pengendalian. Carter (1991) menyatakan bahwa pada daur penanggulangan bencana seharusnya mencakup kegiatan-kegiatan yang terdiri dari pencegahan (prevention), mitigasi (mitigation), kesiapsiagaan (preparedness), pengendalian/tanggap darurat (response), pemulihan (recovery) dan pengembangan (development). Pendekatan lainnya tentang pengelolaan bencana menyebutkan bahwa pengelolaan bencana adalah suatu siklus yang meliputi empat aspek yaitu Jauh Sebelum Bencana, Pra- Bencana Sampai Menjelang Bencana, Saat Bencana dan Pasca Bencana (Kodoatie dan Sjarief, 2006). Sedangkan pengelolaan bencana kebakaran hutan dan lahan yang lebih spesifik dijelaskan pada Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan yang memuat aspekaspek pencegahan, penanggulangan, pemulihan serta peningkatan kesadaran masyarakat dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Memperhatikan masih banyaknya permasalahan yang harus diselesaikan, maka pemerintah harus secara kontinyu berupaya memperbaiki kelembagaan penanggulangan bencana kebakarannya. Di sisi lain adanya komitmen baru di tingkat regional, yaitu ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) yang perlu ditindaklanjuti oleh Indonesia memberikan sebuah peluang untuk lebih memacu perbaikan dan penguatan kelembagaan tersebut. Melalui
4 4 Persetujuan ini diharapkan Indonesia dapat memanfaatkan komitmen yang ada pada Persetujuan tersebut guna peningkatan dan penguatan kapasitas kelembagaannya dalam menangani kebakaran hutan dan lahan. ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (Persetujuan ASEAN Tentang Pencemaran Asap Lintas Batas) 1 ditandatangani pada tanggal 10 Juni 2002 dan telah berlaku (entry into force) pada tanggal 25 November 2003 setelah sedikitnya 6 (enam) negara meratifikasinya. Persetujuan ini mengatur pencegahan, pemantauan dan pengendalian kebakaran hutan dan/atau lahan yang menimbulkan pencemaran asap lintas batas Negara. Pemerintah Indonesia saat ini dalam proses untuk meratifikasi Persetujuan ini ke dalam peraturan perundangundangan. Memperhatikan secara menyeluruh terhadap isi Persetujuan tersebut, maka Indonesia tidak hanya harus memenuhi ketentuan yang ada pada butir-butir Persetujuan (AATHP) namun juga mendapatkan peluang dari pemberlakuan Persetujuan ini. Peluang tersebut diantaranya adalah mendapatkan bantuan materil dan/atau immateril yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan kapasitas pengendalian kebakaran hutan dan lahan, mendapatkan momentum untuk mengembangkan peraturan nasional, kelembagaan, infrastruktur dan sarana teknis pengendalian kebakaran, dan mendapatkan pelajaran berharga dari pihak lain (negara lain) khususnya pada aspek-aspek yang belum dikuasai sepenuhnya oleh Indonesia seperti pengadopsian pengetahuan atau ilmu terapan tertentu yang terkait dengan pengendalian kebakaran 2. Selain itu pada butir-butir Persetujuan juga terdapat hal-hal yang dapat mendorong upaya pengendalian kebakaran di Indonesia menjadi lebih baik, seperti pada aspek Pencegahan yang menyebutkan bahwa Pemerintah wajib mengembangkan dan melaksanakan tindakan legislatif dan peraturan lainnya, maupun program dan strategi untuk mempromosikan kebijakan pembukaan lahan tanpa bakar sehubungan dengan kebakaran lahan dan/atau hutan yang mengakibatkan pencemaran asap lintas batas. Hal ini dapat 1 Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas bertujuan untuk mencegah dan memantau pencemaran asap lintas batas sebagai akibat dari kebakaran lahan dan/atau hutan yang harus ditanggulangi, melalui upaya nasional dan mengintensifkan kerjasama regional dan internasional. 2 Seperti yang disampaikan oleh Deputi VI MENLH pada Lokakarya Kebijakan Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia : Permasalahan dan Tantangan serta kecenderungan ke depan, Juli 2004, Palembang
5 5 menjadi sebuah momentum penting guna pengembangan peraturan nasional demi mendukung pemberlakuan Persetujuan tersebut. I.2 Rumusan Persoalan Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi setiap tahun di wilayah Sumatera dan Kalimantan dapat mengakibatkan pencemaran asap lintas batas negara. Pencemaran asap tersebut dapat merugikan kesehatan, mencemari lingkungan dan merusak ekosistem serta mengganggu transportasi. Indonesia telah melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran asap akibat kebakaran hutan dan lahan, namun untuk penanganan pencemaran asap lintas batas negara, Indonesia beserta negara ASEAN lainnya menyadari bahwa pencegahan dan penanggulangannnya harus dilakukan secara bersama-sama. Alasan perlunya kerjasama antar negara didasari persamaan kepentingan dalam menghadapi berbagai kendala seperti kurangnya teknologi