BAB III METODE PENELITIAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III METODE PENELITIAN"

Transkripsi

1 BAB III METODE PENELITIAN Untuk mendukung suatu penelitian, khususnya kegiatan lapangan, diperlukan aspek-aspek penting, selain dari mengetahui kondisi geologi daerah penelitian. Dalam bab ini akan dibahas mengenai materi atau objek penelitian, alat-alat yang digunakan, data yang akan dikumpulkan, langkah langkah penelitian, dan analisis data (gambar 3.1). Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian 34

2 Objek Penelitian Objek-objek yang diteliti dalam pelaksanaan kegiatan tugas akhir khususnya dalam kegiatan lapangan ini adalah : 1. Batuan, meliputi singkapan batuan yang tersingkap dipermukaan, mengamati dan mendeskripsi singkapan dilapangan. 2. Unsur-unsur tekstur dan struktur batuan beku, tekstur dan struktur batuan beku ini dapat menjelaskan proses pembentukan batuan tersebut dan asal dari batuan tersebut. Pada batuan metamorf unsur tekstur dan struktur dapat menjelaskan pembentukan batuan asal dan temperatur serta tekanan pembentukan batuan tersebut dengan korelasi dari komposisi mineral penyusun batuan tersebut. 3. Pengaruh atau hubungan antara batuan yang satu dengan yang lain. 3.2 Alat-Alat yang Digunakan Alat-alat yang digunakan untuk melakukan pengambilan data di lapangan diantaranya adalah : 1. Peta dasar skala 1 : , hasil perbesaran peta rupabumi skala 1 : yang diterbikan BAKOSURTANAL, lembar Bantarujeg ( ), dan Talaga ( ) 2. Kompas Geologi. Merupakan kompas yang dapat digunakan untuk mengukur komponen arah seperti azimut,jurus, dan sebagainya,juga

3 36 untuk mengukur komponen besar sudut seperti dip, slope,dan sebagainya. 3. Palu Geologi. Meliputi palu batuan beku, dan palu batuan sedimen, yang kegunaan utamanya adalah untuk mengambil sampel 4. Lup. Lup atau lensa pembesar yang umum digunakan yang memiliki pembesaran 8%,10%,15%, dan. 20%. Digunakan untuk memperbesar objek agar lebih mudah diamati dan diteliti,seperti mineral,butiran,fosil,dll. 5. Buku Catatan Lapangan, dibuat dari kertas tahan air yang berkualitas tinggi,diberi sampul yang kuat,serta dilem atau yang lebih kuat dijahit. Buku ini harus tahan banting dan dapat tetap digunakan dalam cuaca buruk. Sampul buku yang keras memiliki kegunaan lain yaitu dapat digunakan sebagai alas untuk melakukan pengukuran unsur-unsur struktur yang merupakan bidang yang tidak rata. 6. Alat-Alat Tulis, berupa : Pensil, digunakan untuk mensketsa atau mencatat Pensil Warna, digunakan untuk memperjelas simbol litologi pada buku catatan lapangan maupun pada peta. Penghapus,untuk menghapus pensil atau pensil warna. Mistar Panjang dan Segitiga,digunakan untuj membantu pengeplotan posisi di peta dan untuk mengukur jarak di peta.

4 37 Busur derajat, digunakan untuk mengukur besarnya arah (azimut) pada peta Peruncing Pensil atau Rautan,untuk meruncingkan pensil yang tumpul atau patah. Spidol Tahan Air (Water Proof), Digunakan untuk menulis nomor contoh batuan dan keterangan lainnya pada kantong sample batuan. 7. HCL 0,1 N. Digunakan untuk menguji kandungan karbonat dari contoh batuan yang diamati (terutama batuan sedimen). Caranya dengan meneteskan larutan HCL 0,1 N tersebut ke contoh batuan. Bila terjadi reaksi /berbuih berarti batuan tersebut mengandung karbonatan (CaCO 3 ). 8. Komparator Batuan. Komparator yang digunakan adalah komparator batuan beku dan komparator batuan sedimen (skala Wentworth). Komparator berguna untuk membantu pemberian nama batuan, dengan cara membandingkan contoh batuan dan mineral dengan yang terdapat pada komparator. 9. Pita atau Tali Ukur. Digunakan untuk mengukur jarak antar lokasi pengamatan.jenis pita ukur yang biasa digunakan adalah yang berukuran panjang m dan pita ukur pendek (meteran) dengan panjang 3-5 m.

5 Clip Board. Digunakan untuk mempermudah pencatatan data di lapangan atau sebagai alas kompas geologi pada saat melakukan pengukuran unsur struktur pada bidang lapisan batuan yang tidak rata. 11. Kantong Contoh Batuan atau Kantong Sampel. Digunakan untuk membungkus contoh batuan yang akan dibawa. Kantong diberi tanda untuk tiap batuan,nomor stasiun (titik pengamatan), dengan menggunakan spidol tahan air dan ditutup rapat guna menghindari kontaminasi dengan udara bebas. 12. Kamera, digunakan untuk mengambil gambar singkapan dan kenampakan geomorfologi 13. Tas Lapangan/Ransel. Digunakan untuk membawa peralatan geologi dan perlengkapan lapangan. Sebaiknya dibedakan antara tas untuk peralatan dan tas untuk perbekalan. Ukuran tas sebaiknya disesuaikan dengan kondisi lapangan. 14. Global Positioning System (GPS) merek Garmin 3.3 Tahapan Penelitian Penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahap pelaksanaan untuk memperlancar pelaksanaan pemetaan. Tahap-tahap pekerjaan secara garis besar meliputi tahap persiapan, survey lapangan, analisis data, dan penyusunan laporan Tahap Persiapan

6 39 Tahap persiapan meliputi kajian pustaka untuk mengetahui gambaran keadaan daerah pemetaan baik secara regional, maupun lokal dan untuk inventarisasi data sekunder yang dapat diperoleh untuk mempelajari pustaka-pustaka geologi, diktatdiktat pekuliahan, laporan-laporan peneliti terdahulu, serta peta geologi regional. Tahap persiapan lainnya sebelum terjun langsung ke lapangan adalah : 1. Pembuatan peta dasar dengan skala 1 : , dari sebagian lembar Peta Rupabumi No dan Pengadaan perlengkapan penelitian lapangan serta penyusunan rencana kegiatan lapangan Tahap Survei Lapangan Di lapangan penulis melakukan pengumpulan data melalui pengamatan dan pengukuran singkapan di sungai-sungai dan di luar sungai, termasuk bukit bila ada batuan yang tersingkap. Untuk penelusuran singkapan-singkapan tersebut tentu saja melibatkan metoda dan teknik tertentu antara lain : Teknik Penentuan Titik Stasiun Teknik Pengambilan Sampel Teknik Penentuan Stasiun Pengamatan (ploting) Penentuan lokasi pengamatan di lapangan yang akan dituangkan ke dalam peta secara benar menentukan ketepatan dalam penggambaran pada peta dasar. Teknik yang digunakan adalah teknik bidik, yaitu mengambil titik-titik patokan di sekitar titik pengamatan dan pada peta topografi, lalu membidik titik-titik patokan

7 40 tersebut dengan menggunakan kompas. Sudut yang diperoleh kemudian diubah menjadi back azimuthnya dan ditarik perpotongannya sebagai titik pengamatan. Teknik tersebut digunakan tanpa menggunakan GPS, jika kita menggunakan GPS, maka kita melihat koordinat yang tertera pada GPS, dan mencari koordinat tersebut di peta, lalu kita dapat mengetahui posisi dimana kita berdiri Teknik Pengambilan Sampel Penulis melakukan pengambilan sampel batuan pada setiap singkapan. Sampel batuan diambil pada setiap singkapan agar selanjutnya dapat dipilih mana yang sekiranya akan diteliti secara mikroskopis di laboratorium, sehingga menghindari tidak teramatinya sampel pada singkapan yang bagus Analisis Data Pada tahap ini dilakukan lima langkah analisis data yaitu : 1. Analisis Petrografi 2. Analisis Petrokimia 3. Analisis Petrogenesis Analisis Petrografi Analisis petrografi dilakukan untuk menentukan jenis batuan. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui tekstur batuan dan sifat optik mineral yang dapat

