BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang hukum acara perdata a. Definisi hukum acara perdata Hukum acara perdata menurut Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia dapat diartikan sebagai hukum yang mengatur mengenai cara untuk mengajukan hak, memeriksa, memutus perkara hingga pelaksanaan putusan tersebut. Tuntutan hak yang dimaksudkan di sini adalah tindakan yang bertujuan mendapat perlindungan hukum yang seharusnya diberikan oleh pengadilan (Sudikno Mertokusumo, 2010:3). Hukum acara perdata dapat pula diartikan sebagai hukum atau peraturan yang mengatur cara melaksanakan tuntutan hak, suatu pedoman dalam melaksanakan tuntutan hak itu (Anita Afriana, 2015: 32). Hari Sasangka dan Ahmad Rifai mengutip pendapat Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oerip Kartawinata terkait definisi hukum acara perdata dalam buku Perbandingan HIR dengan RBG yang diartikan sebagai kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak dan kewajiban perdata seperti yang diatur dalam hukum perdata materil (Hari Sasangka & Ahmad Rifai, 2005:2). b. Sumber-sumber hukum acara perdata Sumber hukum acara perdata menurut Hari Sasangka dan Ahmad Rifai terdiri atas kebiasaan, peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, ajaran atau doctrin dan traktat. Dari beberapa sumber terebut yang dirasa sangat berperan yaitu peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi (Hari Sasangka & Ahmad Rifai, 2005:2). Peraturan yang dimaksudkan untuk menjalankan hukum acara perdata terbagi menjadi 3 (tiga) aturan pokok yang terbagi atas HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) yang dijadikan pedoman penegakan hukum acara perdata di Pulau Jawa dan Madura, Rbg ( Rechsreglement 14

2 15 Buitengwestern) yang dijadikan pedoman penegakan hukum acara perdata di luar Pulau Jawa serta Madura, lain halnya dengan Rv (Reglement op de Burgeriljke rechtsvordering) yang dijadikan pedoman penegakan hukum acara perdata bagi golongan Eropa (Sudikno Mertokusumo, 2010:9). c. Asas-asas hukum acara perdata 1) Asas sederhana cepat dan biaya ringan Pada dasarnya peradilan di Indonesia menganut prinsip peradilan yang baik hal itu dapat tercermin dalam asas sederhana, cepat dan biaya ringan, asas ini pun terdapat dalam sistem peradilan perdata di Indonesia (Anita Afriana, 2015:33). Berdasarkan penjelasan Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan yang dimaksud sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif. Kemudian yang dimaksud dengan biaya ringan yaitu biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat. Sedangkan Sudikno Mertokusumo Mertokusumo, 2002:36): menjelaskan (Sudikno Sederhana yaitu acara yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Makin sedikit dan sederhananya formalitas yang diwajibkan atau diperlukan dalam proses beracara pengadilan maka akan semakin baik. Terlalu banyak formalitas yang sulit dipahami atau peraturanperaturan yang mengandung banyak arti ( dubieus), sehingga memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran kurang menjamin adanya kepastian hukum dan menyebabkan keengganan atau ketakutan untuk beracara di muka pengadilan. Cepat yang dimaksud adalah menunjuk pada jalannya peradilan, terlalu banyak formalitas merupakan suatu hambatan tersendiri dalam jalannya peradilan. Dalam hal ini bukan hanya jalannya peradilan dalam pemeriksaan di muka sidang saja, tetapi juga penyelesaian dari berita acara pemeriksaan di persidangan sampai dengan penandatanganan putusan oleh hakim serta eksekusinya. Cepatnya suatu proses peradilan akan meningkatkan kewibawaan pengadilan tersebut dan menambah kepercayaan masyarakat pada pengadilan.

3 16 Sedangkan adanya biaya ringan dimaksudkan agar segala proses peradilan dapat terpikul oleh rakyat, biaya yang tinggi akan menyebabkan pihak yang berkepentingan tidak mau atau bahkan takut untuk mengajukan tuntutan kepada pengadilan yang bersangkutan. 2) Asas hakim pasif Pasif yang dimaksudkan di sini berarti hakim tidak menentukan luas dari pokok sengketa, hakim tidak boleh menambah atau menguranginya ( Verhandlungsmaxime). Akan tetapi tidak berarti bahwa hakim sama sekali tidak aktif. Selaku pimpinan sidang hakim harus aktif memimpin pemeriksaan perkara dan tidak merupakan pegawai atau sekedar alat dari para pihak dan harus berusaha sekeraskerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan (Sudikno Mertokusumo, 2010:17). 3) Mempertahankan hukum perdata Dalam penyelesaian perkara perdata, hakim menjalankan tugasnya sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang berperan dan berfungsi untuk menegakan kebenaran dan keadilan ( to enforce the truth and justice) untuk mencapai hal tersebut hakim harus mempunyai acuan : a) Menetapkan aturan materil yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa para pihak yang berprinsip sedapat mungkin berpatokan dan mengunggulkan ( prevail) ketentuan perundangan hukum positif yang ada akan tetapi tidak mengurangi kewenangan mencari dan menetapkan nilai-nilai materil yang ada di masyarakat sepanjang nilai tersebut sesuai dengan kepatutan (appro-priatness) dan kemanusiaan agar terwujud penyelesaian sengketa yang berwawasan moral justice dan tak hanya sekedar keadilan menurut hukum (legal justice). b) Berdasarkan ketentuan materil tersebut hakim menjadikan aasan siapakah yang lebih utama dan sempurna memiliki kebenaran

4 17 berdasarkan sistem hukum pembuktian yang digariskan undangundang (M. Yahya Harahap, 2014:70). 4) Tugas hakim menemukan kebenaran formil Para ahli hukum dan dalam praktik menjelaskan mengenai kebenaran yang harus ditemukan dan ditegakan oleh hakim yaitu: a) Cukup dalam bentuk kebenaran formil ( formiele waarheid) yang berarti cukup sebatas kebenaran yang sesuai dengan aturan hukum; b) Hakim tidak dituntut mencari dan menemukan kebenaran materil (materiele waarheid) atau kebenaran hakiki (ultimate truth) berlandaskan keyakinan hati nurani. Namun kebenaran formil tersebut jangan sampai dimanipulasi sebagai bentuk kebenaran yang setengah-setengah namun haruslah kebenran yang diperoleh dari segala fakta dalam sidang. Dengan demikian pada hakikatnya hakim dapat diketahui tidak ada larangan untuk mencari dan menemukan kebenaran hakiki namun apabila kebenaran hakiki tersebut tak ditemukan dalam persidangan maka hukum pun membenarkan cukup menemukan dan mengambil putusan berdasarkan hukum formil (M. Yahya Harahap, 2014:71). 5) Asas imparsialitas Asas imparsialitas ( impartiality) memiliki arti yang luas yang meliputi: a) Tidak memihak (impartial), b) Bersikap jujur atau adil (fair and just), c) Tidak bersikap diskriminatif. Pengadilan atau hakim tidak boleh bersikap memihak atau menyeblah kepada salah satu pihak. Jalannya proses pemeriksaan persidangan haruslah mengandung semangat fair trial. Apabila terdapat pihak yang merasa hakim menyeblah atau tidak adil maka pihak tersebut mempunyai hak ingkar. Adapun hak ingkar yang dimaksud di sini adalah hak seseorang yang diadili untuk mengajukan

5 18 keberatan terhadap hakim yang memeriksa perkaranya, terdapat alasan yang jelas serta diajukan dipengadilan, dimana atas hal tersebut pengadilan harus mengambil keputusan mengabulkan atau menolak keberatan (M. Yahya Harahap, 2014:73). 2. Tinjauan tentang gugatan a. Definisi gugatan Gugatan dapat diartikan sebagai suatu tuntutan hak dari setiap orang atau pihak yang dapat pula berbentuk kelompok atau badan hukum yang merasa hak dan kepentingannya dirugikan serta timbul suatu perselisihan yang ditujukan kepada pihak lain yang menimbulkan kerugian melalui pengadilan (Sophar Maru Hutagalung, 2010:1). Pengajuan tuntutan hak dalam perkara perdata dapat diajukan secara lisan maupun tertulis. Bentuk tertulis inilah yang kemudian dikenal sebagai surat gugatan (Rahadi Wasi Bintoro, 2010: 150). Gugatan itu sendiri terdiri atas gugatan voluntair (gugatan permohonan), gugatan contentiosa dan gugatan class action (gugatan perwakilan kelompok) (M. Yahya Harahap, 2014:28-137). Gugatan voluntair (gugatan permohonan) sering pula dikenal dengan istilah permohonan. Sebutan ini dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang -Undang Nomor 14 Tahun 1970 (sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999) yang menyatakan Penyelesaian setiap perkara yang diajukan kepada badan-badan peradilan mengandung pengertian di dalamnya penyelesaian masalah yang bersangkutan dengan yuridiksi voluntair. Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang -Undang Nomor 14 Tahun 1970 (sebagaimana diubah dengan Undang -Undang Nomor 35 Tahun 1999) dan sekarang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang -Undang Nomor 4 Tahun 2004 sebagai pengganti Undang-undang Nomor 14 Tahun Tugas dan kewenangan badan peradilan di bidang perdata adalah menerima, memeriksa dan mengadili sengeketa para pihak yang berperkara, wewenang tersebut disebut yuridiksi contentiosa dan

