VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE)"

Transkripsi

1 VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) Oleh : HOLILUDIN C SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul : VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Skripsi ini. Bogor, 13 April 2009 HOLILUDIN C

3 RINGKASAN HOLILUDIN. Variabilitas Suhu dan Salinitas di Perairan Barat Sumatera dan Hubungannya dengan Angin Musn dan IODM (Indian Ocean Dipole Mode). Dibimbing oleh MULIA PURBA. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji variabilitas suhu dan salinitas dan hubungan keduanya dengan Angin Muson dan IODM (Indian Ocean Dipole Mode) di perairan barat Sumatera. Data suhu dan salinitas direkam oleh pelampung pengamat Triton yang terletak pada koordinat 5 o LS dan 95 o BT pada periode 9 Juli Februari Selain itu juga menggunakan data angin yang diperoleh diperoleh dari program NCEP/NCAR Reanalysis 1, badan riset NOAA-CDC, dan data DMI (Dipole Mode Index) diperoleh dari JAMSTEC dengan periode yang sama. Sebaran temporal suhu dan salinitas ditampilkan menggunakan perangkat lunak ODV mp dan MATLAB 6.01, sebaran temporal DMI ditampilkan menggunakan perangkat lunak MATLAB 6.01, dan sebaran temporal angin ditampilkan menggunakan perangkat lunak Surfer 8.0. Sebaran temporal dipergunakan untuk menganalisis hubungan antara suhu dan salinitas dengan Angin Muson dan IODM secara kualitatif. Spektrum densitas energi dipergunakan untuk melihat periode fluktuasi signifikan dari parameter suhu, salinitas, angin, dan DMI. Spektrum densitas energi dihitung dengan menggunakan metode FFT (Fast Fourier Transform) dan ditampilkan menggunkan perangkat lunak Statistica 6.0. Untuk menganalisis secara kuantitatif hubungan antara suhu dan salinitas dengan Angin Muson dan IODM, maka digunakan Cross Spectral Analysis dengan bantuan perangkat lunak Statistica 6.0. Hasil sebaran temporal suhu dan salinitas menunjukkan bahwa suhu dan salinitas di perairan barat Sumatera memiliki stratifikasi yang jelas sesuai musim. Pada Muson Barat-Laut, suhu dan salinitas relatif tinggi serta lapisan salinitas maksimum lebih tebal. Hal ini diduga karena mendapat masukan massa air yang hangat dan bersalinitas relatif tinggi yang dibawa oleh ASH (Arus Sakal Samudera Hindia) dari barat. Pada Muson Tenggara, suhu dan salinitas relatif rendah serta lapisan salinitas maksimum tidak terlihat karena diperkirakan mendapat masukan massa air yang dingin dan bersalinitas relatif rendah yang berasal dari massa air di daerah terjadinya upwelling (selatan Jawa dan barat Sumatera) yang dibawa oleh AKS (Arus Khatulistiwa Selatan) dan massa air AKS sendiri berasal dari utara Australia. Pada musim-musim peralihan, suhu relatif hangat dan salinitas relatif tinggi serta terlihat lapisan salinitas maksimum (walau tidak sekuat pada Muson Barat-Laut) diduga karena pengaruh Jet Wyrtki yang berkembang pada musim-musim peralihan. Pada September-November 2006, suhu dan salinitas turun dengan drastis dan stratifikasi salinitas melemah. Pada saat bersamaan DMI menunjukkan nilai ekstrim positif dan angin dari arah tenggara bertiup dengan kencang dan intensif sehingga kondisi ini diperkirakan akibat dari terjadinya fenomena IODM positif. Spektrum densitas energi suhu menunjukkan adanya fluktuasi setengahtahunan (semi-annual), tahunan (annual ), dan antar-tahunan (inter-annual).

4 Spektrum densitas energi salinitas menunjukkan adanya fluktuasi setengahtahunan (semi-annual) dan tahunan (annual). Spektrum densitas Angin Muson menunjukkan adanya fluktuasi tahunan. Fluktuasi antar-tahunan IODM tidak signifikan diduga karena panjang data kurang mencukupi. Spektrum densitas energi juga menunjukkan bahwa energi variabilitas suhu terbesar terdapat pada lapisan termoklin (kedalaman 125 m). Berdasarkan hasil korelasi silang, terlihat bahwa fluktuasi setengah tahunan suhu lapisan tercampur dipengaruhi oleh fluktuasi angin zonal dengan koherensi sebesar 0,63 dan angin meridional dengan koherensi sebesar 0,91, fluktuasi suhu pada lapisan termoklin (kedalaman 125 m) dipengaruhi oleh angin zonal dengan koherensi sebesar 0,69, sedangkan fluktuasi suhu pada lapisan dalam bukan karena pengaruh Angin Muson. Fluktuasi tahunan suhu pada lapisan termoklin (kedalaman 75 m) karena pengaruh angin zonal dengan koherensi sebesar 0,81. Hasil korelasi silang juga memperlihatkan bahwa fluktuasi setengahtahunan salinitas pada kedalaman 1,5 m dan 750 m dipengaruhi oleh angin meridional dengan koherensi pada masing-masing kedalaman berturut-turut adalah 0,71 dan 0,87. Fluktuasi tahunan salinitas kedalaman 75 m juga karena pengaruh angin meridional dengan koherensi sebesar 0,65. Fluktuasi setengah-tahunan dan tahunan parameter suhu dan salinitas merupakan respon terhadap pengaruh Angin Muson, dimana Angin Muson mempengaruhi sirkulasi massa air yang dibawa ASH dan AKS. Fluktuasi antartahunan suhu dan salinitas karena pengaruh IODM positif yang menyebabkan terjadinya upwelling yang intensif di selatan Jawa dan barat Sumatera dimana massa air dari upwelling tersebut ditambah massa air dari utara Australia diduga terbawa oleh AKS ke daerah studi dan pada saat yang bersamaan Jet Wyrtki tidak berkembang sehingga daerah studi tidak mendapat masukan massa air bersuhu relatif tinggi dan bersalinitas relatif tinggi seperti pada waktu normal.

5 VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Oleh: HOLILUDIN C PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

6 Judul Nama NRP : Variabilitas Suhu dan Salinitas di Perairan Barat Sumatera dan Hubungannya dengan Angin Muson dan IODM (Indian Ocean Dipole Mode) : Holiludin : C Menyetujui, Pembimbing Prof. Dr. Ir. Mulia Purba, M.Sc NIP Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP Tanggal Lulus: 16 Maret 2009

7 KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah begitu banyak memberikan rahmat dan pertolongan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Variabilitas Suhu dan Salinitas di Perairan Barat Sumatera dan Hubungannya dengan Angin Muson dan IODM (Indian Ocean Dipole Mode). Penelitian ini merupakan tugas akhir yang dibuat sebagai salah satu syarat memperoleh gelar kesarjanaan. Dalam penyusunannya, penulis mendapat banyak bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Mulia Purba, M.Sc sebagai Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengetahuan. 2. Dr. Ir. John I Pariwono atas masukannya yang berharga. 3. Dr. Ir. Iskhaq Iskandar atas kesediaan membantu dan berdiskusi. 4. Kedua orang tua dan adik yang selalu berdoa dan memberi semangat. 5. Teman-teman FKMC, Forsmile, dan ISC yang telah memberikan dukungan. 6. Teman-teman ITK 41 yang telah memberikan dukungan dan bantuan. 7. Teman-teman (terutama Afid) yang telah sangat membantu. 8. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penelitian ini. Akhir kata, semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Bogor, 13 April 2009 Holiludin DAFTAR ISI

8 Halaman DAFTAR ISI viii DAFTAR GAMBAR x DAFTAR TABEL xii 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Oseanografi Daerah Penelitian Suhu Salinitas Angin IODM (Indian Ocean Dipole Mode) Variabilitas Suhu dan Salinitas di Perairan Barat Sumatera serta Hubungannya dengan Angin Muson dan IODM METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Data Penelitian Data Suhu dan Salinitas Data Angin Data DMI Pengolahan dan Analisis Data Sebaran Temporal Analisis Deret Waktu Spektrum Densitas Energi Korelasi Silang HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Temporal Suhu Sebaran Temporal Salinitas Keterkaitan Sebaran Temporal Suhu dan Salinitas dengan Angin Muson dan IODM Spektrum Densitas Energi Suhu Salinitas Angin Muson IODM Korelasi Silang

9 Suhu dengan Angin Muson Suhu dengan IODM Salinitas dengan Angin Muson Salinitas dengan IODM KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP DAFTAR GAMBAR

10 Halaman 1. Sirkulasi massa air S. Hindia bagian timur bulan Februari dan April (Wyrtki, 1961) Sirkulasi massa air S. Hindia bagian timur bulan Juni dan Agustus (Wyrtki, 1961) Sirkulasi massa air S. Hindia bagian timur bulan Oktober dan Desember (Wyrtki, 1961) Fenomena IODM (Indian Ocean Dipole Mode) Peta lokasi data penelitian Sebaran temporal suhu harian di perairan barat Sumatera Sebaran temporal salinitas harian di perairan barat Sumatera Sebaran temporal parameter fisika, kimia, dan atmosfer di perairan barat Sumatera Spektrum densitas energi suhu kedalaman 1,5 m, 25 m, dan 50 m Spektrum densitas energi suhu kedalaman 75 m, 125 m, dan 150 m Spektrum densitas energi suhu kedalaman 200 m, 250 m, dan 300 m Spektrum densitas energi suhu kedalaman 500 m dan 750 m Spektrum densitas energi salinitas kedalaman 1,5 m, 25 m dan 50 m Spektrum densitas energi salinitas kedalaman 75 m dan 125 m Spektrum densitas energi salinitas kedalaman 150 m dan 250 m Spektrum densitas energi salinitas kedalaman 300 dan 750 m Spektrum densitas energi angin zonal dan angin meridional Spektrum densitas energi IODM Korelasi silang angin zonal dengan suhu kedalaman 1,5 m Korelasi silang angin meridional dengan suhu kedalaman 1,5 m Korelasi silang angin zonal dengan suhu kedalaman 75 m... 74

