BAB I. PENDAHULUAN I.1.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I. PENDAHULUAN I.1."

Transkripsi

1 BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebutuhan lahan yang banyak dimanfaatkan manusia guna kelangsungan hidupnya saat ini menjadi perhatian yang cukup penting. Jumlah penduduk terus meningkat sedangkan luas lahan tidak bertambah. Hal ini menjadi sebuah tantangan untuk perencana dalam merencanakan pola penggunaan lahan. Dalam perencanaan, hal yang harus diperhatikan adalah faktor ekonomi, ekologi dan keberlanjutan. Pengembangan lahan akan sangat penting ketika fungsi lahan akan berubah menjadi fungsi lainnya (Nasution 2005). Lahan didefinisikan sebagai kesatuan sumberdaya daratan yang merupakan suatu sistem yang tersusun atas komponen struktural atau karakteristik lahan dan komponen fungsional atau kualitas lahan (Soemarno 2007). Kondisi sumberdaya lahan yang berbeda akan menentukan potensi lahan itu sendiri sehingga akan berpengaruh terhadap pemanfaatan penggunaan lahan. Oleh karena itu, evaluasi kesesuaian lahan sangat penting agar sumberdaya lahan dapat di inventarisasi potensinya dan dimanfaatkan sesuai porsinya. Evaluasi kesesuaian lahan merupakan suatu proses analisis untuk mengetahui potensi lahan untuk penggunaan tertentu yang berguna untuk membantu perencanaan penggunaan dan pengelolaan lahan (Nasution 2005). Evaluasi kesesuaian lahan dilakukan dengan cara membandingkan persyaratan penggunaan lahan dengan kualitas (karakteristik) lahan yang ada, sehingga lahan tersebut dapat dinilai apakah masuk kelas yang sesuai untuk penggunaan lahan yang dimaksud (Hardjowigeno 2003). Evaluasi lahan dilakukan pada kondisi sekarang agar dapat diketahui perubahan yang terjadi pada lahan dan bisa dimanfaatkan untuk perencanaan penggunaan lahan ke depan (FAO 1976). Sistem evaluasi lahan yang sering dilakukan di Indonesia yaitu klasifikasi kemampuan lahan (land capability classification) dan klasifikasi kesesuaian lahan (land suitability classification). Klasifikasi kemampuan lahan digunakan untuk pemanfaatan lahan bersifat umum (dalam arti luas), sedangkan klasifikasi kesesuaian lahan digunakan untuk pemanfaatan lahan yang lebih bersifat khusus. Sitorus (1985) 1

2 2 menyatakan bahwa kegunaan lahan dapat dianalisis dalam 3 (tiga) aspek yaitu kesesuaian, kemampuan, dan nilai lahan. Berdasarkan Pasal 1 angka (1) Permenperin No. 5/2014, pengertian dari kawasan industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan Industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri. Kabupaten Cilacap merupakan Kabupaten yang terluas di Provinsi Jawa Tengah dengan luas Ha, termasuk Pulau Nusakambangan. Cilacap adalah satu dari tiga kawasan industri utama di Jawa Tengah (selain Semarang dan Surakarta). Di Cilacap terdapat 6 industri terbesar di antara industri lain yaitu Pertamina Refinery Unit IV, Pabrik Semen HOLCIM Indonesia Pabrik Cilacap, Pabrik Gula Rafinasi PT. DHARMAPALA USAHA SUKSES, Pabrik Tepung Panganmas Inti Persada, PLTU Karangkandri, Pengolahan Ikan PT Juifa Internasional (Anonim 2014). Di Kota Cilacap telah tersedia kawasan industri dengan lahan seluas 154 ha yang terletak di Kelurahan Lomanis, Kecamatan Cilacap Tengah. Di kawasan ini masih tersedia lahan yang dapat dikembangkan untuk industri. Pada saat ini tengah disiapkan kawasan industri baru seluas 450 ha seperti di Desa Bunton Kecamatan Adipala dan di Desa Karangkandri Kecamatan Kesugihan. Upaya ini untuk menarik minat investor menanamkan modalnya di Cilacap (Anonim 2013). Pengembangan Kawasan Industri dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan sektor industri lebih terarah dan terpadu. Beberapa aspek penting yang menjadi dasar konsep pengembangan kawasan industri antara lain adalah efisiensi, tata ruang, dan lingkungan hidup. Dari aspek efisiensi, investor mendapatkan lokasi kegiatan industri yang sudah baik dimana terdapat beberapa keuntungan seperti bantuan perijinan, ketersediaan infrastruktur yang lengkap, keamanan dan kepastian tempat usaha. Bila kegiatan industri telah dapat diarahkan pada lokasi peruntukannya, maka akan lebih mudah bagi penataan ruang daerah, khususnya pada daerah sekitar lokasi kawasan industri. Dengan dikelompokkan kegiatan industri pada satu lokasi pengelolaan maka akan lebih mudah menyediakan fasilitas pengolahan limbah dan juga pengendalian limbahnya (Deperindag 2001).

3 3 Pemilihan lokasi lahan yang tepat bagi suatu kawasan industri sangat penting artinya dalam aspek keruangan. Hal ini sangat menentukan keawetan bangunan dan kelestarian lingkungan. Dengan begitu diperlukan adanya suatu metode yang tepat untuk menentukan lokasi kawasan industri yaitu dengan evaluasi kesesuaian lahan. Dalam melakukan evaluasi kesesuaian lahan memerlukan teknologi yang mampu memadukan antara basis data, peta dan grafik. Sistem Informasi Geospasial merupakan salah satu teknologi berbasis komputer yang tepat digunakan untuk keperluan tersebut. SIG mempunyai kemampuan untuk menghubungkan berbagai data pada suatu titik tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisa dan akhirnya memetakan hasilnya. Data yang akan diolah pada SIG merupakan data spasial yaitu sebuah data yang berorientasi geografis dan merupakan lokasi yang mempunyai sistem koordinat tertentu sebagai dasar referensinya. Sehingga aplikasi SIG dapat menjawab beberapa pertanyaan seperti lokasi, kondisi, trend, pola, dan pemodelan (Budiyanto 2004). Dengan demikian, aplikasi SIG yang digunakan dalam kegiatan aplikatif ini sangat bermanfaat dalam mengevaluasi kesesuaian lahan terutama untuk pengembangan kawasan industri. Dengan menggunakan sistem informasi ini akan dapat dilihat lahan mana yang sesuai untuk kawasan industri dan lahan mana yang tidak sesuai berdasarkan faktor fisik lahan dan faktor aksesibilitasnya. Pembangunan kawasan industri di wilayah kabupaten/kota dilakukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota. I.2. Lingkup Kegiatan Lingkup kegiatan aplikatif agar tidak menyimpang dari permasalahan dan tidak menyimpang dari tujuan, maka lingkup kegiatan aplikatif ini sebagai berikut: 1. Wilayah kegiatan adalah kawasan industri seluruh Kota Cilacap. 2. Peta yang digunakan adalah Peta Administrasi Kabupaten Cilacap, Peta Tematik, Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cilacap beserta data sekunder lainnya. 3. Metode yang digunakan untuk melakukan klasifikasi kesesuaian lahan yaitu pengharkatan (scoring) berdasarkan parameter fisik lahan dan faktor

4 4 aksesibilitas dengan mempertimbangkan faktor pembobotnya pada masing-masing parameter. 4. Hasil klasifikasi kesesuaian lahan menentukan lokasi yang tepat untuk kawasan industri yang akan ditinjau berdasarkan rencana kawasan strategis dan pola ruang kawasan perkotaan. I.3. Tujuan Kegiatan Tujuan yang ingin dicapai dalam kegiatan aplikatif ini sebagai berikut: 1. Melakukan klasifikasi kesesuaian lahan untuk pengembangan kawasan industri di wilayah Kota Cilacap. 2. Membuat peta kesesuaian lahan industri di Kota Cilacap berdasarkan faktor fisik lahan dan faktor aksesibilitas. 3. Mengetahui lahan mana yang sesuai untuk pengembangan kawasan industri dan lahan mana yang tidak sesuai. I.4. Manfaat Kegiatan Manfaat yang diharapkan dari kegiatan aplikatif ini sebagai berikut: 1. Mengetahui hasil dari klasifikasi kesesuaian lahan yaitu lahan mana yang sesuai untuk pengembangan kawasan industri dan lahan mana yang tidak sesuai dari visualisasi peta kesesuaian lahan industri. 2. Memberikan informasi bagi instansi terkait dan perusahaan yang akan mendirikan industri agar memperhatikan aspek-aspek lingkungan dan kesesuaian lahannya. I.5. Landasan Teori I.5.1. Definisi SIG Menurut Aronoff (1989), SIG merupakan suatu sistem informasi yang berbasis komputer, dirancang untuk bekerja dengan menggunakan data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Sistem ini meng-capture, mengecek, mengintegrasikan, memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan data yang secara spasial mereferensikan kepada kondisi bumi. Teknologi SIG