6 19 gugatannya berbentuk gugatan contentiosa atau disebut juga contentius. Gugatan contentiosa inilah yang dimaksud dengan gugatan perdata dalam praktik (M. Yahya Harahap, 2014:46-47). Gugatan class action baru dikenal di Indonesia secara formil dan resmi ( formal and official) yaitu pada tahun 2002 yang tertuang dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tanggal 26 April Gugatan class action dapat diartikan sebagai gugatan yang berisi tuntutan melalui proses pengadilan yang diajukan oleh satu atau beberapa orang yang mewakili atau bertindak sebagai wakil kelompok. Adanya class action ini bertujuan untuk menyederhanakan akses masyarakat dalam mengakses keadilan dan mengefisiensikan penyelesaian pelanggaran hukum yang merugikan orang banyak (M. Yahya Harahap, 2014: ). b. Kompetensi absolut terkait pengajuan gugatan Kompetensi absolut atau juga biasa disebut dengan wewenang mutlak adalah kompetensi yang mengatur mengenai pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan dilihat dari macam-macam pengadilan terkait distribusi kekuasaan untuk mengadili. Dalam bahasa Belanda hal tersebut disebut sebagai attributie van rechtsmacht. Misalanya perkara perceraian bagi yang beragama islam termasuk wewenang pengadilan agama, sedangkan dalam hal waris, sewa menyewa, utang piutang maupun jual beli merupakan wewenang pengadilan negeri. Kompetensi Absolut atau dapat juga disebut wewenang mutlak menjawab suatu pertanyaan mengenai badan peradilan macam apa yang berwenang untuk mengadili suatu sengketa (Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata, 2002:11) c. Kompetensi relatif terkait pengajuan gugatan Kompetensi relatif mengatur mengenai pembagian kekuasaan mengadili antar pengadilan yang serupa, tergantung dari tempat tinggal tergugat. Pasal 118 HIR menjelaskan kekuasaan relatif yang dalam Bahasa Belanda disebut sebagai distributie van rechtsmacht. Terkait

7 20 dengan kewenangan mengadili secara relatif dikenal dengan adanya asas yang berasal dari bahasa latin yaitu Actor Sequitur Forum Rei (Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata, 2002:11). Pada proses pengajuan gugatan di muka pengadilan negeri (dahulu Landraad) dimulai dengan diajukannya surat gugatan oleh penggugat atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dalam daerah hukum tempat tinggal tergugat (berlaku asas Actor Sequitur Forum Rei). Apabila terdapat lebih dari seorang tergugat, maka penggugat tersebut dapat memilih pengadilan negeri dari tempat tinggal salah satu para tergugat tersebut. Jika antara beberapa orang tergugat hubungannya satu sama lain sebagai orang yang berutang pertama ( hoofdschuldenaar) dan penanggung ( borg), maka gugatan diajukan kepada ketua pengadilan negeri dari tempat tinggal orang yang berutang pertama kali (Soepomo, 2002:22). Bahwa kemudian Soepomo dalam bukunya Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri menjelaskan terdapat beberapa peraturan tambahan mengenai kompetensi relatif terkait pengajuan gugatan yaitu (Soepomo, 2002:22-23): 1) Jikalau kedua pihak memilih tempat tinggal spesial dengan akte yang tertulis, maka penggugat jika ia mau dapat mengajukan gugatan kepada ketua pengadilan negeri dalam daerah hukumnya tempat tinggal yang dipilih itu terletak (Pasal 118 ayat (4)). 2) Jikalau tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal, maka yang berkuasa mengadili ialah pengadilan negeri dari tempat kediamannya tergugat. 3) Jikalau Tergugat juga tidak mempunyai tempat kediaman yang diketahui, atau jikalau tergugat tidak terkenal, maka gugatan diajukan kepada ketua pengadila negeri di tempat tinggalnya penggugat atau di tempat tinggalnya salah seorang dari para tergugat atau jika gugatannya mengenai barang tak bergerak misalnya tanah, maka gugatan diajukan kepada ketua pengadilan negeri dalam daerah hukumnya barang itu terletak (Pasal 118 ayat 3).

8 21 d. Tata cara pengajuan gugatan Suatu gugatan pun memiliki aturan mengenai cara mengajukan gugatan dimana syaratnya sebagai berikut (Soepomo, 2002:23): 1) Gugatan harus dibuat dalam bentuk tertulis dan ditandatangani (Pasal 118 HIR), serta harta memenuhi undang-undang meterai (zegel-verordening). 2) Surat gugatan yang diajukan kepada pengadilan negeri haruslah disampaikan kepada ketua dari pengadilan negeri yang bersangkutan. Bahwa kemudian apabila penggugat tidak dapat menulis gugatannya dalam artian dia tidak mengetahui ketentuan formil tersebut maka ia boleh mengajukan gugatan secara lisan kepada ketua pengadilan negeri yang akan mencatat atau menyuruh mencatat gugatan tersebut (Pasal 120 HIR). e. Formulasi surat gugatan Bahwa yang dimaksud dengan formulasi surat gugatan adalah perumusan surat gugatan yang dianggap memenuhi syarat formil menurut ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bahwa memang pada hakikatnya pada Pasal 118 dan Pasal 120 HIR tidak menetapkan formulasi mengenai surat gugatan. Namun pada praktiknya terdapat beberapa hal yang lazim digunakan dalam praktik peradilan (M. Yahya Harahap, 2014:51). Adapun rinciannya adalah sebagai berikut: 1) Ditujukan kepada pengadilan negeri sesuai dengan kompetensi relatif. Surat gugatan secara formil haruslah diajukan kepada pengadilan negeri sesuai dengan kompetensi relatif yang diatur dalam Pasal 118 HIR. Apabila surat gugatan salah alamat atau tidak sesuai dengan kompetensi relatif maka akan mengakibatkan: a) Surat gugatan mengandung cacat formil, karena gugatan diajukan kepada pengadilan negeri yang berada di luar wilayah hukum yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut.

9 22 b) Dengan demikian, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklaard) atas alasan hakim tidak berwenang mengadili (M. Yahya Harahap, 2013:51-52). 2) Diberi tanggal Hukum positif Indonesia tidak menyebut atau mengatur ketentuan surat gugatan harus mencantumkan tanggal. Begitu pula jika surat gugatan dikaitkan dengan pengertian akta sebagai alat bukti, Pasal 1868 maupun Pasal 1874 KUHPer, tidak menyebut pencantuman tanggal di dalamnya. Karena itu berdasarkan ketentuan Pasal 118 ayat (1) HIR dihubungkan dengan pengertian akta sebagai alat bukti, maka pada dasarnya tidak mewajibkan pencantuman tanggal sebagai syarat formil. Oleh karena itu, ditinjau dari segi hukum pencantuman tanggal tidak imperatif dan bahkan bukan merupakan syarat formil surat gugatan sehingga kelalaian atas pencantuman tanggal, tidak mengakibatkan surat gugatan mengandung cacat formil dan sah menurut hukum sehingga tidak dapat dijadikan dasar untuk menyatakan gugatan tidak dapat diterima (M. Yahya Harahap, 2014:52). 3) Ditandatangani Penggugat Atau Kuasa Ketentuan mengenai penandatanganan surat gugatan secara rigit disebutkan dalam Pasal 118 ayat (1) HIR yang menyatakan: a) Gugatan perdata harus dimasukan ke pengadilan negeri sesuai dengan kompetensi relatif; dan b) Dibuat dalam bentuk surat permohonan (surat permintaan) yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh wakilnya (kuasanya) (M. Yahya Harahap, 2014:52). 4) Identitas para pihak Penyebutan identitas dalam surat gugatan, merupakan syarat formil keabsahan gugatan. Surat gugatan yang tidak menyebut identitas para pihak apalagi tidak menyebut identitas tergugat menyebabkan gugatan tidak sah. Bahwa kemudian identitas yang

