BAB IV ANALISIS LAHATOL SEBAGAI NILAI PEREKAT SOLIDARITAS MASYARAKAT HARIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV ANALISIS LAHATOL SEBAGAI NILAI PEREKAT SOLIDARITAS MASYARAKAT HARIA"

Transkripsi

1 BAB IV ANALISIS LAHATOL SEBAGAI NILAI PEREKAT SOLIDARITAS MASYARAKAT HARIA Dalam bab ini peneliti coba mengkostruksikan praktek Lahatol oleh masyarakat adat Haria sebagai sebuah bentuk nilai yang mengeratkan solidaritas masyarakat setempat. Untuk kepentingan itu, bagian ini akan dianalisis dalam dua bagian, yakni: Lahatol sebagai bentuk pertukaran sosial; dan lahatol sebagai nilai perekat solidaritas: Sebuah refleksi teologis. Sebagai alat analisisnya, digunakan teori pertukaran sosial dari Peter Blau Lahatol sebagai Bentuk Pertukaran Sosial Berdasarkan deskripsi Lahatol yang telah dikemukakan dalam bab sebelumnya, maka lahatol perlu dimaknai sebagai formulasi kearifan yang bertujuan mempertahankan kekerabatan keluarga yang diikat berdasarkan garis keturunan atau hubungan darah. Nilai dalam konteks ini dapat dimaknai sebagai sebuah konsepsi eksplisit atau implisit, yang khas dimiliki seorang individu atau kelompok, tentang yang seharusnya diinginkan yang memenuhi pilihan yang tersedia dari bentuk-bentuk, cara-cara dan tujuan-tujuan tindakan. Lahatol dalam prakteknya merupakan sebuah pertukaran sosial yang didasarkan pada asas resiprositas. Resiprositas dalam konteks analisis ini dimaknai sebagai suatu bentuk pertukaran barang dan jasa yang nilainya dianggap sama oleh keduabelah pihak. Artinya pihak yang memiliki acara mengharapkan sesuatu bantuan (expected reward) dari keluarga-keluarganya yang hadir dalam pertemuan tersebut. Sedangkan keluarga yang diundang dan hadir dalam pertemuan itu juga memiliki harapan (expected) yang sama bahwa pemberian bantuan (cost) yang ditanggung nantinya pada waktu tertentu akan kembali sebab sistem nilai budaya (lahatol) yang telah dikonsensuskan bersama 48

2 memang memberi ruang fair exchange. Jadi model pertukaran seperti ini sebenarnya bermakna investasi, baik investasi ekonomi maupun investasi jasa. Sebab expected reward keluarga yang memberikan bantuan itu tampak berupa kepercayaan terhadap nilai lahatol bahwa cost yang telah dikeluarkan nanti akan kembali pada waktu tertentu. Masalahnya adalah apakah harapan atas dasar kepercayaan itu selalu terpenuhi nantinya? Tentu, sebab mekanisme lahatol menjamin keterpenuhan expected reward dengan sistem not, yang diartikan sebagai sistem pencatatan barang dan jasa yang dibayarkan atau ditanggung oleh keluarga. Polanya adalah catatan (nota) akan disimpan oleh orang yang dipercaya keluarga untuk melakukan fungsi pencatatan tersebut. 1 Kemudian pada saat lahatol berikutnya, sang pencatat (not) akan menjelaskan hasil catatannya kepada keluarga, dan berdasarkan hasil pencatatan inilah tanggungjawab atau kewajiban-kewajiban keluarga-keluarga akan ditetapkan dalam bentuk pemberian barang dan jasa. Dalam konteks inilah fair exchange bermakna dalam sistem lahatol, dan not yang merupakan aspek penting dalam lahatol dapat dimaknai sebagai norma bersama. Menurut Peter M. Blau, manifestasi paling dramatis tentang perlunya norma sosial ditemukan dalam berbagai situasi sosial dimana kepentingan semua pihak, tidak hanya sebagian, perlu dilindungi dengan norma sosial karena pengejaran kepentingan pribadi tanpa batasan-batasan normatif dapat mengalahkan kepentingan pribadi dari pihak lain yang terlibat dan akan mengarah ke konflik. Dalam perspektif seperti ini, maka not yang merupakan aspek penting dalam lahatol perlu dimaknai sebagai norma bersama yang melindungi kepentingan kelurga dalam satu matarumah. Norma dengan 1 Dalam konteks ini, Not sekaligus memiliki dua makna, yakni: merujuk pada orang yang mencatat, dan sekaligus merujuk pada hasil catatan yang disimpan untuk kepentingan lahatol selanjutnya. 49

3 demikian dimaknai sebagai aturan mendorong sekaligus membatasi tindakan setiap rumah tangga, keluarga bahkan setiap individu untuk berbuat dan tidak berbuat sesuatu. Pertanyaannya mengapa norma bersama dalam bentuk not ini perlu ada, jika kegiatan (lahatol) yang dilakukan dasarnya adalah hubungan kekerabatan atau hubngan darah? Bukankan yang namanya keluarga sudah seharusnya saling membantu? Konfirmasi konseptual dan teoritis pada pemikiran Petter Blau tentang pertukaran, menunjukan adanya konsep fair exchange atau pertukaran yang adil. Artinya bahwa sebagai manusia tentu masing-masing orang atau bahkan kelompok (rumah tangga) memiliki kepentingan-kepentingan lain dalam diri dan kelompok, yang terkadang bertujuan mementingkan diri sendiri, karena itu, untuk menekan kepentingan pribadi itu diperlukan not. Dalam pemahaman seperti inilah not perlu ditempatkan norma yang pada satu sisi membatasi perilaku atau tindakan setiap orang dan di sisi lain juga mendorong agar orang berprilaku atau bertindak. Masyarakat Haria tentu tidak mengenal Peter M. Blau, apalagi teorinya. Namun dalam praktek budaya lahatol pemikiran tokoh ini terkonfirmasi, dan bisa dikatakan bahwa lahatol telah lebih dulu dipraktekan sebelum Blau berteori. Mereka (masyarakat) Haria membutuhkan norma bersama (not) agar sistem saling-tolong ini dapat terlaksana secara adil dan bertanggungjawab. Karena itu, lahatol bukan soal siapa yang untung (beruntung) dan siapa yang rugi (buntung). Lahatol adalah praktek hidup yang mengharuskan semua saling memberi dan menerima, dan agar terlaksana dengan baik, maka diperlukan bukti dalam bentuk pencatatan (not). Artinya dalam sistem lahatol tidak ada satu rumah tangga pun yang lepas dari kewajiban dan haknya. Argumentasi ini menunjukan bahwa yang diutamakan dalam tatanan hidup masyarakat Haria khususnya pada praktek lahatol adalah bahwa setiap individu atau 50

