VARIABILITAS ARUS, SUHU, DAN ANGIN DI PERAIRAN BARAT SUMATERA SERTA INTER-RELASINYA DENGAN INDIAN OCEAN DIPOLE MODE

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VARIABILITAS ARUS, SUHU, DAN ANGIN DI PERAIRAN BARAT SUMATERA SERTA INTER-RELASINYA DENGAN INDIAN OCEAN DIPOLE MODE"

Transkripsi

1 VARIABILITAS ARUS, SUHU, DAN ANGIN DI PERAIRAN BARAT SUMATERA SERTA INTER-RELASINYA DENGAN INDIAN OCEAN DIPOLE MODE (IODM) DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO) ASYARI ADISAPUTRA SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 211

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul: VARIABILITAS ARUS, SUHU, DAN ANGIN DI PERAIRAN BARAT SUMATERA SERTA INTER-RELASINYA DENGAN INDIAN OCEAN DIPOLE MODE (IODM) DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO) adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir Skripsi ini. Bogor, Maret 211 Asyari Adisaputra C ii

3 RINGKASAN ASYARI ADISAPUTRA. Variabilitas Arus, Suhu dan Angin di Perairan Barat Sumatera dan Inter-Relasinya dengan Indian Ocean Dipole Mode (IODM) dan El Nino Southern Oscilation (ENSO). Dibimbing oleh MULIA PURBA. Di Samudera Hindia terbentuk sistem osilasi yang dikenal dengan Indian Ocean Dipole Mode (IODM). IODM merupakan fenomena yang disebabkan karena terbentuknya dua kutub anomali SPL (suhu permukaan laut) di perairan timur Samudera Hindia dan perairan barat Samudera Hindia (Saji et al., 1999). Di Samudera Pasifik juga terbentuk sistem osilasi yang dikenal dengan El Nino Southern Oscillation (ENSO). Adanya kedua fenomena ini mempengaruhi fluktuasi arus, suhu air laut dan angin di perairan barat Sumatera. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis variabilitas arus dan suhu di perairan barat Sumatera pada kedalaman 5, 25, 55, 75, 125, 155, 175, 25, 446, dan 617 meter pada periode Januari 1979 hingga Desember 27. Menganalisis variabilitas angin permukaan di perairan barat Sumatera pada periode Januari 1979 hingga Desember 27. Serta mengkaji hubungan antara variabilitas arus, suhu dan angin permukaan di perairan barat Sumatera dengan IODM dan ENSO. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data bulanan ratarata dengan jangka waktu antara Januari 1979 hingga Desember 27. Data arus dan suhu diperoleh dari GFDL-NOAA ( Data angin dari ESRL-NOAA ( Data Dipole Mode Index (DMI) diperoleh dari JAMSTEC ( dan data Southern Oscillation Index (SOI) dari BOM ( Stasiun data arus dan angin terletak pada koordinat 5 LS dan 1 BT, sedangkan data suhu terletak pada koordinat 5,26 LS dan 1,5 BT. Pengolahan data untuk menentukan variabilitas temporal arus, suhu, angin, DMI, dan SOI menggunakan perangkat lunak MATLAB R28a, serta ODV 4.1 untuk melihat sebaran suhu berdasarkan kedalaman. Spektrum densitas energi dihitung dengan metode FFT (Fast Fourier Transform) untuk melihat periode fluktuasi yang dominan dari parameter arus, suhu, angin, DMI dan SOI. Korelasi silang arus, suhu, angin, DMI dan SOI, ditentukan dengan analisis Cross Spectral Analysis dengan bantuan perangkat lunak Statistica 6., untuk melihat hubungan antara parameter tersebut. Pada saat Angin Muson Barat Laut arus dan angin bergerak ke arah tenggara, sedangkan suhu pada lapisan tercampur cenderung lebih tinggi dan lapisan termoklin menjadi lebih tipis. Pergerakan arus ke arah tenggara merupakan representasi dari Arus Sakal Samudera Hindia (ASH). Pada musim ini diduga ASH yang memasuki lokasi studi mendapatkan penyinaran matahari yang relatif tinggi dan terus menerus sehingga membawa massa air yang memiliki suhu yang relatif tinggi. Pada saat Angin Muson Tenggara arus bergerak ke arah barat laut dan barat daya dan angin bergerak ke arah barat laut, sedangkan suhu pada lapisan tercampur cenderung lebih rendah dan lapisan termoklin mejadi lebih tebal. Pergerakan arus ke arah barat laut dan barat daya diduga merupakan representasi dari ASH yang bertemu dengan Arus Khatulistiwa Selatan (AKS) di lokasi penelitian. Pada musim ini AKS yang mengaliri lokasi studi membawa massa air dingin yang berasal dari upwelling yang terjadi di selatan Jawa dan massa air dingin dari bagian utara Australia hingga perairan barat Sumatera. Pada saat Musim Peralihan arus cenderung iii

4 bergerak ke arah tenggara, angin lebih cenderung bergerak ke arah barat laut dan suhu pada lapisan permukaan lebih tinggi. Spektrum densitas energi dari arus dan suhu menunjukkan adanya fluktuasi setengah-tahunan (semi-annual), fluktuasi tahunan (annual), dan fluktuasi antar-tahunan (inter-annual). Spektrum densitas energi angin menunjukkan adanya fluktuasi tahunan, sedangkan spektrum densitas energi DMI dan SOI menunjukkan adanya fluktuasi antar-tahunan. Fluktuasi setengah tahunan lebih disebabkan oleh pengaruh dari perubahan arah Angin Muson yang bertiup di perairan barat Sumatera setiap 6 bulan. Selain itu adanya Jet Wyrtki yang berkembang pada Musim Peralihan ikut mempengaruhi fluktuasi setengahtahunan pada komponen arus dan suhu (Wyrtki, 1973). Fluktuasi tahunan disebabkan oleh adanya perubahan kecepatan angin pada setiap musimnya. Sedangkan fluktuasi antar-tahunan disebabkan oleh adanya IODM dan SOI yang siklusnya berkisar antara 3 hingga 7 tahun (Saji et al., 1999 dan Kug dan Kang, 25). Berdasarkan hasil korelasi silang, fluktuasi komponen zonal arus pada kedalaman 5 meter mempengaruhi fluktuasi setengah-tahunan dan tahunan suhu pada kedalaman 5 meter. Fluktuasi komponen zonal angin di perairan barat Sumatera mempengaruhi terjadinya fluktuasi tahunan komponen zonal arus pada kedalaman 125 meter serta suhu pada kedalaman 5 dan 75 meter, selain itu fluktuasi antar-tahunan pada komponen zonal arus diperairan barat Sumatera juga dipengaruhi oleh adanya fluktuasi komponen zonal angin. Sementara itu fluktuasi komponen meridional angin mempengaruhi fluktuasi tahunan komponen meridional arus pada kedalaman 125 meter serta fluktuasi suhu pada kedalaman 75 meter. Fenomena IODM yang terjadi di perairan barat Sumatera mempengaruhi fluktuasi tahunan komponen zonal arus pada kedalaman 5 meter serta komponen zonal angin. Selain itu fluktuasi antar tahunan komponen zonal arus pada kedalaman 75 meter, suhu pada kedalaman 75 dan 125 meter serta komponen meridional angin di perairan barat Sumatera juga merupakan pengaruh dari adanya fenomena IODM. Adanya fenomena ENSO di Samudera Pasifik juga memiliki pengaruh terhadap fluktuasi arus, suhu dan angin di perairan barat Sumatera. Fenomena ENSO mempengaruhi terjadinya fluktuasi antar-tahunan pada komponen meridional arus pada kedalaman 125 meter. Fluktuasi antar-tahunan suhu pada kedalaman 75 meter serta komponen zonal angin juga dipengaruhi oleh fenomena ENSO. iv

5 Hak cipta milik Asyari Adisaputra, tahun 211 Hak cipta dilindungi Dilarang mengurangi dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, microfilm, dan sebagainya. v

6 VARIABILITAS ARUS, SUHU, DAN ANGIN DI PERAIRAN BARAT SUMATERA SERTA INTER-RELASINYA DENGAN INDIAN OCEAN DIPOLE MODE (IODM) DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO) Oleh: ASYARI ADISAPUTRA Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 211 vi

7 LEMBARAN PENGESAHAN Judul Nama NRP Departemen : VARIABILITAS ARUS, SUHU, DAN ANGIN DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN INTER-RELASI DENGAN INDIAN OCEAN DIPOLE MODE (IODM) DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO) : Asyari Adisaputra : C : Ilmu dan Teknologi Kelautan Menyetujui Dosen Pembimbing, Prof. Dr. Ir Mulia Purba, M.Sc NIP Mengetahui Ketua Departemen, Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc NIP Tanggal lulus : 1 Februari 211 vii

8 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, hidayah, serta inayah yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Variabilitas Arus, Suhu, dan Angin di Perairan Barat Sumatera dan Inter-Relasinya dengan Indian Ocean Dipole Mode (IODM) dan El Nino Southern Oscillation (ENSO). Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada: 1. Kedua orangtua, serta adik atas segala dukungan dan doanya. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Mulia Purba, M.Sc. selaku pembimbing yang telah sudi meluangkan waktu, tenaga dan pikiran selama penyusunan skripsi. 3. Bapak Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc. dan Dr. Ir. Henry M. Manik, MT. selaku penguji tamu atas kritik dan masukannya. 4. GFDL dan ESRL NOAA, JAMSTEC, dan BOM yang telah meyediakan data yang digunakan dalam penelitian ini. 5. Bapak Mochammad Tri Hartanto, S.Pi atas bantuannya dalam pengolahan data. 6. Rekan-rekan ITK 42 dan warga ITK atas bantuan, saran, dan semangatnya. 7. Rekan-rekan Lab. Data Processing Oseanografi yang telah membantu dan memberikan saran dalam penyusunan skripsi. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Penulis berharap, skripsi ini dapat memberikan kontribusi informasi dan wawasan yang berguna bagi penulis dan pihak yang membacanya. Bogor, Maret 211 Asyari Adisaputra viii

9 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... ix xi DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xiv 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan TINJAUAN PUSTAKA Arus Suhu Angin Indian Ocean Dipole Mode El Nino Southern Oscillation (ENSO) Variabilitas Arus, suhu, Angin dan Kaitannya terhadap IODM dan ENSO BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Data Penelitian Data Arus dan Suhu Data Angin Data Dipole Mode Index (DMI) Data Southern Oscillation Index (SOI) Pengolahan dan Analisis Data Metode Validasi Data Sebaran Temporal Analisis Deret Waktu Spektrum Densitas Energi Korelasi Silang HASIL DAN PEMBAHASAN Validasi Data GFDL dengan Data Insitu (Buoy Triton) Sebaran Arus Sebaran Suhu Sebaran Angin Kaitan antara Sebaran Arus, Suhu, Angin dengan IODM dan ENSO Spektrum Densitas Energi Spektrum Densitas Energi Arus Spektrum Densitas Energi Suhu ix

10 Spektrum Densitas Energi Angin Spektrum Densitas Energi DMI Spektrum Densitas Energi SOI Korelasi Silang Arus dengan Angin Arus dengan DMI Arus dengan SOI Suhu dengan Arus Suhu dengan Angin Suhu dengan DMI Suhu dengan SOI Angin dengan DMI Angin dengan SOI KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA... 9 LAMPIRAN x

11 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Pola Arus bulan Februari Pola Arus bulan April, Juni, dan Agustus Pola Arus bulan Oktober dan Desember Equatorial Jet (Jet Wyrtki) di Samudera Hindia pada bulan Mei dan Oktober Fenomena IODM Positif dan Negatif Anomali Sea Surface Temperature (SST) dan Pola Kecepatan Angin pada Kejadian Indian Ocean Dipole Mode Perbandingan Keadaan Normal dan Kondisi Ketika El Nino Peta Stasiun Lokasi Pengamatan Langkah dalam Asimilasi Data Grafik perbandingan antara data arus GFDL dengan data arus buoy TRITON Grafik perbandingan antara data suhu GFDL dengan data suhu buoy TRITON Stickplot Arus Perairan Barat Sumatera Periode Stickplot Arus Perairan Barat Sumatera Periode Stickplot Arus Perairan Barat Sumatera Periode Stickplot Arus Perairan Barat Sumatera Periode Stickplot Arus Perairan Barat Sumatera Periode Sebaran Temporal Suhu berdasarkan Kedalaman Periode Sebaran Temporal Suhu berdasarkan Kedalaman Periode dan Sebaran Temporal Suhu berdasarkan Kedalaman Periode Sebaran Temporal Suhu per Kedalaman Periode , dan Sebaran Temporal Suhu per Kedalaman Periode dan Sebaran Temporal Angin Periode Januari 1979 Desember Sebaran Temporal Angin Periode , dan xi

12 24. Sebaran Temporal Angin Periode Januari 23 Desember Sebaran Temporal Arus, Angin, Suhu, DMI dan SOI Periode Januari 1979 Desember Sebaran Temporal Arus, Angin, Suhu, DMI dan SOI Periode Januari 1985 Desember Sebaran Temporal Arus, Angin, Suhu, DMI dan SOI Periode Januari 1991 Desember Sebaran Temporal Arus, Angin, Suhu, DMI dan SOI Periode Januari 1997 Desember Sebaran Temporal Arus, Angin, Suhu, DMI dan SOI Periode Januari 23 Desember Spektrum densitas energi arus kedalaman 5 meter dan 25 meter Spektrum densitas energi arus kedalaman 55 meter dan 75 meter Spektrum densitas energi arus kedalaman 125 meter dan 155 meter Spektrum densitas energi arus kedalaman 175 meter dan 25 meter Spektrum densitas energi arus kedalaman 446 meter dan 617 meter Spektrum densitas energi suhu pada kedalaman 5, 25, 55, 75 meter Spektrum densitas energi suhu pada kedalaman 125, 155, 175 dan 25 meter Spektrum densitas energi suhu pada kedalaman 446 dan 617 meter Spektrum densitas energi angin Spektrum densitas energi Dipole Mode Index (DMI) Spektrum densitas energi Southern Oscillation Index (SOI) xii

13 DAFTAR TABEL Halaman 1. Hasil Validasi antara Komponen Arus GFDL dengan Buoy Triton Hasil Validasi antara Komponen Suhu GFDL dengan Buoy Triton Hasil Spektrum Densitas Energi Arus Hasil Spektrum Densitas Energi Suhu Hasil Spektrum Densitas Energi Angin Hasil Spektrum Densitas Energi DMI Hasil Spektrum Densitas Energi SOI Hasil Korelasi silang antara Angin dengan Arus Hasil Korelasi Silang antara DMI dengan Arus Hasil Korelasi Silang antara SOI dengan Arus Hasil Korelasi Silang antara Arus dengan Suhu Hasil Korelasi Silang antara Angin dengan Suhu Hasil Korelasi Silang antara DMI dengan Suhu Hasil Korelasi Silang antara SOI dengan Suhu Hasil Korelasi Silang antara DMI dengan Angin Hasil Korelasi Silang antara SOI dengan Angin xiii

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Grafik Korelasi Silang antara Angin dengan Arus Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Arus Grafik Korelasi Silang antara SOI dengan Arus Grafik Korelasi Silang antara Arus dengan Suhu Grafik Korelasi Silang antara Angin dengan Suhu Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Suhu Grafik Korelasi Silang antara SOI dengan Suhu Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Angin Grafik Korelasi Silang antara SOI dengan Angin xiv

15 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Samudera Hindia merupakan bagian dari Great Conveyor Belt yang memiliki peranan penting dalam penyebaran massa air di lautan. Parameter yang terdapat di Samudera Hindia seperti arus dan suhu memiliki peran dalam penyebaran massa air tersebut. Pola arus dan suhu air laut di perairan Samudera Hindia tidak selamanya stabil. Pada waktu tertentu arus dan suhu air laut mengalami fluktuasi yang tentunya juga akan mempengaruhi pola arus dan suhu yang terjadi di Samudera Hindia. Di wilayah Indonesia terbentuk suatu pola angin yang berganti arah setiap 6 bulannya. Angin ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi fluktuasi setengah-tahunan serta tahunan arus dan suhu di Samudera Hindia. Di Samudera Hindia terbentuk suatu sistem osilasi yang dikenal dengan nama Indian Ocean Dipole Mode (IODM). IODM sendiri merupakan fenomena yang disebabkan karena terbentuknya dua kutub anomali suhu permukaan laut (SPL) di perairan timur Samudera Hindia dan perairan barat Samudera Hindia (Saji et al, 1999). Di Samudera Pasifik juga terbentuk sistem osilasi yang dikenal dengan nama El Nino Southern Oscillation (ENSO). Sistem ini mencakup dua fenomena (El Nino dan La Nina) yang mempengaruhi pola curah hujan dan fluktuasi suhu air laut di perairan Indonesia. Indian Ocean Dipole Mode diduga tidak memiliki hubungan dengan ENSO, namun terkadang antara Indian Ocean Dipole Mode dengan ENSO dapat saling memicu satu sama lain. Menurut Susanto et al. (21) dan Godfrey (21) terlihat bahwa pada saat terjadi El Nino terlihat anomali SPL negatif di Samudera Hindia bagian timur (pantai barat Sumatera) Adanya anomali ini memungkinkan angin muson tenggara yang 1

16 2 berhembus di perairan Indonesia menguat sehingga massa air yang terjadi di selatan Jawa dan barat daya Sumatera mengalami peningkatan. Fenomena IODM sendiri telah banyak dijadikan topik penelitian menyangkut hubungannya dengan suhu dan angin yang terdapat di Samudera Hindia, namun hubungan antara IODM dan variabilitas arus di Samudera Hindia sendiri belum begitu banyak diketahui. Padahal arus sendiri memiliki peran yang penting dalam sirkulasi massa air yang terjadi di suatu perairan. Hubungan antara variabilitas suhu dan angin di Samudera Pasifik dengan ENSO juga telah banyak diteliti, namun belum diketahui sejauh mana ENSO mempengaruhi pola arus, suhu dan angin di Samudera Hindia. Penelitian tentang variabilitas arus, suhu dan angin di perairan barat Sumatera penting untuk dilakukan, agar dapat menelaah dinamika dan pengaruh IODM di Samudera Hindia. Selain itu penelitian di perairan barat Sumatera dapat digunakan dalam memperkirakan hubungan antara IODM yang terjadi di Samudera Hindia dengan ENSO yang terjadi di Samudera Pasifik Tujuan Tujuan penelitian ini adalah : 1) Menganalisis variabilitas arus dan suhu di perairan barat Sumatera pada kedalaman 5, 25, 55, 75, 125, 155, 175, 25, 446, dan 617 meter pada periode Januari 1979 hingga Desember 27. 2) Menganalisis variabilitas angin permukaan di perairan barat Sumatera pada periode Januari 1979 hingga Desember 27. 3) Mengkaji hubungan antara variabilitas arus, suhu dan angin permukaan di perairan barat Sumatera dengan IODM dan ENSO.

