BAB 10 PERANG DISKURSUS DAN PRAKTIK KEMISKINAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 10 PERANG DISKURSUS DAN PRAKTIK KEMISKINAN"

Transkripsi

1 BAB 10 PERANG DISKURSUS DAN PRAKTIK KEMISKINAN Narasi diskursus dan praktik dapat disusun menurut kaitan berbagai konsekuensi vertikal dari tataran diskursus, habitus, dan arena, maupun peran secara horizontal antara diskursus dan praktik yang berbeda-beda (Foucault 2002c: 85). Pada bab-bab sebelumnya disampaikan narasi vertikal dari enam diskursus kemiskinan di pedesaan Indonesia. Pada bab ini narasi dilanjutkan dengan perang diskursus dan praktik kemiskinan. Sudut pandang sejarah diskursus dapat digunakan untuk mendeskripsikan perang tersebut, karena menurut Foucault (2002d: 143) sejarah yang menguasai dan membatasi manusia lebih memiliki bentuk peperangan daripada bahasa, tentang relasi kekuasaan daripada relasi makna. Dengan memperhitungkan perkembangan di Indonesia, diskursus berbagi kelebihan dan diskursus menginginkan kesederhanaan telah dikenal setidaknya sejak 1500-an (Gambar 17). Diskursus kemiskinan ras dan etnis dikembangkan pada dekade 1920-an, bersamaan dengan perkembangan diskursus kemiskinan sosialis. Pada dekade 1970-an berkembang diskursus potensi golongan miskin. Sejak akhir 1990-an berkembang diskursus kemiskinan produksi, dan tafsirnya kini sedang menguat. Gambar 17. Genealogi Diskursus Kemiskinan di Pedesaan Indonesia

2 160 Penghilangan dan Perluasan Domain Kemiskinan Dalam diskursus dan praktik berbagi kelebihan, tetangga di dalam desa telah menyamarkan lokus tubuh miskin dalam lapisan-lapisan kekurangan, yang mampu menghasilkan garis kemiskinan lokal berbeda-beda antar wilayah dan waktu yang berlainan. Relativitas garis kemiskinan lokal menjadi strategi penyamaran penting untuk menolak jangkauan mekanisme kekuasaan yang bisa saja merepresi golongan kekurangan. Dalam kondisi tersamar, prosedur menuju tubuh miskin baru terbuka melalui praktik kerukunan antar tetangga. Prosedur tersebut sekaligus membatasi penanggulangan kemiskinan hanya pada tataran antar tetangga sedesa. Mekanisme parrhesia (Foucault 2011: 339) dalam pengelolaan tubuh untuk mencapai kesucian dan mengabarkan kebenaran tersusun dalam diskursus menginginkan kesederhanaan. Latihan keterbatasan harta benda secara terus menerus oleh penganut mistik, agamawan, dan tubuh prihatin lainnya berguna untuk menyucikan tubuh dan menyiapkannya menerima kebenaran dari Tuhan. Keyakinan tentang hubungan langsung dengan Tuhan memberikan tubuh sederhana tersebut keberanian untuk menyampaikan kebenaran menurut pandangannya kepada pihak lain, termasuk penguasa. Tidak mengherankan keprihatinan atau kesederhanaan ini bersifat subversif bagi masyarakat dan penguasa. Penguasa sendiri mendapatkan rangsangan kesederhanaan untuk mengolah tubuhnya agar memancarkan sinar kesaktian juga disebut karamah Tuhan yang dipandang sebagai bentuk riil kekuasaan dirinya (Anderson 2000: 47-71). Kemiskinan dinilai sebagai masalah sosial selama penjajahan Belanda, dan domainnya meluas hingga nusantara. Untuk pertama kalinya pula penelitian kemiskinan dilaksanakan pada tahun Tubuh orang miskin dari kalangan Indo Eropa diidentifikasi, dan konsep yang diperoleh sebagai hasil identifikasi lalu digunakan untuk memburu tubuh-tubuh serupa. Melalui penelitian ini tubuhtubuh miskin dimunculkan lewat pencatatan sensus. Dalam konstruksi pelapisan sosial berbasis ras, kemiskinan dipandang sebagai permasalahan ras campuran atau kreol antara orang Eropa dan pribumi.

3 161 Penelitian menemukan beragam penyebab kemiskinan kreol (Baay 2010: 15-16), namun pemerintah jajahan pada tahun 1920-an hanya mengedepankan sebab berhubungan dengan tubuh pribumi secara tidak bermoral berupa pergundikan (Gouda 2007: ). Oleh sebab itu program penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk memperbaiki moral tubuh-tubuh kreol. Komisi (penyelidikan kemiskinan orang Eropa di Hindia Belanda) juga menganjurkan untuk meningkatkan mutu moral di dalam tangsi. Jumlah anggota militer Eropa yang hidup dalam pergundikan akan berkurang sehingga akan berkurang pula jumlah anak miskin yang dilahirkan. Berkaitan dengan masalah ini komisi juga menganjurkan agar anggota militer Eropa yang telah meninggalkan ketentaraan kolonial segera dikirim kembali ke Belanda (Baay 2010: 178). Kekuasaan dioperasikan melalui basis budaya yang holistik artinya tanpa mempertimbangkan pelapisan masyarakat dalam budaya tersebut dan diskursus kemiskinan ras dan etnis secara bersama-sama memunculkan orang miskin dari kreol, sekaligus menahan kemunculan kemiskinan dari etnis-etnis pribumi. Etnis tersebut di-lain-kan secara budaya, dengan cara menempeli atribut-atribut persangkaan budaya yang dinilai primitif atau persangkaan moral negatif. Dengan memandang pribumi sebagai separuh kera, kemiskinan tidak dipandang sebagai masalah mereka, melainkan keliaran tingkah lakunya (Gouda 2007: 213). Sebagian penduduk kolonial Belanda di abad ke-20, misalnya, secara aneh masih terobsesi dengan gagasan "mata rantai yang hilang" dan menduga-duga kemiripan antara orang pribumi dengan kera-kera besar cerdas yang mirip manusia. Sebagian lain menggunakan gagasan Spencer dalam bentuk yang menyimpang, penjelasan baru tentang evolusi biologi dan metafora-metafora artifisial tentang sifat kekanak-kanakan atau "lambatnya perkembangan" orang-orang Indonesia. Dalam periode yang sama, berkembang pula diskursus kemiskinan sosialis. Membalik konstruksi diskursus kemiskinan ras dan etnis yang menyalahkan hubungan dengan tubuh pribumi, dalam diskursus ini justru hubungan dengan tubuh penjajah diyakini sebagai mekanisme kemiskinan pribumi. Hubungan yang bercirikan feudal dengan kelas priyayi dalam kerajaan-

4 162 kerajaan nusantara juga dipandang sebagai operasi kekuasaan untuk menghisap surplus kelas bawah (Soekarno 1965: 1-24; Sirait, Hindrayati, Rheinhardt 2011: ). Menerapkan teori-teori dari komunisme internasional, lokus proletar sebagai pengisi kelas miskin diidentifikasi di antara tubuh buruh industri, seperti buruh kereta api (McVey 2010: 29). Mekanisme penanggulangan kemiskinan ditempuh melalui boikot atau pemogokan dan pemberontakan golongan sosialis, dalam rangka menghambat dan menghancurkan struktur sosial penjajahan. Identitas tubuh proletar seharusnya hanya membatasi pada tubuh buruh industri, namun terbuka bagi tubuh pribumi, kreol dan ras berkulit putih. Akan tetapi organisasi buruh sosialis lebih banyak diisi buruh pribumi dan sebagian kecil buruh kreol, sebaliknya buruh dengan ras murni Eropa justru sering menyabotase pemogokan mereka. Identifikasi proletar sebagai tubuh miskin sekaligus membungkam golongan miskin lainnya, yang saat itu sudah mulai diketahui pada tubuh pengusaha kecil dan petani kecil (Hiqmah 2008: 49; Tjokroaminoto 2008: ). Konsekuensinya gerakan sabotase atau pemberontakan buruh sosialis tetap meninggalkan pengusaha kecil dan petani kecil yang dipandang tidak mengenal rasionalitas masyarakat industrial. Di samping kelemahan identifikasi kelas miskin tersebut, teori-teori komunis internasional juga dipandang sulit diterapkan langsung di Indonesia setelah kerjasama komunis internasional tidak terwujud untuk mendukung pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) melawan penjajah Belanda pada tahun 1926 (McVey 2010: ). Untuk menyesuaikan lebih dalam dengan keindonesiaan, nasionalisme dikembangkan sebagai revisi internasionalisme. Adapun tubuh miskin ditangkap sebagai tubuh marhaen atau kromo (Agusta 2010: ; Soekarno 1965: , ). Di samping buruh industri sebagai proletar, tubuh-tubuh miskin juga diidentifikasi pada petani kecil dan buruh tani. Pada titik ini identifikasi golongan kekurangan dalam diskursus berbagi kelebihan yang berisikan petani kecil dan buruh tani dipinjam sekaligus ditafsirkan kembali. Tubuh-tubuh tersebut muncul sebagai dikotomi dari kapitalis dan golongan feudal. Sebelum kemerdekaan peminjaman golongan kekurangan