4 rumah tangga memiliki kewajiban untuk membantu yang lain, jadi kewajiban lebih diutamakan kemudian hak. Artinya setiap orang harus lebih dulu memenuhi kewajibannya dalam membantu yang lain barulah kemudia mendapatkan hak untuk dibantu oleh yang orang lain. Pola ini dapat dikonstruksikan sebagai seorang ayah berkewajiban memenuhi kebutuhan keluarganya kemudian pada sisi yang lain si ayah akan menerima hak kepatuhan anggota keluarga kepada dirinya. Dengan kata lain, lahatol dapat dimaknai sebagai kewajiban memberi sesuatu barang atau jasa kepada orang lain yang membutuhkan. Jadi dalam lahatol hak dikesampingkan, sebab hak berkaitan dengan pilihan untuk memberi atau tidak memberi, lahatol menuntut kewajiban memberi yang harus dipenuhi, minimal pemberian dalam bentuk tenaga (kerja), atau dengan kata lain pemberian dengan suka rela, tanpa paksaan. Namun konsensus nilai (lahatol) itu sendiri bersifat memaksa atau mengikat kewajiban-kewajiban setiap orang. Dasar pikirnya adalah bahwa membantu saudara adalah sama saja dengan membantu diri sendiri, apalagi lahatol memberi ruang bagi pengembalian tertunda atas dasar kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap rumah tangga atau keluarga. Not atau sistem pencatatan pemberian tidak hanya berlaku bagi keluargakeluarga yang hadir dalam pertemuan tersebut, jika terjadi sebuah acara atau kegiatan, pihak keluarga diberi hak untuk mengundang semua keluarga (matarumahnya), dan mereka memiliki kewajiban untuk hadir dalam rapat keluarga tersebut, ketidak-hadiran salah satu keluarga (rumah tangga) biasanya sudah disertai alasan dan keputusan akan menanggung apa; atau sekalipun ada keluarga yang tidak hadir, maka Upu diberi kewenangan untuk mendatangi rumah yang bersangkutan dan kemudian memberitahukan kepada not untuk dicatat. 51

5 Ketika hari pelaksanaan, semua anggota keluarag dalam satu matarumah akan berkumpul dan mengerjakan pekerjaan secara bersama-sama, atau perwakilan dari setiap keluarga akan hadir untuk membantu. Misalnya lahatol membangun rumah, maka pada hari pelaksanaan pembangunan, perwakilan dari setiap rumah tangga akan hadir untuk mengerjakan, baik yang perempuan maupun laki laki. Perempuan akan melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan masak-memasak, dan laki laki akan melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan pembangunan rumah. Tentu bantuan bahan (material) telah lebih dulu terkumpul sebelum hari pembangunan itu ditentukan. Itulah fungsi rapat kelurga diadakan untuk membagi tugas, membagi tanggungan dan mengumpulkan tanggungan. Dalam proses pembangunan ini, soal makan para pekerja akan ditanggung oleh keluarga yang rumahnya dibangun. Tanggungan ini-pun sebenarnya telah terbantukan sejak sebelum rumah dibangun dengan sistem lahatol itu, sebab dalam rapat keluarga, pemberian bantuan oleh keluarga sudah pasti memenuhi unsur sandang, pangan, dan papan. Proses pekerjaan, misalnya pembangunan rumah itu akan dilakukan secara bersama-sama dalam suasana kekeluargaan, jadi, jika mencermati lebih mendalam, tujuan lahatol adalah bukan saja soal tolong-menolong orang saudara, tetapi lebih pada upaya terus mengeratkan kerukunan dan kekeluargaan pada satu matarumah sekaligus sebagai pola pewarisan silsilah keluarga, sebab dalam lahatol silsilah keluarga juga akan diceritakan. Di sini, kepentingan individu tergantikan oleh kepentingan matarumah guna mewujudkan harmoni sosial. 52

6 Walaupun sistem kerja sama atas dasar kekeluargaan (hubungan darah) ini dianggap sangat baik, namun dalam prakteknya lahatol tidak lagi dilakukan seperti masa leluhur mereka. 2 Ketua Majelis Jemaat GPM Haria mengatakan bahwa: Kegiatan lahatol kalau mau dikaji lebih dalam sebenarnya tidak hanya bertujuan mengeratkan kekeluargaan dalam bentuk hubungan darah, tapi lebih dari ini memberikan spirt positif bagi tatanan sosial secara umum, sebab pola tolong-menolong itu pada akhirnya memciptakan tertib sosial. Sayangnya, akhir-akhir ini lahatol sudah mulai jarang dilakukan, hal ini diakibatkan oleh berbagai hal, misalnya: akibat modernisasi, dan perkembangan ekonomi keluarga, artinya keluarga yang secara ekonomi sudah mampu tidak lagi mengharapkan bantuan secara ekonomi dari keluarga yang lain, bahkan bantuan jasa juga kadang-kadang tidak, dia mengerjakan sendiri dan menggunakan tenaga juga tukang yang dibayar untuk mengerjakan perkerjaannya, misalnya dalam membangun rumah, karena itu, pola membayar tenaga kerja ini menciderai lahatol. 3 Sungguh disayangkan jika nantinya budaya lahatol ini hilang ditelan perkembangan zaman. Disayangkan sebab lahatol bukan saja sistem tolong-menolong bisa namun juga mencakup kepentingan lebih besar, yakni, pewarisan silsilah keluarga. Dalam lahatol, Upu akan mengisahkan silsilah keluarga, saling memperkenalkan yang muda kepada yang tua, dan menjelaskan garis keturunan; dalam lahatol pula tujuan perwujudan harmoni sosial atau solidaritas sosial dalam arti yang lebih luas akan diwujudkan, sebab diandaikan bahwa jika tatanan sosial mikro dan mezo hidup dalam situasi kekelurgaan yang toleran, maka tatanan sosial makro akan dengan sendirinya terwujud sebagai tatanan yang solider, harmonis, dan toleran pula Lahatol Sebagai Nilai Perekat Solidaritas Sosial: Sebuah Refleksi Teologis Berdasarkan analisis di atas, lahatol dapat diformulasikan sebagai: sistem saling membantu atau tolong-menolong dan saling melayani di antara sesama keluarga demi 2 Wawancara dengan Kel. Pelamonia, Kel Souhoka, Kel. Polnaya, Tgl 17 Desember 2011, Kel. Patileamonia, Kel. Loupatty, Tgl 19 Desember 2011, Kel. Mataheru, Tgl 20 Desember 2011, dan Pdt. S. Matulapelwa, S.Th (Ketua Majelis GPM Haria) Tgl 31 Desember Masing-masing di tempat tinggal mereka. 3 Wawancara Pendeta Sammy Matulapelwa, S.Th, tanggal 31 Desember 2011, di Pastori Jemaat 53

