2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kemampuan Hidup dan Plastisitas Fenotip Serangga
|
|
- Hadi Budiaman
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kemampuan Hidup dan Plastisitas Fenotip Serangga Serangga dengan daur hidup yang kompleks memiliki kemampuan adaptasi yang lebih tinggi terhadap lingkungannya dibandingkan dengan serangga yang dalam siklus hidupnya tidak kompleks. Ae. aegypti adalah serangga dengan daur hidup yang kompleks sehingga memiliki adaptasi yang tinggi dalam mempertahankan hidupnya. Nyamuk ini dapat hidup dan bertelur dalam habitat yang kecil, minim sumber nutrisi, suhu yang kurang optimum dan cekaman dari luar (Hoffmann & Hercus, 2000; Badvaev, 2005). Kelenturan organisme untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan menunjukkan adanya kelenturan sifat yang dimiliki sebagai hasil interaksi dengan lingkungan, kelenturan ini dikenal dengan istilah plastisitas fenotip. Suatu hubungan antara dua sifat yang dimiliki satu individu karena sesuatu hal dapat menyebabkan sifat yang satu mengalami peningkatan sedangkan sifat yang lain mengalami penurunan, hal ini karena jumlah energi yang digunakan sangat terbatas, peristiwa ini dikenal dengan istilah trade-off (Begon et al. 1996). Peristiwa trade-off terjadi akibat peningkatan cekaman karena perubahan lingkungan misalnya ketersediaan nutrisi, adanya predator, kompetisi dan paparan insektisida (Agnew et al. 2000; Bedhomme et al. 2003; Schneider et al. 2011). Fenomena trade off yang ditampakkan oleh nyamuk Ae. aegypti untuk mempertahankan hidupnya dibawah cekaman insektisida antara lain adalah dengan mengalami perubahan ukuran tubuh dan sayap, jumlah betina menjadi lebih sedikit dalam populasi serta proses pupasi menjadi lebih lambat akibat kekurangan energi (Yan et al. 1998; Koella & Offenberg, 1999). Plastisitas fenotip suatu organisme tercermin dari kemampuan menanggapi kondisi lingkungan yang memaksa organisme tersebut untuk mampu mempertahankan keragaman fenotip di lingkungan yang heterogen. Hal ini memungkinkan suatu organisme mampu beradaptasi menghadapi berbagai perubahan lingkungan, termasuk memiliki kemampuan bertahan di bawah cekaman.
2 4 Gunandini (2002) menyatakan bahwa Ae. aegypti yang diseleksi pada stadium larva dengan malation sampai generasi ke-20 memperlihatkan perubahan pada daur hidupnya sebagai suatu usaha untuk beradaptasi dibawah cekaman insektisida. Perubahan daur hidup yang terjadi yaitu stadium pradewasa semakin lambat sebaliknya stadium dewasa semakin singkat, sedangkan ratio kelamin jantan menjadi lebih besar dibanding kelamin betina. Kemampuan nyamuk Ae. aegypti untuk beradaptasi terhadap malation ditunjukkan dengan jumlah kelompok telur, jumlah telur dan daya tetas telur yang tidak berubah. 2.2 Temefos Temefos merupakan larvasida golongan organofosfat yang sedikit beracun (toksisitas kelas III) sehingga dapat digunakan secara umum (EPA, 2009). Penggunaannya pada tempat penampungan air minum telah dinyatakan aman oleh WHO, dapat digunakan di bak mandi serta tempat penampungan air rumah tangga (DepKes RI, 2005) selain itu temefos juga dapat digunakan untuk membasmi kutu pada anjing, kucing dan manusia (EPA, 2009). Gambar 1. Struktur kimia temefos Temefos tersedia dalam bentuk emulsi, serbuk (Wettable powder) dan bentuk granul. Senyawa murni temefos berupa kristal putih padat dengan titik lebur 30-30,5 0 C. Produk komersial temefos berupa cairan kental berwarna coklat, tidak larut dalam air pada suhu 20 0 C dan heksana, tetapi larut dalam aseton, asetonitril, ether, kebanyakan aromatik dan klorinasi hidrokarbon. Insektisida ini mudah terdegradasi bila terkena sinar matahari, sehingga kemampuan membunuh larva tergantung dari degradasi akibat paparan sinar matahari (EPA, 2009).
