BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat"

Transkripsi

1 BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2008 sampai Februari Tahapan penelitian, dibagi dua tahap. Tahap I, meliputi; 1) Sampling hewan uji, 2) Koleksi testes dan penghitungan konsentrasi spermatofor, 3) Pengukuran diameter dan koleksi spermatofor, 4) Penghitungan jumlah spermatozoa dalam spermatofor, dan 5) Preservasi spermatofor. Tahap II, preparasi Scanning Electron Microscope (SEM). Penelitian dilakukan di Laboratorium Embriologi, Laboratorium Unit Rehabilitas Reproduksi (URR) dan Laboratorium Histologi FKH-IPB. Pengamatan morfologi spermatofor dan spermatozoa (Scylla olivacea) dengan SEM dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong. Hewan Uji Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepiting bakau merah jantan (Scylla olivacea) sebagai sumber testes, spermatofor, dan spermatozoa yang berasal dari tiga lokasi pengambilan sampel (Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Papua Barat) yang memiliki kisaran ukuran karapas berkisar 8-15 cm dan bobot tubuh gr. Tahapan Penelitian I Sampling Hewan Uji Pengambilan hewan uji dari tiga daerah, yaitu; Jawa (Blanakan, Jawa Barat), Sulawesi (Maros, Sulawesi Selatan) dan Papua (Fak-Fak, Papua Barat), yang diperoleh dari pengumpul lokal. Pemilihan spesimen berdasarkan morfologi tubuh yang normal, sehat, serta kondisi badan yang lengkap. Spesimen yang diambil sebanyak ± 16 ekor tiap lokasi penelitian. Spesimen ditampung sementara untuk adaptasi di URR-FKH IPB. Pengukuran karakteristik morfometrik kepiting bakau merah mengikuti petunjuk Warner (1977), pengukuran panjang dan lebar karapas menggunakan mikrometer dengan

2 ketelitian 0.05 mm. Pengukuran karapas diukur dari letak antara gigi median sampai tepi posterior karapas dalam bentuk garis lurus, sedangkan lebar karapas diukur dari kedua gigi anterolateral. Berat kepiting secara individual dihitung dengan menggunakan timbangan. Koleksi Testes dan Penghitungan Konsentrasi Spermatofor Kepiting bakau terlebih dahulu dibersihkan, selanjutnya dipingsankan dalam freezer (-30 o C). Setelah pingsan, kepiting dibedah pada bagian cefalatorak untuk pengambilan jaringan testes. Jaringan testes, ditimbang dengan timbangan elektrik (Electonic Analytical Balance, ANDGR-200). Setelah itu dicuci dalam larutan NaCl fisiologis 0.82 %, dan dikeringkan dengan kertas saring. Untuk penghitungan konsentrasi spermatofor, testes dicacah dengan gunting steril, cairan yang keluar diambil dengan mikropipet sebanyak 10 μl dan dilarutkan dengan 990 μl larutan Ca ++ Saline (1:10) dalam mikrotube 1.5 ml. Kedua larutan dihomogenkan, sebanyak 10 μl dari campuran tersebut diteteskan ke gelas objek dan dilakukan penghitungan seluruh spermatofor yang terlihat dibawah mikroskop dan dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali. Penghitungan konsentrasi spermatofor per individu menggunakan rumus : ( spermatofor yang teramati X 10 μl larutan yang diambil dari mikrotube berisi kedua larutan yang telah dihomogen tersebut). Pengukuran Diameter dan Koleksi Spermatofor Pengukuran diameter spermatofor kepiting bakau merah menggunakan mikroskop yang dilengkapi mikrometer okuler. Spermatofor yang diukur berkisar ± 250 buah untuk tiap individu. Setiap spermatofor diukur berdasarkan ukuran terbesar sampai terkecil, hal ini dilakukan untuk mengetahui kisaran ukuran diameter spermatofor. Koleksi spermatofor dilakukan dengan mengambil spermatofor segar dari bagian tengah vas deferen pada jaringan testes dengan cara menusuk dinding tipis dari bagian tengah vas deferen, seminal plasma yang mengandung spermatofor dikoleksi dalam petri dish (Bhavanishankar & Subramonian 1997; Sato et al. 2004), menggunakan mikroskop stereo (Nikon, SMZ-2T, Japan). 29

3 Penghitungan Jumlah Spermatozoa Penghitungan konsentrasi spermatozoa dilakukan dengan cara mengeluarkan spermatozoa dari spermatofor (Bhavanishankar & Subramonian 1997). Pengeluaran spermatozoa dari spermatofor dilakukan dengan pronase dengan prosedur, sebagai berikut; 1) Spermatofor dikoleksi sesuai dengan klasifikasi ukuran yang telah ditentukan, diletakkan dalam objek gelas dan diteteskan dengan 2 μl pronase 0.05 % dan ditambahkan 8 μl larutan medium spermatozoa (Ca ++ free saline). 2) Didiamkan selama menit kemudian dihomogenkan 3) Larutan yang berisi spermatozoa diambil menggunakan pipet sebanyak 5 μl, kemudian diteteskan pada Neubauer Chamber untuk dilakukan penghitungan sel spermatozoa. Preservasi Spermatofor Preservasi spermatofor dengan memberikan perlakuan pada lama penyimpanan spermatofor (0,5,10,15, dan 20 hari) dalam refreigator 4 C untuk menguji viabilitas dari spermatofor Scylla olivacea. Tahapan Penelitian II Pengamatan Struktur dan Morfologi Spermatozoa Dengan SEM Pengamatan SEM untuk melihat morfologi permukaan spermatofor dan spermatozoa secara detail dari kepiting bakau merah menggunakan SEM mengikuti prosedur standar yang ada. Rancangan Penelitian dan Analisis Data Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel, histogram, grafik, dan scaterplot menggunakan program Excell untuk melihat rataan dan sd dari masingmasing karakteristik umum Scylla olivacea yang berasal dari tiga lokasi, konsentrasi spermatofor per individu, viabilitas spermatofor, kisaran ukuran spermatofor, konsentrasi spermatozoa per spermatofor. Untuk gambar morfologi spermatofor dan spermatozoa dianalisis secara deskriptif 30

