BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum mengenai Gugatan a. Pengertian Gugatan Gugatan adalah sebagai suatu tuntutan hak dari setiap orang atau pihak (kelompok) atau badan hukum yang merasa hak dan kepentingannya dirugikan dan menimbulkan perselisihan, yang ditujukan kepada orang lain atau pihak lain yang menimbulkan kerugian itu melalui pengadilan (Sophar Maru Hutagalung, 2010: 1). Selain itu, menurut Darwan Prinst (2002:2), gugatan adalah suatu permohonan yang disampaikan kepada ketua pengadilan yang berwenang mengenai suatu tuntutan terhadap pihak lainnya dan harus diperiksa menurut tata cara tertentu oleh pengadilan, serta kemudian diambil putusan terhadap gugatan tersebut. Gugatan perdata disebut juga gugatan contentiosa artinya perkaranya bersifat partai atau perselisihan di antara para pihak, yaitu antara penggugat dan tergugat. Berbeda dengan permohonan atau gugatan voluntair adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditujukan ke pengadilan yang sifatnya sepihak (bukan partai) tanpa ada pihak lain yang ditarik sebagi tergugat. Permohonan biasanya diajukan kepada pengadilan untuk menetapkan sesuatu dan atas dasar permohonan itu hakim akan memberikan suatu penetapan, misalnya permohonan untuk penetapan ahli waris dan pembagian harta warisan yang diajukan oleh salah seorang ahli waris (Sophar Maru Hutagalung, 2010: 1-2). b. Syarat-Syarat Gugatan Surat gugatan harus memenuhi syarat-syarat formal, yaitu sebagai berikut (Sophar Maru Hutagalung, 2010: 57-58): 1) Di dalam susunan gugatan, antara subjek dan objek gugatan, maupun antara posita dengan petitum gugatan haruslah jelas, misalnya identitas penggugat dan tergugat, serta objek gugatan, alasan atau dasar hukum penggugat mengajukan gugatan (surat 11

2 12 gugatan yang tidak jelas menyebabkan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, vide Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, tanggal 5 Juni 1975, Nomor 616 K/Sip/1973); 2) Di dalam gugatan haruslah memuat secara lengkap fakta hukum yang menjadi dasar gugatan, sehingga sejalan dengan permintaanpermintaan penggugat yang dimuat dalam petitum (gugatan yang tidak lengkap menyebabkan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, vide Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, tanggal 28 November 1956, Nomor 195 K/Sip/1955); 3) Di dalam gugatan harus juga memperhatikan logika-logika hukum yang dapat menimbulkan konsekuensi, bahwa hal-hal tersebut harus diajukan dalam surat gugatan, misalnya, untuk perkara perbuatan melawan hukum, harus ada petitum yang menyatakan bahwa tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. c. Cara Mengajukan Gugatan Gugatan pada prinsipnya diajukan secara tertulis, tetapi apabila penggugat tidak dapat menulis maka dapat diajukan dengan lisan kepada ketua pengadilan, sesuai dengan ketentuan Pasal 120 HIR. Gugatan secara tertulis disebut dengan surat gugatan. Seorang penggugat mengajukan surat gugatan kepada ketua pengadilan negeri, berdasarkan Pasal 8 ayat (3) Rv ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam gugatan sebagai surat materiil gugatan (Lilik Mulyadi, 2002: 37): 1) Keterangan lengkap dari pihak yang berpekara yaitu nama, alamat dan pekerjaan; 2) Dasar gugatan (fundamental petendi) yang memuat uraian tentang hukum yaitu adanya hak dalam hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari gugatan itu dan memuat uraian tentang kejadian yaitu penjelasan duduk perkaranya; 3) Apa yang dimohonkan atau dituntut oleh penggugat agar diputuskan oleh hakim (petitum). Yang dituntut itu dapat diperinci menjadi dua macam, yakni tuntutan primair yang merupakan tuntutan pokok, dan tuntutan subsidair yang merupakan tuntutan pengganti apabila tuntutan pokok ditolak oleh hakim. Selain itu, dalam mengajukan gugatan harus diperhatikan oleh penggugat bahwa gugatan diajukan kepada peradilan yang berwenang untuk mengadili perkara. Dalam hukum acara perdata dikenal dua macam kewenangan/kompetensi yaitu (Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata, 2002:11):

3 13 1) Kewenangan/kompetensi absolut yang menyangkut pembagian kekuasaan antara badan-badan peradilan, dilihat dari macamnya pengadilan, menyangkut pemberian kekuasaan untuk mengadili (attributie van rechtsmacht); 2) Kewenangan/kompetensi relatif mengatur pembagian kekuasaan mengadili antar badan peradilan yang sama, tergantung pada domisili atau tempat tinggal para pihak, terutama tergugat (distributie van rechtsmacht). Pengaturan mengenai kompetensi relatif ini diatur dalam Pasal 118 HIR. Kemudian terdapat beberapa peraturan tambahan mengenai kompetensi relatif terkait pengajuan gugatan yaitu (Soepomo, 2002:22-23): 1) Jikalau kedua pihak memilih tempat tinggal spesial dengan akte yang tertulis, maka penggugat jika ia mau dapat mengajukan gugatan kepada ketua pengadilan negeri dalam daerah hukumnya tempat tinggal yang dipilih itu terletak (Pasal 118 ayat (4) HIR); 2) Jikalau tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal, maka yang berkuasa mengadili ialah Pengadilan Negeri dari tempat kediamannya tergugat; 3) Jikalau Tergugat juga tidak mempunyai tempat kediaman yang diketahui, atau jikalau tergugat tidak terkenal, maka gugatan diajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggalnya penggugat atau di tempat tinggalnya salah seorang dari para tergugat atau jika gugatannya mengenai barang tak bergerak misalnya tanah, maka gugatan diajukan kepada ketua pengadilan negeri dalam daerah hukumnya barang itu terletak (Pasal 118 ayat (3) HIR). 2. Tinjauan Umum mengenai Citizen Lawsuit a. Pengertian Citizen Lawsuit Citizen Lawsuit merupakan akses orang-perorangan warga negara untuk kepentingan publik mengajukan gugatan ke pengadilan guna menuntut agar pemerintah melakukan penegakkan hukum yang diwajibkan kepadanya atau untuk memulihkan kerugian publik yang terjadi. Pada dasarnya Citizen Lawsuit merupakan suatu hak gugat warga negara yang dimaksudkan untuk melindungi warga negara dari kemungkinan terjadinya kerugian sebagai akibat tindakan atau pembiaran omisi dari negara atau otoritas negara (Rahadi Wasi Bintoro, 2010:154). Selain itu, menurut E. Sundari (2002:15), Citizen Lawsuit adalah klaim atau tuntutan atau kehendak dari masyarakat