17 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Arus Menurut Gross (199), arus Laut merupakan proses pergerakan massa air laut secara terus menerus menuju keseimbangan hidrostatis yang akan menyebabkan perpindahan massa air laut secara horizontal atau vertikal. Pergerakan massa air laut tersebut dinyatakan sebagai vektor yang memiliki besaran arah dan kecepatan. Gaya yang bekerja pada arus laut ada dua, yaitu gaya internal yang meliputi perbedaan densitas air laut, gradien tekanan mendatar, dan gesekan lapisan air. Kemudian gaya eksternal yang meliputi gaya gesekan angin, gaya gravitasi, gaya Coriolis, gaya akibat perbedaan tekanan udara, gaya akibat pergeseran dasar samudera dan gaya tarik matahari dan bulan yang dipengaruhi oleh tahanan dasar laut. Secara khusus arus permukaan perairan Indonesia sangat dipengaruhi oleh angin muson yang berubah setiap setengah tahun. Di belahan bumi bagian selatan terjadi Angin Muson Tenggara pada bulan Juli hingga Agustus. Pada musim ini arah arus permukaan bergerak dari timur ke barat, sedangkan pada bulan November sampai Februari di belahan bumi bagian selatan bertiup Angin Musion Barat Laut yang mengakibatkan angin permukaan bergerak ke arah timur (Wyrtki, 1961). Di Samudera Hindia pada belahan bumi bagian selatan terbentuk pergerakan massa air yang tetap mengarah ke barat, yang dikenal dengan nama Arus Khatulistiwa Selatan (AKS). Arus ini mengalir dari lepas pantai selatan Jawa Timur hingga Madagaskar. Arus ini merupakan arus yang dangkal dengan kedalaman kurang dari 2 meter. Pada saat terjadi Angin Muson Barat Laut perairan selatan Jawa, Arus Khatulistiwa Selatan (AKS) didesak ke arah selatan. Kemudian di perairan selatan Jawa berkembang arus yang berlawanan arah 3

18 4 dengan dengan AKS, arus yang terbentuk tersebut merupakan perpanjangan arus dari pantai barat Sumatera. Arus ini dikenal sebagai Arus Pantai Jawa (APJ). Arus ini mencapai puncaknya pada bulan Maret, dimana pada saat itu merupakan akhir Muson Barat Laut (Wyrtki, 1961). Selain AKS yang bergerak ke arah barat, pada bagian ekuator di perairan barat Sumatera juga terdapat arus kuat yang bergerak ke arah timur yang dikenal dengan Arus Sakal Khatulistiwa (Equatorial Counter Current) atau disingkat ASH. ASH akan bertemu dengan AKS yang berasal dari timur di perairan bagian barat/barat daya Sumatera. Pada bulan Desember ASH terjadi di sekitar ekuator, namun ASH juga dapat mencapai wilayah 6 LS walaupun pada daerah tersebut kecepatan ASH cenderung lebih lambat daripada ketika terjadi di daerah ekuator. Menurut Wyrtki (1961) pada bulan Januari dan Februari ketika terjadi Angin Muson Barat Laut, Arus Khatulistiwa Utara (North Equatorial Current) di bagian utara ekuator akan mendesak ASH ke selatan pada wilayah 3 LS hingga 5 LS. Selanjutnya pada bulan Maret dan April Arus Khatulistiwa Utara di bagian utara ekuator melemah dan ASH akan meningkat dan bergerak pada wilayah 3 LU hingga 5 LS. Pola arus di perairan Indonesia ditampilkan pada Gambar 1, 2 dan 3. Gambar 1. Pola Arus di Perairan Asia Tenggara pada Bulan Februari (Wyrtki, 1961)

19 5 a) b) c) Gambar 2. Pola Arus di Perairan Asia Tenggara pada Bulan a) April b) Juni c) Agustus (Wyrtki, 1961)

20 6 a) b) Gambar 3. Pola Arus di Perairan Asia Tenggara pada Bulan a) Oktober b) Desember (Wyrtki, 1961) Menurut Wyrtki (1973) pada saat pada bulan April-Mei dan September- Oktober berkembang Jet Wyrtki (Indian Equatorial Jet) yang ditunjukkan pada Gambar 4. Seperti terlihat pada Gambar 4 Jet Wyrtki bergerak ke arah timur di wilayah tropis Samudera Hindia hingga perairan barat Sumatera. Jet Wyrtki memiliki pengaruh cukup besar dalam merubah karakter massa air di Samudera Hindia. Tomczak dan Godfrey (1994) berpendapat bahwa Jet Wyrtki juga terlihat pada bulan Juni. Pada awal April hingga Mei kecepatan Jet Wyrtki dapat mencapai,7 m/detik atau lebih. Sedangkan pada bulan September-Oktober Jet Wyrtki menjadi lebih cepat dan puncaknya pada bulan November dengan kecepatan 1, 1,3 m/detik.

21 7 a) b) Gambar 4. Equatorial Jet (Jet Wyrtki) di Samudera Hindia pada bulan a) Mei dan b) Oktober (Wyrtki, 1973) Wyrtki (1961) mengemukakan bahwa pada bulan Juli hingga Oktober, Angin Muson Tenggara mendesak poros AKS hingga ke utara dan menyatu dengan massa air yang berasal dari ASH. Poros AKS yang terdesak hingga ke utara pada periode tersebut diduga menyebarkan massa air dingin dan bersalinitas tinggi yang berasal dari upwelling di selatan Jawa menyebar hingga jauh ke utara Suhu Suhu adalah suatu besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang yang terkandung dalam suatu benda. Suhu di laut berkisar antara -2ºC hingga 3ºC dimana pada suhu -2ºC terjadi pembentukan lapisan es sedangkan pada suhu 3ºC merupakan batas terjadinya proses radiasi dan pertukaran bahang dengan atmosfer (King, 1963). Suhu memberikan pengaruh terhadap aktivitas metabolisme, tingkah laku dan perkembangbiakan biota-biota laut (Laevastu dan Hela, 197). Secara tidak langsung suhu berpengaruh terhadap daya larut oksigen yang berpengaruh terhadap respirasi biota-biota tersebut.

22 8 Penyebaran suhu pada permukaan laut membentuk zona berdasarkan letak lintang. Semakin mendekati garis khatulistiwa (lintang rendah) suhu akan semakin meningkat dan sebaliknya, suhu akan semakin menurun mendekati kutub (lintang tinggi). Hal ini terjadi karena daerah yang paling banyak menerima sinar matahari terletak antara lintang 1 LU - 1 LS (Weyl,1967). Secara vertikal suhu di lautan dibagi menjadi tiga zona (Richard dan Davis, 1991) yaitu: 1. Lapisan permukaan tercampur (mix surface layer) yang merefleksikan suhu rata-rata tiap lintang. Lapisan ini cenderung homogen oleh pencampuran massa air. Ketebalan lapisan homogen di perairan Indonesia berkisar antara 5 1 m, dengan suhu berkisar antara 26-3 C (Soegiarto dan Birowo, 1975). 2. Lapisan termoklin, dimana terjadi penurunan suhu yang cepat dan densitas yang meningkat. Hal ini mengakibatkan air di lapisan atas tidak dapat bercampur dengan air di lapisan bawah. Menurut Gross (199) lapisan termoklin yang terdapat pada perairan tropis berada pada kedalaman 1 hingga 25 meter. Menurut Illahude (1999) lapisan termoklin secara lebih rinci dapat dibagi menjadi dua lapisan, yaitu lapisan termoklin atas dan termoklin bawah, dimana perubahan suhu di termoklin atas lebih cepat dibandingkan termoklin bawah. Kedalaman lapisan termoklin di Indonesia berkisar antara 1 3 m dengan kisaran suhu antara 9-26 C (Soegiarto dan Birowo, 1975). Menurut Wyrtki (1961) lapisan termoklin di Samudera Hindia berkisar antara 12 sampai dengan 16 meter. 3. Lapisan dalam (deep layer) mencerminkan ciri khas asal massa air tiap lintang. Lapisan ini dapat mencapai kedalaman 25m dengan penurunan suhu yang lambat. Gradien suhu mencapai.5 o C/1m

23 9 (Gross, 199). Kisaran suhu pada lapisan dalam di perairan Indonesia berkisar antara 2-4 C (Soegiarto dan Birowo, 1975). Perairan di Indonesia memperlihatkan adanya variasi musiman, variasi musiman tersebut hanya sebesar 2 o C. Pergerakan semu matahari yang melintasi ekuator memiliki pengaruh terhadap variasi musiman tersebut. Beberapa perairan seperti Laut Banda, Laut Arafura, laut Timor dan Laut Jawa kisaran tahunan suhu air permukaannya mencapai 3-4 o C. Pada musim barat terjadi pemanasan di daerah Laut Arafuru dan pantai barat Sumatera, dengan kisaran suhu 29-3 C (Soegiarto dan Birowo, 1975) Angin Angin adalah massa udara yang bergerak mendatar (horizontal) dari tekanan tinggi mengalir ke tempat bertekanan rendah. Semakin besar perbedaan tekanan udara maka semakin besar pula kecepatan angin yang berhembus (Hasse dan Dobson, 1986). Salah satu faktor penyebab timbulnya angin adalah adanya gradien tekanan. Gaya gradien tekanan timbul karena adanya perbedaan suhu udara. Dalam hal ini hubungan antara permukaan bumi dalam menerima energi radiasi matahari yang sama tapi mempunyai laju pemanasan yang berbeda beda dari satu tempat ke tempat yang lain. Faktor lain yang berpengaruh dalam pembentukan angin adalah gaya Coriolis. Gaya Coriolis timbul akibat rotasi bumi dan menyebabkan perubahan gerak angin ke arah kanan pada belahan bumi bagian utara dan pembelokan angin ke arah kiri pada belahan bumi bagian selatan (Pariwono dan Manan, 199). Pola angin yang sangat berperan di Indonesia adalah angin Muson. Angin muson bertiup ke arah tertentu pada satu masa sedangkan pada masa lainnya angin bertiup pula pada arah yang berlawanan. Letak geografi Indonesia

24 1 yang berada di antara Benua Asia dan Benua Australia membuat kawasan ini paling ideal untuk berkembangnya angin muson. Menurut Wyrtki (1961), sistem angin muson di Indonesia terbagi menjadi empat golongan yaitu : 1. Angin Muson Timur Laut dan Angin Muson Barat Laut Muson ini terbentuk pada bulan Desember hingga Februari. Pada bulanbulan tersebut tekanan udara yang tinggi berada di Benua Asia sedangkan di Benua Australia terbentuk tekanan udara yang rendah, sehingga angin bertiup dari Benua Asia ke Benua Australia. Di belahan bumi bagian utara (utara ekuator) bertiup Angin Muson Timur Laut, sedangkan di belahan bumi bagian selatan (selatan ekuator) bertiup Angin Muson Barat Laut dan di Indonesia dikenal sebagai Musim Barat. 2. Peralihan I Peralihan pertama terjadi pada bulan Maret hingga Mei. Pada saat Musim Peralihan kecepatan angin lemah dan arahnya menjadi tidak beraturan. 3. Angin Muson Barat Daya dan Angin Muson Tenggara Pada bulan Juni hingga Agustus tekanan udara yang rendah terbentuk di Benua Asia, sedangkan tekanan udara yang tinggi terbentuk di Benua Australia, sehingga angin bertiup dari Benua Australia ke Benua Asia. Di belahan bumi bagian utara (utara ekuator) bertiup Angin Muson Barat Daya, sedangkan di belahan bumi bagian selatan (selatan ekuator) bertiup Angin Muson Tenggara. 4. Peralihan II Peralihan kedua terjadi pada bulan September hingga November. Pada saat Musim Peralihan kecepatan angin lemah dan arahnya menjadi tidak beraturan.

25 Indian Ocean Dipole Mode Saji et al. (1999) melaporkan bahwa terdapat juga osilasi klimatologi di Samudera Hindia. Fenomena ini ditunjukkan dengan adanya variabilitas internal dengan SPL negatif atau lebih dingin dari normalnya di pantai barat Sumatera atau Samudera Hindia bagian timur (9-11 BT, 1 LS-ekuator) dan anomali positif di Samudera Hindia bagian barat (5-7 BT, 1 LS-1 LU). Fenomena ini bersifat unik dan melekat di Samudera Hindia dan terlihat tidak bergantung pada ENSO. Fenomena ini dinamakan Indian Ocean Dipole Mode (IODM). Dipole Mode Index (DMI) dapat digunakan untuk mengidentifikasi fenomena IODM. Nilai DMI menggambarkan perbedaan anomali suhu permukaan laut dari dua daerah yaitu bagian barat ekuator dari Samudera Hindia (5-7 BT dan 1 LS - 1 LU) dan timur ekuator dari Samudera Hindia (9-11 BT dan 1 LS - ekuator). Nilai DMI yang ekstrim positif menggambarkan terjadinya fenomena IODM positif dan nilai DMI ekstrim negative menunjukkan terjadinya fenomena IODM negatif. Fenomena IODM ditunjukkan pada Gambar 5. Pada waktu normalnya, angin barat yang lemah bergerak dari sisi bagian timur Afrika (Samudera Hindia bagian barat) ke pantai barat Sumatera (Samudera Hindia bagian timur). Sedangkan pada saat terjadinya fenomena IODM positif di pantai barat Sumatera terbentuk anomali SPL negatif (lebih rendah dari suhu normalnya) yang pada gambar ditandai dengan warna biru. Sedangkan di pantai timur Afrika terbentuk anomali SPL positif (suhu permukaan lautnya lebih tinggi dari kondisi normal) yang ditandai dengan warna merah pada gambar. Kondisi ini menimbulkan angin timur yang kuat yang bertiup ke pantai timur Afrika, sehingga curah hujan di atas Afrika berada di atas normal sementara di Indonesia terjadi kekeringan. Hal sebaliknya terjadi pada saat fenomena IODM negatif (Saji et al., 1999).

26 12 Vinayachandran et al. (22) menambahkan IODM positif juga ditandai dengan pendangkalan lapisan termoklin di S. Hindia bagian timur sedangkan di Samudera Hindia bagian barat menjadi lebih dalam. a) b) Gambar 5. Fenomena IODM a) IODM Positif b) IODM Negatif (Saji et al., 21) Proses terbentuknya IODM ditampilkan pada Gambar 6. Siklus dipole mode diawali dengan munculnya anomali suhu permukaan laut negatif di sekitar Selat Lombok hingga Selatan Jawa pada sekitar bulan Mei Juni. Selanjutnya pada bulan Juli Agustus, anomali negatif tersebut terus menguat dan semakin meluas sampai pantai barat Sumatera, sementara itu di Samudera Hindia bagian barat muncul pula anomali suhu permukaan laut positif. Adanya perbedaan tekanan di antara keduanya, semakin memperkuat angin tenggara di sepanjang ekuator dan pantai barat Sumatera. Proses pembentukan Indian Ocean Dipole Mode dimulai pada bulan Mei hingga Juni (Gambar 6a). Siklus ini mencapai puncaknya pada bulan September Oktober (Gambar 6b) dan selanjutnya menghilang dengan cepat pada bulan November Desember (Gambar 6c).

27 13 Menurut Saji et al. (1999) dan Meyers et al. (26) fenomena IODM positif terjadi pada tahun 1982, 1983, 1987, 1991, 1994, dan Sedangkan fenomena IODM negatif terjadi pada tahun 198, 1981, 1985, 1989, dan Gambar 6. Perkembangan kejadian Indian Ocean Dipole Mode. Evolusi komposit SPL dan anomali kecepatan angin pada bulan a) Mei-Juni b) Juli- Agustus c) September-Oktober d) November-Desember (Saji et al.,1999) 2.5. El Nino Southern Oscillation (ENSO) El Nino Southern Oscillation atau ENSO adalah kondisi abnormal iklim di mana suhu permukaan Samudra Pasifik di pantai Barat Ekuador dan Peru lebih tinggi dari rata-rata normalnya. Istilah ini pada mulanya digunakan untuk menamakan arus laut hangat yang terkadang mengalir dari Utara ke Selatan antara pelabuhan Paita dan Pacasmayo di daerah Peru yang terjadi pada bulan Desember. Kejadian ini kemudian semakin sering muncul yaitu setiap tiga hingga tujuh tahun serta dapat mempengaruhi iklim dunia selama lebih dari satu tahun (Philander, 199). Fenomena ENSO ini memiliki dua fenomena yang saling

28 14 berlawanan fase. Dimana fase panas disebut sebagai kondisi El Nino dan fase dingin disebut sebagai kondisi La Nina. Parameter yang dapat digunakan untuk melihat adanya fase El Nino dan La Nina adalah Southern Oscillation Index (SOI). SOI merupakan indeks yang menggambarkan perbedaan tekanan udara permukaan laut antara Darwin (yang mewakili Indonesian Low) dengan Tahiti (yang mewakili South Pasific High). Nilai tersebut didapatkan dengan mengurangi nilai tekanan paras laut di Tahiti dengan tekanan paras laut di Darwin. Pada saat terjadinya El Nino, nilai Indeks Osilasi Selatan negatif dalam jangka waktu yang lama, terjadi penurunan tekanan udara di bawah kondisi normalnya di Tahiti dan terjadi peningkatan tekanan udara di atas kondisi normalnya di Darwin. Sebaliknya pada saat nilai Indeks Osilasi Selatan positif dalam jangka waktu yang lama (fase La Nina), terjadi kenaikan tekanan udara di atas kondisi normalnya di Tahiti dan terjadinya penurunan tekanan udara di bawah kondisi normalnya di Darwin. Pola inilah yang dinamakan pola jungkat-jangkit, dimana posisi kedua ujungnya akan selalu berlawanan. Fenomena Osilasi Selatan ini berkaitan dengan kejadian El Nino, maka disebut sebagai ENSO (Brown et al., 1989). Perbandingan kondisi pada saat normal dan terjadi El Nino ditunjukkan pada Gambar 7. Pada kondisi normal, berhembus angin permukaan di P ini membangkitkan arus permukaan di Samudera Pasifik yang mengalir dari timur ke barat. Hal ini mengakibatkan elevasi muka air laut di Samudera Pasifik tropis bagian barat lebih tinggi dan suhu permukaan laut (SPL) di bagian ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan Samudera Pasifik tropis bagian timur (Gambar 7a). Melemahnya Angin Pasat menyebabkan terjadinya perubahan arah arus ekuator yang semula ke arah barat menjadi ke arah timur (Gambar 7b). Perubahan arah arus ini menyebabkan makin tingginya SPL di Samudera Pasifik tropis bagian

29 15 timur. Semakin besarnya gradien suhu antara timur-barat membangkitkan angin baratan yang bertiup dari Pasifik barat ke bagian timurnya. Bertiupnya angin baratan ini menambah kuatnya perbedaan suhu atau makin bertambahnya suhu di bagian timur Pasifik. Sirkulasi tersebut terjadi pada kondisi El Nino. Pada tahun 1997 terjadi pengaruh global dari kejadian ENSO yang menyebabkan anomali kondisi iklim yang berkepanjangan. a) b) Gambar 7. Perbandingan kondisi di Samudera Pasifik pada saat a) normal dan b) terjadi El Nino (NOAA, 24) 2.6. Variabilitas Arus, Suhu, Angin serta Kaitannya terhadap IODM dan ENSO Westerly wind burst di Ekuatorial Barat Samudera Hindia membangkitkan arus Jet Wyrtki ke timur pada musim-musim peralihan (Sprintall et al., 2). Pada bulan Oktober - November (peralihan II) arus Jet Wyrtki yang terbentuk lebih lemah daripada musim peralihan I (April - Mei). Akibat arus Jet Wyrtki tersebut maka terbentuklah gelombang Kelvin yang menyebabkan penenggelaman massa air atau downwelling di pantai barat Sumatera (Wyrtki, 1973). Gelombang Kelvin yang terbentuk tersebut akan merambat dan membentur pantai barat Sumatera dalam waktu lebih kurang sebulan. Menurut Thompson et al. (26) IODM mempengaruhi adanya variasi antar-tahunan pada suhu di perairan barat Sumatera. Pada saat IODM positif

30 16 suhu menurun karena adanya angin kuat yang menekan Jet Wyrtki, sedangkan pada saat IODM negatif terjadi hal yang sebaliknya. ENSO juga mempengaruhi penaikan massa air (upwelling) di selatan Jawa dan barat daya Sumatera. Pada saat periode El Nino, Angin Muson Tenggara yang berhembus di perairan Indonesia bagian selatan menguat sehingga terjadi peningkatan upwelling di selatan Jawa dan barat daya Sumatera (Susanto et al. 21). Menurut Farita (26) dan Holiludin (29) energi variabilitas suhu terbesar di Samudera Hindia (perairan selatan Jawa dan perairan barat Sumatera) terdapat pada lapisan termoklin. Saji et al. (1999) menyatakan bahwa IODM merupakan suatu fenomena sistem kopel atmosfer-laut yang mempunyai mekanisme fisis yang hampir sama dengan ENSO, tetapi secara statistik tidak bergantung pada ENSO. Ketidakbergantungan ini ditunjukkan oleh adanya kejadian IODM pada tahun 1961 dan 1967 yang tidak terkait dengan ENSO. Sedangkan Godfrey (21) menyimpulkan bahwa terlihat anomali SPL negatif di Samudera Hindia bagian timur (pantai barat Sumatera) pada saat El Nino. Adanya anomali ini memungkinkan menguatnya angin timuran di daerah tersebut. Hal ini sesuai dengan evolusi kejadian IODM yang dikemukakan oleh Saji et al. (1999). Pernyataan tersebut memperlihatkan adanya korelasi yang kuat antara ENSO dan IODM, serta mengisyaratkan adanya hubungan yang kompleks antara keduanya. Webster dan Torrence (1999) mengemukakan bahwa anomali SPL Samudera Hindia dan Samudera Pasifik bagian tengah dan timur secara umum sefasa dalam skala waktu antar tahunan. Ini mengindikasikan bahwa jika di Samudera Pasifik dalam kondisi hangat, maka demikian juga yang terjadi di Samudera Hindia bagian timur. Ini menunjukan adanya keterkaitan antara ENSO dan IODM.