11 22. Korelasi silang angin meridional dengan suhu kedalaman 75 m Korelasi silang angin zonal dengan suhu kedalaman 125 m Korelasi silang angin meridional dengan suhu kedalaman 125 m Korelasi silang angin zonal dengan suhu kedalaman 750 m Korelasi silang angin meridional dengan suhu kedalaman 750 m Korelasi silang IODM dengan suhu kedalaman 1,5 m Korelasi silang IODMdengan suhu kedalaman 75 m Korelasi silang IODM dengan suhu kedalaman 125 m Korelasi silang angin zonal dengan salinitas kedalaman 1,5 m Korelasi silang angin meridional dengan salinitas kedalaman 1,5 m Korelasi silang angin zonal dengan salinitas kedalaman 75 m Korelasi silang angin meridional dengan salinitas kedalaman 75 m Korelasi silang angin zonal dengan salinitas kedalaman 125 m Korelasi silang angin meridional dengan salinitas kedalaman 125 m Korelasi silang angin zonal dengan salinitas kedalaman 750 m Korelasi silang angin meridional dengan salinitas kedalaman 750 m Korelasi silang IODM dengan salinitas kedalaman 1,5 m Korelasi silang IODM dengan salinitas kedalaman 75 m Korelasi silang IODM dengan salinitas kedalaman 125 m DAFTAR TABEL

12 Halaman 1. Statistika deskriptif suhu air laut di perairan barat Sumatera Statistika deskriptif salinitas air laut di perairan barat Sumatera Periode fluktuasi suhu air laut pada kedalaman 1,5 150 meter di perairan barat Sumatera Periode fluktuasi suhu air laut pada kedalaman meter di perairan barat Sumatera Periode fluktuasi salinitas air laut pada kedalaman 1,5 750 meter di perairan barat Sumatera Korelasi silang Angin Muson dengan suhu di perairan barat Sumatera Korelasi silang IODM dengan Suhu di Perairan Barat Sumatera Korelasi silang Angin Muson dengan salinitas di perairan barat Sumatera Korelasi silang IODM dengan salinitas di perairan barat Sumatera 98

13 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Para ahli berpendapat bahwa Samudera Hindia mempunyai peran yang penting dalam iklim dunia. Samudera Hindia yang terletak di antara benua Asia dan Australia diketahui memiliki fluktuasi intra-seasonal, semi-annual, dan juga annual. Sebelumnya penelitian di Samudera Hindia jauh tertinggal dibandingkan dengan Samudera Pasifik dan Samudera Atlantik (McPhaden et al., 2008). Para ahli mulai banyak meneliti Samudera Hindia setelah pada akhir tahun 1997 hingga awal tahun 1998 terjadi bencana di daerah sekitar Samudera Hindia. Bencananya antara lain adalah banjir besar di Somalia, Uganda, Kenya, dan Sudan. Indonesia pun merasakan dampaknya yaitu pada waktu yang sama terjadi kekeringan yang hebat (Schott et al., 2008). Bencana-bencana ini diduga karena fenomena interannual (antar-tahunan) yang dikenal dengan nama Indian Ocean Dipole Mode (IODM). Perairan barat Sumatera menjadi penting karena termasuk dalam wilayah perairan timur Samudera Hindia. Fenomena IODM terlihat jelas di bagian barat Samudera Hindia dan bagian timur Samudera Hindia. Hal ini menyebabkan perairan barat Sumatera akan menerima dampak langsung terjadinya fenomena IODM dan juga termasuk sebagai salah satu tempat acuan yang digunakan dalam perkiraan terjadinya fenomena IODM. Penelitian-penelitian sebelumnya membuat hubungan antara variabilitas suhu dan IODM telah mulai jelas diketahui namun hubungan antara variabilitas salinitas dan IODM belum banyak diketahui. Padahal salintas diduga memiliki hubungan dengan IODM (Masson et al., 2000 in Thompson et al., 2006) dan juga

14 mempengaruhi suhu di suatu perairan (Thompson et al., 2006). Oleh karena itu diperlukan kajian mengenai variabilitas suhu dan salinitas dan hubungannya dengan Angin Muson dan IODM Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1). Mengkaji variabilitas suhu pada kedalaman 1,5 m, 25 m, 50 m, 75 m, 125 m, 150 m, 200 m, 250 m, 300 m, 500 m, dan 750 m. 2). Mengkaji variabilitas salinitas pada kedalaman 1,5 m, 25 m, 50 m, 75 m, 125 m, 150 m, 250 m, 300 m, 500 m, dan 750 m. 3). Mengkaji hubungan variabilitas suhu dan salinitas dengan Angin Muson dan IODM.

15 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Oseanografi Daerah Penelitian Wyrtki (1961) menyatakan bahwa sirkulasi S. Hindia bagian timur dipengaruhi oleh sistem Angin Muson. Angin Muson yang bertiup sepanjang tahun mempengaruhi kecepatan dan arah arus permukaan laut. Perubahan arah angin yang terjadi sepanjang tahun sesuai dengan musim juga akan mempengaruhi perubahan arah arus permukaan laut di S. Hindia. S. Hindia memiliki pergerakan massa air yang tetap ke arah barat yang dikenal dengan Arus Khatulistiwa Selatan (South Equatorial Current). Arus Khatulistiwa Selatan atau AKS mengalir sepanjang tahun ke arah barat dari posisi geografis (10 0 LS, BT) sampai Laut Madagaskar dan merupakan arus dangkal yang dalamnya kurang dari 200 meter. Tomczak dan Godfrey (1994) menambahkan bahwa kecepatan AKS biasanya kurang dari 0,3 m/s walau dapat mencapai kecepatan 0,5-0,8 m/s pada 5 0 LU LS dan 60 0 BT BT. Perairan barat Sumatera juga dipengaruhi oleh arus kuat yang datang dari arah barat dan dikenal dengan Arus Sakal Khatulistiwa S. Hindia (Equatorial Counter Current). Arus Sakal Khatulistiwa S. Hindia atau ASH bertemu dengan AKS yang berasal dari timur di sekitar barat/barat daya Sumatera. Pada bulan Desember, ASH berada di sekitar ekuator tetapi dapat mencapai wilayah 6 0 LS walaupun kecepatannya tidak sekuat seperti di sekitar ekuator (menurun). Pada bulan Januari dan Februari ketika Angin Muson Barat Laut berkembang, Arus Sakal Khatulistiwa terdesak ke selatan oleh Arus Khatulistiwa Utara (North Equatorial Current) di wilayah antara 3 0 LS dan 5 0 LS. Pada bulan Maret dan April Arus Sakal meningkat dengan cukup besar dan mengalir di antara 3 0 LU - 5 3

16 0 LS (Wyrtki, 1961). Tomczak dan Godfrey (1994) menambahkan bahwa ASH memiliki kecepatan 0,5-0,8 m/s. Schott et al., (2008) menerangkan bahwa pada musim peralihan I dan II di wilayah tropis S. Hindia berkembang Jet Wyrtki (Indian Equatorial Jet) dengan arah ke timur. Jet Wyrtki mempunyai peran yang penting di perairan timur S. Hindia termasuk perairan barat Sumatera, yaitu mengakumulasikan massa air permukaan yang hangat ke timur S. Hindia sehingga memperdalam lapisan tercampur. Tomczak dan Godfrey (1994) berpendapat bahwa Jet Wyrtki juga terlihat pada bulan Juni. Pada awal April hingga Juni kecepatan Jet Wyrtki dapat mencapai 0,7 m/detik atau lebih. Pada musim peralihan II Jet Wyrtki menjadi lebih cepat dan puncaknya pada bulan November dengan kecepatan 1,0 1,3 m/detik. Susanto et al., (2001) menyatakan bahwa pada bulan Juni Oktober terjadi upwelling di sepanjang perairan selatan Jawa hingga barat Sumatera. Proses upwelling ini merupakan respon terhadap siklus Angin Muson. Pada bulan Juni, Angin Muson Tenggara menyebabkan upwelling dan pendangkalan termoklin di perairan Jawa Timur. Upwelling tersebut menyebar ke arah barat sampai ujung Sumatera dan bergerak mendekati ekuator selama bulan Juni sampai Oktober. Wyrtki (1961) mengemukakan bahwa pada bulan Juli hingga Oktober, Angin Muson Timur mendesak AKS hingga ke utara. AKS yang terdesak hingga ke utara pada periode tersebut diduga menyebarkan massa air dingin dan bersalinitas tinggi yang berasal dari upwelling menyebar hingga jauh ke utara. Sirkulasi massa air di wilayah S. Hindia bagian timur disajikan pada Gambar 1,2, dan 3.

17 a) b) Gambar 1. Sirkulasi Massa Air di Samudera Hindia bagian Timur a) Februari b) April (sumber: Wyrtki, 1961)

18 a) b) Gambar 2. Sirkulasi Massa Air di Samudera Hindia bagian Timur a) Juni b) Agustus (sumber: Wyrtki, 1961)

19 a) b) Gambar 3. Sirkulasi Massa Air di Samudera Hindia bagian Timur a) Oktober b) Desember (sumber: Wyrtki, 1961)

20 2.2. Suhu Sverdrup et al., (1942) menyatakan bahwa suhu merupakan salah satu parameter fisik laut yang penting. Hal ini karena suhu secara langsung mempengaruhi laju fotosintesis fitoplankton dan proses fisiologi hewan, terutama metabolisme dan siklus reproduksi. Secara tidak langsung, suhu juga mempengaruhi daya larut oksigen yang digunakan dalam proses respirasi organisme laut. Suhu adalah suatu besaran fisika yang menyatakan jumlah bahang (heat) yang terkandung dalam suatu benda. Suhu air laut terutama di lapisan permukaan sangat dipengaruhi oleh jumlah bahang yang diterima dari sinar matahari. Daerah yang paling banyak menerima bahang sinar matahari adalah daerah pada lintang rendah. Oleh karena itu suhu air laut yang tertinggi ditemukan didaerah ekuator (Weyl, 1967). Hastenrath (1988) menyatakan bahwa suhu air laut terutama dipengaruhi oleh intensitas sinar matahari. Faktor-faktor meteorologi lain yang mempengaruhi suhu air laut antara lain adalah curah hujan, penguapan, suhu udara, kecepatan angin, kelembaban udara, dan keadaan awan. Richard dan Davis (1991) mengatakan bahwa suhu di lautan di dunia berdasarkan kedalaman dibagi menjadi tiga zona, yaitu : 1. Lapisan permukaan (homogeneous layer) yang merefleksikan suhu ratarata tiap lintang, 2. Lapisan termoklin (thermocline layer), 3. Lapisan dalam (deep layer) yang merefleksikan ciri khas asal massa air tiap lintang.