4 14 terorganisir menyangkut kepentingan umum yang dilanggar oleh siapapun. Atas pelanggaran kepentingan umum ini diperlukan kontrol yang bersifat fundamental dari warga negara melalui Citizen Lawsuit. Secara sederhana Citizen Lawsuit diartikan sebagai gugatan yang dapat diajukan oleh setiap warga negara, tanpa pandang bulu, dengan pengaturan oleh negara. Citizen Lawsuit dipakai oleh negara-negara yang menganut sistem common law. Dalam sistem common law, prinsip Citizen Lawsuit sama dengan prinsip actio popularis misalnya dalam gugatan terhadap perlindungan lingkungan oleh warga negara, terlepas apakah warga negara tersebut mengalami langsung pencemarannya atau tidak (Mas Achmad Santosa, 1997: 20). Karena masalah perlindungan lingkungan merupakan kepentingan umum atau kepentingan luas, maka setiap warga negara berhak menuntutnya (E. Sundari, 2002: 18). Citizen Lawsuit mempunyai kesamaan dengan prinsip Class Action yaitu gugatan yang diajukan sama-sama melibatkan kepentingan sejumlah besar orang yang diwakili oleh seorang atau lebih. Selain itu, Citizen Lawsuit dan Class Action juga mempunyai perbedaan, antara (Susanti Adi Nugroho, 2010: 395): 1) Dalam citizen lawsuit yang berhak mengajukan gugatan yaitu setiap orang atau setiap warga negara atas dasar bahwa ia adalah anggota masyarakat, tanpa ada keharusan bahwa orang tersebut merupakan pihak yang mengalami kerugian secara langsung. Sedangkan dalam class action, tidak setiap orang berhak mengajukannya melainkan hanya salah satu atau beberapa orang yang merupakan anggota dari sekelompok orang yang ikut mengalami kerugian secara langsung; 2) Kepentingan yang dituntut dalam citizen lawsuit adalah kepentingan umum yang dianggap kepentingan setiap anggota masyarakat juga, sedangkan dalam class action kepentingan yang dituntut adalah kepentingan yang sama atas dasar suatu permasalahan yang sama baik fakta maupun hukum yang menimpa kelompok tersebut; 3) Karena gugatan citizen lawsuit pada umumnya ditujukan kepada penyelenggara negara atau pemerintah dan jajarannya, maka tuntutan yang diajukan dalam citizen lawsuit adalah pelayanan atau perlindungan yang lebih baik kepada masyarakat, yang pada umunya bukan berupa ganti rugi. Sedangkan dalam class action,

5 15 pada umumnya yang menjadi tuntutan bersama adalah ganti rugi keuangan, meskipun tidak menutup kemungkinan lain sebagai tambahan. b. Pengaturan Citizen Lawsuit Pengaturan Citizen Lawsuit di Indonesia berbeda dengan pengaturan Citizen Lawsuit di negara-negara yang menganut sistem common law. Di negara-negara common law, Gugatan Citizen Lawsuit diatur dan dituangkan secara eksplisit dalam suatu undang-undang. Di Indonesia, mekanisme Gugatan Citizen Lawsuit ini tidak ada ketentuan hukum yang mengaturnya atau membolehkannya secara tegas dan juga tidak ada aturan hukum yang melarangnya secara tegas. Pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kemudian Pasal 10 ayat (1) Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Berdasarkan pada kedua ketentuan di atas, Gugatan Citizen Lawsuit harus diakui dan dibolehkan keberadaannya dalam peradilan di Indonesia agara tidak terjadi kekosongan yang terjadi akibat ketiadaan peraturan tertulis dan agar hukum selalu mengikuti perkembangan zaman. Menurut doktrin hukum dari Paul Scholten dikutip oleh E. Utrectch dalam bukunya, hakim dapat memenuhi ruang kosong yang ada dalam sistem hukum asalkan penambahan tersebut tidak mengubah sistem pada pokonya (E. Utrectch, 1956: 156). c. Proses Pengajuan Citizen Lawsuit Di dalam Laporan Penelitian Mahkamah Agung mengenai Citizen Lawsuit dan Class Action dikemukakan mengenai pengajuan gugatan Citizen Lawsuit. Di Amerika Serikat, awal mula munculnya pengakuan Gugatan Citizen Lawsuit adalah dari adanya pengajuan perkara ke

6 16 pengadilan. Kemudian adanya pengakuan tersebut dimuat dalam peraturan perundangan untuk menjamin secara hukum bahwa setiap orang dapat menuntut pemerintah di pengadilan untuk memenuhi kewajiban yang diperintahkan oleh undang-undang (Laporan Mahkamah Agung, 2009: 51). Di India, dalam hal Citizen Lawsuit maupun Representative Standing, warga negara yang menjadi penggugat tidak perlu membuktikan adanya kerugian yang bersifat riil dan tangible. Dalam putusan Mahkamah Agung India pada perkara gugatan Citizen Lawsuit antara S.H. Gupta melawan Union of India Air (1982 (Feb) SC 149), ditegaskan bahwa setiap anggota masyarakat siapapun juga dapat mengajukan gugatan apabila (Laporan Mahkamah Agung, 2009: 52-53): 1) Terjadi suatu kesalahan hukum atau kerugian hukum yang disebabkan oleh karena adanya suatu pelanggaran atas hak hukum tertentu atau perbuatan lain yang bersifat menghukum; 2) Terjadinya suatu kesalahan hukum atau perbuatan pembebanan hukum yang dilakukan tanpa otoritas hukum; 3) Seseorang atau kelompok masyarakat (klas) tertentu karena alasan kemiskinan, ketidakberdayaan atau kecatatan atau jika secara ekonomi maupun sosial berada dalam posisi merugikan tidak memiliki kemampuan untuk mengajukan gugatan ke pengadilan. Kemudian karakteristik Citizen Lawsuit, menurut Indro Ugianto dapat digambarkan sebagai berikut (Laporan Mahkamah Agung, 2009: 60): 1) Citizen Lawsuit merupakan akses orang perorangan atau warga negara untuk mengajukan gugatan di pengadilan untuk dan atas nama kepentingan keseluruhan warga negara atau kepentingan publik; 2) Citizen Lawsuit dimaksudkan untuk melindungi warga negara dari kemungkinan terjadinya kerugian sebagai akibat dari tindakan atau pembiaran dari negara atau otoritas negara; 3) Citizen Lawsuit memberikan kekuatan kepada warga negara untuk menggugat negara dan institusi pemerintah yang melakukan pelanggaran undang-undang atau yang melakukan kegagalan dalam memenuhi kewajibannya dalam pelaksanaan (implementasi) undang-undang; 4) Orang perorangan warga negara yang menjadi penggugat dalam Citizen Lawsuit tidak perlu membuktikan adanya kerugian langsung yang bersifat riil atau tangible.