5 163 sekaligus dimanipulasi dengan komunisme, sehingga tubuh proletar dipandang lebih superior. Soekarno (1965: 254) menjelaskan hal ini. Ini, ini paham "proletar mengambil bagian yang besar sekali", inilah yang saya sebutkan modern, inilah yang bernama rasionil. Sebab kaum proletarlah yang kini lebih hidup di dalam ideologi-modern, kaum proletarlah yang sebagai klasse lebih langsung terkena oleh kapitalisme, kaum proletarlah yang lebih "mengerti" akan segala-galanya kemodernan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Mereka lebih "selaras zaman", mereka lebih "nyata pikirannya", mereka lebih "konkrit", dan mereka lebih besar harga-perlawanannya, lebih besar gevechtswaarde-nya dari kaum yang lain-lain. Kaum tani adalah umumnya masih hidup dalam satu kaki di dalam ideologi feudalisme, hidup di dalam angan-angan mistik yang melayang-layang di atas awang-awang, tidak begitu "selaras zaman" dan "nyata pikiran" sebagai kaum proletar yang hidup di dala kegemparan percampur-gaulan abad ke dua puluh. Mereka masih banyak mengagung-agungkan ningratisme, percaya pada seorang "Ratu Adil" atau "Heru Cokro" yang nanti akan menjelma dari kayangan membawa kenikmatan surga-dunia yang penuh dengan rezeki dan keadilan, ngandel akan "kekuatan-kekuatan rahasia" yang bisa "memujakan" datangnya pergaulan-hidup-baru dengan termenung di dalam gua. Pandangan ini telah berubah setelah Indonesia merdeka. Diskursus berbagi kelebihan membatasi hubungan tubuh miskin sebatas dengan tetangganya, namun diskursus kemiskinan sosialis mendatangkan kelas atas untuk menyadarkan esploitasi atas mereka, lalu mengorganisasikannya hingga ke tingkat nasional. Orientasi kepada marhaen di pedesaan antara lain ditunjukkan oleh inisiatif PKI (Mortimer 2011: ) untuk melatih marhaen dan mengorganisasikannya dalam kelompok di desa hingga organisasi Barisan Tani Indonesia (BTI) di tingkat nasional. Perubahan subyek kemiskinan sosialis dari buruh industri di perkotaan menjadi petani di pedesaan tidak terlepas dari kesulitan kedudukan PKI dalam kabinet dan penguatan angkatan darat dalam industri-industri di perkotaan. Perubahan tersebut membutuhkan pengetahuan tentang struktur masyarakat desa, sehingga PKI segera melakukan penelitian. Untuk pertama kalinya penelitian partisipatoris dilaksanakan, pada awal 1960-an antara kader PKI sebagai peneliti bersama-sama tubuh marhaen di pedesaan. Penelitian partisipatoris yang penuh interaksi sosial tersebut menjadi operasi kekuasaan

6 164 dalam memunculkan tubuh marhaen, mengidentifikasi tubuh-tubuh penghisap marhaen, sekaligus menyadarkan tubuh marhaen tentang penghisapan surplus ekonomi tersebut. Hasil penelitian kemudian digunakan sebagai informasi untuk mengubah syarat-syarat masuk BTI, dan dengan demikian marhaen dapat diorganisasikan sebagaimana layaknya proletar dalam industri. Di tingkat lokal, hasil penelitian menjadi kuasa pengetahuan bagi gerakan sosial perebutan lahan tuan tanah yang berlebihan dikenal sebagai aksi sepihak. Sesuai pandangan sosialisme, lahan dipandang sebagai alat produksi utama bagi tubuh marhaen untuk menghasilkan surplus secara mandiri. Aidit meringkas upaya pengorganisasian, pelatihan, dan aksi bagi tubuh marhaen sebagai berikut (Mortimer 2011: 382). Aksi-aksi sepihak akan sukses jika minimal tiga prasyarat berikut dipenuhi. Pertama, diorganisasikan secara rapi, khususnya sudut pandang dan cara kepemimpinan menyelesaikan masalah dalam aksi-aksi mereka di tingkat kabupaten, kecamatan, dan desa; kedua, pendidikan mestinya diberikan dengan cepat, artinya kuliah-kuliah darurat dan pelatihan-pelatihan singkat segera diberikan bagi kader-kader desa yang secara khusus menangani sisi praktis aksi-aksi; dan ketiga, aksi-aksi yang mestinya melangkah di bawah kepemimpinan yang terlatih, artinya, kita harus menghindari "aksi pemimpin" tanpa massa atau "aksi massa" tanpa pemimpin, karena bagaimanapun aksi-aksi mesti konsisten berpijak pada kaum buruh dan petani miskin Aksi-aksi ini, kalau begitu, harus mampu memenangkan simpati dan dukungan lebih dari 90 persen penduduk desa dan para pejabat negara yang bukan reaksioner. Episode pengembangan kelas marhaen ditutup oleh pergantian politik nasional secara berdarah. Dimulai dari perlawanan berdarah kiai dan santri kepada kelas marhaen di Jawa Timur pada awal tahun 1965 (Sulistyo 2011: ), pergantian kepemimpinan nasional oleh Angkatan Darat diikuti dengan pembunuhan para marhaen yang menandai pembunuhan tubuh-tubuh miskin.

7 165 Kekuasaan Memanipulasi Tafsir Kemiskinan Beberapa tahun kemudian, di awal tahun 1970-an diskursus potensi golongan miskin dikembangkan di antara akademisi dan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM). Komunikasi berlangsung melalui diskusi dan penerbitan, serta dipraktikkan dalam kelompok-kelompok simpan pinjam dan usaha kecil lokal. Bertautan dengan pembangunan alternatif yang mengedepankan kelebihan lokalitas, diskursus ini mengarahkan penanggulangan kemiskinan untuk menghasilkan kemandirian dari tubuh-tubuh miskin tersebut. Kemandirian tubuh yang semula merupakan hasil dari latihan kemiskinan lapisan atas atau penganut kebatinan (dalam diskursus menginginkan kesederhanaan) kini digeser kepada posisi tubuh-tubuh miskin sendiri. Ekonomi Rakyat merupakan fokus perhatian karena setelah program IDT menjadi gerakan masyarakat sendiri, gerakan roda ekonomi rakyat ini harus berputar secara swadaya dan mandiri. Demikian apabila roda ekonomi rakyat sudah bergerak secara swadaya dan mandiri, maka pembangunan ekonomi dan sosial akan makin merata (Mubyarto 1996: vi) Konsep golongan kekurangan pada diskursus berbagi kelebihan, yang ditafsir ulang ke dalam kelas marhaen, pada diskursus ini digunakan kembali sembari ditafsir ulang sebagai golongan lemah. Menurut Sajogyo (1977: 10-17), tubuh-tubuh lemah meliputi buruh tani dan petani gurem manipulasi tafsir atas kelas marhaen. Tahun 1973, 57% petani di Jawa mengusahakan kurang dari 0,5 hektar tanah (rata-rata 0,25 hektar). Ini golongan petani gurem.. Data tahun 1963 tak banyak berbeda: golongan "petani gurem" tercatat 61% (termasuk luas kurang dari 01 hektar, yang sebenarnya tak terhitung petani) yang menguasai 22% luas tanah pertanian di desa.. Jika 2 daftar "rumahtangga" tahun 1970 (dalam persiapan sensus penduduk 1971) dapat dipakai sebagai patokan tentang berapa persen rumahtangga yang petani dan bukan petani, maka golongan petani gurem pada tahun 1973

8 166 meliputi 33% dari rumahtangga di Jawa, jika dari 33% golongan miskin, yang 16% tergolong petani gurem (2,8 juta), maka 19% sisanya (13,0 juta) dapat dikatakan sebagian besar tergolong "buruhtani yang tidak bertanah" atau memiliki kurang dari 750 m2. Mereka meliputi hampir separuh dari golongan bukan-petani yang tercatat sebanyak 42%, dan mencakup 26% yang tak bertanah (Sajogyo 1977: 12). Ketiadaan alat produksi sebagai sumber kemiskinan sosialis juga ditafsirkan ulang sebagai ketiadaan akses ekonomis pada diskursus potensi orang miskin (Sajogyo 2006: ), padahal substansinya sama yaitu lahan di pedesaan. Penggantian tafsir alat produksi menjadi akses sesuai dengan aliran pembangunan berbasis kebutuhan dasar manusia, yang lebih mengedepankan konsep akses daripada kepemilikan salah satu konsekuensinya ialah pembedaan pemilik dan penguasa (pengakses) lahan. Perbedaan lainnya muncul dalam penggunaan kelompok sebagai mekanisme kumulasi kekuasaan golongan lemah. Pengelompokan kekuatankekuatan tubuh lemah dapat menghasilkan satu kekuasaan yang lebih kuat melalui interaksi di antara mereka sendiri. Kelompok tidak diarahkan untuk mengambil alih kepemilikan lahan tuan tanah di luar, sebaliknya Sajogyo (2006: ) mengarahkan reforma agraria ke dalam anggota kelompok petani gurem. Kolektivitas di antara petani gurem yang mengerjakan lahan bersama dipandang menyatukan kekuatan dalam berhubungan dengan posisi yang lebih tinggi. Landreform itu justru dikenakan pada golongan yang paling gurem, misalnya menguasai kurang dari 0,2 hektar: tanah mereka dibeli pemerintah, kemudian dititipkan sebagai "tanah negara" yang diurus oleh Badan Usaha Buruh Tani (BUBT) di desa. Uang pembelian tanah itu sebagian dijadikan modal Badan Usaha Buruh Tani, baik modal untuk usaha bersama maupun modal yang dipinjamkan pada anggota untuk usaha perorangan. Kelompok lebih dibutuhkan golongan lemah, bukan lapisan sosial atas. Golongan yang telah lepas dari kemiskinan tidak membutuhkan kelompok lagi (Sajogyo 1997: ). Peran penting lapisan atas ialah bersolidaritas dan memihak golongan lemah. Praktik pemihakan ditunjukkan melalui

9 167 pendampingan. Oleh sebab itu pendampingan menjadi penting selama masih ada kelompok berisikan tubuh-tubuh orang miskin. Hampir semua program penanggulangan kemiskinan menggunakan pendekatan kelompok. Peran minimal pendamping kelompok adalah memastikan komponen program (pokmas, dana) tetap lestari dan bila mungkin berkembang. Artinya, kelembagaan (aturan main/ad-art, administrasi) pokmas menjadi semakin baik, dana yang merupakan modal usaha semakin berkembang. Pendamping mestinya bukan unsur yang terpisah dari program, tetapi faktor integral yang "hidup" dari mekanisme hubungan dengan pokmas yang didampinginya. Perubahan struktural tidak dilakukan melalui mekanisme konflik kelas marhaen dengan kelas kapitalis dan kelas feudal, melainkan melalui mekanisme pemerataan pembangunan. Dibandingkan dengan delapan jalur pemerintah, masih dibutuhkan kondisi awal yang berisikan berbagai alat produksi petani di desa (Sajogyo 2006: ). Meskipun mengetengahkan dualitas penurunan kemiskinan dan peningkatan pemerataan, namun aspek pemerataan tidak selalu muncul bersamaan. Indikator indeks Gini untuk menunjukkan tingkat ketimpangan wilayah kurang populer. Diskursus potensi orang miskin lebih berorientasi pada upaya kemandirian kelompok miskin, dan tidak memperhitungkan aspek bantuan luar negeri dari negara maju dan donor internasional. Pada awal dekade 1980-an muncul pemikiran tentang kemiskinan struktural. Bukannya memperhitungkan penghisapan surplus antar negara, pemikiran ini diisi Soemardjan (1984: 3-11) dengan identifikasi organisasi pemerintah penyebab kemiskinan dan rekomendasi organisasi pembaru penanggulangan kemiskinan di dalam negeri. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Golongan demikian itu biasanya terdiri dari para petani yang tidak memiliki tanah sendiri, atau para petani yang tanah miliknya begitu kecil sehingga hasilnya tidak cukup untuk memberi makan kepada dirinya sendiri dan keluarganya. Termasuk golongan miskin adalah kaum buruh yang tidak terpelajar dan tidak terlatih, atau yang dengan kata asing