7 terwujudnya persekutuan hidup yang dapat mempererat dan memperkokoh ikatan orang basudara yang merupakan warisan leluhur. Dalam prakteknya, nilai-nilai seperti: kerjasama, tolong-menolong atau melayani, persekutuan atau kekeluargaan dan nilai tanggungjawab sosial merupakan bagian yang menyatu dalam sistem lahatol. Nilainilai seperti ini tentu tidak bisa direduksi sebatas satu matarumah saja, nilai-nilai ini bersifat universal yang ada pada hampir komunitas masyarakat. Dengan pemahaman seperti itu, maka kepentingan untuk mengangkat praktek lahatol pada level yang lebih tinggi menjadi bermakna, misalnya pelaksanaan lahatol pada level Soa, level rumpun (Uku Toru dan Rumu Toru) atau bahkan pada level negeri menjadi relevan. Nilai-nilai yang mendasarasinya memberi ruang untuk itu dan tidak harus selalu dimonopoli pelaksanaannya pada level matarumah. Upaya ini memang tentu bukan upaya mudah, dibutuhkan kesadaran dan komitmen dari tua-tua adat dan pemerintah minimal pemerintah negeri memikirkan dan mendorong nilai bersama (lahatol) pada level yang lain, agar solidaritas sosial atau harmoni sosial setidaknya dapat diwujudkan dalam praktek nilai budaya lokal. Mencermati nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, lahatol dapat saja dikonstruksi sebagai nilai kebaikan bersama (etika publik) bagi orang Maluku, minimal bagi orang Haria. Dengan komitmen untuk (setidaknya) dapat berkonsensus tentang hal ini, diharapkan budaya lahatol tidak akan hilang ditelan zaman modernisasi, tetapi akan tetap hidup sebagai arahan perilaku bagi masyarakat Haria mewujudkan harmoni sosial. Budaya dipahami sebagai keseluruhan dari semua yang timbul secara spontan guna kemajuan kehidupan material dan sebagai suatu ekspresi dari kehidupan spiritual dan moril, pergaulan sosial dan ilmu pengetahuan. Penyebab lahatol semakin hilang 54

8 selain dari masuknya modernisasi yang diakibatkan oleh kurangnya pemahaman masyarakat Haria tentang pentingnya budaya lahatol itu sendiri bahkan faktor ekonomi masyarakat Haria yang sudah semakin membaik ditambah lagi dengan sifat ego yang semakin tinggi padahal lahatol adalah suatu usaha menciptakan kembali suatu persekutuan atau komunitas 4 yang saling merasakan beban orang lain. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa manusia diciptakan ke dalam persekutuan manusia yang sepenuhnya bila ia hidup dalam persekutuan yaitu apabila ia mempunyai relasi dengan sesama. Dalam konteks masyarakat Haria, relasi dengan sesama itu telah dengan sadar digerakan oleh budaya lahatol yang dalam prakteknya masih sebatas matarumah, dengan demikian, maka konstruksi lahatol sebagai nilai kebaikan bersama yang mendasari relasi sosial menjadi sangat relevan. Tidak hanya relasi sesama dalam pengertian suku atau etnis, namun dapat juga mencakup relasi sesama dalam beragama. Dikatakan demikian, sebab membangun relasi bersama antar umut beragama akan menjadi sulit jika didasarkan pada kepercayaan dan doktrin yang dianut, relasi antar umut beragama hanya akan berlaku dengan baik bila yang mendasarinya adalah nilai bersama, salah satunya lahatol itu. Lahatol membuka ruang bagi kerjasama, tolong-menolong, saling melayani, dan tanggungjawab sosial. Nilai-nilai ini tentu juga diajarkan oleh semua agama, namun jika relasi antar umat beragama ditekankan pada perspektif agama juga, sejarah membuktikan bahkan fakta itu pernah terjadi di Maluku bahwa relasi seperti ini cukup berpotensi perpecahan. Dengan dasar pemahaman persekutuan manusia dapat mengembangkan kebudayaan untuk kehidupan bersama sebab tidak ada kebudayaan yang individual dan 4 Mencermati pemaknaan komunitas dari Blau yang telah dijelaskan pada Bab II, ruang bagi gagasan mengangkat lahatol pada level berbeda itu menjadi relevan 55

9 tidak ada manusia yang hidup bagi dan dengan dirinya sendiri. Setiap kebudayaan dikembangkan berdasarkan keyakinan yang menjadi motivasi dan sekaligus tujuan dari persekutuan yang bersangkutan. 5 Persekutuan harus merupakan medan atau lingkungan hidup dan panggilan, yang saling memperkuat dan memperkaya satu sama lain. Mencermati praktek lahatol oleh masyarakat Haria, maka nilai-nilai universal yang dapat dikonstruksikan sebagai kebaikan bersama, antara lain: kekeluargaan, kerjasama dan saling melayani yang bertujuan mewujudkan harmoni sosial. Kekelurgaan dalam perspektif antropologi merupakan satu jenis kelompok kekerabatan, atau kingroup. Antara anggota keluarga terjalin hubungan kekerabatan (kinship). Karena dalam kehidupan tradisional pedesaan, masyarakat desa atau negeri dikenal sebagai sebuah kelompok kekerabatan, sebagai sebuah keluarga besar, atau semua warga desa, secara ideal merasa berkerabat satu sama yang lain 6. Dengan demikian, persekutuan kekerabatan bukan sekedar membina relasi yang harmonis dan kompak saja tetapi membina persekutuan berarti makna partisipasi atau ambil bagian dalam sesuatu hal yang satu dan sama sehingga persekutuan menjadi sebuah hasil dari tindakan partisipasi dalam sesuatu yang satu dan sama-sama. Hal senada juga dikemukakan oleh Meyer Fortes tentang the axiom of amity, yakni, hukum pertemanan, atau prinsip solidaritas, atau nilai kesetiakawan dan lainnya, yang lebih lanjut dimaknai sebagai hukum pertemanan, prinsip solidaritas, saling bantu, saling merasakan, saling melayani, saling mengasihi merupakan inti dari hubungan kekeluargaan 7. Dan, esensi itu tampak dalam praktek lahatol di negeri Haria. 5 Th Kobong. Iman dan Kebudayaan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 17 6 Amir Marsali, Antropologi dan Pembangunan Indonesia, (Jakarta: Kencana. 2005), Roger M. Keesing, Kin Groups and Social Structure, (Austin Texas: Holt Rinehart and Winston, 1975), 14 56

10 Sedangkan kerjasama dalam perspektif lahatol dimaknai sebagai proses partisipasi dalam memadukan kelebihan dan kekurangan sehingga terjalin kesempurnaan yang diharapkan bersama. Kerjasama untuk saling mengisi kekurangan dan keterbatasan yang dimiliki, sedangkan kelebihan-kelebihan yang ada menjadi modal dasar untuk mengembangkan diri, setiap keluarga saling memberdayakan dan mengembangkan kapasitas baik kapasitas keluarga inti maupun kapasitas kelembagaan kekeluargaan, atas dasar prinsip saling memiliki. Selanjutnya nilai saling melayani merupakan nilai utama sebagai perekat seluruh proses ber-lahatol. Saling melayani tidak saja bermana sosial budaya namun juga bermakna religius. Aspek religiusitas lahatol adalah nilai pengikat persaudaraan yang melewati sekat-sekat suku, agama dan ras, karena setiap orang merasa setara dalam lahatol. Tidak ada yang ditinggikan sebagai tuan, dan tidak ada yang diperhamba. Dalam lahatol, semua orang saling memberi, saling menerima, mengasihi menjaga, saling bekerjasama, dan saling melayani. Praktek lahatol sebagai wujud persekutuan dan persaudaraan inilah yang mampu menawarkan air sejuk bagi kehidupan masyarakat. Yesus Kristus hadir dengan KASIH yang memang menawarkan kesamaderajadan bagi setiap umat manusia untuk saling bisa bekerjasama, mengasihi, dan melayani atas dasar kasih. Hidup adalah pengabdian bagi orang yang memerlukan pelayanan sukacita mereka adalah sukacita bersama, dukacita dan air mata adalah dukacita bersama. Yesus pun mengajarkan hal yang sama dalam Roma 12:15 "bersukacitalah dengan orang yang bersukacita dan menangislah dengan orang yang menangis". Semangat pelayanan kepada orang lain mestinya terbuka dari hati, mencintai atau mengasihi orang lain, tidak mencari kepentingan diri dan melayani orang lain haruslah tanpa pamrih. 57