31 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian berada di perairan barat Sumatera pada posisi geografis 5 LS dan 1 BT untuk data arus dan angin, serta 5,26 LS dan 1,5 BT untuk data suhu (Gambar 8). Pengolahan dan analisis data dilakukan pada bulan September 29 sampai Maret 21 di Laboratorium Data Processing, Bagian Oseanografi, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Gambar 8. Peta lokasi stasiun pengamatan 3.2. Data Penelitian Penelitian ini menggunakan lima jenis data, yaitu data arus, data suhu, data angin, data Dipole Mode Index (DMI) dan data Southern Oscillation Index (SOI). Kelima data ini merupakan data dalam bulanan rata-rata yang telah mengalami perata-rataan oleh penyedia data. 17

32 Data Arus dan Suhu Data arus dan suhu diambil dari situs Geophysical Fluid Dynamic Laboratory (GFDL) NOAA ( Data ini merupakan data observasi kelautan dari tahun 1976 hingga tahun 26 (XBT, ARGO, CTD, MRB, OSD, dan MBT) dan data atmosferik reanalisis (NCEP/NCAR) yang di asimilasikan ke dalam sistem coupled ensemble. Sistem asimilasi yang dilakukan untuk mendapatkan data tersebut terdiri atas sebuah ensemble filter yang diaplikasikan ke climate coupled model GFDL generasi kedua (CM2) (Delworth et al., 26). Langkah-langkah bagaimana data asimilasi bekerja untuk memperbaharui perkiraan dari data sebelumnya ditampilkan pada Gambar 9. Langkah 1 adalah memperbarui fungsi densitas probabilitas (PDF) di lokasi pengamatan sebagai pengamatan yang baru (dilambangkan dengan panah berlabel langkah 1). Panah 1 menunjukkan bahwa PDF sebelum di lokasi pengamatan diganti dengan pengamatan baru dan panah 2 mempresentasikan pergeseran dari rata-rata ensemble sebelumnya pada pengamatan yang baru di lokasi pengamatan. Langkah kedua yaitu menggunakan distribusi korelasi untuk mendistribusikan kenaikan pengamatan ke titik grid yang berpengaruh. Panah 3 merupakan proses memperbarui PDF titik grid. Gambar 9. Langkah dalam Asimilasi Data (Zhang et al., 27)

33 19 Data arus dan suhu tersedia dalam bulanan rata-rata. Data ini memiliki 5 tingkat kedalaman, dimana pada 22 tingkat kedalaman paling atas memiliki perbedaan kedalaman sebesar 1 meter. Data ini memiliki resolusi spasial sebesar 1 x 1. Pada daerah lintang sedang hingga rendah resolusi spasial pada lintang akan menjadi lebih tinggi hingga akhirnya mencapai 1/3 pada daerah dekat ekuator, sedangkan resolusi spasial untuk bujur tetap 1. Data arus dan suhu memiliki format NetCDF, yang kemudian diekstrak untuk mendapatkan nilai komponen zonal dan meridional arus serta nilai suhu. Data arus dan suhu yang digunakan dalam penelitian ini adalah data arus dan suhu pada kedalaman 5, 25, 55, 75, 125, 155, 175, 25, 446, dan 617 meter. Data ini dianggap mewakili keadaan pada lapisan permukaan tercampur, lapisan termoklin dan lapisan dalam. Pengambilan data arus dan suhu pada kedalaman tersebut mengacu pada Holilludin (29) yang menyatakan bahwa lapisan permukaan tercampur di perairan barat Sumatera mencapai kedalaman 5 meter, sedangkan lapisan termoklin berkisar antara 75 hingga 15 meter. Data arus yang digunakan dalam penelitian ini berada pada posisi 5 LS dan 1 BT. Sedangkan untuk data suhu berada pada posisi 5,26 LS dan 1,5 BT (Gambar 8) Data Angin Data angin merupakan data dari Earth System Research Laboratory (ESRL), Physical Science Division NOAA ( Data ini adalah hasil proses reanalisis dari proses analisa data mulai dari tahun 1948 sampai dengan sekarang. Data angin dari ESRL merupakan data yang terdiri atas komponen zonal (u) dan meridional (v) pada ketinggian 1 meter diatas permukaan laut. Data yang tersedia berupa rata-rata dalam 6 jam, harian dan bulanan. Data ini memiliki resolusi spasial sebesar 2,5 x 2,5.

34 2 Data angin yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kecepatan angin yang telah dirata-ratakan oleh ESRL NOAA menjadi data kecepatan angin bulanan rata-rata dari Januari 1979 hingga Desember 27. Data yang digunakan dalam penelitian ini berada pada koordinat 5 LS dan 1 BT. Data yang diperoleh dalam format NetCDF yang kemudian akan diekstrak sehingga menghasilkan nilai komponen zonal (u) dan meridional (v) angin yang selanjutnya akan diolah menjadi arah dan kecepatan angin Data Dipole Mode Index (DMI) Data DMI diunduh pada tanggal 7 Maret 29. Data ini diambil dari situs Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology ( Data yang tersedia merupakan data bulanan mulai dari bulan Maret 1958 hingga Agustus 28. Nilai dari DMI ditentukan melalui perbedaan anomali suhu permukaan laut dari dua daerah yaitu bagian barat ekuator dari Samudera Hindia (5-7 BT dan 1 LS - 1 LU) dan timur ekuator dari Samudera Hindia (9-11 BT dan 1 LS - ekuator). Anomali suhu permukaan laut dari bagian barat yang dikurangi dengan anomali suhu permukaan laut bagian timur akan menghasilkan nilai Dipole Mode Index tersebut (JAMSTEC, 21) Data Southern Oscillation Index (SOI) Data SOI diambil dari situs Australian Government Bureau of Meteorology ( Data diunduh pada tanggal 5 Maret 29. Data yang didapatkan berupa data bulanan dari Januari 1979 hingga Desember 27. Metode yang digunakan Australian Government Bureau of Meteorology dalam perhitungan SOI bergantung pada perbedaan anomali Mean Sea Level Pressure (MSLP) antara Darwin dan Tahiti. Nilai SOI dihitung sebagai berikut :

35 21 SOI 1 P P diff diffav SD( P diff )..(1) dimana, SOI P diff P diffav : Southern Oscillation Index : Rata-rata MSLP Tahiti Rata-rata MSLP Darwin : Rata-rata Pdiff jangka panjang pada bulan yang ditentukan SD (P diff ) : Standar deviasi jangka panjang Pdiff pada bulan tersebut 3.3. Pengolahan dan Analisis Data Metode Validasi Data Validasi data merupakan proses pengecekan atau perhitungan dengan membandingkan antara data pemodelan dengan data observasi, sebelum data tersebut diterima dan diolah untuk keperluan selanjutnya. Hal tersebut dilakukan agar data model yang akan digunakan adalah data yang sahih. Proses validasi kedua data tersebut dilakukan dengan menentukan nilai Root Mean Square Error (RMSE) dan Standar Error. Root Mean Square Error (RMSE) adalah suatu nilai statistik yang digunakan untuk mengukur perbedaan antara nilai yang diprediksi oleh model atau sebuah penduga dengan nilai-nilai sebenarnya dari hasil yang diamati menjadi model atau perkiraan (Pearson, 1984). Dalam statistik, nilai Standar Error dan Root Mean Square Error digunakan untuk memvalidasi data guna mengetahui seberapa besar perbedaan atau tingkat kesalahan dalam pengolahan data baik dari hasil pengolahan data observasi (lapangan) maupun dari hasil pengolahan pemodelan. Data yang akan divalidasi adalah data asimilasi arus dan suhu yang berasal dari Geophysical Fluid Dynamic Laboratory (GFDL) NOAA, dengan data arus dan suhu Insitu yang berasal dari data buoy TRITON.

36 22 Data arus yang tersedia dari buoy TRITON mulai 26 Oktober 21 hingga 2 Maret 23 serta 9 Juli 24 hingga 11 September 25. Sedangkan data suhu yang tersedia dari buoy TRITON mulai 26 Oktober 21 hingga 1 Juni 23 serta 9 Juli 24 hingga 31 Desember 27. Data arus dan suhu dari buoy TRITON memiliki resolusi temporal 2 jam namun data arus hanya memiliki 1 level kedalaman. Data arus yang akan divalidasi adalah data asimilasi (GFDL) kedalaman 5 meter terhadap data arus insitu (TRITON) pada kedalaman 5 meter. Sedangkan untuk data suhu yang akan di validasi adalah data asimilasi (GFDL) pada kedalaman 25 meter terhadap data insitu (TRITON) pada kedalaman 25 meter. Persamaan yang digunakan untuk perhitungan validasi adalah sebagai berikut (Pearson,1984) : 1. Standard Error (SE) SE n 1 2 y y x x x x y 2 y...(2) 2. Root Mean Squared Error (RMSE) RMSE 2 y (3) x n dimana: y = Data Parameter Observasi (buoy TRITON) x = Data Parameter asimilasi (GFDL NOAA) n = Jumlah Pasangan Data Apabila nilai SE dan RMSE memiliki kisaran perbedaannya mendekati maka kedua data bisa digunakan karena memiliki tingkat kesalahan yang kecil atau bisa dikatakan kedua data tersebut tidak berbeda nyata.

37 Sebaran Temporal Data yang akan ditampilkan sebaran temporalnya adalah data arus, suhu, angin, Dipole Mode Index (DMI) dan Southern Oscillation Index (SOI). Data tersebut merupakan data bulanan rata-rata. Data arus, suhu dan angin yang diperoleh memiliki format NetCDF, sehingga data tersebut harus dibuka terlebih dahulu dengan memakai perangkat lunak Ocean Data View (ODV). Data arus dan angin terdiri atas komponen zonal (u) dan komponen meridional (v). Dari komponen zonal dan meridional tersebut akan didapatkan vektor arus dan angin yang menunjukkan arah dan kecepatan arus maupun angin. Sebaran temporal arus pada kedalaman 5 meter, 25 meter, 55 meter, 75 meter, 125 meter, 155 meter, 175 meter, 25 meter, 446 meter, dan 617 meter serta angin akan ditampilkan dalam bentuk stickplot. Pembuatan stickplot arus ini menggunakan perangkat lunak Matlab Sebaran temporal vertikal suhu pada kedalaman 5 meter, 25 meter, 55 meter, 75 meter, 125 meter, 155 meter, 175 meter, 25 meter, 446 meter, dan 617 meter akan tampilkan dalam bentuk grafik domain waktu menggunakan perangkat lunak Matlab Sebaran temporal suhu berdasarkan kedalaman ditampilkan menggunakan perangkat lunak Ocean Data View (ODV). Sebaran temporal DMI dan SOI ditampilkan dalam bentuk grafik domain waktu menggunakan perangkat lunak Matlab Analisis Deret Waktu Spektrum Densitas Energi Spektrum densitas energi digunakan untuk mengetahui periode fluktuasi yang nilai densitas energinya signifikan dari parameter arus, suhu, angin, DMI dan SOI. Spektrum densitas arus dan suhu dicari untuk kedalaman 5 meter, 25 meter, 55 meter, 75 meter, 125 meter, 155 meter, 175 meter, 25 meter, 446

38 24 meter, dan 617 meter. Kedalaman tersebut dianggap mewakili lapisan tercampur, lapisan termoklin dan lapisan dalam. Dengan mengambil acuan Holilludin (29) kedalaman 5, 25, dan 55 meter mewakili lapisan tercampur, kedalaman 75, 125, 155, dan 175 meter mewakili lapisan termoklin dan kedalaman 25, 446, dan 617 meter mewakili lapisan dalam. Hal ini dilakukan untuk untuk melihat kemungkinan adanya spektrum densitas energi yang signifikan pada periode fluktuasi yang berbeda pada kedalaman yang mewakili tiga lapisan ini. Untuk parameter arus dan angin, spektrum densitas energi yang ditentukan untuk komponen zonal dan meridional. Sebelum menentukan nilai spektrum densitas energi, harus ditentukan komponen fouriernya terlebih dahulu. Komponen fourier X(fk) dapat ditentukan dengan menggunakan metode Fast Fourier Transform (FFT) yang diberikan oleh (Bendat dan Piersol, 1971): X( f k ) h N N 1 X t exp 2 kt i N..(4) dimana : X(f k ) : komponen fourier data deret waktu (x t ) pada frekuensi ke-k (f k ) N h : jumlah Pengamatan : selang waktu subsample data (3 hari) i : (bilangan imajiner) t :, 1, 2,., N

39 25 Dari komponen fourier X(f k ) tersebut, nilai spektrum densitas energi (Sx) dapat dicari dengan rumus (Bendat dan Piersol, 1971): S ( f ) x k 2h N X f k 2....(5) dimana : S x (f k ) : nilai spektrum densitas energi satu rekaman data deret waktu (x t ) pada frekuensi ke-k (f k ) X(f k ) : komponen fourier dari data deret waktu (x t ) pada frekuensi ke-k (f k ) h N : selang waktu subsample data (3 hari) : jumlah pengamatan Korelasi Silang Analisis korelasi silang digunakan untuk mengetahui adanya hubungan antara fluktuasi kedua parameter. Analisis korelasi silang akan dilakukan sembilan kali, yaitu : antara komponen arus zonal dan meridional dengan komoponen angin zonal dan meridional, komponen arus zonal dan meridional dengan DMI, komponen arus zonal dan meridional dengan SOI, suhu dengan arus, suhu dengan komponen angin zonal dan meridional, suhu dengan DMI, suhu dengan SOI, komponen angin zonal dan meridional dengan DMI, serta komponen angin zonal dan meridional dengan SOI. Untuk analisis korelasi silang ini komponen arus dan suhu menggunakan data pada kedalaman 5 meter untuk mewakili lapisan tercampur, kedalaman 75 dan 125 meter untuk mewakili lapisan termoklin, dan kedalaman 617 meter untuk mewakili lapisan dalam. Pengambilan kedalaman ini menggunakan acuan dari penelitian Holilludin (27). Analisis korelasi silang terdiri dari kospektrum densitas energi, koherensi dan beda fase. Kospektrum densitas energi adalah perkalian energi yang

40 26 signifikan pada periode fluktuasi yang sama pada kedua parameter yang saling mempengaruhi. Koherensi menunjukan nilai keeratan antara periode fluktuasi yang terjadi pada dua variabel. Hubungan yang tidak erat antara periode dari fluktuasi kedua parameter akan digambarkan dengan nilai koherensi yang rendah sedangkan hubungan yang erat akan digambarkan dengan nilai koherensi yang tinggi. Beda fase menunjukan beda waktu yang terjadi pada dua periode fluktuasi yang kospektrum energi silangnya signifikan. Nilai beda fase positif menunjukan bahwa fluktuasi pada variabel x terjadi lebih dahulu dibandingkan dengan fluktuasi yang terjadi pada y. Sedangkan beda fase negatif menunjukkan bahwa fluktuasi pada variabel y terjadi lebih dahulu dibandingkan dengan fluktuasi yang terjadi pada variabel x (Bendat dan Piersol, 1971). Nilai kospektrum densitas energi silang (S xy (f k )) dapat dihitung dengan rumus yang diberikan oleh Bendat dan Piersol, 1971 S xy 2h ( fk ) X( fk ) * Y( fk ) N.(6) dimana : S xy (f k ) : spektrum densitas energi silang pada frekuensi ke-k (f k ) f k : k/nh,k =,1, 2,., N-1 X(f k ) : komponen Fourier dari data deret waktu (x t ) pada frekuensi ke k (f k ) Y(f k ) : komponen Fourier dari data deret waktu (y t ) pada frekuensi ke k (f k ) h N : selang waktu subsample data (3 hari) : jumlah data

41 27 Fungsi koherensi pangkat dua (γ 2 xy(f k )) ditentukan dengan rumus : 2 xy ( f k ) x S xy S ( f k ( f k ) S y ) 2 ( f k ) (7) dimana : 2 xy (f k ) : nilai koherensi pada frekuensi ke-k (f k ) S xy (f k ) : spektrum densitas energi silang pada frekuensi ke-k (f k ) S x (f k ) : spektrum densitas energi dari X(f k ) pada frekuensi ke k (f k ) S y (f k ) : spektrum densitas energi dari Y(f k ) pada frekuensi ke k (f k ) Nilai beda fase ditentukan dengan rumus : xy (f k ) tan 1 Q C xy xy (f (f k k ) ) (8) Keterangan : θ xy (f k ) : beda fase pada frekuensi ke-k (f k ) Q xy (f k ) : bagian imaginer dari S xy (f k ) C xy (f k ) : bagian nyata dari S xy (f k ) Pada program Statistica 6. satuan dari beda fase adalah tan -1. Untuk mengubah satuan tersebut menjadi satuan waktu (hari) nilai beda fase tersebut diubah terlebih dahulu ke dalam bentuk derajat ( ). Nilai yang didapatkan kemudian dibagi dengan 36, kemudian dikalikan dengan periode dari fluktuasi tersebut (bulan). Untuk mengubahnya menjadi satuan hari nilai tersebut kemudian dikalikan dengan 3 (hari), dengan rumus : beda fase arctan xy 36 (f k ) x periode fluktuasi (bulan ) x 3 hari.(9) Dimana θ xy (f k ) : beda fase (tan -1 )

42 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Validasi Data GFDL dengan Data Insitu (Buoy TRITON) Hasil validasi data arus di bagian barat Samudera Hindia dapat dilihat pada Tabel 1 serta Gambar 1. Pada komponen zonal (u) didapatkan nilai SE sebesar dan RMSE sebesar.268, sedangkan untuk komponen meridional (v) didapatkan nilai SE sebesar.4767 dan RMSE sebesar Nilai SE dan RMSE tersebut dapat dikatakan cukup besar karena nilai SE dan RMSE yang hampir sama dengan kisaran nilai komponen arus insitu (TRITON). Pada grafik perbandingan antara komponen zonal meskipun nilai antara komponen arus insitu (TRITON) dengan komponen arus hasil asimilasi (GFDL) memiliki perbedaan yang cukup besar, namun secara umum keduanya membentuk pola fluktuasi yang hampir mirip. Perubahan fluktuasi naik turunnya komponen arus baik pada data insitu (TRITON) maupun pada data asimilasi (GFDL) terjadi secara serentak. Pada saat data insitu menunjukkan komponen zonal arus turun begitu pula yang terjadi pada komponen zonal arus dari data asimilasi. Perbedaaan pola fluktuasi hanya terlihat pada beberapa waktu yaitu pada akhir tahun 22 dan awal tahun 25. Pada akhir tahun 22 nilai komponen zonal arus pada data insitu menunjukkan pola yang stagnan bahkan relatif turun sedangkan pada komponen zonal dari data asimilasi menunjukkan pola kenaikan. Hal sebaliknya terjadi pada akhir tahun 25, nilai komponen zonal dari data insitu menunjukkan pola yang meningkat dengan tajam, sedangkan komponen zonal dari data asimilasi menunjukkan pola yang menurun. Pada komponen meridional arus fluktuasi yang terbentuk antara data insitu (TRITON) dengan data asimilasi (GFDL) tidak menunjukkan pola yang bersamaan seperti halnya yang terjadi pada komponen zonal arus. Namun pada 28

43 29 komponen meridional ini perbedaan antara nilai dari data insitu dengan dari data asimilasi tidak terlalu berbeda jauh. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata dari komponen meridional dari keduanya yang memiliki perbedaan tidak terlalu jauh. Tabel 1. Hasil Validasi antara Komponen Arus GFDL dengan Buoy TRITON Validasi Arus Komponen Zonal (u) Komponen Meridional (v) Statistik Triton GFDL Triton GFDL Max (m/s) Min (m/s) Rata-rata (m/s) RMSE Standar error (SE) a) b) Gambar 1. Grafik perbandingan antara data arus GFDL dengan data arus buoy TRITON a) Komponen Zonal Arus b) Komponen Meridional Arus

44 3 Adanya pola fluktuasi yang mirip antara komponen zonal dan meridional arus dari data GFDL dengan komponen zonal dan meridional arus dari buoy TRITON (insitu) menunjukkan bahwa data GFDL yang digunakan dalam penelitian ini cukup valid untuk digunakan dalam pengamatan variabilitas arus di perairan barat Sumatera. Hasil validasi data suhu di bagian barat Samudera Hindia dapat dilihat pada Tabel 2 serta Gambar 11. Validasi data suhu antara data GFDL dengan data TRITON (Insitu) di bagian barat Samudera Hindia menghasilkan nilai RMSE sebesar.583 dan SE sebesar Nilai suhu dari data institu (TRITON) dengan dari data asimilasi (GFDL) memiliki perbedaan yang relatif besar, namun pada Juni hingga Juli 22, Juni hingga Desember 26, serta Juli hingga Desember 27 suhu dari data GFDL memiliki nilai yang hampir sama dengan suhu dari data TRITON. Secara umum pola fluktuasi suhu yang terbentuk pada suhu dari data GFDL dan suhu dari data TRITON memiliki pola yang mirip. Pada saat fluktuasi suhu dari data TRITON meningkat suhu dari data GFDL juga meningkat, begitu juga sebaliknya. Tabel 2. Hasil Validasi antara Komponen Suhu GFDL dengan Buoy TRITON Validasi Suhu Statistik Triton GFDL Max ( C) Min ( C) Rata-rata ( C) RMSE.583 Standar error (SE).46693

45 31 Gambar 11. Grafik perbandingan antara data suhu GFDL dengan data suhu buoy TRITON Kesamaan pola fluktuasi dan nilai suhu yang hampir mirip antara data suhu dari GFDL dengan data suhu dari buoy TRITON (insitu) menunjukkan bahwa data suhu dari GFDL yang digunakan dalam penelitian ini cukup valid untuk digunakan dalam pengamatan variabilitas suhu di perairan barat Sumatera Sebaran Arus Sebaran arah dan kecepatan arus di perairan barat Sumatera pada kedalaman 5 meter, 25 meter, 55 meter, 75 meter, 125 meter, 155 meter, 25 meter, 446 meter dan 617 meter ditampilkan dalam bentuk stickplot masingmasing pada Gambar 12, 13, 14, 15 dan 16. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa pada kedalaman 5 dan 25 meter pola arus lebih bervariasi, sedangkan pada kedalaman 55 dan setelahnya arah arus menunjukkan pola yang lebih beraturan.

