BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini, peneliti akan membahas teori terkait dua variabel penelitian yaitu self-control dan problematic mobile phone use. Kemudian bahasan mengenai definisi dan teori subjek yang akan digunakan dalam penelitian yaitu emerging adult serta kerangka berpikir dari kedua variabel. 2.1 Self-Control Definisi Menurut Baumeister (2012) self-control merupakan kemampuan untuk menahan keinginan dan dorongan dalam diri sendiri. Self-control mengacu pada kapasitas untuk mengubah tanggapan sendiri, terutama untuk mengarahkan seseorang sesuai dengan standar seperti cita-cita, nilai-nilai, moral, dan harapan sosial, dan untuk mendukung mereka dalam mengejar tujuan jangka panjang (Baumeister, Vohs & Tice, 2007). Menurut Baumeister, Vohs & Tice (2007), selfcontrol dapat memungkinkan seseorang untuk menahan suatu response atau lebih, dengan demikian mereka bisa memunculkan response yang berbeda. Self-control memegang peranan penting dalam memahami sifat dasar dan fungsi dari self control. Biasanya self-control sering dibahas dalam kaitannya dengan kemampuan untuk menunda kepuasan dan menilai konsekuensi jangka pendek dan jangka panjang perilaku (Mischel, Shoda, & Rodriguez, 1989). Menurut Baumeister et al. (1994) mengidentifikasi empat domain utama diri kontrol mengendalikan pikiran, emosi, impuls, dan kinerja-yang akan menjadi penting untuk disertakan dalam indeks keseluruhan kontrol diri. Tangney dan rekan (2004) menjelaskan bahwa, komponen utama dari self-control adalah suatu kemampuan untuk mengesampingkan atau mengubah respon di dalam diri seseorang, serta menghilangkan kecenderungan perilaku yang tidak diinginkan dan menahan diri dari suatu tindakan yang dilakukan. Dengan demikian, pengendalian diri secara garis besar melibatkan suatu kemampuan untuk berubah dan beradaptasi yang baik antara diri sendiri dan dunia (Tangney et al., 2004). Self-control juga 7

2 8 bermain peran penting dalam aspek lain dari penyesuaian psikologis, seperti kecemasan, depresi, perilaku obsesif-kompulsif, dan keluhan somatik (Tangney et al., 2004) Aspek-Aspek Self-Control Menurut Tangney, Baumeister, dan Boone (2004), terdapat 5 aspek selfcontrol yang dapat diukur, yaitu: 1. Self-Discipline Menilai tentang kedisiplinan diri dalam individu saat melakukan suatu. Hal ini berarti individu memfokuskan dalam tugas. Individu yang memiliki selfdiscipline mampu menahan dirinya dari hal-hal lain yang dapat mengganggu konsentrasinya. 2. Deliberate/Non-Impulsive Menilai kecenderungan individu dalam melakukan suatu tindakan yang impulsive dengan pertimbangan yang baik, bersifat hati-hati, dan tidak tergesa-gesa dalam pengambilan keputusan atau bertindak. 3. Healthy Habits Mengatur tentang kebiasaan atau pola hidup sehat bagi individu. Individu cenderung dengan healthy habits akan mampu menolak sesuatu yang dapat menimbulkan dampak buruk bagi dirinya meskipun hal tersebut menyenangkan bagi dirinya. Individu dengan healthy habits akan mengutamakan hal-hal yang memberikan dampak positif bagi dirinya meski dampak tersebut tidak diterima secara langsung 4. Work Ethic Menilai tentang regulasi diri dari etika individu dalam melakukan suatu aktivitas sehari-hari. Individu yang memili work ethics akan mampu menyelesaikan tugasnya tanpa dipengaruhi hal-hal yang ada diluar tugasnya. 5. Reliability Menilai kemampuan di dalam individu sendiri dalam pelaksanaan rencana jangka panjang dalam pencapaian tertentu.

3 Aspek-Aspek Keberhasilan dalam Self-Control Menurut Baumeister (2002), yang di dalam penjelasannya mengatakan bahwa keberhasilan kontrol diri ditentukan oleh 3 aspek yaitu: 1. Aspek Pertama, menyangkut hal-hal yang sesuai dengan standar, seperti (tujuan, hal ideal, dan norma). 2. Aspek Kedua, adalah memonitoring suatu perilaku dengan memantau perilaku (pemantauan perilaku). 3. Aspek yang Ketiga, adalah kapasitas untuk berubah, kontrol diri akan berjalan lebih baik apabila seseorang memiliki kapasitas untuk melakukan atau mengubah perilaku yang buruk menjadi perilaku yang lebih baik dari sebelumnya. Individu yang memiliki kontrol diri memiliki sudut pandang ideal dan norma dalam dirinya. Norma dan ideal dalam dirinya dijadikan suatu patokan dalam memilih suatu perilaku. Jika dia mempunyai suatu self-conrol yang tinggi, maka dia akan cenderung memonitoring perilaku dengan baik dan mengarahkan pada konsekuensi yang positif. Mereka akan mengarah kepada suatu healthy life, dan kesuksesan dalam hidupnya. Namun jika dia mempunyai suatu kontrol diri yang rendah dalam diri nya, maka dia akan memonitoring perilaku tersebut dengan sudut pandang yang tidak baik dan kearah negatif, seperti agresivitas, perilaku menyimpang, substance disorder dan lain-lain. Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu self control yang tinggi sehingga dapat merubah suatu perilaku yang negatif ke arah yang positif. Self-control yang tinggi dapat merubah perilaku yang menyimpang menjadi perilaku yang sesuai dengan norma yang berlaku dan dapat mengontrol dirinya dalam perilaku yang tidak semestinya dilakukan Jenis-Jenis Self-Control Self-control terbagi atas dua yaitu self-control yang tinggi dan self-control yang rendah. Seseorang yang mempunyai self-control yang tinggi berarti memiliki kemampuan lebih baik untuk mengontrol pikiran mereka, pengaturan emosi dan mencegah suatu impuls mereka daripada orang yang memiliki self-control yang rendah (Baumeister, Bratslavsky, Muraven, & Tice, 1998). Mereka mengarah pada psychological well-being, sukses dalam akademik dan hubungan interpersonal yang