8 41 menunjukkan komposisi mineraloginya. Pada akhirnya, jenis dan paragenesis suatu batuan dapat ditentukan berdasarkan komposisi jenis dan persentase mineraloginya. Tekstur batuan beku menggambarkan keadaan yang mempengaruhi pembentukan batuan itu sendiri, misalnya : 1. Tekstur faneritik menggambarkan proses pembekuan mineral yang lambat, 2. Tekstur memberikan arti bahwa terjadi dua kali proses pembentukan mineral, 3. Tekstur afanitik menggambarkan proses pembekuan mineral yang cenderung cepat. Adapun dalam penelitian ini klasifikasi petrografi yang digunakan adalah klasifikasi batuan beku menurut Travis (1955). Klasifikasi menurut Travis lebih mudah digunakan dengan tingkat kerincian yang sama dibandingkan dengan klasifikasi lainnya seperti misalnya klasifikasi menurut Strekeisen (1967) Analisis Petrokimia Perlu diketahui bahwa batuan beku yang sama penamaannya tidak mustahil akan memberikan komposisi kimia yang berbeda. Oleh karena itu, pengklasifikasian batuan tidak cukup hanya dengan menggunakan analisis kimia. Namun demikian, analisis kimia dianggap penting sebagai pengontrol terhadap ketepatan pemerian petrografi. Analisis kimia juga dapat menentukan jenis magma secara normatif ke

9 42 dalam kriteria jenis magma asal, tahapan diferensiasi, dan pendugaan temperatur magma pada saat kristalisasi pertama terbentuk. Dalam analisis kimia batuan beku, diasumsikan bahwa batuan beku tersebut mempunyai komposisi kimia yang sama dengan magma sebagai pembentuknya. Untuk itu telah dilakukan analisis persentase berat senyawa oksida utama terhadap batuan yang diangga mewakili seluruh tubuh batuan. Secara megaskopis, batuan yang dianalisis yaitu batuan basalt yang terdapat pada batuan malihan memiliki teksturnya afanitik, selain itu terdapat batuan ultrabasa yang telah mengalami serpentinisasi, dan batuan metamorf yaitu amfibolit. Untuk batuan basalt merupakan batuan ekstrusif berbuitr halus, sehingga klasifikasi jenis batuan yang digunakan untuk batuan ekstrusi berbutir halus yaitu klasifikasi menurut Hutchinson (1970), Carlmichael (1974), dan Le Bas (1986). Karena data kimia yang tersedia adalah peresentase berat 12 senyawa oksida utama, maka klasifikasi jenis magma yang mudah dan dapat dilakukan meliputi klasifikasi menurut Mc Donald dan Katsura (1964), Middlemost (1975), dan Kuno (1966). Serupa dengan hal di atas, maka penentuan asal magma yang dapat dilakukan meliputi penentuan asal magma menurut Pearce (1977 a dan b) dan Mullen (1983). Dengan pertimbangan yang sama maka dalam penelitian ini digunakan penentuan kedalaman magma asal (van Padang, 1951; dll) Secara ringkas, analisis kimia yang dilakukan mencakup :

10 43 1. Klasifikasi jenis batuan menurut Le Bas (1986), 2. Klasifikasi jenis batuan menurut Carlmichael (1974), 3. Klasifikasi jenis magma menurut Mc Donald dan Katsura (1964), 4. Klasifikasi jenis magma menurut Peccerillo dan Taylor (1976), 5. Klasifikasi jenis magma menurut Middlemost (1975), 6. Penentuan asal magma berdasarkan kandungan TiO 2, K 2 O, dan P 2 O 5 menurut Pearce (1977), 7. Penentuan asal magma menurut Mullen (1983), 8. Penentuan kedalaman magma asal menurut van Padang (1951), dkk Klasifikasi Jenis Batuan Menurut Le Bas (1986) Dalam penelitian ini digunakan diagram TAS untuk batuan beku berukuran kristal halus menurut Le Bas (1986). Sebelum melakukan penempatan hasil analisis kimia pada diagram TAS, hasil analisis harus dihitung dulu menjadi 100% tanpa H 2 O dan CO 2. Berdasarkan kandungan silikanya, batuan beku berukuran kristal halusdibedakan menjadi empat kelompok, yaitu batuan ultrabasa, basa, menengah, dan asam (Gambar 3.2)

11 44 Gambar 3.2 Klasifikasi jenis batuan menurut Le Bas (1986) Klasifikasi Jenis Batuan Menurut Carlmichael (1974) Carmichael (1974) mengelompokkan jenis batuan berdasarkan jumlah kandungan silikanya mengikuti aturan berikut : 1. Kandungan silica (SiO2) > 66% = batuan asam 2. Kandungan silica (SiO2) 52% - 66% = batuan menengah 3. Kandungan silica (SiO2) 45% - 52% = batuan basa 4. Kandungan silica (SiO2) < 45% = batuan ultrabasa Klasifikasi Jenis Magma Menurut Mc Donald dan Katsura (1964) Klasifikasi ini berdasarkan atas kandungan silica dan seluruh alkalinya. Seluruh alkali meliputi jumlah Na2O dan K2O. Dalam klasifikasi ini terdapat dua

12 45 jenis magma, yaitu magma alkali basalt dan magma tholeiite (gambar 3.3). Pada jenis magma alkali basalt hanya terdapat satu jenis komposisi magma, yaitu alkali basalt. Sedangkan dalam jenis tholeiite terdapat dua komposisi magma, yaitu picrite dan olivine tholeiite. Dalam proses fraksinasi, magma yang berkomposisi olivine tholeiite dapat berubah menjadi magma yang berkomposisi olivine basalt. Gambar 3.3 Klasifikasi jenis magma menurut Mc Donald dan Katsura (1964) Klasifikasi Jenis Magma Menurut Peccerillo dan Taylor (1976) Peccerillo dan Taylor (1976) mengelompokkan jenis magma berdasarkan kandungan potassium (K 2 O) dan silica (SiO 2 ) menjadi empat golongan (Gambar 3.4), yaitu : 1. Golongan Tholeiite

13 46 Memiliki kandungan potassium yang sangat rendah. Berdasarkan kandungan silikanya golongan ini dapat dibedakan menjadi empat jenis dengan urutan : Low K Tholeiite, Low K Basltic Andesitic, Low K Andesite, dan Low K Dacite. Semakin ke arah low K dacite, kandungan silikanya semakin besar. 2. Golongan Calc-Alkaline Memiliki kandungan potassium yang relatif lebih besar dari golongan tholeiite. Berdasarkan kandungan silikanya, golongan ini dapat dibedakan menjadi empat jenis dengan urutan : Basalt, Basaltic Andesite, Andesite, dan Dacite. Semakin ke arah dacite, kandungan silikanya semakin besar. 3. Golongan High K Calc-Alkaline Memiliki kandungan potassium yang tinggi. Berdasarkan kandungan silikanya, golongan ini dapat dibedakan menjadi tiga jenis dengan urutan : High K basaltic Andesite, High K andesite, dan Latite. Semakin ke arahlatite, kandungan silikanya semakin besar. 4. Golongan Shoshonite Memiliki kandungan potassium yang sangat tinggi. Berdasarkan kandungan silikanya, golongan ini dapat dibedakan menjadi tiga jenis dengan urutan : Absarokite, Shoshonite, dan Banakite. Semakin ke arah banakite, kandungan silikanya semakin besar.