46 32 a) b) c) d) e) f) g) h) i) j) Gambar 12. Stickplot Arus Perairan Barat Sumatera pada Januari 1979 hingga Desember 1984 a) 5 meter b) 25 meter c) 55 meter d) 75 meter e) 125 meter f) 155 meter g) 175 meter h) 25 meter i) 446 meter j) 617 meter Ket : Skala kecepatan arus pada kedalaman 446 dan 617 meter diperbesar 1 kali lipat (,1 m/s)

47 33 a) b) c) d) e) f) g) h) i) j) Gambar 13. Stickplot Arus Perairan Barat Sumatera pada Januari 1985 hingga Desember 199 a) 5 meter b) 25 meter c) 55 meter d) 75 meter e) 125 meter f) 155 meter g) 175 meter h) 25 meter i) 446 meter j) 617 meter Ket : Skala kecepatan arus pada kedalaman 446 dan 617 meter diperbesar 1 kali lipat (,1 m/s)

48 34 a) b) c) d) e) f) g) h) i) j) Gambar 14. Stickplot Arus Perairan Barat Sumatera pada Januari 1991 hingga Desember 1996 a) 5 meter b) 25 meter c) 55 meter d) 75 meter e) 125 meter f) 155 meter g) 175 meter h) 25 meter i) 446 meter j) 617 meter Ket : Skala kecepatan arus pada kedalaman 446 dan 617 meter diperbesar 1 kali lipat (,1 m/s)

49 35 a) b) c) d) e) f) g) h) i) j) Gambar 15. Stickplot Arus Perairan Barat Sumatera pada Januari 1997 hingga Desember 22 a) 5 meter b) 25 meter c) 55 meter d) 75 meter e) 125 meter f) 155 meter g) 175 meter h) 25 meter i) 446 meter j) 617 meter Ket : Skala kecepatan arus pada kedalaman 446 dan 617 meter diperbesar 1 kali lipat (,1 m/s)

50 36 a) b) c) d) e) f) g) h) i) j) Gambar 12. Stickplot Arus Perairan Barat Sumatera pada Januari 22 hingga Desember 27 a) 5 meter b) 25 meter c) 55 meter d) 75 meter e) 125 meter f) 155 meter g) 175 meter h) 25 meter i) 446 meter j) 617 meter Ket : Skala kecepatan arus pada kedalaman 446 dan 617 meter diperbesar 1 kali lipat (,1 m/s)

51 37 Pada lapisan permukaan (kedalaman 5 hingga 55 meter) terlihat arus lebih dominan bergerak ke arah tenggara. Secara umum pada saat bertiup Angin Muson Barat Laut (November-Februari) arus bergerak ke arah tenggara. Pada saat bertiup Angin Muson Tenggara (Juni-Agustus) arah arus pada kedalaman 5 dan 25 meter lebih dominan bergerak ke arah barat daya dan pada kedalaman 55 meter arus lebih dominan bergerak ke arah barat laut. Sedangkan pada musim peralihan I dan II arus lebih condong bergerak secara tidak beraturan dengan arah menuju ke tenggara maupun ke arah barat laut. Pada lapisan termoklin (75 meter hingga 175 meter) arus di perairan barat Sumatera pada saat bertiup Angin Muson Barat Laut dan saat peralihan juga lebih dominan bergerak ke arah tenggara. Hanya pada Angin Muson Tenggara arus terkadang bergerak ke arah barat laut. Hal yang sama juga terjadi pada lapisan dalam (25 meter hingga 617 meter) pada sepanjang tahunnya arus lebih dominan bergerak ke arah tenggara, dan diselingi ke arah barat laut pada saat Angin Muson Tenggara. Pergerakan arus ke arah tenggara pada saat Angin Muson Barat Laut dan ke arah barat laut pada saat Angin Muson Tenggara di lapisan permukaan (5 dan 25 meter) diduga merupakan pengaruh dari adanya angin muson yang berubah arah setiap enam bulan sekali. Hal yang sama juga dikemukakan Martono et al. (28) yang menyatakan bahwa arus permukaan laut di perairan Samudera Hindia sangat dipengaruhi oleh adanya sistem Angin muson. Selain itu pergerakan arus ke arah tenggara diduga juga merupakan representasi dari ASH yang telah membentur pantai barat Sumatera. Hasil ini sesuai dengan Wyrtki (1961) yang menunjukkan bahwa pada lokasi penelitian, ASH yang berasal dari Samudera Hindia bagian barat (perairan timur Afrika) bergerak ke arah tenggara.

52 38 Pergerakan arus ke arah barat daya pada saat Angin Muson Tenggara diduga merupakan AKS yang mencapai daerah penelitian dan kemudian bertemu dengan ASH. Hal ini sesuai dengan Wyrtki (1961) yang menyatakan bahwa pada akhir Angin Muson Tenggara poros AKS terdorong ke arah utara sehingga bertemu dengan ASH. Pada saat musim peralihan arus lebih dominan bergerak ke arah tenggara. Hal ini diduga merupakan representasi dari Jet Wyrtki. Wyrtki (1973) menyatakan bahwa pada saat peralihan terbentuk Jet Wyrtki yang bergerak ke arah tenggara di perairan barat Sumatera. Pergerakan arus di lapisan termoklin dan lapisan dalam juga merupakan representasi dari adanya AKS, ASH dan Jet Wyrtki yang terdapat di perairan Samudera Hindia. Hal ini berarti data arus yang berasal dari GFDL NOAA yang digunakan dalam penelitian ini cukup mewakili adanya sirkulasi arus di perairan barat Sumatera. Dari gambar 12, 13, 14, 15 dan 16 terlihat bahwa Arus di perairan barat Sumatera memiliki fluktuasi setengah-tahunan (semi-annual) dan fluktuasi tahunan (annual). Fluktuasi setengah-tahunan ditunjukkan dengan adanya pergantian arah arus setiap 6 bulan di lapisan permukaan. Hal ini diduga merupakan pengaruh dari sistem Angin Muson yang bergerak di perairan barat Sumatera, serta adanya Jet Wyrtki yang berkembang pada saat peralihan. Sedangkan fluktuasi tahunan ditunjukkan dengan adanya variasi arah dan kecepatan arus di setiap musimnya. Martono et al. (28) juga menyatakan bahwa variabilitas arus di perairan barat Sumatera dipengaruhi oleh adanya Angin Muson.

53 Sebaran Suhu Sebaran temporal suhu air laut berdasarkan kedalaman di perairan barat Sumatera pada periode Januari 1979 hingga Desember 27 disajikan pada Gambar 15 dan 16. Pada Gambar tersebut terlihat adanya stratifikasi suhu yang jelas. Lapisan permukaan diwakili oleh isoterm 27 o C, 28 o C, 29 o C dan 3 o C. Pada lapisan yang dibatasi isoterm tersebut suhu relatif stabil walaupun diselingi dengan beberapa fluktuasi. Lapisan termoklin batas atas diwakili oleh isoterm 26 o C, sedangkan pada lapisan termoklin batas bawah diwakili oleh isoterm 11 o C. Pada lapisan tercampur tersebut terlihat adanya fluktuasi suhu yang cukup besar. Lapisan dalam diwakili oleh isoterm yang berada di bawah lapisan termoklin, yaitu 8 o C hingga 11 o C. Gambar 17. Sebaran Temporal Suhu berdasarkan Kedalaman pada Januari 1979 Desember 1984

54 4 a) b) c) Gambar 18. Sebaran Temporal Suhu berdasarkan Kedalaman a) Januari 1985 Desember 199 b) Januari 1991 Desember 1996 c) Januari 1997 Desember 22

55 41 Gambar 19. Sebaran Temporal Suhu berdasarkan Kedalaman pada Januari 23 Desember 27 Dari Gambar 17, 18 dan 19 secara umum terlihat bahwa pada saat Angin Muson Barat Laut (Desember Maret) lapisan tercampur memiliki suhu yang relatif tinggi, begitu pula pada Musim Peralihan I (April Mei). Pada periode Angin Muson Tenggara (Juni Agustus) suhu lapisan tercampur terlihat menurun, dan kemudian mulai meningkat kembali pada Musim Peralihan II (September November). Dari Gambar 17, 18 dan 19 terlihat adanya fluktuasi naik turunnya isoterm pada lapisan termoklin. Pada periode Angin Muson Barat Laut lapisan termoklin bagian atas terlihat lebih tenggelam dibandingkan dengan pada saat Musim Peralihan I dan II. Lapisan termoklin bagian atas terangkat pada saat periode Angin Muson Tenggara sedangkan lapisan termoklin bagian bawah terlihat lebih tenggelam sehingga mengakibatkan lapisan termoklin menjadi lebih tebal. Pada periode Angin Muson Tenggara (Juni - Agustus) pada tahun 1982, 1993, 1997 dan 26 terlihat adanya pendangkalan lapisan termoklin hingga batas atas lapisan termoklin mencapai kedalaman ± 5 meter, dan batas bawah mencapai kedalaman hingga lebih dari 15 meter.

56 42 Saat Angin Muson Tenggara pada tahun 1982, 1993, 1994, 1997, 22, 26 dan 27 suhu pada lapisan permukaan cukup rendah. Suhu yang relatif rendah tersebut terjadi bersamaan dengan terangkatnya lapisan termoklin. Menurunnya suhu permukaan dan terangkatnya lapisan termoklin pada saat Angin Muson Tenggara diduga diakibatkan oleh adanya massa air dingin yang berasal dari upwelling dan terbawa oleh AKS. Susanto et al. (21) menyebutkan bahwa pada bulan Juni hingga Oktober terjadi upwelling di perairan selatan Jawa dan barat Sumatera. Menurut Wyrtki (1961) Angin Muson Tenggara yang terjadi pada bulan Juni hingga Oktober mendesak poros AKS ke utara dan menyebarkan massa air dari proses upwelling hingga ke daerah penelitian. Sebaran temporal suhu per kedalaman di perairan barat Sumatera ditampilkan pada Gambar 2 dan 21. Dari gambar sebaran temporal suhu per kedalaman terlihat bahwa kedalaman 5, 25 dan 55 meter merupakan lapisan tercampur, karena pada lapisan ini suhu tidak terlalu berfluktuasi. Berdasarkan gambar 17 dan 18 juga terlihat bahwa pada waktu tertentu kedalaman 55 meter memiliki fluktuasi yang cukup besar. Hal ini menunjukkan bahwa dalam waktu tertentu kedalaman 55 meter menjadi lapisan termoklin bagian atas. Hal yang sama juga ditemukan Holiludin (29) di perairan barat Sumatera fluktuasi suhu yang cukup besar terjadi pada kedalaman 55, 75, 125, 155, dan 175 meter. Hal ini menunjukkan bahwa lapisan kedalaman dari 55 hingga 175 meter merupakan lapisan termoklin. Pada kedalaman 25, 446 dan 617 meter fluktuasi yang terjadi pada lapisan sebelumnya berkurang. Hal ini menunjukkan bahwa lapisan ini merupakan lapisan dalam.

57 43 a) b) c) Gambar 2. Sebaran Temporal Suhu per Kedalaman a) Januari 1979 Desember 1984 b) Januari 1985 Desember 199 c) Januari 1991 Desember 1996

58 44 a) b) Gambar 21. Sebaran Temporal Suhu per Kedalaman a) Januari 1997 Desember 22 b) Januari 23 Desember 27 Pada lapisan permukaan fluktuasi suhu relatif stabil, namun pada waktu tertentu lapisan ini mengalami penurunan yang cukup ekstrim. Suhu lapisan tercampur terlihat meningkat pada periode Angin Muson Barat Laut (Desember Februari) dan Musim Peralihan, puncaknya terjadi pada Maret hingga Mei. Hal tersebut terlihat jelas pada tahun 1979, 1983, 1987, 1998, 22, dan 25. Suhu yang relatif meningkat pada periode Angin Muson Barat Laut ini diduga diakibatkan oleh adanya Arus Sakal Samudera Hindia (ASH). Dalam pergerakannya disepanjang ekuator ASH mendapatkan penyinaran matahari yang relatif tinggi dan terus menerus sehingga membawa massa air yang memiliki suhu yang relatif tinggi (Wyrtki, 1961). Pada musim peralihan pertama dan kedua terlihat suhu juga relatif tinggi, hal ini diduga akibat adanya Jet Wyrtki

59 45 yang berkembang pada saat Musim Peralihan (Maret Mei dan September November). Jet Wyrtki memiliki peran besar dalam mengakumulasikan massa air yang hangat ke perairan barat Sumatera. Pada saat periode Angin Muson Tenggara suhu di lapisan permukaan cenderung menurun bila dibandingkan dengan musim lainnya. Menurut Wyrtki (1961), pada bulan Juli hingga Oktober poros Arus Khatulistiwa Selatan (AKS) tergeser oleh Angin Muson Tenggara hingga ke arah utara. AKS yang terdesak hingga utara tersebut mempengaruhi penyebaran massa air dingin yang berasal dari upwelling yang terjadi di perairan barat Sumatera dan di selatan Jawa serta massa air dingin dari bagian utara Australia hingga perairan barat Sumatera. Selain itu rendahnya suhu pada periode ini diakibatkan oleh udara dingin yang terbawa oleh Angin Muson Tenggara menuju ke daerah penelitian. Pada lapisan termoklin terlihat adanya fluktuasi menipis dan menebal. Namun pada lapisan termoklin fluktuasi yang terlihat terjadi berulang setiap setengah tahunnya. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya satu bukit dan satu lembah yang terjadi setiap enam bulan (Gambar 17, 18 dan 19 serta Gambar 2 dan 21). Hal tersebut diduga terjadi karena adanya pengaruh dari arah dan kekuatan angin yang bertiup pada Angin Muson Tenggara, Angin Muson Barat Laut dan Musim Peralihan. Selain itu Jet Wyrtki yang berkembang pada musim peralihan juga mempengaruhi adanya fluktuasi setengah tahunan pada suhu di perairan barat Sumatera. Holilludin (29) menyatakan bahwa fluktuasi setengah-tahunan suhu di perairan barat Sumatera menggambarkan variasi suhu yang terjadi selama pergantian musim, dari Musim Peralihan ke Musim Peralihan berikutnya Selain fluktuasi setengah tahunan suhu di perairan barat Sumatera juga memiliki fluktuasi tahunan yang ditunjukkan oleh adanya perubahan pada lapisan termoklin bagian atas setiap tahunnya. Menurut Holliludin (29) pada Muson

60 46 Tenggara angin bertiup kencang dalam waktu yang lama sehingga menyebabkan penaikan massa air dari lapisan yang dalam ke lapisan yang lebih atas, kemudian membuat batas atas dan batas bawah lapisan termoklin menjadi lebih dangkal Sebaran Angin Sebaran arah dan kecepatan angin di perairan barat Sumatera ditampilkan dalam bentuk stickplot pada Gambar 22, 23 dan 24. Dari gambar tersebut terlihat bahwa arah angin bergerak lebih kuat dan lebih lama ke arah tenggara. Pada bulan Desember hingga Maret angin bertiup dari arah barat laut menuju ke tenggara. Pada bulan Juli hingga November angin cenderung bertiup ke arah barat laut. Sedangkan pada bulan April hingga Juni angin cenderung tidak teratur, namun cenderung bergerak ke arah barat laut. Gambar 22. Sebaran Temporal Angin Periode Januari 1979 Desember 1984

61 47 a) b) c) Gambar 23. Sebaran Temporal Angin a) Januari 1985 Desember 199 b) Januari 1991 Desember 1996 c) Januari 1997 Desember 22

62 48 Gambar 24. Sebaran Temporal Angin Periode Januari 23 Desember 27 Pada saat Angin Muson Barat Laut (Desember Februari) angin permukaan di perairan barat Sumatera bergerak ke arah tenggara, sedangkan pada saat Angin Muson Tenggara (Juni Agustus) angin permukaan di perairan barat Sumatera bergerak ke arah barat laut. Pada saat awal Musim Peralihan angin cenderung bergerak ke arah barat laut. Hal ini sesuai dengan Wyrtki (1961) yang mengatakan bahwa pergerakan angin ke arah tenggara pada saat Angin Muson Barat Laut terjadi akibat terbentuknya tekanan yang tinggi di Benua Asia, sehingga angin bergerak dari Benua Asia ke Benua Australia. Hal sebaliknya terjadi pada saat Angin Muson Tenggara pusat tekanan tinggi berada di Benua Australia, sehingga angin bergerak dari Benua Australia ke Benua Asia. Dari fluktuasi komponen zonal dan meridional angin yang bertiup di perairan barat Sumatera terlihat bahwa nilai komponen zonal angin lebih besar dibandingkan dengan nilai komponen meridional angin. Hal ini menunjukkan bahwa pada perairan barat Sumatera komponen angin yang paling berpengaruh adalah komponen zonal angin. Wilopo (25), Farita (26) dan Holilludin (29) juga menyatakan bahwa di perairan selatan Jawa dan perairan barat Sumatera fluktuasi komponen zonal angin lebih besar dibandingkan dengan fluktuasi komponen meridional angin.

63 49 Dari Gambar 22, 23 dan 24 terlihat bahwa arah angin akan menuju ke suatu arah selama beberapa bulan dalam rentang waktu satu tahun. Kemudian pada tahun berikutnya di bulan yang sama angin akan kembali menuju ke arah tersebut. Angin akan memiliki kecepatan yang berbeda pada musim yang sama, pada periode Muson Barat Laut pada suatu tahun angin akan memiliki kecepatan yang berbeda dengan kecepatan angin pada musim yang sama di tahun berikutnya. Bila dilihat pola arah angin ini hampir selalu sama pada tahun-tahun berikutnya. Selain itu pada musim yang sama kecepatan angin di perairan barat Sumatera selalu berfluktuasi sehingga kecepatannya tidak selalu sama. Hal ini berarti bahwa angin memiliki fluktuasi tahunan. Selain itu terdapat fluktuasi setengah-tahunan dari komponen angin yang ditunjukkan dengan perubahan arah setiap 6 bulan. Hal yang sama ditemukan Farita (26) dan Holilludin (29) yang menyatakan bahwa selain memiliki fluktuasi tahunan angin di perairan barat Sumatera juga memiliki fluktuasi setengah-tahunan Kaitan antara sebaran arus, suhu, angin, dengan IODM dan ENSO Sebaran temporal arus, suhu, angin DMI di perairan barat Sumatera serta SOI bulanan rata-rata periode Januari 1979 hingga Desember 27 ditampilkan pada Gambar 25, 26, 27, 28 dan 29. Nilai DMI menggambarkan terjadinya fenomena IODM. Fenomena IODM positif ditandai dengan nilai DMI yang menunjukkan nilai positif yang ekstrim, dan sebaliknya fenomena IODM negatif ditandai dengan nilai DMI yang menunjukkan nilai negatif yang ekstrim. Sedangkan nilai SOI menggambarkan terjadinya fenomena ENSO. Fenomena El Nino digambarkan dengan SOI yang bernilai negatif. Dari Gambar 25, 26, 27, 28 dan 29 dapat dilihat bahwa fenomena IODM positif terjadi pada tahun 1982 (Juni-September), 1983 (Juni-September), 1987

64 5 (Juni-November), 1991 (Juni), 1994 (Juni-September), 1997 (September- Desember), 22 (September-Desember), dan 26 (September-Desember). Sedangkan fenomena IODM negatif terjadi pada tahun 198 (Juni-Desember), 1981 (Juni-Desember), 1985 (Januari), 1989 (Maret-Juni), 1992 (Maret- September), 1996 (Juni-Desember) dan 1998 (September-Desember). Hal yang sama juga ditemukan oleh Saji et al. (1999) dan Meyers et al. (26) fenomena IODM positif terjadi pada tahun 1982, 1983, 1987, 1991, 1994, dan 1997 dan fenomena IODM negatif terjadi pada tahun 198, 1981, 1985, 1989, dan Sedangkan fenomena ENSO terjadi pada tahun Juni-Desember 1982, Januari- Juni1987, Mei-September 1991, Juni 1997 hingga Maret 1998, Februari 25 dan Mei-November 26. Pada tahun tersebut SOI memiliki nilai ekstrim negatif. Secara umum pada saat terjadi IODM positif suhu pada lapisan permukaan dan lapisan termoklin di perairan barat Sumatera menjadi lebih rendah dibandingkan pada saat biasanya. Selain itu lapisan permukaan tercampur pada periode ini menjadi lebih tipis dan disertai dengan naiknya lapisan termoklin, sehingga lapisan termoklin menjadi lebih dangkal. IODM positif juga ditandai dengan meningkatnya kecepatan angin yang bertiup di perairan barat Sumatera. Perubahan kecepatan juga terjadi pada komponen arus, dimana fenomena IODM positif menyebabkan bertambahnya kecepatan pada arus. Thompson et al. (26) dan Vinayachandran et al. (22) juga menyatakan bahwa IODM mempengaruhi adanya variasi antar-tahunan pada suhu di perairan barat Sumatera.