11 Berdasarkan pemaknaan (rasionalisasi) tentang nilai-nilai yang terkandung dalam lahatol, maka refleksi teologis atasnya perlu ditempatkan dalam konteks pelayanan. Hal demikian dikarenakan lahatol mengandung nilai-nilai: kerjasama, kejujuran, saling menghargai, dan tanggungjawab. Dengan demikian maka lahatol sebagai sebuah nilai relevan untuk model pelayanan seperti itu, pelayanan yang didasarkan atas kasih, seperti yang telah diuraikan di atas, pelayanan yang menempatkan setiap orang sebagai saudara bagi yang lainnya. Dalam konteks seperti ini, lahatol perlu diapresiasi dan didorong untuk menjadi nilai bersama dalam pelayanan, maupun dalam tatanan kehidupan yang lebih luas, misalnya pada level Soa, rumpun, atau dengan kata lain pada level desa, dan tidak terbatas pada level matarumah. 58

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, BAB IV ANALISIS 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, yang secara sadar maupun tidak telah membentuk dan melegalkan aturan-aturan yang

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS. persaudaraan antar keluarga/gandong sangat diprioritaskan. Bagaimana melalui meja

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS. persaudaraan antar keluarga/gandong sangat diprioritaskan. Bagaimana melalui meja BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS Salah satu adat perkawinan di Paperu adalah adat meja gandong. Gandong menjadi penekanan utama. Artinya bahwa nilai kebersamaan atau persekutuan atau persaudaraan antar keluarga/gandong

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat,

PENDAHULUAN. satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat, BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 1.1. Identifikasi Permasalahan Adanya ikatan persaudaraan ibarat adik kakak yang terjalin antar satuan kekerabatan suatu ikatan yang dituturkan dalam sebuah cerita rakyat,

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1 PERMASALAHAN Latar Belakang Masalah

UKDW BAB I PENDAHULUAN 1.1 PERMASALAHAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 PERMASALAHAN 1.1.1 Latar Belakang Masalah Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) adalah Gereja mandiri bagian dari Gereja Protestan Indonesia (GPI) sekaligus anggota Persekutuan Gereja-Gereja

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGI

BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGI BAB IV ANALISA DAN REFLEKSI TEOLOGI Dalam bab ini berisi tentang analisa penulis terhadap hasil penelitian pada bab III dengan dibantu oleh teori-teori yang ada pada bab II. Analisa yang dilakukan akan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. tertentu. Untuk menjawab topik dari penelitian ini, yakni Etika Global menurut Hans Küng

BAB V PENUTUP. tertentu. Untuk menjawab topik dari penelitian ini, yakni Etika Global menurut Hans Küng BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Pertama, sebuah konsep etika dibangun berdasarkan konteks atau realita pada masa tertentu. Untuk menjawab topik dari penelitian ini, yakni Etika Global menurut Hans Küng ditinjau

Lebih terperinci

BAB III DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN hektar, dengan batas-batas desa sebagai berikut: sebelah Timur berbatasan dengan

BAB III DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN hektar, dengan batas-batas desa sebagai berikut: sebelah Timur berbatasan dengan BAB III DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN 3.1. Potret Desa Haria 3.1.1. Kondisi Geografis Desa Haria merupakan salah satu desa diantara 17 desa di Pulau Saparua dan berada dalam wilayah pelayanan Klasis GPM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, beberapa budaya Indonesia yang terkikis oleh budaya barat sehingga generasi muda hampir melupakan budaya bangsa sendiri. Banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar dalam menjalankan tata hukum di Indonesia. Oleh sebab itu, untuk

Lebih terperinci

Pentingnya Toleransi Umat Beragama Sebagai Upaya Mencegah Perpecahan Suatu Bangsa

Pentingnya Toleransi Umat Beragama Sebagai Upaya Mencegah Perpecahan Suatu Bangsa Pentingnya Toleransi Umat Beragama Sebagai Upaya Mencegah Perpecahan Suatu Bangsa Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, toleransi berasal dari kata toleran yang berarti sifat/sikap menenggang (menghargai,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Teori Relasi Kekuasaan Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki- laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pihak laki-laki. Ideologi Patriakat tumbuh subur dalam masyarakat yang

BAB I PENDAHULUAN. pihak laki-laki. Ideologi Patriakat tumbuh subur dalam masyarakat yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sistem kekerabatan yang dianut masyarakat Indonesia umumnya adalah masyarakat patrilineal. Patrilineal adalah kekuasaan berada di tangan ayah atau pihak laki-laki.

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam di mana mengakui keberagaman,

BAB IV KESIMPULAN. dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam di mana mengakui keberagaman, BAB IV KESIMPULAN Masyarakat yang plural atau majemuk merupakan masyarakat yang dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam di mana mengakui keberagaman, perbedaan, dan kemajemukan budaya, baik ras, suku,

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan IMPLEMENTASI NILAI GOTONG-ROYONG DAN SOLIDARITAS SOSIAL DALAM MASYARAKAT (Studi Kasus pada Kegiatan Malam Pasian di Desa Ketileng Kecamatan Todanan Kabupaten Blora) NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian

Lebih terperinci

DIMANA BUMI DIPIJAK DISITU LANGIT DIJUNJUNG

DIMANA BUMI DIPIJAK DISITU LANGIT DIJUNJUNG DIMANA BUMI DIPIJAK DISITU LANGIT DIJUNJUNG Bangsa Indonesia yang merupakan negara kepulauan, memiliki beraneka ragam suku bangsa dan budaya. Masing-masing budaya memiliki adat-istiadat, kebiasaan, nilai-nilai

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Simpulan dan Saran. Keduanya merupakan bagian penutup dari tesis ini.

BAB V PENUTUP. Simpulan dan Saran. Keduanya merupakan bagian penutup dari tesis ini. BAB V PENUTUP Pada bagian ini akan dikemukakan tentang dua hal yang merupakan Simpulan dan Saran. Keduanya merupakan bagian penutup dari tesis ini. A. Simpulan 1. Denda adat di Moa merupakan tindakan adat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam kehidupan di Indonesia pluralitas agama merupakan realitas hidup yang tidak mungkin dipungkiri oleh siapapun. Di negeri ini semua orang memiliki kebebasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang

BAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap negara memiliki beragam norma, 1 moral, 2 dan etika 3 yang menjadi pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang berbeda-beda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara kesatuan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas hingga Pulau Rote yang penuh dengan keanekaragaman dalam berbagai

Lebih terperinci

2015 KAJIAN NILAI-NILAI BUDAYA UPACARA ADAT NYANGKU DALAM KEHIDUPAN DI ERA MODERNISASI

2015 KAJIAN NILAI-NILAI BUDAYA UPACARA ADAT NYANGKU DALAM KEHIDUPAN DI ERA MODERNISASI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan keanekaragaman budaya, hal ini dikarenakan Indonesia terdiri dari berbagai suku dan adat budaya. Setiap suku

Lebih terperinci

BAB IV MAKNA ARUH MENURUT DAYAK PITAP. landasan untuk masuk dalam bagian pembahasan yang disajikan dalam Bab IV.