10 23 dimaksud dalam surat gugatan berbeda dengan yang disyaratkan dalam surat dakwaan perkara pidana yang menjelaskan mengenai nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka. Dalam ketentuan identitas para pihak yang ada dalam suatu surat gugatan tidak diatur secara rigid namun pada praktiknya dapat berkorelasi dengan Pasal 118 ayat (1) HIR yang dapat digunakan sebagai da sar untuk : a) Menyampaikan panggilan; atau b) Menyampaikan pemberitahuan (M. Yahya Harahap, 2014 :53-54). 5) Fundamentum petendi Fundamentum petendi berarti dasar gugatan yang dalam praktik sering pula disebut dengan positum yang dalam bentuk jamak dimaksud sebagai posita atau juga dalam bahasa indonesia diartikan sebagai dalil gugatan. Bahwa Pasal 1865 KUHPer dan Pasal 163 HIR pun menjelaskan setiap orang yang mendalilkan suatu hak atau guna meneguhkan haknya maupun membantah hak orang lain diwajibkan membuktikan hak atau peristiwa tersebut. Dalam praktiknya fundamentum petendi yang dianggap lengkap memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a) Dasar Hukum (Rechtelijke Grond) Memuat penegasan mengenai hubungan hukum antara penggugat dengan materi atau objek yang disengketakan dan antara penggugat dan tergugat berkaitan dengan materi atau objek sengketa. b) Dasar Fakta (Feitelijke Grond) Memuat penjelasan mengenai fakta yang berkaitan langsung dengan atau disekitar hubungan hukum yang terjadi antara penggugat dengan objek perkara maupun tergugat, atau penjelasan fakta-fakta yang berkaitan langsung dengan dasar

11 24 hukum yang didalilkan penggugat (M. Yahya Harahap, 2014:58). 6) Petitum gugatan Suatu gugatan agar tidak dikatakan cacat formil haruslah terdapat petitum yang berisi pokok tuntutan penggugat kepada pengadilan untuk dinyatakan dan ditetapkan sebagai hak penggugat atau hukuman kepada tergugat atau kepada kedua belah pihak. Adapun petitum itu sendiri terdiri atas dua bentuk yaitu petitum tunggal dan alternatif. Dalam petitum tunggal berisi dekripsi yang menyebut satu persatu pokok tuntutan yang tak diikuti dengan susunan deskripsi petitum lain yang bersifat alternatif ataupun subsideris. Lain halnya dengan petitum berbentuk alternatif yang berisi petitum primair dan petitum subsidair (M. Yahya Harahap, 2014:63-64). 7) Perumusan gugatan asesor (accesoir) Gugatan asesor adalah gugatan tambahan terhadap gugatan pokok. Tujuan dari gugatan tambahan ini adalah untuk melengkapi gugatan pokok agar kepentingan penggugat lebih terjamin meliputi segala hal yang dibenarkan hukum dan perundang-undangan. Secara teori dan praktik gugatan asesor tidak dapat berdiri sendiri dan oleh karena hal tersebut keberadaannya hanya dapat ditempatkan dan ditambahkan dalam gugatan pokok. Bahwa pada praktiknya pun gugatan ini memiliki beberapa syarat yang diantaranya yaitu: a) Gugatan asesor merupakan satu kesatuan yang tak terpisah dengan gugatan pokok dan tak dapat berdiri sendiri di luar gugatan pokok. b) Antara gugatan pokok dengan gugatan asesor harus saling mendukung dan tak bertentangan, c) Gugatan tambahan sangat erat kaitannya dengan gugatan pokok maupun dengan kepentingan penggugat.

12 25 Bahwa berdasarkan praktik dan ketentuan perundang-undangan menjelaskan bahwa gugatan asesor terdiri atas 2 (dua) jenis gugatan yaitu: a) Gugatan provisi yang didasarkan pada Pasa 180 ayat (1) HIR, b) Gugatan tambahan penyitaan berdasarkan Pasal 226 dan Pasal 227 HIR (M. Yahya Harahap, 2014:67-68). 3. Tinjauan umum tentang perbuatan melawan hukum a. Sejarah perbuatan melawan hukum Sejarah mengenai asal-usul adanya suatu perbuatan melawan hukum acap kali dikaitkan dengan putusan Hoge Raad, badan peradilan tertinggi di Belanda dari tahun 1919, dimana putusan tersebut terkenal dengan nama putusan Lindenbaum Cohen. Seorang pemilik perusahaan percetakan, bernama Samuel Cohen terlibat spionase ekonomi dimana ia memata-matai serta mencuri rahasia perusahaan milik saingannya Max Lindenbaum dengan cara menyuap salah seorang pegawai Lindenbaum dan pada akhirnya Cohen dapat memperoleh rahasia dapur perusahaan milik Lindenbaum. Pengadilan negeri berpendirian bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Cohen melanggar hukum karena perbuatan pegawai Lindenbaum yang mengambil/membocorkan rahasia dapur kepada Cohen melanggar Pasal 1639 d dan 1369 p sub 9.B.W. (Pasal 1603 d dan Pasal 1603 o sub 9 B.W. Indonesia). Lain halnya dengan pengadilan tinggi yang berpendapat bahwa ketentuan hukum yang digunakan pada tingkat pengadilan negeri tidak berlaku bagi Cohen dan hanya berlaku bagi karyawan Lindenbaum, sehingga Cohen tidak dapat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum (Setiawan, 1992: ). Perbuatan melawan hukum dalam hukum positif indonesia itu sendiri terdapat dalam rumusan Pasal 1365 KUHPer ( Burgerlijk Wetboek) yang berbunyi Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

13 26 b. Kriteria perbuatan melawan hukum Atas putusan mengenai perkara Lindenbaum Cohen dapat dirumuskan beberapa kriteria perbuatan melawan hukum yaitu: 1) Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku Suatu perbuatan dapat dikatakan telah tergolong menjadi perbuatan melawan hukum apabila perbuatan tersebut melanggar ketentuan umum yang mengikat dan dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Bahwa ketentuan umum yang dimaksud tersebut pun dapat berupa hukum publik maupun hukum privat. Dengan demikian pelanggaran terhadap ketentuan hukum pidana tidak hanya bersifat melawan hukum dalam pengertian hukum pidana namun juga bersifat melanggar hukum dalam konsep perdata (Setiawan, 1992: 252). Berdasarkan perkembangan yurisprudensi di negeri Belanda, suatu perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku tersebut tidak lantas menjadikan ia melakukan perbuatan melawan hukum, namun haruslah terdapat beberapa ketentuan lagi yaitu (Setiawan, 1992: 253): a) B ahwa kepentingan penggugat terkena atau terancam oleh pelanggaran (hukum) itu; b) Bahwa kepentingan penggugat dilindungi oleh kaidah yang dilanggar; c) Bahwa kepentingan itu termasuk dalam ruang lingkup kepentingan yang dimaksudkan untuk dilindungi oleh ketentuan Pasal 1401 BW (Pasal 1365 BW Indonesia); d) Bahwa pelanggaran kaidah itu bertentangan dengan kepatutan terhadap penggugat, satu dan lain hal dengan memperhatikan sikap dan kelakuan si penggugat itu sendiri; dan e) Bahwa tidak terdapat alasan pembenar menurut hukum. Bahwa kemudian apabila persyaratan tersebut telah terpenuhi maka perbuatan pelaku tersebut merupakan suatu perbuatan melawan hukum.

14 27 2) Melanggar hak subjektif orang lain Berbeda dengan kriteria pertama mengenai suatu perbuatan melawan hukum yang ditinjau dari sisi pelaku, maka dalam hal melanggar hak subjektif orang lain dititikberatkan pada sisi korban (Setiawan, 1992: 260). Hak-hak yang diakui sebagai hak subjektif menurut yurisprudensi yaitu (Setiawan, 1992: ): a) Hak-hak kebendaan serta hak-hak absolut lainnya (eigendom, erfpacht, hak oktrooi dan sebagainya). b) H ak-hak pribadi (hak atas integritas pribadi dan integritas badaniah, kehormatan serta nama baik, dan sebagainya). c) H ak-hak khusus, seperti hak penghunian yang dimiliki seorang penyewa. 3) Melanggar norma kesusilaan Pasal 1335KUHPer dan Pasal 1337 KUHPer menjelaskan bahwa perjanjian yang bertentangan dengan norma kesusilaan tidak diperbolehkan dan tidak memiliki kekuatan hukum. Apabila dilakukan elaborasi secara komprehensif terhadap putusan Lindenbaum Cohen, perbuatan antara Cohen dengan pegawai Lendenbaum yang mengadakan perjanjian untuk membocorkan rahasia dapur dari perusahaan Lindenbaum merupakan suatu perjanjian yang bertentangan dengan norma kesusilaan. Tindakan Cohen tersebut dapat disimpulkan sebagai perbuatan melanggar hukum terhadap Lendenbaum (Setiawan, 1992: 266). 4) Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap kehatihatian Kriteria perbuatan melawan hukum yang ke empat yaitu bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki sesorang dalam kehidupan bermasyarakat yang pada hakikatnya hal tersebut bersumber pada hukum tidak