4 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Umum Kepiting Bakau Merah Jantan Scylla olivacea Gambar 13 Karakteristik umum Scylla olivacea, Keterangan; A = Blanakan, Jawa Barat B = Maros, Sulawesi Selatan dan C = Fak-Fak, Papua Barat Berdasarkan pengamatan diperoleh hasil yang menunjukkan kepiting bakau merah jantan (Scylla olivacea) yang berasal dari tiga lokasi pengambilan sampel penelitian, memiliki perbedaan morfometrik yang cukup signifikan ini terlihat dari ukuran dan warna tubuh (Gambar 13). Kepiting bakau merah jantan yang berasal dari Blanakan, Jawa Barat memiliki ukuran tubuh yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan kepiting bakau merah jantan dari Maros, Sulawesi Selatan dan Fak-Fak, Papua Barat. Selain itu, memiliki warna tubuh yang lebih terang dibandingkan dengan kepiting dari kedua daerah lainnya. Hal ini disebabkan perbedaan hábitat yang berhubungan langsung dengan wilayah geografi masing-masing lokasi, sehingga merupakan suatu indikator yang dapat digunakan dalam pencirian morfometrik dari kepiting bakau itu sendiri. Perbedaan

5 morfologi pada Scylla spp sangat dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya, walaupun berbeda morfologinya tetap spesies Scylla spp yang sama. Kondisi lingkungan yang spesifik bisa menghasilkan bentuk morfologi yang berbeda (Stephenson & Campbell 1960; Fuishimi & Watanabe 2000). Gambar 14 Ciri Karakteristik Scylla olivacea, Keterangan; a = duri pada corpus dan b = bentuk frontal teeth yang pendek dan tumpul Untuk membedakan Scylla olivacea dari ketiga spesies Scylla spp yang lain, dapat dilihat dari karakteristik morfologi; bentuk dari frontal teeth, duri pada bagian corpus, propodus dari chelipid serta warna tubuh (Keenan et al. 1998). Scylla olivacea, memiliki ciri karakteristik dengan bentuk frontal teeth yang lebih rendah (tumpul) dibandingkan dengan ketiga spesies Scylla spp lainnya, terdapat satu duri pada bagian corpus dan memiliki warna tubuh yang bervariasi dari hijau, orange kemerahan sampai coklat kehitaman, sehingga Scylla olivacea lebih dikenal dengan nama kepiting bakau merah (Gambar 14). Kepiting bakau ini memiliki keunggulan dari spesies kepiting bakau lainnya, yaitu memiliki siklus reproduksi yang lebih singkat dan untuk individu betina lebih cepat bertelur. Selain itu kepiting ini mampu bertahan dalam kondisi kekurangan air dalam jangka waktu lama asal dalam keadaan lembab. Umumnya kepiting bakau merah lebih sering ditemukan di daerah mangrove dan muara sungai. Sebagian besar siklus hidup kepiting bakau dilalui di sekitar muara sungai dan hutan bakau (Sulaeman 1992). Kepiting ini lebih 32

6 menyukai salinitas air yang rendah. Ukuran tubuh dari kepiting bakau merah ini lebih kecil dibandingkan spesies kepiting bakau lainnya. Ukuran yang paling besar bisa mencapai 18 cm. Tabel 2 Karakteristik Umum Reproduksi Scylla olivacea Jantan Asal Blanakan (Jawa Barat), Maros (Sulawesi Selatan) dan Fak-Fak (Papua Barat) Daerah Karakteristik Umum Mean ± Sd Blanakan, Jabar Maros, Sulsel Fak-Fak, Pabar Bobot Tubuh (g) ± 59.7 Panjang Karapas (mm) 6.8 ± 0.8 Lebar Karapas (mm) 10.0 ± 1.0 Gonad (g) 0.8 ± 0.5 GSI (%) (0.4 ± 0.24) Bobot Tubuh (g) ± Panjang Karapas (mm) 8.4 ± 0.6 Lebar Karapas(mm) 11.9 ± 0.9 Gonad (g) 1.9 ± 0.8 GSI (%) (0.4 ± 0.19) Bobot Tubuh (g) ± Panjang Karapak (cm) 8.9 ± 0.5 Lebar Karapak (cm) 12.3 ± 0.8 Gonad (g) 2.3 ± 0.9 GSI (%) (0.44 ± 0.23) Blanakan, Jawa Barat Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Juli Desember Untuk kepiting bakau merah jantan melakukan aktivitas reproduksi sepanjang tahun. Aktivitas reproduksi dari kepiting bakau dimulai pada akhir musim panas hingga memasuki musim penghujan atau musim hujan, dimana perairan mangrove pada daerah tropis kaya akan nutrisi (Heasman et al. 1985; Sara et al. 2006). Nilai bobot tubuh Scylla olivacea jantan asal Jawa Barat (Tabel 2) adalah ± 59.7 g, dengan panjang dan lebar karapas masing-masing adalah 6.8 ± 0.8 mm dan 10.0 ± 1.0 mm. Distribusi ukuran panjang dan lebar karapas yang beragam dari sampel Jawa, mengindikasikan bahwa daerah tempat pengambilan sampel tersebut merupakan feeding ground dan nursery ground bagi kepiting bakau, ukuran sampel yang relatif lebih kecil dan jumlah sangat terbatas 33

7 dibandingan dengan spesies kepiting bakau lainnya yang berada pada lokasi penelitian, yakni Scylla paramamosain dan Scylla serrta yang jumlah sangat melimpah dengan nilai kisaran bobot tubuh yang lebih besar. Berdasarkan pengalaman pribadi di lapangan untuk spesies Scylla olivacea agak sulit ditemukan di daerah Jawa, jika ada jumlahnya pun sangat terbatas. Hal in disebabkan oleh pola distribusi dari kepiting bakau itu sendiri. Umumnya di daerah Jawa untuk spesies kepiting bakau yang distribusinya melimpah adalah spesies Scylla paramamosain. Scylla paramamosain memiliki penyebaran mulai dari; Laut Cina Selatan, Vietnam, Singapura, Cina, Taiwan, Hongkong, Laut Jawa, Kalimantan dan Jawa. Sedangkan untuk Scylla olivacea sendiri, pola distribusinya, yakni; Samudera Indian, Pakistan sampai Australia Barat, Laut Cina Selatan, Thailand, Singapura, Vietnam, Sarawak, Samudera Pasifik, Filipina, dan Timor (Keenan et al. 1998). Selain pola distribusi dari kepiting bakau merah itu sendiri, ini juga berkaitan dengan ekosistem mangrove tempat hidupnya. Berdasarkan pengalaman di lapangan di daerah Blanakan, Jawa Barat kondisi ekosistem mangrove disana sangat memprihatikan. Banyaknya pembukaan lahan budidaya yang tidak memperhatikan keseimbangan ekosistem mangrove dan masyarakat sekitar juga menggunakan bakau sebagai bahan kayu bakar untuk kegiatan rumah tangga. Hutan mangrove sebagai habitat kepiting bakau, sudah mengalami degradasi. Umumnya mangrove yang ada di daerah Jawa mengalami kerusakan karena aktivitas manusia, seperti; pembukaan pemukiman, lahan budidaya, dan lainnya. Pertambahan penduduk, penebangan hutan dan pertambakan merupakan tiga ancaman utama kelestarian hutan mangrove di Jawa (Hasmonel et al. 2000), Jawa merupakan kawasan dengan penduduk paling padat di dunia (Ligtvoet et al. 1996), dimana 60% peduduk Indonesia yang jumlahnya lebih dari 200 juta tinggal di pulau yang luasnya hanya seperlima luas negeri (Hadianto 1998), sehingga tingkat perubahan habitat alami sangat tinggi, termasuk untuk permukiman (Silvius et al. 1987). Hutan mangrove di pulau Jawa, pada tahun 1985 seluas ha, namun pada tahun 1997 tinggal ha (11.19%). Penyusutan terbesar terjadi di Jawa Timur, dari luasan ha tinggal 500 ha (8%), di Jawa Barat dari ha tinggal kurang dari ha (7.5%), dan di Jawa Tengah dari 34