untuk penanganan kebakaran, lemahnya kelembagaan, dan kondisi ekonomi beberapa negara ASEAN. Berpijak pada latar belakang tersebut, maka Indonesia dan negara ASEAN lainnya sepakat untuk mengatasi permasalahan kebakaran dan dampak asapnya bersama-sama yang diwujudkan melalui penandatanganan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas) pada tanggal 10 Juni Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas telah berlaku sejak 25 November 2003, namun bencana kebakaran dan asap yang menimbulkan pencemaran asap lintas batas negara ASEAN yang terjadi pada tahun 2005 dan 2006 yang lalu membuktikan bahwa Indonesia belum memanfaatkan dan melaksanakan AATHP ini sebaik-baiknya untuk memacu perbaikan kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahannya. Padahal dengan pemberlakuan AATHP tersebut telah memberikan peluang bagi Indonesia untuk dapat memanfaatkannya guna memacu perbaikan persoalan kelembagaan di Indonesia melalui upaya di tingkat nasional serta mengintensifkan kerjasama regional dan internasional. Berdasarkan uraian di atas, maka persoalan yang akan diangkat dalam studi ini adalah berkaitan dengan upaya untuk lebih mengenali implikasi
6 6 kelembagaan dari pemberlakuan AATHP. Dengan diketahuinya bentuk-bentuk implikasi kelembagaan dari pemberlakuan AATHP khususnya yang dapat mendorong perbaikan persoalan kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran di Indonesia maka diharapkan Indonesia dapat lebih mampu mengatasi kebakaran hutan dan lahan serta dampak asapnya. Untuk mengetahui hal tersebut maka selain diperlukan kajian terhadap isi AATHP, juga diperlukan kesamaan pendapat dari para stakeholder terkait. Oleh karena itu, pertanyaan penelitian studi ini adalah bagaimana merumuskan implikasi kelembagaan atas ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution? I.3 Tujuan dan Sasaran Studi Berdasarkan latar belakang dan rumusan persoalan yang diuraikan di atas maka studi ini bertujuan untuk merumuskan implikasi kelembagaan atas ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas). Untuk mencapai tujuan tersebut maka perlu dicapai beberapa sasaran sebagai berikut : a. Mengidentifikasi persoalan kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, b. Merumuskan implikasi kelembagaan awal atas AATHP, c. Menentukan responden yang mencerminkan unsur stakeholder yang terkait dengan pelaksanaan AATHP, d. Menentukan kesamaan pendapat para responden terhadap implikasi kelembagaan atas AATHP, e. Menentukan pendapat peneliti terhadap implikasi kelembagaan atas AATHP. I.4 Ruang Lingkup Studi Penelitian ini dilakukan dengan membatasi ruang lingkup studi, baik dalam arti ruang lingkup materi bahasan (substantif) maupun ruang lingkup wilayah otoritas.
7 7 I.4.1 Lingkup Materi Bahasan Secara substantif, studi ini mencoba merumuskan implikasi kelembagaan atas pemberlakuan AATHP. Hasil analisis tersebut berguna untuk menentukan implikasi kelembagaan atas AATHP ditinjau dari persoalan kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran dan isi AATHP. Penelitian ini hanya dibatasi pada analisis untuk mengenali persoalan-persoalan kelembagaan apa saja yang dapat dipacu perbaikannya melalui pemberlakukan AATHP. Implikasi kelembagaan yang dianalisis dibatasi pada bentuk-bentuk implikasi kelembagaan yang diidentifikasi dapat memacu perbaikan persoalan kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran di Indonesia secara internal beserta perangkat kelembagaan yang terdapat dalam AATHP yang juga dapat mempengaruhi perbaikan persoalan kelembagaan di Indonesia. Kelembagaan yang dianalisis dalam studi ini dibatasi pada kelembagaan yang bersifat formal (kesepakatan) dan prosedural beserta jaringan dukungan yang dikembangkan di dalamnya secara terorganisasi, termasuk program, sumberdaya dan struktur intern. Faktor eksternal, yaitu pengaruh-pengaruh non kelembagaan yang mungkin juga dapat mempengaruhi kelembagaan penanggulangan kebakaran secara internal di Indonesia tidak dianalisis dalam studi ini dengan alasan studi ini hanya memfokuskan kepada upaya untuk lebih mengenali bentuk-bentuk implikasi kelembagaan atas AATHP yang dapat memacu perbaikan kelembagaan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia menurut pandangan stakeholder di Indonesia, khususnya implikasi kelembagaan yang langsung bersinggungan dengan persoalan kelembagaan penanggulangan kebakaran di Indonesia. Studi ini tidak dimaksudkan untuk mendukung atau tidak mendukung pemberlakuan AATHP namun hanya untuk mengetahui bentuk-bentuk implikasi kelembagaan dari pemberlakuan AATHP yang dapat memberikan implikasi dalam memacu perbaikan kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.