5 5 mengintegrasikan operasi-operasi umum database, seperti query dan analisa statistik, dengan kemampuan visualisasi dan analisa yang unik yang dimiliki oleh pemetaan. SIG dapat diuraikan menjadi beberapa subsistem sebagai berikut : I Subsistem masukan data. Subsistem ini bertugas untuk mengumpulkan, mempersiapkan, dan menyimpan data spasial dan atributnya dari berbagai sumber. Sub-sistem ini pula yang bertanggung jawab dalam mengonversikan atau mentransformasikan format-format data aslinya ke dalam format yang dapat digunakan oleh perangkat SIG yang bersangkutan. Sebelum data geografis digunakan dalam SIG, data tersebut harus dikonversi terlebih dahulu ke dalam bentuk digital. Proses konversi data ini disebut dengan proses digitasi. Input data dalam SIG terdiri dari data spasial dan data atribut. Data spasial adalah data yang menggambarkan bentuk atau kenampakan objek di permukaan bumi. Sedangkan data atribut adalah data deskriptif yang menyatakan nilai dari data spasial tersebut. Data spasial disimpan dalam bentuk titik-titik, garis atau vektor, area dan piksel atau grid. Sumber database untuk SIG secara konvensional dibagi dalam tiga kategori : a. Data spasial, berasal dari peta analog, foto udara, dan citra penginderaan jauh lainnya dalam bentuk cetak kertas. b. Data atribut atau informasi numerik, berasal dari data statistik, data sensus, catatan lapangan dan data tabular lainnya. c. Data penginderaan jauh dalam bentuk digital, seperti yang diperoleh dari satelit (Landsat, SPOT, NOAA). I Subsistem penyajian data. Subsistem ini bertugas untuk menampilkan atau menghasilkan keluaran (termasuk mengeksportnya ke format yang dikehendaki) seluruh atau sebagian basis data (spasial) baik dalam bentuk softcopy maupun hardcopy seperti halnya tabel, grafik, report, peta, dan lain sebagainya. I Subsistem manajemen data. Subsistem ini mengorganisasikan baik data spasial maupun tabel-tabel atribut terkait ke dalam sebuah sistem basis data sedemikian rupa hingga mudah dipanggil kembali atau di-retrieve, di-update, dan diedit. Jadi, subsistem ini dapat menimbun dan menarik kembali dari arsip data dasar,

6 6 juga dapat melakukan perbaikan data dengan cara menambah, mengurangi atau memperbaharui. Peta dapat merepresentasikan dunia nyata di atas kertas sebagaimana halnya dengan SIG yang dapat merepresentasikan dunia nyata di atas monitor komputer. Obyek-obyek yang direpresentasikan di atas peta disebut unsur peta atau map features. Oleh karena itu, perlu pemahaman yang baik tentang proses-proses manipulasi dan pengelolaan data yang direlasikan dengan lokasi-lokasi geografi di permukaan bumi. I Subsistem manipulasi dan analisis data. Subsistem ini menentukan informasi-informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG. Selain itu subsistem ini juga melakukan manipulasi (evaluasi dan penggunaan fungsi-fungsi dan operator matematis & logika) dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan. Kegiatan yang termasuk dalam subsistem ini antara lain adalah pembuatan Digital Elevation Model (DEM) dan tumpang susun (overlay) peta. Dari data DEM dapat dimanipulasi dan dianalisis sehingga diperoleh peta baru seperti peta kemiringan lereng. Secara umum, terdapat dua jenis fungsi analisis yaitu fungsi analisis spasial dan fungsi analisis atribut (basis data atribut). Fungsi analisis atribut terdiri dari operasi dasar sistem pengelolaan basis data (DBMS) dan perluasannya. Sementara itu, fungsi analisis spasial terdiri dari : 1. Klasifikasi Fungsi ini mengklasifikasikan atau mengklasifikasi kembali suatu data spasial atau atribut menjadi data spasial yang baru dengan menggunakan kriteria (atribut) tertentu. Pada Gambar I.1 dapat dilihat contoh klasifikasi.

7 7 Gambar I.1. Bagan proses klasifikasi untuk peta kesesuaian lahan 2. Jaringan Fungsi ini merujuk pada data-data spasial yang berupa titik-titik (points) atau garis-garis (lines) sebagai suatu jaringan yang tak terpisahkan. Pada analisis jaringan diperlukan data jaringan (koneksi yang diperlukan) dan software analisis jaringan dalam hal ini yaitu SIG. Fungsi ini biasa digunakan di dalam bidang-bidang transportasi dan utilitas misalnya, aplikasi jaringan listrik, jaringan telekomunikasi, pipa minyak dan gas, air minum, analisa jalur langsung, analisa fasilitas terdekat, rute optimal, dan lain-lain. Pada Gambar I.2 dapat dilihat contoh pemanfaatan analisis jaringan untuk pencarian rute optimal. Gambar I.2. Analisis jaringan rute optimal

8 8 3. Overlay Overlay adalah proses menumpangsusunkan dua layer atau lebih sehingga menghasilkan layer baru dengan paduan atribut dari dua layer asal. Misalnya, untuk menghasilkan wilayah-wilayah yang sesuai untuk pengembangan kawasan industri diperlukan data kemiringan lereng, jenis tanah, curah hujan, dan penggunaan lahan, maka fungsi analisis overlay akan dilakukan terhadap keempat data spasial atau atribut tersebut. Overlay peta sering dilakukan bersamaan dengan proses scoring. Namun, tidak setiap proses overlay peta selalu menggunakan scoring. Operasi overlay dapat dibedakan menjadi lima jenis, yaitu: a. Erase adalah proses menghapus sebagian dari layer dengan menggunakan layer lain sebagai pembatas wilayah yang dihapus. Perintah ini ada di toolbox Analysis Tools Overlay Erase. Konsep dasar operasi erase ini dapat dilihat pada Gambar I.3 berikut ini. - = Input Erase Feature Output Gambar I.3. Erase b. Identity adalah proses overlay antara dua data grafis dan menyimpan semua feature coverage input dengan menggunakan data grafis yang pertama sebagai batas luarnya. Perintah ini ada di toolbox Analysis Tools Overlay Identity. Konsep dasar operasi identity ini dapat dilihat pada Gambar I.4 berikut ini.

9 9 Input Output Gambar I.4. Identity c. Intersect adalah proses tumpang susun antara dua data grafis yang bertampalan sehingga hanya menyimpan bagian dari feature coverage input yang terletak di dalam poligon coverage overlay saja. Perintah ini ada di toolbox Analysis Tools Overlay Intersect. Konsep dasar operasi intersect ini dapat dilihat pada Gambar I.5 berikut ini. Input Identity Feature Output Intersect Feature Gambar I.5. Intersect d. Union adalah proses penggabungan dua data grafis poligon dan menyimpan semua area serta batas dari kedua data grafisnya. Perintah ini ada di toolbox Analysis Tools Overlay Union. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar I.6 berikut ini. + = Input 1 Input 2 Output Gambar I.6. Union

10 10 e. Update adalah proses overlay untuk memperbaharui data dengan overlay dari data lain. Perintah ini ada di toolbox Analysis Tools Overlay Update. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar I.7 berikut ini. Input Output 4. Buffering Update Feature Gambar I.7. Update Fungsi ini akan menghasilkan data spasial baru yang berbentuk poligon atau zone dengan jarak tertentu dari data spasial yang menjadi masukannya. Buffering dapat dilakukan pada layer dalam bentuk titik, garis, maupun luasan. Pada Gambar I.8 dapat dilihat contoh buffering. Gambar I.8. Contoh buffering titik 5. 3D Analysis Fungsi ini terdiri dari sub-sub fungsi yang berhubungan dengan presentasi data spasial dalam ruang 3 dimensi. Fungsi analisis ini menyediakan fasilitas-fasilitas untuk pembuatan, analisa, dan visualisasi data permukaan secara 3 dimensi. Fungsi analisis spasial ini dapat

11 11 menggunakan fungsi interpolasi, TIN, shading, slope aspect, slope degree, dan slope facing. Pada Gambar I.9 dapat dilihat contoh 3D analysis. Gambar I.9. Contoh peta penyajian data slope Subsistem SIG masukan data, penyajian data, manajemen data, manipulasi dan analisis data dapat diilustrasikan sebagai berikut : Data Management - Pengukuran Lapangan, - Peta (tematik, topografi, dll), - Foto Udara, - Citra satelit/radar, - DEM, - Tabel Data Input Storage/Basis data Retrieval Processing Data Manipulation & Analysis - Peta - Tabel - Laporan Data Output Gambar I.10. Ilustrasi uraian subsistem SIG (Aronoff 1989)