8 ha tinggal ha (29%). Sementara luas tambak di pulau Jawa adalah ha yang tersebar di Jawa Barat ( ha), Jawa Tengah ( ha), dan Jawa Timur ( ha). Apabila ekstensifikasi tambak dengan mengubah hutan mangrove terus dilakukan, maka kemungkinan besar akan sangat sulit menemukan hutan mangrove di Jawa (Giesen 1993; Republika 23/7/2002). Mangrove merupakan habitat alam dari kepiting bakau (Scylla spp). Kepiting bakau hidup pada berbagai habitat dan sebagian besar hidup di laut, sebagian hidup di perairan bakau, atau di estuari. Pada masa juvenil sampai menjelang dewasa atau dewasa, kepiting hidup di pantai, muara-muara sungai dan hutan bakau dengan cara membuat lubang (Kasri 1982). Sekitar 80% dari jenis jenis ikan laut daerah tropika menghabiskan masa hidupnya paling tidak satu fase dalam daur hidupnya, di daerah pesisir berhutan mangrove. Untuk nilai bobot gonad Scylla olivacea jantan adalah 0.8 ± 0.5 g, berdasarkan hasil bobot badan dan bobot gonad tersebut dapat dihitung nilai Gonad Stomatik Indeks (GSI) sebagai berikut; % (0.4 ± 0.24). Nilai kisaran GSI tertinggi yang diperoleh untuk sampel Jawa, yakni; 0.82 % lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kisaran GSI untuk sampel Sulawesi, yakni; 0.72%. Hal ini sebabkan karena GSI tidak saja dipengaruhi oleh ukuran tubuh dan bobot dari kepiting tetapi lebih dipengaruhi oleh tingkat kematangan gonad. Walaupun ukuran dan bobot tubuh dari kepiting lebih kecil tetapi jika testis dalam kondisi matang maka nilai GSI besar begitupun sebaliknya. Gonad stomatik indeks sangat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktorfaktor yang mempengaruhi adalah; ukuran tubuh, umur, ketersediaan pakan, lingkungan fisik, sifat biokimia air, dan faktor neuroendokrin (Rukminasari 1999). Maros, Sulawesi Selatan Nilai bobot tubuh Scylla olivacea jantan asal Sulawesi Selatan (Tabel 2) adalah ± g. Nilai kisaran bobot tubuh yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan sampel dari Jawa bisa diasumsikan kepiting bakau asal Sulawesi memiliki morfologi fisik yang lebih besar dibandingkan dengan kepiting bakau asal Jawa, diduga hal ini disebabkan oleh habitat dari kepiting bakau tersebut. Mengacu pada lokasi sampel, yakni; daerah Sulawesi yang memiliki kondisi mangrove yang masih bagus dibandingkan dengan daerah Jawa. 35

9 Mangrove dengan kondisi fisik yang menyusunnya berupa substrat yang liat berlumpur dan dengan adanya guguran daun mangrove serta dinamika pergerakan air yang fluktuatif menyebabkan tinggi kandungan bahan organik yang menentukan tingkat produktivitas perairan tersebut. Produktivitas perairan yang tinggi menyokong semua komunitas yang berada dalam wilayah tersebut. Kepiting bakau merupakan organism bentik pemakan serasah dan habitatnya adalah perairan intertidal (mendekati daerah mangrove) yang bersubstrat lumpur (Moosa et al. 1985). Kondisi ekosistem mangrove yang masih terjaga di daerah Sulawesi, menyokong segala aspek kehidupan yang berada dalam ekosistem tersebut, termasuk kepiting bakau. Kepiting bakau, khusus Scylla olivacea yang siklus hidupnya lebih banyak berada di daerah mangrove. Mangrove sebagai feeding ground dan nursery ground, yang menyokong siklus hidup dari kepiting bakau salah satunya siklus reproduksi. Untuk nilai panjang dan lebar karapas masing-masing adalah 8.4 ± 0.6 mm dan 11.9 ± 0.9 mm. Distribusi ukuran panjang dan lebar karapas yang seragam dari sampel Sulawesi, mengindikasikan bahwa kepiting bakau yang terambil adalah kepiting bakau yang dewasa siap memijah karena ukuran tubuhnya relatif besar. Nilai bobot gonad menunjukkan nilai 1.9 ± 0.8 g, dengan nilai GSI yang diperoleh sebesar % (0.4 ± 0.19). Proses reproduksi pada hewan air, sebagian besar hasil metabolisme tertuju pada perkembangan gonad. Hal ini yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam gonad itu sendiri. Umumnya pertambahan bobot gonad pada ikan betina 10-25% dan pada ikan jantan hanya 5-10% dari bobot tubuh. Kematangan gonad pertama kali pada spesies ikan berbeda, ukuran tubuh untuk matang gonad juga bervariasi antara spesies ikan. Hal ini juga berlaku pada tiap individu walaupun satu spesies. Faktor utama yang mempengaruhi kematangan gonad hewan air, antara lain: suhu, makanan dan hormonal. Fak-Fak, Papua Barat Nilai bobot tubuh Scylla olivacea jantan asal Papua (Tabel 2) adalah ± g. Mayoritas sampel dari Papua Barat memiliki ukuran dan bobot tubuh yang besar bahkan ada yang hampir mencapai 1 kg, lebih tinggi dibandingkan dengan sampel dari Jawa Barat maupun Sulawesi Selatan. Mengacu pada lokasi 36