21 Lapisan permukaan atau lapisan tercampur (mixed layer) dapat disebut sebagai lapisan homogen karena terjadi pengadukan massa air oleh angin, arus, dan pasang surut, sehingga terbentuk suhu yang seragam atau homogen. Menurut Ilahude (1999) berdasarkan lapisan kedalaman, stratifikasi suhu di perairan Indonesia terdiri atas: a) Lapisan homogen Pada daerah tropis, pengadukan ini dapat mencapai kedalaman m dengan suhu berkisar C dan gradien tidak lebih dari 0,03 0 C/m. Lapisan ini sangat dipengaruhi oleh musim dan letak geografis. Pada Musim Timur/Tenggara, lapisan ini dapat mencapai m dan bertambah dalam pada saat musim barat, yaitu mencapai m sehingga mempengaruhi sirkulasi vertikal dari perairan. b) Lapisan termoklin Lapisan termoklin dapat dibagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan termoklin atas (main thermocline) dan termoklin bawah (secondary thermocline). Suhu pada lapisan termoklin atas lebih cepat menurun dibandingkan dengan lapisan termoklin bawah, yaitu 27 0 C pada 100 m menjadi 8 0 C pada kedalaman 300 m atau rata-rata penurunan suhu dapat mencapai 9,5 0 C/100 m, sedangkan pada termoklin bawah suhu masih terus turun dari 8 0 C pada 300 m menjadi 4 0 C pada kedalaman 600 m atau rata-rata penurunan mencapai 1,3 0 C/100 m. Gross (1990) menambahkan bahwa pada perairan tropis, lapisan termoklin dapat mencapai ketebalan antara m dengan gradien suhu mencapai 0,1 0 C/m.

22 c) Lapisan dalam Pada lapisan ini suhu turun menjadi sangat lambat dengan gradien suhu hanya mencapai 0,05 0 C/100 m, lapisan ini dapat mencapai kedalaman 2500 m. Pada daerah tropis kisaran suhu di lapisan ini antara C. d) Lapisan dasar Di lapisan ini suhu biasanya tak berubah lagi hingga ke dasar perairan. Pada samudera-samudera berarti dari kedalaman 3000 m sampai 5000 m. Suhu air laut mengalami variasi dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi meteorologis yang mempengaruhi perairan tersebut. Perubahan tersebut dapat terjadi secara harian, musiman, tahunan maupun jangka panjang (puluhan tahun). Variasi harian terutama pada lapisan permukaan. Variasi harian suhu permukaan air laut untuk daerah tropis tidak begitu besar yaitu rata-rata 0,2 0 C 0,3 0 C. Variasi tahunan suhu air laut pada perairan Indonesia tergolong kecil yaitu sekitar 2 o C tetapi masih menunjukkan variasi musiman. Hal ini disebabkan oleh posisi matahari dan massa air dari daerah lintang tinggi. Pada Musim Barat/Barat- Laut pemanasan terjadi di daerah Laut Arafura dan di perairan Pantai Barat Sumatera dengan suhu berkisar antara C. Sementara itu suhu permukaan di Laut Cina Selatan relatif rendah, yaitu C. Pada Musim Timur suhu air laut perairan memperlihatkan hal yang sebaliknya (Soegiarto dan Birowo, 1975) 2.3. Salinitas Salinitas merupakan salah satu satu parameter penting daeri komponen lautan selain suhu. Ross (1970) menyatakan bahwa kisaran salinitas secara umum

23 di laut terbuka berkisar antara psu dengan rata-rat 35 psu. Pada 20 o LU atau 20 o LS (lintang tengah) salinitas permukaan laut mencapai nilai maksimum dan menurun ke arah lintang tinggi dan arah khatulistiwa. Hal ini disebabkan pada lintang tengah evaporasinya tinggi, sedangkan pada lintang tinggi akibat dari pencairan laut es akibatnya air permukaan mengalami penetralan (Stewart, 2003). Ross (1970) membagi sebaran menegak salinitas menjadi beberapa lapisan, yaitu: : 1) lapisan tercampur dengan ketebalan meter dengan salinitas seragam. 2) lapisan haloklin yaitu lapisan dimana salinitas berubah secara ekstrim terhadap kedalaman, 3) lapisan di tengah-tengah dimana salinitas relatif seragam sampai lapisan dalam, dan 4) lapisan pada kedalaman meter dimana terdapat salinitas minimum. Davis (1987) menambahkan bahwa sebaran menegak salinitas mempunyai perbedaaan yang kecil. Kisaran salinitas yang besar hanya terdapat pada lapisan di atas 100 meter sedangkan dibawah itu cenderung seragam. Wyrtki (1961) menyatakan bahwa sebaran salinitas permukaan laut di perairan Indonesia sangat berfluktuasi tergantung struktur geografi, masukan air tawar, curah hujan, penguapan dan sirkulasi massa air. Selain itu perubahan musim juga memegang peranan penting dalam perubahan salinitas permukaan laut di perairan Indonesia. Menurut Rochford (1967), massa air yang terdapat di lapisan permukaan perairan Timur Laut S. Hindia (termasuk perairan barat Sumatera di dalamnya) adalah Massa Air Tropik (Tropical Water) yang dicirikan dengan massa air bersalinitas rendah (< 35,0 psu) dan suhu yang tinggi; dan Massa Air Subtropis (Subtropical Water) yang dicirikan dengan massa air bersalinitas tinggi (> 35,9

24 psu) dan suhu yang rendah. Wyrtki (1961) menyatakan bahwa massa air yang terdapat di perairan barat Sumatera adalah Massa Air Subtropik (Subtropical Lower Water) yang memiliki kisaran salinitas 34,6 36,0 psu dengan core layer pada kedalaman antara 50 dan 100 m; Massa Air Teluk Persia (Persian Gulf Water) yang memiliki kisaran salinitas 34,6 35,1 psu dengan core layer pada kedalaman antara 200 dan 300 m; Massa air Laut Merah (Red Sea Water) yang memiliki kisaran salinitas 34,6 35,0 psu dengan core layer pada kedalaman antara 600 m dan 800 m; Massa Air Laut Banda 34,5 34,9 psu dengan core layer pada kedalaman 900 m 2.4. Angin Angin mempunyai peran yang besar dalam proses interaksi lautan dan atmosfer. Angin merupakan massa udara yang bergerak dari tempat yang bertekanan tinggi ke tempat yang bertekanan rendah untuk menuju suatu keseimbangan. Kekuatan angin sebanding dengan perbedaan tekanan udara pada suatu tempat tertentu (Hasse dan Dobson, 1986). Pariwono dan Manan (1990) menambahkan gerak angin ditentukan oleh faktor lainnya seperti pengaruh rotasi bumi dan gaya gesek (frictional process). Sistem angin yang paling berpengaruh di Indonesia adalah Angin Muson (Monsoon Wind). Hal ini karena Indonesia terletak di antara Benua Asia dan Australia. Angin Muson di atas perairan Indonesia mengalami dua kali pembalikan arah dalam setahun. Keadaan tersebut menyebabkan musim di wilayah Indonesia dibagi berdasarkan arah Angin Muson bertiup, yaitu Angin Muson Tenggara dan Angin Muson Barat Laut. Meskipun demikian, pembagian ini lebih dikenal di Indonesia dengan empat musim yang berbeda, yaitu Musim

25 Barat/Barat Laut (Desember-Maret), Musim Timur/Tenggara (Juni-Agustus), Musim Peralihan I (April-Mei), dan Musim Peralihan II (Oktober-November) (Wyrtki, 1961). 1). Musim Barat/Barat-Laut (Desember- Februari) Pada Musim Barat/Barat-Laut matahari berada di belahan bumi selatan sehingga belahan bumi selatan menerima lebih banyak penyinaran matahari daripada belahan bumi utara. Hal ini menyebabkan pusat tekanan tinggi berada diatas benua Asia sedangkan pusat tekanan rendah berada di atas benua Australia. Pada periode ini di perairan barat Sumatera Angin Muson bertiup dari barat laut menuju tenggara. 2). Musim Timur/Tenggara (Juni Agustus) Pada Musim Timur/Tenggara dimana matahari berada di belahan bumi utara, benua Asia mengalami pemanasan yang lebih intensif sehingga menjadi pusat tekanan rendah sedangkan benua Australia terbentuk pusat tekanan tinggi. Hal ini menyebabkan pada periode ini di perairan barat Sumatera angin bertiup dari tenggara menuju barat laut. 3). Musim Peralihan (Maret- Mei dan September - November) Pada periode ini matahari bergerak melintasi khatulistiwa sehingga angin menjadi lemah dan arahnya tidak menentu. Periode Maret - Mei dikenal dengan Musim Peralihan I sedangkan periode September November dikenal dengan Musim Peralihan II Indian Ocean Dipole Mode (IODM) Indian Ocean Dipole Mode (IODM) merupakan suatu fenomena di S. Hindia yang disebabkan karena terbentuknya dua kutub anomali SPL (suhu