7 17 Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengajuan Gugatan Citizen Lawsuit adalah didasarkan atas kelalaian penyelenggara negara dalam memenuhi hak-hak warga negara dan tidak hanya pada perkara lingkungan hidup. Kelalaian tersebut didalilkan sebagai perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu atas kelalaian tersebut, negara dihukum untuk melakukan tindakan tertentu atau mengeluarkan suatu kebijakan yang bersifat pengaturan umum agar kelalaian tersebut tidak terjadi lagi di kemudian hari. 3. Tinjauan Umum mengenai Putusan a. Pengertian Putusan Menurut Darwin Prinst (2002: 201), putusan adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara di pengadilan. Setelah melakukan segala pemeriksaan terhadap berkas-berkas dari penggugat serta alat pembuktian yang dihadirkan dalam persidangan acara perdata, maka hakim akan mengambil suatu putusan terhadap ia periksa. Putusan tersebut diharapkan menghasilkan suatu keadilan bagi para pihak atas kepentingannya yang diminta untuk diperiksa dan diputus oleh hakim. Dalam pertimbanagan hakim yang perlu diperhatikan pertimbangan hukumnya, sehingga siapa pun dapat menilai apakah putusan yang dijatuhkan cukup mempunyai alasan yang objektif atau tidak. Di samping itu, pertimbangan hakim adalah sangat penting dalam pembuatan memori banding dan memori kasasi (Sophar Maru Hutagalung, 2010: 95). Putusan hakim selayaknya mengandung beberapa aspek yaitu (Fance M. Wantu, 2012: 482): 1) Putusan hakim merupakan gambaran proses kehidupan sosial sebagai bagian dari proses konrol sosial; 2) Putusan hakim merupakan penjelmaan dari hukum yang berlaku dan pada intinya berguna untuk setiap orang maupun kelompok dan juga negara; 3) Putusan hakim merupakan gambaran keseimbangan antara ketentuan hukum dengan kenyataan di lapangan; 4) Putusan hakim merupakan gambaran kesadaran yang ideal antara hukum dan perubahan sosial;

8 18 5) Putusan hakim harus bermanfaat bagi setiap orang yang berperkara; 6) Putusan hakim merupakan tidak menimbulkan konflik baru bagi para pihak yang berperkara dan masyarakat. b. Sifat Putusan Putusan menurut sifatnya dibagi atas (Darwin Prinst, 2002: ): 1) Pengaturan (Constitutif) adalah putusan yang menetapkan mengenai sesuatu, seolah-olah membuat suatu kaidah/ketentuan baru; 2) Pernyataan (Declatoir) adalah putusan yang memberikan pernyataan mengenai sesuatu; 3) Menghukum (Condemnatoir) adalah putusan yang isinya menghukum. c. Jenis-Jenis Putusan Putusan menurut jenisnya dibagi atas (Darwin Prinst, 2002: ): 1) Putusan sela adalah putusan yang belum merupakan putusan akhir. Putusan sela dapat berupa: a) Putusan Provisional adalah putusan yang diambil segera mendahului putusan akhir tentang pokok perkara, karena adanya alasan-alasan yang mendesak; b) Putusan Prepatoir adalah putusan sela guna mempersiapkan putusan sela, misalnya putusan yang menolak/mengabulkan pengunduran sidang karena alasan yang tidak tepat/tidak dapat diterima; c) Putusan Insidental adalah putusan sela yang diambil secara insidental. Hal ini terjadi misalnya kematian kuasa dari salah satu pihak dan lain-lain. 2) Putusan akhir, putusan akhir dari suatu perkara dapat berupa: a) Niet Onvankelijk verklaart (NO) berarti tidak dapat diterima, yakni putusan pengadilan yang menyatakan, bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima; b) Tidak berwenang mengadili, suatu gugatan yang diajukan kepada pengadilan yang tidak berwenang, baik menyangkut kompetensi absolut maupun kompetensi relatif; c) Gugatan dikabulkan, suatu gugatan yang terbukti kebenarannya di pengadilan akan dikabulkan seluruhnya atau sebagian; d) Gugatan ditolak, suatu gugatan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya di depan pengadilan, maka gugatan tersebut ditolak. Penolakan tersebut dapat terjadi untuk seluruhnya atau hanya sebagian saja.

9 19 4. Tinjauan Umum mengenai Kemacetan a. Pengertian Kemacetan Menurut Kamus Bahasa Indonesia, kemacetan berasal dari kata macet, yaitu tidak dapat berfungsi dengan baik (tentang rem, mesin dan sebagainya); sedat; serat: rem mobilnya. Selain itu, kemacetan artinya hal (keadaan) macet: pawai itu mengakibatkan lalu lintas (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008: 891). Menurut Rodrique yang dikutip oleh Takyi Harriet dalam International Journal of Business and Social Science (2013: 227): States that congestion can be perceived as unavoidable consequences of scarce transport facilities such as road space, parking area, road signals and effective traffic management. They argue that urban congestion mainly concerns two domains of circulation, passengers and freight which share the same infrastructure. Thus, traffic congestion condition on road networks occurs as a result of excessive use of road infrastructure beyond capacity, and it is characterised by slower speeds, longer trip hours and increased vehicular queuing. Dengan demikian kemacetan adalah suatu kondisi arus lalu lintas yang tidak stabil dikarenakan kapasitas jalan tidak dapat lagi menampung jumlah kendaraan yang berlalu lalang sehingga kendaraan tersebut bergerak lambat atau terhenti sama sekali b. Dampak Kemacetan Kemacetan lalu lintas kendaraan bermotor menimbulkan dampak negatif dalam berbagai aspek, yaitu mengganggu kelancaran lalu lintas, waktu perjalanan menjadi lebih lama, konsumsi bahan bakar meningkat dan menimbulkan polusi udara. Kemacetan lalu lintas akan menggangu kelancaran lalu lintas perkotaan, dampaknya waktu tempuh menjadi lebih lama, akibatnya sampai di tempat tujuan terlambat. Waktu perjalanan yang lama dan tidak mematikan mesin kendaraan menyebabkan meningkatnya konsumsi bahan bakar. Selain itu, kemacetan lalu lintas perkotaan akan menimbulkan polusi udara, terutama kendaraan bermotor yang berlalu lintas di jalan raya, akan semakin besar polusi udara yang ditimbulkan. Polusi udara mempunyai dampak negatif