10 pengambilan sampel, yakni; daerah Papua yang memiliki kondisi mangrove yang masih bagus dibandingkan dengan daerah Jawa dan Sulawesi. Dari 2,4 juta hektar mangrove yang kondisinya baik, menurut Departemen Kehutanan, sebagian besar berada di daerah yang jauh dari permukiman masyarakat seperti di Papua. Papua merupakan salah satu provinsi yang memiliki mangrove terluas di Indonesia yaitu; hektar dan dalam kondisi yang baik. Panjang dan lebar karapas Scylla olivacea jantan asal Fak-Fak, Papua Barat masing-masing adalah 8.9 ± 0.5 mm dan 12.3 ± 0.8 mm. Distribusi ukuran panjang dan lebar karapas yang seragam dari sampel Papua sama halnya dengan sampel dari Sulawesi. Sedangkan untuk bobot gonad diperoleh nilai 2.3 ± 0.9 g dan nilai GSI adalah % (0.44 ± 0.23), tertinggi dibandingkan kedua daerah lainnya Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Konsentrasi Spermatofor Kepiting Bakau Merah Scylla olivacea Gambar 15 Grafik Konsentrasi Spermatofor per Individu Scylla olivacea Keterangan; a= Blanakan, Jawa Barat, b = Maros, Sulawesi Selatan dan c = Fak-Fak, Papua Barat 37

11 Berdasarkan hasil penghitungan konsentrasi spermatofor per individu dari masing-masing daerah menunjukkan nilai regresi yang berbeda (Gambar 15). Untuk daerah Jawa Barat dengan nilai regresi, y = 0.016x x x x dengan nilai koefesien determinasi (R²) sebesar 0.357, yang menunjukkan korelasi konsentrasi spermatofor dengan individu membentuk persamaan nonlinear. Sama halnya dengan sampel dari Jawa, sampel dari Sulawesi Selatan, memiliki nilai regresi y = 0.002x x x x x dengan koefesien determinasi (R²) adalah Sedangkan untuk Papua Barat nilai regresinya, y = 0.004x x x x x dengan R² = 0.218, juga menunjukkan persamaan regresi nonlinear. Jadi dapat dikatakan setiap individu dari satu populasi yang sama memiliki konsentrasi spermatofor yang berbeda, bergantung lagi pada siklus reproduksi yang berlangsung pada individu tersebut. Konsentrasi spermatofor dari Scylla olivacea yang tertinggi diperoleh dari sampel Papua Barat yang memiliki nilai kisaran konsentrasi spermatofor dari 7.37 x 10 ³ x 10 ³, kemudian diikuti sampel dari Jawa Barat 1.67 x 10 ³ x 10 ³ dan Sulawesi Selatan 5.53 x 10 ³ x 10 ³. Konsentrasi spermatofor ini berkaitan dengan kisaran nilai Gonad Stomatik Indeks (GSI) pada tiap individu dari tiga lokasi pengambilan sampel penelitian. Dimana kisaran nilai GSI untuk sampel dari Jawa Barat memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan kisaran nilai GSI untuk sampel dari Sulawesi Selatan. Sehingga konsentrasi spermatofor dari sampel Jawa Barat lebih tinggi jumlahnya dibandingkan dengan konsentrasi spermatofor sampel dari Sulawesi Selatan. Sedangkan untuk sampel dari Papua Barat, menunjukkan konsentrasi spermatofor yang tertinggi dibandingkan dengan kedua daerah lainnya. Konsentrasi spermatofor dari sampel Papua berbanding lurus dengan nilai kisaran bobot gonad dan GSI yang juga tertinggi dari kedua daerah lainnya, yakni; 2.3 ± 0.9 g dan %. 38

12 Viabilitas Spermatofor Scylla olivacea Gambar 16 Preservasi Spermatofor Scylla olivacea pada hari ke-0 sampai dengan hari ke-20. Keterangan; A = Blanakan, Jawa Barat B = Maros, Sulawesi Selatan dan C = Fak Fak, Papua Barat Hasil preservasi spermatofor yang diperoleh dari ketiga lokasi pengambilan sampel, yaitu; Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Papua Barat menunjukkan adanya penurunan viabilitas spermatofor seiring dengan waktu preservasi atau penyimpanan spermatofor. Penurunan viabilitas spermatofor dari hari ke - 0 sampai ke - 20 untuk sampel dari Blanakan, Jawa Barat dapat lihat pada Gambar 16A, menunjukkan pada 0 hari viabilitas spermatofor sebesar 39

13 50.73 ± 10.31% dan banyak spermatofor berukuran besar yang masih viable. Preservasi hari ke - 5 dengan viabilitas spermatofor sebesar ± 5.22%, banyak spermatofor berukuran besar yang terwarnai. Viabilitas spermatofor pada preservasi hari ke - 10 sebesar ± Preservasi hari ke - 15, spermatofor yang masih viable ± 2.23% dan terlihat pada preparat ulas zat warna masuk dengan sempurna kedalam spermatofor dan pada preservasi hari ke - 20, viabilitas spermatofor menurun sangat dratis yakni; sebesar 5.50 ± Selain viabilitas spermatofor yang menurun, juga ditandai dengan warna larutan medium pada preservasi spermatofor mengalami perubahan semakin keruh dan berbau. Ini merupakan indikator bahwa semakin banyak spermatofor yang telah rusak dan mati sehingga menghasilkan sisa metabolit yang akhirnya berdampak pada spermatofor lainnya yang masih viable. Selain itu pada preservasi spermatofor ini juga tidak ditambahkan penisilin yang berfungsi sebagai anti mikroba atau bakteri. Preservasi spermatofor untuk daerah Maros, Sulawesi Selatan (Gambar 16B) menunjukkan nilai viabilitas yang lebih tinggi daripada sampel yang berasal dari Jawa Barat. Preservasi spermatofor 0 hari untuk sampel Sulawesi, viabilitas spermatofor sebesar ± 23.67% terlihat spermatofor yang berukuran besar masih viable dan belum terwanai. Preservasi spermatofor pada hari ke -5, terjadi penurunan viabilitas spermatofor yang dratis sebesar ± 13.29%. Preservasi spermatofor hari ke -10, viabilitas spermatofor yang masih hidup sebesar ± 7.05%. Viabilitas spermatofor pada preservasi hari ke -15, diperoleh nilai sebesar ± 2.88% dan terdapat beberapa spermatofor berukuran besar yang masih viable. Viabilitas spermatofor antara preservasi hari ke - 10 dan hari ke - 15, tidak jauh berbeda. Dan pada preservasi spermatofor pada hari ke -20, viabilitas spermatofor hanya sebesar ± 4.73% namun nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan viabilitas spermatofor dari sampel Jawa Barat pada hari ke Preservasi spermatofor untuk daerah Fak Fak, Papua Barat (Gambar 16C), menunjukkan nilai viabilitas yang lebih rendah dibandingkan dengan kedua sampel yang berasal dari Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Preservasi spermatofor 0 hari untuk sampel Papua, viabilitas spermatofor hanya mencapai ± 12.87%. Preservasi spermatofor pada hari ke -5, viabilitas spermatofor 40