12 12 I.5.2. Konsep Sistem Koordinat I Sistem Koordinat Universal Transverse Mercator (UTM). Ciri-ciri proyeksi UTM adalah sebagai berikut: a. Silinder, transversal, secant, konform. b. Memotong bola bumi di dua meridian standar, k = 1. c. Lebar zone 6 o sehingga bumi dibagi dalam 60 zone. d. Meridian tengah tiap zone k = 0,9996 e. Absis semu (T): m ± X. f. Ordinat semu (U): m Y. Untuk menghindari koordinat negatif di dalam proyeksi UTM, setiap meridian tengah di dalam setiap zone diberi harga m Timur. Untuk harga-harga ke arah utara (LU), ekuator dipakai sebagai garis datum dan diberi harga 0 m Utara. Untuk perhitungan ke arah selatan ekuator (LS), diberi harga m Utara (Prihandito 2010). I Sistem Koordinat Transverse Mercator 3 o BPN (TM 3 o BPN). Badan Pertanahan Nasional (BPN) melalui Peraturan Menteri Negara Agraria (PMNA) No.3 tahun 1997 telah menetapkan bahwa untuk membuat peta dasar pendaftaran dan peta pendaftaran guna penyelenggaraan pendaftaran tanah digunakan sistem koordinat Transverse Mercator 3 o. Proyeksi TM 3 o beracuan pada elipsoid referensi pada datum World Geodetic System 1984 (WGS 84) yang kemudian disebut Datum Geodesi Nasional 1995 (DGN 95). Hal ini dilakukan seiring dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bakosurtanal No. HK.02.04/II/KA/1996 yang menetapkan bahwa setiap kegiatan survey dan pemetaan di wilayah Indonesia harus mengacu pada Datum Geodesi Nasional 1995 dengan sferoid acuan seperti pada datum WGS 84 (Prihandito 2010). Ciri-ciri proyeksi TM 3 o adalah sebagai berikut: a. Secara geometrik hampir sama dengan proyeksi UTM, merupakan proyeksi silinder transversal konform di mana bidang silinder memotong bumi (secant) di dua meridian.

13 13 b. Perbedaannya dengan proyeksi UTM terletak pada penetapan faktor skala di meridian tengah/sentral dan lebar wilayah cakupan (zone). Pada proyeksi TM 3 o, besarnya faktor skala (k) adalah 0,9999 dan lebar zone = 3 o. c. Tiap zone mempunyai sistem koordinat sendiri, yaitu: Sumbu X: Ekuator Sumbu Y: Meridian sentral Titik nol: Perpotongan meridian sentral dengan ekuator Absis semu (T): m pada Meridian Tengah Ordinat semu (U): m pada ekuator Koordinat (X,Y) dinamakan koordinat sejati dan koordinat (T,U) dinamakan koordinat semu. d. Wilayah Indonesia terbagi atas 16 zone, mulai dari meridian 93 o BT sampai 141 o BT dengan batas garis paralel (lintang) 6 o LU sampai 11 o LS, serta tercakup dalam zone nomor 46.2 sampai dengan I Konsep transformasi koordinat. Transformasi antara sistem koordinat merupakan suatu pekerjaan rutin dilakukan baik di bidang survey pengukuran maupun GIS. Sistem proyeksi TM 3 o BPN merupakan pengembangan dari sistem proyeksi UTM, sehingga pembuatan dan penurunan rumus matematisnya berdasarkan proyeksi UTM tersebut. Transformasi antara sistem koordinat TM 3 o BPN ke sistem koordinat UTM dapat dilakukan dengan cara melakukan transformasi koordinat peta (X,Y) pada proyeksi TM 3 o BPN ke koordinat geodetis (φ,λ). Kemudian dari koordinat geodetis (φ,λ) dilakukan transformasi ke koordinat peta (X,Y) pada proyeksi UTM. Setiap zone pada proyeksi UTM mempunyai sistem koordinat tersendiri. Hubungan antara transformasi koordinat geodetis (φ,λ) ke koordinat peta (X,Y) pada proyeksi UTM dinyatakan dengan: X = [IV]p + [V]p 3 + [B5]p 5...(I.1) Y = [I] + [II]p 2 + [III]p 4 + [A6]p 6...(I.2) Dalam hal ini, P = 0,0001(λi-λo), p selalu berharga positif...(i.3) [I] = ko.m (ko = 0,9996 ; m = panjang busur meridian dihitung dari ekuator) (I.4) [II] = ko.n.sinφcosφ.sin /2...(I.5) [III] = ko.n.sinφcos 3 φ.sin (5-tan 2 φ + 9e 2 cos 2 φ + 4e 4 cos 4 φ)/24...(i.6) [IV] = ko.n.cosφ.sin (I.7)

14 14 [V] = ko.n.cos 3 φ.sin (1-tan 2 φ) + e 2 cos 2 φ)/6...(i.8) [B5] = ko.n.cos 5 φ.sin 5 1 (5-18tan 2 φ + tan 4 φ + 14e 2 cos 2 φ 58e 2 sin 2 φ) /120..(I.9) [A6] = ko.n.sin 6 1.sinφcos 5 φ (61 58tan 2 φ + tan 4 φ + 270e 2 cos 2 φ 330e 2 sin 2 φ)10 24 /720.(I.10) Untuk titik di timur meridian tengah pada proyeksi UTM, absis X = m + X, sedangkan untuk titik di barat meridian tengah pada proyeksi UTM, absis X = m X. Untuk di lintang utara pada proyeksi UTM, ordinat Y = Y, sedangkan untuk titik di lintang selatan pada proyeksi UTM, ordinat Y = m Y. Setiap zone pada TM 3 o mempunyai sistem koordinat tersendiri. Persamaan yang digunakan untuk menyatakan hubungan antara koordinat geodetis (φ,λ) ke koordinat peta (X,Y) pada proyeksi TM 3 o sama dengan hubungan antara koordinat geodetis (φ,λ) ke koordinat peta (X,Y) pada proyeksi UTM. Dengan demikian persamaan (I.1) dan (I.2) berlaku untuk proyeksi TM 3 o. Untuk proyeksi TM 3 o, titik di barat meridian tengah berabsis X = m X, sedangkan titik di timur meridian tengah berabsis X = m + X. Titik di lintang utara pada proyeksi TM 3 o berordinat Y = m + Y, sedangkan untuk titik di lintang selatan berordinat Y = m Y. Sama halnya dengan proyeksi UTM, persamaan yang digunakan untuk menyatakan hubungan antara koordinat geodetis (φ,λ) ke koordinat peta (X,Y) pada proyeksi TM 3 o adalah persamaan (I.1) dan (I.2). Namun, pada persamaan (I.4), (I.5), (I.6), (I.7), (I.8), (I.9), (I.10) konstanta ko pada proyeksi TM 3 o berbeda dengan konstanta ko pada proyeksi UTM. Selain itu, pada persamaan (I.3) nilai p pada proyeksi TM 3 o berbeda dengan nilai p pada proyeksi UTM karena p merupakan fungsi bujur, maka perubahan posisi bujur akan berpengaruh terhadap besarnya p. Oleh karena itu, pada persamaan (I.1) dan (I.2), perubahan posisi bujur akan berpengaruh terhadap hasil hitungan pada persamaan-persamaan tersebut. Dengan demikian terdapat perbedaan pada ko dan p pada persamaan yang digunakan untuk menyatakan hubungan antara koordinat (φ,λ) ke koordinat (X,Y) pada proyeksi TM 3 o dan proyeksi UTM sehingga perbedaan antara kedua proyeksi adalah sistematis (Prihandito 1999).