4 10 baik (W. Mischel, Shoda, & Peake, 1988; Shoda, Mischel, & Peake, 1990; Tangney, Baumeister, & Boone, 2004). Self-control yang tinggi berhubungan dekat dengan perilaku kondusif kearah yang sukses dan kehidupan yang sehat. Selain itu, self-control yang rendah biasanya dikaitkan dengan masalah sosial seperti tingkat yang lebih tinggi dari perilaku nakal dan agresif, prokratinasi, pembelian yang berakohol (Tremblay, Boulerice, Arsenault, & Niscale, 1995) serta afiliasi dari hal-hal yang menyimpang (McGloin& Shermer, 2009). Penelitian dari Tangney et al. (2004), membedakan kontrol diri dari dua jenis yaitu keadaan kontrol diri dan kontrol diri disposisional. Keadaan kontrol diri divariasikan dalam situasi dan waktu. Bukti empiris yang ditemukan menegaskan bahwa kemampuan orang untuk mengerahkan pengendalian diri rentan terhadap pengaruh situasional, termasuk usaha-usaha sebelumnya di kontrol diri (Baumeister et al, 1998;. Muraven & Baumeister, 2000), suasana hati (Fishbach& Labroo, 2007; Tice, Baumeister, Shmueli, & Muraven, 2007), kapasitas memori kerja (Hofmann, Gschwendner, Friese, Wiers, & Schmitt, 2008; Schmeichel, 2007), dan motivasi (Muraven, 2007). Kontrol diri disposisional dianggap stabil dalam situasi dan dari waktu ke waktu. Seseorang dengan kontrol diri yang tinggi lebih baik daripada seseorang yang mengontrol impuls mereka (Gottfredson& Hirschi, 1990; W. Mischel et al, 1996; Rothbart, Ellis, Rueda, & Posner, 2003). Perbandingannya seperti seseorang yang memiliki kontrol diri yang tinggi cenderung dapat menahan suatu hal yang negatif sepeerti penyalahgunaan zat kurang, psikopatologi, gangguan makan, fisik dan agresi verbal, menunjukkan penghambatan dari suatu emosi negatif yang besar, relasi yang baik (Kieras, Tobin, Graziano, & Rothbart, 2005, Tangney et al., 2004), serta seseorang dengan kontrol diri yang rendah ditunjukkan dengan kinerja yang buruk dan hal-hal yang negatif seperti, penundaan tugas, memiliki prestasi akademik yang rendah dibandingkan dengan kontrol diri yang tinggi (W. Mischel et al., 1988). Seseorang yang dewasa dengan memiliki kontrol diri yang rendah terlibat lebih sering dalam perilaku menyimpang dan mengarah kearah yang negatif dalam perilaku (Pratt& Cullen, 2000; Vazsonyi, Pickering, Junger, & Hessing, 2001). Pasal ini difokuskan pada implikasi dari perilaku yang dibentuk dispositional kontrol diri

5 Teknik-Teknik dalam Mengontrol Diri Skinner dan Vaughan (1983, dalam Feist dan Feist, 2010), mendiskusikan teknik-teknik yang dapa digunakan individu dalam melakukan self-control yakni: 1. Individu dapat menggunakan alat bantu seperti perkakas, mesin dan sumber finansial mereka untuk mengubah lingkungan mereka. Contohnya adalah ketika mereka berbelanja, mereka mengambil uang lebih untuk berbelanja agar memberikan dirinya pilihan melakukan belanja yang impulsive atau tidak 2. Manusia dapat mengubah lingkungannya sehingga meningkatkan kemungkinan munculnya perilaku yang diiginkan. Contohnya, ketika individu berfokus pada sesuatu hal, misalnya seperti belajar mereka dapat mematikan perangkat teknologi nya seperti handphone, televise dan lain-lain yang dapat mengganggu. 3. Manusia dapat mengatur lingkungannya supaya dapat menghindari suatu stimulus yang tidak menyenangkan, hanya melakukan respon yang tepat. Contohnya, seorang wanita dapat mengatur jam wekernya supaya suaranya yang tidak menyenangkan hanya dapat dihentikan dengan turun dari tempat tidur dan mematikannya. 4. Manusia dapat menggunakan obat-obatan terutama alkohol, sebagai suatu melakukan kontrol diri. Contohnya, ketika mereka merasa tertekan dan mempunyai masalah, mereka bisa mengonsumsi obat penenang untuk membuat perilakunya lebih tenang 5. Manusia dapat melakukan suatu hal lain untuk menghindari berperilaku dengan cara yang tidak diinginkan. Contohnya, seseorang wanita atau laki-laki yang obsesif dapat menghitung pola yang diulang dalam kertas dinding untuk menghindari perilaku dengan cara yang tidak diinginkan. 2.2 Problematic Mobile Phone use Definisi Menurut Bianchi & Phillips (2005), Problematic mobile phone use merupakan suatu masalah penggunaan mobile phone yang bisa dikaitkan dengan suatu perilaku kecanduan dan masalah penggunaan dari mobile phone dapat diprediksi dari aspek-aspek seperti extraversion, self-esteem, neuroticsm, jenis kelamin dan umur seseorang. Problematic mobile phone use juga dikenal sebagai mobile phone addiction atau compulsive mobile phone use merupakan suatu

6 12 masalah atau gangguan yang biasanya terdapat pada anak remaja ataupun remaja menuju dewasa di mana ditandai dengan perilaku seperti yang tidak menyenangkan seperti cemas ketika ponsel dalam keadaan mati (baterai habis) atau jaringan berada di luar jangkauan (Campbell, 2005). Istilah dalam problematic mobile phone use (MMPU), problematic cell phone use (PCPU) ataupun mobile phone abuse atau addiction digunakan untuk menggambarkan pola interaksi dengan ponsel yang memiliki karakteristik dengan perilaku kecanduan (Bianchi& Phillips, 2005). Menurut Bianchi & Phillips (2005), perilaku kecanduan menurut konsep terdahulu biasanya perilaku kecanduan identikan dengan obat-obatan atau alkohol dan banyak ilmuwan yang memperdebatkan konsep kecanduan yang menurut mereka pengertian kecanduan dapat dilebarkan lagi dan tidak terpatok dengan alkohol dan obat-obatan. Problematic mobile phone use dicirikan dengan perilaku kecanduan teknologi yang biasanya dapat dilabelisasi dengan behavioral addiction (Bianchi& Phillips, 2005). Menurut Bianchi & Phillips (2005), perilaku dalam penggunaan teknologi secara berlebihan merupakan suatu masalah dan dapat disimpulkan bahwa itu merupakan suatu perilaku kecanduan atau tidak, karena yang namanya suatu masalah penggunaan teknologi yang berlebihan dapat menjadi acuan awal dalam perilaku kecanduan dan dapat menjadi masalah dalam perilaku contohnya seperti problematic mobile phone use. Kecanduan juga diartikan dengan perilaku abnormal yang bergantung pada suatu objek atau aktivitas. Problematic Mobile Phone Use merupakan bentuk dari cyber disorder atau kecanduan cyber yang ditandai dengan perilaku seperti penggunaan ponsel yang terus menerus yang mengakibatkan kontraproduktif bagi kesehatan (Lopez- Fernandez, Honrubia-Serrano, et al, 2014). Problematic mobile phone use telah di asosiasikan dengan perilaku yang termasuk dengan ketidakmampuan meregulasi satu penggunaan dari mobile phone, hasil dari banyaknya kosekuensi negatif dikehidupan sehari-hari dan termasuk symptom yang terikat, contoh dari kejadian sosial, serta masalah-masalah afektif di kehidupan seseorang (Pedrero, Rodr íguez, Ruiz, 2012 dalam Lopez-Fernandez, Honrubia-Serrano, et al, 2014). Problematic mobile phone use melibatkan dari berbagai macam variasi yang diketahui memperkuat suatu mekanisme dari perilaku kecanduan teknologi seperti