BAB IV MAKNA ARUH MENURUT DAYAK PITAP. landasan untuk masuk dalam bagian pembahasan yang disajikan dalam Bab IV. BAB IV MAKNA ARUH MENURUT DAYAK PITAP 4.1. PENDAHULUAN Bertolak dari uraian tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, dan tujuan penelitian yang terdapat dalam Bab I, yang dilanjutkan dengan pembahasan

Lebih terperinci

BAB 4 PENUTUP. pengguna Sterilisasi dan Rumah Sakit Umum Daerah Haulussy Ambon.

BAB 4 PENUTUP. pengguna Sterilisasi dan Rumah Sakit Umum Daerah Haulussy Ambon. BAB 4 PENUTUP Pada bab ini akan di tulis kesimpulan dan saran untuk Gereja, para Medis, pengguna Sterilisasi dan Rumah Sakit Umum Daerah Haulussy Ambon. 4.1 KESIMPULAN 1. Sterilisasi dipilih oleh kebanyakan

Lebih terperinci

BAB V. Penutup. GKJW Magetan untuk mengungkapkan rasa syukur dan cinta kasih karena Yesus

BAB V. Penutup. GKJW Magetan untuk mengungkapkan rasa syukur dan cinta kasih karena Yesus BAB V Penutup 5.1 Kesimpulan dan Refleksi Upacara slametan sebagai salah satu tradisi yang dilaksanakan jemaat GKJW Magetan untuk mengungkapkan rasa syukur dan cinta kasih karena Yesus sebagai juruslamat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN TEORI BAB II TINJAUAN TEORI 2.1. Konsep Pertukaran Sosial Peter M. Blau mengembangkan teori pertukaran sosial dengan memusatkan perhatian pada struktur sosial yang lebih luas yang beradasar pada analisis terhadap

Lebih terperinci

TUGAS AGAMA KLIPING KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA, ANTAR SUKU, RAS DAN BUDAYA

TUGAS AGAMA KLIPING KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA, ANTAR SUKU, RAS DAN BUDAYA TUGAS AGAMA KLIPING KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA, ANTAR SUKU, RAS DAN BUDAYA Nama : M. Akbar Aditya Kelas : X DGB SMK GRAFIKA DESA PUTERA Kerukunan Antar Umat Beragama. Indonesia adalah salah satu negara

Lebih terperinci

1 Wawancara dengan bpk sumarsono dan remaja di panti asuhan Yakobus

1 Wawancara dengan bpk sumarsono dan remaja di panti asuhan Yakobus BAGIAN IV TINJAUAN KRITIS ATAS UPAYA PELAKSANAAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN BAGI REMAJA YANG BERAGAMA KRISTEN DAN NON KRISTEN DIPANTI ASUHAN YAKOBUS YANG SESUAI DENGAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL. 4.1 Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Bangsa Indonesia adalah bangsa yang khas dengan pluralitas agama dan budaya. Pluralitas sendiri dapat diterjemahkan sebagai kemajemukan yang lebih mengacu pada jumlah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA. Bab IV ini merupakan serangkaian analisis dari data lapangan sebagaimana yang telah

BAB IV ANALISA. Bab IV ini merupakan serangkaian analisis dari data lapangan sebagaimana yang telah BAB IV ANALISA Bab IV ini merupakan serangkaian analisis dari data lapangan sebagaimana yang telah dideskripdikan di dalam Bab III. Sedangkan upaya pendekatan yang dipakai untuk menganalisis pokok-pokok

Lebih terperinci

Level 2 Pelajaran 10

Level 2 Pelajaran 10 Level 2 Pelajaran 10 PERNIKAHAN (Bagian 1) Oleh Don Krow Hari ini kita akan bahas mengenai pernikahan. Pertama-tama, saya ingin sampaikan beberapa data statistik: 75% dari seluruh rumah tangga memerlukan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA DAN REFLEKSI TEOLOGIS. Di dalam pasal 1 Undang-Undang No.1, 1974 menyebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan

BAB IV ANALISIS DATA DAN REFLEKSI TEOLOGIS. Di dalam pasal 1 Undang-Undang No.1, 1974 menyebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan BAB IV ANALISIS DATA DAN REFLEKSI TEOLOGIS A. Kaus Nono dalam Perkawinan Meto Di dalam pasal 1 Undang-Undang No.1, 1974 menyebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Islam adalah agama rahmatan lil alamin.ajarannya diperuntukkan bagi umat

BAB I PENDAHULUAN. Islam adalah agama rahmatan lil alamin.ajarannya diperuntukkan bagi umat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Islam adalah agama rahmatan lil alamin.ajarannya diperuntukkan bagi umat manusia secara keseluruhan. Ajaran Islam dapat berpengaruh bagi umat manusia dalam segala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu suku yang dapat ditemui di Sumatera bagian Utara yang ber-ibukota Medan.

BAB I PENDAHULUAN. satu suku yang dapat ditemui di Sumatera bagian Utara yang ber-ibukota Medan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pulau Sumatera merupakan salah satu pulau terbesar di Indonesia dan memiliki penduduk dengan beraneka ragam suku. Suku Batak merupakan salah satu suku yang dapat ditemui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki banyak suku, etnis dan budaya. Salah satunya adalah suku X di Kabupaten Papua yang menganut tradisi potong jari ketika salah seorang anggota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masyarakat dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak bisa dilepaspisahkan karena,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masyarakat dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak bisa dilepaspisahkan karena, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat dan kebudayaan adalah dua hal yang tidak bisa dilepaspisahkan karena, masyarakat adalah pencipta sekaligus pendukung kebudayaan. Dengan demikian tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan dapat diartikan secara umum sebagai usaha proses pembentukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan dapat diartikan secara umum sebagai usaha proses pembentukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan dapat diartikan secara umum sebagai usaha proses pembentukan budi-pekerti dan akhlak-iman manusia secara sistematis, baik aspek ekspresifnya yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu

BAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan merupakan totalitas latar belakang dari sistem nilai, lembaga dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik secara efektif dapat

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kehidupan di perkotaan diperhadapkan dengan sebuah realita kehidupan yang kompleks. Pembangunan yang terus berlangsung membuat masyarakat berlomba-lomba untuk

Lebih terperinci

TERWUJUDNYA MASYARAKAT SELOMARTANI YANG AGAMIS SEJAHTERA BERBUDAYA DAN MANDIRI DENGAN KETAHANAN PANGAN PADA TAHUN 2021

TERWUJUDNYA MASYARAKAT SELOMARTANI YANG AGAMIS SEJAHTERA BERBUDAYA DAN MANDIRI DENGAN KETAHANAN PANGAN PADA TAHUN 2021 VISI TERWUJUDNYA MASYARAKAT SELOMARTANI YANG AGAMIS SEJAHTERA BERBUDAYA DAN MANDIRI DENGAN KETAHANAN PANGAN PADA TAHUN 2021 MISI 1 Menigkatkan kerukunan keharmonisan kehidupan masyarakan dalam melaksanakan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbicara akan persoalan Perjamuan Kudus maka ada banyak sekali pemahaman antar jemaat, bahkan antar pendeta pun kadang memiliki dasar pemahaman berbeda walau serupa.