65 51 a) b) c) d) e) Gambar 25. Sebaran Temporal Arus, Angin, Suhu, DMI dan SOI Periode Januari 1979 Desember 1984 a) Arus b) Suhu c) Angin d) DMI e) SOI

66 52 a) b) c) d) e) Gambar 26. Sebaran Temporal Arus, Angin, Suhu, DMI dan SOI Periode Januari 1985 Desember 199 a) Arus b) Suhu c) Angin d) DMI e) SOI

67 53 a) b) c) d) e) Gambar 27. Sebaran Temporal Arus, Angin, Suhu, DMI dan SOI Periode Januari 1991 Desember 1996 a) Arus b) Suhu c) Angin d) DMI e) SOI

68 54 a) b) c) d) e) Gambar 28. Sebaran Temporal Arus, Angin, Suhu, DMI dan SOI Periode Januari 1997 Desember 22 a) Arus b) Suhu c) Angin d) DMI e) SOI

69 55 a) b) c) d) e) Gambar 29. Sebaran Temporal Arus, Angin, Suhu, DMI dan SOI Periode Januari 23 Desember 27 a) Arus b) Suhu c) Angin d) DMI e) SOI

70 56 Pada saat IODM positif suhu menurun karena adanya angin kuat yang menekan Jet Wyrtki, sedangkan pada saat IODM negatif terjadi hal yang sebaliknya. IODM positif juga ditandai dengan pendangkalan lapisan termoklin di Samudera Hindia bagian timur (perairan barat Sumatera) sedangkan di Samudera Hindia bagian barat (perairan timur Afrika) menjadi lebih dalam. Hal yang sama juga ditemukan Holilludin (29) pada saat IODM positif, di perairan barat Sumatera lapisan tercampur menjadi lebih tipis dan lapisan termoklin naik sehingga menjadi lebih dangkal. Batas atas lapisan termoklin terlihat berada pada kedalaman kurang dari 5 m dan batas bawah lapisan termoklin berada pada kedalaman 15 m Pada saat terjadi fenomena ENSO terlihat adanya penurunan suhu di lapisan permukaan dan termoklin di perairan barat Sumatera pada tahun 1982,1987,1991,1997, 25 dan 26 (Gambar 25, 26, 27, 28 dan 29). Godfrey (21) serta Webster dan Torrence (1999) juga menyatakan bahwa pada saat El Nino terlihat adanya anomali negatif pada suhu di perairan barat Sumatera, sehingga terlihat adanya keterkaitan antara suhu di Samudera Pasifik dengan suhu di Samudera Hindia. Selain itu kecepatan angin yang bertiup di perairan barat Sumatera juga mengalami peningkatan walaupun tidak signifikan seperti pada saat fenomena IODM positif. Susanto et al. (21) dan Godfrey (21) menyatakan bahwa pada saat terjadi El Nino di Samudera Pasifik Angin Muson Tenggara yang terbentuk di perairan barat Sumatera mengalami peningkatan. Hal yang sama seperti angin juga terjadi pada komponen arus. Pada tahun 1982 (Gambar 25), 1991 (Gambar 27), 1997 (Gambar 28), dan 26 (Gambar 29) terlihat fenomena IODM positif terjadi bersamaan dengan terjadinya ENSO. Pada tahun tersebut DMI bernilai ekstrim positif, sedangkan SOI bernilai ekstrim negatif. Pada tahun-tahun tersebut suhu yang terdapat di perairan barat Sumatera menurun, sedangkan kekuatan angin dan arus

71 57 meningkat. Namun pada hal ini belum diketahui keterkaitan antara IODM dengan ENSO. Saji et al. (1999) menyatakan bahwa IODM merupakan suatu fenomena atmosfer-laut yang mempunyai mekanisme fisis yang hampir sama dengan ENSO, tidak bergantung pada ENSO Spektrum Densitas Energi Spektrum Densitas Energi Arus Spektrum densitas energi arus komponen zonal dan meridional ditampilkan pada Gambar 3, 31, 32, 33 dan 34 serta Tabel 3. Spektral analisis arus komponen u kedalaman 5 meter a).7.7 b) Spektral analisis arus komponen v kedalaman 5 meter.6 12 bulan.6 Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/bulan bulan Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/bulan bulan.1.1. Periode (bulan). Periode (bulan) Spektral analisis arus komponen u kedalaman 25 meter c).7 d).7 Spektral analisis arus komponen v kedalaman 25 meter.6.6 Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/bulan bulan 12 bulan Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/bulan bulan 12 bulan. Periode (bulan). Periode (bulan) Gambar 3. Spektrum densitas energi arus kedalaman 5 meter dan 25 meter a) komponen zonal 5 meter b) komponen meridional 5 meter c) komponen zonal 25 meter d) komponen meridional 25 meter

72 58 a) Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/bulan bulan Spektral analisis arus komponen u kedalaman 55 meter 12 bulan. Periode (bulan) b) Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/bulan bulan Spektral analisis arus komponen v kedalaman 55 meter 12 bulan. Periode (bulan) c) Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/bulan bulan 12 bulan Spektral analisis arus komponen u kedalaman 75 meter. Periode (bulan) d) Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/bulan bulan Spektral analisis arus komponen v kedalaman 75 meter. Periode (bulan) Gambar 31. Spektrum densitas energi arus kedalaman 55 meter dan 75 meter a) komponen zonal 5 meter b) komponen meridional 5 meter c) komponen zonal 25 meter d) komponen meridional 25 meter

73 59 a).2 Spektral analisis arus komponen u kedalaman 125 meter Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/bulan bulan 29 bulan. Periode (bulan) b).2 Spektral analisis arus komponen v kedalaman 125 meter Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/bulan bulan 29 bulan. Periode (bulan) c).2 Spektral analisis arus komponen u kedalaman 155 meter Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/bulan bulan. Periode (bulan) d).2 Spektral analisis arus komponen v kedalaman 155 meter Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/bulan bulan. Periode (bulan) Gambar 32. Spektrum densitas energi arus kedalaman 125 meter dan 155 meter a) komponen zonal 125 meter b) komponen meridional 125 meter c) komponen zonal 155 meter d) komponen meridional 155 meter

74 6 a) Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/bulan bulan Spektral analisis arus komponen u kedalaman 175 meter. Periode (bulan) b) Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/bulan bulan Spektral analisis arus komponen v kedalaman 175 meter. Periode (bulan) c) Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/bulan bulan Spektral analisis arus komponen u kedalaman 25 meter. Periode (bulan) d) Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/bulan bulan Spektral analisis arus komponen v kedalaman 25 meter. Periode (bulan) Gambar 33. Spektrum densitas energi arus kedalaman 175 meter dan 25 meter a) komponen zonal 175 meter b) komponen meridional 175 meter c) komponen zonal 25 meter d) komponen meridional 25 meter

75 61 a) Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/bulan bulan Spektral analisis arus komponen u kedalaman 446 meter. Periode (bulan) b) Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/bulan bulan Spektral analisis arus komponen v kedalaman 446 meter. Periode (bulan) c).8 Spektral analisis arus komponen u kedalaman 617 meter Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/bulan bulan. Periode (bulan) d).8 Spektral analisis arus komponen v kedalaman 617 meter Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/bulan bulan. Periode (bulan) Gambar 34. Spektrum densitas energi arus kedalaman 446 meter dan 617 meter a) komponen zonal 446 meter b) komponen meridional 446 meter c) komponen zonal 617 meter d) komponen meridional 617 meter

76 62 Tabel 3. Hasil Spektrum Densitas Energi Arus Kedalaman Komponen 5 meter 25 meter 55 meter 75 meter 125 meter 155 meter 175 meter 25 meter 446 meter 617 meter u Spektrum Densitas Energi Yang Signifikan (m/det)2/siklus/bulan Keterangan Setengah-tahunan Tahunan v Setengah-tahunan u v u v u Setengah-tahunan Tahunan Setengah-tahunan Tahunan Setengah-tahunan Tahunan Setengah-tahunan Tahunan Setengah-tahunan Tahunan v Setengah-tahunan u v Setengah-tahunan Antar-tahunan Setengah-tahunan Antar-tahunan u Setengah-tahunan v Setengah-tahunan Antar-tahunan u Setengah-tahunan v Setengah-tahunan u Setengah-tahunan v Setengah-tahunan u Setengah-tahunan v Setengah-tahunan u Setengah-tahunan v Setengah-tahunan Dari grafik spektrum densitas energi arus serta Tabel 3, secara umum terlihat bahwa energi densitas yang signifikan terdapat pada periode 6 bulan dan 12 bulan. Pada kedalaman 5 meter dan 25 meter terlihat energi densitas yang signifikan ada pada periode 6 bulan dan 12 bulan. Pada kedalaman 55 meter nilai energi densitas yang signifikan terdapat pada periode 6 bulan dan 12 bulan. Pada kedalaman 75 meter terlihat nilai energi densitas yang signifikan terdapat

77 63 pada periode 6 bulan dan 12 bulan. Pada kedalaman 125 meter dan 155 meter nilai energi densitas yang signifikan terdapat pada periode 6 bulan dan 29 bulan. Pada kedalaman 175, 25, 446 dan 617 meter nilai energi densitas yang signifikan berada pada periode 6 bulan. Dari hasil spektrum densitas energi terlihat bahwa arus di perairan barat Sumatera memiliki fluktuasi setengah tahunan (semi-annual), tahunan (annual), dan antar-tahunan (inter-annual). Fluktuasi arus diduga sangat dipengaruhi oleh Angin Muson yang bertiup pada daerah penelitian. Periode fluktuasi 6 bulan (setengah-tahunan) diduga karena adanya perubahan arah angin setiap 6 bulan, serta Jet Wyrtki yang berkembang setiap musim peralihan. Periode fluktuasi 12 bulan (tahunan) diduga karena kecepatan angin pada musim yang sama tidak selalu sama. Kecepatan angin pada saat Muson Barat Laut pada suatu tahun belum tentu sama dengan kecepatan angin pada musim barat di tahun berikut atau sebelumnya. Sedangkan periode fluktuasi 14,5 bulan dan 29 bulan (antartahunan) diduga dipengaruhi oleh adanya fluktuasi IODM yang terjadi di Samudera Hindia. Martono et al. (28) juga mengamati bahwa variabilitas arus di perairan Samudera Hindia, dipengaruhi oleh angin muson dan IODM yang berkembang di Samudera Hindia. Dari Tabel 3 nilai spektrum densitas energi terlihat bahwa nilai energi densitas paling besar ada pada kedalaman 5 meter. Namun seiring dengan bertambahnya kedalaman nilai energi densitas semakin menurun pula. Dari nilai tersebut terlihat bahwa energi densitas terbesar terdapat pada lapisan permukaan. Komponen zonal arus memiliki nilai energi densitas yang lebih besar dibandingkan dengan nilai energi densitas dari komponen meridional. Hal ini berarti fluktuasi komponen zonal arus lebih bervariasi dibandingkan dengan komponen meridional arus. Hal ini terjadi karena di perairan barat Sumatera fluktuasi komponen zonal angin lebih besar dibandingkan dengan fluktuasi

78 64 komponen meridionalnya. Hal ini juga ditemukan oleh Wilopo (25), Farita (26) dan Holilludin (29) Spektrum Densitas Energi Suhu Spektrum densitas energi suhu di perairan barat Sumatera untuk kedalaman 5 meter, 25 meter, 55 meter, 75 meter, 125 meter, 155 meter, 175 meter, 25 meter, 446 meter, dan 617 meter ditampilkan pada Gambar 35, 36, 37 dan Tabel 4. Spektral Analisis Suhu Kedalaman 5 meter a) 4 b) 4 Spektral Analisis Suhu Kedalaman 25 meter 12 bulan 12 bulan Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/bulan bulan bulan Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/bulan bulan bulan 34.8 bulan 34.8 bulan Periode (bulan) Periode (bulan) Spektral Analisis Suhu Kedalaman 55 meter c) 4 d) bulan Spektral Analisis Suhu Kedalaman 75 meter 12 bulan 3 Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/bulan bulan bulan bulan Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/bulan bulan 12 bulan bulan bulan 58 bulan 5 Periode (bulan) Periode (bulan) Gambar 35. Spektrum densitas energi suhu pada kedalaman a) 5 meter b) 25 meter c) 55 meter d) 75 meter

79 65 a) Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/bulan bulan 29 bulan Spektral Analisis Suhu Kedalaman 125 meter Periode (bulan) b) 35 Spektral Analisis Suhu Kedalaman 155 meter Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/bulan bulan 29 bulan c) Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/bulan Periode (bulan) Spektral Analisis Suhu Kedalaman 175 meter bulan 29 bulan d) Periode (bulan) Spektral Analisis Suhu Kedalaman 25 meter 7 Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/bulan bulan Periode (bulan) Gambar 36. Spektrum densitas energi suhu pada kedalaman a) 125 meter b) 155 meter c) 175 meter d) 25 meter

80 66 a) Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/bulan bulan 12 bulan Spektral Analisis Suhu Kedalaman 446 meter b). Periode (bulan) Spektral Analisis Suhu Kedalaman 617 meter 4. Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/bulan bulan 34 bulan. Periode (bulan) Gambar 37. Spektrum densitas energi suhu pada kedalaman a) 446 meter b) 617 meter Dari grafik spektrum densitas energi (Gambar 35, 36, dan 37) serta Tabel 4 terlihat bahwa pada lapisan permukaan (kedalaman 5 hingga 55 meter) densitas energi yang dominan terjadi pada periode 12 bulan. Pada lapisan termoklin bagian atas yang diwakili oleh kedalaman 75 meter terlihat nilai densitas energi terbesar berada pada periode 58 bulan. Sedangkan untuk lapisan termoklin (125, 155 dan 175 meter) serta lapisan dalam (25, 446 dan 617 meter) nilai energi densitas yang signifikan berada pada periode 6 bulan. Dari spektrum densitas densitas energi terlihat bahwa nilai densitas energi suhu terlihat mulai dari kedalaman 5 meter hingga 125 meter nilai densitas energi cenderung meningkat, dan mencapai nilai maksimum pada kedalaman 125 meter. Kemudian pada kedalaman 155 meter hingga 617 meter spektrum densitas energi cenderung kembali menurun. Hal yang sama juga ditemukan

81 67 Farita (26) dan Holiludin (29), dimana lapisan termoklin memiliki nilai energi variabilitas suhu yang paling besar. Besarnya variabilitas energi pada lapisan termoklin diduga karena pengaruh dari massa air dingin yang berasal dari upwelling perairan selatan Jawa dan perairan barat Sumatera lebih terasa pada lapisan ini dibandingkan dengan lapisan lainnya. Karena adanya massa air dingin ini maka fluktuasi suhu yang terlihat pada lapisan termoklin menjadi sangat jelas. Tabel 4. Hasil Spektrum Densitas Energi Suhu Kedalaman 5 meter 25 meter 55 meter 75 meter 125 meter 155 meter 175 meter Spektrum Densitas Energi Yang Signifikan (m/det)2/siklus/bulan Keterangan Setengah-tahunan Tahunan Antar-tahunan Antar-tahunan Setengah-tahunan Tahunan Antar-tahunan Antar-tahunan Setengah-tahunan Tahunan Antar-tahunan Antar-tahunan Antar-tahunan Setengah-tahunan Tahunan Antar-tahunan Antar-tahunan Antar-tahunan Setengah-tahunan Antar-tahunan Setengah-tahunan Antar-tahunan Setengah-tahunan Antar-tahunan 25 meter Setengah-tahunan 446 meter 617 meter Setengah-tahunan Tahunan Setengah-tahunan Antar-tahunan

82 68 Dari Gambar 35, 36, dan 37 serta Tabel 4, terlihat bahwa suhu di perairan barat Sumatera memiliki fluktuasi setengah-tahunan (semi-annual), fluktuasi tahunan (annual) dan fluktuasi antar-tahunan (inter-annual). Fluktuasi tersebut diduga karena pengaruh dari beberapa faktor seperti angin, Jet Wyrtki dan IODM. Fluktuasi tahunan ditemukan pada lapisan permukaan, dimana pada lapisan permukaan terjadi pola suhu yang berulang tiap tahunnya. Pada saat Angin Muson Barat Laut suhu di lapisan permukaan tercampur lebih hangat dibandingkan biasanya, sedangkan pada saat Angin Muson Tenggara suhu di lapisan permukaan tercampur lebih rendah daripada biasanya. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya ASH yang melewati daerah penelitian. Menurut Wyrtki (1961), dalam pergerakannya disepanjang ekuator ASH mendapatkan penyinaran matahari yang relatif tinggi dan terus menerus sehingga membawa massa air yang memiliki suhu yang relatif tinggi. Fluktuasi antar-tahunan terlihat pada lapisan termoklin bagian atas (55 dan 75 meter), hal ini diduga akibat adanya pengaruh dari IODM yang mengakibatkan penipisan dan pendangkalan lapisan termoklin. Karena adanya pendangkalan tersebut maka diduga lapisan atas termoklin mencapai kedalaman 55 meter. Menurut Vinayachandran et al. (22) pada saat terjadi IODM lapisan termoklin di Samudera Hindia menjadi lebih dangkal. Fluktuasi setengah-tahunan ditemukan mulai kedalaman 75 meter hingga kedalaman 617 meter. Fluktuasi setengah-tahunan ini diduga akibat adanya pengaruh dari Jet Wyrtki. Menurut Wyrtki (1973), Jet wyrtki ini membawa massa air hangat yang akan memperdalam lapisan permukaan pada musim peralihan. Selain itu fluktuasi setengah-tahunan ini juga dipengaruhi oleh adanya angin muson yang berganti arah setiap musimnya.