15 28 tertulis. Kriteria ini menjelaskan kewajiban sesorang dalam melakukan suatu perbuatan yaitu dilandasi dengan hati-hati, teliti dan memperhatikan norma kepatutan. Tindakan seseorang yang bertentangan dengan ketentuan tersebut dapat dikatakan sebagai suatu perbuatan melawan hukum (Setiawan, 1992: ). Kriteria kepatutan ketelitian dan sikap hati-hati adalah kriteria yang bersifat karet oleh karena itu hakim sebaiknya mengambil langkah-langkah sebagai berikut (Setiawan, 1992: 267): c. Tuntutan hak a) Menentukan suatu kriteria umum. b) Berdasarkan kriteria umum tadi hakim dapat menetapkan suatu kaidah tidak tertulis untuk suatu situasi konkret tertentu. c) Kaidah tidak tertulis tadi digunakan sebagai batu ujian bagi suatu situasi konkret tertentu, contoh: kaidah yang berbunyi: kau tidak boleh mengambil manfaat dari kesalahan orang lain. Rumusan mengenai perbuatan melawan hukum dapat diartikan apabila terdapat perbuatan yang bertentangan hukum pada umumnya yang berupa tertulis maupun tidak tertulis yang hidup dan ditaati dalam masyarakat. Dalam hal pengajuan tuntutan hak dalam perkara perbuatan melawan hukum haruslah pihak yang memiliki dasar hukum dan kepentingan yang cukup atas hubungan hukum tersebut. sebagai contoh A berhutang kepada B sebesar Rp ,00 (sepuluh juta rupiah). Setelah jatuh tepo A tidak membayar hutang tersebut, dalam hal ini C yang merupakan adik dari B tidak dapat mengajukan gugatan terhadap A atas piutang yang dimiliki kakaknya (B) karena C tidak mempunyai dasar hukum dan kepentingan yang cukup untuk mengajukan gugatan (Rahadi Wasi Bintoro, 2010: 151). 4. Tinjauan umum tentang wanprestasi a. Definisi wanprestasi

16 29 Definisi mengenai perbuatan wanprestasi terdapat dalam Pasal 1243 KUHper (Burgerlijk Wetboek) yang berbunyi: Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya. Sedangkan Abdulkadir Muhammad menjelaskan dalam bukunya Hukum Perdata Indonesia bahwa wanprespasi sebagai tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam suatu perikatan. Adapun tidak dipenuhinya kewajiban tersebut dapat dikarenakan 2 (dua) ala san yaitu karena kesalahan debitor baik itu dikarenakan kesengajaan ataupun karena adanya suatu kelalaian dan dikarenakan adanya keadaan memaksa (force majeure) di luar kemampuan debitor tersebut yang menyebabkan debitor tidak salah (Abdulkadir Muhammad, 2010:241). b. Bentuk-bentuk wanprestasi Bahwa kemudian untuk menentukan apakah seorang debitor melakukan wanprestasi perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana debitor dikatakan sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi. Dalam hal ini terdapat 3 (tiga) keadaan yaitu (Abdulkadir Muhammad, 2010: ): 1) Debitor tidak memenuhi prestasi sama sekali; 2) Debitor memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru; dan 3) Debitor memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat. Sedangkan Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja dalam bukunya Perikatan Pada Umumnya menjelaskan mengenai wanprestasi sebagai tidak dilaksanakannya prestasi oleh debitor (Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, 2003, 69-70). Bentuk dari tidak dilaksanakan prestasi yang dimaksud dapat berupa (Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, 2003, 70) : 1) Debitor sama sekali tidak melaksanakan kewajibannya;

17 30 c. Tuntutan hak 2) Debitor tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya/melaksanakan kewajibannya tetapi tidak sebagaimana mestinya; 3) Debitor tidak melaksanakan kewajibannya pada waktunya; dan 4) Debitor tidak melaksanakan sesuatu yang tidak diperbolehkan. Tuntutan hak dalam terjadinya wanprestasi dapat dilakukan manakala pada pihak debitur tidak melaksanakan kewajiban dan bukan karena keadaan memaksa. Debitur ini pun dapat dikatakan wanprestasi apabila ia tidak melakukan apa yang disanggupi untuk dilakukan, melakukan apa yang dijanjikan tapi tidak sebagaimana mestinya, terlambat melakukan hal yang dijanjikan atau melakukan sesuatu yang dilarang dalam perjanjian (Rahadi Wasi Bintoro, 2010: 151). 5. Tinjauan umum tentang kumulasi gugatan (samenvoeging van vordering) a. Pengertian dan pengaturan tentang kumulasi gugatan Kumulasi gugatan atau biasa disebut dengan penggabungan gugatan secara teknis dapat diartikan sebagai penggabungan beberapa gugatan dalam satu surat gugatan. Bahwa pada hakikatnya dalam hukum positif di indonesia tidak terdapat pengaturan mengenai kumulasi gugatan termasuk dalam HIR, RBG maupun Rv. Bahwa hal yang dilarang dalam Pasal 103 Rv hanya sebatas pada penggabungan antara tuntutan hak menguasai (bezit) dengan tuntutan hak milik. Berdasarkan dasar tersebut maka secara a contrario (in the opposite sense) Rv memperbolehkan adanya suatu kumulasi gugatan/penggabungan gugatan (M. Yahya Harahap, 2014: ). b. Pendapat ahli tentang kumulasi gugatan Terkait dengan hal kumulasi/penggabungan gugatan terdapat beberapa pandangan, Soepomo mengutip pendapat dari Star Busman dalam bukunya Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri menjelaskan apabila terdapat seseorang mempunyai lebih dari satu aanspraak

18 31 (tuntutan), yang ditujukan kepada satu tujuan yang sama, maka dengan dipenuhinya salah satu oleh sebab maksud bersama itu telah tercapai. Samenvoeging atau cumulative van rechtstvordering terbagi atas subjektif dan objektif. Kumulasi gugatan subjektif yaitu apabila dalam satu surat gugatan terdapat beberapa orang tergugat, sedangkan kumulasi gugatan objektif dilakukan apabila pihak penggugat mengajukan beberapa hal atau objek gugatan kepada tergugat dalam satu gugatan. Dalam prosedur pemeriksaan perkara perdata di muka pengadilan land-raad dahulu, Raad Justisi Jakarta dalam putusannya tanggal 20 Juni 1939 mengatakan antara beberapa gugatan yang digabungkan harus terdapat adanya suatu hubungan batin ( innerlijke samenhang) atau connexiteit. Apabila beberapa gugatan yang dikumulasi tersebut terdapat suatu connexiteit maka kumulasi itu akan memudahkan proses pemeriksaan perkara serta menghindari kemungkinan adanya putusan-putusan yang saling bertentangan satu sama lain, sehingga samenvoeging tersebut memang benar processueel doelmatig (Soepomo, 2002:27-28). Bahwa M. Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan pun menjelaskan bahwa pada hakikatnya masing-masing gugatan diajukan dalam surat gugatan yang terpisah dan diperiksa serta diputus dalam proses pemeriksaan dan putusan yang terpisah dan berdiri sendiri. Akan tetapi dalam hal keadaan tertentu diperbolehkan untuk melakukan kumulasi gugatan dalam satu surat gugatan apabila antara satu gugatan dengan gugatan yang lain terdapat satu hubungan erat (M. Yahya Harahap, 2014:102). c. Perspektif kumulasi gugatan dalam yuriprudensi Perihal mengenai kumulasi gugatan juga terdapat dalam beberapa yurisprudensi, yaitu dalam Putusan Mahkamah Agung No K/Pdt/1984 tertanggal 24 April 1986 menegaskan bahwa kumulasi gugatan (perbuatan melawan hukum dan wanprestasi) adalah melanggar tata tertib beracara karena kumulasi gugatan tersebut akan