3 Cara kerja temefos Temefos bekerja dengan cara menghambat enzim kolinesterase, sehingga menimbulkan gangguan pada aktivitas syaraf akibat tertimbunnya asetilkolin pada ujung syaraf. Keracunan fosfat organik pada serangga diikuti oleh gelisah, hipereksitasi, tremor dan konvulsi, kemudian kelumpuhan otot (paralise). Penetrasi temefos ke dalam tubuh larva Ae. aegypti berlangsung cepat karena dapat mengabsorpsi lebih dari 99% temefos dalam waktu 24 jam. Setelah diabsorpsi, temefos diubah menjadi produk-produk metabolik, sebagian dari produk metabolik tersebut diekskresikan melalui air (Matsumura, 1997). Menurut Thavara et al. (2005), saat ini konsentrasi efektif temefos yang dianjurkan di Thailand 1 gr/200 liter air untuk wadah yang gelap dan 2-5 gr/200 liter air untuk wadah yang terang, hal ini berkaitan dengan efek temefos yang rendah bila terdegradasi dengan sinar matahari. Di Indonesia sendiri konsentrasi temefos yang dianjurkan untuk membunuh larva Ae. aegypti dalam air minum adalah 10 gr/100 liter air dalam wadah yang terlindungi oleh sinar matahari (DepKes RI, 2005). Temefos relatif aman dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia, meskipun demikian konsentrasi tinggi temefos dapat menimbulkan overstimulasi sistem syaraf. Pada pajanan yang sangat tinggi temefos dapat menyebabkan paralise nafas dan kematian (Matsumura, 1978). Reyes-Villanueva et al. (1990 & 1992) menyatakan bahwa konsentrasi temefos sebesar 0,009 mg/liter; 0,013 mg/liter; 0,015 mg/liter; 0,016 mg/liter; 0,020 mg/liter dan 0,025 mg/liter dapat mengakibatkan penurunan kesuburan (fecundity) dan memperlambat jangka hidup (longevity) Ae. aegypti. Taviv (2005) menyatakan bahwa temefos masih sangat efektif untuk pengendalian larva Ae. aegypti dengan KL50 : 0,28 mg/100 liter dan KL90: 0,79 mg/100 liter. 2.3 Pengaruh Cekaman Insektisida Terhadap Daya Tahan Hidup Serangga Dalam teori kehidupan, jumlah energi yang tersedia sangat terbatas sehingga untuk kelangsungan hidup organisme dalam lingkungan yang tidak normal alokasi energi dialihkan. Energi yang seharusnya dimanfaatkan untuk
4 6 kehidupan secara normal dialihkan penggunaannya untuk beradaptasi di bawah cekaman insektisida (Sibly & Calow, 1988 dalam Gunandini, 2002). Setiap organisme memiliki kemampuan untuk tetap hidup dan mempertahankan kesuksesan keturunannya walaupun hidup pada lingkungan yang tidak optimal di bawah cekaman insektisida (Schneider et al. 2011). Kehidupan bukanlah hal yang kaku sehingga suatu kelenturan (plastisitas) dapat terjadi akibat interaksi individu dengan lingkungannya. Termasuk di dalam kerangka plastisitas fenotip adalah kelenturan dalam skala waktu (Begon et al. 1996). Fenomena yang ditunjukkan oleh nyamuk Ae. aegypti dalam mempertahankan diri dan keturunan akibat cekaman insektisida organofosfat telah dilaporkan oleh Reyes-Villanueva et al. (1990 & 1992) dan Gunandini (2002). Cekaman insektisida pada nyamuk ini mengakibatkan antara lain penurunan kesuburan (fecundity) dan menyebabkan jangka hidup (longevity) stadium pradewasa semakin panjang serta stadium dewasa semakin pendek Jangka Hidup Nyamuk Ae. aegypti Pengaruh insektisida terhadap jangka hidup pradewasa nyamuk Ae. aegypti yang dipaparkan dengan temefos pada stadium larva instar 3 (L3) mengakibatkan rata-rata jangka hidup larva menjadi lebih panjang, dari semula 32,1 hari (kontrol) menjadi 36,6 hari (0,016 ppm); 37,0 hari (0,020 ppm) dan 34,3 hari (0,025 ppm) (Reyes-Villanueva et al. (1992). Penelitian Gunandini (2002) juga membuktikan bahwa masa pertumbuhan larva Ae. aegypti menjadi lebih lambat setelah diseleksi malation. Rata-rata jangka hidup larva 5,46 hari (F0) menjadi 5,63 hari (F5); 6,06 hari (F10); 6,58 hari (F15) dan 6,64 hari (F20). Fenomena yang sama juga dilaporkan oleh Sudjatmiko (2002), pemaparan insektisida BPMC (golongan karbamat) pada larva Anopheles aconitus menunjukkan jangka hidup larva menjadi lebih panjang dari 3,147 hari (KL0) menjadi 4,113 hari (KL30). Di bawah cekaman insektisida nyamuk Ae. aegypti melakukan adaptasi dengan memperpanjang periode pupanya. Reyes-Villanueva et al. (1992) melaporkan rata-rata jangka hidup pupa yang dipaparkan temefos pada tahap L3