7 13 Online Gaming Disorder (OGD) dan Internet Addiction (IA)(Foerster, et al., 2015). Dalam problematic mobile phone use dapat diukur dari frekuensi dan durasi dari total seseorang bermain ponselnya dan pemakaian mobile phone yang tidak jelas tujuan penggunaannya, telepon, frekuensi dari pengiriman sms ( berbentuk text message atau yang disebut SMS serta text message yang dilengkapi dengan menggunakan internet seperti WhatsApp). Lalu problematic mobile phone use dapat diukur dari pengguna profil dari mobile phone, penggunaan sehari-hari dan masalah penggunaan mobile phone Aspek-Aspek Problematic Mobile Phone Use Menurut Bianchi dan Phillip (2005), Problematic mobile phone use mempunyai lima aspek yang akan di ukur yaitu : 1. Tolerance Proses dimana meningkatnya dosis dari sebuah aktivitas yang dibutuhkan untuk mencapai suatu efek yang sama. Seseorang yang mengalami pemakaian handphone yang berlebihan pastinya tidak akan berhenti menggunakan terus menerus sampai mereka merasa puas dan selalu meningkat terus dalam penggunaanya. 2. Escape from other problems Suatu perasaan dimana seseorang mengalihkan masalah atau kesepian dengan melarikan diri pada sesuatu yang menyenangkan. Seseorang yang mengalami masalah, biasanya akan lari ke suatu hal, contohnya seperti mobile phone. Dari penggunaan mobile phone, dia merasa tenang dengan menggunakan suatu mobile phone untuk lari dari masalahnya. 3. Withdrawal Suatu perasaan yang tidak menyenangkan atau efek fisik yang terjadi ketika aktivitas atau perilaku tertentu diberhentikan atau tiba-tiba dikurangi 4. craving Suatu perasaan dimana seseorang memiliki keinginan dari satu kebutuhan dalam menggunakan mobile phone untuk meringankan perasaan negatif yang dimilikinya.

8 14 5. negative life consequences Konsekuensi kehidupan negatif disebabkan oleh dampak mobile phone yang disebabkan oleh salah satu faktor secara tidak langsung seperti pengurangan waktu yang dialokasikan untuk kegiatan lain, kehilangan minat mereka, dan mengabaikan gangguan di bidang keuangan, keluarga atau pekerjaan. 6. Social Motivation Social motivation merupakan motivasi seseorang dan merupakan aspek yang berdasarkan literature dari extraversion. Aspek motivasi sosial ini merupakan tambahan dimensi dari problematic mobile phone use Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Problematic Mobile Phone Use Menurut penelitian Leung (2007 dalam Yuwanto, 2010), faktor- faktor yang mempengaruhi problematic mobile phone use atau mobil phone addict terbagi menjadi 4 kelompok, yaitu : 1. Faktor Internal Faktor internal lebih melibatkan karakteristik dari individu, contohnya seperti, tingkat sensation seeking yang tinggi (individu yang memiliki tingkat sensation seeking yang tinggi cenderung lebih mudah mengalami kebosanan dalam aktivitas sehari-harinya), self-esteem yang rendah, kepribadian ekstraversi yang tinggi, kontrol diri yang rendah, kebiasaan dalam menggunakan mobile phone yang tinggi, expectancy effect yang tinggi, dan kesenangan pribadi yang tinggi pada individu yang menyebabkan terjadi masalah dalam penggunaannya. 2. Faktor Situasional Faktor situasional lebih mengarah kepada penggunaan mobile phone sebagai sarana untuk membuat individu merasa nyaman secara psikologis ketika menghadapi situasi yang tidak nyaman. Tingkat yang tinggi dalam stress dalam masalah pribadi ataupun akademik, kesedihan, kesepian, kecemasan, kejenuhan belajar, dan leisure boredom (tidak adanya kegiatan saat waktu luang) dapat menjadi penyebab masalah tersebut. 3. Faktor Eksternal Faktor yang berasal dari luar individu, seperti halnya paparan media tentang mobile phone dari segi fitur dan fasilitas serta lingkungan.

9 15 4. Faktor Sosial Mobile phone digunakan sebagai sarana untuk berinteraksi dan menjaga kontak dengan orang lain. Faktor ini terdiri atas mandatory behavior dan connected presence yang tinggi. Mandatory behavior lebih mengarah pada perilaku yang harus dilakukan untuk memuaskan kebutuhan berinteraksi yang distimulasi atau didorong dari orang lain. Connected presence lebih didasarkan pada perilaku berinteraksi dengan orang lain yang berasal dari dalam diri. 2.3 Emerging Adult Definisi Emerging adult merupakan masa transisi dari remaja menuju dewasa yang terjadi pada akhir dua puluhan (Arnett, 2004). Transisi dari remaja ke dewasa ditentukan oleh standars budaya dan pengalaman (Santrock, 2006). Rentang usia untuk emerging adult adalah sekitar 18 sampai 25 tahun. Perkembangan emerging adult melibatkan eksperimen dan eksplorasi. Pada titik ini dalam perkembangannya, banyak individu yang masih menjajaki jalur karir mereka ingin mengikuti, apa yang mereka inginkan identitas untuk menjadi apa yang mereka inginkan, gaya hidup yang mereka inginkan (Santrock, 2006). Mengambil tanggung jawab merupakan suatu penanda penting dalam menandakan status dewasa bagi banyak individu. Satu studi yang baru menemukan bahwa peningkatan tanggung jawab adalah penanda status dewasa (Shulman& Ben- Atrzi, 2003). Pada penelitian lain, lebih dari 70% dari emerging adult mengatakan bahwa menjadi dan dewasa berarti menerima tanggung jawab atas konsekuensi dari tindakan seseorang, memutuskan keyakinan atas diri sendiri, dan nilai-nilai serta membangun suatu hubungan dengan orang tua sebagai orang dewasa yang sama (Arnett, 1995). Pada akhir remaja melalui usia awal dua puluhan, individu di usia dua puluhan akan mencapai status dewasa Ketika menjadi orang dewasa, mereka akan menerima tanggung jawab untuk diri mereka sendiri, mampu membuat keputusan independen, dan mendapatkan kemandirian finansial dari orang tua mereka (Arnett, 2000, 2004).