10 168 dinamakan unskilled laborers. Golongan miskin itu meliputi juga para pengusaha tanpa modal dan tanpa fasilitas dari Pemerintah, yang sekarang dapat dinamakan golongan ekonomi sangat lemah.. Dalam rangka pemikiran ini menarik juga anjuran Wakil Presiden Adam Malik dalam pidato yang diucapkan olehnya sendiri di muka seminar agar diusahakan perubahan struktur masyarakat Indonesia sedemikian rupa sehingga kemiskinan struktural tidak banyak lagi artinya (Soemardjan 1984: 5, 11). Pada dekade yang sama sebenarnya Arif (2001: 7-36) dari diskursus kemiskinan sosialis menulis perihal ketergantungan Indonesia terhadap negara maju dan donor, serta konsekuensinya pada pemiskinan sebagian warganegara. Akan tetapi, pendekatan ketergantungan antar negara tidak pernah muncul sebagai pemikiran dominan. Berorientasi pada model pendekatan kebutuhan dasar, dan berdasarkan hasil penelitian gizi masyarakat, upaya menghitung golongan miskin dilakukan Sajogyo (1988: 1-14) dengan garis kemiskinan berbasis gizi minimal untuk bekerja. Bila dihitung secara individual, gizi yang dibutuhkan Kkal/hari. Akan tetapi dengan memperhitungkan simpangan pada tingkat masyarakat, maka nilainya menjadi Kkal/hari. Untuk mempermudah penghitungan tanpa memperhitungkan perbedaan inflasi antar tempat dan waktu maka penghitungannya diukur dari nilai beras. Bila dikaitkan dengan orientasi lokalitas yang seharusnya menghasilkan garis kemiskinan lokal yang berbeda-beda, serta pemikiran struktural kemiskinan yang tidak mempercayai garis kemiskinan absolut, maka upaya perumusan garis kemiskinan nasional atau makro tergolong anomali dalam diskursus ini. Hasil kajian kemiskinan mikro hampir selalu berakhir pada kemiskinan lokal yang lebih parah dibandingkan hasil ukuran garis kemiskinan makro (White 1996: 29-45). Argumen penyusunan garis kemiskinan yang dimunculkan ialah untuk menduga ketidakmerataan sosial (Luthfi 2011: 165), padahal indikator yang lebih tajam dan telah mulai digunakan saat itu ialah indeks Gini. Diskursus kemiskinan produksi muncul untuk merespons ketimpangan sosial yang diindikasikan oleh ketimpangan wilayah pada akhir tahun 1970-an. Dekade 1970-an ditandai oleh peningkatan indeks Gini, dan kesenjangan sosial

11 169 tersebut tampaknya dirasakan banyak pihak, sehingga pemerintah mengeluarkan Paket Kebijaksanaan Moneter 15 November 1978 yang antara lain ditujukan pada penciptaan kondisi bagi pola hidup yang lebih wajar dikenal sebagai pola hidup sederhana (Dahlan 1978: 22-32). Konsep dari diskursus menginginkan kesederhanaan ini dimanipulasi untuk mengurangi konsumsi ekonomis seluruh penduduk, sehingga diharapkan mengurangi ketimpangan ekonomi. Akan tetapi diselipkan anomali, bahwa ukuran sederhana itu tergantung pada penilaian penduduk terhadap pendapatannya. Konsekuensinya kian miskin penduduk maka mekanisme pendisiplinan konsumsi kian merepresinya, sebaiknya kian kaya penduduk maka kian terbuka untuk berkonsumsi lebih tinggi. Kontradiksi tersebut sudah menghapus efektivitas kebijakan pemerintah. Istilah sederhana atau mewah sangat relatif dan tergantung keadaan masing-masing orang pada suatu waktu tertentu. Orang cenderung menganggap mewah hal-hal yang tidak tercapai oleh kemampuannya sendiri atau yang dianggapnya berlebih-lebihan bagi dirinya pada suatu ketika. Pada saat yang lain, hal-hal yang sama mungkin dianggapnya bukan mewah lagi atau dapat bertambah mewah. Golongan menengah yang memang lebih banyak mengeluarkan suara dengan sendirinya cenderung menganggap pola hidup kalangan atas sebagai kemewahan; sedangkan bagi golongan yang berada itu sendiri gaya itu dirasakan wajar sesuai dengan kemampuan dan kedudukan mereka (Dahlan 1978: 23). Garis kemiskinan untuk kebutuhan standardisasi lebih terbuka untuk disusun dalam diskursus kemiskinan produksi. Pada tahun 1984 BPS mengembangkan garis kemiskinan negara. Sama-sama menggunakan basis kebutuhan energi Kkal per hari, orientasi kepada metode individualistik menghalangi penggunaan batas simpangan Kkal pada tingkat komunitas dan negara ini batas bawah yang digunakan Sajogyo (1988: 1-14). Konsekuensinya, garis kemiskinan BPS senantiasa lebih tinggi daripada garis kemiskinan Sajogyo. BPS hanya memunculkan satu garis kemiskinan, sementara Sajogyo selalu memunculkan lehih dari satu garis kemiskinan. Nilai uang distandardisasi antar wilayah (memperhitungkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi), lalu digunakan sebagai hasil penghitungan. Sama seperti Sajogyo yang

12 170 menggunakan data Survai Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang diproduksi tahunan, seharusnya garis kemiskinan ini dapat dipublikasikan setiap tahun. Bahwa hal tersebut tidak dilakukan hingga tahun 1993, menunjukkan pembungkaman diskursus kemiskinan hingga awal 1990-an. Hal ini terutama berkaitan dengan kemunculan pandangan proses pemiskinan selama dekade an dan 1980-an, yang ditentang oleh Presiden Soeharto (2008: ). Dalam pernyataannya identitas pencipta garis kemiskinan diberikan kepada Mubyarto, padahal diciptakan oleh Sajogyo. Nama Sajogyo juga dihilangkan sebagai "orang itu" yang sebelumnya menyatakan pemiskinan dalam proses pembangunan. Pada permulaan tahun 1985 saya menyebutkan, bahwa garis kemiskinan di negeri kita, di mana kebanyakan adalah kaum petani, ialah 320 kg beras per tahun per orang. Yang menetapkan batas itu adalah ahli-ahli ekonomi kita, seperti Mubyarto dan yang lainnya. Saya pun pernah menghitungnya sekian tahun ke belakang. Dan perhitungan saya itu kira-kira cocok dengan perhitungan para ahli ekonomi kita itu. Alhasil, batas 320 kg beras per tahun per orang itu harus bisa dilampaui oleh seorang petani kita, supaya tidak hidup dalam kemiskinan.. Ada yang mengatakan seolah-olah proses pembangunan kita selama 15 tahun ini, bahkan 18 tahun, merupakan proses pemiskinan terhadap rakyat kita. Pendapat yang demikian itu maksudnya tentu baik, yakni untuk memperingatkan agar pembangunan yang kita lakukan benar-benar sesuai dengan tujuannya, yaitu untuk memperbaiki taraf hidup rakyat. Kalau benar begitu halnya di Indonesia selama ini, maka saya berdosa. Tetapi apa yang saya lihat, kebalikan dari pendapat sementara orang itu. Membawa proses kemiskinan berarti rakyat makin lama makin miskin. Nyatanya, mereka yang tadinya makan hanya sekali sehari. Sekarang saya tahu bisa makan dua kali sehari, bahkan bisa tiga kali sehari. Dengan demikian, maka tentu rakyat tidak menjadi lebih miskin. Ungkapan di atas mungkin lebih tepat menunjukkan maksud Presiden Soeharto, dibandingkan saat secara resmi memunculkan garis kemiskinan negara

13 171 pada tahun Dalam pidato resmi tersebut yang diacu justru garis kemiskinan BPS bukan garis kemiskinan Sajogyo. Salah satu indikator penting pemerataan kesejahteraan rakyat dalam jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Apabila garis kemiskinan dipakai sebagai tingkat pengeluaran keluarga minimum yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan setara dengan kalori per anggota keluarga per hari serta kebutuhan pokok bukan-pangan tertentu, maka diperoleh jumlah sebagai berikut.. berkurang dari 54,2 juta orang atau 40,1% dari seluruh penduduk dalam tahun 1976 menjadi 47,2 juta atau 33,3% dari seluruh penduduk dalam tahun menjadi 40,6 juta atau 26,9% dalam tahun 1981 (Luthfi 2011: 165). Sempat muncul pandangan bahwa pengukuran dengan menggunakan garis kemiskinan memiliki kelemahan mendasar karena bersifat dugaan dari data survai. Pertanyaan dalam survai juga tidak memperhitungkan utang, padahal kelas bawah biasa mengkonsumsi barang dengan berutang (Arif 2006: ). Pandangan dari diskursus kemiskinan sosialis ini tidak berkembang lebih lanjut. Sejak pertengahan 1980-an World Bank mengubah tema pembangunan dari structural adjustment program (SAP) atau dikenal juga sebagai Washington Consensus, menjadi tema pengurangan kemiskinan. Tema kemiskinan dikembangkan dalam laporan World Development Report (WDR) 1980 dan 1990 selanjutnya juga muncul pada tahun Dokumen ini menyebarkan kekuasaan untuk mengarahkan pembangunan di negara-negara miskin...the importance of successive WDRs in shaping the boundaries and the nature of mainstream development debates. Their relationship with the World Bank (WB) means that they have a huge research and production budget, and the Bank can afford to disseminate them widely a minimum of English copies are now printed, and another summaries are produced in seven other languages. The WDRs are usually the most accessible of the WB s annual publications, and in many ways act as its public face. Their association with the WB also lends them (in many circles) considerable weight and legitimacy. Thus, the WDRs have been a significant vehicle for promoting visions of development that have been broadly congruent with the views of various hegemonic institutions, including the WB, the