19 32 membingungkan hakim karena berdasarkan dasar hukum yang berbeda. Putusan Mahkamah Agung No. 879 K/Pdt/1997 tertanggal 29 Januari 2001 pun menjelaskan bahwa kumulasi gugatan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi dalam satu gugatan melanggar tata tertib beracara karena keduanya harus diselesaikan tersendiri. B. Kerangka Pemikiran 1. Kerangka pemikiran putusan Mahkamah Agung Nomor K/Pdt/2012 T1 & TII Perjanjian kerjasama/hutang piutang sebesar Rp ,00 Penggugat Terdapat jaminan sertifikat tanah TI & TII Tidak melunasi hutang Penggugat Gugatan (kumulasi gugatan PMH & wanprestasi) Tingkat pertama: Gugatan dikabulkan (TI wanprestasi) Eksepsi dalam jawaban gugatan: Obscur libel terkait hubungan hukum penggugat dengan TI & TII Tingkat banding: Gugatan tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklaard) Tingkat kasasi: Gugatan dikabulkan (TI wanprestasi) Berkekuatan hukum tetap

20 33 Bagan 1. Skematik Kerangka Pemikiran I Keterangan: Kerangka pemikiran nomor 1 (satu) menjelaskan alur pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menjabarkan serta menemukan jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian hukum ini, yaitu mengenai pertimbangan hakim mengabulkan kumulasi gugatan dalam putusan Mahkamah Agung Nomor K/Pdt/2012. Tergugat I yaitu Siti Nurhidayah meminjam uang kepada penggugat yaitu Sulistri sebesar Rp ,00 (seratus juta rupiah) dan berjanji akan memberikan bunga sebesar 3% (tiga persen) pada tanggal 22 April Pada tanggal 23 Agustus 2006 tergugat I pun kembali meminjam uang kepada penggugat sebesar Rp ,00 (dua puluh juta rupiah), tidak hanya itu pada tanggal 9 Oktober 2006 tergugat I memberi kuasa kepada tergugat II untuk meminjam uang kepada penggugat sebesar Rp ,00 (lima puluh juta rupiah) dan memberi jaminan sertifikat HGB No. 310/Susukan kepada penggugat. Atas peminjaman uang tersebut baik tergugat I maupun Tergugat II tidak memenuhi kewajiban hukumnya untuk membayar hutang tersebut kepada penggugat seperti kesepakatan hingga akhirnya penggugat menggugat tergugat I dan tergugat II. Dimana dalam gugatan tersebut penggugat mengkategorikan perbuatan yang dilakukan oleh tergugat I maupun Tergugat II sebagai perbuatan melawan hukum dan wanprestasi. Menanggapi gugatan tersebut tergugat I mengajukan jawaban gugatan dimana dalam eksepsi tergugat I mendalilkan bahwa gugatan yang diajukan oleh penggugat adalah obscuurlibel (kabur) karena penggugat tidak menyebutkan secara tegas hubungan hukum antara penggugat dengan tergugat I atas perjanjian kerjasama bagi hasil atau hutang-piutang. Pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri Ungaran putusan Majelis Hakim menyatakan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian, dimana

21 34 tergugat I dinyatakan wanprestasi dan dihukum untuk membayar hutangnya kepada penggugat. Atas putusan tersebut tergugat I mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Semarang yang kemudian Majelis Hakim membatalkan putusan Pengadilan Negeri Ungaran dan menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima. Menanggapi hal tersebut kemudian penggugat mengajukan permohonan kasasi dan Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi penggugat dan menyatakan tergugat I wanprestasi yang mana hingga saat ini putusan tersebut berkekuatan hukum tetap. 2. Kerangka pemikiran putusan Mahkamah Agung Nomor. 571 PK/PDT/2008 Penggugat bekerjasama T1 & TII Perjanjian kerjasama pengelolaan migas TI lalai melaksanakan perjanjian & TI serta TII membuat perjanjain kerjasama baru dan Badan Hukum Baru Penggugat menggugat TI & TII Eksepsi: obscuur libel antara PMH/Wanprestasi Tingkat pertama : Gugatan dikabulkan (TI wanprestasi) Tingkat banding : Gugatan tidak dapat diterima ( niet onvankelijke verklaard) Tingkat kasasi : Gugatan dikabulkan (TI wanprestasi) Berkekuatan hukum tetap Berkekuatan hukum tetap Peninjauan Kembali : Gugatan tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklaard)

22 35 Bagan 2. Skematik Kerangka Pemikiran II Keterangan: Kerangka pemikiran nomor 2 (dua) menjelaskan alur pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menjabarkan serta menemukan jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian hukum ini, yaitu mengenai pertimbangan hakim terkait tidak diterimanya ( niet onvankelijke verklaard) kumulasi gugatan dalam putusan Mahkamah Agung Nomor. 571 PK/PDT/2008. Penggugat yang merupakan Pemerintah Kabupaten Bekasi membentuk tergugat II yang merupakan badan hukum yang akan bergerak dalam bidang pengelolaan minyak dan gas yang ada pada Kabupaten Bekasi demi meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Bekasi. Tidak hanya itu, kemudian penggugat pun bekerja sama dengan tergugat I untuk melaksanakan pembangunan fasilitas terkait pengelolaan minyak dan gas tersebut. Bahwa atas dasar tersebut kemudian penggugat, tergugat I dan tergugat II membuat perjanjian kerjasama mengenai pengelolaan minyak dan gas di kabupaten bekasi. Saat dalam tahap pelaksanaan kerjasama tergugat I yang mempunyai beberapa kewajiban seperti menyiapkan lahan, membangun dan mengoperasikan kompresor serta membangun dan mengoperasikan kilang ternyata tidak sungguh-sungguh (lalai) dalam melaksanakan perjanjian. Tidak hanya itu, setelah 3 (tiga) bulan sejak adanya perjanjian kerjasama yang pertama ternyata tergugat I dan tergugat II membuat perjanjian kerjasama baru dan juga membentuk badan hukum baru. Atas hal tersebutlah kemudian penggugat menggugat tergugat I dan tergugat II, kemudian pihak tergugat II mengajukan jawaban gugatan yang dalam eksepsinya mendalilkan gugatan obscuur libel karena adanya penggabungan/kumulasi gugatan antara perbuatan melawan hukum dan wanprestasi yang mengakibatkan gugatan seharusnya tidak dapat diterima.

23 36 Bahwa kemudian putusan yang disusun oleh Majelis Hakim pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri Bekasi mengabulkan gugatan tersebut, namun pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi Bandung ternyata Majelis Hakim dalam diktumnya menyatakan menerima eksepsi tergugat I dan menyatakan gugatan tidak dapat diterima. Lain halnya pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung yang pada akhirnya memperbolehkan kumulasi gugatan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi. Namun pada tingkat peninjauan kembali di Mahkamah Agung Hakim Agung berpendapat bahwa kumulasi gugatan antara perbuatan melawan hukum dan wanprestasi tidak diperbolehkan dan berakibat pada tidak diterimanya gugatan penggugat dan hingga saat ini putusan tersebut berkekuatan hukum tetap.

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam kodratnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan haruslah hidup bersama dengan manusia lainnya. Proses tersebut dikenal dengan istilah bermasyarakat, dalam

Lebih terperinci

FORMULASI KUMULASI GUGATAN YANG DIBENARKAN TATA TERTIB ACARA INDONESIA (STUDI PUTUSAN MA NOMOR K/PDT/2012 DAN PUTUSAN MA NOMOR.

FORMULASI KUMULASI GUGATAN YANG DIBENARKAN TATA TERTIB ACARA INDONESIA (STUDI PUTUSAN MA NOMOR K/PDT/2012 DAN PUTUSAN MA NOMOR. FORMULASI KUMULASI GUGATAN YANG DIBENARKAN TATA TERTIB ACARA INDONESIA (STUDI PUTUSAN MA NOMOR. 2157 K/PDT/2012 DAN PUTUSAN MA NOMOR. 571 PK/PDT/2008) Kidung Sadewa dan Heri Hartanto Abstrak Penelitian

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN 1. Istilah dan pengertian - Hukum perdata materiil : hukum yang mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak dalam hubungan perdata - Hukum perdata formil : hukum acara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN. Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN. Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi 13 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN A. Pengertian Kumulasi Gugatan Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi adalah pengumpulan; penimbunan; penghimpunan. 1 Kumulasi

Lebih terperinci

BAB IV. memutuskan dan mengadili perkara Nomor: 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr. tentang

BAB IV. memutuskan dan mengadili perkara Nomor: 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr. tentang BAB IV ANALISIS YURIDIS PEMBATALAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KEDIRI NOMOR : 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr. OLEH PENGADILAN TINGGI AGAMA SURABAYA NOMOR : 375/Pdt. G/2011/PTA. Sby. TENTANG GUGATAN WARIS A. Analisis

Lebih terperinci

[DEVI SELVIYANA, SH] BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang harus dihargai dan dihormati oleh orang lain.