26 permukaan laut) di perairan barat Sumatera (perairan timur S. Hindia) dan perairan Pantai Afrika bagian timur (perairan barat S. Hindia). Fenomena IODM positif ditandai dengan terjadinya SPL yang sangat rendah di perairan barat Sumatera dan pada saat yang bersamaan SPL yang sangat tinggi perairan Pantai Afrika bagian timur. Pada fenomena IODM negatif terjadi hal yang sebaliknya walaupun intensitasnya tidak sekuat pada fenomena IODM positif (Saji et al., 1999). Fenomena IODM positif dan IODM negatif ditampilkan pada Gambar 4. Saji et al., (1999) menyatakan bahwa fenomena IODM dapat diidentifikasi dengan menggunakan Dipole Mode Index (DMI). Indeks ini menggambarkan perbedaan anomali SPL antara perairan barat S. Hindia (50 0 BT 70 0 BT, 10 0 LS LU) dan perairan timur S. Hindia (90 0 BT BT, 10 0 LS 0 0 LU). Nilai DMI yang ekstrim positif atau ekstrim negatif merupakan indikasi terjadinya fenomena IODM. Selama berlangsungnya IODM, terbentuknya dua kutub SPL di S. Hindia menyebabkan angin permukaan yang bertiup diatas S. Hindia mengalami perubahan besar terutama komponen zonal pada daerah ekuator. Perubahan angin zonal yang paling besar terjadi di bagian tengah dan timur ekuatorial S. Hindia. Pada saat terjadi IODM positif, angin zonal bertiup kencang dari arah timur sedangkan pada IODM negatif terjadi hal yang sebaliknya walaupun tidak sekuat pada IODM positif. Sistem IODM dan anomali angin zonal tersebut saling mempengaruhi satu sama lain (Saji dan Yamagata, 2001 in Farita, 2006). Selain itu, Vinayachandran et al., (2002) menambahkan IODM positif juga ditandai dengan pendangkalan lapisan termoklin di S. Hindia bagian timur sedangkan di S. Hindia bagian barat menjadi lebih dalam. Pada IODM negatif terjadi hal yang

27 a) b) Gambar 4. Fenomena IODM (Indian Ocean Dipole Mode) a) IODM positif b) IODM negatif (sumber sebaliknya walau intensitasnya tak sekuat pada IODM positif (Thompson et al., 2006). Dampak IODM terutama dirasakan oleh negara-negara yang terletak di pinggir S. Hindia. Selama berlangsungnya IODM positif, terdapat dua pola cuaca. Pola yang pertama adalah meningkatnya suhu di atas daratan dan curah hujan di tepi barat S. Hindia sedangkan di tepi timur terjadi hal yang sebaliknya. Pola kedua adalah ditemukannya peningkatan curah hujan di daerah muson Asia, dari Pakistan hingga Cina selatan. Pengaruh IODM juga dirasakan di negara-negara yang jauh dari S. Hindia. IODM positif mempunyai korelasi terhadap anomali suhu permukaan daratan Asia yang lebih hangat dan curah hujan yang menurun di Eropa, Asia Timur jauh, Afrika Selatan dan Amerika (Saji dan Yamagata, 2003). Murtugudde et al., (1999) menyatakan bahwa IODM positif mempengaruhi produktivitas primer di lepas pantai barat Sumatera dengan cara mengubah pola upwelling (penaikan massa air).

28 2.6. Variabilitas Suhu dan Salinitas di Perairan Barat Sumatera serta Kaitannya dengan Angin Muson dan IODM Suhu dan salinitas memiliki variabilitas setengah-tahunan dan tahunan karena pengaruh Angin Muson. Variasi setengah-tahunan ini terjadi dengan adanya Jet Wyrtki yang datang dua kali dalam setahun yaitu pada musim-musim peralihan (Sprintal et al., 2000 dan Hase et al., 2007). Variasi tahunan berkaitan dengan proses upwelling atau penaikan massa air yang terjadi pada musim Timur. Angin Muson Timur yang kuat menyebabkan terjadinya upwelling di selatan Jawa (Susanto et al., 2001). Massa air yang dingin dan bersalinitas tinggi karena terjadinya upwelling ini terbawa oleh Arus Khatulistiwa Selatan (AKS) yang bergerak melewati perairan barat Sumatera terdorong hingga ke utara oleh Angin Muson Timur yang bertiup dengan kuat pada musim Timur. Suhu dan salinitas di perairan timur Samudera Hindia termasuk perairan barat Sumatera juga memiliki variasi antar-tahunan yang disebabkan oleh IODM. Pada saat IODM positif, suhu menurun drastis dan salinitas menurun serta stratifikasi salinitas melemah karena adanya angin kuat dari arah timur yang menekan Jet Wyrtki. Pada saat IODM negatif terjadi sebaliknya walaupun tidak sekuat pada saat IODM positif (Thompson et al., 2006). Selain itu, adanya anomali angin kuat dari timur ini diduga menyebabkan upwelling yang intensif di selatan Jawa dan barat Sumatera. Anomali angin ini juga menyebabkan AKS berkembang dengan baik sehingga dapat membawa massa air yang berasal dari upwelling ini ke daerah penelitian.

29 3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Kegiatan penelitian seluruhnya berupa pengolahan dan analisis data dengan mengambil lokasi di perairan barat Sumatera pada posisi geografis 5 o LS dan 95 o BT untuk data suhu dan salinitas dan pada 4,76 o LS dan 95,63 o BT untuk data angin. Pengolahan dan analisis data dilakukan pada bulan September 2008 sampai Desember 2008 di Laboratorium Oseanografi, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor Data Penelitian Penelitian ini menggunakan empat jenis data, yaitu data suhu air laut, data salinitas air laut, data angin, dan data Dipole Mode Index (DMI) Data Suhu dan Salinitas Data suhu dan salinitas yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil dari program Tropical Ocean Climate Study (TOCS), kerjasama antara JAMSTEC (Japan Marine-Earth Science and Technology Center) dan BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dalam rangka memantau kondisi meteorologi dan oseanografi di wilayah S. Pasifik dan S.Hindia, termasuk di perairan Indonesia. Pemantauan tersebut dilakukan secara terus-menerus dengan menempatkan beberapa pelampung pengamat Triton pada koordinat tertentu. Data suhu dan salinitas yang digunakan pada penelitian ini adalah data suhu dan salinitas air laut pada periode 9 Juli Februari 2008 dari pelampung pengamat Triton yang terletak pada koordinat 5 o LS dan 95 o BT. Data

30 Gambar 5. Peta Lokasi Data Penelitian ini diperoleh dari situs JAMSTEC ( yang dikunjungi pada tanggal 6 September Peta lokasi pengambilan data suhu dan salinitas ditampilkan pada Gambar 5. Data yang direkam oleh pelampung pengamat Triton adalah data dengan interval waktu 10 menit yang kemudian dirata-ratakan per 1 jam, selanjutnya ditransmisikan dari pelampung pengamat Triton melalui satelit ARGOS. Data tersebut kemudian langsung didistribusikan oleh GTS (Global Telecomunication System) dari pusat pemrosesan global ARGOS, Perancis untuk digunakan oleh badan meteorology atau institusi untuk mengamati kondisi oesanografi, peramalan cuaca, dan lainnya. Data diterima di JAMSTEC, Jepang untuk memeriksa kualitas data tiap hari dan data yang sahih (valid) di kirim ke PMEL (Pacific Marine Enviromental Laboratory). Prosedur tersebut dilakukan secara

31 menyeluruh melalui Sistem Manajemen Data TRITON. Setelah menerima data dari TRITON, PMEL mengintegrasikan dengan data TAO (Tropical Atmosphere Ocean). Selanjutnya JAMSTEC dan PMEL mendistibusikan data melalui internet ( Data Angin Data angin diperoleh pada tanggal 25 Oktober 2008 dari program NCEP/NCAR Reanalysis 1, badan riset NOAA-CDC yang diperoleh melalui internet ( Data angin pada NOAA-CDC adalah hasil kombinasi data angin dari tahun 1948 sampai sekarang yang sudah dianalisis ulang. Data angin pada NOAA-CDC merupakan data kecepatan angin 10 meter diatas permukaan laut yang terdiri dari komponen barat-timur atau zonal (u) dan utara-selatan atau meridional (v). Data ini telah mengalami pengolahan sebelumnya sehingga menghasilkan data tiap 6 jam, dan ada juga yang telah dirata-ratakan menjadi data harian. Data ini memiliki resolusi spasial 2,5 o Lintang dan 2,5 o Bujur. Data angin yang digunakan pada penelitian ini adalah data kecepatan angin yang telah dirata-ratakan menjadi data kecepatan angin harian dari tanggal 9 Juli 2004 sampai 11 Februari Data yang diperoleh masih berupa data kecepatan angin komponen zonal/barat-timur (u) dan meridional/utara-selatan (v) sehingga harus diolah untuk mencari besar dan arah angin harian resultan. Data angin yang digunakan adalah data kecepatan angin pada posisi geografis 4,76 o LS dan 95,63 o BT. Peta lokasi data angin yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 5.