10 Konsep dari Emerging Adult Menurut Arnet, (2004), emerging adult mempunyai 5 konsep utama yaitu : 1. The Age of Identity Explorations Dalam masa ini, dewasa muda masih mencari indentitas tentang dirinya yang seutuhnya. Fitur yang paling utama dalam pencarian identitas dewasa awal seperti mengeksplorasi kemungkinan kehidupan mereka di berbagai bidang, terutama dalam cinta dan pekerjaan. Dalam perjalanan menjelajahi kemungkinan cinta dan pekerjaan. Dewasa awal mengklarifikasi identitas mereka, yaitu, mereka belajar lebih banyak tentang siapa mereka dan apa yang mereka inginkan dari hidup. Dewasa awal muncul menjadi lebih mandiri daripada ketika mereka sebagai remaja dan sebagian besar dari mereka telah mandiri, tetapi mereka belum memasuki kestabilan. Dewasa awal lebih berfokus dalam menjalani pekerjaan dan cinta dan mereka belajar dari kegagalan dan kekecewaan. 2. The Age of Instability Dewasa muda seringkali tidak stabil dan berubah-ubah dalam pengambilan keputusan. Dewasa awal selalu melakukan perubahan dalam rencana yang dilakukan saat ekplorasi diri. Rencana awal yang dibuat oleh mereka tidak dijalankan dengan baik sehingga mereka membuat rencana baru. Perbaikan ini adalah konsekuensi alami dari eksplorasi mereka. Dengan melakukan perbaikan dalam rencana, mereka belajar sesuatu tentang diri mereka sendiri dan belajar dalam mengambil langkah menuju masa depan yang mereka inginkan. Ketidakstabilan dan eksplorasi berjalan seiring dalam dewasa awal. 3. The Self-Focused Age Dewasa awal memiliki fokus dengan cara mereka sendiri, namun keluarga dan orang lain membimbing mereka dengan baik. Dengan adanya berfokus pada diri mereka sendiri, mereka dapat mengembangkan keterampilan untuk hidup seharihari, mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang siapa mereka dan apa yang mereka inginkan di kehidupan, dan mulai membangun fondasi untuk kehidupan dewasa mereka. Tujuan dari berfokus pada diri sendiri adalah belajar untuk menjadi seseorang yang mandiri dan mereka melihatnya sebagai langkah

11 17 penting sebelum melakukan suatu komitmen untuk berhubungan dengan orang lain, cinta dan pekerjaan. 4. The Age of Feeling In-Between Saat usia mereka memasuki dewasa awal, kadang mereka masih bingung akan statusnya yang secara mereka sudah bukan lagi remaja namun mereka juga belum memasuki dewasa yang utuh. Di antara pembatasan antara masa remaja dan tanggung jawab dewasa, munculnya ketidakstabilan dalam dewasa. Mereka dikatakan dewasa, mereka harus bertanggung jawab atas diri sendiri, membuat keputusan yang independen serta independen secara finansial. Ketiga kriteria yang bertahap, bukan sekaligus. Konsekuensinya, dalam ketiga tahap ini, mereka masih belum bisa melakukan karena mereka masih di tahap ketidakstabilan status. Namun pada waktu akhir dua puluhan, pada saat itu mereka telah menjadi yakin bahwa mereka telah mencapai titik di mana mereka bisa menerima tanggung jawab, membuat keputusan sendiri, dan mandiri secara finansial. 5. The Age of Possibilities Emerging adult dalam usia ini cenderung memiliki harapan yang tinggi dan yang besar. Emerging adult lebih melihat suatu kearah kedepan dan membayangkan bahwa mereka akan memiliki kehidupan yang baik, pekerjaan yang baik, penikahan yang akan berlangsung seumur hidup dan penuh kasih sayang, dan mempunyai keluarga yang bahagia. Mereka tidak pernah membayangkan suatu masa depan yang buruk bagi mereka. Biasanya dalam emerging adult, mereka memiliki kesempatan untuk mengubah kehidupan mereka tanpa kontrol orang tua. Emerging adult membawa gambaran dari keluarga, seperti keluarga yang baik dan sehat ataupun keluarga yang bermasalah. Bagi mereka yang datang dari keluarga bermasalah, ini adalah kesempatan mereka untuk mencoba untuk meluruskan bagian dari diri mereka sendiri yang telah menjadi tidak baik. Bahkan bagi mereka yang berasal dari keluarga yang mereka anggap sebagai yang relatif bahagia dan sehat, muncul nya dewasa awal adalah kesempatan untuk mengubah diri mereka sendiri tidak hanya dari gambaran orang tua mereka, tetapi mereka membuat suatu keputusan yang mandiri dalam menjalani untuk menjadi seseorang yang mereka inginkan dan bagaimana mereka ingin

12 18 hidup. Dewasa muda melihat dunia sebagai suatu kemungkinan dalam menjalani kehidupan kedepan. 2.4 Kerangka Berpikir Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir Emerging Adult Pengguna Mobile Phone Self Control Problematic Mobile Phone Use Emerging Adult merupakan masa transisi remaja menuju dewasa dengan range umur tahun (Arnett, 2004). Perkembangan emerging adult melibatkan eksperimen dan eksplorasi yang berasal dari masa remaja. Emerging adult berada tahap memasuki masa dewasa yang jauh dari orang tua. Menurut Arnett (2004), saat mereka hidup diluar jauh dari orang tua, mereka memiliki tanggung jawab dan sudah mengembangkan self control diri yang baik agar mereka dapat menghadapi tantangan diluar. Saat memasuki status dewasa biasanya perilaku negatif seseorang mengalami penurunan yang signifikan. Hal ini dikarenakan seseorang yang sudah memasuki masa dewasa akan menjaga dan menyeimbangkan self-control dalam menahan suatu perilaku. (Hart 1992). Dapat dikatakan dari kesimpulan ini, bahwa emerging adult sudah memiliki kontrol diri yang baik dalam menahan suatu perilaku yang kearah negatif. Namun, masalah yang terjadi dikatakan oleh techniasia.com (2014), bahwa pecandu smartphone terbanyak berada pada rentan usia tahun. Faktanya, emerging adult banyak mengalami masalah dalam penggunaan mobile phone yang berlebihan dan mengarah kepada problematic mobile phone use.