[DEVI SELVIYANA, SH] BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang harus dihargai dan dihormati oleh orang lain. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial yang cenderung untuk selalu hidup berkelompok (bermasyarakat). Kehidupan bermasyarakat menuntut manusia untuk saling berinteraksi atau

Lebih terperinci

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF 21 BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF A. Putusan Verstek Pada sidang pertama, mungkin ada pihak yang tidak hadir dan juga tidak menyuruh wakilnya untuk hadir, padahal sudah dipanggil dengan

Lebih terperinci

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) SEKITAR EKSEKUSI (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) A. Tinjauan Umum Eksekusi 1. Pengertian eksekusi Pengertian eksekusi menurut M. Yahya Harahap, adalah pelaksanaan secara paksa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Dalam perkembangan jaman yang semakin maju saat ini membuat setiap orang dituntut untuk senantiasa meningkatkan kualitas diri dan kualitas hidupnya. Salah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PROSES PEMERIKSAAN DI MUKA SIDANG DALAM PERKARA WARIS

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PROSES PEMERIKSAAN DI MUKA SIDANG DALAM PERKARA WARIS BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PROSES PEMERIKSAAN DI MUKA SIDANG DALAM PERKARA WARIS A. Tinjauan Umum Mengenai Pencabutan Gugatan Salah satu permasalahan yang muncul dalam suatu proses beracara di muka pengadilan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kewenangan Pengadilan Tinggi dalam menjatuhkan sebuah putusan akhir ternyata masih ada yang menimbulkan permasalahan. Untuk itu dalam bab tinjauan pustaka ini, penulis hendak menguraikan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP DISSENTING OPINION DALAM PUTUSAN PERKARA CERAI GUGAT (Studi Putusan Nomor 0164/Pdt.G/2014/PA.Mlg)

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP DISSENTING OPINION DALAM PUTUSAN PERKARA CERAI GUGAT (Studi Putusan Nomor 0164/Pdt.G/2014/PA.Mlg) BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP DISSENTING OPINION DALAM PUTUSAN PERKARA CERAI GUGAT (Studi Putusan Nomor 0164/Pdt.G/2014/PA.Mlg) A. Analisis Terhadap Deskripsi Dissenting Opinion Dalam Putusan Perkara

Lebih terperinci

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta)

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta) UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta) SKRIPSI Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

: KAJIAN YURIDIS PUTUSAN NIET ONTVANKELIJKE VERKLAAD HAKIM DALAM PERKARA NO.

: KAJIAN YURIDIS PUTUSAN NIET ONTVANKELIJKE VERKLAAD HAKIM DALAM PERKARA NO. Judul : KAJIAN YURIDIS PUTUSAN NIET ONTVANKELIJKE VERKLAAD HAKIM DALAM PERKARA NO. 13/Pdt.G/2009/PN. Skh Disusun oleh : Rani Permata Sari NPM : 13101115 FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA

Lebih terperinci

2015, No tidaknya pembuktian sehingga untuk penyelesaian perkara sederhana memerlukan waktu yang lama; d. bahwa Rencana Pembangunan Jangka Mene

2015, No tidaknya pembuktian sehingga untuk penyelesaian perkara sederhana memerlukan waktu yang lama; d. bahwa Rencana Pembangunan Jangka Mene No.1172, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA MA. Gugatan Sederhana. Penyelesaian. PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN GUGATAN SEDERHANA DENGAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Tengker, cet. I, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2001), hal (Jakarta: Djambatan, 2002), hal. 37.

BAB 1 PENDAHULUAN. Tengker, cet. I, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2001), hal (Jakarta: Djambatan, 2002), hal. 37. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Adanya perbenturan kepentingan antara pihak-pihak yang melakukan interaksi sosial dalam kehidupan masyarakat maka diperlukan suatu norma hukum yang tegas dan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Hukum Acara Perdata Pertemuan Ke-2

Hukum Acara Perdata Pertemuan Ke-2 Hukum Acara Perdata Pertemuan Ke-2 Hukum acara perdata (hukum perdata formil), yaitu hukum yang mengatur mengenai bagaimana cara menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim. (Prof.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KUMULASI PERMOHONAN IZIN POLIGAMI, ISBAT NIKAH DAN PENETAPAN ANAK

BAB IV ANALISIS KUMULASI PERMOHONAN IZIN POLIGAMI, ISBAT NIKAH DAN PENETAPAN ANAK 61 BAB IV ANALISIS KUMULASI PERMOHONAN IZIN POLIGAMI, ISBAT NIKAH DAN PENETAPAN ANAK A. Analisis Terhadap Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb Dalam putusan yang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA A. Analisis Dualisme Akad Pembiayaan Mud{arabah Muqayyadah Keberadaaan suatu akad atau perjanjian adalah sesuatu yang

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA 1 HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA I. Pengertian, asas & kompetensi peradilan TUN 1. Pengertian hukum acara TUN Beberapa istilah hukum acara TUN, antara lain: Hukum acara peradilan tata usaha pemerintahan

Lebih terperinci

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 29 BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda,

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 25/Pdt.G/2016/PTA.Plg. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN TINGGI AGAMA PALEMBANG

PUTUSAN Nomor 25/Pdt.G/2016/PTA.Plg. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN TINGGI AGAMA PALEMBANG PUTUSAN Nomor 25/Pdt.G/2016/PTA.Plg. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN TINGGI AGAMA PALEMBANG yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat banding dalam sidang

Lebih terperinci

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa

Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa Heru Guntoro. Perjanjian Sewa Menyewa... 473 Kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan kewajiban pihak yang terakhir ini adalah membayar harga

Lebih terperinci

KAPAN PUTUSAN NIET ONTVANKELIJKE VERKLAARD DAPAT DIAJUKAN ULANG?

KAPAN PUTUSAN NIET ONTVANKELIJKE VERKLAARD DAPAT DIAJUKAN ULANG? KAPAN PUTUSAN NIET ONTVANKELIJKE VERKLAARD DAPAT DIAJUKAN ULANG? Oleh: Ahmad Z. Anam (Hakim Pratama Muda Pengadilan Agama Mentok) Pendahuluan Ada dua hak bagi pihak berperkara yang perkaranya dinyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupakan

BAB I PENDAHULUAN. oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Derden verzet merupakan salah satu upaya hukum luar biasa yang dilakukan oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupakan perlawanan pihak ketiga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Didalam Hukum Acara Perdata terdapat dua perkara, yakni perkara

BAB I PENDAHULUAN. Didalam Hukum Acara Perdata terdapat dua perkara, yakni perkara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Didalam Hukum Acara Perdata terdapat dua perkara, yakni perkara permohonan dan perkara gugatan. Dalam perkara gugatan sekurangkurangnya ada dua pihak yang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM NO. 1359/PDT. G/2013/PA. MLG DENGAN ALASAN GUGATAN OBSCUUR LIBEL DALAM PERKARA CERAI GUGAT

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM NO. 1359/PDT. G/2013/PA. MLG DENGAN ALASAN GUGATAN OBSCUUR LIBEL DALAM PERKARA CERAI GUGAT 79 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM NO. 1359/PDT. G/2013/PA. MLG DENGAN ALASAN GUGATAN OBSCUUR LIBEL DALAM PERKARA CERAI GUGAT A. Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Atas Putusan No. 1359/Pdt.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam jangka waktu pendek atau panjang, perjanjian sudah menjadi bagian

BAB I PENDAHULUAN. dalam jangka waktu pendek atau panjang, perjanjian sudah menjadi bagian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kita sadari atau tidak, perjanjian sering kita lakukan dalam kehidupan seharihari. Baik perjanjian dalam bentuk sederhana atau kompleks, lisan atau tulisan, dalam jangka

Lebih terperinci

KEDUDUKAN AKTA OTENTIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA. Oleh : Anggun Lestari Suryamizon, SH. MH

KEDUDUKAN AKTA OTENTIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA. Oleh : Anggun Lestari Suryamizon, SH. MH MENARA Ilmu Vol. X Jilid 1 No.70 September 2016 KEDUDUKAN AKTA OTENTIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA Oleh : Anggun Lestari Suryamizon, SH. MH ABSTRAK Pembuktian merupakan tindakan yang dilakukan

Lebih terperinci

ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB 1 PENDAHULUAN Burgerlijk Wetboek (atau yang selanjutnya dapat disingkat dengan BW)

ADLN- PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB 1 PENDAHULUAN Burgerlijk Wetboek (atau yang selanjutnya dapat disingkat dengan BW) BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya sehari-hari manusia mempunyai hak dan kewajiban yang dilindungi oleh Undang-undang. Namun terkadang dalam menjalankan hak dan kewajiban tersebut