15 15 I.5.3. Konsep Kesesuaian Lahan Kesesuaian lahan adalah penggambaran tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kelas kesesuaian suatu area dapat berbeda tergantung daripada tipe penggunaan lahan yang sedang dipertimbangkan. Klasifikasi kesesuaian lahan dapat dipakai untuk klasifikasi kesesuaian lahan kuantitatif maupun kualitatif tergantung dari data yang tersedia (FAO 1976). Kesesuaian lahan kuantitatif adalah kesesuaian lahan yang ditentukan berdasar atas penilaian karakteristik lahan secara kuantitatif (dengan angka-angka) dan biasanya dilakukan juga perhitungan ekonomi (biaya dan pendapatan) dengan memperhatikan aspek pengolahan dan produktivitas lahan (FAO 1976). Kesesuaian lahan kualitatif adalah kesesuaian lahan yang ditentukan berdasar atas penilaian karakteristik lahan secara kualitatif (tidak dengan angka-angka) dan tidak ada perhitungan ekonomi. Biasanya dilakukan dengan cara membandingkan kriteria masing-masing kelas kesesuaian lahan dengan karakteristik lahan yang dimilikinya. Kelas kesesuaian lahan ditentukan oleh faktor fisik yang merupakan faktor penghambat terberat (FAO 1976). Menurut FAO (1976), kerangka dari sistem klasifikasi kesesuaian lahan ini mengenal 4 (empat) kategori, yaitu : Ordo : menunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk penggunaan tertentu; Kelas : menunjukkan tingkat kesesuaian suatu lahan; Sub-kelas : menentukan jenis pembatas atau macam perbaikan yang harus dijalankan dalam masing-masing kelas; Unit : menunjukkan perbedaan-perbedaan besarnya faktor penghambat yang berpengaruh dalam pengelolaan suatu sub-kelas. Ordo dan kelas biasanya digunakan dalam pemetaan tanah tinjau, sub-kelas untuk pemetaan tanah semi detil, dan unit untuk pemetaan tanah detil. Ordo juga digunakan dalam pemetaan tanah pada skala yang lebih kasar (eksplorasi). Berikut ini adalah penjelasan dari masing-masing kategori sistem klasifikasi kesesuaian lahan (FAO 1976).

16 16 I Kesesuaian lahan pada tingkat ordo (order). Pada tingkat ordo ditunjukkan, apakah suatu lahan sesuai atau tidak sesuai untuk suatu jenis penggunaan lahan tertentu (FAO 1976). Dikenal ada 2 (dua) ordo, yaitu : 1. Ordo S (sesuai): Lahan yang termasuk ordo ini adalah lahan yang dapat digunakan dalam jangka waktu yang terbatas untuk suatu tujuan yang telah dipertimbangkan. Keuntungan dari hasil pengelolaan lahan itu akan memuaskan setelah dihitung dengan masukan yang diberikan. Tanpa atau sedikit resiko kerusakan terhadap sumberdaya lahannya. 2. Ordo N (tidak sesuai): Lahan yang termasuk ordo ini adalah lahan yang mempunyai kesulitan sedemikian rupa, sehingga mencegah penggunaannya untuk suatu tujuan yang telah direncanakan. Lahan dapat digolongkan sebagai tidak sesuai untuk digunakan bagi usaha pertanian karena berbagai penghambat, baik secara fisik (lereng sangat curam, berbatu-batu, dan sebagainya) atau secara ekonomi (keuntungan yang didapat lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan). I Kesesuaian lahan pada tingkat kelas. Kelas kesesuaian lahan adalah pembagian lebih lanjut dari ordo dan menunjukkan tingkat kesesuaian dari ordo tersebut. Kelas diberi nomor urut yang ditulis di belakang simbol ordo, dimana nomor ini menunjukkan tingkat kelas yang makin jelek bila makin tinggi nomornya (FAO 1976). Banyaknya kelas dalam setiap ordo sebetulnya tidak terbatas, akan tetapi dianjurkan hanya memakai tiga sampai lima kelas dalam ordo S dan dua kelas dalam ordo N. Jumlah kelas tersebut harus didasarkan kepada keperluan minimum untuk mencapai tujuan-tujuan penafsiran. Jika tiga kelas yang dipakai dalam ordo S dan dua kelas yang dipakai dalam ordo N, maka pembagian serta definisinya secara kualitatif adalah sebagai berikut: 1. Kelas S1: sangat sesuai (highly suitable). Lahan tidak mempunyai pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan, atau hanya mempunyai pembatas yang tidak secara nyata berpengaruh terhadap produksi dan tidak akan menaikkan masukan yang telah biasa diberikan.

17 17 2. Kelas S2: cukup sesuai (moderately suitable). Lahan mempunyai pembatas-pembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. 3. Kelas S3: sesuai marginal (marginally suitable). Lahan mempunyai pembatas-pembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan atau lebih meningkatkan masukan yang diperlukan. 4. Kelas N1: tidak sesuai pada saat ini (currently not suitable). Lahan mempunyai pembatas yang lebih besar, masih memungkinkan diatasi, tetapi tidak dapat diperbaiki dengan tingkat pengelolaan dengan modal normal. Keadaan pembatas sedemikian besarnya, sehingga mencegah penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang. 5. Kelas N2: tidak sesuai untuk selamanya (permanently not suitable). Lahan mempunyai pembatas permanen yang mencegah segala kemungkinan penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang. I Kesesuaian lahan pada tingkat sub-kelas. Sub-kelas kesesuaian lahan mencerminkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang diperlukan dalam kelas tersebut. Tiap kelas dapat terdiri dari satu atau lebih sub-kelas, tergantung dari jenis pembatas yang ada. Jenis pembatas ini ditunjukkan dengan simbol huruf kecil yang ditempatkan setelah simbol kelas. Misalnya kelas S2 yang mempunyai pembatas kedalaman efektif (s) dapat menjadi sub-kelas S2s. Dalam suatu sub-kelas dapat mempunyai satu, dua, atau paling banyak tiga simbol pembatas, dimana pembatas yang paling dominan ditulis paling depan. Misalnya, dalam sub-kelas S2ts maka pembatas keadaan topografi (t) adalah pembatas yang paling dominan dan pembatas kedalaman efektif (s) adalah pembatas kedua atau tambahan (FAO 1976). I Kesesuaian lahan pada tingkat unit. Kesesuaian lahan pada tingkat unit merupakan pembagian lebih lanjut dari sub-kelas berdasarkan atas besarnya faktor pembatas. Semua unit yang berada dalam satu sub-kelas mempunyai tingkat kesesuaian yang sama dalam kelas dan mempunyai jenis pembatas yang sama pada tingkat sub-kelas. Unit yang satu berbeda dengan unit lainnya karena kemampuan produksi atau dalam aspek tambahan dari pengelolaan yang diperlukan dan sering

18 18 merupakan pembedaan detil dari pembatas-pembatasnya (FAO 1976). Contoh kelas S3rc1 dan S3rc2, keduanya mempunyai kelas dan sub-kelas yang sama dengan faktor penghambat sama yaitu kondisi perakaran terutama faktor kedalaman efektif tanah, yang dibedakan ke dalam unit 1 dan unit 2. Unit 1 kedalaman efektif sedang (50-75 cm), dan unit 2 kedalaman efektif dangkal (<50 cm). Dalam praktek evaluasi lahan, kesesuaian lahan pada kategori unit ini jarang digunakan. Pada Gambar I.11 dapat dilihat contoh penamaan dari ordo sampai unit. Gambar I.11. Contoh penamaan dari ordo sampai unit (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2011) Dalam menentukan klasifikasi kesesuaian lahan untuk kawasan industri ini dilakukan proses evaluasi lahan secara tidak langsung. Proses evaluasi lahan ini meliputi penentuan karakteristik lahan yang mempunyai pengaruh terhadap keberadaan kawasan industri serta dapat diukur atau dianalisis. Data dari karakteristik lahan ini sering dikumpulkan pada saat pelaksanaan survei tanah, yaitu meliputi keterangan-keterangan mengenai keadaan tanah, topografi dan sifat-sifat lainnya yang berkaitan (Sitorus 1985). Metode yang digunakan untuk melakukan klasifikasi kesesuaian lahan ini yaitu metode pengharkatan. Metode ini mengklasifikasikan lahan berdasarkan sejumlah kriteria lahan yang digunakan. Metode ini menggunakan nilai numerik yang diberikan kepada sifat-sifat atau karakteristik lahan agar dapat dihitung nilai serta ditentukan peringkatnya. Nilai numerik ini dikombinasikan menurut hukum matematik yang akhirnya digunakan untuk mengklasifikasikan lahan menurut kemampuannya. Keuntungan metode pengharkatan: a. Kriteria yang dapat dikuantifikasikan dan dapat dipilih sehingga memungkinkan data yang obyektif.

