BAB II. Uraian Teoritis. aspek, seperti adanya keberagaman suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat dan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II. Uraian Teoritis. aspek, seperti adanya keberagaman suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat dan"

Transkripsi

1 BAB II Uraian Teoritis II.1 Hakekat Budaya dan Komunikasi Antarbudaya Masyarakat Indonesia sejak dulu sudah dikenal sangat heterogen dalam berbagai aspek, seperti adanya keberagaman suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat dan sebagainya. Di lain pihak, perkembangan dunia yang sangat pesat saat ini dengan mobilitas dan dinamika yang sangat tinggi, telah menyebabkan dunia menuju ke arah desa dunia (global village) yang hampir tidak memiliki batas-batas lagi sebagai akibat dari perkembangan teknologi modern. Oleh karenanya masyarakat (dalam arti luas) harus sudah siap menghadapi situasi-situasi baru dalam konteks keberagaman kebudayaan atau apapun namanya. Interaksi dan komunikasi harus pula berjalan satu dengan yang lainnya, adakah sudah saling mengenal atau pun belum pernah sama sekali berjumpa apalagi berkenalan. Dalam berkomunikasi dengan konteks keberagaman kebudayaan kerap kali menemui masalah atau hambatan-hambatan yang tidak diharapkan sebelumnya. Misalnya saja dalam penggunaan bahasa, lambang-lambang, nilai atau norma-norma masyarakat dan lain sebagainya. Pada hal syarat untuk terjalinya hubungan itu tentu saja harus ada saling pengertian dan pertukaran informasi atau makna antara satu dengan lainnya. Dari itu mempelajari komunikasi dan budaya merupakan satu hal yang tidak dapat dipisahkan. Komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari prilaku komunikasi dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya seperti yang dikatakan Edward T. Hall bahwa komunikasi adalah Budaya dan Budaya adalah komunikasi. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal dari suatu

2 masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasike generasi berikutnya. Pada sisi lain, budaya merupakan norma-norma atau nilai-nilai yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu. Tidak banyak orang menyadari bahwa bentuk-bentuk interaksi antarbudaya sesungguhnya secara langsung atau tidak melibatkan sebuah komunikasi. Pentingnya komunikasi antarbudaya mengharuskan semua orang untuk mengenal panorama dasardasar komunikasi antarbudaya itu. Dalam kenyataan sosial, manusia tidak dapat dikatakan berinteraksi sosial kalau dia tidak berkomunikasi. Dapat dikatakan pula bahwa interaksi antar-budaya yang efektif sangat tergantung dari komunikasi antarbudaya. Maka dari itu kita perlu tahu apa-apa yang menjadi unsur-unsur dalam terbentuknya proses komunikasi antarbudaya, yang antara lain adalah adanya komunikator yang berperan sebagai pemrakarsa komunikasi; komunikan sebagai pihak yang menerima pesan; pesan/simbol sebagai ungkapan pikiran, ide atau gagasan, perasaan yang dikirim komunikator kepada komunikan dalam bentuk simbol. Komunikasi itu muncul, karena adanya kontak, interaksi dan hubungan antar warga masyarakat yang berbeda kebudayaannya. Sehingga kebudayaan adalah komunikasi dan komunikasi adalah kebudayaan, begitulah kata Edward T. Hall. Jadi sebenarnya tak ada komunitas tanpa kebudayaan, tidak ada masyarakat tanpa pembagian kerja, tanpa proses pengalihan atau transmisi minimum dari informasi. Dengan kata lain, tidak ada komunitas, tidak ada masyarakat, dan tidak ada kebudayaan tanpa komunikasi. Di sinilah pentingnya kita mengetahui komunikasi antarbudaya itu. Menurut Alo Liliweri (pakar komunikasi antarbudaya) mengatakan bahwa sebagai bagian dari tuntutan glabalisasi yang semakin tidak terkendali seperti saat ini, mendorong kepada kita terjadinya sebuah interaksi lintas budaya, lintas kelompok, serta lintas

3 sektoral. Belum lagi perubahan-perubahan global lainnya yang semakin deras dan menjadi bukti nyata bahwa semua orang harus mengerti karakter komunikasi antarbudaya secara mendalam. Lebih lanjut, Alo Liliweri menjelaskan bahwa esensi komunikasi terletak pada proses, yakni sesuatu aktivitas yang melayani hubungan antara pengirim dan penerima pesan melampaui ruang dan waktu. Itulah sebabnya mengapa semua orang pertama-tama tertarik mempelajari komunikasi manusia (human communication), sebuah proses komunikasi yang melibatkan manusia kemarin, kini, dan mungkin di masa yang akan datang. Sedangkan budaya atau kebudayaan menurut Burnett Taylor dalam karyanya yang berjudul Primitive Culture, adalah keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat istiadat, dan setiap kemampuan lain dan kebiasaan yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota suatu masyarakat. Di samping mengetahui pengertian kebudayaan kita juga harus mengetahui unsur-unsur kebudayaan manusia yang antara lain adalah sejarah kebudayaan, identitas sosial, budaya material, peranan relasi, kesenian, bahasa dan interaksi, stabilitas kebudayaan, kepercayaan atas kebudayaan dan nilai, etnosentrisme, perilaku non-verbal, hubungan antar ruang, konsep tentang waktu, pengakuan dan ganjaran, pola pikir, dan aturan-aturan budaya. Jadi yang dimaksud dengan komunikasi antarbudaya ialah komunikasi antarpribadi yang dilakukan mereka yang berbeda latarbelakang kebudayaan. Jadi, suatu proses kumunikasi simbolik, interpretatif, transaksional, kontekstual yang dilakukan oleh sejumlah orang (karena memiliki keragaman) memberikan interpretasi dan harapan secara berbada terhadap apa yang disampaikan dalam bentuk perilaku tertentu sebagai makna yang dipertukarkan. Secara alamiah, proses komunikasi antarbudaya berakar dari relasi antarbudaya yang

4 menghendaki adanya interaksi sosial. Menurut Jackson (1967), menekankan bahwa isi (content of communication) komunikasi tidak berbeda dalam sebuah ruang yang terisolasi. Isi (content) dan makna (meaning) esensial dalam bentuk relasi (relations). Salah satu perspektif komunikasi antarbudaya menekankan bahwa tujuan komunikasi antarbudaya adalah mengurangi tingkat ketidakpastian tentang orang lain. Tingkat ketidakpastian itu akan berkurang manakala kita mampu meramalkan secara tepat proses komunikasi. Karena itu, dalam kenyataan sosial disebutkan bahwa manusia tidak dapat dikatakan berinteraksi sosial kalau dia tidak berkomunikasi. Demikian pula, dapat dikatakan bahwa interaksi antarbudaya yang efektif sangat tergantung dari komunikasi antarbudaya. Konsep ini sekaligus menerangkan bahwa tujuan komunikasi antarbudaya akan tercapai (komunikasi yang sukses) bila bentukbentuk hubungan antarbudaya menggambarkan upaya yang sadar dari peserta komunikasi untuk memperbarui relasi antara komunikator dengan komunikan, menciptakan dan memperbaharui sebuah manejemen komunikasi yang efektif, lahirnya semangat kesetiakawanan, persahabatan, hingga kepada berhasilnya pembagian teknologi, mengurangi konflik yang seluruhnya merupakan bentuk dari komunikasi antarbudaya. Karena itu, terjadinya kesenjangan dalam masyarakat seringkali disebabkan oleh datangnya perubahan dari luar. struktur sosial baru berdasarkan profesi dan fungsi yang lebih rasional mengakibatkan perubahan relasi. Dalam kaitannya dengan komunikasi antar budaya, perubahan-perubahan yang datang dari dalam maupun dari luar sangat berpengaruh terhadap perubahan relasi antar budaya. Akibat kontak, interaksi dan hibingan antar anggota masyarakat yang berbeda kebudayaannya, muncullah komunikasi antarbudaya. Dengan demikian, sebenarnya tidak ada komunitas tanpa budaya, tidak ada masyarakat tanpa pembagian kerja, tanpa proses pengalihan atau transmisi minimum dari

5 informasi. Dengan kata lain tidak ada komunitas, tidak ada masyarakat, dan tidak ada kebudayaan tanpa adanya komunikasi. Disinilah pentingnya kita mengetahui komunikasi antarbudaya. Semua fenomena itu, selain karena disebabkan perubahan yang ada, juga karena kurangnya komunikasi. Akhirnya, memerlukan sebuah komunikasi antarbudaya guna mengurangi kesalahpahaman di antara sesama manusia. Komunikasi antarbudaya terjadi ketika dua atau lebih orang dengan latar belakang budaya yang berbeda berinteraksi. Proses ini jarang berjalan dengan lancar dan tanpa masalah. Dalam kebanyakan situasi, para pelaku interaksi antarbudaya tidak menggunakan bahasa yang sama, tetapi bahasa dapat dipelajari dan masalah komunikasi yang lebih besar terjadi dalam area baik verbal maupun nonverbal. Khususnya, komunikasi nonverbal sangat rumit, multidimensional, dan biasanya merupakan proses yang spontan. Orang-orang tidak sadar akan sebagian besar perilaku nonverbalnya sendiri, yang dilakukan tanpa berpikir, spontan, dan tidak sadar (Samovar, Larry A. dan Richard E. Porter, 1994). Kita biasanya tidak menyadari perilaku kita sendiri, maka sangat sulit untuk menandai dan menguasai baik perilaku verbal maupun perilaku nonverbal dalam budaya lain. Kadang-kadang kita merasa tidak nyaman dalam budaya lain karena kita merasa bahwa ada sesuatu yang salah. Khususnya, perilaku nonverbal jarang menjadi fenomena yang disadari, dapat sangat sulit bagi kita untuk mengetahui dengan pasti mengapa kita merasa tidak nyaman. Pentingnya komunikasi antarbudaya dikarenakan interaksi sosial keseharian kita itu adalah sesuatu yang tak dapat ditolak. Di dalam percakapan biasa antara dua orang terjadi sekitar 35% komponen verbal sedangkan 65% lagi terjadi dalam komponen nonverbal (Ray L. Birdwhistell, 1969). Namun demikian, studi sistematis tentang komuniksi nonverbal telah lama diabaikan. Studi komunikasi secara tradisional menekankan pada penggunaan bahasa itu sendiri tanpa mencakup bentuk-bentuk

6 komuniksi yang lain. Sepertinya telah ada semacam praduga yang tidak beralasan mengenai bidang tersebut. Misalnya, kebanyakan program-program pengajaran bahasa asing sering mengabaikan perilaku komunikasi nonverbal. Dewasa ini, pengetahuan mengenai kebudayaan-kebudayaan asing, baik itu melalui kontak langsung maupun tidak langsung melalui media massa merupakan pengalaman umum yang semakin banyak. Namun demikian, ketidaktahuan umum akan adanya perbedaan-perbedaan antara perilaku komunikasi nonverbal mereka sendiri dengan perilaku nonverbal kebudayaan asing telah membaut orang awam berpikiran bahwa gerakan-gerakan tangan dan ekspresi wajah adalah sesuatu yang universal. Pada kenyataannya, hanya sedikit saja yang mempunyai makna universal khususnya adalah tertawa, tersenyum, tanda marah, dan menangis. Karena itulah, orang cenderung beranggapan bahwa bila mereka berada dalam suatu kebudayaan yang berbeda di mana mereka tidak mengerti bahasanya mereka mengira bisa aman dengan sekedar mengetahui gerakan-gerakan manual. Namun karena manusia memiliki pengalaman hidup yang berbeda di dalam kebudayaan yang berbeda, ia akan menginterpretasikan secara berbeda pula tanda-tanda dan simbol-simbol yang sama (Bennet, Milton J., 1998). Telah dikenal ribuan anekdot mengenai kesalahpahaman akibat komunikasi antarbudaya antara orang-orang dari budaya yang berbeda-beda. Karena besarnya jumlah pasangan budaya, dan karena kemungkinan kesalahpahaman berdasarkan bentuk verbal maupun perilaku nonverbal antara tiap pasangan budaya sama besarnya, maka terdapat banyak anekdot mengenai hal-hal tentang antarbudaya yang mungkin dibuat. Yang diperlukan adalah cara untuk mengatur dan memahami banyaknya masalah yang mungkin timbul dalam komunikasi antarbudaya. Sebagian besar perbedaan dalam komunikasi antarbudaya merupakan hasil dari keragaman dalam dimensi-dimensi berikut ini.