Lebih terperinci

TENTANG DUDUK PERKARANYA

TENTANG DUDUK PERKARANYA P U T U S A N Nomor : 7/Pdt.G/2010/PTA Smd BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Samarinda yang mengadili perkara perdata pada tingkat banding

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembuktian merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pembuktian merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam BAB I PENDAHULUAN Pembuktian merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam hukum perdata formil. Hukum perdata formil bertujuan memelihara dan mempertahankan hukum perdata materiil. Jadi, secara

Lebih terperinci

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti TINJAUAN TENTANG KEKUATAN PEMBUKTIAN PEMERIKSAAN SETEMPAT DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA PERDATA ( SENGKETA TANAH ) DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA Febrina Indrasari,SH.,MH Politeknik Negeri Madiun Email: febrinaindrasari@yahoo.com

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor 271/Pdt/2013/PT.Bdg. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA L A W A N D A N

P U T U S A N Nomor 271/Pdt/2013/PT.Bdg. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA L A W A N D A N P U T U S A N Nomor 271/Pdt/2013/PT.Bdg. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN TINGGI BANDUNG yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara perdata dalam peradilan tingkat banding,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Di dalam Buku III KUH Perdata mengenai hukum perjanjian terdapat dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi atau melakukan hubungan-hubungan antara satu sama

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling berinteraksi atau melakukan hubungan-hubungan antara satu sama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang cenderung untuk selalu hidup berkelompok (bermasyarakat). Kehidupan bermasyarakat menuntut manusia untuk saling berinteraksi

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 TATA CARA PEMANGGILAN PARA PIHAK YANG BERPERKARA PENGGUGAT/TERGUGAT YANG TERLIBAT DALAM PERKARA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI (PENERAPAN PASAL 388 jo PASAL 390 HIR) 1 Oleh: Delfin Pomalingo 2 ABSTRAK Tujuan

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor 488/Pdt/2016/PT.BDG M E L A W A N

P U T U S A N Nomor 488/Pdt/2016/PT.BDG M E L A W A N P U T U S A N Nomor 488/Pdt/2016/PT.BDG DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara perdata dalam peradilan tingkat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Proses Pemeriksaan Perkara Perdata Hukum acara perdata disebut juga hukum perdata formil, yaitu kesemuanya kaidah hukum yang menentukan dan mengatur

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT A. Dasar Hukum Hakim dalam Penerapan Pencabutan Cerai Gugat Pengadilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah rangkaian peraturan-peraturan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah rangkaian peraturan-peraturan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang lain, dengan menitikberatkan

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Mediasi

Lebih terperinci

BERACARA DALAM PERKARA PERDATA Sapto Budoyo*

BERACARA DALAM PERKARA PERDATA Sapto Budoyo* BERACARA DALAM PERKARA PERDATA Sapto Budoyo* Abstrak Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka Pengadilan dan cara bagaimana

Lebih terperinci

A. Analisis Proses Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Purwodadi

A. Analisis Proses Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Purwodadi BAB IV ANALISIS A. Analisis Proses Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Purwodadi Berdasarkan apa yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya dapat diketahui bahwa secara umum mediasi diartikan sebagai

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

PENGAJUAN GUGATAN by Fauzul. FH UPN JATIM 22 Maret 2013

PENGAJUAN GUGATAN by Fauzul. FH UPN JATIM 22 Maret 2013 PENGAJUAN GUGATAN by Fauzul FH UPN JATIM 22 Maret 2013 Free Powerpoint Templates Page 1 PEMBAHASAN PENGERTIAN GUGATAN PENGGABUNGAN GUGATAN KOMPETENSI ABSOLUT DAN RELATIF UPAYA MENJAMIN HAK Free Powerpoint

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GUGATAN. Untuk memulai dan menyelesaikan persengketaan perkara perdata

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GUGATAN. Untuk memulai dan menyelesaikan persengketaan perkara perdata BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GUGATAN A. Pengertian Gugatan Untuk memulai dan menyelesaikan persengketaan perkara perdata yang terjadi diantara anggota masyarakat, salah satu pihak yang bersengketa harus

Lebih terperinci

P U T U S A N NOMOR 74/PDT/2015/PT.BDG. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N NOMOR 74/PDT/2015/PT.BDG. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N NOMOR 74/PDT/2015/PT.BDG. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Bandung, yang memeriksa dan mengadili perkaraperkara perdata dalam tingkat banding, telah menjatuhkan

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA A. Pengertian Perjanjian Jual Beli Menurut Black s Law Dictionary, perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan

Lebih terperinci

EKSEPSI KOMPETENSI RELATIF DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PERADILAN AGAMA. Drs. H. Masrum M Noor, M.H EKSEPSI

EKSEPSI KOMPETENSI RELATIF DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PERADILAN AGAMA. Drs. H. Masrum M Noor, M.H EKSEPSI 1 EKSEPSI KOMPETENSI RELATIF DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PERADILAN AGAMA Drs. H. Masrum M Noor, M.H I EKSEPSI Eksepsi (Indonesia) atau exceptie (Belanda) atau exception (Inggris) dalam istilah hukum acara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PUTUSAN VERSTEK. yang bersifat memaksa. Hukum menyerahkan sepenuhnya apakah tergugat

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PUTUSAN VERSTEK. yang bersifat memaksa. Hukum menyerahkan sepenuhnya apakah tergugat BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PUTUSAN VERSTEK Kehadiran tergugat di persidangan adalah hak dari tergugat. Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo menyatakan hal tersebut bahwa tidak ada keharusan bagi tergugat untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

Putusan di atas merupakan putusan dari perkara cerai talak, yang diajukan. oleh seorang suami sebagai Pemohon yang ingin menjatuhkan talak raj i di

Putusan di atas merupakan putusan dari perkara cerai talak, yang diajukan. oleh seorang suami sebagai Pemohon yang ingin menjatuhkan talak raj i di 79 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP TIDAK DITERAPKANNYA KEWENANGAN EX OFFICIO HAKIM TENTANG NAFKAH SELAMA IDDAH DALAM PERKARA CERAI TALAK (STUDI PUTUSAN NOMOR:1110/Pdt.G/2013/PA.Mlg) Putusan di atas merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun selalu hidup bersama serta berkelompok. Sejak dahulu kala pada diri manusia terdapat hasrat untuk berkumpul

Lebih terperinci

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor 31/Pdt.G/2015/PTA Mks. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Makassar yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada

Lebih terperinci

SALINAN P U T U S A N Nomor : 04/Pdt.G/2010/PTA.Plk

SALINAN P U T U S A N Nomor : 04/Pdt.G/2010/PTA.Plk SALINAN P U T U S A N Nomor : 04/Pdt.G/2010/PTA.Plk BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHAESA Pengadilan Tinggi Agama Palangkaraya yang mengadili perkara perdata dalam tingkat

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN SAR NASIONAL NOMOR : PK.16 TAHUN 2012 TENTANG PELAKSANAAN BANTUAN HUKUM BAGI PEGAWAI DI LINGKUNGAN BADAN SAR NASIONAL

PERATURAN KEPALA BADAN SAR NASIONAL NOMOR : PK.16 TAHUN 2012 TENTANG PELAKSANAAN BANTUAN HUKUM BAGI PEGAWAI DI LINGKUNGAN BADAN SAR NASIONAL KEPALA BADAN SAR NASIONAL PERATURAN KEPALA BADAN SAR NASIONAL NOMOR : PK.16 TAHUN 2012 TENTANG PELAKSANAAN BANTUAN HUKUM BAGI PEGAWAI DI LINGKUNGAN BADAN SAR NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. pembatalan perjanjian distribusi makanan melalui pengadilan, sebagaimana

BAB V PENUTUP. pembatalan perjanjian distribusi makanan melalui pengadilan, sebagaimana BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Kesimpulan yang didapat oleh penulis dari penyelesaian sengketa pembatalan perjanjian distribusi makanan melalui pengadilan, sebagaimana telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya

Lebih terperinci

REKONVENSI YANG DIAJUKAN SECARA LISAN DALAM PERSIDANGAN

REKONVENSI YANG DIAJUKAN SECARA LISAN DALAM PERSIDANGAN REKONVENSI YANG DIAJUKAN SECARA LISAN DALAM PERSIDANGAN MAKALAH PEMBANDING I Disampaikan oleh Pengadilan Agama Bukittinggi dalam kegiatan IKAHI PTA Padang tentang diskusi hukum yang diikuti oleh Kordinator

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK UMUM Pelaksanaan pemungutan Pajak yang tidak sesuai dengan Undang-undang perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