83 Spektrum Densitas Energi Angin Spektrum densitas energi dari komponen zonal dan meridional dari angin ditunjukkan pada Gambar 38 dan Tabel 5. a) 5 12 bulan Spektral Analisis Angin Komponen Zonal Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/bulan Periode (bulan) b) Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/bulan bulan Spektral Analisis Angin Komponen Meridional Periode (bulan) Gambar 38. Spektrum densitas energi angin a) komponen zonal b) komponen meridional Tabel 5. Hasil Spektrum Densitas Energi Angin Parameter Spektrum Densitas Energi (m/det)2/siklus/bulan Keterangan u angin Tahunan v angin Tahunan Dari Gambar 38 dan Tabel 5 terlihat bahwa terlihat bahwa densitas energi angin yang dominan di perairan barat Sumatera hanya berada pada periode 12 bulan. Hal ini berarti bahwa angin di perairan barat Sumatera hanya memiliki fluktuasi tahunan (annual). Fluktuasi tahunan (annual) pada komponen angin

84 7 diduga diakibatkan karena perbedaan tekanan udara pada musim yang sama di setiap tahunnya tidak selalu sama. Dari spektrum densitas energi dapat dilihat bahwa nilai energi densitas dari komponen zonal angin lebih besar daripada komponen meridional angin. Hal ini berarti bahwa fluktuasi komponen zonal angin lebih besar daripada komponen meridional angin. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Wilopo (25), Farita (26) dan Holilludin (29), yang menyatakan bahwa nilai densitas energi komponen zonal angin di perairan Samudera Hindia memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan komponen meridional angin Spektrum Densitas Energi Indian Ocean Dipole Mode (IODM) Spektrum densitas energi dari Indian Ocean Dipole Mode (IODM) ditampilkan pada Gambar 39 dan Tabel 6. Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/bulan Spektral Analisis Dipole Mode Index 18.3 bulan bulan Periode (bulan) Gambar 39. Spektrum Densitas Energi Dipole Mode Index (DMI) Tabel 6. Hasil Spektrum Densitas Energi IODM Parameter IODM Spektrum Densitas Energi (m/det)2/siklus/bulan Keterangan ,5 Tahun Tahun

85 71 Dari Gambar 39 dan Tabel 6 terlihat bahwa IODM memiliki nilai energi densitas yang relatif besar pada periode 18,3158 bulan, dan 38,6667 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa Indian Ocean Dipole Mode memiliki fluktuasi antartahunan (inter-annual). Terlihat dari Tabel 6 nilai energi densitas IODM yang relatif signifikan berada pada periode 1,5 tahunan dengan nilai energi densitas sebesar 13,96399 dan pada periode 3 tahunan dengan nilai energi densitas sebesar 38, Periode 3 tahunan merupakan representasi dari siklus IODM yang berulang sekitar 3 tahun. Menurut Thompson et al. (26) pada saat terjadi IODM positif terbentuk anomali angin yang kuat dan kemudian menghambat terjadinya Jet Wyrtki yang biasanya berkembang pada saat musim peralihan. Akibat dari terjadinya anomali angin tersebut juga akan menyebabkan AKS menjadi berkembang. AKS kemudian akan membawa massa air dingin yang berasal dari upwelling yang terjadi di perairan selatan Jawa dan perairan barat Sumatera menuju ke daerah penelitian Spektrum Densitas Energi El Nino Southern Oscillation (ENSO) Hasil dari spektrum densitas energi El Nino Southern Oscillation (ENSO) ditampilkan pada Gambar 4 Dan Tabel Spektral Analisis Southern Oscillation Index 29 bulan Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/bulan bulan 116 bulan Periode (bulan) Gambar 4. Spektrum Densitas Energi Southern Oscillation Index (SOI)

86 72 Tabel 7. Hasil Spektrum Densitas Energi ENSO Parameter ENSO Spektrum Densitas Energi (m/det)2/siklus/bulan Keterangan ,5 tahun tahun tahun Dari Gambar 4 dan Tabel 7 di atas dapat dilihat bahwa memiliki fluktuasi antar-tahunan (inter-annual). Terlihat pada Tabel 7 nilai energi densitas dari ENSO yang relatif signifikan berada pada periode 29 bulan dengan nilai energi densitas sebesar 2231,864 kemudian pada periode 58 bulan dengan nilai energi densitas sebesar 2135,163 dan pada periode 1665,53. Nilai energi densitas yang signifikan pada periode 29 dan 58 bulan menunjukkan bahwa fluktuasi ENSO terjadi antara 2 hingga 5 tahun. Hal yang sama ditemukan oleh Kug dan Kang (25) yang mengatakan bahwa ENSO terjadi setiap 3 hingga 5 tahun Korelasi Silang Arus dengan Angin Hasil korelasi silang antara angin dengan arus di perairan barat Sumatera ditampilkan pada Tabel 8 dan Lampiran 1. Nilai densitas energi yang cukup tinggi berada pada korelasi silang antara angin dengan arus pada lapisan termoklin. Pada korelasi silang antara komponen zonal angin dengan arus pada kedalaman 125 meter didapatkan nilai densitas energi silang sebesar pada periode 12 bulan dengan koherensi sebesar Selain itu pada periode 29 bulan juga terlihat nilai densitas energi silang yang cukup tinggi sebesar dengan nilai koherensi sebesar Sedangkan pada korelasi silang antara komponen meridional angin dengan arus pada kedalaman 125 juga didapatkan nilai densitas energi yang cukup tinggi pada periode 12

87 73 bulan dengan nilai densitas energi sebesar dan koherensinya sebesar Tabel 8. Hasil Korelasi Silang antara Angin dengan Arus u angin v angin Parameter Periode (/Bulan) Densitas Energi Silang yang Signifikan Koherensi Kuadrat tan -1 Beda Fase waktu u arus 5 meter Hari v arus 5 meter Hari Hari Hari Hari u angin v angin u angin v angin u angin v angin u arus 75 meter v arus 75 meter u arus 125 meter v arus 125 meter u arus 617 meter v arus 617 meter Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hubungan yang erat antara angin dengan arus terdapat pada lapisan termoklin. Hal ini diduga terjadi karena pada saat Angin Muson Tenggara bertiup, angin akan mendesak poros AKS yang merupakan arus di perairan dangkal (dengan kedalaman kurang dari 2 meter) hingga mencapai lokasi penelitian dan akan bertemu dengan ASH. Menurut Wyrtki (1961) dan Martono

88 74 et al. (28) arus di perairan Samudera Hindia dipengaruhi oleh adanya Angin Muson yang bertiup di daerah tersebut Arus dengan DMI Hasil korelasi silang antara Dipole Mode Index (DMI) dengan komponen arus zonal dan meridional di perairan barat Sumatera ditampilkan pada Tabel 9 dan Lampiran 2. Tabel 9. Hasil Korelasi Silang antara IODM dengan Arus Parameter Arus Zonal 5 meter Periode (/Bulan) Densitas Energi Silang yang Signifikan Koherensi Kuadrat tan -1 Beda Fase waktu Hari Hari Hari Hari Arus Meridional 5 meter Hari Hari Hari Hari Hari DMI Arus Zonal 75 meter Arus Meridional 75 meter Arus Zonal 125 meter Arus Meridional 125 meter Arus Zonal 617 meter Arus Meridional 617 meter Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari

89 75 Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa nilai densitas energi silang yang signifikan berada pada korelasi silang antara DMI dengan komponen zonal arus pada kedalaman 75 meter dengan periode 4 tahun, dengan nilai densitas energi silang sebesar , dan koherensi sebesar Selain itu nilai densitas energi silang yang cukup tinggi berada pada korelasi silang antara DMI dengan komponen zonal arus pada kedalaman 5 meter dengan nilai densitas energi silang sebesar dan koherensi sebesar Adanya hubungan antara DMI dengan arus pada pada kedalaman 5 dan 75 meter diduga terjadi karena pada saat terjadi IODM positif angin zonal yang bertiup di perairan barat Sumatera akan menguat, sehingga akan mempengaruhi arus permukaan yang terjadi di perairan barat Sumatera. Adanya penguatan angin akibat IODM juga akan menekan Jet Wyrtki yang berkembang pada saat musim peralihan. Hal yang sama juga ditemukan oleh Thompson et al. (26) pada saat IODM positif adanya angin kuat yang menekan Jet Wyrtki akan mengakibatkan penurunan suhu di perairan barat Sumatera. Angin juga akan mendesak poros AKS ke utara, sehingga pada saat IODM positif terjadi AKS akan mencapai lokasi penelitian Arus dengan SOI Hasil korelasi silang antara SOI dengan arus di perairan barat Sumatera ditampilkan pada Tabel 1 dan Lampiran 3. Nilai densitas energi silang yang signifikan terdapat pada korelasi silang antara SOI dengan arus meridional pada kedalaman 125 meter. Dengan nilai densitas energi silang sebesar dan nilai koherensinya sebesar Hal ini diduga terjadi karena pada saat terjadi ENSO di Samudera Pasifik, angin yang bertiup di perairan barat Sumatera akan mengalami peningkatan. Peningkatan angin tersebut akan

90 76 mendesak poros AKS yang merupakan arus dangkal dengan kedalaman kurang dari 2 meter. Poros AKS akan terdesak ke utara hingga mencapai lokasi penelitian. Godfrey (21) juga mengemukakan bahwa pada saat terjadi El Nino angin di Samudera Hindia di bagian timur menguat. Tabel 1. Hasil Korelasi Silang antara ENSO dengan Arus Parameter Periode (/Bulan) Densitas Energi Silang yang Signifikan Koherensi Kuadrat tan -1 Beda Fase waktu Arus Zonal 5 meter Arus Meridional 5 meter Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Arus Zonal 75 meter Hari Hari Hari Hari ENSO Arus Meridional 75 meter Arus Zonal 125 meter Arus Meridional 125 meter Arus Zonal 617 meter Arus Meridional 617 meter Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari

91 Suhu dengan Arus Hasil korelasi silang antara arus komponen zonal dan meridional dengan suhu di perairan barat Sumatera ditampilkan pada Tabel 11 dan Lampiran 4. Tabel 11. Hasil Korelasi Silang antara Arus dengan Suhu Parameter zonal 5 meter meridional 5 meter zonal 75 meter meridional 75 meter zonal 125 meter meridional 125 meter zonal 617 meter meridional 617 meter suhu 5 meter suhu 75 meter suhu 125 meter suhu 617 meter Periode (/Bulan) Densitas Energi Silang yang Signifikan Koherensi Kuadrat tan -1 Beda Fase waktu Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Dari Tabel 11 di atas terlihat bahwa nilai densitas enersi silang terbesar berada pada korelasi silang antara komponen zonal arus pada kedalaman 5 meter dengan suhu pada kedalaman 5 meter dengan periode 12 bulan serta pada periode 6 bulan dengan nilai densitas energi silang sebesar dan koherensinya sebesar Nilai densitas energi silangnya sebesar dengan koherensinya sebesar Hal ini berarti bahwa fluktuasi komponen zonal arus mempengaruhi terjadinya fluktuasi tahunan suhu

92 78 pada kedalaman 5 meter (lapisan permukaan tercampur) di perairan barat Sumatera. Adanya nilai densitas energi silang dan koherensi yang cukup tinggi pada periode 6 dan 12 bulan pada korelasi silang antara arus dengan suhu diduga karena adanya perbedaan suhu yang terjadi pada saat Angin Muson Tenggara dan Angin Muson Barat Laut. Pada saat Angin Muson Tenggara poros AKS terdesak ke utara dan membawa massa air dingin yang berasal dari upwelling sehingga mengakibatkan adanya penurunan suhu di perairan barat Sumatera. Sedangkan pada saat Angin Muson Barat Laut suhu di perairan barat Sumatera menjadi lebih tinggi karena adanya massa air hangat yang dibawa oleh ASH. Hal ini diperkuat oleh Wyrtki (1961) yang menyatakan bahwa Angin Muson Tenggara mendesak poros AKS ke utara dan menyebarkan massa air dari proses upwelling hingga ke lokasi penelitian. Sedangkan pada saat Muson Barat Laut ASH mendapatkan penyinaran matahari yang relatif tinggi dan terus menrus di sepanjang ekuator sehingga ASH membawa massa air hangat ke bagian barat Sumatera Suhu dengan Angin Hasil korelasi silang antara Angin komponen zonal dan meridional dengan suhu ditampilkan pada Tabel 12 dan Lampiran 5. Nilai densitas energi silang yang tinggi terdapat pada korelasi silang antara komponen zonal angin dengan suhu pada kedalaman 75 meter, dengan nilai densitas energi silang sebesar pada periode 12 bulan dengan koherensi sebesar , selain itu pada nilai densitas energi silang yang tinggi juga terdapat pada korelasi silang antara komponen zonal angin dengan suhu pada kedalaman 5 meter pada periode 12 bulan dengan nilai densitas energi sebesar dan koherensi

93 79 sebesar Nilai densitas energi silang yang tinggi juga terdapat pada korelasi silang antara komponen meridional angin dengan suhu pada kedalaman 75 meter pada periode 12 bulan dengan nilai densitas energi silang sebesar dan koherensi sebesar Hubungan yang erat antara komponen zonal angin dengan suhu juga terdapat pada kedalaman 5 meter pada periode 12 bulan. Hal ini terlihat dari nilai koherensi yang sangat tinggi yaitu sebesar Pada kedalaman 75 meter komponen zonal angin juga mempengaruhi suhu pada periode 2,5 tahun. Periode 12 bulan yang didapatkan pada korelasi silang atara angin dengan suhu karena adanya pola suhu yang berulang pada setiap tahun, pada muson tenggara lapisan tercampur cenderung lebih tipis dan lebih dingin. Sedangkan pada muson barat laut lapisan tercampur menjadi lebih tebal dan hangat. Hal ini diduga karena adanya respon dari variasi tahunan angin muson yang mempengaruhi Arus Sakal Samudera Hindia. Pada muson barat laut ASH akan membawa massa air hangat, sedangkan pada muson tenggara akan terjadi penaikan massa air yang akan mengakibatkan lapisan tercampur menjadi lebih dingin dan lebih tipis. Fluktuasi antar-tahunan suhu diduga disebabkan oleh adanya fluktuasi angin akibat terjadinya IODM. Menurut Thompson et al. (26) pada saat IODM positif suhu menurun karena adanya angin kuat yang menekan Jet Wyrtki, sedangkan pada saat IODM negatif terjadi hal yang sebaliknya

94 8 Tabel 12. Hasil Korelasi Silang antara Angin dengan Suhu Parameter angin zonal Periode (/Bulan) Densitas Energi Silang yang Signifikan Koherensi Kuadrat tan -1 Beda Fase waktu Hari Hari Hari Suhu 5 meter Hari Hari angin meridional Hari Hari Hari Hari Hari angin zonal angin meridional angin zonal angin meridional angin zonal angin meridional Suhu 75 meter Suhu 125 meter Suhu 617 meter Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Hari Suhu dengan DMI Hasil korelasi silang antara DMI dengan suhu di perairan barat Sumatera ditampilkan pada Tabel 13 dan Lampiran 6.

95 81 Tabel 13. Hasil Korelasi Silang antara DMI dengan Suhu Parameter Periode (/Bulan) Densitas Energi Silang yang Signifikan Koherensi Kuadrat tan -1 Beda Fase waktu Hari 5 meter Hari Hari Hari Hari Hari 75 meter Hari DMI Hari Hari Hari 125 meter Hari Hari Hari 617 meter Hari Hari Hari Dari Tabel 13 diatas nilai densitas energi silang terbesar terdapat pada korelasi silang antara DMI dengan suhu pada kedalaman 75 meter pada periode 4 tahun, dan dengan nilai koherensi sebesar Serta pada kedalaman 125 meter dengan nilai densitas energi silang sebesar dan koherensinya sebesar Hubungan yang cukup erat antara suhu dengan DMI terjadi pada lapisan termoklin. Hal ini diduga karena kedalaman dan suhu di lapisan termoklin terpengaruh oleh adanya IODM. Pada saat terjadi IODM positif terjadi pendangkalan lapisan termoklin di perairan barat Sumatera. Hal yang sma juga dikemukan oleh Thompson et al. (26) dan Vinayachandran et al. (22) yang menyatakan bahwa IODM mempengaruhi adanya variasi antar-tahunan pada suhu di perairan barat Sumatera. Pada saat IODM positif suhu menurun karena adanya angin kuat yang menekan Jet Wyrtki, sedangkan pada saat IODM negatif terjadi hal yang sebaliknya. IODM positif juga ditandai dengan pendangkalan

96 82 lapisan termoklin di Samudera Hindia bagian timur (perairan barat Sumatera) sedangkan di Samudera Hindia bagian barat (perairan timur Afrika) menjadi lebih dalam Suhu dengan SOI Hasil korelasi antara suhu di perairan barat Sumatera dengan SOI ditampilkan pada Tabel 14 dan Lampiran 7. Tabel 14. Hasil Korelasi Silang antara SOI dengan Suhu Parameter 5 meter Periode (/Bulan) Densitas Energi Silang yang Signifikan Koherensi Kuadrat tan -1 Beda Fase waktu Hari Hari Hari Hari 75 meter Hari Hari Hari SOI Hari 125 meter Hari Hari Hari Hari 617 meter Hari Hari Hari Dari Tabel 17 dapat dilihat bahwa nilai densitas energi silang tertinggi berada pada korelasi silang antara SOI dengan suhu pada kedalaman 75 meter pada periode 2,5 dan 5 tahun dengan nilai koherensi masing-masing sebesar dan Pada saat terjadi ENSO terjadi penguatan angin zonal di perairan barat Sumatera, diduga angin zonal tersebut akan mendesak poros AKS hingga ke daerah penelitian. AKS tersebut akan membawa massa air dingin yang berasal dari proses upwelling hingga sampai ke lokasi penelitian.

97 83 Hal yang sama juga ditemukan oleh Susanto et al. (21) dan Godfrey (21) yang menyatakan bahwa pada saat terjadi El Nino di Samudera Pasifik, Angin Muson Tenggara yang terbentuk di perairan barat Sumatera akan mengalami peningkatan Angin dengan DMI Hasil korelasi silang antara DMI dengan angin di perairan barat Sumatera ditampilkan pada Tabel 15 dan Lampiran 8. Tabel 15. Hasil Korelasi Silang antara DMI dengan Angin Parameter Periode (/Bulan) Densitas Energi Silang yang Signifikan Koherensi Kuadrat tan -1 Beda Fase Waktu DMI Angin zonal Angin meridional Hari Hari Hari Hari Hari Hari Dari korelasi silang antara DMI dengan angin baik zonal dan meridional terlihat bahwa nilai densitas energi silang tertinggi ada pada korelasi silang antara komponen angin zonal dengan DMI pada periode 12 bulan dengan koherensi sebesar dan komponen angin meridional dengan DMI pada periode 1,5 tahun dengan nilai koherensi sebesar Hal ini berarti bahwa fluktuasi antar tahunan dari IODM mempengaruhi terjadinya fluktuasi komponen meridional angin di perairan barat Sumatera. Hal ini sama seperti pada sebaran temporal DMI dan stickplot angin (Gambar 25, 26, 27, 28 dan 29), pada saat terjadi IODM positif yang ditandai dengan nilai DMI yang ekstrim positif, kecepatan angin di perairan barat Sumatera lebih besar dibandingkan saat biasanya.

98 84 Menurut Saji dan Yamagata (22) terbentuknya kutub suhu permukaan di Samudera Hindia menyebabkan terjadinya perubahan terhadap angin permukaan yang bertiup di atas Samudera Hindia, terutama pada komponen zonal. Sistem IODM dan angin zonal ini saling mempengaruhi satu sama lain Angin dengan SOI Hasil korelasi silang antara SOI dengan angin di bagian barat Sumatera ditampilkan pada Tabel 16 dan Lampiran 9. Tabel 16. Hasil Korelasi Silang antara SOI dengan Angin Parameter Periode (/Bulan) Densitas Energi Silang yang Signifikan Koherensi Kuadrat tan -1 Beda Fase Waktu Hari Hari Angin Zonal Hari Hari Hari Hari SOI Hari Hari Angin Meridional Hari Hari Hari Hari Hari Dari Tabel 16 terlihat bahwa nilai densitas energi silang tertinggi berada pada korelasi silang antara SOI dengan angin zonal pada periode 4 dan 2,5 tahun. Dengan nilai koherensi masing-masing sebesar dan Hal ini berarti bahwa fluktuasi antar-tahunan komponen zonal angin di perairan barat Sumatera dipengaruhi oleh adanya fluktuasi antar-tahunan ENSO. Pada sebaran temporal antara SOI dengan stickplot angin, terlihat bahwa pada saat terjadi ENSO, kecepatan angin di perairan barat Sumatera lebih tinggi

99 85 dibandingkan biasanya. Hal ini diduga karena pada saat terjadi ENSO, gradien suhu yang terbentuk antara Samudera Pasifik bagian timur dengan Samudera Pasifik bagian barat menjadi semakin besar. Perbedaan suhu tersebut akan membangkitkan angin zonal di Samudera Pasifik tropis yang kemudian akan mempengaruhi angin yang terjadi di Indonesia. Godfrey (21) dan Susanto et. al. (21) menyatakan bahwa pada saat terjadi El Nino terlihat adanya penguatan angin zonal pada Samudera Hindia bagian timur (perairan barat Sumatera), akibat adanya anomali dari suhu di daerah tersebut.