8 8 I.4.2 Lingkup Wilayah Otoritas Studi ini akan memfokuskan pada penggalian kesamaan pendapat responden pada institusi-institusi di tingkat pusat (nasional) saja. Hal ini dengan beberapa pertimbangan atau alasan sebagai berikut : 1. ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) merupakan Perjanjian Internasional dan pemerintah pusat merupakan pihak yang menjadi anggota AATHP tersebut sehingga pemerintah pusatlah yang bertanggung jawab atas pelaksanaan AATHP. Pemerintah propinsi, kabupaten atau kota perlu menyesuaikan diri dengan komitmen yang telah disepakati di dalam AATHP tersebut. 2. Perangkat kelembagaan implementasi AATHP (National Focal Point, National Monitoring Centre dan Competent Authorities) yang telah ditunjuk dan ditetapkan melekat pada institusi-institusi di tingkat pusat (nasional). 3. Meskipun kebakaran hutan dan lahan terjadi di daerah, namun segala hal yang berkaitan dengan implementasi AATHP seperti ketentuan pemberian bantuan sumberdaya dan kerjasama teknis yang melibatkan pemerintah daerah harus tetap melibatkan pemerintah pusat sebagai pengambil keputusan. 4. Adanya ketentuan mekanisme pemberian bantuan dari negara ASEAN lainnya atau dunia internasional yang ada pada saat tanggap darurat bencana yang ada pada AATHP sangat berkaitan dengan penetapan bencana yang diputuskan oleh pemerintah pusat. I.5 Metode Studi Pada bagian ini akan dijelaskan metode yang digunakan dalam penelitian, meliputi pendekatan studi, metode analisis data dan metode pengumpulan data yang dipilih untuk mencapai tujuan studi. I.5.1 Pendekatan Studi Pendekatan studi yang dilakukan melalui metode eksploratif. Metode eksploratif menurut Kuntjaraningrat (1996) adalah metode penelitian yang digunakan untuk menggali dan lebih mengenal terhadap suatu fenomena atau
9 9 gejala yang akan diteliti. Dalam studi ini dimaksudkan untuk menggali dan memperdalam pengetahuan baik dari isi AATHP maupun pendapat dari para stakeholder mengenai bentuk-bentuk implikasi kelembagaan dari AATHP yang dapat memacu perbaikan kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran di Indonesia. I.5.2 Metode Analisis Data Dalam mencapai tujuan studi, maka peneliti menggunakan metode analisis sebagai berikut : 1. Mengidentifikasi persoalan kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan Untuk mengidentifikasi persoalan kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan, maka dilakukan penelusuran literatur untuk mengetahui persoalan-persoalan kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan yang ada di Indonesia. Setelah melakukan penelusuran terhadap literatur, maka dilakukan identifikasi persoalan kelembagaan melalui pengamatan terhadap kesamaan pendapat diantara berbagai literatur yang menjadi rujukan. 2. Merumuskan implikasi kelembagaan awal atas AATHP Untuk merumuskan implikasi kelembagaan awal atas AATHP, maka dilakukan content analysis (kajian isi), yaitu teknik yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha untuk menemukan karakteristik pesan, dan dilakukan secara objektif dan sistematis (Muhadjir, 1989). Kajian isi dilakukan untuk mengetahui implikasi kelembagaan yang dapat dipacu perbaikannya melalui pemberlakuan AATHP. 3. Menentukan responden yang mencerminkan unsur stakeholder yang terkait dengan pelaksanaan AATHP Untuk mengetahui pendapat responden terhadap implikasi kelembagaan atas pemberlakuan AATHP maka perlu menentukan responden yang dianggap mencerminkan unsur stakehoder yang terkait dengan pelaksanaan AATHP. Untuk mencerminkan unsur-unsur stakeholder dalam tata pemerintahan yang baik, maka responden tersebut akan diambil dari unsur-unsur sebagai berikut :
10 10 (a) unsur pemerintah dalam hal ini yang terkait dengan kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di tingkat nasional. Penentuan institusi yang dipilih didasarkan atas tugas dan fungsinya sesuai dengan peraturan yang berlaku serta kelembagaan yang ada pada AATHP, sedangkan pemilihan responden ahli didasarkan kepada keterlibatannya dalam forum pertemuan nasional dan regional yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan AATHP, (b) unsur DPR pusat. Pemilihan responden didasarkan kepada keterlibatannya dalam membahas RUU Pengesahan Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas (AATHP) dan RUU Penanggulangan Bencana, (c) unsur swasta (dunia usaha) yang bergerak dalam usaha kehutanan atau perkebunan, dan (d) unsur organisasi masyarakat (LSM) di tingkat nasional yang intensif mencermati masalah-masalah lingkungan dan penanggulangan bencana di Indonesia. 4. Menentukan kesamaan pendapat para responden terhadap implikasi kelembagaan atas AATHP Untuk dapat menentukan kesamaan pendapat maka dilakukan eksplorasi (penggalian pendapat) terhadap para responden dengan menggunakan metode Delphi. Metode Delphi yang digunakan adalah Metode Delphi Conventional. Metode Delphi dipilih karena teknik ini sangat tepat digunakan untuk memecahkan masalah yang rumit. Salah satu masalah yang sifatnya rumit adalah bahwa alternatif kebijakan dan konsekuensinya tidak dapat diketahui. Teknik Delphi adalah prosedur peramalan pendapat untuk memperoleh, menukar, dan membuat opini tentang peristiwa di masa depan (Dunn, 1999 : 366). Harold dan Turrof (1975) menjelaskan terdapat satu atau lebih ciri yang menentukan perlunya digunakan meteode Delphi. Ciri tersebut diantaranya adalah pemecahan membutuhkan pendapat dari individu-individu dengan latar belakang yang berbeda seperti pengalaman dan keahlian dan permasalahan yang dihadapi tidak memungkinkan untuk menggunakan metode analisis tertentu tetapi melalui pendapat-pendapat subyektif yang diberikan secara kolektif. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka penggunaan metode ini sangat tepat digunakan untuk studi ini.