PERBUATAN MELANGGAR HUKUM OLEH PENGUASA

PERBUATAN MELANGGAR HUKUM OLEH PENGUASA PERBUATAN MELANGGAR HUKUM OLEH PENGUASA (PMHP/OOD) disampaikan oleh: Marianna Sutadi, SH Pada Acara Bimbingan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara Mahkamah Agung RI Tanggal 9 Januari 2009 Keputusan Badan/Pejabat

Lebih terperinci

P U T U S A N NOMOR 00/Pdt.G/2013/PTA.BTN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N NOMOR 00/Pdt.G/2013/PTA.BTN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N NOMOR 00/Pdt.G/2013/PTA.BTN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Banten yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu dalam tingkat

Lebih terperinci

Perlawanan terhadap sita eksekutorial (executorial beslag) oleh pihak ketiga di pengadilan negeri (studi kasus di pengadilan negeri Sukoharjo)

Perlawanan terhadap sita eksekutorial (executorial beslag) oleh pihak ketiga di pengadilan negeri (studi kasus di pengadilan negeri Sukoharjo) 1 Perlawanan terhadap sita eksekutorial (executorial beslag) oleh pihak ketiga di pengadilan negeri (studi kasus di pengadilan negeri Sukoharjo) Bambang Kusumo T. E.0001083 UNIVERSITAS SEBELAS MARET BAB

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan Suatu perjanjian

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. Setelah mempelajari duduk perkara No 709/Pdt.G/2006/PA.Bgl dan

BAB IV ANALISIS. Setelah mempelajari duduk perkara No 709/Pdt.G/2006/PA.Bgl dan 61 BAB IV ANALISIS A. Analisis Terhadap Pertimbangan Hukum Pengadilan Tinggi Agama Surabaya Yang Membatalkan Putusan Pengadilan Agama Bangil Tentang Sengketa Waris. Setelah mempelajari duduk perkara No

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. putusan ini, hubungan antara kedua belah pihak yang berperkara ditetapkan untuk selamalamanya,

BAB I PENDAHULUAN. putusan ini, hubungan antara kedua belah pihak yang berperkara ditetapkan untuk selamalamanya, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan utama suatu proses dimuka pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, artinya suatu putusan hakim yang tidak dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang melindungi, memberi rasa aman, tentram dan tertib untuk mencapai kedamaian dan keadilan setiap orang.

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme

Lebih terperinci

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktori Putusan M P U T U S A N Nomor 101/Pdt.G/2016/PTA.Mks DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Makassar, yang memeriksa dan mengadili perkara Ekonomi Syariah pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kepentingan yang harus dipenuhi. Kebutuhan dan kepentingan tersebut dapat

BAB I PENDAHULUAN. dan kepentingan yang harus dipenuhi. Kebutuhan dan kepentingan tersebut dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sejak awal lahirnya adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang tidak dapat berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain. Setiap manusia mempunyai kebutuhan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menemukan hukum yang akan diterapkan (rechtoepasing) maupun ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. menemukan hukum yang akan diterapkan (rechtoepasing) maupun ditemukan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembuktian adalah tahap yang memiliki peranan penting bagi hakim untuk menjatuhkan putusan. Proses pembuktian dalam proses persidangan dapat dikatakan sebagai sentral

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebenaran yang harus ditegakkan oleh setiap warga Negara.

BAB I PENDAHULUAN. kebenaran yang harus ditegakkan oleh setiap warga Negara. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pada hakekatnya pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia dengan tujuan untuk mencapai suatu masyarakat

Lebih terperinci

1 / 25 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Y A Y A S A N Diubah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA SALINAN P U T U S A N Nomor : 511/Pdt.G/2013/PA.SUB. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Sumbawa Besar yang memeriksa dan mengadili perkara perdata

Lebih terperinci

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak Perpajakan 2 Pengadilan Pajak 12 April 2017 Benny Januar Tannawi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 1 Daftar isi 1. Susunan Pengadilan Pajak 2. Kekuasaan Pengadilan Pajak 3. Hukum Acara 2 Susunan Pengadilan

Lebih terperinci

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 1 Tahun - Jangka Waktu Hibah - Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah

Lebih terperinci

KUASA JUAL SEBAGAI JAMINAN EKSEKUSI TERHADAP AKTA PENGAKUAN HUTANG

KUASA JUAL SEBAGAI JAMINAN EKSEKUSI TERHADAP AKTA PENGAKUAN HUTANG 0 KUASA JUAL SEBAGAI JAMINAN EKSEKUSI TERHADAP AKTA PENGAKUAN HUTANG (Studi terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor Register 318.K/Pdt/2009 Tanggal 23 Desember 2010) TESIS Untuk Memenuhi Persyaratan Guna

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata 23 BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM A. Pengertian Pinjam Meminjam Perjanjian Pinjam Meminjam menurut Bab XIII Buku III KUH Pedata mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 28/Pdt/2014/PT. BDG. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Bandung, yang memeriksa dan mengadili perkara perdata dalam tingkat banding telah menjatuhkan

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor 124/PDT/2014/PT.PBR

P U T U S A N Nomor 124/PDT/2014/PT.PBR P U T U S A N Nomor 124/PDT/2014/PT.PBR DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Pekanbaru yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara perdata dalam peradilan tingkat banding,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada dasarnya segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang baik dengan sengaja maupun tidak, harus dapat dimintakan pertanggungjawaban terlebih lagi yang berkaitan

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN AGAMA DALAM SENGKETA WARIS ISLAM. A. Jangkauan Kewenangan Mengadili Perkara Warisan.

BAB II KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN AGAMA DALAM SENGKETA WARIS ISLAM. A. Jangkauan Kewenangan Mengadili Perkara Warisan. 32 BAB II KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN AGAMA DALAM SENGKETA WARIS ISLAM A. Jangkauan Kewenangan Mengadili Perkara Warisan. Sebagaimana yang tercantum didalam Pasal 49 ayat 1 huruf b UU No. 7 tahun 1989

Lebih terperinci

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA INSTRUKSI JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : INS-002/G/9/1994 TENTANG TATA LAKSANA BANTUAN HUKUM JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang Mengingat a. bahwa

Lebih terperinci

TERBANDING, semula PENGGUGAT;

TERBANDING, semula PENGGUGAT; PUTUSAN Nomor 432/Pdt/2015/PT.Bdg. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Bandung di Bandung, yang memeriksa dan mengadili perkara perdata dalam tingkat banding telah menjatuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Segala tingkah laku yang diperbuat

Lebih terperinci

KAJIAN HUKUM PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA SENGKETA TANAH AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM

KAJIAN HUKUM PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA SENGKETA TANAH AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM KAJIAN HUKUM PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA SENGKETA TANAH AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta Nomor: 91/Pdt.G/2009/PN.Ska) Oleh : Dyah Kristiani (12100038)

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor 05/Pdt.G/2016/PTA.Plg

P U T U S A N Nomor 05/Pdt.G/2016/PTA.Plg P U T U S A N Nomor 05/Pdt.G/2016/PTA.Plg DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Palembang yang memeriksa dan mengadili perkara perkara tertentu pada tingkat banding

Lebih terperinci

ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA. OLEH : Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum

ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA. OLEH : Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA OLEH : Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERDATA Alat bukti adalah segala sesuatu yang oleh undang- undang ditetapkan dapat dipakai membuktikan sesuatu.

Lebih terperinci

BAB 3 ANALISA PUTUSAN 3.1. DUDUK PERKARA PT AYUNDA PRIMA MITRA MELAWAN PT ADI KARYA VISI

BAB 3 ANALISA PUTUSAN 3.1. DUDUK PERKARA PT AYUNDA PRIMA MITRA MELAWAN PT ADI KARYA VISI BAB 3 ANALISA PUTUSAN 3.1. DUDUK PERKARA PT AYUNDA PRIMA MITRA MELAWAN PT ADI KARYA VISI Awal permasalahan ini muncul ketika pembayaran dana senilai US$ 16.185.264 kepada Tergugat IX (Adi Karya Visi),

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PENGGUGAT KONTRAK KARYA FREEPORT TAK PUNYA LEGAL STANDING

PENGGUGAT KONTRAK KARYA FREEPORT TAK PUNYA LEGAL STANDING PENGGUGAT KONTRAK KARYA FREEPORT TAK PUNYA LEGAL STANDING www.kompasiana.com Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dipimpin Suko Harsono menyatakan gugatan Indonesian Human Right Comitte

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyalurkan kredit secara lancar kepada masyarakat. Mengingat

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyalurkan kredit secara lancar kepada masyarakat. Mengingat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bank sebagai lembaga keuangan yang menggerakkan roda perekonomian, dikatakan telah melakukan usahanya dengan baik apabila dapat menyalurkan kredit secara lancar kepada

Lebih terperinci