100 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Pada saat Angin Muson Barat Laut arus dan angin bergerak ke arah tenggara, sedangkan suhu pada lapisan tercampur cenderung lebih tinggi dibandingkan biasanya dan lapisan termoklin menjadi lebih tipis. Pada saat Angin Muson Tenggara arus bergerak ke arah barat laut dan barat daya dan angin bergerak ke arah barat laut, sedangkan suhu pada lapisan tercampur cenderung lebih rendah dan lapisan termoklin mejadi lebih tebal. Pada saat Musim Peralihan arus cenderung bergerak ke arah tenggara, angin lebih cenderung bergerak ke arah barat laut dan suhu pada lapisan permukaan lebih tinggi. Arus pada kedalaman 5 dan 25 meter (lapisan permukaan) lebih bervariasi dan lebih kuat dibandingkan dengan arus pada kedalaman 55, 75, 125, 155, dan 617 meter (lapisan termoklin dan lapisan dalam). Arus pada lapisan termoklin dan lapisan dalam lebih dominan bergerak ke arah tenggara sepanjang tahunnya. Arus yang bergerak ke arah tenggara merupakan representasi dari Arus Sakal Samudera Hindia (ASH) dan Jet Wyrtki yang telah membentur pantai barat Sumatera. Sedangkan arus yang bergerak ke arah barat laut dan barat daya merupakan representasi dari Arus Khatulistiwa Selatan (AKS) yang mencapai daerah penelitian pada puncak Angin Muson Tenggara dan bertemu dengan ASH. Suhu air laut pada kedalaman 5 dan 25 meter di perairan barat Sumatera cenderung stabil dan berkisar antara 27 hingga 3 o C. Suhu pada kedalaman 55, 75, 125, 155 dan 175 meter, sehingga diperkirakan bahwa batas atas lapisan termoklin di perairan barat Sumatera mencapai kedalaman 55 meter dan batas bawahnya hingga kedalaman 175 meter. Pada kedalaman 25, 446 dan

101 87 meter suhu air laut di perairan barat Sumatera cenderung sangat stabil dengan kisaran suhu antara 8 o C hingga 11 o C. Suhu yang relatif tinggi dan tenggelamnya lapisan termoklin pada saat Angin Muson Barat Laut dan Musim Peralihan merupakan pengaruh dari ASH dan Jet Wyrtki yang membawa massa air hangat. Sedangkan suhu yang rendah dan naiknya lapisan termoklin pada saat Angin Muson Tenggara dipengaruhi oleh massa air dingin yang berasal dari upwelling dan dibawa oleh AKS ke daerah penelitian. Pada saat terjadi IODM dan ENSO, suhu di lapisan permukaan cenderung menurun secara drastis, batas atas lapisan termoklin naik sehingga lapisan termoklin menjadi lebih tebal. Sedangkan kecepatan angin mengalami peningkatan dibandingkan saat biasanya. Spektrum densitas energi arus menunjukkan nilai spektrum densitas energi yang dominan pada periode 6 dan 12 bulan untuk lapisan tercampur, periode 6 dan 29 bulan pada lapisan termoklin dan 6 bulan pada lapisan dalam. Fluktuasi setengah-tahunan disebabkan oleh adanya perubahan arah angin, serta Jet Wyrtki yang berkembang pada saat Musim Peralihan. Fluktuasi tahunan disebabkan oleh adanya perubahan kecepatan angin yang akan mempengaruhi kecepatan arus. Sedangkan fluktuasi antar tahunan disebabkan oleh adanya IODM dan ENSO. Nilai spektrum densitas energi arus terbesar ada pada komponen zonal di kedalaman 5 meter. Spektrum densitas energi suhu menunjukkan nilai spektrum densitas energi yang signifikan pada periode 12 bulan (5 55 meter), 58 bulan (75 meter), dan 6 bulan ( meter). Fluktuasi setengah-tahunan merupakan pengaruh dari Jet Wyrtki. Fluktuasi tahunan ditunjukkan oleh adanya pola suhu yang berulang tiap tahunnya, sedangkan fluktuasi antar-tahunan merupakan

102 88 pengaruh dari IODM dan ENSO. Nilai spektrum densitas energi suhu terbesar terdapat pada kedalaman 125 meter. Spektrum densitas energi angin menunjukkan adanya fluktuasi tahunan yang disebabkan karena perubahan kecepatan angin pada setiap musim yang tidak sama. Spektrum densitas energi DMI menunjukkan periode 1,5 dan 3 tahun yang merupakan representasi dari siklus IODM. Sedangkan pada spektrum densitas SOI menunjukkan periode 2.5, 5, dan 1 tahun yang juga merupakan representasi dari siklus ENSO. Berdasarkan hasil korelasi silang, fluktuasi komponen zonal arus pada kedalaman 5 meter mempengaruhi fluktuasi setengah-tahunan dan tahunan suhu pada kedalaman 5 meter. Fluktuasi komponen zonal angin di perairan barat Sumatera mempengaruhi terjadinya fluktuasi tahunan komponen zonal arus pada kedalaman 125 meter serta suhu pada kedalaman 5 dan 75 meter, selain itu fluktuasi antar-tahunan pada komponen zonal arus diperairan barat Sumatera juga dipengaruhi oleh adanya fluktuasi komponen zonal angin. Sementara itu fluktuasi komponen meridional angin mempengaruhi fluktuasi tahunan komponen meridional arus pada kedalaman 125 meter serta fluktuasi suhu pada kedalaman 75 meter. Fenomena IODM yang terjadi di perairan barat Sumatera mempengaruhi fluktuasi tahunan komponen zonal arus pada kedalaman 5 meter serta komponen zonal angin. Selain itu fluktuasi antar tahunan komponen zonal arus pada kedalaman 75 meter, suhu pada kedalaman 75 dan 125 meter serta komponen meridional angin di perairan barat Sumatera juga merupakan pengaruh dari adanya fenomena IODM. Adanya fenomena ENSO di Samudera Pasifik juga memiliki pengaruh terhadap fluktuasi arus, suhu dan angin di perairan barat Sumatera. Fenomena ENSO mempengaruhi terjadinya fluktuasi antar-tahunan pada komponen

103 89 meridional arus pada kedalaman 125 meter. Fluktuasi antar-tahunan suhu pada kedalaman 75 meter serta komponen zonal angin juga dipengaruhi oleh fenomena ENSO Saran Untuk melihat adanya fluktuasi antar-tahunan arus, suhu dan angin serta hubungannya terhadap Indian Ocean Dipole Mode (IODM) dan El Nino Southern Oscillation (ENSO) agar lebih detail, diperlukan adanya data-data arus, suhu, angin, DMI, dan SOI dengan rataan mingguan dan dalam jangka waktu yang panjang. Hal ini bertujuan agar terlihat pengaruh yang lebih jelas dari pengaruh IODM dan ENSO terhadap fluktuasi parameter-parameter tersebut.

104 DAFTAR PUSTAKA Australian Government Bureau of Meteorology [BOM]. 29. Southern Oscillation Index (SOI) [5 Maret 29] Bendat, J. S. dan A. G. Piersol Random Data Analysis and Measurement Procedures. John Wiley and Sons Inc. New York. Brown, E., A.Colling., D. Park, J. Phillips, D. Rothery, dan J. Wright Ocean Circullation. The Open University. Milton Keynes. England. Delworth, T. L., A. Rosati, dan R. J. Stouffer. 26. GFDL's CM2 Global Coupled Climate Models. Part I: Formulation and simulation characteristics. J. Climate. 19(5): Farita, Y. 26. Variabilitas Suhu Di Perairan Selatan Jawa Barat dan Hubungannya Dengan Angin Muson, Indian Ocean Dipole Mode dan El Nino Southern Oscillation. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. Godfrey, J.S The effect of the Indonesian throughflow on ocean circulation and heat exchange with the atmosphere: A Review. J. Geophys. Res. 11: 12,217-12,238. Gross, M Oceanography sixth edition. Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliff. New Jersey Hasse, L., dan F. Dobson Introductory Physics of the Atmosphere and Ocean. Reidel Publishing Company. Dordrecht. Holland. Holiludin. 29. Variabilitas Suhu dan Salinitas di Perairan Barat Sumatera dan Hubungannya dengan Angin Muson dan IODM (Indian Ocean Dipole Mode). Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. Ilahude, A.G Pengantar ke Oseanologi Fisika. P3O-LIPI. Jakarta Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology [JAMSTEC]. 29. Indian Ocean Dipole (IOD) ndex.html [7 Maret 29] Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology [JAMSTEC]. 29. New Moored Buoy Network TRITON. [14 Oktober 29] King, A. H Introduction to Oceanography. McGraw Hill Book Company, Inc. San Fransisco. New York. Kug, J.S. dan I.S. Kang. 25. Interactive Feedback between ENSO and the Indian Ocean. J. Climate. 19:1,784-1,81. 9

105 91 Laevastu, T. dan I. Hela Fisheries Oceanography: New Ocean Environtmental Series. Coward and Gerrish Ltd, Larkhall, Bath. England. Martono, Halimurrahman, R. Komarudin, Syarief, S. Priyanto, dan D. Nugraha. 28. Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samuder Hindia Berbasis Model Laut. Ringkasan Eksekutif. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Jakarta McLellan, H. J Elements of Physical Oceanography. Pergamon Press Ltd. New York. Meyers, G., P. McIntosh, L. Pigot, dan M. Pook. The Years of El Nino, La Nina and Interactions with the Tropical Indian Ocean. J. Climate. 2:2,872-2,88. National Oceanic and Atmospheric Administration-Earth Science Research Laboratory [NOAA-ESRL]. 29. NCEP/NCAR Reanalysis 1 : Surface. ml [5 Agustus 29] National Oceanic and Atmospheric Administration-Geophysical Fluid Dynamic Laboratory [NOAA-GFDL]. 29. Ocean Data Assimilation Experiment. ftp://nomads.gfdl.noaa.gov/gfdl_cm2_1/fv_netcdf_test/pp/ocean_interp/ts /monthly/ [29 Juli 29] Pariwono, J.I dan E. Manan Diktat Kuliah Meteorologi Laut. IPB. Bogor Philander, S. G. H El Nino, La Nina, and the Southern Oscillation. Academic Press, Inc. New York. Pond, S. dan G. L. Pickard Introductory Dynamical Oceanography 2nd edition. Pergamon Press. New York. Richard, A. dan J. R. Davis Oceanography an Introduction to The Marine Environment. WMC Brown Publishers. Iowa. USA. Saji, N. H., B. N. Goswami, P. N. Vinayachandran dan T. Yamagata A Dipole Mode in the Tropical Indian Ocean. Nature. 41: Saji, N.H. dan T. Yamagata. 23. Possible Impacts of Indian Ocean Dipole Mode Events on Global Climate. Clim. Res. 25: Soegiarto, A. dan Birowo, S Atlas Oseanografi Perairan Indonesia dan Sekitarnya. No 1. LON-LIPI. Jakarta, Indonesia. Sprintall, J., A.L. Gordon, R. Murtugudde dan D. Susanto. 2. A Semiannual Indian Ocean Forced Kelvin Wave Observed in the Indonesian Seas in May J. Geophys. Res. 15(C7):17,217 17,23. Stewart, R.H. 22. Introduction to Physical Oceanography. Departement of Oceanography. Texas A & M University. Texas

106 92 Susanto, D., A.L. Gordon dan Q. Zheng. 21. Upwelling along the coast of java and Sumatera and its relation to ENSO. Geophys. Res. Lett. 28(8):1,599-1,62. Svedrup, H.U Oceanography for Meteologists. George Allen and Unwin Ltd. London. Svedrup, H.V, M.W. Jhonson dan R.H Fleming The Oceans, Their Physic, Chemistry and General Biology. Prentice-Hall. Inc. Englewood. New York. Thompson, B., C. Gnanaseelan dan P. S. Salvekar. 26. Variability in the Indian Ocean Circulation and Salinity and Its Impact on SST Anomalies During Dipole Events. J. Mar. Res. 64: Tomczak, M, dan J. S. Godfrey Regional Oceanography: An Introduction. Pergamon Press. Oxford. England. Troup, A. J., The Southern Oscillation. Quart. J. Roy. Meteor. Soc. 91: Vinayachandran, P.N., S. Lizuka dan T. Yamagata. 22. Indian Ocean Dipole Mode Event in A Ocean General Circulation Model. Deep-Sea. Res II. 49: 1,573-1,596. Webster, P. J. dan C. Torrence Interdecadal Changes in the ENSO Monsoon System. J. Climate. 12:2,679-2,69 Wilopo, M. D. 25. Karakter Fisik Oseanografi di Perairan Barat Sumatera dan Selatan Jawa-Sumbawa dari Data Satelit Multi Sensor. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. Wyrkti, K Physical Oceanography of South East Asian Water. Naga Report. Vol 2. Scripps Institution of Oceanography. The University of California. La Jolla. California. Wyrtki, K An Equatorial Jet in the Indian Ocean. Science. 181: Zhang, S., M. J. Harrison, A. Rosati, and A. Wittenberg. 27. System design and evaluation of coupled ensemble data assimilation for global oceanic climate studies. Mon. Wea. Rev. 135(1): p

107 LAMPIRAN

108 94 Lampiran 1. Grafik Korelasi Silang antara Angin dengan Arus Grafik Korelasi Silang antara Angin Zonal dengan Arus Zonal (5 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 2 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 )

109 95 Lampiran 1. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara Angin Meridional dengan Arus Meridional (5 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase.5 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 )

110 96 Lampiran 1. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara Angin Zonal dengan Arus Zonal (75 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase.5 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 2 Beda Fase (tan -1 )

111 97 Lampiran 1. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara Angin Meridional dengan Arus Meridional (75 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase.2 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 )

112 98 Lampiran 1. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara Angin Zonal dengan Arus Zonal (125 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase.5 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 )

113 99 Lampiran 1. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara Angin Meridional dengan Arus Meridional (125 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase.2 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 )

114 1 Lampiran 1. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara Angin Zonal dengan Arus Zonal (617 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase.1 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 Beda Fase (tan -1 )

115 11 Lampiran 1. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara Angin Meridional dengan Arus Meridional (617 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase.1 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 )

116 12 Lampiran 2. Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Arus Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Arus Zonal (5 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase.1 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8 KOHERENSI KUADRAT c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 )

117 13 Lampiran 2. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Arus Meridional(5 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase.15 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 )

118 14 Lampiran 2. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Arus Zonal (75 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase.7 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan Periode (bulan).8 b) Koherensi Kuadrat.7.6 Koherensi Kuadrat Periode (bulan) 4 c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 ) Periode (bulan)

119 15 Lampiran 2. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Arus Meridional (75 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase.1 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan Periode (bulan).9 b) Koherensi Kuadrat.8.7 Koherensi Kuadrat Periode (bulan) 4 c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 ) Periode (bulan)

120 16 Lampiran 2. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Arus Zonal (125 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase.5 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan Periode (bulan) 1. b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat Periode (bulan) 3 c) Beda Fase 2 Beda Fase (tan -1 ) Periode (bulan)

121 17 Lampiran 2. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Arus Meridional (125 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase.5 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan Periode (bulan) 1. b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat Periode (bulan) 4 c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 ) Periode (bulan)

122 18 Lampiran 2. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Arus Zonal (617 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase.4 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan Periode (bulan) 1. b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat Periode (bulan) 4 c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 ) Periode (bulan)

123 19 Lampiran 2. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Arus Meridional (617 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase.8 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan Periode (bulan) 1. b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat Periode (bulan) 4 c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 ) Periode (bulan)

124 11 Lampiran 3. Grafik Korelasi Silang antara SOI dengan Arus Grafik Korelasi Silang antara SOI dengan Arus Zonal (5 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 8 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 )

125 111 Lampiran 3. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara SOI dengan Arus Meridional (5 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 )

126 112 Lampiran 3. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara SOI dengan Arus Zonal (75 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 )

127 113 Lampiran 3. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara SOI dengan Arus Meridional (75 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 4 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 )

128 114 Lampiran 3. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara SOI dengan Arus Zonal (125 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 1 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 )

129 115 Lampiran 3. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara SOI dengan Arus Meridional (125 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 4 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 )

130 116 Lampiran 3. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara SOI dengan Arus Zonal (617 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase.6 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8.7 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 )

131 117 Lampiran 3. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara SOI dengan Arus Meridional (617 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase.4 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 )

132 118 Lampiran 4. Grafik Korelasi Silang antara Arus dengan Suhu Grafik Korelasi Silang antara Arus Zonal (5 Meter) dengan Suhu (5 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 2. a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 )

133 119 Lampiran 4. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara Arus Meridional (5 Meter) dengan Suhu (5 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase.8 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 )

134 12 Lampiran 4. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara Arus Zonal (75 Meter) dengan Suhu (75 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase.4 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 )

135 121 Lampiran 4. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara Arus Meridional (75 Meter) dengan Suhu (75 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase.7 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 Beda Fase (tan -1 )

136 122 Lampiran 4. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara Arus Zonal (125 Meter) dengan Suhu (125 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase.5 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 )

137 123 Lampiran 4. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara Arus Meridional (125 Meter) dengan Suhu (125 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 1.2 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 2 Beda Fase (tan -1 )

138 124 Lampiran 4. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara Arus Zonal (617 Meter) dengan Suhu (617 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase.5 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 )

139 125 Lampiran 4. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara Arus Meridional (617 Meter) dengan Suhu (617 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase.2 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 )

140 126 Lampiran 5. Grafik Korelasi Silang antara Angin dengan Suhu Grafik Korelasi Silang antara Angin Zonal dengan Suhu (5 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 7 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 )

141 127 Lampiran 5. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara Angin Meridional dengan Suhu (5 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 1 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 )

142 128 Lampiran 5. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara Angin Zonal dengan Suhu (75 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 2 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 )

143 129 Lampiran 5. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara Angin Meridional dengan Suhu (75 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 2 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan Period 1. b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat Period 4 c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 )

144 13 Lampiran 5. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara Angin Zonal dengan Suhu (125 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 5 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 2 Beda Fase (tan -1 )

145 131 Lampiran 5. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara Angin Meridional dengan Suhu (125 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 2 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 )

146 132 Lampiran 5. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara Angin Zonal dengan Suhu (617 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 8 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 )

147 133 Lampiran 5. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara Angin Meridional dengan Suhu (617 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 6 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 )

148 134 Lampiran 6. Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Suhu Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Suhu (5 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 2 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 )

149 135 Lampiran 6. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Suhu (75 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 1 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 )

150 136 Lampiran 6. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Suhu (125 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 5 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 )

151 137 Lampiran 6. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Suhu (617 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 2. a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.7.6 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 )

152 138 Lampiran 7. Grafik Korelasi Silang antara SOI dengan Suhu Grafik Korelasi Silang antara SOI dengan Suhu (5 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 6 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan Periode (bulan) 1. b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat Periode (bulan) 4 c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 ) Periode (bulan)

153 139 Lampiran 7. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara SOI dengan Suhu (75 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 4 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan Periode (bulan) 1. b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat Periode (bulan) 4 c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 ) Periode (bulan)

154 14 Lampiran 7. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara SOI dengan Suhu (125 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 2 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan Periode (bulan) 1. b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat Periode (bulan) 4 c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 ) Periode (bulan)

155 141 Lampiran 7. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara SOI dengan Suhu (617 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 5 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan Periode (bulan) 1. b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat Periode (bulan) 4 c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 ) Periode (bulan)

156 142 Lampiran 8. Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Angin Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Angin Zonal a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 5 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8.7 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 )

157 143 Lampiran 8. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Angin Meridional a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 2 Beda Fase (tan -1 )

158 144 Lampiran 9. Grafik Korelasi Silang antara SOI dengan Angin Grafik Korelasi Silang antara SOI dengan Angin Zonal a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 25 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 Beda Fase (tan -1 )

159 145 Lampiran 9. (Lanjutan) Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Angin Meridional a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 5 a) Kospektrum Densitas Energi Densitas Energi (m/det) 2 /Siklus/Bulan b) Koherensi Kuadrat.8 Koherensi Kuadrat c) Beda Fase 3 2 Beda Fase (tan -1 )

160 DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Curup, provinsi Bengkulu pada tanggal 22 Maret 1988 dari pasangan ayah Sukarman dan ibu Sutitah. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Pada Tahun 25 penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Curup. Pada Tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Setelah melewati Tingkat Persiapan Bersama (TPB) selama satu tahun akhirnya penulis di terima di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Selama menempuh pendidikan sarjana di IPB penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA-IPB) sebagai Dewan Formatur dan mengikuti berbagai kepanitiaan. Dalam kegiatan perkuliahan penulis pernah menjadi asisten mata kuliah mata kuliah Oseanografi Fisik pada tahun ajaran 28/29, 29/21, dan 21/211. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Variabilitas Arus, Suhu dan Angin di Perairan Barat Sumatera dan Inter-Relasinya dengan IODM (Indian Ocean Dipole Mode) dan ENSO (El Nino Southern Oscillation). 146

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE)

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) Oleh : HOLILUDIN C64104069 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE)

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) Oleh : HOLILUDIN C64104069 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu Permukaan Laut (SPL) Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu benda. Secara alamiah sumber utama bahang dalam air laut adalah matahari. Daerah yang

Lebih terperinci

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar BAB II Tinjauan Pustaka II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar Matsumoto dan Yamagata (1996) dalam penelitiannya berdasarkan Ocean Circulation General Model (OGCM) menunjukkan adanya variabilitas

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. Kondisi Umum Perairan Selatan Jawa Perairan Selatan Jawa merupakan perairan Indonesia yang terletak di selatan Pulau Jawa yang berhubungan secara langsung dengan Samudera Hindia.