14 172 International Monetary Fund (IMF) and the US government (Mawdley dan Rigg 2002: 93). Tema kemiskinan diterima pemerintah pada awal 1990-an. Untuk pertama kalinya dan merupakan perubahan yang cepat pemerintahan Presiden Soeharto menerima pandangan munculnya kemiskinan di Indonesia. Dibandingkan dengan laju kemiskinan yang menurun sejak dekade 1970-an (dari sekitar 40,1 persen atau 54,2 juta pada tahun 1976 menjadi 13,7 persen atau 25,9 jiwa pada tahun 1993), sejak tahun 1993 jumlah dan persentase orang miskin meningkat. Bersamaan dengan skandal kalkulasi BPS yang dijelaskan di bawah, jutaan orang miskin telah dimunculkan melalui keputusan pemerintah ini (sebelum krisis moneter, pada tahun 1996 mencapai 17,5 persen atau 34,5 juta, atau meningkat 8,6 persen dan 3,8 juta orang miskin). Dengan konsep akademis penanggulangan kemiskinan yang jauh lebih siap, serta praktik-praktik kelompok dampingan LSM, diskursus potensi golongan miskin segera mengelola program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan hingga akhir 1990-an. Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) sejak tahun 1994 mempraktikkan pandangan diskursus potensi golongan miskin pada sekitar 20 ribu desa di Indonesia. Tidak mendapatkan data sensus penduduk miskin, maka data sensus potensi desa diolah menjadi data 22 ribu desa tertinggal. Sesuai dengan orientasi lokalitas, warga desa tertinggal menentukan sendiri golongan miskin di antara tetangganya. Mubyarto (1996: 7-8) mempraktekkan diskursus potensi golongan miskin dengan mempercayai warga desa untuk menentukan sendiri golongan miskin di desanya, membentuk kelompok berisikan tubuh-tubuh miskin, merancang kegiatan kelompok sendiri, mempercayakan dana yang relatif besar untuk dikelola mereka, kemudian digulirkan di antara golongan miskin sendiri. Solidaritas lapisan atas diwujudkan dalam bentuk pendampingan untuk memandirikan kelompok dan anggotanya. Dalam Program IDT berbagai ragam proses pemberdayaan orang miskin kreasi pendamping dihargai sebagai lokalitas yang paling tepat untuk melembagakan komponen proyek. II. SIFAT DAN RUANG LINGKUP 1. Program IDT adalah bagian dari gerakan nasional penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan secara bertahap

15 173 dan berkelanjutan dengan mengikutsertakan berbagai instansi dan lembaga, baik Pemerintah maupun swasta, termasuk perguruan tinggi, dunia usaha, organisasi kemasyarakatan dan lembaga kemasyarakatan lainnya; 2. Program IDT juga merupakan strategi pelaksanaan penanggulangan kemiskinan yang menyeluruh dan terpadu untuk mempercepat perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat/desa tertinggal menuju kondisi ketangguhan, ketahanan dan kemandirian; 3. Program IDT menyediakan bantuan khusus berupa modal kerja bagi kelompok penduduk miskin disertai bimbingan dan pendampingan khusus. 1 Berorientasi kepada kemandirian, pada tahun 1996 dikembangkan gerakan masyarakat dan pendamping untuk mandiri dari program penanggulangan kemiskinan. Golongan miskin yang mandiri dirancang dicirikan oleh kemampuannya dalam berusaha serta mencari tambahan modal sendiri. Pendamping mandiri mendapatkan nafkah dari kegiatan pendampingan kelompok-kelompok golongan miskin, dapat beralih dari gugus kelompok yang satu ke gugus kelompok lainnya (Sajogyo 1997: 13, ). Pertarungan gerakan kemiskinan terjadi antara proyek yang diarahkan pada kemandirian masyarakat, dan instruksi presiden untuk melembagakan gerakan tersebut dalam struktur pemerintahan. Menteri Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan bertugas mengkoordinasikan departemen, instansi dan kelompok masyarakat yang memiliki program berhubungan dengan pengentasan kemiskinan, menyusun panduan Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan, mengkoordinasikan pelaksanaan program, dan melaporkan kepada presiden. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional bertugas dalam perencanaan program dan penyediaan dana. Menteri Keuangan bertugas mengatur dana yang diperlukan. Menteri Dalam Negeri bertugas menyusun petunjuk teknis pelaksanaan di provinsi dan kabupaten/kota. Menteri lainnya dan pimpinan lembaga pemeirntah non-departemen wajib memberikan prioritas dan dukungan terhadap pelaksanaan program Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan. Gubernur bertugas mengkoordinasi 1 Lampiran Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1993 tanggal 27 Desember 1993.

16 174 pelaksanaan program ini. Bupati/Walikotamadya memastikan prioritas program ini di daerah masing- masing. dalam rangka mendorong, mengefektifkan dan mengoptimalkan upaya pengentasan kemiskinan secara terpadu dan terkoordinasi antar lintas sektor/instansi terkait dipandang perlu mengeluarkan Instruksi Presiden tentang Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan sebagai bagian dari upaya nasional untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. 1 Sebenarnya sejak tahun 1994 muncul pula inpres yang melandasi praktik dari diskursus kemiskinan ras dan etnis. Melanjutkan pembicaraan Presiden Soeharto dengan konglomerat pada tahun 1991, dana karitatif dikumpulkan dan selanjutnya dikelola dalam Yayasan Damandiri. Berkaitan dengan itu, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengelola sensus keluarga sejahtera oleh petugas keluarga berencana (KB) di tingkat kecamatan dan desa (Achir 1994: 8-9). Dua kategori terbawah keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I digolongkan sebagai keluarga miskin. Melalui kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) Bantuan dana kepada keluarga miskin dilakukan dalam program tabungan kesejahteraan keluarga (Takesra) dan kredit usaha kesejahteraan keluarga (Kukesra). Namun, karena jumlah desa di Indonesia ada sekitar desa, maka, jelas sekali bahwa program yang dirancang itu (Program IDT) tidak akan bisa membantu keluarga miskin di desa lainnya. Sementara itu para konglomerat, yang juga prihatin atas makin melambatnya penurunan tingkat kemiskinan tersebut merasa terketuk hatinya untuk ikut bersama pemerintah memikirkan jalan keluar yang terbaik. Dalam kesempatan yang sama mulai diadakan pula program-program pemberdayaan keluarga dalam rangka pengembangan keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera, para pengusaha yang peduli mengusulkan kepada Presiden untuk ikut serta menangani keluarga dan penduduk di desa yang tidak tertinggal.. Kemudian disusun program atau gerakan keluarga sadar menabung agar supaya para keluarga yang sekarang masih miskin bisa belajar menabung. Dalam rancangan awal dana yang ditabung itu akan dijadikan modal bersama untuk dipergunakan secara 1 Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1998 tentang Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan, bagian Menimbang huruf c.

17 175 bergulir oleh para penabungnya. Dengan memberi kesempatan para peserta KB yang telah bergabung dalam kelompok-kelompok untuk menabung akan diperoleh dana yang cukup untuk bisa dipergunakan secara bergulir. Namun karena keluarga-keluarga itu pada umumnya miskin, atas petunjuk Bapak Presiden modal awal tabungan itu disumbang oleh para pengusaha. Gerakan Keluarga Sadar Menabung itu kemudian dicanangkan oleh Bapak Presiden pada tanggal 2 Oktober 1995 dan tabungan para keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I itu kemudian terkenal sebagai Tabungan Keluarga Sejahtera atau Takesra. 1 Diskursus ini juga mengembangkan program Komunitas Adat Terpencil (KAT), dengan kegiatan yang terpola berupa pendisiplinan suku bangsa yang terpencil dan hidup berpindah-pindah ke dalam permukiman yang mengumpul dan lebih dekat ke wilayah perkotaan (Syuroh 2011: ). Dalam permukiman bentukan tersebut dibangun rumah-rumah kecil untuk keluarga batih. Penghuninya dilatih budidaya dan usaha kerajinan. Diskursus kemiskinan produksi juga menyelinap dengan program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT). Dengan jangkauan dan nilai program yang lebih terbatas tidak mencakup seluruh desa tertinggal program ini sekedar menjadi pendamping Program IDT. Hanya di kawasan Timur Indonesia infrastruktur muncul sebagai bahan diskusi (Sarman dan Sajogyo 2000: 179). Pandangan diskursus kemiskinan produksi sempat pula masuk ke dalam publikasi kelompok masyarakat IDT terbaik. Dalam dokumen tersebut (Mubyarto 1995: 5-6) tertulis taksonomi tubuh miskin atas penduduk miskin produktif dan penduduk miskin tidak produktif. Sulit untuk berkembang dalam diskursus potensi golongan miskin, pandangan ini tidak berkembang lebih lanjut. Tidak terwujud hubungan metodologis antara program IDT dari program lainnya tanda berada pada diskursus yang berbeda. Data keluarga sejahtera tidak digunakan untuk menentukan anggota kelompok masyarakat dalam Program IDT. Pemilihan sendiri oleh warga desa dipandang lebih sesuai dengan diskursus potensi golongan miskin. Bantuan dana langsung artinya tanpa pembentukan kelompok orang miskin serta pemberdayaan kelompok melalui pendamping 1 Diunduh dari pada tanggal 31 Desember 2011 pukul 6.27 WIB.

18 176 juga dinilai tidak sesuai dengan diskursus ini. Begitu pula menimpakan kesalahan pada komunitas adat terasing berkebalikan dari kepercayaan potensi pada diri golongan miskin. Infrastruktur tidak dipandang sebagai bagian diskursus kemiskinan, sehingga Program P3DT ditafsir sebagai pendamping Program IDT. Berkaitan dengan hal ini, Sajogyo (2006: ) menyatakan pemikirannya sebagai berikut. Jika memakai ukuran orang Barat yang digambarkan dalam Keluarga Berencana, yang termasuk miskin adalah keluarga prasejahtera dan keluarga sejahtera I. Jadi kurang lebih setengah penduduk Indonesia masih miskin. Krisis moneter tahun 1998 yang diikuti turunnya pemerintahan Presiden Soeharto mulai menguatkan diskursus kemiskinan produksi, sementara diskursus potensi orang miskin mulai tenggelam. Program IDT dihentikan bersamaan dengan pergantian Presiden Soeharto kemudian Presiden B.J. Habibie. Hanya beberapa bulan sejak krisis moneter, program penanggulangan kemiskinan yang bernilai besar muncul dalam bentuk pemberian bantuan tunai Program Jaring Pengaman Sosial (JPS), dan pemberian beras Program Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin). Bantuan langsung dipandang lebih simpel tanpa perlu perencanaan partisipatif, serta tidak mempercayai potensi golongan miskin (Mubyarto 2000: 4). Sangat disayangkan bahwa suasana gotong royong mengatasi kemiskinan yang sudah berkembang baik ini menjadi buyar berantakan karena terjadinya krismon (krisis moneter) menjelang akhir Dalam suasana panik mengatasi dampak krismon yang cenderung dibesar-besarkan itu lahir berbagai program/proyek JPS yang juga kebablasan, yang tidak menganggap perlu "belajar" dari program-program PPK (Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan) yang sudah berjalan seperti program IDT, Takesra, Kukesra, P4K, Kube, dll. Program PDM-DKE yang menyatakan diri "berpola IDT" dalam praktik pelaksanaannya terang-terangan bertentangan dengan program IDT dalam hal tidak mempercayai warga desa untuk menentukan siapa yang berhak menerima bantuan dana JPS/PDM-DKE. Kini nasi telah menjadi bubur, "sesal dulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna"!