10 20 terhadap kesehatan manusia, berupa gangguan seluran pernafasan (Rahardjo Adisasmita dan Sakti Adji Sasmita, 2011: 90-91). B. Kerangka Pemikiran Kemacetan yang sering terjadi di DKI Jakarta Warga Negara mengajukan Gugatan Citizen Lawsuit di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Unsur-Unsur Gugatan Citizen Lawsuit terpenuhi Proses Pemeriksaan Gugatan Citizen Laswuit dilanjutkan Prosedur Gugatan Citizen Lawsuit yang diajukan oleh Penggugat adalah sah Pertimbangan Hakim Menolak Gugatan Citizen Lawsuit Bagan 1. Skematik Kerangka Pemikiran Penjelasan: Kerangka pemikiran di atas menjelaskan alur pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menjabarkan serta menemukan jawaban atas permasalahan hukum yaitu mengenai pertimbangan hakim dalam menolak

11 21 Gugatan Citizen Lawsuit (Gugatan Warga Negara) kasus kemacetan di DKI Jakarta (Studi Kasus Nomor: 53/PDT.G/2012/PN.JKT.PST.). Bahwa dikarenakan sering terjadinya kemacetan di DKI Jakarta, maka Penggugat yaitu Agustinus Dawarja, Yohanes Tangur dan Ngurah Anditya yang merupakan Warga Negara Republik Indonesia yang berprofesi sebagai Advokat dan bekerja di Jakarta mengajukan Gugatan Citizen Lawsuit ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas kinerja pemerintah khususnya pemerintah DKI Jakarta dalam menangani kemacetan di DKI Jakarta. Bahwa unsur-unsur dalam Gugatan Citizen Lawsuit yang diajukan Agustinus c.s. sebagai Penggugat telah terpenuhi, sehingga hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa prosedur pengajuan Gugatan Citizen Lawsuit yang diajukan oleh Penggugat adalah sah sehingga proses pemeriksaan dilanjutkan. Bahwa kemudian dalam putusan akhir, hakim memutus menolak Gugatan Citizen Lawsuit penggugat untuk seluruhnya. Berdasarkan hal tersebut, penulis mengkaji apakah unsur-unsur suatu gugatan dapat dikategorikan sebagai Gugatan Citizen Lawsuit serta apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menolak Gugatan Citizen Lawsuit terkait kasus kemacetan di DKI Jakarta.

BAB IV PENUTUP A. Simpulan

BAB IV PENUTUP A. Simpulan BAB IV PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan uraian dalam bab hasil penelitian dan pembahasan, maka penulis dapat merumuskan simpulan sebagai berikut: 1. Terdapat 4 (empat) unsur yang harus dipenuhi agar gugatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial dan makhluk politik (zoonpoliticon). Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa berhubungan dengan sesamanya, dan sebagai makhluk politik

Lebih terperinci

GUGATAN CITIZEN LAWSUIT DALAM PERKARA KEMACETAN DI DKI JAKARTA (STUDI KASUS NOMOR: 53/PDT.G/2012/PN.JKT.PST.)

GUGATAN CITIZEN LAWSUIT DALAM PERKARA KEMACETAN DI DKI JAKARTA (STUDI KASUS NOMOR: 53/PDT.G/2012/PN.JKT.PST.) GUGATAN CITIZEN LAWSUIT DALAM PERKARA KEMACETAN DI DKI JAKARTA (STUDI KASUS NOMOR: 53/PDT.G/2012/PN.JKT.PST.) Ahmad Safar, Harjono Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui unsur-unsur yang harus

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK GUGATAN WARGA NEGARA ( CITIZEN LAWSUIT

KARAKTERISTIK GUGATAN WARGA NEGARA ( CITIZEN LAWSUIT KARAKTERISTIK GUGATAN WARGA NEGARA (CITIZEN LAWSUIT) DAN PERBANDINGANNYA DENGAN GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK (CLASS ACTION) Oleh: Ni Luh Ayu Desi Putri Pratami I Nyoman Mudana Program Kekhususan Hukum Pidana

Lebih terperinci

DALAM PRESPEKTIF HUKUM ACARA PERDATA INDONESIA. Efa Laela Fakhriah. Hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh

DALAM PRESPEKTIF HUKUM ACARA PERDATA INDONESIA. Efa Laela Fakhriah. Hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh ACTIO POPULARIS (CITIZEN LAWSUIT ) DALAM PRESPEKTIF HUKUM ACARA PERDATA INDONESIA Efa Laela Fakhriah I. Pendahuluan Hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Tengker, cet. I, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2001), hal (Jakarta: Djambatan, 2002), hal. 37.

BAB 1 PENDAHULUAN. Tengker, cet. I, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2001), hal (Jakarta: Djambatan, 2002), hal. 37. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Adanya perbenturan kepentingan antara pihak-pihak yang melakukan interaksi sosial dalam kehidupan masyarakat maka diperlukan suatu norma hukum yang tegas dan

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis mengenai Gugatan Citizen Lawsuit dalam kasus kemacetan di DKI Jakarta, maka berikut ini hasil penelitian

Lebih terperinci

BAB IV. rumah tangga dengan sebaik-baiknya untuk membentuk suatu kehidupan. tangga kedua belah pihak tidak merasa nyaman, tenteram dan mendapaatkan

BAB IV. rumah tangga dengan sebaik-baiknya untuk membentuk suatu kehidupan. tangga kedua belah pihak tidak merasa nyaman, tenteram dan mendapaatkan 58 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERTIMBANGAN HUKUM PENGADILAN AGAMA SIDOARJO DALAM MEMUTUSKAN PERCERAIAN PASANGAN YANG MENIKAH DUA KALI DI KUA DAN KANTOR CATATAN SIPIL NOMOR: 2655/PDT.G/2012/PA.SDA

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. 1. Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit/Actio Popularis) adalah suatu gugatan

BAB IV PENUTUP. 1. Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit/Actio Popularis) adalah suatu gugatan BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan 1. Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit/Actio Popularis) adalah suatu gugatan dengan mekanisme yang sebenarnya pertama kali lahir dari sistem hukum civil law pada zaman Romawi.