7 II.1.1 Keakraban dan Kebebasan Mengungkapkan Perasaan Tindakan keakraban merupakan tindakan yang secara simultan mengungkapkan kehangatan, kedekatan, dan kesiapan untuk berkomunikasi. Tindakan-tindakan itu lebih menandai pendekatan daripada penghindaran dan kedekatan daripada jarak. Contoh tindakan keakraban misalnya senyuman, sentuhan, kontak mata, jarak yang dekat, dan animasi suara. Budaya yang menunjukkan kedekatan atau spontanitas antarpersonal yang besar dinamakan budaya kontak karena orang-orang dalam negara-negara ini biasa berdiri berdekatan dan sering bersentuhan. Orang-orang dalam budaya kontak yang rendah cenderung berdiri berjauhan dan jarang bersentuhan. Sangat menarik bahwa budaya kontak tinggi biasanya terdapat di negara-negara hangat dan budaya kontak rendah terdapat di negara-negara beriklim sejuk. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa yang termasuk mempunyai budaya kontak adalah negara-negara Arab, Perancis, Yunani, Itali, Eropa Timur, Rusia, dan Indonesia. Negaranegara dengan budaya kontak rendah misalnya Jerman, Inggris, Jepang, dan Korea (Samovar, Larry A., Richard E. Porter and Lisa A. Stefani, 1998). Jelas bahwa budaya di iklim dingin cenderung berorientasi hubungan antarpersonalnya dingin, sedangkan budaya di iklim hangat cenderung berorientasi antarpersonal dan hangat. Bahkan, orang-orang di daerah hangat cenderung menunjukkan kontak fisik lebih banyak daripada orang-orang yang tinggal di daerah dingin.

8 II.1.2 Individualisme dan Kolektivisme Salah satu dimensi paling fundamental yang membedakan budaya adalah tingkat individualisme dan kolektivisme. Dimensi ini menentukan bagaimana orang hidup bersama, dan nilai-nilai mereka, dan bagaimana mereka berkomunikasi. Kajiannya tentang individualisme dalam lima puluh tiga negara, negara yang paling individualistik secara berurutan adalah Amerika, Australia, Inggris, Kanada, dan Belanda yang semuanya negara Barat atau Eropa. Negara yang paling rendah tingkat individualismenya adalah Venezuela, Kolombia, Pakistan, Peru, dan Taiwan yang semuanya budaya Timur atau Amerika Selatan. Korea berurutan ke-43 dan Indonesia berurutan ke-47. Tingkat yang menentukan suatu budaya itu individualistik atau kolektivistik mempunyai dampak pada perilaku nonverbal budaya tersebut dalam berbagai cara. Orang-orang dari budaya individualistik relatif kurang bersahabat dan membentuk jarak yang jauh dengan orang lain. Budaya-budaya kolektivistik saling tergantung, dan akibatnya mereka bekerja, bermain, tidur, dan tinggal berdekatan dalam keluarga besar atau suku. Masyarakat industri perkotaan kembali ke norma individualisme, keluarga inti, dan kurang dekat dengan tetangga, teman, dan rekan kerja mereka (Hofstede, Geert, 1980). Orang-orang dalam budaya individualistik juga lebih sering tersenyum daripada orang-orang dalam budaya yang cenderung ketimuran. Keadaan ini mungkin dapat dijelaskan dengan kenyataan bahwa para individualis bertanggungjawab atas hubungan mereka dengan orang lain dan kebahagiaan mereka sendiri, sedangkan orang-orang yang berorientasi kolektif menganggap kepatuhan pada norma-norma sebagai nilai utama dan kebahagiaan pribadi atau antarpersonal sebagai nilai kedua. Secara serupa, orang-orang dalam budaya kolektif dapat menekan penunjukan emosi baik yang positif maupun yang negatif yang bertentangan dengan keadaan dalam kelompok karena menjaga keutuhan kelompok merupakan nilai utama. Orang-orang dalam budaya individualistik didorong

9 untuk mengungkapkan emosi karena kebebasan pribadi dihargai paling tinggi. Penelitian mengenai hal tersebut mengungkapkan bahwa orang-orang dalam budaya individualistik lebih akrab secara nonverbal daripada orang-orang dalam budaya kolektif. II.2 Terjadinya Komunikasi Antarbudaya Akar dari studi komunikasi antarbudaya dapat ditemukan dari era Perang Dunia Kedua, ketika Amerika mendominasi panggung dunia. bagaimanapun, disadari pemerintah dan pebisnis bekerja melewati benua, dan berpindah-pindah dan akhirnya mereka sering menyadari perbedaan budaya yang terjadi. Kendala utama adalah bahasa, bagimana mereka harus mempersiapkan ini dan hal ini menjadi tantangan bagi komunikasi lintasbudaya yang mereka jalani. Sebagai respon, pemerintah Amerika pada tahun 1946 membangun sebuah FSI (Foreign Service Institute). FSI ini kemudian memilih Edward T. Hall dan beberpa ahli antropologi dan bahasa termasuk Ray Birdwhistell dan George Trager untuk mengurus keberangkatan dan kursus untuk para pekerja yang biasa keluar negeri. Karena bahan pelatihan antarbudaya masih jarang/langka maka mereka mengembangkan keahlian mereka sendiri. Alhasil, FSI memformulasikan cara baru untuk melihat baudaya dan komunikasi, dan lahirlah studi komunikasi antarbudaya ( Martin, Thomas, 2007:44-45) Istilah antarabudaya (interculture) pertama kali diperkenalkan oleh seorang antroplog, Edward T.Hall pada 1959 dalam bukunya The Silent Language. Karya Hall tersebut hanya menerangkan tentang keberadaab konsep-konsep unsur kebudayaan, misalnya system ekonomi, religi, sistem pengetahuan sebagaimana apa adanya. Hakikat perbedaan antarbudaya dalam proses komunikasi baru dijelaskan satu tahun setelah itu, oleh David K. Berlo mealui bukunya The Process of Communication (an introduction to theory and practice) pada tahun Dalam tulisan itu Berlo

10 menawarkan sebuah model proses komunikasi. Menurut Berlo, komuniksi akan berhasil jika manusia memperhatikan faktor-faktor SMCR yaitu : source, messege, channel, receiver. Semua tindakan komunikasi itu berasal dari konsep kebudayaan. Berlo berasumsi bahwa kebudayaan mengajarkan kepada anggotanya untuk melaksanakan tindakan itu. Berarti kontribusi latar belakang kebudayaan sangat penting terhadap perilaku komuniksi seseorang termasuk memahami makna-makna yang dipersepsi terhadap tindakan komuniksi yang bersumber dari kebudayaan yang berbeda (Liliweri, 2001:1-2). Studi komunikasi antarbudaya, menggabungkan 2 unsur yaitu budaya dan komunikasi. Hubungan antara budaya dan komunikasi begitu kompleks, perspektif dialektis mengasumsikan bahwa budaya dan komunikasi saling berhubungan dan timbal balik. Jadi, budaya mempengahui komunikasi dan sebaliknya. Menurut Burke dalam Intercultural Communication in Context, untuk itu, kelompok budaya mempengaruhi proses di mana persepsi dari realitas diciptakan dan dibangun: semua komunitas di semua tempat setiap waktu memanifestasikan pandangan mereka sendiri terhadap realitas yang mereka lakukan. Keseluruhan budaya merefleksikan model realitas kontemporer. Bagaimanapun, kita mungkin saja bisa mengatakan bahwa komunikasi membantu menciptakan realitas budaya dari suatu komunitas ( Martin & Thomas, 2007: 92). Rumusan objek formal komuniksi antarbudaya baru dipikirkan pada tahun an. Annual tentang komuniksi antarbudaya yang disponsori Speech Communication Association, terbit pertama kali tahun 1974 oleh Fred Casmir dalam The International anda Intercultural Communiction Annual. Kemudian Dan Landis menguatkan konsep komunikasi anatarbudaya dalam International Journal of Intercultural Relations pada tahun 1977.

11 Tahun 1979, Molefi Asante, Cecil Blake dan Eileen Newmark menerbitkan sebuah buku khusus membicarakan komunikasi antarbudaya, yakni The Handbook of Intercultural Communication. selanjutnya thun 1983 lahir International and Intercultural Communication Annual yang dalam setiap volumenya mulai menempatkan rubrik khusus untuk menampung tulisan tentang komunikasi antarbudaya. Edisi lain tentang komuniksi, kebudayaan, proses kerja sama antarbudaya ditulis oleh Gundykunst, Stewart dan Ting Toomey tahun 198, komunikasi anatretnik oleh Kim tahun 1986, adaptasi Lintas budaya oleh Kim dan Gundykunst tahun 1988 dan terakhir komuniksi/bahasa dan kebudayaan oleh Ting Toomey & Korzenny, tahun 1988 (Liliweri, 2001:2-3). Fokus perhatian studi komunikasi dan kebudayaan juga meliputi, bagaimana menjaga makna, pola-pola tindakan, juga tentang bagaimana makna dan pola-pola itu diartikulasikan ke dalam sebuah kelompok sosial, kelompok budaya, kelompok politik, proses pendidikan, bahkan lingkungan lingkungan teknologi yang melibtakan interaksi antarmanusia (Liliweri, 2004:10). Young Yun Kim dalam Rahardjo mengatakan, tidak seperti studi-studi komunikasi lain, maka hal yang terpenting dari komunikasi anatarbudaya yang membedakannya dari kajian keilmuan lainnya adalah tingkat perbedaan yang realatif tinggi pada latar belakang pengalaman pihak-pihak yang berkomunikasi karena adanya perbedaan kutural. Selanjtnya menurut Kim, asumsi yang mendasari batasan tentang komunikasi anatarbudaya adalah bahwa individu-individu yang memiliki budaya yang sama pada umumnya berbagi kesamaan-kesamaan (homogenitas) dalam keseluruhan latar belakang pengalaman mereak daripada orang yang berasal dari budaya yang berbeda (Rahardjo, 2005: 52-53). Selanjutanya, salah satu perspektif komunikasi antarbudaya menekankan bahwa tujuan komunikasi antarbudaya adalah mengurangi tingkat ketidakpastian tentang orang

12 lain. Gundykunst dan Kim dalam Alo Liliweri menunjukkan bahwa orang-orang yang tidak kita kenal selalu berusaha mengurangi tingkat ketidakpastian melalui peramalan yang tepat atas realsi antarpribadi. Usaha untuk mengurangi tingkat ketidakpastian itu dilakukan melalui tiga tahap interaksi, yakni: 1. pra-kontak atau tahap pembentukan kesan melalui simbol verbal maupun non verbal, 2. initial contact and impression, yakni tanggapan lanjutan atas kesan yang muncul dari kontak awal tersebut, 3. closure, mulai membuka diri ynag semual tertutup melalui atribusi dan pengembangan kepribadian implisit. Schramm dalam susanto yang dikutip dari Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, mengemukakan efektivitas komunikasi antara lain tergantung pada situasi dan hubungan sosial anatara komunikator dengan komunikan terutama dalam lingkup referensi maupn luasnya pengalaman di antara mereka ( Liliweri, 2001: 171). Sedangkan Schramm dalam Mulyana yang dikutip dari Gatra-Gatra Komunikasi menyebutkan, komunikasi antarbudaya yang benar-benar efektif harus memperhatiakn empat syarat, yaitu (1) menghormati anggota budaya lain sebagai manusia;(2) menghormati budaya lain sebagaimana apa adanya dan bukan sebagaimana yang kita kehendaki; (3) menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak; dan (4) komunikator lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang dari lain budaya. Sedangkan Devito mengemukakan beberapa faktor penentu efektivitas komunikasi antarpribadi, yakni: (1) keterbukaan; (2) empati; (3) perasaan positif; (4) dukungan; dan (5) keseimbangan ( Liliweri, 2001: 171). Beberapa ahli berusaha merumuskan kompetensi komunikasi antarbudaya, Kim menawarkan sebuah definisi detail mengenai kompetensi komuniksi anatbudaya yaitu

13 keseluruhan kapabilitas internal dari seseorang untuk menghadapi ciri-ciri dari tantangan yang sering terjadi saat komunikasi antarbudaya terjadi: yaitu, perbedaan budaya, dan ketidaksamaan, sikap inter-grup. Jadi, dari pengertian ini bisa dipahami untuk menjadi komunikator yang kompeten, kita harus memiliki kemampuan untuk menganalisis situasi dan memilih mode dari perilaku yang tepat ( Samovar, dkk, 2007: 314) Menurut Samovar, komunikator yang efektif adalah mereka yang memiliki motivasi, mempunyai kerangka pengetahuan, memiliki kemapuan komunikasi yang diperlukan, dan memiliki karakter yang baik ( Samovar, dkk, 2007: 314), sedangkan Judith N martin dan Thomas Nakayama dalam bukunya Intercultural Communication in Context merumuskan 2 komponen kompetensi yaitu komponen individu yang terdiri dari: motivasi, pengetahuan, sikap, perilaku dan kemampuan, dan komponen kontekstual yaitu melihat konteks-konteks yang dapat mempengaruhi komunikasi anatarbudaya sebagai contoh, konteks historis, konteks hubungan, konteks budaya ataupun konteks lainnya seperti gender, ras dan sebagainya ( Martin & Thomas, 2007: ). Gundykunst dan Kim juga punya pandangan sendiri sehubungan dengan kompoonen kompetensi komuniksi antarbudaya yaitu: motivasi, pengetahuan, kemampuan. Motivasi sendiri dipahami sebagai keinginan untuk berkomunikasi secara tepat dan efektif denganyang lain,dan motivasi dibagi menjadi 3 kebutuhan ynag penting yaitu, kebutuhan akan kemampuan untuk menebakperilaku orang lain, kebutuhan untuk menghindari perilaku menyebarkan kecemasan, kebutuhan untuk menopang konsep diri. Sedangkan komponen pengetahuan secara spesifik dibagi menjadi pengetahuan mengenai bagaimana mengumpulkan informasi, pengetahuan tentang perbedaan kelompok, pengetahuan akan kesamaan pribadi, pengetahuan akan interpretasi alternatif. Skill/kemampuan dimulai dari: kemampuan untuk menjadi sadar (mindful dalam komunikasi antarbudaya), kemampuan untuk mengolah kecemasan, kemampuan untuk

14 berempati, kemapuan untuk menagadaptasi perilaku, kemampuan untuk membuat penjelasan dan prediksi yang akurat (Gundykunst & Kim, 2003: ). Gundykusnt & Kim mengatakan sebenarnya bahwa paling tidak ada dua pandangan mengenai sifat kompetensi. Pandangan pertama menegaskan kompetensi seharusnya didalam diri seseorang (komunikator) sebagai kapasitas atau kapabilitas orang tersebut untuk memfasilitasi proses komunikasi antar individu yang berbeda budaya sedangkan pandangan kedua berpendapat, kompetensi harus ada pada kedua belah pihak ( Rahardjo, 2003: 72). Dalam Intercultural Communication In context, Howell menitikberatkan bahwa komunikasi anatarbudaya adalah sama, hanaya saja diperoleh melalui analisis kesadaran dan yang berada pada level teratas dari kompetensi komunikasi memerlukan kombinasi berpikir holistic dan analitik. Howell mengidentifikasikan 4 level kompetensi komunikasi antarbuadaya, unconscious incompetence, yaitu saat di mana kita tidak sadar akan perbedaan dan tidak butuh berbuat pada cara tertentu, conscious incompetence yaitu seseorang menyadari sesuatu tidak berjalan dengan baik saat interaksi tetapi mereka tidak yakin mengapa terjadi, conscious competence yaitu, seseorang sudah mulai sadar, berpikir analitik dan belajar, pada tahap ini seseorang menjalani proses menjadi seorang komunikator yang kompeten dan unconscious competence yaitu komunikasi berjalan lancar tetapi tidak dalam proses yang disadari. II.2.1 Perspektif Interpretif sebagai Pendekatan komunikasi Antarbudaya Yang juga turut mempengaruhi studi komunikasi antarbudaya adalah penelitian paradigma. Paradigma sendri secara sederhana dipahami sebagai pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh ilmu yang bersangkutan ( Purba, 2006: 16). Masing-masing paradigma

15 tentu mengasusmikan interpretasi yang berbeda mengenai realitas, perilaku manusia, budaya dan komunikasi ( Martin & Thomas, 2007: 47). Beberapa ahli komunikasi percaya bahwa ada sebuah realitas eksternal yang dapat diukur dan dipelajari, sementara yang lain percaya bahwa realitas dapat dimengerti hanya hidup dan dialami oleh individu. Pendek kata, kepercayaan dan asumsi tentang realitas mempengaruhi metode dan penemuan penelitian dan kemudian juga mempenagruhi apa yang secara tepat kita ketahui sebagai komuniksi antarbudaya. Selanjutnya, kita dapat mengidentifikasi 3 pendekatan yang masing-masing memberikan karaktersitik bagi budaya dan komunikasi. Ketiga pendekatan ini melibatkan sebuah campuran displin ilmu dan merefleksikan pandangan yangberbeda serta asumsi tntang realitas, perilaku manusia, dan cara untuk mempelajari budaya dan komunikasi. Tiga pendekatan yang mempelajari komunikasi antarbudaya adalah 1. pendekatan ilmu sosial (fungsional), 2. pendekatan interpretif, 3. pendekatan kritis. Masing-masing memberikan cara yang unik untuk memahami hubungan anatara kebudayaan dan komunikasi tetapi msing-masing memiliki keterbatasan. (Martin & Thomas, 2007: 49). Table 1. Tiga pendekatan Komunikasi Antarbudaya Ilmu Sosial Interpretif Kritis (Fungsional) Disiplin dimana Psikologi Antropologi Beragam pendekatan Sosiolinguistik ditemukan Tujuan Menjelaskan dan Menjelaskan Merubah penelitian memprediksikan perilaku perilaku perilaku Asumsi tentang Eksternal dan dapat Subjektif Subjektif dan

16 realitas dijelaskan penting Asumsi tentang perilaku manusia Dapat ditebak Kreatif dan sengaja Berubah-ubah Metode studi Survei dan observasi Observasi partisipan, lapangan studi Analisis tekstual media Hubungan antara Komunikasi Budaya Budaya adalah budaya dan dipengaruhi budaya diciptakan dan sebuah tempat komunikasi dibangun melalui dari perjuangn komuniksi kekuasaan Kontribusi dari Mengidentifikasi Menekankan Mengenali pendekatan variasi kultural ; bahwa kekuatan mengenali komunikasi dan ekonomi dan perbedaan kultural budaya dan politik dalam pada banyak aspek perbedaan kebudayaan dan komunikasi tetapi kultural dpata komunikasi; sering tidak dipelajari dalam menyatakan mempertimbangkan konteks ( Martin & Thomas, 2007: 50). konteks. bahwa interaksi antarbudaya digolongkan oleh kekuasaan. Dan untuk penelitian ini, maka perspektif/pendekatan yang tepat dan digunakan adalah perspektif interpretif. Pendekatan interpretif memperoleh masa-masa keunggulan sekitar tahun 1980an. Para peneliti dengan pendekatan ini berasumsi pendekatan ini

17 adalah tidak hanya realitas eksternal dari manusia tapi juga manusia mengkonstruksikan realitas. Mereka juga percaya bahwa pengalaman manusia, termasuk komunikasi, bersigat subjektif dan perilaku manusia tidak ada ditetapkan sebelumnya maupun diprediksi. Tujuan dari penelitian komunikasi antabudaya dengan pendekatan ini adalah untuk mengerti dan menjelaskan perilaku manusia dan memprediksi tidak menjadi tujuan ( Martin & Thomas, 2007: 56). Jadi, dengan pendekatan ini, penelitian akan fokus pada pengertian akan suatu fenomena secara subjektif dari dalam sebuah komunitas budaya tertentu, dan inilah yang disebut penelitian emik. Para peneliti akan mencoba untuk menjelaskan pola-pola atau aturan-aturan di mana individu mengikuti pada konteks yang spesifik. Penelitian akan cenderung jadi lebih tertaik untuk menjelaskan perilaku kultural dari sautu komunitas daripada melakukan perbandingan lintas budaya ( Martin & Thomas, 2007: 57). Menurut Littlejohn dalam Rahrdjo, gagasan interpretif, yaitu pemikiran-pemikiran teoritik yang berusaha menemukan makna dari suatu tindakan dan teks ( Rahardjo, 2005:41). Teori-teori dari genre interpretif ini berusaha menjelaskan suatu proses di mana pemahaman terjadai dan membuat perbedaan yang tajam antara pemahaman dengan penjelasan ilmiah. Tujuan dari interpretif bukan untuk menemukan hukum yang mengatur kejadian, tetapi berusaha mengungkap cara-cara yang dilakukan orang dalam memahami pengalaman mereka sendiri (Rahardjo, 2005:41). Dengan demikian secara operasional, pendekatan interpretif akan dipakai sebagai landasan berpikir dengan pertimbangan bahwa permasalah identitas etnik dalam komunikasi anatarbudaya merupakan hal yang dirasakan dan dialami secara subjektif oleh setipa individu/ subjek penelitian nantinya.

18 II.2.2 Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Ada beberapa faktor yang menyebabkan ketidakpastian dan kecemasan mengalami penurunan atau peningkatan dalam suatu pertemuan antarbudaya. Faktorfaktor tersebut adalah motivasi, pengetahuan dan kecakapan (Rahardjo, 2005: 69-70). Faktor-faktor tersebut disebut Gundykunst sebagai kompetensi komunikasi antarbudaya, yang secara konseptual diberi arti sebagai kecakapan-kecakapan yang dibutuhkan oleh suatu pihak untuk berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda latar belakang budaya (Rahardjo, 2005:71). Motivasi sendiri adalah dimensi paling penting dalam kompetensi komunikasi. Jika kita tidak termotivasi dalam berkomunikasi dengan orang lain maka tak akan ada gunanya kemampuan yang kita punya. Jadi secara sederhana motivasi bisa dinilai sebagai hasrat untuk membuat komitmen dalam hubungan, untuik belajar tentang diri dan orang lain, dan untuk menyisakan keluwesan (Martin & Nakayama, 2007: 435). Sedangkan pengetahuan dipahami sebagai kualitas dari pemahaman kita tentang apa yang dibutuhkan dan tindakan supaya memiliki kompetensi komunikasi antarbudaya (Rahardjo, 2005:71). Dan kecakapan sendiri menyangkut pada kinerja perilaku yang sebenarnya yang dirasakan efektif dan pantas dalam konteks komunikasi (Rahardjo, 2005:71). Berikut adalah tabel penjelasan komponen kompetensi komunikasi antarbudaya: Komponen Kompetensi Elemen Komunikasi Antarbudaya 1. Motivasi a. kebutuhan untuk memprediksi, b. kebutuhan untuk menghindari penyebaran kecemasan, dan c. kebutuhan untuk menopang konsep diri ( Gundykunst & Kim, 2003:

19 ). d. mindful terhadap ranah identitas, e. mindful terhadap kebutuhan identitas, f. mindful terhadap kecenderungan etnosentrisme (Rahardjo, 2005:76). 2. Pengetahuan a. pengetahuan tentang bagaimana mengumpulkan informasi, b. pengetahuan tentang perbedaan kelompok, c. pengetahuan tentang kesamaan personal, d. pengetahuan tentang interpretasi alternatif (Gundykunst & Kim, 2003: ). e. pengetahuan tentang nilai kultural/personal, f. pengetahuan tentang bahasa dan komunikasi verbal, g. pengetahuan tentang komunikasi non verbal, h. pengetahuan tentang batas in-group dan out-group, i. pengetahuan tentang pengembangan relasi,

20 j. manjemen konflik b. pengetahuan tentang adaptasi antarbudaya. (Rahardjo, 2005:76). 3. Kecakapan a. kemampuan untuk memberi perhatian/mengamati dan mendengarkan, b. kemampuan untuk bertoleransi pada ambiguitas, c. kemampuan dalam mengelola kecemasan, d. kemampuan berempati, e. kemampuan untuk menyesuaikan perilaku, f. kemapuan untuk memberikan ketepatan dalam memprediksi dan menjelaskan perilaku orang lain (Gundykunst & Kim, 2003: ) g. mindful dalam pengamatan, dan dalam mendengarkan, h. mampu empati verbal, i. memiliki kepekaan non-verbal, j. memiliki kecakapan menyesuaikan diri dan konflik konstrukstif k. memiliki mindful terhadap stereotip

21 (Rahardjo, 2005:76). Howell menitikberatkan bahwa komunikasi antarbudaya adalah sama, yang akan memiliki lebih dapat diperoleh melalui analisis secara sadar, dan tingkat tertinggi dari kompetensi komunikais diperoleh dari proses pemikiran yang analitik dan holistik. Howell kemudian mendefinisikan empat level kompetensi komunikasi antarbudaya yaitu: Unconcious Incompetence, Conscious Incompetence, Conscious Competence, dan Unconscious Competence (Martin & Nakayama, 2007: 443) Unconcious Incompetence terjadi apabila seseorang tidak sadar, akan perbedaan dan merasa tidak butuh berprilaku pada situasi tertentu sedangkan Conscious Incompetence terjadi pada saat seseorang telah menyadari sesuatu tidak berjalan dengan baik dalam komunikasinya tapi tidak yakin kenpa dan tidak tahu harus berbuat apa. Conscious Competence terjadi bila seseorang sudah mampu berkomunikasi dengan baik, melalui proses pemikiran analitik dan belajar, dan terus mengubah perilakunya supaya komunikasi menjadai lebih lebih efektif. Dan Unconscious Competence terjadi apabila seseorang belum menyadari bahwa komunikasinya berjalan dengan lancar dan sebenarnya dia cukup memiliki kemampuan dalam berkomunikasi (Martin & Nakayama, 2007: ). Level dari kompetensi bukanlah sesuatu yang kita dapat peroleh melalui kesadaran untuk mencobanya. Hal itu terjadi ketika bagian proses analisis dan menyeluruh (holistik) pada komunikasi digunakan secara bersama-sama. II.3 Identitas Etnis II Pengertian Identitas Etnis

22 Siapa aku? Pertanyaan ini mungkin mudah bagi seseorang dan bisa jadi sulit bagi orang lain. Identitas adalah suatu konsep yang abstrak dan beraneka ragam yang memainkan peran yang signifikan dalam seluruh interaksi komunikasi.untuk itu penting memberikan apresiasai pada apa yang membawa identitas. Dan untuk memberikan pemhaman mengenai hal tersebut, maka perlu untuk memperluas kebutuhan untuk mengerti peran dari identitas dalam masyarakat yang beragama budaya ini. Dan kebutuhan akan pemahaman perasaan tentang identitas akan terbukti sendiri. Perkembangan identitas dipertimbangkan sebagai sebuah aspek kritis bagi kebaikan/kesehatan psikologis setiap orang. Menurut Phinney dalam Samovar dkk, sebuah prinsip objektif bagi orang dalam masa-masa usia dewasa adalah pembentukan sebuah identitas dan siapa yang gagal memperoleh sebuah identitas yang tepat akan menghadapai kebingungan identitas, kekurangan kejernihan pemikiran tentang siapa mereka dan apa peran mereka dalam hidup. Pemahaman akan identitas juga sebuah aspek yang penting dalam studi dan praktik komunikasi antarbudaya. Perhatian dari studi komunikasi antarbudaya adalah bagaimana identitas mempengaruhi dan menuntun ekspektasi tentang apa peran sosial diri dan orang lain maupun menyediakan tuntunan bagi interaksi komunikasi dengan oang lain (Samovar dkk, 2007: ). Secara sederhana identitas dipahami sebagai konsep pribadi mengenai diri di dalam sebuah konteks sosial, geografik, budaya dan politik. Menurut Mathews, identitas adalah bagaimana diri menyusun dirinya sendiri dan label untuknya sendiri (Samovar dkk, 2007: 111). Tipologi identitas dalam Communication between Cultures, terbagi atas: identitas ras, identitas etnis, identitas gender, identitas nasional, identitas regional, identitas organisasi, identitas pribadi, dan identitas maya dan fantasi (Samovar dkk, 2007: 113-

23 118). Sedangkan dalam Intercultural Communicatin In contexts, identitas budaya dan sosial dibagi atas: identitas gender, identitas usia, identitas ras, identitas etnis, identitas agama, identitas kelas, identitas nasional, identitas regional, dan identitas pribadi ( Martin & Thomas, 2007: ). E. Barth dan Zastrow dalam Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, menyebutkan etnis adalah himpunan manusia karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa ataupun kombinasi dari kategori tersebut yang terikat pada sistem nilai budayanya. Sedangkan kelompok etnis merupakan konsep untuk menerangkan suatu kelompok, baik kelompok ras maupun yang bukan kelompok ras yang secara sosial dianggap berada dan telah mengembangkan subkultur sendiri. Pengertian ras dan etnis sendiri dapat dipilah dan harus dipahami bahwa etnis merupakan suatu kelompok yang terbentuk atas dasar kesamaan karakteristik yang sifatnya lebih kebudayaan daripada ras yang mengacu pada ciri-ciri ragawi (Liliweri, 2001: ). Identitas etnis sering dikaji sosiolog, antropolog, psikolog, dan sejarahwan. Para ahli meneliti asal-usul, substansi, konsekuensi dan proses etnisitas yang sedang berubah dalam berbagai komunitas. Istilah-istilah lain yang sering menjadi sinonim adalah etnisitas, dan konsep-diri kultural atau rasial. Istilah-istilah ini kadang-kadang digunakan identik atau punya makna yang sama oleh para ahli. Namun kadang-kadang konsep yang sama diartikan secara berbeda oleh para ahli. Makna konsep identitas etnis tidak selalu eksplisit dalam kajian-kajian itu. Sering ia berkelindan dengan dan atau tersirat dalam kajian tentang akulturasi, asimilasi suatu kelompok etnis (Mulyana & Jalaludin, 2005: 151). Identitas etnis sendiri sebenarnya merupakan bentuk spesifik dari identitas budaya. Ting-Toomey dalam Rahardjo, mendefinisikan identitas kultural merupakan perasaan (emotional significance) dari seseorang untuk ikut dalam memiliki (sense of

24 belonging) atau berafiliasi dengan kultur tertentu (Rahardjo,. 2005: 1-2). Sedangkan identitas etnis bisa dilihat sebagai sebuah kumpulan ide tentang satu kepemilikan keanggotaan kelompok etnis. Hal ini menyangkut beberapa dimensi: Identitas etnis sering melibatkan sebuah perasaan yang dibagi tentang asal dan sejarah, di mana mungkin mata rantai kelompok etnis pada kelompok budaya yang jauh di Asia, Eropa, Amerika Latin atau tempat lain ( Martin & Thomas, 2007:175).. Memiliki sebuah identitas etnis berarti mengalami sebuah perasaan memiliki pada suatu kelompok dan mengetahui sesuatu tentang pengalaman yang dibagi pada anggota kelompok ( Martin & Thomas, 2007:175). 1. Identifikasi diri sendiri, 2. Pengetahuan tentang budaya etnis (tradisi, kebiasaan, nilai, perilaku) 3. Perasaan mengenai kepemilikan pada kelompok etni tertentu. Bagi penduduk AS, misalnya, etnisistas adalah sebuah konsep yang speseifik dan relevan. Mereka melihat diri mereka di hubungkan pada sebuah daerah di luar AS-sebagai Mexico Amerika, Jepang Amerika dan sebagainya. Atau pada beberpa daerah yang sebelumnya ada di AS, seperti Navajo, Hopi, dan sebagainya. Sedangkan sebagian yang lain menyebutkan etnisitas adalah sebuah konsep yang samar-samar. Mereka melihat diri mereka sendiri sebagai Amerika dan menolak dugaan/ gagasan sebagai orang Amerika yang mengidentifikasi mereka tidak hanya sebagai warga AS (campuran), tapi juga sebagai anggota dari kelompok etnis, artinya mereka hanya mengakui diri mereka sebagai orang Amerika tidak sebagai Jerman Amerika dan sebagainya ( Martin & Thomas, 2007: ). Beberapa ahli menyatakan identifikasi etnis dan ras sama dan ada yang menyebutkan keduanya berbeda. Beberapa ahli menyebutkan identitas etnis dikonstruksikan oleh dirinya sendiri dan lainnya tapi identitas ras dikonstruksikan sematamata oleh dirinya ( Martin & Thomas, 2007:177).

25 Karena perbedaan antara istilah ras dan etnisitas telah tidak cukup dijelaskan dalam literatur maka variasi antara ras dan identitas etnis dapat juga jadi tidak jelas dan membingungkan. Masalah ini lebih jauh dipersulit karena orang-orang sering menggambarkan identitas etnis mereka dalam cara-cara individual yang tinggi sesuai dengan situasi dan lingkungan tertentu. Dari pandangan Samovar dkk, walaupun identitas ras dikaitkan pada warisan biologis yang menghasilkan karakteristik fisik yang sama dan dapat diidentifikasi. Etnisitas/ identitas etnis diperoleh dari sebuah perasaan yang membagi warisan, sejarah, tradisi, nilai, perilaku yang sama, daerah asal dan dalam beberapa hal membagi bahasa. Kebanyakan orang memperoleh identitas etnis mereka dari sebuah kelompok regional, misalnya Kurdi, sebuah kelompok etnis yang besar di Timur Laut Irak dengan komunitas di Turki, Iran, Syria. Pada contoh di atas, perasaan mereka pada etnisitas melebihi batas Negara dan didasari pada praktek dan kepercayaan budaya umum. (Samovar dkk, 2007: ). Selama beberapa tahun belakang ini di AS, imigran biasanya sering membuat kelompok sesuai dengan daerah tertentu, untuk membentuk komunitas etnis. Biasanya sense orang-oarng tersebut pada kelompok etnisnya tetap kuat seperti praktik budaya tradisional dan kepercayaan yang masih diikuti dan kekal (dijalankan terus menerus). Tetapi seiring waktu, anggota dari generasi muda mengalami keragaman etnis yang lebih besar dan sering menikah dengan anggota dari kelompok etnis lain. Hal ini, menimbulkan kecenderungan untuk menipiskan perasaan mereka pada identitas etnis dan hari ini, hal tersebut menjadi biasa ketika mendengar orang Amerika menjelaskan etnisitas mereka dengan sejumlah historis yang panjang mengenai etnik keluarga yang telah bergabung dari etnis lain. Yang lain bahkan sering secara sederhana mengakui diri mereka hanya sebagai orang Amerika atau Amerika kulit putih. Sering kali, mereka adalah anggota dari kelompok budaya dominan Amerika, yang semula meninggalkan tradisi religius

26 Kristen-Judeo yang berasal dari Eropa Barat, yang garis silsilah secara historis diberi ciri oleh pencampuran yang luas melalui pernikahan antar etnis selama bertahun-tahun.martin dan Nakayama menulis banyak praktik budaya yang diasosiasikan dengan warna kulit putih melebihi kesadaran partisipan, tapi tidak dapat dilihat oleh anggota kelompok budaya minoritas. Oleh karena itu, putih sering diasosiasikan dengan posisi keistimewaan (Samovar dkk, 2007: 114). II Pendekatan Subjektif terhadap Identitas Etnis Ada dua pendekatan terhadap identitas etnis yaitu pendekatan objektif (struktural) dan pendektan subjektif (fenomenologis). Jika pendekatan objektif melihat sebuah kelompok etnis sebagai kelompok yang bisa dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya berdasarkan ciri-ciri budayanya seperti bahasa, agama, atau asal-usul kebangsaan. Kontras dengan itu, perspektif subjektif merumuskan etnisitas sebagai suatu proses dalam mana orang-orang mengalami atau merasakan diri mereka sebagai bagian dari suatu kelompok etnis dan diidentifikasi demikian oleh orang lain dan memusatkan perhatiaanya pada keterikatan dan rasa memiliki yang dipersepsi kelompok etnis yang diteliti (Mulyana & Jalaludin, 2005: 152). Jadi penelitian ini menggunakan pendektan kedua yaitu pendekatan subjektif yang sejalan dengan perspektif interpretif. Pendekatan kedua menganggap etnisitas bersifat dinamik. Pendekatan subjektif (fenomenologis) terhadap identitas etnis dapat dilacak hingga ke definisi Cooley dan Mead tentang diri. Pendekatan ini mengkritik pendekatan positivistik dalam arti bahwa ia membatasi kemungkinan perilaku manusia yang dapat dipelajari. Berbeda dengan pendekatan positivistik, yang memandang individu-individu sebagai pasif dan perubahannya disebabkan kekuatan-kekuatan sosial di luar diri mereka,

27 pendekatan fenomenologis memandang manusia jauh dari pasif (Mulyana & Jalaludin, 2005: 155). Secara tradisional, etnisitas dipandang sebagai seperangkat ciri sosio-kultural yang membedakan kelompok-kelompok etnik antara yang satu dengan lainnya. Barth yang dikutip dari Komunikasi Antarbudaya menyebutkan bahwa ciri-ciri penting suatu kelompok etnis adalah askripsi yang diberikan kelompok dalam dan kelompok luar, memandang kelompok etnis sebagai suatu jenis organisasi sosial tempat para aktor menggunakan identitas-identitas etnis untuk mengkategorisasikan diri mereka dan orangorang lain untuk tujuan interaksi (Mulyana & Jalaludin, 2005: 156). Perspektif Barth akhirnya mengilhami banyak ahli untuk meneliti apa yang disebut Paden dan Cohen etnisitas situasional, yaitu bagaimana identitas etnis digunakan individu-individu dalam interaksi mereka dengan orang lain. Kajian-kajian ini menganggap identitas etnis sebagai dinamik, cair dan situasional (Mulyana & Jalaludin, 2005: 156). Pendekatan subjektif ini sejalan dengan perspektif interpretif dalam menilai identitas. Perspektif interpretif menekankan bahwa identitas bisa dirundingkan, bisa dibentuk kembali, diperkuat dan dijalani melalui komunikasi dengan yang lain: identitas (identitas etnis) muncul ketika pesan saling dipertukaran di antara orang-orang. Ini artinya bahwa menunjukkan identitas kita bukanlah sebuah proses yang sederhana. Tentu tidak setiap orang melihat kita sebagaimana kita melihat diri kita sendiri. Konsep avowal (pengakuan) dan askripsi penting untuk membantu kita memahami bagaimana kesan dapat menimbulkan konflik (Martin & Thomas, 2007: 158) Pengakuan sendiri dipahami sebagai proses di mana individu memerankan diri mereka sendiri sedangkan askripsi adalah proses di mana orang lain mengatribusikan identitas tertentu pada mereka. Identitas yang berbeda digunakan tergantung individu

28 yang terlibat dalam komunikasi. Artinya bisa saja saat kita berinteraksi dengan lawan jenis, maka identitas yang muncul adalah identitas gender dan saat kita bertemu dan berinteraksi dengan orang yang berbeda etnis, identitas yang muncul adalah identitas etnis. Intinya, perspektif interpretif beranggapan bahwa identitas dan khususnya identitas etnis diekspresikan secara komunikatif melalui core symbols, label, dan norma. Core Symbols (nilai budaya) memberitahukan tentang kepercayaan fundamental dan konsep sentral yang memberi definisi identitas tertentu, yang dibagikan di antara anggota kelompok budaya. II.3 Interaksionisme Simbolik II.3.1 Pengertian Teori Interaksionisme Simbolik Beberapa orang ilmuwan punya andil utama sebagai perintis interaksionisme simbolik: James Mark Baldwin, William James, Charles H. Cooley, John Dewey, Wiliam I.Thomas dan George Herbet Mead. Akan tetapi Mead-lah yang paling popular sebagai peletak dasar teori tersebut. Mead mengembangkan teori interaksionisme simbolik pada tahun 1920-an dan 1930-an ketika ia menjadi professor filsafat di Universitas Chicago. Namun gagasan-gagasannya mengenai interaksionisme simbolik berkembang pesat setelah para mahasiswanya menerbitkan catatan dan kuliah-kuliahnya, terutama melalui buku yang menjadi rujukan utama teori interaksi simbolik, yakni: Mind, Selg and Society (1934) yang terbit tak lama setelah Mead meninggal dunia. Penyebaran dan pengembangan teori Mead juga berlangsung melalui interpretasi dan penjabaran lebih lanjut yang dilakukan para mahasiswanya, terutama Herbert Blumer. Justru Blumer-lah yang menciptakan istilah interaksi simbolik pada tahun 1937 dan mempopulerkannya di kalangan komunitas akademik (Mulyana, 2001: 68). Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Blumer

29 mengintegrasikan gagasan-gagasan tentang interaksi simbolik lewat tulisannya, terutama pada tahun 1950-an dan 1960-an, diperkaya dengan gagasan-gagasan dari John Dewey, Wiliam I.Thomas dan Charles H. Cooley (Mulyana, 2001: 68). Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada di bawah payung perspektif yang lebih besar yang sering disebut perspektif fenomenologis atau perspektif interpretif. Maurice Natanson menggunakan istilah fenomenologis sebagai suatu istilah generik untuk merujuk kepada semua pandangan ilmu sosial yang menganggap kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial. Menurut Natanson, pandangan fenomenologis atas realitas sosial menganggap dunia intersubjektif sebagai terbentuk dalam aktivitas kesadaran yang salah satu hasilnya adalah ilmu alam. Ia mengakui bahwa George Herbert Mead, William I. Thomas, dan Charles H. Cooley, selain Mahzab Eropa yang dipengaruhi Max Weber, adalah representasi Perspektif fenomenologis ini. Bogdan dan Taylor mengemukakan bahwa dua pendekatan utama dalam tradisi fenomenologis adalah interaksionisme simbolik dan etnometodologi (Mulyana, 2001: 59). Selama dekade-dekade awal perkembangannya, teori interaksi simbolik seolaholah tetap tersembunyi di belakang dominasi teori fungsionalisme dari Talcott Parsons. Namun kemunduran fungsionalisme tahun 1950-an dan tahun 1960-an mengakibatkan interaksionisme simbolik muncul kembali ke permukaan dan berkembang pesat hingga saat ini. Selama tahun 1960-an tokoh-tokoh interaksionisme simbolik seperti Howard S.Becker dan Erving Goffman menghasilkan kajian-kajian interpretif yang menarik dan menawarkan pandangan alternative yang sangat memikat mengenai sosialisasi dan hubungan antara individu dan masyarakat (Mulyana, 2001: 59). Menurut Meltzer, sementara interaksionisme simbolik dianggap relatif homogen, sebenarnya perspektif ini terdiri dari beberapa mahzab berdasarkan akar historis dan

30 intelektual mereka yang berbeda. Aliran-aliran interaksionisme simbolik tersebut adalah Mahzab Chicago, Mahzab Iowa, Pendekatan Dramaturgis, dan Etnometodologi. Mahzab Chicago dan Mahzab Dramaturgis tampaknya memberikan pemahaman lebih lengkap mengenai realitas yang dikaji. Kedua pendekatan itu tidak hanya menganalisis kehadiran manusia di antara sesamanya, tetapi juga motif, sikap, nilai yang mereka anut dalam privasi mereka (Mulyana, 2001: 59-60). Sebagian pakar berpendapat, teori interaksionisme simbolik, khususnya dari George Herbert Mead, seperti teori etnometodologi dari Harold Garfinkel yang juga berpengaruh di Amerika, serta teori fenomenologi dari Alfred Schutz yang berpengaruh di Eropa, sebenarnya berada di bawah payung teori tindakan sosial yang dikemukakan filosof dan sekaligus sosiolog Jerman, Max Weber (Mulyana, 2001: 59-60). Sebagaimana diakui Paul Rock, interaksionisme simbolik mewarisi tradisi dan posisi intelektual yang berkembang di Eropa abad-19, meskipun interaksionisme simbolik tidak punya hak waris atasnya atau dianggap sebagai tradisi ilmiah tersendiri. Dengan kata lain, George Herbet Mead tidaklah secara harfiah mengembangkan teori Weber atau bahwa teori Mead diilhami oleh teori Weber. Hanya memang ada kemiripan dalam pemikiram kedua tokoh tersebut mengenai tindakan manusia. Pemikiran Mead sendiri diilhami beberapa pandangan filsafat, khususnya pragmatisme dan behaviorisme. Ada kemiripan antara pandangan Mead dengan pandangan Schutz. Sejumlah interaksionis memang menekankan dimensi fenomenologis dengan mensintesiskan karya mereka dengan gagasan Alfred Schutz dan para pengikutnya (Mulyana, 2001: 59-60). Weber mendefinisikan tindakan sosial sebagai semua perilaku manusia ketika dan sejauh individu memberikan suatu makna subjektif terhadap perilaku tersebut. Tindakan di sini bisa terbuka atau tersembunyi, bisa merupakan intervensi positif dalam suatu situasi atau sengaja berdiam diri sebagai tanda setuju dalam situasi tersebut.menurut

BAB II URAIAN TEORITIS. Dunia Kedua, ketika Amerika mendominasi panggung dunia. bagaimanapun,

BAB II URAIAN TEORITIS. Dunia Kedua, ketika Amerika mendominasi panggung dunia. bagaimanapun, BAB II URAIAN TEORITIS II. 1 Komunikasi Antarbudaya II. 1.1 Komunikasi Antarbudaya Akar dari studi komunikasi antarbudaya dapat ditemukan dari era Perang Dunia Kedua, ketika Amerika mendominasi panggung

Lebih terperinci

BAB II SIMBOL SIMBOL MAKNA HAUL GEORGE HERBERT MEAD. Mead. Akan tetapi Mead-lah yang paling populer sebagai perintis dasar teori

BAB II SIMBOL SIMBOL MAKNA HAUL GEORGE HERBERT MEAD. Mead. Akan tetapi Mead-lah yang paling populer sebagai perintis dasar teori 38 BAB II SIMBOL SIMBOL MAKNA HAUL GEORGE HERBERT MEAD A. Teori Interaksionisme Simbolik Beberapa orang ilmuwan punya andil utama sebagai perintis interaksionisme simbolik, diantaranya James Mark Baldwin,

Lebih terperinci

IDENTITAS ETNIS DAN KOMUNIKASI ANTARBUDAYA SKRIPSI YUANITA EVIANI BR SITEPU

IDENTITAS ETNIS DAN KOMUNIKASI ANTARBUDAYA SKRIPSI YUANITA EVIANI BR SITEPU IDENTITAS ETNIS DAN KOMUNIKASI ANTARBUDAYA (Studi Kasus Peran Identitas Etnis dalam Komunikasi Antarbudaya pada Warga Negara Amerika di Kota Medan) SKRIPSI YUANITA EVIANI BR SITEPU 100904039 UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi Antarbudaya Hal-hal yang sejauh ini dibicarakan tentang komunikasi, berkaitan dengan komunikasi antarbudaya. Fungsi-fungsi dan hubungan-hubungan antara komponen-komponen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era keterbukaan dan globalisasi yang sudah terjadi sekarang yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era keterbukaan dan globalisasi yang sudah terjadi sekarang yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Dalam era keterbukaan dan globalisasi yang sudah terjadi sekarang yang berkembang pesat ini, dunia pekerjaan dituntut menciptakan kinerja para pegawai yang baik

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Komunikasi Antarbudaya Dalam ilmu sosial, individu merupakan bagian terkecil dalam sebuah masyarakat yang di dalamnya terkandung identitas masing-masing. Identitas tersebut yang

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS. Beberapa orang ilmuwan punya andil utama sebagai perintis

BAB II URAIAN TEORITIS. Beberapa orang ilmuwan punya andil utama sebagai perintis BAB II URAIAN TEORITIS II. 1 Teori Interaksionisme Simbolik Beberapa orang ilmuwan punya andil utama sebagai perintis interaksionisme simbolik, diantaranya James Mark Baldwin, William James, Charles H.

Lebih terperinci

MODUL KOMUNIKASI ANTARBUDAYA ( 3 SKS ) Oleh : Ira Purwitasari

MODUL KOMUNIKASI ANTARBUDAYA ( 3 SKS ) Oleh : Ira Purwitasari FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA PERTEMUAN 3 MODUL KOMUNIKASI ANTARBUDAYA ( 3 SKS ) Oleh : POKOK BAHASAN Konsep Dasar Komunikasi Antarbudaya DESKRIPSI Pokok bahasan konsep dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan antar budaya telah menjadi fenomena dalam masyarakat modern, dengan WNA dari budaya barat (Sabon, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan antar budaya telah menjadi fenomena dalam masyarakat modern, dengan WNA dari budaya barat (Sabon, 2005). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkawinan antar budaya telah menjadi fenomena dalam masyarakat modern, terutama di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya Jakarta. Menurut Faradila, berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Konteks Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Konteks Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Konteks Masalah Penyesuaian diri terhadap lingkungan yang baru dijajaki merupakan proses awal untuk dapat bertahan hidup dalam sebuah lingkungan baru. Berbagai masalah-masalah akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut kodratnya manusia adalah makhluk sosial atau disebut makhluk bermasyarakat, selain itu manusia juga diberikan akal dan pikiran yang berkembang serta

Lebih terperinci

Komunikasi Bisnis Kelompok 7 1

Komunikasi Bisnis Kelompok 7 1 1.1 Pengertian Komunikasi bisnis adalah komunikasi yang digunakan dalam dunia bisnis ynag mencakup berbagai macam bentuk komunikasi baik komunikasi verbal maupun non verbal. Berikut ini merupakan beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya dan komunikasi merupakan dua hal yang kaitannya sangat erat. Seseorang ketika berkomunikasi pasti akan dipengaruhi oleh budaya asalnya. Hal tersebut juga menunjukan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian Secara sadar atau tidak setiap orang memiliki cara pandang terhadap suatu hal atau peristiwa. Begitu juga seorang peneliti dalam dirinya tentu memiliki cara pandang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS. (interpersonal communication). Diambil dari terjemahan kata interpersonal, yang

BAB II KAJIAN TEORITIS. (interpersonal communication). Diambil dari terjemahan kata interpersonal, yang BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Pengertian Komunikasi Antarpribadi Komunikasi antarpribadi disebut juga dengan komunikasi interpersonal (interpersonal communication). Diambil dari terjemahan kata interpersonal,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Istilah komunikasi bukanlah suatu istilah yang baru bagi kita. Bahkan komunikasi itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari sejarah peradaban umat manusia, dimana pesan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan sangat mendasar dalam proses belajar manusia. Manusia dibesarkan, diasuh

BAB I PENDAHULUAN. dan sangat mendasar dalam proses belajar manusia. Manusia dibesarkan, diasuh BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Komunikasi layaknya nafas kehidupan manusia. Kodratnya sebagai makhluk sosial membuatnya senantiasa berinteraksi demi pemenuhan kebutuhan dan keberlangsungan

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang Masalah

1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa adanya orang lain, maka dari itu manusia selalu berusaha berinteraksi dengan orang lain dan mencari

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS. diuraikan oleh beberapa ahli, diantaranya Fred. E. Jandt yang mengartikan

BAB II URAIAN TEORITIS. diuraikan oleh beberapa ahli, diantaranya Fred. E. Jandt yang mengartikan BAB II URAIAN TEORITIS II.1 Komunikasi Antarbudaya II.1.1 Pengertian Komunikasi Antarbudaya Terdapat beberapa pengertian komunikasi antarbudaya yang telah diuraikan oleh beberapa ahli, diantaranya Fred.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi 2.1.1 Definisi Komunikasi Ada banyak definisi tentang komunikasi yang diungkapkan oleh para ahli dan praktisi komunikasi. Akan tetapi, jika dilihat dari asal katanya,

Lebih terperinci

MODUL KOMUNIKASI ANTARBUDAYA ( 3 SKS ) Oleh : Ira Purwitasari

MODUL KOMUNIKASI ANTARBUDAYA ( 3 SKS ) Oleh : Ira Purwitasari FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA PERTEMUAN 13 MODUL KOMUNIKASI ANTARBUDAYA ( 3 SKS ) Oleh : Ira Purwitasari POKOK BAHASAN Kompetensi Komunikasi Antarbudaya DESKRIPSI Dalam modul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari seseorang melakukan komunikasi, baik

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari seseorang melakukan komunikasi, baik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari seseorang melakukan komunikasi, baik antarindividu maupun dengan kelompok. Selama proses komunikasi, komunikator memiliki peranan yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut membuat banyak orang Korea berdatangan di negara di mana mereka. satunya di Indonesia. Selain ingin melakukan perjalanan

BAB I PENDAHULUAN. tersebut membuat banyak orang Korea berdatangan di negara di mana mereka. satunya di Indonesia. Selain ingin melakukan perjalanan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemajuan industri teknologi dan bisnis Korea Selatan telah membawa Korea Selatan menjadi negara maju, salah satu dampak ekspansi industri dan teknologi tersebut

Lebih terperinci

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU BAB VI KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU Konflik merupakan sebuah fenonema yang tidak dapat dihindari dalam sebuah kehidupan sosial. Konflik memiliki dua dimensi pertama adalah dimensi penyelesaian

Lebih terperinci

I.1 Latar Belakang Masalah

I.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Setiap orang membutuhkan hubungan sosial dengan orang lain dan kebutuhan ini terpenuhi melalui pertukaran pesan yang berfungsi sebagai alat untuk mempersatukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya interaksi sosial disebabkan interkomunikasi. pengirim, dan diterima serta ditafsirkan oleh penerima.

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya interaksi sosial disebabkan interkomunikasi. pengirim, dan diterima serta ditafsirkan oleh penerima. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial, manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lainnya, ingin mengetahui lingkungan sekitarnya, bahkan ingin

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : akomodasi, jawa, batak, interaksi

ABSTRAK. Kata kunci : akomodasi, jawa, batak, interaksi ABSTRAK Judul Skripsi : Pengalaman Akomodasi Komunikasi (Kasus: Interaksi Etnis Jawa dengan Etnis Batak) Nama : Osa Patra Rikastana NIM : 14030111140104 Jurusan : Ilmu Komunikasi Geografis Indonesia yang

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL

BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Karakteristik Etnis Arab dan Etnis Sunda Kata Arab sering dikaitkan dengan wilayah Timur Tengah atau dunia Islam. Negara yang berada di wilayah Timur

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIS. a. Pengertian Komunikasi Interpersonal

BAB II KAJIAN TEORITIS. a. Pengertian Komunikasi Interpersonal BAB II KAJIAN TEORITIS A. Kajian Pustaka 1. Komunikasi Interpersonal a. Pengertian Komunikasi Interpersonal Proses komunikasi dimulai atau berawal dari sumber (source) atau pengirim pesan yaitu dimana

Lebih terperinci

Pengertian, Ruang Lingkup dan Dimensi Komunikasi Antar Budaya. Sesi - 1 Komunikasi Antar Budaya Universitas Pembangunan Jaya

Pengertian, Ruang Lingkup dan Dimensi Komunikasi Antar Budaya. Sesi - 1 Komunikasi Antar Budaya Universitas Pembangunan Jaya Pengertian, Ruang Lingkup dan Dimensi Komunikasi Antar Budaya Sesi - 1 Komunikasi Antar Budaya Universitas Pembangunan Jaya Pada situasi ini apa yang akan Anda lakukan? Ketika kita merasa tidak nyaman

Lebih terperinci

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR UMB IRA PURWITASARI S.SOS KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR UMB IRA PURWITASARI S.SOS KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA system keyakinan, nilai dan sikap, terhadap pandangan mengenai dunia dan terhadap organisasi social diantara pelaku-pelaku dari budaya yang berbeda. Seperti hambatan yang timbul oleh rangsangan dari luar

Lebih terperinci

Kecakapan Antar Personal. Mia Fitriawati, S. Kom, M.Kom

Kecakapan Antar Personal. Mia Fitriawati, S. Kom, M.Kom Kecakapan Antar Personal Mia Fitriawati, S. Kom, M.Kom Teori Interaksi Simbolik Teori Interaksi Simbolik Diperkenalkan oleh G. Herbert Mead tahun 1934 di Universitas Chicago Amerika. Menurut Mead, terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Manusia tidak mampu

BAB I PENDAHULUAN. sosial sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Manusia tidak mampu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia diciptakan sebagai makhluk multidimensional, memiliki akal pikiran dan kemampuan berinteraksi secara personal maupun sosial. Karena itu manusia disebut sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi maka pesat juga perkembangan dalam dunia mode dan fashion. Munculnya subculture seperti aliran Punk, Hippies,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Dengan adanya kemajuan teknologi dan fenomena global village yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Dengan adanya kemajuan teknologi dan fenomena global village yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Dengan adanya kemajuan teknologi dan fenomena global village yang membuat hubungan antar manusia lebih terbuka, serta arus globalisasi membuat Indonesia,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Kasoos. Untuk itu, di bawah ini akan dijelaskan secara singkat tentang apa

BAB II TINJAUAN TEORITIS. Kasoos. Untuk itu, di bawah ini akan dijelaskan secara singkat tentang apa BAB II TINJAUAN TEORITIS Tinjauan teoritis merupakan pendekatan teori yang akan digunakan untuk menjelaskan persoalan penelitian. Dalam bab II ini akan membahas pengertian mengenai komunikasi, interaksi

Lebih terperinci

TINJAUAN MATA KULIAH...

TINJAUAN MATA KULIAH... iii Daftar Isi TINJAUAN MATA KULIAH... xi MODUL 1: PARADIGMA SOSIOLOGI DAN TEORI PENDEKATANNYA 1.1 Paradigma Sosiologi dan Teori Pendekatannya... 1.3 Latihan... 1.11 Rangkuman... 1.12 Tes Formatif 1.....

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta kebiasaan dan lingkungan yang berbeda-beda, itulah yang sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. serta kebiasaan dan lingkungan yang berbeda-beda, itulah yang sebagian besar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia hidup di bumi dengan berbagai macam budaya dan kepercayaan serta kebiasaan dan lingkungan yang berbeda-beda, itulah yang sebagian besar mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sebagai manusia kita telah dibekali dengan potensi untuk saling

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sebagai manusia kita telah dibekali dengan potensi untuk saling BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai manusia kita telah dibekali dengan potensi untuk saling berkomunikasi. Manusia juga pada dasarnya memiliki dua kedudukan dalam hidup, yaitu sebagai makhluk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 14 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Komunikasi merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Menurut Effendy (2009: 5), komunikasi adalah aktivitas makhluk sosial. Dalam praktik komunikasi

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Simpulan

BAB V PENUTUP. A. Simpulan BAB V PENUTUP A. Simpulan Dari keseluruhan kajian mengenai pemikiran Kiai Ṣāliḥ tentang etika belajar pada bab-bab sebelumnya, diperoleh beberapa kesimpulan penting, terutama mengenai konstruksi pemikiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antarbudaya yang tidak terselesaikan. Dan lanjutnya, Umumnya orang menaruh

BAB I PENDAHULUAN. antarbudaya yang tidak terselesaikan. Dan lanjutnya, Umumnya orang menaruh BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah (Huntington & Harrison, 2000, hal. 227) mengatakan bahwa pada era globalisasi budaya-budaya lokal yang bersifat keetnisan semakin menguat, dan penguatan budaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perkembangan teknologi dan komunikasi yang semakin pesat menjadikan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perkembangan teknologi dan komunikasi yang semakin pesat menjadikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan teknologi dan komunikasi yang semakin pesat menjadikan interaksi antar budaya tanpa terbatas ruang dan waktu. Hal ini tentunya meningkatkan pula peluang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. program pelatihan bahasa Inggris dengan menggunakan English native teacher

BAB I PENDAHULUAN. program pelatihan bahasa Inggris dengan menggunakan English native teacher BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam era globalisasi yang tidak bisa dihindarkan pada zaman ini, kompetensi bahasa Inggris merupakan salah satu aspek penting, baik dalam kehidupan personal maupun

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Blumer dalam lingkup

BAB II URAIAN TEORITIS. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Blumer dalam lingkup BAB II URAIAN TEORITIS II.1 Teori Interaksi Simbolik II.1.1 Defenisi Teori Interaksi Simbolik Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Blumer dalam lingkup sosiologi, sebenarnya ide ini telah

Lebih terperinci

SEMINAR PSIKOLOGI TERAPAN

SEMINAR PSIKOLOGI TERAPAN Modul ke: 14Fakultas Dr. PSIKOLOGI SEMINAR PSIKOLOGI TERAPAN BAB XIII Metode Penelitian KUALITATIF Antonius Dieben Robinson Manurung, MSi Program Studi PSIKOLOGI Menurut Banister, dkk (1994) penelitian

Lebih terperinci

Perspektif dalam Ilmu Komunikasi

Perspektif dalam Ilmu Komunikasi TEORI KOMUNIKASI MODUL 4 Perspektif dalam Ilmu Komunikasi Membicarakan teori pada dasarnya membicarakan perspektif yang melatarbelakanginya. Dalam materi ini, kita menggunakan perspektif dan paradigma

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. kepada komunikannya, sehingga dapat dapat menciptakan suatu persamaan makna antara

BAB IV ANALISIS DATA. kepada komunikannya, sehingga dapat dapat menciptakan suatu persamaan makna antara BAB IV ANALISIS DATA a. Temuan Penelitian 1. Proses Komunikasi Proses komunikasi adalah bagaimana sang komunikator menyampaikan pesan kepada komunikannya, sehingga dapat dapat menciptakan suatu persamaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkomunikasi antarbudaya dengan baik. kemampuan komunikasi antarbudaya (Samovar dan Porter, 2010: 360).

BAB I PENDAHULUAN. berkomunikasi antarbudaya dengan baik. kemampuan komunikasi antarbudaya (Samovar dan Porter, 2010: 360). BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perkembangan dunia bisnis yang ada membuat banyak perusahaan asing hadir di Indonesia. Berbagai perusahaan yang bergerak di bidang seperti telekomunikasi, transportasi,

Lebih terperinci

Menurut penerbitnya, buku Studying Christian Spirituality ini adalah

Menurut penerbitnya, buku Studying Christian Spirituality ini adalah Tinjauan Buku STUDYING CHRISTIAN SPIRITUALITY Jusuf Nikolas Anamofa janamofa@yahoo.com Judul Buku : Studying Christian Spirituality Penulis : David B. Perrin Tahun Terbit : 2007 Penerbit : Routledge -

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fenomena gegar budaya atau biasa dikenal dengan culture shock sering kali dialami oleh individu ketika mereka memasuki budaya baru. Ketika memasuki budaya

Lebih terperinci

BAB II INTERAKSIONALISME SIMBOLIK-GEORGE HERBERT MEAD. interaksi. Sebagaimana interaksi social itu sendiri dipandang sebagai tindakan

BAB II INTERAKSIONALISME SIMBOLIK-GEORGE HERBERT MEAD. interaksi. Sebagaimana interaksi social itu sendiri dipandang sebagai tindakan 33 BAB II INTERAKSIONALISME SIMBOLIK-GEORGE HERBERT MEAD Kehidupan social itu sendiri tidak pernah terlepas dari adanya sebuah interaksi. Sebagaimana interaksi social itu sendiri dipandang sebagai tindakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencari dan menemukan pasangan hidup yang akhirnya akan. (Huvigurst dalam Hurlock, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. mencari dan menemukan pasangan hidup yang akhirnya akan. (Huvigurst dalam Hurlock, 2000). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setiap individu memiliki salah satu tugas perkembangan untuk mencari dan menemukan pasangan hidup yang akhirnya akan mengarahkan individu tersebut untuk melangsungkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal

BAB I PENDAHULUAN. Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Komunikasi memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan manusia karena komunikasi merupakan alat manusia untuk saling berinteraksi satu sama lain. Manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN. kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia sebagai suatu negara multikultural merupakan sebuah kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai etnik yang menganut

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA DATA. A. Temuan Penelitian. Temuan penelitian berupa data lapangan yang diperoleh melalui

BAB IV ANALISA DATA. A. Temuan Penelitian. Temuan penelitian berupa data lapangan yang diperoleh melalui BAB IV ANALISA DATA A. Temuan Penelitian Temuan penelitian berupa data lapangan yang diperoleh melalui penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Ini sangat diperlukan sebagai hasil pertimbangan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Komunikasi sebagai proses pertukaran simbol verbal dan nonverbal antara pengirim dan penerima untuk merubah tingkah laku kini melingkupi proses yang lebih

Lebih terperinci

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES ASIMILASI PERNIKAHAN JAWA DAN MINANGKABAU

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES ASIMILASI PERNIKAHAN JAWA DAN MINANGKABAU KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES ASIMILASI PERNIKAHAN JAWA DAN MINANGKABAU (Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pernikahan Jawa dan Minangkabau) NASKAH PUBLIKASI

Lebih terperinci

Sugeng Pramono Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Komunikasi dan Informatika Universitas Muhammadiyah Surakarta

Sugeng Pramono Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Komunikasi dan Informatika Universitas Muhammadiyah Surakarta 74 Komuniti, Vol. VII, No. 2, September 2015 CULTURE SHOCK SANTRI LUAR JAWA DI LINGKUNGAN PONDOK PESANTREN DI JAWA (STUDI DESKRIPTIF KUALITATIF CULTURE SHOCK SANTRI ETNIS LUAR JAWA DENGAN SANTRI ETNIS

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. Analisis data merupakan proses pengaturan data penelitian, yakni

BAB IV ANALISIS DATA. Analisis data merupakan proses pengaturan data penelitian, yakni BAB IV ANALISIS DATA Analisis data merupakan proses pengaturan data penelitian, yakni peorganisasin data kedalam pola-pola yang saling berhubungan, serta setiap kategori maupun sistem yang ada. Pada tahap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. timur dunia. Kebudayaan barat memang sudah tidak asing lagi dan sudah lebih

BAB I PENDAHULUAN. timur dunia. Kebudayaan barat memang sudah tidak asing lagi dan sudah lebih 1 BAB I PENDAHULUAN 1 Latar belakang Banyak kebudayaan asing yang masuk ke Indonesia dan dijadikan trend bagi masyarakat Indonesia. Kebudayaan yang masuk pun datang dari barat dan timur dunia. Kebudayaan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 13 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Motivasi kerja 1. Pengertian motivasi kerja Menurut Anoraga (2009) motivasi kerja adalah sesuatu yang menimbulkan semangat atau dorongan kerja. Oleh sebab itu, motivasi kerja

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. pada orang tua dengan anak dan berdasarkan data-data yang telah. disajikan dalam Bab III didapatkan, sebagai berikut:

BAB IV ANALISIS DATA. pada orang tua dengan anak dan berdasarkan data-data yang telah. disajikan dalam Bab III didapatkan, sebagai berikut: 74 BAB IV ANALISIS DATA A. Temuan Penelitian Dari hasil penelitian yang dilakukan di keluarga Bapak Mardianto, pada orang tua dengan anak dan berdasarkan data-data yang telah disajikan dalam Bab III didapatkan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman budaya, adat istiadat, bahasa dan sebagainya. Setiap daerah pun

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman budaya, adat istiadat, bahasa dan sebagainya. Setiap daerah pun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat unik dengan berbagai keanekaragaman budaya, adat istiadat, bahasa dan sebagainya. Setiap daerah pun memiliki

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik

BAB II KAJIAN PUSTAKA. gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Konsep Kesenian Sebagai Unsur Kebudayaan Koentjaraningrat (1980), mendeskripsikan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Telaah Pustaka 1. Pengetahuan Komunikasi Notoatmodjo (2012) mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tergantung pada konteks dan situasi. Untuk memahami makna dari

BAB I PENDAHULUAN. tergantung pada konteks dan situasi. Untuk memahami makna dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam komunikasi, sering sekali muncul berbagai macam penafsiran terhadap makna sesuatu atau tingkah laku orang lain. Penafsiran tersebut, tergantung pada konteks dan

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Penelitian ini mengacu pada bagaimana analisis pengaruh budaya organisasi, kompetensi karyawan dan komitmen organisasi terhadap kinerja karyawan. 2.1.1 Budaya Organisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Manusia adalah mahluk sosial budaya yang memperoleh perilakunya

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Manusia adalah mahluk sosial budaya yang memperoleh perilakunya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia adalah mahluk sosial budaya yang memperoleh perilakunya melalui belajar. Dari semua aspek belajar manusia, komunikasi merupakan aspek terpenting dan paling

Lebih terperinci

SOSIOLOGI KOMUNIKASI

SOSIOLOGI KOMUNIKASI Modul ke: SOSIOLOGI KOMUNIKASI TEORI-TEORI SOSIOLOGI KOMUNIKASI Fakultas Ilmu Komunikasi Rika Yessica Rahma,M.Ikom Program Studi Penyiaran www.mercubuana.ac.id TEORI TEORI SOSIOLOGI KOMUNIKASI TEORI STRUKTURAL

Lebih terperinci

Selayang Pandang Penelitian Kualitatif

Selayang Pandang Penelitian Kualitatif Selayang Pandang Penelitian Kualitatif Mudjia Rahardjo repository.uin-malang.ac.id/2412 Selayang Pandang Penelitian Kualitatif Mudjia Rahardjo Setelah sebelumnya dipaparkan sejarah ringkas penelitian kuantitatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia terkenal dengan keragaman budayanya. Ragam budaya yang terdapat di Indonesia memiliki nilai-nilai budaya yang tinggi di tiap-tiap penganutnya.

Lebih terperinci

MODUL KOMUNIKASI ANTARBUDAYA ( 3 SKS ) Oleh : Ira Purwitasari

MODUL KOMUNIKASI ANTARBUDAYA ( 3 SKS ) Oleh : Ira Purwitasari FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA PERTEMUAN 2 MODUL KOMUNIKASI ANTARBUDAYA ( 3 SKS ) Oleh : POKOK BAHASAN Subjek, Wilayah dan Fokus Kajian Komunikasi Antarbudaya DESKRPISI Dalam

Lebih terperinci

SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN

SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN Pada hakekatnya manusia merupakan mahluk sosial. Hal ini dapat dilihat dari kehidupannya yang senantiasa menyukai dan membutuhkan kehadiran manusia lain. Manusia memiliki

Lebih terperinci

Budaya dan Komunikasi 1

Budaya dan Komunikasi 1 Kejujuran berarti integritas dalam segala hal. Kejujuran berarti keseluruhan, kesempurnaan berarti kebenaran dalam segala hal baik perkataan maupun perbuatan. -Orison Swett Marden 1 Memahami Budaya dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengubah atau mengembangkan karakter individu. Karakter yang dimaksud

BAB I PENDAHULUAN. mengubah atau mengembangkan karakter individu. Karakter yang dimaksud BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan kegiatan yang esensial didalam setiap kehidupan masyarakat. Pendidikan tidak mungkin terjadi atau terlepas dari kehidupan bermasyarakat. Oleh karena

Lebih terperinci

Komunikasi: Suatu Pengantar. Tine A. Wulandari, M.I.Kom.

Komunikasi: Suatu Pengantar. Tine A. Wulandari, M.I.Kom. Komunikasi: Suatu Pengantar Tine A. Wulandari, M.I.Kom. Berbagai Kekeliruan dalam Memahami Komunikasi Tidak ada yang sukar tentang komunikasi. Komunikasi adalah kemampuan alamiah; setiap orang mampu melakukannya.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. maupun mempaparkan dua konsep diantaranya definisi yang berkaitan erat

BAB II KAJIAN TEORI. maupun mempaparkan dua konsep diantaranya definisi yang berkaitan erat BAB II KAJIAN TEORI A. KAJIAN PUSTAKA Dalam kajian pustaka ini penulis ataupun peneliti akan menjabarkan maupun mempaparkan dua konsep diantaranya definisi yang berkaitan erat dengan judul, tema, dan fokus

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Judi Perjudian adalah permainan di mana pemain bertaruh untuk memilih satu pilihan di antara beberapa pilihan dimana hanya satu pilihan saja yang benar dan menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Komunikasi- sebagai sebuah proses pertukaran simbol verbal dan

BAB I PENDAHULUAN. Komunikasi- sebagai sebuah proses pertukaran simbol verbal dan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Komunikasi- sebagai sebuah proses pertukaran simbol verbal dan nonverbal antara pengirim dan penerima untuk merubah tingkah laku- kini melingkupi proses yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 16 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma/Perspektif Kajian Paradigma menurut Harmon (dalam Moleong, 2004: 49) adalah cara mendasar untuk mempersepsikan, berpikir, menilai dan melakukan yang berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda budaya. Bahasa Indonesia bukanlah bahasa pidgin dan bukan juga bahasa

BAB I PENDAHULUAN. berbeda budaya. Bahasa Indonesia bukanlah bahasa pidgin dan bukan juga bahasa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia dikenal sebagai bangsa besar dengan masyarakat dan bahasa yang beragam. Di antara keragaman itu, bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional yang digunakan

Lebih terperinci

TEORI SOSIOLOGI KONTEMPORER

TEORI SOSIOLOGI KONTEMPORER TEORI SOSIOLOGI KONTEMPORER Silabus Semester Genap 2013-2014 Dosen : Amika Wardana, Ph.D. Email : a.wardana@uny.ac.id Jurusan Pendidikan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta S I

Lebih terperinci

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR UMB IRA PURWITASARI S.SOS KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA

PUSAT PENGEMBANGAN BAHAN AJAR UMB IRA PURWITASARI S.SOS KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA Akulturasi merupakan proses social yang timbul apabila sekelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsure-unsur dari suatu kebudayaan asing sehingga unsure-unsur asing itu lambat

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORITIS

BAB II KERANGKA TEORITIS BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1 Proses Komunikasi 2.1.1 Pengertian Proses Komunikasi Proses komunikasi adalah bagaimana komunikator menyampaikan pesan kepada komunikannya sehingga dapat menciptakan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunikasi yang dilakukan oleh manusia merupakan suatu proses yang melibatkan individu dalam suatu hubungan, kelompok, organisasi dan masyarakat yang merespon dan menciptakan

Lebih terperinci

DASAR-DASAR MIKRO BAGI SOSIOLOGI MAKRO

DASAR-DASAR MIKRO BAGI SOSIOLOGI MAKRO DASAR-DASAR MIKRO BAGI SOSIOLOGI MAKRO by Stephen K. Sanderson KETERKAITAN antara sosiologi mikro dengan sosiologi makro akhir-akhir ini banyak menarik perhatian para sosiolog dari berbagai aliran. Untuk

Lebih terperinci

MENDEFINISIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL. Oleh. Sudrajat. Mahasiswa Prodi Pendidikan IPS PPS Universitas Negeri Yogyakarta

MENDEFINISIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL. Oleh. Sudrajat. Mahasiswa Prodi Pendidikan IPS PPS Universitas Negeri Yogyakarta MENDEFINISIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL Oleh Sudrajat Mahasiswa Prodi Pendidikan IPS PPS Universitas Negeri Yogyakarta A. Muqadimah Bagi kebanyakan siswa IPS merupakan mata pelajaran yang membosankan. Mereka

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan 116 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Dari hasil analisis semiotika dengan unsur tanda, objek, dan interpretasi terhadap video iklan pariwisata Wonderful Indonesia episode East Java, serta analisis pada tiga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Komunikasi merupakan aktivitas makhluk sosial. Menurut Carl I. Hovland (dalam Effendy, 2006: 10) komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang lain. Dalam praktik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide,

BAB I PENDAHULUAN. Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain. Pada umumnya, komunikasi dilakukan secara lisan atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Transkultural Nursing bermanfaat untuk membekalkan perawat agar. mampu memberikan minat terhadap perbedaan kultur dan membuat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Transkultural Nursing bermanfaat untuk membekalkan perawat agar. mampu memberikan minat terhadap perbedaan kultur dan membuat 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Budaya Transkultural Nursing bermanfaat untuk membekalkan perawat agar mampu memberikan minat terhadap perbedaan kultur dan membuat perbedaan tersebut

Lebih terperinci

HAKIKAT PESAN DALAM KOMUNIKASI Danus Ardiansah 5F31 B

HAKIKAT PESAN DALAM KOMUNIKASI Danus Ardiansah 5F31 B HAKIKAT PESAN DALAM KOMUNIKASI Danus Ardiansah 5F31 B06210003 Komunikasi dalam kehidupan manusia terasa sangat penting, karena dengan komunikasi dapat menjembatani segala bentuk ide yang akan disampaikan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Gambaran Model Konseptual Keperawatan Menurut Imogene M. King

PEMBAHASAN Gambaran Model Konseptual Keperawatan Menurut Imogene M. King PEMBAHASAN Gambaran Model Konseptual Keperawatan Menurut Imogene M. King Imogene M. King mengawali teori ini melalui studi literatur dalam keperawatan, ilmu-ilmu perilaku terapan, diskusi dengan beberapa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUN PUSTAKA. socialnya (action theory), yaitu mengenai tindakan yang dilakukan seseorang

BAB II TINJAUN PUSTAKA. socialnya (action theory), yaitu mengenai tindakan yang dilakukan seseorang BAB II TINJAUN PUSTAKA 2.1 Teori Interaksi Simbolik Untuk mempelajari interaksi sosial digunakan suatu pendekatan yang di kenal dengan pendekatan interaksional simbolik. Salah satu tokoh pelopor teori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Pendidikan didefinisikan sebagai alat untuk memanusiakan manusia dan juga

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Pendidikan didefinisikan sebagai alat untuk memanusiakan manusia dan juga BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan didefinisikan sebagai alat untuk memanusiakan manusia dan juga sebagai alat mobilitas vertikal ke atas dalam golongan sosial. Konsep mengenai pendidikan

Lebih terperinci

BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU

BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN SOSIOLOGI BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU ALI IMRON, S.Sos., M.A. Dr. SUGENG HARIANTO, M.Si. KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT

Lebih terperinci

Materi 10 Organizing/Pengorganisasian: Manajemen Team

Materi 10 Organizing/Pengorganisasian: Manajemen Team Materi 10 Organizing/Pengorganisasian: Manajemen Team Anda mungkin memiliki banyak pengalaman bekerja dalam kelompok, seperti halnya tugas kelompok, tim olahraga dan lain sebagainya. Kelompok kerja merupakan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. dijadikan sebagai suatu temuan penelitian yang akan mengupas

BAB IV ANALISIS DATA. dijadikan sebagai suatu temuan penelitian yang akan mengupas BAB IV ANALISIS DATA Salah satu proses analisis data ini telah dikembangkan lebih lanjut yang materinya diambil dari hasil deskripsi data penelitian untuk nantinya dijadikan sebagai suatu temuan penelitian

Lebih terperinci

Tes Inventori. Pengertian, Kegunaan dan Metode Tes Kepribadian MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi TatapMuka Kode MK DisusunOleh 07

Tes Inventori. Pengertian, Kegunaan dan Metode Tes Kepribadian MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi TatapMuka Kode MK DisusunOleh 07 MODUL PERKULIAHAN Tes Inventori Pengertian, Kegunaan dan Metode Tes Kepribadian Fakultas Program Studi TatapMuka Kode MK DisusunOleh Psikologi Psikologi 07 A61616BB Riblita Damayanti S.Psi., M.Psi Abstract

Lebih terperinci