14 47 Gambar 3.4 Klasifikasi jenis magma menurut Peccerillo dan Taylor (1976) Klasifikasi Jenis Magma Menurut Middlemost (1975) Middlemost (1975) mengelompokkan magma sub-alkali berdasarkan kandungan alumina (Al2O3) dan indeks alkali menjadi dua kelompok, yaitu basalt tholeiite dan high alumina basalt; dengan kandungan alumina yang meningkat pada kelompok high alumina basalt (Gambar 3.5). Nilai indeks alkali diperoleh dari persamaan di bawah ini. Indeks Alkali = Na2O + K2O (SiO2 43) x 0,17

15 48 Gambar 3.5 Klasifikasi jenis magma menurut Middlemost (1975) Penentuan Asal Magma Menurut Pearce (1977) Berdasarkan Kandungan K2O, TiO2, dan P2O5 Pearce (1977) mengemukakan penentuan asal magma suatu batuan beku berdasarkan perbandingan nilai persentase berat senyawa K2O, TiO2, dan P2O5. Oleh karena melibatkan tiga buah variable, klasifikasi ini ditampilkan dalam bentuk diagram segitiga. Berdasarkan analisis ini dapat diketahui asal magma suatu batuan beku, apakah berasal dari kerak banua atau dari kerak samudera (gambar 3.6).

16 49 Gambar 3.6 Penentuan asal magma menurut Pearce (1977) berdasarkan kandungan K 2 O, TiO 2, dan P 2 O Penentuan Asal Magma Menurut Mullen (1983) Penentuan asal magma ini berdasarkan pada pertimbangan nilai persentase berat senyawa TiO 2, 10 X MnO, dan 10 X P 2 O 5, Berdasarkan analisis ini dapat diketahui asal magma suatu batuan basaltic, apakah berasal dari pematang tengah samudera, dari busur kepulauan, atau dari pulau samudera (Gambar 3.7). Batuan busur kepulauan meliputi jenis tholeiite, calc alkaline basalt, dan boninite. Batuan pulau samudera meliputi jenis tholeiite dan alkaline basalt.

17 50 Gambar 3.7 Penentuan asal magma menurut Mullen (1983) Penentuan Kedalaman magma asal menurut Neuman van Padang (1951), Hadikusumo (1961), dan Whitford (1975) Persamaan persamaan dalam pentuan kedalaman magma asal ini berlaku untuk batuan yang bersifat andesit basaltic dan andesit dimana kandungan silikanya sebesar 52 % - 63 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan antara persentase kandungan potassium dan persentase kandungan silica dengan kedalaman magma asal untuk setiap jalur orogenesa adalah berbeda. Berdasarkan perbandingan antara kandungan potassium dan silica, Whitford (1975) membuat suatu persamaan untuk menentukan kedalaman Zona Benioff, yaitu : H = 379 (5,26 x % SiO 2 ) + 35,04 x % K 2 O

18 51 Dalam hal ini H merupakan kedalaman Zona Benioff (dalam km). Menurut Neuman van Padang (1951) dan Hadikusumo (1961), Kedalaman Zona Benioff dapat ditentukan dengan persamaan : H = 284 (2,75 x % SiO 2 ) + (16,82 x %K 2 O), Dua persamaan di atas dapat dikombinasikan menjadi : H = 320 (3,65 x %SiO 2 ) + (22,52 x % K 2 O). Persamaan di atas dapat ditampilkan dalam Tabel di bawah ini. Tabel 3.1 Hubungan Zona Benioff dengan kedalaman magma asal Persamaan SE (km) CC Data menurut Whitford (1975) Kedalaman Zona Benioff (km) 397 (5.26 x % SiO 2 ) x % K 2 O) 373 (4.36 x % SiO 2 ) + (0.73 x ppm Rb) 110 (0.03 x % SiO 2 ) + (0.14 x % ppm Sr) Data menurut Neuman van Padang (1951) dan Hadikusumo (1961) Kedalaman Zona Benioff (km) 284 (2.75 x % SiO 2 ) + (16.82 x % K 2 O) Kombinasi data Whitford (1975), Neuman van Padang (1951), dan Hadikusumo (1961) Kedalaman Zona Benioff (km) 320 (3.65 x % SiO 2 ) + (25.52 x % K 2 O)

19 52 SE CC : Standard error of estimate (km) : Correlation coefecient. Semakin dalam Zona Benioff, maka besarnya unsur K dan Na yang terjadi pada pencairan akan meningkat, Maka dapat disimpulkan bahwa nilai senyawa K 2 O dan N 2 O berbanding lurus dengan kedalaman Zona Benioff Analisis Petrogenesis Dalam kajian petrogenesis akan dibahas kemungkinan genesis batuan beku berdasarkan hasil analisis petrografi dan analisis petrokimianya berdasarkan klasifikasi tertentu yang sesuai. Kemungkinan petrogenesis yang meliputi aspek petrografi dan geokimia ini antara lain menyinggung : 1. Asosiasi mineral pencermin tingkat kristalisasi 2. Hubungan batuan beku dengan magma pembentuknya Asosiasi Mineral Pencermin Tingkat Kristalisasi Sifat yang paling mudah diamati dari suatu batuan adalah struktur dan teksturnya secara megaskopis. Selain itu, sifat lain yang relatif mudah untuk diamati dari suatu batuan adalah struktur dan komposisi mineraloginya, yang dapat diamati dengan mikroskop polarisasi. Berangkat dari komposisi mineraloginya, seorang peneliti dapat menceritakan tingkat kristalisasi batuan yang diamati. Ada beberapa jenis basalt menurut klasifikasi Yoder dan Tilley (1962). Namun demikian, hanya ada dua jenis basalt yang sangat umum dijumpai pada berbagai lingkungan tektonik.

20 53 Kedua jenis basalt itu adalah basalt tholeiitic dan basalt alkali olivine, yang juga dapat dibedakan berdasarkan kenampakan petrografinya (Tabel 3.2) Tabel 3.2 Perbandingan Jenis Magma Tholeiitic Basalt dan Alkali Olivine Basalt Tholeiitic Basalt Alkali Olivine Basalt Massa Dasar Phenocryst Umumnya berbutir halus, intergranular Tidak ada olivin Klinopiroksen berupa augite Ortopiroksen umumnya ditemukan Tidak ada alkali feldspar Terdapat gelas ataupun kuarsa pengisis celah Olivin jarang ada Ortopiroksen jarang ada Plagioclase umum ditemukan Klinopiroksen berupa augite cokelat muda Umumnya agak kasar, intergranular sampai ophitic Olivin umum ditemukan Klinopiroksen berupa titaniferrous augite Ortopiroksen tidak ada Alkali feldspar atau feldspathoid pengisi celah dapat ditemukan Gelas pengisi celah jarang ditemukan, dan kuarsa tidak ada Olivin umum ditemukan Ortopiroksen tidak ada Plagioclase jarang ditemukan Klinopiroksen berupa titaniferrous augite kemerahan Shand (1944) mengemukakan proses kristalisasi magma yang mengalami perubahan temperatur melalui beberapa tingkatan. Konsep ini berlaku dengan asumsi bahwa magma mengalami perubahan temperatur secara lambat hingga agak cepat, tidak dengan tiba tiba. Proses kristalisasi ini meliputi tiga tingkat magmatic, yaitu :