Lebih terperinci

BERACARA DALAM PERKARA PERDATA Sapto Budoyo*

BERACARA DALAM PERKARA PERDATA Sapto Budoyo* BERACARA DALAM PERKARA PERDATA Sapto Budoyo* Abstrak Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka Pengadilan dan cara bagaimana

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi nikah dibawah umur di Pengadilan Agama Bantul

BAB IV PEMBAHASAN. Dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi nikah dibawah umur di Pengadilan Agama Bantul BAB IV PEMBAHASAN Dasar pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan dispensasi nikah dibawah umur di Pengadilan Agama Bantul Dalam Pasal 7 ayat (1) UUP disebutkan bahwa perkawinan hanya dapat diberikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GUGATAN. Untuk memulai dan menyelesaikan persengketaan perkara perdata

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GUGATAN. Untuk memulai dan menyelesaikan persengketaan perkara perdata BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GUGATAN A. Pengertian Gugatan Untuk memulai dan menyelesaikan persengketaan perkara perdata yang terjadi diantara anggota masyarakat, salah satu pihak yang bersengketa harus

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan I. PEMOHON - Drs. Rusli Sibua, M.Si. ------------------------------- selanjutnya disebut Pemohon. Kuasa Hukum: -

Lebih terperinci

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF 21 BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF A. Putusan Verstek Pada sidang pertama, mungkin ada pihak yang tidak hadir dan juga tidak menyuruh wakilnya untuk hadir, padahal sudah dipanggil dengan

Lebih terperinci

Eksistensi Lembaga Class Action (Gugatan Perwakilan Kelompok) Dalam Hukum Positif di Indonesia

Eksistensi Lembaga Class Action (Gugatan Perwakilan Kelompok) Dalam Hukum Positif di Indonesia Eksistensi Lembaga Class Action (Gugatan Perwakilan Kelompok) Dalam Hukum Positif di Indonesia Mutia Ch. Thalib Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo Abstrak: Gugatan Class Action melalui proses

Lebih terperinci

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) SEKITAR EKSEKUSI (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) A. Tinjauan Umum Eksekusi 1. Pengertian eksekusi Pengertian eksekusi menurut M. Yahya Harahap, adalah pelaksanaan secara paksa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupakan

BAB I PENDAHULUAN. oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Derden verzet merupakan salah satu upaya hukum luar biasa yang dilakukan oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupakan perlawanan pihak ketiga

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT A. Dasar Hukum Hakim dalam Penerapan Pencabutan Cerai Gugat Pengadilan

Lebih terperinci

hal 0 dari 11 halaman

hal 0 dari 11 halaman hal 0 dari 11 halaman I. PENGERTIAN PENGGUNAAN LEMBAGA PUTUSAN SERTA MERTA (UITVOERBAAR BIJ VOORRAAD) OLEH Ketua Muda Perdata Mahkamah Agung RI (H. SUWARDI, SH, MH) Subekti menyebut, putusan pelaksanaan

Lebih terperinci

MUHNUR SATYAHAPRABU A D V O C A T E

MUHNUR SATYAHAPRABU A D V O C A T E RAKYAT MENGGUGAT MUHNUR SATYAHAPRABU A D V O C A T E Sejarah CLS Gugatan Citizen Law Suit ini berkembang pertama di negara common law seperti Amerika Serikat. Ditandai dari gugatan pertama pada tahun 1943

Lebih terperinci

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN

Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Makalah Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang

Lebih terperinci

SALINAN P U T U S A N Nomor : 04/Pdt.G/2010/PTA.Plk

SALINAN P U T U S A N Nomor : 04/Pdt.G/2010/PTA.Plk SALINAN P U T U S A N Nomor : 04/Pdt.G/2010/PTA.Plk BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHAESA Pengadilan Tinggi Agama Palangkaraya yang mengadili perkara perdata dalam tingkat

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP

PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP Disampaikan dalam Kuliah S2 KMPK-IKM UGM Hukum, Etika dan Regulasi Kesehatan Masyarakat Oleh : Dinarjati Eka Puspitasari, S.H., M.Hum Yogyakarta, 21 Maret 2016 Penegakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Liberty, 1981), hal ), hal. 185.

BAB 1 PENDAHULUAN. Liberty, 1981), hal ), hal. 185. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Suatu perkara perdata itu diajukan oleh pihak yang bersangkutan kepada Pengadilan untuk mendapatkan pemecahan atau penyelesaian. 1 Untuk mendapatkan pemecahan atau

Lebih terperinci

Putusan di atas merupakan putusan dari perkara cerai talak, yang diajukan. oleh seorang suami sebagai Pemohon yang ingin menjatuhkan talak raj i di

Putusan di atas merupakan putusan dari perkara cerai talak, yang diajukan. oleh seorang suami sebagai Pemohon yang ingin menjatuhkan talak raj i di 79 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP TIDAK DITERAPKANNYA KEWENANGAN EX OFFICIO HAKIM TENTANG NAFKAH SELAMA IDDAH DALAM PERKARA CERAI TALAK (STUDI PUTUSAN NOMOR:1110/Pdt.G/2013/PA.Mlg) Putusan di atas merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sedangkan hukum perdata itu dibagi menjadi dua macam yaitu hukum perdata

BAB I PENDAHULUAN. Sedangkan hukum perdata itu dibagi menjadi dua macam yaitu hukum perdata BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu bidang ilmu hukum adalah hukum perdata yaitu serangkaian peraturan hukum yang mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain, dengan

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN 1. Istilah dan pengertian - Hukum perdata materiil : hukum yang mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak dalam hubungan perdata - Hukum perdata formil : hukum acara

Lebih terperinci

MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Jakarta, 9 Juli 1991

MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Jakarta, 9 Juli 1991 SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2 TAHUN 1991 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN BEBERAPA KETENTUAN DALAM UNDANG- UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan I. PEMOHON 1. Elisa Manurung, SH 2. Paingot Sinambela, SH, MH II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Pasal 1

Lebih terperinci

BAB 3 ANALISA PUTUSAN 3.1. DUDUK PERKARA PT AYUNDA PRIMA MITRA MELAWAN PT ADI KARYA VISI

BAB 3 ANALISA PUTUSAN 3.1. DUDUK PERKARA PT AYUNDA PRIMA MITRA MELAWAN PT ADI KARYA VISI BAB 3 ANALISA PUTUSAN 3.1. DUDUK PERKARA PT AYUNDA PRIMA MITRA MELAWAN PT ADI KARYA VISI Awal permasalahan ini muncul ketika pembayaran dana senilai US$ 16.185.264 kepada Tergugat IX (Adi Karya Visi),

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM

BAB IV ANALISIS STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM 57 BAB IV ANALISIS STUDI KASUS PUTUSAN HAKIM A. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Putusan N0.251/Pdt.G/2013 PA.Sda Dalam memutuskan setiap Perkara di dalam persidangan hakim tidak serta merta memutuskan perkara