32 Data DMI Data DMI periode 9 Juli 2004 sampai 11 Februari 2008 diperoleh pada tanggal 1 November 2008 dari JAMSTEC ( Perhitungan DMI dilakukan oleh JAMSTEC dengan menggunakan metode rekonstruksi SPL IGOSS. Pertama-tama, nilai SPL rata-rata mingguan dari dua area berikut dicari terlebih dahulu: 1) Barat, yaitu : 50 o BT 75 o BT/10 o LS 10 o LU; dan 2) Timur, yaitu : 90 o BT o BT/10 o LS 0 o LU. Selanjutnya, dicari data deret waktu anomali SPL untuk masing-masing area. Setelah itu data anomali SPL area barat dikurangi dengan data anomali SPL area timur sehingga didapatkan nilai DMI dengan resolusi temporal mingguan Pengolahan dan Analisis Data Sebaran Temporal Data suhu dan salinitas air laut yang digunakan telah dikalibrasi oleh operator tetapi belum terkoreksi. Data suhu dan salinitas air laut harian kemudian disusun dan dikelompokkan dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel. Sebaran temporal vertikal suhu kedalaman 1,5 meter, 25 meter, 50 meter, 75 meter, 125 meter, 150 meter, 200 meter, 250 meter, 300 meter, 500 meter, dan 750 meter kemudian ditampilkan dengan menggunakan perangkat lunak MATLAB Sebaran temporal vertikal salinitas kedalaman 1,5 meter, 25 meter, 50 meter, 75 meter, 125 meter, 150 meter, 250 meter, 300 meter, 500 meter, dan 750 meter kemudian juga ditampilkan dengan menggunakan perangkat lunak MATLAB Sebaran temporal salinitas kedalaman 200 meter tak ditampilkan karena data yang ada tidak memungkinkan (data kurang mencukupi). Selain itu

33 juga dibuat sebaran temporal suhu dan salinitas menurut kedalaman mengunakan perangkat lunak Ocean Data View mp. Untuk menganalisis keterkatan antara sebaran temporal vertikal suhu dan salinitas dengan fluktuasi angin dan DMI, data deret waktu dari kedua parameter tersebut ditampilkan dalam bentuk domain waktu (time domain). Data angin yang diperoleh dari situs NOAA-CDC berada dalam format NetCDF. Data tersebut kemudian dibuka terlebih dengan dahulu menggunakan perangkat lunak Ocean Data View mp. Data ini memiliki resolusi temporal harian, oleh karena itu untuk mendapatkan sebaran temporal angin mingguan ratarata seluruh data baik komponen zonal (barat-timur) maupun meridional (utaraselatan) harus diubah menjadi rataan mingguan dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel. Rataan mingguan didapatkan dengan cara merata-ratakan tujuh buah data angin harian. Data rataan mingguan tersebut kemudian ditampilkan dalam bentuk diagram stickplot dengan menggunakan perangkat lunak Surfer 8.0. Data DMI mingguan ditampilkan dalam bentuk domain waktu dengan menggunakan perangkat lunak MATLAB Analisis Deret Waktu Spektrum Densitas Energi Spektrum densitas energi digunakan untuk mengetahui periode fluktuasi dan nilai densitas energi parameter suhu, salinitas, angin, dan DMI dengan menggunakan perangkat lunak Statistica 6.0. Spektrum densitas energi suhu dan salinitas dicari untuk kedalaman 1,5 meter, 25 meter, 50 meter, 75 meter, 125 meter, 150 meter, 200 meter, 250 meter, 300 meter, 500 meter, dan 750 meter. Spektrum densitas energi salinitas untuk kedalaman 200 meter dan 500 meterr

34 tidak dapat dicari karena data yang ada tidak memungkinkan/ kurang mencukupi (data salinitas kedalaman 200 meter) dan akurasi yang rendah (data salinitas kedalaman 500 meter). Data deret waktu suhu, salinitas, angin, dan DMI terlebih dahulu diubah dari domain waktu menjadi domain frekuensi (frequency domain). Pengubahan tersebut dilakukan untuk mendapatkan komponen Fourier X(f k ) dengan menggunakan metode Fast Fourier Transform (FFT) yang diberikan oleh (Bendat dan Piersol, 1971) : X(f k ) = h N 1 x n n= 0 i2πkt exp N... (1) Dimana : N = jumlah data h = beda waktu pengambilan data (h = 1,2,3,4,5, N-1) i = 1 (bilangan imajiner) f k = menunjukkan frekuensi ke-k (1 k N) Maka dari metode FFT tersebut dapat diketahui nilai spektrum densitas energinya dengan menggunakan rumus : 2h 2 S x (f k ) = [ X ( f k )]...(2) N Dimana : S x (f k ) = fungsi spektrum pada frekuensi ke-k (f k ) Korelasi Silang Korelasi silang digunakan untuk melihat apakah ada hubungan antara fluktuasi kedua parameter. Analisis korelasi silang dilakukan empat kali, yaitu antara parameter suhu dengan komponen angin zonal dan meridional, antara

35 parameter salinitas dengan komponen angin zonal dan meridional, antara parameter suhu dengan DMI, dan antara parameter salinitas dengan DMI. Pada analisis korelasi silang ini, komponen angin dan DMI dianggap sebagai parameter yang mempengaruhi (x) sedangkan suhu dan salinitas dianggap sebagai parameter yang dipengaruhi (y). Penghitungan nilai spektrum korelasi silang hanya dapat dilakukan pada beberapa pasang kelompok data yang mempunyai selang waktu perekaman yang sama. Oleh karena itu, pada korelasi silang antara DMI dengan suhu dan antara DMI dengan salinitas, selang waktu data suhu dan salinitas (harian) diubah terlebih dahulu menjadi rataan mingguan. Korelasi silang antara suhu dengan angin menggunakan data angin harian dan suhu harian kedalaman 1,5 m untuk mewakili lapisan tercampur, kedalaman 75 dan 125 m untuk mewakili lapisan termoklin dan kedalaman 750 m untuk mewakili lapisan dalam. Data suhu tersedia pada kedalaman 1,5 m dan 25 m. Akan tetapi lapisan tercampur diwakili kedalaman 1,5 m karena bila angin lemah, sering lapisan tercampur tidak sampai kedalaman 25 m (Purba, 2009, komunikasi pribadi). Korelasi silang antara DMI dengan suhu mingguan juga menggunakan kedalaman yang sama untuk mewakili lapisan tercampur dan termoklin. Korelasi silang antara DMI dan suhu pada lapisan dalam (750 meter) tidak dilakukan karena diasumsikan bahwa pengaruh DMI tidak mencapai kedalaman 750 meter. Korelasi silang antara salinitas dengan angin menggunakan data angin harian dan salinitas harian kedalaman 1,5 m untuk mewakili lapisan tercampur, kedalaman 75 dan 125 m untuk mewakili lapisan haloklin dan kedalaman 750 m untuk mewakili lapisan dalam. Korelasi silang antara DMI dengan salinitas juga menggunakan kedalaman yang sama untuk mewakili lapisan tercampur dan

36 haloklin. Korelasi silang antara DMI dan salinitas pada lapisan dalam (750 m) tidak dilakukan karena dianggap pengaruh DMI tidak mencapai lapisan ini. Analisis korelasi silang terdiri dari kospektrum densitas energi, koherensi kuadrat, dan beda fase. Kospektrum densitas energi menggambarkan periode fluktuasi kedua parameter yang bersamaan. Apabila parameter x mempengaruhi parameter y, maka keduanya akan menunjukkan periode fluktuasi yang sama. Hubungan yang kuat antara kedua parameter tersebut ditunjukkan oleh nilai koherensi yang tinggi. Sebaliknya, nilai koherensi yang rendah menunjukkan hubungan yang tidak kuat. Beda fase menunjukkan perbedaan waktu antara parameter yang pertama kali berfluktuasi dan fluktuasi parameter yang mengikutinya. Beda fase positif menunjukkan bahwa fluktuasi parameter x mendahului fluktuasi parameter y, sedangkan beda fase negatif menunjukkan yang sebaliknya. Kospektrum densitas energi (S xy (f k )) harus dihitung terlebih dahulu dari dua pasang data deret waktu x t dan y t yang dicatat dalam setiap selang waktu h dengan menggunakan rumus (Bendat dan Peirsol, 1971): 2h S xy (f k ) = X ( f k ). Y ( f k ) N... (3) Dimana : f k = k/nh, k= 0, 1, 2,..., N-1 X (f k ) Y (f k ) = komponen Fourier dari x t = komponen Fourier dari y t Fungsi koherensi kuadrat (γ 2 xy(fk)) ditentukan dengan rumus (Bendat dan Peirsol, 1971):

37 γ 2 xy(fk) = x S xy S ( f k ( f ) S k y ) 2 ( f k )...(4) Dimana : S x (f k ) = densitas spektrum energi dari X S y (f k ) = densitas spektrum energi dari Y ( f k ( f k ) ) Nilai beda fase ditentukan dengan menggunakan rumus : θ xy (f k )= Q ( ) 1 xy f k tg...(5) C xy ( f k ) Dimana : Q xy (f k ) = bagian imajiner dari S xy (f k ) C xy (f k ) = bagian nyata dari S xy (f k ) Satuan beda fase pada program Statistica 6.0 adalah tan -1 sehingga satuan tersebut harus diubah menjadi satuan waktu (hari atau minggu) dengan rumus: beda fase = arctgθ xy ( f k ) 360 x periode fluktuasi (hari atau minggu)

38 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sebaran Temporal Suhu Sebaran temporal suhu air laut di perairan Barat Sumatera pada periode Juli Februari 2008 disajikan pada Gambar 6. Pada gambar tersebut terlihat adanya stratifikasi suhu yang jelas. Lapisan tercampur (lapisan homogen) diwakili oleh isoterm 28 o C, 29 o C, dan 30 o C. Untuk menentukan lapisan termoklin, diambil acuan tahun 2005 karena suhu pada tahun tersebut menunjukkan stratifikasi yang jelas. Lapisan termoklin diwakili oleh batas isoterm 27 o C pada bagian atas dan isoterm 14 o C pada bagian bawah. Lapisan dalam diwakili oleh isoterm yang berada di bawah batas bawah lapisan termoklin, yaitu isoterm antara 8 o C 13 o C. Gambar 6a menunjukkan suhu lapisan tercampur yang relatif tinggi terdapat pada periode Muson Barat Laut (Desember Maret) dan mencapai puncaknya pada bulan Februari Maret. Fenomena ini terlihat pada tahun 2005, 2006, 2007, dan Suhu lapisan tercampur yang relatif tinggi juga terdapat pada puncak Musim Peralihan I (April-Mei) hingga Juni tahun 2005, 2006, dan Pada Muson Tenggara, suhu lapisan tercampur terlihat rendah yang terdapat pada Agustus - Oktober tahun 2004 dan 2005, September Oktober tahun 2006, dan Juli-Oktober Pada puncak Musim Peralihan II (November 2004 dan 2005) suhu lapisan tercampur kembali terlihat relatif tinggi. Suhu lapisan tercampur pada bulan November 2006 dan 2007 terlihat relatif rendah dibanding tahun-tahun lainnya. Pada periode yang sama di tahun 2004 dan 2005 suhu relatif tinggi.