14 yang diperoleh sebesar ± 9.33 %, preservasi hari ke - 10, viabilitas spermatofor mengalami penurunan yang sangat dratis yaitu; 9.06 ± 1.59%, preservasi spermatofor pada hari - 15 sebesar 8.74 ± 1.65% dan pada preservasi spermatofor pada hari ke -20, diperoleh nilai viabilitas spermatofor sebesar 1.87 ± 0.62%. Nilai viabilitas yang lebih rendah ini, diduga karena sampel yang berasal dari Papua Barat ini sudah mengalami penurunan kualitas pada individu jantannya yang pada akhirnya mempengaruhi performans reproduksi khususnya untuk viabilitas spermatofor. Hal ini berkaitan dengan faktor luar yang sangat mempengaruhi kualitas dari kepiting bakau merah jantan, dimana sampel dari Papua Barat telah mengalami proses perjalanan yang sangat jauh dan memakan waktu yang lebih lama untuk sampai di Laboratorium, sehingga mempengaruhi fisiologi dari individu tersebut yang berdampak pada kualitas spermatofornya. Blanakan, Jawa Barat Kisaran Diameter Spermatofor Scylla olivacea Gambar 17 Scatterplot Kisaran Diameter Spermatofor Scylla olivacea Blanakan, Jawa Barat Diameter spermatofor sangat bervariasi baik antar individu, antar sampel maupun antar lokasi pengambilan sampel. Berdasarkan hasil pengamatan, spermatofor Scylla olivacea asal Jawa Barat, menunjukkan diameter terkecil 33.75µm dan terbesar 210µm (Gambar 17), hal ini menunjukkan bahwa kisaran ukuran diameter spermatofor berhubungan pula dengan tingkat kematangan gonad (TKG), untuk daerah Jawa memiliki kisaran nilai bobot gonad yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan kedua daerah lainnya (Sulawesi Selatan dan Papua 41

15 Barat). Distribusi spermatofor terpusat pada ukuran diameter 50 sampai dengan 150µm, spermatofor yang memiliki ukuran diameter yang sama dan jumlahnya diatas ± 20 buah, adalah sebagai berikut; 72.5µm (n=20), 75µm (n=29), 77.5µm (n=30), 82.5µm (n=33), 85µm(n=34), 86.25µm (n=25), 87µm(n=27), 88.75µm (n=21), 90 µm(n=36), 92.5 µm(n=30), 93.75µm (n=27), 95µm (n=35), 96.25µm (n=22), 97.5µm (n=25), 98.75µm (n=21),100µm (n=24), 102.5µm (n=25), 110µm (n=21), 112.5µm (n=28), 115µm (n=26) dan 120µm (n=20). Jadi dapat dikatakan pada sampel Jawa Barat, ukuran spermatofor yang paling banyak ditemukan adalah 72.5µm sampai dengan 120µm. Maros, Sulawesi Selatan Gambar 18 Scatterplot Kisaran Diameter Spermatofor Scylla olivacea Jantan Asal Sulawesi Selatan, Maros Berbeda dengan sampel dari Jawa Barat spermatofor dari Scylla olivacea asal Sulawesi Selatan, menunjukkan diameter yang lebih kecil yaitu 18.75µm tetapi ditemukan spermatofor dengan diameter sampai 362.5µm (Gambar 18), hal ini menunjukkan bahwa kisaran diameter spermatofor bervariasi untuk tiap lokasi pengambilan sampel. Untuk distribusi spermatofor pada sampel dari Sulawesi, yaitu terpusat pada ukuran diameter 50 sampai dengan 250µm, Spermatofor yang memiliki ukuran diameter yang sama dan jumlahnya diatas ± 20 buah, adalah sebagai berikut; 87.5µm (n=26), 90µm (n=21), 100µm (n=21), µm (n=23), 102.5µm (n=29),103.75µm (n=26), 105µm (n=26), µm (n=21), 107.5µm (n=24) dan 125µm (n=20). Jumlah diameter yang paling banyak ditemukan antara 87.5µm sampai dengan 125µm. 42

16 Fak-Fak, Papua Barat Gambar 19 Grafik Kisaran Diameter Spermatofor Scylla olivacea Jantan Asal Papua Barat, Fak-Fak Dibandingkan dengan dua sampel sebelumnya, diameter spermatofor Scylla olivacea asal Papua Barat, menunjukkan diameter terkecil 45µm dan spermatofor terbesar hanya 277.5µm (Gambar 19). Pada sampel ini, menunjukkan range nilai diameter spermatofor yang sama dengan sampel dari Sulawesi yaitu terpusat pada diameter 50 sampai dengan 250µm. Spermatofor yang memiliki ukuran diameter yang sama dan jumlahnya diatas ± 20 buah, adalah sebagai berikut; 92.5µm (n=21), 97.5µm (n=24), 100µm (n=22), 105µm (n=22), 107.5µm (n=33), 110µm (n=20), µm (n=22), 112.5µm (n=37), 115µm (n=28), 120µm (n=22), 125µm (n=27), 127.5µm (n=22), µm (n=20), 150µm (n=20), dan 152.5µm (n=22). Dengan proporsi diameter spermatofor yang paling sering ditemukan adalah 92.5µm 152.5µm, yang mana lebih tinggi kisarannya dari sampel asal Jawa dan Sulawesi. Konsentrasi Spermatozoa Dihubungkan dengan Ukuran Spermatofor Spermatofor berperan penting dalam transfer dan penyimpanan spermatozoa pada Crustacea. Spermatofor memberikan proteksi pada spermatozoa saat pemindahan ke individu betina dan memberikan substrat yang kaya energi untuk memperpanjang penyimpanan spermatozoa dalam betina. Spermatozoa crustacea, memiliki kemampuan untuk disimpan dalam jangka waktu yang lama pada spermatofor (Sasikala & Subramoniam 1987; Hinsch 1991). 43