21 54 1. Tingkat magmatik awal Dicirikan oleh pengkristalan magma yang miskin air pada temperatur C C, dan pembentukan mineral mineral pirogenetik seperti olivin dan piroksen. 2. Tingkat magmatik menengah Dicirikan oleh pengkristalan magma yang kaya air pada temperatur C C, dan pembentukan mineral mineral pirogenetik yang kaya akan kandungan air seperti amfibol dan biotit. 3. Tingkat magmatik akhir Dibedakan menjadi dua bagian berdasarkan temperaturnya, yaitu : a. Tingkat hidrotermal tinggi atau tingkat deuterik, terjadi pada temperatur C C dan menghasilkan mineral mineral bersifat hidroksil. b. Tingkat hidrotermal rendah, terjadi pada temperatur C C, dimana peranan gas sangat dominan dan terbantuk mineral mineral ubahan seperti karbonat, mineral mineral yang berserabut, atau mineral yang banyak mengandung air Hubungan Batuan Beku dengan Magma Pembentuknya Evolusi magma tercermin pada variasi komposisi kimia dan mineralogi batuan beku yang dihasilkan evolusi tersebut, berjalan mengikuti salah satu jalur kristalisasi yang bermula dari satu jenis magma induk yang bersifat basaltis dan ditentukan pula oleh keadaan lingkungan serta proses tektonik daerah yang

22 55 bersangkutan sehingga menghasilkan komposisi tertentu. Secara umum, aspek tekstur hanya dianggap sebagai cerminan proses kristalisasi, dank arena itu dianggap tidak dapat mencerminkan sifat magma asal. Berdasarkan data analisis petrografi, asosiasi mineral dapat mencerminkan tingkat kristalisasi; dan berdasarkan data analisis kimia, beberapa gambaran mengenai hipotesis magma dapat mencerminkan proses evolusi magma. Seperti telah diungkapkan sebelumnya, komposisi batuan beku dianggap sama dengan komposisi magma pembentuknya. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap evolusi dan diferensiasi magma asal menjadi batuan beku diantaranya adalah : 1. Keadaan tempat dan cara magma terbentuk 2. Keadaan tempat yang dilalui magma yang bergerak ke permukaan 3. Keadaan tempat dimana magma mengalami tingkat akhir pembekuan.

Semakin ke arah dacite, kandungan silikanya semakin besar.

Semakin ke arah dacite, kandungan silikanya semakin besar. Afinitas magma merupakan perubahan komposisi komposisi kimia yang terkandung didalam magma yang disebabkan oleh oleh adanya factor factor tertentu. Aktifitas aktifitas magma ini bisa berbeda satu sama

Lebih terperinci

OKSIDA GRANIT DIORIT GABRO PERIDOTIT SiO2 72,08 51,86 48,36

OKSIDA GRANIT DIORIT GABRO PERIDOTIT SiO2 72,08 51,86 48,36 PENGERTIAN BATUAN BEKU Batuan beku atau sering disebut igneous rocks adalah batuan yang terbentuk dari satu atau beberapa mineral dan terbentuk akibat pembekuan dari magma. Berdasarkan teksturnya batuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.2 TUJUAN 1.3 LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG 1.2 TUJUAN 1.3 LOKASI PENELITIAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Daerah Rembang secara fisiografi termasuk ke dalam Zona Rembang (van Bemmelen, 1949) yang terdiri dari endapan Neogen silisiklastik dan karbonat. Stratigrafi daerah

Lebih terperinci

INTERPRETASI HASIL ANALISIS GEOKIMIA BATUAN GUNUNGAPI RUANG, SULAWESI UTARA

INTERPRETASI HASIL ANALISIS GEOKIMIA BATUAN GUNUNGAPI RUANG, SULAWESI UTARA INTERPRETASI HASIL ANALISIS GEOKIMIA BATUAN GUNUNGAPI RUANG, SULAWESI UTARA Oktory PRAMBADA Bidang Pengamatan dan Penyelidikan Gunungapi Sari Gunungapi Ruang (+714 m dpl) yang merupakan gunungapi strato

Lebih terperinci

PETROGENESA LAVA GUNUNG RINJANI SEBELUM PEMBENTUKAN KALDERA

PETROGENESA LAVA GUNUNG RINJANI SEBELUM PEMBENTUKAN KALDERA PETROGENESA LAVA GUNUNG RINJANI SEBELUM PEMBENTUKAN KALDERA Beta Kurniawahidayati 1 *, Mega F. Rosana 1, Heryadi Rachmat 2 1. Universitas Padjadjaran, Fakultas Teknik Geologi 2. Museum Geologi Bandung

Lebih terperinci

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL

BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL BAB IV ALTERASI HIDROTERMAL 4.1. Tinjauan umum Ubahan Hidrothermal merupakan proses yang kompleks, meliputi perubahan secara mineralogi, kimia dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan hidrotermal

Lebih terperinci

DIAGRAM ALIR DESKRIPSI BATUAN BEKU

DIAGRAM ALIR DESKRIPSI BATUAN BEKU DIAGRAM ALIR DESKRIPSI BATUAN BEKU Warna : Hitam bintik-bintik putih / hijau gelap dll (warna yang representatif) Struktur : Masif/vesikuler/amigdaloidal/kekar akibat pendinginan, dll. Tekstur Granulitas/Besar

Lebih terperinci

ACARA IX MINERALOGI OPTIK ASOSIASI MINERAL DALAM BATUAN

ACARA IX MINERALOGI OPTIK ASOSIASI MINERAL DALAM BATUAN ACARA IX MINERALOGI OPTIK I. Pendahuluan Ilmu geologi adalah studi tentang bumi dan terbuat dari apa itu bumi, termasuk sejarah pembentukannya. Sejarah ini dicatat dalam batuan dan menjelaskan bagaimana

Lebih terperinci

MINERAL OPTIK DAN PETROGRAFI IGNEOUS PETROGRAFI

MINERAL OPTIK DAN PETROGRAFI IGNEOUS PETROGRAFI MINERAL OPTIK DAN PETROGRAFI IGNEOUS PETROGRAFI Disusun oleh: REHAN 101101012 ILARIO MUDA 101101001 ISIDORO J.I.S.SINAI 101101041 DEDY INDRA DARMAWAN 101101056 M. RASYID 101101000 BATUAN BEKU Batuan beku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertipe komposit strato (Schmincke, 2004; Sigurdsson, 2000; Wilson, 1989).

BAB I PENDAHULUAN. bertipe komposit strato (Schmincke, 2004; Sigurdsson, 2000; Wilson, 1989). BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Dinamika aktivitas magmatik di zona subduksi menghasilkan gunung api bertipe komposit strato (Schmincke, 2004; Sigurdsson, 2000; Wilson, 1989). Meskipun hanya mewakili

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Mineralisasi hidrotermal merupakan proses perubahan mineralogi, tekstur dan komposisi kimia yang terjadi akibat interaksi larutan hidrotermal dengan batuan samping

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aktivitas subduksi antara lempeng Indo-Australia dengan bagian selatan dari

BAB I PENDAHULUAN. aktivitas subduksi antara lempeng Indo-Australia dengan bagian selatan dari 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Pulau Jawa dianggap sebagai contoh yang dapat menggambarkan lingkungan busur kepulauan (island arc) dengan baik. Magmatisme yang terjadi dihasilkan dari aktivitas

Lebih terperinci

batuan, butiran mineral yang tahan terhadap cuaca (terutama kuarsa) dan mineral yang berasal dari dekomposisi kimia yang sudah ada.

batuan, butiran mineral yang tahan terhadap cuaca (terutama kuarsa) dan mineral yang berasal dari dekomposisi kimia yang sudah ada. DESKRIPSI BATUAN Deskripsi batuan yang lengkap biasanya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1. Deskripsi material batuan (atau batuan secara utuh); 2. Deskripsi diskontinuitas; dan 3. Deskripsi massa batuan.

