BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS"

Transkripsi

1 BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. HASIL PENELITIAN 1. Latar Belakang Larangan Pemilikan Hak Milik Atas Tanah Oleh WNI Keturunan Tionghoa di Daerah Istimewa Yogyakarta. a. Pengaturan Tanah Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu propinsi di Indonesia yang memiliki keistimewaan dibandingkan propinsi-propinsi di Indonesia yang lain. Keistimewaan dari DIY yang menonjol adalah terkait dengan penetapan kepala daerahnya, berbeda dengan propinsi-propinsi lainnya yaitu dengan melakukan pemilihan kepala daerah. Selain itu salah satu keistimewaan yang dimiliki DIY adalah terkait dengan pengaturan tanahnya. Tanah di DIY sejak awal menjadi wewenang kasultanan yang dikenal dengan Sultan Ground dan Paku Alaman Ground, yang aturannya juga dibuat oleh kasultanan. Ada yang menarik terkait dengan pengaturan tanah di DIY ini, bahwa di Indonesia pada tahun 1960 telah mengundangkan dan memberlakukan UUPA yang digunakan sebagai dasar pengaturan agraria di Indonesia. Tetapi pada saat diundangkannya dan diberlakukannya UUPA tersebut, DIY tetap menggunakan pengaturan tanahnya sendiri. Barulah tepatnya sejak 1 April 1984 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) mulai diberlakukan sepenuhnya di DIY seperti propinsi-propinsi lainnya di Indonesia. Pemberlakuan UUPA di DIY tersebut dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 33 Tahun 59

2 1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di DIY dan Peraturan Daerah DIY No. 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di DIY. Sebelum berlakunya UUPA DIY memiliki peraturan-peraturan agrarianya sendiri untuk mengatur pertanahan. Tetapi peraturan-peraturan itu telah dinyatakan tidak berlaku lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah DIY No.3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di Propinsi DIY. Peraturan-peraturan agraria yang dahulu digunakan untuk mengatur urusan pertanahan di DIY sebelum berlakunya UUPA adalah: a. Rijksblad Kasultanan tahun 1918 Nomor 16 dan Rijksblad Paku Alaman tahun 1918 Nomor 18. b. Rijksblad Kasultanan tahun 1928 Nomor 11 jo tahun 1931 Nomor 2 dan Rijksblad Paku Alaman tahun 1928 Nomor 13 jo tahun 1931 Nomor 1. c. Rijksblad Kasultanan tahun 1925 Nomor 23 dan Rijksblad Paku Alaman tahun 1925 Nomor 25. d. Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, jo. Undang-Undang No.19 Tahun 1950 jo. Undang-Undang No. 9 Tahun e. Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 5 Tahun 1954 tentang Hak Atas Tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta. f. Peraturan Daerah isitmewa Yogyakarta No. 10 Tahun 1954 tentang Pelaksanaan Putusan Desa mengenai peralihan hak andarbe (erfelijk individicol beziterecht) dari Kalurahan dan hak anggo turun-temurun atas tanah (individucol gebruikarecht) dan perubahan jenis tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta. g. Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 11 Tahun 1954 tentang Peralihan hak milik perseorangan turun-temurun atas tanah (erfelijk individicol beziterecht). 60

3 h. Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 12 Tahun 1954 tentang Tanda yang sah bagi milik perseorangan turun-temurun atas tanah (erfelijk individucol beziterecht). i. Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 5 Tahun 1960 tentang Jumlah tetempuh (uang wajib) untuk tanah yang diberikan dengan Hak Bangunan dan Hak Milik. j. Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 11 Tahun 1960 jo Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 2 Tahun 1962 sepanjang mengenai Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Formasi Dinas Agraria Daerah Istimewa Yogyakarta. k. Surat Keputusan Dewan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2/D. Pem.D/UP/Penyerahan: tanggal l. Surat Edaran Gubernur DIY No.K.898/A/1975, hal : Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI Non Pribumi. m. Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di DIY. n. Peraturan Daerah DIY No. 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di DIY. Isi pengaturan dari beberapa peraturan pertanahan yang dahulu digunakan di DIY sebelum berlakunya UUPA tersebut antara lain, adalah: 1 a. Rijksblad Kasultanan 1925 No. 23 tanggal 30 September 1925 dan Rijksblad Paku Alaman 1925 No. 25, pada dasarnya memuat hal-hal yang sama yang dimuat dalam Rijksblad Kasultanan 1918 No. 16 dan Rijksblad Paku Alaman No. 18. Hanya saja, dalam Rijksblad tahun 1925 ini terdapat sedikit penambahan dan perubahan tentang yaitu: 1 Blog: Tri Widodo H Utomo, Hukum Pertanahan Di Yogyakarta Sebelum dan Sesudah 1984, Senin 3 Mei

4 1. Istilah, Rijksblad lama memakai istilah hak anggadhuh sedang Rijksblad baru memakai istilah hak andarbe. Akan tetapi dalam istilah asing keduanya memiliki pengertian yang sama yaitu inlandsbezitsrecht. 2. Ketentuan bahwa "semua tanah di wilayah yang telah diorganisir yang nyata-nyata dipakai rakyat diberikan kepada kalurahan baru dengan inlandsbezits recht (pasal 3 Rijksblad lama), ditambahi ketentuan bahwa "semua tanah didalam batas-batas kota Yogyakarta yang selamanya dipakai penduduk asli untuk perumahan atau pertanian, jika tidak termasuk wilayah kalurahan diberikan dengan hak andarbe kepada orang yang menurut pendapat pemerintah berhak untuk menerima hak andarbe itu" (pasal 1 Rijksblad baru). 3. Rijksblad Kasultanan 1925 No. 23 juga menambahkan aturan baru yang melarang kalurahan menjual atau mengalihkan hak andarbe, kecuali setelah memperoleh ijin Patih Kerajaan dan persetujuan Residen Yogyakarta (pasal 2). 4. Dalam hal penjualan atau pengalihan hak andarbe atau hak pakai serta menyewakan tanah kepada bukan bangsa Indonesia untuk ditanami sayuran, bunga-bunga dan sebagainya, dilarang. Perjanjian yang isinya mengenai penjualan, pengalihan dan penyewaan tanah, dianggap tidak sah (pasal 6). b. Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta jo. Undang-Undang No. 19 Tahun 1950 jo. Undang-Undang No. 9 Tahun 1955, Pasal 4 ayat (1) mengatur bahwa DIY diberi wewenang untuk mengatur daerahnya sendiri menyangkut beberapa bidang/hal, salah satunya bidang hukum pertanahan. c. Perda No. 5 Tahun 1954 tentang Hak Atas Tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Mengatur: 62

5 1. Hak atas tanah yang terletak di kalurahan diatur dan diurus oleh kalurahan setempat (beschikkingsrecht), kecuali yang telah diatur dalam Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta. 2. Peningkatan status hak pakai turun temurun (erfelijk individueel gebruiksrecht) menjadi hak milik perseorangan turun temurun (erfelijk individueel bezitsrecht). Setiap warga negara Indonesia yang memiliki tanah berdasar hak milik perseorangan ini harus mempunyai tanda hak milik yang sah, dan hak milik atas tanah ini bila dalam waktu 10 tahun berturut-turut tidak dipergunakan (geabandoneerd) oleh pemiliknya dan bila 20 tahun lagi tidak ada ketentuan dari yang berhak, dianggap batal (Pasal 4). 3. Dengan pengesahan Pemerintah Pemerintah kabupaten, kalurahan berwenang mengadakan peraturan tentang pembatasan luas tanah yang dapat dimiliki seseorang atau peraturan tentang peralihan hak yang bersifat sementara (Pasal 5). Sedang Pasal 6 menyatakan bahwa kalurahan sebagai badan hukum mempunyai hak milik atas tanah yang disebut tanah desa. Tanah desa ini dipergunakan sebagai tanah lungguh, tanah pension, untuk kepentingan umum serta untuk kas desa sendiri. 4. Perihal peralihan hak atas tanah maka (Pasal 8) tidak diperkenankan dan menurut hukum tidak sah (van rechtswegenietig), perbuatan-perbuatan: - Peralihan hak atas tanah tersebut Pasal 4 ayat (1) langsung atau tidak langsung kepada bukan warga negara Republik Indonesia. - Mengadakan perjanjian-perjanjian yang bermaksud menyewakan atau memberikan kesempatan untuk mempergunakan tanah tersebut Pasal 4 ayat (1) untuk perusahaan pertanian kecil langsung atau tidak langsung kepada bukan warga negara Republik Indonesia. d. Untuk memenuhi persyaratan adanya tanda hak milik yang sah sebagai diatur dalam Perda No. 5 Tahun 1984, dikeluarkanlah Perda No. 12 Tahun Pasal 1 mengharuskan agar tanda yang sah bagi hak milik perseorangan turun 63

6 temurun atas tanah dibuat menurut model D yang diberikan oleh Jawatan Agraria DIY atas nama Dewan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, dan jika tanda hak milik ini hilang, duplikatnya dapat diminta dengan harga yang ditetapkan oleh Dewan Pemerintah DIY. Untuk mendapatkan tanda hak milik seperti itu para pemilik tanah dipungut biaya oelh Pemerintah DIY sedikitnya Rp. 5 - dan sebanyak-banyaknya Rp. 75,- didasarkan atas luas dan jenis tanahnya (Pasal 2), dan sebelum tanda hak milik model D dapat diberikan, kepada pemilik tanah diberi tanda hak milik sementara menurut model E (Pasal 6). e. Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No. 184/KPTS/1980. Keputusan Gubernur ini mengatur perihal : adanya perkembangan keadaan, maka beberapa ketentuan dalam Perda no. 12 Tahun 1954 diubah sebagai berikut : 1. Pasal 2 yang mengatur mengenai biaya untuk mendapatkan tanda hak milik model D, Keputusan Gubernur menetapkan biaya antara Rp. 2500,- s/d Rp ,- tergantung luas dan jenis tanah. 2. Pasal 6 dan penjelasannya yang pada pokoknya menetapkan untuk sementara bahwa berlaku model E (tanda hak milik sementara), peraturan yang baru mewajibkan kepada mereka yang masih memiliki tanda hak milik model E segera menggantinya dengan tanda hak milik model D. 3. Lampiran V yang menetapkan bentuk formulir D. f. Kemudian dikeluarkan Perda No. 11 Tahun 1954 yang mengatur tentang prosedur peralihan hak milik perseorangan turun temurun atas tanah. Perda No. 11 Tahun 1954 ini menentukan bahwa: 1. Peralihan hak milik perseorangan turun temurun atas tanah diputus oleh Dewan Pemerintah Daerah Kalurahan, kemudian dikirim ke Kapanewon dan setelah diberi pertimbangan atau diketahui Panewu diteruskan ke Kabupaten untuk disahkan (Pasal 1). 64