5 7 yang semula 25,9 hari (0 ppm) menjadi 28,7 hari (0,016 ppm); 32,4 hari (0,020 ppm) dan 30,93 hari (0,025 ppm. Larva Ae. aegypti yang telah diseleksi dengan malation juga menunjukkan jangka hidup pupa yang lebih lambat dari normal. Jangka hidup pupa yang semula 2,10 hari (F0) menjadi 2,26 hari (F5); 2,33 hari (F10); 2,34 hari (F15) dan 2,39 (F20) (Gunandini, 2002). Malation mempengaruhi jangka hidup nyamuk Ae. aegypti jantan. Di bawah cekaman insektisida ini nyamuk Ae. aegypti jantan akan memperpendek jangka hidupnya. Gunandini (2002) melaporkan bahwa jangka hidup nyamuk jantan dari awalnya 18,88 hari (F0) menjadi 17,53 hari (F5); 13,93 hari (F10); 13,67 hari (F15) dan 9,83 hari (F20). Hal yang sama juga dilaporkan oleh Antonio et al. (2009), insektisida spinosad 0,06 mg/l yang dicampur dengan dengan sukrosa 10% diberikan secara ad-libitum selama 1x24 jam mengakibatkan perubahan jangka hidup jantan yang lebih singkat yaitu semula 40,2 hari menjadi 38,1 hari. Pengaruh insektisida terhadap jangka hidup nyamuk Ae. aegypti betina juga dilaporkan oleh Gunandini (2002). Seleksi malation menyebabkan jangka hidup nyamuk Ae. aegypti betina semakin lambat, jangka hidup Ae. aegypti betina berubah dari 34,53 hari (F0) menjadi 30,42 hari (F5); 21,85 hari (F10); 19,20 hari (F15) dan 14,35 hari (F20) Berat Badan Nyamuk Ae. aegypti Ae. aegypti yang terpapar dengan temefos akan memperkecil ukuran tubuhnya sehingga energi untuk kelangsungan hidupnya akan lebih kecil, hal ini merupakan salah satu bentuk adaptasi yang diakibatkan oleh seleksi insektisida (Yan et al. 1998). Reyes-Villanueva et al. (1992) melaporkan bahwa pemaparan temefos konsentrasi 0,016 ppm; 0,020 ppm dan 0,025 ppm mampu menurunkan berat badan larva Ae. aegypti sampai 10% dan berat pupa sampai 31-33% bila dibandingkan dengan kontrol. Rata-rata berat larva Ae. aegypti adalah 2,82 mg (kontrol) menjadi 2,30 mg (0,016 ppm); 2,52 mg (0,020 ppm) dan 2,55 mg (0,025 ppm), sedangkan berat pupa berubah dari 1,57 mg (kontrol) menjadi 1,53 mg (0,016 ppm); 1,40 mg (0,020 ppm) dan 1,09 mg (0,025 ppm). Kondisi lingkungan yang tidak stabil dapat mengakibatkan ukuran tubuh menjadi lebih kecil pada
6 8 organisme sebagai kompensasi dari mempertahankan hidup dan keturunannnya (Schneider et al. 2011). Peningkatan berat badan pada serangga ternyata bisa juga terjadi akibat penggunaan insektisida. Sujatmiko (2002) melaporkan bahwa penggunaan insektisida BPMC konsentrasi 0,071 ppm (KL10); 0,0963 ppm (KL20) dan 0,113 ppm (KL30) pada larva instar 2 (L2) mengakibatkan peningkatan berat badan nyamuk Anopheles aconitus. Berat basahnya semula 0,443 mg (0 ppm) menjadi 0,497 mg (KL10); 0,557 mg (KL20) dan 0,490 mg (KL30), sedangkan berat kering semula 0,417 mg (kontrol) menjadi 0,460 mg (KL10); 0,503 mg (KL20) dan 0,477 mg (KL30). Pada nyamuk betina, berat basah semula 0,117 mg (kontrol) menjadi 0,130 mg (KL10); 0,143 mg (KL20) dan 0,140 mg (KL30), sedangkan berat kering betina dari 0,130 mg (0 ppm) menjadi 0,153 mg (KL10); 0,163 mg (KL20); 0,147 mg (KL30) Jumlah Telur dan Kelompok Telur Nyamuk Ae. aegypti Setiap organisme berusaha untuk tetap hidup dan mempertahankan diri dengan meneruskan keturunannya, walaupun hidup pada lingkungan yang tidak optimal di bawah cekaman insektisida (Schneider et al. 2011). Nyamuk Ae. aegypti betina yang dipaparkan malation menjadi lebih singkat hidupnya sehingga jumlah telur dan kelompok telur yang dihasilkan selama hidup betina menjadi lebih sedikit. Peningkatan jumlah telur terjadi pada tahap awal, kemudian pada tahap selanjutnya jumlah telur cenderung menurun. Nyamuk Ae. aegypti yang diseleksi oleh insektisida malation menghasilkan telur rata-rata 117,65 butir (F0) menjadi 139,05 butir (F5); 133,02 butir (F10); 89,88 butir (F15) dan 78,33 butir (F20). Rata-rata jumlah kelompok telur 6,83 batch (F0); 6,49 batch (F5); 4,85 batch (F10); 3,57 batch (F15) dan 2,04 batch (F20) (Gunandini, 2002). Nyamuk Ae. aegypti dalam menghadapi cekaman insektisida berusaha untuk meningkatkan jumlah telur sampai batas maksimal yang mampu dicapai. Adanan et al. (2005) membuktikan bahwa insektisida d-allethrin konsentrasi 36 mg/mat (d-allethrin) menyebabkan penurunan jumlah telur Ae. aegypti semula 117,35 butir (kontrol) menjadi 102,47 butir (36 mg/mat d-allethrin). Perez et al.