39 a) b) Gambar 6. Sebaran Temporal Suhu Harian di Perairan Barat Sumatera periode Juli Februari 2008 a) Sebaran Temporal Suhu Harian berdasarkan Kedalaman b) Sebaran Temporal Suhu Harian per Kedalaman

40 Gambar 6a memperlihatkan bahwa pada Musim Peralihan I dan Musim Peralihan II lapisan tercampur terlihat lebih dalam dibandingkan pada Muson Barat Laut. Pada Muson Tenggara, lapisan tercampur terlihat lebih tipis dan pada saat yang bersamaan lapisan termoklin menjadi lebih dangkal dan lebih tebal. Pada periode September November 2006 lapisan tercampur terlihat jauh lebih tipis dibandingkan tahun-tahun lainnya pada periode yang sama. Pada saat yang bersamaan juga terlihat pendangkalan lapisan termoklin yang jauh lebih dangkal dan intensif dengan batas atas termoklin kurang dari 50 m dan batas bawah termoklin maksimal 150 m. Nilai maksimum, minimum, rataan, dan standar deviasi suhu pada masingmasing kedalaman disajikan pada Tabel 1. Standar deviasi suhu memperlihatkan urutan nilai standar deviasi terbesar hingga terkecil secara berturut-turut terdapat pada lapisan termoklin, tercampur, dan dalam. Seperti terlihat pada Gambar 6, hal ini menunjukkan bahwa keragaman nilai suhu (fluktuasi suhu) terbesar hingga terkecil secara berturut-turut adalah lapisan termoklin, tercampur, dan dalam. Tabel 1. Statistika Deskriptif Suhu Air Laut di Perairan Barat Daya Sumatera periode Juli 2004 Februari 2008 Kedalaman Suhu ( o C) (m) min maks Rata-rata st. deviasi 1,5 26,18 31,05 28,86 0, ,09 30,40 28,71 0, ,26 29,92 28,12 1, ,46 29,17 25,89 1, ,83 26,48 18,52 2, ,85 22,18 15,55 1, ,89 15,74 12,81 0, ,12 12,99 11,83 0, ,35 12,06 11,20 0, ,75 9,81 9,35 0, ,09 8,12 7,58 0,17

41 Gambar 6b memperlihatkan fluktuasi suhu yang terjadi pada tiap kedalaman. Berdasarkan Gambar 6 dengan menggunakan acuan pada tahun 2005, terlihat bahwa suhu kedalaman 1,5 m hingga 50 m termasuk dalam lapisan tercampur; kedalaman 75 m hingga 150 m termasuk dalam lapisan termoklin; sedangkan kedalaman 200 m hingga 750 m termasuk dalam lapisan dalam. Suhu lapisan tercampur yang relatif tinggi terdapat pada periode Desember - Maret dan mencapai puncaknya pada bulan Februari Maret. Fenomena ini terlihat pada tahun 2005, 2006, 2007, dan Suhu yang relatif tinggi ini diduga akibat pengaruh ASH (Arus Sakal Samudera Hindia/Equatorial Counter Current). Seperti telah dijelaskan sebelumnya, ASH merupakan arus besar yang datang dari arah barat Sumatera dan melewati daerah penelitian pada bulan Desember April. ASH yang bergerak sepanjang ekuator dalam perjalanannya mendapatkan penyinaran matahari yang tinggi dan terus menerus sehingga membawa massa air bersuhu tinggi (Wyrtki, 1961). Rochford (1962) in Najid (1999) menjelaskan bahwa ASH membawa massa air dengan suhu yang relatif tinggi (28,7 0 C). Suhu lapisan tercampur yang relatif tinggi juga terdapat pada puncak Musim Peralihan I (April-Mei) hingga Juni tahun 2005, 2006, dan Hal ini diduga diakibatkan oleh Jet Wyrtki yang biasanya berkembang pada musimmusim peralihan. Suhu lapisan tercampur yang rendah terlihat pada Agustus - Oktober tahun 2004 dan 2005, September Oktober tahun 2006, dan Juli-Oktober Hal ini diduga karena terjadi pengaruh massa air dingin yang berasal dari upwelling di sekitar perairan barat Sumatera dan selatan Jawa dan massa air

42 dingin dari bagian utara Australia yang mengalir bersama AKS. Susanto et al., (2001) menyatakan bahwa upwelling yang terjadi di sepanjang pantai selatan Jawa hingga barat Sumatera terjadi pada bulan Juni Oktober. Wyrtki (1961) mengemukakan bahwa pada bulan Juli hingga Oktober, Angin Muson Tenggara mendesak AKS hingga ke utara. AKS yang terdesak hingga ke utara pada periode tersebut diduga menyebarkan massa air dingin yang berasal dari upwelling ditambah massa air dingin dari bagian utara Australia hingga jauh ke daerah penelitian. Selain itu juga pada saat yang bersamaan ditandai dengan DMI positif yang mencapai puncaknya pada bulan September Oktober yang berarti fenomena IODM positif sedang berlangsung. Fenomena ini menyebabkan naiknya lapisan termoklin di S. Hindia bagian timur sehingga lapisan tercampur menjadi lebih tipis dan lapisan termoklin menjadi lebih dangkal (Vinayachandran et al., 2002). Suhu lapisan tercampur pada bulan November 2006 dan 2007 terlihat relatif rendah dibanding tahun-tahun lainnya. Pada periode yang sama tahun 2004 dan 2005 suhu relatif tinggi. Hal ini karena pada kedua periode tersebut terjadi karena pengaruh IODM positif. Pada fenomena IODM positif, Jet Wyrtki tertekan. Anomali angin yang berkembang kuat menuju arah barat (easterly wind) menekan Jet Wyrtki yang bergerak dari arah barat sehingga membuat Jet Wyrtki tidak berkembang. Selain itu, adanya anomali angin ke arah barat tersebut membuat upwelling di sekitar pantai barat Sumatera dan selatan Jawa semakin intensif. AKS diduga membawa massa air dingin tersebut dan massa air dari utara Australia sehingga suhu di perairan barat Sumatera menjadi lebih dingin.

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE)

VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) VARIABILITAS SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN HUBUNGANNYA DENGAN ANGIN MUSON DAN IODM (INDIAN OCEAN DIPOLE MODE) Oleh : HOLILUDIN C64104069 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

VARIABILITAS ARUS, SUHU, DAN ANGIN DI PERAIRAN BARAT SUMATERA SERTA INTER-RELASINYA DENGAN INDIAN OCEAN DIPOLE MODE

VARIABILITAS ARUS, SUHU, DAN ANGIN DI PERAIRAN BARAT SUMATERA SERTA INTER-RELASINYA DENGAN INDIAN OCEAN DIPOLE MODE VARIABILITAS ARUS, SUHU, DAN ANGIN DI PERAIRAN BARAT SUMATERA SERTA INTER-RELASINYA DENGAN INDIAN OCEAN DIPOLE MODE (IODM) DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO) ASYARI ADISAPUTRA SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika 4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Angin Di perairan barat Sumatera, khususnya pada daerah sekitar 2, o LS hampir sepanjang tahun kecepatan angin bulanan rata-rata terlihat lemah dan berada pada kisaran,76 4,1

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu Permukaan Laut (SPL) Suhu menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu benda. Secara alamiah sumber utama bahang dalam air laut adalah matahari. Daerah yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi 2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter (Lampiran 1). Begitu

Lebih terperinci

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT)

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT) KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT) Oleh: Ince Mochammad Arief Akbar C64102063 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

PERAMBATAN GELOMBANG ROSSBY DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA MENGGUNAKAN METODE WAVELET

PERAMBATAN GELOMBANG ROSSBY DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA MENGGUNAKAN METODE WAVELET PERAMBATAN GELOMBANG ROSSBY DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA MENGGUNAKAN METODE WAVELET RIESNI FITRIANI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arus Eddy Penelitian mengenai arus eddy pertama kali dilakukan pada sekitar tahun 1930 oleh Iselin dengan mengidentifikasi eddy Gulf Stream dari data hidrografi, serta penelitian

Lebih terperinci

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar BAB II Tinjauan Pustaka II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar Matsumoto dan Yamagata (1996) dalam penelitiannya berdasarkan Ocean Circulation General Model (OGCM) menunjukkan adanya variabilitas

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. Kondisi Umum Perairan Selatan Jawa Perairan Selatan Jawa merupakan perairan Indonesia yang terletak di selatan Pulau Jawa yang berhubungan secara langsung dengan Samudera Hindia.

Lebih terperinci

Physics Communication

Physics Communication Phys. Comm. 1 (1) (2017) Physics Communication http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pc Analisis kondisi suhu dan salinitas perairan barat Sumatera menggunakan data Argo Float Lita Juniarti 1, Muh.