Lebih terperinci

Siklus Batuan. Bowen s Reaction Series

Siklus Batuan. Bowen s Reaction Series Siklus Batuan Magma di dalam bumi dan magma yang mencapai permukaan bumi mengalami penurunan temperatur (crystallization) dan memadat membentuk batuan beku. Batuan beku mengalami pelapukan akibat hujan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Jawa merupakan daerah penghasil sumber daya tambang dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Jawa merupakan daerah penghasil sumber daya tambang dengan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah. Pulau Jawa merupakan daerah penghasil sumber daya tambang dengan potensi yang besar dan telah matang dieksplorasi di Indonesia. Pulau Jawa dibagi menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tugas Akhir merupakan mata kuliah wajib dalam kurikulum pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Tugas Akhir merupakan mata kuliah wajib dalam kurikulum pendidikan BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tugas Akhir merupakan mata kuliah wajib dalam kurikulum pendidikan tingkat sarjana (S1) pada Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu Teknologi dan Kebumian, Institut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batuan dan kondisi pembentukannya (Ehlers dan Blatt, 1982). Pada studi petrologi

BAB I PENDAHULUAN. batuan dan kondisi pembentukannya (Ehlers dan Blatt, 1982). Pada studi petrologi BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Petrologi merupakan suatu cabang ilmu geologi yang mempelajari tentang batuan dan kondisi pembentukannya (Ehlers dan Blatt, 1982). Pada studi petrologi batuan beku

Lebih terperinci

Batuan beku atau batuan igneus (dari Bahasa Latin: ignis, "api") adalah jenis batuan yang terbentuk dari magma yang mendingin dan mengeras, dengan

Batuan beku atau batuan igneus (dari Bahasa Latin: ignis, api) adalah jenis batuan yang terbentuk dari magma yang mendingin dan mengeras, dengan Batuan beku atau batuan igneus (dari Bahasa Latin: ignis, "api") adalah jenis batuan yang terbentuk dari magma yang mendingin dan mengeras, dengan atau tanpa proses kristalisasi, baik di bawah permukaan

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. GEOMORFOLOGI Daerah penelitian memiliki pola kontur yang relatif rapat dan terjal. Ketinggian di daerah penelitian berkisar antara 1125-1711 mdpl. Daerah penelitian

Lebih terperinci

Magma dalam kerak bumi

Magma dalam kerak bumi MAGMA Pengertian Magma : adalah cairan atau larutan silikat pijar yang terbentuk secara alamiah bersifat mobil, suhu antara 900-1200 derajat Celcius atau lebih yang berasal dari kerak bumi bagian bawah.

Lebih terperinci

PETROGENESA BATUAN LAVA GUNUNG BARUJARI DAN GUNUNG ROMBONGAN, KOMPLEK GUNUNG RINJANI

PETROGENESA BATUAN LAVA GUNUNG BARUJARI DAN GUNUNG ROMBONGAN, KOMPLEK GUNUNG RINJANI PETROGENESA BATUAN LAVA GUNUNG BARUJARI DAN GUNUNG ROMBONGAN, KOMPLEK GUNUNG RINJANI Sahala Manullang 1*, Heryadi Rachmat 2, Mega F. Rosana 1 1. Universitas Padjajaran, Fakultas Teknik Geologi 2. Museum

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Daerah Sumatera merupakan salah satu daerah yang memiliki tatanan geologi sangat kompleks, baik dari segi sedimentologi, vulkanologi, tektonik dan potensi sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Masalah Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Masalah Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan batuan metamorf yang dapat diamati langsung di permukaan bumi tidak sebanyak batuan beku dan sedimen mengingat proses terbentuknya yang cukup kompleks. Salah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. geologi, seperti data kekar dan cermin sesar, untuk melukiskan karakteristik

BAB III METODE PENELITIAN. geologi, seperti data kekar dan cermin sesar, untuk melukiskan karakteristik BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Obyek Penelitian Obyek penelitian difokuskan pada pengambilan data unsur struktur geologi, seperti data kekar dan cermin sesar, untuk melukiskan karakteristik hubungan antara

Lebih terperinci

Gambar 6. Daur Batuan Beku, Sedimen, dan Metamorf

Gambar 6. Daur Batuan Beku, Sedimen, dan Metamorf Definisi Batuan Batuan adaiah kompleks/kumpulan dari mineral sejenis atau tak sejenis yang terikat secara gembur ataupun padat. Bedanya dengan mineral, batuan tidak memiliki susunan kimiawi yang tetap,

Lebih terperinci

DERET BOWEN DAN KLASIFIKASI BATUAN BEKU ASAM DAN BASA

DERET BOWEN DAN KLASIFIKASI BATUAN BEKU ASAM DAN BASA DERET BOWEN DAN KLASIFIKASI BATUAN BEKU ASAM DAN BASA Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah mineralogi Dosen pengampu : Dra. Sri Wardhani Disusun oleh Vanisa Syahra 115090700111001

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitan Granit secara umum terbagi menjadi dua tipe, yaitu tipe I dan Tipe S. Granit tipe I atau Igneous menunjukan granit yang terbentuk akibat dari proses peleburan

Lebih terperinci

Gambar 3.13 Singkapan dari Satuan Lava Andesit Gunung Pagerkandang (lokasi dlk-13, foto menghadap ke arah barat )

Gambar 3.13 Singkapan dari Satuan Lava Andesit Gunung Pagerkandang (lokasi dlk-13, foto menghadap ke arah barat ) Gambar 3.12 Singkapan dari Satuan Lava Andesit Gunung Pagerkandang, dibeberapa tempat terdapat sisipan dengan tuf kasar (lokasi dlk-12 di kaki G Pagerkandang). Gambar 3.13 Singkapan dari Satuan Lava Andesit

Lebih terperinci

PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA 4.1. Data Sekunder Data sekunder yang diperoleh dari PT Semen Padang Untuk menunjang dan melengkapi penelitian ini antara lain berupa : 1. Peta topografi skala 1

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Bismillahirrahmanirahim Assalamu alaikum Wr. Wb.

KATA PENGANTAR. Bismillahirrahmanirahim Assalamu alaikum Wr. Wb. KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirahim Assalamu alaikum Wr. Wb. Puji Syukur Kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayat-nya laporan akhir yang berjudul Pengenalan Alat Alat Survey Dapat di selesaikan.

Lebih terperinci

Petrogenesa Batuan Beku

Petrogenesa Batuan Beku Petrogenesa Batuan Beku A. Terminologi Batuan beku adalah batuan yang terbentuk sebagai hasil pembekuan daripada magma. Magma adalah bahan cair pijar di dalam bumi, berasal dari bagian atas selubung bumi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Geologi dan Studi Longsoran Desa Sirnajaya dan Sekitarnya, Kecamatan Gununghalu, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat

BAB I PENDAHULUAN. Geologi dan Studi Longsoran Desa Sirnajaya dan Sekitarnya, Kecamatan Gununghalu, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gununghalu merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Bandung Barat yang terletak di bagian selatan dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Cianjur. Bentang alamnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kaolin merupakan massa batuan yang tersusun dari mineral lempung dengan kandungan besi yang rendah, memiliki komposisi hidrous aluminium silikat (Al2O3.2SiO2.2H2O)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Bahan bakar fosil dewasa ini masih menjadi primadona sebagai energi terbesar di dunia, namun minyak dan gas bumi (migas) masih menjadi incaran utama bagi para investor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Geologi Daerah Beruak dan Sekitarnya, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur

BAB I PENDAHULUAN. Geologi Daerah Beruak dan Sekitarnya, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Batubara merupakan salah satu sumber energi yang telah lama digunakan dan memegang peranan penting saat ini. Peranannya semakin meningkat seiring dengan perkembangan

Lebih terperinci

PEDOMAN PRAKTIKUM GEOLOGI UNTUK PENGAMATAN BATUAN

PEDOMAN PRAKTIKUM GEOLOGI UNTUK PENGAMATAN BATUAN PEDOMAN PRAKTIKUM GEOLOGI UNTUK PENGAMATAN BATUAN Kegiatan : Praktikum Kuliah lapangan ( PLK) Jurusan Pendidikan Geografi UPI untuk sub kegiatan : Pengamatan singkapan batuan Tujuan : agar mahasiswa mengenali