13 19 Seseorang yang memiliki self control yang rendah dapat diindikasi bahwa seseorang tersebut memiliki kecenderungan problematic mobile phone use yang tinggi. Disini self control merupakan kapasitas dalam mengontrol suatu perilaku dan menahan suatu response serta menilai suatu konsekuensi jangka pendek dan panjang perilaku (Baumeister, Vohs & Tice, 2007). Self-control merupakan suatu kapasitas untuk mengubah tanggapan diri terutama untuk mengarahkan seseorang sesuai dengan standard an tujuan yang berlaku (Baumeister, Vohs & Tice, 2007). Akan tetapi, ketika individu tidak memiliki suatu self control dalam penggunaan mobile phone, dapat dikatakan individu memiliki self-control yang rendah. Self-control yang rendah adalah suatu ketidakmampuan untuk menahan godaan ketika individu memiliki kesempatan untuk melakukan kejahatan atau sesuatu yang menyimpang. Self-control yang rendah biasanya akan mengalami inability to control dalam penggunaan mobile phone mereka yang terus menerus. Setelah seseorang mengalami inability to control akan mudah mengarah pada suatu aspek seperti peningkatan aktivitas dalam penggunaan mobile phone (tolerance), lalu merasa hilang atau perasaan tidak menyenangkan ketika loss atau mengurangi aktivitas mobile phone (withdrawal) sampai mendapatkan suatu efek negatif dalam kehidupan mereka akibat penggunaan mobile phone yang berlebihan. Aspek-aspek merupakan ciri-ciri seseorang yang akan mengarah kepada problematic mobile phone use. Problematic mobile phone use merupakan suatu yang menggambarkan pola interaksi dengan ponsel yang memiliki karakteristik kecanduan dalam penggunaanya. Problematic mobile phone use terdiri dari aspek-aspek yaitu tolerance, withdrawal, escape from other problems, craving dan negatife life consequences. Menurut Billieux (2012), mengatakan bahwa problematic mobile phone use dikaitkan dengan suatu perilaku impulsivity yang digambarkan bahwa individu yang menggunakan telepon seluler terutama didorong oleh kurangnya kontrol diri dan regulasi emosi maladaptif. Perilaku impulsivity mengarah pada perilaku urgency, lack of perseverance dan lack of premeditation yang akan mepengaruhi kurangnya self control dalam pengambilan keputusan yang beresiko. Misalnya, seseorang tidak bisa menunda menggunakan telepon ketika mereka mengalami emosi yang kuat karena mereka tidak memiliki kontrol diri dalam situasi urgensi yang tinggi, sedangkan seseorang yang berlebihan menggunakan ponsel mereka karena mereka tidak memperhitungkan potensi

14 20 konsekuensi masa depan. Individu mengalami problematic mobile phone use juga ditandai dengan perilaku adiktif yang ditandai dengan inability craving to control (tidak bisa mengotrol suatu penggunaan mobile phone. Jika problematic mobile phone use tinggi dapat dikaitkan dengan self-control yang rendah, karena individu tersebut merasa impusivity dari dalam dirinya sehingga menyebabkan mereka terus menerus menggunakan mobile phone mereka. 2.5 Asumsi Penelitian Dalam penelitian yang akan dilakukan, peneliti memiliki asumsi yaitu bila seseorang yang memiliki self-control yang rendah, maka kemungkinan problematic mobile phone use nya tinggi pada emerging adult di Jakarta.

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, SARAN

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, SARAN BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, SARAN Bab ini berisi tentang kesimpulan, diskusi, dan saran yang dihasilkan dari hasil penelitian. Saran-saran dalam penelitian ini berisi tentang saran yang ditunjukan untuk penelitian

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prokrastinasi Steel (2007) mengemukakan prokrastinasi sebagai suatu perilaku menunda dengan sengaja melakukan kegiatan yang diinginkan walaupun individu mengetahui bahwa perilaku

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Secara historis, kecanduan telah didefinisikan semata-mata untuk suatu hal

BAB II LANDASAN TEORI. Secara historis, kecanduan telah didefinisikan semata-mata untuk suatu hal BAB II LANDASAN TEORI A. KECANDUAN BLACKBERRY SERVICE 1. Definisi Kecanduan Secara historis, kecanduan telah didefinisikan semata-mata untuk suatu hal yang berkenaan dengan zat adiktif (misalnya alkohol,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. BlackBerry atau sering disingkat BB adalah sebuah smartphone buatan

BAB I PENDAHULUAN. BlackBerry atau sering disingkat BB adalah sebuah smartphone buatan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN BlackBerry atau sering disingkat BB adalah sebuah smartphone buatan Research In Motion (RIM), yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 1997 oleh perusahaan

Lebih terperinci

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB 2 Tinjauan Pustaka BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1. Pengertian Kesepian Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan sosial yang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Self-Esteem 2.1.1 Pengertian Self-Esteem Menurut Rosenberg (dalam Mruk, 2006), Self-Esteem merupakan bentuk evaluasi dari sikap yang di dasarkan pada perasaan menghargai diri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kontrol Diri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kontrol Diri BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kontrol Diri 1. Definisi Kontrol Diri Kontrol diri mengacu pada kapasitas untuk mengubah respon diri sendiri, terutama untuk membawa diri mereka kepada standar yang sudah ditetapkan

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. terjadi ketika seseorang atau organisme mencoba untuk mengubah cara

BAB 2 LANDASAN TEORI. terjadi ketika seseorang atau organisme mencoba untuk mengubah cara BAB 2 LANDASAN TEORI 2. 1. Self-Control 2. 1. 1. Definisi Self-control Self-control adalah tenaga kontrol atas diri, oleh dirinya sendiri. Selfcontrol terjadi ketika seseorang atau organisme mencoba untuk

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Problematic Internet Use 2.1.1 Pengertian Problematic Internet Use (PIU) Problematic Internet Use atau PIU merupakan sindrom multi-dimensi dengan gejala kognitif maladatif dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Teknologi ibarat pedang bermata dua, dapat bermanfaat, dapat juga berarti sebaliknya. Sebuah studi yang diadakan di Swedia, tepatnya di Akademik Sahlgrenska

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proses perubahan sikap dan tingkah laku yang semula tidak tahu menjadi tahu. setelah terjadinya interaksi dengan sumber belajar.

BAB I PENDAHULUAN. proses perubahan sikap dan tingkah laku yang semula tidak tahu menjadi tahu. setelah terjadinya interaksi dengan sumber belajar. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik dapat secara aktif mengembangkan potensi

Lebih terperinci

BAB 2. Tinjauan Pustaka

BAB 2. Tinjauan Pustaka BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Problematic Internet Use (PIU) 2.1.1 Definisi Problematic Internet Use Problematic Internet Use (PIU) didefinisikan sebagai penggunaan internet yang menyebabkan sejumlah gejala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Intany Pamella, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Hurlock (2004: 206) menyatakan bahwa Secara psikologis masa remaja adalah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Emotional Eating 2.1.1 Definisi Emotional Eating Menurut Arnow (1995) emotional eating adalah keinginan untuk makan ketika timbul perasaan emosional seperti frustrasi, cemas

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Setiap hari orang-orang menolak dorongan untuk melakukan hal-hal

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Setiap hari orang-orang menolak dorongan untuk melakukan hal-hal BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Self-Control 2. 1. 1. Definisi Self-Control Setiap hari orang-orang menolak dorongan untuk melakukan hal-hal yang dapat merugikan dirinya sendiri, seperti menghindari makanan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. atau mengarahkan diri ke arah yang lebih baik ketika di hadapkan dengan godaangodaan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. atau mengarahkan diri ke arah yang lebih baik ketika di hadapkan dengan godaangodaan BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi self-control Self-control di definisikan sebagai kemampuan individu untuk menahan diri atau mengarahkan diri ke arah yang lebih baik ketika di hadapkan dengan godaangodaan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bab ini akan membahas tentang landasan teori berupa definisi, dimensi, dan faktor yang berpengaruh dalam variabel yang akan diteliti, yaitu bahasa cinta, gambaran tentang subjek

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prestasi Belajar 2.1.1 Definisi Belajar Belajar merupakan sebuah usaha untuk menambah pengetahuan dan keterampilan. 15 Belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis, yang berlangsung