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. mempertahankan identitas dan tatanan masyarakat yang telah mapan sejak lama.

BAB V PENUTUP. mempertahankan identitas dan tatanan masyarakat yang telah mapan sejak lama. BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan pembahasan kasus konversi agama di Bukitsari maka dapat disimpulkan bahwa beberapa kepala keluarga (KK) di daerah tersebut dinyatakan benar melakukan pindah agama

Lebih terperinci

Menurut penerbitnya, buku Studying Christian Spirituality ini adalah

Menurut penerbitnya, buku Studying Christian Spirituality ini adalah Tinjauan Buku STUDYING CHRISTIAN SPIRITUALITY Jusuf Nikolas Anamofa janamofa@yahoo.com Judul Buku : Studying Christian Spirituality Penulis : David B. Perrin Tahun Terbit : 2007 Penerbit : Routledge -

Lebih terperinci

MILIK UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan

MILIK UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Tidak dapat dipungkiri bahwa ada begitu banyak tuntutan, tanggungjawab dan kewajiban yang tidak bisa diabaikan oleh seorang pendeta jemaat. Dengan berbagai

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Pada bagian ini akan di paparkan tentang kesimpulan dan saran dari hasil penelitian

BAB V PENUTUP. Pada bagian ini akan di paparkan tentang kesimpulan dan saran dari hasil penelitian BAB V PENUTUP Pada bagian ini akan di paparkan tentang kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti. 5.1 Kesimpulan 1. Tidak dapat dipungkiri persoalan dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI. pertanyaan-pertanyaan penelitian, yang menjadi fokus penelitian. Selanjutnya,

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI. pertanyaan-pertanyaan penelitian, yang menjadi fokus penelitian. Selanjutnya, BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI Dalam bab ini, paparan hasil penelitian difokuskan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian, yang menjadi fokus penelitian. Selanjutnya, pada bagian berikutnya dipaparkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beberapa tujuan, kebutuhan dan cita-cita yang ingin dicapai, dimana masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. beberapa tujuan, kebutuhan dan cita-cita yang ingin dicapai, dimana masing-masing BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia pada dasarnya memiliki dua kedudukan dalam hidup yaitu sebagai seorang individu dan mahluk sosial. Sebagai seorang individu manusia mempunyai beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1976, p. 5

BAB I PENDAHULUAN. 1 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1976, p. 5 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia yang hidup dalam dunia pada umumnya menginginkan suatu hubungan yang didasari rasa saling mencintai sebelum memasuki sebuah perkawinan dan membentuk sebuah

Lebih terperinci

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERCERAIAN DI GKJW SE-KABUPATEN JEMBER (Suatu Analisa dengan Menggunakan Teori Pertukaran Sosial) Tesis Diajukan kepada Program Pasca Sarjana Magister Sosiologi Agama Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Perempuan merupakan kaum yang sering di nomor duakan di kehidupan sehari-hari. Perempuan seringkali mendapat perlakuan yang kurang adil di dalam kehidupan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ghoirumahdloh (horizontal). Sebagaimana firman Allah swt berikut:

BAB I PENDAHULUAN. ghoirumahdloh (horizontal). Sebagaimana firman Allah swt berikut: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Islam merupakan ajaran yang diberikan kepada manusia untuk dijadikan dasar dan pedoman hidup di dunia. Ajaran ini diturunkan untuk dilaksanakan di tengah-tengah kehidupan

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE-6 PRINSIP-PRINSIP ETIKA BISNIS

PERTEMUAN KE-6 PRINSIP-PRINSIP ETIKA BISNIS PERTEMUAN KE-6 PRINSIP-PRINSIP ETIKA BISNIS PRINSIP UMUM ETIKA BISNIS 1. Prinsip Otonomi 2. Prinsip Kejujuran 3. Prinsip Keadilan 4. Prinsip Saling Menguntungkan (Mutual benefit principle) 5. Prinsip Integral

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Modal sosial atau social capital merupakan satu terminologi baru yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Modal sosial atau social capital merupakan satu terminologi baru yang BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Modal sosial Modal sosial atau social capital merupakan satu terminologi baru yang dikembangkan oleh ahli-ahli sosial untuk memperkaya pemahaman kita tentang masyarakat dan komunitas.

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. sama lain. Lebih jauh standarisasi ini tidak hanya mengatur bagaimana

BAB V KESIMPULAN. sama lain. Lebih jauh standarisasi ini tidak hanya mengatur bagaimana BAB V KESIMPULAN Tidak dapat dipungkiri, setelah dianutnya gagasan hak asasi dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), masyarakat internasional sejak saat itu telah memiliki satu standar bersama dalam

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latarbelakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latarbelakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latarbelakang Pluralitas agama merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat lagi dihindari atau disisihkan dari kehidupan masyarakat umat beragama. Kenyataan akan adanya pluralitas

Lebih terperinci

Oleh Pdt. Daniel Ronda. Latar Belakang Pergumulan Pendidik

Oleh Pdt. Daniel Ronda. Latar Belakang Pergumulan Pendidik Oleh Pdt Daniel Ronda Latar Belakang Pergumulan Pendidik Profesi pendidik agama Kristen di sekolah negeri maupun swasta memiliki keistimewaan, karena dia sedang menolong kebutuhan anak didik dalam menemukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kualitas Perkawinan 1. Pengertian Kualitas Perkawinan Menurut Gullota (Aqmalia, 2009) kepuasan pernikahan merupakan perasaan pasangan terhadap pasangannya mengenai hubungan pernikahannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama anak, tempat anak meniru

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama anak, tempat anak meniru BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama anak, tempat anak meniru perilaku orang tua. Orang tua memiliki peran penting dalam membimbing, mengawasi, mengarahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia tidak terlepas dari adat dan kebudayaan. Adat

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Indonesia tidak terlepas dari adat dan kebudayaan. Adat BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakangMasalah Masyarakat Indonesia tidak terlepas dari adat dan kebudayaan. Adat adalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, norma kebiasaan, kelembagaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (2000) p Budyanto, Dasar Teologis Kebersamaan dalam Masyarakat yang Beranekaragam Gema Duta Wacana, Vol.

BAB I PENDAHULUAN. (2000) p Budyanto, Dasar Teologis Kebersamaan dalam Masyarakat yang Beranekaragam Gema Duta Wacana, Vol. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Negara Indonesia adalah negara yang sangat majemuk atau beraneka ragam, baik dilihat secara geografis, struktur kemasyarakatan, adat istiadat, kebiasaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Kata gender berasal dari kata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab I ini, penulis menjelaskan latar belakang terjadinya penulisan Disiplin

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab I ini, penulis menjelaskan latar belakang terjadinya penulisan Disiplin BAB I PENDAHULUAN Dalam bab I ini, penulis menjelaskan latar belakang terjadinya penulisan Disiplin Gereja dengan Suatu Kajian Pastoral terhadap dampak Psikologis bagi orang-orang yang dikenakan Disiplin

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. Kehidupan berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. Kehidupan berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola 1 BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Kehidupan berbangsa dan bernegara mempengaruhi pembentukan pola perilaku masyarakat. Perilaku ini tercermin dari perilaku individu selaku anggota masyarakat. Indonesia

Lebih terperinci

Dasar Kebersatuan Umat Kristen. Efesus 2: Pdt. Andi Halim, S.Th.

