BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan anemia dan dapat menurunkan produktivitas kerja (Kemenkes, gejala malaria pada tahun 2013 (WHO, 2014).

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Malaria masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang dapat menyebabkan kematian terutama pada kelompok risiko tinggi, yaitu bayi, anak balita, dan ibu hamil. Selain itu, malaria secara langsung menyebabkan anemia dan dapat menurunkan produktivitas kerja (Kemenkes, 2013). Malaria merupakan penyakit endemik di sebagian besar negara dengan daerah tropis. Dari sekitar 3,4 miliar orang di seluruh dunia yang terkena malaria setiap tahun, 1,2 miliar beresiko tinggi mengalami kematian. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa ada 198 juta kasus gejala malaria pada tahun 2013 (WHO, 2014). Pada tahun 2010 di Indonesia terdapat 65% kabupaten endemis dimana hanya sekitar 45% penduduk di kabupaten tersebut berisiko tertular malaria. Berdasarkan hasil survei komunitas selama , prevalensi malaria di Indonesia menurun dari 1,39 % pada tahun 2007 menjadi 0,6% pada tahun Sementara itu berdasarkan laporan yang diterima selama tahun , angka kesakitan malaria cenderung menurun yaitu sebesar 3,62 per penduduk pada tahun 2000 menjadi 1,85 per penduduk pada tahun 2009 dan 1,96 tahun Sementara itu, tingkat kematian akibat malaria mencapai 1,3% (Kemenkes, 2013). 1

2 2 Walaupun telah terjadi penurunan angka insidensi kejadian malaria secara nasional, akan tetapi angka kejadian malaria masih sangat tinggi di daerah dengan kasus malaria tinggi dibandingkan angka kejadian secara nasional. Pada tahun 2011 jumlah kematian malaria yang dilaporkan adalah 388 kasus (Kemenkes, 2013). Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan angka insidensi kejadian malaria adalah dengan pengendalian dan pengontrolan vektor dari penyakit tersebut. Strategi ini bertujuan untuk secara langsung memutus rantai siklus hidup dari vektor penyebab penyakit malaria yaitu Anopheles aconitus. Karena salah satu yang menyebabkan tingginya kasus ini adalah vektor yang terus-menerus menyebar secara luas (WHO, 2013). Pengendalian dan pengontrolan vektor dapat melalui beberapa kegiatan salah satunya larvasidasi. Larvasida merupakan insektisida yang digunakan untuk membasmi larva pada habitat asli larva maupun yang berpotensi menjadi habitat larva (WHO, 1996). Larvasida kimiawi sering digunakan dalam pengendalian dan pengontrolan vektor namun penggunaan larvasida kimiawi seringkali memberikan hasil yang kurang memuaskan dikarenakan efek buruk yang dihasilkan seperti pencemaran lingkungan, berbahaya bagi manusia dan makhluk hidup non target, besarnya biaya dalam pelaksanaan serta terjadinya resistensi larvasida kimiawi secara global (Ghosh, 2012). Larvasida kimiawi yang umum digunakan saat ini adalah temefos (abate). Penggunaan jangka lama temefos dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti mual, muntah, sakit kepala serta pencemaran lingkungan

3 3 sehingga sebagai alternatif dapat digunakan larvasida alami (Corin, 2005). Larvasida alami bersifat hit and run, yaitu apabila diaplikasikan akan membunuh larva pada waktu saat itu dan setelah larvanya terbunuh akan cepat menghilang di alam (Pratiwi, 2014). Larvasida alami memiliki keuntungan diantaranya mudah terurai (biodegradable) dengan cepat oleh sinar matahari, udara, kelembaban, dan komponen alam lainnya, sehingga mengurangi resiko pencemaran tanah dan air dan relatif aman bagi manusia dan ternak karena residunya mudah hilang (Suwahyono, 2008; Pratiwi, 2014). Selain itu, larvasida alami umumnya memiliki toksitas yang rendah pada mamalia karena sifat inilah larvasida alami memungkinkan untuk diterapkan pada kehidupan manusia (Pratiwi, 2014). Tanaman bintaro (Cerbera manghas) merupakan tanaman yang sudah cukup dikenal di masyarakat. Buah bintaro dimanfaatkan sebagai kerajinan tangan, seperti kerajinan bunga kering. Selain itu juga digunakan sebagai obat pencahar, obat antikanker, obat sengatan ikan dan sebagai penghijauan di perkotaan. Tanaman bintaro (Cerbera manghas) mempunyai kandungan beberapa senyawa bioaktif, seperti saponin, tanin, flavanoid, dan steroid. Kandungan tersebut diketahui dapat digunakan sebagai pestisida nabati pada serangga (Rohimatun dan Suriati, 2011). Menurut penelitian Rohimatun dan Suriati (2011), ekstrak biji bintaro efektif membunuh rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus) dan bagian bijinya lebih toksik dibandingkan dengan daging buah, daun, dan

4 4 rantingnya. Sedangkan menurut penelitian Prayudha (2014), ekstrak biji bintaro berpengaruh dalam mortalitas larva Aedes aegypti. Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti ingin meneliti efek larvasida ekstrak biji bintaro (Cerbera manghas) pada larva Anopheles aconitus yang merupakan vektor utama malaria di Pulau Jawa (Gandahusada, 2008). B. Rumusan Masalah Apakah ekstrak biji bintaro (Cerbera manghas) memiliki efek sebagai larvasida pada larva Anopheles aconitus? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas ekstrak biji bintaro (Cerbera manghas) sebagai larvasida pada larva Anopheles aconitus. D. Manfaat Penelitian 1. Aspek Teoritis Memberikan bukti ilmiah tentang efek larvasida dari ekstrak biji bintaro (Cerbera manghas) pada larva Anopheles aconitus. 2. Aspek Aplikatif a. Meningkatkan pemanfaatan buah bintaro, terutama biji bintaro unutk membunuh larva Anopheles aconitus dengan harapan dapat membantu untuk menurunkan angka kejadian penyakit malaria di Indonesia.

5 5 b. Memberikan informasi yang ilmiah kepada masyarakat terkait manfaat ekstrak biji bintaro (Cerbera manghas) yang dapat digunakan sebagai larvasida.