17 Tabel 3 Rataan Konsentrasi Spermatozoa per Spermatofor Scylla olivacea Diameter Spermatofor (μm) Konsentrasi Spermatozoa per Spermatofor (10⁶) ± 3.22 a ± 2.26 ab ± 2.43 bc ± 2.78 bc ± 4.32 c Supercript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05) antara diameter spermatofor Konsentrasi spermatozoa per spermatofor Scylla olivacea menunjukkan hasil yang secara nyata, jumlah spermatozoa meningkat seiring dengan bertambahnya ukuran diameter spermatofor (P>0.05). Kisaran diameter spermatofor μm, diperoleh konsentrasi spermatozoa sebesar 6.67 x 10⁶ ± 3.22 sedangkan untuk spermatofor dengan diameter μm, diperoleh konsentrasi spermatozoa x 10⁶ ± Spermatofor yang bagus ditentukan dari tingginya jumlah spermatozoa di dalam spermatofor dan kualitas spermatofor bergantung pada individu jantan itu sendiri. Spermatofor mempertahankan kemampuan fertilisasi spermatozoa sehingga angka pembuahan yang tinggi dapat tercapai, yang berpengaruh pada kemampuan bagi embrio bertahan hidup, menetas dan hidup sebagai larva (Akarasanon et al. 2004). Produksi, pembentukan spermatofor, dan kualitas spermatozoa merupakan variabel penting dalam reproduksi jantan (Leung- Trujillo & Lawrence 1987; Jerry 2001). 44

18 Morfologi Spermatofor dan Spermatozoa Scylla olivacea Gambar 20 Morfologi Spermatofor dan Spermatozoa Scylla olivacea Ket: A= spermatofor dengan berbagai ukuran, B = spermatofor, C dan D = spermatozoa, NA = nuklear arm Pengamatan menggunakan SEM, menunjukkan spermatofor Scylla olivacea memiliki bentuk dan ukuran bervariasi serta termasuk dalam golongan crustacea yang memiliki spermatofor terpisah dan tidak memiliki stalk (Gambar 20 A dan B), terlihat ukuran spermatofor yang bervariasi dari kecil sampai yang berukuran diatas 55 µm. Spermatofor crustacea memiliki bentuk yang bervariasi dan beberapa spesies menghasilkan spermatofor tunggal dan terpisah satu sama yang lain dan berada dalam medium cair dari seminal plasma (Jeyalectumie & Subramoniam 1997). Spermatofor Scylla olivacea sangat keras dan kuat diduga tersusun dari mucopolysaccharide, karena untuk memecahkan dinding spermatofor diperlukan enzim dan bahan kimia. Saat ini penelitian yang meneliti komposisi spermatofor masih sedikit sehingga informasi mengenai komposisi kimiawi dari spermatofor masih sangat minim. Beberapa peneliti memberikan pernyataan bahwa dinding dari spermatofor tersusun dari chittin (Spalding 1942), sedangkan Uma dan Subramoniam (1979) tidak menemukan kittin pada spermatofor Scylla serrata. 45

19 Pengamatan menggunakan SEM, spermatozoa dari Scylla olivacea seperti halnya spermatozoa dari golongan crustacea (udang dan kepiting), memiliki aflagellate, tidak memiliki midpiece, dan tidak bergerak (non-motile), dapat dilihat pada Gambar 20 C dan D. Pada gambar, terlihat nuklear arm yang berfungsi untuk mencengkram sel telur. Beberapa peneliti melaporkan morfologi dari spermatozoa Echinodermata, Mollusca, Polychaetes dan Crustacea sangat bervariasi dalam morfologinya, dan semua golongan crustacea memiliki akrosom yang khas (Gwo 2000). 46

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Metode Kerja Bahan dan peralatan pada pengamatan morfometri

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Metode Kerja Bahan dan peralatan pada pengamatan morfometri 17 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di 11 daerah yang meliputi 5 pulau besar di Indonesia, antara lain Bintan dan Jambi (Sumatera), Karawang, Subang dan Cirebon (Jawa),

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

KONSENTRASI, VIABILITAS SPERMATOFOR DAN KARAKTERISTIK MORFOLOGI SPERMATOZOA KEPITING BAKAU MERAH

KONSENTRASI, VIABILITAS SPERMATOFOR DAN KARAKTERISTIK MORFOLOGI SPERMATOZOA KEPITING BAKAU MERAH KONSENTRASI, VIABILITAS SPERMATOFOR DAN KARAKTERISTIK MORFOLOGI SPERMATOZOA KEPITING BAKAU MERAH (Scylla olivacea HERBEST 1796) ASAL JAWA, SULAWESI DAN PAPUA NURIL FARIZAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Letak dan Kondisi Penelitian Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur dan merupakan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla spp.) tergolong dalam famili Portunidae dari suku Brachyura. Kepiting bakau hidup di hampir seluruh perairan pantai terutama pada pantai yang ditumbuhi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Komposisi Jumlah Kepiting Bakau Selama Penelitian Kepiting bakau (genus Scylla) yang diteliti selama bulan Juni 2008 hingga Mei 2009 berasal dari 14 daerah yang mencakup Pidie

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Indeks Gonad Somatik (IGS) Hasil pengamatan nilai IGS secara keseluruhan berkisar antara,89-3,5% (Gambar 1). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa bioflok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang terdapat di antara daratan dan lautan. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan pasang surut,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan kembung perempuan (R. brachysoma)

METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan kembung perempuan (R. brachysoma) 11 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Ikan contoh diambil dari TPI Kalibaru mulai dari bulan Agustus sampai dengan bulan November 2010 yang merupakan hasil tangkapan nelayan Teluk Jakarta

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ekosistem mangrove di dunia saat ini diperkirakan tersisa 17 juta ha. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, 1998), yaitu

Lebih terperinci

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan 1 2 Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Menurut Mastaller (1997) kata mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno mangi-mangi untuk menerangkan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan Maret 2012 dengan selang waktu pengambilan satu minggu. Lokasi pengambilan ikan contoh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di seluruh kawasan Nusantara. Salah satu komoditas perikanan yang hidup di perairan pantai khususnya di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang memiliki ciri khusus yaitu lantai hutannya selalu digenangi air, dimana air tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Induk 3.3 Metode Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Induk 3.3 Metode Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2009 sampai dengan Februari 2010 di Stasiun Lapangan Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik, Departemen

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Tjardhana dan Purwanto,

Lebih terperinci

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU (Scylla serrata Forskal) DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU (Scylla serrata Forskal) DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU (Scylla serrata Forskal) DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG SS Oleh: Ennike Gusti Rahmi 1), Ramadhan Sumarmin 2), Armein Lusi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Organ reproduksi Jenis kelamin ikan ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap gonad ikan dan selanjutnya ditentukan tingkat kematangan gonad pada tiap-tiap

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. berbeda antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1993).