7 9 (2007) menggunakan insektisida nabati spinosad pada Ae. aegypti gravid. Ratarata jumlah telur yang dihasilkan adalah 274,4 butir (kontrol) menjadi 245,6 butir (5 ppm) dan 241,8 butir (20 ppm). Kumar et al. (2009) menyatakan bahwa Ae. aegypti menunjukkan penurunan jumlah telur, semula 99 butir (kontrol) menjadi 91 butir (F20) dan 64 butir (F40) Penurunan Daya Tetas Telur Nyamuk Ae. aegypti Efek pemberian insektisida deltamethrin terhadap nyamuk Ae. aegypti yang dipaparkan pada stadium larva dengan kosentrasi 0, ppm (F20) dan 0, ppm (F40) mengakibatkan penurunan daya tetas telur, rata-rata persentase daya tetas telur semula adalah 82,5% (F0) menjadi 67,8% (F20) dan 57,2% (F40). Penurunan daya tetas telur pada nyamuk Ae. aegypti juga terjadi akibat pemaparan insektisida nabati spinosad, rata-rata daya tetas telur semula 86,90% (kontrol) menjadi 58,20% (5 ppm) dan 62,40% (20 ppm) (Perez et al. 2007). Antonio et al. (2009) juga melaporkan bahwa konsentrasi 0,06 ppm spinosad menyebabkan perubahan daya tetas telur nyamuk Ae. aegypti dari 84,90% (kontrol) menjadi 72,60%. Pemaparan insektisida BPMC (golongan karbamat) pada nyamuk Anopheles aconitus pada tahap larva mengakibatkan perubahan daya tetas telur, semula 59,69% (kontrol) menjadi 63,58% (KL10); 56,87% (KL20) dan 58,37% (KL30). Hal ini menunjukkan bahwa sampai konsentrasi tertentu cekaman insektisida dapat meningkatkan daya tetas telur sebelum selanjutnya kembali menurun (Sujadmiko, 2000) Kemampuan Ekdisis dan Eklosi Nyamuk Ae. aegypti Kemampuan ekdisis dan eklosi cenderung menurun akibat pemaparan insektisida. Gunandini (2002) melaporkan bahwa nyamuk Ae. aegypti yang diseleksi malation menurunkan kemampuan ekdisis yang awalnya 91% (F0) menjadi 82% (F5), 89% (F10), 89% (F15) dan 84% (F20). Adanan et al. (2005) menyatakan bahwa D-allethrin (36 mg/mat) dan Prallethrin (15 mg/mat) menurunkan kemampuan ekdisis nyamuk Ae. aegypti dari 73,43% (kontrol) menjadi 68,06% (D-allethrin) dan 71,64% (Prallethrin).
8 10 Efek malation juga menurunkan kemampuan ekdisis Ischiodon scutellaris Fabr (Diptera : Syrphidae) semula 73,95% (kontrol) menjadi 55,38% (25 µg/ml); 66,86% (100 µg/ml); 47,77% (150 µg/ml)., 54,98% (200 µg/ml) dan 33,46% (250 µg/ml) (Hoe et al. 1983). Perez et al. (2007) menyatakan bahwa penggunaan temefos (0,1 gr) pada Ae. aegypti yang sedang gravid menyebabkan penurunan kemampuan eklosi dari 41,20% (kontrol) menjadi 38,70%. Gunandini (2002) juga menyatakan bahwa larva Ae. aegypti yang diseleksi dengan malation menghasilkan penurunan kemampuan eklosi, semula 93% (F0) menjadi 82% (F5), 81% (F10), 86% (F15) dan 91% (F20). Adanan et al. (2005) menyatakan D-allethrin (36 mg/mat) dan Prallethrin (15 mg/mat) mampu menurunkan kemampuan eklosi nyamuk Ae. aegypti dari 99,91% (kontrol) menjadi 99,05% (Prallethrin) dan 97,29% (D-allethrin). Braga et al. (2005) melaporkan bahwa pemakaian insektisida IGR metophren mempengaruhi kemampuan eklosi nyamuk Ae. aegypti. Kemampuan eklosi menurun dari 96,20% (kontrol) menjadi 79,80% (5µ mg/l) dan 78,10 (10 mg/l) Ratio Kelamin Jantan dan Betina Nyamuk Ae. aegypti Perubahan pupa menjadi dewasa secara normal pada awalnya didominasi oleh jenis kelamin jantan (Christophers, 1960). Gunandini (2002) melaporkan bahwa nyamuk Ae. aegypti yang diseleksi dengan malation meningkatkan jenis nyamuk berkelamin jantan, persentase ratio kelamin jantan dan betina semula 46 : 54 (F0) menjadi 49 : 51% (F5); 49 : 51 (F10), 50 : 50 (F15) dan 54 : 46 (F20). Sudjatmiko (2000) menyatakan bahwa jenis nyamuk berkelamin jantan Anopheles aconitus meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi insektisida BMPC (golongan karbamat). Ratio kelamin jantan dibandingkan dengan betina, semula 1,127 : 1 (K0); menjadi 1,129 : 1 (KL10); 1,327 : 1 (KL20) dan 1,385 : 1 (KL30).
The abormalities of larvae's morphology after temefos exposure in phase larvae instar 3 (L ) 3
Penelitian Jurnal Epidemiologi dan Penyakit Bersumber Binatang (Epidemiology and Zoonosis Journal) Vol. 5, No. 1, Juni 2014 Hal : 23-28 Penulis : 1. Yulidar 2. Zain Hadifah Korespondensi: L o k a P e n
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di Indonesia dan menempati urutan pertama di Asia. Pada
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dan menempati urutan pertama di Asia. Pada tahun 2014, sampai pertengahan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nyamuk Aedes aegypti Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue penyebab penyakit demam berdarah. [2,12] Aedes aegypti tersebar luas di wilayah tropis
Lebih terperinciRESPOW PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAM STADIUM PRA DEWASA oqnopheles aconitus DONITZ.
RESPOW PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAM STADIUM PRA DEWASA oqnopheles aconitus DONITZ. ( DIPTERA : CULICIDAE ) TERHADAP SUHU KONSTAN Oleh SUPRIYADI PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 1991 RINGKASAN
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin
HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin Pengamatan perilaku kawin nyamuk diamati dari tiga kandang, kandang pertama berisi seekor nyamuk betina Aedes aegypti dengan seekor nyamuk jantan Aedes aegypti, kandang
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
19 HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Telur Nyamuk Aedes aegypti yang telah diberikan pakan darah akan menghasilkan sejumlah telur. Telur-telur tersebut dihitung dan disimpan menurut siklus gonotrofik. Jumlah
Lebih terperinciHASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian dengan pemberian ekstrak daun pepaya (Carica papaya L.)
IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengamatan 1. Uji Larvasida Penelitian dengan pemberian ekstrak daun pepaya (Carica papaya L.) terhadap larva Aedes aegypti instar III yang dilakukan selama
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan
TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Spodoptera litura F. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Filum Kelas Ordo Famili Subfamili Genus : Arthropoda : Insecta
Lebih terperinciBAHAN DAN METODE Lokasi Pengambilan Sampel
BAHAN DAN METODE Lokasi Pengambilan Sampel Nyamuk untuk bahan uji dalam penelitian ini berasal dari telur Aedes aegypti yang diperoleh dari wilayah Jakarta Timur yang memiliki kasus demam berdarah tertinggi.
Lebih terperinciAnalisis Hayati UJI TOKSISITAS. Oleh : Dr. Harmita
Analisis Hayati UJI TOKSISITAS Oleh : Dr. Harmita Pendahuluan Sebelum percobaan toksisitas dilakukan sebaiknya telah ada data mengenai identifikasi, sifat obat dan rencana penggunaannya Pengujian toksisitas
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan di. Berdasarkan data Dinas Kesehatan kota Bandar Lampung Januari hingga 14
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Menurut Depkes RI Jumlah kasus DBD pada tahun 2010 sebanyak 156.086 kasus dengan jumlah kematian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. yaitu Den-1, Den-2, Den-3, Den-4 dan yang terbaru adalah Den-5.
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh gigitan nyamuk Aedes spp. betina yang membawa virus dengue yang termasuk dalam golongan Flavivirus.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Demam Berdarah Dengue Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang ditandai dengan demam mendadak
Lebih terperinciBAB I. Pendahuluan. A. latar belakang. Di indonesia yang memiliki iklim tropis. memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dengan baik
BAB I Pendahuluan A. latar belakang Di indonesia yang memiliki iklim tropis memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dengan baik dan dapat berfungsi sebagai vektor penyebar penyakitpenyakit seperti malaria,
Lebih terperinciEFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN PANDAN WANGI (Pandanus amaryllifolius Roxb.) DALAM MEMBUNUH LARVA Aedes aegypti
EFEKTIVITAS EKSTRAK DAUN PANDAN WANGI (Pandanus amaryllifolius Roxb.) DALAM MEMBUNUH LARVA Aedes aegypti Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memproleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat Disusun
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
40 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Uji Efektivitas Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Zoologi dan Laboratorium Kimia Organik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas
Lebih terperinci4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ukuran Stadium Larva Telur nyamuk Ae. aegyti menetas akan menjadi larva. Stadium larva nyamuk mengalami empat kali moulting menjadi instar 1, 2, 3 dan 4, selanjutnya menjadi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang beriklim tropis, dimana negara
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang beriklim tropis, dimana negara dengan iklim tropis ini hanya memiliki dua musim, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Pergantian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis terbesar di dunia. Iklim tropis menyebabkan timbulnya berbagai penyakit tropis yang disebabkan oleh nyamuk dan sering
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah salah. satu penyakit yang menjadi masalah di negara-negara
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah salah satu penyakit yang menjadi masalah di negara-negara tropis, termasuk Indonesia. Jumlah penderita DBD cenderung meningkat
Lebih terperinciEFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL DAUN RAMBUTAN (Nephelium lappaceum L.)TERHADAP KEMATIAN LARVA NYAMUK Aedes aegypti INSTAR III
EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL DAUN RAMBUTAN (Nephelium lappaceum L.)TERHADAP KEMATIAN LARVA NYAMUK Aedes aegypti INSTAR III Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN UKDW. sebagai vektor penyakit seperti West Nile Virus, Filariasis, Japanese
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis di dunia dan memiliki kelembaban dan suhu optimal yang mendukung bagi kelangsungan hidup serangga. Nyamuk merupakan salah
Lebih terperinciSIKLUS HIDUP AEDES AEGYPTI PADA SKALA LABORATORIUM
SIKLUS HIDUP AEDES AEGYPTI PADA SKALA LABORATORIUM Yulidar & Veny Wilya Loka Penelitian dan Pengembangan Biomedis Aceh Jln. Bandara Soeltan Iskandar Muda Lorong Tgk.Dilangga No.9-Lambaro, Aceh Besar. email
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus
12 HASIL DAN PEMBAHASAN Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus Telur Telur parasitoid B. lasus berbentuk agak lonjong dan melengkung seperti bulan sabit dengan ujung-ujung yang tumpul, transparan dan berwarna
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Demam Berdarah Dengue (DBD) pertama kali ditemukan. tahun 1953 di Fillipina. Selama tiga dekade berikutnya,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) pertama kali ditemukan tahun 1953 di Fillipina. Selama tiga dekade berikutnya, kasus demam berdarah dengue/sindrom renjatan dengue ditemukan
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan September - Oktober 2014 di
III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan September - Oktober 2014 di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mudah ditembus oleh alat-alat pertanian dan hama atau penyakit tanaman
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kubis merupakan salah satu jenis sayuran yang banyak dikonsumsi karena berbagai manfaat yang terdapat di dalam kubis. Kubis dikenal sebagai sumber vitamin A, B, dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Air merupakan kebutuhan makhluk hidup yang utama. Dewasa ini air
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan makhluk hidup yang utama. Dewasa ini air menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian yang seksama dan cermat, karena hampir di setiap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. utama di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Pada tahun 2010, Indonesia UKDW
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Demam berdarah dengue (DBD) telah menjadi masalah kesehatan utama di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Pada tahun 2010, Indonesia menduduki urutan tertinggi kasus
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. a. Latar Belakang. Nyamuk Aedes aegypti merupakan salah satu vektor. yang membawa penyakit demam berdarah dengue.
BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang Nyamuk Aedes aegypti merupakan salah satu vektor yang membawa penyakit demam berdarah dengue. Nyamuk ini dapat tumbuh pesat di Indonesia karena Indonesia termasuk negara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. musim hujan dan musim kemarau. Salah satu jenis penyakit yang sering
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara agraris yang mempunyai dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Salah satu jenis penyakit yang sering muncul pada musim hujan ini antara
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
34 HASIL DAN PEMBAHASAN Status toleransi larva Aedes aegypti terhadap temefos Penentuan staus toleransi Aedes aegypti terhadap temefos di Kelurahan Duren Sawit, Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur, dilakukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit-penyakit yang ditularkan oleh nyamuk merupakan masalah kesehatan serius dan masih menjadi persoalan akhir-akhir ini. Demam Berdarah, Filariasis, Malaria, Yellow
Lebih terperinciUJI EFIKASI LARVISIDA BERBAHAN AKTIF PYRIPROXYFEN SEBAGAI INSECT GROWTH REGULATOR (IGR) TERHADAP LARVA Anopheles aconitus DI LABORATORIUM
UJI EFIKASI LARVISIDA BERBAHAN AKTIF PYRIPROXYFEN SEBAGAI INSECT GROWTH REGULATOR (IGR) TERHADAP LARVA Anopheles aconitus DI LABORATORIUM Siti Alfiah, Astri Maharani I.P & Damar Tri Boewono Balai Besar
Lebih terperinciMATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Divisi Persuteraan Alam, Ciomas, Bogor. Waktu penelitian dimulai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Penyakit Deman Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Deman Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting di Indonesia dan sering menimbulkan suatu Kejadian Luar Biasa (KLB).Penyakit
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi
HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi Acerophagus papayae merupakan endoparasitoid soliter nimfa kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus. Telur, larva dan pupa parasitoid A. papayae berkembang di dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menyebabkan anemia dan dapat menurunkan produktivitas kerja (Kemenkes, gejala malaria pada tahun 2013 (WHO, 2014).
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Malaria masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang dapat menyebabkan kematian terutama pada kelompok risiko tinggi, yaitu bayi, anak balita,
Lebih terperinciBAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Bahan Baku Ibuprofen
BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan bahan baku dilakukan untuk menjamin kualitas bahan yang digunakan dalam penelitian ini. Tabel 4.1 dan 4.2 menunjukkan hasil pemeriksaan bahan baku. Pemeriksaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Vektor demam berdarah adalah Aedes aegypti dan Aedes Albopictus.
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Vektor demam berdarah adalah Aedes aegypti dan Aedes Albopictus. Ciri yang khas dari species ini adalah bentuk abdomen nyamuk betina yang lancip ujungnya dan memiliki
Lebih terperinciBAB I. Pendahuluan UKDW. data dari World Health Organization (WHO) bahwa dalam 50 tahun terakhir ini
BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) telah menjadi masalah kesehatan utama di negara - negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Hal ini diperkuat dengan data dari World Health
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. banyak ditemukan didaerah tropis dan sub-tropis. Data dari seluruh dunia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam berdarah dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan yang banyak ditemukan didaerah tropis dan sub-tropis. Data dari seluruh dunia menunjukan Asia menempati urutan
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental laboratorium. dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) atau completely randomized
III. METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode eksperimental laboratorium dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) atau completely randomized design yang terdiri dari 4 perlakuan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah tropis merupakan tempat mudah dalam pencemaran berbagai penyakit, karena iklim tropis ini sangat membantu dalam perkembangan berbagai macam sumber penyakit.
Lebih terperinciDAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN PRAKATA v
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL i HALAMAN PENGESAHAN ii PERNYATAAN PRAKATA v DAFTAR ISI v DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR i DAFTAR LAMPIRAN ii I. PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang 1 B. Keaslian Penelitian 5 C. Tujuan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. yang ditularkan ke manusia dengan gigitan nyamuk Aedes Aegypty.
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang ditandai dengan panas tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas disertai bintik-bintik merah pada kulit. Demam Berdarah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular yang sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan di negara kita, khususnya di kota-kota
Lebih terperinciA. LATAR BELAKANG MASALAH
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular disebabkab oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan Aedes aegypti. Penyakit ini dapat menyerang
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. masalah cukup besar yang menyangkut kesehatan masyarakat di negara-negara dengan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nyamuk pada umumnya dan Aedes aegypti pada khususnya merupakan masalah cukup besar yang menyangkut kesehatan masyarakat di negara-negara dengan iklim tropis termasuk
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Biologi Ulat Api Setothosea asigna Eecke (Lepidoptera: Limacodidae)
15 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Ulat Api Setothosea asigna Eecke (Lepidoptera: Limacodidae) Menurut Kalshoven (1981), S. asigna diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Pilum Kelas Ordo Famili Genus Spesies
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Serangga predator Bioekologi Menochilus sexmaculatus
TINJAUAN PUSTAKA Serangga predator Serangga predator adalah jenis serangga yang memangsa serangga hama atau serangga lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan serangga predator sudah dikenal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang sering ditemukan di daerah tropis dan. subtropics. Di Asia Tenggara, Indonesia memiliki
BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang sering ditemukan di daerah tropis dan subtropics. Di Asia Tenggara, Indonesia memiliki kasus DBD tertinggi. Penyakit
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Individu betina dan jantan P. marginatus mengalami tahapan perkembangan hidup yang berbeda (Gambar 9). Individu betina mengalami metamorfosis paurometabola (metamorfosis
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. 1. Biologi Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae)
TINJAUAN PUSTAKA 1. Biologi Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae) Gambar 1: Telur, larva, pupa dan imago S. oryzae S. oryzae ditemukan diberbagai negara di seluruh dunia terutama beriklim panas.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Nyamuk Aedes Agypti merupakan vektor virus dengue penyebab penyakit
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nyamuk Aedes Agypti merupakan vektor virus dengue penyebab penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) terutama di daerah tropis dan subtropis. Walaupun beberapa spesies dari
Lebih terperinciTotal rata-rata kemelimpahan plankton pada media air sumur sebesar 3,557 x. tertinggi didapatkan pada media air rendaman kangkung.