Lebih terperinci

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221)

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu, Cahaya dan Warna Laut Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221) Suhu Bersama dengan salinitas dan densitas, suhu merupakan sifat air laut yang penting dan mempengaruhi pergerakan masa air di laut

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai SUHU DAN SALINITAS. Oleh. Nama : NIM :

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai SUHU DAN SALINITAS. Oleh. Nama : NIM : Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. 2. 3. Nilai SUHU DAN SALINITAS Nama : NIM : Oleh JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA 2015 MODUL 3. SUHU DAN SALINITAS

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Konsentrasi klorofil-a suatu perairan sangat tergantung pada ketersediaan nutrien dan intensitas cahaya matahari. Bila nutrien dan intensitas cahaya matahari cukup tersedia,

Lebih terperinci

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut Oleh : Martono, Halimurrahman, Rudy Komarudin, Syarief, Slamet Priyanto dan Dita Nugraha Interaksi laut-atmosfer mempunyai peranan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK OSEANOGRAFI FISIK DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TIMUR PADA SAAT FENOMENA INDIAN OCEAN DIPOLE

KARAKTERISTIK OSEANOGRAFI FISIK DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TIMUR PADA SAAT FENOMENA INDIAN OCEAN DIPOLE KARAKTERISTIK OSEANOGRAFI FISIK DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TIMUR PADA SAAT FENOMENA INDIAN OCEAN DIPOLE (IOD) FASE POSITIF TAHUN 1994/1995, 1997/1998 dan 2006/2007 PRAMUDYO DIPO HADINOTO SKRIPSI DEPARTEMEN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan iklim global sekitar 3 4 juta tahun yang lalu telah mempengaruhi evolusi hominidis melalui pengeringan di Afrika dan mungkin pertanda zaman es pleistosin kira-kira

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan METODE PENELITIAN Lokasi Penelitan Penelitian ini dilakukan pada perairan barat Sumatera dan selatan Jawa - Sumbawa yang merupakan bagian dari perairan timur laut Samudera Hindia. Batas perairan yang diamati

Lebih terperinci

DINAMIKA MASSA AIR DI PERAIRAN TROPIS PASIFIK BAGIAN BARAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERUBAHAN MUSIM DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION

DINAMIKA MASSA AIR DI PERAIRAN TROPIS PASIFIK BAGIAN BARAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERUBAHAN MUSIM DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION DINAMIKA MASSA AIR DI PERAIRAN TROPIS PASIFIK BAGIAN BARAT DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERUBAHAN MUSIM DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION Oleh : SEPTINA PAPILAYA K.L C64103024 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA 2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA Pendahuluan LCSI terbentang dari ekuator hingga ujung Peninsula di Indo-Cina. Berdasarkan batimetri, kedalaman maksimum perairannya 200 m dan

Lebih terperinci

Musim Hujan. Musim Kemarau

Musim Hujan. Musim Kemarau mm IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Analisis Data Curah hujan Data curah hujan yang digunakan pada penelitian ini adalah wilayah Lampung, Pontianak, Banjarbaru dan Indramayu. Selanjutnya pada masing-masing wilayah

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR Oleh : Agus Dwi Jayanti Diah Cahyaningrum C64104051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b a Program Studi Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura, b Program Studi Ilmu

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 7 d) phase spectrum, dengan persamaan matematis: e) coherency, dengan persamaan matematis: f) gain spektrum, dengan persamaan matematis: IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Geografis dan Cuaca Kototabang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan dan pengelolaan sumber daya air (Haile et al., 2009).

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan dan pengelolaan sumber daya air (Haile et al., 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hujan merupakan salah satu sumber ketersedian air untuk kehidupan di permukaan Bumi (Shoji dan Kitaura, 2006) dan dapat dijadikan sebagai dasar dalam penilaian, perencanaan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP PROPINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas berkat dan rahmat Nya kami dapat menyusun laporan dan laporan Prakiraan Musim Kemarau 2016 di wilayah Propinsi Banten

Lebih terperinci

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas 2.3 suhu 2.3.1 Pengertian Suhu Suhu merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan organisme di lautan. Suhu mempengaruhi aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme-organisme tersebut.

Lebih terperinci

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 3, No. 2, Hal , Desember 2011

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 3, No. 2, Hal , Desember 2011 Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 3, No. 2, Hal. 71-84, Desember 2011 KARAKTERISTIK OSEANOGRAFI FISIK DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TIMUR PADA SAAT FENOMENA INDIAN OCEAN DIPOLE (IOD) FASE POSITIF

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

KARAKTER FISIK OSEANOGRAFI DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN SELATAN JAWA-SUMBAWA DARI DATA SATELIT MULTI SENSOR. Oleh : MUKTI DONO WILOPO C

KARAKTER FISIK OSEANOGRAFI DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN SELATAN JAWA-SUMBAWA DARI DATA SATELIT MULTI SENSOR. Oleh : MUKTI DONO WILOPO C KARAKTER FISIK OSEANOGRAFI DI PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN SELATAN JAWA-SUMBAWA DARI DATA SATELIT MULTI SENSOR Oleh : MUKTI DONO WILOPO C06400080 PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil dan Verifikasi Hasil simulasi model meliputi sirkulasi arus permukaan rata-rata bulanan dengan periode waktu dari tahun 1996, 1997, dan 1998. Sebelum dianalisis lebih

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal Temperatur Air Laut Dalam oseanografi dikenal dua istilah untuk menentukan temperatur air laut yaitu temperatur insitu (selanjutnya disebut sebagai temperatur saja) dan temperatur potensial. Temperatur

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

PRISMA FISIKA, Vol. II, No. 1 (2014), Hal ISSN :

PRISMA FISIKA, Vol. II, No. 1 (2014), Hal ISSN : PRISMA FISIKA, Vol. II, No. (24), Hal. - 5 ISSN : 2337-824 Kajian Elevasi Muka Air Laut Di Selat Karimata Pada Tahun Kejadian El Nino Dan Dipole Mode Positif Pracellya Antomy ), Muh. Ishak Jumarang ),

Lebih terperinci

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin

KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin KONDISI OSEANOGRAFIS SELAT MAKASAR By: muhammad yusuf awaluddin Umum Perairan Indonesia memiliki keadaan alam yang unik, yaitu topografinya yang beragam. Karena merupakan penghubung dua system samudera

Lebih terperinci

ANALISIS VARIASI MUKA LAUT DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP DAN BENOA MENGGUNAKAN METODE WAVELET

ANALISIS VARIASI MUKA LAUT DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP DAN BENOA MENGGUNAKAN METODE WAVELET ANALISIS VARIASI MUKA LAUT DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP DAN BENOA MENGGUNAKAN METODE WAVELET Oleh : Imam Pamuji C64104019 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu Jurnal Gradien Vol. 11 No. 2 Juli 2015: 1128-1132 Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu Widya Novia Lestari, Lizalidiawati, Suwarsono,

Lebih terperinci

Propinsi Banten dan DKI Jakarta

Propinsi Banten dan DKI Jakarta BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 Data Siklon Tropis Data kejadian siklon tropis pada penelitian ini termasuk depresi tropis, badai tropis dan siklon tropis. Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data

Lebih terperinci

Analisis Hujan Ekstrim Berdasarkan Parameter Angin dan Uap Air di Kototabang Sumatera Barat Tia Nuraya a, Andi Ihwan a*,apriansyah b

Analisis Hujan Ekstrim Berdasarkan Parameter Angin dan Uap Air di Kototabang Sumatera Barat Tia Nuraya a, Andi Ihwan a*,apriansyah b Analisis Hujan Ekstrim Berdasarkan Parameter Angin dan Uap Air di Kototabang Sumatera Barat Tia Nuraya a, Andi Ihwan a*,apriansyah b a Jurusan Fisika FMIPA Universitas Tanjungpura Pontianak b Program Studi

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP 1 KATA PENGANTAR Publikasi Prakiraan Awal Musim Hujan 2015/2016 di Propinsi Bali merupakan salah satu bentuk pelayanan jasa klimatologi yang dihasilkan oleh Stasiun Klimatologi Negara Bali. Prakiraan Awal

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP Buletin Prakiraan Musim Kemarau 2016 i KATA PENGANTAR Penyajian prakiraan musim kemarau 2016 di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung diterbitkan untuk memberikan informasi kepada masyarakat disamping publikasi

Lebih terperinci

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA I. PENDAHULUAN Wilayah Indonesia berada pada posisi strategis, terletak di daerah

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise Peta sebaran SPL dan salinitas berdasarkan cruise track Indomix selengkapnya disajikan pada Gambar 6. 3A 2A

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan ( 12070 ) Telp. (021) 7353018, Fax: (021) 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

VARIABILITAS SUHU DI PERAIRAN SENUNU, SUMBAWA BARAT TEMPERATURE VARIABILITY AT SENUNU BAY, WEST SUMBAWA

VARIABILITAS SUHU DI PERAIRAN SENUNU, SUMBAWA BARAT TEMPERATURE VARIABILITY AT SENUNU BAY, WEST SUMBAWA Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No., Hlm. 43-59, Desember 13 VARIABILITAS SUHU DI PERAIRAN SENUNU, SUMBAWA BARAT TEMPERATURE VARIABILITY AT SENUNU BAY, WEST SUMBAWA Syamsul Hidayat 1,

Lebih terperinci

POLA ARUS PERMUKAAN PADA SAAT KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TROPIS

POLA ARUS PERMUKAAN PADA SAAT KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TROPIS POLA ARUS PERMUKAAN PADA SAAT KEJADIAN INDIAN OCEAN DIPOLE DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA TROPIS Martono Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPANInstitusi Penulis Email: mar_lapan@yahoo.com Abstract Indian

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Asia Tenggara dan sekitarnya memiliki variabilitas laut-atmosfer yang besar akibat dari fluktuasi parameter oseanografi yang berasal dari perairan Samudera Pasifik

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Laut Banda 2.1.1 Kondisi Fisik Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara 26 29 O C (Syah, 2009). Sifat oseanografis perairan Indonesia bagian

Lebih terperinci

3. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian. Lokasi pengamatan konsentrasi klorofil-a dan sebaran suhu permukaan

3. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian. Lokasi pengamatan konsentrasi klorofil-a dan sebaran suhu permukaan 20 3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi pengamatan konsentrasi klorofil-a dan sebaran suhu permukaan laut yang diteliti adalah wilayah yang ditunjukkan pada Gambar 2 yang merupakan wilayah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi Spasial Arus Eddy di Perairan Selatan Jawa-Bali Berdasarkan hasil visualisasi data arus geostropik (Lampiran 3) dan tinggi paras laut (Lampiran 4) dalam skala

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA 1. TINJAUAN UMUM 1.1. Curah Hujan Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang jatuh

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ). KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur http://lasiana.ntt.bmkg.go.id/publikasi/prakiraanmusim-ntt/ Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Sebaran Suhu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bagian ini akan menjelaskan sebaran suhu menjadi dua bagian penting yakni sebaran secara horisontal dan vertikal. Sebaran

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1.

ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1. ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1. TINJAUAN UMUM 1.1. Curah Hujan Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang

Lebih terperinci

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Program Studi Meteorologi PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Banjarbaru, Oktober 2012 Kepala Stasiun Klimatologi Banjarbaru. Ir. PURWANTO NIP Buletin Edisi Oktober 2012

KATA PENGANTAR. Banjarbaru, Oktober 2012 Kepala Stasiun Klimatologi Banjarbaru. Ir. PURWANTO NIP Buletin Edisi Oktober 2012 KATA PENGANTAR i Analisis Hujan Bulan Agustus 2012, Prakiraan Hujan Bulan November, Desember 2012, dan Januari 2013 Kalimantan Timur disusun berdasarkan hasil pantauan kondisi fisis atmosfer dan data yang

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG KATA PENGANTAR Stasiun Klimatologi Semarang setiap tahun menerbitkan buku Prakiraan Musim Hujan dan Prakiraan Musim Kemarau daerah Propinsi Jawa Tengah. Buku Prakiraan Musim Hujan diterbitkan setiap bulan

Lebih terperinci

Oleh Tim Agroklimatologi PPKS

Oleh Tim Agroklimatologi PPKS Kondisi Indian Oscillation Dipole (IOD), El Nino Southern Oscillation (ENSO), Curah Hujan di Indonesia, dan Pendugaan Kondisi Iklim 2016 (Update Desember 2015) Oleh Tim Agroklimatologi PPKS Disarikan dari

Lebih terperinci

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016 B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Tangerang Selatan Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pelapisan Massa Air di Perairan Raja Ampat Pelapisan massa air dapat dilihat melalui sebaran vertikal dari suhu, salinitas dan densitas di laut. Gambar 4 merupakan sebaran menegak

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Daerah Kajian Daerah yang akan dikaji dalam penelitian adalah perairan Jawa bagian selatan yang ditetapkan berada di antara 6,5º 12º LS dan 102º 114,5º BT, seperti dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah lautan yang lebih luas dibandingkan luasan daratannya. Luas wilayah laut mencapai 2/3 dari luas wilayah daratan. Laut merupakan medium yang

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang antara 95 o BT 141 o BT dan 6 o LU 11 o LS (Bakosurtanal, 2007) dengan luas wilayah yang

Lebih terperinci

POKOK BAHASAN : ANGIN

POKOK BAHASAN : ANGIN POKOK BAHASAN : ANGIN ANGIN ANGIN Angin adalah udara yang bergerak dari daerah bertekanan udara tinggi ke daerah bertekanan udara rendah. Ada beberapa hal penting yang perlu diketahui tentang angin, yaitu

Lebih terperinci

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA OLEH : ANDRIE WIJAYA, A.Md FENOMENA GLOBAL 1. ENSO (El Nino Southern Oscillation) Secara Ilmiah ENSO atau El Nino dapat di jelaskan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR Oleh : Agus Dwi Jayanti Diah Cahyaningrum C64104051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Samudera Hindia mempunyai sifat yang unik dan kompleks karena dinamika perairan ini sangat dipengaruhi oleh sistem angin musim dan sistem angin pasat yang

Lebih terperinci

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR Oleh : MIRA YUSNIATI C06498067 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR REDAKSI. Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si. Penanggung Jawab : Subandriyo, SP. Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S.

KATA PENGANTAR REDAKSI. Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si. Penanggung Jawab : Subandriyo, SP. Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S. i REDAKSI KATA PENGANTAR Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si Penanggung Jawab : Subandriyo, SP Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S. Kom Editor : Idrus, SE Staf Redaksi : 1. Fanni Aditya, S. Si 2. M.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang terletak pada wilayah ekuatorial, dan memiliki gugus-gugus kepulauan yang dikelilingi oleh perairan yang hangat. Letak lintang Indonesia

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG B M K G BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan (12070) Telp. (021) 7353018 / Fax: 7355262 E-mail: staklim.pondok.betung@gmail.com,

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Pontianak, 1 April 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI SIANTAN PONTIANAK. WANDAYANTOLIS, S.Si, M.Si NIP

KATA PENGANTAR. Pontianak, 1 April 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI SIANTAN PONTIANAK. WANDAYANTOLIS, S.Si, M.Si NIP KATA PENGANTAR Stasiun Klimatologi Siantan Pontianak pada tahun 2016 menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau dan Prakiraan Musim Hujan. Pada buku Prakiraan Musim Kemarau 2016

Lebih terperinci

PENGARUH DIPOLE MODE TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA

PENGARUH DIPOLE MODE TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA Pengaruh Dipole Mode Terhadap Curah Hujan di Indonesia (Mulyana) 39 PENGARUH DIPOLE MODE TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA Erwin Mulyana 1 Intisari Hubungan antara anomali suhu permukaan laut di Samudra

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian di Samudera Hindia bagian Timur

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian di Samudera Hindia bagian Timur BAB III METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini mengambil lokasi di perairan Samudera Hindia bagian timur dengan koordinat 5 o LS 20 o LS dan 100 o BT 120 o BT (Gambar 8). Proses pengolahan dan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH MADDEN JULIAN OSCILLATION (MJO) TERHADAP CURAH HUJAN DI KOTA MAKASSAR

ANALISIS PENGARUH MADDEN JULIAN OSCILLATION (MJO) TERHADAP CURAH HUJAN DI KOTA MAKASSAR ANALISIS PENGARUH MADDEN JULIAN OSCILLATION (MJO) TERHADAP CURAH HUJAN DI KOTA MAKASSAR Nensi Tallamma, Nasrul Ihsan, A. J. Patandean Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Makassar Jl. Mallengkeri, Makassar

Lebih terperinci

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman Online di :

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman Online di : JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 4, Tahun 2015, Halaman 661-669 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL-A KAITANNYA DENGAN EL NINO SOUTHERN

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial 5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial Hasil pengamatan terhadap citra SPL diperoleh bahwa secara umum SPL yang terendah terjadi pada bulan September 2007 dan tertinggi pada bulan Mei

Lebih terperinci

KONDISI OSEANOGRAFI DI SELAT SUNDA DAN SELATAN JAWA BARAT PADA MONSUN BARAT 2012

KONDISI OSEANOGRAFI DI SELAT SUNDA DAN SELATAN JAWA BARAT PADA MONSUN BARAT 2012 KONDISI OSEANOGRAFI DI SELAT SUNDA DAN SELATAN JAWA BARAT PADA MONSUN BARAT 2012 Trie Lany Putri Yuliananingrum dan Mutiara R. Putri Program Studi Oseanografi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut

Lebih terperinci

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE KARAKTERISTIK RATA-RATA SUHU MAKSIMUM DAN SUHU MINIMUM STASIUN METEOROLOGI NABIRE TAHUN 2006 2015 OLEH : 1. EUSEBIO ANDRONIKOS SAMPE, S.Tr 2. RIFKI ADIGUNA SUTOWO, S.Tr

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Kondisi Wilayah Kabupaten Gorontalo Kabupaten Gorontalo terletak antara 0 0 30 0 0 54 Lintang Utara dan 122 0 07 123 0 44 Bujur Timur. Pada tahun 2010 kabupaten ini terbagi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1

HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1 HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Arus Tiap Lapisan Kedalaman di Selat Makassar Fluktuasi Arus dalam Ranah Waktu di Lokasi Mooring Stasiun 1 Pada bulan Desember 1996 Februari 1997 yang merupakan puncak musim barat

Lebih terperinci

POSITRON, Vol. IV, No. 2 (2014), Hal ISSN :

POSITRON, Vol. IV, No. 2 (2014), Hal ISSN : Pengaruh Fenomena El Niño Southern Oscillation dan Dipole Mode Terhadap Curah Hujan di Muhammad Elifant Yuggotomo 1,), Andi Ihwan ) 1) Stasiun Klimatologi Siantan Pontianak ) Program Studi Fisika Fakultas

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Prakiraan Musim Kemarau 2018

KATA PENGANTAR. Prakiraan Musim Kemarau 2018 KATA PENGANTAR Prakiraan Musim Kemarau 2018 Publikasi Prakiraan Musim Kemarau 2018 Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu bentuk pelayanan jasa klimatologi yang dihasilkan oleh Stasiun Klimatologi

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK DAN VARIABILITAS BULANAN ANGIN PERMUKAAN DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA

KARAKTERISTIK DAN VARIABILITAS BULANAN ANGIN PERMUKAAN DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA MAKARA, SAINS, VOL. 13, NO. 2, NOVEMBER 2009: 157-162 KARAKTERISTIK DAN VARIABILITAS BULANAN ANGIN PERMUKAAN DI PERAIRAN SAMUDERA HINDIA Martono Bidang Pemodelan Iklim, Lembaga Penerbangan dan Antariksa

Lebih terperinci

VARIABILITAS ANGIN DAN PARAS LAUT SERTA INTERAKSINYA D1 PERAIRAN UTARA DAN SELATAN PULAU JAWA EKO PUTRA SAKTI SKRIPSI

VARIABILITAS ANGIN DAN PARAS LAUT SERTA INTERAKSINYA D1 PERAIRAN UTARA DAN SELATAN PULAU JAWA EKO PUTRA SAKTI SKRIPSI VARIABILITAS ANGIN DAN PARAS LAUT SERTA INTERAKSINYA D1 PERAIRAN UTARA DAN SELATAN PULAU JAWA EKO PUTRA SAKTI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEmOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

Pola dan Karakteristik Sebaran Medan Massa, Medan Tekanan dan Arus Geostropik Perairan Selatan Jawa

Pola dan Karakteristik Sebaran Medan Massa, Medan Tekanan dan Arus Geostropik Perairan Selatan Jawa Dinamika Maritim Coastal and Marine Resources Research Center, Raja Ali Haji Maritime University Tanjungpinang-Indonesia Volume 6 Number 2, February 2018 Pola dan Karakteristik Sebaran Medan Massa, Medan

Lebih terperinci

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofísika () setiap tahun menerbitkan dua buku Prakiraan Musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap awal Maret dan Prakiraan Musim Hujan setiap awal

Lebih terperinci

KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA. Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES. Abstrak PENDAHULUAN

KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA. Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES. Abstrak PENDAHULUAN KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES Abstrak Kondisi fisiografis wilayah Indonesia dan sekitarnya, seperti posisi lintang, ketinggian, pola angin (angin pasat dan monsun),

Lebih terperinci