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. berbeda antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumber daya pesisir

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Pemeliharaan ayam dan penampungan semen dilakukan di Kandang B, Laboratorium Lapang, Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisiologi Hewan Air Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, pada bulan Maret 2013 sampai dengan April 2013.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai panjang garis pantai lebih kurang 114 km yang membentang

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai panjang garis pantai lebih kurang 114 km yang membentang 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indramayu merupakan salah satu kota di Jawa Barat yang mempunyai potensi perikanan dan kelautan yang cukup tinggi. Wilayah pesisir Indramayu mempunyai panjang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2006, Agustus 2006 Januari 2007 dan Juli 2007 di Daerah Aliran Sungai (DAS) Musi dengan sumber air berasal dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG.

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG. TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG Oleh: Fetro Dola Samsu 1, Ramadhan Sumarmin 2, Armein Lusi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak di Cagar Alam Leuweung Sancang. Cagar Alam Leuweung Sancang, menjadi satu-satunya cagar

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PPI Muara Angke, Jakarta Utara dari bulan Januaribulan Maret 2010. Analisis aspek reproduksi dilakukan di Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting hidup di daerah muara sungai dan rawa pasang surut yang banyak ditumbuhi vegetasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau S. oceanica Kepiting bakau S. oceanica dapat digolongkan ke dalam kelas Krustase, ordo Decapoda, famili Portunidae dan genus Scylla

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Jenis Kelamin Belut Belut sawah merupakan hermaprodit protogini, berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa pada ukuran panjang kurang dari 40 cm belut berada pada

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Pola reproduksi ikan swanggi (Priacanthus tayenus) pada penelitian ini adalah tinjauan mengenai sebagian aspek reproduksi yaitu pendugaan ukuran pertama

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Ikan contoh diambil dari TPI Kali Baru mulai dari bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan November 2010 yang merupakan hasil tangkapan nelayan di

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting BakauScylla tranquebarica Kepiting Bakau S. tranquebaricamerupakan salah satu spesies dari genus Scylla yang mendiami kawasan ekosistem

Lebih terperinci

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Migrasi ikan adalah adalah pergerakan perpindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain yang mempunyai arti penyesuaian terhadap kondisi alam yang menguntungkan

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH BISNIS DAN BUDIDAYA KEPITING SOKA. Di susun oleh : NAMA :FANNY PRASTIKA A. NIM : KELAS : S1-SI-09

KARYA ILMIAH BISNIS DAN BUDIDAYA KEPITING SOKA. Di susun oleh : NAMA :FANNY PRASTIKA A. NIM : KELAS : S1-SI-09 KARYA ILMIAH BISNIS DAN BUDIDAYA KEPITING SOKA Di susun oleh : NAMA :FANNY PRASTIKA A. NIM :11.12.5999 KELAS : S1-SI-09 STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2012 ABSTRAK Karya ilmiah ini berjudul BISNIS DAN BUDIDAYA

Lebih terperinci

statistik menggunakan T-test (α=5%), baik pada perlakuan taurin dan tanpa diberi Hubungan kematangan gonad jantan tanpa perlakuan berdasarkan indeks

statistik menggunakan T-test (α=5%), baik pada perlakuan taurin dan tanpa diberi Hubungan kematangan gonad jantan tanpa perlakuan berdasarkan indeks Persentase Rasio gonad perberat Tubuh Cobia 32 Pembahasan Berdasarkan hasil pengukuran rasio gonad dan berat tubuh cobia yang dianalisis statistik menggunakan T-test (α=5%), baik pada perlakuan taurin

Lebih terperinci

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING RAJUNGAN (Portunus pelagicus L.) DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG.

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING RAJUNGAN (Portunus pelagicus L.) DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG. TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING RAJUNGAN (Portunus pelagicus L.) DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG Oleh: Restia Nika 1), Ramadhan Sumarmin 2), Armein Lusi Z 1) Mahasiswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu komoditas perikanan

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu komoditas perikanan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu komoditas perikanan pada habitat perairan pantai, khususnya di daerah hutan bakau (mangrove). Kawasan hutan mangrove

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting salah satunya adalah teripang yang dikenal dengan nama lain teat fish, sea

BAB I PENDAHULUAN. penting salah satunya adalah teripang yang dikenal dengan nama lain teat fish, sea BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara kepulauan yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia dengan panjang 81.000 km dengan luas perairan laut sekitar 5,8 juta km

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis terletak di antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, seperti

BAB I PENDAHULUAN. mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu bagian terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh 14 Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2009. Lokasi pengambilan ikan contoh adalah tempat pendaratan ikan (TPI) Palabuhanratu. Analisis contoh dilakukan di Laboratorium Ekobiologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Persentase Hidup dan Abnormalitas Spermatozoa Entok (Cairina moschata), telah

BAB III MATERI DAN METODE. Persentase Hidup dan Abnormalitas Spermatozoa Entok (Cairina moschata), telah 1 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dengan judul Hubungan Bobot Badan dengan Konsentrasi, Persentase Hidup dan Abnormalitas Spermatozoa Entok (Cairina moschata), telah dilaksanakan pada bulan Juli -

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian mencakup kegiatan usahatani perkebunan, perhutanan, peternakan, dan perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan ragam. Dari sakala

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Gambar 3. Peta daerah penangkapan ikan kuniran di perairan Selat Sunda Sumber: Peta Hidro Oseanografi (2004)

3. METODE PENELITIAN. Gambar 3. Peta daerah penangkapan ikan kuniran di perairan Selat Sunda Sumber: Peta Hidro Oseanografi (2004) 12 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-September 2011 dengan waktu pengambilan contoh setiap satu bulan sekali. Lokasi pengambilan ikan contoh

Lebih terperinci

BAB III METODE PENILITIAN. Penelitian ini telah dilakukan selama 3 bulan (Januari - Maret 2012).