32 Total rata-rata kemelimpahan plankton pada media air sumur sebesar 3,557 x 10 5 ekor/liter dan total rata-rata kemelimpahan plankton pada media air rendaman kangkung sebesar 3,946 x 10 5 ekor/liter.
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Pengadaan dan Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti
14 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama tujuh bulan mulai dari bulan Juli 2011 hingga Februari 2012, penelitian dilakukan di Insektarium Bagian Parasitologi
Lebih terperinciBAHAN DAN METODE. 3.1 Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2009 di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi.
III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2009 di Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Jambi. 3.2 Alat dan bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis terbesar di dunia. Iklim tropis menyebabkan adanya berbagai penyakit tropis yang disebabkan oleh nyamuk seperti malaria
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditandai dengan demam bifasik, myalgia, arthralgia, bintik merah, leukopenia,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keanekaragaman sumber daya hayati Indonesia termasuk dalam golongan tertinggi di dunia. Jenis tumbuh-tumbuhan di Indonesia secara keseluruhan ditaksir sebanyak 25 ribu
Lebih terperinciVI. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM. 6.1 Pembahasan Umum. Berdasarkan hasil penelitian perkembangan Ostrinia furnacalis di Desa
VI. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM 6.1 Pembahasan Umum Berdasarkan hasil penelitian perkembangan Ostrinia furnacalis di Desa Manawa Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo, di peroleh bahwa kontribusi terbesar
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian eksperimental dengan
40 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Konsentrasi ekstrak daun jambu biji merah (Psidium
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemeliharaan Induk Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk terlebih dahulu di kolam pemeliharaan induk yang ada di BBII. Induk dipelihara
Lebih terperinciSMP kelas 8 - KIMIA BAB 2. BAHAN KIMIA DALAM RUMAH TANGGALatihan soal 2.4. Jamur. Cacing. Serangga. Tikus
SMP kelas 8 - KIMIA BAB 2. BAHAN KIMIA DALAM RUMAH TANGGALatihan soal 2.4 1. Nematisida merupakan zat kimia yang digunakan untuk memberantas... Jamur Cacing Serangga Tikus Kunci Jawaban : B Nematisida
Lebih terperinciBAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
14 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Minyak Atsiri Surian (Toona Sinensis Roemor) Minyak atsiri Surian ini didapatkan dengan cara penyulingan menggunakan metode air dan uap atau biasanya disebut metode kukus.
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill) memiliki sistem perakaran yang
17 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill) memiliki sistem perakaran yang terdiri dari akar tunggang, akar sekunder yang tumbuh dari akar tunggang, serta akar cabang yang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di negara negara
I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Nyamuk Aedes aegypti merupakan salah satu vektor yang dapat menyebabkan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Penyakit DBD merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat
16 TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan Ekologi Hama Sitophylus oryzae Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Kingdom Phylum Class Ordo Family Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Coleoptera :
Lebih terperinciBAB III BAHAN DAN METODE
BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisiologi Hewan Air Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, pada bulan Maret 2013 sampai dengan April 2013.
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Larvisida terhadap Nyamuk Aedes aegypti Larvisida merupakan insektisida atau bahan yang mengandung zat kimia untuk membunuh serangga pada stadium larva/nimfa. Larvisida ini
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis / Rancangan Penelitian dan Metode Pendekatan Jenis penelitian ini adalah explanatori research, dan pelaksanaanya menggunakan metode eksperimen murni, hal ini berfungsi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. aegypti. Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan dapat. kejadian luar biasa atau wabah (Satari dkk, 2005).