Lebih terperinci

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 TATA CARA PEMANGGILAN PARA PIHAK YANG BERPERKARA PENGGUGAT/TERGUGAT YANG TERLIBAT DALAM PERKARA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI (PENERAPAN PASAL 388 jo PASAL 390 HIR) 1 Oleh: Delfin Pomalingo 2 ABSTRAK Tujuan

Lebih terperinci

BAB II PERKEMBANGAN GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK (CLASS ACTIONS) 1. Definisi Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Actions)

BAB II PERKEMBANGAN GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK (CLASS ACTIONS) 1. Definisi Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Actions) BAB II PERKEMBANGAN GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK (CLASS ACTIONS) 1. Definisi Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Actions) Beberapa definisi yang mencoba menjelaskan istilah Class Actions, baik menurut kamus

Lebih terperinci

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor 31/Pdt.G/2015/PTA Mks. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Makassar yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada

Lebih terperinci

HAK GUGAT ORGANISASI (LEGAL STANDING) PADA PERKARA HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI NDONESIA ABSTRAK

HAK GUGAT ORGANISASI (LEGAL STANDING) PADA PERKARA HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI NDONESIA ABSTRAK HAK GUGAT ORGANISASI (LEGAL STANDING) PADA PERKARA HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI NDONESIA Annisa Dwi Laksana 1, Hamzah 2, Depri Liber Sonata 3. ABSTRAK Hak gugat organisasi (legal standing) merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang hukum acara perdata a. Definisi hukum acara perdata Hukum acara perdata menurut Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial yang cenderung untuk selalu hidup

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial yang cenderung untuk selalu hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial yang cenderung untuk selalu hidup berkelompok (bermasyarakat). Kehidupan bermasyarakat menuntut manusia untuk saling berinteraksi atau

Lebih terperinci

JAMINAN. Oleh : C

JAMINAN. Oleh : C NASKAH PUBLIKASII SKRIPSI PERLAWANAN PIHAK KETIGA (DERDEN VERZET) TERHADAP SITA JAMINAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA (Study Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta) Disusun Dan Diajukan Untuk Melengkapi

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

Oleh Ariwisdha Nita Sahara NIM : E BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Oleh Ariwisdha Nita Sahara NIM : E BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan surat edaran mahkamah agung nomor 3 tahun 2000 tentang putusan serta merta (uitvoerbaar bij voorraad) dan provisionil dalam eksekusi putusan serta merta di Pengadilan Negeri Pati Oleh Ariwisdha

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 26/PUU-XV/2017 Pembatalan Putusan Arbitrase

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 26/PUU-XV/2017 Pembatalan Putusan Arbitrase I. PEMOHON Zainal Abidinsyah Siregar. Kuasa Hukum: RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 26/PUU-XV/2017 Pembatalan Putusan Arbitrase Ade Kurniawan, SH., Heru Widodo, SH., MH., dkk, advokat/ penasehat hukum

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor 271/Pdt/2013/PT.Bdg. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA L A W A N D A N

P U T U S A N Nomor 271/Pdt/2013/PT.Bdg. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA L A W A N D A N P U T U S A N Nomor 271/Pdt/2013/PT.Bdg. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN TINGGI BANDUNG yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara perdata dalam peradilan tingkat banding,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB IV. memutuskan dan mengadili perkara Nomor: 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr. tentang

BAB IV. memutuskan dan mengadili perkara Nomor: 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr. tentang BAB IV ANALISIS YURIDIS PEMBATALAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KEDIRI NOMOR : 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr. OLEH PENGADILAN TINGGI AGAMA SURABAYA NOMOR : 375/Pdt. G/2011/PTA. Sby. TENTANG GUGATAN WARIS A. Analisis

Lebih terperinci

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktori Putusan M 1 Salinan P E N E T A P A N Nomor: XXXX/Pdt.P/2010/PA.Dmk. BISMILLAHIRRAHMANIRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Demak yang memeriksa dan mengadili

Lebih terperinci

BAB 4 EKSEPSI TERHADAP GUGATAN CITIZEN LAWSUIT YANG BERSIFAT PREMATUR (Studi Kasus: Perkara No. 323/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST)

BAB 4 EKSEPSI TERHADAP GUGATAN CITIZEN LAWSUIT YANG BERSIFAT PREMATUR (Studi Kasus: Perkara No. 323/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST) BAB 4 EKSEPSI TERHADAP GUGATAN CITIZEN LAWSUIT YANG BERSIFAT PREMATUR (Studi Kasus: Perkara No. 323/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST) 4.1 KASUS POSISI Gugatan diajukan oleh 111 orang penggugat yang mengatasnamakan

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. A. Mekanisme Gugatan Perwakilan Kelompok (class action) yang dilakukan

BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. A. Mekanisme Gugatan Perwakilan Kelompok (class action) yang dilakukan BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Mekanisme Gugatan Perwakilan Kelompok (class action) yang dilakukan oleh Masyarakat sebagai Konsumen atas pemadaman listrik terhadap PT.PLN (Persero)

Lebih terperinci

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum Sejalan dengan perkembangan zaman era globalisasi sudah barang tentu tuntutan perkembangan penyelesaian sengketa perburuhan

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILU. Oleh; YOSRAN,S.H,M.Hum

PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILU. Oleh; YOSRAN,S.H,M.Hum PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILU OLEH PENGADILAN TINGGI TATA USAHA NEGARA Oleh; YOSRAN,S.H,M.Hum Kewenangan absolut pengadilan dilingkungan peradilan tata usaha negara adalah memeriksa, memutus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Didalam Hukum Acara Perdata terdapat dua perkara, yakni perkara

BAB I PENDAHULUAN. Didalam Hukum Acara Perdata terdapat dua perkara, yakni perkara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Didalam Hukum Acara Perdata terdapat dua perkara, yakni perkara permohonan dan perkara gugatan. Dalam perkara gugatan sekurangkurangnya ada dua pihak yang

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 6/PUU-XV/2017 Hak Konstitusional Guru Dalam Menjalankan Tugas dan Kewajiban Menegakkan Disiplin dan Tata Tertib Sekolah (Kriminalisasi Guru) I. PEMOHON 1. Dasrul (selanjutnya

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 7/Pdt.G/2009/PTA.Plk

P U T U S A N Nomor : 7/Pdt.G/2009/PTA.Plk SALINAN P U T U S A N Nomor : 7/Pdt.G/2009/PTA.Plk BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHAESA Pengadilan Tinggi Agama Palangkaraya yang mengadili perkara perdata dalam tingkat