Lebih terperinci

Hubungan antara Self-esteem dan Self-esteem dengan Internet Addiction. May Rauli Simamora (13/359560/PPS/02841)

Hubungan antara Self-esteem dan Self-esteem dengan Internet Addiction. May Rauli Simamora (13/359560/PPS/02841) Hubungan antara Self-esteem dan Self-esteem dengan Internet Addiction May Rauli Simamora (13/359560/PPS/02841) Tujuan mini riset online ini adalah untuk mengetahui hubungan antara self-esteem dan self-control

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan dibahas mengenai landasan teori variabel yang akan diteliti beserta dimensi, landasan teori mengenai dewasa muda, kerangka berpikir dan asusmsi penelitian. 2.1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbagai cara yang dilakukan individu untuk bisa menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan tertentu tidaklah sama, begitu pun dengan cara dan kapasitas anak jika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa mengalami masa peralihan dari remaja akhir ke masa dewasa awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih dituntut suatu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi kian maju dewasa ini, khususnya pada perkembangan

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi kian maju dewasa ini, khususnya pada perkembangan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi kian maju dewasa ini, khususnya pada perkembangan teknologi komputer. Dari yang digunakan hanya untuk mengetik hingga sekarang penggunaan

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN Variabel Penelitian, Definisi Operasional, dan Hipotesis

BAB 3 METODE PENELITIAN Variabel Penelitian, Definisi Operasional, dan Hipotesis BAB 3 METODE PENELITIAN 3. 1. Variabel Penelitian, Definisi Operasional, dan Hipotesis 3. 1. 1. Variabel Penelitian Variabel penelitian merupakan semua hal dalan suatu penelitian yang datanya ingin diperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Belajar merupakan tugas utama seorang siswa. Seorang siswa dalam

BAB I PENDAHULUAN. Belajar merupakan tugas utama seorang siswa. Seorang siswa dalam BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Belajar merupakan tugas utama seorang siswa. Seorang siswa dalam kesehariannya belajar diharapkan untuk dapat mencurahkan perhatiannya pada kegiatan akademik

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. kecanduan internet merupakan ketergantungan psikologis pada internet, apapun

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. kecanduan internet merupakan ketergantungan psikologis pada internet, apapun BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Kecanduan Internet Kandell (dalam Panayides dan Walker, 2012) menyatakan bahwa kecanduan internet merupakan ketergantungan psikologis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, dan lain-lain. Setiap tugas dipelajari secara optimal pada waktu-waktu tertentu

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN Variabel Penelitian & Definisi Operasional. seseorang dalam melakukan tugas.

BAB 3 METODE PENELITIAN Variabel Penelitian & Definisi Operasional. seseorang dalam melakukan tugas. BAB 3 METODE PENELITIAN 3. 1. Variabel Penelitian & Hipotesis 3. 1. 1. Variabel Penelitian & Definisi Operasional Self-Control : kemampuan seseorang untuk mengatur dirinya yang dilihat dari kedisiplinannya

Lebih terperinci

BAB 2. Tinjauan Pustaka

BAB 2. Tinjauan Pustaka BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Resolusi Konflik Setiap orang memiliki pemikiran atau pengertian serta tujuan yang berbeda-beda dan itu salah satu hal yang tidak dapat dihindarkan dalam suatu hubungan kedekatan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Problematic Internet Use 2.1.1 Definisi Problematic Internet Use Awal penelitian empiris tentang penggunaan internet yang berlebihan ditemukan dalam literatur yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Self-Control 2. 1. 1. Definisi Self-Control Self-control adalah tenaga kontrol atas diri, oleh dirinya sendiri. Delisi dan Berg (2006) mengungkapkan bahwa self-control berkaitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia. Dari jumlah tersebut sebanyak 49% berusia tahun, 33,8% berusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia. Dari jumlah tersebut sebanyak 49% berusia tahun, 33,8% berusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia mengungkapkan, pengguna internet di Indonesia tahun 2014 mencapai 88,1 juta orang dari total penduduk Indonesia. Dari

Lebih terperinci

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Pernikahan merupakan awal terbentuknya kehidupan keluarga. Setiap pasangan yang mengikrarkan diri dalam sebuah ikatan pernikahan tentu memiliki harapan agar pernikahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bekerja sama

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bekerja sama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejak awal abad ke-21, istilah internet sudah dikenal berbagai kalangan masyarakat di Indonesia, terlepas dari usia, tingkat pendidikan, dan status sosial.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. situs web, atau chatting. Dengan aneka fasilitas tersebut individu dapat

BAB I PENDAHULUAN. situs web, atau chatting. Dengan aneka fasilitas tersebut individu dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi saat ini sudah semakin maju, khususnya perkembangan teknologi internet. Melalui teknologi internet, individu dapat menggunakan berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. konsekuensi bahaya atas tindakan yang dilakukan. Individu yang memiliki kontrol

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. konsekuensi bahaya atas tindakan yang dilakukan. Individu yang memiliki kontrol BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kontrol diri merupakan hal yang penting bagi setiap individu, termasuk dan terutama bagi individu yang sedang menjalani proses rehabilitasi narkoba. Kontrol diri menurut

Lebih terperinci

KONTRIBUSI KONSEP DIRI DAN PERSEPSI MENGAJAR GURU TERHADAP MOTIVASI BERPRESTASI DITINJAU DARI JENIS KELAMIN SISWA SMA GAMA YOGYAKARTA TAHUN 2009 TESIS

KONTRIBUSI KONSEP DIRI DAN PERSEPSI MENGAJAR GURU TERHADAP MOTIVASI BERPRESTASI DITINJAU DARI JENIS KELAMIN SISWA SMA GAMA YOGYAKARTA TAHUN 2009 TESIS KONTRIBUSI KONSEP DIRI DAN PERSEPSI MENGAJAR GURU TERHADAP MOTIVASI BERPRESTASI DITINJAU DARI JENIS KELAMIN SISWA SMA GAMA YOGYAKARTA TAHUN 2009 TESIS Diajukan Kepada Program Studi Manajemen Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang pada umumnya ditandai dengan perubahan fisik, kognitif, dan psikososial, tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jaman, semakin bertambah juga tuntutan-tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jaman, semakin bertambah juga tuntutan-tuntutan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan berkembangnya jaman, semakin bertambah juga tuntutan-tuntutan dalam hidup. Tuntutan-tuntuan itu tidak hanya pada satu aspek atau bidang kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa berada pada masa dewasa awal. Pada masa ini, mahasiswa berada pada masa transisi dari masa remaja ke masa dewasa. Pada masa transisi ini banyak hal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan seorang individu. Masa yang merupakan periode transisi dari masa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan seorang individu. Masa yang merupakan periode transisi dari masa BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Remaja 2.1.1 Definisi Remaja Masa remaja adalah suatu fase tumbuh kembang yang dinamis dalam kehidupan seorang individu. Masa yang merupakan periode transisi dari masa anak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. Setiap individu memiliki harapan untuk bahagia dalam kehidupan perkawinannya. Karena tujuan perkawinan