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Penyakit
Lebih terperinciACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA
ACARA I PENGGUNAAN LALAT Drosophila SEBAGAI ORGANISME PERCOBAAN GENETIKA LANDASAN TEORI Organisme yang akan digunakan sebagai materi percobaan genetika perlu memiliki beberapa sifat yang menguntungkan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Filariasis limfatik atau lebih dikenal dengan. penyakit kaki gajah adalah salah satu masalah kesehatan
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Filariasis limfatik atau lebih dikenal dengan penyakit kaki gajah adalah salah satu masalah kesehatan yang penting di dunia. Di puluhan negara, lebih dari satu milyar
Lebih terperinciHASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. menghasilkan tingkat penolakan yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan
IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Tingkat penolakan hama kutu beras Hasil penelitian menunjukkan dosis ekstrak daun pandan wangi kering dan daun pandan wangi segar memberikan pengaruh nyata terhadap
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pertumbuhan Chaetoceros sp. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi parameter kualitas air terkontrol (Lampiran 4). Selama kultur berlangsung suhu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) banyak ditemukan di negara-negara tropis
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) banyak ditemukan di negara-negara tropis dan subtropis. Berdasarkan perhitungan WHO (2006), ada 100 negara di dunia yang menjadi daerah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang ditularkan melalui cucukan nyamuk Aedes sp. yang ditemukan di daerah tropis dan subtropis diantaranya kepulauan
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Penelitian daya tolak ekstrak daun pandan wangi (P. amaryllifolius) terhadap
21 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian daya tolak ekstrak daun pandan wangi (P. amaryllifolius) terhadap nyamuk Ae. aegypti dilakukan pada bulan Maret 2010 dilakukan di laboratorium
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan dari
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan dari seorang kepada orang lain melalui gigitan
Lebih terperinciKemampuan Bahan Aktif Ekstrak Daun Mojo (Aegle marmelos L.) dalam Mengendalikan Nyamuk Aedes aegypti, dengan Metode Elektrik
ISSN : 2443 1141 P E N E L I T I A N Kemampuan Bahan Aktif Ekstrak Daun Mojo (Aegle marmelos L.) dalam Mengendalikan Nyamuk Aedes aegypti, dengan Metode Elektrik Inayah 1 *, Hidayat 2, Wahyuni 3 Abstract
Lebih terperinciBAB II KERANGKA TEORI
BAB II KERANGKA TEORI A. KERANGKA TEORI 1. Definisi dan Bentuk Fogging Fogging merupakan salah satu kegiatan penanggulangan DBD (Demam Berdarah Dengue) yang dilaksanakan pada saat terjadi penularan DBD
Lebih terperinciPENGARUH EKSTRAK ETANOL CABAI MERAH
PENGARUH EKSTRAK ETANOL CABAI MERAH (Capsicum annuum L.) TERHADAP MORTALITAS HAMA ULAT GRAYAK (Spodoptera litura F.) Oleh: Ani Nihayah 1), Asep Ginanjar 2), Taufik Sopyan 3) 1) Alumni Prodi.Pend.Biologi
Lebih terperinciSNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Majalaya kelas benih sebar
SNI : 01-6133 - 1999 Standar Nasional Indonesia Produksi Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Majalaya kelas benih sebar Daftar Isi Halaman Pendahuluan 1 Ruang lingkup...1 2 Acuan...1 3 Definisi...1
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan
21 III. METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan konsentrasi ekstrak daun pandan wangi yaitu 30%, 35%, 40%, 45% dan 50% serta aquades sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Biji nangka merupakan salah satu limbah organik yang belum dimanfaatkan secara optimal, padahal biji nangka memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi yaitu karbohidrat
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Aedes sp. ,
5 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Aedes sp. Nyamuk masuk dalam ordo Diptera, famili Culicidae, dengan tiga subfamili yaitu Toxorhynchitinae (Toxorhynchites), Culicinae (Aedes, Culex, Mansonia, Armigeres),
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Serangan O. furnacalis pada Tanaman Jagung Larva O. furnacalis merusak daun, bunga jantan dan menggerek batang jagung. Gejala serangan larva pada batang adalah ditandai dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia pasti membutuhkan makanan untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Berbagai jenis makanan dikonsumsi agar mampu memenuhi kebutuhan tubuh akan karbohidrat, protein,
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis / Rancangan Penelitian dan Metode Pendekatan Jenis penelitian ini adalah Explanatory Research yaitu penelitian yang menjelaskan hubungan antara variabel variabel melalui
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN. rancangan penelitian RAL (Rancangan Acak Lengkap), dengan 7 perlakuan
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian laboratoris yang dilakukan dengan rancangan penelitian RAL (Rancangan Acak Lengkap), dengan 7 perlakuan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Masalah. Filariasis limfatik atau yang biasa disebut dengan kaki
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Filariasis limfatik atau yang biasa disebut dengan kaki gajah merupakan masalah yang masih penting di dunia. Lebih dari 120 juta orang di daerah tropis dan
Lebih terperinciSNI : Standar Nasional Indonesia. Produksi Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Sinyonya kelas benih sebar
SNI : 01-6137 - 1999 Standar Nasional Indonesia Produksi Benih Ikan Mas (Cyprinus carpio Linneaus) strain Sinyonya kelas benih sebar Daftar Isi Halaman Pendahuluan 1 Ruang lingkup...1 2 Acuan...1 3 Definisi...1
Lebih terperinci2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan
4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. lebih dari setengah penduduk menggantungkan hidupnya pada beras yang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Padi (Oryza sativa L.) di Indonesia merupakan tanaman pangan terpenting karena lebih dari setengah penduduk menggantungkan hidupnya pada beras yang dihasilkan tanaman
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. Desain Penelitian pada penelitian ini adalah eksperimental dengan
31 III. METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Desain Penelitian pada penelitian ini adalah eksperimental dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan pola post test only control group design.
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilaksanakan dengan kondisi tempat penyimpanan rata-rata suhu harian 27,05*'C dan kelembaban 84,3%, dengan hasil setiap parameter pengamatan sebagai berikut: 4.1.
Lebih terperinciFaktor Pembatas (Limiting Factor) Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 9 April 2018
Faktor Pembatas (Limiting Factor) Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 9 April 2018 Faktor Pembatas Keadaan yang mendekati atau melampaui batas toleransi. Kondisi batas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Serangga mempunyai berbagai peran di ekosistem yang oleh manusia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Serangga mempunyai berbagai peran di ekosistem yang oleh manusia dikelompokan menjadi serangga yang menguntungkan atau merugikan. Serangga yang dianggap merugikan misalnya
Lebih terperinci