Dasar Kebersatuan Umat Kristen. Efesus 2: Pdt. Andi Halim, S.Th. Dasar Kebersatuan Umat Kristen Efesus 2:11-22 Pdt. Andi Halim, S.Th. Bicara soal kebersatuan, bukan hanya umat Kristen yang bisa bersatu. Bangsa Indonesia pun bersatu. Ada semboyan Bhineka Tunggal Ika,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Indonesia merupakan sebuah negara yang terkenal akan keanearagaman budaya yang dimiliki setiap suku bangsa yang mendiami wilayahnya. Kemajemukan Indonesia tercermin

Lebih terperinci

BAB IV. Makna Slametan Bagi Jemaat GKJW Magetan. 4.1 Pemahaman jemaat GKJW Magetan melakukan slametan

BAB IV. Makna Slametan Bagi Jemaat GKJW Magetan. 4.1 Pemahaman jemaat GKJW Magetan melakukan slametan BAB IV Makna Slametan Bagi Jemaat GKJW Magetan 4.1 Pemahaman jemaat GKJW Magetan melakukan slametan Jika kita kembali melihat kehidupan jemaat GKJW Magetan tentang kebudayaan slametan mau tidak mau gereja

Lebih terperinci

BAB V. Penutup: Refleksi, Kesimpulan dan Saran

BAB V. Penutup: Refleksi, Kesimpulan dan Saran BAB V Penutup: Refleksi, Kesimpulan dan Saran I. Refleksi Kehadiran saksi Yehova di tengah masyarakat Kelurahan Kawua yang merupakan bagian dari wilayah pelayanan GKST, pada akhirnya telah melahirkan tanggapan

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gereja hidup di tengah masyarakat. Gereja kita kenal sebagai persekutuan orangorang percaya kepada anugerah keselamatan dari Allah melalui Yesus Kristus. Yesus Kristus

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. Pustaka Pelajar, 2001, hlm Azyumardi Azra, Kerukunan dan Dialog Islam-Kristen Di Indonesia, dalam Dinamika

BAB IV ANALISIS. Pustaka Pelajar, 2001, hlm Azyumardi Azra, Kerukunan dan Dialog Islam-Kristen Di Indonesia, dalam Dinamika 44 BAB IV ANALISIS A. Kualitas Tingkat Toleransi Pada Masyarakat Dukuh Kasaran, Desa Pasungan, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten Toleransi antar umat beragama, khususnya di Indonesia bertujuan untuk menumbuhkan

Lebih terperinci

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 234 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Perkawinan merupakan rentetan daur kehidupan manusia sejak zaman leluhur. Setiap insan pada waktunya merasa terpanggil untuk membentuk satu kehidupan baru, hidup

Lebih terperinci

G. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SDLB TUNAGRAHITA

G. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SDLB TUNAGRAHITA - 919 - G. KOMPETENSI INTI DAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SDLB TUNAGRAHITA KELAS : I Kompetensi Sikap Spiritual, Kompetensi Sikap Sosial, Kompetensi Pengetahuan, dan Kompetensi Keterampilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta sebagai Runggun dan termasuk di dalam lingkup Klasis Jakarta-Bandung.

BAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta sebagai Runggun dan termasuk di dalam lingkup Klasis Jakarta-Bandung. BAB I PENDAHULUAN A. Permasalahan 1. Latar Belakang Masalah Gereja 1 dipahami terdiri dari orang-orang yang memiliki kepercayaan yang sama, yakni kepada Yesus Kristus dan melakukan pertemuan ibadah secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam sejarah masyarakat Maluku, budaya sasi merupakan kearifan lokal masyarakat yang telah ada sejak dahulu kala dan merupakan komitmen bersama baik oleh masyarakat, tokoh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. agama-agama asli (agama suku) dengan pemisahan negeri, pulau, adat yang

I. PENDAHULUAN. agama-agama asli (agama suku) dengan pemisahan negeri, pulau, adat yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberagamaan orang Maluku, dapat dipahami melalui penelusuran sejarah yang memberi arti penting bagi kehidupan bersama di Maluku. Interaksiinteraksi keagamaan

Lebih terperinci

BAB IV PEMAHAMAN TENTANG PERSEMBAHAN

BAB IV PEMAHAMAN TENTANG PERSEMBAHAN BAB IV PEMAHAMAN TENTANG PERSEMBAHAN Persembahan identik secara formal dengan memberikan sesuatu untuk Tuhan. Berkaitan dengan itu, maka dari penelitian dalam bab tiga, dapat disimpulkan bahwa, pemahaman

Lebih terperinci

STRUKTUR KURIKULUM 2013 MATA PELAJARAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA DAN SMK/MAK

STRUKTUR KURIKULUM 2013 MATA PELAJARAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA DAN SMK/MAK A. SD/MI KELAS: I STRUKTUR KURIKULUM 2013 MATA PELAJARAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA DAN SMK/MAK Kompetensi Dasar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 1. Menerima

Lebih terperinci

K. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SDLB TUNARUNGU

K. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SDLB TUNARUNGU - 506 - K. KOMPETENSI INTI DAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SDLB TUNARUNGU KELAS: I Kompetensi Sikap Spiritual, Kompetensi Sikap Sosial, Kompetensi Pengetahuan, dan Kompetensi Keterampilan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA USAHA PENGEMBANGAN JAMUR DI GEREJA BATAK KARO PROTESTAN (GBKP) BOGOR. 4.1 Analisa Usaha Pengembangan Jamur di GBKP Bogor

BAB IV ANALISA USAHA PENGEMBANGAN JAMUR DI GEREJA BATAK KARO PROTESTAN (GBKP) BOGOR. 4.1 Analisa Usaha Pengembangan Jamur di GBKP Bogor BAB IV ANALISA USAHA PENGEMBANGAN JAMUR DI GEREJA BATAK KARO PROTESTAN (GBKP) BOGOR 4.1 Analisa Usaha Pengembangan Jamur di GBKP Bogor Bila dilihat dari hasil penelitian yang penulis telah lakukan, usaha

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Di dalam Alkitab, setidaknya terdapat tiga peristiwa duka dimana Yesus

BAB V KESIMPULAN. Di dalam Alkitab, setidaknya terdapat tiga peristiwa duka dimana Yesus BAB V KESIMPULAN 5.1. Refleksi Di dalam Alkitab, setidaknya terdapat tiga peristiwa duka dimana Yesus hadir dalam tiga kesempatan yang berbeda: (1) Yesus membangkitkan anak Yairus (Matius 9:18-26, Markus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Gereja adalah persekutuan umat Tuhan Allah yang baru. Ungkapan ini erat hubungannya dengan konsep tentang gereja adalah tubuh Kristus. Dalam konsep ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Ibadah merupakan sebuah bentuk perjumpaan manusia dengan Allah, pun juga dengan corak masing-masing sesuai dengan pengalaman iman dari setiap individu atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang Masalah Kajian ilmu sosial pada saat ini menjadi permasalahan yang potensial bagi pengembangan karakter ilmu dalam dunia pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya

Lebih terperinci

BAB IV INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT WOTAY. moritari, penulis membahas bagaimana nilai-nilai penting moritari dapat menggerakkan

BAB IV INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT WOTAY. moritari, penulis membahas bagaimana nilai-nilai penting moritari dapat menggerakkan BAB IV INTEGRASI SOSIAL MASYARAKAT WOTAY 4.1. Pengantar. Integrasi masyarakat Wotay perlu dipahami dalam perspektif integrasi sosial. Dalam perspektif ini, budaya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

Memahami Budaya dan Karakter Bangsa

Memahami Budaya dan Karakter Bangsa Memahami Budaya dan Karakter Bangsa Afid Burhanuddin Kompetensi Dasar: Memahami budaya dan karakter bangsa Indikator: Menjelaskan konsep budaya Menjelaskan konsep karakter bangsa Memahami pendekatan karakter

Lebih terperinci

BAB 8 KESIMPULAN DAN KONTRIBUSI

BAB 8 KESIMPULAN DAN KONTRIBUSI BAB 8 KESIMPULAN DAN KONTRIBUSI 8.1. Kesimpulan Berdasarkan analisis dan pembahasan dalam penelitan ini maka dibuat kesimpulan dari fokus kajian mengenai, perubahan ruang hunian, gaya hidup dan gender,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkawinan pada hakikatnya secara sederhana merupakan bentuk kerjasama kehidupan antara pria dan wanita di dalam masyarakat. Perkawinan betujuan untuk mengumumkan

Lebih terperinci

Manusia, Kebutuhan, dan Etika. Nurasih Shamadiyah, S.Ant., M.Sc. Ilmu Sosial Budaya Dasar Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh 2015

Manusia, Kebutuhan, dan Etika. Nurasih Shamadiyah, S.Ant., M.Sc. Ilmu Sosial Budaya Dasar Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh 2015 Manusia, Kebutuhan, dan Etika Nurasih Shamadiyah, S.Ant., M.Sc. Ilmu Sosial Budaya Dasar Fakultas Pertanian Universitas Malikussaleh 2015 Kebutuhan Manusia Menurut Abraham Maslow (teori Maslow), kebutuhan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Menciptakan Harmonisasi Hubungan Antaretnik di Kabupaten Ketapang

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Menciptakan Harmonisasi Hubungan Antaretnik di Kabupaten Ketapang 248 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Penelitian ini mengkaji tentang Internalisasi Nilai Integrasi untuk Menciptakan Harmonisasi Hubungan Antaretnik di Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat. Dari hasil analisis

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN TERHADAP PERUBAHAN MINAT MELAYANI DARI PERSPEKTIF PERUBAHAN SOSIAL

BAB IV TINJAUAN TERHADAP PERUBAHAN MINAT MELAYANI DARI PERSPEKTIF PERUBAHAN SOSIAL BAB IV TINJAUAN TERHADAP PERUBAHAN MINAT MELAYANI DARI PERSPEKTIF PERUBAHAN SOSIAL Berdasarkan hasil penelitian yang tertuang dalam bab III, peneliti ingin memberi paparan analisis terhadap perubahan minat

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN. 1. Solidaritas Sosial sebagai Kekuatan dalam Hubungan Kekerabatan dan

BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN. 1. Solidaritas Sosial sebagai Kekuatan dalam Hubungan Kekerabatan dan BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN 1. Solidaritas Sosial sebagai Kekuatan dalam Hubungan Kekerabatan dan Perkawinan Masyarakat Aimoli Masyarakat di kampung Aimoli meyakini bahwa mereka adalah satu keluarga

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:

BAB V PENUTUP. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: BAB V PENUTUP Pada bagian ini penulisan akan dibagi menjadi dua bagian yaitu kesimpulan dan saran. 5.1.KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1. Gereja adalah persekutuan orang percaya

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG MASALAH

A. LATAR BELAKANG MASALAH I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kebudayaan dalam arti luas adalah perilaku yang tertanam, ia merupakan totalitas dari sesuatu yang dipelajari manusia, akumulasi dari pengalaman yang dialihkan

Lebih terperinci

BUKU KODE ETIK TENAGA KEPENDIDIKAN

BUKU KODE ETIK TENAGA KEPENDIDIKAN Kode Dokumen Nama Dokumen Edisi Disahkan Tanggal Disimpan di- KETK-AAYKPN Buku Kode Etik Tenaga Kependidikan 01-Tanpa Revisi 31 Agustus 2010 UPM-AAYKPN BUKU KODE ETIK TENAGA KEPENDIDIKAN AKADEMI AKUNTANSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. parkawinan akan terbentuk masyarakat kecil yang bernama rumah tangga. Di

BAB I PENDAHULUAN. parkawinan akan terbentuk masyarakat kecil yang bernama rumah tangga. Di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan jenjang awal pembentukan masyarakat, dari suatu parkawinan akan terbentuk masyarakat kecil yang bernama rumah tangga. Di dalamnya akan lahir

Lebih terperinci

BAB III KONSEP PENGASUHAN ANAK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

BAB III KONSEP PENGASUHAN ANAK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK BAB III KONSEP PENGASUHAN ANAK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK A. Gambaran Umum Undang-undang perlindungan anak dibentuk dalam rangka melindungi hakhak dan kewajiban anak,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah mahkluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah mahkluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah mahkluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya. Umumnya manusia sangat peka

Lebih terperinci

G. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SMPLB TUNANETRA

G. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SMPLB TUNANETRA - 190 - G. KOMPETENSI INTI DAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SMPLB TUNANETRA KELAS VII Kompetensi Sikap Spiritual, Kompetensi Sikap Sosial, Kompetensi Pengetahuan, dan Kompetensi Keterampilan

Lebih terperinci

V. EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT

V. EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT V. EVALUASI PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT Evaluasi program pengembangan masyarakat dalam bagian ini berisi tentang gambaran kapasitas kelompok mantan TKW di desa Cibaregbeg yang dapat dilihat pada kemampuan

Lebih terperinci

BUKU KODE ETIK DAN TATA TERTIB DOSEN UNIVERSITAS NGUDI WALUYO

BUKU KODE ETIK DAN TATA TERTIB DOSEN UNIVERSITAS NGUDI WALUYO BUKU KODE ETIK DAN TATA TERTIB DOSEN UNIVERSITAS NGUDI WALUYO TAHUN 2017 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayahnya Buku Kode Etik dan Tata tertib dosen Universitas

Lebih terperinci

UKDW BAB I PENDAHULUAN

UKDW BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. PERMASALAHAN 1. Latar Belakang Masalah a) Gambaran GKP Dan Konteksnya Secara Umum Gereja Kristen Pasundan atau disingkat GKP melaksanakan panggilan dan pelayanannya di wilayah Jawa

Lebih terperinci

Bab Tiga Belas Kesimpulan

Bab Tiga Belas Kesimpulan Bab Tiga Belas Kesimpulan Kehidupan manusia senantiasa terus diperhadapkan dengan integrasi, konflik dan reintegrasi. Kita tidak dapat menghindar dari hubungan dialektika tersebut. Inilah realitas dari

Lebih terperinci