7 2. Apabila peralihan hak diatas mengandung suatu perkara, maka dalam tindakan pertama diputuskan oleh DPRD Kalurahan dan Dewan Perwakilan Rakyat Kalurahan Pleno, kemudian dikirim ke Kapanewon untuk dipertimbangkan atau diketahui oleh Panewu, kemudian diteruskan ke DPD kabupaten untuk dipertimbangkan, dan diteruskan lagi kepada Dewan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta untuk diberikan keputusan. Dalam hal ini Dewan Pemerintah DIY dapat menyerahkan kekuasaannya kepada Jawatan Agraria DIY (Pasal 2). 3. Untuk keperluan peralihan hak milik atas tanah, Kalurahan diberi kekuasaan memunggut biaya administrasi sebesar Rp. 5,- dan pulasi setinggi-tingginya 5 % dari harga tanah, kecuali peralihan hak yang bersifat warisan dibebaskan dari biaya pulasi (Pasal 4). 4. Peralihan hak milik perseorangan turun temurun atas tanah yang menyimpang dari peraturan ini, menurut hukum tidak sah dan akan dikenakan hukuman paling lama selama satu bulan atau denda paling banyak Rp. 100,- barang siapa: - Berhak menerima peralihan didalam urusan warisan. - Memberikan atau menerima hak selain warisan, didalam hal peralihan hak milik perseorangan turun temurun yang menyimpang dari peraturan ini, dan satu bulan setelah diperingatkan oleh Lurah Desa, masih juga belum menepati peraturan. g. Perda No. 10 tahun 1954 tentang Pelaksanaan Putusan Desa mengenai peralihan hak andarbe (erfelijk individicol beziterecht) dari Kalurahan dan hak anggo turun-temurun atas tanah (individucol gebruikarecht) dan perubahan jenis tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Peralihan hak seperti ini dilaksanakan oleh Pamong Kalurahan bersama DPR kalurahan, bila peralihan tersebut mengandung suatu perkara, maka dilaksanakan oleh DPR, kalurahan, Ketua, Wakil Ketua, Penulis Majelis 65

8 Desa dan Pamong Kalurahan dengan mendengarkan keterangan lisan atau tertulis dari pihak-pihak yang bersangkutan. Jadi desa mempunyai wewenang yang sama besar dalam masalah pertanahan, termasuk peralihan hak atas tanah. Dengan demikian dapat dimengerti mengapa sampai dengan tahun 1984 Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) di wilayah DIY bisa dikatakan tidak berfungsi. Pada saat itu PPAT hanya menangani tanah-tanah yang dulu merupakan bekas hak barat. h. Surat Edaran Gubernur DIY No.K.898/A/1975, hal : Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI Non Pribumi. Guna penyeragaman policy pemberian hak atas tanah dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta kepada seorang warga negara Indonesia non Pribumi, dengan ini diminta: apabila ada seorang warga negara Indonesia non Pribumi membeli tanah hak milik rakyat, hendaknya diproseskan sebagaimana biasa, ialah dengan melalui pelepasan hak, sehingga tanahnya kembali menjadi tanah Negara yang dikuasai langsung oleh Pemerintah Daerah DIY dan kemudian yang berkepentingan / melepaskan supaya mengajukan permohonan kepada Kepala Daerah DIY untuk mendapatkan suatu hak. i. Bahwa sesuai pernyataan Pemerintah Daerah DIY untuk memberlakukan UUPA secara penuh di DIY agar dalam pelaksanaannya dapat lebih berdaya guna dan berhasil guna, maka perlu dengan Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di DIY. yang mengatakan: UUPA dan peraturan pelaksananya, dinyatakan berlaku sepenuhnya untuk seluruh wilayah propinsi DIY. j. Pemerintah Daerah DIY mengeluarkan Peraturan Daerah DIY No. 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 di DIY, yang mengatur: 1. Pengurusan agraria yang semula (sebelum berlaku UUPA di DIY) berdasarkan wewenang otonomi beralih menjadi wewenang dekonsentrasi (setelah berlakunya UUPA di DIY). 66

9 2. Demi adanya keseragaman kesatuan dan kepastian hukum maka perlu ditinjau kembali dan tidak diberlakukan Rijksblad-Rijksblad, peraturanperaturan daerah, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang keagrariaan di Propinsi DIY sehingga hanya peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat yaitu Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan aturan pelaksanaannya yang berlaku di DIY. 3. Dengan berlakunya UUPA di DIY, maka segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan berdasarkan kewenangan otonomi DIY yang mengatur tentang agraria dinyatakan tidak berlaku lagi, antara lain: - Rijksblad Kasultanan tahun 1918 Nomor 16 dan Rijksblad Paku Alaman tahun 1918 Nomor Rijksblad Kasultanan tahun 1928 Nomor 11 jo tahun 1931 Nomor 2 dan Rijksblad Paku Alaman tahun 1928 Nomor 13 jo tahun 1931 Nomor 1. - Rijksblad Kasultanan tahun 1925 Nomor 23 dan Rijksblad Paku Alaman tahun 1925 Nomor Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 5 Tahun 1954 tentang Hak Atas Tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta. - Peraturan Daerah isitmewa Yogyakarta No. 10 Tahun 1954 tentang Pelaksanaan Putusan Desa mengenai peralihan hak andarbe (erfelijk individicol beziterecht) dari Kalurahan dan hak anggo turun-temurun atas tanah (individucol gebruikarecht) dan perubahan jenis tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta. - Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 11 Tahun 1954 tentang Peralihan hak milik perseorangan turun-temurun atas tanah (erfelijk individicol beziterecht). 67

10 - Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 12 Tahun 1954 tentang Tanda yang sah bagi milik perseorangan turun-temurun atas tanah (erfelijk individucol beziterecht). - Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 5 Tahun 1960 tentang Jumlah tetempuh (uang wajib) untuk tanah yang diberikan dengan Hak Bangunan dan Hak Milik. - Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 11 Tahun 1960 jo Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 2 Tahun 1962 sepanjang mengenai Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Formasi Dinas Agraria Daerah Istimewa Yogyakarta. - Surat Keputusan Dewan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2/D. Pem.D/UP/Penyerahan: tanggal b. Larangan Pemilikan HM Oleh WNI keturunan Tionghoa. Meskipun kenyataannya di DIY telah mencabut peraturan-peraturan pertanahan yang digunakan sebelum UUPA dan telah memberlakukan UUPA sepenuhnya sejak tahun 1984 berdasarkan Keppres No. 33 Tahun 1984 dan Perda DIY No. 3 Tahun Tetapi sampai saat ini Surat Edaran Gubernur DIY PA VIII No. 898/A/1975 hal: Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI non Pribumi tidak ikut dicabut, dan masih berlaku di DIY. Isi aturan dari Surat Edaran Gubernur DIY PA VIII No. 898/A/1975 tersebut berbunyi: Guna Penyeragaman policy pemberian hak atas tanah dalam wilayah Daerah Istimewa Yogytakarta kepada seorang WNI non Pribumi, dengan ini diminta : Apabila ada seorang WNI non Pribumi membeli tanah hak milik rakyat, hendaknya diproseskan sebagaimana biasa, ialah dengan melalui pelepasan hak, sehingga tanahnya kembali menjadi tanah Negara yang dikuasai langsung oleh Pemerintah 68

11 Daerah DIY dan kemudian yang berkepentingan / melepaskan supaya mengajukan permohonan kepada Kepala Daerah DIY untuk mendapatkan suatu hak. Dampak dari masih diberlakukannya aturan penyeragaman policy hak atas tanah kepada WNI keturunan Tionghoa di DIY tersebut, berdampak semua WNI keturunan Tionghoa yang ada di DIY yang ingin membeli atau memiliki tanah dengan hak milik tidak diperbolehkan. Biasanya bagi mereka WNI keturunan Tionghoa ini hanyalah diberikan hak guna usaha (HGU) atau hak guna bangunan (HGB) atas tanah saja. Larangan tersebut didasarkan pada perbandingkan tingkat ekonomi golongan non pribumi (WNI keturunan Tionghoa) yang lebih tinggi dari pada golongan pribumi, maka kebijaksanaan Gubernur DIY ini dipahami, yakni agar kepentingan rakyat kecil tidak semakin terdesak oleh kelompok menengah keatas. Terlebih lagi bila diingat wilayah DIY yang relatif sempit, bila penguasaan dan penggunaan tanah dengan hak milik oleh golongan non pribumi (WNI keturunan Tionghoa) diperkenankan, dikhawatirkan akan melahirkan "petani-petani berdasi", sedang rakyat kelas bawah akan menjadi buruh-buruh kecil. 2 Bahwa dengan masih diberlakukannya larangan kepemilikan hak milik atas tanah yang hanya diberlakukan kepada WNI keturunan Tionghoa, hal ini mengurangi hak yang dimiliki warga negara. Karena pada dasarnya setiap warga negara baik warga negara pribumi atau pun WNI keturunan Tionghoa berhak memiliki hak milik untuk dimilikinya, termasuk pula hak milik atas tanah di Indonesia. Selain melihat larangan pemilikan HM atas tanah bagi WNI keturunan Tionghoa dari sisi pengaturannya, maka penulis juga melihat dari beberapa nara sumber yang meliputi Instansi BPN Propinsi DIY, Kantor Notaris / PPAT, Dosen Pengajar Hukum Agraria. Penulis memilih nara sumber tersebut diatas, dikarenakan penulis mengalami kesulitan dalam pencarian untuk memperoleh data yang berhubungan dengan 2 Ibid. 69

12 penulisan skipsi ini, karena tidak semua nara sumber mau memberikan keterangan terkait larangan pemilikan HM oleh WNI keturunan Tionghoa tersebut. Dan juga menurut pendapat penulis bahwa nara sumber yang dipergunakan tersebut berkompeten dan memahami terkait dengan larangan pemilikan HM oleh WNI keturunan Tionghoa di DIY tersebut. Beberapa dari nara sumber tersebut yaitu, meliputi: 1. Bpk Suhartono. 3 Beliau adalah petugas kantor BPN DIY yang jabatannya adalah sebagai KASI PENDAFTARAN, PERALIHAN, PEMBEBANAN HAK & PPAT. Beliau membenarkan adanya aturan larangan pemilikan HM oleh WNI keturunan Tionghoa tersebut yang diatur dalam Surat Edaran Gubernur DIY PA VIII No. 898/A/1975 hal : Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI non Pribumi. Dasar munculnya larangan aturan pemilikan HM atas tanah bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut sangatlah politis. Tetapi tidak jelaskan secara mendalam terkait dengan dasar alasan larangan pemilikan HM oleh WNI keturunan Tionghoa di DIY tersebut. Karena mungkin karena kesejarahan tanah di DIY adalah tanah Kraton, atau mungkin karena policynya (kebijakan) Gubernur atau Pemerintah Daerah pada jaman dulu adalah semi-semi Kraton. BPN juga menyatakan tidak mau mendesak kepada Pemerintah Daerah DIY, karena secara fungsional BPN hanya sebagai pelaksana dari Perintah Daerah DIY. Jika BPN mendesak atau tidak setuju kepada Pemerintah Daerah terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan, takutnya tidak perlu ada kantor BPN di DIY. Kebijakan larangan pemilikan HM bagi WNI keturunan Tionghoa di DIY tersebut memang agak ada kesenjangan dibandingkan dengan propinsi lainnya di Indonesia. Alasan diberlakukan kebijakan tersebut karena Pemerintah Daerah DIY 3 Wawancara pada tanggal 16 Juni