Lebih terperinci

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB 2 Tinjauan Pustaka BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Problematic Internet Use Problematic Internet use (PIU) didefinisikan sebagai cara penggunaan internet yang menyebabkan penggunanya memiliki gangguan atau masalah secara psikologis,

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI 5.1 Simpulan Secara umum, tingkat kebiasaan bermain online game anak kelas 5 SD Percontohan UPI Cibiru termasuk dalam kategori kadang-kadang. Kategori kadang-kadang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan jaman yang semakin maju, dimana teknologi berkembang semakin canggih salah satunya teknologi komunikasi. Demikian pula dengan perkembangan telepon

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan menjadi prioritas dalam hidup jika seseorang sudah berada di usia yang cukup matang dan mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai kehidupan manusia dalam beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seperti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kasus penggunaan narkoba pada remaja sudah sering dijumpai di berbagai media. Maraknya remaja yang terlibat dalam masalah ini menunjukkan bahwa pada fase ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari keluarga, dimana sebagian besar kelahiran disambut bahagia oleh anggota keluarganya, setiap orang tua mengharapkan anak yang sehat,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Remaja adalah generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa dan insan pembangunan

I. PENDAHULUAN. Remaja adalah generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa dan insan pembangunan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Remaja adalah generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa dan insan pembangunan nasional. Keterlibatan remaja sebagai generasi penerus berperan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kompetensi Sosial. memiliki kompetensi sosial dapat memanfaatkan lingkungan dan diri pribadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kompetensi Sosial. memiliki kompetensi sosial dapat memanfaatkan lingkungan dan diri pribadi BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kompetensi Sosial 1. Pengertian kompetensi sosial Waters dan Sroufe (Gullotta dkk, 1990) menyatakan bahwa individu yang memiliki kompetensi sosial dapat memanfaatkan lingkungan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Perkembangan teknologi yang pesat, terutama teknologi informasi dan komunikasi kian banyak digunakan orang untuk berbagai manfaat salah satunya internet. Internet (Interconnected

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. usia 18 hingga 25 tahun (Santrock, 2010). Pada tahap perkembangan ini, individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. usia 18 hingga 25 tahun (Santrock, 2010). Pada tahap perkembangan ini, individu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seorang individu dapat dikatakan menginjak masa dewasa awal ketika mencapai usia 18 hingga 25 tahun (Santrock, 2010). Pada tahap perkembangan ini, individu mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fenomena perceraian merupakan hal yang sudah umum terjadi di masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk, yang terjadi apabila

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Mental Accounting Mental accounting mengacu pada proses mengidentifikasi, mengkategorikan, dan mengevaluasi hasil dalam keuangan. (Thaler, 1980; Kahneman & Tversky, 1984;).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan dan menyenangkan. Pengalaman baru yang unik serta menarik banyak sekali dilalui pada masa ini.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being menurut Diener (2005). Teori yang dipilih akan digunakan untuk meneliti gambaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rentang kehidupan seseorang. Individu pada masa ini telah melewati masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. rentang kehidupan seseorang. Individu pada masa ini telah melewati masa remaja BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa dewasa awal merupakan awal dari suatu tahap kedewasaan dalam rentang kehidupan seseorang. Individu pada masa ini telah melewati masa remaja dan akan memasuki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan unit sosial terkecil di dalam lingkungan masyarakat. Bagi anak, keluarga merupakan tempat pertama mereka untuk berinteraksi. Keluarga yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Saat ini teknologi memiliki peranan penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Saat ini teknologi memiliki peranan penting dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini teknologi memiliki peranan penting dalam berkomunikasi. Internet menyuguhkan fasilitas dalam berkomunikasi dan hiburan. Penggunanya tidak hanya para

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya

BAB I PENDAHULUAN. Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya berdasarkan cara berpakaian, cara berjalan, cara duduk, cara bicara, dan tampilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai sektor kehidupan semakin pesat, sebagai dampak dari faktor kemajuan di bidang teknologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk berinteraksi timbal-balik dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Memulai suatu hubungan atau

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. perilaku agresi, terutama di kota-kota besar khususnya Jakarta. Fenomena agresi

BAB 1 PENDAHULUAN. perilaku agresi, terutama di kota-kota besar khususnya Jakarta. Fenomena agresi BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Hampir setiap hari banyak ditemukan pemberitaan-pemberitaan mengenai perilaku agresi, terutama di kota-kota besar khususnya Jakarta. Fenomena agresi tersebut merupakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. potensial terjadi sebagai hasil dari praktik atau penguatan (reinforced practice)

BAB II LANDASAN TEORI. potensial terjadi sebagai hasil dari praktik atau penguatan (reinforced practice) BAB II LANDASAN TEORI A. MOTIVASI BELAJAR 1. Definisi Motivasi Belajar Motivasi dan belajar merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Belajar adalah perubahan tingkah laku secara relatif permanen dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu berhubungan dengan lingkungannya dan tidak dapat hidup sendiri. Ia selalu berinteraksi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

xvi BAB I PENDAHULUAN

xvi BAB I PENDAHULUAN xvi BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Bagi banyak orang konsep suatu adiksi biasanya berkaitan dengan obat obatan. Maka tidak mengherankan bahwa definisi adiksi banyak dikaitkan dengan obat obatan yaitu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. tingkah laku yang menurut kata hati atau semaunya (Anshari, 1996: 605).

BAB II KAJIAN TEORI. tingkah laku yang menurut kata hati atau semaunya (Anshari, 1996: 605). BAB II KAJIAN TEORI A. Teori Kontrol Diri 1. Pengertian Kontrol Diri Kontrol diri adalah kemampuan untuk menekan atau untuk mencegah tingkah laku yang menurut kata hati atau semaunya (Anshari, 1996: 605).

Lebih terperinci

Kesehatan Mental. Mengatasi Stress / Coping Stress. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

Kesehatan Mental. Mengatasi Stress / Coping Stress. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi Modul ke: Kesehatan Mental Mengatasi Stress / Coping Stress Fakultas Psikologi Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Coping Stress Coping Proses untuk menata tuntutan

Lebih terperinci

2016 HUBUNGAN ANTARA CYBERBULLYING DENGAN STRATEGI REGULASI EMOSI PADA REMAJA

2016 HUBUNGAN ANTARA CYBERBULLYING DENGAN STRATEGI REGULASI EMOSI PADA REMAJA BAB 1 PENDAHULUAN Bab ini merupakan pendahuluan dari skripsi yang akan membahas beberapa hal terkait penelitian, seperti latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan struktur