BAB III METODE PENILITIAN. Penelitian ini telah dilakukan selama 3 bulan (Januari - Maret 2012). BAB III METODE PENILITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan selama 3 bulan (Januari - Maret 2012). Pemeliharaan dan perlakuan terhadap hewan coba dilakukan di rumah hewan percobaan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam pesisir merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati (biotik) dan komponen nir-hayati (abiotik) yang dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

3.3. Pr 3.3. P os r ed e u d r u r Pe P n e e n l e iltiitan

3.3. Pr 3.3. P os r ed e u d r u r Pe P n e e n l e iltiitan 12 digital dengan sensifitas 0,0001 gram digunakan untuk menimbang bobot total dan berat gonad ikan, kantong plastik digunakan untuk membungkus ikan yang telah ditangkap dan dimasukan kedalam cool box,

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Flock Mating dan Pen Mating secara Mikroskopis ini dilaksanakan pada tanggal

BAB III MATERI DAN METODE. Flock Mating dan Pen Mating secara Mikroskopis ini dilaksanakan pada tanggal 14 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang Perbedaan Kualitas Semen Segar Domba Batur dalam Flock Mating dan Pen Mating secara Mikroskopis ini dilaksanakan pada tanggal 27 Maret sampai dengan 1 Mei

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup yang berada di suatu lingkungan akan saling berinteraksi, interaksi terjadi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup itu sendiri maupun makhluk

Lebih terperinci

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi 4 2.2. Morfologi Ikan Tambakan (H. temminckii) Ikan tambakan memiliki tubuh berbentuk pipih vertikal. Sirip punggung dan sirip analnya memiliki bentuk dan ukuran yang hampir serupa. Sirip ekornya sendiri

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir PENDAHULUAN Latar belakang Wilayah pesisir merupakan peralihan ekosistem perairan tawar dan bahari yang memiliki potensi sumberdaya alam yang cukup kaya. Indonesia mempunyai garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Pembuatan tepung cangkang kepiting dan pelet dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Ternak dan Makanan Ruminansia, Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Klasifikasi ikan Juaro (Pangasius polyuranodon) menurut Kottelat dan Whitten (1993) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata Kelas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo Anseriformes, family Anatidae, sub family Anatinae, tribus Anatini dan genus Anas (Srigandono,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan panjang garis pantai lebih dari 81.000

Lebih terperinci

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Balai Benih Ikan Fakultas Perikanan dan Ilmu

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Balai Benih Ikan Fakultas Perikanan dan Ilmu nr. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di laboratorium Balai Benih Ikan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau pada tanggal 10 sampai dengan 28 Desember 2003.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat I. PENDAHULUAN Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat dengan cara membendung aliran sungai sehingga aliran air sungai menjadi terhalang (Thohir, 1985). Wibowo (2004) menyatakan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Metode Penelitian

MATERI DAN METODE. Metode Penelitian MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2011 sampai April 2012 bertempat di Indira Farm Hamtaro and Rabbit House, Istana Kelinci, dan di Unit Rehabilitasi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

RINGKASAN. Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut merupakan satusatunya

RINGKASAN. Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut merupakan satusatunya RINGKASAN MISWAR BUDI MULYA. Kelimpahan dan Distribusi Kepiting Bakau (Scylla spp) serta Keterkaitannya dengan Karakteristik Biofisik Rutan Mangrove di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Teluk Palabuhan Ratu Kecamatan Palabuhan Ratu, Jawa Barat. Studi pendahuluan dilaksanakan pada Bulan September 007 untuk survey

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan selat sunda Selat Sunda merupakan selat yang membujur dari arah Timur Laut menuju Barat Daya di ujung Barat Pulau Jawa atau Ujung Selatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di daerah beriklim tropis dan merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya perairan. Laut tropis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

Oleh. Firmansyah Gusasi

Oleh. Firmansyah Gusasi ANALISIS FUNGSI EKOLOGI HUTAN MANGROVE DI KECAMATAN KWANDANG KABUPATEN GORONTALO UTARA JURNAL Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Menempuh Ujian Sarjana Pendidikan Biologi Pada Fakultas Matematika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang sangat kaya raya akan keberagaman alam hayatinya. Keberagaman fauna dan flora dari dataran tinggi hingga tepi pantai pun tidak jarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagian besar wilayah di Indonesia adalah perairan, perairan tersebut berupa laut, sungai, rawa, dan estuari. Pertemuan antara laut dengan sungai disebut dengan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

Akuatik Jurnal Sumberdaya Perairan 48 ISSN

Akuatik Jurnal Sumberdaya Perairan 48 ISSN Akuatik Jurnal Sumberdaya Perairan 48 Kajian Karakteristik Biometrika Kepiting Bakau (Scylla sp) di Kabupaten Pemalang, Studi kasus di Desa Mojo Kecamatan Ulujami Biometrical Characteristic Study of Mudcrab

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Gambar 1) merupakan salah satu ikan pelagis kecil yang sangat potensial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Rasio Kelamin Ikan Nilem Penentuan jenis kelamin ikan dapat diperoleh berdasarkan karakter seksual primer dan sekunder. Pemeriksaan gonad ikan dilakukan dengan mengamati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. Salah satu ekosistem

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove Mangrove atau biasa disebut mangal atau bakau merupakan vegetasi khas daerah tropis, tanamannya mampu beradaptasi dengan air yang bersalinitas cukup tinggi, menurut Nybakken

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai yang didominasi

BAB I PENDAHULAUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai yang didominasi BAB I PENDAHULAUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan dan Alat Metode Penelitian Pembuatan Larutan Ekstrak Rumput Kebar

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan dan Alat Metode Penelitian Pembuatan Larutan Ekstrak Rumput Kebar BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan dari bulan Desember 2008 sampai dengan Mei 2009. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian 17 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Suaka Margasatwa Muara Angke, Penjaringan Jakarta Utara, pada bulan Februari 2012 sampai April 2012. Stasiun pengambilan contoh ikan merupakan

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) Indonesia dan merupakan hewan Arthropoda yang terbagi kedalam empat family,

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) Indonesia dan merupakan hewan Arthropoda yang terbagi kedalam empat family, TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) Kepiting merupakan salah satu hewan air yang banyak di jumpai di Indonesia dan merupakan hewan Arthropoda yang terbagi kedalam empat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sampai sub tropis. Menurut Spalding et al. (1997) luas ekosistem mangrove di dunia

BAB I PENDAHULUAN. sampai sub tropis. Menurut Spalding et al. (1997) luas ekosistem mangrove di dunia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan mangrove merupakan salah satu ekosistem yang khas dimana dibentuk dari komunitas pasang surut yang terlindung dan berada di kawasan tropis sampai sub tropis.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling

I. PENDAHULUAN. dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara laut dan daratan yang dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling berkaitan membentuk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci