ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN"

Transkripsi

1 ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

2 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis dan Strategi Pemanfaatan Ruang di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, November 2005 SANUDIN NIM. A

3 ABSTRAK SANUDIN. Analisis dan Strategi Pemanfaatan Ruang di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Dibimbing oleh SANTUN R.P. SITORUS DAN BABA BARUS. Berdasarkan RTRW Kabupaten dan kondisi faktual yang ada di Kabupaten Ciamis terdapat indikasi penyimpangan pemanfaatan ruang dari rencana tata ruang. Penyimpangan pemanfaatan ruang dari rencana tata ruang dikhawatirkan dapat menghambat optimalisasi pemanfaatan ruang sehingga tujuan penataan ruang tidak tercapai. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kesesuaian penggunaan lahan saat ini dibandingkan dengan kesesuaian lahannya, menganalisis kesesuaian pemanfaatan ruang saat ini terhadap rencana tata ruang, dan merumuskan arahan strategi dalam penyempurnaan rencana tata ruang. Untuk itu dilakukan analisis kesesuaian lahan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan analisis strategi terpadu menggunakan analisis Strengths Weakness Opportunities Threats (SWOT) dan teknik Interpretative Structural Modelling (ISM). Hasil menunjukkan bahwa fungsi kawasan hutan saat ini sebagian besar sudah sesuai dengan peruntukannya, sedangkan untuk sawah dan pemukiman hanya sebagian kecil yang sudah sesuai dengan kesesuaian lahannya. Penggunaan lahan saat ini sebagian besar sudah sesuai dengan rencana tata ruang kecuali terdapat penyimpangan dimana dimana 23,5 ha kawasan pariwisata digunakan untuk pertanian lahan basah, 331,7 ha kawasan hutan konservasi, 160,2 ha kawasan pariwisata, dan 357,6 ha pertanian lahan basah digunakan untuk pemukiman. Kegiatan pemanfaatan ruang di Kabupaten Ciamis mempunyai situasi yang menguntungkan karena mempunyai kekuatan dan peluang sehingga strategi yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan kekuatan yang dimiliki dengan memanfaatkan peluang. Kekayaan sumberdaya alam dan adanya otonomi daerah merupakan kekuatan dan peluang utama yang harus diperhatikan dalam kegiatan pemanfaatan ruang di Kabupaten Ciamis.

4 ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Perencanaan Wilayah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

5 Judul Tesis : Analisis dan Strategi Pemanfaatan Ruang di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat Nama : Sanudin NIM : A Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus Ketua Dr. Baba Barus M.Sc. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, M.Sc. Tanggal Ujian : 18 November 2005 Tanggal Lulus : 20 Januari 2006

6 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-nya sehingga tesis dengan judul Analisis dan Strategi Pemanfaatan Ruang di Kabupaten Ciamis dapat diselesaikan. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Prof. Dr. Ir. Santun R.P Sitorus dan Dr. Baba Barus, M.Sc. sebagai ketua dan anggota komisi pembimbing atas bimbingan, kesabaran, saran dan kesempatan yang diberikan dan Dr. Ir. Atang Sutandi, MSi sebagai penguji luar komisi. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Pusbindiklatren Bappenas yang telah membantu pembiayaan selama kuliah dan instansi terkait di Kabupaten Ciamis yang telah banyak membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada istri dan anak tercinta atas pengertian, perhatian, pengorbanan, dorongan moril dan spirituil, doa, kasih sayang dan kesabarannya dan kepada ayah, ibu (Alm), serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, November 2005 Sanudin

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Majalengka pada tanggal 21 September 1977 sebagai anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Askadi dan ibu Awijah (Alm). Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri Talaga, Majalengka dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Penulis bekerja sebagai peneliti di Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sumatera di Pematangsiantar sejak tahun Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab peneliti ialah sosial ekonomi kehutanan. Pada tahun 2004, penulis menikah dengan Eva Fauziah, S.Hut dan dikarunia seorang putra Perdana Yazid Lazuardi. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Program Studi Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana IPB dengan beasiswa pendidikan dari Pusbindiklatren Bappenas.

8 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xii PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 2 Tujuan Penelitian... 3 Manfaat Penelitian... 3 TINJAUAN PUSTAKA Evaluasi Kesesuaian Lahan... 4 Penataan Ruang... 5 Sistem Informasi Geografis... 9 Analisis SWOT Model Interpretasi Struktural METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Tempat dan Waktu Penelitian Pengumpulan dan Analisis Data Penentuan Lokasi dan Pemilihan Responden Pengumpulan Data Analisis Data KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Geografi Luas Wilayah dan Penggunaan Lahan Topografi dan Kelerengan Geologi dan Jenis Tanah Hidrologi Iklim Demografi Sosial dan Ekonomi HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kesesuaian Lahan Penggunaan Lahan Saat Ini Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Ciamis Tahun Analisis Strategis Analisis Struktural SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 98

9 DAFTAR TABEL Halaman 1. Jenis, Sumber, Cara Pengumpulan dan Analisis Data Berdasarkan Tujuan yang Dicapai Jenis dan Sumber Data yang Digunakan Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) Matriks Eksternal Factor Evaluation (EFE) Matriks SWOT Keterkaitan Antar Sub Elemen Pada Teknik ISM Komposisi Penggunaan Lahan Tahun Jumlah Penduduk dari Tahun 1993 Sampai dengan Jumlah Pencari Kerja Menurut Tingkat Pendidikan Tahun Luasan Masing-masing Kategori Kawasan Lindung Fungsi Hutan pada Masing-Masing Kategori Kawasan Hutan Saat Ini Perbandingan Luasan Fungsi Hutan Menurut Hasil Analisis SIG dan Perhutani Jenis Penggunaan Lahan Berdasarkan Hasil Klasifikasi Citra Landsat Penggunaan Lahan pada Kawasan Lindung Kawasan Lindung menurut RTRW Kawasan Budidaya menurut RTRW Peubah-peubah Unsur Kekuatan dan Nilai Pengaruhnya Peubah-peubah Unsur Kelemahan dan Nilai Pengaruhnya Peubah-peubah Unsur Peluang dan Nilai Pengaruhnya Peubah -peubah Unsur Ancaman dan Nilai Pengaruhnya Matriks SWOT Pemanfaatan Ruang di Kabupaten Ciamis Reachability Matrix dan Interpretasinya untuk Elemen Kebutuhan dari Program Reachability Matrix dan Interpretasinya untuk Elemen Kendala Utama Reachability Matrix dan Interpretasinya untuk Elemen Perubahan yang Dimungkinkan... 81

10 26. Reachability Matrix dan Interpretasinya untuk Elemen Tujuan dari Program Reachability Matrix dan Interpretasinya untuk Elemen Tolok Ukur untuk menilai Tujuan... 88

11 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka Pemikiran Diagram SWOT Diagram Teknik ISM Lokasi Penelitian Kelas Lereng Jenis Tanah Ketersediaan Air Curah Hujan Kepadatan Penduduk Tahun Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Lindung Kesesuaian Lahan untuk Fungsi Hutan Kawasan Hutan saat Ini Fungsi Hutan Hasil Analisis dan Kawasan Hutan Saat Ini Kesesuaian Lahan untuk Sawah Tadah Hujan Tanpa Irigasi Kesesuaian Lahan untuk Pemukiman Penggunaan Lahan Saat Ini Penggunaan Lahan pada Kawasan Lindung Kesesuaian Lahan Sawah Tadah Hujan Tanpa Irigasi dan Penggunaan Lahan Kesesuaian Lahan Pemukiman dan Penggunaan Lahan Kawasan Lindung menurut RTRW Kawasan Budidaya menurut RTRW RTRW dan Penggunaan Lahan Hasil Analisis Strategis terhadap Pemanfaatan Ruang di Kabupaten Ciamis Diagram SWOT Pemanfaatan Ruang di Kabupaten Ciamis Matriks Driver-power Dependence untuk Elemen Kebutuhan dari Program Diagram Model Struktural untuk Elemen Kebutuhan dari Program Matriks Driver-power Dependence untuk Elemen Kendala Utama Diagram Model Struktural untuk Elemen Kendala Utama... 80

12 29. Matriks Driver power- Dependence untuk Elemen Perubahan yang Dimungkinkan Diagram Model Struktural untuk Elemen Perubahan yang Dimungkinkan Tujuan dari Program Matriks Driver-power Dependence untuk Elemen Tujuan dari Program Diagram Model Struktural untuk Elemen Tujuan dari Program Matriks Driver-power Dependence untuk Elemen Tolok Ukur untuk Menilai Tujuan Diagram Model Struktural untuk Elemen Tolok Ukur untuk Menilai Tujuan Model Struktural Pemanfaatan Ruang di Kabupaten Ciamis... 90

13 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Skor untuk Penentuan Fungsi Hutan Matrik Kesesuaian Lahan untuk Sawah Tadah Hujan Tanpa Irigasi Matrik Kesesuaian Lahan untuk Pemukiman Hasil Analisis SIG untuk Jenis Tanah Hasil Analisis SIG untuk Intensitas Curah Hujan Hasil Analisis SIG untuk Kelas Lereng Kuisioner SWOT dan ISM Cara Perhitungan SWOT Cara Penentuan Matriks Dependence-Driver Power Daftar Responden

14 PENDAHULUAN Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional mewajibkan agar sumberdaya alam digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, dimana kemakmuran rakyat tersebut harus dapat dinikmati, baik oleh generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Paradigma baru pembangunan menyepakati bahwa prasyarat tercapainya pembangunan berkelanjutan adalah terjadinya keseimbangan dalam tiga aspek utama, yakni lingkungan, sosial, dan ekonomi. Paradigma pembangunan ini mencoba menyelaraskan pembangunan ekonomi dan konservasi lingkungan yang selama ini dianggap bertentangan. Pengelolaan sumberdaya alam yang beraneka ragam baik di daratan, di lautan, maupun di udara menurut UU No 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang perlu dilakukan secara terkoordinasi dan terpadu dengan sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan dalam pola pembangunan yang berkelanjutan dengan mengembangkan tata ruang dalam suatu kesatuan tata lingkungan yang dinamis serta tetap memelihara kelestarian kemampuan lahan sesuai dengan pembangunan berwawasan lingkungan. Penataan ruang yang terdiri dari proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari tujuan pembangunan secara keseluruhan Dalam suatu ruang yang ketersediaannya terbatas terdapat sumberdaya manusia dengan berbagai macam kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan tingkat pemanfaatan ruang yang berbeda-beda. Pemanfaatan ruang yang tidak diatur dengan baik, dapat mendorong ke arah adanya ketidakseimbangan pembangunan dengan kelestarian lingkungan hidup, pemborosan manfaat ruang dan penurunan kualitas ruang. Oleh sebab itu, diperlukan penataan ruang untuk mengatur pemanfaatannya berdasarkan besaran kegiatan, jenis kegiatan, fungsi lokasi, kualitas ruang, dan estetika lingkungan. Penataan ruang mempunyai tiga tujuan, yaitu optimalisasi pemanfaatan sumberdaya (productivity), keberimbangan dan keadilan (equity), dan keberlanjutan (sustainability) (Rustiadi et al. 2004). Penyimpangan pemanfaatan ruang dari rencana tata ruang dikhawatirkan akan menghambat tujuan tersebut.

15 Untuk itu, perlu dilakukan analisis dan arahan strategi pemanfaatan ruang sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam penentuan kebijakan penyempurnaan rencana tata ruang sebagai acuan teknis dalam pemanfaatan ruang dan penetapan kawasan yang optimal. Perumusan Masalah Kabupaten Ciamis menurut PP No 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional yang selanjutnya dipertegas dalam RTRWP Jawa Barat tahun ditetapkan termasuk dalam dua kawasan andalan yakni kawasan andalan Priangan Timur dan kawasan andalan Pangandaran dengan sektor unggulan pertanian tanaman pangan, industri, perkebunan, kehutanan, dan pariwisata. Berdasarkan RTRW kabupaten dan kondisi faktual yang ada di Kabupaten Ciamis ada beberapa permasalahan yang terjadi dalam pemanfaatan ruang di wilayah studi, yakni konflik kepentingan antar sektor berupa kepentingan pelestarian sumberdaya hutan dan kepentingan produksi, konflik penggunaan lahan/pemanfaatan lahan, alih fungsi (konversi) lahan, dan kutub-kutub pertumbuhan yang mempunyai daerah hinterland yang potensial tetapi belum didukung oleh prasarana ekonomi pada kutub pertumbuhan yang bersangkutan. Selain itu, adanya perkembangan pembangunan fisik di bagian Utara Kabupaten Ciamis pada areal yang seharusnya untuk kawasan lindung dan penyangga, adanya pengembangan prasarana transportasi potensial di kawasan hutan bakau (mangrove), adanya perluasan wilayah perkotaan yang diikuti proses penggunaan lahan yang dapat menyebabkan terjadinya transformasi lahan pertanian yang subur dalam skala besar menjadi kawasan pariwisata (fasilitas akomodasi). Dari kondisi diatas, dikhawatirkan jika pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan jika peruntukannya tidak sesuai dengan kesesuaian lahannya maka pemanfaatan ruang tidak akan optimal. Dari uraian diatas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: a. Adanya indikasi penyimpangan pemanfaatan ruang dari rencana tata ruang. b. Sulitnya mengoptimalkan rencana tata ruang mengikuti pertumbuhan sektoral dan permintaan pasar.

16 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Mengevaluasi kesesuaian penggunaan lahan saat ini dibandingkan dengan kesesuaian lahannya. 2. Menganalisis kesesuaian pemanfaatan ruang saat ini terhadap rencana tata ruang. 3. Merumuskan arahan strategi dalam penyempurnaan rencana tata ruang. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam penentuan kebijakan penyempurnaan rencana tata ruang sebagai acuan teknis dalam pemanfaatan ruang dan pengendaliannya.

17 TINJAUAN PUSTAKA Evaluasi Kesesuaian Lahan Meningkatnya kebutuhan dan persaingan dalam penggunaan lahan memerlukan pemikiran yang seksama dalam mengambil keputusan pemanfaatan yang paling menguntungkan dari sumberdaya lahan yang terbatas, dan sementara juga melakukan tindakan konservasinya untuk pengggunaan masa mendatang. Beberapa permasalahan dalam usaha penataan penggunaan lahan dan lingkungan hidup diantaranya adalah kurangnya informasi tentang potensi lahan, kesesuaian penggunaan lahan dan tindakan pengelolaan yang diperlukan bagi setiap areal lahan yang dapat digunakan sebagai pegangan dalam pemanfaatan areal tersebut (Sitorus 1998). Evaluasi lahan merupakan bagian dari proses perencanaan tataguna tanah. Inti evaluasi kesesuaian lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Dengan cara ini, maka akan diketahui potensi lahan atau kelas kesesuaian/kemampuan lahan untuk jenis penggunaan lahan tersebut (Hardjowigeno et al. 2001). Sitorus (1998), menyatakan bahwa pada dasarnya evaluasi kesesuaian lahan memerlukan informasi yang menyangkut tiga aspek utama, yaitu: lahan, penggunaan lahan dan aspek ekonomi. Keterangan tentang syaratsyarat/kebutuhan ekologis dan teknik dari berbagai jenis penggunaan lahan diperoleh dari keterangan-keterangan agronomis, kehutanan dan disiplin ilmu lainnya yang sesuai. Manfaat yang mendasar evaluasi sumberdaya lahan adalah untuk menilai kesesuaian lahan bagi suatu penggunaan tertentu serta memprediksi konsekuensi-konsekuensi dari perubahan penggunaan lahan yang akan dilakukan. Menurut Mitchell (1973) dalam Mahi (1994), sistem evaluasi kesesuaian lahan memiliki beberapa ciri, yaitu: sebagai suatu cara dalam menjadwal permintaan pemakai, sebagai suatu cara pengumpulan, penyimpanan, analisis, penyajian informasi lahan dan potensi penggunaannya, dan sebagai suatu cara pemanggilan kembali dan manipulasi informasi. Pada umumnya si pengevaluasi lahan jarang yang ingin mengembangkan sistem sendiri yang sama sekali baru. Umumnya yang mereka lakukan adalah

18 memilih dari sistem-sistem yang sudah ada tergantung dari kepentingan evaluasi yang akan dilakukan, dan kemudian memodifikasinya sesuai dengan keadaan setempat dan ketersediaan data (Sitorus 1998). Penataan Ruang Ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan tempat manusia dan makhluk hidup lainnya melakukan kegiatan serta melihara kelangsungan hidupnya. Menurut UU No 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa penataan ruang adalah suatu upaya untuk mewujudkan tata ruang yang terencana melalui suatu proses yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang yang satu dengan lainnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Menurut Undang-undang No 24 tahun 1992 pasal 9 ayat 1, penataan ruang berasaskan: a) pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan; b) keterbukaan, persamaan, keadilan, dan perlindungan hukum. Penataan ruang bertujuan untuk terselenggaranya penataan ruang yang berwawasan lingkungan, terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang pada kawasan lindung dan budidaya sehingga terciptanya pengaturan pemanfaatan ruang yang berkualitas. Upaya penataan ruang ini juga dilakukan untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan dan sangat penting dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi (Darwanto 2000). Sedangkan menurut Rustiadi et al. (2004), penataan ruang pada dasarnya merupakan perubahan yang disengaja. Dengan memahaminya sebagai proses pembangunan melalui upaya-upaya perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik, maka penataan ruang merupakan bagian dari proses pembangunan. Penataan ruang mempunyai tiga urgensi, yakni: a) optimalisasi pemanfaatan sumberdaya (prinsip produktifitas dan efisiensi); b) alat dan wujud distribusi sumberdaya (prinsip pemerataan, keberimbangan, dan keadilan); dan c) keberlanjutan (prinsip sustainability). Konsep penataan ruang dapat menjadi aktivitas yang mengarahkan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat termasuk dunia usaha. Penataan ruang bukanlah suatu tujuan melainkan alat untuk mencapai

19 tujuan, dengan demikian kegiatan penataan ruang tidak boleh berhenti dengan di Perda-kannya rencana tata ruang kabupaten, tetapi penataan ruang harus merupakan aktivitas yang terus menerus dilakukan untuk mengarahkan masyarakat suatu wilayah untuk mencapai tujuan-tujuan pokoknya (Darwanto 2000). Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri dari kawasan lindung seperti suaka alam, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, pantai berhutan bakau, dan sebagainya serta kawasan budidaya seperti industri, pemukiman, pertanian, dan sebagainya, sedangkan berdasarkan aspek administratif, penataan ruang meliputi ruang wilayah nasional, wilayah provinsi, wilayah kabupaten/kota yang dalam penyusunannya melalui hierarki dari level yang paling atas ke level yang paling bawah agar penataan ruang bisa dilakukan secara terpadu. RTRW Nasional merupakan perencanaan makro strategi jangka panjang dengan horizon waktu hingga tahun ke depan dengan menggunakan skala ketelitian 1 : , RTRW Provinsi merupakan perencanaan makro strategis jangka menengah dengan horizon waktu 15 tahun pada skala ketelitian 1 : , sementara RTRW Kabupaten dan Kota merupakan perencanaan mikro operasional jangka menengah (5-10 tahun) dengan skala ketelitian 1 : hingga 1 : , yang kemudian diikuti dengan rencana-rencana rinci yang bersifat mikro-operasional jangka pendek dengan skala ketelitian di bawah 1 : (Departemen Kelautan dan Perikanan 2002). Dalam kerangka penataan ruang secara nasional, ada beberapa permasalahan diantaranya adalah terjadinya tumpang tindih penanganan pemanfaatan sumberdaya alam yang memicu terjadinya berbagai persoalan lainnya, tingginya alih fungsi (konversi) lahan pertanian produktif menjadi lahan non pertanian. Permasalahan tersebut timbul karena masih kurangnya perhatian atau program pembangunaan yang mengarah pada pemanfaataan ruang secara benar dan konsisten serta sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat, potensi sumberdaya alam dan lingkungan. Menurut UU No 24 tahun 1992, RTRW kabupaten/kota merupakan pedoman yang digunakan untuk perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan

20 ruang wilayah kabupaten/kota untuk mewujudkan keterpaduan, kerterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antara wilayah kabupaten/kota serta keserasian antara sektor, juga menjadi pedoman dalam memanfaatkan ruang bagi kegiatan pembangunan. Dalam rangka pemanfaatan ruang dikembangkan penatagunaan tanah yang disebut juga pola pengelolaan tata guna tanah. Menurut PP No 16 tahun 2004, penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil. Penatagunaan tanah diselenggarakan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota. Perencanaan tata ruang merupakan perumusan tata ruang secara optimal dengan orientasi produksi dan konservasi bagi kelestarian lingkungan. Perencanaan tata ruang wilayah mengarah dan mengatur alokasi pemanfaatan ruang, mengatur alokasi kegiatan, keterkaitan antar fungsi kegiatan, serta indikasi program dan kegiatan pembangunan. Hasil perencanaan tata ruang yang disebut rencana tata ruang sesungguhnya adalah konsep, ide, dan merupakan instrumen pengendalian pembangunan suatu wilayah pemerintahan yang menjadi pegangan bersama segenap aktor pembangunan baik pemerintah, masyarakat maupun swasta. Idealnya suatu rencana tata ruang disusun berdasarkan aspirasi kebutuhan masyarakat yang dirumuskan dan dianalisis dengan metode dan teknik perencanaan. Rencana tata ruang pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup, kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (sustainability of development). Widiarto (2000) dalam Zainuddin (2004) menjelaskan bahwa tata ruang merupakan suatu bentuk instrumen publik yang bersama-sama dengan bentuk-bentuk instrumen publik yang lain, misalnya kebijaksanaan tentang penganggaran sektor publik dan peraturan perlindungan lingkungan hidup untuk mencapai keadaan publik yang lebih baik.

21 Pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan dan pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW baik Nasional, Provinsi, Kabupaten, dan Kota. Selain merupakan proses, penataan ruang sekaligus juga merupakan instrumen yang memiliki landasan hukum untuk mewujudkan sasaran pengembangan wilayah. Rencana pemanfaatan dan pengendalian ruang, merupakan suatu perencanaan tata ruang yang disusun pada suatu saat tertentu dalam kurun waktu tertentu pula. Landasan hukum dalam pelaksanaan tata ruang adalah UU No 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, UU No 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, PP No 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, dan PP No 69 tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang. Pola pemanfaatan ruang adalah bentuk pemanfaatan ruang yang menggambarkan ukuran, fungsi serta karakter kegiatan manusia dan/atau kegiatan alam. Wujud pola pemanfaatan ruang diantaranya meliputi pola lokasi, sebaran pemukiman, tempat kerja, industri, dan pertanian, serta pola penggunaan tanah pedesaan dan perkotaan. Pendekatan pembangunan melalui sistem ruang akan bermanfaat dan dapat dijadikan sebagai dasar dalam usaha pemanfaatan dan penataan ruang suatu wilayah baik dalam skala nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, karena dalam penyusunan program-program pembangunan secara konsisten dapat terwujud jika konsep dan penataan ruang dapat diwujudkan dalam struktur yang menggambarkan ikatan pemanfaatan ruang yang terpadu dari berbagai sektor pembangunan (Budiharsono dalam Vincentius 2003). Fungsi penataan ruang dalam kebijakan pembangunan daerah adalah: sebagai matra ruang dari kebijakan pembangunan daerah, merupakan pedoman untuk menetapkan lokasi bagi kegiatan pembangunan dalam pemanfaatan ruang yang dituangkan dalam rencana tata ruang, dan sebagai alat untuk mengkoordinasikan perencanaan, pelaksanaan pemanfaaatan ruang bagi kegiatan yang memerlukan ruang, sehingga dapat menyelaraskan setiap program antar sektor yang terlibat.

22 Pada tahap pemanfaatan ruang khususnya di tingkat provinsi masih ditemui berbagai kendala yang diantaranya disebabkan oleh belum adanya persamaan persepsi dalam memahami kebijakan penataan ruang sehingga kebijakan penataan ruang belum sepenuhnya dapat ditindaklanjuti dalam kebijaksanaan institusi masing-masing. Hal lain adalah ketidakpastian alokasi anggaran daerah dalam rangka mewujudkan apa yang telah direncanakan dari rencana tata ruang (Saromi 2004). Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem komputer yang mempunyai kemampuan pemasukan, pengambilan, analisis data, dan tampilan data geografis yang sangat berguna bagi pengambilan keputusan. Sistem komputer ini terdiri dari perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software) dan manusia (personal) yang dirancang untuk secara efisien memasukan, menyimpan, memperbarui, memanipulasi, menganalisis, dan menyajikan semua jenis informasi yang berorientasi geografis (ESRI 1990). SIG saat ini lebih sering diterapkan bagi teknologi informasi spasial atau geografi yang berorientasi pada penggunaan teknologi komputer. Pada pengertian yang lebih luas SIG mencakup juga pengertian sebagai suatu sistem yang berorientasi operasi secara manual, yang berkaitan dengan operasi pengumpulan, penyimpanan, dan manipulasi data yang bereferensi geografi secara konvensional (Barus & Wiradisastra 2000). Burrough (1986), mendefinisikan SIG sebagai seperangkat alat yang digunakan untuk mengumpulkan, menyimpan, menampilkan, mentransformasikan, dan menyajikan data spasial obyek atau aspek permukaan bumi untuk tujuan tertentu. SIG adalah sistem informasi yang mendasarkan pada kerja dasar komputer yang mampu memasukan, mengelola (memberi dan mengambil kembali), memanipulasi, dan menganalisis data (Aronoff 1989). Analisis SIG dapat dipakai untuk mendukung berbagai aplikasi terhadap fenomena geografis yang penting dalam kegiatan pembangunan, misalnya dalam perencanaan tata ruang (spatial planning). Dalam perencanaan pembangunan tersebut perlu dilakukan analisis spasial dari berbagai kondisi fisik dan sosial ekonomi suatu daerah untuk dapat menentukan pemanfaatan sumberdaya yang

23 optimal. Disamping itu, di dalam perencanaan yang baik perlu dilengkapi dengan analisis kemungkinan dampak yang timbul dan hasil yag diperoleh dari pemanfaatan tersebut. Untuk keperluan analisis keruangan tersebut SIG mempunyai kemampuan yang sangat fleksibel dan akurat. Menurut Gunawan (1998), SIG mempunyai kemampuan analisis keruangan (spatial analysis) maupun waktu (temporal analysis). Dengan kemampuan tersebut SIG dapat dimanfaatkan dalam perencanaan apapun karena pada dasarnya semua perencanaan akan terkait dengan dimensi ruang dan waktu. Dengan demikian setiap perubahan, baik sumberdaya, kondisi maupun jasa-jasa yang ada di wilayah perencanaan akan terpantau dan terkontrol dengan baik. Selain itu pemanfaatan SIG dapat meningkatkan efisiensi waktu dan ketelitian (akurasi). Konsep dasar SIG merupakan suatu sistem yang mampu mengorganisir perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), dan data, serta dapat mendayagunakan sistem penyimpanan, pengolahan, maupun analisis data secara simultan sehingga dapat diperoleh informasi yang berkaitan dengan aspek keruangan. Berdasarkan hasil tersebut SIG jelas mempunyai karakterisik sebagai perangkat pengelolaan basis data (data base management system), perangkat analisis keruangan (spatial analysis), sekaligus merupakan proses komunikasi dalam pengambilan keputusan (Gunawan 1998). Berbagai pengertian SIG diatas secara garis besar mempunyai kesamaan, yakni mencerminkan adanya pemrosesan data keruangan dalam bentuk pemrosesan data numerik. Pemrosesan yang mendasarkan pada kerja mesin dalam hal ini komputer yang mempunyai persyaratan tertentu. Data sebagai masukan harus bersifat numerik artinya data masukan apapun bentuknya harus diubah menjadi angka digital, data lain adalah data atribut (Dulbahri 2003). Secara umum komponen utama SIG dapat dibagi ke dalam 4 kelompok, yaitu: perangkat keras, perangkat lunak, organisasi (manajemen), dan pemakai. Porsi masing-masing komponen tersebut berbeda-beda dari satu sistem ke sistem lainnya, tergantung tujuan dari dibuatnya SIG tersebut. Kombinasi yang paling tepat antara keempat komponen utama ini akan menentukan kesuksesan suatu proyek pengembangan SIG dalam suatu organisasi.

24 Keunikan SIG jika dibandingkan dengan sistem pengolahan basis data lainnya adalah kemampuannya untuk menyajikan informasi spasial maupun non spasial secara bersama-sama. Sebagai contoh, data SIG penggunaan lahan akan dapat disajikan dalam bentuk batas-batas luasan yang masing-masing mempunyai atribut dalam bentuk tulisan maupun angka. Informasi yang berlainan tema umumnya disajikan dalam lapisan (layer) informasi yang berbeda. Oleh karena SIG merupakan penyederhanaan (miniatur) dari fenomena alam/geografi yang nyata, maka SIG harus betul-betul mewakili kondisi, sifat-sifat (atribut yang penting) bagi suatu aplikasi/pemanfaatan tertentu (Raharjo 1996). Dalam SIG, data disimpan dalam dua bentuk yaitu data spasial dan data atribut. Kedua data tersebut terikat pada aspek keruangan-lokasional yang disajikan dalam bentuk peta sebagai basis datanya. Pada analisis spasial dilakukan teknik penampalan (overlay) dari beberapa peta tematik baik bentuk vektor maupun raster. SIG mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan SIG diantaranya adalah : a. Dapat menyimpan data/informasi spasial dan atribut dalam format peta digital. Secara fisik format ini lebih ringkas dan aman dalam penyimpanan dibandingkan dari format peta kerja, data tabuler atau bentuk konvensional lainnya. b. Memiliki kemampuan menyimpan dan mengolah data spasial dalam jumlah besar dalam waktu cepat dengan harga per unitnya lebih murah. c. Memiliki kemampuan untuk menganalisis berbagai jenis data spasial dan atribut dengan mengintegrasikan berbagai jenis data tersebut dalam satu analisis yang komplek dengan kecepatan tinggi yang tidak mungkin dapat dilakukan secara manual Kelemahan yang paling menonjol dari SIG adalah proses input data untuk membangun data awal ke dalam format digital yang dapat diolah oleh SIG seringkali merupakan bottle neck (masalah serius). Penyiapan input data awal ini memerlukan biaya cukup besar dan memakan waktu yang cukup lama. Hanya dalam beberapa tahun penggunaan SIG telah tersebar luas pada bidang ilmu lingkungan, perairan, dan sosial ekonomi. SIG juga telah digunakan di bidang militer, permodelan perubahan iklim global, dan geologi terutama

25 dengan menggunakan SIG tiga dimensi. SIG pada dasarnya dapat digunakan oleh lintas disiplin ilmu, misalnya digunakan untuk pengelola di bidang pertanian, kehutanan, serta pembangunan pemukiman penduduk dan fasilitasnya. Analisis SWOT Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threats). Proses pengambilan keputusan strategi selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan (kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman) dalam kondisi saat ini (Rangkuti 2000). Dalam analisis SWOT terdapat dua faktor yang harus dipertimbangkan, yaitu lingkungan internal kekuatan (strengths) dan kelemahan (weakness) serta lingkungan eksternal peluang (opportunities) dan ancaman (threats). Menurut Pearce II dan Robinson (1991), kekuatan (strengths) adalah sumberdaya, keterampilan atau keunggulan lain relatif terhadap pesaing dan kebutuhan pasar; kelemahan (weakness) merupakan keterbatasan dalam sumberdaya, keterampilan dan kemampuan yang secara serius menghalangi kinerja; peluang (opportunities) merupakan situasi yang menguntungkan, berbagai kecenderungan, peraturanperaturan, dan perubahan teknologi; sedangkan ancaman (threats) adalah situasi yang tidak menguntungkan atau rintangan. Dalam melakukan analisis SWOT dapat ditemukan masalah-masalah yang menyebabkan terjadinya kegagalan dalam mempresentasikan hasil analisis SWOT. Menurut Salusu (1996), masalah tersebut adalah sebagai berikut: - The missing link problem atau masalah hilangnya unsur keterkaitan, yang merujuk pada kegagalan dalam menghubungkan evaluasi terhadap faktor eksternal dengan evaluasi terhadap faktor internal. - The blue sky problem, atau masalah langit biru. Para pengambil keputusan bersikap terlalu optimistis dalam melihat peluang, yang berakibat munculnya penilaian atas faktor-faktor internal dan eksternal yang tidak cocok.

26 - The silver lining problem, para pengambil keputusan memandang remeh akan pengaruh dari ancaman lingkungan yang sangat potensi yang ditafsirkan sebagai akan mendapatkan keberuntungan. - The all things to all people problem, para pengambil keputusan cenderung memusatkan perhatiannya pada kelemahan-kelemahan organisasinya dan kurang melihat potensi kekuatan yang dimilikinya. - The putting the car before the horse problem, menempatkan kereta di depan kuda adalah suatu aktifitas terbalik. Para pengambil keputusan langsung mengembangkan strategi dan rencana tindak lanjut sebelum menentukan kebijaksanaan strategi yang akan dijalankan organisasinya. Model Interpretasi Struktural Salah satu teknik pemodelan yang dikembangkan untuk perencanaan kebijakan strategis adalah teknik pemodelan interpretasi struktural (Interpretative Structural Modelling-ISM). Menurut Eriyatno (1999), ISM adalah proses pengkajian kelompok (group learning process) dimana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis serta kalimat. Teknik ini merupakan salah satu teknik permodelan sistem untuk menangani kebiasaan yang sulit diubah dari perencanaan jangka panjang yang sering menerapkan secara langsung teknik penelitian operasional dan atau aplikasi statistik deskriptif (Marimin 2004). Pemodelan struktur memberikan bentuk grafis dan perkataan dalam pola yang secara hati-hati memotret perihal yang kompleks. Kuantifikasi matematik dapat untuk membuat gambaran geometris menjadi semi kuantitatif. Akan tetapi proses permodelan struktur menekankan pada pentingnya bentuk geometris daripada aljabar. Oleh karena itu, melalui permodelan struktural, para pengguna model mampu meningkatkan pendalaman yang lebih baik terhadap perilaku dari sistem secara utuh. Dengan demikian, dapat ditetapkan prioritas maupun urutan tahap pelaksanaan kesisteman (Eriyatno 1999). Menurut Marimin (2004), ISM menganalisis elemen-elemen sistem dan memecahkannya dalam bentuk grafik dari hubungan langsung antar elemen dan tingkat hierarki. Elemen-elemen dapat merupakan tujuan kebijakan, target

27 organisasi, faktor penilaian, dan lain-lain. Hubungan langsung dapat dalam konteks-konteks yang beragam (berkaitan dengan hubungan kontekstual). Model interpretasi struktural merupakan alat strukturisasi yang popular untuk hubungan langsung. Model struktural mencakup dua tahap. Pada tahap pertama diterapkan suatu alat pembangkit dari sejumlah daftar elemen-elemen yang berhubungan dengan perihal yang ditelaah. Tahap kedua terdiri atas pemilihan hubungan-hubungan yang relevan dan suatu alat strukturisasi yang tepat sehingga elemen-elemen tersebut dapat diinformasikan. Alat pembangkit yang dapat digunakan adalah: (1) diskusi ahli, melalui proses musyawarah dan brainstorming ditetapkan daftar elemen-elemen oleh para panelis yang terpilih dengan ketat, (2) survei pakar, melalui in-depth interview dari berbagai pakar lintas disiplin, didapatkan kesimpulan tentang daftar elemen, (3) metode DELPHI, dengan pengumpulan informasi terkendali, iteratif dan berumpan balik, dan (4) media elektronik, seperti computerized conferencing, generating graphics, atau tele-conference.

28 METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Bapeda Kabupaten Ciamis (2000), menyebutkan bahwa ada indikasi penyimpangan pemanfaatan ruang dari rencana tata ruang. Berdasarkan hal tersebut kemudian dilakukan analisis spasial menggunakan SIG untuk mengetahui penyimpangan tersebut. Analisis kesesuaian lahan dilakukan untuk mengetahui kesesuaian penggunaan lahan saat ini berdasarkan kesesuaian lahannya. Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang dari rencana tata ruang diantaranya disebabkan oleh belum dipertimbangkannya kondisi alam seperti ketersediaan lahan, daya dukung lahan, dan lingkungan serta kondisi sosial budaya masyarakat setempat (respon masyarakat, tradisi dan kebiasaan yang sudah turun temurun dan lain-lain). Dari penyimpangan yang terjadi dilakukan pendekatan analisis spasial dan analisis strategi terpadu. Analisis spasial dilakukan dengan menggunakan SIG untuk menganalisis kesesuaian lahan, sedangkan analisis strategi terpadu menggunakan pendekatan sistem agar proses dan hasil model strateginya memiliki tingkat integritas keilmuan lintas disiplin yang komprehensif. Pendekatan sistem mencakup dua tahapan, yaitu: 1) analisis strategis dan 2) analisis struktural. Analisis strategis dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT yang akan menghasilkan: a) peubah-peubah bersifat strategis unsur internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman) yang berpengaruh dalam pemanfaatan ruang, dan b) nilai pengaruh peubah-peubah bersifat strategis tersebut. Berdasarkan arahan strategis tersebut tahap selanjutnya dilakukan analisis struktural dengan teknik Interpretative Structural Modelling (ISM). Analisis struktural menghasilkan model interpretasi struktural bagi pemanfaatan ruang. Sebagian data hasil analisis spasial digunakan untuk analisis SWOT dan ISM. Dengan hasil analisis SWOT dan hasil teknik ISM maka dirumuskan arahan strategi dalam pemanfaatan ruang. Berdasarkan hasil kedua analisis tersebut diharapkan dapat memberikan rekomendasi dalam kebijakan pemanfaatan ruang. Diagram kerangka pendekatan disajikan pada Gambar 1.

29 Penataan Ruang Perencanaan Tata Ruang Pemanfaatan Ruang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Rencana Tata Ruang Tidak Penyimpangan Ya Ya Analisis Spasial Pendekatan Sistem t Analisis Kesesuaian Lahan Peubah unsur SWOT Nilai pengaruh Analisis Strategis Analisis SWOT- Peubah Diagram dan Matriks SWOT Strategi Pemanfaatan Ruang Model Struktural Pemanfaatan Ruang Arahan Strategi Pemanfaatan Ruang Analisis Struktural Teknik ISM Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pemanfaatan Ruang yang Optimal Keterangan : = ruang lingkup penelitian Gambar 1 Kerangka Pemikiran.

30 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat selama 6 bulan mulai bulan Mei sampai Oktober Pengumpulan data lapangan dilakukan selama 2 bulan mulai Juni hingga Juli 2005, sedangkan analisis data dan penyusunan tesis dilakukan selama 3 bulan dari Agustus sampai Oktober Pengumpulan dan Analisis Data Penentuan Lokasi dan Pemilihan Responden Lokasi penelitian adalah Kabupaten Ciamis. Kriteria responden yang digunakan disesuaikan dengan tujuan penelitian. Responden ditentukan secara sengaja berdasarkan hasil survei dan informasi yang didapat, dengan jumlah responden 14 orang yang terdiri dari pemerintah/birokrat, akademisi, peneliti, pengusaha, dan LSM. Menurut David (1997), dalam analisis ini untuk menentukan responden tidak ada jumlah minimal yang harus dipenuhi, sepanjang responden yang dipilih adalah orang-orang yang memahami bidang yang dijalaninya. Namun demikian semakin banyak responden yang dilibatkan akan semakin baik untuk mengurangi subyektivitas. Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan 2 cara, yakni melalui wawancara mendalam dan pertanyaan terstruktur berbentuk kuesioner. Data primer digunakan untuk perumusan strategi dalam penyempurnaan rencana tata ruang. Sedangkan data sekunder meliputi peta penggunaan lahan (saat ini), RTRW kabupaten, peta jenis tanah, peta kelerengan, peta ketinggian, peta kedalaman tanah, peta drainase, peta curah hujan yang dikumpulkan dari instansi terkait seperti Bapeda, Kantor Pertanahan Nasional, Bakosurtanal, Direktorat Geologi Tata Lingkungan dan Sumberdaya Mineral, dan sebagainya. Jenis, sumber, cara pengumpulan dan analisis data berdasarkan tujuan yang dicapai disajikan pada Tabel 1. Sedangkan jenis dan sumber data yang digunakan seperti pada Tabel 2.

31 Tabel 1 Jenis, sumber, cara pengumpulan dan analisis data berdasarkan tujuan yang dicapai No. Tujuan Data yang Dikumpulkan Sumber Data dan Cara Pengumpulan 1. Evaluasi Peta jenis tanah, peta BPN, Direktorat kesesuaian lereng, peta ketinggian, Geologi Tata penggunaan lahan peta kedalaman efektif Lingkungan dan saat ini tanah, data dan peta Sumberdaya dibandingkan curah hujan, peta garis Mineral, dengan kesesuaian pantai, peta sebaran Bakosurtanal, lahannya. sungai/danau/situ/kawas Dinas Kehutanan, - Kawasan lindung an cagar alam/suaka Dinas Pertanian. -Kawasan margasatwa dan Data sekunder. budidaya sebagainya. 2. Kesesuaian pemanfaatan ruang saat ini terhadap rencana tata ruang. 3. Arahan strategi pemanfaatan ruang. Peta penggunaan lahan saat ini, RTRW. Faktor kekuatan, kelemahan, peluang, dan hambatan dalam pemanfaatan ruang. Bapeda, CIFOR. Data sekunder. - Depth interview. - Kuesioner. Data primer. Analisis Data Overlay, Buffer, Pengkelasan Kesesuaian Lahan. Overlay. SWOT, ISM. Tabel 2 Jenis dan sumber data yang digunakan No. Jenis Data Skala Tahun Bentuk Data 1. Peta Jenis Tanah Peta Kedalaman Efektif Hardcopy 1: Peta Drainase (Digitasi) 2. Peta Rupa Bumi Indonesia - Peta Kontur (kelerengan, ketinggian) - Peta Garis pantai - Peta Sungai - Peta Sebaran Danau/Situ 3. Peta Hidrogeologi 1: Peta dan Dokumen RTRW Tahun Sumber BPN Kabupaten Ciamis 1: Digital Bakosurtanal 1: Hardcopy (Digitasi) Hardcopy (Digitasi) Direktorat Geologi Tata Lingkungan Bapeda Kabupaten Ciamis 5. Peta Penggunaan Lahan : Digital CIFOR 6. Data dan Peta Curah Hujan 1: Peta Kawasan Hutan Saat Ini 1: Digitasi/ Interpolasi Hardcopy (Digitasi) Dinas Pertanian Kabupaten Ciamis Dinas Kehutanan Kabupaten Ciamis

32 Analisis Data Ada tiga analisis yang digunakan, yakni analisis kesesuaian lahan menggunakan SIG (Sistem Informasi Geografis), analisis strategi menggunakan SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, Threats), dan analisis struktural menggunakan ISM (Interpretative Structural Modelling). Analisis Kesesuaian Lahan Analisis kesesuaian lahan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi analisis kesesuaian untuk kawasan lindung seperti hutan lindung, sempadan pantai, sempadan sungai, sempadan mata air, dan sempadan situ, sedangkan kawasan budidaya yang dianalisis adalah hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, sawah, dan pemukiman. Penentuan kawasan lindung menggunakan Kepres No 32 tahun 1990 dan penentuan fungsi hutan menggunakan SK Menteri Pertanian No 837/kpts/UM/II/ Kriteria penentuan kawasan lindung (Kepres No 32 tahun 1990) Kawasan hutan lindung - Kawasan hutan dengan faktor-faktor lereng, jenis tanah, curah hujan dengan skor Kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40 %. - Kawasan hutan yang mempunyai ketinggian 2000 m diatas permukaan laut. Sempadan pantai - Daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Sempadan sungai - Sekurang-kurangnya 100 meter dari kiri kanan sungai besar dan 50 meter di kiri kanan anak sungai yang berada di luar pemukiman. - Untuk sungai di kawasan permukiman berupa sempadan sungai yang diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi antara meter.

33 Sempadan situ - Daratan sepanjang tepian situ yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik situ antara m dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Sempadan mata air - Sekurang-kurangnya radius 200 m sekitar mata air. 2. Kriteria penentuan kawasan budidaya Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Produksi Tetap (SK Mentan No 837/kpts/UM/II/1980) - Kawasan hutan dengan faktor lereng, jenis tanah, curah hujan dengan skor untuk hutan produksi terbatas dan jumlah skor < 124 untuk hutan produksi tetap. Sawah tadah hujan tanpa irigasi (PPT, 1983 dalam Sitorus, 1998) - Terletak pada kemiringan/kelerengan < 3 %. - Terletak pada ketinggian < 500 m. - Drainase terhambat - Kedalaman efektif tanah > 75 cm. Pemukiman (USDA, 1971 dalam Masri, 2005) - Terletak pada kemiringan/kelerengan 0-15 %. - Drainase baik - agak baik - Kedalaman efektif tanah sangat dangkal (< 25 cm) dangkal (25 50 cm). Analisis untuk sempadan sungai, sempadan pantai, sempadan situ, dan sempadan mata air dilakukan dengan membuat buffer sesuai Keppres No 32 tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung. Sempadan sungai dibuat dengan buffer 100 m kiri kanan sungai (sungai besar), sempadan pantai dibuat dengan buffer 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat, sempadan situ/danau dibuat dengan buffer 50 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik situ/danau dengan asumsi bentuk dan kondisi fisiknya seragama dan sempadan mata air dibuat dengan buffer jari-jari 200 m sekitar mata air.

34 Analisis kesesuaian lahan untuk fungsi hutan menggunakan scoring, tumpang susun (overlay), sedangkan untuk sawah tadah hujan tanpa irigasi dan pemukiman menggunakan teknik tumpang susun (overlay). Pengharkatan (scoring) untuk fungsi hutan dan pengkelasan untuk sawah tadah hujan tanpa irigasi dan pemukiman berturut-turut tertera pada Lampiran 1, 2, dan 3. Dalam penelitian ini, kelas kesesuaian dibagi kedalam 5 kelas (untuk sawah tadah hujan tanpa irigasi dan pemukiman), yakni : a. Kelas S1: Sangat Sesuai (Highly Suitable) Lahan tidak mempunyai pembatas yang berat untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari, atau hanya mempunyai pembatas yang kurang berarti dan tidak berpengaruh secara nyata terhadap produksinya serta tidak akan menaikkan masukan dari apa yang telah biasa diberikan. b. Kelas S2: Sesuai (Suitable) Lahan yang mempunyai pembatas agak berat untuk suatu penggunaan tertentu yang lestari. Pembatas tersebut akan mengurangi produktivitas lahan dan keuntungan yang diperoleh serta meningkatkan masukan untuk mengusahakan lahan tersebut. c. Kelas S3: Sesuai Marjinal (Marginally Suitable) Lahan yang mempunyai pembatas dengan tingkat cukup berat untuk suatu penggunaan yang lestari. Pembatas akan mengurangi produktivitas atau keuntungan dan perlu menaikkan masukan yang diperlukan. d. Kelas N1: Tidak Sesuai Saat Ini (Currently Not Suitable) Lahan yang mempunyai pembatas sangat berat tetapi masih memungkinkan untuk diatasi, hanya tidak dapat diperbaiki dengan tingkat pengetahuan sekarang ini dengan biaya yang rasional. e. Kelas N2: Tidak Sesuai Permanen (Permanently Not Suitable) Lahan yang mempunyai pembatas yang sangat berat sehingga tidak mungkin untuk digunakan bagi suatu penggunaan yang lestari. Pengkelasan tersebut (sawah tadah hujan tanpa irigasi dan pemukiman) kemudian dibagi dua kelas yakni Kelas Sesuai dan Kelas Tidak Sesuai dimana Kelas S1, Kelas S2, dan Kelas S3 dikelompokkan menjadi Kelas Sesuai dan Kelas N1 N2 dikelompokkan menjadi Kelas Tidak Sesuai.

35 Tumpang susun (overlay) pada evaluasi lahan untuk fungsi hutan adalah sebagai berikut : Kelerengan Jenis Tanah Peta Kesesuaian Lahan untuk Fungsi Hutan Intensitas Curah Hujan Tumpang susun (overlay) pada evaluasi lahan untuk Sawah Tadah Hujan Tanpa Irigasi adalah sebagai berikut : Kelerengan Ketinggian Kedalaman Efektif Peta Kesesuaian Lahan untuk Sawah Tadah Hujan Tanpa Irigasi Drainase Tumpang susun (overlay) pada evaluasi Lahan untuk Pemukiman adalah sebagai berikut : Kelerengan Kedalaman Efektif Peta Kesesuaian Lahan untuk Pemukiman Drainase

36 Analisis SIG juga digunakan untuk mengetahui penyimpangan pemanfaatan ruang terhadap rencana tata ruang melalui teknik tumpang susun (overlay) antara RTRW dengan penggunaan lahan (saat ini). Analisis Strategi Perangkat analisis data yang digunakan adalah Internal Factor Evaluation Matrix dan External Factor Evaluation Matrix, Diagram SWOT dan Matriks SWOT. a. Internal Factor Evaluation Matrix dan External Factor Evaluation Matrix Matriks IFE (Tabel 3) dan matriks EFE (Tabel 4) digunakan untuk menganalisis faktor-faktor internal dan eksternal serta mengklasifikasikannya menjadi kekuatan dan kelemahan, peluang dan ancaman kemudian dilakukan pembobotan. Tabel 3 Matriks internal factor evaluation (IFE) Faktor Strategi Internal Bobot Rating Skor = Bobot Rating Kekuatan Kelemahan Jumlah Sumber : David (1997) Tabel 4 Matriks eksternal factor evaluation (EFE) Faktor Strategi Eksternal Bobot Rating Skor = Bobot Rating Peluang Ancaman Jumlah Sumber : David (1997)

37 Menurut Rangkuti (2000), tahap-tahap untuk mengidentifikasi peubah-peubah internal dan eksternal dalam matriks IFE dan EFE adalah sebagai berikut: 1. Menentukan faktor-faktor strategis internal yang menjadi kekuatan dan kelemahan serta faktor-faktor strategis eksternal yang menjadi peluang dan ancaman (pada kolom 1). 2. Memberikan bobot masing-masing faktor tersebut dengan skala mulai dari 1,0 (paling penting) sampai 0,0 (tidak penting) berdasarkan pengaruh faktor-faktor tersebut (pada kolom 2). 3. Menghitung rating baik pada matrik IFE maupun EFE untuk masingmasing faktor dengan memberikan skala mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor) guna mengidentifikasikan kelemahan utama, kekuatan utama, peluang dan ancaman beserta nilai pengaruhnya. (pada kolom 3). 4. Mengalikan bobot kolom 2 dengan rating pada kolom 3, untuk memperoleh faktor pembobotan yang menunjukkan nilai pengaruh faktor (pada kolom 4). 5. Menjumlahkan bobot skor pada kolom 4 untuk memperoleh total skor pembobotan. b. Diagram SWOT Diagram SWOT merupakan perpaduan antara perbandingan kekuatan dan kelemahan (diwakili garis horisontal) dengan perbandingan peluang dan ancaman (diwakili garis vertikal). Pada diagram tersebut kekuatan dan peluang diberi tanda positif, sedangkan kelemahan dan ancaman diberi tanda negatif. Dengan menempatkan selisih nilai kekuatan (S) kelemahan (W) pada sumbu (x), dan menempatkan selisih nilai antara peluang (O) ancaman (T) pada sumbu (y), maka ordinat (x, y) akan menempati salah satu sel dari diagram SWOT. Letak nilai S W dan O T dalam diagram SWOT akan menentukan arahan strategi pemanfaatan ruang.

38 Peluang (O) Kelemahan (W) Sel 3 Sel 4 Sel 1 Sel 2 Kekuatan (S) Ancaman (T) Gambar 2 Diagram SWOT. Setiap sel pada diagram SWOT memperlihatkan ciri yang berbeda, sehingga diperlukan strategi yang berbeda dalam penanganannya. Dengan diagram SWOT yang dibuat berdasarkan nilai pengaruh unsur SWOT akan dapat dirumuskan bentuk strategi yang tepat (Pearce & Robinson 1991). c. Matriks SWOT Matriks SWOT (Tabel 5) digunakan untuk menggambarkan bagaimana peluang dan ancaman yang dihadapi dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Tabel 5 Matriks SWOT Strengths (S) Tentukan 1-10 kekuatan internal Weakness (W) Tentukan 1-10 kelemahan internal Opportunities (O) Tentukan 1-10 peubah peluang eksternal Treaths (T) Tentukan 1-10 peubah ancaman eksternal Strategi SO Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang Strategi ST Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman Strategi WO Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang Strategi WT Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk menghindari ancaman Sumber : Rangkuti (2000) Matriks ini dapat menghasilkan empat kemungkinan alternatif strategi yaitu SO, ST, WO, dan WT. Strategi SO adalah strategi yang dibuat dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya. Strategi ST adalah strategi dalam menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman. Strategi WO adalah strategi yang diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang

39 ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada dan strategi WT adalah strategi yang didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman (Rangkuti 2000). Analisis Struktural Analisis struktural dilakukan dengan menggunakan Interpretative Structural Modelling (ISM). Teknik ISM dibagi menjadi dua bagian yaitu penyusunan hierarki dan klasifikasi sub elemen. Prinsip dasar teknik ini adalah identifikasi dari struktur di dalam suatu sistem akan memberikan manfaat yang tinggi guna meramu sistem secara efektif dan untuk pengambilan keputusan yang lebih baik (Eriyatno 1999). a. Penyusunan Hierarki Penyusunan hierarki adalah menentukan tingkat jenjang struktur dari suatu sistem untuk lebih menjelaskan pemahaman hal yang sedang dikaji. Ada lima kriteria menentukan tingkat jenjang yaitu: 1. Kekuatan pengikat (bond strength) di dalam dan antar kelompok atau tingkat. 2. Frekuensi relatif dari guncangan (oskilasi) di mana tingkat yang lebih rendah lebih cepat terguncang dari yang di atas. 3. Konteks (context), di mana tingkat yang lebih tinggi beroperasi pada jangka waktu yang lebih lambat daripada ruang yang lebih luas. 4. Liputan (containtment), dimana tingkat yang lebih tinggi mencakup tingkat yang lebih rendah. 5. Hubungan fungsional, dimana tingkat yang lebih tinggi mempunyai peubah lambat yang mempengaruhi peubah cepat di tingkat bawahnya. Program yang sedang ditelaah perjenjangan strukturnya dibagi menjadi elemen-elemen di mana setiap elemen selanjutnya diuraikan menjadi sejumlah sub elemen sampai dipandang memadai. Menurut Eriyatno (1999), suatu program dapat dibagi menjadi 9 elemen, yaitu: 1) Sektor masyarakat yang terpengaruh, 2) Kebutuhan dari program, 3) Kendala utama, 4) Tujuan dari program, 5) Perubahan yang dimungkinkan, 6) Tolok ukur untuk menilai setiap tujuan, 7) Aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan, 8)

40 Ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai oleh setiap aktivitas, dan 9) Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program. Sedangkan dalam penelitian ini elemen dibatasi pada: 1) Kebutuhan dari program, 2) Kendala utama, 3) Tujuan dari program, 4) Perubahan yang dimungkinkan, dan 5) Tolok ukur untuk menilai setiap tujuan. b. Hubungan Kontekstual Setelah itu dilakukan penetapan hubungan kontekstual antar sub elemen di mana di dalamnya terkandung suatu pengarahan (direction). Hubungan kontekstual pada teknik ISM dinyatakan dalam terminologi sub ordinat yang menuju perbandingan berpasangan antar sub elemen. Keterkaitan antar sub elemen dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Keterkaitan antar sub elemen pada teknik ISM No. Jenis Interpretasi 1. Pembandingan A lebih penting/besar/indah daripada B (comparative) 2. Pernyataan A adalah atribut B (definitive) A termasuk didalam B A mengartikan B 3. Pengaruh A menyebabkan B (influence) A adalah sebagian dari B A mengembangkan B A menggerakkan B 4. Keruangan A adalah selatan/utara B (spatial) A diatas B A sebelah kiri B 5. Kewaktuan A mendahului B (temporal/time scale) A mengikuti B A mempunyai prioritas lebih dari B Sumber : Eriyatno (1999) c. Pengolahan Data Berdasarkan masukan dari responden dengan mempertimbangkan hubungan kontekstual dari sub elemen maka disusun Self Structural Interpretation Matrix (SSIM). Penyusunan SSIM menggunakan simbol V, A, X, dan O dimana : V adalah jika sub-elemen (i) lebih dahulu harus dipenuhi dibandingkan dengan sub-elemen (j), A adalah jika sub-elemen (j) lebih dahulu dipenuhi dibandingkan dengan sub-elemen (i), X adalah jika subelemen (i) dan (j) yang dibandingkan harus dipenuhi secara bersama-sama, O adalah jika kedua sub-elemen (i) dan (j) yang dibandingkan sama-sama

41 tidak perlu dipenuhi. Atau V adalah e ij = 1 dan e ji = 0, A adalah e ij = 0 dan e ji = 1, X adalah e ij = 1 dan e ji = 1, dan O adalah e ij = 0 dan e ji = 0. Dengan pengertian simbol 1 adalah terdapat atau ada hubungan kontekstual, sedangkan simbol 0 adalah tidak terdapat atau tidak ada hubungan kontekstual, antara elemen i dan j dan sebaliknya. Setelah SSIM dibentuk, kemudian dibuat tabel Reachability Matrix dengan mengganti V, A, X, O dengan bilangan 1 dan 0. Simbol i adalah untuk baris vertikal dan j adalah untuk baris horisontal. Kemudian dilakukan pengkajian menurut Aturan Transivity di mana dilakukan koreksi terhadap SSIM sampai terjadi matriks yang tertutup. Modifikasi SSIM membutuhkan masukan dari responden, dengan diberikan catatan khusus agar perhatian hanya ditujukan pada sub elemen tertentu. Aturan transivity merupakan aturan kelengkapan dari lingkaran sebab akibat dengan ketentuan tertentu. Hasil revisi SSIM dan matriks yang memenuhi syarat aturan transivity diproses lebih lanjut. Adapun aturan transivity adalah sebagai berikut : jika i = 1 dan j = 0 maka aturan transivity = 1, jika i = 0 dan j = 1 maka aturan transivity = 0, jika i = 0 dan j = 0 maka aturan transivity = 0, dan jika i = 1 dan j = 1 maka aturan transivity = 1. Setelah melalui proses modifikasi berdasarkan aturan transivity maka dihasilkan suatu Self Structural Interpretation Matrix akhir dan Reachability Matrix akhir dari elemen program. Hasil akhir Reachability Matrix menunjukkan hubungan antar sub elemen yang diaplikasikan dalam bentuk grafis pada model struktural tiap elemen program. Tingkat kekuatan penggerak (driver power) sub elemen dapat dilihat pada Reachability Matrix akhir. Sub elemen dengan kekuatan tingkat terbesar mempunyai tingkat (level) tertinggi dan sub elemen tersebut berada di posisi terbawah dari model struktural tiap elemen. d. Klasifikasi Sub elemen Untuk beragam sub elemen dalam suatu elemen berdasarkan hasil akhir Reachability Matrix kemudian disusun Driver Power-Dependence Matrix. Klasifikasi sub elemen dipaparkan dalam empat sektor.

42 Sektor 1: Weak driver-weak dependent variables (Autonomous) Peubah sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem dan mempunyai hubungan yang sedikit, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat. Sektor 2: Weak driver-strongly dependent variables (Dependent) Umumnya peubah di sini adalah peubah tidak bebas, maksudnya akibat ditimbulkan oleh sub elemen yang terdapat di sektor lingkage dan sektor independent. Sektor 3: Strong driver-strongly dependent variables (Linkage) Peubah pada sektor ini harus dikaji secara hati-hati sebab hubungan antar peubah adalah tidak stabil. Setiap tindakan pada peubah tersebut akan memberikan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak. Sektor 4: Strong driver-weak dependent variables (Independent) Peubah pada sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas. Dalam keseluruhan proses teknik ISM maka berbagai urutan kerja dari tahap penyusunan hierarki sampai hasil analisis struktural dapat dilihat pada Gambar 3. Dari hasil proses teknik ISM ini akan dihasilkan diagram struktural yang menggambarkan hubungan yang saling mempengaruhi antar sub elemen.

43 PROGRAM Uraikan program menjadi perencanaan program Uraikan setiap Elemen menjadi Sub-elemen Tentukan Hubungan Kontekstual antara Sub-elemen pada setiap elemen Susun SSIM untuk setiap elemen Bentuk Reachability Matriks setiap elemen Uji Matriks dengan Aturan Transivity OK? Tidak Modifikasi SSIM Tentukan level melalui pemilahan Ya Ubah RM menjadi format Lower Triangular RM Tetapkan Driver dan Driver Power setiap Sub-elemen Tentukan Rank dan Hirarki dari Sub-elemen Susun Diagraph dari Lower Triangular RM Tetapkan Driver- Dependence Matriks setiap elemen Plot Sub-elemen pada empat sektor Susun ISM dari setiap elemen Klasifikasi sub-elemen pada empat peubah katagori Gambar 3 Diagram Teknik ISM. Sumber : Eriyatno (1999)

44 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Geografi Kabupaten Ciamis termasuk ke dalam Keresidenan Priangan Timur dan berada di ujung timur Provinsi Jawa Barat. Jarak dari Ibukota Negara, Jakarta sekitar 212 km dan dari Ibukota Provinsi, Bandung sekitar 121 km. Secara geografis wilayah Kabupaten Ciamis berada pada sampai dengan Bujur Timur dan Lintang Selatan. Kabupaten Ciamis mempunyai perbatasan: sebelah Utara dengan Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan, sebelah Barat dengan Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya, sebelah Timur dengan Kota Banjar dan Provinsi Jawa Tengah, dan sebelah Selatan dengan Samudera Indonesia. Secara administratif pemerintahan Kabupaten Ciamis terdiri dari 30 Kecamatan, 336 Desa, dan 7 kelurahan. Peta administrasi Kabupaten Ciamis seperti pada Gambar 4. Luas Wilayah dan Penggunaan Lahan Kabupaten Ciamis mempunyai luas wilayah ha, pada tahun 2003 wilayah Kota Administratif Banjar terpisah dari Kabupaten Ciamis, sehingga luas wilayah Ciamis menjadi ha. Wilayah Selatan Kabupaten Ciamis berbatasan langsung dengan garis pantai Samudra Indonesia yang membentang di 6 kecamatan dengan panjang garis pantai mencapai 91 km. Dengan adanya garis pantai tersebut, maka Kabupaten Ciamis memiliki wilayah laut seluas ha yang berada di 6 kecamatan. Komposisi penggunaan lahan terdiri dari ha lahan basah (21,14 %) dan ha lahan kering (78,86 %). Pola penggunaan lahan di Kabupaten Ciamis pada umumnya dapat dibedakan menjadi pemukiman, sawah, perkebunan, tegal/kebun/ladang/huma, penggembalaan padang rumput, hutan, kolam ikan/empang, tambak, dan lain-lain. Sawah dibedakan menjadi sawah beririgasi teknis, setengah teknis, sawah sederhana, dan sawah tadah hujan, sedangkan perkebunan dan hutan dibedakan atas hutan dan kebun milik negara dan perkebunan rakyat. Penggunaan lahan secara rinci adalah seperti tertera pada Tabel 7.

45 32 Gambar 4 Lokasi penelitian.

46 Tabel 7 Komposisi penggunaan lahan tahun 2003 No. Penggunaan Lahan Luas (ha) Persentase (%) 1. Lahan Basah Irigasi Teknis Irigasi Setengah teknis Irigasi Sederhana/Desa PU Irigasi Sederhan/desa non PU Tadah Hujan Rawa ,52 21,14 6,96 1,21 1,57 7,33 4,01 0,06 2. Lahan Kering Perkampungan/pekarangan Tegal/kebun/ladang/huma Penggembalaan padang rumput Sementara tidak diusahakan Hutan rakyat Hutan negara Perkebunan negara dan swasta Rawa yang tidak ditanami Tambak Kolam/tebet/empang Lain-lain ,777 0, ,10 0, ,86 11,98 31,36 0,73 0,03 7,69 15,28 6,62 0,0041 0,0176 1,11 3,78 Jumlah Sumber : BPS & Bapeda Kabupaten Ciamis (2004) Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa potensi lahan pertanian di Kabupaten Ciamis pada tahun 2003 terdiri atas 31,36 % kebun milik rakyat, 21,14 % sawah, dan kehutanan sebesar 22,97 %. Lahan sawah yang beririgasi umumnya sudah dapat ditanami padi dengan panen dua kali dalam satu tahun, sedangkan sawah tadah hujan hanya satu kali setahun. Masih luasnya lahan hutan, bermanfaat sebagai kawasan yang dapat menjaga siklus hidrologis guna memenuhi ketersediaan air bagi kepentingan rumah tangga, industri, dan pertanian. Sedangkan lahan untuk perikanan dan peternakan penggunaannya masih relatif sangat rendah, walaupun sebenarnya Kabupaten Ciamis memiliki potensi yang cukup prospektif, khususnya di bidang perikanan. Topografi dan Kelerengan Secara garis besar topografi permukaan wilayah Kabupaten Ciamis dibedakan menjadi : 1. Wilayah Ciamis bagian Utara yang merupakan dataran tinggi pegunungan dan berbukit terutama di wilayah Gunung Sawal, dengan ketinggian antara m diatas permukaan laut dan kemiringan lereng antara 15-40

47 % dan di atas 40 %. Wilayah ini dominan sebagai kebun campuran, perkebunan, dan hutan. 2. Wilayah Ciamis bagian Tengah dan Selatan yang terdiri atas dataran rendah yang sebagian bergelombang dengan ketinggian antara m di atas permukaan laut dan sebagian kecil dengan kemiringan lereng antara persen serta wilayah dataran rendah di pesisir pantai yang landai dengan ketinggian antara 0-25 m dari permukaan laut dan kemiringan lereng 0-15 %. Wilayah ini lebih dominan sebagai lahan basah berupa sawah dan rawa. Kondisi kelerengan di Kabupaten Ciamis ditunjukan pada Gambar 5. Gambar 5 Kelas lereng. Geologi dan Jenis Tanah Kondisi tanah di Kabupaten Ciamis banyak dipengaruhi oleh batuan induk dan faktor lainnya. Dilihat dari stuktur geologis, tanah di Kabupaten Ciamis memiliki batuan induk yang terdiri atas : Aluvial, Undifferentiated Volcanic Products, Pliocene Sedimentary facies, Miocene Sedimentary facies, dan Miocene Limestone facies.

48 Sedangkan jenis tanah pada umumnya bervariasi teridiri atas Latosol coklat, Latosol coklat kemerahan, Aluvial kelabu, Aluvial kelabu kuning, Asosiasi aluvial kelabu tua, Glei humus rendah, Grumusol kelabu, Andosol coklat kekuningan, Podsolik, Asosiasi Podsolik merah kekuningan dan Litosol, dan Kompleks Podsolik merah kekuningan dan Regosol (BPN 1992). Jenis tanah di Kabupaten Ciamis ditunjukkan Gambar 6. Gambar 6 Jenis tanah. Hidrologi Wilayah Kabupaten Ciamis sebagian besar termasuk kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citanduy yang meliputi 15 Kecamatan. Sungai-sungai lainnya merupakan anak Sungai Citanduy, yaitu Sungai Ciliwung, Cirende, Cimuntur, Ciharus, Cileueur, dan Ciseel yang berhulu di Utara dan bermuara ke Samudra Indonesia. Sungai besar lainnya yang berada di bagian Selatan adalah Sungai Cijulang dan Cimedang dengan Anak Sungai Cigugur dan Cisodong. Sungaisungai kecil lainnya yaitu Sungai Citanjung, Cikembulan, dan Ciputrapingggan, dimana semua sungai tersebut mengalir ke Samudra Indonesia.

49 Keberadaan sungai tersebut akan sangat mempengaruhi kondisi tata air, baik air permukaan maupun air tanah dangkal. Pada umumnya keadaan air permukaan (sungai dan mata air) mengalir sepanjang tahun. Adapun kedalaman air tanah di Kabupaten Ciamis beragam, wilayah Ciamis bagian Utara sesuai dengan ketinggian lokasinya relatif dalam ± 10 m dibandingkan dengan Ciamis bagian Selatan yang rata-rata mempunyai kedalaman air tanah antara 0-5 m. Selain sungai di wilayah Ciamis bagian Utara terdapat danau, yaitu Situ Lengkong yang luasnya sekitar 100 ha dan merupakan tempat objek wisata. Mengingat potensi sumber air permukaan yang dimiliki cukup besar, maka pengembangan lahan sawah berpengairan di Kabupaten Ciamis masih bisa ditingkatkan. Ketersediaan air di Kabupaten Ciamis ditunjukkan pada Gambar 7. Perairan lepas di Kabupaten Ciamis adalah laut selatan Samudra Indonesia yang berada di wilayah Ciamis bagian Selatan. Pemanfaatannya sampai saat ini yang cukup menonjol adalah untuk kegiatan pariwisata, selain itu dimanfaatkan pula bagi kegiatan perikananan berupa penangkapan serta budidaya hatchery. Khusus dalam usaha perikanan, sumberdaya laut yang ada belum termanfaatkan secara optimal. Gambar 7 Ketersediaan air.

50 Iklim Menurut Schmidt dan Ferguson, iklim di Kabupaten Ciamis termasuk kedalam iklim A dan beriklim tropis dengan curah hujan berkisar antara mm per tahun di daerah pegunungan dan mm per tahun di daerah dataran rendah dengan kelembaban udara berkisar antara %. Apabila dilihat dari jumlah air hujan per bulan maka hampir sepanjang tahun Kabupaten Ciamis mengalami hujan, kecuali bulan Juni, Juli, dan Agustus yang relatif jarang. Peta curah hujan Kabupaten Ciamis ditunjukkan pada Gambar 8. Gambar 8 Kelas curah hujan. Demografi a. Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk Berdasarkan registrasi, penduduk Kabupaten Ciamis pada akhir bulan Desember 2003 sebanyak orang. Dibandingkan dengan tahun 2002, jumlah penduduk tersebut mengalami pertumbuhan sebesar 0,20 %. Dari segi komposisinya, di Kabupaten Ciamis lebih banyak perempuan, yaitu terdiri dari orang laki-laki dan orang perempuan dengan sex ratio sebesar 98,25. Jumlah penduduk dari tahun 1993 sampai dengan 2003 seperti tertera pada Tabel 8.

51 Tabel 8 Jumlah penduduk dari tahun 1993 sampai dengan tahun 2003 No. Tahun Laki-laki Perempuan Jumlah Sumber : BPS & Bapeda Kabupaten Ciamis (2004) Pertumbuhan penduduk berakibat pada naiknya kepadatan di wilayah Kabupaten Ciamis yang mempunyai luas sebesar 2.444,79 km 2 menjadi 594 orang per km 2. Dari segi penyebarannya, 8,10 % penduduk Kabupaten Ciamis bertempat tinggal di Kecamatan Ciamis sehingga mempunyai kepadatan tertinggi (2.050 orang per km 2 ). Kepadatan cukup tinggi juga dialami oleh Kecamatan Cikoneng, Cihaurbeuti, dan Kawali. Kepadatan penduduk juga tampak dari ratarata anggota keluarga yang mencapai 3,21 %, sehingga secara umum setiap keluarga memiliki 3 sampai dengan 4 orang anggota keluarga. Rasio jenis kelamin ini sangat berkaitan dengan keperluan penyediaan lapangan pekerjaan di suatu daerah mengingat bahwa laki-laki pada umumnya sebagai pecari nafkah. b. Penduduk menurut struktur umur Dilihat dari struktur umur, penduduk Kabupaten Ciamis pada tahun 2003 berusia antara 0-14 tahun orang, usia antara tahun sebanyak orang, dan usia di atas 55 tahun sebanyak orang. Dengan asumsi bahwa penduduk usia produktif adalah penduduk berumur antara tahun, maka penduduk usia produktif di Kabupaten Ciamis pada tahun 2003 mencapai orang atau sebesar 59,69 % yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Persentase penduduk usia produktif tersebut menunjukkan bahwa dari setiap 100 penduduk, kehidupannya tergantung pada 60 orang penduduk usia produktif atau untuk satu orang penduduk usia poduktif selain menanggung biaya hidup dirinya sendiri juga menanggung biaya hidup 0,4 jiwa penduduk usia non produktif.

52 c. Pencari kerja menurut pendidikan Jumlah pencari kerja di Kabupaten Ciamis pada tahun 2003 sebesar orang yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Berdasarkan pendidikannya, pencari kerja tersebut terdiri dari Sarjana sebanyak orang, Sarjana Muda sebanyak orang, tamatan SLTA sebanyak orang, dan SLTP sebanyak 308 orang, serta sisanya SD kebawah. Gambaran tentang pencari kerja dipelihatkan pada Tabel 9. Tabel 9 Jumlah pencari kerja menurut tingkat pendidikan tahun 2003 No. Tingkat Pendidikan Laki-laki (orang) Perempuan (orang) Jumlah (orang) Persentase (%) 1. SD ,30 2. SLTP ,22 3. SLTA ,39 4. DI-DIII ,12 5. S ,97 6. S Jumlah Sumber : BPS & Bapeda Kabupaten Ciamis (2004) d. Penyebaran dan Kepadatan Penduduk Penyebaran dan kepadatan penduduk di Kabupaten Ciamis tahun 2003 tidak merata antara daerah perkotaan dan pedesaan maupun antar kecamatan, dengan rata-rata kepadatan penduduknya adalah 594 orang/km 2, dimana dilihat dari distribusi kepadatan penduduknya lebih terkonsentrasi di bagian Utara dan Tengah dibandingkan di bagian Selatan. Beberapa kecamatan yang tergolong padat peduduknya antara lain Kecamatan Ciamis, Cikoneng, Cihaurbeuti, dan Kawali dengan kepadatan kepadatan penduduk rata-rata 1449,5 orang/km 2. Kecamatan yang tergolong rendah kepadatannya antara lain Kecamatan Cigugur, Langkaplancar, Kalipucang, dan Cijulang dengan kepadatan penduduk rata-rata 239 jiwa/km 2. Pola penyebaran penduduk yang demikian disebabkan oleh berbagai faktor antara lain potensi sumberdaya alam dan aksesibilitas seperti ditunjukkan Gambar 9. Sosial dan Ekonomi Dalam bidang pendidikan, di Kabupaten Ciamis pada tahun 2003, terdapat 303 Taman Kanak-kanak, SD, 90 SLTP, 26 SMU dan 16 SMK serta 3 Akademi/Perguruan Tinggi. Untuk melayani kesehatan masyarakat, terdapat

53 sarana berupa 1 Rumah Sakit Umum daerah, 51 Puskesmas, 110 Puskesmas Pembantu dan 34 Puskesmas Keliling. Selain itu juga terdapat sarana dan prasarana kesehatan yang dikelola swasta yakni 2 rumah sakit dan 29 Balai Pengobatan. Gambar 9 Kepadatan penduduk tahun Pada tahun 2003, PDRB Kabupaten Ciamis mengalami kenaikan dari 3,5 % menjadi 3,8 %, peningkatan ini disebabkan oleh naiknya kembali produksi yang menyumbang cukup besar bagi PDRB yakni sektor pertambangan dan penggalian, dan sektor perdagangan, hotel dan restoran serta pengangkutan dan komunikasi. Sektor pertanian di Kabupaten Ciamis masih menjadi penggerak roda perekonomian sehingga pengaruhnya terhadap laju pertumbuhan ekonomi sangat signifikan sebear 30,37 %, sektor perdagangan dan restoran sebesar 24,36 %, dan sektor jasa sebeser 11,69 %. Sektor industri pengolahan memberikan sumbangan sebesar 7,16 5, sektor pengangkutan dan komunikasi memberikan kontribusi sebesar 8,35 %, dan lainnya.

54 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kesesuaian Lahan Analisis kesesuaian lahan dilakukan pada dua kawasan yakni kawasan lindung dan kawasan budidaya. Setiap jenis penggunaan lahan dianalisis kesesuaiannya berdasarkan kriteria dan persyaratan penggunaan lahan. Kawasan lindung yang dianalisis adalah hutan lindung, sempadan pantai, sempadan sungai, sempadan mata air, dan sempadan situ/danau. Sedangkan kawasan budidaya yang dianalisis adalah hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, sawah tadah hujan tanpa irigasi, dan pemukiman. Penetapan alokasi ruang dalam perencanaan tata ruang dibangun berdasarkan metode dan kriteria dimana kriteria-kriteria tersebut belum secara tajam digariskan berdasarkan ketentuan hukum. Sejauh ini belum dapat diidentifikasi persyaratan teknis pemanfaatan ruang yang bersifat umum kecuali penetapan kawasan lindung yang diatur dalam Keppres No 32 tahun 1990 dan secara parsial tentang penetapan hutan lindung berdasarkan SK Menteri Pertanian No 837/kpts/UM/II/1980. Kawasan lindung dianalisis dengan menggunakan kriteria yang terdapat dalam Keppres No 32 tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung. Untuk kawasan budidaya, penetapan lahan untuk hutan produksi tetap dan terbatas menggunakan SK Menteri Pertanian No 837/kpts/II/1980, sedangkan sawah dan pemukiman diidentifikasi secara terpisah dengan mempertimbangkan masingmasing faktor pembatas. Berdasarkan hasil analisis SIG dengan metode tumpang susun (overlay), scoring dan buffer diperoleh hasil analisis kesesuaian lahan untuk masing-masing penggunaan lahan sebagai berikut : Kawasan Lindung Berdasarkan hasil SIG menggunakan metode tumpang susun dan buffer diperoleh luasan (ha) masing-masing kategori kawasan lindung seperti disajikan pada Tabel 10 dan petanya disajikan pada Gambar 10.

55 Tabel 10 Luasan (ha) masing-masing kategori kawasan lindung No. Jenis Luas (ha) 1. Hutan Lindung ,2 2. Sempadan Pantai 884,5 3. Sempadan Sungai ,0 4. Sempadan Situ 40,3 5. Sempadan Mata Air 1.778,9 Gambar 10 Kesesuaian lahan untuk kawasan lindung. Menurut UU No 41 tahun 1999, hutan lindung didefinisikan sebagai kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah. Hutan lindung ditetapkan dengan menggunakan scoring dengan parameter jenis tanah, kelerengan, dan curah hujan dengan skor 175. Luasan hutan lindung berdasarkan hasil analisis adalah ,2 ha. Sempadan pantai ditetapkan dengan membuat buffer minimal 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai. Panjang garis pantai yang dimiliki Kabupaten Ciamis sekitar

56 91 km, berdasarkan hasil analisis SIG diperoleh luas sempadan pantai sekitar 844,5 ha. Sempadan sungai ditetapkan 100 m pada sungai besar dan 50 m untuk sungai kecil, berdasarkan hasil analisis SIG diperoleh luas sempadan sungai sebesar ,0 ha. Di Kabupaten Ciamis terdapat satu situ yakni Situ Panjalu dengan luas 100 ha dengan membuat buffer 50 m sepanjang tepian situ yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik situ ke arah darat diperoleh luas sempadan situ sebesar 40,3 ha. Berdasarkan peta hidrogeologi, Kabupaten Ciamis mempunyai jumlah mata air kurang lebih 144 mata air yang tersebar hampir merata di semua kecamatan dengan debit yang bervariasi antara < 10 liter/detik sampai > 100 liter/detik. Berdasarkan hasil analisis SIG diketahui luas sempadan mata air adalah 1.778,9 ha. Wilayah yang berpotensi untuk sumber mata air sebagian besar terdapat di bagian Utara. Kawasan Budidaya Kawasan budidaya adalah kawasan yang kondisi fisik dan potensi sumberdaya alamnya dapat dan perlu dimanfaatkan guna kepentingan produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia dan pembangunan. Kawasan budidaya yang dievaluasi terdiri dari hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, sawah tadah hujan tanpa irigasi, dan pemukiman. Hasil analisis untuk fungsi hutan dengan menggunakan scoring dan tumpang susun disajikan pada Tabel 11 dan petanya pada Gambar 11. Tabel 11 Fungsi hutan pada masing-masing kategori No. Fungsi Hutan Luas (ha) 1. Hutan Lindung ,2 2. Hutan Produksi Terbatas ,7 3. Hutan Produksi Tetap ,1 Jumlah ,0 Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam dan unsur penentu penyangga kehidupan serta dapat memberikan manfaat yang cukup besar bagi kemakmuran masyarakat sehingga hutan perlu dikelola secara bijaksana agar berbagai fungsi hutan dapat dipertahankan secara lestari. Agar dapat memenuhi fungsi utamanya keberadaan hutan harus pada tingkat luasan yang cukup dan letaknya pada tempat yang tepat, serta dikelola secara baik dan benar.

57 Gambar 11 Kesesuaian lahan untuk fungsi hutan. Kabupaten Ciamis sebagian besar terletak dalam suatu hamparan Daerah Aliran Sungai (DAS) Citanduy dan DAS Cimedang yang merupakan DAS super prioritas penanganan secara nasional. Letak hutan dalam DAS, yang termasuk di DAS Citanduy termasuk kedalam kawasan resapan air, karena letaknya di daerah hulu. Kondisi DAS tersebut mempunyai permasalahan tingginya laju erosi dan sedimentasi, serta ketidakseimbangan tata air DAS sebagai akibat kerusakan sumberdaya hutan dan lahan. Kawasan kritis yang berada di dalam maupun diluar wilayah hutan telah banyak mempengaruhi kondisi kritis pada beberapa sub DAS. Hutan di Kabupaten Ciamis berdasarkan status kepemilikannya terdiri dari hutan negara dan hutan rakyat, sedangkan menurut fungsinya terdiri dari hutan lindung, hutan produksi, cagar alam, suaka margasatwa, dan kawasan wisata alam. Berdasarkan wilayah pengelolaannya terletak dalam Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Ciamis. Pengelolaan hutan produksi dan sebagian hutan konservasi diserahkan kepada Perhutani. Berdasarkan UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan PP No 25 tahun 2000, maka pengelolaan hutan sekarang berada pada Pemda Kabupaten Ciamis.

58 Dalam rencana tata ruang wilayah Kabupaten Ciamis, kawasan dibagi tiga yakni kawasan lindung, kawasan budidaya pertanian, dan kawasan budidaya non pertanian. Kawasan hutan berada pada kawasan lindung dan kawasan budidaya pertanian. Luas kawasan hutan di wilayah Kabupaten Ciamis hanya mencakup 14,32 % dari luas wilayah kabupaten yaitu ± ,88 ha yang terdiri dari ,13 ha termasuk kedalam hutan produksi yang dikelola oleh Perhutani dan 6.114,75 ha dikelola oleh BKSDA Jabar II termasuk kedalam kawasan konservasi. Luasan ini masih belum ideal sebagai penyeimbang ekosistem dalam suatu DAS, dimana UU No 41 tahun 1999 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan menyebutkan bahwa luasan kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30 % dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Pengelolaan hutan yang hanya 14,32 % masih belum mampu menjamin asas kelestarian (ekologi, produksi, dan sosial), apalagi pada situasi saat ini kondisi hutan yang ada mengalami banyak tekanan akibat penyerobotan lahan, pencurian kayu dan berbagai kepentingan pembangunan sektor lain yang mendesak keberadaan hutan, sehingga berakibat semakin meluasnya kawasankawasan hutan yang rusak (Dinas Kehutanan Kabupaten Ciamis 2004). Sebaran kawasan hutan di Kabupaten Ciamis ditunjukkan oleh Tabel 12 dan petanya pada Gambar 12. Tabel 12 Kawasan hutan saat ini No. Fungsi Hutan Luas (ha) 1. Kawasan Konservasi 6.114,8 2. Hutan Produksi Terbatas ,8 3. Hutan Produksi Tetap ,3 Jumlah ,9 Sumber : Dinas Kehutanan Kabupaten Ciamis (1999) Sebaran lokasi kawasan hutan di Kabupaten Ciamis sebagai berikut : Kawasan Konservasi terdiri dari Kecamatan Cipaku, Cikoneng, Cihaurbeuti, Panumbangan, Panjalu, Kawali, Sadananya, Pangandaran, untuk kawasan Hutan Produksi terdiri dari Kecamatan Pangandaran, Kalipucang, Padaherang, Cigugur, Langkaplancar, Pamarican, Cimaragas, Cisaga, Rancah, Rajadesa, Cipaku, Cihaurbeuti, Panumbangan, Panjalu, Kawali, Panawangan, Sadananya, Sukadana, Jatinagara, dan Tambaksari.