13 takut tanah di DIY dikuasai oleh WNI keturunan Tionghoa, dikarenakan WNI keturunan Tionghoa pandai melihat wilayah untuk dijadikan peluang. Karena itu oleh pemerintah daerah DIY agar tidak terjadi kesenjangan di DIY maka pemilikan HM oleh WNI keturunan Tionghoa di DIY tersebut dilarang dan hanya diberikan HGB saja. Bagi WNI keturunan Tionghoa bukan hanya kesulitan untuk memiliki HM atas tanah di DIY, tetapi memang belum boleh memiliki HM atas tanah di DIY. Pemerintah Daerah dapat memberikan hak atas tanah dengan kekancingan, yang policy tersebut merupakan wewenang dari Kraton. Larangan pemilikan HM tersebut berlaku di seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta yang meliputi 4 Kabupaten dan 1 Kotamadya tanpa ada terkecuali, diantaranya: Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Kulon Progo dan Kota Yogyakarta. Tugas dari BPN adalah mengamankan kebijakan yang sudah ada, karena kebijak tersebut sudah ada sebelum berlakunya UUPA di DIY. Sedangkan dengan berlakunya UUPA di DIY juga tidak serta merta menghapuskan kebijakan tersebut. Walaupun dalam aturannya, segala aturan yang bertentangan dengan UUPA tidak berlaku. Dahulu sudah ada yang menuntut terkait larangan pemilikan HM atas tanah di DIY ini, dan yang menuntut adalah anggota DPRD DIY yang berwarga negara keturunan Tionghoa dan telah beragama islam yaitu bpk. Budi Setya Nugraha. Tetapi tuntutan tersebut tetap saja tidak membuahkan hasil. Dengan berlakunya UUPA di DIY secara implisit bahwa Kantor BPN acuannya adalah UUPA, hanya saja yang belum diatur seperti Surat Edaran Gubernur DIY PA VIII No. 898/A/1975 dijadikan aturan agar bisa masuk dalam UUPA tetapi belum, karena UUPA juga banyak yang peraturan pelaksanaannya belum ada. BPN bukan diskriminasi tetapi karena memang BPN disini hanya melakukan aturan atau kebijakan yang telah ada sebelumnya. 71

14 Tata cara perolehan hak milik atas tanah bagi warga negara Indonesia asli (pribumi) tidak ada masalah, tetapi bagi WNI keturunan Tionghoa tetap tidak dapat memiliki hak milik atas tanah di DIY. Jika ada WNI keturunan Tionghoa membeli tanah hak milik yaitu prosesnya dengan penurunan hak menjadi HGB. Jika WNI keturunan Tionghoa ketahuan memiliki tanah hak milik akan dilakukan penurunan hak menjadi HGB, kalau HM atas tanah tersebut tidak mau turunkan hak menjadi HGB dapat dilakukan peralihan ke warga negara Indonesia asli (pribumi) asli (atau dengan kata lain dengan balik nama ke warga negara asli (pribumi)). BPN juga tidak menghendaki adanya larangan pemilikan HM tersebut. karena jika ada yang protes terkait larangan tersebut dapat melakukan Judicial Review, jika aturan larangan tersebut dicabut maka BPN akan melaksanakan aturan dan kebijakan yang ada. Dalam masalah pelayanan permohonan hak atas tanah tidak ada pembedaan baik warga negara Indonesia pribumi ataupun WNI keturunan Tionghoa, Jika ada yang ingin memberikan uang tambahan itu adalah hak dari masing-masing orang yang memohonkan. Dan apabila ada WNI keturunan Tionghoa memberikan uang tambahan kepada BPN tetap tidak dapat merubah keputusan pemohonan hak atas tanah yang dari HGB menjadi HM. Perbedaan dari HM dengan HGB adalah kalau HGB ada jangka waktunya. Jangka waktunya tergantung disurat keputusannya, setelah habis jangka waktunya harus memperpanjang. Sekarang tidak terlalu siknifikan karena begitu ada perpanjangan tidak harus membayar uang pemasukan lagi, berbeda kalau dahulu harus membayar uang pemasukan lagi. Yang harus dibayarkan adalah hanya terkait dengan permohonan yang diajukan. Pada prinsipnya perbedaan perlakuan warga negara Indonesia asli (pribumi) dengan WNI keturunan Tionghoa tidak secara signifikan mengurang martabat, hanya masalah terkait dengan larangan pemilikan HM tersebut belum ada titik temunya. Dengan muncul dan berlakunya UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang barupun, tidak menghapuskan dan tetap 72

15 saja kebijakan terkait larangan pemilikan HM bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut masih berlaku di DIY, padahal tidak ada pernyebutan atau perbedaan baik dari hak dan kewajiban warga negara pribumi ataupun WNI keturunan Tionghoa. Prinsip BPN hanyalah melaksanakan kebijakan yang telah ada. Kalau kebijakan tersebut masih berlaku BPN tidak dapat menghilangkan kebijakan tersebut. 2. Bpk Raminudin. 4 Beliau adalah asisten Notaris / PPAT yang bekerja di Kantor Notaris / PPAT Retno Merdeka Wati, SH, MM., Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Khusus di DIY untuk WNI keturunan Tionghoa harus dengan HGB tidak boleh dengan HM. Hal ini didasarkan karena adanya instruksi Gubernur Kepala Daerah DIY tahun 1975, yang wujudnya Surat Edaran Gubernur DIY PA VIII No. 898/A/1975 hal : Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI non Pribumi, yang aturan tersebut bukan Undang-Undang bukan Peraturan Daerah hanyalah instruksi. Surat Edaran Gubernur tersebut berlaku diseluruh Daerah Istimewa Yogyakarta, termasuk Sleman, Bantul, Gunung Kidul, Kulon Progo dan Kota Yogyakarta. Dalam prakteknya di DIY WNI keturunan Tionghoa dapat memiliki tanah dengan HM atau dapat mengajukan tanah dengan HM, tetapi harus mempunyai surat kekancingan dari keraton. Surat kekancingan itu semacam silsilah, bahwa seseorang boleh miliki tanah dengan status HM tetapi harus ada keturunan dari keluarga keraton. Dengan surat kekancingan itu seseorang barulah boleh memiliki tanah dengan HM. Kalau WNI keturunan Tionghoa yang tidak memliki surat kekancingan dari keraton, maka tidak dapat mempunyai tanah dengan status HM. WNI keturunan Tionghoa memang tidak dapat memiliki tanah dengan HM, tetapi tidak dipungkiri bahwa sering ada kecolongan-kecolongan WNI keturunan 4 Wawancara pada tanggal 7 Oktober

16 Tionghoa dapat memiliki tanah dengan status HM dengan menggunakan nama indonesia asalkan tidak ketahuan oleh BPN. Bahwa adanya kecolongan-kecolongan WNI keturunan Tionghoa bisa memiliki HM tersebut tidak resmi. Tetapi kecolongankecolongan tersebut tidak semua dilakukan di DIY, karena biasanya BPN kota Yogyakarta lebih cermat dan lebih mencurigai. Setelah pemerintah pusat menerbitkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, tetap saja tidak mencabut larangan kepemilikan tanah dengan HM oleh WNI keturunan Tionghoa. Pernah juga dipertanyakan dalam sosialisasi UU kewarganegaraan yang baru tersebut terkait bagaimana WNI keturunan Tionghoa yang ada di DIY dengan terbitnya UU Kewarganegaraan yang baru ini apa sudah bisa memiliki tanah dengan status HM. Tetapi jawaban waktu itu bahwa masalah larangan pemilikan HM bagi WNI keturunan Tionghoa itu terkait dengan politis. Jadi meskipun menurut UU kewarganegaraan yang baru di Indonesia tidak ada perbedaan hak dan kewajiban dan penyebutan warga negara, tetapi di DIY masih tetap saja memberlakukan larangan pemilikan HM atas tanah yang hanya diberlakukan bagi WNI keturunan Tionghoa. Surat Edaran Gubernur DIY itu bukan dari Mendagri, bukan Perda, bukan juga Kepres. Seharusnya kalau menurut undang-undang tidak membedakan apapun. Undang-Undang itu kalah dengan Surat Edaran Gubernur DIY tersebut. Pernah ada gugatan di pengadilan dan gugatan tersebut tatap kalah, contohnya seperti di Bantul pernah ada WNI keturunan Tionghoa membeli tanah dengan status HM ketahuan kalau dia non pribumi, dan status HM atas tanahnya diturunkan menjadi status HGB. Alasan Surat Edaran Gubernur DIY tersebut diberlakukan di DIY juga tidak ada pertimbangannya didalam Surat Edaran Gubernur tersebut. WNI keturunan Tionghoa tidak pernah ada yang mengajukan permohonan hak atas tanah dari HGB ditingkatkan menjadi HM. Karena WNI keturunan Tionghoa sudah tahu bahwa semua WNI keturunan Tionghoa tidak boleh memiliki tanah di DIY dengan status HM. 74

17 Dalam prakteknya ada saja Notaris / PPAT di DIY yang membantu menguruskannya agar supaya WNI keturuanan Tionghoa dapat memiliki tanah dengan status HM, asalkan WNI keturunan Tionghoa tersebut sudah tidak menggunakan nama Tionghoa atau fisiknya samar-samar tidak terlihat seperti WNI keturunan Tionghoa. Sewaktu ada WNI keturunan Tionghoa meminta tolong untuk dibantu pengurusannya agar memperoleh HM atas tanah, maka Notaris / PPAT akan beralasan / beralibi bahwa Notaris / PPAT tidak mengetahui kalau dia adalah WNI keturunan Tionghoa. Karena tidak bisa menilai orang dari fisik, karena orang Kalimantan (batak) juga berkulit putih dan bermata sipit seperti WNI keturunan Tionghoa pada umumnya. Notaris / PPAT juga tidak berkewenangan untuk membuktikan orang tersebut adalah WNI keturunan Tionghoa atau bukan. Karena yang menyelidiki orang tersebut untuk membuktikan apakah dia WNI keturunan Tionghoa atau bukan kewenangan dari BPN yang mencurigainya. Adapun kemungkinan bahwa WNI keturunan Tionghoa agar dapat memperoleh tanah dengan status HM dengan cara meminjam atau menggunakan nama dari WNI pribumi asli. Selain itu dapat pula merubah nama di KTP (identitas) dari nama Tionghoa menjadi nama Indonesia seperti nama WNI pribumi, dan merubah agama menjadi agama islam agar lolos dan tidak dicurigai. Karena kalau misalkan dalam KTP beragama budha sudah tentu dicurigai dan tidak dapat mendapatkan status tanah dengan HM. BPN juga tidak mau diberi uang suap agar WNI keturunan Tionghoa bisa mendapatkan HM atas tanah. Jika ada kecurigaan supaya tidak dipanggil yaitu ditutupin dengan cara meminjam (menggunakan) nama WNI pribumi atau identitas KTP menggunakan nama Indonesia dan merubah agama menjadi agama islam. Tetapi kalau WNI keturunan Tionghoa masih tetap menggunakan nama Tionghoa jelas Notaris / PPAT tidak berani, karena sama saja tidak akan mendapatkan status tanah 75