11 11 5. Menentukan pendapat peneliti terhadap implikasi kelembagaan atas AATHP Untuk menentukan pendapat peneliti terhadap implikasi kelembagaan atas AATHP, maka akan diberikan pendapat peneliti baik terhadap pendapat yang memiliki kesamaan maupun tidak diantara para responden yang diperoleh melalui metode Delphi. Pendapat yang diberikan selain didasarkan kepada ketentuan yang ada pada AATHP, juga didasarkan kepada ketentuan yang sudah berlaku sebelum adanya AATHP. Dari analisis ini, diharapkan bisa terumuskan implikasi kelembagaan secara menyeluruh atas AATHP. I.5.3 Metode Pengumpulan Data Untuk memperoleh dan mengumpulkan data, ada beberapa metode yang digunakan dalam studi ini. Metode tersebut adalah : 1. Survei Data Primer a. Kegiatan wawancara semi terstruktur kepada para responden yang mencerminkan unsur stakeholder yang terkait dengan pemberlakuan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP). Wawancara dilakukan untuk menggali pendapat responden mengenai implikasi kelembagaan atas AATHP. b. Penyebaran kuisioner umpan balik tahap II dan III kepada responden yang sama pada wawancara eksploratif tahap pertama. 2. Survei Data Sekunder Survei data sekunder dilakukan untuk memperoleh data-data atau dokumen mengenai ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution serta peraturan perundangan yang terkait dengan tugas dan fungsi institusi yang terkait dengan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan. 3. Survei Literatur Survei literatur dilakukan untuk memperoleh informasi tentang persoalan kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan. I.6 Sistematika Pembahasan Secara garis besar sistematika pembahasan dalam penyusunan tesis ini memuat substansi sebagai berikut :
12 12 Bab 2 Kajian Persoalan Kelembagaan Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan dan Perumusan Implikasi Kelembagaannya Berdasarkan Isi AATHP Bab ini berisikan mengenai tinjauan literatur kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan dan persoalannya, perumusan persoalan kelembagaan, sejarah serta kelembagaan dalam ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) serta rumusan awal implikasi kelembagaan berdasarkan persoalan kelembagaan dan isi AATHP. Bab 3 Analisis Penentuan Responden dan Implikasi Kelembagaan atas AATHP (ASEAN AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION) Pada bab ini membahas penentuan responden yang terkait dengan pemberlakuan AATHP, hasil pengolahan implikasi kelembagaan atas AATHP berdasarkan pendapat responden serta pendapat peneliti Bab 4 Kesimpulan dan Saran Pada bab ini berisi temuan studi, kesimpulan, kelemahan studi yang mempengaruhi hasil studi serta saran studi lanjutan yang diperlukan.
13 13 Berlakunya ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) menimbulkan implikasi kelembagaan Kelembagaan Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan lahan memilki banyak persoalan Perlu perumusan implikasi kelembagaan atas AATHP Melakukan studi literatur terhadap persoalan kelembagaan penanggulangan bencana kebakaran Melakukan Kajian Isi terhadap isi AATHP untuk merumuskan implikasi kelembagaan awal atas AATHP Perlu kesamaan pendapat stakeholder tentang implikasi kelembagaan atas AATHP Penentuan responden yang mencerminkan unsur stakeholder Identifikasi Persoalan Kelembagaan Check List Wawancara Eksploratif Pemerintah Legislatif Dunia Usaha Masyarakat Para Responden yang mencerminkan unsur stakeholder Daftar Implikasi kelembagaan Hasil Eksplorasi Tahap I Wawancara Eksploratif (Delphi Tahap I) Umpan Balik Tahap II Pendapat para responden Hasil Umpan Balik Tahap II Umpan Balik Tahap III Pendapat para responden Hasil Umpan Balik Tahap III Sintesis terhadap implikasi kelembagaan atas AATHP berdasarkan Kajian Isi dan Metode Delphi Rekomendasi terhadap implikasi kelembagaan atas AATHP Gambar I.1 Kerangka Pemikiran Studi
Bab IV Kesimpulan dan Saran
Bab IV Kesimpulan dan Saran Sebagai bagian akhir, bab ini akan membahas mengenai temuan studi, kesimpulan serta beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan untuk lebih memacu perbaikan kelembagaan penanggulangan
Lebih terperinciBab III Analisis Penentuan Responden dan Implikasi Kelembagaan atas ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP)
Bab III Analisis Penentuan Responden dan Implikasi Kelembagaan atas ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) Bab ini akan membahas analisis penentuan responden dan implikasi kelembagaan
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN ASEAN AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION (PERSETUJUAN ASEAN TENTANG PENCEMARAN ASAP LINTAS BATAS) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciRatifikasi Setengah Hati Undang-Undang Penanganan Bencana Asap Lintas Negara
Ratifikasi Setengah Hati Undang-Undang Penanganan Bencana Asap Lintas Negara Setelah 12 tahun menunggu, DPR RI akhirnya menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan ASEAN Agreement on Transboundary
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. Akhir-akhir ini masalah yang menjadi keprihatinan umat manusia di seluruh dunia dan
BAB V PENUTUP 4.1. Kesimpulan Akhir-akhir ini masalah yang menjadi keprihatinan umat manusia di seluruh dunia dan masyarakat di Asia Tenggara meluas mencangkup persolan-persoalan yang tidak terbatas pada
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN. Indonesia dibalik penundaan ratifikasi ini. Kesimpulan yang penulis sampaikan
BAB V KESIMPULAN Penelitian ini menjabarkan mengenai alasan dari penundaan ratifikasi AATHP oleh Indonesia yang selanjutnya mengindikasikan pada kepentingan Indonesia dibalik penundaan ratifikasi ini.