59 Yang termasuk kawasan konservasi adalah Suaka Margasatwa Gunung Sawal dengan luas ha, Cagar Alam Panjalu 16 ha, dan Cagar Alam Pangandaran dengan luas 927 ha. Hutan produksi yang dikelola oleh Perhutani terdiri dari kelas perusahaan jati, mahoni dan pinus dengan rata-rata produksi per tahun adalah m 3 untuk jati, m 3 untuk mahoni, dan jenis rimba lainnya 96 m 3 (Dinas Kehutanan Ciamis 2004). Gambar 12 Kawasan hutan saat ini. Hasil tumpang susun fungsi hutan hasil analisis dengan kawasan hutan saat ini ditunjukan pada Tabel 13 dan petanya pada Gambar 13. Tabel 13 Perbandingan luasan fungsi hutan hasil analisis dan kawasan hutan saat ini No. Fungsi Hutan Luas (ha) Hasil Analisis Kawasan Hutan Saat Ini 1. Hutan Lindung 7.687, ,8 2. Hutan Produksi Terbatas , ,8 3. Hutan Produksi Tetap , ,3 Jumlah , ,9

60 Berdasarkan hasil tumpang susun diketahui bahwa hanya 4.278,3 ha (69,96 %) Hutan Lindung saat ini, 6.086,8 ha (59,11 %) Hutan Produksi Terbatas saat ini, dan 8.912,7 ha (47,93 %) Hutan Produksi saat ini yang sudah sesuai dengan kesesuaian lahannya (fungsi hutan hasil analisis). Hal ini diduga karena sumber data yang digunakan dalam analisis berbeda terutama untuk peta curah hujan meskipun kriteria yang digunakan sama dan secara spasial terjadi penyebaran kawasan secara sporadis (terfragmentasi) sehingga untuk kepentingan pengelolaan hutan, kawasan tersebut dimasukan kedalam fungsi kawasan hutan yang lebih dekat dan luasan yang besar (kompak). Untuk kawasan konservasi seperti suaka margasatwa dan cagar alam, faktor kekhasan dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta tipe ekosistemnya menjadi pertimbangan lain dalam penentuan fungsi hutan terutama hutan lindung. Gambar 13 Fungsi hutan hasil analisis dan kawasan hutan saat ini.

61 Untuk sawah tadah hujan tanpa irigasi, parameter yang digunakan adalah kelerengan, ketinggian, kedalaman efektif, dan drainase. Berdasarkan hasil analisis ruang diketahui bahwa lahan yang sesuai untuk sawah seluas ,8 ha dan sisanya seluas ,2 ha tidak sesuai. Lahan yang sesuai meliputi Kecamatan Kalipucang, Padaherang, Banjarsari, Lakbok, Cisaga, dan Panjalu. Peta kesesuaian lahan untuk sawah tadah hujan tanpa irigasi disajikan pada Gambar 14. Gambar 14 Kesesuaian lahan untuk sawah tadah hujan tanpa irigasi. Kesesuaian lahan untuk pemukiman menggunakan paramater kelerengan, kedalaman efektif, dan drainase. Berdasarkan hasil analisis ruang diketahui bahwa lahan yang sesuai untuk pemukiman seluas ,1 ha yang meliputi Kecamatan Cimerak, Cijulang, Parigi, Cigugur, Langkaplancar, Pangandaran, Banjarsari, Kalipucang, Padaherang, Pamarican, Lakbok, Kawali, Panawangan, Rajedesa, Jatinagara, Sadananya, Cipaku, Ciamis, dan Sukadana dan sisanya ,9 ha tidak sesuai. Peta kesesuaian lahan untuk pemukiman disajikan pada Gambar 15.

62 Gambar 15 Kesesuaian lahan untuk pemukiman. Penggunaan Lahan Saat Ini Penggunaan lahan tahun 2003 di Kabupaten Ciamis seperti disajikan pada Tabel 14 dan petanya pada Gambar 16. Tabel 14 Jenis penggunaan lahan berdasarkan interpretasi citra landsat No. Jenis Penggunaan Luas (ha) 1. Belukar/Kebun Campuran ,6 2. Hutan Primer ,0 3. Hutan Sekunder ,7 4. Pemukiman/Tanah Kosong ,5 5. Perkebunan/Hutan Tanaman ,7 6. Pertanian Lahan Basah ,8 7. Pertanian Lahan Kering ,7 Jumlah ,0 Sumber : CIFOR (2005) Kawasan Lindung dengan Penggunaan Lahan Hasil tumpang susun kawasan lindung dengan penggunaan lahan menunjukkan adanya penyimpangan penggunaan lahan seperti pada Tabel 15 dan petanya pada Gambar 17.

63 Gambar 16 Penggunaan lahan saat ini. Tabel 15 Penggunaan lahan pada kawasan lindung No. Penggunaan Lahan Luas (ha) 1. Pemukiman (kampung/perumahan/lain-lain) 1.858,2 2. Pertanian lahan basah ,3 Jumlah ,5 Dari Tabel 15 dapat diketahui bahwa terdapat 1.858,2 ha pemukiman, dan ,3 ha pertanian lahan basah yang berlokasi pada kawasan lindung. Penggunaan kawasan budidaya pada kawasan lindung ini menunjukkan adanya konflik antar sektor, sehingga pengembangan kawasan budidaya perlu diarahkan melalui penataan kembali pemanfaatan kawasan sesuai dengan potensi yang ada sehingga diperoleh optimasi pemanfaatan ruang.

64 Gambar 17 Penggunaan lahan pada kawasan lindung. Kesesuaian Lahan Sawah Tadah Hujan Tanpa Irigasi dan Penggunaan Lahan Hasil tumpang susun kesesuaian lahan sawah tadah hujan tanpa irigasi dengan penggunaan lahan diketahui bahwa 9.737,0 ha sesuai sedangkan ,9 ha tidak sesuai, hal ini disebabkan karena evaluasi kesesuaian lahan sawah yang dilakukan adalah sawah tadah hujan tanpa irigasi sedangkan kenyataan di lapangan ada juga sawah irigasi yang tidak dievaluasi karena keterbatasan data. Peta kesesuaian lahan sawah tadah hujan tanpa irigasi dan penggunaan lahan disajikan pada Gambar 18. Kesesuaian Lahan Pemukiman dan Penggunaan Lahan Hasil tumpang susun kesesuaian lahan pemukiman penggunaan lahan diketahui bahwa 1708,75 ha sesuai sedangkan 13687,29 ha tidak sesuai. Peta hasil kesesuaian lahan pemukiman dan penggunaan lahan disajikan pada Gambar 19.

65 Gambar 18 Kesesuaian lahan sawah tadah hujan tanpa irigasi dan penggunaan lahan. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Ciamis Rencana tata ruang wilayah Kabupaten Ciamis merupakan penjabaran spasial dari RTRW Provinsi Jawa Barat dan Pola Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten Ciamis yang berfungsi memberikan arahan dalam pemanfaatan ruang untuk kegiatan sektor maupun daerah, sekaligus berfungsi pula sebagai arahan dalam penyusunan rencana pembangunan yang lebih rinci/operasional. RTRW Kabupaten Ciamis tahun mempunyai tingkat ketelitian peta 1: Dalam proses penataan ruang perlu diperhatikan aspek kesesuaian antara tuntutan kegiatan usaha di satu pihak dengan kemampuan wilayah di lain pihak sehingga dapat dicapai optimasi pemanfaatan ruang dan sekaligus menghindari konflik pemanfaatan ruang. Kesesuaian tersebut meliputi kesesuaian ekologis dan kesesuaian sosio ekonomis. Dalam konteks Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Ciamis merupakan wilayah penunjang Timur bersama dengan Kabupaten Tasikmalaya, dan Kuningan dan merupakan wilayah penunjang simpul Kabupaten Cirebon. Kabupaten Ciamis dibagi menjadi 3 wilayah pengembangan, yakni wilayah pengembangan Utara

66 dengan pusat pertumbuhan di Ciamis, wilayah pengembangan Tengah di Banjar dan wilayah pengembangan Selatan di Pangandaran... Gambar 19 Kesesuaian lahan pemukiman dan penggunaan lahan. Menurut RTRW Kabupaten Ciamis tahun , arah penggunaan pemanfaatan lahan dibagi menjadi tiga, yaitu kawasan lindung, kawasan budidaya pertanian, dan budidaya non pertanian dimana penentuan kawaan-kawasan tersebut didasarkan pada kriteria teknik, karakteristik fisik dan kegiatan usaha. Berdasarkan RTRW tahun jenis penggunaan lahan pada kawasan lindung tertera pada Tabel 16 dan penyebaran dapat dilihat pada Gambar 20. Tabel 16 Kawasan lindung menurut RTRW No. Jenis Penggunaan Luas (ha) 1. Perlindungan pada Kawasan Bawahannya - Hutan Lindung - Kawasan Resapan Air 3.600, ,34 2. Perlndungan Setempat dan Kawasan Rawan Bencana 7.392,05 - Sempadan Pantai, Sungai, Mata Air, Danau - Rawan Bencana : - Rawan Gempa - Rawan Banjir - Rawan Kekeringan - Rawan Longsor 3. Kawasan Suaka Alam - Cagar Alam - Suaka Margasatwa Sumber : Bapeda Kabupaten Ciamis (2000) 4.752, , , , , ,78

67 Kriteria yang digunakan dalam penetapan kawasan lindung ini adalah kriteria berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No 2 tahun 1996 tentang pengelolaan kawasan lindung di Jawa Barat. Kriteria ini sama dengan kriteria yang terdapat dalam Keppres No 32 tahun 1990 dengan beberapa tambahan kriteria di dalamnya. Kecamatan yang diarahkan untuk memberikan perlindungan pada kawasan bawahannya berupa hutan lindung adalah Kecamatan Cikoneng, Cihaurbeuti, Panjalu, Cipaku, Panumbangan. Kawasan yang diarahkan untuk resapan air adalah Kecamatan Jatinagara, Rancah, Cijeunjing, Kawali, Sukadana, Tambaksari, Cipaku, Panjalu, Panawangan, Langkaplancar, Cigugur, dan Pangandaran. Kawasan yang diarahkan untuk memberikan perlindungan setempat dan rawan bencana gempa adalah Kecamatan Panumbangan, Panjalu, dan Panawangan, sedangkan kawasan lindung untuk rawan longsor adalah Panawangan, Panumbangan, Kawali, Rajadesa, dan Panjalu. Kawasan untuk cagar alam adalah Kecamatan Pangandaran, dan Panjalu, dan wilayah yang termasuk Suaka Margasatwa adalah Kecamatan Cipaku, Cikoneng, Cihaurbeuti, Panumbangan, Panjalu, Kawali, Sadananya, dan Pangandaran. Gambar 20 RTRW kawasan lindung.

68 Menurut Bapeda Kabupaten Ciamis (2000), beberapa permasalahan fisik yang dapat menjadi kendala pengembangan wilayah di Kabupaten Ciamis diantaranya erosi, pengikisan pantai, gerakan tanah, dan bahaya banjir. Bahaya erosi terutama terdapat di daerah perbukitan yang bertekstur sedang. Faktor utama bahaya erosi tanah antara lain ditentukan oleh kemiringan lahan, stabilitas tanah, dan tekstur tanah. Pengikisan pantai (abrasi) diakibatkan oleh aktivitas gelombang air laut, keadaan batuan yang lunak/sudah melapuk dan tidak adanya zona pelindung berupa hutan bakau, batu karang, dan sebagainya. Wilayah yang mempunyai potensi abrasi meliputi Kecamatan Pangandaran, Cijulang, Parigi, Cimerak, dan Kalipucang. Potensi gerakan tanah umumnya banyak terjadi pada fisiografi pegunungan/perbukitan karst dan vulkan. Aktivitas gerakan tanah di wilayah pegunungan/perbukitan vulkan terdapat di Kecamatan Panjalu, sedangkan potensi gerakan tanah di wilayah perbukitan/pegunungan karst meliputi Kecamatan Langkaplancar, Pamarican, Tambaksari, Cigigur, dan Cimerak. Daerah potensi banjir terutama terletak di Kecamatan Langensari, Lakbok, Banjarsari, Padaherang, Cijulang, Parigi, Pangandaran, dan Kalipucang. Jenis kawasan budidaya tertera pada Tabel 17 dan petanya pada Gambar 21. Tabel 17 Kawasan budidaya menurut RTRW No. Jenis Penggunaan Luas (ha) 1. Kawasan Pertanian - Kawasan pertanian tanaman ,00 Lahan basah dengan Lahan Basah 2. Kawasan Pertanian Lahan Kering - Kawasan perikanan darat/laut - Kawasan pertanian tanaman dengan lahan kering - Kawasan pertanian tanaman keras/perkebunan - Kawasan budidaya hutan produksi terbatas - Kawasan pemukiman pedesaan 3. Kawasan Perkotaan - Kawasan pusat pemerintah dan pendidikan - Kawasan pemukiman perkotaan 4. Kawasan Pariwisata - Kawasan pariwisata pantai selatan - Kawasan obyek parisiwata potensial , , , ,07 4, ,07 527,85-5. Kawasan Industri 300,00 Sumber : Bapeda Kabupaten Ciamis (2000)

69 Kawasan budidaya merupakan kawasan di luar kawasan lindung yang meliputi kawasan budidaya pertanian (pedesaan) dan budidaya non pertanian (perkotaan). Kawasan budidaya pertanian merupakan kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman pedesaan. Kegiatan pertanian tersebut dapat berupa pertanian lahan basah dan pertanian lahan kering, tanaman keras (perkebunan), perikanan, peternakan, dan kehutanan. Dalam perencanaan tata ruang wilayah dilakukan kegiatan penetapan alokasi ruang yang dibangun berdasarkan metode dan kriteria-kriteria. Sejauh ini belum dapat diidentifikasi persyaratan teknis pemanfaatan ruang yang bersifat umum atau dapat dipakai secara nasional yang ditetapkan dalam suatu peraturan terutama penetapan kawasan budidaya. Hardjowigeno dan Nasution (1990) dalam Sugiharti (2000), menyatakan bahwa pendekatan perencanaan tata ruang melalui perencanaan tata guna lahan dapat dilakukan dengan cara penilaian terhadap lahan dan komponen-komponennya seperti tanah, air, iklim, dan lain-lain untuk memenuhi kebutuhan manusia yang selalu berubah.menurut waktu dan ruang. Gambar 21 RTRW kawasan budidaya.