18 dengan HM. Tetapi jika warga negara suku Tionghoa sudah terlanjut memiliki tanah dengan status HM, maka status tanahnya akan diturunkan menjadi HGB. Hal-hal tersebut merupakan terobosan-terobosan untuk menerobos Surat Edaran Gubernur DIY tersebut, tetapi bukan berarti tanpa akibat atau resiko. Akibat atau resiko yang akan dihadapi oleh WNI keturunan Tionghoa yaitu, jika oleh WNI keturunan Tionghoa tanah tersebut digunakan untuk jaminan utang dibank dan dipasangkan hak tanggungan oleh bank akan ketahuan mengapa WNI keturunan tionghoa bisa memiliki tanah dengan HM di DIY, dan jika dilaporkan ke BPN maka status tanah HM tersebut akan diturunkan menjadi HGB. Terkait jika terjadi perkawinan campuran antara WNI pribumi dengan WNI keturunan Tionghoa bisa saja salah satu dari mereka dapat memiliki HM atas tanah tetapi jika diwariskan keanaknya akan ketahuan bahwa ada keturunan dari WNI keturunan Tionghoa. Karena surat keterangan waris di DIY berbeda antara WNI pribumi dengan WNI keturunan Tionghoa, kalau WNI keturunan Tionghoa yang membuat surat keterangan warisnya adalah Notaris, sedangkan kalau WNI Pribumi yang membuat surat keterangan warisnya Lurah / Camat. Bahwa Surat Edaran Gubernur DIY tersebut bersifat politis yang subyektif bukan bersifat objektif. Bagi mereka keturunan arab dan keturunan india tidak tahu dapat memiliki tanah dengan status HM di DIY atau tidak. Tetapi bagi WNA yang ingin berdomisi di DIY hanya akan diberikan Hak Pakai (HP) atas tanah saja, tidak dapat dengan hak atas tanah yang lain. Memang dalam prakteknya WNI keturunan Tionghoa tidak dapat memiliki tanah dengan HM di DIY, tetapi jika ada yang menerobos instruksi Surat Edaran Gubernur tersebut ada saja. Terkait dengan larangan kepemilikan HM atas tanah bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut bukan rahasia umum lagi. Jika ada WNI keturunan Tionghoa ingin membeli tanah dengan status HM, beliau mau saja menolong pengurusannya. Tetapi jika ketahuan oleh BPN itu diluar tanggung jawab Notaris / PPAT yang menguruskan permohonan perolehan HM atas 76

19 tanahnya. Karena jika ketahuan maka resikonya oleh BPN status tanah HM nya tersebut langsung akan diturunkan menjadi status HGB, meskipun tidak ada sanksi atau tindakan adminsitratif dari pemerintah daerah ataupun BPN. Kalau WNI keturunan Tionghoa tidak mau diproseskan penurunan hak atas tanahnya dari HM menjadi HGB, maka oleh BPN tidak diproses (tidak diperbolehkan). Tetapi kalau tanah tersebut oleh WNI keturunan Tionghoa mau dijual malah diperbolehkan, asalkan dijual kepada WNI pribumi dan status tanahnya tersebut akan menjadi HM. Tetapi jika tanah tersebut dijual kembali kepada WNI keturunan Tionghoa lagi, tetap tidak akan mendapatkan status HM melainkan yang didapatkan hanya status HGB saja. Perbedaan antara HM dengan HGB adalah kalau hak milik tidak terbatas jangka waktunya, sedangkan kalau HGB terbatas jangka waktunya. Batas jangka waktu perpanjangan HGB berbeda-beda, kalau berasal dari penurunan hak jangka waktunya bisa 30 (tiga puluh) tahun, tetapi kalau berasal dari pelepasan hak atau permohonan hak itu 20 (dua puluh) tahun dan jika jangka waktunya habis bisa diperpanjang lagi. 3. Bpk Nanang Bagus. 5 Beliau adalah asisten Notaris / PPAT di kantor Diah Emilia Sari, SH yang berkantor di daerah Sleman, Daerah Istiemwa Yogyakarta. Bahwa memang benar di DIY ada larangan pemilikan HM atas tanah bagi WNI keturunan Tionghoa. Larangan tersebut merupakan aturan dari Sultan, yang aturan larangan kepemilikan HM tersebut berlaku sejak dari tahun WNI keturunan Tionghoa yang memiliki tanah dengan status HM di DIY harus dilimpahkan kepada yang berkewarganegaraan indonesia asli (pribumi), atau dapat pula menggunakan atau meminjam nama kerabat atau orang yang berkewarganegaraan Indonesia asli (pribumi). 5 Wawancara pada tanggal 7 Oktober

20 Bagi WNI keturunan Tionghoa yang tinggal dan memiliki rumah atau tanah di DIY tidak ada yang dapat memiliki tanah dengan status HM, melainkan status hak atas tanah yang diperoleh hanyalah HGB saja. Aturan larangan kepemilikan tanah dengan status HM yang diberlakukan bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut berlaku diseluruh DIY, termasuk Kabupaten Sleman, kabupaten Bantul, kabupaten Gunung Kidul, kabupaten Kulon Progo, dan Kota Yogyakarta. Belum ada WNI keturunan Tionghoa yang memiliki HM atas tanah di DIY, karena Notaris / PPAT di DIY tidak berani mengeluarkan atau menguruskannya agar WNI keturunan Tionghoa dapat memperoleh HM atas tanah. Satu-satunya cara agar WNI keturunan Tionghoa mendapatkan tanah dengan status HM yaitu dengan meminjam nama atau mengatas namakan tanah tersebut kepada orang yang berkewarganegaraan WNI asli (pribumi), tetapi yang membeli tanah tersebut tetap WNI keturunan Tionghoa. Tetapi menurut beliau jika ingin menggunakan atau meminjam nama dari WNI asli (pribumi) haruslah WNI asli DIY atau yang telah memiliki KTP di DIY, tidak bisa mengunakan nama dari WNI asli (pribumi) dari propinsi lain meskipun mereka sama-sama WNI asli (pribumi). Jikapun Notaris / PPAT diberikan uang tambah untuk membantu WNI keturunan Tionghoa dalam pengurusannya agar dapat memperoleh status tanah dengan HM, hal tersebut tetap tidak bisa karena adanya aturan larangan tersebut. Karena jika Notaris / PPAT mengeluarkan atau membantu WNI keturunan Tionghoa dalam pengurusan perolehan HM atas tanah, hal tersebut melanggar jabatan kode etik notaris / PPAT. 4. Ibu Endah Cahyowati 6 Beliau adalah Dosen Fakultas Hukum Pengajar mata kuliah Hukum Agraria di Universitas Katholik Atma Jaya Yogyakarta. 6 Wawancara pada tanggal 12 Oktober

21 Memang hangat dibicarakan skala nasional terkait pengaturan tanah di DIY, selain ketentuan terkait dengan penetapan Kepala Daerahnya. Pertama-tama untuk mengetahui kaitannya dengan pengaturan pertanahan di DIY maka harus dilihat dalam UU No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang disempurnakan dengan UU No. 19 Tahun 1950 dan disempurnakan lagi dengan UU No. 9 Tahun Salah satu pasalnya yaitu Pasal 4 ayat (1) yang pada mengatur bahwa DIY diberi wewenang untuk mengatur masalah tanah. Di DIY yang menarik terkait dengan berlakunya UUPA di DIY, bahwa di DIY ada tanah Kraton (tanah Raja) dan tanah DIY (tanah Negara). Terkait dengan tanah Kraton tersebut berarti bicara secara khusus yang terdiri dari tanah Sultan Ground (tanah Sultan) dan tanah Paku Alaman Ground (tanah Paku Alaman). Sedangkan untuk tanah di DIY berbicara secara nasional. Tanah di DIY ini harus dilihat dari sejarah, yang dilihat dari beberapa aspek yaitu: yuridis, historis, sosiologis, filosofis. Jika membicarakan tanah di DIY, itu berarti membicarakan tanah skala nasional. Sedangkan jika membicarakan tanah keraton sudah khusus tanah Sultan Ground (tanah Sultan) dan tanah Paku Alaman Ground (tanah Paku Alaman). Untuk tanah-tanah adat masih berlaku ketentuan peraturan-peraturan daerah, terutama di daerah 4 (empat) Kabupaten dan 1 (satu) Kota. Karena DIY ini memliki 4 (empat) Kabupaten yaitu: Sleman, Bantul, Gunung Kidul, Kulon Progo, sedangkan 1 (satu) Kota yaitu: Yogyakarta. Pada waktu sebelum berlakunya UUPA, bahwa tanah-tanah keraton diatur dengan Rijksblad Kasultanan untuk Sultan Ground dan Rijksblad Paku Alaman untuk Paku Alaman Ground. Sebelum UUPA ini berlaku di DIY, tanah-tanah dikota Yogyakarta masih diatur dengan Rijksblad Kasultanan dan Rijksblad Paku Alaman. Membicarakan tanah di DIY harus dibedakan, pertama berangkat dari dasar pembentukan DIY yaitu Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 kemudian disempurnakan menjadi Undang-Undang 19 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY. 79

22 Salah satu pasalnya, yaitu pasal 4 ayat (1) itu menyatakan yang intinya bahwa DIY diberi wewenang untuk mengatur daerahnya sendiri menyangkut beberapa bidang / hal, salah satunya adalah bidang hukum pertanahan. Sebelum berlakunya UUPA dikenal tanah Raja / Keraton disebut tanah Kasultanan (Sultan Ground) dan tanah Paku Alaman (Paku Alaman Ground). Hal tersebut dikarenakan raja di DIY ada 2 (dua) Kasultanan dan paku Alaman, pasti rajanya dari Kasultanan dan wakilnya dari Paku Alaman. Sebelum berlakunya UUPA tanah-tanah yang berada di DIY (4 Kabupaten dan 1 Kota) itu mengikuti ketentuan Rijksblad Kasultanan dan Rijksblad Paku Alaman, tetapi khusus untuk tanah-tanah bekas hak barat dahulu mengikuti ketentuan hukum tanah barat. Pada masa kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono IX (almarhum) berlakunya UUPA, di DIY ini belum berlaku sepenuhnya. Yang tunduk pada ketentuan UUPA pada saat itu adalah hanya tanah-tanah bekas hak barat melalui ketentuan konversi di UUPA diktum ke II UUPA menjadi tanah negara, dengan batas waktu sampai 24 september 1980 harus sudah berakhir untuk dikonversi. Sedangkan tanah-tanah Keraton / Raja masih diatur dengan Rijksblad hingga tahun 1984 belum tunduk atau belum berlaku sepenuhnya UUPA. Dengan adanya Surat Edaran Gubernur DIY PA VIII No. 898/A/1975 hal : Penyeragaman Policy pemberian hak atas tanah kepada seorang WNI non Pribumi, dengan Gubernur saat itu adalah Paku Alam ke VIII (almarhum), di mana intinya berupa aturan bahwa untuk WNI keturunan Tionghoa belum bisa diberikan status HM atas tanah di DIY. Adanya instruksi Gubernur tersebut tidak salah karena sejak berlakunya UUPA di Indonesia, di DIY memang belum memberlakukan sepenuhnya UUPA. Pada tahun 1975 masih belum berlaku sepenuhnya, jadi instruksi Gubernur masih juga berlaku, maka WNI keturunan Tionghoa belum bisa diberikan HM atas tanah di DIY. 80