Lebih terperinci

BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL

BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL BAB IV UBAHAN HIDROTERMAL 4.1 Pengertian Ubahan Hidrotermal Ubahan hidrotermal adalah proses yang kompleks, meliputi perubahan secara mineralogi, kimia, dan tekstur yang dihasilkan dari interaksi larutan

Lebih terperinci

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Oktober 2014

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Oktober 2014 P1O-04 STUDI KARAKTERISTIK PETROLOGI, GEOKIMIA DAN SIFAT KETEKNIKAN ANDESIT FORMASI ARJOSARI DI DAERAH TANJUNGSARI DAN SEKITARNYA, KECAMATAN PACITAN, KABUPATEN PACITAN, PROVINSI JAWA TIMUR Siti Laili Nailul

Lebih terperinci

PETROGENESIS BATUAN ANDESIT BUKIT CANGKRING, DAERAH JELEKONG, KECAMATAN BALEENDAH, KABUPATEN BANDUNG, JAWA BARAT

PETROGENESIS BATUAN ANDESIT BUKIT CANGKRING, DAERAH JELEKONG, KECAMATAN BALEENDAH, KABUPATEN BANDUNG, JAWA BARAT PETROGENESIS BATUAN ANDESIT BUKIT CANGKRING, DAERAH JELEKONG, KECAMATAN BALEENDAH, KABUPATEN BANDUNG, JAWA BARAT Adinda Erma Soviati 1 *, Ildrem Syafri 1, Aton Patonah 1 1, 2, 3 Universitas Padjadjaran,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Geologi dan Studi Ubahan Hidrotermal Daerah Sumberboto dan Sekitarnya, Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur 1

BAB I PENDAHULUAN. Geologi dan Studi Ubahan Hidrotermal Daerah Sumberboto dan Sekitarnya, Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ring of fire merupakan jalur dari 452 gunungapi aktif dan dorman di dunia yang menimbulkan dampak positif dan negatif terhadap daerah yang dilewatinya. Dampak positif

Lebih terperinci

Potensi Panas Bumi Berdasarkan Metoda Geokimia Dan Geofisika Daerah Danau Ranau, Lampung Sumatera Selatan BAB I PENDAHULUAN

Potensi Panas Bumi Berdasarkan Metoda Geokimia Dan Geofisika Daerah Danau Ranau, Lampung Sumatera Selatan BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya energi yang melimpah dan beraneka ragam, diantaranya minyak bumi, gas bumi, batubara, gas alam, geotermal, dll.

Lebih terperinci

Geologi dan Analisis Struktur Daerah Cikatomas dan Sekitarnya, Kabupaten Lebak, Banten. BAB I PENDAHULUAN

Geologi dan Analisis Struktur Daerah Cikatomas dan Sekitarnya, Kabupaten Lebak, Banten. BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tugas Akhir adalah matakuliah wajib dalam kurikulum pendidikan sarjana strata satu di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi

Lebih terperinci

Klasifikasi Normatif Batuan Beku dari Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Menggunakan Software K-Ware Magma

Klasifikasi Normatif Batuan Beku dari Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Menggunakan Software K-Ware Magma JURNAL APLIKASI FISIKA VOLUME 6 NOMOR 2 AGUSTUS 2010 Klasifikasi Normatif Batuan Beku dari Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Menggunakan Software K-Ware Magma Jahidin Program Studi Fisika FMIPA Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi geologi di Indonesia sebagian besar dipengaruhi oleh tektonik

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi geologi di Indonesia sebagian besar dipengaruhi oleh tektonik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kondisi geologi di Indonesia sebagian besar dipengaruhi oleh tektonik yang cukup kuat, menghasilkan jenis struktur geologi dengan pola yang sama maupun berbeda-beda.

Lebih terperinci

BAB 2 TATANAN GEOLOGI

BAB 2 TATANAN GEOLOGI BAB 2 TATANAN GEOLOGI Secara administratif daerah penelitian termasuk ke dalam empat wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Sinjai Timur, Sinjai Selatan, Sinjai Tengah, dan Sinjai Utara, dan temasuk dalam

Lebih terperinci

Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal

Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal Bab III Karakteristik Alterasi Hidrotermal III.1 Dasar Teori Alterasi hidrotermal adalah suatu proses yang terjadi akibat interaksi antara fluida panas dengan batuan samping yang dilaluinya, sehingga membentuk

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Daerah penelitian hanya berada pada area penambangan PT. Newmont Nusa Tenggara dan sedikit di bagian peripheral area tersebut, seluas 14 km 2. Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Batubara merupakan salah satu sumber energi yang telah lama digunakan dan memegang peranan penting saat ini. Peranannya semakin meningkat seiring dengan perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya mineral merupakan komoditas yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Hal inilah yang melatarbelakangi adanya pencarian lokasi sumber mineral baru. Setelah adanya

Lebih terperinci

Proses metamorfosis meliputi : - Rekristalisasi. - Reorientasi - pembentukan mineral baru dari unsur yang telah ada sebelumnya.

Proses metamorfosis meliputi : - Rekristalisasi. - Reorientasi - pembentukan mineral baru dari unsur yang telah ada sebelumnya. 4. Batuan Metamorfik 4.1 Kejadian Batuan Metamorf Batuan metamorf adalah batuan ubahan yang terbentuk dari batuan asalnya, berlangsung dalam keadaan padat, akibat pengaruh peningkatan suhu (T) dan tekanan

Lebih terperinci

LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA

LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA PRAKTIKUM PETROGRAFI BORANG MATERI ACARA I: PETROGRAFI BATUAN BEKU Asisten Acara: 1. 2. 3. 4. Nama Praktikan

Lebih terperinci

Batuan Gunungapi Sibual Buali, Sumatera Utara (Sofyan Primulyana, dkk)

Batuan Gunungapi Sibual Buali, Sumatera Utara (Sofyan Primulyana, dkk) BATUAN GUNUNGAPI SIBUAL BUALI, SUMATERA UTARA Sofyan PRIMULYANA, Oktory PRAMBADA Sari Gunungapi Sibualbuali bertipe stratovolkano, mempunyai produk letusannya berupa aliran lava dan endapan piroklastik.

Lebih terperinci

BAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN

BAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN BAB V ALTERASI PERMUKAAN DAERAH PENELITIAN 5.1 Tinjauan Umum Alterasi hidrotermal adalah suatu proses yang terjadi sebagai akibat dari adanya interaksi antara batuan dengan fluida hidrotermal. Proses yang

Lebih terperinci

Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan

Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan 3.2.3.3. Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan Secara umum, satuan ini telah mengalami metamorfisme derajat sangat rendah. Hal ini dapat ditunjukkan dengan kondisi batuan yang relatif jauh lebih keras

Lebih terperinci

BAB 9 KESIMPULAN. Bab terakhir ini meringkaskan secara padat kesimpulan yang telah dicadangkan di

BAB 9 KESIMPULAN. Bab terakhir ini meringkaskan secara padat kesimpulan yang telah dicadangkan di BAB 9 KESIMPULAN 9.1 Pendahuluan Bab terakhir ini meringkaskan secara padat kesimpulan yang telah dicadangkan di dalam setiap bab sebelum ini dengan mengetengahkan penemuan dan tafsiran baru khusus bagi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman ABSTRAK... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... BAB I PENDAHULUAN... 1

DAFTAR ISI. Halaman ABSTRAK... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... BAB I PENDAHULUAN... 1 DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK... ABSTRACT... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... i ii iii v ix x BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Identifikasi Masalah... 2 1.3

Lebih terperinci

Gambar 2.1 Siklus batuan, tanda panah hitam merupakan siklus lengkap, tanda panah putih merupakan siklus yang dapat terputus.