19 177 Untuk menguatkan arti krisis moneter, BPS telah memanipulasi metode pengukuran garis kemiskinan, dengan menambahkan komponen pengeluaran barang-barang baru. Metode baru ini telah menjaring tubuh-tubuh miskin lebih banyak, sehingga persentase tubuh miskin sebelum dan sesudah krisis moneter meningkat tajam. Melalui kalkulasi lama, kemiskinan pada tahun 1996 sebesar 11,34 persen atau 22,5 juta jiwa, dan kalkulasi baru sebesar 17,5 persen dan 34,5 juta jiwa. Sementara itu, melalui kalkulasi baru kemiskinan pada tahun 1998 sebesar 24,23 persen dan 49,5 juta jiwa. Jika kalkulasi lama 1996 dibandingkan dengan kalkulasi baru 1998, muncullah pandangan bahwa krisis moneter memiliki pengaruh mendalam bagi tubuh miskin di Indonesia, dengan menambah 27 juta tubuh miskin sementara kalau konsisten menggunakan seluruh kalkulasi terakhir hanya meningkatkan 15 juta tubuh miskin. Pernyataan baru ini memunculkan basis legitimasi praktik program-program pengurangan kemiskinan. It is interesting to see how BPS has changed the measurement of poverty, to adjust the dynamic of the society and to attempt to improve the coverage of the poor. These changes are all made to make the statictics on poverty more relevant. Yet, those reading such statictics might not be aware of these changes and mightbe inclined to make wrong conclusion.. In a certain BPS publication, it was stated that the calculation of the non-food poverty line had been changed in December 1998 to bring it in line with development in society with regard to non-food need. The definition of "needs" was expanded because BPS realized that the needs of society had expanded. Hence, BPS raised the poverty line. With these changes, it is no surprise that poverty figures also increased. Of the increase of 27 million, some of this represented a genuine increase and the rest was simply a result of adjustment of method of calculation (Ananta 2005: 99). Penguatan diskursus kemiskinan produksi kian berkembang setelah tahun 1998 dikembangkan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dengan donor World Bank untuk sekitar kecamatan. Hingga kini program tersebut tidak berhenti, bahkan sejak tahun 2008 program ini berganti nama menjadi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM Perdesaan) yang mencakup seluruh kecamatan pedesaan di Indonesia.

20 178 Berbagai arena di dalam Program PPK atau PNPM Perdesaan menyerupai Program IDT, namun telah ditafsir ulang dalam diskursus kemiskinan produksi. Program tersebut menggabungkan komponen kredit kelompok dan infrastruktur. Telah lama donor internasional dikenal lebih mampu mengelola proyek infrastruktur dibandingkan pengembangan kelembagaan (Israel 1992: 2). Pembangunan komponen infrastruktur selesai setelah bangunan diserahkan kepada pemerintah desa, sedangkan pengembangan kredit kelompok seharusnya berkelanjutan hingga durasi proyek selesai. Dalam Program PPK komponen infrastruktur segera mendominasi nilai kegiatan dibandingkan kredit kelompok. Pendamping di tingkat kecamatan dan desa lebih menekankan komponen infrastruktur. Data Potensi Desa tahun 2011 menunjukkan infrastruktur transportasi yang dibangun dengan PNPM mencapai lokasi desa, jauh melebihi kegiatan ekonomi yang hanya mencakup belasan ribu desa. Kekuasaan disalurkan melalui mekanisme standardisasi. Mulai Program PPK tahapan perencanaan partisipatif, hingga pelaksanaan, dan kontrol didisiplinkan dalam panduan-panduan teknis operasional. Kreativitas dari lapangan yang dipandang selaras dengan diskursus kemiskinan produksi dikembangkan sebagai disiplin baru pada pedoman tahun berikutnya. Pada tahun 1998 hanya ditemukan pedoman-pedoman kecil dan tipis (tidak lebih dari 30 halaman) untuk program dan kegiatan, jumlahnya tidak lebih dari 5 buku. Pada saat ini setiap desa mendapatkan 14 buku panduan, masing-masing di atas 50 halaman, yang diperbaiki setiap tahun. Pandangan efisiensi dipraktikkan dalam arena persaingan proposal antar kelompok dalam desa maupun antar desa dalam satu kecamatan. Penilaian proposal diunggulkan pada efisiensi perencanaan kegiatan. Dalam persaingan di tingkat kecamatan, proposal desa dengan persentase dana swadaya masyarakat tertinggi hampir pasti terpilih untuk menerima dana program. Swadaya masyarakat yang diidentifikasi sebagai kemandirian dalam diskursus potensi golongan miskin, kini ditafsir ulang sebagai modal ekonomi desa untuk mendapatkan proyek. Melalui persaingan, program ini ingin memilih desa yang lebih maju dan mampu menyediakan swadaya lebih tinggi, daripada desa yang lebih tertinggal dan hanya menyediakan swadaya rendah. Pada saat ini konsep

21 179 persaingan telah diubah menjadi prioritas, namun pelaksanaannya tetap sesuai teori pengambilan keputusan rasional, yaitu mengurutkan (memprioritaskan) kegiatan sesuai dengan urutan yang paling sesuai dari tujuan pembangunan desa Perencanaan Partisipatif di Kecamatan Perencanaan partisipatif di kecamatan bertujuan untuk menyusun prioritas kegiatan antar desa/kelurahan berdasarkan hasil perencanaan partisipatif di desa/kelurahan, sekaligus mensinergikannya dengan rencana pembangunan kabupaten/kota. Prioritas hasil perencanaan pembangunan partisipatif PNPM Mandiri dan musrenbang desa/kelurahan menjadi prioritas untuk dibiayai dengan sumber pendanaan kecamatan. 1 Formalisasi kegiatan dengan menekankan proposal tertulis ke kecamatan hanya memperhitungkan nilai uang dari swadaya desa. Di dalam desa sendiri konsep kerukunan dari diskursus berbagi kelebihan dimanipulasi warga desa sendiri. Arena kerukunan berupa gotong royong digunakan untuk meningkatkan nilai swadaya desa. Untuk mengoptimalkan kerja warga desa dalam kegiatan program ini, mereka diupah dengan nilai sama atau sedikit di bawah upah buruh bangunan. Upah tersebut benar-benar diberikan kepada warga yang mengerjakan kegiatan, namun segera dikembalikan kepada pemerintah desa untuk dituliskan sebagai swadaya masyarakat. Persaingan untuk mendapatkan kredit kelompok juga telah menyisihkan tubuh-tubuh miskin. Untuk menunjukkan efisiensi penggunaan kredit sehingga memenangkan persaingan perebutan kredit kelompok di kecamatan maka warga desa menyeleksi sendiri tubuh-tubuh yang telah memiliki modal berupa penghasilan tetap. Buruh tani, petani kecil, dan golongan miskin lainnya tidak mendapatkan kesempatan mengusulkan kelompok masyarakat ini. Agar lebih memastikan efisiensi pengembalian kredit kelompok, dalam PNPM Perdesaan bahkan warga yang tidak miskin diperbolehkan mengisi maksimal 25 persen keanggotaan kelompok padahal dalam diskursus potensi orang miskin kelompok masyarakat hanya beranggotakan golongan miskin tanpa memperhatikan modal awal mereka. 1 Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri tahun 2007/2008, halaman 23.

22 180 Dalam diskursus potensi golongan miskin, mekanisme tanggung renteng dikembangkan untuk menguatkan solidaritas antar anggota kelompok masyarakat. Mekanisme ini tetap diberlakukan, namun dimanipulasi sebagai pendisiplinan kelompok. Unit Pengelola Kegiatan (sebelum tahun 2008 disebut Unit Pengelola Keuangan, sama-sama disingkat UPK) terus menagih kelompok saat salah satu anggotanya menunggak angsuran, dan menyarankan anggota lainnya untuk menalangi sesuai perjanjian kredit. Diskursus kemiskinan ras dan etnis menyelinap melalui prasangka efisiensi pengembalian kredit kelompok yang rendah saat dikelola laki-laki, sebaliknya efisiensi pengembalian yang tinggi saat dikelola perempuan. Prasangka seksualitas ini diformalkan dalam pedoman operasional, dengan menghilangkan kelompok laki-laki, dan memunculkan hanya kelompok simpan pinjam oleh perempuan (SPP). Tugas pendamping ditekankan pada disiplin pemenuhan panduan. Kemunculan pendisiplinan ini telah menurunkan nilai kreativitas mantan pendamping IDT yang berasal dari LSM dan lulusan baru perguruan tinggi. Formalisasi organisasi melalui mekanisme pendisiplinan pelaporan pendampingan yang kian melimpah, juga menyulitkan pendamping asal LSM yang lebih terbiasa praktik daripada mendokumentasikannya. Disiplin baru bagi pendamping telah memunculkan peran konsultan pendamping yang bersumber dari perusahaanperusahaan swasta konsultansi pemberdayaan, serta menenggelamkan peran LSM. Panoptisme Orang Miskin Sedunia Sejak tahun 2000 dibentuk organisasi untuk menyatukan program dan kegiatan pengurangan kemiskinan. Dalam kaitan ini Foucault (2002d: 90-91). menggunakan konsep panoptisme untuk merujuk pengawasan aparat penjara kepada para tahanan. Organisasi menjadi panoptisme secara sosial, yang berupaya mengawasi setiap program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan. panoptisme berlangsung sejak dari World Bank kepada Indonesia, karena kinerja pengawasan dan pengorganisasian Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (BKPK) menjadi prasyarat pencairan utang luar negeri. Selanjutnya BKPK menjadi