23 Alasan utama masih berlakunya Instruksi Gubernur yang melarang pemilikan tanah dengan HM oleh WNI keturunan Tionghoa tersebut, karena terkait dengan keadaan ekonomi rakyat pribumi. Raja lebih mengutamakan rakyat pribumi dulu untuk kesehjahteraannya. Selain itu juga dikarenakan penjajahan Belanda cukup lama, DIY yang merupakan tanah Raja ini adalah satu-satunya tanah yang tidak diserahkan kepada pemerintah Belanda pada saat penjajahan. Berbeda dengan Surakarta yang awalnya meskipun sama-sama tanah Raja, tetapi sebagian tanahnya diserahkan kepada Pemerintah Belanda, maka sekarang tanah di Surakarta telah menjadi tanah Negara. Berbeda dengan DIY karena pada waktu itu tidak diserahkan kepada Pemerintah Belanda. Kemudian pada tahun 1984, tepatnya 1 april 1984 keluar Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya UUPA di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan berlaku sepenuhnya UUPA di DIY ini berarti peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Tetapi pada kenyataanya sampai sekarang di DIY masih berlangsung, karena Instruksi Gubernur tersebut masih berlaku dan belum dicabut secara tegas. Bicara tentang UUPA, bahwa mulai dari pasal 2 UUPA tentang hak menguasai negara, dihubungkan dengan asas nasionalitas. Pada saat berlakunya UUPA itu, semua warga negara indonesia menyebut WNI sudah barang tentu itu adalah pengertian WNI dalam arti tunggal. Tidak membedakan WNI asli (pribumi) atau WNI keturunan Tionghoa. Tetapi DIY tidak lepas dari sejarah mengapa masih berlaku aturan seperti ini. Bahwa harus melihat dari unsur politis tetapi dalam arti historisnya, bukan politis dalam arti perkembangan sekarang yang ada rekayasa (untuk kemenangan siapa yang berkuasa). Bicara tanah di DIY harus dilihat dari beberapa aspek, diantaranya: 1. Aspek politis dalam arti yang positif karena harus dikaitkan dengan melihat sejarahnya. 81

24 2. Aspek yuridis, tanah keraton khusus merupakan kepemilikan Raja yang diatur didalam naungan aturan Rijksblad-Rijksblad. 3. Aspek sosiologis, kalau masyarakat boleh menggunakan tanah di DIY maka salah satu syaratnya itu adalah harus ada perjanjian. Masyarakat juga mengakui bahwa tanah di DIY adalah milik Raja, tetapi bahwa masyarakat boleh menggunakan tanah di DIY, dalam aturan internal keraton masyarakat yang ingin menggunakan harus mendapatkan ijin dari Raja dan tergantung tanah mana yang digunakan. Jika tanah yang digunakan Sultan Ground harus mendapatkan ijin dari Sultan, tetapi jika tanah yang digunakan Paku Alaman Ground harus mendapatkan ijin dari Paku Alam. 4. Aspek filosofis, tanah keraton itu juga digunakan untuk kepentingan umum atau kepentingan pembangunan. Untuk proses administratif yuridis dan sosiologisnya sama yaitu harus mendapatkan ijin dari Raja. Seperti contohnya Kampus UGM sebenarnya tanah Kasultananan, tetapi tidak diberikan jangka waktu oleh Sultan. Tanah Kasultanan itu tidak hanya ada di kota Yogyakarta saja, ini ada juga di kabupaten-kabupaten. Juga dapat digunakan oleh masyarakat dengan status diberikan hak pakai, hak sewa dan intinya harus mendapatkan ijin. Sekalipun sudah diberikan ijin untuk didirikan tempat tinggal, maka sebenernya tidak boleh dengan bangunan permanen. Karena takutnya keraton akan menggunakan / menggembangkan tanah tersebut. Sejak Keppres 33 Tahun 1984 yang memberlakukan sepenuhnya UUPA di DIY diberlakukan, jika dipersandingkan dengan UUPA seharusnya insturksi Gubernur tersebut sebenarnya sudah tidak berlaku. Tetapi sampai sekarang pun belum bisa diberikan tanah dengan status HM bagi WNI suku Tionghoa. Dalam Pasal 9 UUPA yang menganut asas nasionalitas, Pasal 9 ayat (1) menyatakan: semua warga negara indonesia dapat mempunyai hubungan yang penuh dengan bumi, air, dan ruang angkasa. Kemudian dalam pasal 9 ayat (2) 82

25 menyatakan: tiap-tiap warga negara indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. Penyebutan WNI dalam UUPA ini adalah WNI Tunggal, sehingga tidak membedakan dalam WNI keturunan Tionghoa atau WNI asli (Pribumi), tetapi tetap saja tidak diperbolehkan WNI keturunan Tionghoa memiliki HM atas tanah di DIY. Tetapi kenyataannya banyak WNI keturunan Tionghoa yang menggunakan pinjam nama WNI asli (pribumi) agar dapat memiliki tanah dengan status HM di DIY. Selain itu juga ada WNI keturunan Tionghoa yang menguruskan ke Notaris / PPAT untuk melegalkan perjanjian tersebut. Yang dibelakang perjanjian itu ada perjanjian antara WNI keturunan Tionghoa dengan WNI asli (pribumi), bahwa ada peminjaman nama dari WNI asli (pribumi) untuk mendapatkan tanah dengan status HM. Tetapi jika dilanjutkan berbahaya untuk aspek yuridisnya, karena orang yang dipinjam namanya itu belum tentu mempunyai itikat baik, dan bagaimanapun juga hal tersebut tetap saja jelas tidak diperbolehkan karena merupakan pelanggaran, meskipun perjanjian itu diatas sertifikat boleh dilakukan. Sejak berlakunya UUPA, jika dibaca dalam peraturan pelaksanaanya UUPA yaitu UU No. 56 Prp tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Kemudian ada batas penetapan maksimum dan minimumnya, tetapi itu diatur hanya untuk 1 (satu) keluarga tidak mencakup badan hukum. UU No. 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian ini diatur lebih lanjut dengan PP No. 224 Tahun Kemudian dalam UUPA diktum 4 A menyebutkan; tanah Swapraja dan tanah bekas Swapraja itu sejak berlakunya UUPA menjadi tanah negara. Kemudian diktum B menyebutkan; ketentuan sebagaiman dimaksud dalam ketentuan diktum A akan diatur lebih lanjut dalam PP. PP yang dimaksudkan adalah PP No. 224 Tahun Sekarang jika dilihat dalam ketentuan PP No. 224 Tahun 1961 itu ada obyek landerform, itukan tanah negara, tanah bekas-bekas swapraja, tanah-tanah yang melebihi batas maksimum, tanah-tanah yang melanggar larangan tanah adat. Tetapi tanah swapraja belum diatur dalam PP No. 224 Tahun 1961 tersebut. Yang dimaksud 83

26 dalam diktum 4 B UUPA terkait dengan PP No. 224 Tahun 1961, tetapi isinya tidak menyinggung tanah swapraja ini diatur dengan PP itu. Ini yang menimbulkan pertanyaan terkait bagaimana kedudukan tanah swapraja di DIY. Kalau bicara tanah swapraja di DIY itu kembali ke histori atau kesejarah tadi, oleh karena itu terlihat seperti berputar-putar terkait pengaturan tanah swapraja di DIY. Kalau bicara tanah Swapraja di DIY yang ada di kota Yogyakarta dan sebagian di 4 kabupaten wilayah DIY kembali harus melihat ke histori atau sejarah. Selain itu terdapat pula tanah-tanah bekas hak barat dan tanah-tanah bekas hak adat yang telah dikonversi menurut ketentuan dalam UUPA. Sumber dari pengaturan tanah swapraja di DIY sebenarnya bersumber dari sejarah, bukan berasal dari tanah Negara. Tanah di DIY sejarah otentiknya ada perjanjian Giyanti bahwa tanah di DIY adalah tanah Raja. Dari keempat nara sumber diatas tersebut mengatakan bahwa memang WNI keturunan Tionghoa dilarang memiliki tanah di DIY dengan status HM, yang biasanya hanya diberikan status tanah dengan HGB. Larangan tersebut merupakan aturan dari Sultan yang tertuang dalam Surat Edaran Gubernur DIY, dan berlaku di seluruh wilayah DIY (4 Kabupaten dan 1 Kota). Keempat nara sumber juga mengatakan bahwa WNI keturunan Tionghoa dapat memiliki HM atas tanah di DIY dengan cara meminjam nama (balik nama) ke kerabat atau orang yang berwarga negara indonesia asli (pribumi). Akan tetapi menurut ibu Endah Cahyowati minjaman nama (balik nama) ke kerabat atau orang yang berwarga negara indonesia asli (pribumi) tersebut tidak menjamin kepastian hukum meskipun perjanjian tersebut dilakukan dihadapan Notaris / PPAT, karena hal pemilikan HM oleh WNI keturunan Tionghoa tersebut sebenar tetap dilarang oleh hukum dan tidak menjamin orang yang dipinjam namanya tersebut memiliki itikat baik atau buruk. Menurut bpk Suhartono dan ibu Endah Cahyowati bahwa larangan pemilikan HM atas tanah bagi WNI keturunan Tionghoa di DIY bersifat politis yang harus 84