19 19 b. Kemampuan untuk direproduksikan, kehandalan, dan ketepatannya tinggi. Ada dua macam teknik pengharkatan dalam melakukan klasifikasi kesesuaian lahan, yaitu : 1. Teknik penjumlahan atau pengurangan 2. Teknik perkalian atau pembagian (system indeks) Teknik penjumlahan atau pengurangan dilakukan dengan menjumlahkan atau mengurangi harkat setiap parameter yang digunakan. Sedangkan, teknik perkalian atau pembagian (system indeks) dilakukan dengan mengalikan atau membagi harkat setiap parameter lahan. Berdasarkan kedua teknik tersebut diperoleh suatu nilai / indeks tertentu yang menunjukkan kemampuan lahan. I.5.4. Pengertian Kawasan Industri Dalam Peraturan Pemerintah yang dimaksud dengan industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang yang bernilai lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri. Istilah kawasan industri diatur dalam Keputusan Presiden No. 53 Tahun 1989 dan definisi ini sampai sekarang tetap sama dan terakhir dimuat dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2009 adalah sebagai berikut: Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki Izin Usaha Kawasan Industri. Sedangkan kawasan peruntukan industri didefinisikan sebagai bentangan lahan yang diperuntukan bagi kegiatan industri berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lahan kawasan industri merupakan areal dengan luas minimal 20 hektar dengan status tanah sebagai hak guna bangunan induk atas nama perusahaan kawasan industri dan dibatasi dengan pagar keliling. Sedangkan, luas lahan kawasan industri tertentu untuk usaha mikro, kecil, dan menengah paling rendah 5 (lima) hektar dalam satu hamparan. Keberadaan industri memiliki fungsi utama, antara lain:

20 20 a. Memfasilitasi kegiatan industri agar tercipta aglomerasi kegiatan produksi di satu lokasi dengan biaya investasi prasarana yang efisien; b. Mendukung upaya penyediaan lapangan kerja; c. Meningkatkan nilai tambah komoditas yang nantinya akan meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di wilayah yang bersangkutan; d. Mempermudah koordinasi pengendalian dampak lingkungan yang mungkin ditimbulkan. Karakteristik dan kesesuaian lahan untuk wilayah industri berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 41/PRT/M/2007 adalah sebagai berikut: a. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan digunakan untuk melihat daya dukung lahan yaitu untuk mengetahui sejauh mana kemampuan sumber daya lahan untuk suatu penggunaan tertentu, seperti lokasi industri. Lahan yang dimaksud adalah lahan kering yang tidak berada di wilayah yang sudah eksisting pemukiman atau yang sudah padat penduduk. Area cukup luas dan berada pada tanah marginal untuk pertanian. b. Kemiringan Lereng Kemiringan lereng yang sesuai untuk kegiatan industri berkisar 0%-25%, pada kemiringan >25%-45% dapat dikembangkan kegiatan industri dengan perbaikan kontur, serta ketinggian tidak lebih dari 1000 meter dpl. c. Geologi Geologi yang dimaksud adalah jenis tanah. Karakteristik tanah yang cocok untuk kawasan industri adalah bertekstur sedang sampai kasar (Aluvial, Marin) agar dapat menunjang konstruksi bangunan. Selain itu, tidak berada di daerah rawan bencana longsor. d. Hidrologi Hidrologi yang dimaksud adalah ketersediaan air. Wilayah yang mempunyai ketersediaan air tinggi memberikan kemudahan dalam penyediaan air untuk industri, karena air sangat diperlukan untuk proses rangkaian kegiatan industri. Ketersediaan air ini dapat berupa air sungai atau air PAM. Daerah lokasi industri juga harus bebas genangan dan drainase baik sampai sedang.

21 21 e. Topografi Topografi juga berpengaruh penting terhadap kelancaran proses kegiatan industri. Semakin tinggi lokasi yang akan digunakan semakin menghambat aktivitas industri. Ketinggian tempat menggunakan kriteria yaitu wilayah tersebut mempunyai ketinggian di bawah 100 meter dpl. f. Aksesibilitas Aksesibilitas yang dimaksud adalah jalur transportasi. Dalam kegiatan aplikatif ini jalan dibedakan menurut jenisnya, yaitu jalan kolektor atau utama, jalan lokal, jalan lain, dan jalan kereta api yang ditentukan secara manual. Jenis industri yang dikembangkan harus mampu menciptakan lapangan kerja dan dapat meningkatkan kualitas sumber daya masyarakat setempat. Untuk itu jenis industri yang dikembangkan harus memiliki hubungan keterkaitan yang kuat dengan karakteristik lokasi setempat, seperti kemudahan akses ke bahan baku dan kemudahan akses ke pasar. Di dalam kawasan peruntukan industri dapat dibentuk suatu perusahaan kawasan industri yang mengelola kawasan industri. Hal ini dilakukan untuk mempercepat pengembangan kawasan peruntukan (Permen PU 2007). Pada kegiatan aplikatif klasifikasi kesesuaian lahan untuk kawasan industri ini menggunakan beberapa parameter dari faktor fisik lahan dan faktor aksesibilitas sebagai dasar analisis. Parameter yang digunakan dari faktor fisik lahan yaitu kemiringan lereng, jenis tanah, curah hujan, dan penggunaan lahan. Sedangkan parameter yang digunakan dari faktor aksesibilitas yaitu jarak terhadap jalan utama, jarak terhadap sungai, jarak terhadap jaringan transportasi, jarak terhadap gardu induk listrik, jarak terhadap jaringan telepon terestrial, dan jarak terhadap perkantoran. Metode yang digunakan dalam melakukan klasifikasi kesesuaian lahan untuk kawasan industri yaitu metode pengharkatan dan pembobotan. Teknik perhitungan yang digunakan untuk mendapatkan kelas kemampuan lahan yaitu teknik penjumlahan. Sedangkan nilai faktor pembobot diberikan sesuai dengan besarnya pengaruh setiap parameter terhadap kesesuaian lahan untuk kawasan industri.

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA?

Karena tidak pernah ada proyek yang dimulai tanpa terlebih dahulu menanyakan: DIMANA? PENGUKURAN KEKOTAAN Geographic Information System (1) Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering Permohonan GIS!!! Karena tidak pernah

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN

SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN 16/09/2012 DATA Data adalah komponen yang amat penting dalam GIS SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN Kelas Agrotreknologi (2 0 sks) Dwi Priyo Ariyanto Data geografik dan tabulasi data yang berhubungan akan

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) Sistem Informasi Geografis atau disingkat SIG dalam bahasa Inggris Geographic Information System (disingkat GIS) merupakan sistem informasi

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 14 Sesi NGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI A. MODEL DATA SPASIAL Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster. a. Model Data Vektor

Lebih terperinci

BAHAN AJAR ON THE JOB TRAINING

BAHAN AJAR ON THE JOB TRAINING BAHAN AJAR ON THE JOB TRAINING APLIKASI GIS UNTUK PEMBUATAN PETA INDIKATIF BATAS KAWASAN DAN WILAYAH ADMINISTRASI DIREKTORAT PENGUKURAN DASAR DEPUTI BIDANG SURVEI, PENGUKURAN DAN PEMETAAN BADAN PERTANAHAN

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) 24/09/2012 10:58 Sistem (komputer) yang mampu mengelola informasi spasial (keruangan), memiliki kemampuan memasukan (entry), menyimpan

Lebih terperinci

K NSEP E P D A D SA S R

K NSEP E P D A D SA S R Mata Kuliah : Sistem Informasi Geografis (SIG) Perikanan. Kode MK : M10A.125 SKS :2 (1-1) KONSEP DASAR DATA GEOSPASIAL OLEH SYAWALUDIN A. HRP, SPi, MSc SISTEM KOORDINAT DATA SPASIAL SUB POKOK BAHASAN 1

Lebih terperinci

Materi : Bab IV. PROYEKSI PETA Pengajar : Ira Mutiara A, ST

Materi : Bab IV. PROYEKSI PETA Pengajar : Ira Mutiara A, ST PENDIDIKAN DAN PELATIHAN (DIKLAT) TEKNIS PENGUKURAN DAN PEMETAAN KOTA Surabaya, 9 24 Agustus 2004 Materi : Bab IV. PROYEKSI PETA Pengajar : Ira Mutiara A, ST FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT

Lebih terperinci

Nur Meita Indah Mufidah

Nur Meita Indah Mufidah Pengantar GIS (Gographical Information System) Nur Meita Indah Mufidah Meita153@gmail.com Lisensi Dokumen: Copyright 2003-2006 IlmuKomputer.Com Seluruh dokumen di IlmuKomputer.Com dapat digunakan, dimodifikasi

Lebih terperinci

3/17/2011. Sistem Informasi Geografis

3/17/2011. Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis Pendahuluan Data yang mengendalikan SIG adalah data spasial. Setiap fungsionalitasyang g membuat SIG dibedakan dari lingkungan analisis lainnya adalah karena berakar pada keaslian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai tambang timah rakyat dilakukan di Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Penelitian dilaksanakan pada bulan April

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Tanah memiliki arti penting bagi kelangsungan hidup manusia, baik sebagai faktor produksi dan barang konsumsi maupun sebagai ruang ( space ) tempat melakukan kegiatan.