Lebih terperinci

PENTINGNYA KREASI HAKIM DALAM MENGOPTIMALKAN UPAYA PERDAMAIAN BERDASARKAN PERMA NO. 1 TAHUN 2002 TENTANG ACARA GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK

PENTINGNYA KREASI HAKIM DALAM MENGOPTIMALKAN UPAYA PERDAMAIAN BERDASARKAN PERMA NO. 1 TAHUN 2002 TENTANG ACARA GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK PENTINGNYA KREASI HAKIM DALAM MENGOPTIMALKAN UPAYA PERDAMAIAN BERDASARKAN PERMA NO. 1 TAHUN 2002 TENTANG ACARA GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK Oleh I Dewa Made Nhara Prana Pradnyana I Dewa Gede Atmadja Hukum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA. Oleh: NY. BASANI SITUMORANG, SH., M.Hum. (Staf Ahli Direksi PT Jamsostek)

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA. Oleh: NY. BASANI SITUMORANG, SH., M.Hum. (Staf Ahli Direksi PT Jamsostek) PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA Oleh: NY. BASANI SITUMORANG, SH., M.Hum. (Staf Ahli Direksi PT Jamsostek) PENERAPAN HUKUM ACARA PERDATA KHUSUS PENGADILAN HUBUNGAN

Lebih terperinci

TATA CARA DAN MEKANISME PEMBERIAN BANTUAN HUKUM DALAM PERKARA PERDATA PELAYANAN PERKARA PRODEO

TATA CARA DAN MEKANISME PEMBERIAN BANTUAN HUKUM DALAM PERKARA PERDATA PELAYANAN PERKARA PRODEO TATA CARA DAN MEKANISME PEMBERIAN BANTUAN HUKUM DALAM PERKARA PERDATA PELAYANAN PERKARA PRODEO Syarat-Syarat Berperkara Secara Prodeo 1. Anggota masyarakat yang tidak mampu secara ekonomis dapat mengajukan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 14/PUU-XII/2014 Tindak Pidana Dalam Kedokteran

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 14/PUU-XII/2014 Tindak Pidana Dalam Kedokteran RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 14/PUU-XII/2014 Tindak Pidana Dalam Kedokteran I. PEMOHON 1. Dr. Agung Sapta Adi, SP. An., sebagai Pemohon I; 2. Dr. Yadi Permana, Sp. B (K) Onk., sebagai Pemohon

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 0930/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. melawan

PUTUSAN Nomor 0930/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. melawan PUTUSAN Nomor 0930/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara perdata tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor 0005/Pdt.G/2017/PTA. Plk. M e l a w a n

P U T U S A N. Nomor 0005/Pdt.G/2017/PTA. Plk. M e l a w a n P U T U S A N Nomor 0005/Pdt.G/2017/PTA. Plk DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Palangka Raya yang memeriksa dan mengadili perkara pada tingkat banding, dalam persidangan

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

TENTANG DUDUK PERKARANYA

TENTANG DUDUK PERKARANYA P U T U S A N Nomor : 7/Pdt.G/2010/PTA Smd BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Samarinda yang mengadili perkara perdata pada tingkat banding

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.292, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA ADMINISTRASI. Pemerintahan. Penyelengaraan. Kewenangan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601) UNDANG UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Hukum merupakan kaidah atau norma yang hidup dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Hukum merupakan kaidah atau norma yang hidup dalam masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Hukum merupakan kaidah atau norma yang hidup dalam masyarakat baik tertulis maupun tidak tertulis/lisan, di mana norma tersebut bertujuan untuk menciptakan kondisi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor 100/Pdt.G/2013/PTA.Mks BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor 100/Pdt.G/2013/PTA.Mks BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor 100/Pdt.G/2013/PTA.Mks BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Makassar yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum dalam Ilmu

Lebih terperinci

BAB IV. Hakim dalam memutuskan suatu perkara yang ditanganinya, selain. memuat alasan dan dasar dalam putusannya, juga harus memuat pasal atau

BAB IV. Hakim dalam memutuskan suatu perkara yang ditanganinya, selain. memuat alasan dan dasar dalam putusannya, juga harus memuat pasal atau BAB IV ANALISIS YURIDIS TENTANG PENERAPAN HAK EX OFFICIO HAKIM TERHADAP HAK ASUH DAN NAFKAH ANAK DALAM CERAI GUGAT (STUDI PUTUSAN NOMOR : 420/PDT.G/2013/PTA.SBY) A. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Pengadilan

Lebih terperinci

: Replik Penggugat dalam Perkara Perdata Nomor 168/ Pdt. G/ 2013/ PN.Jkt.Pst [REPLIK ATAS EKSEPSI DAN JAWABAN PERTAMA TERGUGAT II]

: Replik Penggugat dalam Perkara Perdata Nomor 168/ Pdt. G/ 2013/ PN.Jkt.Pst [REPLIK ATAS EKSEPSI DAN JAWABAN PERTAMA TERGUGAT II] Perihal : Replik Penggugat dalam Perkara Perdata Nomor 168/ Pdt. G/ 2013/ PN.Jkt.Pst [REPLIK ATAS EKSEPSI DAN JAWABAN PERTAMA TERGUGAT II] Antara TEGUH SUGIHARTO, SE --------------------------------------------------------------------------

Lebih terperinci

KEWENANGAN PENGADILAN DALAM MENGADILI MENURUT HUKUM TANPA MEMBEDA-BEDAKAN ORANG (ASAS OBYEKTIFITAS)

KEWENANGAN PENGADILAN DALAM MENGADILI MENURUT HUKUM TANPA MEMBEDA-BEDAKAN ORANG (ASAS OBYEKTIFITAS) KEWENANGAN PENGADILAN DALAM MENGADILI MENURUT HUKUM TANPA MEMBEDA-BEDAKAN ORANG (ASAS OBYEKTIFITAS) ABSTRAK TITIN APRIANI Fakultas Hukum Univ. Mahasaraswati Mataram e-mail : Titinapriani97@yahoo.com, Tujuan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon I. PEMOHON RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon Kuasa Hukum: Muhammad Ainul Syamsu, SH.,

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor 00/Pdt.G/2012/PTA.Btn

P U T U S A N Nomor 00/Pdt.G/2012/PTA.Btn P U T U S A N Nomor 00/Pdt.G/2012/PTA.Btn BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Banten yang mengadili perkara perdata pada tingkat banding dalam

Lebih terperinci

BAB I. Eksekusi pada hakekatnya tidak lain ialah realisasi daripada kewajiban pihak yang

BAB I. Eksekusi pada hakekatnya tidak lain ialah realisasi daripada kewajiban pihak yang 1 BAB I PENDAHULUAN Eksekusi pada hakekatnya tidak lain ialah realisasi daripada kewajiban pihak yang kalah dalam suatu perkara untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan pengadilan oleh karena

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 52/PDT/2012/PT.MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.