27 melihat sejarah DIY jaman dulu, tetapi menurut bapak Raminudin larangan tersebut memang bersifat politis yang subyektif bukan obyektif. Kesamaan lainnya menurut bpk Suhartono dan ibu Endah Cahyowati adalah terkait dengan alasan diberlakukan kebijakan larangan pemilikan HM tersebut atas dasar karena terkait dengan keadaan tingkat ekonomi antara rakyat pribumi dengan WNI keturunan Tionghoa, yang WNI keturunan Tionghoa dianggap lebih dalam materi (kekayaan), karena itu takut tanah di DIY dikuasai oleh WNI keturunan Tionghoa. Oleh karena itu Sultan (Raja) lebih mengutamakan kesejahteraan rakyat pribumi dulu, dan agar tidak terjadi kesenjangan sosial. Bahwa menurut bpk Suhartono dan bpk Raminudin meskipun telah muncul dan diberlakukan UU Kewarganeraan Indonesia yang baru (UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia), tetap saja larangan pemilikan HM atas tanah di DIY yang berlaku bagi WNI keturunan Tionghoa tersebut masih diberlakukan. Meskipun pada dasarnya tidak ada pembedaan atau penyebutan antara WNI asli (pribumi) dengan WNI keturunan Tionghoa, karena mereka sama-sama telah dianggap sebagai warga negara Indonesia. Kesamaan lainnya menurut bpk Suhartono dan bpk Raminudin adalah terkait dengan bahwa jika ada WNI keturunan Tionghoa yang memiliki HM atas tanah di DIY, maka HM atas tanah tersebut akan diturunkan statusnya menjadi HGB. Selain ada persamaan antara pendapat nara sumber, juga terdapat perbedaan pendapat yang dikemukakan oleh nara sumber, yaitu antara bpk Raminudin dengan bpk Nanang Bagus yang sama-sama berprofesi sebagai Notaris / PPAT. Bahwa menurut bpk Raminudin sering terjadi kecolongan-kecolongan WNI keturunan Tionghoa dapat memiliki HM atas tanah di DIY, dan banyak Notaris / PPAT yang banyak menolong WNI keturunan Tionghoa memiliki HM atas tanah di DIY. Sedangkan menurut bpk Nanang Bagus tidak pernah ada kecolongan WNI keturunan Tionghoa memiliki HM atas tanah di DIY, karena Notaris / PPAT tidak akan berani menolong WNI keturunan Tionghoa untuk dapat memiliki tanah dengan HM di DIY, 85

28 jika ketahuan ijin praktek Notaris / PPAT akan dicabut karena hal tersebut melanggar kode etik. 2. Pemilikan Hak Atas Tanah Oleh WNI Keturunan Tionghoa di Daerah Istimewa Yogyakarta Dengan Adanya Larangan Pemilikan Hak Milik. Selain mencari fakta terkait dengan pengaturan pertanahan di DIY, yang terdapat adanya larangan pemilikan hak milik atas tanah bagi WNI keturunan Tionghoa. Bahwa untuk mengetahui fakta yang terjadi dilapangan penulis juga melakukan penelitian terhadap beberapa WNI keturunan Tionghoa yang berdomisili di DIY dan khususnya yang mengetahui atau mengalami hubungan terkait dengan masalah larangan pemilikan HM atas tanah tersebut. Beberapa WNI keturunan Tionghoa yang berhasil diwawancara yang mengetahui atau mengalami terkait dengan masalah larangan kepemilikan HM atas tanah tersebut, diantaranya: 1. Bpk Budi Santoso 7 Beliau adalah WNI keturunan Tionghoa yang sejak tahun dari tahun 2005 tinggal dan berdomisili di DIY, yang sebelumnya tinggal dan berdomomisi di Surabaya. Beliau tinggal dan memiliki rumah di jalan Kaliurang Yogyakarta, kabupaten Sleman dengan status tanahnya HM. Bahwa awalnya rumah tersebut dikontrak oleh ayahnya yang bernama Sapto Margono yang juga sebagai warga negara suku Tionghoa yang tanahnya berstatus HGB. Tetapi tidak lama setelah pindah ke DIY, rumah tersebut dibeli dengan menggunakan atas nama ayahnya. Status tanah dari rumah tersebut yang awalnya HGB dirubah menjadi berstatus HM. Diperolehnya status HM tersebut dikarenakan Sapto Margono wajah 7 Wawancara pada tanggal 31 Oktober

BAB I PENDAHULUAN. Hlm 1. 1 Richard Edy. Aspek Legal Properti - Teori, Contoh, dan Aplikasi. C.V ANDI OFFSET, Yogyakarta 2010.

BAB I PENDAHULUAN. Hlm 1. 1 Richard Edy. Aspek Legal Properti - Teori, Contoh, dan Aplikasi. C.V ANDI OFFSET, Yogyakarta 2010. BAB I PENDAHULUAN A. ALASAN PEMILIHAN JUDUL Dalam tatanan Hukum Pertanahan Nasional, hubungan hukum antara orang, baik warga negara Indonesia (WNI) maupun warga negara asing (WNA), serta perbuatan hukumnya

Lebih terperinci

NOMOR 3 TAHUN 1984 (3/1984) PELAKSANAAN BERLAKU SEPENUHNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

NOMOR 3 TAHUN 1984 (3/1984) PELAKSANAAN BERLAKU SEPENUHNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA LEMBARAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR: 34 TAHUN 1984 SERI D ----------------------------------------------------------------- PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (PERDA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Suatu Negara dikatakan sebagai Negara berdaulat jika memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Suatu Negara dikatakan sebagai Negara berdaulat jika memiliki 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu Negara dikatakan sebagai Negara berdaulat jika memiliki wilayah, pemerintah yang berdaulat, dan warga Negara. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara yang

Lebih terperinci

BAB IV. A. Analisis Hukum Mengenai Implementasi Undang-Undang Nomor 5. Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

BAB IV. A. Analisis Hukum Mengenai Implementasi Undang-Undang Nomor 5. Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PERAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM PERALIHAN HAK ATAS TANAH TERHADAP WARGA NEGARA ASING BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan tanah untuk tempat berpijak, membangun tempat tinggal, dan

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan tanah untuk tempat berpijak, membangun tempat tinggal, dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbagai sisi kehidupan manusia bergantung pada tanah. Semua manusia membutuhkan tanah untuk tempat berpijak, membangun tempat tinggal, dan memanfaatkannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan Rijksblad Kasultanan Nomor 16 Tahun 1918 juncto Nomor 23. Tahun 1925 adalah tanah Sri Sultan sebagai penguasa Kasultanan

BAB I PENDAHULUAN. dengan Rijksblad Kasultanan Nomor 16 Tahun 1918 juncto Nomor 23. Tahun 1925 adalah tanah Sri Sultan sebagai penguasa Kasultanan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semula seluruh tanah di wilayah Yogyakarta sebelum ditetapkan dengan Rijksblad Kasultanan Nomor 16 Tahun 1918 juncto Nomor 23 Tahun 1925 adalah tanah Sri Sultan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Penelitian mengenai problematika perolehan Hak Milik atas Tanah

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Penelitian mengenai problematika perolehan Hak Milik atas Tanah 104 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian mengenai problematika perolehan Hak Milik atas Tanah bagi Warga Negara Indonesia non pribumi di Daerah Istimewa Yogyakarta ini dilakukan dengan pendekatan sejarah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mereka pergi. Dalam sejarah peradaban umat manusia, tanah merupakan faktor

BAB I PENDAHULUAN. mereka pergi. Dalam sejarah peradaban umat manusia, tanah merupakan faktor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah adalah karunia dari Tuhan yang Maha Esa kepada umat manusia dimuka bumi. Tanah menjadi kebutuhan dasar manusia. Sejak lahir sampai meninggal dunia, manusia membutuhkan

Lebih terperinci

Pertemuan ke-5 HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA

Pertemuan ke-5 HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA Pertemuan ke-5 HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA PENGERTIAN HAK PENGUASAAN ATAS TANAH Hak penguasaan atas tanah memberikan kewenangan kepada pemegang haknya untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membangun rumah dan masih banyak lagi. diundangkannya UUPA, yaitu tanggal 24 September

BAB I PENDAHULUAN. membangun rumah dan masih banyak lagi. diundangkannya UUPA, yaitu tanggal 24 September BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam hidupnya banyak bergantung pada tanah. Manusia memerlukan tanah untuk berpijak, membangun tempat tinggal, bercocok tanam, dll. Tidak hanya itu,

Lebih terperinci

AKIBAT HUKUM PERJANJIAN PEMILIKAN HAK ATAS TANAH UNTUK WARGA NEGARA ASING (WNA) DENGAN AKTA NOMINEE

AKIBAT HUKUM PERJANJIAN PEMILIKAN HAK ATAS TANAH UNTUK WARGA NEGARA ASING (WNA) DENGAN AKTA NOMINEE AKIBAT HUKUM PERJANJIAN PEMILIKAN HAK ATAS TANAH UNTUK WARGA NEGARA ASING (WNA) DENGAN AKTA NOMINEE Mohammad Anis Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Darul Ulum Lamongan Jl. Airlangga 3 Sukodadi Lamongan

Lebih terperinci

Pengertian Hak Milik Hak Milik adalah hak atas tanah yang turun temurun, terkuat dan terpenuh. Kata terkuat dan terpenuh tidak berarti bahwa hak milik itu merupakan hak yang mutlak, tidak dapat diganggu

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. dengan membuat Permohonan penetapan kepada Pengadilan Negeri. Surabaya yang isinya menyatakan bahwa benar telah didaftarkannya

BAB V PENUTUP. dengan membuat Permohonan penetapan kepada Pengadilan Negeri. Surabaya yang isinya menyatakan bahwa benar telah didaftarkannya 77 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pokok permasalahan dalam kasus ini adalah perjanjian perkawinan yang tidak berlaku terhadap pihak ketiga karena tidak tercantum dalam akta perkawinan. Tindakan hukum yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi pokok permasalahan utama. Instruksi Gubernur tersebut pada

BAB I PENDAHULUAN. menjadi pokok permasalahan utama. Instruksi Gubernur tersebut pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terbitnya Instruksi Gubernur DIY PA.VIII/No.K.898/I/A 1975 yang berisikan larangan kepemilikan bagi WNI nonpribumi / WNI keturunan menjadi pokok permasalahan utama.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pejabat berwenang, yang isinya menerangkan tentang pihak-pihak yang

BAB I PENDAHULUAN. pejabat berwenang, yang isinya menerangkan tentang pihak-pihak yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persoalan mengenai waris merupakan persoalan yang tidak dapat dilepaskan dari masalah yang terkait dengan bukti sebagai ahli waris. Bukti sebagai ahli waris

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bersangkutan, maupun dengan pihak ketiga. Pewaris adalah orang yang

BAB I PENDAHULUAN. yang bersangkutan, maupun dengan pihak ketiga. Pewaris adalah orang yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pewarisan adalah proses peralihan harta kekayaan dari seseorang yang telah meninggal dunia sebagai pemberi kepada para ahli warisnya sebagai penerima. 1 Seiring

Lebih terperinci

HAK ATAS TANAH UNTUK WARGA NEGARA ASING

HAK ATAS TANAH UNTUK WARGA NEGARA ASING HAK ATAS TANAH UNTUK WARGA NEGARA ASING MAKALAH Oleh : Hukum Agraria Dosen : FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2012 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan suatu bagian dari pemenuhan kebutuhan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan suatu bagian dari pemenuhan kebutuhan manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan suatu bagian dari pemenuhan kebutuhan manusia yang mendasar di Negara Agraris. Tidak dapat dipungkiri fenomena sengketa pertanahan dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keraton Yogyakarta menginginkan seluruh tanah Sultan Ground dapat

BAB I PENDAHULUAN. Keraton Yogyakarta menginginkan seluruh tanah Sultan Ground dapat 11 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keraton Yogyakarta menginginkan seluruh tanah Sultan Ground dapat berstatus hak milik, yang diatur dalam sebuah undang-undang sehingga akan lebih memiliki