Lebih terperinci

Tujuan. Model Data pada SIG. Arna fariza. Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 4/7/2016

Tujuan. Model Data pada SIG. Arna fariza. Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 4/7/2016 Model Data pada SIG Arna fariza Politeknik elektronika negeri surabaya Tujuan Mengerti sumber data dan model data spasial Mengerti perbedaan data Raster dan Vektor 1 Materi Sumber data spasial Klasifikasi

Lebih terperinci

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang

Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang Sistem Infornasi Geografis, atau dalam bahasa Inggeris lebih dikenal dengan Geographic Information System, adalah suatu sistem berbasis komputer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Bangsa Indonesia pada dasarnya secara filosofis memandang tanah sesuai dengan Pasal 33 ayat(3) UUD 1945 dan Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3 1. Data spasial merupakan data grafis yang mengidentifikasi kenampakan

Lebih terperinci

Pengertian Sistem Informasi Geografis

Pengertian Sistem Informasi Geografis Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Febuari 2009 sampai Januari 2010, mengambil lokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengolahan dan Analisis

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

Mengapa proyeksi di Indonesia menggunakan WGS 84?

Mengapa proyeksi di Indonesia menggunakan WGS 84? Nama : Muhamad Aidil Fitriyadi NPM : 150210070005 Mengapa proyeksi di Indonesia menggunakan WGS 84? Jenis proyeksi yang sering di gunakan di Indonesia adalah WGS-84 (World Geodetic System) dan UTM (Universal

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Windhu Purnomo FKM UA 2013 SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Sistem komputer yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memeriksa, mengintegrasi, memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut PP Nomor 10 Tahun 2000 (dalam Indarto,2010 : 177) Secara umum peta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut PP Nomor 10 Tahun 2000 (dalam Indarto,2010 : 177) Secara umum peta BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Peta 2.1.1 Pengertian Peta Menurut PP Nomor 10 Tahun 2000 (dalam Indarto,2010 : 177) Secara umum peta didefinisikan sebagai gambaran dari unsur unsure alam maupun buatan manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau instansi atas jalan yang meliputi kuantitas, kondisi, dan nilai yang

BAB I PENDAHULUAN. atau instansi atas jalan yang meliputi kuantitas, kondisi, dan nilai yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembuatan Leger jalan dimaksudkan untuk mengetahui perkembangan suatu ruas jalan yang mencakup aspek hukum, teknis, pembiayaan, bangunan pelengkap, perlengkapan

Lebih terperinci

SIG (SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS) Oleh : Djunijanto

SIG (SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS) Oleh : Djunijanto SIG (SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS) Oleh : Djunijanto Pengertian SIG Sistem informasi yang menggunakan komputer untuk mendapatkan, mengolah, menganalisis dan menyajikan data yang mengacu pada lokasi geografis

Lebih terperinci

LOGO Potens i Guna Lahan

LOGO Potens i Guna Lahan LOGO Potensi Guna Lahan AY 11 Contents 1 Land Capability 2 Land Suitability 3 4 Ukuran Guna Lahan Pengantar Proses Perencanaan Guna Lahan Land Capability Pemanfaatan Suatu lahan untuk suatu peruntukan

Lebih terperinci

UJIAN TENGAH SEMESTER GANJIL 2013/2014

UJIAN TENGAH SEMESTER GANJIL 2013/2014 UJIAN TENGAH SEMESTER GANJIL 2013/2014 Matakuliah Waktu : Sistem Informasi Geografis / 3 SKS : 100 menit 1. Jelaskan pengertian Sistem Informasi Geografis (SIG). Jelaskan pula perbedaan antara SIG dan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

PROSEDUR OPERASIONAL STANDAR PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI GEOSPASIAL INFRASTRUKTUR

PROSEDUR OPERASIONAL STANDAR PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI GEOSPASIAL INFRASTRUKTUR LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 25/PRT/M/2014 TENTANG PENYELENGGARAAN DATA DAN INFORMASI GEOSPASIAL INFRASTRUKTUR BIDANG PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT PROSEDUR

Lebih terperinci

Pengantar Sistem Informasi Geografis O L E H : N UNUNG P U J I N U G R O HO

Pengantar Sistem Informasi Geografis O L E H : N UNUNG P U J I N U G R O HO Pengantar Sistem Informasi Geografis O L E H : N UNUNG P U J I N U G R O HO Outline presentasi Pengertian Sistem Informasi Geografis (SIG) Komponen SIG Pengertian data spasial Format data spasial Sumber

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. PETA 2.1.1. Pengertian peta Peta merupakan suatu representasi konvensional (miniatur) dari unsur-unsur (fatures) fisik (alamiah dan buatan manusia) dari sebagian atau keseluruhan

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PERTANIAN PADI DI KABUPATEN BANTUL, D.I. YOGYAKARTA

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PERTANIAN PADI DI KABUPATEN BANTUL, D.I. YOGYAKARTA SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PERTANIAN PADI DI KABUPATEN BANTUL, D.I. YOGYAKARTA Agus Rudiyanto 1 1 Alumni Jurusan Teknik Informatika Univ. Islam Indonesia, Yogyakarta Email: a_rudiyanto@yahoo.com (korespondensi)

Lebih terperinci

BAB 11: GEOGRAFI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI

BAB 11: GEOGRAFI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI 1. Sistem Informasi Geografi merupakan Sistem informasi yang memberikan gambaran tentang berbagai gejala di atas muka bumi dari segi (1) Persebaran (2) Luas (3) Arah (4) Bentuk 2. Sarana yang paling baik

Lebih terperinci

2 rencana tata ruang itu digunakan sebagai media penggambaran Peta Tematik. Peta Tematik menjadi bahan analisis dan proses síntesis penuangan rencana

2 rencana tata ruang itu digunakan sebagai media penggambaran Peta Tematik. Peta Tematik menjadi bahan analisis dan proses síntesis penuangan rencana TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PEMERINTAHAN. Wilayah. Nasional. Rencana. Tata Ruang. Peta. Ketelitian. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 8) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN

INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN Informasi geografis merupakan informasi kenampakan permukaan bumi. Sehingga informasi tersebut mengandung unsur posisi geografis, hubungan keruangan, atribut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pertanian memberikan kontribusi banyak terhadap keberlangsungan hidup masyarakat, terutama kontribusinya sebagai sumber pangan, sumber lapangan pekerjaan bagi sebagian

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ruang Lingkup Penelitian

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ruang Lingkup Penelitian METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Dalam rangka perumusan kebijakan, pembangunan wilayah sudah seharusnya mempertimbangkan pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan. Penelitian ini dilakukan atas dasar

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

SISTEM IFORMASI GEOGRAFI

SISTEM IFORMASI GEOGRAFI SISTEM IFORMASI GEOGRAFI A. DEFINISI SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG) Informasi permukaan bumi telah berabad-abad disajikan dalam bentuk peta. Peta yang mulai dibuat dari kulit hewan, sampai peta yang dibuat

Lebih terperinci

Pengantar Teknologi. Informasi (Teori) Minggu ke-11. Geogrphical Information System (GIS) Oleh : Ibnu Utomo WM, M.Kom UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO

Pengantar Teknologi. Informasi (Teori) Minggu ke-11. Geogrphical Information System (GIS) Oleh : Ibnu Utomo WM, M.Kom UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO Pengantar Teknologi FAKULTAS ILMU KOMPUTER UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO http://www.dinus.ac.id Informasi (Teori) Minggu ke-11 Geogrphical Information System (GIS) Oleh : Ibnu Utomo WM, M.Kom Definisi GIS

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian dilakukan kurang lebih selama sebelas bulan yaitu sejak Februari 2009 hingga Januari 2010, sedangkan tempat penelitian dilakukan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 11 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Februari 2009 sampai Januari 2010 yang berlokasi di wilayah administrasi Kabupaten Bogor. Analisis data dilaksanakan

Lebih terperinci

Bab ini memperkenalkan mengenai proyeksi silinder secara umum dan macam proyeksi silinder yang dipakai di Indonesia.

Bab ini memperkenalkan mengenai proyeksi silinder secara umum dan macam proyeksi silinder yang dipakai di Indonesia. BAB 7 PENDAHULUAN Diskripsi singkat : Proyeksi Silinder bila bidang proyeksinya adalah silinder, artinya semua titik di atas permukaan bumi diproyeksikan pada bidang silinder yang kemudian didatarkan.