Lebih terperinci

OF MISSING OUT) DENGAN KECANDUAN INTERNET (INTERNET ADDICTION) PADA REMAJA DI SMAN 4 BANDUNG

OF MISSING OUT) DENGAN KECANDUAN INTERNET (INTERNET ADDICTION) PADA REMAJA DI SMAN 4 BANDUNG 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Internet merupakan salah satu bentuk evolusi perkembangan komunikasi dan teknologi yang berpengaruh pada umat manusia. Salah satu akibat adanya internet adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Motivasi Bekerja. Kata motivasi ( motivation) berasal dari bahasa latin movere, kata dasar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Motivasi Bekerja. Kata motivasi ( motivation) berasal dari bahasa latin movere, kata dasar BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Motivasi Bekerja 1. Pengertian Motivasi Kata motivasi ( motivation) berasal dari bahasa latin movere, kata dasar adalah motif ( motive) yang berarti dorongan, sebab atau alasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Semakin majunya perkembangan teknologi di Indonesia, semakin terbuka luas juga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Semakin majunya perkembangan teknologi di Indonesia, semakin terbuka luas juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin majunya perkembangan teknologi di Indonesia, semakin terbuka luas juga peluang bagi seseorang untuk dapat menjangkau dan menggunakan teknologi tersebut. Beragam

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pada bab 2 akan dibahas landasan teori dan variabel-variabel yang terkait

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pada bab 2 akan dibahas landasan teori dan variabel-variabel yang terkait BAB 2 LANDASAN TEORI Pada bab 2 akan dibahas landasan teori dan variabel-variabel yang terkait dalam penelitian ini. Variabel-variabel tersebut adalah Ujian Nasional, stres, stressor, coping stres dan

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 5.1 Simpulan Berdasarkan hasil uji korelasi yang telah dijabarkan dalam bab sebelumnya untuk menjawab hipotesa didapatkan bahwa H0 ditolak dan Ha diterima, yaitu terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Weiten & Lloyd (2006) menyebutkan bahwa personal adjustment adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Weiten & Lloyd (2006) menyebutkan bahwa personal adjustment adalah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Personal Adjustment 1. Definisi Personal Adjustment Weiten & Lloyd (2006) menyebutkan bahwa personal adjustment adalah sebuah proses psikologis yang dijalani seseorang yang mengakibatkan

Lebih terperinci

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) MODUL PERKULIAHAN Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri) Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 03 MK61112 Aulia Kirana,

Lebih terperinci

BAB 1 Tinjauan Pustaka

BAB 1 Tinjauan Pustaka BAB 1 Tinjauan Pustaka 2.1. Materialisme 2.1.1. Definisi Belk (1985) mendefinisikan materialisme sebagai bagian dari ciri kepribadian yang dimiliki setiap orang. Di kemudian hari, Richins dan Dawson memperluas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memperoleh gelar sarjana (Sugiyono, 2013). Skripsi adalah muara dari semua

BAB 1 PENDAHULUAN. memperoleh gelar sarjana (Sugiyono, 2013). Skripsi adalah muara dari semua BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Skripsi merupakan salah satu jenis karya ilmiah di perguruan tinggi yang dikerjakan oleh mahasiswa program sarjana (S1), sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Pada bab ini peneliti akan membahas mengenai kesimpulan dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan pada bab empat serta saran baik teoretis maupun saran praktis.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Normative Social Influence 2.1.1 Definisi Normative Social Influence Pada awalnya, Solomon Asch (1952, dalam Hogg & Vaughan, 2005) meyakini bahwa konformitas merefleksikan sebuah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mental Emosional 2.1.1 Definisi Mental Emosional Mental adalah pikiran dan jiwa, sedangkan emosi adalah suatu ekspresi perasaan, atau dapat juga diartikan sebagai sebuah afek

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Ada dua tradisi dalam memandang kebahagiaan, yaitu kebahagiaan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Ada dua tradisi dalam memandang kebahagiaan, yaitu kebahagiaan BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Landasan Teori 2.1.1 Subjective Well Being Ada dua tradisi dalam memandang kebahagiaan, yaitu kebahagiaan eudaimonic dan kebahagiaan hedonis. Istilah eudaimonic berasal dari bahasa

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sundeen, 1998). Potter & Perry. kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sundeen, 1998). Potter & Perry. kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya. 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep diri 2.1.1. Pengertian Konsep diri Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu

Lebih terperinci

15. Lampiran I : Surat Keterangan Bukti Penelitian BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

15. Lampiran I : Surat Keterangan Bukti Penelitian BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 15. Lampiran I : Surat Keterangan Bukti Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Remaja adalah suatu tahap perkembangan antara masa anak-anak dan masa dewasa yang ditandai oleh perubahan-perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Saat ini kemajuan teknologi dan informasi terus berkembang. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Saat ini kemajuan teknologi dan informasi terus berkembang. Dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini kemajuan teknologi dan informasi terus berkembang. Dengan adanya teknologi dan informasi, dapat memudahkan siapa saja untuk memperoleh informasi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Individu pasti melewati segala peristiwa dalam kehidupan mereka. Peristiwa-peristiwa yang dialami oleh setiap individu dapat beragam, dapat berupa peristiwa yang menyenangkan

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Remaja dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Memahami Masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Vera Ratna Pratiwi,2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Vera Ratna Pratiwi,2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sebuah teknologi pada hakikatnya diciptakan untuk membuat hidup manusia menjadi semakin mudah dan nyaman. Kemajuan teknologi yang semakin pesat ini membuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan. Dari tahun ketahun menikah memiliki mode, misal saja di zaman

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan. Dari tahun ketahun menikah memiliki mode, misal saja di zaman BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menikah merupakan suatu hal yang penting dalam menjalani siklus kehidupan. Dari tahun ketahun menikah memiliki mode, misal saja di zaman dahulu menikah merupakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan sarana dan internet seperti yang terdapat pada smartphone (Sunarto,

BAB I PENDAHULUAN. dengan sarana  dan internet seperti yang terdapat pada smartphone (Sunarto, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin pesat, maka internet menjadi salah satu media yang paling mudah dan murah untuk digunakan. Sejalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi seorang anak dalam mempelajari berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar inilah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Attention Deficit Hiperactivity Disorder (ADHD) merupakan suatu gangguan perkembangan yang mengakibatkan ketidakmampuan mengatur perilaku, khususnya untuk mengantisipasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Prestasi Belajar 1. Pengertian Prestasi belajar atau hasil belajar adalah realisasi atau pemekaran dari kecakapan potensial atau kapasitas yang dimiliki seseorang. Penguasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja adalah masa peralihan antara tahap anak dan dewasa yang jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya. Dengan terbukanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. proses pertumbuhan dan perkembangan. Individu pada masa remaja mulai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. proses pertumbuhan dan perkembangan. Individu pada masa remaja mulai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja dapat dipandang sebagai suatu masa dimana individu dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Individu pada masa remaja mulai meninggalkan kebiasaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB 1 PENDAHULUAN Bab ini merupakan pendahuluan dari keseluruhan laporan penelitian yang menguraikan pokok bahasan tentang latar belakang masalah yang menjadi fokus penelitian, pertanyaan penelitian,

Lebih terperinci