23 181 panoptisme bagi kementerian dan lembaga di tingkat nasional, dengan cara mengumpulkan, mengkategorikan, dan mengusulkan pembuangan program dan kegiatan mereka. Selaku Kepala Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, HS Dillon menilai, tugas pihaknya sangat berat. Setidaknya memiliki 'point' menentukan bagi segera teralisirnya kucuran dana bantuan dari Bank Dunia. Yang bakal dilakukan pihaknya ke depan adalah satu proses yang betul-betul melibatkan semua pihak. "Artinya, melibatkan LSM, pengusaha, perguruan tinggi, pemerintah daerah termasuk legislatifnya," ujar anak seorang 'Kepala Suku' kelahiran Medan, Sumatera Utara tahun 1945, yang meraih gelar doktor dari Cornell University, Ithaca, New York, AS, pada tahun Menurut pemilik moto "warisan" dari orang tuanya "Knowledge is power", dan mempraktekkannya kepada masyarakat kalangan bawah, bahwa melihat persoalan kemiskinan yang terjadi saat ini tidak dapat ditanggulangi sambil jalan. Departemen-departemen yang berkompeten akan hal kemiskinan tersebut menjalankan tugas pokok-tugas pokok. Sedangkan badan ini memberikan fokus supaya tugas berat ini dapat betul-betul dilakukan secara integrated. Pada saat yang sama, World Bank menegaskan keterkaitan antara tingkatan global dan nasional dalam pengurangan kemiskinan. Luasnya peran yang dirumuskan untuk donor internasional berkonsekuensi pada luasnya peluang kegiatan berbasis utang luar negeri (World Bank 2000: 12). The way to deal with this complexity (of poverty) is through empowerment and participation local, national, and international. National governments should be fully accountable to their citizenry for the development path they pursue And international institutions should listen to and promote the interests of poor people.. There is an important role in this for rich countries and international organizations. If a developing country has a coherent and effective homegrown program of poverty reduction, it should receive strong support to bring health and education to its people, to remove want and vulnerability. At the same time global forces need to be harnessed for poor people and poor countries, so that they are not left behind by scientific and medical advances. Promoting global financial and environmental

24 182 stability and lowering market barriers to the products and services of poor countries should be a core part of the strategy. Setahun berikutnya dibentuk Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) dengan peran serupa. Peran tambahannya ialah formalisasi panoptisme sebagai mekanisme kekuasaan yang strategis, dengan menciptakan dokumen perencanaan pengurangan kemiskinan untuk jangka menengah (5 tahun). Dokumen hendak dijadikan panduan bagi donor dari luar negeri untuk memberikan utang bagi pemerintah Indonesia. Dokumen serupa juga sudah dipersyaratkan bagi negaranegara miskin lainnya untuk mendapatkan utang dari donor internasional. Rezim kebenaran dikembangkan melalui sasaran mainstreaming (pengarusutamaan) kemiskinan, yaitu "terwujudnya cara pandang dan persepsi yang sama mengenai penduduk miskin sebagai kelompok sasaran dan pelaku penanggulangan kemiskinan". 1 Mainstreaming (pengarusutamaan): upaya untuk meletakkan perspektif yang benar tentang konsistensi antara kebijakan dan program, antara program dan penganggaran, antara penentuan sasaran dan sistem penyampaiannya, dan pembagian peran antar pelaku pembangunan dalam penanggulangan kemiskinan. 2 Diskursus kemiskinan produksi meninggalkan jejaknya dengan memasukkan pemikiran efisiensi dalam dokumen Interim Poverty Reduction Strategic Paper (I-PRSP) pada tahun Dua pendekatan utama penanggulangan kemiskinan ialah meningkatkan pendapatan dan mengurangi pengeluaran. Adapun taksonomi kebijakan diarahkan kepada orang miskin produktif, dan orang miskin yang tidak mampu lagi berproduksi. Kebijakan untuk orang miskin produktif meliputi penciptaan kesempatan kerja, pemberdayaan masyarakat, dan peningkatan kapasitas. Kebijakan untuk orang miskin yang tidak lagi produktif ialah proteksi sosial. Sebagaimana disebutkan dalam langkah-langkah penanggulangan kemiskinan di muka, penanggulangan kemiskinan didekati dari dua sisi, yaitu: 1 Dokumen Interim Strategi Penanggulangan Kemiskinan, halaman Dokumen Interim Strategi Penanggulangan Kemiskinan, halaman 68.

BAB 11 KESIMPULAN: KEMBALI KE UUD 1945

BAB 11 KESIMPULAN: KEMBALI KE UUD 1945 BAB 11 KESIMPULAN: KEMBALI KE UUD 1945 Menjawab Permasalahan dan Tujuan Penelitian Permasalahan penelitian kedua ialah, bagaimana kekuasaan beroperasi dengan membentuk dan mengelola beragam diskursus dan

Lebih terperinci

BAB 8 DISKURSUS DAN PRAKTIK POTENSI GOLONGAN MISKIN

BAB 8 DISKURSUS DAN PRAKTIK POTENSI GOLONGAN MISKIN BAB 8 DISKURSUS DAN PRAKTIK POTENSI GOLONGAN MISKIN Diskursus dan praktik potensi golongan miskin mengoperasikan kekuasaan untuk membuka berbagai akses guna memunculkan tubuh-tubuh miskin. Aksesakses tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan menghambat tercapainya demokrasi, keadilan dan persatuan.

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan menghambat tercapainya demokrasi, keadilan dan persatuan. BAB I PENDAHULUAN Kemiskinan menghambat tercapainya demokrasi, keadilan dan persatuan. Penanggulangan kemiskinan memerlukan upaya yang sungguh-sungguh, terusmenerus, dan terpadu dengan menekankan pendekatan

Lebih terperinci

Optimalisasi Unit Pengelola Keuangan dalam Perguliran Dana sebagai Modal Usaha

Optimalisasi Unit Pengelola Keuangan dalam Perguliran Dana sebagai Modal Usaha Optimalisasi Unit Pengelola Keuangan dalam Perguliran Dana sebagai Modal Usaha I. Pendahuluan Situasi krisis yang berkepanjangan sejak akhir tahun 1997 hingga dewasa ini telah memperlihatkan bahwa pengembangan

Lebih terperinci

Program Pengentasan Kemiskinan melalui Penajaman Unit Pengelola Keuangan

Program Pengentasan Kemiskinan melalui Penajaman Unit Pengelola Keuangan Program Pengentasan Kemiskinan melalui Penajaman Unit Pengelola Keuangan I. PENDAHULUAN Pembangunan harus dipahami sebagai proses multidimensi yang mencakup perubahan orientasi dan organisasi sistem sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan. Kemiskinan telah membuat pengangguran semakin bertambah banyak,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan. Kemiskinan telah membuat pengangguran semakin bertambah banyak, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Kemiskinan telah membuat pengangguran semakin bertambah banyak, inflasi juga naik dan pertumbuhan ekonomi melambat. Kemiskinan yang terjadi dalam suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh si miskin. Penduduk miskin pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat

BAB I PENDAHULUAN. oleh si miskin. Penduduk miskin pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan situasi serba kekurangan yang terjadi bukan dikehendaki oleh si miskin. Penduduk miskin pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat pendidikan,

Lebih terperinci

Kemiskinan di Indonesa

Kemiskinan di Indonesa Kemiskinan di Indonesa Kondisi Kemiskinan Selalu menjadi momok bagi perekonomian dunia, termasuk Indonesia Dulu hampir semua penduduk Indonesia hidup miskin (share poverty), sedangkan sekarang kemiskinan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Program ekonomi yang dijalankan negara-negara Sedang Berkembang (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang. Di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang. Di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan masalah sosial yang senantiasa hadir di tengahtengah masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang. Di Indonesia masalah kemiskinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemberdayaan dan partisipasi. Sebelumnya telah dilalui begitu banyak

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemberdayaan dan partisipasi. Sebelumnya telah dilalui begitu banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Program pengentasan kemiskinan pada masa sekarang lebih berorientasi kepada pemberdayaan dan partisipasi. Sebelumnya telah dilalui begitu banyak program pengentasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduknya seperti Indonesia. Kemiskinan seharusnya menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN. penduduknya seperti Indonesia. Kemiskinan seharusnya menjadi masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan masalah lama yang pada umumnya dihadapi hampir di semua negara-negara berkembang, terutama negara yang padat penduduknya seperti Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial yang amat serius. Kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial yang amat serius. Kemiskinan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial yang amat serius. Kemiskinan merupakan sebuah kondisi kehilangan terhadap sumber-sumber pemenuhan kebutuhan dasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab ini membahas secara berurutan tentang latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab ini membahas secara berurutan tentang latar belakang BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini membahas secara berurutan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan hipotesis. A. Latar Belakang Masalah. Kemiskinan seringkali

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pedesaan sebagai bagian dari pembangunan nasional memfokuskan diri pada masalah kemiskinan di pedesaan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2006

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan dengan meluncurkan program-program pemberdayaan. Sejak periode

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan dengan meluncurkan program-program pemberdayaan. Sejak periode BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Berbagai upaya telah dilakukan oleh bangsa Indonesia untuk menanggulangi kemiskinan dengan meluncurkan program-program pemberdayaan. Sejak periode tahun 1974-1988,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:a.bahwa setiap warga negara berhak untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, dengan kata lain telah mengakar luas dalam sistem sosial

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, dengan kata lain telah mengakar luas dalam sistem sosial BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini, masalah kemiskinan sudah menjadi fenomena kehidupan masyarakat, dengan kata lain telah mengakar luas dalam sistem sosial masyarakat Indonesia. Terjadinya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap pembangunan di suatu daerah seyogyanya perlu dan

I. PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap pembangunan di suatu daerah seyogyanya perlu dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya setiap pembangunan di suatu daerah seyogyanya perlu dan harus memperhatikan segala sumber-sumber daya ekonomi sebagai potensi yang dimiliki daerahnya, seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan cita-cita bangsa yakni terciptanya

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan cita-cita bangsa yakni terciptanya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Pelaksanaan kegiatan pembangunan nasional di Indonesia sesungguhnya merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan cita-cita bangsa yakni terciptanya kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia menyebabkan munculnya. menurunnya konsumsi masyarakat. Untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia menyebabkan munculnya. menurunnya konsumsi masyarakat. Untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda Indonesia menyebabkan munculnya berbagai macam masalah di dalam kehidupan masyarakat seperti terjadinya PHK pada buruh kontrak, jumlah pengangguran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut para ahli, kemiskinan masih menjadi permasalahan penting yang harus segera dituntaskan, karena kemiskinan merupakan persoalan multidimensional yang tidak saja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, sehingga menjadi suatu fokus perhatian bagi pemerintah Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, sehingga menjadi suatu fokus perhatian bagi pemerintah Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan dan pengangguran menjadi masalah yang penting saat ini di Indonesia, sehingga menjadi suatu fokus perhatian bagi pemerintah Indonesia. Masalah kemiskinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1994). Proses pembangunan memerlukan Gross National Product (GNP) yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN. 1994). Proses pembangunan memerlukan Gross National Product (GNP) yang tinggi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan yang meluas merupakan tantangan terbesar dalam upaya Pembangunan (UN, International Conference on Population and Development, 1994). Proses pembangunan

Lebih terperinci

Data Kemiskinan, Survai atau Partisipatif? Oleh Ivanovich Agusta. Salah satu pelajaran berharga yang tersembul dari kisruh pemberian dana tunai

Data Kemiskinan, Survai atau Partisipatif? Oleh Ivanovich Agusta. Salah satu pelajaran berharga yang tersembul dari kisruh pemberian dana tunai Data Kemiskinan, Survai atau Partisipatif? Oleh Ivanovich Agusta Salah satu pelajaran berharga yang tersembul dari kisruh pemberian dana tunai kompensasi BBM secara langsung, ialah kelemahan metode survai.