Lebih terperinci

PERAMBATAN GELOMBANG ROSSBY DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA MENGGUNAKAN METODE WAVELET

PERAMBATAN GELOMBANG ROSSBY DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA MENGGUNAKAN METODE WAVELET PERAMBATAN GELOMBANG ROSSBY DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA MENGGUNAKAN METODE WAVELET RIESNI FITRIANI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT)

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT) KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT) Oleh: Ince Mochammad Arief Akbar C64102063 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan iklim global sekitar 3 4 juta tahun yang lalu telah mempengaruhi evolusi hominidis melalui pengeringan di Afrika dan mungkin pertanda zaman es pleistosin kira-kira

Lebih terperinci

PRISMA FISIKA, Vol. II, No. 1 (2014), Hal ISSN :

PRISMA FISIKA, Vol. II, No. 1 (2014), Hal ISSN : PRISMA FISIKA, Vol. II, No. (24), Hal. - 5 ISSN : 2337-824 Kajian Elevasi Muka Air Laut Di Selat Karimata Pada Tahun Kejadian El Nino Dan Dipole Mode Positif Pracellya Antomy ), Muh. Ishak Jumarang ),

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi 2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter (Lampiran 1). Begitu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arus Eddy Penelitian mengenai arus eddy pertama kali dilakukan pada sekitar tahun 1930 oleh Iselin dengan mengidentifikasi eddy Gulf Stream dari data hidrografi, serta penelitian

Lebih terperinci

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA OLEH : ANDRIE WIJAYA, A.Md FENOMENA GLOBAL 1. ENSO (El Nino Southern Oscillation) Secara Ilmiah ENSO atau El Nino dapat di jelaskan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika 4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Angin Di perairan barat Sumatera, khususnya pada daerah sekitar 2, o LS hampir sepanjang tahun kecepatan angin bulanan rata-rata terlihat lemah dan berada pada kisaran,76 4,1

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil dan Verifikasi Hasil simulasi model meliputi sirkulasi arus permukaan rata-rata bulanan dengan periode waktu dari tahun 1996, 1997, dan 1998. Sebelum dianalisis lebih

Lebih terperinci

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b a Program Studi Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura, b Program Studi Ilmu

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK OSEANOGRAFI FISIK DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TIMUR PADA SAAT FENOMENA INDIAN OCEAN DIPOLE

KARAKTERISTIK OSEANOGRAFI FISIK DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TIMUR PADA SAAT FENOMENA INDIAN OCEAN DIPOLE KARAKTERISTIK OSEANOGRAFI FISIK DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TIMUR PADA SAAT FENOMENA INDIAN OCEAN DIPOLE (IOD) FASE POSITIF TAHUN 1994/1995, 1997/1998 dan 2006/2007 PRAMUDYO DIPO HADINOTO SKRIPSI DEPARTEMEN

Lebih terperinci

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut Oleh : Martono, Halimurrahman, Rudy Komarudin, Syarief, Slamet Priyanto dan Dita Nugraha Interaksi laut-atmosfer mempunyai peranan

Lebih terperinci

Oleh Tim Agroklimatologi PPKS

Oleh Tim Agroklimatologi PPKS Kondisi Indian Oscillation Dipole (IOD), El Nino Southern Oscillation (ENSO), Curah Hujan di Indonesia, dan Pendugaan Kondisi Iklim 2016 (Update Desember 2015) Oleh Tim Agroklimatologi PPKS Disarikan dari

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

KARAKTER FISIK OSEANOGRAFI DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN SELATAN JAWA-SUMBAWA DARI DATA SATELIT MULTI SENSOR. Oleh : MUKTI DONO WILOPO C

KARAKTER FISIK OSEANOGRAFI DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN SELATAN JAWA-SUMBAWA DARI DATA SATELIT MULTI SENSOR. Oleh : MUKTI DONO WILOPO C KARAKTER FISIK OSEANOGRAFI DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN SELATAN JAWA-SUMBAWA DARI DATA SATELIT MULTI SENSOR Oleh : MUKTI DONO WILOPO C06400080 PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Konsentrasi klorofil-a suatu perairan sangat tergantung pada ketersediaan nutrien dan intensitas cahaya matahari. Bila nutrien dan intensitas cahaya matahari cukup tersedia,

Lebih terperinci

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu Jurnal Gradien Vol. 11 No. 2 Juli 2015: 1128-1132 Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu Widya Novia Lestari, Lizalidiawati, Suwarsono,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan dan pengelolaan sumber daya air (Haile et al., 2009).

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan dan pengelolaan sumber daya air (Haile et al., 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hujan merupakan salah satu sumber ketersedian air untuk kehidupan di permukaan Bumi (Shoji dan Kitaura, 2006) dan dapat dijadikan sebagai dasar dalam penilaian, perencanaan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP PROPINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas berkat dan rahmat Nya kami dapat menyusun laporan dan laporan Prakiraan Musim Kemarau 2016 di wilayah Propinsi Banten

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP 1 KATA PENGANTAR Publikasi Prakiraan Awal Musim Hujan 2015/2016 di Propinsi Bali merupakan salah satu bentuk pelayanan jasa klimatologi yang dihasilkan oleh Stasiun Klimatologi Negara Bali. Prakiraan Awal

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG KATA PENGANTAR Stasiun Klimatologi Semarang setiap tahun menerbitkan buku Prakiraan Musim Hujan dan Prakiraan Musim Kemarau daerah Propinsi Jawa Tengah. Buku Prakiraan Musim Hujan diterbitkan setiap bulan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Asia Tenggara dan sekitarnya memiliki variabilitas laut-atmosfer yang besar akibat dari fluktuasi parameter oseanografi yang berasal dari perairan Samudera Pasifik

Lebih terperinci

Fase Panas El berlangsung antara bulan dengan periode antara 2-7 tahun yang diselingi fase dingin yang disebut dengan La Nina

Fase Panas El berlangsung antara bulan dengan periode antara 2-7 tahun yang diselingi fase dingin yang disebut dengan La Nina ENSO (EL-NINO SOUTERN OSCILLATION) ENSO (El Nino Southern Oscillation) ENSO adalah peristiwa naiknya suhu di Samudra Pasifik yang menyebabkan perubahan pola angin dan curah hujan serta mempengaruhi perubahan

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur http://lasiana.ntt.bmkg.go.id/publikasi/prakiraanmusim-ntt/ Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Banjarbaru, Oktober 2012 Kepala Stasiun Klimatologi Banjarbaru. Ir. PURWANTO NIP Buletin Edisi Oktober 2012

KATA PENGANTAR. Banjarbaru, Oktober 2012 Kepala Stasiun Klimatologi Banjarbaru. Ir. PURWANTO NIP Buletin Edisi Oktober 2012 KATA PENGANTAR i Analisis Hujan Bulan Agustus 2012, Prakiraan Hujan Bulan November, Desember 2012, dan Januari 2013 Kalimantan Timur disusun berdasarkan hasil pantauan kondisi fisis atmosfer dan data yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi pada 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Umum El Nino El Nino adalah fenomena perubahan iklim secara global yang diakibatkan oleh memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 7 d) phase spectrum, dengan persamaan matematis: e) coherency, dengan persamaan matematis: f) gain spektrum, dengan persamaan matematis: IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Geografis dan Cuaca Kototabang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1 Pada bulan Desember 1996 Februari 1997 yang merupakan puncak musim barat

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Peta lokasi penelitian disajikan pada Lampiran A. Hasil pengolahan data arus polar current rose disajikan pada Lampiran B. Hasil pengolahan data komponen arus setelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Samudera Hindia mempunyai sifat yang unik dan kompleks karena dinamika perairan ini sangat dipengaruhi oleh sistem angin musim dan sistem angin pasat yang

Lebih terperinci

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 3, No. 2, Hal , Desember 2011

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 3, No. 2, Hal , Desember 2011 Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 3, No. 2, Hal. 71-84, Desember 2011 KARAKTERISTIK OSEANOGRAFI FISIK DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TIMUR PADA SAAT FENOMENA INDIAN OCEAN DIPOLE (IOD) FASE POSITIF

Lebih terperinci

DINAMIKA MASSA AIR DI PERAIRAN TROPIS PASIFIK BAGIAN BARAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERUBAHAN MUSIM DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION

DINAMIKA MASSA AIR DI PERAIRAN TROPIS PASIFIK BAGIAN BARAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERUBAHAN MUSIM DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION DINAMIKA MASSA AIR DI PERAIRAN TROPIS PASIFIK BAGIAN BARAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERUBAHAN MUSIM DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION Oleh : SEPTINA PAPILAYA K.L C64103024 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Musim Hujan. Musim Kemarau

Musim Hujan. Musim Kemarau mm IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Analisis Data Curah hujan Data curah hujan yang digunakan pada penelitian ini adalah wilayah Lampung, Pontianak, Banjarbaru dan Indramayu. Selanjutnya pada masing-masing wilayah

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ). KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA I. PENDAHULUAN Wilayah Indonesia berada pada posisi strategis, terletak di daerah

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Pontianak, 1 April 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI SIANTAN PONTIANAK. WANDAYANTOLIS, S.Si, M.Si NIP

KATA PENGANTAR. Pontianak, 1 April 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI SIANTAN PONTIANAK. WANDAYANTOLIS, S.Si, M.Si NIP KATA PENGANTAR Stasiun Klimatologi Siantan Pontianak pada tahun 2016 menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau dan Prakiraan Musim Hujan. Pada buku Prakiraan Musim Kemarau 2016

Lebih terperinci

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Program Studi Meteorologi PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah lautan yang lebih luas dibandingkan luasan daratannya. Luas wilayah laut mencapai 2/3 dari luas wilayah daratan. Laut merupakan medium yang

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino

Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino Pasang Surut Surabaya Selama Terjadi El-Nino G181 Iva Ayu Rinjani dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl.

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR REDAKSI. Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si. Penanggung Jawab : Subandriyo, SP. Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S.

KATA PENGANTAR REDAKSI. Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si. Penanggung Jawab : Subandriyo, SP. Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S. i REDAKSI KATA PENGANTAR Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si Penanggung Jawab : Subandriyo, SP Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S. Kom Editor : Idrus, SE Staf Redaksi : 1. Fanni Aditya, S. Si 2. M.

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin Umum Perairan Indonesia memiliki keadaan alam yang unik, yaitu topografinya yang beragam. Karena merupakan penghubung dua system samudera

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR Oleh : Agus Dwi Jayanti Diah Cahyaningrum C64104051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP Buletin Prakiraan Musim Kemarau 2016 i KATA PENGANTAR Penyajian prakiraan musim kemarau 2016 di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung diterbitkan untuk memberikan informasi kepada masyarakat disamping publikasi

Lebih terperinci

Physics Communication

Physics Communication Phys. Comm. 1 (1) (2017) Physics Communication http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pc Analisis kondisi suhu dan salinitas perairan barat Sumatera menggunakan data Argo Float Lita Juniarti 1, Muh.

Lebih terperinci

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofísika () setiap tahun menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap awal Maret dan Prakiraan Musim Hujan setiap awal

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan ( 12070 ) Telp. (021) 7353018, Fax: (021) 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Program Studi Meteorologi PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan

Lebih terperinci

PRAKIRAAN MUSIM 2017/2018

PRAKIRAAN MUSIM 2017/2018 1 Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas perkenannya, kami dapat menyelesaikan Buku Prakiraan Musim Hujan Tahun Provinsi Kalimantan Barat. Buku ini berisi kondisi dinamika atmosfer

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 99 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Validasi Data Asimilasi GFDL 4.1.1 TRITON Stasiun pengamatan data TRITON yang digunakan untuk melakukan validasi data asimilasi GFDL sebanyak 13 stasiun dengan 12 TRITON berada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang terletak pada wilayah ekuatorial, dan memiliki gugus-gugus kepulauan yang dikelilingi oleh perairan yang hangat. Letak lintang Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang antara 95 o BT 141 o BT dan 6 o LU 11 o LS (Bakosurtanal, 2007) dengan luas wilayah yang

Lebih terperinci

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman Online di :

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman Online di : JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman 661-669 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL-A KAITANNYA DENGAN EL NINO SOUTHERN

Lebih terperinci

POSITRON, Vol. IV, No. 2 (2014), Hal ISSN :

POSITRON, Vol. IV, No. 2 (2014), Hal ISSN : Pengaruh Fenomena El Niño Southern Oscillation dan Dipole Mode Terhadap Curah Hujan di Muhammad Elifant Yuggotomo 1,), Andi Ihwan ) 1) Stasiun Klimatologi Siantan Pontianak ) Program Studi Fisika Fakultas

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise Peta sebaran SPL dan salinitas berdasarkan cruise track Indomix selengkapnya disajikan pada Gambar 6. 3A 2A

Lebih terperinci

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016 B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Tangerang Selatan Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2017 REDAKSI

PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2017 REDAKSI Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas perkenannya, kami dapat menyelesaikan Buku Prakiraan Musim Kemarau Tahun 2017 Provinsi Kalimantan Barat. Buku ini berisi kondisi dinamika atmosfer

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH MADDEN JULIAN OSCILLATION (MJO) TERHADAP CURAH HUJAN DI KOTA MAKASSAR

ANALISIS PENGARUH MADDEN JULIAN OSCILLATION (MJO) TERHADAP CURAH HUJAN DI KOTA MAKASSAR ANALISIS PENGARUH MADDEN JULIAN OSCILLATION (MJO) TERHADAP CURAH HUJAN DI KOTA MAKASSAR Nensi Tallamma, Nasrul Ihsan, A. J. Patandean Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Makassar Jl. Mallengkeri, Makassar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi Spasial Arus Eddy di Perairan Selatan Jawa-Bali Berdasarkan hasil visualisasi data arus geostropik (Lampiran 3) dan tinggi paras laut (Lampiran 4) dalam skala

Lebih terperinci

VARIABILITAS SUHU DI PERAIRAN SENUNU, SUMBAWA BARAT TEMPERATURE VARIABILITY AT SENUNU BAY, WEST SUMBAWA

VARIABILITAS SUHU DI PERAIRAN SENUNU, SUMBAWA BARAT TEMPERATURE VARIABILITY AT SENUNU BAY, WEST SUMBAWA Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No., Hlm. 43-59, Desember 13 VARIABILITAS SUHU DI PERAIRAN SENUNU, SUMBAWA BARAT TEMPERATURE VARIABILITY AT SENUNU BAY, WEST SUMBAWA Syamsul Hidayat 1,

Lebih terperinci

Pengaruh Dipole Mode dan El Nino Southern Oscillation Terhadap Awal Tanam dan Masa Tanam di Kabupaten Mempawah

Pengaruh Dipole Mode dan El Nino Southern Oscillation Terhadap Awal Tanam dan Masa Tanam di Kabupaten Mempawah Pengaruh Dipole Mode dan El Nino Southern Oscillation Terhadap Awal Tanam dan Masa Tanam di Kabupaten Mempawah Yohana Fronika a, Muhammad Ishak Jumarang a*, Andi Ihwan a ajurusanfisika, Fakultas Matematika

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

POLA ARUS PERMUKAAN PADA SAAT KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TROPIS

POLA ARUS PERMUKAAN PADA SAAT KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TROPIS POLA ARUS PERMUKAAN PADA SAAT KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TROPIS Martono Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPANInstitusi Penulis Email: mar_lapan@yahoo.com Abstract Indian

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Prakiraan Musim Kemarau 2016

KATA PENGANTAR. Prakiraan Musim Kemarau 2016 KATA PENGANTAR Publikasi Prakiraan Musim Kemarau 2016 Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu bentuk pelayanan jasa klimatologi yang dihasilkan oleh Stasiun Geofisika Kelas 1 Yogyakarta / Pos Klimatologi

Lebih terperinci

Propinsi Banten dan DKI Jakarta

Propinsi Banten dan DKI Jakarta BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. interaksi proses-proses fisik dan kimia yang terjadi di udara (atmosfer) dengan permukaan

I. PENDAHULUAN. interaksi proses-proses fisik dan kimia yang terjadi di udara (atmosfer) dengan permukaan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Studi tentang iklim mencakup kajian tentang fenomena fisik atmosfer sebagai hasil interaksi proses-proses fisik dan kimia yang terjadi di udara (atmosfer) dengan permukaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai negara yang terletak diantara Samudra Pasifik-Hindia dan Benua Asia-Australia, serta termasuk wilayah tropis yang dilewati oleh garis khatulistiwa, menyebabkan

Lebih terperinci

Kajian Elevasi Muka Air Laut di Perairan Indonesia Pada Kondisi El Nino dan La Nina

Kajian Elevasi Muka Air Laut di Perairan Indonesia Pada Kondisi El Nino dan La Nina Kajian Elevasi Muka Air Laut di Perairan Indonesia Pada Kondisi El Nino dan La Nina Niken Ayu Oktaviani 1), Muh. Ishak Jumarang 1), dan Andi Ihwan 1) 1)Program Studi Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

ANALISA VARIASI HARMONIK PASANG SURUT DI PERAIRAN SURABAYA AKIBAT FENOMENA EL-NINO

ANALISA VARIASI HARMONIK PASANG SURUT DI PERAIRAN SURABAYA AKIBAT FENOMENA EL-NINO Bangun Muljo Sukojo 1, Iva Ayu Rinjani 1 1 Departemen Teknik Geomatika, FTSLK-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, 60111, Indonesia e-mail: 1 bangun_ms@geodesy.its.ac.id Abstrak Pengaruh fenomena El Nino

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

El-NINO DAN PENGARUHNYA TERHADAP CURAH HUJAN DI MANADO SULAWESI UTARA EL-NINO AND ITS EFFECT ON RAINFALL IN MANADO NORTH SULAWESI

El-NINO DAN PENGARUHNYA TERHADAP CURAH HUJAN DI MANADO SULAWESI UTARA EL-NINO AND ITS EFFECT ON RAINFALL IN MANADO NORTH SULAWESI El-NINO DAN PENGARUHNYA TERHADAP CURAH HUJAN DI MANADO SULAWESI UTARA Seni Herlina J. Tongkukut 1) 1) Program Studi Fisika FMIPA Universitas Sam Ratulangi, Manado 95115 ABSTRAK Telah dilakukan analisis

Lebih terperinci

Pola dan Karakteristik Sebaran Medan Massa, Medan Tekanan dan Arus Geostropik Perairan Selatan Jawa

Pola dan Karakteristik Sebaran Medan Massa, Medan Tekanan dan Arus Geostropik Perairan Selatan Jawa Dinamika Maritim Coastal and Marine Resources Research Center, Raja Ali Haji Maritime University Tanjungpinang-Indonesia Volume 6 Number 2, February 2018 Pola dan Karakteristik Sebaran Medan Massa, Medan

Lebih terperinci

ANALISIS VARIASI MUKA LAUT DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP DAN BENOA MENGGUNAKAN METODE WAVELET

ANALISIS VARIASI MUKA LAUT DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP DAN BENOA MENGGUNAKAN METODE WAVELET ANALISIS VARIASI MUKA LAUT DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP DAN BENOA MENGGUNAKAN METODE WAVELET Oleh : Imam Pamuji C64104019 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

ANALISIS KEJADIAN EL-NINO DAN PENGARUHNYA TERHADAP INTENSITAS CURAH HUJAN DI WILAYAH JABODETABEK SELAMA PERIODE PUNCAK MUSIM HUJAN TAHUN 2015/2016

ANALISIS KEJADIAN EL-NINO DAN PENGARUHNYA TERHADAP INTENSITAS CURAH HUJAN DI WILAYAH JABODETABEK SELAMA PERIODE PUNCAK MUSIM HUJAN TAHUN 2015/2016 Jurnal Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca, Vol.17 No.2, 2016: 67-74 67 ANALISIS KEJADIAN EL-NINO DAN PENGARUHNYA TERHADAP INTENSITAS CURAH HUJAN DI WILAYAH JABODETABEK SELAMA PERIODE PUNCAK MUSIM HUJAN

Lebih terperinci

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan ( 12070 ) Telp: (021) 7353018 / Fax: 7355262, Tromol Pos. 7019 / Jks KL, E-mail

Lebih terperinci

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221)

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu, Cahaya dan Warna Laut Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu Bersama dengan salinitas dan densitas, suhu merupakan sifat air laut yang penting dan mempengaruhi pergerakan masa air di laut

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Daerah Kajian Daerah yang akan dikaji dalam penelitian adalah perairan Jawa bagian selatan yang ditetapkan berada di antara 6,5º 12º LS dan 102º 114,5º BT, seperti dapat

Lebih terperinci

PENGANTAR. Bogor, Maret 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI BOGOR

PENGANTAR. Bogor, Maret 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI BOGOR PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofísika () setiap tahun menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap awal Maret dan Prakiraan Musim Hujan setiap awal

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan METODE PENELITIAN Lokasi Penelitan Penelitian ini dilakukan pada perairan barat Sumatera dan selatan Jawa - Sumbawa yang merupakan bagian dari perairan timur laut Samudera Hindia. Batas perairan yang diamati

Lebih terperinci

ILMU & TEKNOLOGI KELAUTAN (ITK 502)

ILMU & TEKNOLOGI KELAUTAN (ITK 502) ILMU & TEKNOLOGI KELAUTAN (ITK 502) Kuliah-7 Fenomena Di Laut & Perannya Dalam Kehidupan 11/9/09 J. I. Pariwono 1 Dinamika Laut Dalam 1. Dinamika di lautan disebabkan oleh banyak gaya yang bekerja di dalamnya

Lebih terperinci

Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Penelitian Terdahulu

Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Penelitian Terdahulu Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Penelitian Terdahulu Penelitian berjudul Pemodelan dan Peramalan Angka Curah Hujan Bulanan Menggunakan Analisis Runtun Waktu (Kasus Pada Daerah Sekitar Bandara Ngurah Rai), menjelaskan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK DAN VARIABILITAS BULANAN ANGIN PERMUKAAN DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA

KARAKTERISTIK DAN VARIABILITAS BULANAN ANGIN PERMUKAAN DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA MAKARA, SAINS, VOL. 13, NO. 2, NOVEMBER 2009: 157-162 KARAKTERISTIK DAN VARIABILITAS BULANAN ANGIN PERMUKAAN DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA Martono Bidang Pemodelan Iklim, Lembaga Penerbangan dan Antariksa

Lebih terperinci

Laporan Perjalanan Dinas Chief BRKP-DKP Bagus Hendrajana, Chief FIO Mr Jianjun Liu

Laporan Perjalanan Dinas Chief BRKP-DKP Bagus Hendrajana, Chief FIO Mr Jianjun Liu Laporan Perjalanan Dinas Chief BRKP-DKP Bagus Hendrajana, Chief FIO Mr Jianjun Liu I. PENDAHULUAN Hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh berbagai fenomena iklim yang berkaitan dengan daerah tropis.

Lebih terperinci