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Evaluasi Kesesuaian Lahan

TINJAUAN PUSTAKA Evaluasi Kesesuaian Lahan TINJAUAN PUSTAKA Evaluasi Kesesuaian Lahan Meningkatnya kebutuhan dan persaingan dalam penggunaan lahan memerlukan pemikiran yang seksama dalam mengambil keputusan pemanfaatan yang paling menguntungkan

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa yang tidak terhingga nilainya bagi seluruh umat manusia. Sebagai anugerah, hutan mempunyai nilai filosofi yang

Lebih terperinci

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 6 TAHUN 2002 TENTANG

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 6 TAHUN 2002 TENTANG PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 6 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SIAK SRI INDRAPURA KABUPATEN SIAK TAHUN 2002-2011 I. PENJELASAN UMUM Pertumbuhan penduduk menyebabkan

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

20. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3445 Tahun 1991);

20. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3445 Tahun 1991); RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR : 1 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SIAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK Menimbang : a. bahwa untuk mengarahkan pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 52 TAHUN 2001 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 52 TAHUN 2001 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 52 TAHUN 2001 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

5 STRATEGI PENYEDIAAN AIR BERSIH KOTA TARAKAN

5 STRATEGI PENYEDIAAN AIR BERSIH KOTA TARAKAN 5 STRATEGI PENYEDIAAN AIR BERSIH KOTA TARAKAN Dalam bab ini akan membahas mengenai strategi yang akan digunakan dalam pengembangan penyediaan air bersih di pulau kecil, studi kasus Kota Tarakan. Strategi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

LOGO Potens i Guna Lahan

LOGO Potens i Guna Lahan LOGO Potensi Guna Lahan AY 11 Contents 1 Land Capability 2 Land Suitability 3 4 Ukuran Guna Lahan Pengantar Proses Perencanaan Guna Lahan Land Capability Pemanfaatan Suatu lahan untuk suatu peruntukan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN 2011-2031 I. UMUM Proses pertumbuhan dan perkembangan wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH

ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH ANALISIS KETERKAITAN POLA PENGANGGARAN, SEKTOR UNGGULAN, DAN SUMBERDAYA DASAR UNTUK OPTIMALISASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH (Studi Kasus Kota Batu Provinsi Jawa Timur) FATCHURRAHMAN ASSIDIQQI SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

Warta Kebijakan. Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang. Tata Ruang, penataan ruang dan perencanaan tata ruang. Perencanaan Tata Ruang

Warta Kebijakan. Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang. Tata Ruang, penataan ruang dan perencanaan tata ruang. Perencanaan Tata Ruang No. 5, Agustus 2002 Warta Kebijakan C I F O R - C e n t e r f o r I n t e r n a t i o n a l F o r e s t r y R e s e a r c h Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang Tata Ruang, penataan ruang dan perencanaan

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR : 1 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SIAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR : 1 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SIAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR : 1 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SIAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK Menimbang : a. bahwa untuk mengarahkan pembangunan

Lebih terperinci

BAB 2 KETENTUAN UMUM

BAB 2 KETENTUAN UMUM BAB 2 KETENTUAN UMUM 2.1 PENGERTIAN-PENGERTIAN Pengertian-pengertian dasar yang digunakan dalam penataan ruang dan dijelaskan di bawah ini meliputi ruang, tata ruang, penataan ruang, rencana tata ruang,

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang tabel 1.1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang tabel 1.1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Tegal terletak di pantai utara Jawa Tengah dengan wilayah pantai dan laut yang berbatasan dengan Kabupaten Tegal oleh Sungai Ketiwon di sebelah timur dan dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Meningkatnya kebutuhan dan persaingan dalam penggunaan lahan memerlukan pemikiran yang seksama dalam mengambil keputusan bagi penggunaan lahan, karena lahan sifatnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejalan dengan proses desentralisasi, pembangunan sebagai konsekwensi dari pelaksanaan otonomi daerah. Kemampuan daerah baik ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BAB III ISU-ISU STRATEGIS 3.1 Isu Strategis Dalam penyusunan renstra Dinas Bina Marga dan Pengairan Kota Bogor tentunya tidak terlepas dari adanya isu strategis pembangunan Kota Bogor, yaitu : a. Pengembangan

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI

ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1996 TENTANG PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN, SERTA BENTUK DAN TATA CARA PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR Oleh : TEMMY FATIMASARI L2D 306 024 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

~ 53 ~ PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Cukup Jelas. Pasal 2 Cukup Jelas. Pasal 3 Cukup Jelas

~ 53 ~ PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Cukup Jelas. Pasal 2 Cukup Jelas. Pasal 3 Cukup Jelas ~ 51 ~ PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KABUPATEN KAYONG UTARA TAHUN 2015-2035 I. UMUM 1. Ruang Wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 21 TAHUN 2001 SERI D.3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 21 TAHUN 2001 SERI D.3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 21 TAHUN 2001 SERI D.3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG RENCANA UMUM TATA RUANG KOTA PANIMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian Diresmikannya Kota Tasikmalaya sebagai daerah otonom pada tanggal 17 Oktober 2001 mengandung konsekuensi adanya tuntutan peningkatan pelayanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

Jurnal ruang VOLUME 1 NOMOR 1 September 2009

Jurnal ruang VOLUME 1 NOMOR 1 September 2009 ASPEK KUALITAS PADA RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) PROVINSI SULAWESI TENGAH (Telaah Penyusunan Kembali RTRW Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2008) Wildani Pingkan Suripurna Hamzens pink_2hz@yahoo.com

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta Area Magang Sentul City: Masterplan Sentul City (Atas) dan Lokasi magang di kawasan permukiman Sentul City (Bawah)

Gambar 2. Peta Area Magang Sentul City: Masterplan Sentul City (Atas) dan Lokasi magang di kawasan permukiman Sentul City (Bawah) 10 III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Magang Magang ini dilakukan di kawasan permukiman Sentul City yang terletak pada Kecamatan Citeureup dan Kecamatan Kedung Halang meliputi, Desa Babakan Madang, Sumurbatu,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 15 2002 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 4 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN GARUT DENGAN MENGHARAP BERKAT DAN RAHMAT ALLAH SUBHANAHU

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 6 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SIAK SRI INDRAPURA KABUPATEN SIAK TAHUN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 6 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SIAK SRI INDRAPURA KABUPATEN SIAK TAHUN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 6 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SIAK SRI INDRAPURA KABUPATEN SIAK TAHUN 2002-2011 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK, Menimbang : a.

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 17 TAHUN 2003 SERI D.14 PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 08 TAHUN 2003 TENTANG RENCANA UMUM TATA RUANG KOTA SUMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 18 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan September-November 2010 di Pangkalan Pendaratan Ikan Meulaboh Kabupaten Aceh Barat Pemerintahan Aceh

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 6 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SIAK SRI INDRAPURA KABUPATEN SIAK TAHUN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 6 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SIAK SRI INDRAPURA KABUPATEN SIAK TAHUN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 6 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SIAK SRI INDRAPURA KABUPATEN SIAK TAHUN 2002-2011 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK, Menimbang : a.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai tambang timah rakyat dilakukan di Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Penelitian dilaksanakan pada bulan April

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

ANALISIS STRATEGI PEMASARAN PARIWISATA PANTAI PARANGTRITIS PASCA GEMPA BUMI DAN TSUNAMI DI KABUPATEN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

ANALISIS STRATEGI PEMASARAN PARIWISATA PANTAI PARANGTRITIS PASCA GEMPA BUMI DAN TSUNAMI DI KABUPATEN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA ANALISIS STRATEGI PEMASARAN PARIWISATA PANTAI PARANGTRITIS PASCA GEMPA BUMI DAN TSUNAMI DI KABUPATEN BANTUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA HARY RACHMAT RIYADI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI

ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI ANALISIS KETERKAITAN PERMASALAHAN TATA RUANG DENGAN KINERJA PERKEMBANGAN WILAYAH (Studi Kasus Kota Bandar Lampung) ENDANG WAHYUNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menyelenggarakan otonomi,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kota

TINJAUAN PUSTAKA Kota TINJAUAN PUSTAKA 10 Kota What is a city but its people. Itulah kata bijak William Shakespeare mengenai gambaran sebuah kota. Sebuah kota sudah tentu merupakan gambaran orang-orang yang berdomisili di dalamnya.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 6 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SIAK SRI INDRAPURA KABUPATEN SIAK TAHUN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 6 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SIAK SRI INDRAPURA KABUPATEN SIAK TAHUN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 6 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SIAK SRI INDRAPURA KABUPATEN SIAK TAHUN 2002-2011 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIAK, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI A. Lokasi dan Waktu B. Pengumpulan Data

BAB III METODOLOGI A. Lokasi dan Waktu B. Pengumpulan Data 13 BAB III METODOLOGI A. Lokasi dan Waktu Kegiatan ini dibatasi sebagai studi kasus pada komoditas pertanian sub sektor tanaman pangan di wilayah Bogor Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undangundang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang perlu

Lebih terperinci

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN (Studi Kasus di Bungakondang Kabupaten Purbalingga) BUDI BASKORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tatanan lingkungan, sebenarnya merupakan bentuk interaksi antara manusia dengan

I. PENDAHULUAN. Tatanan lingkungan, sebenarnya merupakan bentuk interaksi antara manusia dengan 19 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tatanan lingkungan, sebenarnya merupakan bentuk interaksi antara manusia dengan alamnya dari masa ke masa. Berbagai lingkungan mempunyai tatanan masing masing sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1992 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1992 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1992 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Menggantikan UU No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5292 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI I. UMUM Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini 57 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Hutan Indonesia Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini mencapai angka 120,35 juta ha atau sekitar 61 % dari luas wilayah daratan Indonesia.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Bab IV Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian Perwilayahan adalah usaha untuk membagi bagi permukaan bumi atau bagian permukaan bumi tertentu untuk tujuan yang tertentu pula (Hadi Sabari Yunus, 1977).

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA

ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN. Daerah penelitian adalah wilayah pesisir di Kecamatan Punduh Pidada,

III METODE PENELITIAN. Daerah penelitian adalah wilayah pesisir di Kecamatan Punduh Pidada, 35 III METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Daerah penelitian adalah wilayah pesisir di Kecamatan Punduh Pidada, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung. Pemilihan daerah penelitian dilakukan

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO

ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO Sabua Vol.7, No.1: 383 388, Maret 2015 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO Verry Lahamendu Staf Pengajar JurusanArsitektur,

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 1996 TENTANG PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN, SERTA BENTUK DAN TATA CARA PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 31 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 31 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 31 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA PENGENDALIAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN DI KABUPATEN CIAMIS DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian di Kabupaten Sleman merupakan sektor yang. strategis dan berperan penting dalam perekonomian daerah dan

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian di Kabupaten Sleman merupakan sektor yang. strategis dan berperan penting dalam perekonomian daerah dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sektor pertanian di Kabupaten Sleman merupakan sektor yang strategis dan berperan penting dalam perekonomian daerah dan kelangsungan hidup masyarakat, terutama

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1 LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1 LAMPIRAN II CONTOH PETA RENCANA POLA RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 2 LAMPIRAN III CONTOH PETA PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS KABUPATEN L

Lebih terperinci

METODOLOGI KAJIAN. deskriptif dengan survey. Menurut Whitney (1960) dalam Natsir (1999), metode

METODOLOGI KAJIAN. deskriptif dengan survey. Menurut Whitney (1960) dalam Natsir (1999), metode III. METODOLOGI KAJIAN 3.1. Jenis Kajian Ditinjau dari aspek tujuan penelitian, kajian ini menggunakan pendekatan deskriptif dengan survey. Menurut Whitney (1960) dalam Natsir (1999), metode deskriptif

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA SELATAN ERNIES

KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA SELATAN ERNIES KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA SELATAN ERNIES DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 KONTRIBUSI INDUSTRI PENGOLAHAN KAYU DI PROPINSI SUMATERA

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.22, 2008 DEPARTEMEN KEHUTANAN. KAWASAN. Pelestarian.Suaka Alam. Pengelolaan. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.41 /Menhut-II/2008 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN

Lebih terperinci

KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS

KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS Studi Kasus Kawasan Kedungsapur di Provinsi Jawa Tengah DYAH KUSUMAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB 11: GEOGRAFI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI

BAB 11: GEOGRAFI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI 1. Sistem Informasi Geografi merupakan Sistem informasi yang memberikan gambaran tentang berbagai gejala di atas muka bumi dari segi (1) Persebaran (2) Luas (3) Arah (4) Bentuk 2. Sarana yang paling baik

Lebih terperinci

PANDANGAN MASYARAKAT TENTANG PELAKSANAAN PENATAAN KAWASAN JALAN PANGERAN ANTASARI KOTA BANDAR LAMPUNG OLEH : FARDI NANSYAH

PANDANGAN MASYARAKAT TENTANG PELAKSANAAN PENATAAN KAWASAN JALAN PANGERAN ANTASARI KOTA BANDAR LAMPUNG OLEH : FARDI NANSYAH PANDANGAN MASYARAKAT TENTANG PELAKSANAAN PENATAAN KAWASAN JALAN PANGERAN ANTASARI KOTA BANDAR LAMPUNG OLEH : FARDI NANSYAH PROGRAM PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 PANDANGAN MASYARAKAT TENTANG

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2003 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN MAGELANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2003 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN MAGELANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2003 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN MAGELANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAGELANG Menimbang : a. bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah harus dipandang sebagai upaya pemanfaatan sumberdaya ruang agar sesuai dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (UU No.5 Tahun 1960). Penataan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Lahan merupakan unsur penting dalam kehidupan manusia. Lahan sebagai ruang untuk tempat tinggal manusia dan sebagian orang memanfaatkan lahan sebagai

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

BERITA DAERAH KOTA BEKASI BERITA DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 42 2012 SERI : E PERATURAN WALIKOTA BEKASI NOMOR 42 TAHUN 2012 TENTANG BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BEKASI, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 2 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KARAWANG TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 2 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KARAWANG TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 2 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KARAWANG TAHUN 2011 2031 UMUM Ruang wilayah Kabupaten Karawang dengan keanekaragaman

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat

Lebih terperinci