Lebih terperinci

BERALIH DARI SUBSIDI UMUM MENJADI SUBSIDI TERARAH: PENGALAMAN INDONESIA DALAM BIDANG SUBSIDI BBM DAN REFORMASI PERLINDUNGAN SOSIAL

BERALIH DARI SUBSIDI UMUM MENJADI SUBSIDI TERARAH: PENGALAMAN INDONESIA DALAM BIDANG SUBSIDI BBM DAN REFORMASI PERLINDUNGAN SOSIAL KANTOR WAKIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA BERALIH DARI SUBSIDI UMUM MENJADI SUBSIDI TERARAH: PENGALAMAN INDONESIA DALAM BIDANG SUBSIDI BBM DAN REFORMASI PERLINDUNGAN SOSIAL Dr. Bambang Widianto Deputi Bidang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. secara terus menerus untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara, yaitu

I. PENDAHULUAN. secara terus menerus untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara, yaitu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan serangkaian proses multidimensial yang berlangsung secara terus menerus untuk mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara, yaitu terciptanya

Lebih terperinci

Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Women can be very effective in navigating political processes. But there is always a fear that they can become pawns and symbols, especially if quotas are used. (Sawer,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketidakmampuan secara ekonomi dalam memenuhi standar hidup rata rata

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketidakmampuan secara ekonomi dalam memenuhi standar hidup rata rata BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Masalah Kemiskinan Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi oleh semua negara di dunia, terutama di negara sedang berkembang. Kemiskinan adalah suatu kondisi ketidakmampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditandai dengan pengangguran yang tinggi, keterbelakangan dan ketidak

BAB I PENDAHULUAN. ditandai dengan pengangguran yang tinggi, keterbelakangan dan ketidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan masalah pembangunan diberbagai bidang yang ditandai dengan pengangguran yang tinggi, keterbelakangan dan ketidak berdayaan. Oleh karena

Lebih terperinci

KEMISKINAN DAN UPAYA PENGENTASANNYA. Abstrak

KEMISKINAN DAN UPAYA PENGENTASANNYA. Abstrak KEMISKINAN DAN UPAYA PENGENTASANNYA Abstrak Upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia telah menjadi prioritas di setiap era pemerintahan dengan berbagai program yang digulirkan. Pengalokasian anggaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan dan pengangguran menjadi masalah yang penting saat ini di

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan dan pengangguran menjadi masalah yang penting saat ini di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemiskinan dan pengangguran menjadi masalah yang penting saat ini di Indonesia, sehingga menjadi suatu fokus perhatian bagi pemerintah Indonesia. Masalah kemiskinan

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1993 TENTANG PENINGKATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1993 TENTANG PENINGKATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1993 TENTANG PENINGKATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan penanggulangan kemiskinan secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Demikian juga halnya dengan kemiskinan, dimana kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Demikian juga halnya dengan kemiskinan, dimana kemiskinan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia memiliki persoalan kemiskinan dan pengangguran. Persoalan pengangguran lebih dipicu oleh rendahnya kesempatan dan peluang kerja bagi masyarakat. Demikian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. upaya dan kegiatan aktifitas ekonomi masyarakat tersebut. Untuk mencapai kondisi

I. PENDAHULUAN. upaya dan kegiatan aktifitas ekonomi masyarakat tersebut. Untuk mencapai kondisi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesejahteraan masyarakat pada suatu wilayah adalah merupakan suatu manifestasi yang diraih oleh masyarakat tersebut yang diperoleh dari berbagai upaya, termasuk

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.174, 2014 PENDIDIKAN. Pelatihan. Penyuluhan. Perikanan. Penyelenggaraan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5564) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat Upaya penanggulangan kemiskinan yang bertumpu pada masyarakat lebih dimantapkan kembali melalui Program

Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat Upaya penanggulangan kemiskinan yang bertumpu pada masyarakat lebih dimantapkan kembali melalui Program Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat Upaya penanggulangan kemiskinan yang bertumpu pada masyarakat lebih dimantapkan kembali melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK) mulai tahun Konsepsi Pemberdayaan

Lebih terperinci

Asesmen Gender Indonesia

Asesmen Gender Indonesia Asesmen Gender Indonesia (Indonesia Country Gender Assessment) Southeast Asia Regional Department Regional and Sustainable Development Department Asian Development Bank Manila, Philippines July 2006 2

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG INTELIJEN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk terwujudnya tujuan nasional negara

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Di Indonesia istilah keluarga sejahtera baru dirumuskan oleh pemerintah

PENDAHULUAN Latar Belakang Di Indonesia istilah keluarga sejahtera baru dirumuskan oleh pemerintah PENDAHULUAN Latar Belakang Di Indonesia istilah keluarga sejahtera baru dirumuskan oleh pemerintah sejak dikeluarkannya UU No 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonominya. Definisi pembangunan ekonomi semakin berkembang

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonominya. Definisi pembangunan ekonomi semakin berkembang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Indikator keberhasilan pembangunan suatu negara biasanya dilihat dari pembangunan ekonominya. Definisi pembangunan ekonomi semakin berkembang seiring dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bentuk upaya pengentasan kemiskinan dalam masyarakat. kesejahteraan di wilayah tersebut. Dengan demikian, kemiskinan menjadi salah

BAB I PENDAHULUAN. bentuk upaya pengentasan kemiskinan dalam masyarakat. kesejahteraan di wilayah tersebut. Dengan demikian, kemiskinan menjadi salah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan masyarakat. Salah satu tujuan pembangunan adalah upaya untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi riil

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam bab II ini menguraikan tentang pandangan teoritis mengenai. Kemiskinan merupakan masalah kemanusiaan yang telah lama

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam bab II ini menguraikan tentang pandangan teoritis mengenai. Kemiskinan merupakan masalah kemanusiaan yang telah lama BAB II LANDASAN TEORI Dalam bab II ini menguraikan tentang pandangan teoritis mengenai kemiskinan, konsep, dan asumsi yang dipakai. A. Pandangan Teoritis Mengenai Kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terutama sejak terjadinya krisis ekonomi dan moneter pada tahun 1997.

BAB I PENDAHULUAN. terutama sejak terjadinya krisis ekonomi dan moneter pada tahun 1997. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Permasalahan yang dihadapi oleh Negara Indonesia adalah kemiskinan. Dari tahun ke tahun masalah ini terus menerus belum dapat terselesaikan, terutama sejak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harus diminimalisir, bahkan di negara maju pun masih ada penduduknya yang

BAB I PENDAHULUAN. harus diminimalisir, bahkan di negara maju pun masih ada penduduknya yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan bukan masalah baru, namun sudah ada sejak masa penjajahan sampai saat ini kemiskinan masih menjadi masalah yang belum teratasi. Di negara berkembang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan ekonomi. Permasalahan kemiskinan dialami oleh setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang.

Lebih terperinci

Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender

Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender XVII Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender Salah satu strategi pokok pembangunan Propinsi Jawa Timur 2009-2014 adalah pengarusutamaan gender. Itu artinya, seluruh proses perencanaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 banyak menyebabkan munculnya masalah baru, seperti terjadinya PHK secara besar-besaran, jumlah pengangguran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pembangunan

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pembangunan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sebagai suatu proses berencana dari kondisi tertentu kepada kondisi yang lebih baik dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pembangunan tersebut bertujuan

Lebih terperinci

ARAH DAN KEBIJAKAN UMUM PENANGGULANGAN KEMISKINAN

ARAH DAN KEBIJAKAN UMUM PENANGGULANGAN KEMISKINAN Bab 5 ARAH DAN KEBIJAKAN UMUM PENANGGULANGAN KEMISKINAN INDEKS KEMISKINAN MANUSIA 81 Bab 5 ARAH DAN KEBIJAKAN UMUM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 5.1. Arah dan Kebijakan Umum Arah dan kebijakan umum penanggulangan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Upaya penanganan kemiskinan sejak zaman pemerintah Orde Baru sudah dirasakan manfaatnya, terbukti dari jumlah penurunan jumlah penduduk miskin yang terjadi antara tahun 1976

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. orang miskin khususnya di perdesaan terpuruk di bawah garis kemiskinan.

I. PENDAHULUAN. orang miskin khususnya di perdesaan terpuruk di bawah garis kemiskinan. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 telah menyebabkan jutaan orang miskin khususnya di perdesaan terpuruk di bawah garis kemiskinan. Beberapa indikator ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Didalam kehidupan ekonomi pada umumnya, manusia senantiasa berusaha untuk

I. PENDAHULUAN. Didalam kehidupan ekonomi pada umumnya, manusia senantiasa berusaha untuk 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Didalam kehidupan ekonomi pada umumnya, manusia senantiasa berusaha untuk dapat memperbaiki tingkat kesejahteraannya dengan berbagai kegiatan usaha sesuai dengan bakat,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu isu yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial. Gender

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N

BAB I P E N D A H U L U A N BAB I P E N D A H U L U A N 1.1 Latar Belakang Pemerintah mempunyai program penanggulangan kemiskinan yang ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat baik dari segi sosial maupun dalam hal ekonomi. Salah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap warga negara berhak untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Isu kemiskinan masih menjadi isu strategik dan utama dalam pembangunan, baik di tingkat nasional, regional, maupun di provinsi dan kabupaten/kota. Di era pemerintahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. miskin khususnya di perdesaan terpuruk di bawah garis kemiskinan. Beberapa

I. PENDAHULUAN. miskin khususnya di perdesaan terpuruk di bawah garis kemiskinan. Beberapa I. PENDAHULUAN Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 telah menyebabkan jutaan orang miskin khususnya di perdesaan terpuruk di bawah garis kemiskinan. Beberapa indikator ekonomi makro