Lebih terperinci

BAB II PROSES PELAKSANAAN PENINGKATAN STATUS TANAH DARI HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK MILIK DI PERUMNAS MARTUBUNG MEDAN

BAB II PROSES PELAKSANAAN PENINGKATAN STATUS TANAH DARI HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK MILIK DI PERUMNAS MARTUBUNG MEDAN BAB II PROSES PELAKSANAAN PENINGKATAN STATUS TANAH DARI HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK MILIK DI PERUMNAS MARTUBUNG MEDAN A. Hak Guna Bangunan Ketentuan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH ISTIMEWA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PERTANAHAN

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH ISTIMEWA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PERTANAHAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH ISTIMEWA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PERTANAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menentukan bahwa: Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 merupakan peraturan dasar bagi pembentukan

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menentukan bahwa: Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 merupakan peraturan dasar bagi pembentukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menentukan bahwa: Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai sejarah pembentukan berbeda dengan wilayah provinsi yang lain

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai sejarah pembentukan berbeda dengan wilayah provinsi yang lain BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebuah wilayah setingkat Provinsi yang mempunyai sejarah pembentukan berbeda dengan wilayah provinsi yang lain di Indonesia. Propinsi

Lebih terperinci

Bab II HAK HAK ATAS TANAH. A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA. I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas

Bab II HAK HAK ATAS TANAH. A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA. I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas Bab II HAK HAK ATAS TANAH A. Dasar Hukum Hak-Hak Atas Tanah menurut UUPA I. Pasal pasal UUPA yang menyebutkan adanya dan macamnya hak hak atas tanah adalah Pasal 4 ayat 1 dan 2, 16 ayat 1 dan 53. Pasal

Lebih terperinci

The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict

The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict Heniyatun 1 *, Puji Sulistyaningsih 2, Bambang Tjatur Iswanto 3 1,2,3 Hukum/Fakultas Hukum, *Email: heniyatun@ummgl.ac.id Keywords:

Lebih terperinci

PEMBERIAN HAK GUNA USAHA DAN HAK GUNA BANGUNAN : PROSES, SYARAT-SYARAT, HAK DAN KEWAJIBAN

PEMBERIAN HAK GUNA USAHA DAN HAK GUNA BANGUNAN : PROSES, SYARAT-SYARAT, HAK DAN KEWAJIBAN PEMBERIAN HAK GUNA USAHA DAN HAK GUNA BANGUNAN : PROSES, SYARAT-SYARAT, HAK DAN KEWAJIBAN Disampaikan pada Seminar dengan Tema HGU & HGB : Problem, Solusi dan Perlindungannya bedasarkan UU No. 25 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Sistem otonomi yang diberlakukan oleh bangsa Indonesia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Sistem otonomi yang diberlakukan oleh bangsa Indonesia merupakan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sistem otonomi yang diberlakukan oleh bangsa Indonesia merupakan bentuk pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Kewenangan berupa hak otonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era modern zaman sekarang, perdagangan tidak lagi dalam lingkup dalam negeri saja tetapi juga luar negeri. Adanya komunikasi atara warga suatu negara dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting dan paling utama. Karena pada kehidupan manusia sama sekali tidak

BAB I PENDAHULUAN. penting dan paling utama. Karena pada kehidupan manusia sama sekali tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan manusia, tanah merupakan faktor yang sangat penting dan paling utama. Karena pada kehidupan manusia sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tanah.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1961 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1961 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1961 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : perlu diadakan peraturan tentang pendaftaran tanah sebagai yang dimaksud dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat indah membuat investor asing berbondong-bondong ingin berinvestasi di

BAB I PENDAHULUAN. sangat indah membuat investor asing berbondong-bondong ingin berinvestasi di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan akan tanah saat ini sangat meningkat karena tanah tidak hanya digunakan sebagai tempat hunian tetapi juga digunakan sebagai tempat untuk membuka usaha. Banyaknya

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Pada bab ini penulis akan memberikan kesimpulan dan saran dari. Pelaksanaan Surat Edaran Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta

BAB V PENUTUP. Pada bab ini penulis akan memberikan kesimpulan dan saran dari. Pelaksanaan Surat Edaran Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta 184 BAB V PENUTUP Pada bab ini penulis akan memberikan kesimpulan dan saran dari Pelaksanaan Surat Edaran Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta PA.VIII/No.K.898/I/A 1975 tentang larangan kepemilikan tanah

Lebih terperinci

DEPARTEMEN PERTANIAN DAN AGRARIA JAKARTA

DEPARTEMEN PERTANIAN DAN AGRARIA JAKARTA DEPARTEMEN PERTANIAN DAN AGRARIA JAKARTA No : Unda.4/2/16. Lampiran : 1 (P.M.P.A. No. 2/1962). Perihal : Penjelasan Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2/1962. Tanggal 14 Agustus 1962 Kepada :

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PENINGKATAN HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK MILIK UNTUK RUMAH TINGGAL DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN SUKOHARJO

PELAKSANAAN PENINGKATAN HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK MILIK UNTUK RUMAH TINGGAL DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN SUKOHARJO PELAKSANAAN PENINGKATAN HAK GUNA BANGUNAN MENJADI HAK MILIK UNTUK RUMAH TINGGAL DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN SUKOHARJO SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

PERTEMUAN MINGGU KE-10 LANDREFORM DI INDONESIA. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA

PERTEMUAN MINGGU KE-10 LANDREFORM DI INDONESIA. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA PERTEMUAN MINGGU KE-10 LANDREFORM DI INDONESIA Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA PENGERTIAN LANDREFORM Perkataan Landreform berasal dari kata: land yang artinya tanah, dan reform yang artinya

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2009 NOMOR : 14 PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2009 NOMOR : 14 PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG LEMBARAN DAERAH KOTA CILEGON TAHUN : 2009 NOMOR : 14 PERATURAN DAERAH KOTA CILEGON NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA CILEGON,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN, PEMERINTAH KOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 05 TAHUN 2010 TENTANG RETRIBUSI PENGGANTIAN BIAYA CETAK KARTU TANDA PENDUDUK DAN AKTA PENCATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PERJANJIAN NOMINEE (PINJAM NAMA) ANTARA WARGA NEGARA INDONESIA DENGAN WARGA NEGARA ASING DALAM PRAKTIK JUAL BELI TANAH HAK MILIK

BAB III PELAKSANAAN PERJANJIAN NOMINEE (PINJAM NAMA) ANTARA WARGA NEGARA INDONESIA DENGAN WARGA NEGARA ASING DALAM PRAKTIK JUAL BELI TANAH HAK MILIK BAB III PELAKSANAAN PERJANJIAN NOMINEE (PINJAM NAMA) ANTARA WARGA NEGARA INDONESIA DENGAN WARGA NEGARA ASING DALAM PRAKTIK JUAL BELI TANAH HAK MILIK A. Proses Perjanjian Nominee (Pinjam Nama) Antara Warga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Jabatan

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Jabatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Jabatan Notaris. 1 Salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Aristoteles manusia adalah zoon politicon atau makhluk sosial.

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Aristoteles manusia adalah zoon politicon atau makhluk sosial. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Aristoteles manusia adalah zoon politicon atau makhluk sosial. Manusia tidak dapat terlepas dari interaksi dengan lingkungan dan manusia disekitarnya

Lebih terperinci

BAB III PRAKTEK PENDAFTARAN TANAH PEMELIHARAAN DATA DENGAN MENGGUNAKAN SURAT KUASA JUAL

BAB III PRAKTEK PENDAFTARAN TANAH PEMELIHARAAN DATA DENGAN MENGGUNAKAN SURAT KUASA JUAL 1 BAB III PRAKTEK PENDAFTARAN TANAH PEMELIHARAAN DATA DENGAN MENGGUNAKAN SURAT KUASA JUAL 3.1. PENGERTIAN PENDAFTARAN TANAH Secara general, pendaftaran tanah adalah suatu kegiatan administrasi yang dilakukan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA (Berita Resmi Kota Yogyakarta)

LEMBARAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA (Berita Resmi Kota Yogyakarta) LEMBARAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA (Berita Resmi Kota Yogyakarta) Nomor : 1 Tahun 200 I Seri : C ============================================================= PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA (PERDA KOTA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peningkatan Pembangunan Nasional yang berkelanjutan memerlukan dukungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan salah satu unsur yang paling penting bagi setiap manusia di dalam melangsungkan kebutuhan hidupnya. Tanah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar dan penting dalam kehidupan manusia, sehingga dalam melaksanakan aktivitas dan kegiatannya manusia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Tanah merupakan permukaan bumi yang memiliki dua dimensi dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Tanah merupakan permukaan bumi yang memiliki dua dimensi dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Tanah merupakan permukaan bumi yang memiliki dua dimensi dengan adanya dua satuan ukur yaitu panjang dan lebar. Tanpa disadari oleh manusia, tanah mempunyai

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 11 TAHUN 2002 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 11 TAHUN 2002 TENTANG PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 11 TAHUN 2002 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN KONVERSI TANAH ATAS HAK BARAT OLEH BADAN PERTANAHAN NASIONAL

BAB III PELAKSANAAN KONVERSI TANAH ATAS HAK BARAT OLEH BADAN PERTANAHAN NASIONAL BAB III PELAKSANAAN KONVERSI TANAH ATAS HAK BARAT OLEH BADAN PERTANAHAN NASIONAL A. Ketentuan Konversi Hak-Hak Lama Menjadi Hak-Hak Baru Sesuai Undang-Undang Pokok Agraria 1. Sejarah Munculnya Hak Atas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tanah Dan Pemberian Hak Atas Tanah. yaitu permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali.

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tanah Dan Pemberian Hak Atas Tanah. yaitu permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali. 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tanah Dan Pemberian Hak Atas Tanah Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan pengertian mengenai tanah, yaitu permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peningkatan pembangunan nasional yang berkelanjutan memerlukan dukungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertanian dan tanah perkebunan. Sedangkan yang digunakan untuk. bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air.