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN A. Konsep Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu untuk mengetahui potensi terjadinya banjir di suatu wilayah dengan memanfaatkan sistem informasi geografi

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi BAB III METODOLOGI. Lokasi dan Waktu Kegiatan studi dilakukan di Dukuh Karangkulon yang terletak di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan luas

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis. Widiastuti Universitas Gunadarma 2015

Sistem Informasi Geografis. Widiastuti Universitas Gunadarma 2015 Sistem Informasi Geografis Widiastuti Universitas Gunadarma 2015 5 Cara Memperoleh Data / Informasi Geografis 1. Survei lapangan Pengukuran fisik (land marks), pengambilan sampel (polusi air), pengumpulan

Lebih terperinci

[Type the document title]

[Type the document title] SEJARAH ESRI Sistem Informasi Geografis adalah suatu sistem informasi yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memanggil kembali, mengolah, menganalisa, dan menghasilkan data yang mempunyai referensi

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI SUMBERDAYA LAHAN (Kuliah ke 12)

SISTEM INFORMASI SUMBERDAYA LAHAN (Kuliah ke 12) SISTEM INFORMASI SUMBERDAYA LAHAN (Kuliah ke 12) SISTEM MANAJEMEN BASIS DATA Oleh: Dr.Ir. Yuzirwan Rasyid, MS Beberapa Subsistem dari SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS 1. Subsistem INPUT 2. Subsistem MANIPULASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Tanah merupakan sumber daya yang sangat penting dalam aspek kehidupan manusia. Tanah adalah modal dasar dari berbagai macam pembangunan yang dilakukan oleh manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I. PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I. PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Menurut Badan Pusat Statistik (2014), Indonesia memiliki 17.504 pulau dan luas daratan mencapai 1.910.931,32 km 2. Karena kondisi geografisnya yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI. Informasi Geografis Pencarian Apotik terdekat di Kota Yogyakarta. Pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI. Informasi Geografis Pencarian Apotik terdekat di Kota Yogyakarta. Pada BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Penelitian yang sama pernah dilakukan sebelumnya oleh Bambang Pramono (2016) di STMIK AKAKOM dalam skripsinya yang berjudul Sistem Informasi

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN POTENSI WISATA ALAM KABUPATEN TULUNGAGUNG DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PENGEMBANGAN POTENSI WISATA ALAM KABUPATEN TULUNGAGUNG DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PENGEMBANGAN POTENSI WISATA ALAM KABUPATEN TULUNGAGUNG DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh : Misbakhul Munir Zain 3506100055 Program Studi Teknik Geomatika ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111 Email

Lebih terperinci

PROYEKSI PETA DAN SKALA PETA

PROYEKSI PETA DAN SKALA PETA PROYEKSI PETA DAN SKALA PETA Proyeksi Peta dan Skala Peta 1. Pengertian Proyeksi peta ialah cara pemindahan lintang/ bujur yang terdapat pada lengkung permukaan bumi ke bidang datar. Ada beberapa ketentuan

Lebih terperinci

Pengumpulan dan Integrasi Data. Politeknik elektronika negeri surabaya. Tujuan

Pengumpulan dan Integrasi Data. Politeknik elektronika negeri surabaya. Tujuan Pengumpulan dan Integrasi Data Arna fariza Politeknik elektronika negeri surabaya Tujuan Mengetahui sumber data dari GIS dan non GIS data Mengetahui bagaimana memperoleh data raster dan vektor Mengetahui

Lebih terperinci

PEMANFAATAN DATA SPACIAL UNTUK REFRENSI KERUANGAN

PEMANFAATAN DATA SPACIAL UNTUK REFRENSI KERUANGAN PEMANFAATAN DATA SPACIAL UNTUK REFRENSI KERUANGAN 1. Informasi Geografis Wayan Sedana Fenomena geografi merupakan identifikasi dari obyek studi bidang SIG, dan fenomena tersebut direpresentasikan secara

Lebih terperinci

Bab II TEORI DASAR. Suatu batas daerah dikatakan jelas dan tegas jika memenuhi kriteria sebagai berikut:

Bab II TEORI DASAR. Suatu batas daerah dikatakan jelas dan tegas jika memenuhi kriteria sebagai berikut: Bab II TEORI DASAR 2.1 Batas Daerah A. Konsep Batas Daerah batas daerah adalah garis pemisah wilayah penyelenggaraan kewenangan suatu daerah dengan daerah lain. Batas daerah administrasi adalah wilayah

Lebih terperinci

BAB I. I.1.Latar Belakang PENDAHULUAN

BAB I. I.1.Latar Belakang PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN I.1.Latar Belakang Salah satu dari sekian banyak sumber daya alam yang diciptakan oleh Allah SWT untuk kelangsungan hidup manusia adalah tanah atau lahan. Pengertian tanah menurut Sumaryo

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Secara astronomi Kecamatan Cipanas terletak antara 6 o LS-6 o LS

BAB III METODE PENELITIAN. Secara astronomi Kecamatan Cipanas terletak antara 6 o LS-6 o LS 27 BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur. Secara astronomi Kecamatan Cipanas terletak antara 6 o 40 30 LS-6 o 46 30 LS dan 106

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengklasifikasi tata guna lahan dari hasil

Lebih terperinci

By. Y. Morsa Said RAMBE

By. Y. Morsa Said RAMBE By. Y. Morsa Said RAMBE Sistem Koordinat Sistem koordinat adalah sekumpulan aturan yang menentukan bagaimana koordinatkoordinat yang bersangkutan merepresentasikan titik-titik. Jenis sistem koordinat:

Lebih terperinci

TUGAS EVALUASI SURVEI DAN EVALUASI LAHAN TENTANG SURVEI LAPANGAN (METODE INDEKS STORIE)

TUGAS EVALUASI SURVEI DAN EVALUASI LAHAN TENTANG SURVEI LAPANGAN (METODE INDEKS STORIE) TUGAS EVALUASI SURVEI DAN EVALUASI LAHAN TENTANG SURVEI LAPANGAN (METODE INDEKS STORIE) Oleh: Tri Mulyadi 134130071 Sistim Informasi Geografis (SIG) mempunyai peran yang semakin penting dalam berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

Contents 11/11/2012. Variabel-variabel Kemampuan Lahan. Land Capability

Contents 11/11/2012. Variabel-variabel Kemampuan Lahan. Land Capability LOGO Contents Potensi Guna Lahan AY 12 1 2 Land Capability Land Suitability Land Capability Klasifikasi Potensi Lahan untuk penggunaan lahan kawasan budidaya ataupun lindung dengan mempertimbangkan faktor-faktor

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Jakarta dan sebagai pusat pemerintahan, perdagangan dan pusat bisnis di Ibukota

BAB 1 PENDAHULUAN. Jakarta dan sebagai pusat pemerintahan, perdagangan dan pusat bisnis di Ibukota BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kotamadya Jakarta Pusat yang terletak di tengah-tengah Provinsi DKI Jakarta dan sebagai pusat pemerintahan, perdagangan dan pusat bisnis di Ibukota Jakarta, merupakan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORI

BAB 2 TINJAUAN TEORI BAB 2 TINJAUAN TEORI 2.1 Sistem Informasi Geografis (SIG) SIG (Sistem Informasi Geografis) adalah sebuah sistem komputer yang memiliki kemampuan untuk mengambil, menyimpan, menganalisa, dan menampilkan

Lebih terperinci

Pengenalan Peta & Data Spasial Bagi Perencana Wilayah dan Kota. Adipandang Yudono 13

Pengenalan Peta & Data Spasial Bagi Perencana Wilayah dan Kota. Adipandang Yudono 13 Pengenalan Peta & Data Spasial Bagi Perencana Wilayah dan Kota Adipandang Yudono 13 Definisi Peta Peta adalah suatu gambaran dari unsur-unsur alam dan atau buatan manusia, yang berada di atas maupun di

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS - PENGENALAN AWAL MENGENAI SIG & KONSEP DASAR SIG OUTLINE

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS - PENGENALAN AWAL MENGENAI SIG & KONSEP DASAR SIG OUTLINE SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS - PENGENALAN AWAL MENGENAI SIG & KONSEP DASAR SIG MINGGU KE 2 Materi 1 OUTLINE 2 1. SEKILAS TENTANG PETA Komponen Peta 2. SUMBER INFORMASI GEOGRAFIS 3. DEFINISI SIG 4. SEJARAH

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian ini. Proses persiapan data ini berpengaruh pada hasil akhir penelitian. Persiapan yang dilakukan meliputi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evaluasi Lahan Banyak pengertian lahan yang telah didefinisikan oleh para ahli, namun pada dasarnya mempunyai rumusan yang kurang lebih sama. Menurut Hardjowigeno, (2007) lahan

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN SISTEM PENGELOLAAN PEMETAAN WILAYAH JAWA TENGAH BERBASIS GIS

RANCANG BANGUN SISTEM PENGELOLAAN PEMETAAN WILAYAH JAWA TENGAH BERBASIS GIS RANCANG BANGUN SISTEM PENGELOLAAN PEMETAAN WILAYAH JAWA TENGAH BERBASIS GIS Budi Widjajanto Abstrak : Perencanaan pembangunan yang baik dilakukan tidak hanya dengan memperhatikan data data deskriptif,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. 1. Abidin, Hasanuddin Z.(2001). Geodesi satelit. Jakarta : Pradnya Paramita.