Lebih terperinci

f f f i I. PENDAHULUAN

f f f i I. PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi yang kaya akan simiber daya alam di Indonesia. Produksi minyak bumi Provinsi Riau sekitar 50 persen dari total produksi minyak

Lebih terperinci

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. 1. Atas undangan Organisasi Kesehatan Dunia, kami, Kepala Pemerintahan, Menteri dan perwakilan pemerintah datang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki persoalan kemiskinan dan pengangguran. Kemiskinan di

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki persoalan kemiskinan dan pengangguran. Kemiskinan di 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki persoalan kemiskinan dan pengangguran. Kemiskinan di Indonesia dapat dilihat dari tiga pendekatan yaitu kemiskinan alamiah, kemiskinan struktural,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia yang terbentang luas, terdiri dari pulau-pulau yang besar

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia yang terbentang luas, terdiri dari pulau-pulau yang besar BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar belakang masalah Negara Indonesia yang terbentang luas, terdiri dari pulau-pulau yang besar dan kecil, serta masyarakatnya mempunyai beraneka ragam agama, suku bangsa, dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan masyarakat merupakan tanggungjawab semua pihak, baik pemerintah, dunia usaha (swasta dan koperasi), serta masyarakat. Pemerintah dalam hal ini mencakup pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menentukan maju tidaknya suatu negara. Menurut Adam Smith (2007) tidak ada masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. menentukan maju tidaknya suatu negara. Menurut Adam Smith (2007) tidak ada masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah sosial terbesar yang dihadapi oleh setiap negara di dunia dan setiap negara berusaha untuk mengatasinya. Kemiskinan adalah faktor yang

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

Lampiran 1: Rumusan Kebijakan Bantuan Luar Negeri dalam Ketetapan-ketetapan MPRS/MPR. (Ditetapkan di Bandung 19 November 1960)

Lampiran 1: Rumusan Kebijakan Bantuan Luar Negeri dalam Ketetapan-ketetapan MPRS/MPR. (Ditetapkan di Bandung 19 November 1960) Lampiran 1: Rumusan Kebijakan Bantuan Luar Negeri dalam Ketetapan-ketetapan MPRS/MPR I. Periode 1960 1965 1. Ketetapan MPRS No. I/MPRS 1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-Garis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduk miskin, kepada tingkatan yang lebih baik dari waktu ke waktu.

BAB I PENDAHULUAN. penduduk miskin, kepada tingkatan yang lebih baik dari waktu ke waktu. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan dasar dan paling essensial dari pembangunan tidak lain adalah mengangkat kehidupan manusia yang berada pada lapisan paling bawah atau penduduk miskin, kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena kemiskinan perdesaan bukan merupakan suatu gejala yang baru.

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena kemiskinan perdesaan bukan merupakan suatu gejala yang baru. 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Fenomena kemiskinan perdesaan bukan merupakan suatu gejala yang baru. Secara absolut jumlah penduduk Indonesia yang masih hidup dibawah garis kemiskinan masih

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Politik Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin Tahun , penulis

BAB V PENUTUP. Politik Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin Tahun , penulis BAB V PENUTUP 1.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian Dampak Nasakom Terhadap Keadaan Politik Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin Tahun 1959-1966, penulis menarik kesimpulan bahwa Sukarno sebagi

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 23 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMALANG, Menimbang : a. bahwa sistem

Lebih terperinci

KINERJA DAN PERSPEKTIF KEGIATAN NON-PERTANIAN DALAM EKONOMI PEDESAAN *

KINERJA DAN PERSPEKTIF KEGIATAN NON-PERTANIAN DALAM EKONOMI PEDESAAN * KINERJA DAN PERSPEKTIF KEGIATAN NON-PERTANIAN DALAM EKONOMI PEDESAAN * Oleh: Kecuk Suhariyanto, Badan Pusat Statistik Email: kecuk@mailhost.bps.go.id 1. PENDAHULUAN Menjelang berakhirnya tahun 2007, 52

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah Persentase (Juta) ,10 15,97 13,60 6,00 102,10 45,20. Jumlah Persentase (Juta)

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah Persentase (Juta) ,10 15,97 13,60 6,00 102,10 45,20. Jumlah Persentase (Juta) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fenomena kemiskinan telah berlangsung sejak lama, walaupun telah dilakukan berbagai upaya dalam menanggulanginya, namun sampai saat ini masih terdapat lebih dari 1,2

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Kemiskinan dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persedian sumber

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Kemiskinan dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persedian sumber BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Kemiskinan Secara ekonomi kemiskinan dapat diartikan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun-2008-penduduk-miskin-turun-221-juta-.html (diakses 19 Oktober 2009)

BAB I PENDAHULUAN. tahun-2008-penduduk-miskin-turun-221-juta-.html (diakses 19 Oktober 2009) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan memiliki konsep yang beragam. Kemiskinan menurut Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Republik Indonesia (TKPKRI, 2008) didefinisikan sebagai suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menerus di bidang fisik, ekonomi dan lingkungan sosial yang dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. menerus di bidang fisik, ekonomi dan lingkungan sosial yang dilakukan oleh 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan pedesaan merupakan suatu proses perubahan secara terus menerus di bidang fisik, ekonomi dan lingkungan sosial yang dilakukan oleh manusia untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari tahun-ketahun, tetapi secara riil jumlah penduduk miskin terus

BAB I PENDAHULUAN. dari tahun-ketahun, tetapi secara riil jumlah penduduk miskin terus BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan serangkaian usaha dalam suatu perekonomian untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak tersedia, perusahaan

Lebih terperinci

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) A. Visi dan Misi 1. Visi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Sleman 2010-2015 menetapkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian di Indonesia merupakan kegiatan yang masih banyak dilakukan oleh penduduk dalam memperoleh penghasilan. Menurut hasil Sensus Pertanian tahun 2003, jumlah rumah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat sebagai terjemahan istilah society merupakan sekelompok

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat sebagai terjemahan istilah society merupakan sekelompok BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masyarakat sebagai terjemahan istilah society merupakan sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem di mana besar interaksi adalah antara individu-individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selain persoalan kemiskinan. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa

BAB I PENDAHULUAN. selain persoalan kemiskinan. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan terus menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah Indonesia sebagai nation state, sejarah sebuah Negara yang salah memandang dan mengurus kemiskinan. Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diamati dan dikaji. Otonomi acap kali menjadi bahan perbincangan baik di

BAB I PENDAHULUAN. diamati dan dikaji. Otonomi acap kali menjadi bahan perbincangan baik di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perjalanan otonomi daerah di Indonesia merupakan isu menarik untuk diamati dan dikaji. Otonomi acap kali menjadi bahan perbincangan baik di kalangan birokrat, politisi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terkena PHK (pengangguran) dan naiknya harga - harga kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. yang terkena PHK (pengangguran) dan naiknya harga - harga kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 telah menyebabkan jutaan orang miskin khususnya di perdesaan terpuruk di bawah garis kemiskinan. Imbas dari keadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDHAULUAN. dari masyarakat penerima program maka hasil pembangunan tersebut akan sesuai

BAB I PENDHAULUAN. dari masyarakat penerima program maka hasil pembangunan tersebut akan sesuai 1 BAB I PENDHAULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Strategi pembangunan yang berorientasi pada pembangunan manusia dalam pelaksanaannya sangat mensyaratkan keterlibatan langsung dari masyarakat penerima program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah dinyatakan secara tegas bahwa pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting daripada

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Kemiskinan Berbagai definisi tentang kemiskinan sudah diberikan oleh para ahli di bidangnya. Kemiskinan adalah suatu keadaan, yaitu seseorang tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerja bagi angkatan kerja di perdesaan. Permasalahan kemiskinan yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. kerja bagi angkatan kerja di perdesaan. Permasalahan kemiskinan yang cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Permasalahan kemiskinan di Indonesia dapat dilihat dari tiga pendekatan yaitu kemiskinan alamiah, kemiskinan struktural, dan kesenjangan antar wilayah.

Lebih terperinci

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 A. KONDISI KEMISKINAN 1. Asia telah mencapai kemajuan pesat dalam pengurangan kemiskinan dan kelaparan pada dua dekade yang lalu, namun

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 116 BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 6.1. Kesimpulan Untuk mengatasi permasalahan kemiskinan yang kompleks dibutuhkan intervensi dari semua pihak secara bersama dan terkoordinasi. Selain peran

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Berdasarkan ketentuan ini

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Berdasarkan ketentuan ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan desa secara yuridis formal diakui dalam Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Pemekaran setelah Undang-Undang Otonomi Khusus) yang secara resmi

BAB I PENDAHULUAN. (Pemekaran setelah Undang-Undang Otonomi Khusus) yang secara resmi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (Pemekaran setelah Undang-Undang Otonomi Khusus) yang secara resmi diberlakukan pada tanggal 21 November

Lebih terperinci

Rumusan Isu Strategis dalam Draft RAN Kepemudaan PUSKAMUDA

Rumusan Isu Strategis dalam Draft RAN Kepemudaan PUSKAMUDA Rumusan Isu Strategis dalam Draft RAN Kepemudaan 2016 2019 PUSKAMUDA Isu Strategis dalam Kerangka Strategi Kebijakan 1. Penyadaran Pemuda Nasionalisme Bina Mental Spiritual Pelestarian Budaya Partisipasi

Lebih terperinci

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Perlambatan pertumbuhan Indonesia terus berlanjut, sementara ketidakpastian lingkungan eksternal semakin membatasi ruang bagi stimulus fiskal dan moneter

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS 1 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 5 TAHUN 2015 BUPATI KUDUS PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berusaha membangun dalam segala bidang aspek seperti politik, sosial,

BAB I PENDAHULUAN. berusaha membangun dalam segala bidang aspek seperti politik, sosial, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang berusaha membangun dalam segala bidang aspek seperti politik, sosial, pendidikan, ekonomi dan lain-lain.

Lebih terperinci

GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN

GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN G E N D E R B R I E F S E R I E S NO. 1 GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN The Australia-Indonesia Partnership for Reconstruction and Development Local Governance and Community Infrastructure for Communities

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagaimana tertulis dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, pemerintah menetapkan visi pembangunan yaitu Terwujudnya Indonesia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keberagaman kebutuhan kelompok dan individu masyarakat, tak terkecuali

BAB I PENDAHULUAN. keberagaman kebutuhan kelompok dan individu masyarakat, tak terkecuali BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prinsip partisipasi, transparansi dan akuntabilitas dalam good governance menjamin berlangsungnya proses pembangunan yang partisipatoris dan berkesetaraan gender. Menurut

Lebih terperinci