BAB I PENDAHULUAN. pertanian dan tanah perkebunan. Sedangkan yang digunakan untuk. bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah sebagai pengertian geologis-agronomis, tanah adalah lapisan lepas permukaan bumi yang paling atas. Tanah yang dimanfaatkan untuk menanami tumbuh-tumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kota Surabaya dengan luas wilayah sebesar 326,36 km² merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kota Surabaya dengan luas wilayah sebesar 326,36 km² merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota Surabaya dengan luas wilayah sebesar 326,36 km² merupakan salah satu kota yang memiliki keistimewaan dalam hal pengelolaan tanah. Diantara wilayah tersebut

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id Menimbang : a. bahwa negara

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (PERDA DIY) NOMOR : 15 TAHUN 1987 (15/1987) TENTANG USAHA PETERNAKAN

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (PERDA DIY) NOMOR : 15 TAHUN 1987 (15/1987) TENTANG USAHA PETERNAKAN PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (PERDA DIY) NOMOR : 15 TAHUN 1987 (15/1987) TENTANG USAHA PETERNAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPALA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Menimbang

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JAMINAN DALAM HUKUM POSITIF. Istilah jaminan dalam peraturan perundang-undangan dapat dijumpai

BAB II PERJANJIAN JAMINAN DALAM HUKUM POSITIF. Istilah jaminan dalam peraturan perundang-undangan dapat dijumpai BAB II PERJANJIAN JAMINAN DALAM HUKUM POSITIF G. Pengertian Perjanjian Jaminan Istilah jaminan dalam peraturan perundang-undangan dapat dijumpai pada Pasal 1131 KUHPerdata dan penjelasan Pasal 8 UUP, namun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. khususnya dalam bidang harta kekayaan menjadi pendorong tumbuh dan

BAB 1 PENDAHULUAN. khususnya dalam bidang harta kekayaan menjadi pendorong tumbuh dan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan kehidupan manusia untuk mencapai suatu tujuan ekonomi khususnya dalam bidang harta kekayaan menjadi pendorong tumbuh dan berkembangnya badan hukum.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SRAGEN, Menimbang : a. bahwa untuk memberikan perlindungan,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1957 TENTANG POKOK-POKOK PEMERINTAHAN DAERAH *) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1957 TENTANG POKOK-POKOK PEMERINTAHAN DAERAH *) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1957 TENTANG POKOK-POKOK PEMERINTAHAN DAERAH *) PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berhubung dengan perkembangan ketatanegaraan maka Undang-undang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 10 TAHUN 2001 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PENDAFTARAN DAN PENCATATAN PENDUDUK DALAM WILAYAH KABUPATEN KUTAI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 10 TAHUN 2001 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PENDAFTARAN DAN PENCATATAN PENDUDUK DALAM WILAYAH KABUPATEN KUTAI TELAH DIRUBAH/DIGANTI DENGAN PERDA NOMOR 18 TAHUN 2003 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 10 TAHUN 2001 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN PENDAFTARAN DAN PENCATATAN PENDUDUK DALAM WILAYAH KABUPATEN KUTAI

Lebih terperinci

BAB 2 ISI 2.1. Hukum Tanah Nasional

BAB 2 ISI 2.1. Hukum Tanah Nasional BAB 2 ISI 2.1. Hukum Tanah Nasional Sebelum tahun 1960, di Indonesia berlaku sistem dualisme hukum agraria yang membingungkan, dimana dalam satu waktu yang bersamaan berlaku dua perangkat hukum yang positif

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG Nomor 02 Tahun 2006 Seri C PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG PENDAFTARAN KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

JURNAL HUKUM KETENTUAN PEMBERIAN HAK ATAS TANAH KEPADA SEORANG WNI NON PRIBUMI DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DITINJAU DARI ASAS PERSAMAAN HAK

JURNAL HUKUM KETENTUAN PEMBERIAN HAK ATAS TANAH KEPADA SEORANG WNI NON PRIBUMI DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DITINJAU DARI ASAS PERSAMAAN HAK JURNAL HUKUM KETENTUAN PEMBERIAN HAK ATAS TANAH KEPADA SEORANG WNI NON PRIBUMI DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DITINJAU DARI ASAS PERSAMAAN HAK MENURUT KETENTUAN UUPA Diajukan Oleh : Astrid Paramudita Harianto

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Hak Guna Bangunan 1. Pengertian Hak Guna Bangunan Hak Guna Bangunan adalah salah satu hak atas tanah lainnya yang diatur dalam Undang Undang Pokok Agraria.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. penelitian yang dilakukan mengenai respons Etnis Tionghoa dalam menghadapi eksklusi

BAB V PENUTUP. penelitian yang dilakukan mengenai respons Etnis Tionghoa dalam menghadapi eksklusi BAB V PENUTUP A. Pengantar Pada bab ini saya akan menyimpulkan dengan menjawab rumusan masalah dari penelitian yang dilakukan mengenai respons Etnis Tionghoa dalam menghadapi eksklusi pertanahan melalui

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI PENGGANTIAN BIAYA CETAK KARTU TANDA PENDUDUK DAN AKTA CATATAN SIPIL

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI PENGGANTIAN BIAYA CETAK KARTU TANDA PENDUDUK DAN AKTA CATATAN SIPIL GAWI SABARATAAN PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 34 TAHUN 2011 TENTANG RETRIBUSI PENGGANTIAN BIAYA CETAK KARTU TANDA PENDUDUK DAN AKTA CATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARBARU,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alam yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.penggunaan tanah

BAB I PENDAHULUAN. alam yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.penggunaan tanah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Kebutuhan manusia akan tanah dimulai ketika manusia hidup sampai dengan meninggal. Di wilayah Republik Indonesia,

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM PERTANAHAN BAGI WARGA NEGARA ASING BERDASARKAN UU NOMOR 5 TAHUN 1960

POLITIK HUKUM PERTANAHAN BAGI WARGA NEGARA ASING BERDASARKAN UU NOMOR 5 TAHUN 1960 POLITIK HUKUM PERTANAHAN BAGI WARGA NEGARA ASING BERDASARKAN UU NOMOR 5 TAHUN 1960 Agus Suprijanto agussuprijanto@upgris.ac.id ABSTRAK Dalam era globalisasi, warga negara asing mempunyai peluang besar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat berbagai macam hak-hak atas tanah di atas Tanah

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA KEDIRI

PEMERINTAH KOTA KEDIRI PEMERINTAH KOTA KEDIRI SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 7 TAHUN 2009 T E N T A N G PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DAN RETRIBUSI BIAYA PELAYANAN PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum tentang Tanah Terlantar Sebagaimana diketahui bahwa negara Republik Indonesia memiliki susunan kehidupan rakyatnya termasuk perekonomiannya bercorak agraris, bumi,

Lebih terperinci

Dimyati Gedung Intan: Prosedur Pemindahan Hak Atas Tanah Menuju Kepastian Hukum

Dimyati Gedung Intan: Prosedur Pemindahan Hak Atas Tanah Menuju Kepastian Hukum PROSUDUR PEMINDAHAN HAK HAK ATAS TANAH MENUJU KEPASTIAN HUKUM Oleh Dimyati Gedung Intan Dosen Fakultas Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai ABSTRAK Tanah semakin berkurang, kebutuhan tanah semakin meningkat,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK DAN PENCATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SLEMAN, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

PEMERINTAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL PEMERINTAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDAFTARAN PENDUDUK DAN CATATAN SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GUNUNGKIDUL,

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 75 TAHUN 2011

WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 75 TAHUN 2011 SALINAN WALIKOTA SURABAYA PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 75 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF PELANGGARAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peningkatan Pembangunan Nasional yang ber-kelanjutan memerlukan dukungan

Lebih terperinci

BAB III PENUTUP. 1. Peralihan Hak Guna Bangunan (karena jual beli) untuk rumah tinggal telah

BAB III PENUTUP. 1. Peralihan Hak Guna Bangunan (karena jual beli) untuk rumah tinggal telah BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Peralihan Hak Guna Bangunan (karena jual beli) untuk rumah tinggal telah mewujudkan kepastian hukum di Kota Yogyakarta dengan melakukan pendaftaran peralihan Hak Guna Bangunan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, oleh karena itu perlindungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, oleh karena itu perlindungan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perlindungan Hukum Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila haruslah memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakatnya sesuai dengan yang tercantum dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemiliknya kepada pihak lain. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Peraturan

BAB I PENDAHULUAN. pemiliknya kepada pihak lain. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Peraturan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peralihan hak atas tanah merupakan suatu perbuatan hukum yang dilakukan dengan tujuan untuk mengalihkan hak kepemilikan atas tanah dari pemiliknya kepada pihak

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa peningkatan Pembangunan Nasional yang berkelanjutan memerlukan dukungan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 19 TAHUN 2001 TENTANG IJIN MEMAKAI TANAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN,

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 19 TAHUN 2001 TENTANG IJIN MEMAKAI TANAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN, PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 19 TAHUN 2001 TENTANG IJIN MEMAKAI TANAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN, Menimbang : a. bahwa pada dasarnya setiap penguasaan ataupun memakai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 56 TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 56 TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 56 TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perlu ditetapkan luas maksimum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraria, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling ketergantungan antara manusia yang satu dengan manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling ketergantungan antara manusia yang satu dengan manusia yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam menjalani kehidupan bermasyarakat ternyata tidak lepas untuk saling ketergantungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suatu harta yang mempunyai sifat permanent dan dapat. dicadangkan untuk kehidupan pada masa datang.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suatu harta yang mempunyai sifat permanent dan dapat. dicadangkan untuk kehidupan pada masa datang. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Persoalan tentang tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti yang sangat penting sekali oleh karena sebagian besar daripada kehidupannya adalah bergantung pada tanah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan tanah dewasa ini semakin meningkat sejalan dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan tanah dewasa ini semakin meningkat sejalan dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan tanah dewasa ini semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya kebutuhan lain yang berkaitan dengan tanah. Hubungan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2009 NOMOR 1 SERI C PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BOGOR,

Lebih terperinci

*35279 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 24 TAHUN 1997 (24/1997) TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*35279 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 24 TAHUN 1997 (24/1997) TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 24/1997, PENDAFTARAN TANAH *35279 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 24 TAHUN 1997 (24/1997) TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA. 1. Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa asli dan orang-orang bangsa lain

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA. 1. Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa asli dan orang-orang bangsa lain BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA A. PENGERTIAN DAN ASAS-ASAS KEWARGANEGARAAN. Defenisi kewarganegaraan secara umum yaitu hak dimana manusia tinggal dan menetap di suatu kawasan

Lebih terperinci

PEMANDANGAN UMUM. UUPA mulai berlaku pada tanggal 24 September Undang-undang ini

PEMANDANGAN UMUM. UUPA mulai berlaku pada tanggal 24 September Undang-undang ini PEMANDANGAN UMUM Perubahan yang revolusioner UUPA mulai berlaku pada tanggal 24 September 1960. Undang-undang ini benar-benar memuat hal-hal yang merupakan perubahan yang revolusioner dan drastis terhadap

Lebih terperinci

BAB III KEDUDUKAN HUKUM TANAH OBYEK SENGKETA Sengketa yang Timbul Sebagai Akibat dari Kelalaian dalam Proses Penerbitan Sertifikat Hak Pakai

BAB III KEDUDUKAN HUKUM TANAH OBYEK SENGKETA Sengketa yang Timbul Sebagai Akibat dari Kelalaian dalam Proses Penerbitan Sertifikat Hak Pakai 14 BAB III KEDUDUKAN HUKUM TANAH OBYEK SENGKETA 3.1. Sengketa yang Timbul Sebagai Akibat dari Kelalaian dalam Proses Penerbitan Sertifikat Hak Pakai Pentingnya kegiatan pendaftaran tanah telah dijelaskan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG. Nomor 07 Tahun 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 07 TAHUN 2010 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG. Nomor 07 Tahun 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 07 TAHUN 2010 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG Nomor 07 Tahun 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 07 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2005 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2005 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2005 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa untuk memberikan

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG LISENSI PRAMUWISATA

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG LISENSI PRAMUWISATA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG LISENSI PRAMUWISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Lebih terperinci