P U T U S A N Nomor : 52/PDT/2012/PT.MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. P U T U S A N Nomor : 52/PDT/2012/PT.MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Pengadilan Tinggi Sumatera Utara di Medan yang memeriksa dan mengadili perkara - perkara perdata pada peradilan

Lebih terperinci

RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 28/PUU-V/2007

RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 28/PUU-V/2007 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------- RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 28/PUU-V/2007 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN TERHADAP

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor 116/Pdt/2014/PT.Bdg.

P U T U S A N Nomor 116/Pdt/2014/PT.Bdg. P U T U S A N Nomor 116/Pdt/2014/PT.Bdg. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN TINGGI BANDUNG yang memeriksa dan mengadili perkara perdata dalam tingkat banding, telah menjatuhkan

Lebih terperinci

Jakarta, 31 Agustus 1951 SURAT EDARAN NOMOR 3 TAHUN 1951

Jakarta, 31 Agustus 1951 SURAT EDARAN NOMOR 3 TAHUN 1951 SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 3 TAHUN 1951 TENTANG PETUNJUK- PETUNJUK BAGI BEBERAPA PANITERA MENGENAI PENAFSIRAN DARI PERATURAN-PERATURAN UNDANG-UNDANG KASASI DALAM PERKARA-PERKARA PERDATA MAHKAMAH

Lebih terperinci

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003

Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003 M a j a l a h H u k u m F o r u m A k a d e m i k a 45 Analisis Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Mengeluarkan Putusan Yang Bersifat Ultra Petita Berdasarkan Undang-Undangnomor 24 Tahun 2003 Oleh: Ayu

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XV/2017 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 39/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 I. PEMOHON Perkumpulan Hisbut Tahrir Indonesia, organisasi

Lebih terperinci

CARA MENGAJUKAN GUGATAN DAN PERUBAHAN GUGATAN DALAM PRAKTEK PERADILAN HUKUM ACARA PERDATA

CARA MENGAJUKAN GUGATAN DAN PERUBAHAN GUGATAN DALAM PRAKTEK PERADILAN HUKUM ACARA PERDATA CARA MENGAJUKAN GUGATAN DAN PERUBAHAN GUGATAN DALAM PRAKTEK PERADILAN HUKUM ACARA PERDATA Oleh: I Wayan Wardiman Dinata I Nyoman Bagiastra Program Kekhususan Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

memperhatikan pula proses pada saat sertipikat hak atas tanah tersebut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

memperhatikan pula proses pada saat sertipikat hak atas tanah tersebut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 101 kepemilikannya, bertujuan untuk memberikan kepastian hukum terhadap sertipikat hak atas tanah dan perlindungan terhadap pemegang sertipikat hak atas tanah tersebut. Namun kepastian hukum dan perlindungan

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor 274/Pdt/2014/PT.BDG DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor 274/Pdt/2014/PT.BDG DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor 274/Pdt/2014/PT.BDG DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Bandung yang memeriksa dan mengadili perkaraperkara perdata dalam peradilan Tingkat Banding,

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor <No Prk>/Pdt.G/2017/PTA. Bdg. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN TINGGI AGAMA BANDUNG

P U T U S A N. Nomor <No Prk>/Pdt.G/2017/PTA. Bdg. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN TINGGI AGAMA BANDUNG P U T U S A N Nomor /Pdt.G/2017/PTA. Bdg. الرحيم الرحمن الله بسم DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN TINGGI AGAMA BANDUNG Dalam sidang majelis tingkat banding telah memeriksa,

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA : 33/PUU-X/2012

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA : 33/PUU-X/2012 RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 33/PUU-X/2012 Tentang Pembatasan Kekuasaan dan Kewenangan Kepolisian Republik Indonesia I. PEMOHON Erik.. selanjutnya disebut sebagai Pemohon. II. POKOK

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUUXIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan I. PEMOHON Muhamad Zainal Arifin Kuasa Hukum Heru Setiawan, Novi Kristianingsih, dan Rosantika Permatasari

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XV/2017 Eksploitasi Ekonomi Terhadap Anak

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XV/2017 Eksploitasi Ekonomi Terhadap Anak RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XV/2017 Eksploitasi Ekonomi Terhadap Anak I. PEMOHON Tajudin bin Tatang Rusmana. Kuasa Hukum: Abdul Hamim Jauzie, S.H., Ahmad Muhibullah, SH, dkk, para advokat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana dimungkinkan untuk melakukan upaya hukum. Ada upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti TINJAUAN TENTANG KEKUATAN PEMBUKTIAN PEMERIKSAAN SETEMPAT DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA PERDATA ( SENGKETA TANAH ) DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA Febrina Indrasari,SH.,MH Politeknik Negeri Madiun Email: febrinaindrasari@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB IV MUTAH DALAM PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA. A. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Menggunakan atau Tidak

BAB IV MUTAH DALAM PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA. A. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Menggunakan atau Tidak BAB IV ANALISIS YURIDIS HAK EX OFFICIO HAKIM TENTANG NAFKAH MUTAH DALAM PERKARA CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA A. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Menggunakan atau Tidak Menggunakan Hak Ex Officio

Lebih terperinci

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015.

I. PEMOHON Imam Ghozali. Kuasa Pemohon: Iskandar Zulkarnaen, SH., MH., berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 15 Desember 2015. RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12/PUU-XIV/2016 Waktu Penyelesaian, Produk Hukum penyelesaian BNP2TKI, dan Proses Penyelesaian Sengketa Antara TKI dengan PPTKIS Belum Diatur Di UU 39/2004 I. PEMOHON

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan pengujian konstitusional di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Lebih terperinci

Hal. 2 dari 8 hal. Put. No. 194 K/AG/2007.

Hal. 2 dari 8 hal. Put. No. 194 K/AG/2007. 1. Tergugat telah berselingkuh dengan wanita lain bernama Xxx dan telah dikawin sirri tanpa seizin Penggugat ; 2. Tergugat sering menyakiti badan Penggugat dengan tanpa alasan ; 3. Sejak April 2004 Tergugat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan

Lebih terperinci

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara I. PEMOHON Bachtiar Abdul Fatah. KUASA HUKUM Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., dkk berdasarkan surat

Lebih terperinci