DAFTAR PUSTAKA. 1. Abidin, Hasanuddin Z.(2001). Geodesi satelit. Jakarta : Pradnya Paramita. DAFTAR PUSTAKA 1. Abidin, Hasanuddin Z.(2001). Geodesi satelit. Jakarta : Pradnya Paramita. 2. Abidin, Hasanuddin Z.(2002). Survey Dengan GPS. Cetakan Kedua. Jakarta : Pradnya Paramita. 3. Krakiwsky, E.J.

Lebih terperinci

BAB II METODE PENELITIAN

BAB II METODE PENELITIAN BAB II METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam analisis tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian yaitu dengan menggunakan metode analisis data sekunder yang dilengkapi dengan

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL DAFTAR ISI DAFTAR ISI ii DAFTAR LAMPIRAN I iv DAFTAR LAMPIRAN

Lebih terperinci

- Sumber dan Akuisisi Data - Global Positioning System (GPS) - Tahapan Kerja dalam SIG

- Sumber dan Akuisisi Data - Global Positioning System (GPS) - Tahapan Kerja dalam SIG Matakuliah Sistem Informasi Geografis (SIG) Oleh: Ardiansyah, S.Si GIS & Remote Sensing Research Center Syiah Kuala University, Banda Aceh Session_03 March 11, 2013 - Sumber dan Akuisisi Data - Global

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah memiliki peranan penting dalam menunjang pembangunan nasional. Pada masa Orde baru pembangunan nasional dikendalikan oleh pemerintah pusat, sedangkan

Lebih terperinci

Peranan Aplikasi GIS Dalam Perencanaan Pengembangan Pertanian

Peranan Aplikasi GIS Dalam Perencanaan Pengembangan Pertanian Peranan Aplikasi GIS Dalam Perencanaan Pengembangan Pertanian Disusun Oleh : Adhi Ginanjar Santoso (K3513002) Pendidikan Teknik Informatika dan Komputer Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan Universitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Hidrologi sebagai cabang ilmu yang basisnya adalah pengukuran Fenomena Alam, dihadapkan pada tantangan bagaimana memodelkan atau memprediksi proses hidrologi pada

Lebih terperinci

Model Data Spasial. by: Ahmad Syauqi Ahsan

Model Data Spasial. by: Ahmad Syauqi Ahsan Model Data Spasial by: Ahmad Syauqi Ahsan Peta Tematik Data dalam SIG disimpan dalam bentuk peta Tematik Peta Tematik: peta yang menampilkan informasi sesuai dengan tema. Satu peta berisi informasi dengan

Lebih terperinci

Mekanisme Persetujuan Peta untuk RDTR. Isfandiar M. Baihaqi Diastarini Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Badan Informasi Geospasial

Mekanisme Persetujuan Peta untuk RDTR. Isfandiar M. Baihaqi Diastarini Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Badan Informasi Geospasial Mekanisme Persetujuan Peta untuk RDTR Isfandiar M. Baihaqi Diastarini Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Badan Informasi Geospasial Dasar Hukum FUNGSI RDTR MENURUT PERMEN PU No 20/2011 RDTR dan peraturan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.14/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG TATA CARA INVENTARISASI DAN PENETAPAN FUNGSI EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Adipandang YUDONO

Adipandang YUDONO Pengenalan Kartografi Adipandang YUDONO 11 E-mail: adipandang@yahoo.com Outline Apa itu Kartografi? Peta Definisi Peta Hakekat Peta Syarat-syarat yang dikatakan peta Fungsi peta Klasifikasi peta Simbol-simbol

Lebih terperinci

Keywords: Sistem Informasi Georafis, Pemetaan, Pabrik Sawit

Keywords: Sistem Informasi Georafis, Pemetaan, Pabrik Sawit SISTEM INFORMASI GIOGRAFIS PEMETAAN PABRIK SAWIT DI KABUPATEN INDRAGIRI HILIR R. Zulkarnain, Abdullah Program Studi Sistem Informasi, Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer Universitasi Islam Indragiri (UNISI)

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 13 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari 2010 sampai Februari 2011 yang berlokasi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Kabupaten

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Lahan adalah suatu daerah dipermukaan bumi dengan sifat- sifat tertentu yaitu

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Lahan adalah suatu daerah dipermukaan bumi dengan sifat- sifat tertentu yaitu 7 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Lahan Lahan adalah suatu daerah dipermukaan bumi dengan sifat- sifat tertentu yaitu adanya persamaan dalam hal geologi, geomorfologi,

Lebih terperinci

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DENGAN MEMANFAATKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DAN SIG (Studi Kasus: Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta)

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DENGAN MEMANFAATKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DAN SIG (Studi Kasus: Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta) ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK PERMUKIMAN DENGAN MEMANFAATKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DAN SIG (Studi Kasus: Kecamatan Umbulharjo, Yogyakarta) TUGAS AKHIR Oleh: SUPRIYANTO L2D 002 435 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

Pembangunan Basis Data Guna Lahan Kabupaten Bengkalis

Pembangunan Basis Data Guna Lahan Kabupaten Bengkalis Jurnal Rekayasa LPPM Itenas No.1 Vol. XV Institut Teknologi Nasional Januari Maret 2011 Pembangunan Basis Data Guna Lahan Kabupaten Bengkalis M. ABDUL BASYID, DIAN SURADIANTO Jurusan Teknik Geodesi FTSP

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi penelitian

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi penelitian 20 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan dalam rentang waktu 4 bulan, pada bulan Februari sampai dengan bulan Mei 2012. Persiapan dilakukan sejak bulan Maret 2011

Lebih terperinci

BADAN INFORMASI GEOSPASIAL : B.84/BIG/DIGD/HK/08/2012 TANGGAL :13 AGUSTUS Standard Operating Procedures tentang Pengelolaan Data Batas Wilayah

BADAN INFORMASI GEOSPASIAL : B.84/BIG/DIGD/HK/08/2012 TANGGAL :13 AGUSTUS Standard Operating Procedures tentang Pengelolaan Data Batas Wilayah LAMPIRAN 6 KEPUTUSAN DEPUTI BIDANG INFORMASI GEOSPASIAL DASAR BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR : B.84/BIG/DIGD/HK/08/2012 TANGGAL :13 AGUSTUS 2012 Standard Operating Procedures tentang Pengelolaan Data

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sistem informasi adalah suatu sistem manusia dan mesin yang terpadu untuk menyajikan informasi guna mendukung fungsi operasi, manajemen, dan pengambilan keputusan. Tujuan dari sistem

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Pengembangan Wilayah Wilayah (region) adalah unit geografis dimana komponen-komponennya memiliki keterkaitan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Pengembangan Wilayah Wilayah (region) adalah unit geografis dimana komponen-komponennya memiliki keterkaitan 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Pengembangan Wilayah Wilayah (region) adalah unit geografis dimana komponen-komponennya memiliki keterkaitan dan hubungan fungsional berupa perencanaan dan pengelolaan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pendekatan

METODE PENELITIAN Kerangka Pendekatan 27 METODE PENELITIAN Kerangka Pendekatan Pertumbuhan penduduk dan peningkatan aktivitas ekonomi yang terjadi pada tiap waktu membutuhkan peningkatan kebutuhan akan ruang. Di sisi lain luas ruang sifatnya

Lebih terperinci

ANALISIS DAERAH MILIK JALAN (DAMIJA) MENGGUNAKAN ArcGis 9.3

ANALISIS DAERAH MILIK JALAN (DAMIJA) MENGGUNAKAN ArcGis 9.3 ANALISIS DAERAH MILIK JALAN (DAMIJA) MENGGUNAKAN ArcGis 9.3 Alan Rama Budi Email : alan.rama16@gmail.com Program Studi Ilmu Komputer FMIPA Universitas Pakuan, Bogor ABSTRAK Fungsi Utama dari jalan adalah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

Analisis dan Pemetaan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dengan Sistem Informasi Geografis dan Metode Simple Additive Weighting

Analisis dan Pemetaan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dengan Sistem Informasi Geografis dan Metode Simple Additive Weighting Analisis dan Pemetaan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dengan Sistem Informasi Geografis dan Metode Simple Additive Weighting Artikel Ilmiah Diajukan kepada Program Studi Sistem Informasi guna memenuhi

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TEMPAT PENGOLAHAN BARANG BEKAS DI SURAKARTA

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TEMPAT PENGOLAHAN BARANG BEKAS DI SURAKARTA SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TEMPAT PENGOLAHAN BARANG BEKAS DI SURAKARTA Disusun Oleh : Widya Lestafuri K3513074 Pendidikan Teknik Informatika dan Komputer Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

Lebih terperinci