Lebih terperinciDAFTAR PUSTAKA. 1. Bainbridge, Vanessa et.al, 2000, Transforming Bureaucracies, International Institute for Environment and Development, London
DAFTAR PUSTAKA Kelompok Buku Teks, Jurnal dan Artikel 1. Bainbridge, Vanessa et.al, 2000, Transforming Bureaucracies, International Institute for Environment and Development, London 2. Carter W.N, 1991,
Lebih terperinciSTUDI PERUMUSAN IMPLIKASI KELEMBAGAAN ATAS ASEAN AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION (PERSETUJUAN ASEAN TENTANG PENCEMARAN ASAP LINTAS BATAS)
STUDI PERUMUSAN IMPLIKASI KELEMBAGAAN ATAS ASEAN AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION (PERSETUJUAN ASEAN TENTANG PENCEMARAN ASAP LINTAS BATAS) TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
Lebih terperinciSebelum meratifikasi AATHP, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh Indonesia agar keputusan yang diambil merupakan keputusan yang rasional.
BAB IV KESIMPULAN Kebakaran hutan yang menjadi cikal bakal permasalahan persebaran asap di ASEAN telah terjadi semenjak tahun 1980-an di Indonesia. Setelah diterapkannya zero-burning policy pada tahun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan sebagai bagian dari sumber daya alam nasional memiliki arti dan peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan lingkungan hidup, telah
Lebih terperinciBab II Kajian Persoalan Kelembagaan Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan dan Perumusan Implikasi Kelembagaannya Berdasarkan Isi AATHP
Bab II Kajian Persoalan Kelembagaan Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan dan Perumusan Implikasi Kelembagaannya Berdasarkan Isi AATHP Bab ini akan membahas tentang tinjauan literatur kelembagaan
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.258, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PENGESAHAN. Persetujuan. Pencemaran Asap. Lintas Batas. ASEAN. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 2014 Nomor 5592) UNDANG-UNDANG
Lebih terperinciPENGANTAR LOKAKARYA MANAJEMEN KEDARURATAN DAN PERENCANAAN KONTINJENSI. Painan, 29 November 3 Desember 2005 BAKORNAS PBP KABUPATEN PESISIR SELATAN
WORLD HEALTH ORGANIZATION BAKORNAS PBP PENGANTAR KABUPATEN PESISIR SELATAN LOKAKARYA MANAJEMEN KEDARURATAN DAN PERENCANAAN KONTINJENSI Painan, 29 November 3 Desember 2005 LOKAKARYA MANAJEMEN KEDARURATAN
Lebih terperinciRancangan QANUN KABUPATEN ACEH BESAR NOMOR 15 TAHUN 2011
Rancangan QANUN KABUPATEN ACEH BESAR NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS QANUN KABUPATEN ACEH BESAR NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dunia tersebut. Upaya upaya pembangunan ini dilakukan dengan banyak hal,
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Negara negara dunia pasca perang dunia II gencar melaksanakan pembangunan guna memperbaiki perekonomian negaranya yang hancur serta memajukan kesejahteraan penduduknya
Lebih terperinciSLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015
B. Pemanfaatan dari Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah 1.3. Manfaat SLHD Provinsi DKI Jakarta 1.3.1. Manfaat Bagi Pemerintah Daerah Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) Provinsi DKI Jakarta dimanfaatkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia sangat bergantung pada lingkungan. Lingkungan telah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan manusia tidak akan pernah lepas dari lingkungan. Eksistensi kehidupan manusia sangat bergantung pada lingkungan. Lingkungan telah menyediakan beragam kebutuhan
Lebih terperinci3. METODOLOGI PENELITIAN
3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Pedekatan Penelitian Pendekatan penelitian ini adalah kuasi kualitatif, dimana penggunaan teori masih dimungkinkan sebagai alat penelitian sejak menemukan masalah, pengumpulan
Lebih terperinci- 283 - H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP
- 283 - H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAH 1. Pengendalian Dampak Lingkungan 1. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) 1. Menetapkan
Lebih terperinciPERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN RETENSI ARSIP SEKTOR PEREKONOMIAN URUSAN LINGKUNGAN HIDUP
Jalan Ampera Raya No. 7, Jakarta Selatan 12560, Indonesia Telp. 62 21 7805851, Fax. 62 21 7810280 http://www.anri.go.id, e-mail: info@anri.go.id PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR
Lebih terperinciPERAN KEDEPUTIAN PENCEGAHAN DAN KESIAPSIAGAAN DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG PENANGGULANGAN BENCANA
PERAN KEDEPUTIAN PENCEGAHAN DAN KESIAPSIAGAAN DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL BIDANG PENANGGULANGAN B. Wisnu Widjaja Deputi Pencegahan dan Kesiapsiagaan TUJUAN PB 1. memberikan perlindungan kepada masyarakat
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 5 TAHUN 2010 T E N T A N G ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH
PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 5 TAHUN 2010 T E N T A N G ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAKPAK BHARAT, Menimbang
Lebih terperinciKerangka Acuan Peringatan Bulan Pengurangan Risiko Bencana Nasional
Kegiatan Kerangka Acuan Peringatan Bulan Pengurangan Risiko Bencana Nasional SFDRR (Kerangka Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana) dan Pengarusutamaan PRB dalam Pembangunan di Indonesia Tanggal 17 Oktober
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Rencana Umum Penanaman Modal (RUPM) merupakan dokumen perencanaan yang bersifat jangka panjang sampai dengan tahun 2036. RUPM berfungsi untuk mensinergikan & mengoperasionalisasikan
Lebih terperinciPASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2. Cukup jelas. Pasal 3. Cukup jelas. Pasal 4. Cukup jelas. Pasal 5. Cukup jelas. Pasal 6.