Gambar 2.1 Siklus batuan, tanda panah hitam merupakan siklus lengkap, tanda panah putih merupakan siklus yang dapat terputus. 2. Batuan Beku 2.1 Batuan Batuan adalah kumpulan dari satu atau lebih mineral, yang merupakan bagian dari kerak bumi. Terdapat tiga jenis batuan yang utama yaitu : batuan beku (igneous rock), terbentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Batuan karbonat menyusun 20-25% batuan sedimen dalam sejarah geologi. Batuan karbonat hadir pada Prakambrium sampai Kuarter. Suksesi batuan karbonat pada Prakambrium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembentuk tanah yang intensif adalah proses alterasi pada daerah panasbumi.

BAB I PENDAHULUAN. pembentuk tanah yang intensif adalah proses alterasi pada daerah panasbumi. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya tanah longsor adalah tingkat ketebalan tanah yang tinggi dengan kekuatan antar material yang rendah. Salah satu pembentuk

Lebih terperinci

ASOSIASI BATUAN BEKU TERHADAP LEMPENG TEKTONIK

ASOSIASI BATUAN BEKU TERHADAP LEMPENG TEKTONIK ASOSIASI BATUAN BEKU TERHADAP LEMPENG TEKTONIK Batuan beku adalah batuan yang berasal dari pendinginan magma. Pendinginan tersebut dapat terjadi baik secara Ekstrusif dan Intrusif. Batuan beku yang berasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. energi primer yang makin penting dan merupakan komoditas perdagangan di

BAB I PENDAHULUAN. energi primer yang makin penting dan merupakan komoditas perdagangan di 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Batubara merupakan salah satu sumber daya energi yang sejak berabadabad lalu mulai digunakan sehingga keberadaanya selalu menjadi salah satu objek utama yang dieksplorasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Batugamping Bukit Karang Putih merupakan bahan baku semen PT Semen

BAB I PENDAHULUAN. Batugamping Bukit Karang Putih merupakan bahan baku semen PT Semen BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Batugamping Bukit Karang Putih merupakan bahan baku semen PT Semen Padang. Kandungan SiO 2 yang tinggi ditemukan pada batugamping yang berdekatan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sedangkan praktikum mineral optik hanya mendeskripsikan mineralnya saja.

BAB I PENDAHULUAN. Sedangkan praktikum mineral optik hanya mendeskripsikan mineralnya saja. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Petrografi merupakan salah satu cabang dari ilmu geologi. Petrografi ini juga merupakan tingkat lanjutan dari mata kuliah sebelumnya yaitu mineral optik. Dalam prakteknya,

Lebih terperinci

PENYELIDIKAN EKSPLORASI BAHAN GALIAN

PENYELIDIKAN EKSPLORASI BAHAN GALIAN PENYELIDIKAN EKSPLORASI BAHAN GALIAN ISTILAH DAN DEFINISI Beberapa istilah dan definisi yang digunakan diambil dari acuan-acuan, yang dimodifikasi sesuai kebutuhan, yaitu : Bahan galian, segala jenis bahan

Lebih terperinci

BAB IV SISTEM PANAS BUMI DAN GEOKIMIA AIR

BAB IV SISTEM PANAS BUMI DAN GEOKIMIA AIR BAB IV SISTEM PANAS BUMI DAN GEOKIMIA AIR 4.1 Sistem Panas Bumi Secara Umum Menurut Hochstein dan Browne (2000), sistem panas bumi adalah istilah umum yang menggambarkan transfer panas alami pada volume

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan sejarahnya (termasuk perkembangan kehidupan), serta proses-proses yang telah

BAB I PENDAHULUAN. dan sejarahnya (termasuk perkembangan kehidupan), serta proses-proses yang telah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar belakang penelitian Geologi adalah ilmu pengetahuan bumi mengenai asal, struktur, komposisi, dan sejarahnya (termasuk perkembangan kehidupan), serta proses-proses yang telah

Lebih terperinci

12.1. Pendahuluan Peta Geologi Definisi

12.1. Pendahuluan Peta Geologi Definisi 12 Peta Geologi 12.1. Pendahuluan Peta geologi pada dasarnya merupakan suatu sarana untuk menggambarkan tubuh batuan, penyebaran batuan, kedudukan unsur struktur geologi dan hubungan antar satuan batuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Persebaran batuan metamorf tekanan tinggi di Indonesia (Gambar I.1)

BAB I PENDAHULUAN. Persebaran batuan metamorf tekanan tinggi di Indonesia (Gambar I.1) 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Persebaran batuan metamorf tekanan tinggi di Indonesia (Gambar I.1) terbatas pada Daerah Komplek Luk Ulo dan Perbukitan Jiwo (Jawa Tengah), Ciletuh (Jawa Barat),

Lebih terperinci

(25-50%) terubah tetapi tekstur asalnya masih ada.

(25-50%) terubah tetapi tekstur asalnya masih ada. ` BAB IV ALTERASI HIDROTHERMAL 4.1 Pendahuluan Mineral alterasi hidrotermal terbentuk oleh adanya interaksi antara fluida panas dan batuan pada suatu sistem hidrotermal. Oleh karena itu, mineral alterasi

Lebih terperinci

BAB II METODOLOGI PENELITIAN

BAB II METODOLOGI PENELITIAN DAFTAR ISI Halaman Judul... Halaman Pengesahan... Halaman Persembahan... Kata Pengantar... Sari...... Daftar Isi...... Daftar Gambar... Daftar Tabel...... Daftar Lampiran...... i ii iii iv vi vii x xiv

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan survey pendahuluan dalam menentukan calon lokasi Wilayah Pertambangan Rakyat di Kabupaten Gorontalo dilandasi oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i. ABSTRACT... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR GAMBAR... xii. DAFTAR LEMBAR PETA...

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i. ABSTRACT... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... v. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR GAMBAR... xii. DAFTAR LEMBAR PETA... DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK... i ABSTRACT... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR LEMBAR PETA... xiv BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang Penelitian...

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. panasbumi di permukaan berupa mataair panas dan gas. penafsiran potensi panasbumi daerah penelitian.

BAB III METODE PENELITIAN. panasbumi di permukaan berupa mataair panas dan gas. penafsiran potensi panasbumi daerah penelitian. BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Objek Penelitian Objek yang akan diamati dalam penelitian ini adalah manifestasi panasbumi di permukaan berupa mataair panas dan gas. Penelitian dikhususkan kepada aspek-aspek

Lebih terperinci

Geologi Teknik. Ilmu Geologi, Teknik Geologi,

Geologi Teknik. Ilmu Geologi, Teknik Geologi, Geologi Teknik Mineral, Batuan Norma Puspita, ST. MT. Ilmu Geologi, Teknik Geologi, Geologi Teknik Ilmu Geologi Ilmu yang mempelajari tentang sejarah pembentukan bumi dan batuan, sifat sifat fisik dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar I.1. Skema produksi panas bumi dan lokasi pengambilan sampel kerak silika

BAB I PENDAHULUAN. Gambar I.1. Skema produksi panas bumi dan lokasi pengambilan sampel kerak silika BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumberdaya panas bumi. Potensi panas bumi yang dimiliki Indonesia mencapai 40% dari total potensi yang dimiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tugas akhir sebagai mata kuliah wajib, merupakan pengintegrasian ilmu dan keterampilan dalam bidang geologi yang didapatkan selama menjadi mahasiswa dan sebagai syarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, kebutuhan akan sumber daya energi dan mineral semakin banyak. Salah satu yang paling banyak diminati oleh penduduk di dunia

Lebih terperinci

STUDI GEOKIMIA BATUAN VULKANIK PRIMER KOMPLEKS GUNUNG SINGA - GUNUNG HULU LISUNG, BOGOR - JAWA BARAT

STUDI GEOKIMIA BATUAN VULKANIK PRIMER KOMPLEKS GUNUNG SINGA - GUNUNG HULU LISUNG, BOGOR - JAWA BARAT Studi geokimia batuan vulkanik primer kompleks Gunung Singa - Gunung Hulu Lisung, Bogor, Jawa Barat STUDI GEOKIMIA BATUAN VULKANIK PRIMER KOMPLEKS GUNUNG SINGA - GUNUNG HULU LISUNG, BOGOR - JAWA BARAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG Kepulauan Indonesia merupakan salah satu daerah dengan kegiatan vulkanisme yang aktif. Suatu hubungan yang erat antara vulkanisme dan tektonik dicerminkan oleh adanya