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN UMUM
Lebih terperinciH. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP
- 283 - H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP 1. Pengendalian Dampak Lingkungan 1. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) 1. Menetapkan kebijakan mengenai pengelolaan Limbah
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOGOR
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOM0R : 2 TAHUN : 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan proses perubahan kearah yang lebih baik, mencakup seluruh dimensi kehidupan masyarakat suatu daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan
Lebih terperinciH. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP
- 216 - H. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG LINGKUNGAN HIDUP 1. Pengendalian Dampak Lingkungan 1. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) 1. Menetapkan kebijakan mengenai pengelolaan Limbah
Lebih terperinciINSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PENINGKATAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PENINGKATAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka peningkatan pengendalian kebakaran hutan dan
Lebih terperinciINSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PENINGKATAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG PENINGKATAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka peningkatan pengendalian kebakaran hutan dan
Lebih terperinciBAB IV RENCANA AKSI DAERAH PENGURANGAN RESIKO BENCANA KABUPATEN PIDIE JAYA TAHUN
BAB IV RENCANA AKSI DAERAH PENGURANGAN RESIKO BENCANA KABUPATEN PIDIE JAYA TAHUN 2013-2015 Penyelenggaraan penanggulangan bencana bertujuan untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan penanggulangan bencana
Lebih terperinciDEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANJAR dan BUPATI BANJAR
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN, ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN BANJAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJAR,
Lebih terperinciKEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk menjamin terselenggaranya tertib administrasi pemerintah dan pembangunan di bidang
Lebih terperinciPeran Kelembagaan dalam Mitigasi Bencana di Indonesia. Oleh: Rudi Saprudin Darwis
Peran Kelembagaan dalam Mitigasi Bencana di Indonesia Oleh: Rudi Saprudin Darwis Pendahuluan Secara geografis, Indonesia berada di daerah rawan bencana; negara yang memiliki risiko gempa bumi lebih dari
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.9/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2018 TENTANG KRITERIA TEKNIS STATUS KESIAGAAN DAN DARURAT KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciMANAJEMEN BENCANA PENGERTIAN - PENGERTIAN. Definisi Bencana (disaster) DEPARTEMEN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA
DEPARTEMEN DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PENGERTIAN - PENGERTIAN ( DIREKTUR MANAJEMEN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN BENCANA ) DIREKTORAT JENDERAL PEMERINTAHAN UMUM Definisi Bencana (disaster) Suatu peristiwa
Lebih terperinciBUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR: 3 0.? TJLHUN 200o
BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR: 3 0.? TJLHUN 200o TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA KANTOR LINGKUNGAN HIDUP KABUPATEN PURWOREJO BUPATI PURWOREJO, Menimbang : bahwa
Lebih terperinciTenggara yakni Malaysia, Singapura, dan Brunai Darusalam. Oleh karena itu perlu ditetapkan berbagai langkah kebijakan pengendaliannya.
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN UMUM
Lebih terperinciAssalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
BAHAN RAPAT KERJA MENTERI PERTANIAN DENGAN KOMISI VII DPR RI Pembahasan RUU tentang Pengesahan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas) 12
Lebih terperinciBUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 81 TAHUN 2014 TENTANG
BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 81 TAHUN 2014 TENTANG TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciSKENARIO STRATEGI SISTEM KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAS DAN PESISIR CITARUM JAWA BARAT
SKENARIO STRATEGI SISTEM KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAS DAN PESISIR CITARUM JAWA BARAT Hasil kinerja sistem berdasarkan hasil analisis keberlanjutan sistem dan kinerja model sistem menunjukkan bahwa sistem
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG
LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2010 NOMOR 14 PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciPERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA KONTIJENSI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA KONTIJENSI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa pembentukan
Lebih terperinciStrategi Sanitasi Kabupaten Malaka
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Sanitasi di Indonesia telah ditetapkan dalam misi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMPN) tahun 2005 2025 Pemerintah Indonesia. Berbagai langkah
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 5 TAHUN 2010
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 5 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 5 TAHUN 2010 T E N T A N G PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PELAKSANA PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN
Lebih terperinciPERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA NOMOR 17 TAHUN 2010 TENTANG
PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA NOMOR 17 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN UMUM PENYELENGGARAAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI PASCA BENCANA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA Pedoman
Lebih terperinciGUBERNUR KALIMANTAN TENGAH
GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 39 TAHUN 2008 T E N T A N G TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN LINGKUNGAN HIDUP PROVINSI KALIMANTAN TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciKERANGKA DAN STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DALAM PROGRAM KARBON HUTAN BERAU (PKHB)
KERANGKA DAN STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DALAM PROGRAM KARBON HUTAN BERAU (PKHB) Menimbang berbagai faktor utama yang menghambat pengelolaan hutan lindung secara efektif, maka pengelolaan hutan
Lebih terperinciPEMERINTAH KOTA PASURUAN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 02 TAHUN 2010 TENTANG
PEMERINTAH KOTA PASURUAN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 02 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
Lebih terperinciC. BIDANG LINGKUNGAN HIDUP SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN
C. BIDANG LINGKUNGAN HIDUP SUB BIDANG SUB SUB BIDANG URAIAN 1 2 3 1. Pengendalian Dampak 1. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) 2. Analisis Mengenai Dampak (AMDAL) 3. Pengelolaan Kualitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Laporan Hasil Kajian Penyusunan Model Perencanaan Lintas Wilayah dan Lintas Sektor
B A B BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini bangsa Indonesia menghadapi situasi yang selalu berubah dengan cepat, tidak terduga dan saling terkait satu sama lainnya. Perubahan yang terjadi di dalam
Lebih terperinciBAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP
BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP A. UMUM Berbagai kebijakan dan program yang diuraikan di dalam bab ini adalah dalam rangka mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional yang
Lebih terperinciBUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 116 TAHUN 2016 T E N T A N G
BUPATI BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI BANTUL NOMOR 116 TAHUN 2016 T E N T A N G KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS, FUNGSI, DAN TATA KERJA DINAS LINGKUNGAN HIDUP KABUPATEN BANTUL
Lebih terperinciW A L I K O T A Y O G Y A K A R T A
W A L I K O T A Y O G Y A K A R T A PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 46 TAHUN 2013 TENTANG PENJABARAN FUNGSI DAN RINCIAN TUGAS BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA YOGYAKARTA DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinci-2- Instrumen ekonomi penting dikembangkan karena memperkuat sistem yang bersifat mengatur (regulatory). Pendekatan ini menekankan adanya keuntungan e
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I LINGKUNGAN HIDUP. Instrumen Ekonomi. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 228) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan
Lebih terperinciBERITA DAERAH KOTA DEPOK
BERITA DAERAH KOTA DEPOK NOMOR 56 TAHUN 2012 PERATURAN WALIKOTA DEPOK NOMOR 56 TAHUN 2012 TENTANG TENTANG RINCIAN TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA BADAN LINGKUNGAN HIDUP Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciBUPATI REMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG
BUPATI REMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN REMBANG NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN REMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REMBANG,
Lebih terperinciBUPATI NGAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH
BUPATI NGAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGAWI, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciWALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 56 TAHUN 2014 TENTANG URAIAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA KEDIRI
SALINAN WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 56 TAHUN 2014 TENTANG URAIAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA KEDIRI WALIKOTA KEDIRI, Menimbang : a. bahwa dengan
Lebih terperinciPERAN PERENCANAAN TATA RUANG
PERAN PERENCANAAN TATA RUANG DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM INDRA BUDIMAN SYAMWIL 1 Spatial Planning Specialist November, 2003 Tata Ruang di Indonesia merupakan produk Sistem Tata Ruang Nasional yang
Lebih terperinciBAB VI PENUTUP. dijalankan oleh BPBD DIY ini, memakai lima asumsi pokok sebagai landasan
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai strategi komunikasi bencana yang dijalankan oleh BPBD DIY ini, memakai lima asumsi pokok sebagai landasan pengelolaan komunikasi bencana
Lebih terperinciPEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR
- 1 - PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH REGIONAL JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang
Lebih terperinciBAB II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA
BAB II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA A. Rencana Strategis Rencana Strategis (Renstra) yang ditetapkan oleh Badan Daerah Provinsi Kalimantan Barat merupakan suatu proses yang berorientasi pada hasil
Lebih terperinciBAB II KOORDINASI DALAM PENANGGULANGAN BENCANA. bencana terdapat beberapa unit-unit organisasi atau stakeholders yang saling
BAB II KOORDINASI DALAM PENANGGULANGAN BENCANA Koordinasi merupakan suatu tindakan untuk mengintegrasikan unit-unit pelaksana kegiatan guna mencapai tujuan organisasi. Dalam hal penanggulangan bencana
Lebih terperinciPEDOMAN PENYUSUNAN KERANGKA ACUAN ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN (KA-ANDAL)
PEDOMAN PENYUSUNAN KERANGKA ACUAN ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN (KA-ANDAL) A. PENJELASAN UMUM 1. Pengertian Kerangka acuan adalah ruang lingkup studi analisis dampak lingkungan hidup yang merupakan hasil
Lebih terperinciBUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG
BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN WONOGIRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN BONDOWOSO
PEMERINTAH KABUPATEN BONDOWOSO PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 20 TAHUN 2009 TENTANG URUSAN PEMERINTAH DI BIDANG LINGKUNGAN HIDUP YANG DAPAT DIDEKONSENTRASIKAN
SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 20 TAHUN 2009 TENTANG URUSAN PEMERINTAH DI BIDANG LINGKUNGAN HIDUP YANG DAPAT DIDEKONSENTRASIKAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a.
Lebih terperinciBUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 70 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH
BUPATI MADIUN SALINAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 70 TAHUN 2011 TENTANG TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MADIUN, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciPERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 77 TAHUN 2011 TENTANG URAIAN TUGAS BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 77 TAHUN 2011 TENTANG URAIAN TUGAS BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GUNUNGKIDUL, Menimbang : Mengingat : a. bahwa pembentukan,
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH TAHUN 2010 NOMOR 14 PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG
LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2010 NOMOR 14 PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA SEMARANG Menimbang : a. DENGAN
Lebih terperinciSTATUTA FORUM PENGURANGAN RISIKO BENCANA JAWA BARAT PEMBUKAAN
STATUTA FORUM PENGURANGAN RISIKO BENCANA JAWA BARAT PEMBUKAAN Forum Pengurangan Risiko Bencana Jawa Barat adalah sebuah wadah yang menyatukan para pihak pemangku kepentingan (multi-stakeholders) di Jawa
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA
1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TASIKMALAYA, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.42/Menhut-II/2010 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,
PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG, Menimbang : a. bahwa dalam
Lebih terperinciBERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 64 Tahun : 2016
BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 64 Tahun : 2016 PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 64 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS,
Lebih terperinciPEDOMAN PENYUSUNAN KERANGKA ACUAN ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP (KA-ANDAL)
Lampiran I Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 08 Tahun 2006 Tanggal : 30 Agustus 2006 PEDOMAN PENYUSUNAN KERANGKA ACUAN ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP (KA-ANDAL) A. PENJELASAN UMUM 1.