Lebih terperinci

FORMULIR ISIAN BASIS DATA SUMBER DAYA MINERAL LOGAM

FORMULIR ISIAN BASIS DATA SUMBER DAYA MINERAL LOGAM FORMULIR ISIAN BASIS DATA SUMBER DAYA MINERAL LOGAM No. Record : Judul Laporan : DATA UMUM Instansi Pelapor : Penyelidik : Penulis Laporan : Tahun Laporan : Sumber Data : Digital Hardcopy Provinsi : Kabupaten

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pegunungan Menoreh terletak di ujung utara pegunungan Kulon Progo, bagian timur dari zona jajaran punggungan oblong domes / ridges, di sebelah barat perbatasan Propinsi

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. Untuk mengetahui gambaran penyebaran kandungan komposisi kimia secara

BAB V PEMBAHASAN. Untuk mengetahui gambaran penyebaran kandungan komposisi kimia secara BAB V PEMBAHASAN Untuk mengetahui gambaran penyebaran kandungan komposisi kimia secara horizontal dan vertikal akibat intrusi basalt maka perlu dikorelasikan antara hasil analisis kimia, tekstur (ukuran

Lebih terperinci

ENDAPAN MAGMATIK Kromit, Nikel sulfida, dan PGM

ENDAPAN MAGMATIK Kromit, Nikel sulfida, dan PGM ENDAPAN MAGMATIK Kromit, Nikel sulfida, dan PGM Adi Prabowo Jurusan Teknik Geologi Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta MENDALA METALOGENIK (Metallogenic Province) suatu area yang dicirikan oleh

Lebih terperinci

Citra LANDSAT Semarang

Citra LANDSAT Semarang Batuan/Mineral Citra LANDSAT Semarang Indonesia 5 s/d 7 km 163 m + 2 km QUARRY BARAT LAUT Tidak ditambang (untuk green belt) muka airtanah 163 m batas bawah penambangan (10 m dpl) 75-100 m dpl Keterangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Geologi Daerah Sirnajaya dan Sekitarnya, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 1

BAB I PENDAHULUAN. Geologi Daerah Sirnajaya dan Sekitarnya, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Tugas Akhir merupakan mata kuliah wajib dalam kurikulum pendidikan tingkat sarjana strata satu (S1). Tugas Akhir dilakukan dalam bentuk penelitian yang mengintegrasikan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN JUDUL...i. HALAMAN PENGESAHAN...ii. HALAMAN PERSEMBAHAN...iii. UCAPAN TERIMAKASIH...iv. KATA PENGANTAR...vi. SARI...

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN JUDUL...i. HALAMAN PENGESAHAN...ii. HALAMAN PERSEMBAHAN...iii. UCAPAN TERIMAKASIH...iv. KATA PENGANTAR...vi. SARI... DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL...i HALAMAN PENGESAHAN...ii HALAMAN PERSEMBAHAN...iii UCAPAN TERIMAKASIH...iv KATA PENGANTAR...vi SARI...vii DAFTAR ISI...viii DAFTAR GAMBAR...xii DAFTAR TABEL...xv BAB

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Lapangan panas bumi Wayang-Windu terletak di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Secara geografis lapangan ini terletak pada koordinat 107 o 35 00-107 o 40 00 BT dan 7 o

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

RORO RASI PUTRA REDHO KURNIAWAN FAJAR INAQTYO ZALLAF AHMAD ABDILLAH DOLI ALI FITRI KIKI GUSMANINGSIH BENTI JUL SOSANTRI ALFI RAHMAN

RORO RASI PUTRA REDHO KURNIAWAN FAJAR INAQTYO ZALLAF AHMAD ABDILLAH DOLI ALI FITRI KIKI GUSMANINGSIH BENTI JUL SOSANTRI ALFI RAHMAN Genesha Mineral Pada Lingkup Magmatik RORO RASI PUTRA REDHO KURNIAWAN FAJAR INAQTYO ZALLAF AHMAD ABDILLAH DOLI ALI FITRI KIKI GUSMANINGSIH BENTI JUL SOSANTRI ALFI RAHMAN UNIVERSITAS NEGERI PADANG Lingkup/Lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang seluruh aspek pembentukan batuan mulai dari sumber, proses primer

BAB I PENDAHULUAN. tentang seluruh aspek pembentukan batuan mulai dari sumber, proses primer BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Petrogenesis merupakan bagian dari ilmu petrologi yang menjelaskan tentang seluruh aspek pembentukan batuan mulai dari sumber, proses primer terbentuknya batuan hingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, sebagai negara kepulauan tergabung kedalam rangkaian sirkum

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, sebagai negara kepulauan tergabung kedalam rangkaian sirkum BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia, sebagai negara kepulauan tergabung kedalam rangkaian sirkum gunung api pasifik (ring of fire) yang diakibatkan oleh zona subduksi aktif yang memanjang dari

Lebih terperinci

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. (a) (c) (b) (d) Foto 3.10 Kenampakan makroskopis berbagai macam litologi pada Satuan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Daerah penelitian berada pada kuasa HPH milik PT. Aya Yayang Indonesia Indonesia, yang luasnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Karangsambung merupakan lokasi tempat tersingkapnya batuan-batuan campuran hasil dari proses subduksi yang terjadi pada umur Kapur Akhir sampai Paleosen. Batuan tertua

Lebih terperinci

6.6. G. TANGKOKO, Sulawesi Utara

6.6. G. TANGKOKO, Sulawesi Utara 6.6. G. TANGKOKO, Sulawesi Utara KETERANGAN UMUM Nama Lain : Tonkoko Nama Kawah : - Lokasi Ketinggian Kota Terdekat Tipe Gunungapi Pos Pengamatan Gunungapi : Administratif: termasuk Desa Makewide, Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Jawa (Busur Sunda) merupakan daerah dengan s umber daya panas

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Jawa (Busur Sunda) merupakan daerah dengan s umber daya panas BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pulau Jawa (Busur Sunda) merupakan daerah dengan s umber daya panas bumi terbesar (p otensi cadangan dan potensi diketahui), dimana paling tidak terdapat 62 lapangan

Lebih terperinci

Bab II. Kriteria Geologi dalam Eksplorasi

Bab II. Kriteria Geologi dalam Eksplorasi Bab II. Kriteria Geologi dalam Eksplorasi II.1. Kriteria Geologi Kriteria geologi merupakan gejala yang mengendalikan terdapatnya endapan mineral dan pengetahuan ini bertujuan melokalisir daerah yang mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Menurut Schieferdecker (1959) maar adalah suatu cekungan yang umumnya terisi air, berdiameter mencapai 2 km, dan dikelilingi oleh endapan hasil letusannya.

Lebih terperinci

lajur Pegunungan Selatan Jawa yang berpotensi sebagai tempat pembentukan bahan galian mineral logam. Secara umum daerah Pegunungan Selatan ini

lajur Pegunungan Selatan Jawa yang berpotensi sebagai tempat pembentukan bahan galian mineral logam. Secara umum daerah Pegunungan Selatan ini BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Pegunungan Selatan Jawa Timur dan Jawa Barat merupakan bagian dari lajur Pegunungan Selatan Jawa yang berpotensi sebagai tempat pembentukan bahan galian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan geologi Papua diawali sejak evolusi tektonik Kenozoikum

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan geologi Papua diawali sejak evolusi tektonik Kenozoikum BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perkembangan geologi Papua diawali sejak evolusi tektonik Kenozoikum New Guinea yakni adanya konvergensi oblique antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Pasifik (Hamilton,

Lebih terperinci