Lebih terperinciBUPATI MUSI RAWAS PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS NOMOR 28 TAHUN 2008 T E N T A N G
BUPATI MUSI RAWAS PERATURAN BUPATI MUSI RAWAS NOMOR 28 TAHUN 2008 T E N T A N G PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PELAKSANA PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN KABUPATEN MUSI RAWAS DENGAN
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta
Lebih terperinciKEPEMIMPINAN IKLIM GLOBAL PERJANJIAN KERJA SAMA (PKS)
KEPEMIMPINAN IKLIM GLOBAL PERJANJIAN KERJA SAMA (PKS) I. Pernyataan Tujuan A. Perubahan iklim menimbulkan tantangan dan resiko global terhadap lingkungan dan ekonomi, membawa dampak bagi kesehatan manusia,
Lebih terperinciLAMPIRAN PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 2-H TAHUN 2013 TENTANG STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KOTA SURAKARTA BAB I PENDAHULUAN
LAMPIRAN PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 2-H TAHUN 2013 TENTANG STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH KOTA SURAKARTA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya merupakan upaya
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan
Lebih terperinciII. PASAL DEMI PASAL Pasal l Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas.
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2005 TENTANG BADAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI WILAYAH DAN KEHIDUPAN MASYARAKAT PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
Lebih terperinciGUBERNUR KALIMANTAN UTARA
1 GUBERNUR KALIMANTAN UTARA PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN UTARA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA INSPEKTORAT, BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH, SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DAN LEMBAGA
Lebih terperinciPEMAHAMAN PENINJUAN KEMBALI RTRW KABUPATEN. Bab 2.1 KEDUDUKAN PENINJAUAN KEMBALI DALAM SISTEM PENATAAN RUANG
Bab 2 PEMAHAMAN PENINJUAN KEMBALI RTRW KABUPATEN Proses perencanaan merupakan proses yang terus berlanjut bagaikan suatu siklus. Demikian halnya dengan sebuah produk rencana tata ruang seperti RTRW Kabupaten,
Lebih terperinciBUPATI BARITO KUALA KEPUTUSAN BUPATI BARITO KUALA NOMOR / 231 /KUM/2012 TENTANG
BUPATI BARITO KUALA KEPUTUSAN BUPATI BARITO KUALA NOMOR 188.45/ 231 /KUM/2012 TENTANG PEMBENTUKAN TIM PEMBINA DAN TIM TEKNIS PENYUSUNAN BUKU LAPORAN STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH KABUPATEN BARITO KUALA
Lebih terperinciBUPATI TASIKMALAYA PERATURAN BUPATI TASIKMALAYA NOMOR 46 TAHUN 2008 TENTANG
BUPATI TASIKMALAYA PERATURAN BUPATI TASIKMALAYA NOMOR 46 TAHUN 2008 TENTANG RINCIAN TUGAS UNIT DI LINGKUNGAN KANTOR LINGKUNGAN HIDUP KABUPATEN TASIKMALAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TASIKMALAYA,
Lebih terperinciHASIL RUMUSAN KOMISI A BIDANG REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI
HASIL RUMUSAN KOMISI A BIDANG REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI 1. Pemerintah daerah bertanggungjawab dalam penyelenggaraan rehabilitasi dan rekonstruksi dalam wilayahnya, yang meliputi pengalokasian dana,
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 9 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH PROVINSI JAWA BARAT
PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NO. 9 2009 SERI. E PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 9 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH PROVINSI JAWA BARAT
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN
LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA Nomor 16 Tahun 2013 SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI DAN
Lebih terperinciW A L I K O T A Y O G Y A K A R T A PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 01 TAHUN 2011 TENTANG
W A L I K O T A Y O G Y A K A R T A PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 01 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN KOORDINASI PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH (BKPBD) KOTA YOGYAKARTA WALIKOTA YOGYAKARTA, Menimbang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Balangan
STRATEGI SANITASI KABUPATEN (SSK) I-1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sanitasi sesungguhnya masih menjadi isu strategis di Indonesia. Tidak hanya di tingkat masyarakat, namun juga pada sisi para pengambil
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 09 TAHUN 2011 TENTANG POKOK-POKOK PENYELENGGARAAN TUGAS BANTUAN TENTARA NASIONAL INDONESIA DALAM MENANGGULANGI BENCANA ALAM, PENGUNGSIAN DAN BANTUAN
Lebih terperinciRio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.
Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. 1. Atas undangan Organisasi Kesehatan Dunia, kami, Kepala Pemerintahan, Menteri dan perwakilan pemerintah datang
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 2002 TENTANG KETAHANAN PANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka pembangunan
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN KUDUS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN KUDUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUDUS, Menimbang : a.
Lebih terperinci